rancangan undang-undang republik indonesia …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/ind-ranc-3-2012-r.uu pem...

370
1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN… TENTANG PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Udang-Undang Dasar 1945; b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,nilai-nilai budaya yang hidup dalammasyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar; c. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemeritahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang; d. bahwa integrasi dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui penerapan daerah Otonomi Khusus; e. bahwa penduduk asli Papua merupakan salah satu rumpun dariras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat dan bahasa sendiri; f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, khususnya masyarakat Papua;

Upload: buikhanh

Post on 26-Mar-2019

264 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR… TAHUN… TENTANG

PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Udang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,nilai-nilai budaya yang hidup dalammasyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;

c. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemeritahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;

d. bahwa integrasi dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui penerapan daerah Otonomi Khusus;

e. bahwa penduduk asli Papua merupakan salah satu rumpun dariras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat dan bahasa sendiri;

f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, khususnya masyarakat Papua;

Page 2: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

2

g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam di Tanah Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga telah mengkibatkan kesenjangan antara Papua dan daerah lain serta merupakan pengabaian hak-hakdasar penduduk asli Papua;

h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi di tanah Papua dan Provinsi lain dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap nilai-nilai etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme serta persamaan kedudukan hak dan kewajiban sebagai warga negara;

j. bahwa telah lahir kesadaran baru dikalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;

k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana di ubah denganUndang-Undang Nomor 35

tahun 2008, yang berlangsung selama kurang lebih dua belas tahun perlu dievaluasi kembali dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua;

l. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaanOtonomi Khusus di Tanah Papua, telah dibentuk Provinsi Papua Barat yang dikukuhkandenganUndang-Undang Nomor 35 tahun 2008, yang sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya Barat sebagaimana dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000;

m. bahwa pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah denganUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, pada kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika

Page 3: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

3

perkembangan kehidupan dan tuntutan masyarakat di Tanah Papua masa kini, sebab itu perlu dilakukan peninjauan ulang dalam bentuk perubahan mendasar yang bersifat strategis dan progresif terhadap Undang-Undang tersebut;

n. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf k, huruf ldan huruf mmaka perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.

Mengingat

: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang pembentukan Propinsi Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonomi di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907);

5. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3882);

6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

7. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 3894) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

Page 4: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

4

Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 3960) sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 018/PUU-I/2003;

8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

9. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044);

10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045);

11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentag Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046);

12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130);

13. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131);

14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);

15. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220);

16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4286);

17. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik

Page 5: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

5

Indonesia Nomor 4327); 18. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

19. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);

20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

21. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan;

22. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;

23. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844;

24. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

25. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);

26. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189);

Page 6: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

6

27. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

28. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035);

29. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

30. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);

31. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

32. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077);

33. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

Page 7: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

7

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: (1) Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua adalah pemerintahan dengan

kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan provinsi-provinsi hasil pemekaran di Tanah Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di masing-masing provinsi;

(2) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;

(3) Pemerintahan Provinsi adalah Pemerintahan yang berkedudukan di Ibukota Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua;

(4) Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai Badan Eksekutif Provinsi di Tanah Papua;

(5) Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Pemerintahan yang berkedudukan dibawah Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota;

(6) Distrik yang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kabupaten/Kota;

(7) Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

Page 8: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

8

masyarakat, asal-usul dan adat-istiadat setempat yang berada di daerah Kabupaten/Kota dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;

(8) Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Tanah Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi;

(9) Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang disebut DPRP adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi;

(10) Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi kultural Orang Asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat beragama sebagaimana diatur Undang-Undang ini;

(11) Lambang Daerah, Bendera Daerah, Himne Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua yangtidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan;

(12) Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal khusus dalam Undang-Undang ini;

(13) Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;

(14) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat pemerintahan Kabupaten/Kota;

(15) Peraturan Kampung yang selanjutnya disebut Perkam adalah Peraturan Pemerintahan Kampung dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat pemerintahan kampung;

(16) Pemerintahan Adat adalah Pemerintahan pada tingkat masyarakat adat, yang dibentuk berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat;

(17) Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya;

(18) Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun;

(19) Hukum Adat adalah aturan atau norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan mempertahankan serta mempunyai sanksi;

(20) Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya;

Page 9: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

9

(21) Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan untukkehidupan para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan dan air serta isinya;

(22) Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur didalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memperikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan kampung;

(23) Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

(24) Penduduk Papua yang selanjutnya disebut Penduduk adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Tanah Papua;

Pasal 2

Orang Asli Papua adalah: a. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang

ayah dan ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli di Papua; b. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang

ayah berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua;

BAB II ASAS

Pasal 3

Undang-Undang Pemerintahan Papua ini berasaskan: a. Keberpihakan kepada Orang Asli Papua sebagai penghormatan, pengakuan,

perlindungan dan pemberdayaan OrangAsli Papua. b. Desentralisasi asimetris.

Page 10: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

10

BAB III PEMBAGIAN DAERAH DAN PENATAAN DAERAH

Pasal 4

(1) Provinsi-Provinsi di Tanah Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota masing-masing Daerah Otonom.

(2) Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. (3) Distrik terdiri atas sejumlah kelurahan, kampung atau yang disebut dengan

nama lain. Pasal 5

(1) Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota, ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Pemerintah Provinsi.

(2) Pembentukan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan syarat: a. memenuhi persyaratan administratif dan mekanisme pembentukan

Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. memperhatikan kesatuan kultur dan hubungan kekerabatan masyarakat setempat;

c. memperhatikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah bersangkutan; dan

d. memperhatikan potensi kekayaan dan sumberdaya alam. (3) Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Distrik atau Kampung

atau yang disebut dengan nama lain, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atas usul Pemerintah Kabupaten/Kota;

(4) Dalam wilayah Provinsi di Tanah Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dengan Perdasi.

Page 11: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

11

BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI

DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Pasal 6 Kewenangan berdasarkan Otonomi Khusus Tanah Papua berada di Provinsi.

Pasal 7 (1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan

mengurus seluruh urusan Pemerintahan, kecuali urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

(2) Kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat Nasional dibidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter dan fiskal, agama dan peradilan.

(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemerintah dapat: a. melaksanakan sendiri; b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi;

dan c. melimpahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Provinsi berdasarkan tugas

pembantuan.

Pasal 8 (1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki hubungan

hierarkis dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua. (2) Ketentuan tentang hubungan hierarkis antara Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hubungan antar Pemerintah-Pemerintah Provinsi di Tanah Papua diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Page 12: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

12

BAB V PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI

DAN PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 9

(1) Pemerintah Provinsi menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pembahasan bersama antara Pemerintah Provinsi dan DPRP.

(3) Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 10 (1) Pembagian urusan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan

berdasarkan pertimbangan permasalahan, kebutuhan dan kemampuan Kabupaten/Kota.

(2) Pembagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Pasal 11

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Penetapan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi.

Pasal 12 (1) Usulan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)

dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah paling lama 6 (enam) bulan sejak pengajuan usulan.

(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah

belum menetapkan standar pelayanan minimal, pemerinah dianggap menyetujui usulan yang diajukan Pemerintah Provinsi.

Page 13: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

13

Bagian Kedua Urusan Pemerintahan Provinsi

Pasal 13

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) terdiri dari urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar maupun pelayanansekunder.

(2) Urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. Pemerintahan umum; b. Perangkat daerah; c. Kepagawaian; d. Pekerjaan umum; e. Pendidikan; f. Kesehatan; g. Perhubungan dan transportasi; h. Kependudukan dan ketenagakerjaan; i. Perumahan rayat; j. Koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah; k. Kebudayaan; l. Pertanahan; m. Kehutanan; n. Pertambangan dan energi; o. Pertanian; dan p. Kelautan dan perikanan.

(3) Urusan wajibsekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. perencanaan pembangunan dan tata ruang; b. keuangan daerah; c. pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup; d. penanaman modal; e. komunikasi dan informatika; f. perdagangan dan investasi; g. sosial; h. kepemudaandan olahraga; i. karantina; j. kepabeanan; k. pengelolaan sumber daya alam; l. partai politik; m. HAKI; dan n. HAM.

Pasal 14 (1) Urusan pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan

yang sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 14: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

14

(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Bagian Ketiga Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota

Pasal 15

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) merupakan urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar.

(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. pemerintahan umum; b. perangkat daerah; c. kepegawaian; d. pekerjaan umum; e. pendidikan; f. kesehatan; g. perhubungan; h. kependudukan; dan i. ketenagakerjaan;

Pasal 16

(1) Urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 17

(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota disertai pengalihan prasarana, sarana, pendanaan dan kepegawaian sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan desentralisasi.

(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai pendanaan yang dilakukan sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan dekonsentrasi.

(3) Urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, disertai pendanaan yang dilakukan sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan tugas pembantuan.

Page 15: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

15

BAB VI PENYELENGGARAAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 18 Selain kewenangan umum dan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) pemerintah provinsi dapat menyelenggarakan sebagian kewenangan yang menjadi kewenangan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Bagian Kedua

Kerjasama Luar Negeri

Pasal 19 (1) Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Pemerintah

Provinsi urusan dan tugas yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Menyelenggarakan kerjasama dengan lembaga/badan atau negara-negara

lain; b. Membangun kerjasama dan kemitraan dengan lembaga/badan atau

negara-negara lain, kecuali yang menjadi kewenangan Pememerintah Pusat; dan

c. Membangun hubungan kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan antara Republik Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan dengan Provinsi.

(2) Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan urusan dan tugas sebagaimana tercantum dalam ayat (1) wajib melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri.

Pasal 20

(1) Gubernur berwenang memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk menerbitkan izin masuk bagi orang asing ke Tanah Papua.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewenangan Imigrasi untuk mencekal orang asing yang telah diputuskan membahayakan keamanan Negara.

(3) Dalam keadaan dimana Imigrasi menolak memberikan izin masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Imigrasi wajib memberikan alasan-alasan kepada Gubernur secara tertulis.

Page 16: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

16

Bagian Ketiga Pertahanan

Pasal 21

(1) Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam menyelenggarakan pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara di Tanah Papua.

(3) Tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penanggulangan bencana alam, pembangunan infrastruktur pasca bencana alam dan tugas kemanusiaan lain setelah berkoordinasi dengan Gubernur.

(4) Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Papua menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya serta adat istiadat Papua.

(5) Alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayata (1) sampai dengan ayat (3) dibebankan pada anggaran belanja kementerian yang membidangi pertahanan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 22

(1) Kebijakan pertahanan wilayah provinsi di Tanah Papua oleh TNI dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan Gubernur.

(2) Pemerintah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dalam menyusun Rencana Tata Ruang Pertahanan, dengan mempertimbangkan konteks wilyah, dinamika pembangunan dan konteks sosial budaya di Papua.

(3) Pemerintah melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagi putera puteri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan dalam Tentara Nasional Indonesia pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

(4) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan tetap mempertimbangkan standar pembinaan karier yang berlaku di lingkungan Tentara Nasional Indonesia.

Bagian Keempat

Keamanan

Pasal 23 (1) Kepolisian Daerah di Tanah Papua merupakan bagian dari Kepolisian Negara

Republik Indonesia menyelenggarakan urusan keamanan.

Page 17: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

17

(2) Kebijakan urusan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah di Tanah Papua kepada Gubernur.

(3) Kebijakan urusan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut penyelenggaraan tugas memelihara keamanan, dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersumber dari APBN.

(5) Kepala Kepolisian Daerah Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas penyelenggaraan keamanan dan pembinaan kepolisian.

Pasal 24

Pencalonan dan pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah di Tanah Papua memperhatikan kearifan lokal dengan mengutamakan pejabat Polri Orang Asli Papua yang telah memenuhi kriteria sesuai peraturan perundang-undangan dan memperhatikan pertimbangan Gubernur.

Pasal 25

(1) Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama, serta pembinaan jenjang karir Kepolisian Negara Republik Indonesia di Tanah Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah dengan memberikan prioritas bagi Orang Asli Papua serta memperhatikan sistem hukum, budaya, adat-istiadat dan kebijakan Gubernur.

(2) Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi calon bintara dan tamtama

Kepolisian Daerah di Tanah Papua diberi kurikulum muatan lokal dengan penekanan terhadap budaya dan adat istiadat di Papua serta hak asasi manusia.

(3) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.

(5) Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di Tanah Papua, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur.

(6) Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama, serta pembinaan jenjang karir Kepolisian Negara Republik Indonesia di Tanah Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah di Tanah Papua dengan memberikan prioritas bagi Orang Asli Papua serta memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat dan kebijakan Gubernur.

Page 18: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

18

(7) Pemerintah melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagiputra putri Indonesia Orang Asli Papua untuk menduduki jabatan dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Bagian Kelima

Kejaksaan

Pasal 26 (1) Kejaksaan di Tanah Papua merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik

Indonesia. (2) Kejaksaan di Tanah Papua melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di

bidang penegakan hukum. (3) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua dilakukan oleh Jaksa

Agung dengan persetujuan Gubernur. (4) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat secara

tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima.

(5) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Jaksa Agung dapat mengangkat Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua.

(6) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Jaksa Agung mengajukan satu kali lagi calon lain.

(7) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua dilakukan oleh Jaksa Agung.

Pasal 27

(1) Seleksi penerimaan dan penempatan Jaksa di Tanah Papua dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adat istiadat di Tanah Papua, budaya dan/atau mengutamakan Orang Asli Papua.

(2) Pemerintah wajib melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagi putra putri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan Kejaksaan pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Bagian Keenam

Peradilan Paragraf 1

Umum

Pasal 28 (1) Kekuasaan kehakiman di Tanah Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Disamping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

Page 19: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

19

Pasal 29 (1) Seleksi penerimaan dan penempatan hakim di Tanah Papua dilakukan oleh

Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengutamakan Orang Asli Papua. (2) Pemerintah wajib melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan

bagi putra putri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan Hakim pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Paragraf 2 Peradilan Adat

Pasal 30

Peradilan adat di Tanah Papua berasaskan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat dan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 31 Peradilan adat di Tanah Papua sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan masyarakat adat Papua, dengan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan dengan tujuan menjaga harmonisasi, keseimbangan dan keteraturan, serta membantu pemerintah dalam penegakan hukum.

Paragraf 3 Kedudukan

Pasal 32

(1) Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat hukum adat Papua.

(2) Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat hukum adat di Tanah Papua.

(3) Lingkungan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa dan sistem kepemimpinan campuran.

(4) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Paragraf 4

Kompetensi

Pasal 33 (1) Pengadilan adat berwenang memeriksa dan mengadili perkara adat di antara

warga masyarakat adat di Tanah Papua.

Page 20: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

20

(2) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili perkara adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa atau perkara yang bersangkutan.

(4) Perkara adat yang tidak dapat diselesaikan melalui kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara.

Paragraf 5 Putusan

Pasal 34

(1) Putusan pengadilan adat diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat. (2) Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak. (3) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau

kurungan. (4) Putusan pengadilan adat mengenai perkara yang tidak dimintakan

pemeriksaan ulang, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap. (5) Untuk membebaskan pelaku tindak pidana dari tuntutan pidana menurut

ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(6) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

(7) Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan putusan dilaksanakan menurut hukum adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Paragraf 6 Kerjasama

Pasal 35

(1) Pengadilan adat dapat bekerja sama dengan perangkat peradilan negara. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam hal

menyelesaikan perkara.

Page 21: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

21

(3) Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan perdasi.

Bagian Ketujuh

Keuangan Daerah

Paragraf 1 Umum

Pasal 36

(1) Pemerintah, DPR, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam merencanakan dan menetapkan APBN dan APBD berkewajiban mempertimbangkan karakter kekhususan Papua.

(2) Pemerintah berkewajiban membuat daftar indeks kemahalan harga sebagai pedoman penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan di Tanah Papua.

(3) Indeks kemahalan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerahberdasarkan keterisolasian wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat.

Pasal 37

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di Tanah Papua dan Kabupaten/Kota diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota.

(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola APBD secara tertib, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat.

(4) Pengelolaan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui sistem pengelolaan keuangan daerah yang masing-masing diatur dengan Perdasi dengan berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku.

(5) Pengelolaan APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui sistem pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Perda dengan berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 38

(1) Pemerintah Provinsi berwenang menyelenggarakan sebagian urusan perpajakan yang bersumber dari Tanah Papua.

(2) Kewenangan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pajak: a. Pajak penghasilan orang pribadi dan pajak penghasilan badan; dan

Page 22: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

22

b. Pajak yang bersumber dari penerimaan sumber daya alam. (3) Penerimaan yang berasal dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disetor kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah provinsi mendistribusikan kepada Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota;

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Pemerintah Provinsi.

Paragraf 2 Kepabeanan

Pasal 39

(1) Gubernur dapat memberikan rekomendasi pengurangan bea masuk impor barang modal bagi pelaksanaan investasi di Tanah Papua dengan berkonsultasi kepada Pemerintah.

(2) Pengusulan dan pengangkatan Kepala Bea dan Cukai dan pejabat Bea dan Cukai dengan memperhatikan pertimbangan Gubernur dan mengutamakan Orang Asli Papua.

Bagian Kedelapan

Agama

Pasal 40 (1) Setiap penduduk di Tanah Papua memiliki hak dan kebebasan untuk

memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. (2) Setiap penduduk di Tanah Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai

agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Tanah Papuadan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 41

Pemerintah Provinsi berkewajiban: a. menjamin kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat

beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

b. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama; c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional

berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

Pasal 42 (1) Gubernur berwenang memberikan izin penempatan tenaga asing bidang

keagamaan.

Page 23: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

23

(2) Pemerintah di Tanah Papua memiliki kewenangan memberikan izin pendirian tempat ibadah.

(3) Ketentuan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

Pasal 43

Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan keagamaan di Tanah Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

BAB VII PENYELENGGARAAN URUSAN PERLINDUNGAN

DAN PEMBERDAYAAN ORANG ASLI PAPUA

Pasal 44 (1) Urusan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua yang menjadi

kewenangan pemerintah provinsi, meliputi: a. kebijakan pemberdayaan masyarakat adat; b. kebijakan pemberdayaan Orang Asli Papua; dan c. kebijakan lain berkaitan dengan perlindungan hak Orang Asli Papua.

(2) Kebijakan pemberdayaan masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. pemerintahan adat; b. perlindungan hak ulayat; c. perlindungan dan pengembangan adat istiadat dan budaya; d. bahasa daerah; e. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam; dan f. perlindungan dan pengembangan kearifan lokal;

(3) kebijakan pemberdayaan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi bidang: a. pendidikan; b. kesehatan; c. ekonomi rakyat; d. pembangunan infrastruktur; e. ketenagakerjaan; dan f. perumahan rakyat;

(4) Kebijakan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi semua kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua.

(5) Penetapan urusan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah melalui pembahasan bersama antara pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.

Page 24: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

24

(6) Urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan bersama antara pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.

(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), diatur dengan Perdasus.

BAB VIII BADAN NASIONAL PERCEPATAN PELAKSANAAN

OTONOMI KHUSUS TANAH PAPUA

Pasal 45 (1) Presiden membentuk Badan/Lembaga untuk pemantapan pelaksanaan

Otonomi Khusus Tanah Papua yang selanjutnya disebut Badan Otonomi khusus Tanah Papua.

(2) Badan Otonomi khusus Tanah Papua berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia

(3) Badan Otonomi khusus Tanah Papua dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

(4) BadanOtonomi khususTanah Papua kedudukannya setara dengan menteri yang di pimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

(5) Kepala badan Otonomi khusus Tanah Papua diangkat oleh Presiden atas usulanGubernur di Tanah Papua.

Pasal 46 Badan Otonomi khusus Tanah Papua bertugas untuk membantu Presiden melaksanakan tugas komunikasi, koordinasi, perencanaan, konsultasi, fasilitasi, evaluasi dan pemantauan

Pasal 47

Dalam melaksanankan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 46 Badan Otonomi khusus Tanah Papua menyelenggarakan fungsi: a. Penyusunan dan pengembangan strategi nasional pelaksanaan Undang-Undang

Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua; b. Penyusunan dan pengembangan rencana induk dan rencana aksi langkah

Percepatan Pembangunan Tanah Papua; c. Koordinasi, konsultasi dan sinkronisasi kebijakan, program dan pembiayaan

nasional yang terkait dengan pelaksanaan percepatan pembangunan dan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua;

d. Bersama Kementerian yang membidangi Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Khusus (Musrenmbang Khusus) untuk Percepatan Pembangunan Tanah Papua sebelum pelaksanaan Musrenbangnas;

Page 25: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

25

e. Koordinasi, konsultasi dan fasilitasi langkah-langkah kebijakan sosial, politikdan budaya dengan kelompok-kelompok strategis Papua dan pemangku kepentingan lainnya;

f. Bersama Pemerintah Provinsi di Tanah Papua menetapkan komponen evaluasi dan indikator pencapaian pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua;

g. Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua; dan

h. Melaksanakan koordinasi, konsultasi dan fasilitasi berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan internasional di dalam mendukung pelaksanaan Undang-Undang ini.

Pasal 48

(1) Badan Otonomi khusus di Tanah Papua terdiri atas: a. Kepala; b. 4 (empat) Deputi; dan c. Tenaga Profesional.

(2) Deputi berada dibawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala Badan Otonomi khusus Tanah Papua.

(3) Tenaga Profesioonal sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas Asisten Ahli, Asisten muda dan Tenaga Terampil.

(4) Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya, Kepala Badan Otonomi khusus Tanah Papua dapat membentuk Tim Khusus atau Gugus Tugas untuk penanganan masalah tertentu.

Pasal 49 (1) Kepala Badan Otonomi Khusus di Tanah Papua diangkat oleh Presiden atas

usul Gubernur di Tanah Papua. (2) Deputi diangkat oleh Presiden atas usul Kepala Badan. (3) Tenaga Profesional, Tim Khusus dan Gugus Tugas di lingkungan Badan

Otonomi khusus di Tanah Papua di angkat oleh Kepala Badan Otonomi khusus di Tanah Papua.

(4) Deputi dan Tenaga Profesional di lingkungan Badan Otonomi khusus di Tanah Papua dapat diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dan bukan Pegawai Negeri Sipil

Pasal 50

(1) Kepala Badan Otonomi khusus Tanah Papua diberikan hak keuangan, administrasi dan fasilitas lainnya setara Menteri.

(2) Deputi diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural Ia.

(3) Tenaga Profesional yang diangkat sebagai Asisten Ahli, diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilias lainnya setara dengan pejabat struktural eselon Ib.

(4) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai Asisten, diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IIa

Page 26: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

26

(5) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai Asisten muda, diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IIIa.

(6) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai tenaga terampil, diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IVa.

Pasal 51

(1) Susunan organisasi, tata kerja, hubungan, tugas dan fungsi Badan/Lembaga, dan mekanisme koordinasi badan Otonomi khusus di Tanah Papua dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua serta pemangku kepentingan lainnya, diatur dengan peraturan Presiden dengan pertimbangan Gubernur di Tanah Papua.

(2) Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk selambat-lambatnya 6 (enam) bulan terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini.

Pasal 52

Kepala badan Otonomi Khusus di Tanah Papua menyampaikan laporan berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden RI atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

BAB IX BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu

U m u m

Pasal 53 (1) Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua terdiri atas DPRP sebagai badan

legislatif dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. (2) Pemerintahan Kabupaten/Kota terdiri atas DPRD Kabupaten/Kota sebagai

badan legislatif dan Bupati/Walikota sebagai badan eksekutif beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.

(3) Pemerintahan Distrik sebagai satuan pemerintahan yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan Kabupaten/Kota dan urusan pemerintahan umum lainnya.

(4) Pemerintahan Kampung sebagai satuan pemerintahan otonom asli yang terdiri atas Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dengan sebutan lain.

(5) Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/Kota, Distrik dan Kampung merupakan satu kesatuan susunan pemerintahan yang berjenjang.

Page 27: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

27

Bagian Kedua Majelis Rakyat Papua

Paragraf 1

Kedudukan MRP

Pasal 54 (1) Majelis Rakyat Papua dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

provinsi di Tanah Papua dan merupakan representasi kultural Orang Asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

(2) MRP dibentuk di setiap provinsi di Tanah Papua dan berkedudukan di ibukota provinsi.

Pasal 55

(1) MRP beranggotakan orang-Orang Asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.

(2) Masa keanggotaan MRP adalah 5 (tujuh) tahun. (3) Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan Perdasus. (4) Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (5) Dalam mendukung tugas dan fungsi MRP dibentuk Sekretariat MRP. (6) Sekretariat MRP dapat menyediakan tenaga ahli untuk mendukung

pelaksanaan tugas dan fungsi MRP.

Pasal 56 (1) MRP mempunyai tugas dan wewenang:

a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang masing-masing diusulkan oleh DPRP, DPRD Kabupaten/Kota atau lembaga penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang berwenang untuk itu;

b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota DPRD Kabupaten/Kota, calon anggota DPRP, calon sekretaris daerah provinsi, calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota, calon kepala SKPD provinsi, calon kepala SKPD Kabupaten/Kota, calon kepala distrik, calon lurah dan calon kepala kampung;

c. bersama-sama DPRP dan Gubernur membahas rancangan Perdasus; d. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana

perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah

Page 28: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

28

Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi di Tanah Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak Orang Asli Papua;

e. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak Orang Asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;

f. Melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana otonomi khusus. g. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pembagian dan

pemanfaatan dana otonomi khusus serta melakukan evaluasi terhadap program dan kegiatan yang memanfaatkan dana otonomi khusus;

h. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana pembentukan daerah otonom baru provinsi dan Kabupaten/Kota;

i. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota terkait dengan pembinaan kerukunan kehidupan beragama;

j. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan kebijakan pemberdayaan perempuan Orang Asli Papua;

k. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota terkait dengan kebijakan pemberdayaan dan perlindungan adat istiadat dan budaya serta lembaga adat asli Papua;

l. Melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota terutama mengenai urusan pemerintahan dan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan Orang Asli Papua; dan

m. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Peraturan Pemerintah yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.

Pasal 57 (1) MRP mempunyai hak:

a. Mengajukan keberatan/penolakan terhadap rancangan Perdasus dan Perdasi yang bertentangan dengan hak-hak Orang Asli Papua;

b. Melakukan pengawasan terhadap APBD terutama alokasi pemanfaatan dana otonomi khusus;

c. Meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua;

d. Meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua;

Page 29: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

29

e. Mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua;

f. Mengajukan keberatan atas usul pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang masing-masing diajukan oleh DPRP dan oleh DPRD Kabupaten/Kota sebelum akhir masa jabatan;

g. Mengajukan keberatan atas penetapan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati, calon Walikota dan Wakil Walikota yang cacat hukum dalam proses pemilihan; dan

h. Menetapkan Peraturan MRP yang mengikat ke dalam dan ke luar. (2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Perdasus.

Pasal 58 (1) Setiap anggota MRP mempunyai hak:

a. Mengajukan pertanyaan; b. Menyampaikan usul dan pendapat; c. Imunitas; d. Protokoler; dan e. Keuangan/administrasi.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usul pemerintah provinsi.

Pasal 59 (1) MRP mempunyai kewajiban:

a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat di Tanah Papua;

b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mentaati segala perundang-undangan;

c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua;

d. membina kerukunan kehidupan beragama; dan e. mendorong pemberdayaan perempuan.

(2) Tatacara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.

Pasal 60 (1) Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat

agama dan masyarakat perempuan. (2) Penyelenggara pemilihan anggota MRP dilakukan oleh Panitia ad hoc. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)

ditetapkan dengan Perdasus.

Page 30: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

30

Pasal 61 (1) Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diajukan oleh

Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan. (2) Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasar usul Pemerintah Provinsi.

Paragraf 2 Persyaratan Keanggotaan MRP

Pasal 62

(1) Keanggotaan MRP wajib memenuhi persyaratan umum : a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Setiakepada Pancasila, UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik

Indonesia; c. Memahami adat istiadat orang Papua; d. Berpedidikan dan berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1); e. Memiliki integritas kepribadian yang baik; f. Berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun, dan maksimal 60 (enam puluh)

tahun; dan g. Orang Asli Papua.

(2) Jumlah anggota MRP adalah ¾ dari jumlah anggota DPRP masing-masing Provinsi, dengan memperhatikan keterwakilan masing-masing suku yang ada di Tanah Papua.

(3) Tata cara pemilihan Anggota MRP selanjutnya diatur dengan Perdasus.

Bagian Ketiga Pemerintah Provinsi

Paragraf 1

Persyaratan Gubernur/Wakil Gubernur

Pasal 63 (1) Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah

Provinsi lainnya. (2) Pemerintah Provinsi dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur.

Pasal 64

(1) Yang dapat dipilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernuradalah Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang memenuhi syarat: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

Page 31: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

31

b. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah;

c. berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1); d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; e. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan

kesehatan menyeluruh dari tim dokter/rumah sakit pemerintah; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

h. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; i. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau

secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

j. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan

k. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.

(2) Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. surat pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan yang

menyatakan dirinya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;

b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau sebutan lain dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi, sertifikat atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh instansi yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;

c. akta kelahiran/surat kenal lahir warga negara Indonesia, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d;

d. surat keterangan kesehatan dari tim dokter/rumah sakit pemerintah yang menerangkan bahwa yang bersangkutan mampu secara jasmani dan rohani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e;

e. surat keterangan pengadilan negeri atau kementerian yang menangani urusan pemerintahan di bidang hukum, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f;

f. surat keterangan pengadilan negeri yang menyatakan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah

Page 32: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

32

memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;

g. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada lembaga yang menangani pemberantasan korupsi dan surat pernyataan bersedia daftar kekayaan pribadinya diumumkan, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i;

h. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j;

i. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan pailit, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k; dan

j. daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP.

Paragraf 2 Tugas dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur

Pasal 65

(1) Gubernur mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja

sama serta penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan Pemerintah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota;

b. meminta laporan secara berkala atau sewaktu-waktu atas penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota;

c. melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan, pengangangkatan, pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas pertanggungjawaban Bupati/Walikota;

d. melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama Presiden;

e. mensosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan Peraturan Perundang-Undangan di Provinsi;

f. melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi;

Page 33: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

33

g. membina hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta antar Pemerintah Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

h. memberikan pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan, penggabungan dan pemekaran Daerah;

i. memimpin penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRPdan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP dan MRP;

j. mengajukan rancangan Perdasi dan Perdasus; k. menetapkan Perdasi dan Perdasus yang telah mendapat persetujuan

bersama DPRP; l. menyusun dan mengajukan rancangan Perdasi tentang APBD kepada DPR

untuk dibahas dan ditetapkan bersama; m. mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM

penduduk Papua; n. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

o. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur memberikan persetujuan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat pemerintahan daerah;

Pasal 66

(1) Wakil Gubernur mempunyai tugas: a. membantu Gubernur dalam:

1) penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRPdan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP dan MRP;

2) mengoordinasikan kegiatan perangkat Provinsi dan instansi vertikal di Provinsi;

3) menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan;

4) melaksanakan kebijakan pemberdayaan kelembagaan adat dan pranata sosialnya, kelembagaan agama dan pemberdayaan perempuan dan pemuda;

5) mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM Penduduk Provinsi;

6) pengembangan dan pelestarian adat istidat dan sosial budaya dan lingkungan hidup.

Page 34: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

34

b. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota;

c. memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

d. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Gubernur; dan

e. melaksanakan tugas dan wewenang Gubernur apabila Gubernur berhalangan.

(2) membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan kewajibannya.

(3) membantu mengkoordinasikan kegiatan instansi Pemerintah di Provinsi. (4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil

Gubernur bertanggung jawab kepada Gubernur. (5) Wakil Gubernur menggantikan Gubernur sampai habis masa jabatannya

apabila Gubernur meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

Pasal 67 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 65 dan Pasal 66, Gubernur dan Wakil Gubernur mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. mengakui, menghargai dan menghormati serta melindungi dan memajukan hak-hak dasar Orang Asli Papua;

c. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan khususnya Orang Asli Papua;

d. melindungi dan melestarikan budaya Papua; e. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; f. mencerdaskan kehidupan rakyat Papua; g. melaksanakan kehidupan demokrasi; h. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; i. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; j. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; k. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; l. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan

daerah; m. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan

semua perangkat daerah; n. menyelenggarakan Pemerintahan dan melaksanakan pembangunan sesuai

dengan RPJPD dan RPJMD secara bersih, jujur dan bertanggung jawab; dan

Page 35: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

35

o. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRP.

(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRP serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

(3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri satu kali dalam 1 (satu) tahun.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinisi, DPRP dan MRP.

Pasal 68 (1) Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun terhitung

sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

(2) Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, jabatan Gubernur dijabat oleh Wakil Gubernur sampai habis masa jabatannya.

(3) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Gubernur mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRP/DPRPB berdasarkan usul partai politik atau gabungan Partai Politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan sebelumnya memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP.

(4) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap, maka DPRP/DPRPB menunjuk seorang pejabat pemerintah Provinsi yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Gubernur sampai terpilih Gubernur yang baru.

(5) Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris Daerah menjalankan tugas Gubernur untuk sementara waktu.

(6) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) DPRP/DPRPB menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan.

(7) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Page 36: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

36

Pasal 69 (1) Gubernur selaku kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRP. (2) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.

(3) Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. (4) Tata cara pertanggungjawabanGubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (5) Gubernur mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan kewenangan

Pemerintah di Provinsi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1). (6) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat

(5) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3 Larangan Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur

Pasal 70

Gubernur dan Wakil Gubernur dilarang: a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri,

anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikankepentingan umumdan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyrakat lain;

b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara daerah atau dalam yayasan bidang apapun;

c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;

d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;

e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasal 65 huruf n;

f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; dan g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRP

sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.

Page 37: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

37

Paragraf 4 Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur

Pasal 71

(1) Gubernur dan/atau wakil Gubernur berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; dan c. diberhentikan.

(2) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena: a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan; c. berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; e. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Gubernur dan/atau Wakil

Gubernur; f. tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; dan g. melanggar larangan bagi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

(3) Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRP untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRP.

(4) Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilaksanakan dengan ketentuan: a. Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur diusulkan kepada Presiden

berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRP bahwa Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan Wakil Gubernur;

b. Pendapat DPRP sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir;

c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPRP tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRP itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final;

d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Gubernur dan/atau Wakil Gubernur terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRP menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir untuk

Page 38: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

38

memutuskan usul pemberhentian Gubernurdan/atauWakil Gubernur kepada Presiden; dan

e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRP menyampaikan usul tersebut.

Pasal 72

(1) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRP apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.

(2) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRP apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 73 (1) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan sementara oleh Presiden

tanpa melalui usulan DPRP karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.

(2) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRP apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 74 (1) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur menghadapi krisis kepercayaan

publik meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRP menggunakan hak angket untuk menanggapinya.

(2) Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

(3) Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRP menyerahkan proses penyelesaian kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRP mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRP.

Page 39: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

39

(5) Berdasarkan keputusan DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden menetapkan pemberhentian sementara Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

(6) Apabila Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRP mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir.

(7) Berdasarkan keputusan DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden memberhentikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Pasal 75

(1) Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang bersangkuttan sampai dengan akhir masa jabatan.

(2) Apabila Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatan, Presiden merehabilitasikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP.

Pasal76

(1) Apabila Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (5), Wakil Gubernur melaksanakan tugas dan kewajiban Gubernur sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Apabila Wakil Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (5), tugas dan kewajiban Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Gubernur sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1), dan Pasal 74 ayat (5), Presiden menetapkan pejabat Gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri atau pejabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur dengan pertimbangan DPRP sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Page 40: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

40

(4) Tata cara penetapan, kriteria calon dan masa jabatan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 77

(1) Apabila Gubernur diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 74 ayat (7) jabatan Gubernur diganti oleh Wakil Gubernur sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRP dan disahkan oleh Presiden.

(2) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Gubernur mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur untuk dipilih oleh Rapat Paripurana DPRP berdasarkan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

(3) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRP memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkan penjabat Gubernur.

(4) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sekretaris Daerah melaksanakan tugas sehari-hari Gubernur sampai dengan Presiden mengangkat Penjabat Gubernur.

(5) Tatacarapengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan Penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5 Tindakan Penyidikan terhadap Gubernur

Dan Wakil Gubernur

Pasal 78 (1) Tindakan Penyidikan dan Penyidikan terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur

dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan Penyidik.

(2) Dalam hal Persetujuaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

(3) Tindakan Penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Page 41: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

41

(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan

pidana mati, atau telah melakukan tidak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

Bagian Keempat

Pemerintah Kabupaten/Kota

Paragraf 1 Persyaratan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

Pasal 79

Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota.

Pasal 80

(1) Yang dapat dipilih menjadi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota adalah Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang memenuhi syarat: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setiakepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah;

c. berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1); d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; e. berasal dari suku asli masyarakat adat setempat; f. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan

kesehatan menyeluruh dari tim dokter/rumah sakit pemerintah; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana;

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau

secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan

Page 42: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

42

l. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.

(2) Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. surat pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan yang

menyatakan dirinya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;

b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau sebutan lain dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh instansi yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;

c. akta kelahiran/surat kenal lahir warga negara Indonesia, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d;

d. surat keterangan pengadilan negeri atau kementerian yang menangani urusan pemerintahan di bidang hukum, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;

e. surat keterangan pengadilan negeri yang menyatakan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h;

f. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada lembaga yang menangani pemberantasan korupsi dan surat pernyataan bersedia daftar kekayaan pribadinya diumumkan, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j;

g. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k;

h. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan pailit, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l; dan

i. daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP.

Page 43: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

43

Paragraf 2 Tugas dan Wewenang Bupati/Wakil Bupati

dan Walikota/Wakil Walikota

Pasal 81 Bupati/Walikota mempunyai tugas dan wewenang: a. memimpin penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai

Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota dan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota;

b. mengajukan rancangan Perda; c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD

Kabupaten/Kota; d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD

Kabupaten/Kota untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM

penduduk Papua; f. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; g. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

h. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 82

(1) Wakil Bupati/Wakil Walikota mempunyai tugas: a. membantu Bupati/Walikota dalam:

1) penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota dan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota;

2) mengkoordinasikan kegiatan perangkat Kabupaten/Kota dan instansi vertikal di Kabupaten/Kota;

3) menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan;

4) melaksanakan kebijakan pemberdayaan kelembagaan adat dan pranata sosialnya, kelembagaan agama dan pemberdayaan perempuan dan pemuda;

5) mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM Penduduk Kabupaten/Kota; dan

6) pengembangan dan pelestarian adat istidat dan sosial budaya dan lingkungan hidup;

b. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan Distrik dan Kampung;

Page 44: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

44

c. memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Distrik dan Kepala Kampung dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah Distrik dan Kampung;

d. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Bupati/Walikota; dan

e. melaksanakan tugas dan wewenang Bupati/Walikota apabila Bupati/Walikota berhalangan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Bupati/Wakil Walikota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

(3) Wakil Bupati/Wakil Walikota menggantikan Bupati/Walikota sampai berakhir masa jabatannya apabila Bupati/Walikota meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

Pasal 83 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 81 dan Pasal 82, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. mengakui, menghargai dan menghormati serta melindungi dan memajukan hak-hak dasar Orang Asli Papua;

c. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan khususnya Orang Asli Papua;

d. melindungi dan melestarikan budaya Papua; e. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; f. melaksanakan kehidupan demokrasi; g. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; h. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; i. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; j. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; k. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan

daerah; l. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan

semua perangkat daerah; dan m. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di

hadapan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota.

Page 45: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

45

(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Provinsi, dan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD Kabupaten/Kota, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

(3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernursatu kali dalam 1 (satu) tahun.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah Provinsi sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Perda yang dibentuk atas usulan Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 84

(1) Masa jabatan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

(2) Dalam hal Bupati/Walikota berhalangan tetap, jabatan Bupati/Walikota dijabat oleh Wakil Bupati/Wakil Walikota sampai habis masa jabatannya.

(3) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Bupati/Walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Bupati/Wakil Walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kotaberdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, dengan sebelumnya memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP/MRPB.

(4) Apabila Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota berhalangan tetap, maka DPRD Kabupaten/Kota menunjuk seorang pejabat pemerintah Kabupaten/Kota yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Bupati/Walikota sampai terpilih Bupati/Walikota yang baru.

(5) Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris Daerah menjalankan tugas Bupati untuk sementara waktu.

(6) Dalam hal Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DPRD Kabupaten/Kota menyelenggarakan pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan.

(7) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), diatur lebih lanjut dengan Perda Kabupaten/Kota.

Page 46: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

46

Paragraf 3 Larangan Bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

Pasal 85

Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilarang: a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri,

anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyrakat lain;

b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;

c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;

d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;

e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasal 81 huruf g;

f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; dan g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD

Kabupaten/Kotasebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4

Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

Pasal 86 (1) Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti karena:

a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; dan c. diberhentikan.

(2) Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena: a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan; c. berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota; e. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota; f. tidak melaksanakan kewajiban Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil

Walikota; dan

Page 47: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

47

g. melanggar larangan bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

(3) Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD Kabupaten/Kotauntuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD Kabupaten/Kota.

(4) Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilaksanakan dengan ketentuan: a. Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD Kabupaten/Kota bahwa Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

b. Pendapat DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kotadan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir;

c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD Kabupaten/Kotatersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD Kabupaten/Kota itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final;

d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Bupati/Wakil Bupatidan/atauWalikota/Wakil Walikota terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD Kabupaten/Kota menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kotadan putusan diambil, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota kepada Presiden; dan

e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usul tersebut.

Page 48: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

48

Pasal 87 (1) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan

sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.

(2) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 88

(1) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

(2) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 89

(1) Dalam hal Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD Kabupaten/Kota menggunakan hak angket untuk menanggapinya.

(2) Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota.

(3) Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD Kabupaten/Kota menyerahkan proses penyelesaian antara kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perudang-undangan.

(4) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD Kabupaten/Kota.

Page 49: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

49

(5) Berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (4), Presiden menetapkan pemberhentian sementara Bupati/Wakil Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota.

(6) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir.

(7) Berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden memberhentikan Bupati/Wakil Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota.

Pasal 90

(1) Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Bupati/Wakil Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya.

(2) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Menteri Dalam Negeri merehabilitasikan Bupati/Wakil Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88, diatur dalam Perda yang dibentuk atas usulan Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 91

(1) Apabila Bupati/Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1), Wakil Bupati/Wakil Walikota melaksanakan tugas dan kewajiban Bupati/Walikota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Apabila Wakil Bupati/Wakil Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1), tugas dan kewajiban Wakil Bupati/Wakil Walikota dilaksanakan oleh Bupati/Walikota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Page 50: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

50

(3) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diberhentikan

sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1), Menteri Dalam Negeri menetapkan penjabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur atau penjabat Bupati/Walikota atas usul Bupati/Walikota dengan pertimbangan DPRD Kabupaten/Kota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4) Tata cara penetapan, kriteria calon dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 92

(1) Apabila Bupati/Walikota diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dan pasal 88 ayat (2) jabatan Bupati/Walikota diganti oleh Wakil Bupati/Wakil Walikota sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota dan disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Bupati/Walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Bupati/Wakil Walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

(3) Dalam hal Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat Bupati/Walikota.

(4) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari Bupati/Walikota sampai dengan Menteri Dalam Negeri mengangkat penjabat Bupati/Walikota.

(5) Tata cara pengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Page 51: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

51

Paragraf 5 Tindakan Penyidikan terhadap Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota

Pasal 93 (1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Bupati/Wakil Bupati

dan/atau Walikota/Wakil Walikota dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas permintaan penyidik.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan

pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Gubernur paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

Bagian Kelima DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA

Pasal 94

(1) Kekuasaan legislatif Provinsi di Tanah Papua dilaksanakan oleh DPRP. (2) DPRP berkedudukan di ibukota Provinsi. (3) Anggota DPRP yang dipilih berasal dari partai. (4) Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. (5) Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota

DPRD Provinsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (6) Tata cara pengangkatan dan penetapan anggota DPRP yang diangkat dari

Orang Asli Papua diatur dengan Perdasus.

Pasal 95 (1) Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab,

keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 52: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

52

(2) Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 96 Pengangkatan Anggota DPRP sebagaimana di maksud dalam pasal 94 ayat (6) dilaksanakan dengan persyaratan dan mekanisme sebagai berikut: a. bakal calon anggota DPRP tersebut berasal dari masyarakat adat yang asli

bukan lembaga masyarakat adat bentukan atau bukan anggota partai politik tertentu baik aktif atau pasif;

b. anggota lembaga keagamaan atau organisasi perempuan yang kantor pusatnya berkedudukan di provinsi Papua; dan

c. memenuhi persyaratan tertentu lainnya yang di tetapkan dalam perdasus.

Pasal 97 (1) DPRP mempunyai hak:

a. meminta pertanggungjawaban Gubernur; b. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. melakukan penyelidikan; d. melakukan perubahan atas Rancangan Perdasus dan Perdasi; e. mengajukan pernyataan pendapat; f. mengajukan Rancangan Perdasus dan Perdasi; g. membahas dan menyetujui APBD, perubahan APBD dan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; dan h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98

(1) Setiap anggota DPRP mempunyai hak: a. mengajukan pertanyaan; b. menyampaikan usul dan pendapat; c. imunitas; d. protokoler; dan e. keuangan/administrasi.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 99

(1) DPRP mempunyai kewajiban: a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia; b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mentaati

segala perundang-undangan;

Page 53: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

53

c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; d. meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi

ekonomi; dan e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan

pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. (2) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam

Peraturan TataTertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 100 (1) DPRP mempunyai Tugas dan Wewenang:

a. memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; b. Melaksanakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara yang dilaksanakan di wilayah Provinsi di Tanah Papua; d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil

Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri;

e. Membahas Rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur;

f. membahas dan menetapkan rancangan Perdasus bersama-sama dengan MRP dan Gubernur;

g. membahas dan menetapkan rancangan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur;

h. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perdasus dan Perdasi dan peraturan perundang-undangan lain;

i. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan program pembangunan, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional;

j. Menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur;

k. membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama dengan Gubernur;

l. Bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dengan memperhatikan kekhususan Papua;

m. Memberikan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi;

n. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Daerah RI yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan di Tanah Papua;

o. Memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama antar daerah

Page 54: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

54

dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani Pemerintah dan masyarakat; dan

p. Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 101

(1) Alat kelengkapan DPRP terdiri atas: a. pimpinan; b. komisi; c. badan legislasi; d. badan musyawarah; e. badan anggaran; f. badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan.

(2) Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 102

(1) DPRP wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRP dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. pengertian kode etik; b. tujuan kode etik; c. pengaturan sikap, tata kerja dan tata hubungan antar penyelenggara

pemerintahan daerah dan antara anggota serta antara anggota DPRP dan pihak lain;

d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRP; e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan f. sanksi dan rehabilitasi.

Pasal 103

(1) Setiap anggota DPRP wajib berhimpun dalam fraksi. (2) Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-

kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRP. (3) Anggota DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1 (satu) partai politik

yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.

(4) Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRP dari partai politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi.

Page 55: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

55

(5) Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi dan/atau fraksi gabungan lain yangmemenuhi syarat.

(6) Parpol yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat membentuk satu fraksi.

(7) Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).

Pasal 104

DPRPyang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi, yang beranggotakan lebih dari 75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.

Pasal 105

(1) Anggota DPRP tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRP, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik DPRP.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Anggota DPRP tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRP.

Pasal 106

(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRP dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRP.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.

(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahan diperlukan persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana

mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

Page 56: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

56

(5) Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

Bagian Keenam

DPRD Kabupaten/Kota

Paragraf 1 Umum

Pasal 107

Ketentuan tentang DPRD Kabupaten/Kota sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini, berlaku ketentuan Undang-Undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPDdan DPRD.

Paragraf 2

Kedudukan dan Fungsi

Pasal 108 DPRD Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten/Kota.

Pasal 109

DPRD Kabupaten/Kotamemiliki fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan.

Paragraf 3 Tugas dan Wewenang

Pasal 110

(1) DPRD Kabupaten/Kotamempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk Perda yang dibahas dengan Bupati/Wakil Bupati, Wali

Kota/Wakil Wali Kota untuk mendapat persetujuan bersama; b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama

dengan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan

perundang-undangan lainnya, peraturan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerja sama internasional di daerah;

Page 57: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

57

d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota/Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur;

e. memilih Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota;

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

i. membentuk panitia pengawas pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota;

j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota; dan

k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD Kabupaten/Kota melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4 Hak dan Kewajiban

Pasal 111

(1) DPRD Kabupaten/Kotamempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat.

(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kotayang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah, anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD Kabupaten/Kota.

(4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar dan memeriksa seseorang yang dianggap

Page 58: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

58

mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukkansurat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

(5) Setiap orang yang dipanggil, didengardan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia. (8) Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan

pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 112

(1) Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak: a. mengajukan rancangan Perda; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler; dan h. keuangan dan administratif.

(2) Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD

Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 113 Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai kewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;

b. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan, pemerintahan daerah;

c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah; e. menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat; f. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan

golongan; g. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota

Page 59: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

59

DPRD Kabupaten/Kota sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya;

h. mentaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/Kota; dan

i. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

Paragraf 5

Alat Kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 114 (1) Alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas:

a. pimpinan; b. komisi; c. badan legislasi d. badan musyawarah; e. badan anggaran; f. badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan.

(2) Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksad pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kotadengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 115 (1) DPRD Kabupaten/Kota wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat

dan kehormatan anggota DPRD Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. pengertian kode etik; b. tujuan kode etik; c. pengaturan sikap, tata kerja dan tata hubungan antar penyelenggara

pemerintahan daerah dan antara anggota serta antara anggota DPRD Kabupaten/Kota dan pihak lain;

d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota;

e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan f. sanksi dan rehabilitasi.

Pasal 116

(1) Setiap anggota DPRD Kabupaten/Kota wajib berhimpun dalam fraksi. (2) Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-

kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD Kabupaten/Kota. (3) Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1

(satu) partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu)

Page 60: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

60

fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.

(4) Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi.

(5) Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi dan/atau fraksi gabungan lain yangmemenuhi syarat.

(6) Parpol yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat membentuk satu fraksi.

(7) Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).

Pasal 117

DPRD Kabupaten/Kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi, yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.

Pasal 118 (1) Anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan

karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRD Kabupaten/Kota, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik DPRD Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan, atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 119

(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.

(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahan diperlukan persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Page 61: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

61

(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana

mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. (5) Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan

penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

Paragraf 6

Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 120 (1) Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. pejabat negara lainnya; b. hakim pada badan peradilan; dan c. pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada badan usaha milik

negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.

(2) Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota.

(3) Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.

(4) Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota.

(5) Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberhentikan oleh pimpinan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten/Kota.

(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota yang berpedoman pada peraturan perundang undangan.

Page 62: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

62

Paragraf 7 Penggantian Antar waktu Anggota DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 121

(1) Anggota DPRD Kabupaten/Kota berhenti antar waktu sebagai anggota karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; dan c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

(2) Anggota DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan antar waktu, karena: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota; c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau melanggar kode etik

DPRD Kabupaten/Kota; d. tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRD Kabupaten/Kota; e. melanggar larangan bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota; dan f. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun penjara atau lebih.

(3) Pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota untuk diresmikan pemberhentiannya.

(4) Pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan setelah ada keputusan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi dari Badan Kehormatan DPRD Kabupaten/Kota.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh

Distrik

Pasal 122 (1) Distrik dipimpin oleh Kepala Distrik. (2) Kepala Distrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh

Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 123 (1) Dalam pelaksanaan tugasnya kepala distrik memperoleh pelimpahan sebagian

kewenangan Bupati/Walikota untuk menangani urusan pemerintahan Kabupaten/Kota.

Page 63: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

63

(2) Kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek: a. perizinan; b. rekomendasi; c. koordinasi; d. pembinaan; e. pengawasan; f. fasilitasi; g. penetapan; h. penyelenggaraan; dan i. kewenangan lain yang dilimpahkan.

(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala distrik juga penyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi: a. Menjaga keutuhan NKRI dan Bhineka Tunggal Ika; b. Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; c. Menegakkan Demokrasi; d. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; e. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban

umum; f. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-

undangan; g. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; h. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat

distrik; i. Membina penyelenggaraan pemerintahan kampung dan/atau kelurahan;

dan j. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup

tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan kampung atau kelurahan.

(4) Kepala Distrik dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat distrik yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

(5) Perangkat Distrik dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Distrik.

(6) Kepala Distrik dalam melaksanakan tugas dari Pemerintah Pusat, Gubernur atau Instansi vertikal dengan beban anggaran dari APBN.

Pasal 124

(1) Pembentukan Distrik ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; (2) Pembentukan Distrik sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat

Administrasi, Teknis, Fisik kewilayahan serta memperhatikan Kultur dan Adatistiadat.

(3) Peraturan daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan Distrik sebagaimana tersebut dalam ayat (1) paling sedikit memuat:

Page 64: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

64

a. Nama Distrik; b. Nama Ibukota Distrik; c. Batas Wilayah Distrik; dan d. Nama Kampung/Kelurahan.

(4) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud ayat (3) dilampiri peta distrik sesuai kaidah tersebut memuat titik koordinat.

(5) Peraturan daerah dapat disahkan setelah mendapatkan kode dan data wilayah administrasi pemerintahan dari Pemerintah.

Pasal 125

(1) Syarat administratif pembentukan Distrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2), meliputi: a. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 tahun; dan b. Rekomendasi/Persetujuan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah;

(2) Keputusan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK).

Pasal 126 (1) Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2)

meliputi cakupan wilayah, lokasi ibukota, sarana dan prasarana. (2) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) untuk

daerah kabupaten paling sedikit terdiri atas 10 kampung/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5 desa/kelurahan.

(3) Lokasi ibukota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperhatikan tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya.

(4) Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi bangunan dan lahan.

Pasal 127

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud Pasal 124 ayat (2) meliputi Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, rentang kendali Penyelenggaraan Pemerintahan, Aktivitas Perekonomian Ketersediaan Sarana dan Prasarana.

Pasal 128

(1) Organisasi Distrik terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksidan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian.

(2) Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. seksi tata pemerintahan; b. seksi pemberdayaan masyarakat; dan c. seksi ketenteraman dan ketertiban.

(3) Pedoman organisasi Distrik ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Page 65: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

65

Pasal 129 Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Distrik dilaksanakan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 130

(1) Pelayanan Administrasi distrik sebagaimana dimaksud Pasal 128 dapat diselenggarakan di distrik.

(2) Pelayanan administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan dengan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan/PATEN.

Pasal 131

(1) Bupati/Walikota membentuk instansi teknis di tingkat Distrik sebagai perpanjangan tangan Dinas, Badan atau Lembaga Teknis Kabupaten/Kotauntuk mendekatkan pelayanan Pemerintahan kepada Orang Asli Papua.

(2) Organisasi dan Tata Kerja instansi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Perda.

Bagian Kedelapan

Kelurahan

Pasal 132 (1) Selain kampung di wilayah Distrik dapat dibentuk kelurahan. (2) Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh lurah yang

dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. (3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:

a. melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan; b. memberdayakan masyarakat; c. memberikan pelayanan kepada masyarakat; d. membina terselenggaranya ketenteraman dan ketertiban umum; dan e. membangun serta memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum.

(4) Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Kepala Distrik dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), lurah bertanggung jawab kepada Kepala Distrik.

(6) Lurah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibantu oleh perangkat kelurahan.

(7) Perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada lurah.

(8) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dapat dibentuk lembaga lain sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota.

Page 66: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

66

(9) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diatur dengan peraturan Bupati/Walikotasesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 133

(1) Pembentukan kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 pada ayat (1) dilakukan di wilayah perkotaan pusat pemerintahan Kabupaten/Kotatetapi tidak termasuk wilayah pinggiran perkotaan.

(2) Tata cara pembentukan kelurahan diatur dengan Perdasi.

BAB X

PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, BUPATI/WAKIL BUPATI, WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 134 (1) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil

Walikota dipilih dalam satu pasangan calon melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.

(2) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

(3) Biaya untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBD Provinsi.

(4) Biaya untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua

Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur

Pasal 135 (1) Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134

ayat (1), diselenggarakan oleh DPRP. (2) Pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRP. (3) Tatacara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur diatur dengan Perdasus.

Page 67: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

67

Bagian Ketiga Pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota

Pasal 136

(1) Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), dilakukan secara tidak langsung melalui DPRD Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diatur dengan Perdasi. (3) Pemilihan Bupati/Wakil Bupatidan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan pemilihan, pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan yang diatur oleh Komisi pemilihan Umum.

(4) Pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.

(5) Tatacara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diatur dengan Peraturan daerah.

Pasal 137

Untuk menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan Wakil Walikota selain syarat-syarat lain, syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon tersebut adalah Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a.

Pasal 138

(1) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dipilih oleh DPRP/DPRD dalam satu pasangan yang diajukan oleh satu partai politik, gabungan partai politik atau calon perseorangan.

(2) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota memangku jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali dalam satu masa jabatan dalam jabatan yang sama.

(3) Tatacara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diatur dengan Perdasus.

BAB XI PERATURAN DAERAH KHUSUS, PERATURAN DAERAH PROVINSI

DANPERATURAN GUBERNUR

Pasal 139 (1) Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP dan Gubernur setelah dibahas

bersama-sama oleh DPRP, MRP dan Gubernur.

Page 68: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

68

(2) Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur. (3) Tata cara pembahasan Perdasus oleh DPRP dan Gubernur bersama-sama

dengan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus. (4) Tata cara pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi.

Pasal 140 (1) Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi diatur dengan Peraturan Gubernur. (2) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh

bertentangan dengan kepentinganumum dan hak-hak dasar Orang Asli Papua serta Perdasus dan Perdasi.

Pasal 141 (1) Perdasus dan Perdasi diundangkan dengan menempatkannya dalam

Lembaran Daerah Provinsi. (2) Peraturan Gubernur diundangkan dengan menempatkannya dalam Berita

Daerah. (3) Dalam hal Raperdasus dan Raperdasi yang telah disetujui bersama oleh DPRP,

MRP dan Gubernur tidak disahkan oleh Gubernur dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Raperdasus atau Raperdasi disetujui, Raperdasus atau Raperdasi sah menjadi Perdasus atau Perdasi dan wajib diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran daerah dengan rumusan frasa pengesahan berbunyi "Perdasus atau Perdasi ini dinyatakan sah".

(4) Frasa pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) beserta tanggal jatuh sahnya, harus dibubuhkan dalam halaman terakhir Perdasus dan Perdasi sebelum pengundangan naskah Perdasus atau Perdasi dalam Lembaran Daerah.

(5) Perdasus dan Perdasi mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi.

(6) Peraturan Gubernur mempunyai kekuatan hukum setelah dimuat dalam Berita Daerah.

(7) Perdasus, Perdasi dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) wajib disosialisasikan oleh Pemerintah Provinsi.

Pasal 142

(1) Perdasus yang materi muatannya tidak sesuai dengan hasil pembahasan oleh DPRP dan Gubernur bersama-sama MRP dinyatakan batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(2) Rancangan Perdasi yang dapat dievaluasi dan diklarifikasi oleh Pemerintah adalah Rancangan Perdasi tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Tata Ruang Wilayah dan keuangan daerah yang mencakup pajak daerah, retribusi daerah dan APBD.

Page 69: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

69

(3) Pemerintah dapat melakukan evaluasi, klarifikasi dan pembatalan raperdasi/perdasi dan raperdasus/perdasus yang bertentangan dengan konsensus bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Pasal 143

(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc.

(2) Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur dengan Perdasi.

Pasal 144

(1) Dalam rangka percepatan dan peningkatan efektifitas pembentukan dan pelaksanaan produk hukum daerah di Tanah Papua, dibentuk komisi hukum ad hoc.

(2) Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk membantu Gubernur, DPRPP dan MRP dalam menyiapkan rancangan perdasus dan perdasi sebagai pelaksanaan dari Undang-undang ini.

(3) Pembentukan komisi hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan bersama Gubernur di Tanah Papua, selambat-lambatnya 60 hari setelah disahkannya Undang-Undang ini.

BAB XII PERANGKAT DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 145 (1) Perangkat daerah Provinsi terdiri atas Sekretariat Daerah Provinsi, Sekretariat

DPRP, Sekretariat MRP, Satuan Kerja Perangkat Daerah dan lembaga teknis Provinsi yang diatur dengan Perdasi.

(2) Perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah Kabupaten/Kota, sekretariat DPRD, Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, lembaga teknis Kabupaten/Kota dan Distrik.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan perdasi.

Page 70: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

70

Bagian Kedua Sekretariat Daerah Provinsi

Pasal 146

(1) Sekretariat Daerah Provinsi dipimpin oleh Sekretariat Daerah Provinsi. (2) Sekretariat Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai

tugas, fungsi dan wewenang: a. membantu Gubernur dalam menyusun kebijakan; b. mengkoordinasikan dinas, lembaga dan badan Provinsi; dan c. membina Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam wilayah Provinsi.

(3) Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Sekretariat Daerah Provinsi bertanggungjawab kepada Gubernur.

(4) Dalam hal Sekretariat Daerah Provinsi berhalangan melaksakan tugasnya, tugas Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Gubernur.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas dan wewenang Sekretariat Daerah Provinsi diatur dengan Perdasi.

Pasal 147

(1) Sekretariat Daerah Provinsi diangkat dari Pegawai Negeri Sipil Daerah yang memenuhi syarat.

(2) Calon Sekretaris Daerah Provinsi diusulkan oleh Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(3) Gubernur menetapkan seorang calon Sekretaris Daerah Provinsi dan disampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan.

(4) Presiden menetapkan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Sekretaris Daerah Provinsi dengan Keputusan Presiden.

Pasal 148

(1) Gubernur berkonsultasi dengan Presiden sebelum Sekretaris Daerah Provinsi diberhentikan.

(2) Gubernur menetapkan Sekretaris Daerah Provinsi untuk diberhentikan dan disampaikan kepada Presiden.

(3) Presiden menetapkan pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga

Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 149 (1) Sekretariat daerah Kabupaten/Kota dipimpin oleh Sekretaris Daerah

Kabupaten/Kota. (2) Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mempunyai tugas, fungsi dan wewenang: a. membantu Bupati/Walikota dalam menyusun kebijakan;

Page 71: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

71

b. mengoordinasikan dinas, lembaga dan badan Kabupaten/Kota; dan c. membina Pegawai Negeri Sipil dalam Kabupaten/Kota.

(3) Dalam melaksanakan tugas, fungsidan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris daerah Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

(4) Dalam hal sekretaris daerah Kabupaten/Kota berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Bupati/Walikota.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Kabupaten/Kota yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 150

(1) Sekretaris daerah Kabupaten/Kotadiangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.

(2) Bupati/Walikota berkonsultasi dengan Gubernur sebelum menetapkan seorang calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

(3) Bupati/Walikota menetapkan seorang calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota dan disampaikan kepada Gubernur untuk ditetapkan.

(4) Gubernur menetapkan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi sekretaris daerah Kabupaten/Kota dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 151

(1) Bupati/Walikota berkonsultasi dengan Gubernur sebelum sekretaris daerah Kabupaten/Kotadiberhentikan.

(2) Bupati/Walikota menetapkan sekretaris daerah Kabupaten/Kota untuk diberhentikan dan disampaikan kepada Gubernur.

(3) Gubernur menetapkan pemberhentian sekretaris daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 152

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tatacara pengangkatan danpemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi dan sekretaris daerah Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Papua

Pasal 153

(1) Sekretariat DPRP dipimpin oleh Sekretaris DPRP. (2) Sekretaris DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan

diberhentikan oleh Gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRP. (3) Sekretaris DPRP mempunyai tugas:

Page 72: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

72

a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRP; b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRP dan menyelenggarakan

administrasi keuangan; c. melakukan pengelolaan dan administrasi anggaran belanja DPRP; d. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRP; dan e. menyediakan dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh

DPRP dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

(4) Sekretaris DPRP dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRP.

(5) Sekretaris DPRP dalam melaksanakan tugasnya secara operasional berada di bawah dan bertanggungjawab kepada pimpinan DPRP dan secara administratif berada di bawah koordinasi Sekretaris Daerah Provinsi.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Sekretariat DPRP diatur dengan Perdasi.

Bagian Kelima

Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 154 (1) Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota dipimpin oleh Sekretaris DPRD

Kabupaten/Kota. (2) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD.

(3) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas: a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD Kabupaten/Kota; b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota dan

menyelenggarakan administrasi keuangan; c. melakukan pengelolaan dan administrasi anggaran belanja DPRD

Kabupaten/Kota; d. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD Kabupaten/Kota; dan e. menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh

DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan Kabupaten/Kota.

(4) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD Kabupaten/Kota.

(5) Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugasnya secara operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD Kabupaten/Kotadan secara administratif berada di bawah koordinasi sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Kabupaten/Kota.

Page 73: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

73

Bagian Keenam

Dinas, Badan, dan Lembaga Teknis Provinsi dan Kabupaten/Kota

Pasal 155 (1) Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kotamerupakan unsur pelaksana Pemerintah

Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. (2) Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kotadipimpin oleh kepala dinas yang diangkat

dari Pegawai Negeri Sipil Daerah yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Kepala Dinas Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Provinsi.

(4) Kepala dinas Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

(5) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Dinas Provinsi bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi.

(6) Dalam melaksanakan tugasnya kepala dinas Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 156

(1) Lembaga Teknis Provinsi merupakan unsur pendukung tugas Gubernur dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Papua yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan/atau kantor.

(2) Lembaga teknis Kabupaten/Kota merupakan unsur pendukung tugas Bupati/Walikota dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Kabupaten/Kota yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan/atau kantor.

(3) Badan/atau Kantor Provinsi dan Kabupaten/Kota dipimpin oleh kepala badan/atau kantor yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Kepala Badan/atau Kantor Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Provinsi.

(5) Kepala badan/atau kantor Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

(6) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Badan/atau Kantor Provinsi bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi.

(7) Dalam melaksanakan tugasnya kepala badan/atau kantor Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

Page 74: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

74

Bagian Ketujuh Kepegawaian

Pasal 157

(1) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian dengan berpedoman pada norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Kebijakan kepegawaian sebagaimana di maksud pada ayat (1) mencakup jumlah tenaga yang dibutuhkan serta persyaratan dan prosedur rekrutmen tenaga kepegawaian daerah.

(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)dan ayat (3) diatur dengan Perdasi.

Pasal 158

(1) Jabatan Pemerintahan di Tanah Papua diprioritaskan untuk Orang Asli Papua yang memenuhi syarat.

(2) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pembinaan, pelatihan dan peningkatan kemampuan dan kecakapan Pegawai Negeri Sipil Orang Asli Papua.

(3) Penempatan pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh lembaga independen dan professional.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Pasal 159

(1) Pemerintah wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Orang Asli Papua yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil untuk bekerja dan membina karir di instansi pemerintah pusat sesuai dengan kompetensi dan keahliannya.

(2) Gubernur, Bupati/Walikota wajib mempromosikan Orang Asli Papua untuk berkarir pada lembaga pemerintah dan swasta tingkat Nasional sesuai pengalaman, kompetensi dan bidang keahliannya.

(3) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melaksanakan dan mengembangkan program pendidikan unggulan di dalam dan /atau luar Negeri dalam rangka mencetak orang-Orang Asli Papua yang memiliki kualifikasi dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan terbuka dan kompetitif.

Page 75: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

75

Pasal 160 Pemerintah wajib memberikan kesempatan bagi putra-putri Indonesia Orang Asli Papua yang memenuhi syarat melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan strategis pada tingkat nasional dan internasional.

BAB XIII PEMERINTAHAN ADAT

Pasal 161

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota wajib mengakui dan menghormati keberadaan satuan pemerintahan adat, masyarakat adat dan otonomi kelembagaan adat setempat.

(2) Pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat dilakukan melalui pembinaan dan pembiayaan terhadap pemerintahan adat.

(3) Penyelenggaraan Pemerintahan Adat dilakukan berdasarkan tatanan masyarakat adat setempat.

Pasal 162 (1) Setiap Orang Asli Papua merupakan anggota masyarakat adat menurut

wilayah dan kelembagaan adatnya masing-masingdan saling menghormati dan mengakui kelembagaan adat dari anggota masyarakat hukum adat yang lain.

(2) Suku-suku Orang Asli Papua mengakui dan saling menghargai wilayah adat, hak-hak masyarakat adat dan otonomi kelembagaan adat masing-masing.

BAB XIV KAMPUNG

Pasal 163

(1) Kampung yang berada dalam wilayah persekutuan pemerintahan kesatuan masyarakat hukum adat yang asli diakui keberadaannya.

(2) Kampung memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui keberadaannya dalam sistem pemerintahan nasional.

(3) Berdasarkan keasliannya kampung ditetapkan sebagai kampung asli dengan memperhatikan karakteristik adat istiadat dan kearifan lokalnya.

(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mempercepat pembangunan masyarakat dan kawasan kampung.

(5) Pemekaran kampung pada kawasan yang bersifat khusus dan strategis untuk kepentingan nasional harus disetujui oleh Pemerintah Provinsi atas usul

Page 76: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

76

Pemerintah Kabupaten/Kota. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemerintahan kampung, kewenangan

kampung, pembangungan kampung, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat diatur dengan Perdasus yang mengacu pada ketentuan perundang-undangan.

BAB XV

PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT

Pasal 164 (1) Pemerintah, pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib

mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Hak-hak masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3) Hak ulayat masyarakat hukum adat dan perorangan para warga masyarakat hukum adat dilaksanakan berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam melaksanakan hak-haknya, masyarakat dan individu dalam kesatuan hukum adat harus bebas dari segala bentuk diskriminasi, apapun jenisnya.

(4) Hak keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas adat untuk mempertahankan tanggung jawab bersama bagi pengasuhan, pelatihan, pendidikan dan kesejahteraan anak-anak mereka, sesuai dengan hak-hak anak.

(5) Pelaksanaan hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah dan badan air bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(6) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dengan Perdasus.

Page 77: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

77

Pasal 165

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan lembaga-lembaga adat dan pranata sosial dalam lingkungan masyarakat adat.

(2) Kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan pembinaan dan dukungan bagi penguatan lembaga adat dan pranata sosial masyarakat adat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan gender serta hak asasi manusia.

(3) Kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) termasuk kebijakan membatasi serta melarang pembentukan lembaga-lembaga masyarakat adat yang tidak mempunyai basis sosial dan pranata sosial dilingkungan masyarakat adat yang asli dan dibentuk tanpa kesepakatan dalam musyawarah masyarakat hukum adat.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

Pasal 166

(1) Hak ulayat masyarakat adat dan hak perorangan dalam masyarakat adat merupakan bagian yang tidak terpisah dari kelembagaan adat.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melindungi hak ulayat masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan MRP/MRPB memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa hak ulayat secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

(4) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

BAB XVI KEUANGAN

Bagian Kesatu

Sumber Pendapatan

Pasal 167 Sumber pendapatan daerah, meliputi: a. pendapatan asli daerah; b. Pendapatan Transfer; dan c. lain-lain pendapatan yang sah.

Page 78: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

78

Pasal 168 Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf a terdiri atas: a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.

Pasal 169

Dana transfer daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf b, terdiri atas: (1) Bagi hasil pajak:

a. pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan b. pajak penghasilan Badan dari perusahaan yang beroperasi di wilayahTanah

Papua sebesar 80% (delapan puluh persen). (2) Bagi hasil sumber daya alam:

a. kehutanan sebesar 90% (sembilan puluh persen); b. perkebunan sebesar 90% (sembilan puluh persen); c. perikanan sebesar 90% (sembilan puluh persen); d. pertambangan umum sebesar 90% (sembilan puluh persen); e. pertambangan minyak bumi sebesar 90% (sembilan puluh persen); dan f. pertambangan gas bumi sebesar 90% (sembilan puluh persen).

(3) Selain bagi hasil pajak dan bagi hasil sumberdaya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), bagi hasil pajak yang berasal dari kontrak karya pertambangan dialokasikan sebanyak 80 % (delapan puluh persen) untuk Provinsi.

Pasal 170

Dalam rangka pelaksanaan penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah wajib memberikan informasi kepada Pemerintah Provinsi di Tanah Papua mengenai besarnya jumlah penerimaan yang berasal dari provinsi setiap awal tahun anggaran.

Pasal 171

Transfer Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dan ayat (2), merupakan Dana Perimbangan yang terdiri atas: a) Dana Bagi Hasil; b) Dana Alokasi Umum; dan c) Dana Alokasi Khusus.

Pasal 172

(1) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 huruf a, terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil Pajak; b. Dana Bagi Hasil Cukai; dan

Page 79: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

79

c. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. (2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a terdiri atas: a. Pajak Bumi dan Bangunan; b. PPh Pasal 25; c. PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri; dan d. PPh Pasal 21;

(3) Dana Bagi Hasil Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Cukai Hasil Tembakau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan

(IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi; b. Penerimaan pertambangan mineral dan batubara yang berasal dari

penerimaan iuran tetap (Landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty);

c. Penerimaan Negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi; dan

d. Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagi pemerintah pusat, iuran tetap dan iuran produksi.

Pasal 173

Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada provinsi di Tanah Papua.

Pasal 174

(1) Penerimaan provinsi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167huruf b, terdiri atas: a. penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus untuk provinsi di

Tanah Papua yang besarnya setara dengan 10% (sepuluh persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional; dan

b. penerimaan dana tambahan pembangunan infrastruktur provinsi,setara 2% (dua persen) dari total APBN.

(2) Pembagian penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada provinsi di Tanah Papua dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan hasil kesepakatan bersama Gubernur.

(3) Penetapan besaran jumlah penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan usul Pemerintah Provinsi.

Page 80: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

80

Bagian Kedua Penggunaan Dana

Pasal 175

(1) Penerimaandana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf b, digunakan untuk pembangunan perekonomian daerah;

(2) Penerimaan dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 168 huruf b dan pasal 169 ayat (1) digunakan untuk pembangunan Orang Asli Papua yang meliputi : a. Pendidikan, pelatihan keterampilan dan pendampingan masyarakat

sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen); b. kesehatan dan perbaikan gizi ibu, balita dan anak sekolah sekurang-

kurangnya 20 % (dua puluh persen); c. ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan sekurang-kurangnya

20% (dua puluh persen); d. bantuan sosial untuk lembaga sosial dan masyarakat tidak mampu 10%

(sepuluh persen); e. pembangunan infrastruktur dan pemukiman tingkat kampung sekurang-

kurangnya 25% (dua puluh lima persen); f. pembentukan dan operasional kelembagaan MRP/MRPB dan lembaga lain

yang dibentuk karena pemberlakuan Otonomi Khusus 4,5% (empat koma lima persen); dan

g. pengeluaran-pengeluaran lain sebesar 0,5 % (nol koma lima persen). (3) Penerimaan dana tambahan pembangunan infrastruktur sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf b, digunakan untuk membangun: a. transportasi; b. air bersih dan sanitasi; c. energi listrik; d. telekomunikasi; e. sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan seni budaya dan

olahraga; dan f. prasarana dasar lainnya.

(4) Prioritas pembangunan infrastruktur ditujukan pada daerah pesebaran jumlah Orang Asli Papua dominan.

Pasal 176

(1) Pemerintah Provinsi dapat melakukan perubahan persentase pembagian dana Otonomi Khusus sebagai mana dimaksud dalam pasal 175 ayat (2), untuk jangka waktu tertentu atas pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP.

(2) Perubahan persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.

Page 81: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

81

Pasal 177 Perencanaan, penggunaandan pertanggungjawaban dana Otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 169, pasal 174 ayat (1) huruf a, dan pasal 175 diselenggarakan secara terpisah dan merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pasal 178

Kriteria dan Tata cara pembagian penerimaan dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalampasal 174 ayat (1) huruf a dan huruf b, diatur dengan Perdasus.

Pasal 179

(1) Penerimaan yang bersumber dari dana penerimaan otonomi khusus untuk sektor pertambangan umum dan gas alam di potong terlebih dahulu 90% (sembilan puluh persen) untuk provinsi dan 10% (sepuluh persen) untuk pemerintah pusat.

(2) Selain penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), royalti yang bersumber dari sektor pertambangan umum dan gas alam dan sektor-sektor migas dan non migas, diberikan langsung ke kas daerah provinsi dan kabupaten kota di wilayah operasi kegiatan usaha.

(3) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) selain diberikan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kotadi wilayah usaha produksi, diberikan juga kepada provinsi lain di Tanah Papua.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

Pasal 180

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menerima bantuan, pinjaman, hibah baik dari dalam maupun luar negeri atau penerimaan lainnya setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.

(2) Bantuan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dana atau alih teknologi atau manajemen.

(3) Tatacara penerimaan bantuan, pinjaman dan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 181 (1) Pengusaha asli Papua diutamakan untuk melaksanakan kegiatan yang

pembiayaannya bersumber dari APBN dan APBD di Tanah Papua, sesuai dengan kualifikasi yang berlaku dengan pembinaan dan pendampingan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan kegitan-kegiatan pemerintahan dalam bentuk pembinaan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan dan

Page 82: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

82

penyuluhan masyarakat yang dananya bersumber dari APBN dan APBD. (3) Mekanisme pelaksanaan kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 182 (1) Pemerintah, PemerintahProvinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melibatkan

lembaga masyarakat yang memenuhi kualifikasi dalam persiapan sosial pembangunan proyek dan pembinaan pasca pembangunan proyek pemerintah.

(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 183 Pemerintah menerbitkan kode rekening khusus untuk kegiatan yang bersumber dari dana otonomi khusus atas usul Gubernur.

Pasal 184 (1) Untuk efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan yang didanai dari

Tambahan Dana dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi;

(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Nasional Percepatan Pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua.

Bagian Ketiga

Kontrak Kerjasama

Pasal 185 (1) Perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada saat

ini dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.

(2) Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.

(3) Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerjasama tersebut, Pemerintah Provinsi mendapat pertimbangan DPRP.

Bagian Keempat

Kepemilikan Saham

Pasal 186 (1) Pemerintah wajib mendorong dan menetapkan kebijakan percepatan

penyertaan modal pemerintah daerah pada Badan Usaha Milik Negara, Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asingyang mengelola sumber daya alam yang berdomisili dan atau beroperasi di tanah Papua.

Page 83: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

83

(2) Pemerintah wajib menyiapkan fasilitas pembiayaan untuk keperluan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara, Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing yang mengelola sumber daya alam di Papua.

(4) Pemerintah Provinsi dapat melakukan penyertaan modal dengan Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dan usaha swasta yang saling menguntungkan.

(5) Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Perdasi.

Bagian Kelima Tanggungjawab Sosial Dunia Usaha

Pasal 187

(1) Dunia usaha dalam menyusun program pembangunan masyarakat dan mengatur tanggungjawab sosial wajib mengikuti rancangan kebijakan pembangunan Provinsi.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Perdasi yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keenam Penyertaan Modal, Obligasi Daerah dan Dana Abadi

Pasal 188

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat melakukan penyertaan modal atau kerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar prinsip saling menguntungkan.

(2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ekuitas yang bersumber dari kekayaan daerah yang dipisahkan.

(3) Penyertaan modal atau kerjasama bagi hasil dapat ditambah, dikurangiatau dialihkan kepada badan usaha milik daerah.

(4) Anggaran yang timbul akibat penyertaan modal atau kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam APBDProvinsi dan Kabupaten/Kota.

(5) Penyertaan modal atau kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi.

Pasal 189

(1) Pemerintah Provinsi dapat menerbitkan obligasi daerah untuk kepentingan pembiayaan daerah.

Page 84: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

84

(2) Penerbitan obligasi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 190 (1) Pemerintah Provinsi dapat menyediakan dana cadangan yang disisihkan

untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.

(2) Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan sebagian anggaran belanja provinsi yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumber daya alam dalam bentuk dana abadi yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan di masa datang.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus.

Bagian Ketujuh Divestasi Saham

Pasal 191

(1) Badan usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua wajib melakukan divestasi saham kepada Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sesudah beroperasi.

