problem hukum eksekusi hak tanggungan...

20
1 PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ATAS DASAR WANPRESTASI TERHADAP AKAD MURABAHAH Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H. Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram Pendahuluan Murabahah sebagai salah satu bentuk akad jual-beli amanah. karena dalam proses transaksinya penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan (ats-tsaman al- awwal) dan keuntungan yang ingin/hendak diambil ketika akad. 1 Murabahah juga marupakan jual-beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang („aiyn) dan uang (daiyn). 2 Dalam praktek perbankan syariah, murabahah merupakan skema yang paling dominan digunakan dibandingkan dengan produk akad syariah lainnya, 3 sehingga ada stigma bahwa Bank Syariah di Indonesia adalah Bank Murabahah. Ini dipilih oleh bank karena sebagai lembaga intermediary prinsip kehati-hatian (prudential) bank bisa diterapkan dengan efektif dan efesien sehingga resiko kerugian bank bisa diminimalisir. Murabahah sebagai bentuk jual-beli, harga bisa dibayar secara tunai (naqdan), angsur (taqhsith) atau dalam bentuk sekaligus (mu‟ajjal), akan tetapi berdasarkan kebutuhan pasar, kebanyakan nasabah menghendaki pembayaran harga murabahah secara angsur. Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet. bank diperbolehkan bahkan “selalu” meminta jaminan dari nasabah yang diikat dengan pembebanan Hak Tanggungan maupun penjaminan lainnya. Sehingga ketika nasabah mengalami macet, dapat dinilai sebagai wanprestasi dan bank berhak melelang sendiri atau mengajukan permohonan eksekusi lelang baik kepada KPKNL maupun Pengadilan Agama. Bentuk-bentuk dari wanprestasi menurut hukum perdata antara lain: 1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Misal, debitur tidak memenuhi dan melaksanakan kewajibannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian; 2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; misal debitur selalu telat melaksanakan kewajibannya; 1 Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut, Daar al-Fikr, 2002, Juz V, hal. 3600, 2 Menurut ahli fikih dari segi obyek pertukarannya (badalayin), jual-beli dibagi menjadi empat macam; 1. Barter (al- muqayyadah) obyek tukarnya sama-sama barang („aiyn). 2. Jual-beli mutlak, obyek tukarnya barang („ayn) dengan uang/harga (dayn). 3. Jual-beli sharf, obyek tukarnya sama-sama uang (dayn). 4. Jual-beli al-salam, yaitu obyek tukarnya piutang barang yang masih menjadi piutang dengan uang yang telah ada ketika akad. 3 Dr. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123;

Upload: duongdan

Post on 14-May-2018

220 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

1

PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ATAS DASAR

WANPRESTASI TERHADAP AKAD MURABAHAH

Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.

Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram Pendahuluan

Murabahah sebagai salah satu bentuk akad jual-beli amanah. karena dalam proses

transaksinya penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan (ats-tsaman al-

awwal) dan keuntungan yang ingin/hendak diambil ketika akad.1 Murabahah juga marupakan

jual-beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang („aiyn) dan uang (daiyn).2

Dalam praktek perbankan syariah, murabahah merupakan skema yang paling dominan

digunakan dibandingkan dengan produk akad syariah lainnya,3 sehingga ada stigma bahwa Bank

Syariah di Indonesia adalah Bank Murabahah. Ini dipilih oleh bank karena sebagai lembaga

intermediary prinsip kehati-hatian (prudential) bank bisa diterapkan dengan efektif dan efesien

sehingga resiko kerugian bank bisa diminimalisir.

Murabahah sebagai bentuk jual-beli, harga bisa dibayar secara tunai (naqdan), angsur

(taqhsith) atau dalam bentuk sekaligus (mu‟ajjal), akan tetapi berdasarkan kebutuhan pasar,

kebanyakan nasabah menghendaki pembayaran harga murabahah secara angsur.

Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko

macet. bank diperbolehkan bahkan “selalu” meminta jaminan dari nasabah yang diikat dengan

pembebanan Hak Tanggungan maupun penjaminan lainnya. Sehingga ketika nasabah mengalami

macet, dapat dinilai sebagai wanprestasi dan bank berhak melelang sendiri atau mengajukan

permohonan eksekusi lelang baik kepada KPKNL maupun Pengadilan Agama.

Bentuk-bentuk dari wanprestasi menurut hukum perdata antara lain:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Misal, debitur tidak memenuhi dan melaksanakan

kewajibannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian;

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; misal debitur selalu telat melaksanakan

kewajibannya;

1 Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut, Daar al-Fikr, 2002, Juz V, hal. 3600,

2 Menurut ahli fikih dari segi obyek pertukarannya (badalayin), jual-beli dibagi menjadi empat macam; 1. Barter (al-

muqayyadah) obyek tukarnya sama-sama barang („aiyn). 2. Jual-beli mutlak, obyek tukarnya barang („ayn) dengan

uang/harga (dayn). 3. Jual-beli sharf, obyek tukarnya sama-sama uang (dayn). 4. Jual-beli al-salam, yaitu obyek

tukarnya piutang barang yang masih menjadi piutang dengan uang yang telah ada ketika akad. 3 Dr. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123;

Page 2: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

2

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Misal, debitur selalu melaksanakan

kewajibannya namun qualitas dan quantity-nya tidak sesuai dengan ketentuan yang

diperjanjiakan.

