proposal skripsi ilmu pemerintahan
DESCRIPTION
pemilukada pemalangTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menganut paham
demokrasi. Dalam paham ini rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting,
sebab kedaulatan berada di tangan rakyat. Menurut Abraham Lincoln ( dalam
Ngabiyanto 2003: 42) suatu negara demokratis adalah negara yang memiliki
bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai
konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sembilan
kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 untuk pemilihan calon legislatif
(Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres).
Pemilu ( pemilihan umum ) menurut Pasal 1 UU RI No12 Tahun 2003
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan umum menjadi salah satu indikator stabil dan dinamisnya
demokratisasi suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan
pemilu memang secara periodik sudah berlangsung sejak awal-awal
kemerdekaan bangsa ini, akan tetapi proses demokratisasi lewat pemilu-
pemilu yang terdahulu belum mampu menyemai nilai-nilai demokrasi yang
matang akibat sistem politik yang otoriter. Harapan untuk menemukan format
demokrasi yang ideal mulai nampak setelah penyelenggaraan 2 pemilu
xiv
langsung terakhir di tahun 2004 dan 2009 yang berjalan relatif cukup lancar
dan aman. Untuk ukuran bangsa yang baru beberapa tahun lepas dari sistem
otoritarian, penyelenggaraan pemilu yang terdiri dari pemilu legislatif dan
pemilu presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindakan kekerasan dan
konflik menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa ini. Terlebih dengan diadakan
pemilihan Kepala Daerah yang juga dilaksanakan secara langsung.
Dalam tahapan demokrasi ini, bangsa Indonesia kembali diuji dengan
momentum pemilihan kepala daerah langsung yang telah berlangsung sejak
2005. Meskipun sebagian masyarakat masih skeptis dengan Pilkada langsung
ini terutama ketidaksiapan materi dan infrastruktur, namun demikian
momentum pilkada idealnya dijadikan sebagai proses penguatan
demokratisasi. Di tengah masih lemahnya kesadaran politik di level grass
root, maka momentum Pilkada menjadi ajang pertarungan politik yang selalu
membuka ruang potensi konflik, manipulasi, money politics, dan intimidasi.
Semua itu jika tidak disikapi dengan bijak dengan tingginya kesadaran politik
masyarakat untuk berpartisipasi politik ikutserta dalam menciptakan jalannya
pemilihan umum langsung, maka akan dapat menimbulkan perpecahan
didalam intern suatu wilayah yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan
NKRI. Untuk itulah dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang jelas dan
sesuai untuk diterapkan guna memandu jalannya pelaksanaan pemilu.
Berbicara pilkada langsung kita tidak lepas dari Undang undang No. 32
Tahun 2004. Tidaklah kalah penting dari Undang-undang tersebut adalah
aspek demokratisasi. Aspek demokratisasi dalam Undang-undang ini diukur
xv
dari dua faktor penting, yaitu unsur keterlibatan masyarakat dalam
menentukan pejabat publik di daerah (kepala daerah) dan keterlibatan
masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik yang terkait dengan
kepentingan masyarakat secara luas. Salah satu aspek efektifitas demokrasi
adalah adanya kesempatan bagi masyarakat atau publik untuk menentukan
pejabat publik tersebut pada tingkat lokal melalui pemilihan umum yang
dilaksanakan langsung secara periodik. Karena demokrasi dan partisipasi
politik rakyat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Adalah tidak
realistis jika kita ingin menegakkan demokrasi sementara itu rakyat tidak bisa
berperan secara aktif.
Berdasarkan konsep tersebut dapat diambil pengertian bahwa sebuah
pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang
memimpin pemerintahan itu dipilih secara langsung dan bebas oleh publik
dengan cara terbuka dan jujur. Dalam konteks penguatan demokratisasi,
pilkada langsung sebenarnya menjadi peluang untuk melakukan pematangan
dan penyadaran berdemokrasi. Rakyat yang memiliki kesadaran berdemokrasi
untuk berpartisipasi aktif mensukseskan jalannya pilkada langsung sampai
kepada tingkatan masyarakat yang paling bawah terutama dalam masyarakat
pedesaan. Sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun
2004 yang menyatakan bahwa, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Disini jelas dikatakan bahwa
pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung oleh rakyat di
xvi
daerah bersangkutan. Masyarakat diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk
menentukan figur kepala daerah masing-masing.
Pengaturan dari pasal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 6
Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung merupakan wujud dari model pengisian pejabat publik
oleh masyarakat, sehingga akuntabilitasnya kepada pemilik kedaulatan
menjadi lebih konkrit. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan
upaya membuat sistem pengisian pejabat politik menjadi konsisten, mulai
dari presiden kepala daerah (propinsi, kabupaten/kota) sampai kepala desa.
Meski pada dasarnya pemilihan secara langsung ini sebenarnya bukan
kemajuan, namun hanya kembali pada kebiasaan yang sudah ada dari dahulu
yang telah mendarah daging, seperti dalam pemilihan kepala desa. Namun
dalam cakupan wilayah yang lebih besar dan kesuksesan pelaksanaan
PEMILU dipengaruhi oleh banyak faktor dan sampai sejauh mana partisipasi
politik masyarakat.
