puisi syamsuri rindu tak harus diberi nama · pdf filedekat ken arok. lelaki itu juga per -...

1
JUMAT 17 MEI 2013 NO.0119 | TAHUN II 15 BUDAYA A Pemimpin Redaksi Abrari, Wakil Pemimpin Redaksi Zeinul Ubbadi, Redaktur Ahli M. Husein, Redaktur Pelaksana Abdur Rahem, M. Kamil Akhyari, Sekretaris Redaksi Benazir Nafilah, Tata Letak Didik Fatlurrahman, Novemri Habib Hamisi, Desain Grafis Ach. Sunandar, M. Farizal Amir, Fotografer Mahardika Surya Abriyanto, Website Hairil Anwar, Biro Sumenep Hayat (Kepala) Syah A. Latief, Syamsuni, Junaidi, Biro Pamekasan G. Mujtaba (Kepala), Muhammad Fauzi, Biro Sampang Miftahul Ulum (Kepala), Ryan H, Junaidi, Holis, Biro Bangkalan Moh. Ridwan (Plt. Kepala), Doni Harianto, Biro Surabaya Hana Diman (Kepala), Ari Armadianto, I Komang Aries Dharmawan, Viane Cara Rima Pamela, Joeli Hidayati, Agus Setyawan, I Made Ardhiangga Probolinggo Pujianto, M. Hisbullah Huda, Biro Jakarta Gatti (Kepala), Satya, Cahyono, Willy Kontributor Sugianto (Bondowoso) FL. Wati (Bali) Anwar Anggasoeta (Yogyakarta) Ahmad Sahidah (Malaysia), Manajer Pemasaran Moh. Rasul Accounting Ekskutif Deddy Prihantono, Husnan (Sumenep), Mohammad Muslim, (Pamekasan) Siti Farida, (Sampang), Taufiq (Bangkalan) G. A. Semeru (Surabaya) Penerbit PT. Koran Madura, Komisaris Rasul Djunaidi, Direktur Utama Abrari, Direktur Keuangan Fety Fathiyah, Alamat Redaksi Jl. Adirasa 07 Kolor Sumenep, email [email protected], [email protected], Telepon/Fax (0328) 6770024, No. Rekening BRI 009501000029560, NPWP 316503077608000 http://www.koranmadura.com/ | Wartawan Koran Madura dibekali ID Card (kartu pengenal) dan tidak diperkenankan menerima imbalan berupa apapun dari narasumber L elaki itu memandangi sebuah foto di dinding kamarnya. Se- buah foto lama, close up se- orang perempuan oriental dengan baju batik dan jilbab warna ungu. Lelaki itu menatapnya dalam-dalam, sangat dalam. Lalu menarik nafas. Tidak diketahui pasti siapa nama perempuan itu. Tetapi lelaki itu me- manggilnya Purnama, sebuah per- sonifikasi dari rembulan nan indah yang hanya muncul sebulan sekali. Itupun bila tidak buruk cuaca dan tak ada gerhana di malam hari. Lelaki itu menertawakan diri sendiri pada gitar di dekapnya dengan suara yang tidak sepenuhnya merdu. Ia menyanyikan lagu Ani. Malam itu ia menyebut bait pertama, “Ani...berhati mulia.... Lelaki itu kembali tersenyum. Ia mengingat saat masih aktif di pramu- ka, di kelompok pandega. Di dalam pramuka selalu disebut sosok berhati mulia, baik hati, rajin menabung, suka menolong dan tidak sombong. Lalu kakak pembina memekikkan kata salam pramuka sambil menga- cungkan kepal tangan ke angkasa. Lucu, tetapi juga kadang-kadang geli karena salam menjadi terkotak- kotak; salam pramuka, salam damai, dan salam demokrasi. “Cinta ini sesuatu yang tak lagi baru, tetapi ia tidak pernah basi,” le- laki itu kembali bergumam. Ia tidak ingin mencintai karena tidak mung- kin lagi untuk menjadikannya ibu yang baik. Tetapi bagaimana mung- kin ia tidak akan mencintai karena ia mencintai, sangat mencintainya. Lelaki itu kembali menarik nafas dan merasa beruntung mencintai per- empuan anggun yang telah mem- buatnya gugup. Di senjakala yang hendak berakh- ir, tergambar