praktik penentuan harga jual berbasis meuramin

21
PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN Syauqi Hidayat Iwan Triyuwono Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono No.165 Malang 65145 surel: [email protected] Abstrak: Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin. Pene- litian ini berusaha untuk mengungkap makna dari praktik penentuan harga jual berbasis nilai-nilai Meuramin Penelitian ini menggunakan abstraksi budaya Meuramin sebagai metode melalui wawancara kepa- da pengelola sebuah kedai kopi. Studi ini menemukan bahwa konsep perumusan harga jual yang diimplemetasikan oleh informan tidak se- mata-mata berorientasi pada pencapaian materi saja tetapi terkadung nilai-nilai religius dan keadilan yang bersifat holistik. Penentuan har- ga jual juga berusaha menghadirkan kesejahateraan dan keadilan un- tuk semua pihak. Implikasi dari praktik ini adalah munculnya per- bedaan dalam mempersepsikan manusia sebagai unsur produksi. Abstract: The Practice of Determining Selling Prices Based on Meu- ramin Culture. This study seeks to uncover the meaning of the practice of selling prices based on Meuramin values. This study uses Meuramin cultural abstraction as a method through interviews with the managers of a coffee shop. This study finds that the concept of the formulation of selling prices implemented by informants is not solely oriented to the achievement of sharp material but contained holistic religious and jus- tice values. The determination of selling prices also seeks to bring wel- fare and justice to all parties. The implication of this practice is the emer- gence of differences in perceiving humans as an element of production. Kata Kunci: profit, materi, holistik, modal spiritual Penentuan harga jual menjadi sebuah isu yang menarik untuk dikaji dalam sebuah penelitian ilmiah. Hal tersebut berangkat dari aktivitas manusia yang selalu bersing- gungan dengan harga di kesehariaannya. Pada mulanya harga terfleksi melalui pro ses transaksi yang dilakukan secara barter. Namun, ketika sistem barter tersebut tidak mampu mengakomodasi kebutuhan hidup manusia, harga akan mengalami pergeser- an ke arah transaksi yang mempergunakan uang sebagai alat transaksi (Snelgrove, 2012). Konsep penentuan harga yang marak diimplementasikan selama ini berangkat dari motivasi untuk meraut pundipundi profit materi semata. Laba merupakan satu-satu- nya orientasi tunggal yang dituju dari kon- sep perumusan harga jual. Realitas konsep harga jual konvensional merefleksikan bah- wa penetapan harga jual semata-mata hanya berorientasi pada tujuan tunggal, yaitu laba (Auer, Chaney, & Saure, 2018; Hardesty, Bearden, Haws, & Kidwell, 2012; Pal, Sana, & Chaudhuri, 2012; Pandey, Mehta, & Roy, 2017; Reusen & Stouthuysen, 2017; Soon, 2011). Secara substansi perumusan harga jual tidak hanya terkonstruk berbasis pada unsur biaya dan berorientasi pada pencapai- an profit materi semata, sebagaimana yang ditemukan dalam akuntansi konvensional. Namun, pada tatanan yang lebih luas, harga jual juga terbentuk dari nilai-nilai nonma- terial (Amaliah & Sugianto, 2018; Ellström & Larsson, 2017; Raissi & Tulin, 2018). Pe- mahaman tersebut didasari oleh suatu pe- mikiran bahwa hanya perhitungan bersifat kalkulatif yang dapat merepresentatifkan bi- aya dan laba. Secara semiotik hal tersebut 42 Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 10 Nomor 1 Halaman 42-62 Malang, April 2019 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Tanggal Masuk: 01 Juni 2016 Tanggal Revisi: 30 September 2016 Tanggal Diterima: 19 Oktober 2016 http://dx.doi.org/DOI: 10.18202/jamal.2016.12.7024

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

Syauqi HidayatIwan Triyuwono

Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono No.165 Malang 65145surel: [email protected]

Abstrak: Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin. Pene-litian ini berusaha untuk mengungkap makna dari praktik penentuan harga jual berbasis nilai-nilai Meuramin Penelitian ini menggunakan abstraksi budaya Meuramin sebagai metode melalui wawancara kepa-da pengelola sebuah kedai kopi. Studi ini menemukan bahwa konsep perumusan harga jual yang diimplemetasikan oleh informan tidak se-mata-mata berorientasi pada pencapaian materi saja tetapi terkadung nilai-nilai religius dan keadilan yang bersifat holistik. Penentuan har-ga jual juga berusaha menghadirkan kesejahateraan dan keadilan un-tuk semua pihak. Implikasi dari praktik ini adalah munculnya per-bedaan dalam mempersepsikan manusia sebagai unsur produksi. Abstract: The Practice of Determining Selling Prices Based on Meu­ramin Culture. This study seeks to uncover the meaning of the practice of selling prices based on Meuramin values. This study uses Meuramin cultural abstraction as a method through interviews with the managers of a coffee shop. This study finds that the concept of the formulation of selling prices implemented by informants is not solely oriented to the achievement of sharp material but contained holistic religious and jus-tice values. The determination of selling prices also seeks to bring wel-fare and justice to all parties. The implication of this practice is the emer-gence of differences in perceiving humans as an element of production.

Kata Kunci: profit, materi, holistik, modal spiritual

Penentuan harga jual menjadi sebuah isu yang menarik untuk dikaji dalam sebuah penelitian ilmiah. Hal tersebut berangkat dari aktivitas manusia yang selalu bersing-gungan dengan harga di kesehariaannya. Pada mulanya harga terfleksi melalui pro­ses transaksi yang dilakukan secara barter. Namun, ketika sistem barter tersebut tidak mampu mengakomodasi kebutuhan hidup manusia, harga akan mengalami pergeser-an ke arah transaksi yang mempergunakan uang sebagai alat transaksi (Snelgrove, 2012). Konsep penentuan harga yang marak diimplementasikan selama ini berangkat dari motivasi untuk meraut pundi­pundi profit materi semata. Laba merupakan satu-satu-nya orientasi tunggal yang dituju dari kon-sep perumusan harga jual. Realitas konsep harga jual konvensional merefleksikan bah-

wa penetapan harga jual semata-mata hanyaberorientasi pada tujuan tunggal, yaitu laba(Auer, Chaney, & Saure, 2018; Hardesty, Bearden, Haws, & Kidwell, 2012; Pal, Sana, & Chaudhuri, 2012; Pandey, Mehta, & Roy, 2017; Reusen & Stouthuysen, 2017; Soon,2011). Secara substansi perumusan harga jual tidak hanya terkonstruk berbasis pada unsur biaya dan berorientasi pada pencapai-an profit materi semata, sebagaimana yangditemukan dalam akuntansi konvensional.Namun, pada tatanan yang lebih luas, hargajual juga terbentuk dari nilai-nilai nonma-terial (Amaliah & Sugianto, 2018; Ellström & Larsson, 2017; Raissi & Tulin, 2018). Pe- mahaman tersebut didasari oleh suatu pe- mikiran bahwa hanya perhitungan bersifat kalkulatif yang dapat merepresentatifkan bi-

aya dan laba. Secara semiotik hal tersebut

42

Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 10Nomor 1 Halaman 42-62Malang, April 2019ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

Tanggal Masuk: 01 Juni 2016Tanggal Revisi: 30 September 2016Tanggal Diterima: 19 Oktober 2016

http://dx.doi.org/DOI: 10.18202/jamal.2016.12.7024

Page 2: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

dijadikan acuan dalam me ra sionalisasikan pembentukan harga dan mengabaikan nilai yang berlaku di tengah masyarakat.

Selama ini konsep perumusan har-ga jual cenderung berfokus pada kalkulasi profit materi sebagai tujuan akhir (Bouwens & Steens, 2016; Borkowski & Gaffney, 2014; Ray & Gramlich, 2016). Hal tersebut ber-potensi menciptakan ekosistem bisnis yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusian dan agama sehingga cenderung terbentuk iklim bisnis yang tidak sehat. Tidak dapat di-pungkiri bahwa kondisi tersebut merupakan efek dari orientasi bisnis yang semata-mata bersandar pada nilai materi semata. Sebuah potret bisnis kopi luwak yang ahkir-ahkir ini menjadi trending topic di dunia menyoroti proses produksi kopi luwak yang tidak se-suai dengan realitas yang seharusnya. Haki-katnya kopi luwak dihasilkan dari pemilihan chery kopi oleh luwak itu sendiri secara na-tural di alam terbuka. Namun, konsep bisnis yang berorientasi pada materi merangsang segerombolan oknum petani kopi untuk beternak luwak dengan menjadikan chery kopi sebagai pakan luwak, sehingga esensi dari kopi luwak pun berubah, dan berujung pada pengeksploitasi luwak dan mencurangi konsumen demi memenuhi hawa nafsu un-tuk memperoleh materi semata.

Pada kasus yang lain, perang harga an-tara penjualan kopi yang tidak lazim dengan mengorban kan hak-hak para pekerja demi menjaga eksistensi keberlanjutan suatu entitas bisnis. Potret tersebut memberikan suatu pemaham an bahwa perumusan har-ga jual yang berori entasi pada unsur materi membentuk pola pikir yang tidak mengha-dirkan Tuhan dalam kesehariannya dan ter-asosiasi dengan berperilaku tidak etis, salah satunya dengan menekan biaya produksi dengan cara-cara yang menyimpang dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Berka-ca pada realitas yang ada sudah seharus-nya untuk menghadirkan konsep penentuan harga jual yang bersifat lokalitas dan tepat guna yang mampu menghadirkan keadilan untuk semua pihak dan memberikan kese-jahteran untuk para pelakunya, serta tidak membenarkan ada nya sifat serakah dalam prosesnya.

Memaknai konsep perumusan harga jual yang bersadar pada nilai-nilai lokali-tas meuramin yang diimplementasikan oleh manajemen Coffee Shop A dan mengab-straksikannya merupakan tujuan dilaku-kannya studi ini. Berangkat dari beberapa

hasil penelitian yang berjalan pada kooridor budaya, hal merefleksikan bahwa akuntansi tidak sepenuhnya bebas akan nilai (Amali-ah & Sugianto, 2018; Evans, Baskerville, & Nara, 2015; Lapsley & Rekers, 2017; Para-noan, 2015; Triyuwono, 2015a). Hal tersebut membuktikan bahwa budaya dapat berkon-tribusi dalam pengembangan ilmu akuntan-si ke depannya. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan kon-tribusi berupa konsep penentuan harga jual kopi yang bebas akan nilai-nilai kapitalistik. Saat ini telah banyak kajian sehubungan dengan konsep harga jual, khususnya da-lam rana pemaknaan. Namun, berbeda dari penelitian ini, yang menggunakan pendekat-an nilai lokalitas yang berlaku dalam budaya masya rakat Aceh yang dikenal dengan istilah meuramin. Penelitian ini tidak semata-ma-ta menemukan makna yang tersirat dari praktik perumusan harga jual, tetapi mak-na tersebut diabstraksikan dalam sebuah konsep dalam perumuskan harga jual yang diimplementasikan oleh manajemen Coffee Shop A dan memberikan justifikasi ketidak-sesuaian nilai antara konsep perumusan harga jual konvensional dan meuramin.

Meuramin merupakan sebuah budaya yang sarat akan bermusyawarah dan bersi-laturahmi dalam menyeimbangkan hablum-i nannas, yang termanifestasi dengan ber-gotong royong dalam rangka meningkatkan semangat persaudaraan (Astuti, 2017; Pa-rani, 2018). Budaya ini berfungsi untuk menyelesaikan problematika kehidupan de-ngan menghadirkan keadilan untuk semua pihak (Sulaiman, 2017; Riezal, Joebagio, & Susanto, 2018). Jadi, bukan suatu kenis-cayaan apabila nilai-nilai yang melekat pada budaya meuramin dapat diasosiasikan de-ngan konsep perumusahan harga jual. Kon-sep penentuan harga jual yang bersandar pada nilai-nilai meuramin adalah konsep akuntansi yang dikembangkan berbasis nilai lokalitas yang bersifat humanis. Jadi, nilai­nilai meuramin akan merepresentasikan ba-gaimana konsep meuramin menghadirkan value added untuk penggunanya dan selalu menghadirkan Tuhan dalam prosesnya.

