potensi agroforestry untuk meningkatkan …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000,...

322
Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 1 POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN, KEMANDIRIAN BANGSA, DAN PERBAIKAN LINGKUNGAN Yuyun Yuwariah AS Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Email: [email protected] ABSTRAK Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan salah satu penyebab krisis sumberdaya lahan dan air, telah membawa dampak buruk terhadap berbagai faktor, seperti semakin menyempitnya luas lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 ha per kepala keluarga petani, dan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan, sehingga kesemuanya ini berpengaruh terhadap ancaman ketahanan pangan. Untuk memantapkan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berdampak pada kemandirian bangsa, Kementerian Kehutanan juga memberikan akses masyarakat/petani setempat memanfaatkan kawasan hutan dalam pemberdayaan masyarakat setempat, dan hal ini harus menjadi potensi untuk pengembangan ekonomi. Keadaan ini dapat ditempuh melalui praktek agroforestry, yang merupakan teknologi budidaya dengan mengkombinasikan antara pertanian dan kehutanan dalam rangka optimalisasi penggunaan lahan untuk pertanian yang semakin terbatas, selain itu juga bermanfaat untuk menciptakan peluang dalam meningkatkan potensi bagi kesejahteraan manusia serta pelestarian sumberdaya alam, sebagai pendukung pertanian berkelanjutan. Produktivitas, diversitas, kemandirian, dan stabilitas, merupakan keunggulan potensi agroforestry dalam kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, dan perbaikan lingkungan. Kata kunci : agroforestry, peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, perbaikan lingkungan I. PENDAHULUAN Krisis sumberdaya lahan dan air, yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya lahan- lahan produktif usahatani, sehingga menurunkan produktivitas dan pendapatan, serta meningkatkan kemiskinan. Semua ini berdampak pada kemandirian dan kedaulatan pangan nasional, yang pada gilirannya merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan dan kerusakan lingkungan. Dilain pihak, penduduk Indonesia diperkirakan masih akan meningkat dengan laju 1,0 – 1,3 % per tahun, sehingga permintaan akan pangan terutama beras diperkirakan akan naik sekitar 1,0% per tahun. Penyebab krisis sumberdaya ini antara lain disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, seperti yang terjadi di Jawa, alih fungsi lahan sawah mencapai 22.000 hektar selama periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus di Jawa Barat, sejak tahun 1991, lahan yang terkonversi seluas 10.000 hektar per tahun, dan pada tahun 1996 bertambah menjadi 50.000 hektar per tahun. Selanjutnya konversi lahan telah terjadi pula secara alami yakni fragmentasi lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 hentar per kepala keluarga petani (Oteng Haridjaja & Khalil, 2009). Dampak dari alih fungsi lahan terhadap kerusakan lingkungan adalah penurunan volume air hujan yang dapat diserap tanah dari 15% sampai di bawah 9%, peningkatan volume aliran permukaan dari sekitar 30% menjadi (40-60)%, dan kecepatan aliran permukaan dari kurang 0,7 m/detik menjadi lebih dari 1,2 m/detik. Dari studi di DAS Ciliwung Hulu, diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap peningkatan selisih debit maksimum-minimum sungai. Sejauh mana krisis sumberdaya lahan berpengaruh terhadap ketahanan pangan, yang diilustrasikan oleh Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008 sebagai berikut :

Upload: others

Post on 02-Nov-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 1

POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN, KEMANDIRIAN BANGSA, DAN PERBAIKAN LINGKUNGAN

Yuyun Yuwariah AS

Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Email: [email protected]

ABSTRAK

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan salah satu penyebab krisis sumberdaya lahan dan air, telah membawa dampak buruk terhadap berbagai faktor, seperti semakin menyempitnya luas lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 ha per kepala keluarga petani, dan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan, sehingga kesemuanya ini berpengaruh terhadap ancaman ketahanan pangan. Untuk memantapkan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berdampak pada kemandirian bangsa, Kementerian Kehutanan juga memberikan akses masyarakat/petani setempat memanfaatkan kawasan hutan dalam pemberdayaan masyarakat setempat, dan hal ini harus menjadi potensi untuk pengembangan ekonomi. Keadaan ini dapat ditempuh melalui praktek agroforestry, yang merupakan teknologi budidaya dengan mengkombinasikan antara pertanian dan kehutanan dalam rangka optimalisasi penggunaan lahan untuk pertanian yang semakin terbatas, selain itu juga bermanfaat untuk menciptakan peluang dalam meningkatkan potensi bagi kesejahteraan manusia serta pelestarian sumberdaya alam, sebagai pendukung pertanian berkelanjutan. Produktivitas, diversitas, kemandirian, dan stabilitas, merupakan keunggulan potensi agroforestry dalam kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, dan perbaikan lingkungan. Kata kunci : agroforestry, peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa, perbaikan lingkungan

I. PENDAHULUAN Krisis sumberdaya lahan dan air, yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya lahan-lahan produktif usahatani, sehingga menurunkan produktivitas dan pendapatan, serta meningkatkan kemiskinan. Semua ini berdampak pada kemandirian dan kedaulatan pangan nasional, yang pada gilirannya merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan dan kerusakan lingkungan. Dilain pihak, penduduk Indonesia diperkirakan masih akan meningkat dengan laju 1,0 – 1,3 % per tahun, sehingga permintaan akan pangan terutama beras diperkirakan akan naik sekitar 1,0% per tahun. Penyebab krisis sumberdaya ini antara lain disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, seperti yang terjadi di Jawa, alih fungsi lahan sawah mencapai 22.000 hektar selama periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus di Jawa Barat, sejak tahun 1991, lahan yang terkonversi seluas 10.000 hektar per tahun, dan pada tahun 1996 bertambah menjadi 50.000 hektar per tahun. Selanjutnya konversi lahan telah terjadi pula secara alami yakni fragmentasi lahan usahatani menjadi seluas kurang dari 0,5 hentar per kepala keluarga petani (Oteng Haridjaja & Khalil, 2009). Dampak dari alih fungsi lahan terhadap kerusakan lingkungan adalah penurunan volume air hujan yang dapat diserap tanah dari 15% sampai di bawah 9%, peningkatan volume aliran permukaan dari sekitar 30% menjadi (40-60)%, dan kecepatan aliran permukaan dari kurang 0,7 m/detik menjadi lebih dari 1,2 m/detik. Dari studi di DAS Ciliwung Hulu, diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap peningkatan selisih debit maksimum-minimum sungai. Sejauh mana krisis sumberdaya lahan berpengaruh terhadap ketahanan pangan, yang diilustrasikan oleh Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008 sebagai berikut :

Page 2: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

2 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

1. Perubahan penggunaan lahan dari lahan basah yang meloloskan air (permeable) menjadi pemukiman dan industri yang cenderung tidak meloloskan air (impermeable); pada akhirnya meningkatkan laju erosi dan kerusakan lingkungan lainnya.

2. Rendahnya penambahan air tanah, menyebabkan menurunnya pasokan air di musim kemarau, sementara itu kebutuhan air irigasi di musim kemarau justru meningkat.

3. Dampaknya, menurunnya luas daerah layanan irigasi, menurunnya intensitas tanam, meningkatnya resiko kekeringan, dan penurunan produksi pangan.

4. Penurunan produksi pangan memicu meningkatnya harga pangan (peningkatan harga beras pada awal 2008 dibandingkan dengan awal 2006 sebesar 217 %, gandum 136%, jagung 125 %, dan kacang tanah 107%).

Konversi lahan sawah akan tetap berlanjut, baik untuk pembangunan prasarana ekonomi,

peningkatan penanaman komoditas pertanian bernilai tinggi, dan pembangunan perumahan. Untuk memantapkan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berdampak pada kemandirian bangsa, menjelang Tahun 2050 diperlukan perluasan 2,0 juta hektar lahan pertanian (FAO, 2010 dan World Bank 2010). Pembukaan lahan pangan baru ini harus dilakukan pada lahan yang tidak dimanfaatkan atau lahan pertanian yang sudah diberikan izin pelepasan oleh Kementrian Kehutanan tapi ditelantarkan, selanjutnya diambil alih oleh negara. Untuk kepentingan pencadangan lahan pangan, yang penting bukan tanah ulayat penduduk lokal (Faisal Kasryno, dkk 2011). Selain itu Kementrian Kehutanan juga memberikan akses masyarakat / petani setempat memanfaatkan kawasan hutan dalam pemberdayaan masyarakat setempat sesuai dengan PP 6 tahun 2007, dengan cara (a) tumpangsari pada awal tegakan (3 tahun pertama), (b) tumpangsari di bawah tegakan (sepanjang waktu), (c) tanaman kehidupan pada HTI (5% dari luas HTI), dan (d) tumpang gilir pada HTI.

Kontribusi sektor kehutanan terhadap ketahanan pangan antara lain (1) optimalisasi pemanfaatan lahan dari kawasan hutan yang sudah dilepas, (2) Integrasi pengembangan produksi komoditas pangan ke dalam program/kegiatan kehutanan, tanpa mengubah fungsi kawasan, terdiri dari (a) Intensifikasi produksi pangan melalui (i) tumpangsari tanaman pangan pada tanaman pokok yang berumur < 3 tahun, (ii) tumpangsari jamu-jamuan, ubi-ubian pada tanaman pokok yang berumur > 3 tahun, dan (b) Ekstensifikasi produksi pangan, melalui (i) perluasan lahan untuk kegiatan tumpangsari tanaman pangan dan (ii) perluasan lahan untuk kegiatan tumpangsari ubi-ubian.

Kontribusi Perum Perhutani untuk mendukung ketahanan pangan adalah : (1) PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Plus. Berdasarkan data th 2007 diketahui luas areal 201,524 ha, potensi luas tanaman pangan 60,457 ha dan produksi 2.401.999,35 ton (padi, jagung, kacang-kacangan, dll), (2) Hutan untuk pangan melalui peningkatan produksi kedelai kerjasama dengan Inkopti (306,7 ha) dan (3) sinergi BUMN untuk peningkatan produksi kedelai (4, 063 ha).

Dengan melihat informasi dari data tersebut, maka diperlukan terobosan tentang aplikasi IPTEKS untuk penanganan lahan sempit suboptimal, dan bagaimana pertanian dalam kawasan hutan dapat dilaksanakan tanpa menyebabkan kerusakan hutan, karena bagaimanapun sektor pertanian sudah menjadi mata pencaharian dari waktu ke waktu oleh komunitas masyarakat di sekitarnya, tetapi harus menjadi potensi untuk pengembangan ekonomi. Tampaknya hal ini dapat ditempuh melalui praktek agroforestry yang merupakan teknologi budidaya dengan mengkombinasikan antara pertanian dan kehutanan dalam rangka optimalisasi penggunaan lahan. Hal ini perlu dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada ketersediaan lahan untuk pertanian yang semakin terbatas, Disamping itu juga bermanfaat untuk menciptakan peluang dan meningkatkan potensi bagi kesejahteraan manusia serta pelestarian sumberdaya alam sebagai pendukung pertanian berkelanjutan (Sumarwoto, 2013), dan tentunya perlu ditunjang oleh berbagai perangkat lainnya.

Page 3: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 3

II. AGROFORESTRY SEBAGAI SISTEM

Agroforestry terdiri dari komponen-komponen kehutanan, pertanian dan/atau peternakan, tetapi agroforestry sebagai suatu sistem mencakup komponen-komponen penyusun yang jauh lebih rumit. Agroforestry merupakan suatu sistem buatan (man-made) dan merupakan aplikasi praktis dari interaksi manusia dengan sumberdaya alam di sekitarnya.

Agroforestry pada prinsipnya dikembangkan untuk memecahkan permasalahan pemanfaatan lahan dan pengembangan pedesaan; serta memanfaatkan potensi-potensi dan peluang-peluang yang ada untuk kesejahteraan manusia dengan dukungan kelestarian sumberdaya beserta lingkungannya. Oleh karena itu manusia selalu merupakan komponen yang terpenting dari suatu sistem agroforestry. Dalam melakukan pengelolaan lahan, manusia melakukan interaksi dengan komponen-komponen agroforestry lainnya. Komponen tersebut adalah: 1. Lingkungan abiotis: air, tanah, iklim, topografi, dan mineral. 2. Lingkungan biotis: tumbuhan berkayu (pohon, tanaman tahunan, tanaman keras), dan tumbuhan

tidak berkayu (herba, palem, bambu, tanaman-tanaman semusim, dll), binatang (ternak, burung, ikan, serangga dll), dan mikroorganisme.

3. Lingkungan budaya: teknologi dan informasi, alokasi sumber-sumberdaya, infrastruktur dan pemukiman, permintaan dan penawaran, dan disparitas penguasaan/pemilikan lahan.

Komponen-komponen ABC (Abiotic, Biotic dan Culture) tersebut di atas tersusun dalam sistem agroforestry melalui berbagai cara.

Karakteristik tipikal sistem agroforestry adalah agroforestry terdiri dari 2 atau lebih jenis tanaman (dan atau hewan) dan paling sedikit salah satu berupa tanaman berkayu tahunan (woody perennial). Sistem agroforestry memiliki dua atau lebih output. Sistem agroforestry yang paling sederhana pun secara ekonomi lebih kompleks daripada sistem monocropping. Suatu sistem agroforestry, produknya selalu beraneka ragam dan saling bergantung antara satu dengan lainnya. Sekurang-kurangnya satu komponen merupakan spesies tanaman keras berkayu, sehingga siklusnya selalu lebih dari satu tahun. Sistem agroforestry juga bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-kondisi ekologi dan sosial-ekonomi setempat.

A. Aspek-aspek Agroforestry

Agroforestry dalam bentuk dan wujudnya sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu aspek ekologi, aspek sosial-budaya, dan aspek ekonomi :

Aspek ekologi yang berpengaruh antara lain tingkat kesuburan tanah, curah hujan, topografi, altitude, dan lainnya bergantung pada potensi alam yang ada.

Aspek sosial-budaya dipengaruhi tingkat kepadatan penduduk, luas pemilikan lahan, tingkat pendidikan, kebiasaan bertani, agama dan kepercayaan dll.

Aspek ekonomi bergantung pada harga suatu komoditi, pemasaran/aksesibilitas pasar dan keadaan infra struktur lainnya.

Dengan demikian bentuk-bentuk agroforestry sangat bergantung pada karakteristik suatu wilayah, dan/atau bergantung pada kondisi aspek-aspek di atas, sehinggadi Indonesia bentuk-bentuk agroforestry mungkin berbeda-beda seperti yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTT, Bali, Irian Jaya, dll.

B. Bentuk dan Jenis Agroforestry

Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan, di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut :

Agrisilvikultur : Kombinasi antara komponen atau kegiatan

kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.)

Page 4: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

4 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

dengan komponen pertanian. Agropastura :Kombinasi antara komponen atau kegiatan

pertanian dengan komponen peternakan Silvopastura :Kombinasi antara komponen atau kegiatan

kehutanan dengan peternakan Agrosilvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan

pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan Agrisilvikultur : Bentuk agroforestry tradisional merupakan campuran dari kegiatan

kehutanan dan pertanian pangan, misalnya : Sistem tumpangsari di hutan jati di P.Jawa. Sistem ini semula dilaksanakan untuk mengurangi biaya penanaman dari pihak pengelola hutan, tetapi dalam perkembangannya kegiatan tersebut diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan di sekitar hutan, dengan tidak mengubah kawasan hutan.

Silvopasture atau ada yang menyebut hutan ternak, adalah bentuk agroforestry yang merupakan campuran kegiatan kehutanan dan peternakan. Model ini cocok untuk dikembangkan di daerah yang penduduknya menggiatkan usaha peternakan, di mana padang penggembalaan menjadi masalah. Di dalam kawasan hutan, ditanami rumput makanan ternak.

Farm forestry atau Hutan Kebun, adalah agroforestry yang kegiatannya merupakan campuran kegiatan pertanian dan kehutanan di daerah pemukiman (kebun, pekarangan) di mana tanaman kehutanan bukan merupakan tanaman utamanya.Contoh : Talun (Tegalan dan Kebun) di Jawa Barat. Pohon-pohonan yang ditanam dari jenis yang cepat tumbuh dan cepat menghasilkan (quick yielding species). C. Jenis-jenis Agroforestry

1. Sistem agroforestry sederhana

Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.

Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubikayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.

Bentuk agroforestry sederhana yang paling banyak dijumpai di Jawa adalah tumpangsari yang dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Petani diberi ijin menanam tanaman pangan di antara pohon-pohon jati muda dan hasilnya untuk petani, sedangkan semua pohon jati tetap menjadi milik Perhutani (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Dalam perkembangannya, sistem agroforestry sederhana ini juga merupakan campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Contoh: kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono/gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan pinus.

Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat. Perpaduan tersebut misalnya pohon-pohon mangga ditanam di pematang-pematang sawah di Jatitujuh, Majalengka; pohon-pohon randu ditanam pada pematang-pematang sawah di daerah Pandaan, Pasuruan; kelapa atau siwalan ditanam dengan tembakau di Sumenep, Madura; pohon-pohon manggis di pematang sawah di Nepal.

Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium), atau contoh kasus

Page 5: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 5

penanaman sengon di Jawa. Budidaya menanam kayu sengon (Paraserianthes falcataria) di lahan penduduk di Jawa berkembang pesat sejalan dengan berkembang pasarnya. Penyebaran sengon ini dipercepat lagi dengan adanya program penghijauan. Di daerah kapur selatan dan daerah kering lainnya, jati (Tectona grandis) menjadi primadona masyarakat untuk ditanam di talun mereka di samping jenis mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling (Dalbergia latifolia), dan akasia (Acacia auriculiformis). Umumnya pohon tersebut ditanam bercampur dengan jenis pepohonan lainnya dan membentuk agroforest atau lebih dikenal sebagai “hutan rakyat”.

2. Sistem agroforestry kompleks: hutan dan kebun

Sistem agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestry kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (Kessler et al., 1991). Sistem Agroforestry kompleks dicirikan dengan :

Struktur vegetasi kompleks (tajuk pohon berlapis-lapis);

Jumlah komponen tanaman cukup banyak (ada pohoh tinggi, pohon sedang, semak, dan tanaman rendah lainnya);

Secara ekologi memiliki fungsi seperti hutan, contoh kebun pekarangan, hutan damar mata kucing.

Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestry kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal, contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat atau ‘hutan karet’ di Jambi, (Kessler et al., 1991).

Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena banyaknya naungan.

Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun. Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan penutupan tajuk pepohonan menyebabkan kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab, temperatur dan intensitas cahaya lebih rendah. Kondisi iklim mikro yang demikian ini akan sangat membantu aktivitas organisme tanah sehingga sifat fisik tanah menjadi lebih baik.

