prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul kebijakan pembangunan peternakan babi di...

306

Upload: others

Post on 12-Apr-2020

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)
Page 2: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [ii]

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional

Ternak Babi

Peran Peternakan Babi dalam Konstelasi Penyedia

Pangan Nasional Denpasar, 5 Agustus 2014

Penyunting: Komang Budaarsa

Ida Bagus Komang Ardana N. Sadra Dharmawan

I Wayan Suarna I Gede Mahardika

N. N. Suryani I N. Tirta Ariana

A. A. A. Sri Trisnadewi

Diterbitkan Oleh:

Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar Bali 80232 Telp./ Fax. (0361) 222096 e-mail: [email protected]

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS UDAYANA

Denpasar, 2014

Page 3: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [iii]

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional

Ternak Babi

Peran Peternakan Babi dalam Konstelasi Penyedia

Pangan Nasional

Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar Bali 80232 Telp./ Fax. (0361) 222096 e-mail: [email protected]

Isi prosiding dapat disitasi dengan menyebutkan sumbernya

KATA PENGANTAR

Dicetak di Denpasar, Bali, Indonesia

Penyunting: Komang Budaarsa, Ida Bagus Komang Ardana, N. Sadra Dharmawan, I Wayan Suarna, I Gede

Mahardika N. N. Suryani, I N. Tirta Ariana, A. A. A. Sri Trisnadewi

Prosiding Seminardan Lokakarya Nasional Ternak Babi, diselenggarakan di Denpasar, 5 Agustus 2014 vii + 291 halaman

ISBN: 978-602-294-028-9

Page 4: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [iv]

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkatrahmatNya Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014

dengan tema “Peran Peternakan Babi dalam Konstelasi Penyediaan Pangan

Nasional” dapat diselesaikan dengan baik. Seminar dan Lokakarya Nasional

Ternak Babi dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 2014 oleh Fakultas Peternakan

Universitas Udayana dalam rangka Dies Natalis Universitas Udayana dan Hari

Ulang Tahun Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang ke-52.

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional ini merangkum rumusan

seminar nasional, rumusan lokakarya nasional, deklarasi pembentukan AITBI,

makalah lengkap dari pemakalah seminar yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu

Produksi Ternak Babi, Nutrisi Ternak Babi, dan Kesehatan Ternak Babi.

Panitia mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana,

Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, dan Direktur Pascasarjana

Universitas Udayana atas fasilitas dan bantuan yang diberikan sehingga Seminar

dan Lokakarya Nasional Ternak Babi dapat terselenggara dengan baik.

Terimakasih juga disamapaikan kepada sponsor (terlampir), pemakalah/keynote

speaker, peserta seminar, dan semua anggota panitia yang banyak membantu dari

persiapan sampai terselenggaranya Semiloka Nasional ini dengan baik. Semoga

Prosiding ini dapat berguna sebagai ajang pertukaran ilmu khususnya tentang

ternak babi.

Denpasar, Nopember 2014

Ketua Panitia

Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS.

Page 5: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [v]

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................ Iv

DAFTAR ISI .......................................................................................... V

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL ....................................................

RUMUSAN LOKAKARYA ...................................................................

DEKLARASI AITBI ...............................................................................

1

3

4

MAKALAHKEYNOTESPEAKER....................................................... 5

Ir. I Putu Sumantra, Mapp.Sc. (Kepala Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Bali) ......................................................

Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan

Universitas Udayana) ......................................................................

6

12

KUMPULAN MAKALAH

.....................................................................

31

MAKALAH KELOMPOK I: PRODUKSI TERNAK BABI

............

32

Performans Reproduksi Induk Babi Melalui Ovulasi Ganda

Dengan PMSG Dan hCG Sebelum Pengawinan

Mien Theodora Rossesthellinda Lapian........................................

33

Peluang Dan Tantangan Pengembangan Ternak Babi Bali Di

Kabupaten Gianyar Provinsi Bali

I W. Suarna dan N. N. Suryani......................................................

51

The Utilization of Azollapinnata in Reducing Pollutants on A Pig

Farm Liquid Waste

Vonny R W Rawung dan Jeanette E M Soputan ...........................

60

Pengaruh Penambahan Probiotik Kering Pada Ransum Babi

terhadap Daya Simpan Daging dan Dampak Lingkungan sebagai

Usaha Menuju Peternakan Babi yang Berkelanjutan

Tirta A., I N., A. A. Oka, S. A. Lindawati, I Gd.Suarta, I Gede

Suranjaya, dan Md. Dewantari .....................................................

61

Penggunaan Protexin untuk Menurunkan Angka Kematian Anak

Babi Sampai Disapih

Rachmawati WS dan Ni Luh Gde Sumardani ..............................

69

Hubungan Antara Ukuran Testis dengan Volume Semen dan

Konsentrasi Spermatozoa pada Babi

Ruben Panggabean, Iis Arifiantini, WMM Nalley, dan Bondan

Achmadi.......................................................................................

76

Penentuan Waktu Optimal Pemeriksaan Integritas Membran

Plasma Sperma Babi Menggunakan Hypo-Osmotic Swelling

(HOS) Test

IN Donny Artika, RI Arifiantini, TL Yusuf, dan WM Nalley .........

86

Page 6: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [vi]

Pengaruh Pemberian Jenis Antibiotika terhadap Penampilan

Anak Babi Prasapih

Sriyani, N. L. P., Tirta, A., I N., I W. Sukanata, dan Md.

Artiningsih R. .................................................................................

96

Analisis Usahatani Penggemukan Ternak Babi dengan

Pengaturan Ransum

Ida Ayu Parwati, L. G. Budiari,dan N. Suyasa,.............................

101

Studi Kebutuhan Babi untuk Warung Makan Babi Guling di Bali

Miwada, INS., IG. Mahendra, K. Budaarsa, dan Martini H.........

Pengaruh Bahan Pengencer Biologis Terhadap Kualitas Semen

Babi Hampshire

Suberata I W, Artiningsih NM, Sumardani NLG, Putra Wibawa

AAP, A. T. Umiarti ........................................................................

112

128

MAKALAH KELOMPOK II: NUTRISI TERNAK BABI

..............

142

Potensi Ampas Sagu sebagai Pakan Babi

Tabita N. Ralahalu .........................................................................

143

Pengaruh Penambahan Tepung Tanaman Bangun-bangun

(Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum terhadap Penampilan

Reproduksi Induk Babi dan Anak Babi Menyusu

Pollung H. Siagian, Agik Suprayogi, dan Parsaoran Silalahi ......

154

Penampilan Ternak Babi yang Diberi Pakan Mengandung

Tepung Bekicot (Achatina fulica) sebagai Pengganti Tepung

Ikan

Egedius, L. L.,K. Budaarsa, dan I G. Mahardika ........................

167

Pengaruh Suplementasi Starbio dalam Pakan dengan 40% Dedak

Padi terhadap Penampilan Babi Landrace

I K. Sumadi,I M. Gede Wijaya, dan I. B. Sudana ..........................

169

Penampilan Babi Landrace yang Diberikan Pakan Mengandung

Enceng Gondok

I Wayan Sudiastra, I Gd. Mahardika, K. Budaarsa, dan N. S.

Dharmawan ....................................................................................

179

Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Hotel dalam Ransum

terhadap Bobot Potong dan Komposisi Fisik Karkas Babi

Persilangan (Babi Bali Saddleback) Tjok Gde Oka Susila, Tjok Istri Putri, dan Tjok Gede Belawa

Yadnya......................................................................................................

180

Distribusi Lemak Karkas Babi Persilangan Saddleback dengan

Babi Bali yang Diberi Ransum Tradisional dengan Suplementasi

Rumput Laut

Ni W. Siti, Suci Sukmawati, Ni M., Ni G. K. Roni, Ni M.

Witariadi, dan I N. Ardika

................................................................................

192

Page 7: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [vii]

MAKALAH KELOMPOK III: KESEHATAN TERNAK BABI

.....

201

Sistiserkosis Pada Babi Di Bali

Nyoman Sadra Dharmawan, Kadek Swastika, I Ketut Suardita, I

Nengah Kepeng,Yasuhito Sako, Munehiro Okamoto, Toni

Wandra, dan Akira Ito ...................................................................

202

Daun Kelor (Moringa oleifera) sebagai Feed Suplemen untuk

Meningkatkan Daya Tahan Babi terhadap Infeksi Parasit

Intestinal

Nyoman Adi Suratma, Hapsari Mahatmi, IBK Ardana dan I N

Kertha Besung .............................................................................

212

Babi Sebagai Hewan Model Harvesting Dan Implantasi STSG

dengan Aplikasi PRFM dan PRP

Mirta Hediyati Reksodiputro .........................................................

220

Strategi Pencegahan Penyakit Infeksi pada Peternakan Babi

Ida Bagus Komang Ardana, Dewa Ketut Harya Putra, W.

Sayang Yupardi, Ni Luh Gede Sumardani, I G.A. Arta

Putra,dan I G. Suranjanjaya

......................................................................

229

Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Titer Hog Cholera pada

Babi

I Nyoman Suartha, Rui Daniel de Carvalho, Nyoman Sadra

Dharmawan ...................................................................................

239

Pengujian Babi Menggunakan Morfologi Spermatozoa Pada

Berbagai Breed Pewarnaan Eosin-Nigrosin dan Carbofluchsin

Annisa Fithri Lubis, R Iis Arifiantini, WM Nalley, Bondan

Achmadi .........................................................................................

246

Diferensiasi Colibacillosis Pada Babi Berdasarkan Lesi

Histopatologi (Studi Retrospectif)

I Ketut Berata, I Made Kardena dan Ida Bagus Oka Winaya......

256

Peran Babi sebagai Reservoir Balantidium coli dalam Penyebab

Disentri

Ida Ayu Pasti Apsari.....................................................................

264

Babi sebagai Hewan Pilihan untuk Hewan Coba

I Komang Wiarsa Sardjana ...........................................................

270

Introduksi Vaksin ETEC dalam Menurunkan Kejadian Diare

Akibat Enterotoxigenic Escherichia colipada Anak Babi

Nyoman Suyasa dan IAP. Parwati ................................................

280

LAMPIRAN ........................................................................................... 289

JADWAL ACARA SEMNAS II HITPI ......................................... 290

DAFTAR JADWAL PRESENTASI .............................................. 291

Page 8: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [viii]

Page 9: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [1]

RUMUSAN SEMINAR

Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi yang diselenggarakan pada

tanggal 5 Agustus 2014 oleh Fakultas Peternakan Universitas Udayana dalam

rangka Dies Natalis Universitas Udayana dan Hari Ulang Tahun Fakultas

Peternakan Universitas Udayana yang ke-52. Seminar dan Lokakarya Nasional

Ternak Babi dilaksanakan di Lt. 3 Gedung Pascasarjana Universitas Udayana

Denpasar.

Pembicara utama (keynotespeaker) pada seminar nasional terdiri dari

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Ir. I Putu Sumantra, MApp.Sc.

(Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali) dengan makalah

yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof.

Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

dengan judul makalah Potensi Ternak Babi dalam Pemenuhan Daging di Bali.

Sedangkan makalah dari peserta seminar terdiri dari 28 makalah yang

dipresentasikan secara oral. Peserta seminar berasal dari berbagai institusi di

seluruh Indonesia Fakultas Peternakan dan Fakultas Kedokteran Hewan dari

Iinstitut Pertanian Bogor, Uiversitas Jenderal Seodireman, Uiversitas Airlangga,

Universitas Udayana, Universitas Nusa Cendana, Universitas Sam Ratulangi,

Universitas Patimura, BPTP Bali, dan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

Prov.Bali, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores

(NTT).Ke-28 makalah dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok Produksi

Ternak Babi, Nutrisi Ternak Babi, dan Kesehatan Ternak Babi. Intisari atau hasil

dari masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:

Intisari atau hasil dari masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:

Kelompok 1: Masalah klasik tentang perlunya peningkatan produktivitas dan

penanganan masalah ternak babi dalam rangka menghadapi

tantangan pengembangan peternakan babi di Indonesia.

Kelompok 2: Pakan yang menduduki biaya tertinggi dalam indusri peternakan

babi, masih terus diusahakan dan dicari solusi untuk menekan

seminimal mungkin biaya pakan dengan berbagai manipulasi

yang berasal dari bahan yg murah, mudah diperoleh, dan bernilai

Page 10: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [2]

gizi tinggi.

Kelompok 3. Dalam menjalankan usaha peternakan babi, baik skala kecil atau

menengah-industri, tindakan preventif adalah lebih baik dari

tindakan kuratif. Berbagai hasil penelitian banyak dilakukan

untuk tindakan pencegahan tersebut.

Page 11: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [3]

RUMUSAN LOKAKARYA

Lokakarya yang dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui dan mendata

para pakar atau peneliti dan pemerhati peternakan babi, dan merintis berdirinya

asosiasi atau perhimpunan para peneliti dan praktisi di bidang peternakan babi

yang diawali dengan pembentukan jejaring melalui media sosial sehingga dapat

menyebarkan informasi tentang ternak babi secara lebih cepat. Lokakarya diikuti

oleh 16 orang yang berasal dari wakil instritusi dari perguruan tinggi dan praktisi

dalam bidang peternakan babi.

Hasil lokakarya adalah deklrasi atau kesepakatan terbentuknya Asosiasi

Ilmuwan Ternak Babi Indnesia (AITBI) yang ditandatangi oleh 16 orang peserta

lokakarya. Isi deklarasi atau kesepakatan seperti terlampir pada Lampiran 1.

Pada akhir pelaksanaan semiloka, dibacakan deklarasi pembentukan

AITBI dan disaksikan oleh seluruh peserta semiloka.

Page 12: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [4]

PANITIA PELAKSANA

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL TERNAK BABI

Sekretariat: Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman DenpasarBali –

80232. Telp. 0361-222096 Fax. 0361-222096; e-mail: [email protected]

DEKLARASI PEMBENTUKAN

ASOSIASIILMUWANTERNAKBABI INDONESIA (INDONESIANSWINESCIENTISTASSOCIATION(ISSA)

Kami

yangbertandatangandibawahini,denganpenuhkesadaran,menyatakan

dukungandan persetujuanuntuk dibentuknyaAsosiasi

IImuwanTernakBabi Indonesia(AlTBI),

yanguntukselanjutnyadisebutIndonesian Swine Scientist

Association(ISSA),yangakanmenjadimedia komunikasi,sekaligusmedia

pengembangan profesidiantaraIImuwan-ilmuwanTernakBabidiIndonesia.

Untukmenindaklanjutimaksud

tersebutdiatas,kiranyaperludibentukKelompok Kerja (Pokja), yang

bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan

denganpembentukanasosiasiyangdimaksud.

Demikiandeklarasiinikamibuat,dengankesungguhanhatidansemogaTuhan

YangMahaEsasenantiasamerestuidanmerahmatiikhtiarini.

Denpasar,5Agustus2014

Page 13: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [5]

MAKALAH

KEYNOTE

SPEAKER

Page 14: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [6]

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN BABI DI PROVINSI

BALI

Ir. I Putu Sumantra, MApp.Sc.

DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

PROVINSI BALI

2014

Abstrak

Babi merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran dan prospek yang baik

untuk dikembangkan di wilayah Bali.Disesuaikan dengan Rencana Umum Tata

Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerah. Pasar komoditas

ternak babi dan/atau produk olahan ini masih terbuka lebar.Selain untuk

memenuhi kebutuhan lokal setiap tahun pengeluaran daging babi mengalami

peningkatan setiap tahunnya. Pada 2013 tercatat mengeluarkan daging babi

sebanyak 1.053 ton. Pada Tahun 2011populasi babi di Bali sebanyak 922.739 ekor

dibandingkan dengan populasi tahun 2012 sebanyak 890.197 ekor terjadi

penurunan sebesar 3,35%. Populasi Babi pada tahun 2013 berdasarkan hasil

cacah jiwa ternak sebanyak 852.319 ekor juga mengalami penurunan dari tahun

2012 sebesar 4,26%. Dalam pengembangan ternak babi masalah yang sering

dihadapi untuk memasukkan bibit babi unggul terutama dari luar pulau Bali sering

menyebabkan terjangkitnya penyakit ternak seperti: Hog Chollera, Avian

Influenza dan juga mengakibatkan harga daging, bibit dan pakan berfluktuasi,

sehingga merugikan peternak babi di Bali. Disamping bibit babi unggul, harga

pakan yang berfluktuasi menyebabkan pengembangan ternak babi menjadi

menurun, dan dalam dunia usaha peternakan acapkali terjadi persaingan usaha

antara peternak kecil (Mandiri) dengan pengusaha, dimana merugikan peternakan

kecil. Meskipun terjadi pengeluaran namun kualitas ternak babi dimasyarakat

terjadi penurunan.Provinsi Bali dalam rangka meningkatkan kualitas bibit ternak

telah melaksanakan program upgradingterhadap babi yang ada di Bali dengan

mendatangkan babi unggul setiap 5 (lima) tahun sekali dan Inseminasi Buatan

pada babi, baik dari Pemerintah maupun pihak swasta. Dan terakhir pada tahun

2003 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali memasukkan Babi

unggul dari Australia. Pada 2008 program untuk memasukkan bibit unggul tidak

bisa terlaksana, mengingat anggaran dialokasikan untuk kegiatan prioritas

Page 15: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [7]

“Swasembada Daging Sapi Tahun 2010”. Pada tahun 2013 Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Bali sudah menganggarkan memasukkan semen cair

dari Australia sebanyak 50 dosis, tidak terealisasi karena terjadi hubungan

diplomatik yang kurang harmonis antara Indonesia dengan Australia. Tetapi pada

tahun 2014 telah dianggarkan untuk memasukan semen cair dari Australia.Untuk

pelestarian sumber daya lokal khususnya babi bali, difokuskan di Kabupaten

Karangasem dan Buleleng. Populasi Babi Bali di khususnya Babi Bali tahun 2013

tercatat sebanyak 253.959 ekor dan juga mengalami penurunan 10,75% kalau

dibandingkan dengan populasi tahun 2012 sebanyak 284.531 ekor. Selain

peningkatan kualitas bibit, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali

juga mengantisipasi terjadinya penyebaran penyakit, dan menggairahkan

peternakan Babi di bali serta perlindungan Usaha Peternakan melalui Peraturan

Gubernur Bali Nomor 33 Tahun 2005 tanggal 1 Nopemebr 2005, tentang

“Penutupan Sementara Pemasukan Ternak Babi dan Produksinya Dari Luar

Pulau Bali” dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2013 tanggal 4 Maret

2013 tentang “Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan

di Provinsi Bali”.

1. PENDAHULUAN

Babi merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran dan prospek

yang baik untuk dikembangkan di wilayah Bali terutama di wilayah pemukiman

non muslim dan disesuaikan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerah. Pasar komoditas ternak babi dan/atau

produk olahan ini masih terbuka lebar ke berbagai negara seperti Singapura dan

Hongkong. Meskipun ekspor ternak babi berada di urutan kedua setelah ternak

ayam, namun ternak babi belum menjadi komoditas unggulan pemerintah. Fokus

perhatian pemerintah hingga saat ini masih dominan pada ternak ruminansia besar.

Kegiatan usaha budidaya ternak babi di pemukiman penduduk yang

semakin intensif akan menimbulkan permasalahan yang komplek terhadap

lingkungan hidup. Permasalahan yang paling sering dijumpai dari peternakan babi

adalah kotoran dan urine yang menyebabkan bau. Kesulitan pembuangan limbah

kotoran ternak, urine dan permasalahan lingkungan sekitar usaha. Limbah organik

yang dihasilkan di lahan peternakan seperti kotoran ternak sisa pakan lebih

banyak menimbulkan masalah seperti penyakit ternak dan lingkungan dari pada

keuntungan yang ditimbulkannya. Permasalahan lingkungan tersebut sebagian

besar disebabkan oleh limbah organik yang tidak terurai dengan baik, sehingga

menimbulkan masalah-masalah lingkungan seperti bau, gas beracun, hama

penyakit dan terjadi fluktuasi harga pakan, bibit dan daging serta penurunan

kualitas ternak/mutu genetic pada babi. Selain masalah tersebut juga terjadi

Page 16: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [8]

persaingan usaha antara peternakan kecil (Mandiri) dengan pengusaha, maka

peran pemerintah sangat diperlukan.

2. POTENSI

a. Potensi lahan untuk pengembangan peternakan dan pengembangan

pakan ternak belum dimanfaatkan secara optimal :

1. Lahan Tegal : 133.138 Ha

2. Lahan Sawah : 81.908 Ha

3. Lahan Hutan : 125.354 Ha

4. Lahan Perkebunan : 118.218 Ha

b. Sumber Daya Manusia

- Peternakan sangat dekat dengan ternak (Sosiokultura)

- Masyarakat Bali > 60% memelihara ternak.

- Hampir sebagian besar masyarakat Bali beternak babi sebagai

tatakan banyu (sisa dapur).

c. Kelembagaan

Selain dipelihara dirumah tangga/perorangan beternak babi juga

dilaksanakan secara berkelompok (GUBBI). Di Bali kelompok ternak babi dapat

dilihat sebagai berikut :

No.

Kabupaten/Kota JUMLAH TAHUN 2013

Kelompok Orang

1. Jembrana 68 1.277

2. Tabanan 46 909

3. Badung 35 607

4. Gianyar 78 1.405

5. Klungkung 12 284

6. Karangasem 63 1.858

7. Bangli 40 1.101

8. Buleleng 113 3.031

9. Denpasar 30 150

J u m l a h 485 10.622

d. Populasi

No

Kabupaten/

JUMLAH TAHUN 2013

Babi Bali Babi Saddle Babi Landrace

Page 17: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [9]

. Kota Back dan

Peranakannya

dan

Persilangannya

1. Jembrana 5.785 12.543 50.566

2. Tabanan 4.796 3.140 83.836

3. Badung 1.087 9.462 74.222

4. Gianyar 2.606 20.576 111.156

5. Klungkung 18.613 5.546 10.389

6. Karangasem 73.677 28.624 43.424

7. Bangli 12.601 16.097 39.549

8. Buleleng 134.794 46.604 26.291

9. Denpasar - 1.292 15.043

J u m l a h 253.959 143.884 454.476

e. Pasar

- Bali sebagai daerah pariwisata terbuka dalam pemasaran produk

peternakan.

- Pasar Lokal seperti : Babi Guling, urutan, krupuk.

- Pasar antar pulau : seperti produk olahan

f. Teknologi

Terdapat beberapa lembaga penyedia teknologi (BPTP, BBVet,

Universitas).

3. ISU-ISU STRATEGIS

1) Menurunnya kualitas bibit/mutu genetik babi dimasyarakat

2) Harga pakan yang sering berfluktuasi

3) Harga bibit dan daging yang tidak stabil

4) Persaingan peternak kecil dengan pengusaha

5) Masih cukup banyak Rumah Tangga Miskin (RTM)

4. KEBIJAKAN

1) Meningkatkan kualitas bibit ternak babi melalui upgrading dan

Inseminasi Buatan (IB) dengan memasukan bibit unggul dari luar

daerah/luar negeri.

a). Pemasukan Bibit Unggul

No.

Tahun

Ras Jenis Kelamin

Jumlah

Asal

Ket Jantan Betina

1 1985 Saddleback 4 5 9 Australia PT. Pusaka

Page 18: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [10]

Landrace 8 15 23 Australia Tunggul

Naga Lardwhite 8 15 23 Australia

2 1988 Landrace 105 180 285 P. Bulan Banpres I

3 1991 Landrace 70 210 280 P. Bulan Banpres II

4 1992 Landrace 4 8 12 Australia PT. Sari

Bumi Raya Lardwhite 3 5 8 Australia

5 2002 Landrace 5 5 10 Australia Pemprov.

Bali Lardwhite 5 5 10 Australia

6 2003 Landrace 5 2 7 Australia Dirjennak

Lardwhite 3 1 4 Australia Dirjennak Duroc 2 2 4 Australia Dirjennak Saddleback 1 - 1 Australia Dirjennak Hamshira - 1 1 Dirjennak

b). Inseminasi Buatan (IB)

Inseminasi Buatan pada babi dilaksanakan mulai tahun 2003. Semen

cair yang digunakan untuk pelaksanaan IB diproduksi oleh Balai

Inseminasi Buatan daerah (BIBD) Provinsi Bali dengan target produksi

dan pelaksanaan 3 tahun terakhir sebagai berikut:

No. TAHUN PRODUKSI REALISASI KET

1. 2011 9.000 9.000

2. 2012 9.000 9.089

3. 2013 9.000 8.885

2) Harga pakan, bibit dan daging yang sering berfluktuasi

Pemasukan ternak babi dari luar pulau Bali sering menyebabkan

terjangkitnya penyakit ternak seperti : Hog Chollera, Avian Influenza

dan juga mengakibatkan harga daging, bibit dan pakan berfluktuasi,

sehingga merugikan peternak babi di Bali. Untuk mengantisipasi hal

tersebut, dilakukan kebijakan berupa Peraturan Gubernur No. 33

Tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang “Penutupan

Sementara Pemasukan Ternak Babi dan Produksinya Dari Luar

Pulau Bali” dan berlaku sampai saat ini.

Dan khususnya harga pakan yang berfluktuasi, Pemerintah Provinsi

Bali berencana membuat pabrik pakan ternak di Provinsi Bali yang

pada tahun 2014 baru tahap Fleksible Study(FS) yang akan

dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi.

3) Persaingan peternak kecil dengan pengusaha

Dalam dunia usaha peternakan acapkali terjadi persaingan usaha antara

peternak kecil (Mandiri) dengan pengusaha, dimana merugikan

peternakan kecil. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan

Page 19: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [11]

perlindungan usaha dalam upaya menjamin adanya kepastian hokum

untuk memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dalam

menjalankan usahanya dari praktek monopoli, persaingan usaha tidak

sehat dan pemusatan kekuatan ekonomi oleh kelompok usaha tertentu

melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2013 tanggal 4 Maret

2013 tentang “Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha

Peternakan di Provinsi Bali”.

4) Pemerintah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Bali pada tahun 2015 dalam mendukung

program Bali Mandara Jilid 2 melalui kegiatan penanggulangan

kemiskinan dengan penyebaran bibit ternak pada RTM di lokasi bedah

rumah, sesuai dengan potensi lahan yang dimiliki (setiap KK

mendapatkan 2 ekor babi) yang dialokasikan pada 50 KK miskin di 8

(delapan) Kabupaten di Bali.

5. KESIMPULAN

1) Usaha peternakan babi di Bali mempunyai prospek yang cukup

potensial, sesuai dengan RUTR dan RDTR daerah.

2) Program upgrading/peningkatan mutu genetik dan Inseminasi Buatan

pada babi dengan mendatangkan babi unggul dan semen cair dari luar

negeri dalam upaya peningkatan mutu genetik babi yang ada di

Provinsi Bali setiap 5 (lima) tahun yang dilaksanakan baik oleh

pemerintah maupun pihak swasta (Pengusaha ternak babi) perlu

dilaksanakan secara berkelanjutan.

3) Dalam upaya mengantisipasi terjadinya penyakit, menggairahkan

usaha peternakan babi di Bali serta memberikan perkembangan usaha

peternakan dari praktek monopoli dan pesaing usaha tidak sehat, Dinas

Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali telah mengambil

kebijaksanaan menerbitkan Peraturan Gubernur :

a. Peraturan Gubernur No. 33 Tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005

tentang “Penutupan Sementara Pemasukan Ternak Babi dan

Produksinya Dari Luar Pulau Bali” dan berlaku sampai saat ini.

b. Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2013 tanggal 4 Maret

2013 tentang “Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha

Peternakan di Provinsi Bali”.

Page 20: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [12]

POTENSI TERNAK BABI DALAM PEMENUHAN DAGING DI BALI

Komang Budaarsa

Fakultas Peternakan Universitas Udayana

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penduduk pulau Bali mayoritas (83,46%) memeluk agama Hindu, hanya 13,37%

yang beragama Islam, sisanya 3,17% beragama Kristen, Budha Konghucu dan

aliran kepercayaan lain, oleh karena itu daging babi merupakan salah satu daging

yang dikonsumsi cukup banyak oleh masyarakat. Selain itu ternak babi

dipelihara tidak semata untuk dikonsumsi dagingnya, tetapi juga untuk keperluan

upacara adat dan agama. Babi guling misalnya, digunakan sebagai sesaji pada

berbagai upacara adat dan agama. Peternakan babi di Bali sampai saat ini

mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang ekonomi masyarakat,

khususnya di pedesaan. Sekitar 80% rumah tangga di pedesaan memelihara

ternak babi yang jumlahnya antara 1 – 3 ekor. Ternak babi sebagai ternak

penghasil daging mempunyai kelebihan dibandingkan ternak lain, antara lain

karena karkasnya yang relatif tinggi mencapai 65%, bersifat prolifik (beranak

banyak) bisa mencapai 12 ekor sekali beranak, dan mampu beranak dua kali

dalam satu tahun. Kalau dilihat perkembangan ternak babi lima tahun terakhir

(2009-2013) di Bali tampak terjadi penurunan populasi. Menurut Buku Cacah

Jiwa Ternak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali tahun 2013,

populasi babi tahun 2009, 2010, 2011, 2012 dan 2013 berturut turut 925.290,

918.087, 922.739, 890.197, dan 852.319 ekor.Sementara kalau dilihat jumlah

pemotongan babi tahun 2012 sebanyak 1.780.055 ekor, meningkat 10,67%

dibandingkan tahun 2011. Kalau dari data tersebut dihitung bobot karkasnya

diperoleh angka 115.703,575 ton, dengan asumsi bobot babi yang dipotong adalah

100 kg. Selanjutnya dengan perhitungan komposisi daging adalah 51% dari

karkas, maka produksi daging tahun 2012 adalah 59.008,823 ton. Penurunan

populasi berdampak pada penurunan produksi daging babi. Turunnya populasi

ternak babi antara lain disebabkan oleh rendahnya harga babi di pasaran, dan

tingginya harga pakan sehingga banyak peternak yang gulung tikar. Peran

pemerintah dalam menstabilkan populasi dengan cara melarang masuknya babi

dari luar sangat perlu, sehingga tercapai harga babi yang menguntungkan peternak,

di sisi lain harga daging terjangkau oleh konsumen. Peran pemerintah tersebut di

Bali sudah dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun

2013, tentang Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan di

Provinsi Bali. Perlu ketegasan pemerintah sesuai dengan peranan dan

tanggungjawabnya yang telah tertuang dalam pergub tersebut. Peran pemerintah

Page 21: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [13]

yang lain adalah dalam hal pemetaan wilayah (Zonasi) untuk usaha peternakan

yang jelas dan pasti, sehingga peternak bisa beternak dengan nyaman, tidak

dipermasalahkan oleh warga, mengingat modal yang ditanam untuk usaha

peternakan babi tersebut cukup tinggi.

. Kata kunci: Hindu, babi, daging babi, pemeri

PENDAHULUAN

Kebutuhan daging nasional setiap tahunnya terus meningkat sejalan

dengan meningkatnya jumlah penduduk. Menurut laporan Badan Pusat Statistik

tahun 2013 penduduk Indonesia tahun 2010 sudah mencapai anggka 237.6 juta

jiwa, dan saat ini jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 250 juta

jiwa. Semetara konsumsi daging pertahun/kapita masyarakat Indonesia paling

rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Menurut laporan FAO tahun

2010, konsumsi daging Indonesia hanya 11,14 kg/kapita/tahun, sementara

Thailand 28,31 kg/kapita/tahun, Philipina 31,8 kg/kapita/tahun, Vietnam

40,65kg/kapita/tahun, Malaysia 48,99kg/kapita/tahun, Brunai 65,12

kg/kapita/tahun dan Singapura 71,1 kg/kapita/tahun (Igbal, 2011).

Walaupun sumber protein hewani sangat beragam, namun daging masih

dipandang sebagai alah satu sumber protein yang penting mengingat kandungan

asam-asam amino esensialnya sangat lengkap. Disamping itu, daging

mempunyai kecernaan yang cukup tinggi, dan citarasa yang enak, sehingga sangat

disukai oleh konsumen. Secara nasional pemenuhan daging masih didominasi

dari ternak sapi dan ayam, dari babi porsinya sangat sedikit. Data Apfindo

(Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) tahun 2007menunjukan

bahwa pangsa konsumsi daging nasional didominasi oleh daging ayam sebesar

56%, sapi 23%, babi 13%, kambing dan domba 5%, dan lainnya sekitar 3%.

Berbicara masalah potensi babi sebagai daging babi di Bali setidaknya

ada tiga aspek yang patut diperhatikan. Pertama adalah aspek produksi,

mengingat tradisi beternak babi di Bali seolah menjadi pekerjaan wajib

masyarakat di pedesaan. Kedua dari aspek pemasaran daging babi di Bali

sangat potensial dihubungkan dengan jumlah penduduk, sosiobudaya dan Bali

sebagai daerah tujuan wisata internasional. Ketiga dari aspek peran pemerintah

dalam membantu peternak babi melalui regulasi dan kewenangannya. Ketiga

Page 22: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [14]

aspek tersebut secara bersama-sama akan sangat berpengaruh terhadap

perkembangan peternakan babi di Bali yang memiliki keunikan tersendiri,

dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

ASPEK PRODUKSI

Kependudukan

Peternakan babi di Bali sampai saat ini mempunyai peranan yang sangat

penting dalam menunjang ekonomi masyarakat, khususnya di pedesaan. Sekitar

80% rumah tangga di pedesaan memelihara ternak babi yang jumlahnya antara 1-

3 ekor. Walaupun bersifat sambilan, namun babi terbukti menjadi salah satu

sumber pendapatan yang sangat diandalkan bagi keluarga. Pemeliharaan ternak

babi sangat membantu menstabilkan ekonomi masyarakat, terutama saat-saat

keperluan dana mendadak dalam jumlah yang cukup banyak. Ternak babi

menjadi cadangan dana pengaman dalam sistem keuangan keluarga. Itulah

sebabnya di Bali memelihara babi identik dengan membuat celengan atau

menabung.

Dari aspek kependudukan di Bali sebenarnya sangat mendukung untuk

usaha peternakan babi. Penduduk pulau Bali tahun 2012 tercatat 3.686.665 jiwa

dan yang termasuk dalam usia kerja sebanyak 3.008.973 orang (81,67%) dengan

komposisi non muslim dan muslim adalah 86,63% dan 13,37%, karena itu

merupakan potensi yang sangat besar untuk menggerakkan sektor peternakan

babi. Dikaitkan dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian berdasarkan sensus

pertanian tahun 2013 tercatat 408.233 rumah tangga, terdiri atas jasa pertanian

5.257 rumah tangga, kehutanan 141.012 rumah tangga, perikanan14.869 rumah

tangga, perkebunan, 220.893 rumah tangga, pangan 218.591 rumah tangga,

hotikultura 238.834 rumah tangga dan sub sektor peternakan 315.747 rumah

tangga. Berdasarkan data tersebut jelas terlihat bahwa usaha rumah tangga di

bidang subsektor peternakan jumlahnya paling banyak yakni 77,34%. Hal ini

merupakan potensi yang luar biasa dalam pengembangan usaha peternakan di

Bali, termasuk peternakan babi di dalamnya.

Page 23: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [15]

Data pada bulan Agustus 2013 menunjukkan penduduk Bali yang bekerja

di sektor pertanian masih menempati urutan teratas, yaitu 545, 83 ribu orang atau

24% dari total penduduk yang bekerja. Urutan yang kedua adalah mereka yang

bekerja di sektor jasa sebanyak 16,86%. Demikian juga kalau dikaitkan dengan

penggangguran, pada bulan Februari 2013 tercatat tenaga penggangguran di Bali

sebanyak 45.38ribu orang. Dari jumlah tersebut sangat mungkin ada yang

bersedia bekerja di sektor peternakan, khususnya peternakan babi. Mereka bisa

menjadi peternak mandiri, bermitra dengan pengusaha, atau paling tidak menjadi

tenaga kerja di sektor peternakan.

Produksi Ternak Babi di Bali

Peternak babi di Bali saat ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu

peternak mandiri dan peternak dengan pola kemitraan. Sistem pemeliharaan

ternak babi di Bali khususnya peternak mandiri sebagian besar masih tradisonal,

bahkan ada yang masih sangat sederhana, dengan cara mengikat dengan tali,

kemudian diikatkan pada patok. Sama sekali tidak ada tempat khusus untuk

berbaring, tanpa atap penaung panas dan hujan. Jika musim hujan, maka babi

berendam dalam lumpur, mirip kerbau. Babi diberi makan seadanya (Gambar 1).

Namun saat ini sudah banyak juga yang memelihara dengan sistem semi intensif

bahkan modern. Sedangkan peternak dengan pola kemitraan umumnya sistem

pemeliharaannya sudah intensif.

Gambar 1. Sistem pemeliharaan babi secara tradisional dan intensif.

Peternak di Bali lebih banyak memilih babi ras jenis peranakan landrace

untuk diternakan dibandingkan babi bali atau jenis babi lainnya. Alasannya, babi

peranakan landrace pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan babi jenis lain.

Selain itu, babi landrace kandungan lemaknya lebih sedikit dibandingkan dengan

babi bali. Kalau dilihat data lima tahun terakhir (2009- 2013) populasi babi di

Page 24: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [16]

Bali terus mengalami penurunan (Tabel 1).Hal ini akibat jatuhnya harga babi dan

naiknya harga pakan secara terus menerus. Terutama pada sekitar tahun 2012 -

2013 ketika harga babi mencapai Rp 13,000/kg. Saat itu banyak peternak yang

merugi dan akhirnya gulung tikar. Padahal tahun-tahun sebelumnya produksi

meningkat. Namun demikian sebenarnya populasi babi tersebut sudah melibihi

dari sasaran yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan. Tahun 2010, 2011, 2012, dan tahun 2013 sasaran populasi adalah

860.321, 848.586, 833.533 dan 812.092 ekor, sedangkan populasi yang ada adalah

918.087, 922.739, 890.197 dan 852.319. Kalau dihubungkan dengan harga babi

hidup di pasaran saat ini yakni Rp 27.000/kg dan populasi yang ada, bisa jadi

itulah populasi yang ideal untuk Bali, namun ini perlu dikaji lebih lanjut.

Salah satu faktor yang ikut memacu laju produktivitas peternakan babi di

Bali adalah sudah memasyarakatnya kawin suntik atau inseminasi buatan (IB).

Peternak babi sekarang jarang yang mau memelihara kaung (pejantan), karena

dianggap tidak efisien. Selain itu, bagi peternak di perkotaan transportasi untuk

membawa pejantan sangat susah. Mereka lebih praktis menggunakan IB, karena

inseminator sudah cukup banyak. Jika mempunyai bangkung (induk babi) yang

buang (birahi), tinggal memanggil melalui HP, maka petugas inseminator akan

datang. Biayanya juga cukup murah, hanya Rp. 70.000 sekali IB.

Selain itu, adanya pola peternakan kemitraan ikut memacu populasi ternak

babi. Pola yang diterapkan sistem kemitraan ini, peternak plasma cukup

meyediakan kandang, kemudian perusahaan inti sebagai mitra memberikan bibit

beserta makanan yang diperlukan selama pemeliharaan. Setelah waktunya panen,

diambil oleh pengusaha mitra. Jadi peternak tidak pusing-pusing memasarkan

babinya saat harus dijual. Mereka tinggal membagi keuntungan sesuai dengan

perjanjian yang disepakati sebelumnya. Sistem kemitraan ini telah terbukti

mendongkrak populasi ternak babi di Bali, sehingga tidak ada alasan lagi

memasukkan babi dari luar, yang sering kali menjatuhkan harga babi di Bali.

Tabel 1. Populasi ternak babi di Bali lima tahun terakhir (tahun 2009 – 2013).

Tahun

Babi Bali, Babi Saddle Back Peranakan dan Babi Landrace Persilangan

Pejantan Jantan

Muda Kebiri Induk

Betina

Muda

Kucit Jumlah*

Jnt/Kbr Betina

Page 25: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [17]

2013

7.486 29.297 227.155 86.296 143.215 189.889 178.325 852.319

2012

9.375 31.631 233.043 94.479 147.646 187.712 186.311 890.197

2011

11.081 31.740 244.856 95.624 149.849 197.411 192.178 922.739

2010

6.655

26.115 252.362 98.158 147.873 195.788 191.136 918.087

2009

5.854

30.119 250.604 99.832 148.949 197.022 192.910 925.290

Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Tahun 2013

Produksi Daging Babi

Menurut laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali

yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2013, pemotongan

ternak babi di Bali dari tahun ketahun meningkat. Jumlah ternak babi yang

dipotong pada tempat pemotongan dan perhitungan produksi daging selama lima

tahun (2008-2012) disajikan pada Tabel 2. Pemotongan babi paling banyak tahun

2008 yaitu 1.802,451 ekor. Jumlah pemotongan babi di rumah potong hewan di

Bali paling besar berada di Kota Depasar. Data yang dihimpun dari Dinas

Peternakan Perikanan d Kelautan Kota Denpasar tahun 2014 jumlah pemotongan

babi di RPH Sanggaran dari bulan Januari – Mei 2014 berturut-turut 3.060, 3.060,

3.287, 2.727 dan 3.135 ekor. Terjadi lonjakan pada bulan Mei, karena pada

bulan tersebut ada hari raya Galungan.

Tabel 2. Pemotongan ternak babi dan perkiraan produksi daging di Bali (Tahun 2008-2012)

Tahun Jumlah babi

yg dipotong(ekor)

Perkiraan karkas

(ton) Daging (ton)

2012 1.780.055 115.703,575 59.008,823* 99.683,10**

2011 1.608.362 104.543,53 53.317,200 90.068,28

2010 1.589.882 103.342,33 52.704,590 89.033,37

2009 1.538.082 99.975,33 50.987,418 86.132,58

2008 1.802.451 117.159,315 59.751,251 85.872.23

Sumber : BPS Provinsi Bali 2013 (diolah)

Keterangan: * Daging tanpa lemak

** Kemungkinan dengan lemak (BPS Provinsi Bali, 2013)

Babi memiliki persentase karkas yang lebih tinggi dibandingkan ternak

potong lainnya. Persentase karkas babi berkisar 65-70%, sisanya merupakan hasil

sampingan dari penyembelihan (kepela, jeroan, darah, kaki dan bulu). Berbeda

dengan ternak sapi, kerbau, kambing, kulit pada babi termasuk bagian dari karkas.

Karkas babi mengandung daging antara 43-51%, sisanya berupa lemak, kulit dan

Page 26: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [18]

tulang. Komponen karkas babi (daging, lemak, kulit dan tulang) sangat terkait

dengan umur. Makin bertambah umur babi, maka porsi daging menurun,

sebaliknya porsi lemak meningkat (Tabel 3). Oleh karena itu jika ingin

mendapatkan porsi daging yang lebih banyak, maka sebaiknya babi dipotong

pada umur yang tepat yaitu maksimum umur 6 bulan. Kalau lebih, porsi lemaknya

yang akan lebih banyak. Untuk babi guling yang baik umur di bawah 4 bulan,

karena dagingnya banyak, lemaknya sedikit, dan kulitnya banyak.

Tabel 3. Pengaruh umur dan komposisi karkas babi

Umur (bulan) Daging (%) Lemak (%) Kulit (%) Tulang (%)

5 50,00 31,00 8,50 10,50

6

48,00 35,00 7,50 9,50

51,00 28,98 9,10 9,92*

7,5 43,00 41,00 7,50 8,50

Sumber: Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan, Fakultas Peternakan UNPAD

(2009),sudah diolah,

* Budaarsa (1997).

Mengacu pada populasi babi di Bali lima tahun terakhir (Tabel 1) maka

potensi penghasil daging babi adalah babi yang jantan muda, kebiri, betina muda.

Namun yang paling potensi dipotong adalah babi yang dikebiri, karena babi

jantan ada kemungkinan dijadikan pejantan, sedangkan babi betina muda

dijadikan induk.

Tabel 4. Komposisi populasi babi yang potensial penghasil daging di Bali lima tahun Terakhir

(2009 – 2013)

Status babi

Tahun (ekor)

2009 2010 2011 2012 2013

Jantan muda 30.119 26.115 31.740 31.631 28.971

Kebiri 250.604 252.362 244.856 233.043 235.701

Betina muda 148.949 147.873 149.849 147.646 146.186

Jumlah 429.672 426.350 426.445 412.320 410.858

Prediksi Karkas

(ton)

27.929 27.713 27.719 26.807 26.706

Prediksi daging

(ton)

14.243,79 14.133,63 14.136,69 13.671,57 13.620,06

Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali 2014 (diolah).

Prediksi daging dihitung 51% dari bobot karkas babi umur 5 bulan (Tabel 3 )

Kalau dari jumlah di atas kita asumsikan dipotong pada berat 100 kg

dengan persentase karkas 65%, maka jumlah karkas yang dihasilkan sejak tahun

Page 27: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [19]

2009-2013 berturut: 27.929, 27.713, 27.719, 26.807 dan 26.706 ton. Menurut

Budaarsa (1997) komposisi karkas babi landrace terdiri atas daging 51%, lemak

28,98% kulit 9,10% dan tulang 9,92%. Berdasarkan komposisi tersebut maka

total daging yang dihasilkan adalah tahun 2009 sebanyak 14.243,79 ton, tahun

2010 sebanyak 14.133,63, tahun 2011 sebanyak 14.136,69 ton, tahun 2012

sebanyak 13.671,57 ton dan tahun 2013 sebanyak 13.620,06 ton. Namun jika

jumlah daging yang diproduksi lebih tinggi sangat mungkin babi betina maupun

pejantan yang afkir ikut dipotong. Begitulah gambaran potensi produksi daging

di Bali dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 berdasarkan populasi babi

jantan muda, babi kebiri, dan betina muda yang memang berpotensi dipotong.

Babi Bali Satu Potensi

Babi bali merupakan plasma nutfah yang patut diselamatkan, kalau tidak

bisa punah. Babi bali sebenarnya ada dua jenis, yaitu yang terdapat di Bali bagian

timur, yang diduga nenek moyangnya berasal dari China (Sus vitatus). Ciri-cirinya:

warna bulunya hitam agak kasar, punggungnya melengkung tetapi perutnya tidak

sampai menyentuh tanah dan cungurnya agak panjang. Jenis yang hidup di Bali

bagian utara, barat, tengah dan selatan mempunyai ciri-ciri: punggungnya

melengkung ke bawah (lordosis), perutnya besar, ada belang putih di bagian

perut dan keempat kakinya, moncongnya pendek, telinga tegak, tinggi badan

babi dewasa sekitar 54 cm, panjang badan sekitar 90 cm dan panjang ekor antara

20-25 cm (Gambar 2). Babi induk (bangkung) perutnya sangat turun ke bawah,

bahkan bisa menyentuh tanah bila berdiri. Puting susunya antara 12-14, bisa

melahirkan mencapai 12 ekor sekali beranak. Babi inilah yang lebih dikenal

sebagai babi bali (Sihombing, 2006).Tahun 2013 babi bali hanya tinggal 253.959

ekor, gambaan populasi selengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Babi bali secara genetik pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan

dengan babi ras impor. Diperlukan waktu 10-12 bulan untuk mencapai berat

badan 90-100 kg, sedangkan babi ras impor hanya 5-6 bulan. Tetapi kelebihannya,

babi bali adalah babi yang tahan menderita, lebih hemat terhadap air, masih

mampu bertahan hidup walau diberi makan seadanya. Sehingga sangat cocok

dipelihara di daerah yang kering. Di Kecamatan Kubu, Karangasem, khususnya

di Desa Tianyar Barat, dan beberapa desadi Kecamatan Gerokgak, Buleleng,

Page 28: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [20]

masih banyak orang memelihara babi bali. Para peternak di sana memberi istilah

babi bali itu dadi ajak lacur (bisa diajak hidup melarat). Maksudnya, tidak perlu

harus diberikan konsentrat, sebagaimana babi landrace dan babi ras lainnya, masih

dapat bertahan hidup. Hal ini bisa dipahami, karena secara ekonomi sebagian

besar mereka kurang mampu. Tiga kabupaten yang memiliki populasi babi bali

terbanyak adalah Karangasem, Buleleng dan Klungkung masing-masing: 73.677,

34.794 dan 18.613 ekor.

Tabel 5. Populasi babi bali di provinsi Bali tahun 2009-2013

Tahun

B a b i b a l i

Pejantan Jantan

Muda Kebiri Induk

Betina

Muda

Kucit Jumlah

Jnt/Kbr Betina

2013 3.886 14.307 56.559 30.760 42.447 52.421 53.579 253.959

2012 5.631 14.924 62.220 37.073 46.839 59.465 58.379 284.531

2011 6.586 17.983 59.806 34.730 44.710 54.093 54.620 272.528

2010 3.241 14.055 65.756 37.546 47.198 57.126 53.847 278.769

2009 2.980 15.075 66.789 36.535 44.804 62.718 58.769 287.670

Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bali 2013.

Dari penelitian pendahuluan diperoleh data bahwa babi bali mempunyai

persentase karkas 56,25%, lebih rendah dibandingkan babi Landrace yaitu 67,47%,

(Budaarsa, 1997). Kalau karkas tersebut diurai menjadi komponen karkas, maka

proporsinya adalah sebagai berikut: daging 48,50%, lemak 13,46%, tulang 16,24%

dan kulit 21,80%. Persentase daging tidak jauh berbeda dengan babi Landrace

yaitu 49%. Hal yang menarik pada babi bali, komposisi kakasnya mempunyai

persentase kulit lebih tinggi dari lemaknya. Itulah sebabnya babi bali lebih

disukai untuk babi guling karena kulitnya yang lebih tebal, umumnya konsumen

lebih suka dengan kulit babi guling. Disamping itu bagi masyarakat pedesaan

untuk upacara dan saat hari raya Galungan dan Kuningan masih banyak yang

memotong babi bali. Artinya, babi bali tetap merupakan potensi yang patut

diperhitungkan dalam pemenuhan daging di Bali.

Page 29: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [21]

Gambar 2. Babi bali, ada yang hitam dan ada yang belang putih

POTENSI PASAR

Konsumen

Penduduk pulau Bali mayoritas beragama Hindu, oleh karena itu daging

babi merupakan salah satu daging yang sangat diminati oleh masyarakat.

Berdasarkan hasil regestrasi penduduk tahun 2012 tercatat penduduk di Bali

sebanyak 3.686.665 jiwa, terjadi kenaikan 3,19% dari tahun sebelumnya

3.572.831 jiwa. Kalau dilihat komposisi agama yang dipeluk, berdasarkan

sensus penduduk tahun 2010, sebanyak 3.247.283 jiwa (83,46%) memeluk agama

Hindu, 529.244 jiwa (13,37%) agama Islam, 64.454 jiwa (1,66%) Kristen

Protestan, 31.397 jiwa (0,81%) Kristen Katholik, 21.156 jiwa (0,54%) agama

Budha, 427 jiwa (0,01%) agama Konghucu dan sisanya 282 jiwa (0,01%)

menganut aliran kepercayaan lainnya. Kalau dilihat komposisi penduduk di atas,

mayoritas (86, 63%) merupakan konsumen daging babi potensial, karena

berdasarkan kayakinan mereka diperbolehkan mengkonsumsi daging babi.

Page 30: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [22]

Hanya 13,37% yang mengharamkan daging babi. Tentu ini menjadi pangsa pasar

daging babi yang cukup besar.

Kalau diasumsikan bahwa penduduk yang mengkonsumsi daging babi

adalah mereka yang berusia antara 10-64 tahun ternyata jumlahnya sekitar 75%

dari jumlah penduduk. Pada tahun 2012 misalnya konsumen potensial tersebut

sekitar 2.395.319 orang, meningkat 3,19% dari tahun 2011 (Tabel 6). Jumlah

tersebut merupakan konsumen yang sangat potensial untuk mengkonsumsi daging

babi.

Tabel.6. Konsumen potensial daging babi di Bali

Tahun Jumlah

Penduduk (or)

Non Muslim

(or)*

Konsumen

Potensial

(or)**

Produksi

daging babi

(ton)

Konsumsi

(kg/kapita/th)

2012 3.686.665 3.193.758 2.395.319 59.008,823 24,64

2011 3.572.831 3.095.149 2.321.362 53.317,200 22,97

2010 3.522.375 3.051.433 2.288.575 52.704,590 23.03

2009 3.471.952 3.007.752 2.255.814 50.987,418 22.68

2008 3.409.845 2.953.948 2.215.462 59.751,251 26.98

Keterangan: * 86,63% dari jumlah penduduk

** usia 10-64 tahun, 75% dari jumlah penduduk

Dihubungkan dengan target konsumsi daging masyarakat Bali yang

dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Bali kalau hanya dari daging babi saja

memang belum cukup. Kekurangan tersebut akan tertutupi dari daging ayam,

sapi, kambing, dan aneka ternak. Tetapi jika diacu produksi daging babi versi

BPS Provinsi Bali 2013 (Tabel 2), justru melebihi target tersebut. Kenyataannya

realisasi konsumsi daging masyarakat Bali sudah memenuhi target yang

ditetapkan, bahkan tahun 2011 sudah melebihi dari target yang ditetapkan (Tabel

7). Menurt laporan FAO 2010 konsumsi daging masyarakat Indonesia hanya

11,14 kg/kapita/tahun,

Tabel 7. Konsumsi daging, telur dan susu per kapita/tahun di provinsi bali tahun 2007- 2011

Komoditi

2008 2009 2010 2011

Target Reali

Sasi Target

Reali

sasi Target

Reali

sasi Target

Reali

Sasi

Daging

kg/Kap/Th 29,21 30,56 29.98 31,92 30.50 30.49 31,04 32,57

Page 31: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [23]

Telur

kg/Kap/Th 8,74 9,99 9.98 10,06 10.09 8.45 10,10 11,40

Susu

kg/Kap/Th 0,17 1,01 1.23 1,87 1.23 1.69 1.23 1.69

Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali 2013

Faktor Harga

Mulai awal tahun 2014 sampai bulan Juni 2014 harga babi hidup cukup

baik yakni bergerak dari Rp 25.000- 28.000/kg. Pada hari raya Galungan dan

Kuningan, bulan Mei 2014 harganya sempat naik mencapai Rp30.000/kg. Kalau

dibandingkan dengan harga babi pada hari raya Galungan bulan Oktober 2013

harga tahun 2014 jauh lebih baik. Tahun 2013 harga babi menjelang Galungan

Rp 22.000 –Rp 23.000/kg, namun pada hari-hari biasa sebelumnya harga babi

sangat rendah yakni Rp 15.000 – Rp 17.000/kg, bahkan pernah mencapai Rp

13.000/kg. Tingginya harga babi sesaat menjelang hari raya Galunga dan

Kuningan merupakan fenomena yang biasa dan terjadi secara terus menerus,

karena menjelang hari raya tersebut permintaan daging babi bagi umat Hindu

pasti meningkat. Masyarakat umumnya memotong babi pada hari penampahan

(sehari) menjelang Galungan dan Kuningan. Momen itulah yang digunakan oleh

peternak, khususnya peternak mandiri tradisional untuk menjual babinya. Hanya

dengan menjual babi dua ekor, yang dipelihara antara 5-6 bulan sudah mempunyai

uang Rp 5 juta lebih.

Meningkatnya harga babi potong berdampak juga terhadap harga bibit.

Kalau pertengahan tahun 2013 harga bibit (kucit) sempat mencapai Rp

200.000/ekor, tahun 2014 sudah membaik. Pada awal tahun 2014, bulan Februari

sampai Maret harga bibit di tingkat peternak sekitar Rp 400.000 – 450.000/ekor.

Namun bergerak naik sejalan dengan naiknya harga babi potong. Pada bulan Juni

harga bibit berkisar antara Rp 600.000 – Rp 650.000/ekor. Kenaikan ini memicu

sulitnya mendapatkan bibit bagi peternak, karena penghasil bibit lebih memilih

memelihara sendiri bibitnya, digemukan sendiri dengan harapan mendapat

keuntungan yang lebih banyak.

Harga daging babi juga merangkak naik mengikuti harga babi hidup. Pada

bulan Januari 2014 harga daging babi Rp 57.000/kg, naik menjadi Rp.58.000

Page 32: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [24]

pada bulan Pebruari dan melonjak Rp 60.000/kg pada saat menjelang hari Raya

Galungan dan Kuningan pada bulan Mei 2014. Harga daging babi di seputar

Denpasar sampai bulan Juni 2014 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Harga daging babi di Denpasar dari bulan Januari – Juni 2014

No Bulan Harga

Rp/kg

Keterangan

1. Januari 57.000*

2. Pebruari 55.000

3. Maret 58.000

4. April 58.000

5. Mei 60.000 Hari raya Galungan dan

Kuningan

6. Juni 58.000

*Rata-rata dari 4 pasar (Pasar Badung, Kreneng, Suung dan Sidakarya)

Kebutuhan Babi untuk Guling

Konsumsi daging babi di Bali tidak semata dalam bentuk daging yang

merupakan bagian dari karkas, tetapi juga dalam bentuk daging utuh yaitu babi

guling. Babi guling yang sebelumnya hanya sebatas sebagai sesaji atau bahan

persembahan pada upacara keagamaan tertentu, sekarang sudah menjadi salah

satu kuliner yang sangat digemari oleh masyarakat. Konsumennya tidak terbatas

hanya pada masyarakat Bali, tetapi sudah meluas pada wisatawan, baik domestik

maupun dari mancanegara. Maka rumah makan babi guling bermunculan dimana-

mana. Berdasarkan hasil survei Budaarsa (2012) di Bali terdapat 207 warung

babi guling yang tersebar di delapan kabupaten dan satu kota. Jumlah babi yang

dibutuhkan untuk babi guling pada warung makan di masing-masing kabupaten

disajikan pada Tabel 9.

Berdasarkan data tersebut setiap hari rata-rata diperlukan 207 ekor babi

muda untuk babi guling yang dijual oleh rumah makan. Berarti dalam satu bulan

diperlukan 6.210 ekor babi muda atau 74.520 ekor dalam satu tahun. Data di atas

hanya keperluan babi di warung makan, belum termasuk babi yang di guling oleh

masyarakat untuk sesaji dalam upacara tertentu di berbagai pelosok desa di Bali.

Kalau diasumsikan babi yang diguling untuk sesaji 20% saja dari keperluan

untuk warung babi guling, berarti dibutuhkan tambahan sekitar 41 ekor babi

muda setiap hari. Maka sedikitnya dibutuhkan 248 ekor babi muda setiap hari

atau 7.440 ekor setiap bulan, atau 89.280 ekor setiap tahun. Di tambah dengan

Page 33: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [25]

jumlah babi guling sebagai sesaji pada upacara Ngusaba Dalem di Desa Timbrah

Karangasem sekitar 1.600 ekor setiap tahun dan ngusaba di Pura Bukit Gumang,

Desa Bugbug, Karangasem ada sekitar 1.000 ekor babi guling sebagai sesaji,

maka diperlukan sekitar 91.880 ekor babi muda untuk babi guling di Bali setiap

tahun. Satu angka yang cukup banyak, dan seharusnya dipenuhi dari peternak

lokal (Bali), tidak usah mendatangkan dari luar Bali. Ini potensi pasar yang luar

biasa.

Tabel. 9. Kebutuhan babi untuk babi guling pada warung makan di masing-masing

kabupaten/kota se-Bali.

N0 Kabupaten/Kota Jumlah warung makan Kebutuhan babi /ekor/hari

1. Jembrana 8 8,00

2. Tabanan 17 20, 00

3. Badung 56 53,00

4. Gianyar 26 34,00

5. Klungkung 6 5,00

6. Bangli 9 7,00

7. Karangasem 22 15,00

8. Buleleng 16 17,00

9. Denpasar 47 48,00

Total 207 207

Sumber: Hasil survei grup riset Kajian Nutrisi Ternak Nonruminansia Unud (2011-2012).

Aktivitas Budaya dan Pariwisata

Beternak babi di Bali tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Bahkan

beternak babi sendiri sudah merupakan budaya orang Bali, khususnya yang

beragama Hindu. Di Bali kegiatan adat, budaya dan agama tidak bisa dipisahkan.

Bahkan untuk Bali nyaris susah dibedakan antara kegiatan adat dan kegiatan

agama, walau sesungguhnya ke duanya berbeda. Dari sekian banyak kegiatan adat

dan upacara agama di Bali hampir selalu menggunakan ternak babi. Masyarakat

Page 34: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [26]

Bali yang memiliki beragam tradisi atau adat di masing-masing desa adat sangat

mungkin setiap hari ada saja yang membuat babi guling, misalnya untuk

peringatan hari lahir anak (otonan) atau untuk naur sesangi. Babi guling

digunakan sebagai salah satu sarana persembahan sekaligus perlambang

kemakmuran yang telah diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat Hindu di

Bali. Jadi untuk memenuhi kebutuhan aktivitas budaya, Bali membutuhkan babi

yang cukup banyak setiap tahun, suatu potensi pasar yang belum banyak

terungkap.

Gambar 3. Babi guling yang dipersembahkan saat upacara usaba di Desa

Timbrah Karangasem (Foto: Martawan)

Jumlah kunjungan wisatawan dari negara-negara yang potensial

mengkonsumsi daging babi, termasuk babi guling jumlahnya juga cukup banyak

(Tabel10). Australia sebagai pemasok wisatawan yang paling besar ke Bali

mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tiga tahun terakhir. Australia

adalah negara yang masyarakatnya sebagian besar tidak mengharamkan daging

babi. China walaupun tahun 2010 kelihatan turun dibandingkan tahun 2009,

namun di tahun 2010 naik menjadi 236.867 orang, dan tahun 2012 sebanyak

317.165 orang.

China adalah salah satu sumber wisatawan yang akan menjadi konsumen

daging babi dan babi guling. Apalagi China dengan Indonesia, khususnya Bali

mempunyai hubungan sejarah yang sangat panjang. Hubungan tersebut terjalin

baik sejak abad XII dan sisa hubungan baik itu ditandai dengan adanya kesenian,

tempat suci dan arsitektur bercirikan khas China. Hubungan yang secara

Page 35: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [27]

emosional sebenarnya masih terjalin baik sampai sekarang. Salah satu bukti, uang

kepeng China (pis bolong) sampai saat ini masih digunakan dalam upacara adat

maupun keagamaan di Bali. Cerita Sampek Ing Tai sempat menjadi judul drama

gong yang sangat populer di Bali. Sangat mungkin kalau wisatawan asal China

yang berkunjung ke Bali akan menyempatkan diri mencicipi babi guling.

Tabel 10. Wisatawan mancanegara yang datang langsung ke Bali per bulan tahun 2008- 2012

No Negara Tahun

2008 (or) 2009 (or) 2010 (or) 2011 (or) 2012 (or)

1 Australia 313.111 446.570 641.679 788.664 799.897

2 China 131.318 206.151 196.925 236.867 317.165

3 Jepang 399.824 333.905 241.212 182.385 188.711

4 Korea Selatan 134.909 124.889 124.752 126.702 123.157

5 Taiwan 130.449 120.445 122.271 129.226 100.447

6 Inggris 82.856 93.688 96.536 102.989 116.462

7 Perancis 77.379 113.453 104.142 111.491 112.447

8 Jerman 82.355 74.849 84.455 84.041 89.924

9 Amerika Serikat 68.934 73.653 68.977 89.573 94.893

Dikutip dari BPS Provinsi Bali (2013)

Gambar 4. Wisatawan dari mancanegara menikmati babi guling di Ubud Gianyar

Beberapa Kendala

Kendala utama yang dirasakan oleh para peternak babi adalah harga pakan

yang terus bergerak naik. Harga pakan jadi untuk penggemukan tahun 2013

sekitar Rp 300.000/sak (50 kg) atau Rp 6.000/kg tahun 2014 sudah naik menjadi

Page 36: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [28]

Rp 350.000 atau Rp 7.000/kg. Bahkan pakan komplit butiran untuk anak babi

sapihan harganya mencapai Rp 403.000/sak (50 kg). Bahan pakan yang lain

antara lain dedak, polar yang penggunaannya cukup banyak juga ikut bergerak

naik. Dedak padi yang sebelumnya Rp. 2.500, sekarang harganya Rp 3.500/kg.

Polar pada akhir tahun 2013 sampai awal tahun 2014 Rp 180.000/sak atau Rp

3.600/kg, sekarang sudah mencapai Rp 185.000 atau Rp 3.700/kg. Kenaikan

harga pakan dari waktu kewaktu sangat memukul peternak babi, karena 70%

biaya operasional tersedot untuk pembelian pakan. Alasan pihak pabrik menaikan

harga pakan karena bahan baku diantaranya: jagung, kedelai, dan tepung ikan

harga di pasaran juga terus mengalami kenaikan. Ironisnya bahan pakan tersebut

sebagian besar masih diimpor. Selain itu semakin menyusutnya lahan pertanian

di Bali akan menjadi kendala tersendiri bagi peternak untuk mengembangkan

usahanya. Sangat sulit bagi peternakan babi berskala besar mencari lahan. Harga

tanah juga di Bali naik dengan sangat cepat. Alih fungsi lahan pertanian di Bali

diperkirakan mencapai 750 hektar setiap tahunnya. Hal ini kalau tidak

dikendalikan akan mengancam sektor pertanian, termasuk peternakan.

PERAN PEMERINTAH

Seperti halnya dalam sektor-sektor pembangunan lainnya, kehadiran

pemerintah sebagai pihak regulator selalu diharapkan oleh peternakan babi di

Bali. Ketika jumlah populasi babi di Bali sudah mencukupi kebutuhan pasar,

pemerintah dengan kewenangannya semestinya dengan tegas melarang

masuknya babi dari luar Bali. Hal ini pernah terjadi ketika babi dari Jawa

membanjiri Bali sehingga harga babi menjadi sangat murah yaitu sekitar Rp

12.000 – 16.000/kg hidup. Dalam kondisi demikian peternak babi sangat terpukul,

tidak sedikit yang bangkrut.

Peran pemerintah lainnya dalam hal mengawasi pemasaran babi dari

peternakan pola kemitraan yang dituding oleh peternak mandiri mengganggu

pasaran babi di Bali. Peternakan mandiri menuntut agar peternak kemitraan

tidak menjual babi di pasar lokal, tetapi harus ke luar Bali supaya harga babi tidak

anjlok. Hal ini harus dimediasi oleh pemerintah, kalau tidak, bisa menimbulkan

keresahan di kalangan peternak. Peran pemerintah tersebut di Bali sudah

dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur Bali Nomor 6 Tahun 2013, tentang

Page 37: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [29]

Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan di Provinsi Bali yang

ditetapkan pada tanggal 4 Maret 2013. Perlu ketegasan pemerintah sesuai dengan

peranan dan tanggungjawabnya yang telah tertuang dalam pergub tersebut.

Selain itu, peternak babi, khususnya yang skala besar sering dihadapkan

pada kendala sosial di lapangan dalam bentuk protes warga di sekitar kandang.

Padahal ketika kandang babi didirikan oleh pengusaha di lingkungan sekitar,

sama sekali belum ada perumahan. Menyikapi kondisi tersebut, semestinya

pemerintah mempunyai rencana tata ruang yang jelas. Harus ada pemetaan

mengenai zonasi wilayah untuk usaha peternakan yang jelas dan pasti. Kalau di

suatu daerah sudah ditetapkan menjadi kawasan peternakan, seyogyanya tidak ada

ijin untuk membangun perumahan. Dengan demikian pihak perusahaan

peternakan ada jaminan untuk mengembangkan usahanya, sehingga bisa beternak

dengan nyaman. Kalau tidak, mereka akan selalu dihantui dengan perasaan was-

was, adanya demo atau protes dari warga. Harus disadari bahwa modal yang

mereka tanamkan cukup besar. Sudah cukup banyak kasus yang demikian terjadi,

khususnya untuk peternakan babi dan ayam di Bali.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ternak babi mempunyai potensi dan posisi yang strategis dalam

menyediakan kebutuhan daging untuk mayoritas masyarakat Bali dan wisatawan

manca negara, untuk itu usaha peningkatan kuantitas dan kualitas peternakan babi,

termasuk babi bali harus terus di diorong. Peran pemerintah dalam menata

pelaksanaan usaha peternakan babi di Bali perlu ditingkatkan, serta perlu

menetapkan kawasan peternakan dalam bentuk perda sehingga ada jaminan

bagi pengusaha untuk memelihara ternak babi.

Saran

Pengembangan usaha ternak babi di Bali perlu diarahkan menjadi usaha

ternak yang lebih efisien berbasis pada peternakan rakyat dengan memanfaatkan

limbah pertanian lokal secara optimal. Babi bali sebagai plasma nutfah perlu

dilindungi dan dikembankan jangan sampai punah sebab mempunyai potensi yang

cukup tinggi sebagai penghasil daging babi. Perlu adanya ketegasan dari

Page 38: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [30]

pemerintah dalam memberikan sanksi jika ada pihak yang melanggar isi dari

Peraturan Gubernur Nomor 6 tahun 2013, serta perlu adanya pemetaan wilayah

yang jelas untuk usaha ternak babi sehingga terhindar dari protes masyarakat

sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Bali dalam Angka. 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Penerbit BPS

Provinsi Bali.

Budaarsa, K. 1997. Kajian Penggunaan Rumput Laut dan Sekam Padi Sebagai

Sumber Serat Dalam Ransum Untuk Menurunkan Kadar Lemak Karkas dan

Kolesterol Daging Babi. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Budaarsa, K. 2006. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kabupaten Badung.

Laporan Penelitian. DIK. Universitas Udayana.

Budaarsa, K. 2012. Babi Guling Bali, dari Beternak, Kuliner Hingga Sesaji.

Penerbit Buku Arti, Denpasar.

Budaarsa. K, N. Tirta. A, K. Mangku Budiasa dan P.A. Astawa. 2013.

Eksplorasi Hijuan Pakan Babi dan Cara Penggunaannya pada Peternakan

Babi Tradisonal Di Provinsi Bali. Makalah Seminar Nasional II Himpunan

Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HIPT), di Denpasar 28-29 Juni

2013.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Rencana Strategis

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010-2014.

Gubernur Bali. 2013. Peraturan Guberur Bali Nomor 6 Tahun 2013 Tentang

Pelaksanaan Kemitraan dan Perlindungan Usaha Peternakan di Provinsi Bali.

Igbal, M. 2011. Antara Kecerdasan, Kemakmuran dan Prioritas Pembangunan

Peternakan. http://www.geraidinasingapura.com/. [Diunduh 14 Juni 2014].

Sihombing, D.T.H. 2006. Ilmu Ternak Babi. Yoyakarta, Gajahmada Univesity

Press.

Tirta A. I.N. 2012. Pemberian Larutan Gula-Garam sebagai Upaya Mengurangi

Dampak Negatif Penundaan Waktu Pemotongan terhadap Karakteristik dan

Kualitas Karkas Babi Landrace Persilangan. (Disertasi) Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Page 39: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [31]

KUMPULAN

MAKALAH

PESERTA

Page 40: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [32]

1.

PRODUKSI

TERNAK BABI

Page 41: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [33]

PERFORMANS REPRODUKSI INDUK BABI MELALUI OVULASI

GANDA DENGAN PMSG DAN hCG SEBELUM PENGAWINAN

Mien Theodora Rossesthellinda Lapian,

Program Studi Ilmu Ternak, Laboratorium Produksi Ternak, Fakultas Peternakan

Universitas Samratulangi Manado, Sulawesi Utara

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh superovulasi dari babi

dara sebelum dikawinkan terhadap performans reproduksi. Penelitian

menggunakan 60 ekor babi dara dibagi menjadi dua perlakuan yaitu: 1) babi dara

tanpa superovulasi dan 2) babi dara dengan superovulasi. Setelah babi dara

memperlihatkan gejala birahi, pejantan dimasukkan kedalam kandang untuk

mengawini babi dara yang birahi. Selama penelitian, babi yang telah bunting

dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang beranak

ditempatkan pada kandang individu berukuran 2,5 × 3,5 m2 yang dilengkapi

dengan tempat makan dan minum. Penelitian tahap I menggunakan rancangan

acak lengkap (RAL), terdiri dari dua perlakuan masing-masing dengan 30

ulangan,dan analisis data mengikuti prosedur model matematika sebagai

berikut:Yij = µ + αi + εij. Semua data diolah dengan menggunakan sidik ragam

(Steel dan Torrie, 1989).Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan

tanpa dan dengan superovulasi sangat berbeda nyata (P<0.01) terhadap mortalitas

(MRTA) masing-masing 26,64 ± 18,6 dan 14,92 ± 10,18%. Litter size sapih (LSS)

masing-masing 7.48 ± 1,97 dan 9,29 ± 1,98 ekor). Bobot sapih per litter (BSPL)

masing-masing 79,63 ± 20,78 dan 107,02 ± 21,85 kg, (BSPE) masing-masing

10,64 ± 0,75 dan 11,61±1,41 kg. Akan tetapi pengaruh perlakuan berbeda nyata

(P<0.05) terhadap bobot badan induk (BBI) masing-masing 171,38 ± 9,15 dan

179,86 ± 11,49 kg, litter size lahir hidup (LSLH) masing-masing 8,95 ± 2,03 dan

10,43 ± 2,54 ekor, bobot badan lahir per litter (BLPL) masing-masing 13,64 ±

Page 42: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [34]

2,31 dan 16,10 ± 4,19 kg, bobot badan lahir per ekor (BLPE) masing-masing

(1,34 ± 0,14 kg) dan (1,46±0,19), sedangkan pengaruh perlakuan terhadap litter

size lahir mati (LSLM) masing-masing 1,33 ± 1,02 dan 0,81 ± 1,57 ekor, litter size

lahir total (LSLT) masing-masing 10,29 ± 2,19 dan 11,24 ± 3,33 ekor tidak

berbeda nyata.Hasil penelitian dapat disimpulkan, performans reproduksi induk

babi melalui ovulasi ganda sebelum pengawinan, dapat memperbaiki bobot lahir,

litter size sapih, dan mortalitas.

Kata kunci: superovulasi, performans reproduksi

REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF SOWS SUPEROVULATED

WITH PMSG AND hCG THROUGH SUPEROVULATION BEFORE

MATING

ABSTRACT

This research has been conducted to study the effect of superovulation prior to

mating toward gilts reproduction performance. Sixty gilts were divided into two

treatments,1) gilts without superovulation and 2) gilts with superovulation. Once

the gilts shows a standing heat symptoms, the boar inserted into the pig pen to mat

the gilts. During the study, the pregnant gilts kept together in postal pens, then

two weeks before farrowing each pregnant gilts then placed in 2.5 × 3.5 m2

individual cages equipped with feeding and drinking devices. A Completely

Randomized Design (CRD) was used in the first phase of study, consisting of two

treatments with 30 replicates each, while analysis of data based on the

mathematical model procedures, as follows: Yij = μ + αi + εij. All data were then

analysed using variance (Steel and Torrie, 1989).The results showed that the

superovulation treatments were highly significant affected (P <0.01) respectively

against the mortality (MRTA) 26.64 ± 18.60 and 14.92% ± 10.18, litter size

weaning (LSW)79.63 ± 20.78 and 107.02 ± 21.85 kg, the weaning litter size

(WLS) 7.48 ± 1.97 and 9.29 ± 1.98 pigs. But the superovulation treatment was

just significantly affected (P <0.05) respectively towards the sows body weight

(SBW) 171.38 ± 9.15 and 179.86 ± 11.49 kg, the litter size born alive (LSBA)

8.95 ± 2.03 and 10.43 ± 2.54 pigs), the litter weigth at birth (LWAB) (13.64 ±

2.31 dan 16.10 ± 4.19 kg, the pig weight at birth (PWAB) 1.34 ± 0.14 and1.46 ±

0.19 kg, whereas the treatment effect respectively on the litter size dead born

(LSDB)1.33 ± 1.02 and l 0.81 ± 1.57 pig, and the total born litter size (TBLS)

10.29 ± 2.19 and 11.24 ± 3.33 pigs were not Significantly affected.It is concluded

that the superovulation treatment in the parent before mating can improve sow

reproductive performance reproduction, which is described by the improvement of

birth weight, weaning litter size, mortality.

Keywords: superovulation, reproduction

PENDAHULUAN

Performans reproduksi ternak babi sangat tergantung pada keberhasilan

Page 43: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [35]

proses reproduksi. Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan

induk untuk menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat penyapihan,

sehingga periode hidup berikutnya lebih baik. Faktor-faktor yang sangat

mempengaruhinya adalah frekuensi beranak, pertambahan bobot badan anak

sebelum disapih, angka kematian yang rendah dan bobot anak pada saat lahir,

semuanya ditentukan oleh pertumbuhan prenatal (selama dalam kandungan) yang

merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio,fetus

sampai dilahirkan.

Kehidupan anak babi lahir sampai disapih merupakan periode kritis,

umumnya angka kematian atau mortalitas pada periode ini sangat tinggi. Hal ini

merupakan masalah utama yang sering terjadi pada usaha peternakan babi baik

skala kecil maupun skala besar, angka kematian anak babi sebelum disapih

berkisar 20–30% dan bahkan dapat mencapai 70% (Sihombing 1997). Tingginya

angka kematian ini dapat dimengerti karena pada periode awal (starter) status faali

dimana anak babi sangat peka terhadap derita cekaman (stress) dingin. Jumlah

anak babi sekelahiran (litter size) yang tinggi dengan bobot lahir yang rendah juga

akan mempengaruhi kematian anak babi selama menyusu (Eusebio 1980). Anak

babi yang lahir dengan bobot badan rendah diduga ada hubungan dengan

kemampuan untuk melawan cekaman pada kehidupan diluar kandungan karena

adanya sistem hormonal dalam lingkungannya serta keadaan faali yang relatif

belum matang.

Produktivitas induk, banyak cara telah dilakukan untuk memperbaikinya

antara lain dengan memanipulasi sistem reproduksi untuk memperbaiki

pertumbuhan dan perkembangan prenatal yaitu perkembangan embrio dan fetus

yang pada gilirannya mampu menghasilkan anak sekelahiran dengan bobot yang

optimal. Pertumbuhan dan perkembangan prenatal pada dasarnya dapat dibagi

menjadi tiga periode yaitu zigot, embrio dan fetus. Diantara ketiga periode

tersebut, periode pertumbuhan dan perkembangan fetus merupakan periode

pertumbuhan prenatal yang paling pesat, selain itu dapat memperbaiki

pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan sehingga dapat

memproduksi susu secara optimal selama masa laktasi. Pertumbuhan anak babi

ditentukan oleh produksi air susu dari induk untuk pemeliharaan anak selama pra

Page 44: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [36]

sapih (Kim et al., 2000; Valros et al., 2003).

Ovulasi ganda merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sistem

reproduksi ternak dengan harapan dapat memperbaiki produksi melalui perbaikan

pertumbuhan prenatal selama kebuntingan dan produksi air susu selama laktasi

(Manalu et al., 1998; Manalu dan Sumaryadi, 1999). Penggunaan PMSG dan hCG

telah dibuktikan dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon

kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih,

pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu dan produksi air susu pada domba

(Manalu et al., 1998), sapi (Sudjadmogo et al., 2001), kambing (Adriani et al.,

2005) dan babi (Mege et al., 2007). Melalui peningkatan produksi air susu dari

induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi dapat ditingkatkan, angka

mortalitas ditekan dan berat sapihan dapat dinaikkan. Penampilan anak babi lepas

sapih yang baik selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas bakalan dalam hal ini

pertumbuhan dan kualitas karkas pada saat dipotong.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada

induk babi sebelum pengawinan terhadap performans anak babi yang dilahirkan

sampai disapih.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian tahap I ini dilaksanakan di Peternakan Wailan, yang berlokasi di

Kelurahan Kayawu, Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon Provinsi

Sulawesi Utaramulai dari Oktober 2010 hingga Maret 2011. Jarak dari Manado ke

lokasi penelitian ± 25 km.

Tabel 1. Komposisi Bahan dan Zat Makanan dalam Ransum Induk Babi dan Pejantan, Induk

Bunting dan Laktasi (%)

Bahan Makanan Induk dan Pejantan Induk Bunting dan Laktasi

Jagung 80 40

Konsentrat 20 60

Dedak halus - -

Butiran EGP 702 - -

Komposisi Zat-zat Makanan

Ransum Induk dan Pejantan)* Ransum Induk Bunting dan

Laktasi )*

Bahan Kering 87.47 87.47

Abu 3.83 10.58

Protein Kasar 14.49 16.68

Lemak 8.05 8.30

Serat Kasar 3.91 15.18

Beta-N 57.19 38.53

Kalsium 0.95 1.38

Page 45: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [37]

Fospor 0.88 1.04

NaCl 0.12 0.27

Energi Brutto (kkal/kg) 3960 3956

Ket.:*) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan (2011)

Materi Penelitian

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi dara (calon induk)

keturunan Landrace, Yorkshire dan Durocsebanyak 60 ekor dengan bobot badan

berkisar antara 100–107 kg. Ransum yang digunakan selama penelitian

disesuaikan dengan ransum yang digunakan di perusahaan.

Komposisi bahan makanan dan zat-zat makanan dalam ransum masing-

masing dapat dilihat pada Tabel 1. Pemberian makan dilakukan dua kali sehari

dan air minum tersedia ad libitum sepanjang hari. Agen superovulasi yang

digunakan adalah hormon PMSG (Follig on, Intervet, North Holland) dan hCG

(Chorulon, Intervet, North Holland). Penyerentakan birahi dilakukan dengan

menggunakan prostaglandin (Prosolvin, Intervet, North Holland).

Metode Penelitian

Rancangan Percobaan

Penelitian tahap I ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL),

terdiri dari dua perlakuan masing-masing dengan 30 ulangan, dan analisis data

mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut:Yij = µ + αi + εij. Semua

data diolah dengan menggunakan sidik ragam (Steel dan Torrie, 1989).

Prosedur Penelitian

Penelitian tahap 1 (Gambar 5) menggunakan 60 ekor babi dara yang

ditempatkan dalam kandang, dimana 30 ekor babi dara dilakukan penyuntikan

PMSG dan hCG dengan dosis: 400/200 (superovulasi 600) IU per ekor dan 30

ekor disuntik dengan NaCl fisiologis 0,95%. Sebelum penyuntikan PMSG dan

hCG, dilakukan penyerentakan birahi dengan penyuntikan satu ml

PGF2αsebanyak dua kali dengan interval waktu 14 hari. Pada penyuntikan

PGF2αkedua, atau tiga hari sebelum birahi, dilakukan penyuntikan PMSG dan

hCG secara intramuskular (sesuai dengan dosis pada masing-masing perlakuan),

sedangkan kelompok kontrol disuntik dengan NaCI fisiologis 0,95%. Setelah

menampakkan gejala birahi,babi pejantan dimasukkan kedalam satu kandang

Page 46: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [38]

untuk mengawini babi dara yang birahi. Selama penelitian, babi yang telah

bunting dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang

beranak, babi ditempatkan pada kandang individu berukuran 2,5 × 3,5 m2 yang

dilengkapi dengan tempat makan dan minum sampai umur 49 hari setelah beranak

(postpartum), yang merupakan umur penyapihan.

Peubah yang diamati dalam penelitian tahap I ini adalah sebagai berikut:

1. Liter Size lahir dibagi dalam tiga kategori yaitu, jumlah anak babi yang

hidup lahir (LSHL), jumlah anak babi yang mati lahir (LSML) dan hasil

penjumlahan dari kedua ketegori tersebut yaitu litter size total (LSTL).

2. Bobot Lahir meliputi;

a. Bobot badan lahir per litter (BLPL) (kg/litter), diperoleh dengan cara

menimbang semua anak babi yang hidup lahir dari seperindukan

b. Bobot badan lahir per ekor (BLPE) (kg/e), diperoleh dari hasil

perhitungan bobot badan per litter dibagi dengan jumlah anak per

induk per kelahiran.

a. Produksi air susu induk (PASI) babi per hari diperoleh dari frekuensi

induk menyusui (FIM) x PASI babi per menyusui

b. Produksi air susu induk (PASI) babi per laktasi (kg), PASI/hari × 49

hari (selama laktasi)

3. Litter Size Sapihan (LSS) (ekor), diperoleh dengan menghitung jumlah

anak babi sekelahiran segera setelah disapih

4. Bobot Sapih meliputi;

a. Bobot sapih per litter (BSPL) (kg), diperoleh dengan menimbang

semua anak babi seperindukan segera setelah disapih.

b. Bobot sapih per ekor (BSPE) (kg), diperoleh dengan cara menghitung

bobot badan sapih per litter (BSPL) dibagi dengan jumlah anak babi

sapihan per induk per kelahiran

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi

Penampilan reproduksi induk babi yang diamati dalam penelitian ini

antara meliputi:litter size lahir, mortalitas, bobot sapih dan litter size sapih.

