ragam kemasan pentas wayang kulit purwa sebagai media kampanye dan kaitannya dengan karakteristik...
TRANSCRIPT
RAGAM KEMASAN PENTAS WAYANG KULIT PURWA SEBAGAI
MEDIA KAMPANYE DAN KAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK
IDENTITAS DAN KONSTITUEN PARTAI POLITIK
DI WILAYAH EKS-KARESIDENAN SURAKARTA 1998-2009
PROPOSAL PENELITIAN
Oleh:
Rudy Wiratama
09/282836/SP/23591
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2010
Ragam Kemasan Pentas Wayang Kulit Purwa sebagai Media Kampanye dan
Kaitannya dengan Karakteristik Identitas dan Konstituen Partai Politik
di Wilayah Eks-Karesidenan Surakarta 1998-2009
A. Latar Belakang Masalah
Pakeliran wayang kulit purwa sebagai sebuah seni pertunjukan yang masih
terus hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak masa kemunculannya hingga
sekarang memiliki fungsi yang fleksibel untuk mewadahi berbagai kepentingan:
dari kepentingan estetik murni, ekonomi (lewat acara penggalangan dana sosial,
sarana mencari nafkah bagi dalang dan awak produksinya), pariwisata, religi
(lewat acara ruwatan, bersih desa dan sedhekah bumi), sosial budaya (dalam
peristiwa pernikahan, khitanan dan kelahiran), hingga politik. Sebagai sebuah seni
yang bersumber dari dalam lingkungan keraton sebagai pusat pemerintahan, tidak
dapat dipungkiri bahwa pakeliran wayang kulit purwa amatlah dekat dengan dunia
politik dan kekuasaan, sehingga amat mudah pula bagi para elit politik untuk
memanfaatkan seni pertunjukan ini sebagai salah satu sarana penyampai pesan
politis dalam bentuk yang amat beragam, mulai dari sekedar pengokohan
legitimasi, memori peristiwa politik, hingga kampanye negatif. Bahkan hingga
sekarang setelah kerajaan-kerajaan Jawa kehilangan kekuasaannya, para elit
politik mulai dari tingkat terbawah hingga pusat masih saja memanfaatkan media
pakeliran wayang kulit purwa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politisnya.
1
Bagi masyarakat Jawa Tengah sebagai pusat perkembangan dan daerah
penyangga kehidupan seni pakeliran ini, wayang telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan, bahkan mewarnai dan menjiwai berbagai aspek dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Meskipun cerita wayang kulit purwa berasal dari epos Hindu
Mahabharata dan Ramayana dan masyarakat Jawa kebanyakan menganut Islam
atau Kristen, internalisasi nilai-nilai dari dunia pewayangan ke dalam berbagai
aspek kehidupan orang Jawa terus berjalan hampir tanpa masalah, dari generasi ke
generasi. Meskipun dalam kurun-kurun waktu tertentu terjadi hambatan pewarisan
nilai dari dunia pewayangan akibat langkanya pertunjukan wayang dan hilangnya
ketertarikan dan pemahaman generasi muda orang Jawa akan pakeliran secara
teknis, baik dari segi kemasan pertunjukan maupun linguistik sebagai bahasa
pengantarnya, akan tetapi kelekatan orang Jawa dengan dunia pewayangan terus
hidup dan tumbuh setiap waktu, seiring dengan terjadinya inovasi-inovasi dalam
seni pakeliran wayang kulit purwa.
Kedekatan masyarakat Jawa Tengah dengan seni pertunjukan ini
mengakibatkan nilai-nilai budaya, sosial, religiusitas hingga politik dapat masuk
dengan lebih mudah ke dalam alam pikir mereka lewat kisah-kisah dan
karakteristik yang dibawakan oleh tokoh-tokoh utama pewayangan yang menjadi
model ideal bagi masyarakat, seperti Prabu Kresna, Bima, Arjuna, Gatotkaca dan
Panakawan. Kedekatan ini berlaku secara universal dalam berbagai lapisan sosial
pembentuk sistem masyarakat di Jawa Tengah, tanpa memandang tingkat
pendidikan, kesejahteraan materi ataupun ideologi, asal-usul dan keturunan. Hal
ini pula yang kemudian membuat seni pertunjukan wayang kulit purwa menjadi
2
sebuah media yang dipercaya ampuh untuk mengkomunikasikan berbagai pesan-
pesan politik dari berbagai pihak secara persuasif, terutama setelah masa
kemerdekaan, di mana dunia politik tidak lagi bersifat unipolar (satu kutub)
dengan keraton sebagai pusat politik dan pemerintahan, melainkan telah menjadi
multipolar (banyak kutub) disebabkan oleh banyaknya kekuatan kepentingan
politik yang pada hakikatnya berkedudukan sama dalam bingkai demokrasi.
