rancangan undang-undang republik … ruu sbpb hasil...dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup....
TRANSCRIPT
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
SISTEM BUDI DAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional,
yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilakukan
pembangunan di segala bidang salah satunya
pembangunan di bidang pertanian;
b. bahwa sistem pembangunan berkelanjutan perlu
ditumbuhkembangkan dalam pembangunan di bidang
pertanian melalui sistem budi daya pertanian untuk
mencapai kedaulatan pangan dengan memperhatikan
daya dukung ekosistem, mitigasi, dan adaptasi perubahan
iklim guna mewujudkan sistem pertanian yang maju,
efisien, tangguh, dan berkelanjutan;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman masih terdapat kekurangan
dan belum dapat menampung perkembangan zaman dan
kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Sistem Budi Daya
Pertanian Berkelanjutan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM BUDI DAYA
PERTANIAN BERKELANJUTAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan adalah pengelolaan sumber
daya alam hayati dalam memproduksi komoditas pertanian guna
memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik dan berkesinambungan
dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
2. Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan
bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk
menghasilkan komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu
agroekosistem.
3. Tanaman adalah sumber daya alam nabati yang dibudidayakan mencakup
tanaman semusim dan tahunan.
4. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang
mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan
hidrologi, baik yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh
manusia.
5. Sumber Daya Genetik adalah material genetik yang berasal dari tumbuhan,
hewan, atau jasad renik yang mengandung unit yang berfungsi sebagai
pembawa sifat keturunan, baik yang mempunyai nilai nyata maupun
potensial.
6. Pemuliaan adalah kegiatan dalam memelihara tumbuhan atau hewan
untuk menjaga kemurnian galur, ras, atau varietas sekaligus memperbaiki
produksi atau kualitasnya.
7. Benih Tanaman adalah Tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk
memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan Tanaman.
8. Benih Hewan adalah bahan reproduksi hewan yang dapat berupa semen,
sperma, ova, telur tertunas, dan embrio.
9. Bibit Hewan adalah hewan yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan
serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan.
10. Varietas Tanaman yang selanjutnya disebut Varietas, adalah sekelompok
Tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk
Tanaman, pertumbuhan Tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi
karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan
dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang
menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.
11. Sertifikasi adalah serangkaian pemeriksaan dan/atau pengujian dalam
rangka penerbitan sertifikat.
12. Pelindungan Pertanian adalah segala upaya untuk mencegah kerugian
pada budi daya Pertanian yang diakibatkan oleh organisme pengganggu
tumbuhan dan penyakit hewan.
13. Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah semua organisme yang dapat
merusak, mengganggu kehidupan, atau mengakibatkan kematian
tumbuhan.
14. Eradikasi adalah tindakan pemusnahan terhadap Tanaman, Organisme
Pengganggu Tumbuhan, penyakit hewan, dan benda lain yang
menyebabkan tersebarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan dan
penyakit hewan.
15. Sarana Budi Daya Pertanian adalah segala sesuatu yang dapat dipakai
sebagai alat dan/atau bahan yang dibutuhkan untuk budi daya Pertanian.
16. Prasarana Budi Daya Pertanian adalah segala sesuatu yang menjadi
penunjang utama dan pendukung budi daya Pertanian.
17. Pupuk adalah bahan kimia anorganik dan/atau organik, bahan alami
dan/atau sintetis, organisme dan/atau yang telah melalui proses rekayasa,
untuk menyediakan unsur hara bagi Tanaman baik secara langsung
maupun tidak langsung.
18. Usaha Budi Daya Pertanian adalah semua kegiatan untuk menghasilkan
produk dan/atau menyediakan jasa yang berkaitan dengan budi daya
Pertanian.
19. Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta
keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan.
20. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
21. Pelaku Usaha adalah Setiap Orang yang melakukan usaha Prasarana Budi
Daya Pertanian, Sarana Budi Daya Pertanian, budi daya Pertanian, panen,
pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil Pertanian, serta jasa
penunjang Pertanian yang berkedudukan di wilayah hukum Republik
Indonesia.
22. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
23. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Pertanian.
Pasal 2
Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. kebermanfaatan;
b. keberlanjutan;
c. kedaulatan;
d. keterpaduan;
e. kebersamaan;
f. kemandirian;
g. keterbukaan;
h. efisiensi berkeadilan;
i. kearifan lokal;
j. kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
k. pelindungan negara.
Pasal 3
Penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan bertujuan untuk:
a. meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil Pertanian, guna
memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam
negeri, dan memperbesar ekspor;
b. meningkatkan pendapatan dan taraf hidup Petani; dan
c. mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan
kesempatan kerja.
Pasal 4
Pengaturan penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
meliputi:
a. perencanaan budi daya Pertanian;
b. tata ruang dan tata guna Lahan budi daya Pertanian;
c. penggunaan Lahan;
d. perbenihan dan perbibitan;
e. penanaman;
f. pengeluaran dan pemasukan Tanaman, benih, bibit, dan hewan;
g. pemanfaatan air;
h. pelindungan dan pemeliharaan Pertanian;
i. panen dan pascapanen;
j. Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian;
k. Usaha Budi Daya Pertanian;
l. pembinaan dan pengawasan;
m. penelitian dan pengembangan;
n. pengembangan sumber daya manusia;
o. sistem informasi; dan
p. peran serta masyarakat.
BAB II
PERENCANAAN BUDI DAYA PERTANIAN
Pasal 5
(1) Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian
Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diselenggarakan
perencanaan budi daya Pertanian.
(2) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional,
perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan
sektoral.
(3) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk merancang pembangunan dan pengembangan Pertanian
secara berkelanjutan.
(4) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya dengan melibatkan masyarakat.
(5) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(6) Perencanaan budi daya Pertanian ditetapkan dalam rencana pembangunan
jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana
tahunan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
(1) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
meliputi aspek:
a. sumber daya manusia;
b. sumber daya alam;
c. sarana dan prasarana;
d. sasaran produksi;
e. kawasan budi daya Pertanian;
f. pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal;
g. identifikasi persoalan pasar;
h. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
i. pengindentifikasian komoditas unggulan nasional dan lokal; dan
j. produksi budi daya Pertanian tertentu berdasarkan kepentingan
nasional.
(2) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
harus memperhatikan:
a. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi;
b. daya dukung sumber daya alam, iklim, dan lingkungan;
c. rencana pembangunan nasional dan daerah;
d. rencana tata ruang;
e. pertumbuhan ekonomi dan produktivitas;
f. kebutuhan Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya
Pertanian;
g. kebutuhan teknis, ekonomis, dan kelembagaan;
h. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
i. kepentingan masyarakat; dan
j. kelestarian lingkungan hidup.
(3) Aspek perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu
kesatuan yang utuh.
Pasal 7
(1) Perencanaan budi daya Pertanian tingkat nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan rencana
pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi.
(2) Perencanaan budi daya Pertanian tingkat provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan rencana
pembangunan provinsi serta kebutuhan dan usulan kabupaten/kota.
(3) Perencanaan budi daya Pertanian tingkat kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan
rencana pembangunan provinsi dan kabupaten/kota serta usulan
masyarakat.
Pasal 8
(1) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
diwujudkan dalam bentuk rencana budi daya Pertanian.