di dalam memori lelaki itu saat masih jadi aktivis. Ia kerap- kali menjadi orator yang berpidato di mimbar bebas. Dari atas podium, ia berpidato datar ketika perem- puan yang dicintainya tidak terlihat dari kerumunan massa. Begitu per- empuan yang dicintainya terlihat di tengah-tengah massa, lelaki itu berbeda. Orasinya sangat kencang mengutuk perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa. “Saatnya revolusi,” urat leher lelaki itu terli- hat dengan jelas, suatu orasi yang berbeda antara adanya dengan tidak adanya perempuan yang dicintainya di tengah massa. Tetapi ada yang mengherankan pada lelaki itu. Keberaniannya ber- bicara di tengah massa, mengutuk anarkisme polisi-tentara pada orde baru hingga soal kolusi, korupsi dan nopotisme tak diragukan lagi. Nad- anya sangat kencang pada urat leher yang bertaji. Namun saat berbicara di depan Purnama, perempuan yang diserupakan rembulan. Lelaki itu gu- gup, salah tingkah dan auranya sep- erti baru keluar dari lemari es; pucat. “Engkau kenapa Nda,” perem- puan itu menyapa di suatu pagi, di era silam sebelum waktu berlipat seperti hari ini. “Tidak apa-apa.” “Yakin?” “He-eh.” “Baiklah.” Tetapi lelaki itu seperti berbo- hong untuk kebaikan. Ia ingin me- nyembunyikan rasa cintanya kepada Purnama meski tidak dia sadari de- ngan begitu cintanya pada Purnama semakin jelas terlihat dan lebih sem- purna. Namun itulah cinta sejati ka- rena seseorang yang dapat berbicara lancar tiba-tiba menjadi kikuk pada lidah yang sebenarnya tidak kelu. Cinta seperti ratusan bahkan ribuan anak panah yang memacetkan kata- kata. Pagi datang membawa mendung dan pada matahari yang terindera. Gerimis menyusul meski angin tak begitu terasa. Hanya dingin yang hadir pagi itu. Di radio badan mete- orologi dan geofisika mengabarkan awan akan muncul berwarna kelabu. Tak ada badai di hari itu kecuali pen- demokratisan rasa. Sebelum gelap menyergap, le- laki itu datang dengan wajah yang gugup. Ia tidak berani bertanya soal rasa cinta meski referensi yang diba- canya menunjuk kaisar yang selalu dekat dengan cinta. Ada Kendedes di dekat Ken Arok. Lelaki itu juga per- nah membaca surat Napoleon kepa- da kekasihnya, Josephine, yang dite- mukan dalam lemari arsip di sebuah kamar laundry di Swiss. Lelaki itu juga membaca sebuah akun twitter di mana rasa serupa kata-kata yang membatu tentang Purnama yang juga rindu meski tak selaksa telaga dan sunyi yang jauh lebih tajam dari sebilah belati. “Nda, aku ingat Sapardi soal cinta yang sederhana itu,” perempuan itu belajar mengeja puisi pada tadarus sunyi. “Aku melampaui itu, kepadamu.” “Begitukah?” “Begitulah.” Dua orang yang memiliki cinta dan rasa yang berbeda itu hanya bertatapan. Tak ada kata yang teru- cap sebelum akhirnya gerimis turun. Serupa jemaah haji mereka berlari- lari kecil seperti sedang melakukan ibadah sa’i. Mereka berlari seluas padang savana dan mendekat ke kaldera di dekat gunung yang dije- jali eidelweis. Mereka kembali ber- tatap karena waktu seperti berlipat. Mereka ingin kembali ke masa lalu untuk melengkapi cerita lama yang belum kelar (CLBK). Mereka sama- sama menyapa dengan sebutan Nda pada suatu pagi sebelum akhirnya love bird terbang bersama menyusul