r i s a l a h ruu tentang keantariksaan komisi vii dpr-ri...

35
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA R I S A L A H RUU TENTANG KEANTARIKSAAN KOMISI VII DPR-RI BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, RISET DAN TEKNOLOGI DAN LINGKUNGAN HIDUP Tahun Sidang : 2012-2013 Masa Persidangan : I Rapat ke- : - Jenis Rapat Sifat Rapat Rapat Dengan : : : RDPU Terbuka Pakar, Prof Hikmahanto Juana SH, LLM, PhD, dan Dr. Atip Latifulhayat, SH., LL.M Hari/Tanggal : Rabu, 19 september 2012 W a k t u : Pukul 14.15 s.d 16.30 WIB T e m p a t : Ruang Rapat Komisi VII, Gedung Nusantara I Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta Ketua Rapat : H. Achmad Farial (Wakil Ketua Komisi VII DPR RI) Didampingi : - Drs.Ir.H.Sutan Bhatoegana,MM(Ketua Komisi VII DPR-RI) - Zainudin Amali, SE (Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI) - Drs. Effendi MS Simbolon (Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI) Sekretaris Rapat : Dr. Dewi Barliana S., M.Psi. (Kabagset Komisi VII DPR RI) Didampingi: - Reny Amir, SH., MM., M.Li (Kasubag Rapat) - Suharyanto, BPA (Kasubag TU) - Rachmat Hidayansyah (Tenaga Ahli) - Bisman Bachtiar (Tenaga Ahli) - Komarul Ramdan (Tenaga Ahli) A c a r a : Masuk untuk RUU Tentang Keantariksaan 1

Upload: others

Post on 24-Mar-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

R I S A L A H RUU TENTANG KEANTARIKSAAN

KOMISI VII DPR-RI BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, RISET DAN TEKNOLOGI DAN LINGKUNGAN HIDUP

Tahun Sidang : 2012-2013 Masa Persidangan : I Rapat ke- : - Jenis Rapat Sifat Rapat Rapat Dengan

: : :

RDPU Terbuka Pakar, Prof Hikmahanto Juana SH, LLM, PhD, dan Dr. Atip Latifulhayat, SH., LL.M

Hari/Tanggal : Rabu, 19 september 2012 W a k t u : Pukul 14.15 s.d 16.30 WIB T e m p a t : Ruang Rapat Komisi VII, Gedung Nusantara I

Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta Ketua Rapat : H. Achmad Farial

(Wakil Ketua Komisi VII DPR RI) Didampingi :

- Drs.Ir.H.Sutan Bhatoegana,MM(Ketua Komisi VII DPR-RI)

- Zainudin Amali, SE (Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI)

- Drs. Effendi MS Simbolon (Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI) Sekretaris Rapat : Dr. Dewi Barliana S., M.Psi.

(Kabagset Komisi VII DPR RI) Didampingi:

- Reny Amir, SH., MM., M.Li (Kasubag Rapat)

- Suharyanto, BPA (Kasubag TU)

- Rachmat Hidayansyah (Tenaga Ahli)

- Bisman Bachtiar (Tenaga Ahli)

- Komarul Ramdan (Tenaga Ahli) A c a r a : Masuk untuk RUU Tentang Keantariksaan

1

H a d i r : ANGGOTA DPR RI: 48 dari 51 orang Anggota dengan rincian: 1. FRAKSI PARTAI DEMOKRAT 12 dari 14 orang Anggota;

1. Drs. Ir. H. Sutan Bhatoegana, MM 2. Drh. Jhonny Allen Marbun, MM 3. H. Teuku Riefky Harsya 4. H.Tri Yulianto, SH 5. H. Sutan Sukarnotomo 6. Ir. S. Milton Pakpahan, MM 7. Teuku Irwan 8. Hj. Siti Romlah 9. I Wayan Gunastra 10. Ir. Asfihani 11. Didik Salmijardi 12. Juhaini Ali, SH., MM

2. FRAKSI PARTAI GOLKAR 10 dari 10 orang Anggota;

1. Zainudin Amali, SE 2. DR. H. M. Azwir Dainy Tara, MBA 3. Ir. H. Arsyadjuliandi Rachman, MBB 4. Bobby Adhityo Rizaldi, SE., MBA., CFE 5. H. Gusti Iskandar Sukma Alamsyah, SE 6. H. Dito Ganinduto, MBA 7. S. W. Yudha, M.Sc 8. Gde Sumarjaya Linggih, SE 9. Halim Kalla 10. Dr. H. M. Markum Singodimejo

3. FRAKSI PDI PERJUANGAN 8 dari 8 orang Anggota;

1. Drs. Effendi MS Simbolon 2. Daryatmo Mardiyanto 3. Ir. Nazarudin Kiemas 4. Ir. Isma Yatun 5. Rachmat Hidayat 6. Dewi Aryani Hilman 7. Ir. Bambang Wuryanto, MBA

2

8. Irvansyah 4. FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

5 dari 5 orang Anggota; 1. Achmad Rilyadi, SE 2. Andi Rahmat, SE 3. H. Rofi Munawar, Lc 4. Fahri Hamzah, SE 5. Drs. M. Martri Agoeng

5. FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL 4 dari 4 orang Anggota;

1. H. Totok Daryanto, SE 2. Ir. Alimin Abdullah 3. H. Muhammad Syafrudin, ST., MM 4. H. Jamaluddin Jafar, SH., MH

6. FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN 4 dari 4 orang Anggota;

1. H. Achmad Farial 2. Dra. Hj. Wardatul Asriah 3. Hj. Irna Narulita, SE., MM 4. Tommy Adrian Firman

7. FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA 3 dari 3 orang Anggota;

1. H. Bambang Heri Purnama 2. H. Agus Sulistyono, SE 3. Ir. Nur Yasin, MBA

8. FRAKSI PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA 1 dari 2 orang Anggota;

1. Saifuddin Donodjoyo 9. FRAKSI PARTAI HATI NURANI RAKYAT

1 dari 1 orang Anggota. 1. Drs. M. Ali Kastella. M.MT

C. PEMERINTAH Prof Hikmahanto Juana SH, LLM, PhD, dan Dr. Atip Latifulhayat, SH., LL.M

3

KETUA RAPAT : (H. ACHMAD FARIAL) Bismillahirrahmaanirrahiim,

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi untuk semua. Yang kami hormati Bapak dan Ibu Anggota Komisi VII DPR-RI, Yang kami hormati Prof. Hikmahanto Juana, S.H., L.L.M. Ph.D., Yang kami hormati DR. Atip Latifulhayat, S.H., LL.M., Dan hadirin yang berbahagia.

Sesuai dengan Undangan yang telah disampaikan dan berdasarkan jadwal Rapat Komisi VII DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2012-2013 pada hari ini kita akan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Prof. Hikmanto Juana dan Bapak DR. Atip Latifulhayat dengan agenda pelaksanaan fungsi Legislasi, khususnya terkait dengan Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Keantariksaan.

Bapak dan Ibu yang kami hormati. Presiden telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Keantariksaan melalui surat nomor: R. 36/Pres/04/2012, pada tanggal 11 April 2012 yang dilandasi bahwa antriksa merupakan ruang beserta isinya yang terdapat diluar ruang udara serta yang mengelilingi dan melingkupi ruang udara. Sementara ini diperaturan Undang-Undang belum mengatur secara terpadu, koprihensif dan yang cukup untuk menjadi landasan hukum bagi keantariksaan. Untuk itu DPR RI dalam hal ini Komisi VII akan melakukan pembahasan RUU keantariksaan tersebut bersama pemerintah. Berkaitan dengan itu pada kesempatan ini kami mengundang Prof. Hikmahanto Juana dan DR. Atip Latifulhayat, sebagai pakar untuk dapat memberikan masukan dan pemaparan RUU tentang Keantariksan. Masukkan dari pakar ini nanti akan menjadi dan berguna sebagi referensi dan pertimbangan Komisi VII DPR RI dalam proses pembahasan RUU bersama pemerintah. Selanjutnya kami persilahkan kepada Prof. Hikmahanto dan DR. Atif Latifulhayat untuk menyampaikan pemaparan dan masukan-masukan yang akan dilanjutkan sesi pendalaman oleh Anggota Komisi VII DPR RI. Kita jadwalkan rapat ini sampai pukul 16.00 WIB. Setuju?

(RAPAT:SETUJU) Untuk itu kami persilakan kepada Bapak Prof. Hikmahanto.

PROF. HIKMAHANTO JUANA, S.H., L.L.M.PH.D.: Baik, terima kasih Bapak Pimpinan.

Bapak, Ibu para Anggota Dewan Yang terhormat, Selamat siang, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

4

Salam sejahtera bagi kita semua. Saya terlibat dalam urusan keantariksaan itu karena pengajar mata kuliah ini di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. jadi selain Hukum Internasional saya mengajar kalau difakultas UI itu Hukum Angkasa, tapi saya menganggap bahwa istilah tentu bisa kita sepakati dan pada saatnya nanti apabila istilah ini yang digunakan keantariksaan maka kami tentu di UI-pun harus mengubah istilah ini. Oleh karena itu ijinkan saya menyampaikan beberapa hal terkait dengan Rancangan Undang-Undang Keantariksaan yang sudah diajukan oleh pemerintah dan saya sudh mendapatkan copynya dan juga Naskah Akademik dan tentunya apa yang saya sampaikan pada saat ini saya ingin memberikan seprti tadi Bapak Pimpinan katakan masukan-masukan mungkin sebagai amunisi bagi Bapak, Ibu sekalian ketika nanti membahas RUU Keantariksaan ini dengan pemerintah. Pertama kali dan Saudara-saudara sekalian, ingin saya sampaikan dalam kesempatan ini bahwa dalam pandangan saya Indonesia sangat membutuhkan keantariksaan. Sampai dengan hari ini memang betul sebagimana disampaikan oleh pemerintah bahwa tidak ketentuan secara terpadu, secara komprehensif demikian terkait masalah keantariksaan, belum lagi masalah kegiatan manusia di ruang antariksa. Nah oleh karena itu saya menganggap ini sebagi sesuatu yang penting, apalagi Indonesia ini telah lama terlibat dalam kegiatan manusia di ruang angkasa, ruang antariksa. Misalnya saja dengan kita mengoperasikan Satelit Palapa dan ini visi para pemimpin kita ketika itu bahwa satelit yang merupakan salah satu benda angkasa itu bisa menjadi pemersatu bagi Indonesia dan bahkan bisa memberikan pendidikan yang terjangkau, bisa lebih murah dan lain sebagainya. Kedua. Saya menganggap bahwa satelit yang merupakan salah satu kegiatan manusia di ruang antariksa yang secara efektif mempersatukan bangsa, bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa, bahkan dapat diketahui kandungan sumber daya alam di bawah tanah atau air di Indonesia termasuk juga di landas kontinen. Selanjutnya Indonesia kita tahu sedang meratifikasi ini space treaty 1967. Jadi perjanjian internasional yang mengatur tentang keantariksaan itu sudah diratifikasi kalau saya tidak salah tahun 2001, bahkan juga sudah sebenarnya ikut dalam perjanjian-janjian internasional yang merupakan turutan space treaty 1967. Berikutnya bahwa pelaku usaha di Indonesia itu juga sudah terlibat kegiatan manusia di ruang angkasa. Misalnya saja peluncuran Satelit Cakrawarta. Cakrawarta ini kalau tidak salah pemiliknya adalah bukan pemerintah tapi perusahaan yang didirikan menurut hukum Indonesia. Indonesia juga bisa mengambil peluang untuk dijadikan tempat untuk peluncuran roket dengan menjadikan wilayah Indonesia Bandar antariksa. Ini kalau kita dengar katanya di Biak sudah akan ada proses kesana.

5

Sebenarnya berbagai kegiatan ini sudah kita lakukan, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah mempunyai landasan, apalagi nanti misalnya saya akan sampaikan kepada Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian bahwa kalau terjadi kerugian yang akan diderita oleh negara ke tiga akibat dari kegiatan Indonesia di ruang angkasa, meskipun itu dilakukan oleh pelaku usahanya, maka yang bertanggungjawab harus negara Republik Indoneisa. Nah itu yang sampai dengan hari ini yang berlaku dalam konteks perjanjian internasional seperti itu. oleh karena itu kita betul-betul harus bisa memastikan pengawasan terhadap pelaku usaha, memastikan agar pelaku usaha itu yang ujungnya harus membayar segala sesuatunya. Jadi bukan dari APBN katakanlah seperti itu dan kita juga harus memastikan bahwa Indonesia tidk dijadikan kalau didunia pelayaran itu freaks of combination. Jadi dijadikan negara dimana aturan-aturannya itu sangat mudah diikuti sehingga dijadikan basis, Padahal mereka mungkin saja memberikan dampak kepada Indonesia sebagai sebuah negara. Kalau freaks of combination untuk pelayarankan biasanya mereka pakai bendera Panama begitu. kira-kira seperti itu. Saya tidak akan masuk ke masalah detail karena waktu yang disediakan dan nanti Pak Atip juga akan menyampaikan beberapa hal mungkin lebih rinci, tapi terkait dengan RUU subtansinya menurut saya yang perlu mendapat perhatian kita bersama ada beberapa hal. Pertama adalah bagaimana Indonesia melihat atau menyikapi ruang antariksa dan kegiatan manusia di ruang antariksa. Kalau kita lihat dari sejarahnya memang awal mulanya sebelum tahun 1967 itu adlah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh negara-negara besar ketika itu Amerika Serikat dan Uni Soviet, lalu setelah tahun 1967 ada kekhawatiran dan kekhawatiran ini ternyata terbukti bahwa wahana antariksa, dimensi antariksa ini dimanfaatkan untuk tanda kutip psywar perang dingin bahkan sampai pada satu titik puncaknya ketika presiden Reagen menjadi presiden di Amerika Serikat itu meluncurkan ide yang disebut sebagai SDI

