prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit

31
27 BAB II PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK NEGARA INDONESIA CABANG KABANJAHE A. Perjanjian Kredit Bank Hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur khusus mengenai perjanjian kredit, baik dari segi bentuk maupun materil yang luas di muat dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu ketentuan hukum yang sebagai acuan dalam perjanjian kredit tersebut adalah ketentuan hukum perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. a. Dasar Hukum Perjanjian Kredit Harus Tertulis Dari pengertian kredit pada pasal 1 angka 11 Undang- Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dapat dipahami bahwa setiap bank memberikan kredit kepada nasabah debitur dituangkan dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak bank dan pihak peminjam ( debitur ). Pembuatan perjanjian kredit tersebut diperlukan dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga apabila terjadi permasalahan dikemudian hari maka para pihak yang berkepentingan dapat mengajukan perjanjian kredit yang telah dibuat sebagai dasar hukum untuk menuntut pihak yang telah dirugikan. Pada awalnya bila diteliti, dasar keharusan bank harus membuat perjanjian kredit, setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan surat perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 27/7/UPPB masing-masing Universitas Sumatera Utara

Upload: wina-wardita

Post on 06-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

okokok

TRANSCRIPT

Page 1: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

27

BAB II

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK NEGARA INDONESIA CABANG KABANJAHE

A. Perjanjian Kredit Bank

Hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur khusus mengenai perjanjian kredit, baik dari segi bentuk maupun materil yang luas di muat dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu ketentuan hukum yang sebagai acuan dalam perjanjian kredit tersebut adalah ketentuan hukum perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata.

a. Dasar Hukum Perjanjian Kredit Harus Tertulis

Dari pengertian kredit pada pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dapat dipahami bahwa setiap bank memberikan kredit kepada nasabah debitur dituangkan dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak bank dan pihak peminjam ( debitur ).

Pembuatan perjanjian kredit tersebut diperlukan dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga apabila terjadi permasalahan dikemudian hari maka para pihak yang berkepentingan dapat mengajukan perjanjian kredit yang telah dibuat sebagai dasar hukum untuk menuntut pihak yang telah dirugikan.

Pada awalnya bila diteliti, dasar keharusan bank harus membuat perjanjian kredit, setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan surat perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap dalam SK Direksi Bank Indonesia No.

27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 27/7/UPPB masing-masing

27tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKPK) angka 450 tentang perjanjian kredit yang dinyatakan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Baik di bawah tangan ataupun di hadapan Notaris.

Sebelum ketentuan ini terdapat ketentuan yang sama dalam instruksi Presidium Kabinet No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966 dan Surat Bank Indonesia kepada semua bank devisa No.3/1093/UPK/KPD angka 4 tanggal 29 Desember

1970.1

1 Widjanarto., Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Umum Grafiti, Jakarta, 2003, hal 81-82.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

28

Ini diperlukan sebagai upaya mengikat barang jaminan. Dalam perjanjian kredit tersebut tidak dapat ditentukan apa yang harus dimasukkan, karena ada beberapa perubahan-perubahan dalam kebutuhan pelayanan kredit bagi bermacam-macam usaha debitur yang masing-masing membutuhkan pelayanan yang spesifik. Syaratsyarat tersebut diperjanjikan berdasarkan kebutuhan yang spesifik dari debitur sehingga tidak mungkin dibuatkan formulir perjanjian yang sama untuk semua

debitur.

b. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok

Mengingat belum ada kejelasan dalam peraturan perundang-undangan, maka para pakar hukum perbankan di Indonesia belum ada persamaan pendapat, mengenai bentuk hukum, hubugan antara bank dengan nasabah/debitur maka akan dikemukakan beberapa pendapat yakni sebagai berikut :

Marhainis Abdul Hay berpendapat bahwa : Perjanjian kredit identik dengan perjanjian pinjam mengganti dalam Bab XIII KUH Perdata, sebagai konsekuensi logis dari pendirian ini, harus dikatakan bahwa perjanjian kredit bersifat riil.2Sedangkan pendapat R. Subekti menyatakan bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan dan semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.3

Menurut Mariam Darus, perjanjian kredit tersebut adalah “Perjanjian Pendahuluan” (Voorovereenkomst) dari penyerahan uang, ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat Konsensual obligatoir, sedangkan penyerahan uang bersifat riil.4

Dengan demikian, bentuk hukum perjanjian kredit tergantung pada sudut pandang mana pendekatan dilakukan. Dilihat dari materi dan isi perjanjian kredit merupakan perjanjian baku atau perjanjian standart, karena hampir dari seluruh klausul-klausul yang dimuat dalam perjanjian kredit tersebut sudah dibakukan oleh bank, pada dasarnya isi dari perjanjian telah dipersiapkan terlebih dahulu tanpa diperbincangkan dengan pemohon dan hanya pemohon dimintakan pendapat apakah dapat menerima syarat-syarat yang tercantum didalam perjanjian tersebut.

Bila dilihat dari sifatnya, perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensual artinya dengan ditanda tanganinya perjanjian kredit oleh bank dengan nasabah debitur tidaklah langsung nasabah debitur dapat menarik kredit melainkan harus memenuhi syarat-syarat penarikan terlebih dahulu. Misalnya nasabah debitur harus menyerahkan barang jaminan yang telah diikat sesuai ketentuan yang berlaku, dapat pula perjanjian kredit merupakan perjanjian obligatoir karena dengan ditanda tangani perjanjian kredit tersebut sebelum kredit cair, para pihak harus memenuhi kewajibannya yaitu bank harus menyediakan sejumlah dana dalam waktu tertentu, sedangkan debitur

2 Marhainis Abdul Hay., Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hal 67. 3 R.Subekti., Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 3. 4 Mariam Darus Badrulzaman., Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991,

hal 32.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

29

wajib menyerahkan jaminan yang cukup.