METODE Penelitian ini berada dalam ranah pe-

nelitian kualitatif. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang dinamis, memi-liki intuisi, kecerdasan, perasaan, pikiran, dan pengalaman. Oleh karena itu, secara ontologi dapat dijadikan sebagai objek da-

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 43

Page 3: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

lam penelitian karena dinamika-dinami-ka yang melekat pada kehidupan manusia dapat dipahami melalui pendekatan kuali-tatif (Kamayanti, 2016; Prencipe, Bar­Yosef, & Dekker, 2014; Taylor, 2018). Sehubung­an dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu untuk mengungkap makna praktik penentuan harga jual yang bersandar pada budaya meuramin yang diimplementasikan oleh manajemen Coffee Shop A dan meng-abstraksikan konsep tersebut, maka pene-litian ini menggunakan interpretif sebagai paradigma dengan metodologi yang berbasis pada nilai-nilai meuramin.

John (2014) dan Kamayanti (2016) ber argumentasti bahwa penggunaan teori dan pemikiran dalam metodologi penelitian akuntansi sebenarnya bukan hal yang baru. Namun, penggunaanya masih relatif lebih sedikit dibandingkan penggunaan metodolo-gi kualitatif lainnya. Konsep pemikiran tidak perlu berupa sebuah gagasan umum ten-tang masyarakat, tetapi dapat pula bersifat kontekstual yang kemudian ditarik menjadi rumusan metodologi (Spraakman, O’Grady, Askarany, & Akroyd, 2018; Triyuwono, 2015a, 2015b). Kearifan lokal merupakan sebuah pemikiran yang bersifat kontektu-al di mana sebuah kebijakan adat di suatu daerah terbentuk dari kristalisasi sebuah kebiasaan baik dan bernilai luhur bagi ke-maslahatan masyarakat. Sama halnya de-ngan Meuramin yang secara epistemologis merupakan implementasi islamisasi dalam memahami fenomena budaya yang mencer-minkan sebuah ilmu pengetahuan dalam penemuan solusi berbasis diskusi, yang terasosiasi dengan nilai­nilai musyawa rah, sila turahmi dan keadilan yang holistik. Meu-ramin merupakan pengembangan metodolo-gi dan nilai-nilai yang melekat penerapannya berupa metode penelitian.

Pada tahapan perumusan metodologi musyawarah merupakan tahap awal yang dijadikan pijakan dalam memahami mak-na yang tersirat dalam perumusan harga jual. Makna­makna tersebut terkonstruk dari kebiasaan yang bernilai luhur, serta memberikan manfaat untuk banyak pihak. Musyawarah digunakan untuk memperoleh pandangan yang lebih komprehensif dalam menjustifikasi konsep perumusan harga yang belum terkonsep sebelumnya. Tahap kedua, pengintegrasian hasil asumsi musya­warah dengan semangat silaturahmi dalam menghadirkan solusi bersama dalam pe-rumusahan konsep harga jual dan filsosofi

meuramin. Pada hakikatnya, perumusan harga jual yang dilandasi dengan semangat silaturahmi yang bersifat humanis, selalu berupaya untuk menghadirkan value add-ed setiap tahapannya tanpa perlu menge-sampingkan pencapaian laba bersifat ma-teri, tetapi tetap berada pada kooridor yang etis. Tahap ketiga, keadilan yang holistik merupakan output yang akan dihasilkan dari konsep perumusan harga jual berbasis nilai meuramin. Output tersebut diperoleh dengan menggali unsur-unsur yang tersi-rat dari hasil musyawarah dan meletakkan nilai-nilai tersebut sebagai dasar rujukan dalam perumsuan harga.

Dheuk pakat dan Qanun merupakan bentuk metode sebagai turunan metodolo-gi. Terkait dengan penggunaan meuramin sebagai metodologi dalam penelitian ini, tahap an analisis yang dilakukan yaitu re-duksi data dalam bentuk kertas kerja meu-ramin dari hasil wawancara, dokumentasi, dan observasi partisipan. Lalu diteruskan dengan analisis Dhuek Pakat dan Qanun. Artinya, fase ini merupakan proses empiris untuk menemukan makna dari praktik pe-nentuan harga jual berbasis nilai meuramin dan mengabstraksikan konsep perumusan harga jual tersebut. Selanjutnya, sesuai de­ngan tujuan penelitian ini, diperlukan peng-gunaan beberapa informan sebagai informan yang didasarkan pada orang-orang yang ber-singgungan langsung dalam penentuan har-ga jual di lingkungan Coffee Shop A. Adapun nama informan disajikan pada Tabel 1.

Analisis Dhuek Pakat diawali dengan memahami dan mengintepretasikan istilah, simbol, nilai, dan kata kiasan dalam mem-bentuk sebuah tema. Tema tersebut terkon-struk dari hasil wawancara, pengamatan, observasi partisipan, serta telaah dokumen yang memiliki implikasi sebagai dasar se-buah realitas terbentuk. Jadi, prosedur tek nik analisis dimulai dengan meringkas pernyataan dari setiap informan sehubung-an dengan pemaknaan istilah, simbol, dan nilai-nilai terkait ke dalam kertas meuramin. Selanjutnya, peneliti melakukan pemeta-an berdasarkan tema yang terbentuk. Hal tersebut menjadi tahapan awal dalam proses penemuan makna yang tersirat, serta men-jadi informasi yang bersifat fundamendal da-lam mengabstraksikan konsep perumusan harga jual berdasarkan perspektif informan. Selain itu, akan memberikan kemudahan bagi peneliti untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai suatu budaya yang

44 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 4: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

terdapat di lingkungan Coffee Shop A. Se-lanjutnya, melakukan analisis Qanun un-tuk perumusan makna yang telah terbentuk dari hasil interpretasi terhadap tema-tema yang terkonstruk dari analisis dhuek pakat berdasarkan perspektif informan, lalu meng­uraikan hasil temuan dalam bentuk tema ke sebuah simpulan yang mengerucut pada pemaknaan dari praktik penentuan harga jual berdasarkan nilai-nilai meuramin. Jadi, prosedurnya setelah mapping tema dilaku-kan, dirumuskan kecenderungan tema­tema tersebut untuk memperkecil scope dalam rangka menghasilkan sebuah makna dengan cara mencari keterkaitan antara satu tema dengan tema yang lain untuk disimpulkan menjadi sebuah makna sehubungan dengan makna-makna tersirat yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASANPerbedaaan filosofi, nilai, dan geogra­

fis merupakan beberapa aspek bentuk ke-beragaman. Cara pandang dan pemaknaan sebuah realitas kehidupan juga tidak terpi-sah dari pengaruh lingkungan dan nilai-nilai lokalitasnya. Perspektif atau cara pan-dang tersebut memiliki pijakan dari berbagai sumber. Salah satunya merupakan aturan keagaman ataupun hukum adat yang ber-laku di suatu daerah. Cara pandang terse-but melahirkan sebuah konsep yang menja-di solusi atas problematika dalam aktivitas keseharian, serta berimplikasi dalam tatan-an kehidupan di tengah masyarakat. Seperti halnya konsep penentuan harga jual yang ada pada Coffee Shop A, yang berjalan pada koridor nilai-nilai kepercayaan leluhur yang tidak berlaku secara normatif pada era in-dustri modern saat ini. Penentuan harga jual berbasis nilai lokalitas merupakan adanya sebuah fakta bahwa aspek-aspek budaya dapat menjadi solusi yang tepat guna dalam menyokong ekonomi skala rumahan. Hal tersebut dilakukan oleh Coffee Shop A yang merupakan salah satu entitas bisnis yang bergerak di bidang beverage di kota Ban-da Aceh, yang sejauh ini masih berpegang teguh pada nilai-nilai lokalitas sebagai acu-an dalam menjalankan usaha, khususnya di ranah perumusan harga jual.

Dalam proses penentuan harga jual, Coffee Shop A menggunakan pendekat-an yang tidak populer yang berlaku secara umum di ranah akuntansi konvensional. Hal tersebut tercermin dari konsep perumus-an harga jual yang tidak mempertimbang-kan unsur­unsur produksi, misalkan biaya tenaga kerja. Namun, hasilnya cukup men-cengangkan. Coffee Shop A mampu perfom dalam kondisi pasar yang sangat kompetitif serta fluktuatifnya kondisi perekonomian, serta mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan untuk para pekerjanya. Bayu yang merupakan pemilik Coffee Shop A me-nuturkan sebagai berikut.

“Kita di sini menggunakan cara kita sendiri untuk merumuskan harga jual, wallahhu a’lam (Dan Allah yang maha mengetahui) itu bener apa gak, tapi intinya hingga saat ini saya menggunakan cara seperti untuk memformulasikan harga jual” (Bayu).

Pernyataan Bayu merefleksikan bah-wa Coffee Shop A memiliki cara tersendi-ri dalam memformulasikan harga jualnya, dengan cara mengabsraksikan harga yang berlaku di pasaran, lalu dicoba untuk mera-sionalisasikan dengan biaya operasionalnya. Cara penentuan harga tersebut merupakan bagian dari konsep bisnis dengan cara “En-datu” yang berarti “nenek moyang”. Konsep tersebut mencoba menghadirkan tata kelola yang bersandar pada efisiensi dan efektiftas dalam operasional serta memosisikan para pekerja sebagai mitra dalam penciptaan laba sehingga unsur memanusiakan manu-sia ada di sana. Tidak ada istilah mengeks­ploitasi tenaga kerja karena para pekerja merupakan mitra usaha ataupun investor dengan menyertakan modal berupa “tena-ganya”. Jadi semua dilakukan atas dasar sama-sama rida.

Dalam konsep penentuan harga jual yang bersandar pada nilai meuramin dike-nal dengan sistem “bagi persen” sebagai konsep penggajian yang bersifat distribu-tif. Bentuk perumusan harga jual di Coffee

Tabel 1. Daftar InformanInforman Keterangan

Bayu PemilikFaisal PengelolaIsmi PekerjaRyan Barista

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 45

Page 5: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

Shop A memiliki keunikan tersendiri seirama dengan keunikan proses bisnisnya tersebut. Gambar 1 menampilkan ilustrasinya.

Berdasarkan ilustrasi di atas terlihat bahwa harga jual terbentuk dari persepsi yang bersifat tidak kalkulatif secara terukur, dengan memperkirakan taksiran biaya pro-duksi dan volume penjualan untuk menu-ju titik impas (break even point), lalu me­nyandingkannya dengan harga yang berlaku di pasaran. Setelah semua tahap dilakukan, diadakan diskusi untuk memperoleh output berupa pandangan-pandangan dari pihak-pi-hak yang dirasa perlu, misalkan pengelola, pekerja, barista, dan pelanggan berkaitan kosekuensi dari harga yang te lah ditentu-kan. Tahap ini merupakan tahap yang paling substantif dibandingkan de ngan tahap yang lain yang bersifat kalkulatif. Bayu percaya bahwa kalkulasi biaya berupa angka-angka tidak sepenuhnya mencerminkan nilai yang sesungguhnya. Hal tersebut dibuktikan oleh para pendahulu mereka yang merefleksikan bahwa tidak sepenuhnya mengandalkan hi-tungan semata. Interaksi sosial diperlukan dalam membaca pasar guna merumuskan harga. Ini adalah salah satu strategi un-tuk keunggulan bersaing. Selain itu, Faisal memiliki pandangan bahwa untung bersifat relatif, asalkan volume penjualan dapat di-maksimalkan sebaik mungkin dengan cara memberikan value added kepada pelanggan. Oleh karena itu, di saat trust dari pelanggan sudah berhasil didapat, bukan suatu yang sulit untuk menciptakan demand yang ting-gi. Hal tersebut akan diikuti dengan pening-katan frekuensi transaksi dengan sendiri-nya.