4. Debitur melaksanakan/melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Berdasarkan cakupan bentuk-bentuk wanprestasi sebagai tersebut diatas, maka

permohonan eksekusi lelang bagi bank terbuka meskipun belum jatuh tempo. Akan tetapi

eksekusi lelang pada akad murabahah yang belum jatuh tempo sering memunculkan perlawanan

dari nasabah karena dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan. Kasus telah banyak

bermunculan, sebagai ilustrasi kasus adalah sebagai berikut:

- Bank BRI Syariah sepakat mengadakan akad murabahah atas property obat-obatan (apotek)

pada bulan Maret 2015, diikiat dengan Pembebanan Hak Tanggungan atas 4 obyek tanah dan

bangunan toko milik nasabah;

- Harga perolehan bank (al-tsaman al-awwal) seharga Rp.400.000.000,- ditambah keuntungan

bank/margin (al-ribh) sebesar Rp.374.304.000,- sehingga harga jual bank kepada nasabah

disepakati sebesar Rp.774.304.000,- ; Harga awal (perolehan bank) dan harga akhir (harga

jual bank) terpaut sangat tinggi karena karena ada pricing yaitu bank senantiasa

memperhitungkan keuntungan yang diperoleh atas berbagai faktor yang dipertimbangkan,

yaitu waktu pelunasan, indek bunga pada bank konvensional dll.4

- Diperjanjikan, harga obyek murabahah dapat diangsur oleh nasabah selama 10 tahun atau

120 kali sebesar angsuran Rp.6.453.000,- perbulan, angsuran akan berakhir/jatuh tempo

bulan Nopember 2025;

- Akad murabahah baru berjalan 8 bulan, usaha nasabah ludes karena perampokan, sehingga

nasabah macet mulai bulan Nopember 2015;

- Bulan Desember 2016 atau 20 bulan setelah akad Murabahah, atau 13 bulan setelah

angsuran macet, Bank mengajukan eksekusi lelang obyek jaminan bank kepada KPKNL

Mataram untuk memenuhi pembayaran sebesar Rp. 722.680.000,- (dari Rp. 774.304.000,-

dikurangi angsuran masuk Rp. 51.624.000,-)

4 Pricing adalah memperhitungkan harga jual dengan mempertimbangkan waktu dengan acuan bunga dalam kredit

konpensional. Ini adalah delema system syariah sehingga aplikasi harga murabahah harus mempertimbangkan

berbagai aspek; waktu pelunasan, resiko, bunga dalam konpensional, sehingga harga murabahah terpaut sangat

tingga dengan harga perolehan bank.

Page 3: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

3

- Nasabah keberatan dan mengajukan perlawanan atas eksekusi lelang oleh KPKNL kepada

Pengadilan Agama Mataram ;

- Alasan perlawanan, tuntutan pelunasan hutang tidak proposrional ; harga pinjaman Rp.

400.000.000,- baru berjalan 20 bulan dan baru macet 13 bulan, bank minta pelunasan atas

pembayaran seluruh angsuran sebesar Rp. 774.304.000,- yang mestinya akan jatuh tempo

pada Nopember 2025 ;

- Proses perlawanan terhadap penetapan lelang oleh KPKNL Mataram masih sedang berjalan

di Pengadilan Agama Mataram.

Rumusan Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4

Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016, halaman 9 pada angka 3, membenarkan eksekusi lelang

Hak Tanggungan yang belum jatuh tempo. Sebagai berikut: “Hak Tanggungan dan jaminan

utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi wanprestasi

meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah diberi

peringatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Eksekusi Hak Tanggungan mempunyai sifat-sifat istimewa mudah, sederhana dan pasti

seperti sifat putusan serta-merta. Akan tetapi untuk akad murabahah sifat istemewa Hak

Tanggungan pada saat angsuran belum jatuh tempo perlu dikaji secara yuridis, karena faktanya

melahirkan ketidak adilan pada nasabah;

Contoh kasus diatas, cukup menggambarkan hal tersebut. Jika eksekusi juga harus

menunggu jatuh tempo, maka bank sebagai lembaga intermediary akan dirugikan, disinlah

delematisnya eksekusi lelang dalam akad murabahah atas dasar gugatan wanprestasi.

Hal lain yang perlu diingat adalah, bahwa karakteristik akad murabahah sangat berbeda

dengan akad mudharabah maupun musyarakah dan akad-akad syariah lainnya, apalagi dengan

kredit konvensional.

Tulisan ini mencoba menganalisa problem hukum dan mengungkap ketidak adilan

permohonan eksekusi lelang atas akad murabahah yang belum jatuh tempo.

Prinsip –Prinsip Hak Tanggungan

Peraturan hukum mengenai Hak Tanggungan adalah suatu perangkat hukum yang

digunakan ketika terjadinya perikatan (kesepakatan) pinjam-meminjam uang/pembiayaan antara

Peminjam (Debitur) dengan Pemberi Pinjaman (Bank).

Page 4: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

4

Didalam prakteknya calon debitur mengajukan permohonan pinjaman/pembiayaan

kepada bank dengan menyertakan segala bentuk surat-surat, yaitu identitas peminjam, jaminan

pinjaman berupa Akta Kepemilikan atas Tanah dan Bangunan serta surat-surat perizinan usaha

jika Debiturnya adalah badan hukum. Jika menurut Bank permohonan yang diajukan oleh

Debitur memenuhi kriteria, maka terjadilah kesepakatan pemberian Fasilitas Kredit (Bank

Konvensional) atau Pembiayaan (Bank Syariah) kepada Debitur.

Tindak lanjut dari kesepakatan pinjam meminjam tersebut, bank memberikan sejumlah

dana (uang) sebagai bentuk pinjaman kepada Debitur, kemudian Debitur memberikan surat-surat

kepemilikan tanah/bangunan ataupun benda lainnya sebagai jaminan pelunasan pinjaman.

