prof dr masri singarimbun
TRANSCRIPT
5/16/2018 Prof Dr Masri Singarimbun - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/prof-dr-masri-singarimbun 1/4
Prof. Dr. Masri Singarimbun
Prof Dr Masri Singarimbun adalah seorang pakar antropologi sosial dan ahli studi
kependudukan. Dia pendiri sekaligus direktur pertama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
UGM (1973-1983). Prof. Masri menjelajahi banyak desa Karo, mengumpulkan berbagai
peribahasa. Hasil penelitian ini menjadi buku berjudul 1.000 Perumpamaan Karo, terbit di Medan,
1962.
Prof. Masri Masuk Fakultas Paedagogi UGM tahun 1959. Gelar doktor antropologi
diraihnya dari universitas Australian National University (ANU), Canberra dengan disertasi,
Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak, 1966.
Pak Masri, bersama David H Penny ekonom dari Australia, adalah ilmuwan pertama yang
mengangkat kemiskinan sebagai masalah sosial khususnya di pedesaan Jawa dalam buku
Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo (1977). Dia memiliki empati sangat kuat terhadap
kolega yang sedang tertimpa kesulitan maupun masyarakat miskin yang dikajinya.
Pak Masri mengajak khalayak pembaca merenungkan masalah-masalah seperti birokrasi
yang tidak kunjung efisien dan mau melayani, ledakan populasi penduduk, kemiskinan,
HIV/AIDS, terorisme seksual, agresi tak terkendali, korupsi, buruknya perpustakaan perguruan
tinggi, rendahnya motivasi berprestasi, dan runtuhnya pilar-pilar moralitas. Patologi sosial yang
hingga sekarang masih menelikung kehidupan masyarakat Indonesia.
5/16/2018 Prof Dr Masri Singarimbun - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/prof-dr-masri-singarimbun 2/4
Dari tabel data diatas dapat kita ketahui bahwa Indonesia memiliki prosentase kemiskinan yang
masih cukup tinggi, yaitu sebesar 12,49% dari jumlah penduduk Indonesia. Banyak daerah dengan
angka kemiskinan yang tinggi, hal ini sangat berbeda yang terjadi di kota. Sebagai contoh mari kita
melihat prosentase kemiskinan di NTT, Papua, Papua Barat. Masing-masing daerah tersebut
memiliki prosentase 21,23%, 31,98%, dan 31,92%. Angka ini sangat jauh berbeda dengan tingkat
5/16/2018 Prof Dr Masri Singarimbun - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/prof-dr-masri-singarimbun 3/4
kemiskinan di DKI yaitu sebesar 3,75%. Kita dapat melihat bahwa adanya ketimpangan
pendapatan yang terjadi di beberapa daerah. Seolah-olah kemiskinan angka terakhir untuk menilai
pembangunan di Negara ini. Para pengambil kebijakan hanya sibuk dengan pertumbuhan ekonomi,
tanpa menyadari akan adanya ketimpangan pendapatan. Prof. Masri menganggap bahwa
kemiskinan menjadi masalah sosial utama. Nah, pemikiran ini yang seharusnya menjadi bahan
pertimbangan pemerintah. Agar pembangunan nasional tidak hanya menitikberatkan pada
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus pro masyarakat miskin. Seharusnya kemiskinan menjadi
masalah social yang harus diselesaikan pemerintah. Jika pemerintah berhasil mengentaskan
kemiskinan, maka dapat dikataka bahwa pemerintah berhasil dalam membangun masyarakat yang
sejahtera.
Masri kemudian dikenal karena berbagai penelitiannya dalam masalah KB. Untuk menelitihasrat penggunaan kondom, ia mulai dari lingkungan dekatnya. Prof Dr Masri Singarimbun
berkesimpulan bahwa masyarakat sebenarnya punya hasrat besar dalam KB. Penelitiannya
mengenai KB membawanya ke bidang demografi.
Jepang yang begitu jauh di depan memimpin modernisasi, kemajuan teknologi, dan
kemakmuran, primitif dalam pemilihan kontrasepsi. Tingkat kelahiran yang rendah dicapai melalui
cara kampungan: kondom, sanggama terputus, dan pantang berkala. Wanita Jepang gemetar
melihat pil anti-hamil dan IUD. Bandingkan dengan perempuan di pelosok-pelosok desa Jawa
yang buta huruf, fatalistik, berorientasi jangka pendek, pemakan gaplek, kurang need for
achievement ternyata konsumen pil KB dan pemakai spiral. Rupanya, semakin tinggi pendidikan
kaum urban semakin udik metode KB mereka.
Dari penelitian Prof. Masri dapat disimpulkan bahwa hasrat masyarakat cukup tinggi dalam
menggunakan KB. Walaupun demikian pelaksanaan program KB di Indonesia tidak berjalan
secara sempurna. Hai ini dapat dilihat dari masih tingginya angka kelahiran. Prof. Masri
berpendapat bahwa “semakin tinggi pendidikan kaum urban semakin udik metode KB mereka” hal
ini mungkin tidak relevan lagi. Karena di Indonesia masih banyak daerah-daerah “udik” yang
belum tersentuh alat kontrasepsi. Sehingga program KB di daerah terhambat. Berbeda dengan kota,
pemerintah dengan sangat mudah mengkampanyekan program KB, hak ini karena mudahnya
system informasi.