Selain keunikan seperti yang telah di-jelaskan sebelumnya, konsep tersebut tidak mengikut sertakan pembenahan biaya tena-ga kerja dalam perumusan harga jual. Hal ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Kon-sep penentuan harga jual berbasis lokalitas ini berpotensi tidak akurat dalam pembe-banan biaya produksinya. Namun, hasil nya cukup fantastis. Coffee Shop A mampu melakukan ekspansi dengan konsep bisnis dengan cara Endatu­nya, dan tidak ha nya sampai di situ, perputaran tenaga kerja yang rendah menjadi indikator bahwa ada kepuasan dan keadilan yang diperoleh para pekerja. Hal tersebut merefleksikan bahwa konsep bisnis dengan cara Endatu mampu bersaing di era modern sekarang ini. Konsep “bagi persen” merupakan bagian dari tatan-an bisnis dengan cara Endatu, yaitu meng­atur mekanisme pengupahan para pekerja dan pengelola dengan cara pendistribusian dari laba bersih berdasarkan pada proporsi yang telah diatur melalui tahapan yang su-dah matang. Dalam proses pendistribusian upah yang bersadar para kooridor keadilan distributif dan keadilan prosedural.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa secara konseptual, keadilan distributif berim-plikasi pada kesejahteraan seseorang secara personal, sedangkan keadilan prosedural ber kaitan dengan keadilan terhadap meka-nisme yang dijalakan untuk menghasilkan sebuah keputusan (Lambert & Hogan, 2013; Mac­Clure & Barozet, 2016; Scheller & Ha-risson, 2018; Schneider & Valet, 2017). Se-baliknya, keadilan prosedural (Procedural Justice) berhubungan dengan proses atau prosedur untuk mendistribusikan penghar-

Harga jual berdasarkan

perspektif meuramin

Unsur produksi yang

dipertimbangkan

Bahan baku (biji kopi) Gula Uang makan

harian pekerja

Unsur Produksi tidak

dipertimbangkan

Listrik, gas dan beban lain-lain

Review dan diskusi atas kosekuensi

penentuan harga

Rasionalisasi harga pasar dan pertimbangan

volume penjualan

Gambar 1. Ilustrasi Perumusan Harga Jual

46 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 6: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

gaan (Behson & Koppl, 2013; Bohle, Cham-bel, & Iriarte, 2018; Woo, Maguire, & Gau, & 2018). Implikasinya, setiap individu yang terasosiasi dalam sebuah organisasi merasa dilibatkan dalam proses secara prosedural.

Jadi dalam perumusan konsep “bagi persen” semua berpijak pada konsep kedua keadilan tersebut. Gambar 2 menampilkan indikator yang digunakan dalam perumusan indeks untuk kebutuhan pendistribusian upah pada konsep “bagi persen”.

Berdasarkan ilutstrasi Gambar 2 di­ketahui bahwa indeks untuk para peker-ja pada hakikatnya dipengaruhi oleh lima indi kator, tetapi secara subtantif memiliki makna bahwa keadilan bersifat proporsion-al. Selain itu, indeks tersebut memiliki arti dan makna yang tidak berdiri sendiri seh-ingga masih membutuhkan observasi dan wawancara mendalam untuk memahamin-ya. Untuk tahapan pelaporan operasional, Coffee Shop A memformulasikan redaksion-al mo del pelaporan dengan caranya sendiri. Hal tersebut disampaikan oleh Faisal yang me rupakan pengelola merangkap sebagai kasir dalam memformulasi informasi cash flow yang dijadikan pijakan dalam pendis-tribusian hasil dan penyaluran zakat. Selain hal-hal seperti yang sudah dijelaskan sebel-umnya, fokus pelaporan dari penyelengga-raan bagi persen per sembilan puluh hari kerja ini selain untuk digunakan sebagai sa-rana pendistribusian hasil, digunakan juga untuk menganalisis efektifitas dalam penge­lolaan oleh pemilik dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, yang hasilnya di-jadikan bahan evaluasi bersama. Gambar 3 menyajikan skema pelaporan “bagi persen”.

Konsep akun beban depresiasi yang dapat menambah penghasilan pemilik (lihat Gambar 3) diinisiasi dari pengelolaan keude kupie yang tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada pengelola, layaknya agent dan princi-ple di pasar modal. Terdapat kaidah­kaidah di mana pemilik ikut serta dalam mengawasi proses berjalannya bisnis. Oleh karena itu, pada saat menerima usulan untuk melaku-kan perbaikan dan penambahan prasarana untuk mendukung peningkatan kualitas la yanan dan kapasitas keude kupie, pemi-lik memiliki pertimbangan tersendiri dalam membuat keputusan. Semua jenis pembi-ayaan atas perbaikan dan peningkatan pra-sarana tersebut bersumber dari pemilik. Li ma persen pemasukan dari depresiasi me-rupakan salah satu bentuk apresiasi para pekerja dan pengelola yang telah dititipi ke-percayaan oleh pemilik Coffee Shop A dalam mengelola usahanya. Gambar 4 menyajikan ilustrasi konsep pendistribusian hasil untuk Bayu, Faisal, dan Ismi.

Secara implisit, abstraksi dari konsep penentuan harga jual dan pelaporannya ter-sebut memiliki makna yang tersirat dari seti-ap fase yang dilalui. Bisnis dengan cara “En-datu” merupakan salah satu konsep yang digunakan dalam tata kelola Coffee Shop A. Kata “Endatu” memiliki makna “Nenek mo­yang”. Jadi, secara terminologi “bisnis de­ngan cara Endatu” mengikuti kaidah-kaidah cara berbisnis yang dilakukan oleh penda-hulu masyarakat Aceh yang substantif erat kaitannya dengan nilai­nilai persaudaraan, musyawarah, spiritualitas, keadilan yang ho listik, dan tidak semata­mata berioentasi pada materi. Secara praksis bisnis dengan

Gambar 2. Indikator Perumusan Indeks

Indeks

Loyalitas (Masa kerja)

Skill

Tanggung jawab yang

diemanEtos Kerja

Kontribusi

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 47

Page 7: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

cara Endatu memiliki makna tersendiri da-lam perumusan harga jual yang tidak sema-ta-mata mempertimbangkan unsur-unsur produksi sebagai indikator perumusan har-ga. Harga jual secara substantif tidak ha-nya merepresentasikan nilai materi semata la yaknya kajian dalam perpektif akuntan-si manajemen konvensional. Coffee Shop A memiliki konsep tersendiri dalam merumus-kan harga jual sebagaimana diungkapkan oleh Bayu.

“Dalam menentukan harga ju-al, kita tidak menggunakan per­hitung an khusus karena model usaha seperti ini kan fluktuatif dari sisi harga bahan baku dan pesaingnya pun cukup banyak. Pelanggan sangat sensitif berkait-an dengan harga, jadi acuan kita dalam menentukan harga jual dari keude kupie (kopi) lain, tapi kita juga memperkirakan berapa biaya operasional harian yang kita keluarkan. Jadi, biaya operasional tersebut yang menyesuaikan de-ngan harga jual dalam merumus-kan harga jual” (Bayu).

Berdasarkan pernyataan Bayu terung-kap bahwa secara eksplisit tidak ada formu-lasi khusus dalam perumusan harga jual yang ada di Coffee Shop A. Beliau selaku pe milik hanya menerjemahkan harga yang

berlaku di pasaran dengan merasionalisasi sesuai dengan kondisi biaya operasionalnya. Hal tersebut sangat realistis mengingat jum-lah pembeli dan penjual yang cukup banyak sehingga tidak mampu mempengaruhi pa-sar. Bayu juga menjelaskan bahwa dalam penentuan harga jual, akumulasi unsur bi-aya produksi tidak dijadikan pijakan dasar dalam proses perumusan harga.

Hal tersebut tidak dapat disandingkan dengan konseptual akuntansi biaya secara praksis di mana semua akumulasi kompo-nen biaya merefleksikan harga sebuah pro duk dan ditambahkan margin yang di-harapkan (Chang, 2013; Haraldsson, 2016; Ylä­Kujala, Marttonen­Arola, & Kärri, 2018). Lebih lanjut unsur biaya produksi dalam pe-nentuan harga setidaknya terdiri dari tiga elemen, yaitu pertimbangan bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan overhead. Semua unsur tersebut berpengaruh satu sama lain dalam menghasilkan sebuah har-ga jual.

Dalam perumusan harga jual hakikat-nya sangat dipengarui oleh kultur dan ke-bijakan-kebijakan pemerintah yang berlaku di Banda Aceh. Budaya merupakan salah satu unsur yang tidak terpisahakan dalam kehidupan bermasyarakat kota Banda Aceh dan mempengaruhi cara berfikir. Kondisi tersebut berdampak pada konsep penentuan harga jual sebagaimana yang diungkapkan oleh Bayu sebagai berikut.

Gambar 3. Konsep Pelaporan “Bagi Persen” Berbasis Nilai Meuramin

Kas Masuk

•Semua Hasil Penjualan dan pendapatan dari Konsinyasi & sewa lapak.

Kas Keluar

•Semua beban operasional (diluar gaji)

Laba Kotor (Lk)

•Dasar perhitungan Zakat sebesar 2,5%

Labar Bersih (LB)

•Dasar penentuan beban depresiasi sebesar 5%

Hasil yang siap didistribusi

•Dasar dalam penentuan gaji para pekerja per 90 hari

Bayu

5% dari LB

50% Hasil yang siap didistribusikan

Faisal

(50% Hasil yang siap didistribusikan) di kali

indeks yang bersangkutan (5.5), lalu dibagi total indeks (24.5)

Ismi

(50% Hasil yang siap didistribusikan) di kali indeks yang

bersangkutan (2.5), lalu dibagi total indeks (24.5)

Gambar 4. Konsep Pelaporan “Bagi Persen” Berbasis Nilai Meuramin

48 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 8: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

“Biaya produksi tidak dijadikan dasar dalam merumuskan harga jual. Para pekerja di sini kita gaji berdasarkan persentase penjualan (laba bersih). Jadi, gaji mereka be-lum diketahui berapa secara per-sis dan akan dibayarkan per sem-bilan puluh hari kerja. Namun, pihak Coffee Shop A menyediakan peng bue (uang makan harian) serta meu-utang (uang pinjaman) untuk kebutuhan harian para pekerja dan pengelola. Jadi, se-cara menyeluruh harga jual tidak ada kaitannya atau dipengaruhi secara langsung oleh biaya ope-rasional. Mengapa bisa begitu? Pemkot kita sekarang sudah men-yosialisasikan undang-undang ke-te nagakerjaan agar pekerja digaji berdasarkan upah regional. Pihak Coffee Shop A belum sanggup un-tuk memenuhi syarat tersebut de-ngan kondisi yang belum serba pasti begini. Jadi, karena memang budaya kita ini sangat menjun-jung musyawarah, agar hasilnya enak di kedua belah pihak, kita coba gunakan pendekatan Enda-tu (nenek moyang), meukat (berd-agang) dengan cara­cara Endatu. Jadi, kita sesuaikan sama Qanun yang berlaku bagaimana cara berniaga yang bebas gharar (pe-nipuan) dan tadlis (samar­samar), semuanya kita diskusikan dengan para pekerja sesuai dengan kon-sep pengelolaan seperti sekarang. Alhamdulilah mereka terima” (Ba-yu).

Jadi, berdasarkan hasil penjelasan Ba­yu terungkap bahwa budaya memainkan perannya dalam menghadirkan konsep pe-rumusan harga jual yang humanis dengan mempertimbangkan unsur keadilan bagi para pekerja, di mana nilai­nilai persauda-raan, musyawarah, dan religius sangat di-junjung keberadaannya. Hal tersebut tere-fleksi dari terjalinnya musyawarah dengan pekerja dalam memperoleh solusi bersama agar dapat menjalankan bisnis pada koridor yang etis tanpa ada yang dirugikan. Ada-nya musyawarah dan mufakat sehubungan dengan regulasi yang ditetapkan pemerintah daerah, diharapkan dapat menghadirkan solusi yang lebih adil untuk semua pihak.

Secara substantif nilai-nilai religius meru-pakan guideline yang menuntun untuk ber-tindak sesuai dengan tuntunan berbasis nilai agama.

