pustakabiolog.files.wordpress.com … · web viewsayangnya menger hanya memberi sedikit contoh...
TRANSCRIPT
Tugas : Sejarah Pemikiran Ekonomi
Dosen : Prof. Dr. H. Muhammad Yunus Zain, MA
MAZHAB AUSTRIA
“TEORI MARGINALITAS CARL MENGER”
OLEH:
SURYA ARIWIRAWAN
(A11110012)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
A. Mazhab AustriaAir dan udara memiliki nilai penukaran yang rendah, padahal air dan udara memiliki
nilai kegunaan yang tinggi. Sebuah lukisan, patung, dan anggur yang tidak memiliki kegunaan yang tinggi berharga sangat mahal. Seorang tokoh klasik, Richardo, sampai pada akhir hayatnya masih belum memahami kenapa anggur yang disimpan dalam gudang selama 3 atau 4 hari, atau mengapa pohon oak yang nilainya tak lebih dari 2 sen sebelum diolah, tetapi kemudian muncul menjadi senilai 100 pound. Sekitar tahun 1870 timbul hampir bersamaan di Austria, Perancis dan Inggris suatu ”ajaran nilai baru” yang dikemukakan oleh Karl Menger, Leon Walras dan W. Stenley Jevons. Teori baru ini menempatkan konsumen sebagai obyek penilai terakhir di pusat perhatian ekonomi. Nilai sesuatu barang harus dijelaskan bahwa sesuatu barang mempunyai kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan perkataan lain, suatu barang mempunyai nilai karena barang itu memberikan nilai guna bagi subyek penilai.
Nilai guna bagi seseorang dengan seorang yang lain dapat berbeda. Sesorang dapat saja mengatakan bahwa sebuah lukisan tidak berharga karena dia tidak menyukai seni, sebaliknya bagi seorang pecinta seni, lukisan Picasso sanggup dia bayar dengan harga mahal. Kegunaan barang juga dipengaruhi unsur subyektifitas. Penduduk Jakarta rela membayar air bersih lebih mahal daripada harga yang akan dibayar oleh penduduk di daerah Wonosobo.
Nilai penukar menurut mazhab Austria harus dituangkan dari nilai pemakaian yang subyektif, jadi dari arti barang itu untuk kesejahteraan subyek ekonomi. Selain dari pada nilai pemakaian subyektif dan obyektif ada lagi pengertian nilai penukar obyektif dan subyektif. Nilai penukar obyektif adalah sebagai pengertian untuk menyatakan harga dalam lalu lintas pertukaran, sedang nilai penukar subyektif menyatakan arti barang itu dalam pertukaran bagi kesejahteraan subyek. Jadi ajaran nilai subyektif menurut mazhab Austria adalah hubungan antara subyek ekonomi dan barang. Bagi seorang direktur sebuah perusahaan bonafide, pena montblanc yang berharga jutaan rela dibayatnya karena menurutnya berguna untuk menaikkan gengsinya, lain halnya bagi seorang mahasiswa arsitektur, pena rotring baginya lebih berguna dan rela dia bayar dengan harga yang pantas menurutnya.
Mazhab Austria telah memecahkan soal antinomi nilai, yaitu paradoks ekonomi yang tak terpecahkan oleh kaum klasik dan yang mengatakan bahwa barang yang mempunyai nilai pemakaian yang terbesar seperti air dan hawa justru mempunyai nilai penukaran yang paling sedikit. Dalam hubungan ini, menurut mazhab Austria, nilai sesuatu barang harus diterangkan bahwa sampai seberapa jauh barang yang bersangkutan mempunyai kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan.
Untuk memecahkan soal antinomi nilai ini, Menger mengemukakan pembedaan antara kegunaan jumlah seluruhnya suatu barang dan kegunaan satuan tertentu yang ditambahkan atau dikurangkan dari persediaan yang ada. Dalam menilai barang maka harus diperhatikan tidak hanya kegunaanya, tetapi juga harus dipertimbangkan tentang kelangkaanya (scarcity).
Gossen mengemukakan hukum kejenuhan (law of diminishing utility). Selanjutnya Menger berusaha menjawab soal bagaimana konsumen dalam harga tertentu daripada barang-barang akan membagi pendapatannya atas berbagai kategori kebutuhan. Contohnya, seorang konsumen dari penghasilannya akan mempergunakan empat satuan guna untuk kebutuhan makanannya, tiga satuan guna untuk perumahan, dua satuan guna untuk pakaian, dan satu satuan guna untuk sepatu.
Von Bohm Bawerk menunjukkan adanya persaingan pada kedua belah pihak antara penjual dan pembeli yang selanjutnya menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi tingginya harga:
1. Jumlah barang-barang yang dikehendaki2. Tinggi angka-angka taksiran di pihak para pembeli.3. Jumlah barang yang ditawarkan.4. Tinggi angka-angka taksiran di pihak para penjual
Mazhab Austria menganalisis tentang pembentukan harga diikuti oleh teori pembagian hasil masyarakat yang diketengahkan oleh Menger. Von Bohm Bawerk dan von Wieser yakin bagaimana membagi pendapatan masyarakat kepada faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi. Harga-harga faktor produksi merupakan nilai turunan daripada final product-nya.
Von Thunen menyelidiki tentang terjadinya hukum kelebihan hasil yang semakin berkurang. Menurut hukum ini penambahan salah satu faktor produksi dengan faktor produksi yang lain tetap, dalam satu proses produksi, mengakibatkan penambahan hasil produksi yang bilamana dilaksanakan terus menerus maka tambahan hasilnya semakin berkurang (law of diminishing return).