Tabel 2. Penampilan Reproduksi Induk Babi Kontrol Tanpa Ovulasi Ganda (TSO) dan yang

Page 47: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [39]

Diovulasi Ganda (SO)

Parameter Perlakuan Rataan

TSO SO

Litter size lahir (LSL)

1. Litter size hidup lahir (LSHL) (Ekor) 8.,95 ± 2, 03 a 10,43 ± 2, 54 b 9, 69 ± 2.,39

2. Litter size lahir mati (LSML) (Ekor) 1,33 ± 1, 02 0,81 ± 1, 57 1, 07 ± 1.,33

3. Litter size total lahir (LSTL) (Ekor) 10.,29 ± 2,19 11,24 ± 3, 33 10, 76 ± 2.,83

Bobot Lahir

1. Bobot lahir per litter (BLPL) (Kg /litter) 13,64 ± 2, 31 a 16,10 ± 4, 19 b 14.,87 ± 3, 57

2. Bobot lahir per ekor (BLPE) (Kg/e) 1,34 ± 0, 14 a 1,46 ± 0,19 b 1,40 ± 0,18

Mortalitas (MRTA) (%) 26.,64 ±18,60 B 14.,92 ± 10,18 A 20,78 ± 15, 95

Litter size sapih (LSS) (Ekor) 7.,48 ±1,97A 9.,29 ± 1,98B 8,38 ± 2,15

Bobot Sapih

1. Bobot sapih per litter (BSPL) (Kg/litter) 79,63 ± 20,78A 107,02 ± 21,85B 93,33 ± 25, 21

2. Bobot sapih per ekor (BSPE) (Kg/e) 10,64 ± 0,75A 11.,61 ± 1,41B 11,13 ± 1,07

Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama

masing-masing menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01) dan berbeda nyata

(P<0,05); TSO = tanpa superovulasi, SO = superovulasi

Litter Size Lahir

Litter size lahir dibagi kedalam tiga kategori yaitu, jumlah anak babi yang

hidup lahir (Litter Size Hidup Lahir, LSHL), jumlah anak mati lahir (Litter Size

Mati Lahir, LSML) dan hasil penjumlahan kedua kategori tersebut (Litter Size

Total Lahir, LSTL).

1. Litter Size Hidup Lahir

Rataan umum dari penelitian anak-anak babi yang hidup lahir sebesar 9,69

± 2,39 ekor (Tabel 3). Litter size hidup lahir yang dihasilkan hampir sama dengan

hasil pengamatan Herawaty (2006) sebesar 9,43 ekor. Rataan umum yang

diperoleh dalam penelitian ini masih lebih rendah daripada pernyataan Kurniawan

(2006) bahwa litter size hidup lahir anak babi sebesar 10,16 ekor. Hasil analisa

sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05)

terhadap litter size hidup lahir dimana tanpa dan dengan superovulasi masing-

masing dengan nilai rataan 8,95 ± 2,03 ekor (KK= 22,74 %) dan 10,43 ± 2,54

ekor (KK= 24,37 %).

Litter size hidup lahir yang disuperovulasi lebih tinggi daripada tanpa

superovulasi. Lazimnya pada ternak yang beranak banyak seperti ternak babi

semakin tinggi jumlah anak yang dikandung cenderung semakin banyak anak

yang lahir dibawa bobot rataan normal, sehingga anak yang bobot dibawah

Page 48: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [40]

normal akan mati, dengan demikian akan mempengaruhi jumlah anak yang

hiduplahir. Litter size hidup lahir tergantung dari jumlah anak yang mati pada

proses sebelum dan sesudah lahir. Makin tinggi anak babi yang mati pada proses

tersebut diikuti dengan makin rendah litter size hidup lahir.

2. Litter Size Mati Lahir

Rataan umum anakbabi yang mati lahir sebesar 1,07 ± 1,33 ekor atau 9,29

± 9,87%. Persentase rataan umum yang diperoleh pada penelitian ini hampir sama

dengan pendapat Sihombing (2006), yang menyatakan hampir 10% anak babi

yang mati lahir adalah yang benar-benar mati sebelum mulai proses kelahiran dan

90% sisanya adalah mati selama proses kelahiran. Rataan litter size mati lahir

pada penelitian selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 2. Hasil analisa sidik

ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap litter size

mati lahir. Rataan litter size mati lahir pada penelitian ini untuk induk babi tanpa

dan dengan superovulasi masing-masing adalah1,33 ± 1,02 ekor (11,83%) dan

0,81 ± 1,56 ekor (10 %).

Walaupun hasil analisis ragam runtuk perlakuan tidak berbeda nyata

namun pada Tabel 3 memperlihatkan babi dara yang disuperovulasi menghasilkan

jumlah anak babi yang mati lahir lebih sedikit dibanding dengan yang tidak

disuperovulasi. Hal ini disebabkan anak babi yang lahir dari induk babi tanpa

superovulasi umumnya mempunyai bobot lahir yang rendah lebih banyak yaitu

dibawah satu kg. Hasil pengamatan memperlihatkan umumnya anak babi mati

sesudah dilahirkan. Banyak anak babi yang mati dalam keadaan lemah, dan pada

umumnya mempunyai bobot lahir yang sangat rendah yaitu dibawah satu kg, ini

terjadi pada saat lahir hingga hari ke-3. Sesuai pernyataan Sihombing (2006),

bahwa anak babi yang lahir sampai umur tiga hari tingkat kematian 12%

sedangkan 4-7 hari 10%.

3. Litter Size TotalLahir

Rataan umum litter size total lahir hasil penelitian adalah 10,76 ± 2,83

ekor. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran baik faktor

genetik maupun lingkungan. Litter sizetotal lahir yang diperoleh selama penelitan

lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Krider dan Carrol (1971) yaitu

sebesar 11,4 ekor, sedangkan menurut Eusebio (1980) litter size lahir anak babi

Page 49: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [41]

berkisar antara 8,12 ekor. Bangsa babi juga dapat mempengaruhi jumlah litter

size lahir, babi Duroc dengan litter size 10,24 ekor dan bangsa babi Landrace

10,94 ekor (Milagres et al., 1983) dan 11 ekor (Devendra dan Fuller, 1979),

sedangkan untuk bangsa babi Yorkshire adalah 9,57 ekor (Park dan Kim, 1983).

Rataan litter size total lahir seperti terlihat pada Tabel 2, untuk induk babi

yang diberi perlakuan tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 10,29

± 2,19 ekor (KK=21,33%) dan 11,24 ± 3,33 ekor (KK=29,63%). Hasil analisis

ragam perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap litter

size total lahir. Hal ini dapat dijelaskan bahwa litter size total lahir dari induk yang

disuperovulasi menghasilkan rataan jumlah anak yang hampir sama dengan induk

yang tidak superovulasi ini disebabkan ternak babi adalah ternak yang prolifik.

Walaupun tidak berbeda nyata secara statistik namun dilihat dari jumlah

anak total lahir atau litter size total lahir dari induk babi yang disuperovulasi

masih lebih tinggi daripada tanpa superovulasi. Hal ini memberi gambaran bahwa

secara fisiologis induk babi memberikan respons yang baik terhadap pemberian

PMSG dan hCG yang kerjanya mirip dengan FSH dan LH yaitu merangsang

pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang

selanjutnya akan merangsang ovulasi (Bates et al., 1987; Estiene dan Harper,

2003) dan perkembangan korpus luteum untuk menghasilkan ovum yang lebih

banyak dan berpotensi meningkatkan jumlah anak sekelahiran (Mege, 2007).

Bobot Lahir Anak Babi

Bobot lahir dibagi kedalam dua kategori yaitu, penimbangan anak babi

yang lahir dari setiap induk (bobot lahir per litter, BLPL) dan bobot lahir per ekor

(BLPE) hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi dengan jumlah anak

hidup lahir (ekor).

1. Bobot Badan Lahir per Litter

Rataan umum bobot lahir anak babi per litter adalah 14,87 ± 3,57 kg.

Pengaruh perlakuan terhadap bobot badan lahir per litter dapat dilihat pada Tabel

2. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda

nyata (P<0,05) terhadap bobot lahir per litter. Bobot badan lahir anak per litter

dari induk babi tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 13,64 ±

2,31 kg (KK = 16,98 %) dan 16,10 ± 4,19 kg (KK=25,99 %). Superovulasi pada

Page 50: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [42]

induk babi menghasilkan bobot lahir per litter lebih tinggi daripada tanpa

superovulasi, karena superovulasi meningkatkan aktivitas hormon kebuntingan

progesteron dan estradiol dan faktor pertumbuhan, hormon-hormon tersebut akan

disekresikan secara endogen selama kebuntingan dan berperan dalam

perangsangan proses sintesis dan sekresi kelenjar endometrium uterus yang pada

gilirannya akan sangat menentukan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan

perkembangan konseptus sejak pra-implantasi sampai menjelang kelahiran

(Carson et al., 2000). Pregnant Mare’s Serum GonadotropindanHuman Chorionic

Gonadotrophinberperan dalam meingkatkan kapasitas dan sekresi uterus (Giesert

dan Schmitt, 2002), serta pertumbuhan dan perkembangan intrauterus (Valet et al.,

2002), setelah plasentasi sangat dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang

memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al.,

1999; Giellespie dan James, 1998).

2. Bobot Badan Lahir perEkor

Rataan umum untuk bobot lahir anak babi per ekor adalah 1,40 ± 0,18 kg.

Kurniawan (2006) yang meneliti hubungan bobot lahir dengan litter size lahir

manyatakan bahwa bobot lahir anak babi adalah 1,30 kg/ekor. Bobot lahir anak

babi dari induk dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain, frekuensi induk babi

beranak (parity), umur induk, bangsa induk dan jumlah anak seperindukan pada

waktu lahir (De Borsotti et al., 1982). Pengaruh perlakuan terhadap bobot badan

lahir dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa

pengaruh perlakuan terhadap bobot lahir per ekor berbeda nyata (P<0,05). Bobot

lahir per ekor anak babi dari induk perlakuan tanpa dan dengan superovulasi

masing-masing adalah 1,34 ± 0,14 kg (KK= 10,46%) dan 1,46 ± 0,19 kg

(KK=13,12%) (Tabel 3).Bobot lahir yang lebih tinggi dari induk babi dengan

perlakuan superovulasi dapat disebabkan superovulasi meningkatkan aktivitas

hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan, hormon-hormon tersebut akan

disekresikan secara endogen selama kebuntingan dan berperan dalam deferensiasi

dan perkembangan fetus selama kebuntingan yang berkaitan dengan

kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi pada masa

transisi dari kehidupan intrauterus ke ekstrauterus (Geisert et al., 1994). Bobot

lahir tidak lepas dari kapasitas dan sekresi uterus (Giesert dan Schmitt, 2002), dan

Page 51: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [43]

juga oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan intrauterus (Valet et al.,

2002), setelah plasentasi sangat dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang

memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al.,

1998),

Konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan berkorelasi

positif dengan peningkatan berat uterus, bobot fetus dalam kandungan, dan bobot

lahir anak (Manalu dan Sumaryadi, 1999; Mege et al., 2007). Superovulasi dapat

meningkatkan pertumbuhan otot awal ditandai dengan peningkatan ukuran serat

otot (hipertropi), pertumbuhan otot kemudian berasal dari peningkatan jumlah

serat otot (hiperplasia) (Giellespie dan James, 1998).Sebagain besar ternak

berkembang 60–70% dari berat lahir selama fase pertumbuhan fetus. Peningkatan

terbesar dalam bobot fetus terjadi selama kebuntingan (Giellespie dan James,

1998). Akibat dari pertumbuhan dan perkembangan yang sebagian besar terjadi

pada periode kebuntingan menyebabkan bobot anak babi yang lahir dari induk

yang disuperovulasi lebih baik.

Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Laktasi

Konsumsi ransum harian induk (KRHI) babi laktasi adalah jumlah ransum

yang dimakan induk babi setiap hari selama masa laktasi. Konsumsi ransum

diperoleh dari selisih antara jumlah ransum awal dengan jumlah sisa. Ransum

yang dikonsumsi induk babi disamping akan diubah menjadi jaringan tubuh, juga

digunakan untuk produksi air susu, energi dan sebagian lagi akan dikeluarkan

sebagai kotoran. Rataan umum untuk konsumsi harian ransum induk babi laktasi

adalah 5,16 ± 0,70 kg. Sihombing (2006) menyatakan dalam menghitung

kebutuhan ransum untuk induk laktasi adalah 2 kg untuk hidup pokok induk dan

ditambah dengan 0,5 kg dalam setiap ekor anak. Dari hasil perhitungan, rataan

kebutuhan ransum dihubungkan dengan rataan umum litter size lahir hidup (9,69

± 2,39 ekor) adalah sebesar 6,85 kg per ekor induk. Apabila dibandingkan dengan

hasil penelitian maka ransum yang dikonsumsi oleh induk babi laktasi masih lebih

rendah 1,69 kg daripada kebutuhan yang direkomendasikan. Hasil analisa sidik

ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan sangat berbeda nyata (P<0,01)

terhadap konsumsi ransum harian induk babi laktasi. Hasil pengamatan konsumsi

ransum harian induk (KRHI) babi selama masa laktasi diperlihatkan pada Tabel 2.

Page 52: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [44]

Rataan konsumsi ransum harian induk babi menurut perlakuan tanpa dan dengan

superovulasi masing-masing adalah 4,87 ± 0,77 kg dengan (KK=15,86 %) dan

5,48 ± 0,45 kg dengan (KK = 8,23 %).

Konsumsi ransum induk babi laktasi untuk yang disuperovulasi lebih

tinggi disebabkan litter size hidup lahir (10,43 ± 254 ekor) juga lebih tinggi

daripada tanpa disuperovulasi (8,95 ± 2,03 ekor). Kebutuhan ransum induk babi

selama laktasi tergantung banyaknya anak yang disusuinya (Sihombing, 2006).

Hasil penelitian rataan litter sizelahir pada perlakuan induk babi superovulasi dan

tidak disuperovulasi dihubungkan dengan konsumsi ransum harian induk babi

laktasi dalam penelitian ini masih lebih rendah daripada yang seharusnya yaitu

7,21 kg untuk yang disuperovulasi dan tanpa superovulasi adalah 6,48 kg.

Kebutuhan ransum untuk induk babi laktasi tergantung dari jumlah dan bobot

badan anak yang disusuinya, semakin tinggi litter size semakin meningkat

konsumsi ransum induk. Litter size juga mempengaruhi produksi susu, semakin

tinggi litter size lahir maka konsumsi ransum induk laktasi semakin banyak,

apabila konsumsi ransum induk selama laktasi tidak terpenuhi sesuai dengan

jumlah anak sekelahiran, cadangan makanan dalam tubuh akan digunakan untuk

memproduksi susu dan selanjutnya apabila cadangan makanan dalam tubuh

berkurang maka produksi susu akan berkurang. Bobot badan anak juga

mempengaruhi konsumsi ransum, makin tinggi bobot badan anak-anak babi yang

disusuinya maka konsumsi ransum induk laktasi makin tinggi (Parakkasi, 1983).

Bobot lahir anak babi dari induk babi yang tanpa dan dengan superovulasi

masing-masing adalah 1,34 ± 0,14 dan 1,46 ± 0,19 kg/ekor, dengan demikian

induk yang mempunyai anak yang bobot lahirnyalebih tinggi akan mengkonsumsi

ransum lebih banyak daripada yang bobot badan rendah. Induk babi yang

disuperovulasi mempunyai anak dengan bobot badannya lebih tinggi sehingga

frekuensi induk babi menyusui lebih sering daripada anak babi yang bobot

badannya lebih rendah, dengan demikian untuk mengimbangi produksi air susu

induk babi maka konsumsi ransum induk laktasi yang disuperovulasi lebih banyak

daripada induk babi tanpa superovulasi yang kenyataannya mempunyai anak lebih

rendah bobot badannya.

Mortalitas Anak Babi Prasapih

Page 53: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [45]

Rataan umum persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 20,78 ±

15,95%. Tingkat mortalitas yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Sihombing

(2006), bahwa persentase mortalitas anak babi berkisar 20-25%.Persentase

mortalitas anak babi prasapih menurut perlakuan ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil

analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap mortalitas anak babi selama menyusu. Mortalitas anak babi dari

induk babi tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 26,64 ± 18,60%

(KK=69,82%), dan 14,92 ± 10,18 % (KK= 68,20%). Mortalitas anak babi yang

lebih tinggi dari induk yang tanpa superovulasi daripada yang disuperovulasi,

terbukti bahwa superovulasi dapat memperkecil angka mortalitas. Mortalitas

berhubungan dengan bobot lahir anak babi. Bobot lahir anak babi dari induk yang

tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 1,34 ± 0,14 kg dan 1,46 ±

0,19 kg, dengan bobot anak babi lahir yang tinggi maka daya tahan hidupnya akan

semakin baik. Didukung oleh Eusebio (1980) yang menyatakan bahwa semakin

tinggi bobot lahir anak babi maka daya tahan tubuh akan semakin meningkat dan

dengan demikian mempunyai kesempatan yang baik untuk hidup. Superovulasi

dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan yang berperan

dalam pertumbuhan dan perkembangan embrio selama kebuntingan (Mege, 2007)

sehingga berdampak pada anak babi yang lahir dengan bobot badan yang tinggi,

dengan demikian anak babi berkesempatan untuk bertahan hidup lebih banyak,

dan mengakibatkan persentase mortalitas anak babi menjadi rendah.

Angka mortalitas anak babi yang terjadi selama penelitian juga dapat

disebabkan manajemen dalam kandang, seperti penanganan induk dan anak mulai

dari lahir hingga menyusu adalah kurang baik, sifat keibuan dari induk (mothering

ability) yang kurang baik karena ketika induk akan berbaring ada anak babi yang

ditindihnya, karena induk yang digunakan pada penelitian ini adalah induk yang

baru pertama kali beranak jadi belum berpengalaman dalam mengasuh anaknya

selain itu ada juga yang disebabkan oleh anak-anak babi yang sakit (mencret)

karena anak babi kedinginan, menjadi lemas dan sulit mendapat air susu induk,

sehingga menyebabkan kematian bagi anak babi. Hurley (2001) manyatakan

bahwa lebih dari 60% kematian anak babi sebelum disapih disebabkan oleh faktor

induk dan juga pengaruh dari pasokan pakan yang mengakibatkan rendahnya

Page 54: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [46]

produksi air susu induk.

Bobot Sapih

Bobot sapih dibagi kedalam dua kategori yaitu, bobot sapih anak babi per

litter (BSPL) (kg/litter), diperoleh dengan melakukan penimbangan semua anak

babi dari seperindukan segera setelah penyapihan, dan bobot sapih per ekor

(BSPE) (kg/e) adalah hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi

dengan jumlah anak yang disapih (ekor).

1. Bobot Sapih per Litter

Bobot sapih tergantung pada bobot lahir karena kondisi dari anak babi

sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan prenatal (Dziuk, 1992), termasuk perubahan

biokimia

sebelum implantasi embrio oleh estradiol dan progesteron. Bobot sapih juga

merupakan indikator dari produksi air susu induk babi dan kemampuan

bertumbuh anak babi. Rataan umum bobot sapih per litter adalah 93,33 ± 25,21 kg.

Secara rinci pengaruh perlakuan terhadap bobot sapih per litter dapat dilihat pada

Tabel 2. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan

berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot sapih per litter, dimana bobot sapih

tanpa dan dengan superovulasi masing-masing adalah 79,63 ± 20,78 dan 107,02 ±

21,85 kg/ litter atau bobot sapih per litterdari induk tanpa superovulasi 28,39 kg

lebih rendah daripada superovulasi.

Superovulasi ternyata dapat meningkatkan bobot sapih per litter hal ini

disebabkan bobot sapih sangat ditentukan oleh pertambahan bobot badan anak

selama menyusu. Pertambahan bobot badan anak babi sampai disapih dari induk

babi tanpa superovulasi (9,35 ± 0,69 kg) lebih rendah daripada dengan

disuperovulasi (10,81 ± 1,69 kg). Hal ini disebabkan superovulasi sebelum

pengawinan akan mensekresi hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan

estradiol) pada induk babi, yang akan mempengaruhi perkembangan saluran

reproduksi pada betina terutama uterus dan plasenta yang merupakan salah satu

penentu keberhasilan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan

embrio dan fetus sampai lahir (Geisert dan Schmitt, 2002; Sterle et al., 2003).

Bahkan pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta yang memperbaiki

pertumbuhan dan perkembangan fetus selama kebuntingan akan sangat

Page 55: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [47]

menentukan penampilan anak pasca lahir dan produksi (Foxcroft dan Town,

2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian bahwa penyuntikan PMSG dan hCG

pada induk babi sebelum pengawinan dapat meningkatkan bobot embrio (Mege,

2007), ini memberi gambaran bahwa superovulasi yang menstimulasi sekresi

endogen hormon kebuntingan sehingga sangat mempengaruhi sekresi progesteron

dan estradiol selama kebuntingan (Gisert et al., 1994; Geisert dan Shcmitt, 2002).

Pertumbuhan sapi, kambing dan domba sangat dipengaruhi oleh progesteron dan

estradiol melalui mekanisme modulasi peningkatan pertumbuhan dan

perkembangan serta fungsi uterus dan plasenta mensekresi zat makanan juga

faktor pertumbuhan untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup

fetus yang berdampak sampai anak lahir bahkan bobot sapih lebih baik(Manalu

dan Sumaryadi,1998; Manalu et al., 1999; Sumaryadi dan Manalu, 2001).

2. Bobot Sapih perEkor

Rataan umum bobot sapih per ekor adalah 11,13 ± 1,07 kg. Bobot sapih

per ekor hasil penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan yang

direkomendasikan oleh NRC (1998) yaitu sekitar 13-18 kg. Bobot sapih sangat

ditentukan oleh antara lain: jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk,

keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anaknya, kuantitas dan

kualitas ransum, serta suhu lingkungan (Sihombing, 2006). Secara rinci pengaruh

perlakuan terhadap bobot sapih per ekor dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisa

sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap bobot sapih per ekor, dimana dengan tanpa dan superovulasi

masing-masing adalah 10,64 ± 0,75 dan 11,61 ± 1,14 kg/ekor, dengan perkataan

lain babi dara dengan pemberian superovulasi menghasilkan bobot sapih 0,97

kg/ekor lebih berat daripada yang tanpa disuperovulasi.

Perkembangan setelah lahir anak tegantung dari produksi air susu induk

dan kemampuan anak babi untuk menyusunya. Anak babi dari induk yang

disuperovulasi lebih baik untuk menyusui anaknya daripada induk yang tidak

disuperovulasi, hal ini dibuktikan juga dengan frekuensi menyusui induk babi

masing-masing adalah 18,93 ± 0,23 dan 19,89 ± 0,40 kali dengan produksi air

susu induk 6,23 ± 1,86 dan 7,74 ± 1,00 kg/e. Bobot sapih dari babi dara hasil

superovulasi lebih berat daripada tanpa superovulasi. Hal ini disebabkan

Page 56: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [48]

superovulasi mampu mensekresi endogen hormon-hormon kebuntingan

(progesteron dan estradiol) sehingga setelah bunting terjadipetumbuhan dan

perkembangan kelenjar susu (Manalu dan Sumaryadi, 1998; Manalu et al., 1999)

dan terus meningkat sampai periode akhir kebuntingan. Pada periode tersebut

terjadi periode pertumbuhan dan perkembangan paling ekstensif bagi sel kelenjar

pensekresi susu serta sistem vaskuler, sel-sel ephitel, jaringan ikat dan jaringan

basal yang merupakan pertautan sel-sel pensekresi (Knight dan Wilde 1993).

Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu terutama ductus dan

perkembangan lobul alveolar selama kebuntingan sangat dipengaruhi oleh

sejumlah hormon yang meliputi estrogen, progesteron, prolaktin, laktogen

plasenta, insulin, hormon tiroid dan faktor pertumbuhan (Forsyth, 1986).

Peningkatan hormon-hormon tersebut bertanggung jawab atas kontrol

pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan, dan apabila terjadi gangguan

keseimbangan hormon mammogenik (Anderson et al., 1986) Peningkatan jumlah

sel sekretoris digambarkan dengan peningkatan DNA dan RNA sangat

menentukan tingkat produksi air susu induk sejalan dengan peningkatan

konsentrasi hormon kebuntingan seperti progesteron, estradiol selama laktasi dan

faktor pertumbuhan, sehingga menyebabkan peningkatan kelenjar susu yang amat

berperan dalam produksi air susu induk sehingga berdampak pada bobot sapih

anak babi (Hurley, 2003; Manalu dan Sumaryadi, 1998; Mege, 2007).

Litter Size Sapih

Sapih yaitu tahap pertumbuhan suatu hewan atau ternak dan tidak lagi

bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan

cair (Inglis,1980). Rataan umum litter size sapih yang diperoleh selama

pengamatan adalah 8,38 ± 2,15 ekor. Secara rinci pengaruh perlakuan terhadap

litter size sapih dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil litter size sapih yang diperoleh

lebih tinggi dibandingkan dengan litter size sapih untuk babi dara menurut

Sihombing (2006) yaitu 6,2 ekor.Litter size sapih sangat bergantung pada litter

size lahir dan mortalitas prasapih. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa

perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap litter size

sapih.

Rataan litter size sapih dari induk babi tanpa dan dengan superovulasi

Page 57: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [49]

masing-masing 7,48 ± 1,97 ekor (KK= 26,29 %) dan 9,29 ± 1,98 ekor (KK= 21,31

%).Litter size sapih dari induk babi superovulasi yang lebih banyak daripada tanpa

superovulasi, terbukti bahwa superovulasi dapat meningkatkan sekresi endogen

hormon-hormon kebuntingan (progesterondan estradiol) sehingga memperbaiki

bobot embrio dan fetus (Megeat al., 2007). Penampilan embrio dan fetus yang

baik berdampak pada anak babi yang lahir dan bahkan lepas sapih yang lebih baik

yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi, ini memberi gambaran bahwa

pengaruh hormon tersebut merupakan mimik dari LH dan FSH terhadap

pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan terutama

melalui modulasi progesteron dan estradiol serta faktor pertumbuhan yang juga

memperbaiki penampilan anak sejak lahir sampai lepas sapih.

Litter size sapih sangat bergantung pada litter size lahir dan mortalitas

prasapih. Litter size hidup lahir pada babi dara tanpa dan dengan superovulasi

masing-masing 8,95 ± 2,03 dan 10,43 ± 2,54 ekor. Sedangkan persentase

mortalitas tanpa dan dengan superovulasi masing-masing 26,64 ± 18,60% dan

14,92 ± 10,18%, maka dengan jumlah anak babi lahir yang tinggi diimbangi

dengan mortalitas prasapih yang lebih rendah akan menyebabkan litter size sapih

yang optimal.

SIMPULAN

Performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda dengan PMSG dan hCG

sebelum pengawinan, dapat mempersingkatlama bunting, memperbaiki bobot

badan induk bunting, litter size lahir, bobot lahir, konsumsi ransum harian induk,

produksi air susu induk, pertambahan bobot badan anak, mortalitas, litter size

sapih dan bobot badan sapihan.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani IK, Sutama, Sudono A, Sutardi dan Manalu W. 2005. Pengaruh

superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap

produksi susu kambing peranakan etawa. J. Anim. Production 6:86-94

Bates RO, Day BN, Britt JH, Clark LK, Brauer MA. 1991. Reproductive

performance of sows treated with a combination of pregnan mare’s

serum gonadotropin and prostaglandins during lactation. J Anim Sci

9:894-898.

Carson DD, Bagchi I, Dey SK, Enders AC, Fazleabas AT. 2000. Embrio

implantasi. Dev Biology 223:217-237.

Page 58: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [50]

Devendra C, Fuller MF, 1979. Pig Production in the Tropics. London. Oxford

University Press.

De Borsotti PN, Verde O, Plasse D. 1982. Genetic and enviromental factor

affecting growth of piglets. Anim Breed Abstr 50 (12)

Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci

28:299-308.

Eusebio JA 1980. Pig Production and the Tropics. Intermediate Tropical

Agriculture Series. Logman Group Ltd. Hong Kong. pp 7-26

Estiene JM, Harper AF. 2003. Uses of P.G.600 in swine breeding herd

management http://ext.vt.edu/news/livestock/aps-0344.htmi. [29 Mei

2004].

Forsyth IA. 1986. Varition among species the endokrine control of mammary

growth and function. The role of prolactin, growth hormone and plasental

laktogen. J Dairy Sci 46: 1293-1298.

Foxcroft GR and Town S. 2004. Prenatal programming of postnatal

performance the unseen cause of variance. Adv Pork Prod 15:269–279.

Geisert RD, Zavy MT, Moffatt RJ, Blair ML, Yellin T. 1990. Embryonic steroids

ndtheestablishment of pregnancy. J Reprod Fertil 40:293 – 305.

Geisert RD, Pratt T, Bazer FW, Mayes JS and Watson GH. 1994.

Immunocytochemical lokalization pregnancy. Reprod Vertil Dev 6:749-

760.

Geisert RD, Schmitt RAM. 2002. Early embryonic survival in the pig: Can it be

improved. J Anim Sci 80:54 – 85.

Giellespie, James R. 1998. Animal Science. Delmar Publishers, New York.

Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. Ed. Ke-6. Philadelpia: Lea

and Fibeger.

Hurley WL. 2001. Mammary gland growth in the lactating sow. Livestock Prod

Sci 70:149-157.

Inglis LK. 1980. To Laboratory Animal Science and Technology. Pergamon

Press Ltd., Oxford.

Kim SW, Hurley WL, Han IK, Easter RA. 2000. Growth of nursing pigs related

to thecharacteristics of nursed mammary glands. J Anim Sci 78:1313-

1318.

Knight CH, Peaker M. 1982. Development of the mammary gland. J Reprod

Fert 65:521-536.

Krider JL, Carroll WE. 1971. Swine Production. New Delhi. Tata Mc Graw Hill

Publishing Company.

Kurniawan RI. 2006. Hubungan litter size dengan bobot lahir dan mortalitas

anak babi tiga hari setelah lahir [sripsi]. Bogor. Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor.

Page 59: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [51]

PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN TERNAK BABI BALI

DI KABUPATEN GIANYAR PROVINSI BALI

I W. Suarna dan N. N. Suryani

Laboratorium Ilmu Tumbuhan Pakan Fakultas Peternakan Universitas Udayana

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Babi bali bila dilihat dari potensi genetisnya menghasilkan banyak lemak

sehingga babi bali lebih mendekati kepada babi tipe lemak. Karakteristik babi bali

seperti tersebut sangat potensial untuk dijadikan babi guling karena komposisi

lipatan lemak setelah kulit akan memberikan aroma dan tekstur babi guling yang

sangat baik. Produk kuliner asal babi yang sangat digemari dan telah menjadi

branding Kabupaten Gianyar adalah babi guling. Sementara, jenis (breed) babi

yang paling baik untuk diguling adalah babi bali yang menempati jumlah populasi

Page 60: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [52]

paling kecil di Kabupaten Gianyar. Fenomena kontroversial tersebut perlu

dicarikan solusi agar Gianyar tetap menjadi kabupaten yang terkenal dengan babi

guling gianyar. Pencermatan terhadap peluang dan tantangan pengembangan

babi bali bertumpu pada integrasi lima pilar utama yakni peternak, desa adat,

pemerintah daerah, pengusaha, dan akademisi. Sinergisme kelima pilar tersebut

menghasilkan strategi pengembangan babi bali sebagai akselerasi mencapai

pertumbuhan babi yang lebih cepat sehingga produktivitas pemeliharaan babi bali

dapat ditingkatkan tanpa mengurangi kualitas babi bali sebagai komuditas babi

guling yang menjanjikan.

Kata kunci: peluang, tantangan, strategi, babi bali

PENDAHULUAN

Bali memiliki berbagai plasma nutfah hewan/ternak dan tumbuhan yang

sudah dikenal keberadaanya di tingkat nasional dan internasional. Sapi bali, babi

bali, itik bali, jalak bali, harimau bali, rusa bali, anjing kintamani, kambing

gembrong, kera ekor panjang, kakatua jambul kuning, dan sapi putih taro adalah

plasma nutfah kekayaan alam Bali yang tak ternilai harganya. Beberapa jenis

diantaranya ada yang sudah punah, kritis, nyaris kritis, dan masih berkembang

baik. Harimau bali telah lama dinyatakan punah, sedangkan itik bali

keberadaannya sangat sulit ditemukan. Kambing gembrong, kakatua jambul

kuning, dan sapi putih taro populasinya saat ini dalam kondisi kritis karena

jumlahnya dibawah 100 ekor. Jenis ternak lainnya masih berkembang dengan

baik kecuali babi bali (asli) populasinya sudah mulai mengkhawatirkan. Kita akan

merasa kehilangan sangat besar ketika ternak/hewan itu punah, tetapi belum

berbuat banyak untuk melindungi ternak/hewan yang kondisinya nyaris punah.

Babi bali bila dilihat dari potensi genetisnya menghasilkan banyak lemak

sehingga babi bali lebih mendekati kepada babi tipe lemak. Karakteristik babi bali

seperti tersebut sangat potensial untuk dijadikan babi guling karena komposisi

lipatan lemak setelah kulit akan memberikan aroma dan tekstur babi guling yang

sangat baik. Produk kuliner asal babi yang sangat digemari dan telah menjadi

branding Kabupaten Gianyar adalah babi guling. Sementara, jenis (breed) babi

yang paling baik untuk diguling adalah babi bali yang menempati jumlah populasi

paling kecil di Kabupaten Gianyar. Fenomena kontroversial tersebut perlu

dicarikan solusi agar Gianyar tetap menjadi kabupaten yang terkenal dengan babi

Page 61: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [53]

guling gianyar. Menurunya keaslian babi bali terjadi akibat pelaksanaan up-

grading babi bali dengan babi saddle back yang dilakukan sangat intensif untuk

mempercepat pemenuhan akan daging bagi masyarakat. Namun, up-grading telah

membuat babi bali semakin terdesak populasinya termasuk produk olahan babi

bali tersebut. Jadi penomena tersebut seperti vicious circle yang segera

memerlukan solusi. Suatu komuditas peternakan akan dapat berkembang baik

apabila komuditas tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan budidayanya

dapat memberikan keuntungan bagi peternak. Demikian pula halnya dengan tenak

babi bali, pencermatan terhadap peluang dan tantangan pengembangan babi bali

sangat penting untuk menemukan sebuah strategi dan kebijakan pengembangan

ternak babi bali yang adaptif dan menguntungkan.

KONDISI PETERNAKAN BABI BALI DI KABUPATEN GIANYAR

Babi bali di Bali memiliki status sosial-budaya yang sangat penting sekali.

Untuk kegiatan upacara dan bahan upakara banyak mempergunakan daging babi,

selain untuk memenuhi kebutuhan untuk upacara agama, daging babi juga

dipergunakan dalam berbagai aktivitas sosial. Babi bali sangat cocok dipelihara

oleh para ibu rumah tangga di Bali sebagai celengan atau ”tatakan banyu” karena

dengan pemberian pakan seadanya saja dan pemanfaatan limbah dapur (banyu dan

sebagainya) babi bali telah mampu memberikan pertambahan berat badan.

Dilihat dari persentase daging yang dihasilkan, karakteristik babi bali

dipandang kurang baik karena potensi untuk menghasilkan daging kurang dan

jumlah anak (litter size) yang dihasilkan sedikit. Karenanya pemerintah melalui

Dinas Peternakan pada sekitar tahun 1978 mulai melaksanakan program

upgradingbabi bali. Program tersebut dilaksanakan dengan melakukan

persilangan antara babi bali dengan babi saddle back. Program tersebut mampu

memperbaiki kualitas daging babi persilangan dan performans babi persilangan

juga mengalami perubahan. Sejak pelaksanaan program upgrading tersebut maka

babi persilangan telah tersebar di seluruh Bali. Sebagai dampaknya adalah saat ini

sangat sulit mendapatkan jenis babi bali yang asli. Berdasarkan kondisi geografis

Bali sebagai kepulauan yang relatif kecil dapat diprediksi kemungkinan babi bali

dapat ditemui di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.Jika dilihat dari

potensi dan status sosial babi bali nampaknya babi bali perlu dipertahankan dan

Page 62: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [54]

dikembangkan karena sebagai sumber plasma nutfah, populasinya nyaris punah,

penghasil babi guling yang baik, cocok sebagai tatakan banyu, memiliki status

sosial budaya bagi masyarakat Bali dan telah menjadi talenta bagi kabupaten

Gianyar.

Jumlah produksi daging di Kabupaten Gianyar trus meningkat dari tahun

ke tahun, sedangkan produksi daging babi keseluruhan di Kabupaten Gianyar

mencapai 4.956,50 ton pada tahun 2013. Produksi daging babi tersebut adalah

lebih besar dari separuh total produksi daging Kabupaten Gianyar yakni 8.113,53

ton. Meningkatnya produksi daging babi tersebut didukung oleh meningkatnya

kelompok peternak Bali dari 60 kelompok pada Tahun 2009 menjadi 79

kelompok pada Tahun 2013.

Jenis babi yang dipelihara peternak di Kabupaten Gianyar berdasarkan

data populasi ternak oleh Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan (2013)

adalah ternak babi bali, babi saddle back dan peranakannya, serta babi landrace

dan persilangannya. Pada tahun 2013 jenis babi yang paling banyak dipelihara

adalah babi landrace dengan populasi sebanyak 134.364 ekor meningkat dari

tahun sebelumnya (2012) sebanyak 131.286 ekor. Peningkatan juga terjadi pada

babi saddle back dan peranakannya yakni mencapai 20.576 ekor pada Tahun 2013.

Penurunan populasi babi terjadi sangat drastis pada babi bali yakni dari 5.715 ekor

pada tahun 2012 menjadi 2.632 ekor pada tahun 2013 (Gambar 1). Babi bali

terbanyak dipelihara oleh masyarakat di kecamatan Tegalalang yakni sebanyak

1706 ekor kemudian diikuti oleh masyarakat di kecamatan Sukawati, Payangan,

Blahbatuh, dan Tampaksiring. Dua kecamatan yakni kecamatan Ubud dan

Gianyar tidak ada peternak babi yang memelihara babi bali.

Page 63: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [55]

Gambar 1. Populasi babi di Kabupaten Gianyar

Mencermati menurunya perkembangan peternakan babi bali di Kabupaten

Gianyar dan semakin banyaknya berdiri rumah makan yang menyediakan babi

guling maka ternak babi bali memiliki kesempatan untuk dikembangkan dan

ditingkatkan kapasitasnya sebagai salah satu plasma nutfah yang sangat

menjanjikan. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran

dan keberpihakan masyarakat peternak untuk memilih babi bali untuk

dikembangkan. Disisi lain peningkatan promosi dan informasi ilmiah tentang

guling babi bali sangat diperlukan agar “guling babi bali dapat berceritera tentang

dirinya sendiri”.

Gambar 2. Babi bali dan urutan (makanan khas daging babi)

PELUANG PETERNAKAN BABI MEMASUKI PASAR GLOBAL

Masyarakatbangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN)

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

140000

Babi bali Babi saddle back Babi landrace

2012

2013

Page 64: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [56]

telahsepakatuntukmenciptakankawasanekonomi ASEAN yang stabil, makmur,

danmemilikidayasaingtinggi. Dalamrangkamewuudkan MEA 2015

telahdirumuskan ASEAN Economic Community Blueprint, yang memuatlangkah-

langkahstrategis yang harusdiambilsetiap negara anggota ASEAN.

Terdapatempatpilaruntukmewujudkan MEA 2015 yakni:

1. ASEAN sebagaiPasar Tunggal dan Basis Produksi Regional:

arusbarang, jasa, daninvestasi yang bebas, tenagakerja yang

lebihbebas, danpengembangan sector food-agriculture-forestry;

2. ASEAN sebagaikawasanberdayasaingtinggi:

memerlukankebijakanperlindungankonsumen, HKI, kerjasama energy,

pembangunaninfrastruktur, perpajakandan e-commerce;

3. ASEAN sebagaiKawasandengan Pembangunan Ekonomi yang

Merata: pengembangan UKM danprakarsabagiintegrasi ASEAN;

4. ASEAN sebagaiIntegrasidenganPerekonomianDunia;

pendekatankoherenterhadaphubunganekonomieksternal, partisipasi

yang semakinmeningkatdalamjaringansuplai global.

Jikadiperhatikankeempatpilar di

atasmakapilarpertamamasihmenjadiperhatianutamauntukmenjadiskalaprioritas.

MenurutBaskoro (2014) MEA akan menjadi kesempatan yang baik karena

hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal

tersebut akan berdampak pada peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan

meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi lain, muncul tantangan baru

terhadapbeberapakomuditas Indonesia berupa permasalahan homogenitas

komoditas yang diperjualbelikan.

Terhadapkomuditaspertaniansepertihalnyaternakbabidengansegalakespesifikannya

memilikipeluanguntukdapatbersaingdalampasar MEA.

Dipta (2014) menyatakanbahwatantangan yang akandihadapioleh UMKM

dalammenghadapiMasyarakatEkonomiASEANadalah:

1. persaingan yang makintajam, termasukdalammemperolehsumberdaya;

2. menjagadan meningkatkan dayasaing UKM sebagai industri kreatif dan

inovatif;

Page 65: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [57]

3. meningkatkan standar, desaindankualitasproduk agar sesuai ketentuan

ASEAN (misal mempersiapkanLSPro);

4. diversifikasi output danstabilitaspendapatanusahamikrosangatdiperlukan

agar tidak “jatuh” kekelompokmasyarakatmiskin;

5. meningkatkan kemampuan UMKM agar mampu memanfaatkan fasilitas

pembiayaan yang ada, termasuk dalam kerangka kerjasama ASEAN.

Meskipun pasar ASEAN sangat potensial dengan berkembangnya populasi

ASEAN, khususnya kelas menengah yang semakin banyakdanASEAN telah

memiliki lima Free Trade Agreement (FTA), yaitu dengan RRT, Jepang, Korea

Selatan, India, dan Australia-Selandia Barumakaterdapathal yang

sangatpentingdipertimbangkanyaknikesiapankitauntukmemasuki MEA 2015.

Kreativitasmasyarakat Bali yang

cukupbanyakmelahirkankeunggulankomparatifsudahmenjadikewajibanuntukseger

aditingkatkandayasaingnya, termasukprodukpertanian yang

tingkathomogenitasnyacukuptinggi.

PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN BABI BALI

Pengembanganternakbabibali diKabupatenGianyarmengalamipenurunan

yang sangatdrastis (Gambar 1). Dari hasilwawancaramendalamdengan para

peternakbabi di sentra-

sentrapeternakanbabidikatakanbahwamenurunnyapopulasibabibalidisebabkanoleh

pertambahanberatbadanbabibali yang lambat, litter size lebihrendah,

dankandunganlemaknyalebihbanyak. Namunbeberapamasyarakat yang

masihtetapmemeliharababibalimenyatakanbahwababibalilarisdipasarankarenalebi

hgurihkalaudigulingdanlebihcocokdigunakansebagaibahanuntukmelengkapipiranti

upakara (misal: untukgayah). Permasalahan lain yang ditemukan dalam

pengembangan ternak babi bali di Kabupaten Gianyar adalah bahwa petani

peternak belum ada yang menanam tanaman pakan secara khusus untuk pakan

ternak babi (Suarna dan Suryani, 2013). Hal tesebut juga akan mempengaruhi

keberlanjutan peternakan babi bali.

Produktivitas ternak sangat ditentukan oleh keberadaan dan produktivitas

tanaman penghasil pakan. Perhatian tentang pengadaan dan penyediaan sumber

pakan untuk ternak babi saat ini masih sangat terbatas. Terhadap hal tersebut

Page 66: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [58]

Suarna dan Duarsa (2012) menyarankan bahwa kebijakan pengembangan

tumbuhan pakan memerlukan strategi pendekatan antara lain adalah

meningkatkan jumlah, jenis, dan efektivitas berbagai kebun bibit tanaman

makanan ternak, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam

mempercepat proses alih teknologi budidaya tanaman pakan kepada petani

peternak dan menciptakan pabrikasi pakan berbasis sumber pakan lokal.

Tantanganpengembanganpeternakanbabibali di KabupatenGianyarantara

lain:

1. Kapasitas sumberdaya manusia seperti penyuluh, pengawas, peternak, dan

aparatur institusi yang membidangi memerlukan upaya untuk

meningkatkan unjuk kerjanya mengingat daya saing akan menjadi

indikator utama;

2. Meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, disertai berkurangnya jumlah

dan jenis tumbuhan pakan yang dapat dijadikan sumber bahan pakan;

3. Implementasi Ipteks pada babi bali masih memerlukan penguatan seperti

inseminasi buatan (IB) pada babi, bioteknologi dan sebagainya;

4. Pertumbuhan babi bali masih lambat;

5. Sertifikasi produk terutama untuk babi bibit dan induk belum tersedia.

Adapun peluang pengembangan babi bali asli sangat terbuka lebar,

sehingga sejak dini memerlukan persiapan agar babi bali dapat memanfaatkan

setiap peluang dan dapat menguasai pasar. Peluang tersebut antara lain adalah:

1. Akan tersedianya pasar tunggal ASEAN;

2. Berkembangnya keberagaman usaha kuliner;

3. Kabupaten Gianyar telah memiliki branded “babi guling gianyar”

4. Telah ada UPTD semen beku untuk babi di Bali;

5. Akan dibentuk LSPro untuk komuditas ternak;

6. Semakin banyak restoran yang menyuguhkan babi guling sebagai sajian

spesial.

Mencermati tantangan dan peluang pengembangan babi bali di Kabupaten

Gianyar maka seharusnya sudah dipersiapkan kebijakan yang bersifat strategi

sehingga plasma nutfah babi bali terselamatkan, peternak mendapat keuntungan,

dan mampu bersaing di pasar global.

Page 67: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [59]

KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN BABI BALI

Berbagai kebijakan yang sangat strategis yang kiranya perlu mendapat

perhatian untuk diterapkan antara lain adalah:

1. Melaksanakan penguatan terhadap para peternak babi bali dan penyuluh

pertanian lapangan agar dapat menerapkan Ipteks untuk mempercepat

pertambahan bobot badan babi tanpa mengesampingkan kaedah-kaedah

konservasi;

2. Melaksanakan diversifikasi horizontal dan vertikal terhadap produk babi

bali sehingga mampu meningkatkan ketahanan produk asal babi bali;

3. Melaksanakan sertifikasi, ISO, dan sebagainya untuk meningkatkan daya

saing produk babi bali;

4. Menjaga sanitasi kandang dan kesehatan ternak babi bali

5. Mengembangkan kelembagaan peternak babi bali sehingga dapat

mendukung produktivitas babi bali;

6. Menyiapkan infrastruktur dan pasar

7. Meningkatkan kapasitas peternakan babi bali melalui fasilitasi pendanaan

dan perbibitan;

8. Mengembangkan tumbuhan pakan untuk meningkatkan produktivitas

peternakan babi bali.

9. Membangun pola kemitraan yang adaptif agar permasalahan

pembangunan peternakan dapat diselesaikan dengan baik

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Babi bali memiliki peluang besar untuk dikembangkan baik untuk

kebutuhan pasar domestik ataupun pasar tunggal ASEAN;

2. Pola kemitraan dan fasilitasi pemerintah diperlukan untuk menjadikan

Gianyar sebagai kabupaten seni budaya dan sekaligus menjadi “kota babi

guling”;

3. Komitmen pemerintah daerah (pemda) yang kuat sangat diperlukan untuk

mengembangkan babi bali sehingga memiliki daya saing yang tinggi:

Page 68: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [60]

4. Model skenario pengembangan babi bali perlu segera disusun dan

diimplementasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.

Saran

Pemerintah semestinya membantu peternak dalam hal permodalan

khususnya peternak yang secara tekun memelihara babi bali sehingga mereka

tidak kesulitan untk membeli bibit. Peternakan babi bali perlu diarahkan pada

usaha peternakan yang bersertifikat sehingga mampu bersaing di pasaran global,

mengingat babi bali mempunyai keunikkan tersendiri dan sudah mulai diminati

oleh wisatawan manca negara.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro, A.2014. Peluang, Tantangan, Dan Risiko Bagi Indonesia Dengan

Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Gianyar. 2013. Data

Populasi Ternak Kabupaten Gianyar. Dinas Peternakan, Perikanan, dan

Kelautan Kabupaten Gianyar

Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Gianyar. 2013. Rencana

Strategis (Renstra) Tahun 2013-2018. Dinas Peternakan, Perikanan, dan

Kelautan Kabupaten Gianyar

Dipta, I W. 2014. TantangandanKesiapan UMKM IndonesiadalamMEA

2015Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Jakarta

Suarna, I W. dan N.N. Suryani. 2013. Potensi dan Pengembangan Tanaman

Pakan pada Lahan Perkebunan di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali.

Prosiding Seminar Nasinal Hijauan Pakan Lokal dalam Sistem Integrasi

untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan Nasional. Himpunan

Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia. Denpasar.

Suarna, I W. dan M.A.P. Duarsa. 2012. Kebijakan Dan Strategi Pengembangan

Tumbuhan Pakan Untuk Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada

Simantri. Prosiding Seminar Nasinal, Pusat Kajian Sapi Bali. Universitas

Udayana Denpasar.

Page 69: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [61]

THE UTILIZATION OF Azollapinnata IN REDUCING POLLUTANTS ON

A PIG FARM LIQUID WASTE

Vonny R W Rawung dan Jeanette E M Soputan

Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

The aims of this study is to detect the ability of Azollapinnata (AP) to reduce

pollutants in the liquid waste (LW) produced by the pig farm (PF), at different

density levels. This study has used LW discharges precipitated a pig farm for over

1 hour and then the LW was separated from solid waste. LW was inserted into the

container, diluted with a ratio of waste water 1:3. AP was inserted into the rice

pan of water for about 3 days. Sampling was conducted at 4 pm each day, for 4

days as much as half a liter while the pH and TDS measurements performed in

situ. Variables of acidity (ph), dissolved oxygen (DO), biological oxygen demand

(BOD), chemical oxygen demand (COD), total suspended solidity (TSS), total

dissolved solidity (TDS), turbidity and nitrate (NO3) were observed. The results

showed that AP was able to reduce the pollution level of organic material from a

pig farm liquid waste and in other words, the AP was able to increase the DO,

lowering the value of BOD, COD, TSS and TDS, turbidity and NO3. AP can

improve the quality of liquid waste from a pig farm class II to class I.

Keywords: Azollapinnata, liquid waste, pig

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kemampuan Azollapinnata (AP)

untuk mengurangi polutan dalam limbah cair (LW) yang dihasilkan oleh

peternakanb abi (PF), pada tingkat kepadatan yang berbeda. Penelitian ini

menggunakan limbah cair (LW) diendapkan pada peternakan babi selama lebih

dari 1 jam dan kemudian LW dipisahkan dari limbah padat. LW dimasukkan ke

dalam wadah, diencerkan dengan perbandingan 1:3 air limbah. AP dimasukkan ke

dalam panci air sawah selama sekitar 3 hari. Pengambilan sampel dilakukan pukul

4 sore setiap hari, selama 4 hari sebanyak setengah liter sedangkan pengukuran

pH dan TDS dilakukan secara in situ. Diamati variabel keasaman (ph), oksigen

terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologis (BOD), kebutuhan oksigen kimia

(COD), total soliditas ditangguhkan (TSS), jumlah soliditas terlarut (TDS),

kekeruhan, dan nitrat (NO3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa AP mampu

mengurangi tingkat pencemaran bahan organic dari limbah cair peternakan babi

dan dengan kata lain, AP mampu meningkatkan DO, menurunkan nilai BOD,

Page 70: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [62]

COD, TSS dan TDS, kekeruhan dan NO3 . AP dapat meningkatkan kualitas

limbah cair dari kelas peternakan babi tingkat II ke kelas I.

Kata kunci: Azollapinnata, limbah cair, babi

PENGARUH PENAMBAHAN PROBIOTIK KERING PADA RANSUM

BABI TERHADAP DAYA SIMPAN DAGING DAN

DAMPAKLINGKUNGAN SEBAGAI USAHA MENUJU PETERNAKAN

BABI

YANG BERKELANJUTAN

Tirta A., IN., A. A.Oka, S. A. Lindawati, IGd.Suarta, I Gede Suranjaya, dan

Made Dewantari

Fakultas Peternakan Universitas Udayana

e-mail:[email protected]

ABSTRAK

Penelitianinitelahdilakukandengantujuanuntukmengetahuipenambahanprobiotikke

ring (jenisStarbio)

padaransumbabiterhadapdayasimpandagingdandampakterhadaplingkunganpeterna

kanbabidimanausahatersebutdilaksanakan.

Penellitianmenggunakanrancanganacaklengkap (RAL) denganduaperlakuanyaitu:

pemberianstarbio 0% (NS) danpemberian 0,25% starbio (ST).

Setiapperlakuandiulangsebanyak 12 kali, jadijumlahbabi yang

dipergunakandalampenelitianinisebanyak 24 ekordenganberat ±70 kg (fase

finisher). Parameter

dalampenelitianiniadalah:dayasimpandagingyaitudenganmengamatipertumbuhan

mikroba patogen setiap 3 jam selama 24 jam,

dandampaklingkunganseperticemaran/kandunganammoniadanmikroba pathogen

(E.coli, Coliform, TPC)

padafeses.Hasilpenelitianmenunjukkanbahwaprofilmikroba (TPC)daging

NSpadapengamatan 3 jam pertamatidakberbedanyata (P>0,05) dengan ST.Setelah

6 jam pengamatan, baikpadadaging NS maupun ST

terjadipertumbuhanmikrobadengancepat. Pada 15-18 jam pengamatan, TPC

padasampelmencapai 105-6cfu/cm2TPCnamunpadasampel NS

nyatalebihbanyakdari TPC sampelST (P<0,05).Pengamatanselama 18-24 jam,

keduasampelmengalamiperubahanbausampaitingkatpembusukandengan TPC 107-

8cfu/cm2dan TPC padasampel NS nyatalebihtinggidari ST (P<0,05). Pengamatan

TPC, Colliform,

danE.colipadafesessebagaisumberpencemaranterhadaplingkungandiperolehmasing

-masing16,7%, 9,1%, dan 25% padasampel NS

nyatalebihtinggijikadibandingkandengansampel ST (P<0,5).

Kesimpulannyaadalahdenganpenambahanprobiotikkeringstarbio (0,25%)

padaransumbabidapatmemperbaikidayasimpandagingdanmengurangidampakterha

daplingkunganpeternakanbabi.

Page 71: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [63]

Kata kunci: starbio, babi, dayasimpandaging,lingkungan

EFFECTS OF ADDITIONAL OF DRIED PROBIOTIC IN PIG RATIONS

TO THE SELF LIFE OF PORK AND IMPACT ON ENVIRONMENT AS

ACTIONS TO PIG FARMING CONTINUATION

ABSTRACT

This researchhas beenconductedin order to determinethe addition

ofdriedprobiotic(type Starbio) inpigrationsonthe shelf lifeof pork andimpact on

the environment as an action to pigfarm continuation. The researchused

acompletely randomized design(CRD), withtwo treatments, namely: non

starbio0% (NS) andwith starbio 0.25% (ST). Eachtreatmentwas replicated12

times, sothe number of pigsusedin this study were24with live weight for about 70

kg per head(finisher). The parameters observed inthis studywere the shelf

lifethrough the growth ofpathogenic microbesin every3 hoursof 24hours,

andenvironmental impactssuch asammoniacontent andmicrobialpathogens(E. coli,

Coliform, TPC) in their feces.The results showed that the microbial profiles

(TPC) NS pork in the first 3 hours of observation was not significantly different

(P>0.05) than the ST. After 6 hours of observation, the microbes of both pork of

ST and NS grew fast. At 15-18 hours of observation, the samples reached 105-6

TPC cfu/cm2 but, the NS samples more samples from TPC ST (P<0.05).

Observation for 18-24 hours, both samples changed their smell up to perishable

level with TPC and TPC at 107-8 cfu/cm2 NS samples of ST was significantly

higher (P<0.05) than TPC sample ST (P<0.05). Observations TPC, Colliform, and

E. coli in the feces as a source of pollution to the environment obtained

respectively 16.7%, 9.1%, and 25% in NS samples was significantly higher when

compared with ST samples (P <0.5). The conclusion was that with the addition of

dried probiotic starbio (0.25%) in pig rations can fixed up the shelf life of pork

and reduce the environmental impact of pig farms.

Keywords: starbio, pig, pork shelf life, environment.

PENDAHULUAN

Peternakan di Denpasar, khususnya peternakan babi sebagian besar sudah

melaksanakan tatalaksana peternakan dengan baik dan benar, baik dari aspek

reproduksi dan pembibitan (breeding) maupun penggemukan (fattening) (Ardana

dan Putra, 2008; Anon, 2013). Aktivitas peternakan (khususnya peternakan babi

ataupun unggas) di daerah Denpasar sangat perlu diperhatikan terutama

dampaknya terhadap lingkungan, mengingat perkembangan penduduk yang

sangat pesat. Sebaik apapun manajemen peternakan yang dilaksanakan, sedikit

banyak akan berdampak terhadap lingkungan dimana peternakan tersebut

Page 72: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [64]

beraktivitas, seperti bau kurang sedap maupun limbah lainnya. Dampak yang

ditimbulkannya menjadi masalah baru pada lingkungan. Upaya bersama antara

peternak dengan masyarakat dan pemerintah sudah dilakukan, namun

permasalahan lingkungan sulit dihilangkan.

Ketika populasi ternak babi di Denpasar mencapai jumlah 16.517 ekor

(dengan 67 pemilik/perusahan peternakan) dan 89.355 ekor (Anon, 2012),

merupakan salah satu potensi pemicu masalah lingkungan. Pada saat ini ada

informasi probiotik kering seperti Starbio yang direkomendasikan dapat

mengurangi dampak dari aktivitas peternakan dan dapat meningkatkan produksi

ternak. Dengan melihat permasalahan tersebut, sangat perlu dilakukan penelitian

ini yang bisa memberikan solusi dalam permasalahan lingkungan dan sekaligus

untuk meningkatkan produksi dan populasi ternak di daerah Denpasar.

METODOLOGI

Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) sub sampling

dengan dua perlakuan, yaitu dengan pemberian probiotik kering 0% (NS) dan

dengan pemberian probiotik kering 0,25% (ST). Setiap perlakuan diulang

sebanyak 12 kali (untuk babi), sehingga jumlah ternak babi yang digunakan

sebanyak 24 ekor pada fase finisher

Ternak babi sebagai materi penelitian berasal dari satu sumber, yaitu satu

lokasi kandang suatu perusahaan peternakan babi. Hal ini dilakukan agar

diperoleh sumber atau asal ternak yang sama, perkandangan, manajemen

pemeliharaan, dan manajemen pakan serta makanannya diharapkan sama.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di peternakan babi milik bapak Ir. Wayan Sana yang

beralamat di Jln Trenggana no. 90 Banjar Paang Kaja, Kelurahan Penatih,

Denpasar Timur - Denpasar. Pengambilan data pengaruh aktivitas peternakan babi

yang berdampak terhadap lingkungan dilakukan di peternakan babi milik bapak

Dharma di Jl. Kaswari Desa Penatih dan peternakan babi milik Bapak Diah di

Desa Pohmanis-Denpasar Timur-Denpasar. Dasar pemlihan peternakan tersebut

sebagai lokasi pengambilan sampel penelitian adalah di daerah tersebut terdapat

Page 73: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [65]

jumlah/popolasi ternak babi relatif cukup banyak jika dibandingkan dengan

daerah maupun kecamatan lainnya di Denpasar.

Pemotongan ternak babi dilakukan di Jl. Buluh Indah Gang IV/8, Br.Kerta

Sari Denpasar Barat-Denpasar dan pengujian kualitas fisik dan kimia daging

dilakukan di laboratorium THT (Teknologi Hasil Ternak) dan laboratorium nutrisi

dan biofisik Fakultas Peternakan, Laboratorium THP (Teknologi Hasil Pertanian)

Fakultas Teknologi Pertanian, dan Laboratorium Analitik Universitas Udayana.

Penelitian dilakukan selama 2,5 bulan, yaitu dari tanggal 15 September-30

Nopember 2013.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan analisis sidik

ragam. Jika terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan, maka analisis

dilanjutkan dengan uji T test (Steel dan Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya Simpan Daging

Daya simpan daging merupakan kemampuan dari daging tersebut untuk

mempertahankan kualitasnya, baik fisik maupun kimia terhadap perubahan-

perubahan lingkungan dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan mikroba pada

sampel daging babi karena pengaruh starbio terhadap pertumbuhan mikroba pada

daging babi pada Gambar 1. Pengamatan terhadap pertumbuhan jumlah mikroba

pada daging dilakukan setiap 3 (tiga) sekali, selama 24 (dua puluh empat jam).

Dapat dilihat pada Gambar 1 dengan penambahan starbio pada ransum (ST) dapat

menghambat pertumbuhan mikroba patogen pada daging selama waktu

penyimpanan daging pada ruang terbuka atau pada suhu ruang/kamar (25-28 0C).

Pengamatan pada sampel daging mulai dari 3 (tiga) jam sampai 6 (enam)

jam terjadi pertumbuhan yang sangat lambat. Pertumbuhan ini disebut fase lambat

(fase lag), karena pada fase ini mikroba masih beradaptasi dengan lingkungan dan

material inti. Pertumbuhan cepat atau pertumbuhan logaritmik mulai terjadi pada

8 (delapan) jam sampai 18 jam pengamatan (Gmbr.1).

Dalam fase tersebut, jumlah mikroba meningkat dan tumbuh dengan laju

Page 74: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [66]

pertumbuhan yang konstan hingga faktor lingkungan sebagai pembatas. Fase

logaritmik berakhir secara berangsur-angsur, kemudian mencapai titik ekuilibrium

(keseimbangan) yaitu jumlah sel bisa konstan selama beberapa saat karena

berkurangnya pembelahan sel, atau adanya keseimbangan antara laju perbanyakan

sel dengan laju kematian. Hal tersebut sesuai dengan pendapatnya Fardiaz (1992)

yang dikutip oleh Lindawati (1998), yang menyampaikan pola pertumbuhan

mikroorganisme digambarkan sebagai suatu kurva dan terdiri dari beberapa fase

pertumbuhan. (1) Fase awal atau adaptasi, adalah fase mulainya pembelahan sel

dengan kecepatan yang masih rendah, karena baru selesai peneyesuaian diri. (2)

Fase logaritmik (pertumbuhan), adalah fase pembelahan sel dengan cepat dan

konstan. Fase ini memerlukan pasokan makanan yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan fase lainnya, dan selnya sangat rentan terhadap keadaan

lingkungan. (3) Fase tetap (statis), disini terjadi pertumbuhan mikroorganisme

dengan jumlah yang sama dengan yang mati. (4) Fase pertumbuhan lambat

(menurun), terjdi pertambahan jumlah dan ukuran sel yang menurun yang

disebabkan sumber nutrisi yang semakin berkurang dan adanya hasil samping dari

metabolisme yang beracun. Pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh faktor

intrinsik seperti pH, aktivitas air (Aw), potensial oksidasi-reduksi, kandungan

nutrisi, dan senyawa antimikroba.

Pertumbuhan logaritmik yang diamati sampai 24 jam menunjukkan

bahwa sampel daging sudah mengalami perubahan bau (off odor) sampai busuk.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Jay (1986), bahwa bau busuk yang

ditimbulkan oleh aktivitas mikroba jika terdeteksi pada sampel ditemukan jumlah

mikroba mencapai 107-107,5 cfu/cm2, dan terjadi lendir jika ditemukan jumlah

mikroba mencapai 107,5-108 cfu/cm2 lebih. Perubahan tersebut terjadi karena

pengaruh aktivitas mikroba terhadap konstituen daging. Hasil metabolisme

pertumbuhan mikroba yang menggunakan konstituen daging, menyebabkan

perubahan mikrobial, kimiawi, dan fisik dari daging atau produk daging selama

pengamatan dan penyimpanan.

Page 75: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [67]

Gambar 1. Pertumbuhan Total Mikroba (TPC) pada Daging Babi yang Diberi Probiotik Starbio

selama Penyimpanan pada Suhu Ruang.

Dampak Lingkungan

Untuk menyatakan dampak terhadap lingkungan dari aktivitas suatu

peternakan babi dapat dilihat pada buangan limbah/kotoran ternak, seperti bau

yang menyengat, dan cemaran pada sungai ataupun lingkungan sekitarnya.

Parameter tersebut sebagian besar disebabkan oleh gas metan/kandungan amonia

dan mikroba pada kotoran dan urine ternak serta sisa-sisa pakan yang tidak

tereduksi dengan sempurna dalam metabolisme tubuh.

Penambahan starbio pada ransum (ST) dapat secara signifikan menurunkan

jumlah amonia, jumlah mikroba (TPC), Coliform, dan E.coli pada feces babi

(P(0<,05) (Tabel di bawah).

Tabel . Kandungan Amonia dan Mikroba pada Feses Babi yang Diberi

Probiotik Starbio.

Variabel Perlakuan Rataan/Mean SEM

ATLB/TPC (log cfu/m2) S T

N S

10a

12b

0.2311

0,2357

Coliform (log cfu/m2) S T

N S

10c

11d

0,3421

0,2431

E.coli (log cfu/m2) S T

N S

9e

12f

0,4211

0,4233

Ket.: Nilai rataan yang diikuti dengan huruf yang sama menyakatan tidak berbeda nyata (P>0,05).

ST = Starbio, NS = Non Starbio, SEM =Standard Error of Mean.

0

2

4

6

8

10

T0 T3 T6 T9 T12 T15 T18 T21 T24

Pertumbuhan Jumlah Mikroba/TPC pd daging Babi

TPC ST TPC NS

Page 76: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [68]

Gambar.2. Profil Mikroba Patogen pada Feces Babi yang Diberi Probiotik Starbio.

Gambar 3. Kandungan Amoniak pada Feces dan Urin Babi yng DiberiProbiotik Starbio. (ST =

starbio, NS = non starbio).

SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penggunaan probiotik starbio dapat memperlambat/mengurangi jumlah

mikroba patogen selama daging disimpan dan berada pada ruang terbuka.

2. Penggunaan probiotik starbio dapat mengurangi jumlah mikroba patogen

dan kandungan amonia pada feces dan urine ternak babi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Kota Denpasar,

melalui Bappeda kota Denpasar yang telah memberi bantuan dana pada penelitan

0

2

4

6

8

10

12

14

TPC COLIFORM E.COLI

PROFIL MIKROBA PADA FECES BABI

ST NS

0

20

40

60

80

100

120

FECES URINE

Kandungan Amonia pada Feces dan Urine Babi

ST NS

Page 77: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [69]

ini. Terimakasih disampaikan pula kepada Bapak Ir.I Wayan Sana pemilik

peternakan babi penelitian, Laboratorium Bersama Fakultas Peternakan

Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani. L., L.,E, Hermawan, K. A. Kamil dan A. Mushawwir. 2010. Fisiologi

Ternak. Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi, dan Interaksi Organ pada

Hewan. Penerbit Widya Padjadjaran. Bandung

Anonymous. 2011. The Livestock Industry Working Together for Responsible

Animal Care. www.afac.ab.ca/curent/activists/stress.htm. 24 Februari 2011.

Anonymous. 2012. Laporan Cacah Jiwa Ternak Tahun 2012. Dinas Peternakan,

Perikanan, dan Kelautan Denpasar.

Anonymous. 2013. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali Tahun 2012. Dinas

Peternakan danKesehatan Hewan. Denpasar

Ardana, I.B., D.K.H.Putra. 2008. TERNAK BABI. Manajemen Reproduksi,

Produksi dan Penyakit. Udayana University Press. Denpasar

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Pusat

Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Jaworska, D., W. Przybylski, K. Kajak-Siemaszko. and E. Czarniecka-Skubina.

2009. Sensory Quality of Culinary Pork Meat in Relation to Slaughter and

Tecnological Value. Food Science and Technology Reserch. Vol. 15 (2009),

No. 1 pp.65-74.

Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. (Aminudin Parakasi) Ed.V. Penerbit Universitas

Indonesia. Jkt

Lay, W dan S. Hastowo. 1992. Mikrobiologi. PAU-Bioteknologi. IPB. Bogor.

Mountney, G.J. 1976. Mikrobiology of Poultry Meat. In Poultry Products

Technology. 2nd Ed. The Avi Publishing Company, Inc. Connecticut.

Muir, L.A. 1988. Effects of Beta-Adrenergic Agonists on Grouth and Carcass

Characteristics of Animals. Designing Foods.National Academy Press.

Washington, D.C.

Purnomo, H. dan M. C. Padaga. 1989. Ilmu Daging. Penerbit Universitas

Brawijaya, Malang.

Sihombing DTH., 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Univercity Press,

Cetakan Kelima, Yogyakarta

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu

Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia. Jakarta.

Page 78: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [70]

PENGGUNAAN PROTEXIN UNTUK MENURUNKAN ANGKA

KEMATIAN ANAK BABI SAMPAI DISAPIH

Rachmawati WS* dan N. L. G. Sumardani**

*Universitas Jenderal Soedirman, ** Universitas Udayana

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian telah dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok dengan

membedakan kontrol (tanpa protexin) dan pertakuan (P) dengan pemberian

protexin konsentrasi 2 × 109 CFU/g pada induk babi mulai dua minggu sebelum

dikawinkan dengan nomor kelahiran I,II,III dan IV. Protexin diberikan pada 20

ekor induk (0, 5, 10 dan 15 g protexin per ton pakan) sampai anaknya disapih.

Jumlah anak yang dilahirkan adalah 184 ekor. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa dengan penggunaan protexin pada induk sebelum dikawinkan

menghasilkan anak dengan berat lahir yang secara nyata (P<0,05) lebih tinggi

(1,50 – 1,54 kg) jika dibandingkan dengan yang tidak diberi (1,38 kg). Jumlah

anak yang lahir hidup pada kelahiran pertama adalah 55 dari 57 ekor (3%) dan

total anak babi mati sampai disapih sebanyak 7 ekor (12,7%). Sementara itu

dengan pemberian 10 g protexin, angka kematian babi yang dilahirkan adalah

2,01%, dengan 15g protexin adalah 2,3 %.Pada perlakuan tanpa protexin kematian

anak babi sampai disapih mencapai 20%. Kesimpulan yang dapat diambil adalah

penggunaan protexin pada induk babi menjelang kawin dan selama bunting secara

nyata menurunkan angka kematian anak babi sampai disapaih.

Key word: protexin, kematian anak babi

THE USE OF PROTEXIN TO REDUCE PIGLET MORTALITY

ABSTRACT

Page 79: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [71]

The research of The Use of Protexin to Reduce Piglet Mortality has been

done by using group random design to compare control ( without protexin ) and

treatments (with protexin 2 X 10⁹ CFU/g concentration) to sows with different

number of parturition (I, II, III, and IV. Protexin is given two weeks before 20

head of sows mating until weaning piglet (0,5, 10 and 15g protexin/ton feed) with

184 pigletsborn.Result of the experiment showed that, the significant (P<0.05)

higher birth weight of piglets (1.50 – 1.54 kg) are achieved by given protexin to

premating sows compared to without protexin (1.38 kg). The number of piglet

born alive without protexin treatment represented by first parturition are 55 head

from 57, until weaning total piglet die are 7 heads. It means that the percentage of

mortality is 12.2%. whereas with 5 g protexin treatment the number of piglets

born alive are 47 head from 48 total piglet or equal to 2.01%. Therefore, by 10 g

protexin there are 41 piglets born alive from 42 total piglets or equal to 2.3%.

Whereas, without protexin normally piglet mortality reach up to 20%.It can be

concluded that using protexin to pregnant sows significantly reduce the piglet

mortality until weaning.

Key word: protexin, piglet mortality

PENDAHULUAN

Peternakan babi disebut sukses jika jumlah anak babi yang dilahirkan per

kelahiran tinggi, angka kematian anak babi dari lahir sampai disapih rendah,

pertambahan berat badan harian pre dan pascasapih tinggi, dan kondisi tubuh

prima sampai siap jual atau potong. Di sisi lain, nilai reproduktivitas ternak babi

dapat dievaluasi mulai dari umur pubertas, beranak pertama, lama waktu kosong

dari kelahiran sampai kebuntingan berikutnya dan jumlah kelahiran selama masa

produktif induk.

Ternak babi disebut prolifik karena mampu menghasilkan delapan ekor

anak babi per kelahiran dengan 2,5 kali beranak per induk per tahun. Akan tetapi,

kematian anak babi rela tif tinggi, yaitu mencapai 10 – 30 % sejak dilahirkan

sampai di sapih. Upaya untuk menekan angka kematian anak babi, biasanya

dilakukan dengan pemberian antibiotic dengan harapan meningkatkan daya tahan

tubuh anak babi. Penggunaan antibiotic dalam jangka pendek, terlihat

meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak babi. Akan tetapi, jika

digunakan terus menerus, ternyata memberi efek negatif antara lain menyebabkan

penyakit Candidiasis yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas dan

reproduktivitas ternak.. Selain itu penggunaan antibiotic secara terus menerus juga

memicu penurunan daya tahan tubuh yang dapat dilihat dari makin meningkatnya

dosis pemberian antibiotik dari waktu ke waktu.

Page 80: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [72]

Guna mencegah kerugian yang lebih tinggi pada peternak, maka

penggunaan antibiotik harus dikurangi. Protexin merupakan alternati untuk

meningkatkan dan memperbaiki daya tahan tubuh babi, conversion rate dan

kecepatan pertumbuhan (Tontora et al. 1997).

Protexin adalah probiotic multi-strained yang membantu pertumbuhan

mikroorganisme non-patogen di dalam intestine babi dan ternak lain serta

mencegah pertumbuhan bakteri patogen (Cho et al. 2011). Mikroflora di dalam

intestine juga mencegah stress yang disebabkan oleh perubahan pakan,

lingkungan dan manajemen. Oleh karena itu, penggunaan probiotik melalui pakan

atau air minum secara kontinyu akan memperbaiki aktifitas produksi dan

reproduksi pada ternak babi, termasuk pertambahan berat badan harian dan

konversi pakan (Bohmer et al. 2006; Cyberhouse, 1997).

Fakta dan berbagai hasil penelitian pada berbagai ternak yang

menunjukkan bahwa probiotik berupa protexin memperbaiki produktivitas dan

reproduktivitas ternak, menjadi alasan penelitian ini. Tujuan penelitian adalah

mengevaluasi apakah pemberian protexin pada induk babi dua minggu sebelum

kawin sampai anaknya disapih akan meningkatkan berat lahir, meningkatkan

pertambahan berat badan harian anak babi sampai disapih dan menurunkan

angka kematian perinatal serta angka kematian genjik sampai disapih.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan pada induk babi dari empat nomor kelahiran (L I,L II,

L III dan L IV) dengan lima ekor induk per kelompok perlakuan dan anak yang

dilahirkan sampai sapih. Perlakuan diberikan dua minggu sebelum induk

dikawinkan berlanjut sampai anaknya di sapih yaitu 30 hari setelah lahir.

Protexin diberikan dengan konsentrasi 2 × 10⁹ CFU setelah sebelumnya

ditambahkan pada premix dan dihomogenkan menggunakan mixer kemudian

dicampurkan secara homogen dengan pakan sehingga terbuat campuran 0 g(P0);

5g(P1); 10g(P2); dan 15g (P3) protexin per ton pakan. Penelitian dilakukan

pada 20 ekor induk babi dengan jumlah anak yang dilahirkan sebanyak 187 ekor,

menggunakan rancangan acak kelompok. Nomor beranak (L) sebagai kelompok

dan dosis protexin (P) sebagai perlakuan.

Page 81: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [73]

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa rataan berat lahir anak

pada induk babi kelahiran pertama cenderung lebih rendah jika dibandingkan

dengan kelahiran berikutnya. Hal ini disebabkan oleh kemampuan organ

reproduksi pada kelahiran berikutnya lebih baik jika dibandingkan dengan

kelahiran pertama. Pada kelahiran pertama, induk belum mengalami dewasa tubuh

yang sempurna, karena umumnya dikawinkan pada berat badan 100 kg atau pada

umur 10 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Beaulieu et al (2010) bahwa berat

lahir dan jumlah anak per kelahiran (litter size) berpengaruh positif terhadap

performans pertumuhan, kualitas karkas dan komposisi otot).

Tabel 1. Penggunaan protexin pada induk mulai sebelum kawin sampai penyapihan terhadap berat

lahir anak babi (kg)

Perlakuan Kelompok (No. kelahiran ) Rataan

(protexin) 1 2 3 4 5 (kg)

P0 1,36 1,55 1,62 1,12 1,26 1,38

P1 1,42 1,58 1,59 1,44 1,67 1,54

P2 1,49 1,45 1,58 1,54 1,43 1,50

P3 1,42 1,64 1,28 1,58 1,78 1,54

Kenyataan bahwa dengan penggunaan protexin anak babi memiliki berat

lahir lebih tinggi (1,50 – 1,54 kg) jika dibandingkan dengan tanpa protexin (1,38

kg). akan lebih menguntungkan peternak. Oleh karena itu, penggunaan protexin

akan lebih menguntungkan peternak. Hal ini disebabkan, dengan lebih tingginya

berat lahir, maka survival rate anak babi akan lebih tinggi. Penggunaan protexin

dalam penelitian ini menunjukkan bahwa protexin mampu menekan pertumbuhan

mikroorganisme yang memberikan pengaruh jelek terhadap kebuntingan, meski

efek terhadap berat lahir belum neningkat secara tajam. Hasil ini sesuai dengan

pendapat Cyberhouse (1977) yang menyatakan bahwa pemberian probiotik akan

meningkatkan pertumbuhan bakteri yang bermanfaat sehingga bakteri penyebab

penyakit menjadi berkurang populasinya dan babi akan menjadi lebih sehat.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa periode kelahiran dan pemberian

protexin dalam pakan belum memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap

berat lahir. Hal ini disebabkan, induk pada nomor kelahiran 2, 3, dan 4 melahirkan

anak dengan jumlah yang lebih banyak, sehingga rataan berat lahir relatif hampir

Page 82: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [74]

sama antar – kelahiran (Fuller, 2001). Selain itu, pakan yang diberikan pada induk

memiliki kualitas dan kuantitas yang sama sehingga pengaruh terhadap konsumsi

pakan belum berbeda

Tabel 2. Penggunaan protexin pada induk mulai sebelum kawin sampai penyapihan terhadap berat

sapih anak babi (kg)

Perlakuan Kelompok Rataan

1 2 3 4 5

A 7.05 8.32 8.37 6.40 7.33 7.49

B 7.95 7.00 7.93 7.11 9.03 7.80

C 7.98 7.10 7.07 7.83 7.62 7.46

D 7.93 7.87 6.74 7.90 7.75 7.64

Kelompok 30.61 30.29 30.11 29.24 31.73

Rataan 7.65 7.57 7.53 7.31 7.93

Tabel 2 memperlihatkan bahwa jika perlakuan probiotik diabaikan, maka

berat sapih tertinggi dicapai pada periode kelahiran ke V (7,93 kg), diikuti oleh

kelahiran I (7,65 kg), kedua (7,57 kg), ketiga (7,53 kg), dan terkecil adalah

kelahiran keempat (7,31 kg). Hal ini disebabkan jumlah anak pada kelahiran

pertama lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelahiran berikutnya, sehingga

kesempatan menyusu pada induk dengan jumlah anak yang sedikit akan lebih

banyak menyusu (Estienne et al, 2005; Meonier, 2013).

Perlakuan 5g protexin per ton pakan memperlihatkan berat lahir tertinggi

(7,8 kg), diikuti oleh 15 g protexin per ton pakan (7,64 kg), 0 g protexin dan 10 g

protexin per ton pakan. Secara normal, berat sapih pada anak babi kelahiran

pertama lebih rendah jika dibandingkan kelahiran berikutnya. Akibat pemberian

protexin, ternyata dapat meningkatkan berat sapih anak babi pada kelahiran

pertama. Di sisi lain, induk pada kelahiran ke V memperlihatkan litter size yang

lebih kecil meski berat total anak babi per kelahiran sama. Hal ini menunjukkan

bahwa liter size meningkatdari kelahiran pertama sampai ketiga dan setelah itu

turun lagi. Penyebab dari turunnya litter size ini disebabkan oleh kerja hormon

pada kelahiran kelima sudah berkurang.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan protexin tidak

memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat lahir anak babi. Akan tetapi,

kelahiran pertama nampaknya dipengaruhi oleh protexin sehingga

memperlihatkan berat sapih tertinggi. Pemberian protexin pada babi, lebih baik

pada kelahiran pertama sampai ke tiga. menunjukkan pengaruh yang positif. Hal

Page 83: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [75]

ini sesuai dengan pendapat Robertfroid et al, (1977) bahwa probiotik memang

bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan hewan.

Kematian anak babi

Selama perlakuan, yaitu sejak menjelang induk dikawinkan sampai anaknya

disapih, nampak bahwa protexin memberikan pengaruh yang baik terhadap

jumlah anak babi yang lahir hidup dan persentase kematian anak babi yang

disapih. Pada perlakuan 0 g protexin jumlah anak babi yang lahir hidup 55 dari

57(3,5%) dan tanpa kematian sampai disapih. Pada perlakuan 5g protexin, hanya

satu ekor anak babi yang mati dari 49 anak babi yang lahir sampai disapih (2,04).

Pakan dengan kandungan protexin 10 g/ton dari 46 dihasilkan 1 (2,1%) ekor babi

yang lahir hidup dan hingga sapih bertambah satu kematian, ini menunjukan

bahwa hingga disapih kematian yang terjadi hanya 2 dari 46 ekor (4,34%).

Perlakuan terakhir dilakukan hanya untuk babi dara yang menggunakan 15 g

protexin. Pada kasus ini tidak ada satu pun babi yang lahir hidup, namun hingga

disapih terdapat 7 babi yang mati dari 48 (14,58%). Ini disebabkan oleh total babi

yang lahir pada kelahiran pertama yang cukup tinggi, sekitar 6-8 atau lebih rendah

daripada perlakuan tanpa pemberian protexin. Tingginya jumlah babi yang lahir

menyebabkan bobot lahir yang rendah dan hal ini menyebabkan tingginya tingkat

mortalitas (Anderson, 2008). Dari data di atas dapat dilihat bahwa mortalitas

tertinggi terjadi pada babi dara walaupun mereka diberikan 15% protexin dan

penggunaan protexin terbaik adalah 10g protexin/ton. Namun demikian, tingkat

mortalitas ini lebih baik dibandingkan tanpa pemberian protexin dimana kematian

babi hingga disapih dapat mencapai 30%.

Jumlah anak babi lahir hidup dari kelahiran ke I – V adalah 55 ekor dari

57 ekor yang lahir dan sampai disapih sebanyak 7 ekor mati. Artinya, hanya dari

pengaruh mothering ability atau tanpa protexin maka persentase mortalitas anak

babi sampai disapih mencapai 12,2%, sedangkan pada pemberian protexin 5 g,

angka kematian hanya 2,01% yang mati sampai disapih (hidup 47 dari 48 ekor

anak babi yang lahir). Pada perlakuan 10 g protexin angka kematian mencapai 2,3%

(lahir 48 ekor, hidup sampai disapih sebanyak 47 ekor); sedangkan pada

perlakuan 15 g protexin semua anak babi lahir hidup yaitu sebanyak 58 ekor dari

7 ekor babi dengan kelahiran pertama atau 8,28 ekor anak babi per induk.

Page 84: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [76]

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa:

1. Pemberian 5 g protexin/ton pakan untuk babi dara bunting dan induk dapat

meningkatkan bobot lahir (1,54 kg) dan bobot sapih (7,8 kg)

2. Mortalitas anak babi dari lahir sampai disapih dicapai oleh 5 g protexin 2,04%

DAFTAR PUSTAKA

Beaulieu AD, Aalhus JL, Williams NH, Patience JF.2010. Impact of piglet birth

weight, birth order, and litter size on subsequent growth performance,

carcass quality, muscle composition, and eating quality of pork. Journal of

animal science. 2010;88(8):2767-78. Epub 2010/04/27.