(strategic define initiative). Jadi idenya adalah kalau misalnya dari Uni soviet akan diluncurkan nuclear weapon katakanlah begitu ke Amerika Serikat itu harusnya bisa di intersave diantariksa, sehingga pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan biaya yang luar biasa besar untuk tknologi ini, bahkan sampai ketika itu diistilahkan sebagai star wars (perang bintang) kira-kira seperti itu, tapi setalh tahun 1980 seiring dengan hilangnya tanda kutip perang dingin, kegiatan manusia diruang angkasa memasuki fase yang berikutnya yaitu fase komersialisasi. Jadi kalau dulu Amerika Serikat menggunakan saetelit untuk melakukan propaganda terhadap welios yang discrap, yang dianut oleh Amerika Serikat kenergara-negara seperti Uni sovet dan lain sebaginya, mereka bisa memberikan itu secara gratis, tapi kalau sekarang satelit-satelit yang digunakan untuk memancarkan welios acara-acara TV dari Amerika itu kita harus membayar. Jadi kalau misalnya kita lihat NBO-lah samapai di Jakarta pun kita bisa. Kalau dulu kita masih pakai para bola yang ilegal, tapi sekarang kita tidak usah pakai itu, kita bayar, harganya sangat murah yang bisa dijangkau. Artinya sudah sampai fase komersialisasi. Belum lagi kalau kita bicara soal satelit ini juga bisa saja data-sata yang ada di kandungan negara

6

Republik ini bisa diremote sensing, di sanse, lalu kemudian hasilnya itu diperjual belikan ke perusahaan-perusahaan yang tertarik untuk melakukan investasi. Jadi kadangkala ada perusahaan yang tidak tahu gimana bagaimana caranya misalnya ditengah hutan diminta ada konsensi disitu, Orang bilang siapa yang mau ada di situ dan apakah bagus. Memang secara kasat mata kita tidak bisa masuk ditengah hutan dan kita anggap kalau misalnya dihutan pinggirannya sudah jelek kenapa ditengah hutan jadi bagus, tapi dengan teknologi remote sensing ini itu bisa terdeteksi. Nah hal-hal yang seperti ini tentu perlu disikapi oleh kita sebagai negara Indonesia, bagaimana kita setuju tidak misal negara kita di sanse setelah di sensing lalu kemudian data itu bisa dijual belikan secara bebas atau harus mendapat persetujan dulu dari Pemerintah Republik Indonesia. Nah hal-hal yang seperti ini menurut saya juga harusnya menjadi materi dari Rancangan Undang-Undang Keantariksaan. Yang berikutnya adalah karena kita sudah ratifikasi dan ikut serta dalam sejumlah perjanjian internasional dibidang keruangangkasaan atau keantariksaan, maka sebagai konsekwensi dari ratifikasi adalah menterjemahkan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian tersebut kedalam hukum nasional kita. ini yang sering kali dilupakan oleh kita semua terutama oleh pemerintah, karena ketika para pejabat sudah meratifikasi sudah mendapat pengesahan katakanlah dari DPR lalu dianggapnya bahwa itu sudah langsung berlaku, Padahal ketentuan-ketentuan itu yang katakanlah ditujukan untuk mengikat warga negara atau badan hukum itu belum berlaku sebelum negara mentransformasikan, menterjemahkan ketentuan itu kedalam hukum nasional yang kemudian harus mengikat warga negara maupun badan hukum. Jadi pentingnya atau subtansi yang harus diatur itu adalah ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian internasional yang harus mengikat kewarga negara itu harus disisir dan kemudian harus ditransformasikan kedalam Rancangan Undang-Undang Keantariksaan ini. Yang beikutnya adalah perlunya pengaturan kelembagaan, siapa yang bertanggungjawab pada apa dan ijin bagi para pelaku usaha. Seperti saya katakan tadi seringkali dari luar negeripun mereka ingin melakukan inventasi di Indonesia, investasi lalu jadi badan hukum Indonesia dan lalu kemudian terlibat di dalam kegiatan-kegiatan di bidang keantariksan. Yang jadi pertanyaan nanti kepada siapa mereka harus mendapatkan ijin dan lain sebagainya. Kalau kita tahu masalah ruang udara itu Kementerian Perhubungan, ada Direktorat Jenderal perhubungan udara. Pertanyaannya kalau keantariksan bagaimana? Apakah itu nanti harus Lapan atau Lapan harus berkonsentrasi untuk masalah-masalah penelitian, pengembangan, dan lain sebagainnya, nanti Bapak dan Ibulah yang akan memutuskan dengan pemerintah kira-kira dari segi kelembagaan apa, bertanggungjawab terhadap apa, dan bagaimana juga ijin itu harus di berikan. Lalu yang berikutnya menurut saya prosedur ketika pelaku usaha hendak terlibat dalam kegiatan diantariksa yang mengatasnamakan Indonesia atau berbasis Indonesia. yang tadi

7

seperti saya katakan bila terjadi kerugian ataupun kesalahan menimpa negara lain maka Indonesia sebagai negara yang bertanggungjawab, ini seperti itu. Jadi ini agak berbeda dengan misalnya di bidang perhubungan udara atau pesawat udara dimana kalau misalnya ada pesawat karena satu dan lain hal tanda kutip jatuh disatu negara maka yang bertanggungjawab bukan negara Republik Indonesia, tapi perusahaan penerbang tersebut. Tetapi kalau kita bicara keantariksaan maka yang bertanggungjawab adalah negara Republik Indonesia dan ini kalau ditanya kenapa seperti itu, karena diawalnya memang dianggap bahwa yang mampu untuk melakukan kegiatan manusia ruang antariksa adalah negara dengan biaya yang katakanlah sangat fantastis. Tetapi rupanya setelah tahun 80an tidak hanya negara yang berperan tetapi juga pelaku usaha. Selanjutnya ada hal-hal yang perlu diperhatikan mungkin dalam RUU Keantariksaan ini, pertama adalah mengutamakan kepentingan nasional dalam pengaturan. Saya rasa ini sangat penting sekali karena pasti setia negara mempunyai kepentingan nasional mereka masing-masing. Nah ini yang perlu dirumuskan dan bagaiman kita merumuskan kepentingan nasional itu di dalam Undang-undang Keantariksaan nantinya. Lalu kemudian yang berikutnya adalah ketentuan dalam RUU yang perlu diperhatikan jangan sampai menghambat perkembangan teknologi, mengingat kegiatan diantariksa ini sangat-sangat sarat dengan teknologi baru. Jadi seringkali yang namanya undang-undang misalnya terlalu rijid itu yang dikhawatirkan adalah justru teknologi tidak akan berkembang. Untuk diingat bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangankan teknologi keantariksaan, tetapi kalau misalnya dengan RUU ini nanti ada hambatan-hambatan, sehingga Indonesia harus kalah dengan negara-negara lain dalam pengembangan teknologi keantariksaan. Oleh karena itu ini juga perlu mendapat perhatian. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah jangan sampai materi atau substansi dari Undang-Undang Keantariksaan nantinya ini bertentangan bertentangan dengan perjanjian internasional dibidang keantariksaan yang telah diikuti oleh Indonesia. Ini yang mungkin nanti Bapak, Ibu bisa. Kalau misalnya tidak tersedia meminta kepada pemerintah untuk melihat poin-poin perjanjian internasional yang katakanlah berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Keantariksaan kita. Untuk Bapak, Ibu ketahui, bahwa space treaty baru diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2001, Padahal space treaty ini adanya sejak tahun 1967. Mungkin Bapak, Ibu bertanya kenapa kok sampai sekian lama tidak meratifikasi, karena ketika itu kekang secara hukum nasional kita memiliki ketentuan yang bertentangan dengan space traty tahun 1967. Saya ambil contoh terkait dengan status dari ruang antariksa, kalau kita misalnya lihat space treaty tahun 1967 maka ruang antariksa ini dianggap sebagai ruang yang boleh dijamah oleh siapapun, jadi tidak boleh diklaim kedaulatan di sana. Kedaulatan, hak kedaulatan atau hal-hal seperti itu, karena ketika itu kita tahu Nail Amstrong meninggal. Amerika ketika menancapkan benderanya di

8

bulan dunia internasional mengatakan ketika itu, itu tidak berarti bahwa pemilik dari bulan adalah Amerika Serikat, sehingga mereka membuat space treaty tahun 1967 dengan spirit bahwa tidak ada kedaulatan, hak berdaulatan yang ada di ruang antariksa. Tetapi Indonesia, karena kita ada GSO (Geostationary Orbit) di situ satelit itu bisa ditaruh dan kemudian dia akan bergerak secara sinkron dengan putaran bumi dan sangat strategis kita mengatakan bahwa kita ini sesuatu yang tanda kutip secara ekonomi punya manfaat bagi Indonesia secara ekonomi, bahkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1982 tentang pertahanan mengatakan bahwa TNI Angkatan Udara itu memiliki kedaulatan tidak hanya diruang udara, tetapi juga ruang antariksa meskipun pesawat kalau terbang pasti terbakarlah, tidak mungkin kalau misalnya tidak seperti space siattle lain sebagainya, tapi Undang-Undang tahun 82 itu dan keinginan kita untuk mengklaim Geostationary Orbit itu yang membuat Indonesia tidak meretifikasi space treaty tahu 1967.

Memang kalau kita lihat dari sejarahnya awalnya kita mengklaim kedaulatan, lalu kemudian kita mengatakan bahwa sudah kita tidak mempunyai kedaulatan tidak apa-apa, tapi kita kepingin punya hak berdaulatan terutama di Geostationary Orbit artinya hak berdaulatan itu seperti zona ekonomi eksklusif keuntungan secara ekonomi harus diberikan kepada Indonesia. Karena kalau misalnya ada penyewaan dan lain sebagainya kita dapat hasillah dari situ, tapi itu juga dari masyarakat internasional tidak diterima, langkah kita mundur lagi, mundurnya adalah sampai pada posisi kita mempunyai preference child read (hak istimewa). Jadi ketika kita mau meluncurkan satelit dan kita akan menaruh satelit itu di atas ekuator kita terus kemudian GSO kita maka kita harus punya hak pertama, tapi itupun ditentang oleh masyarakat internasional meskipun Indonesia melkukan lobi-lobi dengan beberapa negara ekuator itu di Bugota (Bugota

Decklaration) tetapi itu ditentang sehingga pemerintah akhirnya mungkin juga realistis bahwa kita tidak mungkin melakukan pengklaiman bagian wilayah dari ruang antariksa ini sehingga pada tahun 2001 akhirnya kita meratifikasi space treaty tahun 1967.

Oleh karena Bapak, Ibu, Saudara-sudara sekalian penting bagi kita adalah kalau kita sudah ratifikasi berarti kita harus tunduk kepada ketentuan itu sehingga ketika kita membuat undang-undang domestik maka undang-undang itu tidak bisa bertentangan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang sudah kita ratifikasi, kecuali kita mau keluar dari perjanjian internasional tersebut.

Lalu kemudian yang berikutnya adalah kalau bisa yang perlu diperhatikan adalah tidak terlalu fokus dalam pengaturan kelembagaan. Biasanya kalau saya lihat undang-undang itu lebih banyak masalah kelembagaan. Jadi kalau bisa justru kelembagaan ini bisa diatur di dalam peraturan perundang-undang yang lebih rendah. Kalau misalnya dimungkinkan seperti itu.

Selanjutnya ada sedikit lagi yang ingin saya sampaikan. Mungkin Bapak, Ibu perlu melakukan pembanding walaupun tidak popular dimasyarakat kalau kita bicara Anggota Dewan melakukan study banding, tapi perlu menurut saya untuk kita melakukan perbandingan antara

9

Indonesia dengan negara-negara lain dalam rangka benchmarking sebenarnya misalnya saja bagaimana negara seperti Amerika Serikat, prancis dan Jepang yang sudah dianggap sangat advance dibidang kegiatan manusia diruang antariksanya itu membuat aturan-aturannya, tapi kita juga harus melihat bagaimana China dan India, karena China dan India itu sedang mengembangkan bahkan China sekarang sudah menyediakan diri untuk menjadi tempat peluncuran bagi satelit-satelit dari berbagai negara yang membutuhkan.

Jadi China akan mengatakan oke silahkan saya bisa memfasilitasi itu, bahkan juga negara yang mungkin sedang atau sudah mulai kegiatan tapi masih dalam tahap awal seperti Malaysia seperti apa, bagaimana mereka mengatur ketentuan-ketentuan bagi pelaku usaha misalnya, bagaimana konteks pemerintahannya dan lain sebagainya.

Jadi ini menurut saya juga penting utuk kita lihat meskipun ketentuan-kententuan ini tentu bisa kita download dari internet dan lain sebagainya untuk kita pelajari.

Saya rasa itu Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian, mungkin pokok-pokok pemikiran yang bisa saya sampaikan dalam kesempatan ini. mohon maaf kalau saya misalnya tidak meninjaunya secara detail pasal perpasal dari Rancangan Undang-Undang ataupun Naskah Akademik, tetapi mungkin ketika melakukan pendalaman bisa dilakukan.

Saya rasa itu Bapak Pimpinan. Terima kasih. Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

KETUA RAPAT : Terima kasih Pak Prof. Hikmahanto sudah membuka pikiran kita bahwa antariksa ini sangat luas yang tidak kita pikir bisa terpikir sekarang. Kita lanjutkan dengan Bapak DR. Atip Latifulhayat.