Teori bunga von Bohm Bawerk menyatakan bahwa bunga adalah agio tiap satuan waktu daripada nilai yang diberikan kepada pemakaian sekarang, atas pemakaian kelak sesuatu barang. Ada 3 alasan mengapa subyek ekonomi biasanya memberi nilai lebih tinggi kepada barang-barang sekarang daripada kepada barang-barang kelak yang sama macamnya:1. Perbedaan dalam perbandingan antara kebutuhan dan alat-alat pemuas kebutuhan dalam beberapa waktu, orang menghargai lebih tinggi yang sekarang daripada yang akan datang. Bunga adalah sebagian dari harga yang dibayar orang untuk barang-barang sekarang.2. Besarnya bunga merupakan titik keseimbangan di pasaran tempat penukaran barang sekarang dan kelak.3. Kedudukan bunga ditetapkan oleh keuntungan yang menjadi bagian pemodal dalam keadaan keseimbangan.
K. Wicksell menyatakan besarnya bunga yang biasa (natural rate of interest) adalah sama dengan bunga yang terjadi dalam suatu masyarakat tanpa uang pada titik keseimbangan permintaan akan barang-barang modal dan penawaran penghematan-penghematan, keduanya dihitung dalam barang-barang, sebagai penukaran barang-barang sekarang dengan barang-barang masa kelak. Richard menyatakan “the real rate of interest is not regulated by the rate at which the bank will lend, but by the rate of profits which can be made by the employment of capital.”
B. TEORI MARGINALITAS CARL MENGER
1. BIOGRAFINama : Carl MengerTempat tanggal lahir : Neu-Sandez, 1840-1921Asal Negara : AustriaMazhab : Austria.Riwayat keluarga : Menger adalah salah satu dari tiga bersaudara.Riwayat pendidikan :
1859-1860, mempelajari hukum dan ilmu politik di universitas Vienna. 1867, memperolrh gelar Doktor dari Universitas Krakow.
2. KARYA ILMIAH
Carl Menger dianggap sebagai bapak endiri mazhab ekonomi Austrian. Hal ini
disebabkan ia bertanggungjawab atas pengembangan dua pilar ekonomi Austrian. Pertama,
Menger membantu membentuk teori nilai subjektif. Kedua, ia berpendapat bahwa
pengetahuan ekonomi hanya dapat diperoleh dengan menarik kesimpulan dari asumsi-
asumsi yang sudah dianggap benar. Adapun karya Menger yaitu:
1. Principel if economics (Menger,1871).
Karya ini memuat beberapa hal, yaitu Menger membuat 2 sumbangan penting untuk
ilmu ekonomi, yang satu menyangkut teori nilai dan yang satunya lagi berhubungan
dengan metodologi ekonomi. Menger adalah salah seorang dari ahli ekonomi pertama
yang menemukan teori kepuasan marjinal dari nilai dan prinsip kepuasan marjinal yang
semakin berkurang, dan ia adalah salah seorang pendukung paling awal terhadap teori
nilai subjektif. Menger juga terlibat dalam perdebatan panas tentang sifat ilmu ekonomi
dan cara yang tepat untuk melakukan analisa ekonomi.
Pada akhir abadke-19 ekonomi klasik kurang dihargai di daratan Eropa. Yang secara
khusus mengecewakan adalah sifat ilmu ekonomi Inggris yang sangat sbstrak dan teoritis.
Menger berusah mengembalikan ilmu ekonomi ke dunia nyata. Titik tolak dalam ikhtiar
ini adlah pengakuan bahwa barang-barang mempunyai nilai karena barng-barng tersebut
memenuhi kebutuhan kita.
Bertentangan dengan ahli ekonomi klasik Inggris, Menger berpendapat bahw anilai
lebih ditentukan oleh faktor subyektif (kepuasan atau permintaan)ketimbang faktor
obyektif (diaya produksi atau persediaan). Nilai menurut Menger, nerasal dari kepuasan
kebutuhan manusia.Manusia perlu menciptakan permintaan akan barang-barang , mereka
menjadi kekuatan penggerak dari pertukaran ekonomi dan membantu menentukan harga.
Lebih jauh, Menger berpendapat , karena kebutuhan manusia lebih besar daripada barang
yang tersedia untuk memuaskan kebutuhan ini, orang-orang akan memilih secara rasional
diantara semua barang alternatif yang tersedia untuk mereka.
Menger (1985, hal 127) menggambarkan prinsip-prinsip ini dengan tabel,yang dapat
dilihat pada tabel 1. Tiap kolom dalam tabel mewakili tipe barang yang berbeda. Angka
romawi mewakili seberapa penting sebuah barang tertentu bagi beberapa individu, atau
tingkat kepuasan yang diperoleh dengan mengkonsumsi barang tersebut. Menurut
Menger, barang-barang harus memuaskan kebutuhan subyektif dari konsumen, dan
konsumen harus mengakui fakta ini jika barang-barang mempunyai nilai.
Tabel 1
I II III IV V VI …X10 9 8 7 6 5 19 8 7 6 5 4 08 7 6 5 4 3 07 6 5 4 3 2 06 5 4 3 2 1 05 4 3 2 1 0 0
Menger juga mengakui bahwa ketika semakin banyak jumlah barang yang dibeli
seseorang, setiap urutan kuantitas yang dibeli akan mengurangi keouasan konsumen.
