proposal seminar
DESCRIPTION
“SUTAN SJAHRIR:PERANAN DAN PEMIKIRAN DALAM REVOLUSI DIPLOMATIK INDONESIA 1945-1949”TRANSCRIPT
PROPOSAL PENELITIAN HISTORIS
“SUTAN SJAHRIR:
PERANAN DAN PEMIKIRAN DALAM REVOLUSI DIPLOMATIK
INDONESIA 1945-1949”
Proposal Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi dan Historiografi II
Dosen Pengampu: Drs. Tri Yunianto, M.Hum
Disusun oleh :Ivan Himawan / K4409030
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin
Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto
Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli
dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana
Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Syahrir mengenyam
sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan
membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel
Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma
Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di
Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia
bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai
sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk
membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas
Rakyat. Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi
seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri
dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di
sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara
gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.
Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda
masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20
Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian
himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah
nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres
2
Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda
pada 1928. Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi
Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam
kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena
membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran
yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar
sekolah.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum,
Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-
sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas,
Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang
kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan
Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang
mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan
anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup
secara kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih
mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada
Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam
Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di
awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi
pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan
di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh
aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis
PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem
lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan.
Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik
3
Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi
tugas utama pemimpin politik.
Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke
tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam
organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932
diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia
praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak
tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara
perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat
menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia
memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai
organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan
kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih
radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi
massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi
Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti,
PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan
revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934,
pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang
Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir
setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke
Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir
membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak
mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti
menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul
jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru
4
yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa
progresif.
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh
pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara
sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu,
semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang.
Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir
menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah
menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan
aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta
yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara
positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia,
dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI,
kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab
sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah
bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno
dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan
kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya setelah melalui serangkaian perjuangan demi perjuangan baik
secara kooperasi maupun non-kooperasi kepada Pemerintahan Belanda lalu
Jepang yang menduduki Indonesia sejak 1942.
Pada masa pendudukan Jepang ini, nama Sutan Sjahrir muncul sebagai
pusat oposisi terhadap Jepang yang paling terkemuka. Sebagai seorang politikus
5
yang berpengalaman perhitungan-perhitungan Sjahrir terutama bersifat taktis. Ia
tidak pernah percaya bahwa Jepang dapat memenangkan peperangan, dan pada
akhir bulan Juli dan Agustus ia mengetahui dari siaran-siaran sekutu bahwa
jepang hampir ambruk.
Ia percaya bahwa suatu prasyarat mutlak bagi pengakuan sekutu di
kemudian hari adalah bahwa kemerdekaan harus dilihat sebagai suatu yang datang
melalui perlawanan terhadap penguasa Jepang, bukan hadiah dari mereka. Sjahrir
mengambil garis politik perjuangan bawah tanah antifasis, melakukan perluasan
jaringan dan kaderisasi yang sebagian besar dari PNI baru serta kader dari
golongan mahasiswa progresif., memelihara jaringan hubungan bawah tanah di
jawa. Sjahrir percaya bahwa akhirnya sekutu akan menang di pasifik, dan
mempersiapkan diri bagi kemungkinan itu dengan menyebarkan informasi
berharga dari luar dan memupuk jiwa skeptis terhadap jepang. Berbeda dengan
Soekarno dan Hatta yang lebih memilih bekerja sama dengan pemerintahan
jepang. sehingga Sjahrir -yang kemudian menduduki posisi pedana menteri
merangkap menteri luar negeri dan menteri dalam negeri, di mata sekutu, Sjahrir
lebih dapat diterima.
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk
berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah
strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua
orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan
pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan
kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis
Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan
republik.
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah
peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia
usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu
6
ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah
badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak
berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada
persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan
bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk
menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu
akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas
solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar
kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno
yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama
surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira.
Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha
untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang
memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi
gerakan kemerdekaan pada masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan
ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun,
mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik
Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar
Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Di masa revolusi fisik, karier Sjahrir dibidang politik dan diplomasi bermula
sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden tertanggal 16 Oktober 1945, dimana ia
terpilih sebagai Ketua Badan Pekerja KNIP, diserahi kekuasaan legislatif, untuk
bersama-sama dengan Presiden menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sejak tanggal 14 November 1945 Sjahrir naik ke pucuk pimpinan pemerintahan
7
sebagai perdana menteri pertama Indonesia dalam usia 36 tahun. kepemimpinan
Sjahrir berlangsung dalam 3 periode yaitu :
1. Kabinet pertama, 14 November 1945 - 12 Maret 1946
2. Kabinet kedua, 13 Maret 1946 - 2 Oktober 1946
3. Kabinet ketiga, 2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947
Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat.
Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora,
rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian,
kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk
kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak
mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan
‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh
‘bangunan’.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan
wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek
perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung
jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun
menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus
politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada
massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-
kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional
bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab
dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri
dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap
melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan
yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi
8
Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia
Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir
menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan
dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-
kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan
ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya
macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu
kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir
dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu
dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-
kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri,
Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945
hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi.
Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan
jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan
sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara
mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara
politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda
pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri
(Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB.
Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake
Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan
India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan
PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai
9
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas
dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan
satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van
Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah
bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB
pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk
menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata
urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang
Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu
sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang
internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van
Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar
Belanda di Turki.
Kabinet pertama Sjahrir berisikan teman-teman dekat Sjahrir yang tidak
pernah bekerja sama dengan Jepang. Kabinet kedua dan ketiganya lebih bersifat
nasional karena melibatkan hampir semua unsur golongan. Kemunculan Sjahrir
dalam pimpinan pemerintahan Republik Indonesia saat itu dimungkinkan faktor-
faktor politis yang menguntungkan, terutama dalam menghadapi dunia
internasional, khususnya pihak sekutu yang memenangkan perang Dunia II.
faktor-faktor tersebut adalah :
1. Sekutu berada dipihak yang menang dalam perang dan Jepang berada di
pihak yang kalah.
2. Dimasa pendudukan fasis jepang, Soekarno dan Hatta telah memilih
bekerja sama dengan pemerintah jepang shingga Soekarno dan Hatta oleh
lawan-lawan politik maupun sekutu dipandang sebagai kolaborator
Jepang.
3. Tampilnya Soekarno sesudah proklamasi sebagai pimpinan eksekutif
dalam negara republik indonesia serta tiadanya partai-partai politik,
10
dikhawatirkan akan menimbulkan kecurigaan dipihak sekutu maupun
dunia internasional, bahwa pemerintah indonesia adalah ciptaan jepang,
berdasarkan diktator dan bukan atas dasar demokrasi.
4. Sjahrir dimata sekutu, tidak termasuk black list sebagai kaki tangan jepang
atau penjahat perang. dan sebagai sosialis, Sjahrir mempunyai kawan-
kawan seperjuangan di luar negeri, baik di Eropa maupun Asia, sehingga
dengan penampilan Sjahrir, diperhitungkan akan dapat menarik simpati
dunia terhadap Republik Indonesia khususnya, dan dapat membantu cita-
cita perjuangan rakyat Indonesia pada umumnya.
5. Tampilan Sjahrir sebagai sosialis dan demokrat yang anti imperialisme,
kapitalisme, dan fasisme dapat menghapus imej dunia yang tidak baik
terhadap Republik Indonesia.
Politik Sjahrir yang mengedepankan jalur lunak (diplomasi), untuk
sementara mengalah, dengan hanya mendapatkan pengakuan De Facto atas Jawa,
Madura, dan Sumatra lewat Linggarjati. Namun dengan diakuinya Republik
Indonesia secara De Facto oleh sekutu hendak dijadikan fondasi untuk menyusun
kekuatan kedalam, baik politik, militer, maupun ekonomi.
Pada tanggal 25 Maret 1947, suatu peristiwa yang amat penting terjadi dan
memang kemudian ternyata sungguh besar dampaknya bagi perkembangan
sejarah modern bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut di Jakarta ditanda-tangani
suatu perjanjian antara Republik Indonesia yang belum berumur 2 tahun dan
Kerajaan Belanda. Upacara penanda-tanganan dilakukan di Istana Rijswijk
(sekarang Istana Negara). Perdana Menteri Sutan Syahrir mencantumkan tanda-
tangannya mewakili R.I. Dan Willem Schemerhorn, mantan perdana menteri dan
Ketua Delegasi Belanda, menanda-tanganinya atas Kerajaan Belanda. Dokumen
itu secara popular dikenal sebagai “Perjanjian Linggajati”, karena konsep finalnya
dirundingkan di tempat peristirahatan Linggarjati, Kabupaten Kuningan,
Keresidenan Cirebon. Kompleks istana adalah daerah Belanda. Jakarta pada tahun
1947 (sampai menjelang akhir Juli 1947, ketika Belanda melancarkan serangan
11
umumnya yang pertama) seakan-akan terbagi dua, antara daerah Belanda dan
daerah Republik. Di sana tinggal dan berkantor Letnan Gubernur Jenderal
Hubertus van Mook.
