praktek pengelolaan das

25
PRAKTEK PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA MAHENDRA HARJIANTO PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai bila diartikan secara teknis (biofisik) akan memberikan pemahaman kepada kita terhadap faktor-faktor biofisik DAS, dimana akan mengantarkan para pengambil keputusan dan/atau para peneliti untuk mencari solusi masalah-masalah DAS dari sudut pandang teknologi. Sedangkan dari sudut pandang kelembagaan akan mengantarkan pengambilan keputusan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yuridiksi pihak- pihak yang berada dalam DAS maupun hubungan hulu-hilir dalam pengelolaan DAS. Kondisi DAS di beberapa wilayah Indonesia mengalami penurunan kualitas yang diindikasikan dengan meningkatnya kejadian banjir, kekeringan, tanah longsor, erosi dan sedimentasi. Pada umumnya kondisi tersebut banyak disebabkan oleh pemanfaatan sumberdaya alam dalam DAS yang lebih menekankan aspek ekonomi dari pada aspek ekologis, sosial, dan kelembagaan, sehingga daya dukungnya menurun. Hal ini mengakibatkan makin banyak wilayah DAS di Indonesia yang berada dalam kondisi kritis dan prioritas untuk segera ditangani. Persoalan semakin luas sejak dilaksanakannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah, dimana terjadi kecenderungan masing-masing daerah kabupaten/kota mengelola sumberdaya yang dimiliki secara 1

Upload: maend

Post on 10-Aug-2015

120 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Praktek Pengelolaan Das

PRAKTEK PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA

MAHENDRA HARJIANTO

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai bila diartikan secara teknis (biofisik) akan memberikan

pemahaman kepada kita terhadap faktor-faktor biofisik DAS, dimana akan mengantarkan

para pengambil keputusan dan/atau para peneliti untuk mencari solusi masalah-masalah DAS

dari sudut pandang teknologi. Sedangkan dari sudut pandang kelembagaan akan

mengantarkan pengambilan keputusan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di

dalam DAS, batas yuridiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun hubungan hulu-

hilir dalam pengelolaan DAS.

Kondisi DAS di beberapa wilayah Indonesia mengalami penurunan kualitas yang

diindikasikan dengan meningkatnya kejadian banjir, kekeringan, tanah longsor, erosi dan

sedimentasi. Pada umumnya kondisi tersebut banyak disebabkan oleh pemanfaatan

sumberdaya alam dalam DAS yang lebih menekankan aspek ekonomi dari pada aspek

ekologis, sosial, dan kelembagaan, sehingga daya dukungnya menurun. Hal ini

mengakibatkan makin banyak wilayah DAS di Indonesia yang berada dalam kondisi kritis

dan prioritas untuk segera ditangani.

Persoalan semakin luas sejak dilaksanakannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

(kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah, dimana terjadi

kecenderungan masing-masing daerah kabupaten/kota mengelola sumberdaya yang dimiliki

secara parsial tanpa mempertimbangkan dampak lintas wilayah dan antar sektor yang

ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan distorsi pelaksanaan amanat UU No. 32/2004 bahwa

kewenangan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) termasuk yang

diserahkan sepenuhnya kepada daerah (kabupaten dan kota).

Dampak negatif yang seringkali muncul akibat pemindahan kewenangan pengelolaan

SDA dan LH dari pemerintah pusat ke daerah ini adalah degradasi SDA dan LH karena pola

pengelolaan SDA dan LH sangat berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah

(PAD). Contohnya adalah banyaknya ijin pemanfaatan lahan di kawasan lindung/konservasi

untuk tujuan komersial jangka pendek berakibat pada degradasi SDA dan LH. Degradasi

SDA akibat alih fungsi lahan, misalnya degradasi hutan di daerah hulu, dalam konteks

1

Page 2: Praktek Pengelolaan Das

hubungan biofisik daerah hulu dan hilir suatu ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), tidak

hanya meningkatkan erosi dan air larian setempat, melainkan juga meningkatkan frekuensi

banjir, kekurangan air, dan turunnya kualitas air sungai karena sedimentasi di daerah hilir.

Persoalan LH lintas wilayah ini, pada banyak kasus telah mengakibatkan kerugian ekonomi

sangat besar termasuk konflik sosial.

B. Pengertian

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan

ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan,

dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas

di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan

yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (UU No 7/2004 Ps 1).

Asdak, 1995 mengartikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang secara topografik

dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk

kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.Wilayah daratan tersebut dinamakan

daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan

unsure utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya

manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai

karakteristik yang berbeda satu sama lain. Karakteristik DAS terdiri atas ukuran (luas),

elevasi dan kemiringan (slope), aspek dan orientasi, bentuk DAS dan jaringan drainase

(Black 1995)

Kartodihadjo, dkk (2004), DAS diartikan dari sudut pandang fisik maupun dari sudut

pandang institusi. Secara fisik DAS didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah yang

dibatasi oleh pemisah alam (punggung bukit) yang menerima dan mengumpulkan air hujan,

sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui sungai utama dan keluar pada satu titik

outlet. Sudut pandang institusi, DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa

stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai

penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi

publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau

kelompok masyarakat.