(2) Rencana budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. rencana budi daya Pertanian nasional yang ditetapkan oleh Menteri;
b. rencana budi daya Pertanian provinsi yang ditetapkan oleh gubernur;
dan
c. rencana budi daya Pertanian kabupaten/kota yang ditetapkan oleh
bupati/wali kota.
Pasal 9
(1) Rencana budi daya Pertanian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (2) huruf a menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan
Pertanian provinsi.
(2) Rencana budi daya Pertanian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (2) huruf b menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan
Pertanian kabupaten/kota.
(3) Rencana budi daya Pertanian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c menjadi pedoman untuk pengembangan budi
daya Pertanian setempat.
(4) Rencana budi daya Pertanian nasional, rencana budi daya Pertanian
provinsi, dan rencana budi daya Pertanian kabupaten/kota menjadi
pedoman bagi Pelaku Usaha dalam pengembangan budi daya Pertanian.
Pasal 10
(1) Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis Tanaman dan
hewan serta pembudidayaannya.
(2) Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Petani memprioritaskan perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan mengembangkan budi daya Tanaman pokok
lainnya.
(3) Pemerintah Pusat berkewajiban memfasilitasi kegiatan budi daya Tanaman
pokok lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai pangan
alternatif sesuai potensi lokal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 11
Dalam hal Petani menentukan pilihan jenis Tanaman dan hewan serta
pembudidayaannya sesuai dengan perencanaan budi daya Pertanian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menjamin
pelaksanaannya.
BAB III
TATA RUANG DAN TATA GUNA LAHAN BUDI DAYA PERTANIAN
Pasal 12
(1) Pemanfaatan Lahan untuk keperluan budi daya Pertanian disesuaikan
dengan ketentuan tata ruang dan tata guna Lahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tata ruang dan tata guna Lahan untuk keperluan budi daya Pertanian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai kawasan dan
penatagunaan Lahan dalam rencana tata ruang untuk subsektor Tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
(3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan Lahan dan
pelestarian lingkungan hidup, khususnya konservasi tanah dan air.
Pasal 13
(1) Pemanfaatan Lahan untuk keperluan budi daya Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dilakukan dengan pendekatan
pengelolaan agroekosistem berdasarkan prinsip Pertanian konservasi.
(2) Pertanian konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk melindungi, memulihkan, memelihara, dan meningkatkan fungsi
Lahan guna peningkatan produktivitas Pertanian yang berkelanjutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pertanian konservasi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban menetapkan kawasan budi daya Pertanian dalam rencana
tata ruang.
(2) Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan
peruntukan kawasan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum
dilakukan dengan tidak mengganggu rencana produksi budi daya
Pertanian secara nasional dan didasarkan pada kajian lingkungan hidup
strategis.
Pasal 15
(1) Pemerintah Pusat menetapkan luas maksimum Lahan untuk Usaha Budi
Daya Pertanian.
(2) Setiap perubahan jenis Tanaman dan hewan pada Usaha Budi Daya
Pertanian di atas tanah yang dikuasai negara harus memperoleh
persetujuan Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan luas maksimum Lahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan jenis Tanaman dan
hewan pada Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1) Pengembangan budi daya Pertanian dilakukan secara terpadu dengan
pendekatan kawasan pengembangan budi daya Pertanian.
(2) Kawasan pengembangan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara terintegrasi dari lokasi budi daya, pengolahan
hasil, pemasaran, penelitian dan pengembangan, serta sumber daya
manusia.
(3) Kawasan pengembangan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus terhubung secara fungsional yang membentuk kawasan
pengembangan budi daya Pertanian kabupaten/kota, provinsi, dan
nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan pengembangan budi daya
Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
(1) Pemerintah Pusat berkewajiban menetapkan kawasan budi daya Pertanian
bagi pengembangan komoditas unggulan nasional dan lokal di provinsi
atau kabupaten/kota dengan mempertimbangkan masukan dari
Pemerintah Daerah.
(2) Pemerintah Pusat memfasilitasi kawasan budi daya Pertanian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga menjadi satu kesatuan fungsional.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
berkewajiban mendukung pengembangan kawasan budi daya Pertanian
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, anggaran pendapatan
dan belanja daerah, serta sumber pembiayaan lainnya yang sah.
BAB IV
PENGGUNAAN LAHAN
Pasal 18
(1) Lahan budi daya Pertanian terdiri atas Lahan terbuka dan Lahan tertutup
yang menggunakan tanah dan/atau media tanam lainnya.
(2) Lahan budi daya Pertanian berupa Lahan terbuka wajib dilindungi,
dipelihara, dipulihkan, serta ditingkatkan fungsinya oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan/atau Petani.
(3) Ketentuan mengenai pelindungan, pemeliharaan, pemulihan, serta
peningkatan fungsi Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 19
(1) Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang sudah ditetapkan
sebagai Lahan budi daya Pertanian.
(2) Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan budi daya Pertanian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengalihfungsian Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan
syarat:
a. dilakukan kajian strategis;
b. disusun rencana alih fungsi lahan;
c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
d. disediakan Lahan pengganti terhadap Lahan budi daya Pertanian.
(4) Alih fungsi Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan pada Lahan Pertanian
yang telah memiliki jaringan pengairan lengkap.
Pasal 20
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban memberikan insentif kepada Petani yang mampu
mempertahankan Lahan budi daya Pertanian.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. keringanan pajak bumi dan bangunan;
b. pengembangan infrastruktur Pertanian;
c. pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul;
d. kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi;
e. penyediaan Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya
Pertanian;
f. jaminan penerbitan sertipikat bidang tanah pertanian pangan melalui
pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik;
g. penyediaan bantuan modal/kredit usaha dan
bimbingan/pendampingan Usaha Budi Daya Pertanian; dan/atau
h. penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi.
(3) Setiap Orang yang memiliki atau memegang hak usaha atas Lahan budi
daya Pertanian dilarang menelantarkan Lahan budi daya Pertanian.
Pasal 21
(1) Setiap Orang yang menggunakan Lahan dalam luasan tertentu untuk
kepentingan budi daya Pertanian wajib mengikuti tata cara yang dapat
mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
mempertahankan dan mengembangkan Lahan untuk kepentingan budi
daya Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dengan mempertimbangkan:
a. jenis Tanaman;
b. populasi hewan ternak;
c. ketersediaan Lahan yang sesuai secara agroklimat;
d. modal;
e. kapasitas unit pengolahan;
f. tingkat kepadatan penduduk;
g. pola pengembangan usaha;
h. kondisi geografis;
i. perkembangan teknologi; dan
j. pemanfaatan Lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang.
(3) Penetapan batasan luasan penggunaan Lahan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan rencana jangka panjang
terkait pengadaan, peruntukan, serta penyediaan Lahan budi daya
Pertanian dan cadangan Lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan
Pertanian.
Pasal 22
Dalam hal penggunaan Lahan dalam luasan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha di atas Lahan hak ulayat,
Pelaku Usaha wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan.
Pasal 23
(1) Setiap Orang yang menggunakan Lahan dan/atau media tanam lainnya
untuk keperluan budi daya Pertanian wajib mengikuti tata cara yang dapat
mencegah timbulnya pencemaran lingkungan.
