queering tata kelola internet bahasa

84

Upload: pelangiperempuan

Post on 18-Jul-2015

287 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

ii Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Queering Tata Kelola Internet Indonesiasebuah studi eksploratoris di Indonesia

Penulis:Kamilia ManafDewi Nova WahyuniIkram Baadila

Kontributor:Ni Loh Gusti MadewantiNyx McleanManjima Bhattacharjya

Reviewer atau Mitra Bestari:Jac SM KeeNadine MoawadCaroline TagnyCharrisse JordanSheherezade KaraBishakha Datta

Produksi Publikasi:Hanny Ika Yuniati

Diterbitkan oleh Institut Pelangi Perempuan dengan dukungan Association for Progressive Communication dan Ford Foundation2014

ISBN 978-979-17983-5-8

iii

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif .......................................................................... iv

Bagian I Pendahuluan ........................................................................ 1

Bagian II Metode Penelitian .............................................................. 4

Bagian III Istilah dan Batasan Konsep ............................................. 7

LBT, Lesbian, Biseksual dan Transgender ................................... 12

Surel, surat elektronik (E-mail) .................................................... 15

Bagian IV Temuan Situasi LGBTIQ di Indonesia dan Tata Kelola Internet .............................................................................................. 16

A. Internet Media Strategis bagi Promosi dan Penegakan HAM LGBTIQ ..................................................................................... 19

B Pengabaian Hak LGBTIQ Melalui Internet ............................. 27

C. Keterlibatan Gerakan LGBTIQ Indonesia pada Queering Tata Kelola Internet di Tingkat Nasional dan Dunia ....................... 40

Bagian V Analisa Kesimpulan dan Rekomendasi ............................ 47

Kesimpulan ................................................................................... 47

Rekomendasi ................................................................................ 55

Referensi ............................................................................................. 60

Tentang Penulis .................................................................................. 66

iv Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

RINGKASAN EKSEKUTIF

Queering

Tata Kelola Internet

di Indonesia

A. PENDAHULUANDi Indonesia, seksualitas menjadi wacana yang semakin terbuka di

ranah publik. Pertarungan wacana seksualitas diperluas jangkauannya oleh Internet. Di satu sisi, internet telah memberi ruang bagi kemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk HAM Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer (LGBTIQ). Di sisi lain, internet juga menjadi ruang yang digunakan untuk memperburuk dan melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap warga LGBTIQ, yang sebelumnya sudah terjadi di ruang fisik. Hal itu, akibat belum adanya perlindungan HAM LGBTIQ pada tata kelola internet, sebagaimana masih lemahnya perlindungan serupa di ruang fisik.

Pelecehan, perundungan yang bersifat homofobik (homophobic bullying) dan hasutan kebencian terhadap LGBTIQ di dunia daring (online) atau yang disebut sebagai cyber-homophobia seperti menjadi kebiasaan yang dibiasakan di jejaring sosial dan media daring lainnya. Belum lagi kasus pemblokiran situs LGBTIQ oleh beberapa Internet Service Provider (ISP) atau penyedia jasa layanan internet terjadi sejak 2011. Pemblokiran

v

terjadi secara sepihak, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemilik situs web, dan tanpa alasan yang jelas dan akuntabel. Pemblokiran dan pemutusan akses terhadap informasi – pengetahuan situs LGBTIQ ini tanpa didahului melalui proses komunikasi yang transparan dari pihak ISP ataupun Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI). Hal ini jelas merugikan setiap individu maupun kelompok dalam upaya mengakses informasi mengenai hak asasi manusia, hak kesehatan reproduksi maupun hak seksualitas.

B. MENANTANG BALIK DISKRIMINASI: Sebuah Kekuatan Queering yang dilakukan melalui Riset Eksploratoris EROTICS IndonesiaMenolak menjadi bagian mayoritas yang diam, Institut Pelangi

Perempuan (IPP) melakukan riset eksploratoris (exploratory research) terkait HAM LGBTIQ dalam tata kelola internet di Indonesia. Riset ini adalah sebuah upaya menantang dan membangun gerakan sosial melalui proses advokasi dalam melawan cyber-homophobia serta keputusan pemblokiran situs-situs LGBTIQ sepihak di Indonesia. Gerakan yang diinisiasi oleh IPP ini menjadi bagian dari sebuah gerakan sosial yang ingin diperkenalkan dengan istilah queering tata kelola internet.

Dalam upaya ‘queering’, riset eksploratoris perlu dan penting dilakukan untuk meneliti masalah yang belum jelas situasi dan keberadaannya. Hal ini dilakukan ketika untuk mengetahui lebih lanjut saat membuat perbedaan-perbedaan konseptual atau mengungkapkan fakta-fakta sebuah hubungan eksploratoris.1 IPP menjalankan penelitian ini bekerja sama dengan EROTICS (Exploratory Research on Internet and Sexuality) atau (Riset Eksploratoris Internet dan Seksualitas) global.2 EROTICS telah dilakukan di beberapa negara seperti Brazil, Lebanon, India, Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Jaringan EROTICS global ini dikoordinasi oleh

1 Shields, Patricia and Rangarjan, Nandhini. 2013. A Playbook for Research Methods: Integrating Conceptual Frameworks and Project Management. Stillwater, OK: New Forums Press.

2 EROTICS: Sex, rights and the internet. http://www.genderit.org/resources/erotics-sex-rights-and-internet-research-study

vi Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Association for Progressive Communication (APC)3 sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang penelitian, advokasi kebijakan serta kampanye hak internet sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Mempertimbangkan referensi data yang telah dipelajari sebelumnya, sejauh ini belum ada data penelitian yang dapat menjadi salah satu bahan untuk pengembangan wacana HAM LGBTIQ pada tata kelola internet di Indonesia. Untuk itulah, riset eksploratoris yang dilakukan kolaborasi antara IPP dengan EROTICS menjadi penting dilakukan.

C. SUARA DARI INFORMAN: Bagian Gerakan Melawan Diskriminasi dan Kekerasan. Riset eksploratoris ini mempunyai tiga tujuan utama dalam rangka

memenuhi dan melindungi Hak Asasi Individu maupun kelompok LGBTIQ di medium internet. Dalam upaya queering, hasil riset ini bertujuan untuk (1) menjelaskan peran internet dalam memajukan HAM LGBTIQ dan aktivisme di ruang daring gerakan LGBTIQ di Indonesia. (2) Mengungkapkan advokasi organisasi-organisasi LGBTIQ dalam mengintegrasikan HAM LGBTIQ pada tata kelola internet. (3) Mengungkapkan tantangan gerakan HAM LGBTIQ di Indonesia baik pada ruang luring (offline) maupun daring, sehingga hubungan antara kedua ruang tersebut terpetakan.

Dengan menggunakan analisa feminisme, perlu digarisbawahi bahwa dalam riset eksploratoris ini tidak ditujukan untuk menemukan jawaban atau keputusan final. Subjek penelitian adalah bagian dari kolaborasi upaya advokasi dalam rangka membangun hipotesa tentang apa yang sedang terjadi terhadap suatu situasi, secara khusus kasus diskriminasi, kekerasan dan pelecehan yang dialami oleh individu maupun kelompok LGBTIQ di ruang internet.

Hipotesa yang ditarik dari data riset eksploratoris ini menjadi pernyataan yang menggambarkan dua atau lebih variabel-variabel saling terhubung satu sama lainnya. Agar hasil riset ini memihak terhadap upaya perlindungan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia khususnya

3 Association for Progressive Communication. https://www.apc.org/en/about

vii

untuk kelompok yang dipinggirkan, riset kualitatif eksploratoris mensyaratkan bagi peneliti membangun hubungan baik (rapport) dengan informan. Membangun kepercayaan dimulai melalui komunikasi dalam portal daring, tanya jawab dan korespondensi menggunakan media daring, kemudian dilanjutkan dengan wawancara secara langsung serta membangun ruang-ruang diskusi yang cair dalam kelompok diskusi terfokus. Kelompok diskusi terfokus yang terlibat dalam riset merupakan penggiat atau aktivis dari berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Satu Dunia, ICT Watch, Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), HIVOS South East Asia region, Divisi Riset London School Public Relations Jakarta dan individu-individu penggiat TIK. FGD ini bertujuan untuk mengklarifikasi dan mengkonsultasikan rancangan hasil penelitian.

Metode-metode tersebut dipilih agar dalam proses riset eksploratoris ini, dapat tergali data terkait makna, nilai, dan pengalaman dari informan. Pendekatan kualitatif eksploratoris, dengan menggunakan analisa feminisme dan kerangka instrumen Hak Aasasi Manusia, diperlukan guna menghimpun berbagai informasi mengenai pemajuan dan pengabaian HAM LGBTIQ di dunia daring yang terkait dengan praktik dan kebijakan di dunia luring.

D. URGENSI EROTICS INDONESIA: Apa Pentingnya Riset Eksploratoris?Metode yang dilakukan dalam upaya queering Hak Asasi Manusia

individu dan kelompok LGBTIQ terkait tata kelola internet, pertama kali dilakukan dengan teknik pengumpulan data melalui survei EROTICS global yang diluncurkan pada tanggal 8 Maret 2013 oleh APC. Hal ini bertujuan untuk mengungkap tantangan yang dihadapi oleh aktivis hak-hak seksual dalam menggunakan internet di tingkat global. Disebarkan ke beberapa negara penelitian EROTICS yaitu India, Lebanon, Afrika Selatan, Brazil, Amerika Serikat termasuk Indonesia.

Survei internasional yang dilakukan secara global ini sangat menarik, untuk melihat variasi konteks baik bentuk – bentuk kekerasan sebagai tantangan nyata bagi individu maupun kelompok LGBTIQ maupun

viii Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

upaya advokasi yang telah dilakukan, sebagai bagian dari perjuangan pemenuhan Hak Asasi Manusia.

Sebagai pemicu awal, ditentukan responden survei EROTICS Indonesia yaitu beberapa aktivis hak seksual seperti aktivis HAM LGBTIQ, aktivis perempuan positif HIV/AIDS, aktivis feminis pesantren, aktivis anti perdagangan manusia, aktivis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), akademisi isu gender dan seksualitas serta pegiat hak-hak seksual lainnya. Data primer dari survei EROTICS Indonesia menjadi pedoman untuk mengelaborasi lebih jauh melalui metode wawancara mendalam. Hal ini penting dilakukan untuk eksplorasi secara mendalam data – data dari survei yang menjadi data primer.

Teknik pengumpulan data seperti ini tepat untuk penelitian, karena dengan demikian peneliti lebih mengeksplorasi pengalaman dari berbagai aktor. Sebelas orang aktivis yaitu 3 perempuan dan 8 laki-laki berhasil diwawancara secara mendalam. Mereka adalah aktivis LGBTIQ, pegiat hak internet dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), tata kelola internet, aktivis hak asasi perempuan yang menggunakan TIK untuk pergerakan dan menyuarakan perspektif gender dan teknologi, akademisi gender dan seksualitas, serta representasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia. Kesenjangan gender dari representatif responden yang kami wawancara memang memperlihatkan masih sedikit sekali representatif aktivis perempuan atau transgender yang aktif dalam pergerakan hak internet atau TIK. Mayoritas masih didominasi representasi laki-laki. Tiga (2 laki-laki dan 1 perempuan) dari 11 informan wawancara mendalam juga merupakan responden survei EROTICS Indonesia.

E. ‘QUEERING’: Bentuk Tuntutan Warga Negara dan Gerakan SosialBerbagai upaya afirmatif telah menyebutkan perlindungan dan

penghormatan menyeluruh terhadap setiap individu yang orientasi seksual dan identitas gendernya beragam. Pada 17 Juni 2011 Dewan HAM PBB mengadopsi resolusi berjudul “Hak asasi manusia, orientasi seksual dan identitas gender”, yang menyatakan keprihatinan tentang

ix

tindak kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan terhadap individu karena orientasi seksual dan jenis kelamin identitas mereka. Resolusi ini menegaskan kembali Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Resolusi itu meminta Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk mempersiapkan studi mendokumentasikan hukum dan praktek diskriminatif dan tindakan kekerasan terhadap orang berdasarkan orientasi seksual dan jenis kelamin identitas mereka. Studi4 ini dipublikasikan pada Desember 2011 dan diajukan kepada Dewan Hak Asasi Manusia pada bulan Maret 2012 dan berisi daftar rekomendasi yang kuat untuk negara-negara anggota. Laporan ini menegaskan bahwa Negara memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk melindungi hak asasi manusia semua orang, termasuk mereka yang lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks.

Pada 5 Juli 2012, adalah tonggak sejarah penting bahwa Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah mengadopsi secara konsensus sebuah resolusi yaitu Resolution: Promotion, Protection and Enjoyment of Human Rights on Internet atau Resolusi: Promosi, Perlindungan dan Penikmatan Hak Asasi Manusia di Internet.5 Hal ini mendapatkan dukungan penuh dari lebih 70 negara anggota dan bukan anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB termasuk Cina, Brazil, Nigeria, Ukraina, Tunisia, Amerika Serikat, Inggris termasuk Indonesia. Pada dasarnya resolusi ini mengafirmasi pengoperasiannya dalam paragraf 1 yaitu “hak asasi manusia yang dimiliki individu di dunia luring harus juga dilindungi di ruang daring.” Unsur dasar hak asasi manusia yang berhubungan dengan internet termasuk privasi, kebebasan berekspresi, hak untuk menerima informasi, berbagai hak melindungi budaya, bahasa dan keragaman minoritas dan hak atas

4 http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/19session/A.HRC.19.41_English.pdf

5 UN Human Rights Council, Resolution: The promotion, protection and enjoyment of human rights on the Internet, A/HRC/20/L.13, adopted on 5 July 2012. http://dac-cess-dds ny.un.org/doc/UNDOC/LTD/G12/147/10/PDF/G1214710.pdf?OpenElement

x Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

pendidikan (Kurbalija, 2012).Queering tata kelola internet berangkat dari pengalaman dan

kesadaran bahwa internet adalah subjek/aktor yang memainkan peran sebagai ruang politik dan publik dalam perubahan sosial. Kemudian internet sebagai ruang politik dan publik dipengaruhi para pihak multi pemangku kepentingan yang memiliki keragaman dan kecairan keragaman identitas gender dan orientasi seksual sehingga mewarnai konten dan kebijakan internet yang membutuhkan proses advokasi terus menerus. Konsep ini dikembangkan oleh IPP sebagai upaya teorisasi pengalaman dan hasil riset, serta bersifat terbuka untuk dilakukan falsifikasi dan verifikasi. Pemajuan teori ini bermanfaat untuk strategi dan advokasi melawan cyber-homophobia, antara lain pemblokiran situs-situs LGBTIQ. Keberadaan internet telah dinikmati oleh gerakan LGBTIQ untuk sedikitnya tiga kepentingan. Pertama, untuk media komunikasi yang aman dan melakukan pengorganisasian diri. Kedua, media untuk edukasi dan advokasi. Ketiga untuk memperluas ruang advokasi yang tidak hanya memberikan perhatian pada isu HAM LGBTIQ tetapi juga pada isu HAM yang lain, seperti lingkungan, perempuan dan warga lain yang didiskriminasikan. Dari tiga kepentingan keberadaan internet, upaya Queering tata kelola internet, sangat mendesak dilakukan.

1

Bagian I

Pendahuluan

LATAR BELAKANG

Di Indonesia, seksualitas menjadi wacana yang semakin terbuka di ranah publik. Pertarungan wacana seksualitas diperluas jangkauannya oleh Internet. Di satu sisi, internet telah memberi ruang bagi kemajuan

Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk HAM Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer (LGBTIQ). Di sisi lain, internet juga menjadi ruang yang digunakan untuk memperburuk dan melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap warga LGBTIQ, yang sebelumnya sudah terjadi di ruang fisik. Hal itu, akibat belum adanya perlindungan HAM LGBTIQ pada tata kelola internet, sebagaimana masih lemahnya perlindungan serupa di ruang fisik.

Pelecehan, perundungan yang bersifat homofobik (homophobic bullying) dan hasutan kebencian terhadap LGBTIQ di dunia daring (online) atau yang disebut cyber-homophobia antara lain perilaku yang sering muncul di jejaring sosial dan media daring lainnya. Pemblokiran situs LGBTIQ oleh beberapa Internet Service Provider (ISP) atau penyedia jasa layanan internet terjadi sejak 2011. Pemblokiran tersebut kerap terjadi secara sepihak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemilik website. Juga tanpa melalui proses yang transparan dan akuntabel dari pihak ISP ataupun Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI).

2 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

MAKSUD DAN TUjUAN Menyikapi situasi dimana internet telah memberikan pemajuan dan

pemunduran HAM LGBTIQ, sejak 2012, aktivis LGBTIQ mulai melakukan advokasi HAM LGBTIQ pada tata kelola internet. Mereka, antara lain, Institut Pelangi Perempuan (IPP), Suara Kita (sebelumnya Our Voice), Arus Pelangi dan Gamacca. Gerakan sosial dan proses advokasi dalam melawan cyber-homophobia dan keputusan pemblokiran situs-situs LGBTIQ di Indonesia kemudian menjadi sebuah gerakan sosial yang ingin diperkenalkan dengan istilah queering tata kelola internet di Indonesia.

