pp no 22 tahun 2010

17
Batasan Wilayah wilayah maksimal operasi pertambangan Pasal 53 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang ekonomis untuk diusahakan dapat tetap ditambang. Di satusisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah satu tujuan UU Minerba, yaitu menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sesuaidengan asas yang secara terencana mengintegrasikan dimesi ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang. Sebetulnya kalau hal itu ditanyakan kepada pemerintah terkait dengan kelemahan-kelemahannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, itu tidak tepat. Artinya, silahkan ditanyakan kepada orang-orang di luar pemerintah yang konsen dengan permasalahan minerba ini.

Upload: bil-akbar

Post on 06-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PP NO 22 Tahun 2010

TRANSCRIPT

Page 1: PP NO 22 TAHUN 2010

Batasan Wilayah wilayah maksimal operasi pertambanganPasal 53       : Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam

diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare

Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare

Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare

Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare

Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang ekonomis untuk diusahakan dapat tetap ditambang. Di satusisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah satu tujuan UU Minerba, yaitu menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sesuaidengan asas yang secara terencana mengintegrasikan dimesi ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang.

Sebetulnya kalau hal itu ditanyakan kepada pemerintah terkait

dengan kelemahan-kelemahannya Undang-Undang No. 4 Tahun

2009 tentang Minerba, itu tidak tepat. Artinya, silahkan

ditanyakan kepada orang-orang di luar pemerintah yang konsen

dengan permasalahan minerba ini. Cuma jika kita bicara tentang

kendala pelaksanaan UU Minerba itu kan sangat general. UU

Minerba mengakomodasi berbagai macam wilayah Undang-

Undang yang lain, misalnya UU Lingkungan Hidup dan UU

Kehutanan.

Sekarang yang menjadi masalah adalah ternyata dalam kasus

tambang minerba itu banyak kondisi-kondisi yang spesifik, yang

Page 2: PP NO 22 TAHUN 2010

tidak bisa diakomodir dalam Undang-Undang yang sifatnya

general. Misalnya, dulu kita punya aturan bahwa jika mau

menambang harus punya Izin Usaha Pertambangan (IUP)

eksplorasi, minimal harus mempunyai luas wilayah sebesar 5000

meter. Ternyata sekarang ada di daerah-daerah, misalnya

Bangka Belitung, faktanya luas wilayah 5000 meter per segi itu

sudah tidak ada lagi. Jadi kalau tidak ada lagi, di situ otomatis

tidak bisa dibuka IUP baru. Aturan mengenai luas wilayah IUP

yang 5000 meter itu adalah untuk membatasi izin. Saya sudah

sampaikan dalam beberapa kesempatan bahwa data yang ada di

Kementerian ESDM mencatat sudah ada lebih dari 10.600 izin. Ini

kondisi yang perlu diperhatikan secara serius. Artinya, kalau kita

tidak memulai pengetatan maka izin itu akan terus melonjak naik

hingga 20.000 izin nantinya, karena mudah sekali memberi izin.

Namun, yang menjadi masalah adalah pengawasannya yang

tidak ada. Bisa kita bayangkan bahwa ada daerah-daerah yang

sudah menerbitkan ratusan izin tapi ternyata mereka tidak

mempunyai tenaga pengawas. Harusnya izin itu diawasi, dia

punya inspektur tambang kalau di daerah, walaupun

kenyataannya di daerah sangat sedikit sekali jumlahnya

sehingga tidak sesuai antara izin yang sudah dikeluarkan dengan

pengawasannya. Itulah problem yang pertama.

Kemudian yang kedua, penyesuaian kontrak. Jika kita bicara

secara hukum penyesuaian kontrak itu harusnya dilakukan

dalam jangka waktu satu tahun sesuai dengan UU Minerba.

Secara hukum itu sebetulnya menimbulkan kontradiksi juga,

karena di satu sisi pemerintah menghormati asas pacta sun

servanda bahwa kontrak itu harus dihormati sebagai Undang-

Undang. Tapi di sisi lain pemerintah juga mempunyai kewajiban

untuk mengamandemen kontrak supaya lebih fair. Kenapa lebih

fair? Saya contohkan misalnya Freeport. Apakah kita rela

Freeport hanya membayar 1 persen royalti sementara aturan

yang sekarang 3,75 persen. Jadi untuk pengusaha lokal

katakanlah harus membayar 3,75 persen, Freeport yang dari

Amerika hanya membayar 1 persen. Dari sisi keadilan hal ini

Page 3: PP NO 22 TAHUN 2010

tentu sangat jauh sekali. Oleh karena itu pemerintah terus

mengupayakan renegosiasi kontrak yang sudah ada sebelum

aturan baru berlaku. Kita juga menginginkan upaya renegosiasi

Kontrak Karya bisa dipahami masyarakat bahwa ini sebetulnya

juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini bukan berarti

pemerintah tidak menghormati kontrak, namun perlu diingat

bahwa kondisinya saat ini juga berbeda antara dulu dengan

sekarang.