Perjanjian kredit dapat dikonstuksikan sebagai perjanjian pokok, karena di dalam perjanjian dapat terlaksana dengan adanya jaminan maka tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan perjanjian kredit tersebut pada umumnya selalu diikuti

dengan perjanjian ikutan (accessoir) berupa perjanjian jaminan.5

Kredit berasal dari kata Yunani “Credere” yang berati kepercayaannya (truth atau faith).6 Karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Dengan demikian sesorang yang memperoleh kredit pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan, artinya pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.58 Baik

menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi dan kontra – prestasinya. Dengan demikian kredit berarti bahwa pihak kesatu memberikan prestasi baik berupa barang, uang dan jasa kepada pihak lain, sedangkan kontra prestasi akan diterima kemudian (dalam jangka waktu tertentu).

Dalam praktek perbankan istilah kredit tidak asing lagi dunia bisnis, apabila bagi mereka yang selalu berhubungan baik dengan bank. Namun demikian definisi mengenai kredit sangat beragam meskipun bila disimak subtansi yang terkandung dalamnya adalah sama. Sebagai contoh berikut dikemukakan beberapa definisi

tentang kredit.

Muchdarsyah Sinungan memberikan definisi bahwa : “Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan

dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu akan datang disertai dengan suatu kontra

prestasi berupa bunga”.7

Pengertian kredit yang rumuskan pada pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan : penyediaan yang dan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.8

B. Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian Kredit.

Bank merupakan salah satu lembaga yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Dari segi fungsinya, bank merupakan perantara dari dan

5 Eugenia Liliawati Moejono., Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, Harvavindo, 2003, hal 18.

6 Thomas Suyatno,dkk., Op.Cit, hal 12. 58

Ibid., hal 13. 7 Muchdarsyah Sinungan., Op.Cit, hal 11. 8 Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

30

kepentingan masyarakat dibidang dana, yaitu kepentingan dari masyarakat yang berkelebihan dana dengan kepentingan dari masyarakat yang membutuhkan dana. Cara menghimpun dana dari masyarakat luas dengan menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit yang merupakan dua fungsi

utama bank dari ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dalam rangka menyediakan dana bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi atau bagi masyarakat untuk malakukan kegiatan yang produktif, bank membantu dalam menyediakan dana tersebut, yang dilakukan antara lain melalui usaha pemberian kredit. Karena itu tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa kredit merupakan salah satu usaha untuk yang sangat vital. Mengingat kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko maka “pemberian kredit oleh bank harus dilandasi oleh keyakinan bank atas kemampuan debitur untuk dapat melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.9 Oleh karena itu untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya dan tidak mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat dalam setiap pemberian kredit.

Bila Undang–Undang Perbankan diteliti, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bank untuk menjalankan kegiatan usahanya dibidang perkreditan yakni akan diuraikan sebagai berikut :

1. Keharusan pemberian kredit berdasarkan analisis 5C dan 7 P.

Dalam pelaksanaannya untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Dalam hal ini pihak bank harus melakukan penilaian yang umum untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar membutuhkan dan beritikad baik, maka dilakukan dengan analisis lima 5C dan selanjutnya penilaian suatu ktedit dapat pula dilakukan dengan analisis 7P kredit dengan unsur penilaian sebagai berikut:

1) Personality yakni mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu maslah dan menyelesaikannya.

2) Party yakni mengklasifikasikan nasabah dalam golongan-golongan tertentu, berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya dan ini mendapat fasilitas yang berbeda dari bank.

3) Perpose yakni menilai usaha tujuan nasabah dalam mengambil kredit sesuai dengan kebutuhan.

4) Prospect yakni menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang menguntungkan atau tidak, karena tanpa mempunyai prospek, bukan saja bank yang rugi akan tetapi juga nasabah.

5) Payment yakni cara pembayaran dari mana sumber dana untuk pengemabalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur ini semakin baik karena jika salah satu rugi dapat ditutupi dengan usaha yang lain.

9 Kasmir., Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 241.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

31

6) Profitability yakni menganalisis kemampuan nasabah dalam mencari laba yang diukur dalam periode ke periode apakah sama atau meningkat dengan adanya tambahan kredit yang diperoleh.

7) Protection yakni untuk mendapatkan jaminan perlindungan sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman, ini berupa jaminan barang atau jaminanasuransi.10

Dengan penilaian tersebut di atas dapat dikatakan sebagai studi kelayakan usaha dan biasanya digunakan untuk proyek-proyek yang bernilai besar dan berjangka waktu panjang.

2. Batas maksimum pemberian kredit

Berdasarkan Pasal 11 penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatakan :

Pemberian kredit pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh bank mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit tersebut bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, resiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dan masyarakat tersebut. Oleh karena itu untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah atau kelompok nasabah debitur tertentu.11

Dalam hal ini untuk mengantisipasi hal tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 yang mengatur tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bank umum dengan tujuan untuk dilakukan penyebaran resiko dalam pemberian kredit.64

Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dapat digolongkan sebagai

berikut :

1. Batas maksimum Pemberian Kredit bagi peminjam yang merupakan pihak terkait :

a. 10 % dari modal bagi pihak terkait sebagai satu pinjaman atau kelompok peminjam.

b. 10 % dari modal untuk jumlah seluruh pihak terkait.2. Batas maksimum Pemberian Kredit bagi pihak tidak terkait

a. 30 % dari modal sejak berlaku SK s/d akhir 2001.b. 25 % dari modal selama tahun 2002.c. 20 % dari modal sejak 1 Januari 2003.65

Oleh karena itu, praktek pemberian kredit oleh bank sebaiknya bagi pihak terkait perlu dihindarkan atau sekurang-kurangnya sangat dibatasi, begitu juga bagi pihak

10 Kasmir., Op.Cit, hal 119-120. 11 Pasal 11 Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang No.10 tahun 1998, tentang Perbankan. 64 Suharno., Op.Cit, hal 36. 65 Ibid., hal 37.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

32

tidak terkait hendaknya pemberian kredit jangan terlalu berlebihan yang berakibat bank dalam keadaan beresiko tinggi. Untuk itu perlu ada ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit yang harus dipatuhi oleh setiap bank.

