pp no 22 tahun 2010
DESCRIPTION
PP NO 22 Tahun 2010TRANSCRIPT
Batasan Wilayah wilayah maksimal operasi pertambanganPasal 53 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam
diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare
Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare
Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare
Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare
Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang ekonomis untuk diusahakan dapat tetap ditambang. Di satusisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah satu tujuan UU Minerba, yaitu menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sesuaidengan asas yang secara terencana mengintegrasikan dimesi ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang.
Sebetulnya kalau hal itu ditanyakan kepada pemerintah terkait
dengan kelemahan-kelemahannya Undang-Undang No. 4 Tahun
2009 tentang Minerba, itu tidak tepat. Artinya, silahkan
ditanyakan kepada orang-orang di luar pemerintah yang konsen
dengan permasalahan minerba ini. Cuma jika kita bicara tentang
kendala pelaksanaan UU Minerba itu kan sangat general. UU
Minerba mengakomodasi berbagai macam wilayah Undang-
Undang yang lain, misalnya UU Lingkungan Hidup dan UU
Kehutanan.
Sekarang yang menjadi masalah adalah ternyata dalam kasus
tambang minerba itu banyak kondisi-kondisi yang spesifik, yang
tidak bisa diakomodir dalam Undang-Undang yang sifatnya
general. Misalnya, dulu kita punya aturan bahwa jika mau
menambang harus punya Izin Usaha Pertambangan (IUP)
eksplorasi, minimal harus mempunyai luas wilayah sebesar 5000
meter. Ternyata sekarang ada di daerah-daerah, misalnya
Bangka Belitung, faktanya luas wilayah 5000 meter per segi itu
sudah tidak ada lagi. Jadi kalau tidak ada lagi, di situ otomatis
tidak bisa dibuka IUP baru. Aturan mengenai luas wilayah IUP
yang 5000 meter itu adalah untuk membatasi izin. Saya sudah
sampaikan dalam beberapa kesempatan bahwa data yang ada di
Kementerian ESDM mencatat sudah ada lebih dari 10.600 izin. Ini
kondisi yang perlu diperhatikan secara serius. Artinya, kalau kita
tidak memulai pengetatan maka izin itu akan terus melonjak naik
hingga 20.000 izin nantinya, karena mudah sekali memberi izin.
Namun, yang menjadi masalah adalah pengawasannya yang
tidak ada. Bisa kita bayangkan bahwa ada daerah-daerah yang
sudah menerbitkan ratusan izin tapi ternyata mereka tidak
mempunyai tenaga pengawas. Harusnya izin itu diawasi, dia
punya inspektur tambang kalau di daerah, walaupun
kenyataannya di daerah sangat sedikit sekali jumlahnya
sehingga tidak sesuai antara izin yang sudah dikeluarkan dengan
pengawasannya. Itulah problem yang pertama.
Kemudian yang kedua, penyesuaian kontrak. Jika kita bicara
secara hukum penyesuaian kontrak itu harusnya dilakukan
dalam jangka waktu satu tahun sesuai dengan UU Minerba.
Secara hukum itu sebetulnya menimbulkan kontradiksi juga,
karena di satu sisi pemerintah menghormati asas pacta sun
servanda bahwa kontrak itu harus dihormati sebagai Undang-
Undang. Tapi di sisi lain pemerintah juga mempunyai kewajiban
untuk mengamandemen kontrak supaya lebih fair. Kenapa lebih
fair? Saya contohkan misalnya Freeport. Apakah kita rela
Freeport hanya membayar 1 persen royalti sementara aturan
yang sekarang 3,75 persen. Jadi untuk pengusaha lokal
katakanlah harus membayar 3,75 persen, Freeport yang dari
Amerika hanya membayar 1 persen. Dari sisi keadilan hal ini
tentu sangat jauh sekali. Oleh karena itu pemerintah terus
mengupayakan renegosiasi kontrak yang sudah ada sebelum
aturan baru berlaku. Kita juga menginginkan upaya renegosiasi
Kontrak Karya bisa dipahami masyarakat bahwa ini sebetulnya
juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini bukan berarti
pemerintah tidak menghormati kontrak, namun perlu diingat
bahwa kondisinya saat ini juga berbeda antara dulu dengan
sekarang.
