puasa dalam agama islam atau shaum

Upload: aulia-rahmawati-hasanin

Post on 31-Oct-2015

138 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

puasa

TRANSCRIPT

Puasa dalam agama Islam atau Shaum (dalam Bahasa Arab ) artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183.

Berpuasa merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Terdapat puasa wajib dan puasa sunnah, namun tata caranya tetap sama.

Waktu haram puasa adalah waktu saat umat Muslim dilarang berpuasa. Hikmah puasa adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya.

Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal)

Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijjah)

Hari-hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah)

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Perintah dalam Al-Quran 2 Hikmah Puasa 3 Secara Aktivitas 4 Jenis-jenis Puasa 5 Syarat wajib puasa 6 Syarat sah puasa 7 Rukun puasa 8 Lihat pula

[sunting] Perintah dalam Al-Quran

Perintah berpuasa dari Allah terdapat dalam Al-Quran di surat Al-Baqarah ayat 183.

"Yaa ayyuhaladziina aamanuu kutiba alaikumus siyaamu kamaa kutiba 'alalladziina min qablikum la allakum tataquun" Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa."

[sunting] Hikmah Puasa

Ibadah shaum Ramadhan yang diwajibkan Allah kepada setiap mumin adalah ibadah yang ditujukan untuk menghamba kepada Allah seperti yang tertera dalam QS. Al- Baqarah/2: 183. Hikmah dari ibadah shaum itu sendiri adalah melatih manusia untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah gigih dan ulet seperti yang dimaksud dalam QS. Ali Imran/3: 146.

1. Baris terlekuk

Baris isi

[sunting] Secara Aktivitas

Puasa adalah menahan. secaara artian adalah menahan keinginan hawa nafsu(atau jasad/diri).namun justru malah menjalankan keinginan keinginan Allah lah yang terkandung di dalam AlQuran. sehingga lebih optimal lagi dalam menjalankan ibadah yang Allah inginkan.

perintah puasa lebih menekankan kedalam aktifitas sendi kehidupan. dimana mampunya kita untuk menahan hawa nafsu kita (bahkan hingga makan dan minum pun kita tahan) kemudian menjalankan keinginan Allah sepenuhnya. sehingga meraih Taqwa

perintah pusa jatuh pada madinah. dimana dikondisi ummat islam saat itu baru saja hijrah dari mekkah setelah di tekan dari berbagai sisi kehidupan.. namun di sinilah terlihat sifat kesabaran(tidak lemah, tidak lesu, pantang mundur) dari semangat ummat islam untuk bangkit menyebarkan ayat-ayat Allah.ke seluruh wilayah..

[sunting] Jenis-jenis Puasa

Puasa yang hukumnya wajib

Puasa Ramadan Puasa karena nazar Puasa kifarat atau denda

Puasa yang hukumnya sunah

Puasa 6 hari di bulan Syawal Puasa Arafah Puasa Senin-Kamis Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak)

Artikel ini tidak memiliki kategori.Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada 2010.

Puasa Asyura (pada bulan muharam)

Puasa 3 hari pada pertengahan bulan (menurut kalender islam), tanggal 13, 14, dan 15

[sunting] Syarat wajib puasa

1. Beragama Islam

2. Berakal sehat

3. Baligh (sudah cukup umur)

4. Mampu melaksanakannya

5. Orang yang sedang berada di tempat (tidak sedang safar)

[sunting] Syarat sah puasa

1. Islam (tidak murtad)

2. Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk)

3. Suci dari haid dan nifas

4. Mengetahui waktu diterimanya puasa

[sunting] Rukun puasa

1. Niat

2. Meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari

3. Sebulan penuh Umat Islam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan lalu, dan hari yang fitri ( 1 Syawal 1427 Hijriah) pun telah kita lalui. Apalagi kita masih berada di bulan Syawal. Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda : "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dan kemudian meneruskannya dengan 6 hari pada bulan Syawal, maka seolah-olah dia berpuasa sepanjang hidupnya." (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nisaa'i dan Ibn Maajah).

Berpuasa 6 hari pada bulan Syawal setelah puasa wajib di bulan Ramadhan adalah merupakan puasa Sunnah Mustahabbah, bukan wajib. Namun puasa ini sangat disarankan kepada umat Muslim, karena kebaikan yang banyak yang ada padanya dan pahalanya yang amat besar. Barangsiapa berpuasa 6 hari pada bulan Syawwal (setelah berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan) akan dicatat baginya pahala seperti dia telah berpuasa selama satu tahun penuh, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih.

Puasa tersebut menurut Imam Ahmad dapat dilakukan berturut-turut atau tidak berturut-turut dan tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan menurut golongan Hanafi dan golongan Syafi'i, lebih utama melakukannya secara berturut-turut, yaitu setelah hari raya.

Puasa tanggal 9 Dzulhijjah (Arafah) bagi selain orang yang melaksanakan Haji. Dari Abu Qatadah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa selama dua tahun, yaitu satu tahun yang telah berlalu dan satu tahun yang akan datang." (HR Jamaah kecuali Bukhari dan Tirmidzi).

Dari Hafshah ra, dia berkata, "Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah saw, yaitu puasa Asyura, puasa sepertiga bulan (yakni bulan Dzulhijjah), puasa tiga hari dari tiap bulan, dan salat dua rakaat sebelum Subuh." (HR Ahmad dan Nasa'i).

Dari Uqbah bin Amir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Hari Arafah, hari Kurban dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya umat Islam dan hari-hari tersebut adalah hari-hari makan dan minum." HR Khamsah (lima imam hadis) kecuali Ibnu Majah dan dinyatakan sahih oleh Tirmidzi.

Dari Ummu Fadhal, dia berkata, "Mereka merasa bimbang mengenai puasa Nabi saw di Arafah, lalu Nabi saw saya kirimi susu. Kemudian Nabi saw meminumnya, sedang ketika itu beliau berkhotbah di depan umat manusia di Arafah." (HR Bukhari dan Muslim).

Puasa Bulan Muharram dan Sangat Dianjurkan pada Tanggal 9 dan 10 (Tasu'a dan 'Asyura). Dari Abu Hurairah ra dia berkata, "Rasulullah saw ditanya, 'Salat apa yang lebih utama setelah salat fardhu?' Nabi menjawab, 'Salat di tengah malam'. Mereka bertanya lagi, 'Puasa apa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan?' Nabi menjawab, 'Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan Muharrom'." (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Daud).

Dari Muawiyah bin Abu Sufyan ra, dia berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Hari ini adalah hari 'Asyura dan kamu tidak diwajibkan berpuasa padanya. Sekarang, saya berpuasa, maka siapa yang mau, silahkan puasa dan siapa yang tidak mau, maka silahkan berbuka." (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Aisyah ra, dia berkata, "Hari 'Asyura' adalah hari yang dipuasakan oleh orang-orang Quraisy di masa jahiliyah, Rasulullah juga biasa mempuasakannya. Dan tatkala datang di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh orang-orang untuk turut berpuasa. Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan beliau bersabda, 'Siapa yang ingin berpuasa, hendaklah ia berpuasa dan siapa yang ingin meninggalkannya, hendaklah ia berbuka'." (Muttafaq alaihi).

Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Nabi saw datang ke Madinah lalu beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura', maka Nabi bertanya, 'Ada apa ini?' Mereka menjawab, hari 'Asyura' itu hari baik, hari Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa saw dan Bani Israel dari musuh mereka sehingga Musa as berpuasa pada hari itu. Kemudian, Nabi saw bersabda, 'Saya lebih berhak terhadap Musa daripada kamu', lalu Nabi saw berpuasa pada hari itu dan menganjurkan orang agar berpuasa pada hari itu. " (Muttafaq alaihi).