Saat ini pemerintah tengah melakukan upaya penataan. Salah

satunya dengan memperketat masalah perizinan tambang

minerba ini. Artinya lebih selektif dalam memberikan IUP.

Sekarang kita sudah buat rambu-rambu, bahkan dalam UU

Minerba ada ketentuan pidana kalau misalnya penerbit izin itu

menerbitkan IUP tidak sesuai dengan kewenangan itu bisa

dikenakan sanksi pidana.

Sekarang prioritas pemerintah adalah melakukan penataan dan

pengetatan terhadap IUP yang ada supaya ke depan aktivitas

industri tambang minerba tetap berjalan dan investasi tidak

terkendala.

Apa implikasi dari kelemahan UU Minerba?

Kalau bicara soal implikasi, tentu saja banyak aspek implikasinya

dari berbagai macam sisi. Hanya, sekarang yang namanya

gugatan akibat ketidakpuasan terhadap sebuah peraturan itu

bisa diajukan oleh siapa saja. Terhadap keberlakuan UU Minerba

ini kemungkinan akan ada pihak yang sepakat karena merasa

diuntungkan dan juga ada pihak yang tidak sepakat terhadap UU

ini karena merasa dirugikan. Orang yang merasa tidak

sependapat dengan UU Minerba mengatakan bahwa karena kita

punya mekanisme gugatan terhadap sebuah peraturan sebagai

koridor hukum yang konstitusional, maka silahkan diajukan. Jadi,

segala implikasi-implikasi yang menurut sebagian pihak adalah

implikasi negatif silakan diajukan untuk diuji sesuai dengan

aturan hukum yang berlaku. Pemerintah menghormati. Bahkan

Page 4: PP NO 22 TAHUN 2010

terhadap putusan Mahkamah Agung yang sebetulnya menurut

kami tidak bisa dikeluarkan, kami pun tetap menghormati dan

melaksanakan putusan itu. Meskipun kami yang buat aturan

tersebut tapi pada saat ada lembaga negara yang menurut

Undang-Undang Dasar punya kewenangan untuk mengeluarkan

putusan tersebut, ya kita akan menghormatinya.

Bagaimana dengan aturan pelaksanaan atas UU Minerba?

Kalau peraturan pelaksana sendiri sebenarnya aturan ini akan

terus ada, kita sudah menyiapkan mungkin sekitar 20 peraturan

menteri untuk melaksanakan empat PP yang menjalankan

amanat UU Minerba. Sebetulnya sudah hampir semua kita bahas,

tapi sekarang yang menjadi masalah adalah ada wilayah

pertambangan (WP) yang belum keluar. Kalau WP-nya belum

keluar, maka praktis penerbitan IUP juga tidak bisa dilakukan.

Oleh karena itu setelah WP itu keluar nanti akan kita keluarkan

aturan mainnya. Sekarang sebetulnya sudah difinalisasikan,

terkait dengan rancangan peraturan menteri yang sudah akan

keluar, tapi masih menunggu WP.

Bagaimana dengan implementasi peraturan pelaksana

tersebut?

Sampai sekarang kita sudah mempunyai 4 PP, bahkan ada satu

PP yang sudah direvisi, PP No. 23 Tahun 2010 dengan PP No. 24

Tahun 2012. Kami mengharapkan PP itu agar bisa lebih

operasional. Secara umum kita melihat ada kepatuhan dari

pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengikuti itu,

meskipun ada juga pihak yang tidak mematuhinya. Saya kira

kalau kita bicara terkait dengan peraturan pelaksanaannya, ada

sebagian pemerintah daerah yang patuh terhadap PP yang sudah

keluar. Termasuk juga pengusaha.

Bagaimana aspek penegakan hukum lingkungan dalam

UU Minerba?