Seiring dengan upaya-upaya tersebut, IPP melakukan riset eksploratoris (exploratory research) terkait HAM LGBTIQ dalam tata kelola internet di Indonesia. Riset eksploratoris merupakan riset yang dilakukan untuk meneliti masalah yang belum jelas situasi dan keberadaannya. Hal ini seringkali terjadi sebelum kita cukup mengetahui untuk membuat perbedaan-perbedaan konseptual atau mengungkapkan fakta-fakta sebuah hubungan eksploratoris.1 IPP menjalankan penelitian ini bekerja sama dengan EROTICS (Exploratory Research on Internet and Sexuality) atau (Riset Eksploratoris Internet dan Seksualitas) global.2 EROTICS telah dilakukan di beberapa negara seperti Brazil, Lebanon, India, Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Jaringan EROTICS global ini dikoordinasi oleh Association for Progressive Communication (APC)3 sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang penelitian, advokasi kebijakan serta kampanye hak internet sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan untuk pengembangan wacana HAM LGBTIQ pada tata kelola internet di Indonesia.

1 Shields, Patricia and Rangarjan, Nandhini. 2013. A Playbook for Research Methods: Integrating Conceptual Frameworks and Project Management. Stillwater, OK: New Forums Press.

2 EROTICS: Sex, rights and the internet. http://www.genderit.org/resources/erotics-sex-rights-and-internet-research-study

3 Association for Progressive Communication. https://www.apc.org/en/about

3

Penelitian ini bertujuan: • Menjelaskan peran internet dalam memajukan HAM LGBTIQ dan

aktivisme di ruang daring gerakan LGBTIQ di Indonesia. • Mengungkapkan advokasi organisasi-organisasi LGBTIQ dalam

mengintegrasikan HAM LGBTIQ pada tata kelola internet.• Mengungkapkan tantangan gerakan HAM LGBTIQ di Indonesia

baik pada ruang luring (offline) maupun daring, sehingga hubungan antara kedua ruang tersebut terpetakan.

Beberapa persoalan yang akan diekplorasi dalam penelitian ini: 1. Bagaimana peran internet dalam mempromosikan HAM LGBTIQ

dan memajukan gerakan sosial LGBTIQ di Indonesia? 2. Bagaimana situasi diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBTIQ di

dunia daring, dalam konteks hukum dan HAM? 3. Apa saja strategi advokasi yang telah dilakukan oleh gerakan

LGBTIQ dalam upaya queering tata kelola internet di Indonesia?

4 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Bagian II

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain eksploratoris yang terbatas pada menemukan ide-ide, pandangan, serta pengetahuan-pengetahuan terkait isu yang diangkat dalam riset.

Hal ini ditujukan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap suatu situasi. Selain itu, riset yang didesain bukan untuk menemukan jawaban atau keputusan final ini, dimaksudkan untuk membangun hipotesa tentang apa yang sedang terjadi terhadap suatu situasi. Hipotesa ini kemudian menjadi pernyataan yang menggambarkan dua atau lebih variabel-variabel saling terhubung satu sama lainnya. Riset lanjutan atau kedua akan dilakukan untuk meneliti lebih dalam hasil-hasil temuan dari riset eksploratoris.4 Pendekatan kualitatif eksploratoris diperlukan guna menghimpun berbagai informasi mengenai pemajuan dan pengabaian HAM LGBTIQ di dunia daring yang terkait dengan praktik dan kebijakan di dunia luring. Penelitian kualitatif eksploratoris mensyaratkan peneliti perlu membangun hubungan baik (rapport) dengan informan. Membangun kepercayaan dimulai melalui komunikasi dalam portal daring, tanya jawab dan korespondensi menggunakan media daring, kemudian dilanjutkan dengan wawancara secara langsung. Metode ini dipilih agar dapat menggali data terkait makna, nilai, dan pengalaman dari informan.

Penelitian ini juga dilakukan dengan teknik pengumpulan data melalui survei EROTICS global yang diluncurkan pada tanggal 8 Maret 2013 oleh

4 Exploratory, Descriptive and Causal Research Design. http://www.monroecollege.edu/AcademicResources/ebooks/9781111532406_lores_p01_ch03.pdf

5

APC. Hal ini bertujuan untuk mengungkap tantangan yang dihadapi oleh aktivis hak-hak seksual dalam menggunakan internet di tingkat global. Disebarkan ke beberapa negara penelitian EROTICS yaitu India, Lebanon, Afrika Selatan, Brazil, Amerika Serikat termasuk Indonesia. Untuk para responden survei EROTICS Indonesia disebarkan kepada beberapa aktivis hak seksual seperti aktivis HAM LGBTIQ, perempuan positif HIV/AIDS, feminis pesantren, anti perdagangan manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), akademisi isu gender dan seksualitas serta pegiat hak-hak seksual lainnya. Wawancara mendalam untuk eksplorasi lebih jauh data – data dari survei yang telah dijalankan sejauh ini. Teknik pengumpulan data seperti ini tepat untuk penelitian, karena dengan demikian peneliti lebih mengeksplorasi pengalaman dari berbagai aktor. Sebelas orang aktivis yaitu 3 perempuan dan 8 laki-laki berhasil diwawancara secara mendalam. Mereka adalah aktivis LGBTIQ, pegiat hak internet dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), tata kelola internet, aktivis hak asasi perempuan yang menggunakan TIK untuk pergerakan dan menyuarakan perspektif gender dan teknologi, akademisi gender dan seksualitas, serta representasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia. Kesenjangan gender dari representatif responden yang kami wawancara memang memperlihatkan masih sedikit sekali representatif aktivis perempuan atau transgender yang aktif dalam pergerakan hak internet atau TIK. Mayoritas masih didominasi representasi laki-laki. Tiga (2 laki-laki dan 1 perempuan) dari 11 informan wawancara mendalam juga merupakan responden survei EROTICS Indonesia.

Setelah melakukan survei dan wawancara mendalam, tim riset juga melakukan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) dengan responden riset dan melibatkan kelompok masyarakat sipil lainnya diantaranya Satu Dunia, ICT Watch, Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), HIVOS South East Asia region, Divisi Riset London School Public Relations Jakarta dan individu-individu pegiat TIK. FGD ini bertujuan untuk mengklarifikasi dan mengkonsultasikan rancangan hasil penelitian.

6 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka pada buku-buku, peer-reviewed jurnal, buletin, surat kabar dan artikel dari dokumen-dokumen lain yang terkait dengan permasalahan yang ingin diteliti.

7

Bagian III

Istilah dan Batasan Konsep

CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)5, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang diadopsi pada tahun 1979 oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB), digambarkan sebagai aturan internasional hak-hak asasi perempuan. Terdiri dari pembukaan dan 30 artikel, mendefinisikan apa yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan dan membuat agenda aksi nasional untuk mengakhiri diskriminasi tersebut. Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Coming Out, istilah untuk LGBTIQ yang membuka jati diri orientasi seksual dan/atau identitas gender mereka.

Cyber-homophobia, perundungan atau penindasan serta kebencian terhadap identitas gender dan orientasi seksual yang non heteronormatif di internet. Target serangan homofobia tidak selalu tertuju pada orang-orang dengan orientasi seksual dan identitas gender yang ‘nampak’ berbeda saja. Akan tetapi heteroseksual dengan ekspresi gender yang terlihat berlawanan dengan konstruksi masyarakat yang berlaku umum bisa juga menjadi korban. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO),

5 Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), United Nations, 1979. www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/econvention.htm

8 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

homophobic bullying adalah bullying yang berada dalam posisi kedua terbesar di seluruh dunia.6

Diskriminasi, merujuk pada The Yogyakarta Principles atau Prinsip-prinsip Yogyakarta.7 Diskriminasi didefinisikan dalam Prinsip Yogyakarta tentang Penerapan Hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menerapkan standar hak asasi manusia yang mengikat internasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-prinsip ini dikembangkan dan diadopsi di Yogyakarta di Universitas Gadjah Mada pada November 6-9, 2006 oleh sebuah kelompok internasional para ahli hukum, termasuk hakim, akademisi, mantan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Prosedur Khusus PBB, anggota badan perjanjian, LSM dan lain-lain. Dokumen tersebut berisi 29 prinsip yang diadopsi dengan suara bulat oleh para ahli, yang diarahkan pada pelaksanaan negara, bersama dengan rekomendasi lain untuk badan-badan PBB dan mekanisme hak asasi manusia, organisasi antar pemerintah regional dan sub-regional, badan pengadilan, lembaga HAM nasional, LSM, media massa dan lain-lain.

Berdasarkan Prinsip-prinsip Yogyakarta pada Prinsip 2 Hak-Hak Untuk Kesetaraan dan Non-Diskriminasi disebutkan “Diskriminasi atas dasar orientasi seksual atau identitas gender termasuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender yang memiliki tujuan atau efek meniadakan atau merusak persamaan di depan hukum atau perlindungan hukum yang sama, atau pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan, semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender mungkin, dan umumnya adalah, diperparah dengan diskriminasi atas dasar lain, termasuk jenis kelamin, ras, usia, agama, kecacatan, kesehatan dan status ekonomi.”

6 Homophobic Bullying http://www.unesco.org/new/en/education/themes/lead-ing-the-international-agenda/health-education/homophobic-bullying/

7 The Yogyakarta Principles www.yogyakartaprinciples.org

9

HAM, orientasi seksual dan identitas gender. Pada 17 Juni 2011 Dewan HAM PBB mengadopsi resolusi berjudul “Hak asasi manusia, orientasi seksual dan identitas gender”, yang menyatakan keprihatinan tentang tindak kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan terhadap individu karena orientasi seksual dan identitas gender mereka. Resolusi ini menegaskan kembali Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Resolusi itu meminta Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk mempersiapkan studi mendokumentasikan hukum dan praktek diskriminatif dan tindakan kekerasan terhadap orang berdasarkan orientasi seksual dan jenis kelamin identitas mereka. Studi8 ini dipublikasikan pada Desember 2011 dan diajukan kepada Dewan Hak Asasi Manusia pada bulan Maret 2012 dan berisi daftar rekomendasi yang kuat untuk negara-negara anggota. Laporan ini menegaskan bahwa Negara memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk melindungi hak asasi manusia semua orang, termasuk mereka yang lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks.HAM dan Bisnis, pada 16 Juni 2011, Dewan HAM PBB mengesahkan Guiding Principles on Business and Human Rights atau Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Pertama kalinya dimunculkan standar global untuk mencegah dan mengatasi resiko akan dampak buruk terhadap hak asasi manusia terkait dengan kegiatan bisnis.9

Dalam Dokumen tersebut pada Bab Peran Negara Dalam Perlindungan HAM tentang Prinsip-prinsip Dasar disebutkan “Negara harus memberikan perlindungan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di dalam wilayah dan/atau yuridiksi oleh pihak ketiga, termasuk usaha bisnis. Hal ini memerlukan mengambi langkah yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memperbaiki penyalahgunaan tersebut melalui kebijakan, undang-undang, peraturan dan ajudikasi yang efektif.”

Dalam Bab Tanggung Jawab Perusahaan Dalam Penghormatan HAM

8 http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/19session/A.HRC.19.41_English.pdf

9 Business and Human Rights http://www.ohchr.org/EN/ISSUES/BUSINESS/Pages/Busi-nessIndex.aspx

10 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

disebutkan “Perusahaan Bisnis harus menghormati hak asasi manusia. Ini berarti bahwa mereka harus menghindari melanggar hak asasi orang lain dan harus menangani dampak hak asasi manusia yang merugikan dimana mereka terlibat.”

Kemudian pada tanggal 6 Juli 2011 Dewan HAM PBB mengeluarkan Resolusi Nomor A/HRC/RES/17/4 tentang Hak Asasi Manusia dan Korporasi Transnasional serta Perusahaan Bisnis lainnya.10

HAM di Internet, pada 5 Juli 2012, Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah mengadopsi secara konsensus sebuah resolusi yaitu Resolution: Promotion, Protection and Enjoyment of Human Rights on Internet atau Resolusi: Promosi, Perlindungan dan Penikmatan Hak Asasi Manusia di Internet.11 Hal ini mendapatkan dukungan penuh dari lebih 70 negara anggota dan bukan anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB termasuk Cina, Brazil, Nigeria, Ukraina, Tunisia, Amerika Serikat, Inggris termasuk Indonesia. Pada dasarnya resolusi ini mengafirmasi pengoperasiannya dalam paragraf 1 yaitu “hak asasi manusia yang dimiliki individu di dunia luring harus juga dilindungi di ruang daring.” Unsur dasar hak asasi manusia yang berhubungan dengan internet termasuk privasi, kebebasan berekspresi, hak untuk menerima informasi, berbagai hak melindungi budaya, bahasa dan keragaman minoritas dan hak atas pendidikan (Kurbalija, 2012).

Artikel 19 pada DUHAM: Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas.12

10 UN Human Rights Council, Resolution: Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises, A/HRC/RES/17/4 adopted on 6 July 2011. http://busi-ness-humanrights.org/sites/default/files/media/documents/un-human-rights-council-resolution-re-human-rights-transnational-corps-eng-6-jul-2011.pdf

11 UN Human Rights Council, Resolution: The promotion, protection and enjoyment of human rights on the Internet, A/HRC/20/L.13, adopted on 5 July 2012. http://dac-cess-dds ny.un.org/doc/UNDOC/LTD/G12/147/10/PDF/G1214710.pdf?OpenElement

12 Artikel 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). http://www.un.org/en/doc-

11

Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), menyebutkan dalam Pasal 28C ayat 1 bahwa, ‘Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’13

Homoseksualitas dan Transgender bukan gangguan mental. Pada 17 Mei 1990, World Health Organizatioan (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia telah menghapus homoseksualitas dari Daftar Penyakit Mental (penyimpangan) yang sebelumnya pernah tercantum dalam International Classification of Disease. Sejak saat itulah WHO secara khusus dan kemudian disusul oleh Badan-Badan Dunia lainnya menempatkan komunitas LGBTIQ setara dengan masyarakat lainnya, memiliki hak-hak yang sama. Kemudian pada tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Internasional Melawan Homophobia, Biphobia dan Transphobia (IDAHOBIT).14 Di tingkat nasional, dicantumkan Departemen Kesehatan Repubik Indonesia dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993) mencabut homoseksualitas dari daftar penyakit gangguan jiwa.15 Pada tahun 2012, dewan pengawas American Psychiatric Association (APA) atau Asosiasi Psikiatri Amerika menyetujui revisi terbaru yang diusulkan untuk Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) atau Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental. Ini menandai tonggak bersejarah bagi orang-orang yang transgender, karena identitas mereka tidak lagi diklasifikasikan sebagai gangguan mental.16

uments/udhr/

13 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) 28C ayat 1. https://www.mpr.go.id/pages/pro-duk-mpr/uud-nri-tahun-1945/uud-nri-tahun-1945-dalam-satu-naskah

14 International Day Against Homophobia, Biphobia dan Transphobia (IDAHOBIT) https://en.wikipedia.org/wiki/International_Day_Against_Homophobia,_Biphobia_and_Trans-phobia

15 Homoseksual Bukan Penyimpangan Seksual. http://nasional.kompas.com/read/2008/11/11/13081144/Homoseksual.Bukan.Penyimpangan.Seksual.

16 APA Revises Manual : Being Transgender is No Longer Mental Disorder http://think-progress.org/lgbt/2012/12/03/1271431/apa-revises-manual-being-transgender-is-no-lon-ger-a-mental-disorder/

12 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Homophobic bullying (perundungan homofobik) adalah perundungan atau penindasan serta kebencian terhadap identitas gender dan orientasi seksual non heteronormatif. Target serangan homofobia tidak selalu tertuju pada orang-orang dengan orientasi seksual dan identitas gender yang ‘nampak’ berbeda saja. Akan tetapi heteroseksual dengan ekspresi gender yang terlihat berlawanan dengan konstruksi masyarakat yang berlaku umum bisa juga menjadi korban. Perundungan homofobik berada dalam posisi kedua terbesar di seluruh dunia (Laporan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO).17 Perundungan homofobik adalah “kebiadaban moral, pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan krisis kesehatan masyarakat.” (Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki-moon).