Setelah pola kehidupan politik di Indonesia beralih ke era demokrasi, sifat
multipolar inilah yang kemudian menuntun masyarakat untuk menjadi dewasa dan
mampu menentukan pilihan guna mewadahi aspirasinya pada partai-partai politik
dan segenap organisasi afiliasinya. Di sisi yang lain pula, partai politik yang ,
selain memiliki dimensi pragmatik, juga memiliki dimensi idealistik tentunya
ingin mencitrakan diri sebagai sebuah perhentian yang tepat bagi para
konstituennya untuk mewadahi aspirasi politis mereka. Keinginan untuk mencapai
sebuah citraan ideal sebagai sebuah solusi bagi problematika masyarakat ini pula
yang mendorong partai politik ini bisa diwujudkan dengan berbagai cara, seperti
sosialisasi dan kampanye yang pada hakikatnya adalah proses transmisi stimulus-
stimulus komunikasi kepada simpatisan maupun konstituen potensial. Dalam
menghadapi kerangka ideologis masyarakat Jawa yang amat dekat dengan citra
dan idiom-idiom nilai pewayangan, organisasi-organisasi politik ini kemudian
tidak hanya sebatas memanfaatkan pementasan wayang kulit purwa sebagai
sarana pengumpulan massa (mass gathering) dan ditumpangi pesan-pesan
sosialisasi belaka, akan tetapi lebih jauh lagi dalam rangka pembangunan citra
politis ini para pemakai media pagelaran wayang kulit, dalam hal ini organisasi-
3
organisasi politik, mengidentifikasikan diri, atau bahkan mempersonifikasikan
identitas, ideologi dan cita-cita politisnya ke dalam lakon yang dipergelarkan,
khususnya lakon-lakon carangan atau fiksi yang memang banyak diciptakan
untuk itu.
Tren untuk menjadikan pagelaran wayang kulit purwa sebagai sarana
sosialisasi politik berbagai institusi ini sebenarnya sudah dimulai sejak Pemilu I
(1955) sampai akhir masa Orde Lama (1966), yang bahkan mengakibatkan
wayang kehilangan esensinya semula sebagai sarana hiburan yang mampu
memberikan pencerahan batin bagi penikmatnya. Pada masa Orde Baru pun, tren
seperti ini terus berlanjut, meskipun semangat yang dibawa sudah beralih menjadi
semangat propaganda penguasa, karena seni pertunjukan sebagai media
komunikasi pada saat itu masuk ke dalam pengawasan pemerintah lewat
kewajiban melaporkan konten dan meminta izin pentas kepada birokrasi dan
otoritas setempat. Setelah era reformasi berjalan (1998), wayang sebagai media
komunikasi politik menemukan kembali tempatnya di masyarakat. Dengan
semangat demokrasi dan pembaruan, tiap-tiap organisasi politik penanggapnya
selalu berusaha memasukkan konten-konten sosialisasi dengan gencar ke dalam
media pertunjukan wayang kulit purwa. Tidak seperti yang terjadi di era
sebelumnya, ketika kini wayang kulit purwa telah menjadi sebuah industri hiburan
(showbiz) tradisional yang bersifat sekuler, ruang gerak pemanfaatan media
kesenian ini sebagai sarana komunikasi politik menjadi semakin luas, tidak hanya
sebatas pembuatan lakon carangan saja, melainkan telah merambah ranah
kemasan (kitsch) dan berusaha untuk sekongruen mungkin dengan aspek
4
ekspektansi psikologis penonton selaku simpatisan dan konstituen potensial lebih
jauh lagi, yang akan kita bahas lebih lanjut dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Apa sajakah bentuk-bentuk penyampaian pesan sosialisasi politik yang
dikandung dalam media pakeliran wayang kulit purwa era 1998-2009?
2. Adakah pengaruh karakteristik identitas organisasi politik, ideologi, visi-
misi dan segmentasi konstituennya terhadap diversifikasi ragam kemasan
pakeliran wayang kulit purwa era 1998-2009?
3. Sejauh manakah efektivitas pakeliran wayang kulit purwa kemasan
sebagai sarana komunikasi politik dalam mempersuasikan pesan-pesan
politis organisasi penanggapnya bagi konstituen, baik nyata maupun
potensial?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diadakan untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui apa sajakah aspek seni pakeliran wayang kulit purwa
yang dipergunakan sebagai media komunikasi politik.
5
2. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik identitas organisasi politik,
ideologi, visi-misi dan segmentasi konstituennya terhadap diversifikasi
ragam kemasan pakeliran wayang kulit purwa era 1990-2009.
3. Untuk mencari ada tidaknya korelasi antara adaptasi dan diversifikasi
ragam kemasan pakeliran wayang kulit purwa dengan karakteristik
organisasi politik maupun konstituennya dengan tingkat keberhasilan
organisasi bersangkutan dalam pemenangan Pemilihan Umum (Pemilu),
baik legislatif, presidensil maupun kepala daerah di wilayah eks-
Karesidenan Surakarta era 1998-2009.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam segi akademis maupun praktis,
yaitu:
Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam kajian tentang
seni pertunjukan tradisional, khususnya pakeliran wayang kulit purwa dalam
ranah ilmiah, sehingga dapat memperluas wawasan dan pengetahuan tentang seni
ini dalam konteks akademik.