Saat ini pemerintah tengah melakukan upaya penataan. Salah
satunya dengan memperketat masalah perizinan tambang
minerba ini. Artinya lebih selektif dalam memberikan IUP.
Sekarang kita sudah buat rambu-rambu, bahkan dalam UU
Minerba ada ketentuan pidana kalau misalnya penerbit izin itu
menerbitkan IUP tidak sesuai dengan kewenangan itu bisa
dikenakan sanksi pidana.
Sekarang prioritas pemerintah adalah melakukan penataan dan
pengetatan terhadap IUP yang ada supaya ke depan aktivitas
industri tambang minerba tetap berjalan dan investasi tidak
terkendala.
Apa implikasi dari kelemahan UU Minerba?
Kalau bicara soal implikasi, tentu saja banyak aspek implikasinya
dari berbagai macam sisi. Hanya, sekarang yang namanya
gugatan akibat ketidakpuasan terhadap sebuah peraturan itu
bisa diajukan oleh siapa saja. Terhadap keberlakuan UU Minerba
ini kemungkinan akan ada pihak yang sepakat karena merasa
diuntungkan dan juga ada pihak yang tidak sepakat terhadap UU
ini karena merasa dirugikan. Orang yang merasa tidak
sependapat dengan UU Minerba mengatakan bahwa karena kita
punya mekanisme gugatan terhadap sebuah peraturan sebagai
koridor hukum yang konstitusional, maka silahkan diajukan. Jadi,
segala implikasi-implikasi yang menurut sebagian pihak adalah
implikasi negatif silakan diajukan untuk diuji sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku. Pemerintah menghormati. Bahkan
terhadap putusan Mahkamah Agung yang sebetulnya menurut
kami tidak bisa dikeluarkan, kami pun tetap menghormati dan
melaksanakan putusan itu. Meskipun kami yang buat aturan
tersebut tapi pada saat ada lembaga negara yang menurut
Undang-Undang Dasar punya kewenangan untuk mengeluarkan
putusan tersebut, ya kita akan menghormatinya.
Bagaimana dengan aturan pelaksanaan atas UU Minerba?
Kalau peraturan pelaksana sendiri sebenarnya aturan ini akan
terus ada, kita sudah menyiapkan mungkin sekitar 20 peraturan
menteri untuk melaksanakan empat PP yang menjalankan
amanat UU Minerba. Sebetulnya sudah hampir semua kita bahas,
tapi sekarang yang menjadi masalah adalah ada wilayah
pertambangan (WP) yang belum keluar. Kalau WP-nya belum
keluar, maka praktis penerbitan IUP juga tidak bisa dilakukan.
Oleh karena itu setelah WP itu keluar nanti akan kita keluarkan
aturan mainnya. Sekarang sebetulnya sudah difinalisasikan,
terkait dengan rancangan peraturan menteri yang sudah akan
keluar, tapi masih menunggu WP.
Bagaimana dengan implementasi peraturan pelaksana
tersebut?
Sampai sekarang kita sudah mempunyai 4 PP, bahkan ada satu
PP yang sudah direvisi, PP No. 23 Tahun 2010 dengan PP No. 24
Tahun 2012. Kami mengharapkan PP itu agar bisa lebih
operasional. Secara umum kita melihat ada kepatuhan dari
pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengikuti itu,
meskipun ada juga pihak yang tidak mematuhinya. Saya kira
kalau kita bicara terkait dengan peraturan pelaksanaannya, ada
sebagian pemerintah daerah yang patuh terhadap PP yang sudah
keluar. Termasuk juga pengusaha.
Bagaimana aspek penegakan hukum lingkungan dalam
UU Minerba?