Kekerasan, menurut Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence Against Women)18 diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada 20 Desember 1993, dalam Pasal 1 definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan-tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

LBT, Lesbian, Biseksual dan Transgender

Perundungan (bullying), adalah penggunaan kekuatan, ancaman, atau pemaksaan untuk penyalahgunaan, mengintimidasi, atau agresif memaksakan dominasi atas orang lain. Perilaku ini sering diulang dan menjadi kebiasaan. Salah satu prasyarat penting adalah persepsi, oleh pengganggu atau oleh orang lain, dari ketidakseimbangan kekuatan

17 Homophobic Bullying. http://www.unesco.org/new/en/education/themes/lead-ing-the-international-agenda/health-education/homophobic-bullying/

18 Declaration on the Elimination of Violence Against Women. http://www.un.org/docu-ments/ga/res/48/a48r104.htm

13

sosial atau fisik. Perilaku yang digunakan untuk menegaskan dominasi tersebut dapat mencakup pelecehan lisan atau ancaman, serangan fisik atau paksaan, dan tindakan tersebut dapat diarahkan berulang kali terhadap target tertentu. Pembenaran dan rasionalisasi atas perilaku tersebut kadang-kadang termasuk perbedaan kelas, ras, agama, gender, seksualitas, penampilan, perilaku, kekuatan, ukuran atau kemampuan (Ericson, 2001). Perundungan terdiri dari empat jenis dasar pelecehan - emosional (kadang-kadang disebut relasional), verbal, fisik, dan cyber atau menggunakan teknologi (Brank, 2012). Mereka yang telah menjadi sasaran perundungan dapat menderita permasalahan emosional dan perilaku dalam jangka panjang. Perundungan dapat menyebabkan kesepian, depresi, kecemasan, menyebabkan rendah diri dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit. (Kipling, 2013). Terdapat beberapa bukti bahwa perundungan dapat meningkatkan resiko bunuh diri. (Kim, 2008)Queer dulu biasanya digunakan sebagai bahasa slang untuk homoseksual dan hal-hal yang ‘buruk’, digunakan untuk pelecehan terhadap kelompok homoseksual. Baru-baru ini, istilah ini telah digunakan sebagai istilah payung untuk kedua identifikasi dan model budaya seksual tradisional untuk studi lesbian dan gay. Tanpa diketahui banyak, Queer lebih sekedar berhubungan dengan gay dan lesbian, tetapi juga cross-dressing, hermaphroditism, ambiguitas gender dan operasi gender korektif. Proyeksi utama Queer teori ini yaitu menjajaki peserta dari kategorisasi gender dan seksualitas, identitas tidak tetap - mereka tidak dapat dikategorikan dan diberi label - karena identitas terdiri dari banyak variasi komponen dan untuk mengkategorikan dengan salah satu karakteristik adalah hal yang salah (Buttler, 2004).

Teori Queer adalah bidang-bidang ilmu kritis yang muncul pada awal tahun 1900-an yang meliputi studi-studi ilmu LGBT dan Feminis. Teori Queer meliputi kajian teks-teks dan teorisasi “queerness” itu sendiri. Teori queer dibangun meliputi tantangan-tantangan feminis terhadap pemikiran bahwa gender adalah bagian esensial diri dan melalui pengujian studi-studi gay/lesbian terhadap sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial dari perilaku dan identitas seksual. Dimana studi-studi gay/lesbian berfokus pada pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku-perilaku alami

14 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

dan tidak alami dalam penghormatan terhadap perilaku homoseksual, teori Queer memperluas fokusnya untuk meliputi berbagai keragaman identitas dan aktivitas seksual yang sering dimasukkan dalam kategori-kategori normatif dan penyimpangan.19

Teori Queer tidak hanya mempermasalahkan dan mengkritisi kewarganegaraan. Tapi juga dimaksudkan untuk membongkar apa yang dimaksud dengan menjadi warga negara dan untuk mempresentasikan konsep sebagai praktik-praktik eksklusif akan definisi siapa saja yang masuk atau tidak dalam kategori marjinal dalam masyarakat (Payne and Davies, 2012).

Queering tata kelola internet, Queering tata kelola internet berangkat dari pengalaman dan kesadaran bahwa internet adalah subjek/aktor yang memainkan peran sebagai ruang politik dan publik dalam perubahan sosial. Kemudian internet sebagai ruang politik dan publik dipengaruhi para pihak multi pemangku kepentingan yang memiliki keragaman dan kecairan keragaman identitas gender dan orientasi seksual sehingga mewarnai konten dan kebijakan internet yang membutuhkan proses advokasi terus menerus. Konsep ini dikembangkan oleh IPP sebagai upaya teorisasi pengalaman dan hasil riset, serta bersifat terbuka untuk dilakukan falsifikasi dan verifikasi. Pemajuan teori ini bermanfaat untuk strategi dan advokasi melawan cyber-homophobia, antara lain pemblokiran situs-situs LGBTIQ.

Seksualitas, aspek sentral dari menjadi manusia sepanjang hidupnya meliputi jenis kelamin, identitas gender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, keinginan, keyakinan, sikap, nilai-nilai, perilaku, praktek, peran dan hubungan. Sementara seksualitas dapat mencakup semua dimensi ini, tidak semua dari hal-hal tersebut selalu dialami atau diungkapkan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, sejarah,

19 Queer Theory https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Queer_theo-ry.html

15

agama dan spiritual. Menurut WHO, hak-hak seksual tercakup dalam HAM yang telah diakui dalam hukum nasional, dokumen-dokumen HAM, internasional dan pernyataan konsensus lainnya. Termasuk di dalamnya adalah hak bagi setiap orang untuk terbebas dari koersi, diskriminasi, dan kekerasan untuk:

1) Memperoleh standar tertinggi bagi kesehatan seksual, termasuk akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduktif;

2) Mencari, menerima dan menyampaikan informasi yang terkait dengan seksualitas, pendidikan seksualitas; menghormati integritas tubuh;

3) Memilih pasangan mereka;4) Memutuskan untuk menjadi aktif secara seksual atau tidak;

Relasi seksual berdasarkan konsensus;5) Pernikahan konsensual;6) Memutuskan ingin tidaknya, serta kapan memiliki anak; dan

Mencapai kehidupan seksual yang aman dan memuaskan.20

Surel, surat elektronik (E-mail)

Tata Kelola Internet (Internet Governance), Pertemuan Tingkat Dunia Masyarakat Informasi (World Summit on Information Society) tentang Tata Kelola Internet menyebutkan bahwa Tata Kelola Internet adalah pengembangan dan penerapan oleh pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, dalam peran masing-masing, berbagi prinsip, norma, aturan, pengambilan keputusan, prosedur, dan program yang membentuk evolusi dan penggunaan internet (Kurbalija, 2012). TIK, Teknologi Informasi dan Komunikasi atau sering disebut dengan ICT (Information and Communication Technology)

20 Sexual and Reproductive Health. http://www.who.int/reproductivehealth/topics/sexu-al_health/sh_definitions/en/

16 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Bagian IV Temuan

Situasi LGBTIQ di Indonesia dan

Tata Kelola Internet

Indonesia dikenal sebagai negara yang populasi muslimnya terbesar di dunia dan kaya dengan ragam kebudayaan suku, agama dan ras. Populasinya yang lebih dari 250 juta itu berlatar belakang seksualitas

yang beragam. Keragaman itu telah menjadi bagian budaya Indonesia sejak ratusan tahun. Seksualitas yang beragam dan cair ini dituangkan ke dalam praktik-praktik budaya, seperti tarian dan ragam ekspresi seni dan budaya. Antara lain praktik homoseksual antara warok dan gemblak di Jawa Timur. Bissu21 atau orang-orang transgender yang dimuliakan dalam konteks spiritualitas budaya Bugis di Makasar, Sulawesi Selatan. Keberadaan bissu berperan sebagai perantara antara manusia dan Pencipta.

Pada 17 Mei 1990, World Health Organizatioan (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia telah menghapus homoseksualitas dari Daftar Penyakit Mental (penyimpangan) yang sebelumnya pernah tercantum dalam International Classification of Disease. Sejak saat itulah WHO secara khusus dan kemudian disusul oleh Badan-Badan Dunia lainnya menempatkan komunitas LGBTIQ setara dengan masyarakat lainnya, memiliki hak-hak yang sama. Kemudian pada tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Internasional Melawan Homophobia, Biphobia dan Transphobia (IDAHOBIT). Di tingkat nasional, dicantumkan Departemen Kesehatan

21 Bissu https://id.wikipedia.org/wiki/Bissu

17

Repubik Indonesia dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993) mencabut homoseksualitas dari daftar penyakit gangguan jiwa. Pada tahun 2012, dewan pengawas American Psychiatric Association (APA) atau Asosiasi Psikiatri Amerika menyetujui revisi terbaru yang diusulkan untuk Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) atau Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental. Ini menandai tonggak bersejarah bagi orang-orang yang transgender, karena identitas mereka tidak lagi diklasifikasikan sebagai gangguan mental.

Era reformasi di Indonesia, yang dimulai pada 1998, membuka ruang demokrasi dan upaya-upaya penegakan HAM. Ruang demokrasi itu dirayakan juga oleh warga LGBTIQ untuk menyuarakan HAM LGBTIQ sebagai bagian dari hak asasi manusia. Berbagai organisasi masyarakat muncul untuk mendukung penegakan HAM LGBTIQ. Di Indonesia, gerakan ini ditandai antara lain dengan terbentuknya organisasi-organisasi yang secara terbuka menyatakan sebagai organisasi LGBTIQ. Organisasi ini bekerja untuk berbagai isu dari mulai kelompok-kelompok yang mengorganisir diri, memfasilitasi kesadaran HAM LGBTIQ, membuka ruang-ruang ekspresi, membuka layanan konseling dan pemulihan krisis bagi LGBTIQ yang mengalami diskriminasi dan kekerasan dan berbagai terbitan dan sebaran pengetahuan LGBTIQ. Sejak tahun 2012, 23 organisasi LGBTIQ berhasil mendokumentasikan dan mempublikasikan laporan tahunan pelanggaran HAM LGBTIQ.22 Pada tahun yang sama, Yulianus Rettoblaut (aktivis transgender) dan Dede Oetomo (aktivis gay) mengikuti seleksi pencalonan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Walaupun keduanya belum mendapatkan dukungan politik pada pemilihan tersebut.

Gerakan LGBTIQ juga terlibat dalam pengembangan Prinsip-prinsip Yogyakarta. Prinsip-prinsip Yogyakarta berisi prinsip-prinsip hukum dan HAM dalam kaitannya dengan seksualitas dan identitas gender dirumuskan

22 Laporan Situasi HAM LGBTI di Indonesia Tahun 2012, Pengabaian Hak Asasi Berbasis Orientasi Seksual dan Identitas Gender, Kami Tidak Diam, Forum LGBTIQ Indonesia. http://gaya-nusantara.blogspot.com/2013/05/laporan-situasi-ham-lgbti-di-indonesia.html

18 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

oleh para ahli hukum dan HAM serta aktivis LGBTIQ dari seluruh dunia pada tahun 2006 di Yogyakarta, Indonesia. Prinsip-prinsip ini menjadi tolak ukur standar hukum internasional tentang orientasi seksual dan jenis kelamin identitas, dan diluncurkan sebagai piagam global hak untuk LGBTIQ orang. Pada tahun 2011, Dewan HAM PBB mengadopsi resolusi tentang Hak Asasi Manusia, Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Resolusi ini, diadopsi pada 17 Juni 2011 menegaskan prinsip-prinsip hak asasi manusia berlaku untuk isu-isu orientasi seksual dan identitas gender. Ini menegaskan kembali Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Resolusi ini juga mengungkapkan keprihatinan tentang tindak kekerasan dan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Laporan PBB yang dimandatkan oleh resolusi menegaskan bahwa Negara memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk melindungi hak asasi manusia semua orang, termasuk mereka yang lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks.

Tumbuhnya gerakan LGBTIQ di Indonesia dan keterlibatannya pada advokasi di tingkat internasional, tidak terlepas dengan perkembangan internet. Seluruh gerakan tersebut didukung oleh kemudahan dan kecepatan informasi dan komunikasi melalui akses internet. Internet, yang pertama kali datang ke Indonesia pada 1990 melalui Jaringan Paguyuban (Paguyuban Network), salah satu faktor yang memfasilitasi gerakan HAM LGBTIQ. Dalam perkembangannya, internet juga menjadi ruang kontestasi isu-isu sosial dan politik di Indonesia. Karena itu, selain menjadi alat pemajuan HAM LGBTIQ, oleh sebagian pihak, internet juga dijadikan media untuk melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBTIQ.

Di era yang sama, kelompok intoleran dan memilih jalan kekerasan mulai bermunculan. Kelompok-kelompok tersebut melakukan serangan dan ancaman terhadap warga LGBTIQ dan aktivis HIV/AIDS, sejak tahun 2000 sampai sekarang. Pada tahun 2010, Front Pembela Islam (FPI) dan ormas berbendera Islam lainnya membubarkan pertemuan-pertemuan terkait HAM LGBTIQ di Indonesia dengan cara kekerasan. Pada Maret 2010, Konferensi Internasional LGBTI Association (ILGA) tingkat regional

19

Asia ke-4 yang dilaksanakan di Surabaya, Jawa Timur, dibubarkan secara paksa oleh ormas berbendera Islam. Tidak lama kemudian, pada April 2010, pertemuan para pegiat HAM transgender yang bekerjasama Komnas HAM juga turut dibubarkan.23 Ancaman dan penyerangan pada warga LGBTIQ tersebut berlangsung sampai sekarang tanpa perlindungan yang memadai dari Negara. Seiring kemajuan penggunaan internet, ancaman dan serangan tersebut juga menyasar warga LGBTIQ tidak hanya di ruang luring tapi juga daring. Keduanya saling terkait dan memundurkan perlindungan HAM LGBTIQ di Indonesia.

Berikut temuan awal interaksi internet dengan warga LGBTIQ. Pada bagian pertama temuan memaparkan peran internet dalam memajukan HAM LGBTIQ. Bagian kedua, memaparkan tindak diskriminasi dan pengabaian HAM LGBTIQ pada tata kelola internet. Bagian ketiga, upaya gerakan LGBTIQ dalam mengintegrasikan HAM LGBTIQ pada tata kelola internet.

A. INTERNET MEDIA STRATEGIS BAGI PROMOSI DAN PENEGAKAN HAM LGBTIQKeberadaan internet telah dinikmati oleh gerakan LGBTIQ untuk

sedikitnya tiga kepentingan. Pertama, untuk media komunikasi yang aman dan melakukan pengorganisasian diri. Kedua, media untuk edukasi dan advokasi. Ketiga untuk memperluas ruang advokasi yang tidak hanya memberikan perhatian pada isu HAM LGBTIQ tetapi juga pada isu HAM yang lain, seperti lingkungan, perempuan dan warga lain yang didiskriminasikan. Upaya ketiga ini, dijalankan melalui pembangunan portal. Berikut uraian temuan tersebut:

1. Media komunikasi yang aman untuk Pengorganisasian LGBTIQBagi warga LGBTIQ mengungkapkan identitas gender, orientasi seksual

dan gagasan lainnya tidak semudah warga Indonesia yang heteroseksual. Hal itu, karena belum ada pengakuan Negara pada identitas gender dan orientasi seksual mereka, lemahnya perlindungan hukum pada

23 Human Rights Watch - World Report 2011 untuk Indonesia http://www.hrw.org/world-report-2011/indonesia-0

20 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

diskriminasi dan kekerasan berbasis identitas gender dan orientasi seksual. Juga, sikap masyarakat dan interprestasi praktik beragama yang belum memandang warga LGBTIQ setara dengan mereka yang heteroseksual. Pada situasi seperti itu, akses internet yang dapat diatur sedemikian rupa penggunaannya, menjadi salah satu pilihan strategis untuk membangun ruang aman diantara warga LGBTIQ.

Institut Pelangi Perempuan (IPP)24, organisasi Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT) muda yang berbasis di Jakarta, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai alat komunikasi pengorganisasian komunitas. IPP mulai mengorganisir komunitas LBT menggunakan kelompok senarai (mailing list group), pada tahun 2005. Kelompok senarai ini kemudian menjadi salah satu media komunitas untuk muncul sebagai gerakan sosial LBT muda Indonesia. Setahun kemudian pada tahun 2006) seorang anggota kelompok senarai yang memiliki keahlian TIK berinisiasi mentransformasi kelompok senarai menjadi forum diskusi daring di situs www.satupelangi.com. Pada tahun 2007, forum diskusi daring ini meluaskan fungsinya menjadi situs web organisasi www.pelangiperempuan.or.id. Situs web ini mempublikasikan fitur-fitur artikel, buku elektronik (e-book) dan majalah digital (CD magazine) tentang hak asasi LBT muda, juga tulisan kreatif berupa puisi dan cerpen karya LBT muda. Situs web ini juga terus melanjutkan diskusi di ruang daring melalui kolom kontak yang memberi ruang komunikasi antara penggerak IPP dan komunitas LBT muda. Kolom kontak yang menyediakan ruang bagi pengunjung web untuk meninggalkan pesan dan diteruskan ke alamat surel IPP ini sering dikunjungi untuk kebutuhan berjejaring, berkonsultasi, bergabung dalam kegiatan komunitas, dan menjadi anggota sukarelawan IPP. Berikut dua surel pada Oktober dan November 2013 yang datang ke kontak website IPP:

Surel dari Neni (bukan nama sebenarnya), karyawan swasta.