Dari Abu Musa al-Asy'ari ra, dia berkata, "Hari 'Asyura' itu diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikan sebagai hari raya. Maka, Rasulullah saw bersabda,"Berpuasalah pada hari itu." (Muttafaq alaihi).

Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Tatkala Rasulullah saw berpuasa pada hari 'Asyura' dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa pada hari itu, mereka berkata, "Ya Rasulullah, ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani," maka Nabi saw bersabda, "Jika datang tahun depan, insya Allah kami berpuasa pada hari kesembilan (dari bulan Muharrom)." Ibnu Abbas ra berkata, "Maka belum lagi datang tahun depan, Rasulullah saw sudah wafat." (HR Muslim dan Abu Daud).

Para ulama menyebutkan bahwa puasa Asyura' itu ada tiga tingkat: tingkat pertama, berpuasa selama tiga hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas. Tingkat kedua, berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Tingkat ketiga, berpuasa hanya pada hari kesepuluh saja.

Berpuasa pada Sebagian Besar Bulan Sya'ban. Dari Aisyah ra berkata, "Saya tidak melihat Rasulullah saw melakukan puasa dalam waktu sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan dan tidak satu bulan pun yang Nabi saw banyak melakukan puasa di dalamnya daripada bulan Sya'ban." (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Usamah bin Zaid ra berkata, Aku berkata, "Ya Rasulullah saw , tidak satu bulan yang Anda banyak melakukan puasa daripada bulan Sya'ban !" Nabi menjawab: "Bulan itu sering dilupakan orang, karena letaknya antara Rajab dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah amal-amal manusia diangkat (dilaporkan) kepada Tuhan Rabbul 'Alamin. Maka, saya ingin amal saya dibawa naik selagi saya dalam berpuasa." (HR Nasa'i dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Khuzaimah).4. Berpuasa pada Hari Senin dan Kamis

Hal ini berdasarkan pada hadis Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw lebih sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis, lalu orang-orang bertanya kepadanya mengenai sebab puasa tersebut, lalu Nabi saw menjawab, "Sesungguhnya amalan-amalan itu dipersembahkan pada setiap Senin dan Kamis, maka Allah berkenan mengampuni setiap muslim, kecuali dua orang yang bermusuhan, maka Allah berfirman, "Tangguhkanlah kedua orang (yang bermusuhan ) itu!" (HR Ahmad dengan sanad yang sahih).

Dalam sahih Muslim diriwayatkan bahwa Nabi saw ditanya orang mengenai berpuasa pada hari Senin, maka beliau bersabda, "Itu hari kelahiranku dan pada hari itu pula wahyu diturunkan kepadaku." (HR Muslim).

Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan

Dari Abu Dzarr al-Ghiffari ra berkata, "Kami diperintah Rasulullah saw untuk melakukan puasa tiga hari dari setiap bulan, yaitu hari-hari terang bulan, yakni tanggal 13, 14 dan 15, sembari Rasul saw bersabda, 'Puasa tersebut seperti puasa setahun (sepanjang masa)'." (HR Nasa'i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Berpuasa Selang-seling (Seperti Puasa Daud)

Dari Abdullah bin Amr berkata, Rasulullah saw telah bersabda, "Puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Daud dan salat yang paling disukai Allah adalah salat Daud. Ia tidur seperdua (separuh) malam, bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya, dan ia berpuasa satu hari lalu berbuka satu hari."

Referensi:

Fiqhus Sunnah, Sayyid SabiqTamamul Minnah, Muhammad Nashirudddin al-Albani.

***

Selain itu, Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"

Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

Waktu haram puasa adalah waktu di mana umat Islam dilarang berpuasa. Hikmahnya adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya. Berpuasa pada Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal ), berpuasa pada Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijjah)Berpuasa pada hari-hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah)

Selain hari-hari tersebut, ada pula waktu dimana umat Islam dianjurkan untuk tidak berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman yang sedang mengadakan pesta syukuran atau pernikahan. Hukum berpuasa pada hari ini bukan haram, melainkan makruh, karena Allah tidak menyukai jika seseorang hanya memikirkan kehidupan akhirat saja sementara kehidupan sosialnya (menjaga hubungan dengan kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.

Puasa juga bagus untuk kesehatan, sebagaimana janji Allah SWT diberikan kepada orang yang berpuasa ditegaskan dengan sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Suny dan Abu Nu'aim: ''Berpuasalah maka anda akan sehat.'' Dengan berpuasa akan sehat jasmani, rohani dan hubungan sosial.

Manfaat puasa bagi tubuh, tidak seorang pun ahli medis baik muslim maupun non muslim yang meragukan manfaat puasa bagi kesehatan manusia. Dalam buku yang berjudul ''Pemeliharaan Kesehatan dalam Islam'' oleh Dr Mahmud Ahmad Najib (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Ain-Syams Mesir), ditegaskan puasa sangat berguna bagi kesehatan. Antara lain: Pertama, Puasa memperkecil sirkulasi darah sebagai perimbangan untuk mencegah keluarnya keringat dan uap melalui pori-pori kulit serta saluran kencing tanpa perlu menggantinya. Menurutnya curah jantung dalam mendistribusikan darah keseluruh pembuluh darah akan membuat sirkulasi darah menurun. Dan ini memberi kesempatan otot jantung untuk beristirahat, setelah bekerja keras satu tahun lamanya. Puasa akan memberi kesempatan pada jantung untuk memperbaiki vitalitas dan kekuatan sel-selnya.

Kedua, Puasa memberi kesempatan kepada alat-alat pencernaan untuk beristirahat setelah bekerja keras sepanjang tahun. Lambung dan usus beristirahat selama beberapa jam dari kegiatannya, sekaligus memberi kesempatan untuk menyembuhkan infeksi dan luka yang ada sehingga dapat menutup rapat. Proses penyerapan makanan juga berhenti sehingga asam amoniak, glukosa dan garam tidak masuk ke usus. Dengan demikian sel-sel usus tidak mampu lagi membuat komposisi glikogen, protein dan kolesterol. Disamping dari segi makanan, dari segi gerak (olah raga), dalam bulan puasa banyak sekali gerakan yang dilakukan terutama lewat pergi ibadah. ***http://www.abatasa.com/pustaka/detail/tips/551/macam-%C3%B1-macam-puasa-sunnah-Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara: Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]: 26). Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa berpuasa adalah baik untuk kamu, dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat. Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada menahan dan berhenti atau tidak bergerak. Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas apa pun aktivitas itu dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk menahan diri dar makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum bagi manusia pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa. Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa. Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas. 1. Puasa wajib pada bulan Ramadhan.2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.3. Puasa sunnah.PUASA RAMADHAN Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Syaban tahun kedua Hijrah. Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman madudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185: Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya. Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu. Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun. Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa. Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu. Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa). Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya beberapa hari tertentu, itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa berpuasa adalah baik. Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan Allah menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan, lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa. Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas. BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit) Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua: 1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa. Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain. b. Awala safarin (atau dalam perjalanan) Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah). Perbedaan lain berkaitan dengan illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini. Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah Swt.? Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafii menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafii menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa. Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan. Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syiah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu: c. Fa iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain). Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Kalimat lalu ia tidak berpuasa adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa. Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syiah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian buat mereka menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas. Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis tetapi dinilai lemah yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabiat, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha) itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabiat dalam fa iddatun min ayyamin ukhar mutatabiat yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang. Meng-qadha (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam Malik, Syafii, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas. d. Wa alal ladzina yuthiqunahu fidyatun thaamu miskin (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184). Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah. Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut: Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah. Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat. e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisaikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]: 187) Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah mengeluarkan sperma dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian ternyata basah, maka puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin. Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama. f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar). Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar. Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat imsak. g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam). Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar. Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan malam. Kata lail berarti sesuatu yang gelap karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail. Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya belum masuk. Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.TUJUAN BERPUASA Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau laallakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw. misalnya, Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga. Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan. Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya. Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas. Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata. Di sini Anda boleh bertanya, Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa? Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.

