primodialisme dalam pemilihan kepala daerah

23
PRIMORDIALISME DALAM BERPOLITIK Oleh: ANDANA DWI PUTRANTO (21020111140176) JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

Upload: andana-dwi-putranto

Post on 30-Jul-2015

96 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

PRIMORDIALISME DALAM BERPOLITIK

Oleh:

ANDANA DWI PUTRANTO

(21020111140176)

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

Page 2: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT bahwa penulis telah menyelesaikan tugas individu mata kuliah Kewarganegaraan yang berjudul “PRIMODIALISME DALAM BERPOLITIK”.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan banyak pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak dosen Kewarganegaraan Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi untuk menyelesaikan tugas ini.

2. Orang tua yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.

3. Teman-teman kelompok 10 yang telah bekerjasama menyusun makalah ini.

Tiada gading yang tak retak, saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.

1.2 ABSTRAK

Page 3: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Masalah dalam penelitian ini adalah adanya praktik primordialisme dalam pemilihan kepala daerah dan partai politik di era otonomi daerah yang seharusnya lebih menekankan kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah. Primordialisme merupakan suatu keadaan di mana orang-orang yang terpilih menjadi kepala daerah adalah mereka yang memiliki keterikatan secara etnis atau kekerabatan dengan para pejabat pemerintah daerah dan mengesampingkan kriteria ideal yang lain. Fenomena ini akan berdampak pada kecemburuan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan dapat mengakibatkan ketidak percayaan publik terhadap pemerintah daerah.

1.3 LATAR BELAKANG

Secara sederhana, primordialisme itu sering disebut sebagai kesetiaan atau loyalitas yang telah disosialisasikan sejak kecil, misalnya karena besar di lingkungan Jawa, sampai sekarang bahasa Jawa saya tidah hilang. Sedangkan etnosentrisme merupakan upaya  mengukur kelompok lain dengan tolok ukur budaya sendiri, misalnya saya anggap budaya lain lebih rendah dari budaya saya.

Dalam masyarakat plural, kedua hal tersebut bisa mendorong terjadinya konflik, baik disengaja atau tidak. yang diharapkan dalam kelompok masyarakat plural adalah mencari titik kesamaan yang bisa menjalin kerukunan (ini disebut interseksi, dalam sosiologi) kalau tidakvest ed interest (keinginan yang tertanam kuat pada sekelompok orang tertentu, biasanya elite) atau konflik laten bermunculan. Konflik, meski terpendam, ditambahlagi kalau muncul stereotip dari suatu kelompok pada kelompok tertentu. karena kita berasal dari latar belakang yang bermacam2, maka perlu ada pihak yang mampu mengakomodasi perbedaan ini.

Akomodasi sendiri memiliki pengertian upaya untuk mencapai kestabilan agar tidak terjadi konflik, perlu diingat juga: masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang rawan konflik. Hal itu karena terdapat banyak perbedaan horizontal dalam masyarakat, atau sering disebut diferensiasi.

Diferensiasi tidak bisa dihapuskan, tetapi bisa dimanfaatkan untuk memperkaya budaya masyarakat kita, itu yang mendorong terjadinya integrasi, yaitu proses penyesuaian unsur-unsur budaya yang berbeda menjadi satu kesatuan yang serasi fungsinya. Dengan perbedaan yang ada, seharusnya tidak dipermasalahkan, malah bisa menunjukkan kedewasaan dan kemampuan masyarakat kita untuk saling menerima dan bekerja sama sekali pun memiliki perbedaan.

1.4 PERUMUSAN MASALAH

Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Sehingga diperlukannya sikap sikap saling mempercayai untuk menjunjung ke bhinekaan Indonesia.

1.5 Studi Kasus

Page 4: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Demokrasi (Masih) Berbasis Primordialisme

Selepas Pemilu 2004, jalan demokrasi Indonesia ternyata masih panjang dan berliku. Pasalnya, emosi masih mengalahkan pertimbangan akal sehat pemilih. Hasil akhir pemilihan umum setidaknya membuktikan bahwa sebagian besar rakyat dan elite masih mengandalkan isu primordial dalam pesta demokrasi yang sebenarnya telah didukung oleh varibel-variabel demokrasi yang rasional.

TIDAK berlebihan bila dikatakan bahwa kondisi demokrasi Indonesia masih memprihatinkan. Parameternya, antara lain, hingga kini tercatat 67 persen rakyat Indonesia termasuk dalam golongan yang indeks pengetahuan demokrasinya rendah. Dari jumlah tersebut sebagian besar berlatar pendidikan rendah yang selama ini diposisikan sebagai penonton proses politik oleh elite penguasa.