cahaya. (*) Madura, 2013 Rindu Tak Harus Diberi Nama P ondok pesantren merupa- kan lembaga pendidikan yang ada di Indonesia sejak sebelum masa penjajahan hing- ga saat ini. Namun lembaga ini mendapat pandangan dan stigma konservatif dari berbagai pihak. Tak ayal, karena apa yang dipela- jari hanya berupa kitab kunig (klasik) saja dan tidak mau mengikuti perkem- bangan dunia di luarnya. Melalui penelitian Abd. Halim Soebahar ini, stigma konservatif terha- dap pesantren akan dicoba untuk disangkal. Karena tidak serta merta pesantren sebagai lembaga pendidikan satu-satunya yang kolot. Objek penelitian dalam buku ini terfokus pada lima pesant- ren yang ada di empat kabupaten di Madura. Di antaranya, Pondok Pesantren al-Amin Sumenep, Pon- dok Pesantren Annuqayah Sume- nep, Pondok Pesantren Banyuan- yar Pamekasan, Pondok Pesantren al-Taroqqi Sampang, dan Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bang- kalan (16-17). Objek sampel dalam penelitian ini mengenai tuduhan pesantren sebagai satu-satunya lembaga konservatif akan ditolak dengan melakukan wawancara secara lan- sung, pengumpulan data, dan ob- sevasi partisipan. Melalui analisis yang digunakan ini tentu akan mendukung terha- dap objek yang menjadi target bahwa pesant- ren merupakan lembaga yang melaju untuk hal yang lebih baru. Menurut Dhofir, setiap pesantren berkembang melalui cara-cara yang bervari- asi. Pesantren sendiri itu terbagi menjadi dua kategori, yaitu salafi dan khalafi. Namun menurut Abdullah Syukri Zarkasyi meng- klasifikasikannya ke dalam tiga kategori, yaitu pesantren tradi- sional, pesantren modern, dan pesantren perpaduan antara pesantren tradisional dan mod- ern. Berdasarkan survey Departe- men Agama, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 14.656 unit (Hal. 48). Dari sekian jumlah yang ada, jumlah pesantren tradisional 9.105 unit, pesantren modern 1.172 unit, dan pesantren terpadu 4.370 unit. Kemudian pada halaman 50- 51 disebutkan bahwa jika proses transformasi yang berlangsung berpengaruh terhadap munculnya “temuan baru” (inovasi), maka da- pat dikatakan bahwa pesantren telah melakukan tiga pola inovasi dalam sistem pendidikannya, yai- tu; pola inovasi yang diprakarsai oleh pemerintah, pola inovasi yang diprakarsai oleh LP3ES dan P3M, dan pola inovasi sporadis yang dilakukan oleh beberapa pesant- ren secara sendiri-sendiri, yakni menampik kemungkinan adanya keseragaman tema yang mengi- katnya dan dilaksanakan menurut persepsinya masing-masing. Dari pola inovasi ini akan ditemui pola dan sistem rotasi pesantren pada saat ini. Sebenan- ya pesantren memang berada dalam ranah konservatif. Namun dengan lambat laun pesantren berjalan mengikuti arus perkem- bangan zaman saat ini. Terbukti dari lima pesantren yang men- jadi objek penelitian dalam buku ini banyak mengalami pola dan sistem pembelajaran dan proses kepemimpinan saat ini. Karena tidak mungkin manusia yang hidup dalam lingkungan pesant- ren terus mengikuti pola kuno. Selain itu pula orang yang bera- da di pesantren dengan caranya sendiri sebagai manusia tentu memiliki pikiran dinamis. Garis besar utama buku ini merupakan bentuk sanggahan ter- hadap pandangan bahwa pesant- ren tak lain merupakan