presentasi+kasus+ortopedi.docx
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
FRAKTUR KRURIS
Oleh:
Davrina Rianda (0906507936)
Johny Bayu Fitantra (0906508226)
Narasumber:
dr. Ifran Saleh, SpOT(K)
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA 2014
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas
Nama : Tn. FS
Tgl lahir : 10 Mei 1995
Usia : 18 tahun
RM : 388-87-68
Alamat : Jalan Kemuning Dalam, Matraman, Jakarta Timur
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Tidak ada
Agama : Islam
Status pernikahan : Belum menikah
Masuk Rumah Sakit : 4 Januari 2014
II. Anamnesis (Alloanamnesis tanggal 4/1/2014)
Keluhan utama
Nyeri pada tungkai kanan bawah sejak satu jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Sekitar satu jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas.
Pasien tertabrak bajaj dari samping kanan saat sedang menendarai sepeda motor seorang
diri. Kecepatan keduanya sekitar 60 km/km. Tungkai kanan pasien tertabrak langsung
oleh bajaj tersebut. Pasien terjatuh ke kiri. Nyeri dirasakan pada tungkai kanan. VAS
6/10. Terdapat luka pada tungkai kanan bagian bawah, saat ini perdarahan sudah berhenti.
Penonjolan tulang tidak jelas. Benturan pada kepala tidak ada. Pasien mengenakan helm
dan jaket kain. Pingsan tidak ada, mual muntah tidak ada. Sesak napas tidak ada. Minum
minuman keras sebelumnya disangkal. Saat datang ke rumah sakit, pasien belum
mendapat tatalaksana apapun.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit hipertensi, jantung, nyeri dada, paru, asma, alergi, disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
2
Riwayat keluhan serupa dalam keluarga, sakit jantung, hipertensi, asma, alergi disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien lulusan SMA, saat ini belum bekerja. Pasien belum menikah. Pasien merokok sejak
SMA, tetapi banyaknya tidak tentu (2-3 batang perhari). Riwayat konsumsi minuman
beralkohol dan obat-obatan lain disangkal.
III.Pemeriksaan Fisik (7/1/2014)
Primary Survey
A: Bebas
B: Spontan, RR 20x/menit, reguler
C: Denyut nadi 100 x/menit, regular
D; GCS E4M6V5
Secondary survey
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 94x/menit
Suhu : 36,7°C
Pernapasan : 20x/menit
Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak tampak pucat, tidak terdapat ikterik dan hiperpigmentasi,
turgor baik.
Mata
Konjungtiva pucat tidak ada dan sklera ikterik tidak ada
Tenggorokan
Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1
Gigi Dan Mulut
Oral hygiene baik, tidak ada gigi berlubang
3
Leher
Posisi trakea ditengah, tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, JVP 5-2 cmH2O
Jantung
A : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru
A : Vesikuler/vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen
I :Datar, lemas, tidak tampak benjolan
P : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, nyeri ketok CVA -/-,
ballotement -/-
P : Timpani, shiffting dullness tidak ada
A : Bising usus normal 3x/menit
Ekstremitas
Akral hangat, edema tidak ada, CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis teraba kuat dan
simetris kanan maupun kiri.
Status Lokalis Cruris Dextra
Look : Sekitar 10 cm proksimal dari malleolus medial, terdapat luka ukuran 2x1,5
cm dengan dasar jaringan subkutis. Tidak nampak kebiruan pada distal luka, terdapat
angulasi.
Feel : Pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior baik. Sensibilitas distal
baik.
Move : ROM ankle terbatas nyeri. ROM DIP, PIP, dan MTP pedis dextra baik.
ROM genu terimobilisasi.
IV. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (4/1/2013)
Hasil Satuan Nilai Rujukan
4
Darah perifer lengkap
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Jumlah trombosit
Jumlah leukosit
15,8
45,3
4,7
222.000
13.200
g/dL
%
10^6/uL
10^3/uL
10^3/uL
13-17
40-50
4,5-5,5
150-400
5-10
Kimia klinik
Ureum darah
Kreatinin darah
SGOT
SGPT
GDS
22,2
1,025
18
13
103
mg/dL
mg/dL
U/L
U/L\
mg/dL
<50
0,8-1,3
<33
<50
<140
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
144
3,6
102
mEq/L
mEq/L
mEq/L
132-147
3.30-5.40
94-111.0
Hemostasis
PT
Pasien
Kontrol
APTT
Pasien
Kontrol
11,6
11,31
37,3
32,6
Detik
Detik
Detik
Detik
9,8-12,6
31,0-47,0
b. Radiologi
Rontgen cruris dextra proyeksi AP dan Lateral: Tampak fraktur linear komplit
pada sepertiga distal os tibia dan fibula kanan dengan pergeseran fragmen distal
fraktur kearah posterolateral. Celah sendi tidak tampak menyempit.