(2) Penggunaan Lahan dan/atau media tanam lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan daya
dukung Lahan berdasarkan pewilayahan komoditas Pertanian dan
karakter wilayah Pertanian tertentu.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Lahan dan/atau media tanam
lainnya, dan tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan dan
pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan
Pasal 23 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB V
PERBENIHAN DAN PERBIBITAN
Pasal 25
Pemerolehan Benih Tanaman atau Bibit Hewan bermutu dapat dilakukan
melalui kegiatan penemuan dan/atau perakitan Varietas atau galur unggul
dan/atau introduksi.
Pasal 26
(1) Penemuan dan/atau perakitan Varietas atau galur unggul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan melalui pemuliaan.
(2) Pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
Setiap Orang.
Pasal 27
(1) Pencarian dan pengumpulan Sumber Daya Genetik untuk Pemuliaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan
Sumber Daya Genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
izin, kecuali Petani kecil.
(3) Petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan Sumber Daya
Genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melaporkan kepada
Pemerintah Daerah untuk selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah
Pusat.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan pelestarian Sumber Daya Genetik bersama masyarakat.
(5) Pelestarian Sumber Daya Genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
memperhatikan wilayah dan kondisi geografis sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin, pelaporan, pencarian,
pengumpulan, dan pelestarian Sumber Daya Genetik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28
(1) Introduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan dalam
bentuk Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan/atau materi
induk untuk Pemuliaan.
(2) Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila
Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan/atau materi induk belum
ada di wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh
Pemerintah atau Setiap Orang wajib memiliki izin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai introduksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat melakukan pelepasan terhadap:
a. Varietas unggul;
b. galur; dan
c. Varietas introduksi,
sebelum diedarkan kecuali hasil Pemuliaan oleh Petani kecil dalam negeri.
(2) Varietas hasil Pemuliaan Petani kecil dalam negeri dilaporkan kepada
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Varietas hasil Pemuliaan Petani kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota.
(4) Setiap Orang dilarang mengedarkan Varietas hasil Pemuliaan atau
introduksi yang belum dilepas.
(5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pelepasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
(1) Benih Tanaman dari Varietas hasil Pemuliaan atau introduksi yang telah
dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) merupakan benih
unggul.
(2) Benih unggul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
standar mutu, disertifikasi, dan diberi label.
(3) Dalam hal standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum
ditetapkan, Menteri menetapkan persyaratan teknis minimal.
(4) Setiap Orang dilarang mengedarkan benih unggul yang tidak sesuai dengan
standar mutu, tidak bersertifikat, dan/atau tidak berlabel.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu, sertifikasi, dan pelabelan
benih unggul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Pengadaan benih unggul diperoleh dari produksi dalam negeri dan/atau
pemasukan dari luar negeri.
(2) Pengadaan benih unggul dari produksi dalam negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Petani, Pelaku Usaha,
dan/atau Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 32
(1) Pengadaan benih unggul melalui pemasukan dari luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan setelah mendapat izin dari
Menteri.
(2) Pengeluaran benih unggul dari wilayah negara Republik Indonesia dapat
dilakukan oleh instansi Pemerintah, Petani, atau Pelaku Usaha
berdasarkan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pemasukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan izin pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 33
Setiap Orang yang mengedarkan Benih Tanaman, Benih Hewan, dan/atau Bibit
Hewan hasil rekayasa genetik mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 34
Setiap Orang dilarang:
a. mengadakan, mengedarkan, dan/atau menanam Benih Tanaman;
dan/atau
b. mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara Benih Hewan atau Bibit
Hewan,
yang merugikan masyarakat, budi daya Pertanian, sumber daya alam lainnya,
dan/atau lingkungan hidup.
Pasal 35
Varietas yang dapat diberi pelindungan meliputi Varietas dari jenis atau spesies
Tanaman yang baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama.
Pasal 36
Varietas yang penggunaannya bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum, kesusilaan, norma agama, kesehatan, dan
kelestarian lingkungan hidup tidak dapat diberi pelindungan Varietas.
Pasal 37
(1) Pemegang hak pelindungan Varietas yaitu Setiap Orang atau pihak lain
yang menerima lebih lanjut hak pelindungan Varietas dari pemegang hak
pelindungan sebelumnya.
(2) Pemegang hak pelindungan Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki hak untuk menggunakan dan memberikan persetujuan kepada
Setiap Orang untuk menggunakan Varietas berupa Benih Tanaman dan
hasil panen yang digunakan untuk propagasi.
Pasal 38
Jika hak pelindungan Varietas diberikan kepada Setiap Orang yang tidak
berhak, Setiap Orang yang berhak dapat menuntut hak pelindungan Varietas
ke pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 39
Pelindungan Varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan
Pasal 38 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB VI
PENANAMAN
Pasal 40
(1) Penanaman merupakan kegiatan menanam Benih Tanaman pada Lahan
atau media tanam lainnya.
(2) Penanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan
tepat pola tanam, tepat Benih Tanaman, tepat cara, tepat sarana dan
prasarana, serta tepat waktu.
Pasal 41
(1) Tepat pola tanam, tepat Benih Tanaman, tepat cara, tepat sarana dan
prasarana, serta tepat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(2) dilakukan dengan manajemen tanam.
(2) Manajemen tanam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kalender tanam;
b. pola pemupukan;
c. pola pengairan; dan
d. perbenihan.
(3) Pemerintah Pusat menetapkan manajemen tanam sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dengan memperhatikan kearifan lokal.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanaman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dan manajemen tanam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
PENGELUARAN DAN PEMASUKAN
TANAMAN, BENIH, BIBIT, DAN HEWAN
Pasal 43
Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan
dari wilayah Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika
keperluan dalam negeri telah terpenuhi dengan memperoleh izin dari Menteri.
Pasal 44
(1) Pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, dan Bibit Hewan
dari luar negeri dapat dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau
c. memenuhi keperluan di dalam negeri.
(2) Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar
mutu.
(3) Setiap Orang yang melakukan pemasukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memperoleh izin dari Menteri.
Pasal 45
(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap pengeluaran dan
pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan
hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44.
(2) Pengeluaran dan pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan,
Bibit Hewan, dan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal
44 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 46
(1) Setiap Orang dilarang memasukkan dan/atau mengeluarkan Tanaman,
Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan yang terancam
punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional ke dan/atau
dari wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan,
Bibit Hewan, dan hewan yang terancam punah dan/atau yang dapat
merugikan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PEMANFAATAN AIR
Pasal 47
(1) Pemanfaatan air untuk budi daya Pertanian memperhatikan baku mutu air
sesuai dengan peruntukannya.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
mengatur pemanfaatan air untuk budi daya Pertanian.
(3) Dalam mengatur pemanfaatan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban:
a. mengupayakan ketersediaan air dengan mempertimbangkan kondisi
hidroklimatologi, hidrologi, dan hidrogeologi;
b. menetapkan prioritas penggunaan air untuk kegiatan budi daya
Pertanian setelah kebutuhan pokok manusia sehari-hari terpenuhi;
dan
c. menetapkan rencana alokasi dan mengatur pembagian air sesuai
rencana alokasi yang ditetapkan untuk kegiatan budi daya Pertanian.