Yaitu, orang akan kepuasan marjinal yang menurun ketika mereka semakin banyak
mengkonsumsi barang . Jdi tabel 1 menunjukan bahwa unit pertama barang pertama yang
dikonsumsi akan menghasilkan kepuasan yang terbesar dan konsumsi unit
berikutnyasemakin lama semakin menurun kepuasannya.
Sayangnya Menger hanya memberi sedikit contoh dari barang-barang yang masuk
dalam setiap kategori ini. Ia hanya menyatakan bahwa barang kategori I adalah untuk
mempertahankan hidup; barang kategori II adalah barang untuk menjaga kesehatan;
kategori II adalah barang untuk memberikan kesejahteraan individu; dan kategori IV
adalah tipe hiburan yang berlainan. Jadi kategori I mungkin mewakili makanan;kategori
II perawatan kesehatan dan kategori IV adalah hiduran.
Menger juga tidak menjelaskan mengenai apa yang sebenarnya diukur oleh angka-
angka dalam tabel ini. Tapi sepertinya angka-angka itu untuk mengukur keingianan atau
kepuasan relatif yang diterima dari konsumsi barang-barang yang berbeda (Menger,
1985,hlm.163-176). Mengerj juga mengungkapkan dengan jelas bagaimana individu
membuat keputusan sehubungan dengan apa yang hendak dikonsumsi atau berapa jumlah
uang mereka yang hendak dibelanjakan. Karena pendapatan konsumen yang tersedia
terbatas, individu pertama-tama akan membeli barang-barang yang memuaskan
kebutuhan yang lebih penting. Barang-barang dengan nilai subyektif 10 akan dikonsumsi
lebih dulu sebelum barang dengan nilai 9, yang pada gilirannya akan dikonsumsi lebih
dulu sebelum barang dengan nilai nilai 8 atau dibawahnya.
Salah satu konsekuensi penting dari teori nilai ini adalah semua aktivitas yang
menghasilkan kepuasan subyektif adalah aktivitas yang produkrif. Bertentangan dengan
ekonom klasik Inggris, menurut Menger perdagangan adalah produktif karena orang-
orang tidak akan berdagang kecuali mereka merasa bahwa barang yang mereka terima
akan memberikan lebih banyak kepuasan ketimbang barang yang mereka serahkan. Dan
berlawanan dengan Quesnay, pertanian dan manufaktur keduanya dapat menjadi kegiatan
produktif karena barang-barang yang diproduksi oleh masing-masing sektor ekonomi ini
memberikan kepuasan kepada konsumen.
Implikasi lain dari teori nilai subyektif adalah teori nilai tenaga kerja(lihst juga
RICARDO) menjadi keliru. Seperti yang ditulis oleh Menger (1985,hlm.145):
“Faktor yang menentukan dalam nilai barang, karena itu, bukan jumlah tenaga kerja
atau barang yang diperlukan untuk pembuatannya dan juga bukan jumlah yang
diperlukan untuk reproduksinya, tetapi lebih ditentukan oleh besarnya kepentingan dari
kepuasan berkenaan dengan yang kita sadari”
Menurut Menger, karena nilai-nilai berasal dari Individu, analisa ekonomi harus
dimulai dengan mempelajari individu. Posisi ini kemudian dikenal sebagai Individualisme
netodologis.
Menger juga mengakui bahwa faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja, modal)
mempunyai nilai karena mereka memuaskan keinginan secara tidak langsung; faktor-
faktor ini dibutuhkan untuk memproduksi barang-barang yang diinginkan oleh orang-
orang. Untuk mencari nilai aktual dari faktor-faktor ini Menger berpendapat bahwa kita
harus menarik satu unit dari faktor (misalnya pekerja) dan mengamati berapa output yang
hilang. Nilai dari output ini adalah nilai yang ditambahkan oleh pekerja tersebut. Nilai ini
mempresentasikan kepuasan konsumen yang dihasilkan oleh pekerja itu. Nilai yang
diciptakan oleh masing-masing faktor produksi karena itu yang digunakan dalam
memproduksi barang pasti tergantung pada nilai yang diharapkan yang diciptakan oleh
faktor tersebut (Menger,1985,hlm.124)
2. Untersuchungen (1883)
Karya Menger yang kedua adalah Untersuchungen (1883) berusaha menempatkan
ekonomi di atas landasan teori dan metodologi yang kuat. Dalam melakukan hal ini
Menger mempertahankan metodenya dan mengemukakan argumen yang menentang
metode Madzhab Historis. Menger dengan tegas menekankan pada metode analisis
individualistik dan fakta bahwa pengetahuan ekonomi diperoleh secara priori atau
sebelum pengalaman ekonomi di dunia nyata. Bagi Menger mempelajari ekonomi
melibatkan studi preferensi individu (atau permintaan) dan menjelaskan bagaimana hal ini
membawa kepada penomena yang diamati seperti perbedaan harga atau barang.
Carl Menger merupakan ekonom bermazhab Austria, ia merupakan ekonom yang
memperkuat teori dari Adam Smith dan system kapitalis. Membuat teori ekonominya
didalam sebuah buku bernama Grundatze, namun buku itu dianggap belum selesai. Minat
utama Menger adalah dibidang pertumbuhan ekonomi, dalam bukunya dinyatakan bahwa
tujuan Menger adalah ingin menggantikan model klasik dengan pendekatan teoritis yang
baru.
Untersuchungen memicu serangan permusuhan dari anggota mazhab sejarah,
termasuk Schmoller. Serangan ini ditanggapi sama oleh murid dan pengikut Menger.