Bahkan, dari segi pendidikan dan tingkat perekonomian tercatat, rendahnya indeks pengetahuan demokrasi mencapai angka memprihatinkan: 87 persen! Mereka memilih bukan berdasarkan pertimbangan rasional demi perbaikan nasib, tetapi atas dasar primordialisme, politik perkauman, atau mengkristalnya subkultur. Alhasil, sejak republik ini berdiri, proses demokrasi seperti jalan di tempat. Elite politik membangun kekuasaan yang semakin mengakar, sementara rakyat jelata saling bersaing mengais sejumput rezeki.

Massa akar rumput dengan indeks pengetahuan demokrasi yang rendah ini menjadi lahan subur bagi para penguasa memanen suara. Setelah mereka terpilih, habis manis sepah dibuang. Menurut Iwan Gardono dari FISIP Universitas Indonesia, berdasar data tahun 2003, hanya 29 persen wakil rakyat yang mendatangi konstituen setelah terpilih dalam Pemilu 1999. Lebih sedikit lagi wakil rakyat yang membuat laporan pertanggungjawaban atau melakukan konsultasi dengan konstituen. Tanpa akuntabilitas, dalil Lord Acton berlaku: kekuasaan cenderung korup.

Rakyat pun jadi apatis menyikapi proses demokrasi yang cenderung stagnan. Ini akibat elite politik yang senantiasa memainkan isu SARA sebagai sarana melanggengkan kekuasaan, yang berakibat masyarakat terpecah dan mudah diadu domba demi kepentingan politik. Akhirnya rakyat mengambil kesimpulan sendiri melalui sikap apatis. Ini tecermin lewat keberadaan 40-50 juta orang yang tidak ikut Pemilu 2004. Suara 40-50 juta orang ini jauh melampaui suara perolehan Golkar, PDI-P, apalagi partai lain peserta pemilu. Tidak diketahui jelas apakah ini gejala apatisme atau golput. Di pihak lain, rakyat yang ikut memilih tidak terlepas dari pengaruh dan pola primordialisme dalam berpolitik.

GEJALA primordialisme dan perbedaan aliran yang semakin menguat setidaknya tergambar dari perolehan suara partai-partai dalam pemilu. Massa yang kecewa terhadap pemerintah banyak mengalihkan suara ke partai beraliran keagamaan. Seperti di Ambon, warga Muslim mengalihkan dukungan pada Partai Keadilan Sejahtera, warga Kristen mendukung Partai Damai Sejahtera.

Page 5: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Tak jauh berbeda, pemilih golongan abangan menggambarkan fenomena serupa. Suara mereka berpindah seputar PDI-P, Partai Golkar, dan partai lain beraliran nasional, seperti Partai Demokrat dan partai lain sehaluan.

Perolehan suara Pemilu 2004 sebetulnya tidak menghasilkan kemenangan bagi salah satu partai. Pasalnya, baik Partai Golkar dan PDI-P menurun dibandingkan dengan Pemilu 1999. Demikian pula nasib Partai Amanat Nasional tatkala Amien Rais kembali mengandalkan dukungan Muhammadiyah. Dukungan ini sangat dibutuhkan dengan pertimbangan jika tidak di dukung Muhammadiyah (dari dalam), bagaimana Amien Rais akan mendapat dukungan dari luar.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh suara relatif tidak berubah meski telah membuka diri memasang calon legislatif dari luar Nahdlatul Ulama dan Islam. PKB lagi-lagi mengandalkan dukungan suara kalangan santri tradisional. Belum lagi fenomena partai yang memperoleh suara di bawah satu persen. Meski kecil, ini menggambarkan betapa terpecahnya aliran politik Indonesia.

Tak ketinggalan yang perlu diperhitungkan adalah fakta sejarah keberadaan negara Indonesia yang sebelum ada sudah jadi the nation of nations: bangsa Aceh, bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa Batak, dan sebagainya. Roh keragaman ini seperti hilang dari permukaan, tetapi muncul di bawah sadar. Jika ini dikelola dengan baik, seharusnya jadi aset bangsa Indonesia. Akhirnya yang terjadi adalah menjual primordialisme untuk kepentingan politik. Entah disadari atau tidak, primordialisme terutama isu agama dan suku, memiliki dua sisi sebagai kekuatan pemersatu atau justru menjadi pemecah-belah. Kekuatan merusak primordialisme muncul saat para pemimpin tidak menyadari daya hancur primordialisme yang mereka usung. Sebaliknya, upaya Orde Baru mengangkat Bhineka Tunggal Ika terlalu menonjolkan “ika” sementara “bhineka” dibunuh. Tidak ada keragaman yang berarti dan politik identitas serba seragam menjadi harga mati.