lembaga konservatif. Dari pandangan terse- but digali beberapa sumber bahwa pesantren berada dalam ranah modernisasi. Dengan jelas dan tegas buku ini tidak setuju jika pesantren disebut sebagai lemba- ga yang kolot. Maka dari itu buku ini mencoba meluruskan melalui kajian kepemimpinan kiai dalam pesantren yang ada di Madura dan beberapa sistem pembelaja- rannya serta inovasi-inovasi yang mulai dilakukan dalam lingkungan pesantren itu sendiri. * Peresensi adalah Mahasantri Pondok Pesantren Al-in’am Pa- jagungan Banjar Timur Gapura Sumenep Madura. Menyangkal Pesantren sebagai Lembaga Konservatif Peresensi: Junaidi Khab Judul Buku Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren Penulis Prof. Dr. Abd. Halim Soebahar, MA Penerbit LKiS Cetakan I, 2013 Tebal xiv + 230 halaman; 14,5 x 21 cm ISBN 978-602-17575-2-9 DATA BUKU Sebelum Konek Padamu suatu benda berukuran kurang lebih 14 cm pada tubuh pada otakotak pada kabelkabel dan yang ku gunting, menggunting tahun menjadi burungaburungan dan kapalka- palan Aku berangkatkan di tubuhku dimana gelombang juga aku gunting menjadi tujuan kapalkapalan itu berlayar menuju hidung mulut ku Sementara burungburungan terus terbang disekitar perut tubuhku terlentang sehabis aku makan watt listrik Pada malam: mataku ngantuk memungut hari memungut ramai sibuk sesak nasib kapalkapalan mulai lambat mulai takut dan burungburungan pun Entah tapi melihatku kini kemeja kursi disebelah TV Kapalkapalan mulai karam mulai goyah mulai habis tapi masih berjalan sesuai dengan kehendak yap...!!! tujuan masih terlihat burungburungan tetap mengitar diatas dis- amping Tv lemari karet Dan aku tetap tak bisa pulang dengan membawa guntingan- guntingan tapi aku bisa melayarkan kapalkapalan tetap pada tempatnya Sebelum konek aku sebelum tidur tak bisa pulang Sumenep 07-05-2012 Sebuah Ingatan Sepi di Atas Rumah Kaca, (ternyata setelah ku temui ternyata kau masih ani) Sampai kabarkabar sore -dan hitungan aku sendiri menya- mun, (kemarin sepi tak ada orang cepat aku bawa berita) orang batu menafsirku, seperti jejak adam kalimatku berhu- ruf jawa, suara gagur mantra senja, siapa mati jadi mayat lalu bangkit, menyulam tanah asin, lelakimu mayat mayat itu, menyalakan lilin, telanjang, mantra senja mulai kubaca di ruhruh kaca man- gga telah berbuah juga musim kemarau antara jalanjalan janji lelakimu merangkap hujan di reklame rekaan bedakah lelakimu dengan pohon mangga di depan ku,jalan rusak petaka, pintu tertata rapi tepian jalan aku masih mengenang apakah kau tak rindu jalan itu tibatiba tepi jalan menyendiri fablet rekaan telanjang kau urungkan niat mu itu memasung tepi, jalan telah sepi kemudian datang tanpa pamit mengalikan senja timur kau lupa laut muak melihatmu seperti wanita dalam nisan wajah memar melacurkan diri mengikat diri mengurung diri melahirkan diri dirimu sumenep 05-03-2007 Penulis adalah mantan divisi sastra periode 2008-2009 UKM Sanggar Lentera STKIP PGRI Sumenep. Terlibat dalam pemenentasan “Percakapan dalam Kulkas” (Fesval Seni Surabaya) Cyborg di Pamekasan, Cyborg di FCD (Fesval Cak Durasim Surabaya), Tari BBM Petaka dalam Botol Puisi Syamsuri RESENSI BUKU “Pertama melihatmu, aku begitu yakin engkau takdirku,”