Pada waktu itu para pengawal istana prajurit Belanda tidak melarang rakyat
biasa berhenti dan menonton di trotoar di depan. Sutan Syahrir, Perdana Menteri
dan ketua delegasi RI tiba. Senyum lebarnya ketika menaiki tangga istana dari
samping diterangi sinar lampu tampak dari jauh. Dua hari setelah Jepang
menyerah dan Perang Dunia berakhir di Asia Pasifik pada tanggal 15 Agustus
1945, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta
atas nama bangsa Indonesia. Pada hari-hari berikutnya Republik Indonesia mulai
menjelma : UUD disahkan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih, bendera dan lagu
kebangsaan diresmikan, Kementerian-kementerian dibentuk dan sebuah kabinet
tersusun. Sementara itu organisasi perjuangan muncul dimana-mana, bagaikan
jamur yang tumbuh sehabis hujan lebat. Perkembangan cepat selama beberapa
minggu itu menyatakan kepada dunia luar bahwa Republik Indonesialah yang
berhak memerintah di wilayah yang dulunya Hindia Belanda.
Pada tanggal 15 September 1945 sebuah kapal perang Inggris, HMS
Cumberland, memasuki Teluk Jakarta. Laksamana Sir Wilfred Patterson sebagai
panglima skuadron 5 kapal penjelajah AL Inggris memilih Cumberland sebagai
kapal komandonya. Pada minggu-minggu terakhir Perang Dunia II, pimpinan
negara-negara Sekutu memutuskan bahwa yang akan mengambil oper wilayah
Asia Tenggara dari pendudukan militer Jepang adalah Inggris, dan bukan
Amerika Serikat.
Tapi perpindahan komando antara Jenderal Douglas MacArthur (AS) yang
pada Agustus 1947 bermarkas di Manila ke Laksamana Lord Louis Mountbatten
(Inggris) yang pada waktu itu bermarkas di Kandy, Sri Lanka makan waktu.
Kedua-duanya adalah tokoh militer yang punya ego yang besar. Agaknya
peralihan dari AS ke Inggris sebagai pihak Sekutu yang akan menduduki
Indonesia wilayah Barat (khususnya Jawa, Madura dan Sumatra) merupakan
12
perkembangan menguntungkan bagi RI yang masih bayi itu. Tapi perkembangan
itu tidak terjadi secara otomatik.
Yang ikut membuntuti kapal penjelajah Cumberland adalah sebuah kapal
perang Belanda HMS Tromp. Di sana berada seorang pejabat tinggi pemerintahan
Hindia Belanda, Ch. O van der Plas yang fasih bicara bahasa Indonesia/Melayu,
bahasa Jawa dan bahasa Arab. Ketika Hindia Belanda menyerah kepada tentara
ekspedisi Jepang pada awal Maret 1942 di Kalijati (Jawa Barat), sekelompok para
pejabatnya masih sempat mengungsi ke Australia. Mereka mendirikan
pemerintahan di pengasingan dan bermarkas di luar Brisbane. A.l. van der Plas
yang juga ditugaskan di markas besar Laksamana Mountbatten sebagai pejabat
penghubung.
Pada dasarnya pihak Sekutu mengakui bahwa wilayah Hindia Belanda akan
dipulihkan di bawah pemerintahan Belanda. Di sinilah pentingnya peranan
penilaian situasi sosial-politik, atau political intelligence. Van der Plas
mengawatkan kepada Hubertus van Mook yang memimpin pemerintahan darurat
Hindia Belanda di Brisbane bahwa penduduk siap menyambut Belanda kembali,
asal saja pemuda-pemuda yang “diracuni” propaganda Jepang segera dapat
disingkirkan. Ia berpendapat beberapa batalyon pasukan bersenjata dengan
pembagian pangan serta pakaian akan menjamin pulihnya pemerintahan Belanda
di Pulau Jawa. Situasi konfrontatif inilah yang dihadapi Inggris sebagai wakil
Sekutu : antara RI yang menyatakan kedaulatannya atas wilayah bekas Hindia
Belanda, dan pihak Belanda yang menuntut haknya atas wilayah jajahannya
berdasarkan kemenangan pihak Sekutu.