Rontgen toraks proyeksi AP: Tidak tampak kelainan radiografi pada jantung dan
paru saat ini. Tidak tampak fraktur pada tulang-tulang iga.
5
Keterangan Gambar
A. Rontgen cruris dextra proyeksi lateral
B. Rontgen cruris dextra proyeksi AP
C. Rontgen toraks proyeksi AP
A
C
B
6
V. Daftar Masalah
Open fracture linear sepertiga distal tibia dan fibula
VI. Tata Laksana
1. Pro debridement dan ORIF
2. Cefazolin 1 x 2 g IV
3. Ketorolac 3x30 mg IV
4. ATS 1000 IU IM
VII. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanasionam : dubia ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Fraktur1
Fraktur didefinisikan sebagai diskontinuitas struktural. Karena tulang dikelilingi oleh jarangan
lunak, maka gaya yang menyebabkan fraktur selalu menyebabkan adanya cedera jaringan lunak pula.
Tulang pada umumnya memiliki derajat elastisitas atau fleksibilitas yang dapat sedikit melengkung
jika terjadi cedera. Tulang kortikal dapat menahan kompresi dan shearing forces lebih baik
dibandingkan menahan tension forces seperti bending, twisting, atau straight pull. Oleh karena itu,
pada gaya angulatory/bending akan menyebabkan tulang panjang untuk sedikit melengkung dan jika
gaya yang diberikan cukup besar, maka dapat terjadi tegangan besar pada sisi konveks lengkungan.
Akibatnya, hal ini akan berakhir pada fraktur transversal atau oblik. Gaya yang bersifat twisting,
seperti torsional atau rotasional dapat menyebabkan fraktur spiral. Gaya traksi yang mendadak pada
tulang kecil seperti patella atau bagian tulang seperti maleolus medial dapat menyebabkan fraktur
avulsi. Fraktur yang melibatkan kartilago artikular pada sendi disebut fraktur intraartikular.
Gaya yang menghasilkan fraktur dapat bersifat cedera langsung atau gaya yang diberikan
langsung ke tulang baik melalui objek yang tumpul maupun tajam dengan fraktur tulang pada daerah
yang terkena gaya. Namun demikian, yang umumnya terjadi adalah cedera tidak langsung, yaitu gaya
inisial yang muncul ditransmisikan secara tidak langsung melalui satu atau lebih sendi kepada tulang
yang terlibat hingga menyebabkan fraktur pada jarak yang jauh dari lokasi gaya awal.
II. Deskripsi Fraktur1
1. Lokasi: Diafisis, metafisis, epifisis, atau intraartikular
2. Ekstensi: Komplit, inkomplit
3. Konfigurasi: transversal, oblik, spiral, kominutif
4. Hubungan antara fraktur fragmen: displaced (angulasi, rotasi, distraksi, overriding, impaksi,
translasi), undisplaced
5. Hubungan fraktur dengan lingkungan luar: terbuka, tertutup
6. Komplikasi: uncomplicated, complicated
III. Fraktur pada Anak1
Fraktur pada anak-anak memiliki beberapa perbedaan dibanding fraktur pada orang dewasa.
Karakteristik ini umum ditemukan pada balita dan masa-masa awal anak-anak, dan makin jarang
ditemui menjelang usia dewasa.
8
Pada anak, fraktur lebih sering ditemukan dibanding dislokasi karena adanya kombinasi antara
tulang yang cenderung lebih tipis. Beberapa dari jenis cedera yang sering ditemukan, seperti crack
fracture, buckle fractures, atau greenstick fractures cenderung bersifat ringan. Namun demikian, jika
terjadi fraktur intraartikular atau fraktur pada lempeng epifisis, hal ini tidak dapat disepelekan.