Aspek penting lainnya yang menjadi fenomena demokrasi lokal yang
terjadi dalam pilkada secara umum di Indonesia seperti yang diberitakan
Harian Kompas, Rabu 9 Agustus 2006, ”Partisipasi Pemilih Dalam Pilkada
adalah banyaknya kepala daerah terpilih yang hanya meraup suara di bawah
70% dari total keseluruhan DPT yang mengikuti Pilkada. Dimana masih
banyaknya Golput (orang yang tidak mencoblos) dalam pelaksanaan Pilkada
Fenomena tersebut, tidak dapat dibaca sekedar hitam diatas putih. Kasus
xvii
pilkada Kabupaten Pati misalnya membuktikan telah terjadi "tsunami" politik
yang menyebabkan pemilih banyak yang tidak datang ke TPS dan sengaja
menghindar. Bahkan dari penelitian Achmad (2006) terbukti ada salah satu
TPS di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati dengan jumlah
pemilih sebesar 502, tetapi yang datang ke TPS tersebut dan mencoblos surat
suara hanya 1 orang saja. Diperlukan usaha keras untuk mensosialisasikan
pentingnya partisipasi politik masyarakat didalam pelaksanaan Pilkada agar
dapat dihasilkan seorang pimpinan kepala daerah yang mumpuni dan sesuai
dengan keinginan rakyat demi peningkatan kemandirian di daerahnya. Jika
dilihat dari pelaksanaan pilkada di Provinsi dari tahun 2005 -2008
Tabel iPartisipasi Pemilih dalam Pilkada Di 35 Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah
No Kab/KotaPartisipasi Pemilih
DalamPemilu/Pilkada2005 2006 2007 2008
(1) (2) (3) (4) (5) (6)1 Kab Cilacap 67,842 Kab. Banyumas 72,963 Kab. Purbalingga 73,124 Kab. Banjarnegara 72,975 Kab. Kebumen 71,816 Kab. Purworejo 74,967 Kab. Wonosobo 79,208 Kab. Magelang 72,489 Kab. Boyolali 76,6810 Kab. Klaten 74,5311 Kab. Sukoharjo 72,4512 Kab. Wonogiri 68,9613 Kab. Karanganyar 68,9414 Kab. Sragen 71,6315 Kab. Grobogan 69,9216 Kab. Blora 74,2517 Kab. Rembang 82,4218 Kab. Pati 51,78
xviii
19 Kab. Kudus 56,4420 Kab. Jepara 55,0721 Kab. Demak 77,6422 Kab. Semarang 66,9923 Kab. Temanggung 81,0324 Kab. Kendal 73,3525 Kab. Batang 77,6626 Kab. Pekalongan 74,0227 Kab. Pemalang 64,9428 Kab. Tegal 57,2029 Kab. Brebes 55,0730 Kota Magelang 77,2031 Kota Surakarta 74,9132 Kota Salatiga 76,5833 Kota Semarang 66,5134 Kota Pekalongan 67,9535 Kota Tegal 65,81
Sumber data : Diolah dari KPU Jateng
Dikabupaten Pemalang sendiri jika dibandingkan hasil Pilkada
sebelumnya di tahun 2005 juga mengalami penurunan. Dimana dalam Pilkada
2005 tingkat partisipasinya mencapa 64, 94 %, sedangkan dalam Pilkada
tahun 2010 tingkat partisipasi itu menurun menjadi 54%. Banyak faktor yang
menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat pemalang menurun, salah satunya
adalah topografi pemalang dan persebaran penduduk Pemalang yang sebagian
besar merupakan wilayah pedesaan di pegunungan dan lingkungan desa
pesisir.
Untuk itu sangat diperlukan langkah yang tepat dan sesuai untuk
menanamkan pentingnya keikutsertaan masyarakat dalam mensukseskan
Pilkada terutama ditingkat lokal yaitu di wilayah Pedesaan. Hasil suara dari
desa memiliki pengaruh besar dalam Pilkada karena hampir disetiap daerah
sebagian besar masyarakatnya yang berdomisili di Pedesaan dengan segala
xix
keterbatasannya. Disamping minimnya akses sumber informasi, rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat desa juga berpengaruh terhadap partisipasi
politik masyarakat desa terhadap Pilkada. Disinilah sosialisasi politik berperan
dalam hubungannya dengan partisipasi politik masyakat.
. Mengingat pentingnya pelaksanaan Pilkada secara langsung sebagai
wujud pelaksanaan demokrasi yang sebenar-benarnya. Tingkat partisipasi
politik adalah faktor yang menentukan apakah Pemilu ataupun Pilkada yang
berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih,
maka tingkat keberhasilan Pemilu ataupun Pilkada semakin tinggi. Untuk
mengetahui apakah ada pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik
di tingkat masyarakat yang paling bawah yaitu di tingkat desa, maka penulis
tertarik untuk mengambil judul “Pengaruh Sosialisasi Politik Terhadap
Partisipasi Politik Masyarakat Desa Dalam Pilkada Kabupaten Pemalang
Tahun 2010”
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui sejauhmana partisipasi masyarakat desa pada
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Pemalang Periode
2010-2015.
b. Untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan sosialisasi politik dalam
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Pemalang Periode
2010-2015.
xx
c. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh sosialisasi politik terhadap
partisipasi politik masyarakat desa dalam Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Pemalang Periode 2010-2015.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Mahasiswa: untuk menerangkan sekaligus menerapkan teori
teori yang di peroleh di bangku kuliah.
b. Bagi pembuat kebijakan: Kontribusi penelitian ini tidak hanya dalam
memperkaya khasanah teori, tetapi hasil temuan yang diolah secara
proporsional dan profesional, diharapkan menjadi sumbangan sebagai
masukan pemikiran bagi pemerintah dalam merancang level kebijakan
mengenai proses pemilihan kepala daerah.
c. Bagi ilmu pengetahuan: Temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini
diharapkan memberikan kontribusi (kegunaan) dalam pengembangan
keilmuan terutama yang berkaitan langsung dengan kegiatan sosial
politik masyarakat atau kajian sosiologi politik.
C. Ruang Lingkup Permasalahan
1. Pokok Permasalahan
Pada hakekatnya masalah dalam suatu penelitian merupakan segala
bentuk pernyataan yang perlu ditimbul dari ketidak sesuaian antara
kenyataan dengan harapan. Ketidaksesuaian itulah yang harus dicari
penyebabnya, atau segala bentuk kesulitan yang dapat menyebabkan
terjadinya ketidak sesuaian, sehingga dapat ditentukan cara yang tepat dan
xxi
efektif untuk diwujudkan kedalam kegiatan yang terstruktur sebagai
langkah konkret untuk memecahkan permasalahan sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Adapun yang menjadi pokok permasalahan
yang penulis ajukan adalah: Bagaimana Pengaruh Sosialisasi Politik
Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa dalam pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Pemalang periode
2010-2015 ?
2. Obyek Permasalahan
Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah :
2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian adalah 3 Desa di Kecamatan Warungpring,
Kabupaten Pemalang yang memiliki tingkat partisipasi politik paling
rendah (46%) se-Kabupaten Pemalang dengan kriteria : 1). Desa
dengan tingkat partisipasi politik tertinggi, 2). Desa dengan tingkat
partisipasi politik sedang dan 3). Desa dengan tingkat partisipasi
politik rendah.
