prosiding diskusi publik - huma isi layout_revisi final... · ruu : rancangan undang-undang ......

89

Upload: vuhanh

Post on 24-Feb-2018

232 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 2: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

PROSIDING DISKUSI PUBLIK

REFLEKSI PERJALANAN KEMBALINYA TAP MPR NO.IX TAHUN 2001 TENTANG

PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

JAKARTA, 27 DESEMBER 2011

Editor:Widiyanto

Siti Rakhma Mary

2012

Page 3: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

PROSIDING DISKUSI PUBLIK

Refleksi Perjalanan Kembalinya Tap MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Kontak untuk informasi lebih lanjut:

Perkumpulan HuMa

Jl. Jati Agung No. 8 Jatipadang-Pasar Minggu

Jakarta 12540, INDONESIA

Telp : +62 (21) 788 45871

Fax : +62 (21) 780 6959

Email : [email protected]; [email protected]

Editor:

Widiyanto

Siti Rakhma Mary

Penyandang Dana:

The Rights and Resources Initiative

Meskipun penerbitan buku ini didanai oleh the Rights and Resources Initiative,

isi menjadi tanggung jawab penerbit

Tata Letak dan Percetakan:

Rumah kEMASan

Email: [email protected]

ISBN: 9786028829281

Page 4: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang selanjutnya disebut dengan TAP MPR IX, telah kembali menjadi bagian dalam peraturan perundangan setelah disahkannya Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan.

Sehingga TAP MPR tersebut dapat dijadikan landasan peraturan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Maka penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria akan mudah tercapai dengan adanya kepastian dan perlindungan hukum.

Tumpang tindih peraturan di sektor pertanahan dan sumber daya alam menjadi salah satu sebab ”ruwetnya” sistim hukum terkait dengannya yang dapat berujung pada konflik. Inipula yang diakui oleh TAP MPR IX, maka perlu adanya identifikasi problematika kebijakan antar sector terlebih dahulu sebelum melaksanakan penataan baik agraria (landreform) atau sumber daya alam. Buku ini merupakan prosiding seminar sosialisasi untuk mendiskusikan kembali keberadaan TAP MPR/IX/2001 yang sangat penting tersebut.

Seminar diselenggarakan di Park Hotel, 27 Desember 2011 dengan menghadirkan pembicara Prof. Yuliandri dari Universitas Andalas, Budiman Sudjatmiko dari PDIPerjuangan, dan Noer Fauzi Rahman, alumnus Universitas Berkeley.

Diharapkan penerbitan prosiding ini mampu menyebarluaskan pemahaman hukum mengenai signifikansi TAP tersebut sebagai sebuah komitmen politik dalam pengelolaan agraria di masa yang akan datang.

Semoga bermanfaat.

[ ] pengantar

3

Page 5: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

TAP MPR : Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

UU : Undang-Undang

HMN : Hak Menguasai Negara

BPN : Badan Pertanahan Nasional

HKm : Hutan Kemasyarakatan

Orla : Orde Lama

RUU : Rancangan Undang-Undang

HuMa : Perkumpulan Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis

[ ] bibliografi

4

Page 6: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Pengantar 3

Bibliografi 4

Daftar Isi 5

Kata Sambutan 7

Kerangka Acuan 11Diskusi Publik Refleksi Perjalanan TAP No. IX/2001Kembalinya TAP MPR Kedalam Tata Urutan Perundang-undangan RIdan Konsekuensinya Terhadap TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Makalah I 17Keberadaan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 dengan Berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undanganOleh Yuliandri

Makalah II 27Birokrasi Agraria sebagai Pewujud Keadilan Sosial:Refleksi Perjalanan ”Reforma Agraria” 2005-2009Oleh Noer Fauzi Rachman, PhD

Makalah III 51Meluruskan Kembali Orientasi Kedaulatan Negara Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat Dalam Politik Legislasi Kita Oleh Budiman Sudjatmiko

Sesi Diskusi 63

Kesimpulan 79

Dokumentasi 83

Tentang HuMa 85

[ ] daftar isi

5

Page 7: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 8: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Para hadirin yang budiman,

Ada point penting yang terkandung dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ini, yakni pernyataan politik bangsa yang menyatakan bahwa Indonesia telah gagal mengelola sumber daya alam sehingga berbuah kerusakan lingkungan dan konflik. Untuk itu diperlukan satu langkah penting, perlu reformasi agraria dan sumber daya alam.

Tapi, kemudian TAP MPR ini tenggelam dalam konstilasi politik dan banyak sekali perdebatan. Tapi, dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2011 tentang Hirarki Perundangan, sepertinya ada titik cerah yang bisa lagi kita gunakan untuk bicara TAP ini.

Dalam posis i ini , HuMa dalam dua tahun mencoba mempertahankan TAP ini—paling tidak—secara substansi dibicarakan. Kita sudah bicara dengan DPD, karena waktu itu DPR tidak berpikir hal begini. Sepertinya, ini terlalu berat untuk DPR. DPD membuka pintu, menggulirkan berbagai diskusi yang melibatkan nama DPD. Sehingga, kita dapat peluang ketika TAP ini dicantumkan menjadi sumber hukum di Indonesia.

Dalam konteks itu, harusnya kita bisa mentransformasikan konflik yang muncul di media sebagai energi untuk mengimpelementasikan TAP ini untuk menyelesaikan persoalan-persoalan agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Kita tidak berharap konflik-konflik ini diselesaikan secara politis sebagaimana biasanya. Itu hanya menjadi energi ketegangan eksekutif dan legislatis. Kita ingin sesuatu yang lebih.

Sehingga, kita berharap kehadiran Pak Budiman di sini bisa mewacanakan ini di lingkungan legislatif. Diskusi ini mungkin diskusi awal yang harapannya ini bisa bergulir di masa depan. Dan, karena itulah diskusi ini dibuat. Mungkin bisa membuat sesuatu yang lebih baik di tahun depan. Dengan demikian, selamat diskusi.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

AndikoKoordinator Eksekutif HuMa

[ ] kata sambutan

7

Page 9: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 10: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

KERANGKA ACUAN

PROSIDING DISKUSI PUBLIKREFLEKSI PERJALANAN KEMBALINYA TAP MPR NO.IX TAHUN 2001

TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

JAKARTA, 27 DESEMBER 2011

Page 11: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 12: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Kerangka AcuanDiskusi Publik Refleksi Perjalanan TAP No. IX/2001

Kembalinya TAP MPR Kedalam Tata Urutan Perundang-undangan RI

dan Konsekuensinya Terhadap TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

[ ] kerangka acuan

Latar BelakangPada 2001, MPR melalui Sidang Tahunan pada tanggal 9 November 2001

menetapkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR ini adalah hasil dari perjuangan yang terus-menerus pasca dari para pegiat agraria yang menginginkan terlaksananya reforma agraria di Indonesia. Ia dianggap titik puncak produk peraturan perundangan dibawah Konstitusi, yang diharapkan dapat mendorong percepatan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Selain sebagai payung hukum pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, ketetapan MPR ini juga berarti sebuah konsensus nasional Bangsa Indonesia menuju perombakan struktur agraria yang timpang dan perbaikan pengelolaan sumber daya alam. MPR mengakui bahwa kebijakan dan praktik pemilikan, penguasaan, pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di Indonesia, khususnya selama masa Orde Baru menimbulkan degradasi lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya, menimbulkan berbagai konflik, serta adanya tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan agraria dengan sumber daya alam. Sebagai sebuah produk hukum, TAP MPR IX/2001 memberi arah yang jelas baik dari sisi paradigmatik maupun substantif mengenai kemana seharusnya politik hukum dan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ke depan.

Kedudukan TAP MPR IX/2001 dalam struktur peraturan perundang-undangan Indonesia secara tegas dinyatakan masih berlaku melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, dimana dalam salah satu klausulnya menyatakan bahwa TAP MPR

11

Page 13: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

IX/2001 masuk katagori TAP MPR yang masih tetap berlaku sampai terlaksananya semua ketentuan dalam ketetapan tersebut (pasal 4 poin 11). Tetapi TAP MPR menghilang dalam UU 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian, melalui UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR kembali ada dalam tata urutan perundang-undangan.

Selama ditetapkannya, TAP MPR ini belum pernah benar-benar dilaksanakan. Konflik agraria, sektoralisme, tumpang tindih perundang-undangan dibidang sumber daya alam, dan kebijakan yang pro kapital menghiasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Penempatan TAP MPR kembali kedalam tata urutan perundang-undangan membawa harapan baru bagi dilaksanakannya implementasi TAP MPR dimasa datang. Untuk mengetahui implementasi TAP MPR No. IX tahun 2001 dan konsekuensi penempatannya kembali dalam tata urutan perundangan RI, Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum dan Masyarakat Berbasis Ekologis (HuMa) akan mengadakan Diskusi Publik dengan tema: Kembalinya TAP MPR Kedalam Tata Urutan Perundang-undangan Republik Indonesia dan Konsekuensinya Terhadap TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Tujuan lMelakukan refleksi terhadap implementasi TAP MPR No. IX tahun 2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya AlamlMengetahui konsekuensi penempatan kembali TAP MPR dalam tata

urutan perundang-undangan terhadap TAP MPR No. IX tahun 2001

OutputlPublik mengetahui konsekuensi penempatan kembali TAP MPR dalam

tata urutan perundang-undangan terhadap TAP MPR No. IX tahun 2001lMemposisikan kembali TAP MPR No. IX Tahun 2001 sebagai mandat

pembaruan agraria dan pengelolaan SDA

Waktu dan tempatAcara ini akan diselenggarakan pada:Hari/tanggal : Selasa, 27 Desember 2011 Jam : 09.00 – 13.00 Tempat : Park Hotel, Jl. DI Pandjaitan kav 5 Jakarta Timur 13340. Telp (62-21) 29982000

12

Page 14: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

PembicaralProf Yuliandri (Universitas Andalas Padang)

Tema: Apakah lahirnya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-undangan membuat TAP MPR No. IX Tahun 2001 tetap berlaku?

lBudiman Sudjatmiko (DPR) Tema: Implementasi TAP MPR No. IX Tahun 2001 dalam Ranah

Legislasi

lNoer Fauzi Rachman, PhDTema: Refleksi Pembaruan Agraria Pasca Reformasi

Moderator: Asep Yunan Firdaus, S.H

Susunan Acara

13

Page 15: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 16: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

MAKALAH

PROSIDING DISKUSI PUBLIKREFLEKSI PERJALANAN KEMBALINYA TAP MPR NO.IX TAHUN 2001

TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

JAKARTA, 27 DESEMBER 2011

Page 17: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 18: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

A. PendahuluanPada 12 Agustus 2011, tanpa banyak gonjang-ganjing dalam diskursus

publik, telah disahkan dan diundangkan oleh Presiden dan Menteri Hukum dan HAM, berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004. Secara substansi UU No. 12 tahun 2011 disamping memuat perihal pembentukan peraturan perundang- undangan, juga mengatur tentang teknik penyusunan Naskah Akademik dari Rancangan Undang Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (dimuat dalam Lampiran I), dan juga memuat tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Perundangan (dimuat dalam Lampiran II).

Ada perubahan signifikan dalam UU No. 12 Tahun 2011, khususnya berkaitan dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), UU ini memasukkan kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang dalam UU No. 10 tahun 2004 telah dihilangkan. Di samping itu, berbagai jenis peraturan peraturan perundang-undangan di luar hierarki, yang sebelumnya dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 diletakkan dalam penjelasan, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 diletakkan dalam batang tubuh, yang secara hukum berkedudukan sebagai norma.

Berkaitan dengan pengaturan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, tentu akan berimplikasi dalam pemberlakuannya. Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan dikaji problematik tertib hukum pengaturan hierarki dari jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta kaitannya dengan keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/

Keberadaan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 dengan Berlakunya Undang Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang 1Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan

2Oleh Yuliandri

1. Makalah disampaikan dalam Diskusi Publik, dengan Tema: Penempatan Kembali TAP MPR ke dalam Tata Urutan Perundang- Perundangan dan Konsekuensinya terhadap TAP MPR Nomor IX Tahun 2011 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jakarta 27 Desember 2011.

2. Guru Besar Ilmu Perundang- undangan, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

17

Page 19: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumberdaya Alam (TAP MPR Nomor IX Tahun 2001).

B. Analisis terhadap UU Nomor 12 Tahun 20111. Alasan dan/atau Pertimbangan

Salah satu pertimbangan pembentukan UU Nomor 12 Tahun 2011 salah satu pertimbangannya bahwa UU Nomor 10 Tahun 2004 masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan

3perundang-undangan yang baik. Selanjutnya, dalam Penjelasan Umum UU No. 12 Tahun 2011, juga diintrodusir bahwa pembentukan UU No. 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan UU Nomor 10 Tahun 2004, antara lain: materi atas UU Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum. Dilihat secara teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten.

Menganalisa pertimbangan yang dijadikan alasan penggantian UU No. 10 Tahun 2004, secara normatif dapat dipahami. Tetapi dalam analisa lanjutan harus dilihat secara konfrehensif, apakah alasan yang diintrodusir tersebut, mengharuskan pilihannya pada penggantian sebagaimana yang telah dilakukan. Hal demikian berarti substansi UU No. 10 Tahun 2004 secara keseluruhan (kalau tidak dikatakan lebih dari 50%) mempunyai problem dalam menampung kebutuhan hukum masyarakat, sebagaimana yang dijadikan alasan penggantiannya. Karena, berbeda halnya dengan banyak undang-undang pada umumnya, dalam hal hanya penyempurnaan terhadap substansi yang sudah ada biasanya dilakukan dengan mekanisme perubahan, tidak dilakukan dengan penggantian.

2. Materi Muatan UU Nomor 12 Tahun 2011Sebagai penyempurnaan dari UU No. 10 Tahun 2004, terdapat materi

muatan baru yang ditambahkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, antara 4lain: Penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai

salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian juga diatur perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan

3. Konsiderans menimbang huruf c UU PPP 2011.4. Penjelasan Umum UU PPP 2011.

18

Page 20: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Selanjutnya, juga diatur mekanisme pembahasan rancangan undang-undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

Secara umum, UU No. 12 Tahun 2011 memuat materi-materi yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam pembentukan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga Negara serta pemerintah

5lainnya.Adanya materi muatan baru yang ditambahkan dalam UU Nomor 12

Tahun 2011 berkaitan dengan kedudukan hukum dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis hierarki peraturan perundang-undangan akan berimplikasi terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan lainnya, terutama dilihat dari penentuan materi muatan dari setiap jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dimaksud.

3. Problematika Tertib Hukum dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan Keberadaan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001.a. Hierarki Peraturan Perundang-undangan.UU No. 12 Tahun 2011 mengatur kembali tentang Jenis, Hierarki Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 Ayat (1). Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:- Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia;- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;- Undang- undang/Peraturan Pemerintah Penganti Undang- undang;- Peraturan Pemerintah;- Peraturan Presiden;- Peraturan Daerah Provinsi; dan- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

5. Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011.

19

Page 21: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan dari penentuan hierarki peraturan perundang-undangan dimaksud apabila dibandingkan dengan jenis dan hierarki yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, yakni: Pertama, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi bagian dari hirarki peraturan perudang- undangan; dan Kedua, memisahkan dalam hierarki yang berbeda antara Peraturan Daerah Propinsi dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ketiga, diakuinya keberadaan dari jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, yang sebelumnya hanya dicantumkan dalam penjelasan.

Perubahan hierarki demikian tentu berimplikasi pada penataan struktur peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan penentuan materi muatan peraturan perundang-undangan, serta berlakunya prinsip-prinsip dalam pemberlakuan hierarki. Secara jamak diketahui bahwa pengetahuan mengenai bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan sangat penting.

6Hal demikian disebabkan oleh: Pertama, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan atau dasar yuridis yang jelas; Kedua, Tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan. Hanya peraturan perundang-udangan yang sederajat atau lebih tinggi dapat dijadikan landasan pembentukan peraturan perundang-undangan; Ketiga, ada prinsip bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-undangan sederajat atau lebih rendah, dengan berbagai variasi prinsip lex posterior derogate priori dan lex specialis derogate lex generali¸serta lex superior derogat legi inferiori.

b. Kedudukan TAP MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan;Ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang

memasukkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis dan hierarki perundang-undangan, yang sebelumnya dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 telah dihilangkan, mendapat perhatian khusus dalam tulisan ini. Memang, penjelasan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) huruf b menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam

6. Bagir Manan, Dasar- dasar Perundang- undangan Indonesia, IND-HILL.CO, Jakarta, 1992, hal. 21-23.

20

Page 22: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Berkaitan dengan keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dijadikan sebagai sebagai salah satu jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat dikemukakan beberapa catatan. Pertama; pemaknaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku, harus dijadikan sebagai bagian dari hierarki dapat dikatakan tidak terlalu urgen, dan malah berlebihan. Tanpa menyebutkan sebagai bagian dari hierarki Peraturan Perundang-undangan pun, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dimaksud masih tetap diakui keberadaannya. Karena, berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Tambahan Undang Undang Dasar 1945 (Perubahan Keempat), Majelis Permusyawaratan Rakyat memang ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.