Manfaat Praktis
Lewat penelitian ini, diharapkan para pengguna sarana pertunjukan wayang kulit
purwa sebagai media komunikasi politik, baik dalang, penanggap maupun penulis
naskah lakon dapat mengetahui aspek mana sajakah yang tepat untuk disisipi
6
pesan politis dan seperti apakah respons masyarakat terhadap bentuk-bentuk
penyampaian pesan tersebut, sehingga di masa yang akan datang dapat
menetapkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien dalam penggunaan media
pakeliran sebagai sarana pengkomunikasian pesan politik. Di samping itu, hasil
penelitian ini juga sebagai masukan bagi masyarakat, khususnya para penikmat
seni pakeliran wayang kulit purwa, agar dapat bersikap kritis dan proaktif dalam
menyikapi peranan pakeliran sebagai media komunikasi politik, terutama ketika
muatan politis dalam seni pakeliran wayang kulit purwa telah melebihi batas
toleransi sehingga justru merusak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
E. Kerangka Pemikiran
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas dan mencapai tujuan
penelitian, peneliti akan menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan
teoretik-akademis dengan menggunakan teori-teori komunikasi politik untuk
membahas motivasi, mekanisme transmisi pesan, proses dan efeknya, sementara
untuk mengetahui latar belakang kultural, sejarah, aspek teknis pertunjukan dan
hal-hal lainnya, kami menggunakan pendekatan sosio-kultural, dengan
mengangkat tulisan-tulisan yang berkaitan langsung maupun tak langsung dengan
pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta yang kami jadikan sebagai objek utama
penelitian ini.
Secara etimologis, istilah “kampanye” (campaign) memiliki beberapa definisi
yang beragam. Kata kampanye sendiri dalam bahasa Inggris memiliki dua makna
7
yang berada dalam konteks yang jauh berbeda, yaitu: serangkaian tindakan untuk
mencapai sebuah tujuan tertentu, atau sebuah operasi militer yang dilaksanakan
dalam keadaan perang1. Tentu saja dalam konteks ini definisi yang mendekati
harapan kita adalah definisi pertama yang sayangnya masih terlalu luas, sehingga
perlu dipersempit lingkup bahasannya dengan menspesifikasikan istilahnya
menjadi “kampanye politik”.
Lilleker dan Negrine (2000) sebagaimana dikutip Firmanzah dalam Marketing
Politik, memberikan definisi tentang kampanye politik dalam konteks pemilihan
umum sebagai sebuah periode yang disediakan oleh panitia pemilu untuk
memaparkan program kerja dan memengaruhi opini publik sehingga mau memilih
partai politik tempat mereka berafiliasi atau kandidat yang mewakilinya.
Sementara Norris (2000) juga memberikan definisi yang hampir sama tentang
kampanye politik, akan tetapi lain halnya dengan Lilleker dan Negrine yang
memahami kampanye politik dari perspektif temporal, Norris mendefinisikan
kampanye politik sebagai sebuah aktivitas komunikasi politik di mana partai
politik atau individu kontestan menawarkan program kerja, sembari melakukan
pencitraan (imaging) di mata masyarakat bahwa merekalah yang paling peduli dan
tepat untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Dalam perspektif Norris,
kampanye politik tidak dibatasi oleh waktu, melainkan bisa saja terjadi dalam
aktivitas keseharian partai politik dalam kehidupan masyarakat2.
Judith S. Trent dan Robert V. Freidenberg dalam Political Campaign
Communication: Principles and Practices (2008) mengemukakan tentang peran
1 __________. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford University Press, p.58.2 Firmanzah. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, p. 270-271.
8
kampanye yang tak terpisahkan dengan citra kandidat dan pemilihan umum.
Baginya, kandidat, baik secara personal maupun institusional, bisa saja
sebenarnya lemah, berkekuatan finansial kurang atau memiliki kecacatan-
kecacatan lain untuk mendapat kedudukan sebagai officeholder atau pemegang
kekuasaan, dan kampanye memiliki tugas untuk menutup kekurangan itu guna
mengumpulkan dukungan rakyat dan menempatkan kandidat-kandidatnya dalam
jabatan-jabatan strategis kekuasaan. Menurut Trent dan Freidenberg pula,
kampanye dalam kehidupan demokrasi pada dasarnya memiliki suatu nilai
konstan, yaitu bagaimana untuk berhasil menempatkan kandidat-kandidat pilihan
rakyat dalam jabatan-jabatan strategis dan fungsional di pemerintahan, akan tetapi
tata laksana dan kemasannya makin lama bisa semakin berkembang, bahkan
sekarang kampanye bisa dilakukan tidak hanya di atas podium saja seperti pada
masa-masa awal demokrasi3. Konten sosialisasi politik berupa kampanye ini dapat
dimasukkan dalam ruang-ruang yang semula tak terjamah, semisal dalam bentuk
pertunjukan hiburan (panggung musik, teater, bahkan film), iklan, bahkan dalam
beberapa kasus tertentu sosialisasi politik telah merambah ranah agama.
Pada dasarnya, seiring dengan kompleksitas kehidupan politik dan
kemasyarakatan, kampanye politik sering dipetakan terbagi dalam empat tahapan
krusial, yaitu: (1) Pre-primer, (2) Primer, (3) Konvensi dan (4) Pemilihan Umum4.
