praktik kehidupan di pulau

20
PRAKTIK KEHIDUPAN DI PULAU ADONARA Kompas Senin, 25 September 2006 Budaya Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi. Salah satu tokoh masyarakat Adonara, Oka Corebima, di Waiwerang, pekan lalu, mengatakan, meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat. Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Adonara (Solor) khususnya dan Flores Timur (Lembata) pada umumnya disebut budaya Lamaholot. Budaya Lamaholot demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa daerah Lamaholot dan mengikuti tata krama daerah itu. “Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan

Upload: watowuan-tyno

Post on 06-Aug-2015

231 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Praktik kehidupan di pulau

PRAKTIK KEHIDUPAN DI PULAU ADONARA

Kompas Senin, 25 September 2006

Budaya

Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara sekarang ini masih

dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu

tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan,

dan nilai ekonomis yang tinggi.

Salah satu tokoh masyarakat Adonara, Oka Corebima, di Waiwerang, pekan lalu,

mengatakan, meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes

sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading

gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara

secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat.

Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Adonara (Solor) khususnya dan Flores

Timur (Lembata) pada umumnya disebut budaya Lamaholot. Budaya Lamaholot

demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga

Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa daerah Lamaholot dan mengikuti

tata krama daerah itu.

“Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri,

atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan

masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas,

suci, dan bermartabat yang lebih sosialis,” kata Corebima.

Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang

gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan,

dan keramahan yang dimiliki sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin

gading gajah kepada keluarga wanita pertanda membangun suasana harmonis bagi

kehidupan sosial budaya setempat.

Meski di Adonara atau Flores Timur tidak memiliki gajah, kaum pria tidak pernah

gentar memenuhi pemberian mas kawin gading gajah.

Page 2: Praktik kehidupan di pulau

Sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar rumah tanpa

perlindungan, pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka bahkan tidak

bisa keluar rumah pada malam hari.

Ketua Adat Desa Demondei, Adonara Barat, Frans Duli mengatakan tidak ada

perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai dengan

pembicaraan mas kawin gading gajah.

Lima jenis

Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading. Namun, jika sang

pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia

akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya

menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah, pertama, bala belee

(gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa. Kedua, bala

kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah depa

sampai siku), ina umene (setengah depan sampai batas bahu), dan opu lake

(setengah depa, persis belah dada tengah).

Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya

ditentukan sesuai dengan kesepakatan.

Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah

depa, satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri

ke ujung jari tengah tangan kanan).

Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata

cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan

mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan

keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama.

Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi

keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria

menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih

memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta.

Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering

bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal

tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat

Page 3: Praktik kehidupan di pulau

perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon

pengantin wanita.

Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama

calon pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua

calon pengantin membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di

hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga

besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake.

Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar

dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.

Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria

menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing,

ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting,

gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain

itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok

makan.

Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada

keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita

harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading.

Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan

perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan

nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria.

Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat merayakan pesta adat di

masing-masing kelompok.

Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak

keluarga wanita tidak menyiapkan “imbalan” sama sekali. Di sinilah biasanya

awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir

dengan perceraian.

Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero.

Artinya, gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak

keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya.

Page 4: Praktik kehidupan di pulau

Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak

wanita tidak harus memiliki gading tersebut.

Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis

Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa,

Sulawesi, Sumatera, dan Bali.

Gading dalam bahasa Lamaholot disebut “bala”. Saat ini jumlah gading yang

beredar di Pulau Adonara, menurut Corebima, sekitar 30 batang. Gading makin

langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores membeli dari Adonara.

Elias Laga Kelake (58), pemilik 10 batang gading di RT 18 RW 2 Waiwerang,

Adonara Timur, mengatakan, hampir setiap hari ada orang datang ke rumahnya

membeli gading. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta,

tergantung dari besar (panjang)-nya.

Elias menuturkan, di Lewopao, Adonara Timur, terdapat satu batang gading

dengan lima cabang. Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan

upacara adat, yakni memandikan dan memberi makan minum kepada gading

tersebut.

Gading seperti itu merupakan simbol kehadiran nenek moyang, sumber

kehidupan, kekayaan, dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada

malam hari, gading tersebut bahkan dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan

bertunas.

