program studi hukum keluarga fakultas syariah dan...
TRANSCRIPT
PEMIKIRAN KH. MUHAMMAD MUHAJIRIN AMSAR ADDARI
DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN QOMARIYYAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Tarmizi Tahir
NIM. 1112044200008
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Tarmizi Tahir, NIM 1112044200008. PEMIKIRAN KH. MUHAMMAD
MUHAJIRIN AMSAR ADDARI DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN
QOMARIYYAH. Program Studi Hukum Kelaurga (Akhwal Syakhsiyyah),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Jakarta. 1440
Hijriyah/2019 Masehi.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pemikiran KH. Muhammad
Muhajirin Amsar Addari dalam menentukan awal bulan qomariyyah. Beliau
adalah pendiri Pondok Pesantren An-Nida al-Islami di Bekasi. Jenis penelitian ini
adalah penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Sosiologi, dan Ilmu Astronomi.
Pendekatan ini digunakan untuk mendeskripsikan pemikiran KH. Muhammad
Muhajirin Amsar Addari dalam menentukan awal bulan qomariyyah dan aspek
argumen normative yang digunakan, aspek latar belakang pemikiran KH.
Muhammad Muhajirin Amsar Addari dan aspek metode hisab rukyat yang
digunakan dalam menenetukan awal bulan qomariah. Adapun teknik
pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi dengan keluarga
dan murid-murid KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari yang ada di
lingkungan Pondok Pesantren An-Nida al-Islami Bekasi.
Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwasanya KH. Muhammad
Muhajirin Amsar Addari dalam menentukan awal bulan qomariyyah. Pertama,
Menggunakan metode hisab Sullamun nairon. Kedua, KH. Muhammad Muhajirin
Amsar Addari merukyat hilal masih menggunakan metode seperti pertama kali
beliau melaksanakan rukyat hilal yaitu menggunakan sebuah tombak seperti huruf
T dengan hitung-hitungan yang tepat. Ketiga, KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari menentukan dan menetapkan awal bulan qomariyyah itu memakai metode
hukum ilhaq. Keempat, bahwsanya pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari dalam penetapan awal bulan qomariyah ini memberikan dampak positif
bagi muridnya dan komunitas yang mengikutinya diantaranya dibidang disiplin
ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu falak dan disiplin ilmu lainnya.
Kata Kunci : KH. Muhammad Muhajirin, Bulan Qomariyah, Rukyatul Hilal
Pembimbing : Dr. Maskufia, M.A.
Daftar Pustaka : 1918 sd. 2018
vi
بسم هللا الرمحن الرحمي
KATA PENGANTAR
Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin, segala puji hanya bagi Allah SWT. yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia nikmat-Nya kepada hamba-Nya.
Salawat beriringan salam tak luput selalu tercurahkan kepada Rasul pilihan Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju
zaman ilmiah seperti sekarang ini, mudah-mudahan kita semua akan menjadi
salah satu bagian dari umat beliau yang akan mendapatkan syafaatnya di hari
kiamat nanti, amin.
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap manusia, karena dengan ilmu
dapat mengantarkan manusia menuju peradaban yang maju dan masa depan yang
cerah. Oleh karena itu penulis mencoba untuk menyelesaiakn suatu karangan
ilmiah yang merupakan salah satu syarat untuk menggapai masa depan tersebut
dengan cara menyelesaikan skripsi ini. Namun panulis sadar dalam menulis
skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya, akan tetapi penulis berharap
hasil ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun orang banyak.
Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan dan kesulitan yang penulis
jumpai tapi berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan kerja keras, doa, serta
bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, segala
kesulitan ini dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Pada akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan.
Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa
terima kasih yang tulus disertai hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus dosen pempimbing
akademik yang telah banyak meluangkan waktu dan arahannya dalam
membimbing penulis selama perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.
Semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT.
3. Bapak Indra Rahmatullah, SH.I, MH., selaku sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Maskufa, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang membina dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga jasa beliau
senantiasa menjadi amal kebaikan di kemudian hari dan segala urusannya
selalu dimudahkan-Nya.
5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan yang luas kepada
penulis semasa kuliah dahulu, semoga senantiasa dimudahkan segala urusan
ilmu yang diberikan mendapatkan keberkahan.
6. Kepada kedua orang tua Ayahanda dan Ibunda penulis, Bapak Jahidin
Firdaus dan Umi Kasumyati, doa dan bimbingan yang tulus yang
mengantarkan penulis hingga bisa menyeelsaikan skripsi ini,
“allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama robbayani sogiro”.
Kepada kakak tercinta dan adik tersayang Iskadar dan Wiwit Kurnia yang
selalu memberikan semangat bagi penulis dan memberikan teladan yang baik.
7. Keluarga Besar Pondok Pesantren An Nida Al Islami.
8. KH. Mahfuz Asirun, KH. Kamal Yusuf, Ustadz Royadi S.Pd.I, Ustadz
Muhammad Jaelani. selaku narasumber penulis dalam menye;esaikan skripsi
ini. Ilmu yang beliau berikan semoga mendapat ganjaran pahala dan
keberkahan-Nya.
9. Sahabat-sahabat saya: M Hafiz Naufal, Reynaldi Zulkaidt, Amar Maliki, M.
Ali Firadus, Brilian El Tanim Alderi, Eko Saputra bersama mereka suka cita
menjadi kenangan yang tak pernah dilupakan.
viii
10. Seluruh sahabat-sahabatku angkatan Administrasi Keperdataan Islam tahun
2012 yang selama ini memberikan makna persahabatan dalam satu keluarga.
Semoga kesuksesan selalu mengiringi mereka.
11. Seluruh sahabatku Remaja Musholla Al Mujahidin yang selalu memberikan
motivasi dan menghibur penulis dalm suka maupun duka.
12. Seluruh sahabat-sahabat Keluarga Besar PMII Komfaksyahum yang
memberikan banyak ilmu dan pengalaman bagi penulis.
13. Seluruh pihak yang tida dapat penulis sebutkan satu persatu, namunn telah
memberikan bantuan dan kontribusi yang cukup besar sehingga penulis dapat
lulus menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis bersyukur tiada henti karena pada akhirnya tugas akhir dalam jenjang
pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis hadapi telah selesai dikerjakan. Serta tak
lupa penulis minta maaf apabila ada penulisan dalam skripsi ini yang kurang
berkenan dihati pembaca.
Atas segala bantuannya penulis menghaturkan jazakumullah khairo katsion,
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca tentunya.
Jakarta : 25 November 2018 M
17 Rabiul Awal 1450 H
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama mengajarkan manusia untuk memanfaatkan fenomena alam itu
untuk berdzikir, mengingat dan bersyukur atas berbagai karunia dan limpahan
rahmat Yang Maha Pencipta. Agama menuntun memilih acuan sehingga
manusia tak perlu berdebat untuk memberikan inisial atau nilai awal dalam
menggunakan sebagian fenomena fase bulan dan alam. Bila dibebaskan,
manusia boleh saja memilih apa saja sebagai acuan hal itu akan hanya
menimbulkan kekacauan.1
Khususnya dalam menetukan awal bulan Qamariyah, kita sering
mengalami adanya perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa
Ramadan serta perbedaan berhari Raya Qurban (Idul Adha), dan berhari Raya
Idul Fitri. Perbedaan ini baik di kalangan umat Islam di Indonesia maupun
antar umat Islam Indonesia dengan di luar negri, seperti Malaysia atau Arab
Saudi. Perbedaan tidak jarang menimbulkan keresahan, bahkan
menimbulkan pertentangan fisik di kalangan umat Islam. Sudah barang tentu
perbedaan seperti ini merugikan persatuan dan ukhuwah umat Islam.2
Masyarakat Indonesia khususnya umat Islam dalam menjalankan
ibadahnya selalu terkait dengan waktu, seperti ibadah shalat, puasa ramadan,
zakat fitrah, ibadah haji dan lain sebagainya. Untuk menentukan waktu-waktu
tersebut kelihatanya mudah namun ternyata tidaklah mudah, karena
dibutuhkan suatu rumus atau metode tertentu untuk menentukannya. Dalam
hal ini telah dikenal suatu cabang ilmu pengetahuan dalam kajian Islam yaitu;
ilmu hisab atau ilmu falak.3
1
Abdurrahman Al Baghdady, Umatku Saatnya Bersatu Kembali ”Telaah Kritis
Perbedaan Awal dan Akhir Ramadan, (Jakarta:Insan Citra Media Utama, tth), h. 1. 2 Hendro Setyanto, Membuat Langit, (Jakarta: Al-Ghuraba 2008,), cet. 1, h. 3.
3 Ilmu Falak atau Astronomi yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-
benda langit, tentang fisiknya, geraknya, ukuranya dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya. Lihat Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak hisab rukyat, Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam ; Jakarta, 1981, h.14.
1
2
Di Indonesia ilmu hisab atau ilmu falak ini semakin berkembang,
ditandai dengan mendapat perhatian dari Departemen Agama yaitu
dibentuknya Badan Hisab Rukyah pada tahun 1972 berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Agama No.76 tahun 1972.4 Walaupun pada awalnya
Badan Hisab Rukyah ini dibentuk untuk mempersatukan perselisihan yang
terjadi, namun dengan dibentuknya Badan Hisab Rukyah ini tentunya
dibutuhkan tenaga ahli yang mahir dalam hisab rukyah ini.
Harus diakui bahwa pada abad ke-17 sampai abad ke-19 Masehi,
pemikiran hisab di Indonesia tidak bisa lepas dengan pemikiran hisab negara-
negara Islam lainnya. Bahkan tradisi ini masih terlihat pada awal abad ke-20
Masehi. hal ini tercermin dalam kitab Sullamun Nayyirain Karya Muhammad
Mansur bin Abd Hamid bin Muhammad Damiry al-Batawi (1925) yang
terpengaruh oleh sistem Ulugh Bek.5
Pada zaman penjajahan, penentuan awal bulan yang berkaitan dengan
persoalan ibadah diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada,
namun setelah Indonesia merdeka secara berangsur-angsur mulai berubah.
Hingga terbentuknya Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946.6
Allah SWT. telah berulang kali menyinggung fenomena alam dengan
firman – firman Nya dalam Al-Qur‟an, yang antara lain dalam Surat Yunus
ayat 5 :
قذ ش سا ٱنق ظ ظاء ٱنز جؼم ٱنش ٱنحغاب يا ا ػذد ٱنغ سۥ ياصل نرؼه
و ؼه د نق م ٱل نك إل تٱنحق فص ر ٥خهق ٱلل
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perbintangan (waktu). Allah
4 Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia, Studi Atas Pemikiran
Saaduddin Djambek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.14, Ulugh Bek adalah ahli astronomi
yang lahir di Salatin (1393 M) dan meninggal di Iskandaria (1449 M) dengan observatoriumnya ia
berhasil menyusun tabel data astronomis yang banyak digunakan pada perkembangan ilmu falak
masa-masa selanjutnya, Lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Jogjakarta: Buana Pustaka,
2005, h. 117. 5Mukhyidin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka,
2004), h. 11. 6 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), cet. 1, h. 211
3
tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengerti”. (QS.
Yunus: 5)
Ayat-ayat Al-Quran yang demikian itu sudah semestinya menjadi
pendorong bagi manusia, khususnya kaum muslimin untuk memeperhatikan
serta mempelajari benda-benda langit agar menambah keyakinan akan
kebenaran dan kebesaran kekuasaan Allah SWT., di samping dimanfaatkan
oleh manusia sendiri untuk menata hidup dan kehidupannya sehari-hari.
Pengetahuan tentang benda-benda langit yang dikenal dengan
astronomi memang banyak cabang dan ragamnya, satu di antaranya adalah
ilmu falak.7 ilmu falak atau biasa di sebut dengan ilmu hisab merupakan
khazanah Islam yang sangat berharga. Ilmu ini di kembangkan oleh ilmuwan-
ilmuwan muslim sejak Abad Pertengahan yang bukan hanya untuk
pengembangan ilmu itu sendiri, tetapi lebih dari itu untuk kepentingan praktis
menjalankan perintah-perintah agama yang erat berkaitan dengan waktu,
misalnya: shalat, puasa, dan haji. Pada Abad Pertengahan, perkembangan
ilmu falak menandai majunya peradaban Islam ditengah-tengah kegelapan
Barat. Pengembangan ilmu falak tersebut didukung oleh berdirinya teropong-
teropong bintang (observatorium) yang menjadi laboratorium dengan
melibatkan banyak ilmuwan dan pemerintah di berbagai negeri muslim.8
Dengan ilmu falak, setiap muslim dapat memastikan waktu masuk dan
keluarnya waktu shalat dengan penentuan waktu yang akurat.9 Begitu pula
dalam penanggalan kalender Hijriyah, yang erat hubungannya dengan
pelaksanaan ibadah umat Islam di dunia.
Kalender Hijriyah didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi
bumi, sebagai pelaksanaan hadis Nabi yang berbunyi :
7 Mukhyidin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka,
2004), h. v. 8 KH. Salamun Ibrahim, Ilmu falak Cara Mengetahui Awal Bulan, Awal Tahun, Musim,
Kiblat dan Perbedaan Waktu, (Surabaya : Pustaka Progressif, 2005), h. v. 9 Mukhyidin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka,
2004), h. v.
4
صاد ػ حذ ات ذ يح يغهى ػ تغ ات شا انش ح حذ ت علو انج ح شا ػثذانش
افطشا نشؤ عهى صيا نشؤر صه للا ػه انث ا للا ػ شج سظ ر ات ش
ها انؼذد )سا يغهى( كى فاك ػه غ فا
“Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Sallam al-
Jumahiy, telah menceritakan kepada kami Al-Rabii‟ (Ibn Muslim), dari
Muhammad (Ibn Jiyad), dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya,
sesungguhnya Nabi Saw, bersabda: berpuasalah kamu karena melihat hilal
(tanggal) dan berbukalah karena kamu melihat tanggal bila kamu tertutup
oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi tiga puluh hari)”.
(HR. Muslim).10
Dalam memahami dan memenuhi perintah hadits tersebut, tidak
sedikit menimbulkan perbedaan pendapat, baik dalam penentuan awal bulan
Ramadan, awal bulan Syawal maupun awal bulan Zulhijah. Perbedaan
tersebut tidak hanya dalam wacana, namun berimplikasi pada awal
dimulainya pelaksanaan ibadah, baik ibadah puasa, hari raya Idul Fitri
maupun Idul Adha. Bahkan tidak jarang berpengaruh pada keharmonisan
sosial antar sesama umat Islam.11
Sebut saja di Indonesia, dengan mayoritas
penduduk beragama Islam, hampir selalu terjadi perbedaan dalam memahami
dan mengaplikasikan pesan hadits diatas tersebut.
Implikasi lebih jauh adalah bukan hanya munculnya tiga arus utama
yang di sebut “mazhab” oleh Ahmad Izzuudin. Pertama mazhab Rukyah
yang di presentasikan oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. Kedua mazhab Hisab dengan
pencetus pertama oleh Muhammadiyah. Ketiga mazhab Imkanurrukyah yang
di munculkan oleh Pemerintah.12
Salah satu dari ketiga arus tersebut memiliki
mazhab yang belum begitu besar yakni pengikut dari Pemikiran KH.
10
Imam Ibnu al-Husen Muslim Ibn al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusyairy al-Niisaburi, al-
Jami al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II, (Semarang : Toha Putra, 2003), h. 124. 11
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2003), cet. 1, h.xi. 12
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. xii.
5
Muhammad Muhajirin Amsar Addari Pendiri Pondok Pesantren Annida AL-
Islami, Bekasi.
Pemikiran KH. Muhammad Muhajirin ini meskipun belum begitu
besar seperti halnya NU dan Muhammadiyah. Namun golongan ini cukup
berpengaruh dalam masyarakat sekitar, khususnya dalam penetapan awal
bulan Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha.
Dalam penentuan awal bulan Qomariyah, KH. Muhammad Muhajirin
ini telah memiliki pendapat sendiri. Hal ini terlihat dari setiap penetapan awal
Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Penetapan yang dikeluarkannya ini selalu
berbeda dengan penetapan NU, Muhammadiyah maupun pemerintah.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis ingin mengetahui
seluk beluk KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari. Bagaimana beliau dan
pengikutnya menetapkan awal bulan dan apa dasar rujukan dalam penetapan
awal bulan tersebut. Oleh karena itulah penulis akan meneliti lebih lanjut
dalam bentuk skripsi dengan judul “PENETAPAN AWAL BULAN
QOMARIYAH MENURUT PEMIKIRAN KH. MUHAMMAD
MUHAJIRIN AMSAR ADDARI”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
Identifikasi masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan hisab rukyah?
2. Bagaimana hisab rukyah dalam praktiknya?
3. Bagaimana pandangan para ulama di Indonesia tentang hisab rukyat?
Penelitian ini akan dibatasi pada penetapan awal bulan Qomariyah
menurut pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari.
