proposal

42
BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Hukum materiil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat bagaimana mereka selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. 1 Dari sini dapat dipahami, bahwa hukum itu bukanlah sekedar untuk pedoman bacaan, dilihat ataupun diketahui, melainkan juga untuk dilaksanakan atau ditaati. Pada hakikatnya, pelaksanaan hukum materiil itu umumnya berada dalam kekuasaan masing-masing individu yang melakukan hubungan keperdataan tanpa melalui pejabat atau instansi yang berwenang. Akan tetapi sesuatu yang sering terjadi adalah hukum materiil tersebut dilanggar. Sehingga dari sini ada pihak yang merasa dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Melihat dari 1 Bambang Sugeng dan Sujayadi, “Hukum Acara Perdata Dokumen Litigasi Perkara Perdata ”, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 7. 1

Upload: chacha-ayu-dewe

Post on 18-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

proposal

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A Latar Belakang MasalahHukum materiil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat bagaimana mereka selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.[footnoteRef:1] Dari sini dapat dipahami, bahwa hukum itu bukanlah sekedar untuk pedoman bacaan, dilihat ataupun diketahui, melainkan juga untuk dilaksanakan atau ditaati. [1: Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata Dokumen Litigasi Perkara Perdata , (Jakarta : Kencana, 2011), h. 7.]

Pada hakikatnya, pelaksanaan hukum materiil itu umumnya berada dalam kekuasaan masing-masing individu yang melakukan hubungan keperdataan tanpa melalui pejabat atau instansi yang berwenang. Akan tetapi sesuatu yang sering terjadi adalah hukum materiil tersebut dilanggar. Sehingga dari sini ada pihak yang merasa dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Melihat dari hal tersebut, maka hukum materiil yang telah dilanggar haruslah ditegakkan melalui sistem penegak hukum yang telah ditetapkan oleh hukum. Penegak hukum yang dimaksudkan adalah seluruh pejabat yang melakukan tugas untuk menegakkan hukum di suatu negara sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, seperti halnya : kepolisian, kejaksaan serta badan peradilan, baik peradilan umum ataupun juga peradilan agama.Salah satu dari penegak hukum yang ada di negara indonesia ini adalah peradilan agama. Fungsi dari peradilan agama adalah untuk menegakkan hukum serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Ketentuan tentang Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama baru disebut secara tegas sejak diterbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, selain itu juga didalamnya diatur tentang Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.[footnoteRef:2] Kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 selanjutnya disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. [2: H. Abdul Manan, Penerapan Hokum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2006), h. 7. ]

Penyempurnaan terhadap Undang-undang tentang Peradilan Agama ini memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama. Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009[footnoteRef:3] dijelaskan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan yang berlaku di lingkup Peradilan Agama adalah Hukum Acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dari penjelesan tersebut sudah sangat jelas bahwa Hukum Acara yang dipergunakan di dalam Peradilan Agama adalah seperti halnya Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, baik dari segi tahapan beracara atau dari segi pemeriksaan perkaranya, kecuali peraturan yang khusus diatur dalam Peradilan Agama. [3: Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.]

Adapun sumber Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama, diantaranya Rechtsreglement Voor de Buitegewesten (RBg), Het Herzience Indonesie Reglement (HIR), Burgerlijke Wetbook voor Indonesia (BW), Yurisprudensi tentang Hukum Acara, serta Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.Dalam sumber Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama tersebut juga disebut tentang prosedur-prosedur beracara di pengadilan yang di dalamnya terdapat beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut berawal dari masuknya surat gugatan atau permohonan di pengadilan yang telah diterima oleh Majelis Hakim, kemudian proses selanjutnya yaitu upaya damai oleh Majelis Hakim yang kemudian dilanjutkan dengan cara mediasi. Tahap berikutnya adalah proses pemeriksaan yang mencakup jawaban dari tergugat, replik dan duplik oleh Penggugat dan Tergugat atau Pemohon dan Termohon, setelah itu dilanjutkan dengan kesimpulan dari kedua pihak dan terakhir putusan hakim. Tahapan-tahapan ini sesuai dengan yang tertuang dalam HIR dan RBg yang terkait dengan Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama.[footnoteRef:4] [4: Pasal 132a, 164 dan 178 HIR serta Pasal 158 RBg tentang gugatan penggugat/pemohon, macam-macam alat bukti dan putusan pengadilan.]

Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 Rbg, apabila pemeriksaaan telah selesai, maka Majelis Hakim melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempuh beberapa tahapan, diantaranya tahap jawaban dari tergugat sesuai Pasal 121 HIR yang kemudian dibarengi dengan replik dari penggugat maupun duplik dari tergugat dan setelah itu dilanjutkan dengan proses pembuktian dan konklusi.[footnoteRef:5] [5: M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), h. 797.]

Disamping itu, menurut Pasal 20 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Sebelum putusan diambil majelis hakim secara rahasia melakukan sidang permusyawaratan dan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Apabila dalam sidang permusyawaratan hakim yang rahasia itu tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.[footnoteRef:6] [6: Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), h. 227.]

Tahapan dalam proses beracara yang telah tertulis dalam Undang-undang yang mengatur tentang Hukum Acara di Peradilan Agama tersebut harus ditempuh sesuai dengan urutan tahapannya dari awal hingga akhir pemeriksaan. Jika ada salah satu tahapan yang terlewati, maka akibat hukum dari proses tersebut, karena tidak memenuhi prosedur yang telah berlaku dalam Hukum Acara di lingkup Peradilan.Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan itu sangatlah berbeda. Ada beberapa Peradilan dalam melaksanakan proses beracara di persidangan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya, yaitu tidak terpenuhinya tahapan dalam beracara. Fenomena seperti itulah yang menjadikan pertanyaan besar dikalangan masyarakat, khususnya dikalangan akademisi yang mengetahui tentang prosedur beracara di lingkup Peradilan. Dari sinilah yang menjadikan dasar oleh peneliti dengan menempatkan proses beracara di pengadilan dalam kerangka berfikir penelitian ini adalah karena Pengadilan Agama juga tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan Hukum Acara yang berlaku di pengadilan. Akan tetapi, dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah apabila proses beracara di Pengadilan Agama tidak sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Peradilan Agama yang berlaku. Maka akan berdampak pada akibat hukum dari proses tersebut, yaitu putusan yang telah diputus tanpa melewati tahapan yang telah ditetapkan oleh Peraturan per-Undang-undangan. Karena pada hakikatnya, proses beracara di persidangan tersebut haruslah mengacu pada Undang-undang yang sedang berlaku di Indonesia.Dari beberapa Pengadilan Agama yang melaksanakan proses tersebut, salah satunya adalah di Pengadilan Agama Mojokerto yang melaksanakan proses beracara tidak sesuai dengan Undang-undang yang sedang berlaku, yakni seperti halnya rangkapnya antara Pembuktian dan Putusan Hakim menjadi satu majelis. Pada semestinya, sesuai dengan peraturan yang ada yaitu antara proses pembuktian dan putusan tidak bersamaan dalam satu waktu. Akan tetapi, proses rangkapnya kedua tahapan tersebut dilakukan di Pengadilan Agama Mojokerto.Dari fenomena tersebut yang menjadi kejanggalan oleh peniliti terhadap proses beracara di persidangan yang sebenarnya dan membuat peneliti merasa perlu meneliti lebih dalam adalah mengenai Hukum Acara di lingkup Peradilan Agama serta inigin mengetahui bagaimana pendapat para trehadap fenomena yang sedang terjadi di lingkup Peradilan Agama tentang proses beracara di persidangan, dengan judul penelitian yaitu Pertimbangan Hakim Merangkap Pembuktian dan Putusan Hakim dalam Satu Majelis (Studi di Pengadilan Agama Mojokerto).

B Rumusan Masalah1. Apa pertimbangan majelis hakim merangkap pembuktian dan putusan pengadilan dalam satu majelis?2. Bagaimana pendapat hakim tentang merangkap pembuktian dan putusan pengadilan dalam satu majelis?

C Tujuan Penelitian1. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim merangkap pembuktian dan putusan pengadilan dalam satu majelis.2. Untuk mengetahui pendapat hakim tentang merangkap pembuktian dan putusan pengadilan dalam satu majelis.