Kedua; UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, tidak menyebut secara tegas mengenai bentuk hukum yang disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Secara teori memang diakui bahwa kehadiran Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat didasarkan pada dua hal: 1. Adanya ketentuan-ketentuan yang sekaligus mengandung kekuasaan tersirat (implied power) diakui dalam setiap sistem UUD. 2.

7Kebutuhan praktek ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan. Praktek atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber Hukum Tata Negara dan terdapat pada setiap negara. Undang- Undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu, Undang Undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam

8praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.”Ketiga, karena UU No. 12 Tahun 2011 tidak hanya mengatur Undang-

Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya, tetapi juga menyebutkan kedudukan Undang Undang Dasar 1945 yang merupakan hukum dasar dalam perundang-undangan. Seyogyanya, UU No. 12 Tahun 2011 juga menjelaskan kedudukan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki, dan tidak hanya menunjuk status

7. ibid, hal. 32.8. ibid.

21

Page 23: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

dari beberapa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara yang masih berlaku untuk dijadikan alasan masuknya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai bagian dari hierarki Peraturan Perundang-undangan.

c. Kedudukan Peraturan perundang- undangan selain yang terdapat dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan.Ketentuan Pasal 8 Ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur

tentang pengakuan terhadap jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (1), dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jenis peraturan dimaksud mencakup: Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Pengakuan terhadap jenis Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011, diberikan batasan bahwa peraturan perundang-undangan dimaksud sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 8 Ayat (1) dan (2), dijelaskan bahwa; Peraturan Menteri yang dimaksud adalah peraturan yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Kemudian, yang dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Secara teori dapat dikemukakan bahwa kedudukan peraturan perundang-undangan selain yang terdapat dalam hierarki termasuk kategori peraturan yang bersifat delegasi. Delegasi merupakan pemberian, pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas tanggung jawab

9sendiri. Dalam hubungan itu, jika kekuasaan yang dilimpahkan atau didelegasikan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan (the power of rule-making atau law-making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi atau ”delegation of the rule- making power” tersebut, berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk

9. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang- Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 264.

22

Page 24: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

membentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya.Selanjutnya, ditambahkan bahwa pendelegasian kewenangan

pengaturan pengaturan itu baru dapat dilakukan dengan tiga alternatif 10 syarat, yaitu: Pertama, Adanya perintah yang tegas mengenai subyek

lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; Kedua, adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau Ketiga, adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari undang-undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa menyebutkan bentuk peraturan yang mendapat delegasi.

Berkaitan dengan kedudukan peraturan perundang-undangan selain yang terdapat dalam hierarki dapat dikemukakan beberapa catatan. Pertama, terminologi Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apakah penyebutan bentuk hukum ini, tidak potensial bermakna menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal terdapat pemikiran baru apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat membuat ketetapan untuk menjalankan kewenangan? Padahal dalam hierarki (Pasal 7 ayat 1 dan penjelasan), telah diberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah ”Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Kedua, menentukan tempat dalam hierarki. Beberapa peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, tidak dijelaskan secara tegas tempatnya dalam hierarki. Hal demikian akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan daya berlaku dan daya mengikat dari peraturan perundang-undangan dimaksud, bila dihubungkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1).

Ketiga, penentuan materi muatan. Tidak dapat dipungkiri, adakalanya materi muatan dari peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, potensial akan bertentangan

10. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang- Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 264.

23

Page 25: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

dan atau lebih luas mengatur materi muatan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1). Problem ini tidak diberikan solusi yang baik dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011. Kalau digunakan prinsip-prinsip hierarki sebagai solusi menjadi tidak bermakna karena materi muatannya memuat norma yang bertentangan (contra legem), serta terjadi ketidaksesuaian norma (praepria).

d. Kedudukan Asas Pembentukan dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan.

Pengaturan tentang asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, tidak berbeda dengan yang diatur sebelumnya oleh UU No. 10 Tahun 2004. Beberapa catatan dapat dikemukakan terhadap kedudukan asas pembentukan dan materi muatan. Pertama, penentuan asas secara limitatif dalam ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 akan menutup peluang dalam pengembangan asas-

11asas baru. Karena pada dasarnya asas senantiasa berkembang. Kedua, tidak ada ketegasan bagaimana menentukan, serta apa konsekuensi dalam hal suatu peraturan perundang-undangan tidak secara utuh memuat dan mencantumkan asas-asas pembentukan dan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, penentuan sifat asas-asas, apakah alternatif atau komulatif. Hal ini menjadi keharusan untuk ditentukan, karena belum tentu asas-asas yang ditentukan secara limitatif dimaksud dapat dijadikan pedoman sehingga tercermin dalam setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

e. Memperkuat Keberadaan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001Berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2011 dikaitkan dengan Keberadaan

TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, secara formal dapat dikatakan tentu “lebih” memperkuat keberadaan TAP MPR ini. Hal demikian berarti bahwa UU Nomor 12 Tahun 2011 memberikan dasar berlaku terhadap keberadaan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001. Karena, penjelasan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) huruf b menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

11. Lihat lebih lanjut dalam, Yuliandri, Asas- asas pembentukan Peraturan Perundang- undangan Yang Baik, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 208- 213.

24

Page 26: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003, dimana TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 termasuk di dalamnya.

Kedua, secara substansi UU Nomor 12 Tahun 2011 berkaitan dengan keberadaan TAP Nomor IX Tahun 2001 harus lebih dipertegas. Karena, musti ada pemaknaan yang dapat dijadikan pegangan bahwa apa yang diatur dalam TAP Nomor IX Tahun 2001 jangan kehilangan makna terhadap apa yang diatur dalam TAP Nomor 1 Tahun 2003. Dimana dalam Pasal 4 Angka 11 TAP MPR 1 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang dan terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut sebagaimana diatur Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pertanyaan substansial yang dapat dikemukakan adalah; undang-undang serta terlaksananya seluruh ketentuan mana yang dimaksud dalam TAP Nomor IX Tahun 2001? Hal ini menjadi titik krusial, apabila tidak batasan yang tegas untuk menguji substansinya, maka apa yang diatur

12dalam TAP Nomor IX Tahun 2001 akan menjadi kehilangan makna.

4. PenutupDemikian pokok- pokok pikiran tentang keberadaan TAP MPR Nomor IX

Tahun 2001 setelah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga dapat bermanfaat adanya demi untuk kedjajaan bangsa, sesuai dengan motto Universitas Andalas.

Jakarta, 27 Desember 2011.

12. Lihat Ketentuan Pasal 1 sampai dengan Pasal 6 TAP MPR Nomor IX Tahun 2001.

25

Page 27: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 28: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Selama rentang waktu 2009-2011 buku karya Mochammad Tauhid berjudul Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia jilid 1 dan 2 telah diterbitkan kembali oleh tiga penerbit berbeda-beda. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Tjakrawala Jakarta pada 1952-1953an. Penerbit Pewarta Yogyakarta menerbitkan lagi pada 2009, kemudian Sekolah Tinggi Pertanahan (STPN) Yogyakarta pada 2010, dan Bina Desa Sadar Jiwa Jakarta pada 2011. Penerbitan kembali buku ini oleh tiga penerbit berlainan dan dalam rentang waktu yang hampir bersamaan menunjukkan betapa pentingnya buku ini, terutama bagi kalangan penstudi sejarah agraria Indonesia. Bagi saya secara pribadi, buku ini memiliki makna penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ia sumber inspirasi perjuangan pengembangan kebijakan agraria yang memihak kepentingan petani.

Buku Mochammad Tauhid mengandung detail-detil yang mengagumkan mengenai masalah agraria, kebijakan agraria dan hubungan keduanya semenjak masa kerajaan, masa kolonial hingga awal masa kemerdekaan, saat buku ini

Birokrasi Agraria sebagai Pewujud Keadilan Sosial:

Refleksi Perjalanan ”Reforma Agraria” 2005-2009

Oleh Noer Fauzi Rachman, PhD*)

Sebagian orang hidup di dalam kegelapan; Segelintir saja yang hidup di tempat yang terang;

dan mereka yang hidup di kegelapan tetap tak terlihat.2(Bertold Brecht, Threepenny Opera)

1

1. Pada mulanya, naskah ini adalah “epilog” yang dimuat sebagai Epilog dalam Muhamad Tauhid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

*) Noer Fauzi Rachman adalah Dosen di Fakultas Ekologi Manusia, Institute Pertanian Bogor (IPB), dan Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria. Ia memperoleh PhD dari Department of Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California, Berkeley.

2. Sangat menarik Wertheim (1984) menggunakan petikan puisi ini untuk menunjukkan tak dapat terlihatnya hidup dan perjuangan hidup buruh tani dan petani yang tidak bertanah sebagai lapis terendah dalam struktur agraria di pedesaan Jawa. Kenyataan ini diabaikan dan tidak-mau-dilihat oleh golongan yang elite terdidik dan pengambil kebijakan di pemerintahan. Buku Wertheim ini telah diterjemahkan oleh Herwinarko ke dalam bahasa Indonesia (Wertheim 2009).

27

Page 29: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

ditulis awal tahun 1950-an. Buku ini merupakan sumber bacaan tentang seorang guru dari generasi pejuang kemerdekaan Indonesia yang memikirkan nasib petani di negeri yang baru merdeka dari kolonialisme. Muchammad Muchammad atau Mochammad? Tauhid merajutnya dengan aspirasi kerakyatan dan kebangsaan. Kedua aspirasi ini dibayangkannya sedemikian rupa sehingga dapat bertemu dalam upaya Negara Republik Indonesia memecahkan ”masalah agraria” yang sesungguhnya merupakan ”masalah penghidupan dan kemakmuran rakjat Indonesia”. Saya menyimpulkan bahwa informasi yang sangat kaya dan aspirasi kerakyatan dan kebangsaan inilah yang membuat buku masalah agraria ini berumur melebihi umur hidup penulisnya.

Sikap dasar yang ditunjukkan oleh Tauhid adalah menolak melanjutkan warisan-warisan feodal dan kolonial yang repotnya bukan hanya berupa politik agraria, tapi praktek dalam hubungan-hubungan agraria yang sudah mengendap demikian lama, terutama menyangkut kepemilikan tanah dan hubungan sosial produksi yang sifatnya material. Sebagai guru, Tauhid memilih jalan menunjukkan secara detil bagaimana politik agraria pemerintahan kolonial disusun dan dijalankan sedemikian rupa sehingga menyengsarakan rakyat petani, dan menyediakan kekayaan dan kejayaan bagi para pengusaha kapitalis dan penguasa kolonial. Kesadaran demikian inilah yang membuat Tauhid mengarahkan anjuran-anjurannya para perubahan politik agraria di satu pihak, dan upaya-upaya membangkitkan rakyat petani membangun kesadaran kritis dan kekuatan di pihak lain.

Saya menafsirkan apa yang dilakukan Tauhid adalah upaya mendekatkan negara yang baru merdeka ini dengan rakyat petani yang sengsara. Ini adalah perjuangan menjadikan petani sebagai warga negara yang berhak atas layanan terbaik berupa perlindungan dan pemberdayaan dari penguasa pemerintahan, dan perjuangan kewarganegaraan ini bergantung pada arah dan hasil dari pertarungan kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja dalam perubahan politik agraria dan dalam pembangunan kesadaran krtitis dan kekuatan rakyat itu.

Naskah ini mengajak pembaca untuk memikirkan bagaimana cara menjadikan pemerintah (khususnya birokrasi agraria) sebagai kekuatan sosial yang mengurus perwujudan keadilan sosial bagi petani miskin di pedesaan dan pedalaman. Meskipun dapat dimengeri dengan sederhana, menjadikan ”Pemerintah” sebagai ”Pengurus” sama sekali bukan perkara mudah. Kebiasaan memerintah telah menyatu dalam kedudukannya, dan sudah diterima sebagai sesuatu yang alamiah. Kata ”pemerintah” berasal dari kata dasar ”perintah” yang diberi imbuhan ”em” sehingga menjadi ”p-em-erintah”, alias pemberi perintah. Hendro Sangkoyo (2001:1) pernah menulis dengan gamblang sebagai berikut:

”Pemerintahan” sebagai mitos yang harus diterima sebagai ketentuan

28

Page 30: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

bagi rakyat, yang nyaris diterima begitu saja dan dianggap bersifat alami. Dalam mitos yang sekarang masih melekat sebagai wacana publik itu, pemerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang bagaimana mengelola sumber-sumber alam, orang, barang, dan uang, dengan para pengelola negara sebagai pemain panggungnya, dan rakyat sebagai pengamat dan pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat, paling jauh, adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan. Ajakan pembaruan cara dan agenda pemerintahan dengan demikian bersifat mudah-mudahan, penuh harap pada para pengelola negara yang baru serta pada ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor nyaring dari bawah panggung tentang reformasi, yang tetap takzim pada akar kata itu: perintah.

Pengurusan merupakan suatu konsep tandingan yang sangat akrab bagi penutur bahasa Indonesia, dan mengacu pada konsep pokok yang lebih jitu: urus. Setelah sejarah membuktikan kegagalan dari pengelolaan perubahan tanpa-rakyat selama tiga puluh tahun, penggantian orang, perombakan dekorasi panggung dan atau skenario baru saja mengandung resiko kegagalan yang sama, selama rakyat sendiri tidak aktif dan tidak bersungguh-sungguh mengurus apa yang menjadi persyaratan kehidupannya.

Menjadikan 'pemerintah' sebagai pengurus terwujudnya keadilan sosial bagi petani di pedesaan dan pedalaman merupakan sisi lain dari perjuangan kewarganegaraan petani. Istilah kewarganegaraan disini sengaja dimunculkan bukan sama sekali dalam kerangka administrasi keimigrasian yang sempit itu, akan tetapi secara luas sebagai subjek yang memiliki kesadaran kritis dan kekuatan mengubah nasibnya, termasuk dalam menyadari hak-hak konstitusional dirinya sebagai warganegara dengan ciri-ciri yang khusus, yakni mayoritas penduduk pedesaan penghasil utama bahan makanan dan bahan baku industri, dan tenaga kerja di bidang pertanian dan non-pertanian. Bukan sebaliknya, meneruskan perjalanan petani sebagai objek eksploitasi, penindasan dan penaklukan, seperti yang secara gamblang telah ditunjukkan buku Masalah Agraria (Tauhid 1952, 1953) dan buku Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Fauzi 1999).

Muara dari tulisan ini adalah suatu undangan untuk terus menghidupkan cita-cita keadilan sosial yang menjadi tujuan pendirian Negara Republik Indonesia, dan bukan meneruskan kebiasaan memperlakukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kolonial yang hidup di masa paskakolonial.

Kemiskinan agraria sebagai akibatSepuluh tahun yang lalu, saya membuat suatu buku Petani dan Penguasa, Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasama

29

Page 31: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

dengan Insist Press, 1999) yang menelaah bagaimana masalah agraria diatur oleh penguasa negara dari waktu-ke-waktu semenjak jaman feodalisme, kolonialisme, awal masa kemerdekaan, masa pelaksanaan UUPA 1960, Orde Baru hingga masa Indonesia di awal masa Reformasi. Melalui buku itu saya menunjukkan pengaruh masing-masing politik agraria dalam hubungannya dengan cara tanah diakumulasikan menjadi modal dalam produksi kapitalistik, yang mengakibatkan hilangnya akses petani atas tanah sebagai sumber utama hidup maupun habitatnya. Secara khusus saya menelaah dan merenungkan bagaimana nasib dan tanggapan petani atas politik agraria yang secara struktural mempengaruhi aksesnya atas tanah yang menjadi sandaran kelanjutan hidupnya. Sejak 1995, bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), penulis mempromosikan pembaruan agraria (Bahasa Spanyol: Reforma Agraria) yang berlandaskan pada fungsi sosial atas tanah dan pembatasan penguasaan tanah dan kekayaan alam – sebagaimana telah diletakkan fondasinya dalam UUPA 1960 (lihat Bachriadi et al 1997, Wiradi 2001, Fauzi 2001).

Dua jilid buku Muhammad Tauhid itu telah menjadi sumber informasi dan aspirasi yang memungkinkan penulis membuat buku Petani dan Penguasa yang

3terbit tepat setahun setelah rejim otoritarian Soeharto jatuh. Lebih dari sekedar sebagai sumber informasi, buku Mochammad Tauhid itu telah memberi inspirasi yang menyakinkan saya bahwa seorang pendidik otodidak dapat menghasilkan buku yang bermutu dan berpengaruh.

Di akhir tahun 1980an penulis mulai menggunakan buku Mochammad Tauhid ini sebagai sumber untuk membuat bahan-bahan pendidikan petani

4maupun ”pendamping petani” untuk memahami asal-usul dari kemiskinan agraris, khususnya adalah pengalaman yang pahit (pahit sekali!) dari kaum petani korban perampasan tanah. Dari padanyaPadanya yang dimaksud itu petani atau buku Tauhid? kami belajar bahwa sebab-sebab kemiskinan agraris itu ternyata berpangkal pada politik agraria, yang ternyata memiliki sejarah yang panjang, melebihi panjangnya umur Republik Indonesia.