PUASA DAN TAKWA Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada. Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah. Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam. 1. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit, Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana, atau Api panas, dan membakar, dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.2. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka. Syaikh Muhammad Abduh menulis, Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa). Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt. setiap saat, bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya, sebagaimana bunyi sebuah hadis. Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah Swt.

PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, Takhallaqu bi akhlaq Allah (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah). Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan faali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri: Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-Anam [6]: 101) Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin [72]: 3). Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan, Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan? (QS Al-Anam [6]: 14). Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada. Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai. Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut bukan pada sisi lapar dan dahaga sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa, Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.

PUASA UMAT TERDAHULU Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama. Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu? Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks. Binatang khususnya binatang-binatang tertentu tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga misalnya ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan. Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari. Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok. Potensi dan daya manusia betapa pun besarnya memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya maka arah yang lain, mental spiritual akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian. Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa. Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al-Quran. Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya? Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal? Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, Seandainya umatku mengetahui ( semua keistimewaan ) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan.KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar, Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr. Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar. Di sisi lain sebagaimana disinggung pada awal uraian bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa siapa pun yang dengan tulus berdoa. Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia.http://bulanpuasa.blogdetik.com/2008/08/22/puasa-menurut-al-quran/HADITS-HADITS TENTANG PUASA SENIN KAMIS

Studi Maanil al-Hadits Tentang Puasa Senin Kamis

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT. menjadikan ibadah beraneka ragam yang tujuannya untuk menguji manusia, apakah akan menjadi pengikut hawa nafsu atau menjalankan perintah Allah SWT. sebagian ajaran agama Islam ada yang berbentuk menahan diri dari hal-hal yang disukai, seperti puasa atau lainnya. Puasa telah lama dikenal oleh umat manusia namun, ia bukan berarti telah usang atau ketinggalan zaman. Karena generasi abad dua puluh ini masih melakukannya dengan berbagai motif dan dorongan.[1] Puasa dalam arti menahan dengan niat ibadah[2] menahan nafsu dari hal-hal yang disukai berupa makanan, minuman, bersetubuh, dan menahan dari hal-hal yang dapat mengurangi pahala dalam berpuasa, sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan mengharap ridha Allah SWT.[3] puasa dilakukan antara lain dengan tujuan untuk memelihara kesehatan, pengendalian diri, dan untuk memperoleh taqwa, tujuan tersebut bisa dicapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri.

Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu. Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu: 1) Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta, 2) Puasa dari berbicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan Allah dalam Al-Qur'an, surat Maryam ayat 26 : "Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" (Q.S. Maryam :26), 3) Puasa dari seluruh atau sebagian perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian Yahudi, 4) Puasa Asyura, yaitu puasa amalan orang Yahudi sebelum datang Islam hingga sampai datang Islam, dan Nabi mengikuti puasa Asyura sampai ada perintah puasa Ramadhan baru Nabi menghentikan puasa tersebut.[4] Ibadah puasa dibagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah, adapun puasa wajib adalah puasa Ramadhan, puasa Ramadhan diwajibkan bagi setiap muslim, baligh, berakal, mampu untuk berpuasa baik laki-laki maupun perempuan, serta tidak ada hal-hal yang menghalangi dalam berpuasa seperti haid dan nifas, yang kedua hal tersebut dikhususkan pada perempuan.[5] Perintah puasa Ramadhan itu termaktum dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 183.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,[6]Sedangkan puasa sunnah diantaranya, 1) puasa Nabi Dawud as., yakni sehari puasa dan sehari tidak puasa, 2) puasa pada bulan Muharram pada tanggal sembilan dan sepuluh, 3) Puasa enam hari bulan Syawal. Seperti sabda Nabi saw.,

[7]Artinya: Bahwasannya Rosulullah saw., bersabda: Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diiringi enam hari pada bulan Syawal, maka (pahala puasanya) sama seperti berpuasa setahun penuh.[8]4) puasa tiga hari pada tiap bulan, yakni pada tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan hijriah yang lebih dikenal dengan puasa putih, atau berpuasa pada jumat pertama yaitu senin dan kamis, serta jumat kedua pada hari kamis. Atau yang lebih dikenal dengan puasa senin dan kamis. 5) puasa sembilan hari diawal bulan Zulhijah, yang paling utama adalah pada tanggal sembilan, yaitu hari Arafah bagi umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji, yang fadilahnya sebagai pengampunan atau penghapus dosa setahun yang lalu dan yang akan datang. 6) puasa fi sabilillah, seperti sabda Nabi, dari Abu Said Al-Khudri ra.,

[9]Artinya: Dari Abi Said Al-Khudri ra., ia berkata, saya mendengar Nabi saw., bersabda Barangsiapa berpuasa satu hari dijalan Allah, Allah akan menjauhkannya dari api neraka selama 70 tahun.[10] Dari peryataan diatas mengenai puasa wajib dan sunnah, keduaanya memiliki keistimewaan, seperti dalam sabda Nabi Muhammad saw., yaitu:

[11]Artinya: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah saw., bersabda Semua amal anak Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai 700 kali lipat. Allah Taala berfirman, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dia (anak Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya demi Aku. Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa disisi Allah adalah lebih wangi daripada bau kasturi. [12] Itulah keistimewaan yang diberikan Allah kepada orang yang mengerjakan puasa, mengenai puasa sunnah, yang amat digemari dan dilaksanakan oleh masyarakat khususnya di Indonesia adalah puasa senin dan kamis, menurut sebagian orang, seperti yang tercamtum dalam buku keajaiban puasa senin kamis karya Suyadi, mereka beralasan bahwa;

1. Puasa senin dan kamis adalah media monitoring aktivitas kesehariaan dalam sepekan. Dua hari sebagai monitor untuk tujuh hari kedepan dengan selang tengah, yaitu kamis, merupakan momentum strategis untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.[13]2. Puasa senin dan kamis adalah pengendali segala hawa nafsu manusia. Sebagaimana dalam adab berlaku berpuasa, maka dengan berpuasa segala tindakan dan ucapannya akan jauh dari segala bentuk kegaduhan, kebohongan dan kelicikan. Orang yang berniat secara sungguh-sungguh mencari ridha Allah SWT. dalam berpuasa, akan senang tiasa menjaga lidahnya dari segala ucapan atau perkataan kotor. Demikian juga orang yang berpuasa akan selalu menjaga perbuatan dan tindakannya dari segala bentuk kedzaliman, kecurangan, dan segala tipu muslihat.