Terkait dengan lingkungan, kita sudah punya PP khusus tentang

itu, PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca

Tambang. Jika kita melihat PP ini maka kita akan bicara

Page 5: PP NO 22 TAHUN 2010

mengenai UU Minerba terkait dengan lingkungan. Kalau yang

ditanya pidana lingkungan maka pasti mengacu pada UU No. 32

Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, tidak mengacu pada UU

Minerba. Yang diatur dalam UU Minerba dan PP No. 78 ini adalah

reklamasi dan kewajiban perusahaan setelah melakukan

aktivitas produksi tambang. Jadi sebelum dia dapat IUP

khususnya IUP eksplorasi, dia harus mengurus izin lingkungan

terlebih dahulu, kemudian mengurus Amdal. Sehingga pada

prinsipnya dia harus punya kelengkapan dokumen lingkungan

untuk mendapatkan IUP operasi produksi.

Kalau dia tidak punya kelengkapan dokumen lingkungan maka

tentu saja bisa dikenakan pidana sebagaimana yang diatur

dalam UU No. 32 Tahun 2009. Dalam reklamasi, pada dasarnya

perusahaan tidak hanya bisa menambang  tapi juga bisa me-

recovery, bisa mengembalikan lahan yang sudah rusak. Kita juga

punya yang namanya jaminan reklamasi, pada saat

mendapatkan IUP perusahaan harus bayar jaminan dalam bentuk

deposito. Jika perusahaan tersebut tidak melakukan reklamasi

atau me-recoverykerusakan lahan dari aktivitas penambangan

maka dana yang dijaminkan itu bisa digunakan untuk menunjuk

pihak ketiga atau pemerintah melakukan reklamasi.

Banyak orang meragukan kepastian hukum di sektor

Minerba, khususnya di daerah.

Pada prinsipnya kita punya hierarki peraturan perundang-

undangan sesuai UU No. 12 Tahun 2011. Prinsipnya, peraturan

yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang

lebih tinggi. Pengaturan apapun yang dibuat oleh pemerintah

daerah, itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang

lebih tinggi. Jadi tidak masalah jika di tataran daerah perda itu

mengatur apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan aturan

yang ada.

Kalau terjadi perbedaan pendapat Pusat dan daerah

dalam hal izin tambang?

Tentu saja jika terjadi perbedaan pendapat kan sudah ada

forumnya. Forum untuk menyelesaikannya adalah di pengadilan,

Page 6: PP NO 22 TAHUN 2010

apakah itu melalui judicial review  di Mahkamah Agung ataukah

lewat Mahkamah Konstitusi. Jadi saya kira sekarang dengan

adanya dua lembaga itu semua pihak, termasuk pemerintah

daerah punya hak untuk menguji aturan yang lebih tinggi.

Prinsipnya kita menghormati warga negara, termasuk

pemerintah daerah yang melakukan upaya hukum berdasarkan

aturan. Kita tidak ingin destruktif, jika ada problem hukum yang

dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan nyata di daerah. Jika tidak

setuju maka ajukanlah ke pengadilan bukan melakukan upaya-

upaya yang destruktif.

Apa konsekuensi pengaturan izin tambang minerba bagi

pertumbuhan investasi?

Jika kita berbicara mengenai investasi, tentu saja yang namanya

tambang minerba ini sangat seksi sekali. Dari tahun 1967 yang

namanya investasi di sektor tambang itu sangat besar meskipun

tidak sebesar migas. Sekarang sebetulnya dengan kita

mengeluarkan kebijakan clean and clear (CnC), sebetulnya dari

sisi investasi ini sangat baik sekali, karena sekarang investor

yang ingin menanam saham di Indonesia itu hanya tinggal

melihat saja. Misalnya, perusahaan yang mau dimasuki itu bagus

atau tidak, tinggal kita lihat saja dari status CnC perusahaan

yang bersangkutan. Tidak seperti membeli kucing dalam karung.

Banyak investor yang sudah menanam saham tapi ternyata

izinnya bodong atau statusnya tidak CnC. Sekarang dengan

adanya kebijakan CnC ini maka sudah lebih aman karena

pemerintah sudah melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang

sudah ada. Mudah-mudahan dari sisi investasi, terkait dengan

adanya penataan IUP bisa lebih baik. Kemudian, kebijakan

peningkatan nilai tambah juga mendorong para investor untuk

menanamkan sahamnya di Indonesia melalui

pembangunan smelter. Ini kan peluang bisnis yang luar biasa.