Silakan Pak. DR. ATIP LATIFULHAYAT, S.H., LL.M.:

Yang terhormat Pimpinan dan Para Anggota yang saya hormati, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Tadi Pak Hikmahanto sudah menyampaikan paparan secara umum dan ada beberapa hal yang mungkin overlap dengan yang saya sampaikan, tapi pada intinya yang ingin saya sampaikan adalah pertama mengapa Indonesia harus membuat Undang-undang nasional tentang Keantariksaan. Kemudian juga saya ingin memberikan sedikit overview mengenai hakekat dari hukum keantariksaan itu apa pada level internasional dan kemudian kaitannya dengan hukum nasional yang khususnya di Indonesia. Tadi mengenai istilah memang perlu di klarifikasi inikan yang digunakan oleh Lapan menggunakan istilah antariksa, tadi Pak Hikmahanto menyebutnya angkasa kalau di UNPAD itu namanya ruang angkasa. Jadi itu istilah akademis yang terus berkembang yang masing-masing memiliki argumentasinya.

10

Baiklah saya akan mulai mengenai Undang-Undang Keantariksaan ini dari teknologi antariksa itu sendiri, karena ketentuan internasional lahir karena ada teknologi ruang angkasa yang menyebabkan manusia beraktifitas disana. Terkait dengan teknologi antariksa ini bersifat dual use jadi memberikan manfaat yang besar, tapi pada saat juga mendatangkan resiko yang besar. Maka salah satu isu penting di dalam hukum ruang angkasa ini adalah mengenai state

respon sibility. Bapak-bapak, Ibu-ibu kan sekarang sudah menikmati salah satu aplikasi yang popular dari teknologi angkasa dalam sektor telekomunikasi, kita bisa berhandphone ria dengan sangat mobile yang dulu terbatas yang itu dimungkinkan karena ada aplikasi dari teknologi ruang angkasa khususnya pasca perang dingin yang mentransfomasikan tekno di luar angkasa bertujuan militer ke telekomunikasi khususnya. Kemudian bagaimana kita melihat Indonesia dan keantariksaan ini cukup menarik. Indonesia mengawali kegiatan keantariksaannya sejak tahun 60-an, jadi hanya 3 tahun setelah Uni Soviet berhasil meluncurkan sputnik kita langsung meluncurkan roket namanya roket Kartika 1 oleh Auri. Jadi kita salah satu negara pionir sebetulnya. Kemudian 3 tahun kemudian dibentuk Lapan jadi ini Nasanya Indonesia itu Lapan tahun 63 kayanya agak beda-beda jauh dengan amerika dari segi itu. 13 tahun kemudian Indonesia juga membuat sejarah tadi disampaikan Pak Hikmahanto peluncuran satelit Palapa dan dengan peluncuran satelit Palapa menjadikan Indonesia negara ke 3 di dunia yang terlibat di dalam space activities setelah Amerika, Soviet dan Indonesia. jadi Pak Harto pada waktu itu cukup pruduistik Untuk ini meskipun tahun ini kan kita dapat badnews dengan gagalnya Telkom 3 yang diluncurkan oleh Rusia, maksudnya ke JSO, tapi pada ketinggian 5000 kilo meter lepas. Kemudian sekarang adalah pembangunan bandara antariksa kita sudah punya agreement dengan Rusia di Biak, tapi ada kendala hukum sebetulnya di sana. Biak itu tempat yang paling strategis, karena manuver ke katulistiwa langsung sehingga akan hemat dari segi biaya, tapi di sana ada masalah tanah adat. Jadi nanti takut diklaim kembali karena mereka punya sistim berbeda dan yang akan di gunakan di Biak itu sebenarnya adalah Air Launch

System, jadi peluncuran satelit ruang angkasa dengan menggunakan pesawat udara dan makanya Lapan juga punya alternatif lain yaitu di Morotai untuk ke Bandar Antariksa, tapi bad

newsnya perkembangan kegiatan keantariksaan di Indonesia tertinggal oleh negara yang segenerasi tahun 60-an tertinggal oleh India. India denga isronya merekakan sudah cukup advance untuk ini, kemudian Jepang, Brazil dan China, bahkan kita tertinggal oleh Korea yang kita lebih dulu memulainya. Terus bagaimana Indonesia dan hukum antariksa. Indonesia sudah terlibat sejak lama di United ……. atau ……kopos kita sudah ikut di sana. Kemudian pengajaran hukum udara dan ruang angkasa sudah dilmulai sejak tahun 1963 ketika itu dipelopori oleh Prof. Triatna Abdul Rasyid di Papajaran.

11

Kemudian tadi disampaikan pula Indonesia pada tahun 80-an mengajukan klaim kedaulatan atas Geostationary Orbit bersama-sama dengan ekotrostid yang lain. sebetulnya kita ini melempem, makanya negara-negara maju mengatakan klaim itu sekarang have death, makanya sebetulnya pemerintah kita perlu untuk mengini kembali dengan negara-negara berkembang yang lainnya ini harus terus diangkat isu ini, karenakan Tuhan memberikan JSO ini untuk hanya 8 negara dan menariknya semua negara yang berkembang. Jadi kita punya …… di auto space ini, tapi teknologinya kapitalibitinya terbatas. Makanya yang kita ajukan klaim kedaulatan itu suatu yang rasional.

Kemudian juga Indonesia meratifikasi hampir semua perjanjian internasional dibidang keruangangkasaan kecuali satu yang belum yaitu montility, karena itu Amerika juga belum, jadi semuanya sudah, sudah kita retifikasi. Yang jadi masalahnya adalah ketika terjadi ……. Kegiatan keruang angkasaan dari militer ke moral yang itu direspon oleh unitation legislation. Jadi Undang-Undang nasonal itu sebetulnya marak ketika komersialisasi angkasa terjadi begitu.

Jadi sekarang nilai strategisnya bagi Bapak-Bapak yang terhormat bagaimana menempatkan RUU ini pada situasi ketika aktivitas ruang angkasa berada pada atmosfir komersialisasi, jadi kita tidak lagi mengembalikan kegiatan ruang angkasa pada era perang dingin yang untuk menciptakan balance politic antara Amerika dan Soviet.

Kemudian perlu saya sampaikan juga untuk wawasan saja bahwa hukum antariksa itu merupakan yang disebut secara akademis sebagai instant customarily law kenapa begitu? karena sebetulnya yang pioneer melakukan eksplorasi kan dua negara Amerika dan Soviet, negara lain tidak ada, tapi kenapa dalam waktu yang cepat negara-negara itu kemudian menjadi ikut. Karena dengan satu asumsi kalau kegiatan diruang angkasa yang dilakukan Amerika dan Soviet memberikan manfaat kita juga akan dapat dan seandainya juga mendatangkan resiko maka kita juga bisa bernegosiasi soal itu, padahal yang beraktivitas cuma dua negara. Makanya itu sebagai instant customerily nations law, berbeda dengan kebiasaan internasional lainnya yang berlangsung puluhan tahun dan juga banyak negara yang diikuti cuma dua.

Kemudian bagaimana karakteristik hukum antariksa internasional itu. saya catat beberapa saja satu sifatnya sebut disini sebagai …………. Rejim satu rejim hukum internasional yang berbasis kepada negara, jagi serba negara tadi sudah disampaikan Pak Hikmahanto dan paling jelas sekali adalah international respon sibility bagi negara. Jadi kegiatan keantariksaan apapun yang dilakukan di negara kita oleh siapapun disebut sebagai space treaty 1967 sebagai nations activities maka yang bertanggungjawab adalah negara. Nah persoalannya bagaimana nanti negara pemerintah itu mengatur mekanisme pertanggungjawaban di internal, karena keluar itu mereka akan menagih kepada negara. Saya ambil contoh umpamanya, kalau Indonesia tidak punya Undang-Undang keantariksaan kemudian kita meluncurkan di Biak dan jatuh menimbulkan kerugian maka warga negara Indonesia tidak bisa mengklaim ganti rugi berdasarkan liability convention tahun72 , kenapa? Karena convention itu tidak berlaku untuk

12

warga negara dari negara yang meluncurkan. Indonesiakan negara peluncur maka kita kan tidak menduduki negara kita maka menjadi sangat urgent untuk Undang-Undang keantariksaan untuk melindungi warga negara kita. Hanya untung selama ini untuk satelit yang kita luncurkan selalu mengambil ditempat lain, di Amerika kemudian Prancis, Rusia. Nanti kalau bandar antariksanya sudah jadi maka warga negar kita itu dianggap sebagai warga negaradari satu negara yang sudah maju secara teknologi, makanya dia tidak bisa meminta ganti rugi berdasarkan liability

convention harus Undang-Undang national dan kalau digunakan Pasal 13 65 itu menjadi tidak akan bisa.

Yang kedua, prinsip dari hukum antariksa internasional adalah prinsip kebebasan eksporasi. Jadi setiap negara itu punya hak ………… bebas kita, makanya tidak perlaku prinsip non apretiation, tadi sudah disampaikan jadi kita tidak bisa mengklaim kedaulatan. Karena tidak ada klaim kedaulatan maka yang ada di sana adalah comment interest kepentingan bersama. Jadi Undang-Undang ini harus memetahkan apa kepentingan di Indonesia dalam pemanfaatan ruang angkasa dengan keterbatasan teknologi tapi punya hak yang sama.

Kemudian prinsip applicability of international law tadi disampaikan Pak Hikmahanto, jadi kita harus bisa mengelaborasi bagaimana ketentuan internasional di dalam Undang-Undang keantariksaan kita. Restriction on military activities ini sangat membatasi kegiatan militer karena awalnya ini produk dari perang dingin jadi sangat kentara sekali warna militernya makanya kata-kata facefull use itu menjadi kata-kata yang magic dalam hukum ruang angkasa.

Responsibility and liability tadi sudah dijelaskan common interest and common here of

common kind ini sebagai konsekwensi karena tidak adanya klaim kedaulatan. Inilah kemudian memunculkan benefit sharing issues. Jadi negara-negara maju secara kebiasaan kalau mereka meluncurkan fase lewat ruang udara negara, tetapi kan tidak ada negara yang protes.

Oleh karenanya tadi disebut umpamanya Nail Amstrong itu dia bukan you as and fois bukan tapi itu adalah and fois and kind itu adlah duta kemanusiaan termasuk juga dutanya ornag Indonesia Nail Amstrong itu. jadi sebetulnya dengan konsep benefit sharing issues apa yang didapat oleh negara yang sudah berhasil mengeploitasi angkasi seharusnya juga di share, tapi sesuatu yang irasional dalam praktek kita sudah keluar modal terus begitu saja. Nah bagaimana Undang-Undang kita memetakan ini.

Kemudian juga prinsip kerjasama internasional nanti juga akan terlihat di dalam rescue

agreement, jadi misalnya kalau ada astronot dari negara lain kedaatan jatuh di sini maka kewajiban kita untuk segera mengevakuasi dan seterusnya.

Aktivitas dari keantariksan itu 3. Yang militer itu boleh sudah dikatakan terhenti, yang kedua aktivitas riset terus dilakukan oleh negara dan komersial oleh swasta. Hukum ruang angkasa sebetulnya menyebut istilah government agencies dan non government agencies. Jadi secara implisit selain dari negara boleh berpartisipasi di dalam kegiatan keangkasaan, tapi

13

tanggungjawabnya tetap pada negara. Maka ini yang harus diatur bagaimana karena ini private

activity tapi ada public responciblity dalam hal ini negara. Saya juga akan memperlihatkan bagaimana evolusi hukum antariksa dan dimana kita

sekarang akan buat undang-undang. Yang pertama periode klasik tahun 1957 sampai tahun 1979 ciri-cirinya biasanya bersifat militer, tujuan riset dan sangat kental ideologi, perang dinginnya, negara sebagai aktor utama pada periode.

Kemudian periode transisi tahun 1980 sampai 1991 itu terjadi pergeseran dari militer ke komersial karena berakhir perang dingin menguatnya peran hukum antariksa nasional itu yang saya sudah sampaikan tadi.

Jadi tadi Pak Himanto berbicara komparasi maka bisa komparasikan jelas kalau dengan Amerka dan Soviet harus karena dia mbahnya gitu, tapi juga kita harus komparasi bagaimana India Undang-Undang Keantariksaannya, bagaimana China, kemudian yang paling dekat Malaysia yang dulu sebetulnya Malaysia hukum angkasanya berguru ke kita datang ke sini dari Malaysia itu, tapi mereka sudah mulai berbangga termasuk juga Thailand.

Kemudian pada periode transisi negara mulai terlibat dalam kegiatan antariksa, jadi kalau dulu cuma dua negara saja sekarang negara berkembang jug mulai ikut. Jadi maka istilahnya face sparing nation dan noice fase sparing nation nah Indonesia itu masuk noice

sparing nation di sini karena kita belum menjadi kekuatan ruang angkasa, tapi kedepan undang-undang ini harus mendorong Indonesia mengambil peran besar.

Periode modern tahun 1992 sampai sekarang komersillisasi ruang angkasa, pada periode inilah undang-undang kita akan dibuat, sehingga kita harus meletakkan paradikmanya jangan sampai tidak tepat.

jadi benefit sharing issues sudah saya sampaikan dan ini harus di perjuangkan lewat Udang-Undang nasional kita, karena kata-kata the benefit and indetitas of all countries bagi negara maju itu moral obligation, tapi bagi negara berkembang inginnya inforceable legal

principles ini harus direalisasikan bukan hanya sebagai moral obligation. Makannya benefit

sharing issues itu menjadi seperti tention antara negara berkembang dan negara maju bagaimana Indonesia akan menempatkan dalam undng-undang kita.