Mengapa gading menjadi mas kawin utama di Adonara, versinya beragam.

Ernst Vatter dalam buku Ata Kiwang (1563) mengemukakan, sebelum

menggunakan gading, perkawinan di Pulau Solor dan Alor mirip dengan membeli

seorang gadis. Pengantin pria harus membeli pengantin wanita dengan sejumlah

uang Belanda dan budak. (KOR)

Kebetulan saya lagi penelitian tentang pergeseran nilai gading yang dijadikan

belis bagi perempuan lamaholot,realita membuktikan bahwa ternyata gading dapat

digantikan dengan uang.menurut saya bila sesuatu yang sifatnya sakral dan agung

seperti pernikahan bila barometernya adalah materi maka simbol pemaknaan

gading yang dijadikan belis itu sudah luntur lantas bila terjadi seperti itu maka apa

bedanya dengan prostitusi?pada kenyataannya perempuan lamaholot masih

Page 5: Praktik kehidupan di pulau

menjadi second line dalam rumah tangga bahkan tidak jarang sebagai “budak”

dari “suami”nya sendiri padahal sejatinya sebuah perkawinan bukan hanya karna

gading tapi pada persenggamaan kedua mempelai dan keluarga masing-masing

agar tercipta ketentraman dan kedamaian dengan landasannya adalah kasih sayang

serta saling menghargai

Budaya adat perkawinan di Suku bangsa Lamaholot, Adonara khusunya adalah

warisan dari Leluhur Kita. Jadi,adat perkawinan yang belisnya adalah gading tetap

harus di pertahankan. Walaupun secara ekonomis nilainya sangat besar. Tapi juga

merupakan salah satu bentuk penghargaan kepada kaum wanita yang ada di Pulau

Adonara.. Sayang,,jika warisan budaya Leluhur tidak kita pertahankan,,toh orang

yg mendahului kita akan kecewa. Sekalipun Kita tauh perkmbangan zaman sudah

cukup mempengaruhi masyarkat setempat. Alangkah baiknya kita tetap

mempertahankan adat perkawinan yang sudah ada. Dan bagi pria yang bukan

suku asli Lamaholot,juga wajib mengikutin kebudayaan masyarkat Adonara,tanpa

kompensasi.. Satu tekat ”Budaya Lamaholot adalah harga mati,tanpa praktik2

yang menyimpang” …Mahasiswa FakHum UNILAK PEKANBARU RIAU…

Saya dari waiwerang adonara timur dan merupakan mahasiswa sosiologi FISIP

UNDANA KUPANG,,menurut pendapat saya,budaya merupakan warisan leluhur

yang tak boleh dihilangkan dan harus tetap di lestarikan,,sebab kalau budaya kita

hilang maka hilang pula identitas kita sbg masyarakat lamaholot,,namun

terkadang budaya sering disalah artikan untuk suatu kepentingan

tertentu,.misalnya pada topik diatas mengenai gading sbg belis,paradigma yg

dibangun oleh suatu keluarga tentang belis yg diterima adalah merupakan suatu

bentuk penghargaan terhadap mereka,dan mendatangkan “hoki” sebab anak

wanita mereka telah dipinang,,tetapi di satu sisi,yaitu si pemberi belis merasa

terbebankan,betapa tidak jika si pihak pemberi berasal dari keluarga

miskin,,mereka harus berupaya keras untuk melakukan pinjaman hanya untuk

membayar belis dimana belis itu sendiri memiliki nilai ekonomis yg cukup

tinggi,apabila pihak pemberi belis belum sanggup membayar belis maka bisa

dibayar dikemudian hari dgn catatan si wanita belum bisa dibawa keluar sampai

belis itu terbayar dan si pria harus tinggal bersama dgn keluarga wanita sbg

Page 6: Praktik kehidupan di pulau

bentuk pengabdiannya,,dari sini bisa menjadi pemicu terjadinya diskriminasi yg

berujung konflik di kemudian hari,,misalnya apabila belis sdh terbayarkan maka

akan timbul perasaan ego yg cukup tinggi dan berujung pada diskriminasi yg

berujung konflik dari pria terhadap wanita yg menjadi istrinya.disini bisa saja

timbul pandangan dari pria bahwa “saya sudah membayar lunas belis,jd saya bs

berbuat apa sj semau saya”,,maka tidak heran dapat kita temui adanya kekerasan

yg terjadi dalam rumah tangga di kehidupan masyarakat lamaholot. kemudian

mengenai belis yg belum terbayarkan,,sbg bentuk pengabdian maka si pria tinggal

bersama keluarga wanita,disini jg bisa terjadi diskriminasi dan konflik dari pihak