Kita sekarang sudah punya satu Standard Operational

Procedure terkait dengan pemrosesan IUP CnC. Kalau ada

perusahaan atau pemerintah daerah mengajukan, syaratnya

tidak lengkap maka kita akan telpon dan mengarahkannya untuk

Page 7: PP NO 22 TAHUN 2010

melengkapi sendiri syaratnya. Apabila sudah melengkapi syarat

dengan bukti pemberian sertifikat, maka dia diarahkan untuk

datang sendiri ke Kementerian ESDM. Dalam SOP kita

menghindari adanya perantara-perantara atau jasa orang-orang

yang tidak bertanggung jawab yang menghubungkan antara

pemerintah dengan pihak perusahaan. Sekarang pelaku

perusahaan langsung berhubungan dengan pemerintah, bahkan

sekarang kita sudah manjalankan sistem pelayanan terpadu satu

pintu untuk proses pemberian IUP CnC.    

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt515124885dd78/sony-heru-prasetyo--

brpenataan-iup-terus-dilakukan

SELASA, 26 MARET 2013

Sony Heru Prasetyo: 

Page 8: PP NO 22 TAHUN 2010

Pada tahun 2009 DPR telah mengsahkan UU No. 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang

merupakan revisi dari UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-

Pokok Pertambangan. Revisi dilakukan, terutama untuk mengembalikan

fungsi dan kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam

yang dimiliki, dan diharapkan dapat membawa perbaikan dalam

pengelolaan sektor pertambangan di Tanah Air. Dengan demikikian

amanat Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, benar-

benar dapat diwujudkan.

Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba

memang telah memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang

paling penting di antaranya, adalah ditiadakannya sistem kontrak karya

bagi pengusahaan pertambangan yang digantikan dengan sistem izin

usaha pertambangan (IUP).

UU Minerba juga mengakomodasi kepentingan daerah, dengan

memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat

menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka

waktu izin usaha pertambangan.

Namun demikian, meski telah memuat beberapa pasal perbaikan,

UU Minerba dinilai belum mengatur secara lebih detail hal-hal yang

berkaitan dengan kejelasan arah perencanaan, pengelolaan, kebijakan,

dan strategi pertambangan nasional yang akan dituju.

Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan

yang bersifat sangat umum sehingga tidak bisa operasional, serta

pengaturan pelaksanaannya banyak diserahkan kepada Pemerintah

melalui peraturan pemerintah (PP) dan peraturan daerah (Perda). Sebagai

contoh, dari 175 pasal yang terdapat dalam UU Minerba, setidaknya

terdapat 22 pasal yang peraturan pelaksanaannya diserahkan kepada

Pemeirntah (PP), dan 3 pasal oleh pemerintah daerah (Perda). Dengan

kondisi UU seperti itu, maka bagaimana arah dan gambaran pengelolaan

sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti masih sangat bergantung

pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan pada saat PP

dan Perda tersebut dibuat.

Page 9: PP NO 22 TAHUN 2010

Selain belum mampu memberikan gambaran tentang arah dan

strategi pertambangan nasional ke depan, juga ada beberapa kelemahan

dalam UU Minerba yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Jika

kelemahan tersebut tidak diperbaiki dikhawatirkan UU Minerba ini justru

berpotensi semakin memperberat permasalahan sektor pertambangan di

masa mendatang.

Beberapa kelemahan itu antara lain, pertama, tidak adanya norma

yang mengatur adanya kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri

(Domestic Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak mengaturnya

secara tegas dan eksplisit, sehingga terjadi kasus pembangkit listrik PLN

tidak mendapatkan pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi

batu bara begitu besar. Kasus seperti ini sangat mungkin terulang kembali

pada masa mendatang.

Kedua, menyangkut tidak jelasnya besaran penerimaan negara dari pajak

dan nonpajak dari sektor pengusahaan Minerba. Ketidakjelasan ini

berpotensi menjadikan tidak optimalnya penerimaan Negara dari pajak

dan nonpajak Minerba, bahkan kalau tidak dilakukan kontrol yang ketat

akan merugikan penerimaan Negara. UU Minerba tidak mengatur secara

tegas tentang hal ini dan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan

pelaksanaannya di bawah UU.

Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada

pemerintah daerah tanpa disertai kesiapan kerangka acuan tentang

strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas. Hal ini

menyebabkan makin tidak terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi

pertambangan di daerah-daerah. Berdasarkan data, semenjak

digulirkanya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa

pertambangan telah diterbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan

pengawasan yang memadai.  Keempat, UU Minerba juga tidak mampu

'mengintervensi' dan memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang

telah ada selama ini. Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa

kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara

yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap

diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

Terkait dengan beberapa kekurangan UU Minerba, maka

dipandang mendesak dilakukan perbaikan UU ini sehingga ada arah,

Page 10: PP NO 22 TAHUN 2010

kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas dan

terukur.

Paper ini akan merupakan analisa ringkas dari UU Minerba dari sudut

pandang aspek sosiologis, yuridis dan filosofis.

alam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 (Bagian Konsideran) dapat

dikaji menurut tinjauan landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan

pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b UU No. 4 Tahun 2009

bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan

kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta

air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara

nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah

secara berkelanjutan.

Analisis Undang-Undang Minerba

Sebelum menganalisa terhadap Undang - undang, ada baiknya kita perlu

mengetahui terlebih dahulu mengenai apa itu undang – undang beserta penjelasan

yang lain.

Undang – undang merupakan peraturan – peraturan tertulis yang dibuat

oleh alat perlengkapan negara yang berwenang dan bersifat mengikat setiap orang

selaku warga negara. Undang – undang dapat berlaku didalam masyarakat jika

telah memenuhi persyaratan tertentu.

Dalam istilah hukum, Undang – undang dibedakan menjadi 2 ( dua ) jenis,

yaitu :

a.       UU dalam arti materiil

Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari isinya disebut UU dan

mengikat orang secara umum. Namun tidak semua UU dapat disebut dengan UU

dalam arti materiil, karena ada UU yang hanya khusus berlaku bagi sekelompok

orang tertentu sehingga disebut dengan UU dalam arti formil saja. Misalnya

adalah UU No. 62 / 1968 tentang naturalisasi.

b.      UU dalam arti formil

Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari segi bentuk dan cara

terjadinya dilakukan secara prosedur dan formal.

Asas hukum tentang berlakunya Undang – undang, yaitu :

a.    UU tidak berlaku surut,

Page 11: PP NO 22 TAHUN 2010

b.    Asas lex superior derogat legi inferiori,

c.    Asas lex posteriori derogat legi priori,

d.    Asas lex specialis derogat legi generali.

Hasil analisa terhadap Undang - Undang ditinjau dari pertimbangan

Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.

1.      Tinjauan Landasan Aspek Sosiologis

[1]Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-

undangan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.

Ketentuan tersebut penting agar peraturan yang dibuat ditaati oleh masyarakat.

Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law)

dalam masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 (Bagian Konsideran) dapat

dikaji menurut tinjauan landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan

pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b UU No. 4 Tahun 2009

bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan

kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta

air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara

nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah

secara berkelanjutan.

Analisis : Bahwa keyakinan masyarakat akan pentingnya kemanfaatan sumber

daya mineral dan batu bara sebagai alat yang menunjang perekonomian serta

pembangunan berkelanjutan daerah maupun secara skala nasional. Kesadaran

masyarakat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang dimana banyak terjadi

konflik-konflik mengenai mengeksploitasian mineral dan batubara. Permasalahan

investor dan rakyat menjadikan problem utama yang harus dicari jalan

keluar.  Faktanya, konflik antara pemodal dan rakyat terjadi dalam aktivitas

pertambangan tersebut. Kasus Freeport (Papua), Newmont (Sumbawa dan

Sulawesi) serta PT SMN (Bima)  merupakan konflik yang melibatkan korporasi

tambang mineral. Sedangkan kasus pencemaran lingkungan dan perampasan tanah

ulayat suku Dayak oleh Adaro dan Kideco Jaya Agung di Kalimantan adalah

konflik yang terjadi dalam industri  pertambangan batubara.

Di hampir semua konflik, posisi rakyat selalu berada pada pihak yang

terkalahkan. Salah satu sebabnya adalah keberpihakan aparat negara,

baik pemerintah pusat, daerah, kepolisian maupun militer kepada

korporasi. Hal ini disebabkan juga oleh rancunya UU Minerba yang

Page 12: PP NO 22 TAHUN 2010

berlaku saat ini. Kerancuan itu dapat kita pahami, bila kita meninjau latar

belakang kelahiran UU ini secara seksama. Dengan memberi

pertimbangan seperti yang tercantum di atas, diharapkan segenap pelaku

yang terlibat dapat menaati peraturan tersebut. Sehingga landasan

sosiologis yang dicantumkan ini akan menjadi suatu dinamic recht dan

bukan moment opname. Dengan demikian Undang-undang yang

bersangkutan akan berlaku efektif dan mengatur serta membatasi perilaku

manusia dalam memperlakukan sumber daya mineral yang tersedia.