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik

antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya untuk

2

Page 3: Praktek Pengelolaan Das

mewujudkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian

DAS serta kesejahteraan masyarakat.

.

KONDISI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA

Pemanfaatan lahan dalam DAS umumnya kurang memperhatikan keterkaitan unsur-

unsur penyusun sistem DAS, padahal kondisi daya dukung lingkungan DAS ditentukan oleh

banyak faktor yang mempunyai hubungan dan keterkaitan yang kompleks. Prinsip

pemanfaatan yang demikian merupakan salah satu penyebab kerusakan DAS di Indonesia.

Kerusakan DAS di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukan trend yang terus

meningkat. Gambaran kerusakan DAS di Indonesia tercermin dari banyaknya jumlah DAS

prioritas. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS super prioritas (Surat keputusan bersama tiga

menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, dan Menteri Pekerjaan Umum No: 19

Tahun 1984 - No: 059/Kpts-II/1984 - No: 124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, diacu dalam

Arsyad 2006). Pada tahun 1999 terdapat 62 DAS Prioritas I, 232 DAS Prioritas II dan 178

DAS Prioritas III (Ditjen RRL 1999). Pada tahun 2004 jumlah DAS prioritas I meningkat

menjadi 65 DAS (Ditjen Sumberdaya Air, 2004). Pada tahun 2009 sesuai dengan keputusan

Menteri Kehutanan no 238/Menhut-II/2009 sasaran DAS yang memerlukan penanganan

prioritas I berjumlah 108 DAS.

Meningkatnya laju deforestrasi dan lahan kritis baik secara kualitatif maupun

kuantitas merupakan faktor utama penyebab kerusakan sumber daya DAS. Badan Planologi

Departemen Kehutanan menerangkan bahwa laju deforestrasi hutan di Indonesia tahun 2003

s/d 2006 mencapai 3,52 juta ha atau 1,17 Juta Ha/tahun, penyebaran laju deforestrasi masing-

masing fungsi hutan di gambarkan dalam grafik berikut :

3

Page 4: Praktek Pengelolaan Das

Gambar 1. Grafik Laju deforestrasi Indonesia tahun 2003-2006 per fungsi kawasan

Sedangkan perkembangan data penyebaran lahan kritis Indonesia yang di

publikasikan oleh Kementerian kehutanan melalui Website Departemen kehutanan

menunjukan bahwa peningkatan data lahan kritis dengan kriteria sangata kritis mengalami

penigkatan sebesar 87 % dari total luas 20.965994,42 Ha pada tahun 2004 menjadi

128.409.099,29 Ha pada tahun 2009 atau rata-rata tiap tahun mengalami peningkatan sebesar

20 juta Ha (17%).

4

Page 5: Praktek Pengelolaan Das

Gambar 2. Grafik Laju pertumbuhan Lahan Kritis Indonesia tahun 2004-2009 (Kementrian kehutanan

Menurut Sinukaban, 2009 penyebab terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi

hidrologis DAS tersebut kemungkinan disebabkan beberapa faktor. Pertama, penggunaan

dan peruntukan lahan menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata

Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan

menjadi pertanian, hutan produksi dialihfungsikan menjadi permukiman, lahan budidaya

pertanian dialihfungsikan menjadi permukiman atau industri, dan sebagainya.

Kedua penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan

yang semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan

yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan permukiman. Banyak lahan

yang kemiringan lerengnya lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian

yang intensif atau jadi permukiman.

Ketiga, perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tidak memenuhi kaidah-kaidah

konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai.

Pemilihan teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh

faktor bio-fisik (tanah, topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim) lahan yang bersangkutan.

Jenis teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari

5

Page 6: Praktek Pengelolaan Das

yang paling ringan sampai berat, antara lain, penggunaan mulsa, penanaman mengikuti

kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi (tanpa olah tanah,

pengolahan tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip (strip

cropping), dan penanaman berurutan (rotasi).

Keempat, tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan

masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai di setiap

penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban

untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus

meningkat.

Kelima, kurang memadainya kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan. Hal

ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik

konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan. Departemen yang berkaitan dengan

penggunaan lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam

Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan

teknologi konservasi tanah dan air.

Pawitan, (2002) mengemukakan bahwa pengaruh vegetasi terhadap hidrologi DAS

melalui perubahan penggunaan lahan dengan pembangunan kota tentunya tidak terhindarkan,

mulai dari penggundulan hutan yang digantikan dengan permukaan kedap berupa atap

perumahan, jalan-jalan, tempat parkir, bandara, dan sebagainya.