Tahap Pre-primer, menurut Trent dan Freidenberg, adalah tahap ketika
kandidat mulai merumuskan siapa dirinya dan membentuk citraan ideal tentang
visi,misi dan ideologi yang hendak diangkatnya dalam pemilihan umum
3 Judith S. Trent dan Robert V. Freidenberg. Political Campaign Communication: Principles and Practices.Plymouth: Rowman and Littlefield, p. 4-54 Ibid.,p.22
9
mendatang. Dalam tahap ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pihak
partai politik untuk penunjukan kandidat dan persiapan transmisi pesan politik
kepada massa selaku komunikannya, yaitu: mendemonstrasikan kepantasan untuk
menjabat, menginisiasikan ritual politik, mempelajari jati diri kandidat dan
menentukan isu utama yang akan diangkat melalui kampanye dan pemilihan
umum mendatang5.
Tahap Primer adalah sebuah tahap ketika kandidat telah diperoleh dan mulai
disosialisasikan kepada masyarakat. Pada tahap ini masyarakat telah memperoleh
informasi yang cukup tentang siapa sebenarnya seorang kandidat itu dan mulai
terlibat dalam proses komunikasi politik. Tahap primer ini adalah tahap ketika
mulai terjadi transaksi pesan antara kandidat dan konstituennya secara praktis.
Pada tahap ini, massa mengenali partai politik dan programnya dalam
personifikasi kandidat, dan karenanya merasa lebih dekat lagi dengan wadah
aspirasi politisnya, terlebih apabila dalam proses komunikasi, sebagaimana
umumnya, para kandidat mulai turun ke lapangan dan memperkecil jarak dengan
konstituen melalui berbagai lawatan, kampanye dan aksi simpatik6.
Pada tahap selanjutnya, yaitu tahap Konvensi, konstituen telah bersepakat,
meskipun secara virtual, tentang siapa yang akan mereka dukung pada pemilu
mendatang. Pada tahap ini, keterlibatan dimensi simbolik komunikasi politik
kandidat atau partai yang telah mentransmisikan pesannya kepada konstituen akan
lebih berperan penting dibandingkan dimensi pragmatis-transaksional yang
dipergunakan di dua tahap sebelumnya. Pada tahap ini,kandidat telah terjauhkan
5 Ibid, p.27-326 Ibid.,p.48-49.
10
dari masyarakat dan hanya bisa diakses oleh media-media besar. Akan tetapi, di
sisi lain citraan kandidat dan partai telah menjadi baur dan hidup di benak
masyarakat, sehingga masyarakat yang semula tak terafiliasi dalam organisasi
politik tertentu sekarang berubah menjadi semacam kader virtual yang
mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari sang kandidat atau partai. Pada
tahap ini legitimasi dibangun lewat ritual-ritual politik. Tidak diperlukan lagi
sosialisasi politik yang bersifat persuasive pada tahap ini karena pada hakikatnya
telah terjadi integrasi massa ke dalam faksi-faksi kandidat atau partai. Di sini
sosialisasi politik telah berubah fungsi menjadi integratif, memelihara solidaritas
partai dan konstituen sehingga lebih siap menghadapi pemilihan umum.
Tahap keempat, yaitu Pemilihan Umum, adalah tingkatan terakhir dari
keempat tahap tadi, sekaligus merupakan puncak dari proses komunikasi politik
yang dirintis dalam ketiga tahap sebelumnya, karena pada saat ini yang dapat
diamati hanyalah aspek kuantitatif lewat hasil penghitungan perolehan suara dan
persebarannya7.
Penggunaan wayang kulit purwa sebagai media kampanye dapat ditemukan,
terutama pada tahap kedua dan ketiga, meskipun ada beberapa kasus yang akan
dibahas lebih lanjut tentang penggunaan wayang kulit purwa sebagai media
sosialisasi tahap pre-primer yang juga sering diketemukan di daerah eks-
Karesidenan Surakarta.
Dan D. Nimmo dalam Political Persuaders: The Techniques of Modern
Election Campaigns (2001) menjelaskan bahwa pada hakikatnya, kampanye
adalah sebuah proses komunikasi di mana seorang kandidat mempersuasi massa
7 Ibid. p.52-53 dan 59.
11
dengan simbol-simbol dan citraan politis tertentu, untuk meningkatkan
kepercayaan kepadanya, menumbuhkan rasa khawatir akan kemenangan lawan
politik, serta menciptakan debat-debat ilusif antar visi-misi, kandidat ataupun
partai politik8.