3. Beberapa praktek agroforestry

Di dalam praktek agroforestry, tentu saja banyak faktor yang turut menentukan mengenai model mana yang akan diterapkan. Hal ini berkaitan dengan kondisi agroekosistem setempat, tingginya curah hujan, serangan hama penyakit, dan kendala sosial ekonomi (termasuk ketersediaan tenaga kerja dan biaya, serta hasil yang ingin dicapai dan permintaan pasar). Berbagai praktek Agroforestry mencakup antara lain “windbreaks/shelterbelts, alleycropping (tanam lorong) sistem

Page 6: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

6 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

pohon/rumput, penyangga hutan (pada skala meso), berbasis pohon (tanaman khusus), dlsb. Dalam makalah ini dikemukakan beberapa contoh praktek Agroforestry, sebagai berikut :

a. Windbreaks Windbreaks (Penahan angin) adalah baris tunggal atau beberapa pohon yang ditanam untuk melindungi suatu area dari kerusakan karena angin. Windbreaks ditanam di sepanjang bertiupnya angin pada batas-batas bidang lahan untuk membuat lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Windbreaks juga dibentuk untuk melindungi dan meningkatkan lingkungan sekitar rumah, kebun, dan desa. Di daerah Kepulauan Pasifik windbreaks sangat penting karena sering terjadi badai tropis serta adanya angin laut yang asin yang terutama sangat mempengaruhi pulau-pulau kecil. Angin bisa sangat destruktif, terutama bila bercampur dengan suhu tinggi, kondisi kekeringan, atau udara laut asin. Angin merusak tanaman: angin kuat bisa menyebabkan batang patah, daun dan buah menjadi rusak. Angin merusak kelembaban tanaman: ketika angin bertiup menerpa tanaman, udara sekitarnya mengering, kelembaban akan ditarik dari tanaman melalui transpirasi. Itulah sebabnya mengapa tanaman menjadi layu dalam angin kencang. Angin menghisap kelembaban dari tanah, mengeringkan permukaan tanah, menarik kelembaban dari pori-pori tanah. Angin menghilangkan lapisan atas tanah subur. Bahkan angin moderat pun dapat menghapus berton-ton soil per tahun dari ladang-ladang selama budidaya dan permanen. Top soil adalah lapisan tanah paling banyak mengandung bahan organik dan subur. Windbreaks terdiri dari pohon-pohon “multi-purpose tree species” pilihan, yang mungkin juga menyediakan berbagai produk untuk keperluan rumah tangga serta untuk dijual, termasuk pakan ternak, kayu bakar, kayu, tiang, buah, mulsa/kompos, rempah-rempah dan obat-obatan.

b. Alley Cropping (Tanam Lorong) Proses Alley cropping merupakan reinterpretasi fungsional menyeluruh dari konsep untuk kondisi tropis. Efek menguntungkan dari tanah-pohon pada tanaman pertanian dapat dilakukan dengan menghubungkan dua komponen dalam waktu, seperti dalam praktek berurutan rotasi bera, atau dalam ruang, melalui asosiasi simultan pohon dan tanaman semusim, dapat didefinisikan sebagai pendekatan “zonal” terhadap agroforestry (Isabel Carter, 2009), di mana tanaman semusim ditanam di lorong-lorong antara pagar tanaman pohon atau semak-semak yang mampu membantu siklus unsur hara, tanaman pagar tersebut terus dipangkas sepanjang musim tanam untuk mengontrol naungan dan kompetisi di bawah tanah, dan untuk menyediakan pupuk hijau dan bahan mulsa untuk kepentingan tanaman pertanian. Pakan ternak dan kayu bakar bisa diambil sebagai by product dari sistem, tetapi tujuan dasar adalah untuk memenuhi “fungsi pelayanan” dalam meningkatkan sistem pertanian yang efektif efisien. Alley cropping adalah teknik yang sangat berguna untuk menambah nutrisi tanaman dan memperbaiki struktur tanah, menyediakan pakan untuk ternak dan melindungi tanah dari kerusakan karena hujan lebat. Alley cropping adalah cara sederhana dan murah menggabungkan pohon tumbuh dengan tanaman semusim. Deretan pohon yang cocok ditanam sekitar 5 meter terpisah, biasanya dengan penyemaian langsung ke dalam tanah pada awal musim hujan. Di antara deretan pohon, tanaman atau sayuran tumbuh seperti biasa. Di tanah landai, baris harus ditanam di sepanjang kontur. Alley cropping juga dapat memberikan beberapa perlindungan saat hujan tidak teratur, membantu untuk menahan aliran permukaan dan meresapkannya ke dalam tanah (Isabel Carter, 2009). Bibit pohon yang ditanam berdekatan dalam baris sehingga pohon-pohon muda membentuk pagar. Lebih baik mencampur beberapa spesies yang berbeda untuk membentuk pagar. Setelah mencapai tinggi sebahu (1-2 meter tinggi), pohon dipotong / dipangkas sampai setinggi sekitar 20-30 cm. Daun dapat dibiarkan di tanah membusuk sebagai mulsa dan menambah nutrisi pada tanah, atau dikumpulkan dan digunakan untuk pakan ternak. Tunggak sisa pemotongan cepat tumbuh kembali dan pemotongan/pemangkasan bisa diulang selama bertahun-tahun.

Page 7: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 7

Alley cropping adalah baris penanaman pohon pada jarak lebar dengan tanaman pendamping tumbuh di lorong-lorong di antara baris. Alley cropping dapat mendiversifikasi pendapatan pertanian, meningkatkan produksi tanaman dan memberikan manfaat perlindungan dan konservasi tanaman.

c. Kebun pekarangan (Home Garden) Kebun pekarangan merupakan campuran antara tanaman tahunan, tanaman umur panjang, dan ternak (termasuk sapi) di pekarangan di sekitar rumah berupa suatu sistem terpadu dengan batas-batas jelas yang memenuhi fungsi-fungsi ekonomis, biofisik, dan sociocultural. Sistem kebun pekarangan tertama terkenal di pulau Jawa. Pada umumnya suatu pekarangan mempunyai struktur yang sama dari tahun ke tahun, walaupun mungkin ada sedikit variasi musiman. Dua lapisan yang paling rendah (sampai ketinggian 2 meter) didominasi oleh ubi-ubian, sayur mayur, dan bumbu-bumbu. Ubi kayu dan ganyong (Canna edulis) merupakan tanaman yang paling umum di pekarangan. Lapisan berikutnya (dari dua-lima meter) didominasi oleh pisang, pepaya, dan pohon buah-buahan yang lain. Lapisan lima sampai sepuluh meter juga didominasi oleh tanaman buah-buahan dan tanaman perdagangan seperti cengkeh. Sedangkan lapisan tertinggi yang lebih dari sepuluh meter, didominasi oleh kelapa dan pohon-pohon lainnya, antara lain, sengon sebagai kayu bangunan dan kayu bakar. Kebun talun dan kebun pekarangan di Jawa Barat memberikan penghasilan secara ekonomi yang relatif baik. Selain itu juga sebagai sumber yang baik untuk kalsium, vitamin A, dan vitamin C.

d. Kebun Talun Sistem kebun talun biasanya terdiri dari tiga tahap: kebun, kebun campuran, dan talun. Tahap pertama, kebun, terjadi apabila petani membuka hutan dan mulai menanam tanaman tahunan. Tanaman-tanaman ini biasanya dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani, dan hanya sebagian dijual sebagai sumber penghasilan. Pada tahap kebun ini, terdapat tiga lapisan mendatar tanaman tahunan yang mendominasi : lapisan terendah terdiri atas tanaman merambat yang menutupi tanah dan hidup di bawah ketinggian 30 cm. Selanjutnya lapisan dari 50 cm sampai 1 m diisi oleh sayur mayur. Bagian atas lapisan ini diisi oleh jagung, tembakau, ubi kayu, dan tanaman-tanaman leguminosa merambat yang diberi pendukung batang bambu.

Setelah dua tahun, pohon mulai tumbuh, dan secara bertahap mengurangi tempat untuk tanaman semusim. Kebun secara bertahap menjadi kebun campuran di mana tanaman semusim tumbuh di antara tanaman umur panjang yang belum dewasa. Nilai ekonomis kebun campuran tidaklah setinggi kebun, tetapi nilai biofisiknya meningkat. Sifat kebun campuran yang terdiversifikasi juga meningkatkan konservasi tanah dan air. Dalam sistem talun erosi sangat sedikit karena semak-semak dan guguran daun melimpah. Jika semak-semak dan guguran daun dikurangi, erosi akan meningkat secara nyata. Dalam kebun campuran tanaman-tanaman yang tahan naungan seperti talas menempati ruang di bawah satu meter. Ubi kayu merupakan lapisan kedua dari satu sampai dua meter, dan lapisan ketiga ditempati oleh pisang dan pepohonan.

Setelah memanen tanaman tahunan di kebun campuran, lahannya mungkin ditinggalkan selama dua sampai tiga tahun sampai didominasi oleh tanaman umur panjang. Tahapan ini dikenal sebagai talun dan merupakan puncak perkembangan sistem kebun talun. Talun didominasi oleh campuran pohon-pohon umur panjang dan bambu, membentuk tiga lapisan tegak. Pada tahapan talun ini kebun dapat berupa berbagai bentuk seperti kebun kayu (untuk bahan bangunan dan kayu bakar), bambu dan campuran tanaman umur panjang. e. Sistem tiga strata Sistem tiga strata adalah metoda penanaman dan pemanenan rerumputan, tanaman leguminosa, semak dan pepohonan sedemikian rupa sehingga pakan ternak tersedia sepanjang tahun. Sistem ini dikembangkan oleh petani di Bali. Lapisan pertama, yang terdiri dari rerumputan

Page 8: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

8 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

dan tanaman leguminosa, dimaksudkan untuk menghasilkan pakan pada awal musim penghujan. Lapisan kedua, yang terdiri dari semak-semak, dimaksudkan untuk menyediakan pakan pada pertengahan dan akhir musim penghujan. Lapisan ketiga yang terdiri dari pepohonan, dimaksudkan untuk menyediakan pakan pada musim kemarau. Sistem tiga strata membagi suatu lahan menjadi tiga bagian: (1) inti, (2) selimut, (3) batas. Inti dipelihara untuk produksi pangan. Areal selimut ditanami penutup tanah, misalnya : Bafel Grass (Cenchrus ciliaris), Panikum (Panicum maximum), Centrosema (Centrosema pubescens), Graham stelo (Stylosanthes guyanensis). Pohon-pohon penghasil pakan ditanam di sekitar batas. Pohon-pohon tersebut misalnya Bunut (Ficus poacellie), Santen (Lannea coromandelica), dan Waru (Hibiscus tiliaceus). Di antara pohon-pohon ini lamtoro (Leucaena leucocephala) dan atau gamal (Gliricida sepium) ditanam sebagai semak dengan jarak tanam 10 cm. Tingkat pemeliharaan hewan dapat bervariasi dari sangat rendah (0,5 ha untuk setiap ekor sapi) sampai sangat tinggi (0,25 ha untuk setiap ekor sapi) karena ketersediaan pakan yang meningkat. Sapi yang dipelihara dalam sistem ini tumbuh dengan cepat dan siap dipasarkan pada umur muda.

III. AGROFORESTRY DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

Untuk memenuhi kebutuhan serta mempertahankan dan mendukung kelangsungan hidup, manusia dalam hal ini petani harus menggunakan sumberdaya dalam lingkungannya, termasuk sumberdaya lahan dan air. Pengelolaan sumberdaya lahan erat sekali hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya air, baik ditinjau dari segi penggunaan, penempatan, maupun dari segi pangawetan. Oleh karena itu pengelolaan yang baik dari kedua sumberdaya tersebut mutlak dipelukan agar pemanfaatan ganda dapat dipertahankan dan dikembangkan secara optimum, seimbang dan berkesinambungan (sustainable). Sistem penggunaan lahan berkelanjutan diantaranya dapat ditempuh melalui praktek-praktek agroforestry, karena agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan berbasis pertanian dan kehutanan terintegrasi (disengaja), memberikan manfaat ganda yang secara kolektif memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan agroekosistem. Agroforestry ditujukan sebagai pelayanan kebutuhan lahan bagi masyarakat dengan mengkonversi lahan terdegradasi, melindungi tanah sensitif, dan diversifikasi sistem produksi pertanian. Sebagai bagian dari sistem manajemen lahan berbasis ekologi, praktek agroforestry dapat mempertahankan keragaman ekosistem dan proses yang berkontribusi terhadap keberlanjutan dan kualitas lingkungan jangka panjang. Agroforestry berasal dari kata “agro” atau pertanian dan kata forest atau hutan. Produk pertanian bermacam-macam antara lain berupa pangan, obat-obatan, buah-buahan, produk peternakan, produk perikanan (ikan, udang, kepiting), lebah madu, dan lain-lain. Adapun forest atau hutan merupakan kesatuan ekosistem berisikan sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan. Dengan demikian pengertian agroforestry mencakup penggunaan lahan untuk menghasilkan satu atau beberapa produk pertanian dan produk dari hutan yang diusahakan secara berkelanjutan, atau merupakan istilah kolektif untuk sistem dan teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu/pohon, perdu, palem, bambu, dll, dengan tanaman pertanian dan/atau hewan ternak dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran, sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.

Ke dalam agroforestry termasuk unsur-unsur sebagai berikut : (1) penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia; (2) penerapan teknologi, (3) komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau ikan, (4) waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu, (5) ada interaksi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Dari kesemua ini, mencerminkan bahwa praktek agroforestry mendukung pertanian berkelanjutan. Di dalam pelaksanaan agroforestry : (1) biasanya melibatkan dua atau lebih spesies tanaman (atau tanaman dan hewan), setidaknya salah satunya merupakan tanaman keras berkayu, (2) sistem agroforestry selalu memiliki dua atau lebih output, (3) siklus dari sistem agroforestry selalu lebih

Page 9: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 9

dari satu tahun (4) sistem agroforestry yang paling sederhana pun lebih kompleks secara ekologis (struktural dan fungsional), dan secara ekonomi dibandingkan “monocropping”. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan agroforestry adalah : (1) bentuk (model pengelolaan), (2) unsur ekonomi (hasil yang lebih menguntungkan), (3) unsur waktu (daur pendek/panjang, serempak dan atau berurutan), (4) pelaksanaannya dapat dilakukan di lahan milik dan atau di lahan kawasan hutan negara, (5) untuk mendapatkan hasil maksimal, dan (6) untuk menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat, (7) sistem Agroforestry juga bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-kondisi ekologi dan sosial ekonomi setempat.

IV. AGROFORESTRY DALAM MENDUKUNG PERBAIKAN LINGKUNGAN

DAN PENINGKATAN PENDAPATAN

Untuk memahami potensi agroforestry dalam peningkatan pendapatan dan perbaikan lingkungan, pada makalah ini akan diungkapkan sejauh mana fungsi spesies tanaman berkayu (pohon-pohon dan/atau semak belukar) yangsengaja dikombinasikan dengan tanaman budidaya (tanaman pertanian) dan/atau ternak, yang meliputi : (1) penggunaan lahan intensif, (2) interaksi biologis yang meningkat, dan (3) manfaat yang dioptimalkan. Kesemuanya itu harus memberikan jaminan usaha tani yangberhasil dan lingkungan yang lestari. A. Fungsi Spesies Tanaman Berkayu Dengan memadukan spesies tanaman berkayu (pohon dan belukar) dapat menyumbang pada kelangsungan sistem usaha tani dengan berbagai cara. Spesies berkayu bukan hanya memiliki fungsi produktif yang penting (menghasilkan bahan pangan, pakan ternak, bahan bakar, serat, kayu bangunan, obat-obatan dan pestisida), tetapi juga memiliki fungsi reproduktif, protektif dan sosial. Produk spesies berkayu dapat dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga dan/atau untuk dijual. Dengan menghasilkan produk, juga cadangan unsur hara dan modal pada saat dan musim sulit, dan dengan melindungi tanah dan tanaman budidaya dari bahaya aliran radiasi, air atau angin (penciptaan iklim mikro dan pengendalian erosi), spesies berkayu sangat diperlukan untuk mengamankan subsistens keluarga di banyak daerah. Dengan memadukan spesies berkayu, petani dapat mendiversifikasikan output dan menyebarkan kebutuhan input (misalnya tenaga kerja antar musim). Hal ini akan menurunkan risiko usaha tani.