2.2 Responden
Responden yang menjadi obyek penelitian yang dilakukan oleh penulis
adalah Masyarakat Desa sebagai pelaku pemilihan (Voters) , Pegawai
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Pemalang dan anggota KPPS
selaku petugas pelaksana Pilkada, perangkat desa dan pengurus partai
di tingkat ranting.
xxii
D. Kerangka Dasar Teori
1. Pengertian dan arti pentingnya Pilkada langsung
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian Kepala Daerah
adalah orang yang memimipin Pemerintahan Daerah misalnya Gubernur
untuk Daerah Tingkat I dan Bupati untuk Daerah Tingkat II, sedangkan
langsung menurut Moh. Mahfud. M.D: 21: 2008 artinya di lakukan sendiri
secara langsung oleh yang berhak tidak diwakilkan kepada pihak lain.
Adapun persoalan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) diatur
dalam Undang-undangNo. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(PEMDA). Undang-undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada
UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Disana
dituliskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan
Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya
pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menganut
paham demokrasi. Dalam paham ini rakyat memiliki kedudukan yang
sangat penting, sebab kedaulatan berada di tangan rakyat. Menurut
Abraham Lincoln (dalam Ngabiyanto 2003: 42) suatu negara demokratis
adalah negara yang memiliki bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat. Namun dalam praktek ketatanegaraan negara – negara
di dunia, bentuk pemerintahan demokratis yang diselenggarakan belum
sesuai dengan bentuk demokrasi yang ideal, bahkan terdapat
xxiii
kecenderungan bahwa pelaksanaanya disesuaikan dengan kondisi negara
masing-masing sehingga muncullah variasi dari demokrasi sebagai
tuntutan untuk memenuhi kebutuhan negara yang menganutnya. Upaya
untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia ditempuh melalui berbagai
cara, salah satunya adalah dengan menjalankan desentralisasi, termasuk di
dalamnya Pilkada langsung.
Desentralisasi merupakan bagian dari proses demokratisasi. Dengan
desentralisasi maka kepada daerah, baik pemerintahannya, rakyatnya,
maupun wakil-wakil rakyat, diberi kemungkinan dan kesempatan untuk
memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang sesuai
dengan kepentingan masyarakat setempat (Nadapdap, 2005).
Pilkada langsung merupakan salah satu bentuk implementasi
desentralisasi dalam perspektif politik, dimana terjadi proses transfer lokus
kekuasaan dari pusat ke daerah (Romli, 2005). Pemilihan kepala daerah
secara langsung di Indonesia dimulai pada tahun 2005, tepatnya pada
bulan Juni 2005. Pilkada langsung di Indonesia sering dikatakan sebagai
suatu lompatan demokrasi yang dapat berkono tasi positif maupun negatif
(Kristiadi, 2006). Dalam arti positif, Pilkada langsung memberikan
kesempatan kepada rakyat di daerah sebagai salah satu infrastruktur politik
untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme
pemungutan suara. Hal ini akan mendorong terjadinya keseimbangan
antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik, karena melalui
xxiv
pilkada langsung maka rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan
dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia.
Pengertian PILKADA sendiri ialah pemilihan kepala daerah secara
langsung oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya
yang baru atau Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur,
Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan
secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung) sudah terjadi di ratusan tempat di seluruh Indonesia. Namun,
ada gejala mencolok yang cukup mengkhawatirkan yang terjadi dalam
masyarakat. Antusiasime publik dan tingkat partsipasi masyarakat luas
dalam pilkada itu cukup rendah. Ukuran paling mencolok dari rendahnya
keterlibatan publik itu adalah rendahnya tingkat Voter Turnout (partisipasi
pemilih yang mencoblos di TPS pada hari pemilihan).
Di banyak daerah di Indonesia, hanya 70 persen pemilih yang
terdaftar yang datang ke tempat pemungutan suara. Di beberapa tempat,
bahkan hanya sekitar 50 persen dari pemilih yang ikut mencoblos.
Persentase Voter Turnout (50 %) itu jelas sekali di bawah rata-rata
standard Pemilu Nasional di Indonesia. Sejak Orde Baru sampai dengan
Orde Reformasi, rata-rata Voter Turnout itu sekitar 90 persen. (Denny JA,
01/05/2006).
Secara hukum, rendahnya tingkat partisipasi publik itu tidak
membatalkan pemilu. Sejak awal negara kita menganut asas suka-rela
xxv
dalam partisipasi politik di dalam pelaksanaan pemilu. Para pemilih boleh
mendaftarkan diri sebagai pemilih, boleh juga tidak. Bahkan pemilih yang
sudah memiliki kartu pemilih boleh datang ke tempat pemilihan, boleh
juga tidak. Partisipasi politik itu dianggap menjadi hak warga negara
bukan kewajiban dari warga negara.
Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung
bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Yaitu:
a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat
karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan
kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur,
Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini
telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi
rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik
berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran
kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin
yang benar sesuai nuraninya.
xxvi
d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh
pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam
pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam
mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan
aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
e. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan
nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari
200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa.
Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang
memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin
nasional justru dari pilkada langsung ini.
2. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Pilkada berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 dikatakan memenuhi
syarat sebagai pilkada langsung karena adanya kegiatan-kegiatan yang
melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pemilih dan memberikan
peluang kepada masyarakat melalui partai politik untuk menjadi calon,
menjadi penyelenggara, dan mengawasi jalannya pelaksanaan kegiatan.
Adapun kegiatan pilkada langsung dilaksanakaan dalam 2 (dua) tahap,
yakni masa persiapan dan masa pelaksanaan, sebagaimana dinyatakan
xxvii
dalam pasal 65 ayat (1)10. Pada ayat (2) disebutkan bahwa kegiatan-
kegiatan yang tercakup dalam masa persiapan adalah:
a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya
masa jabatan Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai
berakhirnya masa jabatan kepala daerah.
b. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal
tahapan pelaksanaan pilkada
c. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS.
d. Pembentukan dan pendaftaran pemantau.
Dalam kegiatan masa persiapan, partisipasi masyarakat sangat menonjol
dalam pembentukan Panitia Pengawas (Panwas), PPK, PPS, dan KPPS.
Tahapan pelaksanaan terdiri dari 6 (enam) kegiatan sesuai pasal 65 ayat
(3)11, yaitu:”
1) Penetapan daftar pemilih
2) Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah
3) Kampanye
4) Pemungutan suara
5) Penghitungan suara
6) Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih,
pengesahan, dan pelantikan.
xxviii
3. Pengertian Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola
sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang
diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat. Sosialisasi
politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistim politik
pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta
reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik (Rush & Althof : 2008: 27 )
Lebih lanjut Greenstein dalam karyanya “International Encyolopedia of The
Social Sciences” 2 mendefinisikan sosialisasi politik :
a. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik
yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan
instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini.
b. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari
politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada
setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya secara
eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara nominal belajar bersikap
non politik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang
bersangkutan.