Kemudian hukum antariksa nasional ini tadi disampaikan oleh Pak Hikmahanto itu salah satu konsekwensi karena kita meratifikasi, disamping itu ada konsekuensi yang implisit dan rasional, karena di dalam pasal 6 ada beberapa istilah yang memang mengarahkan kepada pembentukan hukum nasional, itu istilah internasional responsibilities, karena negara harus bertanggung jawab, sedangkan pihak swasta juga diperbolehkan, bagaimana mekanisme pertanggung jawaban internasionalnya, untuk kegiatan yang diadakan untuk swasta. Kemudian ada istilah national activities, ini artinya warga negara sekarang kan ada space tourism ya, sudah ada 6 orang ya, yang saya catat sampai yang terakhir itu ada anu syehk ya, dia warga negara amerika keturunan Iran ya, perempuan ya mungkin uangnya sudah banyak

14

karena murah ya sekitar 40 milyar untuk perjalanan 2 minggu ke ruang angkasa, nah nanti kalau sampai ada nanti bapak-bapak yang kalau kunjungan keluar negeri kan menjadi masalah untuk para anggota DPR mungkin kalau ke ruang angkasa tidak, karena tidak ada yang bisa memotret disana ya pak, ya karena ini studi bandingnya juga harus ke luar negara. Nah itu kalau ada yang berkunjung ke luar angkasa bagaimana kita melindungi warga negara kita, karena mungkin kedepan uang 50 milyar kan bukan masalah besar, Fix malow itu aja mungkin murah untuk keluar angkasa, nation atau private companies itu sudah banyak juga di kita, ada beberapa perusahaan swasta di kita yang sudah berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan di luar negeri, data tahun 2001, untuk sektor komersial itu, mengabaikan itu hampir 800 US$ untuk peluncuran, karena itu dihitung itu biayanya per kilogram, ini kalau Indonesia bisa menghasilkan yang berapa ton itu perkilogram itu biaya. Kemudian istilah governmental agencies, berarti disini kelembagaan pemerintah, saya melihat di RUU ini, itu LAPAN ingin memperkuat dirinya itu cukup rasional, umpamanya untuk registrasi itu untuk siapa, kalau bapak-bapak bertanya itu registrasi untuk siapa yang meregistrasi satelit di kita, saling lembar di Depkominfo juga. Nah saya pernah bicara dengan lapan, ini LAPAN juga harus diperkuat karena ini juga bisa lapan perkuat dengan BAP apa itu kan besar uangnya, nah itu karena urusannya frekuensi saja sebetulnya, untuk KOMINFO, nah tapi bagaimana ini untuk satelit-satelit yang lain, nah ini salah satu contohnya, kemudian yang paling penting dalam pasal 6 itu ada istilah authorizathion and continuing supervision, apa sih yang dimaksud dengan authorisasi continuing supervision dari pemerintah terhadap kegiatan ruang angkasa, para pakar hukum ruang angkasa malah bersepakat ini ada lisensi-ing, jadi izin oleh negara. Saya yakin bapak-bapak akan sangat mafum konsekuensi dari izin yang diberikan, nanti siapa yang memberikan continuing supervision untuk izin yang diberikan ini, sistem licensingnya. Coba saya ambil contoh Jepang, Jepang mempunyai mekanisme, kalau ada kerugian yang terjadi sama perusahaan swasta maka akan dibayarkan dulu oleh negara, nanti negara yang akan menagih kepada perusahaan tersebut. Kemudian yang terakhir tadi Pak Hikmahanto Juwana juga sudah sama dengan saya kenapa kita perlu Undang-Undang ke antariksaan, Indonesia perlu berperan aktif dalam pemanfaatan antariksa, karena nanti negara lain akan merasa terjamin kalau kerjasama dengan kita-kita punya national legislation, Indonesia perlu meningkatkan penguasaan teknologi antariksa, jadi selama ini LAPAN itu pijakannya tidak jelas disini. Berbeda dengan NASA, jadi mudah-mudahan dengan adanya Undang-Undang Keantariksaan, politik nasional tentang Keantariksaan itu jelas, ketika Indonesia harus mengamankan kepentingan nasional terkait dengan pemanfaatan antariksa. Keempat Indonesia perlu mengatur mekanisme tanggung jawab internasional terkait dengan kegiatan antariksa yang dilakukannya.

15

Apa yang saya sampaikan tadi secara garis besar sebetulnya sudah terangkum cukup baik di dalam RUU tinggal nanti perumusannya supaya lebih tajam, mungkin bisa diskusi lebih detail pada kesempatan yang lain, tetapi secara umum RUU ini sudah dapat menangkap cukup baik apa yang terjadi perkembangan teknologi ruang angkasa, dan begitu juga pengaturannya secara internasional, itu saja bapak pimpinan, dan para hadirin yang saya hormati, yang saya bisa saya sampaikan.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Dokter Latiful Hayat, mungkin ada yang mau bertanya kita mulai dari murid bapak dulu ini Pak Andi Rahmat silahkan ini dari kiri.

F.PKS : (ANDI RAHMAT, SE) Terima kasih,

Assalamu’alaikum Pak Prof. Dan Pak Dokter, ini memang tadinya saya agak bingung ini waktu dapat undangan ini, soal Undang-Undang antariksa ini, karena kelihatannya memang ini ilmunya memang spesifik sekali ya, sampai tadi saya becanda sama Pak Sutan, ini Pak Sutan ini rupanya kekuasaannya bukan luar biasa sekali, bukan bumi air saja yang mau diatur, antariksa pun kita juga mau ikut-ikutan mengatur pak ya. Tapi ini menarik pak ya, ada dua hal yang perlu saya klarifikasi yang saya sampein penyampaian bapak tadi, ini yang soal komersilnya tadi pak, kalau tadi saya baca di dalam RUU ini lebih heavy ke constitution gitu, sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan komersil ini tidak di touch begitu, kendati ada konsederan-kan ini diserahkan pengaturannya ke lembaga, ini pengalaman kita selama ini mengatakan, pengaturan jenis ini juga akhirnya ini kayak blanket guarantee juga karena nanti ada proses adu kuat lagi di dalam proses penyusunan kebawah itu, saya justru berpikiran ini justru apa yang agak critical, karena inget waktu debat indosat waktu itu pak, itu kan saya ingat betul waktu itu saya masih diluar DPR saya, pak ini yang sudah di DPR, kita masih demonstrasi waktu itu, nah itu kan indosat itu kan kepemilikan satelit oleh swasta itu, yang kepemilikannya adalah BUMN asing kan, sementara dia beroperasi diatas, sehingga muncul isu kan ini bisa menjadi sumber intelejen dan macam-macam. Nah ini gak jelas pak di dalam Undang-Undang ini, nah saya pikir perlu ada satu cara ya untuk mendefinisikan ulang itu, apakah cukup kita sekedar mendaftarkan saja, atau itu harus merupakan klaim nasional, begitu loh pak, satelit itu, karena kalau itu tanggung jawabnya pada negara kalau ada apa-apa, ya kan pak, loh kenapa swastanya enak-enakan saja kan, kalau dia gagal meluncur itu kan ada asuransinya pak, saya ingat dulu ini kan sebetulnya perintisnya adalah indosat itu menara cyber itu kan termasuk perintis itu, satelindo ya, terus di jual pak, satelit palapa 2 kalau saya gak salah tahun 1990, itu kan diasuransikan juga, saya pernah pelajari juga sistem asuransinya, ini kan resiko-resiko swasta yang disatu sisi juga abu-abu gitu pak ya, itu yang perlu di klarifikasi, saya perlu dapat penjelasan bagaimana ini nah, kalaupun

16

katakanlah oke itu satelit yang sudah diatas ini kita tarik kembali ke kita, ini kan berarti ada dispute dong dengan pemilik swasta ini dong, kan begitu kira-kira, nah ini mekanisme hukumnya ini kayak apa ini kalau kita mau klaim ulang apa yang sudah diatas ini, termasuk bagaimana mengontrol pendistribusian konten kan ya, karena kita kan sewain kan transpondernya itu, disewain oleh asing padahal dia operasi juga di negara kita, kita tidak pernah tau ini apa yang diambil dari dalam negeri kita pak ya, mereka melakukan ini satu yang perlu diklarifikasikan. Lalu yang kedua pak ya, ini soal isu tadi saya ada catatan dari pak Atiep tadi, ini soal militer pak ya, ini kita juga lagi bangun industri militer kita pak di Indonesia ini, dan kalau soal capacity saya kira bapak yang paham lah, dan kapasitas dari pengetahuan teman-teman kita, tapi kalau mereka klaim kan, sebetulnya kalau di akselerasi penelitian kita di industri misil lah misalnya roket dan macam-macam dengan dukungan politik, maka sebetulnya juga akan lebih cepat kita melakukan akselerasi, banyak ahli-ahli kita mengatakan itu pak, di LAPAN, di PT Dirgantara Indonesia, di PINDAD mengatakan semacam itu. Nah itu kan sekarang ada dispute itu kita baca itu di koran-koran itu antara China dengan Amerika itu, China itu mengembangkan senjata anti satelit di ruang angkasa itu, karena perang modern ini kan bukan lagi perang antara ini, bukan lagi pake, walaupun Indonesia ilmunya masih canggih pak, pake santet itu lebih hebat lagi. Itu kan sekarang sudah ditembak pak, China ini kan sudah mengembangkan suatu rudal untuk menembak suatu satelit yang merupakan keunggulan militer Amerika kan pak ya, waktu kita nonton di televisi itu kan kayak virtual life ya, orang bisa bisa nonton ya kejadian ditembaknya apa segala macam, karena itu setiap tentaranya itu di kasih alat untuk dia bisa merekam peristiwa itu pak, nah ini seperti tadi bapak bilang tadi, militer ini sekarang sudah hampir tidak ada, tapi kok kelihatannya pak ya, militer ini sepertinya shifting lagi ini mulai muncul lagi isunya dan ini kan jadi soal, tapi ini di Undang-Undang tidak disinggung pak, nah ini bagaimana ini ceritanya ini barang ini. Kalau kita perkuat LAPAN, tentaranya akan kesulitan pak, nanti ceritanya seperti penelitian kesehatan yang di Undang-Undang kesehatan itu pak, itu ada lembaga kesehatan asing melakukan penelitian di indonesia, akhirnya jadi kasus yang tidak ada ujungnya pak, ya kan pak, ini akan begini ceritanya pak, ini akan jadi barang yang sensitif pak, tidak kelihatan, tapi begitu kelihatan ini jadi perkara serius, karena dia berkaitan dengan satu hal yang sensitif sekali dalam sistem kita, nah ini saya justru ingin mendapatkan suatu wawasan pak, bagaimana mengatur peran militer ini, juga sisi komersilnya kepentingan kita untuk mendefinisikan fungsi militer dan ini kan kita baca pasalnya satu saja ini, bahwa menteri lembaga terkait itu kalau dibutuhkan dalam suasana perang itu dia bisa mengambil lagi dan menggunakan satelit ini secara paripurna, tapi itu kan kayak dongeng itu pak, bagaimana LAPAN ini tidak punya kontrol satelit pak, bagaimana dia occupancy dia ambil alih disita, itu kan perlu kita tegaskan kewenangannya semacam ini karena ini kan industri strategis pak, nah ini dua hal yang saya perlu dapatkan klarifikasi, terimakasih Pak.

17

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Andi Rahmat, ini banyak 1, 2, 3, kita mulai dari yang dari senior dulu ya, Pak Markum.

F.PG (DR. H. M. MARKUM SINGODIMEDJO): Terima kasih ketua,

Pak Hikmahanto saya ingin, dan Pak Atip ya, saya ingin jelas saja pak, yang pertama istilah LAPAN, ada BADAN, ada depkominfo, yang bapak mau yang mana? Kami kan mau merangkum mau nya apa, apalagi ditambahin teman kita tadi, tentara ini dan lain sebagainya, maunya bentuknya apa yang bertanggung jawab masalah keantariksaan. Yang kedua pak, Undang-Undang keantariksaan menurut bapak ini sudah benar tidak, nanti ada Undang-Undang kesapian, ada Undang-Undang kekerbauan, ada Undang-Undang macam-macam menurut bapak yang bener apa, bapak benar saja jelas saja yang minta Undang-Undang ini jadi kita mengadopsinya gampang. Ketiga, mohon maaf pak ketua, dongeng dengan GSO kaitannya dengan kapling udara ini, saya juga minta kejelasan saja pak pada bapak ini, kaitannya dengan bandara diangkasa, bapak ini maunya apa, bapak ini ahlinya kami ingin menampung maunya apa, kita mau model kayak kita berjuang negara kelautan dulu, kita mau berjuang menjadi negara keudaraan, keantariksaan atau gimana, jelasnya bapak mau apa, jadi pendapat ahlinya yang kita harapkan ini bagaimana, sehingga kita berbicara-bicara mau menyiapkan Undang-Undang ini jelas, patokan kami adalah bapak, terimakasih, demikian saja ketua, sebetulnya masih banyak tapi ya gak enak juga monggo yang lain saja.

Terima kasih. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Pak Markum ini bertanya, apakah nama Undang-Undang ini cocok, keantariksaan, kesapian atau keayaman ini juga bisa ya, silakan.

F.PKB : (IR. NUR YASIN, MBA) Terima kasih ketua, Pak Prof. Hikmahanto yang saya hormati, dan pak doktor Atip, saya gak banyak pak, walaupun saya engineer tapi saya gak paham juga ini karena bukan engineer antariksa, yang saya bayangkan itu, batas antara udara atau angkasa dengan antariksa itu apa, itu batasnya apa, berapa tahun cahaya dari bumi, atau pada saat abisnya gaya gravitasi bumi, pada saat ujung atas gravitasi bumi, artinya kalau dia sudah sampai ujung itu dia lewat dari itu dia jatuh ke angkasa kan begitu, apa itu batasnya, ini kita mau merancang Undang-Undang batasnya juga kita belum tau ya, itu kira-kira yang pertama. Yang kedua bapak tadi menyampaikan disitu tidak ada batas kepemilikan, tapi kalau ada benda jatuh dari sana kita yang menanggung, kalau jatuh ke Indonesia kita yang menanggung, padahal itu punyanya katakanlah karena diatas gak ada kapling, punyanya amerika, mungkin

18

ada komet yang mau jatuh ke washington, di dorong sehingga jatuh ke Jakarta dengan teknologi Amerika misalnya. Ini bagaimana duduk persoalannya pak, begitu sampai di bumi kita harus bertanggung jawab padahal diluar gravitasi kita itu tidak ada batas. Yang ketiga untuk menambah pengetahuan pada kami, negara yang GSO itu 8 negara itu apa saja pak selain Indonesia, mungkin Guyana atau apa itu ya, yang terakhir, tadi saya ingin satu contoh pak, karena ini bukan kunjungan kerja ya, tapi kalau bisa ini kita mencari referen ya, kalau saya bagi di negara maju dan negara berkembang, yang sebetulnya setara dengan kita, kalau negara maju itu yang paling bagus kita contoh itu yang paling relevan dengan indonesia mana, disini bapak tidak menyebut Rusia disini, tapi mungkin bapak kelupaan saja ya pak ya, ini disini hanya disebut Amerika, Perancis, Jepang, itu padahal Rusia ada disitu kan, dari keempat negara itu yang paling relevan ama kita apa, misalnya kalau kayak Amerika ini belum tentu cocok di Indonesia misalnya dia terlalu sedemikian jauh perangkat perundang-undangnya, sehingga kalau kita mencontoh Undang-Undang di Amerika justru atau mencopy atau menjadi referen utama malah tidak menjadi relevan, dan demikian juga diantara negara-negara berkembang, di China, India, Brazil itu, mana yang bisa menjadi referensi untuk Undang-Undang kita terimakasih.