Spesies-spesies berkayu dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan menyerap unsur hara dari lingkungan sekitarnya dan dari lapisan tanah yang lebih dalam (pendaurulangan unsur hara yang merembes melalui pemompaan unsur hara ke atas) dan mengkonsentrasikannya ke dalam biomassa perenial dan lapisan tanah bagian atas. Juga dengan meningkatkan kadar bahan organik di dalam lapisan tanah atas, lewat interaksi dengan mikoriza dan bakteri tanah (pengikatan nitrogen, pelarutan fosfat) dan dengan menangkap unsur hara dari aliran udara dan air. Spesies-spesies berkayu melakukan peran ini khususnya selama waktu bera alami dan beberapa spesies tertentu dapat diperkenalkan secara khusus untuk mengintensifkan masa bera. Spesies berkayu dapat juga menciptakan iklim mikro yang cocok bagi komponen produktif lainnya, yaitu tanaman budidaya atau hewan, di dalam sistem usaha tani. Mereka bisa membantu mengendalikan gulma dan beberapa spesies menghasilkan pestisida atau obat-obatan alami. Beberapa spesies berkayu tertentu dapat dimanfaatkan untuk menurunkan kebutuhan akan input luar berupa pupuk buatan dan biosida. Jika sumberdaya tenaga kerja atau modal langka, maka spesies berkayu, dengan input dan pengelolaan rendah bisa memanfaatkan sumberdaya tersebut secara paling efektif. Demikian juga, jika banyak terdapat tenaga dan modal, beberapa spesies berkayu tertentu, misalnya pohon buah-buahan, dapat memanfaatkan sumberdaya paling efektif. Tanaman budidaya dan spesies berkayu dapat saling melengkapi antar satu dengan lainnya dalam hal ruang (misalnya spesies berkayu tertentu dapat tumbuh pada tempat-tempat yang tidak cocok untuk tanaman budidaya, seperti lahan yang berbatu, curam, kebanjiran sewaktu-waktu, asam atau basa; akar beberapa spesies berkayu masuk ke dalam lapisan tanah yang tidak

Page 10: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

10 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

dimanfaatkan oleh tanaman budidaya), dalam hal waktu (misalnya tanaman budidaya versus vegetasi lahan bera; penyebaran kebutuhan produk dan tenaga kerja antar musim) atau fungsi (misalnya diversifikasi produksi; fungsi produktif versus fungsi protektif dan reproduktif). Sinergi antara tanaman budidaya dan spesies berkayu dapat diharapkan khususnya ketika fungsi protektif dan reproduktif spesies berkayu dengan efek positif pada pertumbuhan tanaman budidaya dikombinasikan dengan satu atau lebih produk-produk yang berguna. Misalnya perbaikan iklim mikro dan pengendalian erosi dengan penahan angin dapat menghasilkan produksi per satuan luas yang lebih tinggi (yang mungkin mengkompensasikan hilangnya hasil panen pada bagian-bagian lahan yang ditempati pohon-pohon), ditambah produksi kayu, pakan ternak, obat-obatan dari tumbuhan, daging satwa liar dan lain-lain. Pagar hidup yang menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam, mengikat nitrogen dan mengendalikan erosi, dapat menyebabkan produksi per satuan luas yang lebih tinggi dan lebih berkelanjutan, ditambah dengan produksi kayu dan pakan ternak (Coen Reijntjes et al., 1999). Tidak semua produk dan fungsi ini dapat dikombinasikan pada satu lahan dan satu spesies. Beberapa spesies menghasilkan berbagai produk atau memenuhi beberapa fungsi (spesies multifungsi), namun secara umum kombinasi spesies berkayu harus dicari untuk mendapatkan kombinasi produk atau fungsi. Setiap spesies memiliki ciri dan manfaat yang khusus serta memerlukan kondisi ekologi yang khusus pula. Kondisi pertumbuhan dapat menjadi sedemikian rupa sehingga tidak bisa dihasilkan fungsi-fungsi tertentu. Misalnya di zona agak kering, pengikatan nitrogen oleh spesies berkayu leguminosa tampaknya menjadi sangat rendah dan akar-akar berkembang secara horizontal daripada vertikal dimana hanya lapisan tipis pada permukaan tanah mendapatkan air hujan. Oleh karenanya, fungsi spesies berkayu dalam mempertinggi kesuburan tanah pada zona agak kering mungkin lebih sedikit daripada zona yang lebih lembab (Kessler & Breman, 1991). Pengetahuan ilmiah formal tentang pohon-pohon dan belukar masih sangat terbatas, khususnya tentang interaksi yang baik antara tanaman budidaya dan hewan. Pertanyaaan-pertanyaan yang masih memerlukan jawaban termasuk: Tanaman berkayu apa yang paling baik untuk ditanam bersama dengan tanaman budidaya musiman tertentu? Cara apakah yang paling efektif untuk memanfaatkan pohon-pohon? Bagaimana cara yang terbaik untuk mengelola dan memanfaatkan pohon-pohon untuk pakan ternak dan/atau pupuk hijau? Bagaimana menangani produk-produk pohon dalam pengolahan, penyimpanan, dan pemasarannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan banyak pertanyaan lainnya yang lebih terbuka, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan asli setempat serta penelitian ilmiah lebih lanjut (CTA, 1988). Di banyak daerah spesies berkayu sedang punah, seringkali disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan lahan yang banyak untuk produksi tanaman budidaya dan ternak; tekanan yang terus menerus terhadap sumberdaya pohon untuk bahan bakar kayu, arang, kayu bangunan atau pakan ternak; pergeseran ke arah budidaya tanaman tunggal dan mekanisasi; ketidakpastian perjanjian persewaan lahan; privatisasi dan nasionalisasi lahan masyarakat; serta pembatasan kekuasan otoritas tradisional desa. Namun demikian, peningkatan spesies berkayu dalam situasi pemanfataan lahan lainnya menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu budidaya spesies berkayu dapat menjadi bagian dari suatu respon yang tepat terhadap tekanan yang semakin meningkat pada sumberdaya petani. Petani menganggap pertumbuhan pohon sebagai suatu pemanfaatan sumberdaya yang efisien (Arnold, 1980). Untuk mempersingkat periode bera, pada lahan-lahan dengan intensitas pertanaman yang rendah, adalah dengan membiarkan tumbuh atau menanam spesies berkayu yang mempercepat atau meningkatkan regenerasi kesuburan tanah atau yang memproduksi output yang bernilai subsistens atau komersial, ataupun kombinasi keduanya. Sebagai contoh, Acacia senegal di daerah agak kering subsahara Afrika yang mengembalikan kesuburan tanah dan menghasilkan getah arab, bahan bakar kayu. obat-obatan dan serat; dan palm babassu (Orbignya speciosa) di Brasilia yang memberikan berbagai macam produk komersial dan susbsistens, khususnya minyak. Langkah intensifikasi berikutnya adalah memperkenalkan pohon atau tanaman tumpangsari. Banyak contoh

Page 11: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 11

strategi pemberaan yang terus menerus seperti itu yang bisa ditemukan, misalnya dengan mempertahankan Faidherbia albida pada daerah pertanian di banyak daerah di Afrika, atau tumpangsari Sesbania sesban (tanaman leguminosa) dengan jagung di Kenya. Cukup banyak penelitian belakangan ini diarahkan kepada pengembangan suatu sistem untuk mempersingkat pemberaan yang dikelola secara lebih intensif yang dikenal dengan budidaya lorong. Adapun pada pemanfaatan lahan dengan intesitas tinggi,seperti lahan pekarangan yang ditanami spesies berkayu,bermanfaat untuk menambah output usaha tani. Pemanfaatan pekarangan juga menyebar tenaga kerja, output dan pendapatan tahunan secara lebih merata. Pada daerah dataran rendah dengan populasi padat di Jawa Tengah, pembuatan pekarangan merupakan bentuk dasar usaha tani lahan kering, sementara budi daya dengan irigasi membentuk komponen utama lain dalam sistem usaha tani (Palte, 1989). Karena bagian lahan yang dipakai untuk budidaya padi menurun, lahan pekarangan dikelola secara lebih intensif, menjadi kebun campuran daripada kebun hutan karena tanaman tahunan semakin banyak ditumpanggilirkan untuk menghasilkan bahan pangan dan pendapatan. Di daerah tadah hujan faktor utama yang mendorong petani mulai menanam pohon-pohon adalah rendahnya kebutuhan akan tenaga kerja, biaya operasional tahunan yang murah, ketahanan yang lebih besar terhadap kemiringan dan oleh karenanya mengurangi risiko dan ketidakpastian. Ketika kepemilikian lahan atau produktivitas lahan menurun tajam, pohon-pohon juga dapat dibudidayakan untuk meningkatkan pendapatan sehingga kebutuhan dasar rumah tangga dapat dipenuhi dari produksi tersebut. Karena pohon menghasilkan berbagai macam produk, maka suatu jenis pohon dapat dieksploitasi baik daun, kayu, kulit, akar, maupun buahnya. Namun demikian, kegunaan yang berbeda-beda ini sifatnya saling tergantung: semua jenis pohon yang menghasilkan banyak daun belum tentu buahnya juga banyak. Petani harus memutuskan hasil apa yang lebih mereka dapatkan dari pohon itu dan produk apa yang lebih mereka sukai. Hal ini menjelaskan besarnya keanekaragaman metode pengelolaan pohon. Petani yang berupaya untuk menciptakan naungan cahaya akan memangkas pohon secara berbeda dari petani lain yang menginginkan hasil daunan yang berlebihan. Praktek –praktek budidaya bisa berbeda bergantung pada bagaimana pemanfaatan pohon-pohon itu. Namun pada prinsipnya, pohon harus dipupuk dan dilindungi terhadap efek yang berbahaya dari aliran air dan udara, binatang, serangga dan penyakit, seperti tanaman budidaya lainnya. Petani yang ingin memanfaatkan semua peluang yang diberikan tanaman berkayu harus mengelola pohon atau belukar itu dengan baik. Bila dibiarkan tidak dirawat, spesies berkayu akan menjadi gangguan karena menyaingi produksi tanaman budidaya dan ternak serta dapat menimbulkan hama. Beberapa spesies nonkayu seperti herba, tanaman pupuk hijau, dan tanaman penutup non kayu, dapat memainkan peran pendukung yang penting dalam Agroforestry. Herba dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pestisida alami dan obat-obatan bagi manusia dan hewan serta dapat berfungsi sebagai tanaman perangkap atau tanaman umpan. Terlepas dari fungsi proteksinya, tanaman-tanaman itu dapat menjadi sumber pendapatan yang penting. Tanaman obat-obatan liar secara tradisional telah dikumpulkan, namun saat ini berada dalam bahaya kepunahan karena pengambilan yang berlebihan. Petani dapat mulai membudidayakan tanaman obat-obatan dan mengkombinasikan usaha untuk mendapatkan penghasilan dengan pelestarian alam. Pupuk hijau dan tanaman penutup penting untuk pengelolaan dan kesuburan tanah serta pengendalian erosi, khususnya di daerah lembab. Pupuk hijau dan tanaman penutup dapat menghasilkan biomassa yang penting dari daunnya, ranting-rantingnya dan akar-akarnya untuk merangsang kehidupan tanah dan melindungi permukaan tanah. Pupuk hijau dan tanaman penutup dari golongan leguminosa dapat mengikat nitrogen dalam jumlah cukup besar dan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Tanaman ini bisa berfungsi secara tidak langsung bila dimanfaatkan sebagai pakan hewan yang menghasilkan pupuk kandang. Beberapa tanaman pupuk hijau dan tanaman penutup (misalnya Crotaloria ochroleuca, Tephrosia candida) memiliki daya kerja pestisida yang bisa dimanfaatkan untuk perlindungan tanaman.

Page 12: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

12 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Kadangkala tanaman penutup juga berfungsi sebagai “mulsa hijau atau mulsa hidup”, dengan mengurangi hilangnya air dari tanah yang ditanami di daerah kering (Coen Reijntjes et al., 1999). Karena fungsi protektif dan reproduktif spesies herba seperti itu bisa bersaing dalam jangka pendek dengan fungsi produktif tanaman budidaya, herba itu seringkali diganti dengan input luar berupa pupuk kimia bila tersedia. Namun, khususnya pada tanah yang rentan, hal ini bisa mengakibatkan ketidakaktifan biologis, pengasaman, meningkatkan perembesan, hilangnya struktur tanah dan erosi. Bagi petani dengan akses yang terbatas terhadap input luar, penanaman spesies herba sangat membantu untuk menjaga usaha taninya agar tetap produktif, efisien, dan berkelanjutan.

B. Memadukan Tanaman Berkayu dan Ternak Hewan bisa mempunyai beragam fungsi dalam sistem usaha tani lahan sempit. Hewan memberikan berbagai produk, seperti daging, susu, telur, wol, dan kulit. Selain itu, hewan juga memiliki fungsi sosiokultural, misalnya sebagi mas kawin, untuk pesta upacara dan sebagai hadiah atau pinjaman yang memperkuat ikatan sosial. Dalam kondisi suboptimal, integrasi ternak ke dalam sistem agroforestry penting, khususnya untuk:

meningkatkan jaminan subsistens dengan memperbanyak jenis-jenis usaha untuk menghasilkan pangan untuk keluarga petani;

memindahkan unsur hara dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk kandang dan pakan dari daerah pertanian dan melalui pemanfaatan hewan penarik.

Memelihara ternak untuk menjamin subsistensi khususnya pada daerah yang berisiko tinggi, misalnya pada daerah kering. Ternak berfungsi sebagai penyangga. Seekor hewan dapat disembelih untuk konsumsi rumah tangga atau dijual untuk membeli bahan pangan ketika hasil panen tanaman tidak memenuhi keluarga. Ternak menyerupai tabungan dengan anakannya sebagai bunga. Hewan-hewan dijual ketika diperlukan uang tunai untuk tujuan-tujuan tertentu, termasuk pembelian input untuk budidaya tanaman.

Di daerah suboptimal, pakan ternak terutama diambil dari lahan yang tidak cocok untuk budidaya tanaman (seperti lahan berbatu, lahan tergenang ) dan lahan yang untuk sementara tidak ditanami (lahan yang baru dipanen atau bera). Lahan- lahan seperti ini seringkali berada diantara plot-plot yang ditanami dan dapat dijadikan tempat untuk menggembalakan dan menambatkan ternak. Tanamannya juga dapat dipotong untuk pakan ternak.

Memadukan produksi pakan ternak ke dalam rotasi tanaman pangan dapat meningkatkan keberlanjutan sistem usaha tani, khususnya dengan sistem agroforestry dengan melibatkan rumput-rumputan dan tanaman polongan perenial serta belukar dan pepohonan termasuk di dalamnya. Tanaman-tanaman tahunan ini bisa memanfaatkan unsur hara dan air dari lapisan tanah yang lebih dalam, memperbaiki kesuburan tanah serta melindungi tanah selama tidak ada tanaman pangan. Tanaman pakan ternak dapat memiliki peranan penting dalam alih unsur hara di tingkat usaha tani dengan memberikan kualitas pakan yang lebih baik. Pada akhirnya, ternak ini akan menghasilkan kualitas kotoran yang lebih baik yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Bagian dari tanaman pakan ternak dapat juga dimanfaatkan sebagai pupuk hijau atau mulsa. Petani mungkin lebih bersedia untuk menerapkan teknik-teknik, seperti penyemaian pada lahan bera guna mengembalikan kesuburan tanah atau mencegah erosi, jika mereka dapat mendapatkan keuntungan ekonomis secara cepat berupa pakan untuk ternak mereka.

Disamping ternak yang lebih konvensional, seperti sapi, domba, dan kambing, ternak lain yang kurang konvensional, seperti kelinci, marmot, itik, lebah, dan ulat sutera, juga berperan penting dalam sistem agroforestry. Karena struktur-struktur ini membantu pelestarian sumberdaya alam lahan pertanian dan karena lokasinya tidak dapat diubah secara mudah, penting untuk menempatkan struktur-struktur dan lokasi itu sebaik-baiknya. Dengan menggabungkan fungsi-fungsi, misalnya dengan menanam pepohonan, rerumputan atau tanaman herba multiguna sepanjang garis kontur atau menanam tanaman yang berfungsi sebagai lajur perlindungan sepanjang

Page 13: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 13

batas-batas lahan, dapat diciptakan suatu infrastruktur yang melestarikan sumberdaya yang melalui interaksi positif, tidak menurunkan bahkan bisa meningkatkan kemampuan produktif dari sistem itu.

Kecocokan suatu bagian lahan pertanian dapat berbeda jauh dengan bagian yang lainnya. Keanekaragaman diperlukan sehingga sumberdaya genetik yang telah disesuaikan dengan kondisi ekologi khusus dari tempat tertentu (kering, basah, asam atau miskin, iklim mikro dingin, panas atau berangin dan sebagainya) dapat dimanfaatkan. Juga keterbatasan tenaga kerja bisa memaksa petani memanfaatkan sumberdaya genetik yang berbeda pada tempat yang dekat dibandingkan dengan yang jauh dari pekarangan rumah.

Data tentang produktivitas sistem agroforestry yang kompleks dengan tanaman pangan, hewan-hewan (termasuk ikan) dan pepohonan langka, terdapat indikasi tentang pengaruhnya terhadap jaminan usaha tani dan konservasi sumberdaya, dan kenyataannya bahwa hampir semua sistem pertanian petani lahan sempit asli setempat mengandung komponen-komponen ini dalam berbagai macam campuran. Ini menunjukkan bahwa para petani menilai kombinasi komponen-komponen tersebut positif.

Tidak semua kombinasi meningkatkan produktivitas karena juga banyak interaksi negatif antar organisme. Tanaman, pepohonan, hewan-hewan dan manusia bisa bersaing satu sama lain untuk memperebutkan lahan, energi surya, air, unsur hara, makanan atau tenaga kerja. Komponen tersebut juga saling mempengaruhi dalam hal negatif (allelopati negatif, iklim mikro yang tidak mendukung, penularan hama dan sebagainya). Meskipun persaingan tidak bisa dihilangkan secara menyeluruh namun persaingan ini diminimalkan pada kombinasi sumberdaya genetik yang baik. Keseimbangan optimal antara aspek positif dan negatif dari komponen yang berbeda harus ditemukan, misalnya hilangnya ruang versus pengadaan iklim mikro yang lebih baik atau pengikatan nitrogen. Juga dimungkinkan untuk memanfaatkan persaingan secara positif, misalnya mendorong pertumbuhan dengan penggembalaan, pemangkasan atau penanaman secara padat. Evaluasi kombinasi sumberdaya genetik yang dikembangkan dalam agroforestry oleh para petani lahan sempit asli setempat akan meningkatkan pengetahuan tentang interaksi antara berbagai organisme yang berbeda dan akan memberikan informasi yang berguna untuk memilih campuran yang terbaik.

C. Memanfaatkan Tumbuhan dan Hewan Lokal Setempat

Sistem usaha tani lokal setempat mencakup banyak spesies tanaman dan ternak, varietas dan biakan lokal yang sesuai dengan kondisi khusus setempat. Kebanyakan petani lahan sempit juga memanfaatkan tumbuhan dan hewan liar. Informasi tentang sumberdaya genetik asli setempat yang “nonkonvensional” atau “kurang dimanfaatkan” kurang lengkap, namun cukup untuk menunjukkan bahwa sumberdaya ini memliki suatu peranan kritis dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensial petani dalam kondisi agroekosistem suboptimal.

Tumbuh-tumbuhan asli setempat memberikan pakan yang beragam dan bergizi serta menjadi penting selama musim-musim paceklik. Tumbuhan itu juga dapat memberikan banyak produk non pangan yang berguna dan merupakan sumber-sumber pendapatan. Karena tumbuhan itu seringkali tumbuh pada lahan kurang subur atau merupakan bagian dari sistem agroforestry, pemanfaatan tumbuh-tumbuhan asli setempat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan (FAO, 1988a).

Pohon-pohon utama untuk perdagangan di daerah tropis dan subtropis sudah terkenal, misalnya kopi, teh, coklat, kelapa, kelapa sawit, karet dan jeruk. Yang masih kurang dikenal adalah produk dari pepohonan asli setempat bernilai ekonomis, seperti pohon mentega shea (Butyrospernum parkii syn. Vitellaria paradoxa), prem Marula (Sclerocarya birrea) kacang belalang Afrika (Parkia biglobosa) dan “maggi lokal”, daun baobab (Adansonia digitata), rades (Moringa pterygosperma), dan daun pahit (Vernonia amygdalina) yang dimanfaatkan sebagai sayuran; bumbu dari apel Akee (Blighia sapida), kapok merah (Bombax buonopozense) dan pala kalabar (Monodora mysristica); serta ramuan obat-obatan untuk mengobati manusia, hewan dan tumbuhan.

Banyak sekali produk pepohonan asli setempat merupakan pangan setempat yang bernilai baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Misalnya, sebuah pohon kacang belalang yang dewasa per

Page 14: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

14 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

tahun biasanya bisa memasok kira-kira 40 kilogram biji. Setelah diolah melalui proses fermentasi, biji-biji ini memiliki nilai gizi sama dengan 50 ekor ayam dan memberikan jumlah vitamin dan mineral yang sangat berarti pada suatu periode, ketika bahan pangan yang lain sering menjadi langka (Coen Reijntjes, dkk, 1999). Pada musim paceklik, produk pepohonan dan belukar setempat bisa menjadi tumpuan untuk bertahan hidup bagi banyak keluarga petani.