Munculnya pro-kontra atas kebijakan kabinet Sjahrir tersebut membuat
posisi kabinetnya goyah, kaum nasionalis dalam negeri dan kelompok Persatuan
Perjuangan pimpinan Tan Malaka yang sejak awal menjadi oposisi bagi kabinet
Sjahrir, menganggap perjanjian Linggarjati, yaitu hasil yang dicapai kabinetnya
dalam politik diplomasi adalah sebuah "kecolongan" yang merugikan Republik.
13
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka didapat rumusan
masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana Peranan Sutan Sjahrir dalam Revolusi Indonesia?
2) Bagaimana Pemikiran Sutan Sjahrir dalam menghadapi berbagai
masalah pada masa Revolusi Indonesia?
3) Bagaimana kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Sutan Sjahrir
ketika duduk di kabinet?
4) Bagaimana proses jatuhnya Sutan Sjahrir dari kursi Kabinet?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah :
1) Untuk mengetahui Peranan Sutan Sjahrir dalam Revolusi Indonesia
2) Untuk mengetahui Pemikiran Sutan Sjahrir dalam menghadapi
berbagai masalah pada masa Revolusi Indonesia
3) Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Sutan
Sjahrir ketika duduk di kabinet
4) Untuk mengetahui proses jatuhnya Sutan Sjahrir dari kursi Kabinet
D. Sistematika Penulisan
Peranan Sutan Sjahrir dalam Revolusi Indonesia ini akan dibahas dalam
empat bab yaitu sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, Berisi latar belakang, batasan masalah, tujuan
penelitian, dan metodologi penelitian.
BAB II Gambaran umum kondisi politik, social Indonesia pada masa
revolusi (1945-1949)
14
BAB III Peranan Sutan Sjahrir dalam Revolusi Indonesia serta pemikiran-
pemikiran Sjahrir yang berkaitan dengan kebijakan yang diambil ketika
Sjahrir menduduki Kabinet dalam system Demokrasi Parlementer hingga
kejatuhan kabinetnya juga peranan Sjahrir setelah mundur dari cabinet
hingga akhir masa revolusi.
BAB IV Penutup
E. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a) Menambah kajian tentang Perjuangan Sutan Sjahrir
mempertahankan kemerdekaan.
b) Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna
dalam rangka pengembangan ilmu sejarah
c) Dapat menambah wawasan pembaca khususnya mahasiswa tentang
Pemikiran dan Peran Sutan Sjahrir sehingga diharapkan nantinya
ada studi lebih lanjut mengenai Peran dan Pemikiran oleh tokoh
lain.
2. Manfaat Praktis
a) Menambah perbendaharaan referensi di Perpustakaan Program
Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b) Dapat memberikan motivasi kepada para sejarawan untuk selalu
mengadakan penelitian ilmiah.
c) Merupakan sumber referensi bagi mahasiswa Program Sejarah
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang akan meneliti
lebih lanjut mengenai Pemikiran para tokoh.
d) Mencoba memberi sumbangan pemikiran bagi masyarakat
mengenai Pemikiran para tokoh.
15
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan Judul, masalah yang dibahas akan dibatasi antara kurun waktu
1945-1949. Pembahasan diawali pada tahun 1945 karena pada waktu itu
Indonesia merdeka. Pembahasan akan diakhiri pada tahun 1949 karena pada
waktu itu Indonesia telah diakui secara De Jure oleh Belanda hingga terbentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS). Untuk mendapatkan kejelasan kondisi revolusi,
akan disinggung pula kondisi pada masa-masa sebelumnya.
B. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, digunakan beberapa sumber berupa buku-buku yang
diantaranya adalah biografi dan memoir dari pelaku sejarah yang mengalami
peristiwa tersebut.
Adapun buku-buku yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah :
1. Salam, Solichin, Sjahrir : Wajah Seorang DIplomat, Jakarta : Centre for
Islamic Studies an Research, 1990. Buku tersebut menceritakan tentang
pemikiran-pemikiran dibalik kebijakan-kebijakan yang diambil Sjahrir
melalui politik diplomasi.