DEMOKRASI sehat diukur dengan tiga hal: partisipasi rakyat, kompetisi, dan akuntabilitas. Partisipasi politik rakyat hingga pelaksanaan pemilu kemarin terlihat sudah baik. Jika memungkinkan, partisipasi politik akan lebih baik seandainya ada partai politik lokal. Partai politik lokal memberi pengaruh lebih positif dalam demokratisasi karena mereka lebih mengerti persoalan setempat sehingga lebih membumi bagi masyarakat setempat.

Namun, dalam kompetisi pemilu saat ini, partai politik yang ada masih menjual figur atau jargon tertentu meski menggunakan teknik modern seperti televisi, internet, pengumpulan pendapat, dan pelbagai trik. Tetapi hanya sedikit yang menjual program secara jelas dan lugas. Padahal, upaya perbaikan mulai muncul melalui undang-undang (UU) politik dan pemilihan langsung presiden oleh rakyat. Tetapi, ini tidak terlepas dari perilaku partai politik serta aktor-aktor politik.

Kendala muncul jika elite politik masih memiliki mindset lama dan enggan berubah. Ini tentu kurang mendukung perubahan ke arah demokratisasi karena pelaksanaan pemilu hanya satu bagian dari partisipasi, delegasi, dan aspirasi rakyat.

Page 6: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Pertanyaannya, apakah lembaga politik dan para pelaku memiliki komitmen serta mau menangkap kecenderungan perubahan ini. Hal ini berkorelasi dengan tahapan penting bagi rakyat: mengamati, memilih, mengontrol, dan menagih janji politisi.

Tahapan mengontrol dan menagih ini menjadi persoalan penting saat ini. Pada saat sama, partai-partai besar dan telah bercokol lama kehilangan atau berkurang kredibilitasnya. Memang banyak orang baru di partai politik itu, tetapi mereka masih berada di bawah bayang-bayang senior mereka. Mereka yang berangkat dari latar primordial ini diharapkan mampu mengembangkan dialog antar-ide. Ini penting untuk mengembangkan pemikiran sistemik lebih dari sekadar etnisitas atau primordial. Barulah terbangun kepemimpinan berdasarkan ide yang disepakati bersama dan bukan hanya karena alasan kesamaan agama atau suku belaka. Rakyat di pihak lain tak ketinggalan berinisiatif menegakkan kedaulatan. Rakyat harus menyadari demokrasi berasal dari mereka dan bukan pemberian negara. Selama ini yang terjadi adalah pola patron-klien antara negara dan lembaga kemasyarakatan atau perorangan sehingga demokratisasi terhambat di Indonesia. Kondisi ini membuat semua orang berlomba menguasai negara sebagai muara menjadi patron dalam masyarakat sipil. Jika tidak menguasai, mereka ingin bergabung dengan negara karena ada dana melimpah yang dikelola negara.

Contohnya, organisasi besar seperti Muhammadiyah membuat pertemuan atau kongres, dari mana mereka mendapat dana? Tentu saja patronase ke negara sangat penting sebagai salah satu sumber keuangan mereka. Demikian pula kursi kementerian bagi organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi lain. Mereka sudah memiliki “kapling” di kabinet. Mereka sudah diposisikan ikut bagi-bagi kekuasaan.

Kekuatan primordial dan komunalisme akhirnya turut menyandarkan patronase terhadap negara, yang dipakai sedemikian rupa. Semisal dalam kasus kelompok Islam ingin menggolkan UU Pendidikan Nasional. Akhirnya negara dipakai untuk kepentingan tersebut. Menggunakan instrumen negara adalah mekanisme yang benar, tetapi dalam kasus ini, bukan kekuatan publik secara luas yang menjadi referensinya. Jadi, ini salah kaprah, karena pilihan demokratisasi semestinya terjadi melalui partai politik, masyarakat sipil, dan gerakan rakyat. Kondisi sekarang sulit mengharapkan proses ini terjadi melalui partai politik karena lemahnya kaderisasi dan tidak ada partai yang memiliki suara dominan di atas 25 persen. Demikian pula masyarakat sipil dan gerakan rakyat sulit menggerakkan demokrasi karena keadaan mereka yang sangat factious.