Apa yang mau dicapai dengan pendidikan itu adalah suatu pendekatan memahami kemiskinan bukan sebagai kondisi yang diterima begitu saja, melainkan sebagai suatu akibat dari pertarungan berbagai kekuatan yang berada

5di dalam maupun di luar dari pengalaman hidup petani. Memahami kemiskinan sebagai akibat, akan membimbing kita pada upaya menelusuri

3. Pembuatan buku Petani dan Penguasa dimulai sepuluh tahun sebelum diterbitkan. Bagian-per-bagian maupun keseluruhannya telah terlebih dahulu dipakai dalam acara-cara pendidikan pemimpin petani maupun aktivis di berbagai tempat, khususnya ketika penulis aktif di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pedesaan (LPPP) 1990-1994 dan selama dua periode kepemimpinan Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-1998; 1999-2002.

4. Begitulah generasi penulis di akhir tahun 1980-an/1990-an menyebut para aktivis yang membantu petani dalam kegiatan pendidikan, kampanye maupun advokasi kasus.

5. Baru-baru ini pembedaan antar memperlakukan “kemiskinan sebagai kondisi” dan “kemiskinan sebagai akibat” dikemukakan oleh David Mosse (2007), seorang antropolog kritis dari School of African and Oriental Studies (SOAS), University of London.

30

Page 32: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

rantai penjelas dari kemiskinan dan kesengsaraan rakyat hingga menemukan sebab-sebab yang mengakarinya atau mendasarinya. Penulis mempelajari cara memahami kemiskinan agraris dan kesengsaraan petani sebagai akibat dari buku Muchammad Tauhid. Dalam ”Kata Pengantar” buku Masalah Agraria jilid 1, ia menulis bahwa:

”rakyat langsung merasakan akibat politik agraria kolonial Belanda berupa kemiskinan dan kesengsaraannya … buku ini bukan sekedar kupasan tentang politik yang terdapat dalam Hukum Agraria Pemerintah Hindia Belanda, bagaimana prakteknya dengan segala akibatnya. Juga hak-hak tanah menurut hukum adat dengan segala peraturan yang mengikutinya. … (A)gar dalam usaha kita menyelesaikan soal ini mempunyai gambaran, mengetahui pangkal yang menimbulkan keadaan semacam ini.” (huruf miring dari penulis, NF)

Yang juga istimewa dari karya Muhammad Tauhid ini adalah tarikan rentang waktu yang panjang untuk menjelaskan sebab-sebab struktural dan politik agraria dari kemiskinan agraria yang kronis. Dalam bab demi bab bukunya itu kita bisa lihat mulai dari retrospeksinya pada ”Kekuasaan Raja-raja atas Tanah” yang kemudian berinteraksi dengan kekuatan perusahan transnasional-kolonial Kompeni (VOC, Vereenigde Oost-Indische Compagnie, secara literal berarti Perusahaan India Timur Bersatu). Pada gilirannya Belanda membentuk pemerintahan wilayah jajahan tersendiri yang memiliki politik agraria yang menjadi sebab dari kemiskinan rakyat yang meluas. Lebih dari itu, kita diajak menjelajah pada detil-detil bagaimana politik agraria kolonial itu diterapkan dan berinteraksi dengan keragaman kehidupan rakyat dalam ruang geografis yang berbeda-beda, khususnya pada cara rakyat mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya.

Yang paling mempesona adalah kemampuannya menunjukkan bagaimana akibat-akibat kesemua itu pada penguasaan luas tanah-tanah, produksi pertanian, dan kesejahteraan rakyat tani dalam Bab VI ”Akibat Politik Agraria Kolonial serta Ikatan-ikatan Adat Bagi Penghidupan dan Kemakmuran bagi Rakyat Indonesia.” Bagian ini adalah naskah yang mempermudah seorang pemula untuk memahami bagaimana terbentuknya struktur agraria yang timpang dan tidak adil itu.

Dalam bagian Bab VIII, di awal sebelum ia mengemukakan pemikiran mengenai dasar-dasar hukum dan politik agraria di masa datang, ia terlebih dahulu menyarikan pangkal dari kesulitan untuk memakmurkan rakyat petani di Indonesia di awal masa kemerdekaan itu. Pangkal itu adalah: (h)ukum Agraria yang kita pusakai sekarang, pokoknya bertujuan: menjamin kepentingan modal besar partikelir di atas kepentingan Rakyat Indonesia sendiri, dengan

31

Page 33: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

memberikan hak-hak istemewa kepada orang asing akan tanah, di balik itu mengabaikan hak rakyat. Kecuali itu terdapat macam-macam hak tanah menurut adat yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Keadaan semacam ini tidak sepantasnya ada dalam negara yang akan menjamin kemakmuran bagi Rakyat. (1953:51).

Menelusuri pangkal persoalan kemiskinan dan penderitaan rakyat akan 6menghindarkan diri dari sikap menyalahkan korban: Sudah menjadi korban,

dipersalahkan pula. Di lain pihak, juga menghindarkan diri dari sikap mengasihani korban. Sebaliknya mengakui keutamaan dari korban sebagai pelaku utama dari perubahan nasib mereka sendiri, sambil terus tetap menyadari kompleksitas dari rantai penyebab penderitaan mereka. Tauhid menunjukkan keutamaan dari organisasi tani. Menurutnya:

”Organisasi tani merupakan lapangan Tani menyusun kekuatan. Sebagai alat perjuangannya, untuk membebaskan dirinya dari penindasan politik, ekonomi dan sosial. Di sana belajar menambah kecerdasan otak dan jiwanya, dan dengan kesadarannya nanti membongkar segala pokok dan alat yang menjadi sumber kemiskinan dan kesengsaraan, untuk

7memperbaiki hidupnya” (Tauhid 1953:175).

Dari Birokrasi Negara Budiman ke Birokrasi Pemburu Rente Dengan membaca secara seksama naskah buku Masalah Agraria, pembaca akan dapat menemukan endapan dari gelora kebangsaan yang revolusioner untuk mendayagunakan kekuasaan negara untuk mengubah politik agraria dan hubungan-hubungan sosial agraria warisan-warisan kolonialisme dan feodalisme. Hal ini memang merupakan zeitgeist, semangat zaman, pada waktu itu yang dihayati oleh elite terdidik zaman revolusi. Kesenjangan yang kontras antara kemiskinan dan kesengsaraan petani dengan kekayaan dan kejayaan elite kolonial merupakan sebagian kondisi yang ikut membentuk semangat revolusioner itu. Kondisi kemiskinan agraria dan kesengsaraan petani yang disebabkan oleh cara pemerintahan kolonial membentuk dan menjalankan politik agraria, termasuk cara mereka menggunakan cara penguasaan tidak langsung (indirect rule) dengan menggunakan elite-elite feodal, benar-benar telah mempengaruhi pemikiran para pemimpin pejuang kemerdekaan di banyak negara jajahan.

6. Paulo Freire, pemikir pendidikan di abad 20 yang berasal dari Brazil, mengemukakan bahwa sikap menyalahkan korban ini dan mengasihani korban menjadi hambatan utama bagi pembebasan kaum tertindas dari hubungan penindasan yang melingkupi dan membentuk korban. Baca: Paulo Freire (1972) Pedagogy of the Oppressed, Penguin Books; Paulo Freire (1973). Education for Critical Consciousness. New York: Seabury. Kedua buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, masing-masing dalam Freire (1985, 1984).

7. Ia mempersembahkan bukunya ini untuk ”Saudara-saudaraku: Tani Indonesia, Pradjurit tak dikenal orang” disertai dengan harapan ”(d)itengah-tengah kegelapan, terbayang sinar bahagia.” Tauhid juga membuat buku-buku saku tipis Seri Agraria (lima jilid). Agraria, diterbitkan oleh Sekretariat Pimpinan Pusat Gerakan Tani Indonesia, Bogor, tanpa tahun. Buku ini merupakan penulisan ulang dari bab-bab buku Masalah Agraria.

32

Page 34: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Pada saatnya, ketetapan ”untuk membentuk pemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia … dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat

8Indonesia” telah mendasari ”perjuangan perombakan hukum agraria nasional (yang) berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa melepaskan diri dari cengkaraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah

9dan pemerasan kaum modal asing.” Tak heran bila seorang peneliti agraria ternama tahun 1960-an, Eric Jacoby dalam buku klasiknya Agrarian Unrest in Southeast Asia (1961) mengemukakan bahwa ”… dapat dinyatakan dengan jelas bahwa sesungguhnya struktur agraria yang bersifat merusaklah yang memberi jalan bagi gagasan kebangsaan, dan perjuangan-perjuangan politik (selanjutnya) dikuatkan oleh

10identitas rasa perjuangan kemerdekaan melalui perjuangan tanah” (Jacoby 1961:50). Lebih jauh, ”… pemecahan masalah tanah merupakan suatu syarat untuk perwujudan yang sempurna dari aspirasi-aspirasi kebangsaan negeri-negeri Asia Tenggara; dan bahwa hal itu, untuk sebagian besar, merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan

11reorganisasi masyarakat yang berhasil” (Jacoby 1961:253).UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria telah

mendasarkan diri pada konsepsi politik hukum Hak Menguasai dari Negara (HMN). Dalam buku Petani dan Penguasa saya berpendapat bahwa sifat negara budiman inilah yang mendasari konsepsi HMN itu. Berbagai pemikir dan pemikiran agraria di awal masa kemerdekaan tidak pernah membayangkan bahwa pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan HMN itu akan mengkhianati sifat budiman yang telah dilekatkan dalam kewenangan yang besar (besar sekali!) itu (Fauzi and Bachriadi 1998).

Namun mereka salah terka. Praktek dari rejim penguasa negara Orde Baru memaksimalisasi peran negara sebagai alat pembangunan kapitalisme. Kewenangan yang digenggam pemerintah pusat melalui konsep HMN itu berakibat bencana bagi rakyat petani yang menjadi korban perampasan tanah. UUPA tidak ditempatkan sebagai induk perundang-undangan agraria. Masing-

8. Kalimat dalam Pembukaan UUD 1945. 9. Pidato Pengantar Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo) di dalam sidang DPR-GR tanggal 12 September 1960 (dimuat

dalam Harsono, 1994:53).10.Kalimat aslinya, ”… it can be asserted that it was the defective agrarian structure which paved the way for the

national idea, and political developments have confirmed the emotional identity of the fight for freedom with the cry for land” (Jacoby 1961:50). Secara berbeda-beda, di awal masa kemerdekaannya banyak elit negara yang baru merdeka, benar-benar dipengaruhi oleh naskah resmi badan Persatuan Bangsa-Bangsa, FAO (Food and Agricultural Organization) Land Reform - Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic Development yang diterbitkan pada 1951.

11. Bahasa Inggris aslinya ”… the solution of the land problem is a pre-requisite for the full realization of the national aspirations of the countries of Southeast Asia and that, to a large extent, is the key to economic development and a sound re-organization of society” (Jacoby 1961:253).

33

Page 35: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

masing sektor diatur oleh perundang-undangan tersendiri, misalnya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. HMN yang telah disektoralisasi menjadi sumber kewenangan yang luar biasa bagi rejim penguasa, dengan menyingkirkan sifat budiman yang dulu telah dilekatkan padanya. Kita menyaksikan tak henti-hentinya bagaimana perampasan tanah itu dibenarkan melalui proses yang saya istilahkan negaraisasi tanah-tanah rakyat, yakni tanah rakyat dimasukkan dalam kategori sebagai ”tanah negara”, lalu atas dasar definisi ”tanah negara” itu, pemerintah pusat—baik Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, maupun Departemen Pertambangan—memberi hak-hak baru untuk badan-badan usaha produksi maupun konservasi (Fauzi dan Bachriadi 1998). Jadi sebagian badan-badan usaha produksi dan konservasi raksasa itu berdiri di atas proses penyingkiran rakyat petani dari tanah dan sumber daya alam yang menjadi sandaran keberlangsungan hidupnya.

Dalam posisi negara Orde Baru yang sangat birokratik dan otoritarian, seperti banyak dianalisis oleh ilmuwan sosial Indonesia tahun 1980an dan

121990an (misalnya Bulkin 1984a, 1984b, Mas'oed 1989, Budiman 1991),pengadaan tanah untuk usaha produksi pertambangan, kehutanan, perkebunan, perumahan, maupun kawasan industri memberikan kemungkinan luas bagi para birokrat pemburu rente untuk berkiprah (cf. Tornquist 1990). Maksudnya, suatu kewenangan untuk membuat keputusan publik tertentu dari suatu pejabat birokrasi dikeluarkan sebagai layanan terhadap perusahaan-perusahan kapitalis di satu pihak, tapi juga di lain pihak merupakan cara untuk memperoleh pemasukan yang besar untuk birokrasinya berupa pajak maupun non-pajak, dan juga pemasukan bagi para pejabatnya sendiri berupa korupsi terselubung maupun terbuka.

Prosedur yang rumit (dan yang diperumit) menjadi arena sekaligus kekuasaan yang dapat diandalkan para birokrat pemburu rente untuk menghadapi para pelaku bisnis yang menjadi sasarannya. Para birokrat pemburu rente senantiasa tahu, bila perlu memonopoli informasi dan kewenangan dalam menjalankan prosedur-prosedur itu.. Misalnya saja Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat surat keputusan Izin Lokasi untuk proyek-proyek kawasan industri atau kawasan perumahan real estate tertentu. Birokrasi yang bersifat pemburu rente juga bersifat otoritarian karena keputusannya tidak ada yang bisa melakukan kontrol administrasi maupun kontrol publik atas kemungkinan penyalahgunaannya. Birokrasi itu bersekongkol dengan pemodal asing dan domestik menggerogoti kekayaan

12. Untuk kajian teori-teori negara paska kolonial secara ringkas, lihat: Budiman (1996) dan Hadiz (1999).

34

Page 36: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

publik. Sifat lain dari birokrasi pemburu rente adalah predatoris. Proyek pembukaan hutan tropis dan pembalakan kayu secara besar-besaran dengan hak-hak pengusahaan hutan, atau pemberian konsesi pertambangan merupakan contoh yang gamblang. Sifat predatoris itu bisa juga dilakukan atas anggaran negara, seperti terang-benderang terjadi dalam skandal pembukaan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah-Kalimantan Selatan.

Birokasi otoritarian-rente itu tetap memerlukan justifikasi dari suatu ide besar mengenai pembangunan. Maksudnya, mereka tetap saja berperan sebagai birokrasi pembangunan yang mengaku mengabdikan diri pada tujuan-tujuan the greatest good for the greatest number of people, suatu paham utilitarianisme. Mereka menjadi alat teknokratik dari kekuatan ekonomi-politik yang mendominasi negara dan masyarakat. Mereka memerlukan justifikasi atas perbuatan maupun akibat negatif yang ditimbulkannya. Segala korban dapat dibenarkan asal demi Pembangunan. Pembangunan menjadi ideologi yang membenarkan korban yang bergelimpangan. Pembangunanisme berusaha menyediakan justifikasi dan menghindarkan mereka dari rasa bersalah.

Pada masa Indonesia di bawah rejim Orde Baru, birokrasi otoritarian pemburu rente semacam inilah yang ikut andil memasukkan tanah-tanah rakyat dan kekayaan publik lainnya secara paksa ke dalam sirkuit produksi kapitalis yang dimiliki perusahaan-perusahaan raksasa nasional maupun transnasional, dan pada gilirannya memberi jalan bagi akumulasi kekayaan elite oligarki yang mendominasi ekonomi politik Indonesia.

Menurut penelitian dari Robison and Hadiz (2004), Hadiz dan Robinson (2005) dan Hadiz (2001, 2004a, 2004b, 2006) dan Winter (2011:139-192) kebanyakan oligark Indonesia ini berhasil melewati badai krisis finansial dan perubahan politik di masa transisi demokrasi (1998-1999), bahkan kemudian dapat bekerja lebih baik lagi dalam tatanan politik yang demokratis. Mereka telah berhasil membentuk kembali diri mereka menjadi aktor-aktor demokratik melalui partai-partai politik dan parlemen yang mereka mainkan. Dengan demikian lembaga-lembaga demokrasi itu telah dipakai dan dibajak oleh oligarki lama yang merupakan eksponen utama dari rejim yang terdahulu.

Ketika kebijakan desentralisasi diterapkan mulai tahun 2001, merekapun berhasil menyesuaikan diri dan memanfaatkannya dengan mendesentra-lisasikan pula kekuatan oligarkiknya dan membangun jaring-jaring baru dengan kekuatan lokal, termasuk pula dengan para ”bandit-bandit dan preman politik dalam kepemimpinan partai-partai, parlemen-parlemen dan lembaga-lembaga

13eksekutif yang kesemuanya mengendalikan agenda desentralisasi”. Dalam

13. Hadiz mengistilahkannya sebagai ”newly decentralized, predatory networks of patronage” (Hadiz 2004a:699).

35

Page 37: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

masa desentralisasi yang berlangsung sejak tahun 2000, kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan ijin lokasi, pengusahaan hutan skala kecil, dan konsesi eksplotasi tambang batu bara skala kecil, telah membuat para pemburu rente tidak lagi hanya terpusat di pemerintah pusat, melainkan begitu meluas di tingkat pemerintahan daerah.