Nimmo juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang membentuk pilihan
masyarakat pada masa pemilu amatlah sedikit dipengaruhi campaign appeal yang
dimiliki oleh seorang kandidat. Sebaik apapun kandidat dalam kehidupan nyata,
menurut Nimmo, harus didukung dengan kemasan yang baik, berdasarkan asumsi
dan teknik komunikasi tertentu. Hal ini perlu, terutama bila mengingat bahwa
pemilu sebenarnya adalah tempat yang disediakan bagi keinginan-keinginan
individual untuk ditransformasikan ke dalam wujud kebijakan-kebijakan, lewat
pemenangan kandidat dalam pengambilan suara dan bila individu tertentu saja
yang dipergunakan sebagai senjata sosialisasi akan kurang menguntungkan,
karena pada dasarnya sebaik apa pun individu yang diusung oleh sebuah partai
pasti memiliki kecacatan, kelemahan dan tidak bisa memenuhi harapan orang
banyak. Oleh karenanya, sifat komunikasi yang harus diberikan hendaknya tidak
hanya bersifat mekanis-kognitif, akan tetapi juga menyentuh ranah psikologis-
afektif dari para pemilih, untuk meyakinkan mereka memilih sebuah wadah
aspirasi dengan menciptakan anggapan bahwa mereka telah menjatuhkan pilihan
yang tepat dan sebangun dengan bidang pengalaman mereka9.
Anthony dan Ula Manzo dalam Content Area Reading: a Heuristic
Approach (1990) menjelaskan pula bahwa dalam kegiatan komunikasi persuasif,
8 Dan D.Nimmo. Political Persuaders: The Techniques of Modern Election Campaigns.New Jersey: Translation Publishers, p. 39. 9 Nimmo, op.cit.
12
terutama kampanye, ada delapan pendekatan yang bisa digunakan untuk meraih
simpati massa, yaitu:
1. Testimonial, ialah menggunakan kesaksian-kesaksian dari orang yang
dianggap dekat di hati masyarakat tentang seorang kandidat atau partai, bisa
artis, tokoh agama, ataupun politisi lain yang lebih dulu berkecimpung di
dunia politik dibandingkan dengan kandidat yang tengah mencalonkan diri
2. Plain folks, ialah tindakan merendahkan diri, membuat gambaran ilusif di
mata masyarakat bahwa para kandidat atau fungsionaris partai ini sebenarnya
adalah bagian yang melekat erat dalam masyarakat dan karenanya sudah
sepantasnya masyarakat mendukung mereka yang menampilkan diri sebagai
“saudara” yang mudah dijangkau. Praktek plain folks ini bisa menggunakan
metode verbal (dengan pidato) atau nonverbal (bisa dengan kunjungan ke
basis konstituen, penanggalan atribut-atribut kebesaran, dan lain sebagainya)
3. Snob folks, berkebalikan dari plain folks, metode ini menganjurkan agar para
kandidat atau fungsionaris partai politik yang bersangkutan meninggikan diri,
menunjukkan superioritas yang membuat mereka pantas untuk dipilih
dibandingkan dengan calon lain
4. Name Calling, ialah tindakan pelabelan terhadap institusi atau individu lawan,
baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dalam konteks peyoratif
atau melecehkan. Tindakan ini amat tipis perbedaannya dengan black
campaign yang tidak diperbolehkan dalam tata aturan kampanye, dengan
tingkat toleransi yang disesuaikan dengan norma dan nilai yang dianut
masing-masing negara
13
5. Glittering generalities, ialah tindakan yang menggambarkan fakta secara
berlebihan atau gemerlapan, untuk membujuk massa agar percaya kepada
kandidat tanpa perlu menguji kebenaran fakta tersebut di lapangan. Biasanya
dapat dilakukan bila sebuah institusi kandidat atau partai politik yang
mendukungnya telah melakukan sebuah prestasi
6. Scientific slant, berbeda dengan metode di atas, meskipun bertendensi sama,
metode ini mengajukan fakta-fakta berdasarkan hasil analisis statistik dan
penelitian, meskipun kesimpulannya tetap diambil secara sepihak, sehingga
fakta tersebut menguntungkan bagi institusi yang mengajukannya ke muka
umum
7. Transfer, ialah penguatan penggunaan simbol-simbol yang sebenarnya kurang
terkait dengan titik acuan yang seharusnya dicapai, semisal pembelian produk
tertentu yang diidentifikasikan dengan sebuah gerakan sosial dan politik,
meskipun sebenarnya besarnya volume pembelian dari produk tersebut kurang
berpengaruh langsung kepada gerakan itu sendiri
8. Bandwagon, ialah penggunaan hiburan untuk persuasi. Berpijak dari pendapat
Wilbur Schramm (1948) bahwa khalayak cenderung memilih komunikasi
yang mereka sukai, penggunaan hiburan, terutama yang telah lama hidup dan
dekat dengan masyarakat, di berbagai belahan dunia telah menjadi komoditas
kampanye yang begitu berharga, karena dengan mengadakan acara hiburan
ini, partai politik atau kandidat selaku penyelenggara menganggap dirinya
mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat, dan berharap masyarakat
pun akan memberikan respons yang sama, sehingga mereka mau menerima
14
persuasi selanjutnya tentang saran-saran untuk memilih suatu partai atau
kandidat individual10.
Berdasarkan pendapat tersebut, pertunjukan wayang kulit dengan dimensi
hiburan dan media secara teknis maupun nonteknis pertunjukan dapat meliputi
semua metode tersebut dalam segi teknis maupun muatannya, sehingga dianggap
efektif untuk dijadikan media sosialisasi politik, terutama kampanye politik.
