rancangan undang-undang republik indonesia nomor … · 2012-11-09 · undangan di bidang hukum...
TRANSCRIPT
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR... TAHUN...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa Kejaksaaan Republik Indonesia termasuk salah
satu badan yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa ketentuan mengenai Kejaksaan Republik
Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan
kehidupan ketatanegaraan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia;
Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 24 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
2
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4401), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
3. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.
4. Jabatan Fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian
teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya
memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.
5. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Judul BAB II SUSUNAN KEJAKSAAN Bagian Pertama Umum diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
3
BAB II
SUSUNAN KEJAKSAAN
Bagian Kesatu
Umum
3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa bertindak
untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut
saluran hierarki.
(3) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, Jaksa melakukan penuntutan berdasarkan alat bukti yang sah.
(4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa bertindak
berdasarkan hukum dengan mempertimbangkan norma-norma
keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta harus menggali dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam
masyarakat, serta menjaga kehormatan dan martabat profesinya.
(5) Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan,
pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan
terhadap Jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin
Jaksa Agung.
4. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1) Perekrutan dan penempatan Jaksa dilakukan secara transparan,
profesional, dan akuntabel dengan melibatkan Komisi Kejaksaan.
(2) Tata cara perekrutan dan penempatan Jaksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Jaksa Agung.
5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa adalah:
a. aparatur sipil negara yang lulus pendidikan dan pelatihan
pembentukan Jaksa;
b. berijazah paling rendah sarjana hukum;
c. berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling
tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani; dan
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
4
(2) Dalam menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pembentukan
Jaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Kejaksaan
membentuk suatu lembaga pendidikan khusus.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan,
serta pembentukan lembaga pendidikan khusus Jaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Jaksa
Agung.
6. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Jaksa yang diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya,
dengan sendirinya diberhentikan sebagai aparatur sipil negara.
(2) Sebelum diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Jaksa yang bersangkutan dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(3) Setelah seorang Jaksa diberhentikan sementara dari jabatan
fungsionalnya berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) tentang kesempatan untuk membela diri.
7. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan
penahanan terhadap seorang Jaksa, dengan sendirinya jaksa yang
bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa
Agung.
(2) Dalam hal Jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana
tanpa ditahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, Jaksa
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
8. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara.
(2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
mendengar pertimbangan DPR.
(3) Jaksa Agung memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali.
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Untuk diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. warga negara Indonesia;
5
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi
65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e. tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
f. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat
melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa;
g. mempunyai pengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya
15 (lima belas) tahun; dan
h. berijasah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum.
10. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c diubah sehingga Pasal 22 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani selama 3 (tiga) bulan secara terus-
menerus;
d. berakhir masa jabatannya; atau
e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
11. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
Jaksa Agung diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-
menerus selama 3 (tiga) bulan; atau
d. melanggar sumpah atau janji jabatan.
12. Judul BAB III TUGAS DAN WEWENANG Bagian Pertama Umum diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Umum
13. Setelah Bagian Kelima dalam Bab II ditambahkan 1 (satu) bagian yaitu
Bagian Keenam, yakni sebagai berikut:
6
Bagian Keenam
Sekretariat Jenderal
Pasal 29A
(1) Kejaksaan Agung dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh
pejabat aparatur sipil negara.
(3) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
Pasal 29B
(1) Sekretariat Jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan
administratif dan teknis operasional kepada Kejaksaan Agung.
(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, tanggung jawab, dan
tata kerja Sekretariat Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29A diatur dengan Peraturan Presiden berdasarkan usul Jaksa Agung.
14. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan prapenuntutan dan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang; dan
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. tidak dilakukan terhadap tersangka;
b. dilakukan terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya,
dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat
membahayakan keselamatan negara;
c. diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah selesainya
proses hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang hukum acara pidana; dan
d. memperhatikan prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.
(3) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau Pemerintah.