KETUA RAPAT: Baik terima kasih, Pak Hikmahanto, Pak Profesor dan pak Dokter, tadi bicara soal LAPAN, tadi saya liat, anggaran LAPAN saya liat, 493 milyar tahun 2012, tahun 2013 532 milyar pagu anggarannya 526 milyar, bikin satu satelit saja tidak cukup ini pak. Baik dilanjutkan.

F.PAN (H. JAMALUDIN DJAFAR, SH., MH): Terima kasih pimpinan,

Saya mungkin ingin meminta masukan dari para ahli kita ini tentang kegunaan daripada antariksa ini, disini saya melihat bahwa dia bisa mendeteksi masalah hutan, laut, bahkan ikan dilaut, bahkan bisa masalah pemetaan, sawah dan kebun itu bagaimana masa panennya, bagaimana masa siklusnya, keringnya, dan bagaimana soal pasang surut dilaut, yang saya baca itu tentu banyak energi yang terbaharukan bisa dimanfaatkan disana, nah saya juga melihat bahwa antariksa kan sudah diatur semua negara ya, kita sudah ratifikasi dengan traktat pada tahun 1967 bahwa itu semua negara bisa memanfaatkannya, itu diluar daripada orbit itu, artinya sudah di hampa udara ya kira-kira itu dan ditempatkan itu satelit-satelit, nah tentu yang bisa kita atur, atur aspek yang bisa kita atur adalah internal kita, ya menyangkut masalah dirgantara, nah dirgantara ini kita punya infrastruktur dirgantara ini kalau pak ketua tadi mengatakan kalau tadi bahwa biayanya sangat minim, sangat meminta masukan atau bahkan bapak bisa mempengaruhi pemerintah kita, memotivasi untuk bisa memanfaatkan mendorong ini, ini manfaatnya apa, karena kita mengetahui bahwa india saja presidennya atau pemerintahnya bisa meyakinkan rakyatnya bahwa itu sedemikian besarnya untuk antariksa ini, dan akhir ini Korea selatan juga sudah memanfaatkan, tapi kita di dalam negeri ini ya rugi PT Dirgantara Indonesia saja baru berapa, dan manfaatnya banyak untuk kita dan masyarakat kita pekerjanya tidak

19

didukung, nah bapak-bapak yang sering bicara di media masa dan mempengaruhi pemerintah kita, mungkin bisa berbicara tentang itu. Oleh karena itu kami minta mungkin masukan tentang ini, dan sekaligus masukan untuk pemerintah, dan rakyat kita sendiri, itu pak ketua terimakasih.

KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Tommy, ini batas olahraga di antariksa ini silahkan.

F.PPP : (TOMMY ADRIAN FIRMAN) Terima kasih pimpinan,

Ini hanya masukan saja, andaikata ini nanti menjadi Undang-Undang pak, ini namanya jangan Keantariksaan pak, dari bahasanya saja sudah salah ini, jadi nanti Undang-Undang antariksa pak, jangan keantariksaan itu saja pimpinan.

KETUA RAPAT: Betul pak Tommy, Undang-Undang Antariksa, kalau Undang-Undang keantariksaan atau kemanusiaan atau keayaman kan. Tambahan, boleh perbatasan banten kan bisa dilihat juga dari antariksa.

F-PPP : (HJ. IRNA NARULITA, SE., MM) Terima kasih pimpinan,

Narasumber yang saya hormati, saya banggakan, teman-teman semua. Kalau saya lebih awam dari teman-teman saya, tadi sebetulnya sudah disampaikan

pertanyaan saya oleh teman-teman, batas angkasa, ruang angkasa, dan kadang-kadang saya berpikir, kita masuk di ruang angkasa itu kira-kira sudah masuk kedalam ketinggian berapa kilometer pak, yang perjalanan dari jakarta ke solo itu sudah masuk ke batas ruang angkasa dengan berapa ribu kaki, dan saya juga mau tau manfaat dari satelit yang sudah diluncurkan oleh Indonesia, selain tadi kartika, sebelum saya lahir, lalu palapa setelah itu mungkin saya sedikit tidak browsing atau membaca, sudah ada berapa satelit di Indonesia sih yang diluncurkan oleh kita, dan apa ada resiko yang selama ini dirasakan merugikan masyarakat kita begitu pak. Satu lagi apa ya, oh ya ada juga satelit-satelit kita yang ada di ruang angkasa USA saya gak mengerti itu kalau satelit kita ada disana dalam bentuk perjanjian atau dalam bentuk menyewa tempat atau seperti apa sementara pihak swasta dibolehkan untuk meluncurkan satelit, tetapi bila terjadi sesuatu pemerintah juga yang harus bertanggung jawab, perasaan 6 bulan lalu ada deh barang-barang aneh yang heboh kedengarannya tadi, meteor, yang jatuh di desa mana yang sampai membuat lubang yang sangat besar, berapa bulan yang lalu, atau ada kegiatan dari anak-anak universitas indonesia yang sedang ada survei atau penelitian apa begitu, ini kan juga salah satu yang kita harus dapat masukan dari bapak, karena kalau kita sudah duduk merancang Undang-Undang kita blank, yang kecil saja saya ingin tahu seperti itu, yaitu mungkin pak, kalau misalkan tadi seperti yang tadi kayak USA, karena dia mempunyai teknologi yang sangat canggih jarak berapa ribu juta mil bisa mendeteksi Palestina dan sebagainya tempat-tempat yang ingin di

20

bom dan sebagainya itu, teknologi-teknologi yang tercanggih seperti itu kan juga tidak selalu ada di ruang angkasa Amerika, itu terlihat sama internasional Keantariksaan seperti apa mungkin bapak bisa memberikan masukan kepada kami,

Terima kasih Pak. KETUA RAPAT:

Terima kasih Bu Irna, Pak Nazarudin. F.PDIP : (IR. NAZARUDIN KIEMAS)

Terima kasih Ketua, Pak Profesor Hikmahanto, dan Dokter Anto, Saya tidak tahu siapa yang mau menjawab ya terserah. Persoalan kita ini kan Undang-

Undang ini kan bisa kita buat pak, LAPAN itu tidak bisa berkembang karena semuanya diawasi militer ya, di komisi 7 ini kita banyak pak, kita BPPT, Ristek dibawah sini, macam pesawat tanpa awak, kita sudah buat, tetapi tentara lebih seneng beli, peluru kendali LAPAN sudah buat, tetapi waktu peluncuran, waktu apa itu harus perizinan tentara. Ini persoalan loh pak, jadi LAPAN itu tidak bisa berkembang, saya ingin masukan dari bapak berdua ini bagaimana mekanisme antara militer dengan sipil, artinya di badan di antariksa ini kan itu kan para ahli, para pakar, para professor doktor berkumpul disana, ya boleh-boleh saja tentara ikut, tetapi dia pangkatnya jenderal, dan dia juga doktor ilmuan, ya boleh-boleh saja, tetapi kalau dokter tentara perang pak, suruh duduk, bapak saya juga Jenderal pak, ya gak bisa pak, contoh LAPAN tidak bisa berkembang pak, jadi kami minta masukan lah, bagaimana mekanisme secara Undang-Undang, ya kalau perlu bapak berdua kita kirim ke NASA lah belajar disana, ya, boleh-boleh ya Komisi VII mengirim mempelajari disana. Bagaimana mekanisme antara militer dengan sipil, itu saja persoalannya pak, SMR pak dibuat di Komisi VII ya, sama tentara diselundupun pak di moro itu, itu buatan komisi VII pak. Ya karena apa, karena tidak di publikasi bahwa senjata itu buatan komisi VII, disangka orang itu barang dari luar, buka pak itu SMR yang diuji coba itu buatan kita komisi VII disini, kita yang biayai itu. Tetapi ketika produksi lepas dari komisi VII pak, mungkin di komisi I, jadi mekanisme harus tahu pak, jadi begitu lepas dari sini itu produksinya di komisi I, nah bagaimana NASA ini bisa berkembang, nah bukan masalah tanah loh Biak itu pak, kepala sukunya kita sudah datangkan, hanya minta secara resmi pemerintah minta kepala suku, selesai pak. Tetapi masalahnya bukan disitu, masalahnya militer, kalau ada militer disana suku itu tidak mau terima itu saja pak, jadi kalau ada embel-embel militer dalam peluncuran itu mereka tidak mau terima, sebab itu kesana mereka jelek. Nah itu tolonglah bapak berdua diatur atau gimana, diatur dalam Undang-Undang ini mekanisme antara sipil dengan militer.

Terima kasih pak ketua.

21

KETUA RAPAT: Terima kasih Pak Nazarudin, saya nambahin buat pak Hikmahanto sama pak dokter, saya nyambung teman-teman tadi, ini biaya riset kita rendah sekali pak, Cuma kementrian ristek, sama LPMK-nya, Bapeten, Batan, BPPT, Lapan, LIPI sama BIG Cuma 4 trilyun pak. Tadi saya sebutkan bahwa Lapan itu hanya 522, itu termasuk bayar gaji, maintenance gedung, nah dia gak akan bisa berkembang. Kalau ini pun akhir tahun kadang-kadang gak abis oleh Lapan pak anggarannya, masih ada sisa anggaran, mau dikasih besar nanti dia gak abis juga. Dan terus tadi saya menyimak penjelasan dari pak Professor, masalah data dari kita, misalkan ada stasiun di kalimantan, nah dengan adanya Undang-Undang antariksa ngelog ini data ini agar gak keluar daripada negara Indonesia ini, terus nyambung Bu Irna ini, batas yang namaya antariksa ini di beberapa ribu kali ya bu Irna ya, apakah pesawat melintas 49 ribu kaki itu sudah diantariksa atau belum, barangkali antariksa ini setelah lewat atmosphere baru masuk antariksa. Nah bagaimana juga mengkunci juga satelit asing diatas Indonesia, kalau satelit ini baik di negara dia tetap bisa masuk komunikasi baik di indonesia, Manila, di Filiphin, dan di Australia itu masih di cover semuanya, sama seperti Invarsyad, ada Indian Ocean, ada pacific ocean, dari sini pun sudah bisa dicover, kan sudah diluar antariksa juga, jadi walaupun ada Undang-Undang bagaimana memutuskan hubungan tidak masuk, karena dia tidak memerlukan stasiun bumi lagi, dia langsung pak, apalagi invarsyad itu dengan ukuran HP handphone pun sudah bisa hidup, yang M dan C sudah tidak ada masalah, dan seperti irridium sudah di antariksa juga gampang pak, sebesar handphone juga, itu kirim data speednya juga cepat. Jadi kalau kita bikin Undang-Undang ini manfaatnya apa yang kawan-kawan bisa lebih jelas mengenai Undang-Undang ini, dan gunanya data atau informasi dari negara kita gak keluar, itu saja pak, silahkan tadi.

Silakan Pak Totok. F.PAN : (H. TOTOK DARYANTO, SE)

Pak Ketua, diringkas Pak Ketua, ini tambahan, Terima kasih Pak Hikmahanto dan Pak Atip Latiful Hayat yang saya hormati,

Penjelasan bapak sangat komprehensif, tetapi karena sangat komprehensif detail-detailnya sebetulnya sangat kurang, jadi kami ini sebenarnya membutuhkan banyak hal yang terkait dengan detail soal keantariksaan, banyak yang tidak paham, jadi kalau tadi menyampaikan kami masih belum banyak tahu tentang ini ya memang benar pak, ini memang barang baru ini, bahkan ini kita terkaget-kaget ini judulnya keantariksaan, itu juga seperti apa juga sih peraturan yang kita buat. Pertama pak, kami ingin tahu Undang-Undang yang bersifat internasional yang mengikat kedaulatan antariksa itu apa, ada ndak, terus posisi negara-negara itu apa terhadap Undang-

22

Undang semacam itu, ini karena gak tahu pak, terus terang saja, banyak yang gak paham pak, saya baru mau buka-buka internet belum ketemu pak, jadi saya langsung tanya ke bapak mengenai ini. ini mestinya sudah ada sekarang, sebab Undang-Undang yang diratifikasi secara banyak negara, sehingga itu seolah-olah berlaku seluruh dunia, apakah itu ada. Kemudian seberapa ikatan itu bagi kedaulatan suatu negara, seperti Indonesia meng-klaim kan dengan posisi strategisnya, itu punya kekuatan hukum gak klaim-klaim seperti itu, nah kemudian juga dari sisi manfaat ekonomi pak, saya kira Undang-Undang ini harus bisa mengambil 2 manfaat, pertama kalau Indonesia sebagai pemain di industri ke dirgantaraan, keantariksaan, kalau saja, walau sekarang kita masih sangat terbelakang, belum banyak bisa bermain disitu, karena teknologinya masih di kuasai oleh beberapa negara maju. Tapi kalau Indonesia bermain disitu kita mestinya dilindungi dan mendapatkan keuntungan, itu arah dari Undang-Undang kita, dan yang kedua kita mengambil keuntungan atau mengambil manfaat ekonomi penggunaan antariksa yang banyak digunakan oleh negara lain. Nah kami sebagai pihak yang ikut yang punya hak menyetujui Undang-Undang atau mempunyai hak legislasi itu perlu mengetahui, perlu memahami batasan-batasan dari Undang-Undang tadi, supaya yang kita sepakati disini supaya ini manfaatnya itu jelas, jangan sampai kita mengatur sesuatu karena kita gak tahu, justru aturan itu sebetulnya tidak mempunyai arti apa-apa, mengatur negara-negara lain dan lain sebagainya. Ternyata itu tidak bisa ditaati oleh negara lain, karena angkasa itu bersifat universal, seperti laut saja kan ada laut internasional, kami ingin tahu pak, apakah antariksa itu bisa di bagi-bagi juga, sudah ada belum aturan seperti itu, kalau laut itu kan ada pak laut nasional teritorialnya berapa? dari panjang pantai berapa?, dan ada laut internasional, kalau penggunaan laut internasional di atur juga bagaimana kesepakatan dari negara-negara. Jadi banyak hal-hal detail yang kami memerlukannya, tapi karena waktunya saya kira ini tidak banyak, saya yakin bapak mau menjelaskan banyak hal, tapi juga terikat oleh waktu, mungkin juga perlu email sekretariat ya, atau gak email pribadi yang nanti bapak-bapak berdua mohon mau menyampaikan bahan referensi lain yang sekarang mungkin belum disampaikan, supaya memperkaya pembahasan di komisi 7 ini, terimakasih pak ketua Cukup.