Schmoller menolak setiap artikel tinjauan buku yang ditulis oleh Menger yang
dimasukkan dalam jurnalnya dan ia mengumumkan secara terbuka bahwa pengikit
Menger tidak layak mengisi semua jabatan pengajar (Hayek, 1934, hlm. 407).
Akhirnya perdebatan itu berakhir, tetapi ini lebih dikarenakan akibat dari kebosanan
ketimbang melalui penyelesaian akhir dari masalah tersebut. Metode Menger kemudian
diterima sebagai metode untuk memahami meskipun ada banyak kritik yang menonjol
terhadap metodologi ekoonomi (lihat juga LEONTIEF). Efek utama dari perdebatan itu
mungkin membuat metodologi ekonomi, yaitu studi tentang metode yang digunakan
untuk mendapatkan pengetahuan ekonomi, memiliki reputasi yang buruk. Seperti yang
dikatakan Schumpeter (1951) sebagian besar ahli ekonomi merasa bahwa perdebatan ini
benar-benar membuang-buang waktu dan dari perdebatan ini mereka menarik pelajaran
bahwa semua diskusi metodologi dalam ilmu ekonomi adalah menyia-nyiakan waktu
saja. Tetapi hasil ini meungkin merugikan profesi ekonomi karena seperti yang
ditunjukksn oleh Hutchinson (1973, hlm36) “pengujian kritis terhadap asumsi-asumsi,
konsep-konsep dan teori-teori ekonomi adalah jarang yang membuang-buang waktu.”
Ahli ekonomi besar biasanya meninggalkan warisan ide-ide dan teori-teori yang
kemudian diterima oleh sebagian besar ahli ekonomi dan membentuk bagian dari
pemikiran kebijaksanaan ekonomi mahasiswa generasi selanjutnya. Segelintir orang
mejadi tenar adan berhasil karena mereka berani melangkah keluar dari arus utama dan
mampu memberi inspirasi bagi sekelompok murid dan pengikutnya. Menger adalah tokoh
yang layak untuk dimasukkan kedalam kedua kategori tersebut. Penekanannya pada
individu, dan argument bahwa kita harus menjelaskan dunia ekonomi sebagai respon
penilaian subyektif individu, membuant Menger menjadi pendiri mazhab ekonomi
Austria (Alter, 1990:Vaughn, 1994). Tetapi Menger juga layak masuk dalam kategori
tersebut karena penemuannya tentang prinsip kepuasan sebagai sumber nilai dan
penemuannya tentang prinsip kepuasan marjinal yang menurun.
Adapun buku yang diciptakan Carl Menger adalah Grundatze. Namun setelah
mengundurkan diri dari universitas pada 1903 Menger menjadi penyendiri, mencurahkan
hidupnya untuk merevisi Grundatze. Dia dihormati sebagai anggota seumur hidup
parlemen Austria. Tetapi dia tidak begitu aktif disana. Hobinya adalah memancing dan
mengoleksi buku. Mahasiswa di universitas Vienna memiliki traded\si mengunjungi
rumahnya untuk memberikan penghormatan kepada sesepuh besar mazhab Austria ini.
Dalam banyak hal Menger mengakhiri hidupnya dengan agak tragis. Cinta
pertamanya adalah ilmu ekonomi dan tujuan jangka panjangnya dalam karirnya adalah
memperbaharui Grundatze secara sistematis. Sayangnya Menger memiliki kebiasaan lain,
ia mengikuti perdebatan tanpa akhir dan sia-sia mengenai metodologi dengan rival-
rivalnya di Jerman. Minat dan lingkup bacaannya terus meluas. Dia mempelajari filsafat,
psikologi, sosiologi, etnografi dan ilmu-ilmu lainnya. Sebagai perfeksionis, dia tidak
pernah puas terhadap hasil revisinya, yang sangat banyak dan tersebar dan publikasi
“edisi ke2” terus menerus ditunda. (seperti Marx dan Schumpeter).
Meski revisi yang tiada akhir tertunda-tunda, magnum Opus Menger habis terjual dab
menjadi jarang dipasaran. Penulis ini tak pernah mengijinkan pencetaan ulang pada masa
hidupnya, dan tidak mengijinkan p[enerjemahan karyanya, sebab dia merasa buku
pertamanya masih belum lengkap. Grundatze baru diterbitkan di Inggris pada tahun 1950.
Hayek menyimpulkan “sulit untuk membayangkan ada kasus yang sama seperti kasus
Grundatze yang pengaruhnya abadi dan mendalam tetapi sangat terbatas sirkulasinya
karena keadaan aksidental” (91976:12).
3. TEORI
Air dan udara memiliki nilai penukaran yang rendah, padahal air dan udara memiliki
nilai kegunaan yang tinggi. Sebuah lukisan, patung, dan anggur yang tidak memiliki
kegunaan yang tinggi berharga sangat mahal. Seorang tokoh klasik, Richardo, sampai pada
akhir hayatnya masih belum memahami kenapa anggur yang disimpan dalam gudang selama
3 atau 4 hari, atau mengapa pohon oak yang nilainya tak lebih dari 2 sen sebelum diolah,
tetapi kemudian muncul menjadi senilai 100 pound.
Sekitar tahun 1870 timbul hampir bersamaan di Austria, Perancis dan Inggris suatu
”ajaran nilai baru” yang dikemukakan oleh Karl Menger, Leon Walras dan W. Stenley
Jevons. Teori baru ini menempatkan konsumen sebagai obyek penilai terakhir di pusat
perhatian ekonomi. Nilai sesuatu barang harus dijelaskan bahwa sesuatu barang mempunyai
kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan perkataan lain, suatu barang mempunyai
nilai karena barang itu memberikan nilai guna bagi subyek penilai.