Anak memiliki periosteum yang lebih kuat, sehingga tidak mudah robek. Selain itu, periosteum
yang dimiliki anak-anak cenderung lebih osteogenik dibandingkan saat dewasa. Pada anak-anak, laju
penyembuhan tulang bervariasi bergantung pada usia. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas osteogenik
pada periosteum dan endosteum yang sangat aktif saat baru lahir dan berkurang seiring bertambahnya
usia. Fraktur nonunion pada anak-anak jarang ditemukan, kecuali pada operasi terbuka terjadi
rusaknya suplai darah pada fragmen fraktur atau fraktur yang terjadi sudah terinfeksi.
Pada dewasa, deformitas pada fraktur yang malunion bersifat permanen, sementara pada anak-
anak, deformitas yang terjadi cenderung akan terkoreksi secara spontan baik dengan remodelling yang
ekstensif maupun adanya pertumbuhan lempeng epifisis. Hal ini akan dipengaruhi oleh usia (berkaitan
dengan masa tumbuh tulang) dan tipe deformitas (angulasi, aposisi inkomplit, rotasi, shortening).
Terdapat perbedaan komplikasi yang ditemukan antara anak-anak dan dewasa. Gangguan
pertumbuhan setelah adanya cendera lempeng epifisis hanya ditemukan di anak-anak. Osteomielitis
sekuder karena adanya fraktur terbuka atau reduksi terbuka pada fraktur tertutup cenderung lebih
ekstensif pada anak-anak dan infeksi dapat mempengaruhi lempeng epifisis serta menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Pada anak-anak, sering pula ditemukan Volkmann iskemia pada saraf dan
otot yang lebih sering ditemukan pada anak-anak, sebagaimana pula posttraumatic myositif ossificans
dan refracture. Namun demikian, pada anak-anak, jarang ditemukan adanya kekakuan sendi, kecuali
terjadi periode imobilisasi yang terlalu lama atau fraktur yang terjadi melibatkan permukaan sendi.
Dislokasi dan cedera ligamen jarang ditemukan pada fraktur pada anak-anak. Ligamen anak-
anak cenderung kuat dibandingkan lempeng epifisisnya, sehingga adanya traksi pada ligamen saat
cedera menyebabkan separasi lempeng epifisis dibandingkan robeknya ligamen. Namun demikian,
pada anak-anak, lebih mudah terjadi kehilangan darah yang dapat berujung pada syok, karena volume
total darah pada anak-anak lebih sedikit dibandingkan dewasa. Volume darah pada anak-anak adalah
75 ml/kg/NN. Akhirnya, trauma pada anak-anak tidak dapat disepelekan mengingat 50% kematian
pada anak-anak disebabkan oleh trauma.
III. Fraktur Tulang Panjang Tibia dan Fibula1
Pada masa anak-anak, fraktur pada tulang tibia relatif tidak disertai dengan displaced. Hal ini
disebabkan karena adanya lapisan periosteal yang kuat dan tidak mudah terobek. Akibatnya, fraktur
yang terjadi pada tulang ini relatif stabil dan dapat ditatalaksana dengan reduksi tertutup. Displaced
9
yang lebar pada fraktur terbuka tibia dan fibula dapat dihasilkan oleh trauma mayor seperti
kecelakaan lalu lintas. Fraktur tulang tibia tidak dapat disepelekan karena reduksi terbuka pada fraktur
ini juga memiliki komplikasi berat, seperti gangguan suplai darah, penyembuhan kulit yang kurang
maksimal, dan infeksi postoperatif.
A) Mekanisme Cedera
Bagian tungkai bawah di antara lutut dengan pergelangan kaki umumnya rentan terkena cedera
langsung pada kecelakan lalu lintas. Fraktur akibat tekanan yang diberikan biasanya berupa tipe
transversal atau oblik, dengan beberapa kominutif, dan bagian tibia dan fibula yang fraktur berada
pada level yang sama. Sementara itu, cedera rotasional pada tibia, cenderung berbentuk oblik atau
spiral dan kominutif, namun periosteum umumnya masih intak.
B) Gejala klinis
Gejala klinis yang paling sering ditemukan berupa kombinasi fraktur tibia dan fibula. Karena
kompartemen fasia dari tungkai bawah relatif berupa ruang tertutup, pembengkakan internal sering
menyebabkan sindrom kompartemen yang menjadi mekanisme tubuh dalam memperbaiki sirkulasi
pada otot kompartemen. Kulit akan teregang karena adanya pembengkakan, area epidermis
kehilangan nutrisi dan terangkat dari dermis sehingga terbentuk lenting pada fraktur.