keluarga terhadap si pria,,timbul paradigma dari orang tua bahwa”kamu belum

membayar belis anak saya,jadi kami bisa melakukan apa saja yg kami

mau”,shingga hal ini bisa mengakibatkan si pria merasa tertekan dan

terdiskriminasi. hal ini terjadi tanpa memikirkan esensi dari pernikahan yg

sebenarnya. jadi kesimpulannya bahwa kebudayaan itu harus tetap dipertahankan

namun yg harus kita ubah adalah cara pandang kita mengenai kebudayaan kita ini

terkait masalah belis,dan satu hal lagi spy masalah belis yg juga merupakan salah

satu masalah sosial yg kita hadapi saat ini maka perlu adanya campur tangan dari

pemerintah untuk menentukan dan membatasi nilai belis sehingga masalah ini

sebisa mungkin dapat teratasi.trimakasih

Marginalisasi Perempuan Dalam Sistem Perkawinan Lamaholot

Surga di bawah telapak kaki ibu. Ungkapan klasik ini sekaligus menggambarkan

betapa mulianya seorang ibu yang nota bene adalah perempuan. Terlepas dari baik

atau buruk perlakuan terhadap kaum perempuan dalam kehidupannya, namun

pasti bahwa ungkapan tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk yang

istimewa dan itu diakui secara umum termasuk laki-laki.

Dalam budaya Lamaholot yang dianut masyarakat Flores Timur dan Lembata, di

Nusa Tenggara Timur (NTT), ungkapan di atas menjadi nyata dalam kehidupan

keseharian pelapisan social yang memandang  wanita  sebagai sentral kehidupan

masyarakat dan tinggi nilainya. Karena itu, meski masyarakat menilai seorang

Page 7: Praktik kehidupan di pulau

wanita tidak secara material, mereka tetap mencari materi pembanding dalam

bentuk belis.

Belis merupakan unsur penting dalam lembaga perkawinan. Selain dipandang

sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur dan bentuk penghargaan terhadap

perempuan, namun di satu sisi juga sebagai pengikat pertalian kekeluargaan dan

simbol untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Belis

juga dianggap sebagai syarat utama pengesahan berpindahnya suku perempuan ke

suku suami.

Di NTT ada beragam belis yang digunakan berupa emas, perak, uang, maupun

hewan seperti kerbau, sapi, atau kuda. Di daerah tertentu belis berupa barang

khusus. Sementara bagi masyarakat Lamaholot nilai seorang perempuan pada

maskawin dikonkritkan dalam bentuk nilai dan ukuran gading gajah yang sulit

diperoleh.

Gading gajah baru masuk pada abad permulaan perdagangan rempah-rempah

termasuk wewangian cendana. Secara umum, ukuran dan jumlah gading

tergantung pada status social seorang gadis, juga system  perkawinan yang

ditempuh serta kemampuan negosiasi dari keluarga laki-laki kepada keluarga

perempuan.  Lebih dari itu, pendidikan perempuan juga terkadang menjadi ukuran

dalam menentukan belis.

Sistem Perkawinan

Dalam kehidupan masyarakat Lamaholot dikenal beberapa system perkawinan

yakni, gete dahang/pana gete (peminangan biasa)  perkawinan cara ini didahului

dengan acara peminangan resmi dari keluarga pria kepada keluarga wanita

menurut adat kebiasaan keluarga  wanita.

Bote kebarek, perkawinan jenis ini dilakukan tanpa sepengetahuan sang gadis.

Proses persetujuan hanya dilakukan keluarga pria dan keluarga wanita. Bote

kebarek  biasa dilakukan di jalan saat si gadis  bepergian ke luar rumah.