3. Kegiatan Bank Tidak Merugikan Nasabah Penyimpan Dana

Sebagaimana diketahui bahwa pemberian kredit dari sisi bank merupakan sumber pendapatan bank itu sendiri.12 Oleh karena itu evaluasi dan seleksi terhadap objek yang akan dibiayai bank sangat penting, baik guna kelangsungan bank itu sendiri maupun perlindungan terhadap nasabah yang menitipkan dananya pada bank.

Hal ini merupakan perwujudan dari ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat 3 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa : dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada

bank.13

Dengan demikian peningkatan prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menyalurkan kredit, mutlak diperlukan meskipun disadari bahwa persaingan bisnis perbankan di bidang penyaluran kredit sangat ketat. Bank harus tetap selektif, komitmen kredit yang diberikan hendaknya dapat dibiayai oleh sumber dana yang cukup, tanpa harus berlomba-lomba secara kurang wajar dalam menghimpun dana masyarakat. Karenanya bank seharusnya tidak hanya mengejar target pertumbuhan kredit yang tinggi, tetapi juga tetap memperhatikan pula dampaknya terhadap kesehatan bank.

Haruslah dibedakan antara hak penggunaan dana, selama dana berada dalam simpanan bank atas resiko pihak bank sendiri, dengan hak milik dana oleh karenanya menjadi alas hak bagi penarikan kembali oleh si penyimpan dana pada bank. Dengan pengertian ini, adalah suatu sikap melawan hak atau melawan hukum bila bank menggunakan dana secara semena-mena, tidak berhati-hati dengan melawan substansi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Pasal 37 B ayat 1 dan menempatkan deposan pada resiko yang tidak semestinya.14

Dalam hal dana yang dipakai untuk pemberian kredit, bank hanya boleh memberikan kredit apabila bank benar-benar telah meyakini bahwa debitur mempunyai kemampuan, kesanggupan dan beritikad baik untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Apabila tidak demikian resiko yang dihadapi oleh bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh karena itu hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian.

4. Restrukturisasi Kredit

Seperti halnya dengan ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan ketentuan tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif ( PPAP), ketentuan restrukturisasi kredit ini pun dikeluarkan pada tanggal 12 November 1998 ,

12 Suharno., Op.Cit, hal 2. 13 Pasal 29 ayat 3 Undang-Undang No.10 tahun 1998, tentang Perbankan. 14 Gunarto Suharid., Op.Cit, hal 19.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

33

dengan Surat Keputusan Bank Indonesia nomor 31/150/KEP/DIR. Surat Keputusan ini kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2 /15/PB/2000tanggal 12 Juni 2000. Perubahan mana hanya dalam satu pasal, yaitu Pasal 12 ayat (1)

huruf b.

Dalam pasal 1 huruf c Surat Keputusan Bank IndonesiaNomor

31/150/KEP/DIR tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan restrukturisasi kredit adalah upaya yang dilakukan bank dalam kegiatan usaha perkreditan agar debitur dapat memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui :

1. Penurunan suku bunga kredit;

2. Pengurangan tunggakan bunga kredit;

3. Pengurangan tunggakan pokok kredit;

4. Perpanjangan jangka waktu kredit;

5. Penambahan fasilitas kredit;

6. Pengambilalihan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

7. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur;

Dengan Restrukturisasi kredit ini debitur dapat diberi keringanan dalam rangka upaya pelaksanaan kewajibannya sebagai debitur, yaitu untuk melunasi hutanghutangnya dari bank. Namun demikian, tidak semua debitur dapat diberikan keringan karena permasalahan dalam kredit perbankan dapat terjadi berbagi hal termasuk didalamnya kemampuan debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang bersumber dari usahanya. Dalam Surat keputusan Bank Indonesia tersebut bahwa restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha yang baik dan telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit. Oleh karena itu, kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas dan bagi kredit yang diberikan kepada pihak terkait yang akan direstrukturisasi, wajib dianalisis oleh konsultan atau tanaga ahli yang independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik.

Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk menghindari :

1. Penusuran penggolongan kualitas kredit; atau

2. Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang lebih

besar; atau

3. Penghentian pengakuan pendapatan bunga secara aktual.15

15 H.R. Daeng Naja., Op.Cit, hal 317

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

34

Untuk itu bank diwajibkan membuat kebijakan restrukturisasi kredit secara tertulis. Kemudian, direksi bank wajib terlibat langsung dalam perumusan kebijakan restrukturisasi kredit tersebut dan bertanggung jawab dalam pelaksanaannya, yang pelaksanaannya wajib diikuti secara saksama oleh Komisaris/Badan Pengawas bank

yang bersangkutan.

Untuk menjaga objektivitas, restrukturisasi kredit dilakukan oleh satuan kredit yang terpisah dari satuan kerja pemberian kredit, dan pejabat atau pegawai dalam satuan kerja restrukturisasi kredit tidak terlibat dalam pemberian kredit yang akan direstrukrisasi. Satuan kerja restrukturisasi kredit ini dipimpin oleh pejabat yang berpengalaman dalam restrukturisasi kredit serta memiliki kewenangan untuk

melakukan negosiasi dengan debitur dalam setiap tahapan restrukturisasi kredit.