Adapun defenisi operasionalnya adalah sebagai berikut:
1. KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari yang di maksud dalam tulisan
ini adalah pendiri Pondok Pesantren an-Nida Al Islami yang berdomisili di
daerah Bekasi Timur;
6
2. Penetapan awal bulan yang dimaksud dalam penulisan ini merupakan awal
bulan dalam kalender Islam atau dengan kata lain awal bulan Qomariyah;
3. Dalam pembahasan penetapan awal bulan dalam tulisan ini, penulis hanya
akan memberikan fokus bahasan mengenai penetapan awal Ramadan, Idul
Fitri dan Idul Adha;
Berkaitan dengan pembatasan masalah di atas, maka perumusan
masalahnya adalah bagaimana pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari tentang penetapan awal bulan Qomariyah. Adapun pertanyaan
penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penetapan awal bulan menurut KH. Muhammad Muhajirin
Amsar Addari?
2. Apa dasar pijakan KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari dalam
menetapkan awal bulan Qomariah?
3. Bagaimana pengaruh pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari
tentang penetapan awal bulan Qomariyah terhadap komunitas-komunitas
yang mengikuti pemikiran KH. Muhammad Muhajirin dan murid-
muridnya di wilayah Bekasi Timur dan sekitarnya.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
penetapan awal bulan menurut pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari dengan perincian sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui penetapan awal bulan menurut pemikiran KH.
Muhammad Muhajirin Amsar Addari;
2. Untuk mengetahui dasar pijakan KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari dalam menetapkan awal bulan tersebut;
3. Untuk mengetahui pengaruh pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari tentang penetapan awal bulan Qomariyah terhadap komunitas-
komunitas yang mengikuti pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari dan murid-muridnya;
7
Selain penelitian ini memiliki tujuan, juga diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui seluk beluk, pemikiran dan lain-lain dari KH.
Muhammad Muhajirin Amsar Addari sejak masa lampau hingga saat ini;
2. Dapat mensosialisasikan KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari
secara umum dan mensosialisasikan proses penetapan awal bulan
dikalangan pengikut dan murid KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari;
3. Dapat memberikan informasi mengenai seluk beluk, pemikiran dan
penetapan awal bulan menurut KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari
kepada Departemen Agama;
4. Dapat memberikan informasi dan data-data mengenai pemikiran KH.
Muhammad Muhajirin Amsar Addari kepada pihak-pihak yang
memerlukannya;
5. Dapat meningkatkan keberminatan mahasiswa syari‟ah mengambil kajian
ilmu falak untuk tugas akhir skripsi;
D. Review Studi Terdahulu
Pembahasan tentang hisab rukyat sebelumnya telah dilakukan
penelitian oleh Darsa Sukarta Diredja (1994) tentang Planetarium Jakarta.
Selain itu dilakukan juga oleh Yosi Oki (2011) tentang Studi Analisis Hisab
Rukyah Lajnah Falaqiyh Al Husiniyah Cakung Jakarta Timur Dalam
Penetapan Awal Bulan Qomariyah (Studi Kasus Penetapan Awal Syawal
1427 H/2006 M). kemudian peneliti oleh A.Syifa'ul Anam (2011) tentang
Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyyah Dalam Kitab Khulasoh Al
Wafiyyah dengan Metode Haqiqi Bit Tahqiq, yang menerangkan bagaimana
hisab awal bulan Qomariyyah dengan metode kitab Khulasoh al Wafiyyah
serta menjelaskan kelebihan dan kekurangan metode yang terdapat dalam
kitab tersebut.
Dalam kajian pustaka tersebut menurut penulis belum ada tulisan
yang membahas secara spesifik tentang “Penetapan Awal bulan Qomariyah
menurut KH. Muhammad Muhajirin”.
8
E. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan data agar mengandung suatu kebenaran yang
objektif, maka penulis menggunakan metode ilmiah sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini dengan menggunakan ilmu usul fiqh
untuk menganalisis dasar pijakan KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari dalam menentukan awal bulan Qomariyah, ilmu sosiologis
menganalisis pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar Adddari dalam
menentukan awal bulan Qomariyah dan pendekatan ilmu astronomi
digunakan untuk menganalisis hasil hisab penentuan awal bulan
Qomariyah pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar addari.
2. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang di gunakan oleh peneliti adalah
metode penelitian Kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan
(field resaerch),13
yakni data primer diperoleh dari lapangan, baik berupa
data hasil wawancara maupun buku-buku dari tempat penelitian (kitab-
kitab karangan KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari). Dan data
skundernya diperoleh dari buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan
tema di atas.
3. Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder yaitu sebagai berikut:
a. Data primer, sumber asli yang memuat informasi atau data bahan-
bahan hukum yang mengikat. Data primer dalam penelitian ini berupa
buku-buku dan kitab-kitab klasik yang menerangkan ilmu falak
terutama karya KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari “Misbahu
Adzulaam” dan hasil wawancara terhadap keluarga dan murid-
muridnya yang mengikuti pemikiran beliau.
13
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. 1, h. 8.
9
b. Data sekunder, memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
tersebut. Data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau
artikel yang mendukung penelitian ini. Seperti kitab Sullamun
Nayyiroin.
4. Sumber data
Sumber data yang digunakan yaitu hasil wawancara para keluarga
dan murid-murid KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari dan kitab
karangan beliau.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode dan teknik pengumpulan data didapatkan dengan cara
interview keluarga dan murid-murid KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari yang ada di pesantren An-Nida Al-Islami Bekasi dan dokumentasi
yang berkaitan dengan penelitian ini.
6. Subjek Penelitian
Dalam subjek penelitian ini peneliti memilih kepada murid-murid
dan tokoh yang pernah belajar kepada KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari, karena mereka adalah orang-orang yang pernah belajar langsung
dengan beliau semasa hidupnya dan karya-karya KH. Muhammad
Muhajirin Amsar Addari.
7. Metode Analis Data
Metode Analis Data dalam proses penelitian ini penulis
menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis data yang telah
dikumpulkan. Agar fakta dan analisa menjadi tepat, maka sifat penelitian
ini adalah deskriftif analitis14
yang bertujuan menggambarkan secara
integral tema-tema umum seperti hisab rukyah.
8. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan pada penelitian ini mengacu
pada buku pedoman skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah tahun 2017.
14
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 1.
10
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, penulis membaginya dalam lima bab,
yang setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik
tertentu, yaitu:
Bab pertama, mencakup pendahuluan, yang meliputi latar belakang
masalah mengapa peneliti mengambil penelitian ini, pembatasan masalah
yang akan di teliti oleh penulis, perumusan masalah yang merupakan
pedoman dalam melaksanakan penelitian, tujuan penilitian itu di adakan yang
merupakan salah satu dasar mengapa penelitian ini di lakukan, metode
penelitian yang di gunakan oleh peneliti, dan sistematika penulisan dalam
laporan penelitian ini.
Bab kedua menjelaskan pembahasan yang berkaitan dengan
penelitian. Yakni mengenai pengertian dan landasan hukum hisab rukyah,
sejarah hisab dan perkembanganya di Indonesia, aliran aliran hisab rukyah
dalam penentuan awal bulan.
Bab ketiga menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik
umum KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari, yakni biografi dan Latar
belakang KH. Muhammad Muhajirin, pendidikan dan guru-guru KH.
Muhaammad Muhajirin Amsar Addari, karya-karya KH. Muhammad
Muhajirin itu sendiri.
Bab empat bagaimana penetapan awal bulan menurut KH.
Muhammad Muhajirin Amsar Addari, Apa dasar pijakan KH. Muhammad
Muhajirin Amsar Addari dalam menetapkan awal bulan Qomariah,
Bagaimana pengaruh pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari
tentang penetapan awal bulan Qomariyah terhadap komunitas-komunitas
yang mengikuti pemikiran KH. Muhammad Muhajirin dan murid-muridnya
di wilayah Bekasi Timur dan sekitarnya.
Bab lima penutup, yang mana pada bab ini mencakup kesimpulan dan
saran-saran.
11
BAB II
GAMBARAN UMUM HISAB RUKYAH
A. Pengertian Dan Landasan Hukum Hisab Rukyah
1. Pengertian Hisab
a. Secara Etimologi
Hisab berasal dari tata bahasa Arab yaitu hasaba, yahsibu,
hisaban yang berarti “menghitung atau membilang”.15
Dengan
demikian definisi ilmu hisab jika di kaitkan dengan perhitungan rotasi
bulan dalam bahasa yang sederhana merupakan ilmu untuk menghitung
kedudukan bulan (awal bulan) terhadap bumi.
b. Secara Terminologi
Ilmu Hisab dalam kamus istilah disamakan artinya dengan
aritmatic, yang mempunyai pengertian suatu ilmu pengetahuan yang
membahas tentang perhitungan dalam menentukan awal bulan
Qomariyah yang di dasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi.16
Selain itu dalam kitab Fath al-Lathif Al-Rahiim yang di tulis oleh Abd
Al-Muhaimin Bin Abd Al-Lathif di katakan bahwa ilmu hisab
memiliki makna yang sama dengan ilmu irshad (penelitian ,ilmu falak,
ilmu miiqaat (jamak dari kata bahasa Arab “waktu” yakni ilmu
mengetahui waktu-waktu), ilmu hai‟ah (ilmu mengetahui tingkah laku
seseorang), ilmu astronomi dan qawaninaa al nujum (peraturan
perbintangan).17
Berkaitan dengan istilah hisab ini, dalam Islam tidak
hanya di kaitkan dengan perbintangan saja, melainkan juga terdapat
ilmu menghitung lain dalam Islam, yakni nyang di kenal dengan nama
ilmu mawaris atau faraidl‟. Ilmu faraidl ini termasuk dalam ilmu hisab
15
Louis Ma‟luf, Al-munjit, (Mesir: Al-Mathbaah Al-katholikiyyah, 1918) cet. 18, h. 132. 16
Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1990), cet. 1, h. 3. 17
Abd Al-Muhaimin Bin Abd Lathiif, Fath Al-lathiif Al-Rahiim Fi Al-Falaq Bijadwali
Al-lughotirmiyyah Libni Lathif, (Banten : Matbah Tsaniyah, 1986), h.1.
11
12
dikarenakan adanya persamaan subtansi, dimana kedua ilmu tersebut
secara prinsip menggunakan perhitungan – perhitungan dan proses
perumusan secara pasti.18
Di Indonesia, pada umumnya umat Islam hanya mengetahui ilmu
falak sebagai ilmu hisab, dalam konteks inipun ilmu hisab yang di maksud
adalah ilmu falak yang di gunakan umat Islam untuk melaksanakan
praktek-praktek ibadah dengan cara mengetahui dan mempelajari benda-
benda langit tentang fisik, gerak ukuran dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya.
Benda langit yang dipergunakan oleh umat Islam untuk
kepentingan hisab adalah matahari, bulan dan bumi. Semua itu terbatas
pada status posisinya saja sebagai akibat oleh adanya pergerakan benda
benda langit yang di sebut astromekanika.19
Dalam perkembangan ilmu
hisab, selanjutnya menggunakan perhitungan modern yang memepunyai
tingkat akurasi lebih tinggi dan dapat di pertanggung jawabkan, ilmu
tersebut adalah ilmu ukur bola sperical trigonometri.20
Sebagai pendukung
yang lain, ilmu hisab juga menggunakan informasi data yang di kontrol
dengan observasi setiap saat.
2. Pengertian Rukyah
a. Secara Etimologi
Secara etimologi rukyah berasal dari bahasa arab رؤية –يرى –راى
Yang berarti melihat dengan mata dan akal.21
Melihat dengan mata
berati rukyah bilfi‟li atau melihat dengan mata kepala telanjang sewaktu
18
Ilmanudin , Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektip NU dan Muhammadiyah Suatu
Komparasi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h.11. 19
Astromekanika adalah bagian dari ilmu astronomi yang mempelajari gerak dan gaya
tarik benda-benda langit dengan menggunakan cara dan teori mekanika. Departemen Agama, ,
Almanak Hisab Rukyah, (Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1990), cet. 1, h.
375. 20
Ilmanudin , Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektip NU dan Muhammadiyah Suatu
Komparasi, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h.12. 21
Louis Ma‟luf, Al-munjit, (Mesir: Al-Mathbaah Al-Katholikiyyah, 1918), cet. 18, h. 132.
13
matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Qomariyah )نظر بالعني اوبالفعل(
sedangkan melihat dengan akal berarti hisab, yaitu melihat dengan
perhitungan.
b. Secara Terminologi
“Rukyah” atau lengkapnya rukyatul hilal adalah suatu kegiatan
atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah barat
sesaat setelah matahari tebenam menjelang awal bulan baru-khususnya
menjelang bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah untuk menentukan
kapan bulan baru di mulai.22
Dengan demikian rukyatul hilal dapat di
katakan sebagai suatu proses menetapkan awal bulan.
c. Landasan Hukum Hisab Rukyah
a) Al-Quran
Ayat-ayat dalam al-Qur‟an banyak mengungkapkan hal-hal
yang berkaitan dengan gerak dan keadaan benda-benda langit
terutama bulan dan matahari yang sangat penting guna menetapkan
awal bulan, baik awal bulan Masehi maupun Hijriyah.23
Adapun salah satu ayat al-Quran yang berkaitan dengan hisab
rukyah diantaranya surat Yunus ayat 5 sebagai berikut :
انز جؼم انشظ ظاء انقش سا قذس ياصل نرؼها ػذد انغ
انحغاب يا خهق للا رنك ال تانحق فصم الاخ نقو ؼه )ظ:(
Artinya :
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
22
Muhyidin Khazin, Ilmu Falaq dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka,
2004), h. 173. 23
Departemen Agama RI, Pedoman Tehknik Rukyah, (Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direkteroat Pembinaaan Badan Peradilan Agama Islam,
1994/1995), h. 5.
14
Dari ayat tersebut, kata kata وقدره منازل di sambung dengan
kata-kata لتعلموا عددالسنني menunjukan bahwa bilangan yang di maksud
oleh ayat tersebut adalah tahun Qomariyah (Lunar Calendar)
sebagai rangkaian dari bulan-bulan Qomariyah.24
Selain ayat tersebut, dalam Surat Yasin ayat 39 juga
disebutkan bahwa Allah menjadikan manzilah-manzilah terakhir, ia
kembali ke bentuk seperti tanda tua (bulan sabit).25
Sebagaimana
diketahui bahwa bentuk bulan yang terlihat di bumi, setiap hari
mengalami perubahan. Mula-mula kecil, kemudian memebesar dan
menjadi setengah lingkaran, lalau purnama satu lingkaran penuh,
kemudian mengecil kembali, lalu menghilang dan akhirnya muncul
kembali berbentuk seperti tandan tua yang digambarkan dalam surat
Yasin ayat 39.26
Periode perubahan bentuk bulan tersebut
diakibatkan oleh perpindahan penulusuran satu manzilah ke
manzilah lainnya dan merupakan periode pergantian waktu bulan
Qomariyah.
Ayat al-Qur‟an lainnya yang berkaitan dengan benda-benda
langit dan penetapan awal bulan Qomariyah adalah :
1) Al-Baqarah ayat 189;
2) Al-Isra ayat 12;
3) At-Taubah ayat 36;
4) An-Nahl ayat 16;
5) Al-Hijr ayat 16;
6) Al-Anbiya ayat 33;
7) Dan lain lain.
b) Hadits
24
Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta : Buana Pustaka,
2004), h. 4. 25
Ibid. h. 4. 26
Ibid. h. 6.
15
حذشا ح قال قشاخ ػه يانك ػ افغ ػ ات ػش سظ للا ػا ػ
انث صه للا ػه عهى ا ركش سيعا فقال لذصيا حر ذشاانلل
لذفطشا حر ذش فا اغ ػهكى فاقذسان
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami yahya bin yahya berkata
saya telah membaca kepada Malik dari Nafi‟ dari Ibnu Umar semoga
Allah meridhoi keduanya dari Nabi SAW., bahwasanya Nabi SAW.,
telah menurunkan Ramadan maka beliau bersabda : janganlah kamu
berpuasa sebelum kamu melihat hilal (Ramadan) dan janganlah
kamu berbuka sebelum kamu melihat hilal (syawal). Jika tertutup
atas kalian maka takdirkanlah (HR. Muslim dari Ibnu Umar)”.