7
(4) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
a. pengawasan peredaran barang cetakan;
b. pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat
dan negara; dan
c. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
15. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undang-undang;
c. melakukan gelar perkara;
d. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dengan
pertimbangan DPR.
e. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah
Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
f. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah
Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
g. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena
keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
h. meminta surat penetapan kepada Badan Pemeriksa Keuangan
bahwa telah terjadi kerugian negara terhadap suatu kasus yang
sedang dilakukan penyelidikan dan penyidikan atau penuntutan,
kecuali untuk kasus penyuapan yang tertangkap tangan.
(2) Kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi:
a. kondisi yang menghambat kelangsungan pemerintahan; dan
b. kondisi yang mengancam ketertiban umum dan kepentingan
nasional.
16. Di antara BAB III dan BAB IV disisipkan 3 (tiga) bab, yakni BAB IIIA
KOMISI KEJAKSAAN, BAB IIIB LARANGAN, dan BAB IIIC KETENTUAN
PIDANA, yang berbunyi sebagai berikut:
BAB IIIA
KOMISI KEJAKSAAN
Pasal 37A
(1) Komisi Kejaksaan berkedudukan di ibukota negara Republik
Indonesia.
8
(2) Komisi Kejaksaan dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai
dengan kebutuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata
kerja penghubung Komisi Kejaksaan di daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Komisi Kejaksaan.
Pasal 37B
(1) Komisi Kejaksaan mempunyai 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Keanggotaan Komisi Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. 2 (dua) orang mantan Jaksa;
b. 2 (dua) orang praktisi hukum;
c. 2 (dua) orang akademisi hukum; dan
d. 1 (satu) orang tokoh masyarakat.
Pasal 37C
(1) Komisi Kejaksaan dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin
oleh seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal dijabat oleh aparatur sipil negara.
(3) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Kejaksaan.
(4) Sekretariat Jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan
administratif dan teknis operasional kepada Komisi Kejaksaan.
(5) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, tanggung jawab, dan
tata kerja Sekretariat Jenderal diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 37D
Komisi Kejaksaan mempunyai wewenang:
a. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku Jaksa;
b. menetapkan kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa bersama-
sama dengan Kejaksaan Agung; dan
c. menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman
perilaku Jaksa.
Pasal 37E
(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku Jaksa, Komisi Kejaksaan berpedoman pada
kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa.
(2) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku Jaksa, Komisi Kejaksaan mempunyai tugas:
a. mengawasi proses rekrutmen dan penempatan Jaksa;
b. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku
Jaksa;
c. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran
kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa;
9
d. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa
secara tertutup;
e. memutuskan benar-tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode
etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa; dan
f. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Jaksa.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Komisi Kejaksaan
juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan
kesejahteraan Jaksa.
(4) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku Jaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Komisi Kejaksaan dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan
dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman
perilaku Jaksa oleh Jaksa.
(5) Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi
Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Dalam hal dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku
Jaksa dinyatakan terbukti, Komisi Kejaksaan mengusulkan
penjatuhan sanksi kepada Kejaksaan Agung terhadap Jaksa yang
diduga melakukan pelanggaran.
(7) Kejaksaan Agung menjatuhkan sanksi terhadap Jaksa yang
melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku Jaksa
yang diusulkan oleh Komisi Kejaksaan dalam waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.
Pasal 37F
(1) Dalam hal Kejaksaan Agung belum menjatuhkan sanksi dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (7) maka
maka usulan Komisi Kejaksaan berlaku secara otomatis dan wajib
dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Kejaksaan dan
Kejaksaan Agung mengenai usulan Komisi Kejaksaan tentang
penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (6),
dilakukan pemeriksaan bersama antara Komisi Kejaksaan dan
Kejaksaan Agung terhadap Jaksa yang bersangkutan.
(3) Dalam hal Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (7) tidak
mencapai kata sepakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
usulan Komisi Kejaksaan sepanjang memenuhi ketentuan dalam
Pasal 37E ayat (6), berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan
oleh Kejaksaan Agung.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur bersama oleh Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan
Agung.