Upload: doankhuong

Post on 31-Jan-2018

236 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Puisi Syamsuri Rindu Tak Harus Diberi Nama · PDF filedekat Ken Arok. Lelaki itu juga per - nah membaca surat Napoleon kepa-da kekasihnya, Josephine, yang dite-mukan dalam lemari arsip

JUMAT 17 MEI 2013 NO.0119 | TAHUN II 15BUDAYA

APemimpin Redaksi Abrari, Wakil Pemimpin Redaksi Zeinul Ubbadi, Redaktur Ahli M. Husein, Redaktur Pelaksana Abdur Rahem, M. Kamil Akhyari, Sekretaris Redaksi Benazir Nafilah, Tata Letak Didik Fatlurrahman, Novemri Habib Hamisi, Desain Grafis Ach. Sunandar, M. Farizal Amir, Fotografer Mahardika Surya Abriyanto, Website Hairil Anwar, Biro Sumenep Hayat (Kepala) Syah A. Latief, Syamsuni, Junaidi, Biro Pamekasan G. Mujtaba (Kepala), Muhammad Fauzi, Biro Sampang Miftahul Ulum (Kepala), Ryan H, Junaidi, Holis, Biro Bangkalan Moh. Ridwan (Plt. Kepala), Doni Harianto, Biro Surabaya Hana Diman (Kepala), Ari Armadianto, I Komang Aries Dharmawan, Viane Cara Rima Pamela, Joeli Hidayati, Agus Setyawan, I Made Ardhiangga Probolinggo Pujianto, M. Hisbullah Huda, Biro Jakarta Gatti (Kepala), Satya, Cahyono, Willy Kontributor Sugianto (Bondowoso) FL. Wati (Bali) Anwar Anggasoeta (Yogyakarta) Ahmad Sahidah (Malaysia), Manajer Pemasaran Moh. Rasul Accounting Ekskutif Deddy Prihantono, Husnan (Sumenep), Mohammad Muslim, (Pamekasan) Siti Farida, (Sampang), Taufiq (Bangkalan) G. A. Semeru (Surabaya) Penerbit PT. Koran Madura, Komisaris Rasul Djunaidi, Direktur Utama Abrari, Direktur Keuangan Fety Fathiyah, Alamat Redaksi Jl. Adirasa 07 Kolor Sumenep, email [email protected], [email protected], Telepon/Fax (0328) 6770024, No. Rekening BRI 009501000029560, NPWP 316503077608000 http://www.koranmadura.com/ | Wartawan Koran Madura dibekali ID Card (kartu pengenal) dan tidak diperkenankan menerima imbalan berupa apapun dari narasumber

Lelaki itu memandangi sebuah foto di dinding kamarnya. Se-buah foto lama, close up se-

orang perempuan oriental dengan baju batik dan jilbab warna ungu. Lelaki itu menatapnya dalam-dalam, sangat dalam. Lalu menarik nafas.

Tidak diketahui pasti siapa nama perempuan itu. Tetapi lelaki itu me-manggilnya Purnama, sebuah per-sonifikasi dari rembulan nan indah yang hanya muncul sebulan sekali. Itupun bila tidak buruk cuaca dan tak ada gerhana di malam hari. Lelaki itu menertawakan diri sendiri pada gitar di dekapnya dengan suara yang tidak sepenuhnya merdu. Ia menyanyikan lagu Ani. Malam itu ia menyebut bait pertama, “Ani...berhati mulia....”

Lelaki itu kembali tersenyum. Ia mengingat saat masih aktif di pramu-ka, di kelompok pandega. Di dalam pramuka selalu disebut sosok berhati mulia, baik hati, rajin menabung, suka menolong dan tidak sombong. Lalu kakak pembina memekikkan kata salam pramuka sambil menga-cungkan kepal tangan ke angkasa. Lucu, tetapi juga kadang-kadang geli karena salam menjadi terkotak-kotak; salam pramuka, salam damai, dan salam demokrasi.