Didalam kebijakan restrukturisasi kredit tersebut termuat penjabaran ketentuan restrukturisasi kredit yang tertuang pada pasal-pasal Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000, antara

lain sebagai berikut;

1. Penggolongan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut:a. Setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum dilakukan

restrukturiasasi tergolong diragukan dan macet.b. Kualitas tidak berubah untuk kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi

tergolong lancar, dalam perhatian khusus atau kurang lancar.2. Kualitas kredit yang telah diubah tersebut, selanjutnya dapat berubah menjadi:

a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan bunga selama tiga kali pembayaran dan secepat-cepatnya dalam waktu tiga bulan.

b. Kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi atau yang sebenarnya apabila lebih buruk, jika debitur tidak memenuhi kriteria dalam huruf a dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian restrukturisasi kredit.

3. Kualitas tambahan kredit dalam rangka restrukturisasi digolongkan lancar apabila diberikan sesuai dengan prosedur yang ketat dan memiliki agunan yang cukup.

4. Pendapatan bunga dan penerimaan lain dari kredit yang direstrukturisasi hanya boleh diakui apabila telah diterima secara tunai sebelum kualitas kredit menjadi lancar.

5. Restrukturisasi kredit dalam bentuk penyertaan hanya dilakukan untuk kualitas kredit kurang lancar atau diragukan atau macet, dan wajib ditarik kembali apabila:a. Telah melebihi jangka waktu paling lama lima tahun; ataub. Perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba bersih selama

dua tahun buku berturut-turut dan wajib dihapusbukukan dari neraca bank apabila telah melebihi jangka waktu lima tahun.16

Selain itu, dalam pedoman Umum Restrukturisasi Kredit disebutkan bahwa penyusunan pedoman restrukturisasi kredit hendaknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut;

16 H.R. Daeng Naja., Op.Cit, hal 318.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

35

1. Analisis dan Dokumentasi

Informasi dan dokumentasi yang diperlukan dalam menganalisis kredit-kredit yang akan direstrukturisasi sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Evaluasi terhadap permasalahan debitur, meliputi:1) Penjelasan rinci mengenai penyebab terjadinya tunggakan pokok dan/atau

bunga yang didasarkan atas laporan keuangan, arus kas (cash flow) , proyeksi keuangan, kondisi pasar, serta faktor-faktor lain yang berkaitan dengan usaha debitur.

2) Perkiraan pengambilan seluruh pokok dan bunga kredit berdasarkan akad kredit sebelum dan setelah restrukturisasi kredit. Perkiraan tersebut hendaknya didasarkan pada rasio-rasio keuangan yang mencerminkan kondisi keuangan dan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya.

3) Peninjauan efisiensi manajemen debitur untuk menentukan diperlukannya restrukturisasi organisasi perusahaan debitur, misalnya dengan penggantian pemegang saham, direksi, dan pendekatan manajerial lainnya. Jika diperlukan dapat digunakan bantuan tenaga ahli dari luar untuk melakukan restrukturisasi organisasi tersebut. Dalam hal debitur merupakan debitur perorangan harus dipersyaratkan adanya agunan tambahan baru atau jaminan perorangan (personal guarantee) yang terpercaya.

b. Kriteria kredit yang akan direstrukturisasi sesuai kebijakan yang telah ditetapkan bank, misalnya jenis penggunaan kredit serta sektor ekonomi yang dibiayai.

c. Pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam menetapkan proyeksi arus kas (projected future cash flows) debitur serta dalam memperhitungkan nilai tunai (present value) dari angsuran pokok danbunga yang akan diterima.

d. Analisis, kesimpulan, dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan kredit seperti penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan pokok dan/atau bunga, perubahan jangka waktu, dan penambahan fasilitas. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan membayar debitur sehingga debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan bunga hingga jatuh tempo.

e. Tujuan dan penggunaan tambahan kredit apabila restrukturisasi kredit dilakukan dengan cara pemberian tambahan kredit. Tambahan kredit tidak diperkenankan untuk melunasi tunggakan pokok dan/atau bunga kredit.

f. Jadwal pembayaran kembali yang telah direvisi yang mencerminkan persyaratan yang telah disesuaikan dengan kemampuan membayar debitur.

g. Rincian yang terkait dengan persyaratan kredit termasuk kesepakatan keuangan dalam akad kredit, misalnya rekapitalisasi perusahaan debitur atau dalam hal bank di masa mendatang memiliki hak untuk meningkatkan suku bunga sejalan dengan kemampuan membayar debitur.

h. Rincian kelengkapan dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan restrukturisasi kredit.

i. Persyaratan bahwa akad kredit dan konsumen lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan restrukturisasi kredit harus mempunyai kekuatan hukum.17

2. Prosedur Pemantauan

Bank wajib memiliki prosedur tindak lanjut untuk memantau kredit yang telah direstrukturisasi guna memastikan kesanggupan debitur untuk melakukan pembayaran

17 Agus Sudiarto., Membangun Fundamental Perbankan yang Kuat (Artikel), Media Indonesia, Jakarta, 2004, hal 320.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

36

kembali sesuai persyaratan dalam akad kredit baru. Beberapa hal yang wajib dilakukan oleh satuan kerja restrukturisasi kredit dalam rangka pemantauan tersebut, antara lain;

a. Menyusun laporan bulan mengenai perkembangan usaha debitur yang memuat perincian perkembangan usaha, pelaksanaan rencana kegiatan (action plan) dan kemungkinan pembayaran kembali.

b. Mewajibkan debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang dilengkapi dengan rasio-rasio keuangan pokok dalam rangka memonitor kondisi usaha dan keuangan debitur secara terus-menerus. Debitur juga diwajibkan untuk melaporkan dampak dari berbagai tindakan yang ditempuh sebagai bagian dari restrukturisasi kredit, seperti rekapitalisasi perusahaan debitur dan kebijakan untuk tidak membagikan deviden.

c. Menyusun langkah-langkah yang akan diambil jika debitur ternyata mengalami kesulitan membayar setelah restrukturisasi kredit.18

Hal – hal tersebut diatas perlu benar-benar diperhatikan dan diindahkan oleh bank mengingat Bank Indonesia dapat melakukan koreksi terhadap penggolongan kualitas kredit, pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan pendapatan bunga yang telah diakui secara aktual apabila restrukturiasasi tidak didukung dokumen yang lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan

membayar dan prospek usaha debitur.

C. Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Perjanjian Kredit Pada PT Bank Negara Indonesia Cabang Kabanjahe.

PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk lebih dikenal dengan Bank BNI, merupakan satu dari beberapa bank tertua dan terbesar yang pernah dan sampai saat ini ada di Indonesia.

Sejarah berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, erat hubungannya dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945.

Berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada sidang Dewan Menteri Republik Indonesia tanggal 19 September 1945, diputuskan untuk mendirikan sebuah bank milik negara yang berfungsi sebagai bank sirkulasi.

Walaupun menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan, pada tanggal 5 Juli 1946 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1946 ,

berhasil didirikan bank sirkulasi atau Bank Sentral Milik Negara Republik Indonesia

dengan nama Bank Negara Indonesia.19

Pada tahun-tahun selanjutnya telah dilakukan berbagai upaya oleh pemerintah untuk memantapkan kedudukan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi. Namun usahanya,sehingga dapat dikatakan bahwa kredit sangat memegang peran yang sangat penting bagi sukses pembangunan, yang pada saat ini salah satu kantor

18 Agus Sudiarto., Op. Cit, hal 320 19 Sumber dari Modul BNI ICONS (Integrated & Centralized On Line System).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

37

cabangnya adalah PT. Bank Indonesia Negara (BNI) Cabang Kabanjahe. Adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kredit perbankan sehingga merupakan rambu–rambu yang harus dipatuhi dan mengingat pemberian kredit mengandung risiko (kegagalan atau kemacetan pelunasan), maka kegiatan usaha pemberian kredit perlu dikelola secara baik dan sehat. Bank sebagai usaha yang melakukan kegiatan usaha pemberian kredit harus mengelolanya dengan Baik. Kegiatan pemberian kredit itu harus dikelola secara baik dan berhati-hati agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan bank. Sehubungan dengan itu, kegiatan usaha pemberian kredit perbankan harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.

Bank harus membuat perencanaan kredit yang baik sesuai dengan kondisi bank dengan memperhatikan berbagai hal yang dikaitkan dengan materi perencanaan tersebut. Terdapat banyak hal yang dapat dipertimbangkan dalam menyusun rencana perkreditan suatu bak, baik dari segi intern bak maupun dari segi ekstern bank. Suatu rencana perkreditan bank antara lain meliputi target kredit yang akan diberikan,

Langkah-langkah untuk mencapai target, dan upaya penanganan kredit bemasalah. Mengenai perincian dan rencana perkreditan tersebut akan dapat ditetapkan sesuai jenis rencana kerja bank, yaitu apakah berupa rencana kerja jangka pendek ( tahunan ) atau menengah (3 tahunan) yang oleh ketentuan Bank Indonesia disebut Rencana Bisnis, atau jangka panjang (5 tahunan atau lebih). Suatu rencana perkreditan untuk jangka pendek (tahunan) harus lebih rinci, misalnya mencantumkan Tentang jenis kredit yang akan diberikan (kredit mikro, kredit kecil, kredit menengah, dan kredit korporasi), target nasabah dan jumlah maksimal masing-masing jenis kredit, sektor ekonomi yang akan dibiayai, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam pemberian kredit maka bank harus berhati-hati dalam proses penilaian dan keputusan kredit termasuk pengikatan agunan atau jaminan dalam pemberian kredit kepada calon debitur, demikian juga halnya yang harus dilakukan PT. Bank Negara Indonesia (BNI) abang Kabanjahe dalam pemberian kredit kepada nasabah.

Adapun penerapan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian kredit yang dilakukan

Bank sebagaimana dijelaskan berikut ini:

1. Proses Penilaian Dan Keputusan Kredit

Setiap permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur harus segera diproses melalui penilaian dan selanjutnya diberikan keputusannya oleh bank. Penilaian diwujudkan dalam bentuk pembuatan analisis kredit. Semua pemberian kredit harus disertai dengan analisis kredit yang memenuhi ketentuan peraturan intern masing-masing bank. Analisis kredit memuat penilaian tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan calon debitur, yaitu aspek-aspek hukum, teknis produksi, pemasaran, keuangan, manajemen dan organisasi, sosio ekonomi, lingkungan hidup,jaminan, dan risiko. Analisis kredit tersebut dibuat oleh bank berdasarkan pedoman dan prosedur tertulis yang ditetapkan sebagai peraturan intern bank. Sejauh mana pendalaman penilaian atas masing-masing aspek yang harus dilakukan adalah terkait kepada jenis kredit, jumah (nilai) kredit, sektor ekonomi yang akan dibiayai, dari calon debitur.20

20 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2007, hal. 99-100.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

38

Berdasarkan analisis kredit yang telah dilakukannya yang antara lain untuk mengetahui kelayakan calon debitur, kelayakan usaha (kegiatan atau profesi) calon debitur, kondisi keuangan dan kemampuan membayar kredit calon debitur dan risiko yang terkait, bank dapat memberikan keputusan atas permohonan kredit dari calon debitur yang bersangkutan, yaitu menolak atau menyetujuinya. Pemberian keputusan termaksud harus oleh pejabat yang diberikan kewenangan memutus sesuai dengan peraturan intern bank. Keputusan bank mengenai permohonan kredit harus segera diberitahukan kepada calon debitur, dan dalam hal keputusan tersebut berupa persetujuan kredit harus ditindaklanjuti pelaksanaanya sesuai dengan pedoman dan prosedur tertulis yang berlaku.21