10
Pasal 37G
(1) Pengambilan keputusan Komisi Kejaksaan dilakukan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Apabila pengambilan keputusan secara musyawarah tidak tercapai,
pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sah apabila
rapat dihadiri oleh paling sedikit 5 (lima) orang anggota Komisi
Kejaksaan.
Pasal 37H
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Komisi Kejaksaan, seorang
calon harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia pada Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling
tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;
e. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang relevan dan/atau
mempunyai pengalaman di bidang hukum paling singkat 10
(sepuluh) tahun;
f. berkomitmen untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia;
g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
h. memiliki kemampuan jasmani dan rohani;
i. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakuka tindak pidana
kejahatan; dan
j. melaporkan harta kekayaan.
(2) Presiden membentuk panitia seleksi pemilihan anggota Komisi
Kejaksaan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima
surat pemberitahuan dari pimpinan Komisi Kejaksaan.
(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
unsur Pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota
masyarakat.
(4) Panitia seleksi mempunyai tugas:
a. mengumumkan pendaftaran penerimaan calon anggota Komisi
Kejaksaan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari;
b. melakukan pendaftaran dan seleksi administrasi serta seleksi
kualitas dan integritas calon anggota Komisi Kejaksaan dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak pengumuman
pendaftaran berakhir; dan
c. menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Kejaksaan
sebanyak 14 (empat belas) calon dengan memperhatikan
komposisi anggota Komisi Kejaksaan dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari.
(5) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
panitia seleksi bekerja secara akuntabel dan transparan dengan
mengikutsertakan partisipasi masyarakat.
11
(6) Dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak menerima calon
dari panitia seleksi, Presiden mengajukan 14 (empat belas) calon
anggota Komisi Kejaksaan kepada DPR.
(7) DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul
dari Presiden.
(8) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden
paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya
pemilihan untuk disahkan oleh Presiden.
(9) Presiden wajib menetapkan calon terpilih paling lama 15 (lima belas)
hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat Pimpinan DPR.
Pasal 37I
(1) Anggota Komisi Kejaksaan memegang jabatan selama 5 (lima) tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(2) Pimpinan Komisi Kejaksaan memberitahukan mengenai berakhirnya
masa jabatan Komisi Kejaksaan kepada Presiden paling lambat 1
(satu) tahun sebelum habis masa jabatan.
(3) Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Kejaksaan,
Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 2 (dua) kali
dari jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR.
(4) Calon anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak terjadi
kekosongan.
(5) Calon anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
berasal dari calon yang diajukan Presiden yang tidak terpilih oleh
DPR berdasarkan urutan.
(6) Anggota Komisi Kejaksaan yang menggantikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melanjutkan sisa masa jabatan anggota
Komisi Kejaksaan yang digantikannya.
BAB IIIB
LARANGAN
Pasal 37J
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Jaksa dilarang:
a. menangani perkara yang ada kaitannya dengan kepentingan pribadi
atau keluarga, pekerjaan, partai, finansial, atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
b. bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun;
c. membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan
penegakan hukum;
d. menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi dan/atau pihak lain;
e. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
f. menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan
penekanan secara fisik dan/atau psikis; dan
12
g. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta
menyuruh keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah
dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya.
(2) Jaksa yang melakukan pelanggaran atas larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dikenai sanksi
administratif berupa pembebasan dari tugas-tugas Jaksa paling
singkat 1 (satu) tahun.
(3) Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Jaksa yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, juga dikenai sanksi pidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37K
Jaksa dilarang melakukan:
a. penyidikan;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penuntutan;
e. pengajuan kasasi atas putusan bebas; dan/atau
f. upaya hukum peninjauan kembali;
tanpa alasan berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya.