حذشا ات تكش ت ات شث حذشا ات اعايح حذشا ػثذللا ػ افغ ػ ات
ػش سظ للا ػا ا سعل للا صه للا ػه عهى ركش سيعا
فعشب تذ فقال انشش كزا كزا كزا )شى ػقذ اتاي ف انصانصح(
شفصيا نشؤر افطشا نشؤر فا اغ ػهكى فاقذسا ن شل27
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Abu bakar bin Abi
Syaybah, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah dari Nafi‟ dari Ibnu Umar
semoga Allah meridhoi keduanya, Bahwasnya Rasulullah SAW.,
menuturkan tentang bulan Ramadan, lalu beliau berisyarat dengan
tangannya seraya berkata sebulan itu sekian, sekian dan sekian
(dengan menekuk ibu jarinya pada yang tiga kali), kemudian beliau
berkata: Berpuasalah kalian karena terlihat hilal (Ramadan) dan
berbukalah kalian karena melihat hilal (Syawal). Jika tertutup atas
kalian maka taqdirkanlah bulan itu 30 hari (HR. Muslim dari Ibnu
Umar)”.
27
Imam Ibnu al-Husain Muslim bin al-Hajaj Ibn Muslim al- Qusairi al- Nisaburi, al-
jami‟u al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II, (Semarang : Toha Putra, t.th), h. 122 Dalam
Buku Kumpulan Hadist Shahih “al-Jami‟u al-Shahih” karangan Husein Bahreis di katakan bahwa
hadist ini merupakan riwayat Bukhari dan Muslim
16
Berdasarkan hadits-hadits di atas, sebagian Fuqoha
menetapkan bahwa melaksanakan rukyatul hilal untuk menentukan
awal bulan Ramadan dan Syawal adalah wajib kifayah. Sedangkan
sebagian Fuqoha lainnya menetapkan bahwa perihal penetapan awal
bulan tidaklah demikian28
. Disamping itu, sebagian Fuqoha
memandang bahwa rukyah merupakan salah satu cara dalam
menetapkan awal bulan Qomariyah, yang selain itu dapat di tempuh
dengan cara hisab.29
Berkaitan dengan landasan hukum hisab rukyah ini, selain
riwayat Bukhari & Muslim, juga terdapat riwayat ulama lainnya,
seperti yang terkumpul dalam kitab Kutubu al-Sittah (Abu Daud,
Ibnu Majah, At-Tirmidzi, dan An-Nasai) dan beberapa kitab
karangan ulama lainnya.
c) Pendapat Ulama
Selain ayat al-Qur‟an dan hadits sebagaimana di atas,
persoalan hisab rukyah juga di dasarkan pendapat ulama, seperti
pendapat Ibnu Rusydi dalam Bidayatul Mujtahid telah menulis
bahwa di riwayatkan dari sebagian ulama salaf, bila hilal tertutup
awan, maka ia kembali kepada hisab yang berdasarkan perjalanann
bulan matahari. Itulah mazhabnya Mutarraf bin Suhair seorang
ulama besar di kalangan tabi‟in. Ibnu Suraij dari Imam Syafi‟i
mengatakan bahwa orang yang mengikuti mazhab Mutarraf bin
Suhair mengambil pedoman pada bintang-bintang dan kedudukan
bulan, kemudian jelas baginya bahwa hilal telah dapat di lihat namun
tertutup awan, maka orang tersebut mengembalikannya kepada
hisab30
.
28
Imam Ibnu al-Husain Muslim bin al-Hajaj Ibn Muslim al- Qusairi al- Nisaburi, al-
jami‟u al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II,(Semarang : Toha Putra, t.th), h. 122. 29
Departemen Agama RI, Pedoman Tehknik Rukyah,(Jakarta : Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,Direkteroat Pembinaaan Badan Peradilan Agama Islam,
1994/1995), h. 6. 30
Departemen Agama RI, Pedoman Tehknik Rukyat,(Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam,Direkteroat Pembinaaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995),
h. 6.
17
Pendapat para ulama di atas telah menunjukan bahwa mereka
sepakat mengembalikan persoalan penetapan bulan kepada hisab jika
hilal tertutup oleh awan.
B. Sejarah Hisab Rukyah, Aliran-aliran dan Perkembangan Hisab Rukyah
di Indonesia
1. Sejarah Hisab Rukyah Secara Umum
Sebelum Islam orang-orang Arab Jahiliyah telah memiliki
pengetahuan-pengetahuan dasar tentang ilmu astronomi. Namun
pengetahuan yang mereka miliki belum berbentuk rumusan-rumusan
ilmiah. Ilmu astronomi dalam Islam dikatakan muncul dengan gemilang
pada masa Pemerintahan Khalifah Abbasiyah sebagi hasil perkawinan
antara kebudayaan Persia, kebudayaan India dan kebudayaan Yunani.
Di dalam kitabnya “ Taa-rii-khul Hadlaa-rah al Islaa-miyah
Fil„Ushuu-ri al-Qhus-tha”, Abdul Mun‟in Majid Mengatakan, “prinsip-
prinsip ilmu astronomi telah di miliki oleh orang-orang Arab maju, seperti
orang-orang Arab Yaman, Kaldea dan pada orang-orang Arab Badawi
pengembara, ilmu astronomi, baru terbatas pengenalan terhadap peristiwa-
peristiwa alam yang berpindah antara yang satu kepada yang lain melalui
turun-temurun. Dalam kaidah-kaidah syi‟ir Arab Jahiliyah, kita dapat
membaca nama-nama bintang. Namun secara teoritis, ilmu astronomi Arab
baru muncul pada pertengahan abad ke-2 hijriyah pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Hal itu terjadi berkat hubungan mereka dengan berbagai
macam kebudayaan dunia yang mereka salin dari kitab-kitab klasik
karangan orang-orang India dan Yunani.31
Pada masa Abbasiyah, orang-orang Arab dan kaum Muslimin
menjadi gudang ilmu penegetahuan dunia. Abdul Abbas Ash-Shaffah,
memegang tampuk pimpinan hanya dua tahun. Penggantinya Al Mansur
yang masih ada hubungan darah kepadanya, adalah seorang negarawan
31
Departemen Agama RI, Pedoman Tehknik Rukyat,(Jakarta : Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,Direkteroat Pembinaaan Badan Peradilan Agama Islam,
1994/1995), h. 7.
18
kelas satu. Ia pula pecinta ilmu yang memberikan kesempatan yang luas
bagi para ilmuwan untuk berkembang maju.
Di Istana al-Mansur telah terkumpul insinyur-insinyur dan ahli-ahli
astronomi. Rencana pembangunan Bagdad baru di serahkan pada
pengawasan Menteri Khalid bin Barmaki. Kepala kerjanya adalah
Naubakh, seorang astronom. Ia di bantu oleh seorang insinyur muda,
Bagdad baru di dirikan pada tahun 145 H/762 M di tepi Sungai Tigris.
Sesudah itu, sebuah kota lain, Bagdad baru yang lain, muncul pula di tepi
Timur Sungai itu, yang diberi nama Darus Salam, kota perdamaian. Nama
tersebut dipilih oleh Naubakh seorang astronom, dan ahli bintang kerajaan.
Atas perintah Mansur, beliau memerintahkan untuk
menterjemahkan buku-buku kesastraan dan ilmiah dari bahasa asing ke
bahasa Arab. Ia menyuruh Muhammad Al Fazari untuk menterjemahkan
bahasa Arab buku karangan India mengenai ilmu bintang, yaitu Siddhanta
Barahmagupta sepulangnya dari India bersama seorang ahli bintang,
bernama Manka. Penterjemahan Siddhanta Aryabhrata dilakukan oleh
Ya‟kub Ibn Thariq, sedangkan Hunai Ibn Ishak telah menterjemahkan
buku Almagset karangan Calaudius Ptolomeus dari bahasa Yunani ke
bahasa Arab. Ahli-ahli perbintangan sudah sama sama mengenal buku ini
yaitu buku ilmu Astronomi yang paling kuno yang di kenal hingga saat ini.
Sejak saat itu baik dipengaruhi oleh keadaan politik atau tidak, dan
adanya pengaruh perang salib, baik yang menang atau yang kalah, mulai
terkesan akan dunia Islam, sehingga keadaan seperti itu telah
mempengaruhi adanya perpindahan ilmu dari orang-orang Islam menyebar
ke Eropa dan ke Cina bahakan menyebar ke seluruh dunia hingga saat
ini.32
Dari pembahasan di atas, meskipun ilmu falak atau hisab baru
terlihat setelah Islam ada, namun sebagaimana telah disebutkan dalam
setiap mukaddimah kitab-kitab falak, bahwa penemu pertama ilmu falak
32
Ahmad Thoha, Astronomi Dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), h. 12.
19
atau ilmu astronomi adalah Nabi Idris AS.33
Hak ini menunjukan bahwa
wacana hisab rukyht sudah ada sejak waktu itu, atau bahkan lebih awal
dari itu.
Berkaitan dengan sejarah hisab ini, sejauh pelacakan Ahmad
Izzudin didapatkan bahwa sekitar abad ke-28 SM, embrio ilmu falak mulai
tampak. Pada waktu itu falak di gunakan untuk menentukan waktu saat-
saat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah tampak di beberapa
negara seperti di Mesir (untuk menyembah Dewa Orisis, Isis, dan Amaon)
di Babilonia dan Mesopotamia untuk menyembah Dewa Astoroth dan
Baal.34
Meskipun embrio falak tampak abad ke 28 SM. Namun
pengetahuan nama-nama hari dalam seminggu sudah ada sejak 5.000 tahun
sebelum Masehi yang masing-masing di beri nama dengan nama-nam
benda langit.35
Pada abad XX SM, di Negeri Tionghoa telah di temukan
alat untuk mengetahui gerak matahari dan benda-benda lainnya yang
sekaligus mereka pulalah yang mula mula dapat menentukan terjadinya
gerhana matahari.36
Setelah itu berlanjut asumsi Pythagoras (580-500SM), bahwa bumi
berbentuk bulat bola, yang dilanjutkan Heraclius dari Pontus (388-315
SM) mengemukakan bahwa bumi berputar pada sumbunya, Merkurius dan
Venus mengelilingi matahari dan matahari mengeliligi ini bumi.37
Penemuan ini di perkuat dengan hasil dari Aristarchus dari Samos ( 310-
230 SM ) mengenai hasil pengukuran jarak antara bumi dan matahari,dan
pernyataannya bumi beredar mengelilingi matahari. Selain itu juga di
33
Ahmad Thoha, Astronomi Dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), h.18-20. 34
Sebagaimana telah disebutkan oleh Zubair Umar Al-Jaelany dalam kitab Al-Khulasoh
Al-Wafiyah yang dikuatkan oleh Al-Susy, Ahmad Izzudin, Fiqh Rukyah di Indonesia; Upaya
Penyatuan Mazhab Rukyah Dengan Mazhab Hisab (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003), cet. 1,
h.41. 35
Ibid h.42. 36
Matahari untuk hari Ahad, bulan untuk hari Senin, mars untuk hari Selasa, mercuris
untuk hari Rabu, yupiter untuk hari Kamis, venus untuk hari Jum‟at dan saturnus untuk hari Sabtu.
Rahmat Taufik Hidayat, dkk., Almanak Alam Islami : Sumber Rujukan Keluarga Muslim Milenial
Baru (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), cet. 1, h.166. 37
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. 42
20
Mesir bernama Eratoshenes telah mendapatkan perhitungan kelililng
bumi.
Dari semua penemuan di atas, sebagaimana di ungkap oleh Ahmad
Izzudin bahwa dia menduga persoalan hisab rukyh telah nampak sejak
sebelum Masehi, meskipun dalam kemasan yang berbeda.
Pada masa sesudah Masehi terlihat dengan penemuan Claudius
Ptolomeus ( 140 M ) berupa catatan-catatan tentang bintang-bintang yang
di beri nama Tabril Magesthi dan berasumsi semesta alam ini berbentuk
geosentris.38
Kemudian pada masa Islam datang (masa Nabi Muhammad SAW),
ilmu hisab memang belum masyhur di kalangan umat Islam, meskipun
sebenarnya ada juga yang mahir dalam perhitungan. Dengan demikian
realitas persoalan hisab rukyah pada masa itu tentu saja sudah ada
meskipun dari sisi hisabnya belum begitu masyhur. Hal ini ditandai
dengan adanya penggunaaan perhitungan tahun Hijriyah oleh nabi sendiri
ketika beliau menulis kepada kaum Nasrani Bani Najran, tertulis ke V
Hijriyah, namun di dunia Arab lebih mengenal peristiwa-peristiwa yang
terjadi dijadikan sebagai nama tahun atau tanggalan, seperti Tahun Gajah,
Tahun Izin, Tahun Amar, Tahun Zilzal dan sebagainya.39
Secara formal, pada masa itu wacana hisab rukyah baru tampak
dengan adanya penetapan hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah, yang
dijadikan sebagai fondasi dasar kalender Hijriyah yang dilakukan oleh
sahabat Umar bin Khattab, yakni tepatnya tahun ke tujuh belas Hijiriyah.
Dan dengan berbagai pertimbangan yang matang bulan Muharam sebagai
awal bulan Hijriyah.40
Persoalan hisab rukyah ini, mulai mendapatkan masa keemasannya
pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal ini terlihat pada masa Khalifah Abu
38
Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1999), cet. 5, h. 331. 39
Teori Geosentris merupakan teori pusat alam yang terletak pada bumi yanng tidak
berputar pada sumbunya dan dikelilingi oleh bulan. Merkurius, venus, matahari, mars, yuiter, dan
saturnus. Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia, (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003),
h. 42. 40
Ibid. h.183.
21
Ja‟far al-Manshur, ilmu astronomi mendapatkan perhatian khusus, salah
satunya adanya upaya menterjemahkan kitab Sindihind dari India.41
Kemudian pada masa Khalifah al-Makmun, naskah Tabril
Magesthi diterjemahkan dalam bahasa Arab. Dan dari sinilah lahir ilmu
hisab sebagai salah satu dari cabang ilmu ke-Islam-an dan tumbuhnya ilmu
hisab mengenai penetapan awal bulan Qamariyah dan penentuan arah
kiblat.42
Selain itu pada masa khalifah ini, observatorium telah didirikan di
Sinyar dan Junde Shahfur Bagdad.
Masa kejayaan hisab rukyah di tandai oleh lahirnya beberapa tokoh
yaitu Al-farghani seorang Ahli Falak, yang oleh orang Barat dipanggil
Faganus. Kemudian Maslamah Ibnu al-Marjiti di Andalusia telah
mengubah Tahun Persi dengan Tahun Hijriyah. Disamping itu ada juga
pakar ilmu falak terkemuka lainnya seperti : Mirza Ulugh bin Timur lank
yang terkenal dengan karyanya yaitu Ephemerisnya, Ibnu Yunis (950-1000
M) Nasiruddin (1201- 1274 M), dan Ulugh Beik (1344- 1449 M) yang
terkenal dengan landasan ijtima‟ dalam penentuan awal bulan Qamariyah.
Di Bashrah, Abum Ali Al-Hasan bin al-Haytam (965-1039 M)
seorang pakar falak yang terkenal dengan bukunya Kitabul Manadhir dan
tahun 1572 diterjemahkan dengan nama Optics yang merupakan penemuan
baru tentang refraksi (sinar bias). Tokoh-tokoh tersebut sangat
memepengaruhi dan memmeberikan kontribusi yang positif bagi
perkembangan ilmu falak di dunia Islam padanya masanya masing-
masing. Meskipun masih terkesan bernuansa Ptolomeus.43
Pada pertengahan abad XIII M, setelah umat Islam menampakan
kemajuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka umat Islam
mengadakan ekspansi intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol. Pada
waktu itu Eropa sedang dilanda oleh tumbuhnya isme-isme baru seperti
41
Ibid. h.184. 42
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia, (Yogyakarta, Logung Pustaka,
2003), h. 44.
43
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. 44.
22
Humanisme, Rasionalisme dan Renaisans yang merupakan reaksi dari
Filsafat Skolastik dimasa itu, dimana adanya larangan penggunaan rasio
ataupun berpaham kontradiksi dengan paham gereja. Kemudian muncul
Nicolass Copernicus (1473-1543 M) yang berupaya membongkar teori
Geosentris yang di kembangkan oleh Claudius Ptolomeus. Teori yang
dikembangkannya adalah bukan bumi yang dikelilingi matahari, tetapi
sebalikanya, serta planet-planet beserta satelit-satelit yang mengelilingi
matahari. Teori ini kemudian dinamakan teori Heliosentris.44
Perdebatan mengenai teori tersebut berkembang sampai pada abad
XVIII, dimana penyelidikan Galileo dan JHON Keplper Menyatakn
pembenaran Teori Heliosentris. Meskipun anatara Jhon Keppler dan
Copernicus berbeda dalam hal lintasan planet mengelilingi matahari,
dimana menurut Copernicus berbentuk bulat, sedangkan menurut Jhon
Keppler berbentuk elips (bulat telur). Hal ini pada masa sesudahnya
banyak ditemukan penemuan-penemuan yang berkaitan dengan
kosmografi.45
Berkaitan dengan kedua teori di atas, dalam wacana historitas hisab
rukyah Islam, bahwa tokoh yang pertama kali melakukan kritik tajam
terhadap teori Geosentris adalah Al-Biruni dengan asumsi tidak masuk
akal bila langit yang besar dan luas dengan bintang-bintang nya dinyatakan
mengelilingi bumi sebagai pusat tata surya.46
Dari penemuan ini dapat
diambil kesimpulan bahwa al-Birunillah peletak dasar Teori Heliosentris.