Alhasil, semua pihak tergoda untuk masuk ke negara, menguasai sumber yang ada, dan kemudian memobilisasi kekuatan primordial. Perlu disadari bahwa politik adalah konspirasi elite belaka. Ketika kinerja dan sepak terjang mereka buruk, para politisi selalu mencari pelindung dari kelompok primordial. Oleh sebab itu, mereka cenderung tidak menginginkan sebuah rasionalisasi sekularisme politik.

Di pihak lain, kalangan kampus terpolarisasi oleh kepentingan kandidat atau kepentingan partai politik. Padahal, semestinya kampus menjadi entitas independen yang lepas dari percaturan kepentingan elite politik. Kampus pun justru menjadi wadah organized anarchy.

Page 7: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Jalan keluar dari persoalan ini adalah memotong etatisme negara terhadap masyarakt sipil. Etatisme kini telah menjadi begitu luar biasa kuat dan menjalar. Bayangkan, soal zakat diatur negara, perkawinan harus disahkan negara, dan lain-lain yang melampaui hak individu! Selanjutnya diperlukan dialog antar-ide dan inisiatif rakyat selanjutnya mendorong sekularisme serta mengedepankan rasionalitas dalam budaya demokrasi Indonesia. Kondisi riil saat ini adalah keinginan rakyat menunggu perbaikan setelah 100 hari pemerintahan pemimpin baru. Pemulihan ekonomi, persoalan beras, minyak tanah, itulah yang menjadi pemikiran rakyat kebanyakan. Termasuk 40 juta orang yang tidak ikut memilih dalam pemilihan legislatif. Persoalan sekularisasi politik dan amandemen konstitusi hanyalah pikiran elite di Jakarta saja. Tuntutan rakyat sangatlah jelas, yakni mengatasi persoalan ekonomi yang langsung menyentuh kehidupan mereka.

Kekuatan rakyat hendaknya terbina menjadi building block. Mereka adalah kekuatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja karena kehidupan demokrasi berangkat dari inisiatif rakyat jelata. Pemilu ini seharusnya menjadi jembatan emas demokrasi yang menghantarkan seluruh bangsa keluar dari krisis berkepanjangan.

Penulis: Iwan Santosa Sumber: Kompas

Page 8: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Primordialisme

Primordialisme merupakan sebuah istilah yang menunjuk pada sikap kesukuan yang berlebihan. Terlalu membanggakan suku atau rasnya sehingga sering terkesan meremehkan suku atau ras lainnya. Primordialisme juga merupakan sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan.

Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya.

Namun sikap primordialisme juga memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya, sehingga budaya tersebut dapat dipertahankan secara asli (tidak dipengaruhi budaya lain) agar nantinya dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.

Latar belakang yang dapat menimbulkan primordialisme antara lain yaitu:

1.   Adanya sesuatu yang di anggap istimewa pada ras, suku bangsa, daerah asal dan agama.

2.   Ingin mempertahankan keutuhan kelompok atau komunitasnya dari ancaman luar. Kelompok yang di maksud dapat kelompok ras, etnik, daerah asal, dan agama.

3.   Adanya nilai-nilai yang di junjung tinnggi karena berkaitan dengan system keyakinan, misalnya nilai ke agamaan, dan falsafah hidup di dalamnya.

Dengan demikian, primordialisme dapat berdampak negative dan berdampak positif.

        Dampak negative primordialisme aantara lain sebagai berikut :

a 1.  Menghambat hubungan antarbangsa.

b 2.Menghanbat proses asimilasi dan integrasi.   3.Mengurangi bahkan menghilangkan objektivitas ilmu pengetahuan.

Page 9: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

d 4.Penyabab terjadinya diskriminasi(pembedaan secara sengaja terhadap golongan tertentu yang di dasarkan pada ras, agama,mayoritas, dan minoritas masyarakat)

e 5.Merupakan kekuatan terpendam (potensi) terjadinya konflik antarkebudayaan suku-suku bangsa.

Sedangkan dampak positif dari primordialisme antara lain sebagai berikut :

a. 1.    Menumbuhkan cinta tanah air.

b.   2. Mempertinggi kesetiaan terhadap bangsa.

c.     3.Mempertinggi semangat patriotrisme.

d.   4.Menjaga keutuhan dan kesetabilan budaya.