Pada November 2001 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Ketetapan No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dengan mana Presiden Indonesia dan DPR diberi mandat untuk melaksanakan seperangkat arah kebijakan pembaruan agraria dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam (lihat Tabel 1).

Tabel 1Perbandingan arah kebijakan untuk pembaruan agraria dan arah kebijakan

pengelolaan sumber daya alam (PSDA) sebagaimana tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/2001

36

Page 38: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

TAP MPR RI No. IX/2001 ini mendefinisikan pembaruan agraria sebagai suatu proses yang berkesinambungan yang berkaitan dengan penataan kembali penguasaan, penggunaan, kepemilikan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang dilaksanakan untuk mencapai kepastian hukum dan perlindungan serta keadilan dan kemakmuran bagi semua rakyat Indonesia (Pasal 2), dan

14 membedakannya dengan pengelolaan sumber daya alam.TAP MPR RI tersebut, yang berlaku sejak tahun 2001, adalah fenomenal

(Rosser et al 2005). Setelah lebih dari dua dekade aktivisme, pemerintah Indonesia mengagendakan ”land reform”, bersama dengan agenda ”pengelolaan sumber daya alam”. Dua perangkat arah kebijakan yang tumpang tindih dalam TAP MPR RI ini mencerminkan ketegangan tak terselesaikan antara ”pembaruan agraria” dan ”pengelolaan sumber daya alam”, yang tidak hanya dalam hal isi, tetapi juga kekuatan-kekuatan sosial dalam negara dan di antara kelompok masyarakat sipil yang mempromosikan setiap perangkat arah kebijakan.

Di kalangan aktivis agraria berkembang debat yang berpusat pada apakah ketetapan ini bermanfaat atau berbahaya bagi kemajuan gerakan sosial. Pemimpin KPA memandang bahwa TAP MPR ini dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong pemerintah untuk memprogramkan land reform. Pada saat yang sama, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) memandang Ketetapan itu sebagai keputusan berbahaya, pintu masuk potensial untuk agenda neo-liberal dan imperialis melalui ”prinsip-prinsip baru pengelolaan sumber daya alam”, dengan implikasi yang berpotensi negatif dalam membatalkan UUPA 1960 – yang sampai sekarang adalah satu-datunya dasar hukum untuk menjalankan

15land reform.Umumnya para pengusung tema ”pengelolaan sumber daya alam”

menyambut dengan antusias TAP MPR tersebut. Di bawah kepemimpinan Kelompok Kerja Pengelolaan Sumberdaya Alam (Pokja PSDA), TAP MPR tersebut mengintensifkan pekerjaan mereka bersama-sama dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk merancang Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mereka klaim sebagai ”payung hukum” yang menyiratkan sebuah kebutuhan untuk merevisi semua hukum yang berhubungan dengan sumber daya alam, termasuk UUPA 1960. Namun inisiatif ini kandas karena Departemen Kehutanan dan Departemen Pertambangan dan Energi ragu-ragu untuk berpartisipasi dalam penyusunan, dan pada gilirannya mereka memblokir otorisasi dari draft tersebut untuk

14. Ketetapan Nomor IX tidak memberikan definisi pengelolaan sumber daya alam kecuali pernyataan umum dan samar-samar bahwa "(P)engelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan" (pasal 3).

15. Untuk debat lebih detil lihat: Fauzi 2001, Bey, 2002; 2003; Bachriadi, 2002; lihat juga Bey 2004, Setiawan 2004, Ya'kub, 2004.

37

Page 39: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

diproses menjadi draft pemerintah (Suwarno 2003, 2006).Selain itu TAP MPR RI tersebut menempuh proses kebijakan yang

berbeda dalam dua lembaga negara lainnya, yaitu BPN, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nasional. Interaksi antara para pejabat tinggi BPN dan aktivis agraria menjadi lebih mudah karena Maria Sumardjono – profesor hukum tanah dari Universitas Gajah Mada yang memimpin Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA) bersama-sama para aktivis dan akademisi lain untuk mempromosikan TAP MPR RI tentang pembaruan Agraria – diangkat oleh Presiden Megawati sebagai Wakil Kepala BPN. Dengan posisi barunya ini, dan sebagai orang yang sangat terlibat dalam pembuatan Ketetapan MPR, Sumardjono memiliki posisi untuk menggerakkan kewenangan BPN melaksanakan Keputusan ini. Dia mendorong BPN untuk menyesuaikan rencana strategis yang ada dan mengusulkan serangkaian kegiatan kunci melaksanakan "arah kebijakan pembaruan agraria" (Sumardjono 2006:88-99). Tapi kemudian, Kepala BPN, Lutfi Nasution, berhasil meyakinkan Presiden Megawati untuk mengeluarkan Keputusan Presiden No 34 tahun 2003 yang mengarahkan kembali pelaksanaan Ketetapan MPR ini menjadi hanya dua kegiatan, yaitu (1) untuk menyusun revisi UUPA 1960 dan menggantinya dengan rancangan undang-undang pertanahan yang baru; (2) untuk memantapkan manajemen pertanahan dan sistem informasi dalam kaitannya

16dengan pendaftaran tanah. Kedua agenda—yang sangat cocok dengan visi Bank Dunia—yang secara signifikan menggembosi semangat antusiasme pemikir dan aktivis agraria yang sebelumnya mulai berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan land reform di BPN. Dan sebaliknya, memprovokasi pemikir dan aktivis agraria untuk menolak dan menjegal upaya merevisi UUPA 1960, yang dipercayai sebagai satu-satunya undang-undang Republik Indonesia yang mempertahankan semangat dan jiwa sosialis dari Undang-undang Dasar RI.

Sementara itu di luar BPN, Ketetapan tersebut menginspirasi aktivis agraria untuk mendekati Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengembangkan sebuah proposal kebijakan untuk membentuk lembaga khusus, bernama Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), untuk memproses klaim yang berhubungan dengan perampasan tanah di bawah rezim Soeharto (Bachriadi 2004; Tim Kerja KNuPKA, 2004). Sejak tahun 2000, Komnas HAM telah mengadopsi sebuah pendekatan

16. Keputusan Presiden Nomor 34/2003 juga Presiden Megawati memutuskan untuk mendesentralisasi sebagian kewenang BPN ke pemerintah kabupaten/kota sebagai berikut: (a) untuk melngeluarkan ijin lokasi; (b) untuk melakukan pembebasan tanah dari proyek pembangunan; (c) untuk menyelesaikan sengketa tanah agraria; (d) untuk menyelesaikan kompensasi pembebasan tanah untuk proyek pembangunan; (e) untuk menentukan penerima manfaat dan objek tanah yang ditargetkan oleh program redistribusi tanah; juga kompensasi bagi pemilik tanah yang tanahnya diredistribusi; (f) untuk menyelesaikan sengketa perihal tanah-tanah adat; (g) untuk menentukan alokasi dan penggunaan "tanah-tanah terlantar”, (h) untuk memberikan izin pembukaan tanah pertanian yang baru;, dan (i) untuk mengatur rencana penggunaan untuk tanah di kabupaten/kota.

38

Page 40: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

”keadilan transisional” - yang terdiri dari empat elemen kunci yaitu klaim berbasis pencarian kebenaran, reparasi, penuntutan, dan reformasi kelembagaan - untuk menghadapi secara memadai apa yang disebut ”pelanggaran HAM masa lalu,” termasuk perampasan tanah (Komnas HAM 2001a, 2001b). Commission on Restitution of Land Rights (CRLR) dan Land Claim Court di Afrika Selatan merupakan dua acuan inspirasi untuk para pemimpin aktivis Indonesia, komisioner Komnas HAM, akademisi, dan pejabat pemerintah. Namun, dalam pertemuan khusus dengan para pendukung kebijakan pada bulan Juli 2004, Presiden Megawati secara eksplisit menolak proposal kebijakan hanya karena, ia berpendapat, bahwa sebuah lembaga negara baru tambahan akan menciptakan komplikasi politik dan keuangan bagi pemerintah. Dia menekankan bahwa dia sudah mengalami ketegangan dengan komisi negara yang ada seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi Hukum Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, dll. Usulan itu kembali diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) yang baru terpilih pada akhir 2004, namun Presiden SBY memilih menyelesaikan konflik agraria dengan tidak dengan mendirikan lembaga baru; ia memutuskan untuk mempeluas kewenangan BPN, termasuk untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria.

Kebijakan ”Reforma Agraria” 2005-2009Pada 2005, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang menuai gelombang protes dan demonstrasi dari kalangan yang luas mulai dari aktivis gerakan sosial, komisioner HAM, tokoh organisasi kemasyarakatan seperti Nadhatul Ulama dan Muhamadiyah, aktivis mahasiswa, hingga

17akademisi perguruan tinggi. Joyo Winoto, yang diangkat menjadi Kepala BPN, ditugaskan untuk menangani protes-protes ini, kemudian mengagendakan apa yang kemudian disebutnya ”Reforma Agraria”. Winoto-lah yang mempengaruhi bagaimana Presiden SBY menyatakan ke publik komitmen pemerintah untuk melaksanakan redistribusi tanah, melalui pidato tahunan

18pada 31 Januari 2007. Beberapa bulan sebelumnya Presiden menyelenggarakan pertemuan khusus antara Presiden SBY dengan Kepala

17. Perpres ini kemudian berhasil diubahnya menjadi Perpres 65/2006 tentang Perubahan atas Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

18.“Program Reforma Agraria, untuk pendistribusian tanah untuk rakyat secara bertahap Insya Allah akan dilaksamakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi, dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Reformasi ini saya anggap mutlak untuk dilakukan, mengingat selama kurun waktu 43 tahun (sejak 1961 hingga 2004), tanah negara yang diberikan kepada rakyat baru berjumlah 1,15 juta hektar” . Pidato Presiden RI pada Awal Tahun 2007. 31 Januari 2007. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/01/31/582.html

39

Page 41: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang baru diangkat, Joyo Winoto, Menteri Kehutanan M.S. Ka'ban dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengenai usaha-usaha mengurangi pengangguran dan mengatasi kemiskinan melalui apa

19 yang kemudian disebut ”Reforma Agraria”. Presiden telah pula menyelenggarakan Rapat Kabinet Terbatas khusus mengenai apa yang

20kemudian ”Reforma Agraria” itu. Kemudian Kepala BPN berhasil

memasukan komponen-komponen kebijakan land reform ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 (UU No. 17 tahun 2007).

Winoto melakukan berbagai usaha untuk mempromosikan ”Reforma Agraria”, yang dirumuskannya sebagai ”asset reform + access reform” atau redistribusi tanah yang disertai dengan segala macam asistensi dan akses untuk membuat tanah yang diredistribusikan produktif. Usaha-usaha itu mencakup

21(a) penetapan prinsip-prinsip baru kerja BPN, pembaruan kelembagaan atas organisasi BPN, termasuk memperbarui struktur organisasi dan porto folio

22 BPN baru dengan mengembangkan deskripsi kerja baru untuk tiap posisi; menyelenggarakan ”fit and property tests” untuk semua pejabat BPN (level 1, 2 &3) di BPN Pusat, Kanwil BPN, dan Kantor Pertanahan; dan kemudian memindahkan 6.338 dari 22.684 pejabat BPN ke posisi baru, atau sekitar 28% seluruh pejabat BPN; (b) desensitisasi land reform di kalangan pejabat pemerintahan dan lembaga negara (militer, polisi, birokrasi hukum dan kementrian) untuk membuat land reform tidak memperoleh asosiasi politik yang negatif dan sekaligus memantapkan ”Reforma Agraria sebagai Mandat Konstutusi, Hukum dan Politik”; (c) Menyetop upaya revisi UUPA 1960, dan mendasarkan diri pada TAP MPR RI No. IX/2011 dan UUPA 1960 melaksanakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), yang mengagendakan redistribusi pada tiga jenis objek, yakni (i) 8.15 juta hektar tanah dalam kategori ”hutan konversi”, bagian dari kawasan hutan yang dapat dikeluarkan dari kawasan hutan untuk tujuan non-kehutanan, di bawah Jurisdiksi Departemen Kehutanan, (ii) 1,1 juta hektar dari berbagai tipe ”tanah negara” yang secara langsung berada di bawah jurisdiksi BPN, dan (iii) lebih dari 7,35 juta hektar ”tanah-tanah terlantar” yang berada di bawah jurisdiksi BPN.

19. ”SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN. Akan Dikembangkan, Program Reforma Agraria”. 28 September 2006. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.html

20. ”Rapat Terbatas Bahas Reforma Agraria.” 23 Mei 2007. Website Resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=402&Itemid=55

21. Apa yang dahulu disebut “catur tertib pertanahan” diganti menjadi empat prinsip baru yakni: bahwa Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk: 1) meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2) tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah; 3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan dating pada sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah; dan 4) menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

22. Melalui Peraturan Presiden No. 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN).

40

Page 42: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Namun, sayangnya momentum ini tidak berhasil ditingkatkan ke tingkat yang benar-benar dibutuhkan agar kebijakan land reform bisa berjalan dan mengatasi haling-rintang dan perlawanan dari pihak anti-reform, yakni komitmen dimana Presiden SBY menggunakan kewenangannya untuk mengintegrasikan atau setidaknya mensinkronkan antar badan-badan pemerintahan pusat. Yang terjadi adalah Presiden membiarkan tiap badan pemerintahan pusat melanjutkan kepentingan sektoralnya. Masing-masing badan pemerintahan memiliki apa yang dikenal di kalangan pejabat pemerintah Indonesia sebagai ”ego sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan pemerintah untuk hanya memenuhi kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri tanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya.

Ketiadaan kepemimpinan langsung SBY dalam kebijakan land reform membuka jalan bagi berlanjutnya sektoralisme badan-badan pemerintah itu, terutama antara dalam hubungan kelembagaan antara, Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, dan BPN. Karena kepentingan sektoral Kementerian Kehutanan, maka agenda redistribusi tanah 8,15 juta hektar – berupa tanah-tanah negara yang berada dalam ”Kawasan Hutan” yang tergolong Hutan Produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi – tak berjalan. Menurut buku Joyo Winoto 2008 Tanah untuk Rakyat merujuk pada Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, didalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar, atau lebih

23dari 60% (Winoto 2008:56). Namun, Kementerian Kehutanan sebagai pihak 24 yang berwenang menguasai kawasan itu menolak. Kehutanan tetap

mempertahankan diri sebagai 'tuan tanah negara' terbesar, melalui penguasaan 25sekitar 70 wilayah Republik Indonesia dalam ”Kawasan Hutan”.

Di dalam Kementrian Kehutanan masalah hak-hak rakyat atas tanah di wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai bagian dari ”Kawasan Hutan” menjadi masalah yang kronis sebagai akibat dari terus digunakannya

23. BPN membuat asesment tentang tanah-tanah yang secara potensial akan menjadi sasaran PPAN (see Winoto 2008:51-57). Dalam menanggapi permintaan yang dikemukakan oleh sekelompok aktivis LSM, dan juga dalam ceramah yang disampaikan di Balai Senat Universitas, Universitas Gajah Mada, pada 22/11/2007, Kepala BPN menyebutkan bahwa detil data dan peta 8.15 juta hektar tanah hutan konversi itu tidak akan diedarkan untuk mencegah kontroversi. Winoto meyakinkan para aktivis bahwa BPN memiliki data dan peta digital masing-masing lokasi. (Keterangan Winoto dalam pertemuan dengan para aktivis LSM di Jakarta, 2/5/2008). Seorang pejabar BPN memperlihatkan penulis sebuah buku tebal, sekitar 100 halaman, di dalamnya terkandung versi cetak dari data dan peta-peta termaksud (wawancara di bulan November 2007).

24. Dalam suatu diskusi di Pusat Kajian Agraria - IPB, pada tanggal 19 Mei 2008, pejabat Badan Planologi Departemen Kehutanan mempersoalkan cara bagaimana BPN menghasilkan dan menggunakan data itu. Keterangan yang diberikan oleh seorang pejabat tinggi BPN pun, dalam wawancara dengan penulis pada 19 Juni 2009 mengkonfirmasi bahwa belum ada perubahan yang berarti dalam hubungan komunikasi dan kordinasi dengan Departemen Kehutanan mengenai agenda tersebut.

25. Kita mengetahui dari studi Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay (2005), Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform, tidak semua klaim itu telah absah secara hukum administrasi. Menurut studi itu klaim Departmen Kehutanan dalam menguasai kawasan hutan seluruh Indonesia seluas 120,353,104 hektar didasarkan pada penunjukan oleh Menteri Kehutanan, dan hingga awal tahun 2005 hanya 12 juta hektar atau 10 persen saja yang telah dikukuhkan dengan memiliki Berita Acara Tata Batas (Contreras-Hermosilla dan Chip Fay (2005:11).

41

Page 43: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

semacam prinsip ”domein verklaring” yang diperluas, dimana ditetapkan bahwa di dalam wilayah yang ditetapkan sebagai ”kawasan hutan” hanya ada satu kepemilikan tunggal, yakni milik Negara. Hal ini didasarkan pada UU Kehutanan No. 5/1967, yang dilanjutkan dengan UU Kehutanan No. 41/1999. Konsep politik hukum ”Kawasan Hutan”, dimana hutan ditentukan bukan berdasarkan fungsi ekologisnya, melainkan berdasarkan penetapan suatu wilayah sebagai ”kawasan hutan” oleh Menteri Kehutanan. Masalah ini berlanjut menjadi konflik tatkala kriminalisasi atas akses rakyat yang hidup di dalam atau sekitar kawasan hutan diaktualkan melalui tindakan-tindakan represif oleh aparatur negara, atau juga melalui pengerahan paramiliter.