IV. Anamnesis2
Pada anamnesis, perlu digali mekanisme terjadinya cedera dan gejala yang menyertai fraktur
(nyeri terlokalisasi yang memberat dengan gerakan, berkurangnya fungsi dari bagian yang terlibat,
adanya krepitus). Untuk mempermudah pemindahan informasi saat kedatangan pasien, digunakan
istilah MIST, yaitu:
M: Mechanism of injury
I: Injuries
S: Signs, termasuk observasi dan monitoring
T: Treatment given
V. Pemeriksaan Fisik1
Pada inspeksi, dapat ditemukan adanya bukti nyeri pada ekspresi wajah pasien dan cara pasien
melindungi daerah yang terkena cedera. Inspeksi lokal dapat menunjukkan adanya pembengkakan,
deformitas (angulasi, rotasi, shortening), dan gerakan abnormal pada daerah fraktur. Perubahan warna
pada kulit karena adanya ekstravasasi darah subkutaneus muncul setelah beberapa hari. Pada palpasi,
10
ditemukan adanya nyeri tajam yang terlokalisasi pada daerah fraktur serta spasme muskular yang
muncul bahkan dengan gerakan yang minimal. Oleh karena itu, pengecekan krepitus sebenarnya tidak
begitu diutamakan pada beberapa kasus. Pemeriksaan dilakukan pula pada daerah-daerah lain yang
jauh dari lokasi awal cedera untuk memastikan jumlah cedera yang ada. Selain pemeriksaan status
lokalis, perlu dilakukan pula pemeriksaan kondisi umum pasien untuk memastikan tidak ada cedera
pada otak, korda spinalis, saraf perifer, pembuluh darah mayor, kulit, toraks, dan viseral abdominal.
VI. Klasifikasi3
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat dilakukan klasifikasi
berdasarkan Gustilo Classification seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi Fraktur Terbuka berdasarkan Gustilo Classification3
Gustillo Type I II IIIA IIIB IIIC
Energy Low energy Moderate High High High
Wound Size < 1 cm > 1cmOften large zone of
injury
Often large zone of injury
Often large zone of injury
Soft Tissue NoneNo extensive
soft tissue damage
Extensive Extensive Extensive
Contamination CleanModerate
contamination Extensive Extensive Extensive
Fracture Pattern
Simple fx pattern with
minimal comminution
Moderate comminution
Severe comminution or segmental
fractures
Severe comminution or segmental
fractures
Severe comminution or segmental fractures
Periosteal Stripping
No No Yes Yes Yes
Skin CoverageLocal
coverageLocal coverage Local coverage
Requires replacement of exposed bone with a local or free
flap for coverage
Local coverage
Neurovascular Injury
Normal Normal Normal NormalExposed fracture with arterial damage that
requires repair
11
Antibiotics
1st cephalosporin(ancef) for gram positive coverage for 24 hours
1st cephalosporin (ancef) for gram positive coverage.
Aminoglycoside (such as Gentamicin) for gram negative coverage
o the cephalosporin/aminoglycoside should be continued for 72 hours after the last debridment procedure
Penicillin should be added if concern for anaerobic organism (farm injury)
aminoglycoside (such as gentamicin) for gram negative coverage
1st cephalosporin (ancef) for gram positive coverage.
the cephalosporin/aminoglycoside should be continued for 72 hours after the last debridment procedure
penicillin should be added if concern for anaerobic organism (farm injury
Antibiotics (other considerations)
Flouroquinoloneso should be used for fresh water wounds or salt water wounds
Doxycycline and ceftazidimeo can be used for salt water wounds
Gambar 1. Klasfikasi Gustilo untuk Grade I, II, III4
12
Gambar 2. Klasifikasi Gustilo untuk Grade IIIA, IIIB, IIIC4
VII. Pemeriksaan Radiologi pada Kasus Fraktur Cruris
Apabila dicurigai adanya fraktur, pemeriksaan radiografi perlu dilakukan dalam dua proyeksi.