2. Legge, J.D., Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta :
Grafiti, 2003. Buku tersebut menceritakan tentang peranan kelompok Sjahrir
dalam Revolusi Indonesia serta berbagai aspek yang membentuk pandangan-
pandangan mereka.
3. Mrazek, Rudolf, Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia,1996. Buku tersebut menceritakan tentang
Perjalanan politk dan biografi Sjahrir.
4. Sjahrir, Sutan, Renungan dan Perjuangan, Jakarta : Penerbit Djambatan dan
Dian Rakyat, 1990. Buku tersebut menceritakan tentang surat-surat serta
16
artikel-artikel yang ditulis oleh Sjahrir di penjara Cipinang, Boven Digoel,
Banda Neira, Sukabumi, serta masa setelah kemerdekaan hingga tahun 1947.
Buku ini berisikan pengalaman serta pemikiran-pemikiran Sjahrir.
5. Anwar, Rosihan H., Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir,
Djakarta : PT. Pembangunan, 1966. Buku tersebut menceritakan tentang
kejadian-kejadian pada dan menjelang hari pemakaman Sutan Sjahrir, buku
ini menggambarkan bagaimana pandangan serta penghargaan orang terhadap
Sjahrir, baik di dalam maupun di luar negeri.
6. Harjono, Anwar, Perjalanan Politik Bangsa : Menoleh ke Belakang Menatap
Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997. Buku tersebut menceritakan
tentang Perjalanan politik Indonesia sejak jaman penjajahan, masuknya faham
kebangsaan, Indonesia belajar memerintah, serta problematika didalamnya.
7. Anwar, Rosihan H., Singa dan Banteng : Sejarah Hubungan Belanda-
Indonesia 1945-1950, Jakarta : UI Press, 1997. Buku ini menceritakan
tentang Hubungan Indonesia dan Belanda 1945-1950. Buku ini dibuat
berdasarkan Kongres internasional sejarah “Singa dan Banteng” di Den Haag.
8. Lapian A.B dan P.J. Drooglever, Menelusuri Jalur Linggarjati : Diplomasi
dalam Perspektif Sejarah, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1992. Buku
ini menceritakan tentang latar bealakang di buatnya perjanjian Linggarjati.
9. Hoesein, Rushdy, Kebijakan Politik Kabianet Sjahrir 1945-1947, Tesis
program studi sejarah, program pascasarjana UI, 2003, tidak terbit. Tesis ini
menceritakan tentang kebijakan-kebijakan terkait politik dan militer dalam
tiga periode kabinet Sjahrir antara 1945-1947.
C. Kerangka Berpikir
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama
surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira.
Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha
untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang
17
memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi
gerakan kemerdekaan pada masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan
ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun,
mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik
Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar
Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Di masa revolusi fisik, karier Sjahrir dibidang politik dan diplomasi bermula
sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden tertanggal 16 Oktober 1945, dimana ia
terpilih sebagai Ketua Badan Pekerja KNIP, diserahi kekuasaan legislatif, untuk
bersama-sama dengan Presiden menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sejak tanggal 14 November 1945 Sjahrir naik ke pucuk pimpinan pemerintahan
sebagai perdana menteri pertama Indonesia dalam usia 36 tahun.
Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat.
Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora,
rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian,
kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk
kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak meluap dan justru merusak.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan
wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek
perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung
jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun
menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus
politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada
massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-
kekerasan.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri,
Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945
18
hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi.
Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan
jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan
sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara
mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara
politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda
pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri
(Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB.
Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake
Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan
India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan
PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas
dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan
satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van
Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah
bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB
pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk
menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata
urusan dalam negerinya.
Munculnya pro-kontra atas kebijakan kabinet Sjahrir tersebut membuat
posisi kabinetnya goyah, kaum nasionalis dalam negeri dan kelompok Persatuan
Perjuangan pimpinan Tan Malaka yang sejak awal menjadi oposisi bagi kabinet
Sjahrir, menganggap perjanjian Linggarjati, yaitu hasil yang dicapai kabinetnya
dalam politik diplomasi adalah sebuah "kecolongan" yang merugikan Republik.