Berbagai ragam bentuk kebijakan perhutanan sosial (social forestry), seperti Hutan Kemasyarakatan (HKM), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, dan Hutan Adat, adalah suatu pengaturan hak dan kewajiban pemanfaatan suatu bidang dalam ”kawasan hutan” tertentu pada periode waktu tertentu saja. Hak milik atas bidang dalam ”kawasan hutan” itu tetap berada di Kementrian Kehutanan. Bentuk-bentuk perhutanan sosial ini tidak menyelesaikan masalah tenurial dalam kawasan hutan. Dengan mengemukakan agenda pengakuan kedaulatan masyarakat adat, berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan ornop-ornop agraria dan lingkungan hidup menantang klaim Kementerian Kehutanan ini. Mereka menolak wilayah masyarakat adat dimasukkan dalam ”Kawasan Hutan”, baik itu Hutan Produksi dan Produksi Terbatas, Hutan Lindung, maupun Hutan Konservasi. Baru-baru ini dilansir oleh suatu koalisi organsiasi masyarakat sipil, sebuah dokumen ”Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial, Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia”, yang di antaranya mengusulkan untuk menyelesaikan status hukum 31.957 desa yang berada di dalam, atau tumpang tindih dengan, kawasan hutan; dan menurut sumber BPS dan Departemen Kehutanan, 71,06% dari desa-desa tersebut

26menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.Kementerian Pertanian pun memisahkan diri dari kerangka Reforma

Agraria tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya asistensi teknis pertanian dan kredit untuk para penerima tanah-tanah yang diredistribusi (land reform beneficiaries), Kementerian Pertanian memfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa bekerja mengembangkan food estate di sejumlah tempat, termasuk yang paling luas di kabupaten Merauke (pada mulanya diharapkan sekitar 1,2 juta hektar, tapi kemudian pemerintah provinsi Merauke menyetujui 500,000

26. Data ini bersumber dari Departement Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (2007).

42

Page 44: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

hektar) (lihat Pemerintah Republik Indonesia 2010). Hal ini tak lain adalah bagian dari global land grabbing yang melayani kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa melakukan akumulasi modal melalui penciptaan keuntungan (Lihat Zakaria et al 2010, Ito et al 2011). Tanpa mengaitkan dengan kerangka Reforma Agraria, Kementerian Pertanian c.q. Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, memprogramkan pembuatan Rancangan Undang-udang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, bekerja bersama Badan Legislasi DPR RI, yang diajukan antara lain untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut Naskah Akademik RUU itu, selama periode 1979-1999, konversi lahan sawah di Indonesia mencapai 1.627.514 Ha atau 81.376 ha/tahun. Khusus untuk konversi lahan sawah, 1.002.005 Ha (61,57 %) atau 50.100 Ha/tahun terjadi di Jawa, sedangkan di luar Jawa mencapai sekitar 625.459 Ha (38,43 %) atau 31.273 Ha/tahun.

Jadi, dilihat dari proses kebijakan land reform (2006-2009) nyata jelas bahwa Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pertanahan Nasional adalah badan-badan pemerintah tidaklah berada dalam satu kepentingan yang sama dan terkordinasi. Mereka masih merupakan aktor-aktor yang bertindak dengan aturannya sendiri-sendiri, untuk kepentingan sektornya sendiri-sendiri, atau melayani kepentingan pihak lainnya, dan juga memerankan diri sebagai arena dimana berbagai kekuatan sosial saling memperjuangkan kepentingannya masing-masing.

Selain dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya adalah tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Badan Pengelola Reforma Agraria, suatu badan otorita khusus yang mengurus segala sesuatu berkenaan dengan upaya merencanakan hingga memberdayakan para penerima tanah objek land reform dan menjamin tanah-tanah yang diredistribusikan itu produktif dan dikelola secara berkelanjutan. Namun, pembentukan Badan yang diancangkan berbentuk ”Badan Layanan Umum” ini, yakni suatu jenis badan usaha pemerintah yang tidak ditujukan untuk kepentingan profit, tidak berhasil memperoleh otorisasi dari Departemen Keuangan sehubungan dengan keharusan untuk menunjukkan bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana APBN, melainkan sanggup secara terus-menerus hidup dari perputaran uang yang bermula dari modal awal yang diberikan pemerintah.

BPN di bawah kepemimpinan Joyo Winoto memastikan tersedianya sumber tanah baru untuk diredistribusikan, yakni apa yang tergolong ”tanah-tanah terlantar”, yakni tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan

43

Page 45: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN luasan ”tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar” (lihat table 2). Untuk melakukan pengambilalihan keseluruhan ”tanah terlantar” ini, diperlukan suatu peraturan pemerintah baru, yang pada gilirannya menjadi PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayaguaan Tanah Terlantar.

Tabel 2Identifikasi tanah-tanah terlantar di semua provinsi sebagaimana

didata oleh BPN tahun 2008

Yang kemudian secara praktis diandalkan oleh BPN 2005-2009 adalah melakukan legalisasi aset tanah yang telah dikuasai, dipergunakan dan dimanfaatkan rakyat, namun status hukum dari tanah tersebut adalah ”Tanah Negara”. Jenis legalisasi ini disebut secara resmi dalam kategori kerja BPN sebagai ”Redistribusi Tanah”. Luasan ”Tanah Negara” ini yang disasar oleh legalisasi asset tanah melalui jalur redistribusi ini adalah 1,1 juta hektar. Jumlah sertifikat tanah yang dihasikan melalui jalur redistribusi tanah ini sepanjang tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008, secara berturut-turut adalah 5.000, 4.700,

Tipe hak tanah Total (hektar)

a

.

Hak Guna Usaha 1.925.326

b

.

Hak Guna Bangunan 49.030

c

.

Hak Pakai 401.079

d

.

Hak Pengelolaan 535.682

e

.

Tanah dengan ijin lokasi, dan ijin-

ijin lainnya

4.475.172

Total 7.386.289

Sumber: Badan Pertanahan Nasional, Deputi Pengendalian Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, 2009.

44

Page 46: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

74.900, dan 332.935 sertifikat. Selain jalur ”redistribusi tanah”, BPN memiliki jalur-jalur lain dalam

legalisasi asset tanah, yakni PRONA (Proyek Nasional Agraria), dan P4T (Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan. Pemanfaatan Tanah). Dalam legalisasi aset tanah, BPN di bawah kepemimpinan Joyo Winoto, telah menunjukkan prestasinya yang mengagumkan. Jumlah bidang tanah yang dilayaninya melalui berbagai jenis layanan meningkat sangat tajam. Masa sebelum kepemimpinannya di tahun 2004, jumlah bidang tanah yang dilegalisasi hanyalah 269.902 bidang. Di tahun 2008 jumlahnya mencapai 2.172.507, lebih dari 800 persen dibanding tahun 2004 itu. Bila ditambah dengan bidang yang dibiayai sendiri oleh perorangan, kelompok maupun badan usaha maka jumlahnya mencapai 4.627.039 bidang (Badan Pertanahan Nasional, 2008)

Sepanjang lima tahun belakangan, BPN telah melakukan penataan kelembagaan, perampingan prosedur, peningkatan alokasi APBN hingga lebih dari 500%, dan memperbanyak bidang tanah yag disertifikatkan melalui berbagai skema yang secara administrasi diberi nama PRONA (Proyek Nasional Agraria), redistribusi tanah, dan P4T (Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan. Pemanfaatan Tanah). Selain itu, BPN juga membuat terobosan baru yang diberi nama Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) berupa perluasan daya jangkau pelayanan kantor pertanahan melalui kantor bergerak (mobile land service), dengan mobil, sepeda motor maupun perahu, serta teknologi informatika dan komunikasi. Hingga tahun 2009, BPN mengklaim sudah 60 persen wilayah Indonesia telah dapat dijangkau oleh kantor bergerak ini. Berbagai perubahan itu berujung pada percepatan layanan pemerintah sedemikian rupa sehingga diperkirakan hanya diperlukan waktu delapan belas tahun saja untuk melegalisasi seluruh bidang tanah di Indonesia,

27sementara itu tanpa kesemuanya diperlukan waktu seratus sepuluh tahun!Apa yang terjadi sepanjang 2005-2009 adalah menjadikan redistribusi

tanah sebagai salah satu skema dari legalisasi aset tanah. Kerangka legalisasi tanah yang dipromosikan BPN ini, secara perlahan dan pasti bersesuaian dengan kerangka yang dipromosikan oleh Bank Dunia. Pergeseran dari agenda redistributif menjadi agenda legalisasi aset tanah inilah yang memprovokasi kalangan aktivis agraria untuk meluncurkan kritik yang tajam bahwa yang dijalankan adalah suatu bentuk ”Reforma Agraria Palsu” (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2009, Federasi Serikat Petani Indonesia, 2009. Lihat pula: Bachriadi 2007).

27. Klaim-klaim keberhasilan yang spektakuler itu adalah bagian utama dari iklan satu halaman ”Pertanahan untuk Rakyat. Bukan Omong Kosong” dari Tim Sukses pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di Koran Media Indonesia tanggal 24 Juni 2009, dan sajian Kepala BPN dalam acara Save Our Nation di MetroTV pada Rabu, 15 Juli 2009, pukul 22.00 – 23.00 WIB dan disiarkan ulang pada Senin, 20 Juli 2009, pukul 16.00 – 17.00 WIB.

45

Page 47: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Penutup: Adakah Harapan untuk menjadikan Birokrasi Agraria sebagai Pewujud Keadilan Sosial? Bagaimana birokrasi agraria saat ini, baik di Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertambangan, maupun mereka yang berada di badan-badan pemerintahan daerah, dapat mengatasi warisan, posisi, dan kebiasaan sebagai birokrasi-otoritarian-rente? Selalu saja ada tarikan kuat untuk menjalankan business as usual. Inilah bagian dari tirani status quo. Memang diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai apa yang terjadi, apa saja yang menyebabkannya, dan bagaimana proses pembentukannya. Tapi, lebih dari itu – seperti telah diberikan tauladan oleh buku Mochammad Tauhid ini – adalah aspirasi kebangsaan dan kerakyatan sekaligus. Aspirasi ini dapat membimbing komitmen yang teguh dan kepemimpinan yang kuat untuk di satu pihak mengubahnya menjadi birokasi agraria yang mewujudkan keadilan sosial, dan di lain pihak menguatkan organisasi rakyat petani.

Haluan reformasi birokrasi saat ini, yakni menciptakan apa yang diistilahkan dengan good governance, yang sering diterjemahkan menjadi ”tatanan kepemerintahan yang baik”, tidaklah cukup, dan bisa salah arah. Birokrasi yang ramping, efisien, transparan dalam dan proses pembuatan kebijakan dan pengeloaan keuangan, jauh dari perilaku korupsi, dan senantiasa konsultasi dengan stakeholder, tidak cukup. Agenda good governance dijalankan oleh badan-badan pembangunan internasional, pemerintah maupun organisasi non-pemerintah kebanyakan dijalankan tanpa didahului oleh penyadaran mengenai ketidakadilan sosial yang terbentuk secara struktural, dan pemberdayaan organisasi rakyat untuk perjuangan keadilan sosial.

Jadi bila diletakkan dalam kerangka perjuangan keadilan sosial, lebih khusus lagi adalah perjuangan keadilan agraria, maka reformasi birokrasi semacam itu perlu dikerjakan kembali. Berbagai ketidakadilan agraria tampil secara berbeda-beda di berbagai wilayah sesuai dengan sejarah pembentukannya masing-masing. Ketidakadilan agraria yang dimaksud baik yang bersifat akut dalam peristiwa-peristiwa yang meledak-ledak seperti dalam bencana sosial buatan manusia (banjir air atau lumpur, atau kelaparan, pertarungan perebutan tanah, hutan dan wilayah); maupun yang bersifat kronis seperti kemiskinan-pengangguran, kesenjangan kaya-miskin, hingga diskriminasi berdasarkan golongan ras, etnik, maupun jenis kelamin.

Bila reformasi birokrasi tidak diletakkan dalam kerangka perjuangan keadilan sosial, khususnya lagi perjuangan keadilan agraria, maka apa yang dihasilkannya akan sulit dinikmati oleh rakyat petani miskin yang kerja, kelanjutan hidup, dan kesejahteraannya bergantung pada akses atas tanah dan kekayaan alam pedesaan-pedalaman. Sebaliknya, seperti selama ini terjadi,

46

Page 48: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

mereka terus dibentuk menjadi produsen bahan makan bagi kebanyakan kita semua, dan produsen bahan mentah dan reservoir tenaga kerja bagi industri yang dimiliki perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa.

Pada konteks ini yang kita benar-benar pelukan adalah hadirnya konstitusi – dan paham konstusionalisme – yang sanggup memberi arah bagi transformasi birokrasi otoritarian rente, menjadi birokrasi keadilan sosial, serta inspirasi bagi kebijakan reforma agraria? Quo vadis?

Bandung, 24 Desember 2011

Daftar Pustaka yang DikutipBachriadi, Dianto, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (eds.), 1997, Reformasi

Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Jakarta: LP-FE Universitas Indonesia dan KPA.

Badan Pertanahan Nasional. 2008. ”BPN RI menjawab Tantangan atas Reforma Agraria dan Tututan Layanan Masyarakat,” bahan presentasi tidak diterbitkan.

Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan. Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas.

_____ 1996. Teori Negara: Negara, kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: Gramedia.Bulkin, Farchan. 1984a. ”Kapitalisme, Golongan Menengah dan negara:

Sebuah Catatan Penelitian”. Prisma 2 :3-22. _____ 1984b. ”Negara, Masyarakat dan Ekonomi”, Prisma 13 (8):3-17.FAO. 1951. Land Reform. Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic

Development. Rome: Food and Agricultural Oorganization. Fauzi, Noer. 1997, ”Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme:

Dinamika Politik Agraria Indonesia Paska Kolonial”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia p.67-122, Jakarta: LP-FEUI dan KPA.

_____ 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.

_____ 2003. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria, Yogyakarta: Karsa._____ 2005a. Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta:

Insist Press._____ 2005b. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta: Resist

Book.Fauzi, Noer dan Dianto Bachriadi. 1998. ”Hak Menguasasi dari Negara:

Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan”. Kertas Posisi Konsorsium

47

Page 49: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Pembaruan Agraria No. 4. http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view

&gid=45&&Itemid=77 (last downloaded on 09/11/2009).Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta:

Gramedia. _____. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.Hadiz, R. Vedi and Richard Robison. 2005. "Neo-liberal Reforms and Illiberal

Consolidations: The Indonesia Paradox." The Journal of Development Studies 41:220-241.

Hadiz, Vedi. 2001. ”Capitalism, Oligarchis Power and the State in Indonesia.” Historical Materialism. 8:119-151.

____ 2004a. "Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perpectives." Development and Change 35:697-718.

____ 2004b. "Indonesian Local Party Politics: A Site of Resistance to Neo-Liberal Reform." Critical Asian Studies 36:615-636.

_____ 1999. Politik Pembebasan. Teori-teori Negara Pasca Kolonial. Jakarta: Pustaka Pelajar.

_____ 2006. ”Corruption and Neo-liberal Reform: Market and Predatory Power in Indonesia and Southeast Asia”. In The Neo-liberal Revolution, Forging the Market State. Edited by Richard Robison. New York: Pagrave Mcmillan. Halaman 70-97.

Harsono, Boedi. 1994. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Jambatan.

Jacoby, Eric. 1961. Agrarian Unrest in Southeast Asia. Bombay: Asia Publishing Co.

Mas'oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik: Order Baru, 1966-1971. Jakarta: LP3ES.

Mosse, David. 2007. ”Power and the durability of poverty: a critical exploration of the links between culture, marginality and chronic poverty”. CPRC Working Paper 107.http://www.chronicpoverty.org/publications/details/power-and-the-durability-of-poverty-a-critical-exploration-of-the-links-between-culture-marginality-and-chronic-poverty (last downloaded on 09/11/2009).

Robison, Richar and Vedi Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchiy in an Age of Markerts. London: Routledge.

Sangkoyo, Hendro. 2001. ”Pembaruan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ekologis Pengurusan Daerah.” Kertas Posisi Konsorsium Pembaruan Agraria No. 8. (last downloaded on 09/11/2009).

Tornquist, Olle. 1990. ”Rent Capitalism, State and Democracy: A Theoretical Propositions”. In State and Civil Society in Indonesia. Edited by Arief Budiman. Clayton, Victoria. Center of Southeast Asia Studies, Monash University. Halaman 29-49.

48

Page 50: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Tauhid, Mochammad. 1952. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Bagian Pertama. Djakarta: Penerbit Tjakrawala.