D Manfaat Penelitian1. Manfaat TeoritisSecara teoritik penelitian ini diharapkan dapat ikut memperkaya khazanah pengetahuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu hukum acara, khususnya yang terkait dengan masalah hukum acara di Pengadilan Agama, sebagai bahan wacana, sumbangan teori bagi masyarakat, pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, instansi yang terkait, dan pihak-pihak yang bersangkutan.2. Manfaat Praktisa. Bagi PenelitiUntuk menambah wawasan tentang hukum acara di pengadilan terutama masalah sistem rangkap antara pembuktian dan putusan di Pengadilan Agama dan aspek hukum yang ada diinstansi Pengadilan Agama Mojokerto.b. Bagi MasyarakatSebagai bahan informasi agar masyarakat lebih mengetahui terhadap proses beracara dan mengetahui hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama.c. Bagi Instansi terkaitSebagai bahan acuan guna pengadaan penyuluhan sistem hukum acara dalam proses beracara di Pengadilan Agama.

E Definisi Operasional1. Hakim : seorang pejabat yang melaksanakan tugas kuasaan kehakiman, yaitu seperti memeriksa, mengadili dan memutus perkara di persidangan.2. Pembuktian : Salah satu tahapan dalam beracara di persidangan yang fungsinya adalah untuk menentukan proses perkara, serta untuk meyakinkan tentang dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam suatu perkara.3. Putusan hakim : Suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan bertujuan untuk mengakhiri persidangan, sekaligus untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa oleh para pihak.4. Satu Majelis : Tahapan-tahapan pemeriksaan perkara dalam proses beracara di persidangan yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

F Sistematika PembahasanUntuk memperoleh sebuah karya ilmiah yang terarah dan sistematis, maka perlu disusun sistematika pembahasan. Dalam penelitian ini, ada lima sistematika, yaitu: Bab I yang merupakan awal dari penyusunan penelitian, dalam bab ini memuat tentang latar belakang masalah yang diambil, yaitu sebuah rangkuman yang mengupas tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi bahwa masalah ini perlu dan penting untuk diadakan penelitian. Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, akan memunculkan beberapa pertanyaan yang terkait hal tersebut, maka peneliti mencantumkan beberapa pertanyaan tersebut dalam poin rumusan masalah. Dari rumusan masalah yang akan peneliti bahas, memiliki tujuan yang tercantum dalam tujuan penelitian. Selain itu, juga memiliki manfaat yang tercantum dalam manfaat penelitian yang memuat tentang manfaat penelitian bagi peneliti khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya serta definisi operasional yang menjelaskan secara singkat mengenai hal-hal yang diteliti oleh peneliti dan sistematika pembahasa yang menjadikan gambaran dasar dan alur penelitian yang akan dapat dipahami dengan jelas.Selanjutnya, dalam bab II juga memaparkan tentang kajian pustaka yang berisi tentang penelitian terdahulu, yang berfungsi sebagai tolak ukur perbedaan masalah yang dikaji supaya peneliti tidak dianggap menjiplak peneliti orang lain. Dalam bab ini, juga terdapat kerangka teori yang membahas secara sekilas tentang teori-teori penelitian yang akan dilakukan. Dalam kerangka teori ini peneliti memasukan tentang pengertian pembuktian dan putusan, manfaat dan tujuan pembuktian tujuan, dan lain sebagainya. Kerangka teori tersebut nantinya dipergunakan untuk rujukan penelitian dalam menganalisa permasalahan yang sedang diteliti.Pada bab III, memaparkan tentang metode penelitian. Metode penelitian ini bertujuan untuk memudahkan peneliti untuk mengkaji dan menganilis data yang diperoleh. Dalam metode penelitian ini mencakup beberapa point penting, yaitu jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode pengolahan data. Manfaat dari bab ini adalah unuk mengetahui metode yang digunakan dalam proses penelitian tersebut. Pada bab IV, menjelaskan atau menjawab tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada teori-teori yang sudah dipaparkan, yang mana dalam penelitian tersebut adalah mengenai pembuktian dan putusan hakim yang dirangkap dalam satu majelis serta menguraikan data-data lapangan yang diperolah selama penelitian yaitu dengan teknik wawancara serta memaparkan dan analisis data yang berisi tentang penyajian hasil analisis, yang mana hasil dari analisis disesuaikan dengan rumusan masalah, yang bertujuan untuk mengetahui pendapat para hakim terkait rangkapnya pembuktian dan putusan hakim.Bab V, merupakan bab terakhir yang berisi Kesimpulan dan Saran. Dalam kesimpulan menegaskan kembali mengenai penelitian ini dengan memahaminya secara konkrit dan utuh. Oleh sebab itu, dalam kesimpulan ini penulis mencoba memperjelas dengan sesingkat mungkin jawaban dari rumusan masalah. Sehingga lebih memudahkan pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini tanpa harus membaca keseluruhannya. Sedangkan saran memuat beberapa anjuran bagi akademik baik bagi masyarakat maupun bagi peneliti selanjutnya, guna untuk memberi masukan kepada orang-orang yang bersangkutan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian TerdahuluSebagai pendukung penelitian ini, alangkah lebih baiknya untuk melihat penelitian terdahulu guna untuk mengetahui antara kesamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya, diantaranya yaitu skripsi yang diteliti oleh Asep Ridwan Murtado Illah (2011) yang berjudul Akurasi Penggunaan Polygraph Sebagai Alat bantu Pembuktian menurut Hukum Acara Peradilan Agama Fakultas Syaiah. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa keakurasian hasil Polygraph diprosentasikan hingga mencapai 90%. Hal ini mengindikasikan bahwa alat ini sangat efektif digunakan dalam upaya pembuktian dan penyelesaian perkara. Akan tetapi, pada dasarnya tingkat keakurasian tersebut tidak tergantung pada alat semata. Penentunya justru pada orang yang menggunakannya. Penelitian Asep Ridwan Murtado Illah ini memiliki aspek persamaan dan perbedaan dengan penelitian kami. Persamaan terdapat pada bahasan yang membahas berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama. Perbedaannya bertitik fokus dalam penelitian Asep Ridwan Murtado Illah adalah lebih menekankan pembahasan pada penggunaan dan dasar hukum penggunaan polygraph dalam proses pemeriksaan dan pembuktian serta penyelessaian perkara di pengadilan agama.[footnoteRef:7] Sedangkan dalam penelitian kami cenderung menganalisa mengenai perimbangan hakim merangkap pembuktian dan putusan dalam satu majelis. [7: Asep Ridwan Murtado Illahi, Akurasi Penggunaan Polygraph Sebagai Alat bantu Pembuktian menurut Hukum Acara Peradilan Agama, Skripsi Fakultas Syariah UIN Maliki Malang, 2011.]