Pepohonan asli setempat bernilai ekonomis jarang “seliar” seperti yang dirasakan oleh orang luar. Pepohonan ini seringkali merupakan bagian yang menyatu dalam sistem pertanian setempat: pepohonan ini mungkin dilindungi dan dikelola atau bahkan dengan sengaja ditanam oleh petani. Faidherbia albida di Afrika dan Prosopic cineraria di India merupakan contoh-contoh pepohonan asli setempat yang memiliki peranan sentral dalam sistem penggunaan lahan di daerah tropis semikering. Pepohonan semacam itu seringkali vital bagi keberlanjutan pertanian, dan kepunahannya bisa mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi dan tekanan sosial ekonomi. Khususnya para petani dan perempuan miskin yang mendapatkan bagian penting bahan pangan dan/atau pendapatan dari pepohonan dan belukar tersebut mengalami kesulitan bila pepohonan dan belukar itu menjadi langka (Tabel. 1).

Tabel 1. Sumber pendapatan bagi laki-laki, perempuan dan perempuan miskin di Uttar Pradesh,

India (%).

Pendapatan Hutan dan lahan

umum Lahan pertanian

Kegiatan di luar pertanian

Total

Laki-laki Perempuan Perempuan miskin

13 33 45

28 35 34

59 32 21

100 100 100

Sumber: Clarke (1986).

Produktivitas dan jaminan pertanian di daerah tropis bisa ditingkatkan dengan lebih banyak memanfaatkan spesies-spesies nonkonvensional ini. Ada suatu kebutuhan mendesak untuk membantu para petani mempertahankan kekayaan keanekaragaman genetik dari tanaman dan hewan asli setempat yang telah disesuaikan dengan kondisi input rendah, dan untuk menyediakan sumberdaya genetik ini kepada petani lain yang bekerja di daerah yang sama iklimnya. Hal yang penting bahwa pengetahuan setempat tentang cara merawat dan menggunakan sumberdaya genetik ini perlu dilestarikan dan disampaikan kepada petani lain. D. Mengintegrasikan Akuakultur

Golongan hewan yang layak disebut dalan konteks ini adalah ikan dan hewan air lainnya. Sumberdaya alam yang ada bagi sebuah keluarga petani mungkin termasuk sumberdaya air, seperti sungai kecil, kolam, dan tanah yang rentan banjir. Budi daya tumbuhan dan satwa yang hidup di air disebut akuakultur. Memadukan bentuk budidaya ini dalam suatu sistem usaha tani mengintensifkan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan melalui penganekaragaman spesies dan daur ulang unsur hara. Memadukan ikan, hewan-hewan darat, pepohonan, sayuran, dan tanaman budidaya dalam satu usaha tani merupakan suatu cara memaksimalkan produktivitas per satuan lahan. Hasil sambilan dari satu bentuk pemanfaatan sumberdaya sering berfungsi sebagai input bagi bentuk-bentuk lainnya.

Kolam-kolam ikan dapat dibuat dilahan basah dan lahan pekarangan di mana ada sungai kecil atau mata air di dekatnya. Pohon buah-buahan dan sayuran yang ditanam di pematang sebelah kolam dapat diairi dengan air kolam yang juga dapat digunakan untuk hewan air. Pupuk kandang, sisa tanaman budidaya, gulma, daun-daun pepohonan, buah-buahan dan sayuran busuk dapat menyuburkan kolam. Hasil sambilan dari tanaman budidaya lainnya, seperti sekam jagung dan padi dapat juga dijadikan pakan ikan. Ikan mengubah sisa tanaman dan hewan menjadi protein kualitas tinggi dan memperkaya lumpur kolam yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan kembali ladang.

Page 15: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 15

Silvofishery atau hutan tambak merupakan campuran kegiatan kehutanan di daerah pantai (hutan mangrove) dengan kegiatan perikanan. Di dalam hutan bakau (mangrove), para petani-ikan dapat memelihara ikan, udang, atau kepiting dan sekaligus membantu upaya merehabilitasi hutannya. Contoh : tumpangsari tambak hutan payau di Cilacap, Jawa Tengah.

V. ANALISIS EKONOMI SISTEM AGROFORESTRY Nilai manfaat berupa peningkatan pendapatan bagi petani yang telah mengusahakan

lahannya secara Agroforestry, dapat dianalisis secara ekonomi dengan menggunakan besaran-besaran benefit cost ratio (BCR), net present value (NPV),dan internal rate of return (IRR). Untuk melihat sejauh mana agroforestry dapat meningkatkan pendapatan, pada makalah ini merujuk pada hasil penelitian Devianti (2015), dan Widyantoro (2013).

A. Penelitian Devianti (2015)

Penelitian dilaksanakan pada lahan milik masyarakat yang telah diusahakan secara agroforestry di desa Simpen Kaler, Limbangan Garut, termasuk dalam sub-sub DTA Cianten, Cipancar. Jenis tanaman yang diusahakan terdiri dari tanaman hutan jati putih (gmelina),sebagai tanaman utama, mahoni dan suren (bukan tanaman utama). Selain itu juga tanaman buah-buahan seperti petai dan alpukat yang merupakan (multipurpose tree species) atau MPTS. Tanaman semusim yang biasa dilaksanakan petani diantara tanaman jati yaitu kunyit dan tumpangsari dengan ubi kayu. Data yang diperoleh berasal dari hasil wawancara dan hasil penelitian eksperimen dengan menggunakan tiga pola tanam semusim di antara tanaman jati sebagai berikut :

(1) Tumpangsari kunyit+jagung – kacang merah +cabe rawit lokal, (2) Tumpangsari kunyit+jagung – kacang merah, (3) monocropping cabe rawit lokal.

Analisis ekonomi sistem Agroforesrty terdiri dari biaya investasi dan biaya budidaya. Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat mulai pelaksanaan, dengan nilai manfaat pada masa akan datang. Biaya investasi digunakan untuk pembelian bibit tanaman tahunan, tanaman buah-buahan atau MPTS, termasuk biaya penanaman dan pembuatan teras guludan, selengkapnya pada Tabel 2.

Tabel 2. Biaya investasi Sistem Agroforestry pada Pola Tanam 1,2 dan 3 seluas 1 Ha

No Jenis Investasi Jumlah Harga (Rp) Total Harga

1 Bibit kayu-Hutan: Jati Putih (Gmelina) 625 pohon 700 43.7500 Mahoni 277 pohon 1350 373.950 Suren 277 pohon 1350 373.950 2 Bibit MPTS Petai 400 pohon 3500 1.400.000 Alpukat 238 pohon 1600 380.800 3 Pembuatan lubang tanam 214 HOK 35000 7.490.000 4 Penanaman 112 HOK 35000 3.900.000 5 Pembuatan teras Guludan 1724 HOK 35000 60.330.000

Total Investasi 74.686.200

Sumber : BPDAS Cimanuk-Citanduy (2010).

Tabel 2 menjelaskan biaya investasi yang diperlukan pada penanaman sistem Agroforestry dengan luas 1 ha pada pola tanam 1, 2, dan 3 terdiri dari jenis dan jumlah tanaman, serta jumlah hari orang kerja (HOK) untuk penanaman dan pembuatan teras gulud, yang mempunyai jumlah harga yang beragam. Jati putih sebagai tanaman utama tahunan yang ditanam pada lahan sehingga kebutuhannya lebih besar dibandingkan suren dan mahoni, yang digunakan pada pinggir-pinggir lahan. Demikian juga dengan Multipurpose tree species (MPTS) yang merupakan tanaman tahunan

Page 16: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

16 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

yang menghasilkan buah-buahan atau daun-daunan yang dapat digunakan sebagai makanan atau pakan ternak seperti petai, alpukat. Pembuatan teras gulud dengan luas lahan 1 ha dibutuhkan 1724 HOK, sedangkan pembuatan lubang tanam membutuhkan 214 HOK dengan upah kerja sehari sebesar Rp. 35.000,-.

Biaya budidaya yang dimaksud pada kajian ini adalah biaya produksi tanaman semusim dan pemeliharaan tanaman tahunan, serta perbaikan teras. Berbagai macam biaya budidaya sistem Agroforestry dengan pola tanam 1, 2, dan 3 bergantung pada jenis tanaman semusim yang dibudidayakan seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Biaya Budidaya Sistem Agroforestry pada Pola tanam 1,2 dan 3 seluas 1 Ha

Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah+cabe rawit lokal

No Jenis Biaya Budidaya Jumlah Biaya (Rp)

1 Biaya produksi tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 6.118.000 2 Biaya penyulaman tahun ke – 2 242.850 3 Perbaikan teras 500.000 4 Biaya produksi tahun ke - 2 6.360.850 5 Biaya produksi tahun ke - 7 6.860.850

Pola 2 (Tumpangsari : kunyit+ jagung- kacang merah)

No Jenis Biaya Jumlah Biaya (Rp)

1 Biaya Budidaya tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 6.078.000 2 Biaya penyulaman tahun ke- 2 242.850 3 Perbaikan teras 500.000 4 Biaya produksi tahun ke- 2 6.320.850 5 Biaya produksi tahun ke- 7 6.820.850

Pola 3 (monocropping cabe rawit lokal)

No Jenis Biaya Jumlah Biaya (Rp)

1 Biaya produksi tahun ke- 1, 3, 4, 5, 6 12.918.500 2 Biaya penyulaman tahun ke- 2 242.850 3 Perbaikan teras 500.000 4 Biaya produksi tahun ke- 2 13.161.350 5 Biaya produksi tahun ke- 7 13.661.350

Sumber : Hasil wawancara dan BPDAS Cimanuk-Citanduy, 2010.

Pada Tabel 3 ditunjukkan berbagai jumlah harga yang beragam dalam biaya budidaya terdiri dari (1) biaya produsi tanaman semusim yang berbeda antara pola 1, 2 dan 3, (2) biaya penyulaman tanaman tahunan dan tanaman buah-buahan, dan (3) biaya perbaikan teras guludan. Antara tahun pertama dan tahun berikutnya terdapat perbedaan biaya seperti pengeluaran pada tahun 1, 2, 3, 4 dan 6 adalah biaya untuk budidaya tanaman semusim sebesar Rp. 6. 118.000 pada pola 1, Rp. 6.078.000 (pola 2), dengan biaya terbesar pada pola 3 sebesar Rp. 12.918.500. Pemakaian pupuk pada tahun pertama juga diperuntukkan untuk semua tanaman baik semusim, kehutanan, dan MPTS. Pada tahun ke- 2 terdapat penambahan biaya penyulaman tanaman tahunan sebesar Rp. 242.850, sehingga total biaya menjadi Rp. 6.360.850,- pada pola 1, pola 2 sebesar Rp. 6.320.850,-, dan pada pola 3 sebesar Rp. 13.161.350,- . Hal ini juga terjadi penambahan biaya pemeliharaan pada tahun ke- 7, yang merupakan biaya untuk perbaikan teras guludan sebesar Rp. 500.000, sehingga total biaya pada tahun ke -7 menjadi Rp. 6.860.850 pada pola 1, sedangkan pada pola 2, dan 3 sebesar Rp. 6.820.850, dan Rp. 13.661.350.

Biaya investasi yang dikeluarkan pada pola 1, 2, dan 3 adalah sama jumlahnya, terdapat perbedaan pada biaya budidaya antar pola 1, 2, dan 3, disebabkan setiap komoditi tanaman semusim mempunyai kebutuhan jumlah bibit dengan harga yang berbeda. Sistem agroforestry memberikan dua keuntungan (benefit) yakni produktivitas tanaman semusim dan produktivitas tanaman kayu kehutanan. Terjadi perbedaan produktivitas dan harga setiap panen pada tanaman

Page 17: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 17

semusim, disebabkan harga jual pada tanaman semusim bergantung pada harga pasar. Produktivitas dan harga jual tanaman semusim dengan pola tanam 1, 2, dan 3 terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produktvitas Sistem Agroforesrty pada pola 1, 2, dan 3 seluas 1 Ha

Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah+cabe rawit lokal

No Produktivitas Jumlah (Rp)

1 Keuntungan tahun ke 2, 3 27.750.000 2 Keuntungan tahun ke 4 24.500.000 3 Keuntungan tahun ke 5, 6, 7, 8, 9 15.625.000 4 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000

Pola 2 (Tumpangsari : kunyit+ jagung- kacang merah)

1 Keuntungan tahun ke 2, 3 19.850.000 2 Keuntungan tahun ke 4, 5,6 18.500.000 3 Keuntungan tahun ke 7, 8,9 17.050.000 4 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000

Pola 3 (monokulturcabe rawit lokal)

1 Keuntungan tahun ke 2, 3 35.360.000 2 Keuntungan tahun ke 4, 5 32.500.000 3 Keuntungan tahun ke 6, 7 28.600.000 4 Keuntungan tahun ke 8, 9 26.000.000 5 Keuntungan tahun ke 10 125.000.000

Sumber : Data Diolah (2014) Tabel 4 menunjukkan produktivitas tanaman semusim pada pola 1,2 dan 3 terdapat harga

yang beragam, baik pada tahun yang sama maupun pada tahun berikutnya. Produktivitas terbesar secara berturut-turut terdapat pada pola 3, 1 dan 2. Tahun ke- 2 dan ke- 3 mempunyai keuntungan sebesar Rp. 27.750.000 pada pola 1, pola 2 sebesar Rp. 19.850.000, dan pada pola 3 sebesar Rp. 35.360.000. Produktivitas pada tahun ke- 2 dan 3 lebih besar bila dibandingkan pada tahun ke-4, yaitu sebesar Rp. 24.500.000 pada pola 1, dan pola 2 sebesar Rp. 18.500.000, serta pada pola 3 sebesar Rp. 32. 500.000. Pada tahun berikutnya yaitu tahun ke- 5 dan tahun ke- 6, keuntungan dari tanaman semusim semakin kecil hanya sebesar Rp. 15. 625.000 (pola1), kemudian pada pola 2 sebesar 17.050.000, dan pada pola 3 sebesar Rp. 28.600.000. Kecilnya keuntungan pada tahun ke- 5 dan tahun ke- 6 disebabkan tanaman tahunan semakin besar naungannya sehingga cahaya matahari terhalang yang menyebabkan fotosintesis tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Selanjutnya keuntungan sistem agroforestry diperoleh dari panen kayu jati putih pada tahun ke-10, dimana per batang kayu bersih diperoleh volume sebesar 0,4 m3 dengan harga 1 m3 sebesar Rp. 500.000. Harga tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2012. Dengan demikian keuntungan yang didapat dari produksi kayu jati putih pada pola 1, 2 dan 3, adalah sama yakni sebesar Rp. 125.000.000,-.

Harga pada biaya investasi padaTabel 3.2 dan keuntungan pada Tabel 3.4 yang digunakan berdasarkan suku bunga Bank Indonesia sebesar 12%, dan nilai suku bunga ini berdasarkan pada tahun 2010, pada awal mulai kegiatan sistem agroforestry. Harga tersebut dalam analisis ekonomi dapat diartikan nilai saat itu, sehingga pada saat panen jati putih tahun ke- 10 tentunya menjadi nilai yang akan datang. Untuk hal ini perlu dikaji nilai pada masa akan datang, berdasarkan analsis ekonomi seperti; NPV, B/C, dan IRR, apakah didapatkan keuntungan dari investasi sistem Agroforestry ?

Hasil analisis ekonomi sistem agroforestry dengan luasan satu hektar, pada berbagai pola tanam (1, 2 dan 3) layak diusahakan dengan parameter analisis NPV, B/C dan IRR disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 memperlihatkan beberapa indikator seperti; NPV, IRR, B/C ratio sebagai penilai kelayakan usaha sistem agroforestry dengan luas 1 ha pada berbagai pola tanam, pada tingkat suku bunga bank 12 %. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sistem agroforestry secara ekonomi dan

Page 18: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

18 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

finansial pada berbagai pola tanam layak diusahakan dengan indikator penilai NPV, IRR dan B/C lebih besar dari satu. Terlihat nilai NPV, B/C dan IRR terbesar pada sistem tanam monocropping cabe rawit lokal, dan terkecil pada sistem tanam tumpangsari pola 2. Penyebabnya harga cabe rawit lokal lebih tinggi dengan masa panen lebih panjang yaitu 6 bulan bila dibandingkan dengan komoditas lain dalam sistem tanam tumpangsari pola 1 dan 2.

Berdasarkan Tabel 5, selisih nilai NPV secara finansial pada pola 3 dengan NPV pada pola 1 sebesar Rp. 8.092.812 dan selisih NPV pada pola 3 dengan pola 2 sebesar Rp. 18.778.890, serta selisih NPV antara pola 1 dengan pola 2 sebesar Rp. 10.686.078. Dapat dikatakan pola tanam monocropping mempunyai keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari pada pola 1 dan pola 2. Namun demikian jumlah erosi pada tanam monocropping lebih besar dibandingkan dengan pola tanam tumpangsari.

Tabel 5. Analisis Ekonomi Sistem Aagroforesrty pada pola 1, 2 dan 3 Seluas 1 Ha

Indikator Analisis Ekonomi Analisis Financial Keputusan (Decision)

Pola 1 (Tumpangsari : kunyit+jagung-kacang merah+cabe rawit lokal)

NPV IRR Net B/C Ratio

Rp. 31.695.473 0.22 1.44

Rp. 31.017.446 0.22 1.43

Layak > 0 Layak > 0 Layak > 0

Pola 2 (tumpangsari : kunyit+jagung – kacang merah)

NPV IRR Net B/C Ratio

Rp. 21.009.395 0.17 1,29

Rp. 20.331.368 0.17 1.28

Layak > 0 Layak > 0 Layak > 0

Pola 3 (monocropping cabe rawit lokal)

NPV IRR Net B/C Ratio

Rp. 39.788.284 0.15 1.51

Rp. 39.110.257 0.15 1.50

Layak > 0 Layak > 0 Layak > 0

Sumber : Data diolah (2014)

Peningkatan atau penurunan produktivitas dan harga pertanian dan kayu hutan mempengaruhi keberlanjutan sistem Agroforestry, hal ini berkaitan dengan kenaikan suku bunga bank. Untuk mengetahui sejauhmana keberlanjutan sistem Agroforestry masih dapat diusahakan adalah dengan mengkaji internal of return. Kajian in dapat dilakukan dengan cara membandingkan NPV pada suku bunga awal (NPV1) dengan selisih (NPV1) dikurangi (NPV2) pada suku bunga yang lebih tinggi dari suku bunga awal. Nilai NPV2 didapat dengan cara trialand error (coba-coba) sampai didapat (NPV < 0).