Tapi primordialisme juga perlu di hindari,itu di sebabkan karena, Etnosentrisme. Etnosentrisme adalah sikap menilai unsure-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan kebudayaan sendiri.Dapat pula diartikan sebagai sikap yang menganggap cara hidup bangsanya merupakan cara hidup yang paling baik.Ketika suku bangsa yang satu menganggap suku bangsa lain lebih rendah, maka sikap demikian akan menimbulkan konflik.

Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu:

1.               etnosentris infleksibel yakni ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.

2.               Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain.

Salah satu contohnya yaitu : Misalnya Pita, seorang etnis Minang makan sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari perspektif sendiri dan mengatakan “dia memang buruk”, “dia tidak sopan”, atau “itulah mengapa dia tidak disukai” berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan “itulah cara yang dia pelajari untuk melakukannya,” berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang fleksibel.

Etnosentrisme juga berdampak negatif, antara lain :

ü   -Mengurangi ke objektifan ilmu pengetahuan.

ü  -Menghambat pertukaran budaya.

Page 10: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

ü  -Menghambat proses asimilasi kelompok yang berbeda.

ü  -Mengacu timbulnya konflik social.

Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain. Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika terjadi pengusiran terhadap etnis Madura di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat mengecam pengusiran itu dan membantu para pengungsi.

2.2 Primordialisme dalam Pemilihan Partai Politik

Selepas Pemilu 2004, jalan demokrasi Indonesia ternyata masih panjang dan berliku. Pasalnya, emosi masih mengalahkan pertimbangan akal sehat pemilih. Hasil akhir pemilihan umum setidaknya membuktikan bahwa sebagian besar rakyat dan elite masih mengandalkan isu primordial dalam pesta demokrasi yang sebenarnya telah didukung oleh varibel-variabel demokrasi yang rasional.

TIDAK berlebihan bila dikatakan bahwa kondisi demokrasi Indonesia masih memprihatinkan. Parameternya, antara lain, hingga kini tercatat 67 persen rakyat Indonesia termasuk dalam golongan yang indeks pengetahuan demokrasinya rendah. Dari jumlah tersebut sebagian besar berlatar pendidikan rendah yang selama ini diposisikan sebagai penonton proses politik oleh elite penguasa.

Bahkan, dari segi pendidikan dan tingkat perekonomian tercatat, rendahnya indeks pengetahuan demokrasi mencapai angka memprihatinkan: 87 persen! Mereka memilih bukan berdasarkan pertimbangan rasional demi perbaikan nasib, tetapi atas dasar primordialisme, politik perkauman, atau mengkristalnya subkultur. Alhasil, sejak republik ini berdiri, proses demokrasi seperti jalan di tempat. Elite politik membangun kekuasaan yang semakin mengakar, sementara rakyat jelata saling bersaing mengais sejumput rezeki.

Massa akar rumput dengan indeks pengetahuan demokrasi yang rendah ini menjadi lahan subur bagi para penguasa memanen suara. Setelah mereka terpilih, habis manis sepah dibuang. Menurut Iwan Gardono dari FISIP Universitas Indonesia, berdasar data tahun 2003, hanya 29 persen wakil rakyat yang mendatangi konstituen setelah terpilih dalam Pemilu 1999. Lebih sedikit lagi wakil rakyat yang membuat laporan pertanggungjawaban atau melakukan konsultasi dengan konstituen. Tanpa akuntabilitas, dalil Lord Acton berlaku: kekuasaan cenderung korup.

Rakyat pun jadi apatis menyikapi proses demokrasi yang cenderung stagnan. Ini akibat elite politik yang senantiasa memainkan isu SARA sebagai sarana melanggengkan kekuasaan, yang berakibat masyarakat terpecah dan mudah diadu domba demi kepentingan

Page 11: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

politik. Akhirnya rakyat mengambil kesimpulan sendiri melalui sikap apatis. Ini tecermin lewat keberadaan 40-50 juta orang yang tidak ikut Pemilu 2004. Suara 40-50 juta orang ini jauh melampaui suara perolehan Golkar, PDI-P, apalagi partai lain peserta pemilu. Tidak diketahui jelas apakah ini gejala apatisme atau golput. Di pihak lain, rakyat yang ikut memilih tidak terlepas dari pengaruh dan pola primordialisme dalam berpolitik.

GEJALA primordialisme dan perbedaan aliran yang semakin menguat setidaknya tergambar dari perolehan suara partai-partai dalam pemilu. Massa yang kecewa terhadap pemerintah banyak mengalihkan suara ke partai beraliran keagamaan. Seperti di Ambon, warga Muslim mengalihkan dukungan pada Partai Keadilan Sejahtera, warga Kristen mendukung Partai Damai Sejahtera.