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Sotyo Bahtiar ini berjudul tinjauan tentang kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan. Dalam penelitian Sotyo Bahtiar menjelaskan secara gamblang mengenai pembuktian baik dari segi prinsip, sistem, serta alat yang sah dalam sebuah pembuktian. Pada pembahasan yang lebih lanjut, peneliti menjelaskan lebih rinci mengenai pembuktian dengan alat bukti saksi serta mengemukakan mengenai syarat sah alat bukti saksi dan nilai kekuatan alat bukti saksi itu sendiri. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri adalah dimana antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain tidak saling berhubungan dan atau tidak bersesuaian sehingga tidak dapat menyimpulkan siapa pelakunya, maka kesaksian seperti itu tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian.[footnoteRef:8] Penelitian Sotyo Bahtiar ini memiliki aspek persamaan dan perbedaan dengan penelitian kami. Persamaannya terdapat pada bahasan yang membahas berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama. Perbedaannya adalah pada titik fokus penelitiaanya, dalam penelitian Sotyo Bahtiar ini fokus mengenai kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan. Sedangkan penelitian ini berfokus mengenai perimbangan hakim merangkap pembuktian dan putusan dalam satu majelis. [8: Sotyo Bahtiar, tinjauan tentang kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan, Skripsi fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.]