Proyeksi tersebut biasanya anteroposterior dan lateral. Penggunaan kedua proyeksi tersebut perlu
dilakukan karena tulang merupakan objek tiga dimensi sehingga radiografi dua dimensi tunggal
tidak cukup untuk mendeskripsikan fraktur. Seluruh bagian ekstremitas dengan deformitas harus
dirotasikan ke posisi anatomis sebelum melakukan pemeriksaan radiografi. 7
Seluruh panjang tulang yang dicurigai fraktur tersebut harus seluruhnya tergambar baik pada
pemeriksaan radiografi tersebut beserta dengan sendi yang berdekatan. Jika tidak cukup dalam
satu foto, dapat dilakukan dua kali foto sehingga seluruh area dapat ditampilkan.7 Dengan begitu,
dapat diketahui luas atau panjang cedera yang terjadi beserta dengan cedera lain yang mungkin
terkait.6
Pada traktus yang melibatkan persendian, fraktur intraartikular, tujuan penilaian secara
radiografi adalah mengetahui kuantitatasi inkongruenitas artikular. Proyeksi ortogonal sendi dan
tulang panjang sekitar perlu dilakukan. 7
Pada kondisi tertentu, dapat dilakukan proyeksi tambahan berupa oblique atau tangensial.
Juga Untuk pemeriksaan dengan computed tomography (CT) dan magnetis resonance imaging
sering kali berguna untuk fraktur pada pelvis dan tulang belakang sementara untuk fraktur pada
kruris tidak rutin dilakukan. 6 Pemeriksaan CT Scan juga diperlukan untuk fraktur intraartikular
yang kompleks untuk dapat menilai posisi dan displacement seluruh fragmen sendi. MRI berguna
untuk evaluasi jaringan lunak fraktur akut, fraktur stres, cedera koda spinalis, dan patologi
13
intraartikular. Pada pasien dengan diagnosis fraktur akut tetapi rontgen menunjukan hasil negatif,
MRI dapat dipertimbangkan. Namun, untuk Scan tulang memang MRI kurang begitu akurat. 7
VIII. Penatalaksaan Kasus Faktur Cruris
Secara umum, tatalaksana awal fraktur bertujuan untuk melakukan kontrol perdarahan,
meredakan nyeri, mencegah cedera reperfusi dan iskemia, serta menghilangkan sumber potensi
kontaminasi (baik berupa benda asing maupun jaringan yang mati. Selanjutnya, dilakukan reduksi
pada fraktur. Reduksi tersebut dipertahankan untuk bisa mengoptimalkan penyambungan fraktur
dan meminimalkan potensi komplikasi.5
Tujuan akhir dari tatalaksana fraktur adalah untuk memastikan bahwa segmen tungkai yang
terlibat akan kembali pada fungsi semaksimal mungkin ketika sembuh. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk melakukan reduksi dapat berupa operasi maupun non-operasi. 5
Prinsip penalatalaksanaan fraktur dapat disederhanakan dalam mnemonik FRIAR, yaitu:
First aid and management of the whole patient-always
Reduction
Immobilisation
Active movement of injured limb
Rehabilitation
Pasien yang mengalami kecelakaan atau kekerasan yang signifikan hingga membuat
fraktur dapat terjadi memiliki kemungkinan mengalami cedera pada sistem lainnya. Kondisi
tersebut dapat saja bersifat mengancam nyawa. Oleh karena itu, pendekatan pertama pada
pasien adalah prioritas pada penjagaan airway, breathing, circulation. Selain tindakan
resusitasi (apabila diberikan), pasien perlu mendapatkan tatalaksana untuk meredakan nyeri
dengan pemberian analgesik.
Reduksi merupakan tindakan manipulasi tulang yang mengalami fraktur untuk
mengembalikan ke anatomi normal.6 Reduksi pada fraktur dapat berupa tindakan operasi
maupun non operatif. Tindakan non-operatif dapat berupa casting maupun traction.