Bohmer BM, Kramer W, Roth-Maier DA.2006. Dietary probiotic

supplementation and resulting effects on performance, health status, and

microbial characteristics of primiparous sows. Journal of animal physiology

and animal nutrition. 2006;90(7-8):309-15. Epub 2006/07/27.Volume 90,

Issue 7-8, pages 309–315, August 2006

Brandherm M, Newton B, Cook DR, Yoon I, Fitzner G. 2010. Effect of

supplementing Saccharomyces cerevisiae fermentation product in sow diets

on reproductive performance in a commercial environment. Canadian

Journal of Animal Science. 2010;90(2):229-32.

Cho JH, Zhao PY, Kim IH. 2011. Probiotics as a dietary additive for pigs: a

review. Journal of Animal and Veterinary Advances. 2011;10(16):2127-34.

Cyberhouse. 1997. Multi strain probiotic contains billions of naturaly occuring

and beneficial live bacteria. Essensial for intestinal good health.

www.cyberhouse.com

Estienne MJ, Hartsock TG, Harper AF. 2005. Effects of antibiotics and probiotics

on suckling pig and weaned pig performance. International Journal of

Applied Research in Veterinary Medicine. 2005;3(4):303-8.

Hamilton, A. 2002. The Role of Probiotic in Intestinal health.

http://www.dieteticintern.com/ litreviews/probiotic.htm.

Hillman, K. 2000. Manipulation of intestinal microflora for improve health and

growth in pig. Presented to the British Society for Animal Science (BSAS)

Conference Scarborouhg. http://www.pighealth.com/News99/Growth 2.htm.

Meunier, NV. 2013. The influence of probiotic use in sows and neonatal piglets

on performance measures and diarrhoea in suckling piglets. Thesis.

Robertfroid, M.B. 2000. Prebiotic and Probiotic: are they Functional Food?

http:/www.pediatrik.com/pojok-khusus/kontribusi-probiotik.htm

Samadi. 2002. Probiotik pengganti antibiotik. http://www.kompas.com

Tortora, G.J., Berdell R. Funke, dan Cristine L. Case. 1997. Microbiology: an

Introduction. Edisi ke enam. Benjamin/Cummings Publishing Company.

California.

Page 85: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [77]

HUBUNGAN ANTARA UKURAN TESTIS DENGAN VOLUME SEMEN

DAN KONSENTRASI SPERMATOZOA PADA BABI

Ruben Panggabean1, Iis Arifiantini2, WM Nalley3, Bondan Achmadi4) 1) Mahasiswa program studi sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

2) Staf pengajar Divisi Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan

Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

3) Staf pengajar Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang. 4) PLP Ahli Muda Divisi Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan

Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

* Corresponding author: [email protected]

ABSTRAK

Pengukuran lingkar testis pada sapi, domba dan kambing jantan digunkan sebagai

penduga kemampuan produksi spermatozoa. Anatomi testis babi menempel pada

bagian belakang berdekatan dengan anus, sehingga lingkar skrotum tidak dapat

dilakukan dan diganti menjadi ukuran testis (testis size). Penelitian ini bertujuan

untuk mempelajari hubungan ukuran testis dengan volume semen dan konsentrasi

spermatozoa pada babi. Dua puluh ekor hewan babi jantan dari berbagai breed

digunakan dalam penelitian ini. Lebar dan panjang testis diukur menggunakan

jangka sorong. Semen dikoleksi menggunakan glove hand method dan volume

semen diukur menggunakan gelas ukur serta konsentrasi spermatozoa dihitung

menggunakan counting chamber (Neubauer). Hasil penelitian menunjukkan

ukuran testis babi adalah 127,46±53,54 cm2dan tidak ada perbedaan ukuran

antara testis kanan dan testis kiri (p>0,05). Volume semen babi rata-rata adalah

248±94,5 mL dengan konsentrasi spermatozoa 239,50±161,52 × 106 sel/mL.

Ukuran testis tidak ada hubungan dengan volume semen dan konsentrasi

spermatozoa demikian juga antara volume semen dengan konsentrasi spermatozoa

(p>0,05).

Page 86: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [78]

Kata kunci: ukuran testis, volume semen, konsentrasi spermatozoa, babi

RELATIONSHIP BETWEEN TESTIS SIZE, SEMEN VOLUME AND

SPERMATOZOA CONCENTRATION IN BOAR

ABSTRACT

Measurement of the scrotal circumference in bulls, ram and buck is a good

estimator of sperm producing ability of a male. Boar testis locate ventral to the

anusand testis size can only be determined by the assessment of testis volume

(testis width x length).This research aims to study the relationship of boar testis

size with semen volume and sperm concentration. Twenty boars of various breeds

used in this study. The width and length of testes were measured using calipers.

Semen was collected using a hand glove method and the semen volume were

measured using a measuring cup and sperm concentration was evaluate using a

counting chamber (Neubauer). The results showed that the boar testicular size was

127.46 ± 53.54 cm2 and there were no difference between left and right testis size

(p> 0.05). The average of semen volume was 248±94.5 mL with a concentration

of spermatozoa was 239.50 ± 161.52 × 106 cells/mL. There were no diferences

between testis size, semen volume and sperm concentration as well as the semen

volume with sperm concentration (p> 0.05).

Keywords: testis size, semen volume, sperm concentration, boar

PENDAHULUAN

Pejantan sebagai sumber bibit di Balai Inseminasi Buatan (BIB) harus

merupakan pejantan unggul yang terpilih. Diantara keunggulan yang

dipersyaratkan adalah (1) berasal dari turunan yang telah diketahui kelebihannya

(2) mempunyai riwayat produksi dan produktivitas semen yang memadai (3) sehat

dan tidak memiliki cacat tubuh serta (4) mempunyai penampilan tubuh yang

seimbang sesuai dengan jenisnya. Satu hal yang juga sangat penting adalah

melewati seleksi individu menggunakan breeding soundness evaluation (BSE).

Evaluasi BSE pada umumnya meliputi tiga unsur penting yaitu pengamatan fisik

(meliputi pengamatan organ kelamin luar dan eksplorasi rektal), pengukuran

lingkar skrotum serta kemampuan kawin (mating ability) dan kualitas semen.Babi

mempunyai anatomis testis yang berbeda dengan ternak lainnya. Testis menempel

pada bagian belakang berdekatan dengan anus, sehingga pengukuran lingkar

skrotum tidak bisa dilakukan dan istilah lingkar skrotum diganti menjadi ukuran

testis (testis size).

Testis merupakan organ reproduksi primer pada hewan ternak jantan, yang

Page 87: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [79]

menghasilkan spermatozoa dan hormon testosteron. Setiap gram testis

menghasilkan sejumlah spermatozoa sehingga ukuran testis memiliki hubungan

yang positif terhadap kuantitas spermatozoa. Ukuran testis juga dipengaruhi oleh

umur dan berat. Testis dibungkus oleh skrotum, dengan mengetahui besarnya

scrotum diharapkan dapat mengasumsikan memiliki kuantitas spermatozoa yang

baik (Holden and Ensminger 2006).

Volume semen adalah banyaknya semen (mL) yang diejakulasikan oleh

seekor ternak atau hewan. Volume semen berbeda-beda antar ternak (Arifiantini

2012). Semen sapi dan domba mempunyai volume yang sedikit, sedangkan kuda

dan babi mempunyai volume yang banyak. Volume semen juga dipengaruhi

teknik koleksi semen dan frekuensi koleksi.

Konsentrasi adalah jumlah spermatozoa per mL semen. Penilaian

konsentrasi spermatozoa yang akurat sangatlah penting (Maes et al., 2010),

karena akan menentukan jumlah bahan pengencer yang akan ditambahkan. Seekor

hewan atau ternak harus memenuhi standard konsentrasi tertentu agar dapat

membuahi sel telur (Knox et al. 2002). Konsentrasi spermatozoa dapat dinilai

dengan beberapa cara, diantaranya dengan cara estimasi (dengan melihat jarak

antar kepala), menggunakan counting chamber, spectrophotometer, photometer

SDM 5 atau 6, dan spermaque. Teknik yang telah lama dikenal dalam melakukan

penilaian konsentrasi spermatozoa adalah dengan menggunakan kamar hitung

yang kini menjadi teknik “standard emas” di dunia (Jin-Chun et al. 2007).

Mengingat anatomis testis babi yang berbeda dengan ternak lainnya, dan ukuran

testis akan memengaruhi produksi spermatozoa, maka penelitian ini dilakukan

dengan tujuan untuk menguji hubungan antara ukuran testis dengan volume

semen dan konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan oleh lima breed hewan babi.

MATERI DAN METODE

Sebanyak 20 ekor babi jantan dari lima breed (Duroc 6 ekor; Landrace 6

ekor; Yorkshire 4 ekor; Berkshire 2 ekor; dan Hampshire 2 ekor) yang sudah

dewasa kelamin milik UPTD Siborong-borong, PT. Allegrindo di Sumatera Utara;

PT. Fajar Semesta Indah dan PT. Ngalah di Kalimantan Barat; PT. Adifarm di

Solo-Jawa Tengah; serta BIB Baturiti di Bali digunakan dalam penelitian ini.

Pengukuran Panjang dan Lebar Testis

Page 88: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [80]

Pengukuran panjang dan lebar testis dari masing-masing testis

menggunakan jangka sorong. Ukuran testis diketahui dengan mengalikan panjang

dan lebarnya dari masing-masing testis.

Koleksi Semen

Koleksi semen pada babi dilakukan dengan teknik masase pada bagian

corpus penis. Koleksi semen dilakukan dengan menggunakan dummy sow.

Tabung penampung menggunakan gelas piala ukuran 250-500 ml. Untuk

memudahkan cara memegang tabung koleksi semen babi dapat dilakukan

modifikasi dengan menggunakan gelas piala yang dilindungi dengan paralon.

Semen babi banyak mengandung gelatin, maka pada bagian permukaan tabung

penampung dilapisi dengan kain kasa untuk menyaring gelatin tersebut agar tidak

tercampur dengan semen (Arifiantini, 2012).

Pengukuran Volume Semen dan Konsentrasi Spermatozoa

Semen yang diperoleh diukur menggunakan gelas ukur. Untuk

penghitungan konsentrasi spermatozoa sebanyak 10 µL semen dimasukkan ke

dalam microtube berisi 990 µL formol saline (1:100) dihomogenkan dan disimpan

sampai saat pengujian.

Penilaian Konsentrasi Spermatozoa

Counting chamber dibersihkan dengan alkohol 70% dan dilap dengan

kertas tisu ditutup dengan cover glass khusus hemocytometer. Cover glass (kaca

penutup) harus dipastikan menempel pada counting chamber dengan

menggunakan gel perekat. 8-10 μL sampel dimasukkan ke dalam kamar hitung

sampai merata. Penghitungan dilakukan pada 5 kotak yang berisi 16 kotak kecil.

Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung kotak di setiap sudut dan satu

kotak yang berada di tengah. Kemudian hasil dari masing-masing kotak

dijumlahkan dan hasilnya dirata-ratakan antara kamar 1 dengan kamar 2. Setelah

itu dikalikan dengan faktor pengali standar.

Prosedur Analisis Data

Data ukuran testis, volume semen dan konsentrasi spermatozoa disajikan

dalam bentuk rata-rata dan standar deviasi (SD). Untuk menguji perbedaan ukuran

testis untuk setiap breed dilakukan dianalisis dengan uji Kruskal Wallis (Kruskal-

Page 89: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [81]

Wallis one-way analysis of variance by ranks). Hubungan antara ukuran testis,

volume semen dan konsentrasi spermatozoa diuji menggunakan uji Pearson

dengan bantuan IBM SPSS Statistic 20.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran Testis pada Berbagai Breed Babi

Anatomi organ reproduksi babi jantan berbeda dengan beberapa hewan

ternak lainnya. Struktur testis babi tidak menggantung tetapi terletak pada daerah

prepubis (perianal) mengakibatkan pengukuran hanya mungkin dilakukan pada

panjang dan lebar testis. Hasil penelitian menunjukkan lebar dan panjang testis

dari kelima breed babi yang digunakan berbeda. Lebar testis breed Berkshire

sama dengan Hampshire, keduanya lebih besar (p<0.05) dibandingkan Duroc dan

Landrace. Panjang testis breed Berkshire paling besar, diikuti oleh Yorkshire.

Tidak terdapat perbedaan (p>0.05) panjang testis antara Duroc, Landrace dan

Hampshire (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata ukuran testis pada berbagai breed babi

Ukuran

Testis

Breed

Duroc Landrace Yorkshire Berkshire Hampshire

Lebar (cm)

Kanan 7,30±1,40b 8,20±1,60ab 8,60±1,90ab 9,70±1,70a 9,50±2,10a

Kiri 7,70±0,70b 7,80±1,30b 8,80±0,70ab 9,90±1,70a 11,30±4,60a

Panjang (cm)

Kanan 13,90±4,70b 13,00±2,70b 16,20±5,10ab 20,50±6,40a 13,70±6,00b

Kiri 13,90±4,30b 12,60±2,30b 15,60±4,30ab 20,00±4,20a 16,00±4,20ab

Luas (cm2)

Kanan 106,10±55,00b 110,10±39,90b 145,50±71,20ab 204,20±96,50a 124,20±27,90ab

Kiri 108,40±41,80b 100,10±32,70b 140,70±49,20ab 201,60±75,90a 172,60±26,40ab

* Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya

perbedaan nyata (p<0,05)

Luas testis terbesar ditunjukkan oleh Berkshire dan yang paling kecil

ditunjukkan oleh Duroc dan Landrace. Tidak terdapat perbedaan antara Berkshire,

Yorkshire, dan Hampshire (p>0,05) demikian juga antara Yorkshire, Hampshire

dengan Duroc dan Landrace (Tabel 1). Secara keseluruhan ukuran testis terbesar

terdapat pada Berkshire. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan National

Research Council (NRC, 2008) yang menyatakan bahwa babi jenis ini sangat

memenuhi kriteria produksi sebagai babi pejantan unggul. Ukuran testis normal

Page 90: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [82]

pada babi (baik panjang maupun lebar) yang berumur lebih dari 1 tahun ke atas

adalah > 7 × 11 cm (Shipley 1997), berdasarkan hal tersebut ukuran testis dari

kelima breed babi berada dalam kisaran normal.

Hasil penelitian menunjukkan ukuran luas testis babi adalah 127,46±53,54 cm2,

dan juga uji T (independent T-test) membuktikan ukuran testis kanan dan testis

kiri sama besar (p>0,05). Karena hasil ukuran testis kanan dan testis kiri tidak

menunjukkan adanya perbedaan, maka dapat diasumsikan bahwa produksi dari

masing-masing testis adalah sama. Keseragaman ukuran ini disebabkan karena

babi diteliti sudah dewasa dan dipelihara serta diberikan pakan yang baik. Pakan

yang mengandung protein tinggi dapat meningkatkan dimensi testis (Fernandez et

al. 2000; Hotzel et al. 2003).

Volume Semen Babi

Hasil evaluasi makroskopis semen dari 20 ekor babi menunjukkan volume

rata-rata semen adalah 248,00±94,50 mL (Tabel 2). Volume semen ini termasuk

tinggi dibandingkan dengan volume ternak lainnya, Tingginya volume semen babi

dipengaruhi oleh gelatin yang disekresikan oleh kelenjar vesikularis (Robert,

2006). Hasil penelitian yang diperoleh hampir sama dengan yang dilaporkan oleh

Frangez et al. (2005) yakni sebesar 235,00±29,14 mL, lebih tinggi dibandingkan

laporan Ugwu et al. (2009), dengan volume hanya 127,09±52,10 mL, tetapi lebih

rendah dari laporan Wolf and Smital (2009) yang mencapai 274,13±1,53 mL.

Secara keseluruhan volume semen yang diperoleh dari penelitian ini berada dalam

kisaran normal. Bervariasi antar breed dan jantan tetapi secara statistik tidak ada

perbedaan volume semen antar breed ataupun antar jantan yang diteliti (p>0,05).

Variasi dalam volume semen ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

umur, metode penampungan, jumlah sampel, dan frekuensi penampungan (Parker

2000).

Volume semen babi menurut beberapa laporan sangat bervariasi mulai dari 150-

450 mL (Shipley 1997), 250–500 mL (Gardner dan Hafez 2000). Tinggi variasi

volume semen babi disebabkan banyaknya jenis babi yang dikembangkan mulai

dari babi berukuran paling kecil seperti breed Pygmi Bandel, Banmpudke; sampai

babi yang berukuran paling besar seperti breed Meishan (FAO 2009). Besarnya

ukuran tubuh babi akan diikuti dengan besarnya ukuran organ reproduksi

Page 91: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [83]

termasuk ukuran kelenjar asesoris yang merupakan penghasil plasma semen

paling banyak (Gardner dan Hafez 2000).

Tabel 2. Rata-rata volume semen pada berbagai breed babi

Breed Volume semen (mL)

Duroc 189,20±106,50

Landrace 260,00±103,90

Yokshire 288,70±44,40

Berkshire 280,00±141,40

Hampshire 275,00±35,30

Rata-rata 248,00±94,50

Konsentrasi Spermatozoa Babi

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konsentrasi spermatozoa dari 20

ekor babi yang diperiksa adalah 239,5±161,5 juta sel/mL. Hasil ini hampir sama

dengan yang dilaporkan oleh Frangez et al. (2005) sebesar 239,90±61,27 juta

sel/mL, lebih tinggi dibandingkan laporan Ugwu et al. (2009), dengan konsentrasi

spermatozoa hanya 186,38±24,34 juta/mL, tetapi lebih rendah dari laporan Wolf

and Smital (2009) yang mencapai 425,67±4,04 juta/mL.

Tabel 3. Rata-rata konsentrasi spermatozoa dan konsentrasi total pada berbagai breed Babi

Breed

Variabel

Konsentrasi Spermatzoa

(Juta sel/mL)

Konsentrasi Total

(Juta)

Duroc 203,60±154,60ab 38081,70±35267,30

Landrace 259,60±178,50ab 73485,50±55108,40

Yokshire 157,20±154,40b 49392,10±52658,50

Berkshire 360,00±61,20a 105130,00±68057,60

Hampshire 331,00±241,80ab 95300,00±78206,00

Rata-rata 239,5±161,52 72277,86±57589,56

*Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan

nyata (p<0,05)

Secara keseluruhan konsentrasi spermatozoa yang diperoleh berada dalam kisaran

normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan (p>0,05)

pada breed Berkshire dan Hampshire bila dibandingkan dengan konsentrasi

spermatozoa pada breed Duroc, Landrace, dan Yorkshire. Konsentrasi

spermatozoa dalam keadaan segar berkisar 200-500 juta sel/ml (Shipley

1997).Konsentrasi spermatozoa pada masing-masing breed berada dalam rentang

normal; kecuali pada breed Yorkshire. Konsentrasi spermatozoa tertinggi

diperoleh pada breed Berkshire dengan rata-rata 360,00±61,20 juta/ml. Keadaan

Page 92: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [84]

ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jumlah ejakulat, interval

penampungan, kondisi pejantan dan lingkungan (Jonhson et al., 2000). Pada

penghitungan konsentrasi total, tidak didapatkan perbedaan jumlah antar breed

ataupun individu babi yang diuji (p>0,05), dengan konsentrasi spermatozoa total

antara 38081,70±35267,30 sampai dengan 105130,00±68057,60 juta/ml.

Hubungan antara Ukuran Testis dengan Volume Semen dan Konsentrasi

Spermatozoa

Untuk melihat besarnya keeratan hubungan antara ukuran testis dengan

volume semen dan konsentrasi spermatozoa, maka perlu dianalisis dengan

menggunakan analisis korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan nilai

korelasi ukuran testis dengan volume semen yang diperoleh yaitu 0,266. Angka

yang diperoleh bernilai positif, yang menunjukkan adanya korelasi antara ukuran

testis dengan volume semen, namun dalam jumlah sedikit yaitu hanya 26%.

Tabel 4. Koefisien korelasi antara ukuran testis, volume semen dan konsentrasi spermatozoa pada

breed babi

Variabel Ukuran testis

Volume semen 0,266

Konsentrasi spermatozoa 0,070

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Jainudeen dan Hafez (2000)

yang menyatakan bahwa volume semen dipengaruhi oleh lingkar testis. Perbedaan

hasil dapat dipengaruhi oleh variasi umur, tingkat rangsangan, frekuensi ejakulasi

serta kualitas pakan yang diberikan (Jonhson et al., 2000). Pada ternak babi

lingkar testis tidak dapat diukur dan sebagai penggantinya dilakukan ukuran testis.

Selain itu volume semen yang dihasilkan dipengaruhi oleh banyaknya plasma

yang dihasilkan oleh kelenjar aksesoris jantan yaitu kelenjar vesikularis (± 99%),

sedangkan sisanya adalah jumlah sel spermatozoa (Arifiantini, 2012), dan kelenjar

asesoris babi sangat besar dibandingkan kelenjar asesoris ternak pada umumnya.

Ukuran testis dengan konsentrasi spermatozoa menunjukkan nilai korelasi

sebesar 0,070 (p>0,05). Hal ini dapat diartikan tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara ukuran testis dengan konsentrasi spermatozoa. Angka yang

diperoleh positif, yang menunjukkan terdapat korelasi antara ukuran testis dengan

konsentrasi spermatozoa namun hanya 7%.

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Aurich et al.

Page 93: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [85]

(2002), Schatten dan Contantinescu (2007) dan Ugwu et al. (2009) yang

menyatakan bahwa jumlah total spermatozoa dan produksi spermatozoa harian

berhubungan positif dengan ukuran testis. Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu jumlah ejakulat, interval penampungan, kondisi pejantan

dan lingkungan (Jonhson et al., 2000). Selain itu, keadaan ini juga disebabkan

karena sebaran data yang tidak seragam pada masing-masing breed dan jumlah

sampel yang tidak memenuhi asumsi kenormalan suatu data untuk diolah secara

statistik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nyata

antara ukuran lebar, panjang dan luas testispada seluruh breed. Tidak ada

hubungan antara ukuran testis dengan volume semen dan konsentrasi spermatozoa.

Saran

Saran yang diajukan berdasarkan penelitian ini adalah perlu dilakukan

penelitian dengan jumlah babi yang lebih banyak. Penelitian lanjutan disarankan

memiliki ragam data yang cukup untuk masing-masing breed yang akan dicoba.

DAFTAR PUSTAKA

Arifiantini RI. 2012. Teknik Koleksi dan Evaluasi Semen pada Hewan. Bogor (ID):

IPB Press.

Aurich JE, Achmann R, Aurich C. 2002. Semen parameters and level

heterozgosity in Austrian draught horse stallions. Theorigenol. 58:1175-

1186.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2009. Farmer’s Hand Book on Pig

Production. Caracalla (IT): UN Pr.

Fernandez M, Giralde FJ, Frutos P, Lavin P, Mantecon AR. 2004. Effect of

undegrable protein supply on testicular size, spermiogram parameters, and

sexual behaviour of mature Assaf rams. Theriogenol 62:299-310.

Frangez R, Gider T, Kosec M. 2005. Frequency of boar ejaculate collection and

it’s fluence on semen quality, pregnancy rate and litter size. Acta Vet BRNO.

74:265-273.

Gardner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In : Hafez B

dan Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animal 7th ed. Philadelphia

(US): Williams & Wilkins.

Hotzel MJ, Markey CM, Walkden-Brown SW, Blackberry A, Martin GB. 2003.

Determinants of the annual pattern of reproduction in mature male Merino

Page 94: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [86]

and Suffolk sheep: responses to a nutritional stimulus in the breeding and

non-breeding seasons. Reprod Fertil Dev. 15:1-9.

Jainudeen MR, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal: Cattle and

Buffalo. Hafez ESE, Hafez B, editor. Philadelphia (US): Williams &

Wilkins.

Jin-Chun L, Fang C, Hui-Ru X, Yu-Feng H, Nian-Qing L. 2007. Comparison of

three sperm-counting methods for the determination of sperm concentration

in human semen and sperm suspensions.JLabmed. 38(4):232-236.

Jonhson LA, Weitze KF, Fiser P, Maxwell WMC. 2000. Storage of boar semen. J

Anim Sci. (62):143-172.

Knox RV, Rodriguez-Zas SL, Roth S, Kelly R. 2002.Use and Accuracy of

Instruments to Estimate Sperm Concentration.Proceedings, Cons. &

Economics. Urbana (US): University of Illinois, hlm20-31.

Maes D, Rijsselaere T, Vyt P, Sokolowska A, Deley W, Van Soom A. 2010.

Comparison of five different methods to assess the concentration of boar

semen.Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift. (79):42-47.

[NRC] National Research Council. 2008. Nutrien Requirements for Swine Tenth

Edition. Washington (USA): National Academy Pr.

Parker JE. 2000. Reproductive physiology in poultry.Hafez ESE , editor. Philadelphia

(US): Lippincott Williams & Wilkins.

Robert VK. 2006. Semen Processing, Extending and Storage for Artificial

Insemination in Swine. Urbana (US): Departement of Animal Science

University of Illinois.

Schatten H, Constantinescu G. 2007. Comparative reproductive Biology. Iowa

(US): Blackwell Publishing Ltd.

Shipley CF. 1997 Breeding soundness examination of the boar. Swine Health

Prod. 7(3):117-120.

Ugwu SOC, Onyimonyi AE, Foleng H. 2009. Testicular development and

relationship between body weight, testis size and sperm output in tropical

boars. Afri J Biotech. 8(6):1165-1169.

Wolf J, Smital J. 2009. Effects in genetic evaluation for semen traits in czech

large white and czech landrace boars. J Anim SciCzech. 54(8):349-358.

Page 95: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [87]

PENENTUAN WAKTU OPTIMAL PEMERIKSAAN INTEGRITAS

MEMBRAN PLASMA SPERMABABI MENGGUNAKAN HYPO-

OSMOTIC SWELLING (HOS) TEST

IN Donny Artika1), RI Arifiantini2), TL Yusuf2), WM Nalley3) 1) Mahasiswa program studisarjanaFakultasKedokteranHewan, InstitutPertanian Bogor

2) Divisi Reproduksi dan Kebidanan, DepartemenKlinik, Reproduksi, danPatologi,

FakultasKedokteranHewan, InstitutPertanian Bogor

3) Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

* Corresponding author: [email protected]

ABSTRAK

Keutuhan membran plasma merupakan faktor penting untuk menentukan

fertilitas spermatozoa. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu optimum

untuk pengujian membran plasma yang utuh (MPU) pada semen segar babi

menggunakan hypo-osmotic swelling (HOS) test. Sebanyak 10 ekor babi dari

bangsa Landrace, Duroc dan Yorkshire yang telah dewasa digunakan sebagai

sumber semen. Semen dikoleksi menggunakan pemijatan massase. Semen yang

diperoleh dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Pengujian MPU

dilakukan dengan cara memasukkan 50 µL semen ke dalam mikrotub berisi 1 ml

larutan hipoosmotik (150 mOsm Kg-1). Campuran larutan diinkubasi pada suhu

37oC. Sperma yang bereaksi dan yang tidak bereaksi terhadap larutan HOS

dievaluasi mulai jam ke 0 dan setiap 15 menit dengan total 200 sel sperma. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa waktu optimal sperma bereaksi maksimal terhadap

Page 96: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [88]

larutan HOS adalah 60 menit setelah inkubasi.

Kata kunci: keutuhan membran plasma, HOS test, semen babi

DETERMINATION OF OPTIMAL TIME FOR SPERM MEMBRAN

INTEGRITY TEST OF BOAR SPERM USING HYPO-OSMOTIC

SWELLING (HOST) TEST

ABSTRACT

Sperm plasma membrane integrity was important for sperm fertility. The

objective of this study was to determine the optimal time to test sperm plasma

membrane of raw boar semen using hypo osmotic swelling (HOS) test. A total of

10 sexualy mature boars from three breed (landrace, Duroc, and Yorkshire) used

as a sperm source. Semen were collected using hand glove method. Immediatley

after collection the semen were evaluate macro and microscopically. The HOS

test conducted by putting 50 µL semen into 1 ml HOS medium (150 mOsm Kg-1)

incubated at 37oC. Two hundred reacted and not reacted sperm cell to HOS

medium were evaluate at 0 min and every 15 minutes. Result showed that

theoptimum response to HOS was obtained at 60 minutes after incubation.

Keywords: plasma membrane integrity, HOS test, boar semen

PENDAHULUAN

Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) pada peternakan babi

meningkat secara signifikan pada satu decade terakhir (Maes et al., 2011),

termasuk di Indonesia. Salah satu faktor keberhasilan IB adalah kualitas semen.

Kualitas semen yang baik diketahui melalui proses evaluasi semen setelah

penampungan. Evaluasi semen yang dilakukan di Balai Inseminasi Buatan Daerah

(BIBD) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Peternakan Provinsi Bali di

Baturiti dan peternakan Adhi Farm, Solo masih terbatas pada metode pengujian

standard yang meliputi pengujian makroskopis seperti volume, konsistensi, warna,

dan pH serta pengujian mikroskopis yang meliputi motilitas, viabilitas dan

konsentrasi.

Pengujian kualitas semen, selain yang telah disebutkan di atas juga dapat

dilakukan dengan beberapa parameter lain seperti pengujian tudung akrosom dan

pengujian integritas membran. Lechniak et al. (2002) menyebutkan bahwa

integritas fungsional dan struktur membran plasma spermatozoa sangat penting

Page 97: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [89]

bagi kehidupan spermatozoa. Spermatozoa juga harus mempunyai energi yang

cukup untuk pergerakan, protein dan senyawa lain yang penting selama berada

dalam saluran reproduksi betina serta memiliki membran plasma yang baik

sehingga dapat melakukan fertilisasi dengan baik (Purdy et al., 2010).

Integritas membran dapat diuji menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop

fluorescent yang dikombinaskan dengan pewarnaan vital (Brito et al., 2003), flow

cytometry (Hallap et al., 2004) dan hypo-osmotic swelling (HOS) tes pada

Estonian Holstein(Padrik et al., 2012); kambing (Fonseca et al., 2005); domba

(Nalley dan Arifiantini, 2013); kuda (NiedanWanzel, 2001). Hypo-osmotic

swelling (HOS) test merupakan metode yang murah dan mudah diaplikasikan

dalam pengujian integritas membran plasma (Nalley dan Arifiantini 2013).

Pengujian HOS didasarkan pada kemampuan spermatozoa membengkak setelah

dimasukkan ke dalam larutan hipoosmotik. Spermatozoa dengan kerusakan fungsi

membran tidak mengalami pembengkakan dan ekornya tidak mengalami

invaginasi/melingkar.

Babi memiliki karakteristik semen yang unik, berbeda dengan ternak lain

seperti sapi, domba dan kambing. Semen babi mengandung gelatin yang

merupakan sekresi dari kelenjar bulbouretralis dan akan keluar pada saat

ejakulasi. Gelatin yang menyelimuti sel spermatozoa akan memengaruhi

kecepatan larutan hipoosmotik memasuki sel, sehingga diperlukan waktu yang

tepat untuk melakukan pengujian HOS.Mengingat karakteristik semen babi yang

berbeda dan adanya perbedaan kecepatan masuknya larutan hipoosmotik ke dalam

sel spermatozoa maka penelitian ini dilakukan untuk menentukan waktu optimal

dalam pengujian integritas membran plasma spermatozoa babi menggunakan

larutan HOS.

MATERI DAN METODE

Penampungan Semen

Sebagai sumber semen digunakan 10 ekor babi jantan dengan breed yang

berbeda yaitu Landrace (6 ekor), Duroc (3 ekor), dan Yorkshire (1 ekor). Tujuh

ekor babi di BIB Baturiti dan tiga ekor di PT Adi Farm, Solo. Penampungan

semen dilakukan dengan metode pemijatan (massage) / gloves hand methodpada

Page 98: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [90]

korpus penisdengan bantuan dummy sow, dilengkapi dengan kasa untuk

memisahkan gelatin dan semen.

Evaluasi Semen

Segera setelah koleksi, semen dibawa ke laboratorium untuk dianalisis

secara makroskopis dan mikroskopis. Pengujian makroskopis diawali dengan

pengukuran volume semen menggunakan gelas ukur. Keasaman dari semen diuji

menggunakan kertas indikator pH, selanjutnya dilihat secara visual

konsistesi/kekentalan, warna, dan bau semen. Pengujian mikroskopis dimulai

dengan menilai persentase motilitas spermatozoa dengan cara meneteskan 1 tetes

semen pada gelas objek kemudian ditambahkan satu tetes larutan NaCl fisiologis,

dihomogenkan dan diambil satu tetes untuk dipindahkan ke gelas objek yang lain.

Pengamatan motilitas pada mikroskop cahaya (Olympus CX21) dengan

pembesaran 10 × 40 (400×). Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang

dengan interval nilai 1-100%.

Pengujian viabilitas dilakukan menggunakan pewarna eosin nigrosin. Satu

tetes semen diteteskan pada gelas objek, ditambahkan satu tetes eosin nigrosin

kemudian dihomogenkan dan dibuat preparat ulas. Pemeriksaan dilakukan dengan

mikroskop cahaya (Olympus CX21) pada pembesaran 10 × 40 (400×). Penilaian

dilakukan dengan melihat warna kepala spermatozoa. Kepala spermatozoa yang

menyerap warna menunjukkan spermatozoa yang mati dan spermatozoa hidup

tidak menyerap warna. Spermatozoa hidup dan mati dihitung hingga 200 sel atau

10 lapang pandang kemudian dihitung dengan cara: Spermatozoa hidup dibagi

dengan jumlah spermatozoa terhitung (hidup dan mati) dikali 100%. Perhitungan

konsentrasi menggunakan photometer SDM 5 dan Neubauer chamber (Arifiantini,

2012).

Pengujian Integritas Membran Plasma

Pengujian integritas membran plasma dilakukan sebagai berikut: Semen

sebanyak 50 µL dimasukkan ke dalam mikrotub berisi 1 mL larutan hipoosmotik

(1.351 g fruktosadan 0.735 g Na sitrat dalam Aquabidest100 mL). Campuran

larutan kemudian diinkubasi pada suhu 37oC dan dievaluasi menggunakan

mikroskop cahaya (Olympus CX21) dengan pembesaran 10 × 40 (400×).

Spermatozoa yang bereaksi terhadap larutan hipoosmotik (ekor melingkar) dan

Page 99: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [91]

spermatozoa yang tidak bereaksi (ekor lurus) dihitung hingga 200 sel. Pengujian

dilakukan setiap 15 menit dan dihentikan pada saat waktu inkubasi mencapai 90

menit. Data yang diperoleh merupakan persentase spermatozoa yang bereaksi

positif terhadap larutan HOS.

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Anova dan uji lanjut

Duncan. Data antar breed diseragamkan dengan proporsi dan diuji dengan

menggunakan t-test menggunakan SPPS 16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Semen Segar

Hasil evaluasi semen segar merupakan tahap awal untuk menentukan kelayakan

semen yang akan diperoses lebih lanjut. Rata-rata volume semen per ejakulat yang

didapatkan dari penelitian ini adalah 326,67±141,33 mL, derajat keasaman (pH)

7,2 – 7,5 dengan rata-rata 7,32±0,12, konsistensi encer dan berwarna putih keruh.

Motilitas spermatozoa antara 60-75% (68,89 ± 6,01%), spermatozoa hidup 79,49

± 5,52% dengan konsentrasi spermatozoa 175,50 ± 8214 × 106sel/ml (Tabel 1).

Tabel 1 Nilai karakteristik semen segar babi

Karakteristik semen Nilai rerata

Volume (mL) 326,67 ± 141,33

Warna Putih susu

Konsistensi Encer

pH 7,32 ± 0,12

Motilitas spermatozoa (%) 68,89 ± 6,01

Spermatozoa hidup (%) 79,49 ± 5,52

Konsentrasi spermatozoa (106 sel/mL) 175,50 ± 82,14

Integritas membran plasma spermatozoa pada babi

Membran plasma merupakan lapisan semipermeabel yang menyelimuti sel

spermatozoa. Menurut Curry dan Watson (1995), integritas membran plasma

serta fungsinya penting untuk menjaga viabilitas sel. Bagian ini menjadi struktur

penting dari sel sebagai gerbang yang menghubungkan lingkungan ekstra seluler

dan intra seluler, dengan demikian keutuhan struktur dan fungsi membran plasma

sangat penting untuk dievaluasi dalam pengujian kualitas spermatozoa. Membran

plasma memiliki kemampuan permeabilitas yang selektif untuk mengatur aktivitas

metabolik intrasel, pH, dan komposisi ion.

Page 100: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [92]

Sel spermatozoa akan bereaksi ketika dimasukkan kedalam larutan

hipoosmotik, hal ini terjadi karena larutan hipoosmotik akan masuk kedalam sel

melewati membran plasma. Akibat perbedaan tekanan osmotik dari larutan

tersebut dengan tekanan osmotik luar sel lebih tinggi, maka larutan tersebut akan

masuk ke dalam sel dan menyebabkan kebengkakan, fenomena inilah yang dapat

diamati dan diukur untuk menguji integritas membran plasma (Vaszquez et al.,

1997). Fenomena ini lebih mudah diamati pada ekor spermatozoa (Gambar 1),

daripada kepala karena membran plasma yang mengelilingi ekor tampak lebih

longgar (Vazquez et al., 1997).

Berdasarkan hasil penelitian, pada menit ke-15 sudah menunjukkan HOS

positif antara 36,27 sampai 63,50% dengan rata-rata 52,32± 9,05. Pada 30 menit

inkubasi, sel yang positif terhadap larutan HOS semakin meningkat antara 47,44

sampai dengan 77,00% dengan rata-rata 60,13±9,56. Peningkatan reaksi

spermatozoa yang positif terhadap larutan HOS terus terjadi dan puncaknya

terlihat pada menit ke-60 (Tabel 2).

Gambar 1. Hasil pengujian integritas membran plasma dengan HOS test.

a spermatozoa HOS positif dan b Spermatozoa HOS negatif

Persentase HOS positif pada menit ke-60 berkisar antara 64,36 sampai

84,07% dengan rata-rata 74,65±7,03, reaksi ini lebih tinggi (p<0,01) dibandingkan

jumlah spermatozoa dengan HOS positif pada menit ke 45, 30 ataupun 15 menit.

Setelah melewati puncak reaksi pada menit ke-60 persentase spermatozoa yang

HOS positif mulai menurun. Spermatozoa yang mengalami HOS positif pada

menit ke-75 antara 50,70 sampai 82,50%. Penurunan terus terjadi dan akhirnya

pada menit ke-90 menunjukkan reaksi HOS positif hanya 49,50 sampai dengan

a

b

Page 101: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [93]

72,30% dan rata-rata 60,96±5,85 (Tabel 2). Penurunan ini disebabkan karena

paparan larutan hipoosmotik yang terlalu lama sehingga membran plasma

mengalami kerusakan dan tidak reaktif lagi terhadap larutan hipoosmotik.

Teknik hypo-osmotik swelling (HOS) test pada babi telah dilaporkan oleh

Vazquez et al. (1997), Perez-Llano et al. (2001) dan Yesteet al. (2010) namun

dalam penelitian tersebut belum ada yang menentukan secara spesifik waktu

optimal dalam pengujian integritas membran dengan menggunakan HOS

test.Selain itu cara penampungan semen di Indonesia masih belum bisa

memisahkan fraksi gelatin secara sempurna, dengan demikian akan memengaruhi

kecepatan masuknya larutan hipoosmotik ke dalam sel spermatozoa yang akan

berpengaruh terhadap waktu pengujian.

Tabel 2. Persentase jumlah spermatozoa yang bereaksi positif Hipo-osmoticswelling (HOS) test

selama masa inkubasi

Ulangan Menit ke

15 30 45 60 75 90

1 53,00 60,50 76,70 84,07 82,50 72,30

2 63,50 66,30 72,50 76,68 79,50 70,00

3 54,80 61,40 69,30 68,00 66,20 58,50

4 50,20 51,20 62,80 62,36 50,70 49,50

5 62,50 77,00 87,00 83,70 78,90 65,00

6 36,27 47,44 60,00 64,36 56,52 55,00

7 60.00 67,50 76,90 80,60 76,00 62,10

8 52,50 57,73 72,90 80,60 68,50 60,00

9 45,45 55,00 64,82 65,00 57,84 60,00

10 45,00 51,50 58,17 75,00 66,20 57,21

Rerata±SD 52,32

± 9,05c

60,13

± 9,56bc

70,10

± 9,12ab

74,65

± 7,03a

68,28

± 10,25ab

60,96

± 5,85bc

Huruf superscrip berbeda yang mengikuti angka pada baris yang sama menunjukkan beda sangat

nyata (p<0,01)

Membran plasma spermatozoa memiliki peran penting dalam proses fusi

dalam ovum pada saat fertilisasi. Pengujian membran plasma dengan

menggunakan hypo-osmotik swelling(HOS)testtelah banyak dilakukan pada

hewan domestik yaitu pada kerbau (Padrik et al., 2012), kuda (Nie dan Wenzel,

2001), dan domba (Nalley dan Arifiantini, 2013).

Waktu yang paling tepat untuk melakukan pengujian integritas membran

pada babi berdasarkan hasil penelitian ini adalah pada menit ke-60 inkubasi

(Gambar 2). Ketepatan waktu pengujian HOS sangat penting dilakukan, bila

waktu pengujian terlalu cepat, maka spermatozoa belum bereaksi secara optimal.

Page 102: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [94]

Sebaliknya jika dilakukan terlalu lama sejak inkubasi kemungkinan waktu optimal

bereaksi sudah hilang. Menurut Lang et al. (1998) mekanisme regulasi volume

selmerupakan faktor pentingsel. Selharusvolume berlebihan yang

dapatmembahayakanintegritas structural dankestabilanlingkunganintraselular.

Stabilitas volume selmerupakan proses lanjutdarimekanismeregulasi volume,

akumulasiataupelepasanosmolitdanmetabolit organic sertatransportasi ion

melaluimembran plasma. Fungsiselharusdipertahakandalammenghadapi

perubahan tekanan osmotik. Spermatozoa beberapamamalia (babi, tikus,

bantengdanmanusia) telahditemukanmemilikikemampuanregulasi volume,

dibagimenjadiduayaituregulatory volume decrease (RVD)

merupakanresponterhadaptekananhipoosmotikdanregulatory volume increase

(RVI) yaituselmampumengembalikanvolumenya setelah mengalami pengerutan

karena lingkungan hipertonis (Petrukinaet al., 2007).

Gambar 2. Grafik reaksi spermatozoa positif terhadap larutan HOS

Tabel 3. Persentase jumlah spermatozoa yang bereaksi positif Hipo-osmotic swelling

(HOS) testantar breed selama masa inkubasi

Breed Menit ke

15 30 45 60 75 90

Landrace 53,38 60,64 71,38 73,02 69,05 61,72

Duroc 52,65 60,00 71,54 75,40 67,45 60,70

Yorkshire 51,50 51,50 58,17 75,00 66,20 57,21

Pada penelitian ini reaksi HOS positif antar breed pada setiap waktu

%ek

or

mel

ingk

ar

Menit ke-

Page 103: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [95]

pengamatan disajikan pada Tabel 3. Data tersebut diuji dengan uji t-test dan

menunjukan hasil yang tidak berbeda (p >0,05) hal ini sesuai dengan pernyataan

Amorim et al. (2009) bahwa reaksi spermatozoa pada larutan HOS dipengaruhi

oleh spesies hewan, jenis larutan, osmolalitas, dan waktu inkubasi. Fungsi

membran plasma spermatozoa sangat fundamental dalam mengatur volume sel,

karena akan menentukan kelangsungan hidup spermatozoa.

Optimalnya pengujian pada menit ke-60 dalam penelitian ini juga

dilaporkan oleh Padrik et al. (2012) pada sapi Estonian Holstein dengan

menggunakan tekanan hipoosmotik yang sama (150 mOsm kg-1). Fonseca et al.

(2005) melaporkan pengujian integritas membran pada semen kambing dengan

larutan HOS 125 mOsm kg-1 pada 37oC dalam waktu 60 menit. Pada spermatozoa

kuda Niedan Wanzel (2001) menyatakan, inkubasi selama 60 menit dengan

larutan hipoosmotik 100 mOsm kg-1 menunjukkan persentase HOS reaktif yang

lebih tinggi dibandingkan dengan larutan hipoosmotik lainnya.

Tekanan osmotik yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Pada

penelitian ini spermatozoa babi bereaksi dengan larutan HOS (150 mOsm kg-1),

optimal pada menit ke-60 inkubasi. Pengujian yang dilakukan lebih cepat atau

lambat akan mendapatkan hasil yang kurang akurat.

SIMPULAN

Waktu optimal untuk melakukan pemeriksaan integritas membran plasma

adalah pada menit ke-60 dengan larutan hipoosmotik 150 mOsm Kg-1. Tidak ada

perbedaan yang nyata antara breed dan waktu pemeriksaan integritas membran

plasma spermatozoa babi dengan hypo-osmotic swelling (HOS) test.

DAFTAR PUSTAKA

Amorim EA, Torres CA, Graham JK, Amorim LS,Santos LV. 2009. The hypo-

osmotic swelling test infresh rabbit spermatozoa. Anim Reprod Sci.111:

338‒343.

Brito LFC, Barth AD, Bilodeau-Roessels S, Panich PL, Kastelic JP. 2003.

Comparison methods to evaluate the plasmalemma of bovine sperm and

their relationship with in vitro fertilization rate. Theriogenology60: 1539-

1551

Curry MR, Watson PF. 1995. Sperm structure and function. Di dalam:

Grudzinskas JG, Yovich JL. Editor. Gametes-The Spermatozoon.

Cambridge (UK): Cambridge University Pr.

Page 104: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [96]

Fonseca JF, Torres CAA, Maffili VV, Borges AM, Santos ADF, Rodriques MT.

Oliveira RFM. 2005. The hypoosmotic swelling test in fresh goat

spermatozoa. Anim Reprod sci.2: 139-144

Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In: Hafez B,

Hafez ESE. 2000. Reprod in Farm Anim. 7th ed. Philadelphia (US):

Lippincott Williams & Wilkins. 96-109.

Hallap T, Nagy S, Haard M, Jaakma U, Larsson B, Rodriquez-Martinez H. 2004.

Variations in quality of frozen-thawed semen from Swedish Red and White

siresat 1 and 4 years of age. J of Andrology. 27:166‒171.

Lang F, Gillian L, Busch L, Markus R, Harald Vo Lkl, Siegfried W, Erich G.

1998. Functional significance of cell volume regulatory mechanisms. Phys

Rev. 78 (1): 248-273

Lechniak DA, Kedzierski D, Stanislawski D. 2002. The use of HOS test to

evaluate membrane functionality of boar sperm capacitated in vitro. Reprod

Dom Anim. 37(6): 379-380.

Maes D, López A, Rijsselaere T, Vyt P, Van A. 2011. Artificial insemination in

pigs. In Artificial insemination in farm animals ed. M. Manafi. In Tech

Rijeka Croatia. 79-94

Nalley WMM, Arifiantini RI. 2013. The Hypo-osmotic swelling test in fresh garut

ram spermatozoa. J.Indonesian TropAnim Agric. 38(4): 212-216

Nie GJ, Wenzel JGW. 2001. Adaptation of the semen hypo-osmotic swelling test

to assess functional integrity of stallion spermatozoal plasma membranes.

Theriogenology59: 735-742.

Padrik P, Hallap T, Kaart T, Bulitko T, Jaakma U. 2012. Relationships between

the results of hypo-osmotic swelling tests, sperm motility, and fertility in

Estonian Holstein dairy bulls. Czech J Anim Sci. 57 (10): 490-497

Perez-Llano BJLP, Lorenzo YA. Trejo P. Garcia-Casado P. 2001. Hypoosmotic

swelling test for the prediction of boar sperm fertility. Theriogenology56:

387-398

Petrunkina AM, Waberski D, Gunzel-Apel AR, Topfer-Peterson E. 2007.

Determinants of sperm quality and fertility in domestic species. Society for

Reprod and Fertil. 1470-1626.

Purdy PH, Moce E, Stobart R, Murdoch WJ, Moss GE, Larson B, Ramsey S,

Graham JK, Blackburn HD. 2010. The fertility of ram sperm held for 24h at

5°C prior to cryopreservation. AnimReprod Sci. 118:231-235.

Vazquez JM, Martinez EA, Martinez P. 1997. Hypoosmotic swelling of boar

spermatozoa compared to other methods for analyzing the sperm membrane.

Theriogenology47:913-922

Yeste M, BrizM, PinartES. Sancho E. Bussalleu S. 2010. The osmotic tolerance of

boar spermatozoa and its usefulness as sperm quality parameter. Anim

Reprod Sci.119: 265-274

Page 105: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [97]

PENGARUH PEMBERIAN JENIS ANTIBIOTIKA TERHADAP

PENAMPILAN ANAK BABI PRASAPIH

Sriyani, N. L. P., Tirta A., I N., I W. Sukanata, dan Md. Artiningsih R.

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh

pemberian jenis antibiotika terhadap penampilan anak babi prasapih. Penelitian

menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan yaitu P0:

anak babi yang tidak diberi antibiotika, P1: anak babi yang diberi antibiotika jenis

Tysinol, dan P2: anak babi yang diberi antibiotika jenis Corflox. Anak babi yang

dipergunakan sebanyak 24 ekor (±1,5 kg) yang berasal dari 4 induk (sebagai

blok/kelompok). Setiap blok masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2 kali,

sehingga anak babi yang dipakai disetiap blok sebanyak 6 ekor. Parameter yang

diukur adalah: berat badan, panjang badan, lingkar dada, tinggi badan, dan

mortalitas. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, jika terjadi

perbedaandiantara perlakuan (P>0,05), maka uji dilanjutkan dengan uji beda nyata

terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pemberian

antibiotika (Tysinol dan Corflox) pada anak babi umur 1 hari nyata dapat

meningkatkan bobot sapihan, pertambahan bobot badan harian, dan mengurangi

mortalitas. Pemberian antibiotika tidak nyata pengaruhnya terhadap parameter

lingkar dada, tinggi badan, dan panjang badan. Perbedaan jenis antibiotika yang

diberikan tidak nyata pengaruhnya terhadap penampilan dan mortalitas anak babi

prasapih (P>0,05). Kesimpuland an saran dari penelitian ini adalah sangat perlu

pemberian antibiotika (baik Tysinol maupun Corflox) pada anak babi umur 1 hari

Page 106: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [98]

untuk meningkatkan PBB, bobot sapihan, dan menurunkan mortalitas.

Kata kunci: anakbabiprasapih, antibiotika, penampilan

ABSTRACT

This researchhas beenconducted todetermine the effect ofantibioticson the

performance ofpiglets. Researchusingrandomized block design(RBD) with

3treatments, namelyP0: pigletswerenot givenantibiotics, P1: piglets given

antibiotictypesTysinol, andP2: piglets given antibiotic typesCorflox.

Pigletswereusedas many as 24 tails (± 1.5kg) derived from 4 sows (as a

block/group). In eachblock ofeach treatmentwas repeated2 times, so

thepigletsused in everyblockas much as6tails. Parametersmeasured were: body

weight, body length, chest garth, body height, andmortality. Datawere

analyzedwithanalysisof variance, ifthere is a

differencebetweentreatments(P>0.05), then thetestfollowed by Least Significant

Differencetest(LSD). The results showed that the administration of antibiotics

(Tysinol and Corflox) in children aged 1 day pigs can markedly improve sapling

weight, daily gain, and reduced mortality. Antibiotics no real influence on the

parameters of chest garth, height, and body length. The different types of

antibiotics that are given no real influence on the appearance and preweaning

piglet mortality (P> 0.05). Conclusions and suggestions of this research is very

necessary antibiotics (either Tysinol orCorflox) in piglets aged 1 day to improve

the ADG, the weight of weaning, and reduce mortality.

Keywords: piglets, antibiotics, performance

PENDAHULUAN

Produktivitas suatu usahapeternakan babi (pola breeding) dapat dinilai dari

jumlah anak perkelahiran (littersize), jumlah sapihan, laju pertumbuhan, FCR, dan

tingkat imun (Putra, dkk., 1992). Mortalitas yang tinggi pada anak-anak babi

prasapih yang tinggi menyebabkan secara signifikan kerugian pada perusahaan

pembibitan babi. Penanganan anak babi dari lahir sampai disapih diperlukan

teknik yang cukup intensif, karena pada fase ini merupakan fase sangat kritis bagi

seekor anak babi.

Antibiotika selain dapat dipakai sebagai obat, dalam jumlah sedikit dapat

pula ditambahkan ke dalam ransum dengan tujuan untuk meningkatkan

pertumbuhan dan mencegah penyakit (Srigandono, 1987). Pemberian antibiotika

sebagai feed aditif dapat menekanperkembangan mikroorganisme yang sifatnya

berkompetisi dengan ternak terhadap beberapa zat makanan yang dibutuhkan oleh

tubuh ternak. Di dalam saluran pencernaan, antibiotika dapat mencegah penebalan

Page 107: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [99]

dinding usus/saluran pencernaan yang disebabkan oleh mikroorganisme, sehingga

antibiotika dapat meningkatkan penyerapan terhadap zat makanan dan mencegah

penyakit subklinis. Pemberian antibiotika pada anak babi banyak diberikan dan

terbukti nyata dapat menekan mortalitas dari 11% menjai 7,5% dan meningkatkan

berat badan 8,5% (Anon, 1999).

Di pasaran sangat banyak jenis atau merek dagang antibiotka yang

ditawarkan kepada peternak babi dengan tujuan dan manfaat yang hampir sama

atau mempunyai spektrum luas maupun pengaruh khusus. Berdasarkan fakta yang

ditemukan di pasaran tersebut maka perlu diteliti pengaruh dari masing-masing

antibiotika tersebut terhadap penampilan dan mortalitas anak babi prasapih.

METODOLOGI

Materi penelitian menggunakan anak babi putih persilangan (landrace ×

chester white) umur 1 (satu) hari sebanyak 24 ekor dengan berat badan 1,4-1,8 kg

yang berasal dari 4 ekor induk babi. Penelitian menggunakan rancangan acak

kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan yaitu anak babi yang tidak dinjeksi dengan

antibiotika (P0), anak babi yang diinjeksi dengan antibiotika merek Tysinol (P1),

dan anak babi yang diinjeksi dengan antibiotika merek Corflox (P2). Injeksi

antibiotika dilakukan pada umur 1 (satu) hari. Setiap perlakuan diulang pada 4

induk (sebagai blok),dan setiap ulangan terdiri dari 2 ekor. Parameter pada

penelitian ini adalah berat lahir, berat badan pada umue 20 hari, pertambahan

berat badan, panjang badan, lingkar dada, dan mortalitas. Data yang dipeoleh

dianalisa dengan analisis sidik ragam, dan apabila terjadi perbedaan yang nyata

diantara perlakuan (P<0,05), maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil

(BNT) (Steel and Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Injeksi antibiotika jenis Tysinol maupun jenis Corflox cenderung dapat

meningkatkan penampilan secara umum anak babi prasapih, namun secara

statistik untuk beberapa parameter penampilan antara ketiga kelompok perlakuan

tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian juga menunjukkan

mortalitas untuk semua kelompok perlakuan adalah 0% (P>0,05), seperti yang

disajikan pada Tabel 1 di bawah. Data mortalitas yang non signifikan diperoleh

mungkin disebabkan kurangnya materi (anak babi) yang dipakai pada setiap

Page 108: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [100]

blok/kelompok. Secara statistik banyaknya ulangan akan memberikan hasil

dengan tingkat akurasi yang tinggi dan dapat meminimalis kesalahan. Faktor lain

manejemen kandang seperti tata letak kandang induk yang selalu kering dengan

tingkat penyinaran yang cukup, merupakan faktor yang berkontribusi terhadap

sulitnya berkembangnya mikroba patogen.

Tabel 1. Penampilan anak babi putih persilangan prasapih yang diinjeksi dengan jenisantibiotika

yang berbeda

No

P a r a m e t e r

P e r l a k u a n

SEM P0 P1 P2

1

PBB. (kg/h)

0,15a

0,17b

0,18b

0,02

2 Berat Sapih (kg) 6,25a 6,63b 7,15b 0,45

3 Lingkar dada Sapih (cm) 43,6a 44,3a 44,9a 0,63

4 Panjang badan Sapih (cm) 36,3a 37,8a 37,8a 0,86

5 Tinggi badan Sapih (cm) 26,4a 27,0b 27,1b 0,38

6 Mortalitas (%) 0 0 0 0

Keterangan:Angka dengan superskrip yang sama pada baris yang sama adalahtidak berbeda

nyata(P>0,05). P0: tanpa antibiotika, P1: antibiotikajenis Tysinol, P2: antibiotika jenis

Corflox

Secara totalitas untuk parameter produksi induk pada fase menyusui

adalah berat badan sapihan dan mortalitas. Injeksi antibiotika jenis Tysinol dan

Corflox diperoleh databerat badan sapih yang tidak berbeda nyata (P>0,5) namun

secara statistik nyata(P<0,05) lebih berat jika dibandingkan dengan kelompok

anak babi tanpa injeksi antibiotika. Penyebab utamanya adalah dari pengaruh

antibiotika yang mempunyai efek dapat menekan mikroorganisme patogen di

dalam saluran pencernaan, mengurangi penebalan dinding saluran pencernaan,

yang selanjutnya akan berdampak terhadap efisiensi penyerapan zat makanan oleh

saluran pencernaan. Tingkat efisiensi penyerapan zat makanan/susu yang baik

akan menyebabkan tingkat pertumbuhan (PBB) yang baik, tinggi badan, dan

peningkatan imun selanjutnya berdampak terhadap penurunan mortalitas (Tabel 1)

(Srigandono, 1987).

Non signifikan efek dari injeksi antibiotika terhadap parameter lainnya,

sesuai dengan pendapat Parakasi (1983) bahwa pengaruh antibiotika tidak selalu

sama pada setiap saat. Salah satu faktor penyebab adalah adanya stres (yang

diartikan sebagai segala kondisi lingkungan yang dapat menurunkan kondisi

ternak termasuk pakan, situasi kandang, dan penyakit). Selanjutnya Sihombing

(2006), menyatakan bahwa produktivitas antibiotika menjadi meningkat jika

kondisi lingkungan maupun manejemen peternakan babi yang kurang bagus.

Page 109: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [101]

Disampaikan pula babi yang mendapat Tysinol dalam ransumnya mengalami

perbaikan pertambahan berat badan 2,4%-14,6% pada kandang baru, dan kandang

yang lama mencapai 9,6%-19,6%. Pada parameter mortalias = 0%, sesuai dengan

pendapat Hollis (1993) dan Putra (1993), yang menyampaikan bahwa penerapan

manejemen peternakan babi yang baik dan tidak ada wabah penyakit, maka

keuntungan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan menjadi kecil.

SIMPULAN

Injeksi antibiotika jenis Tysinol dan Corflox menyababkan penampilan

anak babi prasapih yang tidak berbeda nyata, namun injeksi kedua jenis

antibiotika tersebut menyebabkan perbaikan penampilan (pada PBB, berat sapihan

dan tinggi badan) yang nyata lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa injeksi

antibiotika.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Wayan Sukanata dan Bapak Ir. I

G. G.Putra,MS., yang banyak membantu dalam peleitian ini, dan kepada Bapak H.

Suwito selaku pemilik peternakan babi yang telah banyak memberikan bantuan

ternak babi sebagai materi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 1999. Pig International. London.

Anonymous. 2013. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali Tahun 2012. Dinas

Peternakan danKesehatan Hewan. Denpasar

Ardana, I.B., D.K.H.Putra. 2008. Ternak Babi. Manajemen Reproduksi, Produksi

dan Penyakit. Udayana University Press. Denpasar

Muir, L.A. 1988. Effects of Beta-Adrenergic Agonists on Grouth and Carcass

Characteristics of Animals. Designing Foods.National Academy Press.

Washington, D.C.

Parakasi. A.,1992. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik.Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penerbit Angkasa Bandung.

Putra, IG. G., 1993. Pengaruh Kombinasi Dynamutilin dan Quxalud Terhadap

Komposisi Karkas Berbagai Jenis Kelamin Anak Babi. Tesis Fakultas

Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sihombing DTH., 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Srigandono, B., 1997. Ilmu Peternakan. Diterjemahkan dari James Blakeley-

David H. Bade. Fakultas Peternakan, Universitas Diponogoro. Gadjah Mada

University Press.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu

Page 110: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [102]

Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia. Jakarta.

ANALISIS USAHATANI PENGGEMUKAN TERNAK BABI

DENGAN PENGATURAN RANSUM

Ida Ayu Parwati, Luh Gde Budiari dan Nyoman Suyasa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

Jl. By Pas Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar

Telp/Fax: 0361-720498

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Untuk melihat dampak teknologi terhadap untung rugi suatu usaha penggemukan

babi dengan pengaturan ransum telah dilakukan penelitian di Kelompok Ternak

Babi di Desa Tua, Kecamatan Marga, Tabanan.Salah satu komponen input

dalampengkajian ini adalah pakan, dimana pada pengkajian ini ransum yang

digunakan dibagai kedalam 3 formula ransum yaitu formula untuk starter ( 70%

Konsentrat CP 551 + 30% dedak padi), grower ( 15% Konsenntrat Cp 152 + 30%

jagung + 55% dedak Padi) dan finisher (10% Konsentrat Cp152 + 20% Jagung +

70% dedak padi). Jumlah ternak yang digunakan sebanyak 30 ekor yang terbagi

dalam 3 kelompok perlakuan pakan P0: kontrol, P1: babi yang diberikan enzim

philazim 0,1% dari berat ransum dan P2: babi diberikan probiotik bio B 2cc/liter

air minum.Parameter yang diamati adalah:tingkat penerimaan petani, Gross B/C,

TIP dan TIH. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan pemberian probiotik

(Bio B) dan pemberian enzim (Philazim) pertambahan bobot badan dan efisiensi

penggunaan ransum lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol (P0).

Analisis usahatani menunjukkan bahwa R/C ratio pada P2 paling tinggi (1,61)

diikuti oleh P1 (1,59) dan P0 (1,40). Kelompok babi P2 membutuhkan harga

paling rendah untuk mencapai titik impas disusul oleh P1 dan P0. Hal ini

Page 111: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [103]

menunjukkan bahwa pemberian enzim (philazim) dan probiotik (Bio B) dalam

ransum babi dapat meningkatkan efisiensi ransum dan secara ekonomis layak

untuk diterapkan.

Kata kunci: usahatani, pengaturan ransum, babi penggemukan

ABSTRACT

To see the impact of technology on aprofitand loss of fattening pigs with feed

arrangement has conducted research in farminggroups offatteningpigs in Tua

village, district Marga, Tabanan. One component of this assessment is input in

feed, divided into 3 formula is a formula for starter feed (70% CP concentrate 551

+ 30% rice bran), grower (15% consenntrate Cp 152 + 30% corn + 55% rice bran)

and finisher (10% Concentrate Cp152+ 20% Corn + 70% rice bran). The number

of animals used as many as 30 tiles were divided into 3 treatment groups feed P0:

control, P1: pigs given philazim enzyme 0.1% of the feed weight and P2: pork

given probiotic bio B 2cc/liter drinking water. Parameters measured were; farmer

acceptance rate, Gross B/C, Breakeven Production and Breakeven Price. These

results indicate that by giving probiotics (Bio B) and giving enzym (Philazim)

body weight gain and feed efficiency was higher (p <0.05) compared with

controls (P0). Farm analysis shows that R/C ratio at the highest P2 (1.61)

followed by P1 (1.59) and P0 (1.40). Pig group P2 requires minimum price to

break even, followed by P1 and P0. This indicates that the administration of the

enzyme (philazim) and probiotics (Bio B) in swine rations can improve feed

efficiency and economically feasible to implement.

Keywords: farming, feed settings, pig fattening

PENDAHULUAN

Dewasa ini kebutuhan akan nilai gizi masyarakat, khususnya protein

hewani per kapita masih belum memadai. Apalagi bahwa pada akhir-akhir ini

populasi ternak potong begitu sangat menurun. Agar kebutuhan protein hewani

per kapita bisa terpenuhi maka perlu ada peningkatan produksi dibidang

peternakan. Salah satu sumber pemenuhan protein ini bisa diatasi dengan

mengusahakan ternak babi.

Babi merupakan salah satu komoditas unggulan Bali karena mempunyai

peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Babi

diprioritaskan pengembangannya karena ternak ini selain memiliki nilai ekonomi

tinggi juga mempunyai nilai sosial di masyarakat Bali. Hampir 90% rumah tangga

yang beragama Hindu memelihara babi 2 sampai 5 ekor, hal ini disebabkan oleh

peranan ternak babi dalam kehidupan sosial di Bali sangat berarti bila

Page 112: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [104]

dihubungkan dengan upacara adat maupun keagamaan (Sutji,2003). Disamping

itu babi dipelihara juga sebagai penampungan sisa-sisa dapur dan tabungan

keluarga. Sehubungan itu ditinjau dari segi ketrampilan memelihara babi, bagi

masyarakat di Bali sudah cukup dapat diandalkan (Mantra, dkk., 1988).

Pada umumnya pemeliharaan babi oleh petani hanya sebagai sambilan

(sebagai penampung sisa dapur) sehingga pertumbuhannya sangat lambat

sehingga dari segi finansial sangat tidak ekonomis dan tidak layak untuk

diusahakan. Dilain pihak kurangnya bibit unggul merupakan masalah pembatas

peningkatan produksi babi. Meskipun dewasa ini telah banyak peternakan besar di

Bali, namun belum mampu memenuhi kebutuhan akan bibit babi di Bali, sehingga

sumber bibit babi masih kebanyakan berasal dari peternakan rakyat yang

kualitasnya masih rendah dan kuantitas produksinya masih sedikit karena dalam

pemeliharaannya kurang memperhatikan kulaitas pakan, kesehatan dan

perkandangan.

Ternak babi sebagai ternak potong penghasil daging, Dinas Peternakan dan

Veteriner (http//www.bali.bps.go.id) dilaporkan bahwapopulasi babi di Bali dari

tahun 2009-2013 menurut informasi data peternakan Dinas Peternakan Provinsi

Bali terus menurun dari 925.290 ekor (2009) menjadi 860.117 ekor (2013) atau

turun sebanyak 7,58%.Menyusutnya populasi ini antara lain disebabkan karena

angka pemotongan yang meningkat tajam yakni dari 1.538.082 ekor pada tahun

2009 menjadi 1.780.055 ekor pada tahun 2012 yang tidak sebanding dengan

pertambahan populasi tiap tahunnya (Anon., 2012).Akibatnya untuk memenuhi

kebutuhan daging babi selama ini masih mendatangkan dari luar daerah.

Lambatnya peningkatan populasi babi di Bali disebabkan oleh rendahnya minat

masyarakat, khususnya peternak kecil. Kondisi ini tidak terlepas dari seiring

meningkatnya harga bahan-bahan pakanmengingat biaya pakan hampir 65% dari

biaya produksi, karenaitu perlu upaya untuk mencari ransum alternatif yang lebih

murah dan penggunaan pakan tambahan seperti probiotik atau enzim agar

peternak bisa memperoleh keuntungan yang lebih tinggi sehingga dapat

mendorong upaya peningkatan populasi babi.

Probiotik merupakan mikroorganisme yang hidup dalam makanan yang

memiliki efek menguntungkan dalam tubuh dengan meningkatkan keseimbangan

Page 113: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [105]

mikrooorganisme dalam saluran pencernaan (Guntoro, dkk., 2008). Lebih lanjut

Kompiang (2009) menjelaskan bahwa probiotik adalah mikroba hidup atau

sporanya yang dapat hidup atau berkembang dalam usus dan dapat

menguntungkan inangnya baik secara langsung maupun tidak langsung dari hasil

metabolis substrat dapat mengubah mikroekologi usus sedemikian rupa sehingga

mikroba yang menguntungkan dapat berkembang biak dengan baik.

Probiotik BioB merupakan probiotik temuan BPTP Bali yang diarahkan

untuk ternak potong monogastrik. Probiotik ini berbentuk cair, yang didalamnya

mengandung beberapa jenis mikroba yang diisolasi dari intestinum, antara lain

Lactobacillus yang dapat membantu pencernaan makanan (Fuller, 1989), dikutip

Guntoro, dkk. (2008). Lebih lanjut dijelaskan, Bio B juga dapat diberikan pada

ternak babi, untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan ransum

disamping juga dapat menekan angka kematian, sebagaimana pada ayam

pedaging.

Enzim merupakan katalis yang dihasilkan oleh organisme hidup, dimana

katalis dapat diartikan sebagai substansi yang dapat meningkatkan kecepatan

reaksi kimia (Mc Donald et al., 1995) dikutip Yasa, 2004. Penggunaan enzim

pada pakan ternak akan meningkatkan nilai cerna pakan, baik untuk sumber

protein maupun energi yang dapat digunakan oleh ternak (Yasa, 2004).Dalam

enzim philazim terdiri dari campuran enzim phitase, amilase, protease dan lipase

dalam komposisi yang proporsional6. Enzim phitase bermanfaat mengubah fosfor

yang terdapat pada biji-bijian (jagung,padi, gandum, dan kacang kedelai) dalam

bentuk tidak tersedia menjadi bentuk tersedia dan dapat diserap oleh ternak.

Demikian pula pemecahan amilum oleh amilase, protein oleh protease dan lemak

oleh enzim lipase (Anon., 2004 dan Yupardi, 1998).

Probiotik Bio B mengandung beberapa mikroba pembantu pencernaan,

dengan mikroba dominan Lactobasillus, diantaranya Lactobacillus

acidophillus(Guntoro, dkk., 2008). Penggunaan Lactobacillus diharapkan akan

dapat meningkatkan aktivitas enzim pencernaan, menghambat pertumbuhan

bakteri pathogen, menstimulir sistem kekebalan tubuh dan menurunkan produksi

amonia (Jin et al., 1998) Berdasarkan pertimbangan tersebut tujuan dari penelitian

penambahan probiotik (Bio B) dan enzim dalam ransum babi diharapkan mampu

Page 114: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [106]

meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan pakan, sehingga usaha

ternak babi bisa lebih menguntungkan.

Dalam penggemukan babi, efisiensi usaha dapat dilihat dari angka Feed

Convertion Ratio (FCR). FCR merupakan perbandingan antara banyaknya pakan

yang dikonsumsi dengan peningkatan bobot badan yang dicapai (Scott et al.,

1976). FCR dapat ditekan dengan mengurangi konsumsi pakan melalui

pembatasan makanan atau dengan peningkatan angka produksi tanpa peningkatan

konsumsi pakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauhmana

pemeliharaan babi dengan pengaturan pola ransum dapat memberikan tambahan

pendapatan bagi petani ternak khususnya peternak babi.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Tua, kabupaten Tabanan.Salah satu

komponen input dalampengkajian ini adalah pakan, dimana pada pengkajian ini

ransum yang digunakan dibagai kedalam3 formula ransum,masing-masing

perlakuan menggunakan 10 ekor babi sebagai ulangan, sehingga babi keseluruhan

30 ekor. Jenis babi yang dipelihara adalah peranakan Landrace umur 8 minggu

dengan berat badan awal 11-12 kg.Perlakuan yang diberikan adalah sebagai

berikut: P0: Babi tanpa memperoleh pakan tambahan (kontrol). P1: Babi

diberikan enzim philazim 0,1% dari berat ransum. P2: Babi diberikan probiotik

Bio B 2cc/liter air minum. Ransum yang diberikan merupakan kombinasi

konsentrat yang diproduksi oleh Charoen Phokphand (CP) 551 dicampur dengan

dedak padi dan jagung. Pada fase starter (hari 0-28) formula ransum terdiri dari

konsentrat CP 551: 70% dan dedak padi 30%. Pada fase grower (hari 29-84)

ransum terdiri dari konsentrat CP 152 : 20% dedak padi 50%, jagung 30% dan

pada fase finisher (hari 85-114) ransum terdiri dari konsentrat CP 152 : 10%,

dedak padi 70% dan jagung 20%. Babi-babi dipelihara dalam 3 kandang yang

terpisah. Pakan diberikan dua kali sehari dengan jumlah pemberian sesuai dengan

standard kuantitas ransum yang dibutuhkan babi, sedangkan air minum diberikan

ad libitum.

Analisa finansial data yang akan dicari adalah pendapatan bersih, R/C

ratio, titik Impas Harga dan Titik Impas Produksi.Untuk mengetahui pendapatan

bersih petani pada usaha pengembangan ternak dapat digunakan rumus sebagai

Page 115: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [107]

berikut :

1) NR = TR – TC

TR = Py. Y – (Px.X + TFC)

Keterangan :

NR = Net Revenue (pendapatan bersih)

TR = Total Revenue (pendapatan total)

TC = Total Cost(biaya total)

Py = Harga output

Y = Output

Px = Harga input

X = Input

TFC = Total Fixed Cost (total biaya tetap)

2) R/C rasio, yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut

Keterangan:

P = Produksi H= Harga Produksi B = Total Biaya

Analisis kelayakan pengembangan usaha ternak digunakan untuk melihat

tingkat pengembalian atas biaya usaha tani yang telah dikeluarkan untuk

menerapkan teknologi introduksi. Apabila Gross B/C > 0, maka usaha tani

dianggap layak secara finansial, karena keuntungan bersih masih lebih besar

daripada biaya yang dikeluarkan.

3) Batas aman usaha penggemukan babi dapat dilihat melalui analisis Titik Impas

Produksi (TIP) maupun Titik Impas Harga (TIH). Angka tersebut merupakan

batas dimana penerapan teknologi masih memberikan tingkat keuntungan

normal. Nilai titik impas dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut

(Hermanto, 1989) :

TIP = B/H

TIH = B/P

Keterangan :

TIP = Titik Impas Produksi,

TIH= Titik Impas Harga,

B= Biaya Total,

H= harga produksi

P = Produksi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Kimia Ransum

R/C = P X H

B

Page 116: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [108]

Formula ransum yang diberikan, disesuaikan dengan formula ransum yang

telah diterapkan oleh peternak. Para peternak umumnya tidak memberikan

konsentrat pabrikan 100%, hal ini berdasarkan pertimbangan ekonomi, meskipun

dengan adanya substitusi beberapa jenis bahan terhadap ransum pabrikan

mengakibatkan menurunnya mutu ransum, namun berdasarkan pengalaman

peternak, akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan

penggunaan ransum pabrikan yang sesuai dengan standar kebutuhan gizi babi.

Berdasarkan hasil proximate analysis komposisi kimia ransum seperti

tertera pada Tabel 1, apabila dibandingkan dengan standard komposisi kimia

ransum menurut Tillman, dkk (1989) seperti yang tertera pada Tabel 2, mutunya

masih dibawah mutu ransum standar, baik untuk fase starter, grower maupun

finisher. Kandungan protein dalam ransum masing-masing pada fase starter

15,14%, grower 12,23% dan finisher 12,15%, sedangkan kebutuhan standar

menurut Tillman, dkk. (1989) seharusnya masing-masing 19%, 17% dan 14%.

Sementara kandungan serat kasar, lebih tinggi dari standar, hal ini berarti pada

ransum yang diberikan akan lebih sulit dicerna dibanding ransum standar. Adanya

pemberian Bio-B dan enzim diharapkan akan dapat membantu mencerna serat

kasar disamping zat-zat makanan yang lain. Haryanto (1998) melaporkan bahwa

pemanfaatan probiotik dalam pakan berpengaruh positif terhadap peningkatan

kecernaan komponen serat pakan maupun terhadap produktivitas ternak.

Tabel 1. Komposisi Kimia Ransum yang diberikan pada Fase Starter, Grower dan

Finisher.

No Zat Kimia Konsentrat + Jagung + Dedak Padi

Pakan Starter Pakan Grower Pakan Finisher

1 Air (%) 11,2 11,55 10,94

2 Cp (%) 15,14 12,23 12,15

3 Lemak (%) 11,59 13,31 11,06

4 SK (%) 6,51 6,84 7,26

5 Abu (%) 10,07 12,65 7,81

6 Ca (%) 0,52 0,39 0,29

7 P (%) 0,38 1,40 0,78

8 GE (Kcal/Kg) 3.701 3.483 3.810

Tabel 2. Komposisi Standard Kimia Ransum Pada Babi Fase Starter, Grower dan

Finisher.

No Zat Kimia Bahan Standar

Starter Grower Finisher

Page 117: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [109]

1

2

3

4

5

6

7

Air (%)

CP (%)

Lemak (%)

SK (%)

Abu (%)

Ca (%)

GE (Kcal/Kg)

14

19

4,5

4

6

0,7-1

3.200

14

17

3

4

6

0,6-1

3.100

14

14

3

6,0

7,

0,75-1

3.100

Sumber : Tillman, dkk (1989)

Ransum yang diberikan, kandungan gross energi (GE) dan lemak lebih

tinggi dibandingkan standar. Hal ini disebabkan karena adanya penggunaan

jagung dan dedak padi dalam ransum dengan level yang cukup tinggi.

Analisis Usahatani

Dari data hasil penimbangan bobot badan selama kurang lebih 5 bulan

menunjukkan bahwa bobot badan pada babi yang mendapat enzim philazim (P1)

dan yang mendapat probiotik bio B (P2) nyata lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan

dengan babi kontrol (P0). Pada penimbangan pertama sebanyak 30 ekor babi

sampel diperoleh bobot awal rata-rata untuk P0: 11,13 kg/ekor, P1: 11,63 kg/ekor

dan P2: 11,13 kg/ekor. Selama perlakuan 16 minggu (144 hari), diperoleh

bobotbadan rata-rata untuk P0: 90,15 kg, P1: 103,00 kg dan P2: 105,50 kg. Dengan

demikian pada P0 diperoleh pertambahan bobot badan (PBB) rata-rata 69,32

g/ekor/hari, P1: 80,19g/ekor/hari dan P2: 82,78 g/ekor/hari dan secara statistik

berbeda nyata (P ≤ 0,05).

Jika petani mengeluarkan seluruh biaya produksi, maka biaya riil yang

dikeluarkan untuk penggemukkan babi selama 114 hari meliputi biaya bibit,

pakan tambahan (dedak, obat-obatan dan probiotik) dan tenaga kerja. Biaya

tenaga kerja merupakan biaya yang diterima kembali oleh petani karena tenaga

kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga. Namun dalam analisis tenaga

kerja tersebut dibagi menjadi kelompok keuntungan riil dan tidak riil. Keuntungan

riil merupakan keuntungan yang diterima petani setelah pendapatan kotor

dikurangi biaya produksi dengan menghitung biaya tenaga kerja keluarga. Rata-

rata petani mengeluarkan tenaga kerja keluarga sebesar Rp. 88.667 untuk

pemeliharaan per ekor ternak babi selama 114 hari, baik cara petani (P0) maupun

dengan tambahan enzim (P1) maupun tambahan bio B (P2). Total biaya produksi

yang dikeluarkan dalam penerapan pada perlakuan P0 sebanyak Rp.

Page 118: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [110]

1.613.689/ekor/114 hari, P1 sebanyak Rp. 1.623.817/ekor/114hari sedangkan

perlakuan P2 sebesar Rp. 1.636.544/ekor/114 hari. P0 (cara petani) cenderung

mengeluarkan biaya lebih sedikit dibandingkan dengan P1 dan P2. Nilai

penerimaan kotor dengan perlakuan P0 mencapai Rp 2.253.750, P1 sebanyak Rp

2.575.000 sedangkan P2 Rp 2.637.500. Penerimaan finansial yang diperoleh

dalam usahatani penggemukkan ternak babi dapat diketahui dengan

menghubungkan variabel input dan harga yang diterima petani (Tabel 3). Dengan

menggunakan tingkat harga yang diterima oleh petani ternak sebagai dasar

perhitungan, keuntungan yang diperoleh dari usahatani penggemukkan ternak

babi denagn perlakuan P0, P1 dan P2 pada tingkat harga Rp. 25.000/kg secara riil

(biaya tenaga kerja dihitung) masing-masing sebesar Rp. 640.061, Rp 951.184

dan Rp. 1.000.957 per ekor selama 114 hari.

Rasio antara penerimaan dengan biaya menunjukkan bahwa perlakuan P0

memiliki Gross B/C sebesar 1,40 lebih rendah dari Gross B/C P1 dan P2 yang

mencapai 1,59 dan 1,61(Taebl 4).Pada perlakuan P0 setiap Rp. 1000 biaya yang

dikeluarkan untuk usahatani penggemukkan ternak babi mampu mendatangkan

penerimaan sebesar Rp. 1400. Sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 dengan

memberikan tambahan enzim dan bio B pada ransum ternak babi penggemukkan

mampu memberikan keuntungan jauh lebih banyak dari P0 yaitu sebesar Rp. 1590

dan Rp 1610 selama 114 hari. Dari analisis ini menunjukkan bahwa pada

perlakuan P1 dan P2 biaya yang dikeluarkan petani lebih banyak dari perlakuan

P0 namun karena pertambahan berat badan harian ternak babi yang diberikan

tambahan enzim philazim(P1) dan bio B (P2) lebih berat dari P0 masing-masing

sebesar 0,69 kg (P0); 0,80 (P1) dan 0,83 kg (P2). Sehingga output yang diterima

petani lebih banyak yang menyebabkan penggemukkan babi dengan perlakuan P1

dan P2 lebih layak untuk dikembangkan. Keuntungan yang dicapai ditentukan

oleh pelaksanaan alokasi masukan output.

Alokasi masukan yang optimal akan memaksimumkan pendapatan. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Machmud (1990). Sedangkan

Herman Supriadi et al. (2001) menyatakan bahwa pendapatan petani dapat

ditingkatkan melalui pemacuan produksi (bobot hidup/hari) dalam hal ini dengan

pemberian pakan tambahan berupa enzim dan bio B memberikan tambahan

Page 119: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [111]

pendapatan petani.

Tabel 3. Analisis finansial penggemukkan ternak babi per ekor

No Uraian

Vol. Satuan Perlakuan

P0 P1( Enzim) P2(Bio B)

A Komponen Input

1 Bibit (Rp) 1 ekor 500.000 500.000 500.000

2 Pakan (RP)

Fase Starter 26,6 Kg 165.186 166.383 167.846

Fase Grower (1) 47,6 Kg 212.772 214.914 217.532

Fase Grower (2) 69,3 Kg 305.960 309.078 312.890

Fase Finisher 87,9 Kg 317.605 321.275 326.109

3 Obat-obatan dan Vitamin

11.000 11.000 11.000

4

Tenaga Kerja(114 hari@0,18

HOK/hari) @Rp 4375/jam 20,27 HOK 88.667 88.667 88.667

5 Penyusutan Kandang dan Alat

Bulan 12.500 12.500 12.500

Total Biaya

1.613.689 1.623.817 1.636.544

B Penerimaan (Rp) :

1 Bobot Akhir Babi (Kg) 1 ekor 90,15 103,00 105,50

2 Harga/kg bobot hidup (Rp) 1 ekor 25.000 25.000 25.000

Total Penerimaan

2.253.750 2.575.000 2.637.500

C Keuntungan (B - A) (Rp)

640.061 951.184 1.000.957

Teknologi cara petani (P0) hanya membutuhkan bobot hidup akhir sebesar

64,55 kg dengan tingkat harga Rp. 17.900/ekor agar memperoleh penerimaan

yang dapat menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan tanpa memperoleh

keuntungan. Perlakuan P1 membutuhkan bobot hidup akhir sebesar 64,95 kg

dengan tingkat harga Rp. 15.765/ekor agar memperoleh penerimaan yang dapat

menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan tanpa memperoleh keuntungan

Sedangkan perlakuan P2 membutuhkan pertambahan bobot badan akhir sebesar

65,46 kg/ekor dengan harga Rp. 15.512/ekor untuk terjadinya titik impas produksi

dan harga. Tampaknya perlakauan P3 membutuhkan pertambahan bobot badan

akhir lebih sedikit dengan tingkat harga lebih rendah dibanding P0 dan P1 untuk

mencapai titik impas.