Terkait dengan lingkungan, kita sudah punya PP khusus tentang
itu, PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca
Tambang. Jika kita melihat PP ini maka kita akan bicara
mengenai UU Minerba terkait dengan lingkungan. Kalau yang
ditanya pidana lingkungan maka pasti mengacu pada UU No. 32
Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, tidak mengacu pada UU
Minerba. Yang diatur dalam UU Minerba dan PP No. 78 ini adalah
reklamasi dan kewajiban perusahaan setelah melakukan
aktivitas produksi tambang. Jadi sebelum dia dapat IUP
khususnya IUP eksplorasi, dia harus mengurus izin lingkungan
terlebih dahulu, kemudian mengurus Amdal. Sehingga pada
prinsipnya dia harus punya kelengkapan dokumen lingkungan
untuk mendapatkan IUP operasi produksi.
Kalau dia tidak punya kelengkapan dokumen lingkungan maka
tentu saja bisa dikenakan pidana sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 32 Tahun 2009. Dalam reklamasi, pada dasarnya
perusahaan tidak hanya bisa menambang tapi juga bisa me-
recovery, bisa mengembalikan lahan yang sudah rusak. Kita juga
punya yang namanya jaminan reklamasi, pada saat
mendapatkan IUP perusahaan harus bayar jaminan dalam bentuk
deposito. Jika perusahaan tersebut tidak melakukan reklamasi
atau me-recoverykerusakan lahan dari aktivitas penambangan
maka dana yang dijaminkan itu bisa digunakan untuk menunjuk
pihak ketiga atau pemerintah melakukan reklamasi.
Banyak orang meragukan kepastian hukum di sektor
Minerba, khususnya di daerah.
Pada prinsipnya kita punya hierarki peraturan perundang-
undangan sesuai UU No. 12 Tahun 2011. Prinsipnya, peraturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang
lebih tinggi. Pengaturan apapun yang dibuat oleh pemerintah
daerah, itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi. Jadi tidak masalah jika di tataran daerah perda itu
mengatur apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan aturan
yang ada.
Kalau terjadi perbedaan pendapat Pusat dan daerah
dalam hal izin tambang?
Tentu saja jika terjadi perbedaan pendapat kan sudah ada
forumnya. Forum untuk menyelesaikannya adalah di pengadilan,
apakah itu melalui judicial review di Mahkamah Agung ataukah
lewat Mahkamah Konstitusi. Jadi saya kira sekarang dengan
adanya dua lembaga itu semua pihak, termasuk pemerintah
daerah punya hak untuk menguji aturan yang lebih tinggi.
Prinsipnya kita menghormati warga negara, termasuk
pemerintah daerah yang melakukan upaya hukum berdasarkan
aturan. Kita tidak ingin destruktif, jika ada problem hukum yang
dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan nyata di daerah. Jika tidak
setuju maka ajukanlah ke pengadilan bukan melakukan upaya-
upaya yang destruktif.
Apa konsekuensi pengaturan izin tambang minerba bagi
pertumbuhan investasi?
Jika kita berbicara mengenai investasi, tentu saja yang namanya
tambang minerba ini sangat seksi sekali. Dari tahun 1967 yang
namanya investasi di sektor tambang itu sangat besar meskipun
tidak sebesar migas. Sekarang sebetulnya dengan kita
mengeluarkan kebijakan clean and clear (CnC), sebetulnya dari
sisi investasi ini sangat baik sekali, karena sekarang investor
yang ingin menanam saham di Indonesia itu hanya tinggal
melihat saja. Misalnya, perusahaan yang mau dimasuki itu bagus
atau tidak, tinggal kita lihat saja dari status CnC perusahaan
yang bersangkutan. Tidak seperti membeli kucing dalam karung.
Banyak investor yang sudah menanam saham tapi ternyata
izinnya bodong atau statusnya tidak CnC. Sekarang dengan
adanya kebijakan CnC ini maka sudah lebih aman karena
pemerintah sudah melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang
sudah ada. Mudah-mudahan dari sisi investasi, terkait dengan
adanya penataan IUP bisa lebih baik. Kemudian, kebijakan
peningkatan nilai tambah juga mendorong para investor untuk
menanamkan sahamnya di Indonesia melalui
pembangunan smelter. Ini kan peluang bisnis yang luar biasa.