Berbeda dengan pendapat lainnya menurut Easton dan Denuis
mengatakan bahwa sosialisasi politik adalah suatu proses perkembangan
seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola
tingkah lakunya. Devinisi ini memberikan penekanan pada pentingnya
sosialisasi politik untuk membentuk orientasi politik masyarakat. Sedangkan
xxix
menurut Almond mengatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses-proses
pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku. (Dikutip Dari :
http://zanas.wordpress.com/pentingnya-sosialisasi-politik-dalam-
pengembangan-budaya-politik/)
Jadi secara garis besar pengertian sosialisasi politik dapat diartikan
sebagai suatu proses penyampaian informasi politik kepada individu untuk
mendapatkan orientasi-orientasi politik yang baik untuk membentuk sikap-
sikap politik dan pola-pola tingkah laku publik yang diarahkan pada
pencapaian tujuan politik yang telah ditentukan.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa
kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa.
Sosialisasi beroperasi pada dua tingkat:
a. Tingkat Komunitas Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan
kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan
nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
b. Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses
warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka.
Proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanann tetapi
sosialisasi dilakukan uantuk memberikan pencerahan kepada obyek
sosialisasi melalui pendekatan yang persuasif sehingga kesadaran dapat
tumbuh dan terbentuk. Dengan adanya sosialisasi pengertian dan pemahaman
atas sesuatu hal yang belum jelas dapat dijelaskan secara rinci untuk
xxx
kemudian diarahkan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Hubungannya
dengan politik sosialisasi lebih mengarah pada tingkat individual proses
dimana sosialisasi itu dilakukan untuk membentuk pandangan-pandangan
politik warga Negara. Dimana peran-peran agen sosialisasi sangat diperlukan
untuk melaksanakan hal tersebut dengan pemahaman atas isi materi dan
mekanisme yang tepat.
Agar sosialisasi dapat berjalan lancar, tertib dan berlangsung terus
menerus maka terdapat dua tipe sosialisasi yaitu formal dan informasi.
a. Formal, sosialisasi ini terbentuk melalui lembaga yang dibentuk oleh
pemerintah dan masyarakat yang memiliki tugas khusus dalam
mensosialisasikan nilai, norma dan peranan-peranan yang harus dipelajari
oleh masyarakat.
b. Informal, sosialisasi ini terdapat dalam pergaulan sehari-hari yang bersifat
kekeluargaan
Dalam konteks ini sosialisasi politik mengarah pada tipe sosialisasi politik
formal yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku lembaga yang dibentuk
Pemerintah yang memiliki tugas melaksanakan Pemilihan Umum secara
langsung. Sosialisasi politik juga dikategorikan menjadi dua jenis yaitu
sosialisasi politik langsung (face to face) dan sosialisasi politik tidak langsung
dengan menggunakan media sosialisasi. Kedua jenis sosialisasi politik dapat
digunakan oleh KPU dalam mensosialisasikan agenda tahapan pelaksanaan
Pilkada dan memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
xxxi
Sosialisasi yang dilakukan oleh KPU untuk mensosialisasikan Pemilihan
Kepala Daerah dapat dilaksanakan melalui bentuk-bentuk sebagai berikut ;
- Ceramah dan diskusi
- Penerangan melalui berbagai forum seperti pengajian, paguyuban, arisan
- Pengumuman melalui mobil keliling, Media Massa, Radio dan Televisi
- Penyebaran poster, spanduk, baliho , kalender, pamphlet atau media lainnya.
- Pendekatan dari rumah-rumah langsung pada masyarakat oleh para petugas.
- Pengumuman lewat masjid, kerjasama dengan Ormas/LSM dan Kantor
/instansi pemerintah dan lain-lain
Bentuk-bentuk sosialisasi diatas dapat digunakan petugas lapangan untuk
memberikan informasi kepada masyarakat dan mengingatkan tentang
pentingnya pelaksanaan Pilkada untuk menentukan sosok Kepala Daerah yang
sesuai dengan harapan masyarakat untuk memimpin daerahnya. Tahapan-
tahapan pelaksanaan Pilkada juga menjadi materi dari sosialisasi. Dengan
mengetahui hal tersebut Diharapkan peningkatan partisipasi politik
masyarakat mensukseskan jalannya Pilkada dapat dicapai sebagai tujuan akhir
dilakukannya sosialisasi dalam Pilkada
4. Pengertian Partisipasi Politik.
Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin “pars” yang artinya
bagian dan “capere”, yang artinya mengambil, sehingga diartikan
“mengambil bagian”. Dalam bahasa Inggris, participate atau participation
berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi
xxxii
berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau
kegiatan politik suatu negara.
Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi.
Pada hakekatnya asumsi yang mendasari demokrasi (partisipasi) adalah orang
yang paling tahu tentang apa yang terbaik bagi dirinya adalah orang itu
sendiri, karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah
menyangkut dan berpengaruh besar terhadap kehidupan warga Negara. Maka
dari itu warga Negara berhak ikutserta menentukan isi keputusan yang
mempengaruhi hidupnya. Jadi partisipasi politik diartikan sebagai keikut
sertaan warga Negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan partisipasi politik warga Negara
biasa dibagi menjadi dua yaitu : mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut
untuk menentukan pembuat dan pelaksana keputusan politik.
Dari pengertian diatas dapat ditarik beberapa criteria pengertian dari
partisipasi politik yaitu :
a. Menyangkut kegiatan yang dapat diamati (obyektif)
b. Merupakan kegiatan politik warga Negara biasa yang dilaksanakan
secara langsung maupun tidak langsung (perantara)
c. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah baik berupa bujukan atau dalam bentuk tekanan
bahkan penolakan terhadap keberadaan figur para pelaku politik dan
pemerintah.
xxxiii
d. Kegiatan tersebut diarahkan kepada upaya mempengaruhi pemerintah
tanpa peduli efek yang dapat timbul jika gagal maupun berhasil.
e. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar tanpa
kekerasan (konvensional) maupun diluar prosedur yang wajar (non
konvensional) atau dengan kekerasan (violence)
Sedangkan batasan partisipasi politik berdasarkan pengertian Huntington dan
Nelson (1994:16-17)adalah:
a. Partisipasi politik menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.
b. Subyek partisipasi politik adalah warga negara preman (private citizen) atau orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik.
c. Kegiatan dalam partisipasi politik adalah kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik.
d. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu memunyai efek atau tidak.