“Cinta ini sesuatu yang tak lagi baru, tetapi ia tidak pernah basi,” le-laki itu kembali bergumam. Ia tidak ingin mencintai karena tidak mung-kin lagi untuk menjadikannya ibu

yang baik. Tetapi bagaimana mung-kin ia tidak akan mencintai karena ia mencintai, sangat mencintainya. Lelaki itu kembali menarik nafas dan merasa beruntung mencintai per-empuan anggun yang telah mem-buatnya gugup.

Di senjakala yang hendak berakh-ir, tergambar di dalam memori lelaki itu saat masih jadi aktivis. Ia kerap-kali menjadi orator yang berpidato di mimbar bebas. Dari atas podium, ia berpidato datar ketika perem-puan yang dicintainya tidak terlihat dari kerumunan massa. Begitu per-empuan yang dicintainya terlihat di tengah-tengah massa, lelaki itu berbeda. Orasinya sangat kencang mengutuk perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa. “Saatnya revolusi,” urat leher lelaki itu terli-hat dengan jelas, suatu orasi yang berbeda antara adanya dengan tidak adanya perempuan yang dicintainya di tengah massa.

Tetapi ada yang mengherankan pada lelaki itu. Keberaniannya ber-bicara di tengah massa, mengutuk anarkisme polisi-tentara pada orde baru hingga soal kolusi, korupsi dan nopotisme tak diragukan lagi. Nad-anya sangat kencang pada urat leher yang bertaji. Namun saat berbicara di depan Purnama, perempuan yang diserupakan rembulan. Lelaki itu gu-gup, salah tingkah dan auranya sep-erti baru keluar dari lemari es; pucat.

“Engkau kenapa Nda,” perem-puan itu menyapa di suatu pagi, di era silam sebelum waktu berlipat seperti hari ini.

“Tidak apa-apa.”“Yakin?”“He-eh.”“Baiklah.”Tetapi lelaki itu seperti berbo-

hong untuk kebaikan. Ia ingin me-nyembunyikan rasa cintanya kepada Purnama meski tidak dia sadari de-ngan begitu cintanya pada Purnama semakin jelas terlihat dan lebih sem-purna. Namun itulah cinta sejati ka-rena seseorang yang dapat berbicara lancar tiba-tiba menjadi kikuk pada lidah yang sebenarnya tidak kelu. Cinta seperti ratusan bahkan ribuan anak panah yang memacetkan kata-kata.

Pagi datang membawa mendung dan pada matahari yang terindera. Gerimis menyusul meski angin tak begitu terasa. Hanya dingin yang hadir pagi itu. Di radio badan mete-orologi dan geofisika mengabarkan awan akan muncul berwarna kelabu. Tak ada badai di hari itu kecuali pen-demokratisan rasa.

Sebelum gelap menyergap, le-laki itu datang dengan wajah yang gugup. Ia tidak berani bertanya soal rasa cinta meski referensi yang diba-canya menunjuk kaisar yang selalu dekat dengan cinta. Ada Kendedes di dekat Ken Arok. Lelaki itu juga per-

nah membaca surat Napoleon kepa-da kekasihnya, Josephine, yang dite-mukan dalam lemari arsip di sebuah kamar laundry di Swiss. Lelaki itu juga membaca sebuah akun twitter di mana rasa serupa kata-kata yang membatu tentang Purnama yang juga rindu meski tak selaksa telaga dan sunyi yang jauh lebih tajam dari sebilah belati.

“Nda, aku ingat Sapardi soal cinta yang sederhana itu,” perempuan itu belajar mengeja puisi pada tadarus sunyi.

