rabu, 9 maret 2011 | media indonesia berdayakan yang ter · lantas apa bentuk pember-dayaan dan...

1
22 F OKUS NU RABU, 9 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA Berdayakan yang Ter Abaikan Warga Terasing Melanggar HAM PEMDA dan perusahaan dini- lai melanggar hak asasi manu- sia (HAM) jika mengabaikan keberadaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Itulah alat pamungkas Ke- menterian Sosial saat meng- hadapi persoalan mereka yang tidak merespons perlunya pemberdayaan. Lantas apa bentuk pember- dayaan dan kendala yang di- hadapi? War- tawan Media Indone- sia Kennorton Hutasoit me- wawancarai Direktur Pember- dayaan KAT, Suyoto Sudjadi, di Jakarta, pekan lalu. Berikut petikannya. Sejak kapan ada program KAT dan apa tujuannya? Dimulai sejak 1999, sebe- lumnya program ini disebut suku terasing pada 1971 dan masyarakat terasing pada 1980. Sesuai Keppres RI Nomor 111/1999 KAT adalah kelom- pok sosial budaya yang ber- sifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi, dan poli- tik. Program ini bertujuan untuk memberdayakan segala aspek kehidup- an dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, ro- hani, maupun sosial. Berapa jumlah KAT? Berdasarkan data direktorat ada sebanyak 213.080 kepala keluarga (KK). Populasinya kami perkirakan mendekati 1 juta orang dengan perkiraan jumlah anggota keluarga per KK berkisar 3-4 orang. Namun jumlah yang belum terdata mungkin saja mencapai jumlah yang terdata saat ini. Mengapa banyak yang be- lum terdata? Sulit mendata mereka kare- na mereka menyebar di pe- dalaman, pantai, dan hutan yang jauh dari permukiman masyarakat. Tidak adanya akses jalan menuju tempat-tem- pat mereka juga menyulitkan pendataan. Untuk menjangkau mereka, di beberapa tempat dibutuhkan satu hari berjalan kaki. Bahkan di Papua butuh seminggu lamanya. Apalagi di Papua, masih banyak yang hidup di atas pohon. Suku yang hidup di pantai, mereka hidup di atas perahu dan se- lalu berpindah-pindah. Begitu juga yang tinggal di pedalam- an, mereka juga berpindah- pindah. Ketika di satu lokasi bahan pangan umbi-umbian habis dan bahan buruan sudah sulit didapat, mereka pindah lagi ke tempat lain. Ada kendala lain? Tidak sedikit pemda yang kurang peduli terhadap KAT. Ketika mereka kurang peduli, kami kesulitan melakukan pendataan. Bagaimana kementerian menghadapi pemda yang kurang peduli itu? Kami mengingatkan bahwa masalah KAT juga tanggung jawab pemda. Kami juga sering mengingatkan bahwa masalah KAT itu salah satu poin dalam evaluasi kinerja dan keber- hasilan pemda. Bagi kepala daerah yang tidak merespons sama sekali, tidak jarang kami memberi peringatan bahwa mengabaikan KAT merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, kepala daerah yang mengabaikan KAT bisa dilaporkan ke Komnas HAM se- bagai pelaku pelanggar HAM. Lembaga lain yang terli- bat? Khusus untuk pendataan, se- lain pemda, Badan Pusat Statis- tik (BPS) juga berperan penting. Data KAT yang ada sekarang ini hasil pendataan kementerian, pemda, dan BPS. Kami rencana- kan akan mendata lagi populasi KAT, karena sudah ada laporan dari daerah ditemukannya lokasi-lokasi KAT yang selama ini belum terdata. Lembaga yang menangani pada tahap purnapember- dayaan? Ini persoalannya sekarang. Di beberapa tempat, KAT yang sudah masuk dalam tahap purnapemberdayaan, mereka tidak langsung mendapat pem- berdayaan ekonomi sebagai keluarga miskin. Ke depan, kami berupaya agar mereka masuk kategori miskin yang langsung difasilitasi dengan pemberdayaan ekonomi melalui pengembangan kelompok usaha bersama (kube) atau program- program lainnya. Ini penting agar jangan sampai mereka kem- bali ke habitat semula karena tidak bisa bertahan hidup setelah memasuki tahap purnapember- dayaan. (N-3) Menjaga Indonesia bukan pada segelintir orang saja. Sebab, negeri kepulauan ini juga dihuni komunitas adat terpencil, yang hak hidup mereka kerap dilangkahi. KENNORTON HUTASOIT S UKU Anak Dalam, Togutil, Badui, Papua, dan Dayak sejak lama populer dalam rekam- an antropologi tentang peng- huni Nusantara. Mereka hanya segelintir masyarakat dari total suku ter- pencil di Tanah Air yang jum- lahnya mencapai jutaan jiwa. Keberadaan mereka mem- buat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen dengan beragam suku dalam bingkai Negara Kesatuan RI. Oleh karena itu, upaya membangun mereka agar bisa mengikuti suku lain yang su- dah lebih dulu membangun harus dioptimalkan. Suku-suku terpencil sama seperti suku atau orang-orang modern yang memiliki