Fenomena di atas menjadi pertanyaan para peneliti modern, mereka
berselisih pendapat mengenai orisinalitas kontribusi dan peranan orang-
orang Islam. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip Nurcholis Majid
misalnya, cenderung meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di
44
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. 45. 45
Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1999), cet. 5, h. 331. 46
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. 46.
23
bidang filsafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas
yang tinggi dibidang matematika, termasuk di dalamnya astronomi.47
Kembali kepada penemuan Ulugh Beik (1344-1449) berupa jadwal
Ulugh Beik. Jadwal ini pada tahun 1650 M diterjemahkan dalam Bahasa
Prancis kemudian sekitar tahun 1857-1861 di Nautical Al-Manac America,
Simon New Comb (1835-1909 M) berhasil membuat jadwal astronomi.
Jadwal tersebut terkenal dengan nama Almanac Nautica.48
Kedua jadwal itulah yang selama ini mewarnai tipologi metode
hisab rukyah di Indonesia. Di mana tipologi hisab klasik dengan diwakili
oleh kitab Sullamun Nayyirain sebagaimana di akui sendiri oleh Mansur
al-Batawi dalam kitabnya, bahwa jadwal yang dipakai adalah bersumber
pada data Ulugh Beik. Sedangkan tipologi hisab modern sebagaimana
telah berkembang dalam wacana hisab rukyah dan tekhnik hisab, bahwa
Almanac Nautica, diklasifikasikan dalam tipologi hisab (hakiki)
kontemporer.49
Dengan demikian di Indonesia memiliki dua metode hisab
rukyah yakni metode klasik dan metode modern.
2. Aliran-Aliran Hisab
Pada dasarnya sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya
adalah sejarah aliaran, mazhab atau firqah. Dengan demikian, sejarah
pemikiran hisab tidak bisa lepas pula dari persoalan aliran dan mazhab.
Pada zaman modern, ketika umat Islam di hadapkan pada tantangan
modernitas dalam segala aspek dan seginya, persoalan hisab menjadi
semakin penting untuk dikaji dan di telaah ulang.
Sebagai kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran atau pola
pemikiran (paradigma), terlebih dahulu perlu di tinjau aliran aliran hisab
yang ada. Sehubungan dengan hal itu, ada dua masalah besar. Pertama,
nama aliran yang di gunakan oleh para pengkaji cukup beragam. Pada
umumnya, nama aliran yang sering di gunakan ialah hisab urfi, hakiki,
47
Ibid.h. 46. 48
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadana, 1992), cet. 1, h. 135-136. 49
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. 47.
24
imkanur rukyah dan hisab astronomi.50
Perbedaan aliran ini menimbulkan
masalah kedua, yaitu perbedaan perbedaan definisi. Akibatnya timbul
perbedaan penilaian terhadap masing masing aliran.
Untuk mengatasi dua pokok masalah tersebut, maka kajian ini
membatasi pada aliran yang mewakili pemikiran hisab di indonesia, yakni
hisab Urfi dan hisab Hakiki.
a. Hisab Urfi
Hisab urfi merupakan sistem perhitungan dalam penanggalan
yang di dasarkan pada perhitungan rata-rata bulan mengelilingi bumi
dan di tetapkan secara konvensional, dimana ditentukan dengan
aturannya yang tetap dan berurutan yakni di mulai dari Muharam yang
mempunyai jumlah hari 30, Shafar 29 dan begitu seterusnya kecuali
tahun kabisat yang terjadi 11 kali dalam satu daur yakni 30 tahun, maka
khusus untuk bulan Djulhijjah 30 hari, yang seharusnya 29 hari
berdasarkan perhitungan secara Urfi. Dengan demikian untuk hisab Urfi
ini merupakan sistem selang seling antara 30 dan 29 hari mulai dari
bulan Muharam hingga seterusnya (untuk bulan ganjil 30 hari dan bulan
genap 29 hari), kecuali bulan Zulhijah pada tahun Kabisat.
Hisab Urfi dalam perhitungannya masih bersifat tradisional
yakni hanya dengan membuat kelengkapan kelengkapan dalam
menentukan perhitungan, tentunya dengan mendasarkan pada beberapa
prinsip yaitu :51
1) Ditetapkan awal bulan Hijriyah baik tanggal, bulan, tahun dan
persesuaianya dengan tanggal Masehi, dalm hal ini di tentukan
bahwa tanggal 1 Muharam merupakan 1 Hijriyah, bertepatan dengan
hari Kamis tanggal 15 Juli 662 Masehi atau hari Jum‟at tanggal 16
Juli 662 Masehi;
50
Ibid. h. 47.
51
Susiknan Azhari, Ilmu Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Lazuardi, 2001), cet. 1, h. 92.
25
2) Ditetapkan pula bahwa satu tahun itu umurnya 354 hari sehingga
dalam 30 tahun atau 1 daur terdapat 11 tahun panjang dan 19 tahun
pendek;
3) Tahun panjang ditetapkan umumnya 355 hari sedangkan tahun
pendek ditetapkan 354 hari;
4) Tahun panjang terletak pada deretan tahun ke-2,5,7,10,13,15 (namun
sebagian ulama di nyatakan ke-16), 18,21,24,26 dan ke- 29.
Sedangkan deretan lainnya sebagi tahun pendek. Hal ini terkumpul
dalam kalimat: ف انخهم كف دا ػ كم خم حث فصاك
Keterangan : Dari kalimat diatas huruf Hijaiyyah yang ada titik nya
merupakan penunjukan dari tahun panjang,sedangkan huruf
Hijaiyyah yang tidak ada titiknya merupakan tahun pendek.
5) Bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari sedangkan bulan
bulan genap umurnya 29 hari dengan keterangan untuk tahun tahun
panjang bulan ke-12 (Zulhijah) di tetapkan 30 hari.
b. Hisab haqiqi
Hisab haqiqi merupakan hisab yang di dasarkan pada peredaran
bulan dan bumi yang sebenarnya, yaitu penentuan kedudukan bulan
pada saat matahari terbenam. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah
tetap dan tidak bertaturan, terkadang 2 bulan berurutan umurnya 29 hari
atau 30 hari dan kadang kadang pergantian seperti hal nya menurut
perhitungan hisab Urfi. Hisab haqiqi masuk pada katagori hisab
Modern karena sudah menggunakan kaidah kaidah ilmu ukur bola
Sperikal Trigonometri.52
Sebagimana hisab Urfi, hisab Haqiqi juga
menggunakan beberapa metode yang di jadikan sebagai suatu perinsip
penerapannya, yaitu :
52
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 14-15.
26
1) Menentukan terjadinya ghurub53
matahari untuk suatu tempat;
2) Dengan berdasarkan ghurub matahari tadi hisab haqiqi menghitung
longitude matahari dan bulan serta data lain dengan koodinat ekleptika;
3) Selanjutnya atas dasar longitude ini mereka menghitung terjadinya
ijtima;54
4) Kedukan matahari dan bulan yang di tentukan dengan sistem koodinat
ekleptika diproyeksiakan ke equator dengan koordinat equator. Dengan
ini dapat di ketahui mukuts (jarak sudut lintasan matahari dan bulan
pada saat terbenam);
5) Kedudukan matahari dengan sistem koordinat equator itu di
proyeksikan lagi ke vertikal sehingga menjadi koordinat horizon,
dengan demikan dapatlah di tentukan berap tinggi bulan pada saat
matahari terbenam dan berapa azimutnya.;
Pandangan ahli hisab dalam menentukan awal bulan baru berbeda-
beda yang pada intinya menyebabkan hasil perhitungan hisab yang
berbeda beda pula dari beberapa perbedaan ini melahirkan beberapa aliran
pemahaman dalam menentukan masuknya bulan baru memepergunakan
sistem hisab haqiqi ini. Misalnya,badan hisab dan rukyah departemen
agama,pada garis besarnya terdiri dari dua golongan yaitu golongan yang
berpodaman kepada ijtimak semata dan golongan yang berpedoman
kepada posisi bulan diatas ufuk pada saat matahari terbenam. Kedua
golongan tersebut terpecah lagi menjadi beberapa golongan, bagi golongan
yang berpedoman ijtimak semata terpecah menjadi dua, yaitu golongan
yang meyakini ijtimak qobla al ghurub,dan ijtimak qobla al fajr.55
1) Ijtimak Qobla Al-Ghurub
53
Spherical Trigonometri adalah segitiga yang digambarkan pada kulit bola dengan
pengertiannya yang khusus. Rumus ini digunakan untuk melakuka transformasi dari sistem
koordinat Equtorial ke sistem koordinat Azimutal (menghitung jarak sudut antara dua tempat dan
menghitung arah suatu tempat). Ibid, h.8. 54
Apabila matahari dan bulan bersinggungan pada piringan atasnya (Uper Limb) dengan
kaki langit, dalam pengertian astronomi daikatakan terbenam jika jaraknya senitnya sama dengan
90 derajat lebih semidiameter ditambah refraksi dikurangi parralaks. 55
Disebut pula iqtiran yaitu; jika bulan dan matahari berada pada bujur astronomi yang
sama (konjungsi).
27
Golongan yang berpedoman kepada ijtimak qobla al ghurub
berpendapat, bahwa jika ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam,
maka malam harinya sudah dianggap bulan baru. Sedangkan, jika ijtima
terjadi setelah matahari terbenam, maka malam itu dan keesokan harinya
ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung. Sistem ini
sama sekali tidak memperhitungkan rukyah, juga tidak memperhitungkan
posisi hilal dari ufuk, asalkan sebelum matahari terbenam suadah terjadi
ijtimak. Golongan yang berpedoman pada ijtimak qobla al ghurub
walaupun hilal berada di bawah ufuk, malam hari itu juga sudah masuk
bulan baru.
Sistem ini lebih menitik beratkan pada penggunan astronomi murni
yang dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa, bulan baru terjadi sejak
matahari dan bulan dalam keadaan konjungsi (ijtimak).56
Sistem ini
menghubungkan ijtimak dengan saat terbenam matahari, sebab sistem ini
memepunyai anggapan bahwa hari menurut islam adalah di mulai dari
terbenam matahari sampai terbit pada keesokan harinya hingga matahari
terbenam kembali. Konsep yang di pegang disini adalah malam
mendahului siang.
Menurut sistem ini dapat dikatakan bahwa ijtimak adalah pemisah
diantar dua bulan qomariyyah. Namun karena hari menurut Islam di mulai
sejak terbenam matahari, maka ketika ijtimak terjadi sebelum terbenam
matahari, maka malam itu masi merupakan bagian dari bulan yang sedang
berlangsung secar singkat dapat dikatakan bahwa yang di jadikan ukuran
adalah apakah ijtimak itu terjadi sebelum tibanya batas hari (saat terbenam
matahari) atau sesudahnya.
2) Ijtimak Qobla Al-Fajri
Golongan yang berpedoman pada qobla al fajri berpendapat bahwa
permulaan bulan qomariyyah di tentukan oleh ijtimak sebelum fajar,
dikarenakan antara terjadinya ijtimak dan matahari terbenam itu tidak
56
Ilmanudin , Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektip NU dan Muhammadiyah Suatu
Komparasi, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h.15.
28
saling berkaitan satu sama lain dan secara dalil pun tidak ada yang
mengharuskan bahwa batas hari itu saat matahari terbenam. Menurut
sistem ini, jika ijtimak terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah
masuk bulan baru walaupun pada saat matahari terbenam pada malam itu
belum terjadi ijtimak. Pendapat ini berdasarkan arti dari perintah
dimulainya puasa harian.57
Sebagaimana firman Allah Swt., dalam Qur‟an
surat al-Baqarah aayat 187;
كها اششتا حر رث نكى انخػ ال تط ي انخػ العد ي انفجش
)انثقشج(
Artinya :
“Makan dan minumlah kamu sehingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam yaitu fajar” (QS.Al-Baqarah : 187)
Di Indonesia, belum diketahui secara pasti adanya para ahli yang
berpegang pada ijtima qobla al-fajri ini. Hanya saja pendapat ini
digunakan di pemerintah Saudi Arabia. Hal ini terlihat pada penentuan hari
raya Idul Adha pada tahun 1395 H atau 1975 M.58
Pada tahun ini,
pemerintah Arab Saudi menetapkan bahwa hari raya Idul Adha jatuh pada
hari Jum‟at, tanggal 12 Desember 1975, sementara di Indonesia hari raya
Idul Adha di tetapkan pada hari Sabtu, tanggal 13 Desember 1975.
Mengetahui hal ini para ahli di Indonesi mengemukakan bahwa jika
pemerintah Arab Saudi dalam penentuan awal bulan berdasarkan hisab,
maka ijtima qobla al fajriyah di jadikan pedoman juga. Penilaian itu
didasarkan pada kenyataan bahwa ijtima menjelang awal bulan Zulhijah
1395 H terjadi pada Hari Rabu tanggal 3 Desember 1975 Jam 00.50 GMT
atau 07.50 WIB atau Jam 03.50 Waktu Makkah.59
57
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 9. 58
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 10. 59
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 10.
29
Pemerintah Arab Saudi tetap mengambil keputusan tersebut
walaupun saat ini belum terjadi ijtima, hilal sudah 24 menit lebih dahulu
terbenam dari matahari dan dalam kondisi ini posisi hilal sangat tidak
mungkin untuk di lihat (rukyah).
Adapun golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk
terbagi pada golongan posisi bulan di atas ufuk haqiqi, ufuk Hissi Ufuk
Mar‟i dan golongan imkan Arr-rukyah.
1) Ufuk Haqiqi
Golongan ini menganggap bahwa ketentuan bulan baru haruslah
didasarkan pada penampakan hilal yang benar yakni hilal harus berada di
atas ufuk haqiqi.60
Hal ini seperti yang di jelaskan pada gambar I berikut :
Pada gambar di atas “ufuk haqiqi P”, merupakn ufuk haqiqi bagian
si peninjau yang berdiri di titik P, demikian pula “ufuk haqiqi Q‟‟
merupakan ufuk haqiqi bagi si peninjau yang berdiri pada titik Q.
Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi tempat si
peninjau, dengan demikian jari jari bulan , parralaks dan refraksi tidak
turut diperhitungkan. Sistem ini memperhitungkan posisi bulan tidak untuk
dilihat. Berbeda halnya dengan perhitungan matahari terbenam, golongan
ini memperhitungkan unsur-unsur di atas, sebab mereka mempergunakan
60
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 10.
BUMI
Ufuk Haqiqi P
Ufuk Haqiqi Q
Q
P
30
BUMI
pengertian terbenam matahari seperti apa yang dilihat atau menurut istilah
di namakan ufuk atau horizon mar‟i.61
Dengan demikian menurut sistem
ini setelah terjadi ijtima dan hilal sudah di atas ufuk haqiqi pada saat
matahari terbenam, maka malam hari itu juga sudah di anggap bulan baru.
Namun sebaliknya jika hilal masih di bawah ufuk haqiqi pada saat
matahari terbenam, maka malam itu belum masuk tanggal baru.
2) Ufuk Hissi
Adapun pada golongan yang berpedoman kepada posis hilal di atas
ufuk hissi.62
berpendapat bahwa jika pada saat matahari terbenam telah
terjadi ijtima dan hilal sudah di atas ufuk Hissi, maka sudah dianggap
masuk tanggal satu bulan baru. Hal ini dapat
dilihat pada gamabar 2 (dua) berikut :
Ufuk Hissi P
Ufuk Hakiki P
Pada gambar 2, dapat terlihat bahwa “Ufuk Hissi P” merupakan
ufuk hissi bagi si peninjau yang berdiri di titik P dan “ ufuk Haqiqi P “
merupakan ufuk bagi si peninjau tersebut63
. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa letak perbedaan diantara keduanya adalah titik pengukur
yang dilihat si peninjau. Kalau pada ufuk haqiqi si peninjau melihatnya
61
Ufuk hakiki adalah bidang datar yang ditarik melalui pusat bumi tegak lurus pada garis
vertikal. Ibid, h.10 62
Ufuk mar‟I adalah ufuk yang terlihat akibat keterbatasanmata pengamat, dimana ufuk
ini merupakan pertemuan langsit yang melengkung dengan garis kaki pengamat. Dra. Maskufah,
Hisab Awal Waktu Shalat Magrib, makalah disampikan pada jam belajar mata kuliah Ilmu Falak I
di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tanggal 5 April 2004. Dalam Skripsi Eka
Sartika, Penenuan Awal Bulan dalam Perspektif Al-Marzukiyah (Studi Terhadap Kalangan Al-
Marzukiyah di Cipinang), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 43. 63
Ufuk Hissi adalah bidang datar mata peninjau yang sejajar dengan ufuk hakiki.
