puisi soe hok gie

Upload: muh-abdillah

Post on 04-Jun-2018

234 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • 8/13/2019 Puisi Soe Hok Gie

    1/7

    Sebuah TanyaAkhirnya semua akan tiba

    pada suatu hari yang biasaPada suatu ketika yang telah lama kita ketahuiApakah kau masih selembut dahuluMemintaku minum susu dan tidur yang lelap?Sambil membenarkan letak leher kemejaku(Kabut tipis pun turun pelan pelandi Lembah Kasih, Lembah MandalawangiKau dan aku tegak berdiri

    Melihat hutan-hutan yang menjadi suramMeresapi belaian angin yang menjadi dingin)Apakah kau masih membelaiku semesra dahuluKetika kudekapKau dekaplah lebih mesra, Lebih dekat(lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepiKota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinyaKau dan aku berbicaraTanpa kata, tanpa suaraKetika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita) Apakah kau masih akan berkataKudengar derap jantungmuKita begitu berbeda dalam semuaKecuali dalam cinta(hari pun menjadi malamKulihat semuanya menjadi muramWajah-wajah yang tidak kita kenal berbicaraDalam bahasa yang kita tidak mengertiSeperti kabut pagi itu)

  • 8/13/2019 Puisi Soe Hok Gie

    2/7

    Manisku, aku akan jalan terusMembawa kenangan-kenangan dan harapan-harapanBersama hidup yang begitu biruCahaya bulan menusukkuDengan ribuan pertanyaanYang takkan pernah kutahu dimana jawaban ituBagai letusan berapiMembangunkanku dari mimpiSudah waktunya berdiriMencari jawaban kegelisahan hati

    From Soe Hok Gie With Love

    Hari ini aku lihat kembaliwajah-wajah halus yang keras

    yang berbicara tentang kemerdekaandan demokrasidan bercita-cita

    menggulingkan tiranaku mengenali mereka

    yang tanpa tentaramau berperang melawan diktator

    dan yang tanpa uangmau memberantas korupsi

    kawan-kawankuberikan padamu cintaku

    dan maukah kau berjabat tanganselalu dalam hidup ini??

    (soe hok gie sinar harapan, 18 agustus 1973)

    CINTA

  • 8/13/2019 Puisi Soe Hok Gie

    3/7

    Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah

    Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza

    Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku

    Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,

    Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah MandalawangiAda serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang

    Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

    Tapi aku ingin mati disisimu, manisku

    Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya

    Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tauMari sini, sayangku

    Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku

    Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendungKita tak pernah menanam apa-apa

    Kita tak pernah kehilangan apa-apa( Selasa, 11 November 1969 )

    Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkanYang kedua dilahirkan tapi mati muda

    Dan yang tersial adalah berumur tuaBerbahagialah mereka yang mati muda

    Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiadaBerbahagialah dalam ketiadaanmu

    CITA-CITASaya mimpi tentang sebuah dunia

    Dimana ulama, buruh, dan pemuda,

    Bangkit dan berkata, Stop semua kemunafikan! Semua pembunuhan atas nama apapun!

    Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu

    Buat anak-anak yang lapar di tiga benua

    Dan lupa akan diplomasi

    Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun

    Dan melupakan perang dan kebencian

    Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baikTuhan, saya mimpi tentang dunia tadi

    Yang tak pernah akan datang( Salem, Selasa, 29 Oktober 1968 )

    Kepada pejuang-pejuang lamaBiarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya.

    Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.

  • 8/13/2019 Puisi Soe Hok Gie

    4/7

    Dan datanglah kau manusia-manusiaYang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.

    Dan kita, para pejuang lamaYang telah membawa kapal ini keluar dari badai

    Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)(kau tentu masih ingat suara-suara dibelakangmereka gila)

    Hai, kawan-kawan pejuang lamaAngkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita

    Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kitaDan tinggalkan kenangan-kenangan dan kejujuran kita

    Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina

    Kapal tua iniDi tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)

    Tempat kita, petualang-petualang masa depan akanPemberontak-pemberontak rakyat

    Di sanaDi tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh

    Gelombang baru.Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini

    Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnyaBiarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya

    Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya.Ayo,,

    Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontakTak ada tempat di kapal ini

    Tentang kemerdekaanKita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan

    Yang tak pernah berakhir,Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah

  • 8/13/2019 Puisi Soe Hok Gie

    5/7

    Dan adik-adikku di belakangTapi satu tugas kita semua,

    Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis.Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar

    Kita adalah alat dari derap kemajuan samua; Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup

    Seperti juga perjalanan di sisi penjaraKemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan

    Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuangDalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita

    Adalah manusia merdeka

    Dalam matinya kita smua adalahManusia terbebas.

    Mandalawangi-PangrangoSendja ini, ketika matahari turunKe dalam djurang-djurang muAku datang kembaliKe dalam ribaanmu, di dalam sepimuDan dalam dinginnya.Walaupun setiap orang berbitjaraTentang manfaat dan gunaAku bicara terima kau dalam keberadaanmuSeperti kau terima daku.Aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi Sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiadaHutanmu adalah misteri segalaTjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta.Malam itu ketika dingin dan kebisuanMenjelimuti mandalawangi

  • 8/13/2019 Puisi Soe Hok Gie

    6/7

    Kau datang kembaliDan bitjara padaku tentang kehampaan semua.hidup adalah soal keberanian,Menghadapi jang tanda tanjaTanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawarTerimalah, dan hadapilah.Dan antara ransel-ransel kosongDan api unggun jang membaraAku terima itu semuaMelampaui batas-batas hutanmu,

    Melampaui batas-batas djurangmuAku tjinta padamu PangrangoKarena aku tjinta pada keberanian hidup

    HidupTerasa pendeknya hidup memandang sejarah

    Tapi terasa panjangnya karena deritaMaut, tempat penghentian terakhir

    Nikmat datangnya dan selalu diberi salamMerasa seneng jadi landa (belanda)

    Kami adalah landa berpangkat kopralIni dibawah asuhan sapiteng, kapiten kok sapitengIni saya mengatur sodat-sodat tidak pokro kabeh,Semua walanda purik kabeh, tinggal aku thok,

    Ini mana kapten kok tidak datang, ini kapten lali po piye?

    Merasa seneng menjadi aktivisKami adalah aktivis berpangkat kopral

    Ini dibawah asuhan aktivis reformasi lanjutkan,Berkelanjutan kok lanjutkan

  • 8/13/2019 Puisi Soe Hok Gie

    7/7

    Ini saya mengatur saudara-saudara aktivis yang sudahMuak dan bosan dengan ideology dan kemiskinannya

    Semua aktivis melacur, tinggal aku aktivis yang belum di sunatIni mana kaptennya aktivis kok belum datang, lupa atau gimana?

    Akhir-akhir ini saya selalu berpikir,Apa gunanya semua yang saya lakukan ini.

    Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orangMakin lama semakin banyak musuh saya dan

    Makin sedikit orang yang mengerti saya.

    Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan.Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan

    Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.(Soe Hok Gie)

    how many times must a man turn his headAnd pretend that he just doesnt seeHow many ears should a man do possessBefore he can hear people cryHow many deaths must taka place till he knowsThat too many people have die(lagublowing in the wind)Referensi :Rifai, Muhammad. Soe Hok Gie : Biografi Sang Demonstran 19421969. Jogjakarta :

    Garasi House of Book, 2010.