Nilai guna bagi seseorang dengan seorang yang lain dapat berbeda. Sesorang dapat
saja mengatakan bahwa sebuah lukisan tidak berharga karena dia tidak menyukai seni,
sebaliknya bagi seorang pecinta seni, lukisan Picasso sanggup dia bayar dengan harga mahal.
Kegunaan barang juga dipengaruhi unsur subyektifitas. Penduduk Jakarta rela membayar air
bersih lebih mahal daripada harga yang akan dibayar oleh penduduk di daerah Wonosobo.
Nilai penukar menurut Mazhab Austria harus dituangkan dari nilai pemakaian yang
subyektif, jadi dari arti barang itu untuk kesejahteraan subyek ekonomi. Selain dari pada nilai
pemakaian subyektif dan obyektif ada lagi pengertian nilai penukar obyektif dan subyektif.
Nilai penukar obyektif adalah sebagai pengertian untuk menyatakan harga dalam lalu lintas
pertukaran, sedang nilai penukar subyektif menyatakan arti barang itu dalam pertukaran bagi
kesejahteraan subyek. Jadi ajaran nilai subyektif menurut Mazhab Austria adalah hubungan
antara subyek ekonomi dan barang. Bagi seorang direktur sebuah perusahaan bonafide, pena
montblanc yang berharga jutaan rela dibayatnya karena menurutnya berguna untuk
menaikkan gengsinya, lain halnya bagi seorang mahasiswa arsitektur, pena rotring baginya
lebih berguna dan rela dia bayar dengan harga yang pantas menurutnya.
Mazhab Austria telah memecahkan soal antinomi nilai, yaitu paradoks ekonomi yang
tak terpecahkan oleh kaum klasik dan yang mengatakan bahwa barang yang mempunyai nilai
pemakaian yang terbesar seperti air dan hawa justru mempunyai nilai penukaran yang paling
sedikit. Dalam hubungan ini, menurut Mazhab Austria, nilai sesuatu barang harus
diterangkan bahwa sampai seberapa jauh barang yang bersangkutan mempunyai kesanggupan
untuk memenuhi kebutuhan.
Untuk memecahkan soal antinomi nilai ini, Menger mengemukakan pembedaan
antara kegunaan jumlah seluruhnya suatu barang dan kegunaan satuan tertentu yang
ditambahkan atau dikurangkan dari persediaan yang ada. Dalam menilai barang maka harus
diperhatikan tidak hanya kegunaanya, tetapi juga harus dipertimbangkan tentang
kelangkaanya (scarcity).
Gossen mengemukakan hukum kejenuhan (law of diminishing utility). Selanjutnya
Menger berusaha menjawab soal bagaimana konsumen dalam harga tertentu daripada barang-
barang akan membagi pendapatannya atas berbagai kategori kebutuhan. Contohnya, seorang
konsumen dari penghasilannya akan mempergunakan empat satuan guna untuk kebutuhan
makanannya, tiga satuan guna untuk perumahan, dua satuan guna untuk pakaian, dan satu
satuan guna untuk sepatu.
Von Bohm Bawerk menunjukkan adanya persaingan pada kedua belah pihak antara
penjual dan pembeli yang selanjutnya menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi
tingginya harga:
1. Jumlah barang-barang yang dikehendaki
2. Tinggi angka-angka taksiran di pihak para pembeli.
3. Jumlah barang yang ditawarkan.
4. Tinggi angka-angka taksiran di pihak para penjual
Mazhab Austria menganalisis tentang pembentukan harga diikuti oleh teori
pembagian hasil masyarakat yang diketengahkan oleh Menger. Von Bohm Bawerk dan von
Wieser yakin bagaimana membagi pendapatan masyarakat kepada faktor-faktor produksi
yang ikut serta dalam proses produksi. Harga-harga faktor produksi merupakan nilai turunan
daripada final product-nya.
Penemuan yang diciptakan oleh Menger, yang diberi nama “law of imputations”.
Merupakan hukum yang mematahkan teori David Ricardo dan Karl Max. karena menurut
Menger, “factor penentu dalam nilai suatu barang bukanlah kuantitas tenaga kerja atau
kuantitas barang-barang lain yang diperlukan untuk produksinya atau kuantitas yang
diperlukan untuk reproduksinya. Yang menentukan adalah besarnya arti penting dari
kepuasannya dimana kita secara sadar tergantung pada fungsi barang tersebut.
Ringkasnya, Menger telah membalikan arah hubungan sebab-akibat antara nilai dan
biaya. Barang konsumen dinilai bukan berdasarkan penggunaan tenaga kerja atau alat-alat
produksi lainnya. Sebaliknya, alat-alat produksi adalah berharga karena ada nilai prospektif
dari barang konsumen. Jadi, nilai dari semua barang produsen dan capital pada akhirnya
ditentukan oleh konsumen.
Pengaruh Mazhab klasik sangat besar dalam ilmu ekonomi selama hamper satu
abad.kemudian du ujung abad ke 19, munculah pemikiran ekonomi baru. Namun pemikiran
mereka belum sepenuhnya dapat dilepaskan dari pengaruh ekonomi klasik. Namun para
pemikir yang disebut kaum Marjinalis menemukan pla pendekatan baru, khususnya
pendekatan yang berhubungan dengan teori nilai dan harga dan distribusi pendapatan diantara
factor-faktor produksi.pengaruh mereka hingga beberapa dasawarsa sesudahnya, hamper
tidak ada pemikiran baru. Baru dalam tahun 1930-an bermunculan sejumlah ekonom yang
secara substansial melakukan, perbaikan, perubahan, dan bahkan pembaharuan terhadap
pemikiran-pemikira yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya, mereka adalah Piero Sraffa
(1898-983), dari universitas Chambridge, Edwards Hastings Chamberlin (1899-1967) dari
Universitas Harvard, dan Joan Robinson (1903-1983) dari universitas Chambridge.