Sri Muljono dalam bukunya Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya
(1976) mengungkapkan bahwa cikal bakal penggunaan wayang kulit purwa
sebagai media kampanye politik telah sejak dahulu terjadi ketika pakeliran
wayang kulit purwa tumbuh di bawah patronase para elit politik, semisal kaum
aristokrat maupun raja sendiri. Berkaitan dengan itu, kedekatan wayang kulit
purwa dengan para pemegang kebijakan ini mengakibatkan bentuk kesenian ini
memiliki fungsi ganda sebagai sarana ekspresi seni murni dan wahana legitimasi
dan hegemoni yang dipergunakan oleh para bangsawan guna meraih kepatuhan
dan dukungan dari rakyatnya. Sebagai suatu contoh, Airlangga (1019-1042)
memerintahkan Pu Kanwa untuk menulis Kakawin Arjunawiwaha untuk
mengenang kisah pengembaraannya hingga mampu mengalahkan raja di
Wurawari, sementara Jayabhaya (1135-1157) memerintahkan dua pujangga
kerajaan, Pu Sedah dan Pu Panuluh untuk menulis Kakawin Bharatayuddha guna
mendapatkan pembenaran atas perang saudara yang disulutnya atas kakak tirinya,
yaitu Hemabhupati. Dalam kedua kasus ini kedua raja tersebut menempatkan diri
sebagai sosok protagonis, yaitu Arjuna dan Pandawa, sementara pihak lawannya
10 Anthony Casale dan Ula Casale. Content Area Reading: a Heuristic Approach. Ohio: Merrill Publishing Co., p.253.
15
ditempatkan sebagai kaum raksasa atau Kurawa. Kedua kakawin ini kemudian
menjadi sumber cerita wayang kulit purwa yang berkembang pada saat itu. Pada
masa-masa sebelumnya, seperti Mataram Hindu, belum ada catatan yang
berkaitan dengan penggunaan wayang sebagai sarana komunikasi politik, bisa jadi
karena belum terlalu memasyarakatnya kesenian ini, atau karena para raja dan
bangsawan lebih senang mengidentifikasikan diri mereka secara mitologis dengan
para dewa Hindu dibandingkan dengan para tokoh Mahabharata atau Ramayana
yang masih manusia biasa11.
Kathy Foley, sebagaimana dikutip oleh Kanti W.Walujo dalam bukunya
Wayang Kulit as a Medium of Communication (1995) menegaskan bahwa dalam
perspektif komunikasi wayang memiliki dua dimensi transmisi pesan secara
vertikal : yaitu sebagai penyampai pesan pembangunan ke pemerintah dan sebagai
penyampai aspirasi rakyat, di samping fungsi sosial yang mewadahi transmisi
pesan horizontal sebagai kontrol sosial, media penyampaian gagasan dan
penanaman nilai-nilai. Karenanya wayang amatlah relevan tidak hanya sebagai
penghubung mekanis antara pemerintah dan masyarakat, pemilih dan partai
politik belaka, akan tetapi di sisi lain juga sarana penanaman nilai-nilai ideal
politis yang telah masuk ke ranah abstrak, ranah ideologis12.
Selain imbas yang diberikan kepada masyarakat selaku objek kampanye,
penggunaan wayang kulit purwa sebagai media komunikasi politik ternyata
memberikan dampak kepada pertunjukan wayang kulit purwa itu sendiri.
11 Sri Mulyono. Wayang,Asal-usul,Filsafat dan Masa Depannya.Jakarta: Alda, p.232-233.12 Kathy Foley dalam Kanti W.Walujo. Wayang Kulit as a Medium of Communication. Surabaya : Fakultas Komunikasi Universitas Dr. Soetomo, p.4-5.
16
S. Haryanto dalam Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan
Wayang (1988) mencatat bahwa semenjak masa kemerdekaan penggunaan
wayang kulit purwa sebagai media komunikasi politik telah memunculkan ragam-
ragam baru dalam pementasannya, seperti dengan kemunculan peraga-peraga
Wayang Pancasila yang memperkenalkan tokoh Pandawa dan Panakawan dengan
atribut pejuang, lakon-lakon sindiran yang menceritakan Proklamasi
Kemerdekaan hingga Agresi Militer II (1945-1949) dan lain sebagainya13. Lebih
jauh lagi, setelah menginjak era Pemilu I dan seterusnya, penggunaan wayang
purwa sebagai sarana komunikasi politik menjadi lebih kompleks, karena
kepentingan yang menggunakannya tidak lagi semata-mata kepentingan nasional,
melainkan telah menjelma menjadi kepentingan parsial yang memuat ideologi dan
program kerja partai-partai tertentu yang menanggapnya14. Setelah masa Orde
Baru, tendensi politik ini makin terwadahi semenjak secara organisasional para
dalang Indonesia tergabung dalam Senawangi (Sekretariat Nasional Pewayangan
Indonesia), Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) dan Ganasidi (Gabungan