KETUA RAPAT: Terimakasih Pak Totok,

kita kembali ke Pak Professor dan Pak Doktor ini untuk menambah wawasan kita pak, Silakan. PROF. HIKMAHANTO JUANA:

Terima kasih bapak/ibu dan saudara-saudara sekalian. Memang kalau saya melihat dari apa yang bapak/ibu tanyakan, sangat terlihat antusiasme untuk ingin tahu lebih banyak terkait dengan masalah “keantariksaan” ini, namun demikian untuk waktu yang sangat terbatas termasuk juga ketika kami di beri RUU ini dan naskah akademiknya ini juga dalam waktu yang tidak terlalu lama begitu, sehingga kami pun

23

tidak dapat masuk kedalam pasal per pasal kira-kira masukannya seperti apa, ini yang merupakan sebagai kendala bagi saya paling tidak, dalam kesempatan ini, tapi saya akan mencoba beberapa pertanyaan dari bapak-bapak/ibu sekalian. Pertama, dari Pak Andi Rahmat, sekarang begini bapak/ibu sekalian, kalau saya ditanya Undang-Undang Keantariksaan, ini saya yang sulit ini pak terus terang, karena dari sisi kebahasaan ini kan ada yang lebih pakar dari saya ya, artinya sebenarnya yang mau di atur disini ini adalah kegiatan manusia di ruang angkasa. Lebih khusus lagi bagaimana kegiatan sebuah negara seperti Indonesia di ruang angkasa, atau diruang antariksa, itu sebenarnya yang akan diatur disini. Kita tahu ada Undang-Undang penerbangan, itu mengatur tentang bagaimana negara mengatur masalah ruang udara dan juga penerbangan, mulai dari penerbangan komersial, terjadwal, dan sebagainya, sebagainya. Nah kalau tadi Pak Andi menanyakan kepada saya bagaimana ini sebenarnya pelaku usaha, nah ini yang keputusan politik dari bapak/ibu sekalian seperti apa, nih bapak/ibu lihat penerbangan di Indonesia, penerbangan untuk pesawat domestik itu harus untuk perusahaan Indonesia, asing tidak boleh, karena ini ada asas sabotaze gak boleh ya, ok setuju. Tapi sekarang bagaimana kalau ada perusahaan dari luar negeri, yang dia membeli saham-saham dari perusahaan Indonesia, dia perusahaan indonesia apa perusahaan asing?, ini kita bilang dia perusahaan Indonesia tetapi mayoritas sahamnya dimiliki oleh asing, seperti di dunia perbankan kan seperti itu, jadi yang penting bagi bapak/ibu dan saudara-saudara sekalian ini keputusan politik kita mau seperti apa. Apakah di level pokoknya di perusahan asing saja, sory perusahan Indonesia saja, karena komisi 7 membahas Undang-Undang migas juga kan pak ya, kan ada badan usaha yang asing itu pak, bukan pak kontraktor itu kan ada pertamina, atau badan usaha Indonesia, sama yang asing itu kan, seperti yang chevron dan sebagainya itu ya KPS, tapi istilahnya Badan Usaha bukan KPS pak, yang langsung, jadi ceritanya yang asing itu tidak perlu membuat perusahaan di Indonesia, tapi bisa langsung, sepanjang dia berkontrak dengan BP Migas, seperti di Perbankan, ada bank asing di Indonesia beroperasi tanpa badan hukum Indonesia, dia cukup perwakilan saja, tetapi melakukan kegiatan seperti kegiatan perbankan di Indonesia, tunduk kepada aturan-aturan bank Indonesia dan sebagainya. Jadi ini yang perlu bapak/ibu rumuskan, ini tadi kira-kira kita mau nya kemana, boleh dia badan hukum Indonesia, tapi badan hukum Indonesia itu harus mayoritas Indonesia, atau mayoritas harus tanda kutip dimiliki oleh negara, artinya bicara soal BUMN misalnya seperti itu. Nah ini yang memang mendapat pengaturan, nanti yang ditanya oleh rakyat itu keberpihakan pemerintah atau DPR terhadap Indonesia, tentu kita harus realistis juga, bahwa terkait dengan masalah dana dan teknologi pula kita akan tidak terlalu mampu, apalagi kalau misalnya belum ada pionernya lalu mendapatkan hasil secara komersial sehingga pelaku usaha indonesia itu tidak mau bergerak, sama seperti kayak kita bicara soal dibidang pertambangan pak ya, pertama memang perusahaan-perusahaan asing, tapi lama-kelamaan sudah bisa perusahaan Indonesia

24

ini sampai kapan perusahaan mengambil alih seperti itu. Jadi hal-hal yang seperti ini juga bagus juga kalau mau diatur, karena dari sisi komersialnya, kegiatan manusia di ruang angkasa itu, kalau boleh saya kategorikan itu ada 3, awalnya militer, Kedua, secara sosial. Yang ketiga, komersial. Dulu, awal-awal sekali, dominan. Maka, Pak Nazarudin bertanya, ini urusan militer sama sipil, bagaimana ini? Karena awalnya itu kalau kita bicara kegiatan manusia diruang angkasa, dinegara manapun, militer. Lalu kemudian berikutnya, fase dimana tahapan sosial ini. Untuk memecahkan lalu lintas, memecahkan masalah ini, dan lain sebagainya. Tapi lama-kelamaan orang melihat bahwa, oh ini ada uang disini. Jadi komersial. Nah kalau misalnya undang-undang ini bisa mengantisipasi seperti itu, itu akan sangat luar biasa. Artinya tidak hanya masalah yang “Militer” atau sosial saja, tapi juga ke depan ini karena urusan komersial ini akan sangat ini. Sehingga Indonesia sebagai sebuah Negara, kita punya potensi. Kalau tadi saya ditanya soal satelit, satelit itu katanya untuk supaya mengcover Negara kepulauan kita ini, satelit itu sebaiknya jangan diatas Indonesia, karena coveragenya Cuma segini saja. Kayak center itu harusnya disamping. Artinya apa? Satelit ini berada di Negara lain, seperti misalnya di Amerika Serikat, karena coveragenya memang lebih luas. Apakah boleh kita taruh di Amerika Serikat? Kan ruang antariksa. Menurut ketentuan internasional, tidak ada klaim kedaulatan, tidak ada masalah. Sehingga ini nanti kaitannya dengan batas antara ruang udara dengan sama ruang kasar, dimana sih? Saya lulus di tahun 1987 di Fakultas Hukum UI. Itu menulis tentang delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Sampai dengan hari ini Bapak-Ibu sekalian, di UNCOVOS (United

Nation Committee on Visual Users of Outher Space) itu masuk ada agenda tentang berapa jarak tertinggi dari ruang udara dan jarak terendah dari ruang angkasa. Artinya, sampai hari ini tidak konklusif. Karena mereka takut juga, kalau mereka tetapkan terlalu rendah kekuatiran mereka, bagaimana kalau ada pesawat udara yang jadi mata-mata yang bisa memang memanfaatkan ruang angkasa tetapi bisa melakukan reconanses. Karena kita tahu kalau dia masuk di ruang angkasa, dia tidak bisa dianggap melanggar kedaulatan Negara, itu kan di ruang udara, katanya begitu ya? Jadi ini perdebatan, masih sampai dengan hari ini, masih. Bahkan saya selalu katakan kepada mahasiswa saya, padahal seharusnya dengan diciptakannya space shuttle waktu berangkat seperti pesawat angkasa, tetapi ketika turun, seperti pesawat udara. Ketika berangkat, dia tidak perlu minta ijin kemana-mana. Tapi ketika turun, karena dia pesawat Negara, dia melewati kedaulatan sejumlah Negara. Harusnya ada ini, ya kan? Nah ini yang sebenarnya perlunya urgensi kita menentukan batas ruang udara dan ruang angkasa. Tapi kepentingan Negara-negara, memang ini kepentingan politik, ada dari sudut keamanan, dari sudut ini dan itu dan sebagainya, maka mereka sampai dengan hari ini masih belum menetapkan berapa sih tinggi dari ruang udara dan berapa sih tinggi terendah dari yang namanya ruang angkasa.

25

F.PKB (IR. NUR YASIN, MBA): Prof., sedikit saya sela, Ketua. Yang di space treaty itu tidak ada ketentuan?

PROF. HIKMAHANTO JUANA: Tidak ada. Jadi ini seperti kayak kalau di laut itu Pak ya, Konvensi Hukum Laut tahun 1958, itu tidak menentukan batas laut territorial itu berapa? Sehingga diserahkan kepada praktek Negara saja. Tapi kalau 1982, itu sudah jelas. Jadi itu sudah 12 nautical miles begitu ya. Nah kita berharap bahwa ini kan space treaty 1967, ya Pak ya, kalau misalnya masyarakat internasional bersepakat lagi untuk ketemu lagi, kita buat lagi, mungkin saja ketika itu sudah bisa ditetapkan batas itu ada dimana. Dan kemudian juga merespon tidak hanya masalah militer, 1967 itu masih militer, dominan, tetapi sudah masalah-masalah komersial. Namun demikian, menurut saya, undang-undang kita juga harusnya bisa mengakomodasi yang masalah komersial. Nah yang berikutnya, tadi dari Pak Markum, ini Undang-undang Antariksa, saya tidak berani jawab Pak ya, karena itu masalah bahasa. Nanti yang penting adalah kegiatan manusia diluar angkasa, menurut saya ada bagusnya juga sih kalau misalnya Undang-undang Antariksa, begitu ya? Kalau mata kuliah saya ini, Hukum Angkasa, bukan Hukum Keangkasaan, kan begitu ya? Bisa juga seperti itu. Tapi terkait dengan LAPAN, ini lembaganya mau bagaimana sih statusnya? Untuk Bapak-Ibu ketahui, sekarang ini kan LAPAN ini statusnya adalah LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian). Apakah LPNK ini mau ditinggikan statusnya, ya kan? Atau mau tetap di LPNK-kan seperti sekarang, dibawah koordinasi Ristek? Kembali lagi Pak, ini mohon maaf, ini tergantung Bapak-Ibu sekalian, kalau Bapak mengatakan, bahwa oke, visi kita, kita harus besarkan ini, kegiatan manusia diruang angkasa. Karena potensi sumber daya manusia Indonesia luar biasa. Dan kebutuhan kita sangat besar. Kalau menurut saya, bisa saja, kedudukannya itu,tapi tidak usah, jangan status pejabatnya harus dibukain pintu dan lain sebagainya, bukan karena itu. Tapi status dalam arti bahwa lembaga ini harus lembaga yang kuat, yang bisa mempunyai anggaran sendiri, tidak perlu dibagi-bagi dan lain sebagainya. Mungkin juga bisa dipikirkan seperti itu. Kayak NASA, NASA itu kan sebenarnya juga lembaga yang sangat-sangat kuat. Karena pada waktu Amerika Serikat masuk ke dunia ruang angkasa ini, itu dianggap sebagai tidak hanya masalah militer dan sebagainya, tapi masalah prestise. Kalau didunia kami, didunia lawyer, kalau soal prestise itu, aduh, anggaran itu langit batasannya. Ya kan? Kan biasanya begitu. Kalau mau mengguggat, “Pak, kalau saya jadi Bapak, tidak mau damai Pak”. “Kenapa tidak mau damai”, “Ini masalah harga diri Pak”, katanya kan? Suruh digugat maksudnya kan? Tapi itu seperti kayak begitu. Jadi anggaran harusnya tidak menjadi kendala. Coba Bapak-Ibu bayangkan, jaman Pak Habibie dulu, itu dikirim teman-teman dari berbagai perguruan tinggi bahkan anak-anak S1 yang belajar tentang masalah ini, Pak. Saya di