Selain itu, alokasi pembebanan biaya tenaga kerja dalam penentuan harga jual dengan konsep bisnis dengan cara Endatu cukup sulit untuk ditelusuri. Hal tersebut dikarenakan alokasi biaya tenaga kerja ber-sifat progresif, yaitu mengikuti persentase laba bersih usaha yang siap didistribusikan. Atas dasar faktor tersebut, biaya operasio nal akan sangat complicated untuk dijadikan pijakan sebagai dasar dalam merumuskan harga jual. Ismi sebagai salah satu pekerja senior yang sudah 3 (tiga) tahun lebih beker-ja untuk Coffee Shop A menuturkan bahwa tidak hanya mengenai penentuan harga jual yang tidak mempertimbangkan unsur bi-aya tenaga kerja dalam perumusan harga jual, tetapi untuk memperoleh hasil yang lebih maksimal di saat harga bahan baku mengalami fluktuatif, para pekerja dituntut untuk bekerja secara kreatif dan seefisien mungkin agar tetap mampu bersaing dan memberikan harga jual yang terjangkau ke pelanggan tampa menurunkan kualitas pro-duk. Berikut ini penuturan Ismi.

“Di sini cara menentukan harga jualnya berbeda dengan di tem-pat-tempat yang udah pernah sa-ya bekerja sebelumnya bang. Jadi di sini cenderung diedukasi pada pemanfaatan sumber daya seefi­sien mungkin dan diajak untuk berfikir kreatif dan solutif, kare-na harga jual gak berpatokan pa da biaya bahan. Jadi, sangat memung kinkan apabila saya ber-prilaku mubazir dalam menggu-nakan air dan listrik tidak akan berpengaruh terhadap harga jual kopi, malah ngaruhnya nanti ke pendapatan saya, karena kan gaji di sini berdasarkan laba bersih penjualan atau bagi persen” (Ismi).

Berdasarkan penuturan Ismi terung-kap bahwa pengaruh eksternal seperti fluk-tuatif harga bahan baku dan regulasi peme-rintah tidak berdapak secara masif terhadap penentuan harga jual yang bersandar pada rangsangan nilai sosial. Untuk memperoleh hasil yang maksimal bagi semua pemangku kepentingan, sudah seharusnya untuk meng hadirkan tata kelola yang efektif dan

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 49

Page 9: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

efisien dalam meminimalisasi segala sesu­atu yang tidak mampu memberikan value added kepada pelanggan dan produk, yang termanifestasi dengan cara mengedukasi pa ra pekerja dan pengelola serta bermuha-sabah (introspeksi diri). Kondisi tersebut se-jalan dengan apa yang disampaikan oleh se-jumlah peneliti bahwa setiap aktivitas yang hendak dilakukan harus direncanakan dan diperhitungkan kontribusinya kepada pro-duk (Haroun, 2015; Kasse & Damayanti, 2016; Martins, Jorge, & Sá, 2013; Velasquez, Suomala, & Järvenpää, 2015). Oleh karena itu, cost reduction sebagai strategi manaje-men biaya harus diimplementasikan tepat sasaran.

Dalam penentuan harga jual berbasis nilai meuramin, konsep cost reduction yang diterapkan oleh manajemen Coffee Shop A tidak dapat disandingkan dengan konsep yang berbasis pada akuntansi manajemen konvensional. Pada ranah akuntansi ma-najemen konvensional cost reduction yang dilakukan bersifat mekanis, seperti pengu-rangan biaya secara langsung, productivi-ty improvement dan kontrol biaya melalui instrumen anggaran (Glogovac & Filipovic, 2018; Uyar & Kuzey, 2016; Yagi & Koku-bu, 2018), sedangkan strategi cost reduction yang berfokus pada penyebab timbulnya bi-aya seperti pengurangan jumlah tenaga ker-ja dengan adopsi teknologi (Kenno & Free, 2018; Pavlatos & Kostakis, 2015; Schmidt, Götze, & Sygulla, 2015), dan risk manage-ment (Al­Amri & Davydov, 2016; Eckles, Hoyt, & Steve, 2014; Florio & Leoni, 2017; Fraser & Simkins, 2016). Konsep­konsep seperti yang telah disebutkan di atas pada hakikatnya cenderung mengabaikan nilai-nilai human-isme yang berorientasi pada jangka pendek semata. Sejalan dengan apa yang diutarakan Niswatin, Noholo, Tuli, & Wuryandini (2017) dan Tammel (2017) bahwa konsep cost re-duction menimbulkan dampak dysfunctional behavior manajemen dengan manipulasi in-formasi data, serta berdampak buruknya ki-nerja perusahaan disebabkan oleh kelemah-an yang dimiliki oleh program cost reduction. Berbeda halnya dengan apa yang dilakukan Manajemen Coffee Shop A, yang lebih men-coba menggunakan pendekatan yang lebih humanis dengan cara membentuk perilaku para pekerja, serta menghadirkan Tuhan da-lam proses mengevaluasi diri.

Penentuan harga jual yang berangkat dari nilai-nilai lokalitas melibatkan ber bagai partisipan, baik dari pekerja, pengelola, pe­

milik, maupun pelanggan. Harga jual tidak semata-mata hanya merepresentasikan un-sur materi yang bersifat duniawi semata, tetapi lebih lanjut, pada tatanan yang lebih luas terkandung nilai-nilai silaturahmi da-lam rangka proses perumusan harga jual kopi di Coffee Shop A. Hal ini diungkapkan oleh Bayu pada pernyataan berikut.

“Dalam penentuan harga jual ki-ta melibatkan semua pihak ter-masuk pelanggan, pengelola, dan baristanya juga. Jadi, ma sing­masing kita dengarkan masukan dari mereka semua, apa keluhan sehubungan dengan harga yang kita tawarkan dan apa yang di-harapkan pelanggan dari kita. Semuanya kita diskusikan bersa-ma di sini” (Bayu).

Berdasarkan penuturan Bayu terung-kap bahwa dalam penentuan harga jual kopi yang ada di Coffee Shop A, manajemen lebih mengedepankan cara-cara bermusyawarah yang lazimnya dilakukan masyarakat Aceh pada umumnya, yaitu dengan mendengar-kan berbagai masukan dari semua pihak yang terkait. Hal tersebut memiliki makna yang tersirat bahwa budaya dan tradisi ber-musyawarah sangat dipegang teguh dalam berbisnis. Namun, tetap mempertimbangkan realitas yang ada, baik dengan mendengar-kan masukan dari pelanggan yang berkait-an dengan experince dalam menikmati kopi, apakah sejumlah uang yang dibayarkan mereprestasikan apa yang hendak diperoleh, dan menjadikan konsumen sebagai bench-marking dalam menyusun strategi penjualan maupun perumusan harga. Hal-hal se perti yang dijalankan sebelumnya merupakan manifestasi dari implementasi nilai-nilai Qanun dalam pelaksanaan bisnis di bidang Muamalah, seperti ta’awun (kerja sama) dan keterbukaan yang diwujudkan dari hal-hal yang dilakukan oleh manajemen Coffee Shop A dalam menentukan harga jual.

Lebih lanjut, konsep senada juga uta­rakan oleh Sitorus (2015) yang mengatakan bahwa dalam sila keempat Pancasila, meng­usung semangat musyawarah sebagai kon-sep kebersamaan. Hal tersebut tidak dapat disandingkan dengan konsep akuntansi kon-vensional yang menitik beratkan pada aspek kuantitaif (angka) sebagai pijakan dalam menghasilkan keputusan (Dillard & Brown, 2015; Lawrence, Botes, Collins, & Roper,

50 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 10: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

2013; Mustafa, 2018). Musyawarah meru­pakan langka utama yang harus dilakukan dalam perumusan keputusan sehingga ada unsur keterbukaan yang dihadirkan.

Keterbukaan merupakan salah satu pi lar utama yang mendukung keberhasilan dalam menjalakan sebuah entitas bisnis, dengan didukung tata kelola yang andal sehingga mampu memberikan berbagai ke-mudahan. Salah satunya adalah dengan menambah pasokan informasi yang me-madai untuk menghindari adanya persepsi yang beragam dalam menilai kinerja. De-ngan adanya kemudahan informasi dan ke-terbukaan dalam pengelolaan akan memu-dahkan pihak-pihak yang berkempentingan dalam membuat keputusan bisnis (Chris-tensen, 2016; Kenney, 2015; Nurunnabi, 2018; Stein, Salterio, & Shearer, 2017; Wi-caksono, 2015). Pengelolaan Coffee Shop A dilakukan secara bersama­sama, artinya tidak dilakukan secara satu pihak saja. Mi­salkan, biasanya pada pukul 23.30 keti-ka kedue kupie sudah ditutup, perhitung­an hasil penjualan dan pengeluaran harian dilakuan secara bersama-sama dengan pekerja yang lain. Setelah itu dilakukan rekapitulasi dan dibagikan peng bue (uang makan harian). Hal tersebut merefleksikan adanya keterbukaan dalam tata kelola dan pengawasan bersama. Berikut ini penuturan Ryan sehubung an dengan keterbukaan dan kemudahan akses informasi.

“Di sini semuanya bisa memoni-toring perihal uang masuk sama uang keluarnya setiap harinya. Kita kebetulan juga tau berapa galon air yang diorder, berapa ba­nyak kopi yang kepake dan berapa duit bayar listrik. Jadi, di sini gak ada yang ditutup­tutupilah. Jelas semuanya perputaran duitnya” (Ryan).

Berdasarkan penjelasan Ryan terung-kap bahwa transparansi pengelolaan tidak menjadi milik satu pihak saja. Semua dike-lola secara bersama-sama layaknya milik bersama. Hal tersebut mendorong semua pihak untuk menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Selain memperoleh penghasilan dari pembagian persen keuntungan penjualan, para pekerja juga diberikan uang pinjaman yang akan dipotong setiap memperoleh gaji. Dengan cara seperti itu setiap orang akan

memiliki informasi yang dapat diolah lebih lanjut perihal perkiraan penghasilannya di setiap periodenya. Keterbukaan dalam pe-ngelolaan ini juga tidak hanya sebatas pada pengelolaan biaya operasional tetapi dalam menciptakan suasana kerja yang kondusif dan mampu meningkatan etos kerja para pengelola dalam menghasilkan laba yang maksimal. Agar hal tersebut dapat tercapai, pengelolaan Coffee Shop A yang berdasarkan nilai-nilai budaya meuramin-nya tersebut sudah sepatutnya meletakkan keterbukaan dalam pengelolaan sebagai landasan utama agar mampu bersaing dalam meningkatkan penghasilan. Semua itu tidak dapat diwu-judkan tanpa adanya keterbukaan dalam pengelolaan. Mengingat semua tata kelola bersifat menitipkan kepercayaan dan me-ngedepankan musyawarah, maka perlu mempersamakan perspektif dalam bekerja. Berikut ini penuturan Bayu.

“Di sini kita menjunjung nilai-nilai duek pakat (musyawarah dan mu-fakat) kita jelasin semuanya, gak ada yang kita tutup­tutupi, ja­ngan sampai ada para pekerja ngerasa ketipu dan suuzon sama kita. Padahal, niat awal mau sa-ma­sama nyari rejeki, jadi semua kebijakannya yang kita buat se-lalu ada dasar yang substantif dan penjelasannya. Kita meminta ke sanggupan dengan kebijakan yang udah kita buat yang sesuai dengan nilai-nilai Qanun, yaitu bebas gharar (penipuan) dan tad-lis (samar-samar)” (Bayu).

Nilai-nilai Qanun selalu dijadikan pi-jak an dalam tata kelola Coffee Shop A. Ber-dasarkan penuturan Bayu di atas terungkap bahwa adanya komunikasi dan keterbukaan dalam memberikan informasi membuat kon-sep bisnis dengan cara Endatu ini dapat berjalan. Oleh karena itu, harga jual yang terbentuk tidak merepresentasikan biaya produksi yang merupakan salah satu uniqe-ness dan advantage points yang dimiliki oleh Coffee Shop A dalam merumuskan harga jual. Selain hal­hal tersebut di atas, terdapat nilai-nilai keadilan yang dihadirkan de-ngan cara memadukan persepsi yang akan memudahkan pengelolaan, mengedepankan inisiatif, dan sadar akan biaya. Hal terse-but tidak akan terwujud apabila tidak ada

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 51

Page 11: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

musyawarah, keterbukaan, dan nilai­nilai keadilan dalam menemukan solusi yang meng untungkan untuk kedua belah pihak.