Nasional Seniman Dalang Indonesia), yang kesemuanya adalah bentukan dan
13 S. Haryanto. 1988. Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan, p: 184.
14 Wawancara dengan dalang senior dari Surakarta, Ki Bambang Suwarno,S.Kar, M.Hum, tanggal 3 April 2010. Dalam wawancara ini beliau menyebutkan beberapa contoh seperti ketika terjadi konflik Soekarno-Nasution, para dalang di Jawa Tengah, terutama dalang-dalang anggota Lekra (Lembaga Kesenian Ra’jat) menciptakan genre lakon-lakon “Kembar”, seperti Gathutkaca Kembar, Kresna Kembar Telu, Janaka Sewu dan lain sebagainya. Keterangan yang hampir sama didapatkan dari Ki Sutarko Hadiwacono dan Ki Hali Djarwosularso, tentang penggantian lambang negara Amarta dari “Kalimasada” (Ketuhanan) menjadi “Polorito” (Palu Arit-lambang Partai Komunis Indonesia) dan adanya tokoh wayang Jaran (kuda) yang secara peyoratif dimaksudkan untuk melecehkan faksi Islam (Masyumi-NU-Muhammadiyah) dengan tatahan berbentuk “bulan-bintang” di kepalanya, dan tokoh Banteng yang digambar serupa dengan logo PNI (Partai Nasional Indonesia) yang memang berbentuk banteng.
17
asuhan tokoh-tokoh pemerhati budaya yang mayoritas adalah tokoh-tokoh
birokrasi dan Golkar (Golongan Karya) yang memang berkuasa pada saat itu.
Keterangan yang hampir sama didapatkan pada buku Umar Kayam yang
berjudul Kelir Tanpa Batas (2001) yang menyatakan bahwa secara paradoksal
perhatian lebih yang diberikan birokrasi dan institusi politik kepada seni
pertunjukan wayang kulit purwa justru menjadikan wayang purwa kehilangan
makna sejatinya sebagai “tontonan dan tuntunan”, akan tetapi terlepas dari
penilaian etis atas fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa campur tangan
insititusi politik dalam penggunaan wayang kulit purwa sebagai sarana
sosialisasinya menciptakan ragam-ragam baru dalam pertumbuhan dan
perkembangan seni wayang kulit purwa sebagai seni kemasan dan seni
pertunjukan dalam usaha mempertahankan eksistensinya di masyarakat Indonesia
yang semakin modern15.
Bambang Murtiyoso dalam Menggapai Popularitas: Aspek-aspek Pendukung
Menjadi Dalang Kondang (2005) mencatat pula bahwa timbulnya keragaman
variasi pakeliran yang bermotifkan politik sebenarnya terjadi bukan hanya karena
ikatan masyarakat dengan dalang dan pertunjukannya semata, akan tetapi juga
semacam “balas budi” yang dilakukan oleh dalang akibat sebuah institusi politik
bersedia menjadi sponsor utama dalam pementasannya, bahkan mampu
mengorbitkan dirinya menjadi seorang dalang ternama16.
15 Umar Kayam. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media, p. 230-232.16 Bambang Murtiyoso. Menggapai Popularitas: Aspek-Aspek Pendukung menjadi Dalang Kondang. Surakarta: ISI Press, p. 46.
18
Dari berbagai uraian dan sumber di atas, dapat kita ambil pokok-pokok
pemikiran utama yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya pada penelitian
ini, yaitu:
1. Penggunaan wayang kulit purwa sebagai media komunikasi politik
sejiwa dengan semangat kampanye itu sendiri, yang bersifat populis dan
persuasive. Dalam tendensi ini, wayang tidak kehilangan esensinya
sebagai sarana hiburan, namun mengalami penyusutan dalam dimensi
nilai. Lepas dari perspektif etika, penggunaan wayang kulit purwa
sebagai media komunikasi politik oleh institusi-institusi politik dalam
bentuk kampanye justru memberi banyak ruang bagi diversifikasi
ragam kemasan pakeliran wayang kulit purwa dewasa ini.
2. Sifat politik yang multipolar mengakibatkan khalayak terbagi dalam
berbagai bidang minat (field of interest) yang memiliki segmentasi yang
jelas. Sebaliknya, dari sisi institusi politik, setiap partai pun memiliki
segmentasi pemilih tersendiri, sesuai dengan karakteristik dan ideologi
yang diangkat sebagai asas dasar partai masing-masing. Faktor ini
ternyata juga mempengaruhi bentuk-bentuk persuasi dan komunikasi
politik yang dilakukan masing-masing partai dan begitu pula bagi
medianya, dalam kasus ini pertunjukan wayang kulit purwa. Sifat
pagelaran baik secara teknis maupun nonteknis akan selalu disesuaikan
dengan kebutuhan, karakteristik dan segmentasi pemilih yang disasar
oleh sebuah institusi politik atau partai, dengan asumsi semakin
kongruen media dengan karakteristik partai dan konstituennya, semakin
19
efektif pula transmisi pesan politik yang dilakukan oleh partai atau
kandidat individual penanggapnya.
Kedua pokok pemikiran ini akan menjadi landasan peneliti dalam pengumpulan
data dan analisa kasus pada bab-bab selanjutnya.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam kasus ini, peneliti membatasi diri untuk mengkaji pertunjukan-pertunjukan
wayang kulit purwa yang berfungsi sebagai media kampanye politik di eks-
karesidenan Surakarta dengan spesifikasi sebagai berikut:
1. Objek yang diteliti hanya sebatas pakeliran wayang kulit purwa gaya
Surakarta, mengingat pakeliran dalam gaya inilah yang wilayah
persebarannya paling luas dan memiliki jumlah penggemar paling banyak,
sehingga lebih efektif sebagai sarana komunikasi politik. Di sisi lain,
partai-partai penanggap kebanyakan menanggap pakeliran bergaya
Surakarta, mengingat lokasi pertunjukan berada dalam cakupan wilayah
kultur Mataraman-Surakarta pula.