Abu Hurairah ra., berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda Jika kamu sedang berpuasa, janganlah berkata keji, jangan rebut (jangan marah). Apabila ada orang yang mencaci atau mengajakmu berkelahi, hendaknya dia diberitahu: Aku berpuasa, (HR. Bukhari dan Muslim).[14]3. Puasa senin dan kamis adalah motivator terbesar dalam setiap langkah kita untuk mencapai tujuan hidup. Dalam kondisi perut lapar, bukan berarti kita kehabisan energi untuk melaksanakan aktivitas. Justru sebaliknya dengan kondisi perut yang demikian semangat aktivitas semakin kreatif dan inovatif. Disamping itu, harapan akan keberhasilan dalam segala apa yang diusahakannya begitu besar. Dalam kondisi seperti ini, orang yang dalam keadaan puasa sangat antipati terhadap putus asa dan pantang menyerah. Segala keberhasilannya ia yakini sebagai limpahan kemurahan Allah SWT. terhadap dirinya, dan segala kegagalan merupakan ujian dari Allah. Atau merupakan keberhasilan yang tertunda. Dengan demikian sifat kesabaran dan tidak putus asa ini akan menyatu dalam sanubarinya.[15] Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 155:

Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Dan juga firman Allah dalam surat Ali-Imran (3) ayat 134:

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.[16]4. Puasa senin dan kamis adalah pembersih hati dan penyuci jiwa dari segala noda. Peryataan Allah akan pahala bagi orang yang berpuasa tidak diragukan lagi. Bahwa puasa adalah ibadah untuk Allah dan bukan untuk diri orang yang berpuasa sendiri, serta Allah sendirilah yang akan memberikan pahala puasa orang tersebut, bukan melalui malaikat atau makhluk yang lainnya. Janji Allah tersebut, jika dicermati secara seksama mengandung harapan dan rasa optimis yang begitu tinggi. Harapan bagi orang yang berpuasa terhadap janji pahala Allah secara lansung tersebut membuat hati kian peka terhadap hal-hal yang dilarang Allah SWT. Segala perbuatannya selalu ditanyakan kepada Quran dan Hadits, apakah hal ini halal atau haram, boleh atau tidak, dibenci atau disukai oleh Allah SWT.. Hatinya kian tunduk dan taat pada-Nya, serta sangat takut akan siksa dan azab di akhirat nanti,[17] seperti dalam firman Allah surat An-Nur (24) ayat 63 dan surat Huud (11) ayat 102.

Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. Artinya: Dan Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.[18]Dari uraian diatas, puasa sunnah yang amat digemari, disenangi dan dikerjakan oleh sebagian masyarakat khususnya di Indonesia adalah puasa senin dan kamis, tetapi disini peneliti masih meragukan tentang waktu pelaksanaan puasa senin kamis itu, juga sebagian dikalangan ulama masih mempertanyakan apakah benar Nabi Muhammad saw. melakukan atau melaksanakan puasa senin kamis dalam satu pekan berjumlah dua kali puasa, seperti dalam riwayat Ahmad no 25091.

: : : . Dalam riwayat diatas belum menjelaskan secara tegas waktu pelaksanaannya. Sedang dalam sebuah riwayat lain ada yang menyatakan dengan tegas tentang waktu melaksanakan puasa senin kamis yaitu Nabi Muhammad melakukan puasa dalam satu bulan itu tiga kali, yakni jumat pertama berpuasa pada hari kamis dan senin, pada jumat kedua berpuasa hari senin, dalam satu bulan. Dari peryataan itu peneliti mengungkapkan bahwa, apakah benar Nabi melakukan puasa secara khusus pada hari senin dan kamis dalam satu pekan, seperti yang dilakukan kebanyakan masyarakat khususnya di Indonesia. Ataukah Nabi malakukan puasa dalam satu bulan tiga kali yaitu pada jumat pertama berpuasa kamis dan senin, sedang jumat kedua berpuasa pada hari senin, ini senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasi no 2675 : .Hipotesis semetara peneliti memberikan peryataan bahwa, Nabi itu hanya melakukan puasa dalam satu bulan itu tiga kali, yaitu jumat pertama berpuasa pada hari kamis dan senin, sedang jumat kedua berpuasa pada hari senin. Sedang yang menyatakan Nabi berpuasa dalam satu pekan dua kali itu tidak ada dalil yang mendukung secara mutlak. Sehingga dengan alasan inilah yang menjadi latar belakang peneliti, untuk menulis karya ilmiah ini, penulis tidak bermaksud menggugat terhadap puasa senin kamis yang sudah berkembang saat ini, tetapi peneliti ingin mencoba meluruskan kesalah pahaman dalam memahami maksud hadits Nabi Muhammad saw. dan juga dalam sebuah ibadah itu memerlukan dalil yang jelas keshahihannya baik dalam segi sanatnya dan matan haditsnya.B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kualitas hadits tentang puasa senin dan kamis?

2. Apakah alasan Nabi melakukan puasa senin dan kamis?

3. Kapankah waktu pelaksanakan puasa senin dan kamis?

4. Apakah ada dalil yang menegaskan bahwa Nabi melakukan puasa senin dan kamis pada tiap pekan dua kali?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui kualitas hadits tentang puasa senin dan kamis.

2. Untuk mengetahui alasan Nabi melakukan puasa senin kamis.

3. Untuk mengetahui waktu pelaksanakan puasa senin dan kamis.

4. Untuk mengetahui ada atau tidak dalil puasa senin dan kamis tiap pekan dua kali.

D. Telaah Pustaka

Kajian pustaka ini merupakan uraian mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang masalah yang sejenis, sehingga dapat diketahui dengan pasti tentang posisi peneliti dan kontribusi peneliti.

Mengenai objek yang penulis bahas, penulis menemukan tiga buah karya tulis yang pernah membahas tentang puasa senin kamis, tetapi dalam segi hubungan puasa senin kamis dalam pengendalian emosi atau hati, pengaruhnya puasa senin kamis terhadap suhu tubuh basal, dan keajaiban puasa senin kamis. Adapun penjelasannya dari tiga karya tersebut adalah pertama; karya dari Fitrianingsih, dengan judul penelitiannya Hubungan antara puasa senin kamis dengan pengendalian emosi santri Pondok Pesantren Nurussalam Krapyak Yogyakarta.[19] Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa, semua orang bahkan makhluk hidup didunia ini setiap waktu pasti atau mengalami suatu emosi baik itu yang menguntungkan maupun yang merugikan diri sendiri dan orang lain. emosi pada diri seseorang tidak dapat dihindari ataupun dihilangkan, emosi yang timbul secara berlebihan akan mudah dikendalikan jika seseorang dengan terbiasa dapat mengenali dirinya sendiri dan mampu menguasai keadaan dirinya. Akan tetapi jika seseorang sulit mengendalikan emosinya yag berlebihan tersebut, maka emosi itu akan merugikan seseorang tersebut.

Ada beberapa macam faktor yang dapat mempengaruhi pengendalian emosi, salah satuanya ialah dengan puasa senin kamis, hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja, karena tidak memerlukan biaya dan tempat yang khusus untuk melakukannya. Puasa senin kamis dapat dijadikan wahana pelatihan mental dengan cara membiasakan diri berpuasa pada hari senin dan kamis, kecuali hari-hari yang dilarang untuk berpuasa, dengan kesadaran diri yang tinggi dan keikhlasan dalam menjalankan ibadah kepada Allah swt.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikansi antara puasa senin kamis dengan pengendalian emosi santri pondok pesantren nurussalam krapyak yogyakarta. Puasa senin kamis juga dapat dijadikan sebagai salah satu teknik dalam sebuah bimbingan dan penyuluhan maupun sebagai pelatihan bagi diri sendiri dalam melatih suatu pengendalian emosi, guna dijadikan seseorang dalam keadaan sehat baik fisik maupun psikisnya untuk menjadi lebih baik bagi diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

Kedua; skripsi karya Yeni Purwaningsih, dengan judul penelitiannya Pengaruh Puasa Senin Kamis Terhadap Suhu Tubuh Basal Santri Pondok Pesantren Nurul Umah Putri Kota Gede Yogyakarta.[20] Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pertama; suhu tubuh orang yang berpuasa senin kamis lebih tinggi dari pada orang yang tidak berpuasa. Kedua; penelitian mengenai pengaruh puasa senin kamis terhadap suhu tubuh basal dapat digunakan sebagai alternatif sumber belajar biologi SMA kelasa XI.