(2) Badan usaha yang mengelola sumber daya alam dan beroperasi di Tanah Papua sebelum undang–undang ini berlaku wajib melakukan divestasi saham kepada Pemerintah Provinsi dan atau pemerintah Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini disahkan.

(3) Pemerintah wajib mendorong dan memfasilitasi percepatan proses divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

BAB XVII PEREKONOMIAN

Pasal 192

Orang Asli Papua berhak ikut serta secara aktif dan penuh di dalam semua kegiatan perekonomian di Tanah Papua.

Pasal 193 (1) Perekonomian Provinsi yang merupakan bagian dari perekonomian nasional

dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnyakemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan.

(2) Perekonomian di Tanah Papua diselenggarakan berdasar atas asas kekeluargaan dan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta

Page 85: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

85

menjaga keseimbangan kemajuan Kabupaten/Kotayang ada di Tanah Papua. (3) Perekonomian di Tanah Papua merupakan perekonomian yang terbuka dan

tanpa hambatan dalam investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional.

Pasal 194 (1) Usaha-usaha perekonomian di Tanah Papua yang memanfaatkan sumber daya

alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasi.

(2) Pembangunan perekonomian di Tanah Papua berbasis kerakyatan dan dilaksanakan dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada Orang Asli Papua atau masyarakat adat.

(3) Penanam modal yang melakukan investasi di Tanah papua wajib mengakui

dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. (4) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi dan/atau/

Kabupaten/Kota dan penanaman modal yang memanfaatkan sumber daya alam harus melibatkan masyarakat adat setempat, yang dituangkan dalam perjanjian para pihak.

(5) Keikutsertaan masyarakat adat dalam hal investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan cara menyertakan masyarakat adat sebagai pemegang saham.

(6) Selain penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemodal wajib menyisihkan sebagian pendapatan bersih dari sumber daya alam untuk ditabung dan diberikan setiap tahun dalam bentuk modal kerja atau modal usaha bagi masyarakat adat setempat.

(7) Pemerintah wajib menyiapkan infrastruktur dan membuka akses perhubungan internasional dari dan ke Tanah Papua dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) di atur dengan Perdasus.

Pasal 195

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan pembiayaan, pendidikan, pelatihan, pendampingan dan pembinaan guna mendukung usaha-usaha perekonomian yang dilakukan oleh Orang Asli Papua.

(2) Dalam rangka perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan pelaku kegiatan usaha perekonomian Orang Asli Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban memfasilitasi pembentukan lembaga penjaminan modal.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus.

Page 86: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

86

Pasal 196

(1) Setiap investor yang beroperasi di Tanah Papua wajib menggunakan jasa perbankan yang berbadan hukum milik Pemerintah Provinsi.

(2) Setiap badan usaha penanam modal asing dan/atau penanam modal dalam negeri yang mengelola sumberdaya alam di Tanah Papua wajib berkantor pusat di Provinsi di Tanah Papua.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi.

Pasal 197 Pelaku kegiatan usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2), wajib melakukan pengolahan lanjutan di wilayah Tanah Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien dan kompetitif.

Pasal 198 (1) Perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah

dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati. (2) Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang oleh

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian yang bersangkutan.

(3) Tatacara mengenai pelaksanaan seperti dimaksud pada ayat (2) di atur dalam perdasi.

Pasal 199 (1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi sumber-sumber potensial ekonomi dan

mengembangkan produk-produk lokal menjadi produk unggulan dalam rangka pemberdayaan ekonomi Orang Asli Papua.

(2) Kewajiban pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengatur tatacara perniagaan mulai dari bahan mentah sampai menjadi bahan jadi.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus.

Pasal 200 Semua kegiatan investasi PMA atau PMDN yang dilakukan di Tanah Papua wajib menggunakan jasa perbankan yang berbadan hukum milik Pemerintah Provinsi.

Pasal 201

Setiap badan usaha penanam modal asing dan/atau penanam modal dalam negeri yang mengelola sumberdaya alam di Tanah Papua wajib berkantor pusat di Provinsi di Tanah Papua.

Page 87: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

87

BAB XVIII KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

Pasal 202

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menumbuhkan, membangun, meningkatkan dan memberdayakan koperasi dan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi (UMKM) dengan memprioritaskan Orang Asli Papua;

(2) Pemerintah Provinsi melakukan koordinasi dalam rangka keterpaduan perencanaan, pelaksanaandan pengawasan terhadap urusan pemerintahan yang bersifat lintas Kementerian/Lembaga yang terkait dengan koperasi dan UMKM;

(3) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM menyusun standar pemberian pengesahan Badan Hukum Koperasi dan Izin Usaha Simpan Pinjam Koperasi Simpan Pinjam, izin Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas serta pemberdayaan Koperasi dan UMKM dan memberikan kemudahan Perizinan dan insentif khusus bagi badan usaha atau perorangan yang dilakukan oleh Orang Asli Papua.

(4) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM membebaskan Orang Asli Papua dari pembiayaan pengurusan perizinan yang terkait dengan izin usaha Koperasi non simpan pinjam.

(5) Setiap Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), usaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beroperasi di wilayah Tanah Papua berkewajiban untuk meningkatkan, mengembangkan dan memberdayakan koperasi dan UMKM melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

(6) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menciptakan iklim yang kondusif untuk berusaha bagi koperasi dan UMKM Orang Asli Papua.

(7) Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan cadangan usaha yang dikelola atau diusahakan oleh Orang Asli Papua melalui Koperasi dan UMKM.

(8) Dalam rangka mengelola cadangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yaitu Koperasi dan UMKM yang beranggotakan orang perseorangan asli Papua dapat melakukan kerjasama dengan usaha besar lainnya dengan pola kemitraan meliputi: a. saling membutuhkan; b. saling mempercayai; c. saling memperkuat; dan d. saling menguntungkan.

(9) Ketentuan-ketentuan dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dengan Perdasi.

Page 88: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

88

Pasal 203 (1) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM

berkewajiban melindungi, memberdayakan, berpihak dan menjamin keberlangsungan usaha ekonomi Perempuan Asli Papua.

(2) Upaya-upaya dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

BAB XIX KEPARIWISATAAN

Bagian Kesatu

Pembangunan Kepariwisataan

Pasal 204 (1) Pembangunan kepariwisataan di Tanah Papua diselenggarakan berdasarkan

asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kesejahteraan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan dan kesatuan.

(2) Pembangunan kepariwisataan di Tanah Papua bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa dan mempererat persahabatan antar bangsa.

(3) Pembangunan kepariwasataan merupakan bagian integral dari pembangunan Papua yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan nilai-nilai agama dan nilai-nilai adat istiadat serta budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkunganserta kepentingan nasional.

(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban untuk melakukan pembangunan kepawisataan yang meliputi industri pariwisata, destinasi wisata, pemasaran dan kelembagaan kepariwisataan.

(5) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk kepariwisataan nasional, provinsi dan Kabupaten/Kota.

(6) Pengembangan pembangunan kepariwisataan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi.

Pasal 205

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membimbing dan melatih masyarakat adat agar terlibat secara langsung dalam kegiatan kepariwisataan di Tanah Papua.

Page 89: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

89

(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan dana untuk penyelenggaraan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah memberikan kemudahan perizinan bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Tanah Papua.

(4) Ketentuan sebagaimana tercantum pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Kawasan Strategis Pariwisata

Pasal 206 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

menetapkan kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan strategis pariwisata provinsi dan kawasan strategis pariwisata Kabupaten/Kotayang merupakan bagian integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsidan rencana tata ruang Kabupaten/Kota.

(2) Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek: a. sumber daya pariwisata alam dan budaya potensial menjadi daya tarik

pariwisata; b. potensi pasar; c. lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan

wilayah; d. perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis

dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; e. lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan

pemanfaatan aset budaya; f. kesiapan dan dukungan masyarakat; dan g. kekhususan dari wilayah.

(3) Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial dan agama yang dikembangkan untuk berpartisipasi dalam terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(4) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk Badan Promosi Pariwisata Papua yang berkewajiban untuk meningkatkan citra kepariwisataan Papua, meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara ke Papua dan melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata Papua.

(5) Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan mengatur kawasan pariwisata berbasis masyarakat yang dikelola oleh badan usaha, lembaga nirlaba atau perorangan di Papua.

(6) Penyelenggaraan jasa pariwisata ke Tanah Papua bekerja sama dengan badan usaha pariwisata di Tanah Papua khususnya pengelolaan obyek wisata alam minat khusus.

Page 90: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

90

BAB XX KEHUTANAN

Bagian Pertama

Prinsip Kebijakan Kehutanan

Pasal 207 (1) Pengurusan hutan di Tanah Papua berasaskan manfaat dan lestari,

kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. (2) Prinsip-prinsip pengurusan hutan di Tanah Papua dilaksanakan berdasarkan

pengakuan, penghormatan, penghargaan, perlindungan, pemberdayaan dan keberpihakan kepada Orang Asli Papua.

(3) Pengurusan hutan di Tanah Papua bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat adat pemilik hak ulayat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang

proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,

fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, terutama memberi manfaat yang sebesar-besar bagi masyarakat adat di dalam hutan maupun di sekitar hutan;

c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan

keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Bagian Kedua Pengurusan Hutan

Pasal 208

(1) Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan pengurusan hutan untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,

kawasan hutan dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan

hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan perdasi.

Page 91: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

91

Pasal 209 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib

memelihara, melindungi dan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya hutan. (2) Pemerintah Provinsi dengan persetujuan Pemerintah dapat berhubungan

langsung dengan badan internasional dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan bagi penyerapan karbon dan produksi oksigen.

Bagian Ketiga Status Hutan dan Fungsi Hutan

Pasal 210

(1) Pemerintah menetapkan status hutan dengan usulan Gubernur setelah mendapat pertimbangan dari Bupati/Walikota.

(2) Pemerintah menetapkan status hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

(3) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sesuai usulan Gubernur/Bupati/Walikota, sebagai berikut: a. hutan konservasi; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi.

(4) Pemerintah melalui pertimbangan Gubernur dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan: a. penelitian dan pengembangan; b. pendidikan dan latihan; dan c. religi dan budaya.

(5) Ketentuan mengenai keberadaan Masyarakat Hukum Adat diatur dengan perdasus.

Bagian Keempat

Inventarisasi Hutan dan Pengukuhan Hutan

Pasal 211 (1) Inventarisasi hutan dilaksanakan pada tingkat provinsi dan tingkat

Kabupaten/Kota dengan melibatkan perwakilan Masyarakat Hukum Adat. (2) Hasil inventarisasi hutan digunakan Pemerintah sebagai dasar pengukuhan

kawasan hutan. (3) Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Page 92: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

92

Bagian Kelima

Penatagunaan Kawasan Hutan

Pasal 212 (1) Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan berdasarkan

hasil pengukuhan kawasan hutan. (2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan

penggunaan kawasan hutan. (3) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan

hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan/atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

(4) Pemerintah menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

(5) Pemerintah menetapkan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Bagian Keenam

Pemanfaatan Hutan

Pasal 213 (1) Gubernur menetapkan izin pemanfataan hutan selain izin pemanfaatan hasil

hutan kayu, jasa lingkungan karbon, pemanfaatan kawasan silvo pastura dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di atas 50 (lima puluh) hektar.

(2) Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi atau kelompok usaha Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan keberadaannya.

(3) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan wajib melibatkan Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan keberadaannya dengan Pola Kemitraan.

(4) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

(5) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan perdasi.

Page 93: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

93

Bagian Ketujuh Izin Pemanfaatan Hutan

Pasal 214

(1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja.

(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.

(3) Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan dikenakan provisi. (4) Ketentuan tentang iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dana jaminan

kinerjadan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan sesuai peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedelapan Penggunaan Kawasan Hutan di Luar Kegiatan Kehutanan

Pasal 215

(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Gubernur dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

(5) Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri Kehutanan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Bagian Kesembilan Pemanfatan Hutan

Pasal 216

Ketentuan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan menyangkut izin pemanfataan kawasan, izin usaha pemanfataan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan bukan kayu di kawasan hutan lindung dan hutan produksi, pengelolaan hutan untuk tujuan khusus, pemanfaatan hutan hak dan

Page 94: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

94

hutan adatdan pemanfatan hutan untuk kepentingan pembangunan dan izin pinjam pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesepuluh

Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

Pasal 217 (1) Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib

dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah.

(2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.

(3) Badan hukum dan orang yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.

BAB XXI PERTANIANDAN KETAHANAN PANGAN

Pasal 218

(1) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi berkewajiban memberikan dukungan kebijakan, program dan pendanaan untuk percepatan pembangunan tanaman pangan, holtikultura, peternakan dan kesehatan hewan, perkebunan dan sarana-prasarana pertanian dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya dan ekonomi, potensi wilayah, kondisi geografis wilayah dan kondisi infrastruktur wilayah dengan memprioritaskan Orang Asli Papua.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban

memberikan dukungan kebijakan, program dan pembiayaan untuk pembangunan Ketahanan Pangan di Tanah Papua khususnya yang berbasis sumber daya pertanian dan pangan lokal.

(3) Ketentuan mengenai pembangunan pertanian dan ketahanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

Pasal 219 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melindungi tata guna lahan pertanian Orang Asli Papua.

Pasal 220

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mengembangkan perkebunan rakyat untuk Orang Asli Papua.

Page 95: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

95

(2) Dalam pengembangan sebagaimana dimaksud Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua berkewajiban memberikan dukungan kebijakan program dan pendanaan untuk pembangunan komoditi perkebunan.

Pasal 221

(1) Pemerintah Provinsi memberikan izin usaha perkebunan. (2) Investasi di bidang pembangunan perkebunan di Tanah Papua wajib

dilakukan dengan memberikan alokasi lahan perkebunan dalam jumlah minimum 5 Ha (lima hektar) untuk setiap kepala keluarga petani Orang Asli Papua sebagai petani plasma.

Pasal 222

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mengkonservasi, mengembangkan dan mempromosikan tumbuhan dan hewan endemik Papua.

(2) Konservasi tumbuhan dan hewan endemik Papua dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ.

(3) Pengembangan tumbuhan dan hewan endemik Papua dapat dilakukan dengan pembangunan, perkebunan, estate, penangkaran dan/atau bentuk usaha yang lain.

(4) Promosi dilakukan atas tumbuhan dan hewan endemik Papua serta produknya dengan memperhatikan pembangunan pertanian yang meliputi Promosi dan Investasi.

Pasal 223 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan dan mengembangkan kawasan pertanian organik.

Pasal 224 (1) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib membentuk Lembaga Pembiayaan

Pembangunan Sektor Pertanian. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga pembiayaan khusus sektor

pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 225 (1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan fasilitas

subsidi angkutan, sarana produksi, bahan bakar minyak dan fasilitas sarana usaha bagi petani dan nelayan Orang Asli Papua di tempat terpencil.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuapten/Kota wajib melaksanakan pendidikan, pelatihan, penyuluhan serta pendampingan bagi petani Orang Asli Papua.

Page 96: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

96

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan kewajiban Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur dengan Perdasus.

Pasal 226

Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib membentuk dan membiayai Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Kehutanan, Peternakan, Perkebunan dan Perikanan di tingkat Provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Kehutanan, Peternakan, Perkebunan dan Perikanan di tingkat Kabupaten/Kota di Tanah Papua.

BAB XXII KELAUTAN DAN PERIKANAN

Pasal 227

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mempercepat pemberdayaan nelayan Orang Asli Papua.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan dukungan kebijakan, program dan pendanaan untuk percepatan pembangunan masyarakat pesisir, kepulauan dan pulau-pulau terpencil dengan memprioritaskan Orang Asli Papua.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, program dan skema pembiayaan dalam rangka percepatan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan di Tanah Papua.

(4) Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut teritorial, perairan umum daratan dan Zona Ekonomi Ekslusif.

(5) Pemerintah mendorong badan-badan usaha di sektor kelautan dan perikanan untuk melakukan pengolahan lanjutan hasil-hasil kelautan dan perikanan di wilayah perairan Papua, dilakukan di Tanah Papua.

(6) Gubernur memiliki kewenangan mengeluarkan ijin usaha penangkapan ikan di wilayah perairan Tanah Papua.

(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melibatkan masyarakat adat setempat yang hidup di wilayah pesisir dalam pengelolaan sumber daya alam laut.

(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dengan Perdasi.

Pasal 228

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi pengembangan usaha nelayan Orang Asli Papua.

(2) Pengembangan usaha nelayan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud

Page 97: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

97

meliputi aspek teknologi, permodalan, kelembagaan, pengolahan dan pasar. (3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib

memfasilitasi nelayan Orang Asli Papua dan dunia usaha dalam pengembangan budidaya perikanan dan hasil laut lainnya.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi.

BAB XXIII PERDAGANGAN DAN INVESTASI

Pasal 229

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mempercepat pemberdayaan pedagang dan pelaku usaha Orang Asli Papua.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyediakan barang-barang kebutuhan pokok rakyat sampai ke pelosok dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang baik.

(3) Pemerintah memberikan perizinan dan fasilitas pengurangan bea masuk atas barang-barang kebutuhan masyarakat di Tanah Papua yang diimpor dari luar negeri untuk diperdagangkan dan digunakan hanya di dalam wilayah Tanah Papua.

(4) Jenis dan jumlah barang-barang kebutuhan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Gubernur kepada Pemerintah untuk memperoleh persetujuan dan perizinan.

Pasal 230

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin pelaksanaan investasi dan perdagangan di Tanah Papua.

(2) Pemerintah Provinsi dapat memberikan izin ekspor impor barang dan jasa di Tanah Papuadan melaporkan kepada Pemerintah.

(3) Badan Usaha Badan Hukum dan perorangan dapat melakukan kegiatan ekspor impor barang dan jasa, setelah mendapatkan izin dari Pemerintah Provinsi.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Perdasi.

Pasal 231

Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib menetapkan keringanan pajak, pembebasan pajak-pajak dan pembebasan bea masuk dalam rangka impor barang modal, dan bahan baku ke Tanah Papua dan ekspor barang jadi dari Tanah Papua, fasilitas investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi.

Page 98: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

98

Pasal 232 (1) Pemerintah mendorong percepatan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus

di Tanah Papua. (2) Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi

sebagai daerah industri, manufaktur, ekspordan sektor strategis lainnya. (3) Pelaksanaan ekspor impor dilakukan langsung dari Tanah Papua dari

Kawasan Ekonomi Khusus. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan

ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Gubernur.

BAB XXIV PERTAMBANGAN DAN ENERGI

Bagian Pertama

Umum

Pasal 233 (1) Kegiatan usaha pertambangan mineral, batubara, minyak bumi, gas bumi dan

air tanah berperan penting dalam memberi nilai tambah pertumbuhan nasional, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Tanah Papua secara berkelanjutandan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.

(2) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip: a. kepentingan bangsa dan negara; b. menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat adat Papua; c. kesejahteraan Orang Asli Papua; d. manfaat, keadilan dan keseimbangan; e. partisipasi, transparansi dan akuntabilitas; f. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; g. manfaat kapasitas fiskal Papua; h. menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat adat Papua; dan i. menciptakan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat di Tanah Papua yang adil dan merata.

Pasal 234 (1) Sumberdaya pertambangan mineral, batu bara, minyak bumi dan gas bumi di

Tanah Papua, berada di bawah penguasaan masyarakat adat dan dimiliki oleh masyarakat adat Papua menurut wilayah adatnya masing-masing.

(2) Pengaturan pemanfaatan sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota setelah berkonsultasi dengan Kementerian Teknis terkait.

Page 99: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

99

Pasal 235 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa kompensasi pemanfaatan sumber daya alam pertambangan, pemanfaatan tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.

Pasal 236

Kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.

Bagian Kedua Kontrak Karya danUsaha Pertambangan

Pasal 237

(1) Mineral dan batubara merupakan sumberdaya alam tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi melakukan pengelolaan bersama mineral dan batubara yang berada di daratan dan lautan di Tanah Papua.

(3) Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama.

(4) Kontrak karya dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan mineral dapat dilakukan apabila keseluruhan isi perjanjian kontrak karya telah disepakati bersama oleh Pihak Perusahaan dan Pemerintah Provinsi disertai pemberitahuan kepada Pemerintah.

(5) Perjanjian Kerja Penguasaan dan Pengusahaan Batubara (PKP2B) dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan batubara dapat dilakukan apabila keseluruhan isi perjanjian kontrak karya telah disepakati bersama oleh Pihak Perusahaan dan Pemerintah Provinsi disertai pemberitahuan kepada Pemerintah.

(6) Kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi minyak dan gas bumi di Tanah Papua wajib mendapat persetujuan Gubernur.

(7) Setiap perusahaan tambang yang beroperasi di Tanah Papua wajib membangun Smelter di wilayah operasi pertambangan.

(8) Pemerintah Provinsi melakukan pengawasan dan pengendalian produksi dan ekspor pertambangan.

(9) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (8) diatur melalui Perdasus.

Page 100: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

100

Pasal 238 Perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada saat Undang-Undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.

Bagian Ketiga Kewenangan

Pasal 239

Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara mempunyai wewenang dalam hal: a. pembuatan peraturan daerah bidang pertambangan; b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan

usaha pertambangan pada lintas wilayah Kabupaten/Kota; c. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka

memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangan;

d. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;

e. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;

f. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi; dan

g. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan denganmemperhatikan kelestarian lingkungan;

Bagian Keempat

Wilayah Pertambangan

Pasal 240 (1) Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang nasional

merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. (2) Wilayah Pertambangan (WP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan Keputusan Gubernur setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.

(3) Pemerintah Provinsi wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan Wilayah Pertambangan (WP).

(4) Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dilakukan oleh Pemerintah Provinsi setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.

(5) Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan dan Wilayah Pertambangan Rakyat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.

Page 101: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

101

Bagian Kelima Izin Usaha Pertambangan

Pasal 241

(1) Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap: a. Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan

umum, eksplorasi dan studi kelayakan; dan b. Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi meliputi kegiatan

konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

(2) Izin Usaha Pertambangan (IUP) diberikan oleh: a. Gubernur atas usulan Bupati/Walikota; dan b. Dalam hal Bupati/Walikota tidak mengusulkan Izin Usaha Pertambangan

(IUP), maka Gubernur dapat menetapkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.

Bagian Keenam Izin Pertambangan Rakyat

Pasal 242

(1) Kegiatan pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut: a. pertambangan mineral logam; b. pertambangan mineral bukan logam; c. pertambangan batuan; dan d. pertambangan batubara.

(2) Bupati/Walikota memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur terutama kepada masyarakat adat setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.

Bagian Ketujuh

Pengakhiran Izin Usaha Pertambangan DanIzin Usaha Pertambangan Khusus

Pasal 243

Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat dicabut Gubernur setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait, sesuai dengan kewenangannya apabila: a. pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tidak memenuhi kewajiban

yang ditetapkan; b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana; c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit; dan d. IUP atau IUPK berakhir.

Page 102: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

102

BAB XXV PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Pasal 244

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya alam di Tanah Papua sesuai dengan kewenangannya, setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.

(2) Pengelolaan sumber daya alam meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi dan budidaya Sumber daya alam meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.

(3) Dalam melaksanakan pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemerintah Provinsi dapat: a. membentuk badan usaha milik daerah; b. melakukan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, salah satunya

melalui penyertaan modal; dan c. Kegiatan usaha dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan

Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal. (4) Dalam melakukan kegiatan usaha, pelaksana kegiatan usaha berkewajiban

mengikutsertakan masyarakat adat setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Tanah Papua.

(5) Setiap pelaku kegiatan usaha bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi

dan rehabilitasi lahan yang dieksplorasi dan dieksploitasi. (6) Sebelum melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib menyediakan dana

jaminan reklamasi dan rehabilitasi yang besarnya akan diperhitungkan pada waktu pembicaraan kontrak kerja eksplorasi dan eksploitasi.

(7) Orang atau badan hukum yang telah mendapatkan hak konsesi atau pengelolaan sumber daya alam di Papua dilarang untuk melakukan transaksi jual beli hak perizinan.

(8) Orang atau badan hukum sebagaimana yang diatur pada ayat (7) wajib mengembalikan hak konsesi atau pengelolaan sumber daya alam kepada Pemerintah atau Pemerintah Provinsi tanpa menuntut pengembalian dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi, sebagaimana diatur pada ayat (6).

Pasal 245

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan yang seimbang kepada masyarakat adat sebagai kompensasi atas eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.

(2) Setiap badan usaha/pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam di Tanah Papua wajib

Page 103: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

103

melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, antara lain dalam bentuk pengembangan masyarakat.

(3) Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap badan usaha/pelaku usaha wajib menganggarkan dana pengembangan masyarakat paling sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang dijual setiap tahun, yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Papua, Pemerintah Kabupaten/Kota dan pelaku usaha.

(4) Rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat guna membiayai program yang disusun bersama antara Pemerintah Papua, Pemerintah Kabupaten/Kota dan pelaku usaha dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat adat sekitar kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain yang diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

(5) Pembiayaan program pengembangan masyarakat dengan dana pengembangan masyarakat dikelola sendiri oleh pelaku usaha yang bersangkutan.

Pasal 246 (1) Kewenangan pengelolaan sumber daya alam, minyak bumi dan gas bumi di

Tanah Papua dilakukan oleh Gubernur. (2) Semua Investor yang melakukan kegiatan usaha di Tanah Papua wajib

melaksanakan seluruh proses pengelolaan dari sumber daya alam di Tanah Papua.

(3) Proses Pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Studi Kelayakan, Ekplorasi, Eksploitasi, Pengolahan dan Pemasaran.

(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 247 (1) Pemodal yang akan mengelola Sumber Daya Alam di Provinsi pertama-tama

wajib memperoleh persetujuan dari masyarakat adat pemilik Sumber Daya Alam tersebut.

(2) Masyarakat adat berhak untuk meminta atau memperoleh pendampingan di dalam perundingan dengan pemodal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menghormati dan memfasilitasi kesepakatan penanam modal dan masyarakat adat sesuai Peraturan Perundang-Undangan.

(4) Guna mencegah kerugian pada masyarakat adat dan/atau pelanggaran atas Peraturan Perundang-Undangan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan MRP memediasi perundingan antara pemodal dan masyarakat adat.

(5) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

Pasal 248

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memberikan hak eksklusif kepada Orang Asli Papua untuk mengelola cabang-

Page 104: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

104

cabang usaha tertentu dan/atau di tempat tertentu (yang dimaksud dengan hak eksklusif dapat dilihat dalam bagian penjelasan UU ini).

(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaiaman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib: a. menyediakan pembiayaan dan/atau jaminan pembiayaan; dan b. menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan pembinaan, termasuk

melalui kerja sama dengan badan swasta yang berkompeten, guna mencapai standarisasi tertentu.

(3) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

BAB XXVI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

DAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama Umum

Pasal 249

Pembangunan di Tanah Papua merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan dengan berpedoman pada prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 250

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melakukan pengelolaan lingkungan hidup terpadu dengan memperhatikan: a. penataan ruang; b. perlindungan sumber daya alam hayati; c. perlindungan sumber daya alam non-hayati; d. perlindungan sumber daya buatan; e. konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; f. cagar budaya; g. keanekaragaman hayati; h. perubahan iklim; dan i. Kearifan lokal.

Page 105: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

105

(2) Kewajiban pemerintah di Tanah Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. hak masyarakat adat Papua; b. keanekaragaman hayati dan proses ekologi; dan c. kawasan lindung.

(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

(4) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memfasilitasi pembentukan lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Perdasi.

Pasal 251 (1) Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan perlindungan sumber daya alam

sebagimana dimaksud dalam pasal 221 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Orang Asli Papua berhak memperoleh manfaat dari hasil pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan dalam rangka perubahan iklim bumi.

(2) Untuk memenuhi hak Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib mengikutsertakan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dalam pembahasan dan penetapan pembagian hasil dari pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka perubahan iklim bumi di tingkat nasional dan internasional.

(3) Penetapan bagian yang menjadi hak Orang Asli Papua atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan Pemerintah Pusat berdasarkan usulan hasil pembahasan bersama Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan pertimbangan dan persetujuan DPRP dan MRP.

(4) Pemerintah wajib memperhitungkan dan menetapkan bagian yang menjadi hak Orang Asli Papua secara proposional dan berkeadilan atas manfaat pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka perubahan iklim bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penerimaan negara.

Pasal 252

(1) Perusahaan yang mengolah sumber daya alam di Tanah Papua wajib menyediakan dana setiap tahun yang disisihkan dari keuntungan dalam jumlah memadai untuk digunakan mengelola dampak lingkungan pasca operasi perusahaan.

(2) Untuk kepentingan penyediaan dana guna pengelolaan dampak lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berkewajiban membentuk panel ahli untuk menganalisis dan memprediksi kebutuhan dana pengolahan dampak lingkungan pasca operasi perusahaan.

Page 106: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

106

(3) Dana pengelolaan dampak lingkungan pasca operasi perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan dalam bentuk deposito yang ditempatkan di Bank Papua.

(4) Penempatan jumlah dana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada masyarakat melalui Laporan Pengelolaan Dampak Lingkungan setiap tahun dan media massa.

BAB XXVII PERENCANAAN PEMBANGUNAN

DAN TATA RUANG

Bagian Pertama Perencanaan Pembangunan

Pasal 253

(1) Rencana pembangunan di Tanah Papua disusun secara komprehensif sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan nilai adat, sosial budaya, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

(2) Rencana Pembangunan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Tanah Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); dan c. Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).

(3) RPJP Daerah memuat visi, misi dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional.

(4) RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah yang menyusunnya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

(5) RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

(6) Rencana pembangunan di Tanah Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) disusun untuk menjamin: a. keterpaduan dan keserasian antara rencana pembangunan daerah dan

rencana pembangunan nasional.

Page 107: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

107

b. keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.

(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melibatkan

masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan maupun tertulis tentang penyusunan perencanaan pembangunan di Tanah Papua.

Pasal 254 (1) Penyusunan rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada

Pasal 253 ayat (2) dilakukan melalui urutan: penyiapan rancangan awal rencana, musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dan penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

(2) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Rancangan rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bahan utama bagi Musrenbang Daerah.

(4) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir rencana pembangunan daerah berdasarkan hasil Musrenbang Daerah.

(5) Rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(6) Dalam rangka percepatan pembangunan Provinsi di Tanah Papua, pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintah dapat melaksanakan musyawarah khusus perencanaan pembangunan di Tanah Papua sebelum pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan nasional setiap tahun.

(7) Musyawarah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (6) melibatkan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota se-Tanah Papua, Kementerian dan Lembaga Pemerintah dan lembaga non pemerintah.

Bagian Kedua Tata Ruang

Pasal 255

(1) Penataan ruang wilayah Provinsi dan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.

(2) Rencana tata ruang wilayah provinsi dan Kabupaten/Kota memuat: a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah; b. rencana struktur ruang wilayah yang meliputi sistem perkotaan dalam

wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah;

c. rencana pola ruang wilayah yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis;

d. penetapan kawasan strategis; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi program utama

jangka menengah lima tahunan; dan

Page 108: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

108

f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

(3) Penyusunan rencana tata ruang Provinsi mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi.

(4) Penyusunan rencana tata ruang Kabupaten/Kota mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten/Kota.

(5) Perencanaan, penetapan dan pemanfaatan tata ruang Provinsi didasarkan pada kekhususan Papua dan saling terkait dengan tata ruang Provinsi dan tata ruang Kabupaten/Kota.

(6) Kewenangan pemerintah provinsi dalam perencanaan, pengaturan, penetapan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang Papua bersifat lintas Kabupaten/Kota.

(7) Kewenangan pemerintah Provinsi dalam perencanaan, pengaturan, penetapan dan pemanfaatan tata ruang di Tanah Papua memperhatikan: a. perlindungan Orang Asli Papua dan masyarakat adat setempat; b. adat dan budaya Papua; c. penyediaan tanah untuk fasilitas sosial dan umum, jaringan prasarana

jalan, pengairan, dan utilitas; d. daerah-daerah rawan bencana; e. penyediaan kawasan lindung dan ruang berbuka hijau serta untuk

pelestarian taman nasional; f. pemberian insentif dan disinsentif; g. pemberian sanksi; dan h. pengendalian pemanfaatan ruang.

(8) Masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang di Tanah Papua.

(9) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) diatur dengan Perdasi.

Pasal 256

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengusulkan kepada pemerintah tentang pembentukan kawasan khusus dalam rangka pengembangan ekonomi strategis, kebudayaan, keagamaan, sejarah, konservasi alam dan perlindungan komunitas adat terpencil.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap situs-situs sejarah, budaya dan keagamaan, dalam rangka penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan, budaya dan nilai-nilai kesejarahan di Tanah Papua.

(3) Upaya perlindungan dan pelestarian terhadap situs sejarah, budaya dan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara penyediaan dana dan fasilitasi pengadaan tanah.

Page 109: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

109

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi.

BAB XXVIII PERTANAHAN

Pasal 257

(1) Setiap warga negara dan badan hukum Indonesia yang berdomisili di Tanah Papua dapat memperoleh hak atas tanah.

(2) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah adat serta hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan tetap mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat.

(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang menyelenggarakan pendaftaran tanah adat untuk memberikan kepastian hukum.

(4) Pendaftaran tanah adat sebagaimana pada ayat (3) meliputi kegiatan penyusunan data yuridis, pengukuran tanah, pemetaan tanah dan penetapan keputusan kepala daerah Kabupaten/Kota.

(5) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk badan pertanahan daerah dalam rangka penatalayanan pertanahan.

(6) Masyarakat adat wajib menghormati hak kepemilikan atas tanah adat yang telah dilepaskan kepada perorangan atau badan hukum yang telah mempunyai ketetapan hukum.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pendaftaran tanah adat sebagaiama dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan daerah.

Pasal 258

(1) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua berwenang memberikan izin penggunaan dan pemanfaatan tanah adat bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat.

(2) Izin penggunaan dan pemanfaatan tanah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Provinsi setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat setempat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus.

Pasal 259

(1) Dalam rangka perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat atas tanah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melakukan penataan kembali terhadap penguasaan atas tanah hak ulayat masyarakat adat.

Page 110: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

110

(2) Kewajiban pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kotasebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap semua hak atas tanah mencakup hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai.

(3) Dalam melakukan penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kotamemfasilitasi pengembalian hak atas tanah yang diperoleh tanpa alas hak dan prosedur yang sah untuk mengembalikan hak atas tanah kepada masyarakat hukum adat.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

Pasal 260

(1) Kewajiban pemerintah provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal penataan ulang terhadap hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) termasuk penetapan kebijakan membatasi pengalihan hak atas tanah kepada pihak ketiga dengan alas hak jual beli lepas kecuali atas alas hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai atau sewa menyewa atau kontrak dalam bentuk penyertaan modal dan/atau kepemilikan saham.

(2) Semua tanah yang telah beralih kepada pihak lain tanpa melalui prosedur yang sah dinyatakan hak penguasaan atas tanah dimaksud batal demi hukum dan dikembalikan kepada kekuasaan masyarakat adat.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Perdasus.

Pasal 261

(1) Penggunaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun dilakukan dalam bentuk sewa dan/atau kontrak.

(2) Tanah ulayat yang digunakan oleh pihak ketiga melalui Hak Guna Usaha menjadi milik masyarakat adat setelah berakhirnya masa penggunaan hak tersebut.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Pasal 262 (1) Pemerintah Kabupaten/Kota setiap tahun mengalokasikan Pajak Bumi dan

Bangunan kepada pemilik hak ulayat untuk mengkompensasi hak ulayat yang di waktu lalu dibebaskan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan tidak memenuhi rasa keadilan pemilik hak ulayat.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Pasal 263 Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dan atau pemerintah Kabupaten/Kota wajib melakukan pelindungan hukum atas tanah-tanah yang digunakan untuk pembangunan sosial, pendidikan, kesehatan dan keagamaan, termasuk tanah-tanah wakaf.

Page 111: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

111

BAB XXIX PERUMAHAN RAKYAT

Pasal 264

(1) Pemerintah bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan dan kemudahaan untuk pembangunan dan perlolehan rumah layak huni dan terjangkau bagi Orang Asli Papua.

(3) Dalam hal pembangunan dan perolehan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat(2) pemerintah dan pemerintah daerah menjamin: a. Ketersediaan dana murah jangka panjang bagi masyarakat berpenghasilan

rendah (MBR); b. Kemudahan dalam mendapatkan akses kredit atau pembiayaan

masyarakat berpenghasilan rendah (MBR); c. Keterjangkauan dalam membangun memperbaiki dan memiliki rumah; dan d. Bantuan prasarana, sarana dan utilitas umum masyarakat berpenghasilan

rendah (MBR). (4) Pengadaan rumah layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibebankan kepada APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. (5) Pemerintah mengalokasikan dana alokasi khusus dan atau tugas pembantuan

untuk membangun, memperbaiki atau memiliki rumah yang didukung dengan prasarana, sarana dan utilitas umum.

(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

BAB XXX PENELITIAN PENGEMBANGAN

DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Pasal 265 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyediakan

pembiayaan bagi perguruan tinggi yang ada di Tanah Papua untuk melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengupayakan penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, yang sesuai kondisi setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mempercepat peningkatan kualitas pembangunan, inklusivitas dan kelestarian lingkungan di Papua.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengembangkan kawasan dan pusat peragaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk perlindungan keanekaragaman hayati di Tanah Papua dan

Page 112: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

112

menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Pelaku usaha dan para pemangku kepentingan wajib berpartisipasi dalam

penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi di Papua.

(5) Ketentuan dalam ayat (1), (2), (3) selanjutnya diatur dalam Perdasus, sedangkan ketentuan dalam ayat (4) selanjutnya diatur dalam Perdasi.

BAB XXXI PENDIDIKAN

Pasal 266

(1) Orang Asli Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu dan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan keolahragaan tanpa dipungut biaya sampai dengan tingkat sekolah menengah atas.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi.

(3) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, budaya, kearifan lokal dan kemajemukan bangsa.

(4) Pemerintah provinsi membantu Pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan.

(5) Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan Perguruan Tinggi di Tanah Papua.

(6) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi syarat untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Tanah Papua.

(7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan hibah dan/atau subsidi serta menugaskan pendidik dan tenaga kependidikan kepada lembaga pendidikan swasta yang ditetapkan sebagai mitra Pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan di Tanah Papua.

(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Perdasi.

Pasal 267 (1) Orang Asli Papua yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun

wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.

Page 113: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

113

(2) Selambat-lambatnya dalam kurun waktu 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan seluruh Orang Asli Papua diatas 7 (tujuh) tahun telah bebas dari buta aksara.

(3) Selambat-lambatnya dalam kurun waktu 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan seluruh Orang Asli Papua di atas usia 18 (delapan belas) tahun berpendidikan serendah-rendahnya setingkat SMA.

(4) Pemberantasan buta aksara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pendidikan non-formal untuk meningkatkan pendidikan orang dewasa setingkat SMA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibiayai dengan alokasi 10 % (sepuluh persen) dana pendidikan.

(5) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pendidikan layanan Khusus bagi Orang Asli Papua yang berada di daerah tertinggal, terpencil dan terluar.

(6) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi Orang Asli Papua yang memiliki kelainan fisik, keterbatasan fisik,gangguan emosional, keterbelakangan mental, intelektual dan/atau sosial.

(7) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi Orang Asli Papua yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(8) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyelenggarakan penerapan pendidikan berpola asrama sistem kolese yang bersifat lintas suku-suku asli di Tanah Papua.

Pasal 268

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memfasilitasi dunia usaha di Tanah Papua untuk mengalokasikan dana/program tanggungjawab sosial perusahan untuk mendukung pendidikan bagi Orang Asli Papua.

(2) Dunia usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua dan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak karyawannya wajib mengikutsertakan anak-anak usia sekolah dari masyarakat adat di tempat dunia usaha beroperasi dengan tidak dipungut biaya.

Pasal 269

(1) Pendidikan yang diselenggarakan di Tanah Papua merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat.

(2) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan.

Pasal 270

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan di setiap sekolah dasar dan

Page 114: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

114

menengah khususnya di Daerah tertinggal, terpencil dan terluar. (2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin

tersedianya sarana dan prasarana bagi pendidik dan tenaga kependidikan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengawasi dan mengavaluasi kinerja pendidik dan tenaga kependidikan dan memberikan penghargaan dan sanksi kepada setiap pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

(4) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan insentif yang layak kepada pendidik dan tenaga kependidikan non PNS pada semua jenjang dan jalur pendidikan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Perdasi.

Pasal 271

(1) Pendidik dan tenaga kependidikan yang telah pensiun dapat direkrut untuk mengajar dengan balas jasa yang paling sedikit sama dengan gaji dan tunjangannya sebelum pensiun.

(2) Selain melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensinya, pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib membimbing tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang lebih muda.

(3) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat merekrut lulusan Perguruan Tinggi untuk memenuhi kekurangan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jangka waktu tertentu.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

Pasal 272

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan yang lulusannya memiliki karakter pendidik yang unggul dan bermutu serta siap ditempatkan di pelosok Tanah Papua.

(2) Dalam rangka segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Provinsi dapat bekerjasama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan milik Pemerintah atau swasta yang bermutu di dalam dan di luar negeri.

Pasal 273

Alokasi dana pendidikan dianggarkan dalam APBN dan APBD terutama diperuntukkan bagi penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas, dengan memprioritaskan sekolah di daerah tertinggal, terpencil dan terluar.

Page 115: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

115

Pasal 274 (1) Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, bahasa Inggris ditetapkan

sebagai bahasa kedua di semua jalur dan jenjang pendidikan. (2) Bahasa Daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang

pendidikan dasar sesuai kebutuhan pada Daerah-Daerah tertentu. (3) Bahasa Daerah diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal sesuai dengan

karakteristik mayoritas penutur bahasa Daerah di lingkungan sekolah tersebut.

BAB XXXII

KEBUDAYAAN

Pasal275 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib

menggunakan nilai-nilai budaya lokal sebagai pedoman dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempromosikan kebudayaan Papua dalam acara resmi baik di dalam maupun di luar negeri.

Pasal 276 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib

memelihara dan melestarikan situs-situs purbakala, cagar budaya dan yang diduga cagar budaya di Tanah Papua.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengusahakan pengembalian benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dari Tanah Papua dan merawatnya sebagai warisan budaya Papua.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Pasal 277

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melindungi, membina, mengembangkan dan melestarikan keragaman budaya Papua, guna mempertahankan dan memantapkan jati diri Orang Asli Papua.

(2) Dalam melaksanakan kewajiban di bidang kebudayaan Papua, Pemerintah Provinsi wajib memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menggunakan nilai-nilai budaya lokal sebagai pedoman dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menggunakan simbol-simbol lokal dalam setiap pelaksanaan pembangunan sarana publik.

Page 116: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

116

(5) Pelaksanaan kewajiban di bidang kebudayaan Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan yang diatur dengan Perdasus.

Pasal 278

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melindungi membina, mengembangkan dan melestarikan keragaman bahasa, sastra dan kesenian daerah Orang Asli Papua.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan dalam APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.

(3) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

BAB XXXIII KESEHATAN

Pasal 279

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk.

(3) Setiap penduduk Papua dan Orang Asli Papua mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

(4) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah Provinsi memberikan peranan kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

(5) Setiap penduduk Papua dan Orang Asli Papua berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungan.

(6) Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

Page 117: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

117

Pasal 280 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

berkewajiban menyelenggarakan upaya kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi kelangsungan hidup penduduk Papua dan Orang Asli Papua.

(2) Peningkatan derajat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui upaya kesehatan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 281

(1) Orang Asli Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan atas semua jenis penyakit dengan tidak dipungut biaya sampai dengan tingkat pelayanan rumah sakit Pemerintah kelas 3 (tiga) sampai ditingkat rumah sakit rujukan.

(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menetapkan standar pelayanan minimal kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit termasuk perbaikan dan peningkatan gizi penduduk.

(4) Pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan pelaku usaha yang memenuhi persyaratan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan pelaku usaha yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Perdasi.

Pasal 282

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong pelaku usaha di Tanah Papua membuat program sebagai tanggung jawab sosial perusahaan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Tanah Papua.

(2) Pelaku usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi karyawan dan keluarganya serta kepada masyarakat adat di lingkungan tempat pelaku usaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi.

Pasal 283

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan tenaga kesehatan di setiap unit pelayanan kesehatan, khususnya di Daerah tertinggal, terpencil dan terluar.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin tersedianya sarana dan prasarana bagi tenaga kesehatan agar dapat

Page 118: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

118

melaksanakan tugasnya dengan baik. (3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan

monitoring dan evaluasi kinerja tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan.

(4) Dalam rangka monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memberikan penghargaan dan sanksi kepada setiap tenaga kesehatan sesuai dengan kinerjanya.

(5) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan insentif yang layak kepada tenaga kesehatan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan, monitoring dan evaluasi, serta insentif tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Perdasi.

Pasal 284

(1) Pada Daerah tertinggal, terpencil dan terluar dimana tidak tersedia tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan terbatas, dapat dilakukan oleh tenaga non-kesehatan yang telah mendapat pelatihan.

(2) Apabila di daerah Daerah tertinggal, terpencil dan terluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah tersedia tenaga kesehatan, kewenangan pemberian pelayanan kesehatan terbatas dilaksanakan oleh tenaga kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan terbatas oleh tenaga non-kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 285

Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan peran sebesar-besarnya pada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Pasal 286

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melakukan penanggulangan HIV dan AIDS.

(2) Kegiatan penanggulangan terhadap persebaran HIV dan AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. promosi kesehatan; b. pencegahan penularan HIV; c. pemeriksaan diagnosis HIV; d. pengobatan, perawatan, dan dukungan; e. rehabilitasi; dan f. penelitian dan pengembangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 119: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

119

Pasal 287 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

mengalokasikan dana dari APBN, APBP dan APBK untuk pelaksanaan sirkumsisi secara sukarela di kalangan Orang Asli Papua dan penduduk Papua laki-lakimulai dari usia remaja dalam rangka meningkatkan keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS.

(2) Pelaksanaan, pembiayaan, insentif dan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan perdasi.

BAB XXXIV SOSIAL

Pasal 288

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah provinsi bertanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial lintas Kabupaten/Kota.

(3) Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di wilayahnya/bersifat lokal.

(4) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) merupakan pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi.

Pasal 289 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib

mengakui dan menghormati karakteristik sosial khusus Komunitas Adat Terpencil di Tanah Papua.

(2) Komunitas Adat Terpencil memiliki hak yang sama dengan Orang Asli Papua pada umumnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang ini.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam membangun masyarakat di kawasan Komunitas Adat terpencil wajib dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan sistem sosial budaya yang dianut dengan pendekatan terpadu.

Pasal 290 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

memberikan dukungan bagi lembaga-lembaga masyarakat yang menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan sosial di kawasan Komunitas Adat Terpencil.

Page 120: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

120

(2) Ketentuan tentang pemberian dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Pasal 291

(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban memberikan perlindungan dan pelayanan sosial dasar bagi suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan di Tanah Papua.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya penanganan khusus dalam rangka pemberdayaan, pengembangan dan pemajuan suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan di Tanah Papua.

(3) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah Provinsi memberikan peran kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan dan/atau lembaga lain yang bergerak dalam penanganan masalah sosial.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.

BAB XXXV

HAK ASASI MANUSIA DAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI

Bagian Kesatu

Hak Asasi Manusia

Pasal 292 (1) Setiap Orang Asli Papua dan setiap penduduk di Tanah Papua memiliki:

a. Hak untuk hidup; b. Hak untuk tidak disiksa; c. Hak atas kebebasan pribadi, termasuk menyampaikan pikiran, pendapat

dan hati nurani; d. Hak untuk memeluk agama; e. Hak untuk tidak diperbudak; f. Hak untuk bebas dari kerja paksa; g. Hak untuk kesehatan yang layak; h. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum serta

tidak dapat dituntut atas hukum yang berlaku surut dalam segala bentuk apapun;

i. Hak untuk bebas dari diskriminasi suku, agama, ras, dan antar golongan; j. Hak untuk berpolitik; k. Hak untuk mendapat perlakuan dan layanan yang baik dalam segalah

bentuk dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; l. Hak untuk mendapatkandan bertempat tinggal yang layak; dan

Page 121: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

121

m. Hak untuk mengembangkan diri berdasarkan intelektualitas dan ketrampilan dan/atau juga memperoleh manfaat dari kemajuan informasi dan tekhnologi;

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas juga berlaku atas perempuan dan anak dari Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua.

(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perempuan dan anak dari Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua memiliki : a. Perempuan dari Orang Asli Papua dan Penduduk di Tanah Papau

mempunyai hak : 1) untuk mencari nafkah dan memilih; 2) menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan; 3) untuk membentuk serikat pekerja; 4) terlibat dalam serikat pekerja; 5) atas jaminan sosial dan asuransi sosial; 6) mendapat perlindungan dalam membentuk keluarga; 7) mendapat perlindungan khusus; 8) terhadap kehamilan; 9) mendapat perilaku yang non-diskriminatif; 10) atas standar kehidupan yang layak; 11) atas standar tertinggi kesehatan; 12) atas pendidikan; 13) berpartisipasi dalam kehidupan, budaya, penikmatan dan pemanfaatan

kemajuan teknologi; dan 14) mendapatkan bantuan untuk mengembangkan usaha-usaha ekonomi.

b. Anak Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua mempunyai hak: 1) untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara

wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2) atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; 3) untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua; 4) untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang

tuanya sendiri; 5) dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin

tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku;

6) memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuan fisik, mental, spiritual;

7) setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan social; dan

Page 122: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

122

8) untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 293

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia Orang Asli Papua dan penduduk Papua sebagai Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 dan berdasarkan ketentuan undang-undang lainnya yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan hukum internasional.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menetapkan kebijakan yang bertujuan melindungihak asasi Orang Asli Papua dan setiap penduduk di TanahPapua dari pelanggaran Hak Asasi Manusia.

(3) Untuk menjamin pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibentuk perwakilan Komnas HAM di Tanah Papua selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.

Pasal 294

(1) Untuk kepentingan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia di Papua, Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengadili dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi di Tanah Papua.

(3) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat antara lain pidana penjara terhadap pelaku pelanggaran HAM berat dan pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, dengan memperhatikan adat istiadat Orang Asli Papua.

(4) Pengadilan Hak asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini adalah bagian integral dari Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Bagian Kedua

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Pasal 295 (1) Dalam rangka pemantapan persatuan dann kesatuan bangsa, dibentuk Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Papua (KKRP) selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.

Page 123: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

123

(2) Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan dan pelaksanaan tugas, dan pembiayaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.

(3) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya usulan dari Gubernur.

Pasal 296

(1) Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

(2) Kewajiban pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan melalui pembentukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

BAB XXXVI HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

Pasal 297

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, berkewajiban melindungi Hak Atas Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Perlindungan Hak Kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Hakcipta; b. Perlindungan varietas tanaman; c. pengetahuan lokal; d. merek dan indikasi geografis; e. desain industri; f. paten; g. rahasia dagang; h. desain tata letak sirkuit terpadu;dan i. folklore.

(3) Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Perdasus.

Page 124: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

124

BAB XXXVII KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Pasal 298

(1) Pemerintah Provinsi berwenang melaksanakan urusan bidang telekomunikasi dan informatika yang meliputi : a. pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan

telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus, dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah;

b. pemberian izin untuk penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan Pemerintah dan badan hukum di wilayah Papua sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio setelah berkoordinasi dengan Kementerian/lembaga terkait;

c. pengawasan terhadap layanan jasa telekomunikasi; d. pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan

jaringan tetap lokal berbasis kabel cakupan provinsi; e. koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di

bidang telekomunikasi; f. pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi di

wilayah Provinsi dilaksanakan bersama dengan Kementerian/lembaga terkait; dan

g. pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator telekomunikasi.

h. Pelaksanaan kerjasama yang saling menguntungkan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan operator telekomunikasi baik BUMN maupun swasta.

i. pengelolaan nama domain yang telah ditetapkan dan sub domain di lingkup Pemerintah Provinsi; dan

j. pengelolaan e-Government di lingkup Pemerintah Provinsi. (2) Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan pedoman pembuatan menara dan

pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten atau jalan provinsi.

(3) Kewenangan lain di bidang pos, telekomunikasi, dan informatika bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotaselain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 299 (1) Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memprioritaskan pembangunan

infrastruktur telekomunikasi perdesaan di Tanah Papua. (2) Pendanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain

bersumber dari pendapatan negara bukan pajak sektor telekomunikasi.

Page 125: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

125

Pasal 300 (1) Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan ketentuan di bidang pers dan

penyiaran berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah dalam menetapkan pedoman etika penyiaran dan standar program siaran.

(3) Pelaksanaan ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

(4) Kewenangan lain di bidang pers dan penyiaran bagi Pemerintah Provinsi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XXXVIII PERHUBUNGAN DAN TRANSPORTASI

Pasal 301

(1) Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan kebijakan penyelenggaraan transportasi darat, laut, udara dan perkeretaapian di Tanah Papua dengan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan di bidang transportasi.

(2) Penetapan kebijakan penyelenggaraan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah, tingkat kemahalan, pertumbuhan dan penyebaran penduduk dan kebutuhan sektor pembangunan lainnya dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan dalamNegara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Kebijakan penyelenggaraan transportasi sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

BAB XXXIX KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN

Bagian Kesatu Kependudukan

Pasal 302

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsidan Pemerintah Kabupaten/Kotaberkewajiban menetapkan kebijakan pembinaan penataan kependudukan di Tanah Papua dalam rangka persatuan dan kesatuan Nasional.

(2) Kewajiban Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui dukungan terhadap pemerintah Provinsi dalam melakukan pembinaan

Page 126: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

126

pengawasan dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Tanah Papua.

(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamemberi perlindungan bagi Orang Asli Papua dalam rangka menjamin pertumbuhan jumlah dan perkembangan kualitas kehidupan yang bermartabat.

(4) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamenetapkan kebijakan affirmatif dalam rangka mempercepat upaya pemberdayaan dan peningkatan partisipasi OrangAsli Papua dalam semua sektor pembangunan.

(5) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur arus pergerakan penduduk di wilayah Tanah Papua

(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi.

Pasal 303

(1) Pelaksanaan tugas dan fungsi pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana untuk meningkatkan kualitas hidup Orang Asli Papua dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Pendataan keluarga di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara berkala oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan dengan melibatkan lembaga-lembaga masyarakat yang berkompeten.

(4) Pendataan keluarga dalam rangka mengetahui pertumbuhan populasi dan perkembangan kualitas Orang Asli Papua dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali.

Bagian Kedua

Ketenagakerjaan

Pasal 304 (1) Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak sesuai dengan

kemampuan dan keahlian. (2) Orang Asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk

mendapatkan pekerjaan di wilayah provinsi di Tanah Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.

(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan presentase tenaga kerja Orang Asli Papua untuk bekerja dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dengan mempertimbangan kebutuhan pasar kerja nasional yang diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

(4) Setiap pelaku usaha wajib meningkatkan kapasitas sumber daya manusia calon tenaga kerja dan tenaga kerja Orang Asli Papua yang terkait dengan jenis usaha.

Page 127: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

127

Pasal 305 (1) Setiap pelaku usaha di atas Tanah Papua wajib memiliki rencana kebutuhan

tenaga kerja dan menyampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan MRP.

(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyiapkan sarana dan prasarana dan menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja.

(3) Pemerintah Provisni dan Kabupaten/Kota memberikan insentif kepada dunia usaha dan lembaga-lembaga masayarakat yang menyelenggarakan pelatihan ketrampilan bagi para pencari kerja.

Pasal 306

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengutamakan pengusaha Orang Asli Papua dalam semua kegiatan yang pendanaannya bersumber dari APBN untuk Tanah Papua, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.

(2) Guna meningkatkan kemampuan dan kapasitas pengusaha Orang Asli Papua dalam mengerjakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menyelenggarakan pelatihan, pembinaan dan memfasilitasi akses permodalan.

BAB XL KEPEMUDAAN DAN KEOLAHRAGAAN

Bagian Kesatu Kepemudaan

Pasal 307

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan fungsi di bidang kepemudaan yang meliputi: a. perumusan dan penetapan kebijakan; b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan; c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung

jawabnya; dan d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas.

(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melaksanakan kebijakan nasional yang menetapkan kebijakan di derah sesuai dengan kewenangannya serta mengoordinasikan pelayanan kepemudaan.

(4) Pemerintah berkewajiban mengembangkan kapasitas pemuda Papua untuk berperan serta aktif di organisasi kepemudaan tingkat nasional maupun

Page 128: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

128

internasional dan berkarya di bidang Pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara dan dunia usaha nasional maupun internasional.

(5) Pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab melaksanakan penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan potensi pemuda berdasarkan kewenangan dan tanggungjawabnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah masing-masing.

(6) Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi. (7) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotadalam

menyelanggarakan urusan kepemudaan membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Bagian Kedua Keolahragaan

Pasal 308

(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengembangkan olah raga di Tanah Papua.

(2) Dalam rangka mewujudkan prestasi dan profesionalisme dan kebanggaan daerah, Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban membiayai pengembangan olah raga melalui APBN dan APBD.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, bertanggungjawab untuk membangun pusat-pusat pendidikan dan pelatihan olahraga, menyediakan prasarana dan prasarana olahraga dan mengalokasikan anggaran berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan sesuai kewenangannya.

(4) BUMN, BUMD, dan dunia usaha yang beroperasi di Tanah Papua berkewajiban mendukung pengembangan olahraga di Tanah Papua dengan mengalokasikan minimal 1% (satu per seratus) dari keuntungan bersih perusahaan dalam satu tahun.

(5) Pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada Pemerintah Provinsi di Tanah Papua untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan olah raga berskala nasional dan internasional.

(6) Pemerintah memberikan kesempatan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua untuk berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan olah raga di luar negeri.

(7) Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Perdasi.

Pasal 309 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas:

a. menjamin kebebasan berpendapat dan berkarya dalam pendidikan kepramukaan;

b. membimbing, mendukung, dan memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan kepramukaan secara berkelanjutan dan berkesinambungan; dan

Page 129: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

129

c. membantu ketersediaan tenaga, dana, dan fasilitas yang diperlukan untuk pendidikan kepramukaan.

(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan kepramukaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengawasan terhadap pelaksanan penyelenggaraan pendidikan kepramukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Menteri terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan dukungan pembiayaan bagi penyelenggaraan kepramukaan dari APBN dan APBD.

BAB XLI NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, BAHAN ADIKTIF LAINNYA

DAN MINUMAN BERALKOHOL

Pasal 310 (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

berkoordinasi dengan instansi terkait dalam pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif lainnya termasuk minuman beralkohol di Tanah Papua.

(2) Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif lainnya termasuk minuman beralkohol sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diintregasikan ke dalam kurikulum pendidikan.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk lembaga penanggulangan Narkotika-Psikotropika, Bahan Adiktif lainnya, Minuman Beralkohol dan HIV/AIDS.

(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Narkotika dan Bahan Adiktif lainnya, serta Minuman Beralkohol.

(5) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengatur tentang larangan produksi, peredarandan konsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan berbahaya di Tanah Papua.

(6) Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Page 130: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

130

BAB XLII PARTAI POLITIK

Pasal 311

(1) Rekrutmen politik oleh partai politik nasional untuk bakal calon anggota DPR, DPD dan DPRD mengutamakan Orang Asli Papua dengan memperhatikan pertimbangan MRP.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal: a. pencalonan, pemilihan dan penetapan pengurus inti pada DPW, DPD, DPC,

Anak Cabang dan Anak Ranting atau dengan sebutan lain. b. pencalonan Anggota Legislatif, meliputi calon Anggota DPRD

Kabupaten/Kota, calon Anggota DPRP, calon Anggota DPR-RI. c. pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,

Walikota dan Wakil Walikota. (3) Partai Politik dalam melakukan rekrutmen politik sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) memperoleh pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekrutmen politik Orang Asli Papua dalam partai politik nasional diatur dengan Perdasus.

BAB XLIII LAMBANG DAERAH, BENDERA DAERAH, DAN HIMNE DAERAH

Pasal 312

(1) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.

(2) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan himne yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

(3) Lambang daerah, bendera daerah dan himne sebagaiman dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh memiliki kesamaan dengan lambang daerah, bendera daerahdan himne yang pernah digunakan oleh organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Page 131: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

131

BAB XLIV SUPERVISI, PENGAWASAN DAN EVALUASI

Pasal 313

(1) Pemerintah melakukan supervisi, pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi di Tanah Papua.

(2) Pemerintah provinsi di Tanah Papua melakukan supervisi, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 314 Pemerintah melakukan pengawasan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dengan mempertimbangkan indeks kemahalan dan kesulitan geografis di Tanah Papua.

Pasal 315 (1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi dan pemerintahan Kabupaten/Kota (2) DPRP, DPRD Kabupaten/Kota, lembaga penegak hukum, dan masyarakat

turut melakukan pengawasan politik, hukum dan sosial atas penyelenggaraan pemerintahan.

Pasal 316

(1) Gubernur selaku Wakil Pemerintah berwenang melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di Tanah Papua.

(2) Pemerintah dapat melimpahkan wewenang kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota.

(3) Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus, Perdasi dan Peraturan Gubernur.

BAB XLV KERJA SAMA DAN PENYELESAIANPERSELISIHAN

Pasal 317

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua dapat mengadakan perjanjian kerjasama di berbagai bidang dengan Provinsi/Kabupaten/Kota lain di Indonesia, pihak ketiga dan/atau lembaga atau daerah di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 132: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

132

(2) Perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diselesaikan sesuai dengan pilihan hukum yang diperjanjikan.

Pasal 318

(1) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua memfasilitasi penyelesaian perselisihan antara Kabupaten/Kota dalam Provinsi.

(2) Perselisihan antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah.

(3) Pemerintah menyelesaikan persengketaan yang terjadi antar Provinsi di Tanah Papua, antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di luar Tanah Papua.

(4) Keputusan penyelesaian persengketaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) bersifat final dan mengikat.

BAB XLVI PEMBENTUKAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

Pasal 319

(1) Pembentukan Provinsi di Tanah Papua dilakukan dengan persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila Pemerintah dan Pemerintah Provinsi telah mempersiapkan Provinsi pemekaran melalui penyiapan birokrasi, sumber daya manusia, fasilitas minimum kesehatan, fasilitas minimum pendidikan, fasilitas minimum ekonomi dan fasilitas minimum infrastruktur agar Provinsi pemekaran dapat melaksanakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.

(3) Pembentukan Kabupaten/Kota di Tanah Papua dilakukan dengan persetujuan DPRD dan mendapat rekomendasi MRP dan DPRD setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah mempersiapkan Kabupaten/Kota pemekaran melalui penyiapan birokrasi, sumber daya manusia, fasilitas minimum kesehatan, fasilitas minimum pendidikan, fasilitas minimum ekonomi dan fasilitas minimum infrastruktur agar Kabupaten/Kota pemekaran dapat melaksanakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.

Page 133: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

133

Pasal 320 (1) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi menyusun desain besar penataan daerah

sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan di Tanah Papua.

(2) Desain besar penataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat strategi pengembangan kewilayahan Tanah Papua dan rencana estimasi jumlah maksimum daerah otonom di Tanah Papua;

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Gubernur.

BAB XLVII PENYEBARLUASAN

Pasal 321

(1) Pemerintah, DPR dan DPD wajib mensosialisasikan isi Undang-Undang ini kepada Kementerian/Lembaga.

(2) Pemerintah wajib menyelaraskan kebijakan dan program Kementerian/Lembaga dengan isi Undang-Undang ini.

(3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, MRP, DPRP, Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD wajib mensosialisasikan isi Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan pelaksanaannya kepada Orang Asli Papua dan Penduduk Papua.

(4) Selain Pemerintah, pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, DPRP dan MRP, lembaga-lembaga masyarakat dapat melaksanakan penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Pelaksanaan penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dibiayai oleh APBN dan APBD.

BAB XLVIII KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 322

(1) Perubahan nama Provinsi di Tanah Papua dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan oleh DPRP dengan pertimbangan MRP.

(2) Sebelum sebutan nama provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan, sebutan nama provinsi di Tanah Papua yang telah ada tetap digunakan.

(3) Anggota DPRP dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum tahun berjalan tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhir masa baktinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 134: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

134

Pasal 323 (1) Pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan

secara nasional berkewajiban untuk menyesuaikan kekhususan yang diatur di dalam undang-undang ini.

(2) Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1), berkewajiban menyelaraskan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian dan lembaga Pemerintah Non Kementerianlainnya dengan isi Undang-Undang ini.

Pasal 324 (1) Kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku efektif selambat-

lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal disahkan. (2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XLIX KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 325

(1) Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil Walikota dan DPRD Kota di Wilayah Tanah Papua yang telah diangkat sebelum Undang-Undang ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya.

(2) Semua kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota di Tanah Papua berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tetap berlaku hingga ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 326 (1) Pemerintah, DPR RI dan DPD RI dalam hal menetapkan kebijakan nasional

dan/atau membentuk peraturan perundang-undangan wajib menyesuaikan dengan kekhususan berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mencantumkan frasa "kecuali bagi Tanah Papua diatur secara khusus dan tersendiri dengan merujuk pada Undang-undang Pemerintahan Otonmi Khusus Tanah Papua" yang dicantumkan pada ketentuan penutup setiap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 327

Pelaksanaan Undang-Undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-Undang ini berlaku.

Page 135: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

135

Pasal 328 Usul perubahan atas Undang-Undang ini dapat diajukan oleh rakyat di Tanah Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 329 Distrik dan kampung atau yang disebut dengan nama lain yang ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap sebagai Distrik dan Kampung atau yang disebut dengan nama lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6, dan angka 7 Undang-Undang ini, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 330

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Kepala Distrik dan Kepala Kampung beserta perangkatnya yang ada, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya.

BAB L KETENTUAN PENUTUP

Pasal 331

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada tetap berlaku sepanjang materi muatannya tidak diatur dan/atau materi muatannya tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 332

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia.Nomor 112 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884) tetap berlaku sampai dibentuk peraturan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 333 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Page 136: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

136

Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 334

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini: a. Peraturan Pemerintah diselesaikan paling lama 12(dua belas) bulan sejak

diundangkan Undang-Undang ini; dan b. Perdasi dan Perdasus diselesaikan paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak

diundangkan Undang-Undang ini.

Pasal 335 (1) Kewenangan Pemerintah yang bersifat Nasional dan pelaksanaan Undang-

Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah diatur dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Kewenangan Pemerintah Provinsi danKewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan Perdasi.

Pasal 336 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah, Perdasi, Perdasus dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 337

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, nama, batas dan ibukota, Provinsi, Kabupaten dan Kota, tetap berlaku kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 338 Provinsi, Kabupaten, Kota, Distrik dan Kampung yang ada pada saat diundangkannya Undang-Undang ini tetap sebagai Provinsi, Kabupaten, Kota, Distrik dan Kampung kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 339 Pembentukan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berkaitan langsung dengan pemerintahan provinsi di Tanah Papua dilakukan setelah memperoleh pertimbangan Gubernur, DPRP dan MRP.

Pasal 340

Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Provinsi di Tanah Papua yang disusun oleh Pemerintah dilakukan setelah memperoleh pertimbangan Gubernur.

Page 137: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

137

Pasal 341 Undang-Undang ini selanjutnya disebut Undang-Undang Pemerintahan Otonomi khusus Tanah Papua yang disingkat UU Pemerintahan Otsus Tanah Papua.

Pasal 342

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal ……… PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal …………… MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…

Page 138: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

1

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG

PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA

I. UMUM

Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik. Sebagai solusi alternatifnya melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Pemberian Otonomi Khusus Provinsi Papua melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua semestinya dipandang sebagai kebijakan strategis dan elementer penyelesaian masalah Papua. Disamping itu, Otsus dimaksudkan sebagai upaya terbaik meningkatkan kesejahteraan Orang Papua. Akan tetapi pelaksanaan Otsus yang berlangsung selama ini masih sarat kendala, baik pada tataran kebijakan legislatif (legislative policy) maupun kebijakan aplikatif (applicatory policy). Pada tataran kebijakan legislatif terdapat tumpang-tindih kebijakan pengaturan yang menyebabkan keberadaan UU Otsus menjadi rancu tidak tentu arah, sebagian sudah tidak punya kekuatan mengikat lagi, sebagian ketentuan lainnya kehilangan sasaran berlakunya (addressat norm), dan sebagian lagi untuk implementasinya masih menunggu giliran pengaturan dari aturan organik semisal Perdasi atau Perdasus. Pertimbangan terhadap kondisi faktual pelaksanaan Otsus di Papua selama ini, dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh kebutuhan Papua di masa mendatang, adalah patokan yang sangat fundamental pembentukan undang-undang ini disertai dengan tetap berpegang teguh pada jiwa dan semangat yang menjadi landasan filosofis (philosophical grounded) dari awal kelahiran pembentukan UU Otsus Papua. Kondisi faktual kekinian masyarakat di Tanah Papua menginginkan ruang yang lebih luas dan proporsional untuk peningkatan taraf hidup dan tingkat kesejahteraan dengan tuntutan pemberian kewenangan dan keuangan yang cukup besar untuk medanai kegiatan pembangunan di berbagai aspek kehidupan masyarakat di Tanah Papua. Kondisi kekinian dan pertimbangan masa depan serta landasan filosofis tersebut di atas menjadi landasan motivatif dan fundamental yang menjadi kerangka materi muatan pokok Undang-undang Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua seperti diungkap berikut ini: (1) Penyelenggaraan Pemerintahan di Tanah Papua melalui regulasi UU

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menampakkan kondisi ketidakmampuan untuk mengakomdir dinamika perkembangan masyarakat Papua. Oleh sebab itu, ada 4 (empat) harapan baru yang ingin diusung oleh RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua yaitu (1) kewenangan Pemerintahan di Tanah Papua yang diperluas (2) Keuangan yang besar dan proporsional untuk membiayai pembangunan Papua (3)

Page 139: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

2

penguatan dan konkritisasi kebijakan affirmative bagi peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup Orang Asli Papua, dan (4) solusi rekonsiliasi.

(2) Pembentukan RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua senantiasa dikendalikan oleh 3 pilar utama yakni (1) pilar proses, senantiasa mengikuti pentahapan proses pembentukan regulasi nasional, (2) pilar substansi yang sepenuhnya dipersembahkan untuk kemulian orang Papua “the Papuan dignity”/dignity of Papuan people dan (3) penglegimitasian yang mencakup legitimasi akademk, legitimasi politik dan legitimasi kultural. Penataan otsus Papua dipersembahkan untuk kemuliaan orang Papua (dignity of Papuan people), demikian harapan Presiden Republik Indonesia pada pertemuan di kantor Kepresidenan di istana negara, pada 29 April 2013.

(3) Perubahan perundangan Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua ini disusun secara komprehensif dengan tujuan: (1) memperbaiki pengelolaan pembangunan untuk kesejahteraan di Tanah Papua, (2) menghormati tata kemasyarakatan di Tanah Papua, (3) menghormati dan mengembangkan identitas dan hak-hak dasar rakyat Papua, menghormati dan meningkatkan harkat dan martabat serta jati diri Orang Asli Papua, (4) sebagai penegasan format otonomi daerah asimetris yang dipayungi oleh Pasal 18 UUD 1945.

(4) RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua dilandasi oleh 7 (tujuh) nilai-nilai dasar yakni (1) perlindungan dan pemberdayaan terhadap hak-hak dasar dan harkat martabat Orang Asli Papua (2) kasih menembus perbedaan sebagai penghargaan dan pengakuan terhadap toleransi dan pluralisme; (3) demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi; (4) penghargaan terhadap etika, moral dan nilai-nilai religius; (5) penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia; (6) supremasi hukum; (7) persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara

(5) Pemerintah Provinsi di Tanah Papua berwenang mengatur dan mengurus semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat; seluruh kebijakan lembaga negara, Kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi di Tanah Papua; pembuatan persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintah di Tanah Papua yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur dan DPRP; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat mewakili Pemerintah Pusat dalam urusan bilateral dan meningkatkan hubungan people to people contact dalam memperkuat NKRI; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat melakukan kerjasama dan memiliki hubungan ekonomi, investasi dan perdagangan dengan luar negeri terutama kawasan pasifik selatan dan pasifik barat daya; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua memiliki kewenangan memberikan pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang pertahanan; dan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi di Tanah Papua membuka jalur penerbangan internasional melalui Bandar Udara Frans Kaisepo di Kabupaten Biak Numfor.

(6) Kerangka Keuangan Pemerintahan Provinsi, yaitu APBN wajib mempertimbangkan satuan Pemerintahan Khusus di Tanah Papua, tingkat kemahalan harga, kondisi geografis wilayah, penyebaran penduduk dan konteks sosial budaya; pendapatan negara yang berasal dari berbagai pajak PMA, PMDN, BUMN dan dunia usaha yang beroperasi di Tanah Papua diserahkan lebih dulu ke kas daerah dan kemudian diserahkan 30 persen ke kas negara selama 20 tahun; perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang beroperasi di Tanah Papua (asing maupun domestik) wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Provinsi di Tanah Papua. Pemerintah menyediakan dana otonomi khusus sebesar 4 persen selama 20 tahun yang ditujukan untuk membiayai pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan dan

Page 140: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

3

kesehatan; Pemerintah wajib menyediakan dana tambahan otonomi khusus untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Pemerintah Provinsi di Tanah Papua berhak atas kepemilikan saham disetiap usaha pengelolaan sumberdaya alam dibidang pertambangan, perkebunan, pertanian, perikanan, kelautan, energi (PLTA, PLTU, PLTS) dan pariwisata, perdagangan dan investasi lainnya; setiap program pembangunan masyarakat (corporate social responsibility) yang dilakukan oleh dunia usaha di Tanah Papua wajib mengikuti desain kebijakan daerah; penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan/ditugaskan kepada Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua, Pemerintahan Kabupaten/Kota, Distrik dan Kampung wajib disertai dengan pendanaan dari APBN. Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat menerima bantuan, pinjaman dan hibah baik yang bersumber dari luar negeri dan dalam negeri setelah memberitahukannya kepada pemerintah dan dapat melakukan penyertaan modal dengan badan usaha milik negara/daerah dan usaha swasta yang saling menguntungkan. Desain bagi hasil sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada rakyat Papua, Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua dan kepentingan NKRI.

(7) Kerangka politik, hukum dan HAM mencakup perlindungan Hak Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia, Partai Politik, TNI, KepolisianKekuasaan Peradilan, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Peraturan Pemerintah di Tanah Papua (Perdasus dan Perdasi) Bendera, Lambang dan Himne, Pembinaan dan Pengawasan dan penyelesaian perselisihan Kelembagaan Pemerintahan di Tanah Papua.

(8) Titik berat otonomi khusus berada di tingkat Provinsi yang diharmonisasikan dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota sehingga kedudukan Pemerintahan Provinsi bersifat khusus antara lain (1) memperkuat kedudukan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah (2) memperkuat kedudukan Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi (3) memberi ruang untuk pelimpahan kewenangan terbatas dalam bidang kebijakan luar negeri (4) Gubernur melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas perbantuan; melakukan koordinasi, pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan di Tanah Papua; dan yang tidak kalah pentingnya adalah (5) melakukan koordinasi pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan antar kota dan kabupaten setiap kebijakan kebijakan lembaga negara, kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan pemerintah Provinsi di Tanah Papua;

(9) Dengan kedudukan Gubernur sebagai kepala daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi, maka Gubernur melakukan koordinasi dan pengawasan pelaksanaan kewenangan pemerintah di level Provinsi di Tanah Papua; kemudian Pemerintah memberikan pelimpahan dan pembantuan kepada Gubernur di bidang kerjasama luar negeri, pertahanan, moneter, fiskal dan yustisi dan sebagian urusan keagamaan; dan setiap kebijakan kebijakan lembaga negara, kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Provinsi; kemudian Gubernur melakukan koordinasi pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan antar kabupaten dan kota di Tanah Papua; Gubernur melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan terhadap instansi vertikal, unit pelaksana teknis, balai besar maupun BUMN di Tanah Papua; dan Gubernur memiliki hak dan kewenangan untuk membuat kebijakan afirmatif dalam menentukan perangkat organisasi di Tanah Papua dengan pertimbangan DPRP .

(10) Kaitan dengan Kedudukan Majelis Rakyat Papua (MRP) bahwa MRP adalah lembaga representasi kultural Papua, kemudian MRP dibentuk di level Provinsi dan Kabupaten/Kota; MRP berwenang melindungi hak hak Orang Asli Papua MRP menjaga penghormatan

Page 141: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

4

terhadap hak-hak adat, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat beragama. MRP Provinsi memberi pertimbangan dan persetujuan rancangan Perdasus dan Perdasi, MRPKabupaten/Kota memberi pertimbangan dan persetujuan rancangan Peraturan Kabupaten/Kota dan MRP memberi pertimbangan terhadap rancangan APBD dan dana otonomi khusus.

(11) Kedudukan DPRP kekuasaan Legislatif Provinsi di Tanah Papua dilaksanakan oleh DPRP jumlah keanggotaan DPRP terdiri dari 1 1/4 (satu seperempat) dari jumlah anggota DPRD pada umumnya. DPRP diberi peran proporsional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, disamping diberi kewenangan kepada DPRP memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Provinsi dan DPRP melaksanakan pengawasan terhadap APBN yang dilaksanakan untuk kegiatan pembangunan di Tanah Papua serta memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap kerjasama internasional yang dilaksanakan di Tanah Papua.

Pejabaran dan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua ini dilakukan secara proporsional sesuai jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Adat Istiadat yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Adat di Tanah Papua yang tercermin pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah, Perdasi, Perdasus, Peraturan Gubernur, Peraturan Kabupaten/Kota dan Peraturan Kampung dan diharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan sektoral lain sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas Pasal 3

Huruf a Yang dimaksud dengan Keberpihakan kepada Orang Asli Papua (OAP) sebagai penghormatan, pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan OAP yang diabdikan sepenuhnya bagi Kemulian OAP, adalah bermakna sama dengan kebijakan affirmatif. Huruf b Yang dimaksud dengan Desentralisasi Asismetris adalah kewenangan lebih luas dan bertanggungjawab oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi di Tanah Papua yang diberikan secara berbeda, spesifik dan proporsional berdasarkan status otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan karakteristik dan keadaan Papua dalam berbagai sektor pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang diabadikan sepenuhnya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemulian Orang Asli Papua.

Pasal 4

Ayat (1) Daerah otonom adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan

Page 142: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

5

Republik Indonesia

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan kesatuan kultur adalah kesatuan kewilayahan, kesatuan adat istiadat dalam masyarakat hukum adat baik bersifat geneologis maupun territorial. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Kepentingan khusus adalah kepentingan keberpihakan terhadap penghormatan, perlindungan dan pelaksanaan hak-hak dasar Orang Asli Papua yang bersifat ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur

Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7

Ayat (1) Yang dimaksud dengan berwenang mengatur dan mengurus seluruh urusan pemerintahan adalah baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas

Pasal 8 Ayat (1)

Cukup jelas Ayat (1) Cukup jelas

Page 143: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

6

Pasal 9 Ayat (1) Penetapan norma, standar prosedur dan kriteria urusan pemerintahan yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi dan pemerintahan Kabupaten/Kota adalah bersifat teknis operasional yang berkenan langsung dengan kebutuhan dan berdasarkan karakteristik dan kemampuan pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1) Pertimbangan tentang permasalahan, kebutuhan dan kemampuan Kabupaten/Kota adalah disesuaikan dan secara langsung ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1) Yang dimaksud dengan bersifat wajib adalah bersifat imperative yakni urusan yang harus dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus

Ayat (2) Standar pelayanan minimal adalah standar pelayanan yang menjadi ukuran pencapaian kinerja yang harus dilaksanakan dan dicapai sesuai profesi dan kelayakan pelayanan

Pasal 12

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Pengajuan Usulan adalah pengajuan usulan PP yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi berkenan dengan substansi pasal-pasal tertentu dalam undang-undang ini yang memang membutuhkan PP.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan menyetujui usulan yang diajukan pemerintah provinsi adalah usulan tersebut dapat ditetapkan sebagai PP sebagai pelaksana dari ketentuan dalam pasal-pasal tertentu dari undang-undang ini yang membutuhkan PP

Pasal 13

Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelayanan dasar adalah pelayanan yang berkaitan langsung dengan hak-hak dasar

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah termasuk karakteristik kewilayahan, kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat

Page 144: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

7

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1) Pelayanan dasar adalah berkaitan langsung kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat

Ayat (2)

Cukup jelas Pasal 16

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan dalam rangkameningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk karakteristik kewilayahan, kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1) Pengalihan prasarana, sarana, pendanaan dan kepegawaian sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan desentralisasi sebagai konsekuensi logis penyerahan urusan pemerintah kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

Ayat (2) Yang dimaksud dengan dekonsentrasi dalam ayat ini adalah berkaitan dengan pelimpahan kewenangan.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan dekonsentrasi dalam ayat ini adalah disamakan dengan pengertian tugas pembantuan

Pasal 18

Yang dimaksud dengan “dapat menyelenggarakan” dalam ketentuan ini adalah kewenangan yang tidak ditentukan langsung dalam Undang-Undang ini masih ada kaitannya dengan urgensi pelaksanaan pasal-pasal dari undang-undang ini.