Kita sekarang sudah punya satu Standard Operational
Procedure terkait dengan pemrosesan IUP CnC. Kalau ada
perusahaan atau pemerintah daerah mengajukan, syaratnya
tidak lengkap maka kita akan telpon dan mengarahkannya untuk
melengkapi sendiri syaratnya. Apabila sudah melengkapi syarat
dengan bukti pemberian sertifikat, maka dia diarahkan untuk
datang sendiri ke Kementerian ESDM. Dalam SOP kita
menghindari adanya perantara-perantara atau jasa orang-orang
yang tidak bertanggung jawab yang menghubungkan antara
pemerintah dengan pihak perusahaan. Sekarang pelaku
perusahaan langsung berhubungan dengan pemerintah, bahkan
sekarang kita sudah manjalankan sistem pelayanan terpadu satu
pintu untuk proses pemberian IUP CnC.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt515124885dd78/sony-heru-prasetyo--
brpenataan-iup-terus-dilakukan
SELASA, 26 MARET 2013
Sony Heru Prasetyo:
Pada tahun 2009 DPR telah mengsahkan UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang
merupakan revisi dari UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-
Pokok Pertambangan. Revisi dilakukan, terutama untuk mengembalikan
fungsi dan kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam
yang dimiliki, dan diharapkan dapat membawa perbaikan dalam
pengelolaan sektor pertambangan di Tanah Air. Dengan demikikian
amanat Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, benar-
benar dapat diwujudkan.
Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba
memang telah memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang
paling penting di antaranya, adalah ditiadakannya sistem kontrak karya
bagi pengusahaan pertambangan yang digantikan dengan sistem izin
usaha pertambangan (IUP).
UU Minerba juga mengakomodasi kepentingan daerah, dengan
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat
menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka
waktu izin usaha pertambangan.
Namun demikian, meski telah memuat beberapa pasal perbaikan,
UU Minerba dinilai belum mengatur secara lebih detail hal-hal yang
berkaitan dengan kejelasan arah perencanaan, pengelolaan, kebijakan,
dan strategi pertambangan nasional yang akan dituju.
Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan
yang bersifat sangat umum sehingga tidak bisa operasional, serta
pengaturan pelaksanaannya banyak diserahkan kepada Pemerintah
melalui peraturan pemerintah (PP) dan peraturan daerah (Perda). Sebagai
contoh, dari 175 pasal yang terdapat dalam UU Minerba, setidaknya
terdapat 22 pasal yang peraturan pelaksanaannya diserahkan kepada
Pemeirntah (PP), dan 3 pasal oleh pemerintah daerah (Perda). Dengan
kondisi UU seperti itu, maka bagaimana arah dan gambaran pengelolaan
sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti masih sangat bergantung
pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan pada saat PP
dan Perda tersebut dibuat.
Selain belum mampu memberikan gambaran tentang arah dan
strategi pertambangan nasional ke depan, juga ada beberapa kelemahan
dalam UU Minerba yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Jika
kelemahan tersebut tidak diperbaiki dikhawatirkan UU Minerba ini justru
berpotensi semakin memperberat permasalahan sektor pertambangan di
masa mendatang.
Beberapa kelemahan itu antara lain, pertama, tidak adanya norma
yang mengatur adanya kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri
(Domestic Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak mengaturnya
secara tegas dan eksplisit, sehingga terjadi kasus pembangkit listrik PLN
tidak mendapatkan pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi
batu bara begitu besar. Kasus seperti ini sangat mungkin terulang kembali
pada masa mendatang.
Kedua, menyangkut tidak jelasnya besaran penerimaan negara dari pajak
dan nonpajak dari sektor pengusahaan Minerba. Ketidakjelasan ini
berpotensi menjadikan tidak optimalnya penerimaan Negara dari pajak
dan nonpajak Minerba, bahkan kalau tidak dilakukan kontrol yang ketat
akan merugikan penerimaan Negara. UU Minerba tidak mengatur secara
tegas tentang hal ini dan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan
pelaksanaannya di bawah UU.
Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada
pemerintah daerah tanpa disertai kesiapan kerangka acuan tentang
strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas. Hal ini
menyebabkan makin tidak terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi
pertambangan di daerah-daerah. Berdasarkan data, semenjak
digulirkanya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa
pertambangan telah diterbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan
pengawasan yang memadai. Keempat, UU Minerba juga tidak mampu
'mengintervensi' dan memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang
telah ada selama ini. Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa
kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara
yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap
diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
Terkait dengan beberapa kekurangan UU Minerba, maka
dipandang mendesak dilakukan perbaikan UU ini sehingga ada arah,
kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas dan
terukur.
Paper ini akan merupakan analisa ringkas dari UU Minerba dari sudut
pandang aspek sosiologis, yuridis dan filosofis.
alam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 (Bagian Konsideran) dapat
dikaji menurut tinjauan landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b UU No. 4 Tahun 2009
bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan
kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta
air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara
nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah
secara berkelanjutan.
Analisis Undang-Undang Minerba
Sebelum menganalisa terhadap Undang - undang, ada baiknya kita perlu
mengetahui terlebih dahulu mengenai apa itu undang – undang beserta penjelasan
yang lain.
Undang – undang merupakan peraturan – peraturan tertulis yang dibuat
oleh alat perlengkapan negara yang berwenang dan bersifat mengikat setiap orang
selaku warga negara. Undang – undang dapat berlaku didalam masyarakat jika
telah memenuhi persyaratan tertentu.
Dalam istilah hukum, Undang – undang dibedakan menjadi 2 ( dua ) jenis,
yaitu :
a. UU dalam arti materiil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari isinya disebut UU dan
mengikat orang secara umum. Namun tidak semua UU dapat disebut dengan UU
dalam arti materiil, karena ada UU yang hanya khusus berlaku bagi sekelompok
orang tertentu sehingga disebut dengan UU dalam arti formil saja. Misalnya
adalah UU No. 62 / 1968 tentang naturalisasi.
b. UU dalam arti formil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari segi bentuk dan cara
terjadinya dilakukan secara prosedur dan formal.
Asas hukum tentang berlakunya Undang – undang, yaitu :
a. UU tidak berlaku surut,
b. Asas lex superior derogat legi inferiori,
c. Asas lex posteriori derogat legi priori,
d. Asas lex specialis derogat legi generali.
Hasil analisa terhadap Undang - Undang ditinjau dari pertimbangan
Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.
1. Tinjauan Landasan Aspek Sosiologis
[1]Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Ketentuan tersebut penting agar peraturan yang dibuat ditaati oleh masyarakat.
Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law)
dalam masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 (Bagian Konsideran) dapat
dikaji menurut tinjauan landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b UU No. 4 Tahun 2009
bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan
kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta
air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara
nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah
secara berkelanjutan.
Analisis : Bahwa keyakinan masyarakat akan pentingnya kemanfaatan sumber
daya mineral dan batu bara sebagai alat yang menunjang perekonomian serta
pembangunan berkelanjutan daerah maupun secara skala nasional. Kesadaran
masyarakat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang dimana banyak terjadi
konflik-konflik mengenai mengeksploitasian mineral dan batubara. Permasalahan
investor dan rakyat menjadikan problem utama yang harus dicari jalan
keluar. Faktanya, konflik antara pemodal dan rakyat terjadi dalam aktivitas
pertambangan tersebut. Kasus Freeport (Papua), Newmont (Sumbawa dan
Sulawesi) serta PT SMN (Bima) merupakan konflik yang melibatkan korporasi
tambang mineral. Sedangkan kasus pencemaran lingkungan dan perampasan tanah
ulayat suku Dayak oleh Adaro dan Kideco Jaya Agung di Kalimantan adalah
konflik yang terjadi dalam industri pertambangan batubara.
Di hampir semua konflik, posisi rakyat selalu berada pada pihak yang
terkalahkan. Salah satu sebabnya adalah keberpihakan aparat negara,
baik pemerintah pusat, daerah, kepolisian maupun militer kepada
korporasi. Hal ini disebabkan juga oleh rancunya UU Minerba yang
berlaku saat ini. Kerancuan itu dapat kita pahami, bila kita meninjau latar
belakang kelahiran UU ini secara seksama. Dengan memberi
pertimbangan seperti yang tercantum di atas, diharapkan segenap pelaku
yang terlibat dapat menaati peraturan tersebut. Sehingga landasan
sosiologis yang dicantumkan ini akan menjadi suatu dinamic recht dan
bukan moment opname. Dengan demikian Undang-undang yang
bersangkutan akan berlaku efektif dan mengatur serta membatasi perilaku
manusia dalam memperlakukan sumber daya mineral yang tersedia.