Calder, (1998) yang dipertegas Pawitan (2008), setidaknya ada enam aspek pengaruh

hutan terhadap fungsi hidrologi wilayah yang dapat dicatat yaitu:

1. Hutan meningkatkan curah hujan: sulit dibuktikan, namun dapat ditunjukkan bahwa

hilangnya hutan juga diikuti oleh berkurangnya curah hujan seperti yang dialami oleh

Pulau Jawa, pengurangan hutan yang nyata dalam tiga dekade terakhir ini telah

menurunkan jumlah curah hujan tahunan sampai 1.000 mm/tahun atau 25% lebih rendah

dari kondisi awal abad ini.

2. Hutan meningkatkan aliran sungai: Yang terjadi adalah vegetasi hutan juga

mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar, sehingga hutan justru cenderung

menurunkan aliran sungai.

3. Hutan mengatur fluktuasi aliran sungai – meningkatkan aliran rendah musim kemarau:

Pengamatan di Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penghutanan kembali

padang rumput dengan pohon pinus tidak hanya menurunkan aliran sungai sejumlah 440

mm/tahun, tetapi juga menurunkan aliran rendah musim kemarau sebesar 15 mm.

6

Page 7: Praktek Pengelolaan Das

Kesimpulannya adalah: pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat ‘site specific’ dan

tidak ada jaminan penghutanan akan meningkatkan aliran rendah musim kemarau.

4. Hutan mengurangi erosi: Hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondisi, seperti

intensitas hujan, kelerengan lahan, dan faktor geologi batuan, serta metode pengelolaan

yang dipilih. Pengalaman di Jawa, hutan jati menunjukkan tingkat erosi yang tinggi.

5. Hutan mengurangi banjir: Barangkali pengalaman dan pemberitaan media massa

membenarkan pernyataan ini, padahal kajian hidrologi umumnya menunjukkan

lemahnya hubungan penggunaan lahan dan banjir dan menyimpulkan kurangnya bukti

ilmiah yang mendukung laporan bahwa deforestasi meningkatkan banjir. Perkembangan

teori saat ini menunjukkan peran skala DAS dalam hubungan hujan-limpasan, di mana

semakin luas DAS semakin kecil peran aktivitas manusia.

6. Hutan meningkatkan mutu pasokan air: Kecuali pada daerah dengan iklim yang tercemar

berat yang menghasilkan hujan asam, mutu air lazimnya lebih baik pada kawasan

berhutan, walaupun sangat dipengaruhi oleh praktek pengelolaan hutan itu sendiri. Saat

ini DAS berhutan menjadi andalan untuk menjamin pasokan air bersih kota-kota

metropolitan dunia.

PRAKTEK PENGELOLAAN DAS DI INDONESIA

Konsep pengelolaan DAS di Indonesia sebenarnya telah di kenalkan sejak jaman

belanda, khususnya dalam praktek pengelolaan hutan, dimana pembagian-pembagian daerah

hutan di atur berdasarkan satuan DAS. Pada tahun 1961 di adakan gerkan penghijauan secara

masal dalam bentuk gerakan penghijauan I di gunung Mas, puncak Bogor.

Pada tahun 1973 sampai dengan 1981, FAO dan UNDP telah melakukan berbagai

uji coba untuk memperoleh metode yang tepat dalam rangka ng di tinjau dari aspek fisik

maupun social ekonomi di DAS solo.

Upaya pengelolaan DAS terpadu yang pertama di laksanakan di DAS Citanduy pada

tahun 1981, dimana berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin di

lakukan. Selanjutnya pengelolaan DAS terpadu di kembangkan di DAS Brantas, Jratun

Seluna. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS selama ini lebih menekankan pada

pembangunan insfarstruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan banjir.

Kondisi ini tentunya tidak mampu memecahkan permasalahan-permasalahan pengelolaan

7

Page 8: Praktek Pengelolaan Das

DAS yang secara umum di dominasi oleh perilaku pengelolaan sumber daya alam yang tidak

terkontrol sebagai akibat dari kemiskinan masayarakat di dalam DAS.

Praktek Pengelolaan DAS Jeneberang Walanae

Sungai Jeneberang merupakan sungai besar yang terletak pada bagian barat dalam

wilayah administrasi Kotamadya Makassar (Ujung Pandang), ibukota dari Provinsi Sulawesi

Selatan. Sungai ini berasal dan mengalir dari bagian timur Gunung Bawakaraeng (2,833

mdpl) dan Gunung Lampobatang (2,876) yang kemudian menuju hilirnya di Selat Makassar.

Pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang, terdapat dua daerah penampungan air (reservoir)

utama yaitu di Kota Bili-bili dan Jenelata. Secara geografis Daerah Aliran Sungai Jeneberang

terletak pada 119° 23' 50" BT 119° 56' 10" BT dan 05° 10' 00" LS - 05° 26' 00" LS dengan

panjang sungai utamanya 78.75 kilometer. Daerah Aliran Sungai Jeneberang dialiri oleh satu

sungai pendukungnya (anak sungai) yaitu Sungai Jenelata (220 km2). Kota-kota besar yang

diliputi Daerah Aliran Sungai ini selain Makassar (Ujung Pandang) yaitu Kota Malino, Kota

Bili-bili, dan Kota Sungguminasa. Luas DAS jeneberang adalah 79.000 Ha meliputi Hutan

lindung seluas 8.300 ha, kawasan hutan produksi terbatas, hutan produksi 13.000 ha , TWA

4000 ha, APL (kebun, pertanian kering, sawah, pemukiman) sekitar 40.500 ha dan badan air

(waduk dan sungai). Luas lahan kritis di DAS jeneberang mencapai 19,5 % dari luas wilayah

DAS atau 15.523 ha yang terdiri dari 9.447 Ha (lahan kritis dan sangat kritis di dalam

kawasan hutan) dan 6.076 Ha( lahan kritis dan sangat kritis di luar Kawasan hutan)

DAS Jeneberang memiliki arti yang sangat penting untuk kota Makassar. Kota

Makassar hampir setiap tahun dilanda bencana banjir. Banjir yang terbesar pernah terjadi

pada bulan Januari tahun 1976 dan Januari tahun 1986. Banjir yang terjadi saat itu

menggenangi hampir 60% kota Makassar. Kedalaman genangan banjir pada saat itu

mencapai 0,60m-0,70m, sementara musim kemarau masyarakat kota Makassar antri air

bersih.(bambang 2009). Kondisi ini di sebabkan karena distribusi air pada DAS jeneberang

yang tidak merata di musim penghujan maupun musim kemarau. Guna mengendalikan banjir

di kota Makasar pemerintah membangun DAM bili-bili di aliran sungai Jeneberang. DAM

bili di bangun pad atahun 1996-1999 dan bendungan mulai di genangi pada november 1997,

volume kapasitas waduk 375 juta m3, Volume effektif 346 juta m3, volume tampungan

sedimen 29 juta m3, volume alokasi penggunaan irigasi 270 juta m3, volume alokasi

penggunaan air baku 35 juta m3. Manfaat waduk Bili-Bili setelah dibangun, yaitu banjir yang

melimpas kota tidak pernah terjadi; dapat melayani 61 ribu satuan sambungan, melayani

daerah irigasi Bili-Bili, Bissua dan Kampili seluas ± 24 ribu ha dengan intensitas tanam

8

Page 9: Praktek Pengelolaan Das

220% dan menghasilkan tenaga listrik 20 MGW. Banjir, kekeringan , sedimentasi dan erosi,

tidak serta merta terpecahkan dengan di bangunya DAM bili-bili, namun yang terjadi waktu-

demi waktu perilaku hidrologi DAS jeneberang seperti banjir, kekeringan, sedimentasi dan

erosi semakin meningkat baik dari segi frekuensi maupun dari kualitas kejadiannya, kondisi

ini seiring dengan semakin rusaknya huatn dan Lahan di DAS jeneberang.

Fenomena kerusakan hutan dan lahan di DAS jeneberang yang semakin parah

berdampak pada umur ekonomis DAM bili-bili yang di rencanakan memilki umur pakai

selama 50 tahun kini tinggal 20 tahun sebagai akibat tingginya sedimentasi. Aktivitas

ekonomi, pertanian dan pengembangan kota wisata Malino telah berdampak pada adanya

konversi lahan dan penggundulan hutan, ini terlihat di daerah-daerah puncak di sekitar

pegunungan bawakaraeng penebangan pohon-pohon pinus hasil reboisasi berjalan terus

menerus, hutan yang semula rapat di tumbuhi pohon-pohon pinus hasil reboisasi tahun 1970

kini terhampar luas rerumputan dan semak belukar. Penebangan hutan tidak hanya bertujuan

ekonomis untuk mengambil hasil hutan berupa kayu, namun juga konversi hutan menjadi

lahan pertanian dan perkebunan serta pengembangan kota wisata

Meskipun Upaya Rehabilitasi hutan dan Lahan di DAS jeneberang terus di lakukan ,

namun laju Degaradasi sumber daya hutan dan lahan di wilayah ini juga terus terjadi.

Supratman dan C.Yudilastiantoro, 2003. Menyatakan bahwa kerusakan hutan di DAS jeneberang

tahun 2003 mencapai 13.648 Ha, luasnya areal veegtasi yang rusak masih jauh dari kemampuan

pemerintah dalam memfasilitasi upaya Rehabilitasi hutan dan lahan yang dalam dua tahun hanya

mampu melakukan rehabilitasi seluas 5.850 Ha dengan keberhasilan tanaman yang relatif rendah.