Dalam garis besarnya konsep dasar Mazhab Marjinalis, dapat dihimpun dalam 10
prinsip atau tema pokok (Jacob Oser dan Stanley L. Brue, op.cit.,hh.212-14).
1. Analisis terpusat pada konsep marjinal.
Mazhab marjinalis memusatkan diri pada titik perubahan, atau dengan perkataan lain,
pada marjin. Dalam hal ini kaum marjinalis dengan konsisten mengembangkan azas
marjinalisme dalam teori sewa tanah diferensial dari Ricardo sebelumnya keseluruh teori
ekonominya. Dari merekalah lantas para ekonom mengenal, misalnya konsep-konsep
pendapatan marjinal, produksi marjinal, biaya marjinal, laba marjinal bahkan konsep-
konsep efisiensi marjinal investasi (MEI) dari Keyens dan rasio modal-output tambahan
(ICOR) dan Harrord ddan Domar yang sangat berguna untuk mengukur efisiensi dalam
membuat keputusan. Agaknya para ekonom kontemporer pun akan mengalami kesukaran
fundamental jika tidak menggunakan konsep marjinal itu.
2. Penekanan pada mikro ekonomi.
Bagi mazhab marjinalis, pribadi dan perussahaan individuallah yang mengambil-alih
peranan sentral; bukan institusi , bukan pada keseluruhan. Kaum marjinalis
memperhitungkan pembuatan keputusan individual, kondisi pasar untuk satu jenis barang
individual, keluaran perusahaan spesifik, dll. Kaum marjinalis dengan jelas sangat
terpengaruh oleh filsuf-filsuf penganut atomisme zaman Yunani Kuno,leuccipus dari
mellitus (450-420 SM) dan filosof sezaman yang lebih muda, Democritus dari
abdera(kl.460-kl.370 SM).
3. Penggunaan metode Abstrak-Deduktif.
Kaum marjinalis menolak metode historis yang disarankan oleh Mazhab historis
Jerman. Mereka menggantinya dengan pendekatan analitik-abstrak yang dilakukan dengan
menarik sebuah kesimpulan melalui penalaran yang dipelopori oleh David Ricardo dan
sejumlah kaum klasik lainnya. Untuk memperoleh kesimpulan lain atau kesimpulan khusus,
mereka berangkat dari kesimpulan umum. (Komaruddin dan YookeTjuparman S.
Komaruddin, kamus istilah karya tulis ilmiah, bumi aksara, Jakarta, 2000,hh.45-46).
4. Pendekatan keseimbangan.
Kaum marjinalis yakin benar bahwa kekuatan ekonomi umumnya cenderung menuju
keseimbangan-penyeimbangan kekuatan-kekuatan yang berlawanan (a balancing Of
OpposingForces), Menger menegaskan bahwa batas-batas yang diantaranya harga berubah-
ubah akan semakin sempit jika persaingansemakin banyak. Kaum marjinalis percaya bahwa
pada akhirnya harga terjadi pad titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran.
Harga pun akan dibatasi oleh pasangan-pasangan marjinal (Grensparen). Bilamana
gangguan menyebabkan dislokasi maaka gerakan baru menuju keseimbangan akan terjadi.
Akan tetapi Pierro Sraffa, Edwards Hastings Chamberlin, dan Joan Robinson, lebih jauh
memeriksa dan menguji ulang seluruh bangunan teori keseimbangan pasar dengan sangat
mendalam. Pikiran srafa yang merintis pemeriksaan ulang ini menjadi titik berangkat bagi
keseimbangan sebuah teori dan keseimbangan pasar. Hasilnya adalah kenyataan bahwa
teori persaingan monopolistic (dari Chamberlin) dan teori persaingan tak sempurna (Joan
Robinson) sekarang ini menjadi bagian utama dalam kurikulum ilmu ekonomi, khususnya
diperguruan-perguruan tinggi.
5. Pengintegrasian tanah dan modal.
Kaum marjinalis cenderung memadukan tanah dan modal dalam analisis dan
sekaligus beranggapan bahwa bunga, sewa, dan laba, sebagai hasil untuk sumber daya
pemilikan.
6. Pelaku ekonomi rasial.
Kaum marjinalis berasumsi bahwa manusia bertindak rasional dan (Pleasure) dan
sakit (Pains), dalam mengukur guna marjinal barang-barangmenyeimbangkan yang
berbeda, dan dalam menyeimbangkan kebutuhan sekarang dan kelak. Paham ‘guna’
(Komaruddin Sastra dipoera, kegunaan konsep koefisien gini dan konsep kesejangan
pendidikan dalam pemerataan kesempata pendidikan,IKIP Bandung,1989, hlm 9)adalah
pandangan falsafah yang kerap dikaitkan dengan nama Jeremi Bentham(1748-1832) dalam
ajarannya yang mendasarkan diri pada fakta asasi, ‘bahwa kenikmatan itu lebih baik dari
rasa sakit’ bahagia merupakan kesenangan dan tiadanya raa sakit. Tindakan manusia
dianggap benar manakala tindakan itu dapat mengembangkan kebahagiaan. Dasar nilai
yang menjadi tumpuan kajian ekonomi ini ditemukan dalam falsafah moral yang dikenal
sebagai “paham guna” paham yang bertolak dari psikologi asosiatif- hedonistic ini
berhubungan dengan kehidupan praktis pada saat paham itu menyentuhkonsep “guna”
dengan mengatakan bahwa guna ini adalah “kebahagian terbesar bagi jumlah terbesar.”