hak sebagai penduduk dan dijamin konstitusi. Mereka seharusnya memperoleh ke- butuhan pangan, pakaian, rumah, pendidikan, pengembangan tradisi dan budaya. Namun, itu masih jauh dari harapan. Mereka yang belum menda- pat hak-hak dasar, menurut Direktorat Pemberdayaan Ko- munitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosial pada 2009, mencapai 127.672 kepala ke- luarga atau 59,92% dari total 213.080 keluarga yang dika- tegorikan sebagai KAT. Setiap keluarga rata-rata beranggotakan 3-4 orang se- hingga total populasi KAT sekitar 1 juta orang dan yang belum diberdayakan mencapai 500 ribuan orang. Mereka hidup di 2.971 lokasi, menyebar di 263 kabupaten dan 27 provinsi. Hidup dalam kelompok kecil yang homogen, tertutup dari dunia luar, relatif sulit dijangkau, nomaden, dan sangat bergantung pada alam tempat mereka tinggal. Adapun sekitar 2.323 keluarga dari total KAT nasional terdapat di Halma- hera Utara. Mereka adalah suku Togutil, Boen, Togisoro, dan Togosoaka, yang me- nyebar di 25 lokasi baik pedalaman, hutan, mau- pun pantai. Khusus di Pulau Halmahera, dari enam kabupaten di sana, populasi terpencil terbanyak terdapat di Hal- mahera Utara. Selanjutnya, populasi terpen- cil terbanyak kedua di Kabu- paten Sula deng- an jumlah 1.424 keluarga. Pemerintah Ka- bupaten Halma- hera Utara terhitung satu yang serius me- nangani pemberdayaan KAT. Permukiman KAT Talaga Paca, Tobelo Selatan, termasuk satu di antara program pember- dayaan KAT yang berhasil. “Kami terus berupaya me- menuhi hak-hak dasar mere- ka,” kata Bupati Halmahera Utara Hein Namotemo. Memang sejumlah pihak mengkhawatirkan pember- dayaan akan mengeliminasi tradisi dan kebudayaan KAT. Kearifan lokal selama tinggal di habitat mereka juga akan sirna. Toh, menurut Hein, hal itu tak perlu dikhawatirkan. “Yang kami lakukan membe- rikan fasilitas agar mereka bisa memenuhi kebutuhan pangan, pakaian, dan rumah. Mengenai tradisi dan budaya, mereka ka- pan saja bisa menampilkannya, misalnya saat pesta atau hari besar,” ujarnya. Adapun KAT di Halmahera Utara memelihara kearifan lokalnya. Mereka menjaga hutan karena bergantung pada umbi dan hewan buruan yang ada di sana. Bahkan komunitas mengatur wilayah kekuasaan hutan masing-masing. Antarkomunitas di sana juga membuat perjanjian. Yakni, komunitas yang satu tak boleh mengambil hasil hutan yang merupakan wilayah kekuasaan komunitas lain. Sementara komunitas di pantai, mereka tidak merusak terumbu karang karena dari situlah mereka memperoleh ikan untuk kebutuhan harian. Green KAT Lain kabupaten berbeda pula cara menangani KAT. Peme- rintah Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan, misalnya, memberdayakan KAT dengan program Green KAT yang di- luncurkan akhir Maret. Program ini melibatkan pe- rusahaan perkebunan dan per- tambangan karena seperti kasus di suku Anak Dalam Jambi, kini mereka terkepung karena hutan sebagai habitatnya telah beralih menjadi lahan perkebunan dan pertambangan. Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti mengatakan perusahaan- perusahaan itu berkontribusi melalui program corporate social responsibility (CSR) de ngan membangun permukiman, memberikan beasiswa pen- didikan, pelayanan kesehatan gratis, dan pelestarian budaya adat tertinggal. Sebab pemerintah kabupaten menargetkan, lima tahun ke de- pan tidak dibedakan lagi antara KAT dan masyarakat yang ada. Mulai 2010 mereka pun me- rekrut suku Anak Dalam yang telah lulus SMA untuk menjadi PNS dan guru. “Mereka kami jadikan seba- gai agen sosial. Jadi, dari mere- ka sendiri yang jadi PNS dan guru memakai seragam PNS, yang masuk hutan bertugas mendidik,” kata Ridwan. Agen sosial diharapkan mampu mengajak suku itu me- ninggalkan hutan dan tinggal di permukiman masyarakat. Saat menanggapi masalah KAT, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ahmad Zainuddin berjanji pihaknya berjuang un- tuk memprioritaskan pemba- ngunan di wilayah perdesaan, terutama di kawasan terpencil. Kini, komunitas yang jauh terpencil menunggu janji-janji itu. (N-3) [email protected] Yang kami lakukan memberikan fasilitas agar mereka bisa memenuhi kebutuhan pangan, pakaian, dan rumah.” PERMUKIMAN BARU: Komunitas Adat Terpencil (KAT) setelah diberdayakan d PERSIAPKAN PERMUKIMAN: Kementerian S mempersiapkan permukiman baru untuk Halut. HIDUP BERPINDAH-PINDAH: Suasana kehi DOK DIREKTORAT PEMBERDAYAAN KAT Hein Namotemo Bupati Halmahera Utara Suyoto Sudjadi Direktur Pemberdayaan KAT ag h DOK DIREKTORAT PEMBERDAYAAN KAT Suyoto Sudjadi