B. Kerangka Teori1. PembuktianDalam perkara perdata di pengadilan yang memiliki peranan penting adalah mengenai bagaimana seorang yang berperkara itu dapat membuktikan bahwa dalil-dalil yang dikemukakan tersebut adalah benar adanya.[footnoteRef:9] Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg dan Pasal 1865 KUH Perdata bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Oleh sebab itu, hukum pembuktian hanya berlaku dalam perkara yang mengadili suatu sengketa dengan jalan memeriksa para pihak dalam sengketa tersebut,[footnoteRef:10] atau dengan maksud lain pembuktian dapat diartikan sebagai upaya memberi kepastian dalam arti yuridis, memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim tentang kebenaran dari suatu peristiwa yang diajukan oleh pihak yang berperkara secara formil, artinya terbatas pada bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan.[footnoteRef:11] Karena itulah, bagi siapapun yang mendalilkan sesuatu maka dia harus dapat membuktikan apa yang telah di dalilkan. [9: Hennny Mono, Praktik berperkara Perdata, (Malang : banyumedia Publishing, 2007), h. 87.] [10: Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, (Bandung : Mandar Maju, 2005), h. 3.] [11: Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani perkara di Pengadilan (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 81.]

Dalam proses perkara gugatan atupun permohonan, beban pembuktian dapat ditujukan Penggugat, Tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Prinsip dasarnya, siap yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya. Karena tujuan dari pembuktian ini adalah untuk menetapkan hukum di antara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai keadilan.[footnoteRef:12] [12: Henny, Praktik Berperkara, h. 88.]

Akan tetapi, disini hakim dituntut agar tidak hanya membebankan dalam hal pembuktian kapada salah satu pihak saja, melainkan juga harus berpijak kepada keadaan yang sebanarnya dari berbagai kasus tersebut.[footnoteRef:13] Oleh sebab itu masalah beban pembuktian tersebut, agar dapat lebih tepat guna (effiient) dan berdaya guna (effektief), disini hakim dapat membaginya sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku tanpa mengurangi kebebasan dari para pihak dalam pengajuan alat-alat bukti yang sah. [13: R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung : Mandar Maju, 2005), h. 114.]

Pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara adalah salah satu bagian dari jalannya persidangan di Pengadilan, hal ini diatur dalam undang-undang yang mengatur tentang hukum acara, yaitu :a) Pasal 162 177 HIR;b) Pasal 282 314 RBg;c) Pasal 1865 1945 KUH Perdata;d) Staatsblad 1867 Nomor 29.Disini hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak mengaturnya atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Oleh karena itu, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, apabila hakim menjumpai kesulitan di dalam praktiknya, maka harus hakim mencari pemecahan masalah dengan jalan :a) Doctrin/ajaran;b) Yurisprudensi[footnoteRef:14] [14: Hari, Hukum Pembuktian, h.25.]

Sesuatu yang harus dibuktikan oleh seseorang adalah hal-hal yang menjadi perselisihan, yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal atau dibantah oleh pihak lain. Akan tetapi, apabila perkara yang diajukan oleh satu pihak dan diakui oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan karena tidak adanya perselisihan di dalamnya. Begitu juga tidak perlu adanya pembuktian apabila perkara yang diajukan oleh salah satu pihak dan meskipun tidak secara tegas dibenarkan oleh pihak lain tetapi juga tidak disangkal oleh pihak lain tersebut. Sebab, dalam hukum acara perdata sikap tidak menyangkal dipersamakan dengan mengakui.[footnoteRef:15] [15: R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung : Binacipta, 1989), h. 82.]

Dalam proses pembuktian pengadilan berwenang membebankan kepada para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara seadil-adilnya. Bahkan pengadilan juga memberikan bimbingan dalam hal mengajukan pembuktia, sehingga pembuktian tersebut dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Adapun bukti yang diajukan oleh salah stu pihak, kepada pihak lainnya harus diberi kesempatan untuk menilai dan mengajukan pendapatnya terhadapalat bukti tersebut, karena suatu gugatan dikabulkan hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah, yakni alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.[footnoteRef:16] [16: Sophar, Praktik Peradilan, h. 82.]

2. Macam-macam Alat Bukti Sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata bahwa ada lima macam alat bukti , yaitu :a) Alat bukti tertulisb) Alat bukti saksi;c) Alat bukti persangkaan;d) Alat bukti pengakuan;e) Alat bukti sumpah. Alat bukti lain yang tidak disebutkan dalam undang-undang adalah :c) Foto, film, rekaman video/tape/CD;d) Microfilm, microfische.Menurut surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor 37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988 tentang alat bukti, bahwa microfilm atau microfische dapat dijadikan alat bukti surat (tertulis) dengan catatan apabila bukti tersebut bisa dijamin outentiknya yang dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku terhadap perkara-perkara pidana atau perdata. Sesuai dengan pendapat Mahkamah Agung tersebut, maka alat bukti dapat bersifat kata-kata yang diucapkan dalam persidangan yang meliputi, keterangan saksi; bersifat surat; atau juga alat bukti yang berupa material dan barang fisik lainnya. Misalnya film, foto, dan sebagainya.[footnoteRef:17] [17: Hari, Hukum Pembuktian, h. 41.]