Adapun tulisan yang berbentuk buku mengenai puasa senin kamis yang ditulis oleh Suyadi dengan judul Keajaiban Puasa Senin Kamis[21] dalam bukunya tersebut mengungkapkan tentang rahasia-rahasia dibalik ritual puasa senin kamis, mengenai kesaksian orang yang menjalankan puasa senin kamis, pertama; kisah seorang anak yang menemukan keajaiban setelah rutin menjalankan puasa senin kamis. Dulu anak tersebut sebelum menjalankan puasa, dia sangat kurang kecerdasannya dalam hal berhitung (matematika), bahkan dalam ujian nilainya tidak sampai lima, namun setelah ia menjalakan puasa senin kamis, anak itu menjadi mudah menangkap dan cepat mengerti dalam berhitung sehingga ia menjadi anak yang cerdas sampai lulus SMA. Menurut penelitian atau analisis para dokter mengungkapkan bahwa, ketika perut dalam keadaan lapar, maka energi akan terpusat pada otak, dan dengan begitu otak akan bekerja secara optimal. Sebaliknya jika perut dalam keadaan terlalu kenyang, maka energi akan berpusat pada penguyahan makanan dalam lambung, sementara sinergi keotak akan sangat kecil. Oleh karena itulah banyak orang setelah makan pasti mengantuk, dan saat gantuk otak tidak bekerja lagi. Kedua; kisah seoarang mahasiswa yang awalnya mudah sakit-sakitan seperti, sakit kepala, perut, panas dingin, juga penyakit hati yaitu mudah marah, iri, riya, dan sombong. Namun setelah menjalankan puasa senin kamis dengan secara rutin, ia tidak lagi sakit-sakitan, ataupun penyakit hatinya.

Dari uraian diatas dan Sejauh yang peneliti amati dari penelusuran peneliti terhadap sejumlah literatur samapai sejauh ini, belum ada yang membahas tentang hadits-hadits tentang puasa senin kamis dalam hal Tahqiq al-Haditsnya ataupun dalam hal waktu pelaksanaan puasa senin kamis, dengan demikiaan maka tema dalam penelitian ini layak untuk diteliti lebih lanjut.

E. Metode penelitian

Sesuatu penelitian baik dalam pengumpulan data maupun pengolahannya pasti membutuhkan atau mengharuskan adanya suatu metode yang digunakan. Karena tanpa metode yang jelas maka penelitian tidak akan memperoleh hasil yang maksimal, sistematis, terarah, dan kemungkinan besar penelitian kabur. Metode merupakan cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Dalam kaitannya penelitian ini, penulis akan menggunakan metode yaitu:

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data tentang penelitian ini dengan cara mengumpulkan data-data primer juga dengan data-data sekunder, adapun macam-macam sunber primer adalah pertama; Kutub al-Tisah (Kitab shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ahmad bin Hambal dan al-Muwatta Imam Malik), serta kitab syarah Hadits yang memuat hadits tentang puasa senin dan kamis. Adapun dalam proses pencarian hadits peneliti menggunakan CD Mausuah Hadits Asy-Syarif. Kemudian langkah selanjutnya dalam pengumpulan data-data mengenai biografi para perowi berikut tentang para pengkritik hadits, peneliti mengambil pada kitab-kitab yang berhubungan yaitu kitab Rijalul Hadits (Tahdzibut at-Tahdzib dan Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal). Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku, majalah, artikel-artikel, atau melalui media internet atau yang lebih dikenal dengan google, yang tentunya terkait dengan tema yang dikaji delam penelitian ini.

2. Analisis Data

Mengenai data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Tahqiqil HaditsAdapun langkah-langkah yang ditempuh atau dilakukan dalam mentahqiq hadits adalah:

1) Takhrij al-HaditsKegiatan melacak hadits atau takhrij al-hadits sangat membantu dan penting bagi seorang yang meneliti hadits, dengan melakukan takhrij al-hadits seorang peneliti akan mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti, berbagi periwayat yang telah meriwayatkan hadits itu, dan ada atau tidaknya karroborasi (Syahid[22] dan Mutabi[23]) dalam sanad terhadap hadits yang diteliti.[24]

2) Itibar al-SanadItibar adalah menghadirkan atau menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits yang dikaji, supaya dapat diketahui ada tidaknya periwayatan yang lain untuk sanad yang dimaksud. Adapun tujuanya adalah agar terlihat dengan jelas jalur sanad yang diteliti, baik yang menyangkut dengan nama-nama periwayatnya, serta metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan dan akan diketahui apakah sanad hadits yang diteliti memiliki mutabi dan syahid ataukah tidak.[25]

3) Kritik SanadSanad secara umum dipahami sebagai jalannya hadits sampai ke-Nabi atau rangkaian para perowi hadits yang jalur periwayatannya sampai kepada Nabi. dengan demikian sanad mengandung dua bagian penting yaitu; (a) menyangkut nama-nama para perowi hadits atau para periwayat hadits, (b) lafadz-lafadz yang digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits, misal dengan menggunakan kata samitu, akhbarana, akhbarani, hadasana, dan an. Sehingga kritik sanad ini digunakan untuk meneliti keadaan perowi diantaranya meneliti kualitas pribadi periwayat, meneliti kapasitas intelektual periwayat, meneliti persambungan sanad, meneliti syuzuz, dan illah.[26]4) Kritik MatanPenelitian matan hadits berbeda dengan penelitian terhadap sanad baik pada kriteria maupun cara penilaiannya, istilah yang digunakan dalam menilai suatu matan dari segi diterima atau ditolak suatu matan hadits adalah maqbul[27] dan mardud[28], para jumhur ulama mengatakan bahwa suatu matan hadits itu diterima karena beberapa hal;

a. Tidak bertentangan dengan al-Quran.

b. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir yang setatusnya lebih kuat atau sunnah yang lebih masyhur atau ahad.

c. Tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.

d. Tidak bertentangan dengan sunnatullah.

e. Tidak bertentangan dengan fakta sejarah atau sirah nabawiyah yang shahih.

f. Tidak bertentangan dengan indra, akal, kebenaran ilmiah, atau sangat sulit diinterpretasikan secara rasional.

Hal-hal tersebut juga didukung dengan fenomena kenyataan penelitian hadits lebih sulit dibandingkan dengan penelitian matan hadits.

b. Maani al-HaditsDalam kajian maani al-hadits ini, peneliti akan mengambil metode yang ditawarkan oleh al-Syafii dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif, yaitu dengan cara:

1) Penyelesaian dalam bentuk kompromi

a) Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah usul.

b) Penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual.

c) Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif.

d) Penyelesaian dengan cara takwil.