Tak jauh berbeda, pemilih golongan abangan menggambarkan fenomena serupa. Suara mereka berpindah seputar PDI-P, Partai Golkar, dan partai lain beraliran nasional, seperti Partai Demokrat dan partai lain sehaluan.

Perolehan suara Pemilu 2004 sebetulnya tidak menghasilkan kemenangan bagi salah satu partai. Pasalnya, baik Partai Golkar dan PDI-P menurun dibandingkan dengan Pemilu 1999. Demikian pula nasib Partai Amanat Nasional tatkala Amien Rais kembali mengandalkan dukungan Muhammadiyah. Dukungan ini sangat dibutuhkan dengan pertimbangan jika tidak di dukung Muhammadiyah (dari dalam), bagaimana Amien Rais akan mendapat dukungan dari luar.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh suara relatif tidak berubah meski telah membuka diri memasang calon legislatif dari luar Nahdlatul Ulama dan Islam. PKB lagi-lagi mengandalkan dukungan suara kalangan santri tradisional. Belum lagi fenomena partai yang memperoleh suara di bawah satu persen. Meski kecil, ini menggambarkan betapa terpecahnya aliran politik Indonesia.

Tak ketinggalan yang perlu diperhitungkan adalah fakta sejarah keberadaan negara Indonesia yang sebelum ada sudah jadi the nation of nations: bangsa Aceh, bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa Batak, dan sebagainya. Roh keragaman ini seperti hilang dari permukaan, tetapi muncul di bawah sadar. Jika ini dikelola dengan baik, seharusnya jadi aset bangsa Indonesia. Akhirnya yang terjadi adalah menjual primordialisme untuk kepentingan politik. Entah disadari atau tidak, primordialisme terutama isu agama dan suku, memiliki dua sisi sebagai kekuatan pemersatu atau justru menjadi pemecah-belah. Kekuatan merusak primordialisme muncul saat para pemimpin tidak menyadari daya hancur primordialisme yang mereka usung. Sebaliknya, upaya Orde Baru mengangkat Bhineka Tunggal Ika terlalu menonjolkan “ika” sementara “bhineka” dibunuh. Tidak ada keragaman yang berarti dan politik identitas serba seragam menjadi harga mati.

DEMOKRASI sehat diukur dengan tiga hal: partisipasi rakyat, kompetisi, dan akuntabilitas. Partisipasi politik rakyat hingga pelaksanaan pemilu kemarin terlihat sudah baik. Jika memungkinkan, partisipasi politik akan lebih baik seandainya ada partai politik lokal. Partai politik lokal memberi pengaruh lebih positif dalam demokratisasi karena mereka lebih mengerti persoalan setempat sehingga lebih membumi bagi masyarakat setempat.

Page 12: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Namun, dalam kompetisi pemilu saat ini, partai politik yang ada masih menjual figur atau jargon tertentu meski menggunakan teknik modern seperti televisi, internet, pengumpulan pendapat, dan pelbagai trik. Tetapi hanya sedikit yang menjual program secara jelas dan lugas. Padahal, upaya perbaikan mulai muncul melalui undang-undang (UU) politik dan pemilihan langsung presiden oleh rakyat. Tetapi, ini tidak terlepas dari perilaku partai politik serta aktor-aktor politik.

Kendala muncul jika elite politik masih memiliki mindset lama dan enggan berubah. Ini tentu kurang mendukung perubahan ke arah demokratisasi karena pelaksanaan pemilu hanya satu bagian dari partisipasi, delegasi, dan aspirasi rakyat.

Pertanyaannya, apakah lembaga politik dan para pelaku memiliki komitmen serta mau menangkap kecenderungan perubahan ini. Hal ini berkorelasi dengan tahapan penting bagi rakyat: mengamati, memilih, mengontrol, dan menagih janji politisi.