Jaminan berupa tanah dan bangunan biasanya dibebani dengan pemasangan Sertifikat Hak

Tanggungan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dari kesepakatan Fasilitas Kredit atau pembiayaan tersebut, Bank memberikan syarat

kewajiban agar Debitur membayar pinjaman/kredit/pembiayaan dengan sistem angsuran/cicilan

setiap bulan dengan tenggang waktu pelunasan antara 1 (satu) s/d 20 (dua puluh) tahun.

Apabila Debitur melakukan pembayaran angsurannya secara tepat waktu sampai dengan

adanya pelunasan, maka Bank tentu akan memberikan penilaian bahwa Debitur tersebut adalah

debitur/nasabah dengan predikat baik, sehingga kemudian Bank akan lebih percaya untuk

kembali memberikan pinjaman kepada Debitur dengan predikat baik tersebut.

Dari semua transaksi pinjam meminjam/kredit/pembiayaan tersebut, tentunya ada juga

Debitur yang tidak melakukan pembayaran angsuran dengan tepat waktu atau lajimnya disebut

Kredit Macet. Oleh karenanya Bank tentu akan berusaha melakukan penagihan kepada Debitur

dengan alasan menghindari resiko kredit macet.

Upaya Bank dalam menghindari adanya kredit macet adalah dengan menggunakan aturan

kesepakatan atas Jaminan Hak Tanggungan pada sertifikat kepemilikan nasabah jika bentuknya

asset tak bergerak (tanah dan bangunan) atau penerapan Jaminan Fidusia jika jaminan berupa

benda bergerak (mobil, mesin dan lain-lain).

Terhadap ketentuan pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan pinjaman, negara telah

menerbitkan peraturan hukum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-undang tersebut

mengatur tentang Jaminan antara Bank dengan Debitur dalam transaksi pinjam meminjam serta

Page 5: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

5

peraturan-peraturan tentang tata cara apabila terjadinya keadaan wanprestasi (tidak membayar)

apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya.

Karakteristik Hak Tanggungan

Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan

tetapi mengikuti perjanjian yang ada sebelumnya yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk

yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang

yang dijamin, termasuk akad pembiayaan syariah. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini

dalam terminology hukum disebut perjanjian accessoir. Penegasan terhadap asas accesoir ini,

dijelaskan dalam poin 8 penjelasan UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang

menyatakan bahwa:

Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu

piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain,

maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.

Karena itu sudah sangat tepat dan logis jika eksekusi Hak Tanggungan atas akad-akad

syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama.

Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas, secara tegas diatur

pula dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 4 'Tahun 1996. Dalam Pasal 10

ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak

terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf

a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak

Tanggungan.

Selain itu Hak Tanggungan menurut undang-undangnya mempunyai kedudukan

diutamakan. Penjelasan umum Undang Undang Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa:

Bahwa jika debitur cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui

pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain.

Walaupun demikian dalam menjalankan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan perlu

diingat bahwa kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutang-piutang

Negara. Karena menurut ketentuan hukum yang berlaku. piutang negara yang harus didahulukan

dibandingkan dengan kreditor lainnya tersebut, Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 9 Tahun

1994 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Page 6: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

6

Perpajakan dijumpai ketentuan yang menentukan tagihan pajak mempunyai hak mendahului

lainnya. Hal ini sesuai Pasal 21 UU Nomor 9 Tahun 1994 dinyatakan bahwa:

Hak mendahulu tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap:

(a) biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu

barang;

(b) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;

(c) biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan

yang diutamakan tertentu terhadap kreditor lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1)

UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa: Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan: (a)

hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual

melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-

undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului

daripada kreditor-kreditor lainnya.

Berdasarkan ketentuan di atas, walaupun kreditor tertentu lebih didahulukan

dibandingkan dengan kreditor lainnya, akan tetapi tetap harus mengalah kepada piutang-piutang

negara.

Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti

Selain berkedudukan utama, Hak Tanggungan berasas eksekusi mudah karena dapat

dilakukan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa melaui persetujuan lagi kepada

Pemberi Hak Tanggungan, ketentuan ini bermaksud mencegah terjadinya cedera janji yang

dilakukan pemberi Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak

Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini

sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa: “Apabila debitor cedera janji, pemegang

Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas

kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil

penjualan tersebut”.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 6 tersebut

dijelaskan sebagai berikut: “Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri

Page 7: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

7

merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang

Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang

diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak

Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa

memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil

pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain.

Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan”.

Mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat

dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atau yang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena

itu, parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang

terdapat di dalam Hak Tanggungan. Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek, pemegang

Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah

diperjanjikan hal yang demikian itu dalam pemberian Hak Hipoteknya. Sementara dalam Hak

Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak

yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT. Dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak

itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu Sertifikat Hak

Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor

Pertanahan dan yang memuat irahirah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti

grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah."

Akibat Hukum Wanprestasi

Dalam transaksi perbankan, tidak bisa terlepas dari perjanjian. Dalam suatu perjanjian

umumnya dicantumkan klausul tentang wanprestasi yang menerangkan suatu keadaan yang

dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang

telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk

dari wanprestasi, bisa dalam bentuk:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Misal, debitur tidak memenuhi dan melaksanakan

Kewajibannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian;

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; misal debitur selalu telat melaksanakan

kewajibannya;

Page 8: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

8

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Misal, debitur selalu melaksanakan

kewajibannya namun qualitas dan quantity-nya tidak sesuai dengan ketentuan yang

diperjanjiakan.