Menurut nara sumber dari PT. Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Kabanjahe, proses penyaluran kredit dimulai dari masuknya permohonan kredit ke bank, yang bisa berawal dari hasil perbincangan calon debitur dengan pihak Bank atau melalui pengajuan tertulis. Setelah permohonan kredit yang diterima maka dilakukan investigasi awal dengan cara mencari tahu mengenai diri debitur ke berbagai sumber. Jika bank menilai bahwa permohonan kredit layak diproses lebih lanjut, maka akan dilakukan kunjungan dengan terlebih dahulu menginformasikan kepada calon debitur. Kunjungan dilakukan dalam rangka bank untuk mengetahui

bisnis calon debitur sejelas-jelasnya.22

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi calon debitur dalam mengajukan permohonan kredit, harus melengkapi data-data antara lain:

1. Surat permohonan dari nasabah dengan melampirkan:

a. Foto copy KTP (identitas diri).

b. Foto copy Kartu Keluarga.

2. Mengisi Surat Permohonan Kredit (SPK) yang telah disediakan oleh bank.

3. Foto copy NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).

4. Foto copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP) untuk kredit atas nama perusahaan.

5. Foto copy Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) untuk kredit atas nama

perusahaan.

6. Foto copy Akta Pendirian Perusahaan dan akta-akta perubahannya.

7. Foto copy Laporan Keuangan.

8. Rekening Koran/buku tabungan di bank manapun (umumnya bank yang bersangkutan mengiinginkan kas tabungan pada bank yang memberikan kredit tersebut) selama 3-6 bulan terakhir.

9. Foto copy dokumen, bukti kepemilikan yang akan menjadi jaminan ( sertifikat

21 M. Bahsan, Op.Cit., hal. 100. 22 Hasil Wawancara dengan Pegawai Bank BNI Kabajahe, tanggal 13 Juni 2007, di Kabanjahe.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

39

tanah tersebut).

10. Data-data keuangan, laporan rugi laba, catatan penjualan dan pembelian harian dan data harga yang dianggap perlu, akan tetapi dalam proses analisa pihak bank dapat meminta data-data lain yang dibutuhkan sepanjang itu berkaitan dengan

proses kredit tersebut.23

Setiap permohonan kredit harus diperiksa secara teliti oleh bagian kredit dalam hal ini Account/Credit Officer tentang kelengkapan data-data dokumen yang diserahkan, kebenaran data-data dan dokumen yang diserahkan antara lain:

1. Jumlah pengajuan kredit harus sesuai dengan kebutuhan (jika jumlah kredit yang diminta berlebihan akan dibebani bunga yang cukup besar).

2. Penggunaan kredit sesuai dengan tujuan pengembangan usaha.

3. Kredit yang diterima ditatausahakan sebaik mungkin sehingga jadwal angsuran dan pelunasan dapat terpenuhi.

Selanjutannya dilakukan analisis keuangan calon debitur tersebut yakni:

1. Liquidity ratio, yaitu rasio likuiditas, digunakan untuk mengukur likuiditas perusahaan.

2. Leverage ratio,yaitu untuk mengukur seberapa jauh aktiva yang dibiayai dari hutang.

3. Activity ratio, yaitu rasio untuk mengukur seberapa jauh efektivitas perusahaan dalam mengelola sumber-sumber keuangan.

4. Profitability ratio, yaitu rasio untuk menunjukkan hasil akhir yang dicapai manajemen dari setiap kebijaksanaan dan keputusannya.

Tujuan dari analisa kredit yang dilakukan oleh pihak bank ini adalah :

1. Untuk membuktikan/mengetahui secara pasti kebutuhan dana yang

dimintakan adalah benar jumlahnya.

2. Untuk membuktikan apakah laporan keuangan perusahaan yang diberikan

tidak direkayasa.

3. Untuk memastikan Repayment Capacity calon debitur.

4. Untuk menentukan besar/kecilnya kredit diberikan.

Setelah dianalisa dan diproses, maka berkas dilaporkan ke kantor pusat dan keputusan adalah wewenang direktur bagian kredit. Apakah disetujui atau ditolak. Apabila disetujui kontor pusat oleh direktur bagian kredit atau kepala

23 Hasil Wawancara dengan Pegawai Bank BNI Kabajahe, tanggal 13 Juni 2007, di Kabanjahe.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

40

bagian kredit ini harus membicarakan kepada direksi-direksi lainnya, walaupun ini adalah tanggung jawab bagian kredit.

2. Pengikatan Jaminan Kredit

Selanjutnya dalam penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit maka PT.BNI cabang Kabanjahe menyertakan adanya agunan dalam pemberian

kredit kepada debitur, dalam hal ini adalah jaminan kebendaan.

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan mengemukakan,dalam

memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini disebutkan kredit adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

41

penting yang harus diperhatikan oleh bank.24

Menurut Jopie Jusuf, mengenai jaminan adalah walaupun tidak secara eksplisit, dari berbagai jenis jaminan yang ada, ada jenis-jenis tertentu yang “lebih disukai” adalah jenis jaminan yang memiliki nilai stabil, mudah dijual, dan memiliki kepastian hukum. Contohnya, deposito dan tanah/bangunan. Contoh golongan ekstrem lainnya yang “lebih tidak disukai” adalah persediaan barang, piutang dagang, dan saham.25Hal ini juga dibenarkan nara sumber dari PT. BNI Cabang Kabanjahe, bahwa tanah dan atau bangunan merupakan jenis jaminan kebendaan yang lebih disukai oleh pihak bank.26

Dalam melakukan pengikatan jaminan kredit berupa tanah dan bangunan maka akan dilakukan dengan pembebanan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ( UUHT ).

Menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT, hak tanggungan itu selalu mengikuti

perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit, maka setelah perjanjian kredit itu disepakati oleh kedua belah pihak antara kreditur dan debitur dalam suatu akta yang dinamakan “akad kredit” lalu diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh PPAT.