Pasal 19

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Izin Masuk bagi Orang Asing adalah berkaitan dengan Imigrasi

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Page 145: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

8

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5)

Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)

Yang dimaksud dengan perlakuan khusus adalah disamakan dengan memprioritaskan atau mengutamakan Orang Asli Papua.

Ayat (4) Cukup jelas Pasal 23

Ayat (1) Keamanan dalam ayat ini juga berkaitan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat yang menjadi salah satu tugas pokok Kepolisian.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan berkoordinasi adalah melakukan konsultasi dan meminta pertimbangan Gubernur.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25

Ayat (1) Ketentuan seleksi dalam ayat ini dalam rangka pelaksanaan kebijakan kepedulian (affirmative action policy) terhadap Orang Asli Papua

Ayat (2) Kurikulum muatan lokal dimaksud dapat berupa Etnografi Papua dan pengetahuan karakteristik Sosial, Budaya, Kekhasan Budaya dan Adat Istiadat Orang Asli Papua

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Yang dimaksud dengan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan adalah sistem hukum, budaya dan adat istiadat Papua dan suku-suku asli Papua di tempat penugasan.

Ayat (5) Cukup jelas

Page 146: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

9

Ayat (6) Yang dimaksud dengan memberikan kesempatan dan perlakuan khusus adalah dalam rangka kebijakan affirmatif terhadap Orang Asli Papua.

Ayat (7) Cukup jelas Pasal 26

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3) Yang dimaksud dengan Persetujuan Gubernur adalah setelah berkonsultasi dan meminta pertimbangan dengan Gubernur. Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Yang dimaksud dengan tidak memberikan jawaban adalah jawaban terhadap surat permintaan persetujuan yang disampaikan kepada Gubernur.

Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pembinaan karier adalah berkaitan dengan jabatan, kepangkatan sesuai tugas dan tanggungjawab dalam lingkungan Kejaksaan Agung RI. Sedangkan memberikan kesempatan sama dengan mengutamakan atau memprioritaskan Orang Asli Papua.

Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1) Mengutamakan Orang Asli Papua sama dengan memprioritaskan Orang Asli Papua Ayat (2) Yang dimaksud dengan pembinaan karir adalah berkaitan dengan jabatan, kepangkatan sesuai tugas dan tanggungjawab dalam lingkungan Mahkamah Agung RI. Sedangkan memberikan kesempatan sama dengan mengutamakan atau memprioritaskan Orang Asli Papua.

Pasal 30

Asas kekeluargaan dan semangat kolektifitas komunal masyarakat hukum adat di Papua menjadi asas utama penyelenggaraan peradilan adat di Papua, dengan tetap memperhatikan asas peradilan sederhana,

Page 147: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

10

cepat dan biaya ringan, dan dalam hal ini dapat disamakan dengan asas constantio justitie.

Pasal 31

Pengakuan adanya peradilan adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diberlakukan secara terus-menerus dalam masyarakat hukum adat bersangkutan, dengan menjaga harmonisasi, keseimbangan dan keteraturan.Diartikan sebagai menjaga keseimbangan kosmis yang menjadi tujuan utama penyelenggaraan Hukum Adat.

Pasal 32

Ayat (1) Yang dimaksud dengan bukan bagian dari peradilan negara adalah peradilan adat tidak termasuk dalam kompetensi peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, maupun peradilan militer, tetapi peradilan tersendiri yang dilaksanakan dalam persekutuan masyarakat hukum adat di Papua.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kewenangan dalam hal ini adalah sama dengan kompetensi atau disamakan artinya dengan kewenangan mengadili dari pengadilan adat.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan Hukum adat adalah hukum yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan peradilan adat di lingkungan masyarakat hukum adat.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan berkeberatan dalam ayat ini adalah merupakan wujud upaya hukum yang menjadi hak dari pihak berperkara, akan tetapi peradilan negara bukanlah disejajarkan dengan peradilan banding, hanyalah sebagai sarana untuk pencarian keadilan bagi warga masyarakat hukum adat bersangkutan.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara artinya diajukan kepada peradilan umum di wilayah tempat kediaman yang pihak berperkara bersangkutan.

Pasal 34

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Yang dimaksud dengan menjadi putusan akhir artinya putusan yang dapat dieksekusi.

Page 148: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

11

Ayat (5) Yang dimaksud Untuk membebaskan pelaku tindak pidana adalah Pelaku tindak pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan tidak bersalah melakukan tindak pidana.

Ayat (6) Penolakan Pengadilan Negeri terhadap pernyataan persetujuan untuk membebaskan pelaku dari tuntutan pidana, akan tetapi pelaku yang bersangkutan sudah diputuskan oleh pengadilan adat, maka putusan pengadilan itu tetap diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dalam memutus perkara yang bersangkutan.

Ayat (7) Yang dimaksud dengan Tata Cara adalah sama dengan Hukum Acara yang berlaku dalam masyarakat hukum adat.

Pasal 35

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kerjasama adalah kerjasama dalam penegakan hukum.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1) Yang dimaksud dengan karakter kekhususan adalah indeks kemahalan, keterisolasian wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat Papua.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Yang dimaksud dengan pertimbangan kondisi khusus adalah indeks kemahalan, keterisolasian wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat di Tanah Papua.

Pasal 37

Ayat (1) Yang dimaksud dengan sumber pendanaan adalah sama dengan sumber pembiayaan yang diberikan pemerintah sebagai konsukuensi dari penyerahan dan pelimpahan wewenang kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Page 149: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

12

Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan pajak penghasilan orang pribadi dan pajak pengahasilan badan adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan peraturan perundangan yang mengatur perpajakan.

Huruf b Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas Pasal 39

Ayat (1) Rekomendasi dapat disamakan dengan izin yaitu izin bea masuk impor, sedangkan bang modal adalah barang yang digunakan untuk pelaksanaan investasi.

Ayat (2) Yang dimaksudkan dengan mengutamakan sama dengan memprioritaskan Orang Asli Papua

Pasal 40

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas Pasal 42

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tenaga Asing di bidang keagamaan adalah bukan warga negara Indonesia yang bersifat membantu kebutuhan pelaksanaan kehidupan keagamaan.

Ayat (2) Pemberian izin artinya mengatur secara proporsional pendirian rumah ibadah dengan memperhatikan aspek-aspek sosial budaya, kebutuhan peribadatan masing-masing agama.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Yang dimaksud dengan kebijakan Pemberdayaan masyarakat adat artinya sasaran program kegiatan pembangunan tertuju kepada warga masyarakat baik secara individual maupun komunal.

Page 150: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

13

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan kebijakan lain adalah kebijakan yang berorientasi pada kebijakan affirmatif terhadap Orang Asli Papua.

Ayat (5) Pembahasan bersama guna menjalankan urusan bersama antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah disamakan dengan bersifat concurrent, senantiasa ada yang menjadi urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 45

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas Pasal 47

Cukup jelas Pasal 48

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Page 151: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

14

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas Pasal 53

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 54 Ayat (1) Yang dimaksud dengan representasi kultural adalah keterwakilan Orang Asli Papua dari tiga pilar utama, yakni pilar Adat, pilar Agama, dan pilar Perempuan.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 55

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Page 152: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

15

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 56

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 57

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 58

Ayat (1) Huruf a

Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas Huruf c

Yang dimaksud dengan Hak Imunitas atau disamakan dengan Hak Kekebalan hukum sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya yang sah.

Huruf d

Cukup jelas Huruf e

Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 59

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 60

Ayat (1) Yang dimaksud dengan masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan adalah berasal dari suku-suku asli di Tanah Papua.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan Panitia Ad Hoc adalah Panitia Penyelenggara Pemilihan Anggota MRP yang bersifat sementara, yang dibentuk untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan Pemilihan Anggota MRP.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 61

Ayat (1) Cukup jelas

Page 153: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

16

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 62

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 63

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 64

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 65

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 66

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 67 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Page 154: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

17

Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas

Huruf e Cukup jelas Huruf f

Yang dimaksud dengan mencerdaskan kehidupan rakyat Papua adalah ikut memajukan dunia pendidikan dan kebudayaan secara umum di Tanah Papua dalam semua jenis maupun jenjang pendidikan, termasuk promosi budaya Papua pada tingkat nasional maupun internasional.

Huruf g Cukup jelas Huruf h

Cukup jelas

Huruf i Cukup jelas

Huruf j Cukup jelas Huruf k Cukup jelas Huruf l Cukup jelas Huruf m Cukup jelas

Huruf n Yang dimaksud dengan RPJPD adalah singkatan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, sedangkan RPJMD adalah singkatan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Huruf o

Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas Pasal 68

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Page 155: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

18

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 69

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas Pasal 71

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 72

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tindak Pidana adalah tindak pidana kejahatan, sedangkan ancaman pidana paling singkat adalah ancaman pidana minimum.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan kekuatan hukum tetap adalah tidak ada upaya hukum lagi dan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yakni dapat dieksekusi sesuai putusan pengadilan.

Pasal 73

Ayat (1) Yang dimaksud dengan diberhentikan sementara adalah sama dengan dinon-aktifkan sementara waktu dalam menjalankan tugas, wewenang, fungsi dan hak-hak sebagai Gubenur.

Page 156: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

19

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 74

Ayat (1) Yang dimaksud dengan krisis kepercayaan publik adalah sama dengan mosi tidak percaya dari masyarakat.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Yang dimaksud dengan penyelesaian antara adalah proses penyelesaian sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku sementara itu proses pemberhentian sementara tetap dijalankan.

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 75

Ayat (1) Yang dimaksud dengan 30 (tiga puluh) hari adalah batas maksimal hari kalender yang ditentukan untuk Presiden merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Gubernur atau Wakil Gubernur sampai masa akhir jabatan

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 76

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 77

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Page 157: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

20

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 78

Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan dan penyidikan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan waktu 60 (enam puluh) hari adalah hari kalender dan merupakan batas maksimal dari tenggang waktu yang ditentukan, sebelum itu Presiden dapat saja memberikan persetujuan tertulisnya.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan penahanan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (4)

Huruf a Yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Huruf b

Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas Pasal 79

Cukup jelas Pasal 80

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 83

Ayat (1) Cukup jelas

Page 158: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

21

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 84

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 85

Cukup jelas Pasal 86

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 87 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Tindak pidana dalam ketentuan ini adalah dikualifikasi sebagai kejahatan, sedangkan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun adalah ancaman pidana minimal, lebih dikenal standar minimum terbatas.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan berkekuatan hukum pasti adalah tidak ada upaya hukum lagi dan putusan telah mempunyai kekuatan hukum untuk dieksekusi sesuai putusan pengadilan.

Pasal 88

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagaimana

Page 159: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

22

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan terhadapUndang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ayat (2)

Cukup jelas Pasal 89

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 90

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Putusan Terbukti Tidak Bersalah adalah sama dengan putusan bebas sebagimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas Pasal 91

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 92

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Page 160: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

23

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 93

Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan dan tindakan penyidikan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1angka 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup Jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 94

Ayat (1) Yang dimaksud dengan DPRP adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua, sehingga dicontohkan DPRP Provinsi Papua Barat, demikian pula dicontohkan DPRP Provinsi Papua.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Yang dimaksud dengan dipilih adalah anggota DPRP Provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum Anggota Legislatif.

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Yang dimaksud dengan diangkat adalah anggota DPRP Provinsi yang ditetapkan sebagai anggota DPRP Provinsi tidak melalui Pemilihan Umum Legislatif.

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 95

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 96

Cukup jelas Pasal 97

Ayat (1) Cukup jelas

Page 161: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

24

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 98 Ayat (1)

Hak-hak anggota DPRD dalam ayat ini yakni hak mengajukan rancangan Perda; hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat; hak memilih dan dipilih; hak membela diri; hak imunitas; hak protokoler; dan hak keuangan dan administratif adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a sampai huruf h Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD

Huruf a Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kenbijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Huruf b Hak angket adalah hak untuk penyeledikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

Huruf c Hak menyatakan pendapat adalah hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi disertai rekomendasi penyelesaiannya.

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 99

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 100

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 101

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 102

Ayat (1) Cukup jelas

Page 162: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

25

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 103

Ayat (1) Fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas dan wewenang DPRP serta hak dan kewajiban anggota.Oleh sebab itu, Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPRP.

Ayat (2) Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai politik.Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi.Fraksi bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPRP, dan meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPRP. Fraksi dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Pimpinan fraksi ditetapkan oleh fraksinya masing-masing.Fraksi membentuk aturan tata kerja internal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 104

Cukup jelas Pasal 105

Ayat (1) Yang dimaksud dengan tidak dapat dituntut adalah sepanjang penggunaan hak-hak anggota DPRP Provinsi sesuai dengan fungsi, hak, tugas dan kewenangannya

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas Pasal 106

Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan penyidikan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Yang dimaksud dengan penahanan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

Page 163: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

26

tentang Hukum Acara Pidana.

Ayat (4) Huruf a

Yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Huruf b

Cukup jelas

Ayat (5) Yang dimaksud dengan Pejabat Pemberi Izin adalah pejabat menyetujui adanya tindakan penyidikan.

Pasal 107

Cukup jelas Pasal 108

Cukup jelas Pasal 109

Cukup jelas Pasal 110

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 111

Ayat (1) Huruf a Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Huruf b Hak angket adalah hak untuk penyeledikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Huruf c Hak menyatakan pendapat adalah hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi disertai rekomendasi penyelesaiannya.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Page 164: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

27

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Pasal 112

Ayat (1) Hak-hak anggota DPRD dalam ayat ini yakni hak mengajukan rancangan Perda; hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat; hak memilih dan dipilih; hak membela diri; hak imunitas; hak protokoler; dan hak keuangan dan administrative, adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a sampai huruf h Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 113

Cukup jelas Pasal 114

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 115

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 116

Ayat (1) Fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD, serta hak dan kewajiban anggota.Oleh sebab itu Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPRD.

Ayat (2) Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai politik.Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi .Fraksi bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPRD, dan meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPRD. Fraksi dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Pimpinan fraksi ditetapkan oleh fraksinya masing-masing.Fraksi membentuk aturan tata kerja internal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Page 165: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

28

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 117

Cukup jelas Pasal 118

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 119

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 120

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 121

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Page 166: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

29

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 122

Ayat (1) Distrik tidak disamakan dengan Kecamatan, distrik adalah dipimpin oleh seorang kepala wilayah dan wakil wilayah setempat yang dibentuk dan berada di wilayah Kabupaten/Kota, dalam fungsinya melaksanakan sebagian urusan dan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan warga masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 123

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 124

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 125

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Page 167: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

30

Pasal 126 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 127

Cukup jelas Pasal 128

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 129

Cukup jelas Pasal 130

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 131

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 132

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Page 168: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

31

Ayat (8) Cukup jelas

Ayat (9) Cukup jelas

Pasal 133

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 134

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 135

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 136

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 137

Cukup jelas Pasal 138

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Page 169: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

32

Pasal 139 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dibuat” adalah disamakan dengan hak inisiatif dari Dewan Perakilan Rakyat Papua Provinsi untuk mengajukan rancangan Rancangan Peraturan Daerah Khusus

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 140

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Peraturan Gubernur adalah Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur sebagai pelaksana dari ketentuan dalam Perdasi dan Perdasus.

Ayat (2)

Cukup jelas Pasal 141

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 142

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Yang dimaksud dengan klarifikasi pemerintah adalah berkaitan dengan hak represif dan preventif yang dimiliki oleh pemerintah terhadap setiap peraturan daerah. Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 143 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Pembentukan komisi Ad Hoc dimaksudkan untuk membantu Gubernur,

Page 170: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

33

DPRD dan MRP dalam menyiapkan rancangan Perdasus dan Perdasi sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan undang-undang ini.

Pasal 144

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 145 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Satuan Kerja PerangkatDaerah atau disingkat SKPD adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 146

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 147

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 148

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Page 171: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

34

Pasal 149 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 150

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 151

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 152

Cukup jelas Pasal 153

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 154

Ayat (1) Cukup jelas

Page 172: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

35

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 155

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 156

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 157

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Page 173: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

36

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 158 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 159 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 160 Cukup jelas

Pasal 161 Ayat (1) Pemerintahan Adat tidak semata-mata dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, melainkan dibentuk berdasarkan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat. Tujuan pemerintahan adat adalah menyelenggarakan kepentingan masyarakat hukum adat dan mempertahankan serta melindungi nilai-nilai adat istiadat dalam masyarakat hukum adattermasuk kekayaan SDA dan kekayaan intelektual

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas Pasal 162

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas Pasal 163

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Page 174: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

37

Ayat (3) Yang dimaksud dengan Kampung asli dapat juga disebut kampung adat yang dibentuk dengan memperhatikan kesatuan masyarakat hukum adat, kesatuan bahasa dan kesatuan wilayah adat.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Yang dimaksud dengan kewenangan kampung dapat mencakup (1) Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat; (b) Kewenangan lokal berskala kampung yang diakui Kabupaten/Kota; (c) Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya ke kampung; dan (d) Masyarakat kampung berhak : mencari, meminta, mengawasi dan memberikan informasi kepada Pemerintah Kampung tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; memperoleh yang sama dan adil; menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; memilih, dipilih dan/atau ditetapkan menjadi kepala perangkat kampung lairurya anggota Bamuskam dan lembaga kemasyarakatan kampung dan mendapatkan perlindungan dari ancanan ketentraman dan ketertiban;

Pasal 164

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Pasal 165

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Page 175: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

38

Pasal 166 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 167

Cukup jelas Pasal 168

Cukup jelas Pasal 169

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 170

Cukup jelas Pasal 171

Cukup jelas Yang dimaksud dengan Dana Alokasi Umum atau disingkat DAU adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom (Provinsi, Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU juga merupakan salah satu komponen belanja pada ABPN dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Sedangkan yang dimaksud dengan Dana Alokasi Khusus atau disingkat DAK adalah alokasi dari APBN kepada Provinsi, Kabupaten/Kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemda dan sesuai dengan prioritas nasional.

Pasal 172

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 173

Cukup jelas Pasal 174

Ayat (1) Cukup jelas

Page 176: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

39

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 175

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan infrastruktur dalam ketentuan ini adalah sarana penunjang yang mendukung bidang pembangunan strategis seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan serta sarana publik yang dibutuhkan masyarakat dalam menunjang aktivitas pembangunan daerah.

Pasal 176 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 177

Cukup jelas Pasal 178

Cukup jelas Pasal 175

Cukup jelas Pasal 176

Cukup jelas Pasal 177

Cukup jelas Pasal 178 Cukup jelas Pasal 179

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 180 Ayat (1) Cukup jelas

Page 177: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

40

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 181

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 182

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 183

Cukup jelas Pasal 184

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 185

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 186

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 187

Ayat (1) Cukup jelas

Page 178: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

41

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 188

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 189

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 190

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 191

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 192

Cukup jelas Pasal 193

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 194

Ayat (1) Cukup jelas

Page 179: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

42

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Pasal 195

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan kewajiban termasuk didalamnya Kebijakan perlindungan keberpihakan dan pemberdayaan pelaku kegiatan usaha perekonomian Orang Asli Papua adalah bagian terpenting dari kebijakan affirmatif.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 196

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 197

Cukup jelas Pasal 198

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 199

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Page 180: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

43

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 200

Yang dimaksud dengan kegiatan investasi dalam ketentuan ini adalah sama dengan kegiatan penanam modal oleh investor di Tanah Papua.

Pasal 201 Cukup jelas

Pasal 202

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Ayat (9) Cukup jelas

Pasal 203

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 204 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Page 181: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

44

Pasal 205 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 206

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 207

Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengurusan hutan adalah keseluruhan tindakan pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan dalam rangka mendapatkan manfaat dari hutan dengan tetap mempertahankan kelestariannya, untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang Sehingga pengurusan hutan menakup tindakan manajemen yang didalamnya terdapat komponen kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penerapan atau pelaksanaan kegiatan dan pengawasan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Prinsip-prinsip adalah disamakan dengan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dan berkenan dengan kebijakan affirmatif bagi Orang Asli Papua

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 208

Ayat (1) Huruf a Dimaksud dengan Kawasan Hutan adalah Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap

Huruf b Status Wilayah tertentu adalah status wilayah hutan sesuai fungsi hutan baik hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi

Huruf c Cukup jelas

Page 182: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

45

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 209

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 210

Ayat (1) Yang dimaksud dengan status hutan adalah mencakup hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan Hutan Adat adalah Hutan Ulayat milik masyarakat hukum adat. Ayat (3) Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas Pasal 211 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan inventarisasi hutan adalah dilaksanakan untuk mengetahui data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan inventarisasi hutan mencakup proses penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 212

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Ayat (2) Cukup jelas

Page 183: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

46

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 213

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 214

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 215

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 216

Cukup jelas Pasal 217

Ayat (1) Yang dimaksud dengan reklamasi hutan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapatberfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan reklamasi juga

Page 184: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

47

meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi. Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Yang dimaksud dengan Badan Hukum atau Badan Usaha adalah diposisikan sebagai Subjek Hukum antara lain dapat berbentuk perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi dan sejenisnya.

Pasal 218

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Ketahanan Pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengakses atau memperolehnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika seluruh anggota keluarga tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas Pasal 219

Cukup jelas Pasal 220

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 221

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 222

Ayat (1) Yang dimaksud dengan hewan endemik adalah hewan yang unik yang merupakan spesies biota pada wilayah Papua yang tidak diketemukan pada wilayah lain di Indonesia maupun di dunia. Hewan atau spesies dimaksud seperti Burung Cenderawasih, Kasuari, Burung Taon-taon, Buaya, Penyu dalam berbagai spesies. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan estate adalah rencana mewariskan atau rencana mendistribusikan atau rencana memindahkan tumbuhan dan hewan endemik dengan tujuan pelestarian, perkembangbiakan dan menghindari aksi kepunahan.

Page 185: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

48

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 223 Cukup jelas

Pasal 224

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan Khusus adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah, yang dikhususkan untuk mengurus masalah-masalah pembiayaan sektor pertanian yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan dan program pertanian di Tanah Papua

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 225 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Subsidi Program dan Pembiayaan adalah bantuan pembuatan program dan pemberian dana dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk penyediaan pupuk dan bibit tanaman atau benih dalam rangka memproteksi petani Orang Asli Papua.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan Pendidikan, Pelatihan dan Pendampingan bagi petani Orang Asli Papua adalah dalam rangka Proteksi terhadap Petani Orang Asli Papua.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 226

Cukup jelas Pasal 227

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Yang dimaksud dengan laut territorial adalah wilayah laut yurisdiksi nasional Indonesia, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau disingkat ZEEI adalah wilayah laut berdampingan dengan laut teritorial, eksklusif hanya untuk kepentingan ekonomi Indonesia seperti perikanan dan sumberdaya laut lainnya. Lebar ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal.

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Page 186: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

49

Ayat (8) Cukup jelas

Pasal 228

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 229

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 230

Ayat (1) Yang dimaksud dengan investasi adalah disamakan dengan penanaman modal baik oleh investor dalam negeri maupun yang dilakukan oleh investor asing di Tanah Papua, sedangkan perdagangan adalah termasuk perdagangan besar, perdagangan enceran atau retailing, perdagangan antar pulau, maupun perdagangan internasional.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan Izin ekspor impor adalah mencakup semua jenis barang dan jasa yang ada di Tanah Papua. Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 231

Yang dimaksud dengan keringan pajak dan pembebasan bea masuk adalah mencakup semuan jenis barang modal dan bahan baku termasuk barang jadi dengan tujuan menarik investor masuk menanamkan modalnya di Tanah Papua.

Pasal 232

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Page 187: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

50

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 233

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Usaha Pertambangan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pascatambang.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 234

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 235

Cukup jelas Pasal 236

Cukup jelas Pasal 237

Ayat (1) Yang dimaksud dengan sumberdaya alam tak terbarukan adalah sumberdaya alam yang tidak dapat diregenerasi dan terbatas dalam kuantitas. Sumberdaya alam yang terkait erat dengan sumber daya yang tidak berkelanjutan, dapat diregenerasi, tapi tidak pada tingkat yang terus dengan konsumsi. Termasuk dalam jenis ini adalah bahan bakar fosil seperti minyak dan gas alam, batubara, bijih, spesies tertentu dari tanaman dan hewan.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan Pengelolaan Bersama adalah pengelolaan Usaha Pertambangan antara Investor dengan Pemerintah atau Pemerintah Provinsi.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan Badan Pelaksana sebagai wadah pengelola bersama usaha pertambangan yang besifat konsultatif dan koordinasi, yang disepakati bersama antara investor dan Pemberintah atau Pemerintah Provinsi. Ayat (4) Yang dimaksud dengan Pihak lain adalah pihak ketiga atau pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan isi perjanjian

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Page 188: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

51

Ayat (8) Cukup jelas

Ayat (9) Cukup jelas

Pasal 238

Yang dimaksud dengan kesepakatan dalam ketentuan ini merupakan prasayarat perpanjangan perjanjian kontrak kerjasama.

Pasal 239

Huruf a Cukup jelas

Huruf b IUP adalah kepanjangan dari Izin Usaha Pertambangan. Huruf c Yang dimaksud dengan kewenangan adalah kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi.

Huruf d Yang dimaksud dengan informasi geologi terkait dengan informasi hasil survey geologi maupun bencana geologi.

Huruf e Yang dimaksud dengan neraca sumberdaya mineral dan batubara adalah alat evaluasi sumberdaya mineral dan batubara, yang menyajikan cadangan awal, perubahan atau pemanfaatan dan tingkat kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sebagai faktor degradasi lingkungan dan pembiayaannya serta keadaan akhir dalam bentuk tabel dan peta penyebaran sumber daya mineral dan batubara

Huruf f Cukup jelas

Huruf g Cukup jelas

Pasal 240

Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tataruang nasional adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruangwilayahnegara yang dijadikan acuan untuk perencanaan jangka panjang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Wilayah Pertambangan atau disingkat WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Yang dimaksud dengan Wilayah Usaha Pertambangan atau disingkat WUP adalah adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data potensi dan/atau informasi geologi.

Ayat (5) Yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat adalah suatu usaha pertambangan bahan galian dari semua golongan a, b dan c yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.

Page 189: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

52

Pasal 241 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan IUP adalah kepanjangan dari Izin Usaha Pertambangan

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 242

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Yang dimaksud dengan IPR adalah kepanjangan dari Izin Pertambangan Rakyat

Pasal 243

Cukup jelas Pasal 244

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Ayat (6) Yang dimaksud dengan dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi adalah dana yang ditempatkan atau disediakan oleh pemegang izin sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Pasal 245

Ayat (1) Yang dimaksud dengan yang seimbang adalah mengandung asas proporsionalitas atas kompensasi eksploitasi sumberdaya alam.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan dana perimbangan masyarakat adalah dana yang disiakan oleh pelaku usaha untuk pembangunan masyarakat sekitar wilayah konsensi.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan dana satu persen adalah dana dari harga total produksi yang dijual setiap tahun oleh perusahaan.

Page 190: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

53

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 246

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 247

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 248

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 249 Cukup jelas

Pasal 250

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Page 191: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

54

Pasal 251 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 252

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 253

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 254

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Page 192: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

55

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 255

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Ayat (9) Cukup jelas

Pasal 256

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 257

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Yang dimaksud dengan Tanah Adat adalah Tanah Ulayat yang bersifat kolektif-komunal milik masyarakat Hukum Adat. Hak-hak yang telah ada adalah hak atas tanah yang sudah ditetapkan sebelum Undang-Undang ini.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adat adalah dalam rangka penentuan batas dan status kepemilikan Tanah-tanah Adat.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan data yuridis adalah data-data kepemilikan tanah atau surat-surat tanah yang sudah ada yang berkaitan dengan

Page 193: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

56

kepemilikan dan bukti hak atas tanah.

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 258

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 259

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 260

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 261

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 262

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 263 Cukup jelas

Page 194: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

57

Pasal 264 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 265

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kegiatan pendidikan dan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk didalamnya Tridharma Perguruan Tinggi. Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 266

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Yang dimaksud dengan semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan adalah mencakup pendidikan nonformal dan formal, pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Yang dimaksud dengan memberi kesempatan kepada lembaga keagamaan, LSM dan dunia usaha adalah turut ambil bagian atau berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Papua.

Page 195: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

58

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Pasal 267

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Ayat (7) Cukup jelas

Ayat (8) Cukup jelas

Pasal 268

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 269

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 270

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 271

Ayat (1) Cukup jelas

Page 196: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

59

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 272

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 273 Cukup jelas

Pasal 274 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 275 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 276 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 277 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kebudayaan asli Papua adalah termasuk semua sub-sub system budaya yakni sub sistem religi, matapencaharian, bahasa, benda-benda budaya, kesenian, pranata atau kelembagaan adat

Ayat (2) Yang dimaksud dengan LSM adalah LSM yang mempunyai fokus pekerjaan atau bidang kerja berkaitan langsung dengan Perlindungan budaya masyarakat adat

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Page 197: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

60

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 278

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 279

Ayat (1) Yang dimaksud dengan standar mutu kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serta dalam penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan penyakit endemis adalah suatu keadaan penyakit secara menetap berada dalam masyarakat pada suatu tempat atau populasi tertentu.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan beban serendah-rendahnya adalah pembiayaan yang ringan dan terjangkau oleh warga masyarakat.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan lembaga keagamaan, LSM dan dunia usaha adalah yang fokus pekerjaannya di bidang pelayanan kesehatan. Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 280

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 281

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Page 198: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

61

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 282

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 283

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 284

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 285

Cukup jelas Pasal 286 Ayat (1)

Metode/teknik penularan dan penyebaran virus HIV/AIDS dimaksud dapat melalui :- darah,contoh : tranfusi darah, terkena darah HIV+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik;- cairan semen, air mani, sperma dan peju pria, contoh : laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks;- cairan vagina pada perempuan, contoh : wanita berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks; dan - air susu ibu/ASI, contoh : bayi minum asi dari wanita HIV+, laki-laki meminum susu asi pasangannya dan lain sebagainya. Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Page 199: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

62

Pasal 287 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 288

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 289

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 290

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 291

Ayat (1) Yang dimaksud dengan suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan suku-suku yang sulit dan belum terjangkau oleh layanan pemerintahan dan pembangunan.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan penanganan khusus sama artinya dengan memperoleh perhatian dari pemerintahdan diprioritaskan.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan LSM, Lembaga Keagamaan atau lembaga lain adalah yang mempunyai bidang pekerjaan langsung dengan penanganan masalah sosial.

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 292

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Page 200: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

63

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 293

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 294

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 295

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 296 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penegakan HAM Perempuan adalah mengakui dan menghormati persamaan gender antara lak-laki dan perempuan.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 297

Ayat (1) Dimaksud dengan Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Kekayaan Intelektual.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 298

Ayat (1) Cukup jelas

Page 201: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

64

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 299

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 300

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 301

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 302

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Yang dimaksud dengan kebijakan pembinaan, penataan kependudukan termasuk di dalamnya adalah pengendalian kependudukan di Tanah Papua.

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 303

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Page 202: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

65

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 304

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 305

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 306

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 307

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 308

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Page 203: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

66

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 309

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 310

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 311

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 312

Ayat (1) Cukup jelas

Page 204: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

67

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 313

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 314

Cukup jelas Pasal 315

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 316

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 317

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 318

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 319

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Page 205: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

68

Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 320

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 321

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 323

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 324

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 325

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 326

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 327

Cukup jelas

Page 206: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

69

Pasal 328 Cukup jelas

Pasal 329

Cukup jelas Pasal 330

Cukup jelas Pasal 331

Cukup jelas Pasal 332

Cukup jelas Pasal 333

Cukup jelas Pasal 334

Cukup jelas Pasal 335

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 336

Cukup jelas Pasal 337

Cukup jelas Pasal 338

Cukup jelas Pasal 339

Cukup jelas Pasal 340

Cukup jelas Pasal 341

Cukup jelas Pasal 342

Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …

Page 207: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tanah Papua senantiasa menghadirkan tantangan serius bagi Indonesia, baik tantangan

ketatanegaraan, pemerintahan, pembangunan maupun hubungan pusat-daerah. Sebuah

sistem yang sentralistik, otokratis, represif dan eksploitatif pada masa lalu merupakan

sejarah kelam bagi Papua, yang kemudian dikoreksi oleh semangat zaman reformasi.

Reformasi pasca-1998 mengedepankan demokratisasi, desentralisasi, penghormatan

terhadap hak asasi manusia (HAM), pengutamaan keadilan, penghargaan terhadap

keragaman lokal dan seterusnya. UU No. 22/1999 merupakan tonggak penting

desentralisasi yang memberikan pengakuan, peghormatan, penyerahan kewenangan,

sumberdaya, dan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah. Namun UU otonomi

daerah yang generik ini belum cukup memadai untuk Tanah Papua, karena perbedaan

sejarah, sosial budaya, dan ekonomi politik antara Papua dengan daerah-daerah lain di

Indonesia. Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

hadir sebagai jalan lain untuk menghormati dan mengakui perbedaan Papua.

Ditinjau dari segi yuridis, sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

menurut Undang-Undang Dasar Tahun1945 secara tegas mengakui dan menghormati

satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang

diatur dalam undang-undang. Dari sisi politik, Pemerintah menilai bahwa integrasi

bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan

dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat

Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus.

Dengan melihat bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari

ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang

memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri, maka

kebijakan otonomi khusus dapat diberikan. Pertimbangan tersebut juga didasari oleh

pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di

Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum

sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya

mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan

penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat

Papua, termasuk bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi

Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan

daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,

penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan

ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka

kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Undang-Undang ini

menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek

utama pembangunan. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah

Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan

pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-Undang ini juga mengandung

Page 208: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

2

semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk

menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan

memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.

Pemberian kebijakan Otsus sendiri diberikan dengan melihat sisi penegakan hak-hak

dasar di Papua. Pada UU ini disebutkan bahwa pemberlakuan kebijakan khusus

didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan

terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi

hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban

sebagai warga negara. Pemberian otonomi khusus dengan demikian juga diletakkan

pada keyakinan bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk

memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar

serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan

perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.

Di sisi pembangunan, kesenjangan antara Papua dengan provinsi lain merupakan

perhatian afirmatif UU Otonomi Khusus. Ada kesepakatan kolektif antara Pemerintah

Pusat, DPR, dan Papua menggunakan UU Otonomi Khusus sebagai jalan untuk

mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, sekaligus

meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan

kesempatan kepada orang asli Papua dalam pemerintahan dan pembangunan. Dari sisi

ini, pemberian Otsus didukung oleh masyarakat dan elit Papua, khususnya untuk

merespon kemiskinan di Papua. Pada tahun 2002, Gubernur Papua pada saat itu

menyampaikan bahwa sekitar 75 % warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah

garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan

udara di daerahitu. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi menghambat

program-program pembangunan pemerintah yang akan dilaksanakan bagi kepentingan

masyarakat di seluruh Papua. Seperti sejarah mencatat bahwa Gubernur J.P. Solossa1

pernah menyatakan optimismenya dengan Otonomi Khusus. Dengan Otsus, Papua dapat

mengatasi persoalan ketertinggalan dan kemiskinan.

Setelah UU No. 21/2001 hadir mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap

warga Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif di Papua.

Gejolak demi gejolak secara politis diharapkan dapat diselesaikan secara bermatabat.

UU itu diharapkan dapat menjawab berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah

lebih memperhatikan pembangunan Papua yang tertinggal. Ketimpangan pembangunan

Papua yang menyulut beragam masalah, juga diharapkan dapat berkurang dan

masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih setelah terjadi pemekaran Provinsi

Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pada tahun 2003 yang sempat

mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru diresmikan pada tahun 2008

melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. Makna

pemekaran daerah sebagai upaya untuk perbaikan pelayanan publik dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua.

1Lihat Jacobus Pervidya Solossa, Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di

dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006, h. 78.

Page 209: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

3

Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan

khusus ini. Pertama agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui

pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua dan Papua Barat

yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk

kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan

kesenjangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Provinsi lainnya.

Kedua agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah

keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan

dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan Pusat

dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk keadilan dalam konteks

pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda pertama.

Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta

pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua. Demikian juga dengan

agenda pemberdayaan secara strategis dan mendasar, agar orang asli Papu menjadi

lebih berdaya secara politik dan ekonomi.

Keempat penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang,

tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan

kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya. Itikad

pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang

dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan pada tahun

2002 sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69 T untuk

Papua. Adapun Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus sejak tahun

2009 setelah secara resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan dana otonomi

khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan

otonomi khusus di kedua Provinsi.

Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu

pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan

ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur. Dari hari ke hari pemerintah

provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Papua terus menerus melakukan inovasi

pembangunan di empat agenda besar itu. Namun demikian cerita tentang Papua masih

banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan

otonomi khusus Papua dan Papua Barat.

Setelah sebelas tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua ternyata belum dapat

dikatakan berhasil, bila diukur dari 4 (empat) bidang pokok yang menjadi sasaran

Otonomi Khusus seperti, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan

pembangunan infrastruktur. Dalam praktik masih ditemukan berbagai permasalahan

seperti masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di

kampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif

mahal di sejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Papua masih tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional, yakni di

kisaran 50,0 - 65,9. 5Di bidang kesehatan, kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi

Papua dan Provinsi Papua Barat juga masih jauh dari harapan. Kasus kematian ibu

melahirkan dan bayi baru lahir, angka gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta

Page 210: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

4

dan penyakit lainya masih banyak terjadi. Pada sektor pemberdayaan ekonomi, pribumi

Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar kabupaten/kota di Papua masih tetap

berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik matahari, emperan toko dan terus

tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan pembangunan

infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat asli Papua.

Di bidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarga korban

pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga 11 (sebelas) tahun Otonomi

Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)

maupun pengadilan HAM. Kegagalan Otonomi Khusus juga disuarakan oleh berbagai

lapisan masyarakat Papua, ketidakmanfaatan dari otonomi khusus yang awalnya

merupakan suatu jalan dimana dapat menjadi jembatan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak berjalan mulus.

Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin mengemuka, bukan lagi

dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terhadap

pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Pemerintah sebagai penanggung

jawab akhir pelaksanaan otonomi daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi

otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri dan

Lembaga Administrasi Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan

Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan

dan melaksanakan Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

Dengan demikian terdapat sejumlah argumen yang mendasari pentingnya evaluasi

Otsus Papua. Pertama, implikasi UU Otonomi Khusus hingga Inpres Nomor 5 Tahun

2007 Tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat telah memberi ruang

kewenangan yang lebih kepada Provinsi. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik

kewenangan ini tentu melekat berbagai tanggungjawab yang harus dilaksanakan untuk

mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus

menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan

Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian terdahulu dapat ditarik

kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai tujuan yang

diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi Papua

dan Papua Barat yang masih sangat mencolok.

Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas

berimplikasi pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program

pembangunan, yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun

bagaimana interaksinya dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang

krusial bagi terselenggaranya otonomi khusus dengan baik.

Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang

harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan

tantangan yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang

dinamis.

Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu

untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi nasional dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman

Page 211: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

5

kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang

tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan percepatan

pembangunan Papua dan Papua Barat.

Berdasarkan perkembangkan selama satu dekade terakhir dan hasil evaluasi otonomi

khusus Papua dan Papua Barat, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang

Yudhoyono berkehendak meninjau ulang dan sekaligus memperkuat otonomi khusus

untuk meraih kemajuan dan kemuliaan Papua. Secara politik Presiden sudah berdialog

intensif dengan Gubernur, Wakil Gubernur, Majelis Rakyat Papua dan DPRD, yang

menghasilkan kesepakatan agung untuk merevisi UU No. 21/2001.

Identifikasi Masalah

Ada sejumlah masalah krusial dalam pelaksanaan otonomi khusus di Tanah Papua,

yakni masalah jati diri/identitas diri, masalah politik (pertahanan, keamanan, partai

politik, rekruitmen politik), masalah pemerintahan khususnya mengenai kewenangan

dan tata pemerintahan di Tanah Papua, masalah sosial (kesehatan, pendidikan,

keagamaan, kesejahteraan sosial), masalah ekonomi (kemiskinan, SDM, pemenuhan

kebutuhan dasar), budaya (hak cipta, lembaga adat, lambing,bendera), infrastruktur,

masalah Hak Asasi Manusia dan penegakan hukum.

UU No. 21/2001 dinilai sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.

Pertama, bahwa UU 21/2001 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.

Kedua, bahwa telah terjadi perubahan tata pemerintahan di Provinsi Papua dengan

adanya Pembentukan Provinsi Papua Barat. Ketiga, adanya DPRP dan MRP di Provinsi

Papua Barat. Keempat, perkembangan konteks, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat

di tanah Papua. Kelima, mengakomodir kewenangan bidang lain yang diperluas untuk

diatur dalam RUU baru.

Secara garis besar ada tiga level masalah (pertanyaan) yang dikedepankan oleh Naskah

Akademik ini. Pertama, masalah (pertanyaan) fundamental, yang terkait dengan

hakekat, manfaat dan visi. Apa hakekat dan makna Tanah Papua bagi rakyat Papua dan

Indonesia? Apa hakekat dan makna otonomi khusus bagi Papua, bagi rakyat, bagi orang

asli Papua dan bagi Indonesia? Apa visi-misi baru otonomi khusus yang relevan untuk

meraih kemajuan dan kemuliaan Papua? Kedua, masalah (pertanyaan) struktural.

Bagaimana relasi baru antara Pusat dengan Tanah Papua yang menjamin keadilan bagi

Papua? Bagaimana mengatasi berbagai masalah struktural seperti kesenjangan,

ketimpangan, kemiskinan dan ketertinggalan Tanah Papua maupun orang asli Papua?

Bagaimana memperkuat eksistensi, representasi dan partisipasi orang asli Papua dalam

politik, pemerintahan dan pembangunan? Ketiga, masalah (pertanyaan) institusional.

Bagaimana disain institusional desentralisasi dan otonomi khusus Tanah Papua yang

lebih tepat dan mampu menjawab tantangan fundamental dan struktural? Bagaimana

skema pembagaian sumberdaya antara Pusat dan Papua? Bagaimana disain

institusional sebagai jalan tengah untuk membangun keseimbangan antara kepentingan

sektoral dan teritorial maupun antara nasional dan lokal? Bagaimana disain

institusional yang tepat untuk penguatan eksistensi, representasi dan partisipasi orang

asli Papua?

Page 212: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

6

Maksud dan Sasaran

Naskah Akademik ini menjadi dasar bagi RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah

Papua sebagai bentuk revisi atas UU No. 21/2001. Maksud dan sasaran RUU baru ini

adalah:

a. Menembah atau memperluas kewenangan yang menjadi dasar hukum bagi

otonomi khusus Tanah Papua.

b. Memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi orang asli Papua;

c. Mewujudkan kesejahteraan bagi orang asli Papua dan seluruh penduduk Papua.

Berdasarkan sasaran tersebut maka ruang lingkup RUU ini mengatur Kewenangan

pemerintahan Papua yang diperluas untuk pembangunan diberbagai sektor yang dapat

dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan masyarakat adat;

perlindungan orang asli Papua; pelestarian adat; dan penyelesaian pelanggaran HAM

masa lalu.

Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik

Naskah akademik ini digunakan sebagai arah dan justifikasi akademik bagi penyusunan

rancangan undang-undang (RUU) Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua. Tujuan

spesifik naskah akademik ini diharapkan menjadi panduan dalam penyusunan dan

perumusan norma dalam RUU tentang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua. Tujuan pembuatan naskah akademik ini adalah: 1. Memberikan landasan dan kerangka pemikiran bagi RUU Pemerintahan Otonomi

Khusus Tanah Papua.

2. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang ada dan harus ada dalam

RUU-PP,

3. Melihat keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga

jelas kedudukan dan ketentuan yang diaturnya.

4. Memberikan bahan dan data untuk menjadi bahan pembanding antara peraturan

perundang-undangan yang ada dalam merancang RUU.

Kegunaan naskah akademik dapat diperoleh dari dua macam kegunaan, yakni secara

teoritis dan praktis.

1. Kegunaan teoritis adalah untuk :

a. Memberikan gambaran yang tertulis sehingga dapat menjadi panduan bagi Dewan

Perwakilan Rakyat untuk mengkaji dan merumuskan RUU.

b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan terhadap

masyarakat.

c. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mewujudkan

ketertiban hukum terutama mengenai Kewenangan RUU.

2. Kegunaan Praktis :

a. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat berguna dan menjadi bahan

masukan bagi pihak-pihak terkait dalam penyusunan RUU.

b. Diharapkan dapat memberikan paradigma baru tentang penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua lewat RUU.

Page 213: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

7

BAB II

TINJAUAN TEORETIK

Sejumlah pertanyaan penting dalam identifikasi masalah membutuhkan jawaban secara

teoretik. Bab ini, dengan judul tinjauan teoretik, akan memaparkan sejumlah konsep

dan perspektif yang berguna untuk menjawab pertanyaan. Pertama, desentralisasi

asimetris yang berguna untuk memahami disain institusional otonomi khusus atau

otonomi daerah secara beragam. Kedua, konsep rekognisi untuk memahami frasa

mengakui dan menghormati keragaman dan perbedaan Papua. Ketiga, teori keadilan

untuk memahami prinsip-prinsip keadilan yang relevan untuk Papua dan orang asli

Papua. Keempat, kebijakan afirmatif, sebagai turunan dari rekognisi dan teori keadilan,

untuk memahami tindakan khusus terhadap Papua dan orang asli Papua (OAP), untuk

mencapai keadilan. Kelima, teori demokrasi (lokal) untuk memahami tatapemerintahan

serta representasi dan partisipasi rakyat Papua.

Desentralisasi Asimetris

Otonomi khusus Tanah Papua tidak cukup dipahami dengan desentralisasi generik,

yang berlaku umum untuk setiap daerah. Naskah Akademik ini mengedepankan

desentralisasi asimetris untuk memahami dan mengerangkai Otonomi Khusus Tanah

Papua. Apa dan mengapa desentralisi asimteris?

Studi literatur memperlihatkan bahwa ahli pertama yang memulai debat seputar

desentralisasi asimetris adalah Charles Tarlton (1965) dari University of California USA.

Menurutnya pembeda inti antara desentralisasi biasa (simetris) dan desentralisasi

asimetris terletak pada tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality)

dalam hubungan suatu level pemerintahan negara bagian/daerah dengan sistem politik

dan pemerintahan pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola simetris ditandai

oleh the level of conformity and commonality in the relations of each seperate political

unit of the system to both the system as a whole and to the onther component units.

Dalam konteks ini hubungan simetris antar setiap unit lokal dengan pemerintah pusat

tersebut didasari jumlah dan bobot kewenangan yang sama. Sedangkan pola simetris,

satu atau lebih unit politik atau pemerintahan lokal “possessed of carrying degrees of

autonomy and power.” 2

Perbedaan derajat otonomi dan kekuasaan berupa ketidakseragaman pengaturan

muatan kewenangan itu membentuk derajat hubungan yang berbeda pula antar

negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit politik lainnya baik secara horizontal

(antar daerah) maupun vertical (dengan pusat). Khusus mengenai pola simetris Tarlton

(dalam Robert Endi Jaweng), menekankan: In the model asymmetrical system each

component unit would have about itu a unique feature or set of features which would

separate in important ways, its interests from those of any other state or the system

considered as a whole.”

2Lihat Robert Endi Jaweng, “Kritik Terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia”,

Analisis CSIS, Politik Kekerabatan di Indonesia, Vol. 40, No. 2, Juni 2011, h. 160-172.

Page 214: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

8

Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut Kausar3

merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris”. Artinya, kebijakan

desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di

provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk

mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya.

Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa

harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk.

Dengan demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap

dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah

itu sendiri. Selain itu berbagai literatur berkaitan dengan devolusi asimetris, juga dapat

ditelaah untuk memahami konsep kekhususan otonomi Papua dan Papua Barat. De

facto asymmetry.

Terdapat sejumlah tujuan positif tentang manfaat desentralisasi asimetris.

Desentralisasi asimetrik bisa menjadi model yang dapat digunakan untuk mencapai

tujuan politis yaitu tujuan stabilitas, integrasi, dan legitimasi bagi pemerintahan

nasional. Kekhususan yang dimiliki daerah-daerah berdasarkan sejarah, etnis bahasa,

agama, ataupun kombinasinya akan terakomodasikan melalui struktur pemerintahan

khusus. Model desentralisasi asimetris dianggap sebagai berpotensi menyelesaikan

konflik yang bersifat politis dan etnis dalam kondisi sosial yang terfragmentasi.Dengan

demikian pilihan otonomi khusus secara konsep dapat menjadi strategi untuk

mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal yang seringkali menimbulkan gejolak

perlawanan terhadap pemerintahan nasional.

Alasan lain penerapan desentraslisasi asimetris dilandasi oleh tujuan ekonomi seperti

pencapaian efisiensi kepemerintahan daerah, peningkatan kualitas pelayanan.

Perbedaan instrument fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam

desentralisasi fiskal asimetris juga dilandasi argumen ekonomis. Argumen ekonomis

dimaksud sebagaimana disampaikan oleh Tiebout dan Oates4 bahwa sistem yang

3 Kausar As, Perjalanan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, diakses dari http://

inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/perjalanan-kebijakan-desentralisasi-di-

indonesia/. Ia menyatakan bahwa berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional,

struktural maupun teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi

daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan tepat. Jauh

sebelum Republik ini lahir, pola pendelegasian wewenang (desentralisasi) sudah dipraktikan.

Pun juga pada jaman penjajahan Belanda dulu, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui

undang-undang densentralisasi (desentralisatie wet) tahun 1903. Begitu pula pada jaman

penjajahan Jepang, kebijakan desentralisasi Belanda tetap diteruskan. 4 Tiebout & Oates, dapat dilhat dan dibandingkan dengan Oates’ decentralization

theorem and public governance dalam Luciano G. Greco June 2003 Preliminary Draft, diakses

dari http://www-3.unipv.it/websiep/wp/236, dalam abstraknya yang sangat menarik Greco

menyatakan bahwa Oates’ decentralization theorem (Oates [23]) grounds on the assumption

that the central government is incapable to discriminate public policy on a regional basis. This

assumption has sometimes been justified by some informational advantage of local

governments about the social and economic features of regions (Oates [24]). Under the

Revelation Principle, asymmetric information cannot be proved to be sufficient to explain why

the central government does not replicate the allocation of local governments, when

governments are benevolent. Moreover, empirical analysis seems to prove that central policies

are not uniform across countries. On the basis of a stylized model of public sector governance ,

this paper proves that centralization and decentralization are equivalent (Weak

Page 215: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

9

terdesentralisasi akan lebih mampu mengakomodasi perbedaan pilihan untuk

pelayanan publik. Tujuan efisiensi selaras dengan motif administratif dalam penerapan

desentralisasi asimetris, khususnya berkenaan dengan adanya perbedaan kapasitas

antar daerah dalam menjalankan administrasi publik. Penyediaan properti dan

pelayanan publik serta kebijakan publik yang efisien bergantung pada birokrasi yang

berfungsi dengan baik. Di samping itu hal ini juga dipengaruhi oleh institusi politik yang

mendukung. Jika daerah memiliki kapasitas yang lebih baik dalam menjalankan

pemerintahan daripada daerah lain, akan lebih efisien jika kewenangan fiskal tertentu

didesentralisasikan pada daerah yang memiliki kapasitas yang lebih baik daripada

diberikan pada daerah yang kapasitasnya tidak memenuhi.

Joachim Wehner5 berpendapat yang serupa mengenai manfaat desentralisasi

asimetris. Menurutnya tatanan yang asimetris bisa saja merupakan produk yang

dilandasi tujuan politis, untuk mencegah ketegangan etnis atau religious namun juga

dapat dilakukan untuk14mencapai tujuan-tujuan ekonomi seperti efisiensi, pengelolaan

makro ekonomi yang lebih baik, dan harmonisasi dalam bidang administrasi

(administrative cohesion).

Pendekatan asimetris (dalam beberapa bagian tugas dan tanggungjawab termasuk

urusan pemerintahan dan pembangunan dikaitkan dengan kewenangan) seperti

kehadiran aturan fiskal khusus dapat diterapkan di negara yang memiliki banyak

perbedaan. Skema ini juga dapat diimplementasikan dengan tujuan politis dimana

daerah tertentu mengalami ketimpangan pembangunan dan populasi multietnis.

Devolusi6 yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan pengorganisasian institusi

pemerintahan substansial serta akses pada sumber daya yang penting dapat

Decentralization Theorem), whenever informational spillovers across regions are assumed

away. Moreover, the preference for decentralization (or centralization) is shown to crucially

depend on the conflict among public sector players for information rent distribution. 5Lihat Wehner, Joachim and de Renzio, Paolo (2013), “Citizens, legislators, and executive

disclosure: the political determinants of fiscal transparency”, World Development, 41 . pp. 96-108.

Joachim Wehner, dalam abstraknya menyatakan Increased fiscal transparency is associated

with improved budgetary outcomes, lower sovereign borrowing costs, decreased corruption,

and less creative accounting by governments. Despite these benefits, hardly any effort has been

invested in exploring the determinants of fiscal transparency. Using a new 85-country dataset,

we focus on two important sources of domestic demand for open budgeting: citizens and

legislators. Our results suggest that free and fair elections have a significant direct effect on

budgetary disclosure, and that they dampen the adverse effect on fiscal transparency of

dependence on natural resource revenues. We also find that partisan competition in

democratically-elected legislatures is associated with higher levels of budgetary disclosure. 6 Devolusi menurut Soeryo Adiwibow adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari

Pemerintah Pusat atau Daerah ke organisasi lokal masyarakat atau quasi otonom organisasi

pemerintah untuk mengambil keputusan, menangani keuangan dan mengelola manajemen

masalahmasalah yang berkaitan dengan layanan umum, diakses dari http://

ahnku.files.wordpress.com/2011/02/desentralisasi-devolusi-psda. Catatan dari devolusi

adalahmemberikan beberapa kewenangan penting kepada pemerintah daerah seperti

perpajakan dan pelayanan daerah. Pertimbangan utama dari devolusi adalah pemberdayaan

masyarakat, di mana konstituen local diberikan hak untuk menentukan pemerintahan mereka

dengan lebih baik. Devolusi adalah elemen utama, walaupun bukan satu-satunya dalam

desentralisasi Indonesia. Diakses dari Risalah Desentralisasi BAPPENAS-UNDP May 2009.

http://www.undp.or.id/pubs/docs/risalah%20desentralisasi.pdf

Page 216: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

10

meningkatkan identitas regional tanpa melemahkan identitas nasional. Pengalaman

semacam ini dapat dilihat pada desentralisasi asimetris diberbagai negara seperti

Kanada, Spanyol, maupun Britania. Desentralisasi asimetris juga diterapkan untuk

tujuan hukum (legal reasons). Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan

konstitusional. Disamping itu, desentralisasi asimetris untuk tujuan ini bisa juga

dilakukan dalam rangka menjalankan kesepakatan internasional yang telah diratifikasi

(ratified international agreements).

Penerapan desentralisasi asimetris, sekalipun memungkinkan tercapainya manfaat

sebagaimana disampaikan dalam argumen positif tentang kebijakan tersebut, juga

memungkinkan timbulnya berbagai persoalan atau risiko-risiko tertentu. J. Livack, dkk

mencatat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan masalah yang fundamental: yakni

perlunya suatu hukum yang memperlakukan semua unit dengan sama disatu sisi,

sementara disisi lain dihadapan kenyataan bahwa ada perbedaan yang luas diantara

unit- unit tersebut. Ditambahkan pula bahwa pendekatan desentralisasi asimetris juga

memiliki risiko meningkatkan kesenjangan, karena adanya kekuasaan (power) yang

lebih.7

Meski model penerapan kewenangan asimetris dapat dipertimbangkan untuk

menyelesaikan konflik politik dan etnis dalam masyarakat yang terfragmentasi, namun

tidak menjamin bahwa masyarakat yang terfragmentasi tersebut dapat menjadi lebih

koheren jika pemerintah pusat hanya menerapkan desentralisasi politik, administratif,

dan fiskal saja. Reformasi lain perlu dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut.

Pendekatan asimetris tidak mengarah pada separatism, namun sebaliknya dapat

memelihara unitarisme. Akan tetapi kebutuhan riil, kondisi, dan kapasitas masing-

masing area haruslah menjadi kriteria pembedaan transfer khusus atas kompetensi dan

tanggung jawab dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam

unit-unit lokal yang dikelola secara berbeda di suatu negara.

Sejarah yang ditunjukkan berbagai negara Balkan seperti Macedonia, Serbia, Kosovo

memberikan pelajaran bahwa upaya tersebut tidak berjalan tanpa masalah, sementara

dalam benak masyarakat mereka tetap menginginkan pendekatan yang berbeda untuk

menyelesaikan masalah keseharian mereka. Logika fiskal dalam hal ini bisa terlihat

tidak relevan ketika dihadapkan pada masalah keseharian yang dihadapi masyarakat

lokal. Diperlukan suatu model desentralisasi yang spesifik. juga memberikan catatan

bahwa pilihan prinsip-prinsip (model) yang diterapkan dalam desentralisasi asimetris

mempengaruhi keberhasilannya. Di berbagai negara kesatuan, contoh penerapan

desentralisasi asimetrik dapat dijumpai di Spanyol-Catalonia, Basque Country, dan

Galicia, Italia-di 5 (lima) daerah, Perancis- Corsica, Denmark- Greenland, Tanzania-

Zanzibar, UK-Irlandia Utara, Scotland, Wales, Finlandia- Sami dan sebagainya. Di

Spanyol, pemerintah pusat mengatur level otonomi yang berbeda bagi daerah.

Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat otonomi yang cenderung lebih

besar dibanding daerah lain. Hal ini mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hak-

hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara historis.

7 Teresa Garcia-Milà dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An

Asymmetric Transition to Democracy, paper 22 Maret, 2002.

Page 217: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

11

Desentralisasi fiskal asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan

menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol dan menjadi landasan yang penting

dalam transisi menuju demokrasi. Italia, menerapkan desentralisasi asimetris yang

dituangkan dalam hukum konstitusi yang disahkan oleh Parlemen Italia. Terdapat lima

daerah, yakni Sardinia, Sicily, Trentino- Alto Adige/Südtirol, Aosta Valley, dan Friuli-

Venezia Giulia, yang memiliki otonomi yang khusus. Status otonomi khusus tersebut

memberikan kekuasaan yang relatif lebih besar dalam hal legislasi dan administrasi.Di

samping itu, daerah tersebut juga memiliki otonomi finansial yang signifikan. Friuli-

Venezia Giulia memiliki 60% dari keseluruhan pajak, sementara Sicily memiliki 100%

dari pajak dan daerah-daerah tersebut memiliki kebebasan menentukan bagaimana

pendapatan tersebut digunakan. Otonomi khusus tersebut didasarkan pada

pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang dihuni penduduk

berbahasa minoritas. Aosta Valley dihuni penduduk berbahasa Prancis, Friulli-Venezia

Giulia penduduknya kebanyakan berbahasa Slovenia, sementara Trentino- Alto

Adige/Südtirol penduduknya mayoritas berbahasa Jerman. Di samping itu, kondisi

geografis yang terisolasi juga turut menjadi pertimbangan.

Di dalam praktik otonomi daerah di Indonesia paling tidak terdapat tiga bentuk yang

dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Pertama, desentralisasi

asimetris yang dikemas dalam kerangka Undang-Undang yang berlaku saat ini, yakni

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya

juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada

daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk

kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus

untuk Papua ( Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001) dan Nangroe Aceh Darussalam

(Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006),

serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2007). Desentralisasi asimetris yang dianut dalam Undang-Undang tentang

Otonomi khusus Papua mencakup aspek politik dan fiskal. Di dalam banyak hal, tujuan

politik dan ekonomi cenderung mewarnai kebijakan otonomi khusus, namun kebijakan

ini tidaklah permanen, meski diterapkan dalam jangka panjang.

Belakangan semakin banyak institusi dan sarjana yang mempromosikan desentralisasi

asimetris di Indonesia. Studi Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL-UGM yang

dipimpin Pratikno (2010), misalnya, mengidentifikasi sejumlah alasan di balik

desentralisasi asimetris. Pertama, alasan konflik dan tuntutan separatisme. Tidak dapat

dipungkiri, dua daerah (tiga Provinsi) yaitu Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua

Barat mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk otonomi khusus karena konflik

antara kedua daerah tersebut dengan pemerintah nasional yang antara lain karena

perebutan sumber daya. Jika diringkas, otsus untuk Aceh dan Papua secara prinsipil

terdiri dari: (a) Dana Otonomi Khusus sebagai kompensasi ketiga provinsi masih dapat

bergabung di Republik Indonesia; (b) Pengakuan terhadap identitas lokal yang

terwujud dalam institusi politik. Di Aceh proses ini ditandai dengan embaga baru Wali

Nangroe yang merepresentasikan adat dan agama. Di Papua, wewenang diberikan

kepada Majelis Rakyat Papua yang merepresentasikan adat, agama dan perempuan; (c)

pengakuan terhadap simbol-simbol lokal seperti bendera, bahasa dan sebagainya.; (d)

Partai politik lokal yang di ada di Aceh; (e) Kebijakan afirmatif dalam kepemimpinan

lokal. Di Aceh, kandidat pemimpin lokal harus dapat membaca Al Quran, sementara

pemimpin di Papua harus orang asli Papua; (f) pengaturan sumber daya alam. Selain

Page 218: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

12

dana otsus yang berjumlah besar, pengelolaah sumberdaya daerah adalah isu yang

spesifik. Aceh memiliki beberapa kekhususan spesifik terkait dengan pengelolaan

sumber daya, misalnya pertanahan, hutan dan eksploitasi minyak.

Kedua, alasan ibukota negara. Perlakuan khusus ini hanya diberikan untuk Provinsi

DKI. Mengingat DKI yang wilayahnya terjangkau dengan infrastuktur terbaik di negeri

ini, perlakuan khusus diwujudkan dalam ketiadaan pemilukada untuk Bupati/Walikota

dan tidak ada DPRD Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Gubernur. Konsekuensinya,

pemilukada Gubernur menggunakan sistem absolute majority dimana pemenang

sedikitnya mendapatkan 50% suara. Di daerah lain, kandidat cukup mendapatkan lebih

dari 30% suara untuk memenangkan pemilukada.

Ketiga, alasan sejarah dan budaya. Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan

perlakuan istimewa mengingat sejarahnya di masa revolusi dan perebutan

kemerdekaan. Perlakuan ini terlihat dari penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur di

DIY yang dilakukan oleh DPRD. Gubernur DIY adalah Sultan yang bertahta dan Wakil

Gubernur DIY adalah Pakualam yang bertahta. Penentuan Sultan dan Pakualam

diserahkan kepada institusi keratin/pakualam masing-masing. Kedua pemimpin ini

tidak boleh bergabung dengan partai politik. Pada level kabupaten/kota tetap sama

dengan daerah lainnya.

Keempat, alasan perbatasan. Menurut Tim JPP (JPP-UGM 2010), perbatasan perlu

mendapatkan perlakuan khusus mengingat perannya sebagai batas dengan negara

tetangga. Daerah perbatasan memegang fungsi penting karena kompleksitas masalah

yang dihadapi. Daerah perbatasan perlu diperlakukan sebagai halaman depan dan

bukan halaman belakang RI. Perlakuan daerah perbatasan, misalnya di Kalimatan Barat

hendaknya berbeda, misalnya dengan mewajibkan gubernur berasal dari kalangan

militer karena potensi pelintas batas yang tinggi disamping penguatan infratruktur dan

pelayanan pendidikan dan kesehatan. Tentu detail tentang asimetrisme perbatasan

masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

Kelima, pusat pengembangan ekonomi. Daerah yang secara geografis memiliki peluang

untuk menjadi daerah khusus ekonomi seharusnya dikembangkan agar memiliki daya

saing ekonomi tinggi. Daerah seperti Batam dapat dikembangkan dan dibentuk untuk

bersaing dengan Singapura. Alokasi kekhususan misalnya menyangkut bea masuk dan

pengembangan infrastruktur pengembangan ekonomi seperti pelabuhan dan tata

sistem pelabuhan. Pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok di Jakarta,

diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena posisi geografisnya. Jika

Batam dikembangkan dengan pelabuhan modern dengan sistem yang lebih canggih,

tidak mustahil mampu mengambil potensi pelabuhan Singapura yang memiliki

keterbatasan ruang.

Secara teoretik dan empirik ada beragam model desentralisasi asimetris. Jacobus

Perviddya Solossa mencontohkan beberapa wilayah di dunia yang memperoleh status

desentralisasi asimetris di dalam negara yang berdaulat diantaranya adalah Provinsi

Cordillera dan Provinsi Mindanao di Filipina, Zansibar di Tanzania, Hong Kong dalam

kaitannya dengan China, Greenland dalam kaitannya dengan Denmark, Puerto Rico

dalam kaitannya dengan Amerika Serikat, berbagai masyarakat otonom di Spanyol,

wilayah Aland dalam kaitannya dengan Finlandia, Scotlandia dalam kaitannya dengan

Page 219: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

13

Inggris dan belakangan Papua dan Aceh di Indonesia, serta Bougainville di Papua New

Guinea (PNG).8

Hannum (dalam J.P. Solossa)9 menyimpulkan paling tidak dua manfaat yang bisa

diperoleh dari pendekatan dan pemberlakuan desentralisasi/ asimetris atau otonomi

khusus yaitu (1) sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau

konflik-konflik fisik lainnya. Ia mencontohkan hubungan Hongkong dan China, dimana

Hong Kong jelas adalah daerah kedaulatan China sebagai suatu negara, tetapi Hong

Kong diberi sejumlah kewenangan penting dalam pengertian politik, hukum dan

ekonomi, (2) sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah-masalah

kaum minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang diperhatikan misalnya

sebagaimana yang tercantum dalam CSCE Copenhagen Document 1990.

Pratikno dkk (2010) mengdepankan tiga model desentralisasi asimetris. Pertama,

model desentralisasi asimetris penuh. Setiap daerah diperlakukan secara berbeda

karena pluralisme ekstrim yang harus direspons Pemerintah Nasional. Level daerah

yang didefinisikan sebagai asimetris juga tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah

seperti apa asimetris diberikan. Model ini memang bisa menjawab keragaman daerah,

namun juga berpotensi menghasilkan anarkhisme dalam hubungan pusat daerah.

Prasyarat pengembangan model ini adalah kapasitas nasional dalam melakukan

supervisi desentraisasi.

Kedua, model asimetris berbasis kategori kemajuan sosial ekonomi. Berbagai kawasan

yang ada dijustifikasi secara berbeda dengan mempertimbangkan beberapa ukuran,

misalnya ukuran teknokratis, dengan memperhatikan aspek-aspek sosial dan ekonomi

tertentu. Secara umum, definisi model ini bisa berangkat dari ukuran-ukuran

pembangunan dengan membedakan antara kawasan yang tertinggal. Dalam konteks

Indonesia, perbedaan perlakuan atas kawasan perbatasan dan kepulauan misalnya,

akan bisa menjadi pertimbangan atas bentuk asmetris yang akan dikembangkan.

Contoh lain dalam kategori ini adalah derajat kemajuan sosial-ekonomi, yang

menghasilkan kateori desa-kota. Pengembangan model ini akan menjadi jawaban

untuk pengembangan kawasan dengan kemajuan ekonomi dan persoalan urbanisasi

yang sangat maju.

Ketiga, model kombinasi antara otonomi khusus dan otonomi reguler. Model sang

sangat jamak ditemui adalah otonomi khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan

ketegangan antara pemerintah nasional dengan subnasional yang mengarah ke

gerakan-gerakan pemisahan diri (separatisme) atau dikarenakan karakter daerah yang

sangat spesifik. Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk desentralisasi yang bersifat

regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus utk daerah-daerah tertentu. Dalam

desain desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, pilihan terhadap model ini

sudah dilakukan dalam kasus 4 daerah khusus/istimewa

8 Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua….Op. Cit. h.67 9 Ibid. h. 55

Page 220: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

14

Rekognisi

UUD 1945 mengenal asas otonomi dan frasa negara “mengakui dan menghormati”

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang bersifat khusus dan istimewa. Dalam

tradisi ilmu sosial, asas otonomi diteorisasikan dengan desentralisasi, sementara

“mengakui dan menghormati” dikonseptualisasikan dengan rekognisi.

Rekognisi memang tidak lazim dibicarakan dalam semesta teori hubungan pusat dan

daerah; ia lebih dikenal dalam pembicaraan tentang multikulturalisme. Dalam

masyarakat multikultur senantiasa menghadirkan perbedaan dan keragaman identitas

baik suku, agama, warna kulit, seks dan lain-lain. Bahkan juga menghadirkan pemilahan

antara mayoritas versus minoritas, dimana kaum minoritas sering menghadapi eksklusi

secara sosial, budaya ekonomi dan politik. Kaum minoritas merasa menjadi warga

negara kelas dua yang tidak memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan kaum

mayoritas. Karena menghadapi eksklusi, tidak kelompok atau komunitas yang berbeda

maupun kaum minoritas memperjuangkan klaim atas identitas, sumberdaya, legitimasi

dan hak. Tindakan negara menghadapi klaim-klaim itu menjadi isu penting dalam

pembicaraan tentang rekognisi.

Meskipun rekognisi lahir dari perut multikulturalisme, tetapi ia terkait dengan

keadilan, kewargaan dan kebangsaan; bahkan mempunyai relevansi dengan

desentralisasi. Pada titik dasar, rekognisi terletak pada jantung kontestasi ganda di

seputar kewargaan, hak, politik identitas, klaim redistribusi material dan tuntutan akan

kerugian masa silam yang harus diakui dan ditebus oleh negara (Janice McLaughlin,

Peter Phillimore dan Diane Richardson, 2011). Kontestasi klaim inilah yang menjadi

salah satu alasan lahirnya konsep desentralisasi asimetris di banyak negara, termasuk

Indonesia, yang melahirkan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua serta keistimewaan

bagi Yogyakarta. Dengan kalimat lain, desentralisasi asimetris untuk tiga daerah itu,

yang berbeda dengan daerah-daerah lain, karena dilandasi oleh rekognisi terhadap

perbedaan dan keragaman.

Dalam konteks multikultural itu, beragam pengertian rekognisi muncul. Charles Taylor

(1992), misalnya, memahami rekognisi dalam dua pengertian: “politik universalisme”,

yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau komunitas dengan cara

menjamin hak-hak mereka; serta “politik perbedaan”, yakni proteksi terhadap identitas

individu, kelompok atau komunitas dengan cara menghormati dan membolehkan

mereka melindungi budayanya. Axel Honneth (1996) secara sederhana memahami

rekognisi dalam dua pengertian, yakni: (a) menghormati kesamaan status dan posisi;

(b) menghargai keberagaman atau keunikan. Tujuannya adalah untuk mencapai

keadilan sosial. Bagi Honneth, keadilan sosial harus memasukkan provisi ruang bebas

bagi setiap individu hadir dalam ruang publik tanpa rasa malu. Lebih radikal lagi,

Nancy Fraser (1996) melihat rekognisi dalam konteks perjuangan politik untuk

melawan ketidakadilan. Tujuan rekognisi bukan sekadar memberikan pengakuan,

penghormatan dan afirmasi terhadap identitas kultural yang berbeda, tetapi yang lebih

besar adalah keadilan sosial ekonomi. Bagi Fraser, rekognisi harus disertai dengan

redistribusi. Kalau hanya berhenti pada rekognisi kultural hal itu mengabaikan

redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat ketidakadilan sosial dan perjuangan politik.

Karena itu rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan

redistribusi untuk menjamin keadilan ekonomi (economic justice).

Page 221: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

15

Dengan demikian terdapat tiga makna rekognisi. Pertama, pengakuan negara terhadap

beragam identitas yang dimiliki oleh kelompok, masyarakat atau daerah. Tidak hanya

berhenti pada pengakuan eksistensi, tetapi negara menjamin ekspresi beragam

identitas. Kedua, pengakuan, perlindungan dan perlakukan yang sama terhadap setiap

pemilik identitas sebagai warga negara. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama

di hadapan negara. Ketiga, redistribusi sumberdaya ekonomi negara baik sebagai

bentuk restitusi atas perlakuan secara tidak adil di masa lalu sekaligus sebagai afirmasi

dan akselerasi terhadap kemajuan subyek yang memperoleh rekognisi. Konsep

rekognisi itu relevan dengan desentralisasi asimetris untuk Tanah Papua, pengakuan

terhadap masyarakat adat Papua beserta identitas dan ulayatnya, sekaligus juga

mengharuskan tindakan afirmatif terhadap orang asli Papua agar mereka menjadi

warga Indonesia yang setara dengan orang-orang lain di seluruh Indonesia. Tujuan

besarnya adalah menjamin keadilan bagi Papua.

Teori Keadilan

Baik otonomi khusus, desentralisasi asimetris maupun rekognisi bertujuan untuk

mencapai keadilan. Dalam karya John Rawls,10 Theory of Justice (Teori Keadilan),

keadilan merupakan suatu cara pendistribusian hak, kewajiban, manfaat dan beban di

antara individu-individu, di dalam masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa setiap orang

memiliki kekebalan atas hak-haknya dan bahwa kesejahteraan masyarakat sekalipun

tidak dapat menghapus kekebalan ini: “Keadilan menolak argumen yang menyatakan

bahwa hilangnya kebebasan sebagian orang dapat dibenarkan atas dasar manfaat yang

lebih besar yang dinikmati oleh orang-orang lain. Karena itu, dalam suatu masyarakat

yang adil, kebebasan para warganegara yang sederajat tetap tidak berubah; hak-hak

yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik ataupun pada

pertimbangan kepentingan sosial.”

Rawls berangkat dari teori kontrak sosial yang terkenal yang menyatakan, bahwa

dalam hal distribusi kebebasan dan kekuasaan, semua orang berada dalam posisi awal

yang sama. Namun, masing-masing orang dianugerahi "selubung ketidaktahuan"

mengenai kualitas dan atribut pribadinya. Menurut Rawls, dalam keadaan ini, orang

yang rasional yang tidak mengetahui potensi dirinya, akan memilih dua asas keadilan.

Asas yang pertama menyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas

seluruh sistem kebebasan pokok yang sama yang seluas-luasnya, yang dapat

diselaraskan dengan sistem yang sama bagi orang-orang yang lain. Asas kedua

menyatakan, bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa

agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka yang paling kurang

beruntung dan menyediakan suatu sistem akses yang sama untuk semua jabatan dan

kesamaan peluang. Jadi dalam sistem Rawls, terdapat suatu konsepsi umum mengenai

keadilan (fairness) dan kesamaan (equality) yang menyatakan bahwa semua

kebutuhan sosial yang primer, seperti kebebasan dan kesempatan, penghasilan dan

kekayaan, hendaknya didistribusikan secara merata, kecuali bila distribusi yang tidak

merata benar-benar menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung.11

10 John Rawls, A Theory of Justice – Teori Keadilan (Terj. Uzair Fausan), Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2006, hlm. 3-143; Juga Scott Davidson, Op.Cit., hlm. 48. 11 Ibid., hlm. 48-49.

Page 222: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

16

Selanjutnya Rawls berpendapat bahwa kebebasan merupakan hak yang paling utama

dan semua hak yang lain merupakan pelengkapnya. Dalam sistem semacam itu, hak

hanya boleh dibatasi jika, pertama, hal itu akan memperkuat seluruh sistem kebebasan

yang dinikmati oleh semua orang atau, kedua, jika kebebasan yang lebih sedikit dapat

diterima oleh wargarnegara yang bersangkutan. Lalu, hak-hak apa saja yang dicakup

oleh asas pertama? Rawls akan memasukkan, antara lain, kebebasan politik, kebebasan

berpendapat, berhati nurani dan berfikir, serta kebebasan untuk bersikap jujur dan

kehormatan pribadi - termasuk kebebasan untuk memiliki harta. Dalam masyarakat

yang adil, setiap warganegara mempunyai hak-hak semacam ini dalam kadar yang

sama. Tetapi Rawls mengakui bahwa sebagai warganegara, meskipun sebenarnya

memiliki sistem persamaan hak yang paling luas di dalam masyarakat, tidak mampu

memanfaatkan hak-hak mereka sepenuhnya, karena faktor-faktor lain di dalam

masyarakat, seperti ketidaktahuan atau kemiskinan. Jelas, bahwa hal ini tidak

mempengaruhi nilai intrinsik dari hak-hak yang dimiliki oleh individu-individu itu,

namun hal ini memang menghambat mereka dalam menikmati hak-hak tersebut. Dalam

istilah Rawls, hal itu mempengaruhi harga atau nilai dari kebebasan yang dimilikinya.

Lalu, bagaimana disparitas harga atau nilai kebebasan itu harus dikompensasikan?

Jawaban Rawls adalah, dengan menerapkan Asas Perbedaan atau difference Principle.

Asas ini menyatakan bahwa distribusi sumberdaya yang merata hendaknya

diutamakan, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa distribusi yang timpang akan

membuat keadaan orang-orang yang "lebih beruntung" maupun yang "kurang

beruntung" menjadi lebih baik. jadi, untuk memastikan bahwa setiap orang menikmati

nilai kebebasannya sepenuhnya, bentuk keadilan distribusi ini haruslah dilaksanakan.12

Disamping itu, prinsip perbedaan yang dikemukakan Rawls juga penting untuk

menjelaskan betapa pentingnya perhatian dan perlindungan HAM bagi mereka yang

lemah dan tertindas seperti kaum perempuan, anak-anak, para penyandang cacat

(disabilitas), dan masyarakat asli (indigenous People).

Sikap keberpihakan kepada yang lemah itu didasarkan pada etika kepedulian seperti

tersebut di atas, yang hendak menegaskan bahwa keadilan yang mau diwujudkan harus

adil dalam konteks konkrit, dalam kaitan dengan nilai-nilai masyarakat yang

bersangkutan, sesituasional mungkin. Jadi tidak boleh terlepas dari konteks sosialnya.

Kepedulian merupakan sikap praktis sebagai jawaban terhadap kenyataan adanya

ketidakadilan dalam dunia. Dalam membuka dan membongkar ketidakadilan, sikap

peduli jelas merupakan unsur kunci, karena ketidakadilan sering sudah dianggap biasa

dan karena itu baru empati dengan mereka yang menderita dapat membuka eksistensi

ketidakadilan itu dengan penderitaan yang disebabkannya.13 Etika kepedulian mampuh

menangani masalah-masalah yang betul-betul mendesak seperti kesenjangan antara

kaya dan miskin dalam konteks Utara-Selatan yang semakin melebar. Caranya

memfokuskan perhatian pada jaringan hubungan sosial dan personal untuk

menemukan sumber-sumber pola-pola eksklusi, marginalisasi, penderitaan, dan

kemiskinan. Jadi bukan prinsip-prinsip yang seharusnya, melainkan sumber nyata

ketidakadilan yang perlu dicari. Perhatian pada hubungan-hubungan sosial konkrit

sebagai titik tolak usaha untuk membantu, kelihatan lebih mampu menemukan akar-

akar masalah moralitas internasional daripada fokus pada hak-hak dan kewajiban-

kewajiban abstrak. Fokusnya pada masalah ketidakadilan konkrit.