Tabel 4. Rasio, titik impas produksi dan harga perekor ternak babi

URAIAN PERLAKUAN

P0 P1 P2

A R/C Ratio 1,40 1,59 1,61

B Titik Impas Harga (Rp/Kg bobot hidup) 17.900

15.765 15.512

Page 120: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [112]

C Titik Impas Produksi (Kg) 64,55 64,95 65,46

SIMPULAN

1. Tambahan enzim (P1) dan tambahan bio B kedalam ransum (perlakuan P2)

mampu meningkatkan berat badan harian ternak babi potong lebih baik dari

cara petani (P0). Sehingga penerimaan petani meningkat yang pada akhirnya

mampu memberikan keuntungan yang lebih banyak.

2. Penggemukan ternak babi dengan perlakuan P1 dan P2 layak untuk

dikembangkan. Kelompok babi P2 membutuhkan harga paling rendah untuk

mencapai titik impas disusul oleh P1 dan P0. Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian enzim (philazim) dan probiotik (Bio B) dalam ransum babi dapat

meningkatkan efisiensi ransum dan secara ekonomis layak untuk diterapkan.

SARAN DAN PERTIMBANGAN

Ternak babi merupakan ternak nonruminansia, dimana hampir 80% dari

biaya pemeliharaan yang dikeluarkan merupakan biaya pakan. Untuk mengurangi

tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh peternak untuk pembelian pakan

sebaiknya dilakukan suatu pengkajian penggunaan pakan alternatif dari limbah

pertanian, sebagai pakan konsentrat pengganti dedak padi.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O., A. Djulin, K. Kariyasa dan A. Syam. 1994. Study Pertumbuhan

Produksi Jagung di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara

Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan bekerjasama

dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian.

Anon. 2012. Informasi Data Peternakan Di Propinsi Bali. Dinas Peternakan dan

Veteriner Propinsi Bali. 76 hal.

Guntoro, S. 2001. Penggunaan Enzym untuk Peningkatan Produktivitas Ayam

Petelur. Leaflet. Kerjasama Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi

Pertanian (IP2TP) Denpasar dengan Bappeda Prov. Bali. Denpasar.

Guntoro, S., N. Suyasa, A.A. Badung dan M. Londra. 2008. Pengaruh Pemberian

Probiotik (Bio B) Terhadap Pertumbuhan dan Komposisi Kimia Karkas

Ayam Pedaging. Makalah Seminar Hasil Penelitian- Bappeda tahun 2008.

Denpasar. 12 Desember 2008. 8 hal.

Supriadi H., D. Zaenuddin dan S. Guntoro. 2001. Analisa Ekonomi Pemanfaatan

Limbah Dapur dan Restoran untuk Ransum Ternak di Tingkat Petani. Pros.

Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Optimalisasi

Potensi Wilayah Mendukung Otonomi Daerah.

Page 121: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [113]

Machmud, M. 1990. Analisis Ekonomi Pengembangan Supra Insus di

SulawesiSelatan Dalam Rangka Pemanfaatan Swasembada Beras Nasional.

Tesis MagisterSains, Institut Pertanian Bogor.

Haryanto, B., A. Thalib dan Isbandi. 1998. Pemanfaatan Probiotik Dalam Upaya

Peningkatan Efisiensi Fermentasi Pakan di Dalam Rumen. Prosiding Seminar

Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan Bogor. Hal 496-502.

Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah and S. Yalaludin. 1998. Probiotik in Poultry.

Model of Action. Word Poultry Sc.J. 53: 351-368

Kompyang, I. P. 2009. Pemanfaatan Mikroorganisme sebagai Probiotik untuk

meningkatkan Produksi Ternak Unggas di Indonesia. Majalah Pengembangan

Inovasi Pertanian. 2(3). Hal. 177-188

Kadariah, Lien Karlina, Clive Gray. 1988. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

Mantra, IB. IB Jagra, IGK. Budiaerta dan IG Wenten, R. 1988. Mutu Karkas Babi

Bali dan Persilangan. Majalah Ilmiah UNIV. Udayana XV:18 (126)

Scott,ML. MC Neshum and R.J. Young (1962). Nutrition of The Chickens.

Departement of Poultry Science @nd ED. Scott and Associates. Inthaca New

York.

STUDI KEBUTUHAN BABI UNTUK WARUNG MAKAN BABI GULING

DI BALI

Miwada, IN.S., I G. Mahendra, K. Budaarsa dan Martini H.

Fakultas Peternakan Universitas Udayana

e-mail:

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan babi di Bali sebagai

bahan baku babi guling, jenis babi dan berat babi yang ideal. Penelitian ini

dilaksanakan selama bulan Desember 2011-Januari 2012. Penentuan responden

dilakukan dengan metoda sensus pada seluruh warung makan babi guling di Bali.

Analisa data menggunakan metoda deskriptif yaitu mendeskripsikan secara terinci

Page 122: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [114]

fenomena sosial disertai interpretasi rasional terhadap faktor-faktor yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian, di Bali terdapat sebanyak 207 warung makan babi

guling, terbanyak berturut-turut di Kabupaten Badung, Denpasar, Gianyar,

Karangasem, Tabanan, Buleleng, Bangli, Jembrana, dan Klungkung. Kebutuhan

babi guling lebih dari 1 ekor per hari terbanyak di Kabupaten Gianyak (10 warung

makan), kebutuhan babi guling sebanyak 1 ekor per hari terbanyak di Kota

Denpasar (31 warung makan), dan kebutuhan babi guling kurang dari 1 ekor per

hari terbanyak di Kabupaten Badung. Berat babi dan jenis babi yang digunakan

sebagai bahan baku babi guling bervariasi yakni babi Landrace, babi bali, dan

babi persilangan (crossing). Kesimpulan penelitian ini adalah kebutuhan babi

guling per hari sebanyak 203,92 ekor untuk 207 warung makan di Bali, diperoleh

dengan mengguling sendiri (85,51%), sedangkan dengan membeli babi guling

siap saji sebanyak 14.49%. Jenis babi yang digunakan untuk babi guling yakni

babi Landrace (59,90%); babi bali (37,20%) dan Crossing (2,90%). Sementara,

berat babi yang diguling lebih dari 61 kg. Rata-rata lama menguling babi adalah

2-3 jam, dengan harga rata-rata per porsi nasi babi guling tertinggi terdapat di

Kabupaten Gianyar ( Rp 17.769,-) dan terendah di Kabupaten Tabanan (Rp 9.029).

THE STUDY OF NEEDS PIG TO FOOD STALL SUCKLING PIG IN BALI

ABSTRACT

This study aims to determine the needs in Bali suckling pig as raw material,

the type and weith pf pig. This study was conducted during the months of

December 2011-January 2012. The research used of cencus method on the whole

suckling pig food stalls in Bali. Analyze data using descriptive method that is

described in detail social phenomenon with a rational interpretation of the factors

that exist. The result of the research, in Bali there are as many as 207 stalls

suckling pigs, the highest regency of Badung, Denpasar, Gianyar, Karangasem,

Tabanan, buleleng, Bangli, Jembrana and Klungkung, respectively. Suckling pig

needs more than 1 fish per day highest in regency Gianyar (10 stalls), need as

much as 1 whole suckling pig per day highest in Denpasar (31 stalls), and

suckling pig needs less than 1 fish per day highest in the district Badung. Weight

of pigs and pig kind used as raw materials varies the pork roll landrace pigs, pigs

bali, and pigs crossing. The conclusion of this study is the need for suckling pig

tails 203.92 per day for 207 stalls in Bali, obtained by tumbling alone (85.51%),

where as the suckling pig ready to buy as much as 14.49%. Types of pigs used for

suckling pig that landrace pigs (59.90%), bali pigs (37.205) and crossing (2.90%).

Meanwhile, the overthrow of heavy pigs over 61 kg. the average length the

processing of suckling pig is 2-3 hours, with the average price of rice per serving

suckling pig was highest in Gianyar regency (Rp 17.769,-) and the lowest in

Tabanan regency (Rp 9.029,-).

Keywords: suckling pig, types of pigs, food stalls

PENDAHULUAN

Balidisamping wisata alamnya yang menarik, juga memiliki aneka macam

Page 123: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [115]

wisata kuliner khas bali, diantaranya adalah warung makan berbasis daging babi

yang disebut babi guling atau be guling. Babi guling adalah produk olahan babi

utuh dengan metode pemanasan dan pengasapan sambil diputar-putar (diguling-

gulingkan). Karakteristik khas dari babi guling adalah warna kulitnya yang

kecoklatan dan renyah dan didalam perut babi biasanya diisi bumbu base genep

yang dicampur dengan formula lainnya seperti daun ketela pohon. Babi guling

sebagai makanan favorit di warung-warung makan yang tersebar hampir di semua

kabupaten di Bali (Suter etal.,1999 ). Kebutuhan babi guling di Bali diduga akan

semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena konsumen babi guling di Bali tidak

hanya dari masyarakat lokal namun banyak wisatawan asing yang tertarik dengan

wisata kuliner khas bali ini. Apalagi kunjungan wisatawan ke Bali setiap tahunnya

mengalami peningkatan. Laporan data statistik menunjukkan jumlah kunjungan

wisatawan ke Bali sebesar 2.085.084 orang pada tahun 2008dan di tahun 2010

terjadi peningkatan sebesar 23,55% (Anonim, 2011). Peningkatan ini diduga akan

berpengaruh terhadap peningkatan wisata kuliner khas Bali termasuk warung

makan babi guling. Dugaan ini didasari karena anggapan wisatawan yang

berkunjung ke Bali belum lengkap mengenal Bali bila belum sempat merasakan

makan babi guling (khususnya wisatawan yang tidak terganggu dengan status

keharaman daging babi).

Namun demikian, meskipun kebutuhan babi guling diduga semakin

meningkat namun sampai saat ini data tentang berapa banyak kebutuhan babi

untuk babi guling, berat babi, dan jenis babi yang ideal dijadikan babi guling

untuk warung makan babi guling di Bali belum ada. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui kebutuhan, jenis babi dan berat idealsebagai bahan baku pada

warung makan babi guling di Bali.Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ini

untuk mengetahui data kebutuhan babi pada warung makan babi guling di seluruh

wilayah Bali.

METODE PENELITIAN

Materi:

Warung Makan Babi Guling di Bali

Semua pemilik warung makan babi guling di Bali yang tersebar di delapan

kabupaten dan satu kota yaitu Kabupaten Negara, Buleleng, Tabanan, Badung,

Page 124: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [116]

Bangli, Gianyar, Klungkung, Kabupaten Karangasem, dan Kota Denpasar

dijadikan sebagai responden.

Kuisioner

Kuesioner merupakan seperangkat alat yang memuat daftar pertanyaan yaitu

identitas informan yang terdiri dari alamat usaha, nama usaha, nama pemilik, dan

nomor telepun serta data-data yang dibutuhkan untuk penelitian. Kuesioner

tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk memandu wawancara dengan

pemilik warung makan babi guling.

Perlengkapan Wawancara

Penggunaan alat-alat bantu bertujuan untuk membantu berlangsungnya

proses wawancara sehingga tujuan dari wawancara dapat tercapai lebih baik

dibandingkan tanpa menggunakan alat bantu. Alat bantu atau perlengkapan

wawancara yang digunakan diantaranya pulpen, pensil, karet penghapus, stopmap

plastik, dan daftar responden, serta peta lokasi penelitian yang sangat membantu

(Bungin, 2007). Dalam menggunakan alat bantu wawancara ini menjadi ototritas

pewawancara yang disesuaikan dengan kemampuan, pengalaman, dan kondisi

yang ada.

Metode:

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Bali yakni di delapan kabupaten dan satu

kota, yaitu Kabupaten Negara, Buleleng, Tabanan, Badung, Bangli, Gianyar,

Klungkung, Kabupaten Karangasem dan Kota Denpasar, yang dilaksanakan

selama satu bulan yaitu dari bulan Desember 2011 sampai bulan Januari 2012.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer

bersumber dari responden atau pemilik warung makan babi guling, meliputi data

pribadi responden dan data mengenai kebutuhan warung makan babi guling

diantarannya jumlah babi guling yang dijual setiap hari, jenis babi dan berat babi,

serta cara memperoleh babi guling dilakukan dengan menggunakan teknik sensus

yaitu dengan mendatangi semua warung makan babi guling di Bali. Data sekunder

menyangkut data keadaan umum lokasi penelitian meliputi letak geografis

Provinsi Bali, penduduk dan tenaga kerja, populasi ternak, jumlah wisatawan dan

Page 125: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [117]

jumlah restoran dan warung makan yang kesemuannya diperoleh dari instansi

terkait diantarannya Badan Pusat Statistika Provinsi Bali.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini mengacu pada pendapat

Bungin (2007) tentang metoda pengumpulan data yaitu sebagai berikut:

a. Metode Wawancara

Metode wawancara yang digunakan adalah metoda wawancara mendalam,

yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya

jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan (pemilik

warung makan babi guling), dengan atau tanpa menggunakan pedoman

wawancara (kuesioner).

b. Metode observasi

Metode observasi adalah metoda pengumpulan data yang digunakan untuk

menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan. Dalam hal

ini metoda observasi dilakukan dengan cara mengamati langsung objek

penelitian agar memperoleh gambaran yang jelas tentang kebutuhan babi

guling di Provinsi Bali.

Metode Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis dengan

menggunakan metoda deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang

digunakan untuk mendeskripsikan secara terinci fenomena sosial disertai

interpretasi rasional terhadap faktor-faktor yang ada (Singarimbun dan Efendi,

1989).

HASILDAN PEMBAHASAN

Hasil:

Kebutuhan Babi Guling Per Hari yang Habis Terjual

Kebutuhan babi guling dimaksud di sini berdasarkan jumlah babi guling

yang habis terjual di setiap warung makan babi guling di Bali yang dikategorikan

sebagai berikut:

a. Warung makan babi guling yang membutuhkan babi guling kurang dari satu

ekor/ hari (<1).

Page 126: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [118]

b. Warung makan yang membutuhkan babi guling satu ekor/hari (=1).

c. Warung makan babi guling yang membutuhkan babi guling lebih dari satu

ekor/hari (>1).

Hasil penelitian menunjukan dari 207 buah warung makan yang terdapat di Bali,

61 warung makan atau 29,47% membutuhkan babi guling kurang dari satu

ekor/hari (Tabel 1). Sebanyak 123 warung makan atau 59,42% membutuhkan babi

guling sama dengan satu ekor/hari dan 23 warung makan atau 11,11%

membutuhkan babi guling lebih dari satu ekor/hari.

Tabel 1. Kebutuhan Babi Guling per Hari yang Habis Terjual pada Warung Makan Babi Guling

di Bali

No Kabupaten/

Kota

Babi guling yang habis terjual (Ekor/Hari) Total <1 =1 >1

1 Jembrana 2 5 1 8 2 Tabanan 1 14 2 17

3 Badung 22 28 6 56 4 Gianyar 4 12 10 26

5 Klungkung 2 4 0 6 6 Bangli 4 5 0 9

7 Karangasem 11 10 1 22

8 Buleleng 1 14 1 16 9 Denpasar 14 31 2 47

Total 61 123 23 207

Jumlah Kebutuhan Babi Guling Tiap-Tiap Kabupaten/Kota.

Sebanyak 207 warung makan babi guling yang terdapat di Provinsi Bali

secara keseluruhan membutuhkan 203,92 ekor babi guling/hari (Tabel 2).

Jumlah kebutuhan babi guling di Kabupaten Badung adalah yang tertinggi yaitu

52,78 ekor dari 56 warung makan babi guling yang ada di kabupaten tersebut.

Kabupaten Klungkung menempati peringkat terendah yaitu 6 warung makan

dengan kebutuhan babi guling per harinnya adalah 4,75 ekor.

Tabel. 2 Jumlah Warung Makan Babi Guling dan Jumlah Kebutuhan Babi Guling Tiap-Tiap

Kabupaten/Kota.

No Kabupaten/Kota Jumlah Warung Makan Kebutuhan Babi Guling/ Ekor/ Hari

1 Jembrana 8 7,50 2 Tabanan 17 19,25

3 Badung 56 52,78 4 Gianyar 26 34,00

5 Klungkung 6 4,75 6 Bangli 9 6,66

7 Karangasem 22 15,15 8 Buleleng 16 16,33

9 Denpasar 47 47,50

Total 207 203,92

Page 127: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [119]

Jenis Babi yang Digunakan untuk Babi Guling

Hasil penelitian menujukan, dari 207 warung makan babi guling di Bali,

sebanyak 124 warung makan babi guling atau 59,90% menggunakan babi

Landrace, 77 warung makan babi guling atau 37,20% menggunakan babi bali, dan

2 warung makan babi guling atau 2,90% menggunakan babi Crossing (Tabel 3).

Tabel 3. Jumlah Warung Makan Babi Guling dan Jenis Babi yang Digunakan untuk Babi

Guling

No Kab. Jenis Babi Total Land. % Bali % Cross %

1 Jembrana 3,00 1,45 2,00 0,97 3,00 1,45 8,00 2 Tabanan 16,00 7,73 1,00 0,48 - - 17,00 3 Badung 44,00 21,26 12,00 5,80 - - 56,00 4 Gianyar 18,00 8,70 8,00 3,86 - - 26,00 5 Klungkung 2,00 0,97 4,00 1,93 - - 6,00 6 Bangli 4,00 1,93 5,00 2,42 - - 9,00 7 Karangasem 12,00 5,80 8,00 3,86 2,00 0,97 22,00 8 Buleleng 5,00 2,42 11,00 5,31 - - 16,00 9 Denpasar 20,00 9,66 26,00 12,56 1,00 0,48 47,00 Total 124 59,90 77,00 37,20 6,00 2,90 207

Berat Rata-rata Babi yang Digunakan Pada Warung Makan Babi Guling

Kisaran berat babi yang dibutuhkan oleh warung makan babi guling di Bali

dikelompokan dalam empat kategori yaitu babi dengan berat 15-30 kg (a), 31-45

kg (b), 46-60 kg (c), dan lebih dari 61 kg (d) (Tabel 4).

Tabel 4. Berat Rata-rata Babi Untuk Babi Guling

No Kabupaten/

Kota

Berat babi Jml. a % b % c % d % e %

1 Jembrana - - 2 0,97 2 0,97 4 1,93 - 0 8 2 Tabanan - - 1 0,48 2 0,97 14 6,76 - 0 17

3 Badung 2 0,97 11 5,31 25 12,08 16 7,73 2 0,97 56

4 Gianyar 3 1,45 4 1,93 16 7,73 3 1,45 - 0 26

5 Klungkung - - 4 1,93 2 0,97 - - - 0 6

6 Bangli 1 0,48 2 0,97 2 0,97 4 1,93 - 0 9

7 Karangase

m

5 2,42 5 2,42 5 2,42 7 3,38 - 0 22

8 Buleleng - - 2 0,97 8 3,86 6 2,90 - 0 16

9 Denpasar 6 2,90 8 3,86 12 5,80 21 10,14 - 0 47

Total 17 8,21 39 18,84 74 35,75 75 36,23 2 0,97 207

Keterangan: e= Warung makan babi guling yang tidak mengetahui berat babi.

Hasil penelitian menunjukan dari 207 warung makan babi guling, tertinggi yaitu

sebanyak 75 warung makan babi guling atau 36,23% menggunakan babi dengan

berat rata-rata lebih dari 61kg sebagai bahan baku babi guling. Sisanya 74 warung

makan atau 35,75% menggunakan babi dengan berat rata-rata 46-60kg, 39 warung

makan atau 18,84% menggunakan babi dengan berat rata-rata 31-45kg, dan 17

warung makan atau12,18% menggunakan babi dengan berat rata-rata 15-30kg.

Lama Mengguling Babi Hingga Matang

Page 128: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [120]

Waktu yang dibutuhkan untuk mengguling babi bervariasi antar

Kabupaten/Kota di Bali (Tabel 5). Lama mengguling babi 2-3 jam lebih dominan

yaitu sebanyak 127 warung makan atau 61,35%, sisanya 62 warung makan atau

29,95% mengguling babinya selama lebih dari 3 jam, dan sebanyak 10 warung

makan atau 4,84% mengguling babinya 1-2 jam.

Tabel 5. Lama Mengguling Babi Hingga Matang Sempurna

No Kabupaten Lama Mengguling (Jam) Tanpa

Ket. Jumlah

1-2 2-3 >3 1 Jembrana 1 4 3 - 8 2 Tabanan 2 7 8 - 17 3 Badung 0 35 20 1 56

4 Gianyar 1 14 11 - 26 5 Klungkung 0 5 1 - 6

6 Bangli 0 5 4 - 9

7 Karangasem 0 18 4 - 22 8 Buleleng 0 13 3 - 16

9 Denpasar 6 26 8 7 47

Total 10 127 62 8 207

Cara Memperoleh Babi Guling

Cara memperoleh babi guling untuk memenuhi kebutuhan warung makan di

Bali sangat bervariasi, selain untuk memperoleh daging yang baik juga untuk

memenuhi kebutuhan warung makan dengan tepat diantarannya:

a. Mengguling sendiri dengan membeli babi hidup

b. Membeli babi guling siap saji

Dari 207 warung makan babi guling di Bali, sebanyak 177 atau 85,51%

memperoleh babi guling dengan cara mengguling sendiri, 30 warung makan atau

14,49% dari seluruh warung makan babi guling memperoleh babi guling dengan

cara membeli babi guling siap saji (Tabel 6).

Tabel 6. Jumlah Warung Makan Babi Guling dan Cara Memperoleh Babi Guling No Kabupaten Mengguling Persen Membeli Persen Total

1 Jembrana 7,00 3,38 1,00 0,48 8,00 2 Tabanan 17,00 8,21 - - 17,00

3 Badung 45,00 21,74 11,00 5,31 56,00 4 Gianyar 23,00 11,11 3,00 1,45 26,00

5 Klungkung 6,00 2,90 - - 6,00 6 Bangli 9,00 4,35 - - 9,00

7 Karangasem 22,00 10,63 - - 2,00

8 Buleleng 16,00 7,73 - - 16,00 9 Denpasar 32,00 15,46 15,00 7,25 47,00

Total 177,00 85,51 30,00 14,49 207,00

Page 129: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [121]

Rata-rata Harga Per Porsi Nasi Babi Guling

Rata-rata harga per porsi nasi babi guling tertinggi terdapat di Kabupaten

Gianyar yaitu sebesar Rp. 17.7695.494 terendah di Kabupaten Tabanan sebesar

Rp.9.0292.886 (Tabel 7).

Tabel 7. Rata-rata Harga per Porsi Nasi Babi Guling pada Masing-masing Kabupaten/Kota di

Bali

No Kabupaten/Kota Jumlah Warung Makan

Makan Babi Guling

Rata-rata Harga per Porsi

Nasi Babi Guling (Rp) 1 Gianyar 26 17.769 5.196 2 Badung 56 14.4464.075 3 Denpasar 47 13.511 4.322 4 Klungkung 6 11.833 1.951 5 Karangasem 22 10.841 2.635 6 Bangli 9 10.444 1.641 7 Jembrana 8 9.750 829 8 Buleleng 16 9.438 934 9 Tabanan 17 9.029 2.800 Total 207

Pembahasan:

Kebutuhan Babi Guling Per Hari yang Habis Terjual

Hasil penelitian menunjukan bahwa keberadaan warung makan babi guling

yang tersebar di Provinsi Bali dengan kebutuhan babi guling sangat bervariasi.

Hal ini terlihat dari perbedaan jumlah warung makan dengan jumlah kebutuhan

babi guling per ekor per harinya (Tabel 1). Kebutuhan babi guling 1 ekor/hari

paling banyak dijumpai pada warung makan babi guling di Bali. Dari 207 warung

makan babi guling, sebanyak 59,42% membutuhkan babi guling satu ekor/hari

yaitu terbanyak terdapat di Kota Denpasar (31 warung makan), diikuti Kabupaten

Badung (28 warung makan), dan terendah terdapat di Kabupaten Klungkung

(Tabel 1).

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik

Provinsi Bali, Kota Denpasar merupakan daerah perkotaan dengan jumlah

penduduk tahun 2000 sebanyak 532.440 jiwa dengan 67,16% beragama Hindu,

25,51% beragama Islam, dan sisanya beragama Budha dan Kristen (Anonim,

2011). Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kota Denpasar meningkat 48,10%

(pertumbuhan 4,81% tiap tahun) dari tahun 2000 atau 20,27% dari penduduk Bali

(3,890,757 jiwa) namun luas wilayahnya hanya 127,78 km2(2,27% dari luas Pulau

Bali). Semakin banyak jumlah penduduk maka semakin besar peluang atau

peminat yang mengkonsumsi babi guling. Hal ini sesuai dengan pendapat

Page 130: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [122]

Adisasmita (2005) menyatakan jika kepadatan penduduk dalam suatu kota

meningkat akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan internal diantarannya fasilitas

pelayanan air minum, listrik, angkutan umum, perdagangan, dan lain-lain. Apabila

terjadi peningkatan permintaan kebutuhan barang dan jasa terutama di tempat-

tempat sentral dan daerah perkotaan, maka akan mempengaruhi tingkat

pendapatan pada daerah sekitar yang berdampak pada tumbuhnya sektor usaha

lain termasuk usaha warung makan babi guling. Tahun 2002 dilaporkan jumlah

warung makan babi guling sebanyak 32 buah, sedangkan hasil penelitian

menunjukan jumlah warung makan babi guling di Kota Denpasar sebanyak 47

buah.Makanan siap saji khususnya babi guling merupakan salah satu alternatif

yang banyak dipilih untuk memenuhi kebutuhan makanan, terutama oleh

masyarakat perkotaan seperti Kota Denpasar dengan aktifitas yang padat.

Sebanyak 61 warung makan atau 29,47% membutuhkan babi guling kurang

dari satu ekor/hari. Paling banyak terdapat di Kabupaten Badung, selanjutnya

Kota Denpasar, diikuti Kabupaten Karangasem, Gianyar, Bangli, Jembrana,

Klungkung, Tabanan, dan Kabupaten Buleleng (Tabel 1). Warung makan babi

guling yang menghabiskan babi guling kurang dari 1 ekor per hari umumnya

memilih untuk membeli babi guling siap saji untuk mencegah tersisanya babi

guling yang tidak terjual. Jumlah yang dibeli disuaikan dengan kebutuhan,

biasanya 1/4 atau 1/2 bagian babi guling namun ada juga yang membeli per kg

dengan harga Rp.80,000 per kg babi guling.

Dari 207 warung makan babi guling, sebanyak 11,11% yang membutuhkan

babi guling lebih dari 1 ekor/hari, terbanyak di Kabupaten Gianyar (10 warung

makan) dan Kabupaten Badung (6 warung makan), keduanya sama-

samamerupakan daerah tujuan wisata. Selain masyarakat Bali sebagai konsumen

babi guling, keberadaan wisatawan di Bali juga mempengaruhi permintaan

terhadap nasi babi guling. Wisatawan yang berkunjung ke Bali meningkat dari

tahun-ketahun yaitu tahun 2008 sebanyak 2.085.084 meningkat sebesar 23,55%

pada tahun 2010 (Anonim, 2011).

Jumlah Kebutuhan Babi Guling di Bali

Keberadaan peternakan babi (bidang usaha produksi) dan warung makan

babi guling (bidang usaha pasca panen) di Bali memiliki ketergantungan satu

Page 131: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [123]

sama lain serta memiliki peranan penting dalam memajukan perekonomian di Bali.

Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukan di Bali terdapat

sebanyak 207 warung makan babi guling yang membutuhkan 203.92 (dibulatkan

menjadi 204) ekor babi guling per hari (Tabel 2). Ini berarti dalam sebulan

diperlukan sebanyak 6.120 ekor babi muda atau 73.440 ekor dalam setahun.

Jumlah tersebut hanya keperluan babi di warung makan, belum termasuk babi

yang diguling untuk keperluan upacara di berbagai pelosok desa di Bali,

mengingat masyarakat Bali memiliki beragam adat dan budaya. Sehingga sangat

memungkinkan setiap harinya ada saja yang membuat babi guling, misalnya

untuk peringatan hari lahir anak (otonan) atau untuk upacara agama. Jika

diasumsikan babi yang diguling untuk upacara adat dan agama 10% saja dari

keperluan untuk warung babi guling, maka dibutuhkan tambahan sekitar 20 ekor

babi muda setiap hari. Sehingga sedikitnya diperlukan 224 ekor babi muda setiap

hari yang sama dengan 6.720 ekor setiap bulan atau 80.604 ekor babi muda setiap

tahunnya.

Jenis Babi yang Digunakan Untuk Babi Guling di Provinsi Bali

Jenis babi yang digunakan untuk babi guling adalah babi bali, babi

Landrace, dan crossing. Hasil penelitian yang menunjukan dari 207 warung

makan babi guling sebanyak 124 warung makan (59,90%) menggunakan babi

Landrace, 77 warung makan (37,20%) memilih babi bali dan sisannya

menggunakan babi crossing sebanyak 6 warung makan (2,90%). Sudana(1997)

menyatakan memang pada mulanya babi bali digunakan sebagai babi guling

diBali. Populasi babi Bali yang berkurang menyebabkan sulit mendapatkan babi

bali, sehingga digunakanlah babi Saddleback dan Landracesebagai bahan baku

babi guling. Dari 918.087 ekor babi babi di Bali, populasi babi Landraceadalah

yang tertinggi yaitu sebesar 51%, sedangkan babi bali hanya sebesar 30%, dan

babi Saddleback hanya 19% (Anonim, 2011).

Selain itu, babi guling dari bahan baku babi Landracedianggap memiliki

kandungan lemak lebih sedikit dibandingkan babi bali. Kandungan lemak medium

dapat dikatakan optimum bagi selera maupun kesehatan konsumen (Sutji dan

Sulandra, 1994). Kolesterol dankandungan lemak yang tinggi dan pada produk

hewani diduga sebagai penyebab penyakit aterosklerosis dan jantung koroner.

Page 132: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [124]

Meskipun demikian, hasil penelitian menunjukan penggunaan babi bali sebagai

bahan baku babi guling cukup tinggi yaitu 37,20% dari 207 warung makan babi

guling. Hal ini disebabkan memang pada mulanya babi bali digunakan sebagai

bahan baku babi guling (Sudana, 1997). Selain itu babi guling dari bahan baku

babi bali dianggap memiliki cita rasa yang khas. Cita-rasa khas daging babi bali

disebabkan umumnya babi bali diberi pakan seadanya terdiri dari dedak padi,

limbah dapur, hijauan (daun talas, batang pisang, ketela rambat, dagdag), dan

umbi-umbian (ubi jalar, ketela pohon, ubi talas). Apalagi sekarang telah

dibuktikan bahwa babi guling aman dikonsumsi jika disertai dengan bumbunya,

karena di dalam bumbu babi guling mengandung antioksidan diantarnya vitamin

A, E, C, B-caroten, flavonoid, polyphenol dan terpenoid yang telah dibuktikan

efektif mencegah pembentukan dan penumpukan kolesterol dalam pembuluh

darah dan saluran pencernaan yang mengkonsumsi makanan tersebut (Indraguna,

2011).

Tidak selamanya kolesterol merugikan kesehatan, tetapi kolesterol juga

dibutuhkan oleh jaringan tubuh. Kolesterol merupakan komponen esensial

memberan sel mamalia (Soeparno, 2011; Anggorodi, 1994; dan McDonald et al.,

1995), 17 % bahan kering otak disusun oleh kolesterol (McDonald et al., 1995).

Kolesterol juga merupakan prekursor steroid lainya seperti hormon reproduksi

dan asam empedu.

Berat Rata-rata Babi dan Lama Mengguling

Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden atau 36,23%

menggunakan babi dengan berat rata-rata lebih dari 61kg sebagai bahan baku

babi guling (Tabel 4). Selanjutnya berat rata-rata babi 46-60 kg menduduki posisi

kedua dengan jumlah yang tidak jauh berbeda yaitu 74 warung

makan(35,75%).Perbedaan rata-rata berat babi yang digunakan pada setiap

warung makan babi guling satu dengan yang lainnya disebabkan karena kondisi

atau situasi pasar, efektifitas, dan efisiensi. Budaarsa (2002) menyatakan

umumnya babi yang digunakan sebagai bahan baku babi guling adalah babi yang

berat badannya sekitar 36-40kg. Kemungkinan situasi pasar (permintaan

masyarakat terhadap babi guling) saat ini cukup ramai sehingga berat rata-rata

babi guling yang ditawarkan jauh lebih besar yaitu antara 46-60kg dan lebih dari

Page 133: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [125]

61kg.

Babi dengan berat rata-rata lebih dari 61kg termasuk fase grower-finisher.

Sesuai dengan pola pertumbuhan, komponen karkas yang diawali dengan

pertumbuhan tulang dan otot yang cepat, kemudian setelah mencapai pubertas,

laju pertumbuhan otot menurun dan deposisi lemak meningkat, maka pada

periode penyelesaian (penggemukan atau fattening) pertumbuhan otot menjadi

sangat lambat (Soeparno, 2005). Pemotongan ternak sebaiknya dilakukan

menjelang kedewasaan antara umur 5-12 bulan pada saat perlemakan mencapai

tingkat yang optimum dan sebelum terjadinya penimbunan lemak yang berlebihan

(Soeparno, 2005). Lemak daging yang optimum selain memberi karakteristik

flavor juga karena lemak melindungi daging selama proses memasak (Wiseman,

1984). Lemak yang terdeposisi di bawah kulit (lemak subkutan) secara fisik

mudah mencair jika mendapat panas, sehingga kulit mendapat perlindungan dan

seola-seolah tergoreng untuk menghasilkan kulit guling yang matang sempurna

(renyah dan warna merah-kecoklatan) serta mencegah terjadinya kegosongan kulit.

Ukuran (bobot) babi yang diguling akan mempengaruhi lamanya proses

penggulingan. Semakin besar ukuran atau berat babi yang diguling, maka waktu

yang diperlukan dalam proses mengguling semakin lama.Hasil penelitian

menunjukan dari 207 warung makan babi guling, lama mengguling babi 2-3 jam

lebih dominan yaitu sebanyak 127 warung makan atau 61,35%, sisanya 62

warung makan atau 29,95% mengguling babinya selama lebih dari 3 jam, dan

sebanyak 10 warung makan atau 4,84% mengguling babinya 1-2 jam. Babi yang

diguling lebih dari 61kg akan membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam atau lebih, jika

dibandingkan dengan babi yang diguling dengan berat kurang dari 60kg yang

hanya memerlukan waktu 2-3 jam, seperti yang diutarakan oleh pemilik warung

makan babi guling. Lamanya proses mengguling bertujuan agar panas terdistribusi

secara merata keseluruh bagian daging babi sehingga dihasilkan babi guling

dengan tingkat kematangan yang sempurna. Proses mengguling yang tidak

sempurna akan menyebabkan kematangan daging tidak merata terutama pada

daging bagian dalam. Akibatnya pada saat direcah daging babi guling akan

terlihat merah dan umumnya tidak disukai oleh konsumen.

Mengguling babi lebih dari 61kg akan lebih efesien dari segi waktu, biaya,

Page 134: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [126]

dan tenaga kerja dibandingkan dengan mengguling babi dengan berat kurang dari

61kg. Dari segi waktu dan tenaga kerja akan lebih hemat, karena waktu dan

tenaga yang dibutuhkan untuk mengguling babi dengan berat lebih dari 61kg atau

kurang dari 61kg tidak jauh berbeda. Begitu pula dari segi biaya, harga bahan

baku babi berat 61-100kg umumnya lebih murah per satuan berat karena dihitung

berdasarkan harga per kg daging babi hidup, sedangkan harga bahan baku babi

berat 15-45kg dihitung berdasarkan harga bibit atau cawangan.Oleh karena itu,

biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk mengguling babi lebih dari 61kg akan

lebih sedikit dibandingkan dengan biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk

mengguling babi kurang dari 60kg. Hal ini disebabkan karena biaya tetap yang

dikeluarkan untuk mengguling babi lebih dari 61kg dibagi ke lebih banyak unit

(kg) dengan masing-masing unit menanggung bagian yang lebih kecil dari biaya

tetap (Kotler dan Armstrong, 2008).

CaraMemperoleh Babi Guling Pada Warung Makan Babi Guling di Bali

Variasi cara warung makan babi guling untuk memperoleh babi guling

dipengaruhi oleh beberapa hal diantarannya potensi daerah, tradisi atau kebiasaan,

tempat usaha, dan letak geografis. Warung makan babi guling yang memperoleh

babi guling dengan cara mengguling sendiri paling banyak terdapat di Kabupaten

Badung (45 warung makan), diikuti Kota Denpasar (32 warung makan),

Kabupaten Gianyar (23 warung makan) dan Kabupaten Karangasem (22 warung

makan). Pemilik warung makan makan babi guling mengaku bahwa mengguling

sendiri sudah dilakukan secara turun-temurun yang menjadi kebiasaan sebagai

corak dan ciri khas masing-masing. Secara teknis mengguling sendiri, mampu

menciptakan babi guling sesuai dengan harapan, misalnya untuk mendapatkan

kulit merah-kecoklatan dapat dilakukan dengan menambahkan air kelapa atau

gula merah pada permukaan kulit babi sebelum dilakukan penggulingan. Ada juga

yang menambahkan air kunyit atau kecap untuk mendapatkan warna dan cita rasa

kulit guling yang khas. Selain itu, dengan mengguling sendiri tingkat kematangan

babi guling dapat dicapai dengan mengatur suhu dan lamanya mengguling. Secara

fisik keadaan tempat (luas tempat usaha) dibeberapa kabupaten diantaranya

Kabupaten Badung, Gianyar, dan Karangasem, yang lokasinya agak di luar kota

memiliki tempat usaha yang lebih luas sehingga memudahkan untuk melakukan

Page 135: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [127]

pengolahan dan tidak mengganggu keberadaan orang lain di sekitar.

Proses pengolahan dengan cara membeli babi guling siap saji terlihat di

Kota Denpasar (15 warung makan) lebih dominan dibandingkan dengan

Kabupaten Badung (11 warung makan), Gianyar (3 warung makan), dan

Kabupaten Jembrana (1 warung makan).Membeli babi guling siap sajidianggap

lebih efektif dan efesiendan dapat disesuaikan dengan kebutuhan harian, terutama

bagi warung makan yang menghabiskan babi guling kurang dari satu ekor per

hari.Terbatasnya ruang untuk mengguling di daerah perkotaan seperti Kota

Denpasar, juga menjadi alasan kenapa masyarakat perkotaan memilih membeli

babi guling siap saji.

Harga Per Porsi Nasi Babi Guling di Bali

Harga per porsibabi guling bervariasi antar kabupaten/kota di Bali dengan

rata-rata harga tertinggi terdapat di Kabupaten Gianyar (Rp.17.7695.494),

sedangkan rata-rata harga terendah terdapat di Kabupaten Tabanan

(Rp.9.0252.886) selebihnya disajikan dalam Tabel 7. Tingginya harga rata-rata

nasi babi guling di Gianyar karena 17 dari 26 warung makan babi guling yang ada

di Gianyar tersebar di daerah pariwisata diantaranya 12 warung makan babi guling

di kawasan pariwisata Ubud, 3 warung makan babi guling di kawasan wisata

Sukawati, dan 2 warung makan babi guling di kawasan wisata Tegalalang.

Umumnya harga nasi babi guling di daerah pariwisata lebih tinggi,karena yang

berbelanja selain masyarakat setempat juga wisatawan asing. Kotler dan

Armstrong (2008) menyatakan setiap konsumen akan rela mengeluarkan setiap

sen uangnya untuk mendapatkan nilai-nilai kepuasan dari sebuah produk. Dalam

hal ini, wisatawan berani membayar dengan harga tinggi agar dapat mencicipi

babi guling di Bali dengan cita rasa, pelayanan, fasilitas, dan suasana yang

berbeda dengan daerah lainya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai

berikut:

1. Jumlah warung makan babi guling di Provinsi Bali sebanyak 207 warung

makan dengan kebutuhan babi guling per harinnya sebanyak 203,92 ekor.

Page 136: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [128]

2. Jenis babi yang digunakan untuk babi guling di Provinsi Bali lebih banyak

babi Landrace (58,71%) dibandingkan dengan babi bali (38,31%) dan

Crossing (2,99%).

3. Berat babi yang banyak digunakan adalah lebih dari 61 kg pada 75 warung

makan (37,31%).

4. Cara memperoleh babi guling dengan mengguling sendiri lebih banyak yaitu

172 warung makan (85,57%), dibandingkan dengan membeli babi guling

siap saji yaitu 29 warung makan (14.43%).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disarankan sebagai berikut:

1. Warung makan babi guling agar meningkatkan mutu produk, memilih jenis

babi danberat ideal babi guling, memberikan pelayanan yang baik terhadap

konsumen, selalu terbuka kepada kaum akademisi yang hendak melakukan

penelitian tentang babi guling.

2. Peternak yang memelihara babi untuk babi guling agar mampu memelihara

hingga berat lebih dari 61kgkarena permintaan pada berat tersebut paling

banyak.

3. Pemerintah Provinsi Bali diharapkan melakukan pendataan dan pembinaan

terhadap warung makan babi guling, agar warung makan babi guling tetap

eksis dan mampu bersaing dengan warung-warung makan lainya di Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R. 2005. Pembangunan Ekonomi Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.

Anonim, 2011. Bali Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Denpasar.

Bagiada, N. A. 1986. Pengaruh Substitusi Ransum Tradisional Dengan Rumput

Laut Terhadap Kolesterol Dan Daging Babi Yang Sedang Tumbuh.

Majalah Ilmiah Unud Tahun ke-13. No.14:89-97.

Budaarsa, K. 2002. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kota Denpasar. Laporan

Penelitian. DIK. Universitas Udayana.

Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan Ilmu Sosial Lainya. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Indraguna Pinatih G. N. 2011, Disertasi doctoral. Bumbu Babi Guling Mencegah

Aterosklerosis yang Diinduksi oleh Daging Babi Melalui Meningkatkan

Page 137: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [129]

Antioksidan Total dan Glutathione yang Menekan F2-Isoprostan dan

Interleukin-6 pada TIkus Wistar, Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

Kotler, P dan G. Armstrong. 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Edisi 12. Erlangga,

Jakarta.

McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh dan C. A. Morgan. 1995.

Animal Nutrition. Fifth Edition. Longman Group Ltd, Singapore.

Singarimbun dan Sofyan Effendi. 1989. Metoda Penelitian Survei. Jakarta.

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Keempat. Yogyakarta.

Gajah Mada University Press.

Soeparno, 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Cetakan Pertama. Yogyakarta.

Gajah Mada University Press.

Sudana, I. B. 1997. Disertasi Studi Pengaruh Komposisi dan Frekwensi

Pemberian Ransum Terhadap Kualitas Babi Guling. Bogor.

Suter IK., Arga IW., Kencana Putra IN., Semadi Antara I N., Jelantik A.A.M.S.,

Martini Hartawan, Setiawan I.K. 1999, Laporan Penelitian: Inventarisasi

50 Jenis Makanan dan Minuman Daerah, Pusat Kajian Makanan

Tradisional Madya, Universitas Udayana, hal:18-21.

Sutji, N. N dan I. K. Sulandra. 1994. Evaluasi Organoleptik Guling Babi Hasil

Pemberian Pakan Dedak Padi dan Batang Pisang. Laporan Penelitian DIP.

SPP/DPP. Universitas Udayana, Denpasar.

Wiseman, J. 1984. Fats In Animal Nutrition. First Edition. Anchor Brendon Ltd.

PENGARUH BAHAN PENGENCER BIOLOGIS TERHADAP KUALITAS

SEMEN BABI HAMPSHIRE

Suberata I W, Artiningsih NM, Sumardani NLG, Putra Wibawa AAP, dan A.

T. Umiarti

Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar-Bali

Page 138: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [130]

e-mail:

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “Pengaruh Bahan Pengencer Biologis terhadap Kualitas

Semen Babi Hampshire” dilaksanakan pada dua tempat, yaitu di laboratorium

Reproduksi Fakultas Peternakan Unud, dan di Depo Sperma Dinas Peternakan

Kabupaten Gianyar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas

semen babi Hampshire yang diencerkan dengan bahan pengencer biologis seperti

sari buah tomat, sari buah papaya dan sari buah melon. Rancangan yang

digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan

lima kelompok ulangan. Perlakuan A adalah semen diencerkan dengan sari buah

papaya. Perlakuan B semen diencerkan dengan sari buah tomat dan perlakuan C

semen diencerkan dengan sari buah melon. Pengelompokan didasarkan atas waktu

pengambilan semen. Semen diencerkan dengan perbandingan 1 : 4 dan disimpan

pada lemari es dengan suhu 12 – 140C. Pengamatan dilakukan setiap 6 jam.

Variabel yang diamati meliputi pemeriksaan secara makroskopis yang terdiri atas

warna, konsistensi, volume, bau dan derajat keasaman (pH) semen, sedangkan

secara mikroskopis meliputi konsentrasi, daya tahan hidup dan persentase hidup

spermatozoa. Hasil pengamatan secara makroskopis menunjukkan bahwa warna

semen babi Hampshire adalah putih keabuan, konsistensinya encer, volume 242 ±

38,98 ml, pH semen adalah 7, baik tanpa bahan pengencer maupun setelah

diencerkan dengan pengencer sari buah. Pengamatan mikroskopis menunjukkan

bahwa konsentrasi semen babi Hampshire yang belum diencerkan adalah 63,28 ±

2,6 × 106/ml. Konsentrasi spermatozoa pada pengamatan jam ke-0 untuk

perlakuan A adalah 52,8 × 106/ml, perlakuan B adalah 54,2 × 106/ml dan

perlakuan C adalah 54,2 × 106/ml. Analisis statistik menunjukkan bahwa

konsentrasi spermatozoa berbeda tidak nyata (P>0,05). Gerakan masa dari semen

babi yang belum diencerkan ++ (baik). Daya tahan hidup spermatozoa pada

perlakuan A, B dan C masing-masing 6,6 jam, 18,6 jam dan 12 jam. Secara

statistik menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01). Persentase hidup

spermatozoa pada jam ke-0 untuk perlakuan A, B dan C masing-masing adalah

79,21%, 85,22% dan 78,95%, hasil ini menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05).

Persentase hidup spermatozoa pada 6 jam pertama pada perlakuan A, B dan C

adalah 46,52%, 70,76% dan 51,83%, hasil ini secara statistik menunjukkan

berbeda sangat nyata (P<0,01). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa

pengenceran semen babi Hampshire dengan bahan pengencer sari buah tomat

memiliki daya tahan hidup dan persentase hidup spermatozoa yang paling tinggi

dibandingkan dengan bahan penngencer sari buah melon dan sari buah papaya.

Kata kunci; pengencer biologis, semen babi Hampshire

THE EFFECT OF BIOLOGICAL DILUENTS

ON THE QUALITY OF HAMPSHIRE PIG SEMEN

ABSTRACT

The study, entitled " The Effect of Biological Diluents on the Quality of

Page 139: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [131]

Hampshire Pig Semen” held in two places, there are at Reproduction Laboratory

of animal Husbandry Faculty of Udayana University, and at the Sperm bank of

animal husbandry department, Gianyar District.The purpose of this research is to

know the quality of Hampshire pig semen diluted with biological diluents such as

tomato juice, papaya juice and melon juice. The design was used Randomized

Block Design (RBD) with three treatments and five groups replication. Treatment

A is semen diluteds with papaya juice, treatment B is semen diluteds with tomato

juice, and treatment C semen diluteds with melon juice.The grouping is based on

the taking semen time. Semen was diluted in the ratio 1: 4 and stored in a

refrigerator with temperature 12 – 14oC. Observations were conducted every 6

hours.Observed variables included macroscopic examination consisting semen

color, consistency, volume, smell and measure of acidity (pH), while the

microscopic includes concentration, survival and live percentage of

spermatozoa.The results of macroscopic observation showed that the color of

Hampshire pig semen is grayish white, watery consistency, volume 242 ± 38.98

ml, the pH of semen is 7, either without or with diluents juice.Microscopic

observations showed that the undiluted Hampshire pig semenconcentration was

63.28 ± 2.6 × 106/ml. The concentration of spermatozoa in the 0-hour observation

for treatment A was 52.8 × 106/ml, treatment B was 54.2 × 106/ml and treatment

C was 54.2 × 106/ml. Stasistical analysis showed that consentration of

spermatozoa in not significant (P>0.05). Mass movement of undiluted pig semen

is ++ (good). Spermatozoa survival on treatment A, B and C were 6.6 hours, 18.6

hours and 12 hours.Statistically showed significant (P<0.01). Live percentage of

spermatozoa in 0 hour for treatment A, B and C were 79.21%, 85.22% and

78.95%, this result indicates not significant (P> 0.05).The live percentage of

spermatozoa in the first 6 hours of treatment A, B and C was46.52%, 70.76% and

51.83%, statistically this result indicates significant (P<0.01). The result showed

that Hampshire pig semen dilution with tomato juicediluent has survival and

spermatozoa live percentage highest compared with melon juice and papaya juice

diluent.

Key words: biological diluent, Hampshire pig semen

PENDAHULUAN

Populasi masyarakat yang semakin meningkat tiap tahunnya menyebabkan

kebutuhan masyarakat akan gisi khususnya protein hewani semakin meningkat

pula. Berdasarkan atas data dari Dinas Peternakan Propinsi Bali tentang

kebutuhan daging masyarakat pada tahun 2004 adalah 29.150.325,23 (kg/tahun)

dan tahun 2005 adalah 30.790.255,99 (kg/tahun) atau2,7%. Untuk mengimbangi

peningkatan kebutuhan akan protein hewani semestinya diikuti dengan

peningkatan produksi di bidang peternakan. Salah satu sumber pemenuhan

kebutuhan akan protein hewani bisa diatasi dengan meningkatkan produktivitas

ternak babi. Teknik produksi yang baik, manajemen yang baik dan kualitas daging

Page 140: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [132]

yang baik dapat menyebabkan peningkatan industry usaha peternakan babi.

Salah satu teknologi yang telah dipergunakan untuk meningkatkan

populasi dan produksi ternak baik secara kuantitatif maupun kualitatif adalah

dengan menggunakan teknologi Inseminasi Buatan (IB). Menurut Toelihere (1993)

Inseminasi Buatan adalah suatu metode pemasukan atau penyampaian semen ke

dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan

bukan secara alam. Dengan menggunakan teknologi Inseminasi Buatan dayaguna

seekor pejantan yang memiliki genetik unggul dapat dimanfaatkan secara

maksimal. Seekor babi pejantan unggul dengan menggunakan teknologi IB dapat

melayani 2000 ekor betina tiap tahun (Toelihere, 1993). Selain menggunakan

pejantan unggul, IB memberikan kesempatn untuk menggunakan sedikit pejantan,

hal ini berarti efesiensi dalam pemeliharaan ternak jantan baik dari segi biaya,

pakan dan kandang. Parakkasi (1990) menyatakan bahwa dalamsuatu usaha

peternakan khususnya babi, biaya pakan merupakan ongkos produksi terbesar

berkisar antara 55-85% dari seluruh pengeluaran usaha.

Dalam teknologi Inseminasi Buatan diperlukan kualitas dan kuantitas

semen yang baik. Kualitas semen akan cepat menurun dalam proses penyimpanan

tanpa memberikan perlakuan pada semen tersebut. Menurut Suyadnya (2005)

motilitas spermatozoa tanpa bahan pengencer hanya mampu bertahan hidup

selama 6-8 jam pada temperaturruang 370C. Setelah waktu tersebut spermatozoa

akan menjadi kehilangan daya geraknya atau tidak motil lagi. Fungsi dari bahan

pengencer yang utama adalah untuk memperbanyak volume semen. Disamping itu

bahan pengencer juga berfungsi untuk memberikan nutrisi bagi spermatozoa serta

melindungi spermatozoa dari kuman penyakit. Untuk tujuan itu semen perlu

dicampur dengan larutan pengencer untuk menjamin kebutuhan fisik dan kimiawi

spermatozoa. Telah diketahui bahwa bahan pengencer yang sering digunakan

dalam Inseminasi Buatan antara lain sitrat kuning telur, fosfat kuning telur, air

susu dan air kelapa (Djanuar, 1985).

Buah-buahan merupakan salah satu alternativ bahan pengencer biologis

yang bisa dipergunakan sebagai bahan pengencer semen. Sari buah menurut

Trisnawati dan Setiawan (1994) adalah cairan yang diperoleh melaluiproses

pemerasan dari bagian buah yang dapat diminum tanpa proses fermentasi.

Page 141: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [133]

Menurut Susilowati at.al. (1989), sari buah-buahan seperti sari buah tomat, pisang

dan papaya yang ditambah dengan sitrat dapat mempertahankan daya tahan hidup

spermatozoa domba selama 200-260 jam. Demikian pula Yulnawati (2002)

menyatakan bahwa sari buah melon dan sari buah wortel dapat digunakan sebagai

bahan pengencer bagi semen domba garut. Sari buah-buahan mempunyai

kandungan zat yang dapat menunjang kebutuhan hidup spermatozoa sperti

karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Oleh karena itu buah-buahan

perlu dicoba untuk diteliti sebagai bahan pengencer untuk semen babi.

Dari uraian di atas maka dipandang perlu untuk diteliti kualitas semen babi

yang diencerkan dengan bahan pengencer sari buah papaya, sari buah tomat, dan

sari buah melon dengan harapan dapat meningkatkan daya hidup dan daya simpan

spermatozoa sebelum dipakai untuk Inseminasi Buatan.

MATERI DAN METODE

MATERI

Semen Babi

Dalam penelitian ini diperlukan satu ekor babi Hampshire yang telah

berumur 4 tahun untuk diambil semennya. Pengambilan semen dilakukan dengan

cara massage (hand method) dengan menggunakan alat bantu dummy sow.

Alat-alat

Alat-alat yang digunakan untuk pemeriksaan makroskopis dan

mikroskopis dalam penelitian ini antara lain mikroskop, objek glass, deck glass,

cover glass, beaker glass, haemocytometer, pipet, batang pengaduk, erlemeyer,

timbangan analitik, kertas saring, aluminium foil, juicer, pemanas Bunsen lengkap

dengan spritus, kertas lakmus, kain lap, ember, autoclave, acounter, termos sedan

thermometer.

Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sari buah tomat

matang atau yang kulitnya berwarna merah, sari buah pepaya yang matang atau

dagingnya berwarna merah, sari buah melon yang matang dan dagingnya

berwarna hijau, pewarna eosin, aquades dan larutan penyanggah Natrium Sitrat.

Untuk mencegah berkembangnya bakteri yang dapat membunuh spermatozoa

Page 142: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [134]

maka perlu ditambahkan antibiotika. Dalam penelitian ini antibiotika yang

digunakan adalah Streptomycin.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan dan evaluasi semen secara makroskopis dilakukan langsung

di Depo Sperma Dinas Peternakan Kabupaten Gianyar. Evaluasi semen secara

mikroskopis, pengenceran, penyimpanan dan evaluasi lebih lanjut dilakukan di

Laboratorium Reproduksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl.

P.B Soedirman Denpasar, selama delapan minggu.

Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak

kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan. Perlakuan A adalah semen diencerkan

dengan bahan pengencer sari buah pepaya. Perlakuan B adalah semen diencerkan

dengan sari buah tomat. Perlakuan C adalah semen diencerkan dengan sari buah

melon. Masing-masing perlakuan terdiri dari lima kelompok. Pengelompokan

didasarkan pada waktu pengambilan semen.

Cara Menampung Semen

Semen ditampung dengan cara manual (hand method) dikandang pejantan

atau ditempat khusus. Proses penampungan semen babi menggunakan induk

buatan (dummy sow). Proses awal adalah bulu-bulu yang tumbuh pada ujung

preputium dipotong untuk mencegah kontaminasi dengan kuman-kuman penyakit.

Untuk merangsang pejantan mengeluarkan penisnya maka preputium diurut-urut.

Begitu penis keluar dari preputium segera pegang dengan erat ujung penis yang

berbentuk bulir (derat), diusahakan agar jari-jari tangan berada diantara lekukan

bulir-bulir tersebut dan gland penis berada d iluar genggaman. Kemudian

dilakukan pijatan-pijatan untuk merangsang pengeluaran semen. Apabila semen

telah diejakulasikan, cairan bening (plasma semen) yang pertama kali keluar dari

penis dibuang karena selain tidak mengandung spermatozoa kemungkinan juga

mengandung bibit penyakit. Penampungan baru dilakukan ketika keluar cairan

keruh berwarna putih. Alat penampungan dipakai glass yang permukaannya

ditutup dengan alat saring berupa kain kasa yang bersih. Penampungan semen

dilakukan sampai babi tidak mengeluarkan semen lagi dan babi menarik penisnya

Page 143: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [135]

ke dalam serta turun dari induk buatan.

Membuat Bahan Pengencer

a. Membuat Larutan Penyanggah

Larutan penyanggah dibuat dengan cara menimbang 2,9 g Natrium Sitrat

selanjutnya dilarutkan dengan 100 ml aquades kemudian dipanaskan sampai

1000C sehingga larutan terlihat jernih, selanjutnya didinginkan sampai mencapai

suhu kamar.

b. Membuat Bahan Pengencer Sari Buah

Sehari sebelum penelitian alat-alat yang akan dipergunakan dalam

penelitian ini seperti beaker glass, tabung reaksi, pipet, Erlenmeyer, gelas ukur

disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 1200C selama 30 menit.

Buah tomat, buah pepayadan buah melon yang sudah matang kulitnya dikupas

lalu dihaluskan dengan juicer kemudian disaring dengan kasa steril dan

dimasukkan ke dalam beaker glass (Narayana, 2004), selanjutnya sari buah

tersebut disimpan dalam refrigerator sebelum digunakan. Setelah larutan

penyanggah siap maka sari buah tersebut didiamkan selama beberapa menit agar

tidak menggumpal, kemudian sari buah digoyang-goyang secara perlahan agar

sari buah tercampur dengan rata (homogen). Selanjutnya dibuat larutan sari buah

sitrat dengan perbandingan 1 : 4. Dalam penelitian ini 4 ml sari buah ditambahkan

16 ml larutan penyanggah. Kedalam masing-masing bahan pengecer ditambahan

0,008 g streptomycin (Wahyuni, 2002).

c. Pengenceran Semen

Semen babi yang sudah dperiksa secara makroskopis dan mikroskopis

kemudian diberibahan pengencer sari buah tomat, sari buah papaya dan sari buah

melon dengan perbandingan 1 : 4. Dalam penelitian ini 16 ml bahan pengencer

ditambahkan ke dalam 4 ml semen. Semen babi yang telah diencerkan disimpan

dalam refrigerator dengan suhu 12-140C, kemudian diperiksa lagi secara

mikroskopis terutama mengenai persentase spermatozoa hidup dan daya tahan

hidup spermatozoa. Pengamatan selanjutnya dilakukan setiap 6 jam sekali.

Variabel yang Diamati

Warna Semen

Warna semen dalam penelitian ini dapat dilihat secara langsung pada gelas

Page 144: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [136]

penampung semen setelah semen ditampung.

Bau Semen

Bau semen babi dapat ditentukan dengan cara mencium secara langsung

aroma dari semen tersebut setelah penampungan.

Derajat Keasaman (pH) Semen

Derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan kertas lakmus. Kertas

lakmus dibasahi dengan sedikit semen dan didiamkan sesaat. Perubahan warna

yang terjadi dicocokkan dengan warna standard yang tersedia.

Derajat Kekentalan Semen

Derajat kekentalan (konsistensi) semen diukur dengan cara menggoyang-

goyang wadah penampung semen secara perlahan-lahan.

Gerakan Massa

Gerakan massa semen dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop.

Mula-mula tabung berisi semen yang baru ditampung digoyang-goyangkan

dengan hati-hati agar homogen.Kemudian semen diambil dengan pipet steril dan

ditaruh pada objek glass lalu ditutup dengan cover glass. Selanjutnya dilihat di

bawah mikroskop dan diamati dengan pembesaran 10 × 10 dan cahaya dikurangi,

setelah itu akan terlihat gelombang-gelombang. Penilaian gerakan massa menurut

Toelihere (1993) adalah sebagai berikut; (a). penilaian (+++) artinya kualitas

semen sangat baik dengan ciri-ciriterlihat gelombang besar, banyak, gelap, tebal

dan aktif bagaikan gumpalan awan hitam yang bergerak cepat, (b). penilaian (++)

artinya kualitas semen baik dengan cirri-ciri gelombang kecil,tipis, jarang, kurang

jelas, bergerak lambat, (c). penilaian (+) artinya kualitas semen lumayan dengan

cirri-ciri tidak terlihat gelombang melainkan hanya gerakan-gerakan individual

aktif progresif, (d). penilaian (0) artinya kualitas semen buruk atau tidak ada

gerakan-gerakan individual.

Gerakan Individu

Gerakan individu dapat dilihat di bawah mikroskop pembesaran 45 × 10

pada selapis tipis semen diatas objek glass yang ditutup dengan cover glass akan

terlihat gerakan-gerakan individu spermatozoa. Gerakan individual yang diamati

adalah gerakan progresif yaitu gerakan sperma aktif maju ke depan.

Menghitung Konsentrasi Spermatosoa

Page 145: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [137]

Untuk menghitung konsentrasi spermatozoa menggunakan alat

haemocytometer dan pengamatan dilakukan di bawah mikroskop. Semen diambil

sebanyak 2 tetes ke dalam tabung reaksi berukuran kecil. Selanjutnya ke dalam

tabung reaksi tersebut ditambahkan NaCl 3% sebanyak 10 tetes dan

dihomogenkan dengan cara diaduk dengan batang pengaduk. Kemudian semen

tersebut diteteskan pada objek glass haemocytometer tepat pada bagian tepi glass

penutupnya sehingga larutan menyebar keseluruh bagian atas penutup.

Selanjutnya dilakukan penghitungan dengan menghitung jumlah spermatozoa

pada lima kotak dari 25 kotak yang ada yaitu empat kotak di setiap sudut dan satu

kotak ditengah dengan pembesaran 10 × 45. Kepala spermatozoa yang ada pada

garis sisi kiri dan atas dihitung meskipun ekornya berada diluar kotak, sedangkan

kepala spermatozoa pada garis bawah dan kanan tidak dihitung. Jika spermatozoa

dalam kelima kotak tersebut adalah X, maka konsentrasi spermatozoa

dikemukakan dengan rumus adalah X/80 × 4000000 × faktor pengenceran, yang

merupakan modifikasi dari cara penentuan konsentrasi spermatozoa sapi menurut

Toelihere (1993).

Cara Menghitung Spermatozoa Hidup dan Mati

Menghitung spermatozoa hidup dan mati dilakukan dengan pewarnaan

deferensial. Sedikit semen diambil dengan pipet steril dan ditaruh pada objek

glass. Setelah itu ditambahkan sedikit pewarna pada objek glass tersebut.

Kemudian diambil objek glass yang lain,lalu ditempelkan pada campuran itu

dengan posisi miring bersudut 300C, objek glass yang tidak berisi semen dan sat

warna selanjutnya ditarik kedepan dan didorong sepanjang objek glass yang

pertama untuk mendapatkan selapis semen yang telah diwarnai setipis mungkin.

Keringkan di atas api Bunsen dengan cara menggoyang-goyangkan. Setelah

kering dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 45 × 10. Spermatosoa

yang hidup tidak menyerap zat warna sedangkan sperma yang mati akan

menyerap sat warna karena permiabilitas dinding sel meningkat sewaktu mati.

Analisa Data

Data mengenai volume semen, gerakan massa, bau, warna, derajat

kekentalan dan pH semen dan gerakan individu dianalisis deskriptif. Persentase

Page 146: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [138]

spermatozoa yang hidup dianalisis dengan sidik ragam tersarang. Sedangkan daya

hidup spermatozoa dan konsentrasi spermatozoa dianalisis dengan analisis sidik

ragam, jika hasil yang diperoleh berbeda sangat nyata (P<0,01) maka dilanjutkan

dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Steel dan Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Sebelum semen babi diberi perlakuan maka dilakukan pemeriksaan secara

makroskopis dan mikroskopis yang meliputi volume, warna, bau, gerakan massa,

pH, konsistensi semen dan konsentrasi spermatozoa.

Volume, Derajat Keasaman (pH), Warna, Konsistensi Semen dan

Konsentrasi Spermatozoa

Dalam penelitian ini didapatkan rataan volume semen babi Hampshire

adalah 242 ± 38,98 ml, dengan derajat keasaman (pH) semen babi adalah 7.

Konsistensi atau derajat kekentalan semen babi Hampshire yang diperoleh dari

hasil pengamatan setiap pengambilan semen termasuk kategori encer (Tabel 1)

Tabel 1. Pengamatan Semen Babi Hampshire

Parameter yang diamati Rataan

Volume (ml)

Konsentrasi (× 106 / ml)

Derajat keasaman (pH)

Warna

Bau

Konsistensi

Gerakan massa

242 ± 38,98

63,28 ± 2,6

7

Putih keabuan

Khas semen babi

Encer

++ (baik)

Rataan konsentrasi semen babi Hampshire adalah 63,28 ± × 106 / ml.

Warna semen babi sebelum diencerkan adalah putih keabuan dan untuk gerakan

massa semen babi sebelum pengenceran adalah ++, dimana nilai ++ pada semen

babi menurut Toelihere (1993) termasuk katagore baik (Tabel 1).

Derajat Keasaman, Konsentrasi setelah Semen Diencerkan dan Daya Tahan

Hidup Spermatozoa Semen Babi Hampshire

Hasil pemeriksaan semen babi Hampshire yang sudah diencerkan dengan

bahan pengencer sari buah papaya, sari buah tomat, dan sari buah melon dapat

dilihat pada Tabel 2. Derajat keasaman (pH) semen setelah ditambah dengan

Page 147: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [139]

bahan pengencer sari buah pepaya, sari buah tomat, dan sari buah melon adalah 7

(pH) awal, demikian pula derajat keasaman (pH) semen yang diencerkan dengan

bahan pengencer sari buah pepaya, sari buah tomat dan sari buah melon setelah

spermatozoa mati (pH) akhir adalah 7 (Tabel 2).

Konsentrasi semen babi Hampshire yang diencerkan dengan sari buah

papaya adalah 52,8 × 106 / ml. Semen yang diencerkan dengan bahan pengencer

sari buah tomat dan bahan pengencer sari buah melon masing-masing memiliki

konsentrasi sebesar 54,2 × 106 / ml dan 52,4 × 106/ ml. Hasil ini secara statistik

menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05) Tabel 2.

Daya tahan hidup spermatozoa babi Hampshire pada masing-masing

bahan pengencer adalah 6,6 jam pada bahan pengencer sari buah pepaya

(perlakuan A), 19,8 jam pada bahan pengencer sari buah tomat (perlakuan B) dan

untuk semen yang diberi bahan pengencer sari buah melon (perlakuan C)

memiliki daya tahan hidup selama 13,4 jam. Hasil ini secara statistik berbeda

sangat nyata (P<0,01) (Table 2).

Persentase hidup spermatozoa babi Hampshire pada awal pengenceran

(jam ke-0) yang didapatkan pada penelitian ini pada masing-masing bahan

pengencer adalah 79,21% pada bahan pengencer sari buah pepaya (perlakuan A),

bahan pengencer sari buah tomat (perlakuan B) sebesar 85,22% dan pada bahan

pengencer sari buah melon (perlakuan C) sebesar 78,95%. Secara statistic

menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05).

Tabel 2. Kualitas Semen Babi Hampshire yang Diencerkan dengan Sari Buah Pepaya, Sari Buah

Tomat dan Sari Buah Melon

Parameter yang diamati

Perlakuan

A B C SEM

pH campuran awal

pH campuran akhir

Konsentrasi (× 106/ml)

Daya tahan hidup (jam)

Persentase hidup jam ke-0

Persentase hidup 6 jam I

Persentase hidup 6 jam II

Persentase hidup 6 jam III

7

7

52,8a

6,6a

79,21a

46,52a

-

-

7

7

54,2a

19,8b

85,22a

70,76b

57,04

35,71

7

7

52,4a

13,4c

78,95a

34,79a

33,49

-

-

-

1,29

0,69

1,46

5,36

-

-

Keterangan: Perlakuan A: Semen diencerkan dengan sari buah papaya

Perlakuan B: Semen diencerkan dengan sari buah tomat

Perlakuan C : Semen diencerkan dengan sari buah melon

Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05)

Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Pada pengamatan 6 jam I rataan persentase hidup semen babi Hampshire

Page 148: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [140]

yang diencerkan dengan sari buah papaya (perlakuan A) adalah 46,52%, sari buah

tomat (perlakuan B) adalah 70,76% dan sari buah melon (perlakuan C) adalah

34,79%. Hasil ini secara statistic\k menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

(Tabel 2).

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini volume semen babi Hampshire didapatkan rata-

rata sebesar 242 ml. Menurut Ax et al. (2000) volume semen babi normal berkisar

antara 240-250 ml. Sedangkan Toelihere (1993) mendapatkan volume semen

babi berkisar antara 125-500 ml.

Derajat keasaman (pH) semen babi Hampshire pada penelitian ini adalah 7.

Derajat keasaman pada semen babi yang diencerkan dengan bahan pengencer sari

buah pepaya, sari buah tomat dan sari buah melon yaitu 7. Hasilyang diperoleh

sama dengan penelitian Narayana (2004) yang mendapat derajat keasaman (pH)

semen babi Landrace adalah 7. pH semen babi yang normal berkisar antara 7-8

(Toelihere, 1993). Untuk mencegah penurunan derajat keasaman (pH) semen

maka kedalam bahan pengencer perlu ditambahkan lautan penyanggah atau buffer.

Warna semen babi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah putih

keabuan. Warna tersebut pada semen babi termasuk warna yang normal, hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suyadnya (2005) bahwa semen babi

berwarna putih.

Gerakan massa semen babi dalampenelitian ini adalah ++ (baik). Gerakan

massa dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi semen (Djanuar, 1985).

Menurut Toelihere (1993) gerakan massa ++ (baik) menunjukkan kualitas

semidensum dimana konsentrasi sperma berkisar 500-1000 juta sel per milliliter

semen.

Konsistensi atau derajat kekentalan semen babi yang didapat dari

penelitian ini adalah encer. Sesuai dengan pernyataan Toelihere (1993) yang

menyatakan bahwa konsistensi dari semen babi adalah cukup encer. Konsistensi

semen babi setelah diencerkan dengan bahan pengencer sari buah papaya, sari

buah tomat dan saribuah melon adalah encer, oleh karena itu berbeda halnya

dengan semen sapi maka pada semen babi tingkat pengencerannya adalah lebih

rendah dibandingkan dengan semen sapi.

Page 149: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [141]

Konsentrasi semen babi sebelum diencerkan yang didapat dalam penelitian

ini rata-rata 63,28 × 106/ml. Konsentrasi semen babi yang diencerkan dengan

bahan pengencer dari sari buah papaya (perlakuan A) adalah 52,8 × 106/ml dan

dengan bahan pengencer dari sari buah tomat (perlakuan B) 54,2 × 106/ml,

sedangkan untuk bahan pengencer dari sari buah melon (perlakuan C) 52,4 ×

106/ml. Wirtha at al. (2003) dalam penelitian pada semen babi Landrace

mendapatkan konsentrasi sebesar 678,75 × 106/ml. Menurut Toelihere (1993)

konsentrasi semen babi berkisar antara 25-1000 (juta/ml). Konsentrasi semen babi

menurut Yusuf (2003) adalah 50-200 juta/ml.

Daya tahan hidup spermatozoa semen babi yang diencerkan dengan bahan

pengencer dari sari buah tomat (perlakuan B) 13,2 jam lebih lama dibandingkan

dengan bahan pengencer sari buah pepaya (perlakuan A) dan 6,4 jamlebih lama

dibandingkan dengan bahan pengencer sari buah melon (perlakuan C). Daya

hidup spermatozoa yang diencerkan dengan bahan pengencer sari buah melon

(perlakuan C) 6,8 jam lebih lama dari sari buah pepaya (perlakuan A).

Rataan persentase spermatozoa yang hidup pada pengencer sari buah

tomat (perlakuan B) lebih tinggi dari pengencer sari buah pepaya (perlakuan A)

dan sari buah melon (perlakuan C), masing-masing 2,45% dan 2,58% pada

pengamatan jam ke-0. Secara statistik antar perlakuan pengencer menunjukkan

berbeda tidak nyata (P>0,05). Persentase hidup 6 jam I pada perlakuan B

menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan

perlakuan C. Pada 6 jam II perlakuan A sudah mati dan 6 jam III hanya perlakuan

B yang masih hidup.

Daya tahan hidup dan persentase hidup spermatozoa pada semen yang

diencerkan dengan bahan pengencer sari buah tomat lebih lama dibandingkan

dengan semen yang diencerkan dengan bahan pengencer sari buah papaya dan sari

buah melon, hal ini disebabkan karena bahan pengencer sari buah tomat

(perlakuan B) memiliki kandungan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh

spermatozoa antara lain karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin. Untuk bahan

pengencer sari buah pepaya (perlakuan A) dan bahan pengencer sari buah melon

(perlakuan C) kandungan sat-sat makanan untuk spermatozoa hanya terdiri dari

karbohidrat, protein dan vitamin. Sari buah tomat memiliki kandungan lemak,

Page 150: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [142]

protein dan vitamin C yang lebih banyak dari bahan pengencer sari buah pepaya

dan sari buah melon.

Menurut Susilowati at al. (1989) komponen lemak dan protein yang ada

pada buah dimanfaatkan untuk pembentukan lipoprotein yang sangat berguna

dalam melindungi spermatozoa sehingga membran sel menjadi lebih kuat

terhadap gangguan perubahan suhu lingkungan. Kandungan karbohidrat yang ada

pada setiap komponen sari buah tersebut berfungsi untuk sumber energy untuk

kehidupan spermatozoa. Vitamin C yang ada pada setiap sari buah tersebut

menurur Yulnawati (2002) berfungsi sebagai antioksidan yang akan mengikat

radikal bebas yang dapat merusak keutuhan membrane yang terbentuk sebagai

hasil metabolisme spermatozoa selama penyimpanan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Daya tahan hidup spermatozoa semen babi Hampshire pada bahan pengencer

sari buah tomat menunjukkan hasil yang paling lama bila dibandingkan

dengan semen yang diencerkan dengan bahan pengencer sari buah melon dan

sari buah pepaya.

2. Persentase hidup spermatozoa yang diencerkan dengan bahan pengencer sari

buah tomat pada pengamatan 6 jam I masih tinggi, sedangkan pada bahan

pengencer sari buah melon dan pepaya persentase hidupnya adalah rendah.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut untuk menguji fertilitas semen yang

diencerkan dengan bahan pengencer sari buah tomat yaitu dengan melakukan

Inseminasi Buatan untuk melihat litter sise yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2002. Beternak babi. Kanisius. Yogyakarta

Dinas Peternakan Propinsi Bali. 2005. Laporan survey Ketersediaan Kebutuhan

Daging di Provinsi Bali Tahun 2004 dan Tahun 2005.

Djanuar, R. G. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi.

Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Narayana, I Kt Gd. 2004. Kemampuan Pengenceran Semen Babi dengan Ekstrak

Page 151: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [143]

Buah Tomat dalam Mempertahankan Kualitas Semen dan Jumlah Anak

yang Dilahirkan pada Babi Landrace. Program Pasca Sarjana Universitas

Udayana, Bali.

Parakkasi, A. 1990. Ilmu dan Gisi Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa.

Bandung.

Steel, R. G. D.and J. M.Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu

Pendekatan Biometrik. Penerjemah Bambang.S. Edisi ke-2 PT. Gramedia

Jakarta.

Susilowati, S. T. Hernawati dan Soehartojo. 1989. Sari Buah sebagai Diluter Air

Mani Domba (Suatu Study Pendahuluan). Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga. Surabaya.

Suyadnya, I Pt. 2005. Inseminasi Buatan pada Ternak Babi. Makalah Pelatihan

Inseminasi Buatan Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.

Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Cetakan ke-III. Angkasa.

Bandung.

Trisnawati, Y. dan A. I. Setiawan. 1994. Tomat Pembudidayaan secara Komersial.

PS. Jakarta.

Wahyuni, Ni Kt. 2002. Pengaruh Pengenceran Sitrat Kuning Telur Ayam

Kampung terhadap Daya Hidup Spermatosoa Kambing Peranakan Etawa

(FE). Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar.

Wirtha, W. D. K. Harya Putra dan N.M. Sukreni. 2003. Pengaruh Kadar

Pengenceran Air Kelapa dan Suhu Penyimpanan terhadap Daya Simpan

Semen Babi Landrace. Majalah Ilmiah Peternakan Universitas Udayana.

Volume 6, No. 3.

Yulnawati. 2002. Pemanfaatan Sari Buah Melon dan Sari Wortel sebagai

Pengencer Aternatif Semen Domba Garut. Skripsi Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor.

Yusuf, L. Tuty. 2003. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Babi.

Makalah Pelatihan Inseminasi Buatan pada Ternak Babi PUSPITNAK.

Direktoran Jendral Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian Bali.

Page 152: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [144]

POTENSI AMPAS SAGU SEBAGAI PAKAN BABI

Tabita N Ralahalu

2.

NUTRISI TERNAK

BABI

Page 153: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [145]

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Ampas sagu adalah limbah yang diperoleh dari proses pengolahan batang sagu

menjadi tepung sagu dan banyak dijumpai di daerah penghasil sagu (Metroxylon

spp). Dalam satu hektar lahan sagu diperoleh 20pohon sagu masak tebang dengan

berat rata-rata per pohon adalah 220 kg. Perbandingan tepung sagu dan ampas

sagu adalah 1 : 6. Pati yang terdapat dalam ampas sagu masih cukup tinggi, yaitu

52,98% sehingga dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber energi.

Penggunaan ampas sagu sebagai pakan didasari oleh beberapa hal, yaitu hasil

penelitian tentang ampas sagu dalam ransum memberikan kontribusi terhadap

pertumbuhan ternak maupun hewan percobaan, penggunaan ampas sagu sebagai

pakan dapat mengurangi penggunaan jagung dan dedak padi, dan program

diversifikasi pangan terutama pangan sumber karbohidrat. Pakan lokal ampas

sagu, dapat digunakan sebagai sumber energi dalam ransum babi. Untuk

mendapatkan PBB babi yang baik ampas sagu dapat digunakan sampai 22,5%

sedangkan ampas sagu fermentasi pemberiannya sampai taraf 15%. Selain itu

ampas sagu berpotensi menurunkan total kolesterol darah. Disimpulkan bahwa

pemanfaatan ampas sagu sebagai bahan pakan lokal sumber energi dapat

ditingkatkan terutama di daerah penghasil sagu.

Kata kunci: potensi, ampas sagu, pakan

THE POTENCY OF SAGO BY-PRODUCT AS SWINE FEEDSTUFF

ABSTRACT

Sago by-productis a by-product yielding from sago stem processing to get sago

mash, and it can be found abundantly in the producing sago (Metroxylon spp) area.

In one Ha sago plant area, twenty trees of sago are ready to be harvested with

average weight of sago mash for each tree is 220 kg. Rasio of sago mash and its

by-product is 1 : 6. Starch contains in sago by-product is 52.98%, so it can be

used as source of energy. However, it contains low crude protein and high fibre.

Using sago by-product as feedstuff is base on several factors, namely research

reviews about using sago by-product in the ration on growth of animals, using

sago by-product as feedstuff can reduce the use of corn and rice by-product, and

food divercification programs particularly carbohydrate source. Local feedstuff,

sago by-product can be used as source of energy in swine ration. To reach

optimum live weight gain, sago by-product and fermented sago by-product can be

used up to 22.5%, and15%, respectively. In addition, sago by-product can reduce

total blood cholesterol.It can be concluded that the use of sago by-product as local

feedstuff source of energy need to be improved particularly in producing sago

area.

Key words: potency, sago by-product, feedstuff

PENDAHULUAN

Page 154: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [146]

Pertumbuhan dan produksi ternak sangat dipengaruhi oleh ransum yang

diberikan. Disisi lain, biaya terbesar dari suatu usaha peternakan adalah biaya

pengeluaran untuk ransum daripada biaya produksi lainnya. Khususnya ternak

babi, biaya pengeluaran untuk ransum berkisar antara 55-85% (Parakkasi, 1980)

dari seluruh pengeluaran usaha. Kisaran ini tergantung kepada harga ransum, dan

hal lain dimana usaha tersebut dilaksanakan. Mahalnya harga ransum komersial,

membuat peternak babi berusaha memberikan ransum dengan ramuan mereka

sendiri agar usaha yang mereka tekuni dapat tetap dipertahankan. Walaupun

disadari seringkali ramuan/formula yang dibuat peternak tidak konsisten, karena

kurangnya biaya dan masih rendahnya skill dan pengetahuan yang dimiliki

peternak tentang bahan pakan.

Sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian

penduduk diwilayah Indonesia bagian Timur terutama Maluku dan Papua.

Walaupun kenyataannya fungsi sagu sebagai sumber karbohidrat sudah digantikan

oleh nasi, sagu masih tetap dikonsumsi oleh penduduk pada ke dua daerah

tersebut.

Daerah-daerah yang merupakan kawasan sagu adalah Papua, Maluku,

Maluku Utara, dan Sulawesi (lokasi tertentu), Kalimantan terutama Kalimantan

Barat, Sumatra terutama Riau, Kepulauan Nias dan Mentawai. Di Pulau Jawa,

sagu ditemukan secara terbatas di Banten, Sukabumi, Bogor dan beberapa lokasi

sepanjang pantai utara. Di daerah Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat,

Maluku Barat Daya, Bali, Nusa Tenggara dan Timor sagu ditemukan sangat

sedikit atau tidak ada. Sagu dikenal dengan banyak nama, sesuai nama lokal

daerah masing-masing, seperti rumbia di Minangkabau; bulung, kresula, bulu,

rembulung, atau resula di Jawa Tengah; kirai di Jawa Barat; bhulung di Madura;

ambulung di Bali; rambia atau hambia di Sangir Thalaud; tumba di Gorontalo;

Pantaworo di Toli-toli-Sulawesi Tengah; Pogalu atau tabaro di Toraja-Sulawesi

Selatan; tawaro di Makassar dan kendari; lapia atau napia di Ambon; tumba di

Gorontalo; Pogalu atau tabaro di Toraja;danrambiamatau rabi di Kepulauan Aru.

Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon,

berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau

empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Pada umumnya dikenal lima jenis

Page 155: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [147]

sagu di Maluku, yakni: sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur

(Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart),

sagu Duri Rotan (Metroxylon microcanthum Mart) merupakan sagu berduri dan

satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb)

(Louhenapessy 2006).

Ampas sagu diperoleh dari proses ekstraksi pati, yaitu pemisahan pati dari

empulur batang sagu dengan bantuan air. Proses penghancuran empulur ini di

Maluku dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur dengan

menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran empulur

dengan menggunakan mesin).

Limbah berupa ampas sagu yang diperoleh dari proses pengolahan sagu,

banyak dijumpai di daerah penghasil sagu (Metroxylon spp). Kondisi ini

menggambarkan potensi produksi ampas sagu di daerah kawasan sagu dalam

jumlah yang cukup banyak sehingga pemanfaatannya sebagai pakan ternak tidak

menjadi kendala. Limbah tersebut selain dapat dimanfaatkan sebagai pakan

ternak juga dapat dibuat produk seperti campuran briket arang dan campuran

papan partikel, media jamur, serta media pembuatan kompos. Kebiasaan

masyarakat peternak di daerah Maluku dalam memanfaatkan ampas sagu sebagai

pakan ternak telah dilakukan sejak dahulu. Hal ini dikarenakan sebagai limbah,

ampas sagu masih mengandung nutrien terutama pati. Namun, pemanfaatannya

hanya dijumpai pada peternakan yang berdekatan dengan tempat pengolahan

sagu atau dengan membiarkan ternak memperolehnya secara langsung di tempat

penumpukan ampas sagu. Kondisi ini menggambarkan pemanfaatan ampas sagu

sebagai pakan alternatif sumber energi oleh peternak sampai saat ini belum

banyak dilakukan. Jarak lokasi pengolahan tepung sagu dan peternakan babi yang

berjauhan merupakan salah satu penyebab. Selain itu ketersediaan bahan pakan

sumber energi konvensional seperti jagung, dedak padi dan bahan pakan lainnya

sampai saat ini belum menjadi kendala. Keadaan ini menyebabkan peternak hanya

bergantung pada bahan-bahan tersebut. Kenyataan ini akan memberikan dampak

yang kurang baik, terutama pada saat harga jagung meningkat.