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, 1994/1995), h. 14-15.
31
dari titik pusat bumi, sedangkan pada ufuk hissi di lihat dari atas
permukaan bumi.
Golongan yang berpegang pada ufuk hissi memang kurang
populer, sehingga banyak para ahli yang kurang yang mementingkan
sisttem ini. Namun sistem ini cukup diakuai di Indonesia, meskipun
penganutnya tidak terlihat banyak dan kurang terkenal64
.
3) Ufuk mar‟i
Selain berpegang pada ufuk haqiqi dan hissi, juga terdapat
golongan yang berpedoman pada ufuk mar‟i. Ufuk mar‟i ini masih
tergantung kepada ketinggian mata pengamat dari permukaan air laut.
Dimana jika ketinggian mata peninjau berubah, maka berubah pula
horizon yang dilihatnya. Dan jika mata si peninjau dari permukaan air laut,
maka letak horizon yang sebenarnya merupakan ufuk haqiqi.65
Hal ini
dapat di lihat pada gamabar berikut :
Gambar 3
Berdasrkan pada gambar diatas, “ufuk mar‟i P” merupakan ufuk
mar‟i bagi si peneinjau yang berada pada posisi P. Sedangkan “ufuk haqiqi
P” merupakan ufuk haqiqinya. Perbedaan kedua ufuk tersebut sama
64
Ufuk Hissi adalah bidang datar mata peninjau yang sejajar dengan ufuk hakiki.
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, 1994/1995), h. 11. 65
Ufuk Hissi adalah bidang datar mata peninjau yang sejajar dengan ufuk hakiki.
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, 1994/1995), h. 11.
Ufuk Hakiki Q
P
Q
Ufuk Mar’i P
32
besarnya dengan sudut Q (kerendahan ufuk), yakni sudut yang timbul
karena pengaruh ketinggian tempat si peninjau dari permukaan laut.66
Pada sistem ini bukan hanya bepedoman kepada ufuk mar‟i yang
memeperhatikan kerendahan ufuk saja, tetapi juga memeperhatikan
semidiameter, parralaks dan refraksi. Dengan perkataan lain, sistem ini
memperhitungkan posisi hilal untuk dapat di rukyah (hilal mar‟i), bukan
memperhitungkan posisi hilal sebenarnya (hilal haqiqi).
4) Imkanur rukyah
Dari beberapa bahasan diatas juag terdapat imkanur rukyah.
Golongan ini berpendapat bahwa pada saat matahari terbenam setelah
terjadinya, hilal harus memepunyai posisi yang sedemikian rupa sehingga
memungkinkan untuk dapat dilihat. Para ahli yang termasuk dalam
golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinngian hilal yang
mungkin dapat di rukyah. Dalam hal ini ada yang berpendapat 8°,7°,6°,5°
dan lain sebagainya.67
Berkaitan denga hal ini, pada tahun 1978 telah di adakan
konferensi Internasional di Turki yang telah menetapkan bahwa untuk
dapat terlihatnya hilal terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu
ketinggian hilal diatas ufuk tidak kurang dari 5° dan sudut pandang
Angular Distance antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8°.68
Dengan
demikian suatu hilal akan dikatakan terlihat jika memenuhi dua syarat
tersebut.
3) Perkembanagan Hisab di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah hisab rukyah di Indonesia suadah barang
tentu tidak akan terlepas dari sejarah Islam itu sendiri di Indonesia. Dalam
catatan sejarah dikatakan bahwa sebelum kedatngan agama Islam, di
66
Ilmanudin , Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektip NU dan Muhammadiyah Suatu
Komparasi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h.20. 67
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 13. 68
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 14.
33
Indonsia telah terdapat suatu perhitungan tahun yang di tempuh menurut
kalender Jawa Hindu atau tahun Soko.69
Tahun Soko ini didasarkan pada
peredaran matahari, dimulai saat penobatan Prabu Syali Wahono (Adji
Soko) pada hari sabtu tanggal 14 Maret tahun 78 M, tetapi tahun ke 1-nya
di mulai sesudah satu tahun kemudian.
Tahun Soko tersebut pada tahun 1633 M di gabungkan dengan
tahun Hijriyyah (yang didasarkan pada peredaran bulan) oleh Sultan
Aguung Prabu Anyokro Kusumo, tetapi tahunnya tetap tahun 1555 dengan
daur atau windunya berumur 8 tahun bukan 30 tahun seperti tahun
Hijriyyah.70
Ketetapan itu merupakan gabungan antra penanggalan Hindu
Jawa dengan penanngalan Hijriyyah. Dengan demikian, sejak saat itu
tahun Jawa yang berlaku adalah Jawa Islam.71
Denag adanya penggunaan kalrender Hijriyyah sebagai kalender
resmi pada zaman berkuasanya kerajaan kerajaan Islam di Indonesia, maka
suadah sangat jelas bahwa halitu sebagaia tanda umat Islam di Indonesia
telah terlibat dalam pemikiran Hisab Rukyah dan sekaligus sebagai tanda
adanaya perubahan kemasyarakatan dari kehidupan menjadi masyarakat
ke-Islam-an.
Pada perkembangan selanjutnya pengguanaan kalender Hijriyyah
ini diubah menjadi kalender Masehi oleh penjajah Belanda sebagai
kalender resmi pemerintahan. Namaun meskipun demikan, umat Islam
tetap menggunakan kalender Hijriyyah , khususnya segala penetapan yang
69
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1994/1995), h. 14. 70
Dra. Maskufah, Memahami Tarikh Masehi dan Hijri : Suatu Perbandingan, makalah ini
disampaikan pada seminar Ilmu Falak I pada tanggal 14 Desember 2004 di gedung Teater lantai II.
Dalam Skripsi Eka Sartika, Penenuan Awal Bulan dalam Perspektif Al-Marzukiyah (Studi
Terhadap Kalangan Al-Marzukiyah di Cipinang), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 73. 71
Dra. Maskufah, Memahami Tarikh Masehi dan Hijri : Suatu Perbandingan, makalah ini
disampaikan pada seminar Ilmu Falak I pada tanggal 14 Desember 2004 di gedung Teater lantai II.
Dalam Skripsi Eka Sartika, Penenuan Awal Bulan dalam Perspektif Al-Marzukiyah (Studi
Terhadap Kalangan Al-Marzukiyah di Cipinang), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 73.
34
berkaitan dengan persoalan ibadah di serahkan kepada kerajaan kerajaan
Islam seperti 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijah.72
Setelah Indonesia merdeka secara berangsur-angsur mulai terjadi
perubahan. Setelah terbentuknya Departemen Agama Pada tanggal 3
Januari 1946,73
persoalan-persoalan hari libur yang berkaitan dengan
ibadah diserahkan kepada Departemen ini sesuai dengan PP tahun 1946
No.2/Um.7/Um.9/Um jo keputusan Presiden No 25 tahun 1967 No 148
tahun 1968 dan No 10 tahun 1971.
Meskipun penetapan haari libur telah di serahkan pada Departemen
Agama, namun secara praktis sampai saat ini terkadang masi belum
seragam. Hal ini sebagai dampak adanya perbedaan pemahaman antara
beberapa pemahaman yang ada dalam wacana hisab rukyah.
Dengan adanaya fenomena tersebut Departemen Agama berinisiatif
membentuk Badan Hisab Rukyah Departemen Agama guna
mempertemukan perbedaan perbedaan tersebeut,74
meskipun dalam
kenyataannya masih belum terwujud. Hal ini dapat terlihat seringkali
terjadi perbedaan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha.
Melihat fenomena tersebut Ahmad Izzudin mengemukakan bahwa,
persoalan hisab rukyah ini masih terkesan formalis belum membumi dan
belum menyentuh pada akar penyatuan yang baik. Sehingga wajar kiranya
di masa pemerintahan Gus Dur, sebagaimana di sampaikan Wahyu
Widiana ketika menjadi Key Note Speech dalam acara Workshop Nasional
mengkaji ulang metode penetapan awal waktu sholat yang di
selenggarakan UII Yogyakarta, pada tanggal 7 April 2001 bahwa Badan
Hisab Rukyah Departemen Agama akan dibubarkan dan persoalan hisab
rukyah ini kan di kembalikan pada masyarakat (umat Islam Indonesia).75
72
Satu tahun ditetapkan sama yaitu 12 bulan, yakni Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud,
Jumadil awal, Jumadil akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Syawal, Dulkongidah, dan Besar. 73
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. 49. 74
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), cet. 1, h.
211 75
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. 50.
35
Namun meskipun demikian eksistensi Badan Hisab Rukyah di Indonesia
ini telah memberikan warna tersendiri dalam dinamika penetapan awal
bulan Qomariyyah di Indonesia.
C. Hisab Rukyah dalam Penentuan Awal Bulan
Dalam Islam,banyak sekali ibadah yang berkaitan erat dengan waktu,
sehingga suatu ibadah tersebut tidak dapat dilaksanakan tanpa mengetahui
waktu, Salah satu diantaranya adalah pelaksanaan ibadah yang terkait dengan
bulan Qamariyyah, seperti puasa Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha, dan Ibadah
haji. Untuk melaksanakan semua ibadah tersebut sangat diperlukan adanya
suatu penetapan waktu bagi pelaksaannya. Penetapan waktu tersebut
dilakukan dengan metode hisab dan metode rukyat. Perhitungan atau hisab
yang didasarkan pada peredaran bulaan ini akan memungkinkan para ahli
hisab dalam mengetahui posisi bulan dalam jangka waktu tertentu, sehingga
mereka dapat mengetahui awal dan akhir bulan- bulan Hijriyyah jauh
sebelum waktunya. Hal ini akan sangat berguna bagi masyarakat musli untuk
lebih meyakinkan diri mereka dalam melaksanakan ritual ibadah.
Penetuan awal bualan kalender Islam, khususnya awal bulan Ramadan
dan Syawal sering menimbulkan problematika yang kompleks bagi umat
Islam. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan waktu pelaksanaan sehingga
mengganggu keharmonisan dan rasa persaudaraan antar umat Islam.
Problematika ini muncul akibat adanya beberapa faktor, diantaranya :76
1) Perbedaan pendapat mengenai bagaimana seharusnya menentukan awal
bulan Hijriyyah;
2) Perbedaan antara hasil-hasil pengamat lapangan;
3) Perbedaan antara pengamat dan perhitungan;
4) Perbedaan antara berbagai macam metode perhitungan;
5) Dari beberapa faktor di atas, pokok permasalahan lahirnya perbedaan
tersebut adalah ketika seseorang menelaah lebih mendalam akan maksud
hadits-hadits yang berkaitan dengan awal bulan sebagaimana hadits –
76
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah
dengan Mazhab Hisab. (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003), h. 51, 69.
36
hadits di atas. Adapun hasil telaah untuk menentukan awal bulan itu dapat
dikategorikan sebagai berikut:77
1. Rukyah
a. Rukyah Praktis
Secara praktis, keberadaan hilal dapat dibuktikan dengan
melakukan pengamatan langsung di lapangan sesaat setelah matahari
terbenam pada tanggal 29 bulan Hijriyyah. Untuk mengurangi
kesalahan hasil pengamatan, tentulah harus dilakukan persiapan-
persiapan yang matang, seperti pemilihan lokasi rukyah yang
strategis, pengamat yang jujur, adil dan menguasai tata cara
merukyah dan sebagainya. Dalam rukyah teoritis ini hasil
pengamatan hilal akan berbeda dan akan menghasilkan penentuan
awal bulan yang berbeda pula ketika faktor-faktor pendukung rukyah
praktis berbeda, baik dari pemilihan lokasi (geografis dan
kestrategisannya), pengaruh cuaca, menggunakan alat atau mata
telanjang, keahlian dan kejujuran pengamat dan lain sebagainya.
Dengan demikian meskipun umat Islam di Indonesia secara
serempak setuju menggunakan kategori ini akan tetap menimbulkan
perbedaan awal bulan juga.
b. Rukyah Teoritis
Rukyah teoritis merupakan rukyah yang didasarkan pada
perhitungan- perhitungan keberadaan hilal dengan ilmu falak/
astronomi. Metode perhitungan ini di kenal dengan istilah hisab.
Sampai saat ini banyak sekali metode hisab yang dipakai umat Islam.
Masing-masing mengklaim metode yang dipakainya paling benar
dan paling akurat. Bukan hanya sampai di sini, namun juga
perbedaan metode yang ada telah mengakibatkan perbedaan hasil
hisab, sehingga penentuan awal bulannya juga mengalami
perbedaan.
77
Drs. Kardiman, dkk, Garis Tanggal Kalender Islam 1421 H, (Bogor: Bakosutanal,
2001), h. 6.
37
2. Istikmal
a. Istikmal Praktis
Istimal praktis merupakan penyempurnaan bulan Hijriyyah
atau dalam kata lain menggenapkan bulan Hijriyyah menjadi 30 hari
ketika seseorang harus merukyah hilal pada tanggal 29 bulan tua,
terdapat awan yang menghalangi pelaksanaan rukyah. Hal ini di
dasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dengan
memperhitungkan pengaruh peredaran bumi mengelilingi matahari,
memakan waktu rata-rata 29,530589 hari. Dengan demikian jumlah
hari dalam setiap bulan kalender Hijriyyah hanya memiliki dua
kemungkinan yakni 29 dan 30 hari. Perlu diketahui bahwa
kemungkinan awan tidak menutupi semua lokasi pengamatan hilal
yang independen dan mungkin juga hari pelaksanaan rukyah
(tanggal 29 bulan tua) jatuh pada hari yang berbeda, pada setiap
lokasi atau regio.
b. Istikmal Teoritis
Pada istikmal teoritis, penggenapan bulan menjadi 30 hari
dilakukan tanpa adanaya merukyah terlebih dahulu, namun
penggenapan ini dilakukan dengan melakukan hisab atau
perhitungan keberadaan hilal, sehingga melalui perhitungan ini akan
dapat diketahui hilal dapat dilihat atau tidak.
Dari beberapa katagori di atas, pada hakikatnya akan
bermuara pada penetuan bulan secara hisab dan rukyah kedua sistem
ini sangat berperan penting dalam menentukan awal bulan, saling
melengkapi satu sama lain dan sekaligus sama-sama memeiliki
kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian perbedaan akan
semakin meruncing apabila kita membandingkan metode- metode
yang jelas akar-akarnya berbeda. Meskipun rukyah praktis dan
rukyah teoritis (hisab) masing-masing sudah dilakukan dengan baik,
namun perbedaan hasil tidak sepenuhnya dapat dihindari. Di satu
pihak orang meyakini metodenya sebagai paling sah yang didukung
38
dengan dalil-dalil yang mutawatir dan pihak lain bersih kukuh
dengan perhitungannya yang diklaimnya lebih obyektip, jujur dan
kurat. Kalau saja masing-masing pihak mau menyadari kelemahan
dan kelebihan yang dimiliki, tentu ada jalan keluar untuk mencari
titik temu dari perbedaan-perbedaan itu.
39
BAB III
BIOGRAFI KH. MUHAMMAD MUHAJIRIN AMSHAR ADDARY
A. Sejarah dan Latar Belakang KH.Muhammad Muhajirin Amshar
Addary
Beliau terlahir dari pasangan H. Amsar dan Hj. Zuhriyah, yang sering
disapa masyarakat sekitar dengan nama KH. Muhajirin, beliau dilahirkan di
Jakarta tepatnya di Kampung Baru Cakung pada 10 November 1921 M.
Beliau wafat pada tanggal 31 Januari 2003 di Bekasi dan meninggalkan
seorang istri yaitu Hj, Hannah Abdurrahman dan delapan putra-putrinya yaitu
:
Anak pertama : Hj. Faiqoh Muhajirin
Anak kedua : H. Muhammad Ihsan Muhajirin
Anak ketiga : H. Ahmad Zufar Muhajirin (Almarhum)
Anak keempat : Hj. Badia‟ah Muhajirin
Anak kelima : Hj. Farhah Muhajirin
Anak keenam : Hj. Rufaida Muhajirin
Anak ketujuh : H. Dhiya Al –Maqdisi Muhajirin
Anak kedelapan : H. Muhammad Aiz Muhajirin.78
Sosok KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary dalam keluarga
merupakan sosok orang tua yang sangat bersahaja. Dalam kehidupan sehari-
harinya beliau tidak nampak seperti ulama kebiasaaanya dalam segi
penampilan maupun dalam hal-hal yang lain yang di sekeliling beliau.