12 Ibid., hlm. 49. 13 Franz Magnis-Suseno, 2005, Op.Cit., hlm. 240.

Page 223: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

17

Nilai kepedulian bersifat kontekstual dan situasional, berfokus pada orang konkret dan

kebutuhannya, orang dilihat dalam rangka hubungan personal dan sosial, dengan

hubungan-hubungan saling ketergantungan dan keterlibatan emosional. Sikap-sikap

yang ditegaskan adalah peduli pada sesama, empati, hubungan konkret antar orang

daripada sistem-sistem peratutan, orang dilihat dalam ketertanaman dalam sebuah

konteks sosial tertentu. Kalau nilai keadilan hampir secara eksklusif berfokus pada

tindakan, maka nilai kepedulian menegaskan bahwa kemampuan untuk menunggu,

kesabaran, kemampuan untuk percaya kepada orang lain, untuk mendengarkannya

merupakan sikap-sikap yang sama saja kunci dalam keseluruhan dimensi moral. Cerita-

cerita perempuan merupakan pernyataan moral sama hakikihnya dengan prinsip-

prinsip moral abstrak.14 Etika kepedulian ditegaskan oleh Carol Gilligan yang

memperdengarkan suara kaum perempuan sebagai reaksi langsung terhadap Lawrence

Kohlberg dan reaksi tak langsung terhadap konsep-konsep etika kewajiban Kant dan

John Rawls tentang keadilan.

Kekhasan nilai kepedulian dapat dirangkum sebagai berikut: tugas utama perumusan

nilai etika bukanlah mengembangkan teori-teori keadilan, melainkan berfokus pada

pertanyaan bagaimana orang peduli mengenai kebutuhan-kebutuhan nyata orang lain.

Inti moralitas bukan lagi sikap adil yang tidak memihak, melainkan kepedulian yang

justru berpihak, kehangatan hati dan sikap yang nyata-nyata menunjang orang lain

dalam situasinya yang khas.15 Masalanya sikap keberpihakan terhadap yang lemah ini

dapat menimbulkan diskriminasi yang akhirnya menyebabkan nepotisme,

ketidakadilan dan favouritism.16

Sebab itu menurut Magnis-Suseno, “tanpa pandangan akan hakikat dan kodrat manusia,

tuntutan keadilan tidak mempunyai dasar, dan begitu pula etika kepedulian akan

merosot menjadi sentimentalisme.17 Itulah sebabnya mengapa di satu pihak

kapitalisme-individualis yang menghendaki kebebasan akan berdampak pada jurang

antara kaya dan miskin. Sebaliknya di pihak lain, komunisme-sosialis yang

menghendaki kesetaraan atau persamaan akan berdampak pada totalitarisme otoriter

yang menindas. Jadi kedua-duanya dalam titik yang ekstrim selalu berujung pada

pelanggaran terhadap HAM dan tragedi kemanusiaan. Menyadari keadaan ini maka

adalah penting untuk memahami kodrat keberadaan manusia seutuhnya, yaitu bahwa

manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial dalam keseimbangan.

Manusia bukanlah makhluk individu meluluh atau makhluk sosial meluluh. Seperti yang

disinyalir oleh David P. Forsythe bahwa akhir-akhir ini baik liberalisme maupun

komunalisme - khususnya Marxisme - akhirnya tertarik pada kebebasan sejati dan

persamaan di antara individu-individu. Barangkali perbedaan-perbedaan itu hanya

mengenai taktik dan sementara sifatnya. Barat sedang bergerak lebih mengarah ke

komunalisme, dan sementara versi dari Marxisme sudah mulai mengenal sekadar

wilayah bagi individualisme, setidak-tidaknya bila dibiarkan berevolusi dengan

dorongan dinamikanya sendiri.18

14 Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hlm 238. 15 Ibid. 16 Seperti yang dikatakan oleh Brian Barry sebagaimana dikutip oleh Robinson, dalam,

Magnis-Suseno, Ibid., hlm. 279. 17 Ibid. 18 David P. Forsythe, Hak-Hak Asasi Manusia & Politik Dunia, Angkasa, Bandung, 1993,

hlm. 233-239.

Page 224: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

18

Kebijakan Afirmatif

Kebijakan afirmatif atau tindakan afirmatif (affirmative action) dapat diartikan

kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu memperoleh peluang yang

setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama, atau bisa juga

diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu.

Menurut K. Bertens (dalam Anis Fuad)19 Tindakan afirmatif sesungguhnya merupakan

tindakan diskriminatif. Namun tindakan diskriminatif ini adalah sebuah tindakan positif

atau yang di sebut “positive discrimination”. Dikatakan positif karena tindakan ini

sesungguhnya ditujukan untuk menciptakan kesempatan yang sama terhadap pihak-

pihak selama ini didiskriminasikan. Menghilangkan diskriminasi dengan diskiriminasi.

Ada “reverse discrimination” atau diskriminasi terbalik bagi siapapun pada masa

dahulunya termarjinalkan dan tidak mempunyai kesempatan yang sama, diberikan

perlakuan khusus sehingga pada akhirnya akan tercipta kesempatan yang sama di masa

yang akan datang.

Tindakan afirmatif sesungguhnya telah dipraktikkan pada beberapa negara seperti

Canada, Barzil, Amerika Serikat, bahkan instrumen hukum internasional telah

mengakomodir tindakan affirmatif sebagai salah satu solusi pemecahan masalah-

masalah internasional maupun nasional negara. John D. & Chatherine T dari MacAthur

Foundation menyatakan bahwa affirmative action programs can be designed in stages to

(a) eliminate present discrimination (b) remedy past discrimination, (c) equalize

opportunities between groups, (c) embrace and promote diversity. Lebih lanjut

dinyatakan bentuk affirmative action ohn D. & Chatherine T dari MacAthur Foundation

menyatakan among other things, affirmative action may take the form of (a) trainings

ang complaint resolution mechanisms, (b) outreach and counseling to certain types of

applicants, (c) self-studies to determine if discrimination exists, (d) special admissions

standards for certain people, (e) allowing preferences for members of specific groups, (f)

establishing quotas or numerical set asides for members of these groups.20 Ditinjau dari

lingkup penjabaran sasarannya affirmative action dapat mencakup sektor public tapi

bisa juga sektor privat. Dinyatakan oleh John D. & Chatherine T dari MacAthur

Foundation bahwa affirmative action program may used both: (a) In the public sector

when seeking more proportionate numbers of underta-represented government

legislators, employees, contractors, or students at government-run universities and

schools, and (b) In the private sector when seeking to diversity; private workplaces,

universities, schools, and other non-governmental settings.21

Affirmative Action juga memiliki catatan sejarah tersendiri. Pada Maret l96I, Presiden

Amerika Serikat pada masa itu, John F Kennedy mengeluarkan Executive Order 10925,

berupa Komite tentang Kesempatan yang sama dalam bekerja (Equal Employment

Opportunity). Misinya adalah untuk mengakhiri diskriminasi dalam pekerjaan oleh

pemerintah dan kontraktor. Isi dari kebijakan tersebut berupa keharusan setiap

kontrak di tiap negara federal untuk menyertakan perjanjian bahwa "Kontraktor tidak

19 Anis Fuad, Dapatkah Waria Menjadi Pelayan Publik, Menimbang Kebijakan Tindakan

Afirmatif Untuk Golongan Transgender, Program Studi Administrasi Negara, FISIP Universitas

Sultan Agung Tirtayasa, diakses dari [email protected] 20 John D. & Chatherine T, Affirmative Action: A Global Perspective, Global Rights

Partners for Justice, MacAthur Foundation, 2005. P. 14 21 Ibid

Page 225: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

19

akan melakukan diskriminasi terhadap karyawan atau pelamar kerja karena ras,

kepercayaan/agama, warna kulit, atau asal-usul kebangsaan. Kontraktor yang akan

mengambil tindakan afirmatif, untuk memastikan bahwa pemohon bekerja maupun

karyawan tidak diperlakukan pembedaan atas dasar ras, kepercayaan, warna kulit, atau

asal-usul kebangsaan." Dalam konteks hak-hak sipil istilah "tindakan afirmatif” atau

“affirmative action” digunakan pertama kali. Istilah ini berarti mengambil langkah-

langkah yang tepat untuk memusnahkan praktik diskriminasi didasarkan ras, agama

dan etnis. Tujuannya, seperti yang dinyatakan Presiden, adalah "kesempatan sama

dalam pekerjaan/ equal opportunity in employment.” Dengan kata lain, tindakan

afirmatif telah memulai untuk memastikan bahwa pelamar untuk posisi tertentu akan

ditentukan tanpa pertimbangan atas ras, agama, atau asal-usul kebangsaan.

The Civil Rights Act of 1964 mengulangi dan memperluas penerapan prinsip ini. Dalam

title VI dinyatakan bahwa "No person in the United States shall, on the ground Or race,

color or national origin, be excluded from participation in, be denied the benefits of, or be

subjected to discrimination under any program or activity receiving federal financial

assistance." Tetapi dalam satu tahun Presiden Lyndon B. Johnson menyatakan bahwa

keadilan yang diperlukan lebih dari suatu komitmen untuk perlakuan yang tidak berat

sebelah. Di awal-awal tahun 1965 di Howard University, Johnson berkata: “You do not

take a person who for years has been hobbled by chains and liberate him, bring him up to

the starting line of a race and then say, "you're free to compete with all the others," and

still justly believe that you have been completely fair. Thus it is not enough just to open the

gates or opportunity. All our citizens must have the ability to walk through those gates ....

We seek not...just equality as a right and a theory but equality as a fact and equality as a

result”

Beberapa bulan kemudian Presiden Johnson mengeluarkan Eksekutif Order 11246,

yang menyatakan bahwa : "It is the policy of the Government of the United States to

provide equal opportunity in federal employment for all qualified persons, to prohibit

discrimination in employment because Or race, creed, color or national origin, and to

promote the full realization of equal employment opportunity through a positive,

continuing program in each department and agency." Dua tahun kemudian ditambah

kalimat yang melarang diskriminasi atas dasar jenis kelamin. “Affirmative action”

sebagai istilah baku merujuk pada kebijakan yang harus mempromosikan kesetaraan

dalam memperoleh akses ke wilayah publik, terutama pekerjaan dan pendidikan.

Gerakan sosial yang menuntut kebijakan afirmatif muncul sebagai refleksi pengalaman

sejarah yang pahit saat kaum perempuan dan minoritas mengalami diskriminasi

sehingga mereka terabaikan dan tersingkir dari kehidupan publik, seperti pernah

terjadi di AS hingga akhir 1960-an. Akibat diskriminasi, keterwakilan mereka amat

minimal, misalnya di universitas dan tempat kerja. Maka, Presiden Kennedy (1961)

mengeluarkan executive order untuk menjamin tiap orang diperlakukan setara tanpa

melihat ras, etnik, gender, agama, atau asal-usul kebangsaan untuk masuk universitas

atau melamar pekerjaan.

Page 226: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

20

Demokrasi Lokal

Demokrasi adalah semangat zaman dan amanat reformasi di Indonesia. Sistem politik

dan pemerintahan di Indonesia, baik di level nasional maupun daerah (lokal), mau tidak

mau harus menerapkan demokrasi. Demokrasi (pemerintahan rakyat, keadulatan

rakyat) tentu memiliki banyak kelebihan dan manfaat: membuka kesempatan dan

mengembangkan setiap potensi manusia, menghargai perbedaan, mencegah korupsi,

memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang dalam proses politik, menjadi

sistem nilai dan institusi yang menjamin keadilan dan seterusnya.

Namun demokrasi yang mengutamakan kebebasan hingga kompetisi selalu rawan

risiko. Para sarjana yang menggeluti demokrasi juga selalu mengingatkan risiko konflik

yang mengikuti demokrasi. Pada umumnya negara-negara demokratis yang muncul dari

konflik memiliki sedikit pengalaman dengan demokrasi liberal dan ekonomi pasar; yang

sebenarnya merupakan solusi yang tidak memadai dan malah menciptakan

destabilisasi (R. Paris, 1997, 2004). Kompetisi dalam demokrasi baru semakin

memperkuat pembelahan sosial-politik yang telah ada sehingga memicu timbulnya

konflik (Mahmood Monshipouri, 1995; J. Snyder, 2000; Edward Mansfield and Jack

Snyder, 1995). Dalam masyarakat tanpa konflik, demokrasi juga membuka ruang bagi

para aktor-institusi politik akan secara ekstrem menaruh rasa curiga terhadap lainnya,

seraya mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperkuat pengaruhnya. Rivalitas dan

kompetisi mengarah pada percobaan untuk merusak pihak lain meskipun ditempuh

dengan cara-cara intimidasi dan kekerasan. Pihak-pihak yang memenangkan kompetisi

cenderung membuat oligarkhi, atau menyusun elite predator, sehingga reformasi

tatapemerintahan yang dibawa kaum liberal menuai kegagalan.

Demokrasi bukan sesuatu yang given dan final, tetapi ada perdebatan beragam cara

pandang, untuk mencari format demokrasi yang tepat, termasuk demokrasi yang tepat

di ranah desa. Ada tiga cara pandang (aliran) demokrasi yang perlu dikemukakan di

sini, yang tentu relevan dengan pencarian model demokrasi desa yang tepat. Ketiga

aliran itu adalah demokrasi liberal, demokrasi republiken dan demokrasi komunitarian,

seperti kami sajikan dalam tabel 2.1.

Demokrasi liberal. Istilah liberal menunjuk sebuah sistem politik dimana kebebasan

individu dan kelompok dilindungi dengan baik dan dimana terdapat lingkup-lingkup

masyarakat sipil dan kehidupan pribadi yang otonom, tersekat atau terbebas dari kontrol

negara. Secara konseptual, suatu tatanan politik yang liberal adalah independen dari

eksistensi dari suatu perekonomian liberal kompetitif yang didasarkan pada terjaminnya

hak-hak properti, walaupun dalam praktik keduanya terkait, sebagian oleh kebutuhan

bersama mereka untuk membatasi kekuasaan negara (Larry Diamond, 2003).

Page 227: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

21

Tabel 2.1

Tiga aliran demokrasi

Item Liberal Republiken Komunitarian

Sumber Liberalisme Republikenisme Komunitarianisme

Basis Individualisme Kolektivisme

Semangat Kebebasan individu

(freedom for)

Kebebasan dari

(freedom from) dan

kewargaan

Kebersamaan secara kolektif

Orientasi Membatasi kekuasaan,

melubangi negara

(hollowing out the state),

menjamin hak-hak individu

Memperkuat

kewargaan, kebajikan

warga, persamaan hak

dan kewajiban warga.

Kebaikan bersama, masyarakat

yang baik.

Posisi

individu

Independensi individu Interdependensi

individu

Dependensi individu pada

komunitas.

Wadah Lembaga perwakilan, partai

politik dan pemilihan umum

Organisasi warga,

majelis rakyat

Komunitas, commune, rapat

desa, rembug desa, musyawarah

desa, forum warga, asosiasi

sosial, paguyuban, komunitas

adat, muyawatah adat

Metode Pemilihan secara kompetitif Partisipasi langsung,

musyawarah

Musyawarah

Model Demokrasi representatif

(perwakilan)

Demokrasi

partisipatoris &

Demokrasi deliberatif

Demokrasi deliberatif

(permusyawaratan)

Kelebihan Menggunakan metode yang

simpel dan jelas, individu

bebas dan bisa menjadi kuat,

kekuasaan dibatasi, dll

Inklusif. Setiap invididu

ditempatkan sebagai

pribadi yang utuh,

sebagai warga yang

memiliki hak dan

kewajiban yang sama.

Negara

bertanggungjawab

melindungi warga.

Masyarakat kuat.

Menjaga kebersamaan dan

harmoni. Konflik minimal.

Kelemahan Yang lemah semakin lemah,

yang kuat semakin kuat.

Fragmentasi. Rentan konflik.

Cenderung utopis,

kurang realistik

Cenderung konservatif, rentan

dominasi elite, eksklusif

Secara spesifik, demokrasi liberal memiliki komponen-komponen sebagai berikut:

• Kontrol terhadap negara dan keputusan-keputusan serta alokasi-alokasi dimana

kuncinya terletak, dalam kenyataannya di samping dalam teori konstitusional, pada

para pejabat terpilih (dan bukan para aktor yang tak accountable secara demokratis

atau kekuasaan-kekuasaan asing); secara khusus, militer subordinat terhadap

otoritas para pejabat sipil terpilih.

• Kekuasaan eksekutif dibatasi, secara konstitusional dan dalam kenyataan, oleh

kekuasaan otonom institusi-institusi pemerintahan lain (seperti sebuah peradilan

yang independen, parlemen, dan mekanisme-mekanisme accountabilitas horisontal

lain).

• Bukan hanya hasil-hasil elektoralnya tak pasti, dengan suatu suara oposisi yang

signifikan dan prasyarat pergantian partai dalam pemerintahan, tetapi tak ada

kelompok yang tunduk pada prinsip-prinsip konstitusional yang disangkal haknya

untuk membentuk sebuah partai dan mengikuti pemilu (bahkan jika ambang

Page 228: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

22

elektoral dan aturan-aturan lainnya menyisihkan partai-partai kecil untuk

memenangkan representasi di parlemen).

• Kelompok-kelompok minoritas kultural, etnis, religius, dan lain-lainnya (serta

mayoritas-mayoritas yang secara historis dirugikan) tidak dilarang (secara legal

atau dalam praktiknya) untuk mengungkapkan kepentingan mereka dalam proses

politik atau untuk berbicara dengan bahasa mereka atau mempraktikkan budaya

mereka.

• Di luar partai-partai dan pemilu, warga mempunyai banyak saluran

berkesinambungan untuk pengungkapan dan representasi kepentingan-

kepentingan dan nilai-nilai mereka, termasuk asosiasi-asosiasi (perkumpulan) dan

gerakan-gerakan independen yang beragam, yang bebas yang mereka bentuk dan

ikuti.

• Ada sumber-sumber informasi alternatif (termasuk media independen) yang

digunakan warga memiliki akses yang tak terkekang (secara politis).

• Para individu juga mempunyai kebebasan keyakinan, opini, diskusi, bicara,

publikasi, berserikat, demonstrasi, dan petisi yang substansial.

• Warga secara politis setara di depan hukum (walaupun mereka pasti tidak setara

dalam sumber-sumber daya politiknya).

• Kebebasan individu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan

yang independen dan tak diskriminatif, yang keputusan-keputusannya ditegakkan

dan dihormati oleh pusat-pusat kekuasaan lain.

• Rule of law melindungi warga dari penahanan tidak sah, pengucilan, teror,

penyiksaan, dan intervensi yang tak sepantasnya dalam kehidupan pribadi mereka

bukan hanya oleh negara tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan terorganisir non-

negara atau anti-negara (Larry Diamond, 2003).

Tradisi demokrasi liberal menjadi payung model demokrasi perwakilan dan demokrasi

elektoral, serta menghilhami pendekatan demokrasi minimalis-empirik-prosedural.

Demokrasi elektoral adalah sebuah sistem konstitusional sipil dimana jabatan-jabatan

legislatif dan eksekutif diisi lewat pemilu multi-partai kompetitif yang reguler dengan hak

pilih universal. Joseph Schumpeter (1947) merupakan tokoh terkemuka dalam barisan

ini, yang karyanya dijadikan sebagai referensi utama pendekatan demokrasi prosedural

pada studi demokratisasi kontemporer. Schumpeter meninggalkan garis pemikiran

demokrasi klasik yang cenderung membicarakan “apa yang seharusnya” dan berusaha

mengembangkan teori lain demokrasi yang lebih realistik yang didasarkan pada kondisi

riil pada level empirik. Ia menolak elemen-elemen dalam demokrasi klasik seperti

“kedaulatan rakyat”, “kebaikan bersama” atau “kehendak semuanya”, karena dianggap

rancu dan berbahaya. Bagi Schumpeter, dunia modern yang kompleks hanya bisa

diperintah dengan sukses jika “negara yang berdaulat” dipisahkan secara tegas dengan

“rakyat yang berdaulat”, dan peran yang terakhir itu dibatasi sesempit mungkin.

Gagasan hukum dan kebijakan yang didasarkan pada “kehendak semua”, menurut

Schumpeter sangat utopis dan tidak mungkin terjadi, sehingga dia mengedepankan

frasa “kehendak mayoritas”. Sebegitu jauh Schumpeter menolak frasa “pemerintahan

oleh rakyat” dan sebaliknya dia mengemukakan bahwa demokrasi adalah

“pemerintahan politisi”. Karena itu, bagi Schumpeter, demokrasi adalah sebuah “metode

politik” atau “metode demokratis”, sebuah mekanisme kompetitif untuk memilih

pemimpin, yakni sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik –

legislatif dan administratif – dengan cara memberi kekuasaan pada individu-individu

tertentu untuk membuat keputusan lewat perjuangan kompetitif dalam rangka

Page 229: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

23

memperoleh suara rakyat (people’s vote). Dalam konteks ini, warga mempunyai pilihan

di antara beberapa pemimpin politik yang berkompetisi untuk merebut suara mereka.

Antara pemilihan dan keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga

dapat menggantikan pejabat atau pemimpin yang mereka pilih.

Dalam demokrasi liberal, kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin harus dibatasi agar

tidak terjadi penyimpangan. Parlemen merupakan perwujudan demokrasi perwakilan

yang mencerminkan representasi warga, untuk membuat keputusan bersama dengan

eksekutif dan melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Akuntabilitas merupakan

sebuah prinsip penting yang diterima oleh aliran manapun. Dalam demokrasi liberal,

akuntabilitas merupakan prinsip yang dilembagakan untuk mengoptimalkan

“kekuasaan untuk” (power to), sekaligus membatasi “kekuasaan atas” (power over)

melalui mekanisme check and balances. Untuk mewujudkan akuntabilitas dibutuhkan

juga representasi, transparansi dan partisipasi. Tradisi liberal yang emoh negara,

menggunakan isu representasi, transparansi dan partisipasi untuk melubangi negara

(hollowing out the state), agar kekuasaan dan sumberdaya bisa terdistribusi kepada

sektor pasar dan masyarakat.

Demokrasi Republiken. Di zaman Yunani Kuno Socrates, Plato, maupun Aristoteles

melontarkan kritik bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh

gerombolan rakyat (the mob) yang miskin dan bodoh. Karena itu, agar demokrasi dan

kedaulatan rakyat menjadi lebih bermakna, membutuhkan penguatan kebajikan warga

(civic virtue), konstitusionalisme, dan kewargaan (citizenship).

Pemikiran itu yang melandasi kelahiran republikenisme. Kaum republikenisme bukan

anti kebebasan, tetapi berbeda memahami kebebasan dibanding dengan kaum liberal.

Menurut republikenisme, kebebasan berarti nondominasi, serta mempromosikan

kebebasan dari dominasi, rasa takut, penindasan dan sebagainya.

Pemikiran republikenisme itu mempengaruhi pemikiran generasi kiri baru. Kaum kiri

baru menantang sejumlah prinsip fundamental dalam demokrasi liberal: individu yang

bebas dan setara, pemisahan yang tegas antara negara dan masyarakat sipil, dan

pemilihan umum sebagai proses demokrasi paling utama (David Held, 1987). Carole

Patemen (1970), menyampaikan kritik itu dengan berujar bahwa individu yang bebas

dan setara itu tidak bakal terjadi secara empirik. Pemisahan antara negara dan

masyarakat justru membuat negara melakukan reproduksi ketidakadilan, yang berarti

negara lari dari tanggungjawab. Pemilihan umum juga tidak cukup untuk menciptakan

tanggungjawab penyelenggara negara terhadap rakyat yang diperintah. Karena itu

kaum kiri baru menegaskan dua perubahan untuk transformasi politik: (1) negara

harus didemokrasikan dengan cara membuat semua institusi politik lebih terbuka dan

akuntabel dan (2) bentuk-bentuk baru perjuangan politik di level lokal harus membawa

perubahan yang memastikan akuntabilitas dari negara dan masyarakat (David Held,

1987: 266).

Benjamin Barber (1984) mempunyai pemikiran yang paralel dengan Pateman. Dia

membandingkan liberalisme dengan sifat baik kewarganegaraan republican.

Liberalisme, menurut Barber, mempromosikan “thin democracy” sementara

kewarganegaraan mempromosikan “strong democracy”. Kedalaman partisipasi

membedakan demokrasi yang lemah dan demokrasi yang kuat (Barber 1984: 132).

Page 230: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

24

Barber mengakui bahwa struktur mediasi mungkin bertindak sebagai sekolah bagi

pendidikan warga negara yang diperlukan untuk demokrasi yang kuat. Namun, dia

memperingatkan bahwa organisasi lokal perantara yang eksklusif bisa merusak

demokrasi. Bagi Barber, demokrasi yang kuat menciptakan suatu rangkaian kesatuan

kegiatan yang terbentang dari lingkungan tempat tinggal hingga bangsa, dari swasta

hingga publik, dan sepanjang rangkaian kegiatan itu, kesadaran warga negara yang ikut

serta dapat berkembang”. Barber kurang optimis mengenai kapasitas struktur mediasi

untuk mempromosikan kesadaran dan partisipasi yang meningkat dan membaik dalam

konteks demokrasi yang kuat. Dia menganjurkan bahwa hanya partisipasi politik

langsung, kegiatan yang secara jelas adalah kegiatan publik, misalnya rapat kota dan

pertemuan kampung, berhasil sepenuhnya sebagai sebuah bentuk pendidikan warga.

Demokrasi partisipatoris, yang diusung oleh kiri baru, sebenarnya memiliki akar

historis demokrasi Yunani Kuno, dimana setiap warga berpartisipasi secara langsung

dalam keseluruhan keputusan negara-kota (city-state). Tetapi model demokrasi

partisipatoris tidak persis sama dengan model demokrasi langsung ala Yunani Kuno

karena konteks yang sudah berubah. Sebagai bentuk pemikiran dan gerakan

kontemporer, model demokrasi partisipatoris meyakini akan idealnya gagasan

perluasan desentralisasi, inisiatif warga dan referendum yang tepat. Warga diyakini

memiliki minat tinggi dalam politik, dan partisipasinya akan menjadi bagian dari

kehidupan sehari-harinya. Bagi penganut paham republik ideal adalah ketika partisipasi

menciptakan warga yang terdidik dan sadar politik. Bagi model ini partisipasi itu

sendiri jauh lebih penting daripada output politik. Participatory democracy adalah

sebuah proses pengambilan keputusan secara kolektif yang mengkombinasikan antara

elemen-elemen yang berasal dari demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan:

warga mempunyai kekuaasaan untuk memutuskan kebijakan dan para politisi

memastikan peran implementasi kebijakan.

Demokrasi Komunitarian. Komunitarianisme selalu hadir sebagai antitesis dan kritik

terhadap liberalisme, baik dalam ranah pembangunan, demokrasi maupun

pembangunan. Jika kaum liberal meletakkan kebebasan sebagai fondasi demokrasi

liberal, kaum komunitarian mengutamakan “kebaikan bersama” (common good) menuju

apa yang disebut A. Etzioni (2000) sebagai masyarakat yang baik (good society).

Komunitas sebagai basis “masyarakat yang baik”, menurut Etzioni mengandung dua hal

penting: (a) jaring hubungan kelompok individu yang saling melengkapi dan

memperkuat satu sama lain; dan (b) dalam komunitas terbangun komitmen bersama

untuk berbagi sejarah, identitas, nilai, norma, makna dan tujuan bersama, tentu dalam

konteks budaya yang partikular.

Ketimbang mengadaptasi template universal, kaum komunitarian mengedepankan

bahwa banyak resolusi yang memadai tentang problem tatanan dan democratic

governance seharusnya dibangun dari dan merupakan buah resonansi dari kebiasaan

dan tradisi rakyat yang hidup pada waktu dan tempat yang spesifik. Kaum komunitarian

menekankan demokrasi yang dilandasi kebajikan, kearifan dan kebersamaan, termasuk

pengambilan keputusan dengan pola demokrasi permusyawaratan (deliberative

democracy) ketimbang demokrasi elektoral yang kompetitif. Proses negosiasi dan

deliberasi parapihak secara inklusif dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk

keputusan mengenai alokasi sumberdaya, merupakan solusi peaceful demoracy yang

mampu mencegah konflik dan destabilisasi.

Page 231: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

25

Dengan cara pandang komunitarian, demokrasi adalah cara atau seni “pergaulan hidup”

untuk mencapai kebaikan bersama. Tradisi komunitarian menolak pandangan liberal

tentang kebebasan, sebab dalam lingkup desa, kebebasan bisa berkembang menjadi

“kebablasan”, dimana orang cenderung bersuara “asal bunyi” tanpa kesantunan yang

menimbulkan konflik. Prinsip dasar demokrasi, dalam pandangan komunitarian, adalah

mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai

pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat

dalam mengambil keputusan dan bertindak. Sebagai seni pergaulan hidup demokrasi

bisa diwujudkan dalam level prosedural dan kultural. Demokrasi prosedural antara lain

terkait dengan mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, dan artikulasi

kepentingan masyarakat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya atau

tatakrama (fatsoen) pergaulan hidup sehari-hari dalam arena masyarakat sipil. Ini

tercermin dalam kultur yang toleran, terbuka, egalitarian, bertanggungjawab, mutual

trust, kepedulian warga, kompetensi politik, dan seterusnya.

Demokrasi komunitarian lahir sebagai kritik atas demokrasi liberal, karena demokrasi

liberal dinilai menjadi hegemoni universal yang melakukan penyeragaman praktik

demokrasi di seluruh dunia. Orang di manapun akan mengatakan bahwa demokrasi

adalah kebebasan individu, pemilihan secara bebas, dan partisipasi. Jarang sekali orang

yang berargumen bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan

secara kolektif. Tradisi komunitarian, yang peka terhadap masalah ini, memaknai

demokrasi secara partikularistik dengan memperhatikan keragaman budaya, struktur

sosial, sistem ekonomi dan sejarah setiap negara. Aliran ini menyatakan bahwa

individualisme liberal cenderung merusak kewarganegaraan dan menafikkan kebajikan

warga (civic virtue). Artinya, semangat individualisme liberal tidak mampu memberikan

landasan yang kokoh bagi kebebasan dan kesetaraan warga dalam bingkai demokrasi

komunitas. Penganut komunitarian yakin bahwa rakyat selalu berada dalam ikatan

komunal ketimbang individualistik, karena itu model demokrasi perwakilan cenderung

menciptakan alienasi partisipasi publik dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar

publik. Kaum komunitarian memang menaruh perhatian pada otonomi individu seperti

kaum liberal, namun yang ditonjolkan bukan kebebasan individu tetapi penghargaan

pada otonomi individu serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk

memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif.

Pemikiran komunitarianisme itu sangat memperngaruhi cara pandang para founding

fathers Indonesia dalam melihat demokrasi lokal. “Di desa-desa sistem yang

demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki,

dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia

harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu menyelenggarakan

kegiatan ekonomi”, demikian ungkap seorang pendiri Republik Indonesia, Mohammad

Hatta (1956). Demokrasi komunitarian desa pada prinsipnya bertumpu pada tiga

substansi: demokrasi politik (pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah

dalam rembug desa), demokrasi sosial (solidaritas bersama melalui gotong-royong) dan

demokrasi ekonomi (kepemilikan tanah secara komunal).

Gagasan demokrasi komunitarian sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang

kecil (seperti desa) karena kegagalan demokrasi prosedural-liberal dalam mewadahi

Page 232: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

26

partisipasi publik. Demokrasi liberal secara konvensional mereduksi praktik demokrasi

hanya dalam kerangka pemilihan pemimpin dan lembaga perwakilan, yang diyakini

sebagai wadah partisipasi publik. Format demokrasi perwakilan yang didesain itu

dilembagakan secara formal melalui peraturan, yang mau tidak mau menimbulkan apa

yang disebut oleh Robert Michel sebagai oligarki elite. Segelintir elite yang

mengendalikan pemerintahan dan pembuatan keputusan itu umumnya bersikap

konservatif dan punya kepentingan sendiri yang tercerabut dari konstituennya, tetapi

mereka selalu mengklaim mewakili rakyat banyak.

Karena itu, demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community, hendak

mempromosikan partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan dan

pembangunan di level komunitas. Melampaui batasan-batasan formal, demokrasi

komunitarian merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik, pengaktifan

peran kelompok-kelompok sosial, forum warga, serta jaringan antarkelompok, yang

bukan saja untuk keperluan self-help kelompok, tetapi juga sebagai wahana awareness

warga, civic engagement dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat

komunitas. Elemen-elemen komunitarian yang dinamis inilah yang memungkinkan

penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan pembuatan keputusan berbasis

komunitas (bukan segelintir elite) secara partisipatif serta memungkinkan penggalian

potensi dan kreativitas individu dalam ikatan kolektif.

Model demokrasi deliberatif merupakan bentuk ekstrem demokrasi prosedural yang

dijiwai oleh tradisi komunitarianisme dan republikenisme. Demokrasi deliberatif

berbeda dengan demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung dalam hal penentuan

pemimpin dan mekanisme pembuatan keputusan. Menurut penganjur demokrasi

deliberatif, mekanisme penentuan pemimpin dan pembuatan keputusan dilakukan

dengan cara partisipasi warga secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan,

melainkan melalui dialog, musyawarah dan pengambilan kesepakatan. Model

demokrasi seperti ini memungkinkan partisipasi secara luas dan menghindari

terjadinya oligarki elite dalam pengambilan keputusan. Demokrasi deliberatif juga

menghindari kompetisi individual memperebutkan posisi pemimpin dalam proses

pemilihan (voting) langsung, sehingga akan mengurangi praktik-praktik teror,

kekerasan, money politics, KKN dan seterusnya.

Demokrasi deliberatif merupakan varian lain dalam demokrasi partisipatoris. Gagasan

tentang demokrasi deliberatif sebenarnya merupakan jembatan antara ekstrem kanan-

liberal (demokrasi perwakilan) dengan ekstrem kiri-radikal (demokrasi partisipatoris).

Demokrasi deliberatif bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk perluasan dari demokrasi

perwakilan. Lebih jauh lagi gagasan demokrasi deliberatif berangkat dari pemikiran

“kontrak sosial” Rousseauian, dengan sebuah keyakinan bahwa kebaikan bersama

(common good) dapat dipastikan dan dipromosikan melalui proses yang demokratis.

Karya Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere,

memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi teorisasi demokrasi deliberatif.

Setidaknya ada tiga argumen penting Habermas yang menyokong teorisasi demokrasi

deliberatif yang dia bangun berdasarkan narasi sosiologi-sejarah tentang kemunculan,

perubahan, dan disintegrasi ruang publik kaum borjuis. Pertama, demokrasi

memerlukan arena ekstra-politik dalam masyarakat politik yang di dalamnya ia

mengembangkan dan mensosialisasikan sebagian besar orang, khususnya kelompok

yang kurang memperoleh perhatian. Kedua, sebuah ruang publik yang kritis diperlukan

Page 233: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

27

untuk menjembatani kesenjangan yang tumbuh antara masyarakat sipil dan basis

sentralitasnya dalam perdebatan demokrasi deliberatif. Ketiga, demokrasi semakin

rusak dan mengalami pembusukan ketika ia dilembagakan secara formal.

Demokrasi deliberatif adalah sebuah asosiasi yang memiliki banyak urusan yang

dikelola dengan deliberasi publik di antara para anggotanya, sekaligus sebuah asosiasi

yang memiliki sejumlah anggota yang saling berbagi komitmen untuk menyelesaikan

masalah dan menentukan pilihan kolektif melalui dialog publik (Cohen, 1989). Pada

umumnya penganjur demokrasi deliberatif sepakat bahwa proses politik seharusnya

berbasis pada gaya “berpusat pada pembicaraan” (talk-centric) dalam pembuatan

keputusan ketimbang pada gaya “berpusat pemungutan suara” (voting centric); dan

hasil-hasil keputusan seharusnya ditentukan dengan argumen-alasan ketimbang pada

jumlah (Bohman, 1997; Chamber, 1999).

Prinsip dasar demokrasi deliberatif adalah sebuah proses pelibatan publik dalam

membuat keputusan melalui debat dan dialog terbuka. Proses ini berbeda sekali dengan

demokrasi perwakilan yang di dalamnya publik dilibatkan hanya sebagai pemilih yang

memilih elite yang selanjutnya akan membuat keputusan. Ia juga berbeda sekali dengan

demokrasi langsung yang di dalamnya publik membuat keputusan sendiri, tetapi

melakukannya dengan sedikit atau tanpa permusyawaratan kolektif atau konfrontasi

pandangan alternatif pada persoalan-persoalan itu.

Di antara sejumlah pengertian tentang deliberasi dan demokrasi deliberatif,

Konsorsium Demokrasi Deliberatif memberikan pengertian yang lebih praksis berikut

ini:

Deliberasi adalah sebuah pendekatan pembuatan keputusan yang memungkinkan

warga menganggap fakta-fakta yang relevan dari begitu banyak cara pandang,

melakukan diskusi antara satu dengan lainnya untuk berpikir kritis tentang banyak

pilihan sebelum mereka memperluas perspektif, opini dan pemahaman.

Demokrasi deliberatif memperkuat suara warga dalam tata pemerintahan dengan

cara memasukkan rakyat dari semua ras, kelas, umur, maupun asal-usul dalam

proses deliberasi yang secara langsung mempengaruhi keputusan publik. Sebagai

hasilnya, pengaruh warga – dan dapat melihat hasil pengaruh mereka atas –

keputusan kebijakan dan sumberdaya yang berdampak terhadap kehidupan mereka

sehari-hari dan masa depan mereka (Deliberative Democracy Consortium, 2003

dikutip oleh Janette Hartz-Karp, 2005).

Demokrasi membutuhkan permusyawaratan karena tiga alasan: (1) memungkinkan

warga mendiskusikan isu-isu publik dan membentuk opini; (2) memberikan

pemimimpin demokratis wawasan yang lebih baik mengenai isu-isu publik ketimbang

yang dilakukan oleh pemilihan umum; dan (3) membungkinkan warga memberikan

justifikasi pandangan mereka sehingga kita bisa mengidentifikasi pilihan yang baik dan

yang buruk (Levine, 2003). Janette Hartz-Karp (2005) mengidentifikasi demokrasi

deliberatif butuh beberapa hal: (1) pengaruh: kemampuan untuk mempengaruhi

kebijakan dan pembuatan keputusan; (2) keterbukaan (inclusion): perwakilan warga,

keterbukaan pandangan dan nilai-nilai yang beragam, serta kesempatan yang sama

untuk berpartipasi; (3) deliberasi: komunikasi terbuka, akses informasi, ruang untuk

memahami dan membingkai ulang berbagai isu, saling menghormati, dan gerakan

menuju konsensus.

Page 234: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

28

Gagasan demokrasi deliberatif tentu tidak bermaksud menyingkirkan model demokrasi

formal, tetapi hendak menjawab krisis demokrasi formal-liberal, memperluas ruang-

ruang demokrasi, sekaligus menjawab kesenjangan antara politik formal dengan

kehidupan politik sehari-hari. Jika demokrasi formal (yang dibangun melalui proses

elektoral) hanya mampu menjangkau legalitas formal-prosedural, maka demokrasi

deliberatif berupaya memperkuat legitimasi demokrasi. Beberapa penganjurnya

menyatakan bahwa model demokrasi deliberatif dikembangkan sebagai bentuk respon

atas kelemahan teori dan praktik demokrasi liberal, sekaligus mengedepankan

perspektif kritis terhadap institusi perwakilan liberal. Pada prinsipnya, jika demokrasi

liberal berupaya memperkuat “demokrasi representatif” melalui institusi-institusi

perwakilan dan prosedur elektoral, maka demokrasi deliberatif berupaya

mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga. Jika

pandangan demokrasi liberal sangat percaya pada kompetisi melalui proses agregasi

politik (misalnya pemilihan umum), maka pandangan demokrasi deliberatif lebih

menekankan forum publik sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan bersama.

Dengan demikian, demokrasi deliberatif hendak mendemokrasikan demokrasi, seraya

memperluas ruang-ruang demokrasi yang bergerak dari institusi formal, lembaga

perwakilan maupun prosedur elektoral menuju ruang-ruang yang lebih dekat dengan

masyarakat.

Apa relevansi tiga aliran demokrasi itu bagi Papua? Papua mempunyai karakter

komunalisme berbasis adat, yang berpotensi menjadi komunitarianisme.

Individualisme dan kebebasan individu bukan nilai dan orientasi utama, melainkan

setiap individu terikat dan tergantung pada komunitas mulai dari kampung hingga

provinsi. Partai lokal yang mengutamakan liberalisme sebenarnya tidak kompatibel

dengan masyarakat komunitarian. Jika partai lokal dibangun atas dasar etnisitas maka

akan menimbulkan fragmentasi dan konflik yang semakin tajam, yang jauh lebih tajam

bila dibanding dengan konflik kesukuan dalam pilkada langsung. Namun proses yang

liberal seperti pemilihan umum, DPRP maupun pilkada tidak bisa dihindari, sebab ini

merupakan metode paling gampang dan jelas untuk menghasilkan wakil rakyat dan

pemimpin. Menentukan gubernur tentu tidak bisa menggunakan mekanisme

musyawarah, melainkan dengan mekanisme elektoral yang mensyaratkan satu orang

satu suara.

Pemilihan umum merupakan proses yang terbaik untuk menentukan pemimpin politik,

yang tentu lebih baik daripada sistem karir atau pengangkatan. Pemilihan umum

memungkinkan pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses aktor-aktor

baru dalam arena kekuasaan. Pemilihan umum memungkinkan partisipasi rakyat

secara langsung untuk menentukan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka. Tetapi

keyakinan yang berlebihan kepada pemilihan umum justru menjadi jebakan yang

menyesatkan. Pemilihan umum tentu hanya sebuah proses “demokrasi berkala” untuk

membentuk demokrasi formal, yang dalam proses itu rakyat hanya bisa memberikan

dukungan dan pilihan (voting). Padahal demokrasi yang lebih substantif adalah proses

demokrasi sehari-hari (everyday-life democracy) yang terkait langsung dengan suara

(voice) masyarakat serta proses pembuatan keputusan yang bakal mengikat rakyat.

Jebakan demokrasi elektoral itu bisa membuat kekecewaan yang luar biasa. Demokrasi

elektoral bisa saja berlangsung secara demokratis, tetapi ia hanya berhenti pada

pembentukan demokrasi formal. Setelah itu, demokrasi sehari-hari, terutama proses

Page 235: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

29

pembuatan keputusan tidak lagi berlangsung secara demokratis dan jauh dari

partisipasi rakyat.

Spirit republikenisme juga tampak pada MRP sebagai bentuk representasi yang

berbasis komunitarianisme. Demikian juga dengan tindakan afirmatif terhadap orang

asli Papua. Namun afirmasi ini hanya langkah awal untuk menuju kewargaan yang

sempurna dan permanen. Karena itu afirmasi tidak boleh berlangsung secara

permanen, karena ia mengandung diskriminasi positif. Tradisi kewargaan akan

terbangun jika ada kesadaran baru setiap orang asli Papua hadir sebagai warga yang

saling bergantung satu sama lain yang mampu melampaui ikatan komunitarian,

membangun organisasi warga, sebagai wadah representasi popular untuk

memperhatikan isu-isu publik, serta memperjuangkan kepentingan publik yang

melampaui perjuangan identitas. Di setiap tempat, di setiap kampung, bisa menjadi

arena diskusi atau musyawarah yang digunakan untuk membicarakan dan mengambil

keputusan tentang isu pembangunan, pelayanan publik, ekonomi dan seterusnya.

Page 236: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

30

BAB III

TINJAUAN EMPIRIK

Konteks dan Kondisi Umum

Secara umum konteks dan kondisi awal sekitar kelahiran Otsus Papua ditandai oleh dua

hal, yaitu (1) situasi politik dan keamanan Papua yang terus dengan diwarnai berbagai

bentuk konflik dan kekerasan, (2) kebijakan pembangunan Papua yang masih

menciptakan kesenjangan (ketimpangan) sehingga nampak masih terbelenggu

kemiskinan dan keterbelakangan.

Situasi politik dan keamanan (Polkam) Papua. Situasi Polkam Papua diwarnai wacana

status politik Papua dalam NKRI. Wacana yang diikuti sikap terhadap status politik

Papua ini ditandai dengan pemunculan oleh polarisasi golongan (kelompok) pro-

integrasi dan kontra-integrasi. Situasi ini bisa disebut sebagai perbedaan sejarah

integrasi.

Kesenjangan persepsi terhadap sejarah tersebut sudah dimulai sejak proklamasi

kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Tercatat 2 (dua) kali Pemerintah Indonesia

gagal memasukan wilayah Papua ke dalam NKRI yakni melalui Konprensi Malino 1946

dan Konprensi Meja Bundar di Den Haag pada 22 Desember 1949. Dalam perjanjian itu

disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia,

kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke pangkuan NKRI 2 (dua) tahun

kemudian. Setelah itu Pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua dari

Hindia Belanda untuk mempersiapkan Papua dan penduduknya untuk Pemerintahan

mereka sendiri yang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama 10 tahun rencana

pembangunan yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1950, UNTEA (United Nation

Temporary Executive Authority – Pemerintahan Sementara di bawa kekuasaan PBB)

yang bertanggung jawab dalam periode transisi.

Sejalan dengan hal di atas, beberapa persiapan telah dilaksanakan pada tanggal 1

Desember 1961 bersama dengan beberapa momentum yang penting; Pemerintah

Belanda menunjuk anggota masyarakat lokal yang terpilih di Papua sebagai 50% dari

Nieuw Guinea Raad (legislatif), bendera bintang Kejora berkibar berdampingan dengan

bendera Belanda, dan pengenalan lagu kebangsaan Papua “Hai Tanahku Papua”. Akan

tetapi, “Perjanjian New York” pada tahun 1962 yang tidak melibatkan seorangpun dari

Papua, dibuat sebagai referensi untuk pengalihan Nederland Nieuw Guinea (Papua)

dari Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1964 orang asli Papua elite yang berpendidikan

Belanda meminta bahwa Papua harus bebas tidak hanya dari Belanda tetapi juga dari

Indonesia. Pemungutan suara “pilihan bebas” (free choice) yang diterapkan oleh PBB

dilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan lebih dari 1000 kepala suku yang

dipilih sebagai perwujudan dari “konsultasi” lokal (dari perkiraan jumlah penduduk

pada saat itu sebanyak 800.000 orang), dan bukannya dengan mengadakan

pemungutan suara; satu orang satu suara. Masalah keterwakilan politik di atas terkait

dengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk Papua dalam proses

pembuatan keputusan dalam keberadaan hidup mereka.Hal tersebut di atas berakibat

pada keluhan-keluhan bersejarah yang berakar dari perbedaan persepsi mengenai

integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia. Sementara bagi golongan pro-integrasi,

Page 237: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

31

bahwa proses integrasi Papua dalam NKRI adalah final, dengan hasil Pepera 1969.

dengan PBB akhirnya mengesahkan hasil PEPERA dengan sebuah Resolusi Majelis

Umum PBB Nomor 2504 tanggal 19 Oktober 1969.

Situsi polkam Papua juga ditandai dengan berbagai gejala dalam bentuk gerakan politik,

baik dalam bentuk organisasi maupun tanpa bentuk organisasi (kelompok) sampai

perorangan (individu). Selain gerakan politik, juga perlawanan bersenjata.

Kesenjangan Pembangunan. UU Otsus Papua telah memberikan pertimbangan faktual

yang mendasar tentang kelahirannya. Pertimbangan faktual tersebut sebagaimana

dimaksud dalam bagian menimbang UU Otsus Papua huruf a sampai huruf k yang

selengkapnya dikutip sebagai berikut :

1. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari

umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-

nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam

masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil

pembangunan secara wajar;

3. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut

Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang

diatur dalam undang-undang;

4. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman

kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah

Otonomi Khusus;

5. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras

Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia,

yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa

sendiri;

6. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di

Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,

belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,

belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum

sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di

Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua

7. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua

belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan

antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-

hak dasar penduduk asli Papua;

8. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan

Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua,

serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan

adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

Page 238: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

32

9. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-

nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika

dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi

hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan

kewajiban sebagai warga negara;

10. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk

memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap

hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan

dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli

Papua;

11. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya

menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian

Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi

Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang

Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;

Alasan penting kelahiran Otsus Papua dilandasi oleh 7 (tujuh) nilai dasar

yaitu (1) perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua, (2)

demokratisasi dan kedewasaan berdemokrasi, (3) penghargaan terhadap etika

dan moral, (4) penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, (5) supremasi

hukum, (6) penghargaan terhadap pluralisme, dan (7) persamaan kedudukan,

hak dan kewajiban sebagai warga negara.22

Berdasarkan pertimbangan faktual tersebut, maka hal-hal mendasar yang

menjadi isi Undang-Undang ini adalah: (1) pengaturan kewenangan antara

Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan

tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; (2) pengakuan

dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya

secara strategis dan mendasar; (4) mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan

yang baik yang berciri: a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan

pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil

adat, agama, dan kaum perempuan; b) pelaksanaan pembangunan yang

diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli

Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan

berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan

berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; c)

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan

dan bertanggungjawab kepada masyarakat.23

22 Lihat Agus Sumule (Ed), Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2003, h. 52 23 Agus Djojosoekarto, dkk, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Kemitraan partnership, Kemitraan bagi

Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Menara Eksekutif lt. 10. Jakarta, www.kemitraan.or.id

Page 239: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

33

Evaluasi dan Analisis Pelaksanaan Otsus Papua

Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua diterbitkan, dan mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap

Bangsa Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif yang

terjadi di Papua. Gejolak yang pernah dialami, secara politis diharapkan mampu

diredam melalui kebijakan tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab

berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan

Papua yang tertinggal.

Manfaat Otsus Untuk Masyarakat Papua. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah

besar untuk masyarakat Papua. Masyarakat memiliki ekpektasi yang sangat besar

bahwa Otsus akan meningkatkan derajat kehidupan mereka. Apalagi dalam UU Otsus

banyak sekali penekanan tentang hak-hak mendasar orang Papua yang harus dipenuhi.

Hal ini ditambah lagi dengan keberadaaan dana Otsus yang jumlahnya cukup besar.

Tetapi kenyataannya, para narasumber nyaris satu suara dalam hal ini, kenyataan yang

diterima oleh masyarakat tidak sebesar ekpektasi mereka Permasalahan mendasar

Otsus, selain masalah Perdasus, berkaitan dengan rencana strategis Provinsi yang tidak

terkomunikasikan dengan baik dan terbuka pada seluruh masyarakat, termasuk elemen

lembaga masyarakat sipil.

Keadaan semacam itu memberi penguatan pada penyebab bahwa Otsus belum

banyak membawa perubahan terhadap tingkat kehidupan masyarakat Papua.

Masyarakat mendengar ada Otsus, dana Otsus dan janji-janji perbaikan kesejahteraan

tetapi masyarakat mungkin ada yang belum pernah merasakan manfaatnya.

Pilar penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang

Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga pada tataran

impelementasi problematis. Penggelontoran dana langsung, justru kontraproduktif.

Dana tersebut (dalam bentuk tunai, freeze money) habis untuk konsumsi dan bukan

produktif. Model pengelolaan dana tunai tersebut seperti mematikan potensi inovasi

dan kewirausahaan masyarakat Papua. .

Pada beberapa hal, memang ada pembangunan di Papua. Tetapi proyek-proyek

pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan cash inflow, karena

miskin output yang benar-benar berasal dari Papua. Inefesiensi itu selama ini memang

tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar. Dalam kaitan

itu penting untuk mengetahui tentang pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus

Papua.

Terlepas dari sinyalemen negatif dalam kaitannya dengan Otsus dan perbaikan

kehidupan masyarakat Papua, tentu saja tetap ada pihak yang diuntungkan dengan

adanya Otsus ini. Sebagian besar elit birokrat Papua sebagai pihak yang diuntungkan

dengan adanya Otsus yang belum terimplementasi dengan baik ini. Lebih luas lagi

termasuk mereka yang terlibat dalam kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah

kabupaten hingga aparat tingkat bawah. Besarnya alokasi dana Otsus untuk birokrasi

pada tahun-tahun awal pelaksanaan Otsus adalah salah satu alasan kenapa mereka

menunjuk elit birokrat lokal. Ditambah lagi dengan banyaknya alokasi dana Otsus yang

dinilai kurang jelas dan untuk proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan langsung

manfaatnya oleh masyarakat.

Selain elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini.

Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas tangan

dan menganggap permasalahan Papua telah selesai. Pemberian Otsus memperkuat

Page 240: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

34

posisi politik Jakarta terhadap Papua. Pemerintah pusat punya alasan logis untuk

menindak setiap gerakan yang dianggap berpotensi menumbuhkan disintegrasi di

Papua sebab Otsus telah diberikan. Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga

meraup untung dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh

pemerintah mereka juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang

didapatkan kembali oleh kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini

terasa kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta

dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan

pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari

pemerintah.

Kesiapan Pemerintah Dalam Era Otsus. Regulasi, struktur dan sistem

pengawasan adalah hal-hal yang disoroti oleh narasumber wawancara dalam menyoal

kesiapan pemerintah terutama pemerintah provinsi Papua dalam melaksanakan Otsus.

Ketidaksiapan regulasi tergambarkan dalam mandegnya penyusunan perdasus yang

berimplikasi pada masalah implementasi Otsus. Struktur pelaksana Otsus juga

mendapatkan sorotan karena tidak banyak mengalami perubahan setelah Otsus.

Pandangan para tokoh Papua terhadap realitas Otonomi Khusus Papua itu

memang cukup beralasan jika dicermati berdasarkan fakta yang terjadi akhir-akhir ini.

Hanya saja, sebenarnya ada sejumlah pihak yang telah ikut memberikan sumbangsi

pemikiran bagi perbaikan Otsus Papua dan pasang surut hubungan Papua-Jakarta.

Menurut penulis ada (empat) faktor-faktor yang menyebabkan otonomi khusus gagal di

Papua.

Permasalahan pertama, bahwa kegagalan implementasi pembangunan

berkenaan kebutuhan dasar, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan

pemberdayaan ekonomi rakyat. Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan

dokternya, serta sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang

kesehatan dan pendidikan di Papua sangat mengkhatirkan.

Permasalahan kedua, terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan (in

casu kebijakan pemerintahan) yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan perdasus

dan perdasi (kebijakan pemerintah daerah).

Permasalahan ketiga, adalah berkaitan dengan kelembagaan Otsus penting yang

diamanatkan dalam UU Otsus belum terbentuk (belum ada) di Papua; Kelembagaan

dimaksud seperti, lembaga pengadilan HAM, lembaga Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR), belum berjalannya peradilan adat Papua. Masalah kelembagaan

pemerintah juga tidak harmonis antara Pemerintah Daerah, MRP dan DPRP.

Keempat, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua,

Permasalahan ini menyangkut dimensi politik, yang berkenan dengan proses integrasi

Papua ke dalam bagian NKRI antara pro dan kontra.

Kelima, diskriminasi terhadap orang asli Papua, dan seringkali dijumpai perilaku

kekerasan aparat negara terhadap orang Papua di masa lalu. Kondisi ini terekam dalam

memoria-passionis yang dalam wujudnya dapat berubah menjadi gerakan militansi

perlawanan.

Keenam, problem menyangkut dimensi keuangan tampak pada pembagian dan

pengelolaan dana Otsus sejauh ini tidak dilakukan sesuai amanat UU Otsus lewat

hadirnya sebuah Perdasus. Selama ini pembagian dana Otsus terkesan dilakukan

berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya

hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang

dianggap tidak tepat sasaran. Masih diragukan bahwa struktur APBD Papua, kuota dana

30% untuk pendidikan dan 15% untuk kesehatan. Hal lain yang masih dipertanyakan

Page 241: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

35

adalah dasar hukum pemberian atau pembagian dana Otsus yang besarnya 70 persen

untuk Papua dan 30 persen untuk Papua Barat.

Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah harapannya

juga dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih setelah

terjadi pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

pada tahun 2003 yang sempat mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru

diresmikan pada tahun 2008 melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2008. Filosofi pemekaran daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua.

Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui

kebijakan khusus ini. Pertama adalah agenda untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat asli melalui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi

Papua dan Papua Barat yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan

berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut

adalah pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan

Provinsi lainnya. Kedua adalah agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan

khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya

alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana

perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk

keadilan dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian

agenda pertama. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum,

demokrasi, serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta

pemberdayaannya secara strategis dan mendasar. Keempat adalah penerapan tata

kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung

jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang

memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya.

Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua

dan Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi

Khusus yang dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan

pada tahun 2002 sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69

T untuk Papua. Adapun Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus

sejak tahun 2009 setelah secara resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan

dana otonomi khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan

pelaksanaan otonomi khusus di kedua Provinsi. Setidaknya terdapat empat program

prioritas yang dilaksanakan untuk memacu perkembangan pembangunan rakyat dan

daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, serta

pembangunan infrastruktur. Namun demikian cerita tentang Papua masih banyak

didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan otonomi

khusus Papua dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya

pelajaran positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi khusus yang

hampir mencapai satu dekade ini.

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS24

24 MRP, Evaluasi Otsus Papua dan Papua Barat, Jayapura, 2013.

Page 242: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

36

Bidang Pendidikan. Salah satu tujuan Negara Indonesia adalah “mencerdaskan

kehidupan bangsa”. Mencerdaskan kehidupan bangsa secara operasional

diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan bekerja dibawah

jaminan UUD 1945 maka setiap warga Negara Indonesia diharapkan mengenyam

pendidikan tingkatan tertentu. Dengan demikian prasyarat minimal, seperti membaca,

menulis, dan berhitung dipahami oleh tiap warga negara.

Orang Asli Papua yang sudah menjadi warga Negara Indonesia sejak dianeksasi tahun

1963 mempunyai hak yang sama dengan warga Negara Indonesia yang lain untuk

sekurang-kurangnya mampu untuk membaca, menulis, dan berhitung sesudah

mengenyam pendidikan tingkatan tertentu.

Dalam diskusi “Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat

Papua Provinsi Papua Barat dengan Orang Asli Papua” pada tanggal 25-27 Juli 2013

diketahui, bahwa masalah pendidikan mendapat sorotan tajam karena bidang

pendidikan diketahui menggunakan dana 30%. Terungkap secara jelas, bahwa dana

pendidikan yang diperuntukkan untuk bidang pendidikan selama ini tidak sebesar 30%.

Artinya, dana yang diberikan kepada bidang pendidikan dibawah nilai 30%.

Oleh karena itu,Orang Asli Papua berpendapat, bahwa pendidikan bagi Orang

Asli Papua harus diberi perioritas agar Index Pembangunan Manusia (IPM) Papua

meningkat menjadi lebih baik. Pada masa sekarang (2011) IPM Provinsi Papua berada

pada 64,94% sementara IPM Provinsi Papua Barat berada pada posisi 69,15%. Kondisi

ini sangat mengecewakan bahkan sangat menyedihkan.

Berikut ini dirumuskan beberapa masalah dan harapan Orang Asli Papua

dibidang pendidikan.

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Pendidikan

1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang lemah.

2) Kurangnya guru versus penempatan dan pengaruh langsung selama ini dari

sektor politik serta pengaruh kehidupan perkotaan yang sangat kuat.

3) Ketidaksungguhan membangun pendidikan.

4) Ketidaksungguhan menjadi guru dan pendidik.

5) Keterbatasan fasilitas.

6) Kurang adanya perhatian serius kepada lembaga penyelenggara pendidikan

swasta

7) Alokasi dana Otonomi Khusus yang sebanyak 30 % belum maksimal.

8) Pemberian beasiswa diberikan tidak berdasarkan peruntukannya dan tidak

berpihak kepada Orang Asli Papua.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di

Bidang Pendidikan

1) Diharapkan terjaminnya pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan

yang efektif dan efisien.

Page 243: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

37

2) Diharapkan kualitas dan jumlah guru terjamin dan ditingkatkan secara kontinu

sesuai kebutuhan.

3) Diharapkan guru memiliki moral baik untuk menjadi pengajar dan pendidik.

4) Diharapkan tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai.

5) Diharapkan adanya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Papua.

6) Diharapkan memberi perhatian serius kepada lembaga penyelenggara

pendidikan swasta.

7) Alokasi dana pendidikan sesuai harapan.

8) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua di bidang pendidikan secara serius.

9) Diharapkan pemerintah melakukan evaluasi pemberian beasiswa dengan

memperhatikan identitas mahasiswa sebagai Orang Asli Papua.

Kondisi pendidikan di Papua akan membaik ketika pemanfaatan dana pendidikan

berdasarkan peruntukannya dan memberi perioritas pada peningkatan kualitas dan

jumlah guru. Membangun strategi kemitraan antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

dengan lembaga penyelenggara pendidikan swasta yang bekerja di Tanah Papua.

Membangun sistem pengawasan terhadap penggunaan dana pendidikan dan

pengawasan berkelanjutan terhadap penyelenggaraan pendidikan sehingga output dari

kegiatan pendidikannya bermutu tinggi.

Bidang Kesehatan. Derajat kesehatan manusia ditentukan oleh faktor-faktor, seperti

lingkungan fisik (air,udarah, tanah, iklim) dan lingkungan sosial (kebudayaan,

pendidikan, ekonomi, dan lain-lain, perilaku, fasilitas kesehatan, genetika atau

keturunan, tradisi, dan pelayanan kesehatan (pemulihan kesehatan, pencegahan

terhadap penyakit, pengobatan dan perawatannya).

Faktor-faktor kesehatan tersebut diatas perlu mendapat sentuhan dua langkah penting,

yaitu langkah strategi dan langkah kebijakan politis. Kedua langkah tersebut

dibutuhkan guna mendukung perbaikan dan peningkatan derajat kesehatan penduduk

suatu daerah. Akhir-akhir ini sentuhan strategi dan kebijakan politik di bidang

kesehatan sedang mendapat perhatian.

Namun, kondisi kesehatan yang terjadi pada masa sekarang adalah dominasi

kepercayaan Orang Asli Papua kepada pengobatan penyakit secara etnomedisin,

sebaliknya pengobatan medis modern kurang diminati. Hal ini karena alasan mahalnya

biaya pengobatan secara medis modern, dan terbatasnya akses masyarakat kurang

mampu kepada layanan kesehatan (Puskesmas Pembantu, Puskesmas, dan RSUD).

Oleh karena itu, timbul berbagai masalah kesehatan di Papua yang wajib mendapat

perhatian serius dari Pemerintah Provinsi dan semua stakeholder yang ada. Dengan

demikian derajat kesehatan dapat ditingkatkan menjadi kondisi yang sehat dan lebih

baik.

Page 244: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

38

1. Deskripsi Bidang Kesehatan

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Kesehatan

1) Status kesehatan ibu dan anak yang masih rendah.

2) Status gizi masyarakat rendah.

3) Angka kesakitan penyakit menular, terutama HIV/AIDS tinggi, Malaria, TB

Paru, DBD, dan Diare. Selain itu, penyakit seperti filariasis, kusta, fan

framboesia juga kembali meningkat.

4) Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan terbatas serta akses masyarakat

terhadap fasilitas dan layanan kesehatan yang berkualitas rendah.

5) Kompetensi, jumlah, dan sebaran sumber daya manusia tenaga kesehatan

rendah.

6) Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat dalam promosi dan prevensi

penyakit.

7) Terbatasnya kemampuan manajerial Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

sekaligus Rumah Sakit.

8) Rendahnya alokasi dana Otonomi Khusus untuk bidang kesehatan.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di

Bidang Kesehatan

1) Diharapkan adanya keberpihakan dalam hal pemberdayaan sumber daya

manusia bidang kesehatan.

2) Diharapkan adanya jaminan regulasi dan kebijakan kesehatan yang berpihak

kepada Orang Asli Papua.

3) Diharapkan adanya peningkatan sarana-prasarana dan infrastruktur fasilitas

kesehatan.

4) Diharapkan status kesehatan ibu dan anak meningkat.

5) Diharapkan status gizi dapat ditingkatkan.

6) Diharapkan dapat mengurangkan angka kecenderungan peningkatan dari

penyakit menular dan tidak menular.

7) Diharapkan kemampuan manajerial Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit dapat

ditingkatkan.

8) Diharapkan adanya peningkatan alokasi dana Otonomi Khusus di bidang

kesehatan.

9) Diharapkan segera dilakukan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak

ketiga yang netral dan dilaksanakan di tempat yang netral.

2. Kesimpulan Bidang Kesehatan

Perbaikan derajat kesehatan Papua dapat terlaksana ketika para pihak

memperhatikan faktor-faktor penentu seperti lingkungan fisik dan lingkungan sosial,

perilaku, fasilitas kesehatan, genetika atau keturunan, tradisi, dan pelayanan kesehatan.

Selain itu, tersedianya sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas, dan

tersedianya alokasi dana kesehatan yang signifikan. Kemudian diikuti oleh sikap

pemerintah dalam membuat langkah-langkah strategis dan mewujudnyatakannya

Page 245: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

39

dalam kebijakan politiknya. Dengan demikian derajat kesehatan Manusia Papua dapat

terangkat dan dapat melakukan berbagai aktivitas sosialnya dengan dan dalam kondisi

sehat.

A. Bidang Ekonomi

1. Pengantar

Standar sejahtera bagi Orang Asli Papua hingga belum ditentukan

prasyarat minimalnya berdasarkan perkembangan status ekonomi nasional dan

global. Kalau dalam pandangan budaya Orang Asli Papua standar sejahtera

adalah tersedianya makanan yang cukup, pakaian yang cukup, dan tersedianya

rumah tinggal.

Namun, standar minimal yang diharapkan oleh Orang Asli Papua

berdasarkan perubahan jaman yang terjadi di Tanah Papua, maka standar

minimal sejahtera bagi Orang Asli Papua adalah income per kepala keluarga

minimal mencapai Rp. 4.000.000;, adanya rumah sehat untuk tiap keluarga, dan

anggota keluarga bebas buta aksara dan angka.

Dalam rangka mewujudkan standar harapan itu pun timbul begitu banyak

persoalan yang sangat krusial dibidang ekonomi kerakyatan. Bahkan Orang Asli

Papua berpendapat, bahwa kota-kota yang berkembang pesat di Tanah Papua

merupakan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi kaum migran di Tanah

Papua, sementara Orang Asli Papua hanya menjadi obyek dari proses

pertumbuhan yang sedang terjadi. Oleh karena itu, beberapa gagasan yang

dianggap masalah dan harapan Orang Asli Papua dapat dirumuskan pada bagian

berikut.

2. Deskripsi Bidang Ekonomi

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Ekonomi

1) Rendahnya jiwa kewirausahaan dan penguasaan bisnis karena proteksi

afirmatif tidak dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

se-Tanah Papua.

2) Lemahnya infrastruktur pendukung usaha.

3) Lemahnya sumber daya manusia, aspek produksi, manajemen,

permodalan dan investasi, akses pasar, akses informasi, teknologi dan

desain, dan daya saing.

4) Sentra produksi komoditi unggulan yang ditangani Orang Asli Papua

belum berkembang.

5) Tidak dilakukan pemberdayaan ekonomi kerakyatan secara khusus

terhadap Orang Asli Papua.

6) Tidak tersedia kemudahan “peluang dan jaminan kredit” pada bank-bank

di Tanah Papua bagi Orang Asli Papua, bahkan “nilai keraguan” untuk

memberi kredit menjadi persepsi negatif untuk tidak memberikan

kemudahan dalam melakukan kredikit usaha.

7) Tingkat kepercayaan dari bank-bank terhadap pengusaha Orang Asli

Papua sangat rendah dan sangat lemah, sehingga standar kriteria yang

ditentutkan oleh bank-bank tidak dapat dicapai oleh Orang Asli Papua.

Page 246: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

40

8) Belum tersedianya regulasi yang menjamin usaha dan sumber usaha

Orang Asli Papua selama ini.

9) Alokasi dana Otonomi Khusus untuk bidang ekonomi kerakyatan di Papua

tidak jelas dalam peruntukannya.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Ekonomi

1) Diharapkan terjadi pertumbuhan wirausaha Orang Asli Papua.

2) Diharapkan terjadi peningkatan produktivitas pelaku usaha Orang Asli

Papua dibidang, yaitu KUKM, IK, IM, IB.

3) Diharapkan terjadi kegiatan ekonomi Orang Asli Papua memberi

sumbangan sektor industri, perdagangan, koperasi dan UKM dalam

pembentukan Produk Domestik Bruto.

4) Diharapkan pengusaha Orang Asli Papua melakukan aktivitas ekspor

dengan nilai ekspor atas produk-produknya.

5) Diharapkan Orang Asli Papua mempunyai kemampuan berinvestasi.

6) Jumlah koperasi aktif, melaksanakan rat dengan proporsi dari koperasi

aktif, dan volume usaha koperasi rata-rata meningkat per tahunnya.

7) Diharapkan tersedianya “Lembaga Penjaminan Kredit” untuk Orang Asli

Papua.

8) Diharapkan tersedianya jaminan regulasi delegatif dari Undang-Undang

Otonomi Khusus di bidang ekonomi Orang Asli Papua.

9) Diharapkan adanya kejelasan dan kepastian mengenai nilai atau

prosentase alokasi dana Otonomi Khusus di bidang ekonomi kerakyatan.

10) Diharapkan terjadi dialog Jakarta-Papua mengenai masalah-masalah

Orang Asli Papua khususnya bidang ekonomi.

3. Kesimpulan Bidang Ekonomi

Standar “sejahtera” bagi Orang Asli Papua tidak hanya bersifat

“wacana”, “imajinatif”, dan “pernyataan” dalam perspektif politik saja, tetapi

haruslah diwujudkannyatakan menjadi kenyataan dalam kehidupan Orang

Asli Papua. Solusi untuk mencapai standar sejahtera adalah melalui

dukungan regulasi delegatif dari Undang-Undang Otonomi Khusus dan

kebijakan politik dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah

Papua.

Dalam rangka mengimplementasikannya masalah-masalah ekonomi

sebagai solusi yang afirmatif maka dibutuhkan perlindungan, keberpihakan,

dan pemberdayaan Orang Asli Papua yang diberi tempat khusus dalam

pembuatan kebijakan ekonomi di Tanah Papua.

B. Bidang Infrastruktur

1. Pengantar

Sejak masa perdana aneksasi Orang Asli Papua kedalam Negara Republik

Indonesia sudah mempersoalkan masalah infrastruktur. Sejak tahun 1970

sampai dengan 2013 tidak sedikit kekayaan Orang Asli Papua yang diambil oleh

Page 247: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

41

Negara Republik Indonesia. Pengambilan kekayaan Orang Asli Papua itu tidak

setara dengan nilai yang ditinggalkan dalam bentuk infrastruktur.

Infrastruktur yang sudah dibangun saja masih memperlihatkan kondisi

rusak, tidak ada perawatan berkelanjutan dan ditinggalkan begitu saja, karena

kawasasan tertentu tidak lagi menghasilkan komoditi yang menguntungkan bagi

pengusaha tertentu.

Anehnya lagi, selama masa-masa pengambilan sumber daya alam Papua

itu juga tidak dilakukam pemberdayaan Orang Asli Papua di wilayah eksploitasi

sehingga pasca eksploitasi kondisi kehidupan sosial ekonomi dan budaya

masyarakat hukum adatnya tidak memperlihatkan peningkatan atau tidak

terjadi perubahan yang signifikan. Berbeda dengan ibukota atau pusat-pusat

Kabupaten/Kota se-Tanah Papua, dimana jalan-jalan, jembatan, bangunan

publik, dan kendaraannya sangat padat dan secara terus-menerus terjadi

peningkatan kondisi infrastrukturnya. Oleh karena itu, beberapa masalah dan

harapan yang diungkapkan oleh Orang Asli Papua dapat dijabarkan dalam

beberapa poin berikut ini.

2. Deskripsi Bidang Infrastruktur

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Infrastruktur

1) Kegiatan pelaksanaan pembangunan dibidang infrastruktur seperti jalan,

jembatan, dan kendaraan tidak mengalami pertumbuhan dan

peningkatan secara merata diseluruh Tanah Papua;

2) Kegiatan pelaksanaan pembangunaa dibidang infrastruktur fasilitas

umum, seperti perumahan rakyat, pasar, rumah

sakit/Puskesmas/Puskesmas Pembantu, sekolah (SD, SMP, SMA, PT),

jalan, pelabuhan, lapangan terbang, air bersih, listrik, telepon,

persampahan tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaannya.

3) Perhitungan jangka waktu bertahannya sebuah bangunan infrastruktur

tertentu paling lambat lima tahunan, sehingga tiap kali ganti pemimpin

daerah baru maka program infrastruktur yang sama juga diprogramkan

ulang, sehingga jenis infrastruktur lain yang seharusnya dibangun

terabaikan karena membangun bangunan yang sama dari waktu ke

waktu.

4) Kegiatan pembangunan dibidang infrastruktur harus dilakukan

menggunakan sumber DAU dan bukan lagi bersumber dari dana Otonomi

Khusus.

5) Pengusaha Orang Asli Papua yang bergerak dibidang infrastruktur

terbatas atau sangat kurang maka perlu perlindungan dan keberpihakan

pada pengusaha Orang Asli Papua di Papua.

6) Pemberdayaan pengusaha Orang Asli Papua harus bersumber dari Dana

Otonomi Khusus.

7) Kemampuan dalam perspektif kepemilikan kendaraan roda empat atau

lebih bagi Orang Asli Papua sangat kurang.

8) Belum tersedianya regulasi delegatif dibidang infrastuktur dalam rangka

pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus di Tanah Papua.

Page 248: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

42

9) Alokasi dana Otonomi Khusus di bidang infrastuktur sangat tinggi, tetapi

pertumbuhannya tidak setinggi nilai dana yang dialokasikan untuk bidang

infrastruktur.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Infrastruktur

1) Diharapkan terjadinya pertumbuhan dan peningkatan semua jenis

fasilitas umum, seperti: jalan, jembatan, kendaran, perumahan rakyat,

pasar, rumah sakit/Puskesmas/Puskesmas Pembantu, sekolah (SD, SMP,

SMA, PT), jalam, pelabuhan, lapangan terbang, air bersih, listrik, telepon,

persampahan di Papua dengan menggunakan dana DAU.

2) Diharapkan Orang Asli Papua bisa menjadi pelaku (sebagai investor dan

pegawainya) dibidang pembangunan Infrastruktur.

3) Diharapkan adanya perawatan berkelanjutan terhadap semua fasilitas

umum yang sudah dibangun.

4) Diharapakan standar mutu dari bangunan infrastruktur tertentu bertahan

dalam jangka waktu yang lebih lama, yaitu sekali bangun bertahan hingga

50 tahun kedepan atau lebih tahun.

5) Diharapkan tersedianya regulasi delegatif dari pelaksanaan Undang-

Undang Otonomi Khusus dibidang infrastruktur.

6) Diharapkan dilakukannya dialog Jakarta-Papua dalam rangka

pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

1. Kesimpulan Bidang Infrastruktur

Manajemen dalam rangka pelaksanaan jenis infrastruktur tertentu

haruslah diperhitungkan jangka waktu bertahannya sebuah hasil pembangunan.

Dalam perspektif masyarakat Orang Asli Papua memproyeksikan, bahwa sebuah

bangunan tertentu sedapat-dapatnya bisa bertahan selama 50 tahun kedepan

atau lebih tahun terhitung sejak waktu dibangun.

Sementara pembangunan infrastruktur di Papua bertahan paling lambat

lima tahunan. Kondisi ini sangat merugikan pembangunan infrastruktur di

seluruh Tanah Papua, khususnya di kampung-kampung atau dipelosok-pelosok.

Kiranya perspektif “bodoh” ini dapat diubah menjadi perspektif “cerdas”, yaitu

sekali bangun untuk jangka waktu yang lama dengan perawatan yang

berkelanjutan.

C. Bidang Politik Dan Pemerintahan

1. Pengantar

Selama ini Undang-Undang Otonomi Khusus dianggap “tidak ada”, “tidak

berlaku”, dan “gagal” karena alasan politik dan pemerintahan. Diketahui sejak

awal aneksasi Papua menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia terjadi

berbagai strategi pembungkaman terhadap sejarah dan status politik.

Dalam perpesktif lain, pemerintahan berjalan ditempat dalam rangka

“menjamin kekuasaan” terhadap Orang Asli Papua dan Tanah Papua. Oleh karena

Page 249: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

43

itu, berbagai kendala dalam bidang politik dan pemerintahan berlaku secara

berkelanjutan, baik secara terbuka maupun secara terselubung.

Aparatur pemerintah memerankan politik makelar, ketika didepan publik

Orang Asli Papua berpendapat, ingin mempertahankan NKRI, sebaliknya ketika

bertemu pejabat negara di Jakarta berpendapat, bahwa ingin merdeka kalau

“kondisi happy-nya” dirong-rong oleh Jakarta.

Oleh karena itu, diantara Orang Asli Papua lahir berbagai persoalan yang

sangat krusial dan tidak terselesaikan. Justru karena bidang politik dan

pemerintahan yang tidak efektif dan efisien inilah timbul berbagai persoalan

yang sangat berat dan masalahnya bertahan sampai masa sekarang. Pada bagian

berikut ini diuraikan kondisi peroalan dan harapan Orang Asli Papua mengenai

bidang politik dan pemerintahan di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan

Undang-Undang Otonomi Khusus.

2. Deskripsi Bidang Politik dan Pemerintahan

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Politik dan Pemerintahan

1) Faktor normatif yang tidak efektif karena kepentingan yang berbeda

antara Jakarta dan Papua.

2) Faktor keuangan daerah dan pertanggungjawab yang kurang transparan

dan akuntabel.

3) Faktor kebijakan nasional yang tidak efektif bagi kehidupan Orang Asli

Papua.

4) Faktor Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak menghargai dan tidak

memahami Undang-Undang Otonomi Khusus.

5) Faktor kepentingan politik tertentu mengorbankan aspek-aspek strategis

lain.

6) Faktor Aparatur Pemerintahan Daerah yang tidak mewujud-nyatakan

kewenangan yang diberikan.

7) Lembaga Kultural Majelis Rakyat Papua tidak mampu mengintervensi

secara politik karena keterbatasan kewenangan yang dimilikinya, yang

dilanjutkan dengan pemecahbelahan Majelis Rakyat Papua menjadi dua.

8) Tidak tersedianya dana khusus untuk pelaksanaan politik khusus dari

alokasi dana Otonomi Khusus selama ini.

9) Terjadinya pembungkaman terhadap “upaya pelurusan dan penjernihan

sejarah politik” Orang Asli Papua oleh Pemerintah Pusat selama ini.

10) Terjadinya strategi politik khusus untuk memfilter berbagai usaha politik

Orang Asli Papua yang berakibat pada meningkatnya pelanggran HAM di

Tanah Papua.

11) Pemerintah Provinsi secara sengaja menutup diri terhadap tuntutan

“segera” membentuk Perdasi-Perdasus dimana jumlahnya sudah jelas dan

pasti (Perdasi sebanyak 18 buah sementara Perdasus sebanyak 11 buah).

12) Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak

berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan

menimbulkan banyak polemik.

Page 250: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

44

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Politik dan Pemerintahan

1) Diharapkan memperbaharui atau mengamandemen Undang-Undang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang Otonomi

Khusus Bagi Tanah Papua sesudah melakukan dialog.

2) Membuat “dengan segera” semua Perdasi-Perdasus yang diamanatkan

oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Tanah Papua hasil

amandemen.

3) Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat

dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua

untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap

mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua

dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.