26

Jepang saya belajar tentang masalah antariksa. Pak Atip mungkin di Australia ya Pak ya? Belajar tentang hukum angkasa. Karena pada waktu itu kita bilang, “wah ini”. Tapi Bapak-Ibu tahu, sekarang mereka-mereka yang pergi kesana, sekarang masuk kayak Bapak-Ibu juga kan? Partai politik, begitu kan. Wah kalau kita tidak ngomong politik, tidak hebat ini. Termasuk saya, saya kering ini Pak, mengajar hukum angkasa. Maka saya diundang, wah mengenai apa? Pertambangan, kira-kira ini, begitu kan? Tapi kalau kira-kira kita ngomong hukum angkasa, kering. Jadi ini Pak, kalau kita punya visi besar, bahwa kegiatan manusia di ruang angkasa ini sangat luar biasa, kalau menurut saya, Bapak bisa punya, buat keputusan bahwa kita mau ini dikuatkan, kita mau sumber daya manusia di ini, dan anggaran yang besar itu sebenarnya harusnya diberikan untuk melakukan eksperimen-eksperimen ke ruang angkasa. Ya kan? Kegiatan manusia di luar angkasa. Itu luar biasa butuh dananya. Tapi kalau misalnya, mohon maaf, kalau roket-roketan dan sebagainya, ya mungkin kelebihan juga dananya itu Pak. Cep, turun, cep, turun, begitu kan? Memang ada sih, tapi kan kita maunya yang besar inikan? Yang kita tidak mau tertinggal misalnya di Negara-negara Asean, terkait dengan kegiatan manusia diruang angkasa. Jadi itu. Nah terkait dengan GSO, mohon maaf GSO sekarang sudah tidak bisa lagi kita bicara Pak, karena sudah kita ratifikasi space treaty tahun 1967, jadi kita juga tidak bisa mengklaim bahwa bagian-bagian dari ruang angkasa. Tapi kembali lagi, kita juga harus sadar juga bahwa yang namanya satelit itu tidak bisa langsung diatas kita, karena nanti secara teknis mungkin teman-teman yang dibidang teknologi bisa memberikan pemaparan, itu tidak bisa mengcover lebih banyak. Justru kalau misalnya disamping, kayak center itu yang justru lebih banyak. Nah ada beberapa hal yang mungkin nanti Pak Atip akan sampaikan, kita prinsipnya kalau dosen ini kan begitu Pak, jangan sampai kita mengambil bahan kuliah dari teman, begitu ya? Sementara honor tetap saja, begitu. Jadi kita harus bagi-bagi juga kan? Nah tapi apa yang saya mau sampaikan juga disini, terkait dengan pertanyaan dari Pak Nazaruddin terkait masalah militer. Nah ini, Bapak-Ibu sekalian, ketika Amerika Serikat dia mengembangkan teknologi keantariksaannya, lalu kemudian kegiatan manusia di antariksa, itu anggaran sebenarnya lebih banyak daripada militer. Department of Defense itu, belanja anggarannya itu sangat luar biasa, sehingga mereka bisa punya ide seperti Reagan inginkan, SDI (Strategic Defense Initiative). Itu sebenarnya dari militer. Nah tapi kan kita tahu juga bahwa kenapa anggaran itu dibesarkan, ya kan? Ya supaya memang anggaran itu memang besar, begitu kan? Kemudian bisa dapat proyek-proyek dan itu bisa membuka lapangan pekerjaan dan lain sebagainya. Nah tentu yang sekarang kita harus beri signal itu didalam undang-undang ini adalah bagaimana undang-undang ini tidak hanya masalah militer, karena masalah militer sudah ditinggalkan ini sebenarnya. Walaupun masih penting, tapi tidak terlalu begitu menjadi perhatian utama. Yang menjadi perhatian utama adalah komersialisasi ruang angkasa. Dan jangan sampai

27

Indonesia sebagai Negara, itu kita ketinggalan dengan fase komersialisasi dari ruang angkasa. Nah itu beberapa hal yang mungkin bisa saya sampaikan. Nah terkait dengan soal data, tadi Pak Sutan tadi tanya, bagaimana ini, bisa tidak kita lock? Pak, data itu sebenarnya satelitnya bukan satelit kita punya, transponder nyewa juga bukan kita Pak. Jadi dia bisa katakanlah melakukan remote sensing, yang mengambil citra di Negara kita. Nah sekarang ini ada diskusi di UNCOVOS yang mengatakan begini, boleh negara-negara berkembang ini disenses, dicitrakan, tetapi dengan catatan mereka yang akan menjual kepada pihak ketiga, pelaku usaha dan sebagainya, mereka harus mendapat persetujuan dari Negara berkembang ini. Nah, kalau misalnya ini menjadi pembahasan di forum UNCOVOS begitu ya, meskipun ini belum menjadi perjanjian internasional. Ada baiknya, di Indonesia kita bilang kayak begitu, di undang-undang kita. Jadi bukan kita mengatakan bahwa data itu milik kita, karena yang melakukan sensing itu adalah satelit dari Negara lain. Tetapi yang kita inginkan adalah ketika dia akan menyerahkan kepada pihak ketiga, mengalihkan kepada pihak ketiga, itu harus kita dapatkan informasi. Sehingga kita tidak kecolongan. Dia mintanya disini, kita pikir, oh kayaknya tidak ada apa-apanya. Eh ternyata, banyak benar sumber disana. Baru kemudian kita tahu setelah dieksploitasi. Nah mungkin itu yang penting untuk diperhatikan. Nah mungkin itu dan kemudian kalau soal biaya riset yang rendah, nah ini yang di Indonesia ini jadi masalah ini. Terus-terang saya melihat komitmen kita untuk masalah riset ini belum disitu, begitu ya, baik Negara maupun perusahaan. Kita lebih senang setelah hasil dari riset itu yang kita kemudian gunakan. Jadi kalau misalnya boleh usul, riset ini memang, dana riset ini harus dibesarkan, daripada teman-teman yang pandai-pandai itu nanti dipakai lembaga riset diluar negeri, mengapa tidak kemudian kita pakai disini, kita kasih kesejahteraan yang baik dan lain sebagainya. Yang terutama bagi mereka adalah, ya harus ada mainan. Kalau tidak ada mainannya ya mereka bilang, kalau Cuma status, pegang-pegang jabatan struktural, ya lama-lama mereka bilang, “ya sudahlah, saya ingin ada challenge”, begitu ya. Dan challenge itu biasanya di lembaga-lembaga riset diluar negeri, mereka akan diberikan mainan itu. Jadi akhirnya teman-teman ini akan dimanfaatkan diluar negeri, lebih maksimal daripada di Indonesia. Saya rasa itu dulu.

F.PAN : (H. TOTOK DARYANTO, SE) Ketua, sedikit Ketua.

KETUA RAPAT: Ya, Pak Totok. Ya, sebelum Pak Totok, kita perpanjang sampai Pukul 16.30 WIB ya?

F.PAN : (H. TOTOK DARYANTO, SE) Pertanyaan ke Prof. Hikmahanto ini, tadi Bapak jelaskan bahwa kita ini harus banyak riset dan menguasai teknologi keantariksaan. Nah sementara kita punya pengalaman yang tidak begitu happy bagi bangsa ini, ketika kita mengembangkan industri pesawat terbang PT DI, itu

28

sudah luar biasa yang kita lakukan. Ternyata akhirnya tidak jelas komitmen kita dan kita tetap memilih menjadi Negara konsumen untuk produk-produk pesawat terbang. Dan banyak Negara akhirnya juga hanya dikuasai oleh 2 perusahaan besar saja sebenarnya, untuk komersialnya, seperti Boeing maupun Airbus di Perancis itu. Nah untuk keantariksaan ini Pak, karena DPR ini maunya banyak, tapi kita kan perlu mendengarkan banyak masukan, termasuk dengan Bapak inikan justru untuk membuka perspektif kita. Ketika budget yang sangat terbatas untuk mengatasi persoalan-persoalan yang tertinggal jauh seperti Pertanian misalnya, kita ini sangat tertinggal jauh dibanding Negara lain, Brazil, China. Padahal tanah pertanian kita ini suburnya tidak kalah dengan Brazil, sama-sama tropis. Tapi kita tidak memberikan alokasi yang cukup sehingga kita menjadi importir untuk bahan pangan, sesuatu yang sebenarnya tidak boleh terjadi di masa teknologi maju seperti ini dan banyak orang-orang Indonesia yang cerdas dibidang itu. Kok kita masih import pertanian? Itu sebenarnya sesuatu yang tidak boleh terjadi. Sehingga kalau berbicara prioritas, mungkin sekarang banyak sebenarnya alokasi yang kita perlukan untuk bidang-bidang strategis yang menyangkut kepentingan-kepentingan jangka pendek dan menengah Indonesia. Yang jangka panjang itu, ya penting juga, tapi pasti prioritasnya tidak bisa seperti yang kita inginkan itu. Jadi mungkin

KETUA RAPAT: Biar dilanjutkan dulu, Pak Totok.

F.PAN : (H. TOTOK DARYANTO, SE) Ya mungkin ini pertanyaan kalau, tidak untuk Pak Hikmahanto, tapi kepada Pak Atip. Supaya nanti menyampaikan ya, jadi prospektif ekonominya apa Pak, keantariksaan kita ini? Jadi jangan sampai nanti kita riset besar-besaran disitu, manfaat bagi bangsa ini ternyata kecil, begitu. Jangan sampai itu terjadi. Jadi mungkin nanti mohon juga dijelaskan disitu. Jadi kalau kita mau kembangkan riset dibidang antariksa itu dibidang mananya, dan manfaat ekonominya kira-kira apa buat Bangsa Indonesia?

KETUA RAPAT: Ya, kalau Pak Totok baca Koran berita, itu pesawat kita itu diterusin, Pak Habibie yang ambil alih. Dia akan njalanin 2015 apa 2016 sudah akan berproduksi. Kalau baca. Kalau tidak salah, Pak Habibie ambil alih, betul kan Pak? Dan itu diteruskan, N-250 nya. F.PAN : (H. TOTOK DARYANTO, SE) Tapi tenaga ahli kita sudah tidak ada di Indonesia lagi, susah itu.

KETUA RAPAT: Itu tidak tahu, itu pokoknya Pak Habibie yang mengambil alih, pokoknya Pak Habibie bilang, 2015, terbang, sudah bisa berproduksi.

Silakan dilanjutkan Pak.

29

PROF. HIKMAHANTO JUANA: Sedikit saja Pak, menanggapi ini. Jadi begini Pak, memang kan waktu itu perdebatannya adalah apakah perekonomian ini untuk pemerataan, setiap orang bisa dapat. Atau seperti kayak begini, diinvestasikan, dialokasikan untuk industri-industri yang padat teknologi, yang butuh orang pandai, ini dan lain sebagainya. Itu selalu jadi perdebatan. Nah tapi yang ingin saya sampaikan itu adalah, yang kita kurang itu adalah konsistensi. Jadi dulu Pak Habibie sudah memulai hal yang bagus. Tapi sekarang ini terus-terang kan kita agak gigit-jari. Karena dengan wilayah Kepulauan Indonesia, kebutuhan akan pesawat udara sudah sangat tinggi. Jadi misalnya kemarin, Obama saja sampai menunggui ketika tanda tangan Lion Air dengan Boeing. Karena itu membukakan lapangan pekerjaan, ini dan sebagainya, yang itu seharusnya punya kita itu seharusnya, kalau kita sudah bisa mendevelop pesawat udara yang luar biasa itu kan. Nah dalam konteks seperti itu, kalau menurut saya, saya ditanya Bapak seperti itu, tentu saya sebagai juga pengajar dari Hukum Angkasa Antariksa ini, saya akan bilang bahwa harusnya ini kita besarkan untuk riset, karena kemanfaatan bagi Indonesia sebagai Negara kepulauan, itu akan sangat luar biasa. Kemanfaatan dalam arti daripada kita harus misalnya menyewa transponder dan sebagainya, satelit, membeli satelit, padahal kalau kemampuan dari pada pemuda-pemuda kita ini mampu membuat satelit dan lain sebagainya, syukur-syukur malah mereka akan dipakai oleh Negara lain. Kayak pesawat udara kan Bapak tahu ya Pak, Beliau-beliau yang pintar-pintar itu sekarang, ada di Malaysia, ada di Amerika. Tapi saya yakin kalau Pak Habibie bilang, “eh kamu kan dulu beasiswanya dari saya, hari ini saya, maksudnya bukan dari saya, dari Negara, walaupun ini komandonya Pak Habibie, hari ini saya mau buat pesawat, kamu pulang”. Mudah-mudahan akan pulang. Dan itu akan dahsyat saya kira. Ya kan? Tapi kan perlu ada komitmen seperti itu. Seringkali kita ini kehilangan fokus ketika kita berjalan. Nah ini harus ada yang mengembalikan, Ihdina shirotol mustaqim ini untuk kemudian bisa lebih baik. Jadi mudah-mudahan Pak, kalau menurut saya, masalah kegiatan manusia di ruang antariksa ini, kemanfaatannya bahkan ini bisa juga menyelesaikan permasalahan penduduk yang meledak, urbanisasi, tadi, soal pertanian, itu bisa masuk kemana-mana. Saya rasa itu. Terima kasih.

KETUA RAPAT: Silakan Pak.