2) Penyelesaian dalam bentuk nasakh mansukh.3) Penyelesaian dalam bentuk tarjih.

4) Penyelesaian dalam masalah tanawwu al-ibadah.[29]F. Sistematika Pembahasan

Secara keseluruhan dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni halaman depan, isi, dan penutup.

BAB Pertama, berisi pendahuluan yang meliputi penjelasan, latar belakang, batasan dari rumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB Kedua, berisi tentang Tahqiqil hadits dengan mengunakan metode Takhrij al-Hadits (memaparkan hadits-hadits yang terkait) sehingga terlihat ada variasi sanad dan matan haditsnya, kemudian melakukan itibar hadits, setelah itu mengkritik periwayatannya sehingga terlihat kualitas haditsnya, kemudian menganalisa matan hadits, agar mendapat kehujjahan hadits untuk dipahami lebih lanjut.

BAB Ketiga, berisi tentang pemahaman hadits puasa senin kamis yang membahas atau mengkaji tentang waktu pelaksanakan puasa senin dan kamis, dan pembuktian atau keabsahan dalil yang menegaskan bahwa Nabi melakukan puasa senin dan kamis pada tiap pekan dua kali.

BAB Keempat, berisi penutup yang berfungsi sebagai penegasan kembali hasil eksplorasi tema, meliputi kesimpulan dan saran-saran. Adapun daftar pustaka dan abtraksi merupakan kelengkapan dan lampiran.

RENCANA DAFTAR ISIBAB 1. PENDAHULUAANA. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

D. Telaah Pustaka

E. Metode penelitian

F. Sistematika pembahasan

BAB II. TAHQIQIL HADITSA. Takhrij

B. Itibar Sanad Hadits

C. Penelitiaan Sanad Hadits

D. Analisis Matan Hadits

BAB IV. PEMAHAMAN HADITS PUASA SENIN KAMISA. Waktu Pelaksaan Puasa Senin kamis

B. Alasan Nabi Berpuasa Pada Hari Senin kamis

C. Ada atau Tidak Dalil Tentang Puasa Senin Kamis Dalam Satu Pekan Dua kali

BAB V. PENUTUPA. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKAM. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Bandung: Mizan Media Utama, 2009.

Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, penerjemah Fadhli Bahri, Lc. Ensiklopedi Muslim, (cetakan ke-sepuluh, Jakarta Timur: PT. Darul Falah, 2006).

Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, penerjemah Achmad Munir Badjeber, dkk, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Cetakan ke-enam, Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2009).

http://rhomadonaislam.blogspot.com/2009/08/sejarah-puasa.html, pada tanggal 6 maret 2010, jam 10.30.

Al-Quran dan Terjemah Bahasa Indonesia dan Inggris, Al-Quran in Microsoft Word 2010.

CD Maushuah Hadits As-Syarif Al-Khutub Sittah, Sakhr, 1991.

Suyadi, Keajaiban Puasa Senin dan Kamis, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2009.

Skripsi karya Fitrianingsih, Hubungan antara puasa senin kamis dengan pengendalian emosi santri Pondok Pesantren Nurussalam Krapyak Yogyakarta, Fakultas Dakwah, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, 2008.

Skripsi karya Purwaningsih, Pengaruh Puasa Senin Kamis Terhadap Suhu Tubuh Basal Santri Pondok Pesantren Nurul Umah Putri Kota Gede Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Biologi, 2007.

Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodelogi Penelitian Hadits, Yogyakarta: TERAS, 2009.

Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.

Al-Fatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits, Yogyakarta: Teras, 2009.

[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Bandung: Mizan Media Utama, 2009, hlm. 479.

[2] Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, penerjemah Fadhli Bahri, Lc. Ensiklopedi Muslim, (cetakan ke-sepuluh, Jakarta Timur: PT. Darul Falah, 2006), hlm. 413.

http://keluargadarmanto.blogspot.com/2010/04/hadits-hadits-puasa-senin-kamis.htmlMengapa Nabi Muhammad SAW menganjurkan kita mesti puasa sunnah pada tiap hari Senin dan Kamis? Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Segala amal perbuatan manusia pada hari Senin dan Kamis akan diperiksa oleh malaikat, karena itu aku senang ketika amal perbuatanku diperiksa aku dalam kondisi berpuasa. (HR. Tirmidzi)

Puasa yang dilakukan secara rutin dapat memberikan banyak manfaat bagi fisik/lahiriah maupun jiwa/bathiniah.

Pengakuan Para Ahli

Hal ini juga diakui oleh beberapa orang ahli dari Barat yang non-muslim, seperti Allan Cott M.D (Amerika), Dr. Yuri Nikolayev (Rusia) dan Alvenia M. Fulton (Amerika).

Allan Cott M.D bahkan telah membukukan beberapa hikmah dari puasa ke dalam sebuah buku yang berjudul Why Fast?

Berikut adalah beberapa hikmah dari puasa yang diambil dari buku Why Fast? :1. To feel better physically and mentally (merasa lebih baik secara fisik dan mental)2. To look and fell younger (supaya terlihat dan merasa lebih muda)3. To clean out the body (membersihkan badan)4. To lower blood pressure and cholesterol levels (menurunkan tekanan darah dan kadar lemak)5. To get more out of sex (lebih mampu mengendalikan sex)6. To let the body health itself (membuat tubuh sehat dengan sendirinya)7. To relieve tension (mengendorkan/melapaskan ketegangan jiwa)8. To sharp the senses (menajamkan fungsi indrawi)9. To gain control of oneself (memperoleh kemampuan mengendalikan diri sendiri)10. To slow the aging process (memperlambat proses penuaan)

Komentar Para Ahli Lainnya

Sementara itu, Dr. Yuri Nikolayev berpendapat bahwa kemampuan puasa yang bisa membuat seseorang menjadi awet muda adalah sebagai suatu penemuan terbesar abad ini. Beliau mengatakan: What do you think is the most important discovery in our time? The radioactive watches? Exocet bombs? In my opinion the bigest discovery of our time is the ability to make onself younger phisically, mentally and spiritually through rational fasting.

(Menurut pendapat Anda, apakah penemuan terpenting pada abad ini? Jam radioaktif? Bom exoset? Menurut pendapat saya, penemuan terbesar dalam abad ini ialah kemampuan seseorang membuat dirinya tetap awet muda secara fisik, mental, dan spiritual, melalui puasa yang rasional).

Alvenia M. Fulton, Direktur Lembaga Makanan Sehat Fultonia di Amerika Serikat menyatakan bahwa puasa adalah cara terbaik untuk memperindah dan mempercantik perempuan secara alami. Puasa menghasilkan kelembutan pesona dan daya pikat.

Puasa menormalkan fungsi-fungsi kewanitaan dan membentuk kembali keindahan tubuh (fasting is the ladies best beautifier, it brings grace charm and poice, it normalizes female functions and reshapes the body contour).

Ketiga orang ahli tersebut yang notabene adalah non-muslim bahkan mengakui kehebatan dari puasa. Mengapa kita yang muslim justru terkadang melalaikannya? Padahal jelas sekali Rasulullah telah bersabda seperti di atas tersebut.