(4) Pengaturan pemanfaatan air untuk budi daya Pertanian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IX
PELINDUNGAN DAN PEMELIHARAAN PERTANIAN
Bagian Kesatu
Pelindungan Pertanian
Pasal 48
(1) Pelindungan Pertanian dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama
terpadu serta penanganan dampak perubahan iklim.
(2) Pelaksanaan Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya, Petani, Pelaku Usaha, dan masyarakat.
Pasal 49
Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dilaksanakan
melalui kegiatan:
a. pencegahan masuknya Organisme Penggangggu Tumbuhan dan penyakit
hewan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, serta
tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan dan penyakit hewan; dan
c. penanganan dampak perubahan iklim.
Pasal 50
(1) Setiap Orang dilarang menggunakan Sarana Budi Daya Pertanian,
Prasarana Budi Daya Pertanian, dan/atau cara yang dapat mengganggu
kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia serta
menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau
lingkungan hidup, dalam pelaksanaan Pelindungan Pertanian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sarana, prasarana, dan/atau
cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memiliki atau menguasai Tanaman atau hewan harus
melaporkan adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan dan
penyakit hewan kepada pejabat yang berwenang dan yang bersangkutan
harus mengendalikannya.
(2) Dalam hal serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan atau penyakit
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. eksplosi; atau
b. Organisme Pengganggu Tumbuhan atau penyakit hewan yang belum
pernah ada,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban menanggulangi bersama masyarakat.
Pasal 52
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dapat melakukan atau memerintahkan:
a. Eradikasi Tanaman, dan/atau benda lain; atau
b. depopulasi hewan, yang menyebabkan tersebarnya penyakit hewan.
(2) Dalam hal Organisme Pengganggu Tumbuhan atau penyakit hewan
dianggap sangat berbahaya, mengancam keselamatan Tanaman dan
hewan secara meluas, dilakukan Eradikasi atau depopulasi.
Pasal 53
Pemilik Tanaman dan hewan yang Tanaman, hewan, dan/atau benda lainnya
tidak terserang Organisme Pengganggu Tumbuhan dan penyakit hewan tetapi
harus dimusnahkan dalam rangka Eradikasi atau depopulasi diberi
kompensasi.
Pasal 54
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 53 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pemeliharaan Pertanian
Pasal 55
(1) Pemeliharaan Pertanian bertujuan untuk:
a. menciptakan kondisi pertumbuhan dan produktivitas Pertanian yang
optimal;
b. menjaga kelestarian lingkungan; dan
c. mencegah timbulnya kerugian pihak lain dan/atau kepentingan
umum.
(2) Setiap Orang dilarang menggunakan Sarana Budi Daya Pertanian,
Prasarana Budi Daya Pertanian, dan/atau cara yang mengganggu
kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia serta
menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau
lingkungan hidup, dalam melakukan pemeliharaan Pertanian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan Pertanian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PANEN DAN PASCAPANEN
Bagian Kesatu
Panen
Pasal 56
(1) Panen merupakan kegiatan memungut hasil budi daya Pertanian yang
ditujukan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan menekan
kehilangan dan kerusakan hasil.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), panen
dilaksanakan secara tepat waktu, tepat keadaan, tepat cara, dan tepat
sarana dan prasarana.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya,
Petani, Pelaku Usaha, dan masyarakat berkewajiban untuk mewujudkan
tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Setiap Orang yang melakukan panen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mencegah rusaknya sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta
timbulnya kerugian bagi masyarakat.
Pasal 57
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib
berupaya untuk meringankan beban Petani kecil yang mengalami gagal panen
yang tidak ditanggung oleh asuransi Pertanian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pascapanen
Pasal 58
Pascapanen merupakan kegiatan penanganan hasil panen yang ditujukan
untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan mutu, menekan tingkat
kehilangan dan/atau kerusakan, memperpanjang daya simpan, dan
meningkatkan daya guna serta nilai tambah hasil budi daya Pertanian.
Pasal 59
(1) Hasil budi daya Pertanian yang dipasarkan harus memenuhi standar
mutu.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
membina dan memfasilitasi pemenuhan standar mutu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya,
mengawasi mutu hasil budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 60
(1) Pemerintah Pusat menetapkan standar unit pengolahan, alat transportasi,
dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan akreditasi atas kelayakan unit pengolahan, alat transportasi,
dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan pengawasan terhadap unit pengolahan, alat transportasi, dan
unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian.
Pasal 61
Pemerintah Pusat menetapkan tata cara pengawasan atas mutu unit
pengolahan, alat transportasi, dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai pascapanen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 63
(1) Pemerintah Pusat menetapkan harga dasar hasil budi daya Pertanian
strategis nasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan harga
dasar hasil budi daya Pertanian strategis nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 64
(1) Untuk melindungi hasil budi daya Pertanian, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menyerap
kelebihan hasil budi daya Pertanian strategis nasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerapan kelebihan budi daya
Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB XI
SARANA BUDI DAYA PERTANIAN DAN PRASARANA BUDI DAYA PERTANIAN
Bagian Kesatu
Sarana Budi Daya Pertanian
Pasal 65
(1) Sarana Budi Daya Pertanian terdiri atas:
a. Benih Tanaman dan Benih Hewan atau Bibit Hewan;
b. Pupuk;
c. pestisida;
d. pakan; dan
e. alat dan mesin Pertanian.
(2) Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari dalam negeri atau luar negeri.
(3) Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikembangkan dengan teknologi yang memperhatikan kondisi iklim,
kondisi Lahan, dan ramah lingkungan.
Pasal 66
(1) Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(1) harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu.
(2) Untuk memenuhi standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Sarana Budi Daya Pertanian wajib dilakukan sertifikasi.
(3) Dalam hal standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
ditetapkan, Menteri menetapkan persyaratan teknis minimal.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikecualikan
untuk Sarana Budi Daya Pertanian produksi lokal atau Petani kecil yang
diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota.
(5) Setiap Orang dilarang mengedarkan Sarana Budi Daya Pertanian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a, huruf d, dan huruf
e yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 67
(1) Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(1) huruf a sampai dengan huruf d dapat merupakan atau mengandung
hasil rekayasa genetik.
(2) Setiap Orang yang mengedarkan Sarana Budi Daya Pertanian yang
merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), peredarannya mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang keamanan hayati.
Pasal 68
(1) Sarana Budi Daya Pertanian yang diedarkan wajib diberi label, kecuali
Sarana Budi Daya Pertanian produksi lokal atau Petani kecil yang
diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota.
(2) Pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan dan
kemampuannya dapat mendanai Sarana Budi Daya Pertanian untuk Petani
kecil sesuai dengan program:
a. pengentasan kemiskinan;
b. kedaulatan pangan;
c. pemberantasan narkoba; dan/atau
d. penanggulangan terorisme
(2) Untuk Sarana Budi Daya Pertanian dalam bentuk Pupuk, Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
memberikan subsidi yang diperuntukkan bagi Petani kecil.
Pasal 70
(1) Pemerintah Pusat berkewajiban menyediakan bank genetik, cadangan
Benih Tanaman dan Benih Hewan atau Bibit Hewan, serta cadangan Pupuk
nasional.
(2) Pemerintah Pusat dalam menyediakan bank genetik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat.