Kebutuhan akan pemenuhan ekonomi secara privat ( individu) merupakan alasan

utama kenapa terjadi perambahan dan konversi hutan secara besar-besarn di wilayah hulu

DAS jeneberang, Sebagai gambaran Supratman dan C.Yudilastiantoro, 2003, mengemukan

bahwa selain mengelola lahan di luar kawasan hutan rata-rata seluas 0,4 – 4,0 ha/KK,

masyarakat juga mengelola lahan di dalam kawasan hutan dengan luas rata-rata sebesar

seluas 0,075 - 0,1 ha/KK. Pendapatan rata-rata masyarakat dari aktifitas usahatani di luar

kawasan hutan adalah sebesar Rp. 2.741.038,-/tahun, sedangkan dari dalam kawasan hutan

rata-rata sebesar Rp. 1.531.100,-/tahun. Aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan antara

lain kebun campuran, dan pemanfaatan hasil hutan seperti kayu bakar, kayu pertukangan,

rempah-rempah, obat-obatan, buah-buahan, madu, dan gula merah (sebagai masayarakat

pengumpul). Kondisi ini menunjukan bahwa salah satu alasan masyarakat beraktivitas dalam

kawasan hutan adalah mencari sumber-sumber tambahan pendapatan bagi pemenuhan hidup

9

Page 10: Praktek Pengelolaan Das

keluarga, yang apabila hanya bersumber pada pertanian di luar kawasan hutan maka mereka

belum mampu memenuhi kehidupan yang layak untuk keluargaanya.

Konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan selain secara privat juga di lakukan

secara institusional, yaitu perubahan penggunaan lahan dalam rangka pengembangan kota

wisata Malino di wilayah hulu DAS jeneberang dan konversi hutan pinus untuk perkebunan

teh dan coklat.

Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Sebagai Solusi Penanganan Kerusakan DAS

Salah satu sumber permasalahan dalam pengelolaan DAS adalah kemiskinan

masayarakat yang tinggal di dalamnya. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi

rumah tangga, telah mendorong sebagaian besar masayarakat yang tinggal di dalam DAS

melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan seperti ekstensifikasi pertanian

dan pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuian lahan,

perambahan hutan, dan kegiatan pertambangan.

Salah satu upaya untuk memotong rantai kemiskinan masyarakat di dalam DAS dan

sekaligus melakukan suatu upaya rehabilitasi hutan dan lahan adalah dengan membangun

hutan rakyat. Dari hutan rakyat dapat diperoleh manfaat langsung dan tidak langsung.

Manfaat langsung seperti peningkatan produktivitas lahan, pendapatan, kesejahteraan

masyarakat dan sumber bahan baku industri, sedangkan manfaat tidak langsung berupa

kelestarian fungsi ekologi seperti pengaturan tata air, udara bersih, erosi terkendali, dan lain-

lain. Penghijauan dalam bentuk pembangunan hutan rakyat adalah suatu kegiatan penanaman

yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering melalui upaya penanaman

tanaman kayu-kayuan yang di kombinasikan dengan tanaman serba guna (Multi Purpose tree

Spesies) seperti buah-buahan dengan komposisi tanaman 70 % kayu-kayuan dan 30 %

tanaman MPTS. Sebelum tanaman pokok mencapai daur tebang dan sambil menunggu

tanaman MPTS berproduksi, petani melakukan system tumpang sari tanaman semusim . hal

ini di maksudkan untuk optimalisasi produksi dari lahan yang di kelola, guna pemenuhan

kebutuhan ekonomi rumah tangga petani.

Hendra 1996 , mengemukakan bahwa pemerintah secara intensif mengembangkan

hutan rakyat melalui program GN-RHL sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 secara

nasional telah mencapai 1.568.415,63 Ha, dengan distribusi penyebaran sebanyak 50% dari

total luas hutan rakyat berada di jawa. Distribusi pembangunan hutan rakyat secara nasional

di sajikan pada table berikut :

10

Page 11: Praktek Pengelolaan Das

Tabel. 1. Data Potensi Penyembaran Hutan Rakyat masing-Masing Propinsi

Sumber: Data potensi Hutan rakyat Ditjen RLPS Departemen Kehutanan 2004

Berdasarkan table 1 diatas terlihat bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan

hutan rakyat sangat tinggi hal ini di tunjukan dengan luas potensi hutan rakyat yang di

lakukan secara swadaya cukup besar yaitu sejumlah 61 % dari luas total potensi hutan rakyat

secara keseluruhan.

11

Page 12: Praktek Pengelolaan Das

Potensi hutan rakyat di jawa mampu memasok 40 % kebutuhan kayu Industri nasional

yang kini mencapai 43 Juta m3/tahun. Di hitung dari nilai ekonomi hutan rakyat mampu

memberikan kontribusi pendapatan pada ekonomi rumah tangga petani sebesar

Rp. 480.000.000,- /Ha/8tahun atau 60 juta / tahun ini dengan asumsi tanaman pokok yang di

tanam adalah sengon (Paraserianthes falcataria) dan atau Gmelina arborea yang memiliki

daur panen berkisar 6 – 9 Tahun. Harga jual kayu per M3 Rp. 800.000 dan asumsi produksi

kayu per batang 0,5 M3 dengan kerapatan tanaman per ha 1200 batang. Selama menunggu

daur panen petani bias melakukan tumpang sari dengan menanam tanaman semusim dan

mendapatkan nilai tambah dari panen buah-buahan yang di tanam.