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian berjudul ”SUTAN SJAHRIR: PERANAN DAN PEMIKIRAN DALAM REVOLUSI DIPLOMATIK INDONESIA 1945-1949”, Peneliti dalam pengumpulan data dari sumber primer dan sekunder. Adapun sumber- sumber tersebut diperoleh di perpustakaan:
a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
e. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.
f. Perpustakaan Kota Surakarta.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang digunakan adalah mulai dari disetujuinya judul
skripsi pada bulan September 2012 dan direncanakan sampai bulan Agustus 2013.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Metode Sejarah yang terdiri dari
empat tahap.
Tahap pertama adalah Heuristik yaitu mengumpulkan data-data dari
berbagai sumber yang terdapat di perpustakaan Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Dari pencarian data-data didapatlah sumber primer, sekunder,
dan tersier.
20
Sumber Primer yang diperoleh yaitu :
1. Mrazek, Rudolf, Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia,1996.
2. Anwar, Rosihan H., Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan
Sjahrir, Djakarta : PT. Pembangunan, 1966.
3. Sjahrir, Sutan, Renungan dan Perjuangan, Jakarta : Penerbit Djambatan dan
Dian Rakyat, 1990.
4. Anwar, Rosihan H., Singa dan Banteng : Sejarah Hubungan Belanda-
Indonesia 1945-1950, Jakarta : UI Press, 1997.
Sumber Sekunder yang diperoleh yaitu :
1. Salam, Solichin, Sjahrir : Wajah Seorang DIplomat, Jakarta : Centre for
Islamic Studies an Research, 1990.
2. Legge, J.D., Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta :
Grafiti, 2003.
3. Harjono, Anwar, Perjalanan Politik Bangsa : Menoleh ke Belakang
Menatap Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997.
4. Lapian A.b dan P.J. Drooglever, Menelusuri Jalur Linggarjati : Diplomasi
dalam Perspektif Sejarah, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Sumber Tersier yang diperoleh yaitu :
1. Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 2005.
2. Poesponegoro, Marwati Djoenoed, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia VI, Jakarta : Balai Pustaka, 1993.
3. Anthony J.S. Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1996.
Kesulitan yang terjadi di lapangan adalah keterbatas waktu untuk mencari
sumber-sumber lain di Perpustakaan Kota dan di Arsip Nasianal.
21
Setelah semua data terkumpul, dilakukanlah kritik sumber. Kritik sumber
terdisi dari dua langkah Kritik internal mengenai kebenaran suatu data yang
diperoleh di lapangan, dan kritik eksternal. Dari beberapa data yang di peroleh ada
perbedaan-perbedaan informasi dari tiap-tiap buku. Dari tesis berjudul Kebijakan
Politik Kabinet Sjahrir 1945-1947, dikatakan bahwa Kabinet Sjahrir berisikan
teman-teman dekat Sjahrir yang tidak pernah bekerjasama dengan Jepang.
Namun, Kabinet kedua dan ketiganya lebih bersifat nasional karena melibatkan
semua unsur golongan. Sedangkan di dalam buku Perjalanan Politik Bangsa
dikataan bahwa sebagian besar anggota Kabinet Sjahrir justru merupakan orang-
orang yang telah bekerja sama dengan Jepang di masa pendudukan, dan dengan
Belanda di masa penjajahan. Maka dari itu, perlu dilihatlah susunan kabinet
Sjahrir I.
Langkah selanjutnya setelah melakukan kritik terhadap data-data adalah
melakukan interpretasi yaitu memberikan makna terhadap fakta sejarah yang telah
ditemukan. Langkah terakhir adalah melakukan Historiogtafi, yaitu melakukan
penulisan dari hasil penelitian.
B. Metode penelitian
Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena
keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang
tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau
jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Penelitian ini merupakan penelitian
yang berusaha merekonstruksikan Pengambilalihan Pradata Dalem 1903 (Studi
Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan). Mengingat peristiwa
yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang
digunakan adalah metode sejarah.
Hadari Nawawi (1998: 78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian
sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu
22
atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan
yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang.
Gilbert J. Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 43)
mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan
prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif,
menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam
bentuk tertulis.
Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44)
menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian
sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha
sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.
Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode
sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-
peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-
data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat
dipercaya.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji untuk
memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan menganalisa secara
kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari
sumber sejarah tersebut untuk dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif,
menarik dan dapat dipercaya.