Bisnis dengan cara Endatu menem-patkan musyawarah, silaturahmi, dan nilai keadilan sebagai pilar utama dalam men-jalankan usaha. Konsep penentuan harga yang digunakan oleh pihak manajemen ber-orientasi kepada pelanggan menjadi berkah tersendiri. Terjalinnya hubungan yang baik dengan pelanggan dapat berlanjut ke tahap di mana pelanggan menjadi bagian dari ke-suksesan bisnis. Tradisi ngopi, silaturahmi, dan musyawarah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya masyarakat Aceh. Hal tersebut menjadi suatu pijakan awal dalam menjalakan usaha Coffee Shop A. Berawal dari semangat silaturahmi usaha tersebut terbentuk. Silaturahmi merupakan sebuah aktivitas bernilai ibadah yang memi-liki keutamaan besar, baik berupa karunia dunia maupun pahala akhirat. Di antaranya ialah membuka pintu rezeki dan memanjang-kan usia. Hal tersebut merupakan beberapa fadilah dari bersilaturahmi, se hingga sudah seharusnya silaturahmi dibangun untuk me mudahkan urusan dunia dan akhi rat.

Fakta lain sehubungan dengan sila-turahmi, yaitu salah satu seni dalam berda­gang yang tentu saja secara tidak langsung akan meningkatkan omzet penjualan. De-ngan silaturahmi dapat terbangun jaring-an kerja (networking) yang tidak terbatas. Silaturahmi memiliki arti dan pengertian yang jauh lebih dalam daripada hanya se-batas hubungan bisnis. Silaturahmi adalah sebuah sikap dalam menjalin hubungan de-ngan siapa pun atas dasar jujur, ikhlas, dan profesional. Kaidah-kaidah silaturahmi tan-pa disadari mampu mempengarui penentu-an harga jual kopi di Coffee Shop A. Salah satunya adalah perlu mengeluarkan biaya untuk melakukan advertisement, cukup mem berikan pelayanan yang terbaik kepa-da pelanggan, sehingga hal tersebut akan menghadirkan komunikasi yang intens dan mampu menarik minat konsumen untuk kembali berlangganan. Hal tersebut ditutur-kan oleh Faisal sebagai berikut.

“Saya rasa gak perlulah kita per-hitungan kali sama pelanggan. Raseuki kana so ato (rejeki sudah ada yang atur)¸tinggal kita mau jemputnya pake cara yang gima-na. Walaupun dapatnya sedikit tapi kalo berkali-kali kan lumayan

juga, apa lagi pengunjungnya me­rasa puas. Dan pelanggan juga bakal nginfoin ke temen-temannya untuk ngajak ngopi di tempat kita. Di sisi lain, ini juga sebuah berkah buat saya. Bisnis itu gak melulu perihat uang. Berkah itu yang pa-ling utama sama silaturahmi tetap terjaga, memang gak bisa dipung­kiri kalau keuntungan hukumnya wajib dalam bisnis” (Faisal). Berdasarkan penuturan Faisal terung-

kap bahwa strategi pemasaran Coffee Shop A hanya mengandalkan informasi dari mu-lut ke mulut sehingga hal tersebut mampu mengurangi pembiayaan operasional usaha untuk promosi. Dari perspektif yang lain, kepuasan pelanggang merupakan orientasi bisnis yang dicetus oleh Coffee Shop A. Si-laturahmi menjadi sebuah alat untuk mem-bangun kedekatan dengan pelanggan secara personal. Lebih lanjut, memperoleh margin yang kecil adalah sebuah pilihan bisnis bagi Coffee Shop A. Hal tersebut sejalan dengan prinsip perputaran dan keuntungan. Bisnis yang berorientasi pada pelanggan dengan pengelolaannya yang berdasar pada azas kekeluargaan dan mengedepankan nilai-ni-lai persaudaraan selalu mengakomodasi ke-butuhan pelanggan. Melalui semangat per-saudaraan, dengan sendirinya kesejahteraan dalam bidang perekonomian dapat terwu-jud, seperti yang diungkapkan oleh bebera­pa peneliti bahwa perwujudan usaha yang berlandaskan kekeluargaan melahirkan ru-kun bangsa (Agusalim, Karim, & Saefuddin, 2014; Pratama, 2018; Umam, 2017). Melalui rukun bangsa inilah kepentingan bersama menjadi prioritas dalam melakukan pem-bangunan. Hal ini berimbas pada adanya semangat bekerja sama antarperusahaan untuk membangun kesejahteraan bersama. Perusahaan tidak lagi memikirkan persaing-an demi mengejar keuntungan semata, teta-pi bersama-sama untuk menghidupi ma-syarakat.

Seperti kita ketahui bersama bahwa akuntansi tidak benar-benar bebas dari nilai dalam proses penciptaannya, yang melibat-kan manusia yang memiliki kepribadian dan penuh dengan kepentingan. Sepanjang manusia terlibat di dalamnya, sepanjang itu pula ciptaan manusia akan selalu sarat akan nilai (Antipova, & Bourmistrov, 2013; Hall, Millo, & Barman, 2015; Hillier, Hodgson, & Ngole, 2016). Dalam penentuan harga jual

52 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 12: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

yang berdasar pada nilai­nilai lokalitas, ada banyak faktor eksternal yang harus diper-timbangakan dalam perumusan harga jual, serta tidak semata-mata hanya berfokuskan pada pencapaian laba. Untuk mewujudkan proses pencapaian laba yang maksimal, per-lu dihadirkan sebuah formulasi khusus yang mampu mengakomodasi keinginan tersebut. Namun, masih tetap berjalan di koridor yang mampu menghadirkan keadilan bagi semua pihak. Berikut ini penuturan Faisal berkait-an dengan keadilan yang dihadirkan dalam proses pencapaian laba.

“Dalam menciptakan laba tidak dibenarkan untuk mengeksploita-si orang kerja sesuka kita. Di si-ni komitmennya jelas peng seribe ata geutanyoe (uang seribu mi-lik bersama) semua punya peran masing-masing dan tau apa yang harus dikerjakan. Jadi, dalam meng hasilkan laba perlu mengha-dirkan cara yang memanusiakan manusia tentunya. Mereka sadar apabila mereka bermalas-malasan dalam bekerja, maka tidak akan memperoleh penghasilan yang maksimal pula. Namun, selayak­nya pimpinan kita juga harus me-menuhi hak-haknya mereka yang sudah menginvestasikan tenaga-nya. Berkat kerja keras bersama inilah, kita mampu menghadir-kan kopi dengan harga yang se-lalu terjangkau dengan kualitas terbaik bagi para pelanggan tanpa bergantung dengan kondisi pasar” (Faisal).

Jadi berdasarkan penuturan Faisal terungkap bahwa dalam proses pencapai-an laba sangat menjunjung rasa kemanu-siaan dengan memanusiakan manusia. Hal tersebut merupakan perwujudan dari nilai-nilai keadilan yang dihadirkan dalam konsep penentuan harga jual berdasarkan nilai meuramin yang berasas kekeluargaan dalam pengelolaannya. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa akuntansi merupakan sesuatu yang benar-benar tidak bebas dari nilai. Pertimbangan untuk memanusiakan manusia dalam pencapaian laba dan ber-bagi risiko merupakan refleksi dari budaya (meuramin) dan nilai-nilai Islam yang dapat membentuk budaya organisasi serta mem-pengaruhi cara bekerja. Lebih lanjut Sitorus

(2015) mengungkapkan bahwa pengadop-sian konsep akuntansi yang berdasarkan unsur kapitalisme sangat menekankan un-sur materialistis. Hal tersebut sejalan de ngan apa yang diungkapkan oleh Bryer (2015), Cushen (2013), dan Mehrpouya (2015) yang menggambarkan akuntansi ala kapitalisme sebagai alat untuk mengumpulkan harta dan memeliharanya agar proses akumulasi kekayaan berjalan lancar dan penguasaan-nya tetap di tangan kapitalis.

Selain memanusiakan manusia dalam proses penentuan harga jual dan mencip-takan laba, para pekerja diberi keleluasaan dalam menentukan sikap dalam bertindak. Para pekerja diposisikan sebagai bagian dari kepemilikan bersama pada pendekat-an bisnis dengan cara Endatu, yaitu pemilik memberikan kepercayaan kepada pengelola dalam menghasilkan laba yang diatur sesu-ai dengan akad, yang pada ahkirnya laba tersebut akan didistribusikan berdasarkan kontribusi dan besar tanggung jawab yang diemban masing­masing pekerja. Namun, penghasilan yang akan diterima bersifat “bagi persen” dan begitu juga pada saat kondisi mengalami kerugian. Semua akan ikut mengambil bagian berdasarkan propor-si masing­masing. Oleh karena itu, ke adilan yang bersifat proporsional dalam tata kelo-la tersebut menghadirkan keadilan untuk semua pihak baik pemilik, pengelola mau-pun para pekerja. Konsep usaha de ngan cara Endatu memosisikan para pekerja se-bagai bentuk penyertaan modal yang mam-pu menciptakan laba. Hal tersebut kontra-diktif dengan konsep akuntansi modern yang mengklasifikasikan pekerja sebagai unsur produksi. Berikut ini tuturan Ismi sehu-bungan keadilan yang dirasa dari nilai-nilai meuramin.

“Saya pribadi merasakan diposi-sikan sebagai pemilik bukan kar-yawan di sini. Walaupun saya gak menyertakan modal, tapi ke-hadiran dan kontribusi saya da-lam pengelolaan serta hasil yang saya peroleh sebandinglah. Ada keadilan bagi saya secara pribadi saat kerja keras kita dihargai se-suai dengan kontribusi kita ma-sing­masing, serta hal ini menja-di sebuah motivasi juga bagi saya untuk terus meningkatkan sema-ngat dalam bekerja” (Ismi).

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 53

Page 13: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

Berdasarkan penuturan Ismi terung-kap bahwa para pekerja memperspektif dalam melihat dirinya sebagai mitra kerja dalam meraih kesuksesan bersama dalam pengelolaan Coffee Shop A. Kondisi tersebut tidak dapat dipungkiri membawa dampak yang cukup besar dalam proses perumu-san harga jual kopi yang ada di Coffee Shop A. Para pekerja akan memberikan effort terbaik nya untuk mengembangkan keude kupie layaknya usaha milik mereka sendiri. Di sisi yang lain, biaya pengelolaannya pun akan semakin murah. Begitu juga dengan kosep dalam mempersepsikan biaya. Konsep usaha dengan cara Endatu mendorong para pekerja sadar akan biaya dan berprilaku efisien. Jika terjadi tindakan mubazir, akan berdampak pada perolehan penghasilan pekerja. Jadi, secara otomatis sudah terta-namkan dalam benak semua pekerja untuk berperilaku efisien. Pengeluaran satu ru-piah oleh Coffee Shop A sama juga dengan pengeluaran seluruh pekerja yang menjadi tanggung jawab bersama. Hal tersebut akan meningkatkan biaya operasional sehingga akan mengurangi penghasilan yang akan di-peroleh para pekerja dan bukan tidak mung-kin dapat mempengarui harga jual kopi suatu saat nanti. Meskipun penjualan besar jika tidak efisien akan memperkecil laba dan pada akhirnya akan sulit untuk mewujud-kan cita-cita bersama dalam memperoleh kemandirian secara finansial yang selama ini menjadi motivasi bersama dalam bekerja.

Selain itu, dalam menghadirkan rasa keadilan dan kesejateraan dalam rangka membangun loyalitas, para pekerja di Cof-fee Shop A diberi keleluasaan untuk minum kopi sepuasnya dan mengonsumsi kue yang biasa dihidangkan untuk para pelanggan. Secara umum, keude kupie yang ada di Ban-da Aceh pada dasarnya melakukan proses konsinyasi untuk pengadaan kue yang ha-rus dibayarkan ke kongsinor (pemilik kue) setiap sore. Namun, hal tersebut tidak men-jadi halangan bagi manajemen dalam mem-bebaskan para pekerja untuk mengonsumsi kue-kue tersebut. Hal tersebut tidak terlepas dari konsep biaya yang dipersepsikan oleh para pekerja. Berikut ini penuturan Faisal sehubungan dengan hal tersebut.