Menurut keterangan nara sumber, dokumen yang harus dilengkapi dalam rangka pengikatan jaminan dalam perjanjian kredit yaitu pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah sebagai berikut :

1. SKMHT dalam hal pembuatan APHT melalui suatu akta SKMHT. Pada

umumnya terhadap tanah belum terdaftar maupun tanah sudah terdaftar sebagai

obyek hak tanggungan, maka pembuatan APHT yang diajukan pihak bank (kreditur) atas dasar SKMHT dari debitur.

2. Bukti identitas para pihak yang bersangkutan dan/atau data-data lengkap dari

24 H.M.N. Purwosutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8 , Djambatan, Jakarta, 1992, hal. 54.

25 Jopie Jusuf, Kiat Jitu Memperoleh Kredit Bank, PT.Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2003, hal. 163.

26 dengan Heny Pegawai Bank BNI Kabajahe, tanggal 13 Juni 2007, di Kabanjahe. Hasil Wawancara

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

42

pihak-pihak bersangkutan;

3. Surat persetujuan dan suami/istri; jika menurut peraturan perundang-undangan

harus ada.

4. Sertifikat hak atas tanah yang akan dibebani Hak TAnggungan (Hak Milik, HGB atau HGU berikut surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan), bila di atas tanah

tersebut terdapat bangunannya.

5. Perjanjian kredit yang tercantum di dalam Akta Otentik atau Akta di Bawah Tangan.81

Semua syarat-syarat tersebut di atas, merupakan persyaratan pemberian hak tanggungan yang pemohon kredit atau debitur adalah perorangan. Sedangkan apabila pemohon kredit atau debitur itu adalah perusahaan atau badan hokum, syarat-

syaratnya ialah:

81 dengan Nurleli Pulungan, SH, Notaris/PPAT Deli Serdang, tanggal 7 Juni2007 .

1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau lainnya sesuai

Anggaran Dasar Perusahaan dan Direksi ;

2. Akta Pendirian Perusahaan (badan hukum)/ Anggaran Dasar Perusahaan ;

3. Sertifikat hak atas tanah yang akan dibebani hak tanggungan (Hak Milik, HGB

atau HGU) berikut surat IMB, bila tanah tersebut terdapat bangunan ;

4. Perjanjian kredit yang dimuat di dalam akta otentik atau akta di bawah tangan.27

27 Hasil Wawancara dengan Nurleli Pulungan, SH, Notaris/PPAT Deli Serdang, tanggal 7 Juni 2007. Hasil Wawancara

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

43

Ketentuan akta perjanjian kredit sebagai dokumen persyaratan dalam pembuatan APHT boleh dengan akta di bawah tangan, walaupun begitu dari hasil penelitian pada PT. Bank Negara Indonesia Cabang Kabanjahe, dalam membuat

perjanjian kredit selalu dilakukan secara akta otentik atau dihadapan Notaris, karena akta perjanjian kredit secara akta otentik itu adalah sebagai bukti yang sempurna

dalam bersengketa atau dihadapan pengadilan.28

Pasal 13 dan Pasal 14 UUHT mewajibkan pemberian hak tanggungan didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan Kantor Pertanahan berkewajiban

menerbitkan sertifikat sebagai bukti adanya hak tanggungan. Dalam hal ini sertifikat

hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Sedangkan sertifikat hak tanggungan diserahkan oleh Kantor Pertanahan kepada pemegang hak

tanggungan. Namun demikian pemegang hak tanggungan (bank/kreditur) dapat memperjanjikan lain di dalam APHT, yaitu agar sertifikat hak atas tanah tersebut

diserahkan dalam penyimpanan bank ( kreditur ).

Dalam prakteknya pada PT. BNI Cabang Kabanjahe, sertifikat hak atas tanah yang telah dibebankan hak tanggungan disimpan oleh bank tersebut, hal mana apabila terdapat pelunasan kredit/hutang maka bank selaku kreditur akan mengembalikan semua jaminan yang menjadi agunan milik debitur, kemudian pembebanan hak

tanggungan pada sertifikat hak atas tanah akan segera diroya.29

Persyaratan yang harus disampaikan oleh bank sebagai pemohon melalui PPAT kepada Kantor Pertanahan, dalam hal pendaftaran pemberian hak tanggungan adalah :

1. Surat pengantar dari PPAT dua rangkap memuat jenis daftar surat yang

disampaikan ;

2. Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak tanggungan

28 dengan Heny Pegawai Bank BNI Kabanjahe, tanggal 13 Juni 2007 di Kabanjahe.

29 dengan Heny Pegawai Bank BNI Kabanjahe, tanggal 13 Juni 2007 di Kabanjahe. Hasil Wawancara

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

44

(kreditur) ;

3. Sertifikat hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan yang telah dicek

keabsahannya pada Kantor Pertanahan setempat, yaitu :

a. Lembar kedua APHT dan salinan APHT yang sudah diparaf PPAT yang

bersangkutan untuk pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan ;

b. Akta SKMHT bila pembuatan APHT didasarkan pada suatu akta SKMHT;

c. Surat Kuasa mengurus dan fotocopy bukti identitas Penerima Kuasa bila

dikuasakan ;

d. Fotocopy bukti identitas pemberi dan pemegang hak tanggungan.85

Dengan demikian dari pembahasan di atas, penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit yang dilakukan PT. Bank Negara Indonesia Cabang Kabanjahe adalah berdasarkan data yang telah terkumpul, petugas Bank dalam hal ini bagian kredit melakukan analisis kredit. Pada dasarnya, ada dua golongan data yang dianalisis. Yang pertama adalah analisis terhadap data kuantitatif yaitu menghitung

kebutuhan modal kerja yang dibutuhkan, kemampuan membayar bunga dan pokok

pinjaman serta analisis keuangan calon debitur. Yang kedua adalah analisis terhadap data kualitatif yaitu cara calon debitur menghadapi persaingan, kemampuan manajemen dalam mengelola bisnis dan lain-lain. Dan berdasarkan hasil analisis kredit yang dilakukan pihak bank maka akan sampai pada kesimpulan mengenai kelayakan proposal kredit. Jika layak, maka pegawai bagian kredit PT. BNI Cabang Kabanjahe akan menyusun proposal kredit untuk diajukan ke pejabat kredit yang

berwenang agar disetujui.