Lebih lanjut Huntinton dan Nelson menjelaskan tentang bentuk partisipasi
politik yang meliputi :
1) Kegiatan pemilihan; memberikan suara, memberikan sumbangan untuk kampanye, mencari dukungan bagi seorang calon dll.
2) Lobbying; upaya-upaya untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil.
3) Kegiatan organisasi; kegiatan sebagai anggota atau pejabat organisasi yang tujuannya mempengaruhi pengambilan keputusan politik.
4) Mencari koneksi, (contacting); tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya seorang atau beberapa orang.
xxxiv
Bentuk partisipasi politik itu sendiri secara hierarkis dijelaskan oleh oleh
Rush dan Althoff (2008:124) meliputi :
Menduduki jabatan politik atau administrasi Mencari jabatan politik atau administrasi Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb Partisipasi dalam diskusi politik informasi, minat umum dalam politik Voting (pemberian suara) Apathis total
Secara garis besar bentuk kegiatan politik dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu: kegiatan politik konvensional dalam bentuk partisipasi politik yang
normal dalam demokrasi modern seperti kampanye, diskusi politik,
pemberian suara dalam pemilihan dan sebagainya. Adapun bentuk non-
konvensional kegiatan politik seperti : Petisi, kekerasan, revolusioner,
demonsrasi, konfontrasi, pengrusakan (anarkis) dan lain-lain
Maka dari itu dibutuhkan kesadaran politik warga Negara dalam
partisipasi politik masyarakat agar tidak terjadi perpecahan dan konflik.
Artinya berbagai hal yang berhubungan denga pengetahuan dan kesadaran
akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan
kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses
politik.
xxxv
Sementara itu menurut Milbarth dan Goel (dikutip dari artikel Wa Ode
Asmawati : 2008) membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori yaitu :
1) apatis : orang yang menarik diri dari proses politik;2) spectator : orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam
pemilu;3) gladiator : orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses
politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus, aktivis partai dan pekerja kampanye serta aktivis masyarakat;
4) pengkritik : orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.
Disamping itu beberapa julukan juga diberikan kepada orang-orang yang
tidak berpartisipasi dalam politik seperti apatis, sinis, alienasi dan anomie
(terpisah). (Sastroatmodjo, 1995 : 74).
Partisipasi menurut sifatnya dibagi menjadi dua yaitu sukarela
(otonom) dan desakan orang lain (mobilisiasi). Nelsom (Dalam
(Sastroatmodjo,1995¨: 77) membagi dua untuk mobilisasi yang dinamakan
autonomous participation (partisipasi otonom) dan mobilized participation
(partisipasi yang dimobilisasi). Pemberian suara dalam pemilu merupakan
salah satu wujud partisipasi dalam politik yang terbiasa. Kegiatan ini,
meskipun cuma pemberian suara, namun juga menyangkut semboyan yang
diberikan dalam kampanye, bekerja dalam membantu pemilihan,
membantu tempat pemungutan suara, dan lain-lain
5. Masyarakat Desa
Soetardjo Kartohadikusumo (2004 : 9) dalam bukunya “Desa”
mengatakan bahwa Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat
tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan
xxxvi
sendiri. Jadi desa merupakan tempat tinggal suatu masyarakat. Masyarakat
terbentuk karena tiga alasan pokok yaitu:
a. Untuk hidup mencari makan, pakaian dan perumahan.
b. Untuk mempertahankan hidup dari ancaman.
c. Mencapai kemajuan/kemakmuran dalam hidup.
Jadi masyarakat desa adalah sekelompok orang yang tinggal dalam suatu
wilayah yang memiliki suatu pemerintahan dan bertujuan untuk mencapai
kemakmuran dan desa merupakan bagian dari suatu daerah/negara. Atau
dapat dikatakan bahwa desa merupakan daerah otonom terkecil dalam
suatu Negara.
Seperti dijelaskan dalam UU nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 12
yang menyatakan bahwa :
“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jadi jelas dikatakan bahwa desa berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat yang langsung bersingungan langsung dengan
masyarakat dengan segala perbedaan adat istiadatnya. Desa memiliki
peranan penting dalam suatu wilayah, dimana berbagai sektor kehidupan
berada di desa.
Disisi lain dalam kehidupan demokrasi Indonesia, keberadaan
masyarakat desa cukup berpengaruh terhadap pelaksanaan demokrasi
ditingkat lokal terutama dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
xxxvii
secara langsung. Karena sebagian besar daerah di Indonesia terdiri atas
desa-desa dengan masyarakatnya yang masih tradisional.
6. Pengaruh Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa
Dalam Pilkada.
Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan
sistim politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan
tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi
politik dilakukan untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang gejala-
gejala politik yang terjadi dan diarahkan agar dapat memberikan
tanggapan reaksi-reaksi positif terhadap gejala tersebut.
Tanggapan dan reaksi ini merupakan wujud partisipasi politik
masyarakat. Pada masyarakat pedesaan sosialisasi politik diperlukan,
mengingat tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat desa relatif
rendah. Ketersediaan tentang informasi politik pun kurang, sehingga
masyarakat desa cenderung bersikap pasif menanggapi gejala-gejala
politik yang terjadi. Seperti halnya dengan adanya pelaksanaan Pilkada,
masyarakat desa cenderung jenuh dan lebih mementingkan mata
pencahariannya untuk menopang hidupnya daripada mengikuti proses
pelaksanaan Pilkada.
Untuk itulah diperlukan sosialisasi politik yang tepat untuk
mensosialisasikan kepada masyarakat tentang arti pentingnya pelaksanaan
Pilkada sebagai sarana pemilihan Kepala Daerahnya sendiri yang memiliki
dedikasi tinggi membangun daerahnya dan memperbaiki taraf hidup
xxxviii
masyarakat. Dari uraian diatas diketahui bahwa proses sosialisasi politik
memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi politik masyarakat desa
dalam menanggapi gejala politik yaitu pelaksanaan Pemilihan Kepala
Desa.
E. Definisi Konseptual
Menurut Kerlinger (Jalalludin Rachmat: 1995:12), konsep adalah:
“abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasi hal-hal yang khusus”.