4) Diharapkan melaksanakan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh

pihak ketiga yang netral dan dilakukan ditempat yang netral.

3. Kesimpulan Bidang Politik dan Pemerintahan

Letak keseluruhan masalah Orang Asli Papua dengan Jakarta terletak

pada bidang politik dan pemerintahan maka sebaiknya segera diambil solusi

strategis dalam rangka memecahkan masalah-masalah perpolitikan dan

pemerintahan di Tanah Papua.

Dengan demikian, impian Jakarta dengan Orang Asli Papua untuk

berdamai secara demokratis agar terjadi penghargaan dan penghormatan

terhadap derajat dan martabat kemanusiaan manusia segera akan terwujud.

D. Bidang Hukum

1. Pengantar

Tujuan dari pemberian Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah

memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua (kemudian

termasuk Provinsi Papua Barat) dan Orang Asli Papua untuk mengatur dan

mengurus diri sendiri dalam kerangka negara kesatuan untuk mewujudkan

kemakmuran bagi Orang Asli Papua, untuk dapat mengatur pemanfaatan

kekayaan alam, dan terjadinya pemanfaatan potensi sosial budaya dan ekonomi

Orang Asli Papua.

Namun secara normatif beberapa pasal, ayat dan huruf dalam Undang-

Undang Otonomi Khusus Papua melahirkan berbagai problematika karena

terjadi kondisi serampangan dan tabrakan antara Undang-Undang Otonomi

Khusus Papua dan Undang-Undang sektoral lainnya. Selain itu, timbul berbagai

problematika dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otonomi Khusus di

Papua karena ketidakjelasan dan keterbatasan kewenangan yang dimaksudkan

dalam Undang-Undang Otonomi Khusus, apalagi istilah hukum yang menjadi

virus dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah istilah “Perundang-

Undangan”. Kondisi demikian diikuti oleh aktor pelaksana Undang-Undang

Otonomi Khusus Papua yang tidak memahami Undang-Undang Otonomi Khusus

Papua secara baik dan benar.

Page 251: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

45

Oleh karena itu, dalam bagian berikut ini diidentifikasi beberapa

persoalan dan harapan yang harus diberi perhatian tatkala hendak

mengamandemen Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pada masa

mendatang sesudah melakukan proses Dialog Jakarta-Papua.

2. Deskripsi Bidang Hukum

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Hukum

1) Masih terdapat ketidakjelasan mengenai makna, hubungan, dan tujuan

dari norma-norma yang terdapat dalam Undang-Undang Otonomi Khusus

Papua.

2) Belum jelas dan terbatasnya kewenangan yang bersifat khusus yang

dimaksudkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

3) Masih bersifat kabur batasan mengenai kewenangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah dalam berbagai bidang pemerintahan.

4) Masih belum jelas dan bersifat kabur mengenai pola hubungan

kewenangan antar Provinsi dan Kabupaten/Kota dan kejelasan

kewenangan khusus antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua dalam

pelaksanaan Otonomi Khusus.

5) Ketidakjelasan mengenai eksistensi Pemilihan Kepala Daerah dan

lembaga penyelenggaranya di Papua.

6) Terjadinya ketidakjelasan kewenangan lembaga adat dan eksistensi

kampung asli Papua dengan hierarki struktural pemerintahan kampung

negara yang masuk sampai di kampung-kampung asli Papua.

7) Tidak terjadinya perlindungan terhadap eksistensi masyarakat adat di

Papua beserta hak-hak dasarnya.

8) Belum terjadinya kejelasan dan penguatan terhadap tugas, wewenang,

dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua.

9) Belum adanya kejelasan pengaturan mengenai tugas, wewenang, dan

fungsi Majelis Rakyat Papua dan pola hubungannya dengan pemerintah

provinsi dan pemerintah Kota/Kabupaten dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

10) Belum adanya kejelasan pengaturan mengenai tugas, wewenangan, dan

fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan pola hubungannya dengan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabuapten/Kota dalam

penyelenggaraan otonomi khusus.

11) Belum adanya dana khusus untuk mengelolah bidang hukum Adat Papua

dan lembaga hukum lainnya di Papua.

12) Masih terdapat istilah hukum yang melahirkan kondisi rancu yaitu istilah

“perundang-undangan”.

13) Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak

berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan

menimbulkan banyak polemik.

Page 252: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

46

3. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Hukum

1) Diharapkan adanya keterperincian dan kejelasan Undang-Undang

Otonomi Khusus serta dibutuhkannya kewenangan eksekutor Pemerintah

Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Majelis Rakyat Papua,

Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota.

2) Diharapkan Undang-Undang Otonomi Khusus diamandemen oleh Orang

Asli Papua setelah melalui proses Dialog Jakarta-Papua.

3) Diharapkan adanya alokasi dana khusus untuk penegakkan Pengadilan

Adat, Hakim Adat, Hukum Adat dan Lembaga Adat di Tanah Papua.

4) Diharapkan agar penggunaan istilah hukum yang disebut “perundang-

undangan” dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang

diamandemen tidak boleh lagi digunakan.

5) Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat

dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua

untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap

mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua

dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.

6) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua secara damai untuk mencapai

suatu solusi afirmatif bagi Orang Asli Papua dan Jakarta.

1. Kesimpulan Bidang Hukum

Oleh karena dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua terdapat

norma-norma yang tidak jelas dan terbatas kewenangannya, yang membawa

dampak langsung pada tataran implementatif yang tidak sesuai dengan norma

dan peraturan Undang-Undang Otonomi Khusus, dan ketidakjelasan dan

ketidakpastian mengenai luas dan sempitnya kewenangan yang diberikan

kepada Orang Asli Papua melalui Undang-Undang Otonomi Khusus Papua itu.

Dengan mengacu kepada kondisi normatif dan kondisi implementatif dari

Undang-Undang Otonomi Khusus Papua saja sejak awal sudah tercium, bahwa

ketidakjelasan norma dan ketidakpastian kewenangan dalam Undang-Undang

Otonomi Khusus Papua akan membawa dampak buruk, sehingga jelas terbukti

pada tahun 2005 Orang Asli Papua telah mengembalikan Undang-Undang

Otonomi Khusus Papua dalam paket “peti orang mati” (mayat Otonomi Khusus).

E. Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat

1. Pengantar

Kekhususan dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ketika disahkan

oleh Presiden Megawati Sukarno Putri dianggap, diandaikan, dan dipandang

terdapat dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat Papua. Lembaga adat, hak-

hak dasar Orang Asli Papua, harkat dan martabat mannusia Orang Asli Papua,

dan berlangsungnya kehidupan kebudayaan dan adat istiadat dapat terjadi

sebagai “kekhususan” yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

di Papua.

Page 253: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

47

Namun dalam implementasinya berjalan kearah yang berlainan. Terjadi

begitu banyak tindakan dan kebijakan yang berusaha menghilangkan aspek

kekhususan dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat di Tanah Papua. Oleh

karena itu, timbul berbagai masalah dan harapan dibidang kebudayaan dan adat

istiadat yang dideskripsikan sebagai berikut.

2. Deskripsi Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat

1) Belum secara sungguh-sungguh dan implementatif Pemerintah Provinsi

Papua dan Pemerintah Pusat mengakui, menghormati, melindungi,

memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan

berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.

2) Hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum

adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang

bersangkutan tidak diakui, tidak hormati, tidak dilindungi sebagai suatu

kewajiban oleh Pemerintah Provinsi yang ada.

3) Tidak adanya pelaksanaan hak ulayat yang dilakukan oleh penguasa

adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan

hukum adat setempat, karena penghormatan dan pengakuan serta

perlindungan dari pihak Pemerintah dan pihak ketiga, sebaliknya,

mereka berstrategi untuk menghilangkan atau mengambil alih hak-hak

masyarakat hukum adatnya.

4) Terjadinya spekulasi dan manipulasi politik terhadap tanah ulayat dan

tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk berbagai

keperluan dan pendekatan yang dilakukan melalui musyawarah dengan

masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk

memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan

maupun imbalannya merupakan upaya terselubunga dari pertimbangan

lain yang biasanya tidak diungkapkan dalam musyawarah yang

dimaksudkan.

5) Belum adanya pemberian mediasi aktif dari Pemerintah Provinsi dalam

usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan

secara adil dan bijaksana, sehingga seringkali terjadi sengketa tanah

secara terus-menerus.

6) Belum adanya perlindungan afirmatif terhadap hak kekayaan intelektual

Orang Asli Papua dari Pemerintah Provinsi.

7) Adanya intervensi secara sengaja terhadap lembaga adat asli Papua

dengan cara membentuk Lembaga Adat “boneka” bikinan Pemerintah

Pusat.

8) Adanya sifat provokatif dalam masyarakat hukum adat oleh Aparat

Pemerintahan Kampung, sehingga kelestarian nilai budaya Papua terkikis

dari waktu ke waktu.

9) Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak

berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan

menimbulkan banyak polemik.

Page 254: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

48

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat

1) Diharapkan agar secara sungguh-sungguh dan implementatif Pemerintah

Provinsi Papua mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan

mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada

ketentuan peraturan hukum yang berlaku.

2) Diharapkan adanya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan

afirmatif terhadap hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak ulayat

masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat

hukum adat yang bersangkutan sebagai suatu kewajiban oleh Pemerintah

Provinsi yang ada.

3) Diharapkan adanya kebebasan kultural dalam pelaksanaan hak ulayat

yang dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang

bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat dengan

memberi penghormatan dan pengakuan serta perlindungan dari pihak

Pemerintah dan pihak ketiga.

4) Diharapkan tidak lagi terjadi spekulasi dan manipulasi politik terhadap

tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk

berbagai keperluan dan pendekatan yang dilakukan melalui musyawarah

dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan, untuk

memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan

maupun imbalannya bukan lagi merupakan upaya terselubunga dari

pertimbangan tertentu yang biasanya tidak diungkapkan dalam

musyawarah yang dimaksudkan.

5) Diharapkan semua tanah Adat menjadi Hak Milik Adat sebagaimana

warisan Leluhur Perdana Manusia Papua dengan mengambil alih kembali

semua Tanah yang sudah terjual sebagai akibat “intervensi” dan segera

diberlakukan Sistem Kontrak tanah atau bangunan.

6) Diharapkan adanya pemberian mediasi aktif dari Pemerintah Provinsi

atau Dewan Adat Papua dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat

di Tanah Papua.

7) Diharapkan adanya perlindungan afirmatif terhadap hak kekayaan

intelektual Orang Asli Papuadari Pemerintah Provinsi dan dari Dewan

Adat Papua.

8) Diharapkan tidak adanya intervensi secara sengaja terhadap lembaga adat

asli Papua dan segera membubarkan Lembaga Adat “boneka” bikinan

Pemerintah Pusat di seluruh Tanah Papua.

9) Diharapkan pemerintahan adat saja yang bekerja di kampung-kampung

Tanah Papua, sebaliknya kepala kampung dan aparatnya dibubarkan.

10) Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat

dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua

untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap

mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua

dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.

11) Diharapkan segera dilakukan dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh

pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan ditempat yang netral.

Page 255: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

49

3. Kesimpulan Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan, bahwa

kekhususan dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjadi tidak jelas dan

tidak pasti karena keterbatasan kewenangan, intervensi Pemerintah yang sangat

kuat atas bidang kebudayaan dan adat istiadat, dan aktor eksekutor Undang-

Undang Otonomi Khusus Papua yang melalaikan terjadinya kondisi-kondisi yang

dipermasalahkan oleh Orang Asli Papua.

Dengan demikian, diharapkan menciptakan kondisi sebaliknya dari

kondisi masa sekarang agar harapan Orang Asli Papua dalam bidang kebudayaan

dan adat istiadat dapat diimplementasikan oleh para aktor eksekutor Undang-

Undang Otonomi Khusus Papua yang akan diamandemen sesudah melalui tahap

dialog Jakarta-Papua.

F. Bidang Sosial

1. Pengantar

Dalam kehidupan makhluk manusia selalu timbul masalah sosial. Masalah

sosial terjadi karena ketidakterwujudan nilai sejahtera yang seharusnya

diperoleh dan dinikmati oleh manusia tertentu. Lagi pula nilai sejahtera itu

diperoleh dan dinikmati oleh manusia tertentu ketika diperoleh dan

dinikmatinya nilai-nilai tertentu.

Standar nilai yang harus diperoleh dan dinikmati oleh Orang Asli Papua

dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah

kemampuan untuk mengatur masalah-masalah sosial, kemampuan untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan memiliki kemampuan untuk

mengakses berbagai kesempatan yang ada dalam meningkatkan taraf hidupnya.

Namun dalam kenyataan timbul berbagai masalah dan harapan Orang

Asli Papua yang dapat dirumuskan sebagai berikut ini.

2. Deskripsi Bidang Sosial

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Sosial

1) Adanya masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, penyakit hiv/aids,

alkoholik, prostitusi, narkoba, kecacatan, kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT), anak jalanan, keterlantaran, kriminalitas, konflik sosial,

kenakalan remaja, penyakit mental, putus sekolah, suku terasing,

pemukiman kumuh, sampah, kerawanan daerah, pengangguran, migransi,

perempuan rawan ekonomi, urbanisasi, bencana alam, buta huruf, dan

sistem nilai dan sikap sosial masyarakat yang kurang mendukung

pembaharuan dan pembangunan.

2) Rendahnya komitmen sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial

secara konsisten dan berkelanjutan.

3) Tidak tersedianya tenaga profesional dibidang kesejahteraan sosial.

Page 256: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

50

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Sosial

1) Diharapkan masyarakat sejahtera dalam hal kepemilikan materi, dan juga

sejahtera dalam hal kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah

sosial, mampu memenuhi kebutuhan sosialnya, dan terbukanya peluang

memperoleh akses secara luas bagi pengembangan potensi sosial.

2) Diharapkan terciptanya komitmen bersama untuk mengatasi masalah

sosial melalui mekanisme pelayanan sosial.

3) Diharapkan memiliki komitmen sosial yang tinggi bagi semua stakeholder

secara berkelanjutan.

4) Diharapkan tersedianya pekerja sosial profesional.

5) Diharapkan tersedianya alokasi dana untuk penanggulangan masalah-

masalah sosial.

6) Oleh karena begitu banyak masalah sosial di Tanah Papua maka

diharapkan dilaksanakan segera Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi

oleh pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan ditempat yang netral pula.

3. Kesimpulan Bidang Sosial

Kerumitan dalam menyelesaikan masalah tertentu menjadi makin sulit

terutama karena timbul berbagai masalah sosial dari waktu ke waktu. Masalah

sosial timbul karena Orang Asli Papua tidak sejahtera.

Ketika Pemerintah berinisiatif untuk mensejahterahkan Orang Asli Papua

menurut berat ringannya persoalan yang dihadapi oleh Orang Asli Papua, maka

solusi penyelesaiaan yang bermartabat dan sangat manusiawi adalah melalui

proses dialog Jakarta-Papua untuk mencapai solusi kesejahteraan yang

diinginkan oleh Orang Asli Papua dan Jakarta.

G. Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan

1. Pengantar

Dalam kehidupan manusia tiga hal terjadi secara wajar dan berkelanjutan.

Ketiga hal yang dimaksudkan itu adalah kelahiran, kematian, dan migrasi.

Kelahiran terjadi karena proses perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

Kematian terjadi karena alasan penyakit, tua, atau karena kondisi tidak alami

ketika melahirkan anak dan atau karena masalah sosial tertentu. Migrasi terjadi

karena faktor pendorong atau faktor penghambat tertentu yang dialami oleh

orang tertentu.

Oleh karena menjalani kehidupan adalah hal wajar yang harus terjadi

maka timbul berbagai masalah ketenagakerjaan di Tanah Papua. kalau mau jujur

saja, seandainya populasi penduduk di Tanah Papua itu hanya ditempati oleh

Orang Asli Papua maka semua masalah ketenagakerjaan itu dapat diatasi dengan

mudah. Namun kondisi heterogenitas yang tinggi maka tiap waktu terjadi

masalah-masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Pada bagian berikut

ini diuraikan beberapa masalah dan harapan di bidang Kependudukan dan

Ketenagakerjaan.

Page 257: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

51

2. Deskripsi Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan

1) Populasi penduduk di Papua antara migran dan Orang Asli Papua tidak

seimbang, yaitu 60:40. Jadi, migran menjadi mayoritas penduduk Papua.

2) Terjadi peningkatan rasio masuknya penduduk migran ke Papua secara

tidak terkontrol.

3) Kemampuan proteksi yang lemah dari Pemerintah Provinsi dihubungkan

dengan argumentasi pengalihan untuk membela diri, seperti lemahnya

sumber daya manusia, kurangnya alokasi dana, keterisolasian daerah,

lemahnya partisipasi penduduk, dan tidak bisa dilakukannya sosialisasi

Perdasi/Perdasus kependudukan.

4) Terciptanya jumlah tenaga kerja tinggi yang tidak dibarengi dengan

ketrampilan kerja yang memadai.

5) Terbatasnya kesempatan kerja;

6) Kurangnya kesejahteraan pekerja;

7) Keselamatan dan kesehatan kerja yang kurang diberi perhatian;

8) Tingginya kasus-kasus hubungan industrial;

9) Rendahnya produktivitas;

10) Belum diimplementasikannya Raperdasi ketenagakerjaan;

11) Belum adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi antara Pemerintah

Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Tanah Papua.

12) Lemahnya program pengawsan ketenagakerjaan.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan

1) Diharapkan populasi penduduk migran ditarik kembali ke luar Papua

sebanyak 40% dari jumlah migran yang ada di Papua agar Orang Asli

Papua tetap menjadi mayoritas dan tetap menjadi Tuan.

2) Diharapkan segera menciptakan sistem kontrol penduduk Orang Asli

Papua dan migran agar rasio Orang Asli Papua tetap menjadi mayoritas.

3) Diharapkan menciptakan kemampuan proteksi yang kuat dari

Pemerintah Provinsi dan tidak lagi menggunakan argumentasi pengalihan

untuk membela diri.

4) Diharapkan terciptanya jumlah tenaga kerja tinggi yang dibarengi dengan

ketrampilan kerja yang memadai.

5) Diharapkan meningkatnya kesempatan kerja;

6) Diharapkan kesejahteraan pekerja meningkat;

7) Diharapkan keselamatan dan kesehatan kerja yang diberi perhatian

serius;

8) Diharapkan berkurangnya kasus-kasus hubungan industrial;

9) Diharapkan meningkatnya produktivitas;

10) Diharapkan diimplementasikannya Raperdasi ketenagakerjaan;

Page 258: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

52

11) Diharapkanadanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi mengenai

kependudukan dan ketenagakerjaan antara Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota se-Tanah Papua.

12) Diharapkan meningkatnya program pengawasan ketenagakerjaan.

13) Diharapkan segera dilaksanakan dialog Jakarta-Papua untuk

menyelesaikan masalah-masalah kependudukan dan ketenagakerjaan di

Tanah Papua.

3. Kesimpulan Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukan diatas dapat disimpulkan,

bahwa terjadinya kondisi depopulasi di Tanah Papua segera diambil sikap

bijaksana untuk mengatasi persoalan-persoalan kependudukan dan

ketenagakerjaan.

Dengan demikian, pertumbuhan pendudukan dapat diatasi secara wajar

dan terkendali dengan bertitik tolak pada pertumbuhan dan perkembangan

populasi Orang Asli Papua. karena selama ini titik tolak pengukuran penduduk

berdasarkan pertumbuhan Manusia Melayu, dan bukan Manusia Melanesia.

H. Bidang Lingkungan

1. Pengantar

Lingkungan merupakan faktor penentu bagi kehidupan makhluk hidup

termasuk manusia. Lingkungan hidup Papua dan Manusia Papua sudah menjadi

satu kesatuan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Keanekaragaman kebudayaan

di Papua sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidup yang ada

disekitarnya, sehingga diketahui, bahwa lingkungan alam Papua membentuk ciri

atau karater kebudayaan yang berbeda-beda dalam kehidupannya. Kondisi bisa

tercipta secara kebalikan, yaitu manusia Papua membentuk lingkungan alamiah

menjadi kebudayaan, sehingga kebudayaan suku bangsa yang satu berbeda

dengan kebudayaan suku bangsa yang lain.

Kemudian terciptalah masyarakat hukum adat dengan lingkungan alam,

budaya, ekonomi, dan sosial yang sangat berbeda menurut suku bangsanya.

Berbagai keragaman dapat ditemukan, misalnya arsitektur rumah Papua yang

sangat berbeda menurut suku, honai [Suku-suku bangsa Dani, Lani, Nduga,

Migani, Damal, dan Amungme], Kariwari [Suku-Suku Bangsa Sentani, Enggros,

Tobati, Nafri, Tepera, Kemtuk, Kleisi, Namblong], Owaa [Suku Bangsa Mee], dan

lain-lain.

Dalam kondisi kuatnya hubungan dan ikatan antara lingkungan Papua

dan Orang Asli Papua itu terciptalah “kepentingan ekonomi” karena ternyata

lingkungan alam Papua mengandung potensi alam yang sangat dasyat

kekayaannya. Oleh sebab itu, kepentingan ekonomi bertalian dengan

kepentingan politik maka terjadi berbagai ketimpangan, sehingga timbul

sindiran “memalukan”, bahwa Orang Asli Papua mempunyai kekayaan alam raya,

tetapi standar IPM dalam rendah. Kondisi ini bisa dianggap aneh tapi nyata,

bahwa kemiskinan mencapai 41,8%, buta aksara mencapai 74,4%, dan kematian

bayi mencapai 50.5 tiap harinya. Kondisi ini bersifat paradoksial karena Tanah

Papua adalah tempat yang memiliki sumber daya alam terkaya dan mempunyai

GDRP nomor 4 sesudah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Provinsi Kalimantan

Page 259: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

53

Timur, dan Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, berbagai masalah dalam

bidang lingkungan Papua dapat dirumuskan sebagai berikut:

2. Deskripsi Bidang Lingkungan

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Lingkungan

1) Belum tersedianya ilmu pengetahuan Orang Asli Papua mengenai

kearifan lokal dalam hal perlindungan sumber daya alam dan

keanekaragaman hayati.

2) Belum adanya sosialisasi dan upaya mengimplentasikan mengenai

regulasi delegatif dari Undang-Undang Otonomi Khusus dibidang

lingkungan, khusunya mengenai upaya pengembangan norma-norma

kearifan lokal.

3) Belum adanya upaya penguatan terhadap pengelolaan hutan berbasis

kearifan lokal.

4) Belum adanya kesadaran dari pihak pemerintah dan pihak ketiga yang

memanfaatkan lingkungan alam tertentu milik suku bangsa tertentu,

bahwa lingkungan alam tersebut berada dalam kesatuan ikatan dan relasi

yang kuat, sehingga diperlukan melakukan langkah-langkah strategis

tertentu untuk melestarikan lingkungan alam yang ada sesuai dengan

pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Sebab program dan

kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukannya ada BBP yang

bertentangan dengan kearifan lokal.

5) Selama ini Pemerintah dan pihak ketiga berperan sebagai pemutus

hubungan masyarakat hukum adat dengan lingkungan alamnya dan hadir

juga sebagai penghancur nilai-nilai budaya yang berperanan untuk

melestarikan lingkungan alam berbasis kearifan lokal. Oleh karena itu,

generasi mendatang tidak lagi melestarikan lingkungan alam berbasis

kearifan lokal, sebaliknya mementingkan kepentingan ekonomi dan

politis semata.

6) Kehadiran berbagai perusahaan di Tanah Papua belum memberikan

dampak afirmatif kepada Orang Asli Papua, karena tingkat IPM sangat

rendah. Didalamnya termasuk rendahnya komitmen, konsistensi, dan

kontinuitas dari perusahaan untuk melakukan perbaikan dan rehabilitasi

berbagai kerusakan lingkungan yang dihasilkannya. Kondisi itu diikuti

dengan rendahnya supremasi penegakkan humum untuk tujuan

pelestarian lingkungan alam.

7) Standar perijinan perusahaan dan standar ijin pembangunan tidak diikuti

dengan ketaatan terhadap komitmen perusahaan, dimana ini masih

sangat rendah. Terdapat pula banyak perusahaan di Papua menjalankan

operasinya tanpa didahului dengan persetujuan AMDAL oleh semua pihak

termasuk masyarkat adatnya. Hal ini dilatarbelakangi atau dimotivasi

oleh kepentingan investasi atau ekonomi yang bersinergi dengan

kepentingan politik yang lebih diberi perioritas.

8) Penataan tata ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota disusun oleh pihak

pemerintah saja tanpa melibatkan masyarakat adat yang mempunyai hak-

hak dasar atas lingkungan alam. Pihak penyusun RT/RW bersifat tertutup

Page 260: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

54

kepada masyarakat adat selama melakukan penyusunan dan membuat

heran atau kaget ketika melakukan publikasi. Sebab memang diketahui,

bahwa penentuan batas wilayah administratif itu dilakukan tidak dengan

atau dengan tidak mempertimbangkan batas wilayah adat masyarakat

hukum adatnya.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Lingkungan

1) Diharapkan terjaminnya keberadaan sumber daya alam dan lingkungan

Papua dalam standar kuantitas dan kualitas yang baik dan proporsional.

2) Diharapkan manfaat ekonomi dari sumber daya alam dan lingkungan bagi

kehidupan Orang Asli Papua dan penguatan kaapasitas fiskal Papua

secara berkeadilan dan berkelanjutan terwujud dengan baik.

3) Diharapkan adanya pengendalian dan pengawasan kapasitas (daya

tampung dan daya dukung) dan kualitas lingkungan hidup Papua menjadi

meningkat.

4) Diharapkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan sumber daya alam

dan lingkungan hidup Papua dalam mengelola sumber daya alam dan

lingkungan hidup Papua menjadi meningkat.

5) Diharapkan adanya dorongan peran dan partisipasi aktif Orang Asli

Papua dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua.

6) Diharapkan standar Orang Asli Papua sebagai pemegang saham atas

sumber daya alam dalam hubungan dengan pemanfaatan setiap sumber

daya alam Papua terwujud sebagai sebuah kenyataan yang saling

menguntungkan bagi pihak-pihak.

7) Diharapkan dikengembangkannya sistem manajemen dan informasi aset

sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua.

8) Diharapkan mampu membangun perencanaan dan koordinasi antar

pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan hidup Papua.

9) Diharapkan mampu melaksanakan penataan dan penegakkan hukum

dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua,

khususnya regulasi delegatif dari kebijakan Undang-Undang Otonomi

Khusus Papua.

10) Diharapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan

hidup guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan

terwujud sebagai sebuah komitmen implementatif di Papua.

11) Diharapkan, bahwa karena berbagai kepentingan yang ada selama ini

membawa konsekuensi, bahwa Orang Asli Papua adalah “korban” dari

berbagai kepentingan terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam

Papua, maka dibutuhkan “Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak

netal dan dilaksanakan ditempat netral”.

3. Kesimpulan Bidang Lingkungan

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan,

bahwa Pemerintah dan pihak ketiga adalah “pihak yang berkepentingan

Page 261: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

55

ekonomi dan politik”, sebaliknya Orang Asli Papua adalah “pihak yang

berkepentingan hak-hak dasar”. Selama ini Orang Asli Papua sudah menjadi

“korban” dari berbagai kebijakan di bidang lingkunga. Oleh karena itu, Orang Asli

Papua mempertimbangkan dirinya menjadi salah satu pemegang saham,

sehingga pihak Orang Asli Papua mempunyai “kepentingan hak-hak dasar,

kepentingan ekonomi, dan kepentingan politik”.

I. Bidang Keagamaan

1. Pengantar

Manusia adalah umat Tuhan Allah. Umat Tuhan Allah di tempat lain

dimuka bumi ini tersenyum manis, tetapi Orang Asli Papua yang adalah umat

Tuhan Allah di Tanah Papua bersedih dan terus menerus menangis.

Kondisi kesedihan dan tangisan Umat Tuhan Allah itu terjadi karena

sedang berlaku situasi pembunuhan terhadap Umat Tuhan Allah itu. Kondisi

macam ini tidak bisa dipertahankan sebagai suatu bentuk kewajaran dan yang

alamiah, sebaliknya kondisi tersebut harus diperbaharui dan dipertobatkan.

Sehingga Orang Asli Papua merumuskan masalah-masalah dan harapan-harapan

keagamaan sebagai berikut:

2. Deskripsi Bidang Keagamaan

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Keagamaan

1) Adanya kekerasan terhadap umat dari agama tertentu di Papua.

2) Kekerasan terjadi tiap tahun dalam berbagai bentuk, baik kekerasan fisik

maupun kekerasaan non-fisik/halus.

3) Pihak agama mendapat dukungan dana dari pemerintah, tetapi tidak

dijelaskan apa sumber dana, apakah Otonomi Khusus atau DAU kepada

pimpinan Agama di Papua.

4) Bidang agama menjadi kewenangan Pemerintah Pusat melahirkan banyak

masalah keagamaan di Papua.

5) Pertumbuhan populasi migran yang sangat tinggi melampaui populasi

Orang Asli Papua juga mempertumbuhkan jumlah rumah ibadat kaum

migran yang selalu mengganggu Orang Asli Papua dengan mikrofon yang

diperkuat dengan speaker toa diluar dan diatas bangunan rumah

ibadahnya.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Keagamaan

1) Diharapkan pimpinan agama terus bersatu melawan kekerasan

sebagaimana yang terjadi selama ini;

2) Diharapkan agar mendorong umat untuk bersatu melawan kekerasan di

Tanah Papua.

3) Diharapkan adanya regulasi khusus mengenai pendirian rumah ibadat di

Tanah Papua.

4) Diharapkan bidang agama menjadi kewenangan khusus Papua.

Page 262: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

56

5) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak

netral dan dilaksanakan di tempat netral pula.

3. Kesimpulan Bidang Keagamaan

Beribadah dan beriman akan Tuhan Allah tertentu adalah hak-hak dasar

manusiawi, tetapi menggangu umat lain karena urusan ketidaknyamanan akan

melahirkan masalah-masalah sosial yang sangat berat. Demikianlah kondisi riil

yang terjadi sebagai dampak dari kenyataan kerukunan hidup beragama yang

berjalan baik diseluruh Tanah Papua.

Berbeda dengan keprihatinan para tokoh agama karena selama ini

mereka selalu berhadapan dengan kekerasaan dan pembunuhan terhadap

umatnya. Laporan-laporan yang masuk kepada pimpinan agama membuktikan,

bahwa kehidupan para umat diancam oleh keberadaan pihak-pihak tertentu

yang dapat membawa masalah atau ancaman atas hidup atau matinya.Oleh

karena itu, para tokoh agama merekomendasikan untuk segera dilakukan “dialog

Jakarta-Papua” agar bisa dicari solusi afirmatif atas masalah tersebut.

J. Bidang Pengawasan

1. Pengantar

Pengawasan sangat dibutuhkan oleh setiap organisasi dalam rangka

jaminan akan terselengaranya efektivitas dan efisiensi serta sebagai sebuah tolak

ukur untuk melihat kinerja pelaksanaan. Hasil dari pelaksanaan fungsi

pengawasanlah yang dapat menjadi refrensi rujukan untuk melakukan tindak

lanjut tertentu bagi suatu arah perubahan yang diinginkan secara bersama-sama.

Fungsi pengawasan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Papua berjalan tidak menurut kehendak Undang-Undang Otonomi

Khusus, tetapi juga tidak pula menurut kehendak Orang Asli Papua. dengan

demikian timbul berbagai masalah dan harapan terhadap fungsi pengawasan

sebagaimana yang diungkapkan pada bagian berikut ini.

2. Deskripsi Bidang Pengawasan

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Pengawasan

1) Lemahnya pengawasan terhadap kinerja aktor eksekutor Undang-Undang

Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

2) Lemahnya pengawasan terhadap lembaga-lembaga sektoral yang

strategis yang dilakukan oleh lembaga-lembaga hukum dan peradilan

sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus

Papua dan Papua Barat.

3) Lemahnya peranan masyarakat adat dan Majelis Rakyat Papua untuk

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Papua dan Papua Barat.

4) Belum adanya regulasi delegatif untuk melakukan peran pengawasan

oleh para pihak.

Page 263: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

57

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Pengawasan

1) Diharapkan terjadinya peningkatan dalam bidang pengawasan terhadap

kinerja aktor eksekutor Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan

Papua Barat.

2) Diharapkan adanya peningkatan partisipasi pengawasan terhadap

lembaga-lembaga sektoral yang strategis yang dilakukan oleh lembaga-

lembaga hukum dan peradilan sebagaimana yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

3) Diharapkan adanya partisipasi peranan di bidang pengawasan oleh

masyarakat adat dan Majelis Rakyat Papua untuk melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua

Barat.

4) Diharapkan adanya regulasi delegatif yang mengatur tentang pengawasan

sehingga pengawasan bisa dilakukan oleh para pihak.

5) Diharapkan segera dilakukan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh

pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan di tempat yang netral.

3. Kesimpulan Bidang Pengawasan

Berdasarkan hal-hal yang disebutkan diatas maka dapat disimpulkan,

bahwa selama ini fungsi pengawasan tidak dilkasanakan secara baik dan benar

sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Berbagai alasan yang

digunakan untuk menutupi tidak berjalannya fungsi pengawasan dapat

dipandang sebagai “pelarian atau pengalihan” terhadap tugas dan wewenang

yang seharusnya diemban oleh lembaga yang berwewenang melaksanakan

fungsi dan tugasnya.

K. Bidang Keuangan Daerah

1. Pengantar

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengenai kewenangan, dijelaskan bahwa

segala kewenangan sudah diberikan kepada Orang Asli Papua, kecuali

kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan

fiskal, agama, dan peradialan serta kewenangan tertentu dibidang lain yang

ditetapkan sesuai dengan perundang-undangan. Dengan demikian, pelaksanaan

Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang berkaitan dengan

keuangan dikendalikan langsung oleh Pemerintah Pusat.

Kekhususan dalam perspektif keuangan tidak ditemukan karena sifat

dasar dari urusan keuangan adalah sektoral dan sentralistis. Oleh karena itu,

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua mendapat

banyak masalah dalam rangka menyelesaikan berbagai kondisi yang tercipta

diluar pengaturan regulasi keuangan yang berlaku. Dengan begitu, jelas bahwa

berbagai masalah tetap saja ada sebagai masalah yang sulit diatasi oleh

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, sehingga pada bagian

berikut ini dijelaskan mengenai beberapa masalah dan harapan Orang Asli

Papua.

Page 264: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

58

2. Deskripsi Bidang Keuangan Daerah

a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus Di Bidang Keuangan Daerah

1) Penerimaan dana Otonomi Khusus sepanjang tahun 2002 sampai 2012

untuk Provinsi Papua sudah mencapai Rp. 28.445 triliyun dan Provinsi

Papua Barat sejak 2008 sudah mencapai 5.409 triliun, namun Orang Asli

Papua berpendapat, bahwa Otonomi Khusus Gagal.

2) Dana Otonomi Khusus dipandang sebagai kebijakan fiskal asimetris atau

desentralisasi asimetris untuk memberikan keseimbangan dan dianggap

jalan keluar terhadap masalah disintegrasi, namun belum memberikan

solusi afirmatif terhadap kemungkinan untuk disintegrasi dari Orang Asli

Papua. Walaupun selama ini oleh Pemerintah Pusat memandang, bahwa

kebijakan fiskal asimetris yang disetujuinya dilaksanakan dianggap uang

mengikuti kewenangan yang telah diberikan kepadaa daerah. Artinya,

Otonomi Khusus adalah pemberian kewenangan untuk menutupi jalan

disintegrasi.

3) Kebijakan fiskal asimetris dilakukan dalam rangka pemberian urusan

atau kewenangan ke daerah yang harus diwujudnyatakan dalam tiga

bidang penting, yaitu desentralisasi asimetris politik, desentralisasi

asimetris administrasi, dan desentralisasi asimetris fiskal, namun

pengaruh dari kewenangan sentralisasi masih mengendalikan bidang-

bidang startegis karena itu kebijakan desentralisasi tidak berjalan secara

efektif dan efisien.

4) Kebijakan fiskal asimetris kalau mau diubah maka membutuhkan regulasi

delegatif baru yang lebih bersifat rinci dan operasional berdasarkan

keinginan Orang Asli Papua, karena regulasi delegatif yang ada selama ini

lebih banyak berhubungan dengan kepentingan subyek eksekutor

tunggal, yaitu Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

5) Orang Asli Papua belum mengetahui, bahwa sumber dana dari Dana

Otonomi Khusus berasal dari 2% DAU, sehingga Orang Asli Papua

berpandangan, bahwa Dana Otonomi Khusus bersumber dari pihak

ketiga.

6) Orang Asli Papua tidak setuju dengan regulasi dana Otonomi Khusus yang

selama ini mengatur tentang “peluang pengelolaan dana DAU dan DOK

secara bersama-sama” oleh Pemerintah Provinsi karena sulit dilakukan

pengawasan dan sulit juga untuk membedakan sumber jenis dana dalam

rangka pelaksanaan sesuai keinginan dan kebutuhan Orang Asli Papua.

7) Selama ini belum ada sikap transparansi mengenai pemanfaatan atau

realisasi keuangan Otonomi Khusus oleh aktor eksekutornya.

8) Selama ini belum nampak sikap akuntabilitas dari aktor eksekutor

mengenai pemanfaatan dana Otonomi Khusus karena regulasi delegatif

yang ada tidak dipisahkan atau pengaturan mengenai DAU dan DOK

dilakukan oleh regulasi yang sama, sehingga dana DOK diatur sebagai

pasal khusus dari regulasi mengenai dana DAU. Selain itu, perencanaan

dan penganggaran dikendalikan oleh SKPD saja, pelaksanaan anggaran

Otonomi Khusus juga oleh SKPD, dan pelaporan akhir juga dari SKPD.

Oleh sebab itu, pihak-pihak luar tidak mendapat peluang uang melakukan

Page 265: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

59

perencanaan/penganggaran, melaksanakannya, atau melakukan

pelaporan, serta tidak diberi kesempatan untuk melakukan audit

penggunaan keuangan Otonomi Khusus. Oleh karena itu, sulit

memberikan sebuah legitimasi reward yang fair atau memberikan sanksi

kepada yang melakukan penyalahgunaannya.

b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus

Di Bidang Keuangan Daerah

1) Diharapkan agar Orang Asli Papua tidak selalu dikagetkan dengan

propaganda total nilai penerimaan Dana Otonomi Khusus yang tinggi oleh

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

2) Diharapkan, bahwa ideologi merdeka bagi Orang Asli Papua tidak

disetarakan dengan nilai dan total Dana Otonomi Khusus yang diberikan

kepada Orang Aslii Papua, karena perspektifnya sangat berbeda.

3) Diharapkan pengaruh sentralitas dalam kebijakan fiskal asimetris dapat

dihentikan sehingga mutu kebijakan fiskal asimetris bisa berjalan secara

efisien dan efektif.

4) Diharapkan adanya regulasi delegatif yang operasional dan rinci yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan Orang Asli Papua.

5) Diharapkan adanya pemisahan dana DAU dan DOK dalam perspektif

proses perencanaan sampai dengan MONEV atau auditnya.

6) Diharapkan berbagai salah pandang Orang Asli Papua mengenai Dana

Otonomi Khusus dapat diatasi dengan solusi afirmatif seperti sosialisasi

berbagai hal yang dipersoalkan mengenai Otonomi Khusus.

7) Diharapkan adanya transparansi dan akuntabilitas dari pihak ekekutor

dana DAU dan DOK di Tanah Papua.

8) Segala ketidakjelasan dan ketidakpastian dana Otonomi Khusus ini dapat

diselesaikan melalui Dialog Jakarta-Papua.

3. Kesimpulan Bidang Keuangan Daerah

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa terdapat berbagai ketidakjelasan dan ketidakpastian

mengenai dana DAU dan DOK yang mengalir ke dan di Papua. Orang Asli Papua

yang berada diluar system Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Tanah

Papua tidak merasakan, bahwa Dana Otonomi Khusus yang dimaksudkan selama

ini berhubungan sebab akibat dengan Orang Asli Papua dengan Jakarta.

Sebaliknya, Dana Otonomi Khusus adalah hubungan sebab akibat antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota se-Tanah

Papua.

L. Bidang Hak Asasi Manusia

1. Pengantar

Kondisi kehidupan hak-hak asasi manusia di Tanah Papua kian hari kian

memburuk, karena terjadi pelanggaran dan kekerasan terhadap hak-hak

kemanusian manusia secara berkelanjutan dari waktu ke waktu.

Page 266: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

60

Berbagai suara pembelaan sudah disampaikan, bahwa pelanggaran hak

asasi manusia sangat kuat terjadi di Tanah Papua. Tetapi setiap perjuangan

terhadap usaha-usaha pembelaan dan penegakan hak asasi manusia tidak

diindahkan, tidak didengarkan, dan diabaikan begitu saja. Namun ingatan akan

kekerasan yang dilakukan secara berkelanjutan itu membawa dampak yang lain,

yaitu gerakan untuk melawan kekerasan dengan damai dan dengan dialog. Sebab

Orang Asli Papua menyadari, bahwa Manusia Papua juga makhluk manusia

seperti Manusia Melayu, Manusia Eropa, Manusia Arab, dan seterusnya. Manusia

adalah Manusia, sebaliknya hewan adalah hewan. Ketika manusia dianggap

hewan maka pelanggaran hak asasi manusia akan selalu terjadi di Tanah Papua.

sebab sesungguhnya bukan Orang Asli Papua yang dicintai oleh negara,

sebaliknya alam raya Papua yang dicintai oleh negara ini. Demikianlah, impuls-

impuls yang memotivasi lahirnya masalah-masalah atau harapan-harapan

kemanusiaan yang timbul dideskripsikan sebagai berikut.

2. Deskripsi Bidang Hak Asasi Manusia

a. Kondisi yang Dipersoalkan dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi

Khusus di Bidang Hak Asasi Manusia

1) Belum terwujudnya perwakilan komisi nasional hak azasi manusia;

pengadilan hak asasi manusia, dan komisi kebenaran dan rekonsialiasi.

2) Adanya kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam

segala aspek kehidupan Orang Asli Papua secara sistematis,

berkelanjutan, dan tidak terbendung.

3) Tidakadanya alokasi dana khusus dibidang hak asasi manusia dalam

rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus di Tanah Papua.

b. Kondisi yang Diharapkan terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus di

Bidang Hak Asasi Manusia

1) Diharapkan adanya kesadaran pihak Pemerintah Pusat dan Orang Asli

Papua, bahwa pelanggaran hak asasi Manusia mesti dihentikan dan

dicegah.

2) Diharapkan menciptakan “kebudayaan damai” berasaskan “Kebudayaan

Papua” menurut pola pandang Masyarakat Adat Papua.

3) Diharapkan dilakukannya Dialog Jakarta Papua sebagai sarana yang

paling efektif untuk menemukan solusi atas berbagai masalah.

3. Kesimpulan Bidang Hak Asasi Manusia

Sejarah Papua mencatat, bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Tanah

Papua terjadi seirama dengan berjalannya waktu kebersamaan antara Orang Asli

Papua dengan Pemerintah Indonesia. Begitu banyak lembaran sejarah

pelanggaran hak asasi manusia yang sudah ditutup tanpa penyelesaian, tetapi

juga selalu terbuka kemungkinan untuk membuka lembaran-lembaran baru bagi

terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.

Page 267: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

61

D. Implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang

terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban

keuangan negara.

Sistem baru dalam RUU-PP berimplikasi terhadap aspek kehidupan masyarakat

khususnya masyarakat Papua dimana masyarakat papua akan lebih partisipasi aktif dan

kreatif serta pemantapan penghargaan jati diri dalam aktifitas kehidupan masyarakat

asli Papua membangun dirinya bersama-sama dengan masyarakat lain di tanah papua,

sekaligus mengikat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam NKRI.

Dalam sistem baru ini juga, akan membawa dampak terhadap aspek beban

keuangan negara, dimana untuk membangun Papua baik fisik maupun non fisik

diperlukan sejumlah dana yang besar karena luas wilayah Papua yang besar dan sulit

dijangkau dan masyarakat yang kebanyakan masih tertinggal.

Page 268: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

62

BAB IV

TINJAUAN REGULASI

Kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang menjadi dasar

pembentukan RUU ini adalah analisis substansi dan konteks terhadap peraturan

perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi yang susunannya terdapat dalam

pasal 7 UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UUD 1945,

Ketetapan MPR, dan UU atau Perppu yang masih berlaku dan belum dicabut, serta

beberapa putusan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan uji materiil beberapa pasal

dalam UU Nomor 21 tahun 2001.

UUD 1945 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B

Pemerintahan daerah secara konstitusional telah diatur dalam UUD 1945 perubahan

ke-dua yang telah disahkan tanggal 18 Agustus 2000 dalam Sidang Tahunan MPR RI,

pada pasal 18 baru, 18A, dan 18B. Pasal ini telah menjadi dasar konstitusional baru

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Aturan ini hendak mencari keseimbangan

antara otonomi dan sentralisasi, agar di satu pihak NKRI dapat terjaga dan di lain pihak

memaksimalkan peran aktif dan partisipasi daerah untuk mewujudkan berbagai cita-

cita kemerdekaan.

Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 mengandung prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya,

artinya Daerah berhak mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi

pemerintahan yang oleh undang-undang tidak ditentukan sebagai yang diselenggarakan

pusat. Selain dalam pengertian urusan atau fungsi pemerintahan, Otonomi luas

terutama tercermin pada kemandirian dan kebebasan daerah. Campur tangan pusat

harus dibatasi pada hal-hal yang benar-benar bertalian dengan upaya menjaga

keseimbangan antara prinsip kesatuan (unity) dan perbedaan (diversity).25

Pasal 18A, ayat (1) mengandung Prinsip kekhususan dan keragaman daerah.26 Prinsip

ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam

(uniformitas). Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai keadaan khusus

dan keragaman setiap daerah. Otonomi untuk daerah-daerah pertanian dapat berbeda

dengan daerah-daerah industri, atau antara daerah pantai dan pedalaman, dan lain

sebagainya. Begitu pula perbedaan-perbedaan potensi daerah harus menjadi dasar

menentukan bentuk dan isi otonomi. Inilah aspek penting paham otonomi nyata atau

otonomi riil, yaitu otonomi yang beragam. Harus diakui, pelaksanaan otonomi semacam

ini lebih sulit dan kompleks dibandingkan dengan yang serba seragam. Tetapi masalah

utama bukanlah mudah atau sulit melaksanakan, tetapi upaya maksimum untuk

mewujudkan cita-cita otonomi yaitu masyarakat daerah yang demokratis dan sejahtera.

Pasal 18B ayat (1) mengandung Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan

daerah yang bersifat khusus dan istimewa.27 Yang dimaksud '''bersifat istimewa" adalah

25 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH-UII, Yogyakarta, 2002, hlm. 11-12. 26 Ibid., hlm. 12-13. 27 Ibid., hlm. 15-16.

Page 269: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

63

pemerintahan asli atau desa atau pemerintahan bumiputra seperti daerah istimewa

Yogyakarta, dan daerah khusus ibu kota (DKI Jaya). Daerah Istimewa Yogyakarta

terletak pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Kesultanan Yogyakarta dan

Pakualam. Daerah Khusus Ibu Kota, karena sebagai ibu kota negara (state capital).

Dalam Pasal 18B perkataan "khusus" memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain

karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus. Ini

berarti setiap daerah dapat menuntut suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan

faktor-faktor tertentu tanpa suatu kriteria umum yang telah ditentukan dalam undang-

undang.

Pasal 18B, ayat (2) mengandung Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.28 Yang dimaksud masyarakat

hukum adat adalah masyarakat hukum (rechtsgemeinschaft) yang berdasarkan hukum

adat atau adat istiadat seperti desa, marga, nagari, kampong, meunasah, huta, negorij

dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat - bersifat teritorial atau

genealogis – yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan

dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau ke luar

sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri

mereka sendiri.

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya

mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan

pemerintahan lain seperti kabupaten dan kota. Kesederajatan ini mengandung makna,

bahwa kesatuan masyarakat hukum yang berdasarkan hukum adat berhak atas segala

perlakuan dan diberi kesempatan berkembang sebagai sub-sistem NKRI yang maju,

sejahtera, dan modern. Hal ini merupakan esensi yang membedakan dengan pengakuan

kolonial terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Pemerintahan kolonial tidak

bermaksud menghormati, tetapi membiarkan agar kesatuan masyarakat adat tetap

hidup secara tradisional sehingga tidak akan menjadi pengganggu kekuasaan kolonial.

Pengakuan dan penghormatan sebagaimana diatur dalam Pasal 18B, justru

mengandung tuntutan pembaharuan kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan

perannya sebagai sub-sistem NKRI yang maju dan modern.

Tap MPR Nomor IV/MPR/1999

Bergulirnya reformasi politik, ekonomi, dan hukum di Indonesia dengan jatuhnya resim

orde baru (Suharto) tanggal 21 Mei 1998 telah membuka pintu bagi timbulnya berbagai

pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa

Indonesia. Untuk kasus Papua, wakil-wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat

Indonesia (MPR-RI) menetapkan perlunya memberikan status Otonomi Khusus kepada

Provinsi Irian Jaya (tanah Papua) sebagaimana yang diamanatkan dalam Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004 Bab IV huruf (g) butir 2,

yaitu : “... dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh

permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-

28 Ibid., hlm. 13-14.

Page 270: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

64

sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : (a) mempertahankan

integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap

menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya

melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (b)

menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses

pengadilan yang jujur dan bermartabat ...”.

Tap MPR Nomor IV/MPR/2000

Amanat Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tersebut yang menyangkut penetapan

Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus dalam sidang tahunan MPR RI tahun 2000,

ditekankan kembali melalui Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang

rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang ditujukan kepada

pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, disebutkan : “... Undang-undang Otonomi

Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat Ketetapan MPR Nomor

IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999 – 2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya

1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan ...”.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam

Amandemen UUD 1945 telah diberikan dasar konstitusional yang tegas mengenai

penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia, yaitu dengan pemberian otonomi

yang seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan

sendiri serta pengakuan kepada daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus

maupun kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang ada, asalkan tidak melanggar batas-

batas dari prinsip NKRI. Hal ini berarti menurut UUD 1945 setelah di amandemen, titik

tolak penyelenggaraan pemerintahan lokal semata-mata menekankan kepada otonomi

daerah.

Eksistensi kebijakan otonomi daerah ini sangat penting dipahami sebagai bagian dari

perwujudan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan sebagai

instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan umum.29 Sedang kebebasan dan

persamaan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan prinsip-prinsip

demokrasi yang sangat penting dalam suatu negara hukum. Dengan demikian

pelaksanaan otonomi daerah bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi tersebut.

UU Nomor 12 tahun 1969

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Tentang: Pembentukan Propinsi Otonom Irian

Barat Dan Kabupaten-Kabupaten Otonom Di Propinsi Irian Barat, yang berlaku

Tanggal: 10 September 1969, Sumber: LN 1969/47; TLN NO. 2907. Undang-undang ini

hanya mengatur pembagian daerah dan batas wilayahnya Provinsi Irian Jaya, serta

beberapa urusan yang dianggap penting ketika itu.

A. UU Nomor 45 tahun 1999 dan perubahannya

29

Ibid., hlm. 3.

Page 271: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

65

Undang-Undang Nomor: 45 tahun 1999 Tentang: Pembentukan Propinsi Irian

Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten

Puncak Jaya, Dan Kota Sorong, yang berlaku Tanggal: 4 Oktober 1999 Sumber: LN NO.

1999/173; TLN NO. 3894 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999

Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,

Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong.

Undang-undang ini ketika diundangkan, telah ditolak oleh sebagian terbesar

masyarakat Papua, sehingga tidak jadi diberlakukan.

B. UU Nomor 21/2001 dan UU Nomor 35/2008

Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Papua secara khusus

penegakan HAM, Pemerintah Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan

beberapa peraturan perundang-undangan seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun

hanya dalam UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua UU Nomor 21 Tahun 2001, hak-

hak dasar penduduk asli (indigenous people) sebagai hak asasi manusia begitu

mendapat pengakuan dan perlindungan. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban

terhadap tuntutan kemerdekaan bangsa Papua yang hendak memisahkan diri dari

Republik Indonesia dalam jaman Reformasi. UU ini sebagai jalan keluar atau jalan

tengah yang bijaksana antara kepentingan bangsa Papua sendiri dan kepentingan

bangsa Indonesia pada umumnya. Mengingat sejak integrasi Papua dengan NKRI dan

dalam penerapan kebijakan pemerintahan Soeharto di era Orde Baru membawa

penderitaan, kemelaratan, dan harga diri bangsa Papua yang ditindas dan diinjak-injak.

Bangsa Papua merasa tidak aman di atas tanahnya sendiri, dimana suasana

kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan tidak dirasakan di atas tanah yang telah

menjadi wilayah dari NKRI itu sejak 1963 sampai 1998. Bangsa Papua merasa terasing

di negerinya sendiri. Singkat kata, HAM individu dan rakyat Papua dalam negaranya

sendiri tidak dihormati dan dilindungi. Inilah masalah yang melatarbelakangi atau

melandasi upaya para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengambil langkah-langkah

politik dan merumuskan norma hukum bagi perlindungan HAM rakyat Papua dalam UU

Otonomi Khusus.

Pada awal tahun baru 2003 masyarakat Papua merasa senang setelah mendengar

bahwa Pemerintah Pusat dalam hal ini Menko Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono,

tanggal 29 Desember 2002 menyatakan berkeinginan mencari “penyelesaian

permasalahan di Papua secara beradab dan adil” sebagai salah satu prioritas dalam

kebijakannya. Pada kesempatan yang sama Menko Polkam menyatakan: “Otonomi

khusus yang kita pilih ke depan akan ditingkatkan lagi untuk bisa memenuhi dan

mengatasi masalah kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat Papua, sehingga hal

itu benar-benar diwujudkan”. Tentunya semua pihak setuju jika terhadap permasalahan

di Papua dapat diberikan suatu perhatian yang serius dan menjadi pokok pergumulan

bersama menuju suatu jalan keluar yang lebih permanen. Pergumulan demikian akan

menuntut kearifan serta keterbukaan dari segala pihak yang berkepentingan guna

mencapai suatu hasil bersama dan memuaskan dalam penegakan HAM bagi masyarakat

Papua. Tujuan tersebut sudah terungkap dalam jiwa dan semangat UU Otonomi Khusus

Page 272: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

66

untuk Papua, yang telah didorong dan disahkan oleh Pemerintah Pusat sehingga

penerapannya secara benar sudah seharusnya menjadi suatu kewajiban semua pihak.

Ketika Pemerintah Daerah dan DPRD Propinsi beserta masyarakat Papua sedang

berupaya mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, yang masih diperhadapkan pada kendala belum

tersedianya sejumlah instrumen hukum sebagai landasan teknis operasional, seperti

MRP, Perdasi, dan Perdasus, serta belum terbentuknya sejumlah perangkat

kelembagaan seperti Perwakilan Komnas HAM, Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR)

dan Pengadilan HAM seperti yang diamanatkan Otsus; Pemerintahan Daerah, DPRD dan

berbagai komponen masyarakat di Propinsi Papua dikejutkan oleh keluarnya Instruksi

Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-

undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah,

Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya,

dan Kota Sorong, pada tanggal 27 Januari 2003. Terbitnya instruksi ini mengejutkan

masyarakat Papua karena seakan-akan ‘jatuh dari langit’ begitu saja. Suatu instruksi

yang memang tidak dinantikan, mengingat soal pemekaran telah diatur dalam Undang

Otonomi Khusus di Papua Nomor 21 Tahun 2001. Maka, terbitnya Inpres Nomor 1 serta

deklarasi propinsi baru oleh seorang ‘calon gubernur yang baru’, Bram Ataruri, di

bagian barat Propinsi Papua membuat banyak orang tidak mengerti lagi apa yang

sebenarnya terjadi. Juga penjelasan dari Pemerintah Pusat yang sangat simpang siur

tidak membantu untuk memahami kebijakan ‘mendadak’ ini. Isi Inpres tersebut antara

lain: memerintahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Gubernur Papua dan

Para Bupati di Propinsi Papua untuk mengambil langkah-langkah percepatan

Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah berdasarkan Undang-

undang Nomor 45 Tahun 1999 dan mengaktifkan pejabat Gubernurnya. Dikeluarkannya

Inpres ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagaimana termuat dalam

konsiderans menimbangnya, antara lain: (1) untuk pelaksanaan Undang-undang Nomor

45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya

Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong

dipandang perlu dilakukan percepatan penyiapan sarana dan prasarana, pembentukan

organisasi perangkat Daerah, dan kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (2)

Sesuai tuntutan dan perkembangan aspirasi masyarakat serta kondisi politik nasional

yang kondusif pada saat ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Propinsi

Irian Jaya Barat perlu direalisasikan secara terarah, terpadu, terkoordinasi, dan

berkesinambungan. Menindaklanjuti Inpres ini, maka Menteri Dalam Negeri telah

menerbitkan Radiogram yang ditujukan kepada Gubernur Propinsi Papua,

Bupati/Walikota se-Propinsi Papua, dan seluruh Pejabat Eselon I Departemen Dalam

Negeri. Radiogram Nomor 134/221 /SJ, tertanggal 3 Pebruari 2003, antara lain

berisikan: (1) seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Propinsi/Kabupaten/Kota, agar segera mengambil langkah-langkah operasional yang

relevan; (2) ditegaskan bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dilaksanakan sejalan

dengan operasionalnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus di Propinsi Papua; (3) Pemerintah Daerah memberi dukungan penuh untuk

pelaksanaan hal-hal tersebut; (4) Sekjen dan Gubernur/Bupati melapor kepada Menteri

Dalam Negeri atas persiapan langkah-langkah tersebut dalam waktu selambatnya dua

minggu.

Sejak awal mula masyarakat luas memprotes niat dan kegiatan pembentukan propinsi

baru di bagian barat Propinsi Papua, dan wakil-wakil pemerintahan didukung oleh ahli-

Page 273: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

67

ahli hukum yang tidak perlu diragukan kredibilitasnya menyatakan bahwa semuanya

tidak sah. Maka Inpres Nomor 1 sebaiknya dicabut saja, dan proses ‘judicial review’

diprakarsai. Walau timbul reaksi kontra dari masyarakat Papua, Pemerintah Pusat30

yang didukung BIN tidak peduli dengan adanya protes dari segala pihak di Papua, dan

pemekaran tetap diterapkan. Setelah Pejabat Gubernur Irja Barat yang baru diangkat

secara “resmi” pada 11 November 2003 di Manokwari, menyusul pada awal Maret 2004

para pegawai eselon I dan II di Provinsi Irian Jaya Barat. Provinsi baru tersebut terus

dikunjungi oleh petinggi-petinggi dari Jakarta – termasuk mantan Wakil Presiden RI Try

Sutrisno pada tgl. 5 Maret 2004 - seakan-akan mau menggarisbawahi sahnya status

provinsi Irja Barat. Nampak para penguasa di Jakarta tidak mempedulikan Mahkamah

Konstitusi di Jakarta yang sedang memproses suatu judicial review mengenai sah-

tidaknya UU Nomor 45 Tahun 1999 atas permintaan DPRD Papua tanggal 17 Februari

2004, dan juga pernyataan dari acara dengar pendapat tanggal 16 Desember 2003 yang

diselenggarakan oleh DPRD dimana pemekaran ditolak sedangkan pelaksanaan Otsus

secara konsisten dituntut dan mendapat penekanan. Kekacauan sekitar pemekaran

masih diperbesar dengan pengangkatan diam-diam seorang “sekretaris KPU setempat”

pada tanggal 23 Desember 2003 walau pendirian KPU di propinsi tersebut secara resmi

telah ditolak tanggal 16 Desember 2003 oleh KPU Provinsi Papua.

Seakan-akan persoalan pemekaran di Manokwari-Irjabar belum cukup, muncul

lagi upaya sejenis di bagian tengah Propinsi Papua, yakni di Timika. Sebenarnya pola

persiapan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah tidak beda jauh dengan pola yang

sama di Irian Jaya Barat. Sambil mengambil isi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 sebagai

legitimasi utama, rencara pemekaran mulai dipersiapkan, semuanya terjadi secara agak

tersembunyi, ada yang diajak mendukung termasuk para anggota DPRD setempat,

kecuali satu anggota yakni wakil Ketua, dengan menandatangani suatu pernyataan

dukungan yang disodorkan kepada mereka di rumah masing-masing. Sekalipun

masyarakat setempat menyatakan tidak menerima pembentukan propinsi yang baru

ini, Ketua DPRD Timika, Andreas Anggaibak, tetap nekad untuk memproklamasikan

propinsi tersebut. Sementara waktu kebanyakan anggota DPRD sudah mulai gelisah dan

mulai menyembunyikan dukungannya. Bupati dan unsur Muspida lainnya ternyata

bungkam seribu bahasa, atau bahkan membiarkannya.

Ada sejumlah permasalahan mendasar yang mewarnai kebijakan pemekaran Propinsi

Papua sebelumnya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain: (1) Undang-

undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah,

Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak

Jaya, dan Kota Sorong belum dicabut dan sebagian dari materi muatannya yang

mencakup pembentukan ketiga kabupaten dan satu kota sebagaimana dimaksud telah

dilaksanakan secara efektif. Sedangkan materi muatan yang terkait dengan

pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat belum dapat

dilaksanakan; (2) Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua adalah wujud nyata dari kemauan politik

Pemerintah untuk mengatasi permasalahan politik, dan sekaligus sebagai solusi bagi

penyelesian konflik yang terjadi di Papua, dalam rangka mempertahankan integritas

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun demikian sejak

pengesahannya undang-undang ini belum sepenuhnya dapat dijalankan secara efektif;

30 Dukungan ini dengan jelas dinyatakan melalui pengangkatan resmi Bram Atururi sebagai pejabat

Gubernur Propinsi Irian Jaya Barat pada tanggal 14 November 2003, bertempat di kantor Kementrian Dalam Negeri.

Page 274: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

68

(3) Pemekaran dan pembentukan propinsi baru di Papua, sebagaimana halnya dengan

pemekaran atau pembentukan kabupaten baru yang sudah dilakukan di Propinsi

Papua, merupakan kebijakan Pemerintah yang penting, dalam rangka memperpendek

rentang kendali pemerintahan dan sebagai upaya lebih meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di Papua.

Menurut pendapat pemerintah, mengingat secara yuridis Undang-undang Nomor 45

Tahun 1999 masih memiliki daya keberlakuan, karena belum dicabut maka setelah

kurang lebih 4 (empat) tahun sejak terjadinya penolakan oleh berbagai komponen

masyarakat dan DPRD Propinsi Irian Jaya tersebut, Pemerintah kembali melaksanakan

materi muatan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi

Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003.

Disadari sepenuhnya bahwa tujuan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003

adalah untuk melaksanakan kewajiban konstitusi oleh Pemerintah yaitu menjalankan

Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yang masih memiliki keberlakuan yuridis.

Demikian pula Inpres Nomor 1 Tahun 2003 mempunyai tujuan positif, yaitu untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Namun demikian fakta juga

memperlihatkan bahwa segera setelah keluarnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 muncul

berbagai reaksi negatif sebagai berikut: (1) Pengangkatan Pejabat Gubernur Irian Jaya

Barat tanpa adanya komunikasi dan konsultasi dengan Gubernur Propinsi Papua,

sebagai Propinsi Induk; (2) Berkembangnya opini publik yang mengarah pada

pengelompokan sikap pro dan kontra terhadap penbentukan propinsi baru yang dapat

menjurus pada muncul dan berkembangnya konflik horisontal; (3) Berkembang

keinginan dari elit politik lokal dengan memobilisasi massa pendukung ke Jakarta agar

kabupatennya dijadikan propinsi baru, di luar yang ditetapkan dalam Undang-undang

Nomor 45 Tahun 1999, seperti; Kabupaten Yapen, Kabupaten Merauke, dan kabupaten

Fak-Fak.

Akibat dari pemaksaan pemekaran dengan diterbitkannya Inpres untuk

mengimplementasikan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 menyebabkan

masyarakat terbagi dalam 2 kelompok, timbul konflik horisontal antara kelompok yang

mendukung pemekaran dan kelompok yang menolak pemekaran. Sikap pro dan kontra

terhadap pemekaran propinsi juga semakin meluas dengan melibatkan berbagai

komponen masyarakat dan timbul di seluruh Papua, khususnya di Manokwari sendiri

yang menjadi Ibukota Irian Jaya Barat maupun di tempat-tempat lain seperti Jayapura

dan di Timika. Timika malahan timbul perang adat antara kubu pro dan kubu kontra,

selama bulan Agustus 2003. Perang adat itu berlangsung hampir satu bulan, yang

dimulai tanggal 23 Agustus 2003 dan baru berdamai pada tanggal 26 September 2003

dengan memakan 5 orang korban jiwa, dan ada serangkaian pertikaian misteri yang

menyebabkan misalnya, 2 orang tukang ojek tewas. Rentetan ketegangan ini juga

menciptakan konflik vertikal, antara pusat dan daerah sudah mulai terasa. Karena orang

Papua merasa pusat mempermainkan mereka lagi sehingga muncul kembali sikap

ketidakpercayaan masyarakat pada semua unsur pemerintahan, baik di tingkat

Kebupaten, Propinsi maupun Pusat, yang sebenarnya sudah dapat diatasi dengan

pengesahan UU Otsus. Masyarakat merasa tidak dihiraukan, bahkan ditipu karena

ternyata apa yang sudah ditetapkan dalam UU yang resmi (Otsus) tidak dilaksanakan.

Keadaan ini menyebabkan pemda tidak bisa menjalankan Undang-undang Otonomi

Khusus dengan baik demi kepentingan masyarakat dan Republik ini. Jadi dampaknya

ada peningkatan konflik horisontal dan vertikal.

Page 275: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

69

Bahkan berkembang pula fenomena publik bernuansa negatif yang dihembuskan

oleh elit tertentu secara propokatif, yang dengan sengaja menjadikan kebijakan

pemekaran propinsi dengan Otonomi Khusus sebagai opsi yang kontradiktif. Bahkan

sangat ironis ketika pendukung otonomi khusus diidentikkan sebagai kelompok

separatis, sedangkan pendukung pemekaran diidentikkan sebagai pendukung setia

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan ini bukan hanya keliru, akan tetapi

sangat menyesatkan publik, sebab kebijakan Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua yang

dilakukan melalui sarana Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah Undang-

undang Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 juga

merupakan bukti nyata komitmen Pemerintah untuk: (1) Menjawab masalah yang

terjadi di Papua dalam kurun waktu lama secara tepat dan bermartabat; (2)

Melaksanakan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 1999 tentang GBHN (Pemberian

Otonomi Khusus bagi Propinsi Irian Jaya) dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000

tentang Rekomendasi kepada Presiden dan DPR dalam pelaksanaan Otonomi Daerah

(segera menyusun undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Irian Jaya);

(3) Menjalankan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18B bahwa

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat

khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang dan negara mengakui dan

menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonresia yang diatur dalam undang-undang.

Proses pemekaran juga membawa serta suatu persaingan antar pejabat pemerintah di

Papua menyebabkan hilangnya kewibawaan pemerintah daerah; ternyata ada banyak

agenda berbeda yang sering berkaitan dengan ambisi pribadi orang. Akibatnya, tidak

jelas lagi kekompakan kepemimpinan di Papua sehingga masyarakat merasa tidak

memiliki lagi kepemimpinan. Perpecahan di tingkat kepemimpinan memang

melumpuhkan efektifitas kerja pemerintah propinsi serta instansi-instansi terkait.

Sesekali terdapat suara dari pribadi seorang pejabat, namun tidak ada kekuatan

didalamnya yang mengikat sehingga mau didengar atau tidak; sedangkan Pemerintah

Pusat kurang peduli dan melanjutkan strateginya sendiri. Akhirnya sering terdengar

dari pejabat di tingkat Propinsi Papua: “kami tunggu keputusan dari Pusat”. Seakan-

akan tidak ada daya perjuangan lagi; seakan-akan pimpinan sipil merasa tidak ada

wewenang lagi untuk mengatur Propinsi Papua; sementara waktu masyarakat merasa

kehilangan pemimpinnya.

Persaingan di tingkat pejabat (tinggi) juga mengakibatkan perpecahan di tingkat

masyarakat biasa. Setiap kubu, yang pro dan yang kontra, mencari pendukungnya, dan

ternyata selalu dapat, maka masyarakat sendiri akhirnya terpecah. Argumentasi utama

dalam usaha merangkul masyarakat adalah ‘nanti akan ada uang banyak tersedia;

sekarang uang itu dimakan habis di Jayapura’. Jelaslah dinamika mencari ‘pendudkung’

di masyarakat bukan berdasarkan suatu diskusi yang sehat, bukan berdasarkan

informasi yang tepat dan kritis, melainkan berdasarkan emosi-emosi atau rasa kecewa

pada masyarakat yang ternyata mudah mendorong mereka untuk menerima tawaran

tersebut. Tentu cara ini dapat menyesatkan masyarakat biasa, dan di Timika akhirnya

menuntut korban cukup banyak, terbukti membawa masyarakat ke dalam suatu konflik

horisontal.

Akhirnya akibat pemekaran yang sangat menentukan dan fatal adalah

kemacetan penegakan Otonomi Khusus. Kemacetan ini disebabkan karena kebijakan

Page 276: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

70

Pemerintah Pusat yang melanggar isi dari UU Nomor 21 Tahun 2001, sulit menghindar

dari kesan bahwa proses pemekaran untuk sebagian dimulai dengan sengaja guna

menghalangi implementasi Otsus yang isinya menurut sejumlah tokoh di tingkat

Pemerintah Pusat sudah memberikan peluang terlalu banyak kepada masyarakat di

Papua untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka,

sejumlah suara di tingkat Pemerintah Pusat ingin supaya isi Otsus diubah secara

substansial, dan menurut informasi terakhir proses revisi terhadap UU Otonomi Khusus

sedang dijalankan. Ada kesan kuat bahwa jika jiwa dan tujuan Otsus sebagaimana

dirancang oleh para tokoh Papua, de facto sudah dinyatakan mati oleh Pemerintah

Pusat, maka dampak pembatalan otsus akan serius karena:

1. Papua kehilangan peluang administrasi kenegaraan untuk tangani konflik: komisi

rekonsiliasi, komisi HAM, pengadilan HAM, kuota perempuan di MRP, pembentukan

MRP dan kewenangannya.

2. Papua kehilangan alokasi dana yang kiranya dapat dimanfaatkan untuk

mengembangkan masyarakat terutama di wilayah pedalaman.

3. Papua dipecah dari dalam dan sebagian orang Papua dengan sadar melibatkan diri

dalam pemecah belahan atau politik devide et impera gaya Belanda ini.

Pendek kata, suasana pemekaran yang serba semrawut mempunyai dampak

yang luar biasa terhadap kehidupan bermasyarakat di Papua selama tahun 2003-2004

dan berlangsung sampai saat ini. Secara umum dampaknya negatif karena lebih

merusak daripada membangun. Menanggapi keadaan tersebut, DPRP telah

mengeluarkan pendapatnya berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Propinsi Papua Nomor 6/DPRD/2003 tentang Usulan Peninjauan Kembali Inpres

Nomor 1 Tahun 2003. sementara DPRP juga mengajukan uji materiil UU Nomor 45

Tahun 1999 terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Dewan Adat

Papua juga menyampaikan hasil Sidang Adat Papua II yang diselenggarakan tanggal 22 -

26 Febrari 2004 di Biak, Papua kepada MK melalui surat Nomor 03/A.1/DAP/III/2004

tertanggal 9 Maret 2004. Sidang tersebut merupakan sikap resmi Masyarakat Adat

Papua di Tanah Papua yang menolak pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-

propinsi baru berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999.

Dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut sama sekali tidak

dikonsultasikan secara demokratis dengan masyarakat Papua, hal demikian

mengejutkan masyarakat yang sebetulnya sedang menantikan perwujudan konkrit dari

kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2001 yang dapat dianggap sebagai hasil yang dicapai melalui suatu proses demokratis;

dalam arti telah melibatkan masyarakat dalam perumusan undang-undang tersebut.

Adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 de facto menyangkal adanya UU Nomor 21 Tahun

2001 yang telah mengikat masyarakat dan pemerintah untuk dilaksanakan.

Jika meneliti secara seksama isi dari Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21

Tahun 2001 yang diberlakukan di Provinsi Papua ini, mengenai pemekaran provinsi-

provinsi baru sudah secara jelas diatur dalam pasal 76 yang mensyaratkan terlebih dulu

adanya persetujuan dari DPR Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP); dalam

UU Nomor 21 Tahun 2001 juga disyaratkan adanya proses studi dan pengkajian budaya,

kesiapan infrastruktur, kebutuhan dan tentunya kesiapan sumber daya manusia di

suatu wilayah yang ingin dimekarkan menjadi suatu provinsi di Tanah Papua ini.

Dengan demikian, Inpres ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan dalam UU Otsus

sebagai produk hukum diatasnya yang sudah disetujui dan disahkan oleh pemerintah

pusat sendiri. Maka dengan adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut sangat

mencemaskan karena menimbulkan ketidakpastian hukum maupun politik yang

Page 277: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

71

berdampak mengganggu ketenteraman hidup masyarakat dan penegakan hukum di

Papua. Bangsa Papua merasa diri dipecah-belah secara paksa bahkan sampai terjadi

kekerasan yang hebat di Timika. Sekaligus dilakukannya pemekaran melumpuhkan

segala pelaksanaan Otsus selama tahun 2003 dan berdampak sampai saat ini. Dapat

dipahami pula bertambahnya ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap niat

pemerintah pusat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan Papua secara damai dan

demokratis. Bukan hanya itu, dunia internasional juga meragukan keseriusan

pemerintah Indonesia menangani masalah Papua, yang semula telah ada dukungan

penyelesaian melalui Otsus.

Langkah penegakan hukum yang seharusnya dilakukan oleh DPRP yang

mewakili masyarakat Papua dalam masalah ini adalah pertama, dengan mengajukan

gugatan uji materiil (Judicial Review) Inpres Nomor 1 Tahun 2003 terhadap undang-

undang di atasnya yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 kepada Mahkamah Agung. Uji

materiil ini sangat penting untuk melihat taraf sinkronisasi dan harmonisasi peraturan

perundang-undangan, yaitu harmonisasi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dengan UU Otsus

tersebut. Namun langkah ini tidak dilakukan DPRP. Langkah kedua yang dilakukan oleh

DPRP adalah dengan mengajukan permohonan uji materiil UU Nomor 45 Tahun 1999

terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Mahkamah Agung;

karena Mahkamah Agung hanya berwenang mengadili perkara uji materiil terhadap

semua peraturan perundang-undangan dibawah UU. Walaupun kedua lembaga

kehakiman ini memiliki kesamaan kewenangan melakukan uji materiil peraturan

perundang-undangan, namun kompetensinya berbeda. MK hanya mengadili perkara uji

materril UU terhadap UUD.

Langkah hukum yang dilakukan oleh Ketua DPRP John Ibo dalam mengatasi

masalah pemekaran Provinsi di Papua dengan mengajukan gugatan permohonan

judicial review Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 terhadap UUD 1945 kepada

Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Pada dasarnya pemohon memohon agar menyatakan

pasal-pasal di dalam UU Nomor 45 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 5

Tahun 2000, baik sebagian atau keseluruhannya, sepanjang yang mengatur tentang

pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, bertentangan dengan

Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Gugatan tersebut diajukan karena rakyat Papua mengajukan desakan ke

DPRP bahwa pelaksanaan Otsus di Papua dinilai diimplementasikan secara tidak layak

akibat pemberlakuan UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut melalui Inpres Nomor 1

Tahun 2003.

Dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi sejumlah ahli tata negara

dengan jelas dan tegas menandaskan bahwa pemekaran bertentangan dengan UU Otsus

dan bahkan bertentangan dengan konstitusi. Seperti di hadapan Mahkamah Konstitusi,

Prof. Dr. Harun Al-Rasyid menegaskan bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 tidak berlaku

lagi dengan dikeluarkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

berdasarkan prinsip UU baru meniadakan UU lama. Selain itu, ditambahkan bahwa UU

Nomor 45 Tahun 1999 juga bertentangan dengan UU 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

Daerah yang mensyaratkan adanya pemekaran wilayah berdasarkan persetujuan rakyat

dari provinsi induk. Hal senada ditegaskan oleh Prof. Dr. Sri Soemantri, bahwa UU 45

Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18B yang menegaskan bahwa negara

harus menghormati wilayah khusus yang diatur dengan undang-undang. Selain itu Dr.

Maria F. Suprapto, S.H., M.H., juga memberi keterangan yang pada pokoknya bahwa

Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 berkaitan erat dengan Undang-undang Otonomi

Khusus. Yang dirumuskan di dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 adalah

Page 278: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

72

mengenai pemekaran Irian Jaya sedangkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001

mengenai otonomi khusus bagi Propinsi Papua dalam konsideran huruf k dan

Ketentuan Umum Pasal 1 huruf a menggantikan nama Irian Jaya menjadi Papua.

Selanjutnya suatu peraturan tidak hanya dapat dilihat dari pasal itu saja, namun harus

melihat hubungan pasal-pasal ini dan dengan keseluruhan pasal-pasal yang ada dalam

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 juga

mengalami sesuatu yang berlebihan. Dalam konsideran huruf d Undang-undang Nomor

45 Tahun 1999 mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan

menyebutkan adanya Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat di samping adanya

kabupaten. Kalau dilihat, maka sebetulnya dalam ketentuan Peralihan Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 125 hanya dikatakan Kotamadya, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Simelue, dan semua Kota

Administratif dapat ditingkatkan menjadi daerah otonomi dengan memperhatikan Pasal

5 undang-undang ini. Berarti perintah untuk pemekaran atau pembentukan Propinsi

Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat tidak diamanatkan oleh Undang-undang Nomor

22 Tahun 1999. Jadi kesalahannya tidak hanya dari hubungan antara Undang-undang

Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, tapi pembentukan

Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 itu bertentangan juga dengan Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999.31

Beberapa pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh MK mengenai pokok

perkara dalam gugatan Judicial Review UU Nomor 45 Tahun 1999 yang diubah dengan

UU Nomor 5 Tahun 2000 terhadap UUD 1945 tersebut di atas, setelah mendengar

keterangan Pemerintah, DPR, Pemda Irjabar, Pemda Papua, Pemohon, Saksi, Bukti-bukti

adalah sebagai berikut:

1. Menurut pertimbangan MK bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 diundangkan sebelum

perubahan UUD 1945, karena itu dasar konstitusional pembentukannya merujuk

kepada UUD 1945 sebelum perubahan, antara lain Pasal 18 yang hanya terdiri dari

satu pasal yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,

dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,

dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat

istimewa”. Sebab itu Mahkamah berpendapat tidak terbukti pasal-pasal yang

dimohonkan untuk diuji dalam kedua undang-undang tersebut bertentangan dengan

UUD 1945. Namun dengan adanya perubahan UUD 1945 maka berarti terdapat

suatu tertib hukum baru (new legal order) yang mengakibatkan tertib hukum yang

lama (old legal order) kehilangan daya lakunya sebagaimana dikemukakan oleh

Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” (versi bahasa

Inggris, edisi 1961, hal. 118-119) “… that the norms of the old order are regarded as

devoid of validity because the old constitution end, therefore, the legal norms based

on this constitution, the old legal order as a whole, has lost its efficacy; because the

actual behavior of men does no longer conform to this old legal order. Every single

norm loses its validity when the total legal order to which it belongs loses its efficacy

as a whole”;

2. memperhatikan argumentasi Pemohon yang menggunakan asas lex superiori

derogat legi inferiori. Mahkamah berpendapat bahwa asas dimaksud tidak tepat

untuk diterapkan dalam kasus ini, karena UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor

31 Lihat Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 tanggal 11

November 2004, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2004.