(3) Cadangan Benih Tanaman dan Benih Hewan atau Bibit Hewan serta
cadangan Pupuk nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
digunakan untuk keadaan darurat, bencana alam, atau bencana sosial.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bank genetik, cadangan Benih Hewan
atau Bibit Hewan, serta cadangan Pupuk nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 71
(1) Pupuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b
pengadaannya dilakukan melalui produksi dalam negeri dan/atau
pemasukan dari luar negeri.
(2) Pupuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diedarkan wajib
terdaftar.
(3) Pupuk yang terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, dan diberi label.
Pasal 72
(1) Pupuk yang diproduksi oleh Petani kecil dikecualikan dari pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2).
(2) Pupuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diedarkan dalam
1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pasal 73
Setiap Orang dilarang mengedarkan Pupuk yang tidak terdaftar dan/atau tidak
berlabel.
Pasal 74
Ketentuan mengenai pengadaan dan peredaran Pupuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 dan Pasal 72 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
Pestisida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c merupakan
semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dapat
dipergunakan untuk:
a. memberantas atau mencegah:
1. hama dan penyakit yang merusak Tanaman atau hasil Pertanian;
2. hama luar pada hewan piaraan dan ternak;
3. hama air;
4. binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam
alat pengangkutan; dan
5. binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau
binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada Tanaman,
tanah, atau air;
b. memberantas rerumputan dan/atau Tanaman yang tidak diinginkan;
c. mematikan dan mencegah pertumbuhan bagian Tanaman yang tidak
diinginkan; dan
d. mengatur atau merangsang pertumbuhan Tanaman atau bagian Tanaman
yang tidak termasuk Pupuk.
Pasal 76
(1) Pestisida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 pengadaannya dilakukan
melalui produksi dalam negeri dan/atau pemasukan dari luar negeri.
(2) Pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diedarkan wajib
terdaftar.
(3) Pestisida yang terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, dan diberi label.
(4) Pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan harus
memperhatikan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Pasal 77
(1) Setiap Orang dilarang mengedarkan dan/atau menggunakan Pestisida
yang tidak terdaftar, membahayakan kesehatan masyarakat dan
kelestarian lingkungan, dan/atau tidak berlabel.
(2) Pestisida yang dilarang peredaran dan/atau penggunaannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dimusnahkan oleh Setiap Orang yang
menguasai pestisida.
(3) Dalam hal Setiap Orang yang menguasai pestisida sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak diketahui keberadaannya, pemerintah berkewajiban
melakukan pemusnahan.
Pasal 78
(1) Produsen dan/atau distributor alat dan mesin Pertanian wajib melakukan
sosialisasi mengenai tata cara penggunaan, keselamatan, pemeliharaan,
dan perbaikan alat dan mesin Pertanian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (1) huruf e.
(2) Alat dan mesin Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diuji
terlebih dahulu sebelum diedarkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 79
Setiap Orang yang melakukan produksi, pengadaan, pengedaran, dan
penggunaan Sarana Budi Daya Pertanian wajib:
a. memenuhi standar keselamatan dalam proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan penggunaannya dengan memperhatikan kearifan lokal
masyarakat setempat; dan
b. memperhatikan Sistem Budi Daya Pertanian, daya dukung sumber daya
alam, dan fungsi lingkungan.
Pasal 80
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban menyediakan Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 secara tepat waktu, tepat mutu, tepat jenis, tepat
jumlah, tepat lokasi, dan tepat harga bagi Petani.
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 80 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Prasarana Budi Daya Pertanian
Pasal 82
(1) Prasarana Budi Daya Pertanian meliputi:
a. Lahan;
b. jaringan irigasi dan/atau drainase;
c. jalan penghubung;
d. tenaga listrik dan jaringannya sampai ke lokasi pascapanen;
e. gudang;
f. rumah atau penaung Tanaman;
g. gudang berpendingin; dan
h. bangsal penanganan pascapanen,
yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban menyediakan, mengelola, dan/atau memelihara Prasarana
Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf
c, dan huruf d, secara terintegrasi dan terencana.
(3) Selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha juga dapat
menyediakan, mengelola, dan/atau memelihara Prasarana Budi Daya
Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Petani dan Pelaku Usaha berkewajiban memelihara Prasarana Budi Daya
Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 83
Penyediaan, pengelolaan, dan/atau pemeliharaan Prasarana Budi Daya
Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
USAHA BUDI DAYA PERTANIAN
Pasal 84
(1) Setiap Orang dapat melakukan Usaha Budi Daya Pertanian.
(2) Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari modal dalam negeri dan modal asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja
sama secara terpadu dengan Petani dalam melakukan Usaha Budi Daya
Pertanian.
(4) Dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian, Setiap Orang dapat
melakukan diversifikasi budi daya Pertanian dengan tetap
memprioritaskan usaha pokok.
Pasal 85
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
membina dan mengarahkan kerja sama secara terpadu dalam melakukan
Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
prinsip saling memperkuat dan menguntungkan yang dibuat dalam bentuk
perjanjian secara tertulis.
Pasal 86
(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang
melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu wajib
memiliki izin.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dilarang memberikan izin Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat.
(3) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan
dalam hal telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat dan
Pelaku Usaha.
Pasal 87
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban memfasilitasi pembiayaan dan permodalan Usaha Budi Daya
Pertanian yang diprioritaskan pada Petani kecil.
(2) Pemberian fasilitas pembiayaan dan permodalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pinjaman modal untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan
Lahan budi daya Pertanian;
b. pemberian bantuan penguatan modal bagi Petani;
c. pemberian subsidi bunga kredit program dan/atau imbal jasa
penjaminan; dan/atau
d. pemanfaatan dana tanggung jawab sosial serta dana program
kemitraan dan bina lingkungan dari badan usaha.
Pasal 88
(1) Setiap Orang yang memanfaatkan jasa atau Sarana Budi Daya Pertanian
dan Prasarana Budi Daya Pertanian yang disediakan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
dikenai pungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan kepada
Petani kecil.
Pasal 89
Dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian, Setiap Orang dilarang
melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 90
Ketentuan lebih lanjut mengenai permodalan, diversifikasi, perizinan, dan
pungutan Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
sampai dengan Pasal 88 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 91
(1) Pembinaan budi daya Pertanian dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui
pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan diseminasi informasi.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan untuk
meningkatkan produksi, mutu, nilai tambah hasil budi daya Pertanian, dan
efisiensi penggunaan Lahan serta Sarana Budi Daya Pertanian.
(5) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada
pemenuhan kebutuhan dalam negeri, keunggulan komparatif, dan
permintaan pasar komoditas Pertanian.
Pasal 92
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
mendorong dan mengarahkan peran serta Petani dan Pelaku Usaha atau
pemangku kepentingan dalam pembinaan budi daya Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91.
Pasal 93
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan budi daya Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 94
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
memberikan insentif kepada Petani pemula dan Petani yang melakukan
budi daya Pertanian dan meningkatkan produksi dan produktivitas hasil
Pertanian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 95
(1) Pengawasan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilakukan untuk
menjamin Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi Daya Pertanian,
dan/atau produk Pertanian sesuai dengan standar mutu yang telah
ditetapkan serta menanggulangi berbagai dampak negatif yang merugikan
masyarakat luas dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengawasan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan
melibatkan peran serta masyarakat.