Kebersahajaan dan kesederhanaan KH. Muhammad Muhajirin Amshar
Addary telah nampak sejak masa mudanya ketika saat itu beliau masih dalam
perjalanan mencari ilmu di wilayah Jakarta, Banten, bahkan sekembalinya
pulang dari Makkah Al-Mukarramah dengan membawa penghargaan
langsung dari Raja Faisal bin Abdul Aziz Al-Suudi yang berupa jam tangan
78
www.almarhalah.ac.id, diakses pada 5 Juni 2018, pada pukul 14.35 WIB
39
40
berlapis dengan emas yang bertuliskan Al-Mamlakutussuudiyyah.79
Demikian pula ketika beliau sudah berkeluarga sikap kesederhanaan dan
kebersahajaan itu tetap melekat di dalam diri KH. Muhammad Muhajirin
Amshar Addary. Perjalanan kisah hidup beliau yang penuh dengan lika-liku
bahkan bisa disebut pahit saat masih zaman mudanya dan diawal masa
berumah tangganya telah menjadikan sosok KH. Muhammmad Muhajirin
menjadi pribadi yang sangat bersahaja dalam berpakaian untuk ukuran sosok
ulama yang telah di ketahui keilmuannya, dan eksistensinya didalam negeri
maupun luar negeri. Jarang sekali KH. Muhammad Muhajirin memakai
pakaian yang kebanyakan umumnya di pakai oleh orang-orang untuk hanya
sekedar menjadi tanda bahwa dia adalah sosok ulama. Namun tidak untuk
beliau malah sebaliknya beliau menunjukan masih jauh dalam diri beliau
sosok keulamaannya, dan itu pun menjadi daya tarik dan kekhasan dari sosok
KH. Muhammad Muhajirin.80
Dalam keluarga, KH. Muhammad Muhajirin merupakan seorang ayah
yang sangat demokratis terhadap anak-anaknya meskipun nilai-nilai ke-Islam-
an tetapi tegas diberlakukan kepada seluruh putra-putri beliau. Demokratisasi
ini sangat terlihat dari cara beliau mendidik putra-putranya dalam
memeberikan kebebasan untuk menentukan arah kedepan baik dalam bidang
pondok pesantren, dan perkuliahan, tidak ada pemaksaan kehendak beliau
dalam menentukan arah pendidikan setelah putra-putra beliau lulus dari
Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA), tidak ada
satupun yang di tunjuk harus meneruskan kuliah semisal pada jurusan tertentu
dan Universitas tertentu. Semuanya justru dibiarkan untuk memilih
berdasarkan minat dan bakat masing-masing putranya. Kebebasan tanpa
adanya batasan untuk pendidikan putara-putranya, karena tatakala itu putra-
putra dari KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary di wajibkan untuk
mengikuti kajian yang ada di pondok pesantren yang berada langsung di
bawah pengawasan beliau sebagai pendiri Pondok Pesantren.
79
H. Dhiya Al Maqdisi, Anak KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari, Interview
Pribadi, Bekasi, 20 Juni 2018. 80
Sejarah singkat dan sisi lain kehidupan Syekh Muhamad Muhajirin Amsar Addary
41
Berbeda dengan halnya sikap KH. Muhammad Muhajirin Amshar
Addary terhadap anak-anak perempuan, dimana seluruhnya diharuskan untuk
melanjutkan pendidikannya ke Majma Al-Marhala Al-Ulya. Sikap yang lebih
tegas kepada putri-putrinya mungkin hanya dapat dirasakan manfaatnya oleh
para putri-putrinya bukan untuk masa kini akan tetapi untuk masa depan
setelah pertanyaan dalam benak hati para putri-putri terpendam di sanak
kalbu.
B. Pendidikan dan Guru-Guru KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addary
Pendidikan agama KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addary dimulai
dari lingkungan keluarga. Membaca Al-Qura‟an merupakan kemampuan
dasar yang pertama kali dipelajarinya, sehingga pada saat telah khatam Al-
Qur‟an maka keluarga melaksanakan tasyakuran dengan mengundang ulama
serta masyarakat setempat. Selesai khataman Al-Qura‟an tatkala muda, beliau
dititipkan kepada para mua‟llim diantaranya sebagai berikut :
1) Guru Asmat;
2) Guru H.Mukhoyar;
3) Guru H.Ahmad;
4) KH.Hasbiyallah;
5) Guru H.Anwar;
6) Guru H. Hasan Murtaha;
7) Syekh Muhammad Thohir;
8) Syekh Ahmad bin Muhammad;
9) KH.Sholeh Makmun;
10) Syekh Abdul Majid
11) Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsy.
Semua mualim yang di datangi oleh KH. Muhammad Muhajirin Amshar
Addary tersebut bertempat di wilayah Jakarta dan Banten.81
81
H. Dhiya Al Maqdisi, Anak KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari, Interview
Pribadi, Bekasi, 22 Juni 2018.
42
Saat menuntut ilmu dari para mualim di Jakarta KH. Muhammad
Muhajirin Amshar Addary melakukan perjalanan menuju tempat beliau
mengaji dengan menggunakan sepeda. Halangan dan rintangan tatkala beliau
menuntut ilmu seolah tidak menciutkan niat KH. Muhammad Muhajirin
Amshar Addary untuk mendatangi majelis-majelis para guru-gurunya. Dalam
sebuah pengakuan, tatkala KH. Muhammad Muhajirin hendak berjalan untuk
menyeberangi sungai di daerah kali Cipinang guna mencari ilmu, perahu yang
akan di tumpanginya di hadang oleh oleh seekor buaya. Namun dengan
kebesaran hati, kemantapan tekat, dan sifat ketawakkalan kepada Allah SWT,
tidak membuat nyali dari KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary
menjadi lemah untuk selalu menghadiri di setiap majelis para gurunya, yakni
salah satu guru beliau adalah Syekh Muhammad Thohir (Guru Mat Thohir).
Syekh Muhammad Thohir merupakan salah satu menantu dari Syekh Marzuki
(Guru Marzuki) salah satu ulama yang kharismatik yang memiliki banyak
murid dan pengikut. Syekh Muhammad Thohir dan Syekh Marzuki
merupakan dua guru diantara guru-guru KH. Muhammad Muhajirin Amshar
Addary di Jakarta yang banyak mempengaruhi konsep dan pola pemikiran
dalam memahami ilmu-ilmu agama. Hal ini dapat diketahui dengan seringnya
kedua nama tersebut dijadikan rujukan oleh KH. Muhammad Muhajirin saat
memberikan ta‟lim kepada murid-muridnya. Guru lainnya yang kerap kali
disebut dalam penjelasan ta‟lim KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary
adalah Syekh Abdul Majid (Guru Majid) Pekojan.82
Dalam memahami teknik serta hukum membaca Al-Qur‟an, KH.
Muhammad Muhajirin belajar kepada KH. Soleh Makmun Banten. Meskipun
KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary telah mampu dan lancar
membaca Al-Qur‟an dengan baik, namun ketika beliau membaca di hadapan
KH. Soleh Makmun, bacaannya diannggap masih belum sempurna sehingga
harus di ulang-ulang dan di sempurnakan. Bahkan untuk menyelesaikan surat
Al-Fatihah saja membutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk
82
H. Dhiya Al Maqdisi, Anak KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari, Interview
Pribadi, Bekasi, 22 Juni 2018.
43
menyempurnakan teknik serta “makhroj” nya. Selama beberapa bulan, KH.
Muhammad Muhajirin belajar kepada KH. Soleh Makmun tentang ilmu
membaca Al-Qur‟an dan teknik 7 cara membaca Al-Qura‟an (Qiraat Sab‟ah).
Karena beliau kurang memiliki suara yang memadai, KH. Muhammad
Muhajirin Amshar Addary hanya sekedar mengetahui dan memahami
berbagai macam tekhnik membaca Al-Qur‟an dan tidak melanjutkan untuk
menjadi “Qorri”.83
Pendidikan Syekh Muhammad Muhajirin Amsar Addary secara umum
beliau berguru dari berpuluh-puluh guru dengan berbagai disiplin keilmuan
baik semasa di Indonesia maupun tatkala berada di Mekkah.84
Lebih tepatnya
pada tanggal 4 Dzulqa‟dah 1366 H, bertepatan dengan bulan Agustus 1947,
beliau berangkat ke Mekkah, setibanya beliau di Mekkah beliau menetap di
kediaman Syekh Abdul Ghoni Jamal. Disana ia banyak mendapatkan ilmu
pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Setelah beberapa lama
beliau menetap di kediaman Syekh Abdul Ghoni Jamal, KH. Muhammad
Muhajirin Amshar Addary pindah ke Asrama Jailani. Disana pertama kali
beliau belajar kepada Syekh Muhammad Ahyad salah satu pengajar di Masjid
al-Haram, adapun kitab-kitab yang beliau pelajari adalah :
1) Fath Al-wahab;
2) Al-Iqna‟fi hilli Alfazh Abi Syuja;
3) Al-Mahalli „ala Al-qalyubi;
4) Riyadhus-saalihin;
5) Minhaaj al-Abidin;
6) Umdah al-Abrar;
7) Fath Al-Qadir fi Nusu Al-Ajir;
Selain beliau belajar kepada Syekh Abdul Ghoni Jamal beliau juga
belajar kepada guru-guru yang lain semasa beliau di Makkah antara lain :
1) Syekh Hasan Muhammad al-Masyayath;
83 Keluarga Besar Syeikh KH. Muhamad Muhajirin Amsar Addary, “sejarah singkat dan
sisi lain kehidupan Syeikh Muhajirin Muhajirin Amsar Addary” (Bekasi: Pondok Pesantren
Annida Al Islam, 2012), h.3-5. 84
Ma‟ruf, Amin. Rukyat Untuk Penentuan Awal dan Akhir Ramadan Menurut
Pandangan Syariat dan Sorotan IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Pres. 1995) h. 13.
44
2) Syekh Zaini Bawean;
3) Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki;
4) Syekh Muhktar Ampetan;
5) Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki;
6) Syekh Ibrahim Fathani;
7) Syekh Muhammad Amin al-Khutubi;
8) Syekh Ismail Fathani.
Dua tahun kemudian KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary
melanjutkan studinya ke Darul Ulum ad-Diniyyah. Selama belajar disana,
ulama yang berpengaruh dalam pola pemikiran dan kajian ilmiah beliau
adalah Syekh Ahmad Mansyuri dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani Al-
Jawi, kurang lebih tiga tahun berbagai kitab telah dilahapnya. Yakni, Syarah
ibnu Aqil „ala Alfiah ibni Malik, Muhktashar Ma‟ani „ala At-Talkhishah
(Nahwu), Al-Mahalli „ala Al-Qalyubi (Fiqih), Muwaththa‟Imam Malik Sunan
Abi Daud (Hadist), Jam‟ul Jawami (Ushul Fiqih) Tafsir Ibnu Katsir (Al-
Qur‟an) dan Kitab At-Thabiq Baina Al- Madzahib Al-Mudawwanah (Kitab
tentang persesuaian antara beberapa mazhab).
Kehausan akan ilmu pengetahuan baik di bidang umum maupun
agama, yang kini membuat KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary
sudah pantas mendapatkan gelar seorang ulama tidak lantas menjadikannya
angkuh dan sombong. Beliau tetap rendah hati dan selalu merasa ada ilmu
yang belum di fahami secara baik dan benar.85
Pada tahun 1951 M, beliau berhasil menyelesaikan pendidikan di
Darul Ulum dan mendapatkan gelar sebagai lulusan terbaik di angkatannya.
selang beberapa lama sejak beliau lulus, Ia diminta untuk mengajar di tempat
dimana beliau mengajar. Meski telah lulus dan mendapatkan lulusan terbaik,
beliau tetap belajar kepada Syehk Yasin Al-Fadani baik di rumah maupun di
kelas, dan pada akhirnya KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addary
mendapat ijazah dari Syehk Muhammad Yasin Al-Fadani yang dinamakan
85
Muhammad Jaelani S.Ag., murid KH. Muhamad Muhajirin Amsar Addary, Interview
Pribadi, Bekasi, 20 Juni 2018
45
Maslak Al-Jali Fi Asanid min Asanid Asy-Syaikh Umar Hamdan. Kemudian,
beliau juga di beri Ijazah oleh Syehk Muhammad Abdul Baqi setelah selesai
membaca kitab Al-Manahil As-Silsilah fi Al-Ahadist Al-Musalsalah, baik
secara fi‟liyah (perbuatan) maupun qauliyah (perkataan).86
Setelah tibanya beliau di tanah air, pada tanggal 3 April 1963, KH.
Muhammad Muhajirin Amshar Addary mendirikan Pondok Pesantren
bernama Annida Al-Islami, yang beralamat di Jl Ir H Juanda 124, Bekasi,
Jawa Barat. Dan semasa hidup beliau, KH. Muhammad Muhajirin Amshar
Addary menghabiskan masa hidupnya dengan mengajar dan mendidik para
santri.87
Ilmu falak (Astronomi) yang menjadi salah satu ilmu yang dikuasai
oleh KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary, pada awalnya berguru
kepada Syekh Ahmad bin Muhammad, salah seorang murid dari Syekh
Mansyur Al Falaky. Ilmu yang menuntut kecekatan mata dan kemampuan
berhitung secara akurat, dan ilmu ini telah lama menjadi daya tarik bagi KH.
Muhammad Muhajirin Amshar Addary. Beberapa waktu kemudian KH.
Muhammad Muhajirin Amshar Addary berguru langsung kepada Syekh
Mansyur Al-Falaky yang menjadi Muallif dari sebuah kitab yang bernama
Sullamun Nayyiroin.88
Sejak menguasai Ilmu Falak, KH. Muhammad Muhajirin Amshar
Addary telah melakukan praktek melihat awal bulan (Ru‟yat Al-Hilal) di
kampung halamannya, Kampung Baru. Wilayah yang saat itu sangat strategis
untuk menantikan munculnya bulan (Hilal). Posisi di Pematang Sawah
merupakan posisi tempat yang strategis dan ditemukan oleh KH. Muhammad
Muhajirin Amshar Addary setelah sebelumnya beberapa kali tidak berhasil
melihat bulan (Hilal) karena posisi yang tidak tepat. Pelaksanaan ru‟yat al-
86
Sejerah singkat perjalanan hidup Syeikh Muhamad Muhajirin Amsar Addary Allah
Yarham, (Bekasi: Pesantren Annida Al-Islamy, 2007), h.21. 87
H. Dhiya Al Maqdisi, Anak KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari,Interview
Pribadi, Bekasi, 22 Juni 2018. 88
Keluarga Besar KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addary, “sejarah singkat dan sisi
lain kehidupan Syekh Muhammad Muhajirin Addary” (Bekasi: Pondok Pesantren Annida Al
Islam, 2012), h. 3-5.
46
hilal di Kampung Baru dilaksanakan sejak tahun 1936 M yang dipimpin
langsung oleh KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary. Mulai tahun 1947
pelaksanaan ru‟yat al-hilal diteruskan oleh murid-murid beliau yang bukan
lain adalah adik-adik sepupunya, yaitu KH. Abdul Hamid, KH. Abdul Halim,
KH. Abdullah Azhari, dan KH. Abdul Salam. Hal ini disebabkan KH.
Muhammad Muhajirin Amshar Addary telah memutuskan untuk berangkat ke
Mekkah guna menuntut ilmu. Pada awalnya pelaksanaan ru‟yat al-hilal
dilaksanakan sebanyak 6 kali setiap tahunnya dimulai bulan Rajab sampai
Zulhijah. Namun apabila dianggap perlu pelaksanaan ru‟yat al-hilal itu
dilkukan setiap bulannya selama 7 tahun berturut-turut.89
KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary merupakan ulama yang
pertama kali mengemukakan pendapat bahwa bulan (hilal) dapat dilihat
dengan ukuran 2,5° secara langsung atau hanya menggunakan alat tradisional.
Namun hal dalam hal ini, tidak sembarang orang dapat melihat bulan (hilal)
pada derajat tertentu, semua itu memerlukan tahapan dan waktu yang sangat
lama untuk mencapai hal itu, seperti dikatakan dalam karya beliau bernama
Kitab Mishbahudzzulam
انز ػند ػه اا تؼذ يا ظشج حققح ا انذاس ف صا و سيعا فطش شال
يغ تا نشؤح ن كا اسذفاع انلل اقم ي دسجر تقهم. فانذاس ػه انشؤح تؼذ
الجراع غش أ ػذ يا كد ف انحشي انششف أ انلل شا قثم الجراع,
ذهك انشؤح تجة انشد فصاو اناط نى أس اخرلفا ت الئح يا ت فأشثد انقاظ
فهك يحذ ز صف. تا ضند يغ جاكشذا أ انلل أر كا اسذفاػ اقم ي
عثغ دسض ف يحم انخلف انشاجشج ل حل ل قج ال تا لل انؼه انؼظى.