Hasil analisis menunjukkan sistem Agroforestry dengan pola tanam tumpangsari (pola 1) tidak layak diusahakan lagi pada suku bunga bank 22%, sedangkan pola tanam tumpangsari (pola 2) tidak layak dilaksanakan pada suku bunga 17% , dan sistem tanam monocropping (pola 3) pada suku bunga 15%.

B. Penelitian Widyantoro (2013)

Hasil penelitian Widyantoro (2013), mengenai analisis usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan 2 tahun di desa Temulus, KPHRandu Blatung, Blora MH 2009/2010, ditunjukkan pada Tabel 6.

Page 19: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 19

Tabel 6. Analisis usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan 2 tahun di Desa Temulus, KPH Randu Blatung, Blora, MH 2009/2010

Uraian Padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun

Padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun

Biaya tenaga kerja (Rp. 000/ha) Biaya sarana produksi (Rp. 000/ha) Total biaya (Rp. 000/ha) Penerimaan kotor (Rp. 000/ha) Pendapatan bersih (Rp. 000/ha) B/C rasio Titik impas produksi (kg/ha) Titik impas harga (Rp/kg)

3.090 1.610

4.700*)

11.707 7.007

1,49 2.043

(5.090) 923

(2.300)

2.910 1.570

4.480*)

10.718 6.238

1,39 1.948

(4.660) 961

(2.300)

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan produksi dan harga aktual. *) Hasil penelitian demplot di Ngliron, Randu Blatung, Blora (Sumber : Widyantoro et al., 2012).

Pada posisi harga gabah Rp. 2.300/kg, total pendapatan bersih usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun mencapai Rp. 7.007.000/ha dengan nisbah input-output atau B/C rasio sebesar 1,49. Ini berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp. 100 akan memberikan rata-rata penerimaan sebesar Rp. 149 pada batas penggunaan input tertentu, dengan kata lain untuk setiap Rp. 100 biaya yang dikeluarkan rata-rata memberikan keuntungan sebesar Rp. 49. Pada posisi harga gabah yang sama, total pendapatan bersih usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun mencapai Rp. 6.238.000/ha dengan B/C rasio sebesar 1, 39.

Hasil analisis titik impas produksi, usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun menunjukkan dengan produksi 2.043 kg/ha sudah mampu berada pada kondisi keuntungan normal. Ini berarti dengan produktivitas padi hanya 40,14% dari produksi aktualnya, usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah tidak merugi dan tidak untung atau dengan kata lain berada pada titik impas produksi, Demikian pula usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun, keuntungan normal dicapai pada tingkat produksi 1.948 kg/ha atau 41,80% dari produksi aktualnya. Interpretasi dari hasil analisis TIP ini adalah penurunan produktivitas yang bisa ditolerir agar usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan 2 tahun masih menguntungkan, jika penurunan produktivitasnya masing-masing tidak lebih dari 59,86%, dan 58,20% dari produksi aktualnya.

Berdasarkan analisis titik impas harga, dengan harga gabah Rp. 923/kg usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah berada pada kondisi keuntungan normal. Ini berarti denganharga gabah hanya 40,13% dari harga aktualnya, usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun sudah berada pada titik impas harga. Pada usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 2 tahun keuntungan normal dicapai tingkat harga Rp. 961/kg atau 41, 78% dari harga aktualnya. Secara finansial usahatani padi gogo tumpangsari HTI jati muda umur 1 tahun dan umur 2 tahun layak diusahakan petani, karena dengan produksi masing-masing hanya 40,14% dan 41,80% dari produksi aktualnya, sudah berada pada titik impas produksi, demikian pula dengan titik impas harga.

VI. PENUTUP

A. Kesimpulan Dari uraian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa keunggulan agroforestry ,

potensinya dalam kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, kemandirian bangsa dan perbaikan lingkungan, sebagai berikut :

Page 20: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

20 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

1. Produktivitas (Productivity) : dari hasil penelitian teruji bahwa total sistem campuran dalam Agroforestry jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun (Sequential system). Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.

2. Diversitas (Diversity) : Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih pada sistem agroforestry menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar, sedangkan dari segi ekologi dapat (i) meningkatkan kesuburan tanah (dengan menyerap unsur hara dari lingkungan sekitarnya dan dari lapisan tanah yang lebih dalam) atau daur ulang unsur hara, (ii) dengan meningkatnya kadar bahan organik di dalam lapisan tanah bagian atas, melalui interaksi dengan mikoriza dan bakteri tanah, dapat meningkatkan kelarutan fosfat dan fiksasi N, (iii) menciptakan iklim mikro yang cocok bagi komponen produktif lainnya baik tanaman budidaya maupun hewan, (iv) pengendalian erosi dengan cara melindungi tanah dan tanaman dari aliran air atau tiupan angin.

3. Kemandirian (Self-regulation) : Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestry, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.1. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur, dan hal ini berdampak pada kemandirian bangsa.

4. Stabilitas (Stability) : Praktek agroforestry yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.

Yang tetap harus diingat adalah kombinasi yang benar dari spesies serta praktek manajemen yang baik, pemahaman dan motivasi masyarakat. B. Saran

Untuk menjamin sistem usaha tani yang stabil, mampu meningkatkan pendapatan, dan sekaligus melestarikan lingkungan melalui praktek agroforestry, baik yang dilaksanakan pada lahan milik sendiri maupun pada lahan kawasan hutan negara, disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh fungsi produktif, reproduktif, protektif dan atau sosial dalam praktek

agroforestry, petani perlu ditingkatkan pengetahuan dan pemahamannya melalui berbagai program pelatihan mengenai fungsi berbagai jenis/spesies tanaman berkayu, semak belukar, maupun herba yang dapat dipadukan dengan tanaman-tanaman semusim (pangan dan horti), tanaman obat dan tanaman bioenergi dalam berbagai variasi pola tanam; ataupun dengan hewan (ternak dan ikan) sesuai dengan kondisi agroekosistem / wilayah masing-masing (pemanfaatan sumberdaya lokal), dan sesuai dengan permintaan pasar.

2. Memperluas kapasitas petani untuk pengembangan teknologi berbasis sumberdaya lokal dengan pola penyuluhan partisipatif.

3. Memberikan berbagai kemudahan, jaminan, dan akses dalam membantu keluarga petani untuk berkembang (jaminan harga komoditas dan perolehan modal investasi).

4. Mempermudah transportasi produk petani ke berbagai pasar termasuk menciptakan pasar-pasar lokal yang dapat menarik orang kota datang ke pasar-desa/kecamatan.

5. Pola kemitraan dalam program PHBM, maupun pihak swasta, perlu terbangun lebih harmonis. 6. Reforma agraria.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, J.E.M. 1980. Tree Components in Farming Systems. Unasylva 160 : 35-42.

Clarke, R. 1986. Restoring The Balance : Women andForest Resources. Rome : FAO/SIDA

Page 21: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 21

Coen Reijntjes, Bertus Haverkort dan Ann Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. ILEIA. Penerbit Kanisius Yogyakarta.

Devianti. 2015. Kajian Implikasi Tata Guna Lahan Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Jatigede Terhadap Umur Layanan (Life Time) Waduk. Disertasi Universitas Padjadjaran Bandung.

Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan Jakarta. 2008. Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Pengadaan Pangan. Prosiding Semiloka Nasional : Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi, 22-23 Desember 2008. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Faisal Kasryno, Muhammad Badrun, Effendi Pasandaran. 2011. Land Grabbing. Perampasan Hak Konstitusional Masyarakat. Yayasan Pertanian Mandiri.

Food and Agriculture Organization. 1988 a. Traditional Food Plants : a resource book for promoting the explanation and consumption of food plants in arid, semi arid and sub-humid lands of Eastern Africa. Food and Nutrition Paper 42, Rome; FAO.

Food and Agriculture Organization. 2010. Statistik of FAO. FAO Rome, 2010. Rome

Isabel Carter. 2009. Alley Cropping. Tearfund. http://tilz.tearfund.org/publications/footsteps+61+70/Alley+cropping. htm.

Oteng Haridjaja dan Khalil. 2008. Potensi Pemanfaatan Lahan Sempit. Datar Berair untuk Pertanian Terpadu. Prosiding Semiloka Nasional : Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi, 22-23 Desember 2008.

Palte, J.G.L. 1989. Upland Farming on Java, Indonesia : A Socioeconomic Study of Upland Agriculture and Subsistance Under Population Pressure. Utrecht : Geographical Institute, University of Utrecht.

Sumarwoto. 2012. Budidaya iles-iles Kuning untuk Kesejahteraan Masyarakat, dalam Budiadi ‘Permadi’ D.P., Umi, L.P. (Eds)., Agroforestry Porong, Masa Depan Hutan Jawa, Indonesia Managing Higher Education For Relevance and Efficiency (IMHERE), Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Kessler, J.J dan Breman, H. 1991. Agroforestryin the Sahel and The Savannah Zone of West Africa. Agroforestry Systems. 13 : 42-46.

Technical Centre for Agroforestry and Rural Cooperation. 1988. Agroforestry : The Efficiency of Trees in Africa Agrrian Production and Rural Landscapes, Wageningen : CTA/Terres et Vie/GTZ/ICRAF.

Widyantoro. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Gogo Tumpangsari Hutan Tanaman Industri (HTI) Jati Muda. Prosiding Seminar Nasional : Akselerasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi.

World Bank. 2010. Commodity Market Review February. World Bank. Wahington D.C.

Page 22: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

22 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Page 23: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 23

Page 24: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

24 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Page 25: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 25

Page 26: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

26 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Page 27: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 27

Page 28: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

28 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Page 29: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 29

Page 30: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

30 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN DARI USAHA HUTAN RAKYAT DENGAN USAHA PADI SAWAH

Dian Diniyati Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

Email: [email protected]

ABSTRAK

Salah satu sumber pendapatan petani yaitu berbasis lahan, baik itu usaha sawah maupun hutan rakyat. Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan data mengenai perbandingan jumlah pendapatan yang diterima oleh petani, serta jumlah tenaga kerja yang terlibat pada usaha hutan rakyat dan usaha sawah. Kegiatan dilaksanakan di Desa Kalijaya - Ciamis dan Desa Karyabakti – Tasikmalaya. Pada bulan Juni – Desember 2013 dan 2014. Responden adalah petani hutan rakyat sebanyak 60 orang dan petani sawah sebanyak 60 orang, pemilihan dilakukan secara stratified random sampling, berdasarkan luasan lahan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuisioner. Data yang terkumpul dikelompokkan dan ditabulasi serta diolah secara statistic dan disajikan secara diskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi yang diterima oleh petani hutan rakyat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usaha sawah. Namun demikian usaha sawah akan terus dilakukan oleh petani karena : sawah menghasilkan bahan pangan (padi) yang dapat menumbuhkan rasa aman bagi petani dan padi merupakan barang sosial yang bergunakan bagi kegiatan bermasyarakat di perdesaan. Jumlah tenaga kerja yang terlibat pada usaha sawah cukup banyak dibandingkan dengan usaha hutan rakyat. Tenaga kerja pada usaha sawah banyak melibatkan tenaga kerja dari luar keluarga, biasanya system kerja yang berlakukan di lokasi penelitian adalah gotong royong dengan upah bisa mendapatkan gabah. Tenaga kerja yang banyak terlibat pada usaha hutan rakyat adalah tenaga kerja keluarga. Dengan kondisi yang demikian perlu adanya penyuluhan dari instansi terkait supaya petani dapat mengembangkan usaha berbasis lahan ini dengan maksimal supaya tidak terjadi perubahan usaha dari sawah ke hutan rakyat ataupun sebaliknya. Kata kunci : Usaha sawah, usaha hutan rakyat pola agroforestry, pendapatan, tenaga kerja

I. PENDAHULUAN

Sumber pendapatan petani di perdesaan terbagi dua yaitu pendapatan dari pekerjaan utama dan pendapatan dari perkejaan sampingan. Salah satu pendapatan dari pekerjaan utama adalah berbasis lahan, baik itu usaha padi sawah maupun usaha hutan rakyat pola agroforestry. Ke dua usaha tersebut dilakukan pada jenis lahan yang berlainan yaitu lahan darat dan lahan sawah.

Pada saat sekarang ini animo masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat terus meningkat sehingga tidaklah mengherankan banyak terjadi perubahan lahan usaha dari hutan rakyat menjadi sawah tapi dalam kenyataannya banyak juga perubahan fungsi lahan dari hutan rakyat menjadi lahan padi sawah. tiap perubahan pasti akan memberikan dampak positif dan negatifnya. Namun ditenggarai ada kecenderungan perubahan lahan yang paling banyak terjadi adalah dari lahan sawah menjadi lahan darat yang ditanami dengan tanaman kehutanan. Salah satu faktor utama terjadinya perubahan tersebut karena faktor ekonomi dan iklim (Diniyati, 2009).

Sehubungan dengan hal tersebut maka tujuan dari tulisan ini untuk memberikan informasi dan data mengenai perbandingan jumlah pendapatan yang diterima oleh petani dari usaha hutan rakyat dan usaha sawah, serta jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk melakukan kedua usaha tersebut. Diharapkan informasi yang dihasilkan ini dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengambil keputusan petani dalam menentukan usaha berbasis lahan yang akan dilakukannya, juga sebagai bahan kebijakan dalam penerapan program bantuan supaya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.

Page 31: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 31

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di Desa Kalijaya Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis

dan Desa Karyabakti Kecamatan Parungponteng, Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Juni - Desember 2013 dan Juni – Desember 2014. Profil lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Profil Lokasi Penelitian

No. Uraian Desa Kalijaya Desa Karyabakti

1. Kecamatan Banjarsari Parungponteng

2. Kabupaten Ciamis Tasikmalaya

3. Provinsi Jawa Barat Jawa Barat

4. Luas (ha) 639,00 676,60

Luas hutan rakyat (ha) 23,00 36,00

5 Luas lahan sawah (ha) 62,00 199,00

5. Jumlah penduduk Laki-laki 1.691 orang dan perempuan 1.390 orang

Laki-laki 1.816 orang dan perempuan 1.552 orang

6. Pendidikan dominan Belum/tidak sekolah Tamat sekolah dasar

7. Mata pencaharian dominan

Petani Petani

Sumber: diolah dari Sulistyati dan Diniyati, 2015 dan Laporan 2014

B. Pengambilan Sampel Penelitian Unit analisis penelitian adalah petani hutan rakyat dan petani sawah anggota kelompok tani

yang dipilih secara stratified random sampling sebanyak 120 orang, pemilihan responden ini berdasarkan luas kepemilikan lahan yang terbagi menjadi 3 (tiga) strata. Jumlah responden seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Responden di Lokasi Penelitian

Lokasi

Responden Sawah Responden Hutan rakyat Total

Responden Strata 1

(> 0,5 ha)

Strata 2 (0,26 –

0,50 ha)

Strata 3 (0,01 –

0,25 ha)

Strata 1 (> 0,5

ha)

Strata 2 (0,26 –

0,50 ha)

Strata 3 (0,01 –

0,25 ha)

Ds. Kalijaya-Ciamis 7 8 15 3 8 19 60

Ds. Karyabakti - Tasikmalaya

3 5 22 4 5 21 60

C. Analisis Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara terstruktur menggunakan

kuisioner terhadap responden petani. Data sekunder yang dikumpulkan berasal dari monografi desa, laporan hasil penelitian, buku pustaka serta dokumen lain yang mendukung penelitian. Data yang terkumpul selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian selanjutnya ditabulasi dan interpretasikan secara diskriptif kuantitatif untuk mendapatan informasi tentang nilai pendapatan dari usaha berbasis lahan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jumlah Pendapatan dari Usaha Sawah dan Hutan Rakyat

Pekerjaan utama masyrakat di perdesaan adalah sebagai petani baik itu petani padi sawah maupun petani hutan rakyat. Kegiatan usaha padi dilakukan oleh petani di lahan sawah beririgasi

Page 32: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

32 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

atau lahan tadah hujan sehingga dalam satu tahun petani di Desa Kalijaya hanya bisa menanam padi sebanyak 2 kali (83,33%) dan sebanyak 3 kali (16,67%). Petani di Desa Karyabakti biasanya menanam padi dalam satu tahun sebanyak 2 kali (56,67%) dan sebanyak 3 kali (43,33%). Hampir semua petani yang menanam padi selama satu tahun sebanyak 2 kali biasanya lahannya tidak ditanami dengan tanaman lainnya (tanahnya diberakan/dibiarkan kosong).

Kegiatan usaha hutan rakyat di lokasi penelitian dilakukan dengan pola agroforestry, campuran antara tanaman kehutanan dengan tanaman perkebunan, tanaman buah, tanaman obat dan tanaman pangan. Usaha ini dapat dilakukan sepanjang tahun.

Hasil utama dari usaha sawah adalah gabah yang akan digiling menjadi padi. Gabah yang dihasilkan ini menurut responden di Desa Kalijaya seluruhnya digunakan untuk konsumsi sendiri (76,67%) dan untuk dijual (23,33%) seperti disampaikan oleh Diniyati (2011) bahwa padi merupakan barang yang diperuntukan untuk konsumsi petani dan keluarganya, jikalau berlebih baru untuk barang dagangan. Sedangkan gabah yang dihasilkan oleh petani di Desa Karyabakti seluruhnya digunakan untuk konsumsi sendiri (70%) dan sebagian gabah untuk dijual (30%). Petani lebih senang menyimpan gabah kering untuk kebutuhan pangan keluarganya dan jika akan dikonsumsi baru akan menggiling dalam jumlah sedikit disesuaikan dengan keperluan, sangat jarang sekali petani menggilikan seluruh gabahnya menjadi beras. Penjualan gabah yang dilakukan oleh petani pada umumnya berbentuk gabah kering dengan volume jualnya adalah kw.

Lain halnya dengan hasil dari usaha hutan rakyat sangat beragam yaitu mulai dari kayu, buah-buah, pangan (singkong, ubi, dan talas), tanaman obat (kapulaga, jahe, kencur, kuning) dan tanaman perkebunan (kelapa, kopi, coklat). Hasil tersebut menurut seluruh responden sebagian untuk di konsumsi sendiri dan sebagian untuk dijual, bahkan ada kecenderungan hasil hutan rakyat ini seluruhnya untuk dijual.

Jumlah pendapatan yang dihasilkan oleh petani dari usaha sawah hanya satu jenis yaitu gabah, sedangkan hasil dari usaha hutan rakyat sangat bervariasi jenisnya. Perhitungan seluruh pendapatan yang diperoleh petani seperti diperlihatkan Tabel 3.