_____. 1953. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Bagian Kedua. Djakarta: Penerbit Tjakrawala.

_____. Tt. Agraria. Lima jilid (Jilid I, II, III, IV, IV, V). Bogor: Sekretariat Pimpinan PusatGerakan Tani Indonesia.

_____. 2009. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Pawarta.

_____. 2010. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan.

_____. 2011. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Jakarta: Bina Desa Sadar Jiwa.

Wertheim, W.F. 2009. Elite vs Massa. Yogyakarta: Libra bekerjasama dengan ResistBook.

Winters, Jeffrey. 2011. Oligarchy: Cambridge: Cambridge University Press.Wiradi, Gunawan, 2001, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir,

Noer Fauzi (Ed.), Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.

49

Page 51: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 52: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

51

Page 53: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

52

Page 54: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

53

Page 55: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

54

Page 56: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

55

Page 57: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

56

Page 58: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

57

Page 59: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

58

Page 60: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

59

Page 61: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 62: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

SESI DISKUSI

PROSIDING DISKUSI PUBLIKREFLEKSI PERJALANAN KEMBALINYA TAP MPR NO.IX TAHUN 2001

TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

JAKARTA, 27 DESEMBER 2011

Page 63: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 64: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

[ ] sesi diskusi

Andi Nur [Komnas HAM]: Pertama-tama, Saya tadi bertanya ke panitia, acara ini dibuat karena ada kasus yang muncul di media atau bukan? Jawabannya, bukan. Saya salut dengan kegiatan ini karena konsistensi HuMa untuk terus memperhatikan persoalan agraria di Indonesia.

Di DPR sekarang, apakah sudah ada kegiatan yang terus menerus mengawal reforma agraria baik pendekatan legislatif maupun aktifisme di kalangan parlemen? Atau, memang reforma agraria, kita tahu dari pengalaman, reforma agraria ini menjadi tarik-menarik kesejahteraan sosial dan modal itu sendiri.

Reza [Kemkumham]: Terkait dengan keberadaan TAP MPR dalam hirarki perundang-undangan. Kalau Kami boleh berbagi cerita, mungkin tidak resmi dari Kementerian Hukum dan HAM. Awalnya, RUU yang mengganti UU 10/2004 itu inisiatif DPR. Pemerintah tidak mencantumkan usulan dimasukkannya kembali TAP MPR. Kemudian, dalam dinamika pembahasan, muncul usulan dari DPR –dari catatan kami--memasukkan TAP MPR. Itu ada surat resminya dari MPR untuk memasukkan kembali. Itu dijadikan proses bargain Pemerintah dan DPR. Pemerintah juga punya kepentingan untuk memasukkan/mempertahankan peraturan presiden. Memang dinamika itu yang muncul dalam pembahasan. TAP MPR pasca UU 11/2011 tidak kaku lagi kalau memang mau dijadikan sebagai dasar hukum UU. Mengingat, dalam suatu undang-undang. Meskipun, dalam RUU Pengadaan Tanah yang sudah disetujui bersama ini, nampaknya luput. Itu sedikit kisah terkait TAP MPR ini.

Tap MPR no. IX/2001, menarik dalam makalah Noer Fauzi, apakah ini berbahaya sebagai pintu masuk neolib atau kapitalis, atau justru bermanfaat sebagai mobilisasi hukum di bidang pertanahan?

Yance Arizona [Epistema]: TAP MPR itu kan sama dengan prinsip-prinsip of state atau prinsip pemandu kebijakan negara. Karena itu, GBHN ditetapkan dalam bentuk TAP MPR. TAP MPR no. IX itu sebenarnya hampir sama dengan GBHN. Kita tahu ketika 98 banyak sekali TAP MPR yang jadi pemandu. Ada tata pemerintahan yang bersih dan bebas KKN yang kemudian menjadi undang-undang. Kemudian, tentang otonomi daerah yang juga menjadi undang-undang. Kemudian ada tentang pembaharuan ekonomi, soal demokrasi ekonomi, dll. Ada juga soal HAM yang menjadi UU HAM. UU HAM ini hampir semua diambil dari TAP HAM. tapi, TAP IX ini agak aneh, tidak jadi UU sendiri. Kemudian, juga ada berkaitan dengan struktur kenegaraan. MPR dulu lembaga tertinggi negara. Produk yang dihasilkan bisa mengikat semua lembaga. Presiden dulu mandataris MPR. Lembaga-lembaga

63

Page 65: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

tinggi negara, dulu menyampaikan laporan. DPR menyampaikan laporan. Tapi, kemudian terjadi perubahan struktur. Di situlah letak TAP MPR tidak punya gigi lagi karena tidak ada kewajiban untuk lapor ke MPR. Lalu dengan situasi seperti itu, bagaimana? Bagi Saya, yang pertama dibutuhkan, TAP MPR IX mau diposisikan sebagai apa? kalau dia diposisikan sebagai penjelasan terhadap konstitusi Pasal 23, maka dia bisa jadi suplemen jadi MK bila menguji UU sumber daya alam. Kita tahu, dia tidak pernah dijalankan. kemudian semakin tersektoralisasi. Saya ingat, dulu, meskipun PDIP yang memenangkan pemilu tahun 99, banyak sekali sektoralisasi di bidang agraria yang lain, seperti migas, sumber daya air.

Kenapa dulu pilihannya melakukan perubahan melalui TAP MPR. Itu ada proses amandemen undang-undang. Kenapa tidak mendorong dalam perubahan Konstitusi?

Rahma Mary [HuMa]: TAP MPR no. IX tahun 2001 memandatkan adanya harmonisasi terhadap semua peraturan perundang-undangan yang ada. Pertanyaan saya sederhana, bagaimana melakukan harmonisasi semua peraturan yang jumlahnya ratusan? Beberapa departemen pernah mencoba melakukan upaya perbaikan perundang-undangan itu sendiri tapi ternyata itu juga tidak sesuai dengan perundangan yang lain.

Kedua, untuk mas Budiman. Saya ingin tahu, apa yang terjadi di pembahasan RUU sampai jadi UU, mengingat beberapa peraturan di bagian awal, seperti RUU Pengadaan Tanah, ada TAP MPR yang tidak dicantumkan. Kemudian, Peraturan no. 10 tahun 61 tentang pencabutan hak atas tanah yang ternyata sampai sekarang belum dicabut tapi tidak pernah dibahas dalam RUU Pengadaan Tanah. Sebetulnya, dalam proses pembuatan, para anggota DPR tidak meneliti secara benar-benar, undang-undang apa yang sudah keluar, apa yang bisa dijadikan pertimbangan dan mengingat, sehingga ketika sudah keluar banyak yang lolos tidak dicantumkan. Terima kasih.

Bernadinus Steni [HuMa]: HuMa. Melanjutkan yang disampaikan Kang Oji soal situasi di sekitar kebijakan pertambangan. Saya kira, ada perubahan di lapangan walaupuan tidak by design melalui peraturan. Pra pengumuman moratorium dirjen hutan dan presiden, ada sejumlah bupati yang melakukan langkah sendiri untuk moratorium tambang. Saya mencatat ada empat Bupati. Bupati Lembata, September 2011. Mei 2011 itu Sumba Barat; Agustus 2011 Manggarai Barat; Februari 2011 Bupati Malawi -Kalimantan Barat mengeluarkan moratorium tambang dan perkebunan. Gerakan dari bawah

64

Page 66: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

sudah mulai muncul. Saya tidak tahu apakah Bupati-Bupati itu dari PDIP. Nampaknya, mereka melakukannya berdasarkan inisiatif sendiri dengan berbagai alasan. Umumnya, ada dua alasan paling serius, desakan massa dan kerusakan lingkungan. Kedua alasan ini sebetulnya menjadi ketika presiden mengumumkan moratorium meskipun secara parsial dan setengah hati. Hanya, saya kira, pada saat yang bersamaan, itu secara politik tidak didukung DPR. Karena, isu itu begitu menarik sebetulnya untuk merujuk kembali ke Pasal 5 huruf (a) TAP MPR IX tahun 2001 soal review seluruh kebijakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan agraria. Sebetulnya, itu bisa menjadi pintu masuk. Tapi, sayang dukungan DPR tidak begitu maksimal. Bahkan, ada pertanyaan serius waktu itu dari DPR terhadap kebijakan ini dikaitkan dengan kebutuhan dalam negeri. Saya ingin tanya ke Budiman, sebenarnya pertimbangan di DPR terhadap TAP ini seperti apa? secara politik, dia upaya untuk meneruskan TAP IX, tidak kelihatan relasinya. Tapi, secara substansi jelas relasinya, terutama pada Pasal 5 huruf (a) review terhadap seluruh peraturan.

Zaenal Mutakim [KPA]: Analisis kembalinya TAP ini juga menjadi pertanyaan. Karena, selama proses kelahiran TAP 2001 sampai dicabutnya unsur dari undang-undang juga tidak ada tindak lanjut. Kedua, paparan Kang Oji tadi jelas bahwa rejim birokrasi rente ini sangat binal. Kemudian, apakah ini bisa menjadi faktor yang bisa jadi menguntungkan rakyat juga jadi pertanyaan. Karena, dominasi birokrasi itu go politic. Kalau politik pro-investasi modal asing, hukum juga mengikuti itu. Dari situ, kita melihat bagaimana –contoh kasus di DPR- proses pengesahan undang-undang. Juga, terlihat tidak banyak penolakan-penolakan dari kawan yang pro rakyat. Pertanyaannya, kemana saja selama ini?

Priyadi [xxx]: Tadi Bapak Yuliandri menyinggung UU terkait sumber daya alam. Kita tahu bahwa perundang-undangan di Indonesia selalu nanti kita akan perang di lapangan dengan pengkotakan, tentang rukun tangga, dan sebagainya. Kemudian, kita dihadapkan juga dengan ketakutan ekseksutif di daerah untuk membatalkan sebuah perundangan yang kabupaten ini pakai. Dengan berlakunya TAP ini dimungkinkankah suatu proses TAP ini yang setingkat di atas UU dalam doktrinnya dilangkahi dengan ada TAP MPR di sistem hukum Indonesia.

Kedua, lex specialist. Kalau kita bicara sistem perundang-undangna, lalu bagaimana sitstematikan intervensi MPR terhadap lex specialist AK ini? Kita tahu UUD 1945 itu sangat berevolusi. Mungkin, karena posisinya di bawah,

65

Page 67: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

TAP MPR bisa lebih dinamis, dinamikanya akan lebih cepat daripada sebuah UUD 1945 dalam mengintervensi KK di seluruh Indonesia ini.

Dalam doktrin hukum, tentang hukum adat. Semua Fakultar hukum di Indonesia ada yang namanya pengantar ilmu hukum, pengantar hukum Indonesia, dan sebagainya yang menyatakan bahwa dasar hukum Indonesia adalah norma-norma dan pranata yang hidup dalam masyarakat, dalam bentuk hukum adat yang diakui. Itu tidak pernah menjadi suatu penilaian-penilaian untuk mencapai keadilan atau penyelesaian hukum. Saya tidak melihat dalam konsideran menyatakan menyangkut masalah- ada Hukum tentang masyarakat adat tapi bukan tentang hukum adat. Hal yang berbeda. Sebenarnya, doktrin itu sudah mati di Indonesia. Jadi, Saya rasa, kurikulum itu perlu kita tinjau kalau dalam sistem hukum kita sudah tidak diakui.

Budiman, UU itu dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menguji berbagai sisi. Sehingga, kita tidak perlu mengeluarkan PP. Artinya, lebih rigid. Bukankah itu akan membuat penggemukan? UU di Indonesia sangat gemuk. Setiap sisi, setiap bidang kita atur dalam kata-kata dalam berbagai hal. Pengemukan yang terjadi. Sementara, balik ke pertanyaan Saya tadi, tentang controling, pengawasan dari UU itu sendiri. intinya di sana. Kita tidak perlu buat UU yang gemuk. Saya mau mengomentari bahwa sebuah UU itu dari norma dan pranata yang hidup dalam masyarakat. Kalau DPR bicara UU, berarti DPR hanya bicara produksi tapi tidak cari kualitasnya. Memproduksi atau kuantitatif. Terima kasih.

Moderator: Terima kasih kepada para penanya dan komentator atas masukan dan pertanyaannya. Cukup banyak. Semua kombinasi pernyataan dan komentar.

Budiman Sudjatmiko: terima kasih. Ada beberapa hal yang mungkin bisa Saya jawab dan Saya catatan. Saya coba merangkum. Pertanyaan Andi dari Komnas HAM, mengenai bagaimana DPR mengawal dan mengawasi isu yang berkaitan dengan reforma agraria. Saya perlu sedikit cerita bahwa fungsi DPR ada 3: pengawasan, budgeting dan legislasi. Artinya, yang bisa dilakukan DPR dalam pengawasan, mau tidak mau, diawali bicara kasus per kasus. Fungsi representasi DPR bisa diwakilkan atau diterjemahkan dalam proses fungsi pengawasan. Contoh, Saya sebagai anggota Komisi II dimana bersama BPN, ada mekanisme rapat, baik sebagai komisi maupun sebagai tim. Di Komisi II Kami membentuk sebuah tim, Tim Kerja Pertanahan yang mengumpulkan kasus-kasus pengaduan, baik dari daerah sendiri maupun pengaduan yang hadir entah itu

66

Page 68: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

fisik, delegasi, aksi massa maupun dokumen. Itu kita kumpulkan di staf komisi. Kita akan selalu memanggil BPN terutama deputi penyelesaian kasus. Jadi, mau tidak mau, kita bicara kasus per kasus. Tentang reforma agraria, kita mengawasi dari 2 hal: legislasi dan budget. Dari segi legislasi, kita bicara soal inisiatif atau pengawalan terhadap pihak-pihak yang berkompeten yang berkaitan dengan komisi. Saya harus akui, seluruh kaitan dengan pertanahan, tidak semuanya hanya komisi II. Bahkan, tidak semua dari pengawasan, karena berkaitan dengan Komisi IV untuk kehutanan, kelautan, perkebunan, dan juga Komisi VI untuk infrastruktur dan beberapa lagi yang berkaitan dengan pertanahan tapi tidak berada di bawah pengawasan Komisi II.

Berkaitan dengan kerja soal UU Pengadaan Tanah. Terus terang, terjadi tarik menarik dengan pemerintah dan juga dalam partai atau faksi sendiri, antara pihak yang ingin memberikan kewenangan luas dengan yang tidak. Akhirnya, kompromi. Dalam UU Pengadaan Tanah, Saya tidak masuk pansusnya. Memang di situ kita berhasil mendorong konsensi bahwa swasta tidak lagi berwenang –kekuatiran kita- melakukan pembebasan tanah. kedua, Ganti rugi tanah untuk infrastruktur diberikan bukan kepada pemegang hak tapi yang berhak. Karena, sering kali apa yang disebut sebagai pemegang hak secara formal sebenarnya tidak berhak atas tanah itu karena memang dulu mendapatkan proses pemegang hak melalui proses-proses di masa dulu. Sehingga, kata-katanya “yang mendapatkan ganti rugi bukan lagi pemegang hak yang secara formal memegang surat tapi yang berhak sesungguhnya atas kepemilikan tanah. Juga, ditekankan bahwa kalau dalam proses pembangunan infrastruktur pemerintah bersama swasta karena modal, seperti jalan tol, maka selama fungsi komersial, masyarakat setempat harus diikut sertakan sebagai pemegang saham jika jalan tol masih dijalankan oleh swasta komersil. Tapi ketika dikembalikan kepada negara, tidak lagi dikelola swasta, maka saham rakyat tidak lagi berlaku. Kita kompromi di sana. Satu sisi, infrastruktur tetap terbangun. Tapi di sisi lain, masyarakat juga tidak dicampakkan karena pemegang saham. Ganti ruginya pun tidak lagi semata berdasarkan hitam di atas putih tapi harus ada prosesnya. Itu achivement yang kita desakkan dalam UU Pengadaan tanah. Artinya, proses-proses itu kita coba mulai dari kasus per kasus untuk kita kaji terutama proses legislasi baik yang inisiatif pemerintah maupun DPR.

Kemudian, soal reforma agraria pada konstitusi. Saya tertarik sekali dengan usulan itu. mungkin suatu saat perlu kita bicarakan, bagaimana itu menjadi konstitusi. Karena biasanya konstitusi di berbagai negara secara detail juga membahas soal bentuk-bentuk ekonomi untuk mengakomodasi aspek

67

Page 69: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

kerakyatan yang dipilih.

Tadi, dari Rahma soal UU Pengadaan Tanah sudah Saya singgung sedikit memang selama ini, para pengusaha sangat berkepentingan sekali. Saya harus akui di dalam fraksi PDIP ada proses tarik menarik. Ada orang-orang dari fraksi yang ditugaskan untuk memimpin di sana, tidak memberikan laporan secara rutin ke Fraksi. Tidak memberi laporan kepada Fraksi Kami tapi mungkin pada Fraksi yang lain. Serius! Kita ada evaluasi. Ternyata, setelah perkembangan seperti ini, kita tegur, kita evaluasi pimpinannya yang juga dari Kami karena tidak ada laporan rutin kepada pimpinan fraksi atas perjalanan RUU ini. Seperti kita ketahui, banyak kebobolan. Kemudian, pemerintah ditekan untuk mengikutsertakan rakyat dalam saham ketika infrastruktur dikelola oleh swasta. Itu perjuangan fraksi Kami untuk meminimalisir dampak negatifnya. Kalau tadi Prof. Yuliandri menyatakan kita bawa secara formail tidak mencantumkan TAP MPR No. IX/2001, mungkin ini masih terbuka untuk teman-teman.