23
C. Sumber Data
Sumber data sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995:
94) perkataan ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa
latin) yang berarti pemberitaan. Menurut Dudung Abdurrachman (1999: 30) data
sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian,
dan pengkategorian. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber
sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi
tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Helius Syamsuddin ( 1996: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber
sejarah, yaitu:
Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita
tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality).
Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang
mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia
yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata
yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan).
Sumber sejarah dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang
disampaikan langsung oleh saksi mata. Dikatakan sebagai sumber sekunder
karena tidak disampaikan langsung oleh saksi mata dan bentuknya dapat berupa
buku-buku, artikel, koran, majalah (Dudung Abdurrahman, 1999: 56). Sumadi
Suryabrata (1997: 17) berpendapat bahwa penelitian historis tergantung kepada
dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari
sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi atau
penyaksian yang dituliskan pada waktu peristiwa terjadi. Data sekunder diperoleh
dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang lain yang
satu kali atau lebih lepas dari aslinya. Diantara kedua sumber tersebut, sumber
24
primer dipandang memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama dan diberi
prioritas dalam pengumpulan data.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data ditempuh dengan studi
kepustakaan. Studi pustaka penting sebagai proses bahan penelitian. Tujuannya
sebagai pemahaman secara menyeluruh tentang topik permasalahan. Teknik studi
pustaka adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur,
majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan di dalam
perpustakaan (Koentjaraningrat, 1986: 31).
Teknik pengumpulan data studi pustaka adalah suatu penelitian yang
berjuang untuk mengumpulkan data dan informasi dengan menggunakan
bermacam- macam materi yang terdapat dalam buku, majalah, dokumen dan surat
kabar (Kartini Kartono, 1990: 67). Kegiatan studi pustaka ini dilakukan dengan
sistem kartu atau menggunakan katalog dengan cara mencatat beberapa sumber
tertentu mengenai masalah dengan mencantumkan keterangan mengenai identitas
sumber (Louis Gottschalk, 1985: 47).
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik
analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman
(1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga
analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis
berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang
sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Syamsuddin
(1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang
menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang
digunakan dalam penulisan sejarah.
25
Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64),
analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh
dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta
itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo
(1992: 2) mengatakan bahwa analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka
pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang
akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh
diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka
teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan
penelitian.
Analisis data merupakan langkah yang penting dimulai dari melakukan
kegiatan mengumpulkan data kemudian melakukan kritik ekstern dan intern untuk
mencari otensitas dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Dari langkah ini dapat
diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan dengan materi
penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah tersebut dengan
bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian sejarah, kemudian
menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami, fakta
tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta menjadi karya yang
menyeluruh dan masuk akal.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian dari awal yaitu
persiapan memmbuat proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Empat
tahap yang harus dipenuhi dalam melakukan penelitian yaitu; heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi.
1. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang artinya memperoleh.
Dalam pengertian yang lain, heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak
26
masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan
sumber lain yang relevan dengan penelitian.
Pada tahap ini diusahakan mencari dan menemukan sumber-sumber
tertulis berupa buku-buku yang relevan dan surat kabar. Dalam penelitian ini
digunakan sumber data tertulis, baik primer maupun sekunder. Sumber tertulis
primer meliputi Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia karya Rudolf
Mraziek, Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir karya Rosihan
Anwar, Renungan dan Perjuangan karya Sutan Sjahrir, dan Singa dan Banteng :
Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950 karya Rosihan Anwar. Sumber
data sekunder yang digunakan seperti buku yang berjudul Sjahrir : Wajah
Seorang Diplomat karya Solichin Salam, Kaum Intelektual dan Perjuangan
Kemerdekaan karya J.D Legge, Perjalanan Politik Bangsa : Menoleh ke Belakang
Menatap Masa Depan karya Anwar Harjono, dan Menelusuri Jalur Linggarjati :
Diplomasi dalam Perspektif Sejarah karya A.b Lapian dan P.J. Drooglever. Selain
itu juga digunakan sumber tersier sebagai sumber pelengkap.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan mengunjungi
beberapa perpustakaan diantaranya Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, dan
Perpustakaan Kota Surakarta.