2.      Tinjauan Landasan Yuridis

[2]Landasan yuridis adalah landasan yuridis (yuridische gelding) yang

menjadi dasar kewenangan (bevoegddheid, competentie) pembuatan

peraturan perundang-undangan. Selain menentukan dasar kewenangan

landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau pengakuan dari

suatu jenis peratyuran perundang-undangan atau yang disebut landasan

yuridis materil. Landasan yuridis material menunjuk kepada materi muatan

tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan

tertentu. Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menujukkan:

•  Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-

undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh

badan atau pejabat yang berwenang.

•  Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-

undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.

•  Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila taat cara tersebut tidak

diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau

tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 •  Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undangan tiddak boleh

mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD . Demikian pula

seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih

bawah.

Pertimbangan yang masuk landasan yuridis antara lain :

a.       Bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun

internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

Page 13: PP NO 22 TAHUN 2010

Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga

dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang

pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan

mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal,

transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna

menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Analisis :

Sebagai dasar yuridis bahwa artinya UU Nomor 11 Tahun 1967 sudah

tidak memenuhi kebutuhan yang ada. Dalam perkembangan lebih lanjut,

undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik

sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan

di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus

menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat

nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh

pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang

mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia,

lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas

kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan

masyarakat. Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan

menjawab sejumlah permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan

perundang-undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara

yang dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah

pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan

pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Posisi negara yang

lemah dalam UU No.11/1967 inilah yang berusaha untuk dirubah oleh

pemerintah dan DPR melalui UU No.4/2009 tentang Minerba tersebut.

Maka, dalam UU Minerba terjadi perubahan rezim dalam tata kelola

industri tambang nasional. Perubahan itu terjadi dari rezim

kontrak/perjanjian kepada rezim perizinan. Sehingga istilah-istilah seperti

KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pada

pasal  36 UU Minerba, disebutkan bila IUP terdiri atas dua tahap, yakni

IUP Eksplorasi (penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan) dan

IUP Operasi Produksi (konstruksi, penambangan, pengolahan dan

pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan).

b.      Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Page 14: PP NO 22 TAHUN 2010

1945. Analisis : Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan

Presiden RI memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Maka

dalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2004 yang disahkan dengan tanda

tangan dari Presiden Republik Indonesia, maka sebagai landasan yuridis

peraturan yang bersangkutan menjadi memiliki legalitas untuk dibenarkan

dan diaplikasikan. Begitu pula Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Menjadi

dasar dibentuknya Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral

dan batu bara.

3.      Tinjauan landasan Filosofis

Yang dimaksud landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup

sesuatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa

tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan

yang tidak baik. Adapun jenis filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan

dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan

bangsa tersebut. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang

termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus mencerminkan

filsafat hidup bangsa itu. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan

nilai-nilai moral bangsa.

Termasuk dalam landasan Filosofis UU No 4 Tahun 2009 yaitu bahwa

mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum

pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan

sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting

dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya

harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi

perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Analisis : Bahwa sesuai pasal

33 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang ini dipergunkan sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil. Atas penguasaan mineral

dan batubara tersebut diharapkan dapat memenuhi hajat hidup orang

banyak dan memakmurkan daerah yang menjadikan pertambangan serta

mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Wilayah mineral

dan wilayah pertambangan tak semua dapat mencakup wilayah luas

Negara Indonesia yang diharapkan daerah yang mengelola tidak

memecah belah demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 15: PP NO 22 TAHUN 2010

Oleh karena itu menurut pasal 33 ayat 3 UUD 1945 segala penguasaan

kekayaan alam bumi, air yang terkadung didalam bumi dikelola oleh

negara. Perhatian kita tertuju pada pemberian Tuhan Yang Maha Esa

dimana material bahan tak terbarukan dapat terdapat di wilayah Indonesia

yang dapat memenuhi hajat orang hidup banyak yang diwujudakan dan

dikelola secara baik oleh pemerintah dan masyarakat sehingga

mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

[1] Rosjidi, Ranggawidjaja.1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia.

Bandung: Penerbit Mandar Maju. Halaman 44