رثؼ الدنح حصا جذا نى رؼصثا أن فؼاع ألئك أ أ كا ي انصف
ذهك انؼصثح
89
Maruf, Amin. Rukyat Untuk Penentuan Awal dan Akhir Ramadan Menurut Pandangan
Syariat dan Sorotan IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). h. 13
47
C. Karya-karya KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addary
KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary adalah seorang ulama
produktif yang telah menghasilkan berbagai karya dalam berbagai disiplin
ilmu. Tercatat 34 karangan dalam bahasa Arab yang telah dihasilkan oleh
KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addary. Dalam bidang fiqh (7 kitab),
balagoh (2 kitab), tauhid (2 kitab), ushul fiqh (7 kitab), ushul hadits (3 kitab),
mantiq (2 kitab), faraidh (1 kitab), tarikh (4 kitab) qawaidh fiqh (1 kitab),
ushul tafsir (2 kitab), adab al bahas (1 kitab), wudhu (1 kitab), fiqh hadits (1
kitab), tasawuf (1 kitab).90
Karya-karya KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addary yang telah
dipelajari oleh para santri di sekolah Annida Al-Islamy Bekasi Timur dan
pada murid-murid yang telah lulus dan membuka cabang sekolah Annida Al-
Islamy. Banyak karya-karya beliau yang sudah dikenal oleh para alim ulama
Bekasi dan sekitarnya. Dan nama-nama karya beliau yang masih dipelajari
hingga saat ini baik di sekolah maupun di pesantren ialah:
1) Misbah Al zhulam Fi Syarhi Bulugh Al maram, 8 jilid (Fiqh hadist);
2) Idhoh Maurud, 2 jilid (Ushul fiqh);
3) Muhammad Rasulullah (Tarikh);
4) Mirah Amuslim Fi Siroh Khulafa (Tarikh);
5) Al Muntakhab Min Tarikh Daulah Umayyah (Hadist)
6) Ta‟liqot Ala Matini Al Jauharoh 2 jilid (Tauhid), Muhtaroh Al
Balaghah 2 jilid (Balaghah);
7) Qowaid Al Nahwiyah 2 jilid (Nahwu/ Tata Bahasa Arab);
90
Sejarah Singkat Perjalanan Hidup Syekh Muhammad Muhajirin Amsar Addary Allah
Yarham, (Bekasi: Pesantren Annida Al-Islamy, 2007). h. 21
48
BAB IV
PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYASH MENURUT PEMIKIRAN
KH MUHAMMAD MUHAJIRIN AMASAR ADDARY
A. Penetapan Awal Bulan Menurut KH. Muhammad Muhajirin
Sebagaimana telah di diungkapkan pada permulaan tulisan ini bahwa
di Indonesia hampir selalu terjadi perbedaan di dalam memahami dan
mengaplikasikan penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya Ramadhhan,
Syawal, dan Zulhijah. Implikasi lebih jauh dengan adanya perbedaan tersebut
munculnya tiga arus utama yaitu Pertama Mazhab Rukyah yang di
presentasikan oleh organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu
organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Kedua, Mazhab Hisab dengan yang
menjadi peran utama di Indonesia ini adalah organisai masyarakat yang
bernama Muhammadiah. Dan ketiga adalah Mazhab Imkanurrukyah yang
mana ini di munculkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dari ketiga arus
tersebut pola penentuan awal bulan Qomariah menurut KH.Muhaamad
Muhajirin Amshar Addary ada di dalam salah satu dari tiga tersebut.
Penetapan awal bulan yang di lakukan oleh KH. Muhammad
Muhajirin Amshar Addary dan Para muridnya hingga saat ini berdasarkan
pada peredaran bulan dan bumi yang ssebenarnya. Dengan kata lain beliau
menggunakan sistem hisab rukyatulhilal menggunakan bantuan patok bambu
atau kayu berbentuk huruf T yang diletakkan dengan posisi tegak. Masing-
masing ujungnya menghadap ke arah Barat dan Timur sejatinya Secara
rutinitas bulanan, KH. Muhammad Muhajirin beserta murid-muridnya juga
selalu memperhatikan kedudukan bulan pada tanggal 25 dan seterusnya
sampai akhir tanggal pada waktu pagi hari atau setelah shalat Subuh, karena
menurut pengalaman, munculnya hilal bulan baru tidak akan berbeda
kedudukannya pada akhir bulan.91
91
BJ Habibie, Rukyah dengan Teknologi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), cet. 1, h.
63.
48
49
Untuk dapat melaksanakan rukyatul hilal, hasil hisab harus Imkan ar-
Ru„yat (kepastian bahwa bulan sudah dapat dilihat sesuai dengan
ketinggiannya) dengan data ketinggian bulan minimal 2˚ dan bisa dilihat oleh
mata telanjang untuk pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amshar Addary,
sebgaimana perkataan beliau dalam kitab Misbahu adzulam:
اا تؼذ يا ظشج حققح ا انذاس ف صا و سيعا فطش شال انز ػند ػه
يغ تا نشؤح ن كا اسذفاع انلل اقم ي دسجر تقهم. فانذاس ػه انشؤح تؼذ
الجراع غش أ ػذ يا كد ف انحشي انششف أ انلل شا قثم الجراع,
او اناط نى أس اخرلفا ت الئح يا ت فأشثد انقاظ ذهك انشؤح تجة انشد فص
فهك يحذ ز صف. تا ضند يغ جاكشذا أ انلل أر كا اسذفاػ اقم ي
عثغ دسض ف يحم انخلف انشاجشج ل حل ل قج ال تا لل انؼه انؼظى.
نى رؼصثا أن فؼاع ألئك أ أ كا ي انصف رثؼ الدنح حصا جذا
ذهك انؼصثح.92
dan kedudukan hilal berada di utara atau selatan matahari yang disebut
dengan Fî „Ilmillah . Rukyatul hilal ini dilakukan sebelum dan setelah waktu
Magrib tiba, sejak matahari terbenam sampai ± 10 menit ke depan.93
Tata cara rukyatul hilal secara tradisional yang dilakukan oleh KH.
Muhammad Muhajirin Amsar Addari dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2
92
Muhammad Muhajirin Amsar Addari, Misbahu Adzulam, (Jakarta: Darul Hadits, 1993),
juz iii, h. 86. 93
Muhammad Muhajirin Amsar Addari, Misbahu Adzulam, (Jakarta: Darul Hadits, 1993),
juz iii, h. 76.
50
Arah Matahari
(2° x4) menit sebelum matahari terbenam
Gambar 2.1 Kedudukan patok
Arah matahari
(2° x4) menit sebelum matahari terbenam
Gambar 2.2 Rukyah dengan patok
Keterangan :
1) Z° = derajat ketinggian hilal berdasarkan hasil hisab
2) (Z°x4), karena 1° (satu derajat) = 4 menit
Selatan / Kanan
Matahari
Utara / Kiri
Matahari
51
Kemampuan teleskop atau teropong hanya dapat menjangkau sekitar
satu bulatan bulan dan ketinggian hilal minimal 5˚. Berbeda dengan
menggunakan mata telanjang, yang penting posisikan patok kayu
berdasarkan perhitungan, lalu pantau hilal dengan mata awas, pastikan
posisi hilal berdasarkan perhitungan apakah berada di Selatan atau Utara
Matahari.94
Jika sudah selama tinggi hilal masih dalam batas memungkinkan
untuk dirukyah yaitu 2˚ kemungkinan besar rukyatul hilal akan berhasil.
Untuk itu, walaupun sudah ada teknologi canggih seperti teropong, perlu
dilestarikan metode rukyah secara tradisional. Semua metode hisab adalah
buatan manusia yang berupa data perkiraan hasil penelitian manusia, jadi
semua hasil hisab hanyalah sebuah patokan dalam melakukan rukyatul hilal.
Apalagi dengan menggunakan teleskop yang hanya menjangkau sekitar satu
bulatan bulan dan berkemampuan meneropong hilal di atas 5˚, kemungkinan
berhasilnya merukyah dengan teropong lebih kecil daripada dengan mata
telanjang dan KH. Muhammad Muhajirin juga merujuk kepada gurunya
yaitu Syekh Mansur Al Falaky Jembatan Lima Jakarta Barat dengan
menggunakan metode Sullam an-Nayyiroin yang mana banyak istilah-istilah
khusus yang digunakan antara lain sebagai berikut:
1) Alâmah adalah petunjuk waktu (hari, jam, dan menit) terjadinya
ijtimak atau konjungsi antara matahari dan bulan yang ditentukan
berdasarkan waktu rata-rata Alâmah dijadikan acuan untuk
mendapatkan waktu ijtimak yang sebenarnya;
2) Hishshah adalah tenggang waktu atau jarak yang harus diperhitungkan
dari kedudukan benda langit ke kedudukan benda langit lainnya, yakni
busur pada falak bulan dihitung dari titik simpul sampai ke titik pusat
bulan berada atau dari saat tertentu ke saat tertentu lainnya;
3) Khâshah adalah busur sepanjang eklipitika yang diukur dari titik pusat
bulan hingga titik haml sebelum bergerak;
94
Royadi, Tokoh Ilmu Falak Jakarta Barat, Interview Pribadi, Pegadungan, 13 September 2018.
52
4) Markaz adalah busur sepanjang ekliptika yang diukur dari matahari
sampai titik hamal sebelum bergerak. Nilai Markaz disesuaikan
dengan tempat/lokasi yang dijadikan pedoman dalam perhitungan;
5) Auj adalah titik terjauh, yaitu titik terjauh pada lintasan bulan atau
satelit dengan planet dalam peredarannya mengelilingi planet yang
menjadi pusat peredarannya. Dalam astronomi dikenal dengan Apooge;
6) Ta„dil Khâshah adalah perata pusat bulan agar didapat kedudukan
bulan yang sebenarnya sepanjang lingkaran deklinasinya diukur dari
lingkaran ekliptika;
7) Ta„dil Markaz adalah Perata pusat matahari agar didapat kedudukan
bulan yang sebenarnya sepanjang lingkaran ekliptika;
8) Bu„d Ghair Mua„ddal yaitu jarak antara bulan dan matahari dari titik
khatulistiwa yang belum terkoreksi. Bu„d Ghair Mua„ddal adalah hasil
jumlah antara Ta„dil Khâshah dengan Ta„dil Markaz;
9) Ta„dîl asy-Syams yaitu koreksi terhadap jarak antara matahari dan Burj
Haml. Ta„dîl asy-Syams dapat kita tentukan dengan menjumlahkan
Ta„dil Markaz dengan hasil perkalian antara Bu„d Ghair Mua„ddal
dengan nilai 0˚ 5˚ atau dikalikan dengan 1/12;
10) Wasth asy-Syamsi yang merupakan hasil penjumlahan antara nilai
Markaz dengan nilai Auj. Wasth asy-Syamsi adalah jarak antara
matahari dan buruj hamal yang belum terkoreksi;
11) Muqawwam asy-Syams adalah posisi matahari dari Burj Haml yang
sudah terkoreksi pada saat ijtimak. Muqawwam asy-Syams merupakan
hasil pengurangan antara Wasth asy-Syamsi dengan Ta„dîl asy-Syams;
12) Daqa‟iq Ta„dîl al-Ayyâm adalah pengkoreksian terhadap jumlah hari
agar didapati suatu hari terjadinya Ijtima‟ yang sebenarnya;
13) Bu„d Mua„ddal yaitu jarak matahari dengan titik haml yang telah
dikoreksi, nilai ini adalah hasil pengurangan antara Bu„d Ghair
Mua„ddal dengan Daqa‟iq Ta„dîl al-Ayyâm;
53
14) Hishshah as-Sa„ah (Ta„dîl H ishshah) adalah perata pusat bulan agar
didapati kedudukan bulan yang sebenarnya sepanjang lingkaran
deklinasinya diukur dari lintasan ekliptika;
15) Hishshah as-Sa„ah (Ta„dîl H ishshah) adalah perata pusat bulan agar
didapati kedudukan bulan yang sebenarnya sepanjang lingkaran
deklinasinya diukur dari lintasan ekliptika;
16) „Alâmah Mu‟addalah yang merupakan waktu ijtimak yang telah
terkoreksi. Nilai Alamah Mu‟addalah merupakan hasil pengurangan
antara „ Alamah dengan Ta‟dil „Alamah;
17) Sa„ah Ijtima„ adalah waktu terjadinya ijtimak. „Alâmah Mu‟addalah
dijumlahkan dengan 18 jam yang merupakan waktu Ghurûb
(terbenamnya matahari), dikarenakan waktu ijtimak terjadi setelah
ghurub. Lalu dikurangi dengan 24 jam jika nilai jamnya lebih dari 24
untuk mencari waktu yang utuh;
18) Alâmah Mu‟addalah tanpa nilai hari, kemudian hasilnya di bagi 2,
maka diperoleh Irtifâ„ al-Hilâl (tinggi hilal);
19) Irtifâ„ al-Hilal (Tinggi Hilal) tersebut dibagi 15, maka diperoleh data
Mukts al-Hilâl (Lama Hilal di Ufuk);
20) Ardh al-Qamar adalah besar bulan;
21) Nûr al-Hilâl yaitu kapasitas cahaya yang dipancarkan oleh hilal, nilai
tersebut dapat ditentukan dari hasil penjumlahan dari Mukts al-Hilâl
(lama hilal di ufuk) dengan „Ardh al-Qamar.95
B. Dasar Pijakan KH.Muhammad Muhajirin Amsar Addari Dalam
Menentukan Awal bulan Qomariyah
Penetapan awal bulan Qomariyyah menurut KH. Muhammad
Muhajirin Amsar Addari didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat qhat‟i dan
mengambil dari kitab-kitab ulama mutaqoddimin dan tentunya beliau
bersandar kepada Al-Qur‟an yang paling pertama, diteruskan dengan hadits,
diteruskan dengan Ijma‟a, dan terakhir dengan Qiyas. Sudah diketahui oleh
95
Muhammad Mansur, Sulamun Nayyirain, ,(Jakarta: 1995), cet. 2, h. 1-4.
54
para kaum muslimin tentang penetapan awal bulan Qomariah baik Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah bahwa Allah berfirman dalam Al-Qur‟an Surat Al-
Baqarah ayat 164, Al-Anbiya ayat 33 dan Yaasin ayat 40;
1. Surat Al Baqarah ayat 164 ا ٱنفهك ٱنر ذجش ف ٱنثحش ت اس ٱن م ف ٱن ٱخره ٱلسض خ ف خهق ٱنغ إ
تس فا ذا ٱلسض تؼذ ي اء فأحا ت اء ي ي ٱنغ ي يا أضل ٱلل كم ي فغ ٱناط
و ؼقه د نق ٱلسض ل اء ٱنغ ش ت غخ ٱنغحاب ٱن ح ذصشف ٱنش داتح
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna
bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan
air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.
2. Surat Al Anbiya ayat 33
ش كم ف فهك غثح ٱنق ظ ٱنش اس ٱن م ٱنز خهق ٱن
Artinya : “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan
bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.”
3. Surat Yunus ayat 5
ٱنحغاب ا ػذد ٱنغ قذسۥ ياصل نرؼه ش سا ٱنق ظ ظاء ٱنز جؼم ٱنش يا
و ؼه د نق م ٱل نك إل تٱنحق فص ر خهق ٱلل
Artinya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan
bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui.”
4. Hadits
55
KH.Muhammad Muhajirin pun mengambil dalil-dalil hadist yang
bersumber dari Rasulullah SAW, salah satunya hadits nabi yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar ra, ػ ات ػش سظ للا ذؼه ػا قال عؼح سعل للا صه للا ػه عهى قل :
يرفق ػه -أرا سأر فصيا، أرا سأر فأفطشا،فأ غى ػهكى فاقذسا ن -
شلش نغهى : فأ أغ ػهكى فاقذسا ن
نهثخش : فأكها انؼذج شلش96
Artinya : “Diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, aku mendengar bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda : apabila kalian melihat hilal berpuasalah, dan
apabila kalian melihat hilal maka berbukalah, maka jika tertutup hilal maka
kira-kira kanlah.” (HR. Bukhori-Muslim)
Dan dalam hadist yang lainnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra
ذ صيا ش فإ ها شلش كى فأك غى ػه غكا نا فإ ا أفطشا نشؤر نشؤر
أفطشا فصيا ذا شا97
Artinya : “Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena
melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika hilal- itu
tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari,
jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”
Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal
Ramadan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadan cukup dengan satu saksi
karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu „Umar yang telah lewat.
5. Pendapat ulama
a) Sebagaimana telah ditulis di awal bahwasanya KH. Muhammad Muhajirin
menetapkan awal bulan Qomariyah bukan hanya mengambil dalil-dalil
Al-Qur‟an dan hadist akan tetapi beliau juga mengambil pendapat ulama-
ulama atau guru-guru beliau baik di Indonesia maupun di Makkah dan
Madinah;
96
Mahfudz Asyirun, Isbatu Awwali Ramadan Wassawwal bi Rukyati aw bil Hisab,
(Jakarta: Al Itqon, 2015), h.1. 97
Muhyiddin Abdus Shomad, Al Hujjaj Al Qath‟iyyah fi Shihhah Al Mu‟taqidat wa Al
Amaliyat An Nahdiyyah, (Surabaya: Khalista, 2015), cet. 3, h. 103.