“Di sini selain disediakan peng bue (uang makan harian), pekerja kalo mau minum kopi atau makan kue yaaa silakan dimakan aja, ini milik kita bersama. Namun,

perlu disadari bahwa kue ini kan kita terima titipan orang, yang mana setiap sore sama malam harus kita bayar ke orangnya langsung, jadi semua sadar akan hal itu. Sebenarnya kalo usaha udah stabil seperti Coffee Shop A ini kita gak perlu lah perhitung-an kali sama orang kerja. Sela-ma ini alhamdulilah rejeki yang dikasih mencukupi kok untuk kita distribusikan ke semuanya. Pada dasarnya para pekerja mau gabung sama kita (Coffee Shop A) dengan konsep “bagi persen” un-tuk gaji sebenernya udah keliatan kan mana yang sebetulnya orang yang mau kerja” (Faisal).

Berdasarkan penuturan Faisal ter-ungkap bahwa para pekerja secara relat-if akan menyesuaikan perilakunya dengan aturan­aturan yang tidak tertulis tersebut, bagimanapun daya tarik untuk mendapa-tkan penghasilan lebih besar terbentang di hadapan mata. Lebih dari itu, kesada-ran para pekerja sangat tinggi untuk sal-ing mengingatkan satu sama lain. Kesadar bersikap hemat dan tidak ingin mencuran-gi sesama rekan untuk menggapai cita-cita bersama untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik.

Selain memberikan kebebasan bagi para pekerja untuk mengonsumsi semua makanan dan minuman yang ada secara cuma­cuma, manajemen Coffee Shop A sa-ngat mengapresiasi kontibusi para pekerja. Hal tersebut mencerminkan adanya tim-bang rasa dari pemilik modal, yaitu pemi-lik yang mempercayakan usahanya dikelo-la oleh pihak kedua. Kondisi finansial yang selalu stabil membuat para pengelola tidak meragukan kontribusi para pekerja dalam bekerja sehingga sudah sewajarnya para pekerja memperoleh hal-hal demikian yang merupakan reward dari dedikasi para peker-ja. Situasi di atas menggambarkan bahwa keadilan berjalan di koridor yang semesti-nya, tidak ada ekploitasi antara pekerja dan pemilik modal. Semuanya dilakukan atas dasar motivasi dari masing-masing individu dalam meraih keberhasilan dan kebanggaan tersendiri secara personal.

Keberhasilan Coffee Shop A tidak ter-lepas dari nilai-nilai Meuramin dan konsep usaha dengan cara Endatu yang dijalankan-nya. Dari perpektif para pekerja timbul rasa

54 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 14: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

kebanggaan dengan ikut berbagi tanggung jawab, risiko, dan berjuang bersama dalam membesarkan nama Coffee Shop A sehingga muncul istilah yang beredar dikalangan para pekerja, yaitu: “ken awak gajian” (bukan pekerja gajian). Para pekerja dan pengelola merasa lebih “tinggi” dengan status bukan orang gajian. Para pekerja merasa puas de-ngan hasil yang telah dicapai dari kinerja nya sendiri, dan mereka merasa puas karena ikut dilibatkan dalam membuat keputusan. Hal itu dituturkan oleh Ismi berikut ini.

“Saya secara pribadi merasakan diposisikan sebagai pemilik bukan karyawan di sini. Jadi, gak perlu disuruh-suruh dalam bekerja. Wa laupun saya gak menyertakan modal tapi kehadiran dan kontri-busi saya dalam bekerja serta ha-sil yang saya peroleh sebandinglah alhamdulilah. Ada keadilan bagi saya pribadi saat kerja keras kita dihargai sesuai dengan kontribusi kita masing-masing dan juga ini menjadi sebuah motivasi juga bagi saya untuk terus meningkatkan semangat dalam bekerja” (Ismi).

Berdasarkan penuturan Ismi terung-kap bahwa ada rasa yang lebih dari seke-dar pekerja biasa yang dirasakan oleh Ismi sebagai pekerja. Istilah “ken awak gajian” (bukan pekerja gajian) menghadirkan rasa bangga bahwa mereka para pekerja bekerja bukan berdasarkan gaji yang telah ditentu-kan layaknya di perusahaan atau keude kup-ie yang lain. Namun, mereka merasa sebagai pemilik juga. Ada rasa bangga yang cukup mendalam dalam diri para pekerja ketika mengatakan “kami di sini bukan orang ga-jian, melainkan bagi hasil. Mereka merasa bangga yang diposisikan “bukan pekerja ga-jian” tetapi merasa bagian dari pemilik. Hal tersebut cukup beralasan dikarenakan para pekerja bahu membahu dalam menciptakan laba secara bersama-sama dan juga ikut ser-ta menanggung risiko bersama-sama atas penurunan laba yang terjadi. Menanggung risiko bersama-sama juga mendatangkan rasa kepemilikan yang tinggi dalam penge-lolaan yang selalu dituntut untuk berfikir kreatif dan efektif dalam bekerja. Salah sa-tunya dengan adanya prinsip inisiatif da-lam bekerja tanpa instruksi merupakan hal yang cukup sulit untuk diwujudkan tanpa didukung dengan kompensasi yang kom-

petitif. Dengan demikian, sistem “bagi per­sen” di Coffee Shop A mampu menghadirkan rasa memiliki. Semua orang bergerak dan bekerja apa saja yang dapat dikerjakan tan-pa menunggu arahan, misalkan membersih­akan meja yang kotor setelah digunakan oleh pelanggan, menerima order, dan sa­ling membantu saat melakukan penutupan keude kupie. Semua dilakukan secara inisi-atif.

Selain itu, konsep usaha dengan cara Endatu yang bersandar pada nilai-nilai meuramin mendidik setiap pihak untuk bertanggung jawab penuh dengan posisi-nya masing­masing. Maka, menjadi relatif adil ketika para pekerja dan pengelola diberi bagi hasil 50% (lima puluh persen) dari laba bersih usaha. Karena pada dasarnya yang menciptakan nilai adalah para pekerja, su-dah sepantasnya hal tersebut diterima oleh para pekerja. Sebagaimana penuturan Bayu berikut ini.

“Di sini semuanya saya posisikan sebagai pemilik. Jadi, saya gak berbisnis sama mereka (peker-ja), apa lagi mengekploitasi me­reka. Kita semua saudara di sini. Semuanya bisa berkontribusi ses-uai kemampuan masing­masing, makanya di sini saya pake sistem bagi persen. Semuanya bekerja untuk memperoleh hasil maksi-mal. Jadi, saya menghargai tenaga mereka (para pekerja dan pengelo-la) sebagai penyertaan bagian dari modal, hasil yang kita dapat ini semua hasil peras keringat mere-ka” (Bayu).

Berdasarkan penuturan Bayu terung-kap bahwa ada kesadaran penuh dari pemi-lik yang mempersepsikan bahwa kinerja Coffee Shop A diciptakan oleh para pekerja dan pengelola. Kesadaran tersebut termani-festasi dalam bentuk bagi persen sebagai sistem pendistirbusian hasil dari laba yang diciptakan oleh para pekerja. Dengan kata lain, konsep ini juga berdampak pada tim-bal balik secara positif. Apabila penghasilan ingin meningkat, harus diiringi dengan pe­ningkatan produktifitas dan kerja keras.

Konsep penentuan harga jual yang digambarkan oleh beberapa informan se-bagaimana yang telah diungkapkan sebe-lumnya tentu saja memiliki unsur-unsur yang berbeda apabila disandingkan dengan

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 55

Page 15: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

unsur-unsur yang membangun harga jual dalam perspektif harga jual konvensio nal yang mengedepankan nilai materi untuk kepentingan individu semata. Selain itu, budaya meuramin dan Qanun yang berlaku di Banda Aceh pada dasarnya juga mampu menciptakan ekosistem baru dalam ber-bisnis. Bagi persen merupakan salah satu bentuk pendistribusian kekayaan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama yang merefleksikan cara yang Islami dalam mem-peroleh keuntungan dunia dan akhirat yang mana melebihi dari keuntungan materi se-mata. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diutarakan oleh beberapa peneliti bahwa perbedaan filosofi, nilai­nilai yang dijadikan pedoman, tujuan dan hasil yang ingin di-capai merupakan dasar dalam membentuk suatu realitas yang tidak dapat disanding-kan dengan persepsi yang lain (Agbejule, 2011; Jeacle, 2012; Khlif, 2016; Sikkema & Sauerwein, 2015).

Untuk meraih keuntungan tidak saja dibutuhkan modal materi, tetapi juga mo­dal spiritual (spiritual capital). Modal spiri-tual (spiritual capital) dalam Islam bermak-na kekuatan dan pengaruh yang dihasilkan oleh hubungan seseorang dengan Allah SWT (Farquhar, 2015; Rudnyckyj, 2016; Stead & Stead, 2014; Stokes, Baker, & Lichy, 2016). Artinya, kuat tidaknya hubungan seseorang dengan Allah akan memberikan kekuatan dan pengaruh kehidupan.

Modal spiritual (spiritual capital) meru-pakan sumber kebajikan yang dalam pan-dangan Islam tujuannya hanyalah untuk meraih ridha Allah SWT melalui ketunduk­an dan kecintaan kepada Allah. Dengan keya kinan yang bersandar pada nilai-nilai spiritual Islam, Faisal menuturkan bah-wa mencari uang bukanlah segala-galanya baginya, tetapi lebih dari itu ada keyakinan bahwa semua sudah ada yang mengatur dan mengimani bahwa rezeki datangnya dari Al-lah dan sudah diatur sebaik­baiknya, yang merupakan perwujudan dari sikap yang me-masrahkan diri kepada yang mahakuasa. Beliau juga menambahkan bahwa manusia hanya perlu berusaha sebaik mungkin dan berdoa. Namun, perlu disadari bahwa ikh-tiar itu di dunia dan doa itu terpaut ke langit, sehingga logika ilmiah dan logika rabbaniah itu ada. Iman tidak boleh mengikuti ikhtiar. Iman terpautnya ke langit dan ikhtiar itu di bumi. Menurutnya yang paling penting ya-kin sama Allah sebaik-baik pembuat ren-

cana. Sebagimana hal tersebut dituturkan oleh Faisal.

“Pernah satu masa, pada saat ra-madhan, keude kupie (kedai kopi) hanya boleh beroperasi pada sore hari beberapa jam menuju buka puasa. Saat itu omset penjualan kita turun, namun saat itu saya meyakinkan para pekerja bahwa usaha kita berangkat dari suatu keyakinan kalau rejeki sudah ada yang mengatur, kita percaya reze-ki itu di tangan Allah, mari kita jemput dengan cara yang syar’i, jangan khawatir lebaran gak pu-nya duit, in sha allah ada jalan bagi yang mau berusaha. Kita bisa seperti sekarang juga tidak lepas dari bantuan banyak pihak” (Fai-sal).

Apa yang disampaikan oleh Faisal se-jalan dengan kaidah-kaidah nilai Islam yang berlaku di Kota Banda Aceh. Uang bukan se-gala-galanya apalagi dikaitkan dengan syari-ah Islam. Misalkan pada saat bulan puasa, keude kupie baru dibuka pada pukul 16.30 untuk persiapan berbuka puasa dan ha-nya melayani penjualan take away. Setelah salat tarawih semua operasional berjalan seperti biasa hingga pukul 04.00. Hal terse-but dilakukan untuk menghormati umat Is-lam yang menjalakan ibadah shalat tarawih meskipun sebenarnya cukup banyak pelang-gan dari kalangan kawula muda dan non-muslim yang tidak melaksanakan ibadah salat tarawih. Peluang untuk menambah pendapatan itu diabaikan. Selain itu, setiap hari Jum’at juga pada pukul 11.00 dilaku-kan penutupan walaupun cukup banyak ibu-ibu dan pelanggan yang lain tidak men-jalankan ibadah salat Jum’at. Peluang terse-but diabaikan demi memberikan waktu beri-badah kepada para pekerja dan menghargai pene rapan syariat islam yang menyeluruh, ke sempatan untuk memingkatkan pengha-silan pun diabaikan. Selain itu, terdapat sebuah keyakinan yang muncul bahwa ke-berhasilan Coffee Shop A dalam berbisnis banyak disokong oleh orang di sekitarnya, yang merupakan buah manis yang diperoleh dari semangat silaturahmi yang beliau rajut bersama pelanggan dan orang di sekitar. Se-lain itu, konsep penentuan harga jual berba-sis budaya meuramin memiliki output tidak

56 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 16: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

sebatas pada profit materi semata, tetapi di setiap transaksik mengandung unsur iba-dah. Berikut ini penuturan Bayu.