4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Berdasarkan cakupan wanprestasi sebagai tersebut dias, maka nasabah yang mecet tidak

melakukan angsuran untuk beberapa bulan, dapat dikategorikan sebagai wanprestasi. Disinlah

rawannya akad murabahah yang pembayaran secara angsuran berkala (installment) yang

membutuhkan waktu lama, maka LKS sebagai lembaga intermediary keuangan yang kegiatan

utamanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat

umum dalam bentuk pembiayaan, sering harus berhadapan dengan resiko angsuran macet. Maka

untuk mengantisipasi resiko tersebut dalam akad murabahah bank diperbolehkan meminta

jaminan yang lazimnya diikat dengan Pembebanan Hak Tanggungan, sehingga ketika nasabah

benar-benar mengalami macet, bank punya dasar pijak menilai nasabah sebagai wanprestasi dan

terbukalah hak bagi bank untuk memohon eksekusi meskipun belum jatuh tempo.

Dalam praktek, tergantung pada perjanjian/kesepakatan, terkadang ditemukan adanyanya

batasan waktu seorang debitur dapat dianggap telah berbuat wanprestasi. Batasan waktu ini

sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang pada pokoknya menegaskan bahwasanya

debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Tetapi, jika

dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan batasan waktu, maka untuk menyatakan seseorang

debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan

kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.

Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat

perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri,

ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang

ditentukan”.

Dalam hukum, ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur yang telah

dianggap wanprestasi, yaitu :

1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2) Pembatalan perjanjian;

3) Peralihan resiko;

4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

Page 9: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

9

Atas sanksi-sanksi tersebut, terkait dengan barang yang dijadikan jaminan, ada 2 cara

yang dapat ditempuh Bank sebagai pemegang barang jaminan yakni :

1) Proses litigasi :

Apabila seorang debitur sudah diperingatkan dan secara tegas ditagih janjinya, tetapi ia

tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka Bank sebagai kreditur dapat mengajukan gugatan

wanprestasi disertai permohonan penetapan sita jaminan harta milik Anda sebagai debitur

(conservatoir beslag) kepada Pengadilan. Jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan

putusan secara sukarela (vrijwilling), berdasarkan ketentuan Pasal 196-197 HIR, Ketua

Pengadilan dapat melaksanakan putusan dengan upaya paksa terhadap harta benda yang telah

disita jaminankan untuk dijual melalui Kantor Lelang Negara.

2) Eksekusi Hak Tanggungan :

Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyatakan, apabila debitor

cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Bank sebagai pemegang hak tanggungan, secara hukum, berhak atas kekuasaan sendiri

menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi

dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya, jika

terdapat sisa hasil penjualan, maka sisa tersebut menjadi hak pemberi Hak Tanggungan (debitur).

Didalam praktek, apabila terdapat Debitur yang wanprestasi, biasanya Bank akan

mengirimkan Surat Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam

pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya diajukan

paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat keadaan wanprestasinya debitur.

Apabila telah diperingati secara patut tetapi Debitur tidak juga melakukan pembayaran

kewajibanya, maka Bank melalui ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU

RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan melakukan proses Lelang terhadap Jaminan

Debitur.

Bank biasanya lebih banyak mengajukan permohonan Lelang Jaminan Hak Tanggungan

kepada Balai Lelang Swasta. Selanjutnya Balai Lelang Swasta akan meneruskan permohonan

tersebut kepada KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) yang merupakan

salah satu unit kerja pada Dit. Jend Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI.

Page 10: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

10

Ketika Balai Lelang Swasta bertindak sebagai Fasilitator pelaksanaan Lelang, landasan

aturan hukum yang dipakai adalah Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

yang mengisyaratkan bahwa Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan memiliki kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan hukum pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde). Tetapi perlu penulis sampaikan apabila objek lelang Jaminan Hak

Tanggungan terdapat perlawanan hukum dari Debitur ataupun pihak lain, maka Balai Lelang

Swasta ataupun KPKNL tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi pengosongan

atas objek lelang yang sudah dibeli oleh peserta/pembeli lelang. Kewenangan pelaksanaan

Eksekusi Pengosongan terhadap suatu objek merupakan kewenangan badan peradilan.

Sedangkan didalam prakteknya Pengadilan tidak dapat langsung melaksanakan Eksekusi

Pengosongan terhadap objek Lelang bermasalah yang dilelang oleh Balai Lelang Swasta. Hal

tersebut terjadi karena Pengadilan menganggap bahwa terhadap Objek Lelang yang dijual oleh

Balai Lelang Swasta tidak terdapat peletakkan sita (beslag) oleh badan Pengadilan. Sementara

prosedur hukum untuk melakukan eksekusi pengosongan mewajibkan harus adanya penetapan

sita terlebih dahulu oleh Pengadilan, kemudian dengan dasar itu dapat dilakukan eksekusi

pengosongan (Pasal 200 ayat (11) HIR / Pasal 218 ayat (2) RBg).

Perlu disampaikan bahwa Badan Peradilan adalah lembaga yang dapat melakukan proses

Lelang pada Jaminan Hak Tanggungan. Hal tersebut merupakan salah satu wewenang Badan

Peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugaskan untuk melaksanakan penegakkan peraturan

hukum.

Prosedur Dan Tatacara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan

Prosedurnya, Pemohon Lelang Eksekusi (Bank) mengajukan permohonan melalui

Kepaniteraan Pengadilan, kemudian Pengadilan menerbitkan Surat Anmaning (Peringatan

kepada debitur) sebanyak 2 (dua) kali untuk diberi kesempatan melakukan pelunasan pinjaman

kepada bank. Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya meskipun sudah diperingati

(anmaning) maka selanjutnya Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap objek lelang lalu

meneruskan prosesnya sampai dilakukannya Pelaksanaan Lelang oleh KPKNL sebagai

penyelenggara lelang yang difasilitasi oleh Badan Peradilan. Selanjutnya apabila terhadap objek

lelang yang terjual tersebut terdapat pihak-pihak yang tidak mau menyerahkan objek lelang

kepada pemenang lelang, maka Pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan memiliki kewenangan untuk melaksanakan eksekusi