Subject: Berkenalan Yth. Pengelola situs Institut Pelangi Perempuan, saya seorang

24 Institut Pelangi Perempuan (IPP) www.pelangiperempuan.or.id

21

perempuan setengah baya, sudah berumur 50 tahun, bekerja sebagai seorang karyawati di perusahaan swasta dan tinggal di Jakarta. Saya merasa sebagai seorang biseksual pada saat usia mencapai setengah baya ini. Saya mempunyai suami dan anak, dan saya juga menyukai sesama jenis. Melalui forum ini, walaupun usia saya sudah tidak muda lagi, bolehkah saya bergabung dalam komunitas ini dan mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan?

Salam kenal, Neni - Jakarta

Surel dari Ina (bukan nama sebenarnya, pelajar di Yogyakarta)

Sore, gw Ina pelajar di Jogja. Gw pengen banget join di Institut Pelangi Perempuan, kalau boleh tau alamat IPP di Jogja dimana ya? Gw pengen maen ke sana sekalian sharing gitu. Thanks.

Dari dua surel tersebut, menunjukkan ruang aman internet, menjadi sarana efektif untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan jaringan komunitas.

Berangkat dari kreasi ruang aman tersebut, IPP yang kemudian berbadan hukum pada 2006, memfasilitasi kegiatan komunitas secara tatap muka. Dengan cara bertukar nomor telepon dan alamat surel melalui kelompok senarai, kemudian para anggota kelompok senarai melakukan pertemuan-pertemuan informal kelompok kecil berkisar 3 sampai 5 orang. Jumlah anggota kelompok ini bertambah dari waktu ke waktu. Beberapa kafe atau taman kota di Jakarta dipilih sebagai tempat pertemuan. Hal-hal yang dibahas dalam pertemuan tersebut mulai dari bagaimana menjadi individu LBT muda dalam keseharian, sampai merancang kegiatan untuk memobilisasi dan memberdayakan komunitas LBT muda di Jakarta. Pertemuan itu secara tidak langsung menjadi kelompok pendukung sebaya LBT muda, yang dilanjutkan menjadi klub olah raga bulu tangkis, pemutaran film dan menari.

Selain klub olah raga dan seni, IPP juga memfasilitasi diskusi regular dan pelatihan yang mengundang jaringan HAM dan Feminis. Kegiatan

22 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

ini kemudian ini diberi nama Kongkow Lez dan Lez School, (Manaf, 2011). Kongkow Lez merupakan pertemuan tematik para lesbian yang membahas kesehatan reproduksi lesbian, lesbian dan interprestasi agama, homoseksual tinjauan psikiatri, lesbian dan legal feminis serta pemikiran feminis yang lain. Kongko ini menghadirkan tim ahli kedokteran, psikolog, tokoh agama, aktivis HAM, feminis, sutradara film, penulis sastra, akademisi dan lainnya sebagai pembahas, antara lain Musdah Mulia, Pendeta Ester, Ninuk Widyantoro, almarhum Dr. Lukas Mangindaan dari Universitas Indonesia, Ratna Batara Munti, Yeni Rosa Damayanti, Clara Ng, Danny Yatim dan lain-lain. Sedangkan Lez School atau sekolahnya para lesbian merupakan pelatihan serial mencakup tiga kurikulum: HAM, LGBTIQ dan Feminisme. Gerakan serupa juga dilakukan oleh organisasi LGBTIQ lain di Indonesia.

2. Internet sebagai Media Edukasi dan Advokasi yang AmanSebenarnya teknologi itu digunakan orang lebih, sebagai alat.

Jadi, apapun ideologinya, apapun kepentingannya, pasti dampaknya akan sangat membantu mereka. Untuk feminis, teknologi bukan sekedar alat, sebetulnya konteksnya. Teknologi adalah pengetahuan. Kalau misalnya orang bisa menyebarkan rasisme, sexual harrasment, eksploitasi perempuan melalui teknologi telekomunikasi, kami membuat hal untuk mencegah semua itu, melalui teknologi. Jadi, karena kami melihat teknologi sebagai pengetahuan dan pendidikan, maka dampaknya bagus untuk penyadaran. (Mariana Ammiruddin, Yayasan Jurnal Perempuan)

Pemberitaan pada media-media utama yang sering diskriminatif terhadap komunitas LBT di Indonesia, mendorong IPP menerbitkan media independen yang bersumber dari suara komunitas LBT. Mulai tahun 2007, IPP mempublikasikan media dalam bentuk digital, seperti majalah dan komik digital dalam bentuk CD, buku elektronik, untuk menciptakan media yang menyuarakan LBT dan aman untuk diakses anggota komunitas.

Pilihan media digital ini juga sebagai jawaban IPP pada kebutuhan

23

rasa aman komunitas. Publikasi terbitan IPP dalam bentuk cetak tidak sepenuhnya menolong komunitas. Beberapa anggota komunitas merasa takut dan tidak nyaman untuk membawa dan membacanya. Mereka khawatir publikasi cetak tersebut ditemukan oleh orang tua, rekan kerja, teman sekolah atau kuliah yang akan menimbulkan pertanyaan pada orientasi seksual atau identitas gender mereka. Kekhawatiran itu terutama datang dari LBT muda yang memutuskan belum atau tidak coming out pada lingkungannya. Kemudian IPP membentuk publikasi digital yang dapat diakses di internet atau dalam bentuk CD yang dikemas secara taktis seperti CD musik. Tujuannya untuk untuk menyamarkan konten dari media tersebut. Dengan pendekatan ini, komunitas LBT merasa privasi dan keamanan mereka terjaga selama mengakses informasi terkait seksualitas lesbian.

Temuan itu juga menunjukkan bahwa hak atas informasi mesti dilakukan bersamaan dengan hak privasi dan rasa aman bagi komunitas LBT muda. Terutama bagi mereka yang hidup di lingkungan rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja dan ruang publik yang homofobik.

Publikasi digital juga membantu sebaran edukasi dan advokasi dari tingkat nasional ke internasional. Pada tahun 2010, IPP menerbitkan komik Yogyakarta Principles25 dalam versi bahasa Indonesia. Kemudian versi bahasa Inggrisnya terbit pada tahun 2011. Komik ini merupakan kumpulan kisah-kisah nyata LBT muda di wilayah Jakarta yang dikemas dalam bentuk fiksi, kemudian dianalisa dengan Prinsip-pinsip Yogyakarta. Penerbitan dan publikasi komik ini bertujuan untuk memudahkan para pembaca (LBT muda) untuk memahami bahasa hukum dan HAM dari prinsip-prinsip Yogyakarta melalui media popular (komik). Pemilihan dalam bentuk format komik juga untuk menjaga hak privasi dan rasa aman para responden yang menjadi nara sumber pencatatan kasus kekerasan tersebut.

IPP mempublikasikan komik Prinsip-prinsip Yogyakarta dalam bentuk cetak (buku) dan digital. Penyebaran komik Prinsip-prinsip Yogyakarta dalam bentuk digital di internet mendapat respon positif dari pembaca,

25 Komik Yogyakarta Principles. http://www.pelangiperempuan.or.id/buku/komik-yogya-karta-principles/

24 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

karena memberikan rasa aman dan nyaman juga murah secara biaya serta jangkauan distribusi yang lebih luas dan cepat. Dengan mengurangi biaya yang berkaitan dengan penerbitan dan mengakses informasi pergerakan, TIK memiliki potensi untuk mengubah arus informasi politik, untuk mengurangi biaya bentuk-bentuk partisipasi konvensional, dan untuk menciptakan bentuk-bentuk partisipasi yang murah dan baru, pada akhirnya berkontribusi terhadap partisipasi yang meningkat tajam (Leizerov, 2000). Bonchek menyatakan bahwa dengan menurunkan biaya komunikasi dan koordinasi, TIK memfasilitasi pembentukan kelompok, perekrutan, dan pertahanan sambil meningkatkan efisiensi kelompok, yang semuanya berkontribusi untuk meningkatkan partisipasi politik. (Bonchek, 1995; 1997)

Sumber: www.pelangiperempuan.or.id

Dukungan untuk sebarannya datang dari jaringan nasional dan internasional. Organisasi perempuan feminis muslim di lingkungan pesantren Cirebon Jawa Barat, mendiskusikan komik Yogyakarta

25

Principles sebagai materi pendidikan seksualitas LGBTIQ bagi para santri muda dan remaja di pesantren. Pada Februari 2011, IPP mempresentasikan komik Yogyakarta Principles pada pertemuan Persatuan Bangsa-Bangsa, Commission on the Status of Women (CSW) ke-55 di New York, Amerika Serikat. Organisasi LGBTIQ di Belgia bernama Rainbow House dan Tel Quel Jeunes bekerjasama dengan Secretary of the State Brussels, menterjemahkan dan mempublikasikan komik Yogyakarta Principles ke dalam bahasa Perancis dan Belanda diluncurkan pada peringatan International Day Against Homophobia, Biphobia dan Transphobia (IDAHOBIT) atau Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia dan Transfobia pada 17 Mei 2012. Inisiasi ini dimaksudkan menjadikan komik Yogyakarta Principles sebagai media edukasi pendidikan HAM LGBTIQ bagi kelompok LGBTIQ muda di Belgia. Intinya, Komik YP dapat diakses oleh beragam individu dan kelompok dari berbagai daerah dan negara berkat penyebarannya melalui internet. Pada posisi ini, Internet telah berperan memperluas ruang kampanye wacana LBT muda Indonesia pada tingkat nasional dan internasional.

3. Mengkreasi Portal LGBTIQ yang bertautan dengan isu HAM LainnyaKami memilih dengan sadar, sangat politis kami pilih internet

sebagai media gerakan. Saya merasa lebih bebas gitu ya, internet jangkauannya lebih luas. Terus kita bisa masuk ke lubang-lubang yang selama ini kita nggak ngerti lubangnya itu. Misalnya, kita bisa nemuin orang-orang yang LGBT, yang non-LGBT, yang dia aware banget dengan LGBT. Dan itu muncul di website. (Hartoyo, Suara Kita)

Sejarah penyebaran aktivisme HAM LGBTIQ juga ditorehkan oleh Suara Kita. Suara Kita adalah organisasi sosial masyarakat yang bekerja untuk perjuangan hak-hak keragaman orientasi seksual dan identitas gender di wilayah Indonesia. Bentuk organisasinya perkumpulan tertutup yang keanggotaannya terdiri dari kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) dan kelompok heteroseksual yang mendukung

26 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

gerakan ini, dengan perbandingan 75% LGBT : 25% heteroseksual.26

Suara Kita diinisiasi oleh beberapa aktivis gay pada 5 September 2007. Suara Kita mulai aktif membangun komunitasnya pada tahun 2007. Para pendiri Suara Kita menyatakan bahwa pertemuan dan komunikasi intensif mereka, dibangun melalui internet. Pada Maret 2009, organisasi Suara Kita berbadan hukum, dan melakukan kegiatan di ranah internet dan pertemuan-pertemuan di ruang fisik. Di ranah internet Suara Kita bekerja membangun media alternatif yang mendorong aktivis LGBTIQ dari seluruh Indonesia untuk berdiskusi bersama dan mempublikasikan karyanya. Media alternatif ini kemudian menjadi sebuah portal daring untuk berita-berita LGBTIQ di www.ourvoice.org (sekarang menjadi www.suarakita.org) yang aktif sejak tahun 2009. Selain menyediakan berbagai informasi terkait LGBTIQ, portal Suara Kita juga menyediakan informasi terkait isu HAM yang lain, seperti pemberitaan mengenai warga Syiah yang didiskriminasi, pemikiran-pemikiran feminis dan pluralis. Hingga 11 Juli 2013, jumlah pengunjung website Suara Kita mencapai angka yang signifikan yaitu sebanyak 308.335. Kunjungan per harinya mencapai 300 hingga 400 pengunjung.

Para pegiat Suara Kita menyatakan menggunakan internet sebagai pilihan politis mereka untuk beraktivitas dengan tujuan jangkaun gerakan yang lebih cepat dan luas. Mereka juga melakukan perekrutan anggota dan sukarelawan melalui ruang berbincang (chatting) di internet. Jangkauan pengorganisasian Suara Kita melalui internet tidak hanya meraih kalangan aktivis HAM LGBTIQ, tetapi juga gay yang berlatar belakang mahasiswa, pekerja, seniman, dan lainnya. Juga mereka yang bukan LGBTIQ.

Aksi-aksi progresif dari Suara Kita memperlihatkan hubungan antara TIK dan partisipasi adalah untuk mempromosikan identitas kolektif, persepsi antara individu-individu dimana mereka merupakan anggota dari sebuah komunitas yang lebih besar berdasarkan keluhan-keluhan sama yang mereka bagikan. TIK memungkinkan untuk dapat menumbuhkan identitas kolektif seluruh dari sebuah populasi tersebar, yang kemudian pihak pengorganisir dapat memobilisasi untuk mendukung aksi kolektif

26 Suara Kita. www.suarakita.org

27

(Arquilla dan Ronfeldt 2001; Myers 2000; Brainard dan Siplon 2000). Dari data survei EROTICS global diketahui 47.05% dari responden mengatakan bahwa pekerjaan akan sulit dan sangat tidak mungkin untuk melakukan kerja aktifitas mereka tanpa internet.

B PENGABAIAN HAK LGBTIQ MELALUI INTERNET Di satu sisi keberadaan internet mendukung visibilitas gerakan HAM

LGBTIQ dan memajukan advokasi HAM LGBTIQ. Di sisi lain, oleh mereka yang belum menghormati HAM LGBTIQ, internet digunakan sebagai alat untuk melanggengkan praktik-praktik diskriminasi dan kekerasan berbasis identitas gender dan orientasi seks, yang sebelumnya sudah berlangsung di ruang luring. Praktik-praktik tersebut dilakukan negara melalui tata kelola internet, seperti pengabaian HAM LGBTIQ pada regulasi konten porno yang pada pelaksanaannya antara lain mengakibatkan pemblokiran website yang memiliki konten LGBTIQ. Juga perundungan homofobik melalui media TIK (Cyberhomophobia) baik yang dilakukan orang perorangan, organisasi masyarakat maupun negara.

1. Pelembagaan diskriminasi dan kriminalisasi berbasis orientasi seks pada perundang-undangan dan peraturan daerah Dalam UUD 1945, pemerintah Indonesia menjamin hak setiap dan

seluruh warga Indonesia tanpa diskriminasi berbasis apapun termasuk identitas gender dan orientasi seksual. Jaminan hak ini diperkuat oleh ratifikasi DUHAM melalui Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang ratifikasi DUHAM.

Terkait kriminalisasi LGBTIQ di Indonesia, pemerintah kota Palembang, Sumatra Selatan, memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Kota Palembang No. 2 tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa homoseks, lesbian, sodomi, dan pelecehan seksual termasuk dalam perbuatan pelacuran.27

Kemudian pada tahun 2008, pemerintah Republik Indonesia

27 Hukum Online tentang Perda Kota Palembang No. 2 tahun 2004 tentang Pemberan-tasan Pelacuran. http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5117268acbc06/node/lt4a0a533e31979/sodomi,-tindak-pidana-atau-bukan?-

28 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.28 Dalam Bab I Ketentuan Umum yang dimaksud Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Pornografi pasal 4 ayat 1 butir a, homoseksual didefinisikan sebagai persenggamaan menyimpang. Akibatnya, segala bentuk media dan publikasi terkait isu LGBTIQ dikriminalkan karena dianggap termasuk kategori konten pornografi. Interpretasi itu membuat warga LGBTIQ rentan untuk dikriminalisasi,29 walaupun negara tidak menyatakan keberadaan LGBTIQ ilegal secara langsung pada konstitusi dan hukum perundang-undangan.

Pada 3 Maret 2014 Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) secara resmi melalui siaran pers mengeluarkan Rencana Peraturan Mentri (RPM) tentang Pengendalian Situs Internet Bermuatan Negatif yang mengatur konten internet terkait pornografi, perjudian dan kegiatan ilegal lainnya.30 Dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 2 menjelaskan definisi pornografi yang mengacu pada UU tentang Pornografi, yang pada penjelasannya memasukkan homoseksual sebagai persenggamaan menyimpang.