Tabel 3. Pendapatan dan biaya usaha sawah dan hutan rakyat pola agroforestry

No Sumber Usaha I II III

A Desa Karyabakti1)

Pendapatan rata-rata (Rp/tahun)

1 Hutan Rakyat 4.084.354 3.225.533 3.156.464 2 Sawah 6,696,000 5.286.250 3.046.218

Biaya rata-rata (Rp/tahun) 1 Hutan Rakyat 1.360.625 994.760 803.389

2 Sawah 4.479.283 3.185.125 3.781.644

B Desa Kalijaya 2)

Pendapatan rata-rata (Rp/tahun) 1 Hutan Rakyat 13.256.827 10.419.250 4.246.800

2 Sawah 9.458.225 6.145.278 4.091.000 Biaya rata-rata (Rp/tahun)

1 Hutan Rakyat 5.873.533 2.409.375 1.920.955

2 Sawah 6.483.861 3.677.588 2.373.321

Sumber data : 1) diolah dari Diniyati dan Achmad, 2014 2) diolah dari data primer, 2013

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh usaha

hutan rakyat pola agroforestry jauh lebih banyak dibandingkan dengan usaha sawah. Walaupun usaha sawah ini keuntungannya lebih rendah dibandingkan dengan usaha hutan rakyat tetapi menurut Diniyati (2011) usaha sawah ini akan terus dikerjakan oleh petani, dikarenakan: 1) sawah

Page 33: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 33

menghasilkan bahan pangan padi yang merupakan sumber pangan utama, 2) apabila petani sudah memiliki padi maka ada perasaan aman, dan 3) padi merupakan barang sosial, yaitu dapat digunakan sebagai barang hantaran untuk seluruh kegiatan sosial di perdesaan seperti hantaran untuk pernikahan, melahirkan, kematian dan lain-lain.

Keuntungan ekonomi usaha hutan rakyat dilokasi penelitian untuk seluruh strata jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan ekonomi padi sawah, hal ini disebabkan karena pola tanam usaha hutan rakyat yang diterapkan oleh petani adalah pola agroforestry, sehingga pendapatan yang dihasilkan merupakan penjumlahan dari beberapa pendapatan berbagai jenis tanaman yang ada di hutan rakyat, lain halnya dengan sawah hanya menghasilkan satu jenis pendapatan yaitu gabah.

Biaya yang diperlukan untuk usaha padi sawah jauh lebih besar dibadingkan dengan usaha hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena usaha padi sawah ini setiap tahunnya akan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tetap sama, lain halnya dengan biaya usaha hutan rakyat, biaya paling banyak adalah pada awal tahun, dan biaya tahun berikutnya akan terus berkurang sampai tanaman kayu ditebang. Dari hasil wawancara diketahui bahwa responden padi sawah (100%) menyadari bahwa usaha padi sawah ini sebenarnya jika dihitung secara matematika tidak memberikan keuntungan financial, karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan, akan tetapi usaha padi sawah ini akan terus dilakukan oleh petani karena meberikan keuntungan sosial seperti adanya rasa aman akan mendapatkan bahan pangan secara langsung, tumbuhnya kerjasama dan persaudaraan antar warga, serta tolong menolong dalam kegiatan tersebut.

B. Jumlah Tenaga Kerja Yang Terlibat Dalam Kegiatan Sawah dan Hutan Rakyat

Produksi sangat dipengaruhi oleh penggunaan tenaga kerja, hasil produksi akan semakin tinggi jika curahan tenaga kerjanya juga banyak, demikian halnya dengan produksi usaha sawah dan hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh curahan tenaga kerja yang dilimpahkan pada usaha tersebut. Sumber tenaga kerja yang umumnya digunakan oleh petani berasal dari dalam keluarga (suami, istri dan anak) serta luar keluarga (buruh dan gotong royong).

Jenis pekerjaan yang dilakukan pada umumnya sama yaitu pembersihan lahan untuk persiapan tanam, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Namun yang membedakannya adalah intensitas penggunaan dan jumlah tenaga kerjanya. Tenaga kerja pada usaha sawah dilakukan secara intensif dikarenakan waktu tumbuh padi cepat, sedangkan tenaga kerja yang digunakan untuk hutan rakyat cenderung tidak intensif dikarenakan waktu tumbuh tanaman kayu cukup lama. Banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan pada kedua usaha tersebut seperti tercantum pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Jumlah Tenaga Kerja pada Usaha Hutan rakyat

No Uraian

Jumlah Tenaga Kerja yang Terlibat di (orang/tahun/ha)

Desa Kalijaya Desa Karyabakti

Laki-laki

Perempuan Anak-anak

Laki-laki Perempuan Anak-anak

a. Penanaman 39 4 0 41 3 0

b. Pemeliharaan 23 21 0 41 27 0

c. Pemanenan 5 17 0 1 8 0

Total 67 42 0 83 38 0

Sumber : data diolah dari data primer, 2015 Tabel 5. Jumlah Tenaga kerja pada Usaha Padi Sawah/ 1 ha

No Lokasi Penelitian Penanaman Pemeliharaan Pemanenan Pasca panen

Total

1 Desa Kalijaya

- Laki-laki 14 14 8 6 42

- Perempuan 11 40 5 9 65

Page 34: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

34 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No Lokasi Penelitian Penanaman Pemeliharaan Pemanenan Pasca panen

Total

- Gotong royong

a. Laki-laki 4 2 0 0 6

b. Perempuan 19 16 15 0 50

- anak-anak 0 0 0 0 0

- Mesin 7 0 0 0 7

- Binatang 1 0 0 0 1

Total tenaga kerja 56 72 28 15 171

2 Desa Karyabakti

- Laki-laki 29 19 12 11 71

- Perempuan 27 57 25 11 120

- Gotong royong a. Laki-laki 0 0 0 0 0

b. Perempuan 15 15 20 0 50

- anak-anak 0 0 0 0 0

- Mesin 2 0 0 0 2

- Binatang 2 0 0 0 2

Total tenaga kerja 75 90 58 22 244

Sumber: diolah dari data primer 2015

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa tenaga kerja yang terlibat pada kegiatan produksi padi sawah di Desa Kalijaya cukup banyak, yaitu laki-laki sebanyak 48 orang/tahun/ha, perempuan 115 orang/tahun/ha, mesin 7 dan binatang 1 ekor sedangkan kondisi tenaga kerja di Desa Karyabakti laki-laki sebanyak 71 orang/tahun/ha, perempuan sebanyak 170 orang/tahun/ha, mesin 2/ha/tahun dan binatang 2 ekor/ha/tahun. Total tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan usaha hutan rakyat untuk Desa Kalija sebanyak 67 orang laki-laki dan 42 orang perempuan, Desa Karyabakti sebanyak 83 orang laki-laki dan 38 orang perempuan.

Banyaknya tenaga kerja yang terlibat pada usaha padi sawah, disebabkan karena kegiatan di sawah harus dikerjakan secara serentak dan waktunya singkat, sehingga memerlukan tenaga yang banyak. Banyaknya tenaga kerja luar keluarga yang terlibat dalam kegiatan padi sawah dapat menimbulkan tingginya upah, dan hal ini dapat memberatkan petani. Oleh karena itu untuk menyiasati supaya tidak terjadi pengeluaran yang besar pada upah, maka pada kegiatan padi sawah ini masih terdapat gotong royong, sehingga pengeluaran untuk upah bisa lebih kecil. Pada umumnya yang terlibat dalam kegiatan gotong royong ini adalah kaum perempuan.

Adanya kegiatan gotong royong ini akan meringankan beban petani dalam pengeluaran upah, karena tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan gotong royong ini tidak akan diberi upah uang tunai, melainkan akan dibayar berupa gabah. Peraturan gotong royong yang berlaku di Desa Kalijaya adalah apabila ada tenaga kerja yang ikut terlibat dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan (bersihkan rumput) maka pada saat panen akan ikut terlibat dan akan mendapatkan gabah 1/6 bagian yaitu 1 bagian untuk yang gotong royong dan 5 bagian untuk pemilik sawah. Sedangkan peraturan gotong royong di Desa Karyabakti adalah 1/10 bagian yaitu 1 bagian untuk yang gotong royong dan 9 bagian untuk pemilik sawah. Pada umumnya tenaga kerja perempuan yang terlibat dalam kegiatan produksi padi lebih senang jika mendapat upah berupa gabah, dengan demikian mereka mendapatkan kepastian akan memperoleh padi (pangan).

Jumlah tenaga kerja yang paling banyak terserap adalah pada usaha padi sawah untuk seluruh lokasi penelitian. Demikian juga dengan tenaga kerja perempuan paling banyak terlibat pada usaha produksi padi sawah. Kondisi ini berkaitan dengan ketersediaan pangan. Perempuan akan merasa nyaman apabila sudah memiliki kepastian pangan untuk keluarganya. Dikatakan oleh Siagian

Page 35: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 35

(2015) bahwa perempuan memainkan peran dalam ketahanan pangan rumah tangga maupun nasional. Perempuan berperan dalam produksi, pengolahan, dan distribusi pangan di tingkat rumah tangga, oleh karena itu kaum perempuan lebih tergantung pada sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi keluarganya. Dengan demikian perempuan lebih senang bekerja di sawah, selain itu tidak mau dibayar dengan uang (diupah dengan uang), namun mereka senang jika dibayar dengan gabah.

IV. KESIMPULAN

Pendapatan yang diperoleh oleh petani dapat berasal dari berbagai sumber, salah satunya

adalah dari usaha berbasis lahan yaitu usaha padi sawah dan usaha hutan rakyat. Ke dua sumber pendapatan tersebut berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan petaninya serta perekonomian wilayah perdesaan. Dari hasil kajian diperoleh data dan informasi bahwa keuntungan yang dihasilkan oleh hutan rakyat lebih tinggi dibandingkan dengan hasil dari usaha sawah, karena faktor ekonomi inilah maka petani banyak yang merubah lahan sawahnya menjadi lahan yang ditanami dengan tanaman kehutanan. Namun demikian keberadaan lahan sawah akan terus dipertahankan, karena usaha ini memiliki dampak sosial yang sangat tinggi yang diperlukan oleh masyarakat di perdesaan. Oleh karena itu harus ada peraturan dan kebijakan untuk mengatur tentang pemanfaatan lahan supaya dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya.

DAFTAR PUSTAKA

Diniyati, D. 2009. Bentuk Insentif Pengembangan Hutan Rakyat Di Wilayah Ekosistem Gunung Sawal,

Ciamis. Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan. Program Pascasarjana. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Diniyati, D. 2011. Status sosial lahan sawah dan lahan hutan rakyat bagi petani. Al-Basia Vol. 8 No.1 Juni 2011. Hlm 25 – 33. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Badan Penelitian dan Pengambangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan.

Diniyati dan Achmad B. 2014. Kontribusi Pendapatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Pada Usaha Hutan Rakyat Pola Agroforestri Di Kabupaten Tasikmalaya. The Income Contribution of Non Timber Forest Product (NTFP) From Agroforestry System Of Farm Forest Business In Tasikmalaya District. Tidak diterbitkan.

Widyaningsih, TS dan Diniyati, D. 2015. Nilai Ekonomi Kelapa bagi Petani Hutan Rakyat Di desa Kalijaya Kabupaten Ciamis dan Desa Karyabakti Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat.

Siagian, A. 2015. Peranan Perempuan Dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Keluarga. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15329/1/ikm-des2005-%20%2815%29.pdf. Diakses pada tanggal 4 Nopember 2015.

Page 36: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

36 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PERSEPSI MASYARAKAT DAN KELANGKAAN DUWET (Syzygium cumini (L.) Skeels ) DI KABUPATEN MAJALENGKA

Soleh Mulyana dan Aris Sudomo Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

Email: [email protected]

ABSTRAK

Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki beranekaragam tumbuhan obat salah satunya duwet, dahulu buah sempat beredar di pasar-pasar wilayah priangan timuryang dikenal “Anggur Majalengka” namun saat ini buah duwettelah menghilang di pasaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi, pengetahuan dan pemanfaatan serta kelangkaan buah duwet metode penelusuran (Snowball Sampling),observasi dan inventarisasi serta wawancaraterhadap informanberbagai lapisan masyarakat di Majalengka. Hasil kegiatan diperoleh data informasi dimana masyarakat Majalengka saat ini memanfaatkan duwet; 1) buah sebagai makanan cemilan, 2) papagan kulit untuk obat sakit perut (tajam)buang air besar berdarah, 3)air tetesan dari akar untuk pengobatan batuk dan 4) kayu untuk bahan bangunan serta kayu bakar. Buah duwet hilang dipasaran saat ini seiring dengan petumbuhan perekonomian dimana semula merupakan tempat tumbuhnya telah dikonversi menjadi tempat budidaya tanaman “Mangga Gedong Gincu” yang bernilai ekonomi tinggi berskala eksport ke Eropa.Masa kejayaan “Anggur Majalengka” masih nampak pada saat surveydengan melihatterubusan (tunas) yang tumbuh dari tonggak-tonggak bekas tebangan di lahan tempat budidaya tanaman mangga gedong gincu sertaberupa pohon tunggal yang dianggap keramat atau secara bergerombol di lokasi pemakaman dengan dimensi pohon antara 40 cm s/d 100 cm.Mengingat keberadaannya mulai langka dan sangat bermanfaaat sebagai salah satu obat herbal selain merupakansumber pakan fauna dapat tumbuh pada lahan marginal sehingga dapat digunakan sebagai salah satu jenis tanaman konservasi pada lahan kritis. Kata kunci : Persepsi Masayarakat, Kelangkaan Duwet, Majalengka

I. PENDAHULUAN

Pohon duwet atau jamblang merupakan salah satu tanaman masuk dalam keluarga jambu-jambuan dengan bahasa latin “Syzygium cumini Linn” Family Myrtaceae. Pohon terkadang bengkok, tinggi hingga 15 m dan gemang 75 cm, sebarannya Asia dan Australian daerah tropis umunya tumbuh pada dataran rendah dibawah 500 m dpl, tahan hidup pada keadaan tanah yang jelek, hamper terdapat tumbuh diseluruh pulau Jawa terutama Jawa Tengah dan JawaTimur (Heyne, 1987). Duwet atau jamblang dikenal dengan berbagai nama Daerah seperti jambeekleng (Aceh), jambukling, nunang, (Gayo), jambu koliong (Riau), jambukalang (Min.), jambulang, jambulan, jombulan, jumblang (aneka nama lokal di Sulut), jambulan (Flores), jambula (Ternate), jamblang (Btw., Sd.). jambu juwat, jiwat, jiwat padi (Ind., juwe tatau duwet(Jw.), juwet, jujutan (Bl.), dhuwak, dhalas (Md.), duwe (Bima), Rappo - Rappo (Selayar), jambulan, jambulana (Malaysia), duhat (Filipina), jambul, jamun, atauJava plum (Ingg.) dan lain-lain (Anonimus 2015). Sedangkan Eka D.( 2013) buah duwet kandungan tiap 100 g bagian yang dapat dimakan mengandung: 84-86 g air, 0,2-0,7 g protein, 0,3 g lemak, 14-16 g karbohidrat, 0,3-0,9 g serat, 0,4-0,7 g abu, 8-15 mg kalsium, 15 mg fosfor, 1,2 mg besi, 0,01 mg riboflavin, 0,3 mg niasin, sedikit sekali vitamin A dan tiamina, serta 5-18 mg vitamin C. Buah duwet yang sudah masak merupakan makanan cemilan terutama anak-anak dan sebahagian fenotipnya digunakan sebagai obat tradisonal di daerah tertentu oleh masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Hyne (1987). daun, buah, kulit dapat digunakan sebagai obat kencing manis (diabetis). Selain itu buah dan pohon berkhasiat melumas organ paru, menghentikan batuk, peluruh kencing (diuretik), peluruh kentut (karminatif), memperbaiki gangguan pencernaan,

Page 37: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 37

merangsang keluarnya air liur, dan menurunkan kadar glukosa darah (hipoglikemik), kulit kayu berkhasiat untuk peluruh haid, di India potensial sebagai obat kontrasepsi pada pria. Juga menurunkan risiko timbulnya atherosclerosis sampai 60–90% pada penderita diabetes hal ini terjadi karena kandungan oleanolic acid pada jamblang dapat menekan peran radikal bebas dalam pembentukan atherosclerosis (Alamendah. 2010). Buah duwet masak memiliki rasa manis, asam dan kecut dengan warna yang khas merah ungu kehitaman terutama disukai anak-anak yang dijajakan disekitar lingkungan sekolah maupun dibawa para penjual keliling. Setelah muncul berbagai buah-buahan yang memiliki rasa lebih enak, buah duwet kurang begitu disukai anak-anak. Salah satu upaya untuk dapat disukai anak-anak serta meningkatkan nilai ekonomi, sebagaimana Andita F. (2010) melakukan pengelolaan buah jamblang menjadi permen jelly ini dapat menambah nilai ekonomis dan masih memiliki peluang pasar yang baik karena dipasaran masih jarang dijumpai permen jelly yang berbahan dasar buah jamblang. Selain itu sebagaimana yang terjadi di Kecamatan Majalengka (Kelurahan Babakan Jawa, Kelurahan Cicurug dan Desa Sidamukti) dahulu dikenal sebagai salah satu daerah sentra komoditi buah duwet dan mudah dijumpai di pasar-pasar tradisional dimana pemasarannya mencakup sebahagian wilayah priangan timur, saat ini sulit bahkan tidak ditemukan lagi buah duwet di pasaran. Mengingat duwet dapat digunakan sebagai salah satu obat diabetes serta mulai menghilang di pasaran, sehingga tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan dan persepsi masyarakat, sebaran populasi serta penyebab kelangkaan duwet di Majalengka.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi terpilih wilayah Kabupaten Majalengka berdasarkan informasibahwa buah duwet

pernah beredar di pasar lokal bahkan pemasaran sebahagian wilayah Priangan Timur yang dikenal dengan sebutan “Anggur Majalengka”. Kegiatan dilakukan pada bulan Juli 2015

B. Pengumpulan Data

2.1. Berkoordinasi dengan instansi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Majalengka diperoleh informasi sebaran dan populasi duwet atau jamblang di sekitar wilayah Kecamatan Majalengka terutamadi Dusun Pancurendang Kelurahan Babakan Jawa, Dusun Dukuh Hurip Kelurahan Cicurug dan Gunung Panten Desa Sidamukti.

2.2. Hasil penelusuran (snawball sampling) dan observasi diketahui populasiduwet yang masih bergerombol maupun yang telah tunggal (soliter).

2.3. Wawancara dengan beberapa lapisan masyarakat menggunakan kuisioner diperoleh data informasi mengenai persepsi serta pemanfaatan duwet atau jamblang.