Jenis tindakan yang dilakukan pada tatalaksana bedah antara lain adalah open reduction and
internal fixation (ORIF), kawat Kirschner, plat and screw, intramedularry nails, serta fiksasi
eksternal. 5
Imobilisasi dilakukan untuk mempertahankan reduksi. Manfaat dari reduksi ini antara
lain adalah meredakan nyeri, mencegah displacement atau angulasi fragmen ulang, serta
mencegah pergerakan lokasi fraktur yang dapat merusak kapiler-kapiler pada kalus yang
mana dapat mengganggu proses penyambungan. Imobilisasi tidak selalu diperlukan seperti
14
pada kasus fraktur metatarsal atau iga. Metode mobilisasi fraktur antara lain adalah dengan
splinting eksternal, traksi kontinu, fiksasi internal dan fiksasi eksternal.6
a. Casting
Reduksi tertutup sebaiknya dilakukan sebagai tindakan inisial untuk fraktur yang
displaced, memendek ataupun angulasi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
penarikan kulit pada distal lokasi fraktur dan kemudian kebalikan mekanisme cedera
atau fraktur diikuti dengan mobilisasi menggunakan casting atau splinting. Kesulitan
dalam melakukan reduksi dapat disebabkan oleh interposisi jaringan lunak dan
pembentukan hematoma yang membuat tekanan pada jaringan lunak. 5
Kontraindikasi pelaksanaan reduksi tertutup antara lain adalah:
Undisplaced fracture
Jika displacement terjadi tetapi tidak relevan seperti fraktur korpus humerus
Jika reduksi tidak mungkin dilakukan seperti pada fraktur kominutif yang
berat
Jika tidak dapat dilakukan tindakan mempertahankan reduksi
Jika fraktur terjadi karena gaya yang bersifat traksi
b. Traction
Traksi digunakan untuk tatalaksana fraktur dan dislokasi yang tidak dapat
ditatalaksana dengan casting. Dengan berkembangnya teknologi implan ortopedi dan
teknik operasi, traksi jarang digunakan sebagai terapi definitif pada fraktur atau
dislokasi. Traksi dapat berupa traksi kulit dan traksi tulang. 5
Pada traksi kulit, traction tape ditempelkan pada kulit di segmen tungkai di bawah
fraktur. Selanjutnya dilakukan traksi kulit dengan beban seberat 10% berat badan
pasien hingga maksimum 10 pons atau sekitar 4,5 kg. Karena kekuatan traksi kulit
sebagian besar hilang dan terbagi pada struktur jaringan lunak, traksi kulit jarang
digunakan sebagai terapi definitif pada orang dewasa melainkan hanya sementara
hingga terapi definitif dapat dilakukan. 5
Pada traksi tulang, dilakukan pemasangan pin pada bagian distal tulang yang
mengalami fraktur seperti steinmann pin. Selanjutnya dilakukan pembebanan pada pin
tersebut di kamar perawatan. Traksi tulang umumnya digunakan dalam fraktur femur.
Tujuan tatalaksana bedah antara lain adalah
Reduksi anatomi fragmen fraktur. Untuk diafisis, aligment anatomis perlu dipastikan
panjang, angulasi, dan rotasi yang dikoreksi apabila diperlukan. Sedangkan fraktur
intraartikular membutuhkan reduksi anatomis dari seluruh fragmen.
15
Fiksasi internal yang stabil untuk memenuhi kebutuhan biomekanik
Menjaga suplai darah pada daerah yang mengalami cedera
Menjadi pergerakan aktif otot dan sendi yang berdekatan sehingga dapat dicegah
terjadinya perburukan fraktur
c. Fiksasi internal
Fiksasi internal dilakukan dengan operasi terbuka untuk mengamankan reduksi,
memastikan tidak terjadi mobilitas terlalu dini pada daerah yang fraktur. Keuntungan
dari fiksasi internal ini antara lain adalah lebih cepat kembalinya fungsi, masa
perawatan rumah sakit yang lebih singkat, dan pencegahan resik kerusakan
neurovaskular maupun penyembuhan yang lambat akibat devaskularisasi fragmen
tulang maupun infeksi. Fiksasi internal amat diindikasikan pada pasien dengan cedera
multiple, fraktur patologis, terdapat cedera neurovaskular, fraktur yang membutuhkan
reduksi akurat seperti cedera yang melibatkan tulang dan untuk mencegah mobilisasi
lama.
d. Fiksasi eksternal
Fiksasi eksternal terutama diindikasikan untuk fraktur terbuka atau terinfeksi. Pin
disisipkan pada fragmen tulang dan afiksasi secara rigid pada perangkat eksternal
seperti metal bar. Kulit di atas lokasi fraktur dapat ditutup atau di-graft tanpa
mengganggu fraktur.