56
b) Syekh Mansur al Falaky Jakarta, KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari mengambil dasar-dasar pendapat beliau dalam kitab sullamun-
nayrin;
c) Syekh Ahmad Mansyuri, KH.Muhammad Muhajirin juga mengambil
dasar-dasar dari pemikiran beliau ketika belajar di Darul Ulum Mekkah;
d) Syekh Muhammad Amin-Asyinqiti, KH. Muhammad Muhajirin juga
mengambil dasar-dasar pemikiran beliau ketika waktu belajar di Madinah;
e) Syekh Yasin Al-Fadani, KH. Muhammad Muhajirin juga mengambil
dasar-dasar dari pemikiran beliau dalam kitab Islahu Attaqwim;
f) Dan para ulama-ulama lainya baik yang ada di Indonesia maupun di
Makkah dan Madinah.98
KH. Muhammad Muhajirin juga mengambil dasar untuk menetapkan
awal bulan Qomariyah dengan menggunakan pemikirannya sendiri yang
dinamai dengan metode ilhaq al masail bi nazairiha, yakni menyamakan
hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada
ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh
kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan dengan pendapat
yang sudah jadi.
Secara bahasa, kata ilhaq adalah masdar dari alhaqa', yulhiqu yang
berarti menyusul, mendapatkan, menambahkan, menggabungkan.99
Adapun
secara istilah, ilhaq adalah menganalogikan hukum permasalahan tertentu
yang belumada dasar hukumnya dengan kasus serupa yang sudah ada dalam
suatu kitab rujukan.100
Ilhaq adalah upaya menyamakan hukum suatu kasus
(baru) yang belum diperoleh pendapat ulama masa lalu dengan kasus yang
sudah ada jawaban hukumnya dalam kitab mu‟tabar. Dengan ungkapan lain
ilhaq adalah menyamakan suatu kasus (mulhaq) dengan mencari padanan
kasus lain (mulhaq bihi) yang sudah jelas hukumnya dalam suatu kitab
mu‟tabar atas dasar bukti persaaan antara keduanya (wajhu al-ilhaq). 98
Mahfudz Asyirun, Pimpinan Pondok Pesantren Al Itqaan, Interview Pribadi, Kosambi, 14
September 2018. 99
Ahmad Warson Munawwir, al Munawwir… 1350 100
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU : Lajnah Bahtsul Masa‟il, 1926-1999, (Yogyakarta:
LKIS, 2004), 143.
57
Apabila Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada
ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya
berdasarkan nash atau ijma‟, maka ilhaq adalah menyamakan hukum sesuatu
yang belum ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada
kepastian hukumnya berdasarkan kitab-kitab mu‟tabar yang menjadi rujukan.
(perasional metode ilhaq ini tepat pada masalah yang dipastikan tidak ada
ulama bermazhab Sunni (mazhab al-arba‟ah) yang pernah mengeluarkan
pendapat hukum syar‟i atas masalah yang dibahas.
Salah satu contoh penggunaan metode ilhaqi dalah keputusan
Muktamar NU ke 2 di Surabaya tanggal 12 Rabi‟ al-Thani 1246 H/9 Oktober
1927 M tentang memakai pen dari emas.
a. Bagaimana hukumnya memakai pen emas? Haram ataukah tidak?
b. Hukum memakai pen emas adalah haram. Karena termasuk
larangan memakai bejana dari emas, seperti pat celak mat
(mirward). Demikian ini dari menurut mazhab Syafi‟i. tetapi
dalam mazhab Hanafi, terdapat pendapat yang
memperbolehkannya. Oleh karenanya para pemakai tempat celak
supaya mengikuti pendapat tersebut (mazhab hanafi) supaya
terhindar dari hukum haram.
Dengan kata lain menentukan awal bulan Qomariyah dengan tahun-
tahun sebelumnya, pernah suatu ketika salah satu murid dari beliau yang
bernama KH. Mahfudz Asirun menanyakan tentang awal bulan Qomariyah
pada tahun 1995, “Kyai tahun ini apakah kita puasa? karena hilal pun tidak
bisa dilihat”. Jawab kiyai “dua tahun yang lalu hilal kelihatan, besok saya
puasa, terserah ente mau ngikutin atau engga, tapi jangan disebarluasin
karena yang berhak memperluaskan berita puasa atau tidaknya itu
kementerian agama”.101
Itulah salah satu keunikan pemikiran KH. Muhamad
Muhajirin dalam menentukan awal bulan Qomariyah.
101
Mahfudz Asyirun, Pimpinan Pondok Pesantren Al Itqaan, Interview Pribadi, Kosambi, 14
September 2018.
58
C. Pengaruh Pemikiran KH. Muhamad Muhajirin Terhadap Komunitas-
Komunitas yang Berada di Wilayah Bekasi dan Sekitarnya
Dampak dari pada pemikiran KH. Muhamad Muhajirin dalam
menentukan awal bulan Qomariyah. Adapun membangun sebuah peradaban
keilmuan. Cikal bakal pemikiran beliau tersebar luas di wilayah Bekasi Timur
dan sekitarnya dan tempat kelahiran beliau. Contohnya :
1. Lajnah Falaqiyah Al-Husainiyyah
Tempat ini sebelum menjadi Lajna Falaqiyah disebut tempat
ngeker bulan yang terletak di wilayah Cakung Barat di Jakarta Timur
tepatnya di Masjid Jami al-Makmur. Sosok KH. Muhamad Muhajirin
Amsar Addari yang pertama kali mengembangkan ilmu falak baik dalam
segi materi maupun penerapannya. Dan beliau tidak serta merta
mendirikan Lajnah Falaqiyah ini sendiri melainkan dengan beberapa
murid-muridnya yang tiada bukan saudara sepupu beliau sendiri yaitu KH.
Abdul Hamid dan bersama ulama-ulama lainnya seperti KH. Dzinun, KH.
Abdul Salam, KH. Abdullah Azhari, dan KH. Abdul Halim.
Sekitar akhir tahun 1950 Masehi, Lanjah Falaqiyah menjadi tempat
rujukan dibidang Ilmu falak bagi masyarakat dan ulama-ulama yang
berada di Bekasi dan sekitarnya. Kepercayaan yang datang dari kalangan
luas ini memompa para pendirinya untuk terus menekuni kegiatan yang
mereka rintis. Puluhan tahun sudah kegiatan tersebut berjalan, sampai
mereka menutup usia pun kegiatan tersebut kegiatan tersebut tetap
terlaksana.
Penelitian hisab dan rukyah itu akhirnya diambil alih oleh KH.
Ahmad Syafi‟i Abdul Hamid yang tiada bukan keponakan dari KH.
Muhamad Muhajirin.102
Dan tempat ini pula yang berhasil melihat hilal
awal bulan Zulhijah pada ketinggian 2° 25‟ 0”. Hasil ini disahkan oleh
Pengadilan Agama Jawa Barat. Berdasarkan hal tersebut KH. Zubair Umar
102
Ahmad Syafi‟I Abdul Hamid, Pimpinan Lajnah Falakiyah Al Husainiyyah, Interview
Pribadi, Jakarta Timur, 16 September 2018.
59
memasukan kejadian itu dalam kitab karanganya yang berjudul Al-
Khulashah al-Wafiyyah.103
2. Mirkot Ilmiah al-Itqon
Pondok pesantren ini sangatlah kental dengan pemikiran-pemikiran
KH. Muhamad Muhajirin Amsar Addari yang mengamalkan dan mengkaji
karya-karya dari pada KH. Muhamad Muhajirin Amsar Addari. Begitu
pula dalam menentukan awal bulan Ramadan dan 1 Syawal atau Hari
Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Pondok pesantren ini dipimpin
oleh KH. Mahfudz Asirun yang mana beliau murid dari pada KH.
Muhamad Muhajirin, khususnya wilayah Duri Kosambi, Pondok Randu,
Cengkareng, dan Rawa Lele mengikuti awal dari pada bulan Ramadan,
Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha merujuk kepada pemikiran
KH. Muhamad Muhajirin.
KH. Mahfudz Asirun adalah sosok ulama yang kharismatik dan
bersahaja, beliau banyak sekali belajar atau menuntut ilmu dari KH.
Muhamad Muhajirin baik dibidang Ilmu Nahwu, Sharaf, Hadis, Tarikh,
Fikih, Falak, dan berbagai ilmu disiplin lainya. Beliau pun menjadi ketua
MUI Jakarta Barat dan menjadi ketua Suryah PWNU Jakarta Barat,
sampai sekarang wilayah Duri Kosambi dan sekitarnya ketika menjelang
awal bulan Ramadan dan menjadi awal bulan Syawal KH. Mahfud Asirun
mengumpulkan tokoh-tokoh ulama, tokoh masyarakat, dan ketua DKM
wilayah Kosambi dan sekitarnya guna untuk mengisbatkan dan
menyepakati kapan dimulainya awal Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.104
Dan hasil musyawarah dari pada awal bulan Ramadan begitu pula
hari raya Idul Fitri tidak disiarkan keseluruh masyarakat Indonesia akan
tetapi diberitahukan kepada wilayah-wilayah tertentu yang mengikuti
pemikiran KH. Muhamad Muhajirin. Sampai saat ini Pesantren al-Itqon
103
Zubair Umar Al Jaelani, Al Khulashoh Al Wafiyyah fi Al Falaki bi Jadawali Al Lughor
Taimiyyah, (Surakarta: Melati, 1987), cet. 1, h. 133. 104
Mahfudz Asyirun, Pimpinan Pondok Pesantren Al Itqaan, Interview Pribadi, Kosambi,
14 September 2018.
60
kental dengan pemikiran-pemiiran KH. Muhamad Muhajirin dengan
berbagai disiplin ilmu.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya,
maka sebagai akhir dari penelitian ini penulis akan menarik kesimpulan
untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti.
1. Penetapan awal bulan yang di lakukan oleh KH. Muhammad
Muhajirin Amshar Addary dan murid-muridnya hingga saat ini
berdasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang ssebenarnya.
Dengan kata lain beliau menggunakan sistem hisab rukyatulhilal
menggunakan bantuan patok bambu atau kayu berbentuk huruf T yang
diletakkan dengan posisi tegak. Masing-masing ujungnya menghadap
ke arah Barat dan Timur sejatinya Secara rutinitas bulanan. KH.
Muhammad Muhajirin beserta murid-muridnya juga selalu
memperhatikan kedudukan bulan pada tanggal 25 dan seterusnya
sampai akhir tanggal pada waktu pagi hari atau setelah shalat Subuh,
karena menurut pengalaman, munculnya hilal bulan baru tidak akan
berbeda kedudukannya pada akhir bulan.
2. Penetapan awal bulan Qomariyyah menurut KH. Muhammad
Muhajirin Amsar Addari didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat
qhat‟i dan mengambil dari kitab-kitab ulama mutaqoddimin dan
tentunya beliau bersandar kepada Al-Qur‟an, hadits serta pendapat
ulama (baik ijma maupun qiyas). Pendapat ulama yang sering
dijadikan pedoman oleh KH. Muhammad Muhajirin Amsar Addari
kebanyakan berasal dari gurunya, baik sewaktu di Mekkah, Madinah
maupun di Indonesia. Sebut saja Syekh Mansur al Falaky, Syekh
Ahmad Mansyuri, Syekh Muhammad Amin-Asyinqiti dan Syekh
Yasin Al-Fadani.
61
62
3. Dampak dari pada pemikiran KH. Muhamad Muhajirin Amsar Addari
dalam menentukan awal bulan Qomariyah baik baik terhadap
komunitas yang mengikuti pemikirannya dan muridnya di wilayah
Bekasi Timur diantaranya sebagai berikut:
a. Lajnah Falaqiyah Al-Husainiyyah, yang merupakan rujukan
dibidang Ilmu Falak bagi masyarakat dan ulama-ulama yang berada
di Bekasi dan sekitarnya.
b. Mirkot Ilmiah Al-Itqon, yang merupakan lembaga pendidikan
pondok pesantren yang sangat kental dengan pemikiran-pemikiran
beliau.
B. Saran
1. Hendaknya Pemerintah khususnya dari Kementerian Agama
mengundang tokoh-tokoh ulama dalam suatu sidang isbat persoalan
rukyah yang diadakan oleh Kementerian Agama.
2. Sudah seyogyanya pemikiran KH. Muhammad Muhajirin Amsar
Addari dipalajari dan dijadikan salah satu rujukan bagi lembaga
pendidikan dalam bidang rukyah di Indonesia.
3. Fakultas Syariah dan Hukum hendaknya lebih memfafsilitasi sarana
dan prasarana praktek ilmu falak, seperti mengadakan laboratorium
perbintangan guna meningkatkan pemahaman dan kualitas mahasiswa
dalam persoalan ilmu falak.
63
DAFTAR PUSTAKA
Al Baghdady, Abdurrahman, Umatku Saatnya Bersatu Kembali ”Telaah Kritis
Perbedaan Awal dan Akhir Ramadan, Jakarta: Insan Citra Media Utama,
2009.
Addari, Muhammad Muhajirin Amsar, Misbahu Adzulam, Jakarta: Darul Hadits,
1993.
Al Jaelani, Zubair Umar, Al Khulashoh Al Wafiyyah fi Al Falaki bi Jadawali Al
Lughor Taimiyyah, Surakarta: Melati, 1987.
Amin, Ma‟ruf, Rukyat Untuk Penentuan Awal dan Akhir Ramadan Menurut
Pandangan Syariat dan Sorotan IPTEK, Jakarta: Gema Insani Pres.
1995.
Azhari, Susiknan, Ilmu Teori dan Praktek, Yogyakarta : Lazuardi, 2001.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Badan Hisab dan Rukyah Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta : 1981.
Departemen Agama RI, Pedoman Tehknik Rukyah, Jakarta: Direktorat
Pembinaaan Badan Peradilan Agama Islam, 1995.
Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1990.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1999.
Habibie, BJ, Rukyah dengan Teknologi, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Ibrahim, Salamun, Ilmu Falak Cara Mengetahui Awal Bulan, Awal Tahun,
Musim,Kiblat dan Perbedaan Waktu, Surabaya : Pustaka Progressif.
2013.
64
Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektip NU dan Muhammadiyah
Suatu Komparasi, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Imam Ibnu al-Husen Muslim Ibn al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusyairy al-Niisaburi,
al-Jami al-Shahih al-Musamma Shaih Muslim Juz II, Semarang, Toha
Putra, 2012.
Imam Ibnu al-Husain Muslim bin al-Hajaj Ibn Muslim al- Qusairi al- Nisaburi, al-
jami‟u al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II, Semarang: Toha
Putra
Izzudin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia; Upaya Penyatuan Mazhab
Rukyah dengan Mazhab Hisab, Cetakan I, Yogyakarta : Logung Pustaka,
2003.
Kardiman, dkk, Garis Tanggal Kalender Islam 1421 H, Bogor: Bakosutanal,
2001.
Keluarga Besar Syeikh KH. Muhamad Muhajirin Amsar Addary, “sejarah
singkat dan sisi lain kehidupan Syeikh Muhajirin Muhajirin Amsar
Addary”, Bekasi: Pondok Pesantren Annida Al Islam, 2012.
Khazin, Muhyiddin, Kamus Ilmu Falak, Yogjakarta : Buana Pustaka, 2005.
Khazin, Mukhyidin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta : Buana
Pustaka, 2004.
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadana, 1992.
Maskufah, Memahami Tarikh Masehi dan Hijri: Suatu Perbandingan, makalah
ini disampaikan pada seminar Ilmu Falak I pada tanggal 14 Desember
2004 di gedung Teater lantai II. H.73
Ma‟luf, Louis, Al-Munjit, Mesir: Al-Mathbaah Al-Katholikiyyah, 1918.
65
Muhaimin, Abdul bin Abdul Lathif, Fath Al-lathiif Al-Rahiim Fi Al-Falaq
Bijadwali Al-lughotirmiyyah Libni Lathif, Banten : Matbah Tsaniyah,
1986.
Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1992.
Setyanto, Hendro, Membuat Langit, Jakarta: Al-Ghuraba, 2008.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2003.
Thoha, Ahmad, Astronomi dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Wawancara langsung kepada bapak H. Dhiya Al-Maqdhisi pada Rabu 20 Juni
2018.
Wawancara langsung kepada bapak H. Dhiya Al-Maqdisi pada Jumat, 22 Juni
2018.
Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU : Lajnah Bahtsul Masa‟il, 1926-1999,
Yogyakarta: LKIS, 2004.
Satria, Eka, ”Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif Al-Marzukiyah (Studi
Terhadap Kalangan Al- Marzukiyah di Cipinang)”, Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2006.