Kepergian si gadis diinformasikan terlebih dahulu oleh orang tua si gadis kepada

keluarga pria. Dengan begitu keluarga pria bisa menghadang gadis bersangkutan

dan secara paksa membawanya ke rumah keluarga pria. Proses ini biasanya

Page 8: Praktik kehidupan di pulau

diiringi dengan bunyi-bunyian gong gendang. Jenis perkawinan seperti ini sudah

jarang ditemui pada saat sekarang .

Plae (kawin lari), biasanya dilakukan karena orang tua/keluarga dari kedua

pasangan atau keluarga wanita  tidak merestui hubungan mereka, sehingga kedua

pasangan sepakat untuk melarikan diri ke daerah lain. Atau bila orangtua keluarga

wanita yang tidak merestui hubungan anak gadisanya, maka si gadis bisa

memutuskan untuk lari dari rumah orang tuanya dan tinggal bersama keluarga

pria agar proses perkawinannya dapat di atur lebih lanjut.

Loa wae menate, perkawinan  ini  dikarenakan wanita sudah hamil sebelum

urusan perkawinan selesai. Meski demikian acara peminangan tetap dilakukan dan

sebagai konsekwensi dari kejadian ini, pihak keluarga pria akan dibebankan

dengan mas kawin/belis tambahan karena kejadian ini.

Liwu/dope keropong, dilakukan saat proses perkawinan berlangsung dimana

kaum pria pergi dan tinggal di rumah keluarga wanita. Karena perkawinan

dilakukan sebelum proses penyelesaian adat, maka kaum pria dan wanita menetap

bersama keluarga wanita sampai proses penyelesaian adat (pemberian belis)

dilakukan.

Liwu weking/dekip kenube, pada perkawinan ini pria pergi dan tinggal di rumah

perempuan sehingga secara mendesak orang tua wanita menyerahkan anak

gadisnya untuk diperistri pria bersangkutan.

Kawin beneng, perkawinan ini dilakukan dengan cara menawarkan anak gadis

dengan berusaha memperkenalkannya ke desa lain agar mendapat jodoh. Dengan

demikian orangtua perempuan dapat memperoleh maskawin/belis yang sesuai.

Kawin bukang, merupakan bentuk perkawinan levirat dimana berlaku anggapan

bahwa sang isteri setelah perkawinan  menjadi milik suku suaminya sehingga

kalau suaminya meninggal ia  dapat dinikahi oleh saudara laki-laki kandung

suaminya atau juga oleh lelaki dari suku yang sama dengan suku suaminya.

Sebaliknya, bila menikah dengan laki-laki lain diluar suku suaminya, maka suku

suaminya yang berhak menerima belis dari perkawinannya.

Perkawainan wua gelu malu, yakni perkawinan yang   dilakukan timbal balik oleh

dua suku. Jenis perkawinan ini dilakukan dengan tujuan agar belis atau maskawin

Page 9: Praktik kehidupan di pulau

hanya berputar dalam suku itu saja. Selain itu model ini sangat ekonomis karena

terkadang, acara penyerahan belis tidak dilakukan sehingga tidak perlu lagi

mengeluarkan biaya untuk pesta adat yang biasanya dilakukan disaat penyerahan

belis.

Kawin bluwo, merupakan jenis perkawinan yang dilakukan pria beristri dengan

seorang gadis. Ini terpaksa dilakukan karena wanita sudah hamil supaya jelas

bapak dari anak yang dikandungnya.  Model – model perkawinan ini akan

menentukan belis/maskawin baik dalam  jumlah maupun ukuran.

Marginasiliasi Perempuan

Disadari atau tidak, model-model perkawinan  yang berlaku dalam masyarakat

Lamaholot sebagaimana diuraikan di atas, telah membuat kaum perempuan

termarginaliasi. Hal ini dapat dilihat pada model perkawianan bote kebarek, liwu

weking/dekip kenube, kawin beneng dan kawin bluwo yang jelas – jelas

mengabaikan hak kaum perempuan dalam memilih dan menentukan pasangan

hidupnya. Namun menghadapi system ini, kaum perempuan selalu berada pada

posisi tawar yang lemah.