Observasi perlu dilakukan setelah reduksi dan mobilisasi untuk mendeteksi adanya
inefisiensi suplai darah ke bagian distal atau pun cedera neurologis. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya sindrom kompartemen yang tampilannya dapat
berupa nyeri persisten dan meningkat, kesemutan pada jari-jari, sianosis distal dari fraktur,
capillary refill time yang melambat dan hilangnya pulasi. 6
Rehabilitasi dapat segera dimulai sesudah penatalaksanaan. Pasien dapat diminta
untuk menyegerakan bagian yang cedera selama masih sesuai dengan batasan fiksasi. Sedikit
pergerakan pada sendi-sendi dapat membantu untuk menstimulasi penyambungan tulang,
mengurangi resiko diuse osteoporosis, mencegah atrofi otot, serta meminimalkan kekakuan
sendi. 6
Aspek Tatalaksana Fraktur Terbuka
Pada fraktur terbuka, adanya komunikasi dengan permukaan luar membuat bakteri
dapat mengkontaminasi lokasi fraktur dan menyebabkan infeksi. Adanya infeksi dapat
16
menghambat penyembuhan fraktur hingga kematian akibat adanya infeksi bakteri virulen.
Fraktur terbuka merupakan kasus emergensi bedah.
Pertolongan pertama pada kasus fraktur terbuka adalah penutupan tulang dengan
dressing steril yang dibasahi dengan normal salin atau aqueous iodin. Terapi dengan
antibiotik spektrum luas secara parenteral dapat dimulai segera. Selain itu, profilaksis tetanus
dapat diberikan. 6
Pada fraktur terbuka tipe I dan II, debridement luka dengan pembuangan semua
jaringan yang sudah mati dan benda asing perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
terjadinya sepsis. Tatalaksana tersebut jika dilakukan kurang dari 8 jam, dapat menurunkan
insiden sepsis. Fiksasi internal fraktur terbuka tipe I dan II dapat dilakukan secara aman oleh
dokter bedah yang berpengalaman pada kondisi operasi yang ideal. Pada fraktur tipe II,
trauma eksternal menebabkan kerusakan kulit dan otot yang ekstensif dan sering berkaitan
dengan kerusakan vaskular dan saraf. Ditambah lagi, insidensi sepsis tinggi sehingga fiksasi
internal biasanya dihindari. Sesudah debridemen luka, fiksasi eksternal dan perbaikan
struktur neurovaskular dilakukan dengan beberapa tahap degan mengupayakan
memperhatikan penutupan kulit.6
17
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, berusia 18 tahun, datang dengan keluhan utama yaitu nyeri pada tungkai
kanan bawah sejak 1 jam SMRS. Berdasarkan anamnesis, didapatkan riwayat trauma pada
pasien, yaitu:
Mechanism of Injury: Tertabrak bajaj dari samping kanan saat sedang mengendarai
sepeda motor, kecepatan keduanya sekitar 60 km/jam, tungkai kanan tertabrak
langsung oleh bajaj, pasien terjatuh ke sisi kiri
Injuries: Luka pada tungkai kanan bagian bawah, saat ini perdarahan sudah berhenti,
penonjolan tulang tidak jelas
Signs:
o Tekanan darah: 110/80 mmHg
o Nadi : 94x/menit
o Suhu : 36,7°C
o Pernapasan : 20x/menit
o Airway – Breathing – Circulation baik
Treatment: Belum dilakukan tatalaksana awal
Pada inspeksi didapatkan luka ukuran 2 x 1,5 cm dengan dasar jaringan subkutis disertai
angulasi. Tidak terdapat gangguan vaskular dan persarafan. Pada pasien didapatkan ROM
ankle terbatas nyeri. Karena pada pemeriksaan fisik belum dapat ditentukan fraktur sebagai
salah satu dampak dari trauma, maka dilakukan pemeriksaan radiologis. Pada hasil rontgen
didapatkan fraktur linear komplit pada sepertiga distal os tibia dan fibula kanan dengan
pergeseran fragmen distal fraktur kearah posterolateral. Oleh karena itu, deskripsi fraktur
yang terjadi yaitu:
1. Lokasi: sepertiga distal tibia dan fibula
2. Ekstensi: Komplit
3. Konfigurasi: linear
4. Hubungan antara fraktur fragmen: pergeseran fragmen distal fraktur ke arah posterolateral
5. Hubungan fraktur dengan lingkungan luar: terbuka (terdapat luka 2 x 1,5 cm dengan dasar
subkutis)
6. Komplikasi: uncomplicated
Oleh karena itu, pada pasien didiagnosis open fracture linear sepertiga distal tibia dan fibula.