C. Metode dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode snowball samplingkemudian dilakukan wawancara terhadap beberapa orang yang terpilih untuk mencari keterangan faktual mengenai persepsi,pengetahuan dan pemanfaatan duwetoleh masyarakat kemudian observasi dan inventrisasi tegakan untuk mengetahui sebaran populasi. Pendekatan analisis yang dilakukan mendeskripsikan persepsi masyarakat mengenai pengetahuanpemanfaatan duwet dengan perangkat kuesioner wawancara mendalam (indepth interview),serta sebaran populasi dan tempat tumbuh duwet pendekatan analisis observasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum

Kecamatan Majalengka merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Majalengka secara administratif, terdiri dari 10 Kelurahan dan 4 Desa dengan luas wilayah 5.700,0 ha yang terdiri dari

Page 38: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

38 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

1.744,7 ha lahan sawah (31%) dan 3.955,3 ha lahan darat (69%). Secara geografis terletak antara 108°10' - 108°17' Bujur Barat dan antara 6°45'-6°56' Lintang Selatan. Batas-batas wilayah Sebelah UtaraKecamatan Panyingkiran dan Dawuan, Sebelah Selatan Kecamatan Maja dan Kabupaten Sumedang, Sebelah Timur Kecamatan Cigasong dan Maja dan Sebelah BaratKabupaten Sumedang dan Kecamatan Panyingkiran. Berdasarkan tofografisebelah utara merupakan dataran rendah dan sebelah selatan perbukitan dengan ketinggian antara 141 m – 350 m dpl. Curah hujan rata-rata 4.298 mm/tahuntipe Cberdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951),Jenis tanah yaitu; Latosol, Regosol, dan Podsolik Merah Kuning. (Sumber : Aryono Program penyuluhan 2014). Keadaan tempat dan iklim Majalengka dapat dikatakan sesuai untuk tempat tumbuh duwet sebagaimana Heyne (1987) B. Para Informan

Para Informan yang terpilih berasal dari berbagai elemen lapisan masyarakat diasumsikan cukup mewakili mulai umur 17 th s/d 66 th mulai (pelajar , tokoh masyarakat, aparat pemerintahan, petani dan pedagang) merupakan penduduk asli Majalengka yang diperoleh data identitas sebagaimanadisajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Nama Informan Usia dan Pekerjaan serta Alamat.

No. Nama Usia Pekerjaan Alamat

1 Adung Kuswara, S.Hut

49 Th. Staf Bidang Kehutanan Dishutbun Kab. Majalengka

Dishutbun Kabupaten Majalengka

2 Aryono, S.Hut

56 Th. Penyuluh Lapangan Kehutanan Kelurahan Sindang Kasih Kecamatan Majalengka

3 Suwandi 66 Suplayer buah duwet antar kota wilayah bandung, purwakarta, cianjur, tasik ddl. Dan penjuaal keliling buah duwet di Bandung sampai tahun 1990, sekarang sebaagai petani mangga di Gunung Panten.

Dusun Tarik Kolot Desa Sidamukti Kecamatan Majalengka

4 Eje Sumarja, SE.

54 Th. Sebagai Lurah Babakan Jawa dan Tokoh Masyarakat

Kelurahan Babakan Jawa Kecamatan Majalengka

5 Suhri 56 Th. Tokoh Masyarakat Petani, pedagang buah-buahan

Pancurendang Tonggoh Kelurahan Babakan Jawa Kecamatan Majalengka

6 Omo Sarma 50 Th. Ketua Kelompok Tani, Pedagang buah-buahan, Petani

Sukamulya Kelurahan Babakan Jawa Kecamatan Majalengka

7 Wawan 26 Th Pedagang di areal lokasi Paralayang Gunung Panten

Dusun Tarik Kolot Desa Sidamukti Kecamatan Majalengka

8 Erni Sumiati 17 Th Pelajar SMA Negeri I Majalengka

SMA Negeri I Majalengka Jln. Raya Kh. Abdul Halim Majalengka

9 Dedi Ridwan 18 Th Pelajar SMA Negeri I Majalengka

SMA Negeri I Majalengka Jln. Raya Kh. Abdul Halim Majalengka

10 Masnah 54 Th Pedagang buah - buahan Pasar Ciborelang Majalengka

Sumber : hasil wawancara 2015

Page 39: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 39

Tabel 1 menunjukan informanpertama terpilih dari instansi terkait sebagai informasi awal kemudian dilakukan penelusuran (snowball sampling) mulai dari tokoh masyarakat, pelajar dan lembaga pemasaran yang pernah terlibat dalam komoditi buah duwet. C. Persepsi dan Pengetahuan Pemanfaatan Duwet

Pengetahuan dan pemanfaatan duwet terhadap duwet atau hasil wawancara bersama informandisajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengetahuan Pemanfaatan Duwet.

Persepsi dan Pengetahuan Masyarakat Terhadap Duwet Sumber informasi

Buah : dimakan, dijual ke pedagang tengkulak tahun ≤ 1990, Kayun: kontruksi bangunan, kayu bakar dijual ke pabrik genteng, Papagan kulit direbus dan diminum untuk mengobati sakit perut tajam (buang air besar berdarah).

InformanNo 1

Buah : dimakan, dijual ke pasar atau ke pedagang tengkulak tahun ≤ 1990, Kayu : bangunan, kayu bakar di jual ke pabrik genteng, Akarnya di potong keluar air di tampung dan diminum untuk mengobati batuk.

InformanNo. 2

Buah: dimakan, bebas memutik pada masa anak-anak di lokasi Gunung Panten dan dijual dipasar maupun sekitar lingkungan sekolah tahun ≤ 1989, Kayu: bangunan, kayu bakar

Informan No. 3

Buah: dimakan, dijual keliling, kirim ke Bandung tahun ≤ 1989, Kayu: bahan bangunan kayu bakar dipakai seidiri dan atau dijual ke pabrik genteng Jatiwangi. Karena harga buah dengan nilai ekonomi kecil sehingga diganti dengaan budidaya mangga gedong gincu

InformanNo. 4

Buah: dimakan, bebas memutik pada saaat anak-anak dan di jual dipasar dan sekitar sekolah tahun ≤ 1980

InformanNo. 5

Buah : dimakan, bebas memutik saat anak-anak ditempat siapa ssaja, diperjual belikan di pasar tahun 1975 Kayu : kayu bakar, bahan bangunan

InformanNo. 6

Buah : dimakan Kayu : kayu bakar, bangunan saat ini

InformanNo. 7

Buah : belum pernah mencoba bagaimana rasanya, sebagai makanan hewan dan burung Kayu : mungkin kayu bakar

InformanNo. 8 dan 9

Buah : diperjual belikan di pasar, sekitar tahun 1995 buah mulai berkurang dipasar, namun banyak muncul jenis buah-buahan yang baru.Kayu : kayu bakar

InformanNo. 10

Sumber : hasil wawancara 2015

Tabel 2 menunjukan persepsi dan pengetahuan tentang pemanfaatan duwet rata-rata informantelah berumur diatas 46 tahun yang pernah mengetahui dan sempat mengalami peredaran buahnya di pasaran. Sebagimana informan 1, 2, 4 dan 10sempat terlibat sebagai pelaku pemasaran, sedangkan informan8 dan 9 tidak mengalami peredaran di pasaran.Secara umum masyarakat memanfaatkan buahnya sebagai makanan cemilan sedangkanrenponden No: 1 rebusan papagan kulit pohon untuk obat sakit perut (tajam) buang air besar berdarah dan No: 2 air yang keluar dari pemotongan akar yang menetes di tampung digunakan sebagai obat batuk. Seiring diungkapkan Heyne (1987), daun, buah, kulit dapat digunakan sebagai obat kencing manis (diabetis) namunAlamendah (2010), buah dan pohon berkhasiat melumas organ paru, menghentikan batuk, peluruh kencing (diuretik), peluruh kentut (karminatif), memperbaiki gangguan pencernaan, merangsang keluarnya air liur, dan menurunkan kadar glukosa darah (hipoglikemik), kulit kayu berkhasiat untuk peluruh haid, di India potensial sebagai obat kontrasepsi pada pria juga

Page 40: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

40 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

menurunkan risiko timbulnya atherosklerosis sampai 60–90% pada penderita diabetes hal ini terjadi karena kandungan oleanolic acid pada jamblang dapat menekan peran radikal bebas dalam pembentukan atherosclerosis.

D. Sebaran Populasi Duwet di Majalengka

Asal mula populasi duwet masyarakat Majalengka secara pasti tidak mngetahui namun beberapa informan mengatakan tubuh secara alami dan sebahagian menyebutkan bahwa dahulu merupakan hasil program rakgantang pada tahun 1960 bertujuan untuk menghijaukan lahan kritis dengan menyebarkan biji menggunakan pesawat helikopter. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa duwet yang memiliki rasa lebih enak dan diperjual belikan di pasar - pasar tradisional setempat maupun memasok pasar wilayah Priangan Timur berasal dari Gunung Panten dan Pancurendang. Keadaan ini didukung sebagaimana Tabel 2 terdapat beberapa informan yang terlibat sebagai pelaku pasar buah duwet. Masyarakat setempat membagi beberapa jenis duwet yang tumbuh disekitar wilayah Gunung Panten dan Pancurendang Tonggoh diantaranya :

1. Duwet berambang : buah masak berwarna merah seperti bawang merah, 2. Duwet Susu : buah masak lonjong daging paling tebal rasa paling manis dan enak serta pada

ujung buah seperti puting susu. 3. Duwet Bubur : buah masak dagingnya cepat lembek seperti bubur 4. Duwet Anting : buanya paling kecil - kecil bentuk bulat dengan biji kecil atau hampir tidak

memiliki biji. Pembagian 4 nama varietas duwet oleh masyarakat setempat berdasarkan bentuk dan

ukuran buah secara fisik. Secara fisik pohon, bunga dan buah duwet yang berada di Majalengka dapat dilihat sebagaimana pada Gambar 1.

Foto : Soleh 2015

Gambar 1. Mulai dari sebelah kiri pohon duwet susu soliter lokasi Dusun Dukuh Hurip Kelurahan Cicurug dan Kanan bunga, buah serta segerombol pohon duwet di lahan pemakaman lokasi Pancurendang Tonggoh Kelurahan Babakan Jawa.

Gambar 1 tokoh masyarakat setempat sedang menunjukan 1 pohon duwet yang dianggap keramat telah mencapai lingkarang batang 315 cm (Ø 100 cm) di Kelurahan Cicurug, sedangkan beberapa tokoh masyarakat menunjukan populasi duwet bergerobol di lokasi pemakaman di Dusun Pancurendang Tonggohdari hasil pengukuran lingkaran batang terbesar mencapai 250 cm (Ø 79.62 cm). Duwet musim berbunga pada bulan Juni dan pada bulan Oktober buah mulai masak di pohon.Kegiatan pengukuran dimensi pohon duwet dilakukan di lokasi pemakaman Dusun Pancurendang Tonggoh luas 2 Ha, kemudian diambil sampel petak ukur (PU) seluas 20 m x 20 myang terletak pada koordinat S: 06052’22.1” E: 108012’59.8” dengan ketinggian 315 m dplterdapat 15 pohon duwet dewasa dengan lingkaran terkecil 65 cm (Ø 20.70 cm) dan terbesar 250 cm (Ø 79.62 cm) rata diameter 32.53 cm. Melihat keadaan deminsi pohon dapat diasumsikan bahwa duwet yang masih berdiri tegak telah berumur ≥ 50 tahun.

Page 41: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 41

E. Berkurangnya Populasi Duwet di Majalengka Keberadaan “Anggur Majalengka” saat ini tinggal kenangan, seiring dengan pertambahan

penduduk dan pertumbuhan perekonomian masyarakat Majalengka. Hal ini dikarenakan secara ekonomi duwet sangat rendah, sehingga semula merupakan tempat tumbuh duwet di konversi menjadi tempat budidaya tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.Keadaan ini terjadi diperkirakan setelah mulai dibudidayakan tanaman mangga oleh para petani secara perorangan. Sebagaimana dikatakan Yusuf DM. (2013) mangga pertama kali ditanam di Indonesia di Kepulauan Maluku pada Tahun 1665. Perkembangan dan sebaran penanamanmangga sebahagian besar terpusat di Pulau Jawa tercatat selama periode 1984 – 1986 dan di Jawa Barat terutama di wilayah Majalengka, Sumedang, Indramyu dan Cirebon. Keberhasil sebahagian masayarakat dalam membudidayakan mangga secara perorangan,kemudian Pemerintah Majalengka kali pertama meluncurkan Proyek Usahatani Lahan Marginal pada Tahun Anggaran 1992/1993 dengan jenis varietas Mangga Arumanisdilanjutkan pengembangan tanaman mangga keduamelalui Proyek Pengembangan Agribisnis Mangga (P2AM) IHDUA/JBIC IP-477 periode Tahun Anggaran 1997/1998 sampai Tahun Anggaran 1999/2000 dengan pengembangan tanaman mangga varietas Gedong Gincu. Keberadaan “Anggur Majalengka” saat ini hanyalah tinggal kenangan namun masa kejayaannya masih dapat dijumpai sebagaimana pada Gambar 2.

Foto : Soleh 2015

Gambar 2. Mulai sebalah kiri tonggak dan tunas duwet,sebelah kananbudidaya tanaman mangga lokasi Gunung Panten Majalengka

Gambar 2 menunjukan tunas-tunas atau terubusan yang tumbuh pada tonggak pohon duwet bekas penebangan yang digunakan sebagai teras siring. Setiap tunas - tunas duwet yang tumbuh selalu diputik oleh para petani penahan pemilik lahan, apabila dibiarkan mengganggu tanaman “Mangga Gedong Gincu” yang dibudidayakan. Tentu keadaan ini diprediksi lambat laun keberadaan duwet di Majalengka akan langka bahkan musnah. Salah satu program Pemerintah saat ini sedang mengidentifikasi dan mengembangkan berbagai jenis tanaman obat-obatan herbal.

Berdasarkan hasil berbagai penelitian, bahwa duwet merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai obatpenyakit diabetes. Selain itu buah duwet merupakan pakan fauna dan dapat tumbuh pada lahan marginal sehinga dapat digunakan sebagai salah satu jenis tanaman konservasi pada lahan – lahan kritis. Mengingat duwet mempunyai berbagai manfaat kemudian populasi mulai berkurang di Majalengka sehingga perlu perhatian semua pihak dalam upaya melestarikan. Kemudian perlu dilakukan uji laboratorium yang lebih spesifik untuk di ketahuizat yang terdapatpada seluruh bagian fenotip agar pemanfaatan sebagai obat herbal lebih tepat diketahui oleh masyarakat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Persepsi dan pengetahuan masyarakat Majalengka terhadap pemanfaatan duwet sementara

Page 42: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

42 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

sebahagian masyarakat kecil memanfaatkan sebagai obat da buah masak sebagai makanan cemilan selain itu digunakan kayu bakar dan bahan bangunan.

2. Hampir seluruh wilayah Kabupaten Majalengka merupakan tempat sebaran dan populasi duwet dimanabuahnyamudah ditemukan dipasar-pasar lokal bahkan dipasarkan ke wilayah Priangan Timur yang dikenal sebagai “Anggur Majalengka”.

3. Kelangkaan buah duwet dipasaran wilayah Priangan Timur seiring dengan berkurangnya popolasi di Majalengka, hal ini terjadi dikarenakan perubahan vegetasi yang semula merupakan tempat tumbuh pohon duwet kemudian telah dikonversi menjadi tempat budidaya tanaman Mangga Gedong Gincu.

B. Saran 1. Perlu perhatian dan kepedulian semua pihak untuk melestarikan duwet mengingat bermanfaat

sebagai bahan obat herbal selain itu populasi sudah mulai langka bahkan hampir punah. 2. Pengujian laboratorium lebih spesifik sangat diperlukan untuk mengetahui zat yang terkandung

dalam bagian-bagian penotif duwet, sehingga masyarakat lebih tepat mengetahui berbagai manfaatnya.

3. Duwet dapat tumbuh pada lahan marginal selain itu merupakan sumber pakan fauna dengan demikian dapat digunakan sebagai salah satu jenis tanaman konservasi pada lahan-lahan kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus 2015. Jamblang.https://id.wikipedia.org/wiki/Jamblang. diakses 10 Agustus 2015

Alamendah 20110. Pohon Jamblang (Syzygium cumini) Rumah Para Hantu. http://alamendah.org/2010/02/20/pohon-jamblang-syzygium-cumini-rumah-para-hantu diakses 24 Agustus 2015/

Andita F. 2010 Permen Jely Jamblang. https://www.academia.edu/10172630/Permen jelly jamblang diakses 24 Agustus 2015.

Aryono. 2014. Program Penyuluhan Kelurahan Babakan Jawa. Wilayah Binaan Kelurahan Babakan Jawa Kecamatan Majalengka. Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Majalengka Kabupaten Manajelengka.

Arun R., Velayutham Dass Prakasha Suresh K. Abraham and Kumpati Premkumar, 2011. Role of Syzygium cumini seed extract in the chemoprevention of in vivo genomic damage and oxidative stress. Journal of Ethnopharmacology.134 (2011) 329–333.

Ayyanar And Babu, 2012. Syzygium cumini (L). Skeels: A Review of Phytochemical Constituents And Trditional Uses. Asian Pacific Journal Of Tropical Biomedicine. 240-246.

Eka D. 2013. Budidaya Jamblang (Duwet). http://naturindonesia.com/tanaman-pangan/tanaman-buah-dan-sayuran-j/726-jamblang-duwet.html. diakses 24 Agustus 2015

Fujianti. N.L, 2012. Mahasiswi Magister Bioteknologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Wow, Ternyata Jamblang Kaya Akan Manfaat!. Republika 28 Agustus 2012.

Heyne K. 1987 JiliD III. Tumbuhan Berguna Indonesia. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Indonesia. Koperasi Karayawan. Gedung Manggala Wanabakti Lantai I. Departemen Kehutanan.

H. Sagrawat, A. Mann And M.Kharya,. 2006. “ Pharmacological Potensial Of Eugenia Jambolana; A Review .” Pharmacogenesis Magazice. Vol 2 2006, pp 96-104.

Page 43: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 43

Mudiana, D., 2007. Perkecambahan Syzygium cumini (L) Skells. Jurnal Biodiversitas Volume 8, Nomor 1. Halaman 39-42. ISSN 1412-033X Januari 2007.

Yusuf DM. 2013. Peningkatan Kualitas Mangga (On Farm dan Off Farm) Untuk Memenuhi Standar Eksport di Kabupaten Majalenga. Diakses Agustus 2015. http://deamaulana.blogspot.com/2013/11/peningkatan-kualitas-mangga-on-farm-da.html.