Bagi paham itu maksimalisasi guna ini adalah “kebahagian terbesar bagi jumlah terbasar.”
Bagi paham ini maksimalisasi guna merupakan tujuan murni manusia.
7. Keterlibatan pemerintah minimal.
Berdasarkan azas laissez faire, liberalisme, atomisme, dan individualisme, kaum
marjinalis menambahkan anggapan fundamental kaum klasik mengenai keterlibatan
pemerintah dalam ekonomi sebagai kebijakan yang terbaik. Dalam banyak hal tidak ada
campur tangan kedala m hukum-hukum ekonomi alamiah yang layak jika pemanfaatan
social akan dilaksanakan. Pendapat ini sangat berlawanan dengan aliran historis dan
sosialis. Bahkan dengan mazhab Keynesian yang lebih kontemporer.
8. Pendekatan pada persaingan murni.
Umumnya analisis kaum marjinalis bekerja berdasarkan asumsi murni (pure
compoticion). Ini adalah dunia wirausaha yang kecil, individualistic dan bebas. Disitu
banyak pembeli, banyak penjual, produk yang diperjualbelikan homogeny, harga seragam,
dan iklanpun tidak diperlukan untuk mempengaruhi pasar. Dalam pasar dengan persaingan
murni tidak ada perseorangan maupun perusahaan mempunyai cukup kekuasaan ekonomi
untuk mempengaruhi harga pasar dengan jelas. Setiap penawaran dan permintaan tidak
akan tidak mempunyai kekuatan untuk memainkan kebijaksaan harga (price policy). Baik
analisis mazhab klasik maupun marjinalis awal (termasuk J.R. Hick) senantiasa bertolak
dari asumsi bahwa dipasar muncul satuan-satuan usaha kecil yang jumlahnya banyak, dan
diantara satuan-satuan kecil itu, tidak ada satu buah pun yang mengambil posisi untuk
mempengaruhi keseimbangan pasar ataupun harga barang. Keadaan pasar seperti itu tentu
hanya merupakan suatu tipe ideal, karenanya tidak realistic. Dalam kenyataannya sekalipun
jumlah perusahaan kecil itu banyak , namun tidak dapat dipastikan bahwa mereka tidak
punya posisi pasar yang sama . kenyataannya, seringkali ada diantara mereka yang
mempunyai posisi pasar yang lebih kuat, sehingga lebih mirip pasar monopoli (atau
monopsoni), oligopoly (atau oligopsoni), duopoly (atau duopsoni). Berdasarkan kenyataan
pasar seperti itu (yang didorong oleh pemikiran Sraffa), maka oleh Edwards Chamberlins
dan Joan Robinson secara sendiri-sendiri, disusun sebuah teory mengenai pasar ddan
keseimbangan yang baru yang berlaku pada masing-masing pasar yang beragam. Dalam
revisi atas teori Mazhab Marjinalis awal itu dikemukakan bahwa spontanitas pasar tidak
selalu membawa kepada keseimbangan yang stabil. Oleh Chamberlin diingatkan bahwa
akan munculnya persaingan monopolistic dimana barang-barang yang sejenis yang
dipasarkan ternyata mempunyai perbadaan-perbedaan. (Diferensiasi produk).
9. Teori harga berkiblat pada pemnintaan.
Sesuai dengan nilai subyektifnya (yang melihat dari sudut konsumen), untuk kaum
marjinalis awal, variabel permintaan menjadi kekuatan primer dalam menentukan harga.
Kiblat ini tentu saja berlawnan dengan pandangan mazhab klasik (yang melihat dari sudut
pandang produksi, misalnya teori upah Ricardo) dan teori sosialis ilmiah (mengenai teori
pemerasan atas penerima upah dan teori kerja kemasyarakatan yang diperoleh rata-rata dari
Marx ) yang melihatnya dari sudut penwaran. Ini mungkin terasuk penting, karena pegaruh
kiblat permintaan ini terasa benar pada mazhab Keynesian yang lahir kemudian. (kiblat
permintaan dari kaum marjinalis ini mengingatkan kita pada teori marketing modern yang
menganjurkan pada para pemasar agar tidak berbicara tentang marketing, maka kita harus
berangkat dari permintaan atau konsumen karena keberhasilansuatu perusahaan bukan
karena ia telah memproduksi barang tetapi karena penjualannya). Akan tetapi perlu
dikemukakan pula bahwa tidak semua kaum marjinalis mempunyai pandangan yang sama
mengenai teori harga yang penting ini, ekonom Inggris dan guru besar di universitas
Chambridge, Alferds Marshall (1842-1924) yang mendirikan mazhab Chambridge,
membentuk sintesis antara unsure-unsur mzhab klasik dan unsure-unsur dari penelitian
yang kemudian mendorongnya untuk mengadakan perpaduan antara variabel penawaran
dan variabel permintaan kedalam apa yang disebut ilmu ekonomi neo-klasik. Walaupun
demikian, kecenderungan Marshall kepada permintan menjadi sangat jelas pada teori saldo
kasnya yang melihatnya dari sudut pandang pasif, yaitu uang sebagai aktiva (Komaruddin
Sastradipoera, uang di Negara sedang berkembang. Bumi Aksara, Jakarata, 1991,hh. 289-
92).