“Aku melampaui itu, kepadamu.”“Begitukah?”“Begitulah.”Dua orang yang memiliki cinta

dan rasa yang berbeda itu hanya bertatapan. Tak ada kata yang teru-cap sebelum akhirnya gerimis turun. Serupa jemaah haji mereka berlari-lari kecil seperti sedang melakukan ibadah sa’i. Mereka berlari seluas padang savana dan mendekat ke kaldera di dekat gunung yang dije-jali eidelweis. Mereka kembali ber-tatap karena waktu seperti berlipat. Mereka ingin kembali ke masa lalu untuk melengkapi cerita lama yang belum kelar (CLBK). Mereka sama-sama menyapa dengan sebutan Nda pada suatu pagi sebelum akhirnya love bird terbang bersama menyusul cahaya. (*)

Madura, 2013

Rindu Tak Harus Diberi Nama

Pondok pesantren merupa-kan lembaga pendidikan yang ada di Indonesia sejak

sebelum masa penjajahan hing-ga saat ini. Namun lembaga ini mendapat pandangan dan stigma konservatif dari berbagai pihak. Tak ayal, karena apa yang dipela-jari hanya berupa kitab kunig (klasik) saja dan tidak mau mengikuti perkem-bangan dunia di luarnya.

Melalui penelitian Abd. Halim Soebahar ini, stigma konservatif terha-dap pesantren akan dicoba untuk disangkal. Karena tidak serta merta pesantren sebagai lembaga pendidikan satu-satunya yang kolot. Objek penelitian dalam buku ini terfokus pada lima pesant-ren yang ada di empat kabupaten di Madura. Di antaranya, Pondok Pesantren al-Amin Sumenep, Pon-dok Pesantren Annuqayah Sume-nep, Pondok Pesantren Banyuan-yar Pamekasan, Pondok Pesantren al-Taroqqi Sampang, dan Pondok

Pesantren Syaikhona Kholil Bang-kalan (16-17).

Objek sampel dalam penelitian ini mengenai tuduhan pesantren sebagai satu-satunya lembaga konservatif akan ditolak dengan melakukan wawancara secara lan-sung, pengumpulan data, dan ob-sevasi partisipan. Melalui analisis

yang digunakan ini tentu akan mendukung terha-dap objek yang menjadi target bahwa pesant-ren merupakan lembaga yang melaju untuk hal yang lebih baru.

Menurut Dhofir, setiap pesantren berkembang melalui cara-cara yang bervari-asi. Pesantren sendiri itu terbagi menjadi dua kategori, yaitu salafi dan khalafi. Namun menurut Abdullah Syukri Zarkasyi meng-klasifikasikannya ke dalam tiga kategori, yaitu pesantren tradi-sional, pesantren modern, dan pesantren perpaduan antara pesantren tradisional dan mod-

ern. Berdasarkan survey Departe-men Agama, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 14.656 unit (Hal. 48).

Dari sekian jumlah yang ada, jumlah pesantren tradisional 9.105 unit, pesantren modern 1.172

unit, dan pesantren terpadu 4.370 unit. Kemudian pada halaman 50-51 disebutkan bahwa jika proses transformasi yang berlangsung berpengaruh terhadap munculnya “temuan baru” (inovasi), maka da-pat dikatakan bahwa pesantren

telah melakukan tiga pola inovasi dalam sistem pendidikannya, yai-tu; pola inovasi yang diprakarsai oleh pemerintah, pola inovasi yang diprakarsai oleh LP3ES dan P3M, dan pola inovasi sporadis yang dilakukan oleh beberapa pesant-ren secara sendiri-sendiri, yakni menampik kemungkinan adanya keseragaman tema yang mengi-katnya dan dilaksanakan menurut persepsinya masing-masing.

Dari pola inovasi ini akan ditemui pola dan sistem rotasi pesantren pada saat ini. Sebenan-ya pesantren memang berada dalam ranah konservatif. Namun dengan lambat laun pesantren berjalan mengikuti arus perkem-bangan zaman saat ini. Terbukti dari lima pesantren yang men-jadi objek penelitian dalam buku ini banyak mengalami pola dan sistem pembelajaran dan proses kepemimpinan saat ini. Karena tidak mungkin manusia yang hidup dalam lingkungan pesant-ren terus mengikuti pola kuno.

Selain itu pula orang yang bera-da di pesantren dengan caranya sendiri sebagai manusia tentu memiliki pikiran dinamis.