DR. ATIP LATIFULHAYAT: Terima kasih. Sebelum itu saya ingin menyampaikan beberapa hal yang harus menjadi titik pijak kita. Berbicara mengenai keantariksaan itu sebetulnya berbicara masa depan. Karena dulu juga, saya kira pada tahun 1957 ketika Uni Soviet berhasil meluncurkan Sputniknya, itu kan belum tergambar untuk kemudian aplikasinya didalam telekomunikasi. Kalau tadi Bapak membuat

30

analogi dengan kebijakan dulu Pak Habibie, kalau saya pribadi berpendapat, Beliau sudah benar. Dan terbukti sekarang, kalau dulu kenapa Beliau merancang pesawat yang berkapasitas 100. Terus dulu itu teknologinya dengan Brazil. Kita kan competitor, sekarang kita menjadi pecundang. Jadi dalam hal ini kita harus mengakui bahwa benar yang diinikan oleh Pak Habibie, secara teknologi. Kalau secara politik, tidak ada kebenaran dalam politik. Kebenaran menjadi sangat relative, karena tidak ada rumus baku, begitu. Benar. Sekarang, Departemen Pertahanan, beli kemarin, pesawat tempur. Saya yakin ini IPTN bisa, seperti itu. Nah hal yang sama harus menjadi pelajaran dalam policy mengenai keantariksaan. Jadi ini berbicara mengenai masa depan. India, betul tadi Bapak dikatakan, makanya siapa lupa lagi, ada Tokoh Bapak Ruang Angkasa India itu, yang dia mampu menyihir begitu, penduduk India, bahwa ini adalah masa depan kita. Dan sekarang terbukti. Jadi sekarang, DPR harus menyakinkan, harus menyihir Pemerintah dan juga rakyat Indonesia, ini adalah masa depan. Kalau kita hanya berbicara untuk hari ini saja, ya kita habis. Itu satu. Yang kedua, berbicara mengenai ruang angkasa, berbicara mengenai objek, dua hal. Space object itu. Yang pertama yang God made, yang seperti planet dan sebagainya. Disana kita mengatur mengenai aktivitas, apabila manusia mencapai kesana. Yang kedua, space object

dalam bidang man made, yaitu seperti satelit dan sebagainya. Makanya, RUU ini pun mendefinisikan space object antara itu, yang alamiah dan man made itu, yang diatur. Karena tidak ada kedaulatan Negara, maka undang-undang ini berbicara mengenai maksimalisasi kita punya hak. Berarti disini, roh undang-undang ini harus mendorong teknologi. Karena tanpa teknologi, kita tidak bisa memaksimalkan, begitu. Karena istilahnya tidak ada kedaulatan. Makanya kalau di ruang udara, kita berbicara mengenai control. Makanya disana kedaulatan itu adalah mutlak. Sehingga saya terus mendorong, coba deh di Pasal 33 itu, masukkan ruang udara. Kan cuma bumi, air, dan kekayaan yang dibawahnya. Padahal ruang udara kita jauh lebih besar. Makanya tidak ada national air economic policy. Makanya kita dipecundangi oleh Singapura, apa kebijakan ruang udara kita dalam hal ini? Padahal kita punya kedaulatan disana. Tadi Pak Hikmahanto memberikan contoh bagaimana perusahaan penerbangan asing membeli, itu jelas. Disana, control. Nah kalau diruang angkasa, bukan control yang ada. Akan tetapi adalah the use, kita memanfaatkan. Agar kita bisa memanfaatkan, maka harus punya teknologi untuk itu. Sebelum kita punya teknologi yang mandiri, maka sarana yang diberikan oleh international

cooperation harus dimaksimalkan untuk itu. Nah maka tadi ada isu mengenai batas. Jelas Pak, dan menurut saya, satu hal yang bagus, tidak ada kesepakatan. Karena teknologi akan berkembang terus, termasuk teknologi untuk pesawat udara, begitu. Jadi disini juga undang-undang menurut saya, cukup moderat. Disini, di Pasal 1 nya, antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat diluar ruang udara. Jadi mungkin simpelnya, ketika pesawat udara sudah tidak bisa terbang lagi, itu ruang angkasa. Itu saja sebetulnya, simpelnya begitu. Karena definisi dari pesawat terbang itu adalah yang dia

31

mendapat dorongan dari tekanan udara. Kalau sudah tidak ada itu, maka dia tidak termasuk pesawat udara yang tunduk kepada konvensi Chicago. Makanya jadi spacecraft, untuk pesawat ruang angkasa, begitu. Kalau secara teknis, pada umumnya para ilmuwan, sekitar 120 km, katanya. Makanya tadi berbicara JSO, itu menjadi sui generis, disebut ruang udara terlalu tinggi, karena ketinggiannya 35.000 km, disebut ruang angkasa, terlalu rendah, untuk JSO itu.J secara fisik, sebetulnya cukup beralasan kalau Indonesia itu mengklaim kedaulatan, karena ini kan bukan ruang angkasa, begitu. Yang tadi mainboard siapa saja, saya tidak ingat semuanya, yang seperti Indonesia, Brazil, Nigeria, Colombia, begitu. Saya pernah ke LAPAN, coba deh kumpulkan itu, Dubes-dubes Edequestrian state itu disini itu ngomong. Berarti beralih, tidak lagi ke kedaulatan. Masak kita yang punya physical closeness dengan mereka, kok sama sekali tidak punya hak yang lebih, begitu. ya jawabannya sebetulnya yang paling cespleng ya teknologi, coba kalau ke-8 negara itu punya teknologi yang. Nah mengenai kelembagaan, menurut saya sangat penting mengenai LAPAN ini harus, kalau saya sarankan, ini menjadi prototipenya kita punya masa depan, untuk teknologi ruang angkasa di LAPAN, jadi NASAnya Indonesia itu. Jadi jangan hanya menjadi assesoris, kalau pemikiran saya. Jadi ini yang terkait dengan keantariksaan, ke LAPAN. Dan jangan lupa, sebetulnya LAPAN itu bukan hanya mengurusi antariksa. Lembaga Antariksa dan Penerbangan, kan? Yang dulu jadi ….dan ketuanya Presiden langsung, sebenarnya luar biasa disini. Jadi Bung Karno sudah punya visi yang luar biasa sejak tahun 1950-an. Jadi disini juga penerbangan, sebetulnya. Mengenai manfaat, tadi saya sudah berbicara mengenai masa depan. Kalau kita harus cerdas memang membuat undang-undang ini. Bagaimana dengan keterbatasan teknologi, tapi kita mengambil benefit dari Negara lain, begitu, dari pesan undang-undang ini. Kemudian mengenai istilah, pasti itu Bapak-bapak yang terhormat kan sudah pengalamanlah, bagaimana. Tapi kayaknya undang-undang ini menyebutkan antariksa itu dalam artian aktivitas. Memang agak susah menerjemahkannya, kalau bahasa sana ya kan space

activities. Untuk itu nanti kalau ada komparatif dengan undang-undang lain, bagaimana mereka menamai? Sebagai contoh, ketika kita menyusun RUU Undang-undang Informasi dan Teknologi Informasi, India menyebut Undang-undang Pemanfaatan Teknologi Informasi. Yang lain ada yang menyebut sebagai cyberlaw, internet act dan sebagainya, begitu.

KETUA RAPAT: Boleh saya interupsi sedikit Pak? Kalau Amerika, nama Undang-undangnya apa Pak, antariksa ini?

DR. ATIP LATIFULHAYAT: Ya tentang itu apa namanya, outher space, tentang Keruangangkasaan, begitu.

PROF. HIKMAHANTO JUANA : Namanya kalau saya lihat di Internet ini Pak, National Aeronotics and Space Act.

32

DR. ATIP LATIFULHAYAT: Ya kalau diterjemahkan ya, ruang angkasa itu.

PROF. HIKMAHANTO JUANA: Ya, act-nya ini undang-undang kan ya Pak ya? Terus kemudian, national aeronotics and

space. Jadi dia ada kata-kata national begitu. Justru ruang angkasanya tidak ada, dia bilang aeronotics and space, space-nya itu yang angkasa atau antariksa, ada juga sih kata-kata itu.

DR. ATIP LATIFULHAYAT: Ya, tadi sebetulnya disini, di RUU ini, ada definisi di Ketentuan Umum itu, definisi mengenai aeronotics itu. Karena secara akademis, …. Aeronotics itu kan, udara ya, disini ada. Nanti silakan Bapak-Bapak mengklarifikasinya, tapi intinya yang dimaksud disini, keantariksaan itu adalah aktivitas manusia diruang angkasa. Jadi yang diaturnya adalah aktivitas manusianya. Kenapa? Karena kalau objek ruang angkasanya kan kita tidak punya kedaulatan. Tapi kalau ada national activities, warga Negara kita atau kita punya perusahaan yang beraktivitas, maka kita harus mengatur. Kemudian mengenai market sebetulnya. Sekarang karena kita belum dapat informasi, mungkin saya sarankan Bapak-Bapak juga harus dengan yang pakar ya, untuk teknologi ruang angkasa. Cuaca sangat jelas sekarang. Informasi tentang tsunami sekarang kan menjadi sangat ini sekali, itu karena satelit, GPS dan lain sebagainya. Jadi untuk menyebut beberapa contoh, manfaatnya, satu saja satelit, untuk komunikasi, untuk cuaca, kemudian bencana. Makanya kerja sama internasional untuk penanggulangan bencana dengan menggunakan satelit, sekarang sangat ini sekali kerja samanya. Tsunami kan relative bisa diantisipasi secara cepat. Nah tadi yang menarik dari Pak Nazarudin, apa sebetulnya soal militer ini. Saya ingin memberikan ilustrasi di Amerika, ketika mereka akan menyusun policy mengenai pemanfaatan udara, ketika itu ada satu kolaborasi yang sangat bagus, antara Prof. Cooper, dia sebagai ilmuwan untuk hukum udara, dan juga dengan militer, dalam hal ini Presiden Eisenhower, dia kan militer. Bagaimana kedua tokoh itu bekerja sama, jadi keinginan-keinginan dari pihak militer diformulasikan dengan sangat baik oleh Prof. Cooper, maka menjadi kebijakan Amerika mengenai ruang udara yang sangat bagus. Jadi kuncinya adalah kerja sama. Saya sepakat, bahwa militerlah yang sebetulnya selalu mengambil inisiatif. Internet, kan sebetulnya dulunya proyeknya di Arpanet punyanya militer. Disini mungkin Komisi VII bisa mendorong, bahwa militer itu policy mengenai pertahanannya nanti bisa diformulasikan, jangan kemudian ikut intervensi kesana. Tirulah bagaimana Prof. Cooper dengan Eisenhower, mereka berdialog dengan sangat baik. Sehingga mereka punya kebijakan untuk air power yang sangat bagus. Mengenai data, tadi Pak Hikmahanto juga sudah menyampaikan, saya sarankan, kalau tidak salah disini sedang dibahas RUU tentang Geospasial ya Pak ya? Sedang dibahas, oh sudah selesai Pak ya? Sudah selesai. Saya sebetulnya pas lihat, jadi tidak sempat ini, mungkin

33

nanti dicarikan disana, bagaimana kita punya detaproteksi, untuk itu. Kita sudah memadai atau tidak? Soal Remote sensing, itu kan sampai sekarang baru hanya ada principalsnya saja dari PBB. Soal Negara yang me-remote dan sensing state dengan sense state, begitu. Jadi tadi saya sepakat, kita bagaimana punya sikap, kalau Negara kita, sebetulnya juga ada manfaatnya, karena kita tidak punya teknologinya terus diini oleh Negara lain, tapi data tersebut bagaimana kita proteksi? Saya tidak tahu apakah kita punya Undang-undang Perlindungan itu atau tidak. Itu saja barangkali beberapa catatan, dan saya tadi sepakat dengan Pak Totok,memang untuk lebih detailnya, kita perlu nanti kesempatan yang lebih spesifik ya, Pak Hikmahanto, untuk pasal-pasal ini, bagaimana agar memiliki ruh, bukan hanya kita menjadi undang-undang yang mati, saya sepakat dengan Bapak. Jangan sampai kita mengeluarkan undang-undang ini, itu dianggap sebagai undang-undang yang mengatur dunia ghaib, begitu. Tapi ini adalah betul-betul masa depan. Terima kasih Bapak Pimpinan.

KETUA RAPAT: Terima kasih, Bapak dan Ibu yang saya hormati. Saya menambahi lagi Pak, sedikit bertanya, kita ini kalau RUU ini selesai, apakah tadi yang saya sampaikan, ada yang lebih kuasa dari Tuhan, bakal batalin lagi ini undang-undang Pak? Kalau MK batalin undang-undang ini, mungkin dia lebih pintar dari Bapak, Pak Mahfud ini. Saya, kita saja, pening dengar ini, antariksa. Kalau dia lebih pintar, ini salah, saya tidak tahu lagi. Itu pertama, Pak. Kedua, ini undang-undang

F.PAN : (H. TOTOK DARYANTO, SE) Pak, MK tidak mengurusi antariksa, Ketua, mengurusi Indonesia saja masih bingung.

KETUA RAPAT: Indonesia saja bingung, apalagi di antariksa? Tapi dia batalin undang-undang ini nanti, dianulir lagi. Kedua Pak, ini undang-undang nanti lengket ke LAPAN. LAPAN ini masih nyusul sama Ristek, Pak. Kepala LAPAN, musuhnya sama Menristek. Jadi bagaimana mau berkembang ini Pak? Tadi saya corat-coret, ini LPNK dapat uangnya disusui sama Ristek. Anggarannya Cuma Rp 500 miliar. Jadi kira-kira bagaimana supaya kalau undang-undang ini kalau jadi, RUU ini jadi undang-undang Pak, bisa bermanfaat. Kalau begini, saya tidak yakin ini undang-undang ini bisa bermanfaat lebih baik untuk Republik ini. Kecuali kalau memang ada masukan. Kepala LAPAN ini dinaikkan kelasnya, Pak. Seperti yang di Amerika kan dibawah NASA, dia langsung. NASA ini punya kekuatan penuh, apa lebih tinggi dari menteri mungkin kedudukannya dan anggarannya tidak terbatas ya? Itu saja tambahan dari saya. Dan saya mohon kepada Bapak berdua, kalau kami kurang dapat informasi, kiranya bisa kami undang atau kami yang ke Bapak minta

34

tambahan untuk melengkapi undang-undang ini, RUU ini, sampai betul-betul jadi yang baik, begitu Pak. Saya rasa cukup ya? Baik Pak, terima kasih banyak. Saya atas nama Komisi VII mengucapkan terima kasih atas masukannya, dari siang hingga sore ini, dengan mengucapkan hamdalah, rapat saya tutup pada sore hari ini.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

(RAPAT DITUTUP PUKUL 16.30 WIB) Jakarta, 19 Septembe 2012

a.n. KETUA RAPAT SEKRETARIS RAPAT,

Dr. Dewi Barliana., M. Psi NIP. 196209261988032001

35