Tingkat risiko terserang hama dan gagal panen hutan rakyat pun lebih kecil

dibandingkan tanaman pangan, yang membutuhkan perawatan intensif dengan pupuk kimia

yang mahal dan sulit diperoleh. Setiap tahun petani memperoleh penghasilan tambahan dari

menebang kayu untuk penjarangan tanaman. Saat panen, pohon sengon berumur delapan

tahun setinggi 12 meter laku dijual Rp 3 juta sebatang. (Hamzirwan, 2011).

Apabila kegiatan penghijaun dalam bentuk pembangunan hutan rakyat baik yang di

laksanakan secara monoculture atau dengan menerapkan tanaman campuran (pola

Agroforestry) di selenggarakan secara intensif dan bersungguh-sungguh , akan mampu

meningkatkan pendapatan petani dan berkontribusi memutus mata rantai kemiskinan

masyarakat di dalam DAS.

Hubungan antara tutupan lahan oleh pohon (baik secara penuh dalam bentuk hutan

alam mupun sebagian seperti agroforestry/hutan rakyat) dengan fungsi hidrologi dapat di

lihat dari aspek total hasil air dan daya sangga DAS terhadap debit puncak pada berbagai skal

waktu. Peran system penggunaan lahan pada suatu bentang lahan (landscap) dapat dilihat dari

sudut perubahan tingkat evapotranspirasi yang berhubungan dengan keberadaan pohon, laju

infiltrasi tanah yang berhubungan dengan kondisi fisik tanah, dan laju drainase yang

berhubungan dengan jaringan drainase pada skala lansekap. Tutupan lahan mempengaruhi

aliran air dalam berbagai tahap yaitu : intersepsi, perlindungan agrgat tanah, infiltrasi,

serapan air, dan drainase landscape. (Noordwijk, et all, 2004).

Pawitan, (2002) mengemukakan bahwa pengaruh vegetasi terhadap hidrologi DAS

melalui perubahan penggunaan lahan dengan pembangunan kota tentunya tidak terhindarkan,

mulai dari penggundulan hutan yang digantikan dengan permukaan kedap berupa atap

perumahan, jalan-jalan, tempat parkir, bandara, dan sebagainya. Dampaknya secara nyata

telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir. Studi kasus di DAS Ciliwung tercatat

bahwa antara tahun 1981 dan 1999 telah terjadi peningkatan kawasan permukiman untuk

12

Page 13: Praktek Pengelolaan Das

Ciliwung Hulu sebesar 100% dengan dampak berupa peningkatan debit banjir di Katulampa

sebesar 68%, dan di Depok 24%, sedangkan peningkatan volume banjir adalah 59% untuk

Katulampa dan 15% untuk Depok (Pawitan, 2002) dalam Pawitan (2008)

Konsep Keterpaduan Pengelolaan DAS

Belajar dari manajemen DAS dalam pasokan air bersih di kota New York , jelas

terlihat bahwa pengelolaan DAS harus di mulai dari perencanaan yang partisipatif. Semua

stake holders harus mendapatkan hak partisipasi dan berpartisipasi dalam perencanaan DAS

secara benar. Artinya bahwa pihak terkait harus diwakili di seluruh proses perencanaan,

dan sudut pandang dan keprihatinan mereka harus cukup dipahami secara tepat waktu.

stakeholder didefinisikan sebagai lembaga, kelompok, organisasi, atau orang yang

memiliki kepentingan dalam proses, memiliki tanggung jawab dalam pengambilan

keputusan . atau otoritas atas proses itu, atau dipengaruhi oleh hasil dari proses tersebut.

((Stern dan Fineberg, 1996 dalam Anonimous 2000).

Pengelolaan DAS Terpadu adalah proses perumusan tujuan bersama pengelolaan

sumberdaya dalam DAS, singkronisasi program sektoral dalam mencapai tujuan bersama,

monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pencapaian hasil program sektoral terhadap tujuan

bersama pengelolaan DAS dengan mempertimbangkan aspek bio-fisik, klimatik, sosial,

politik, ekonomi, dan kelembagaan yang bekerja dalam DAS tersebut. Pengelolaan tersebut

direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama melalui suatu mekanisme

partisipatif dan adaptif. Dengan demikian, makna keterpaduan dalam pengelolaan DAS

adalah upaya memadukan program-program sektoral dan kerangka kerja kelembagaan yang

berbeda, baik di dalam maupun di luar wilayah administrasi (lintas wilayah) dalam satu

kesatuan DAS. Dengan mekanisme pengelolaan sumberdaya antar sektor, antar wilayah dan

antar kelembagaan sebagai satu kesatuan ini, maka selain tujuan masing-masing sektor,

tujuan bersama pengelolaan DAS juga dapat tercapai.