Upload: phungtram

Post on 25-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RABU, 9 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA Berdayakan yang Ter · Lantas apa bentuk pember-dayaan dan kendala yang di-hadapi? Wa r - tawan Media Indone- sia Kennorton Hutasoit me-wawancarai

22 FOKUS NURABU, 9 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA

Berdayakan yang Ter

Abaikan Warga Terasing Melanggar HAMPEMDA dan perusahaan dini-lai melanggar hak asasi manu-sia (HAM) jika mengabaikan keberadaan Komunitas Adat Terpencil (KAT).

Itulah alat pamungkas Ke-menterian Sosial saat meng-hadapi persoalan mereka yang tidak merespons perlunya pemberdayaan.

Lantas apa bentuk pember-dayaan dan k e n d a l a yang di-h a d a p i ? W a r -t a w a n M e d i a I n d o n e -

sia Kennorton Hutasoit me-wawancarai Direktur Pember-dayaan KAT, Suyoto Sudjadi, di Jakarta, pekan lalu. Berikut petikannya.

Sejak kapan ada program KAT dan apa tujuannya?

Dimulai sejak 1999, sebe-lumnya program ini disebut suku terasing pada 1971 dan masyarakat terasing pada 1980. Sesuai Keppres RI Nomor 111/1999 KAT adalah kelom-pok sosial budaya yang ber-sifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan

sosial, ekonomi, dan poli-tik. Program ini bertujuan

untuk memberdayakan segala aspek kehidup-

an dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, ro-

hani, maupun sosial.

Berapa jumlah KAT?Berdasarkan data direktorat

ada sebanyak 213.080 kepala keluarga (KK). Populasinya kami perkirakan mendekati 1 juta orang dengan perkiraan jumlah anggota keluarga per KK berkisar 3-4 orang. Namun jumlah yang belum terdata mungkin saja mencapai jumlah yang terdata saat ini.

Mengapa banyak yang be-lum terdata?

Sulit mendata mereka kare-na mereka menyebar di pe-dalaman, pantai, dan hutan yang jauh dari permukiman masyarakat. Tidak adanya akses jalan menuju tempat-tem-pat mereka juga menyulitkan pendataan. Untuk menjangkau mereka, di beberapa tempat dibutuhkan satu hari berjalan

kaki. Bahkan di Papua butuh seminggu lamanya. Apalagi di Papua, masih banyak yang hidup di atas pohon. Suku yang hidup di pantai, mereka hidup di atas perahu dan se-lalu berpindah-pindah. Begitu juga yang tinggal di pedalam-an, mereka juga berpindah-pindah. Ketika di satu lokasi bahan pangan umbi-umbian habis dan bahan buruan sudah sulit didapat, mereka pindah lagi ke tempat lain.