Kerangka konsep ini berguna untuk menggambarkan konsep-konsep yang
khusus, yang berbeda dari variabelvariabel penelitian yang akan diteliti. Untuk
memperjelas penguraian lebih lanjut dalam penulisan, maka perlu dilakukan
penjelasan mengenai beberapa pengertian atau istilah yang berkaitan terhadap
pokok pembahasan. Dan dimaksud untuk menciptakan keseragaman atau
kesamaan pemahaman terhadap pengertian masingmasing konsep yang
terkandung dalam pengertian tersebut.
Melalui konsep peneliti diharapkan dapat menyederhanakan
pemikirannya atau mengunakan satu istilah dengan beberapa kejadian yang
berkaitan antara satu dengan yang lainya. jadi denifisi konsep merupakan
tahap pemberian penjelasan mengenai pembatasan pengertian dari hal-hal
yang diamati.
Agar tidak menimbulkan kekaburan pengertian, kiranya diperlukan
penjelasan mengenai batasan konsep-konsep yang digunakan dalam
penelitian, adapun konsep-konsep ini meliputi :
xxxix
1. Pilkada.
Pengertian PILKADA langsung ialah pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih
kepala daerahnya yang baru atau Pemilihan Kepala Daerah baik
untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di
tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang
berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
2. Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik dapat diartikan sebagai suatu proses
penyampaian informasi politik kepada individu untuk mendapatkan
orientasi-orientasi politik yang baik untuk membentuk sikap-sikap
politik dan pola-pola tingkah laku publik yang diarahkan pada
pencapaian tujuan politik yang telah ditentukan. Dalam penelitian
ini proses sosialisasi politik lebih mengarah pada efektifitas fungsi
agen-agen sosialisasi politik, isi materi sosialisasi politik yang
disampaikan, media yang digunakan dan mekanisme pelaksanaan
sosialisasi politik dalam meningkatkan partisipasi politik
masyarakat desa untuk mensukseskaan jalannya pelaksanan
Pemilihan Kepala Daerah.
3. Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah keterlibatan mental dan emosional yang
mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan atau cita-
cita kelompok dan turut bertanggung jawab dalm dunia politik.
xl
Jadi Dalam konteks politik partisipasi dapat dimaknai sebagai
bentuk keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik sebagai
bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam berbagai proses
politik. Keikutsertaan warga masyarakat yang dimaksud adalah
kemauan warga masyarakat untuk melihat, mengkritisi serta ikut
terlibat secara aktif dalam setiap proses politik. Partisipasi dalam
penelitian ini adalah partisipasi politik pada tataran demokrasi
tingkat lokal yaitu di masyarakat desa. Dalam berpartisipasi
memberikan hak suara yang dimilikinya dan mengikuti proses
Pilkada Kabupaten Pemalang 2010.
F. Denifisi Operasional
Definisi operasional adalah merupakan terjemahan secara terinci tentang
konsep-konsep yang ada dalam suatu penelitian. Menurut Masri Singarimbun
dan Sofyan Effendi (1995 : 5), mengemukakan definisi operasional adalah
”Suatu unsur yang sangat membantu komunikasi antara peneliti dan juga
merupakan petunjuk bagaimana variabel-variabel itu diukur”. Adapun salah
satu fungsinya adalah untuk memberi petunjuk bagaimana suatu variabel yang
diteliti itu dapat diukur dengan indikator-indikatornya. Namun apabila suatu
variabel yang menurut pengertian konsep sulit diukur, maka pengukurannya
dilakukan dengan mengoperasionalisasikan pengertian konsep tersebut.
Dari definisi operasional tersebut akan melahirkan indikator-indikator,
dan dari indikator-indikator tersebut akan menghasilkan deskriptor-deskriptor,
xli
sampai pada akhirnya menghasilkan butir-butir pertanyaan atau pernyataan
yang dipakai sebagai alat pengumpul data.
Adapun dalam penelitian ini ada dua variabel, yaitu :
Pengaruh Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa,
dengan indikator sebagai berikut :
a. Efektifitas peran agen-agen dan media sosialisasi politik.
b. Frekuensi kegiatan sosialisasi pilkada.
c. Jumlah masyarakat yang mengikuti kegiatan sosialisasi politik.
d. Jangkauan sosialisasi politik.
e. Keikutsertaaan masyarakat dalam mengikuti proses tahapan Pilkada
f. Jumlah suara sah, prosentase golput dan surat suara yang rusak.
G. Hepotesa penelitian
Bertitik tolak dari uraian-uraian dan teori-teori yang telah diketengahkan
di bagian depan, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis ada
pengaruh sosialisasi politik dan tingkat partisipasi politik masyarakat desa
dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Pemalang tahun
2010. Yang dapat digambarkan sebagai berikut :
X Y
xlii
SOSIALISASI POLITIK TINGKAT PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DESA
Hubungan kausal/ sebab akibat,
X mempengaruhi Y
H. Metodologi Penelitian
1.Tipe Penelitian
Menurut David Kline dalam buku Metode Penelitian Administrasi Prof.
Dr. Sugiyono menjelaskan bahwa tingkat ekplanasi adalah tingkat penjelasan,
penelitian menurut tingkat ekplanasi adalah penelitian yang bermaksud
menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta hubungan antara
variabel satu dengan variabel lain . berdasarkan hal ini penelitian
dikelompokkan menjadi :
a. Deskriptif menurut bukunya Prof. Dr. Sugiono adalah Penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel
atau lebih (Independen) tanpa membuat perbandingan, atau
menghubungkan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain.
b. Komparatif adalah Suatu penelitian yang bersifat membandingkan.
c. Asosiatif atau Hubungan adalah merupakan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih.
Dalam penelitian ini menggunakan metode asosiatif yaitu untuk menguji
pengaruh antar variabel, dan tingkat signifikan pengaruh tersebut dengan
analisa statistik.