Pada kondisi seperti ini, peternak cenderung memberikan ransum dengan

komposisi bahan pakan yang rendah proporsi jagung. Padahal diketahui dalam

Page 156: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [148]

penyusunan ransum, jagung merupakan bahan pakan yang digunakan dalam

proporsi yang tinggi, disebabkan kadar energi metabolis yang dimiliki jagung

sangat tinggi, yaitu 3327 kkal/kg. Tidak ada yang salah dalam pengurangan

jumlah/proporsi penggunaan jagung sebagai sumber energi dalam ransum, namun

kecenderungan ini sebaiknya terjadi, jika tersedia bahan pakan lain sebagai

sumber energi yang dapat digunakan dalam penyusunan ransum sehingga

kebutuhan energi ternak dapat terpenuhi. Konsekwensi dari pengurangan

penggunaan jagung dalam ransum yang diikuti dengan terbatasnya penggunaan

bahan pakan lain sebagai sumber energi dapat menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan dan produksi ternak. Manfaat dari penggunaan ampas sagu sebagai

pakan adalah mengurangi pencermaran lingkungan di sekitar daerah pemrosesan

tepung sagu terutama di daerah aliran sungai.

Berdasarkan fakta yang dikemukakan, maka penulis tertarik untuk

mengkaji masalah ampas sagu sebagai pakan babi sebagai upaya untuk

mengurangi penggunaan bahan pakan sumber energi sekaligus sebagai

diversifikasi pakan sumber energi dalam ransum.

DASAR PEMIKIRAN

Memanfaatkan ampas sagu sebagai pakan substitusi/alternatif babi terutama

pada daerah penghasil tumbuhan sagu, didasarkan pada beberapa permasalahan

pokok, yaitu 1). Aspek ketersediaan: ketersediaanampas sagu ditinjau dari potensi

produksi maupun nutrien terutama kadar pati yang masih tinggi dan sampai saat

ini belum banyak dimanfaatkan oleh peternak terutama di daerah penghasil tepung

sagu;2). Hasil penelitian pemanfaatan ampas sagu dalam ransum babi yang belum

diaplikasikan; 3). Aspek manfaat: belum dimanfaatkannya ampas sagu dalam

ransum babi sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan bahan pakan energi

lain; dan 4). Belum dimanfaatkannya ampas sagu sebagai pakan dari kegiatan

program diversifikasi pangan sumber karbohidrat.

PEMBAHASAN

Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat esensial untuk ternak dapat

bertumbuh dan berproduksi dengan baik dalam rangka mempersiapkan pangan

yang baik untuk dikonsumsi. Dengan demikian fungsi pakanbagi ternak adalah

Page 157: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [149]

mensuplai nutrien sehingga fungsi-fungsi fisiologis dalam tubuh dapat berjalan

dengan normal. Suatu bahan dapat dijadikan pakan jika bahan tersebut memenuhi

syarat, yakni tidak beracun, mengandung nutrien, mudah diperoleh, mudah diolah,

harga murah, tersedia setiap saat, tidak kompetitif dengan kebutuhan manusia.

Umumnya pemanfaatan bahan limbah mempunyai keuntungan, yakni

mengurangi pencemaran lingkungan, menambah pendapatan bagi petani

peternakdan mengatasi permasalahan ketersediaan pakan. Bahan pakan

konvensional seperti jagung kuning biasanya digunakan pada setiap daerah

sebagai bahan pakan sumber energi. Namun bahan pakan ini dalam kebutuhannya,

kompetetif dengan manusia sehingga tidaklah heran jika harga jagung kuning di

beberapa daerah tertentu menjadi mahal. Ketersediaan ampas sagu sebagai hasil

dari proses pengolahan sagu, membuka peluang bagi peternak terutama di daerah

penghasil sagu untuk memanfaatkannya secara baik sebagai bahan pakan

alternatif sumber energi. Namun hal ini belum juga terlaksana, disebabkan jarak

lokasi tempat pengolahan sagu dan usaha peternakan yang berjauhan.

Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke

waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku

(provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha

(Balitbanghut 2005). Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku

diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan

sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu

di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20

pohon/ha (Louhenapessy 1988). Perbandingan ampas sagu yang dihasilkan dalam

proses pengolahan tepung sagu adalah 1 : 6 (Rumalatu 1981), artinya jika

produksi tepung sagu dari satu pohon sagu masak tebang seberat 220 kg dapat

diperoleh 1320 kg ampas sagu (berat basah) atau 396 kg ampas sagu kering.

Menurut Louhenapessy (1988) dalam satu hektar lahan tumbuhan sagu

diperoleh 20pohon sagu masak tebang. Jika masing-masing pohon mempunyai

berat rata-rata 220 kg, maka akan menghasilkan 26400 kg ampas sagu basah atau

7920 kg ampas sagu kering. Jumlah tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan

sebagai pakan ternak. Jika satu ton ampas sagu, dengan taraf pemberian 20%

ampas sagu dalam ransum, dapat memenuhi kebutuhan 10 ekor babi sedang

Page 158: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [150]

tumbuh (2,5-5 bulan) sampai penggemukan (5-9 bulan).

Kandungan energi yang terdapat dalam ampas sagu cukup tinggi, hal ini

dengan adanya pati dalam ampas sagu yang masih cukup tinggi, yaitu 52,98%

(Ralahalu, 2012). Mengacu pada kadar pati, penggunaan ampas sagu dalam

ransum dapat mengurangi penggunaan bahan makanan sumber energi lain seperti

jagung yang sampai saat ini masih kompetitif dengan kebutuhan manusia dan

proporsi penggunaannya dalam ransum lebih tinggi daripada bahan pakan lain.

Selain kadar energi ampas sagu yang cukup tinggi, kadar nutrien ampas

sagu yang lain seperti protein kasar sangat rendah (1,73%), sebaliknya kadar serat

kasarnya tinggi. Kadar serat kasar ampas sagu bervariasi dari 11,02 sampai

dengan 27,08% dan kadar selulosa adalah 21,62 sampai dengan 23,92%. Kondisi

inilah yang menyebabkan kualitas ampas sagu dinilai rendah. Namun keberadaan

selulosa dalam ampas sagu menjadi penting karena berpotensi menurunkan kadar

kolesterol. Rendahnya kualitas ampas sagu, menyebabkan perlu dilakukan proses

pengolahan untuk meningkatkan kualitas ampas sagu. Sentuhan teknologi yang

dapat dilakukan sebagai upaya pengolahan untuk meningkatkan kualitas nutrien

dari ampas sagu adalah pengolahan biologis.

Mahalnya harga pakan ataupun ransum mendorong dilakukannya

berbagai usaha untuk mencari bahan pakan lain untuk dijadikan sebagai makanan

ternak. Usaha tersebut terutama diarahkan pada bahan lokal spesifik daerah,

khususnya limbah hasil ikutan. Di daerah Maluku, ampas sagu merupakan salah

satu bahan lokal yang dapat dijadikan sebagai pakan. Hal ini didukung dengan

berbagai penelitian yang telah dilakukan baik pada hewan percobaan tikus putih

(Rattus novergicus) ternak ayam, babi dan sapi. Hasil penelitian penggunaan

ampas sagu dalam ransum babi memberikan pertambahan berat badan yang baik

(Tabel 1).

Tabel 1. Pertambahan Berat Badan (gram/ekor/hari) Babi yang DiberiAmpas Sagu pada Taraf

yang Berbeda

Ampas sagu R0 7,5% 15% 22,5%

741 746 705 694

Ampas sagu fermentasi

772 760 704 507

Sumber : Ralahalu (1998)

Penggunaan ampas sagu sebagai pakan dalam ransum babi pada taraf

Page 159: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [151]

pemberian tertentu ternyata memberikan hasil pertambahan berat badan babi yang

baik. Terlihat pada hasil penelitian Ralahalu (1998), untuk pertambahan berat

badan babi yang baik penggunaan ampas sagu (tanpa difermentasi) dalam ransum

babi fase grower masih dapat diberikan sampai taraf 22,5%, sedangkan untuk

ampas sagu fermentasi (ASF) pemberiannya dalam ransum cukup sampai taraf

15%. Hal ini disebabkan ransum yang diberi 22,5% ASF mempunyai aroma

fermentasi yang lebih dominan/kuat daripada ransum yang diberi ampas sagu <

22,5%, sehingga berdampak menurunkan pertambahan berat badan yang

disebabkan menurunnya jumlah konsumsi ransum. Ampas sagu bermanfaat

bukan saja sebagai sumber energi tetapi penggunaan ampas sagu juga dapat

digunakan sebagai sumber serat yang bertujuan untuk menurunkan kadar total

kolesterol darah. Hal ini terlihat pada penelitian penggunaan beberapa sumber

serat dalam ransum tikus putih ((Rattus novergicus) yang disajikan pada Tabel 2.

Kenyataannya, pemberian 20% ampas sagu tanpa difermentasi dalam ransum

tikus putih, menghasilkankan kadar total kolesterol darah yang lebih rendah

daripada tikus putih yang menerima sumber serat yang lain pada taraf pemberian

10 dan 20%.

Tabel 2. Penggunaan Beberapa Sumber Serat Terhadap Kadar Total Kolesterol Darah Tikus

Putih ((Rattus novergicus)

Sumber: Ralahalu (2012)

Hasil penelitian ini menunjukkan, betapa ampas sagu sebagai limbah

bermanfaat bagi ternak. Namun, manfaat ini belum sepenuhnya diaplikasikan,

karena tidak terdapatnya ampas sagu siap pakai dipasaran, layaknya bahan pakan

lain.Kondisi ini sekaligus menggambarkan permasalahan pada penyediaan ampas

sagu. Fenomena ini pula yang membuat pemanfaatan ampas sagu sampai saat ini

hanya berorientasi pada kajian penelitian. Oleh sebab itu penggunaan ampas sagu

sudah saatnya di aplikasikan dalam pemberian ransum. Terkait dengan hal

Perlakuan Total Kolesterol Darah (mg/dl)

Sumber serat

Ransum kontrol 70,97a

10% ampas sagu 71,09a

20% ampas sagu 59,75b

10% limbah udang 70,70a

20% limbah udang 67,83ab

10% ampas sagu fermentasi 70,70a

20% ampas sagu fermentasi 62,80ab

Page 160: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [152]

tersebut, perlu adanya perhatian terutama dari pihak-pihak yang terkait untuk

melakukan terobosan dalam hal penyediaan ampas sagu baik diolah atau tanpa

diolah pada daerah penghasil tepung sagu sehingga mudah diperoleh peternak.

Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak sumber energi dari

beberapa penelitian terutama dalam ransum monogastrik (ayam dan babi) dapat

mengurangi penggunaan bahan pakan lain sumber energi, seperti jagung kuning

dan dedak padi yang dikenal sebagai bahan pakan sumber energi konvensional.

(Tabel 3).

Tabel 3. Penggunaan Ampas sagu Mengurangi Penggunaan Jagung dan Dedak Padi

Pada Babi Fase Grower* Ampas Sagu Tanpa Fermentasi (ASB)

R0 7,5% 15% 22,5%

Jagung (kg) 65,75 53,50 52,00 40,50

Dedak padi (kg) 7,00 7,75 1,00 0,50

Pada Ayam kampung

Fase Starter**

Ampas sagu Fermentasi (ASF)

R0 5% 10% 15%

Dedak padi (kg) 18,25 15,75 13,75 10,50

Ayam Kampung fase

Grower** 17,5 16,00 14,00 12,00

Dedak padi (kg)

Keterangan: *) Ralahalu (1998); **) Ralahalu, dkk., (2008)

Berkurangnya penggunaan jagung kuning atau dedak padi sekaligus dapat

mengurangi pengeluaran biaya untuk pengadaan bahan pakan tersebut yang secara

umum berpengaruh terhadap biaya ransum secara keseluruhan. Kondisi ini jelas

terlihat terutama di daerah-daerah yang ketersediaan jenis bahan pakan

konvensionalnya terbatas.

Kondisi seperti ini, memungkinkan penggunaan jagung kuning dalam

jumlah/proprsi yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan energi babi pada

phase hidup tertentu. Contoh, ransum babi fase grower tanpa menggunakan

ampas sagu dapat menggunakan jagung kuning sebanyak 65,75 kg. Harga 1 kg

tepung jagung kuning Rp. 1000 sehingga diperlukan biaya sebesar Rp. 65.750.

Jika pemberian ampas sagu dalam ransum tersebut sebanyak 15% atau 22,5%,

maka tepung jagung kuning yang digunakan berturut-turut 52 kg dengan harga Rp.

52.000 atau 40,50 kg dengan harga Rp. 40.500. Hal ini berarti penggunaan 15%

atau 22,5% ampas sagu dalam ransum menghemat Rp. 13.750 atau Rp. 25.250.

Demikian halnya untuk dedak padi pada ransum tersebut, digunakan 7 kg dengan

harga Rp. 7000 dan menjadi Rp. 1000 karena digunakan hanya 1 kg ketika

Page 161: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [153]

menggunakan 15% ampas sagu. Jika persentase ampas sagu 15% digunakan

dalam ransum untuk 25 ekor babi selama fase grower, maka biaya yang dapat

dihemat untuk pembelian jagung adalah Rp 386.720. Sebaliknya untuk

penggunaan ampas sagu sebanyak 22,5% dalam ransum, penghematan biaya

untuk pembelian jagung adalah sebesar Rp. 710.156. Uraian ini memberikan

motivasi bagi peternak agar dapat memanfaatkan ampas sagu,mengingat harga

bahan pakan sumber energi terus meningkat.

Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan sumber energi didukung juga

dengan dikeluarkannya undang-undang no.18 tahun 2012 tentang pangan yang

menetapkan penganekaragaman pangan berbasis pada potensi sumber daya lokal.

Hal ini berartiuntuk konsumsi karbohidrat tidak saja diperoleh dari beras, tetapi

dapat diperoleh dari pangan sumber karbohidrat lain seperti sagu dan umbi-

umbian. Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memperoleh

hasil bahwa sagu baik untuk kesehatan. Hal inilah yang menyebabkan sagu

kembali menjadi perhatian masyarakat Maluku untuk dikonsumsi, baik dalam

bentuk makanan ringan berupa kue, bagea, sagu tumbu, sagu dan papeda

sekaligus sebagai pangan khas asli daerah Maluku. Kondisi ini menjadikan pohon

sagu dipelihara untuk memproduksikan pati sagu sebagai bahan dasar kue, papeda

dan lain-lain. Kondisi ini membuka peluang untuk memanfaatkan limbah hasil

pengolahan tepung sagu sebagai pakan ternak.

Hal-hal teknis lain yang perlu diperhatikan, jika pemberian ampas sagu

diaplikasikan dalam ransum babi adalah pemberian ampas sagu dapat diberikan

dalam bentuk yang sudah diolah dengan teknologi fermentasi, hal ini

dimaksudkan untuk meningkatkan nutrien ampas sagu. Kapang yang dipakai

untuk fermentasi ampas sagu selama ini adalah Aspergillus niger dan Pleurotus

ostreatus.

Pemanfaatan ampas sagu dalam ransum dapat dilakukan dengan 3 cara,

yaitu dalam bentuk basah, bentuk kering tanpa diolah dan bentuk kering yang

telah diolah dengan teknologi fermentasi. Pemanfaatan ampas sagu dalam bentuk

basah memiliki kelebihan seperti menghemat tenaga dan waktu sedangkan

kekurangannya, ampas sagu cepat menjadi rusak sehingga pemberiannya harus

selalu barusetiap hari. Sebaliknya pemberian ampas sagu kering memiliki

Page 162: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [154]

kelebihan, dapat disimpan lama sedangkan kekurangannya, membutuhkan tenaga,

waktu dan biaya walaupun hanya sedikit. Untuk pemanfaatan ampas sagu yang

diolah, kelebihannya yakni kualitas nutrien menjadi lebih baik dengan adanya

kadar protein kasar yang meningkat,sedangkankekurangannya adalah

membutuhkan tenaga, waktu dan biaya. Pemanfaatan ampas sagu menjadi lebih

baik, jika ransum yang menggunakan ampas sagu dibuat pellet. Hal ini untuk

menghindari nutrien pakan yang tidak dikonsumsi dan akan berdampak pada

objek pengamatan, misalnya pertambahan berat badan.

Berdasarkan hasil penelitian, ampas sagu maupun ampas sagu yang diolah

dengan menggunakan teknologi pengolahan biologis (fermentasi) dapat

dimanfaatkan sebagai pakan dengan memperhatikan tujuan pemberiannya apakah

sebagai sumber energi atau sebagai sumber serat dan persentase pemberian ampas

sagu yaitu apakah pemberiannya hanya berupa serbuk ampas sagu atau kombinasi

serbuk ampas sagu dan serat empulur.

Penggunaan ampas sagu dalam ransum bukan saja sebagai upaya untuk

memperoleh pakan lokal atau menambah jenis bahan pakan tetapi memberikan

manfaat positif, yaitu memanfaatkan yang terbuang menjadi sesuatu yang bernilai.

SIMPULAN

Berdasarkan beberapa aspek yang melandasi dasar pemikiran dan

pembahasan, maka dikemukakan beberapa kesimpulan untuk mengusahakan dan

mengembangkan ampas sagu sebagai bahan pakan sumber energi terutama pada

daerah penghasil sagu.

1. Pemanfaatan ampas sagu pada daerah penghasil tepung sagu sebagai pakan

lokal sumber energi dalam ransum, perlu dilakukan sebagai upaya

diversifikasi sekaligus untuk mengurangi penggunaan bahan pakan sumber

energi yang lain.

2. Peningkatan kualitas ampas sagu dapat dilakukan dengan sentuhan teknologi

secara biologis.

3. Diversifikasi pakan sumber energi perlu ditunjang oleh ketersediaan ampas

sagu sebagai pakan siap pakai.

DAFTAR PUSTAKA

Page 163: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [155]

Alfons JB.2006. Diversifikasi sumber daya sagu di Maluku. Makalah

Disampaikan pada Lokakarya Sagu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Maluku. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ambon.

BALITBANGHUT, 2005. Potensi Hutan Sagu, Kendala Pemanfaatan dan

Prospek Pengembangannya. Balai Penelitian dan Pengembangan kehutanan,

Bogor.

Flach M. 1977. Yield Potensial of the Sago Palm its Relation. Papers of the first

International Sago Symposium in Kuching Malasya.

Louhenapessy JE. 1988. Sagu di Maluku (harapan dan tantangan dalam

pembangunan) disampaikan dalam seminar berkala pada pusat studi Maluku,

Unpatti, Ambon.

Louhenapessy JE. 2006. Potensi dan Pengelolaan Sagu di Maluku. Makalah

Disampaikan pada Lokakarya Sagu Kerjasama Fakultas Pertanian,

BAPPEDA Provinsi Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan BPTP

Maluku. Ambon.

Parakkasi A. 1980. Ilmu gizi dan makanan ternak monogastrik. Bandung. Penerbit

Angkasa.

Rumalatu FJ. 1981. Distribusi dan potensi pati beberapa sagu (Metroxylon sp) di

daerah seram barat. [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Pertanian/Kehutanan

yang berafiliasi dengan Fateta IPB, Bogor.

Ralahalu TN. 1988. Pengaruh Tingkat Penggunaan Ampas Sagu Yang

Difermentasi dengan Aspergillus niger Dalam Ransum Pada Pertumbuhan

Babi Selama Periode Pertumbuhan.

Ralahalu, TN.2012. Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber

Serat Dalam Ransum dan Pengaruhnya Terhadap Kadar Kolesterol serta

Kualitas Karkas babi. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Ralahalu TN, Latupeirissa Ch C E, Hehanussa S Ch H dan Fredriksz S. 2008.

Penerapan Teknologi Fermentasi dalam Meningkatkan Kualitas Ampas

Sagu sebagai Pakan Alternatif dalam Ransum Ternak ayam Kampung.

Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Pertanian Universitas

Pattimura, Ambon.

Page 164: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [156]

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG TANAMAN BANGUN-BANGUN

(Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM TERHADAP PENAMPILAN

REPRODUKSI INDUK DAN ANAK BABI MENYUSU

Pollung H. Siagian (1), Agik Suprayogi (2) dan Parsaoran Silalahi (3) (1) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, 08128460878

e-mail: [email protected] (2) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, 081310462986

(3) Sedang Studi S3 (Ph. D) di INRA UMR 1313 GABI Domaine de Vilvert

78352 Jouy en Jasas cedex, Perancis, +33 771083031,

e-mail: parsaoran sililalahi@jouy. inra.fr

PENDAHULUAN

Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu

tanaman yang dapat dijadikan sebagai ramuan tradisional di Indonesia. daunnya

bermanfaat sebagai obat sariawan, batuk rejan, influenza, demam, perut kembung,

mulas, sembelit. Menurut tradisi masyarakat Batak di Propinsi Sumatera Utara,

daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dipercaya mampu meningkatkan

produksi air susu ibu yang sedang menyusui (Damanik et al., 2001).

Pemberian 5% tepung daun bangun-bangundalam ransum induk mencit

(Musmusculus) yang diberikan pada hari ke-14 umur kebuntingan dapat

meningkatkan produksi air susu induk (PASI) (Wening, 2007). Bangun-bangun

telah diketahui dapat meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan

dan efisiensi penggunaan makanan pada ternak babi fase bertumbuh. Daun

bangun-bangun juga meningkatkan persentase kebuntingan pada mencit. Tepung

tanaman bangun-bangun tidak hanya berperan sebagai antibakteri, membantu

pencernaan dan meningkatkan nafsu makan (Gunter dan Bossow, 1998), tetapi

juga meningkatkan pertumbuhan dan penampilan reproduksi ternak (Khajarern

Page 165: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [157]

dan Khajarern, 2002).

Data dari berbagai penelitian menunjukkan, bahwa sekitar 20-25% dari

anak babi yang lahir, mati sebelum disapih. Saat yang paling berbahaya bagi anak

babi yang baru lahir adalah selama tiga hari pertama setelah lahir. Kebanyakan

anak babi dengan bobot lahir ringan tidak dapat memperoleh air susu yang cukup

setelah lahir, yang sering disebabkanoleh ketidakmampuannya mencapai ambing

induknya, karena persediaan energi dalam tubuhnya yang terbatas sudah

dihabiskan. Produksi air susu induk (PASI) babi yang banyak sangat diperlukan

pada masa awal laktasi sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak babi.

Tanaman bangun-bangun tidak hanya mempunyai efek laktogogum, tetapi

juga bersifat antibakterial jika dikonsumsi oleh ternak yang sedang menyusui.

Sifat antibakteri ini sangat diharapkan berperan saat induk babi beranak yang akan

mengurangi MMA atau mastitis, metritis dan agalactia (Amrik dan Bilkey, 2004).

Pemberian daun bangun-bangun dalam ransum diharapkan mampu meningkatkan

PASI babi. Tingginya PASI babi dapat meningkatkan daya tahan dan per-

tambahan bobot badan anak babi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan taraf

penambahan tepung tanaman bangun-bangun (TTB) di dalam ransum dan waktu

pemberiannya pada induk babi yang akan memperbaiki penampilan reproduksi

induk dan meningkatkan penampilan anak babi selama masa menyusu.

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi untuk kemajuan

dunia peternakan mengenai pengaruh taraf penambahan TTB dalam ransum dan

waktu pemberiannya terhadap PASI, penampilan reproduksi induk dan

penampilan anak babi menyusu. Kematian anak babi yang tinggi saat lahir dan

menyusu diharapkan dapat berkurang karena induknya akan menghasilkan air

susu yang lebih banyak dan pertumbuhan anak babi yang lebih cepat.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini didahului dengan persiapan pembuatan bahan tepung

tanaman bangun-bangun (TTB) dari tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus

Lour) segar hasil identifikasi (LIPI, 2011). Tanaman bangun-bangun sebelum

dikeringkan, diangin-anginkan terlebih dahulu, kemudian ditimbang dan

Page 166: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [158]

dikeringkan di rumah kaca dan dilanjutkan dengan oven 600C sampai kering.

Tanaman bangun-bangun yang sudah dikeringkan kemudian dihaluskan dengan

grinder, lalu diayak dengan ukuran 50 mesh dan hasilnya adalah tepung tanaman

bangun-bangun (TTB).

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor babi bunting

yang tanggal pengawinannya tercatat dengan baik. Babi induk bunting hingga

beranak dan menyusui ditempatkan pada kandang induk beranak individu yang

dilengkapi dengan tempat makan dan water nipple. Suhu dan kelembaban diukur

dengan thermohygrometer.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4 × 2 masing-masing dengan tiga

ulangan. Faktor pertama adalah penambahan taraf TTB dalam ransum (0; 2,5; 5;

dan 7,5%) dan faktor kedua adalah waktu pemberian ransum dengan taraf TTB

yang berbeda pada induk babi saat umur 107 hari kebuntingan (W1) dan segera

setelah induk babi selesai beranak (W2).

Tabel 1. Komposisi Bahan Makanan Penyusun Ransum Penelitian

Bahan Makanan R0 R1 R2 R3 Pakan Anak

-------------------------------- kg ------------------------------------

TTB - 2.50 5.00 7.50 -

Jagung 30.00 30.00 30.00 30.00 50.00

Bekatul 28.00 28.00 28.00 28.00 8.00

Konsentrat T51 - - - - 5.00

Meat Bone Meal 2.00 2.00 2.00 2.00 3.00

Soy Bean Meal 20.00 20.00 20.00 20.00 22.00

Wheat Pollard 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00

Bungkil kelapa 8.00 8.00 8.00 8.00 -

Mineral (makro) 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00

Zat Nutrisi*

EM (kkal/kg) 2719.88 2702.32 2685.60 2669.66 2758.32

Protein kasar (%) 16.93 17.10 17.25 17.40 18.36

Lemak kasar (%) 5.74 5.71 5.68 5.66 3.86

Serat kasar (%) 4.24 4.34 4.43 4.52 4.02

Page 167: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [159]

Kalsium (%) 0.26 0.31 0.36 0.41 0.49

Fosfor (%) 0.76 0.76 0.76 0.75 0.58

Abu (%) 6.19 6.41 6.62 6.83 4.08

Keterangan : TTB = tepung tanaman bangun-bangun, R0 = ransum kontrol, R1 = ransum kontrol +

2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5%% TTB,

EM = energi metabolis, T51 = konsentrat anak babi, * = hasil perhitungan.

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti susunan ransum

yang diberikan di usaha peternakan babi dimana penelitian ini dilakukan dan

hanya ditambahkan taraf TTB yang berbeda (Tabel 1) dengan waktu

pemberiannya sebagai perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Perusahaan Peternakan Babi CV. Adhi Farm

berlokasi di Desa Sepreh, Kelurahan Sroyo, Kecamatan Janten, Kabupaten

Karanganyar, Jawa Tengah. Rataan suhu dan kelembaban pada pagi, siang dan

malam hari masing-masing adalah 20,610C dan 81,06%; 27,080C dan 54,55%; dan

21,760C dan 77,54%, sedangkan rataan suhu selama penelitian adalah 23,15 ±

1,410C dengan kelembaban 71,15% ± 8,01%. Suhu lingkungan penelitian masih

diatas rataan suhu yang dibutuhkan oleh induk babi menyusui dimana kisaran

suhu optimum bagi induk babi menyusui adalah 5-180C (Devendra dan Fuller,

1979), sedangkan kelembaban optimum adalah 70% (Goodwin 1974).

Komposisi Nutrisi Ransum

Hasil analisa proksimat ransum perlakuan diperlihatkan pada Tabel 2,

bahwa semakin tinggi taraf penambahan TTB dalam ransum induk babi, maka

terjadi peningkatan kandungan protein, serat kasar dan abu, sebaliknya dengan

kadar lemak yang menurun.

Peningkatan penggunaan lemak dan protein ransum yang lebih tinggi

terjadi pada ransum induk babi yang ditambahkan TTB. Hal ini sesuai dengan

pendapat Sahelian (2006) yang menyatakan, bahwa senyawa forkskolin yang

terkandung dalam TTB bersifat merombak lemak menjadi energi. Sementara

Khajerern dan Khajerern (2002) menyatakan bahwa penambahan thymol dan

carvacrol dalam ransum ternak akan membantu proses pencernaan dan

meningkatkan kecernaan protein.

Peningkatan kandungan abu dan serat kasar di dalam ransum tidak diikuti

Page 168: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [160]

oleh kandungan yang sama dalam feses, sebaliknya di dalam feses terjadi

penurunan. Hal ini menunjukkan, bahwa dengan penambahan TTB dalam ransum

induk babi maka daya cerna serat kasar akan lebih baik. Kandungan serat kasar

yang tinggi pada feses induk babi yang memperoleh R0 juga diikuti kandungan

abu yang tinggi. Semakin tinggi serat kasar maka semakin rendah energi yang

dapat dicerna, penyebabnya adalah kandungan serat kasar yang tinggi berakibat

semakin rendahnya kandungan pati, gula dan lemak. Serat kasar yang tinggi pada

ransum juga akan mengakibatkan meningkatnya konsumsi makanan (Sihombing,

2006).

Tabel 2. Hasil Analisa Proksimat TTB dan Ransum Serta Daya Cernanya

Bahan analisa

proksimat Abu Lemak Protein Serat kasar

-------------------------------- %BK----------------------------------

TTB 15.39 4.61 23.55 8.26

R0 7.49 5.70 17.00 3.36

R1 9.70 5.66 17.20 4.54

R2 10.10 5.62 17.54 4.41

R3 10.88 5.57 17.91 4.79

Daya cerna R0 - 2.15 3.87 -11.41

Daya cerna R1 - 2.84 5.41 -6.34

Daya cerna R2 - 2.53 5.32 -8.05

Daya cerna R3 - 2.49 4.09 -7.08

Keterangan : KA = kadar air, BK = bahan kering, R0 = ransum kontrol, R1 = ransum kontrol + 2.5%

TTB, R2 = ransum kontrol + 5%TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, Sumber:

Pusat Antar Universitas IPB (2011)

Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi

Hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap penampilan reproduksi

(konsumsi ransum harian, lama bunting, lama waktu induk babi beranak, litter

size lahir, anak babi mati lahir, bobot lahir, produksi air susu induk babi dan

frekuensi induk menyusui perhari dan interval waktu antara penyapihan hingga

birahi kembali diperlihatkan pada Tabel 3) dan penampilan anak babi menyusu

(konsumsi ransum harian anak babi, pertambahan bobot badan, mortalitas, bobot

sapih, dan litter size sapih diperlihatkan pada Tabel 4).

Page 169: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [161]

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi

Parameter

Perlakuan

Rataan R0W1 R1W1 R2W1 R3W1 R0W2 R1W2 R2W2

R3W

2

1. KRH

(kg/e) 3.58 3.09 2.34 2.79 2.59 3.41 2.87 2.86 2.94

2. LB (hari) 113.3 112.0 114.3 112.6 112.6 111.6 113.0 115.3 112.88

3. LWIBB

(menit/e) 132.6 104.0 159.3 71.5 104.7 112.5 148.6 166.6 127.17

4. LSL

(ekor) 11.3 9.00 12.33 10.00 7.66 11.67 10.67 11.67 10.54

5. BL (kg/e) 1.48 1.64 1.58 1.56 1.50 1.42 1.46 1.56 1.52

6. PASI

(g/e/my) 256ab 196a 229ab 249ab 217a 376c 177a 329bc 253.88

7. IWS (h) 5.00 5.67 3.67 5.50 4.00 4.00 4.00 4.00 4.48

Keterangan : KRH = konsumsi ransum harian, LB = lama bunting, LWIBB = lama waktu induk

babi beranak, LSL = litter size lahir, BL = bobot lahir, PASI = produksi air susu

induk dan IWSBK = interval waktu sapih hingga birahi kembali, R0 = ransum

kontrol, R1 = ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 =

ransum kontrol + 7.5%% TTB

Konsumsi Ransum Harian Induk Babi

Analisis ragam memperlihatkan bahwa taraf penambahan TTB dalam

ransum dan waktu pemberian serta interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap

KRH induk babi. Konsumsi ransum harian yang tinggi akan meningkatkan PASI

dan pertumbuhan anak babi yang disusui. Penelitian Khajarern dan Khajarern

(2002) menyatakan, bahwa pemberian 60 g carvacrol dan 55 g thymol per ton

pakan dapat meningkatkan KRH induk babi laktasi, membantu mencerna

makanan dan meingkatkan palatabilitas. Namun kandungan senyawa aktif

carvacrol dan thymol yang ada dalam TTB tidak mampu meningkatkan KRH

induk babi dalam penelitian ini.

Lama Bunting

Rataan lama bunting induk babi selama penelitian adalah 112,88 hari

dengan kisaran 109–117 hari dan tidak berbeda jauh dengan pendapat Eusebio

(1980) dengan kisaran 112–120 hari, sedangkan hasil penelitian Yoga (1988)

adalah 113.5 hari dan Hartoyo (1995) 114.43 hari. Hasil analisis ragam

menunjukkan, bahwa taraf waktu pemberian dan interaksinya tidak berpengaruh

terhadap lama bunting. Hal ini dapat dipahami karena lama atau umur

Page 170: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [162]

kebuntingan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor dalam (faktor genetik) daripada

faktor luar. Hasil penelitian Siagian (1984) pada 3178 ekor induk babi Yorkshire,

1806 Landrace dan 1131 ekor induk babi Duroc masing-masing dengan lama

kebuntingan 114,31; 114,73 dan 114,29 hari dimana Landrace nyata (P<0,05)

lebih lama umur kebuntingannya daripada kedua bangsa babi lainnya.

Lama Waktu Induk Babi Beranak

Rataan lama waktu induk babi beranak dalam penelitian ini adalah 127,17

menit/litter. Pemberian ransum mengandung TTB lebih awal (W1) menghasilkan

lama waktu induk babi beranak yang lebih singkat (121.0 menit/litter) daripada

W2 (135,0 menit/litter). Pemberian ransum yang mengadung TTB lebih awal (W1)

yang berarti jumlahnya lebih banyak dikonsumsi daripada W2. Tanaman bangun-

bangun mengandung 3-ethyl-3 hydoxy-5- alpha andostran-17-one yang secara

hormonal akan merangsang pituitary untuk menghasilkan oksitoksin yang

berperan dalam kelancaran proses beranak dan memproduksi air susu.

Penyuntikan oksitoksin untuk memperlancar proses kelahiran anak babi di

peternakan sangat umum dilakukan, sehingga tanaman bangun-bangun

memungkinkan dapat menggantikan peran oksitoksin untuk membantu proses

kelahiran pada babi (Lawraence et al., 2005). Daun bangun-bangun juga

mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi,

mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang (Mepham, 1987).

Litter Size Lahir

Rataan litter size lahir total adalah 10,54 ekor dengan lahir hidup 9,92 ekor.

Taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian serta interaksi

keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap litter size lahir. Hal ini mungkin

terjadi karena perlakuan tidak lagi berpengaruh terhadap jumlah fetus karena fetus

jauh sebelumnya sudah terbentuk dalam uterus induk babi, sedangkan Amrik dan

Bilkei (2004) menyatakan, bahwa pemberian ekstrak daun bangun-bangun pada

hari ke-110 kebuntingan akan meningkatkan litter size lahir hidup anak babi.

Tepung tanaman bangun-bangun mengandung senyawa aktif carvacrol

(Lab. Dept. of Chemistry, Gorakhpur Univ., 2006). Senyawa carvacrol yang

dikenal sebagai senyawa antiinfeksi dan antiinflamasi (Burfield 2001) dan dalam

penelitian Isley et al. (2004) terungkap bahwa penggunaan carvacrol dalam suatu

Page 171: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [163]

campuran ekstrak tanaman sebagai suplemen dalam ransum ternak babi

menghasilkan litter size lahir lebih tinggi dibanding babi tanpa suplemen dalam

ransumnya.

Bobot Lahir Anak Babi

Bobot lahir per ekor adalah 1,52 ± 0,18 kg dan per litter 15,12 ± 3,83 kg.

Kurniawan (2006), Simorangkir (2008) dan Hutapea (2009) menyatakan bobot

lahir anak babi masing-masing 1,30; 1,36; dan 1,18 kg/ekor atau ketiganya lebih

rendah dari hasil penelitian ini. Hasil analisi ragam menunjukkan bahwa taraf

penambahan TTB, waktu pemberian serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap

bobot lahir per ekor pada W1 (1,56 ± 0,09 kg) dan W2 (1,49 ± 0,12 kg) dan

perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh litter size lahir total anak babi masing-

masing 10,67 ± 3,05 dan 10,42 ± 2,67 ekor.

Produksi Air Susu Induk Babi

Rataan produksi air susu induk (PASI) babi adalah 253 ± 81,9

g/litter/menyususi atau 5,45 ± 1,64 kg/litter/hari dengan rataan 21,63 kali

menyusui/hari. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi taraf

penambahan TTB dalam ransum dengan waktu pemberiannta nyata (P<0,05)

meningkatkan PASI babi per hari dan per menyusui. Perlakuan R1W2 (376

g/litter/menyusui) menghasilkan PASI babi tertinggi dan tak berbeda dengan

perlakuan R3W2 (329 g/litter/menyusui) tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan

perlakuan lainnya.

Produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui dengan pemberian

ransum pada W1 tidak berbeda nyata pada berbagai taraf penambahan TTB,

sebaliknya pada W2 berbeda berdasarkan taraf penambahan TTB. Induk babi

yang diberi ransum perlakuan pada W1, mempersiapkan ambing lebih baik untuk

memproduksi air susu dibandingkan W2. Persiapan ambing dibantu oleh adanya

senyawa aktif yang ada di dalam TTB untuk menstimulasi progesteron, ekstradial

dan glokukortikoid dengan meningkatkan jumlah sel kelenjar mammae (jumlah

DNA) dan aktivitas metabolik, sedangkan induk babi yang diberi ransum

perlakuan pada W2 lebih cepat merespon adanya senyawa aktif di dalam TTB

daripada W1. Senyawa aktif di TTB juga menstimulasi dikeluarkannya hormon

prolaktin, growth hormone dan aksitoksin daripada induk yang sudah mendapat

Page 172: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [164]

TTB pada W1. Konsentrasi hormon prolaktin, oksitosin dan pertumbuhan yang

tinggi pada W2 dibuktikan dengan tingginya PASI babi pada hari ke-5 laktasi.

Produksi air susu induk babi yang tinggi tetapi tidak diikuti oleh persiapan ambing

yang cukup mengakibatkan penurunan PASI babi W2 pada hari ke-10 laktasi,

sedangkan PASI babi di W2 terus mengalami peningkatan.

Interval Waktu Penyapihan hingga Induk Babi Birahi Kembali

Jarak waktu antara penyapihan anak hingga induk babi birahi kembali

(interval between weaning to estrus and conception) dapat juga diartikan sebagai

waktu kosong atau masa tidak produktif karena pada masa tersebut induk babi

tidak mengalami kebuntingan maupun laktasi. Masa produktif induk babi

dalamsatu tahun dapat diminimalkan dengan mempersingkat setiap jarak waktu

tersebut. Rataan interval waktu penyapihan hingga induk birahi kembali adalah

4,47 ± 1,03 hari dengan kisaran 3–7 hari. Waktu pemberian ransum dengan

berbagai taraf TTB berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap waktu antara penyapihan

hingga induk babi birahi kembali masing-masing W1 (4,91 hari) dan W2 (4,00

hari). Hal ini erat kaitannya dengan KRH induk babi dimana pemberian pada W2

lebih tinggi daripada W1. Menurut Damanik et al. (2006) tanaman bangun-

bangun berperan mengontrol postpartumbleeding (pendarahan setelah beranak)

dan sebagai uterine cleansing agent(agen pembersih uterus). Peran TTB juga

menyebabkan involusi uterus yang lebih cepat (Martin et al., 2004). Pemberian

TTB setelah induk babi beranak ternyata lebih efektif mempercepat waktu birahi

kembali setelah penyapihan.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Penampilan Anak Babi Menyusu

Pengaruh perlakuan terhadap penampilan anak babi menyusu (konsumsi

ransum harian), pertambahan bobot badan anak babi hingga disapih, bobot sapih,

mortalitas prasapih dan litter size sapih diperlihatkan pada Tabel 4.

Konsumsi Ransum Harian Anak Babi

Ransum mulai diberikan pada anak babi ketika berumur 10 hari dan

jumlahnya dipengaruhi oleh ketersediaan air susu induk babi sebagai sumber gizi

bagi anaknya. Semakin banyak PASI babi, maka anak babi akan mengkonsumsi

ranusm semakin sedikit, dan sebaliknya. Komposisi bahan makanan penyusun

ransum anak babi diperlihatkan pada Tabel 1.

Page 173: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [165]

Konsumsi ransum harian (KRH) anak babi adalah 34,5 ± 11,5 g/litter/hari.

Pengaruh perlakuan atau interaksi antara taraf penambahan TTB ransum dan

waktu pemberiannya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap KRH anak babi per

litter dengan perlakuan R0W1 (50,0 g/litter/hari) tertinggi dan R0W2 (22,83

g/litter/hari) yang terendah. Produksi air susu induk (PASI) babi berhubungan

erat dengan KRH anak babi pada penelitian ini, dimana PASI babi yang tinggi

juga memacu pertumbuhan anak babi, sehingga mendorong peningkatan KRH

anak babi pada perlakuan R0W1. Pertumbuhan anak babi yang cepat memerlukan

nutrisi yang lebih banyak lagi, sehingga kebutuhannya harus dipenuhi dari

makanan tambahan atau ransum yang dikonsumsinya.

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Anak Babi Menyusu

Parameter R0W1 R1W1 R2W1 R3W1 R0W2 R1W2 R2W2 R3W2 Rataan

1. KRH

(g/litte

r/hari)

50.0 30.5 38.0 30.8 22.8 41.6 27.1 39.3 34.57

2. PBB

(kg/e) 4.65 5.35 4.53 4.94 4.75 4.12 3.92 4.83 4.51

3. BS

(kg/e) 6.35 6.35 6.00 6.63 6.81 5.55 5.69 6.47 6.35

4. MPS

(%) 9.23 12.04 3.03 2.38 20.08 13.90 8.10 5.34 10.66

5. LSS

(ekor) 9.33 6.67 11.03 8.67 6.67 9.67 8.33 11.00 8.96

Keterangan : KRH = konsumsi ransum harian, PBBS = pertambahan bobot badan sapiha; BS =

bobot sapihan, MPS = mortalitas prasapihan, LSS = litter size sapih

Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Sapihan

Bobot sapih anak babi merupakan indikator PASI babi dan kemampuan

bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih anak babi

antara lain adalah kesehatan anak babi, PASI babi dan cara pemberian makan

(Sihombing, 2006). Semakin berat bobot sapih, efisiensi penggunaan makanan

lebuh baik dan rataan laju pertumbuhan lebih cepat daripada anak babi dengan

bobot sapih yang lebih ringan

Pertambahan bobot badan (PBB) anak babi per ekor pada pemberian W1

(4.87 kg/e) dan W2 (4,40 kg/e) tidak berbeda nyata dan perlakuan R1W1 (5,35

kg/e) adalah tertinggi dan R2W2 (3,92 kg/e) adalah terendah, tetapi keduanya

tidak berbeda nyata. Perbedaan PBB anak babi selama menyusu lebih dipengaruhi

Page 174: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [166]

perbedaan LS sapih dan umur penyapihan. Litter size sapih R3W2 (11,0 ekor) dan

R3W1 (8,67 ekor) masing-masing dengan umur penyapihan 29 dan 24 hari. Hasil

analisa korelasi menunjukkan bahwa perbedaan bobot sapih sangat nyata (P<0,01)

dipengaruhi PBB, bobot lahir dan KRH anak babi tersebut, apabila PBB anak babi

meningkat maka bobot sapih anak babi juga akan meningkat.

Bobot Sapih

Rataan bobot sapih per litter dan per ekor masing-masing 55,2 kg dan 6,22

kg dengan rataan umur sapih 27 hari. Perlakuan tidak mempengaruhi bobot sapih,

hal ini terjadi karena CV. Adhi Farm dimana penelitian ini dilakukan sudah

mempunyai standar bobot sapih tertentu dengan melakukan penyapihan anak

babinya.

Pertambahan bobot badan anak babi menyusu yang tinggi dengan

konsumsi ransum yang tinggi serta umur penyapihan yang berbeda akan

mempengaruhi bobot sapih. Penyapihan anak babi yang dilakukan selama

penelitian tetap mengikuti manajemen yang berlaku yaitu dengan cara

berkelompok. Setiap waktu penyapihan dilakukan minimal melibatkan empat ekor

induk sekaligus dengan umur masing-masing penyapihan tidak sama yang dapat

berakibat langsung terhadap bobot dapih anak babi. Hasil analisa korelasi

menunjukkan bahwa perbedaan bobot sapi sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi

bobot lahir, KRH dan PBB, apabila PBB anak babi meningkat maka bobot babi

sapih juga akan meningkat.

Mortalitas Anak Babi Prasapih

Rataan persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 9,35% dari rataan

litter size lahir hidup (10,04 ekor) dengan pemberian ransum perlakuan pada W1

persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 6,67% lebih rendah dibanding W2

(12,09%), sementara persentase anak babi lahir mati pada W1 (6,26%) juga lebih

rendah daripada W2 (7,46%). Hasil ini menunjukkan, bahwa penambahan TTB

dalam ransum yang diberikan pada W1 akan meningkatkan daya tahan anak babi

yang lebih baik daripada W2.

Litter Size Sapih

Sapih yaitu tahap pertumbuhan suatu hewan atau ternak tidak lagi

Page 175: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [167]

tergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan

cair (Inglis, 1980). Litter size sapih sangat tergantung pada litter size sapih pada

penelitian ini adalah 8,95 ekor dan sangat nyata (P<0,05) dipengaruhi perlakuan

atau terjadi interaksi antara taraf TTB dengan ransum dan waktu pemberiannya.

Litter size sapih pada W1 (9,00 ekor) sedikit lebih tinggi daripada W2

(8,92 ekor). Litter size sapih ini terkait dengan litter size lahir dan mortalitas

prasapih. Litter size lahir hidup pada W1 (10,17 ekor) lebih tinggi daripada W2

(9,67 ekor) dan dengan ransum R2 (11,17 ekor) adalah dengan liiter size lahir

hidup tertinggi sedangkan R0 (8,83 ekor) adalah yang terendah. Bila litter size

lahir tinggi maka litter size sapih juga akan tinggi, tetapi dengan mortalitas

prasapih yang seimbang. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa antara LS

lahir hidup dengan LS sapi sangat nyata (P<0,01), artinya apabila LS anak babi

lahit tinggi maka LS anak babi sapih juga tinggi.

SIMPULAN

Penambahan tepung tanaman bangun-bangun dengan taraf 5% dalam

ransum induk babi dan diberikan pada saat hari ke-107 kebuntingan (R2W1)

menghasilkan penampilan reproduksi induk dan anak babi terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Amrik B, Bilkei G. 2004. Influence of farm application of oregano on

performances of sows. [terhubung berkala]. Can Vet J. 45: 674-677 [14

mei 2009].

Burfield T. 2001. The Seychelles : Aromatic journey notes. India. [terhubung

berkala]. http://www.users.globalnet.co.uk [20 April 2009].

Damanik R et al. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus

amboinicus Lour) to increase breast milk production among Bataknese

women in North Sumatera Island, Indonesia. Proceedings of the Nutrition

Society of Australia. 25:S67.

Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon. 2006. Lactogogue effects of

bangun-bangun, a Bataknese traditional cuisine. APJCN 15 (2): 267-274.

Devendra C, Fuller MF. 1979. Pig Production in Tropics. Oxford University

Press.

Eusebio JA. 1980. Pig Production In The Tropics. Longman Group. Ltd.

Goodwin DH. 1974. Pig Management and Production. National book store, inc.

Gunter KD, Bossow H. 1988. The effect of etheric oil from Origanum vulgaris

(Ropadiar) in the feed ration of weaned pigs on their daily feed intake,

daily gains and food utilization (Abstract). Proc 15th Int Pig Vet Soc

Congr, Birmingham. 1998:223.

Page 176: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [168]

Hartoyo B. 1995. Pengaruh taraf dan waktu pemberian lemak dalam ransum

induk bunting terhadap penampilan induk dan anak babi [Tesis]. Bogor.

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hutapea I. 2009. Penampilan anak babi menyusu dari induk dengan ransum yang

mengandung tepung daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) pada

taraf yang berbeda [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor.

Inglish LK. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology.

Oxford: Pergamon Press Ltd.

Isley SE, Miller HM, Kamel CH. 2004. The use of plant extract in sow diets has

revealed novel aplication for improvements of sow and litter performance.

J Feedmix 14:24-27.

Khajarern J, Khajarern S. 2002. The effcacy of origanum essential oils in sow

feed. Int Pig Topics. 200217:17.

Kurniawan RI. 2006. Hubungan litter size dengan bobot lahir dan mortalitas anak

babi tiga hari setelah lahir [skripis]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor.

Laboratorium Department of Chemistry. 2006. Analysis Coleus amboinicus Lour

component with GC and GCMS technique. India: gorakhpur university.

[terhubung berkala]. http://www.baanmaha.com [20 April 2009].

Lawrence M, Naiyana, Damanik MRM. 2005. Modified nutraceutical

composition. Australia: freehills patent and trademark Attorneys.

Melbroune: [terhubung berkala]. http://www.wipo.int/pctdb [24 April

2009].

Martin MA, Teagasc, Athenry. 2004. When should sows be weaned. [terhubung

berkala].http://www.teagasc.ie/publications/2004/20041011/paper02.htm

[18September 2010].

Mepham TB. 1987. Physiology of Lactation. Melton Keynes, Philadelphia; Open

University Press.

Sahelian R. 2006. Forskholin mechanism of action. Bulletin plant natural products

20: 1-8 [terhubung berkala]. http://www.pnp.com [24 April 2009].

Siagian PH. 1984. Comparative performance of Landrace, Duroc and Yorkshire

Breeds of Swine. Univ. Of Philippines at Las Bauas, Philippines.

Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Simorangkir CRD. 2008. Penampilan anak babi menyusu dengan taraf dan waktu

pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) yang

berbeda dalam ransum induk [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor.

Wening W. 2007. Penambahan daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour)

dalam ransum pengaruhnya terhadap sifat reproduksi dan produksi air susu

mencit putih (Mus musculus albinus). [Skripsi]. Bogor: Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Yoga MS. 1988. Studi penggunaan ekstrak hipofise sapi untuk peningkatan

reproduksi babi [tesis]. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana, Universitas

Gajah Mada.

Page 177: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [169]

PENAMPILAN TERNAK BABI YANG DIBERI PAKAN

MENGANDUNG TEPUNG BEKICOT (Achatina fulica)

SEBAGAI PENGGANTI TEPUNG IKAN

Egedius, L. L.1), K. Budaarsa2), dan I G.Mahardika2)

Fakultas Peternakan Universitas Udayana

e-mail: [email protected] 1) Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur, NTT

2) Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui informasi tentang penampilan dan

nilai ekonomis dari penggunaan tepung bekicot sebagai pengganti tepung ikan

dalam ransum ternak babi. Penelitian menggunakan babi Landrace betina

sebanyak 12 ekor dilaksanakan di Kelurahan Waiwerang Kecamatan Adonara

Timur Kabupaten Flores Timur, NTT, selama 13 minggu. Rancangan yang

digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 (empat) perlakuan

yang masing-masing terdiri dari 3 (tiga) ulangan. Tiap unit percobaan

menggunakan satu ekor babi Landrace dengan berat badan awal 9,8 + 0,38 kg.

Keempat perlakuan tersebut adalah: Perlakuan R0 (ransum menggunakan 12%

tepung ikan tanpa tepung bekicot) sebagai ransum kontrol; perlakuan R1 (ransum

menggunakan 4% tepung bekicot dan tepung ikan 8%); perlakuan R2 (ransum

menggunakan 8% tepung bekicot dan tepung ikan 4%) dan perlakuan R3 (ransum

menggunakan 12% tepung bekicot tanpa tepung ikan). Ransum di susun

berdasarkan standar kebutuhan menurut Sihombing (1997). Variabel yang diamati

meliputi konsumsi ransum, pertambahan berat badan, konversi ransum, koefisien

cerna bahan kering, koefisien cerna bahan organik, koefisien cerna protein kasar

dan koefisien cerna serat kasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan

tepung bekicot sebagai pengganti tepung ikan dalam ransum ternak babi

cenderung memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan ransum tanpa

Page 178: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [170]

tepung bekicot, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata,sedangkan terhadap nilai ekonomisnya, penggunaan tepung bekicot sebagai

pengganti tepung ikan secara nyata dapat menurunkan biaya pakan dalam usaha

peternakan babi. Penggunaan tepung bekicot dapat diberikan hingga 12% sebagai

pengganti tepung ikan dalam ransum ternak babi.

Kata kunci: babi Landrace, tepung bekicot, penampilan

ABSTRACT

This research was conducted to find out information about the performance

and economic value of the use of snails flour as substitute of fish flour in pig

rations. The study was used 12 female landrace pig it was held at the Waiwerang

vukkage, subdistrict of East Adonara, Flores regency, NTT, for 13 weeks. The

design was used a completely randomized design (CRD) with 4 (four) treatment

that each consisting of 3 (three) replications. Each unit of experiment by using a

pig with a starting weight of 9.8 + 0.38 kg. These four treatments were: Treatment

R0 (ration by using 12% of fish flour without snails flour) used as the control

ration; treatmen Rl (ration by using 4% snail flour and 8% fish flour); treatment

R2 (ration by using 8% snails flour and 4% fish flour) and treatment R3 (ration by

using 12 % snail flour without fish flour). Ration arranged based on need standard

according Sihombing (1997). The variable observed as follows ration

consumption, weight gain, ration conversion, digestibility coefficients of dry

matter, organic matter digestibility coefficient, coefficient of digestibility of crude

protein and crude fiber digestibility coefficients. The results showed that the use

of snails flour as substitute of fish flour in pig rations tend to give better results

than the ration without snails flour, although statistically do not show significant

differences,while the economic value, usage of snail flour as a substitute of fish

flour in significant could decrease the cost of pig feed in the livestock business.

The usage of snail flour can be given up to 12 % as substitution of fish flour in pig

rations.

Keywords: landrace pig, snail flour, performance

Page 179: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [171]

PENGARUH SUPLEMENTASI STARBIO DALAM PAKAN DENGAN 40%

DEDAK PADI TERHADAP PENAMPILAN BABI LANDRACE

I K. Sumadi, I M. Gede Wijaya dan I.B. Sudana

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui penampilan babi landrace yang diberi

pakan mengandung 40% dedak padi dengan suplementasi Starbio. Penelitian ini

menggunakan babi landrace sebanyak 12 ekor dengan berat badan antara 20 – 30

kg. Pakan terdiri dari konsentrat Guyofeed, dedak padi dan jagung kuning.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK); 4

kelompok berat badan yang diberi 3 macam pakan perlakuan. Pakan yang diberi

dengan 40% dedak padi tanpa suplementasi Starbio sebagai kontrol (perlakuan A);

pakan dengan 40% dedak padi dan disuplementasi 0,2% Starbio (perlakuan B);

dan pakan dengan 40% dedak padi dan disuplementasi 0,4% Starbio (perlakuan C)

selama 6 minggu. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan

bila terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan (P<0,05) dilanjutkan

dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1989). Dari hasil penelitian

dapat disimpulkan bahwa suplementasi Starbio dalam pakan dengan 40% dedak

padi mampu memperbaiki penampilan (konsumsi pakan, pertambahan berat badan,

energi tercerna, dan profil kotoran) babi landrace.

Kata kunci: babi landracesuplementasi, Starbio,penampilan, profil kotoran

THE EFFECT OF STARBIO SUPPLEMENT ON DIET WITH 40% OF

RICE BRAN TO THE PERFORMANCE OF LANDRACE PIGS

ABSTRACT

Page 180: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [172]

The aims of the research are to know the performance of landrace pigs which is

given the ration that use 40% of rice bran with Stranbio suplement. This

experiment used twelve landrace pigs with live weight of 20 – 35 kg. The ration

concists of Guyofeed concentrate, rice bran, and yellow corn. Randomized

completely block design with three treatmens while each treatment concists of

four blocks were used in this study. The three given treatments were the ration

with 40% rice bran without Starbio supplement as a control (treatment A); the

ration with 40% rice bran and 0,2% Starbio supplement (treatment B); ); the ration

with 40% rice bran and 0,4% Starbio supplement (treatment C) for 6 weeks. The

obtained data were analyzed by the analysis of variance and followed by

Duncan’s multiple range test method (Steel and Torrie, 1989) when the significant

differences amongst treatments (P<0,05) were observed. The result of this study

shows that Starbio supplement on 40% rice bran diet can improve the

performance (feed consumtion, live weight gain, DE, FCR and feces profile) of

landrace pigs.

Key words:landrace pigs, supplement, Starbio, performance, feces profile

PENDAHULUAN

Perkembangan peternakan babi sangat pesat di Bali, sehingga penyediaan

bahan-bahan pakan juga harus memadai. Pemanfaatan limbah pertanian dan

limbah hasil pertanian sebagai bahan pakan babi merupakan hal yang sangat lazim,

sebab babi dengan mudah dapat memanfaatakan bahan-bahan dari limbah tersebut

sebagai makanannya. Selain itu, bahan-bahan pakan dari limbah harganya relatif

lebih, namun perlu diingat bahwa ternak babi merupakan ternak monogastri,

sehingga kemampuan mencerna bahan-bahan pakan berserat sangat terbatas.

Salah satu limbah hasil pertanian adalah dedak padi. Kualitas dedak padi di

Indonesia tidak sama, karena proses penggilingan gabah menjadi beras

menggunakan mesin yang berbeda-beda.

Secara umum kualitas dedak padi sebagai salah satu bahan penyusun

pakan babi cukup memadai, meunurut Scott et al. (1982) dedak padi mengandung

1630 kkal ME; 12% CP; 13% lemak; dan 13% serat kasar. Tingginya kandungan

serat kasar pada dedak padi menyebabkan penggunaan dedak padi dalam pakan

menjadi terbatas, karena ternak babi sebagai ternak monogastrik mempunyai

keterbatasan dalammencerna serat kasar (Rasyaf, 1990). Kadar serat kasar yang

tinggi di dalam pakan babi akan menurunkan nilai TDN pakan sehingga dapat

menurunkan pertambahan berat dan menurunkan efisiensi penggunaan pakan

Page 181: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [173]

(Parakkasi, 1990).

Rendahnya TDN mengakibatkan kotoran babi masih banyak mengandung

zat-zat makanan yang belum dicerna oleh babi. Zat makanan yang berupa protein

dan zat bukan protein yang mengandung N akan dipecah atau diurai oleh mikroba

dan hasil dari pemecahan tersebut menjadi amonia. Verstegen et al. (1999)

menjelaskan bahwa gas amonia akan menimbulkan masalah seperti bau dan

pencemaran udara, dan pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan pencemaran

lingkungan dan gangguan keesehatan. Feses yang banyak mengandung airdapat

meningkatkan jumlah mikroorganisme terutama E. coli, Coliform dan total

mikroba.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat memanfaatkan dedak

padi secara maksimal adalah dengan memenfaatkan starbio. Starbio merupakan

antibiotika dalam media dari bubuk jerami dengan komponen bakteri yang berasal

dari kayu, akar rumput, kedelai dan isi lambung sapi (Zainudinet al., 1995).

Menurut Sartika et al. (1994) starbio merupakan salah satu probiotik yang dapat

meningkatkan produktivitas ternak. Dijelaskan juga, starbio terdiri atas

multimikroorganisme yang menghasilkan enzim yang mampu memecah lignin

(lignolitik), selulosa (selulolitik), lignoselulosa (lignoselulolitik), protein

(proteolitik) dan lemak (lipolitik). Starbio dalam ransum dapat meningkatkan nilai

cerna ransum sehingga zat nutrisi seperti protein, lemak dan karbohidrat lebih

sedikit terbuang melalui feses. Meningkatnya nilai cerna ransum akan

memberikan pengaruh positif terhadap penampilan ternak. Berkurangnya zat-zat

nutrisi yang terbuang melalui feses dapat diharapkan kadar amonia yang

dihasilkan kotoran babi juga juga akan berkurang.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Lama Penelitiann

Penelitian dilaksanakan di Jl. Taman Wedasari No. 9, Dusun Batuparas,

Desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar. Lama

penelitian enam minggu berlangsung dari tanggal 27 November 2005 sampai 08

Januari 2006. Analisis proksimat ransum, sisa ransum dan feses dilaksanakan di

Lab. Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman,

Sanglah, Denpasar.

Page 182: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [174]

Ternak

Babi yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi keturunan babi

landrace sebanyak 12 ekor. Berat badan awal babi-babi tersebut berkisar 20 – 35

kg. Babi tersebut diperoleh dari peternak di Desa Padangsambian Kaja, Denpasar.

Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakan adalah kandang individual sebanyak 12 petak

kandang. Tiap kandang berukuran panjang 3 m, lebar 1,5 m dan tinggi 0,8 m.

Bangunan kandang dibuat dari kayu beratap asbes. Setiap petak kandang individu

dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum.

Pakan dan Air Minum

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan campuran antara

konsentrat komersial merk Guyofeed, jagung kuning, dedak padi dan starbio.

Kandungan nutrisi konsentrat Guyofeed terdiri atas: 37% protein, 4% lemak, 8%

serat kasar, 18% abu, 6% Ca dn 3,1% P. Semua pakan yang dipakai dalam

penelitian ini berbentuk tepung (mash). Air minum yang diberikan kepada babi

berasal dari air sumur setempat. Pakan dan air minum diberi secara ad libitum.

Komposisi bahan dan kandungan nutrien pakan masing-masing disajikan dalam

Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi bahan pakan penelitian

Bahan (%)

Perlakuan

A B C

Konsentrat 20 20 20

Jagung kuning 40 40 40

Dedak padi 40 40 40

Starbio 0 0,20 0,40

Tabel 2. Kandungan nutrisi pakan penelitian

Komposisi nurien Kandungan nutrien Kebutuhan*)

ME (kkal/kg) 2549,60 3360

Protein kasar (%) 15,76 18

Serat kasar (%) 8,92 6 – 8

Lemak (%) 7,40 4 – 13

Ca (%) 1,24 0,65

P (%) 1,00 0,50

*) Parakkasi (1990)

Page 183: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [175]

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri atas tiga perlakuan dan empat

kelompok berat badan babi landrace. Ketiga perlakuan tersebut adalah pakan

dengan 40% dedak padi tanpa suplementasi starbio sebagai kontrol (perlakuan A);

pakan dengan 40% dedak padi dan suplementasi 0,20% starbio (perlakuan B); dan

pakan dengan 40% dedak padi dan suplementasi 0,40% starbio (perlakuan C).

Kelompok 1 dengan berat badan 34,5 ± 1,08 kg; kelompok 2 dengan berat

badan 26,83 ± 2,25 kg; kelompok 3 dengan berat badan 24,17 ± 0,4 kg; dan

kelompok 4 dengan berat badan 21,83 ± 1,31 kg. Masing-masing kelompok terdiri

atas 3 ekor, sehingga dalam penelitian ini diperlukan 12 ekor babi landrace dan

setiap kandang ditempati oleh 1 ekor babi landrace.

Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas: penampilan babi

landrace (konsumsi pakan, pertambahan berat badan (PBB), FCR, DE dan PER)

serta profil kotoran (kadar amonia, total E. coli, coliform, dan total mikroba).

Analisis Statistika

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan bila

diantara perlauan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), maka analisis

dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie (1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil:

Konsumsi pakan

Rataan konsumsi pakan selama enam minggu pada babi landrace yang

diberi pakan perlakuan dedak padi 40% tanpa suplementasi starbio (perlakuan A)

88,855 kg/ekor (tabel 3). Konsumsi pakan babi landraceyang diberi perlakuan

pakan dedak padi 40% dengan suplementasi starbio 0,20% (perlakuan B) 13,36%

lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A (P<0,05). Konsumsi pakan babi

landrace yang diberi perlakuan pakan dedak padi 40% dengan suplementasi

starbio 0,40% (perlakuan C) sebanyak 4,15% lebih rendah dibandingkan dengan

perlakuan A (P<0,05), sedangkan perlakuan C 10,78% lebih tinggi dibandingkan

dengan perlakuan B (P<0,05).

Page 184: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [176]

Pertambahan berat badan

Pertambahan berat badan babi landrace selama enam minggu pada

pelakuan A memiliki rataan 28,250 kg/ekor (tabel 3). Rataan pertambahan berat

badan babi perlakuan B dan C masing-masing 19,91% dan 12,39% lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan A (P<0,05), sedangkan pada perlakuan C 6,27%

lebih rendah dibandingkan perlakuan B (P>0,05).

Tabel 3. Pengaruh suplementasi starbio dalam pakan dengan 40% dedak padi terhadap penampilan

babi landrace

Variabel

Perlakuan1)

SEM2) A B C

Konsumsi pakan (kg/ekor) 88,855a3) 76,980b 85,283a 1,102

DE (Mkal/ekor) 283,712b 336,880a 321,253a 7,14

PBB (kg/ekor) 28,250b 33,875a 31,750a 0,676

FCR 3,12a 2,28c 2,69b 0,063

PER 1,917a 2,60b 2,58b 0,116

Keterangan: 1) Pakan dengan 40% dedak padi tanpa suplementasi starbio (perlakuan A); dengan suplementasi 0,20%

starbio (perlakuan B); dan dengan suplementasi 0,40% starbio (perlakuan C). 2) SEM = Standard Error of the Treatment Means 3) Superskrip huruf yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata (P>0,05)

Feed Convertion Ratio (FCR)

Rataan nilai FCR pada babi landrace perlakuan A sebesar 3,12 (Tabel 3).

Nilai FCR pada perlakuan B dan C masing-masing 26,92% dan 13,78% lebih

rendah dibandingkan perlakuan A (P<0,05), sedangkan rataan nilai FCR pada

perlakuan C 13,78% lebih rendah dari perlakuan A (P<0,05), akan tetapi 17,98%

lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B (P<0,05).

Digestible Energy (DE)

Rataan nilai DE padaperlakuan A sebesar 283,712 Mkal (tabel 3). Rataan

nilai DE pada perlakuan B dan C masing-masing 18,74% dan 13,23%

dibandingkan dengan perlakuan A (P<0,05), sedangkan pada perlakuan C 4,64%

lebih rendah dari perlakuan B (P>0,05).

Protein Efficiency Ratio (PER)

Rataan nilai PER pada perlakuan A adalah 1,917 (tabel3). Nilai PER pada

perlakuan B dan C masing-masing 2,60 dan 2,58. Secara statistika berbeda nyata

(P<0,05) dibandingkan dengan A, sedangkan antara perlakuan B dan C

menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05).

Kadar amonia

Rataan kadar amonia kotoran babi landrace yang diberi perlakuan A

Page 185: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [177]

61,673 mg/kg (tabel 4). Perlakuan B memiliki kadar amonia 13,27% lebih rendah

dari perlakuan A (P<0,05), sedangkan perlakuan C memiliki rataan kadar amonia

2,94% lebih rendah dari perlakuan A (P<0,05) dan 34,58% lebih tinggi dari

perlakuan C (P<0,05).

Tabel 4. Pengaruh suplementasi starbio dalam pakan dengan 40% dedak padi terhadap profil

kotoran babi landrace.

Variabel

Perlakuan1)

SEM2)

A B C

Kadar amonia (mg/kg) 61,673a3 53,489c 58,859b 0,536

E. coli (koloni/ml) 2,745×107a 2,277×107b 1,642×107c 0,027

Coliform (koloni/ml) 7,655×107a 4,945×107b 2,625×107c 0,162

Jml. mikroba (populasi/ml) 14,930×104a 2,422×104b 1,557×104b 0,071

Keterangan: 1) Pakan dengan 40% dedak padi tanpa suplementasi starbio (perlakuan A); dengan suplementasi 0,20%

starbio (perlakuan B); dan dengan suplementasi 0,40% starbio (perlakuan C). 2) SEM = Standard Error of the Treatment Means 3) Superskrip huruf yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata (P>0,05)

Jumlah Escherichia coli

Rataan jumlah E. colikotoran babi landrace yang diberi perlakuan A

adalah 7,655 × 107 koloni/ml (tabel 4). Pada perlakuan B danC memiliki jumlah

rataan E. coli masing-masing 17,05% dan 40,18% lebih rendah dibandingkan

dengan perlakuan A (P<0,05), sedangkan pada perlakuan A 27,89% lebih tinggi

(P<0,05) dibandingkan perlakuan B.

Jumlah coliform

Rataan jumlah coliform kotoranbabi lanrace yang diberi perlakuan A

adalah 2,475 × 107koloni/ml (Tabel 4). Rataan jumlah coliform pada perlakuan B

dan C masing-masing 35,40% dan 65,71% lebih rendah dibandingkan perlakun A

(P<0,05), sedangkan pada perlakuan C 35,71 lebih tingghi dari perlakuan B

(P<0,05).

Jumlah mikroba

Rataan jumlah mikroba pada kotoran babi landrace yang diberi perlakuan

A adalah 14,930 × 104 populasi/ml (Tabel 4). Rataan populasi mikroba pada

perlakuan B dan C masing-masing 83,78% dan 89,57% lebih rendah

dibandingkan perlakuan A (P<0,05), sedangkan pada perlakuan C 35,71% lebih

tinggi dibandingkan dengan perlakuan B (P<0,05).

Page 186: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [178]

Pembahasan:

Konsumsi pakan yang paling tinggi terjadipada babi landrace dengan

pakan 40% dedak padi tanpa suplementasi starbio (perlakuan A). Hal ini terlihat

jelas bahwa suplementasi starbio mengakibatkan meningkatnya DE pakan. Pada

pakan dengan tingkat energi (DE) yang lebih rendah (A, Tabel 3) ternak akan

mengkonsumsi pakan lebih tinggi untuk pemenuhan kebutuhan energi (Supnet,

1980 dalam Putri, 1994). Penggunaan dedak padi yang tingi dalam pakan

menyebabkan meningkatnya kadar serat kasar dalam pakan sehingga laju aliran

pakan dalam saluran pencernaan meningkat dan sebagian fraksi energi neto akan

hilang untuk gerak peristaltik usus, sehingga babi akan mengkonsumsi pakan

lebih banyak (Lloyd et al., 1978).

Suplementasi starbio dalam pakan babi telah nyata dapat menurunkan

konsumsi pakan, meningkatkan DE, meningkatkan pertambahan berat badan,

meningkatkan PER dan menurunkan FCR (tabel 3, perlakuan B dan C). Hal ini

disebabkan starbio dalam pakan telah meningkatkan aktivitas enzimatiknya untuk

membantu meningkatkan aktivitas pencernaan, sehingga ketersediaan nutrien bagi

babi landrace akan meningkat, sehingga pertambahan berat badan babi landrace

juga meningkat. Perlu dikemukakan di sini bahwa, menurut Sartika et al. (1994),

starbio terdiri atas multimikroorganismeyang menghasilkan enzim yang mampu

memecah lignin, selulosa, lignoselulosa, protein dan lemak. Pencernaan enzimatik

terhdap sumber-sumber karbohidrat dan protein menyebabkan ketersediaan

sumber energi dan asam-aam amino bagi bebi untuk melakukan aktivitas

pertumbuhan.

Menurunnya konsumsi pakan dan meningkatnya pertambahan berat badan

pada babi-babi yang mendapat pakan dengan dedak padi 40% yang

disuplementasi dengan 0,20% (B) dan 0,40% starbio (C), karena meningkatnya

ketersediaan energi dan protein serta sumber-sumber nutrien lainnya sebagai

akibat dari peningkatan pross-proses enzimatik di dalam saluran pencernaan babi

tersebut. Kejadian ini dapat dikatakan pula bahwa penambahan starbio ke dalam

pakan babi akan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Terlihat jelas pada

perlakuan B dan C, dimana terjadi peningkatan angka PER dan penurunan angka

FCR.

Page 187: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [179]

Hasil penelitian menunjukkan pada kotoran babi yang mendapat pakan

yang disuplementasi starbio (perlakuan B dan C) memiliki kadar amonia lebih

rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapat suplementasi starbio

(perlakuan A) (Tabel 4). Hal ini disebabkan starbio yang disuplementasi dalam

pakan dapat meningkatkan kecernaan protein pakan, sehingga protein yang

terbuang melelui feses menurun. Gas amonia ini berasal dari perombakan protein

yang terkandung dalam feses. Protein dalam feses dipecah oleh mikroba menjadi

asam amino dan mengalami proses deaminasi menghasilkan amonia (Sihombing,

1997).

Penggunaan starbio dalam pakan dapat menekan jumlah E. coli, coliform

dan mikroba dalam feses babi. Hal ini disebabkan keberadaan starbio dalam

saluran pencernaan mampu memproduksi hidrogen peroksida (H2O2) yang dapat

menghambat pertumbuhan organisme tersebut (Ritonga. 1992). Keberadaan

starbio disamping menekan pertumbuhan E. coli, juga dapat meningkatkan kadar

vitamin B12, E dan K dalam saluran pencernaan serta menurunkan pH dalam

saluran pencernaan sehingga E. coli dan coliform tidak dapat tumbuh (Sand dan

Hankin (1976).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suplementasi starbio

dalam pakan 40% dedak padi mampu meningkatkan digestible energy (DE),

pertambahan berat badan (PBB), dan protein effisiency ratio (PER) serta

menurunkan konsumsi ransum dan angka feed covertion ratio (FCR).

Suplementasi starbio dalam pakan juga mampu memperbaiki profil kotoran babi

landrace dengan menurunkan kadar amonia, jumlah koloni E. Coli, coliform dan

jumlah mikroba.

Saran

Peternak babi yang selama ini memberikan dedak padi sebagai salah satu

bahan pakan sebaiknya disuplementasi dengan starbio untuk meningkatkan

efisiensi pakan babi sehingga pertumbuhannya lebih bagus.

DAFTAR PUSTAKA

Page 188: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [180]

Lloyd, L.E., B.E. McDonald and E.W. Crampton. 1978. The Carbohyrates and

The Metabolism. In: Fundamental of Nutrition. 2 nd Ed. W.H. Freeman

and Co, San Francisco.

Parakkasi, A. 1990. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik.Cetakan ke-

10. Penerbit Angkasa, Bandung.

Putri, T.I. 1994. Perbaikan lemak tubuh dan karkas babi dengan ransum yang

mengandung bungkil inti kelapa sawit. Tesis. PPs. Univ. Gajah Mada,

Yogyakarta.

Rasyaf, M. 1994. Bahan Makanan Unggas di Indoonesia. Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.

Ritonga, H. 1992. Bakteri sebagai pemicu pertumbuhan. Poultry Indonesia, No.

14/April 1992. Hal 11-13.

Sand, D.C. and L. Hankin. 1976. Fortification of food by fermentation with

lysine excreting mutans of Lactobacilli. J. Agric. Food. Chem. 24.

Saetiika, T,Y., C. Raharjo dan K. Dwiyanto. 1994. Penggunaan probiotik starbio

dalam ransum dengan tingkat protein yang berbeda terhadap performans

kelinci lepas sapih. Balitnak Ciawi, Bogor. Sains Majalah Ilmiah UNIV.

Diponegoro, Semarang.

Scott, M.L., C. Nesheim and R.J. Young. 1992. Nutrition of The Chicken. Publ.

By M.L. Scott an Associates Ithaca, New York.

Sihombing, D..T.H. 1997. Pendaurulangan dan Penanganan Kotoran Ternak. Fak.

Peternakan IPB, Bogor.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1989. Principles and Procedures of Statistics. 2nd

Ed.. McGraw-Hill Int. Book Co., London.

Vestegen, M., S. Tamminga and R. Greers. 1999. Pengaruh Pencemaran |Gas

Terhadap Hewan: dalam Pencernaan pada Sistem Produksi Ternak.

Penyunting: Dewi A. et al.. CV IKIP Semarang Press, Semarang.

Zainudin, D.K.,Dwiyanto dan Suharto.. 1995. Uttilization of probiotic Starbio in

broiler diet with different levels of crude fibre. Bull. Anim. Sci. T.W.

Murti, K.A. Santoso, Suhartanto, Zubrizal, A.Wibowo (Ed). Publ. Of

Anim.b. Gajah Mada University Press.

Page 189: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [181]

PENAMPILAN BABI LANDRACE YANG DIBERIKAN PAKAN

MENGANDUNG ENCENG GONDOK

I Wayan Sudiastra1), I Gd. Mahardika1), K. Budaarsa1), dan N. S.

Dharmawan2) 1) Fakultas Peternakan Universitas Udayana

2) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

e-mail:

ABSTRAK

Penggunaan limbah sebagai bahan penyusun ransum akan memberikan

keuntungan yaitu tidak bersaing dengan manusia, harganya relatif murah serta

dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Salah satu limbah yang

ketersediaannya cukup banyak serta memiliki potensi sebagai bahan pakan ternak

adalah eceng gondok. Penelitian untuk memanfaatkan eceng gondok sebagai

bahan makanan tambahan untuk babi telah dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui bagaimana pengaruh pemberian eceng gondok terhadap pertumbuhan

babi landrace. Enam belas ekor babi digunakan dalam penelitian ini yang

menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan.

Keempat perlakuan tersebut adalah perlakuan A: babi yang mendapat ransum

tanpa eceng gondok, perlakuan B: babi yang mendapat ransum yang ditambah

Page 190: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [182]

dengan 2,5% eceng gondok, perlakuan C: babi yang mendapat ransum yang

ditambah dengan 5% eceng gondok, dan perlakuan D: babi yang mendapat

ransum yang ditambah dengan 7,5% eceng gondok. Hasil penelitian mendapatkan

bahwa pertumbuhan babi yang diberikan pakan mengandung 2,5 sampai 7,5%

eceng gondok dalam ransum tidak berbeda dengan babi yang diberikan pakan

tanpa eceng gondok, namun terjadi kenaikan nilai FCR dan penurunan harga

ransum dengan meningkatnya level eceng gondok.

Kata kunci: babi landrace, eceng gondok, pertumbuhan, efisiensi

PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN LIMBAH HOTEL DALAM

RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG DAN KOMPOSISI FISIK

KARKAS BABI PERSILANGAN (BABI LANDRACE SADDLEBACK)

Tjok Gde Oka Susila, Tjok Istri Putri, dan Tjok Gede Belawa Yadnya

Fakultas PeternakanUniversitas Udayana Denpasar

e-mail: -

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat penggunaan limbah hotel

dalam ransum terhadap berat potong dan komposisi fisik karkas babi persilangan

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan

dan tiga kelompok (ulangan).Ketiga perlakuan tersebut adalah babi diberi ransum

tanpa limbah hotel, 25 dan 50% limbah hotel masing masing untukperlakuan P1,

P2 dan P3. Peubah yang diamati meliputi bobot potong, berat karkas, persentase

karkas, persentase tulang, daging dan lemak dalam karkas. Ransum disusun iso

kalori dan iso protein. Ransum dan air minum diberikan secara adlibitum.Hasil

penelitian menunjukkan bahwa berat potong babi P2 dan P3 masing-masing

10,05 dan 35,95% lebih tinggi dibandingkan babi P1, tetapi secara statistik

berbeda tidak nyata(P>0,05). Berat karkas dan persentase karkas babi P1, P2 dan

Page 191: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [183]

P3 berbeda tidak nyata (P>0,05).Babi P2 menghasilkan persentase daging

berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan babi P1, tetapi persentase tulangnya 8,4%

lebih rendah (P<0,05) dengan persentasa lemak 4,58% lebih tinggi (P<0,05). Babi

P3 mnghasilkam persentasa daging dan tulang masing - masing 6,42 dan 8,04%

lebih rendah (P<0,05) dengan persentasa lemak 14,37% lebih tinggi(P<0,05)

dibandingkan babi P1. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

penggunaan limbah hotel hingga 50% dalam ransum cenderung meningkatkan

berat karkas dan persentase karkas, tetapi menurunkan persentase daging dan

tulang dan meningkatkan persentase lemak secara bermakna. Persentase daging

pada karkas babi yang diberi ransum mengandung 25% limbah hotel sama dengan

kontrol.

THE EFFECT OF HOTEL TANGKAGE IN THE DIET ON SLAUGHTER

WEIGHT AND PHYSICAL CARCASS COMPOSITION OF CROSSING

PIG (BALI PIG × SADDLEBACK )

ABSTRACT

The experiment aim to study the effect of hotel tangkage in the diet on slaughter

weight and physical carcass composition of crossing pig. The completely

randomized block design (CRBD) were used in this experiment consisted of three

treatments and three blocks (replicates). The treatments were diet without hotel

tangkage, 25 and 50% hotel tangkage for treatment P1, P2 and P3.Variable

measured in this experiment were slaughter weight, carcass weight, and meat,

bone and fat percentage of carcass. All diet iso caloric and iso protein. Feed and

water is given adlibitum. Results showed that slaughter weight of pig on treatment

P2 and P3 were 10.05 and 35.95% higher than treatment P1, but statitically were

not significant different (P>0.05).Carcass percentage between pig at treatment P1,

P2 and P3 were not significant different (P>0.05). Meat percentage of carcass of

pig between P2 and P1 were not significantly different (P>0.05), but its bone

percentage 8,4% lower (P<0,05) and fat percentage 4,58% higher than that of pig

P1 (P<0.05). Meat and bone percentage of carcass of pig P3 were 6,4 and 8,04%

lower than pig on P1 (P<0.05), but its fat percentage 14,37% higher than pig on

P1(P<0.05). Based on results of the expriment it can be concluded that level of

hotel tangkage until 50% in the diet, tend to increase slaughter weight and carcass

percentage of crossing pig, but decrease meat and bone percentage of carcass,

meat percentage of carcass of pig on treatment P2 and P1 were similar.

PENDAHULUAN

Seiring dengan laju pertambahan penduduk, pendapatan perkapita dan

kesadaran gizi masyarakat, kebutuhan daging semakin meningkat

pula.Peningkatan kebutuhan daging perlu diimbangi dengan peningkatan produksi

ternak agar tercapai keseimbangan antara kebutuhan dengan persediaan daging

tersebut. Salah satu ternak yang berpotensi untuk dikembangkan di Bali adalah

ternak babi, disamping karena ternak babi lebih efisien menggunakan bahan

Page 192: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [184]

pakan dibandingkan ternak lain (Parakkasi, 1990), namun juga karena babi

beranak banyak 6-12 ekor banyak digunakan dalam menunjang sosial budaya

masyarakat Hindu di Bali dan dari segi citarasa daging babi sangat diminati

masyarakat non muslim didaerah ini. Peningkatan produktivitas ternak babi

dihadapkan pada masalah tingginya biaya pakan yakni mencapai 55-85% dari

seluruh ongkos produksi (Parakkasi, 1985). Oleh karena itu perlu dicari bahan

pakan alternatif yang harganya murah, salah satu diantaranya dengan

memanfaatkan limbah hotel karena 64% limbah padat dihasilkan hotel berbintang

dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan untuk ternak babi (Rika et al., 1996).

Lebih lanjut dinyatakan sebagai pakan ternak limbah hotel yang dapat

dimanfaatkan sebagai pakan ternak ini mengandung 25,50- 27,79% bahan kering;

15,55-23,92% protein kasar; 16,4-24,05 lemak kasar; 1,70-3,30% serat kasar;

3997-4375 kkal energi tercerna/kg; 4,31- 9,06% mineral kalsium dan 4,29-6,53%

mineral fosfor. Babi sedang tumbuh memerlukan ransum dengan kadar lemak 5-

15% dan serat kasar 5-7% (ARC, 1967). Ternak babi yang diberi ransum dengan

kadar lemak yang tinggi akan menghasilkan karkas dengan persentasa lemak

yang tinggi pula(Soeparno, 1994), akibatnya karkas kurang disukai konsumen.

Oleh karenanya penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak babi perlu

dicampur dengan bahan pakan yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui tingkat penggunaan limbah hotel dalam ransum babi yang dapat

menghasilkan bobot potong yang tinggi dengan persentasa daging karkas

maksimal dan pesentasa lemak karkas optimal dan persentasa tulang minimal.

MATERI DAN METODA

Materi

Ternak

Babi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil persilangan (babi

bali × Saddleback) jantan kebiri lepas sapih, sebanyak 18 ekor dengan berat badan

awal 6,97 ± 0,06 kg yang dibeli dari penjual bibit babi di Kabupaten Tabanan.