Ada kendala lain?Tidak sedikit pemda yang

kurang peduli terhadap KAT. Ketika mereka kurang peduli, kami kesulitan melakukan pendataan.

Bagaimana kementerian menghadapi pemda yang kurang peduli itu?

Kami mengingatkan bahwa

masalah KAT juga tanggung jawab pemda. Kami juga sering mengingatkan bahwa masalah KAT itu salah satu poin dalam evaluasi kinerja dan keber-hasilan pemda. Bagi kepala daerah yang tidak merespons sama sekali, tidak jarang kami memberi peringatan bahwa mengabaikan KAT merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, kepala daerah yang mengabaikan KAT bisa dilaporkan ke Komnas HAM se-bagai pelaku pelanggar HAM.

Lembaga lain yang terli-bat?

Khusus untuk pendataan, se-lain pemda, Badan Pusat Statis-tik (BPS) juga berperan penting. Data KAT yang ada sekarang ini hasil pendataan kementerian, pemda, dan BPS. Kami rencana-kan akan mendata lagi populasi KAT, karena sudah ada laporan

dari daerah ditemukannya lokasi-lokasi KAT yang selama ini belum terdata.

Lembaga yang menangani pada tahap purnapember-dayaan?

Ini persoalannya sekarang. Di beberapa tempat, KAT yang sudah masuk dalam tahap purnapemberdayaan, mereka tidak langsung mendapat pem-berdayaan ekonomi sebagai keluarga miskin. Ke depan, kami berupaya agar mereka masuk kategori miskin yang langsung difasilitasi dengan pemberdayaan ekonomi melalui pengembangan kelompok usaha bersama (kube) atau program-program lainnya. Ini penting agar jangan sampai mereka kem-bali ke habitat semu la karena tidak bisa bertahan hidup setelah memasuki tahap purnapember-dayaan. (N-3)

Menjaga Indonesia bukan pada segelintir orang saja. Sebab, negeri kepulauan ini juga dihuni komunitas adat terpencil, yang hak hidup mereka kerap dilangkahi.

KENNORTON HUTASOIT

SUKU Anak Dalam, Togutil, Badui, Papua, dan Dayak sejak lama populer dalam rekam-

an antropologi tentang peng-huni Nusantara.

Mereka hanya segelintir masyarakat dari total suku ter-pencil di Tanah Air yang jum-lahnya mencapai jutaan jiwa.

Keberadaan mereka mem-buat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen dengan beragam suku dalam bingkai Negara Kesatuan RI.

Oleh karena itu, upaya membangun mereka agar bisa mengikuti suku lain yang su-dah lebih dulu membangun harus dioptimalkan.

Suku-suku terpencil sama seperti suku atau orang-orang modern yang memiliki hak sebagai penduduk dan dijamin konstitusi.

Mereka seharusnya memperoleh ke-b u t u h a n

p a n g a n ,

pakaian, rumah, pendidikan, pengembangan tradisi dan budaya. Namun, itu masih jauh dari harapan.

Mereka yang belum menda-pat hak-hak dasar, menurut Direktorat Pemberdayaan Ko-munitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosial pada 2009, mencapai 127.672 kepala ke-luarga atau 59,92% dari total 213.080 keluarga yang dika-tegorikan sebagai KAT.

Setiap keluarga rata-rata beranggotakan 3-4 orang se-hingga total populasi KAT sekitar 1 juta orang dan yang belum diberdayakan mencapai 500 ribuan orang.

Mereka hidup di 2.971 lokasi, menyebar di 263 kabupa ten dan 27 provinsi. Hidup dalam ke lompok kecil yang homogen, tertutup dari dunia luar, relatif sulit dijangkau, nomaden, dan

sangat bergantung pada alam tempat mereka

tinggal. Adapun sekitar

2.323 keluarga dari total KAT nasional terdapat di Halma-hera Utara. Mereka

adalah suku Togutil, Boen, Togisoro, dan

Togosoaka, yang me-nyebar di 25 lokasi baik

pedalaman, hutan, mau-pun pantai. Khusus di Pulau Halmahera,

dari enam kabupaten di sana, populasi terpencil terbanyak

terdapat di Hal-mahera Utara.