Pasal 96
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dilakukan melalui:
a. pelaporan dari Pelaku Usaha mengenai kegiatan usahanya; dan/atau
b. pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil budi daya
Pertanian.
(2) Dalam keadaan tertentu pengawasan dapat dilakukan melalui
pemeriksaan terhadap proses dan hasil budi daya Pertanian.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian laporan dengan
pelaksanaan di lapangan.
Pasal 97
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 dan Pasal 96 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XIV
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 98
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menyelenggarakan penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
membina dan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan
penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan di dalam atau di luar negeri.
(4) Penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan mengutamakan penelitian dan
pengembangan di dalam negeri.
(5) Penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 99
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
memberikan penghargaan kepada penemu teknologi tepat guna serta
penemu teori dan metode ilmiah baru di bidang budi daya Pertanian.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 100
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menyelenggarakan pengembangan sumber daya manusia di bidang budi
daya Pertanian.
(2) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
aparatur, Pelaku Usaha, Petani, dan masyarakat.
Pasal 101
(1) Dalam penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) diselenggarakan
penyuluhan Pertanian.
(2) Penyuluhan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya; dan
b. Pelaku Usaha.
(3) Penyelenggaraan penyuluhan Pertanian dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVI
SISTEM INFORMASI
Pasal 102
(1) Sistem informasi Pertanian mencakup pengumpulan, pengolahan,
penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data Sistem
Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan sistem
informasi Pertanian yang terintegrasi.
(3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
digunakan untuk keperluan:
a. perencanaan
b. pemantauan dan evaluasi;
c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk Pertanian; dan
d. pertimbangan penanaman modal.
(4) Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh pusat data dan informasi.
(5) Pusat data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berkewajiban melakukan pemutakhiran data dan informasi Sistem Budi
Daya Pertanian Berkelanjutan secara akurat dan dapat diakses oleh
masyarakat.
(6) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diakses
dengan mudah dan cepat oleh Pelaku Usaha dan masyarakat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 103
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menjamin kerahasiaan data dan informasi Sistem Budi Daya Pertanian
Berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 104
(1) Penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilaksanakan
dengan melibatkan peran serta masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam hal:
a. perencanaan budi daya Pertanian;
b. tata ruang dan tata guna Lahan budi daya Pertanian;
c. penggunaan Lahan;
d. perbenihan dan perbibitan;
e. penanaman;
f. pengeluaran dan pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih
Hewan, Bibit Hewan, dan hewan;
g. pemanfaatan air;
h. pelindungan dan pemeliharaan Pertanian;
i. panen dan pascapanen;
j. Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian;
k. Usaha Budi Daya Pertanian;
l. pembinaan dan pengawasan;
m. penelitian dan pengembangan;
n. pengembangan sumber daya manusia;
o. sistem informasi; dan
p. peran serta masyarakat.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan dalam bentuk pemberian usulan, tanggapan, pengajuan
keberatan, saran perbaikan, dan/atau bantuan.
Pasal 105
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat
dilakukan Setiap Orang.
Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 105 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XVIII
PENYIDIKAN
Pasal 107
(1) Selain pejabat kepolisian negara Republik Indonesia, pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
budi daya Pertanian diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan dalam tindak pidana di bidang budi daya Pertanian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang budi daya Pertanian;
b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana
di bidang budi daya Pertanian;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang bukti
tindak pidana di bidang budi daya Pertanian;
d. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang budi daya Pertanian;
e. membuat dan menandatangani berita acara; dan
f. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang budi daya Pertanian.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian
negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat
penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XIX
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 108 (1) Sanksi administratif dikenakan kepada:
a. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (3), Pasal 28 ayat (3), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (2), Pasal 44 ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 71 ayat (3), Pasal 76 ayat (3),
dan Pasal 79;
b. Petani dan/atau Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal
32 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (2); dan
c. Produsen dan/atau distributor yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif; c. penghentian sementara kegiatan usaha;
d. penarikan produk dari peredaran;
e. pencabutan izin; dan/atau f. penutupan usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi dan besarnya
denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 109 Setiap Orang yang mengalihfungsikan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai
Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 110 Setiap Orang yang menggunakan Lahan dalam luasan tertentu untuk
kepentingan budi daya Pertanian yang tidak mengikuti tata cara yang dapat
mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 111
Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 112
Setiap Orang yang menggunakan Lahan dan/atau media tanam lainnya untuk
keperluan budi daya Pertanian yang tidak mengikuti tata cara yang dapat
mencegah timbulnya pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 113
Setiap Orang yang melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan Sumber Daya Genetik tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap Orang yang mengedarkan Varietas hasil Pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 115 Setiap Orang yang mengedarkan benih unggul yang tidak sesuai dengan standar mutu, tidak bersertifikat, dan/atau tidak berlabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 116 (1) Setiap Orang yang mengadakan, mengedarkan, dan/atau menanam Benih
Tanaman yang merugikan masyarakat, budi daya Pertanian, sumber daya alam lainnya, dan/atau lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara Benih Hewan atau Bibit Hewan yang merugikan masyarakat, budi daya Pertanian, sumber daya alam lainnya, dan/atau lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 117 Setiap Orang yang memasukkan dan/atau mengeluarkan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional ke dan/atau dari wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 118
Setiap Orang yang menggunakan Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi
Daya Pertanian, dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia serta menimbulkan gangguan dan
kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup dalam pelaksanaan
Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 119
Setiap Orang yang menggunakan Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi Daya Pertanian dan/atau cara yang mengganggu kesehatan dan/atau
mengancam keselamatan manusia serta menimbulkan gangguan dan
kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup, dalam melakukan pemeliharaan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 120 Setiap Orang yang tidak mencegah rusaknya sumber daya alam dan lingkungan
hidup, serta timbulnya kerugian bagi masyarakat dalam melakukan panen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 121
Setiap Orang yang mengedarkan Sarana Budi Daya Pertanian yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 122
Setiap Orang yang mengedarkan Pupuk yang tidak terdaftar dan/atau tidak
berlabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 123
Setiap Orang yang mengedarkan dan/atau menggunakan pestisida yang tidak
terdaftar, membahayakan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan, dan/atau tidak berlabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 124 Setiap Orang yang tidak memusnahkan pestisida yang dilarang peredaran
dan/atau penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 125
Setiap Orang yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu
yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 126
Pejabat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang memberikan izin Usaha
Budi Daya Pertanian di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat tanpa
ada persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 127
(1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 sampai
dengan Pasal 125 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana
berdasarkan Pasal 109 sampai dengan Pasal 125 korporasinya dipidana
dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 sampai
dengan Pasal 125 dilakukan oleh pejabat sebagai orang yang diperintahkan
atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan di bidang
Pertanian, dipidana dengan pidana sebagaimana ancaman pidana dalam
Undang-Undang ini ditambah 1/3 (sepertiga).
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 128
(1) Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap
berlaku sampai izin berlakunya habis.
(2) Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini
dan belum dikeluarkan izinnya tetap diproses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelumnya.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 129
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3478), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 130
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3478), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 131
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3
(tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 132
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN ....