Page 11: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

11

pengosongan terhadap objek lelang tersebut. Oleh karena itu Pelaksanaan Lelang melalui

Pengadilan adalah cara yang tepat dalam mencari kepastian hukum terhadap proses lelang hak

tanggungan antara Bank dan Nasabah.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus

2012, Badan Peradilan Agama merupakan lembaga yang berwenang melakukan proses lelang

pada jaminan Hak Tanggungan atas akad-akad syariah. Maka atas dasar pemikiran demikian

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016, tanggal 9 Desember 2016

Rumusan Hukum Kamar Agama pada halaman 9 angka 3 menentukan bahwa “Hak Tanggungan

dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi

wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah

diberi peringatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Konsep Dasar Murabahah

Murabahah dari segi bahasa berarti saling menguntungkan. Dalam perbankan disebut

Deferred Payment Sale. Secara terminologis, murabahah dalam fikih klasik merupakan salah

satu bentuk jual-beli tertentu, dimana penjual harus menyatakan dengan jujur biaya perolehan

barang (al-tsaman al-awwal) dan keuntungan yang diinginkan.5 Karena menuntut adanya

transparansi harga perolehan (al-tsaman al-awal), maka dalam suatu terminologinya murabahah

disebut pula dengan jual-beli amanah.

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, murabahah adalah pembiayaan saling

menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-maal dengan pihak yang membutuhkan melalui

transaksi jual-beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai

lebih yang merupakan keuntungan atau labah bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan

secara tunai atau angsur.6

Para ulama telah sepakat (ijmak) akan kebolehan jual-beli murabahah walapun baik Al-

Qur-an maupun Hadis secara spesifik tidak membicarakannya. Dasar pijak ulamak dalam

menentukan kebolehan jual-beli murabahah adalah al-maslahah, karena model jual-beli

murabahah tersebut sangat dibutuhkan masyarakat karena sebagian dari mereka ketika akan

membeli barang tidak mengetahui kualitasnya maka ia sangat membutuhkan pertolongan pihak

lain yang lebih tahu untuk membelikan barang yang dikehendakinya dan menjual kepadanya

5 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Indonesia, Al-Ma‟arif t.th, I, hal 178); Juga Dr.

Mardani dalam Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal . 123; 6 Pasal 20 ayat (6) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Page 12: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

12

dengan keharusan menyebutkan harga perolehannya (al-tsaman al-awwal) dengan ditambah

keuntungan (ribh).7 Oleh karena itu murabahah semula dihajatkan untuk membantu seseorang

agar tidak terjadi jual-beli ghassy maupun juhalah yang berakibat merugikan pembeli.

Selain alasan al-maslahah, Al-Kasani berpendapat bahwa kebolehan murabahah adalah

berdasarkan prinsip kaidah “al-„Uruf” yaitu “Atsaabit bil „urfi katsaabit bisy syar‟i”; Artinya apa yang

lazim menurut kebiasaan seolah-olah berlaku lazim menurut syara‟ selama kebiasaan tersebut tidak

bertentangan dengan kaidah umum syari‟a, karena jual-beli murabahah telah berjalan lama dari

generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.

Hal penting lain yang menjadi prinsip pada murabahah dalam pembahasan fikih

muamalah klasik adalah komoditas atau barang yang menjadi obyek murabahah telah tersedia

dan menjadi milik penjual (bank) pada waktu akad berlangsung. Kemudian ia menjual barang

tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan

diperoleh. Karena itu dapat dikatakan bahwa praktek tersebut adalah jual-beli biasa.

Kelebihannya terletak pada pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga

menuntut kejujuran penjual dalam dalam menjelaskan harga awal yang sebenarnya.

Ketentuan murabahah secara lengkap baik definisi, karakteristik, syarat dan rukun dan

lain sebagainya telah diatur secara detail dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

dari pasal 116 s/d pasal 133.

Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah

Dalam praktek di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk perbankan syariah,

karakteristik murabahah dalam fikih klasik tersebut mengalami modifikasi yang sebagian dapat

dinilai menyimpang dari konsep dasar murabahah dalam fikih muamalah klasik. Murabahah

yang dipraktekkan pada LKS dikenal dengan murabaha li al-amr bi al-syira‟,8yaitu transaksi

jual-beli dimana seorang nasabah datang kepada bank untuk membelikan komoditas dengan

criteria tertentu dan ia berjanji akan membeli komoditas tersebut secara murabahah, yakni sesuai

dengan harga pokok pembelian ditambah dengan keuntungan bank yang disepakati kedua belah

pihak dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai

dengan kemapuan financial yang dimiliki.

7 Hisam Ad-Diin Hafanah, Bai‟ al-Murabbaha lil Amr bi Asy-Syira‟, Dar al-ma‟arif wal Kutub, 1992, h.4;

8 Mengenai hokum murabaha li al-amr bi al-syira‟ para ulama kontemporer (lakhaf) berbeda pendapat; Ada yang

membolehkan dan ada pula yang mengharamkan; Yusuf Qardhawi menghalalkan sedangkan Muhammad Sulayman

Al-Asyqar mengharamkannya.

Page 13: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

13

Setidak-tidaknya ada tiga model atau tipe penerapan jual-beli murabahah dalam

perbankan syariah;

Pertama; Tipe yang konsisten dengan fikih muamalah, yaitu bank membeli dahulu

barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli

atasnama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin

keuntungan sesuai dengan kesepakatan bank dengan nasabah.

Kedua; mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari

supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual

pertama/supplier.

Ketiga bank melakukan akad murabahah dengan nasabah dan pada saat yang sama

mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.