Page 279: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

73

5 Tahun 2000 diundangkan sebelum UUD 1945 Perubahan Kedua (18 Agustus

2000). Sedangkan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang

Rekomendasi Kebijaksanaan dalam Otonomi Daerah, Tap MPR Nomor

IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004. Dengan demikian, Mahkamah

menilai bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 adalah sah

dan tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi yang terkandung

dalam UUD 1945, sehingga segala hal yang timbul sebagai akibat hukum

diundangkannya kedua undang-undang tersebut adalah sah pula;

3. terhadap dalil Pemohon bahwa UU Nomor 45 tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun

2000 menjadi batal untuk sebagian sepanjang yang mengatur pembentukan

Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat dengan berlakunya UU Nomor 21

tahun 2001 karena bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi generalis dan

asas lex posteriori derogat legi priori; Mahkamah berpendapat bahwa kedua asas

tersebut tidak dapat diterapkan terhadap UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor

5 Tahun 2000 dikaitkan dengan diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, karena

materi muatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 dan UU

Nomor 5 Tahun 2000 adalah mengatur tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya

Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten

Puncak Jaya dan Kota Sorong, yang berbeda dengan materi muatan yang diatur oleh

UU Nomor 21 Tahun 2001, yang berisi ketentuan tentang segala hal yang berkaitan

dengan pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Lagi pula UU Nomor 21

Tahun 2001 tidak taat asas (inkonsisten) dan bersifat mendua (ambivalen).

Inkonsistensi dan ambivalensi tersebut terlihat antara lain dalam Penjelasan Umum

undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang mengakui wilayah Provinsi Papua

terdiri atas 12 (dua belas) kabupaten dan 2 (dua) kota, termasuk Kabupaten Paniai,

Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong yang dibentuk dengan

UU Nomor 45 Tahun 1999. Sementara itu UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak

menyinggung sedikitpun keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya

Tengah, padahal kedua Provinsi itu pun dibentuk dengan UU Nomor 45 Tahun 1999.

4. Menimbang bahwa Ketentuan Peralihan yang tercantum dalam Pasal 74 UU Nomor

21 Tahun 2001 yang berbunyi: “Semua peraturan perundang-undangan yang ada

dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini” tidak

memberikan kepastian tentang status UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5

Tahun 2000 setelah diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001. Hal ini

menimbulkan berbagai macam penafsiran atau multi interpretasi, sebagaimana

tercermin dalam dalil yang dikemukakan Pemohon dan keterangan Pemerintah.

Dalam permohonannya, Pemohon hanya memohon agar pasal-pasal UU Nomor 45

Tahun 1999 yang berkaitan dengan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan

Irian Jaya Barat saja yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,

yang berarti Pemohon masih mengakui pasal-pasal lainnya, termasuk pasal yang

berkaitan dengan pembentukan Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan Kota

Sorong. Sementara itu Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003, yang

berarti mengakui keberadaan UU Nomor 45 Tahun 1999 secara keseluruhan.

5. Menimbang, sikap Pemerintah dimaksud didasarkan pada pertimbangan bahwa

secara normatif pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat telah

terjadi sejak diundangkannya UU Nomor 45 Tahun 1999, sehingga UU Nomor 21

Tahun 2001 berlaku terhadap ketiga Provinsi yang dibentuk oleh UU Nomor 45

Tahun 1999 tersebut. Sebaliknya, Pemohon berpendapat bahwa UU Nomor 45

Page 280: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

74

Tahun 1999 berlaku terhadap pembentukan 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota,

karena pembentukan 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota itu, selain sah secara

normatif juga secara faktual telah berjalan efektif. Faktor efektivitas inilah yang

dijadikan kriteria oleh Pemohon untuk mendalilkan bahwa sepanjang mengenai

pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, UU Nomor 45 Tahun

1999 tidak berlaku lagi, karena menurut pendapat Pemohon, pada saat UU Nomor

21 Tahun 2001 diundangkan, kedua Provinsi itu belum terbentuk secara efektif.

6. Mahkamah sependapat bahwa efektivitas dapat dijadikan salah satu ukuran

(kriteria) untuk menentukan berlakunya suatu undang-undang. Namun Mahkamah

tidak sependapat baik dengan Pemohon maupun dengan Pemerintah mengenai saat

mulai berlakunya dan pasal-pasal mana saja dalam UU Nomor 45 Tahun 1999 yang

masih berlaku. Pemohon berpendapat bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 telah

kehilangan daya laku sejak diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, sehingga

segala akibat hukum yang terjadi sebelumnya adalah sah, termasuk pembentukan 3

(tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota, sedangkan hal-hal yang menjadi materi muatan

undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tetapi belum terlaksana (efektif) sampai

diundangkannya undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, termasuk pembentukan

Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, menurut pendapat Pemohon, tidak

lagi mempunyai dasar hukum;

7. mahkamah berpendapat bahwa baik pendapat Pemohon maupun pendapat

Pemerintah, masing-masing mempunyai argumentasi yang cukup beralasan, dan

lahir sebagai akibat inkonsistensi dan ambivalensi UU Nomor 21 Tahun 2001 yang

tidak secara tegas menentukan keberlakuan atau ketidakberlakuan UU Nomor 45

Tahun 1999 sebagaimana diuraikan di atas. Namun walaupun materi muatan yang

diatur oleh UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 21 Tahun 2001 berbeda, tetapi

dalam beberapa hal bersinggungan, yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan

penafsiran dalam pelaksanaannya. Perbedaan penafsiran itu secara yuridis akan

menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, dan secara sosial politis dapat

menimbulkan konflik dalam masyarakat;

8. untuk mengakhiri ketidakpastian hukum serta mencegah timbulnya konflik dalam

masyarakat, maka Mahkamah berpendapat bahwa perbedaan penafsiran timbul

karena terjadinya perubahan atas UUD 1945, yang mengakibatkan sebagian materi

muatan UU Nomor 45 Tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan UUD 1945, khususnya

Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati satuan-

satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang

diatur dengan UU”. Namun demikian, sebagaimana telah diutarakan di atas, Pasal

18B UUD 1945 yang menjadi dasar pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak

dapat dipergunakan sebagai dasar konstitusional untuk menilai keberlakuan UU

Nomor 45 Tahun 1999 yang telah diundangkan sebelum UUD 1945 Perubahan

Kedua;

9. Menimbang bahwa persyaratan tentang pemekaran Provinsi Papua yang tercantum

dalam Pasal 76 dan Pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah berlaku setelah

diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tetapi tidak berlaku terhadap

pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat yang secara normatif

dibentuk berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999;

10. Menimbang bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat secara faktual telah

berjalan efektif, yang antara lain terbukti dengan telah terbentuknya pemerintahan

Provinsi Irian Jaya Barat dan terbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004 beserta

kelengkapan administrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapatan daerah

Page 281: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

75

(APBD), serta terpilihnya Anggota DPD yang mewakili Provinsi Irian Jaya Barat.

Sementara itu, pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah hingga saat ini belum

terealisasikan. Dengan demikian Mahkamah berpendapat, keberadaan provinsi dan

kabupaten/kota yang telah dimekarkan berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999

adalah sah adanya;

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

(MK) yang diketuai Jimly Asshiddiqie, memberikan Keputusan terhadap Perkara Nomor

018/PUU-I/2003 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 95

Tahun 2004, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka

untuk umum pada hari Kamis, tanggal 11 November 2004 sebagai berikut:

1. Menyatakan Permohonan Pemohon dikabulkan;

2. Menyatakan, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2001 Nomor 135), pemberlakuan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999

tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat,

Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3894), bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan, sejak diucapkannya Putusan ini, Undang-undang Nomor 45 Tahun

1999 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Dari sembilan hakim MK, hanya satu hakim MK Maruarar Siahaan menyatakan

dissenting opinion (perbedaan pendapat) atas putusan ini. Walaupun ia dapat

menyetujui diktum putusan dalam perkara tersebut, akan tetapi berbeda dengan

pendapat mayoritas dalam pertimbangan hukum yang menyangkut akibat hukum dari

diktum putusan yang menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun l999

bertentangan dengan UUD l945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat

sebagai hukum. Ia berpendapat bahwa konsekuensi dari penerimaan judicial review ini

harusnya berimplikasi juga terhadap pembatalan pembentukan Provinsi Irjabar.

Alasannya dapat dikemukakan sebagai berikut:32

Putusan Mahkamah dalam hal ini seharusnya hanya menegaskan berkerjanya

prinsip hukum yang diakui oleh konstitusi bahwa dengan berlakunya undang-undang

yang baru, undang-undang yang lama tidak berlaku lagi, karena meskipun tidak secara

tegas dinyatakan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, tetapi

sepanjang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, Undang-undang

Nomor 45 tahun 1999 tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Sehingga

seyogyanya Provinsi Irian Jaya Barat dan seluruh ikutan strukturnya dinyatakan batal.

Alasan hukum tidak diberlakukannya Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999,

terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah dan

Irian Jaya Barat, adalah karena telah bertentangan dengan Konstitusi. Sepintas UU

Nomor 45 Tahun 1999 kelihatannya tidak bertentangan dengan pasal 18 UUD 1945

sebelum perubahan yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar

dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-

undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat

32 Ibid.

Page 282: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

76

istimewa”. Namun jika memperhatikan Penjelasan Pasal 18 butir II, UUD 1945 sebelum

perubahan, mengakui juga daerah yang memiliki susunan asli sebagai daerah istimewa:

Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zeifbesturende

landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di

Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu

mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang

bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah

istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan

mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Apabila Penjelasan tersebut diperhatikan, maka maknanya tidak berbeda dengan

adanya ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU”. Hanya saja Pasal 18B UUD 1945

setelah perubahan lebih memperjelas pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan. Karena

itu tidak ada kesan pertentangan antara pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan dengan

Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahan. Tegasnya UU Nomor 45 Tahun 1999 yang

diberlakukan kembali oleh Inpres Nomor 1 Tahun 2003 bukan hanya bertentangan

dengan pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan tetapi juga bertentangan dengan Pasal

18 UUD 1945 berikut penjelasannya sebelum perubahan. Jadi UU Nomor 21 Tahun

2001 yang baru yang berlandaskan Pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan,

mengenyampingkan UU Nomor 45 Tahun 1999. Dalam hal ini perlaku prinsip suatu

tertib hukum baru mengenyampingkan tertib hukum yang lama. Dengan demikian

terdapat suatu tertib hukum baru (new legal order) yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001

yang berlandaskan Pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan mengakibatkan tertib

hukum yang lama (old legal order) UU Nomor 45 Tahun 1999 telah kehilangan daya

lakunya.

Dalam hal ini juga berlaku asas lex posteriori derogat legi priori yaitu aturan

hukum yang kemudian mengesampingkan aturan hukum yang dahulu, atau apabila ada

dua undang-undang yang masing-masing mengatur masalah yang sama, akan tetapi

dengan substansi yang berbeda, yang berlaku adalah undang-undang yang berlaku

belakangan atau terakhir. Dengan demikian Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999

harus dikesampingkan setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2001 berdasarkan Pasal

18B UUD RI 1945. Karena itu, tindakan Pemerintah Pusat melalui Inpres Nomor 1

Tahun 2003 untuk memberlakukan kembali Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999

setelah berlakunya Pasal 18B UUD RI Tahun 1945 jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun

2001 adalah bertentangan dengan asas lex posieriori derogat lex priori, sehingga UU

Nomor 45 Tahun 1999 harus dikesampingkan. Dengan demikian akibat hukum yang

timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 45

Tahun l999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar l945 dan karenanya tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seharusnya dengan sendirinya

mengakibatkan batalnya pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dengan segala ikutan

struktur yang terlanjur terbentuk atas dasar UU tersebut.

Implikasi hukum lain dari penerapan Pasal 18B UUD RI Tahun 1945 dan

perundangan lain seperti: TAP MPR Nomor IV/MPR/2000 juncto TAP MPR Nomor

IV/MPR/1999 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 menyebabkan semua

peraturan perundangan lainnya yang bertentangan atau melanggar semangat, asas,

prinsip, dan pasal perundangan tersebut dinyatakan tidak berlaku. Karena itu, Undang-

undang Nomor 45 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang

Page 283: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

77

Nomor 5 Tahun 2000 harus dinyatakan tidak berlaku atau dikesampingkan untuk

keseluruhannya dan atau sebagiannya, terutama pasal-pasal yang mengatur

pembentukan atau pemekaran wilayah Provinsi Papua.

Ternyata perintah konstitusi yang juga telah dijabarkan di dalam berbagai

peraturan perundangan lainnya untuk melaksanakan otonomi di Propinsi Papua

tersebut, telah tidak dipatuhi oleh Pemerintah Pusat, karena pada tanggal 27 Januari

2003 Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1

Tahun 2003 yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Inpres

tersebut mengatur mengenai percepatan pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun

1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,

Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.

Dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 bermaksud memberlakukan

kembali daya berlakukannya Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tidak hanya telah

melanggar konsitusi dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Papua tetapi juga telah mendapat tantangan dari hampir

seluruh lapisan masyarakat Papua. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut juga

merupakan indikasi dari perwujudan pemaksaan kehendak dan tindakan melawan

hukum dari Pemerintah Pusat terhadap satu wilayah kesatuan yang secara

konstitusional telah diakui kekhasannya dengan telah diberlakukannya Undang-undang

Otonomi Khusus di seluruh bagian Propinsi Papua yang dulu bernama Propinsi Irian

Jaya.

Di dalam Pasal 76, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 secara jelas dan tegas

mengatur; "Pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-propinsi dilakukan atas

persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua)

setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan

sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang''.

Begitu pula dengan Pasal 74 yang secara implisit mengemukakan, bahwa “semua

peraturan perundangan lain yang bertentangan dengan Undang-undang Otonomi

Khusus Bagi Papua dinyatakan tidak berlaku”.

Jadi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang memberlakukan kembali UU Nomor 45

Tahun 1999 telah bertentangan dengan Pasal 74 dan Pasal 76 UU Nomor 21 Tahun

2001, selain itu Inpres tersebut juga bertentangan dengan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22

Tahun 1999, juga bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945. Selain itu bertentangan

juga dengan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori yaitu aturan hukum yang

lebih tinggi menyampingkan aturan hukum yang lebih rendah, atau peraturan yang

derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya

lebih tinggi. UUD RI Tahun 1945 dalam Pasal 18B (1) dan (2) menyatakan "Negara

mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa, serta mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya". Implementasi ketentuan tersebut adalah

lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

Dengan demikan, menurut hukum, keberadaan Inpres yang mempercepat pelaksanaan

pemekaran Provinsi Irian Jaya berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999

telah di kesampingkan oleh Pasal 18B UUD RI Tahun 1945. Dengan demikian, tindakan

Pemerintah Pusat mengeluarkan Inpres 1 Tahun 2003 untuk mempercepat pemekaran

di Propinsi Papua dengan menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 45 Tahun

1999 adalah melanggar asas lex superiori derogat legi inferiori tersebut.

Page 284: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

78

Juga karena masalah pemekaran propinsi di Papua telah diatur secara khusus

oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, maka ada kewajiban hukum bagi

Pemerintah Pusat jika hendak melakukan pemekaran Propinsi Papua seharusnya

menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 bukan Undang-

undang Nomor 45 Tahun 1999. Pemerintah Pusat tidak bisa mengingkari dan

mengabaikan keberadaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dalam pemekaran

Propinsi Papua, karena itu berarti Pemerintah Pusat telah melanggar konstitusi.

Sayangnya dalam pertimbangan hukum MK tersebut tidak disinggung mengenai

fakta hukum bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal

4 Oktober 1999 tersebut tidak memenuhi persyaratan keberlakuan hukum,33 baik

secara sosiologis dan filosofis karena ditentang oleh masyarakat Papua dan dianggap

tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, juga tidak memenuhi keberlakuan yuridis

karena proses pembentukannya tidak sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu Pasal 5

ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 7 Mei 1999, dan secara

substansial telah bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2001, dan bahkan tidak

sesuai pula dengan asas Lex posteriori derogat legi priori. Sebab itu UU Nomor 45

Tahun 1999 sebenarnya sejak awal telah batal demi hukum. Selain itu UU Nomor 45

Tahun 1999 tersebut bukan merupakan peraturan hukum yang disebut sebagai “living

law” oleh Eugen Ehrlich.34 Karena tidak berlaku secara efektif setelah ditolak oleh

masyarakat Papua dan DPRP ketika diundangkan.

Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa materi

muatan kedua UU itu berbeda, namun bersinggungan dan tidak hanya itu, tetapi juga

tidak dilihat bahwa sebenarnya UU Nomor 21 Tahun 2001 bertentangan dengan UU

Nomor 45 Tahun 1999, khususnya Pasal 11 yang menyatakan bahwa “Dengan

dibentuknya Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat, Propinsi Irian Jaya

diubah namanya menjadi Propinsi Irian Jaya Timur.” Provinsi Irian Jaya yang dirubah

namanya menjadi Provinsi Irian Jaya Timur batas wilayahnya mengalami reduksi atau

berkurang. Sedangkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 1a menyatakan bahwa

“Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus. Atau dengan

kata lain Provinsi Irian Jaya dirubah namanya menjadi Provinsi Papua.” Wilayah Provinsi

Irian Jaya adalah sama dengan wilayah Provinsi Papua. Jadi kedua undang-undang

tersebut mengatur perubahan nama yang berimplikasi kepada batas wilayah

pemerintahan.

Dari keputusan MK tersebut juga terlihat pertimbangan sosial-politik begitu

kental ketimbang pertimbangan hukumnya. Hal itu terbukti dari adanya pemisahan

institusi atau lembaga di satu pihak dan hukum di pihak lain yang biasanya dibuat oleh

ahli-ahli ilmu sosial-politik. Menurut Hans Kelsen, dalam pandangan hukum murni,35

negara identik dengan hukum atau negara sebagai tata hukum. Jadi seharusnya institusi

atau lembaga negara tidak dapat dipisahkan dengan hukum, karena tata negara

33 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (Terj. Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,

hlm. 147-153. 34 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2001, hlm. 66-67; Lihat juga Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993, hlm. 82-85. Walaupun Ehrlich sepaham dengan von Savigny, namun “volkgeist” dibuat menjadi realistis tentang “fakta-fakta hukum” dan konsep “living Law” yaitu hukum yang hidup dalam masyarakat, lihat W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Susunan II (Terj. Muhamad Arifin), Rajawali, Jakarta, 1990, hlm. 104-106.

35 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1961, hlm. 181-193. Lihat juga, Hans Kelsen, Teori Hukum Murni – Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (terj. Raisul Muttaqien), Nuansa-Nusamedia, Bandung, 2006, hlm. 316-352.

Page 285: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

79

merupakan tata hukum. Atau negara merupakan suatu entitas hukum, karena

berdirinya suatu lembaga negara dibentuk oleh hukum. Apabila hukum tersebut di

cabut maka secara otomatis lembaga negara tersebut runtuh pula. Provinsi merupakan

salah suatu organ negara yang dibentuk oleh hukum, dalam hal ini undang-undang,

dengan demikian jika hukum tersebut dibatalkan, maka dengan sendirinya organ

negara tersebut harus pula bubar. Hanya dengan ini maka kepastian hukum dapat

ditegakan.

Dampak lain dari Keputusan MK tersebut juga berakibat terhadap sejauhmana

masa jabatan Pjs Gubernur Irian Jaya Barat berlaku. Timbul pertanyaan, apabila

pembentukan Provinsi IJB diakui berdasarkan keputusan MK maka bagaimana dengan

status Gubernur IJB yang telah dianulir dengan Putusan PTUN? Ketua DPRP John Ibo

ketika mengemukakan pendapatnya di depan sidang MK meminta agar Mejelis Hakim

mempertimbangkan putusan PTUN tentang peninjauan kembali status Gubernur

Irjabar.

Pengadilan Tata Usaha Negara telah menjatuhkan putusan menganulir Keppres

No, 213/M/2003 tentang Pengangkatan Abraham O. Atururi sebagai Gubernur IJB

tetapi langkah-langkah hukum ini seakan-akan tidak mempunyai dampak dalam

kehidupan politik kenegaraan. Presiden Megawati tidak juga mencabut Keppres-nya

sehingga Gubernur IJB dihadapan publik mengatakan bahwa pihaknya hanya mengikuti

perintah atasannya.36 Kelihatannya hukum dalam hal ini putusan hakim dapat

dikesampingkan oleh politik kekuasaan. Juga dengan tidak mempertimbangkan putusan

PTUN tentang peninjauan kembali status Gubernur IJB maka keputusan MK terkesan

mendukung kebijakan politik kekuasaan. Dalam kasus ini supremasi hukum berada

dibawah supremasi politik sehingga dalam kenyataannya pada tataran praktis,

Indonesia masih diragukan sebagai negara hukum.

Namun demikian jika kita menyimak pertimbangan hukum dari keputusan MK

tersebut di atas kelihatannya cukup bijaksana menghadapi masalah Papua karena

berani mengambil keputusan jalan tengah terhadap dua kubu dengan cara “win-win

solution”. Saya melihat keputusan tersebut tidak sepenuhnya dibuat berdasarkan

pertimbangan yuridis tetapi juga menggunakan pertimbangan sosiologis-politis, jadi

logika sosial-politik cukup berperan. Bisa saja putusan MK ini sebagai jalan tengah

untuk menghindari konflik antar masyarakat, tetapi sikap kemenduaan seperti ini jelas

tidak membantu siapa pun baik itu pihak Provinsi Papua, pihak IJB maupun Pemerintah

Pusat. Berbeda dengan pendapat Maruarar Siahaan yang memang benar-benar

berdasarkan pertimbangan yuridis, dengan berpegang pada logika hukum. Itulah

sebabnya dilihat dari sudut kepastian hukum, maka Keputusan MK berada jauh dari

kepastian hukum karena masuknya pertimbangan sosial-politis. Hal ini membawa

dampak bagi status hukum pembentukan Provinsi IJB yang sekarang diubah namanya

menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

2007 Tentang Perubahan Nama Provinsi Irian Jaya Barat Menjadi Provinsi Papua Barat

yang berlaku sejak diundangkan pada tanggal 18 April 2007.

Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut melahirkan dampak hukum dimana

UU Nomor 45 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku namun Provinsi IJB tetap diakui

keberadaannya. Itu berarti sejak tanggal keputusan tersebut provinsi Irian Jaya Barat

terbentuk dengan tidak memiliki dasar hukum dan wilayah kekuasaan. Berdasarkan

UUD 1945 pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa pembagian daerah besar atau kecil

36 Lihat Harian Cenderawasih Pos yang terbit di Papua pada Hari Sabtu, 16 Oktober 1999, ketika

diwawancarai oleh wartawan Surat Kabar Harian (SKH) Cenderawasih Pos.

Page 286: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

80

ditetapkan dengan Undang-undang. Sebab itu Pemerintah dan DPR harus segera

membuat atau menetapkan landasan hukum pembentukan Provinsi IJB dalam bentuk

UU, karena Undang Undang Dasar 1945 mengharuskan pembentukan suatu Provinsi

oleh undang-undang. Namun sampai sekarang belum dikeluarkan undang-undang baru

untuk menjadi dasar hukum IJB. Ini berimplikasi kepada semua produk hukum Provinsi

IJB baik, keputusan gubernur dan perda Provinsi IJB akan tidak memiliki dasar hukum

sehingga dapat digugat apabila terjadi masalah hukum.

Keputusan MK tersebut dalam tradisi anglo saxon dapat dianggap sebagai

preseden yang membentuk suatu yurisprudensi.37 Apabila ditinjau dari segi ilmu

pengetahuan hukum, diakui bahwa yurisprudensi juga merupakan suatu sumber

hukum. Sebab itu dasar hukum IJB dalam tradisi anglo saxon dapat berpijak pada

Yurisprudensi MK. Namun demikian sistem hukum Indonesia telah berorientasi pada

tradisi Eropa Kontinental, sehingga menurut pasal 18 ayat (1) UUD 1945, pembentukan

suatu provinsi harus berdasarkan suatu undang-undang. Untuk mengisi kekosongan

hukum tersebut sementara menunggu terbentuknya Undang-undang bagi Provinsi IJB

maka Provinsi IJB tetap dapat berjalan berdasarkan putusan hakim MK yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap atau yurisprudensi tersebut.

Konsekuensi dari penerimaan judicial review ini seharusnya berimplikasi juga

terhadap pembatalan pembentukan Irjabar. Sementara putusan MK hanya

membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, tetapi keberadaan Irjabar tetap

dikukuhkan karena mendapat pengakuan. Dengan demikian Putusan MK justru

menghasilkan masalah baru dimana payung hukum sebagai dasar pembentukan

Provinsi IJB menjadi mengambang sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Agar

masalah ini tidak berlarut-larut yang berdampak pada terhambatnya penegakan hukum

di Indonesia dan khususnya di Papua sejak UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5

Tahun 2000 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap oleh Keputusan MK,

maka pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah sesuai dengan Pasal 76

Undang-undang Otonomi Khusus untuk membentuk landasan hukum bagi Provinsi IJB

dan Kabupaten Mimika, kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, serta Kota Sorong

berupa undang-undang seperti yang dimaksud oleh Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.

Sementara menunggu undang-undang dimaksud, maka keputusan hakim MK tersebut

dijadikan dasar hukum bagi semua Keputusan Kepala Daerah dan Perdasi dan Perdasus

IJB. Sedangkan dasar hukum bagi semua Keputusan Kepala Daerah dan Perda

kabupaten Paniai, Puncak Jaya, Mimika, dan Kota Sorong digunakan Pasal 125 UU

Nomor 22 Tahun 1999 jo Pasal 231, Pasal 232 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku

sejak tanggal 15 Oktober 2004, sebulan sebelum keputusan MK diucapkan.

Akhirnya pada tanggal 16 April 2008, Pemerintah menetapkan Perpu Nomor 1

Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu

tanggal 16 April 2008. Dengan demikian berakhirlah masalah mengenai status hukum

Provinsi Papua Barat. Ada dua dasar pertimbangan penting dari Perpu tersebut yaitu:

a. bahwa keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah menjadi

Provinsi Papua Barat, dalam kenyataannya telah menjalankan urusan

pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada

masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan Otonomi Khusus

37 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, hlm. 346-

347; Juga Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, 2006, hlm.131-132. Lihat juga Hans Kelsen, 1961, Op.Cit., hlm. 146-150.

Page 287: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

81

berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua;

b. bahwa pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat

memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak

menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial,

ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat;

Kemudian dalam Perpu tersebut hanya tiga ayat dari dua pasal yang dirubah

yaitu pasal 1 huruf a, dan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf l, yang berbunyi, Provinsi

Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Sedangkan pasal yang dihapus adalah pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf l

yang berbunyi: DPRP mempunyai tugas dan wewenang:

c. memilih Gubernur dan Wakil Gubernur;

d. memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Dengan demikian berdasarkan Perpu tersebut Provinsi Papua Barat telah

memiliki dasar hukum yang kuat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan

pembangunan. Namun demikian Perpu tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR

dalam masa sidang berikutnya. Apabila Perpu tersebut tidak mendapat persetujuan

dalam masa sidang DPR berikutnya, maka status hukum Provinsi Papua Barat terus

bermasalah. Untuk mengatasi masalah tersebut kiranya DPR perlu mendengarkan

pendapat MRP dan DPRP sebelum memberikan persetujuan mengenai Perpu tersebut

dalam masa sidang berikutnya. Akhirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tersebut

kemudian disahkan dalam rapat Paripurna DPR tanggal 25 Juli 2008 menjadi Undang-

undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21

Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, menjadi dasar pembentukan

daerah otonom Provinsi Papua Barat.

Agar supaya ada kepastian dan landasan hukum bagi Provinsi Papua Barat dan

kabupaten kota yang telah dibentuk menurut UU Nomor 45 tahun 1999, maka UU

nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian

Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota

Sorong, perlu dihidupkan kembali. Namun mengingat status UU Nomor 45 tahun 1999

yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh putusan MK,

maka pasal-pasal yang menyangkut pembantukan Provinsi Papua Tengah harus dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku dalam RUU yang baru ini. Dengan demikian selanjutnya

untuk pembentukan provinsi di tanah papua harus berdasarkan ketentuan dalam UU

baru yang akan dibentuk.

Undang-undang Otsus juga telah diuji materiil di MK berkenaan dengan masalah

keanggotaan DPRP yang mewakili rakyat Papua, berdasarkan Putusan Nomor

116/PUU-VII/2009, yang dibacakan pada hari Senin tanggal 1 Februari 2010 yang amar

putusannya a.l.:

• Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151)

sepanjang frasa ”berdasarkan peraturan perundangundangan” adalah

inkonstitusional kecuali frasa ”berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam

pasal a quo diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah Khusus”;

• Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Page 288: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

82

2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151)

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ”berdasarkan

peraturan perundang-undangan” tidak diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah

Khusus”;

• Menyatakan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua periode 2009-2014

sebanyak 56 (lima puluh enam) anggota sah menurut hukum, ditambah 11 (sebelas)

anggota yang diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Khusus sebagaimana amar

putusan ini dan berlaku hanya sekali (einmalig) untuk periode 2009-2014;

Berdasarkan putusan MK tersebut, maka MRP dan DPRP segera membentuk perdasus

untuk menjawab masalah tersebut.

C. UU nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang

terkait yang kewenangannya diatur secara khusus dalam RUU-PP.

Rancangan Undang-undang Pemerintahan Papua yang apabila ditetapkan

menjadi UU merupakan UU yang hanya berlaku di wilayah Provinsi di Tanah Papua

yang diberi otonomi khusus. Sebab itu harus dipandang sebagai undang-undang

yang berlaku menurut asas lex spesialis derogat lex generalis. Sedang UU nomor 32

tahun 2004 dan Undang-undang terkait yang kewenangannya diatur secara khusus

dalam RUU-PP, merupakan UU yang berlaku secara nasional termasuk di tanah

Papua.

Pemerintah pusat memiliki kewenangan sebagaimana yang diatur dalam pasal

10 ayat 3 UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, meliputi politik

luar negeri, pertahanan, keamanan, Yustisi, meneter dan fiskal nasional, dan agama.

Sedang kewenangan lain yang bukan merupakan kewenangan pusat melalui RUU-PP

hendak dilaksanakan oleh Pemerintahan Papua untuk mensejahterakan masyarakat

di Tanah Papua. Sebagian kewenangan yang menjadi kewenangan Pemerintahan

Provinsi yang diperlukan antara lain di bidang: Kehutanan, Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Perlindungan Anak, Kepegawaian, Penataan Ruang, Perseroan Terbatas, Kesehatan,

Kekuasaan Kehakiman, Kesejahteraan Anak, Penanaman Modal, Minyak dan Gas

Bumi, Ketenagakerjaan, Keuangan Negara, Sistem Pendidikan Nasional,

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional, Jalan, Sistem Keolahragaan Nasional, Penerbangan, Mineral

dan Batubara, Kepariwisataan, Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Kepemudaan,

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pangan, Penanganan Konflik

Sosial, Pendidikan Tinggi, Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia,

Hubungan Luar Negeri, Perjanjian Internasional, Perikanan, Penyelenggaraan

Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Perlindungan

Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, narkotika dan obat-obat terlarang.

Page 289: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

83

BAB V

LANDASAN PENGATURAN

Landasan Filosofis

Kebijakan otonomi khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan kebijakan yang

dimaksudkan untuk mengakomodasikan tiga hal; menjawab kebutuhan peningkatan

dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan mencari

jalan tengah terhadap kemelut di Papua selama ini. Ada sejumlah landasan fiolosofis

yang dikedepankan oleh Naskah Akademik ini:

1. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang

adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945;

2. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat

manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama,

demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum

adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;

3. Bahwa sistem Pemerintahan NKRI menurut Undang-Undang Dasar 1945

mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;

4. Bahwa integrasi dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan

menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat

Papua melalui penerapan daerah otonomi khusus;

5. Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai

dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral,

hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi,

pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga

negara;

6. Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk

memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak

dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan

pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.

Landasan Sosiologis

Sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya

dipengaruhi oleh penduduk dari kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram

dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa disepanjang

pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih pantas

digolongkan sebagai Ras Melanesia dari pada Ras Papua.38

Zending atau misi kristen protestan dari Jerman (Ottow & Geissler) tiba di pulau

Mansinam Manokwari 5 Februari 1855 untuk selanjutnya menyebarkan ajaran agama

38Lihat Agus A Alua, Papua Barat Dari Pangkuan ke Pangkuan Suatu Ikhtisar Kronologis, Sekretariat

Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur, 2006, h. 3, lihat juga H.W. Bachtiar Sejarah Irian Jaya dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta Djambatan 1994, h.44-h.49

Page 290: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

84

disepanjang pesisir pantai utara Irian. Pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari

50.000 orang menganut agama kristen protestan. Kemudian pada tahun 1898

pemerintah Hindia Belanda membuka Pos Pemerintahan pertama di Fakfak dan

Manokwari dan dilanjutkan dengan membuka pos pemerintah di Merauke pada tahun

1902. Dari Merauke aktivitas keagamaan misi katholik dimulai dan pada umumnya

disepanjang pantai selatan Irian.

Pada tahun 1933 tercatat sebanyak 7.100 orang pemeluk agama katholik. Pendidikan

dasar sebagian besar diselenggarakan oleh kedua misi keagamaan tersebut, dimana

guru sekolah dan guru agama umumnya berasal dari Indonesia Timur (Ambon, Ternate,

Tidore, Seram, Key, Manado, Sanger-Talaud, dan Timor), dimana pelajaran diberikan

dalam bahasa Melayu. Pembagian kedua kelompok agama tersebut kelihatannya identik

dengan keadaan di Negeri Belanda dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen

Katholik di Selatan. Pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran

pemerintah Belanda, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan

ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961.

Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja disektor

perekonomian modern, dan yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai Belanda dan

agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha

peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani

dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa "Melayu" dijadikan sebagai bahasa "Franca"

(Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari

sekolah dasar, bahasa-bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua

yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan.

Pada tahun 1950-an pendidikan dasar terus dilakukan oleh kedua misi keagamaan

tersebut. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat 496 sekolah misi tanpa subsidi

dengan kurang lebih 20.000 murid. Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776

dengan jumlah murid pada tahun 1961 sebanyak kurang lebih 45.000 murid, dan

seluruhnya ditangani oleh misi, dan pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib

dalam hal ini. Pada tahun 1961 tercatat 1.000 murid belajar di sekolah menengah

pertama, 95 orang Irian Belajar diluar negeri yaitu Belanda, Port Moresby, dan Australia

dimana ada yang masuk Perguruan Tinggi serta ada yang masuk Sekolah Pertanian

maupun Sekolah Perawat Kesehatan (misalnya pada Nederland Nasional Institut for

Tropica Agriculture dan Papua Medical College di Port Moresby).

Walaupun Belanda harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk menbangun Irian

Barat, namun hubungan antara kota dan desa atau kampung tetap terbatas. Hubungan

laut dan luar negeri dilakukan oleh perusahaan Koninklijk Paketvaart Maatschappij

(KPM) yang menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-Fak,

dan Merauke, Singapura, Negeri Belanda. Selain itu ada kapal-kapal kecil milik

pemerintah untuk keperluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka 17 kantor

POS dan telekomunikasi yang melayani antar kota. Terdapat sebuah telepon radio yang

dapat menghubungi Hollandia-Amsterdam melalui Biak, juga ditiap kota terdapat

telepon. Terdapat perusahaan penerbangan Nederland Nieuw Guinea Luchvaart

Maatschappij (NNGLM) yang menyelenggarakan penerbangan-penerbangan secara

teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya dengan

pesawat DC-3, kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koniklijk

Page 291: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

85

Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri dari Biak. Sudah sejak

tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi lapangan Internasional. Selain penerbangan

tersebut, masih terdapat juga penerbangan yang diselenggarakan oleh misi protestan

yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang

diselenggarakan oleh misi Katholik yang bernama Associated Mission Aviation (AMA)

yang melayani penerbangan ke pos-pos penginjilan di daerah pedalaman. Jalan-jalan

terdapat disekitar kota besar yaitu di Hollandia 140 Km, Biak 135 Km, Manokwari 105

Km, Sorong 120 Km, Fak-Fak 5 Km, dan Merauke 70 Km.

Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan

beraneka ragam. Beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan

mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan

suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir

dan tari.

Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa

lokal khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari

Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa lokal di Irian

Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus

dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan

diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu: Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet,

Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika,

Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi,

Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut

diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.

Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi kedalam 4

kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya

tersendiri.

Penduduk Pesisir Pantai. Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan

disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan

pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi

mereka. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah; Mereka termasuk

peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling

lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang

mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran

sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.

Penduduk pegunungan yang mendiami lembah; Mereka bercocok tanam, dan

memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil

dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang

ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan

secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan

menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam

mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai

pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat

penduduk tipe 2 (kedua).

Page 292: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

86

Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung; Melihat kepada

tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa

mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini

mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat

istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri

merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana

dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari

keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

Di dalam berbagai kebudayaan dari penduduk Irian ada suatu gerakan kebatinan yang

dengan suatu istilah populer sering disebut cargo cults. Ada suatu peristiwa gerakan

cargo yang paling tua di Irian Jaya pada tahun 1861 dan terjadi di Biak yang bernama

"KORERI". Peristiwa atau gerakan cargo terakhir itu pada tahun 1959 sampai tahun

1962 di Gakokebo-Enarotali (kabupaten Paniai) yang disebut " WERE/WEGE"

sebagaimana telah dikemukakan bahwa gerakan ini yang semula bermotif politik.

Pada waktu Belanda meniggalkan Irian Barat, posisi-posisi baik dibidang pemerintahan,

pembangunan (dinas-jawatan) baik sebagai pimpinan maupun pimpinan menengah

diserahterimakan kepada putra daerah (orang Papua/Irian Barat) sesuai dengan

kemampuan yang mereka miliki. Juga seluruh rumah dan harta termasuk gedung dan

tanah milik orang Belanda itu diserahkan kepada kenalan mereka orang Papua

(pembantu dan teman sekerja) untuk dimiliki, karena mereka tidak bisa menjualnya

dan juga tidak ada pembeli pada masa itu. Belanda juga meninggalkan ekses konflik

antara suku-suku besar sebagai akibat dari aktivitas politik yaitu pertentangan antara

"Elite Pro-Papua" dan "Elite Pro-Indonesia" yang ditandai dengan pertentangan antara

"Suku Biak lawan Suku Serui, Suku tanah Merah-Jayapura lawan Suku Serui", sekalipun

dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro-Papua, tidak semua orang Serui itu pro-

Indonesia dan tidak semua orang Tanah Merah-Jayapura itu pro-Papua dan pro-

Indonesia.

Berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam

kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Irian Barat sangat hati-hati

sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda

sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/Nieuw Guinea sesuai dengan

permintahaan dan kebutuhan orang-orang Irian Barat. Katakanlah bahwa ini suatu

bentuk "Etis-Politik Gaya Baru".Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk

Nasionalisme Papua". Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Irian

Jaya tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu

keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan

tekanan dari Belanda.

Landasan Yuridis

Ada beberapa peraturan perundang-undangan (produk hukum negara/pemerintah,

termasuk landasan konstitusional Undang-undang Dasar 1945) yang berhubungan

dengan pengaturan Pemerintahan Papua dengan berbagai aspek jangkauannya. Produk

hukum yang merupakan landasan yuridis antara lain:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil

amandemen keempat; Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B,

Page 293: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

87

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969 Tentang:

Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat Dan Kabupaten-Kabupaten Otonom

Di Propinsi Irian Barat ;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

Daerah Dan Retribusi Daerah,

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak;

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan

Ruang

12. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas

13. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan;

14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman,

15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak

16. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman

Modal

17. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi

18. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

19. Undang-undang Republik Indonesia Nomor Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara

20. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional

21. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah;

22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah

23. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah

24. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional

25. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

26. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional

Page 294: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

88

27. Undang-undang Republik Indonesia Nomor Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang

28. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

29. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan

Batubara

30. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan

31. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial

32. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

33. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan

34. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

35. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

36. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan

Konflik Sosial

37. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan

Tinggi,

38. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia

39. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan

Hak Asasi Manusia;

40. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan

Luar Negeri;

41. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian

Internasional;

42. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

43. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan

Nepotisme,

44. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

45. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

Di samping produk hukum dalam bentuk undang-undang, maka landasan yuridis ini

memperhatikan dengan cermat tentang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik

Indonesia, yaitu:

1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,

Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan;

Page 295: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

89

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi

Daerah;

Landasan Politis

Landasan politis dalam naskah ini menunjuk pada komitmen politik dan kebijakan yang

menjadi dasar bagi kebijakan selanjutnya dalam Pembangunan Papua. Dalam konteks

pembangunan nasional, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono

memiliki komitmen terhadap Pembangunan Papua, antara lain tercatat: (1) penetapan

Arah kebijakan Kewilayahan Pulau Papua, di dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RP-JMN) Tahun 2010-2014 (Buku III) (2) Koridor VI Papua dan

Kepulauan Maluku, di dalam Perpres Nonomor 32 Tahun 2011 tentang Master Plan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011-

2025, (3) pembentukan Badan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat, di dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2011 (BP4B), (4) penetapan Kebijakan

Penanggulangan Kemiskinan Terpadu, di dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan

Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) (5) penentapan Kebijakan-kebijakan

Pembangunan Sektoral (Kementerian/ Lembaga) untuk Papua.

Belakangan, dengan mempertimbangkan evaluasi pelaksanaan UU No 21 Tahun 2001

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan tantangan kedepan, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono memberikan komitmen politik dan arah Triple Track Strategy for Papua

kepada Gubernur Papua Lukas Enembe, Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, Ketua

MRP Timotius Murib, dan Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda di Istana Negara, pada 29

April 2013. Triple Track Strategy for Papua itu adalah: (1) Pemberian kewenangan

yang lebih luas (otonomi khusus plus); (2) Penyelesaian konflik untuk Papua

Aman dan Damai; (3) Pembangunan Papua yang komprehensif dan ekstensif.

Demikian pula, dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2013, Presiden SBY menegaskan:

“Kita sedang merancang formula Otonomi Khusus yang memberikan nilaitambah

dan terobosan untuk kemajuan dan kemuliaan Papua”.

Landasan Historis

Landasan historis ini ingin mengemukakan sejarah perkembangan Papua (orang Papua)

kontak dengan Orang Luar Papua yang turut mempengaruhi perkembangan Orang

Papua.

Seperti sejarah mencatat bahwa Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 13 dan

Kerajaan Majapahit pada abad ke 14 sesungguhnya belum menampakan data sejarah

yang jelas dan tegas tentang penguasaannya atas Tanah Papua.39 Adanya hubungan

Papua dengan Sriwijaya, entah langsung atau tidak langsung, diketahui dari dua Raja

Sriwijaya bernama Sri Indrawarman yang mempersembahkan burung khas40 Tanah

Papua kepada Raja Tiongkok. Hal ini diandaikan bahwa kerajaan Sriwijaya pernah

menjalin kontak dengan Tanah Papua. Pada waktu itu pulau Papua disebut “Janggi”,

39 Masyarakat Adat Papua Manokwari, http://www. tribal land. blog.spot.com/2009/01/ 40 Burung khas Papua dimaksud diduga kuat adalah burung cenderawasih yang sampai saat ini

digunakan oleh Universitas Cenderawasih sebagai “Lambang Universitas, dan selalu digunakan oleh suku-suku asli di Papua sebagai lambang budaya yang biasa digunakan dalam upacara-upacara adat, maupun dalam tari-tarian adat suku-suku asli di Papua.

Page 296: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

90

yang dalam sebutan dan dialek Tionghoa disebut “Turki” yang diperkenalkan oleh

musafir Tionghoa pada abad ke 13. Sedangkan hubungan dengan kerajaan Majapahit

hanya diketahui dari karya pujangga Prapanca tahun 1365 yang berjudul:

Negarakertagama.41

Dalam karya itu disebut beberapa nama yang menurut beberapa ahli Jawa Kuno identik

dengan beberapa nama tempat di Tanah Papua, yakni Wanim (Onim); Sran ( nama lain

dari Koiwa); Timur (nama lain dari bagian Timur Papua Barat). Hubungan ini dijalin

melalui Maluku. Hubungan Sriwijaya dan Majapahit atas Tanah Papua tidak secara

langsung namun secara tidak langsung melalui Maluku. Hubungan tersebut lebih

bersifat hubungan perdagangan daripada politik42.

Kontak dengan Spanyol dan Portugal. Kontak pertama Orang Papua dengan dunia

luar (orang asing) tercatat dari adanya usaha-usaha Spanyol dan Portugis mencapai

Tanah Papua. Misi pertama Orang Spanyol dan Portugis hanya dalam rangka

perdagangan; bukan untuk mencari dan mendudukinya untuk memperluas tanah

jajahan (miisi imperialisme dan kolonialisme). Tahun 1511 pelaut Portugis bernama

Antonio d’Abreu mengunjungi pulau Papua dan ia memberi nama ilha de Papoia. Tahun

1517 Francisco Rodriguez mengunjungi pulau Papua.43 Catatan sejarah dari beberapa

referensi menyatakan bahwa pada tahun 1521-1522 dilakukan pelayaran Magelhaens

mengelilingi dunia dengan Kapal “Victoria” yang dinakhodai oleh Juan Sebastian del

Cano. Pada tahun 1521 Kapal tersebut pernah singgah di Tidore. Seorang penulis Italia

bernama Antonio Pigafetta ikut dalam pelayaran itu. Dari catatan harian Antonio

Pigafetta dalam laporan tertulisnya ia menyebut-nyebut nama Papua. Nama “Papua”

diperolehnya ketika kapal Victoria singgah di Tidore, tetapi apa yang ia maksudkan

dengan “Papua” tidak jelas diuraikan dalam laporannya. Pigafetta dalam laporannya

menjuluki pulau ini dengan julukan Isla de Oro artinya Pulau Emas. Pada tahun 1522

para pedagang Portugis mulai membuka perdagangan dan menetap di Ambon dan

Ternate. Tahun 1526 gubernur Portugal pertama di Maluku bernama Jorge de Menesez

mengunjungi Pulau waigeo. Waigeo waktu itu diperintah oleh Raja Papua. Ia menamai

daerah itu dengan nama Ilhas dos Papua..

Tahun 1529 (pertengahan) Alvaro de Saavedra diperintahkan oleh Herman Cortez

orang Spanyol dari Mexico ke Maluku untuk menyelesaikan sengketa antara Portugal

dan Tidore dan sekaligus mencari dan menaklukkan pulau perjalanannya ke Mexico

pernah singgah di salah satu tempat pantai utara (Biak) karena angin kencang

menghadangnya. Ia tinggal di situ selama sebulan untuk mencari emas di Pulau tersebut

namun tidak menemukannya.

Tercatat dalam sejarah kontak Orang Papua dengan Orang asing bahwa pada 1537

Herman Cortez dari Mexico mengirim lagi Herman Griyalva untuk mencari dan

menaklukkan pulau emas (Isla de Oro) sebab Alvaro de Saavedra yang pertama telah

gagal. Namun akibat pemberontakan ABK-nya (Anak Buah Kapal), ia bersama ABK

lainnya tewas. Hanya 7 orang yang lolos, kemudian ditawan oleh penduduk setempat

41 Peranan Lembaga Adat Dalam Era Otsus, http://www. ire yogya org/adat/peranan.html. 42Selanjutnya lihat H. Bachtiar, Pengantar Antropologi Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI), Jakarta. 1996 h. 44-45. 43Lembaga Adat Amungme. http://www. id.wklpedia.org./wki/ lembaga_adat_suku Amungme.

Page 297: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

91

dan dibebaskan dalam beberapa tahun kemudian, lantas diserahkan kepada Gubernur

Portugal di Ternate.

Tanggal 20 Juni 1545 seorang Spanyol bernama Kapten Ynigo Ortiz de retes dengan

kapalnya bernama San Juan berlayar di Tidore menuju Panama. Ia sempat mencapai

sekitar sarmi (Bier) di muara sungai Amberno (Membramo). Ia memberikan nama

pulau ini Nueva Guinea dan mengklaimnya sebagai milik raja Spanyol. Dalam dokumen-

dokumen bahasa Latin nama pulau ini disebut Nova Guinea. .

Tahun 1606 Kapten Torres (Spanyol) dari arah timur Pulau Papua menelusuri pantai

Selatan Papua Barat dan mengklaim sejumlah tempat sebagai milik raja Spanyol.

Perjalanan inilah yang pertama kali membuktikan bahwa pulau Papua yang sebelumnya

dikira bersatu dengan Australia tenyata ia terpisah dari australia (West Pac. 1:11)44.

Tahun 1663 pedagang-pedagang Spanyol di Maluku menarik diri dan pindah ke Filipina,

karena gagal menguasai rempah-rempah di Maluku

Kontak dengan Belanda. Tahun 1606 Willem Janz, seorang navigator, menelusuri

pantai barat dan selatan papua Barat dalam rangka mencari emas. Ia adalah orang luar

pertama yang menemukan sungai Digul di Pantai Selatan. Tanggal 24 Juli 1616 Lemaire

dan Schoutem mulai menjelajahi teluk Geelvink (sekarang:teluk cenderawasih) dan

singgah dipulau Biak. Kepulauan Biak Numfor diberi nama Schouten Eilanden

(Kepulauan Scouten). Tahun 1623 bulan februari, jan Carstenz berlayar dari Maluku

dan menelusuri pantai Selatan Papua Barat. Ketika Ia sampai pada titik 4 derajat LS,

lantas dengan teropong melihat salju dipuncak gunung, setelah itu ia menamai gunung

salju itu Carstenz yang sekarang dikenal dengan nama Puncak Jaya.

Tahun 1660 dilakukan perjanjian antara VOC dengan Ternate, Tidore dan Bacan tentang

batas-batas wilayah kekuasaan atas Papua Barat dan pengamanan wilayah perairannya

dari gangguan pengacauan orang papua. Perjanjian tersebut diperbaharui tahun 1667

dimana VOC mempertegas kedaulatan Tidore atas wilayah kepulauan sekitar Papua

Barat. Tahun 1678 untuk pertama kali bendera Belanda ditancapkan dibeberapa tempat

di pesisir pantai bagian barat Papua. Tahun 1705 pelaut Belanda Geelvink dan

Kraanvogel melayari dan memetakan seluruh teluk cenderawasih. Setelah itu teluk itu

dinamai Geelvink Bai atau Teluk Geelvink.

Tahun 1710 dari memorandum timbang terima Gubernur Claaz di Maluku terdapat

bahwa VOC mengakui kekuasaan Tidore atas pulau-pulau disekitar Pulau Papua. Tahun

1779 Gubernur Belanda di Maluku (J.r. Thomaszen) mengakhiri kekuasaan Tidore atas

kepulauan di Perairan Papua karna sultan Tidore tidak dapat dikendalikan Belanda.

Karena itu Belanda melakukan penangkapan Sultan Tidore beserta Putra mahkota dan

Sultan bacan, lantas diasingkan (ditawan) di Batavia (Jakarta).

Tanggal 24 Agustus 1828 pertama kali pemerintah belanda mendirikan dan

meresmikan Benteng Fort du Bus diteluk Triton, Kaimana (Fakfak) sebagai simbol

kekuasaannya atas Pulau Papua atau New Guinea. Peresmian itu bertepatan dengan

HUT Raja Belanda Willem I. Benteng itu didirikan oleh komisaris A.J. van Delden atas

44Sumber ini diakses dari Agus A Alua, Op. Cit. h. 79, dengan mengutip West PAC 1999, singkatan

Wet PAC kepanjangan dari West Papua from Colonization to Recolonization (Papua Barat dari Kolonisasi ke Rekolonisasi) Jakarta, West Papua Community.

Page 298: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

92

nama Gubernur Maluku.Setelah itu ditempatkan sejumlah pegawai di daerah itu. Tahun

1835 (7 tahun kemudian) benteng itu tidak difungsikan lagi karena situasi di daerah

initidak menguntungkan kesehatan orang belanda. Sekitar 10 orang aparat pemerintah

dan 50 orang eropa dan 50 anggota pasukan Indonesia (VOC) dikabarkan meninggal

dunia. Karena itu Gubernur Maluku memerintahkan untuk mencari tempat lain yang

lebih baik; namun tidak mendapatkan penggantinya. Tanggal 30 Juli 1848 gubernur

Hindia Belanda J.J.Rochussen mengeluarkan suatu keputusan rahasia yang menetapkan

batas-batas kekuasaan Tidore atas Papua Barat. Rochussen menetapkan batas timur

140,47 BT pantai utara di semenanjung Ponland (Teluk Humboldt) sampai ke barat dan

141 BT Pantai Selatan sebagaimana diatur dalam proklamasi 24 Agustus 1828. Dengan

keputusan rahasia itu segala milik (kekuasaan) Tidore di hapuskan dan menjadi milik

Belanda. Kebijakan ini diambil secara rahasia karena adanya sengketa antara Inggris

dan Belanda atas Neuva Guinea atau Pulau Papua. Pada tahun 1849 sampai dengan

1850 pemerintah Belanda segera mematok seluruh wilayah papua barat (kemudian

disebut Nieuw guinea) dari Pantai Utara sampai Selatan sebagai wilayah kekuasaannya.

Tanggal 5 Februari 1855 penginjil zending Jerman yang pertama Ottow dan Geisler

menginjak kakinya di Tanah papua tepatnya di Pulau Mansinam (Manokwari). Ottow

dan Geisler berangkat dari Ternate tanggal 10 Januari 1855 ditemani oleh seorang anak

12 tahun bernama Fritz, anak seorang guru. Ottow dan Geisler menumpang kapal

Fabritus milik seorang saudagar bernama Duivendode. Namun tidak lama kemudian

setelah 6,5 tahun berkarya, pada tanggal 9 November 1862 Ottow meninggal dunia di

Kwawi (Manokwari) dan dikuburkan di daerah itu.

Tahun 1861 pemerintah Belanda mengambil keputusan bahwa tidak akan mendirikan

lagi benteng pengganti Fordubus di daerah lain. Pada tahun yang sama pemerintah

Belanda melarang orang Tidore untuk merampok dan mengambil budak dari Papua.

Pada tahun 1879 pemerintah Belanda membeli kembali semua budak Papua yang ada di

Ternate dan Tidore, lalu membebaskannya. Tanggal 11 Oktober 1871 A. Smith

menempatkan tanda patok batas kekuasaan Belanda di Pantai Utara bagian Timur,

yakni di semenanjung Bonpland (sudut timur di Teluk Humboldt) pada titik 141,9 BT.

Patok itu berbentuk besi panjang dengan gambar lambang Kerajaan Belanda.

Kontak dengan Prancis, Inggris, dan Jerman. Aryesam45 mencatat bahwa pada tahun

1768 seorang pelaut Prancis bernama Louis Antonie Baron de Baouginville pernah

singgah di Teluk Imbi (kini teluk Yos Sudarso), lantas Baouginville memberi nama

gunung Dobonsolo menjadi Cycloope dan gunung Tami menjadi Baouginville sesuai

mitos Yunani yang dipercayainya. Tahun 1770 seorang navigator inggris bernama

James Cook yang banyak melakukan penemuan-penemuan dikawasan Pasifk melewati

pantai selatan. James Cook pernah dihadang oleh perampok Papua di pantai selatan.

Pada tahun 1775 Thomas Forrest dari Usaha Dagang Inggris di India tiba di Manokwari

untuk mencari peluang perdagangan di Papua Barat. Pada kesempatan itu kapten John

Hayes mendirikan benteng Fort New Albion. Namun benteng tersebut segera

dihancurkan oleh orang Arfun dan Arfak. Tahun 1791 seorang Inggris bernama John

McCluer membuat pemetaan di wilayah teluk Bintuni. Teluk tersebut dinamakan

McCluer Gulf. Hasil pemetaan itu memperbaiki peta lama yang memisahkan bagian

45 Alexander Aryesam, Masalah Irian Barat dan Gagasan Pembentukan Negara Papua, Tesis S-2

Universitas Indonesia, Jakarta 1997, tidak dipublikasikan. Lihat juga Agus A Alua, Op. Cit. h. 77

Page 299: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

93

Kepala Burung dan Fakfak. Pemetaan baru itu menghasilkan peta Papua Barat seperti

sekarang dengan kenyataan.

Tahun 1795 sesuai dengan cita-cita kapten John Hayes, saudagar Inggris mendirikan

benteng Fort Coronation yang lebih permanen di Manokwari, namun dihancurkan lagi

oleh penduduk setempat setelah 20 hari berdiri. Dalam tahun ini juga Inggris

mendukung Pangeran Nuku dalam pertikaiannya dengan sultan Tidore yang waktu itu

didukung oleh Belanda. Tahun 1810-1815 Inggris secara politik menguasai Indonesia

sebagai wilayah jajahannya. Tanggal 27 Oktober 1814 diadakan perjanjian antara

Inggris dan Sultan Tidore yang disaksikan oleh W.B. Martin (Residen Inggris di Maluku).

Perjanjian itu mengakhiri perjanjian Tidore dan Inggris atas Papua Barat. Tidore

diijinkan untuk menguasai pulau-pulau perairan Papua Barat bagian barat dan 4 distrik

untuk menguasai pulau-pulau perairan Papua Barat bagian barat dan 4 distrik di Teluk

Geelvink (Mansari, Karondefur, Amberpur dan Amberpon)

Tahun 1824 Inggris dan Belanda membuat perjanjian di London karena sengketa

mereka atas Papua Barat. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa selain 4 distrik di

dalam perjanjian 1814 diatas, maka Papua Barat secara keseluruhan dinyatakan sebagai

“Daerah Tak Bertuan”, No Man’s land/ Nie Mans Land. Tahun 1827 pelaut Prancis

bernama Jules Sebastian Cesar d’Urville dalam perjalanannya keliling dunia, ia singgah

di Teluk Imbi (Jayapura), lantas ia memberikan nama teluk itu Humboldt (kini Teluk

Yos sudarso), sesuai dengan nama seorang sarjana Jerman yang bernama F.H. Alexander

Baron von Humboldt, yang pernah singgah sebelumnya antara tahun 1799-1805,

sebagai tanda penghargaan kepadanya.

Kontak dengan Tidore atau Maluku. Pada tahun 1453 orang Tidore mengadakan

kontak intensif dengan orang-orang Papua yang waktu itu disebut Papua Besar. Dalam

buku Museum “Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Mallige” tertulis bahwa pada tahun

itu Sultan Tidore X yang bernama Ibnu Mansur bernama Sangaji Patani Sahmardan dan

Kapitan Waigeo bernama Kurabesi memimpin ekspedisi kedaratan Tanah besar.

Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora itu berhasil menaklukkan beberapa

wilayah di Tanah Besar dan pulau-pulau di sekitarnya yang kemudian dinyatakan

sebagai wilayah tanah besar menjadi tiga wilayah, yakni Kolano Ngaruha (Radja

Ampat), Papo Ua Gam Sio (Papoua Sembilan Negeri), dan Mafor soa Raha (Mafor Empat

Soa).

Wilayah-wilayah di Tanah Besar itu kemudian disebut dengan nama Papoua yang

berarti tidak bergabung atau tidak bersatu atau tidak bergandengan. Tahun 1649 ketika

VOC memasuki wilayah kekuasaan kesultanan Tidore, maka sultan Jamaluddin meminta

bantuan Raja Papua bernama Kurabesi (Biak: kita mendukung mereka). Dengan

Armada 24 perahu perang, Kurabesi berhasil memukul mundur VOC. Atas dasar jasa

baik itu, Sultan Jamaluddin mengikat persahabatan dengan Kurabesi dan pasukannya

(kebanyakan dari Pom, Ansus, dan Biak) “dengan perkawinan dan menyediakan tanah

untuk mereka menetap di Maluku Utara”. Hasil perkawinan (matrilokal) itu kemudian

menjadi penguasa-penguasa baru disejumlah tempat Maluku Utara dan kepulauan Raja

Ampat (Kolano Fat). Hubungan perkawinan itu berdampak pula pembelaan raja-raja

Papua terdapat kekuasaan Sultan-Sultan Maluku Utara di Tidore, Ternate, dan di Tanah

papua Barat..

Page 300: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

94

Tahun 1660 dibuat perjanjian antara VOC dengan Ternate, Tidore dan Bacan untuk

menentukan batas-batas kekuasaan mereka atas Papua Barat.. Tahun 1667 dipertegas

kembali perjanjian 1660 di atas, dimana VOC menyatakan tegas kekuasaan Tidore atas

wilayah Papua Barat. Tahun 1710 VOC mengakui secara sah kekuasaan Tidore atas

pulau-pulau sekitar Papua Barat. Sejak itu Belanda memberikan kepercayaan kepada

Tidore untuk pengawasan atas tanah Papua Barat. Tahun 1773 perjanjian itu

diperbaharui lagi dengan isi perjanjian yang sama.

Papua Sekitar 1962-1963. Pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden Soekarno

membentuk Komando Mandala untuk Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di

Makassar. Komando Operasi Mandala diketuai oleh Mayjen Soeharto. Tugas pokoknya

adalah merencanakan persiapan dan menyelenggarakan operasi militer untuk

mengembalikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia. Mengembangkan situasi

militer di wilayah Provinsi Irian Barat sesuai dengan taraf perjuangan di bidang

diplomasi supaya dalam waktu sesingkat-singkatnya di wilayah Irian Barat dapat secara

de facto diciptakannya daerah-daerah atau didudukan unsur-unsur kekuatan

Pemerintah Daerah Republik Indonesia.

Pada tanggal 15 Januari 1962 gugurlah Jos Sudarso bersama Kapal KRI Macan Tutul di

Laur Arafura. Jos Sudarso gugur dalam usaha merebut Irian Barat sebagai

implementasi Trikora dari tangan Belanda. Peristiwa itu terjadi ketika Belanda sedang

patroli di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Irian Barat. Ketika itu hubungan

Belanda dan Indonesia sangat tegang di Irian Barat. Ketegangan ini mulai sejak

Deklarasi 01 Desember 1961 dan Trikora 19 Desember 1961.

Pada tanggal 12 Februari 1962 Presiden Soekarno menerima Roberth F. Kennedy

sebagai utusan Presiden John F. Kennedy (Amerika Serikat). Roberth F. Kennedy

membawa pesan Presiden AS tentang penyelesaian sengketa Irian Barat.. Pada tanggal

16 Februari 1962 Dewan Nieuw Guinea telah menyelesaikan segala prosedur dan

persyaratan untuk pelaksanaan mengatur diri sendiri.

Tanggal 20 Maret 1962 dimulai perundingan antara Indonesia dengan Belanda di

bawah pimpinan utusan Presiden John F Kennedy, yakni diplomat E. Bunker. Pada april

1962 sebagai reaksi atas tewasnya Yos Sudarso, diterjunkan sejumlah besar TNI dan

sukarelawan di seluruh daratan Irian Barat untuk merebutnya dari kekuasaan Belanda.

Perang gerilya antara Indonesia dan Belanda meletus dimana-mana di dataran Papua

Barat, khususnya di Teminabuan terjadi pada tanggal 21 Mei 1962 dan Sausapor pada

tanggal 30 Mei 1962. Perang terbuka tak terelakan lagi. Amerika pun mengirim pesawat

pengintai untuk memantau situasi ini. Situasi politik inilah yang menjadi latar belakang

lahirnya “Bunker Proposal” yang kemudian menjadi New York Agreement Tanggal 2

April 1962 Presiden Amerika Serikat John F Kennedy mengirimkan surat rahasia

kepada Perdana Menteri Belanda Dr. J.E. De Quay untuk menekan pemerintah Belanda

agar menerima proposal Bunker.

Alasan penekanan terhadap Belanda adalah bahaya akan perang terbuka di kawasan

daerah sengketa bila terjadi perang terbuka Belanda dan Blok Barat akan kalah dan

yang akan memetik kemenangan adalah Blok Timur atau Komunis. Presiden John F.

Kennedy menegaskan dalam surat tersebut bahwa keadaan sepertiini serta didorong

oleh tanggungjawab kami terhadap Dunia Bebas (Non-Komunis) saya mendesak dengan

Page 301: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

95

sangat agar Pemerintah Belanda menerima rumusan yang digagaskan oleh Tuan Bunker

(West Papua, 28). Tanggal 7 April 1962 pemerintah Indonesia menyetujui proposal

Bunker setelah inti proposal Bunker disepakati dan dirumuskan bahwa pengalihan

kekuasaan kepada Indonesia setelah 6 bulan UNTEA dan Act of Free Choice akan

dilaksanakan 6 (enam) tahun administrasi percobaan.

Tanggal 14 April 1962 pemerintah Belanda akhirnya menyetujui proposal Bunker,

karena ditekan Amerika Serikat. Pada Mei dan Juli 1962 diadakan perundingan rahasia

antara Indonesia dan Belanda yang dimediasi oleh wakil-wakil PBB dan Amerika Serikat

(terutama Bunker) untuk melakukan pembahasan-pemahasan proposal Bunker untuk

penyelesaian masalah Irian Barat.

Tanggal 1 Mei 1962 pemerintah Belanda secara resmi menyatakan akan menyerahkan

kekuasaan atas Nieuw Guinea kepada PBB. Kemudian PBB akan membentuk

pemerintahan sementara yang disebut UNTEA (United Nations Temporary Executive

Authority). Tanggal 12 Mei 1962 diluncurkan draft terakhir Bunker Proposal (Kerangka

Usulan) tentang cara-cara penyelesaian masalah Papua atau West Irian antara

Indonesia dan Belanda. Ellwarth Bunker adalah mantan Duta Besar dan berkuasa penuh

Amerika Serikat di India. Sekjen PBB menugaskan Bunker untuk menyusun proposal

tersebut. Bunker dan proposalnya muncul sebagai mediator untuk mengatasi konflik

Indonesia Belanda atas Nieuw Guinea.

Proposal Bunker46 berisikan 4 pokok: (1) Pemerintahan atas Irian Barat harus

diserahkan kepada Indonesia, (2) Sesudah sekian tahun di bawah pemerintahan

Indonesia, maka rakyat Irian Barat diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya

sendiri secara bebas, apakah tetap dengan Indonesia atau memisahkan diri. (3)

Pelaksanaan penyerahan pemerintahan di Irian Barat akan diserahkan dalam waktu 2

(dua) tahun (4) Untuk menghindari kekuasaan Indonesia langsung berhadapan dengan

Belanda, maka perlu diadakan Pemerintahan Peralihan di bawah pengawasan PBB.

Proposal Bunker ini disepakati antara Indonesia dan Belanda. Pemerintahan Belanda

ditekan (dalam arti dipaksa) untuk menyetujui proposal Bunker oleh Amerika Serikat

melalui PBB. Setelah itu proposal ini dikembangkan oleh kedua belah pihak, akhirnya

menjadi New York Agreement. Tanggal 25 Mei 1962 Parlemen Belanda menyetujui

Proposal Bunker. Tanggal 2 Juli 1962 Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio

mengadakan perundingan dengan Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy, di mana

Soebandrio melaporkan perang terbuka dengan Belanda berarti Indonesiaakan

menggerakkan kekkuatan nasiomal dan akan menguntungkan komunisme. Akibat

diplomasi ini John F.Kennedy mendesak dan menekan pemerintahan Belanda agar

menyetujui tanggal 1 Mei 1963 sebagai tanggal penyerahan Administrasi West

Papua/West Irian kepada Pemerintah Indonesia. Tanggal 13 Juli 1962 perundingan

rahasia antara Indonesia dan Belanda dilanjutkan. Tanggal 31 Juli 1962 persetujuan

sementara tentang penyelesaian masalah Papua Barat ditandatangani antara Belanda

dan Indonesia.

46 Informasi ini dapat ditelusuri dalam terbitan Pemda Tk I Irian Jaya, 1972, dicetak ulang 1997,

Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Di Irian Barat 1969. Dapat juga diakses pada “Kembalinya Irian Jaya Ke Pangkuan Republik Indonesia, diterbitkan Pemda Tk I Irian Jaya Jayaura 1998. Sumber lain seperti A. Mampioper 1972, Jayapura Ketika Perang Pasifik, Labor Jayapura. Makka Teru, Syamsudin, Asal Mula Nama Irian Jaya, Utama Murni Jakarta, 1975.

Page 302: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

96

Tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani secara definitif Perjanjian Antar Pemerintah

Republik Indonesia dan Kerajaan Nederlands mengenai Irian Barat (Agreemennt

Between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Nederlands Concerning West New

Guinea/West Irian) yang kemudian dikenal dengan New York Agreement (Perjanjian

New York) antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Perjanjian ini terdiri dari 29 pasal

yang mengatur 13 macam hal. Penandatanganan dokumen diwakili oleh Subandrio

(Selaku menteri luar negeri Indonesia) dan pihak pemerintah Belanda oleh J. Herman

van Roijen dan C.A.W. Schurmann. Persetujuan tersebut pada intinya berisikan hal-hal

sebagai berikut: (a) Transfer administrasi (pengalihan administrasi) dari Pemerintah

Belanda kepada PBB yang diatur dalam Pasal 2 - Pasal 11 (10 pasal); (b) Transfer

administrasi dari PBB kepada Indonesia yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 13 (2

pasal). (c) Penentuan nasib sendiri (self-determination) yang diatur dalam Pasal 14

sampai Pasal 21 (8 pasal). Inti dari 8 pasal ini adalah (1) pelaksanaan penentuan nasib

sendiri harus di bawah nasehat, bantuan, dan partisipasi PBB, (2) prosedur Penentuan

nasib sendiri harus dimusyawarahkan dengan wakil-wakil rakyat, (3) persyaratan

untuk berpartisipasi dalam Penentuan nasib sendiri harus berdasarkan praktek-

praktek internasional. (4) PBB dan Indonesia akan menyampaikan laporan pelaksanaan

Penentuan nasib sendiri kepada Majelis Umum PBB, (5) Indonesia dan Belanda akan

mengakui dan terikat pada hasil Penentuan nasib sendiri. Hak-hak penduduk diatur

dalam Pasal 22 – 23 (2 pasal), Djopari 37 – 39 Pemda 1972, 11 Pemda 1998: 2-3, 9-25).

Tanggal 16 Agustus 1962 Presiden Soekarno mengeluarkan suatu perintah tentang

Penghentian Permusuhan Belanda–Indonesia yang ditujukan kepada semua gerilyawan

Indonesia di Dataran Irian Barat yang isinya memerintahkan agar segera dihentikan

tembak-menembak mulai 18 Agustus 1962 pukul 09.31, namun tetap adakan

konsolidasi dan waspada serta siaga penuh menerima perintah lebih lanjut. Tanggal 1

September 1962 DPR-GR mengeluarkan pernyataan pendapat tentang persetujuan

Indonesia – Netherlands mengenai penyerahan Irian Barat kepada RI. Isinya

menegaskan bahwa DPR-GR setelah menerima laporan dari Menlu Soebandrio dalam

rapat dewan 31 Agustus 1962, memutuskan bahwa menerima persetujuan Indonesia–

Belanda mengenai Irian Barat yang ditandatangani 15 Agustus 1962, namun

persetujuan itu tidak ditetapkan melalui tap khusus DPR-GR-RI, Tanggal 21 September

1962 pernjanjian New York diratifikasi dalam Sidang Majelis Umum PBB yang ke XVII

dan ditetapkan dalam resolusi No.1752, maka sejak tanggal tersebut persetujuan itu

mulai berlaku dan ditetapkan.47

Pada bulan September 1962 setelah New York Agreement disahkan dalam resolusi PBB,

para elit politik Papua Pro-Kemerdekaan Papua melakukan suatu Kongres Nasional

yang diprakarsai oleh Ketua Partai Nasional (ParNas) Hermanus Wayoi dan anggota

Nieuw Guinea Raad Nicolas Tanggahma. Kongres ini memutuskan (dihadiri 90 elit

Papua) untuk menerima Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dengan ragu-ragu,

menyetujui kerjasama dengan PBB dan RI, dan menuntut agar UNTEA menghormati

bendera dan lagu nasional Papua serta menentukan pemilihan umum dilakukan tahun

1963 segera setelah masa kerja resmi UNTEA selesai.

47 Pemda Provinsi Irian Barat, Op. Cit. 1972: 11; Djopari Op. Cit. h. 57, Pemda Provinsi Irian Jaya

1998:Op Cit h. 23

Page 303: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

97

Tanggal 30 September 1962 dikeluarkan Roma Agreement (Perjanjian Roma) antara

Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Perjanjian ini sering diperdebatkan

kebenarannya sebab sulit ditemukan teks aslinya, namun Herman Wayoi (selaku pelaku

sejarah) selalu mengatakan penuh keyakinan bahwa beliau memiliki dokumen asli.

Teks terjemahan isi perjanjian Roma seperti di bawah ini:

Isi Perjanjian Roma :

a. Act of Free Choice (AFC) yang dijadikan pelaksanaannya pada tahun 1969,

sebagaimana tercantum dalam perjanjian Agustus 1962, agar ditunda atau

jika mungkin dibatalkan;

b. Indonesia memerintah Papua Barat selama 25 (dua puluh lima) tahun

berikut terhitung 1 Mei 1963;

c. Metode yang digunakan dalam AFC adalah dengan cara musyawarah, sesuai

dengan Dewan Permusyawaratan Indonesia;

d. Laporan terakhir PBB tentang pelaksanaan AFC yang disampaikan pada

Sidang Umum PBB agar diterima tanpa perdebatan;

e. Amerika berkewajiban bagi penanaman modal melalui BUMN Indonesia bagi

eksplorasi mineral, minyak bumi serta sumber daya alam lainnya di Papua

Barat;

f. Amerika Serikat menjamin Bank Pembangunan Asia (Asian Development

Bank) sebagai dana pembangunan PBB bagi Irian Barat sebesar USD 30 juta

untuk jangka waktu 25 tahun;

g. Amerika Serikat menjamin Indonesia melalui Bank Dunia (World Bank)

dengan sejumlah dana bagi perencanaan dan pelaksanaan Transmigrasi bagi

penempatan orang-orang Indonesia di Papua Barat terhitung mulai tahun

1977.

Tanggal 1 Oktober 1962 mulai berlangsung pemerintahan UNTEA di bawah pimpinan

Administrator Jose Rolz Bennet ( pada tanggal 1 Oktober sampai dengan 31 Desember

1962). Pada hari itu juga bendera PBB dikibarkan bersamaan dengan bendera Belanda.

Wakil pemerintah Belanda untuk penyerahan kekuasaan kepada PBB adalah H.

Veldkamp.

Pada bulan Oktober setelah UNTEA berkuasa pemerintah Indonesia mengirimkan

sejumlah elit dan tokoh masyarakat Papua ke Pulau Jawa untuk melakukan sejumlah

kunjungan supaya mendapat gambaran yang sebenarnya tentang Indonesia. Selama

UNTEA diawasi oleh tentara PBB dan Pakistan. Pada bulan Oktober 1962 ini juga suatu

delegasi Indonesia di PBB menyatakan bahwa Bendera Bintang Kejora bertentangan

dengan perjanjian maka harus dilarang pemakaiannya.

Pada awal Desember 1962 suatu delegasi berjumlah 7 orang papua di bawah pimpinan

E.J. Bonay mendesak kepada Indonesia, Belanda dan PBB agar penyerahan kekuasaan

oleh UNTEA kepada Indonesia dilakukan sebelum 31 Desember 1962. Usul itu ditolak

oleh Sekjen PBB dan Belanda karena tidak sesuai dengan Perjanjian New York

sedangkan Indonesia mengambil sikap netral atau diam. Tanggal 31 Desember 1962

Bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan Bendera Merah Putih berdampingan

dengan Bendera PBB. Dicatat bahwa pada hari itu (Tanggal 31 Desember 1962 )

Page 304: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

98

pejabat UNTEA diganti dari H. Veldkamp kepada Dr. Djalal Abdoh. Pada saat yang sama

Indonesia mengganti nama Kota Hollandia dengan nama Kota Baru. Dengan nama kota

Baru (sekarang Jayapura) ini mulailah era Pemerintahan Indonesia di Tanah Papua.

Page 305: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

99

BAB VI

RUANG LINGKUP DAN

MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS DI TANAH PAPUA

Sasaran yang akan diwujudkan

Sasaran yang akan diwujudkan dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini

adalah menuju masyarakat Papua yang adil dan sejahtera, dengan meningkatkan

pembangunan pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur.

Jangkauan

Jangkauan RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini adalah perluasan kewenangan

baik kewenangan diluar kewenangan pusat maupun kewenangan pusat yang berkaitan

dengan wilayah dan Orang Asli Papua. Penegasan subyek yang menjadi sasaran

pelayanan dan pembangunan masyarakat di tanah Papua, secara khusus Orang Asli

Papua. Sedangkan subjek perantaranya adalah pemerintah Provinsi di Tanah Papua

yang melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

Arah Pengaturan

a. Mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan Provinsi di tanah Papua;

b. Menciptakan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di Provinsi tanah Papua;

c. Meningkatkan kenyamanan bagi semua penduduk di tanah Papua.

Materi Muatan RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua

Ruang lingkup Materi muatan Pemerintahan Otsus di Tanah Papua yang diatur dalam

RUU ini, meliputi:

A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa

yang muncul dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini;

B. materi yang akan diatur adalah:

Materi muatan dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini terdiri dari 48

(empat puluh delapan) bidang pengaturan strategis, yaitu (1) Nama Undang-undang,

(2) Ketentuan Umum, (3) Orang Asli Papua; (4) Pembagian Daerah dan Penataan

Daerah, (5) Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota (6)

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota;

(7) Penyelenggaraan Sebagian Urusan Pemerintah; (8) Penyelenggaraan Urusan

Perlindungan Dan Pemberdayaan Orang Asli Papua; (9) Badan Nasional Percepatan

Pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua; (10) Bentuk Dan Susunan Pemerintahan;

(11) Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil

Walikota; (12) Peraturan Daerah Khusus,Peraturan Daerah Provinsi Dan Peraturan

Gubernur; (13) Perangkat Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota; (14) Pemerintahan

Adat; (15) Kampung; (16) Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat; (17) Keuangan; (18)

Page 306: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

100

Perekonomian; (19) Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah; (20)

Kepariwisataan; (21) Kehutanan; (22) Pertanian Dan Ketahanan Pangan; (23) Kelautan

Dan Perikanan; (24) Perdagangan Dan Investasi; (25) Pertambangan dan Energi; (26)

Pengelolaan Sumber Daya Alam; (27) Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan

Hidup; (28) Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang; (29) Pertanahan; (30)

Perumahan Rakyat; (31) Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi; (32) Pendidikan; (33) Kebudayaan; (34) Kesehatan; (35) Sosial; (36)

Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (37) Hak Atas Kekayaan

Intelektual; (38) Komunikasi dan Informatika; (38) Perhubungan Dan Transportasi;

(39) Kependudukan dan Ketenagakerjaan; (40) Kepemudaan dan Keolahragaan; (41)

Narkotika, Psikotropika, Bahan Adiktif Lainnya dan Minuman Beralkohol; (42) Partai

Politik; (43) Lambang Daerah, Bendera Daerah, dan Hymne Daerah; (44) Supervisi,

Pengawasan dan Evaluasi; (45) Kerja Sama dan Penyelesaian Perselisihan; (46)

Pembentukan Provinsi dan Kabupaten/Kota; (47) Penyebarluasan; (48) Ketentuan

Lain-Lain; (49) Ketentuan Peralihan; (50) Ketentuan Penutup.

1. Nama Undang-Undang

Dengan mempertimbangkan bebagai bidang pengaturan strategis sesuai nilai, asas,

tujuan, sasaran pengaturan (addressat norm), kepentingan, pelaku peran dalam

pelaksanaannya nanti, dan dengan didasarkan pada 2 (dua) pola dasar atau orientasi

dasar kebijakan pengaturan, yakni (1) kewenangan asimetris dan (2) kebijakan

afirmatif, maka undang-undang ini seterusnya disebut Undang-Undang

Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua. Frasa otonomi khusus sengaja

ditulis secara eksplisit dimaksudkan sebagai nama dan identitas yang jelas, sekaligus

secara politik frasa itu membedakan dengan term “merdeka”. Artinya betapapun Tanah

Papua memiliki pemerintahan yang memiliki otonomi seluas-luasnya, namun dipayungi

dengan otonomi khusus yang berada dalam bingkai NKRI.