Kandang dan Perlengkapan

Penelitian ini menggunakan 9 petak kandang yang masing-masing

berukuran panjang 2,0 m, lebar 1,0 m, dan tinggi 1,0 m. Dinding kandang

Page 193: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [185]

menggunakan bambu, atap asbes, dan lantai beton. Tempat pakan menggunakan

kayu dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 15 cm dan tempat air

minum menggunakan ember plastik.

Ransum dan Air Minum

Bahan penyusun ransum terdiri atas jagung kuning, dedak padi, bungkil

kelapa, tepung ikan dan limbah hotel. Limbah hotel diperoleh dari hotel Dysnasti

yang beralamat di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Sebelum dicampur

dengan bahan lainnya, limbah hotel dipisahkan dari bagian-bagian yang tidak

dapat dikonsumsi ternak babi seperti: botol, kaleng, dan bahan yang terbuat dari

plastik, kertas dan lain-lain.Selanjutnya bagian limbah hotel yang dapat

dimanfaatkan sebagai pakan babi dicincang terlebih dahulu hingga homogen.

Limbah hotel digunakan dalam penelitian ini mengandung 26,90% bahan kering,

4375,11 Kkl energi tercerna/kg, 20,78 % protein kasar, 1,70% serat kasar, 24,05%

lemak kasar, 6,87 % kalsium dan 4,29 % fosfor. Susunan ransum disesuaikan

dengan perlakuan. Kandungan zat-zat makanan dalam ransum disusun

berdasarkan rekomendasi ARC (1967). Komposisi ransum tertera pada Tabel 1

dan Tabel 3, sedangkan kandungan nutrien dalam ransum tertera pada Tabel 2 dan

Tabel 4.Pemberian ransum dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi pukul 07.00 Wita

dan sore pukul 17.00 Wita. Pemberian air minum secara ad libitum.Tempat air

minum dibersihkan setiap hari.

Alat-Alat yang Digunakan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain,gergaji besi,

timbangan “ shalter” berkapasitas 25 kg dengan skala 0,01 kg, golok, tali, bambu,

air panas (70-800C), dan pisau silet.

Tabel 1. Komposisi Bahan Penyusun Ransum Babi Berat 5 – 10 kg

Bahan

Perlakuan

P1 P2 P3

Limbah hotel 0,00 25,00 50,00

Jagung kuning 45,80 27,35 12,90

Dedak padi 22,00 18,75 24,35

Bungkil kelapa 2,40 10,05 0,05

Page 194: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [186]

Tepung ikan 4,02 1,17 2,65

Bungkil kedele 24,98 17,14 9,75

Tepung tulang 0,50 0,24 0,00

Garam dapur 0,15 0,15 0,15

Pig mix 0,15 0,15 0,15

Total 100,00 100,00 100,00

Keterangan :

P1 = Ransum tanpa limbah hotel

P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel

P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel

Tabel 2. Komposisi Nutrien Dalam Ransum Babi Berat 5 – 10 kg

Zat – Zat Makanan

Perlakuan

P1 P2 P3 Standar 1)

Energi Tercerna (Kkal/kg) 3500,14 3500,04 3490,39 3,500,00

Protein Kasar (%) 20,56 20,25 20,06 20,00

Lemak Kasar (%) 5,54 8,97 13,95 10,002)

Serat Kasar (%) 3,83 4,68 3,22 6,002)

Kalsium (%) 0,60 1,79 3.47 0,80

Fosfor (%) 0,70 1,88 3,19 0,65

Keterangan :

P1 = Ransum tanpa limbah hotel

P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel

P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel 1) = NRC (1979) 2) = ARC ( 1967)

Tabel 3. Komposisi Bahan Penyusun Ransum Babi Berat 10 – 20 kg

Bahan Makanan Perlakuan

P1 P2 P3

Limbah Hotel 0,00 25,00 50,00

Jagung Kuning 67,00 40,00 11,50

Dedak Padi 3,50 11,95 12,15

Bungkil Kelapa 4,58 12,50 24,20

Tepung Ikan 5,50 6,00 0,50

Bungkil Kedele 15,98 2,20 0,30

Tepung Tulang 3,14 2,05 1,05

Garam Dapur (NaCL) 0,15 0,15 0,15

Pig Mix 0,15 0,15 0,15

Page 195: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [187]

Total 100,0 100,00 100,00

Keterangan :

P1 = Ransum tanpa limbah hotel

P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel

P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel

Tabel 4. Komposisi Nutrien Dalam Ransum Babi Berat 10 – 20 kg

Zat – Zat Makanan Perlakuan

P1 P2 P3 Standar 1)

Energi tercerna (Kkal/kg) 3370,09 3370,12 3370,22 3370,00

Protein Kasar (%) 18,18 18,00 18,44 18,00

Lemak Kasar (%) 4,13 8,58 11,96 10,002)

Serat Kasar (%) 3,37 4,16 5,90 6,002)

Kalsium (%) 0,60 1,86 3,43 0,65

Fosfor (%) 0,72 1,81 3,08 0,55

Keterangan :

1) = NRC ( 1979 )

2) = ARC ( 1967 )

Metoda

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yng digunakan adalah rancangan acak kelompok

(RAK) yang terdiri atas 3 perlakuan dan 3 kelompok (ulangan). Ketiga perlakuan

tersebut yaitu ransum tanpa limbah hotel (P1), ransum mengandung 25% limbah

hotel (P2), dan ransum mengandung 50% limbah hotel (P3). Untuk tiap perlakuan

dalam satu ulangan menggunakan 2 ekor babi, sehingga digunakan 18 ekor babi.

Tempat dan Lama Penelitian

Penelitian dilakukan dirumah seorang peternak yang tinggal di Jalan

Sidakarya 58 Denpasar. Penelitian dilaksanakan selama 8 minggu. Sebelum

pengumpulan data dilakukan penelitian pendahuluan selama 1 minggu untuk

memberi kesempatan pada babi untuk beradaptasi dengan lingkungan serta

pakan yang akan diberikan selama penelitian.

Cara Mencampur Ransum

Bahan pakan selain limbah hotel dicampur 5 hari sekali. Untuk ransum

yang mengandung limbah hotel, pencampuran dengan limbah hotel dilakukan 2

kali sehari yakni menjelang waktu pemberian pakan.

Pencegahan Penyakit

Page 196: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [188]

Untuk mencegah timbulnya penyakit, sebelum percobaan dimulai semua

babi divaksinasi dengan menggunakan vaksin SE dengan dosis 1 cc per ekor

melalui suntikan intramuskuler. Disamping itu juga diberikan obat cacing

combatrin dengan dosis tablet per ekor yang diberikan melalui makanan.

Kandang babi dibersihkan setiap hari.

Prosedur Pemotongan Babi

Setelah pengamatan terhadap penampilan/pertumbuhan berakhir, sejumlah

babi dipotong untuk mengetahui komposisi fisik karkas yang dihasilkan. Jumlah

babi yang dipotong sebanyak 9 ekor. Setiap perlakuan dipotong 3 ekor babi. Babi

yang dipotong adalah babi yang berat badannya paling mendekati berat badan

rata-rata dalam masing-masing perlakuan.

Sebelum dipotong babi tersebut dipuasakan selama 12 jam, setelah itu

ditimbang untuk memperoleh berat potong. Pemotongan dilakukan dengan

memotong Vena Cava Anterior. Darah dikeluarkan, bulu dan kulit dibersihkan

dengan cara mencelupkan ke dalam air yang suhunya 700C-800C selama ± 5 menit

lalu digosok sampai kulit arinya terkelupas. Pembersihan sisa bulu dan kulit

arinya dilakukan dengan pisau, selanjutnya dibersihkan dengan air dingin. Organ-

organ di dalam rongga perut dan rongga dada dikeluarkan melalui sayatan pada

bagian linea mediana. Pemisahan bagian karkas dengan cara pemotongan kepala

pada articulatio atlantoocipitalis dengan otot pipi yang masih melekat pada

karkas, kaki depan dan kaki belakang yang bertaut pada karkas dipotong masing-

masing pada articulaatio carpometacarpeae dan articulatio tarso metataerseae.

Setelah semua lemak pelvis dan lemak abdominal dikeluarkan lalu karkas

ditimbang untuk mengetahui berat karkas segarnya (Pond dan Mener, 1974).

Membelah dan Memisahkan Karkas

Sebelum dilakukan pembelahan karkas terlebih dahulu bagin kepala

dipisahkan dengan jalan memotong tepat dibelakang telinga yaitu antara tulang

atlas dan sendi putar. Karkas digantung dengan jalan menusuk bagian tendo

ulnaris internal kemudian direntangkan sehingga dengan demikian karkas dalam

keadaan terbalik. Kemudian dibelah degan gergaji tepat ditengah-tengah dari arah

posterior ke anterior sehingga menjadi 2 bagian yang sama. Belahan karkas

ditimbang dengan menggunakan timbangan shalter, selanjutnya dipisahkan untuk

Page 197: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [189]

mengetahui berat bagian daging , tulang dan lemak.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diukur antara lain: berat potong, berat karkas, persentase

karkas dan komposisi fisik karkas (daging, tulang dan lemak).

Analisis Statistika

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragamm selanjutnya bila antar

perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P< 0,05) dilanjutkan dengan uji jarak

berganda dari Duncan’s ( Steel and Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berat Potong

Berat potong babi yang diberi ransum tanpa limbah hotel (P1) adalah

13,63 kg /ekor (Tabel 5). Babi yang diberi ransum mengandung 25% (P2) dan 50%

limbah hotel (P3) menghasilkan bobot potong 10,05 dan 35,95% lebih tinggi

dibandingkan dengan babi yang mendapat perlakuan P1 akan tetapi secara

statistik perbedaan tersebut tidak nyata (P>0,05). Berat potong babi yang

mendapat perlakuan P3 23,53% lebih tinggi dibandingkan P2 (P>0,05).

Berat Karkas

Rata-rata berat karkas babi yang mendapat perlakuan P1 adalah 8,18 kg

(Tabel 5), sedangkan babi yang mendapatkan perlakuan P2 dan P3 memiliki berat

karkas 9,78 dan 37,65 % lebih berat dibandingkan dengan babi yang mendapat

perlakuan P1 ( P>0,05). Berat karkas babi P3 25,3% lebih tinggi dibandingkan P2

(P>0,05).

Persentase Karkas

Persentase karkas babi antar ketiga perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05)

(Tabel 5). Persentase karkas babi yang mendapat perlakuan P1 adalah 59,37%.

Persentase karkas babi P2 dan P3 masing-masing 0,94 dan 1,23 % lebih tinggi

dari P1. Persentase karkas babi P3 lebih tinggi 0,28 % dari babi P2 ( P>0,05).

Tabel 5. Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Hotel dalam Ransum terhadap Bobot Potong.

Berat karkas,dan Persentasa Karkas Babi Persilangan (Babi Bali × Babi Saddleback)

Produksi Karkas Perlakuan

Page 198: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [190]

P11) P2 P3 SEM2)

Berat Potong (kg) 13,63a 15,00a 18,53a 1,19

Berat Karkas (kg) 8,18a 8,98a 11,26a 1,54

Persentase Karkas (kg) 59,37a 59,93a 60,10a 2,72

Keterangan :

P1 = Ransum tanpa limbah hotel

P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel

P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel 1) = nilai dengan huruf yang sama dalam baris yang sama berbeda tidak nyata ( P>0,05 ) 2) SEM = standar error of the treatment meant

Komposisi Fisik Karkas

Persentase daging dalam karkas babi yang mendapatkan ransum P1 adalah

52,93% (Tabel 6). Babi yang mendapatkan perlakuan P2 memiliki prosentase

daging karkas yang berbeda tidak nyata ( P>0,05)dengan babi yang mendapatkan

perlakuan P1. Persentase daging pada karkas babi yang mendapat perlakuan P3,

6,42 % lebih rendah dibandingkan babi P2 (P< 0,05).

Persentase tulang dalam karkas babi yang mendapatkan perlakuan P1 adalah

16,29 % (Tabel 6), sedangkan persentase tulang pada babi perlakuan P2 dan P3

masing-masing 8,41% dan 15,78% lebih rendah dibandingkan persentase tulang

babi yang mendapat perlakuan P1 (P<0,05). Persentase tulang pada karkas babi

perlakuan P3 8,04 % lebih rendah dari pada persentase tulang karkas babi P2

(P<0,05).

Tabel 6. Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Hotel dalam Ransum terhadap Komposisi Fisik

Karkas Babi Persilangan (Babi Bali × Babi Saddleback)

Komposisi Fisik

Karkas

Perlakuan

SEM2) P1 P2 P3

Daging (%) 52,93a 52,89a 49,53b 0,69

Tulang (%) 16,29a 14,92b 13,72c 0,10

Lemak (%) 30,78a 32,19b 36,75b 0,69

Keterangan :

P1 = Ransum tanpa limbah hotel

P2 = Ransum mengandung 25 % limah hotel

P3 = Ransum mengandung 50 % limbah hotel 1) = nilai dengan huruf yang sama dalam baris yang sama berbeda tidak nyata ( P > 0,05 ) 2) SEM = standar error of the treatment meant

Page 199: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [191]

Babi yang mendapatkan perlakuan P1 memiliki persentase lemak dalam

karkas 30,78 % (Tabel 6). Babi mendapat perlakuan P2 memiliki persentase

lemak karkas 4,58 % lebih tinggi dibandingkan P1 (P<0,05), sedangkan karkas

babi yang mendapat perlakuan P3 menghasilkan persentase lemak karkas 19 39%

lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan babi P1 dan 14,17% lebih tinggi

dibandingkan babi P2 (P>0,05).

Pembahasan

Berat potong babi yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan

perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) diantara ketiga perlakuan. Ini berarti

penggunaan limbah hotel hingga 50% mampu menghasilkan berat potong yang

secara statistik berbeda tidak nyata dengan babi yang diberi ransum tanpa limbah

hotel. Perbedaan yang tidak nyata pada berat potong disebabkan karena

kandungan energi ransum antar ketiga perlakuan sama(Tabel 2), sehingga

dikonsumsi dalam jumlah yang sama, akibatnya menghasilkan berat potong yang

berbeda tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sosroamidjojo dan Soeradji

(1990) yang menyatakan bahwa pertumbuhan erat kaitanny dengan konsumsi

ransum, yang juga mencerminkan konsumsi gizinya. Secara kuantitatif ada

kecenderungan bobot potong babi yang mendapat perlakuan P2 dan P3 lebih

tinggi dibandingkan babi P1.Lebih tingginya berat potong babi P2 dan P3

disebabkan karena ransum pada P2 dan P3 mengandung limbah hotel yang

sebagian besar (62-82 %) sudah dimasak (Rika et al., 1996), sehingga mudah

dicerna dalam saluran pencernaan yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah

nutrien yang tersedia untuk mensintesis jaringan tubuh, akibatnya berat potong

yang dihasilkan menjadi lebih tinggi.

Babi yang diberi perlakuan P2 dan P3 menghasilkan persentase karkas yang

berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan babi P1. Hal ini disebabkan karena nutrien

yang dikonsumsi ternak didistribusikan secara proporsional di dalam tubuh,

akibatnya prosentase karkas yang dihasilkan sama. Perbedaan yang tidak nyata

pada persentase karkas dari ketiga perlakuan juga dikarenakan saat dipotong berat

babi pada ketiga perlakuan berbeda tidak nyata pula. Hal ini sesuai dengan

pendapat Pond dan Mener (1984), yang menyatakan bahwa makin tinggi berat

potong maka berat karkas yang dihasilkan semakin tinggi pula, sehingga pada

Page 200: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [192]

berat potong berbeda tidak nyata akan menghasilkan berat karkas yang berbeda

tidak nyata pula.

Persentase daging dalam karkas babi antara P1dan P2 menunjukkan

perbedaan yang tidak nyata tetapi persentase daging babi P3 nyata (P<0,05) lebih

rendah dibandingkan dengan persentase daging dalam karkas babi P1 dan P2.

Penurunan persentase daging dalam karkas babi P3 disebabkan karena persentase

lemak dalam karkas meningkat (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan pendapat

Soeparno (1994) yang menyatakan bahwa peningkatan salah satu komponen

penyusun karkas akan mengakibatkan penurunan komponen penyusun karkas

lainnya.

Persentase tulang dalam karkas babi P2 dan P3 nyata (P<0,05) lebih rendah

dibandingkan dengan persentase tulang karkas babi P1. Rendahnya persentase

tulang pada babi P2 dan P3 disebabkan karena persentase lemak karkas babi P2

dan P3 lebih tinggi dari persentase lemak dalam karkas babi P1(Tabel 6).Sesuai

dengan pendapat Soeparno (1994) yang menyatakan bahwa peningkatan salah

satu komponen karkas akan mengakibatkan penuran komponen penyusun karkas

yang lain. Rendahnya persentase tulang dalam karkas babi P2 dan P3 erat

kaitannya dengan berat potong. Berat potong babi P2 dan P3 lebih tinggi

dibandingkan dengan berat potong babi P1 (Tabel 5) akibatnya persentase tulang

karkas babi P2 dan P3 lebih rendah dibandingkan babi P1. Hal ini sesuai dengan

pendapat Pond dan Manner (1984) yang menyatakan bahwa makin tinggi bobot

potong makin rendah persentase tulang dalam karkas.

Babi yang mendapat perlakun P2 dan P3 menghasilkan persentase lemak

karkas yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1 (P<0,05). Hal ini disebabkan

karena kandungan lemak kasar pada ransum P2 dan P3 lebih tinggi dari

kandungan lemak kasar ransum babi P1 (Tabel 2 dan Tabel 4). Tingginya

kandungan lemak kasar ransum menyebabkan meningkatnya konsumsi energi

sehingga meningkatkan kandungan lemak tubuh, sesuai dengan pendapat Supnet

dan Alkantara (1978) yang menyatakan bahwa babi yang mengkonsumsi energi

tinggi akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen atau juga diubah

menjadi lemak yang disimpan di dalam tubuh. Tingginya persentase lemak dalam

karkas babi P2 dan P3 juga disebabkan karena kandungan serat kasar pada ransum

Page 201: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [193]

P2 dan P3 lebih rendah dari ransum P1 akibatnya kecernaan ransum meningkat

dan pada gilirannya energi yang disimpan dalam bentuk lemak meningkat.

SIMPULAN

1. Penggunaan limbah hotel pada aras 25-50% dalam ransm tidak berpengaruh

pada berat potong, berat karkas dan persentasa karkas babi persilangan

(babi bali × Sadddleback)

2. Penggunaan limbah hotel pada aras 25% dalam ransum menghasilkan

persentasa daging karkas yang sama,dengan persentasa,tulang yang lebih

rendah dan persentasa lemak yang lebih tinggi dibandingkan kontrol

3. Penggunaan limbah hotel pada aras 50% dalam ransum menghasilkan

persentase daging dan tulang karkas yang lebih rendah, namun persentase

lemaknya lebih tinggi dibandingkan kontrol

SARAN

Perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan babi yang barat badannya

lebih berat dan penelitian dalam kurun waktu yang lebih lama hingga mencapai

berat badan akhir 100kg.

DAFTAR PUSTAKA

Agriculture Research Council.1967. The Nutrient Requirement of Farm Livestock.

3 ed. Pigs.ARC London.

National research council,1970. Nutrient Requirement of Domestic Animal 2.

Nurient Requirement of Swine.8th Rev.Ed. NRC Washington, DC.

Parakkasi, A.1990. Ilmu Gizi Dan Makanan Ternak Monogastrik, Penerbit

Angkasa Bandung

Pond, W.G and J.H.Mener.1974.Swine Production In Tmperate And Tropical

Enviroment, 2 Ed-WH. Freeman and Co, Saw ransisco, USA

Rika, I K., T.G.O Susila, N.K. Candraasih dan I W. Redjonta, 1995. Potensi

Limbah Hotel Dalam Mendukung Usha Peternakan Babi di Kabupaten

Badung. Laporan Kegiatan Penelitian Kaji Tindak. Kerjasama LPM Unud

Dengan Pemda Tk.II Badung

Steel, R. G.D. and J.H.Trorrie 1989.Principle and Proscedures of Statistic.

Mc.Graw Hill. Book company Inc.New york, USA

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknolgi Daging. Gadjah Mada UniversityPress.

Yogyakarta

Supnet, M.G. and P.F. Alcantara. 1978. Common Feed In Stuffs For Swine. Pork

Production Manual.

Page 202: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [194]

DISTRIBUSI LEMAK KARKAS BABI PERSILANGAN SADDLEBACK

DENGAN BABI BALI YANG DIBERI RANSUM TRADISIONAL

DENGAN SUPLEMENTASI RUMPUT LAUT

Siti, Ni W., Ni M.Suci Sukmawati, Ni G. K. Roni, Ni M. Witariadi, N. N.

Candraasih K., dan I N. Ardika

Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan

Universitas Udayana Denpasar

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Page 203: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [195]

Penelitian telah dilakukan selama 12 minggu bertujuan untuk mengetahui

distribusi lemak karkas babi persilangan sadleback dengan babi bali yang diberi

ransum tradisional disuplementasi dengan rumput laut. Rancangan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) terdiri

dari tiga macam perlakuan ransum tradisional (T) yang masing-masing

disuplementasi dengan rumput laut (R) yaitu : 0% (T100 R0), 10% (T90R10) dan 20%

(T80R20) dalam bahan kering. Pada setiap perlakuan terdiri dari tiga kelompok

masing-masing diisi dua ekor babi persilangan sadleback dengan babi bali

sehingga jumlah babi yang digunakan 18 ekor dengan berat badan awal 4,13 kg.

Data yang didapatkan dianalisis dengan sidik ragam, jika diantara perlakuan

menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P <0,05) dilanjutkan dengan uji

Duncan`s (Steel dan Torrie, 1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

persentase lemak pada recahan loin dengan perlakuan (T100 R0) dan (T80R20)

masing-masing 45,47% dan 63,60% lebih rendah dibandingkan perlakuan (T100

R0), secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Demikian pula persentase lemak pada

recahan Boston Butt lebih rendah masing-masing 14,99% (P>0,05) dan 53, 00%

(P<0,05). Persentase lemak pada recahan Bacon Belly pada perlakuan T90R10

danT80R20 masing-masing 49,81% dan 71,61% lebih rendah dibandingkan dengan

perlakuan (T100 R0), secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Demikian juga

persentase lemak pada recahan Spare Ribs nyata lebih rendah masing-masing

26,79% dan 73,47% (P<0,05). Persentase pada recahan Ham, Jowl dan Picnic

Shoulder pada perlakuan T90R10dan T80R20 menunjukkan perbedaan yang tidak

nyata (P>0,05) dengan perlakuanT100 R0. Dari hasil penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa suplementasi rumput laut 10% sampai 20% dalam ransum

tradisional dapat menurunkan persentase lemak pada recahan Loin, Bacon Belly,

Boston Butt dan Spare Ribs pada babi persilangan sadleback dengan babi bali.

Kata kunci: ransum tradisional, rumput laut, distribusi lemak babi, persilangan

sadleback bali

FAT DISTRIBUTION ON THE CARCASS OF SADDLEBACK BALI

CROSSBRED PIGS FED WITH TRADITIONAL DIETS

SUPPLEMENTED WITH SEAWEED

ABSTRACT

An experiment was carried out for 12 weeks to study the fat distribution on the

carcass of saddleback x bali crossbred pigs fed with traditional diets supplemented

with seaweed. Completely randomized block design arrangement consisted of

three tratmentss on traditional diets (T) supplemented with seaweed (R) = 0%

(T100R0), 10% (T90R10) and 20% (T80R20) in dry matter basis respectively. Each

Page 204: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [196]

treatment consested of three blocks, two crossbred pigs in each block, so that total

pigs used are 18 with an initial body weight of 4.13 kg. The data obtained was

analyzed with variance analysis and Duncan`s test (Steel and Torrie, 1989). Result

of the experiment showed that the fat percentage of the cuts Loin supplemented

with 10% and 20% seaweed (T90R10) dan (T80R20) was 45.47% and 63.60% lower

than those pigs T100R0 respectively, and the differences was statistically

significant (P<0.05). The fat percentage of the cuts of Boston Butt was

respectively 14.99% (P>0.05) and 53.00% lower (P<0.05). The fat percentage of

the cuts of Bacon Belly T90R10 and T80R20 was 49.81% and 71.61% lower than

dose pigs T100R0 resvectively, and the differences was statistically significant

(P<0.05). The fat percentage of the cuts of Spare Ribs was respectively 26.79%

and 73.47% lower (P<0.05). The fat percentage of the cuts of Ham, Jowl, and

Picnic Shoulder T90R10 and T80R20 was not statistically significant (P >0.05) than

dose pigs T100R0. It Could be concluded that supplementation with 10 to 20%

seaweed to traditional diets decreases fat percentage of the cauts of Loin, Boston

utt, Bacon Belly and Spare Ribs of saddleback bali crossbred pigs.

Key words : traditional diets. Seaweed, fat distribution on the carcass, saddleback

bali crossbred pigs

PENDAHULUAN

Jumlah lemak antara depo-depo dan distribusinya pada karkas adalah

penting dalam menilai mutu komersial karkas. Diatnara komponen-komponen

utama karkas (daging, tulang dan lemak), lemak adalah jaringan yang tumbuh dan

berkembang belakangan, dan penimbunannya di dalam tubuh meningkat bila

hewan telah mencapai dewasa tubuh.

Makanan yang mengandung lemak tinggi belakangan ini cenderung

dihindari oleh masyarakat, terutama masyarakat dari kalangan menengah ke atas.

Hal tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian penyakit jantung

koroner yang sering menimbulkan kematian. Daging dan produk hewan lainnya

sampai saat ini dicurigai sebagai sumber yang menyebabkan penyakit tersebut.

Melihat kenyataan demikian, banyak masyarakat mulai mengurangi konsumsi

daging dan produk hewan lainnya. Namun fenomena tersebut merupakan kondisi

yang kurang menguntungkan bagi pemerintah, mengingat daging sebagai sumber

protein hewani yang kaya akan asam - sam sensial masih sangat diperlukan bagi

masyarakat Indonesia.

Pada peternakan babi yang diusahakan secara tradisional di Bali,

pertumbuhan babi terlambat karena mutu pakannya rendah yang umumnya terdiri

Page 205: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [197]

dari sisa-sisa dapur, daun-daunan, batang pisang, dedak padi dan bungkil kelapa

(Nitis, 1967). Untuk ternak babi ada tiga jenis asam amino esensial yang

dibutuhkan yaitu lisisn, metionin dan triptofan (Krider dan Carrol, 1971)

sedangkan pada pakan babi yang diusahakan secara tradisional, jumlah asam

amino tersebut sangat kurang. Untuk meningkatkan nilai gizi ransum tradisional

babi di Bali maka diusahan untuk mencari bahan-bahan pakan yang bermutu baik

dan harganya dapat dijangkau. Berbagai macam bahan yang dapat digunakan

salah satu diantaranya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan bahan pakan

bermutu dengan kandungan asam amino esensialnya cukup tinggi. Bagi ternak

babi mutu protein merupakan kebutuhan yang esensial, sehingga secara mutlak

harus terdapat dalam ransum. Mutu protein dipengaruhi oleh kandungan asam-

asam aminonya. Menurut Pond dan Manner, 1974 rumput laut mengandung lisin

2,71%, metionin 0,73% dan triptopan 1,04% (berdasarkan bahan kering).

Beberapa hasil penelitian pemanfaatan rumput laut pada ransum babi

diantaranya Bagiada (1986) mendapatkan bahwa subsetitusi ransum tradisional

dengan rumput laut 7% dapat menurunkan kadar kolesterol dan daging babi.

Endang (1986) mendapatkan bahwa substitusi ransum tradisional babi bali dengan

rumput laut 7% dapat menurunkan trigliserida serum dan meningkatkan total

protein serum pada babi bali. Budaarsa (1997) melaporkan bahwa penambahan

rumput laut dan sekam padi pada taraf 10% mampu menurunkan lemak karkas

dan kolesterol daging babi landrace. Berdasarkan uraian di atas, masih

kurangnya data tentang pemanfaatan rumput laut untuk menurunkan lemak dalam

karkas babi persilangan saddleback dengan babi bali maka penelitian ini

dilakukan.

MATERI DAN METODE

Ternak yang digunakan adalah ternak babi persilangan saddleback dengan

babi bali sebanyak 18 ekor dengan berat badan 4,13 kg.

Kandang yang digunakan adalah kandang individu sebanyak 9 petak

dengan ukuran p l t masing-masing 2,21 1,37 0,93 cm.Lantai kandang

terbuat dari semen dan atap dari genteng. Setiap kandang dilengkapi dengan

Page 206: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [198]

tempat pakan terbuat dari karet ban berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter

47 cm dan tinggi 11 cm, dan tempat air minum terbuat dari semen dengan ukuran

26 26 13 cm.

Pakan yang diberikan adalah pakan tradisional terdiri dari 90% dedak padi,

7% buungkil kelapa dan 3% batang pisang, disuplementasi dengan rumput laut

0%, 10% dan 20% (berdasarkan bahan kering). Rumput laut yang digunakan dari

jenis Gracilaria spp, diperoleh di pasar Badung.

Tabel 1. Komposisi bahan penyususn ransum

Bahan-bahan (%) Perlakuan

T100R0 T90R10 T80R20

Rumput laut (Gracilaria spp) - 10 20

Ransum Tradisional (T)

- Dedak padi 90 81 72

- Bungkil kelapa 7 6,30 5,6

- Batang pisang 3 2,70 2,4

Total 100 100 100

Keterangan:

T100R0 = Ransum tradisional 100% tanpa suplementasi rumput laut

T90R10 = Ransum tradisional 90% dengan suplementasi rumput laut 10%

T80R20 = Ransum tradisional 80% dengan suplementasi rumput laut 20%

Tabel 2. Komposisi zat-zat makanan (% bahan kering)

Zat-zat makanan (1) Perlakuan

T100R0 T90R10 T80R20 Standar2

DM (%) 100 100 100 100

DE (kkal/kg 3555 3408 3260 3756

CP (%) 15,22 15,35 15,49 17,78

DE/CP ratio (%) 233,57 222,02 210,46 211,25

CF (%) 12,81 12,20 11,59 5-7 3

EE/Fat (%) 15,90 14,34 12,79 5,56-16,7

Ca (%) 0,12 0,34 0,56 0,67

P (%) 1,80 1,66 1,53 0,56

Ca/P ratio (%) 0,07 0,20 0,37 1,20

Keterangan: (1) Hasil perhitungan dari komposisi zat-zat makanan menurut Hartadi et al. (1990) (2) Standard N.R.C. (1973) (3) Standard A.R.C. (1967)

Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak

kelompok (RAL) yang terdiri dari tiga perlakuan ransum, setiap perlakuan terdiri

dari tiga kelompok (ulangan), masing-masing kelompok diisi dua ekor babi

persilangan saddleback dengan babi bali, sehingga jumlah babi yang digunakan

18 ekor. Ketiga perlakuan tersebut adalah ransum tradisional 100% tanpa

suplementasi rumput laut /0%(T100R0), ransum tradisional 90% disuplementasi

rumput laut 10% (T90R10) dan ransum tradisional 80% disuplementasi rumput laut

Page 207: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [199]

20% (T80R20).

Variabel yang diamati dan cara pengukurannya

Setelah pemeliharaan selama 12 minggu, maka babi-babi tersebut

dipotong untuk diamati lemaknya. Karkas digantung untuk dibelah menjadi dua

bagian yang dilakukan membujur tepat pada pertengahan sepanjang tulang

belakang. Pemisahan masing-masing recahan karkas dilakukan menurut cara Pond

dan Maner (1974) yaitu : Ham, Loin, Boston Butt, Jowl, Bacon Bally, Spare Ribs

dan Picnic Shoulder. Tiap-tiap recahan karkas kemudian didiseksi untuk

memisah-misahkan komponen-komponen lemak subkutan dan lemak

intramuskuler, Masing-masing variabel yang telah didapatkan kemudian

ditimbang.

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila di antara

perlakuan menunjuuka perbedaan yang nyata (P <0,05) dilanjutkan dengan uji

jarak berganda Duncan`s (Steel dan Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase lemak Ham pada perlakuan ransum tradisional 100% tanpa

rumput laut (T100R0) adalah 4,90% (Tabel 3). Suplementasi rumput laut 10% dan

20% dalam ransum tradisional (T90R10dan T80R20) dapat menurunkan lemak Ham

masing-masing 0,61% dan 45,10%, namun secara statistik menunujukkan

perbedaan yang tidak nyata ( P>0,05). Demikian juga persentase lemak Ham,

pada perlakuan T80R20tidak nyata lebih rendah 44,76% (P >0,05) daripada

perlakuan T90R10.

Secara statistik persentase lemak Loin pada perlakuan

T90R10danT80R20nyata lebih rendah masing-masing 45,47% dan 63,60% (P <0,05)

dibandingkan dengan perlakuan T100R0(Tabel 3). Persentase lemak Loin pada

perlakuan T80R20tidak nyata lebih rendah 33,26% (P>0,05) dibandingkan dengan

perlakuan T90R10.

Persentase lemak Boston Butt pada perlakuan T90R1014,99% lebih rendah,

namun secara statistik berbeda tidak nyata (P >0,05), tetapi persentase Boston

Buttpada perlakuan T80R20nyata lebih rendah 53% dan 44,71% (P<0,05)

dibandingkan dengan perlakuan T100R0 dan T90R10(Tabel 3).

Page 208: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [200]

Pada perlakuan T100R0persentase lemak Jowl adalah 1,71% (Tabel 3).

Persentase lemak Jowl pada perlakuan T90R10lebih tinggi 24,56% dan perlakuan

T80R20lebih rendah 21,64% dibandingkan dengan perlakuan T100R0 namun secara

statistik berbeda tidak nyata (P >0,05). Demikian pula persentase lemak Jowl pada

perlakuan T80R20tidak nyata lebih rendah 37,09% (P >0,05) dibandingkan dengan

perlakuan T90R10.

Tabel 3. Distribusi lemak dalam karkas babi Saddleback x babi bali yang diberi ransum tradisional

disuplementasi rumput laut

Variabel Perlakuan 1) SEM 2)

T100R0 T90R10. T80R20

Lemak Ham (%) 4,90 a 3) 4,87 a 2,69 a 0,80

Lemak Loin (%) 7,72 a 4,21 b 2,81 b 0,50

Lemak Boston Butt (%) 6,34 a 5,39 a 2,98 b 0,32

Lemak Jowl (%) 1,71 a 2,13 a 1,34 a 0,37

Lemak Bacon Bally (%) 7,89 a 3,96 b 2,24 c 0,36

Lemak Spare Ribs (%) 3,92 a 2,87 b 1,04 c 0,02

Lemak Picnic Shoulder (%) 3,12 a 1,97 b 1,50 a 0,94

Keterangan : 1) T100R0 = Ransum tradisional 100% tanpa suplementsi rumput laut

T90R10 = Ransum tradisional 90% disuplementasi rumput laut 10%

T80R20 = Ransum tradisional 80% disuplementasi rumput laut 20% 2) SEM adalah Standard Error of The Treatment Means 3) Nilai dengan huruf yang sama pada baris berbeda tidak nyata (P >0,05).

Persentase lemak Bacon Bally pada perlakuan T100R0adalah 7,89%

(Tabel 3). Pada perlakuan T90R10dan T80R20persentase lemak Bacon Bally masing-

masing 49,71% dan 71,61% lebih rendah, secara statistik berbeda nyata (P<0,05).

Demikian pula persentase Bacon Bally pada perlakuan T80R20nyata lebih rendah

43,44% (P <0,05) dibandingkan dengan perlakuan T90R10.

Persentase lemak Spare Ribs pada perlakuan T100R0adalah 3,12% (Tabel

3). Persentase lemak Spare Ribs pada perlakuan T90R10dan T80R20 masing-masing

26,79% dan 73,47% lebih rendah, secara statistik berbeda nyata (P<0,05)

dibandingkan dengan babi yang mendapat perlakuan T100R0. Demikian pula

persentase lemak Spare Ribs pada perlakuan T80R20 nyata lebih rendah 63,76%

(P <0,05) dibandingkan dengan perlakuan T90R10.

Pada perlakuan T100R0diadapatkan persentase Picnic Shoulder 3,12%

(Tabel 3). Persentase lemak Picnic Shoulder pada perlakuan T90R10 dan T80R20

tidak nyata lebih rendah masing-masing 36,86% dan 51,92% (P>0,05)

dibandingkan dengan perlakuan T100R0. Demikian pula persentase lemak Picnic

Page 209: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [201]

Shoulder pada perlakuan T80R20 tidak nyata lebih rendah 23,86% (P>0,05)

dibandingkan dengan perlakuan T90R10.

PEMBAHASAN

Distribusi lemak dalam karkas meliputi lemak subkutan dan lemak

intramuskuler. Pada Tabel 3 terlihat bahwa persentase lemak pada recahan Loin,

Boston Butt, dan Spare Ribs pada babi yang mendapat perlakuan ransum

tradisional disuplementasi rumput laut 10% dan 20% (T90R10danT80R20) menurun

secara nyata. Menurunnya persentase lemak subkutan sampai tingkat suplmentasi

20% rumput laut, mungkin disebabkan oleh adanya kecenderungan penurunan

tingkat konsumsi ransum (lampiran1). Penurunan tersebut mungkin juga

disebabkan oleh kandungan energi tercerna dan lemak pada perlakuan T90R10dan

T80R20 (Tabel 2) lebih rendah dari pada ransum tanpa suplementasi rumput laut

(perlakuan T100R0), sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya kelebihan

energi. Kelebihan energi tersebut sebagian besar disimpan dalam bentuk lemak

subkutan di bawah kulit. Hal ini sesuai dengan pendapat Davis (1982)

menyatakan bahwa kehilangan energi yang didapat dari makanan akan disimpan

dalam bentuk lemak subkutan.

Suplementasi rumput laut dalam ransum tradisional mengakibatkan

pembentukan asam empedu dari tubuh oleh hati semakin meningkat. Komponen-

komponen rumput laut seperti algin, agar-agar dan karagenan dapat mengikat

asam empedu dalam usus kemudian membawa keluar bersama feses, sehingga

hati harus memproduksi asam empedu lebih banyak dari lemak tubuh untuk

mengganti asam empedu yang hilang (Heslet, 1996; dalam Budaarsa, 1997). Hal

inilah yang menyebabkan persentase lemak pada perlakuan suplementasi rumput

laut 10% dan 20% menurun (Tabel 3).

Persentase lemak pada recahan Ham, Jowl dan Picnic Shoulder pada babi

yang diberi ransum tradisional dengan suplementasi rumput laut 10% dan 20%

(T90R10dan T80R20) tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini mungkin

disebabkan oleh babi yang digunakan dalam penelitian untuk ketiga perlakuan

mempunyai fase yang sama yaitu fase pertumbuhan. Jadi meskipun energi pada

ransum (Tabel 2) dan yang terkonsumsi (Lampiran 2) cenderung menurun,

Page 210: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [202]

namun karena energi tersebut digunakan untuk pertumbuhan maka akibatnya

penimbunan lemak relatif sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (1994)

menyatakan bahwa fase pemeliharaan (umur) ternak khususnya babi berpengaruh

terhadap tingkat perlemakan tubuh, semakin tua umur ternak maka tingkat

perlemakan tubuh semakin tinggi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peningkatan suplementasi

rumput laut dalam rnsum tradisional babi saddleback babi bali dari 10% menjadi

20% dapat menurunkan persentase lemak pada recahan Loin, Boston Butt, Bacon

Belly dan Spare Ribs, namun persentase lemak pada recahan Ham, Jowl dan

Picnic Shoulder tidak dipengaruhi.

Saran

Supplementasi 10 sampai 20% dalam ransum tradisional babi saddleback

babi bali bisa diterapkan dimasyarakat karena dapat menurunkan persentase lemak

pada recahan Loin, Boston Butt, Bacon Belly dan Spare Ribs.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor, Ketua LPPM Unud atas

dana yang diberikan, dekan beserta staf, ketua Lab. Nutrisi dan Makanan Ternak,

Fapet Unud atas fasilitas yang diberikan, sehingga penelitian dapat dilaksanakan

sesuai dengan rencana.Terima kasih disampaikan kepada Ibu Ir. Ni N. Sutji SU

atas bimbingan sehingga penelitian dan penelulisa artikel dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA.

Agriculture Research Council (ARC). 1967. The Nutrient Requirement of Farm

Livstock. 3. Pigs. ARC : London

Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Penerbit PT. Gramdia Jakarta.

Bagiada, N.A. 1986. Pengaruh Substitusi ransum tradisional dengan rumput laut

terhadap kadar kolesterol darah dan daging babi babi bali yang sedang

tumbuh. Majalah Ilmiah Universitas Udayana Th. XIII no. 14 Hal. 90, 94.

Budaarsa, K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai

sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan

kolesterol daging babi. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Page 211: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [203]

Davis, H Lloyd. 1982. Nutrition and Growth Manual Published bay the Australian

University International Development Program (AUIDP).

Endang, L.P.C. 1986. Pengaruh substitusi ransum tradisional dengan rumput laut

terhadap kadar trigliserida dan total protein serum babi bali yang sedang

tumbuh. Majalah Ilmiah Universitas Udayana. Th XIII no. 14 Hal. 136.

Hartadi,H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan

untuk Indonesia. Gajah Mada University Press.

Krider, J.L. and W.E. Carrol. 1971. Swine Production 4th ED. Tata McGraw-Hill

Pub. Co. Ltd. BombayNew Delhi.

NationalAcademy of Science. 1973. Nutrient Requirements of Domestic Animals

2 Nutrient Requirements of Swine. 8 th ED. N.R.C. Washington, DC.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. GajahMadaUniversity Press. UGM

Yoyakarta.

Steel, R.G.D. and Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerbit PT

Gramedia Jakarta.

Lampiran 1. Pertumbuhan Babi Saddleback Babi Bali Fase “Grower” yang Diberi Ransum

Tradisional Dengan Suplementasi Rumput Laut Selama 12 Minggu

Variabel Perlakuan SEM2)

T100R01) T90R10 T80R20

Berat badan awal (kg/ekor) 4,18 3) 4,12 a 4,10 a 0,37

Berat badan pada minggu ke 12 (kg/ekor) 10,47 a 8,90 a 8,07 a 0,72

Pertambahan berat badan (kg/ekor) 6,28 a 4,78 a 3,97 a 0,82

Konsumsi ransom (kg DM/ekor) 25,12 a 21,26 a 17,22 a 2,96

Konversi ransum 4,50 a 4,49 a 4,33 a 0,74

Protein Efficiency Ratio 1,69 a 1,47 a 1,49 a 0,22

Lampiran 2. Pengaruh Suplementasi Rumput Laut Dalam Ransum Tradisional Terhadap

Konsumsi Zat-Zat Makanan Selama 12 Minggu

Variabel Perlakuan SEM2)

T100R01) T90R10 T80R20

Konsumsi energi (Mcal/ekor) 89,31 a 3) 72,46 a 55,20 a 14,24

Konsumsi protein kasar (kg/ekor) 3,82 a 3,26 a 2,67 a 0,45

Konsumsi serat kasar (kg/ekor) 3,22 a 2,59 a 2,00 a 0,37

Konsumsi lemak (kg/ekor) 3,99 a 3,05 a 2,20 a 0,43

Konsumsi kalsium (kg/ekor) 0,03 a 0,07 ab 0,10 b 0,013

Konsumsi fosfor (kg/ekor) 0,45 a 0,36 a 0,26 a 0,05

Konsumsi Lysin (kg/ekor) 0,14 a 0,16 a 0,17 a 0,02

Konsumsi Methionin (kg/ekor) 0,08 a 0,08 a 0,07 a 0,01

Konsumsi Tryptophan (kg/ekor) 0,03 a 0,04 a 0,05 a 0,007

Keterangan: 1) T100R0 : Ransum tradisional 100% tanpa suplementasi rumput laut.

T90R10 : Ransum tradisional 90% dengan suplementasi rumput laut 10%.

T80R20 : Ransum tradisional 20% dengan suplementasi rumput laut 20%. 2) SEM “Standart Error of The Treatment Means” 3) Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata (p>0,05)

Page 212: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [204]

SISTISERKOSIS PADA BABI DI BALI

3.

KESEHATAN TERNAK

BABI

Page 213: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [205]

Nyoman Sadra Dharmawan1, Kadek Swastika2, I Ketut Suardita3, I Nengah

Kepeng3,Yasuhito Sako4, Munehiro Okamoto5, Toni Wandra6, dan Akira Ito4 1Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana;2Fakultas Kedokterana Universitas

Udayana;3Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem; 4Asahikawa Medical

University,Japan; 5Kyoto University, Japan; 6Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti

Saroso, Kementerian Kesehatan Indonesia.

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

KejadiansistiserkosispadababidantaeniasiskarenaTaeniasoliumtelah lama

tidakdilaporkan di Bali.Padaawal 2011, ditemukanduakasustaeniasisT. soliumpada

orang yang berasaldariKecamatanKubu,

KabupatenKarangasem.Surveiserologismenggunakanmetode ELISA

kemudiandilakukanterhadapbabi-babi yang dipelihara di wilayahtersebut.Antigen

yang

digunakantelahdimurnikandanspesifikuntukdeteksisistiserkosispadamanusia.Surve

idilakukantigakali,pertama(September2011)terhadap 64 sera babi;kedua(Januari

2013)terhadap 164 sera babi; danketiga(September 2013),terhadap 101 sera

babi.Hasilpemeriksaanmenunjukkanbahwa13,37% (44/329) sera yang

diperiksapositifsistiserkosis.Ketikadilakukannekropsipadalimababi

yangserologispositif, ditemukanCysticercuscellulosaemenyebar di seluruhkarkas,

otak, mata, danlidah. Selainitu,

ditemukanjugaCysrticercustenuicollispadamesenterium.DitemukannyaC.

tenuicollis, menunjukkanbahwaantigen yang

digunakanmasihmemberireaksisilang.Studilebihlanjutdiperlukanuntukdeteksisistis

erkosispadababi di wilayahlainnya di Bali. Di sisilain, walaupun antigen yang

digunakanuntuk survey

initelahterbuktibermanfaatuntukdeteksisistiserkosispadamanusia,

masihperludilakukanevaluasiketikaditerapkanuntuk survey padababi.

PIG CYSTICERCOSIS IN BALI

ABSTRACT

Incidences of cysticercosis in pigs and Taeniasoliumtaeniasis have not been

reported for years in Bali. In early 2011, we found two cases of T. soliumtaeniasis

in people originating from Kubu district, Karangasem regency. Serological

surveys using the ELISA method then carried out on pigs reared in the region.

The antigen used was purified and specific for the detection of cysticercosis in

humans. The survey was conducted three times, the first (September 2011) for 64

sera of pigs; the second (January 2013) for 164 pig sera; and the third (September

2013), for 101 pig sera. The results of sera tested showed that 13.37% (44/329)

positive for cysticercosis. When necropsies were performed on five of

serologically positivepigs, Cysticercuscellulosae found spread throughout the

carcass, brain, eyes, and tongue. In addition there are also Cysrticercustenuicollis

on the mesentery. The discovery of C. tenuicollis showed that the antigen used

was cross-reaction. Further studies are needed for the detection of cysticercosis in

Page 214: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [206]

pigs in other areas in Bali. On the other hand, although the antigen used for this

survey has been shown to be beneficial for the detection of cysticercosis in

humans, still need to be evaluated when applied to the survey on pigs.

PENDAHULUAN

Sistiserkosis pada babi merupakan penyakit infeksi yang disebabkanfase

larva dari cacing pita Taenia solium(Cysticerus cellulosae). Babi bertindak

sebagai inang antara untuk kelangsungan hidup C. cellulosae. Manusia sebagai

inang sejati untuk fase dewasa dari T. solium. Cacing pita ini dapat

mengakibatkan taeniasis, salah satu penyakit parasit zoonosis yang berbahaya

(WHO, 2011; Borkataki et al., 2012). Penyakit sisitiserkosis dan taeniasis

termasuk penyakit tropis yang sering terabaikan/neglected disease(Weka et al.,

2013).

Sistiserkosis pada babi menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan

akibat pengapkiran karkas yang terinfeksi (Hafeez et al., 2004; Boa et al., 2006).

Manusia juga dapat terinfeksi sistiserkosis, karena tidak sengaja menelan telur T.

solium yang dapat berasal dari luar tubuh atau dari fesesnya sendiri yang

mengandung telur tersebut. Neurosistiserekosis (NCC) pada manusia, yaitu

infeksi C. cellulosae di otak, merupakan salah satu penyakit yang ditakuti, karena

dapat menyebabkan kematian (Ito et al., 2006; Lescano et al., 2007).

Sistiserkosis pada babi terjadi karena babi mengonsumsi makanan atau

minuman yang tidak higienis yang mengandung telur T. solium. Di dalam tubuh

babi, cysticercus akan menyebar ke otot-otot di seluruh karkas, jantung, hati,

limfe, lidah, mata, dan organ lain (Borkatake et al., 2012). Daur hidup parasit ini

akan berlangsung awet di wilayah komunitas pedesaan dengan sanitasi buruk,

tidak ada pemeriksaan daging, dan dimana babi dipelihara secara bebas tidak

dikandangkan (Molyneux et al., 2011; WHO, 2011).

Sistiserkosis pada babi dan taeniasis karena T. solium telah lama tidak

dilaporkan di Bali. Pada awal 2011, ditemukan dua kasus taeniasis T. solium pada

orang yang berasal dari Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali (Swastika

et al., 2011). Keberadaan sistiserkosis pada babi di wilayah tersebut dianggap

penting untuk diketahui, lalu dilakukanlah studi ini. Survei dikerjakan dengan uji

ELISA untuk mengetahui seroprevalensi dan konfirmasi keberadaan C. cellulosae

Page 215: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [207]

pada beberapa babi yang serumnya terdeteksi positif.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Studi seroprevalensi terhadap kejadian sistiserkosis pada babi dilakukan di

Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, pada September

2011, Januari 2013, dan September 2013. Penetapkan lokasi berdasar informasi

kejadian taeniasis pada orang (Swastika et al., 2011). Karangasem terletak di

bagian timur Provinsi Bali yang mayoritas penduduknya berpenghasilan rendah.

Secara geografis, Karangasem terletak pada posisi S8o41'37,8" andE54o9.8'

dengan luas wilayah sekitar 839.54km2, atau kira-kira 14.90% dari luas Pulau

Bali.

Pengambilan Sampel Serum

Sebanyak 329 serum babi diambil dari babi-babi yang dipelihara oleh

penduduk lokal, di tiga banjar: 1) Banjar Pangeno, 2) Banjar Batugiling, dan 3)

Bahel, Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Darah babi

diambil dari vena jugularis dengan menggunakan syringe 5 ml. Darah didiamkan

sekitar tiga jam, lalu disentrifus. Serum yang terbentuk dipipet, dimasukkan ke

dalam eppendorf dan disimpan dalam suhu minus 20oC, sebelum dilakukan

pemeriksaan dengan metode ELISA.

Pemeriksaan ELISA

Antigen yang digunakan berupa nativeglycoproteins dari cairan kista C.

cellulosae yang telah dimurnikan (Ito et el., 1998). Untuk coating antigen ke

dalam 96 well microplates (Maxisorp, Nunc, Copenhagen), digunakan 1 µg/ml

glycoproteins (Sako et al., 2000; Sato et al., 2003). Pengenceran sampel serum

babi sebagai antibodi primer 1:100 dan protein G sebagai antibodi sekunder

1:4000. Uji ini menggunakan satu kontrol positif dari kasus sistierkosis dan satu

kontrol negatif (Ito et al., 1999; Sato et al., 2003).

Konfirmasi Hasil ELISA dan Nekropsi

Konfirmasi hasil pemeriksaan serum babi yang menunjukkan serologis

postif dilakukan dengan cara membeli babi yang terindikasi, lalu dilakukan

Page 216: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [208]

nekropsi. Nekropsi pada studi ini dilakukan terhadap 5 ekor babi dengan metode

pemeriksaan kesehatan daging yang telah lazim digunakan (Dharmawan et al.,

2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan Serologi

Hasil pemeriksaan terhadap329 serum babi yang berasal dari babi-babi

yang dipelihara di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali,

diketahui bahwa jumlah sampel yang menunjukkan reaksi seropositif terhadap C.

celulosae sebesar 44 (13,37%). Prevalensi tertinggi ada di Banjar Batugiling

(18,90%), diikuti Banjar Pangeno (9,37%) dan yang terendah di Banjar Bahel

6,93% (Tabel 1).

Tabel 1, menunjukkan bahwa seropositif terhadap C. cellulosae ditemukan

pada babi-babi yang dipelihara oleh penduduk di tiga banjar yang menjadi lokasi

studi. Hal ini sejalan dengan laporan Swastika et al. (2011; 2012), yang

mengungkapkan di daerah tersebut ditemukan kasus ocular-cysticercosis pada

seorang anak perempuan dan 3 orang sebagai karier yang terinfeksi T. solium.

Sistiserkosis dapat menjadi masalah serius bila setiap orang melakukan defekasi

di sembarang tempat yang menyebabkan penyebaran telur parasit serta kontak

antara babi dan feses manusia (Assa et al., 2012).

Tabel 1. Seroprevalensi Serum Babi di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem

No. Lokasi/Banjar Sampel

(n)

Hasil Prevalensi

(%)

Pengambilan

Sampel Positif Negatif

1. Pangeno 64 6 58 9,37 September 2011

2. Batugiling 164 31 133 18,90 Januari 2013

3. Bahel 101 7 94 6,93 September 2013

Total 329 44 285 13,37

Sudah lama tidak ada laporan kasus sistiserkosis pada babi di Bali.

Kejadian terakhir dilaporkan 24 tahun yang lalu oleh Dharmawan et al., (1992).

Melalui pemeriksaan kesehatan daging yang dilakukan selama 3 bulan pada 1990,

Dharmawan et al. (1992) menemukan 0,012% (7/5630) babi-babi yang dipotong

di Rumah Potong Hewan Denpasar teerinfeksi berat C. cellulosae. Empat dari

tujuh babi yang terinfeksi tersebut, ternyata berasal dari Kabupaten Karangasem.

Belakangan ini, kasus taeniasis karena T. solium di Bali memang jarang

dilaporkan (Ito et al., 2004; Sudewi et al., 2008; Wandra et al., 2011).

Page 217: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [209]

Angka seroprevalensi yang ditemukan pada studi ini (13,37%), itu berarti

lebih rendah bila dibandingkan dengan seroprevalensi sistiserkosis pada babi di

Kabupaten Jayawijaya, Papua, sebesar 40,54% yang dilaporkan oleh Assa et al.,

(2012). Demikian halnya dengan laporan Pondja et al. (2010) yang menyatakan

bahwa 34,9% dari 231 sampel serum babi yang berasal dari Distrik Angonia,

Mozambique positif porcine-cysticercosis. Namun, angka prevalensi pada studi

ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi sistiserkosis pada babi di

Assam, India sebesar 9,5% (Borkataki et al., 2012).

Menurut Goussanou et al. (2013) sistiserkosis pada babi mengakibatkan

problem kesehatan masyarakat yang serius di negara-negara yang sedang

berkembang. Kejadian sistiserkosis dan taeniasis karena T. solium tersebar di Asia,

Afrika, Amerika Latin. Flisser et al. (2003) melaporkan prevalensi sistiserkosis di

negara-negara Amerika Latin seperti Ekuador, Guatemala, dan Bolivia berturut-

turut sebesar 7,5%; 14%; dan 38,9%. Sementara Rajshekar et al. (2003)

mengemukakan prevalensi sistiserkosis di Cina, Vietnam, India, dan Nepal

berturut-turut 0,8-40%; 0,04-0,9%; 9,3%; dan 32,5%.

Konfirmasi dan Nekropsi

Pada studi ini dilakukan konfirmasi terhadap hasil pemeriksaan serologi

ELISA yang menunjukkan seropoistif. Konfirmasi dengan cara menelusuri dan

melakukan wawancara ke pemilik babi yang serumnya postif. Dari 44 sampel

yang postif, lima babi (11,36%) yaitu P129, P131, P133, P144, dan P146 dibeli

dan dilakukan nekropsi. Hasil nekropsi menunjukkan dua babi (40%) terinfeksi C.

celulosae. Kista ditemukan menyebar di seluruh karkas, otak, mata, dan lidah.

Selain itu, ada dua babi (40%) terinfeksi campuran C. celulosae dan C. tenuicollis,

dan satu ekor lainnya (20%) hanya positif C tenuicollis yang ditemukan

menggantung pada mesenterium (Tabel 2).

Pemeriksaan post mortem pada studi ini dilakukan secara menyeluruh di

seluruh karkas dan organ viseral. Pada kasus yang berat, C. cellulosae ditemukan

menyebar di seluruh karkas, sekitar 9-15 kista ditemukan dalam setiap sayatan

otot (Gambar 1). Kista juga ditemukan pada beberapa organ, seperti otak

(Gambar 2) dan mata (Gambar 3). Pada studi ini juga ditemukan C. tenuicollis

yang menggantung pada mesenterium (Gambar 4). Menurut beberapa peneliti,

Page 218: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [210]

otot di daerah paha, leher, bahu, dan lidah merupakan tempat predileksi umum

dari C. cellulosae(de Aluja et al., 1996; Selvam et al., 2004; Sharma et al., 2004;

Prassad et al., 2006).

Tabel 2. Konfirmasi ELISA Seropositif C. cellulosae dengan Hasil Nekropsi

No. Sampel Babi Hasil Nekropsi

Positif Cysticercus

Lokasi Kista

Kode Sex

1. P129 Jantan C. cellulosae otot paha, masseter

2. P131 Jantan C. tenuicollis Mesenterium

3. P133 Jantan C. cellulosae dan C.

tenuicollis

otot paha, mesenterium

4. P144 Jantan C. cellulosae dan C.

tenuicollis

otot paha, masseter, mesenterium

5. P146 Jantan C. cellulosae seluruh karkas, otak, mata, lidah,

jantung, paru-paru, hati.

Gambar 1. C. cellulosae pada karkas babi Gambar 2. C. cellulosae pada otak babi

Gambar 3. C. cellulosae pada mata babi Gambar 4. C. tenuicollis pada mesenterium

babi

Sharmaet al., (2004) lebih lanjut melaporkan bahwa tempat predileksi

utama dari C. cellulosae adalah otot paha, otot forequarters, dan otot leher.

Ocular andorbitalcysticercosis atau infeksi C. cellulosae pada mata juga

dilaporkan pada babi (Cardenas et al., 1984). Menurut Subaharet al. (2001) dan

Page 219: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [211]

Prasadet al. (2006), pemeriksaan lidah kurang sensitif dibandingkan pemeriksaan

otot orbitaluntuk diagnosissistiserkosis pada babi. Pada kasus infeksi yang berat,

C. cellulosae juga dapat terdeteksi pada jantung, hati, diafragma, ginjal, dan

oesophagus (Sharma et al., 2004).

Dari hasil studi ini, dapat dinyatakan bahwa uji serologi ELISA yang

diterapkan cukup efektif dipakai mendeteksi kejadian sistiserkosis pada babi

secara pre-mortum. Oleh karena itu, studi lebih lanjut diperlukan untuk deteksi

sistiserkosis pada babi di wilayah lainnya di Bali. Babi-babi yang terdeteksi

seropositif, pada konfirmasi lanjut tidak hanya diketahui terinfeksi oleh C.

cellulosae saja, tetapi juga oleh C. tenuicollis.

SIMPULAN

Dari hasil studi ini dapat dibuat beberapa kesimpulan seperti berikut.

1. Hasil pemeriksaan terhadap329 serum babi yang diperoleh dari Desa Dukuh,

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, menunjukkan reaksi

seropositif terhadap C. celulosae sebesar 44 (13,37%).

2. Prevalensi tertinggi ada di Banjar Batugiling (18,90%), diikuti Banjar

Pangeno (9,37%) dan yang terendah di Banjar Bahel 6,93%.

3. Hasil nekropsi pada lima babi yang dinyatakan seropositif, ditemukan

adanyaC. cellulosae(menyebar di seluruh karkas, otak, mata, dan lidah) danC.

tenuicollis(pada mesenterium).

4. Ditemukannya C. tenuicollis, menunjukkan bahwa antigen yang digunakan

masih memberi reaksi silang.

5. Studi lebih lanjut diperlukan untuk deteksi sistiserkosis pada babi di wilayah

lainnya di Bali.

6. Walaupun antigen yang digunakan untuk studi ini telah terbukti bermanfaat

untuk deteksi sistiserkosis pada manusia, masih perlu dilakukan evaluasi

ketika diterapkan untuk survei pada babi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Studi ini merupakan salah satu bagian dari Proyek Kerjasama Asahikawa

Medical University dengan Universitas Udayana dengan dukungan dana dari

Grant-in-AidforScientificResearch dari the Japan Society

Page 220: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [212]

forthePromotionofScience(JSPS)(21256003 kepada A.Ito;21406009 kepada

M.Okamoto),theAsia/AfricaScience Platform Fund from JSPS (2006-2008, 2009-

2011) dantheSpecial Cooperation FundforPromoting Science and Technology,

Ministry of Education, Japan (MEXT) (2010-2012) kepadaA.Ito.

DAFTAR PUSTAKA

Assa I, Satrija F, Lukman DW, Dharmawan NS, Dorny P. 2012. Faktor resiko

babi yang diumbar dan pakan mentah mempertinggi prevalensi

sistiserkosis. J Vet. 13 (4): 345-352.

BoaME, Mahundi EA,Kassuku AA, WillinghamIIIAL, Kyvsgaard NC. 2006.

Epidemiological survey ofswine cysticercosis using ante-mortemand

post-mortem examinationtests inthesouthern highlands ofTanzania. Vet

Parasitol.139: 249-255.

Borkataki S, Islam S, Borkataki MR, Goswami P, Deka DK. 2012. Prevalence

of porcine cysticercosis in Nagaon, Morigaon and Karbianglong district

of Assam, India. Vet World. 5 (2): 86-90.

Cardenas RR, Celis RR, HelnandezJP. 1984.Ocularandorbital cysticercosisin

hogs. Vet Pathol. 21: 164-167.

deAlujaAS, Villalobos ANM, PlancarteA, RodarteLF, HernandezM, Sciutto E.

1996.Experimental Taenia soliumcysticercosis in pigs: characteristics

oftheinfectionand antibody response. VetParasitol. 61: 49-59.

Dharmawan NS, SiregarEAA, HeS, Hasibuan KM. 1992.Cysticercosis ofpigs in

Bali. Hemera Zoa. 75: 25-37.

Dharmawan NS, Swastika K, Suardita IK, Kepeng IN, Sako Y, Okamoto M,

Yanagida T, Wandra T, Ito A. 2011. Case report: a massive infection

with Taenia solium cysticerci in a pig, Bali, Indonesia. Paper presented

in JITMM 2011. “One World-One Health”. Bangkok, 1-2 December

2011.

FlisserA, Sarti E, Lightowlers, M., Schantz P. 2003.Neurocysticercosis: regional

status, epidemiology, impact and control in the Americans. Acta

Tropica. 87: 43-51.

Goussanou JSE, Kpodekon TM, Saegerman C, Azagoun E, Youssao AKS,

Faroungou S, Preat N, Gabriel S, Dorny P, KOrsak N. 2013. Spatial

distribution and risk factors of porcine cysticercosis in southern Benin

based meat inspection record. IRJM. 4(8); 188-196.

HafeezM, ReddyCVS,Ramesh B, Devi DA, ChandraMS.

2004.Prevalenceofporcine cysticercosis insouthIndia. JParasiticDis.28:

118-120.

Ito A, PlancarteA, MaL,KongY,FlisserA, ChoS-Y,Liu Y-H,

KamhawiS,Lightowlers MW, SchantzPM. 1998.Novel antigens

forneurocysticercosis:simplemethodfor

preparationandevaluationforserodiagnosis.Am JTrop Med Hyg.59: 291-

294.

ItoA, PlancarteA, Nakao M, NakayaK,IkejimaT, Piao ZX, KanazawaT,Margono

SS. 1999. ELISAandimmunoblotusing purifiedglycoproteins

forserodiagnosis ofcysticercosis in pigsnaturally infectedwithTaenia

Page 221: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [213]

solium. JHelminthol.73: 363-365.

Ito A, WandraT, Yamasaki H, Nakao M, SakoY,NakayaK, Margono SS, Suroso

T, Gauci C,Lightowlers MW. 2004.Cysticercosis/taeniasis inAsia

andthePacific. Vector-Borne ZoonoticDis. 4: 95-107.

ItoA,TakayanaguiMO,SakoY,SatoMO,OdashimaNS,YamasakiH,NakayaK,Nak

ao M.

2006.Neurocysticercosis:clinicalmanifestation,neuroimaging,serologyan

dmolecular

confirmationofhistopathologicspecimens.SoutheastAsianJTropMedPubli

cHealth.37 (Suppl 3): 74-81.

Lescano AG, GarciaHH,Gilman RH, GuezalaMC, TsangVCW, Gavida CM,

Rodriguez S, Moulton LH,Green JA, Gonzales AE, Thecysticercosis

working groupin Peru. 2007. Swine cysticercosis hotspots surrounding

Taeniasoliumtapewormcarriers. Am JTrop Med Hyg.76: 376-383.

MolyneuxD, HallajZ, Keusch TK, McManus DP, Ngowi H, Cleaveland

S,Ramos-Jimenez P,GotuzzoE,KarK,SanchezA,

GarbaA,CarabinH,BassiliA,Chanignat CL,MeslinFX, AbushamaHM,

Willingham AL,KioyD. 2011.Zoonoses andmarginalisedinfectious

diseases ofpoverty:Wheredo westand? Parasit Vectors.4: 106.

Pondja, A., Neves, L., Mlangwa, J.,Afonso, S., Fafetine, J., Willingham III, A.L.,

Thamsborg, S.M., Johansen, M.V. 2010. Prevalence and Risk Factors

ofPorcine Cysticercosisin Angonia District,

Mozambique.PLoSNeglTropDis4(2):e594.doi:10.1371/journal.

pntd.0000594

Prasad KN, ChalwaS, Prasad A, Tripathi M, Husain N, GuptaRK. 2006.Clinical

signs for identificationofneurocysticercosis inswinenaturally

infectedwithTaenia solium. Parasitol Int.55: 151-154.

Rajshekhar, V, Joshi, DD, DoanhNQ, Van De N, Xiaonong Z. 2003. Taenia

solium taeniosis/cysticercosis in Asia: epidemiology impact and issues.

Acta Tropica. 87: 53-60.

Sako Y, Nakao M,IkejimaT, Piao ZX,NakayaK,ItoA. 2000.Molecular

characterizationand diagnosticvalueofTaenia solium low-molecular-

weightantigengenes. JClin Microbiol.38: 4439-4444.

Sato MO, Yamasaki H, Sako Y, Nakao M, NakayaK, PlancarteA, KassukuAA,

DornyP, Geerts S, Ortiz WB, Hashiguchi Y,ItoA. 2003.

Evaluationoftongueinspectionandserology fordiagnosis

ofTaeniasoliumcysticercosis inswine:usefulness ofELISA using

purifiedglycoproteins andrecombinantantigens. Vet Parasitol.111: 309-

322.

Selvam P, D’SouzaPE,Jagannath MS. 2004.Serodiagnosis ofTaenia solium

cysticercosis in pigs by indirecthaemagglutinationtest. Veterinarski

Arhiv.74: 453-458.

SharmaR, SharmaDK, Juyal PD, SharmaJK. 2004.Epidemiology ofTaenia

solium cysticercosis in pigs ofNorthernPunjab, India. JParasiticDis.28:

124-126.

SubaharR, Hamid A, PurbaW, WandraT, Karma C, Sako Y, Margono SS,

CraigPS,Ito A. 2001. Taenia soliuminfectioninIrianJaya (WestPapua),

Indonesia:a pilot serological survey ofhumanand porcine cysticercosis

Page 222: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [214]

inJayawijaya District. Trans R SocTrop Med Hyg.95: 388-390.

Sudewi AAR, WandraT,ArthaA, NkouawaA,Ito A. 2008.Taenia

soliumcysticercosis in Bali, Indonesia:serology and mtDNA analysis.

Trans R SocTrop Med Hyg.102: 96-98.

Swastika K., Wandra T, Sudarmaja M, Dharmawan NS, Sako Y, Yanagida T,

Okamoto M, Sutisna P, Ito A. 2011. Current situation of taeniasis and

cysticercosis in Bali, Indonesia. Paper presented in JITMM 2011. “One

World-One Health”. Bangkok, 1-2 December 2011.

SwastikaK, Dewiyani CI, YanagidaT, SakoY, SudarmajaM, SutisnaP, WandraT,

Dharmawan NS, NakayaK, Okamoto M,ItoA. 2012. Anocular

cysticercosis in Bali, Indonesia caused by Taenia soliumAsiangenotype.

Parasitol Int. 61(2); 378-380.

WandraT, Sudewi AAR,SwastikaIK, SutisnaP, Dharmawan NS, Yulfi H, Darlan

DM, KaptiIN, SamaanG, Sato MO, Okamoto M, Sako Y,ItoA. 2011.

Taeniasis/cysticercosis in Bali, Indonesia. Southeast Asian JTrop

MedPublicHealth.42: 793-802.

Weka RP, Ikeh E, Kamani J. 2013. Seroprevalence of antibodies (igG) to

Taenia solium among pig reraes and associated risk factors in Jos

metropolis, Nigeria. J Infect Dev Ctries. 7 (2): 067-072.

WHO2011.TheControlofNeglectedZoonoticDiseases.WHO/HTM/NTD/NZD/201

1.1.

Page 223: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [215]

DAUN KELOR (Moringa oleifera) SEBAGAI FEED SUPLEMEN UNTUK

MENINGKATKAN DAYA TAHAN BABI TERHADAP INFEKSI

PARASIT INTESTINAL

Nyoman Adi Suratma, Hapsari Mahatmi, IBK Ardana dan I N. Kertha

Besung

Fakultas Kedokteran Hewan Unud

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh daun kelor (Moringa

oliefera) terhadap pertanmbahan berat badan babi, perkembangan infeksi dan

cacing Ascaris suum pada babi. Pada penelitian ini dipergunakan 24 ekor babi

umur 2 bulan yang terbagi menjadi 6 kelompok. Pada kelompok I babi tidak

diberikan perlakuan, kelompok II diberi daun kelor 5%, kelompok III diberi daun

kelor 10%, kelompok IV diberi daun kelor 5% selanjutnya dinfeksi dengan

cacing Ascaris suum, kelompok V diberi daun kelor 10% selanjutnya dinfeksi

dengan cacing Ascaris suum, kelompok VI hanya dinfeksi dengan cacing Ascaris

suum.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian daun kelor (Moringa

oliefera) dapat berpengaruh terhadap berat badan babi, dan infeksi cacing Ascaris

suum. Konsentrasidaun kelor (Moringa oliefera) 10% memberikan pengaruh

yang terbaik terhadap pertambahan berat badan babi, serta menghambat

perkembangan cacing Ascaris suum.

Kata kunci: babi, daun kelor (Moringa oliefera), berat badan, Ascaris suum

MORINGA LEAVES (Moringa oleifera) AS A FEED SUPPLEMENT TO

IMPROVE PIG RESISTANCE AGAINST GASTROINTESTINAL

PARASITES INFECTIONS

ABSTRACT

Research has been done to determine the effect of Moringa oliefera on pig body

weight, E. coli bacterial and Ascaris suum infection in pigs. In the present study

used 24 pigs 2 months age, divided into 6 groups. In group I pigs were not given

treatment, group II granted Moringa oliefera 5%, group III granted Moringa

oliefera 10% group IV given Moringa oliefera 5% and infected with Ascaris suum,

group V given Moringa oliefera 10% and infected with and Ascaris suum, group

VI only infected with Ascaris suum. The results showed that giving Moringa

oliefera influence to the weight gain of pigs, E. coli bacterial and Ascaris suum

infections. Concentration Moringa oliefera 10% gives the best effect on weight

Page 224: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [216]

gain of pigs, and prevent the development Ascaris suum.

Keywords: pigs, Moringa oliefera, pig weight, Ascaris suum

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali tidak terlepas dari

keberadaan usaha ternak Babi. Bali merupakan salah satu wilayah dengan jumlah

populasi babi terbesar di Indonesia yaitu sekitar 1 juta ekor lebih pada tahun 2008.

Hal ini tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat Bali terhadap komoditas babi

yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dengan semakin sempitnya wilayah yang mendapat ijin masyarakatnya

untuk beternak babi maka ke depan Bali berpotensi menjadi pusat peternakan babi

dan penelitian tentang babi khususnya di Universitas Udayana. Oleh karenanya

sangat penting dilakukan penelitian tentang berbagai aspek pada babi selain

bertujuan untuk meningkatkan kompetensi juga merupakan bagian dari

implementasi Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan yang dicanangkan oleh

Universitas Udayana.

Tanaman kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang banyak

tumbuh di kebun, halaman rumah, pinggir ladang atau sawah yang telah dikenal

oleh nenek moyang masyarakat Bali sebagai tanaman yang mempunyai khasiat

sebagai obat tradisional terutama kulit batangnya dan daun serta buahnya

dimanfaatkan sebagai sayur. Selain itu di beberapa daerah tanaman kelor

digunakan untuk memandikan jenasah orang yang meninggal dan dimitoskan

sebagai tananam yang bisa mengusir roh-roh jahat. Dari cerita-cerita tersebut

maka dapat disimpulkan bahwa daun kelor mempunyai khasiat tertentu yang tidak

dijelaskan oleh nenek moyang. Tanaman kelor justru banyak diteliti oleh peneliti

dari Eropa, India, dan Amerika namun masih sangat sedikit diteliti oleh peneliti di

Indonesia. Menurut Reyes, (2006) daun kelor mempunyai kandungan nutrisi yang

sangat tinggi yang mampu meningkatkan produksi susu pada sapi perah yang

sangat signifikan yaitu sampai 50% dari produksi awal. Penelitian yang dilakukan

Page 225: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [217]

oleh Rahman et al. (2009) menunjukkan bahwa daun kelor mempunyai potensi

sebagai antibakterial terhadap bakteri pathogen yang menyerang manusia. Hasil

penelitian Vingga (2010) menunjukkan bahwa ekstrak kasar daun kelor (Moringa

oleifera) mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli yang diisolasi dari

ayam.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu diketahui secara ilmiah

khasiat daun kelor terutama kemampuan sebagai pemacu pertumbuhan dan

anthelmintik sehingga nantinya bisa dipakai sebagai pengganti penggunaan obat

kimia yang berdampak buruk pada kesehatan konsumen khususnya pada manusia.

Hasil akhir dari penelitian ini adalah produk feed suplemen untuk pakan ternak

tidak terbatas untuk babi namun bisa diberikan pada ayam, sapi, dan bangsa ikan.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan

enam perlakuan yaitu: kontrol /tanpa diberi perlakukan apapun (P1), diberi daun

kelor 5% dari jumlah pakan (P2), diberi daun kelor 10% dari jumlah pakan (P3),

diberi daun kelor 5% dari jumlah pakan dan diinfeksi dengan 1000 telur cacing

Ascaris suum (P4), diberi daun kelor 10% dari jumlah pakan dan diinfeksi dengan

1000 telur cacing Ascaris suum (P5), anak babi diinfeksi dengan 1000 telur cacing

Ascaris suum.

Masing-masing kelompok perlakuan dipergunakan 4 ekor anak babi,

sehingga jumlah babi yang dipakai sebanyak 24 ekor.

Sampel Penelitian

Anak babi yang dipakai adalah anak babi jenis Landrace usia 8 minggu

berat badan sekitar 10 kg sebanyak 24 ekor yang terbagi dalam 6 kelompok

masing-masing terdiri dari 4 ekor yang diletakan pada kandang terpisah.

Alur Penelitian

Semua anak babi terlebih dahulu diadaptasikan selama 1 minggu sebelum

diberi perlakuan. Selama adaptasi anak babi diberi pakan pabrik seperti biasa,

selanjutnya pada minggu kedua mulai diberikan perlakuan pemberian daun kelor.

Page 226: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [218]

Uji tantang dengan infeksi telur cacing Ascaris suum mulai dilakukan pada

mimggu ke-2 setelah perlakuan pemberikan daun kelor. Pengamatan dilakukan

setiap minggu sampai minggu ke-8 pasca infeksi.

Tolok Ukur

Tolok ukur yang diamati dan dianalisis adalah: kondisi babi, berat badan

dan jumlah telur cacing Ascaris suum per gram tinja.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, selain itu juga dianalisis

secara statistik dengan uji Time series (Split time).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil:

Kondisi Babi

Pada minggu pertama setelah diberikan perlakukan dengan tantangan

bakteri dan telur cacing, anak babi yang tanpa diberikan daun kelor tapi dilakukan

uji tantang (P6) menunjukkan gejala diare. Sedangkan babi lainnya belum

menunjukkan gejala klinis yang mengarah sakit. Pada minggu kedua tampak diare

makin berat terjadi pada babi yang ditantang tapi tidak diberikan daun kelor P6),

selain itu diare juga terjadi pada babi yang tidak diberikan apa-apa (P1),

sedangkan babi lainnya tidak terjadi diare.

Pada minggu ketiga diare terjadi pada P6, pada perlakuan P1 dan juga

terjadi diare ringan pada perlakuan P2, namun pada minggu keempat diare hanya

masih terjadi pada perlakuan P6, yaitu pada babi yang ditantang dengan bakteri

dan telur cacing, tapi tidak diberikan daun kelor.

Diare secara umum tidak terjadi pada babi yang tidak ditantang dengan

bakteri dan telur cacing, serta pada babi yang diberikan daun kelor dengan

konsentrasi 10% (P3 dan P5)

Tabel 1. Kondisi babi selama penelitian

Perlakuan Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

P1 Normal normal 1 ekor diare diare Normal

P2 Normal normal Normal Diare ringan Normal

P3 Normal normal Normal Normal Normal

P4 Normal Normal 1 ekor diare Normal Normal

P5 Normal Normal Normal Normal Normal

P6 Normal 1 ekor diare 1 ekor diare berat 2 ekor diare 2 ekor diare

Page 227: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [219]

Berat Badan Babi

Pada penelitian ini tampak bahwa terjadi peningkatan berat badan yang

berbeda pada setiap perlakuan, setelah dianalisis ternyata perlakuan pemberian

daun kelor (Moringa olifera) berpengaruh terhadap berat badan babi (P<0,05).

Dalam hal ini tampak bahwa peningkatan berat badan babi yang diberikan daun

kelor lebih baik dibandingkan dengan babi yang tidak diberikan kelor.

Peningkatan berat badan yang terbaik terlihat pada perlakuan dengan pemberian

daun kelor 10% tanpa dilakukan tantangan bakteri dan cacin (Tabel 2 dan Gambar

1).

Tabel 2. Berat Badan Babi Selama Penelitian

Perlakuan Minggu 0

(Kg)

Minggu I

(Kg)

Minggu II

(Kg)

Minggu III

(Kg)

Minggu IV

(Kg)

P1 20.25 22.6 23.2 24,8 25.5

P2 16.1 17.6 18.9 19,7 20.9

P3 16,7 19,65 22,25 25.15 26.4

P4 17.67 19.03 22.93 26.53 27.6

P5 19.57 26.03 26.77 28.97 30

P6 15.9 17.35 18.2 20.75 21.3

Gambar. 1. Grafik Perkembangan Berat Badan Babi Selama Penelitian

Total Telur Cacing Ascaris suum per gram tinja

0

5

10

15

20

25

30

35

M0 M1 M2 M3 M4

P1

P2

P3

P4

P5

P6

Page 228: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [220]

Pada peneltian ini tampak bahwa, pada perlakuan P1, P2, dan P3 tidak

teridentifikasi adanya telur cacing Ascaris suum pada tinjanya. Sedangkan pada

perlakuan P4, P5 dan P6 telur cacing mulai teridentifikasi pada minggu ketiga

pasca infeksi, namun pada jumlah yang minimal. Pada minggu keempat jumlah

telur cacing padsa perlakuan P4 dan P5, yaitu babi yang diberikan daun kelor,

jumlah telur cacing tampak tidak meningkat, sedangkan peningkatan telur cacing

tampak pada babi yang tidak diberikan daun kelor (Tabel 4 dan Gambar 3).

Tabel 4. Total Telur Cacing Ascaris suum per gram tinja

Perlakuan M 0 M I M II M III M IV

P1 0 0 0 0 0

P2 0 0 0 0 0

P3 0 0 0 0 0

P4 0 0 0 60 60

P5 0 0 0 50 50

P6 0 0 0 100 200

Gambar 3. Perkembangan Total Telur Cacing Ascaris suum

Pembahasan:

Daun kelor dapat berperan pada kondisi, berat badan babi serta infeksi

bakteri dan parasit, karena daun kelor ini mengandung baha-bahan yang

0

50

100

150

200

250

M0 M1 M2 M3 M4

P1

P2

P3

P4

P5

P6

Page 229: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [221]

bermanfaat, diantaranya senyawa gula sederhana seperti rhamnosa, glukosinalat

dan isothiocyanat (Fahey, 2005). Selain itu, menurut Moyo et al. (2011) dan

Sirimongkolvorakul et al. (2012), tanaman kelor juga mengandung vitamin E,

vitamin A, vitamin C dan β karoten yang dapat berperanan sebagai antioksidan

terhadap proses detoksifikasi. Oluduro (2012) pada penelitiannya melaporkan

bahwaterdapat beberapa beberapa kandungan dari kelor yang dapat berperanan

terhaaaadap terjadi infeksi bakteri atau parasit, yaitu saponin, alkaloid dan

flavonoid.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan:

1. Pemberian daun kelor (Moringa oliefera) dapat berpengaruh terhadap

berat badan babi, dan cacing Ascaris suum

2. Konsentrasidaun kelor(Moringa oliefera) 10% memberikan pengaruh yang

terbaik terhadap pertambahan berat badan babi, serta menghambat

perkembangan cacing Ascaris suum.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka disarankan untuk

melakukan sosialisasi terhadap manfaat pemberian daun kelor pada

peternakan babi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali AM., Alam S.,Hassan SMR and Shirin M. 2009. Antibiotic Resistance of

Escherichia Coli Isolated From Poultry and Poultry Environment of

Bangladesh. Journal of Food Safety, Vol.11. p. 19-23

Blanco M, Blanco J E Gonzalez, E A, Mora A, Jansen W Gomes, T A, Zerbini L

F, Yano T, de Castro A F, and Blanco 1997. Genes coding for

enterotoxins and verotoxins in porcine Escherichia coli strains belonging

to different O: K: H serotypes: relationship with toxic phenotypes. J Clin

Microbiol.35(11): 2958–2963

Fahey, JW. 2005. Moringa oliefera: A Review of the medical evidence for its

nutritional. Therapeutic and prophylactic properties. Trees for Life

Journal 1:5

Francis, D.H. 1999. Colibacillosis in pigs and its diagnosis. Swine Health Prod.

1999; 7 (5): 241-244.

Hong, TTT, 2006. Dietary Modulation to Improve Pig Health and

Performance.Doctoral thesis Swedish University of Agricultural Sciences

Page 230: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [222]

Uppsala

Makkar, H.P.S.and Becker, K. 1996.Nutritional value and antinutritional

components of whole and ethanol extracted Moringa oleifera leaves.

Animal Feed Science and Technology. Vol. 63. P. 1 -4.

Mahajan, SG.and Mehta, AA. 2008. Effect of Moringa oleifera Lam. seed extract

on ovalbumin-induced airway inflammation in guinea pigs. Inhal

Toxicol. Aug;20(10):897-909.

Mahatmi, H., Suratma. AN., Besung, NK (2012) Daun Kelor (Moringa Oleifera)

Sebagai Produk Feed Suplemen Ramah Lingkungan Yang Mampu

Meningkatkan Produktivitas Serta Daya Tahan Babi Terhadap Infeksi

Bakteri Dan Parasit Intestinal. Laporan Hibah Unggulan Perguruan

Tinggi. Universitas Udayana

Montagne*L., Cavaney JR. 2004. Effect of diet composition on postweaning

colibacillosis in piglets. J. Anim. Sci. 2004. 82:2364-2374,

Moyo, B. Masika, P.J. Hugo, A. and Muchenje, V. 2011. Nutritional

Characterization of Moringa (Moringa oliefera Lam) Leaves. African

Journal of Biotechnology 10 (60): 12925-12933

Narayanan Rita, Ronald BSM., Krishnakumar N., Gopu P., Bharathidasan A., Prab

hakaran R.2008. Effect of citric acid as feed additive in swine starter diet.