3. Putusan PengadilanSalah satu tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan dari hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi.[footnoteRef:18] Sedangkan yang dimaksudkan denga putusan pengadilan adalah merupakan pernyataan hakim untuk menyelesaikan atau mengakhiri pekara yang disengketakan dan diucapkan dimuka persidangan serta terbuka untuk umum.[footnoteRef:19] [18: Subekti, Hukum, h. 124.] [19: Hari, Hukum Pembuktian, h. 141.]

Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat serta alat pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan, maka majelis hakim bermusyawarah tentang apa yang akan diputuskan terhadap perkara yang sedang diperiksa. Putusan pengadilan itu diharapkan menghasilkan suatu keadilan bagi para pihak atas kepentingannya yang diminta untuk diperiksa dan diputus oleh hakim tersebut. Oleh sebab itu, bagi para hakim dalam mengadili suatu perkara yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya, bukan hukumnya. Peraturan hukumnya dinilai sebagai suatu alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.[footnoteRef:20] [20: Sophar, Praktik Peradilan, h. 95.]

Di dalam mengambil putusan, majelis hakim berpedoman pada isi ketentuan Pasal 178 HIR/Pasal 189 RBg, yaitu :a) Wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak, artinya hakim wajib menyebutkan dasar hukum dan alasan hukum di dalam mempertimbangkan putusannya. Apabila para pihak tidak memberikan dasar hukum, maka hakim wajib memberi dasar hukum, baik hukum tertulis atau tidak tertulis serta alasan hukum dalam putusannya. b) Wajib mengadili segala tuntutan artinya dalam mengadili hakim tidak boleh sampai lupa mempertimbangkan segala tuntutan. Apabila salah satu tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya itu adalah merupakan salah satu alasan dari peninjauan kembali, meliputi tuntutan dalam gugatan konvensi dan gugatan rekonvensi. c) Tidak diperkenankan untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat atau melebihi apa yang digugat. Apabila hakim memutus suatu perkara yang tidak dituntut atau melebihi apa yang dituntut akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Menurut ketentuan Pasal 179 HIR/Pasal 190 RBg bahwa putusah hakim harus dibacakan di dalam sidang yang terbuka untuk umum (sesuai Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009). Apabila ketentuan tersebut dilangga, maka akan mengakibatkan ptusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kukuatan hukum. Jika dari kedua belah pihak atau salah satu pihak tidak dapat hadir pada saat dibacakan putusan, maka atas perintah Ketua Majelis putusan tersebut harus diberitahukan kepada kedua belah pihak atau salah satu pihak yang tidak hadir.Adapun susunan dan isi putusan hakim adalah berdasarkan Pasal 183, 184, 187 HIR; Pasal 194, 195, 198 RBg; Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 24 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang terdiri atas sebagai berikut :a) Kepala putusan, disini terdapat kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa b) Para pihak baik pihak Penggugat dan Tergugat beserta dengan identitas para pihak yang meliputi nama, umur, alamat, dan pekerjaan.c) Tentang duduk perkara yang memuat apa saja yang terjadi dalam persidangan di pangadilan. Disini memuat gugatan, jawaban, alat-alat bukti (surat dan saksi).d) Tentang hukumnya, ini merupakan pertimbangan hukm terhadap gugatan dan jawaban dari para pihak. Menurut ketentuan Pasal 184 HIR/Pasal RBg berisi tentang :e) Ringkasan gugatan dan jawaban dari dalil gugatan dan jawaban tersebut, kemudian disimpilkan dalil yang diakui oleh Tergugat dan dalil yang ditolak oleh Tergugat;f) Alasan-alasan yang mendasari putusan tersebut;g) Hukum tertulis harus disebutkan dengan jelas;h) Keputusan tersebut ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera Penggantie) Amar putusan, merupakan jawaban dari gugatan Penggugat baik konvensi maupun rekonvensi, serta dalam amar putusan tersebut juga meliputi eksepsi. Isi amar putusan tersebut dalam pokok perkara bisa :i) Menyatakan gugatan tidak dapat diterima;j) Menyatakan gugatan ditolak;k) Menyatakan gugatan dikabulkan sebagian;l) Menyatakan guagatan dikabulkan seluruhnya.[footnoteRef:21] [21: Hari, Hukum Pembuktian, h. 143.]