“Profit ini kan sifatnya relatif, saya sebagai orang muslim berusaha dalam berjualan ngambil untung sewajarnya saja, tujuan kita da-gang ini kan bukan semata-ma-ta mengejar keuntungan duniawi aja, namun juga mencari keber-kahan dari Allah SWT dan mem-pererat hubungan silaturrahmi dengan sesama, serta niatkan se-gala sesuatu yang dilakukan kare-na Allah’tala agar setiap aktivitas yang dilakukan bernilai ibadah” (Bayu).

Berdasarkan penuturan Bayu terung-kap bahwa orientasi bisnis dengan cara Endatu meletakkan pilar-pilar keberkahan dalam bertransaksi sebagai investasi akhi-rat yang melebihi profit materi semata. Hal tersebut merupakan investasi untuk hari akhir dalam bentuk profit religius. Persepsi untung sewajarnya merupakan refleksi dari berdagang tidak semata-mata bertujuan un-tuk menumpuk kekayaan, tetapi di tatanan yang lebih luas. Berdagang merupakan ba-gian dari ibadah sehingga dalam perspektif budaya penentuan harga jual terasosiasi dengan lebih dari satu jenis profit yang akan diperoleh berupa profit religus dan profit ma-teri yang memilik pemaknaan yang berbeda secara substansi, yang tidak hanya meraih kepentingan dunia semata (Amaliah & Su-gianto, 2018; Campoy­Muñoz, Cardenete, & Delgado, 2016; Kamla, 2015; Modell, 2017). Bayu percaya bahwa sesuatu yang dimulai dengan niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik. Maka, tidak perlu mera­gukan janji Allah bahwa untung sedikit yang penting lancar.

SIMPULANMeuramin adalah satu dari berbagai

budaya terasosiasi dengan kaidah-kaidah silaturahmi dan bermusyawarah dengan menghadirkan keadilan yang bersifat holis-tik. Berdasarkan hasil analisis data studi ini menemukan konsep-konsep baru dalam pe-rumusan harga jual berdasarkan nilai-nilai meuramin dan memiliki makna tersendiri dalam pemaknaanya. Pertama, dalam peru-musan harga jual, unsur biaya tenaga kerja langsung tidak diikutsertakan dalam proses

pembentukan harga. Kedua, proses cost re-duction yang diimplemtasikan bersifat lebih humanis. Proses tersebut dilakukan dengan edukasi dan musabahah dalam menghadir-kan solusi bersama, bukan dengan pengu-rangan tenaga kerja ataupun penggunaan anggaran ketat yang bersifat jangka pendek semata. Ketiga, proses perumusan harga jual melihatkan berbagai pihak dengan dilanda-si semangat silaturahmi dan menghadirkan keadilan yang holistik, dengan mendengar-kan berbagai masukan dari berbagai pihak yang terkait sebelum finalisasi penentuan harga, serta memandang pekerja sebagai unsur pencipta laba. Hal tersebut tidak se-jalan dengan akuntansi majemen yang mengposisikan tenaga kerja sebagai unsur produksi. Yang terakhir orientasi penentuan harga jual berbasis nilai meuramin memiliki lebih dari satu orientasi berupa profit materi semata, tetapi ada profit religius yang ingin digapai dari proses penentuan harga jual yang diharapakan dapat bernilai ibadah da-lam setiap fase yang ditangani.

Hasil penelitian ini memberikan se-buah bukti bahwa nilai-nilai lokalitas mam-pu memformulasi konsep perumusan harga jual yang sesuai dengan ideologi Pancasila dalam membentuk mentalitas yang human-is dan berkarakter religus (islami), khusus-nya dalam proses memanusiakan manusia dalam menghadirkan solusi berbasis kema-nusiaan dan nilai religius, khsususnya da-lam melakukan cost reduction, orientasi bis­nis, serta menghadirkan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat yang tidak hanya ber-orientasi jangka pendek dengan melakukan bebagai rekaya nilai dan mengabaikan mo-ralitas.

Untuk penelitian selanjutnya, konsep pententuan harga jual tidak hanya mengkaji dari perspektif pemaknaan semata. Namun, merekontrusksi konsep-konsep penentuan harga jual yang bersandar pada teori-teori il-miah dalam menghadirkan konsep penentu-an harga jual yang lebih harmonis dan tepat guna.

DAFTAR RUJUKANAgbejule, A. (2011). Organizational Culture

and Performance: The Role of Manage-ment Accounting System. Journal of Ap-plied Accounting Research, 12(1), 74­89. https://doi.org/10.1108/09675421111130621

Agusalim, L., Karim, M., & Saefuddin, A. (2014). Rekonstruksi Ekonomi Panca­

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 57

Page 17: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

sila sebagai Perwujudan Keberlanjutan Pembangunan Nasional. Jurnal Kese-jahteraan Sosial, 1(1), 39­52. https://doi.org/10.31326/jks.v1i01.138

Al­Amri, K., & Davydov, Y. (2016). Testing the Effectiveness of ERM: Evidence from Operational Losses. Journal of Econo-mics and Business, 87, 70­82. https://doi.org/10.1016/j.jeconbus.2016.07.002

Astuti, S. (2017). Agama, Budaya dan Peru­bahan Sosial Perspektif Pendidikan Is-lam di Aceh. Jurnal Mudarrisuna: Me-dia Kajian Pendidikan Agama Islam, 7(1), 23­46. https://doi.org/10.22373/jm.v7i1.1900

Auer, R. A., Chaney, T., & Sauré, P. (2018). Quality Pricing to Market. Journal of In ternational Economics, 110, 87–102. https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2017.11.003

Amaliah, T. H., & Sugianto. (2018). KonsepHarga Jual Betawian dalam Bing-kai Si Pitung. Jurnal Akuntansi Multi-paradigma, 9(1), 20–37. https://doi.org/10.18202/jamal.2018.04.9002 Jurnal

Antipova, T., & Bourmistrov, A. (2013). Is Russian Public Sector Accounting in the Process of Modernization? An Ana­lysis of Accounting Reforms in Ru ssia. Financial Accountability & Management, 29(4), 442­478. https://doi.org/10.1111/faam.12021

Behson, S. J., & Koppl, R. (2013). Using Pro­cedural Justice to Understand, Ex-plain, and Prevent Decision­Making Er-rors in Forensic Sciences. Organization Management Journal, 10(2), 99­109. https://doi.org/10.1080/15416518.2013.801743

Bohle, S. A. L., Chambel, M. J., & Iriarte, A. D. V. (2018). Job Insecurity, Proce-dural Justice and Downsizing Survi-vor Affects. The International Journal of Human Resource Management, 29(22), 1­21. https://doi.org/10.1080/09585192.2018.1482939

Borkowski, S. C., & Gaffney, M. A. (2014). Proactive Transfer Pricing Risk Manage-ment in PATA Countries. Journal of In-ternational Accounting Research, 13(2), 25­55. https://doi.org/10.2308/jiar 50845

Bouwens, J., & Steens, B. (2016) Full­Cost Transfer Pricing and Cost Management. Journal of Management Accounting Re-

search, 28(3), 63­81. https://doi.org/10.2308/jmar­51390

Bryer, R. (2015). For Marx: A Critique of Ja­cques Richard’s ‘The Dangerous Dy-namics of Modern Capitalism (From Static to IFRS’ Futuristic Accounting)’. Critical Perspectives on Accounting, 30, 35­43. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2014.09.004

Campoy­Muñoz, P., Cardenete, M. A., & Del­gado, M. C. (2016). Assessing the Eco-nomic Impact of a Cultural Heritage Site Using Social Accounting Matrices: The Case of the Mosque­Cathedral of Cordo-ba. Tourism Economics, 23(4), 874–881. https://doi.org/10.5367/te.2016.0554

Chang, H. C. (2013). Environmental Mana­gement Accounting in the Taiwanese Higher Education Sector: Issues and Opportunities. International Journal of Sustainability in Higher Education, 14(2), 133­145. https://doi.org/10.1108/14676371311312851

Christensen, D. M. (2016) Corporate Account­ability Reporting and High­Profile Mis-conduct. The Accounting Review, 91(2), 377­399. https://doi.org/10.2308/ac­cr­51200

Cushen, J. (2013). Financialization in the Workplace: Hegemonic Narratives, Per-formative Interventions and the Angry Knowledge Worker. Accounting, Orga-nizations and Society, 38(4), 314­331. https://doi.org/10.1016/j.aos.2013.06.001

Dillard, J., & Brown, J. (2015). Broadening Out and Opening Up: An Agonistic Atti-tude toward Progressive Social Account-ing. Sustainability Accounting, Manage-ment and Policy Journal, 6(2), 243­266. https://doi.org/10.1108/SAMPJ­09­2014­0055

Eckles, D. L., Hoyt, R. E., & Steve Miller. (2014). The Impact of Enterprise Risk Management on the Marginal Cost of Reducing Risk: Evidence from the In-surance Industry. Journal of Banking and Finance, 43, 247­261. https://doi.org/10.1016/j.jbankfin.2014.02.007

Ellström, D., & Larsson, M. H. (2017). Dyna­mic and Static Pricing in Open-Book Accounting. Qualitative Research in Ac-counting & Management, 14(1), 21­37. https://doi.org/10.1108/QRAM­09­2015­0071

Evans, L., Baskerville, R., & Nara, K. (2015). Colliding Worlds: Issues Relating to

58 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 18: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

Language Translation in Accounting and Some Lessons from Other Disci-plines. Abacus, 51(1), 1­36. https://doi.org/10.1111/abac.12040

Farquhar, M. (2015). Saudi Petrodollars, Spi­ritual Capital, and the Islamic Univer-sity of Medina: A Wahhabi Missionary Project in Transnational Perspective. International Journal of Middle East Studies, 47(4), 701­721. https://doi.org/10.1017/S002074381500094X

Florio, C., & Leoni, G. (2017). Enterprise Risk Management and Firm Performance: The Italian Case. The British Accounting Review, 49(1), 56­74. https://doi.org/10.1016/j.bar.2016.08.003

Fraser, J. R. S., & Simkins, B. J. (2016). Business Horizons, 59(6), 689­698. https://doi.org/10.1016/j.bushor.2016.06.007

Glogovac, M., & Filipovic, J. (2018). QualityCosts in Practice and an Analysis of the Factors Affecting Quality Cost Mana­gement. Total Quality Management & Business Excellence, 29(13­14), 1521­1544. https://doi.org/10.1080/14783363.2016.1273105

Hall, M., Millo, Y. & Barman, E. (2015). Who and What Really Counts? Stakehol­der Prioritization and Accounting for Social Value. Journal of Management Studies, 52(7), 907­934. https://doi.org/10.1111/joms.12146

Haraldsson, M. (2016). “Transparency and Accountability Lost?: Full Cost Ac-counting Reporting in the Swedish Mu-nicipal Solid Waste Business. Journal of Accounting & Organizational Change, 12(3), 254­280. https://doi.org/10.1108/JAOC­01­2015­0006

Hardesty, D. M., Bearden, W. O., Haws, K. L., & Kidwell, B. (2012). Enhancing Perceptions of Price–Value Associated with Price­Matching Guarantees. Jour-nal of Business Research, 65(8), 1096–1101. https://doi.org/10.1016/j.jbus-res.2011.08.024

Haroun, A. E., (2015). Maintenance Cost Es­timation: Application of Activity-Based Costing as a Fair Estimate Method. Journal of Quality in Maintenance En-gineering, 21(3), 258­270. https://doi.org/10.1108/JQME­04­2015­0015

Hillier, D., Hodgson, A., & Ngole, S. (2016). IFRS and Secrecy: Assessing Account-ing Value Relevance Across Africa. Journal of International Financial Man-

agement & Accounting, 27(3), 237­268. https://doi.org/10.1111/jifm.12043

Jeacle, I. (2012). Accounting and PopularCulture: Framing a Research Agenda. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 25(4), 580­601. https://doi.org/10.1108/09513571211225051

John, B. (2014). Qualitative Management Accounting Research in QRAM: Some Reflections. Qualitative Research in Ac-counting & Management, 11(1), 71­81. https://doi.org/10.1108/QRAM­02­2014­0017

Kamayanti, A. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religi-usitas Keilmuan. Jakarta: Yayasan Ru-mah Peneleh.