2. Tinjauan Landasan Yuridis
[2]Landasan yuridis adalah landasan yuridis (yuridische gelding) yang
menjadi dasar kewenangan (bevoegddheid, competentie) pembuatan
peraturan perundang-undangan. Selain menentukan dasar kewenangan
landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau pengakuan dari
suatu jenis peratyuran perundang-undangan atau yang disebut landasan
yuridis materil. Landasan yuridis material menunjuk kepada materi muatan
tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan
tertentu. Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menujukkan:
• Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-
undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
badan atau pejabat yang berwenang.
• Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-
undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
• Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila taat cara tersebut tidak
diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau
tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
• Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undangan tiddak boleh
mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD . Demikian pula
seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih
bawah.
Pertimbangan yang masuk landasan yuridis antara lain :
a. Bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun
internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga
dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan
mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal,
transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna
menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Analisis :
Sebagai dasar yuridis bahwa artinya UU Nomor 11 Tahun 1967 sudah
tidak memenuhi kebutuhan yang ada. Dalam perkembangan lebih lanjut,
undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik
sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan
di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat
nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh
pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang
mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia,
lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas
kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan
masyarakat. Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan
menjawab sejumlah permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan
perundang-undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara
yang dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah
pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan
pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Posisi negara yang
lemah dalam UU No.11/1967 inilah yang berusaha untuk dirubah oleh
pemerintah dan DPR melalui UU No.4/2009 tentang Minerba tersebut.
Maka, dalam UU Minerba terjadi perubahan rezim dalam tata kelola
industri tambang nasional. Perubahan itu terjadi dari rezim
kontrak/perjanjian kepada rezim perizinan. Sehingga istilah-istilah seperti
KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pada
pasal 36 UU Minerba, disebutkan bila IUP terdiri atas dua tahap, yakni
IUP Eksplorasi (penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan) dan
IUP Operasi Produksi (konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan).
b. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Analisis : Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
Presiden RI memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Maka
dalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2004 yang disahkan dengan tanda
tangan dari Presiden Republik Indonesia, maka sebagai landasan yuridis
peraturan yang bersangkutan menjadi memiliki legalitas untuk dibenarkan
dan diaplikasikan. Begitu pula Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Menjadi
dasar dibentuknya Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral
dan batu bara.
3. Tinjauan landasan Filosofis
Yang dimaksud landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup
sesuatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa
tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan
yang tidak baik. Adapun jenis filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan
dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan
bangsa tersebut. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang
termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus mencerminkan
filsafat hidup bangsa itu. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai moral bangsa.
Termasuk dalam landasan Filosofis UU No 4 Tahun 2009 yaitu bahwa
mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting
dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya
harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Analisis : Bahwa sesuai pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang ini dipergunkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil. Atas penguasaan mineral
dan batubara tersebut diharapkan dapat memenuhi hajat hidup orang
banyak dan memakmurkan daerah yang menjadikan pertambangan serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Wilayah mineral
dan wilayah pertambangan tak semua dapat mencakup wilayah luas
Negara Indonesia yang diharapkan daerah yang mengelola tidak
memecah belah demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu menurut pasal 33 ayat 3 UUD 1945 segala penguasaan
kekayaan alam bumi, air yang terkadung didalam bumi dikelola oleh
negara. Perhatian kita tertuju pada pemberian Tuhan Yang Maha Esa
dimana material bahan tak terbarukan dapat terdapat di wilayah Indonesia
yang dapat memenuhi hajat orang hidup banyak yang diwujudakan dan
dikelola secara baik oleh pemerintah dan masyarakat sehingga
mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
[1] Rosjidi, Ranggawidjaja.1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia.
Bandung: Penerbit Mandar Maju. Halaman 44