2. Ketentuan Umum

a. Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua adalah pemerintahan

dengan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua,

Provinsi Papua Barat, dan provinsi-provinsi hasil pemekaran di Tanah Papua, untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di masing-masing

provinsi.

b. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;

c. Pemerintahan Provinsi adalah Pemerintahan yang berkedudukan di Ibukota Provinsi

yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan

pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua.

d. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai Badan

Eksekutif Provinsi di Tanah Papua.

e. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Pemerintahan yang berkedudukan dibawah

Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan

Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan

Page 307: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

101

pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

f. Distrik yang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal dengan

Kecamatan, adalah wilayah kerja Kabupaten/Kota.

g. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, asal-usul

dan adat-istiadat setempat yang berada di daerah Kabupaten/Kota dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

h. Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab

penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Tanah Papua dan sebagai wakil

Pemerintah di Provinsi.

i. Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang disebut DPRP adalah Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi.

j. Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi kultural

orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-

hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan

budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat

beragama sebagaimana diatur Undang-Undang ini.

k. Lambang Daerah, Bendera Daerah, Himne Daerah adalah panji kebesaran dan simbol

kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua yang tidak diposisikan sebagai simbol

kedaulatan.

l. Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan

Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal khusus

dalam Undang-Undang ini.

m. Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan

Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

n. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat

pemerintahan Kabupaten/Kota.

o. Peraturan Kampung yang selanjutnya disebut Perkam adalah Peraturan

Pemerintahan Kampung dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat

pemerintahan kampung.

p. Pemerintahan Adat adalah Pemerintahan pada tingkat masyarakat adat, yang

dibentuk berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat.

q. Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan

terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi

diantara para anggotanya.

r. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta dipertahankan

oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun.

s. Hukum Adat adalah aturan atau norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang

berlaku dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan mempertahankan

serta mempunyai sanksi.

t. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak

kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum

adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.

u. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat

tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan untuk kehidupan

Page 308: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

102

para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan dan air serta

isinya.

v. Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga

sekumpulan orang yang dipilih dan diakui oleh warga setempat.

w. Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM adalah seperangkat hak yang

melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan setiap orang

demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

x. Penduduk Papua yang selanjutnya disebut Penduduk adalah semua orang yang

menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Tanah Papua.

.

3. Asas

a. Keberpihakan kepada Orang Asli Papua sebagai penghormatan, pengakuan,

perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua.

b. Desentralisasi asimetris.

4. Kelembagaan Pemerintahan Papua

Kelembagaan pemerintahan Papua berkaitan dengan kedudukan Gubernur, Majelis

Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

1.1. Gubernur

a. Kedudukan dan Wewenang Gubernur. Hal ini diatur bahwa (1)

Pemerintahan di Tanah Papua dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai

Kepala Pemerintah Provinsi Tanah Papua dan dibantu oleh seorang Wakil

Gubernur. (2) Setiap kebijakan Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga

Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan

Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Papua; (3) Gubernur

sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah yang bertanggung jawab kepada

Presiden dan Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan

Papua bertanggung jawab kepada DPRP.(4) Gubernur dalam menjalankan

tugasnya dibantu oleh perangkat daerah Papua. (5) Gubernur bertanggung

jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah Papua pada semua sektor

pemerintahan termasuk pelayanan masyarakat dan ketenteraman serta

ketertiban masyarakat.

b. Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah,

memiliki tugas dan wewenang: (a) Setiap kebijakan Lembaga Negara,

Kementerian/Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan

PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan

Pemerintahan Papua; (b) Melakukan koordinasi, pembinaan dan

pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di Papua dan

kabupaten/kota; (c) Melakukan koordinasi penyelenggaraan urusan

Pemerintahan di Papua dan kabupaten/kota; (d) Melakukan koordinasi,

pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

kabupaten/kota; (e) Melakukan koordinasi, pembinaan dalam

penyelenggaraan kekhususan Papua ; (f) Melakukan koordinasi

pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan

Page 309: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

103

antarkabupaten/kota di Papua; (g) Melakukan koordinasi, pembinaan,

pengawasan dan memfasilitasi kerja sama serta penyelesaian perselisihan

atas penyelenggaraan pemerintahan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota

dan antara Kabupaten/Kota; (h) Meminta laporan secara berkala atau

sewaktu-waktu atas penyelenggaraan pemerintahan daerah

Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota; (i) Melakukan pemantauan dan

koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan pengangkatan, dan

pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta

penilaian atas laporan pertanggungjawaban Bupati/Walikota; (j) Melakukan

pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama

Presiden; (k) Menyosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi

penegakan peraturan perundang-undangan di Provinsi Papua; (l)

Melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan

pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi Papua; (m) Memberikan

pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan, penggabungan,

dan pemekaran daerah.

c. Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Papua, memiliki

tugas dan wewenang adalah: (a) Gubernur melakukan koordinasi dan

pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan Pemerintah di Provinsi

Papua; (b) Setiap kebijakan Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga

Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan

Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Papua; (c) Pemerintah

dapat memberikan pelimpahan dan perbantuan sebagian kewenangan

Pemerintah kepada Gubernur Papua baik sebagai wakil Pemerintah Pusat di

Daerah maupun Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan

Papua, baik di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter

dan fiskal, yustisi, dan sebagian urusan keagamaan; (d) Gubernur

melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap instansi

vertikal, unit pelaksanana teknis, balai besar, maupun Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) di Provinsi Papua; (e) Gubernur memiliki hak dan

kewenangan untuk membuat kebijakan afirmative dalam hal menentukan

besaran dan jenis perangkat organisasi daerah di tingkat Propinsi Papua

dengan pertimbangan DPRP; (f) Dalam konteks perbaikan, percepatan dan

perluasan pelayanan publik, Pemerintah Propinsi Papua dapat membentuk

atau mengusulkan daerah administrative atau kawasan khusus sesuai

dengan kebutuhan; (g) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah

berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP; (h) mengajukan

rancangan Perdasus dan Perdasi; (i) menetapkan Perdasus dan Perdasi yang

telah mendapat persetujuan bersama DPRP; (j) menyusun dan mengajukan

rancangan Perda tentang APBD kepada DPRP untuk dibahas dan ditetapkan

bersama; (k) mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; (l) mewakili

daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa

hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

dan (m) melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

d. Gubernur membentuk Tim Pengendali Pelaksanaan dan Evaluasi (TP2E)

Otonomi Khusus Plus Papua (OKPP) yang kedudukannya berada dibawa

Page 310: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

104

koordinasi langsung Gubernur Papua. (1) Bertugas untuk melakukan

evaluasi berkala atas pelaksanaan UU ini. (2) Bertugas memastikan

komitmen dari kementrian, lembaga, dunia usaha dan pemerintah daerah

dalam melaksanakan amanat Undang Undang ini (3) Memastikan tahapan

dan indikator pencapaian amanat dan pelaksanaan pasal pasal dalam UU ini.

1.2. Majelis Rakyat Papua (MRP)

Kedudukan dan Wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP)

(1) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus dalam payung

Pemerintahan Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan

representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu

dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan

pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan,

dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

(2) Dalam rangka meningkatkan keterwakilan kaum adat, agama, dan

perempuan di seluruh Kabupaten/Kota, serta untuk melakukan perlindungan

hak-hak orang asli Papua, maka MRP dibentuk di tingkat Provinsi.

(3) MRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.

(4) MRP mempunyai tugas dan wewenang: (1) memberikan pertimbangan dan

persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP

bersama-sama dengan Gubernur; (2) memberikan pertimbangan terhadap

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terutama

alokasi Dana Otonomi Khusus yang terkait dengan pelayanan dasar bagi

penduduk asli Papua; (3) melakukan pengawasan terhadap penggunaan

Dana Otonomi Khusus dan memberikan pertimbangan, saran, dan pemikiran

terhadap kebijakan pemanfaatan Dana Otonomi Khusus yang lebih baik dan

tepat; (4) memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap

rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun

Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua,

khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua; (5)

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur

dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (6) memperhatikan dan

menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama,

perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang

asli Papua, dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan (7)

memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota

serta Bupati/Wakil Bupati mengenai hal-hal yang terkait dengan

perlindungan hak-hak orang asli Papua.

(5) MRP mempunyai hak: (1) meminta keterangan kepada Pemerintah

Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan

perlindungan hak-hak orang asli Papua; (2) meminta peninjauan kembali

Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan

perlindungan hak-hak orang asli Papua; (3) mengajukan rencana Anggaran

Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua.

Page 311: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

105

1.3. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)

Kedudukan dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)

(1) Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP.

(2) DPRP terdiri atas anggota yang dipilih berdasarkan peraturan perundang-

undangan. (3) Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah

anggota DPRD.

(4) Tugas DPRP adalah: (1) DPRP dan DPRK mempunyai fungsi legislasi,

anggaran, dan pengawasan. (2) Dalam konteks Pemerintahan Papua, DPRP

wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Nasional yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Papua; (3) DPRP

memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. (4) mengusulkan pengangkatan dan

pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden

Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri; (5) membahas rancangan

Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur; (6) menetapkan

Perdasus dan Perdasi;(7) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan

Perdasus dan Perdasi dan peraturan perundang-undangan lain; (8)

melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Papua dalam

melaksanakan program pembangunan Papua, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama

internasional; (9) menyusun dan menetapkan arah kebijakan

penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah

serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur; (10) membahas

dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama

dengan Gubernur; (11) bersama Gubernur menyusun dan menetapkan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Papua dengan

berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan

memperhatikan kekhususan Provinsi Papua; (12) memberikan pertimbangan

terhadap rencana kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang

berkaitan langsung dengan Papua; (13) memberikan pertimbangan terhadap

rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

daerah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Papua; (14)

memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan/atau

dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; (15) meminta

laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan

pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan; (16) melaksanakan

pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Nasional (APBN) yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Papua dan semua

perjanjian internasional yang terkait dengan Papua wajib disetujui oleh

Gubernur Papua dan DPRP; (b) pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan

Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya; (c) pelaksanaan

pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah

Provinsi Papua; (d) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

(e) pelaksanaan kerjasama internasional di Provinsi Papua; (f)

memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan

pengaduan penduduk Provinsi Papua;

Page 312: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

106

2. Kewenangan Pemerintah Papua

(1) Sebagai otonomi dan desentralisasi asimetris di Indonesia, Pemerintahan Papua

dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah.

(2) Kewenangan Pemerintah meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional,

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,

dan urusan tertentu dalam bidang agama.

(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya pada poin 2, Pemerintah dapat: melaksanakan sendiri;

menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Papua dan

pemerintah kabupaten/kota; melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku

wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan menugaskan sebagian

urusan kepada Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dan distrik

(kecamatan) berdasarkan asas tugas pembantuan.

(4) Dengan maksud memperkuat kedudukan Gubernur Papua dalam struktur

pemerintahan Papua, maka: Rencana persetujuan internasional yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Papua yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan

dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Papua dan DPRP. Rencana

pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan

langsung dengan Pemerintahan Papua dilakukan dengan konsultasi dan

pertimbangan Gubernur Papua dan DPRP. Kebijakan administratif yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Tanah Papua yang akan dibuat oleh

Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian

pertimbangan sebagaimana dimaksud pada poin 1, poin 2, dan poin 3 diatur

dengan Peraturan Presiden.

(5) Kewenangan Terbatas di Bidang Luar Negeri. Dalam kerangka otonomi khusus

plus atau yang diperluas, maka Pemerintah memberikan tugas atau

melimpahkan kewenangan terbatas (limited authority), urusan, dan tugas

tertentu di bidang luar negeri (limited authority on foreign affairs) kepada

Pemerintah Provinsi di Tanah Papua di dalam hal membangun kerjasama dan

kemitraan dengan lembaga/badan atau negara-negara asing maupun di dalam

menangani kegiatan-kegiatan tertentu baik didalam aspek politik, investasi,

perdagangan, hukum, demokrasi, pertahanan, dan keamanan.

(6) Pemerintah Provinsi Tanah Papua dapat mewakili Pemerintah Pusat dalam

urusan bilateral dengan Negara-negara lain dalam meningkatkan hubungan

bilateral dan meningkatkan hubungan antara penduduk (people to people

contact) dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Pemerintah Papua dapat mengadakan kerjasama dengan memiliki kewenangan

untuk melakukan hubungan ekonomi, perdagangan, investasi, dan pariwisata

dengan luar negeri, terutama kawasan Pasifik Selatan dan Pasifik Barat Daya;

(7) Pemerintah Provinsi Tanah Papua yang didukung oleh Pemerintah Pusat untuk

membangun wilayah perbatasan antara Republik Indonesia - Papua New Guinea,

Republik Indonesia – Australia, dan Republik Indonesia – Republik Palau;

Pemerintah Papua dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di

luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Pemerintah Papua

dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga

Page 313: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

107

internasional. Pemerintah Papua dapat membangun kerjasama dalam

menciptakan kemitraan strategis (strategic partnership) dengan kawasan Pasifik

Selatan dan Pasifik Barat Daya. Dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi

nasional dan menjadikan Papua sebagai pintu gerbang internasional untuk

perdagangan, investasi, dan pariwisata di Wilayah Timur Indonesia, diperlukan

pembukaan kembali jalur penerbangan internasional melalui Bandar Udara

Frans Kaisepo Biak sebagai wujud Papua sebagai daerah terbuka bagi dunia

internasional. Pemerintah Papua memilki kewenangan untuk memberikan

pertimbangan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Pertahanan, sehingga

dapat mendesain kebijakan pertahanan yang sesuai dengan konteks wilayah,

dinamika pembangunan, dan konteks sosial-budaya di Papua. Rencana

persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Papua

yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

DPRP.

3. Perangkat dan Kepegawaian Pemerintahan Papua

(1) Perangkat Provinsi Tanah Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi,

dan lembaga teknis lainnya, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan Provinsi. (2)

Perangkat MRP dan DPRP dibentuk sesuai dengan kebutuhan. (3) Pengaturan

tentang ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi berdasarkan

peraturan perundang-undangan.(4) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan

kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur

penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. (5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat

menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan

daerah setempat. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diatur dengan Perdasi.

4. Keuangan Pemerintahan Tanah Papua

(1) Perlu ada kelembagaan keuangan yang bercirikan masyarakat adat papua yang

mencerminkan roh dari UU Otsus itu sendiri. (2) Sebagai NKRI, Pemerintah Pusat

harus mencari solusi permasalahan tingkat kemahalan harga di Papua untuk bisa

setara dengan tingkat harga di Luar Papua. (3) Memperbaiki implementasi bidang

keuangan dari kebijakan otonomi khusus tersebut dengan membuat peraturan

khusus yang mendukung undang-undang otonomi khusus plus (4) Mengalihkan

dana otonomi khusus ke dalam Dana Alokasi Umum (DAU (5) Mengalihkan dana

otonomi khusus ke dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) (6) Mendirikan

Lembaga/Badan Khusus yang menangani Dana OTSUS (7) Mengenai keuangan

sudah waktunya dimuat pasal-pasal Bagi Hasil dari penghasilan bersumber dari

Hidrokarbon. (8) Setiap perumusan dan perencanaan APBN wajib

mempertimbangkan karakter kekhususan Papua sebagai otonomi asimetris,

kemahalan harga barang, kondisi geografis wilayah, distribusi penduduk yang tidak

merata, dan konteks sosial budaya dalam pembangunan Papua; (9) Perlu

dipertimbangkan agar pendapatan negara yang berasal dari pajak berbagai PMA,

PMDN, BUMN, dan Dunia Usaha yang beroperasi di Papua diserahkan lebih dulu ke

Page 314: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

108

Kas Daerah, dan kemudian diserahkan 30 persen ke Kas Negara selama 20 tahun;

(10) Perjanjian kontrak kerjasama antara pemerintah dan pihak lain yang ada saat

ini dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara pemerintah dan

Pemerintah Papua dan masyarakat adat di Papua melalui MRP.(11) Kontrak

kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam

rangka pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan jika keseluruhan isi

perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh pemerintah dan

Pemerintah Papua. Dan Masyarakat adat Sebelum melakukan pembicaraan dengan

pemerintah mengenai kontrak kerjasama tersebut, pemerintah Papua mendapat

pertimbangan DPRD;

(2) Pemerintah menyediakan Dana Otonomi Khusus sebesar 10 persen dari

DAU Nasional selama 20 tahun yang ditujukan untuk membiayai pengentasan

kemiskinan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan, dan kesehatan. (3)

Pemerintah menyediakan dana tambahan dalam rangka pelaksanaan

Otonomi Khusus sebesar 2% dari total APBN, terutama ditujukan untuk

pembiayaan pembangunan infrastruktur. (4) Pemerintah Papua berhak atas

kepemilikan saham di setiap usaha pengelolaan sumberdaya alam dan memiliki

hak pengelolaan bersama dalam sumberdaya alam di bidang pertambangan,

perkebunan, pertanian, perikanan, kelautan, energi (PLTA , PLTU, PLTS) dan

pariwisata, serta perdagangan. (5) Setiap program pembangunan masyarakat

(Corporate Social Responsibility) yang dilakukan oleh dunia usaha di wilayah Papua

wajib mengikuti desain kebijakan pembangunan Pemerintahan Papua. Desain Bagi

Hasil Sumber Daya Alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada

rakyat Papua dan Pemerintahan Papua.

Kebijakan keuangan dalam Pemerintahan Papua: Penyelenggaraan urusan

pemerintahan di Papua dan kabupaten/kota diikuti dengan pemberian sumber

pendanaan kepada pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Papua dan

kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai dari dan atas

beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Papua (APBP) dan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Kabupaten (APBK). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

dilimpahkan kepada Gubernur Papua selaku wakil Pemerintah disertai dengan

pendanaan dari APBN dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintahan

Papua, pemerintahan kabupaten/kota, distrik, dan kampung disertai dengan

pendanaan dari APBN dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Pemerintah

Papua dapat menerima bantuan, pinjaman, dan hibah baik yang bersumber dari luar

negeri dan dalam negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.

Pemerintah Papua dapat melakukan penyertaan modal dengan Badan Usaha Milik

Negara/Daerah dan usaha swasta yang saling menguntungkan. Pemerintah Papua

dan pemerintah kabupaten/kota mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja

Papua (APBP)/APBK secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan,

efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

Pengelolaan APBP dan APBK dilaksanakan melalui suatu sistem yang diwujudkan

dalam APBP dan APBK yang setiap tahun diatur dalam Perdasus. Alokasi anggaran

belanja untuk pelayanan publik dalam APBP/APBK lebih besar dari alokasi

anggaran belanja untuk aparatur.

Page 315: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

109

Sumber penerimaan dan pengelolaan keuangan Papua Sumber-sumber

penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi: pendapatan asli Provinsi,

Kabupaten/Kota; dana perimbangan; penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi

Khusus; pinjaman Daerah; dan lain-lain penerimaan yang sah.

Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota terdiri atas: pajak

Daerah; retribusi Daerah; hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan

kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan Daerah yang

sah.

Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka

Otonomi Khusus dengan perincian sebagai berikut: Bagi hasil pajak. (1) Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90% (sembilan puluh persen); (2) Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80% (delapan puluh persen); dan

(3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).

Pajak Penghasilan yang diterima karyawan Freeport diwajibkan pengelolaan dan

pendistribusian dikelola oleh KAS DAERAH Provinsi Papua.

Bagi hasil sumber daya alam , Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); Pertambangan umum sebesar 80%

(delapan puluh persen); Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh

persen); dan Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).

Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua;

Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya

setara dengan 4 % (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang

terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, ekonomi

kerakyatan, dan pengentasan kemiskinan; dan Dana tambahan dalam rangka

pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan

DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama

ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus yang berasal dari bagi hasil

pertambangan minyak bumi sebesar 70 % untuk Papua dan bagi hasil

pertambangan gas alam sebesar 70 % untuk Papua berlaku selama 25 (dua puluh

lima) tahun; Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka

Otonomi Khusus dari bagi hasil pertambangan minyak bumi dan pertambangan gas

alam menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan

sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam; Untuk

mengkoordinasikan tambahan Dana Bagi Hasil dari pertambangan minyak bumi dan

pertambangan gas bumi Gubernur dapat membentuk satuan unit kerja. Pembagian

lebih lanjut penerimaan Dana Otonomi Khusus antara Provinsi Papua, Kabupaten,

Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan

memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal. Sekurang-

kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan bagi hasil pertambangan minyak

bumi dan pertambangan gas bumi dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan

sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi,

dan 20 % (dua puluh persen) untuk ekonomi kerakyatan dan pengentasan

kemiskinan.

Page 316: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

110

Pinjaman Daerah dan penerimaan lain-lain. Provinsi Papua dapat menerima

bantuan, pinjaman, dan hibah baik yang bersumber dari luar negeri dan dalam

negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. Provinsi Papua dapat

melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk

membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk

Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP. Pinjaman dari sumber luar

negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP

dan persetujuan dari Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari

Menteri Dalam Negeri. Total kumulatif pinjaman dari sumber dalam negeri dan luar

negeri besarnya tidak melebihi persentase tertentu dari jumlah penerimaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan dan kemudian diatur pelaksanaannya dengan Perdasi. Pemerintah Papua

dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima hibah dari luar negeri dengan

kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah dan DPRP/DPRD Kabupaten/Kota

Dalam hal hibah mensyaratkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah

seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang mensyaratkan adanya dana

pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan diberitahukan kepada

DPRP/DPRD Kabupaten/Kota.

Penerimaan hibah bersifat: tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah,

Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota; tidak mempengaruhi kebijakan

Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota; tidak dilarang oleh peraturan

perundang-undangan; dan tidak bertentangan dengan ideologi negara.

Penyertaan Modal dan Obligasi. Pemerintah Papua dan pemerintah

kabupaten/kota dapat melakukan penyertaan modal/kerja sama pada/dengan

Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar

prinsip saling menguntungkan. Penyertaan modal/kerja sama dapat ditambah,

dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dilakukan divestasi atau

dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Penyertaan modal/kerja sama

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditetapkan dengan

Perdasi. Anggaran yang timbul akibat penyertaan modal/kerja sama sebagaimana

dimaksud dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Papua/APBD

Kabupaten/Kota. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dapat

menerbitkan obligasi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan dana

cadangan yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana

relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.

Penyertaan modal yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan

BUMN/Daerah, mengikutsertakana masyarakat adat setempat dalam pemilikan

modal/saham sebesar 10%. Pemerintah papua dan daerah/kota dalam

menerbitkan obligasi daerah mengikutsertakan masyarakat adat dalam penerbitan

obligasi daerah tersebut. Dan pengaturan lanjutnya di atur dalam peraturan

gubernur.

8. Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM)

Pemerintah, Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban

untuk menumbuhkan, membangun, meningkatkan, dan memberdayakan koperasi

Page 317: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

111

dan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan koperasi (UMKM) yang dimiliki

penduduk asli Papua sebagai sumber kekuatan ekonomi rakyat; Pemerintah Papua

melakukan koordinasi dalam rangka keterpaduan perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan terhadap urusan Pemerintah yang bersifat lintas

Kementerian/Lembaga yang terkait dengan koperasi dan UMKM; Pemerintah Papua

dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun standar pemberian izin di bidang Usaha

Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Koperasi dan memberikan kemudahan

perijinan dan insentif khusus untuk menumbuhkan koperasi dan UMKM; Setiap

penanaman modal asing (PMA), penanaman modal dalam negeri (PMDN), usaha

swasta, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beroperasi di wilayah Papua

berkewajiban untuk meningkatkan, mengembangkan, dan memberdayakan

koperasi dan UMKM. Majelis Rakyat Papua melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan pembangunan koperasi dan UMKM penduduk asli Papua.

9. Parawisata dan Ekonomi Kreatif

a. Kebijakan Pembangunan kepawisataan

Pembangunan kepariwisataan di Papua diselenggarakan berdasarkan asas

manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian,

kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan .

Pembangunan kepariwisataan di Papua bertujuan untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus

kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan, dan

sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk

rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan

mempererat persahabatan antarbangsa.

Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban

untuk menjadikan keadaan alam , flora, fauna, peninggalan purbakala,

peninggalan sejarah, seni, dan budaya sebagai modal pembangunan

kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat

Papua.

Pembangunan kepariwasataan merupakan bagian integral dari pembangunan

Papua yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan

bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan nilai-nilai agama,

budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan, serta

kepentingan nasional.

Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban

untuk melakukan pembangunan kepawisataan yang meliputi industri pariwisata,

destinasi wisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.

Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong

penanaman modal negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan

sesuai dengan rencana induk kepariwisataan nasional, provinsi, dan

kabupaten/kota.

b. Kawasan Strategis Pariwisata

Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan

kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan strategis pariwisata provinsi,

dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota yang merupakan bagian

integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah

provinsi, dan rencana tata ruang kabupaten/kota.

Page 318: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

112

Kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek meliputi:

sumber daya pariwisata alam dan budaya potensial menjadi daya tarik

pariwisata; potensi pasar; lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan

bangsa dan keutuhan wilayah; perlindungan terhadap lokasi tertentu yang

mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan

hidup; lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan

pemanfaatan aset budaya; kesiapan dan dukungan masyarakat; dan kekhususan

dari wilayah

Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial, dan

agama yang dikembangkan untuk berpartisipasi dalam terciptanya persatuan

dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang dibentuk oleh Pemerintah

berkewajiban untuk meningkatkan citra kepariwisataan Papua, meningkatkan

kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara ke Papua, dan

melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata

Papua.

10. Kehutanan.

a. Prinsip-prinsip kebijakan kehutanan di Papua, Penyelenggaraan kehutanan

di Papua berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,

keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan di Papua bertujuan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan

dengan: menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran

yang proporsional; mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi

konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat

lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, terutama

memberi manfaat yang sebesar-besar bagi masyarakat adat di dalam hutan

maupun di sekitar hutan; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;

meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan

masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan

sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan

terhadap akibat perubahan eksternal; dan menjamin distribusi manfaat yang

berkeadilan dan berkelanjutan.

b. Penguasaan Hutan. Penguasaan hutan oleh Negara memberi wewenang kepada

Pemerintah melalui pertimbangan dan persetujuan Gubernur Papua untuk:

mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan

hutan, dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan

hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan mengatur dan

menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta

mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Penguasaan hutan

oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hokum adat, sepanjang

kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional.

c. Status Hutan dan Fungsi Hutan. Pemerintah menetapkan status hutan dengan

persetujuan Gubernur Papua setelah mendapat pertimbangan dari

Page 319: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

113

Bupati/Walikota dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya

masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Pemerintah melalui persetujuan Gubernur Papua menetapkan hutan berdasarkan

fungsi pokok sebagai berikut: hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan

produksi Pemerintah melalui pertimbangan dan persetujuan Gubernur Papua

dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus. Penetapan

kawasan hutan dengan tujuan khusus, diperlukan untuk kepentingan umum

seperti: penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, dan religi dan

budaya.

d. Inventarisasi Hutan dan Pengukuhan Hutan. Inventarisasi hutan dilaksanakan

secara bersama antara Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah

Kabupaten/Kota untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang

sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.

Inventarisasi hutan dilakukan secara bersama antara Pemerintah, Pemerintah

Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan survei mengenai status dan

keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial

masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Hasil inventarisasi hutan dipergunakan

sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya

hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.

Berdasarkan inventarisasi hutan, Pemerintah melalui persetujuan Gubernur

Papua menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan

kawasan hutan tersebut, dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas

kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses sebagai

berikut: penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan

kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan

dilakukan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Papua.

e. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan

Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih

intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Tata hutan

meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe,

fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Blok-blok dibagi pada petak-petak

berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Berdasarkan blok dan petak,

disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu. Ketentuan lebih

lanjut tentang tata hutan, blok-blok, dan petak tersebut diatur oleh Pemerintah

Papua dengan Peraturan Daerah Khusus.

f. Penatagunaan Kawasan Hutan. Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan,

Pemerintah melalui persetujuan Gubernur Papua menyelenggarakan

penatagunaan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan

penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.

Pemerintah melalui Gubernur Papua menetapkan dan mempertahankan

kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran

sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan

manfaat ekonomi masyarakat setempat.

g. Gubernur Papua menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan

dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.Gubernur Papua menetapkan

perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan

yang luas serta bernilai strategis.

Page 320: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

114

h. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Gubernur Papua

menetapkan ijin pemanfataan hutan dan penggunaan kawasan hutan.Dalam

rangka pemanfaatan hutan lindung, Gubernur Papua memberikan izin usaha

pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin

pemungutan hasil hutan bukan kayu.Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa

pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan

kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Dalam

rangka pemanfaatan hutan produksi, Gubernur Papua memberikan pemberian

izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan

kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan

kayu. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha

milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia

yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha

pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan

koperasi atau kelompok usaha masyarakat setempat. Usaha pemanfaatan hasil

hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan

pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana

dimaksud pada diatur oleh Gubernur Papua.

i. Ijin Pemanfaatan Hutan. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan,

dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.

Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana

investasi untuk biaya pelestarian hutan. Setiap pemegang izin pemungutan hasil

hutan hanya dikenakan provisi. Ketentuan lebih lanjut tentang iuran izin usaha,

provisi, dana reboisasi, dana jaminan kinerja, dan dana investasi untuk biaya

pelestarian hutan diatur dengan Perdasus.

j. Penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan (seperti

pertambangan) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan

di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan

produksi dan kawasan hutan lindung.Penggunaan kawasan hutan pada poin 1

dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan

kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian

izin pinjam pakai oleh Gubernur Papua dengan mempertimbangkan batasan luas

dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan

lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas

serta bernilai strategis dilakukan oleh Gubernur Papua.

k. Perdasus tentang Pemanfatan Kehutanan Ketentuan pelaksanaan tentang

pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan menyangkut ijin

pemanfataan kawasan, ijin usaha pemanfataan jasa lingkungan, ijin pemungutan

hasil hutan bukan kayu di kawasan hutan lindung dan hutan produksi,

pengelolaan hutan untuk tujuan khusus, pemanfaatan hutan hak dan hutan adat,

dan pemanfatan hutan untuk kepentingan pembangunan (termasuk

pertambangan) dan ijin pinjam pakai diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan

mendapatkan pertimbangan Pemerintah Kabupaten/ Kota.

Page 321: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

115

l. Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Penggunaan kawasan hutan yang

mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi

sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah, Pemerintah Papua, dan

Pemerintah Kabupaten/Kota. Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal

pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai

dengan tahapan kegiatan pertambangan. Pihak-pihak yang menggunakan

kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang

mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar

dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Rehabilitasi dan reklamasi hutan diatur

dengan Perdasus.

m. Perlindungan Hutan Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam

maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan pada hutan negara

dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah

Kabupaten/Kota. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, serta pihak-pihak

yang menerima wewenang pengelolaan hutan, diwajibkan melindungi hutan

dalam areal kerjanya.Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh

pemegang haknya. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang

sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.

Ketentuan lebih lanjut dengan Perdasus. Dunia usaha dalam bidang kehutanan

wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan,

pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

11. Pertanian

Dengan potensi sumber daya lahan di Papua, Pemerintah wajib untuk memberikan

dukungan kebijakan, program, dan pembiayaan untuk pembangunan kedaulatan

pangan, ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan keamanan pangan di Papua.

Pemerintah wajib memberikan dukungan kebijakan, program, dan pendanaan untuk

percepatan pembangunan tanaman pangan, holtikultura, peternakan dan kesehatan

hewan, perkebunan, prasarana dan sarana pertanian, ketahanan pangan, karantina,

pengolahan dan pemasaran hasil, dan penyuluhan dan pengembangan sumber daya

manusia dengan memperhatikan karakteristik sosial penduduk asli Papua, potensi

wilayah, kondisi geografis wilayah, dan kondisi infrastruktur wilayah di Papua.

Pemerintah pusat dan daerah membentuk LEMBAGA PEMBIAYAAN KHUSUS

SEKTOR PERTANIAN Papua. Patut dicatat bahwa memang sudah ada lembaga

namun, pola pengembalian pinjaman bank yang biasanya dilakukan sebulan sekali.

Hal tersebut menyulitkan petani karena mereka biasanya baru mendapatkan dana

setelah musim panen tiba. Sebagian besar petani di papua adalah petani gurem

dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare. Mereka itu tidak bankable,

sehingga memasukkan masalah lembaga pembiayaan dalam draft RUU Otonomi

Khusus Plus.Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan kepada petani local

pemberian subsidi, yaitu petani akan mendapatkan uang tunai pengganti pembelian

pupuknya. Bentuk subsidi langsung tersebut ada tiga macam, berupa uang tunai

(reimbursement), voucher, dan pemberian produk pupuk. Masyarakat adat diberikan

kebebasan membentuk wadah serikat tempat berkumpulnya para petani lokal

(OAP) di Papua.

Page 322: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

116

12. Penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/kota memberikan ruang dan waktu

kepada perguruan tinggi yang ada di Papua melaksanakan kegiatan penelitian,

pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan untuk di wilayah provinsi

Papua.Penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan di Provinsi Papua

melibatkan para pakar ilmu yang ada di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Pusat serta perguruan tinggi yang ada di Papua mendirikan suatu

wadah dibidang penelitian dan pengembangan dan dikoordinasikan oleh perguruan

tinggi negeri di Papua. Pemerintah mengembangkan sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kelautan dengan

mengacu pada peraturan perundangundangan dan hukum laut internasional yang

berlaku serta perjanjian-perjanjian dengan negara atau lembaga internasional yang

berwenang.

Pemerintah mengembangkan Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi kelautan yang merupakan dari Sistem Nasional tentang

Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Bidang-bidang Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK kelautan meliputi

antara lain kegiatan penelitian dasar dan terapan untuk meningkatkan pemahaman

tentang biologi, kimiawi, fisika, geologi dan dasar laut serta tanah dibawahnya ,

proses dan interaksi laut dan pantai dengan hidrologi, cuaca , serta pengaruh laut

dan pantai terhadap masyarakat dan komunitas di sekitar laut-lingkungan serta

pengembangan metodologi dan instrumen untuk meningkatkan pemahaman

tentang laut.

Pemerintah menetapkan persyaratan tentang pelaksanaan penelitian ilmiah

kelautan oleh Lembaga Internasional atau pihak asing. Pelaksanaan Penelitian,

Pengembangan, Penerapan IPTEK Kelautan dapat dilakukan dengan bekerjasama

secara regional dan internasional dengan Negara lain.

Koordinasi pelaksanaan kegiatan Penelitian, Pengembangan, Penerapan IPTEK

Kelautan secara nasional, dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pemerintah yang

diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah menyusun, mengelola, memelihara dan mengembangkan Bank Data

Kelautan yang dihimpun dari berbagai kegiatan penelitian, pengembangan dan

penerapan ilmu dan teknologi kelautan.

Data Kelautan meliputi diantaranya data tentang karakteristik laut , baku mutu laut,

bathimetry, hydrography, oceanography, data tentang cuaca, data sumberdaya

hayati dan non hayati, data tentang lempeng tanah dasar laut, data tentang gempa di

laut, tsunami, data tentang pulau-pulau, data tentang peta laut, data tentang

penduduk pesisir dan data lain yang diperlukan. Bank Data Kelautan disimpan,

dikelola dan dikembangkan (updated) oleh Lembaga penelitian pemerintah, yang

berfungsi sebagai Pusat Informasi Nasional tentang data kelautan.

13. Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di

Papua baik di darat maupun di laut wilayah Papua sesuai dengan kewenangannya.

Pengelolaan sumber daya alam meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan

dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan

budidaya Sumber daya alam meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas

pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian,

perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip

Page 323: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

117

transparansi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam melaksanakan pengelolaan

SDA, Pemerintah Papua dapat: membentuk badan usaha milik daerah; dan

melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara. Kegiatan usaha dapat

dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi,

badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing. Dalam melakukan kegiatan

usaha, pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia

setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Papua. Setiap pelaku

kegiatan usaha bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi

lahan yang dieksplorasi dan dieksploitasi. Sebelum melakukan kegiatan usaha,

pelaku usaha wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi yang

besarnya akan diperhitungkan pada waktu pembicaraan kontrak kerja eksplorasi

dan eksploitasi.

Pemerintah, Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan

pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan kesehatan yang seimbang

sebagai kompensasi atas eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.

Setiap pelaku usaha pertambangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan

di Papua berkewajiban menyiapkan dana pengembangan masyarakat. Dana

pengembangan masyarakat ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah

Papua dan pemerintah kabupaten/kota, dan pelaku usaha yang besarnya paling

sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang dijual setiap tahun.

Rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat guna membiayai program

yang disusun bersama dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat sekitar

kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain serta mengikutsertakan pelaku usaha

yang bersangkutan diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

Pembiayaan program pengembangan masyarakat dengan dana pengembangan

masyarakat dikelola sendiri oleh pelaku usaha yang bersangkutan.

14. Pengelolaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi.

Pemerintah dan Pemerintah Papua melakukan pengelolaan bersama sumber daya

alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan

Papua. Untuk melakukan pengelolaan SDA miyak dan gas bumi, Pemerintah dan

Pemerintah Papua dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang

ditetapkan bersama. Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan

eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat

dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati

bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Papua. Sebelum melakukan pembicaraan

dengan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama, Pemerintah Papua harus

mendapat persetujuan DPRP. Perjanjian kontrak kerja sama antara Pemerintah dan

pihak lain yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan dapat diperpanjang

setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Papua.

15. Perikanan dan Kelautan.

Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola

sumber daya alam yang hidup di laut wilayah Papua. Kewenangan untuk mengelola

sumber daya alam yang hidup di laut meliputi: konservasi dan pengelolaan sumber

daya alam di laut; pengaturan administrasi dan perizinan penangkapan dan/atau

pembudidayaan ikan; pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau

kecil; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah laut

Page 324: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

118

yang menjadi kewenangannya; pemeliharaan hukum adat laut dan membantu

keamanan laut; dan keikutsertaan dalam pemeliharaan kedaulatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota berwenang menerbitkan izin

penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di laut sekitar

Papua sesuai dengan kewenangannya.

Pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut dilakukan dengan memperhatikan

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.

16. Perdagangan dan Investasi.

Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota menjamin pelaksanaan

perdagangan internal di Papua bebas dari hambatan. Penduduk Papua (diutamakan

OAP) dapat melakukan perdagangan secara bebas dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia melalui darat, laut dan udara tanpa hambatan pajak, bea, atau

hambatan perdagangan lainnya, kecuali perdagangan dari daerah yang terpisah dari

daerah pabean Indonesia. Setiap pelaku usaha di Papua dapat membentuk

organisasi, asosiasi profesi, dan asosiasi bisnis yang berbasis lokal dan mandiri.

Penduduk di Papua dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan

internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya,

dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi

dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan

impor dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara

nasional.

Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya

dan berdasarkan norma, standar, dan prosedur yang berlaku nasional berhak

memberikan: izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum; izin konversi

kawasan hutan; izin penangkapan ikan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis

pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan

satu per tiga dari wilayah kewenangan daerah provinsi untuk daerah

kabupaten/kota; izin penggunaan operasional kapal ikan dalam segala jenis dan

ukuran;

izin penggunaan air permukaan dan air laut; izin yang berkaitan dengan pengelolaan

dan pengusahaan hutan; dan izin operator lokal dalam bidang telekomunikasi.

Pemberian izin harus mengacu pada prinsip-prisip pelayanan publik yang cepat,

tepat, murah, dan prosedur yang sederhana. Ketentuan lebih lanjut mengenai

pemberian izin diatur dengan Perdasus. Pemerintah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dapat menyediakan fasilitas perpajakan berupa keringanan

pajak, pembebasan bea masuk, pembebasan pajak-pajak dalam rangka impor barang

modal, dan bahan baku ke Papua dan ekspor barang jadi dari Papua, fasilitas

investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah Papua.

17. Pertahanan (TNI)

(1) Tentara Nasional Indonesia bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan

negara dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi memelihara,

melindungi dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan

Page 325: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

119

Republik Indonesia dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

(3) Pelaksanaan tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti

penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana

perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah

berkonsultasi dengan Gubernur Papua.

(4) Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Papua tetap menjunjung

tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya

serta adat istiadat Papua.

(5) Tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Papua

diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(6) Peradilan terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), dilakukan secara terbuka dan dibuka untuk umum, kecuali

peraturan perundang-undangan menentukan lain.

18. Keamanan (Kepolisian)

(1) Kepolisian di Papua merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

(2) Kepolisian di Papua bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan

melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

(3) Kebijakan ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Papua dikoordinasikan

oleh Kepala Kepolisian Daerah Papua kepada Gubernur.

(4) Pelaksanaan tugas kepolisian di bidang ketenteraman dan ketertiban

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan oleh

Kepala Kepolisian Daerah Papua kepada Gubernur.

(5) Kepala Kepolisian Daerah Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Papua dalam kerangka

pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(6) Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

(7) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara

tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat

permintaan persetujuan diterima.

(8) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kepolisian Republik Indonesia

mengangkat Kepala Kepolisian Daerah Papua.

(9) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia mengajukan satu kali lagi calon lain.

(10) Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Papua dilakukan oleh Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(11) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan keamanan, Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia dapat mengangkat pejabat sementara Kepala

Kepolisian di Papua sambil menunggu persetujuan Gubernur.

(12) Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik

Indonesia di Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Papua dengan memperhatikan

ketentuan hukum, dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur

Papua.

Page 326: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

120

(13) Pendidikan dasar bagi calon bintara dan pelatihan umum bagi bintara Kepolisian

Papua diberi kurikulum muatan lokal dan dengan penekanan terhadap budaya

dan adat istiadat di Papua dan hak asasi manusia.

(14) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

berasal dari Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

(15) Penempatan bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar

Papua ke wilayah hukum Kepolisian Daerah Papua dilaksanakan atas Keputusan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan

kebutuhan, hukum, budaya, dan adat istiadat.

19. Kejaksaan

(1) Kejaksaan di Papua merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik

Indonesia.

(2) Kejaksaan di Papua melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang

penegakan hukum .

(3) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung

dengan persetujuan Gubernur.

(4) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara

tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat

permintaan persetujuan diterima.

(5) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung mengangkat Kepala

Kejaksaan Tinggi Papua.

(6) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan Jaksa Agung mengajukan

satu kali lagi calon lain.

(7) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung.

(8) Seleksi dan penempatan jaksa di Papua dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan

memperhatikan ketentuan hukum, budaya, dan adat istiadat Papua.

20. Pertanahan

(1) Setiap warga negara Indonesia yang berada di Papua memiliki hak atas tanah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur

dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan

dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak

yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan

prosedur yang berlaku secara nasional.

(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kewenangan

Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan hak

guna bangunan dan hak guna usaha sesuai dengan norma, standar, dan prosedur

yang berlaku.

(4) Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota wajib melakukan

pelindungan hukum terhadap tanah-tanah wakaf, harta agama, dan keperluan

suci lainnya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak atas tanah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan

Perdasi yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.

Page 327: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

121

(6) Pemerintah Papua berwenang memberikan hak guna bangunan dan hak guna

usaha bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing sesuai

dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi Papua.

21. Hak Asasi Manusia

Masalah hak-hak asasi manusia (HAM) muncul karena manusia yang satu

menindas dan memperbudak manusia yang lain dari masa ke masa sejak manusia

berada di permukaan bumi, padahal manusia mempunyai kedudukan, harkat dan

martabat yang sama. Perhatian terhadap masalah HAM sebenarnya telah dilakukan

ribuan tahun yang silam oleh bangsa-bangsa seperti Jahudi, Yunani, Babylonia,

Romawi dan Inggris, dituangkan dalam Al-Quran, Alkitab, bahkan telah dilakukan

oleh masyarakat-masyarakat (hukum) adat.

Perlawanan terhadap eksploitasi manusia satu sama lain sebenarnya telah

dilakukan bersamaan dengan keberadaan manusia itu sendiri, tetapi hal itu

dipandang sebagai bagian dari gerakan moral, dan agama, bukan sebagai masalah

juridis. Pengaturan tentang HAM secara juridis diawali dengan lahirnya Magna

Charta di Inggris, 12 Juni 1215. Kelahiran Magna Charta diikuti dengan pernyataan-

pernyataan tentang HAM seperti: Hobeas Corpus Act, 1679; Bill Of Rights, 1689;

Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1787; Deklarasi tentang Hak-Hak

Warga Negara di Perancis Tahun 1789 dan pernyataan-pernyataan lainnya.

Hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika

Serikat maupun Deklarasi tentang Hak-Hak Warga Negara dari Perancis

sebagaimana disinggung di atas sebenarnya berasal dari pemikiran atau gagasan

John Locke. John Locke dalam teori hak-hak kodrati (natural rights theory)

mengatakan bahwa setiap individu oleh alam diberikan hak hidup, kebebasan dan

hak milik yang tidak dapat dicabut oleh negara. Natural rights theory ini sebenarnya

berasal dari teori hukum kodrati (natural law theory) yang dikemukakan oleh

Thomas Aquinas. Hugo de Groot (Grotius) yang mempopulerkan natural law

theory setelah mengeluarkan unsur-unsur Ketuhanan. Teori hak-hak alam ditentang

oleh Edmund Burke, Jeremy Benthan dan John Austin, tetapi pendapat John

Locke muncul di akhir Perang Dunia Kedua, sebab dalam perang ini hampir

memusnahkan umat manusia di dunia.

Babak baru yang terjadi pada pertengahan abad ke dua puluh adalah

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Piagamnya yang terdiri atas 111(seratus

sebelas ) pasal itu, 40 (empat puluh) pasal di antaranya nengatur tentang hak-hak

asasi manusia. Ketentuan-ketentuan mengenai HAM dalam Piagam PBB telah

dijabarkan melalui The Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) Tahun 1948.

UDHR dijabarkan lagi dalam The International Covenant On Civil And Political

Rights (ICCPR) dan The International Covenant On Economic, Social And Cultural

Rights (ICESCR) tahun 1966 dan mulai berlaku tahun 1976.

ICCPR dikenal sebagai hukum HAM generasi pertama; dan ICESCR biasa

disebut sebagai hukum HAM generasi kedua. Hukum HAM dalam perkembangannya

muncul HAM generasi ketiga yaitu hak-hak kolektif yang meliputi: hak penentuan

nasib sendiri; hak atas pembangunan; hak atas kekayaan dan sumber daya alam;

serta hak atas lingkungan hidup.

Page 328: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

122

Negara-negara di benua Eropa, Amerika, Afrika, dunia Arab juga mengumumkan

konvensi atau deklarasi mengenai HAM yang berlaku pada kawasan-kawasan dunia

tersebut, disamping berlakunya hukum HAM bersifat global yang telah disebutkan

sebelumnya.

Perang Dunia Kedua setelah berakhir, maka terjadi perubahan peta politik dunia,

di mana negara-negara di belahan bumi Afrika, Asia, Timur Tengah dan Pasifik

berangsur-angsur memperoleh kemerdekaan. Negara-negara yang baru merdeka ini

sesuai perkembangan zaman mencantumkan masalah HAM dalam undang-undang

dasar negaranya masing-masing, termasuk Indonesia.

Masalah HAM dewasa ini telah menjadi isu global sebab bersifat universal dan

transparan.

Hak-hak asasi manusia bersifat universal sebab terdapat di segala tempat dan

waktu. Sifat universal ini nampak melalui martabat manusia, kebebasan, persamaan

dan keadilan yang yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak-hak asasi manusia

berlaku untuk semua orang tanpa memandang suku-bangsa, status, jender atau

perbedaan lainnya. Sifat HAM yang universal ini ditegaskan dalam Bab I Ayat (5)

Deklarasi Wina Tahun 1993 sebagai berikut:

All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated.

The international community must treat human rights globally in a fair and equal

manner, on the same footing, and with the same emphasis. While the significane of

national and regional particularities and various historical, cultural and religious

backgrounds must be borne in mind, it is the duty of States, regardless of their

political, economic and cultural system, to promote and protect all human rights

and fundamental freedoms.

Pandangan bahwa HAM bersifat universal disangkal oleh teori relativisme

budaya (cultural relativism). Inti teori ini adalah HAM berbeda satu sama lain di

berbagai tempat di dunia sesuai budaya setempat yang berkembang dari masa ke

masa. Menurut Boer Mauna mengatakan bukan saja aspek budaya tetapi berbagai

aspek lain seperti sejarah, sosial, latar belakang politik, agama, dan tingkat

pertumbuhan ekonomi menyebabkan HAM belum dilaksanakan secara efektif di

berbagai negara.

HAM bersifat transparan sebab apabila terjadi pelanggaran terhadap salah satu

aspek HAM terutama hak-hak sipil dan politik di suatu negara atau pada kawasan

dunia tertentu, maka negara-negara lain atau seluruh dunia akan berbicara atau

mengecamnya seakan-akan terjadi di negaranya masing-masing.

HAM dikaji dari aspek hukum berarti berbicara tentang bagaimana HAM

seharusnya dilaksanakan (das sollen), bukan HAM itu telah dilaksanakan (das sein).

HAM sebagai das sollen diatur dalam hukum (internasional dan nasional). Hukum

dalam bentuk piagam (charter), resolusi (resolution), deklarasi (declaration),

kovenan atau konvensi (covenant atau convention), undang-undang dasar

(constitution), undang-undang (act) dan dalam bentuk hukum yang lain.

Tanggungjawab mengenai HAM yang das sein pada dasarnya diberikan kepada

negara. Bentuk tanggungjawab itu dikelompokkan menjadi: menghormati (to

respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), memajukan (to promote) dan

menegakkan (to enforce) HAM. Hal ini berpedoman kepada sistem hukum HAM

internasional yang menempatkan negara sebagai aktor utama yang mempunyai

kewajiban dan tanggungjawab (duty holders), sedangkan individu, kelompok, rakyat

Page 329: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

123

yang berkedudukan sebagai pemegang hak (right holders). Negara diberi kewajiban

atau tanggungjawab (obligation or responsibility) untuk melaksanakan hak-hak

rakyatnya yang diatur oleh hukum.

Hukum HAM merupakan bagian dari hukum internasional. Hukum HAM sebagai

bagian dari hukum internasional, maka sumber hukumnya adalah Pasal 38 ayat (1)

Statuta Mahkamah Internasional (SMI), namun dikaji dari aspek sejarah dan sifat

HAM sebagaimana disinggung di atas, maka sumber hukum HAM ada yang dalam

bentuk hukum internasional dan hukum nasional.

Berpedoman kepada ketentuan Pasal 38 ayat (1) SMI, maka sumber-sumber

hukum HAM internasional yang terpenting adalah: 1. The Charter of United Nations;

2.The International Bill of Human Rights yang terdiri dari: a. UDHR ; b. ICCPR ;

c.ICESCR. Hukum internasional mengenai HAM yang lainnya dijabarkan dari

sumber-sumber hukum HAM ini.

Hukum HAM juga diatur di berbagai kawasan dunia seperti Eropa, Amerika,

Afrika, dan dunia Arab yang berlaku di kawasan-kawasan dunia tersebut, di

samping berlakunya hukum HAM Internasional bersifat global sebagaimana

disebutkan sebelumnya.

Setiap negara biasanya mengatur masalah HAM dalam hukum nasionalnya baik

dalam undang-undang dasar, undang-undang dan atau bentuk hukum nasional yang

lain. Misalnya, Indonesia mengatur hukum nasional mengenai HAM dalam:

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan

Pengubahannya; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan 5.hukum nasional lainnya.

Berpedoman pada uraian di atas maka dapat dipahami bahwa HAM diatur

dalam berbagai instrumen hukum (internasional, regional dan nasional) dalam

bentuk deklarasi, resolusi, konvensi, undang-undang dasar, undang-undang dan

sebagainya yang menyangkut hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan

hak-hak kolektif . Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa bahwa jenis

atau cabang dan bentuk hukum yang mengatur masalah HAM berbeda satu sama

lain, tetapi muatan, isi, materi atau ketentuan mengenai HAM adalah sama.

Pelaksanaannya dapat berbeda yang disesuaikan dengan kemajuan suatu negara di

bidang ekonomi, sosial, politik, sejarah dan idiologi dari negara yang bersangkutan.

Pernyataan di atas didukung dengan menampilkan contoh dalam tabel di bawah

dengan menampilkan ketentuan-ketentuan UDHR dan Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:

NO KETENTUAN-KETENTUAN/

ISI/MATERI

PASAL-PASAL

UDHR UU/39/1999

I. Persamaan Harkat, Martabat, dan Derajat

Manusia

1-2 2-3

II. Hak-Hak Sipil

1. Hak hidup, kebebasan dan kesamaan 3 3-4,9

Page 330: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

124

2. Bebas dari perbudakan dan perhambaan 4 20

3. Bebas dari penyiksaan atau perlakuan

maupun pidana yang kejam, tak

berperikemanusiaan ataupun

merendahkan derajat manusia

5 33

4. Hak untuk memperoleh pengakuan dan

perlakuan yang sama di depan hukum

6-11 17

5. Hak jaminan keselamatan dan keamanan

pribadi, keluarga, tempat tinggal, surat

menyurat, perlindungan terhadap nama

baik

12 29-32

6. Hak untuk memperoleh suaka politik dan

bebas memilih kewarganegaraan

13-15 26-28

7. Hak berkeluarga dan mempunyai hak

milik

16-17 10-11

8. Hak beragama, berkeyakinan dan

beribadat

18-19 22

III. Hak-Hak Politik

1. Hak berkeyakinan politik dan

mengeluarkan pendapat

23

2. Hak berhimpun dan berserikat,

mendirikan partai politik

20 24

3. Hak untuk mengambil bagian dalam

pemerintahan dan hak akses yang sama

terhadap pelayanan masyarakat

21 43-44

IV. Hak-Hak Ekonomi

1. Hak atas jaminan sosial 22 41

2. Hak bekerja, hak atas upah yang sama

untuk pekerjaan yang sama, hak untuk

bergabung dalam serikat-serikat buruh

23 38-39

3. Hak atas istirahat dan waktu senggang 24 -

4. Hak atas tempat tinggal dan standar

hidup yang layak

25:1 40,42

5.

Perlindungan ekonomi terhadap anak-

anak dan ibu-ibu

25:2 49,62

V. Hak-Hak Sosial

1. Hak atas pendidikan 26 12,48,60

2. Hak atas kesehatan 25:1 42

VI. Hak-Hak Kebudayaan

1. Hak untuk berpartisipasi dalam

kehidupan kebudayaan masyarakat

27 6

Page 331: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

125

VII Kewajiaban Hak Asasi Manusia(KAM)

Suatu negara atau masyarakat tertib, aman,

tentram, apabila semua warga (negara)

menghormati hak asasi manusia satu sama

lain

29-30 67-70

Uraian di atas menunjukkan bahwa HAM bersifat universal dan transparan

sehingga bentuk hukum berbeda, tetapi isi atau materi HAM sama.Setiap negara

mempunyai tanggungjawab (responsibility) dan berkewajiban(obligation) untuk

menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), memajukan

(to promote) dan menegakkan (to enforce) HAM. Dengan dalam undang-undang

Otonomi khusus Papua in,pengaturan HAM diatur secara singkat yang

pelaksnaannyan berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum internasional dan

hukum nasional.

22. Peradilan Adat

1. Tinjauan terhadap Eksistensi Peradilan Adat

Konsep negara hukum (rechstaat atau rule of Law) adalah konsep yang

menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan

berbangsa-bernegara. Berdasarkan hal ini, maka konsep negara hukum tidak bisa

dipisahkan dari entitas negara sebagai struktur sosiopolitik makro yang memiliki

kuasa atas seluruh warga negara yang ada di dalamnya, ermasuk kekuasaan

dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai dasar dari negara tersebut.

Sehingga, jika membicarakan konsep negara hukum atau supremasi hukum, maka

sejatinya kita sedang embicarakan konsep supremasi hukum negara (the rule of

the state laws). Di sisi lain, realitas struktur sosio-politik masyarakat Indonesia

sangatlah plural dan heterogen, karena ada begitu banyak kelompok-kelopmpok

entitias sosio-politik mikro yang terbentuk di masyarakat yang kehidupan dan

ubungan antar manusia di dalamnya didasarkan pada hukum di luar hukum

negara yang mereka buat sendiri. Salah satu contoh utama dari kelompok

masyarakat seperti ini adalah masyarakat adat yang sudah ada eksistensinya jauh

sebelum Negara Indonesia didirikan. Konstitusi Indonesia (UUD 1945) di pasal

18B ayat 2 secara tegas mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak

tradisionalnya. Namun, sebagai konsekuensi konsep negara hukum, pengakuan

dan perlindungan atas eksistensi masyarakat adat dilakukan dalam konstruksi

hukum positif negara, sedangkan eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya

adalah suatu hal yang hidup dalam konstruksi hukum adat yang sama sekali

berbeda dan dalam banyak hal kontradiktif dengan hukum negara.

Suatu keniscayaan bahwa Keberadaan dan ekstensi peradilan adat di

masyarakat telah lama di akui. Namun dalam praktiknya, hukum adat justru tidak

terkandung dalam sistem peradilan atau hukum formal. Sehingga terkadang

masih banyak masyarakat kurang memahami. Jadi, tidaklah mengherankan masih

terdapat pro dan kontra terhadap penyelesaian hukum yang menggunakan

hukum adat. Pertanyaannya, "akankah hukum adat dapat dimasukkan ke dalam

praktik peradilan formal.

Page 332: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

126

Indonesia adalah Negara dengan masyarakat majemuk yang sejak dulu

menyadari bahwa dengan kemajemukannya dipersatukan dalam Landasan

Ideologi Pancasila dimana memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika

yaitu “berbeda-beda tetapi tetap satu”, yang berarti bahwa meskipun berbeda

agama, suku, ras dan golongan namun merupakan satu kesatuan dalam bingkai

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan Landasan Idiil bangsa

Indonesia, falsafat dan pandangan hidup bangsa. Oleh karenanya harus menjadi

landasan pijak dalam kehidupan bernegara tanpa tendensi ataupun pemahaman

dan pemikiran sempit yang mengarahkan kita pada ego suku dan agama yang

berimbas pada disintegrasi bangsa. Selain itu Indonesia juga merupakan Negara

hukum, dimana hukum menjadi panglima setiap gerak langkah kita dalam Negara

ini. Dan Negara merupakan penjamin hak agar masyarakat merasa terlindungi

untuk melaksanakan haknya dalam bingkai kemajemukan atau pluralisme.

Pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya maupun

politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni

kelompok atau aliran keagamaan, serta menegasikan pemusatan kekuatan sosial

pada satu kelompok atau aliran.Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui

sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka

Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi

keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai

kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan.

Paham “berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk

didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara

konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya

ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan. (Budiman, 1999, 5-9

dalam Magdalia Alfian : 2010).Yang menjadi persoalan adalah bagaimana konsep

tersebut dapat diterjemahkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan

bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggal-

ikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu

unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara. Dalam

konteks ini sering yang menjadi isu utama dalam aras politik bangsa kita ialah

konflik antara masyarakat adat dan pemerintah ataupun masyarakat adat dengan

pengusaha. Yang menyedihkan adalah yang selalu menjadi korban ketidak adilan dan tindakan kekerasan adalah masyarakat adat yang minim akses untuk memeperoleh keadilan. Meskipun keberadaan masyarakat adat ini diakui dalam

konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 18 B, namun pengakuan ini juga dianggap

pengakuan sepihak dan setengah hati. Karena masih ada kalimat pengecualian

yaitu “ sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”. Hal inilah yang selalu, menjadikan dilemma

bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak adatnya.

Kenyataannya bagi masyarakat Indonesia, konsep peradilan ternyata

bukanlah hal yang baru dikenal setelah masuknya hukum kolonial. Jauh sebelum

kedatangan bangsa-bangsa lain, yang menawarkan sistem hukumnya, di semua

komunitas masyarakat di wilayah Nusantara, telah berlangsung proses

“menyelesaikan sengketa” berdasarkan mekanisme yang beragam yang bertujuan

untuk “mengembalikan keseimbangan sosial” melalui pemberian keadilan kepada

para pihak. Prosesnya berlangsung dan terkelola oleh lembaga-lembaga adat atau

Page 333: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

127

lokal, yang dari segi bentuknya sangat beragam. Ada yang berada dibawah

kewenangan lembaga yang khusus, sedangkan di sebagian tempat lainnya

diselenggarakan oleh lembaga yang tidak secara khusus menangani sengketa.

Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang lama, maka jejak-jejak

yang menggambarkan keberadaannya masih bisa dilacak. Di beberapa tempat,

malah bentuk nyatanya masih bisa disaksikan dan terus dipraktekkan hingga

sekarang. Ternyata, upaya intervensi dan penundukan sistem peradilan adat,

tidak terlalu berhasil meminggirkan praktek ini dari keseharian masyarakat.

Kenyataan ini membuktikan, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini

sungguh sangat luar biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi

pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya

berada pada aras kebijakan, tetapi sekaligus juga pada aras yang lebih praksis

melalui tindakan nyata di lapangan oleh aparat hukum negara, stigmatisasi

negatif dan pelucutan kepercayaan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan

seperti ini, peradilan adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Meskipun

potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas msyarakat belum

memiliki interaksi dengan budaya luar, kenyataan tersebut tidak mengurangi

nilai dari kemampuan ‘survival’-nya. Pilihan sikap masyarakat terhadap sistem

nilai yang dimilikinya, mungkin menjadi kunci atas tetap eksisnya sistem ini.

Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, pengaruhnya bisa

dieliminir, sepanjang masyarakat – sebagai pemangku sistem tersebut - secara

sadar bersedia menjadikannya sebagai pilihan yang utama. Faktor lain yang

menyebabkan tetap eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat, adalah

sifat fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Dicibir sesinis apapun oleh

kelompok-kelompok dominan dari luar komunitas, fungsionalitasnya tidak

berkurang dalam memproduksi keadilan, keteraturan dan ketentraman bagi

warganya, sehingga membuatnya sangat layak - untuk dipercaya dan dipegang

teguh oleh komunitas pemangkunya.

Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat,

peradilan adat mengemban peran penting bagi peradaban komunitas adat di

Indonesia. Peradilan Adat berfungsi sebagai pilar penjaga keseimbangan

hubungan sosial dan kearifan lokal, misalnya, menjaga harmonisasi hubungan

antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian Peradilan Adat bukan hanya

pilar penyeimbang, tetapi juga entitas budaya masyarakat adat. Pasang surut

eksistensi Peradilan adat tidak terlepas dari kuatnya pengaruh positivisme

hukum dalam cara pikir penyelenggara negara. Cara pikir ini sangat

mengagungkan formalitas legal, dan dengan demikian memaklumkan tidak ada

pengadilan lain, selain Peradilan negara. Akibatnya, peradilan adat yang ada sejak

ratusan tahun lalu dihapus dari sistem hukum Indonesia. Padahal von Savigny (W.

Friedmann 1967: 211) mengemukakan beberapa pendapat tentang hukum

diantaranya: pertama, hukum ditemukan, bukan dibuat. Pertumbuhan hukum

merupakan proses yang tidak disadari dan organis, akibatnya perundang-

undangan kurang penting dibandingkan adat kebiasaan. Kedua, Undang-undang

tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat

mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat

istiadat dan konstitusi yang khas, sehingga Volksgeist (Jiwa Bangsa) akan terlihat

dalam hukumnya.

Page 334: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

128

Eksistensi peradilan adat tidak dapat dilepaskan dari masyarakat hukum

adatnya. Mengenai konsep dasar tentang Masyarakat Adat itu sendiri, yang paling

klasik bisa dirujuk pada apa yang dikemukakan oleh Ter Haar (1979: 27) dengan

konsepnya yang disebut sebagai adatrechts-gemeenschap (masyarakat hukum

adat), yakni masyarakat hukum dari golongan masyarakat Indonesia asli yang

terikat dalam satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai satu

kesatuan organisasi menurut tingkah laku tertentu, di mana segala sesuatu dalam

kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu

aturan tertentu (yang tiada lain adalah aturan hukum adat). Lebih jauh, Hazairin

(dikutip Simarmata: 36) mengungkapkan bahwa masyarakat-masyarakat hukum

adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatra Selatan, nagari di Minangkabau, kuria

di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan masyarakat

yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang

mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup

berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Sehingga,

dari uraian mengenai konsep masyarakat (hukum) adat di atas bisa dikatakan

bahwa masyarakat adat adalah suatu masyarakat hukum sebagai suatu institusi

politik yang mandiri (mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada institusi

sosial yang lebih besar) beserta segala macam perangkat kelembagaan yang ada

yang pembentukan dan kehidupan di dalamnya didasarkan pada aturan hukum

adat yang hidup dalam masyarakat tersebut. Berangkat dari sini, maka kiranya

jelas bahwa kehidupan masyarakat adat pada dasarnya tidak bertumpu pada

keberadaan negara beserta kelengkapan hukum negaranya, melainkan bertumpu

pada aturan hukum adat mereka. Sehingga, setiap hak yang lahir dan eksis, baik

itu hak kolektif maupun hak perseorangan, dalam suatu komunitas masyarakat

adat disebabkan karena adanya aturan hukum adat dalam komunitas masyarakat

tersebut.

2. Kedudukan Peradilan Adat di Indonesia.

Secara yuridis, dikenal ada dua macam penyelesaian perkara dalam masalah

hukum, yang pertama dikenal dengan penyelesaian litigasi, dan kedua yang

dikenal dengan non litigasi. Maksud yang pertama adalah penyelesaian di depan

pengadilan1, seperti penyelesaian perkara di Peradilan Umum, Peradilan Agama

atau Mahkamah Syar‟iyah, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan bentuk tersebut dikelola oleh negara, dan sering disebut dengan nama

governement judicial system2. Kemudian maksud yang kedua yaitu penyelesaian

perkara di luar pengadilan seperti arbitrase, mediasi Pengadilan seperti ini

dikenal dengan sebutan native administration of justice, village administration of

justice, indigenous system of justice, religious tribunals dan village tribunal Tahun

1935 merupakan titik awal bagi pengadilan non litigasi yang diakui oleh koloni

Belanda lewat Statblaad 1935 No. 102. Pengakuan ini didorong oleh bentuk

politik balas budi yang diperankan oleh Belanda terhadap wilayah jajahannya.

Kebijakan politik demikian ternyata juga memberi peluang positif terhadap

bentuk peradilan yang tidak dikelola oleh negara. Dengan demikian, melalui

kebijakan tersebut dapat ditegaskan bahwa Belanda telah mengakui keberadaan

Peradilan Adat dan Peradilan Agama saat itu, meskipun pengakuan tersebut

masih bersifat terbatas, seperti hakim-hakim adat tidak diperbolehkan

menjatuhkan hukuman. Bukan hanya Peradilan Desa yang diakui, tetapi juga

Peradilan Adat dan Peradilan Swapraja juga turut diakui.

Page 335: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

129

3. Terma Peradilan Adat Atau Pengadilan Adat

Istilah „Peradilan Adat‟ atau „Pengadilan Adat‟ tidak begitu lazim dipakai

oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya. Istilah yang sering

digunakan adalah „sidang adat‟ atau „rapat adat‟ dalam ungkapan khas masing-

masing komunitas. Menariknya, dalam adat tidak dikenal istilah „adil‟, sebab kata

adil itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, pengadilan adat tidak

mengenal keadilan, yang ada hanya ketika dilakukan penyelesaiaan suatu

sengketa dalam masyarakat adat tidak ditujukan untuk menemukan keadilan,

tetapi untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan hubungan

kekeluargaan. Perdamaian dan keseimbangan merupakan muara akhir dari

Peradilan Adat. Musyawarah menjadi metode untuk menemukan perdamaian.

Pelaksanaan ritual tertentu, seperti makan bersama, upacara saling memaafkan

atau mengucapkan ikrar serta pelaksanaan hukuman denda, dimaksudkan untuk

mengembalikan keseimbangan alam fisik dan sosial. Musyawarah dilakukan pada

setiap tingkatan peradilan atau sidang adat. Perdamaian selalu diupayakan ketika

sengketa dimulai diselesaikan di tingkat keluarga. Setiap keluarga dari pihak yang

bersengketa selalu berusaha agar penyelesaian sengketa berakhir pada

musyawarah keluarga. Jika tidak bisa diselesaikan dan akhirnya harus dibawa ke

tingkat kampung, ini akan membuat malu para pihak keluarga, sebab perkaranya

sudah diketahui oleh umum.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Peradilan Adat ini sangat dekat

dengan tradisi musyawarah. Ini dibuktikan oleh banyaknya konsep yang

digunakan oleh sejumlah suku bangsa dengan cara yang beragam, misalnya di

Kalimantan Barat, Pengadilan Adat dikenal dengan istilah ‘beduduk’, di Sumatara

Utara, khususnya Kabupaten Karo dikenal dengan ‘harungguan’, di Sasak dikenal

dengan sebutan ‘bagundem’ atau ‘paras paros sagilik saguluk sabayan taka’ di

Bali. Di Aceh, disebut dengan „peradilan atau „pengadilan adat‟.

Penggunaan istilah tersebut untuk menunjukkan fenomena yang terjadi

dalam masyarakat seperti dalam masyarakat sebagai suatu pranata sosial yang

sangat berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dialami

oleh masyarakat. Penggunaan istilah „Peradilan Adat‟ itu sendiri juga bukan

karena dilihat dari kelembagaan, mekanisme dan fungsinya dalam menyelesaikan

sengketa, melainkan karena secara lembaga adat, lembaga ini sama seperti

dengan lembaga peradilan formal lainnya, hanya saja ada beberapa aspek yang

berbeda seperti pada konsekuensi dan efek hasil.

Pada masa kolonial, kepentingan pemberdayaan lembaga pengadilan adat

menjadi pertimbangan atas kebutuhan lembaga peradilan bagi penduduk asli.

Melalui sejumlah staadblad lembaga ini diberdayakan, diantaranya : a. Staatsblad

no.83/tahun 1881 untuk Aceh Besar; b. Staatsblad no.220/tahun 1886 untuk

Pinuh (Kalimantan Barat); c. Staatsblad no.90/tahun 1889 untuk daerah

Gorontalo Adanya berbagai Staatblad ini tidak kemudian diartikan bahwa

keberadaan lembaga-lembaga ini hanya ditempat-tempat tertentu saja, karena

dalam kenyataannya keberadaan lembaga-lembaga ini ada diberbagai daerah

diseluruh Indonesia. Keberadaan berbagai staatblad ini juga tidak dapat diartikan

bahwa tidak ada campur tangan dari pemerintah kolonial terhadap keberadaan

lembaga ini. Berbagai bentuk campur tangan pemerintah seperti campur tangan

peradilan gubermen yang juga terjadi terhadap berbagai Pengadilan adat

Page 336: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

130

diberbagai wilayah yang terlihat dalam: a. Staadsblad No.80 tahun 1932 tentang

Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak in rechtsstreeks bestuurd gebied

(pengadilan adat).b. Zelfbestuursregelen 19386 tentang pengadilan swa praja

serta c. Staatsblad no.102 tahun 1935 menyisipkan Pasal 3a ke dalam Reglement

Ordonantie yang mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari masyarakat-

masyarakat hukum kecil untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang

menjadi kewenangannya.Kewenangan hakim ini tidak mengurangi kewenangan

para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya kepada hakim.Melalui

staatblad ini maka kedudukan pengadilan desa diakui. Sehingga dalam

kenyataannya selama pemerintahan Kolonial, terdapat dua pengadilan yang pada

dasarnya tidak memiliki perbedaan yang prinsipiil yaitu pengadilan adat dan

pengadilan desa. Terlepas dari pelembagaan yang demikian di Indonesia,

berdasarkan catatan yang dibuat oleh Sonclair Dinnen menunjukan bahwa

mekanisme ini masih berlaku didaerah-daerah pedalaman dibanyak negara

didunia. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain : (a) Terbatasnya akses

masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada; (b) Masyarakat tradisional

didaerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat

berdasarkan hukum tradisionalnya dalam memecahkan permasalahan hukum

yang terjadi. Hal ini merupakan realitas dimana tradisi atau ”custom” masih

berlaku di banyak tempat. Ini juga merupakan realita dimana perubahan

masyarakat kadang kala terbentur batas wilayah, dan bahwa hal ini juga

merupakan kenyataan dimana terdapat daerah-daerah yang masih ”steril”

keberlakukan sistem hukum formal). (c) Tipe pemecahan masalah yang

ditawarkan sistem hukum formal terkadang memperoleh pandangan yang

berbeda dan dianggap kurang memadai dan kurang memenuhi rasa keadilan

masyarakat yang masih memegang tradisi hukum mereka sendiri; (d) Kurang

memadainya infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki oleh sistem hukum

formal menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap kebutuhan rasa

keadilan masyarakat setempat.

Sinclair Dinnen memahami bahwa posisi peradilan adat dalam sistem

hukum formal kerap dipertanyakan, bukan hanya terkait dengan pola

hubungannya bila keduanya akan diterapkan, akan tetapi juga mencakup

sejumlah keraguan berkaitan dengan keberadaan institusi peradilan adat ini

antara lain: (a) Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan adat

dipegang oleh mereka yang sudah tua, dimana kerangka berfikir dari mereka

kerap kali tidak melihat kepada perkembangan kondisi yang ada pada

masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini mempengaruhi putusan yang

mereka buat seperti bahwa putusannya mendiskriminasi perempuan dan anak-

anak (khususnya dalam masyarakat patrilineal); (b) Dugaan bahwa dalam

peradilan adat pun budaya nepotisme dan korupsi rentan terjadi; (c) Kekuatan

memaksa dari putusan peradilan adat kerap kali diragukan; (d) Prinsip dan

tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang

ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda

(dalam hal ini penulis tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan

dampak positif atau pun negatif); (e) Bahwa institusi peradilan adat hanya akan

effektif dan mengikat dalam masyarakat tradiional yang homogen akan tetapi

akan sangat berbeda jika diterapkan dalam lingkup urban-area; Terkait dengan

hal-hal tersebut maka Sinclair menawarkan model ”collaborative approach”

Page 337: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

131

atau hybrid justice system antara peradilan adat dan sistem hukum formal.

Namun demikian dalam implementasinya juga harus melihat kepada: (a) Bahwa

perlakuan diskriminatif tidak lagi diterapkan; (b) Bahwa hukuman yang

dijatuhkan harus melihat kepada perkembangan pemidanaan yang mengacu pada

penghormatan hak asasi manusia; (c) Harus pula dipertimbangkan apakah

mekanisme ini dapat berlaku bagi pelaku tindak pidana yang serius seperti

perkosaan atau pembunuhan; (d) Adanya jaminan kepastian hukum yang dijamin

oleh undang-undang atas setiap putusan yang dibuat melalui jalur informal ini.

Dalam praktik, permasalahan yang dihadapi oleh lembaga kepolisian di

berbagai daerah di Indonesia dalam posisinya sebagai gerbang sub sistem

peradilan pidana adalah banyaknya perkara pidana yang tidak diteruskan karena

telah diselesaikan melalui jalur lembaga adat.10 Di dalam masyarakat yang masih

memegang erat norma adat dalam kehidupannya sehari-hari, keberadaan

lembaga adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa memiliki posisi yang

penting dan menentukan. Karena hukum adat tidak membedakan antara hukum

publik dan privat11 dalam kaidah hukumnya, maka penyelesaian perkara pidana

oleh lembaga adat dapat dianggap sebagai suatu alternatif utama. Hal ini

disebabkan karena penyelesaian yang ditawarkan atas suatu perkara pidana

dapat membawa dampak yang langsung dirasakan oleh mereka yang terlibat

sesuai dengan sifatnya yang terang dan tunai. Maka tak heran dalam kondisi

demikian proses peradilan pidana menjadi terhenti dengan adanya penyelesaian

secara adat tersebut. Karena alasan terhentinya proses pemeriksaan di tingkat

kepolisian bukan berdasarkan hal yang diperkenankan dalam hukum acara

pidana yang berlaku, maka kondisi atau jumlah perkara demikian hampir tidak

dapat ditemui dalam statistik kepolisian. Inisiatif penyelesaian melalui jalur adat

dapat terjadi karena berbagai hal yaitu: (a) atas inisiatif pelaku atau keluarganya,

atau (b) atas inisiatif korban atau keluarganya, (c) saran para ketua adat atau

pejabat desa atau alim ulama atau (d) saran dari pihak kepolisian.

Seperti diketahui bahwa di dalam Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 disebutkan:

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan jaman dan peradaban. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) UU

Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: Dalam rangka penegakan hak asasi

manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus

diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah. Jadi

menurut kedua pasal tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan

memajukan hukum adat dan pengadilan adat. Karena pengadilan adat merupakan

manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka pengabaian, penyingkiran

dan pemusnahannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengakuan

dan penghormatan ini juga bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau

oleh pengadilan negara.

Sampai kini banyak masyarakat, terutama yang tinggal di luar Pulau Jawa,

menggunakan pengadilan adat, karena biayanya murah, tidak bertele-tele dan

sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Seperti kata pepatah Dayak Iban:

Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk, Bepanggal ke Pengingat (berjalan

bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah), maka pengakuan, penghormatan

dan pemajuan pengadilan adat sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia

merupakan langkah pasti menuju peran pengadilan dalam mewujudkan keadilan

substantif.

Page 338: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

132

Diskursus peradilan adat pada dasarnya merefleksikan hubungan negara dan

masyarakat. Hubungan ini dapat dikatakan secara sederhana sebagai sebuah

realitas politik bahwa dalam negara pun sesungguhnya ada ruang untuk

masyarakat. Dalam negara demokrasi, yang dimaksud dengan ruang negara

adalah keseluruhan wewenang dan struktur terkait yang oleh rakyat telah

diserahkan kepada negara untuk diatur. Sedangkan sebagian urusan lain tetap

diurus oleh masyarakat sendiri karena mereka mampu dan akan lebih efektif.

Peradilan adat sebagai salah satu ekspresi keberadaan hukum adat bukanlah

hal baru atau pun yang sudah dilupakan orang di Indonesia. Tapi pertanyaannya

adalah apa itu peradilan adat? Upaya penyelesaian sengketa di tingkat komunitas

masyarakat adat yang dibatasi oleh wilayah dan struktur pengurusan komunitas

mungkin dapat menjadi penjelasan sederhana tentang apa itu peradilan adat.

Menurut rekaman sejarah tertulis, system peradilan telah ada di pulau-pulau

nusantara sejak abad ke-9. Prasasti Bulai dari Rakai Garung dari Kerajaan

Sriwijaya, bertahun 860 telah menyebutkan tentang peradilan adat untuk perkara

perdata. Bahkan sebelum kedatangan budaya Hindu dan Islam berbagai

komunitas masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara telah mengenal sistem

peradilan, meskipun tidak ada bukti sejarah tertulis untuk ini.

Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang lama, maka jejak-

jejak yang menggambarkan keberadaannya masih bisa dilacak. Bahkan di

beberapa tempat bentuk nyatanya masih bisa disaksikan dan terus dipraktekkan

hingga sekarang. Kenyataan ini sekaligus menggambarkan kemampuan bertahan

dari sistem ini terhadap seluruh upaya pemberangusannya. Meskipun potretnya

sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas masyarakat belum memiliki

interaksi yang luas dengan budaya luar. Kenyataan tersebut tidak mengurangi

nilai dari upaya serta kemampuan adaptif dari sistem ini.