Draft Permen (selanjutnya disebut draft) menyatakan bahwa Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif yang selanjutnya disebut Pemblokiran adalah aksi yang diambil untuk menghentikan masyarakat

28 Undang-Undang Republik Indonesia No.44 tahun 2008 tentang Pornografi http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/442008.pdf

29 Position Paper Reformasi KUHP No. #2/2007 Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi dalam RUU KUHP. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) oleh Syahrial Wiryawan Martanto & Wahyu Wagiman http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/13.pdf

30 Siaran Pers Tentang Uji Publik RPM Yang Mengatur Tata Cara Pemblokiran Konten Internet Negatif http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3879/Siaran+Pers+-No.+24-PIH-KOMINFO-3-2014+tentang+Uji+Publik+RPM+Yang+Mengatur+Tata+-Cara+Pemblokiran+Konten+Internet+Negatif+/0/siaran_pers

29

untuk mengakses informasi dari sebuah situs bermuatan negatif. Menurut draft, apa yang menjadi tujuan Peraturan Menteri ini, adalah untuk memberikan acuan bagi Pemerintah dan masyarakat terhadap pemahaman situs internet bermuatan negatif dan peran bersama dalam penanganannya; melindungi kepentingan umum dari konten internet yang berpotensi memberikan dampak negatif dan atau merugikan.

Sedangkan apa yang menjadi ruang lingkup draft ini adalah penentuan situs internet bermuatan negatif yang perlu ditangani; peran Pemerintah dan masyarakat dalam penanganan situs internet bermuatan negatif; tanggung jawab Penyelenggara Jasa Akses Internet dalam penanganan situs bermuatan negatif; tata cara pemblokiran dan normalisasi pemblokiran dalam penanganan situs internet bermuatan negatif .31

Tata kelola internet ini harus diatur dengan UU, kedua karena berhubungan dengan UU maka yang dibatasi harus yang berhubungan dengan pidana. Jadi kata-kata ilegal dalam peraturan menteri itu bahaya sekali, dia harus pidana bukan illegal karena itu berbeda jauh. karena dia berhubungan dengan hukum maka Negara yang berhak mengatakan itu adalah penegak hukum. Misalnya didakwa lelu merekomendasikan ke nawala untuk menutup itu harusnya bukan menkominfo tapi hukum paling kurang jaksa. Atau itu melalui putusan pengadilan, ketiga multistakeholder bisa kita bentuk lembaga yang oleh UU diberikan UU untuk itu dan bukan menkominfo. (Erasmus, ICJR, peserta FGD riset EROTICS Indonesia)

2. Program Nasional Pengendalian Konten Internet yang Berdampak pada Diskriminasi Berbasis Orientasi Seks dan Identitas GenderSalah satu implementasi dari UU tentang Pornografi adalah

pembentukan program oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) untuk memantau pornografi

31 Position Paper 1/2014 tentang Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat 2013-2014, Indonesian Media Defense Litigation Network (IMDLN) dan Institute for Criminal Jus-tice Reform (ICJR), oleh Supriyadi Widodo Eddyono & Anggara, http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/06/Position-Paper-Hukum-Internet-1-bloking-dan-Filtering-in-ternet_Final.pdf

30 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

diantaranya konten homoseksual pada internet. Pada tahun 2009 Kemenkominfo RI, membangun jaringan bersama organisasi masyarakat sipil, akademisi dan sektor industri internet untuk meluncurkan Program Internet Sehat dan Aman (INSAN).32 Termasuk di dalamnya program Trust Positif, yang digunakan oleh beberapa Internet Service Provider (ISP) atau Penyedia Jasa Layanan Internet untuk mengatur konten internet di Indonesia. Khususnya penapisan konten pornografi (termasuk LGBT), perjudian atau kegiatan yang dianggap ilegal atas permintaan instansi yang berwenang.

Penapisan konten internet itu dilakukan oleh Penyelenggara Layanan Pemblokiran atas perintah Kementerian atau Lembaga Pemerintah melalui instruksi Direktur Jendral Aplikasi Informatika dibawah koordinasi Keminfo. Dalam hal Penerimaan laporan berupa pelaporan atas: situs internet bermuatan negatif; Pelaporan disampaikan oleh masyarakat kepada Menteri c.q. Direktur Genderal melalui fasilitas penerimaan pelaporan berupa e-mail aduan dan atau pelaporan berbasis situs yang disediakan; Pelaporan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai pelaporan darurat apabila menyangkut hak pribadi, pornografi anak, dan dampak negatif yang cepat di masyarakat dan atau permintaan yang bersifat khusus. Laporan harus telah melalui penilaian di Kementerian/Lembaga terkait dengan memuat alamat situs, jenis muatan negatif, jenis pelanggaran dan keterangan; Laporan disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar alamat situs dan hasil penilaian; Terhadap pelaporan Direktur Jenderal kemudian melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan.33

Di Indonesia ada 7 pemain penapisan dan hanya Nawala yang terbuka yang juga dipakai kementerian lain untuk kepentingan

32 Internet Sehat dan Aman (INSAN) http://www.insan.or.id/

33 Position Paper 1/2014 tentang Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat 2013-2014 , Indonesian Media Defense Litigation Network (IMDLN) dan Institute for Criminal Jus-tice Reform (ICJR), oleh Supriyadi Widodo Eddyono & Anggara, http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/06/Position-Paper-Hukum-Internet-1-bloking-dan-Filtering-in-ternet_Final.pdf

31

mereka. (Yamin, Nawala – Penyelenggara Layanan Pemblokiran, peserta FGD riset EROTICS Indonesia)

Penyelenggara Layanan Pemblokiran harus memiliki kriteria sekurang-kurangnya: terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik; berbadan hukum Indonesia; menempatkan pusat datanya di Indonesia; memiliki prosedur operasi yang transparan dan akuntabel.

Penyelenggara Jasa Akses Internet wajib melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang terdapat dalam TRUST+Positif. Pemblokiran dapat dilakukan sebagai berikut: pemblokiran mandiri; atau pemblokiran menggunakan layanan pemblokiran yang disediakan Penyelenggara Layanan Pemblokiran. Dalam hal Penyelenggara Jasa Akses Internet tidak melakukan pemblokiran. Penyelenggara Jasa Akses Internet dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara Jasa Akses Internet yang telah menjalankan pemblokiran sebagaimana maka Penyelenggara Jasa Akses Internet tersebut telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.34 Pembentukan program INSAN dan Trust Positif ini berpotensi pada pembatasan akses dan kelola internet berkonten LGBTIQ sebagai konsekuensi homoseksual dipersamakan dengan pornografi.

3. Pemblokiran website LGBTIQ oleh Swasta dan NegaraInterprestasi homoseksual sebagai pornografi pada UU Pornografi

juga berdampak pada pemblokiran website LGBTIQ. Pada April 2011, seorang aktivis transgender muda melaporkan kepada IPP bahwa ia tidak dapat mengakses tautan (link) komik Yogyakarta Principle terbitan IPP yang dipublikasikan di website International LGBTI Association (ILGA) , www.ilga.org. Saat pengguna mencoba untuk mengakses situs tersebut, muncul pemberitahuan: “Situs yang hendak Anda buka tidak dapat diakses

34 Position Paper 1/2014 tentang Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat 2013-2014 , Indonesian Media Defense Litigation Network (IMDLN) dan Institute for Criminal Jus-tice Reform (ICJR), oleh Supriyadi Widodo Eddyono & Anggara, http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/06/Position-Paper-Hukum-Internet-1-bloking-dan-Filtering-in-ternet_Final.pdf

32 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

karena mengandung unsur pornografi.”

Pemblokiran juga dilakukan pada situs web International LGBTIQ Human Rights Commission (IGLHRC), www.iglhrc.org. Terhitung Mei 2011 tiga ISP di Indonesia yang melakukan pemblokiran terhadap website LGBTIQ, yaitu Telkomsel Flash, IM2 Indosat dan Lintasarta.

Pada Juli 2013, pemblokiran kembali terjadi pada situs www.ourvice.org (saat ini www.suarakita.org). Menurut aktivis Suara Kita, situs www.ourvoice.org menemui kendala pemblokiran oleh beberapa ISP. Pemblokiran ini dilakuakn tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak Suara Kita dan tanpa alasan yang transparan dan akuntabel dari pihak ISP. Jika mengakses situs www.ourvoice.org menggunakan ISP XL maka akan keluar keterangan pada layar monitor seperti ini:

“Pelanggan terhormat, sesuai dengan peraturan perundangan, situs tujuan Anda tidak dapat diakses. Mohon maaf untuk ketidaknyamanan. Silakan mencoba kembali.“ Di bawahnya terdapat kalimat “AKSES DITUTUP” dengan ukuran huruf lebih besar. Tertanda logo DEPKOMINFO.

33

4. Cyber - homophobia terhadap LGBTIQ oleh Individu dan Organisasi Masyarakat

“Perundungan homofobik (homophobic bullying) adalah kebiadaban moral, pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan krisis kesehatan masyarakat.” (Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon)35

Selain pembatasan internet berkonten homoseksualitas oleh swasta dan negara, warga LGBTIQ juga mengalami cyber-homophobia ketika mereka mengekspresikan identitas gender dan orientasi seksual mereka di media daring. Cyber-homophobia atau homophobic bullying (perundungan atau penindasan) serta kebencian terhadap identitas gender dan orientasi seksual non heteronormatif di internet semakin umum terjadi. Target serangan homofobia tidak selalu tertuju pada orang-orang dengan orientasi seksual dan identitas gender yang ‘nampak’ berbeda saja. Akan tetapi heteroseksual dengan ekspresi gender yang terlihat berlawanan dengan konstruksi masyarakat yang berlaku umum

35 Secretary-General, in Message to Event on Ending Sexuality-based Violence, Bias, Calls Homophobic Bullying ‘a Moral Outrage, a Grave Violation of Human Rights’ http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sgsm14008.doc.htm

34 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

bisa juga menjadi korban. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), homophobic bullying adalah bullying yang berada dalam posisi kedua terbesar di seluruh dunia.

Antara lain terjadi pada pegiat Suara Kita yang sering meliput dan menulis isu LGBTIQ di portal Suara Kita dan akun Facebook (FB) pribadi kerap mengalami komentar yang intimidatif sampai ancaman pembunuhan. Berikut paparannya:

“Hati gw juga sedih kan dibully, terus dibilang, ‘banci masuk neraka aja Lu, nyebar-nyebarin berita’. Ada banget, Misalnya, ‘eh... Lu ngomong-ngomongin kayak gitu-gitu, gw bunuh ya!” yang kayak gitu-gitu. Ya memang sih, kadang-kadang, ini bener nggak sih orang? Takut juga kan?! Suatu saat mungkin, karena gw orang yang sering koar-koar, mungkin bisa aja di jalan atau dimana, gitu kan?! “ (Supriyatna, Suara Kita)

Intimidasi dan ancaman seperti itu tidak pernah dilaporkan Supriyatna kepada aparat penegak hukum karena tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi individu LGBTIQ atau pegiat HAM LGBTIQ. Dan siapa yang mampu membela dan melakukan advokasi terhadap masalah seperti itu. Selain itu, mereka merasa tidak ada pembelaan hukum terhadap isu LGBTIQ, juga kekhawatiran mengalami diskriminatif atau kekerasan kembali dari aparat penegak hukum saat mereka melapor. Ancaman melalui media daring juga berpengaruh buruk pada psikologis para pegiat HAM LGBTIQ.

Situasi serupa disampaikan oleh Association for Progressive Communications (APC) melalui peluncuran survei EROTICS. Survei, yang didistribusikan oleh EROTICS Indonesia kepada jaringan aktivis dan organisasi hak asasi manusia telah menemukan beberapa data dalam konteks hak-hak seksual dan internet. Dua belas responden mengatakan bahwa mereka mengalami intimidasi ketika berbicara tentang masalah seksualitas seperti tentang LGBTIQ, orang yang hidup dengan HIV/AIDS, kebebasan beragama dan bahkan tentang kesehatan reproduksi. Ini

35

termasuk serangan frontal di media sosial atau melalui surat elektronik. Hal ini dipertegas oleh 64,70% responden yang mengatakan tidak memberikan kondisi yang lebih aman daripada pertemuan tatap muka. Hanya 35,29% responden mengatakan bahwa internet adalah berguna untuk bekerja pada hak-hak seksual karena memungkinkan kelompok untuk jaringan dalam kondisi relatif lebih aman. Beberapa responden merasa bahwa mereka tidak merasa aman dan damai. Takut melakukan kerja-kerja advokasi mereka tentang isu seksualitas dalam realitas luring. Meskipun pada dasarnya intimidasi dilakukan dalam internet, perasaan psikologis menjadi mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Cyber-homophobia juga menjadi kebiasaan di sebuah forum Internet Indonesia bernama Kaskus.36 Kaskus berasal dari kata Kasak-Kusuk atau bermakna gosip, yang didirikan di Amerika Serikat mulai tahun 1999 oleh dua orang pelajar Indonesia di Seattle, Amerika Serikat. Kaskus memiliki lebih dari 4,5 juta pengguna terdaftar. Pengguna Kaskus umumnya berasal dari kalangan remaja hingga orang dewasa yang berdomisili di Indonesia maupun di luar Indonesia. Kaskus dikunjungi sedikitnya oleh 900 ribu orang, dengan jumlah page view melebihi 15.000.000 setiap harinya.

36 Kaskus http://www.kaskus.co.id/

http://www.apc.org/

36 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Hingga bulan Juli 2012, Kaskus sudah mempunyai lebih dari 601 juta posting.37

Para anggota Kaskus atau sering disebut Kaskuser mempopulerkan istilah ‘Maho’ atau manusia homo (orang homoseksual) untuk meledek, melakukan guyonan atau humor bahkan berkomentar untuk hal- hal yang dianggap tidak layak dan baik. Istilah ‘Maho’ memiliki konotasi menjadi abnormal, jelek, aneh, cacat dan sakit. Bahkan mereka mempopulerkan beberapa avatar untuk menggambarkan Maho di Kaskus.

Sumber: kaskus.co.id

37 Tentang Kaskus https://id.wikipedia.org/wiki/Kaskus

37

Sumber: kaskus.co.id

Saya juga suka game online dan ada diskriminasi disana (Kaskus) seperti Maho dan Hode dimana laki-laki tidak bole pakai karakter perempuan dan sebaliknya. Kalau cross gender itu disebut Hode (dalam Kamus Besar Bahasa Kaskus: Hoax Detected atau karakter game perempuan yang dimainkan oleh laki-laki)38 (Emmy, Transgender, peserta FGD riset EROTICS)

38 Kamus Besar Bahasa Kaskus http://support.kaskus.co.id/kamus-kaskus/kamus_kaskus.html

38 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Sebagian orang juga melanggengkan praktik Cyber-homophobia melalui situs media sosial seperti Facebook atau Twitter. Satu Facebook Group bernama Komunitas Anti Homosexual39, secara eksplisit mengumumkan bahwa mereka anti homoseksual.

Berikut komentar-komentar dari pengguna group ini:

Sumber: Facebook

39 Komunitas Anti Homoseksual. https://www.facebook.com/pages/Komunitas-Anti-Ho-moseksual/149990501703182

39

Cyber-homophobia juga dilakukan oleh individu antara lain Fahira Idris. Fahira Idris, seorang politisi yang terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) untuk wilayah Jakarta pada tahun 2014, mengkampanyekan homofobia di situs sosial media Twitter pribadi miliknya sebagai berikut:

Fahira Idris juga pemenang polling yang bertajuk The Most Inspiring Twitter tahun 2010, Fahira Idris (@fahiraidris). Penghargaan dan apresiasi terhadap Fahira dalam situs jejaring sosial itu dikarenakan keberaniannya mengkritik kelompok fundamentalis FPI, ia bahkan mendatangi markas FPI, berdialog dan menyampaikan kritikan masyarakat terhadap FPI.40 Pada tahun 2005 ia juga dinobatkan sebagai The Most Favourite Inspiring Woman oleh salah satu media. Di bulan Januari 2013, Fahira terpilih lagi sebagai salah satu dari 8 Wanita Inspiratif & Informatif di Twitter versi Fimela.com.41 Hingga bulan Desember 2013, situs media sosial Twitter milik Fahira Idris memiliki 136055 follower.

Fahira Idris sering menggambarkan diri sebagai citra penjaga moral untuk memenangkan suara pada Pemilu 2014, kepentingannya dibawa untuk menarik perhatian publik yang diperlihatkan dalam jumlah follower akun Twitter. Perannya sebagai tokoh publik, serta penghargaan-

40 Fahira Fahmi Idris: Islam Mengajarkan Damai http://www.suarapembaruan.com/home/fahira-fahmi-idris-islam-mengajarkan-damai/74

41 Delapan (8) Perempuan Ini Paling Inspiratif, Lucu dan Informatif di Twitter! http://www.fimela.com/read/2013/01/25/8-perempuan-ini-paling-inspiratif-lucu-in-formatif-di-twitter?p=1

40 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

penghargaan yang disandang sebagai pengguna sosial media yang inspiratif, tentunya mendapat perhatian publik cukup luas. Sehingga pernyataan-pernyataan dirinya di Twitter, termasuk mempromosikan upaya rehabilitasi untuk LGBTIQ cukup memberikan pengaruh pada opini publik di Indonesia tentang LGBTIQ.