2. Macam dan jenis data
Penelitian adalah merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang
valid. Untuk itu peneliti harus mengetahui macam-macam data. Menurut
Sugiyono (2006:14-15) dalam bukunya Metode Penelitian Administrasi
membagi macam data menjadi dua yaitu:
xliii
a. Data Kualitatif
Data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat dan gambar
b. Data Kuantitatif
Data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan
(skoring: baik sekali=4, baik=3, kurang baik=2 dan tidak baik=1)
Data kuantitatif dibedakan menjadi dua jenis data meliputi data
diskrit/nominal yang hanya dapat digolong-golongkan secara terpisah, secara
diskrit atau menurut kategori tertentu dan data kontinum. Data kontonum
adalah data yang bervariasi menurut tingkatan dan diperoleh dari hasil
pengukuran. Data kontinum terdiri dari tiga jenis data yaitu:
1) Kontinum ordinal : data yang berbentuk ranking atau peringkat
2) Kontinum interval : data yang jaraknya sama tapi tidak mempunyai
nilai nol (0) absolute/mutlak
3) Data ratio : data yang jaraknya sama dan mempunyai nilai nol
(0) absolute/mutlak. Misalnya : berat, panjang,
volume dal lain-lain
Dalam penelitian ini banyak menggunakan data-data kontinum ordinal
yang digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi politik masyarakat desa
dalam mengikuti proses pilkada dan sejauh mana efektifitas sosialisasi politik
yang telah dilakukan oleh para petugas dalam Pilkada Pemalang tahun 2010.
xliv
Selain itu jika dilihat dari sumber datanya, dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua sumber data yaitu :
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan
(sumber utama). Dalam penelitian ini data primer bersumber dari
warga/penduduk yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada
Kabupaten Pemalang 2010 yang dipilih dan ditentukan dalam
penelitian ini, para petugas pemilihan/KPUD dan pengurus partai
politik setempat serta pihak-piha terkait.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari
sumber utama. Data ini diperoleh dari instansi terkait, arsip, bahan
dokumentasi pustaka terkait, buku, jurnal, koran, monografi, sumber
data internet dan lain-lain
3. Tehnik pengumpulan data
Tehnik pengumpulan data yang dipergunakan penulis dalam
penelitian ini adalah :
a. Metode Observasi
Sutrisnohadi (1986 ) dalam buku Metode Penilitian Administrasi
(Sugiyono, 2006:166) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu
proses yang kompleks, suatu proses yang disusun dari pelbagai proses
biologis dan psikologis dengan aspek terpenting antaranya proses
pengamatan dan ingatan. Metode ini digunakan bila penelitian berkenaan
dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila
responden yang diamati tidak terlalu besar.
xlv
Dari segi pelaksanaan observasi dapat dibedakan menjadi :
1). Observasi berperan serta (participant observation)
Peneliti terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari obyek yang
diamati dan mengikuti aktivitas obyek penelitian.
2). Observasi nonpartisipan (participant observation)
Peneliti tidak terlibat langsung dan hanya sebagai pengamat
independen
Dalam penelitian ini digunakan metode observasi nonpartisipan
dimana peneliti hanya sebagai pengamat. Peneliti mengamati perilaku
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dan sejauh mana sosialisasi
politik dilaksanakan dan diikuti oleh masyarakat dalam Pilkada Kabupaten
Pemalang 2010.
b. Metode interview (wawancara)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud dan tujuan
tertentu. Tehnisnya adalah dengan memberikan pertanyaaan langsung
kepada responden, dengan mengunakan metode wawancara langsung
dimaksudkan untuk mempertegas hal-hal yang mungkin tidak diketahui
responden. Pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan topik penelitian
untuk memperoleh data primer dari obyek penelitian.
Dalam penelitian kualitatif wawancara bertujuan untuk
memperoleh informasi suatu peristiwa, situasi dan keadaan tertentu yang
dialami masyarakat desa hubungannya dengan partisipasi politik dan
kegiatan politik dalam pelaksanaan Pilkada Kab Pemalang 2010.
xlvi
Wawancara juga dilakukan untuk memperoleh data tertentu sebagai
pelengkap data kuesioner.
c. Metode angket ( Kuesioner)
Kuesioner adalah Sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang
pribadinya atau hal-hal yang diketahui (Arikunto 2002: 128). Kuesioner
yang digunakan dalam hal ini adalah kuesioner tertutup, yakni kuesioner
yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih
dan jawab secara langsung oleh responden. Metode ini digunakan untuk
mengumpulkan data dari responden mengenai Pengaruh Sosialisasi
Politik Terhadap Partsipasi Politik Mayarakat Desa dalam Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Pemalang tahun 2010.
Selain itu item pertanyaan yang diajukan dan disediakan pula
alternative jawaban. Oleh karena itu data angket berupa data kualitatif
maka perlu diubah menjadi data kuantitatif dengan mengunakan simbul
berupa angka. Sehingga semakin sesuai antara jawaban yang
diberikan responden dengan jawaban yang diharapkan, maka
semakin tinggi skor atau bobot yang diperoleh jawaban setiap
item instrument tersebut mengunakan bentuk pilihan ganda.
(Sugiyono 2006: 73).
d. Metode Dokumenter
yaitu mempelajari buku-buku dan bahan-bahan yang berhubungan dengan
masalah yang menjadi pokok bahasan guna mendapatkan informasi
xlvii
teoritis. Data diperoleh secara tidak langsung melalui data perpustakaan
dengan membaca dan mencari literatur yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas. Studi ini dilaksanakan untuk menganalisis dokumen, catatan
dan arsip mengenai pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik
masyarakat desa dalam Pilkada.
4. Populasi dan Tehnik Sampling
a. Populasi
Pelaksanaan penelitian senantiasa akan selalu berhadapan dengan
masalah populasi, sebab suatu pengujian masalah selalu berhubungan
dengan sekelompok subjek baik manusia, gejala ataupun peristiwa
sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto (2002:115)
mengatakan definisi populasi sebagai berikut: “Populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian.”
Berangkat dari pendapat ahli diatas maka dalam penelitian ini
populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat
Kecamatan Warungpring, Kabupaten Pemalang yang terdaftar dalam
Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 32,622 orang yang terbagi dalam
enam desa. Kecamatan Warungpring merupakan kecamatan yang memiliki
tingkat partisipasi politik paling rendah (46%) karena dari 32.662 jiwa
yang terdaftar dalam DPT hanya 15,155 jiwa suara sah.
b. Sampel dan Teknik Sampling Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2006:91). Sampel yang diambil dalam
xlviii
penelitian harus dapat dianggap mewakili dalam suatu penelitian. Karena
tidak memungkinkan setiap peneliti menyelidiki populasi secara
keseluruhan, sedangkan penelitian bertujuan untuk menemukan
generalisasi yang berlaku secara umum, maka seringkali peneliti
mengambil sebagian dari populasi penelitian yaitu sebuah sampel.