Proposal kredit yang telah dinilai layak untuk dibiayai akan diinformasikan kepada calon debitur dan sekaligus meminta kepada calon debitur untuk melengkapi berbagai dokumen yang dibutuhkan dalam rangka realisasi permohonan kredit, seperti dokumen jaminan kredit berupa tanah dan bangunan di atasnya yang asli dan

kelengkapan data calon debitur.

Hasil Wawancara

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

45

Dokumen dan data tersebut akan diperiksa oleh bagian kredit bank, misalnya

untuk badan hukum maka kelengkapan dokumen pendirian/perubahan akta

85 dengan Nurleli Pulungan, SH, Notaris/PPAT Deli Serdang, tanggal 7 Juni2007 .

Hasil Wawancara

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

46

perusahaan untuk menentukan pihak-pihak yang berwenang mewakili perusahaan untuk menandatangani perjanjian kredit, memeriksa sertifikat tanah dan bangunan di atasnya ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk memastikan bahwa tanah yang

dijadikan jaminan kredit tidak dalam sengketa.

Selanjutnya dalam pemberian kredit kepada debitur yang dilakukan PT. BNI Cabang Kabanjahe, pengikatan kredit dan pengikatan jaminan dilakukan dengan menandatangani perjanjian kredit dan perjanjian jaminan yaitu pihak PT. BNI Cabang Kabanjahe dan calon debitur menyepakati berbagai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kredit yang akan diberikan tersebut. Artinya ada dua perjanjian yang akan

ditandatangani, yaitu :

1. Perjanjian kredit yang berisi berbagai aspek yang berkaitan dengan kredit, yaitu jumlah, mata uang, suku bunga, jangka waktu, persyaratan penarikan dana, pembayaran bunga dan pokok.

2. Perjanjian jaminan yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari suatu kredit, yaitu pemasangan hak tanggungan untuk jaminan tanah dan bangunan yang

dijadikan jaminan tersebut.

Bank dalam memberikan kredit kepada debitur wajib melakukan upaya pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan, karena kredit yang tidak dilunasi oleh debitur, baik seluruhnya maupun sebagian akan merupoakan kerugian bagi bank. Kerugian yang menunjukkan jumlah yang relatif besar akan memengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha bank. Oleh karena itu, sekecil apapun nilai uang dari kredit yang telah diberikan kepada debitur harus tetap diamankan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara umum, pengamanan kredit dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku, diantaranya menyertakan agunan atau jaminan kredit sebagai upaya lain atau alternatif yang dapat digunakan bank untuk memperoleh pelunasan kredit apabila debitur tidak dapat membayar kredit yang diterimanya atau terjadi kredit macet pada bank. Jika terjadi kredit macet sesuai dengan ketentuan perjanian kredit, maka pembayaran kreedit dapat dilakukan dengan cara penjualan atas objek jaminan kredit yang dijaminkan debitur. Hasil penjualan objek jaminan kredit tersebut selanjutnya diperhitungkan oleh bank untuk pelunasan kredit debitur yang telah dinyatakan sebagai kredit macet.

Di samping itu, proses pemberian dan pengikatan kredit serta pengikatan jaminan kebendaan yang dilakukan guna kehati-hatian yang dilakukan pihak bank, maka salah

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit

47

satu tindak lanjut keputusan persetujuan pemberian kredit adalah berupa pengadministrasian dan pendokumentasian kredit.

Sebelum debitur disetujui untuk menarik dana yang bersal dari pemberian kredit, terlebih dahulu telah diselesaikan berbagai dokumen perkreditan dan persyaratan administrasinya sebagaimana yang diatur oleh peraturan bank. Dalam hal ini telah diselesaikan perjanjian kredit yang menunjukkan perikatan antara debitur dengan bank, perjanjian pengikatan jaminan kredit, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan misalnya perjanjian penutupan asuransi untuk kredit dan atau untuk jaminan kredit, penerimaan penguasaan jaminan kredit yang diikat dengan hak tanggungan untuk tanah dan atau bangunan, serta persyaratan administrasi misalnya pembukaan rekening pinjaman sesuai dengan prosedur akuntansi yang berlaku guna menampung transaksi yang berkaitan dengan kredit yang diterima debitur. Dengan demikian, bank tidak akan memberikan persetujuan penarikan dana kredit sebelum semua hal yang berkaitan dengan pengadministrasian kredit diselesaikan.

Menurut narasumber dari PT. BNI Cabang Kabanjahe, setelah kredit disetujui bank dan debitur melakukan penarikan dana kredit sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, maka bank wajib menindaklanjutinya dengan melakukan pengawasan kredit dengan meneliti dan menilai laporan-laporan yang wajib disampaikan debitur dan atau dengan melakukan pemeriksaan lapangan kepada debitur sesuai dengan ketentuan peraturan bank. Sehingga, dengan pengawasan yang efektif ini akan dapat mencegah terjadinya penyimpangan kredit oleh debitur dan bank dapat secara dini mengetahui permasalahan yang mungkin timbul terhadap kelancaran pelunasan kredit yang telah diberikan kepada debitur tersebut.30

30 Hasil Wawancara dengan Heny Pegawai Bank BNI Kabanjahe, tanggal 13 Juni 2007 di Kabanjahe.

Universitas Sumatera Utara