TENTANG
SISTEM BUDI DAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN
I. UMUM
Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan beranekaragam
sumber daya alam hayati yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan.
Oleh karena itu, hal tersebut perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari,
selaras, serasi, dan seimbang bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Sistem pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan nasional secara menyeluruh
dan terpadu. Salah satunya adalah pembangunan nasional yang diarahkan
untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan Petani. Dengan kata lain,
Pertanian yang maju, efisien, dan tangguh mempunyai peranan penting dalam
pencapaian tujuan pembangunan nasional, yaitu terciptanya masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan sebagai bagian dari Pertanian
pada hakikatnya adalah pengelolaan sumber daya alam hayati dalam
memproduksi komoditas Pertanian guna memenuhi kebutuhan manusia secara
lebih baik dan berkesinambungan dengan menjaga kelestarian lingkungan
hidup. Oleh karena itu, sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia untuk mewujudkan Pertanian maju, efisien, dan tangguh, Sistem Budi
Daya Pertanian Berkelanjutan dikembangkan dengan berasaskan
kebermanfaatan, keberlanjutan, kedaulatan, keterpaduan, kebersamaan,
kemandirian, keterbukaan, efisiensi berkeadilan, kearifan lokal, kelestarian
fungsi lingkungan hidup, dan pelindungan negara.
Secara konkret, penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian
Berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas
penganekaragaman hasil Pertanian, guna memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor,
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup Petani, serta mendorong perluasan
dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya melibatkan masyarakat dalam
menyusun rencana pengembangan budi daya Pertanian yang merupakan
bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan
pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral. Perencanaan
menjadi penting dilakukan untuk merancang pembangunan dan
pengembangan Pertanian secara berkelanjutan.
Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan pada prinsipnya merupakan
paradigma pengelolaan Pertanian yang mengintegrasikan empat elemen, yaitu
aspek lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi sehingga manfaat Pertanian
dapat dinikmati dalam waktu yang lama. Sistem Budi Daya Pertanian
Berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan daya dukung ekosistem,
mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim, serta kelestarian lingkungan guna
mewujudkan sistem Pertanian yang maju, efisien, tangguh, dan berkelanjutan.
Penyelenggaraan budi daya Pertanian dapat diselenggarakan melalui
ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi dengan mempertimbangkan
perubahan iklim yang tidak terlepas dalam kerangka sistem agribisnis secara
menyeluruh, yaitu dari tahap penggunaan Lahan dan/atau media tanam
lainnya, perbenihan, penanaman, pengeluaran dan pemasukan Benih
Tanaman, dan Benih Hewan atau Bibit Hewan, hewan, pemanfaatan air,
pelindungan dan pemeliharaan Pertanian, panen, hingga pascapanen.
Keberhasilan pembangunan Pertanian melalui penyelenggaraan budi daya
Pertanian juga tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung dengan
ketersediaan Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian.
Adapun pemanfaatan Lahan untuk keperluan budi daya Pertanian,
disesuaikan dengan ketentuan tata ruang dan tata guna Lahan, yang dilakukan
dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan Lahan maupun
pelestarian lingkungan hidup, khususnya konservasi tanah dan air.
Pelaksanaan penyelenggaraan budi daya Pertanian harus dilakukan secara
efektif dan efisien. Oleh karena itu, pembinaan sangat penting dan merupakan
kewajiban dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Selain pembinaan, dalam pelaksanaan budi daya Pertanian
juga dilakukan pengawasan untuk menjamin Sarana Budi Daya Pertanian,
Prasarana Budi Daya Pertanian, dan/atau hasil Pertanian sesuai dengan
standar mutu yang telah ditetapkan serta menanggulangi berbagai dampak
negatif yang merugikan masyarakat luas dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup. Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan budi daya Pertanian
sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang yang dapat dilakukan dalam bentuk
pemberian usulan, tanggapan, pengajuan keberatan, saran perbaikan,
dan/atau bantuan.
Secara umum materi muatan dalam Undang-Undang ini meliputi
perencanaan budi daya Pertanian, tata ruang dan tata guna Lahan budi daya
Pertanian, penggunaan Lahan, perbenihan dan perbibitan, penanaman,
pengeluaran dan pemasukan Tanaman, benih, bibit, dan hewan, pemanfaatan
air, pelindungan dan pemeliharaan Pertanian, panen dan pascapanen, Sarana
Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian, Usaha Budi Daya
Pertanian, pembinaan dan pengawasan, penelitian dan pengembangan,
pengembangan sumber daya manusia, sistem informasi, dan peran serta
masyarakat, serta sanksi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kebermanfaatan" adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
dilakukan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "asas keberlanjutan" adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas kedaulatan" adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
dilaksanakan dengan menjunjung tinggi hak dan kebebasan
Petani untuk mengembangkan diri.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas
sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan" adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
dilaksanakan secara bersama-sama oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, Pelaku
Usaha, dan masyarakat.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
dilaksanakan secara independen dengan mengutamakan
kemampuan sumber daya dalam negeri.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan
didukung dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh
Pelaku Usaha budi daya Pertanian dan masyarakat.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas efisiensi berkeadilan" adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat
sebesar-besarnya dari sumber daya dan memberikan peluang
serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua
warga negara sesuai dengan kemampuannya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas kearifan lokal" adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
mempertimbangkan karakteristik wilayah, sosial, ekonomi, dan
budaya serta nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat setempat.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "asas kelestarian fungsi lingkungan
hidup" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya
Pertanian Berkelanjutan menggunakan sarana, prasarana, tata
cara, dan teknologi yang tidak mengganggu fungsi lingkungan
hidup, baik secara biologis, mekanis, geologis, maupun kimiawi.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “asas pelindungan negara” adalah bahwa
penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
mendapatkan pelindungan dari negara.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengembangan budi daya Pertanian secara berkelanjutan
dilakukan dengan pola, cara, dan budaya Pertanian.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “melibatkan masyarakat” adalah
mengikutsertakan Petani dan Pelaku Usaha, akademisi dan
pakar, serta pemangku kepentingan budi daya Pertanian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “budi daya Pertanian tertentu”
adalah budi daya Pertanian yang mempunyai nilai strategis,
misalnya padi, jagung, kedelai.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kebutuhan teknis” adalah
kebutuhan akan adanya pengembangan aspek teknis yang
harus dilakukan, seperti penerapan teknologi baru,
introduksi Varietas baru, perubahan pola tanam,
pengembangan agroekosistem, penetapan pola produksi,
dan perubahan penanganan pascapanen.
Yang dimaksud dengan “kebutuhan ekonomis” adalah
kebutuhan akan adanya pengembangan aspek ekonomi
yang harus dilakukan, seperti introduksi lembaga keuangan
mikro, pengembangan sistem penjaminan, dan
pengembangan sistem informasi pasar.
Yang dimaksud dengan “kebutuhan kelembagaan” adalah
kebutuhan akan adanya pengembangan aspek kelembagaan
yang harus dilakukan seperti penumbuhkembangan
kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, dan kemitraan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada prinsipnya Petani bebas menentukan pilihan jenis Tanaman
dan hewan yang akan dibudidayakan. Namun, kebebasan
tersebut harus memprioritaskan perencanaan budi daya
Pertanian karena Petani sudah dilibatkan dalam perencanaan
budi daya Pertanian.