Tahapan mengontrol dan menagih ini menjadi persoalan penting saat ini. Pada saat sama, partai-partai besar dan telah bercokol lama kehilangan atau berkurang kredibilitasnya. Memang banyak orang baru di partai politik itu, tetapi mereka masih berada di bawah bayang-bayang senior mereka. Mereka yang berangkat dari latar primordial ini diharapkan mampu mengembangkan dialog antar-ide. Ini penting untuk mengembangkan pemikiran sistemik lebih dari sekadar etnisitas atau primordial. Barulah terbangun kepemimpinan berdasarkan ide yang disepakati bersama dan bukan hanya karena alasan kesamaan agama atau suku belaka. Rakyat di pihak lain tak ketinggalan berinisiatif menegakkan kedaulatan. Rakyat harus menyadari demokrasi berasal dari mereka dan bukan pemberian negara. Selama ini yang terjadi adalah pola patron-klien antara negara dan lembaga kemasyarakatan atau perorangan sehingga demokratisasi terhambat di Indonesia. Kondisi ini membuat semua orang berlomba menguasai negara sebagai muara menjadi patron dalam masyarakat sipil. Jika tidak menguasai, mereka ingin bergabung dengan negara karena ada dana melimpah yang dikelola negara.

Contohnya, organisasi besar seperti Muhammadiyah membuat pertemuan atau kongres, dari mana mereka mendapat dana? Tentu saja patronase ke negara sangat penting sebagai salah satu sumber keuangan mereka. Demikian pula kursi kementerian bagi organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi lain. Mereka sudah memiliki “kapling” di kabinet. Mereka sudah diposisikan ikut bagi-bagi kekuasaan.

Kekuatan primordial dan komunalisme akhirnya turut menyandarkan patronase terhadap negara, yang dipakai sedemikian rupa. Semisal dalam kasus kelompok Islam ingin menggolkan UU Pendidikan Nasional. Akhirnya negara dipakai untuk kepentingan tersebut. Menggunakan instrumen negara adalah mekanisme yang benar, tetapi dalam kasus ini, bukan kekuatan publik secara luas yang menjadi referensinya. Jadi, ini salah kaprah, karena pilihan demokratisasi semestinya terjadi melalui partai politik, masyarakat sipil, dan gerakan rakyat. Kondisi sekarang sulit mengharapkan proses ini terjadi melalui partai politik karena lemahnya kaderisasi dan tidak ada partai yang memiliki suara dominan di atas 25 persen. Demikian pula masyarakat sipil dan gerakan rakyat sulit menggerakkan demokrasi karena keadaan mereka yang sangat factious.

Alhasil, semua pihak tergoda untuk masuk ke negara, menguasai sumber yang ada, dan kemudian memobilisasi kekuatan primordial. Perlu disadari bahwa politik adalah

Page 13: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

konspirasi elite belaka. Ketika kinerja dan sepak terjang mereka buruk, para politisi selalu mencari pelindung dari kelompok primordial. Oleh sebab itu, mereka cenderung tidak menginginkan sebuah rasionalisasi sekularisme politik.

Di pihak lain, kalangan kampus terpolarisasi oleh kepentingan kandidat atau kepentingan partai politik. Padahal, semestinya kampus menjadi entitas independen yang lepas dari percaturan kepentingan elite politik. Kampus pun justru menjadi wadah organized anarchy. Jalan keluar dari persoalan ini adalah memotong etatisme negara terhadap masyarakt sipil. Etatisme kini telah menjadi begitu luar biasa kuat dan menjalar. Bayangkan, soal zakat diatur negara, perkawinan harus disahkan negara, dan lain-lain yang melampaui hak individu! Selanjutnya diperlukan dialog antar-ide dan inisiatif rakyat selanjutnya mendorong sekularisme serta mengedepankan rasionalitas dalam budaya demokrasi Indonesia. Kondisi riil saat ini adalah keinginan rakyat menunggu perbaikan setelah 100 hari pemerintahan pemimpin baru. Pemulihan ekonomi, persoalan beras, minyak tanah, itulah yang menjadi pemikiran rakyat kebanyakan. Termasuk 40 juta orang yang tidak ikut memilih dalam pemilihan legislatif. Persoalan sekularisasi politik dan amandemen konstitusi hanyalah pikiran elite di Jakarta saja. Tuntutan rakyat sangatlah jelas, yakni mengatasi persoalan ekonomi yang langsung menyentuh kehidupan mereka.

Kekuatan rakyat hendaknya terbina menjadi building block. Mereka adalah kekuatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja karena kehidupan demokrasi berangkat dari inisiatif rakyat jelata. Pemilu ini seharusnya menjadi jembatan emas demokrasi yang menghantarkan seluruh bangsa keluar dari krisis berkepanjangan.

2.3 Primordialisme dalam pemilu kepala daerah

Isu primordialisme masih menjadi topik yang laku dijual dalam pemilu kepala daerah (pemilu kada) di beberapa daerah di Indonesia. Isu kesukuan – putra daerah atau orang asli, dan isu agama – khususnya agama Islam – seperti dekat dengan ulama, bergaris keturunan ulama atau habib, atau kesalehan calon, selalu menjadi tema kampanye untuk menarik perhatian masyarakat calon pemilih.