C. KETERLIBATAN GERAKAN LGBTIQ INDONESIA PADA QUEERING TATA KELOLA INTERNET DI TINGKAT NASIONAL DAN DUNIAGerakan sosial sebagai usaha kolektif untuk membangun sebuah tata

kehidupan yang baru. Mereka memiliki kegelisahan, dan memperoleh motif kekuatan di satu sisi dari sebuah ketidakpuasan akan kehidupan terkini, dan di sisi lain, dari keinginan-keinginan dan harapan-harapan dari skema kehidupan yang baru. (Blumer, 1939). Menyadari peran strategis internet dalam pemajuan HAM LGBTIQ dan tantangan cyber-homophobia, beberapa organisasi LGBTIQ di Indonesia mulai terlibat dalam gerakan sosial untuk queering tata kelola internet, baik advokasi di tingkat nasional maupun internasional.

Queer dulu biasanya digunakan sebagai bahasa slang untuk homoseksual dan hal-hal yang ‘buruk’, digunakan untuk pelecehan terhadap kelompok homoseksual. Baru-baru ini, istilah ini telah digunakan sebagai istilah payung untuk kedua identifikasi dan model budaya seksual tradisional untuk studi lesbian dan gay. Tanpa diketahui banyak, Queer lebih sekedar berhubungan dengan gay dan lesbian, tetapi juga cross-dressing, hermaphroditism, ambiguitas gender dan operasi gender korektif. Proyeksi utama Queer teori ini yaitu menjajaki peserta dari kategorisasi gender dan seksualitas, identitas tidak tetap - mereka tidak dapat dikategorikan dan diberi label - karena identitas terdiri dari banyak variasi komponen dan untuk mengkategorikan dengan salah satu karakteristik adalah hal yang salah (Buttler, 2004).

Teori Queer adalah bidang-bidang ilmu kritis yang muncul pada awal tahun 1900-an yang meliputi studi-studi ilmu LGBT dan Feminis. Teori Queer meliputi kajian teks-teks dan teorisasi “queerness” itu sendiri. Teori queer dibangun meliputi tantangan-tantangan feminis terhadap pemikiran bahwa gender adalah bagian esensial diri dan melalui pengujian

41

studi-studi gay/lesbian terhadap sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial dari perilaku dan identitas seksual. Dimana studi-studi gay/lesbian berfokus pada pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku-perilaku alami dan tidak alami dalam penghormatan terhadap perilaku homoseksual, teori Queer memperluas fokusnya untuk meliputi berbagai keragaman identitas dan aktivitas seksual yang sering dimasukkan dalam kategori-kategori normatif dan penyimpangan.

Teori Queer tidak hanya mempermasalahkan dan mengkritisi kewarganegaraan. Tapi juga dimaksudkan untuk membongkar apa yang dimaksud dengan menjadi warga negara dan untuk mempresentasikan konsep sebagai praktik-praktik eksklusif akan definisi siapa saja yang masuk atau tidak dalam kategori marjinal dalam masyarakat (Payne and Davies 2012).

Queering tata kelola internet, Queering tata kelola internet berangkat dari pengalaman dan kesadaran bahwa internet adalah subjek/aktor yang memainkan peran sebagai ruang politik dan publik dalam perubahan sosial. Kemudian internet sebagai ruang politik dan publik dipengaruhi para pihak multi pemangku kepentingan yang memiliki keragaman dan kecairan keragaman identitas gender dan orientasi seksual sehingga mewarnai konten dan kebijakan internet yang membutuhkan proses advokasi terus menerus. Konsep ini dikembangkan oleh IPP sebagai upaya teorisasi pengalaman dan hasil riset, serta bersifat terbuka untuk dilakukan falsifikasi dan verifikasi. Pemajuan teori ini bermanfaat untuk strategi dan advokasi melawan cyber-homophobia, antara lain pemblokiran situs-situs LGBTIQ.

Pertemuan Tingkat Dunia Masyarakat Informasi tentang Tata Kelola Internet menyebutkan bahwa Tata Kelola Internet adalah pengembangan dan penerapan oleh pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil, dalam peran masing-masing, berbagi prinsip, norma, aturan, pengambilan keputusan, prosedur dan program yang membentuk evolusi dan penggunaan internet (Kurbalija , 2012). Berkaitan queering tata kelola internet, LGBTIQ sebagai bagian dari masyarakat sipil memilik hak kewarganegaraan untuk melakukan intervensi dalam tata kelola internet.

Upaya-upaya queering Tata Kelola Internet di Indonesia, terinisiasi

42 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

oleh program riset EROTICS (Exploratory Research on Sexuality and the Internet) atau Riset Eksploratoris terkait Seksualitas di Internet dimulai oleh Association for Progresive Coomunication pada tahun 2008 sebagai sebuah langkah eksploratoris untuk menjembatani kesenjangan antara ukuran-ukuran kebijakan dan legislatif yang meregulasi konten dan praktik di internet, serta praktik-praktik kehidupan yang sebenarnya, termasuk ragam pengalaman dan kepedulian terhadap pengguna internet pada saat mempraktikkan hak-hak seksualnya.

Mulai tahun 2012, IPP bekerjasama dengan APC memulai riset dan jaringan advokasi EROTICS Indonesia. Queering tata kelola internet di Indonesia diawali dengan merespon situasi pelanggaran hak atas informasi dan kebebasan ekspresi di internet bagi kelompok LGBTIQ di Indonesia, dengan membentuk jaringan EROTICS Indonesia (jaringan advokasi dan penelitian hak internet dan seksualitas) yang dikoordinasi oleh IPP dan APC.

Pengorganisasian pertemuan konsolidasi organisasi hak seksual untuk membicarakan kaitannya hak seksual dan hak internet dalam konteks Indonesia dilakukan pada Juli 2012. Pertemuan yang banyak membahas wacana hak internet, tata kelola internet dan keamanan digital ini dihadiri oleh para akademisi dan aktivis dari kelompok sipil masyarakat seperti LGBTIQ, Hak Pekerja Seks, Komunitas Feminis Muda Indonesia, Perempuan Positif HIV/AIDS, Komunitas Feminis Muda di Pesantren, Anti Perdagangan Perempuan dan Anak, Komnas Perempuan dan lain-lain. Wacana pengintegrasian hak internet sebagai bagian dari feminisme dan HAM LGBTIQ menjadi titik awal kerja kolaborasi jaringan EROTICS Indonesia dalam mengawali riset dan queering tata kelola internet di Indonesia.

Queering tata kelola internet menjadi sangat penting, maka pada Agustus 2012, EROTICS Indonesia melakukan tindak lanjut dari pertemuan konsolidasi dengan bekerja sama dengan organisasi perempuan dan LGBTIQ yaitu Solidaritas Perempuan, IPP dan Arus Pelangi untuk melakukan pertemuan dengan organisasi yang memiliki kepedulian terhadap penggunaan TIK yang aman, bijaksana serta bertanggungjawab

43

yaitu ICT Watch.42 Organisasi ICT Watch berdiri semenjak 2002 ini merupakan pencetus program Internet Sehat di Indonesia yang kemudian menjadi salah satu jejaring program Internet Sehat dan Aman (INSAN) dari Kemenkominfo. Pertemuan yang banyak membicarakan tata kelola internet Indonesia ini, untuk melakukan konsultasi terkait dengan pemblokiran situs LGBTIQ di Indonesia. Dalam pertemuan ini diketahui terdapat sebuah Asosiasi yang dibentuk pada tahun 1996 oleh beberapa ISP di Indonesia, untuk mewadahi tata kelola dan pengembangan industri Internet di Indonesia bernama Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).43

Mengetahui APJII yang dapat menjadi mediator antara kelompok sipil masyarakat dan pihak ISP, kemudian dilakukan pertemuan dengan APJII pada 24 September 2012. Pertemuan dihadiri oleh organisasi LGBTIQ yaitu Arus Pelangi dan IPP, ICT Watch, detik.com, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) serta penggiat TIK lainnya bertempat di sekretariat APJII di Cyber Building, Jakarta Selatan. Tujuan dari pertemuan ini untuk menyampaikan kendala kasus pemblokiran situs LGBTIQ di Indonesia, yang diharapkan mendapatkan bantuan dari APJII untuk mengkonsolidasi kepada ISP agar membuka akses yang terblokir. Namun, penjelasan proses transparansi dan akuntabilitas dalam pemblokiran situs LGBTIQ tidak didapatkan dalam pertemuan konsolidasi ini. Pertemuan menghasilkan telah dibukanya situs web IGLHRC pada Desember 2012 dan situs web ILGA hingga saat ini masih terblokir.

Pada 1 November 2012, diadakan Indonesia Internet Governance Forum (Indo IGF) atau Forum Tata Kelola Internet Indonesia pertama kalinya dalam sepanjang sejarah di Indonesia. Forum Tata Kelola Internet adalah forum multi pemangku kepentingan untuk dialog kebijakan pada isu-isu tata kelola Internet. Forum ini menyatukan semua pemangku kepentingan dalam perdebatan tata kelola Internet. Mereka mewakili pemerintah, sektor swasta atau masyarakat sipil, termasuk kelompok akademik, pada asas yang setara dan melalui proses terbuka dan inklusif.

42 ICT watch http://ictwatch.com/id/

43 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia http://www.apjii.or.id/

44 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Deklarasi Tata Kelola Internet Indonesia44 diluncurkan dalam Forum Tata Kelola Internet Indonesia 2012. Deklarasi ditandatangani ragam pemangku kepentingan dan praktisi internet di Indonesia dan secara tegas menyebutkan Tata Kelola Internet Indonesia yang mengutamakan proses transparansi, akuntabilitas dan menunjung tinggi nilai Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Jaringan EROTICS Indonesia bekerjasama dengan kelompok LGBTIQ dan perempuan seperti IPP, Suara Kita, Arus Pelangi, Komnas Perempuan, Solidaritas Perempuan, Peace Women Across The Globe Indonesia serta akademisi kajian Sosiologi Universitas Lampung berpartisipasi dalam Indo IGF 2012. Jaringan ini dibangun atas dasar upaya untuk mendapatkan kesempatan berbicara perspektif HAM LGBTIQ terkait kasus pemblokiran situs LGBTIQ, serta kelompok perempuan menyuarakan wacana kekerasan terhadap perempuan di Internet (violence against women online/ E-VAW)

Terhitung hingga tahun 2013, semakin bertambah situs LGBTIQ di Indonesia yang terblokir. Terkait pemblokiran situs web Suara Kita, pertengahan tahun 2013, Sekretaris Umum Suara Kita berkali-kali menemui ISP XL yang memblokir situs Suara Kita dan dua kali melalui surat elektronik untuk meminta penjelasan. Akhirnya melalui surat resmi, customer service XL, PT XL Axiata memberikan penjelasan bahwa pemblokiran situs www.ourvoice.or.id atas permintaan Depkominfo (kini Kementerian Komunikasi dan Informatika). Karena situs tersebut termasuk dalam list Trust + positif dan XL sebagai penyelenggara jasa layanan internet, wajib untuk mengikuti peraturan tersebut (pemblokiran).

Suara Kita mengirimkan surat resmi dan Short Message Service (SMS) kepada Humas Kemenkominfo. Humas Kemenkominfo melalui SMS memberikan penjelasan bahwa Kemenkominfo tidak memerintahkan pemblokiran. Sementara, logo “Depkominfo” dipakai untuk menandakan telah dilakukan pemblokiran. 45

44 Deklarasi Tata Kelola Internet Indonesia http://id-igf.or.id/?p=127

45 Kendali Internet di Republik Hari Ini. http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=3438

45

Selama beberapa bulan kemudian, para aktivis Suara Kita berusaha mengadvokasi pemblokiran tersebut. Namun tetap tidak mendapatkan jawaban atau penjelasan konkrit dari pihak terkait. Sampai saat ini situs web tersebut masih terblokir. Dikarenakan merasa belum memiliki aliansi yang cukup kuat untuk melakukan advokasi, kemudian secara organisasi diputuskan untuk mengganti nama domain dari www.ourvoice.org menjadi www.suarakita.org mulai Agustus 2013. Keputusan ini dibuat agar aktivitas portal daring Suara Kita dapat aktif kembali.

Di tingkat internasional, IPP sebagai koordinator EROTICS Indonesia46 terlibat pada pertemuan Internet Governance Forum (IGF) atau Forum Tata Kelola Internet Dunia di Bali, Indonesia, pada 22-25 Oktober 2013. EROTICS Indonesia membantu menghadirkan Ketua Komnas HAM periode 2013-2014, Siti Noor Laila, untuk menyampaikan dan memberi tanggapan terkait pemblokiran situs-situs LGBTIQ di Indonesia. Komnas HAM adalah sebuah badan negara independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia. Upaya menghadirkan Ketua Komnas HAM menjadi langkah politis queering tata kelola internet di Indonesia. Antara lain meminta intervensi Komnas HAM dalam kasus pemblokiran situs-situs LGBTIQ di Indonesia, untuk menjadi mediator kelompok sipil masyarakat, institusi pemerintah dan sektor swasta di bidang internet.

Secara prinsip internet harus dikelola dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, namun pada praktiknya banyak kasus yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Misalnya, kebebasan berpendapat dan berekspresi yang justru itu dikriminalkan; viktimisasi korban, ketika dia menyampaikan pendapatnya justru dipersalahkan, kemudian soal terkait hak atas informasi. Komnas HAM dalam hal ini perannya melakukan kajian dan pemantauan kasus-kasus yang ada, melakukan mediasi bagi beberapa kelompok kepentingan seperti

46 EROTICS Indonesia www.eroticsindonesia.net

46 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam proses tata kelola internet. Terkait dengan pemblokiran situs LGBT, pada pertemuan Asia Europe Meeting (ASEM) di Korea pada tahun 2012, dihimbau bahwa proses pemblokiran itu harusnya diumumkan kepada publik oleh pemerintah ketika ia ingin melakukan pemblokiran. (Siti Noor Laila, Ketua Komnas HAM periode 2013-2014)

Adapun tantangan dalam perjalanan queering tata kelola internet di Indonesia adalah masih banyak individu atau aktivis LGBTIQ yang melihat isu pemblokiran situs LGBTIQ sebagai masalah teknis TIK semata. Sehingga beberapa saran atau komentar yang disampaikan para aktivis LGBTIQ sekedar mengganti ISP atau domain dan hosting, agar bisa mengakses situs web yang terblokir. Dan belum banyak yang melihat wacana ini sebagai hak internet sebagai bagian dari hak asasi manusia. Keterbatasan kepemimpinan dan sumber daya LGBTIQ untuk melawan budaya patriarki dan seksisme dalam dunia tata kelola Internet menjadi kendala berikutnya.

“Di satu sisi para pegiat internet belum mudeng, belum melek, tentang sexual rights. Di sisi lain yang bergerak di isu seksualitas itu juga nggak paham juga soal tata kelola internet. Jadi, dua-duanya. Harus ada organisasi atau minimal ada aktivis yang dari sexual rights masuk ke wilayah kebebasan informasi ini. Karena kalau nggak, wacana tersebut, ya gak bakalan naik. Orang-orang punya konsen pada hak berinternet ini, tata kelola internet, tapi isu-isu seksualitas dan sebagainya masih tidak diangkat. Mereka lebih mengangkat yang sifatnya general yang kira-kira bisa berimplikasi pada semua orang. (Syaldi Sahude, pegiat TIK dan hak internet, Aliansi laki-laki baru)

47

Bagian V

Analisa Kesimpulan dan

Rekomendasi

KESIMPULANBerdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan sebagai

berikut:1. Internet sebagai media strategis bagi promosi dan penegakan HAM

LGBTIQ perlu dikelola negara berdasarkan pada prinsip-prinsip HAM termasuk penghormatan identitas gender dan orientasi seksual. Internet memberikan peluang bagi kelompok LGBTIQ untuk saling mencari dan berkenalan satu sama lain di ruang daring“tanpa merasa ketakutan terhadap stigma atau kekerasan” seperti yang mereka hadapi di ruang publik. Mereka dapat membebaskan diri dari pembatasan di lingkup sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi. Namun, Friedman juga menyebutkan bagaimanapun membangun komunitas daring tidak dapat “menyelesaikan konflik jangka panjang terkait akuntabilitas dan representasi” tapi sangat memungkinkan untuk sebuah struktur pendukung yang kemungkinan tidak perlu berwujud secara luring (Friedman, 2007).

Pengalaman IPP dan Suara Kita, ruang aman internet ditransformasi menjadi ruang untuk mengorganisir diri, membangun kesadaran dan pendidikan. Juga ruang advokasi di tingkat nasional dan internasional. Antara lain pendidikan komik digital Yogyakarta Principles terbitan IPP yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan mendapat

48 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

ruang presentasi pada pertemuan PBB, Commission on the Status of Women (CSW) ke-55 di New York, Amerika Serikat, Februari 2011. Portal yang dibangun Suara Kita juga berhasil mempertemukan isu HAM LGBTIQ dengan persoalan HAM yang lebih luas dan mendapatkan dukungan tidak hanya dari warganegara LGBTIQ juga warganegara heteroseksual.