Dari tiga tipe tersebut, tipe ke dua dan ke tiga yang paling sering digunakan perbankan

syariah dengan alasan efektif dan efesien terutama berkaitan dengan ketentuan pajak

pertambahan nilai. Padahal tipe pertama adalah yang paling ideal dan sesuai dengan konsep fikih

muamalah. Oleh karena itu telah menjadi pengetahuan umum bahwa akad dalam produk

perbankan syariah senantiasa bukan akad tunggal tetapi multi akad.

Harga Jual Dalam Akad Murabahah di Perbankan Syariah

Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa hal yang paling banyak mengundang

perdebatan adalah penentuan harga produk jasa perbankan syariah, baik penentuan harga

(pricing) produk pendanaan maupun produk pembiayaan.

Penentuan harga pada produk pembiayaan syariah hingga saat ini pada umumnya masih

menggunakan metode atau teknis pricing yang dilakukan oleh bank konvensional, dalam arti

menggunakan dan memperhitungkan suku bunga (bank konvensional) sebagai rujukan dalam

penentuan harga produk-produknya. Padahal jika prinsip perbankan syariah benar-benar

dijalankan dan infrastruktur pasar yang tersedia lengkap, maka para bankir tidak akan

menghadapi kesulitan dalam melakukan pricing yang murni syar‟i. Pada pembiayaan berbasis

jual-beli dan bagi hasil (investasi), tidak membuat metode pricingnya berbeda. Yang berbeda

hanya representasi harga hasil pricing.

Untuk produk berbasis jual-beli seperti murabahah representasi harganya berupa tingkat

margin, sementara untuk produk berbasis bagi hasil representasi harganya adalah nisbah bagi

hasil. Oleh karenanya dalam akad murabahah dengan jangka waktu angsuran 10 tahun, harganya

Page 14: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

14

jauh lebih mahal dari pada murabahah yang berjangka waktu ansurannya hanya 5 tahun. Dengan

kata lain, untuk harga property perolehan bank (tsaman al-awwal) sebesar Rp. 400.000.000,-

yang diangsur jangka waktu 10 tahun (120 angsuran) bisa berharga sebesar Rp.775.000.000,-

sedangkan untuk jangka waktu 5 tahun harganya bisa jadi hanya Rp.587.500.000,-. Nah ketika

jangka waktu angsuran murabahah disepakati 10 tahun, kemudian berjalan 3 tahun angsuran

macet dan bank secara hukum dibolehkan mengajukan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan

untuk memenuhi seluruh harga yang harus dibayar lunas dalam tempo 10 tahun akan terdapat

ketidakadilan kepada nasabah. Disinlah delematisnya eksekusi lelang dalam akad murabahah

atas dasar gugatan wanprestasi. Jika eksekusi Hak Tanggungan harus menunggu jatuh tempo,

maka bank akan dirugikan.

Problema Hukum Eksekusi Murabahah yang belum jatuh tempo

Murabahah sebagai transaksi jual-beli karakteristiknya berbeda dengan transaksi bagi

hasil atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi jual-beli hubungan yang ada bukan

antara pemodal dan yang memproduktifkan tetapi antara penjual dan pembeli. Sesuai prinsip

pada jual-beli murabahah, pembeli akan membayar harga yang telah dipatok (ditetapkan) dengan

cara angsur dalam rentang waktu yang disepakati, 2 tahun, 5 tahun 10 tahun dst. Prinsip

penyelesaian hutang murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan

nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali property

tersebut dengan keuntungan atau kerugian. Ia tetap berkewajiban menyelesaikan utangnya

kepada bank, Jikapun nasabah menjual property tersebut sebelum masa angsuran berakhir, Ia

tidak wajib melunasi angsurannya. Jikapun penjualan property tersebut menyebabkan kerugian,

nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Kesepakatan harga dan

margin dalam murabahah ditentukan hanya sekali pada awal transaksi dan tidak dibenarkan

adanya perubahan selama priode pembiayaan. Oleh karena itu eksekusi lelang Hak Tanggungan

dalam akad murabahah sebelum jatuh tempo dirasa tidak tepat dengan alasan:

Pertama, hutang dalam murabahah tidak sama dengan modal milik shahib al-mal dalam

mudharabah maupun musyarakah. Maka mengkonstruksi tuntutan dalam gugatan mudharabah,

musyarakah dan kredit konvensional saat kredit belum jatuh tempo akan lebih mudah dan

rasional dari pada menutut pemenuhan pembayaran dalam akad murabahah;

Sebagaimana diketahui bahwa menurut hukum, ada beberapa sanksi yang dapat

dijatuhkan kepada debitur yang telah dianggap wanprestasi, yaitu :

Page 15: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

15

1. Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2. Pembatalan perjanjian;

3. Peralihan resiko;

4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

Maka tuntutan wanprestasi pada akad mudharabah, musyarakah dan kredit konvensional

dapat dikonstruksi sebagai berikut:

1. Tuntutan wanprestasi atas akad mudharabah dan musyarakah adalah pengembalian modal

dan nisbah bagi hasil;

2. Tuntutan wanprestasi atas kredit konvensional adalah sisa angsuran pokok/kredit plus bunga;

Tuntutan sanksi atas transaksi diatas, bisa dikonstruksi secara rasional jika dimohonkan

eksekusi lelang ketika kredit belum jatuh tempo. Sedangkan untuk akad murabahah unsurnya

tidak ada modal/kredit dan tidak ada bunga. Memang dalam murabahah ada al-tsaman al-awwal

(harga perolehan bank) tetapi bank tidak mungkin mau hanya menuntut al-tsaman al-awwal,

karena bank akan merasa rugi. Jika bank menuntut pelunasan atas sisa kewajiban yang mestinya

akan berakhir 8 tahun kemudian, maka akan sangat memberatkan/merugikan nasabah. Disinilah

delematisnya penerapan akad murabahah pada perbankan syariah jika terjadi macet.