Secara politik mengangkat isu berbau primordial, sih, sah-sah saja, sepanjang tidak mengandung fitnah terhadap orang lain. Namun tema primordial memiliki kejelekan bahkan bahaya, yakni:

1. Mengalihkan perhatian masyarakat calon pemilih dari penilaian yang sesungguhnya atas seorang calon, baik kecerdasan, kearifan, jiwa kepemimpinan dan profesionalismenya, serda ide-ide cemerlang yang seharusnya lebih ditonjolkan untuk kemajuan daerahnya. Pemimpin seperti ini mudah terjebak dalam kepemimpinan yang korup dan mengabaikan rakyat.

2. Apabila dipandang dari sudut kebangsaan, kampanye dengan mengangkat isu primordialisme berpotensi bahaya laten terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. Dengan menonjolkan aspek keaslian suku berarti akan menganaktirikan suku lain sebagai minoritas di daerah tersebut. Padahal setiap suku di Indonesia berhak untuk bertempat tinggal dan berusaha di wilayah manapun di Indonesia, tanpa perkecualian.

Page 14: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Begitu juga penonjolan segi agama, seperti yang terjadi pada kampanye Pemilu Kada Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Selain mengangkat kesalehan calon dan kedekatannya pada ulama, pembangunan tempat ibadah penganut agama lain juga dijadikan isu yang hangat – kalau tidak bisa dibilang “membakar” di daerah ini, dan ini terjadi pada dua orang calon tertentu (mohon maaf, namanya tidak bisa disebutkan di sini). Perang isu ini sudah mengarah pada saling menjelek-jelekkan, dan bisa memecah belah persatuan.

Secara hukum, tidak ada yang salah dengan pembangunan tempat ibadah suatu agama lain di dalam wilayah daerah yang mayoritas beragama Islam, sepanjang pembangunan tempat ibadah tersebut memenuhi persyaratan seperti yang disebutkan di dalam undang-undang dan peraturan terkait lainnya. Dan juga tidak akan pernah disalahkan oleh siapa pun apabila seorang kepala daerah, baik bupati, walikota atau gubernur memberikan ijin pendirian sebuah rumah ibadah agama manapun asalkan perijinannya telah sesuai dengan undang-undang.

Di dalam negara kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini pemikiran-pemikiran yang dangkal untuk menjadikan isu putra daerah dan pembangunan tempat ibadah sebagai tema kampanye hanya akan menunjukkan kepada masyarakat bahwa sang calon kepala daerah adalah orang yang tidak mempunyai potensi positif untuk ditampilkan, dan bagi umat yang tidak sesuku atau seagama dengannya bisa muncul kecemasan akan keberadaannya atau kelangsungan peribadatan agama mereka. 

Page 15: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

BAB III

PENUTUP

Bangsa Indonesia adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Kurang arif memang tindak kampanye Pemilu 2009 yang dilakoni oleh para calon pemimpin. Pemimpin harus bisa menjadi penyelaras yang menjaga keseimbangan dinamika pluralitas bangsa. Dalam artian tidak menimbulkan perpecahan dalam tubuh bangsa ini.Sementara peranan media massa sendiri seperti apa? Media massa seyogyanya tetap berjibaku menjaga independensinya, apapun dan bagaimanapun terjadi. Media massa lah yag bertugas mengawal para pemimpin bangsa demi menciptakan atmosfer kebangsaan yang kondusif. Bukan justru membuat suasana makin chaos karena bumbu-bumbu mereka pada sikap primordialisme etnis yang berkembang pada medio 2009 lalu.Terakhir, terkait dengan tugas para muda cendekiawan, yakni meminjam kata-kata Syahrir, “Berfikir Kritis dan Berani Bertindak adalah Kita.” Begitulah seharusnya kita bersikap.

Page 16: Primodialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.Harsono, Andreas. 2010. Seksisme, Rasialisme, dan Sektarianisme dalam agama Saya adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Kanisius.Sutrisno, Slamet. 2006. Filsafat dan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Andi.Ambardi, Kuskridho. 2011. How Smart Can We Go?: The Quality of Campaign Information in The 2009 Presidential Election.

http://najhwaqueensha.blogspot.com/2011/04/menakar-sentimen-primordialisme-etnis.html

http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id=P223_0_14_0_C