BAB IIIMETODE PENELITIAN

A. Jenis PenelitianJika dilihat dari tema yang diangkat yaitu masalah proses beracara di Pengadilan, yang mana sumbernya berasal dari pendapat beberapa hakim, Sehingga jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitain huum empiris. Adapun datanya bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang Pertimbangan Hakim Merangkap Pembuktian dan Putusan Pengadilan dalam Satu Majelis (Studi Kasus di Pengadilan Agama Mojokerto).

B. Pendekatan PenelitianPendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jika ditinjau dari data yang diperoleh maka pendekatan kualitatif ini menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan maupun prilaku seseorang yang diteliti yang dituangkan dalam bentuk paparan data. Disisi lain peneliti juga mengkaji literatur-literatur tentang hakim yang merangkap antara pembuktian dan putusan dalam satu majelis.

C. Lokasi PenelitianLokasi yang menjadi sasaran peneliti dalam penelitian ini bertempat di Pengadilan Agama Mojokerto, tepatnya di jalan Prajurit Kulon No. 17 Mojokerto Kode Pos 61361. D. Jenis dan Sumber DataDalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:1. Data PrimerData yang diperoleh secara langsung dari informan yang disusun dari pengumpulan data lapangan dalam pelaksanaan penelitian lapangan, yang dilakukan dengan menggunakan metode wawanacara (interview) dengan para informan yaitu majelis hakim yang memutus perkara dengan melakukan rangkap antara pembuktian dan putusan serta hakim-hakim lainnya. Wawancara disini akan dilakukan secara terbuka, yang dimaksudkan agar penelitian ini dapat memperoleh data yang efektif dan mendalam serta sesuai dengan dibutuhkan mengenai Pertimbangan Hakim Merangkap Pembuktian dan Putusan Pengadilan dalam Satu Majelis (Studi Kasus di Pengadilan Agama Mojokerto).2. Data SekunderData yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dikumpulkan dari berbagai tulisan, baik yang berupa laporan dari hasil penelitian sebelumnya maupun tulisan dan karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang membahas persoalan yang sama, demikian juga pendapat para pakar mengenai hal tersebut. Semua data sekunder diharapkan dapat menjadi penunjang data primer.

E. Metode Pengumpulan DataDalam proses memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian kali ini peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara Metode wawancara yang digunakan oleh peneliti kepada informan yaitu majelis hakim yang memutus perkara dengan melakukan rangkap antara pembuktian dan putusan serta hakim-hakim lainnya selain mejelis hakim tersebut adalah wawancara yang mendalam dengan menggunakan kisi-kisi pertanyaan. Dalam proses wawancara berlangsung, peneliti menyempaikan pertanyaan-pertanyaan sesuai yang dibutuhkan untuk memperoleh data tersebut. Wawancara yang dilakukan semi formal, akan tetapi dikembangkan dengan pertanyaan lain yang sesuai dengan pembicaraan 2. DokumentasiStudi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen dapat berupa catatan pribadi, surat pribadi, buku harian, laporan kerja, notulen rapat, catatan kasus, rekaman kaset, rekaman video, foto dan lain sebagainya. Penulis menggunakan metode dokumentasi ini untuk mendapatkan data serta informasi yang diperoleh berdasarkan data-data dari perangkat-perangkat setempat. Dalam dokumentasi penelitian disini berupa laporan kerja pegawai Pengadilan Agama Mojokerto, rekaman hasil wawancara, berkas-berkas dari Pengadilan Agama Mojokerto.

F. Metode Pengolahan DataMetode pengolahan data menjelaskan prosedur pengolahan dan analisis data sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Pengolahan data biasanya dilakukan melalui tahap-tahap :1. Pemeriksaan data (editing)Yaitu proses penelitian kembali terhadap catatan, berkas-berkas, informasi yang dikumpulkan oleh pencari data.[footnoteRef:22] Dalam hal ini peneliti meng-edit data dari hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti dari proses wawancara ataupun dokumentasi, dengan tujuan agar lebih mudah dalam melakukan penelaahan terhadap data yang telah dikumpulkan. [22: Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 45.]