Penolakan tidak harus terjadi karena proses ini mendapat legitimasi budaya/adat

yang sudah dianut turun temurun.  Karena itu, penolakan akan menjadi semacam

petaka yang membuat malu orangtua dan keluarga besar. Hal ini yang tidak

diinginkan terjadi sehingga seorang  gadis yang berhadapan dengan system

perkawinan yang demikian tentu saja harus menerimanya.

Hakekat Belis dan Konsekwensinya

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa hakekat belis adalah menunjang harkat

seorang wanita  dalam kehidupan patrilineal, dan agar keluarga wanita mendapat

tempat terhormat dihadapan keluarga pria.

Bagi masyarakat  Lamaholot, kedudukan wanita adalah kedudukan seorang ibu.

Selain itu, belis juga sebagai lambang pemersatu keluarga pria dan wanita,

sekaligus  sebagai tanda seorang perempuan secara resmi pindah ke suku suami.

Karena itu perempuan Lamaholot dimata kaum pria selalu mendapat perlindungan

Page 10: Praktik kehidupan di pulau

dalam pergaulan sosialnya. Setiap pelabelan negative yang dilakukan terhadap

perempuan Lamaholot akan dikenakan denda adat bagi pelakunya. Bentuk

dendanya bisa berupa gading, sarung tenun adat atau lainnya. Dendanya sangat

berfariasi sesuai jenis pelanggaran dan permintaan keluarga perempuan.

Disisi lain, belis juga telah menjadi akar kekerasan terhadap perempuan. Saya

mencoba mengangkat penelitian yang dilakukan TRUK-F di Maumere,

Kabupaten Sikka, sejak 2003 hingga beberapa bulan pada 2006, sebagiamana

dilansir Kompas, 21 Juli 2006. Dalam penelitian itu TRUK-F menyebutkan dari

104  kasus kekerasan yang   terjadi disimpulkan bahwa belis menjadi alasan suami

melakukan kekerasan.

Temuan tahun 2003 terdapat lima kasus, yakni pasangan tidak dapat

melaksanakan pernikahan Katolik karena belis belum dibayar. Suami pun tertekan

karena terus-menerus dipaksa oleh pihak keluarga perempuan untuk segera

membayar belis. Selain itu, juga terdapat 10 kasus suami merantau untuk

mengumpulkan uang agar dapat melunasi belis. Namun, setelah tiba di tempat

perantauan, suami jarang atau sama sekali tidak mengirimkan uang.

Bahkan, pada 2005 terdapat 12 kasus perempuan diperlakukan dengan kekerasan

oleh suami. Saat istri melarikan diri ke keluarganya, suami dan keluarganya

memaksanya untuk kembali sebab belis sudah dibayar lunas.

Sementara temuan tahun 2006, terdapat 19 kasus suami yang merantau untuk

mencari uang guna melunasi belis. Namun, akhirnya istri dan anak ditelantarkan

di kampung. Sebanyak lima kasus lainnya, keluarga istri mengintimidasi suami

untuk melunasi belis. Karena tertekan, suami memperlakukan isterinya dengan

kekerasan.

TRUK-F juga menampung keluhan dari 10 perempuan tua yang tak menikah,

yang diduga terkait persoalan belis. Kesimpulan sementara yang diambil Divisi

Perempuan TRUK-F, perempuan-perempuan ini tidak menikah sampai tua karena

orangtua dan saudara laki-laki menuntut belis yang tinggi dan banyak sehingga

pihak laki-laki tidak mampu membayar, atau tidak mau melamar mereka, karena

sudah mendengar cerita dari orang-orang di sekitarnya. Umumnya perempuan ini

Page 11: Praktik kehidupan di pulau

dari keluarga kalangan menengah ke atas. Akhirnya, perempuan ini sendirian dan

tidak pernah diperhatikan.

Dari gambaran di atas, penulis melihat bahwa  belis meski bertujuan mulia untuk

mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan, namun belis dapat juga

menjadi sumber  persoalan dalam rumah tangga yang pada akhirnya dapat

melahirkan kekerasan terhadap perempuan.  Hal ini terjadi bila  tuntutan belis

yang terlampau tinggi (mahal) melampaui kemampuan financial seorang laki-laki

dan keluarganya. Selain itu, belis yang mahal akan berdampak pada beban

psikologis seorang laki-laki untuk menikahi perempuan dari strata sosial yang

tinggi, sehingga banyak perempuan yang pada akhirnya tidak menikah karena

faktor belis yang terlalu tinggi. Belis juga telah menjadi penyebab seorang suami

menelantarkan isteri dan anak-anaknya, dan dapat membebani ekonomi keluarga.