Indian Journal of Animal Research Vol. 42, p. 4

Rahman, MM., Sheikh, MI., Sharmin, SK., Islam, MS., Rahman, MA.,

Rahman,MM.2 and Alam, MF. 2009. Antibacterial Activity of Leaf

Juice and Extracts of Moringa oleifera Lam. Against Some Human

Pathogenic Bacteria. CMU. J. Nat.Sci. vol. 8(2) p. 912.

Sads, PR. and Bilkei,G 2003. The effect of oregano and vaccination against

Glässer’s disease and pathogenic Escherichia coli on postweaning

performance of pigs. Irish Veterinary Journal Volume 56 (12): 611

Sánchez NR. 2006. Moringa oleifera and Cratylia argentea: Potential Fodder

Species for Ruminants in Nicaragua. Doctoral thesis Swedish University

of Agricultural Sciences Uppsala

Sonia PA., Hazel GD., Masilungan, Babylyn A.M. 2010. Partial Substitution of

Commercial Swine Feeds with Malunggay (MoringaOleifera) Leaf Meal

Under Backyard Conditions. Philippine Journal of Veterinary and

Animal Sciences, Vol 36, No 2

Supar, Hirst RG and Patten BE. 1991. The importance of enterotoxigenic

Escherichia coli containing the 987P antigen in causing neonatal

colibacillosis in piglets in Indonesia. Vet Microbiol. 15;26(4):393-400.

UMAR D. 1998. Antimicrobial Activity of Moringa oleifera Leaves Journal of

Islamic Academy of Sciences 11:1, 27-32,

Vingga, K 2010. Daya hambat Perasan daun Kelor (Moringa oliefera) Terhadap

Bakteri Escherichia coli Yang Diisolasi Dari Ayam. Skripsi bimbingan

dari Mahatmi, H Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Vu-KhacH., Holoda E. and E.Pilipčinec 2004. Distribution of Virulence Genes in

Escherichia coli Strains Isolated from Diarrhoeic Piglets in the Slovak

Republic J. of Vet Med. Vol. 57. No. 7.

WHO Scientific Working Group. 1980. Escherichia coli diarrhoae. Bull. WHO.

36 (1). 23-30

Page 231: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [223]

BABI SEBAGAI HEWAN MODEL HARVESTING DAN IMPLANTASI

STSG DENGAN APLIKASI PRFM DAN PRP

Mirta Hediyati Reksodiputro

Departemen THT-KL, FKUI/RSCM

RS Hewan IPB Bogor

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Perkembangan rekayasa jaringan dewasa ini telah banyak menciptakan produk

biologi yang dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka. Salah satu

produk biologi yang saat ini banyak digunakan dalam proses penyembuhan luka

adalah Platelet Rich Plasma (PRP). PRP merupakan konsentrat trombosit autologus

yang merupakan sumber faktor pertumbuhan. Saat ini telah dikembangkan preparat

trombosit autologus bentuk lain yaitu Platelet Rich Fibrin Matrix (PRFM), yang

mempunyai struktur lebih padat dan lentur. PRFM merupakan generasi terbaru

konsentrat trombosit yang menghasilkan fibrin alami pada mana trombosit

tersebar di dalamnya. Dengan morfologi tersebut selain sebagai faktor

pertumbuhan, PRFM juga berperan sebagai scaffold yang akan membantu

melokalisasi faktor pertumbuhan.

Kata kunci: rekayasa jaringan, trombosit, faktor pertumbuhan, PRP, PRFM

PENDAHULUAN

Perkembangan rekayasa jaringan dewasa ini telah banyak menciptakan

produk biologi yang dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka.

Perkembangan produk biologi untuk aplikasi klinis akan sangat berdampak pada

hasil operasi, khususnya bidang plastik rekonstruksi THT-KL. Rekayasa jaringan

umumnya memerlukan komponen matriks ekstraselular tambahan untuk

berasimilasi ke dalam sel guna meningkatkan potensi regenerasi jaringan baru.

Salah satu produk biologi yang saat ini banyak digunakan dalam proses

penyembuhan luka adalah Platelet Rich Plasma (PRP). PRP merupakan

konsentrat trombosit autologus yang merupakan sumber faktor pertumbuhan.

Page 232: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [224]

Telah diketahui bahwa granula alfa di dalam trombosit mengandung berbagai

faktor pertumbuhan yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka. Faktor

pertumbuhan tersebut dilepaskan bila terjadi aktivasi trombosit. Sayangnya PRP

ini tidak memberikan hasil yang optimal, karena mempunyai struktur makroskopis

cair dan pada proses pembuatannya membutuhkan thrombin bovine yang bersifat

xenologus. Selain itu penglepasan faktor pertumbuhan dari trombosit di dalam

PRP terjadi sekaligus yaitu saat awal diaplikasikan. Saat ini telah dikembangkan

preparat trombosit autologus bentuk lain yaitu Platelet Rich Fibrin Matrix

(PRFM), yang mempunyai struktur lebih padat dan lentur. PRFM merupakan

generasi terbaru konsentrat trombosit yang menghasilkan fibrin alami dengan

trombosit tersebar di dalamnya. Dengan morfologitersebut selain sebagai faktor

pertumbuhan, PRFM juga berperan sebagai scaffold yang akan membantu

melokalisasi faktor pertumbuhan.

Pada operasi THT-KL, khususnya plastik rekonstruksi, tandur kulit banyak

digunakan

pada defek yang tidak dapat ditutup primer dengan jabir lokal. Dengan cara

tersebut penyembuhan luka tandur kulit dapat berlangsung lama, tandur kulit

kontraktur dan hasilnya tidak optimal. Terdapat dua klasifikasi tandur kulit

berdasarkan ketebalannya, yaitu split thickness skin graft (STSG) dan full

thickness skin graft (FTSG). Tingkat kesintasan STSG lebih tinggi karena proses

revaskularisasi atau take-nya yang lebih baik. Namun STSG mempunyai

kelemahan yaitu lebih mudah terjadi kontraksi; semakin tipis STSG semakin besar

kemungkinan terjadi kontraktur.

Penggunaan PRFM telah terbukti dapat mempercepat proses penyembuhan

luka terbuka seperti ulkus. Aplikasi PRFM pada implantasi tandur kulit

diharapkan dapat meningkatkan mutu kesintasan tandur. Saat ini telah tersedia

perangkat komersial untuk membuat PRFM, akan tetapi harganya sangat mahal.

Selain itu belum diketahui mekanisme kerja PRFM dalam mempercepat proses

penyembuhan luka tandur kulit. Hasil penelitian yang ada hanya melaporkan bukti

in vitro, yang mengarah pada adanya peran faktor pertumbuhan.

Penelitian eksperimental mengenai keefektivan terapi pada proses

penyembuhan lukamenggunakan hewan model telah banyak dilaporkan antara

Page 233: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [225]

lain pada babi (porcine) dan tikus. Babi banyak digunakan sebagai hewan model

pada penelitian penyembuhan luka kulit karena struktur, anatomi dan fungsi kulit

babi menyerupai kulit manusia. Selain itu vaskularisasi kulit manusia dan babi

juga hampir sama; baik manusia maupun babi mempunyai 95% kolagen dan 2%

serat elastin dalam matriks ekstraselular. Ketebalan kulit babi berbeda-beda

tergantung lokasinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan PRFM yang lebih baik dari

PRP dalam mempercepat proses penyembuhan luka tandur kulit, tanpa

menggunakan perangkat komersial. Juga akan diteliti peran faktor pertumbuhan

dalam mempercepat penyembuhan luka tandur secara in vivo, baik secara

mikroskopis maupun makroskopis. Secara mikroskopis dievaluasi jenis infiltrate

sel serta pembentukan kolagen. Secara makroskopis dievaluasi perubahan

morfologi kulit berupa perubahan warna dan nekrosis.

Manfaat penelitian ini, adalah diperolehnya produk PRFM yang dapat

terjangkausecara ekonomis. PRFM sebagai sumber faktor pertumbuhan autologus

diharapkandapat mempercepat proses pelayanan di rumah sakit dengan

perencanaan perawatan luka operasi yang lebih baik. Selain itu PRFM diharapkan

dapat bermanfaat untuk berbagai operasi rekonstruksi lainnya.

METODE PENELITIAN

Untuk mengetahui peran PRFM pada proses fisiologi penyembuhan luka

tandur kulit dilakukan evaluasi mikroskopis terhadap 75 jaringan biopsi tandur

STSG yang diperoleh dari lima (5) ekor babi. Masing-masing tandur mendapatkan

tiga macam perlakuan sehingga terdapat tiga (3) variasi jaringan biopsi, yaitu

STSG-kontrol, STSG-PRP, STSGPRFM. Setiap macam tandur diobservasi dan

evaluasi selama 30 hari. Evaluasi pemeriksaan dilakukan dengan biopsi pada

setiap jaringan tandur pada hari ke1,3,7,14, dan 30 sesuai dengan fase

penyembuhan luka. Terhadap setiap jaringan biopsi dilakukan pemeriksaan

histologi dan pengukuran kadar faktor pertumbuhan. Pemeriksaan histologi

dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin untuk melihat kepadatan sel

PMN, makrofag dan fibroblas; dan Picrosirius Red untuk melihat kepadatan

kolagen tipe 1. Hasil pemeriksaan Pricrosirius Red akan dievaluasi dengan

Page 234: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [226]

menggunakan piranti lunak ImageJ.

Teknik Pembiusan Babi

Babi dipuasakan mulai 6 jam sebelum pembedahan, kemudian dilakukan

anestesi umum. Sebelum babi dianestesi, diberikan premedikasi atropin sulfas

dengan dosis 0,04 mg/kg berat badan, intramuskular. Selanjutnya babi diberi

anestesi umum menggunakan ketamin HCl dengan dosis 11 mg/kg berat badan,

intramuskular dan xylazine HCl yang berfungsi sebagai sedatif, analgesik dan

muscle relaxant dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan, intramuskular. Untuk

maintenance, digunakan inhalan anestesi umum isoflurandengan dosis induksi 3 %

dan maintenance 1,5%. Pada kulit yang akan disayat diberi anestesi lokal lidocain

HCl 2%, secukupnya. Setelah operasi selesai, diberikan antisedasi reverzine

(yohimbine HCl ) dengan dosis 0,125 mg/kg berat badan, intravena.

Hasil uji coba menunjukkan bahwa durante operasi babi dalam keadaan

tenang dan stabil (suhu tubuh, nadi, pernapasan). Peneliti dapat dengan nyaman

melakukan seluruh proses penelitian sesuai protokol. Waktu yang diperlukan

sekitar 4 jam. Pasca-operasi, keadaan umum babi stabil.

Meminimalkan Infeksi pada Tandur

Antibiotik yang digunakan selama proses panen dan implantasi adalah

ampisilin dengan dosis 8 mg/kg berat badan, intravena. Ampisilin tersebut juga

disemprotkan ke luka sayatan operasi. Untuk maintenance, mulai hari pertama

sampai hari ke-30 digunakan amoksisilin long acting dengan dosis 15 mg/kg berat

badan, intramuskular, disuntikkan setiap 3 hari. Pada penelitian ini juga diberikan

multivitamin hematopan B12 sebanyak 5 mL intramuskular, untuk babi dengan

berat badan 20-50 kg setiap 3 hari. Babi dipakaikan gurita untuk melindungi

punggungnya agar tidak terjadi infeksi atau kerusakan tandur akibat gesekan.

Dengan cara ini, selama 30 hari penelitian pemberian antibiotik dan multivitamin

seperti di atas berhasil mencegah infeksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Subjek penelitian adalah lima (5) ekor babi termasuk babi uji coba, terdiri

dari satu (1) ekor jantan dan empat (4) ekor betina dengan berat badan antara 27-

40 kg. Kelima ekor babi ini berasal dari ras Sus scrofa. Walaupun ada seekor babi

Page 235: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [227]

jantan namun kelima ekor babi homogen karena ternyata berdasarkan hitung

trombosit darah perifer lengkap, hasil pemeriksaan histologi dan kadar faktor

pertumbuhan babi jantan, terlihat adanya gambaran yang kurang lebih serupa

dengan keempat babi betina.

PRFM yang dihasilkan ini bersifat padat dan lentur, menyerupai lapisan

fasia dan dapatdijahit, menyerupai hasil preparasi PRFM menggunakan kit

komersial yang dilaporkan. Metode ini dapat dimanfaatkan untuk preparasi PRFM

yang dapat diaplikasikan di klinik, seperti perawatan luka ulkus, dalam bidang

kedokteran gigi untuk mengisi soket, dan pemberian bersama lemak untuk implan

wajah. Selain itu bentuk PRFM dapat disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya

pada pengisian soket gigi dibutuhkan bentuk kerucut.

Gambar 1.Kepadatan sel PMN STSG-kontrol, STSG-PRP, dan STSG-PRFM pada hari ke-1,-3, -7,

-14,dan -30. Sebukan sel PMN lebih tinggi pada tandur PRFM dibandingkan PRP dan kontrol

Pada semua perlakuan, kepadatan sel PMN tinggi pada hari pertama dan

turun bertahap pada hari ke-3 lalu menghilang pada hari ke-7 sesuai fenomena

penyembuhan luka pada umumnya. Sel PMN adalah sel radang akut yang

merupakan mekanisme pertahanan pertama melalui proses fagositosis terhadap

semua kemungkinan yang dapat menimbulkan keadaan patologis pada

penyembuhan luka, seperti infeksi dan partikel asing. Setelah terjadi fagositosis

proses dilanjutkan dengan penghancuran partikel asing, antara lain secara

enzimatik. Peran sel PMN dalam membersihkan area luka akan diambil alih oleh

makrofag. Keadaan tersebut dapat dilihat pada penelitian ini, yaitu ketika sel

PMN sudah mulai berkurang pada area inflamasi, tampak sel makrofag mulai

Page 236: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [228]

mengisi area inflamasi tersebut (Gambar 1 dan 4).

Gambar 2. Kepadatan makrofag STSG-kontrol, STSG-PRP, dan STSG-PRFM pada hari ke-1, -3,

7,-14,dan-30

Aplikasi PRP dan PRFM pada STSG memperlihatkan kepadatan makrofag

yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Puncak kepadatan makrofag tidak

berbeda antara jenis tandur maupun jenis perlakuan. Berdasarkan gambaran

selularitas ini dapat disimpulkan bahwa aplikasi PRP dan PRFM dapat

mengoptimalkan penyembuhan luka (Gambar 2 dan 4).

Gambar 3. Kepadatan fibroblas STSG-kontrol, STSG-PRP, dan STSG-PRFM pada hari ke-1, -3, -

7, 14,

dan -30.

Pada pemeriksaan histologi secara umum, pada STSG, terlihat fibroblas

telah mengisiarea penyembuhan luka mulai hari ke-3 dan terus meningkat sampai

hari ke-30, walaupun dengan tingkat kepadatan yang berbeda sesuai dengan

Page 237: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [229]

perlakuan. AplikasiPRFM dan PRP meningkatkan migrasi dan proliferasi

fibroblas yang diharapkan akanmempercepat penyembuhan luka, seperti yang

dilaporkan sebelumnya (Gambar 3).

Pada fase maturasi kolagen tipe 3 akan digantikan oleh kolagen tipe 1.

Kolagen tipe 1akan membuat area penyembuhan luka menjadi stabil seperti

jaringan kulit normal. Ketika matriks ekstraselular pada area penyembuhan luka

ini semakin mendekatikeadaan natural (alamiah), maka selularitas jaringan

menjadi semakin berkurang dansel makrofag serta fibroblas mengalami apoptosis.

Pada STSG pada hari ke-14 terlihatbahwa kepadatan kolagen paling tinggi pada

tandur-PRFM; demikian juga kepadatankolagen tipe 1 di hari ke-30 paling tinggi

pada pemberian aplikasi PRFM.

Pembuatan PRFM merupakan proses lanjutan preparasi PRP. Untuk itu

diperlukan sentrifus yang sesuai dengan kebutuhan. Pada saat ini secara komersial

sudah tersedia perangkat untuk preparasi PRFM, namun harganya relatif tinggi

dan masih sulit diperoleh. Walaupun dapat dilakukan proses pembuatan PRFM

menggunakanperangkat komersial, tetapi bentuk PRFM yang diperoleh belum

tentu sesuai denganyang dibutuhkan, karena bentuk PRFM akan sesuai dengan

tabung sentrifus yangdigunakan. Untuk memperoleh bentuk yang diinginkan

diperlukan penyesuaiantabung sentrifus dan jenis rotor serta kecepatan

sentrifugasi yang tepat untukmenghasilkan PRFM yang optimum. PRP setara

dengan PRFM dalam percepatanpenyembuhan luka sehingga bila fasilitas tidak

tersedia PRP dapat merupakan pilihan.Keadaan lain yang membuat PRP dapat

merupakan pilihan antara lain, pemakaian berulang pada luka tandur kulit. Pada

awal proses implantasi dapat digunakan baik PRFM ataupun PRP. PRFM

diletakkan di antara bed dan tandur kulit, sehingga tidakdapat dilakukan berulang;

PRP disuntikkan ke dalam bed, yang dapat dilakukanberulang kali selama masa

penyembuhan luka.

SIMPULAN

Pemberian PRFM sebagai preparat trombosit autologus dapat

meningkatkanpercepatan penyembuhan luka tandur kulit karena mengandung

faktor pertumbuhanyang diperlukan pada penyembuhan luka.

Page 238: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [230]

DAFTAR PUSTAKA

Branski LK, Mittermayr R, Herndon DN, Norbury WB, Masters OE, Martina,

Hofmann M. A porcine model of full-thickness burn, excision and skin

autografting. Burns. 2008;34:1119-27.

David B, Hom DB, Tope WD. Minimal invasive options and skin grafts for

cutaneous reconstruction. In: Ira DP, Frodel J, Holt GR, Larrabee WF,

Nathan N, Park SS, et al., editors. New York: Thieme; 2008.p.703-19.

Dohan DM, Choukroun J, Diss A, Dohan SL, Dohan AJJ, Mouhyi J, et al.

Platelet-rich fibrin (PRF): a second-generation platelet concentrate. Part I:

Technological conceptsand evolution. Oral Surg Oral Med Oral Pathol

Oral Radiol Endod. 2006;101:37-44.

Everts PAM, Knape JTA, Weibrich G, Schönberger JPAM, Hoffmann J,

Overdevest EP, et al. Platelet rich plasma and platelet gel. A review. J

Extra Corpor Techn. 2006;38:17487.

Falabella AF, Valencia IC, Eaglstein WH, Schachner LA. Tissue-engineered skin

(apligraf) in the healing of patients with epidermolysis bullosa wounds.

Arch Dermatol.2000;136:1225-30.

Federer W. The standard split plot experimental design. In: Federer W, ed.

ExperimentalDesign: Theory and application. New Delhy: Oxford and

IBH Pub Com. 1975: 1-36

Fisher E, Frodel J. Wound healing. In: Ira DP, Frodel J, Holt GR, Larrabee WF,

NathanN, Park SS, et al., editors. New York: Thieme; 2008.p. 15-25.

Greer N, Foman Neal, Wilt T, Dorrian J, Fitzgerald P, MacDonald R. Advanced

wound care therapies for non healing diabetic, venous, and arterial ulcers:

A systematic review.Evidence base synthesis program center. Minneapolis.

2012

Gurgen M. Treatment of chronic wound with autologus platelet rich plasma.

EWMAJournal. 2008;8(2):5-10

Hom DB. New developments in wound healing relevant to facial plastic surgery.

Arch Facial Plast Surg. 2008;10:402-6.

Kim YS, Lew DH, Tark KC, Rah DK, Hong JP. Effect of recombinant human

epidermal growth factor agains cutaneous scar formation in murine full

thickness wound healing. J Korean Med Sci. 2010;25:589-96.

Lucarelli E, Beretta R, Dozza B, Tazzari PL, O’Connell SM, Ricci F, et al. A

Recently developed bifacial platelet -rich fiibrin matrix. European cells

and materials. 2010; 20:13-23.

Metcalfe AD, Ferguson MWJ. Tissue engineering of replacement skin: the

crossroads of biomaterials, wound healing, embryonic development, stem

cells and regeneration. J of Royal Soc Interf 2007;4:413-37.

Monaco JL, Lawrence WT. Acute wound healing. An overview. Clin Plastic Surg.

2003;30:1-12.

Oaletta CE, Pokorny JJ, Rumbolo P. Skin graft. In: Mathes SJ, Hentz VR, editors.

Plastic surgery. Vol 1. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006:293-316.

Pietramaggiiori SSS,

Pietramaggiori G, Orgill DP. Skin Graft. In Neligan PC, Gurtner GC. Plastic

Surgery 3rd Edition-Principles. Vol 1. Seattle: Elsevier; 2014:319-338

O’Connell SM, Impeduglia T, Hessler K, Wang XJ; Carroll RJ, Dardik H.

Page 239: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [231]

Autologus platelet rich fibrin matrix as cell therapy in the healing of

chronic lower extremity ulcers.Wound Repair and Regeneration.

2008;16:749-56.

Sclafani AP. Safety, efficacy and utility of platelet-rich fibrin matrix in facial

plastic surgery. Arch Facial Plast Surg. 2011;13(4):247-51

Page 240: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [232]

STRATEGI PENCEGAHAN PENYAKIT INFEKSI PADA PETERNAKAN

BABI

Ida Bagus Komang Ardana(1,2), Dewa Ketut Harya Putra1,3 , W. Sayang

Yupardi1,3, Ni Luh Gede Sumardani1,3, I G.A. Arta Putra,1,3 dan I Gede

Suranjaya1,3 (1) Group Riset Ternak Babi, Universitas Udayana

(2)Dosen Manajemen dan Penyakit Babi, Fakultas Kedokteran Hewan,(3) Dosen

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penyakit infeksi pada peternakan babi di Indonesia masih menimbulkan kerugian

yang sangat besar, baik penyakit yang sebabkan oleh bakteri

(colibacillosis,Streptokokkosis,Pasteurellosis, Glassers Disease, Disentri,

Erysipelas dan Mycoplasmosis), virus (Hog Cholera,Transmissible gastroenteritis

(TGE),parasit (Ascariasis, Trichuris, Coksidiosis, Scabies), maupun jamur.

Adanya serangan penyakit infeksi tersebut menunjukkan bahwa aktivitas

pencegahan penyakit yang telah dilakukan oleh peternak belum maksimal. Oleh

karena itu, program pencegahan penyakit pada peternakan babi perlu

dimantapkan lagi dengan menerapkan (1) kelima elemen biosekuriti, yaitu

isolasi/pemisahan, sanitasi, pengendalian lalu-lintas objek yang terkait dengan

peternakan, pengendalian vector penyakit, dan pembuangan bangkai babi serta (2)

melaksanakan jadwal vaksinasi dan (3) program medikasi secara benar.

ABSTRACT

Infectious diseases which are still commonly occur in piggery or pig raising in

Indonesia have lead to enormous financial losses. The diseases may be caused by

bacteria (such as Collibacillosis, Streptococcosis, Pasteurellosis, Glassers disease,

Dysentriae, Erysipelas, and Mucoplasmosis), viruses (Hog cholera, Transmissible

gastroenteritis), parasites (Ascariasis, Trichuris, Coccidiosis, Scabies), and by

fungi. The sometimes outbreak of the diseses could indicate that procedures of

disease prevention have not been conducted appropriately by pig farmers.

Therefore, program to prevent occurence of the diseases should be thoroughly

introduced and practized by the farmers, in which the program consists of (1) 5

elements of biosecurity – isolation of sick animals, good sanitation, control

movement of objects related with piggery, control of disease vectors, and proper

disposal of dead animals (corpse) – and routine and appropriate application of (2)

vaccination and (3) medication.

Keywords: pigs, infectious diseases, program of disease prevention (biosecurity,

vaccination, and medication)

Page 241: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [233]

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi pada babi merupakan kendala sangat besar dalam

mengelola peternakan babi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Para peternak

telah melakukan berbagai program pencegahan penyakit infeksi. Bahkan

Pemerintah Indonesia telah mengucurkan dana untuk program pencegahan

penyakit, baik berupa vaksin, desinfektan, maupun obat-obatan. Namun, fakta di

lapangan menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas anak babi masih cukup

tinggi, terutama pada peternakan rakyat. Hasil pengamatan di lapangan pada

peternakan rakyat di Bali tahun 2012 menunjukkan bahwa induk yang melahirkan

10-12 ekor anak, setelah disapih anaknya rata-rata hidup 6-7 ekor. Dengan kata

lain, angka mortalitasnya sebesar 30-41,7% ( Ardana, 2012, data tidak

dipublikasikan). Tingginya mortalitas ini disebabkan oleh banyak faktor,

terutama serangan penyakit infeksi yang terjadi mulai anak babi lahir sampai

setelah disapih. Kuman penyakit mampu masuk ke dalam tubuh babi melalui

berbagai tempat masuk (port dientry) seperti saluran pencernaan bersama

makanan dan air minum, pernapasan, dan kulit.

Berdasarkan fakta tersebut, tingginya angka mortalitas anak babi dapat

mengindikasikan bahwa usaha pencegahan penyakit infeksi belum sepenuhnya

berhasil, populasi kuman penyakit di lingkungan kandang jelas tinggi, kekebalan

anak babi terhadap jenis penyakit mungkin rendah, serta usaha peternak untuk

membunuh kuman di dalam tubuh anak babi belum maksimal. Karena itu, kuman

berkembang dengan leluasa dalam tubuh, selanjutnya membunuh anak babi

tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan tindakan pencegahan penyakit agar

anak babi terhindar dari serangan penyakit dan tumbuh serta berproduksi secara

maksimal.

Kiranya mutlak dilakukan strategi pencegahan penyakit, yang bertujuan

untuk menurunkan populasi kuman (bakteri, larva cacing, oosit, virus, jamur dan

lain sebagainya) di areal kandang (bioskuriti), peningkatan kekebalan anak babi

terhadap berbagai jenis penyakit (vaksinasi), serta membunuh kuman yang

berhasil masuk ke dalam tubuh babi (medikasi). Strategi pencegahan penyakit

Page 242: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [234]

dengan konsep biosekuriti, vaksinasi, dan medikasi tersebut akan diuraikan secara

rinci dalam artikel ini.

DASAR PEMIKIRAN

Ternak babi dipelihara di dalam kandang babi dengan ukuran tertentu,

sesuai dengan umur dan tipenya. Lingkungan kandang ternak di Indonesia pada

umumnya memiliki suhu dan kelembaban yang sangat cocok untuk

berkembangnya kuman (germ), baik bakteri, virus, parasit, maupun jamur. Bila

kondisi tubuh inang (babi) kurang prima dan titer antibodi terhadap penyakit

tertentu rendah, maka infeksi akan sangat mudah terjadi, yang pada giliran

selanjutnya akan menyebabkan babi menjadi sakit. Rantai kejadian seperti itu

sering disebut sebagai segi tiga epidemiologi, seperti yang diilustrasikan dalam

Gambar 1.

Host

(Penjamu)

Agen

Penyebab

Environment

(Lingkungan)

Pengendalian

infeksi

• Nutrisi

• Vaksinasi

• Mandi

•Manajemen

lingkungan

(Biologis/Non

biologis)

• Limbah

• Aseptik

• Antibiotik

• Eradikasi

Gambar 1. Segi tiga epidemiologi, yang menunjukkan keterkaitan antara kondisi

ternak, lingkungannya, dan kejadian penyakit yang disebabkan oleh kuman

penyakit (Schwabe et al., 1977)

Pada Gambar 1, ditunjukkan bahwa pengendalian infeksi dilakukan melalui

tiga tindakan, yaitu menurunkan populasi agen penyebab penyakit pada

lingkungan kandang dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi (biosekuriti),

mendorong pembentukan antibodi terhadap penyakit tertentu dengan tujuan agar

babi kebal terhadap infeksi (vaksinasi), dan membunuh agen penyebab penyakit

(germ) yang masuk ke dalam tubuh babi yang tidak kebal terhadap agen penyakit

tersebut (medikasi). Secara ringkas, disajikan beberapa penyakit infeksi yang

telah menyerang ternak babi di Indonesia seperti yang diuraikan pada Tabel 1 .

Tabel 1. Beberapa Penyakit pada Babi di Indonesia

No Nama Penyakit Penyebab Umur Gejala klinik Pencegahan

Page 243: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [235]

1 New- born diarrhea, ETEC 0- 1 mmg Diare, lesu, kedinginan Sanitasi

Kandang melahirkan,

berikan

anak:antibiotika

2 Young pigdiarrhea ETEC 2- 4 mgg diare, lesu Sanitasi

kandang

menyusui, berikan

antibiotika

3 Hemorrhagic gastro

enteritis

ETEC 1-8 mgg Diare berdarah Sanitasi

kandang menyusui,

berikan antibiotika

4 Septicemia ETEC/ SEPEC 0- 8 mgg Septicemia Terganggu

5. Edema disease VTEC 4 – 8 mgg Oedema Sanitasi

kandang sapih , berikan

antibiotika

6. Koksidiosis Isospora suis 6 – 42 hari diare kekuning-kuningan

atau abu-abu terus menerus,

Sanitasi

kandang menyusui,

berikan

Toltrasuril

7 Ascariasis A.suum 6 mgg-

dewasa

Batuk,kurus,peningkatan

berat badan jelek

Sanitasi semua

kandang,berika

n Antelmintik(lev

amisol

/Hemisol)

8 Streptokokkosis Streptococus suis Type 2

Mulai lahir s/d dewasa

Meningitis (kejang),pleuritis

Sanitasi kandang

melahirkan,

sapih, beri antibiotoka

9 Pasteurellosis

Pasteurella

multocida

10 – 18

mgg (sapihan

dan grower)

Pneumonia, kulit kaki dan

telinga biru

Sanitasi

kandang penyapihan dan

grower, beri

antibiotika dan

vaksinasi

10 Glassers Disease Haemophilus

parasuis

Semua

umur

Artritis, lumpuh Sanitasi semua

kandang, berikan

antibiotika

11 Enzootic Pneumonia

(Mycoplasmosis)

Mycoplasma

hyopneumonia

Semua

umur

Bronchopneumonia Sanitasi,

vaksinasi, beri antibiotika

umur 2- 8

minggu via pakan

12 Porcine Reproductive

and Respiratory(PRRS

virus)

Golongan Arter

virus(Virus PRRS)

Semua

umur, Induk bunting

Lahir prematur (112 hari),

lahir mati

Sanitasi

kandang.

13 Hog Cholera Virus Cholera Semua

umur

Diare warna kuning s/d

berdarah, kejang-kejang

Sanitasi dan

vaksinasi

14 Transmissible

gastroenteritis (TGE)

Corona virus Anak babi s/d dewasa

Masa inkubasi 12 jam, Diare kuning dan busuk

dan muntah

Sanitasi seluruh kandang.

15 Erysipelas Erysipelothix

rhusiophathie/E.insidiosa

Semua

umur

Setelah 3 hri diamond skin

disease (kulit kemerahan), sering kulit mengelupas

Sanitasi dan

pemberian antibiotika

melalui pakan

16 Disentri (swine

dysentry)

Serpulina hyodysentriae

Masa pertumbuha

n sampai

dewasa

Diare berdarah sampai hitam (black scour)

Sanitasi dan berikan

antibiotika yang

cocok melalui pakan

Keterangan: ETEC = Enterotoxigenic E Coli, SEPEC = Septicemic E. Coli, VTEC = Virotoxigenic E. coli.

Page 244: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [236]

Sumber : Ardana dan Harya Putra,2008)

Dipahaminya berbagai jenis penyakit babi seperti yang disajikan pada

Tabel 1, akan memudahkan peternak untuk memilih desinfektan, antibiotika, dan

jenis vaksin, yang dapat dipakai untuk tindakan pencegahan.

PEMBAHASAN

Penyakit infeksi pada babi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit

(cacing, ektoparasit, dan protozoa), serta jamur secara teoritis dapat dicegah

dengan menerapkan tindakan biosekuriti, vaksinasi, dan medikasi. Berikut ini

disampaikan uraiannya secara rinci.

3.1 Biosekuriti

Biosekuriti berasal dari kata bio artinya hidup, dan sekuriti (security)

artinya perlindungan. Secara umum, biosekuriti adalah perlindungan hidup yang

pada hakikatnya, berupa serangkaian tindakan yang dirancang untuk mencegah

masuk dan menyebarnya penyakit ke dan dari sebuah peternakan. Intinya adalah

proses menjauhkan kuman dari babi dan menjauhkan babi dari kuman. Ada

beberapa penyakit pada babi yang perlu dicegah seperti disampaikan pada Tabel 1.

Agen penyakit masuk ke peternakan akan menyebabkan penyakit klinis, penyakit

sub-klinis, dan zoonosis. Agar populasi agen penyakit pada peternakan dapat

ditekan, maka lakukan tindakan ke-5 elemen biosekuriti yaitu: (1)

Isolasi/pemisahan, (2) Sanitasi, (3) pengendalian lalu-lintas berbagai objek yang

terkait dengan peternakan, (4) pengendalian vektor, dan (5) pembuangan bangkai

babi.

Tindakan isolasi atau pemisahan bertujuan menciptakan suasana

lingkungan kandang yang terisolir agar babiterhindar dari agen pembawa penyakit

(carrier), seperti manusia, hewan hewan liar, unggas liar, udara dan air tercemar,

dan pembawa penyakit lainnya. Tindakan nyatanyameliputi: (1) pengaturan jarak

antara lokasi peternakan dengan pemukiman penduduk, yaitu sekitar 400 – 1000

meter, (2) pengandangan hewan di dalam lingkungan peternakan yang terkendali

(adanya terali besi pemisah antara babi dengan hewan lain, seperti misalnya

anjing, kucing, tikus, dan lain-lain), (3) pembuatan pagar di sekeliling peternakan

untuk mengendalikan lalu-lintas manusia dan hewan lain, (4)pemisahan babi

Page 245: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [237]

berdasarkan kelompok umur dan area, di sebuah peternakan yang memelihara

babi dengan berbagai umur atau stadium pertumbuhan, serta (5) melakukan sistem

manajemen all in –all out(masuk kandang dengan umur sama dan dikeluarkan

bersamaan)pada pemeliharaan babi penggemukan. Tindakan ini akan lebih

berhasil bila juga dibarengi oleh tindakan sanitasi, seperti berikut ini.

Tindakan sanitasi meliputi pembersihan dan desinfeksi secara teratur

terhadap material kandang, peralatan, kendaraan, dan orang yang memasuki

peternakan, dengan menerapkan pola sebagai berikut ini. Pertama adalah

membersihkan dan mencuci semua benda-benda organik dengan menggunakan

deterjen, kemudian gunakan desifektan yang sudah disetujui oleh dokter hewan

penanggung jawab kesehatan dengan mengikuti kadar dan jumlah yang sudah

direkomendasikan oleh pabrik pembuatnya.Adapun jenis dan cara kerja berbagai

jenis desinfektan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

DesinfeksiCara Kerja

ANTIMICROBIAL CHEMICALS :

THEIR SITES AND MODES OF ACTIONCELL STRUCTURES

Phenol, sodium hypochlorite, and

Merthiolit (low concentrations) cause

lysis

Phenols, alcohols, and detergents affect

cytoplasmic membrane, causing leakage

Hypochlorites,iodine,ethylene oxide,

glutaraldehyde, and salts of heavy metals

combine with SH groups

Ethylene oxide and glutaraldehyde

combine with NH2 groups

Mercury salts, glutaraldehyde, and high

concentration of phenols coagulate proteins

Cell Wall

Cytoplasmic membrane

Nuclear material (DNA)

Ribosomes

Cytoplasm

SH

NH2

Gambar 2. Ilustrasi cara kerja desinfektan.

Sumber : Makalah seminar dalam bentuk power-point dari Technical Service dan

Development Department, Pt. Charoen Pokhphand Indonesia TbK, 2010

Dalam kegiatan desinfeksi, yang perlu dihitung adalah hal berikut ini :

1) Wilayah yang akan didesinfeksi dalam meter persegi (m2). Perhitungan

untuk mencari luas wilayah penyemprotan termasuk semua dinding, lantai,

dan langit-langit dilakukan dengan dua langkah. (a). Langkah 1:

menghitung luas lantai kandang babi dengan rumus: Panjang (m) Lebar

Page 246: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [238]

(m) misalnya 40 m2. (b). Langkah 2: menghitung luas ruangan kandang

(termasuk semua dinding, lantai, dan langit-langit) dengan rumus: Luas

lantai 2,5 = Luas permukaan semua dinding, yaitu 40 m2 2,5 = 100 m2.

2) Menghitung jumlah air yang diperlukan (berapa banyak air). Jika ingin

menggunakan jumlah air 300 ml (0,3 liter) per meter persegi, maka

rumusnya adalah jumlah air yang digunakan adalah 300 ml (0,3 liter)

luas total kandang. Terakhir, karena luas keseluruhan adalah 100 m2, maka

jumlah air yang diperlukan adalah 100 0,3 lt = 30 liter.

3) Menghitung tingkat pengenceran desinfektan yang benar dan sesuai

dengan rekomendasi pabrik (berapa banyak disinfektan dan air). Dengan

melihat label produk desinfektan, misalnya nama produk yang ada

dipasaran DES HPR, ditulis 1 ml/liter air, pengencerannya adalah 1 ml

DES HP dalam 1 liter air. Bila jumlah airnya 30 liter, maka DES Hp yang

dibutuhkan = 30 ml. Contoh lain bila pada label ditulis pengenceran zat x :

1%, maka diambil 1 gram dilarutkan 100 ml air atau 10 gram zat itu

dalam 1.000 ml (1 liter) air. Jadi, bila air yang dibutuhkan adalah 30 liter

untuk total luas kandang 100 m2, maka zat x yang diencerkan = 300 gram.

Kegiatan sanitasi lainnyaadalah memelihara kebersihan pekerja dengan

cara mencuci tangan, kaki, sepatu, dan lain-lainnya secara rutin dengan sabun

sebelum mulai menangani babi. Pekerja wajib mengganti pakaian dan sepatu

sebelum mulai bekerja.Pekerja diwajibkan untuk menangani makanan babi

terlebih dahulu sebelum menangani kotoran babi, peralatan yang terkontaminasi,

dan babi yang mati (bangkai).

Pengaturan lalu-lintas dalam kandang adalah berupa mengendalikan lalu-

lintas manusia, hewan, peralatan, dan kendaraan yang masuk dan keluar

peternakan, dan di dalam area peternakan itu sendiri. Tidak diperbolehkan orang

lain dan kendaraan masuk tanpa ada kepentingan yang pasti. Pola lalu-lintas

memberi makan dan pengontrolan dipeternakandimulai dari ternak babi yang

paling muda (piglets)ke ternak yang dewasa atau induk dan juga mulai dari babi

yang kondisinya sehat ke babi yang sakit.

Elemen pengendalian vektor dan pembuangan bangkai wajib dilakukan.

Page 247: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [239]

Jenis vektor (agen pembawa penyakit) seperti tikus, kucing, anjing, kecoak, lalat,

burung liar, dan lain-lainnya perlu dikendalikan karena vektor dapat menularkan

penyakit. Contohnya, tikus dapat menularkan toxoplasma dan salmonella. Burung

liar dapat menularkan flu burung. Pembuangan bangkai ternak dilakukan dengan

membakar atau dikubur, yangdapat menekan penyebaran kuman dalam kandang.

3.2 Tindakan vaksinasi

Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (antigen) ke dalam tubuh

babi untuk membentuk zat kebal yang spesifik (antibodi spesifik) untuk

membunuh agen penyakit yang spesifik, yang mampu masuk ke dalam tubuh

(seperti Hog Cholera, Mycoplasma, Pasteurella/SE, Eschericia coli, dan lain lain).

Cara vaksinasi adalah dengan menginjeksikan vaksin/ bakterin dari agen penyakit

yang spesifik secara terprogram, seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Program Vaksinasi Pada Ternak Babi di Indonesia

Umur babi Jenis

vaksin

Cara pemberian

3 minggu Mycoplas

ma

IM

4 minggu Hog

Cholera

IM

5 minggu Mycoplas

ma

IM

12 minggu SE SC

6 bln (induk,

pejantan)

Hog

Cholera

IM (live vaccine)

12 bln (induk,

pejantan)

Hog

Cholera

IM (live vaccine)

dst

PROGRAM VAKSINASI

Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa perlu dilakukan booster (pengulangan),

sebab kalau hanya sekali vaksin, maka titer antibodi tidak tinggi. Respon imun

primer adalah respon imun yang terjadi karena paparan antigen pertama kali, di

mana antibodi yang terbentuk berupa IgM (immunoglobulin M).Selanjutnya,

respon imun sekunder merupakan respon pembentukan antibodi Ig G

(immunoglobulin G) dengan titernya yang tinggi, seperti yang dapat dilihat pada

Gambar 3.

Page 248: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [240]

Gambar 3. Respon tubuh terhadap vaksinasi

Program vaksinasi akan sukses tergantung kepada: status antibodi

maternal induk babi, antigenesitas vaksin (dosis, cara pemberian, cara menyimpan,

dan pengangkutan/transport dan ajuvant yang dipakai), dan kondisi babi (genetik

yaitu faktor MHC I dan MHC II, status gizi, dan kesehatan babi).

3.3 Tindakan Medikasi

Tindakan medikasiadalah suatu tindakan pemberian suplemen dan

antibakteri, atau antifungi, atau antiparasit pada babi secara terprogram untuk

menjaga kondisi kesehatan babi tetap baik dan untuk membunuh mikroorganisme

yang ada dalam tubuh babi yang secara fisik tampak sehat. Pemilihan dan waktu

pemberiam antimikroorganisme dan suplemen tersebut sangat bergantung kepada

jenis mikroorganisme yang ada diwilayah peternakan dan kondisi babi yang

dipelihara di sana. Oleh karena itu, program medikasi ini tidaklah baku, dan dapat

berubah atau disesuaikan dengan kondisi di lapangan, umur babi, dan

stadiumpertumbuhan/status induk. Contoh program medikasi dapat dilihat Tabel 3

berikut ini.

Tabel 3. Program Medikasi pada babi

Jenis obat,

suplemen dan

dosis

Induk bunting Induk

menyusui

Anak

menyusu

Sapih s/d finisher

O, C atau Ty Mulai bunting s/d -14

mggu

Selama

menyusui

- Saat sapih s/d 14 hr

diulang 46 hr

setelah sapih s/d –

panen

ATP - - Umur 1 hr Saat sapih

Bivermectin - Saat sapih

ADE Umur 3 hr

Fe (zat besi) 3 hr dan 21 hr

Tol - - Umur 4,5,6 hr -

He Satu mgg sebelum

melahirkan

30 hr

En atau Pen Satu hr sebelum dan Saat sapih

Page 249: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [241]

sesudah melahirkan

S &E Satu hr sebelum dan

sesudah melahirkan

Saat sapih selama 3

hr

Super Mulai bunting s/d

menyusui

- - Berat 60 kg s/d

panen

Keterangan:

O = OTC (200 ppm), C = CTC (400-500 ppm) Ty = Tyolxacin (1000 grm/ton), DAE = ADE: 0,3

ml/ekor, S&E = Superfit (vitamin & elektrolit oral: 1 grm/liter, En = Enrofloxasin: 1 ml /25 Kg

bb, Pen = Penstrep, He = Hemisol: 1 gr/10 kg (obat cacing), ATP = Bio-ATP: 0,3 ml,Tol =

Toltrasuril: 5 mg/ekor, Super = Super Pig: 3 grm/kg pakan

KESIMPULAN

Pengendalian penyakit infeksi pada ternak babi wajib dilakukan, yaitu

berupa tindakan pencegahan secara utuh dan menyeluruh, mulai dari tindakan

lima elemen biosekuriti, program vaksinasi secara teratur, dan ketepatan memilih

jenis obat dan waktu pemberiannya dalam penerapan program medikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bindseil, E. 1972. On The Development of Interstitial Hepatitis (“Milk Spots“) in

Pigs Following Infection with Ascaris suum. Nord.Vet. Med. (23) : 191-

195.

Brander, G. C., Pugh, D. M., and Baywater, R. J. 1980. The Veterinary Applied

Pharmacology Therapeutics, 4th Ed. Bailliere Tindall, London.

Close, W.H, (2001). Feeding and management strategies to improve sow

productivity. Asian Pork Magazine. Vol : 1 (10)

Hastasi Wuryastuti. (2002). The Importance of Colostrum / Milk in Swine.

International Seminar On Pig Farming “ Awakening the Sleeping Giant”.

Benoa, Denpasar, Bali. Indonesia.

Johnstone, C. 2001. Parasites and Parasitic Diseases of Domestic Animals.

(Parasites of Swine). University of Pennylvania. Diakses Tanggal 30

Pebruari 2014

Leman. A.D., B.E. Straw, W.L. Mengeling, S. D”Allaire and D.J. Taylor (1996).

Diseases of Swine. 7th Ed. Iowa StateUniversity Press / Ames, Iowa U.S.A.

NRC. (1979). Nutrient Requirements of Swine. Eight revised edition, 1979.

National Academy of Sciences, Washington, DC.

Swenson M.J. 1970. Duke’s Physiology of Domestic Animals. Edisi ke–8.

CornellUniversity Press, Ithaca, New York.

SCA, (1987). Feeding Standards for Australian Livestock. Pigs. CSIRO Printing

Centre. Collingwood, Victoria.

Sihombing. D.T.H.(1997) Ilmu Ternak Babi. Cetakan Pertama.

GajahMadaUniversity Press.

Srigandono, B., K. Praseno, dan Soedarsono, (1992). R.D. Frandson. Anatomi dan

Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Gajah Mada University Press.

Supar. 2002 . Escherichia coli dan Kolibasilosis. Balai Penelitian Veteriner.

Bogor

Schwabe, Calvin W., Hans P. Riemann,Charles E. Franti. (1977)Epidemiology in

Page 250: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [242]

Veterinary Practice. Lea & Febiger, Philadelphia.

Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthrophods and Protozoa of Domesticated

Animals 7th. Ed. Bailliere Tindall,London.

Tizard. 1992. Veteriner Immunology: An Introduction. 4 th Ed. W. B. Saunders

Company. Philadelphia, Tokyo

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN TITER HOG

CHOLERA PADA BABI

I Nyoman Suartha1*, Rui Daniel de Carvalho2, Nyoman Sadra Dharmawan3. 1Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner; 3Laboratorium Patologi Klinik Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar Bali 2 Direktorat Nasional Karantina Timor-Leste

*Corespodensi: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor dominan yang berpengaruh

terhadap peningkatan jumlah persentase antibodi Hog Cholera protektif pada

babi.Sebanyak240babi diambil serum sebelum dan setelah vaksinasi,

serumdiperiksa terhadap adanya antibodi CSF menggunakan PrioCheck CSFV Ab

ELISA kit (Prionics Ag). Serum yang diperiksa terdiri atas240serum dari babi

yang tidak divaksinasi dan 240 serum dari babi yang samasetelah diberi

vaksinasi,menggunakan vaksin CSF. Interval pengambilan serum pertama dengan

pengambilan serum keduaminimal 14 hari pasca vaksinasi.Hasil penelitian

menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap adanya

antibodi pada babi yang divaksinasi dengan yang tidak divaksinasi. Sebanyak 75%

serum babi dengan status divaksinasi, terdeteksi antibodi positifCSF, sementara

hanya 16,7% serum babi dengan status tidak divaksinasi terdeteksi positifantibodi.

Dari uji odd ratio, diketahui bahwa di antara faktor umur babi, jenis kelamin babi,

letak geografis, dan status vaksinasi, ternyata yang paling berpengaruh terhadap

peningkatan persentase antibodi CSF adalah faktor status vaksinasi.

Kata-kata kunci: CSF, Vaksinasi, ELISA

ABSTRACT

The objective of this study wasevaluatedof the dominant factor that affecting the

Page 251: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [243]

increase ofantibody titers on pigs in Timor Leste. A total of 240 pigs sera were

taken before and after vaccination checked against of CSF antibodies using

PrioCheck CSFV Ab ELISA kits (Prionics Ag). Two hundred and forty sera

obtained from non-vaccinated pigs and 240 other sera obtained from the same

pigs, after being vaccinated with CSF vaccine. The time interval from the first and

the second serum collection was at least 14 days post-vaccination. The results

showed there were significant differences (P<0.01) for the presence of antibodies

in pigs vaccinated with unvaccinated. A total of 75% serum from vaccinated pigs

was found positive for antibodies, while only 16.7% of serum from non-

vaccinated pigs was positive. The odd ratio test, it showed that among the factors

of age, sex, geographic location, and vaccination status, the most influential factor

for increase of antibody titer was vaccination status.

Key words: CSF, Vaccination, ELISA

PENDAHULUAN

Penyakit Hog Cholera merupakan salah satu penyakit yang sangat

membahayakan dan menimbulkan kerugian ekonomi tinggi pada peternakan babi,

karena angka kematian sangat tinggi (Narita,et al., 2000). Penyakit ini akan

berdampak buruk pada daerah yang banyak memanfaatkan daging babi untuk

memenuhi kebutuhan protein dan kebutuhan daging untuk fungsi sosio kultural di

masyarakatseperti pernikahan, pemakaman, ulang tahun, dan hari raya.

Pencegahan penyakit ini dilakukan dengan cara vaksinasi. Keberhasilan

program vaksinasi dipengaruhi oleh banyak factor seperti jenis antigen vaksin

yang digunakan, kondisi penyakit pada suatu wilayah, dan kondisi kesehatan babi

yang akan divaksinasi. Antigen dalam vaksin yang cukup dan diproduksi dengan

tingkat sterilitas tinggi, keamanan tinggi, pelarut vaksin yang tepat, dan proses

penyimpanan yang baik akan mampu meningkatkan titer antibodi Hog cholera

lebih tinggi (Jayanti, 2014). Pemberian obat anti cacing sebelum vaksinasi sangat

membantu peningkatan titer antibodi pada anak babi (Galingging 2014). Tidak

kalah pentingnya perlu diperhatikan titer maternal antibodi pada anak babi yang

pertama kali divaksinasi. Titer maternal antibodi yang tinggi dapat menetralisasi

antigen vaksin yang diberikan, sehingga titer yang terbentuk pada anak babi akan

rendah. Titer maternal antibodi pada anak babi yang lahir dari induk dengan

sejarah vaksinasi yang tidak jelas, titer maternal antibodinya masih protektif

Page 252: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [244]

sampai umur 4 minggu (Margaretha, 2014). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui factor dominan yang berpengaruh terhadap peningkatan titer antibodi

hog cholera pada anak babi.

METODEPENELITIAN

Sampel serum babi sebanyak 240 diambil pada babi dari empat distrik di

Timor-Leste. Sampel dibedakan berdasarkan atas jenis kelamin, umur, letak

geografis pesisir dan bukit. Deteksi antibodi dilakukan dengan Uji ELISAdi

Laboratorium Biomedis Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,

Denpasar Bali. Serum pertama diambil sebelum vaksinasiCSF, dan pengambilan

serum kedua14 hari setelah vaksinasi. Pengambilan serum diawali dengan

mengambil darah babi melaluivena cava anterior menggunakan spuit 5 ml.Darah

yang telah diambil ditempatkan dalam suhu ruang selama satu jam dengan posisi

mendatar.Darah diinkubasikan selama 24 jam dalam suhu 4°C. Serum yang

terbentuk selanjutnya ditampung dalam tabung mikro berukuran 1.5

ml.Penyimpanan serum dilakukan dalam suhu -18 °Chingga akan digunakan.

Uji ELISA

Prosedur Uji Elisa terhadap serum babi berdasarkan atas prosedur yang

tercantum pada kit The PrioCHECK ® CSFV Ab. Perhitungan persentase

hambatan (PI) dari serum control positif lemah, serum control positif dan serum

sampel dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

PI = 100 - max 450 OD

] uji sampel OD450 [ x 100

Validasi uji:

1. Rata-rata nilai OD 450 kontrol serum negative harus > 1.0

2. Persentase hambatan control serum positif lemah harus > 50%

3. Persentase hambatan control serum positif harus > 80%

Intepretasi hasil:

Jika persentase hambatan pada serum uji lebih kecil dari 40%, maka antibodi

serum sampel negative. Jika persentase hambatan serum sampel lebih besar atau

sama dengan 40% maka antibodi pada sampel positif.

Analisis Data

Page 253: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [245]

Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis bivariat dengan perangkat

lunak SPSS 20 for Windows. Uji statistsik chi-squaredigunakan untuk

menentukanfaktor (status vaksinasi, jenis kelamin, umur, lokasi pesisir/bukit)

yang paling berpengaruh terhadap tingginya titer antibodi CSF.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai persentase hambatan (PI) uji Elisa titer antibodi CSF pada serum babi

yang protektif lebih besar dari60,96%, sedangkan persentase hambatan titer

antibodi yang nonprotektif lebih rendah dari 15,47%. Persentase jumlah titer

antibodi protektif pada kelompok babi yang divaksinasi dan yang tidak

divaksinasi, antar faktor jenis kelamin, umur, dan lokasi geografis beragam (Tabel

1). Pada masing-masing faktor untuk setiap variabel ditemukan adanya antibodi

protektif dan tidak protektif. Adanya antibodi protektif pada kelompok yang tidak

divaksinasi membuktikan bahwa penyakit hog cholera telah endemis di Timor

Leste. Hasil yang sama juga dilaporkan pada temuan persentase antibodi CSF

yang dilakukan di Kupang Nusa Tenggara Timur (Ratundima, et al., 2012).

Tabel 1. Nilai Odd Ratio dan Persentase Antibodi Protektif Terhadap Virus CSF Serum Babi yang

Divaksinasi dan Nonvaksinasi.

Faktor Variabel Antibodi Protektif (%) Odd Ratio

Vaksinasi Nonvaksinasi

Jenis Kelamin Jantan

70,8 a**

(85/120)

10,8 a*

(13/120) 1.50

Betina

79,2 a**

(95/120)

22,5 a*

(25/120)

Umur 0- 6 Bulan

78,3 a**

(94/120)

15 a*

(18/120) 0.94

> 6 Bulan

71,7 a**

(86/120)

18,3 a*

(22/120)

Letak Geografis Pesisir

77,5a**

(93/120)

20 a*

(24/120) 0.78

Bukit

72,5 a**

(87/120)

13,3 a*

(16/120)

Faktor Vaksinasi Vaksinasi 75,0a

(180/240) 15.00

Nonvaksinasi 16,7b

(40/240)

Keterangan: Huruf yang sama antar baris dalam satu faktor menunjukan hubungan berbeda tidak nyata (P >

0,05). Tanda** dan tanda * berarti menunjukan hubungan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

antar kolom pada faktor yang sama

Babi-babi yang telah terpapar infeksi alami maka dalam tubuh babi itu akan

terbentuk antiodi. Hal ini juga dapat disebabkan induk dari babi itu telah pernah

divaksinasi sehingga maternal antibodi akan diturunkan kepada anaknya

(Suradath, at al., 2007)., antibodi maternal bertahan sampai usia 4,5 bulan,

Page 254: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [246]

tetapidalam beberapa individu, antibodi maternal dapat dideteksi lebih lama (OIE

2009).Dilaporkan pada daerah endemis dengan sejarah vaksinasi induk yang tidak

jelas, maternal antibodi hog cholera yang diturunkan pada anak babi bertahan

lebih dari umur 4 minggu (Margaretha, 2014).

Pada kelompok yang divaksinasi terdapat antibodi nonprotektif dapat

disebabkan oleh netralisasi dari antibodi yang telah terbentuk pada infeksi alam

(Sarosa et al., 2004), adanya maternal antibodi, dan faktor genetik dari individu

yang tidak mampu atau lambat merespon terbentuknya antibodi (Szent-Ivanyi,

1977; Van Oirschot, 2003). Hal lainnya karena ada reaksi silang dengan genus

virus pesti yang lain seperti virus Bovin viral diare (BVD) (Chenet al., 2012),

dan akibat reaksi non spesifik dengan faktor lain (OIE 2009).

Efektivitas vaksin antivirus untuk mengurangi infeksi virus berbeda antara

jantan dan betina. Persentase jumlah dari babi betina yang menunjukkan titer

protektif lebih tinggi, namun perbedaan itu tidak berbeda nyata (P>0.05).

Dilaporkan hal ini disebabkan faktor hormon, gen, dan faktorspesifik lain (Klein,

2012).

Pada faktor umur jumlah babi dengan persentase antibodi protektif tidak

berbeda nyata (P > 0.05). Jika anak babi divaksin terlalu awal, pada hal induk babi

sudah divaksinasi CSF, maka bentuk hambatan respons kekebalan berupa reaksi

netralisasi dari antibodi maternal yang masih tinggi titernya terhadap virus vaksin

yang masuk tubuh, sehingga mengakibatkan virus vaksin tersebut tidak dapat

menstimulir sistem kekebalan untuk memproduksi antibodi (Saroso,et al., 2004,

Nathasha, 2014, Suradhat, et al., 2007).

Pada kelompok babi yang divaksinasi di lokasi pesisir dan bukit

mempunyai jumlah babi dengan persentase antibodi positif/protektif 77,5% dan

72,5%, sedangkan pada kelompok yang tidak divaksinasi jumlah babi dengan

persentase antibodi positif yaitu 22,5% dan 27,5%. Baik pada kelompok yang

divaksinasi, dan kelompok yang tidak divaksinasi nilai itu tidak berbeda nyata

(P>0.05).

Berdasarkan pengamatan faktor vaksinasi, jenis kelamin, umur saat

vaksinasi dan letak geografis maka faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan

jumlah babi dengan titer antibodi protektif adalah status vaksinasi yaitu dengan

Page 255: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [247]

nilai odd ratio 15. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam keberhasilan

program vaksinasi hog cholera adalah strain virus yang digunakan sebagai antigen

(Precausta etal.,1983;Terpstraetal.,1990 dalam Suradhat et al., 2007). Strain virus

yang sesuai akan memberikan perlindungan yang lebih baik (VanOirschot, 2003).

Sistem cold chain diperlukan untuk mempertahankan suhu optimal penyimpanan

dan pendistribusian vaksin dari produsen sampai kepada pemakai. Fluktuasi suhu

yang tidak terkontrol menyebabkan panas bisa merusak vaksin. Jadi sangat

penting menjaga suhu yang benar selama penyimpanan dan pendistribusian vaksin

(WHO, 1998).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dengan teknik ELISA untuk mendeteksi antibodi

terhadap virus Classical Swine Fever di empat distrik di Timor-Leste dapat

disimpulkan bahwa: Faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan persentase

antibodi CSF pada babi di Timor-Leste adalah status vaksinasi dengan odd ratio

15.

Saran

Disarankan dalam pencegahan penyakit hog cholera sangat diperlukan

melakukan vaksinasi secara menyeluruh terhadap semua babi yang ada didaerah

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Chen, L.J., X.-Y. Dong, M.-Q. Zhao, H.-Y. S., J.-Y. Wang, J.-J. Pei, W.-J.

Liu,Y.-W. Luo, C.-M. Ju and J.-D. Chen, 2012. Classical swine fever virus

failed to activatenuclear factor-kappa b signaling pathway both in vitro and

in vivo. Virology Journal, 9:293.

Klein S.L., 2012.Sex Influences Immune Responses to Viruses, and Efficacy of

Prophylaxis and Treatments for Viral Diseases. Diunduh 4 April 2014

dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23012250

Narita, M., K. Kawashima, K. Kimura, O. Mikami, T. Shibahara, S. Yamada and

Y. Sakoda, 2000. Cholera Virus Comparative Immunohistopathology in

Pigs Infected with Highly Virulent or Less Virulent Strains of Hog

Cholera Virus. Pathologists. American College of Veterinary Pathologists,

European College of Veterinary Pathologists, & the Japanese College of

Veterinary. Published by:. Veterinary Pathology Online.

National Satatistic Directorate (NSD) and United Nations Population Fund

(UNFPA), 2011. Poppulation and Housing Census of Timor-Leste.

Page 256: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [248]

Volume 4: Suco Report.

OIE, 2009. Classical Swine Fever. Terrestrial Animal Health Code.

Ratundima, EM., IN Suartha, IGNK Mahardika, 2012. Deteksi Antibodi terhadap

Virus Classical Swine Fever dengan Teknik Enzyme-Linked

Immunosorbent Assay. Lab Virologi dan Lab Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Rumenapf, T. H. 1990. Cloning, Sequencing and Expression of the Genome of

Classical Swine Fever Virus. Inaugural-Dissertation, Fachbereich

Veterinar Medizin, Justus-Liebig-Universitat, Giessen, Germany.

Sarosa, A., Sendow, I., dan Syafriati, T., 2004. Penagamatan Satus Kekebalan

Terhadap Penyakit Hog Cholera dengan teknik Neutralization Peroxidase

Linked Assay. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan veteriner).

Suradhat, S., S. Damrongwatanapokin, R. Thanawongnuwech, 2007. Factors

Critical for Successful Vaccination Against Classical Swine Fever in

Endemic Areas. Faculty of Veterinary Science, Chulalongkorn University,

Henri-Dunant Road, Bangkok 10330, Thailand Virology

Section.Veterinary Microbiology 119 1–9.

Szent-Ivanyi, T., 1977. Eradication of Classical Swine Fever in Hungary.

Proceedings of the CEC.

Terspstra, C. 1991. Classical Swine Fever: an Update of Present Knowledge,

British Vet. J. 147: 397-406.

Tizard, Ian R., (2002). Veterinary Imunology an Introduction. Published by W.B.

Saunders Company.

Van Oirschot, JT. 2003. Vaccinology of Classical Swine Fever: From Lab to Field.

Veterinary Microbiology 96, 367-384.

WHO, 1998. Safe Vaccine Handling, Cold Chain and Immunization. Global

Programme for Vaccine and Immunization. Geneva.

Page 257: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [249]

PENGUJIAN MORFOLOGI SPERMATOZOA PADA BERBAGAI BREED

BABI MENGGUNAKAN PEWARNAAN EOSIN-NIGROSIN DAN

CARBOFLUCHSIN

Annisa Fithri Lubis 1), R Iis Arifiantini2), WM Nalley3), Bondan Achmadi4)

1) Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 2) Staf pengajar Divisi Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan

Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3) Staf pengajar Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.

4) PLP Ahli Muda, Divisi Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi, dan

Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

* Corresponding author: [email protected]

ABSTRAK

Morfologi spermatozoa merupakan salah satu parameter penting dalam

menentukan kualitas semen. Abnormalitas spermatozoa yang tinggi dapat

memengaruhi fertilitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan

morfologi spermatozoa pada berbagai breed babi dengan teknik pewarnaan eosin-

nigrosin dan carbofluchsin, serta mempelajari abnormalitas primer (kepala) pada

spermatozoa berbagai breed babi menggunakan pewarnaan carbofluchsin dan

abnormalitas sekunder (ekor) dengan preparat natif (formol-saline). Sumber

semen diperoleh dari enam breed babi. Hasil penelitian menunjukkan morfologi

spermatozoa babi yang diuji sangat baik dengan jumlah abnormalitas spermatozoa

hanya 8,80±0,06%. Abnormalitas spermatozoa primer (2,97±0,01%)lebih tinggi

(p<0,05) dibandingkan abnormalitas spermatozoa sekunder (2,23±0,01%).

Abnormalitas primer tertinggi terdapat pada breed Backshire sebanyak 4,1% dan

terendah pada breed Pietrain 1,8%. Abnormalitas sekunder tertinggi terdapat pada

breed Backshire sebanyak 4,7% dan terendah pada breed Landrace hanya 0,8%.

Hasil uji independent T-testmenunjukkan morfologi spermatozoa babi dengan

Page 258: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [250]

pewarna eosin-nigrosin tidak berbeda dengan pewarnaan carbofluchsin (p>0,05).

Kata kunci: abnormalitas spermatozoa, eosin-nigrosin, carbofluchsin, formol-

saline, babi

ABSTRACT

Sperm morphology was one of theimportantparametersin determiningof semen

quality.Highspermabnormalitiesnumber will affectthe fertility. The

objectivesofthis research weretocompare themorphologyof boar

spermatozoainvariousbreedswitheosin-nigrosin andcarbolfuchsin

stainingtechnique, andto evaluate sperm primary abnormality(head)

usingcarbolfuchsinstainingandsecondarysperm abnormalities(tail)

withnativepreparations(formol-saline). The results demonstratedall breeds had a

good sperm morphology, total sperm abnormality was only8.80±4.40%. Total

primary spermatozoa abnormality (2.97±0.34%) higher (p<0.05) than secondary

spermatozoa abnormalities (2.23±0.57%).The highest primary abnormality (4.1%)

found in Backshire breed, and the lowest (1.8%) demonstrated by Pietrain breed.

Secondary spermatozoa abnormalities was highest in Backshire breed 4.7% and

the lowest demonstrated by Landrace breed (0.8%).Independent T-test showed

that there was no significant difference in sperm morphology between eosin-

nigrosin andcarbofluchsin stainingtechnique (p>5%).

Keywords:sperm abnormality, eosin-nigrosin, carbolfluchsin, formol-saline, boar

Keywords:sperm abnormality, eosin-nigrosin, carbofluchsin, formol-saline, boar

PENDAHULUAN

Teknologi reproduksi yang digunakan pada peternakan babi di Indonesia

saat ini masih terbatas dengan inseminasi buatan (IB). Salah satu faktor yang

memengaruhi keberhasilan suatu IB terletak pada kualitas semen yang

diinseminasikan (Atiq et al. 2011), yaitu unggul baik motilitas maupun

viabilitasnya. Morfologi spermatozoa merupakan salah satu parameter penting

dalam menentukan kualitas semen karena abnormalitas spermatozoa yang tinggi

dapat memengaruhi fertilitas. Klasifikasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda

antar peneliti dan antar laboratorium penguji. Menurut Ax et al. (2000),

abnormalitas pada spermatozoa dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok:

abnormalitas primer (kepala dan akrosom spermatozoa), abnormalitas sekunder

(midpiece cytoplasmic droplet), dan abnormalitas tersier (kerusakan pada ekor).

Abnormalitas juga dapat bersifat genetik sehingga diturunkan ke generasi

berikutnya, seperti knobbed acrosome deffect. Abnormalitas dapat bersifat mayor

Page 259: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [251]

karena mengganggu fertilitas, atau bersifat minor karena tidak mengganggu

fertilitas (Chenoweth 2005).

Pengamatan morfologi adalah mengamati bentuk spermatozoa yang

normal dan abnormal. Pengujian abnormalitas spermatozoa dapat dilakukan

menggunakan preparat natif atau dengan teknik pewarnaan. Beberapa teknik

pewarnaan telah dilakukan untuk mempermudah dalam mengamati morfologi

spermatozoa. Menurut Barth dan Oko (1989) teknik fiksasi dan pewarnaan

spermatozoa dibedakan atas dua metode yaitu metode kering dan metode basah.

Pewarnaan dengan metode kering dapat menggunakan eosin-nigrosin, eosin-

aniline blue, Feulgen staining technique, giemsa solution, acid-fast stain dan

pewarnaan fluorescent. Metode pewarnaan basah dapat berupa fiksasi

spermatozoa di dalam larutan formol-saline.

Mengingat banyak teknik pewarnaan yang dapat digunakan dan

abnormalitas dibedakan antara primer dan sekunder, maka penelitian ini bertujuan

untuk membandingkan morfologi spermatozoa pada beberapa breed babi dengan

teknik pewarnaan eosin-nigrosin dan carbofuchsin.

MATERI DAN METODE

Penampungan Semen

Semen ditampung dari 12 ekor babi jantan yang telah dewasa kelamin.

Dari breed Backshire, Duroc, Pietrain, Hampshire, Landrace dan Yorkshire

masing-masing 2 ekor, milik Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Siborong-

borong dan “Allegrindo” di Sumatra Utara, serta “Ngalah” dan “PT. Fajar

Semesta Indah” di Kalimantan Barat, menggunakan teknik masase atau gloves

hand method pada bagian corpus penis dengan bantuan dummy sow (Arifiantini,

2012).

Pewarnaan Semen:

Preparat Natif (Formol-saline)

Preparat natif dibuat dengan cara meneteskan semen yang sudah

diencerkan dengan larutan formol-saline (6,19 g di-sodium hydrogen phosphate

dehydrate, 5,41 g sodium chloride, 2,54 g potassium dihydrogen phosphate, 125

ml formaldehyde solution (37%) dan 875 ml aquades) dengan perbandingan 1 :

Page 260: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [252]

100 (10 µl semen dengan 990 µl formol-saline).

Pewarnaan Eosin-nigrosin

Pembuatan preparat ulas dilakukan dengan cara mencampur semen segar

dan eosin-nigrosin (20 g nigrosin dan 1,5 g sodium sitrat dalam 300 ml distilated

water ditambah eosin yellow 3,3 g (Barth dan Oko 1989), dengan perbandingan

1:2 (Arifiantini, 2012). Selanjutnya dibuat preparat ulas tipis pada gelas objek dan

dikeringkan di atas meja pemanas (heating table).

Pewarna Carbofuchsin

Pewarnaan carbofuchsin (Williams stein) diawali dengan pembuatan

preparat ulas dengan menggunakan semen segar (fresh semen)kemudian

dikeringkan kemudian disimpan.Preparat kemudian difiksasi diatas api

bunsen.Preparat ulas yang sudah difiksasi, dicuci dengan larutan alkohol absolut

selama 4 menit dan dikeringudarakan. Direndam dalam chloramin solution 0,5%

selama 1-2 menit kemudian dicuci dalam distilated water dan alkohol

95%.Preparat diwarnai dengan pewarnaan Williamsdengan cara direndam selama

8-10 menit.Hasil pewarnaan dibersihkan dengan cara dibilas dengan air mengalir

dan dikeringkan (Arifiantini et al., 2006).

Pengamatan Morfologi Spermatozoa

Pengamatan morfologi spermatozoa dilakukan pada preparat yang telah

diwarnai dengan pewarnaan eosin-nigrosin dan pewarnaan carbofuchsin, serta

preparat natif. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya

Olympus CX21. Morfologi spermatozoa diamati pada 500 sel pada tiap preparat.

Prosedur Analisis Data

Tiap jenis abnormalitas dihitung jumlahnya, untuk mengetahui jumlah

abnormalitas baik primer maupun sekunder, dan dianalisis secara deskriptif. Data

disajikan dalam bentuk rerata dan simpangan baku. Hasil penghitungan

abnormalitas juga dibandingkan antara teknik pewarnaan eosin-nigrosin dengan

pewarnaan carbofuchsin. Analisis data dilakukan denganindependent T-test

menggunakan SPSS16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

AbnormalitasPrimer Spermatozoapada Beberapa Breed Babi

Abnormalitas spermatozoa pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi

Page 261: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [253]

dua, yaitu abnormalitas primer (pada bagian kepala) dan abnormalitas sekunder

(pada bagian ekor). Persentase abnormalitas primer spermatozoa terbanyak adalah

knobbed acrosome defect (1,10±0,01%) dan abnormal contour (0,92±0,01%).

Knobbed acrosome defect merupakan bentuk abnormalitas yang ada pada kepala

spermatozoa, berupa adanya dark-staining area atau penebalan keluar pada ujung

kepala (Barth dan Oko 1989). Pada babi, abnormalitas ini dapat terjadi selama

proses spermatogenesis. Abnormal contour(Gambar 1, (i)) merupakan

abnormalitas berupa kelainan bentuk pada kepala spermatozoa (Arifiantini et al.,

2010).

Persentase abnormalitas primer spermatozoa terendah yaitu double head

(0,02±0,00%) dan abaxial (0,02±0,00%) (Tabel 1). Abnormalitas pada bagian

kepala ini dapat menyebabkan kegagalan spermatozoa untuk membuahi sel telur.

Menurut Sutkevičienė dan Žilinskas (2004), faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap terjadinya abnormalitas spermatozoa adalah umur, breed, status

kesehatan dan nutrisi, serta faktor genetik dari ternak.

c

b

a

Page 262: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [254]

Gambar 1Abnormalitas primer spermatozoa:pearshaped (a dan b),

macrocephalus (c), microcephalus (d dan f), narrow at the base (e),

round head (g dan h), abnormal contour (i)

Tabel 1 Hasil pengujian abnormalitas primer spermatozoa babi dari beberapa breed dengan teknik

pewarnaan carbolfuchsin

Jenis abnormalitas Rata-rata (sel) Persentase (%)

Pear shape 0,92±0,15 0,18±0,03

Narrow at the base 1,42±0,60 0,28±0,12

Tappered head 0,33±0,33 0,07±0,07

Abnormal contour 4,58±1,15 0,92±0,23

Round head 0,67±0,40 0,13±0,08

Macrocephalus 0,67±0,17 0,13±0,03

Microcephalus 0,42±0,2 0,08±0,04

Double head 0,08±0,08 0,02±0,01

Abaxial 0,08±0,08 0,02±0,01

Knobbed acrosome deffect 5,50±1,67 1,10±0,34

Detached head 0,17±0,17 0,03±0,03

Total abnormalitas 14,83±1,67 2,97±0,34

Normal 485,17±1,67 97,03±0,34

Abnormalitas Sekunder Spermatozoa pada Beberapa Breed Babi

Abnormalitas sekunder (Tabel 2) pada ekor dengan jumlah terbanyak

adalah bent tail (1,17±0,01%). Bent tail (Gambar 2, a dan b) merupakan

abnormalitas spermatozoa dengan ekor yang melipat. Abnormalitas sekunder

spermatozoa terbanyak kedua adalah coiled tail (0,60±0,01%) (Tabel

2).Spermatozoa dengan abnormalitas coiled tail disebabkan karena udara yang

dingin serta kondisi lingkungan yang hipoosmotik(Mekasha et al., 2007).

Abnormalitas coiled tailmengalami gangguan motilitas, dan akan menyebabkan

spermatozoa tidak dapat mencapai tempat fertilisasi sehingga gagal untuk

membuahi sel telur. Namunmenurut Kawakami et al. (2005), kelainan coiled tail

f

e d

g

h i

Page 263: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [255]

denganbentuk double folded masih dapat melakukan fertilisasi secara in-vitro.

Tabel 2 Abnormalitas sekunder spermatozoa babi dari beberapa breed denganformol-saline

Jenis Abnormalitas Rata-rata (sel) Persentase (%)

Bent tail 5,83±2,91 1,17±0,58

Coiled tail 3,00±1,09 0,60±0,22

Ekor patah 2,33±0,68 0,47±0,14

Total Abnormalitas 11,17±2,87 2,23±0,57

Normal 488,83±2,87 97,77±0,57

Persentase total abnormalitas primer spermatozoa (2,97±0,34%) pada

beberapa breed babi menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan

persentase total abnormalitas sekunder spermatozoa (2,23±0,57%) (Tabel 1 dan

2). Abnormalitas primer spermatozoa umumnya disebabkan gangguan langsung

pada epitel tubulus seminiferus, namun tidak dapat diasumsikan bahwa

abnormalitas primer lebih berpengaruh terhadap fertilitas dibandingkan dengan

abnormalitas sekunder (Chenoweth 2005).

Abnormalitas sekunder spermatozoa juga berpengaruh terhadap

keberhasilan fertilisasi. Spermatozoa dengan abnormalitas pada ekor seperti coiled

tail dan bent tail, akan menunjukkan pergerakan yang tidak progresif (Purwantara

et al., 2010), sehingga menyebabkan kegagalan untuk mencapai tempat fertilisasi.

Gambar 2 Abnormalitas spermatozoa sekunder: bent tail (a dan b), coiled tail (c)

Perbandingan Pengujian Abnormalitas Spermatozoa dengan Pewarnaan

Eosin-nigrosin dan Carbofuchsin

Pewarnaan spermatozoa berfungsi untuk membantu proses pengamatan

morfologi dan morfometri spermatozoa. Pewarnaan eosin-nigrosin merupakan

double staining untuk memberikan efek kontras sehingga memberi batas yang

c

b

a

Page 264: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [256]

jelas pada sel. Pewarnaan eosin-nigrosin selain untuk mengamati morfologi, dapat

juga untuk menghitung jumlah spermatozoa yang hidup dan mati. Spermatozoa

hidup tidak berwarna sedangkan spermatozoa mati akan berwarna merah

(Ermayanti dan Suarni 2010). Pewarnaan carbolfuchsin merupakan pewarnaan

dengan zat warna eosin dan zat warna dasar basic fuchsin golongan trifenil

methan yang umum digunakan untuk mewarnai sitoplasma. Kelebihan dari teknik

pewarnaan carbolfuchsin yaitu sangat praktis karena pewarnaan dan evaluasi

dapat dilakukan pada waktu yang berbeda. Selain itu, larutan chloramin yang

digunakan akan membuat preparat lebih bersih, sehingga mempermudah dalam

pengamatan morfologi spermatozoa (Arifiantini 2012).

Abnormalitas jenis pearshaped, abnormal contour, dan knobbed acrosome

defect menunjukkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan untuk jenis abnormalitas

lainnya tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Tabel 3).Secara

keseluruhan, hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara pewarnaan

eosin-nigrosin dan carbolfuchsin pada taraf nyata (α) 5%. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa antara pewarnaan eosin-nigrosin dengan carbolfuchsin,

keduanya memiliki kualitas yang sama baiknya dalam pengujian abnormalitas

spermatozoa babi.

Tabel 3 Nilai abnormalitas beberapa breed babi untuk pewarnaan eosin-nigrosindan carbolfuchsin

Jenis abnormalitas Eosin-nigrosin Carbolfuchsin

Rata-rata±SE Range Rata-rata±SE Range

Pear shaped (%) 0,40±0,16a 0,0-1,2 0,18±0,03b 0,0-0,4

Narrow at the base (%) 0,13±0,05 0,0-0,6 0,28±0,12 0,0-0,8

Tappered head (%) 0,07±0,03 0,0-0,4 0,07±0,06 0,0-0,4

Abnormal contour (%) 0,33±0,14b 0,0-1,2 0,92±0,23a 0,2-2,0

Undeveloped (%) 0,02±0,01 0,0-0,2 0,00±0,00 0,0-0,0

Round head (%) 0,22±0,06 0,0-0,4 0,13±0,08 0,0-0,8

Macrocephalus (%) 0,23±0,04 0,0-0,6 0,13±0,03 0,0-0,2

Microcephalus (%) 0,17±0,09 0,0-1,0 0,08±0,04 0,0-0,2

Double head (%) 0,02±0,01 0,0-0,2 0,02±0,01 0,0-0,2

Abaxial (%) 0,02±0,01 0,0-0,2 0,02±0,01 0,0-0,2

Knobbed acrosome defect

(%) 3,23±0,38a 1,0-5,6 1,10±0,33b 0,0-3,6

Detached head (%) 0,02±0,01 0,0-0,2 0,03±0,03 0,0-0,4

Bent tail (%) 2,07±1,15 0,0-14,6 2,53±0,99 0,2-13,8

Coiled tail (%) 0,03±0,03 0,0-0,4 0,48±0,21 0,0-2,6

Total (%) 6,95±1,10 2,6-18,8 5,98±1,31 1,6-18,8

Normal (%) 93,05±1,10 81,5-97,4 94,02±1,31 81,6-98,4

Page 265: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [257]

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai

berbeda nyata (P>0.05) berdasarkan independent T-Test

Pemilihan teknik pewarnaan dalam pengujian morfologi spermatozoa

dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Jika dalam pengujian morfologi sekaligus

ingin dilakukan penghitungan jumlah spermatozoa hidup dan mati, maka teknik

yang dapat dipilih yaitu pewarnaan eosin-nigrosin. Pewarnaan carbolfuchsin dapat

dipilih jika pewarnaan tidak bisa langsung dilakukan di lapangan setelah

penampungan semen. Semen yang telah ditampung, dapat dibuat preparat ulas dan

diwarnai dengan teknik carbolfuchsin pada waktu yang berbeda.

Perbandingan Abnormalitas Primer dan Sekunder Spermatozoa pada

BeberapaBreed Babi

Hasil penghitungan abnormalitas primer dan sekunder spermatozoa pada

beberapabreed babi dianalisis secara deskriptif, hasilnya

menunjukkanabnormalitas primer spermatozoa tertinggi terdapat pada

breedBackshire sebanyak 20.50±0.50 (4.1%) dan terendah pada breed Pietrain

9.00±0.00 (1.8%) (Tabel 4). Abnormalitas sekunder spermatozoa tertinggi

terdapat pada breed Backshire sebanyak 23.50±21.50 (4.7%) dan terendah pada

breed Landrace hanya 4.00±1.00 (0.8%) (Tabel 4). Tanpa melihat jenis

abnormalitas spermatozoa, abnormalitas spermatozoa terendah terdapat pada

breed Landrace danHampshire dengan persentase abnormalitas terendah,

yaitu3,70±2,10% dan 3,80±0,00%,Morfologi abnormalitas spermatozoa yang

paling tinggi terdapat pada breed Backshire yaitu 8,80±4,40% (Tabel 4),

Tabel 4 Abnormalitas primer dan sekunder spermatozoa pada berberapa breed babi

Breed n

Sperma-tozoa

Normal

(sel)

Abnormalitas

spermatozoa Total

Abnormalitas

(sel)

Persentase

abnormalitas

(%) Primer

(sel)

Sekunder

(sel)

Backshire 2 456,00±22,00 20,50±

0,50

23,50±

21,50 44,00±22,00 8,80±4,40

Duroc 2 476,00±3,00 15,00±

0,00

9,00±

3,00 24,00±3,00 4,80±0,60

Hampshire 2 481,00±0,00 12,00±

0,00

7,00±

0,00 19,00±0,00 3,80±0,00

Landrace 2 481,50±10,50 14,50±

9,50

4,00±

1,00 18,50±10,50 3,70±2,10

Pietrain 2 476,00±0,00 9,00±

0,00

15,00±

0,00 24,00±0,00 4,80±0,00

Yorkshire 2 473,50±0,50 18,00±

3,00

8,50±

2,50 26,50±0,50 5,30±0,10

Page 266: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [258]

Abnormalitas primer diuji menggunakan teknik pewarnaan carbolfuchsin, abnormalitas sekunder

diuji dengan formol-saline

Hasil penelitian dari seluruh babi yang diuji menunjukkan morfologi

spermatozoa yang baik dengan abnormalitas tertinggi hanya 8,80±4,40%,Menurut

Ax et al. (2000), abnormalitas spermatozoa yang melebihi 20% dapat menurunkan

fertilitas. Rendahnya abnormalitas spermatozoa babi-babi tersebut dapat dipahami

mengingat babi-babi yang digunakan adalah pada umur produktif dan dipelihara

pada peternakan babi yang telah menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Abnormalitas primer lebih tinggi dibandingkan abnormalitas sekunder

pada spermatozoa babi. Pewarnaan eosin-nigrosin dan carbolfuchsin memiliki

kualitas yang sama baiknya, sehingga dapat digunakan untuk pengamatan

morfologi spermatozoa babi.

Saran

Penelitian lanjutan perlu dilakukan pada sampel yang lebih banyak untuk

mengetahui perbedaan antara pewarnaan eosin-nigrosin dan carbolfuchsin dalam

pengamatan morfologi spermatozoa babi.

DAFTAR PUSTAKA

Arifiantini RI. 2012. Teknik Koleksi dan Evaluasi Semen pada Hewan. Bogor

(ID): IPB Pr.

Arifiantini RI, Purwantara B, Riyadhi M. 2010.Occurrence of Sperm Abnormality

of Beef Cattle at Several Artificial Insemination Centers in Indonesia. Anim

Reprod. 12(1):44-49.

Arifiantini RI, Wresdiyati T, Retnani EF. 2006. Kaji Banding Morfometri

Spermatozoa Sapi Bali (Bos Sondaicus) Menggunakan Pewarnaan Williams,

Eosin, Eosin Nigrosin aan Formol-saline. J Sain Vet. 24(1):65-70.

Atiq N, Ullah N, Andrabi SMH, Akhter S. 2011. Comparison of Photometer With

Improved Neubauer Hemocytometer and Makler Counting Chamber For

Sperm Concentration Measurement In Cattle. J Vet. 31(1):83-84.

AxRL, Dally MR, Didion BA, Lenz RW, Love CC, Varner DD, Hafez B, Bellin

ME. 2000. Semen Evaluation. Hafez ESE, Hafez B, editor. Reproduction in

Farm Animal. Ed 7. US: Wiliams & Wilkins.

Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Iowa:

Iowa States University Pr.

Chenoweth, PJ. 2005. Genetic sperm defect. Theriogenol. 64:457-468.

Ermayanti NGAM, Suarni NMR. 2010. Kualitas spermatozoa mencit (Mus

musculus L.) setelah perlakuan infus kayu Amargo (Quassia amara Linn.)

dan pemulihannya. J Bio. 1:45-49.

Page 267: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [259]

Kawakami E, Ozawa T, Hirano T, Hori T, Tsutsui T. 2005. Formation of

Detached Tail And Coiled Tail Of Sperm In A Beagle Dog. J Vet Med Sci.

67:83-85.

Mekasha Y, Tegegne A, Martinez HR. 2007. Sperm Morphology Attributes in

Indigenous Male Goat Raised Under Extensive Husbandry in Ethiopia.

AnimReprod. 4:15-22.

Purwantara B, Arifiantini RI, Riyadhi M. 2010. Sperm Morphological

Assessments of Friesian Holstein Bull Semen Collected From Three

Artificial Insemination Centers in Indonesia. J Indones Trop Anim Agric.

35(2):89-94.

Sudrajat DF. 2003. National Report on Animal Genetics Resources Indonesia.

Jakarta (ID): Ministry of Agriculture, Directorate General of Livestock

Service, Directorate of Animal Breeding.

Sutkevičienė N, Žilinskas H. 2004. Sperm Morphology and Fertility in Boar

Artificial Insemination. Vet Ir Zootech. 26(48):11-13.

DIFERENSIASI COLIBACILLOSIS PADA BABI BERDASARKAN LESI

HISTOPATOLOGI

(STUDI RETROSPECTIF)

I Ketut Berata, I Made Kardena dan Ida Bagus Oka Winaya

Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Colibacillosis pada babi berdasarkan lesi histopatologi dikenal 2 bentuk yaitu

bentuk enteritis karena enterotoksin Escherichia coli (ETEC) dan bentuk oedema

karena enteropatogenik E. coli (EPEC). Diferensiasi dari kedua bentuk tersebut

penting diteliti dalam membantu mendiagnosa dan menanggulangi penyakit di

lapangan. Kasus colibaccilosis yang digunakan sebanyak 25 sampel dari babi

yang telah didiagnosa terinfeksi E. coli. Dari babi kasus dilakukan nekropsi

Page 268: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [260]

kemudian diambil jaringan usus, paru-paru, hati, ginjal, limpa, jantung dan otak.

Jaringan dibuat sediaan histopatologi dengan teknik embedding bloking paraffin

dan pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Variabel pemeriksaan dilakukan

berdasarkan adanya peradangan dan edema pada seluruh jaringan. Hasil yang

diperoleh adalah enteritis dan pneumonia terjadi pada seluruh kasus (100%), baik

pada anak babi (≤ 4 minggu) maupun umur disapih (>4 minggu). Lesi edema pada

usus anak babi terjadi 100%, sedangkan pada babi umur sapih 89,5%. Pada paru-

paru terdapat lesi edema masing-masing 50% pada anak babi dan 73,7% pada

babi umur sapih. Lesi peradangan dan edema pada jaringan hati, ginjal, limpa,

jantung dan otak, kejadiannya lebih kecil dari pada di usus dan paru-paru.

Disimpulkan bahwa secara keseluruhan kasus colibaccilosis babi yang diperiksa

menunjukkan lesi histopatologi akibat kombinasi mekanisme infeksi ETEC

dengan EPEC.

Kata kunci: Colibacilosis, histopatologi, peradangan, edema

DIFFERENTIATION OF THE SWINE COLIBACCILLOSIS BASED ON

HISTOPATHOLOGICAL LESSIONS.

(RETROSPECTIVE STUDY)

ABSTRACT

Swine collibacillosis on histopatologically lessions divided in 2 types are enteritis

types by enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) and edema types by

enteropathogenic E.coli (EPEC). Both differentiation most important to study for

to help on diagnosed and treatment against colibacilosis in the field. The

colibacilosis samples were used amount 25 samples that had konfirmed as

colibacilosis affected. From the swine cases were took their tissues each intestinal,

lungs, liver, kidney, spleen, heart and brain tissues. All of the tissues were to

made histopathological preparation by paraffin embedded-blocked and stained by

haematoxylin eosin (HE) method. Variables that examined based on the

inflammation and edema lessions on those tissues respectively. Result of the

examination showed enteritis and pneumonia lessions on all of the piglets (≤4

weeks) group and postweaning ages (>4 weeks) group. Oedema lessions on the

intestine of piglets group were 100% and postweaning group were 89,5%. Edema

lessions on the lungs showed 50% on the piglets group and 73,7% on the

postweaning group. Prevalence of the inflammation and edematous lessions in the

liver, kidney, spleen, heart and brain tissues were lower than in intestines and

lungs. The conclussion based on histopathologically on all of the swine

collibaccillosis cases were caused by combine of the mechanism between the

ETEC and EPEC infections.

Keyword: Collibaccilosis, histopathology, inflammation, edeme

PENDAHULUAN

Berdasarkan jumlah kasus penyakit pada babi yang didiagnosa di

Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,

Page 269: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [261]

diperoleh kejadian terbanyak adalah Colibacillosis (58,5%). Sehingga penyakit

colibacillosis babi sangat menarik dikaji. Colibacillosis adalah penyakit yang

disebabkan oleh bakteri Escherichiacoli, yang sering menyerang saluran

pencernaan babi. Bakteri E.coli banyak dilaporkan sebagai komensal dalam

saluran pencernaan. Sifat komensal E. coli dapat berubah menjadi patogen jika

terjadi perubahan lingkungan yang menguntungkannya dan penurunan status

kekebalan hospes (Brookset al., 2004). Bakteri E.coli patogen dapat

dikelompokkan menjadi E.coli invasif dan noninvasif. Bakteri E.coli invasif dapat

menimbulkan infeksi dengan cara menginvasi sel sehingga disebut juga

EnteroinvasiveE.coli (EIEC). Bakteri E. coli non invasif dapat dibagi lagi menjadi

Enteropathogenik dan Enterotoxigenik. Enteropatogenik dapat dikelompokkan

menjadi dua grup patogen yaitu Enteropatogenic E. coli (EPEC) dan

Enterohemorragi E. coli (EHEC). Grup Enteropatogenik E.coli ini sering

menimbulkan lesi edema pada berbagai jaringan yang umumnya menyertai

perdarahan. Bentuk E.coli ini sering terjadi pada manusia (Bertschinger and Gyles,

1994). Enterotoxigenic adalah jenis grup E. coli patogen yang dapat memproduksi

toksin baik yang tahan panas (heat stabile toxin) atau yang tidak tahan panas (heat

labiletoxin) (Doyle dan Dolores, 2006). Strain patogen dapat memproduksi satu

atau lebih exotoksin yang terikat di intestinal dan akan menyebabkan efek lokal

maupun sistemik. Strain ini sering disebut dengan Enterotoxigenic E.coli (ETEC).

Toxin inilah merangsang usus menjadi hipersekresi cairan, sehingga tampak

sebagai diare.

Escherichia coli, merupakan bakteri Gram negatif, berflagela, koloni

bersifat mukoid halus dan sebagian bersifat β-hemolitik. Ada 5 tipe antigenik

pilus yang ditemukan pada babi yaitu F4 (K88), F5 (K99), F41, F6 (987P) dan

F18. Antigen tipe F4, F5, F41 dan F6 merupakan tipe yang sering menyerang babi

baru lahir. Sedangkan tipe F4 dan F18 menyerang babi masa sapih. Beberapa

strain dapat menyebabkan erosi epitel sehingga disebut attaching and effacingE.

coli (AEEC) (Bertschinger and Gyles, 1994). Antigen tipe F4 (K88) bersifat

hemolitik sedangkan E.coli F41 dan F6 (987P) bersifat non hemolitik (Owusu-

Asiedu et al., 2003).

Patogenesis infeksi E.coli umumnya dimulai bakteri masuk tubuh peroral

Page 270: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [262]

akan menempel pada reseptor di enterosit melalui pili. Bakteri akan berkolonisasi,

proliferasi dan membentuk enterotoksin, sehingga dapat menyebabkan

peningkatan sekresi cairan (diare). Enterotoksin, endotoksin dan factor adhesin

dapat menyebabkan kerusakan mikrovili dan epitel mukosa usus. Usus besar juga

bisa terjadi kerusakan yang sama (Francis, 1999). Lesi makroskopik berupa

dehidrasi, usus halus dan kolon mengandung cairan serta distensi karena adanya

gas. Secara mikroskopik terdapat perlekatan bakteri coliform di mikrovili dari sel-

sel epitel usus. Beberapa strain E.coli dapat menyebabkan nekrosis dan

thrombosis pada kapiler lamina propria. E.coli pada babi baru lahir, menyebabkan

septicemia dan sering ditandai dengan fibrinus poliserositis dan artritis.

Sedangkan pada banyak kasus pada babi lepas sapih terjadi edema yang menyertai

perdarahan (Bertschinger and Gyles, 1994).

Adanya perbedaan lesi akibat perbedaan antigen yang teridentifikasi pada

colibacillosis babi baru lahir dan babi lepas sapih, maka kasus colibacillosis yang

telah didiagnosis sangat penting dikaji secara retrospektif. Hal ini diharapkan

bermanfaat dalam mencegah dan menanggulangi penyakit colibacillosis pada babi.

MATERI DAN METODE

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional retrospektif dengan

sampel berupa jaringan usus, paru-paru, hati, ginjal, limpa, jantung dan

otak,masing-masing dari 25 ekor babi kasus. Semua kasus babi tersebut positif

terinfeksi Escherichia coli berdasarkan konfirmasi di Laboratorium Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Pembuatan Preparat Histopatologi

Proses pembuatan preparat dilakukan sesuai metode Kiernan (1990)

dengan tahapan fiksasi, streaming, dehidrasi, clearing, embedding, blocking,

cutting dan staining (pewarnaan). Pewarnaan jaringan dilakukan dengan metode

Harris hematoxylin eosin (HE). Pada pewarnaan HE, sediaan preparat pada gelas

objek direndam dalam xylol 1 dan 2 selama masing-masing dua menit untuk

dilakukan deparafinasi, kemudian dehidrasi dengan perendaman secara berurut-

turut dalam alkohol absolut, alkohol 95%, dan alkohol 80% masing-masing

Page 271: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [263]

selama dua menit, lalu dicuci dengan air mengalir. Pewarnaan dengan

Hematoksilin dilakukan selama 8 menit, selanjutnya dibilas dengan air mengalir,

lalu dicuci dengan Lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air

mengalir, serta diwarnai dengan Eosin selama 2-3 menit. Sediaan yang diwarnai

eosin dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan. Sediaan dimasukkan ke dalam

alkohol 95% dan alkohol absolut masing-masing sebanyak 10 kali celupan, lalu ke

dalam alkohol absolut lagi selama 2 menit. Selanjutnya ke dalam xylol 1 selama 1

menit dan xylol 2 selama 2 menit. Sediaan kemudian diteteskan dengan perekat

permount dan ditutup dengan gelas penutup dan selanjutnya diperiksa di bawah

mikroskop.

Variabel yang Diperiksa

Setiap jaringan yang diperiksa diidentifikasi terhadap adanya peradangan

dan edema. Lesi peradangan diiidentifikasi berdasarkan adanya sel-sel radang

neutrophil dalam masing-masing jaringan. Sedangkan lesi edema didasarkan pada

adanya ruang kosong sekitar pembuluh darah atau masa eosinofilik dalam

jaringan longgar.

Analisis Data

Data tentang peradangan dan edema di masing-masing jaringan seluruh

kasus collibacillosis babi, ditabulasi dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif

kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan histopatologi berbagai jaringan masing-masing dengan

lesi peradangan dan edema dari 25 kasus collibacillosis babi, disajikan pada Tabel

1.

Tabel 1. Tabulasi data peradangan dan oedema pada Kolibasilosis Babi

Umur babi

(minggu)

Jaringan ∑ Peradangan ∑ Edema

≤ 4 minggu Usus 6/6=100% 6/6=100%

Paru 6/6=100% 3/6=50,0%

Hati 5/6=83,3% 4/6=66,7%

Ginjal 3/6=50,0% 3/6=50,0%

Limpa 3/6=50% 2/6=33,3%

Jantung 1/6=16,7% 0

Otak 1/6=16,7% 2/6=33,3%

>4 minggu Usus 19/19=100% 17/19=89,5%

Paru 19/19=100% 14/19=73,7%

Hati 8/19=42,1% 10/19=52,6%

Ginjal 8/19=42,1% 9/19=47,4%

Page 272: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [264]

Limpa 9/19=47,4% 5/19=26,3%

Jantung 2/19=10,5% 2/19=10,5%

Otak 5/19=26,3% 6/19=31,6%

Dari Tabel 1 tersebut tampak bahwa lesi peradangan usus (enteritis) pada anak

babi (umur ≤ 4 minggu) dan umur sapih (> 4 minggu) kejadiannya 100 %. Hasil

ini menunjukkan bahwa usus merupakan predileksi utama dari bakteri E. coli

kasus-kasus yang diteliti. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Francis

(1999) yang menyatakan bahwa beberapa strain memiliki predileksi utama pada

epitel mukosa usus babi, sampai dapat menimbulkan erosi epitel sehingga disebut

attaching and effacingE. coli (AEEC). Lesi edema di usus terjadi 100% pada anak

babi baru lahir, sedangkan pada babi lepas sapih 89,5%. Hasil ini menunjukkan

perbedaan dari laporan Bertschinger and Gyles (1994) bahwa colibacilosis babi

lepas sapih cenderung dominan lesi edema dari pada lesi enteritis. Mengenai hal

ini kemungkinan disebabkan oleh faktor patofisiologis akibat infeksi E.coli.

Patofisiologis terjadinya edema dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya

peningkatan tekanan hidrostatik, hipoproteinemia, obstruksi limfatik, retensi

sodium (gangguan ginjal), dan peradangan itu sendiri (Mitchell and Cotran, 2003).

Kasus-kasus lapangan colibacilosis sangat mungkin merupakan komplikasi dari

infeksi E. coli dengan infeksi agen lain maupun gangguan non infeksius lain.

Peradangan paru-paru (pneumonia) terjadi pada seluruh kasus (100%),

baik pada anak babi (≤4 minggu) maupun umur sapih (>4 minggu). Lesi

peradangan paru-paru yang sama-sama 100% ini menunjukkan bahwa respon

sistem pertahanan paru-paru sangat peka terhadap agen infeksi dari luar maupun

dari sirkulasi darah. Paru-paru merupakan organ tubuh yang paling kaya dengan

kapiler darah (Maitra and Kumar, 2003). Sedangkan lesi oedema masing-masing

50% pada anak babi dan 73,7% pada babi umur sapih. Hal ini sesuai dengan

laporan Bertschinger and Gyles (1994), dimana lesi edema dominan pada babi

lepas sapih.

Peradangan hati (hepatitis) pada babi colibacillosis ditemukan 83,3% pada

anak babi baru lahir dan 42,1% pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema

ditemukan 66,7% pada anak babi baru lahir dan 52,6% pada babi umur sapih. Lesi

peradangan sesuai dengan laporan Bertschinger and Gyles (1994), tetapi lesi

edema tidak sesuai. Tidak konsistennya hasil ini menunjukkan bahwa pola yang

Page 273: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [265]

dijelaskan Bertschinger and Gyles (1994) mungkin tidak berlaku pada kasus

lapangan penyakit colibacilosis.

Peradangan ginjal (nefritis) ditemukan 50% pada anak babi dan 42,1%

pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema ditemukan 50% pada anak babi dan

47,4% pada babi umur sapih. Kejadian nefritis sesuai dengan laporan Bertschinger

and Gyles (1994), tetapi lesi edema tidak sesuai. Hal ini sama kejadiannya pada

hati, kemungkinan akibat perbedaan faktor yang terlibat sebagai komplikasi

penyakit. Ginjal dapat mengalami nefritis jika kompleks antigen-antibodi

tersangkut dalam glomerulus (Cotran, et al.,2003).

Peradangan pada limpa (splenitis) ditemukan 50% pada anak babi baru

lahir dan 47,4% pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema ditemukan 33,3%

pada anak babi dan 26,3% pada babi umur sapih. Lesi peradangan dan edema

masing-masing sama kejadiannya dengan hati dan ginjal yaitu dalam hal

peradangan sesuai dengan pendapat Bertschinger dan Gyles (1994), tetapi berbeda

dalam aspek edema.

Peradangan pada jantung (myocarditis) ditemukan 16.7% pada anak babi

baru lahir dan 10,5% pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema pada jantung

tidak ditemukan pada anak babi baru lahir dan 10,5% pada jantung babi umur

sapih. Hasil ini sesuai dengan pola yang dijelaskan oleh Bertschinger dan Gyles

(1994). Walaupun kejadian peradangan dan edema persentasenya kecil, tetapi pola

ini mungkin berkaitan dengan peranan jantung sebagai salah satu organ predileksi

bakteri E.coli. Pada kasus colibacillosis babi sering terjadi lesi radang berfibrin

pada jantung (Francis, 1999).

Peradangan otak (encephalitis) ditemukan 16,7% pada anak babi baru lahir

dan 26,3% pada babi umur sapih. Sedangkan lesi edema pada otak ditemukan

33.3% pada anak babi baru lahir dan 31,6% pada babi umur sapih. Lesi

peradangan dan edema pada otak ini berbeda dengan laporan Bertschinger dan

Gyles (1994) yang menyatakan lesi peradangan dominan pada anak babi baru

lahir dan edema dominan pada babi umur sapih. Walaupun persentase

kejadiannya kecil, tetapi pola di otak paling berbeda dengan lesi di jaringan usus,

paru-paru, hati, ginjal, dan jantung. Belum ada laporan berkaitan dengan hal ini,

sehingga perlu penelitian lebih lanjut.

Page 274: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [266]

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian colibacilosis

pada babi yang diteliti merupakan gabungan lesi peradangan dan edema akibat

efek dari enterotoxigenic E.coli (ETEC) dan enteropathogenic E.coli (EPEC).

Saran

1. Perlu penelitian lanjutan tentang strain bakteri E.coli dan tipe antigen yang

menginfeksi babi-babi di Bali

2. Perlu penelitian lanjutan tentang patogenesis (perjalanan penyakit) yang

komprehensif infeksi E.coli pada babi

DAFTAR PUSTAKA

Bertschinger HU. and Gyles CL. 1994. Oedema disease of pigs. In Escherichia

coli in domestic animals and humans. CL. Gyles (ed). Oxon, UK: CAB

International, pp. 193–219.

Brooks, GF. Butel, JS. Morse, SA. 2004. Mikrobiologi Kedokteran Ed 23. Buku

Kedokteran EGC. Jakarta

Cotran, RS., Rennke, H. and Kumar, V.2003. The Kidneys and Collecting System.

In: Robbins Basic Pathology by Eds : Kumar, V., Cotran, RS, and Robims,

SL. 7th. Ed. Saunders.509-542

Doyle, JE. and Dolores. GE. 2006. Escherichia coli in Diarrheal Disease.

Accessed at http:/em.wikipedia.org/wiki/Esherichia_coli.

Francis, DH. 1999. Colibacillosis In Pigs and Its Diagnosis. Swine Health Prod.

7(5):241-244

Kiernan, J.A.1990. Histological and Histochemical Methods : Theory & Practice.

2nd Ed. Pergamon Press.330-354.

Maitra, A. and Kumar, V. 2003. The Lung and The Upper Respiratory Tractus. In:

Robbins Basic Pathology by Eds : Kumar, V., Cotran, RS, and Robims, SL.

7th. Ed. Saunders.453-508

Mitchell, RN. and Cotran, RS. 2003. Hemodynamic, Disorder, Thrombosis, and

Shock. In: Robbins Basic Pathology by Eds : Kumar, V., Cotran, RS, and

Robims, SL. 7th. Ed. Saunders.79-102

Owusu-Asiedu, A.. Nyachoti, C. M Baidoo, S. K.. Marquardt R. R and Yang. X.

2003. Response of early-weaned pigs to an enterotoxigenic Escherichia

coli (K88) challenge when fed diets containing spray-dried porcine plasma

or pea protein isolate plus egg yolk antibody. J Anim Sci . 81:1781-1789.

Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner dalam

Pengembangan Peternakan: Harapan Vaksin Escherichia coli

Enterotoxigenic, Enteropatogenik dan Verotoksigenik 266 ocal 266 e

266ocal untuk Pengendalian Kolibasilosis Neonatal pada Anak Babi dan

Sapi. Wartazoa. Vol 11. Hal 33-43.

Page 275: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [267]

PERAN BABI SEBAGAI RESERVOIR BALANTIDIUM COLI

DALAM PENYEBAB DISENTRI

Ida Ayu Pasti Apsari

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Page 276: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [268]

Balantidium coli merupakan parasit protozoa yang sudah tersebar di seluruh dunia

sebagai penyebab penyakit disentri. Parasit ini paling banyak terdapat di daerah

beriklim panas. Babi berperan sebagai pembawa yang dapat menularkan ke hewan

lain atau manusia. Manusia dapat terinfeksi oleh Balantidium coli akibat menelan

makanan atau air minum terkontaminasi bentuk kista atau tropozoit. Balantidium

umumnya sebagai protozoa komensal pada babi. Keadaan kondisi babi yang

menurun akibat infeksi lain atau status gizi yang buruk dapat meningkatkan peran

babi sebagai reservoir bagi infeksi pada manusia.

Kata kunci : babi, Balantidium coli, komensal, reservoir

ROLE SWINE AS RESERVOIR BALANTIDIUM COLI

THE CAUSE OF DYSENTERY

ABSTRACT

Balantidium coli is a protozoan parasite that is spread all over the world as the

cause of dysentery. These parasites are most numerous in warm climates. Pigs act

as a carrier that can infect other animals or humans. Humans can be infected by

Balantidium coli caused by ingestion of food or water contaminated with cysts

form or tropozoit. Generally as a commensal protozoan Balantidium in pigs. State

of decline due to the condition of pigs other infections or poor nutritional status

may increase the role of pigs as reservoirs for human infection.

Keywords: pig, Balantidium coli, commensal, reservoir

PENDAHULUAN

Ternak babi merupakan hewan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan

orang Bali. Setiap keluarga terutama di pedesaan memelihara babi menjadi usaha

sampingan terutama ibu-ibu sebagai tabungan. Dengan demikian ternak babi

berperan penting menunjang perekonomian rakyat di pedesaan. Ternak babi yang

dipilih oleh penduduk di desa untuk dipelihara yaitu babi bali, karena menurut

mereka babi bali lebih mudah pemeliharannya yaitu dapat diberi makanan sisa

atau limbah rumah tangga, lebih tahan penyakit dan lebih mudah pemeliharaannya

dibanding memelihara babi Landrace yang memerlukan perhatian

lebih.Sementara itu sistem pemeliharaanbabi masih sangat tradisional, yaitu

kandang terbuat dari kayu atau bambu atau tumpukan batu tanpa atap, atau hanya

diikat dengan tali di bawah pohon yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan

(Budaarsa, dkk., 2012). Dengan adanya sistem pemeliharaan yang tradisional

tersebut, memungkinkan berbagai macam penyakit baik parasiter, bakterial

Page 277: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [269]

maupun viral berbiak dengan baik akibat keadaan lingkungan becek, kotor dan

bercampurnya feses dan makanan di satu tempat.Keadaan demikian akan

memudahkan babi terinfeksi oleh parasit yang penularannya secara oral (melalui

mulut lewat makanan atau minuman). Salah satu penyakit parasite yang

menyerang babi adalah Balantidiasis yang disebabkan oleh Balantidium coli.

Penyakit ini bersifat zoonosis yaitu menular dari hewan ke manusia maupun

sebaliknya, sehingga perlu penanganan yang serius. Balantidium termasuk parasit

protozoa yang sudah tersebar di seluruh dunia (Soulsby, 1982; Levine, 1995) dan

babi berperan sebagai reservoir (Schuster and Avila, 2008; Poudyal et al., 2011).

Kejadian penyakit pada manusia rendah sekitar 0,77% tetapi keadaan ini dapat

meningkat pada manusia yang sering kontak dengan babi. Infeksi pada babi

sangat tinggi mencapai 63-91% (Schuster and Avila, 2008). Namun menurut

Greeson (1981) infeksi asimptomatik pada manusia mencapai 80%. Pada laporan

kasus di Perancis bahwa Balantidium coli dapat diisolasi dari feses manusia yang

mengalami disentri (Bellanger et al., 2013).

DASAR PEMIKIRAN

Babi di Bali merupakan salah satu hewan ternak yang sangat penting

penunjang perekonomian rakyat. Disamping itu babi menjadi penyedia kebutuhan

masyarakat akan daging yang penting terutama di Bali. Oleh karena itu menjaga

kesehatan babi menjadi hal penting untuk mencegah meluasnya penyakit yang

dapat menular ke manusia (zoonosis). Dua spesies Balantidium yang dapat

menginfeksi babi yaitu : Balantidium coli dan Balantidium suis (Young,

1950;Soulsby, 1982; Levine, 1995). Balantidium coli dapat menular ke manusia,

sedangkan Balantidium suis tidak (Schuster and Avila, 2008). Kedua spesies

Balantidium ini dapat secara bersama-sama menginfeksi pada babi.

Penularan Balantidium terjadi secara langsung melalui mulut, lewat

makanan atau minuman tercemar oleh feses hewan ataupun manusia terinfeksi.

Feses hewan terinfeksi mengandung bentuk tropozoit atau kista dari Balantidium.

Feses encer berasal dari hospes terinfeksi yang mengalami diare, biasanya lebih

banyak bentuk tropozoit yang ada. Namun kondisi ini menjadi sumber potensial

pencemar makanan ataupun air minum (Greeson, 1981; Smith, 2003; Schuster and

Avila, 2008). Bentuk kedua dari Balantidium yang juga memungkinkan ada di

Page 278: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [270]

lingkungan luar adalah kista. Kista Balantidium dapat mencemari makanan atau

pun air minum, tetapi kista Balantidium termasuk resisten terhadap desinfeksi

seperti clorinasi pada air (Greeson, 1981; Garcia, 1999; Schuster and Avila, 2008),

demikian pula Balantidium merupakan patogen yang mempunyai ukuran besar

sehingga dengan proses sterilisasi air dengan cara penyaringan, tidak efektif

(Garcia, 1999). Melihat kenyataan yang ada seperti diatas, bahwa sangat

memungkinkan sewaktu waktu wabah water borne diseases dapat terjadi.

Tingkat kejadian Balantidiasis pada babi sangat tinggi yaitu mencapai

91%, tergantung juga pada ras babi, cara pemeliharaan, lokasi dan status imun

babi (Schuster and Avila, 2008). Menurut Smith (2003) prevalensi Balantidium

coli pada babi dilaporkan mencapai 20% - 100%. Infeksi Balantidium pada babi

tidak menunjukkan gejala penyakit yang jelas, maka babi disebut sebagai

asymptomatic carrier,artinyaBalantidium coli hidup secara komensal di dalam

usus besar babi. Poudyal et a.l (2011) menyebutkan bahwa babi berperan sebagai

reservoir dari Balantidium.Demikian pula peneliti sebelumnya mengatakan babi

bertindak sebagai carier dari Balantidium coli, sehingga babi telah dianggap

sebagai reservoir penting bagi penularan penyakit. Dengan demikian, orang yang

sering kontak dengan babi mempunyai kemungkinan lebih besar menjadi

terinfeksi Balantidiasis (Esteban et al, 1998).Seperti peternak, pekerja rumah

potong hewan, dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di

peternakan (Giarratana et al., 2012).

PEMBAHASAN

Balantidium coli merupakan parasit protozoa yang dapat menginfeksi babi,

sapi, kuda, onta, anjing, manusia, non human primate, tikus dan hamster (Soulsby,

1982; Levine, 1995; Al-Tayib and Abdoun, 2013). Infeksi pada anjing dan tikus

jarang. Protozoa ini sudah tersebar secara meluas di seluruh dunia. Balantidium

colitermasuk golongan ciliata yang besar. Kista berbentuk bundar sampai ovoid,

berdinding tebal dan rangkap. Diantara dua lapis dindingnya terdapat cilia yang

sewaktu bentuk kista menjadi matang, maka cilia dapat menghilang. Ukuran kista

mencapai 40 – 60 mikron (Soulsby, 1982; Levine, 1995; Schuster and Avila,

2008). Kista Balantidium ini sangat tahan berada di lingkungan luar. Pada kondisi

yang menunjang kista bertahan 2 × 24 berada di suhu ruang. Kista tidak dapat

Page 279: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [271]

bertahan pada kondisi yang kering, tetapi pada feses yang basah kista masih

bertahan hidup berminggu-minggu. Bentuk kista ini hanya mempunyai

makronukleus. Stadium tropozoit (bentuk vegetatif) dari Balantidium ini

berbentuk ovoid (lonjong), dengan ukuran 30 – 150 mikron × 25 – 120 mikrondan

terdapat lubang dengan saluran yang sederhana berfungsi sebagai mulut,

mempunyai dua buah inti. Inti besar berbentuk seperti ginjal dan inti kecil

terdapat di bagian tengah.Terdapat banyak vakuola makanan yang berisi butir

tepung (makanan utama), pecahan sel, eritrosit dan yang lain. Seluruh permukaan

badan tertutup oleh rambut getar (cilia) yang berfungsi sebagai alat gerak (Levine,

1995). Keadaan ini mengakibatkan Balantidium sangat mudah bergerak, demikian

halnya di media air. Sehingga sangat dimungkinkan Balantidium penularan dapat

melalui air yang tercemar oleh bentuk tropozoit.

Balantidium coli pada babi biasanya komensal di dalam usus besar.

Protozoa ini hidup dari tepung dan ingesta lain serta bakteri yang ada di usus

besar. Secara normal Balantidium tidak mampu merusak mukosa usus, tetapi pada

keadaan jumlah parasit menjadi berlipat di dalam usus sehingga mukosa usus

menjadi luka dan timbul ulkus maka Balantidium dapat berada di pusat ulkus

memperbanyak diri. Balantidium juga menghasilkan hyaluronidase yaitu enzim

yang dapat membantu parasit ini memperbesar luka sehingga timbul kerusakan

yang semakin parah. Akibatnya timbul gejala disentri pada manusia ataupun

hewan terinfeksi (Levine, 1995; Smith, 2003; Bellanger et al., 2013).Tanda klinis

dari infeksi yang terjadi pada manusia atau hewan mulai dari gejala ringan sampai

parah dan dilaporkan dapat menimbulkan peritonitis (Poudyal et al., 2013).

Balantidium coli pada manusia biasanya menyerang pada bagian mucosa usus

besar dengan menimbulkan kongesti dan hiperemi, selanjutnya timbul ulcer yang

meluas sampai bagian kripta dan menyebabkan radang oleh sel radang limposit

dan eosinofil. Protozoa ini dapat menyebar ke bagian lebih dalam dari dinding

usus dan dapatmenyebabkan dinding usus berlubang. Disamping itu Balantidium

coli ini dapat juga menyebar menginfeksi hatidan paru (Pan America Health

Organization, 2003). Ekstra intestinal Balantidiasis juga ditemukan pada ginjal

(Karuna dan Khadanga, 2014).

Babi domestik maupun babi liar menjadi reservoir utama Balantidium

Page 280: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [272]

coliuntuk penularan ke manusia (Estebanet al., 1998; Solaymani-Mohammadi et

al., 2005). Parasit ini termasuk patogen bersifat komensal pada hospesnya, maka

babi terinfeksi tidak menunjukan gejala (Solaymani-Mohammadi et al., 2004).

Kondisi kesehatan babi yang menurun akibat terinfeksi oleh penyakit lain atau

infeksi parasit lain mengakibatkan infeksi Balantidium colimenjadi meningkat

(Ismail et al., 2010). Infeksi Balantidium pada babi yang meningkat menjadi

sumber penular bagi manusia. Ditemukan juga kasus Balantidiasis pada manusia

dimana sebelumnya tidak pernah ada kontak dengan babi. Keadaan ini terjadi

akibat infeksi antar manusia, yaitu makanan atau minuman tercemar oleh

Balantidium berasal dari feses manusia yang disentri. Demikian pula pada orang

muslim di Mesir, kemungkinan sumber penular berasal dari onta (Cox, 2005).

Sumber penular Balantidium yang utama adalah babi. Babi yang paling

banyak dipelihara oleh masyarakat pedesaan di Bali adalah babi bali, dan sistem

pemeliharaannya kebanyakan masih tradisional. Adanya hal ini berarti peran babi

sebagai penular penyakit disentri menjadi tinggi. Jenis babi yang biasa dipelihara

di Bali yaitu babi bali, Landrace dan Duroc. Kejadian Balantidiasis pada babi

Landrace pernah dilaporkan di Bali (Winaya, dkk., 2011). Berdasar kenyataan ini

artinya menambah daftar sumber penular Balantidium bagi manusia yang sering

kontak dengan babi.

SIMPULAN

Babi merupakan reservoir utama Balantidium colisebagai penular pada

manusia. Penularan infeksi antar manusia dapat terjadi. Kista Balantidium resisten

pada sterilasi air dengan clorinasi. Balantidium coli menjadi satu-satunya ciliata

penyebab disentri pada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Tayeb, O and Abdoun, KA.2013. Balantidium coli Infectipon in hamadryas

baboon (Papio hamadryas) in saudi arabia: A case report. The Journal of

Animal and Plant Science.23(3): 940-943

Bellanger, AP.; Scherer, E.; Cazorta, A.and Grenoullet, F. 2013. Dysenteric

syndrome due to Balantidium coli : A case report. New Microbiologica 56 :

203-205

Cox, F.E., 2005. Human balantidiasis in Iran: are camels reservoirhosts? Trends.

Parasitol. 21, 553.

Esteban, J.G., Aguirre, C., Angles, R., Ash, L.S., Mas-Coma, S., 1998.

Balantidiasis in Aymara children from the northern Bolivian Altiplano.

Page 281: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [273]

Am. J. Trop. Med. Hyg. 59, 922–927.

Garcia, L.S. (1999). Flagellates and ciliates. Clin. Lab.Med. 19 : 621-638.

Giarratana, F.; Muscolino D.; Taviano G.; Zino G. 2012. Balantidium coli in Pigs

Regularly Slaughtered at Abattoirs of the Province of Messina: Hygienic

Observations. Open Journal of Veterinary Medicine, 2 : 77-80. Scientific

Research.

Ismail, H.A., Jeon H.K., Yu Y.M., Do C., Lee Y.H. (2010).Intestinal parasite

infections in pigs and beef cattlein rural areas of Chungcheongnam-do,

Korea.Korean J. Parasitol. 48, 347-349.

Karuna, T. and Khadanga, S. 2014. A rare case of Urinary Balantidiasis in an

Elderly renal failure patient. Tropical Parasitology.volume 4 issue 1. Jan

2014.

Levine, N.D. 1995. Protozoologi Veteriner. Edisi bahasa Indonesia. Penerjemah

Prof.Dr.drh.Soeprapto Soekardono, MSc. Dan Prof.Dr.Mukayat Djarubito

Brotowidjojo, MSc. Penerbit Gadjah Mada University Press.

Poudyal, N., R. Baral, N. Gyawali, R. Gurung and R.Amatya (2011). Intestinal

infection withmultiple parasites including Balantidium coli.Health

Renaissan. 9 (1): 45-46.

Schuster, F.L. and L. Ramirez-Avila (2008). CurrentWorld Status of Balantidium

coli. Clin.Microbiol. Rev. 21(4): 626-638.

Solaymani-Mohammadi, S., Rezaian, M., Anwar, M.A., 2005.Human

balantidiasis in Iran: an unresolved enigma? Trends.Parasitol. 21, 160–161.

Solaymani-Mohammadi, S., Rezaian, M., Hooshyar, H., Mowlavi,G.R., Babaei,

Z., Anwar, M.A., 2004. Intestinal protozoa in wildboars (Sus scrofa) in

western Iran. J. Wildl. Dis. 40, 801–803.

Smith, S. 2003. The Parasite: Balantidium coli. The Disease: Balantidiasis.

Stanford University.

Soulsby, E.J.L. 1982. Protozoa. In Helminth, Arthropods and Protozoa of

domesticated animals. 7th Ed. Bailliere Tindall London: 507-759

Young, M.1950. Attempts to transmit human Balantidium coli. Am. J. Trop.Med.

Hyg. 30:71–72.

Winaya, I.B.O; Berata, I K.dan Apsari, I.A.P. 2011. Kejadian Balantidiasis pada

Babi Landrace. Jurnal Veteriner 12(1) : 65-68

BABI SEBAGAI HEWAN PILIHAN UNTUK HEWAN COBA

Page 282: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [274]

I Komang Wiarsa Sardjana

Departemen Klinik Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

Jalan Mulyorejo Kampus C Unair Surabaya 60115

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui hewan coba sudah

berkembang secara luas didunia termasuk Indonesia, berbagai studi/experimen

yang telah dilakukan memberikan hasil yang sangat positif untuk kepentingan

kemajuan IPTEK disatu sisi maupun kesejahteraan masyarakat disisi yang lain

yang sangat bermanfaat. Babi sebagai hewan ternak ikut memberikan kontribusi

dan berperan sebagai hewan coba yang dipergunakan dalam berbagai kegiatan

studi/experimen.

Kata kunci : studi/experimen hewan coba – babi

PENDAHULUAN

Aktualisasi penggunaan Hewan Coba dalam pelaksanaan program

penelitian sering digunakan di Indonesia, yang banyak hal dipergunakan dalam

penelitian terapan maupun penelitian experimental.

Penggunaan hewan coba dalam program penelitian banyak digunakan

dalam berbagai bidang keilmuan seperti halnya Biotechnologi, Imunologi,

Farmakologi, Fisiologi maupun Bedah Experimental dan Terapan.

Penggunaan hewan coba sebagai hewan model dalam studi/experimen

yang dilakukan tidak terlepas dengan pilihan terhadap species, strain, umur, sex

dan status kesehatan dan berapa yang dibutuhkan dari hewan coba yang

bersangkutan ( Tuffery A.A., 1995 )

Pilihan terhadap babi sebagai hewan coba dikarenakan sering digunakan

dalam berbagai studi/experimen melalui prosedur pembedahan (Lumley JSP et al.,

1990 )

Pierre Gallix (1990) dan Waynforth H.B. & P.A. Flecknell (2007)

menyampaikan bahwa berbagai penelitian dibidang pembedahan yang sangat luas

cakupannya meliputi:

1. Bedah Rekonstruksi

1.1. Rekonstruksi Trachea dan Oesophagus

1.2. Rekonstruksi Tractus Digestivus

Page 283: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [275]

1.3. Rekonstruksi Sistim Perkemihan (Urogenitalia)

1.4. Rekonstruksi Cardiac dan Vascularisasi

1.5. Rekonstruksi Orthopedi dan Plastik/Kosmetik.

2. Bedah Transplantasi

2.1. Transplantasi Organ, Sel dan Jaringan

2.2. Teknik Pengambilan Organ, Penyimpanan Organ dan Reimplantasi Organ

2.3. Transplantasi multi Organ.

3. Biomaterial dan Teknologi baru

3.1. Studi pembaharuan protipe dan modifikasi

3.2. Studi pembaharuan aplikasi dari produk yang digunakan dan pembelajaran

fungsi dari produk yang digunakan.

APLIKASI DARI STUDI/EXPERIMEN tersebut meliputi :

1. Prothese dan Organ Artificial yang diimplantasikan melalui studi

Biocompatibilitas,

Seperti halnya:

1.1. Prothese cardiac, valve dan vascular

1.2. Pancreas artificial, Kulit artificial

1.3. Prothese untuk bedah Orthopedi dan bedah plastik

2. Dukungan peralatan dalam kegiatan pembedahan:

2.1. Peralatan Circulation extra corporel (mesin jantung paru) yang

memberikan dukungan terhadap sistim sirkulasi dan pernafasan

2.2. Peralatan Anestesi dan Reanimasi

2.3. Peralatan Dialisa dan Ultrafiltrasi

2.4. Peralatan Diagnostik laboratorium

2.5. Peralatan Diagnostik lainnya seperti: Magnetic Resonance Imaging (MRI),

Sanner, Ultrasonography (USG), X-ray, Kateterisasi untuk ; vascular dan

Liquide Cephalo-Rachidien (LCR),Urinaire dan biliaire.

Electrocardiography (ECG), Electroencephalography (EEG).

LOKASI DAN KEBUTUHAN PUSAT STUDI/EXPERIMEN HEWAN

COBA

Sebagai tempat atau Pusat kegiatan studi/experimen hewan coba tentunya

dibutuhkan lokasi yang permanen dan memadai sebagai aktivitas riset untuk

menjawab berbagai persoalan dan tantangan dibidang ilmu pengetahuan dan

Page 284: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [276]

teknologi, memiliki akses yang mudah dicapai didalam komplex

Lembaga/Institusi sehingga memudahkan para akademisi sebagai anggota

kelompok studi untuk beraktifitas.

1. Kandang Hewan Coba, terdiri dari:

1.1. Tikus dengan luasan 35 m2 memiliki 120 box

1.2. Kelinci dengan luasan 35 m2 memiliki 80 box

1.3. Anjing/Kucing dengan kapasitas 40 box a’ 2 m2

1.4. Ruminantia Kecil (Kambing,Domba,Anak Sapi) dengan kapasitas 20 box a’

6 m2

1.5. Babi dengan kapasitas 20 box a’6 m2

2. Laboratorium Diagnostik

Dibutuhkan untuk menunjang kegiatan studi/ penelitian yang dilakukan

untuk memperoleh hasil yang efektif dan akurat dan bersifat “urgent” dari aktifitas

studi/ experimen yang dilakukan.

Instrumen laboratorium yang dibutuhkan meliputi sarana prasarana

laboratorium sesuai dengan standard laboratorium.

3. Laboratorium Radiologi

Memiliki fasilitas untuk X-Ray, Scanner, USG dan MRI disamping

fasilitas untuk melakukan Kateterisasi, Angiography dan Angioplasty transcutan.

Disamping itu diperlukan sarana pemeriksaan EKG maupun EEG

4. Ruang Operasi

Memiliki 4 blok Ruang Operasi yang meliputi 1 blok untuk Preparasi, 1

blok untuk Operasi Klasik , 1 blok Operasi untuk Operasi besar yang bersifat

khusus seperti bedah/transplan Jantung, Hepar, Ginjal, Paru dan Orthopedi serta 1

blok untuk bedah mikro, yang kesemuanya ditunjang dengan peralatan bedah

yang sesuai dengan standard.

5. Ruang Sterilisator

Dibutuhkan untuk mempersiapkan sarana dan prasarana operasi dengan

Autoclave Oven untuk membuat steril pakaian,drap, kap, masker, gloves,kasa dan

perban steril, pembalut sepatu dan instrumen bedah baik yang ada diruang blok

Operasi maupun yang akan digunakan.

MENGAPA STUDI/EXPERIMEN DENGAN HEWAN COBA SANGAT

DIPERLUKAN?

Page 285: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [277]

Tujuan utama dari studi atau experimen melalui hewan coba dalam

pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dibidang Kedokteran,

Biomedik dan Farmasi, khususnya untuk peningkatan kualitas hidup manusia

maupun peningkatan kualitas/ pengembangan teknologi Kedokteran melalui

berbagai studi/experimen yang dilakukan.

Manfaat yang sangat berguna dan dirasakan secara langsung oleh

masyarakat ilmiah maupun masyarakat pada umumnya adalah berbagai kemajuan

dan temuan-temuan baru dibidang IPTEK menjadi pendorong bagi kesejahteraan

masyarakat.

Produktifitas yang dihasilkan sebagai wujud kebersamaan dari berbagai

disiplin keilmuan yang bekerja bersama dalam studi/experimen yang dilakukan,

mendorong untuk dilakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Pembentukan Studi/experimen (Center of Animal Laboratory

Experimentation) dengan personalia yang memiliki latar belakang

keilmuan dari berbagai disiplin ilmu untuk formasi yang dibutuhkan sesuai

dengan kegiatan studi/experimen yang dilakukan.

2. Dibutuhkan dukungan sarana prasarana dan fasilitas dalam kegiatan

studi/experimen dalam Institusi atau Kelembagaan yang ada.

3. Dibutuhkan ketersediaan berbagai hewan model sebagai hewan coba yang

berfungsi sebagai obyek studi/experimen yang dilakukan.

4. Pengembangan studi/experimen yang terdahulu disamping temuan

teknologi/hasil studi yang baru sebagai upaya peningkatan hasil

studi/experimen terkini sebagai wujud dari peningkatan dan

pengembangan teknologi.

5. Pemanfaatan berbagai temuan-temuan maupun pengembangan yang

dilakukan sebagai institusi/lembaga ilmiah oleh para Akademisi (Staf

Pengajar Fakultas/Universitas) dalam studi akhir Strata 1, spesialis, strata

2 maupun strata 3.

6. Pemanfaatan semua hasil studi/experimen untuk dipublikasikan baik

dalam jurnal ilmiah yang berskala lokal, Nasional maupun Internasional.

7. Dengan semangat multi disiplin sebagai Institusi, membangkitkan spirit

keilmuan untuk membangun masyarakat sehat dan sejahtera melalui

Page 286: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [278]

pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

KOLABORASI ANTAR DISIPLIN ILMU

Keberhasilan dari kegiatan studi/experimen melalui hewan coba tidak bisa

dilepaskan dari dukungan bersama antar disiplin ilmu yang ada , Para Klinikus

khususnya bersama para kolega dari Bagian Anatomi Pathologi dan Histologi,

Pathologi Klinik/Hematologi, Biokimia, Physiologi dan Imunologi serta Bagian

Statistik memberikan kontribusi nyata dalam berbagai kegiatan dari

studi/experimen pada hewan coba yang dilakukan.

Langkah dari kolaborasi juga dilakukan dengan melibatkan sektor swasta

yang memberikan kontribusi sebagai partisipasi publik, sehingga tampak mata

rantai dari kesinambungan antara Akademisi (Pusat Studi Hewan Coba) dan

Pengusaha Swasta yang perduli dan Goverment/Pemerintah yang dalam hal ini

dari Pihak Universitas dan Pemerintah Daerah.

SKEMA KEGIATAN STUDI/EXPERIMEN HEWAN COBA

Menurut A.A. Tuffery (1995); JSP Lumley et al.(1990); H.B. Waynforth

1. STUDI KEPUSTAKAAN

2. PENENTUAN LANGKAH KEGIATAN

3. FEASIBLE UNTUK DILAKSANAKAN

PEMBAHASAN

PROTOKOL

EXPERIMEN HEWAN

COBA

PROTOKOL

EXPERIMEN HEWAN

COBA

PILIHAN MODEL

EXPERIMEN HEWAN

COBA

PROTOKOL

DEFINITIF

Page 287: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [279]

& P.A. Flecknell (2007) bahwa Kegiatan aktual dari Studi/Experimen pada hewan

coba sampai dengan saat ini mempresentasikan kegiatan bedah experimen

dibidang organ transplan menempati mayoritas kegiatan.

Sebagaimana yang dipahami bahwa sifat dan pengaruh Immuno-suppresif

dari Cyclosporine telah diketahui lebih dari puluhan tahun yang lalu, yang telah

memberikan manfaat dalam terapi pada organ transplan.

Kemajuan yang telah diperoleh dari pemberian terapi ini tidak hanya

berhubungan dengan transplantasi organ baru sebagai organ donor seperti

intestinal dan pulmo yang memiliki sensibilitas terhadap reaksi penolakan tubuh

tetapi juga dipraktekan dalam transplantasi multi organes seperti renal- pancreas ;

jantung- paru ; liver-pancreas – intestinal.

Keberhasilan dari bedah experimen dibidang organ transplan tidak terlepas

dari keberhasilan yang telah dilakukan dibidang organ transplan melalui

percobaan pada hewan terlebih dahulu yang telah memberikan kontribusi

keberhasilan transplantasi organ pada manusia untuk memperbaiki kualitas hidup

manusia yang bersangkutan.

Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keberhasilan melakukan berbagai

percobaan yang telah dilakukan pada hewan coba seperti halnya :

1. Teknik pembedahan untuk pengambilan organ baik dalam bentuk simple

maupun multiple.

2. Teknik penyimpanan/konservasi organ yang baik untuk bisa

ditransplantasikan dengan hasil yang baik.

3. Teknik bedah reimplantasi dengan tingkat keberhasilan yang baik

4. Teknik biopsi organ yang ditransplan sebagai kontrol terhadap hasil

transplan organ yang dilakukan.

5. Studi pendalaman berkaitan dengan penanganan faktor Immuno-

supression sebagai upaya keberhasilan dari organ transplan yang dilakukan.

MENGAPA BABI MENJADI PILIHAN SEBAGAI MODEL HEWAN

COBA

Lumley JSP(1990) dan Gallix P.(1990) menyatakan bahwa penentuan

pilihan terhadap hewan model sebagai hewan coba ditujukan terhadap tujuan

studi/experimen yang dilakukan.

Dari sisi anatomi dan ukuran tubuh hewan coba sangat penting dan

Page 288: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [280]

sebagai hewan coba, babi sebagai species mammalia memiliki kesamaan secara

luas dengan manusia yang berhubungan dengan sistim cardiovascular, respirasi

sistim maupun sistim persyarafan termasuk sistim muskulo-skeletal.

Sebagai hewan golongan omnivora tentunya memiliki kesamaan dengan

nutrisi sebagaimana yang menjadi asupan nutrisi hewan coba yang bersangkutan.

Babi membutuhkan 6 nutrien esensial yang terdiri dari air, protein,

karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin. Jumlah bahan pakan berserat dalam

ransum babi tidak lebih dari 5% dengan kualitas yang baik seperti tepung daun

alfalfa, bijian seperti jagung, hijauan yang berfungsi sebagai vitamin sedang kan

Protein yang berkualitas dalam bentuk suplemen premix.

Kualitas protein dicerminkan dari kandungan asam aminonya, terdapat 10

macam asam amino esensial seperti arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin,

methionin, fenilalanin, triptofan dan valin. Demikian juga kebutuhan lemak dalam

unsur pakan baibi tetap dibutuhkan tidak lebih dari 5%

Kandungan karbohidrat merupakan komponen utama untuk memenuhi

kebutuhan energi, TDN yang dikenal sebagai Total Digestible Nutrient digunakan

untuk memperkirakan kebutuhan akan energi. Energi metabolis atau energi

tersedia dapat pula dianggap sebagai ukuran yang lebih baik untuk mendasari

perhitungan.

Kebutuhan mineral, disamping garam dapur, kalsium (Ca) merupakan

mineral yang paling dibutuhkan oleh babi, dan sebagai sumber Kalsium dari

ntepung tulang, tepung dari kulit kerang yang digiling. Kebutuhan yodium juga

diperlukan untuk pertumbuhan, kebuntingan maupun periode laktasi. Demikian

juga dengan kebutuhan zat besi dan tembaga untuk pembentukan hemoglobin dan

kejadian anemia yang sering terjadi pada babi, garam yodium dapat ditambahkan

dalam ransum pakan sebesar 0,5%.

Kebutuhan magnesium diperlukan untuk pengontrolan otot, kontraksi dan

keseimbangan tubuh, sedangkan Phosphor dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

perkembangan kerangka dan Zn dibutuhkan untuk kesehatan kulit dan

pertumbuhan, sedang garam dapur (NaCl) adalah mineral yang paling umum

dibutuhkan dimana kebutuhan minimum adalah 0,2%-0,5%.

Vitamin A,D,E,K sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan maupun

Page 289: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [281]

reproduksi termasuk juga pemberian vitamin B1, B6 maupun B12(James Blakeley

dan David H. Bade, 1991).

Gambar 1 : Babi sebagai hewan coba untuk kegiatan bedah experimen

Gambar 2 : Proses pemasangan kateter pada arteri carotis pada babi.

Page 290: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [282]

Gambar 3 : Pemasangan kateter pada arteri Carotis babi.

KATETERISASI PADA BABI

Pada beberapa gambar dibawah ini menunjukan bahwa penggunaan babi

sebagai hewan coba dalam studi/experimen melalui pembedahan daerah leher

pada babi untuk pemasangan kateter pada arteri Carotis.

Studi tersebut dilakukan berhubungan dengan sistim ventilator dalam

pembaruan sistim Mesin Anestesi.

Keputusan untuk menggunakan babi sebagai hewan coba khususnya dalam

pembedahan untuk experimen memberikan kontibusi yang berhubungan dengan:

1. Babi sebagai hewan coba yang baik digunakan dalam program

pembedahan.

2. Teknik pembedahan pada hewan coba babi memudahkan untuk ditindak

lanjuti pada hewan coba dari jenis yang lebih kecil.

3. Chronic canulation bisa terjadi.

4. Monitoring utk pemeriksaan MRI, Radiography, Angiography sangat baik.

5. Bisa dilakukan anestesi dengan durasi yang lama (Fleknell P.A. 1987)

SIMPULAN

Babi sebagai hewan coba sangat baik dipergunakan dalam studi/experimen

khususnya dalam kaitan dengan teknologi bedah. Bedah experimen memberikan

Page 291: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [283]

hasil yang baik dengan babi sebagai hewan coba.

KEPUSTAKAAN

Diah Kusumawati. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Gajah Mada

University Press.

Flecknell P.A.1987. Laboratory Animal Anaesthesia, Comparative Biology

Centre The Medical School, Newcastle Upon Tyne, UK. Academic Press.

Gallix Pierre, 1992. Le Laboratoire de Chirurgie Experimentale. Faculte de

Medecine Necker Enfants Malade, Universite Rene Descartes.

James Blakely dan David H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan , Gajah Mada

University Press.

Lumley JSP, CJ Green, P Lear, J E Angell-James. 1990 Essentials of

Experimental Surgery Butterworth & Co. (Publishers) Ltd.

Tuffery A.A. 1995. Laboratory Animals An Introduction for Experimenters. John

Wiley & Sons Ltd.

Waynforth H.B., Fleknell P.A. 2007. Experimental and Surgical Technique in the

Rat. Elsevier Academic Press.

Page 292: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [284]

INTRODUKSI VAKSIN ETEC DALAM MENURUNKAN KEJADIAN

DIARE AKIBAT ENTEROTOXIGENIC ESCHERICHIA COLI PADA

ANAK BABI

Nyoman Suyasa dan IAP. Parwati

Balai Pegkajian Teknologi Pertanian Bali

Jalan Bypass Ngurah Rai – Pesanggaran PO Box 3480

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Peningkatan penduduk di Indonesia dan peningkatan pendapatan perkapita

membutuhkan ketersediaan pangan hewani bermutu tinggi. Salah satu pangan

hewani bermutu tinggi adalah daging babi. Di Bali peternakan babi sudah

memasyarakat sejak dulu, dan saat ini berkembang mengarah ke arah peternakan

yang berorientasi usaha. Pengkajian ini dilakukan di desa Belanga Kecamatan

Kintamani, Bangli. Kajian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian

vaksin ETEC pada induk bunting terhadap penurunan kejadian diare pada anak

babi. Menggunakan 24 ekor induk babi peranakan Landrace yang dipelihara oleh

masyarakat, yang diberikan pakan komersial yang dicampur dengan bahan lokal

yang ada disekitar. Minum diberikan secara ad libitum. 12 ekor induk diberikan

vaksin ETEC secara intra muskular pada umur kebuntingan 70 – 75 hari dan 100

– 105 hari, sedangkan yang 12 ekor induk lainnya diamati sebagai kontrol. Hasil

kajian menunjukkan anak yang dilahirkan oleh induk perlakuan 8,17 sedangkan

oleh induk kontrol 8 ekor/induk. Anak babi yang mengalami diare pada perlakuan

dan kontrol adalah 0,95 (11,63%) dan 7,04 (88%). Sedangkan anak babi yang

mengalami kematian pada umur pra sapih 2,16 (27%) pada kontrol dan 0,7

(8,57%) pada induk yang divaksin dan anak yang dapat disapih per kelahiran pada

kontrol dan perlakuan berturut-turut 5,84 (73%) dan 7,47 (91,43%). Dapat

disimpulkan pemberian vaksin ETEC pada induk babi bunting sangat efektif

mencegah kejadian diare yang disebabkan oleh Enterotoksigenik Escherichia coli

pada anak babi pra sapih sehingga meningkatkan jumlah anak yang dapat disapih.

Kata kunci : vaksin ETEC, babi peranakan Landrace, diare, pra sapih

ABSTRACT

The increase inpopulationin Indonesiaand increasedper capitaincomerequiresthe

availability ofhigh-qualityanimal food. One of thehigh-gradeanimal foodispork. In

Balipig farmhas beensocializedsince the first, andis currentlydevelopingleadsin

the directionof business-oriented farms. The assessmentwas conductedinthe

village ofKintamani districtBelanga, Bangli. The studyaimstodetermine the effect

ofETECvaccineonpregnantmothertodecreasethe incidence ofdiarrhea inpiglets.

Using 24crossbredLandracesowstailismaintained by the community,

givencommercialfeedmixed withlocal materialsthat exist around. Drinkinggivenad

libitum. 12breedingETECvaccineisgivenintramuscularingestation70-

75daysand100-105days, whiletheother12breedingobservedascontrols. The results

Page 293: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [285]

ofthe studyshowedthatchildrenborn tothe motherby thetreatmentof

8.17whileholdingcontrol8heads /master. Pigletswith diarrheain thetreatment and

control groupswas0.95(11.63%) and7.04(88%). Whilepigletsdyingat the age

ofpre-weaning 2.16(27%) inthe controland0.7(8.57%) in

thevaccinatedparentandchildcan beweanedper litterinthe

controlandtreatmentrespectively5.84(73%) and7.47(91.43%). It can be

concludedETECvaccineinpregnantsowsare veryeffective in preventingthe

incidence ofdiarrhea causedbyEscherichiacoliEnterotoksigeniconpre-weaning

pigletsthereby increasing thenumber of childrenwhocan beweaned.

Keywords: ETECvaccine, Landracecrossbred, diarrhea, pre-weaning

PENDAHULUAN

Populasi penduduk Indonesi yang sekitar 225 juta orang memerlukan

kesediaan pangan hewani bermutu tinggi, dan aman untuk dikonsumsi. Akan tetpi

ketersediaan pangan hewani ini sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan dan

kesadaran akan gizi yang baik (Ahmad Suryana, 2008). Rataan konsumsi pangan

hewani asal daging, susu dan telur masyarakat Indonesia adalah 4,1 ; 1,8 dan 0,3

gram/kapita/hari (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Daging babi merupakan

salah satu sumber protein hewani yang bergizi, maka dari itu harga daging babi

dari tahun ke tahun terus meningkat. Di Bali peternakan Babi sejak dulu telah

memasyarakat terutama di daerah pedesaan, dan saat ini terus berkembang dan

banyak terdapat peternakan menengah – besar yang mensuplai daging babi ke

pasaran. Perkembangan ternak babi di Bali dalam kurun waktu 5 tahun terakhir

(2008 – 2012), menunjukkan kestabilan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah populasi

babi yang ada dari tahun 2008, 924.397 ekor dan tahun 2012 jumlah populasi

890.402 ekor, terjadi peningkatan rata-rata 0,92%/tahun (Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Prov. Bali, 2012). Adapun jenis babi yang dipelihara di Bali

adalah : Babi Bali, Landrace, Saddle Back dan peranakannya. Komposisi Populasi

Babi bali, Landrace dan Saddle Back beserta peranakannya untuk tahun 2012

adalah 284.531 ekor; 459.823 ekor, dan 146.048 ekor. Peternakan babi lebih

banyak dipelihara didaerah pedesaan dan pola pemeliharaan ada dikelola secara

sederhana namun ada yang dikelola menuruti manajemen semi modern (Berata,

I.K. et al. 2008).

Apabila dilihat dari pengeluaran ternak babi dari Bali ke daerah lain dalam

kurun waktu 5 tahun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Data Dinas

Page 294: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [286]

Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali (2012) menunjukkan tahun 2008

pengeluaran Babi hanya 380 ekor meningkat menjadi 85.387 ekor tahun 2012.

Begitu pula dengan pengeluaran produk/bahan yang berasal dari daging babi,

seperti daging beku rata-rata mencapai 383.591 kg/tahun dan daging olahan untuk

tahun 2008 tidak ada sedangkan tahun 2012 pengeluaran produk olahan ini

mencapai 1.389.775 kg.

Dalam beternak tentu ada kendala, dan kendala yang paling sering dalam

peternakan babi adalah kematian ternak. Baik akibat terserang penyakit maupun

akibat yang lain. Kasus yang tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan

mortalitas (kematian) babi terutama anak babi umur muda adalah diare/mencret

putih, atau sering juga disebut dengan Kolibasilosis karena disebabkan oleh

bakteri Escherichia coli. Pengobatan dan pengendalian penyakit infeksius

(bakterial) secara medikasi dengan sediaan obat-obatan antibiotik bukan lagi

menjadi pilihan yang terbaik, selain karena kurang efektif berhubung dengan

resistensi multipel (Supar et al., 1990 ; Poernomo et al., 1992 dalam Supar, 2001),

juga menyebabkan bahaya sampingan yang cukup potensial berkaitan dengan

cemaran, residu antibiotika dan kimia toksik pada produk-produknya. (Widiastuti

dan Murdiati, 1995). Menurut Supar (2001), Enterotoksigenik Escheria coli

merupakan penyebab utama diare pada anak babi dan sapi neonatal. Untuk itulah

kajian ini bertujuan untuk melihat dampak pemanfaatan vaksin ETEC yang

diberikan pada induk babi untuk mencegah terjadinya diare putih pada anak babi

yang baru dilahirkan, serta menurunkan angka kematian. Apalagi menurut

Sjamsul Bahri dan Kusumaningsih (2005), peluang Indonesia dalam hal

pengembangan vaksin sangat besar karena adanya potensi berupa teknologi

pembuatan vaksin, sumberdaya manusia, produsen vaksin, serta sumberdaya

plasma nutfah berupa mikroorganisme lokal yang sesuai untuk mengatasi

penyakit di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di desa Belanga kecamatan Kintamani Bangli.

Menggunakan 24 ekor induk babi peranakan landrace yang dipelihara oleh

masyarakat. Babi dipelihara dalam kandang permanen dan diberikan pakan

komersial 2 kali sehari pagi dan sore hari dan beberapa diantaranya ada yang

Page 295: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [287]

menambahkan pakan lokal yang diperoleh dari kebun milik sendiri. Untuk minum

diberikan secara ad libitum. Umur kebuntingan babi peranakan Landrace adalah

114 hari dengan rata-rata anak yang dilahirkan 10 ekor per induk. 12 ekor induk

babi yang lagi bunting diberikan perlakuan berupa injeksi intramuskular vaksin

ETEC sebanyak 2 ml/injeksi/ekor. Pemberian vaksin dilakukan 2 kali, pertama

saat umur kebuntingan 70 – 75 hari dan yang kedua pada saat umur kebuntingan

100–105 hari. Sedangkan yang 12 ekor lagi dipakai sebagai pembanding,

dipelihara seperti biasa namun tanpa diberikan vaksinasi ETEC pada induknya.

Parameter yang diamati adalah jumlah anak yang lahir per induk, kejadian diare

pada anak babi, tingkat kematian (mortalitas) pada anak babi sampai umur lepas

sapih (+ 3 bulan).

Data selanjutnya dianalisis secara deskriptif, persentase dan t – Test untuk

melihat perbedaan antara yang diberikan vaksin dengan yang tidak. Dan untuk

mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh dari usahaternak babi dilakukan

analisis usahatani untuk mengetahui BC ratio, Titik impas Porduksi dan titik

impas harga.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Vaksinasi Pada Babi

Ke-12 ekor induk babi yang diberikan divaksinasi tidak ada menunjukkan

gejala sakit pasca vaksinasi. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya perubahan kondisi pada ternak pasca pemberian vaksinasi. Hal ini juga

dapat dilihat dari tidak adanya gejala sakit yang ditunjukkan oleh induk yang

divaksinasi seperti penurunan nafsu makan, demam dan aborsi atau gejala lainnya

yang menunjukkan bahwa ternak dalam keadaan sakit.

Dari seluruh ternak yang diamati 88,89% diantaranya sudah melahirkan

dan rata-rata anak yang lahir dari ternak kontrol adalah 8 ekor/induk sedangkan

dari induk yang diberikan vaksin ETEC 8,17 ekor/induk, ada selisih antara yang

divaksin dengan tidak 0,17 ekor.

Page 296: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [288]

Tabel 1. Rata-rata kejadian Diare, kematian Pra Sapih dan Jumlah Anak yang dapat disapih

No. Perlakuan Rata-rata anak

yang lahir (ekor)

Diare Mati Pra Sapih Anak yang dapat

disapih

Ekor % ekor % ekor %

1. Kontrol 8 7,04 88 2,16 27 5,84 73

2. Vaksinasi 8,17 0,95 11,63 0,7 8,57 7,47 91,43

Selisih 0,17 6,09 76,37 2,1 26,32 2,27 26,27

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa dari pemberian vaksin ETEC multivalen pada

induk babi menunjukkan bahwa anak-anak babi yang lahir dan mengalami diare

pada babi montrol jauh lebih tinggi yaitu 7,04 ekor (88%), sedangkan anak-anak

yang lahir dari induk yang di berikan vaksinasi hanya 0,95 ekor (11,63%) yang

mengalami diare. Diantara induk-induk yang diberikan vaksinasi ada anak-

anaknya yang lahir tidak mengalami diare sama sekali. Namun secara umum rata-

rata 1 ekor diantara 8 ekor anaknya. Kalau dilihat selisih antar induk yang

divaksin dengan yang tidak divaksin selisih mencapai 6,09 ekor atau 76,37%,

cukup tinggi kalau dilihat dari faktor kejadian diare.

Dilihat dari tingkat kematian pra sapih, anak babi yang dilahirkan dari

induk tanpa vaksinasi mencapai 2,16 ekor (27%), jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan anak dari induk yang divaksinasi, tingkat kematian hanya 0,7 ekor

(8,57%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Supar baik di Tangerang dan

Medan memberikan hasil yang konsisten yaitu untuk kasus diare turun dari rata-

rata 30% menjadi 4,2% dan kematian turun dari 21% menjadi 3,7% (Supar, 1995

dalam Supar, 2001). Kematian pada anak babi lebih sering terjadi pada umur

muda, umur 2 – 4 minggu. Kematian pada anak sapi akibat diare yang disebabkan

oleh Escherichia coli juga sering terjadi pada umur muda. Supar (1986) dalam

Supar et al. (1997) menemukan bahwa kematian akibat diare pada anak sapi dapat

mencapai 19,9% pada umur minggu pertama. Hal ini menunjukkan bahwa

kejadian diare pada ternak baik sapi maupun babi pada umur muda cukup tinggi

bahkan sering menyebabkan kematian kalau tidak ditangani dengan segera.

Dengan adanya kematian anak babi pada umur muda maka jumlah anak yang

dapat disapihpun menjadi menurun. Tabel 1 menunjukkan bahwa anak-anak babi

Page 297: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [289]

yang dapat disapih pada kontrol hanya 5,84 ekor (73%), sedangkan pada induk

yang mendapatkan vaksinasi mampu memperoleh anak yang disapih 7,47 ekor

(91,43%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vaksinasi ETEC pada induk

yang sedang bunting mampu menurunkan kejadian diare pada anak-anak babi

umur muda, yang kalau tidak ditangani akan berakibat fatal yaitu berupa kematian.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arifn dan Supar (1995) juga menunjukkan

bahwa vaksin ETEC dapat menekan angka kematian anak babi pra sapih. Hal ini

juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rai, dkk. (2004) bahwa

vaksinasi ETEC menunjukkan titer anti bodi Ig G dan Ig A dari induk babi yang

divaksinasi sangat nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan induk yang tanpa

vaksinasi, anti bodi pada induk babi akan diturunkan oleh induknya lewat air susu

pertama (kolustrum ), sehingga dapat disimpulkan bahwa anak-anak babi yang

lahir dari induk yang divaksin mempunyai kekebalan terhadap kuman E. coli,

sehingga pada pengkajian ini sangat kecil kejadian diare pada anak-anak babi

yang mendapatkan vaksinasi.

Analisis Usahatani Ternak Babi Peranakan Landrace

Dalam beternak keuntungan merupakan faktor utama yang menjadi tujuan,

disamping ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi dalam mengelola usaha

ternak. Dalam mengusahakan ternak ada beberapa komponen biaya yang harus

dihitung sebagai input dan hasil penjualan baik anak maupun induk sebagai output.

Dalam kajian ini beberapa komponen input yang dimasukkan adalah

penyusutan kandang, pembelian ternak awal (harga induk), pakan, vaksin, obat-

obatan dan biaya jasa Inseminasi buatan dan pemeliharaan. Sedangkan output

adalah hasil penjualan anak-anaknya. Dengan pemberian vaksin ETEC anak-anak

yang mampu disapih lebih tinggi dibandingkan anak yang dilahirkan dari induk

yang tidak divaksin. Anak-anak yang mampu disapih dari induk yang divaksin

rata-rata adalah 7,47 ekor/induk sedangkan anak yang disapih dari induk yang

tidak divaksin hanya 5,84 ekor/induk. Harga anak-anak babi setelah disapih

mencapai kisaran 450.000 per ekor untuk anak tanpa vaksin sedangkan anak

dengan induk divaksin mencapai 500.000 per ekor. Hal ini dikarenakan anak-anak

dari induk yang divaksin akan mengahsilkan anak yang lebih lincah, dengan kulit

bersih mengkilat dan pada umumnya bobotnya juga rata-rata lebih tinggi sehingga

Page 298: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [290]

pembeli berani meningkatkan harga 5000 lebih tinggi per kilogram bibit.

Tabel 2. Analisis Usaha Ternak Babi Peranakan Landrace di desa Belanga Bangli

No. Uraian Perlakuan

Kontrol Vaksinasi

1 Input :

- Penyusutan kandang ( umur kandang 5

th, untuk 3 ekor)

100.000 100.000

- Penurunan Nilai ternak : 1.100.000 975.000

Berat awal P0 :100 kg P1 : 105 Kg (Rp

25000/kg)

2.500.000 2.625.000

Berat afkir (selama 5 tahun) ± 180 Kg

(Rp 20000/kg)

3.600.000 3.600.000

- Biaya mengawinkan 50.000 50.000

,- Biaya pakan anak dan anak 0,2

kg/ekor/hari ( Cons. 551 , 3 bln)

647.976 780.864

- Obat-obatan induk dan anak 75.000 75.000

- Mineral 5.000 5.000

- Vaksinansi ETEC - 40.000

- Tenaga Kerja 192.500 192.500

Jumlah 2.170.476 2.218.364

2. Output

- Jumlah anak disapih

a. Kontrol (5,84 ekor, Rp 450.000/ekor) 2.628.000

b. Vaksinansi ( 7,47 ekor, Rp

500.000/ekor)

3.735.000

3. Keuntungan ( Rp) 457.524 1.516.636

4. B/C 0,21 0,68

5. Nisbah keuntungan bersih vaksinasi (%) 69.83

6. TIP (ekor) 4,82 4,44

7. TIH (Rp/ekor) 393.916 334.091

Keterangan:

analisis untuk 1 periode kelahiran sampai umur jual(3 bulan)

Sehingga penjualan anak dengan induk divaksin adalah Rp. 3.735.000,

sedangkan anak dari induk yang tidak divaksin hanya Rp. 2.628.000 setelah

dipotong input maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah Rp.

1.516.636 dan Rp. 457.524,- BC ratio dari masing-masing (kontrol) dan Vaksinasi

adalah 0,21 dan 0,68, yang mengindikasikan bahwa walaupun ada biaya

pembelian vaksin per induk mencapai 40000 rupiah namun keuntungan yang

Page 299: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [291]

diperoleh dari induk yang divaksin jauh melebihi dari kontrol.

Sedangkan untuk titik impas produksi untuk kontrol 4,82 dan vaksinansi

4,44 yang berarti minimal induk kontrol harus mampu menghasilkan anak untuk

dijual 4,82 ekor dan untuk vaksinasi 4,44 ekor dalam satu periode beranak.

Sedangkan Titik Impas harga untuk kontrol minimal harga yang harus dicapai

adalah Rp.393.916 per ekor dan vaksinasi Rp. 334.091 agar usaha tersebut tidak

mengalami kerugian (BEP tercapai). Kontrol memiliki titik impas harga yang

lebih besar dibandingkan vaksinasi karena jumlah anak yang mampu disapih lebih

sedikit dibndingkan dengan yang divaksin.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemberian vaksinasi ETEC pada induk babi yang sedang bunting mampu

menurunkan kejadian diare pada anak babi yang baru dilahirkan dan

sekaligus menurunkan angka kematian pada babi muda sehingga

meningkatkan jumlah anak lepas sapih per induk yang menyebabkan

meningkatkan pendapatan usaha ternaknya. Pemberian vaksin juga mampu

meningkatkan kesehatan dan performans anaknya yang menyebabkan

harga jual juga lebih tinggi.

Kajian ini perlu disosialiasikan ditingkat lapangan agar diketahui dan

diterapkan untuk meningkatkan keuntungan usaha ternak babi di

masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Suryana. 2008. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Pangan

Peternakan Bermutu, Aman dan Halal. Dukungan Teknologi Untuk

Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi

Masyarakat. Seminar Nasional Hari Pangan sedunia XXVII.

Arifin dan Supar. 1995. Pengendalian Kolibasilosis Neonatal pada anak Babi.

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol 1. No.1

Berata, I.K., IB. Winaya., IGK. Suarjana dan IB. Suardana Kade. 2008.

Pemberantasan Penyakit dan Vaksinasi Hog Cholera pada Ternak Babi

Di desa Kelating Tabanan. Journal Pengabdian Kepada Masyarakat.

Udayana Mengabdi. Vol 7. No, 2.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali. 2012. Informasi Data

Peternakan Provinsi Bali. Dinas Peternakan dan Kesehatan hewan

Provinsi Bali.

Rai Yasa, Parwati, Suyasa dan Guntoro.2004. Laporan Hasil penelitian BPTP Bali.

Denpasar. 2004.

Page 300: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [292]

Silalahi, M. dan D. Aritonang.1992. Monitoring Productivitas Babi di pusat

Pembibitan Ternak Babi Sumatera Utara :”Pengaruh Penerapan Nursery

Intensif Terhadap productivitas Induk Babi. Buletin Ilmu dan Peternakan.

Vol 5, No.1, Balitnak, Bogor.

Sjamsul Bahri dan A, Kusumaningsih. 2005. Potensi, Peluang dan strategi

Pengembangan Vaksin Hewan di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 24

(3).

Supar., Kusmiyati dan M.B. Poerwadikarta. 1997. Aplikasi Vaksin

Enterotoksigenik Escherichia coli (K99), F41 polivalen Pada Induk Sapi

Perah Bunting Dalam Upaya Pengendalian Kolibasilosis dan Kematian

Pedet Neonatal.Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 3 (1) : 27 – 33.

Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner Dalam

Pengembangan Peternakan : Harapan Vaksin Escherichia coli

Enterotoksigenik, Enteropatogenik dan Verotoksigenik Isolat Lokal

Untuk Pengendalian Kolibasilosis Neonatal Pada Anak Babi dan Sapi.

Wartazoa. Vol 11, No. 1 Th. 2001.

Supar, S., S. Cotiah dan G.R.Moekti.1996.Penyakit-penyakit Infeksius Pada Babi

dan Upaya Pengendaliannya. Prosiding seminar Nasional Peternakan dan

veteriner.Cisarua, Bogor 7-8 November 1995. Puslitbangnak, Bogor.

Supar, R.G.Hirst and B.E.Patten.1990.Antimicrobial drug Resistance in

Enterotoxigeic Eschericia coli K88,K99,F41 and Isolat from piglets in

Indonesia. Bulletin Penyakit hewan.Vol.XXII.No.39 Bogor.

Page 301: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [293]

LAMPIRAN

Page 302: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [294]

JADWAL KEGIATAN SEMILOKA NASIONAL TERNAK BABI DENPASAR, 5 AGUSTUS 2014

No. Waktu (Wita) Acara Semiloka Keterangan

1 08.00 - 08.30 Registrasi Peserta Sie Sekretariat 2 08.30 - 09.00 Acara Pembukaan: Sie Upacara a. Laporan Ketua Panitia b. Sambutan Rektor Universitas Udayana sekaligus membuka Semiloka 3 09.00 - 09.30 Istirahat (Kudapan) Sie Konsumsi 4 09.30 - 11.00 Pemaparan Keynote Speaker: Moderator a. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan

Hewan Provinsi Bali (Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS.)

b. Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

5 11.00 – 12.30 Seminar Paralel (Oral) Sie Sidang Persiapan Lokakarya Panitia Kecil 6 12.30 - 13.30 Istirahat dan Makan Siang Sie Konsumsi 7 13.30 – 15.00 Seminar Paralel (Oral - lanjutan) Sie Sidang Lokakarya Panitia Kecil 8 15.00 – 15.30 Istirahat (Kudapan) Sie Konsumsi 9 15.30 - 16.00 Penutupan Semiloka Nasional Sie Upacara (Pembantu Rektor I Universitas Udayana)

Page 303: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [295]

DAFTAR JADWAL PRESENTASI

KELOMPOK I

PRODUKSI TERNAK BABI

Tempat: R1

Sesi I: Pukul 11.00-12.30 Wita

Moderator: Prof. Dr. D. K. Harya Putra, MSc., Ph.D.

1 Performans Reproduksi Induk Babi Melalui Ovulasi Ganda Dengan PMSG

Dan hCG Sebelum Pengawinan

Mien Theodora Rossesthellinda Lapian

2 Peluang Dan Tantangan Pengembangan Ternak Babi Bali Di Kabupaten

Gianyar Provinsi Bali

I W. Suarna dan N. N. Suryani

3 The Utilization of Azollapinnata in Reducing Pollutants on A Pig Farm

Liquid Waste

Vonny R W Rawung dan Jeanette E M Soputan

4 Pengaruh Penambahan Probiotik Kering Pada Ransum Babi terhadap Daya

Simpan Daging dan Dampak Lingkungan sebagai Usaha Menuju

Peternakan Babi yang Berkelanjutan

Tirta A., I N., A. A. Oka, S. A. Lindawati, I Gd.Suarta, I Gede Suranjaya,

dan Md. Dewantari

5 Penggunaan Protexin untuk Menurunkan Angka Kematian Anak Babi

Sampai Disapih

Rachmawati WS dan Ni Luh Gde Sumardani

Sesi II: Pukul 13.30-15.00 Wita

Moderator: Prof. Ir. Sayang Yupardi, MSc.

1 Hubungan Antara Ukuran Testis dengan Volume Semen dan Konsentrasi

Spermatozoa pada Babi

Ruben Panggabean, Iis Arifiantini, WMM Nalley, dan Bondan Achmadi

2 Penentuan Waktu Optimal Pemeriksaan Integritas Membran Plasma Sperma

Babi Menggunakan Hypo-Osmotic Swelling (HOS) Test

IN Donny Artika, RI Arifiantini, TL Yusuf, dan WM Nalley

3 Pengaruh Pemberian Jenis Antibiotika terhadap Penampilan Anak Babi

Prasapih

Sriyani, N. L. P., Tirta, A., I N., I W. Sukanata, dan Md. Artiningsih R

4 Analisis Usahatani Penggemukan Ternak Babi dengan Pengaturan Ransum

Ida Ayu Parwati, N. Suyasa, dan L. G. Budiari

5 Studi Kebutuhan Babi untuk Warung Makan Babi Guling di Bali

Miwada, INS., IG. Mahendra, K. Budaarsa, dan Martini H

6 Pengaruh Bahan Pengencer Biologis Terhadap Kualitas Semen Babi

Hampshire

Suberata I W, Artiningsih NM, Sumardani NLG, Putra Wibawa AAP, A. T.

Umiarti

Page 304: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [296]

KELOMPOK II

NUTRISI TERNAK BABI

Tempat: R2

Sesi I: Pukul 11.00-12.30 Wita

Moderator: Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, MS.

1 Potensi Ampas Sagu sebagai Pakan Babi

Tabita N. Ralahalu

2 Pengaruh Penambahan Tepung Tanaman Bangun-bangun (Coleus

amboinicus Lour) dalam Ransum terhadap Penampilan Reproduksi Induk

Babi dan Anak Babi Menyusu

Pollung H. Siagian, Agik Suprayogi, dan Parsaoran Silalahi

3 Penampilan Ternak Babi yang Diberi Pakan Mengandung Tepung Bekicot

(Achatina fulica) sebagai Pengganti Tepung Ikan

Egedius, L. L.,K. Budaarsa, dan I G. Mahardika

4 Pengaruh Suplementasi Starbio dalam Pakan dengan 40% Dedak Padi

terhadap Penampilan Babi Landrace

I K. Sumadi,I M. Gede Wijaya, dan I. B. Sudana

Sesi II: Pukul 13.30-15.00 Wita

Moderator: Prof. Ir. Sayang Yupardi, MSc.

1 Penampilan Babi Landrace yang Diberikan Pakan Mengandung Enceng

Gondok

I Wayan Sudiastra, I Gd. Mahardika, K. Budaarsa, dan N. S. Dharmawan

2 Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Hotel dalam Ransum terhadap

Bobot Potong dan Komposisi Fisik Karkas Babi Persilangan (Babi Bali

Saddleback)

Tjok Gde Oka Susila, Tjok Istri Putri, dan Tjok Gede Belawa Yadnya

3 Distribusi Lemak Karkas Babi Persilangan Saddleback dengan Babi Bali

yang Diberi Ransum Tradisional dengan Suplementasi Rumput Laut

Ni W. Siti, Suci Sukmawati, Ni M., Ni G. K. Roni, Ni M. Witariadi, dan I N.

Ardika

Page 305: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [297]

KELOMPOK III

KESEHATAN TERNAK BABI

Tempat: R3

Sesi I: Pukul 11.00-12.30 Wita

Moderator: Prof. Dr. Drh. I Ketut Berata, MS.

1 Sistiserkosis Pada Babi Di Bali

Nyoman Sadra Dharmawan, Kadek Swastika, I Ketut Suardita, I Nengah

Kepeng, Yasuhito Sako, Munehiro Okamoto, Toni Wandra, dan Akira Ito

2 Daun Kelor (Moringa oleifera) sebagai Feed Suplemen untuk

Meningkatkan Daya Tahan Babi terhadap Infeksi Parasit Intestinal

Nyoman Adi Suratma, Hapsari Mahatmi, IBK Ardana dan I N Kertha

Besung

3 Babi Sebagai Hewan Model Harvesting Dan Implantasi STSG dengan

Aplikasi PRFM dan PRP

Mirta Hediyati Reksodiputro

4 Strategi Pencegahan Penyakit Infeksi pada Peternakan Babi

Ida Bagus Komang Ardana, Dewa Ketut Harya Putra, W. Sayang Yupardi,

Ni Luh Gede Sumardani, I G.A. Arta Putra, dan I Gede Suranjaya

5 Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Titer Hog Cholera pada Babi

I Nyoman Suartha, Rui Daniel de Carvalho, Nyoman Sadra Dharmawan

Sesi II: Pukul 13.30-15.00 Wita

Moderator: Ir. Antonius Wayan Puger, MS.

1 Pengujian Babi Menggunakan Morfologi Spermatozoa Pada Berbagai Breed

Pewarnaan Eosin-Nigrosin dan Carbofluchsin

Annisa Fithri Lubis, R Iis Arifiantini, WM Nalley, Bondan Achmadi

2 Diferensiasi Colibacillosis Pada Babi Berdasarkan Lesi Histopatologi (Studi

Retrospectif)

I Ketut Berata, I Made Kardena, dan Ida Bagus Oka Winaya

3 Peran Babi sebagai Reservoir Balantidium coli dalam Penyebab Disentri

Ida Ayu Pasti Apsari

4 Babi sebagai Hewan Pilihan untuk Hewan Coba

I Komang Wiarsa Sardjana

5 Introduksi Vaksin ETEC dalam Menurunkan Kejadian Diare Akibat

Enterotoxigenic Escherichia colipada Anak Babi

Nyoman Suyasa dan IAP. Parwati

Page 306: Prosiding - repositori.unud.ac.id · yang berjudul Kebijakan Pembangunan Peternakan Babi di Provinsi Balidan Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. (Fakultas Peternakan Universitas Udayana)

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Babi 2014 [298]