Kamla, R. (2015). Critical Muslim Intellectu­als’ Thought: Possible Contributions to the Development of Emancipatory Ac-counting Thought. Critical Perspectives on Accounting, 31, 64­74. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2015.01.014

Kasse, S. La, & Damayanti, R. A. (2016). Strategi Holistik Cost Reduction da-lam Nilai-Nilai Korporasi Perusahaan. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(1), 91–100. https://doi.org/10.18202/ja-mal.2016.04.7008

Kenney, M. (2015). Counting, Accounting,and Accountability: Helen Verran’s Re-lational Empiricism. Social Studies of Science, 45(5), 749–771. https://doi.org/10.1177/0306312715607413

Kenno, S. A., & Free, C. (2018). Fostering and Forcing Uses of Accounting: Labour-Management Negotiations in the Au-tomotive Crisis in Canada 2008–2009. Management Accounting Research, 39, 17­34. https://doi.org/10.1016/j.mar.2017.06.001

Khlif, H. (2016). Hofstede’s Cultural Dimen­sions in Accounting Research: A Review. Meditari Accountancy Research, 24(4), 545­573. https://doi.org/10.1108/MEDAR­02­2016­0041

Lambert, E. G., & Hogan, N. L. (2013). The As­sociation of Distributive and Procedural Justice With Organizational Citizenship Behavior. The Prison Journal, 93(3), 313–334. https://doi.org/10.1177/0032885513490491

Lapsley, I., & Rekers, J. V. (2017). The Rele­vance of Strategic Management Ac-counting to Popular Culture: The world of West End Musicals. Management Ac-counting Research, 35, 47­55. https://

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 59

Page 19: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

doi.org/10.1016/j.mar.2017.01.001Lawrence, S. R., Botes, V., Collins, E., & Rop­

er, J. (2013). Does Accounting Construct the Identity of Firms as Purely Self-In-terested or as Socially Responsible? Meditari Accountancy Research, 21(2), 144­160. https://doi.org/10.1108/MEDAR­09­2012­0030

Mac­Clure, O., & Barozet, E. (2016). Judg­ments on (In)Justice in a Mature Neo-liberal Regime: Results of an Empirical Game­Based Research. Current Sociolo-gy, 64(3), 335–352. https://doi.org/10.1177/0011392115590489

Martins, A., Jorge, S., & Sá, P. (2013). Price Regulation and Cost Accounting: The Case of the Portuguese Seaport Sector. International Journal of Law and Ma-nagement, 55(6), 444­463. https://doi.org/10.1108/IJLMA­08­2012­0030

Mehrpouya, A. (2015). Instituting a Trans­national Accountability Regime: The Case of Sovereign Wealth Funds and “GAPP”. Accounting, Organizations and Society, 44, 15­36. https://doi.org/10.1016/j.aos.2015.05.001

Modell, S. (2017). Critical Realist AccountingResearch: In Search of Its Emancipa-tory Potential. Critical Perspectives on Accounting, 42, 20­35. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2016.03.001

Mustafa, H. (2018). Researching Accounting: Self­Reconstruction and Communica-tion in Early Research Settings. Journal of Accounting in Emerging Eco nomies, 8(3), 412­424. https://doi.org/10.1108/JAEE­04­2017­0042

Niswatin, Noholo, S., Tuli, H., & Wuryandini,A. R. (2017). Perilaku Pengusaha Mikro Betawi Perantauan terhadap Cost Re-duction. Jurnal Akuntansi Multipa-radigma, 8(3), 427–443. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.12.7064

Nurunnabi, M. (2018). Accounting for Ac­countability: A Critical Reflection on the Private Higher Education in Bangla-desh. Administration & Society, 50(3), 429–470. https://doi.org/10.1177/0095399715587523

Pal, B., Sana, S. S., & Chaudhuri, K. (2012). Multi­item EOQ model while demand is sales price and Price Break Sensitive. Economic Modelling, 29(6), 2283–2288. https://doi.org/10.1016/J.ECON-MOD.2012.06.039

Pandey, N., Mehta, N., & Roy, S. B. (2017). Semiconductor Pricing Strategy in USB

Market: A Market Leader’s Dilemma. Business Perspectives and Research, 5(1), 1–10. https://doi.org/10.1177/2278533716671614

Parani, J. (2018). Sovereign Women in a Mus­lim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641 – 1699. Paradigma: Jurnal Kaji-an Budaya, 8(2), 197­202. https://doi.org/10.17510/paradigma.v8i2.274

Paranoan, S. (2015). Akuntabilitas dalam Upacara Adat Pemakaman. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 214–223. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6017

Pavlatos, O., & Kostakis, H. (2015). Manage­ment Accounting Practices Before and During Economic Crisis: Evidence from Greece. Advances in Accounting, 31(1), 150­164. https://doi.org/10.1016/j.adiac.2015.03.016

Pratama, A. R. (2018). Sistem Ekonomi Indo­nesia dalam Perspektif Pancasila dan UUD 1945. Veritas et Justitia, 4(2), 304­332. https://doi.org/10.25123/vej.3067

Prencipe, A., Bar­Yosef, S., & Dekker, H. C.(2014). Accounting Research in Family Firms: Theoretical and Empirical Chal-lenges. European Accounting Review, 23(3), 361­385. https://doi.org/10.1080/09638180.2014.895621

Raissi, M., & Tulin, V. (2018). Price and In­come Elasticity of Indian Exports—The Role of Supply-Side Bottlenecks. The Quarterly Review of Economics and Fi-nance, 68, 39­45. https://doi.org/10.1016/j.qref.2017.11.003

Ray, K., & Gramlich, J. (2016). Reconciling Full­Cost and Marginal­Cost Pricing. Journal of Management Accounting Re-search, 28(1), 27­37. https://doi.org/10.2308/jmar­51285

Rudnyckyj, D. (2016), Islamizing Finance: From Magical Capitalism to a Spiritu-al Economy. Anthropology Today, 32(6), 8­12. https://doi.org/10.1111/1467­8322.12310

Reusen, E., & Stouthuysen, K. (2017). Misa­ligned Control: The Role of Manage-ment Control System Imitation in Sup-ply Chains. Accounting, Organizations and Society, 61, 22–35. https://doi.org/10.1016/J.AOS.2017.08.001

Riezal, C., Joebagio, H., & Susanto, S. (2018). Revitalisasi Kearifan Lokal Aceh: Gagasan Islam dan Budaya dalam Menyelesaikan Konflik di Masyarakat.

60 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62

Page 20: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities, 3(2), 227­244. https://doi.org/10.18326/mlt.v3i2.227­244

Scheller, E. M., & Harrison, W. (2018). Igno­rance Is Bliss, or Is It? The Effects of Pay Transparency, Informational Jus-tice and Distributive Justice on Pay Satisfaction and Affective Commitment. Compensation & Benefits Review, 50(2), 65–81. https://doi.org/10.1177/0886368719833215

Schmidt, A., Götze, U., & Sygulla, R. (2015). Extending the Scope of Material Flow Cost Accounting – Methodical Refine-ments and Use Case. Journal of Cleaner Production, 108(B), 1320­1332. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2014.10.039

Schneider, S. M., & Valet, P. (2017). RelativeStandards and Distributive Justice: How Social Comparison Orientations Moder-ate the Link between Relative Earnings and Justice Perceptions. Social Psycho-logy Quarterly, 80(3), 276–287. https://doi.org/10.1177/0190272517708810

Sikkema, S. E., & Sauerwein, J. A. (2015). Exploring Culture­Specific Learning Sty les in Accounting Education. Journal of International Education in Business, 8(2), 78­91. https://doi.org/10.1108/JIEB­08­2015­0019

Sitorus, J. H. E. (2015). Membawa Pancasiladalam Suatu Defiisi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 175–340. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6021

Soon, W. (2011). A Review of Multi­Product Pricing Models. Applied Mathematics and Computation, 217(21), 8149–8165. https://doi.org/10.1016/j.amc.2011.03.042

Spraakman, G., O’Grady, W., Askarany, D.,& Akroyd, C. (2018). ERP Systems and Management Accounting: New Under-standings through “Nudging” in Quali-tative Research. Journal of Accounting & Organizational Change, 14(2), 120­137. https://doi.org/10.1108/JAOC­06­2016­0038

Stein, M. J., Salterio, S. E., & Shearer, T. (2017). “Transparency” in Accounting and Corporate Governance: Making Sense of Multiple Meanings. Account-ing and the Public Interest, 17(1), 31­59. https://doi.org/10.2308/apin­51746

Stokes, P., Baker, C., & Lichy, J. (2016). The Role of Embedded Individual Values, Belief and Attitudes and Spiritual Ca­

pital in Shaping Everyday Postsecu-lar Organizational Culture. European Mana gement Review, 13(1), 37–51. https://doi.org/10.1111/emre.12065.

Sulaiman. (2018). Budaya Hukum Masyara­kat Aceh dalam Perjanjian Jual­Be-li. Al-Risalah: Foru Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan, 17(1), 1­22. https://doi.org/10.30631/al­risalah.v17i01.26

Tammel, K. (2017). Shared Services and Cost Reduction Motive in the Public Sector. International Journal of Public Adminis-tration, 40(9), 792­804. https://doi.org/10.1080/01900692.2016.1204617

Taylor, L. C. (2018). Reassessing and Refi­ning Theory in Qualitative Account-ing Research: An Illustrative Account of Theorizing. Qualitative Research in Accounting & Management, 15(4), 510­534. https://doi.org/10.1108/QRAM­09­2017­0090

Triyuwono, I. (2015a). Akuntansi Malangan:Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 6(2), 290–303. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6023

Triyuwono, I. (2015b). Awakening the Con­science Inside: The Spirituality of Code of Ethics for Professional Accountants. Procedia-Social and Behavioral Scienc-es, 172, 254–261. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.362

Umam, S. (2017). Ekonomi Pancasila di Te­ngah Arus Kapitalisme Pasar. Jurnal Pemikiran Keislaman, 28(2), 434­459. https://doi.org/10.33367/tribakti.v28i2.491

Uyar, A., & Kuzey, C. (2016). Does Manage­ment Accounting Mediate the Relation-ship between Cost System Design and Performance? Advances in Accounting, 35, 170­176. https://doi.org/10.1016/j.adiac.2016.06.004

Wicaksono, K. W. (2015). Akuntabilitas Or­ganisasi Sektor Publik. Jurnal Kebi-jakan dan Administrasi Publik, 19(1), 1–12. https://doi.org/10.22146/jkap.7523

Woo, Y., Maguire, E. R., & Gau, J. R. (2018). Direct and Indirect Effects of Procedur-al Justice on Cooperation and Compli-ance: Evidence from South Korea. Police Practice and Research, 19(2), 168­185. https://doi.org/10.1080/15614263.2018.1418147

Hidayat, Triyuwono, Praktik Penentuan Harga Jual Berbasis Meuramin 61

Page 21: PRAKTIK PENENTUAN HARGA JUAL BERBASIS MEURAMIN

Yagi, M., & Kokubu, K. (2018). Corporate Ma­terial Flow Management in Thailand: The Way to Material Flow Cost Account-ing. Journal of Cleaner Production, 198, 763­775. https://doi.org/10.1016/j.jc­lepro.2018.07.007

Ylä­Kujala, A., Marttonen­Arola, S., & Kärri,T. (2018). Finnish “State of Mind” on

Inter-Organizational Integration: A Cost Accounting and Cost Management Perspective. IMP Journal, 12(1), 171­191. https://doi.org/10.1108/IMP­09­2016­0018

62 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 1, April 2019, Hlm 42-62