Pemerintah kolonial memberikan landasan hukum pengakuan yang berbeda-

beda tentang keberadaan peradilan adat di berbagai tempat di nusantara dengan

mengeluarkan berbagai Staatblaad. Beberapa contohnya adalah Stb. 1881 No. 83

untuk Aceh Besar, Stb 1886 No. 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889

No. 90 untuk daerah Gorontalo. Kemudian pada 18 Februari 1932, pemerintah

kolonial Belanda mengeluarkan Stb. No. 80 yang mencabut dan menggantikan

berbagai ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap peradilan adat, yang

sebagian disebutkan di atas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah

baru. Namun adanya peraturan ini tidak berarti peradilan adat hanya ada di

tempat-tempat yang disebutkan oleh Staatblad tersebut. Nyatanya, peradilan adat

ditemukan di banyak tempat lain di Indonesia. Pengakuan yang diberikan

tersebut juga tidak berarti bahwa pemerintah kolonial membiarkan utuh dan

menghormati sistem peradilan adat ini. Berbagai bentuk campur tangan seperti

yang dilakukannya terhadap peradilan gubernemen juga berlangsung terhadap

peradilan adat di daerah-daerah tersebut. Staatblad. 1935 No. 102 menyisipkan

Pasal 3a ke dalam R.O yang mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari

masyarakat- masyarakat hukum kecil untuk memeriksa dan mengadili perkara-

perkara adat yang menjadi kewenangannya. Kewenangan hakim ini tidak

mengurangi kewenangan para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya

kepada putusan hakim. Dengan disisipkanya pasal ini kedudukan peradilan desa

diakui. Sehingga kemudian selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 bentuk

peradilan bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang tidak

memiliki dasar perbedaan yang prinsipil.

Page 339: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

133

Di alam kemerdekaan, proses intervensi ini berlanjut dengan dikeluarkannya

Undang- Undang Darurat No. 1 tahun 1951 pada tanggal 13 januari 1951, yang

mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan

kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Melalui

ketentuan ini dipertegas niatan untuk mewujudkan unifikasi system peradilan.

Undang-undang ini berisi 4 hal pokok, yaitu: Penghapusan beberapa peradilan

yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan; Penghapusan secara

berangsur-angsur peradilan swapraja di daerah-daerah tertentu dan semua

peradilan adat; Melanjutkan peradilan agama dan peradilan desa, sepanjang

peradilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri atau terpisah dari peradilan

adat; Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat dimana

landgerecht dihapuskan.

Untuk melaksanakan undang-undang ini terkait dengan penghapusan

peradilan adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan untuk

menghapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di Sulawesi, Lombok,

Kalimantan, dan Irian Barat. Tahun 1964 keluar Undang-Undang No. 19 (LN. 1964

No. 107) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat

(1) undang-undang ini menyebutkan bahwa peradilan di wilayah Republik

Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan undang-undang.

Undang-undang ini dicabut dan digantikan oleh Undang-undang No. 14 tahun

1970 (LN. 1970 no. 74).

Dalam Pasal 3 ayat (1) -nya, disebutkan bahwa semua peradilan di wilayah

Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-

undang. Di Pasal 39 disebutkan juga mengenai penghapusan pengadilan adat dan

swapraja yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, sejak hadirnya

undang-undang ini maka pengadilan swapraja dan peradilan adat di Indonesia

tidak diakui lagi. Tetapi usaha untuk mengintervensi dan menundukkan system

peradilan adat ternyata tidak sesukses yang diharapkan. Di banyak komunitas,

proses ini masih berjalan hingga sekarang. Kenyataan ini membuktikan bahwa

kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh luar biasa. Pilihan sikap

masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, mungkin merupakan salah

satu jawaban kunci terhadap kenyataan ini. Faktor lain yang menyebabkan tetap

eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat, adalah sifat fungsional dari

peradilan adat itu sendiri. Fungsionalitasnya tidak berkurang untuk

memproduksi keadilan, keteraturan dan ketentraman bagi warganya.

Bila dilihat pengalaman beberapa komunitas masyarakat adat yang hingga

saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan kepercayaan warga

komunitas inilah yang menjadi daya pemberi hidup bagi keberadaan sistem

peradilan adat di lingkungan mereka. Posisi peradilan adat yang merupakan

bagian dari system sosial masyarakat semakin mempertinggi kemampuan

bertahan dari sistem ini. Hal ini dapat dilihat dari tujuan dasar peradilan adat

yang umumnya untuk menjaga harmoni dalam komunitas masyarakat adat, dan

pemahaman akan konsep keadilan mereka yang tidak semata-mata bersifat

material. Ada contoh kontemporer tentang sistem peradilan adat yang masih

diketahui, dijalankan, dan sampai tingkat tertentu masih dipatuhi oleh anggota

komunitas masyarakat adat.

Di daerah Kei Maluku Tenggara misalnya dikenal hukum Larwur Ngabal yang

berlaku di seluruh wilayah Kei. Ketentuan ini masih sangat kuat. Saat ini Larwur

Nagabal ini terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu: Nevnev, yang terdiri dari

Page 340: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

134

tujuh pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan dan tindakan yang

menyakiti, mencelakai, menghancurkan dan mematikan manusia; Hanilit, yang

terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal tambahan tentang kesusilaan, serta; Hawaer

batwirin, yang terdiri dari tujuh pasal mengenai kepemilikan. Hukum ini menjadi

satu-satunya hukum sebelum munculnya hukum agama dan negara yang

ditegakkan oleh Raut (raja) dan Soa (setingkat kadus), yang kewenangan

penyelesaiannya didasarkan pada berat-ringannya perkara. Prosesnya sendiri

berawal dari laporan kepada pemimpin adat oleh orang yang merasa haknya

dilanggar. Selanjutnya pemimpin adat menghubungi pihak-pihak yang berperkara

dan menentukan hari persidangan. Pada waktu persidangan pihak-pihak yang

berperkara hadir dengan saksi masingmasing. Sidang dipimpin oleh pemimpin

adat didampingi Dewan Adat. Dalam perkara pelanggaran susila, perempuan

hanya boleh diperiksa oleh beberapa perempuan yang dituakan.

Dalam prakteknya, Larwur Ngabal mengandung dua sanksi, yakni sanksi

kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhunin, semacam hukum karma.

Sanksi inilah yang diyakini akan diterima oleh pihak yang mengelabui proses

persidangan, sehingga berhasil lolos dari sanksi kebendaan. Sanksi Kevhunin ini

tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi

semua pihak yang ikut dalam proses persidangan. Kenyataan di beberapa daerah

lain menunjukkan tidak semua peradilan adat memiliki daya tahan yang sama

seperti peradilan adat di atas. Daerah yang berdekatan dengan wilayah

perkotaan, sistem peradilan adatnya sudah tidak lagi tampak.

Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah alternatif

sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam sistem

peradilan nasional Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk

menyelesaikan sengketa di peradilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan

atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat

yang bisa memaksakan penegakannya. Namun, sejumlah kelemahan yang saat ini

ditemukan pada peradilan adat, lebih disebabkan karena tidak adanya pengakuan

negara terhadap eksistensinya. Persoalan yang penting untuk dijawab negara

dalam hubungannya dengan masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi

ruang dengan masyarakat dalam hal-hal tertentu. Misalnya di bidang hukum dan

peradilan, dengan penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib

sosial dan tercapainya kesejahteraan. Upaya menemukan sebuah sistem hukum

yang dapat menjamin secara setara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam

realitas sosial yang demikian beragam seperti Indonesia memang bukanlah

persoalan mudah. Namun, kesulitan tidaklah pantas untuk dijadikan alasan

pembenaran penyeragaman seluruh konsep hidup masyarakat di Indonesia.

Alasan utama adalah bahwa tindakan itu merupakan refleksi upaya mekanisasi

manusia, membuat manusia seperti mesin yang dapat dikendalikan oleh sebuah

pusat kontrol, yang dalam komputer kita kenal sebagai central processing unit.

Hal itu juga mengingkari prinsip bahwa setiap kelompok masyarakat,

sebagaimana individu, sesungguhnya memiliki kapasitas membangun

otonominya sendiri dalam mengurusi urusan-urusan yang dapat dibereskan

sendiri. Di sini terkandung unsur meringankan beban negara. Pola hubungan

inilah yang mesti terus dibangun dan bukannya diberangus.

Bila ditelusuri tentang beberapa dasar hukum pemberlakuan Peradilan Adat

di Indonesia, maka yang pertama kali ditinjau adalah keberadaan dengan

dicantumkannya Pasal 18.B ayat (2) dan Pasal 28.I ayat (3) dalam UUD 1945

Page 341: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

135

maka pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional kesatuan

masyarakat hukum adat semestinya diderivasi dalam peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-undang Dasar, yaitu pada level undang-undang.

Sesuai dengan teori hirarki norma48, undang-undang tidak boleh mengatur hal

yang bertentangan dengan jiwa atau prinsip yang dianut dalam Undang-undang

Dasar. Dengan diakuinya hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat

(termasuk kekuasaan mengadili) dalam UUD 1945, semestinya eksistensi

peradilan adat juga mendapat pengakuan dalam undang-undang. ”Pengakuan”

yang dimaksudkan di sini adalah pengesahan formal terhadap suatu entitas

(dalam hal ini peradilan adat) yang mempunyai status khusus.

Sebagai istilah teknis yuridis, istilah “peradilan adat” secara resmi digunakan

dalam beberapa undang-undang. Yang terbaru dan paling ekplisit menyebutkan

istilah ”peradilan adat” dalam pasal-pasalnya adalah Undang-undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Istilah “peradilan

adat” juga disebutkan dalam penjelasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004

tentang Perkebunan di mana disebutkan bahwa peradilan adat sebagai salah satu

unsur yang menjadi indikator bahwa suatu masyarakat hukum adat dalam

kenyataannya masih ada. Jauh sebelumnya, istilah “peradilan adat” dan

“pengadilan adat” digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun

1951. Walaupun kedua istilah tersebut sesungguhnya dapat dibedakan

pengertiannya, yaitu ”peradilan adat” menyangkut proses atau sistem, sedangkan

”pengadilan adat” menyangkut lembaga peradilannya; tetapi Undang-undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tampaknya tidak membedakan pengertian

keduanya, karena kedua istilah tersebut digunakan secara bersamaan dalam

tanpa membedakan pengertiannya. Dalam pasal-pasal undang-undang tersebut,

istilah yang digunakan adalah ”pengadilan adat”, sedangkan dalam penjelasannya

di samping istilah “pengadilan adat” juga digunakan istilah ”peradilan adat”.

Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah suatu undang-undang

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelenggarakan

kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil di Indonesia,

merombak susunan peradilan warisan Pemerintah Hindia Belanda. Undang-

undang inilah yang menghapuskan keberadaan peradilan adat dalam sistem

hukum di Indonesia, yang dibentuk pada jaman kolonial Belanda. Dengan begitu,

untuk memahami konsep peradilan adat yang dimaksudkan oleh Undang-undang

Darurat Tahun 1951 maka perlu dipahami sistem peradilan pada jaman

Pemerintahan Hindia Belanda.

Pada jaman Pemrintahan Hindia Belanda dieknal lima macam peradilan,

yaitu, yaitu: (a) Gouvernements-rechtspraak (Peradilan Gubernemen), (b)

Inheemsche rechtspraak (Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat), (c) Zelfbestuur

rechtspraak (Peradilan Swapraja), (d) Godsdienstige Rechtspraak (Peradilan

Agama) dan (e) Dorpjustitie (Peradilan Desa)49. Dari lima jenis peradilan di atas,

iheemsche rechtspraak oleh beberapa penulis – seperti yang dilakukan oleh

48 Menurut Hans Kelsen, tata hukum merupakan suatu hirarki dari norma-norma yang mempunyai level

berbeda. Kesatuan norma itu disusun secara hirarkis di mana validitas norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi. Norma dasar adalah level tertinggi dalam hukum nasional. Lihat: Jimly Assiddiqie-Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 109.

49H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, (Jakarta: CV Miswar, 1989), hlm. 37.

Page 342: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

136

Tresna50, Sudikno Mertokusumo51, dan H. Irine Muslim52 – diterjemahkan dengan

istilah “peradilan adat” atau “pengadilan adat”, sedangkan penulis lain

menterjemahkannya dengan istilah “peradilan asli”53 atau “peradilan pribumi54.

Dengan demikian, dari perspektif sejarah dapat diketahui bahwa sesungguhnya

yang dimaksudkan dengan “peradilan adat” dan “pengadilan adat” oleh Undang-

undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah inheemsche rechtspraak, yang

menurut perundang-undangan Hindia Belanda adalah peradilan yang

diperuntukkan bagi golongan penduduk pribumi (penduduk asli Indonesia).

Walaupun peradilan pribumi ini mengadili menurut tata hukum adat, tetapi

peradilan ini tetap berada di bawah kontrol Residen (pejabat Pemerintah Hindia

Belanda) yang mempunyai kekuasaan sangat besar, pertama: berkuasa

mengangkat hakim-hakim peradilan pribumi (peradilan adat); yang kedua:

berkuasa menetapkan hukum adat yang diberlakukan55. Selain inheemsche

rechtspraak, dalam masyarakat Indonesia di masa kolonial terdapat peradilan

asli dikalangan golongan pribumi yang disebut dorpjustitie (peradilan desa),

suatu peradilan yang dilaksanakan oleh hakim desa, yang diperankan oleh kepala

desa selaku kepala masyarakat hukum adat. Menurut Hazairin56, hakim desa

adalah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam setiap masyarakat hukum

adat merupakan conditio sine qua non sebagai alat perlengkapan kekuasaan desa

selama desa itu sanggup mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat

keistimewaannya sebagai kesatuan social ekonomi yang berdiri sendiri.

Kekuasaan hakim desa itu tidak terbatas pada kekuasaan mendamaikan saja,

tetapi meliputi kekuasaan memutuskan semua silang sengketa dalam semua

bidang hukum tanpa membedakan antara masalah di bidang hukum pidana,

perdata, publik dan sipil.

Menurut Abdurrahman, tidak ada perbedaan prinsipiil pada dua bentuk

peradilan bagi penduduk pribumi tersebut. Peradilan Desa umumnya terdapat

pada hampir seluruh Nusantara pada masyarakat hukum adat yang bersifat

teritorial, namun peradilan adat ditemukan pada masyarakat hukum adat

teritorial maupun geneologis57. Bagi penulis, peradilan adat dalam pengertian

sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak memiliki suasana dan latar belakang

yang berbeda dengan dorpjustitie (peradilan desa). Walaupun keduanya sama-

sama merupakan peradilan yang mengadili perkara antara orang-orang pribumi,

inheemsche rechtspraak bukanlah peradilan yang dilaksanakan oleh kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat secara mandiri, melainkan suatu peradilan

yang diadakan untuk golongan penduduk pribumi (Indonesia) sebagai

konskwensi dianutnya sistem dualisme hukum berdasarkan penggolongan

50 R. Tresna, Peradilan di Indonesdia Dari Abad Ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 73 51 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942

dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1970), hlm. 52. 52 Ny H. Irene A Muslim, “ Peradilan Adat Pada Masyarakat Daya di Kalimantan Barat”, Pidato

Pengukuhan jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, (Pontianak: Universitas Tanjungpura,15 Juni 1991), hlm. 2.

53 Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 30.

54 Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm. 23. 55 R. Tresna, op.cit., hlm. 73. 56 Hazairin, “Kata Pengantar (Hakim Desa)”, dalam R. Soepomo, Pertautan Peradilan Desa Kepada

Peradilan Gubernemen, terjemahan: Rasjad St. Suleman, (Jakarta: Bhratara, 1972), hlm. 5. 57Abdurrahman, ” Penyelesaian Sengketa Hukum Adat: Antara Peradilan Adat dan Lembaga Adat”,

makalah, tanpa tahun, hlm. 6-9.

Page 343: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

137

penduduk (penduduk golongan Eropa yang tunduk lepada hukum Eropa dan

penduduk pribumi yang tunduk pada hukum adat) dan dikontrol oleh pemerintah

Hindia Belanda. Seperti yang dikatakan oleh Soepomo, inheemsche rechtspraak

tidak lain dari pada sistem peradilan gubernemen yang disederhanakan dan agak

merdeka, yang untuk itu tidak berlaku aturan-aturan pengadilan gubernemen

yang lebih sukar pelaksanaannya dan sifatnya lebih formal. Peradilan pribumi

yang diakui dalam daerah-daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah

Hindia Belanda, juga diatur oleh pemerintah dan pemerintah turut campur dalam

hal itu secara sama seperti peradilan gubernemen biasa58. Berbeda dengan

inheemsche rechtspraak yang diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena

dianutnya politik dualisme hukum, keberadaan peradilan desa diakui sebagai

penghormatan terhadap sistem hukum dan peradilan lokal yang hidup dan

berkembang dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia.

Konsep peradilan adat seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang

termuat dalam Undang-undang Nomor Nomor 21 Tahun 2001. Menurut Pasal 51

ayat (1) undang-undang tersebut, “Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di

lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa

dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga

masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Selanjutnya, dalam ayat-ayat

berikutnya ditegaskan bahwa “Pengadilan adat disusun menurut ketentuan

hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan;...memeriksa dan

mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana...berdasarkan hukum adat

masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Dengan demikian, konsep

peradilan adat yang dimaksudkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 lebih

mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem peradilan yang diselenggarakan

oleh hakim-hakim dalam masyarakat kecil-kecil (hakim desa) yang pada jaman

Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3ª RO dan hingga kini secara yuridis

belum pernah dihapuskan.

Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam

makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan terjemahan inheemsche

rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus

bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi

perbedaan penggolongan penduduk berdasarkan keturunan. Di samping itu,

peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah

dihapus melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah

“peradilan adat” tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan

istilah “peradilan adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1

Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan

adat dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undang-

undang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat

mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam

masyarakat Indonesia saat ini. Konsep ini sesuai pula dengan difinisi peradilan

adat yang dikembangkan oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan

adat adalah “sistem peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh

komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan

58 R. Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, (Jakarta: PradnyaParamita,

1972), hlm. 50-51.

Page 344: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

138

hukum adat, di mana peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem

peradilan negara”59. Dengan menekankan pada batasan bahwa peradilan adat

adalah sistem peradilan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, maka

peradilan adat mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan

terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan

dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan

terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma

hukum tata negara adat setempat60. Peradilan adat merupakan pranata atau

perangkat hukum adat yang keberadaannya merupakan prasyarat bagi eksistensi

kesatuan masyarakat hukum adat setempat61, sehingga termasuk sebagai entitas

yang mendapat pengakuan dan penghormatan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD

1945.

Dengan demikian dapat ditegaskan konsep peradilan adat yang dianut dalam

kajian ini, yaitu suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang hidup

dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili

perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan

masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Perkara-perkara adat yang

diselesaikan peradilan adat meliputi sengketa maupun pelanggaran hukum adat.

Struktur, mekanisme, dan hukum yang digunakan oleh peradilan adat dalam

memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah berdasarkan pada hukum adat

setempat, sehingga mustahil dirumuskan secara seragam mengenai struktur dan

mekanisme peradilan adat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat yang jumlahnya ribuan di seluruh wilayah Indonesia. Penting

ditegaskan, peradilan adat yang dimaksudkan di sini bukanlah bagian dari sistem

peradilan Negara dan bukan pula kelanjutan atau bentuk baru dari peradilan adat

sebagai terjemahan dari inheemsche rechtspraak yang dikenal pada jaman

Pemerintahan Hindia Belanda dan telah dihapuskan melalui Undang-undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dengan begitu, keberadaan peradilan adat dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini adalah suatu fakta pluralisme

hukum62, sebab dalam wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu, di

samping berlaku peradilan formal berdasarkan hukum negara, juga berlaku

sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang majemuk.

Kedudukan Peradilan adat seakan Timbul Tenggelam bahkan terintervensi

dalam Pusaran Arus Kebijakan Pemerintah Kolonial maupun di alam

kemerdekaan. Beberapa catatan berikut ini memberikan gambaran tentang

masalah tersebut. Catatan terpenting bahwa sejarah intervensi terhadap

peradilan adat, sejalan dengan niatan untuk mengubah dan merombak otonomi

komunitas menjadi sebuah sistem yang tidak lagi berdiri sendiri terhadap

struktur masyarakat baru yang diperkenalkan. Proses ini berlangsung seiring

59 Hedar Laujeng, op.cit., hlm. 1. 60 Moh. Mahfud MD., “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945

Menyongsong Globalisasi”, Makalah pada acara Seminar Awig-awig II dengan tema: ‘Pemberdayaan Awig-awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat Yang Sejahtera”, Bali: 30 September 2010, hlm 4-6.

61 Lihat penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. 62 Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah kondisi di mana ada lebih dari satu tertib hukum

yang berlaku di suatu wilayah sosial (sosial field). Lihat: John Griffiths, “What Is Legal Pluralism?”, dalam Journal of Legal Pluralisme and Unofficial Law Number 24 (Published by the Foundation for the Journal of Legal Pluralismm,1986), hlm. 1.

Page 345: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

139

dengan politik penundukan komunitas-komunitas lokal yang otonom ke dalam

sistem, yang hubungannnya terjalin secara hirarkis. Sistem yang hirarkis ini tidak

menghendaki pola hubungan yang horizontal dan setara dengan komunitas lokal.

Meskipun sedikit sekali dokumen yang menjelaskan, namun proses intervensi ini

telah dimulai sejak dikenalnya sistem kerajaan yang memulai meluaskan

pengaruhnya dengan menundukkan komunitas-komunitas di sekitar kota raja.

Perlucutan sistem hukum dan peradilan masyarakat dengan pemberlakuan

hukum kraton terhadap komunitas-komunitas lokal, menjadi bagian dari taktik

dan strategi penundukan.

Masuknya bangsa-bangsa kolonial, melanjutkan sejarah intervensi ini dengan

metode yang lebih terencana dan matang. Sikap dan kebijakan pemerintahan

kolonial pada waktu itu selalu didasari oleh pertimbangan politik. Pertimbangan

seperti ini membuat pemerintah kolonial mengambil langkah dan sikap

penundukan hukum dan peradilan adat pada saat tertentu dan membiarkan serta

mengakuinya pada saat lain3. Pemerintah kolonial memberikan landasan hukum

pengakuan yang berbedabeda., dengan mengeluarkan berbagai Stb yang berisi

pengakuan pada keberadaan peradilan adat diberbagai tempat di Nusantara.

Beberapa contoh adalah Stb 1881 No. 83 untuk Aceh Besar, Stb 1886 No. 220

untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889 No. 90 untuk daerah Gorontalo, Stb.

1906 No. 402 untuk Kepulauan Mentawai, Stb. 1908 No. 231 untuk daerah Hulu

Mahakam, Stb. 1908 No. 234 untuk daerah Irian Barat dan Stb. 1908 No. 269

untuk daerah Pasir Tahun 1932, tepatnya tanggal 18 Februari, pemerintah

kolonial mengeluarkan Stb. No. 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai

ketentuan atau Stb yang memberikan pengakuan terhadap peradilan adat yang

disebutkan diatas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru. Pasal 1

Stb ini menyebutkan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah

yang disebutkan, dengan pelaksana peradilannya adalah hakim dari masyarakat

pribumi. Pemberlakuan peraturan baru ini dilakukan secara bertahap. Untuk

daerah Kalimantan Selatan dan Timur dimulai pada tanggal 1 April 1934 dengan

Stb 1934 No. 116 dan Stb. No 340, untuk Aceh pada tanggal 1 September 1934

dengan Stb 1934 No. 517, untuk Tapanuli pada tanggal 1 oktober 1934 dengan

Stb. 1935 No. 465, Untuk Kalimantan Barat dan Maluku pada tanggal 1 Januari

1936 melalui Stb.1936 No. 490 dan pada tanggal 1 Januari n1937 untuk Bali dan

Lombok.Namun dengan peraturan ini tidak berarti bahwa peradilan adat hanya

ada ditempat-tempat yang disebutkan oleh stb tersebut. Karena peradilan adat

tersebut ditemukan di banyak tempat lain di Indonesia. Pengakuan yang

diberikan Stb ini juga tidak berarti bahwa pemerintah kolonial membiarkan utuh

dan menghormati bentuk peradilan adat ini. Berbagai bentuk campur tangan

seperti yang dilakukannya terhadap peradilan governemen juga berlangsung

terhadap peradilan adat di daerah-daerah tersebut.Tahun 1935, melalui Stb. 1935

No. 102, disisipkan Pasal 3a kedalamn R.O, yang secara singkat pasal ini

menyebutkan melanjutkan kewenangan hakim-hakim dari masyarakat-

masyarakat hukum kecil untuk memeriksa perkara-perkara adat yang menjadi

kewenangannya, untuk mengadili secara adat tanpa menjatuhkanhukuman.

Kewenangan hakim-hakim ini tidak mengurangi kewenangan para pihak untuk

setiap saat menyerahkan perkaranya kepada putusan hakim. Dengan disisipkanya

pasal ini, menurut Sudikno, diakui sudah kedudukan peradilan desa.

Berdasarkan ini, selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 bentuk peradilan

bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang tidak memiliki

Page 346: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

140

dasar perbedaan yang prinsipil Di alam kemerdekaan, proses intervensi ini

berlanjut dengan dikeluarkannya UU Darurat No. 1 tahun 1951 pada tanggal 13

januari 1951, yang mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk

menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-

pengadilan sipil. Melalui UU ini dipertegas niatan untuk mewujudkan univikasi

sistem peradilan. UU ini berisi 4 hal pokok yaitu: (1) Penghapusan beberapa

pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan (2)

Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja didaerah-daerah

tertentu dan semua pengadilan adat (3) Melanjutkan peradilan agama dan

peradilan desa, sepanjang pangadilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri

atau terpisah dari pengadilan adat (4) 4. Pembentukan pengadilan negeri dan

kejaksaan ditempat-tempat dimana dihapuskan landgerecht. Untuk

melaksanakan UU ini, terutama penghapusan peradilan adat, pemerintah

mengeluarkan ketentuan-ketentuan berikut: (1) Melalui Peraturan Mentri

Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17 (TLN 276), dihapuskan

pengadilan-pengadilan swapraja dan pengadilan adat di seluruh Sulawesi (2) .

Melalui Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 No. J.B.4/4/7

(TLN462) dihapuskan pengadilan adat di seluruh Lombok (2) Melalui Peraturan

Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2 (TLN.641) jo. Surat

Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954 No. J.B.4/4/20

(TLN.642) dihapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di seluruh

Kalimantan (3) Melalui Peraturan Presiden No. 6 tahun 1966 dihapuskan

pengadilan adat dan swapraja serta dibentuk Pengadilan Negeri di Irian Barat

Tahun 1964 keluar UU No. 19 (LN. 1964 No. 107). UU ini berisi Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) UU ini menyebutkan

bahwa peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang

ditetapkan dengan UU. Penjelasan pasal ini menegaskan dengan UU ini tidak ada

lagi tempat bagi peradilan swapraja yang bersifat feodalistis atau peradilan adat

yang dilakukan oleh bukan alat perlengkapan negara. UU ini dicabut dan

digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 (LN. 1970 no. 74). Menyangkut peradilan

adat UU ini menyebutkannya pada pasal 3 Ayat (1), yaitu semua peradilan di

wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan UU.

Penjelasan pasal ini menyebutkan arti yang dikandung oleh pasal ini adalah

disamping pengadilan negara tidak diperkenankan lagi adanya peradilan yang

dilakukan oleh bukan peradilan negara. Pasal 39 UU ini menyebutkan

penghapusan pengadilam adat dan swapraja dilakukan oleh pemerintah. Dengan

demikian sejak saat UU ini keluar tidak diakui lagi peradilan adat dalam sistem

peradilan nasional. Dengan UU ini sempurnalah sudah upaya penyingkiran

peradilan adat untuk mewujudkan unifikasi peradilan. Reformasi

penyelenggaraan sistem pemerintahan dari yang sentaralistik ke sistem

terdesentralisasi, dengan mengakui dan menghormati sifat dan susunan

masyarakat yang otonom, melalui UU 22 tahun 1999, peradilan adat sepertinya

dikembalikan dan memperoleh ruang. Penyebutannya memang masih belum jelas

dan tegas, karena UU ini hanya menyebut tentang mendamaikan perselisihan

masyarakat desa sebagai salah satu tugas dan kewajiban dari Kepala Desa.

Pemberian kewenagan untuk mendamaikan perselisihan kepada kepala desa,

harus dilihat sebagai wujud kesadaran, bahwa sistem peradilan sebagai bagian

yang utuh dari hak otonomi masyarakat atau komunitas yang bersangkutan.

Page 347: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

141

Sorotan utama memang ingin diarakan pengaturan Peradilan Adat dari

perspektif konstitusi negara. Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD tahun 1945,

yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada

satu pasalpun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum

adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka "Segala badan Negara dan

peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru

menurut Undang-Undang Dasar ini".

Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar

Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104

ayat 1 mengatakan bahwa "Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-

alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang

dam aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. "Tetapii

ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan "hukum adat" itu seluas-Iuasnya,

memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya

hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya

(Undang-Undang organik).

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal darii

zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal

131 ayat 2 sub b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum

Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka.

Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukanya, maka pembuat

ordonansi dapat menentukan bagi mereka: a. hukum Eropa b. hukum Eropa yang

telah diubah (gewijzigd Europees recht) c. hukum bagi beberapa golongan

bersama-sama (gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum

memerlukannya: d. hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan

"syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa ("fantasierecht" van Vollen hoven

atau "ambtenarenrecht" van Idsinga)

Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama,

ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu

ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang. Tetapi

hal kedua, selama redaksi Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini berlaku redaksi ini berlaku

sejak tanggal 1 Januari 1920 (antara tanggal 1 januari 1920 dan tanggal 1 Januari

1926 redaksi Pasal 131 IS berlaku sebagai redaksi yang baru dari Pasal 75 RR

1854), maka kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum

terjadi.

Pasal 131 ayat 6 IS menerangkan bahwa selama hukum perdata serta hukum

dagang yang sekarang "thans" berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan

golongan hukum timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi. seperti yang

diperintahkan dalam Pasal 131 ayat 2 sub b IS, maka hukum tersebut berlaku

bagi kedua golongan hukum itu. Jadi, selama belum ada kodifikasi bagi kedua

golongan hukum itu, maka tetap berlaku hukum adatnya, seperti yang sebelum

tanggal 1 Januari 1920, telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat 3 redaksi lama RR

1854. Inilah penafsiran kata "thans" -- "sekarang", menurut artinya dalam bahasa

"Thans berarti "pada waktu ini", yaitu waktu mulai berlakunya perubahan redaksi

lama Pasal 75 RR 1854 sehingga menjadi redaksi baru Pasal tersebut (sehingga

menjadi redaksi Pasal 131 IS). Mengenai hukum adat itu antara Pasal 75 redaksi

lama RR 1854 dan Pasal 131 IS (= Pasal 75 redaksi baru RR 1854) ada beberapa

perbedaan yang penting. 1. Satu perbudaan yang penting tersebut di atas, yaitu

Pasal 75 redaksi lama RR 1854 ditujukan kcpada hakim sedangkan Pasal 131 IS

Page 348: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

142

ditujukan kepada pembuat undang-undang. 2. Perbedaan kedua, adalah Pasal 75

redaksi lama RR 1854 tidak memuat kemungkinan orang Indonesia asli

ditundukan pada suatu hukum baru.

Perbedaan ketiga, adalah hukum adat tidak boleh dijalankan apabila

bertentangan dengan "asas-asas keadilan" (ayat 3 Pasal 75 redaksi lama RR 1854)

dan apabila hukum adat tidak dapat menyelesaikan perkara, maka hakim. dapat

rnenyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa (ayat 6 Pasal 75 redaksi lama

RR 1854). Para sarjana hukum yang beranggapan bahwa (setelah tahun 1919)

hakim berkuasa menguji dan menambah hukum adat ialah Capentieir Ailing,

Nederburgh, Andre de In porte dan juga Djojodigoeno (?). tetapi mereka inii

mendapat tantangan dari banyak pengarang lain, yaitu van Vollenhoven, ter'

Haar, Klientjes, Logemann, Soepomo. Yang menjadi alasan van Vollenhoven

bahwa hakim setelah tahun 1919 tidak lagi berkuasa menguji dan menambah

hukum adat, ialah: 1. sejarah penetapan perubahan Pasal 75 redaksi lama R.R.

1854 tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan tidaknya dua kekuasaan

tersebut. 2. redaksi ayat 6 Pasal 131 I.S. memuat tugas baik bagi hakim maupun

bagi administrasi (tata usaha) negara. Oleh karena kepada Administrasi negara

tiidak diberi kekuasaan untuk menguji dan menambah hukum adat, maka tidak

boleh dikatakan bahwa dengan sendirinya kekuasaan itu diberi kepada hakim. 3.

sejarah praktek kekuasaan itu telah menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan

tersebut dijalankan oleh hakim secara tidak sesuai dengan tujuannya. Sebab itu

kekuasaan istimewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu lagi. Pasal 1 ayat 2

Undang-Undang Darurat tahun 1951 nr 1, LN 1951 nr 9, menentukan bahwa

"pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman,

dihapuskan: 1. segala pengadilan Swapraja dalam Negara Sumatra Timur dahulu,

Keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu,

kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup

merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja. 2. Segala Pengadilan

Adat (Inheemse rechtspraak in rechtsteeks bestuurd gebied), kecuali peradilan

agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian

tersendiri dari peradilan adat.

Akan tetapi menurut Pasal 1 ayat 3 LN 1951 nr 9 ini, dorpsrechter tetap

dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja dan hakim adat

yang telah dihapuskan itu, diteruskan oleh Pengadilan Negeri. Daerah-daerah di

mana hakim swapraja dan hakim adat itu telah dihapuskan, adalah beberapa lagi:

Bali (hakim swapraja, Tambahan LN nr. 231), Sulawesi (hakim swapraja maupun

hakim adat, Tambahan LN nr 276), Lombok (hakim adat, Tambahan LN nr 462),

Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor (hakim swapraja, Tambahan LN nr 603) dan

Kalimantan (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 642).

Secara spesifik Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945,

bahwa Konstitusi sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada

kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka

dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya

mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang

memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa,

yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun

sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

Page 349: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

143

Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser

hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat,

Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.

Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi

segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang

disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan

keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi

sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan

disesusaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap

bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara

mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan

permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan

penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya

pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum,

perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan

kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu

maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki

watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan

berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan

Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan

harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai

penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa

manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan

niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.

Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana

dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang

menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie

menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara : 1).

Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional

yang dimilikinya; 2). Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari

kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah

bersifat tertentu; 3). masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);

4). Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula; 5). Pengakuan dan

penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi

kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya

tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh

dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan

sentimentil; 6). Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna

Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33) Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945

tersebut maka: 1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak

tradisionalnya ; 2. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;

3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan 4. Sesuai dengan prinsip Negara

Page 350: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

144

Kesatuan Republik Indonesia. 5. Diatur dalam undang-undang Dengan demikian

konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat

bila memenuhi syarat: (1) Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan

sesuai perkembangan masyarakat; (2) Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan

prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam

undang-undang.

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak

masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan

peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya

mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI

tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang

Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan

penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

(indigeneous people). Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi (1) Dalam

rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam

masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,

masyarakat dan pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat,

termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat

(1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung

tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan

dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam

masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan

perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam

rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat

hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum

adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan

dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan

masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah

adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan

zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang

secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.

4. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan

Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004, maka tata

urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut : (1) Undang-undang

Dasar 1945; (2) Undang-undang/Perpu (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan

Presiden (5) Peraturan Daerah; Hal ini tidak memberikan tempat secara formil

hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat

dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-

undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana. Dalam

kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta

tahun 1975 telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum

adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan

mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam

sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan,

hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian

hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan

Page 351: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

145

dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat

dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan

baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan,

maupun dalam putusan hakim.

Pengakuan Adat oleh Hukum Formal. Mengenai persoalan penegak hukum

adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu

cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap

daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku

Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian

adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan

kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu

tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri

Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam

Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28

hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam

menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat

setempat. Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan

tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5

Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam

pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta

langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat. Peraturan

ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak

ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana

dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi : 1.

Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1) 2. Kriteria dan penentuan

masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat

(Pasal 2 dan 5). 3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah

ulayatnya (Pasal 3 dan 4) Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas

di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan

hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih

menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Di

tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam

menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui

keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait

adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat

dalam kepemilikan tanah.

Pengaturan sedikit berbeda dengan kesan adanya intervensi negara.

Poses intervensi dan penundukan sistem peradilan adat yang berlangsung lama,

seperti yang digambarkan diatas, ternyata belum berhasil sama sekali

meminggirkan praktek ini dari keseharian masyarakat. Dibanyak komunitas,

proses ini masih berjalan hingga sekarang. Kenyataan ini dengan sendirinya

menjadi bukti, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh sangat luar

biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi pemberangusannya demikian

sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya berada pada aras kebijakan,

tetapi sekaligus juga pada aras yang lain, yaitu tindakan-tindakan nyata di

lapangan oleh aparat hukum negara, stigmatisasi negatif dan pelucutan

kepercayaan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan

Page 352: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

146

adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Pensikapan masyarakat terhadap

sistem nilai yang dimilikinya, sepertinya menjadi jawaban kunci terhadap situasi

ini. Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, sepanjang

masyarakat yang menjadi warga dari komunitas tersebut secara sadar mau

menggunakan sistem yang dimilikinya, maka sedikit-banyaknya pengaruh buruk

dari proses intervensi bisa diredakan. Bila dilihat pengalaman beberapa

komunitas yang hingga saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan

kepercayaan warga komunitas inilah yang menjadi energi dasar bagi tetap

eksisnya proses tersebut dilingkungan mereka. Secara kelembagaan, struktur

peradilan adatnya sangat tergantung dengan sistem sosial komunitas masyarakat

adat yang bersangkutan. Di Kampung Datar Ajab misalnya, kampung yang

menjadi wilayah pemukiman Dayak Meratus ini, didapati 4 (empat) Balai yaitu

Balai Adat Agung Mula Ada, Balai Adat Tambun Batu, Balai Adat Matinjau dan

Balai Adat Muanjal Pajat. Permasalahan yang terjadi (baik antar Balai maupun

dengan orang laur) dan pelanggaran adat lainnya menjadi urusan tetua adat,

untuk menyelesaiknnya dalam lingkup balai secara musyawarah, untuk

menemukan kesepakatan mengenai kesalahan dan bentuk hukumannya.

Musyawarah ini sendiri dihadiri olah tokoh adat dan pengurus lembaga adat.

Dalam prakteknya, bentuk hukumannya antara lain adalah bayar pamali

(parabia) sebagai denda, diasingkan dari balainya, pembalasan seperti

kesalahannnya dan bayar nyawa. Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada

kesalahan serta pertimbangan si korban dan pelaku

Prosesnya sendiri berawal dari adanya laporan/pengaduan kepada kepala

adat. Laporan ini ditindak lanjuti dengan mengundang kepala adat, penghulu adat

dan tokoh adat untuk memusyawarahkan langkah-langkah penyelesaian.

Selanjutnya dilaksanakan pemeriksaan pihak yang terkait dengan kasus tersebut

(pelaku dan korban) serta mencari keterangan dari masyarakat. Dengan

memahami duduk persoalan berdasarkan pemeriksan tersebut, diselenggarakan

rapat adat yang dihadiri oleh masyarakat banyak Di Rejang Lebong kasus yang

bisa diselesaikan diperadilan adat adalah pelanggaran atas adat kampung serta

hal-hal lain yang telah diizinkan oleh pihak yang berwenang. Prosesnya sendiri

dimulai dengan apa yang dinamakan proses kantor (saat ini dilakukan oleh

kepala desa dan perangkatnya) untuk memperoleh keterangan dan bukti-bukti.

Selanjutnya kepala desa meminta diselenggrakannya persidangan adat untuk

mengajukan pelaku, barang bukti dan saksi-saksi. Persidangan berlangsusng

dibawah pimpinan Ketua Kutai. Dalam mengambil keputusan atau menjatuhkan

hukuman, Ketua Kutai ini dibantu oleh Ketua Syara’ dan Ketua Adat.

Sekadar perbandingan bahwa di Samoa Barat norma masyarakat yang ada

tak lepas dari budaya bahari yang dimilikinya. Daratan dan lautan adalah

perpaduan dan gambaran dari sistem kemasyarakatan. Tiap pulau identik dengan

suatu keluarga besar yang dikepalai oleh seorang Matai. Matai memiliki kuasa

untuk membentuk dewan pertimbangan adat yang disebut Fono. Fono memiliki

tanggungjawab untuk merumuskan hukum yang berlaku di masyarakat,

menyelesaikan sengketa melalui musyawarah adat dan memutuskan bentuk

sanksi yang harus dilaksanakan. Penyelesaian perkara pidana termasuk dalam

kewenangan lembaga ini. Pemenjaraan, pemukulan dan beberapa jenis pidana

lain seperti duduk menghadap matahari untuk jangka waktu lama merupakan

jenis pemidanaan yang dijatuhkan lembaga ini, belakangan sanksi lebih sering

Page 353: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

147

berbentuk denda atau gantirugi baik dalam bentuk uang atau benda lainnya.

Hingga saat ini lembaga Fono tetap eksis dan di akui dalam Village Fono Act 1990.

Terkait dengan lembaga ini, terdapat suatu sistem yang kental dengan

nuansa dan nilai restotarif yaitu lembaga ifoga. Dari segi bahasa ifoga meranti

membungkuk, suatu gerakan yang merupakan simbol dari penghormatan dan

permohonan maaf. Namun dalam kaitannya dengan penyelesaian suatu perkara

pidana, ifoga berarti kompensasi. Dalam hal terjadi suatu perkara pidana dan

pelaku minta dilakukan suatu perdamaian, maka ia dan keluarganya akan duduk

dimuka rumah dari korban atau pihak yang dirugikan sambil menengadahkan

tangan. Hal ini terus dilakukan hingga korban keluar dari rumah dan mau duduk

bersama untuk memulai proses negosiasi yang diakhiri dengan kesepakatan

gantirugi, saling memaafkan dan terjadinya rekonsiliasi.

Dalam kasus pertentangan antar suku, orang yang paling dituakan akan

membungkuk dan memberikan sejumlah mahar sebagai tanda agar para pihak

segera berdamai dan saling memaafkan. Para pihak akan merasakan malu satu

sama lain. Biasanya dalam keadaan demikian para pihak lebih memilih

memusnahkan desa mereka dan melarikan diri. Namun dengan suatu upaya

rekonsiliasi yang dilakukan lewat lembaga adat, para pihak dapat bertahan dan

melanjutkan hubungan secara lebih baik

Dominasi hukum ”barat” dalam sistem hukum nasional, menyebabkan

lembaga ifoga ini tidak dapat bekerja secara baik dan maksimal. Perbedaan

mendasar bukan hanya terletak dari sisi kelembagaan yang memiliki otoritas

untuk menjalankan fungsi peradilan akan tetapi karena jenis sanksi (sebagaimana

telah dikemukakan sebelumnya) juga berbeda. Permasalahan lebih lanjut terjadi

manakala suatu kasus diproses kedalam dua sistem hukum yang berbeda ini,

karena solusi akhir dari kedua sistem ini tentu saja berbeda, ditambah dengan

tingkat kepercayaan dari masyarakat yang masih begitu tinggi kepada lembaga

adat ini.

Beberapa tahun belakangan, lembaga pengadilan mencoba berkompromi

dengan kedua sistem hukum ini, dimana pendekatan keadilan restoratif dipilih

sebagai model pendekatan kompromi diantara dua sistem hukum yang

bertentangan. Maxwell mengangkat kasus Gali dan Tuli di tingkat Supreme Court

di Apia pada tahun 1999 sebagai contoh. Hakim Wilson menjatuhkan putusan

atas kasus tersebut sebagai berikut: “I do give each of you credit for your plea of

guilty, for the remorse you have shown (by means of ifoga and otherwise) and for

the co-operation you have shown to the prosecuting authorities. The stating point

by way of sentence in 5 years imprisonment. I give each of you a discount of 1/3 off

the sentence that would otherwise be appropriate for these facts.”

Dengan mempertimbangkan pernyataan bersalah, dan penyesalan yang telah

kamu perlihatkan (dengan atau tanpa pertolongan Ifoga ) dan atas kerjasama

terhadap penuntut umum yang kamu lakukan, maka pengadilan menjatuhkan

masing-masing 5 tahun penjara dengan syarat bahwa hukuman akan dikurangi

1/3nya atas hal dasar pertimbangan tersebut diatas kecuali jika tidak

dilaksanakan maka akan diterapkan sebaliknya.

Sampai saat ini perdebatan seputar eksistensi dari lembaga adat dan

relasinya dengan sistem peradilan pidana yang ada, masih menjadi suatu

perdebatan. Sementara itu di Papua Nugini30 pada masa perang sipil yang terjadi

di Bougainville tak pelak lagi telah meluluh lantakkan semua sendi kehidupan

masyarakatnya, tak terkecuali sistem peradilan pidana. Tidak ada polisi ataupun

Page 354: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

148

pengadilan disana. Hukum pidana yang semestinya ditegakkan menjadi lumpuh

dan sistem peradilan pidana tidak dapat dijalankan didaerah ini. Bahkan

pengamanan pun dilakukan oleh tentara dengan suatu hukum darurat (ad hoc).

Termasuk dalam hal penindakan terhadap pelaku pembunuhan, kekerasan dan

penganiayaan yang terjadi antara dua pihak yang saling berhadapan.

Jalan keluar yang diambil sebagai alat untuk mengendalikan situasi yang

terjadi adalah memberlakukan hukum adat (custom law) yang hidup didalam

masyarakat tersebut. Lembaga yang telah lama tidak diakui keberadaannya oleh

pemerintah kolonial selama ratusan tahun dalam situasi tersebut justru akan

dijadikan sandaran bagi upaya perbaikan atas kondisi yang ada. Yang terjadi

adalah kondisi yang sama dengan Samoa Batar sebagaimana dikemukakan diatas,

maka terjadi hal yang dilematis dimana hukum adat ini tidak sejalan dengan

sistem peradilan pidana yang telah dikembangkan oleh pemerintah kolonial.

Akan tetapi kondisi yang terjadi dalam masyarakat Bougainville,

memperlihatkan satu keunggulan dari hukum adat yang hidup dalam masyarakat.

Dalam pandangan Braitwaite, kasus Bougainville telah membuktikan bahwa

hukum adat mampu memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat bahkan

dalam memecahkan kasus pidana yang berat seperti pembunuhan yang terjadi di

sana. m kenyataannya dalam melakukan upaya penyelesaian perselisihan yang

terjadi di Bougainville , para penegak hukum merasa perlu menggunakan jalur

mediasi dan rekonsiliasi. Dengan alasan-alasan tersebut, maka keberlakuan

hukum adat sebagai landasan upaya mediasi dan rekonsiliasi pun di setujui oleh

parlemen.

Lain halnya dengan pandangan keadilan restoratif pada lembaga Shalish yang

secara tradisional ada di sebagian besar masyarakat Bangladesh mengacu kepada

metode community-based, dimana penanganan sengketa yang terjadi

dimasyarakat termasuk didalamnya tindak pidana diselesaikan melalui jalur

informal. Di lembaga ini, terdapat tiga cara proses penanganan dan penyelesaian

sengketa masyarakat, yaitu: (1) Melalui mediasi diantara para pihak (dalam

tindak pidana pelaku dan korban) dalam mencari solusi bagi permasalahan yang

dihadapi; (2) Dapat juga dilakukan melalui suatu panel yang beranggotakan

tokoh masyarakat yaitu mereka yang dituakan dan berpengaruh. Panel ini akan

membantu mencari solusi (termasuk didalamnya pemberian sanksi pidana) bagi

setiap permasalahan termasuk didalamnya tindak pidana yang terjadi dalam

masyarakat. Tentunya penyerahan masalah melalui panel ini harus dengan

persetujuan para pihak dan komitmen untuk mematuhi setiap putusannya; (3)

Kedua konsep diatas dapat juga dilakukan secara bersama-sama yaitu mediasi

antara pihak yang bersengketa (dalam tindak pidana adalah pelaku dan korban)

dimana panel berfungsi sebagai mediator.

Pada masa lalu lembaga Shalish dipergunakan bagi penanganan berbagai

macam tindak pidana dengan segala implikasinya, termasuk didalamnya adalah

penggunaan sanksi pidana yang tidak dirumuskan dalam perundang-undangan.

Akan tetapi beberapa kurun waktu terakhir lembaga ini banyak menjadi rujukan

dalam pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan kekerasan dalam

rumah tangga seperti penganiayaan terhadap perempuan (baik diluar maupun

dalam ikatan perkawinan), perzinahan, poligami, eksploitasi secara ekomomi baik

terhadap perempuan atau anak-anak dan lain sebagainya. (1) Anggota panel di

dalam lembaga Shalish didominasi oleh laki-laki, hal ini berdampak bahwa

putusan-putusan kerap tidak berpihak kepada perempuan dan anak. (2)

Page 355: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

149

Misinterpretasi terhadap syariat islam termasuk didalamnya dalam menerapkan

sanksi-sanksi didalamnya. (3) Keberpihakan pada kelompok-kelompok tertentu

dalam masyarakat.

Menyadari pentingnya keberadaan lembaga Shalish dalam masyarakat, maka

sejumlah upaya pembaharuan lembaga ini pun dilakukan oleh berbagai pihak

antara lain oleh Madaripur Legal Aid Asociation (MLAA). Adapun upaya yang

dilakukan antara lain: (1) Tetap mengupayakan dan meningkatkan peranan

lembaga ini melalui upaya mediasi dalam penanganan dan penyelesaian berbagai

tindak pidana; (2) Melakukan training bagi para anggota panel, dan

pembaharuan metode seleksi keanggotaan panel. Adapun training ini meliputi

peningkatan pengetahuan hukum, HAM dan mediasi termasuk pemahaman atas

peran untuk menjadi mediator yang baik. (3) Meningkatkan partisipasi

perempuan dalam proses; (4) Pembaharuan kelembagaan seperti aturan main

lembaga, pengarsipan, dan juga bantuan hukum. Negara berkembang lainnya

yaitu Peru mayoritas penduduk tinggal di daerah pedesaan. Di Peru misalnya

sepertiga penduduknya atau 20 juta orang tinggal didaerah pedalaman dan

terbagi dalam 70 etnis asli Peru.35 Di daerah Andean terdapat 5 etnis asli dan dua

yang terbesar adalah Quechuas dan Aymaras. Sementara disepanjang sungai

Amazon, terdapat 65 etnis asli yang disebut Conapa. Seluruh penduduk asli ini

tinggal dalam kelompok-kelompok kecil. Di daerah Andean kelompok-kelompok

ini disebut Communidades Compensinas sementara didaerah Amazon kelompok-

kelompok ini disebut Communidades Nativas. Kebanyakan dari mereka adalah

orang-orang dalam status ekonomi yang rendah dan terbelakang. Kelompok-

kelompok ini merupakan sub-sub suku yang disebut Ayllus dan masing-masing

memiliki ketuanya sendiri dan sistem hukum tradisional yang telah ada dan eksis

bahkan jauh sebelum kedatangan Spanyol di daerah tersebut. Sistem hukum

Spanyol kemudian menggantikan sistem hukum yang ada hingga sekarang.

Namun kenyataannya, sistem lama tetap berjalan didalam kehidupan penduduk

asli tersebut. Kenyataan tersebut menyebabkan pemerintah memberikan wadah

berupa regulasi yang memungkinkan hukum diberlakukan secara resmi

meskipun dengan batasan-batasan tertentu. Tindak pidana-tindak pidana seperti

kekerasan dalam rumah tangga, perselisihan tentang harta benda umumnya

diselesaikan secara kekeluargaan dengan melibatkan keluarga, orangtua atau

orang yang dituakan dilingkungannya. Musyawarah dan mufakat yang dicapai

sebagai sarana konsiliasi antar pihak-pihak yang berselisih.

Atas permintaan salah satu pihak atau kedua-duanya, putusan ini dapat

dicatatkan dalam community official registery book.36 Namun bila kesepakatan

tidak tercapai mereka dapat meminta petugas pemerintah untuk menindak

lanjuti baik melalui sistem rekonsiliasi atau memprosesnya melalui jalur formal

yang berlaku. Campur tangan pemerintah juga dilakukan dalam penyelesaian

perkara perkelahian, perkosaan, perkosaan terhadap anak dibawah umur, atau

penganiayaan. Campur tangan ini dalam konstitusi pertama Peru dituangkan

dalam bentuk lembaga Jueces de paz (Justice Of The Peace) yang sudah ada sejak

tahun 1823. Lembaga ini memainkan peran sebagai konsiliator sebagaimana

disebutkan diatas. Anggota Jueces de paz ini umumnya penduduk lokal yang telah

memperoleh pendidikan yang baik dibandingkan dengan penduduk pada

umumnya, seperti guru, teknisi atau orang yang dituakan. Dalam

perkembangannya keanggotaan ini tidak lagi didominasi oleh mereka yang

berusia tua, tetapi anak-anak mudan dan wanita dengan tingkat pendidikan yang

Page 356: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

150

baik mulai dilibatkan sejak tahun 1998. Adapun jenis perkara yang ditangani

adalah pelanggaran (33%), kejahatan terhadap harta kekayaan (27%), KDRT

(14%) dan penelantaran (13%).Pendekatan keadilan restoratif melalui

pengadilan pidana adalah pada model penyelesaian perkara diluar lembaga

pengadilan atau out of court settlement. Meskipun dalam kerangka normatif

banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek

penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana. Hal ini memperoleh

dukungan dari perserikatan bangsa-bangsa dalam Declaration on The Rights of

Indigenous People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak

Masyarakat Adat) yang disahkan pada tanggal 7 September 2007. Dalam Pasal 5

dinyatakan bahwa Masyarakat adat berhak untuk mempertahan dan

memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya

mereka, sementara tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian

sepenuhnya kalau mereka juga memilih, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial

dan budaya dari Negara. Sementara Pasal 34 dari deklarasi ini merumuskan

bahwa masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan dan

memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian dan tradisi, prosedur,

praktek mereka yang berbeda, dan dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka

atau adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional. Dari

catatan diatas, praktek peradilan adat ini digunakan dan dimasukkan dalam

regulasi sebagai mekanisme alternatif. Di Samoa Barat, Kepulauan Fiji, Papua New

Guinea, kepulauan Solomon dan beberapa negara lain di Pasifik tetap

mempertahankan hukum asli masyarakat mereka. Sementara Leah Wambura

Kimathi mencatat praktek penerapan hukum adat melalui lembaga peradilan adat

di negara-negara Afrika Utara. Julio Faudez pun memaparkan bahwa mekanisme

ini juga dapat ditemui di Peru, sementara Stephen Golub mendeskripsikan

keberlakuan mekanisme ini di Bangladesh dan Philippina.

Berdasarkan tinjauan konseptual teoretik dan historik-normatif seperti di

atas, maka dikemukakan pokok-pokok pikiran yang bersifat preskriptif tentang

peradilan adat Papua sebagai berikut:

(1) Asas dan Tujuan. Peradilan adat di Papua berasaskan kekeluargaan

musyawarah dan mufakat; dan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Peradilan adat di Papua sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap

keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan masyarakat

adat Papua, dengan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan

dengan tujuan menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; serta

membantu pemerintah dalam penegakan hukum.

(2) Kedudukan. Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan

lembaga peradilan masyarakat hukum adat Papua. Pengadilan adat

berkedudukan di lingkungan masyarakat hukum adat di Papua. Lingkungan

masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu

masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem

kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem

kepemimpinan campuran.

(3) Kewenangan mengadili (Kompetensi). Pengadilan adat berkompeten

mengadili perkara perdata adat dan perkara pidana adat di antara warga

masyarakat adat di Papua. Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui

Page 357: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

151

kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat

diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara. Dalam hal salah satu pihak

yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh

pengadilan adat, dapat mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri.

(4) Putusan. Putusan pengadilan adat diambil berdasarkan musyawarah dan

mufakat. Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak atau pelaku.

Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan putusan dilaksanakan

menurut hukum adat dan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai

sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem

kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem kepemimpinan campuran.

(5) Kerjasama. Pengadilan adat dalam penyelesaian perkara adat, dapat

bekerjasama dengan perangkat peradilan negara. Kerjasama pengadilan adat

dengan perangkat peradilan negara selanjutnya diatur dengan Perdasus

23. Keagamaan

Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang keagamaan di Papua,

yaitu (1) Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk

memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. (2) Setiap penduduk Provinsi

Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar

umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan

dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.(3)

Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka

pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan secara proporsional

berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. (4) Pemerintah

mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang

keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.(5) Gubernur

membentuk Forum Komunikasi Umat Beragama di tingkat provinsi yang bertujuan

memberikan pertimbangan kebijakan dalam aspek kehidupan antar umat beragama

dan meningkatkan kehidupan yang harmonis, damai, dan kasih di Papua.

Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban: (1) menjamin kebebasan, membina

kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah

sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; (2) menghormati nilai-nilai

agama yang dianut oleh umat beragama; (3) mengakui otonomi lembaga

keagamaan; dan (4) Memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan

secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

24. Pendidikan

Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,

yaitu; (1) Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan

pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. (2)

Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi,

kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan

sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah

Provinsi.(3) Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang

bermutu sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat

serendah-rendahnya. (4) Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan

pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya

Page 358: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

152

masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan

perundangundangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan

yang bermutu di Provinsi Papua, (4) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan

yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan. (5) Pelaksanan ketentuan

tentang pembangunan pendidikanditetapkan dengan Perdasi.

25. Kebudayaan

Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,

yaitu; (1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan

kebudayaan asli Papua. (2) Dalam melaksanakan kewajiban di bidang kebudayaan

asli Papua, Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada

masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.

(3) Pelaksanaan kewajiban di bidang kebudayaan asli Papua disertai dengan

pembiayaan yang ditetapkan dengan Perdasi. (4) Pemerintah Provinsi

berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan

sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. (5)

Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai

bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. (6) Bahasa daerah dapat digunakan

sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.

26. Kepemudaan dan Olahraga

Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,

yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan

dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program dengan pemerintah

Papua; (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Pemerintah

menyelenggarakan fungsi di bidang kepemudaan yang meliputi: perumusan dan

penetapan kebijakan; koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan;

pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan

pengawasan atas pelaksanaan tugas. (3) Pemerintah daerah mempunyai tugas

melaksanakan kebijakan nasional dan menetapkan kebijakan di daerah sesuai

dengan kewenangannya serta mengoordinasikan pelayanan kepemudaan. (4) Dalam

melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, pemerintah daerah membentuk

perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan kepemudaan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Pemerintah mempunyai wewenang

menetapkan kebijakan nasional dan koordinasi untuk menyelenggarakan pelayanan

kepemudaan. (6) Pemerintah daerah mempunyai wewenang menetapkan dan

melaksanakan kebijakan dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kepemudaan

di daerah. (7) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab melaksanakan

penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan potensi pemuda berdasarkan

kewenangan dan tanggungjawabnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah

masing-masing. (8) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud

dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota. Menteri dalam

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud mengoordinasikan kebijakan dan

program di bidang kepemudaan dengan kementerian atau lembaga pemerintah

nonkementerian, lembaga nonpemerintah, dan/atau pemerintah daerah, serta unsur

terkait lainnya. Menteri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab

Page 359: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

153

pelayanan kepemudaan dapat melakukan kerjasama dengan negara lain sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Kepemudaan dan

Olahraga di Papua, yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah

Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengembangkan kapasitas dan peran pemuda

dan olah raga di Papua. (2) Dalam rangka mewujudkan harkat dan martabat orang

asli Papua, Pemerintah Papua dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membiayai

pengembangan olah raga, termasuk olah raga profesional yang bersumber dari Dana

Otonomi Khusus. (3) Pemerintah berkewajiban untuk membangun pusat-pusat

pendidikan dan pelatihan olah raga, menyediakan sarana dan prasarana pendukung,

dan mengalokasikan pembiayaan tertentu yang bersifat berkelanjutan. (4)

Pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada Papua untuk menjadi

tuan rumah penyelenggaraan kegiatan olah raga berskala nasional dan

internasional. (5) Pemerintah memberikan kesempatan kepada Pemerintahan

Papua untuk berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan olah raga di luar negeri. (6)

Pemerintah berkewajiban mengembangkan kapasitas dan peran serta pemuda-

pemuda Papua, dan memberikan kesempatan untuk berkarya di bidang

pemerintahan, badan usaha milik negara, dan dunia usaha nasional.

27. Kesehatan

Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,

yaitu; (1) Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan

memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. (2) Pemerintah, Pemerintah

Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota berkewajiban mencegah dan

menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang

membahayakan kelangsungan hidup penduduk. (3) Setiap penduduk Papua berhak

memperoleh pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.

(4) Dalam melaksanakan kewajiban di bidang pendidikan, Pemerintah Provinsi

memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga

swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. (5) Ketentuan

mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban

masyarakat serendah-rendahnya, dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga

swadaya masyarakat, serta dunia usaha diatur lebih lanjut dengan Perdasi. (6)

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban

merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan

gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan,

lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan yang

diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

28. Sosial

Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,

yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/ kota wajib

dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan

kepada: (a) perseorangan; (b) keluarga; (c) kelompok; dan/atau; (d) masyarakat

Papua. (2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud

diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara

kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan; ketelantaran;

Page 360: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

154

kecacatan; keterpencilan; ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; korban

bencana; dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: rehabilitasi sosial; jaminan

sosial; pemberdayaan sosial; dan perlindungan sosial. Pemerintah berkewajiban

untuk mengutamakan perhatian untuk kesejahteraan sosial di Papua melalui dana

APBN dan dana Otonomi Khusus Plus melalui Jaminan Sosial. Jaminan sosial

dimaksudkan untuk menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia

terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita

penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar

kebutuhan dasarnya terpenuhi.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Papua memiliki kewajiban untuk

memberikan asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan bagi warga Papua yang

tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf

kesejahteraan sosialnya. Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud

diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh Pemerintah.

Pokok pikiran penting lain di bidang pembangunan sosial adalah: (1)

Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan

memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang

menyandang masalah sosial. (2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana poin

1, Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada masyarakat

termasuk lembaga swadaya masyarakat (3) Ketentuan sebagaimana poin 1 dan poin

2 diatur lebih lanjut dengan Perdasi. (4) Pemerintah Provinsi memberikan perhatian

dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil,

dan terabaikan di Provinsi Papua. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada poin 4

diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

29. Kependudukan dan Ketenagakerjaan

Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua,

yaitu; (1) Dalam rangka otonomi khusus dan percepatan pembangunan

ketenagakerjaan di tanah papua maka masyarakat papua memiliki kesempatan

utama dan perlakuan yang lebih baik dalam wilayah tanah papua di bidang

pemerintahan dan legislatif. (2) Pemerintah papua mendapatkan bantuan

affirmative dari kementerian tenega kerja dan transmigrasi dalam perencanaan

tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan, pelatihan kerja, dan pemerintah papua

memiliki hak pembinaan serta penempatan tenaga kerja di sektor sektor strategis di

wilayah papua. (3) Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan,

pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua.

(4) Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan

partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah

Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.(5) Penempatan penduduk di

Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh

Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur. (6) Penempatan penduduk

sebagaimana dimaksud pada poin 3 ditetapkan dengan Perdasi. (7) Setiap orang

berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/atau

pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (8) Orang asli Papua

berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan

dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan

dan keahliannya. (9) Dalam hal mendapatkan pekerjaan pada poin 6 di bidang

Page 361: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

155

peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi

Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua. (10) Ketentuan agar orang asli Papua berhak

memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak diatur lebih lanjut dengan

Perdasi.

30. Komunikasi dan Informatika

1. Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban

untuk mempercepat pembangunan pada aspek komunikasi dan informatika.

2. Dalarn rangka rnelaksanakan kewenangan pernerintahan di bidang komunikasi

dan informatika, pemerintah kabupaten/kota berwenang rnelaksanakan urusan

bidang pos yang meliputi:

a. pemberian izin pembentukan usaha jasa titipan;

b. pemberian izin usaha jasa titipan untuk kantor cabang; dan

c. penertiban usaha jasa titipan untuk kantor cabang.

3. Pemerintah Papua berwenang melaksanakan urusan bidang telekomunikasi

yang meliputi:

a. pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan

telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus, dan

kewajiban pelayanan universal skala wilayah;

b. pemberian izin untuk penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk

keperluan Pemerintah dan badan hukum di wilayah Papua sepaniang tidak

menggunakan spektrum frekuensi radio;

c. pengawasan terhadap layanan jasa telekomunikasi;

d. pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan

jaringan tetap lokal berbasis kabelcakupan provinsi;

e. koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di

bidang telekomunikasi;

f. pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi

diwilayah Papua; dan

g. pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.

4. Pemerintah Papua berwenang menetapkan pedoman pembuatan menara dan

pemberian izin galian untuk keperluan penarikan kabeltelekomunikasi lintas

kabupatenljalan provinsi.

5. Kewenangan lain di bidang pos, telekomunikasi, dan informatika bagi

Pemerintah Papua dan pemerintah kabupatenftota selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang berpedoman pada peraturan

perundang-undangan;

6. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memprioritaskan pembangunanantan

umat beragama dan rneningkatkan kehidupan yang harmohis, damai, dan kasih

di. Papua;

7. Pemerintah Papua berkewajiban:

a. menjamin kebebasan, mem'bina kenukunan, dan melindungi semua umat

benagama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan

yang dianutnya;

b. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat benagama;

c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan

d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara

proporsional berdasankan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

Page 362: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

156

31. Kampung

1. Kampung adalah kesatuan masyarakat hukun yang memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepmtingan masyarakat setempat berdasarkan asal-

usul dan adat istiadat seempat yang diakui dalam sis€m pemerintahan nasional.

2. Berdasarkan keasliannya kampung ditetapkan sebagai kampung asli dengan

memperhatikan karakteristik adat istiadat dan kearifan lokalnya,

3. Perangkat kampung terdiri dari pemerintahan kampung dan badan

permusyawafatan kampung

4. Efektifitas penyelenggaraan pemerintah kampung dilakukan penataan kampung

melalui : pembentukan kampung pengfupusan kampung penggabungan

perubahan status kampung dan penyesuaian keluraharu dengan maksud untuk

mempercepat perdnglotan keseiahteraan masyarakat mempercepat peningkatan

kualitas pelayanan publik meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; dan

merdngkatkan daya saing kampung.

5. Pembmhrkan kampung pada kawasan yang bereifat khusus dan Ftrabgis hanya

untuk nasional yang disetuiui oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah

IGbupaten/ Kota yang bersangkutan.

6. Kampung Asli memiliki kewenangan mengahrr dan mmgurus kepentingan

berdasarkan hak asal-usul adat istiadat dan nilai-nilai sosiat budaya masyarakat

dan melaksanakan bagian-bagian dari suaflr unrs.rn pemerintahan

pemerintahan kabupaten/ kota.

7. Kewenangan kampung mencakup :

a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan

nilai-nitai sosial budaya masyarakat;

b. Kewenangan lokal berskala kampung yang diakui kabupaten/kota;

c. Kewenangan peurerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang

dilimpahkan pelakmnaannya ke kampung dan

d. Masyarakat kampung ber hak : mmcari" meminta, mengawasi dan

memberikan informasi kepada pemerintah kampung bntang kegiatan

pemerintaha& pembangunan dan kemasyarakatan; memperoleh yang sama

dan adrl; mmyanpaikan saran dan pmdapat secara berhnggung jawab

tentang kegiatan pemerintahan, pemhngunan dan kemasyarakatan; memilih,

dipilih dan/atau dietapkan mmjadi kepala perangkat kampung lairurya

anggota Bamuskam dan lembaga kemasyarakatan kampung dan

mmdapatkan perlindungan dari ancanan ketentraman dan ketertiban;

8. Masyarakat kampung mempunyai kewajiban membela kepentingan

lingkungarurya; mimbangun diri dan lingkungarurya; telciptanya

penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakan yang

baik, mendorong terciptanya situasi yang anran; menghadiri dan gotong-royong

dan ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan di kampungya.

9. Kampung mempunyai hak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan nilainilai sosial budaya masyarakat

menetapkan Bamuskan dan perangkat kampung lainnya; mengelola

kelembagaan kampung; dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan

kampung.

C. Ketentuan lain-lain, Peralihan dan Penutup.

RUU-PP perlu mencantumkan norma yang mencabut UU Nomor 45 Tahun 1999

tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan 4 kabupaten/Kota karena telah

Page 363: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

157

diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa UU tersebut dinyatakan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga tidak boleh dijadikan sebagai dasar

hukum, namun harus dipikirkan dasar hukum bagi Provinsi Papua Barat dan 4

Kabupaten/Kota tersebut. Begitu pula UU 21 Tahun 2001 berikut UU 35 tahun 2008

perlu dicabut karena tidak sesuai lagi dengan kenyetaan saat ini.

Semua peraturan pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999, dan UU Nomor 21 Tahun

2001 harus disesuaikan dengan UU ini.

Page 364: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

158

BAB VII

P E N U T U P

A. Simpulan.

Simpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya bahwa:

1. Praktik penyelenggaraan pemerintahan terkesan sentralistik walau kebijakan

Negara telah memberikan status Otonomi Khusus untuk Papua. Hal ini terlihat

dari kewenangan yang telah diatur dalam UU Otsus ternyata tidak dapat

dilaksanakan secara baik karena intervensi pusat dalam melaksanakan

kewenangan tertentu yang bukan merupakan kewenangan pusat.

2. Dari aspek teori, Negara lewat Pemerintah telah berupaya untuk melindungi dan

mensejahterakan rakyatnya sesuai dengan tujuan Negara dalam UUD 1945 yang

seharusnya menjadi pedoman dan arah pemecahan masalah pemerintahan dan

pembangunan, namun terdapat kendala disekitar implementasi kewenangan, hal

tersebut terjadi karena setiap kewenangan yang telah diberikan dalam UU

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dikembalikan lagi kepada Pemerintah

Pusat, sehingga terkesan sentralistik. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam

pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua.

3. Asas-asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya hendaknya menjadi

pedoman dalam perumusan norma sehingga membawa kemaslahatan bagi

pemerintah dan bangsa Indonesia, khususnya Pemerintah di tanah Papua dan

masyarakat asli Papua.

4. Perbaikan materi muatan UU Nomor 21 Tahun 2001 harus dilakukan secara

menyeluruh, logis, rasional dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi di Tanah Papua sesuai kondisi faktual dan mampu mengantisipasi

perubahan masyarakat dan pemerintahan dimasa datang namun tetap berpijak

pada “roh” yang menjadi landasan filosofis dan nilai-nilai pada perumusan dan

pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2001.

B. Saran

1. Pemerintah pusat perlu memahami bahwa pemberian status Otonomi Khusus

untuk Pemerintahan di Tanah Papua membawa konsekwensi bahwa Pemerintah

di Tanah Papua memiliki kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, dan

mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua untuk

kesejahteraan masyarakat di Papua dan secara khusus Orang Asli Papua. Dengan

demikian setiap kewenangan yang telah dirumuskan dalam Rancangan Undang-

Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua apabila telah disahkan

harus diperlakukan berdasarkan asas Undang-undang yang berlaku khusus

mengenyampingkan UU yang berlaku umum (Lex Spesialis derogat lex

Generalis), sehingga kewenangan yang diatur dalam undang-undang lain harus

dikesampingkan.

2. Perlu diberi skala prioritas penyusunan Raperdasi dan Raperdasus dalam

Program Legislasi Daerah khusus yang berkaitan dengan sektor keuangan,

kesehatan, pendidikan, keagamaan, social, ekonomi kerakyatan, pemerintahan

Kampung/Adat.

3. Perlu diupayakan kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung

penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik berikut Rancangan Undang-

Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua lebih lanjut, melalui

Page 365: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

159

serangkaian Focus Group Disscusition (FGD) lanjutan atau konsultasi publik

dengan berbagai pemangku kepentingan baik di Pusat maupun di Daerah

termasuk masyarakat dan Pemerintahan Provinsi Papua Barat sebelum

Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua ini

diserahkan ke Pusat untuk ditetapkan.

Demikianlah naskah akademik yang berisi laporan kajian dan konsep awal RUU-

Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua telah dikaji dan dirumuskan untuk

diserahkan kepada Pemerintah dan DPR untuk proses selanjutnya.

Page 366: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

MASUKAN/TANGGAPAN

RAPAT HARMONISASI

RUU PEMERINTAHAN OTSUS BAGI PROV. DI TANAH PAPUA

24 Juni 2014

KEMENKUMHAM

Setneg:

• Izin Prakarsa sudah di Presiden

• Merupakan amanah presiden untuk segera diselesaikan dan masih banyak cat. Krusial. Mengingat

batas waktu yang sedikit, maka untuk tidak berlarut2 di harmonisasi dan diangkat di kemenko.

Setkab:

• Masih ada bbrp permasalahan substansi dan saat ini untuk dapat diselesaikan sesegera mungkin

Kemlu

• Jangan sampai RUU ini terkesan Transtitional, harus benar2 disisir dan diperhatikan setiap pasalnya

• Dalam setiap pembahasan untuk dilibatkan kemlu

• Arah Politik Hukum RUU, kesan Transtitional constitution sangat kuat, BAB 6 dan BAB 7 untuk

dihilangkan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Kemhan/TNI

• Selain 5 poin krusial dalam RUU masih terdapat permasalahan diantaranya, ketidaksesuaian judul

dalam pasal 341, pasal 326 ayat (2) yang berimplikasi pada tugas TNI dan peraturan per-uu-an yang

menyangkut pertahanan Negara.

• Perlu diperhatikan harmonisasi.

• Pasal 21 dan Pasal 22 sudah diatur dalam pasal 7 (redundan), tugas pertahanan merupakan

tanggung jawab pusat

• Pasal 21 dan 22 untuk dihapus

• Otsus tidak mengatur karir TNI, tidak perlu diatur dalam RUU

• Tugas lain TNI juga tdk perlu diatur dalam RUU

Kemenkeu

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Tambahan beban anggaran/fiskal perlu diperhatikan

• Pelaksanaan kebijakan fiskal

• Fiscal neutrality

• Obyek2 baru dana yang dibagi hasil, diselaraskan baik dengan UU hubungan keuangan daerah dan

pusat maupun RUU HKDP

• Kewenangan perpajakan agar tetap pengaturannya

ESDM

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Terkait kontrak migas

Kemenperindag

Page 367: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

• Rapat koordinasi internal terlebih dahulu terkait dengan Draft terbaru

Kementan

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Pasal 13 ayat (3) huruf I, kata “karantina” untuk dihilangkan dan jangan di atur dan di otonomikan,

hal ini untuk mencegah penyebaran penyakit.

Kemenhut

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Belum diakomodir terkait klaim Negara atas hutan (pasal 208)

• Pasal 208 hapus

• Pasal 215 ayat (3) hapus, kewenangan Negara dan gub menjadi duplikasi

• Pasal 244, penggeneralisasi sektor2 sebaiknya dihindarkan dan di restrukturisasi kembali

Kemenhub

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Sudah diakomodasi dalam RUU

• Tunjangan kemahalan tidak diperlukan, namun dapat saja dilakukan

• Apakah RUU ini sudah cerminan dari NA-nya?

• Sejauh mana keterpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat papua?

• Pembangunan infrasturktur yang dapat bersifat lex-spesialis untuk Papua

KKP

• Pasal 227 ayat (4) , pengaturan ZEE untuk dihilangkan

NakerTrans

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Masih ada bbrp substansi yg perlu dibahas dalam tim kecil, karena masih ada substansi atau

tanggapan yg belum diakomodir

PU

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Dalam NA, dalam bid. Infra bangunan direncanakan 50 th, namun dalam UU pembangunan tidak

dicantumkan tahunnya namun hanya standar mutunya saja

• Penjelasan umum, 6 kewenangan gubernur apakah tidak bertentangan dengan UUD 1945

• Akan ada masukan tertulis tambahan

• Ketentuan Penutup kurang tegas

KEmenkes

• Pasal terkait 279-286

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Pasal 281 redundan dgn Pasal 279

• Terkait narkoba, (Pasal 310) sudah diatur per-uu-an lain

Dikbud

• -

Page 368: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

Kemsos:

• -

Agama

• -

Pariwisata

• -

Kominfo

• Pasal 298-300

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Terkait Pers dan penyiaran perlu melibatkan Dewan Pers

Ristek

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Sudah diakomodir

Koperasi UKM

• UU 17 2014 dibatalkan MK, kembali kepada UU 5/92,

• Pasal 202 ayat (3), usaha simpan pinjam koperasi dst. Dihapus

• Pasal 203 ayat (1) untuk dipertimbangkan terkait perlindungan thdp usaha mikro

LH

• Urusan Pemerintahan Prov., urusan LH merupakan urusan wajib

• Pasal 13 ayat (3) huruf j ditambahkan kata wajib

• Penyesuaian terminologi Lingkungan Hidup

• Bab tersendiri terkait Lingkungan Hidup

• Alokasi Dana keuntungan dan Dana Penjaminan untuk penanggulangan Lingkungan Hidup

Pemberdayaan Perempuan

-

Kemenpan

-

KPDT

-

BAPPENAS

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Telah diakomodir dan sudah sesuai dengan masukan

• Penyaluran dana bagi hasil kepada perorangan atau golongan, sedangkan menurut UU kepada

Pemda hal ini perlu dipertimbangkan kemenkeu.

BUMN

Page 369: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda (Pasal 181, 183, 186, 191, 195, 233,

235, 242, 243, 244)

• Memperhatikan arahan presiden

Kemenpera

• Pasal 264 (1) bertentangan dengan UU 1/2011 dan UU 20/2011

• Perbaikan ayat (1) “tanggung jawab ada di pemerintah” namun di UU tanggung jawab oleh Negara

• Perhatikan teknis per-uu-an

Kemenpora

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Telah diakomodir dalam Pasal 307, 308, 309

MA

-

Kejaksaan

-

Polri

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Konsistensi nomenkaltur (kepala polisi di tanah papua dan kapolda Papua)

• Pasal 23 ayat (2),kebijakan urusan keamanan di koordinasikan kapolda kepada gubernur,

dihilangkan.

• Penegakan hukum harus independen tanpa perlu koordinasi atau meminta pertimbangan dengan

pihak lain

• Pasal 24 dihapus, sudah diatur

• Pasal 25 dihapus, sudah diatur

• Kurangnya pengawasan dan pengelolaan keuangan di papua

• Tidak sepenuhnya diserahkan sepenuhnya kepada papua

• Pemerintah menyiapkan pemimpin2 di papua yang berkualitas

KPU

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Masukan tambahan:

• Tujuan Otsus Papua untuk kesejahteraan Papua dengan memperhatikan kepentingan nasional

• Perlu dilihat lagi secara umum apa yang menjadi kewenangan pemerintah pusat

• Pemberdayaan masy. Papua dengan hanya difokuskan kepada masyarakat asli papua akan

memperlambat peningkatan kualitas sdm papua. Sebaiknya perlu dipertimbangkan dan

diperhatikan kembali.

• Pasal 135 tidak jelas sistem pemilihan gubernur

• Pasal 136, pemilihan bupati sudah jelas, namun pendelegasian pengaturannya tidak jelas apa yang

akan diatur lebih lanjut.

BPN

• Akan mempersiapkan tanggapan tertulis, perlu koordinasi internal terlebih dahulu

• Tanah adat, BPN telah mengeluarkan Perka BPN yang menjadi dasar pengaturan Tanah adat dan

telah diakomodir dalam RUU Pertanahan

Page 370: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …jdih.menlh.go.id/pdf/ind/IND-RANC-3-2012-R.UU PEM OTSUS BAGI PROV... · k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang

BNN

• Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda

• Masukan sama dengan kemenkes

BPPT

-

BNKKBN

-

UP4B

• Kenapa perlu ada RUU ini?

- Daerah tertinggal

- Budaya yang berbeda

- Hak dasar yang di persoalkan

• UU Otsus sebelumnya tidak dapat diterapkan dan sering lemah terhadap perdasus

• Kendala pembangunan papua:

- Izin yang lama

- Juklak juknis diatur oleh pusat sehingga sering tidak sesuai dengan keadaan di lapangan

- Pengendalian keuangan pusat

• Demokrasi tidak dapat diterapkan karena system kekerabatan yang kuat

Bpk. Aris

• Implementasi diperkuat (penguatan manajemen daerah Papua)

• Penguatan regulasi melalui revisi UU Otsus Papua

• Tetap dalam koridor NKRI dan tidak bertentangan dengan kebijakan Pusat