2. Kritik
Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah itu
sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik sumber
dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Menurut Dudung
Abdurrahman (1999: 58), kritik ekstern yaitu menguji suatu keabsahan tentang
keaslian sumber (otentisitas) sedangkan kritik intern menguji keabsahan tentang
kesahihan sumber (kredibilitas).
27
Kritik ekstern adalah kritik terhadap autentisitas sumber, apakah sumber
yang dikehendaki asli atau tidak, utuh atau turunan (salinan). Kritik ekstern
dilakukan terhadap sumber yang diperoleh berdasarkan bentuk fisik atau luarnya
berupa bahan (kertas atau tinta) yang digunakan dan segi penampilan yang lain.
Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat kapan sumber
itu dibuat, di mana sumber itu dibuat, siapa pengarangnya dan bagaimana latar
belakang pendidikan pengarang.
Kritik intern dilakukan dengan membandingkan antara isi sumber yang
satu dengan isi sumber yang lain sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya
dan dapat memberikan sumber yang dibutuhkan. Hal tersebut dilaksanakan agar
dapat mengetahui bagaimana isi sumber sejarah dan relevansinya dengan masalah
yang dikaji. Kritik intern sumber data tertulis dalam penelitian ini dilakukan
dengan mengidentifikasi gaya, tata bahasa, dan ide yang digunakan penulis,
sumber data, dan permasalahannya kemudian dibandingkan dengan sumber data
lainnya. Kritik ini bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu
sumber sejarah dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan.
3. Interpretasi
Menurut Nugroho Notosusanto (1978 : 40), interpretasi adalah suatu usaha
menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada,
kemudian dilakukan perbandingan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain,
sehingga terbentuk rangkaian yang selaras dan logis. Menurut Berkhofer yang
dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 : 64) bertujuan untuk melakukan
sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan
bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi
yang menyeluruh, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk analisa.
Fakta-fakta yang didapat kemudian ditafsirkan, diberi makna dan
ditemukan arti yang sebenarnya, sehingga dapat dipahami makna sesuai dengan
pemikiran yang relevan, logis dan berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dari
kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah.
28
4. Historiografi
Historigrafi merupakan langkah terakhir dari metode sejarah untuk
menyampaikan fakta sejarah dalam bentuk penulisan sejarah berdasarkan bukti
berupa sumber-sumber data sejarah yang dikumpulkan, dikritik, dan
diinterpretasi. Historiografi dalam penelitian diwujudkan dalam bentuk karya
ilmiah berupa skripsi yang berjudul ”SUTAN SJAHRIR: PERANAN DAN
PEMIKIRAN DALAM REVOLUSI DIPLOMATIK INDONESIA 1945-1949”.
29
DAFTAR PUSTAKA
Salam, Solichin, Sjahrir : Wajah Seorang DIplomat, Jakarta : Centre for Islamic
Studies an Research, 1990.
Legge, J.D., Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta : Grafiti,
2003.
Mrazek, Rudolf, Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia, Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia,1996.
Sjahrir, Sutan, Renungan dan Perjuangan, Jakarta : Penerbit Djambatan dan Dian
Rakyat, 1990.
Anwar, Rosihan H., Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir,
Djakarta : PT. Pembangunan, 1966.
Harjono, Anwar, Perjalanan Politik Bangsa : Menoleh ke Belakang Menatap
Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997.
Anwar, Rosihan H., Singa dan Banteng : Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia
1945-1950, Jakarta : UI Press, 1997.
Lapian A.B dan P.J. Drooglever, Menelusuri Jalur Linggarjati : Diplomasi dalam
Perspektif Sejarah, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Hoesein, Rushdy, Kebijakan Politik Kabianet Sjahrir 1945-1947, Tesis program
studi sejarah, program pascasarjana UI, 2003, tidak terbit.
Solichin salam, Sjahrir: Wajah Seorang Diplomat, CISR, Jakarta, 1990, hlm. 7.
Anthony J.S. Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1996 hlm. 18.
Anwar Harjono, Perjalanan Politk Bangsa, Gema Insani Press, Jakarta, 1997,
hlm. 86.
Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM
Press.
Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak
Helius Syamsuddin & Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
30
Koentjaraningrat. 1977. Metode-Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Erlangga
Gramedia.
_____________ . 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Ricklefs, H C. 1974. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
_____________. 1989. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
________________. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Dari
Emporium Sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: pt. gramedia pustaka utama.
31