S e l a n j u t n y a , populasi terpen-

c i l t e r b a n y a k kedua di Kabu-

paten Sula deng-an jumlah 1.424 keluarga.

Peme ri n tah Ka-bupaten Halma-

hera Utara terhitung satu yang serius me-

nangani pemberdayaan KAT.

Permukim an KAT Talaga Paca, Tobelo Selatan, termasuk satu di antara program pember-dayaan KAT yang berhasil.

“Kami terus berupaya me-menuhi hak-hak dasar mere-ka,” kata Bupati Halmahera Utara Hein Namotemo.

Memang sejumlah pihak mengkhawatirkan pember-dayaan akan mengeliminasi tradisi dan kebudayaan KAT. Kearifan lokal selama tinggal di habitat mereka juga akan sirna. Toh, menurut Hein, hal itu tak perlu dikhawatirkan.

“Yang kami lakukan membe-rikan fasilitas agar mere ka bisa memenuhi kebutuhan pangan, pakaian, dan rumah. Mengenai

tradisi dan budaya, mereka ka-pan saja bisa menampilkannya, misalnya saat pesta atau hari besar,” ujarnya.

Adapun KAT di Halmahera Utara memelihara kearifan lokalnya. Mereka menjaga hutan karena bergantung pada umbi dan hewan buruan yang ada di sana. Bahkan komunitas mengatur wilayah kekuasaan hutan masing-masing.

Antarkomunitas di sana juga membuat perjanjian. Yakni, komunitas yang satu tak boleh mengambil hasil hutan yang merupakan wilayah kekuasaan komunitas lain.

Sementara komunitas di pantai, mereka tidak merusak terumbu karang karena dari situlah mereka memperoleh ikan untuk kebutuhan harian.

Green KATLain kabupaten berbeda pula

cara menangani KAT. Peme-rintah Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan, misalnya, memberdayakan KAT dengan program Green KAT yang di-luncurkan akhir Maret.

Program ini melibatkan pe-rusahaan perkebunan dan per-tambangan karena seperti kasus di suku Anak Dalam Jambi, kini mereka terkepung karena hutan sebagai habitatnya telah beralih menjadi lahan perkebun an dan pertambangan.

Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti mengatakan perusahaan-perusahaan itu berkontribusi melalui program corporate social responsibility (CSR) de ngan membangun permukiman, memberikan beasiswa pen-didikan, pelayanan kesehatan gratis, dan pelestarian budaya adat tertinggal.

Sebab pemerintah kabupaten menargetkan, lima tahun ke de-pan tidak dibedakan lagi antara KAT dan masyarakat yang ada. Mulai 2010 mereka pun me-rekrut suku Anak Dalam yang telah lulus SMA untuk menjadi PNS dan guru.

“Mereka kami jadikan seba-gai agen sosial. Jadi, dari mere-ka sendiri yang jadi PNS dan guru memakai seragam PNS, yang masuk hutan bertugas mendidik,” kata Ridwan.

Agen sosial diharapkan mampu mengajak suku itu me-ninggalkan hutan dan tinggal di permukiman masyarakat.

Saat menanggapi masalah KAT, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ahmad Zainuddin berjanji pihaknya berjuang un-tuk memprioritaskan pemba-ngunan di wilayah perdesaan, terutama di kawasan terpencil. Kini, komunitas yang jauh terpencil menunggu janji-janji itu. (N-3)

[email protected]

Yang kami lakukan memberikan

fasilitas agar mere ka bisa memenuhi kebutuhan pangan, pakaian, dan rumah.”

PERMUKIMAN BARU: Komunitas Adat Terpencil (KAT) setelah diberdayakan d

PERSIAPKAN PERMUKIMAN: Kementerian Smempersiapkan permukiman baru untuk Halut.

HIDUP BERPINDAH-PINDAH: Suasana kehi

DOK DIREKTORAT PEMBERDAYAAN KAT

Hein NamotemoBupati Halmahera Utara

Suyoto SudjadiDirektur Pemberdayaan KAT

agh

DOK DIREKTORAT PEMBERDAYAAN KAT

Suyoto Sudjadi