Asdak, 2008 mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan DAS adalah: a) terjaminnya

pemanfaatan sumberdaya alam skala DAS secara berkelanjutan; b) tercapainya keseimbangan

ekologis sebagai sistem penyangga kehidupan; c) terjaminnya kuantitas dan kualitas air

sepanjang tahun; d) pengendalian aliran permukaan dan banjir; dan e) pengendalian erosi

tanah dan proses degradasi lahan lainnya. Prinsip keberlanjutan (sutainability) menjadi acuan

dalam mengelola DAS, ketika fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya dari sumberdaya-

sumberdaya (resources) dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (balance).

13

Page 14: Praktek Pengelolaan Das

Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen

terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait.

Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan

pemungutan manfaat. Pengelolaan DAS terpadu meliputi :

a. Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan

dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.

b. Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan

program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu

pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.

c. Keterpaduan program-program kegiatan pemer intah pusat dan daerah yang berkaitan

dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.

d. Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses

evaluasi dan monitoring.

e. Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan

Persoalan yang dihadapi dalam pengelolan DAS terpadu oleh suatu unit organisasi,

utamanya terkait dengan belum terselesaikannya tiga hal berikut: a) perbedaan batas

administrasi dan batas ekologi dalam pengelolaan DAS secara terpadu, b) bagaimana struktur

bentuk partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS, dan c) bagaimana dan

kepada siapa akuntabilitas pengambilan keputusan pengelolaan DAS? (Blomquist dan

Schlager, 2005). Oleh karena itu, ketiga hal tersebut di atas seharusnya dimanfaatkan untuk

memahami kesenjangan antara prinsip-prinsip pengelolaan DAS terpadu dan prinsip-prinsip

pengelolaan sumberdaya yang sifatnya sektoral/parsial. Dengan kata lain, diperlukan suatu

legal framework/arrangement yang memungkinkan kerjasama sinergis antar sektor, antar

wilayah, dan antar lembaga dalam suatu DAS. Aspek legal yang dibutuhkan, dalam hal ini,

adalah Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan DAS Terpadu. Dengan adanya peraturan

ini, diharapkan masing-masing sektor dan wilayah dituntut untuk dapat bekerjasama dalam

pemaduan program termasuk pendanaan.

Menurut Nakamura (2003 dalam Asdak, 2008), pengelolaan DAS terpadu memerlukan:

pendekatan ekosistemik

pendekatan pengaturan kelembagaan lintas sektor dan lintas wilayah

pencapaian tujuan ganda (multi-objectives)

14

Page 15: Praktek Pengelolaan Das

Asdak, 2004 mengemukakan bahwa pengelolaan sumberdaya air melalui pendekatan

ekosistem secara umum bersifat:

1. Menjelaskan bagaimana komponen-komponen suatu sistem lingkungan hidup, termasuk

di dalamnya sumberdaya air, tanah, hutan dan manusia, berinteraksi.

2. Holistik, komprehensif, dan lintas ilmu/sektor serta bersifat menjelaskan dinamika

sistem, misalnya melalui konsep stabilitas dan umpan balik.

3. Membatasi ekosistem secara alamiah (batas hidrologis, bio-region atau eco-region serta

menempatkan sumberdaya air pada berbagai tingkatan struktur, proses, dan fungsinya).

4. Berorientasi pada prinsip-prinsip manajemen serta memasukkan dan mempertimbangkan

dinamika faktor-faktor manusia dan kelembagaan ke dalam proses analisis.

5. Memanfaatkan proses perencanaan dan penelitian yang antisipatif, lentur dan adaptif.

PENUTUP

1. Tuntutan pemenuhan ekonomi rumah tangga telah mendorong masyarakat di dalam DAS

melakukan eksploitasi sumber daya alam DAS secara berlebihan. Fenomenakemiskinan

masyarakat dalam DAS ini telah mendorong meningkatnya laju deforestrasi hutan,

jumlah lahan kritis dan meningkatnya jumlah DAS prioritas yang perlu segera di tangani.

2. Pola perubahan penggunaan lahan di dominasi dari perubahan hutan ke pertanian, dan

perkebunan, dan dari pertanian/perkebunan ke pemukiman. Perubahan penggunaan lahan

berpengaruh pada kondisi hidrologis DAS. Fenomena bencana seperti banjir dan erosi

yang belakangan marak terjadi di Indonesia salah satunya di sebabkan karena beralihnya

fungsi penggunaan/penutupan lahan .

3. Pengembangan pola rehabilitasi Hutan dan lahan seperti pengembangan hutan rakyat , di

harapkan mampu memutus rantai kemiskinan masyarakat di dalam DAS yang pada

akhirnya mendorong perilaku masyarakat untuk melakukan optimalisasi pemanffata

lahan yang ada dan melakukan pengolahan lahan berdasarkan azas konservasi tanah dan

air.

4. Produksi hasil kayu hutan rakayt yang mencapai rata-rata 60 juta rupiah / tahun jelas

lebih besar di bandingkan dari pertanian tanaman semusim yang di kelola secara intensif.