Mari kita mulai berpuasa, jangan menunggu hingga Ramadhan tiba untuk berpuasa karena belum tentu usia kita akan sampai ke Ramadhan mendatang. Mari kita mulai dengan puasa sunnah Senin-Kamis. Semoga ALLAH SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-NYA kepada kita semua. Amiin ya Rabb al-Alamin.. [dheryudi]

Puasa adalah amalan yang sangat utama. Dengan puasa seseorang akan terlepas dari berbagai godaan syahwat di dunia dan terlepas dari siksa neraka di akhirat. Puasa pun ada yang diwajibkan dan ada yang disunnahkan. Setelah kita menunaikan yang wajib, maka alangkah bagusnya kita bisa menyempurnakannya dengan amalan yang sunnah. Ketahuilah bahwa puasa sunnah nantinya akan menambal kekurangan yang ada pada puasa wajib. Oleh karena itu, amalan sunnah sudah sepantasnya tidak diremehkan.

Keutamaan Orang yang BerpuasaDari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

. Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Taala berfirman (yang artinya), Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi. (HR. Muslim no. 1151)Dalam riwayat lain dikatakan,

Allah Taala berfirman (yang artinya), Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku. (HR. Bukhari no. 1904)Dalam riwayat Ahmad dikatakan,

Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya), Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. (HR. Ahmad. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)Di antara ganjaran berpuasa sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

1. Pahala yang tak terhingga bagi orang yang berpuasa

2. Amalan puasa khusus untuk Allah

3. Sebab pahala puasa, seseorang memasuki surga

4. Dua kebahagiaan yang diraih orang yang berpuasa yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.

5. Bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum daripada bau minyak kasturi.

Lakukanlah Puasa dengan Ikhlas dan Sesuai Tuntunan NabiAgar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu:

1. Ikhlas karena Allah.

2. Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam (ittiba).

Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak.

Dalil dari dua syarat di atas adalah firman Allah Taala,

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al Kahfi: 110)Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pen). Dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[1]Al Fudhail bin Iyadh tatkala menjelaskan mengenai firman Allah,

Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam).Lalu Al Fudhail berkata, Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 19)

Baca tentang syarat diterimanya ibadah di sini.

Dalil Anjuran Puasa Senin-Kamis[Dalil pertama]Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,

Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.[2][Dalil kedua]Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.[3][Dalil ketiga]Dari Aisyah, beliau mengatakan,

- - .Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.[4]Faedah Puasa Senin-Kamis1. Beramal pada waktu utama yaitu ketika catatan amal dihadapkan di hadapan Allah.

2. Kemaslahatan untuk badan dikarenakan ada waktu istirahat setiap pekannya.

Catatan: Puasa senin kamis dilakukan hampir sama dengan puasa wajib di bulan Ramadhan. Dianjurkan untuk mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan berbuka. Untuk masalah niat, tidak ada lafazh niat tertentu. Niat cukup dalam hati.

Amalan yang Terbaik adalah Amalan yang Bisa DirutinkanDari Aisyah radhiyallahu anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Taala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit. Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [5]Dari Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.[6]Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin Aisyah, Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beramal? Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal? Aisyah menjawab,

. - - Tidak. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu alaihi wa sallam lakukan.[7]Baca tentang amalan yang kontinu di sini.

Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan yang mulia ini. Amalan yang rutin biar pun sedikit, itu lebih baik.

Nantikan pembahasan mengenai puasa-puasa sunnah lainnya. Semoga Allah mudahkan.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.comDisusun di Pangukan-Sleman, 14 Shofar 1431 H

[1] Tafsir Al Quran Al Azhim, Ibnu Katsir, 9/205, Muassasah Qurthubah.

[2] HR. Muslim no. 1162.

[3] HR. Tirmidzi no. 747. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1041.

[4] HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami no. 4897.

[5] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[6] HR. Muslim no. 782

[7] HR. Muslim no. 783

Dahsyatnya Puasa Senin Kamis.

Siapa sih yang tidak ingin awet muda, bebas penyakit, sekaligus selamat dunia akhirat ? Kalau kita ingin mendapatkan semua itu, cobalah berpuasa Senin-Kamis secara teratur.

Kebanyakan dari kita tentunya pernah mendengar puasa Senin Kamis sebagai puasa sunnah di dalam Islam. Namun, berapa yang benar-benar berusaha merutinkan puasa tersebut ?

Kalau hari itu kebetulan ada acara pengajian dan makan-makan, bukannya lebih enak makan-makan ketimbang puasa sunnah ? Kalau pagi itu kebetulan tidak sempat sahur, bukannya lebih nyaman absen puasa dulu ? Bagaimanapun, puasa Senin Kamis itu hanyalah 'sunnah' bukan ?

Tak banyak dari kita yang tahu benar hikmah puasa Senin Kamis dari segi spiritual, kesehatan dan keutamaannya di hadapan Allah. Karena itu, dalam rubrik tadzkirah IMSIS kali ini, ada baiknya kita mengupas hikmah puasa Senin Kamis supaya kita lebih semangat menjalaninya.

Alasan utama mengapa puasa Senin Kamis disunahkan dalam Islam ialah karena Rasulullah sering berpuasa di kedua hari tersebut.

Tapi, apa keutamaan Senin dan Kamis ?

Sehubungan dengan hal ini ada 2 hadis dari Rasulullah yg berkenaan dengan pemilihan hari Senin dan Kamis.

Yang pertama, dalam Hadist Riwayat Ahmad disebutkan bahwa Rasulullah mengatakan bahwa semua amal dibentangkan di hari Senin dan Kamis. Karena itu, sebagai orang beriman, sungguhlah baik bila pada saat malaikat melaporkan amalan kita itu kita tengah berpuasa.

Yang kedua, hari Senin Kamis adalah hari istimewa karena pada hari itulah Rasulullah dilahirkan, menjadi rasul dan mendapat wahyu (HR Muslim).

Jadi terlihat disini bahwa hari Senin dan Kamis adalah hari istimewa dari sisi religius.

Dari sisi logika, bisa dilihat bahwa hari Senin dan Kamis membagi satu 'minggu' menjadi dua bagian yang hampir sama rata. Jadi kentara sekali bahwa puasa Senin Kamis mempunyai fungsi maintenance atau pemeliharaan. Analoginya mungkin sama dengan pembagian waktu minum obat kala kita sakit. Tentu kita ingat, kala kita sakit, kita sering disuruh minum obat 2x sehari, yaitu 1x di pagi hari dan 1x di malam hari. Kalau dilihat, waktu2 dimana kita disuruh minum obat 2x tersebut membagi kurang lebih hari itu menjadi 3 bagian yang sama. Hal ini berlaku juga dengan Senin dan Kamis yang membagi satu minggu menjadi dua bagian.

Dengan berpuasa di hari Senin dan Kamis, secara tidak langsung kita melakukan maintenance untuk diri kita secara rutin baik dari segi spiritual maupun jasmani.

Lalu, apakah keutamaan puasa yang berkelanjutan seperti puasa Senin Kamis ini ?

Keutamaan yang pertama ialah karena puasa Senin Kamis melatih kita secara teratur untuk menghindarkan diri dari pekerjaan dosa. Kalau ada latihan efektif untuk 'anger management' atau latihan kesabaran, maka itulah puasa. Karena itu, cocoklah jika dikatakan bahwa puasa adalah zakat jiwa, dimana pada saat puasa, kita membuang perangai buruk. Sehingga sesudah puasa, emosi dan spiritual kita menjadi lebih bersih.

''Segala sesuatu itu ada zakatnya,sedang zakat jiwa itu adalah berpuasa. Dan puasa itu separo kesabaran''.(HR. Ibnu Majah).

Dengan menghilangnya perangai buruk kita, minimal seminggu dua kali, maka bisa juga dikatakan bahwa ''Puasa adalah benteng yg membentengi seseorang dari api neraka yg membara''.{HR.Ahmad dan Baihaqi}.