Kesimpulan

Bagi masyarakat Lamaholot, sistem  pembelisan telah menjadi pranata sosial dan

dapat mengeliminir terjadinya tindakan – tindakan yang melanggar hak-hak

perempuan. Belis tidak saja menjadi syarat sebuah perkawinan tapi juga sebagai

bentuk denda yang harus diberikan dari pihak yang melakukan kesalahan terhadap

seorang perempuan. Kesalahan-kesalahan yang pada umumnya diberi hukuman

denda adalah soal sterotipe negative yang mana ukurannya merujuk pada budaya.

Penerapanan denda biasanya pada kasus-kasus seperti peghinaan, juga kasus-

kasus asusila. Itu nilai positif dari system pembelisan. Namun fakta lain juga

membuktikan bahwa belis telah melahirkan dampak buruk terhadap kaum

perempuan. Karena itu penulis berpendapat bahwa belis sebagai tradisi yang

memiliki nilai-nilia luhur dan sebagai bentuk perghargaan terhadap harkat dan

martabat seorang perempuan perlu tetap dipertahankan dengan beberapa catatan

sebagai berikut; Pertama, perlu penyederhanaan belis. Biasanya, setelah pihak

laki-laki memberikan belis, pihak perempuan membalasnya dengan memberikan

barang bawaan bagi pihak laki-laki untuk dibawa pulang. Minimal bawaan itu

sama dengan besar belis yang diberikan kepada pihak perempuan.

Page 12: Praktik kehidupan di pulau

Karena itu pembebanan sesungguhnya tidak hanya pada pihak laki-laki tapi juga

perempuan. Diperlukan suatu alternative  semacam pembicaraan untuk

memperoleh kesepakatan yang sama tentang belis.  Dialog ini harus melibatkan

tetua adat, juga dapat ditunjang dengan pendekatan informal kepada  masyarakat.

Contoh,  di Ileape telah ada symposium di tingkat kecamatan  yang

menyeragamkan ukuran dan jumlah gading sebagi belis terhadap  seorang

perempuan  dan hal itu berlaku sampai sekarang.  Karena itu, di Ileape Lembata,

penentuan belis tidak lagi berdasarkan satatus sosial seorang perempuan.

Kedua,  penyederhanaan tahapan/proses pembelisan.  Disadari atau tidak,

tahapan/proses  pembelisan menyedot dana yang besar  sementara kenyataan

sebagian besar masyarakat hidup dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Dari

itu perlu dibuat penyederhanaan proses/tahapan-tahapan. Bagi masyarakat

Lamaholot proses pernikahan sangat panjang hanya karena urusan adat (belis).

Bahkan jauh sebelum pernikahan, terlebih dahulu digelar koda kiring (pertemuan

adat di antara keluarga besar wanita dan pria). Yang terlibat adalah keluarga besar

(fam/suku/marga), bukan orang tua kandung saja seperti di Jawa dan tempat-

tempat maju lain di Tanah Air. Biasanya, Koda Kiring ini digelar sepanjang

malam, beberapa hari, sampai ada kesepakatan.  Ini tentu membutuhkan biaya

yang besar.

Ketiga, perlu penyadaran kepada masyarakat terutama pemegang otoritas

komunitas seperti tetua adat, tuan tanah, kepala suku dan lain-lain untuk

memaknai kembali secara mendalam hakekat belis itu sendiri. Hal ini dapat

menghapus asumsi negative tentang belis itu sendiri  yang pada akhirnya

berdampak buruk terhadap kaum perempuan Lamaholot.

(Tulisan ini telah dipresentasikan pada Konferensi I, Hukum dan Penghukuman

yang diselenggarakan Program Studi Kajian Wanita/ Kajian Gender, Program

Pasca Sarjana UI bekerjasama dengan Komnas Perempuan  yang diselenggrakan

di Pusat Studi Jepang U, tanggal 28 Oktober hingga 1 November 2010 lalu).