Tadi, pertanyaannya, sebenarnya bagaimana proses gagasan RUU menjadi UU. Harus diakui bahwa ini semuanya proses politik, proses lobi, penekanan, apapun. Untuk memasukkan RUU ke prolegnas bisa dari cara yang canggih, pembentukan opini, konferensi, survey, lobi, atau sekadar mencegat kepala baleg ketika keluar dari toilet. Itu tergantung mood-nya. serius! Bisa seperti itu. Kita sudah menggagas aksi massa, membangun opini, survey, dan sebagainya. Tapi, akhirnya banyak, bisa terlupa begitu saja. Orang tidak selalu membaca media. Sehingga, ketika rapat tidak muncul. Keluar toilet, ajak makanlah. Memang sangat tricky, mulai dari gagasan besar sampai teknik yang tidak wajar, keluar dari toilet, ngopi, tolong prioritas ini dimasukkan, kemarin lupa. Saya ingatkan kemarin tim ini pernah bicara ini. ya, masukkan.

Noer Fauzi: operator saja.

Budiman Sudjatmiko: ini soal operator. Ini politik real, baik DPR maupun partai politik. Politik ada ditentukan map ada diletakkan dimana. serius seperti itu! calon legislatif anggota DPR bisa hilang, karena mapnya hlang. Dampaknya sangat besar tapi prosesnya bisa sangat teknis. Kekuasaan itu bisa menjadi penting, karena politik itu jalan cepat menuju surga atau neraka. Itulah prosesnya, sangat teknis, tidak ada teorinya. Tidak tahu soal birokratik, soal promosi jabatan. Di politik seperti itu, makan keluar, lobi, naikkan sekian. Atau, terakhir, rapat terakhir, sudah masuk, revisi UU 13 tentang ketenagakerjaan. Saya baca. Tapi, teman-teman advokasi dari komisi IX, teman-teman lain buruh jadi komisi balkon dan yang di luar aksi besar. Akhirnya, tidak ada lagi, revisi UU

68

Page 70: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

13/93 dicabut. Itu dalam sidang terakhir.

Proses undang-undang yang lain, misalnya BPJS. kita bisa menunda berkali-kali. Itu yang terjadi dengan undang-undang ini. Berkali-kali dilakukan menteri tidak pernah datang. Soal PU, UU Demonstrasi, berkali-kali. barulah nanti di pembukaan, KOMPAS mengulas dalam laporan khusus Kami, baru menterinya mau datang. Tadinya, berapa kali rapat menteri-menteri tidak mau datang. Jadi, satu bahaya UU inisiatif DPR adalah menteri tidak pernah datang dalam rapat pembahasan bersama. contoh, UU Pembangunan Desa 2004-2009. ini inisiatif DPR. Semua fraksi sudah sepakat, bahkan menteri dalam negeri sudah sepakat tapi menteri keuangan tidak sepakat. Gagal juga, tidak jadi. Sampai sekarang, pemerintah minta depdagri tidak bisa. Mendagri katakan akan berikan surat amanat presidennya untuk dibahas di DPR. Bahkan, sidang kabinet sudah memutuskan. Sehingga, mendagri sudah memberikan draft UU Pilkada dan UU Desa, sudah diberikan kepada SBY. Tapi, SBY hanya tanda tangan UU Pilkada untuk dibahas di DPR. UU Desa yang sudah diserahkan menterinya, tidak ditandatangan. Saya dengar informasi, ada kekuatiran, jika ada UU desa maka akan terbuka terjadi manipulasi suara, menggandakan jumlah desa. Dalam UU Desa kan akan ditetapkan, berapa jumlah desa sebenarnya. Karena, ini bicara anggaran. Desa alokasi anggarannya berapa. Nanti akan ditetapkan dalam UU, desa seperti ini, setidaknya dalam pembahasan. Nanti akan terbongkar, ada juga pembengkakan desa untuk pilpres kemarin. Pemerintah takut di situ. jadi, ada persoalan yang harus kita cermati. Tema politik bisa dikaitkan dengan soal-soal lain yang tidak ada hubungannya dengan naskah akademik atau concern kita di sini. Dinamika pembahasan UU bisa seperti itu.

Kemudian, Steny, pertambangan, sikap DPR. Kami di Komisi II, Saya tidak bisa bicara yang lain karena yang berkaitan dengan pertambangan adalah Komisi VI, sudah membicarakan agar diadakan review HGU. Seluruh HGU, kita review. Prosesnya bagaimana? sah atau tidak? Kalau tidak sah, dicabut. Lihat, moratorium HGU di tingkat BPN atau pertambangan, Saya tidak tahu. Komisi II sepakat ada review terhadap HGU. Soal apakah dia PDIP atau bukan, akan Saya cek. Karena sekarang susah juga mengukur apakah sebuah policy itu benar-benar menterjemahkan-. Karena bisa satu bupati dari partai yang sama, dengan Bupati lain dari partai yang sama, dengan forum yang sama, penanganannya bisa berbeda, bisa sangat bertentangan. Bisa seperti itu karena belum ada standarisasi secara value. Saya tidak tahu tentang moratorium pertambangan. Kalau soal perkebunan rencananya akan kita review .

69

Page 71: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Soal pelaksanaan di lapangan, Saya sepakat soal pelaksanaan di lapangan. Tapi, kita hidup di sebuah negara yang mengakui konsitusi, sistem. Kita mengakui bahwa kita masih dalam rangka reformasi bukan revolusi. Saya sepakat ada dinamika di dalam sistem. Tapi, di luar sistem juga ada. Kalau dinamika di luar sistem akibatnya bisa ada konflik sosial, kekerasan, ada orang mati. kalau dinamika di dalam sistem paling hanya teriak ha hu ha hu saja, tidak perlu ada orang mati. kita masih butuh sistem ini.

Pelaksanaan, unsurnya banyak, unsur pemerintahan, organisasi masyarakat sipil, perimbangan kekuatan politik. Maka, Saya tidak bosan-bosan katakan, aktifis jangan alergi kekuasaan, jangan alergi politik, jangan alergi partai. Masukklan ke DPR, DPRD, jadilah Gubernur, jadilah Bupati, mencalonkan presiden. Karena di titik-titik itulah terjadi policy making. Persis di titik-titik itu ada kebijakan TAP MPR, UU, apapun. Itu proses yang ada karena sistem. Moncongnya, sistem. Supaya ada UU pro-rakyat, itulah sebaiknya aktifis jadi DPR, jadi Gubernur, Bupati, atau Presiden. Seperti Rieke Dyah Pitaloka, Saya dukung untuk maju jadi Gubernur Jawa Barat. Bagus sudah berjuang di BPJS. Berjuang menjadi Gubernur Jawa Barat, kenapa tidak. Saya harap suatu saat teman-teman mencalonkan diri dari DPR, Bupati, DPRD. Kemudian, punya perhatian terhadap perkebunan, pertambangan. Apalagi, teman-teman dari gerakan, masyarakat yang terorganisir. PARADE Nusantara punya gagasan “lumbung suara desa”, 2014 mengangkat mantan kepala desa menjadi DPRD kabupaten agar bisa mengeluarkan perda-perda yang bisa meningkatkan alokasi terhadap desa. Tahun 2009, Kita coba di Madiun, 36 dari 45 anggota DPRD dari PARADE Nusantara tapi disebar di beberapa partai. Akhirnya, masing-masing mendorong pembangunan alokasi dana desa. Tahun 2014, kita harapkan gerakan 'Lumbung Suara Desa' ini tidak hanya di kabupaten Madiun tapi di semua kabupaten yang ada PARADE Nusantaranya, kebetulan 352 kabupaten. Tahun 2014, kita jadikan mantan kepala desa menjadi calon DPRD kabupaten. Kita pikirkan, tidak cukup untuk menjadi DPRD, DPR juga. Saya sedang menghubungi teman-teman aktifis, profesional yang mau jadi anggota DPR RI. Kalau mau, turun, kabupaten ini, ini basis desanya, kepala desanya, garap selama 2 tahun. Partainya terserah. Misalnya, Usep dari Garut atau Cirebon. Ya sudah, kalau mau Cirebon ini ada data 40 kepala desa yang mencalon DPRD tingkat II.

Kalau desa di Indonesia ada 68.000 desa. Jawa, sekitar 24.000 desa. Satu desa kalau di Jawa, sampai 100%, rata-rata dengan 6.000 penduduk, misalnya. Sebusuk-busuknya kepala desa 20% penduduk desa akan bergabung. Mereka rata-rata sudah menang 2 kali, jadi menanglah. Tapi, dia mencalon DPRD,

70

Page 72: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

lawannya dari luar desanya, otomatis dia menang. Ketika Usep mau mencalonkan diri, aku kasih data 60 kepala desa di kabupaten Cirebon, namanya, alamat, dan nomor handphone-nya. Garap sejak sekarang, 2 tahun. Pasang stiker fotomu di setiap rumah kepala desa, pasti menang. Saya sudah membuat gerakan “Lumbung Suara Desa”itu. kita akan gabung dengan AMAN, teman-teman kelompok petani untuk beberapa daerah. Sayang, orang mengeluh masuk politik, biayanya milyaran. Aktifis, tidak punya uang. Sekarang, ada social network, manfaatkan. Kita coba di kabupaten Madiun. 2014 kita akan coba di setidaknya 300 kabupaten tapi dengan tandemnya DPRD Propinsi dan DPR RI. Partainya nanti kita tentukan 2013.

Noer Fauzi: Nasdem

Budiman Sudjatmiko: Tidak harus. Tidak harus PDI juga. mungkin kita pilih partai kecil saja yang kosong. Partai besar sudah banyak penumpangnya. Partai yang kosong tapi begitu kita isi, kita isi dengan aktifis-aktifis DPR. Karena, sudah cukup 13 tahun kita memberikan kepada orang yang tidak bisa mereformasi Indonesia. Sekarang, kita mengambil alih itu. Tapi, karena tidak punya uang, kita gunakan gerakan. Itu saja yang Saya sampaikan. Terima kasih. Assalamu'alaikum Wr. Wb. Saya mohon pamit.

Moderator: terima kasih. beri applause kepada Budiman. Karena dari sisi waktu sangat sempit, Saya minta Profesor Yuliandri memberikan respon balik. Tapi mungkin ringkas-ringkas saja.

Prof. Yuliandri : Terima kasih. pertama, dari mas Andi dari Komnas HAM, lalu Reza dan Mardi. Ada satu hal yang bagi Saya mengganjal. Ini berkaitan dengan pertanyaan dari Zaenal dari KPA. Kita harus paham, prinsip draft itu apa. Secara hirarki, makna hirarki dalam perundang-undangan harus dijelaskan. Misalnya, UU 12 ini menjelaskan UUD adalah ini, UU adalah ini. Tapi, di TAP MPR tidak menjelaskan tapi menunjuk. Kalau hanya sebatas itu tidak pada hirarki tapi ada pasal dalam UU itu yang memberikan justifikasi bahwa UU ini juga mengakomodasi secara substansi terhadap TAP no. I tahun 2003. Tap MPR itu kok menunjuk. Itu aneh, keluar dari forma standar yang ada di pikiran kita. Sekarang, kita lihat dia sebagai bagian hirarki. Konsekuensinya apakah ketika TAP ini dibentuk, sekarang saja lembaga yang membentuk dalam sistem negara kita sudah salah. kok tiba-tiba di UU lain beda. Saya lihat, problemnya bukan di wajib masuk atau tidak, tapi esensinya. Ini sudah menjadi keputusan politik, implikasinya yang harus disikapi. Tadi, Saya kasih contoh saja. Kalau kita mau menampung semua, kenapa ordonansi tidak dimasukkan? ordonansi

71

Page 73: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

punya arti penting. ordonansi punya kedudukan yang jelas, walaupun sekarang tidak disebut.

Problem kita sebetulnya, UU ini membuka peluang kepada semua lembaga pemerintah untuk mengajukan rancangan UU. Tapi, tidak jelas siapa yang menjadi koordinator. Katakanlah, Depkumham sebagai pintu akhir untuk melakukan harmonisasi dan siskronisasi. Tapi, ini tidak jalan ketika dia tidak tahu substansinya, tidak bisa dicover semua. termasuk problem utama, yang ada khususnya insiatif pemerintah. Karena, substansi, beda-beda orangnya. Celakanya, ketika orang yang mengawal tidak paham apa yang diusulkan. Maka, menjadi problem dari segi administrasi. Maka, kita tahu ketika UU sudah jadi, begitu kan Reza, ada tim sinkron dan tim harmonisasi. Tapi, ini tumpul. Itu yang Saya pahami.

Menurut Saya, kita mesti–sama seperti yang disampaikan Budiman soal target prolegnas. Pernahkah kita bayangkan di tahun 2011, ada UU Resi Gudang. Resi Gudang, UU itu tidak pernah masuk prolegnas di 2010 untuk 2011. Tiba-tiba 2011 itu masuk. Resi gudang ini, suatu UU yang prospek sekali ke depan, belum sekarang. Misalnya, ada petani yang punya gabah, sekian ribu ton. Gabah disimpan di satu gudang. Pemilik gudang akan mengeluarkan resi. Resi bisa menjadi surat berharga dan berpindah-pindah. Kita belum urgent. Tapi, kemudian ini jadi. Menurut Saya, sekarang bagaimana kita mengawal substansi setiap UU yang menurut kita urgent dan dibutuhkan dengan substansi yang benar.

Bagaimana melakukan harmonisasi? Ini memang pekerjaan besar. Kenapa? Karena sekarang masing-masing undang-undang itu saling posisi tawar masing-masing. Maka, tadi ada UU yang basah, ada yang kering. Maka, semua tergantung masing-masing lembaga pemerintah. Sama dengan tadi, bagaimana kita melihat hubungan atau keterkaitan antara UU satu dengan UU yang lain, bagaimana melihat UU yang satu lex specialist terhadap UU yang lain. Saya ambil contoh, berkaitan dengan pertanyaan Mardi. Untuk melakukan prinsip-prinsip perundang-undangan, lex generalis – lex specialis, harus dengan UU wewenang yang sama, tidak bisa dengan yang lain. kita bisa lihat, bagaimana kita mengatakan suatu UU dalam bidang sumber daya specialis dengan yang lain atau tidak. Saling mengatur hal yang sama walaupun sttingnya beda-beda. Ini juga menjadi problem. Maka, yang penting, pertama, kita harus memperbaiki mekanisme usul, siapa yang mengajukan RUU. Betul masing-masing departemen bisa mengawal. Kemudian, bagaimana peran Depkumham tetap sebagai departemen yang mengawal terhadap hirarki hukum terhadap UU yang

72

Page 74: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

diajukan oleh masing-masing departemen. Kemudian, bagaimana mengefektifkan proses harmonisasi. Ini kuncinya. Kalau tidak dilakukan, kita akan non sense saja. Berlombalah orang untuk mengajukan berbagai RUU yang kadang-kadang menurut kita tidak urgent untuk kondisi sekarang.

Kenapa isi TAP tidak menjadi UU. Ini problem. Karena beda antara TAP yang menjadi UU HAM dengan TAP no. IX. Karena, TAP no. 9 tidak langsung menunjuk. Dia hanya mengatur tataran kebijakan. Ini yang mesti dilakukan. Kemudian, mendorong harmonisasi peraturan di bidang sumber daya alam. Ini kan luas. Kalau HAM kelihatan simpel. Dalam arti, substansinya bisa dipetakan. Itu bedanya. Ini beberapa hal yang Saya sampaikan. Terima kasih.

Moderator: Terima kasih Prof. Yuliandri. Terakhir, Bang Oji.

Noer Fauzi: Masalahnya untuk menghapus UU Pokok Agraria, Saya punya keberatan yang sangat. Karena ini adalah satu-satunya perundang-undangan yang secara ideologis menegaskan kembali sedimen negara bangsa dalam upaya mewujudkan keadilan sosial dalam prinsip tanah punya fungsi sosial, social function of the land. Tidak ada UU lain yang menyatakan prinsip seperti ini. Masalah pokoknya adalah ketidakmampuan dari bagaimana prinsip fungsi sosial atas tanah ini diwujudkan oleh pemegang mandat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kalau di tengah kedigdayakan pasar sekarang dibuka pintu untuk mengganti perundang-undangan ini, maka itu akan hilang. Di banyak contoh, seperti yang terjadi di Mexico, begitu dibuka perubahan –bukan hanya pada perundang-undangan- pada konstitusi, maka yang terjadi adalah UU yang menyatakan fungsi sosial atas tanah, maaf, Pasal 27 Undang-undang Dasar yang menyatakan tanah punya fungsi sosial dan harus ada redistribusi tanah, hilang dari konstitusi mereka. Itu akibat langsung, dari proses pengintegrasian meksiko dalam koalisi NATA, North America trade are.