Tanaman pokok lainnya antara lain sagu, ubi, dan porang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Prinsip pertanian konservasi antara lain gangguan tanah
minimum, penutupan tanah permanen dengan sisa Tanaman
dan mulsa hidup, serta rotasi Tanaman dan tumpang sari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persetujuan perubahan jenis Tanaman dan hewan pada Usaha
Budi Daya Pertanian yang dimaksud dalam ayat ini, tidak berlaku
bagi Petani kecil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Media tanam lainnya antara lain air, agar-agar, merang, serbuk
gergaji, sabut kelapa, arang, dan sekam.
Ayat (2)
Peningkatan fungsi pada Lahan ditujukan untuk budi daya
Pertanian dan bukan untuk alih fungsi lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “jaringan pengairan lengkap” adalah satu
kesatuan bangunan dan saluran untuk mengatur air irigasi yang
mencakup penyediaan, pengambilan, dan pembagian yang
dilengkapi dengan bangunan ukur di seluruh bangunan
pembaginya.
Pasal 20
Ayat (1)
Pemberian insentif dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat berupa kemudahan
dalam memperoleh akses informasi Pertanian, kemudahan dalam
memperoleh Benih Tanaman, Benih Hewan, dan Bibit Hewan,
serta keringanan dalam membayar pajak terhadap Lahan budi
daya Pertanian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “luasan tertentu” adalah luasan Lahan
yang dalam pembukaan dan pengolahan untuk budidaya
Pertanian harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Persetujuan antara masyarakat hukum adat dengan Pelaku Usaha
dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Petani kecil” adalah Petani yang sehari-
hari bekerja di sektor Pertanian yang penghasilannya hanya
cukup untuk memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sumber Daya Genetik mempunyai peran sangat mendasar dan
merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya sehingga
menjadi kewajiban Pemerintah bersama masyarakat untuk
melestarikan dan memanfaatkannya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 28 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “materi induk” adalah Tanaman atau
bagiannya digunakan sebagai bahan Pemuliaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelepasan oleh Pemerintah Pusat”
adalah pernyataan diakuinya suatu hasil Pemuliaan menjadi Varietas unggul dan dapat disebarluaskan setelah memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan.
Ayat (2) Pelaporan oleh Petani kecil dalam negeri merupakan
penyederhanaan dan kemudahan dalam mekanisme perizinan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 30 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “label” adalah keterangan tertulis yang
diberikan pada Benih Tanaman atau Benih Tanaman yang sudah
dikemas yang akan diedarkan dan memuat antara lain tempat asal Benih Tanaman, jenis dan Varietas Tanaman, kelas Benih
Tanaman, dan akhir masa edar Benih Tanaman.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Benih unggul yang pengadaannya melalui pemasukan dari luar
negeri setelah melalui proses pelepasan oleh Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Merugikan kepentingan nasional antara lain untuk menghindari
serangan dan ancaman bioterorisme serta biopiracy.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “eksplosi” adalah serangan
Organisme Pengganggu Tumbuhan, hama, dan penyakit
hewan secara cepat dan mendadak.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Kegiatan pascapanen meliputi antara lain pembersihan, pencucian,
penyortiran, pengelasan, pengeringan, pengupasan, pembekuan,
perajangan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, dan
transportasi hasil produksi budi daya Pertanian.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Dalam upaya merumuskan suatu standar unit pengolahan, alat
transportasi, dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya dapat mengumpulkan semua pihak yang
berkepentingan terhadap standar tersebut. Pihak yang dapat
dipertimbangkan ikut serta dalam rapat konsensus standar
adalah wakil dari instansi Pemerintah, Dewan Standardisasi
Indonesia, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, produsen,
pemakai atau konsumen, tenaga peneliti, perguruan tinggi, dan
lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Dalam upaya menetapkan harga dasar hasil budi daya Pertanian,
Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan pendapat
masyarakat produsen melalui studi atau survei, tanpa
mengabaikan kepentingan masyarakat konsumen. Penetapan
harga dasar akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta
kepentingan produsen dan konsumen hasil budi daya Pertanian
yang bersangkutan serta memperhatikan perjanjian
internasional. Hasil budi daya Pertanian tertentu adalah hasil
budidaya Pertanian yang menyangkut kepentingan masyarakat
luas, baik produsen maupun konsumen, misalnya padi, gula, dan
daging.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “alat dan mesin” adalah peralatan
yang dioperasikan dengan motor penggerak ataupun tanpa
motor penggerak untuk kegiatan budi daya Pertanian seperti
traktor, robot, alat kontrol, sprayer, fertigasi, fumigator,
komputer, alat irigasi, dan mesin pengolah pakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sarana Budi Daya Pertanian yang dikembangkan dengan
teknologi ditujukan untuk meningkatkan produksi dan taraf
kesejahteraan Petani.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sarana Budi Daya Pertanian yang diproduksi lokal atau Petani
kecil antara lain parang, cangkul, garu/alat bajak tradisional.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan standar mutu Pupuk salah satunya memperhatikan
kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud jalan penghubung adalah jalan usaha tani
yang menghubungkan dari lokasi budi daya sampai ke lokasi
pascapanen dan ke pasar.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-
undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang
perkebunan, hortikultura, dan Tanaman pangan.
Ayat (3)
Kerja sama terpadu antara Petani dan Pelaku Usaha dilakukan
melalui pola kooperatif, yaitu dikelola dan dikerjakan secara
bersama-sama.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “usaha pokok” adalah jenis usaha yang
disebutkan dalam surat izin usaha atau surat tanda daftar
usaha. Seperti, integrasi antara usaha perkebunan kelapa sawit
dengan usaha budi daya sapi dengan tetap memprioritaskan
usaha perkebunan kelapa sawit yang perizinan awalnya untuk
kelapa sawit.
Diversifikasi budi daya Pertanian antara lain, mina padi, sawit
sapi, dan unggas ikan.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “skala usaha tertentu” adalah batasan
atau persentase yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat kepada
Pelaku Usaha dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian
tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Yang dimaksud “Petani pemula” adalah Petani yang baru
memulai Usaha Budi Daya Pertanian dengan permodalan,
teknologi, dan/atau Lahan yang terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan budi daya
Pertanian diarahkan untuk kepentingan masyarakat melalui
penyuluh Pertanian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian yang
dilakukan di dalam negeri dan di luar negeri dengan tidak
membahayakan kesehatan manusia, merusak keanekaragaman
hayati, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Pengembangan sumber daya manusia di bidang budi daya
pertanian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta
mendorong dan membina masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pusat data dan informasi paling sedikit menyampaikan data dan
informasi mengenai Varietas Tanaman, letak dan luas wilayah,
kawasan, dan unit Usaha Budi Daya Pertanian, permintaan
pasar, peluang dan tantangan pasar, perkiraan produksi,
perkiraan harga, perkiraan pasokan, perkiraan musim tanam dan
musim panen, prakiraan iklim, Organisme Pengganggu
Tumbuhan serta hama dan penyakit hewan, ketersediaan
Prasarana Budi Daya Pertanian, dan ketersediaan Sarana Budi
Daya Pertanian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...