Untukitu dibutuhkan tehnik sampel yang tepat dan efektif untuk
mendapatkan sampel yang proporsional dapat mewakili populasi
penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik
Proportionate Statified Random Sampling yaitu tehnik yang digunakan
bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata
secara proporsional. Masyarakat Desa merupakan suatu organisasi yang
mempunyai latar belakang pendidikan yang berstrata. Data diambil dengan
menggali pendapat sebanyak-banyaknya dari masyarakat desa dan para
petugas serta pelaku yang berkepentingan dalam Pilkada berkaitan dengan
pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik, selain itu tehnik
area random juga digunakan dengan mengambil obyek penelitian di
Kecamatan Warungpring yang memiliki tingkat partisipasi politik paling
rendah dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten Pemalang. Yaitu hanya
mencapai 46% suara sah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dalam
penelitian ini direncanakan akan mengambil sampel 60 orang di 3 desa di
Kecamatan Warungpring ditambah pengurus/kader partai setempat dan
para petugas serta dinas yang terkait dalam pelaksanaan Pilkada, sehingga
total responden mencapai 100 orang.
xlix
5. Tempat dan Waktu Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di 3 desa pada kecamatan Warungpring,
Kabupaten Pemalang yang memiliki tingkat partisipasi politik paling
rendah (46%) dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten Pemalang tahun
2010. Dalam pelaksanaan penelitian ini direncanakan pada bulan Januari
2010.
6. Analisa Data
Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan di interpresetasikan. Proses analisa data yang
dilaksanakan dalam penelitianadalah dengan :
a. Menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber antara lain
dari wawancara, dokumen/arsip, data statistik, laporan rekapitulasi
hasil pilkada, dan sebagainya.
b. Mengadakan reduksi data dengan membuat rangkuman inti atas
generalisasi dari data primer yang diperoleh dan dipadukan dengan
data sekunder.
c. Analisis deskriptif kuantitatif, untuk mengukur tingkat partisipasi
politik masyarakat desa dalam pilkada , keikutsertaan dalam kegiatan
politik dan faktor sosial politik yang mempengaruhi dengan
menggunakan tabel-tabel frekuensi dan persentase. Hal ini dilakukan
oleh peneliti dengan membandingkan hasil analisanya dengan
l
kesimpulan peneliti lain dan menghubungkan kembali
interprestasinya dengan teori yang ada.
d. Analisis hubungan variabel penelitian ini digunakan analisa korelasi
Rank Sperman karena data yang diperoleh dalam penelitian ini
adalah data – data ordinal yang menggunakan skala Likert. Teknik
analisa Korelasi Rank Spearman digunakan untuk pengujian
hipotesis untuk mengetahui kuat tidaknya serta arah hubungan antara
variabel independen (X) yaitu sosialisasi politik variabel dependen
(Y) yaitu partisipasi politik masyarakat desa dengan menggunakan
uji statistik Koefesien Rank Spearman yang bersimbol rs dengan
rumus menurut Nasir (2006 : 453) sebagai berikut :
6∑di2
rs = 1 – N(n2-1)
Dimana : rs = koefisien korelasin = total pengamatandi
2 = beda antara 2 pengamatan
Selanjutnya untuk menguji tingkat signifikasi hubungan antara
variabel X dan karena n lebih dari 100 maka pengujian signifikasi
menggunakan rumus t (Sugiyono, 2006: 314) , yaitu :
n - 2t = r
√ 1 - r2
e. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel sosialisasi politik
(x) terhadap variabel partisipasi politik (y) digunaka analisa
koefisien determinasi dengan rumus :
kd = 1 – (rs 2 x 100%)Keterangan:
li
kd = Koefisien determinasirs2 = Koefisien korelasi.
I. Sistematika Pembahasan
Tujuan adanya sistematika pembahasan adalah untuk mengetahui secara rinci
tentang urutan proposal.
Adapun sistematika proposal ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C. Ruang Lingkup Permasalahan
D. Kerangka Dasar teori
E. Denifisi Konseptual
F. Denifisi Operasional
G. Hipotesis Penelitian
H. Metodologi Penelitian
I. Sistematika Pembahasan
BAB I DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
A. Tinjauan Umum Kabupaten Pemalang
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Khusus Proses Pelaksanaan Pilkada
Kabupaten Pemalang 2010
B. Sosialisasi Politik
C. Partisipasi Politik Masyarakat Desa
lii
D. Pengaruh Sosialisasi Politik Terhadap Partisipasi Politik
Masyarakat Desa dalam Pilkada Kabupaten Pemalang
2010.
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Laporan Hasil Penelitian
B. Analisa Data
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
liii
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, dan Bisri A. Zaini., 2006. Pilkada Langsung Problem dan Prospek.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nadapdap, Binoto. 2005. ‘Pasang Surut Otonomi Daerahdan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung.’ Sociae Polites Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. V, No. 22.
Nasir, Muhamad. 2005 Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Bandung.
Suparyo, Yossy. 2005, Undang-Undang Otonomi Daerah. Media Abadi, Jogjakarta
Jalalludin, Rachmat. 1995, Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Rush, Michael dan Althoff, Philip. 2008. Pengantar Sosiologi Politik. Raja Grafindo Persada : Jakarta
Poerwodarminta, W.J.S . 1988. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta
Pradhanawati, Ari., 2005. Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal. ,Surakarta
Soetardjo Kartohadikusumo, 2004. Desa, Balai Pustaka, Jakarta.
Parwitaningsih Dkk.2007, Pengantar Sosiologi, Universitas Terbuka Jakarta
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV Alfabeta,
Bandung
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. PT. Grasindo , Jakarta
Syamsudin Haris (Ed). 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum. Jakarta:
liv
Sekretariat Negara.
Raga Maram, Rafael, 2007, Pengantar Sosiologi Politik, PT Rineka Cipta, JakartaSurbakti, Ramlan, 2005, e Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta
Keputusan Komisi Pemilihan Umun Dan Peraturan Komusi Pemilihan Umum Online http://www.kpu.go.id (20 Desember)
Prasetya, Teguh, 2005, Pengaruh sosialisasi politik terhadap partisipasi politik mahasiswa, , http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp.id=74308 Online (23 Desember 2010)
Irfan Zanas, 2007, Pentingnya sosialisasi politik dalam pengembangan budaya politik, http://zanas.wordpress.com, Online: 23 Desember 2010)
lv