Sekarang, digdaya pasar ini bukan hanya proses restrukturisasi. Kedudukan Indonesia dalam kaitan dengan ASEAN, kaitan hubungan dengan China, India, Asia Pasifik, tapi juga kedigdayaan pasar sudah masuk ke pikiran para legislator. Saya disuplay oleh teman-teman seperti Budiman di DPR. Dari ratusan perundang-undangan yang dihasilkan, orientasi liberalismenya besar sekali dibandingkan yang Saya hadapkan dengan orientasi mengunakan konstitusi dan paham koberalisme sebagai cara berpikir untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini, mewujudkan keadilan sosial seperti pada pembukaan UUD 1945. Komitmen para legislator, lebih-lebih komitmen eksekutif negara terhadap pasar sudah begitu kuat. Mereka lebih banyak menjadi warga pasar

73

Page 75: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

daripada warga negara. Kok bisa begitu? Contohya, pada praktek aparatus keamanan, praktek-praktek legislasi. Keduanya punya kewenangan monopolisitik dari negara. Mereka bisa lakukan itu untuk pasar, korporasi besar, ketimbang menjadi negara yang menegaskan pelindungan terhadap warga negaranya. Sebaliknya, ketika aspirasi rakyat direpresi, ketika produk legislasi menghancurkan akses dan kontrol rakyat dari sumber daya alam tempat dia hidup, maka jalur transformasi dari penduduk menjadi warga negara putus. Mereka menjadi anti negara. Kesempatan mentransformasi diri dari penduduk menjadi warga negara ditutup. Banyak penduduk Indonesia yang belum jadi warga negara dalam arti –bukan keimigrasian tapi dia harus dilayani hak-hak dasar. Hak untuk punya hak sebagai warga negara Indonesia yang punya constitutional right. Kewajiban-kewajiban dalam hal ini, kalau menggunakan kosnep HAM state obligation, kewajiban itu adalah transformasi berlangsung. Dari populasi, warga etnik, warga tempatan, warga agama menjadi warga negara. Jalurnya putus, bahkan dihambat sehingga mereka bersikap anti terhadap negara, anti legislasi, anti aparat birokrasi, anti aparat polisi dan keamanan, dan kemudian meneriakkan aspirasi kemerdekaan. Aspirasi kemerdekaan ini, adalah sesuatu yang universal. Kalau kita telusuri lebih jauh, negara kolonial.

Maka, menurut Saya, tidak ada jalan lain selain gerakan sosial mengembangkan kemampuannya yang berasal dari ketidakpuasan terhadap praktek-praktek negara. tapi, di pihak lain, merebut kembali, mere-edukasi, membuat proses yang monopoli lembaga negara yaitu birokarsi, legislasi, aparat keamanan menjadi birokrasi konstitusi, pemegang mandat konstitusi. Dalam hal ini, ultimately yang berteguhkan pada keadilan sosial. keadilan sosial tidak bisa dicapai tanpa menggunakan itu, keadilan sosial sebagai prinsip. Salah satu prinsip keadilan sosial itu pada penguasaan tanah dan sumber daya alam. Maka, tanah menjadi central yang sudah lama ditinggalkan. Kalau itu kita buka untuk diganti, maka pemikiran pasar yang mendominasi dari para legislator kita, eksekutif kita akan melindas semua sedimen nasionalisme yang berlangsung selama 20 tahun, 45 sampai 65. ini adalah sisa paling akhir.

Sebaliknya, Saya memanggil kita semua membuat paham konstitusi untuk menjadi pegangan dasar. Tahun 67-98 konstitusi ini dipandang sebagai sesuatu mensakralkan konstitusi tapi konstitusionalisme tidak pernah dikembangkan menjadi alat pendidikan sehingga warga negara paham hak-haknya. Kemudian, liberal, tahun 97 segala hambatan negara yang otoritarian di desentralisasi. Maka, sekarang arus pasar bekerjasama dengan demokrasi dan desentralisasi. Jadi, jangan membuat anggapan liberalisasi dan desentalisasi itu

74

Page 76: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

sesuai aspirasi rakyat. Kita lihat praktek di lapangan keduanya kerjasama dengan kekuatan pasar. Desentralisasi dan demokrasi, para oligar yang bekerja dengan prinsip pasar mampu menyesuaikan diri dan bisa kerja efektif dalam alam demokrasi. Berarti, korupsi makin besar, perampasan tanah lebih banyak, pemanfaatan negara sebagai alat modal semakin besar. Itu yang belum cukup dipahami oleh banyak pemegang mandat. Maka, Saya mengundang kita semua memikirkan jalur transformasi baru, bagaimana bisa mencegah sektoralisme menguat dari perundang-undangan maupun kelembagaan, HAM belum jadi pegangan dimana tranformasi dari penduduk ke warga negara dilayani pemenuhan HAM itu. sebaliknya, birokasi, keamanan, Legislasi digunakan pasar yang counter-revolusi, tandingan, terhadap proses transformasi. Kalau pasar dipegang sebagai kerja dari pemerintahan, keamanan, legislasi, maka yang ada adalah reaksi tanding, sifat protektif masyarakat terhadap tanahnya. Itu yang terjadi di Papua. Ini krisis yang kronis dan meledak-ledak dari waktu ke waktu. Jangan dipahami saja yang terjadi di Mesuji atau tempat lain sebagai eksplosi perlakuan pemerintah, tapi dia adalah eksplosi dari landasan yang sifatnya sudah menahun, kronis. Neokolonialisme sudah dikukuhkan melalui praktek dimana menggunakan pemerintah sebagai instrumen. Saya menggunakan proses seperti ini supaya kita punya dorongan untuk memahami ini dalam konteks membangun kembali konstitusionalisme. Tidak ada jalan lain. Konstitusionalisme harus dihidupkan kembali, harus didasarkan atas sejarah dan perbedaan geografis dimana kepulauan Indonesia ini memang beragam sekali. Terima kasih.

Moderator: Terima kasih untuk mengakhiri jawaban karena sempitnya waktu. Bapak Ibu sekalian. Tiga narasumber sudah menyampaikan komentar balik dari komentar dan masukan Bapak Ibu sekalian. Mudah-mudahan dalam diskusi ini kita bisa kembali ke kerangka awal diskusi ini dari teman-teman HuMa. Sosialisasi, menginformasikan bahwa TAP MPR sudah masuk dalam hirarki. Tapi, membongkar isi dibalik masuknya TAP MPR, apakah bisa jadi peluang bagi advokasi ke depan. Tadi, analisanya banyak. Ternyata, di internal DPR ternyata tidak satu suara. Ini tetap jadi tantangan. Oji katakan, kita harus waspada pada dominasi pasar. Waspada harus di-double-kan. Karena Pasar bisa kerja di rejim yang sosialis sekalipun apalagi yang demokratis yang memberi ruang cukup banyak. Itu terakhir dari Saya dalam memandu proses dialog ini. Saya kembalikan kepada panitia. Terima kasih dan applause untuk kita semua.

75

Page 77: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 78: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

KESIMPULAN

PROSIDING DISKUSI PUBLIKREFLEKSI PERJALANAN KEMBALINYA TAP MPR NO.IX TAHUN 2001

TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

JAKARTA, 27 DESEMBER 2011

Page 79: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 80: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Penataan kembali agraria dan sumber daya alam yang dimandatkan TAP MPR IX memang bertujuan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik – konflik. Maka konsekuensinya adalah seluruh produk UU yang terkait dengan isu agraria dan sumber daya alam harus mengacu pada TAP MPR tersebut. Meskipun kedudukannya harus dipertegas agar tidak kehilangan makna apabila ada peraturan perundang – undangan turunannya yang mengatur substansi yang sama, demikian penegasan dari Profesor Profesor Yuliandri. Mengenai keberadaan TAP MPR IX ini pemberlakuannys harus dikawal apakah legislative dan eksekutif telah menjadikannya sebagai dasar acuan sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 7 Ayat (1) dalam Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Progres TAP MPR IX memang cukup diakui oleh kalangan aktivis Agraria karena dengan tegas pula mendorong Pemerintah memprogramkan land reform. Ini menginspirasi aktivis agraria tersebut untuk melakukan strategi pendekatan ke Komnas HAM guna mengembangkan sebuah proposal kebijakan untuk membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) untuk memproses klaim yang berhubungan dengan perampasan tanah dibawah rezim Soeharto. Namun di sisi lain oleh Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) ini dapat berpotensi negative karena dapat digunakan sebagai pintu masuk bagi agenda neo liberal dan imperialis melalui prinsip – prinsip baru pengelolaan sumber daya alam karena dapat membatalkan Undang – Undang Pokok Agraria Tahun 1960, yang telah menjadi acuan penataan kembali agrarian (landreform).

Meskipun DPR belum sepenuhnya mengadopsi substansi TAP MPR IX, HuMa terus melakukan upaya advokasi dengan melalui pintu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Walaupun upaya pendekatan ke DPR tetap dilakuan mengingat proses legislasi berada disana. Harmonisasi peraturan perundangan tidak hanya mengadopsi substansi TAP MPR IX namun pentik pula tetap mempertahankan kedaulatan Konstitusi Dasar, UUD 1945, yang tegas mengatur orientasi kedaulatan Negara untuk kemakmuran rakyat. Gerakan masyarakat sipil pernah melakukan upaya untuk mengembalikan beberapa peraturan perundang – undangan kembali mengacu pada Konstitusi Dasar, dengan melakukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi. Yang menghasilkan beberapa putusan MK yang cukup progresif misalkan perubahan Pasal 21 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan yang bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 terkait dengan kriminalisasi petani yang memasuki lahan perkebunan berdasarkan Putusan MK No 55/PUU-VIII/2010.

Secara substantive Diskusi Publik telah mengingatkan kembali kepada publik bahwa TAP MPR IX penting untuk dijadikan alat advokasi dalam proses

79

[ ] kesimpulan

Page 81: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

penyusunan peraturan perundang – undangan terkait dengan agraria dan sumber daya alam. Meskipun kondisinya di DPR sendiri masih belum satu suara serta kepentingan pasar yang berpotensi mengintervensi kebijakan dan sistimnya, demikian kesimpulan yang dirangkum oleh Asep Yunan Firdaus selaku moderator pada sesi Diskusi Publik yang telah berlangsung selama 3 jam.

80

Page 82: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

DOKUMENTASI

PROSIDING DISKUSI PUBLIKREFLEKSI PERJALANAN KEMBALINYA TAP MPR NO.IX TAHUN 2001

TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

JAKARTA, 27 DESEMBER 2011

Page 83: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Page 84: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

[ ] dokumentasi

83

Suasana sebelum acara dimulai

Moderator memandu jalannya Diskusi Publik

Page 85: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

84

Bincang-bincang informal para narasumber

Prof. Yuliandri (Pembicara)Budiman Sudjatmiko (Pembicara)

Asep Yunan Firdaus (Moderator)Noer Fauzi Rahman (Pembicara)

Page 86: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

HuMa adalah organisasi non pemerintah (non governmental organization) yang bersifat nirlaba yang memusatkan perhatian kerjanya pada isu pembaharuan hukum (law reform) pada bidang sumberdaya alam (SDA). Konsep pembaharuan hukum SDA yang digagas oleh HuMa menekankan pentingnya pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas SDA, keragaman sistem sosial/budaya dan hukum dalam pengusaan dan pengelolaan SDA, dan memelihara kelestarian ekologis. Pada tataran praksis, proses pembaharuan hukum harus melibatkan masyarakat adat dan lokal sebagai aktor utamanya. Sesuai dengan visi dan misi HuMa, gagasan dan praktek pembaharuan hukum yang dikembangkan memiliki tujuan utama untuk mendorong pembaruan sistem dan praktik hukum yang adil bagi masyarakat marginal dan lingkungan, serta menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan keragaman sosial budaya.Nilai-nilai perjuangan HuMa:lHak Asasi Manusia;lKeadilan Sosial;lKeberagaman Budaya;lKelestarian Ekosistem;lPenghormatan terhadap kemampuan rakyat;lKolektifitas

SejarahSecara historis, HuMa dirintis oleh individu-individu dari berbagai latar belakang (aktivis, akademisi dan lawyer) yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap konsep berfikir dan praktek hukum di bidang sumberdaya alam. Sejak 1998 dengan dukungan dari ELSAM, embrio kelembagaan HuMa telah disiapkan. HuMa sendiri kemudian secara resmi didirikan pada 19 Oktober 2001 sebagai Organisasi dengan bentuk Badan Hukum Perkumpulan. Saat ini keanggotaan HuMa berjumlah 25 orang yaitu Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA., Prof. DR. Ronald Z. Titahelu, SH., Myrna A. Safitri, SH., MH., Ph.D; Julia Kalmirah SH., Sandra Moniaga, SH., Ifdhal Kasim, SH., Andik Hardiyanto, SH., Martje L. Palijama, SH., Rikardo Simarmata, SH., Marina Rona, SH., Drs. Stepanus Masiun, Drs. Noer Fauzi, (alm) Edison R. Giay SH., Concordius Kanyan, SH., Prof. DR. I Nyoman Nurjaya, Herlambang Perdana, SH.MA., Rival Gulam Ahmad, SH.LLM., Dr. Kurnia Warman, SH.MH., Chalid Muhammad, SH., Asep Yunan Firdaus, SH., Susi Fauziah, AMD., Ir. Didin Suryadin, Ir. Andri Santosa, Dahniar Andriani, SH., dan Abdias Yas, SH.

Tentang

85

Page 87: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Visi dan Misi

VisiMeluasnya gerakan sosial yang kuat untuk mendukung pembaruan sistem dan praktik hukum yang adil bagi masyarakat marginal dan lingkungan, serta menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan keragaman sosial budaya.

Misi1. Mendorong konsolidasi, peningkatan kapasitas dan kuantitas

Pendamping Hukum Rakyat (PHR) melalui mitra-mitra strategis dalam mewujudkan visi HuMa.

2. Melakukan advokasi kebijakan, kampanye dan berbagai model pendidikan hukum untuk menandingi wacana dominan dalam pembaruan hukum di isu tanah dan Sumber Daya Alam.

3. Menjadikan HuMa sebagai pusat data, informasi dan pengembangan pengetahuan berbasis situasi empirik.

4. Memperkuat kelembagaan HuMa sebagai organisasi yang berpengaruh, kompeten dan mandiri untuk mendukung gerakan sosial dan pembaruan hukum.

Wilayah Kerja dan Mitra-Mitra KerjalSumatera Barat, bermitra dengan Perkumpulan Q-barlJawa Barat-Banten, bermitra dengan RMI (Rimbawan Muda Indonesia)lJawa Tengah, bermitra dengan LBH SemaranglKalimantan Barat, bermitra dengan LBBT (Lembaga Bela Banua Talino)lSulawesi Selatan, bermitra dengan WallacealSulawesi Tengah, bermitra dengan Perkumpulan Bantaya

Program Kerja1. Sekolah PHR Indonesia, yang diharapkan akan menghasilkan strategi

pengembangan dan model rekruitmen Pendamping Hukum Rakyat (PHR) yang sistematis sehingga jumlah PHR semakin meningkat dan memiliki kemampuan dalam pengorganisasian, fasilitasi training pendidikan hukum, legal drafting, conflict resolution, dan advokasi kebijakan

2. Resolusi Konflik Berbasis Inisiatif Masyarakat, yang diharapkan akan mendorong terbentuknya mekanisme resolusi konflik SDA yang terlembaga dan efektif dan didukung oleh komunitas lokal dan adat.

3. Pusat Data dan Informasi, yang diharapkan akan mengembangkan

86

Page 88: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

pusat data, informasi dan pengetahuan berbasis situasi empirik melalui HuMaWin, situs HuMa yang mudah diakses, dan media kreatif lainnya dan kolaborasi dengan pihak lain.

4. Kehutanan dan Perubahan Iklim, yang menghasilkan berbagai kajian hukum yang mendalam mengenai aspek hak dalam skema REDD+ serta melakukan intervensi dalam bentuk advokasi di tingkat lokal maupun nasional untuk mendorong terbentuknya kebijakan dan peraturan REDD+ yang mengakomodasi dan merefleksikan hak masyarakat.

5. Pengembangan Kelembagaan, yang diharapkan akan mendorong HuMa semakin professional, kompeten, mandiri dan berpengaruh untuk mendukung gerakan sosial dan pembaruan hukum.

Struktur Organisasi

Badan PengurusKetua : Chalid Muhammad, SHSekretaris : Andik Hardiyanto, SHBendahara : Ir. Andri Santosa

Badan PelaksanaDirektur Eksekutif : Andiko, SHKoordinator Program : Bernadinus Steny, SH

lTandiono Bawor, SH(Program Sekolah PHR Indonesia)

lSiti Rakhma Mary, SH, Msi (Program Resolusi Konflik)

lWidiyanto, SH (Program Pusat Data dan Informasi)

lBernadinus Steny, SH (Program Kehutanan dan Perubahan Iklim)

Program Pengembangan Kelembagaan :Susi Fauziah, BscKepala Keuangan :Nerawati, SE

87

Page 89: PROSIDING DISKUSI PUBLIK - HuMa isi layout_revisi final... · RUU : Rancangan Undang-Undang ... Dalam kaitan itu, analisis tulisan ini akan ... yang diselenggarakan oleh Perkumpulan