2. KlasifikasiPada penelitian ini, setelah proses editing atas data-data yang dikumpulkan dari informan atau para hakim telah selesai, kemudian data-data dari proses wawancara atau dokumentasi tersebut diklasifikasikan berdasarkan kategori data-data penelitian yang sesuai dengan tema peneliti yaitu pembuktian dan putusan yang dirangkap dalam satu majelis, dengan tujuan agar lebih fokus dengan penelitian yang sedang dilakukan dan tidak meluas dari pembahasan penelitian. 3. Pemeriksaan DataKemudian langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah pemeriksaan (Verifying) data yaitu mengecek kembali data-data yang diperoleh dari hasil wawancara serta dokumentasi sudah terkumpul dan sudah diklasifikasikan sesuai tema peneliti. Proses verifikasi ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan datanya memang benar-benar sudah valid dan sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti.4. Analisis DataLangkah selanjutnya adalah menganalisis data-data yang sudah terkumpul kemudian mengkaitkan antara data-data yang sudah terkumpul dari proses pengumpulan data yaitu melalui wawancara dan observasi dengan sumber datanya seperti buku-buku Ensiklopedi, undang-undang, jurnal dan lain sebagainya untuk memperoleh hasil yang lebih efisien dan sempurna sesuai dengan yang peneliti harapkan. Metode analisis yang dipakai penulis adalah deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan,[footnoteRef:23]atau disebut dengan teknik analisis data. Adapun teknik analisis dalam penelitian ini adalah dengan cara menguraikan tentang Pertimbangan Hakim Merangkap Pembuktian dan Putusan Pengadilan dalam Satu Majelis (Studi Kasus di Pengadilan Agama Mojokerto). [23: LKP2M, Research Book For Lkp2m (Malang: Universitas Islam Negeri (UIN)Malang, 2005), h. 60.]

5. Pembuatan KesimpulanSetelah proses analisa data selesai, maka dilakukan kesimpulan dari analisis data untuk menyempurnakan penelitian tersebut, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu jawaban dari hasil penelitian yang dilakukan.

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB VPENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan . Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.

Hutagalung, Sophar Maru. Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani perkara di Pengadilan. Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

LKP2M, Research Book For Lkp2m. Malang: Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2005.

Manan, H. Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2006.

Mujahidin, Ahmad. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama. Bogor : Ghalia Indonesia, 2012.

Mono, Hennny. Praktik berperkara Perdata. Malang : Banyumedia Publishing, 2007.

R. Subekti. Hukum Acara Perdata. Bandung : Binacipta, 1989.

Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Bandung : Mandar Maju, 2005.

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Reglement Tot Regeling Van Het Rechtsweezen in De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama

OUTLINE HALAMAN SAMPULHALAMAN JUDULPERNYATAAN KEASLIAAN SKRIPSIHALAMAN PERSETUJUANHALAMAN PENGESAHANKATA PENGANTARPEDOMAN TRASLITERASIDAFTAR ISIABSTRAK

BAB I : PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahB. Rumusan MasalahC. Tujuan PenelitianD. Manfaat PenelitianE. Definisi OperasionalF. Sistematika PembahasanBAB II : TINJAUAN PUSTAKAA. Penelitian TerdahuluB. Kerangka Teori1. Pengertian Hukum Acara di Pengadilan2. Sumber Hukum Acara di Pengadilan3. Prosedur Beracara di PengadilanBAB III : METODE PENELITIANA. Lokasi PenelitianB. Jenis Penelitian C. Pendekatan PenelitianD. Sumber Data PenelitianE. Metode Pengumpulan DataF. Metode Pengolahan DataBAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Mojokerto Merangkap Pembuktian dan Putusan Pengadilan dalam Satu MajelisB. Pendapat Hakim Merangkap Pembuktian dan Putusan Pengadilan dalam Satu Majelis BAB V : KESIMPULAN DAN SARANDAFTAR RUJUKANLAMPIRAN-LAMPIRANDAFTAR RIWAYAT HIDUP

23