Kedua, pada dasarnya semua akad syari‟ah tidak berbasis bunga, sehingga semestinya tidak ada

pengaruh waktu. Maka dalam Ekonomi Syariah, terdapat prinsip tidak boleh ada “time velue of

money” yaitu prinsip yang menyebutkan bahwa uang sebesar satu rupiah yang diterima saat ini,

lebih bernilai dibanding satu rupiah yang akan diterima pada waktu yang akan datang, karena

prinsip ini merupakan ciri dari transaksi konvensional yang menjalankan prinsip bunga yang

ribawi; Dengan kata lain bahwa dalam Akad Murabahah secara hukum tidak dapat dibenarkan

eksekusi lelang atas Hak Tanggungan atas dasar Wanprestasi di tengah-tengah masa angsuran

masih berjalan atau masa angsuran belum berakhir. Jika demikian sama halnya menjalankan

“time-velue of money” yang merupakan ciri menjalankan riba al-nasi‟ah yaitu riba karena

penagguhan; Tepatnya dalam Akad Murabahah eksekusi lelang atas Hak Tanggungan untuk

pembayaran seluruh harga yang disepakati harus menunggu sampai berakhirnya masa angsuran;

Maka disinilah kreditur yang niat dan tujuan semula ingin membantu nasabah agar

perekonomiannya dapat berkembang dengan membuka usaha, mengetrapkan firman Allah dalam

Al Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 280 mengajarkan bahwa bilamana si berhutang mendapatkan

kesulitan, hendaklah ia diberikan tangguh :

Page 16: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

16

Artinya: Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia

kelapangan”

Moral etis yang terkandung dalam ayat tersebut mengajarkan kepada Bank selaku

kreditur, untuk memberikan tangguh kepada debitur yang tengah mendapatkan kesulitan,

bukankah Bank telah mendapatkan jaminan pelunasan dari nasabah berupa yang telah diikat

dengan Pembebanan Hak Tanggungan;

Ketiga; Angsuran dalam akad murabahah substansinya hanya satu, yaitu bayar harga tidak ada

unsur bunga. Sedangkan angsuran dalam kredit konvensional komponennya berupa angsuran

pokok dan bunga, mungkin ditambah denda dan lain-lain. Dari angsuran ke angsuran atau dari

bulan ke bulan, angsuran pokok terus berkurang dan mengecil. Tuntutan gugatan wanprestasi

atas kredit konvensional adalah pengembalian sisa pokok (pinjaman) plus bunga, kerugian, biaya

dan lain sebagainya .

Pada akad mudharabah, tuntutan wanprestasi yang logis adalah pengembalian modal

shahibul maal plus nisbah keuntungan yang diperjanjikan;

Pada akad musyarakah, tuntutan wanprestasi yang logis adalah pengembalian modal

musyarik plus nisbah yang diperjajikan;

Karenanya jika Bank menuntut pemenuhan pembayaran seluruh harga yang

komposisinya adalah harga perolehan Bank (al-tsaman al-awwal) plus keuntungan bank (al-ribh)

atau margin, padahal pengangsuran masih belum jatuh tempo, sama halnya Bank menutut

pemenuhan seluruh harga, walaupun sisa waktu angsuran belum berakhir. Jika demikian dalam

gugatan wanprestasi Bank Syariah akan melanggar prinsip Time value of momey.

Keempat: Sifat serta merta eksekusi lelang atas Hak Tanggungan tidak dapat begitu saja

dilaksanakan dalam akad murabahah yang belum jatuh tempo, dengan alasan rasa keadilan.

Karena itu proses mediasi maupun litigasi perlu ada terlebih dahulu untuk mencari titik temu

antara Bank dengan nasabah terhadap pembayaran harga yang proporsional.

Kelima: Nampaknya alasan wanprestasi sebagai lembaga yang semual untuk menyelesaikan

sengketa-sengketa utang-piutang konvensional yang diatur dalam hukum perdata yang diatur

dalam BW, tidak tepat untuk dasar tuntutan dalam akad syariah;

Page 17: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

17

Contoh Kasus:

Untuk lebih memperjelas paparan diatas, penulis paparkan sebuah kasus yang telah

diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama Mataram yang kasus posinya pada pokoknya

sebagai berikut:

- Nasabah “S” pada bulan Maret 2015, mengadakan 2 transaksi akad murabahah masing-masin

sebesar Rp. 400.000.000,- dengan Bank BRI Syariah Mataram untuk barang obat-

obatan/modal dagangan untuk mengisi Apoteknya;

- Disetujui harga perolehan Bank (al-tsaman al-awwal) sebesar Rp. 800.000.000,- dijual oleh

Bank dengan keuntungan Bank (al-ribh) sebesar Rp. 748.608.000,- sehingga harga yang

harus dibayar oleh nasabah “S” sebesar Rp. 1.548.608.000,- (satu milyat lima ratus juta enam

ratus delapan ribu rupiah) yang dapat diangsur selama 10 tahun = 120 bulan sebesar Rp.

12.906.000,-. Setiap bulan, angsuran akan berakhir Maret 2026.

- Akad murabahah diikuti dengan pengikatan/pembebanan Hak Tanggungan No 51/2015,

tanggal 4 April 2015 dan nomor 54/2015 tanggal 19 April 2015 dengan 4 (empat) bidang

tanah hak milik nasabah “S” sebagai jaminan;

- Nasib sial menimpa nasabah “S”, karena akad pembiayaan Murabahah baru berjalan 8 bulan

tepatnya pada bulan Nopember 2015, Apotek milik nasabaha “S” dibobol maling dan barang

dagangan dikuras habis oleh pencuri, Akibatnya nasabah “S” tidak dapat berdagang obat

apotek tutup, sehingga sejak Nopember 2015 nasabah “S” tidak dapat mengangsur bank

(pembayaran macet).