2. Daerah penelitian dibatasi pada daerah yang secara administratif termasuk
eks-karesidenan Surakarta saja, meliputi: Kota Surakarta dan kabupaten
Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri dan Sragen. Dimensi
temporal pada penelitian ini pun hanya mencakup periode pasca-
pemerintahan Soeharto (setelah Mei 1998) sampai Desember 2009.
20
3. Peneliti mengklasifikasikan dalang sebagai pelaku utama pertunjukan
dalam tiga kategori, yaitu: dalang profesional yang bukan simpatisan
partai, dalang profesional simpatisan partai, dan fungsionaris partai yang
berperan sebagai dalang. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mengambil
beberapa sample dalang yang dianggap besar pengaruhnya dalam
pakeliran gaya Surakarta. Pada kategori pertama terdapat nama-nama
seperti: Ki H. Anom Suroto (Surakarta), Ki H. Manteb Soedharsono
(Karanganyar), Ki Enthus Susmono (Tegal)17, Ki Warseno Harjodarsono
(Sukoharjo) dan ki Purbo Asmoro (Surakarta). Pada kategori kedua
terdapat nama-nama: Ki Djoko Hadiwidjojo (Ungaran-simpatisan PAN),
Ki Sayoko Gondosaputro (Klaten-simpatisan PDI dan sempat beralih ke
PAN), Ki Sri Susilo (Boyolali-simpatisan PDI-P) dan Ki GPH Benowo
(Surakarta-simpatisan PAN). Pada kategori ketiga kami mengambil
sampel yaitu: Untung Wiyono (bupati Sragen-PDI-P) dan Begug
Purnomosidhi (bupati Wonogiri-PDI-P).
4. Partai politik yang kami jadikan variabel pengamatan hanyalah partai-
partai politik yang memiliki frekuensi tinggi dalam penggunaan wayang
kulit purwa sebagai media komunikasi politik selama 1998-2009,yaitu:
Golkar, PDI-P, PAN dan PKB. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
meskipun pernah mengadakan pertunjukan wayang kulit pada tahun 2009
tetap tidak kami anggap masuk dalam kategori, karena pertunjukan
diadakan dalam kapasitasnya sebagai Presiden dan dalam rangka Hari
17 Ki Enthus Susmono dan Djoko Hadiwidjojo masuk dalam kategori sampel mengingat: 1. keduanya mengangkat pakeliran gaya Surakarta, 2. keduanya memiliki frekuensi pentas cukup tinggi di wilayah eks-karesidenan Surakarta.
21
Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-64, bukan dalam konteks politik
kepartaian.
5. Konteks-konteks temporal dan situasional pertunjukan wayang yang
dibahas dalam penelitian ini hanya meliputi: pertunjukan wayang kulit
yang dikhususkan untuk kampanye pada waktu yang disediakan oleh
panitia Pemilu, pertunjukan wayang kulit yang diadakan institusi politik
non-negara dalam keadaan di luar waktu kampanye (hari ulang tahun
partai dan sebagainya) dan pertunjukan wayang kulit yang diadakan oleh
individu, dalam kapasitasnya sebagai kandidat atau fungsionaris partai
politik yang berada di luar waktu kampanye dan lingkungan organisatoris
partai, namun tetap memuat tendensi politik di dalamnya.
DAFTAR REFERENSI
22
A. KEPUSTAKAAN
__________.2008. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford
University Press
Casale,Anthony dan Casale, Ula.1990. Content Area Reading: a Heuristic
Approach. Ohio: Merrill Publishing Co.
Firmanzah.2008. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Foley,Kathy, dalam Walujo,Kanti W.1995. Wayang Kulit as a Medium of
Communication. Surabaya : Fakultas Komunikasi Universitas Dr. Soetomo
Haryanto,S. 1988. Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang.
Jakarta: Djambatan
Kayam, Umar.2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media
Mulyono,Sri.1976. Wayang,Asal-usul,Filsafat dan Masa Depannya.Jakarta: Alda
Murtiyoso, Bambang.2005. Menggapai Popularitas: Aspek-Aspek Pendukung
menjadi Dalang Kondang. Surakarta: ISI Press
23
Nimmo,Dan N. 2001. Political Persuaders: The Techniques of Modern Election
Campaigns.New Jersey: Translation Publishers
Trent,Judith S.,dan Freidenberg,Robert V., 2008. Political Campaign
Communication: Principles and Practices. Plymouth: Rowman and
Littlefield
B. WAWANCARA
Ki Bambang Suwarno, S.Kar, M.Hum (59), dalang senior, Surakarta.
Ki Hali Djarwosularso (61), dalang senior, Surakarta.
Ki Purnomo, S.Sn (32) dalang profesional, Surakarta.
24