Keutamaan yang kedua ialah karena puasa Senin Kamis bisa meningkatkan amalan kita. Biasanya, seseorang yang kekenyangan dan keenakan cenderung malas beribadah. Puasa menjadikan kita lebih produktif dalam beribadah karena selain kita tidak lagi dalam posisi keenakan, orang yang berpuasa juga cenderung ingin beribadah ekstra. Disamping itu, puasa bisa melembutkan hati. Ini karena dengan puasa, kita cenderung lebih berempati dengan orang-orang yang lebih tidak beruntung dibanding kita. Karena itu, puasa bisa menjadikan kita lebih dekat dengan Allah dan lebih bertakwa.

Tidaklah salah kalau dalam Quran disebutkan bahwa puasa diperintahkan pada kita dan orang2 sebelum kita supaya kita menjadi orang yang bertakwa (Al Baqarah 183).

Selain dari keuntungan dari segi emosional spiritual seperti yang dijelaskan diatas, puasa juga memiliki keutamaan dari segi kesehatan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini sudah ada banyak riset yang menyimpulkan bahwa puasa yang teratur itu baik untuk kesehatan.

Manfaat kesehatan dari puasa yang paling populer adalah puasa bisa dibilang sebagai cara ampuh untuk membatasi kalori yang masuk ke tubuh kita. Dalam Islam dan bidang kedokteran, dianjurkan untuk tidak makan berlebihan, karena makanan yang berlebih dan tidak sehat bisa menimbulkan penyakit. Lihat saja masyarakat di negara makmur yang mana makanan berlimpah. Selain tingkat obesitas tinggi, masyarakat negara-negara tersebut banyak yang mengidap diabetes dan jantung yang notabene sering dijuluki sebagai penyakit orang kaya. Dengan puasa Senin Kamis, paling tidak, dalam dua kali seminggu, kita membatasi kalori yang masuk dalam tubuh kita.

Manfaat lain dari puasa ditinjau dari segi kesehatan yang juga banyak dipopulerkan adalah fungsi pembersihan dan penyembuhan. Dengan istirahatnya sistem pencernaan kita selama puasa, maka memungkinkan sistem2 lain di tubuh kita untuk bekerja dengan lebih baik, misalnya sistem imunitas. Inilah sebabnya mengapa orang yang sakit atau binatang yang terluka suka menolak makan. Andaikata kita tidak sedang sakit pun, polisi imunitas bekerja keras saat kita puasa. Jika polisi-polisi ini mendeteksi hal-hal yang kira-kira nanti bisa membuat kita sakit atau hal-hal abnormal, seperti tumbuhnya kista atau tumor, maka pada hari kita puasa, mereka bisa memberantasnya.

Sistem detoksifikasi tubuh juga bekerja lebih lancar jika kita tidak menerima asupan lagi. Disini, mungkin kita bisa membayangkan sistem pembersihan tubuh kita seperti pegawai yang kewalahan mengerjakan tugasnya kalau tugas datang bertubi2. Akibatnya, fungsi pembersihan tubuh tidak terkerjakan dengan maksimal dan sangat mungkin luput mengeliminasi beberapa zat-zat yang kurang baik untuk tubuh kita. Dengan berhentinya asupan, maka tugas dari sistem pembersihan tubuh kita menjadi lebih manageable sehingga kinerjanya menjadi lebih maksimal.

Sistem peremajaan juga bekerja dengan maksimal saat kita puasa karena Allah mendesain tubuh kita untuk mengeluarkan hormon yang erat kaitannya dengan anti-aging kala kita puasa. Karena itu tidaklah mengherankan jika pada suatu eksperimen ditemukan bahwa cacing yang berpuasa bisa hidup 19 generasi lebih lama dibanding cacing yang tidak berpuasa. Kalau ada obat anti aging yang ampuh, itulah puasa. Bisa jadi puasa Senin Kamis secara teratur nantinya menjadikan kita awet muda dan bebas penyakit di hari tua.

Lalu bagaimana dengan orang yang sering mengeluhkan tidak bisa bekerja karena kelaparan dan lemas pada saat puasa seperti yg terlihat jelas di Indonesia dimana kinerja orang menjadi turun saat puasa? Jika hal ini terjadi, bisa jadi kelaparan itu terjadi karena kita tidak bekerja dengan baik atau kurang konsentrasi. Yang jelas, puasa tidak mempunyai pengaruh buruk terhadap otak dan daya pikir kita. Malahan, sudah ada penelitian yang membuktikan bahwa puasa malah meningkatkan daya pikir kita.

Masih banyak lagi manfaat kesehatan dari puasa,misalnya puasa bisa menghindari atau mengurangi diabetes dan penyakit vascular seperti jantung. Yang jelas, kala Sang Pencipta kita mewajibkan kita puasa minimum setahun sekali selama Ramadhan , Dia tahu bahwa puasa itu baik bagi kita. Bayangkan dahsyatnya puasa kala kita bisa merutinkannya seminggu dua kali seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Walaupun begitu, perlu diingat dan digarisbawahi bahwa semua amal tergantung niat. Jika niat puasa kita hanyalah dari segi kesehatan, maka itulah yang kita dapat. Namun kala niat puasa kita adalah dalam rangka meningkatkan kualitas spiritualitas kita dan mendekatkan diri pada Allah maka tidak hanya kita mendapat fisik yang prima, namun juga ridho Allah dan keselamatan dunia akhirat. Sebagai muslim, ridha Allah terletak di atas segala-galanya. Allah sangat menyukai orang yang berpuasa karena Allah, sehingga Allah menjanjikan gerbang khusus di surga bagi yang gemar berpuasa, yaitu Ar-Rayyan (H.R Muslim).

Maka dari itu, marilah kita galakkan dan rutinkan puasa-puasa sunnah seperti puasa Senin Kamis dalam rangka meraih ridha Allah dan salah satu cara untuk meraih jannahNya. Insya Allah dengan puasa yang rutin, kita tidak hanya mendapat balasan di akhirat nanti, tetapi kita juga mendapat keuntungan di dunia berupa kesehatan yang prima dan daya pikir yang jernih.

http://sister.imsa.us/index.php/en/artikel/dakwah/58/1063-dahsyatnya-puasa-senin-kamisIbadah Puasa merupakan salah satu rukun islam dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, Surat AlBaqoroh : 183

Hai Orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa segaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.

Ibadah puasa adalah Menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti Makan, minum, bersetubuh, haid nifas sejak terbitnya fajar sodiq sampai terbenamnya mega merah (subuh sampai maghrib). Oleh karena itu memerlukan persiapan yang sungguh sungguh agar puasa menjadi optimal dapat meraih predikat taqwa. Persiapan itu antara lain meliputi: (1) Persiapan mental/Psikhis, (2) Persiapan Fikriah (pemikiran), (3) Persiapan Jasadiah (kesehatan), (4). Persiapan Maal (harta), (5) Persiapan Keluarga , (6) Persiapan Lingkungan Masyarakat. Persiapan-persiapan ini mempermudah kita mendapatkan kesempurnaan Ibadah puasa Ramadhan. Segi kesehatan merupakan faktor penting dalam menjalankan puasa romadhon, karena bila seseorang tidak sehat maka Allah swt. Memberi keringanan berupa penggantian puasa yang ditinggal itu di hari lain. Salah satu upaya kita untuk mempersiapkan kesehatan dengan mengetahui lebih dalam bagaimana perspek