Dengan klasifikasi open fracture berdasarkan klasifikasi Gustilo, didapatkan pasien
18
mengalami fraktur grade II. Pada pasien, didapatkan ukuran luka > 1 cm, kerusakan jaringan
lunak yang minimal, kontaminasi dalam tingkat sedang, tidak terdapat kominutif, dan tidak
terdapat cedera neurovaskular.
Pada pasien korban kecelakaan lalu lintas ini, setelah dilakukan evaluasi primer dan
sekunder didapatkan bahwa airways, breathing, circulation dan disability aman. Dengan
begitu, tidak ada tatalaksana khusus untuk upaya resusitasi. Begitu juga dengan seondary
survey yang menunjukan tidak adanya trauma pada bagian tubuh yang lain maupun penyakit
lainnya.
Selanjutnya, adanya kecurigaan fraktur terbuka tibia dan atau fibula pada pasien
mengindikasikan perlunya pembersihan bagian luka dengan normal saline untuk
meminimalisir kontaminasi. Dressing dilakukan dengan kasa steril yang dibasahi dengan
normal saline. Upaya pengobatan dengan antibiotik dilakukan dengan pemberian cefazoline
1x2 gram intravena. Dengan pemberian antibiotik diharapkan kemungkinan infeksi bakteri
pada daerah fraktur dapat diminimalkan. Selain itu, setelah dilakukan uji skin test alergi,
pasien diberikan profilaksis tetanus dengan pemberian ATS 1000 IU intramuscular pada m.
deltoideus.
Pembidaian dilakukan di IGD sebagai upaya imobilisasi sementara untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut pada fraktur serta mengurangi nyeri. Nyeri yang pasien rasakan
dibantu diredakan dengan ketorolac 3x30 mg IV.
Kecurigaan fraktur dievaluasi dengan pemeriksaan rontgen pada cruris dextra yang
menampilkan tulang tiba, fibula serta sendi yang berdekatan. Proyeksi yang digunakan adalah
AP dan lateral. Pada pemeriksaan radiologis tersebut didapatkan kesan tampak fraktur linear
komplit pada sepertiga distal os tibia dan fibula kanan dengan pergeseran fragmen distal
fraktur kearah posterolateral. Celah sendi tidak tampak menyempit. Tidak ada keterlibatan
kerusakan pada sendi.
Selanjutnya, direncanakan dilakukan tindakan pembedahan untuk melakukan
debridement dan open reduction internal fixation (ORIF). Debridement perlu dilakukan untuk
mengurangi sebanyak mungkin potensi kontaminasi serta pembuangan jaringan yang sudah
nekrosis. Diharapkan dengan tindakan tersebut, komplikasi akibat infeksi seperti hambatan
penyembuhan cedera hingga sepsis dapat diminimalkan. Fiksasi internal pada pasien ini
masih dapat dilakukan, terutama karena fraktur terbuka pada pasien termasuk tipe II dengan
kontaminasi yang minimal serta interval dari terjadinya cedera belum lama (kurang dari 8
jam). Selain itu, tenaga medis maupun perlengkapan operasi di RSCM termasuk memadai.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Salter RB. Textbook of disorders and injuries ofthe musculoskeletal system, third
edition. Pennsylvania: Lipincott Williams & Wilkins; 1999. p. 417-35, 499-503,538-
40, 616.
2. Evans SM, Murray A, Patrick I, Fitzgerald M, Smith S, Cameron P. Clinical handover
in the trauma setting: a qualitative study of paramedics and trauma team members.
Qual Saf Health Care. Dec 2010; 19(6): e57.
3. Aiyer A. Gustilo classification. Diakses pada 14 Januari 2014. Diunduh dari:
http://www.orthobullets.com/trauma/1003/gustilo-classification
4. Hessmann M, Nork S, Sommer C, Twaddle B. Classification of open fracture.
Diakses pada 14 Januari 2014. Diunduh dari:
https://www2.aofoundation.org/wps/portal/surgery?
showPage=redfix&bone=Tibia&segment=Distal&classification=43-
5. Buckley R. General Principles of Fracture Care. Diakses 14 Januari 2014. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview
6. Henry MM, Thompson JN. Clinical Surgery.: Fracture. 2nded. United States of
Amerika: Saunders Elsevier; 2005. p. 680-4.
7. Browner BD, Alberta FG, Furey PC, Goumas D, Varma V. Sabiston Textbook of
Surgery: Emergent Care of Musculoskeletal Injuries. 17thed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2004. p. 542-3
20