BAB IIIC
KETENTUAN PIDANA
Pasal 37L
Jaksa yang menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37J ayat (1) huruf d dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 37M
Jaksa yang merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1) huruf e dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 37N
Jaksa yang menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan
penekanan secara fisik dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37J ayat (1) huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) dan paling
banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
13
Pasal 37O
Jaksa yang meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan
serta menyuruh keluarganya untuk meminta dan/atau menerima hadiah
dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1) huruf g dipidana dengan pidana
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 37P
Jaksa yang melakukan penyidikan, penangkapan, penahanan,
penuntutan, pengajuan kasasi atas putusan bebas dan/atau melakukan
peninjauan kembali tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37K dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta)
dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
17. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak
menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian,
rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-
undang.
18. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam:
a. Qanun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh; dan
b. Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4884);
14
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang hukum acara
pidana.
Pasal 39A
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
disahkan di Jakarta
pada tanggal…
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR...
15
RANCANGAN
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang
menjamin kesetaraan hak warga negara di hadapan hukum (equality before the
law). Dalam rangka menjamin tercapainya prinsip-prinsip negara hukum
maka dilakukan penataan kekuasaan kehakiman sehingga terciptanya
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan penegakkan hukum yang
berorientasi pada kepastian hukum dan keadilan. Salah satu pilar dalam
sistem penegakkan hukum adalah lembaga yang berwenang melakukan
penuntutan dalam hal ini adalah kejaksaan.
Sejalan dengan dinamika dan tuntutan masyarakat terhadap
peningkatan kinerja lembaga kejaksaan maka perlu dilakukan perubahan
Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan
untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga negara yang dapat menjalankan fungsi secara
bebas dari pengaruh dan tekanan pihak manapun. Selain itu melalui
perubahan ini mendorong profesionalisme lembaga kejaksaan dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk
lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan
kembali terhadap Kejaksaan. Pokok-pokok perubahan antara lain meliputi,
penegasan lembaga kejaksaan untuk kembali pada fungsi dasarnya yaitu
melakukan penuntutan, penentuan kriteria dan persyaratan Jaksa Agung, dan
penguatan sistem pendukung khususnya aspek administrasi dan
penganggaran sehingga pelaksanaan tugas-tugas institusi kejaksaan dapat
optimal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
16
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 22A
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 29A
Cukup jelas.
17
Pasal 29B
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan prapenuntutan adalah
tindakan jaksa untuk memantau perkembangan
penyidikan setelah menerima pem-beritahuan
dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari
atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil
penyidikan yang diterima dari penyidik serta
memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik
untuk dapat menentukan apakah berkas perkara
tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap
penuntutan.
Huruf b
Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan
penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan peri
kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa
mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan ber-
tindak.
Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga
melaksana-kan tugas dan wewenang mengendalikan
pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan
terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita
untuk selanjutnya dijual lelang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat”
adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pemasyarakatan.
Huruf d
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam
ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur
misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
18
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat
preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan“ adalah
mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut
serta, dan bekerja sama.
Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan
senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi
terkait.
Angka 15
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Gelar perkara harus dilakukan di Kejaksaan Agung untuk
perkara pidana yang melibatkan pejabat publik, pejabat
negara, atau perkara pidana yang menarik perhatian
umum.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
19
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 37A
Cukup jelas.
Pasal 37B
Cukup jelas.
Pasal 37C
Cukup jelas.
Pasal 37D
Cukup jelas.
Pasal 37E
Cukup jelas.
Pasal 37F
Cukup jelas.
Pasal 37G
Cukup jelas.
Pasal 37H
Cukup jelas.
Pasal 37I
Cukup jelas.
Pasal 37J
Cukup jelas.
Pasal 37K
Cukup jelas.
Pasal 37L
Cukup jelas.
Pasal 37M
20
Cukup jelas.
Pasal 37N
Cukup jelas.
Pasal 37O
Cukup jelas.
Pasal 37P
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 38
Cukup Jelas.
Angka 18
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 39A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…
21