Garis besar utama buku ini merupakan bentuk sanggahan ter-hadap pandangan bahwa pesant-ren tak lain merupakan lembaga konservatif. Dari pandangan terse-but digali beberapa sumber bahwa pesantren berada dalam ranah modernisasi. Dengan jelas dan tegas buku ini tidak setuju jika pesantren disebut sebagai lemba-ga yang kolot. Maka dari itu buku ini mencoba meluruskan melalui kajian kepemimpinan kiai dalam pesantren yang ada di Madura dan beberapa sistem pembelaja-rannya serta inovasi-inovasi yang mulai dilakukan dalam lingkungan pesantren itu sendiri.

* Peresensi adalah Mahasantri Pondok Pesantren Al-in’am Pa-jagungan Banjar Timur Gapura

Sumenep Madura.

Menyangkal Pesantren sebagai Lembaga KonservatifPeresensi: Junaidi Khab

Judul Buku Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan

PesantrenPenulis

Prof. Dr. Abd. Halim Soebahar, MAPenerbit

LKiSCetakanI, 2013Tebal

xiv + 230 halaman; 14,5 x 21 cm

ISBN978-602-17575-2-9

DATA BUKU

Sebelum KonekPadamu suatu benda berukuran kurang lebih 14 cm pada tubuh pada otakotak pada kabelkabel dan yang ku gunting, menggunting tahun menjadi burungaburungan dan kapalka-palan Aku berangkatkan di tubuhku dimana gelombang juga aku gunting menjadi tujuan kapalkapalan itu berlayar menuju hidung mulut ku Sementara burungburungan terus terbang disekitar perut tubuhku terlentang sehabis aku makan watt listrik Pada malam: mataku ngantuk memungut hari memungut ramai sibuk sesak nasib kapalkapalan mulai lambat mulai takut dan burungburungan pun Entah tapi melihatku kini kemeja kursi disebelah TV Kapalkapalan mulai karam mulai goyah mulai habis tapi masih berjalan sesuai dengan kehendak yap...!!! tujuan masih terlihat burungburungan tetap mengitar diatas dis-amping Tv lemari karet Dan aku tetap tak bisa pulang dengan membawa guntingan-guntingan tapi aku bisa melayarkan kapalkapalan tetap pada tempatnyaSebelum konek aku sebelum tidur tak bisa pulang

Sumenep 07-05-2012

Sebuah Ingatan Sepi di Atas Rumah Kaca,(ternyata setelah ku temui ternyata kau masih ani) Sampai kabarkabar sore -dan hitungan aku sendiri menya-mun, (kemarin sepi tak ada orang cepat aku bawa berita)orang batu menafsirku, seperti jejak adam kalimatku berhu-ruf jawa,suara gagur mantra senja,siapa mati jadi mayat lalu bangkit, menyulam tanah asin, lelakimu mayat mayat itu, menyalakan lilin, telanjang, mantra senja mulai kubaca di ruhruh kaca man-gga telah berbuah juga musim kemarau antara jalanjalan janji lelakimu merangkap hujan di reklame rekaan bedakah lelakimu dengan pohon mangga di depan ku,jalan rusak petaka, pintu tertata rapi tepian jalan aku masih mengenang apakah kau tak rindu jalan itu tibatiba tepi jalan menyendiri fablet rekaan telanjang kau urungkan niat mu itu memasung tepi, jalan telah sepi kemudian datang tanpa pamit mengalikan senja timur kau lupa laut muak melihatmu seperti wanita dalam nisan wajah memar melacurkan dirimengikat dirimengurung diri melahirkan diri dirimu

sumenep 05-03-2007

Penulis adalah mantan divisi sastra periode 2008-2009 UKM Sanggar Lentera STKIP PGRI Sumenep. Terlibat dalam pemenentasan “Percakapan dalam Kulkas” (Festival Seni Surabaya) Cyborg di Pamekasan, Cyborg di FCD (Festival Cak Durasim Surabaya), Tari BBM Petaka dalam Botol

Puisi Syamsuri

RESENSI

BUKU

“Pertama melihatmu, aku begitu yakin engkau takdirku,”