10. Penekanan pada guna subyektif.
Diawalai oleh seorang teoritikus Jerman yang dilupakan hingga akhirnya meninggal
dunia dalam keputusasaan karena kegagalannya dalam memperoleh tanggapan terhadap
sistemnya yang sangat berkembang, Herman Heinrich Gossen (1810-1859), yang berhasil
menysun pikirannya dalam buku entwicklung der Gesetze Des Menchillhen Verkehrs und
der daraus Fliessendenregeln fuer mens Schliches handeln, (1854), kaum marjinalis
berpendapat bahwa permintaan tergantung pada guna marjinal yang merupakan gejala
subjektif-psikologis. Gossen tidak sekedar meminta perhatian akan hukum guna menurun
(law of diminishing utility), tetapi juga berhasil merumuskan hukum penyamarataan guna
marjinal macam kebutuhannya dengan cara sedemikian rupa, sehingga bagian-bagian
kebutuhan yang konkret terakhir dari kelompok-kelompok kebutuhan memberikan guna
marjinal yang sama. Biaya produksi, bagi kaum marjinalis mencakup pengorbanan dan
kesusahpayahan dalam bekerja, pengelolaan bisnis, dan tabungan untuk membentuk dana
modal.
4. KESIMPULAN TEORI MARGINALITAS CARL MENGER
Setelah menyebarkan law of imputation, Menger kemudian menemukan prinsip
marginalitas (marginality) dengan menggunakan contoh tembakau, dia menunjukan bahwa
banyak input yang berhubungan dengan tembakau, tidak kehilangan semua nilainya ketika
permintaan konsumsi hilang “ tanah dan alat pertanian ya ng dipakai dalam penanaman
tembakau akan tetap berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia lainnya” tulis Menger.
dengan kata lain , tanah dan capital yang memiliki banyak kegunaan dapat dipakai untuk
industri lain. Misalnya, alat, dan mesin yang sebelumnya dipakai untuk menanam tembakau
dapat dipakai untuk tanaman kapas. Tanah yang dipakai untuk menghasilkan daun
tembakau kini dapat dipakai untuk menanam kedelai atau menghasilkan terigu. Nilainya
akan turun, tetapi tidak sampai nol. Jadi, nilainya akan turun sampai ke nilai guna
alternative lain yang terbaik. Menger telah menemukan prinsip utilitas marginal, yakni
harga atau nilai dari suatu barang adalah didasarkan pada penggunaan marginal atau
penggunaan selanjutnya yang terbaik. Dalam analisis ini juga terkadang prinsip “biaya
kesempatan” (opportunity cost), yakni ide bahwa setiap aktivitas atau peoduk dalam
ekonomi memiliki penggunaan alternative.
5. KELEMAHAN TEORI CARL MENGER
Mulai dari tahun 1875 sampai 1884 Menger terlibat dalam perselisihan metodologis
yang sengit dengan gustav Schomoller, seorang pemimpin Mazhab Historis Jerman,
perselisihan mungkin merupakan deskripsi yang terlalu eufimistic karena keduanya
sesungguhnya saling menghina dan jauh dari perdebatan akademik yang sesungguhnya.
Apalagi perdebatan itu sendiri cukup aneh mengingat Menger mempersembahkan The
Principles kepada Roscheer seorang pemimpin mazhab histories yang lain.
Menurut mazhab histories, hukum ekonomi harus ditemukan dalam fakta sejarah yang
terkumpul selama jangka waktu yang lama. Sebelum fakta tersebut diajukan maka akan
terlalu dini untuk mengembangkan teori ekonomi. Cara yang benar untuk memahami adalah
melihat pada data sejarah, mencari keteraturan dan kemudian membuat kesimpulan tentang
bagaimana ekonomi bekerja. Mazhab historis menolak metode abstrak – deduktif dalam
memahami ekonomi dimana prinsip – prinsip ekonomi diambil dari asumsi karakteristik
orang dan pasar sebaliknya, mereka menerima relativisme berkenaan dengan hubungan
ekonomi dan kebijakan ekonommi bagi mazhab historis dunia bekerjja secara berbeda pada
waktu dan tempat berbada pula.
Bertentatangan dengan ini, menurut Menger, teori pembangunan lebih mengutamakan
akumulasi data. Menger berpendapat bahwa metode ilmiah yang tepat melibatkan pencarian
karakteristik esensial dari fenomena ekonnomi atau hubungan yang diperlukan antara
variabel–variabel ekonomi (seperti fakta bahwa harga rendah untuk beberapa barang akan
menyebabkan orang lebih banyak membeli barang itu). Ekonomi historis atau ompiris tidak
dapat melakukan hal ini karena kadang–kadang harga jatuh dan orang-orang berharap agar
harga terus merosot. Akibatnya ekonomi historis tidak bisa memberikan hasil definitif.
Menurut Manger hanya introspeksi yang dapat memberikan kebenaran yang absolut dan
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_teori_ekonomi
Sastradipoera, Komaruddin. (2001). Sejarah Pemikiran Ekonomi. Bandung: Kappa-Sigma
Skousen, Mark. (2006). Sejarah Pemikiran Ekonomi Sang Maestro Teori-teori Ekonomi Modern. Jakarta : Prenada.
Steven Pressman lima puluh pemikir dunia. Jakarta: Murai Kencana PT. Raja Grafindo Persada.