2. Memperhatikan peran strategis internet terhadap pemajuan HAM LGBTIQ, juga kerentanan warganegara LGBTIQ untuk menghadapi diskriminasi dan kekerasan berbasis identitas gender dan orientasi seksual di internet, upaya perlindungan HAM internet perlu diintegrasikan dengan perlindungan HAM LGBTIQ. Upaya-upaya perlindungan HAM terkait internet telah diserukan oleh Dewan HAM PBB melalui resolusi kunci tentang Promosi, Perlindungan dan Penggunaan HAM di Internet. Resolusi ini mengafirmasi pengoperasiannya pada paragraf 1 yaitu “hak asasi manusia yang dimiliki individu di dunia luring harus juga dilindungi di ruang daring”. Resolusi ini mendapatkan dukungan penuh dari lebih 70 negara anggota dan bukan anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB antara lain China, Brazil, Nigeria, Ukrainan, Tunisia, Amerika Serikat, Inggris termasuk Indonesia.

Pemerintah harus memajukan dan melindungi hak-hak identitas gender dan orientasi seksual di tataran luring sekaligus daring merujuk pada Resolusi Dewan Ham PBB, Resolusi: HAM, Orientasi Seksual dan Identitas Gender, A/HRC/RES/17/19 yang diadopsi pada 17 Juni 2011 yang menyatakan keprihatinan tentang tindak kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan terhadap individu karena orientasi seksual dan jenis kelamin identitas mereka. Resolusi ini menegaskan kembali Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Resolusi ini meminta Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk mempersiapkan studi mendokumentasikan hukum dan praktek diskriminatif dan tindakan kekerasan terhadap orang berdasarkan orientasi seksual dan jenis kelamin identitas mereka. Studi ini dipublikasikan pada Desember

49

2011 dan diajukan kepada Dewan Hak Asasi Manusia pada bulan Maret 2012 dan berisi daftar rekomendasi yang kuat untuk negara-negara anggota. Laporan ini menegaskan bahwa Negara memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk melindungi hak asasi manusia semua orang, termasuk mereka yang lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks.

Yang di tingkat nasional terkait dengan konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28C ayat 1 bahwa, ‘Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Perlu dilakukan upaya-upaya reinterpretasi terhadap perundang-undangan yang sudah ada sehingga mempercepat perlindungan hak-hak LBT. Antara lain, reinterpretasi perempuan sebagai subjek hukum pada UU No.7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination Discrimination Against Women/CEDAW). Perempuan yang dimaksud tidak terbatas pada warga Indonesia perempuan heteroseksual, tetapi diperluas menjadi perempuan Lesbian, Biseksual dan Transgender. Sejalan dengan transformasi pemaknaan perempuan menurut Komnas Perempuan yang tidak hanya ditujukan perempuan secara biologis tetapi secara sosial. Dengan demikian, UU No.7 tahun 1984 juga dapat digunakan untuk melindungi warganegara LBT dalam konteks diskriminasi di internet.

Termasuk perlindungan terhadap kebebasan berekspresi perspektif LGBTIQ dari penapisan tanpa proses peradilan. Karena berdasarkan sistem hukum di Indonesia Kemenkominfo atau siapapun yang melakukan penapisan harus berdasar pada Undang-Undang dan mekanisme peradilan yang diatur oleh Undang-Undang tersebut. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 19 ayat 3 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan juga Pasal 28 J UUD 1945, penempatan pembatasan haruslah dibuat dan diatur dengan Undang Undang. Masalah utama regulasi pembatasan konten ini adalah ketiadaan

50 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

pengaturan lebih lanjut di dalam UU. Begitu luasnya pembatasan yang ada di dalam draft ini berpotensi akan melanggar berbagai hak hak yang masuk dalam kategori kebebasan atas akses informasi. Penempatan pembatasan terhadap konten dalam Rancangan Permen tersebut sudah tidak sesuai dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Pada dasarnya, pengaturan sensor internet dalam Permen tidak akan cukup mampu menampung artikulasi mengenai pengaturan mengenai sensor internet. Permen memiliki batasan-batasan pengaturan, berdasarkan UU terkait, dimana materi muatan seharusnya hanya berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan yang diatur tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.

Karena kebijakan sensor merupakan sebuah tindakan yang melanggar hak untuk mengakses dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Dikarenakan sensor internet merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi seseorang, maka pengaturannya harus dilakukan dengan undang-undang. Pengaturan dengan menggunakan undang-undang akan memastikan adanya pengawasan dan legalitas dari kebijakan sensor itu sendiri. 47

3. Diskriminasi berdasar orientasi seksual dan identitas gender pada tata kelola internet perlu penanganan cepat dari negara dan dukungan masyarakat untuk menghentikannya. Undang-undang dan Perda yang mengkriminalkan homoseksual berdampak buruk pada kebebasan warga negara LGBTIQ untuk mengekpresikan identitas orientasi seksual dan identitas gender di internet. Undang-

47 Position Paper 1/2014 tentang Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat 2013-2014 , Indonesian Media Defense Litigation Network (IMDLN) dan Institute for Criminal Jus-tice Reform (ICJR), oleh Supriyadi Widodo Eddyono & Anggara, http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/06/Position-Paper-Hukum-Internet-1-bloking-dan-Filtering-in-ternet_Final.pdf

51

Undang tentang Pornografi pasal 4 ayat 1 butir a, homoseksual didefinisikan sebagai persenggamaan menyimpang. Akibatnya, segala bentuk media dan publikasi terkait isu LGBTIQ dikriminalkan karena dianggap termasuk kategori konten pornografi. Kriminalisasi itu terwujud dalam pemblokiran situs web yang memuat konten HAM LGBTIQ. Antara lain pemblokiran International LGBTIQ Association (ILGA) , www.ilga.org, International LGBTIQ Human Rights Commission (IGLHRC), www.iglhrc.org, dan portal Suara Kita www.ourvoice.or.id. Tidak ada pemberitahuan sebelum dan sesudah pemblokiran dari pihak ISP yang memblokir dan logo Depkominfo (saat ini Kemenkominfo) digunakan salah satu ISP menjadi penanda pemblokiran. Menurut Anupama Roy dalam Indian Journal of Gender Studies: Towards a Practics of Democratic Citizenship “Struktur yang dibangun secara hirarkis dalam konteks seksualitas dilegitimasi oleh institusi sosial seperti pernikahan dan keluarga. Ketika berbicara kewarganegaraan LGBTIQ, mereka menjadi tidak nampak karena tidak ada institusi yang melegitimasi identitas mereka, dan mereka seringkali menjadi nampak sebagai subjek-subjek dari hukum kriminalisasi” (Roy, 2007).

4. Pembentukan jaringan organisasi masyarakat sipil, akademisi dan sektor industri internet oleh Kemenkominfo digunakan untuk meluncurkan Program Internet Sehat dan Aman (INSAN) akan berpotensi menghilangkan konten terkait LGBTIQ di internet. Menanggapi situasi itu, pada pertemuan konsultasi persiapan jaringan masyarakat sipil Indonesia menuju IGF 2013 di bulan Juli 2013, disampaikan oleh seorang perwakilan ICT Watch bahwa program INSAN tidak memiliki dasar hukum untuk mengatur konten internet. Saat itu kebijakan tersebut sedang dalam proses untuk menjadi Rencana Peraturan Menteri (RPM) Komunikasi dan Informatika Tentang Pengendalian Situs Internet Muatan Negatif. Dalam prosesnya, pengaturan konten negatif ini mengacu pada Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, yang akan melegitimasi kriminalisasi LGBTIQ di internet.

52 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Jadi, kalau kita lihat situs ILGA, terus beberapa situs teman dari Suara Kita ini kan begini, tata kelola internet kita ini kan kacau balau. Jadi, pada saat Pak Menteri atau Kemenkominfo ngomong, “Ayo... pokoknya ini jelang puasa, situs-situs yang negatif diblokir. Kalau gak diblokir, berarti kamu gak ngikutin omongannya pemerintah. Kalau kamu gak ngikutin omongannya pemerintah, nanti kamu bisa kena sanksi ini, sanksi itu, sampai ujungnya pencabutan ijin.” Siapa yang gak takut, coba?!

Mereka (Kemenkominfo) ingin melakukan tata kelola konten sebenarnya. Dalam artian mereka ingin membuat bahwa program internet sehat dan aman ini bisa mendorong konten positif sebanyak-banyaknya. Jadi, yang saya dapat esensinya adalah mereka itu pengen dapat payung hukum supaya program internet sehat dan aman ini menjadi program yang resmi, dalam artian punya landasan hukumnya, untuk mendorong pertumbuhan konten positif, untuk menekan konten negatif. Dan tentu ini tetap sejalan tentunya kan, kan bukan bicara soal pemblokiran tapi bicara tentang penumbuhan konten positifnya. ICT Watch dukung kalau yang untuk itu. (Donny BU, ICT Watch)

Peran negara dalam hal ini Kemenkominfo RI bertentangan dengan penegakan Hak Asasi Manusia di sektor bisnis yang tercantum dalam dokumen Prinsip-Prinsip Panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Guiding Principles on Business and Human Rights) yang telah disahkan Dewan HAM PBB pada 16 Juni 2011. Dokumen ini adalah standar global untuk mencegah dan mengatasi resiko akan dampak buruk terhadap hak asasi manusia terkait dengan kegiatan bisnis. Pada Bab Peran Negara Dalam Perlindungan HAM tentang Prinsip-prinsip Dasar disebutkan “Negara harus memberikan perlindungan terhadap pelanggaran hak asasi manusiadi dalam wilayahdan/atau yurisdiksioleh pihak ketiga, termasukusahabisnis. Hal ini memerlukan mengambil langkah yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memperbaiki penyalahgunaan tersebut melalui kebijakan, undang-

53

undang, peraturan dan ajudikasi yang efektif.”Dengan memperhatikan dokumen yang sama, ISP dan

Penyelenggara Layanan Pemblokiran sebagai sektor bisnis dalam Bab Tanggung Jawab Perusahaan Dalam Penghormatan HAM disebutkan “Perusahaan Bisnis harus menghormati hak asasi manusia. Ini berarti bahwa mereka harus menghindari melanggar hak asasi orang lain dan harus menangani dampak hak asasi manusia yang merugikan dimana mereka terlibat.”

Pelaksanaan undang-undang yang diskriminatif bersamaan dengan perilaku cyber-homophobia/transphobia yang terus bertam-bah dan memburuk di ruang daring. Bahkan secara sistemis terus dilakukan oleh kelompok masyarakat dan tokoh politisi. Perundungan homofobik tidak hanya menyerang warga LGBTIQ dari individu pengguna internet, lebih buruk lagi perundungan diorganisir melalui group Facebook, antara lain Komunitas Anti Homoseksual, pemberian nama (naming) yang merendahkan homoseksualitas di Kaskus serta pernyataan seorang politisi yang merendahkan LGBTIQ di media sosial. Belum ada kepekaan dan tindakan dari negara dan masyarakat untuk memberikan perlindungan dan pemulihan kepada warga LGBTIQ atas keamanan, kemerdekaan dan kenyamanannya yang terganggu oleh tindakan cyber-homophobia/transphobia.

Kasus-kasus cyber-homophobia/transphobia, mesti diperlakukan sama dengan kasus-kasus yang terjadi di dunia luring. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dijadikan landasan hukum bagi warga LGBTIQ untuk menindak pelaku cyber-homophobia secara pidana. KUHP pasal 335 tentang Pemerasan dan Pengancaman:“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun”

Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

54 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Transaksi Elektronik48 atau UU ITE pada Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang pasal 27 ayat 3 dan 4 menyebutkan:

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Landasan hukum ini bagi kelompok LGBTIQ untuk melawan cyber-homophobia/transphobia dan memproses secara hukum pidana sesuai dengan UU ITE Bab XI Ketentuan Pidana Pasal 45 ayat 1:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Oleh karena itu, perlindungan hukum dan HAM LBGTIQ di internet harus ditegakkan dalam kebijakan-kebijakan di Indonesia dengan berlandaskan regulasi serta dokumen-dokumen HAM di tingkat nasional dan internasional.

5. Upaya-upaya advokasi untuk mengintegrasikan HAM LGBTIQ pada Tata Kelola Internet belum mendapatkan dukungan yang memadai dari masyarakat dan negara. Walapun sebagian organisai LGBTIQ mulai terlibat pada forum advokasi tata kelola internet, gagasan-gagasan pengintegrasian HAM LGBTIQ pada tata kelola internet masih dianggap baru oleh jaringan kerja hak internet atau TIK. Sebaliknya jaringan LGBTIQ juga belum literasi tata kelola internet. Selain itu, diantara para pendukung hak internet, wacana hak orientasi seksual dan identitas gender, tidak sepenuhnya dipahami, atau mampu ditafsirkan ke dalam konteks lokal. Karena itu, salah

48 Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik http://www.kemenkumham.go.id/attachments/article/113/uu11_2008.pdf

55

satu strategi queering tata kelola Internet adalah membangun jaringan pengorganisasian untuk mendukung sinergitas antara hak- hak orientasi seksual dan identitas gender serta hak- hak internet sebagai bagian dari hak asasi manusia. Termasuk mengakhiri cyber-homophobia yang dialami aktivis LGBTIQ berhubungan dengan aktivisme dalam gerakan HAM LGBTIQ di Indonesia.

Gerakan LGBTIQ dan hak internet sebagai bagian dari hak asasi manusia perlu lebih saling membuka diri dan bekerja sama untuk saling menumbuhkan pemahaman dalam mewujudkan tata kelola internet yang menghormati hak asasi manusia termasuk HAM LGBTIQ.

6. Terkait lahirnya resolusi LGBT, Internet & HAM, Bisnis & HAM. dan menimbang pentingnya integrasi ketiga resolusi tersebut dalam perwujudan queering tata kelola internet, maka dibutuhkan advokasi oleh multi kepentingan dalam tata kelola internet untuk percepatan proses lahirnya Konvensi HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender, Internet, serta Bisnis & HAM sebagai HAM generasi ke-4.

REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dirumuskan

maka ada beberapa rekomendasi yang dibuat sebagai percepatan pemenuhan HAM LGBTIQ pada tata kelola internet, sebagai berikut:

Kepada Kemenkominfo RI:• Dalam proses perumusan seluruh kebijakan tata kelola internet

termasuk RPM tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, menggunakan dan mengintegrasikan dokumen-dokumen Hukum dan HAM nasional dan internasional sebagai berikut:1) Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar

1945 (UUD 1945), menyebutkan dalam Pasal 28C ayat 1 bahwa, ‘Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,

56 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’

2) Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

3) Undang-Undang No.12 tahun 2005 tentang ratifikasi Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik

4) Artikel 19 pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas.

5) Resolusi Dewan HAM PBB No.A/HRC/RES/17/19 tahun 2011 tentang Hak Asasi Manusia, Orientasi Seksual dan Identitas Gender

6) Resolusi Dewan HAM PBB No. A/HRC/20/L.13 tahun 2012 tentang Promosi, Perlindungan dan Penikmatan hak asasi manusia di Internet

7) Resolusi Dewan HAM PBB Nomor A/HRC/RES/17/4 tentang Hak Asasi Manusia dan korporasi transnasional dan badan-badan bisnis lainnya yang disahkan pada tanggal 6 Juli 2011

• Melibatkan lebih banyak elemen sipil, individu dan organisasi pegiat HAM LGBTIQ dalam proses perumusan seluruh kebijakan tata kelola internet termasuk Rencana Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Pengendalian Situs Internet Muatan Negatif.

• Menjalankan transparansi dan akuntablilitasi dalam mengeluarkan kebijakan dan melaksanakan pemblokiran.

Kepada Legislatif:• Melakukan judicial review atas :

1) Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

57

2) Undang – Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi • Menyusun peraturan khusus yang memasukkan cyber-homophobia/

tramsphobia sebagai bagian dari cyber crime berlandaskan KUHP pasal 335 tentang Pemerasan dan Pengancaman atau UU ITE pada Bab Perbuatan Yang Dilarang pasal 27 ayat 3 & 4 tentang penghinaan dan ancaman di media elektronik.

Kepada Kepolisian Republik Indonesia• Memberikan pelayanan hukum secara non diskriminatif kepada

warga LGBTIQ dalam merespon laporan-laporan korban cyber-homophobia/transphobia sebagai bagian dari cyber crime berlandaskan KUHP pasal 335 tentang Pemerasan dan Pengancaman atau UU ITE pada Bab Perbuatan yang Dilarang pasal 27 ayat 3 & 4 tentang penghinaan dan ancaman di media elektronik.