Hal ini karena minimnya input produksi yang di keluarkan petani untuk pembangunan

hutan rakyat.

5. Sangat diperlukan kesepahaman dan kerangka dasar (mainframe) yang sama antar

instansi, organisasi, dan masyarakat tentang pengertian dan pengelolaan DAS.

15

Page 16: Praktek Pengelolaan Das

Koordinasi antar departemen sangat diperlukan dalam pengelolaan DAS terpadu, hal ini

untuk penyelesaian perbedaan sektoral pada tingkat tinggi agar tidak terjadi tumpang

tindih atau pertentangan kepentingan. Pengelolaan DAS tidak hanya menjadi tugas

pemerintah tetapi menjadi kewajiban seluruh pemangku kepentingan untuk berpartisipasi

dengan melakukan intervensi demi tercapainya kesepakatan dan tujuan bersama.

(sangat diperlukan koordinasi antara para pemangku kepentingan

6. Rencana pengelolaan DAS terpadu sebagai rencana jangka panjang, harus dibuat secara

utuh dengan mempertimbangkan kepentingan lintas sektor, lintas wilayah adminsitrasi,

dan kepentingan hulu dan hilir

7. Restrukturisasi batas pengelolaan sumberdaya alam sanggat diperlukan, yang mana

selama ini berdasarkan pada batas administrasi menjadi berdasarkan batas ekosistem

DAS.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. Undang Undang Sumberdaya Air Nomor 7 Tentang Sumber Daya Air.

Anonimous. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 17 Tahun 2000 Tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.

Anonimous. Watershed Management for Potable Water Supply: Assessing the New York City Strategy. National Academy Press . Washington DC. 2000.

Anonymous . Luas dan penyebaran lahan kritis empat tahun terakhir. http:www.//siaphut.dephut.go.id/siaphut/reports/rlps/penyebaran_lahan_kritis.php?task=cetak&tahun=2009

Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan keempat (Revisi). Penerbit : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Asdak, C. 2004. Kajian Lingkungan Strategik: Instrumen Pengelolaan Lingkungan Lintas Wilayah Berkelanjutan. Makalah Policy Dialoque “Kajian Lingkungan Strategik Kawasan Bodebek”. Bandung, 15-16 Desember 2004.

Asdak, C. 2003. Perspektif Baru dalam Pengelolaan DAS: menuju solidaritas daerah hulu-hilir. Makalah untuk Diskusi Strategi Energi Balik Hulu-Hilir Dalam Rangka Program Pembangunan Kehutanan. 27 Agustus 2003, Cipayung, Jawa Barat.

Badan palnologi departemen kehutanan , 2008. Perhitungan Deforetrasi Indonesia tahun. 2008

Black, P.E. 1995. Watershed hydrology. New York : State University of New York.

Blomquist, W. and E. Schlager. 2005. Political Pitfalls of Integrated Watershed Management. Society and Natural Resources (18):101-117.

[Ditjen RRL] Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. 1999. Luas Lahan Kritis di Indonesia dan Statistik Dalam Angka. Ditjen RRL Departemen Kehutanan. Dephut. Jakarta.

16

Page 17: Praktek Pengelolaan Das

[Ditjen Sumberdaya Air] Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Departemen Pertanian. 2004. Sebanyak 65 DAS Dalam Kondisi Semakin Kritis. Harian Kompas tanggal 20 Agustus 2004. hal 15. Jakarta.

Hamzirwan, 2011. Sejahtera lewat hutan. http:www.//api.or.id/2011/02/08/sejahtera-lewat-hutan

Hendra Billy, 2004. Potensi dan kelembagaan hutan rakyat. PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 14-23. Badan litbang departemen kehutanan.

Khanna, P., P.R. Babu and M.S. George. 1999. Carrying capacity as a basis for sustainable development: A case study of National Capital Region in India. Progress in Planning (52): 101-163.

Nakamura, T. 2003. Ecosystem-based River Basin Management: its approach and policy-level application. Hydrological Processes (17): 2711-2725.

Noordwijk MV et al. 2004. Role of Agroforestry in maintenance of hydrological functions in water cathment areas. Proceedings of workshop Word Agroforestry centre (ICRAF).

Pawitan H., 2008. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Hidrologi Daerah Aliran Sungai, Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Singh, A. and A.K. Gosain. 2004. Resolving conflicts over transboundary watercourses: an Indian perspective. Land use and Water Resources Research (4):2.1-2.5.

Sinukaban, 2009, Analisis dan Strategi Perencanaan Pengembangan Daerah Aliran Sungai (Referensi Untuk Sustainable Utilization of Bioresources), makalah disampaikan dalam Rountable Discussion – Fakultas Pertanian IPB, 22 Desember 2009

Supratman dan C.Yudilastiantoro. 2003, Analisis Sistem Kelembagaan Pengelolaan Das Jeneberang. Balai Penelian Kehutanan Makassar

17