- Setelah berkali-kali negoisasi antara Bank dan Nasabah, bahkan pernah dilakukan

restrukturisasi dengan perjanjian addendum dengan konversi murabahah dengan akad

musyarakah, tetapi tetap saja nasabah tidak berkemampuan membayar angsuran;

- Pada bulan Januari 2017 Bank BRI Syari‟ah mengajukan eksekusi lelang kepada KPKNL

Mataram, setelah Bank melakukan somasi 3 kali kepada nasabah “S”.

- Dalam surat permohonan lelangnya kepada KPKNL, Bank BRI Syariah memohon pada

KPKNL melelang 4 obyek jaminan untuk pemenuhan sisa pembayaran utang nasabah “S”

sebesar Rp. 1.496.974.000,- yang telah diperjanjikan dalam Akta Hak Tanggungan; (dari

total pembayaran sebesar Rp. 1.548.608.000,- dikurangi angsuran yang telah masuk selama 4

bulan sebesar Rp. 12.906.000,- x 4 = Rp. 51.624.000,-

Page 18: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

18

- Atas pemberitahuan lelang dari KPKNL nasabah “S” berkeberatan dan karenanya kemudian

nasabah “S” mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Agama Mataram;

- Alasan keberatan Nasabah “S” adalah karena menurut nasabah “S” permohonan lelang oleh

Bank BRI Syariah kepada KPKNL dirasa tidak adil dan dhalim, karena harga awal yang

hanya sebesar Rp. 800.000.000,- dalam tempo 20 bulan nasabah “S” harus

memenuhi/membayar sisa pembayaran murabahah sebesar Rp.1.496.974.000,- yang

semestinya harus diangsur oleh nasabah “S” dalam tempo selama 120 bulan yang jatuh

temponya masih nanti pada Oktober 2026;

- Menurut nasabah pelelangan hanya bisa dilakukan nanti setelah jatuh tempo, angsuran

murabahah berakhir tahun 2026.

Dilain pihak, Bank BRI Syariah, memang merasa kesulitan mengkonstruksi tuntutan

kerugian yang diderita bank dalam akad murabahah selain menuntut pemenuhan seluruh harga

(al-tsaman al-akhir) yang komposisinya terdiri al-tsaman al-awwal dan al-ribh. Sedangkan

menurut KUHPerdata tuntutan akibat perbuatan wanprestasi meliputi hukuman atau sanksi

berupa:

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);

2. Pembatalan perjanjian;

3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya

kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh

kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut

(Pasal 1276 KUHPerdata):

1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;

2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;

3. Membayar ganti rugi;

4. Membatalkan perjanjian; dan

5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Sementara ganti rugi yang dapat dituntut dalam hukum perdata menurut Pasal 1243

KUHPerdata. terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata);

Page 19: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

19

- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh

suatu pihak.

- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan

oleh kelalaian si debitur.

- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau

dihitung oleh kreditur.

Biaya, ganti rugi dan bunga sebagaimana diatur dalam hukum perdata diatas, tidak ada

dalam nomenklatur akad murabahah. Satu-satunya tuntutan wanprestasi dalam akad murabahah

yang logis adalah pemenuhan harga perolehan bank plus margin yang telah diperjanjikan,

walaupun dapat saja Bank memberikan potongan dalam besaran yang wajar tanpa diperjanjikan

dimuka sebagaimana diatur dalam fatwa DSN-MUI nomor 16/DSN-MUI/IX/2000. Namun

secara legal formal tuntutan wanprestasi atas akad murabahah adalah pemenuhan seluruh harga

yang telah diperjanjikan antara Bank dan Nasabah.

Disinilah problem hukum eksekusi lelang akad murabahah saat jatuh tempo belum

terlampaui.

Kesimpulan

1. Permohonan eksekusi lelang Hak Tanggungan untuk pelunasan utang dalam akad

murabahah dengan mendasarkan wanprestasi saat belum jatuh tempo tidak serta merta

sebagaimana sifat istimewa Hak Tanggungan, karena melahirkan ketidakadilan pada nasabah

dan mengesankan bank syariah menjalankan prinsip “time velue of money”, yang menyerupai

(tasabuh) dengan riba al-nasi‟ah karena waktu diberikan nilai harga secara tersendiri;

2. Jika ada pengajuan Eksekusi Hak Tanggungan atas akad murabahah yang belum jatuh tempo

kepada Pengadilan Agama dalam waktu bersamaan ada perlawanan, Maka pengadilan harus

menangguhkan eksekusi sampai adanya putusan perlawanan berkekuatan hukum tetap.

3. Eksekusi Hak Tanggungan atas akad murabahah, harus menunggu pelunasan jatuh tempo ;

4. Alasan wanprestasi dalam KHUPerdata tidak tepat sebagai alas gugat dalam akad

murabahah yang belum jatuh tempo, Wanprestasi dalam akad murabahah jika nasabah telah

tidak memenuhi pembayaran angsuran dan telah jatuh tempo.

5. Solusi yang tepat permohonan eksekusi lelang atas dasar Hak Tanggungan untuk akad

murabahah yang belum jatuh tempo adalah mediasi untuk mencari/menyepakati pembayaran

Page 20: PROBLEM HUKUM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN …arsip.pta-mataram.go.id/sys-content/uploads/file/eDoc/...Dalam pembayaran harga murabahah secara angsur, bank sering berhadapan resiko macet

20

harga secara proposional dengan mempertimbangkan margin yang adil bagi kedua belah

pihak (bank dan nasabah).

Mataram, 20 April 2017