Kepada Komnas HAM:• Melanjutkan dukungannya pada upaya pengintegrasian HAM

LGBTIQ pada tata kelola internet.• Memantau dan menginvestigasi kasus-kasus pemblokiran situs

HAM LGBTIQ.• Melaksanakan perannya sebagai mediator antara warga negara

LGBTIQ, sektor swasta, organisasi HAM dan pemerintah untuk percepatan pengintegrasian HAM LGBTIQ pada tata kelola internet.

• Melaksanakan peranannya untuk memantau seluruh kebijakan negara terkait HAM LGBTIQ, tata kelola internet dan perundang-undangan seperti: UU tentang Pornografi, UU ITE dan Perda diskriminatif berbasis orientasi seksual dan identitas gender yaitu Perda Kota Palembang No. 2 tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran berdasarkan:1) Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar

1945 (UUD 1945), menyebutkan dalam Pasal 28C ayat 1 bahwa, ‘Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan

58 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’

2) Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

3) Undang-Undang No.12 tahun 2005 tentang ratifikasi Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

4) Artikel 19 pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas.

5) Resolusi Dewan HAM PBB No.A/HRC/RES/17/19 tahun 2011 tentang Hak Asasi Manusia, Orientasi Seksual dan Identitas Gender .

6) Resolusi Dewan HAM PBB No. A/HRC/Res/20/8 tahun 2012 tentang Promosi, Perlindungan dan Penikmatan Hak Asasi Manusia di Internet.

7) Resolusi Dewan HAM PBB Nomor A/HRC/RES/17/4 tentang Hak Asasi Manusia dan korporasi transnasional dan badan-badan bisnis lainnya yang disahkan pada tanggal 16 Juni 2011.

Kepada ISP, APJII dan Penyelenggara Layanan Pemblokiran :• Menjalankan bisnis berbasis Hak Asasi Manusia sesuai dengan

Resolusi Dewan HAM PBB Nomor A/HRC/RES/17/4 tentang Hak Asasi Manusia dan korporasi transnasional dan badan-badan bisnis lainnya yang disahkan pada tanggal 6 Juli 2011.

Kepada Para Peneliti: • Mengembangkan penelitian lebih lanjut terkait pengabaian HAM

LGBTIQ pada Tata Kelola Internet.

59

Kepada Individu LGBTIQ:• Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keamanan diri dan

komunitas dalam penggunaan internet dan kegiatan di ruang luring.

Kepada Aktivis HAM LGBTIQ:• Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keamanan diri dan

komunitas dalam penggunaan internet dan kegiatan di ruang luring.

• Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terkait advokasi tata kelola internet.

• Membuka diri dan bekerja sama dengan gerakan hak internet dan TIK guna percepatan pengintegrasian HAM LGBTIQ pada tata kelola internet.

Kepada aktivis dan jaringan pegiat TIK dan hak internet: • Meningkatkan pengetahuan HAM LGBTIQ • Membantu gerakan HAM LGBTIQ untuk lebih literasi TIK• Meningkatkan kerjasama dengan gerakan HAM LGBTIQ guna

percepatan pengintegrasian HAM LGBTIQ pada tata kelola internet• Mengintegrasikan HAM LGBTIQ pada setiap advokasi penegakan

hak-hak internet atau tata kelola internet

60 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Referensi

APA Revises Manual: Being Transgender is No Longer Mental Disorder http://thinkprogress.org/lgbt/2012/12/03/1271431/apa-revises-manual-being-transgender-is-no-longer-a-mental-disorder/

Arquilla, J. and Ronfeldt, D. (2001) ‘The advent of netwar (revisited)’. in J. Arquilla and D. Ronfeldt (eds) Networks and netwars: the future of terror, crime, and militancy, Santa Monica: Rand, pp. 1-25. On-line. Available HTTP: http://www.rand.org/publications/MR/MR1382/

Association for Progressive Communication. https://www.apc.org/en/about

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia http://www.apjii.or.id/

Artikel 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). http://www.un.org/en/documents/udhr/

Bissu https://id.wikipedia.org/wiki/Bissu

Blumer, Herbert. 1939. “Collective Behavior”. in Robert E. Park, ed. An Outline of the Principles of Sociology. New York: Barnes and Noble.

Bonchek, M.S. 1997 From broadcast to netcast: the Internet and the flow of political information, Ph.D. dissertation, Department of Political Science, Harvard University.

Business and Human Rights http://www.ohchr.org/EN/ISSUES/BUSINESS/Pages/BusinessIndex.aspx

Butler, Judith. 2004. Undoing Gender. New York and London: Routledge

61

Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), United Nations, 1979. www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/econvention.htm

Declaration on the Elimination of Violence Against Women. http://www.un.org/documents/ga/res/48/a48r104.htm

Deklarasi Tata Kelola Internet Indonesia. http://id-igf.or.id/?p=127

Delapan (8) Perempuan Ini Paling Inspiratif, Lucu dan Informatif di Twitter! http://www.fimela.com/read/2013/01/25/8-perempuan-ini-paling-inspiratif-lucu-informatif-di-twitter?p=1

Ericson, Nelson. June 2001. “Addressing the Problem of Juvenile Bullying”. OJJDP Fact Sheet #FS-200127 (U.S. Department of Justice: Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention) 27. Retrieved 2013-10-28.

EROTICS: Sex, rights and the internet (APC, 2001) http://www.genderit.org/resources/erotics-sex-rights-and-internet-research-study

EROTICS Indonesia www.eroticsindonesia.net

Exploratory, Descriptive and Causal Research Design. http://www.monroecollege.edu/AcademicResources/ebooks/9781111532406_lores_p01_ch03.pdf

Fahira Fahmi Idris Islam Mengajarkan Damai http://www.suarapembaruan.com/home/fahira-fahmi-idris-islam-mengajarkan-damai/74

Friedman, E. 2007. “Lesbians in (cyber)space: the politics of the Internet in Latin American on- and off-line communities”. In Media Culture Society.

Kamus Besar Bahasa Kaskus http://support.kaskus.co.id/kamus-kaskus/kamus_kaskus.html

Homophobic Bullying. http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/health-education/homophobic-bullying/

62 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Homoseksual Bukan Penyimpangan Seksual. http://nasional.kompas.com/read/2008/11/11/13081144/Homoseksual.Bukan.Penyimpangan.Seksual.

Hukum Online tentang Perda Kota Palembang No. 2 tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran. http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5117268acbc06/node/lt4a0a533e31979/sodomi,-tindak-pidana-atau-bukan?-

Human Rights Watch - World Report 2011 untuk Indonesia http://www.hrw.org/world-report-2011/indonesia-0

ICT Watch. http://ictwatch.com/id/

Internet Sehat dan Aman (INSAN). http://www.insan.or.id/

Institut Pelangi Perempuan (IPP). www.pelangiperempuan.or.id

International Day Against Homophobia, Biphobia dan Transphobia (IDAHOBIT) https://en.wikipedia.org/wiki/International_Day_Against_Homophobia,_Biphobia_and_Transphobia

Kaskus http://www.kaskus.co.id/

Kendali Internet di Republik Hari Ini. http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=3438

Komik Yogyakarta Principles http://www.pelangiperempuan.or.id/buku/komik-yogyakarta-principles/

Komunitas Anti Homoseksual https://www.facebook.com/pages/Komunitas-Anti-Homoseksual/149990501703182

Konstitusi Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Pasal 28C ayat 1. http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45

Kipling D. Williams; Joseph P. Forgas; William Von Hippel. 2013. The Social Outcast: Ostracism, Social Exclusion, Rejection and Bullying. Psychology Press.

Kurbalija, Jovan. 2012. The introduction to Internet Governance. DiploFoundation: Paperback

63

Laporan Situasi HAM LGBTI di Indonesia Tahun 2012, Pengabaian Hak Asasi Berbasis Orientasi Seksual dan Identitas Gender, Kami Tidak Diam. Forum LGBTIQ Indonesia.

http://gaya-nusantara.blogspot.com/2013/05/laporan-situasi-ham-lgbti-di-indonesia.html

Leizerov, S. 2000. “Privacy advocacy groups versus Intel: a case study of how social movement are tactically using the Internet to fight corporations”. In Social Science Computer Review - Special issue on survey and statistical computing in the new millennium. Volume 18 Issue 4. California , US: Sage Publications, Inc. Thousand Oaks.

Manaf, Kamilia. 2011. Kami Tidak Bisu. Jakarta: Institute Pelangi Perempuan.

Position Paper Reformasi KUHP No. #2/2007 Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi dalam RUU KUHP. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) oleh Syahrial Wiryawan Martanto & Wahyu Wagiman http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/13.pdf

Position Paper 1/2014 tentang Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat 2013-2014 , Indonesian Media Defense Litigation Network (IMDLN) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), oleh Supriyadi Widodo Eddyono & Anggara, http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/06/Position-Paper-Hukum-Internet-1-bloking-dan-Filtering-internet_Final.pdf

Payne, Robert and Crystin Davies. 2012. “Introduction to the special section: Citizenship and Queer Critique.” Sexualities: studies in culture and society

Queer Theory. https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Queer_theory.html

Roy, Anupama. 2007. “Towards a practice of democratic citizenship”. In Indian Journal of Gender Studies.

Sexual and Reproductive Health. http://www.who.int/reproductivehealth/topics/sexual_health/sh_definitions/en/

64 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Secretary-General, in Message to Event on Ending Sexuality-based Violence, Bias, Calls Homophobic Bullying ‘a Moral Outrage, a Grave Violation of Human Rights’ http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sgsm14008.doc.htm

Shields, Patricia and Rangarjan, Nandhini. 2013. A Playbook for Research Methods: Integrating Conceptual Frameworks and Project Management. Stillwater, OK: New Forums Press.

Suara Kita. www.suarakita.org

Tentang Kaskus https://id.wikipedia.org/wiki/Kaskus

The Yogyakarta Principles www.yogyakartaprinciples.org

Trust Positif http://trustpositif.kominfo.go.id/

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 28C ayat 1. https://www.mpr.go.id/pages/produk-mpr/uud-nri-tahun-1945/uud-nri-tahun-1945-dalam-satu-naskah

Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. http://www.kemenpppa.go.id/jdih/peraturan/UU_1984_7.pdf

Undang-Undang Republik Indonesia No.39 tahun 1999 tentang Ratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) http://www.komnasham.go.id/informasi/images-portfolio-6/2013-03-18-05-44-20/nasional/254-uu-no-39-tahun-1999-tentang-hak-asasi-manusia

Undang-Undang Republik Indonesia No.12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik. http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/2005/10/28/undang-undang-no-12-tahun-2005

Undang-Undang Republik Indonesia No.44 tahun 2008 tentang Pornografi http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/442008.pdf

Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik http://www.kemenkumham.go.id/attachments/article/113/uu11_2008.pdf

65

UN Human Rights Council, Resolution: Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises, A/HRC/RES/17/4 adopted on 6 July 2011. http://business-humanrights.org/sites/default/files/media/documents/un-human-rights-council-resolution-re-human-rights-transnational-corps-eng-6-jul-2011.pdf

UN Human Rights Council, Resolution: Human Rights, Sexual Orientation and Gender Identity, A/HRC/RES/17/19, adopted 14 July 2011. http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G11/148/76/PDF/G1114876.pdf?OpenElement

UN Human Rights Council, Resolution: The promotion, protection and enjoyment of human rights on the Internet, A/HRC/20/L.13, adopted on 5 July 2012. http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/LTD/G12/147/10/PDF/G1214710.pdf?OpenElement

66 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

Biodata Penulis

KAMILIA MANAF Kamilia Manaf sejak usia 23 tahun aktif di

gerakan feminis dan lesbian muda Indonesia. Saat ini menyelesaikan studi Ilmu Komunikasi. Salah satu pendiri Institut Pelangi Perempuan (IPP), organisasi perempuan lesbian, biseksual dan transgender muda Indonesia. Pernah bekerja sebagai jurnalis radio di Yayasan Jurnal Perempuan. Pada tahun 2008 terpilih sebagai anggota pengurus International LGBTI Association (ILGA) Asia untuk representasi anak muda LGBT di Asia. Komunitas website LGBT

terbesar di Asia, Fridae, memilih Kamilia sebagai salah satu “LGBT People to Watch 2010”. Saat ini aktif sebagai Koordinator EROTICS Indonesia (jaringan advokasi dan penelitian seksualitas dan internet di Indonesia). Sesekali memberikan pelatihan keamanan digital (digital security) dan pertahanan diri (self defense) tinju bagi perempuan pembela HAM, LGBT serta kelompok marjinal lainnya di Indonesia.

Puisi-puisi dan cerpennya dipublikasikan Jurnal Perempuan dan Pelangi Perempuan, kumpulan puisi dan cerpen lesbian muda Indonesia. Salah seorang konseptor Komik Yogyakarta Principles (media edukasi HAM LGBT untuk anak muda) yang diterbitkan IPP dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda dan Prancis oleh jaringan internasional LGBT. Bukunya berjudul “Kami Tidak Bisu” tentang perjalanan komunitas lesbian muda Indonesia diterbitkan pada tahun 2011.

67

DEWI NOvA WAHyUNISejak 15 tahun lalu, Dewi Nova bekerja dengan

organisasi perempuan di Indonesia, Thailand dan Filipina. Kerja kemanusiaannya berawal sebagai konselor perempuan korban kekerasan dan di beberapa wilayah konflik seperti Poso, Aceh dan Timor Leste bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Aktif dalam gerakan anti human trafficking bersama organisasi internasional Global Alliance Against Trafficking in Women (GAATW) di Bangkok. Tahun 2013 bekerja dengan Asian

Women in Co-operative Development Forum (AWCF) di Filipina dan saat ini di Forum Gerakan Pengembangan Koperasi Indonesia (FORMASI). Salah satu pendiri Perempuan Berbagi perkumpulan relawan pendampingan korban kekerasan di Kota Tangsel, Banten, Badan Pengurus Institut Pelangi Perempuan (IPP), organisasi lesbian biseks dan transgender (LBT) serta di Setara Institute yang bekerja untuk kebebasan beragama/berkeyakinan.

Dewi menulis 2 buku dokumentasi “Di Atas Kaki Sendiri” perjuangan sintas jamaah Ahmadiyah (Pustaka Setara, 2012), dan “Akses Perempuan pada Keadilan” pengalaman perempuan di Sumatra dan Jawa meraih keadilan (Hivos & Uni Eropa 2011). Buku puisi “Burung Burung Bersayap Air” (Jaringan Kebudayaan Rakyat, 2010) dan cerita “Perempuan Kopi” (Air Publisher, 2012). Tulisan “Reruntuhan Balu Arti” dalam Kumpulan Puisi Penyair Banten (Gong Publishing 2013) dan “Menulis Tubuh” Kumpulan Cerpen Jurnal Perempuan (Jurnal Perempuan 2013). Esai-esai sosialnya terbit di koran, jurnal dan media on line.

68 Queering Tata Kelola Internet di Indonesia

IKRAM BAADILA Ikram. Lahir di Ambon pada 2 Juni 1961.

Menyelesaikan S1 pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan memperoleh gelar Magister Sains pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1989 hingga

kini sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, Bandar Lampung. Aktif sebagai penggiat sosial di Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak Bandar Lampung (1998-2000), Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR Bandar Lampung (2000-2004l), Institut Pengembangan Organisasi dan Riset (2004-sekarang).

Salah satu pendiri Perkumpulan DAMAR Bandar Lampung dan Badan Pengurus Institut Pelangi Perempuan (IPP) Jakarta. Karya tulis yang dihasilkan di antaranya Perkosaan (suatu kajian teoritik dan empirik) diterbitkan oleh Elsapa 1998, Bahaya Korupsi bagi Masyarakat diterbitkan oleh Komite Anti Korupsi (KoAK) 2002, Ruang Gelap APBD Kita diterbitkan oleh KoAK tahun 2004. Aktif sebagai fasilitator pemajuan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan (2003-sekarang), sebagai narasumber, fasilitator pemajuan Hak Asasi Manusi, termasuk Hak LGBTIQ, dan juga sebagai peneliti masalah konflik sosial maupun mediator penyelesaian konflik sosial. Aktif dalam pertemuan regional, nasional, dan berbagai jaringan penguatan masyarakat sipil.

69

INSTITUT PELANGI PEREMPUAN (IPP) adalah sebuah organisasi non-pemerintahan sebagai pusat kegiatan dan informasi bagi kelompok

perempuan Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT) muda di Indonesia. Didirikan pada tahun 2006 oleh beberapa aktifis HAM,

Feminis, Seniman dan lesbian muda di Indonesia. Dengan menggunakan strategi “Edufuntainment” (Education, Fun dan Entertainment),

IPP kemudian mendirikan Anak Pelangi Club (Klub Seni dan Budaya LGBT muda dan remaja), Klub Badminton dan Kartini Sejati (Klub

Tinju Perempuan dan Transgender Indonesia) sebagai metode pengorganisasian LGBT muda melalui ruang seni, budaya serta olahraga.

E-mail : [email protected] : www.pelangiperempuan.or.id

Queering Tata Kelola Internet di Indonesia