Page 44: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

44 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

ETNOBOTANI SUKU MARORI MEN-GEY DAN POTENSI AGROFORESTRY DI TAMAN NASIONAL WASUR PAPUA

Aji Winara1 dan Endah Suhaendah1 1Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

Email:[email protected]

ABSTRAK

Suku Marori Men-Gey merupakan salah satu masyarakat adat yang bermukim di dalam kawasan Taman Nasional Wasur dan memiliki akses yang dekat dengan perkotaan. Namun pola ketergantungan terhadap sumberdaya alam khususnya tumbuhan masih tinggi. Agroforestry di kawasan taman nasional diharapkan dapat menjadi jembatan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat adat dan mengurangi interaksi ekstraktif dengan sumberdaya alam di dalam kawasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi etnobotani suku Marori Men-Gey dan pengembangan agroforestry di kawasan TN Wasur. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 96 jenis tumbuhan dari 46 famili dimanfaatkan oleh masyarakat adat suku Marori Men-Gey dan beberapa jenis diantaranya potensial dikembangkan dalam pola agroforestry hasil hutan bukan kayu dengan tanaman bawah tumbuhan pangan dan obat antara lain Kayu Putih, Kemiri, Pinang, Sukun, Kumbili, Pisang dan Sirih. Pengembangan agroforestry intensif potensial dikembangkan pada lokasi kebun dan dusun kayu putih yang berada di zona pemukiman. Kata kunci : Agroforestry, etnobotani, Marori Men-Gey, Taman Nasional Wasur.

I. PENDAHULUAN

Suku Marori Men-Gey merupakan salah satu masyarakat adat yang bermukim di dalam kawasan Taman Nasional (TN) Wasur Merauke dan memiliki hak ulayat atas sebagian kawasan TN Wasur (Purba, 1999). Interaksi masyarakat adat dengan kawasan hutan membentuk hubungan emosional secara sosial budaya dan ekonomi yang terindikasikan dari adanya ekstraksi sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan harian dan pemanfaatan jenis tumbuhan tertentu untuk tujuan budaya. Sistem pengetahuan asli yang dimiliki masyarakat bersumber dari pengetahuan lokal yang diperoleh melalui interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang dicirikan oleh seluruh aspek kebudayaan (Wiratno et al., 2004).

Keberadaan masyarakat dalam sebuah kawasan taman nasional tidak bisa diabaikan dalam pengelolaan taman nasional namun menjadi bagian dari pelaku pengelolaan bukan obyek pengelolaan. Sistem zonasi pengelolaan taman nasional dengan menyediakan secara khusus zona tradisional didalamnya dalam rangka menjaga entitas budaya masyarakat adat termasuk akses terhadap sumberdaya alam meskipun masih terbatas khususnya pada produk hasil hutan bukan kayu dan dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Sulistyo et al., 2015). Kegiatan pemberdayaan masyarakat adat di dalam kawasan TN Wasur telah lama berjalan seperti pemberdayaan melalui penyulingan minyak kayu putih (Yarman and Damayanti, 2012) meskipun masih bersifat ekstraksi alam dan belum optimal dalam meningkatkan taraf ekonomi masyarakat karena minimnya fasilitas pengusahaan dan aksesibilitas terhadap pasar (Indrajaya et al., 2013).

Keberadaan suku Marori Men-Gey yang lebih dekat dengan perkotaan dibandingkan masyarakat adat lainnya merupakan potensi yang dapat menunjang aktivitas ekonomi masyarakat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang berbasiskan informasi etnobotani penting dalam rangka memudahkan proses pemberdayaan khususnya daya adaptabilitas program bagi masyarakat adat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan etnobotani suku Marori Men-Gey dan potensi pengembangan agroforestry dalam rangka pemberdayaan masyarakat di TN Wasur.

Page 45: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 45

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dan perlengkapan

pembuatan spesimen herbarium.

B. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli 2009. Lokasi penelitian adalah Kampung

Wasur Distrik Merauke yang berada dalam kawasan Taman Nasional Wasur. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi lapangan. Wawancara mendalam dilakukan terhadap tokoh adat suku Marori Men-Gey, sedangkan observasi lapangan dilakukan untuk identifikasi jenis tumbuhan yang digunakan dan pengumpulan sampel herbarium. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan bantuan tabulasi dan gambar.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jenis Tumbuhan dan Pemanfaatan

Masyarakat Suku Marori Men-Gey bermukim di dalam kawasan TN. Wasur yaitu di Kampung Wasur Distrik Merauke Kabupaten Merauke Papua. Masyarakat adat Suku Marori Men-Gey memanfaatkan sebanyak 96 jenis tumbuhan dari 46 famili untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari diantaranya untuk kepentingan pengobatan tradisional, sumber makanan, bahan bangunan, sumber energi dan perlengkapan budaya.

Gambar 1. Jumlah jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh Suku marori Men-Gey di TN Wasur

Merauke. Gambar 1 menunjukan sebagian besar jenis tumbuhan (35,4 %) dimanfaatkan oleh suku

Marori Men-Gey untuk pemenuhan kebutuhan pangan yaitu 34 jenis terutama dimanfaatkan sebagai sayuran dan buah-buahan (Lampiran 1). Sebagian besar jenis tumbuhan diambil dari hutan dan kebun yang berada di sekitar pemukiman. Terdapat tiga jenis tumbuhan yang memiliki manfaat lebih dari dua yaitu jenis Meulaleuca cajuputi, Metroxylon sagu dan Dillenia indica. Jenis Meulaleuca cajuputi dimanfaatkan dimanfaatkan sebagai sumber bahan bangunan, energi dan perlengkapan budaya. Sedangkan jenis Metroxylon sagu dimanfaatkan sebagai bahan makanan, bangunan dan budaya. Sementara itu jenis Dillenia indica dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat, makanan dan bangunan. 1. Bahan Makanan

Kondisi hutan yang masih terjaga baik dapat menyediakan sebagian kebutuhan makanan bagi masyarakat Marori Men-Gey. Sebanyak 34 jenis tumbuhan dari 20 famili dimanfaatkan sebagai makanan pokok, sayuran, buah-buahan, bumbu masak dan makanan ringan (Lampiran 1). Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai sumber makanan sebagian besar berasal dari family Myrtaceae.yaitu

31 34

21

15

6

14

0

5

10

15

20

25

30

35

40

obat makanan bangunan budaya energi Ekonomis

Ju

mla

h j

enis

Page 46: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

46 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

sebanyak tujuh jenis dan tergolong buah-buahan diantaranya dari jenis jambu-jambuan. Hal ini wajar disebabkan pada kawasan hutan di sekitar Kampung Wasur banyak jenis jambu-jambuan dari genus Syzygium. Aktifitas budidaya pertanian telah berjalan cukup lama pada masyarakat suku Marori Men-Gey terutama budidaya jenis Kumbili (Dioscores spp.) dan Wati (Piper methysticum) yang berperan sebagai makanan adat. Kumbili atau dikenal juga secara umum dengan sebutan gembili merupakan umbi-umbian yang menjadi makanan pokok bagi masyarakat adat di Merauke disamping tanaman sagu dan beras, namun pemanfaatannya tidak meramu dari alam melainkan ditanam disekitar pekarangan rumah atau kebun. Beberapa jenis kumbili yang banyak ditanam oleh masyarakat adat di TN Wasur secara etnobotani terdiri dari 12 kultivar meskipun secara taksonomi tergolong jenis Dioscorea alata dan Dioscorea esculenta. (Rauf and Lestari, 2009). Tanaman kumbili tergolong jenis tanaman yang memerlukan rambatan untuk tumbuh sehingga masyarakat adat menggunakan batang bambu sebagai ajir rambatan. Pemanfaatan tumbuhan hutan sebagai sumber makanan tidak menjadi sumber utama untuk kehidupan sehari-hari karena aktifitas berkebun sudah menjadi aktifitas harian bagi masyarakat suku Marori Men-Gey sehingga tanaman budidaya dapat memenuhi kebutuhan keseharian. Sementara itu tumbuhan hutan hanya dimanfaatkan ketika dijumpai di alam. 2. Tumbuhan Obat

Masyarakat Marori Men-Gey memanfaatkan sebanyak 31 jenis tumbuhan obat yang berasal dari 21 famili untuk mengobati 29 jenis penyakit (Lampiran 2), diantaranya untuk mengobati penyakit malaria seperti jenis Ndom (Tabernaemontana orientalis) dan untuk penyakit pernapasan seperti jenis Kawar (Phylantus sp). Sementara itu secara umum sebagian besar bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah bagian daun (41,9 %). Hal ini pun senada dengan hasil kajian Yeni and Noya (2006) bahwa hasil kajian terhadap 28 lokasi penelitian tumbuhan obat dari 13 Kabupaten di Pulau Papua menunjukan bagian tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian daun yaitu pada 113 jenis dan kulit batang pada 51 jenis.

Beberapa jenis tumbuhan dimanfaatkan untuk mengobati lebih dari dua penyakit yaitu jenis Inocarpus fagifer, Timonius timon, Costus speciosa dan Morinda citrifolia. Jenis Inocarpus fagifer dimanfaatkan pula oleh masyarakat suku Kanum sebagai penambah darah (Winara and Mukhtar, 2015), sedangkan jenis M. citrifolia termasuk jenis yang secara umum sudah dikenal sebagai tumbuhan obat yang memiliki sifat antioksidan, antikanker payudara, anti epilepsi, antihelminik, analgesik, meningkatkan kekebalan tubuh, antibakteri, antifungi, dan antiserangga (Raja and Sreenivasulu, 2015), dan di Indonesia sudah dikembangkan dalam skala industri sebagai obat herbal. mengalami penelitian lebih lanjut pada aspek kandungan senyawa aktif.

Semua jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh suku Marori Men-Gey diramu secara tunggal atau tanpa penggabungan jenis untuk mengobati satu penyakit dan cara pemanfaatannya bersifat sederhana. Pola pemanfaatan tumbuhan obat tersebut terjadi secara umum pada masyarakat Papua sekitar hutan. 3. Bahan Bangunan dan Perlengkapan Adat

Pemanfaatan tumbuhan hutan oleh masyarakat suku Marori Men-Gey di Kampung Wasur untuk membangun rumah dan perlengkapannya masih tergolong tinggi. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebanyak 21 jenis dari 13 famili dan sebagian besar berasal dari famili Myrtaceae (Lampiran 3). Jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai bahan bangunan khususnya diolah sebagai papan adalah Rahay (Acacia mangium) dan Wom (Meulaleuca cajuputi). Dua jenis kayu tersebut termasuk jenis yang banyak dijumpai pada kawasan hutan sekitar kampung khususnya pada hutan monsoon dan hutan dominan Meulaleuca. Sementara itu perahu merupakan sarana penting bagi masyarakat suku Marori Men-Gey terutama pada musim basah atau tergenang. Beberapa jenis pohon yang biasanya digunakan sebagai bahan perahu adalah Mbual (Bucanania sp), Ik (Terminalia lanaliculata) dan Gal (Nauclea orientalis). Namun saat ini jenis pohon yang berukuran besar jarang dijumpai dalam jarak dekat dari kampung.

Page 47: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 47

Sementara itu tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai perlengkapan adat oleh masyarakat suku Marori Men-Gey adalah sebanyak 15 jenis dari 11 famili sebagai bahan baku aksesoris adat, tipa, panah dan busur, tiang sashi adat dan bahan pewarna (Lampiran 4). Masyarakat suku Marori Men-Gey hanya memanfaatkan satu jenis tumbuhan sebagai bahan pembuatan tipa yaitu jenis Gmelina schlecterii. Sementara itu perlengkapan lain dapat dibuat dari beberapa jenis tumbuhan. Hal ini menunjukan bahwa status jenis tumbuhan tersebut sangat penting secara adat sehingga keberadaannya di alam perlu mendapat perhatian. Disamping itu, jenis G.schlecterii bermanfaat pula sebagai tumbuhan obat (Lampiran 2) yaitu bagian akar sehingga diperlukan kearifan dalam pemanfaatan sehingga tidak menyebabkan keterancaman jenis tersebut di alam. 4. Sumber Energi

Pemanfaatan jenis tumbuhan hutan sebagai sumber energi dibatasi pada daftar jenis tumbuhan yang paling berkualitas sebagai penghasil energi api menurut masyarakat. Hal ini disebabkan secara umum hampir semua jenis pohon dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Lima jenis tumbuhan yang sering dimanfaatkan sebagai kayu bakar karena kualitasnya yang baik adalah jenis Seluwek (Rodomyrtus sp), Amale (Eucalyptus pelita), Wom (Meulaleuca cajuputi), Ntarbi (Acacia mangium ) dan Puki (Xantomyrtus sp). Ketergantungan masyarakat suku Marori Men-Gey terhadap kayu bakar dari hutan sebagai sumber energi rumah tangga masih tinggi. Disamping digunakan sebagai untuk memasak, kayu bakar sering digunakan sebagai penghasil asap untuk mengusir nyamuk di malam hari. Pemakaian kayu bakar rata-rata dapat mencapai 3-4 ikat/minggu. Pada masa dahulu, nenek moyang masyarakat suku Marori Men-Gey sering menggunakan buah tua dari jenis Mbedi (Banksia dentata) sebagai penyimpan api ketika bepergian. Jenis B. dentata tergolong tumbuhan perdu yang menjadi tumbuhan khas hutan savana campuran di kawasan TN. Wasur.

B. Tumbuhan Bernilai Ekonomi

Terdapat 14 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan secara ekonomis oleh masyarakat suku Marori Men-Gey antara lain Kemiri (Aleuritas moluccana), Sarang Semut (Mymorcodia pendans), Sukun (Artocarpus altilis), tanaman adat wati (Piper methysticum), pinang (Areca catechu), Sirih (Piper betle) dan beberapa jenis anggrek. Anggrek merupakan jenis tumbuhan yang telah menjadi komoditas ekonomis bagi masyarakat suku Marori Men-Gey di kampung Wasur. Menurut BTN Wasur (2009), terdapat sepuluh jenis anggrek yang diperjualbelikan oleh masyarakat Kampung Wasur meliputi Anggrek Keriting (Dendrobium Concolour dan Dendrobium discolour), Anggrek Kelinci (Dendrobium antenatum), Anggrek johanes (Dendrobium johanes), Anggrek Nenas (Dendrobium smilliae), Anggrek Bawang (Dendrobium canallikulatum), Anggrek Goldi, Anggrek Tanah, Anggrek Macan dan Anggrek Larat. Sementara itu jenis kayu putih (Asteromyrtus symphyocarpa) termasuk jenis yang pernah dimanfaatkan oleh masyarakat suku Marori Men-Gey sejak tahun 1997, namun saat penelitian ini dilakukan aktifitas penyulingan sudah tidak berjalan lagi karena kerusakan alat suling padahal potensi sebaran alami kayu putih di beberapa dusun adat kayu putih sangat besar dengan akses yang mudah. Disamping itu kayu putih dapat dikembangkan di sekitar pemukiman penduduk karena memiliki kesamaan habitat dengan sebaran alaminya.

C. Potensi Agroforestry

Kegiatan ekstraksi sumberdaya alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat suku Marori Men-Gey sulit untuk dihilangkan namun dapat dikurangi melalui aktivitas budidaya. Pola agroforestry dapat menjembatani antara kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam yang ramah lingkungan dengan kebutuhan tanaman pangan dan obat-obatan tanpa memerlukan pembukaan atau pemanfaatan lahan yang berlebih khususnya di kawasan taman nasional.

Beberapa jenis tanaman pepohonan (tegakan) yang bernilai ekonomi yang dapat dikembangkan dalam kegiatan budidaya agroforestry di TN Wasur antara lain kayu putih jenis A.symphyocarpa, sukun, pinang dan kemiri dengan jenis tanaman bawah bernilai ekonomi berupa sirih dan pisang. Adapun jenis tanaman bawah yang bernilai penting meskipun tidak bernilai

Page 48: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

48 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

ekonomi karena bernilai adat dan menjadi tanaman pokok adalah jenis kumbili. Penentuan lokasi agroforestry dapat dilakukan di kawasan dusun kayu putih atau kebun masyarakat. Adapun pola agroforestry yang dapat dikembangkan antara lain 1). Tegakan kayu putih dengan tanaman bawah kumbili dengan lokasi tanam di dusun kayu putih, 2) Tanaman pohon buah-buahan jenis Kemiri, Sukun dan Pinang di kawasan hutan monsoon dan kebun masyarakat dengan tanaman bawah berupa kumbili atau pisang.

IV. KESIMPULAN

Sebanyak 96 jenis tumbuhan dimanfaatkan oleh masyarakat suku Marori Men-Gey sebagai

sumber makanan (34 jenis), tumbuhan obat (31 jenis), bahan bangunan dan perlengkapan (21 jenis), sumber energi (6 jenis), perlengkapan adat (15 jenis) dan ekonomi produktif (14 jenis). Beberapa jenis tumbuhan potensial untuk dikembangkan dalam pola agroforestry antara lain kayu putih (A. symphyocarpa), kemiri (Aleuritas moluccana), sukun (Artocarpus altilis), pinang (Areca catechu), sirih (Piper spp.), kumbili (Diascorea spp.) dan pisang (Musa spp.).

DAFTAR PUSTAKA

Indrajaya, Y., Winara, A., Siarudin, M., Junaidi, E., Widiyanto, A., 2013. Analisis kelayakan finansial

pengusahaan minyak kayu putih tradisional di Taman Nasional Wasur, Papua. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 10, 21-32.

Purba, M., 1999. Prospek dan kontribusi Taman Nasional Wasur terhadap pembangunan daerah In, Pertemuan regional pengelolaan taman nasional kawasan Indonesia Timur. Kerjasama Departemen Kehutanan dan NRM/EPIQ program protected areas and forest, Manado.

Raja, R.R., Sreenivasulu, M., 2015. Morinda citrifolia L.: Phyto-pharmacological perspective review. Journal of Medicinal Herbs and Ethnomedicine● Vol 1, 69.

Rauf, A.W., Lestari, M.S., 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian 28, 54-62.

Sulistyo, E.H., Basuni, S., Satria, A., Hidayat, A., 2015. Zona Tradisional Wujud Desentralisasi Pengelolaan Taman Nasional Di Indonesia: Pemikiran Konseptual. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 11, 13.

BTN Wasur., 2009. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Inventarisasi Jenis-Jenis Anggrek Budidaya di Wilayah SPTN III Wasur In. Balai Taman Nasional Wasur Merauke.

Winara, A., Mukhtar, A.S., 2015. Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Suku Kanum di Taman Nasional Wasur Papua. Jurnal Hutan dan Konservasi Alam 12(3). In Press.

Wiratno, D.I., Syarifudin, A.K., Kartikasari, A., 2004. Berkaca di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta: The Gibbon Fundation-Indonesia, PILI-NGO Movement.

Yarman, Damayanti, E.K., 2012. Pemanfaatan dan upaya konservasi kayu putih (Asteromyrtus symphyocarpa) di Taman Nasional Wasur Media Konservasi 17, 85-93.

Yeni, I., Noya, Y., 2006. Kekayaan Tumbuhan Penghasil Obat di Papua. In, Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dan Pameran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku, Manokwari pp. 435-451.

Page 49: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 49

RESPON FISIOLOGIS DAN PRODUKSI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) PADA AGROFORESTRI MINDI (Melia azedarach Linn)

Sopto Darmawan1, Nurheni Wijayanto1, Sri Wilarso Budi R1

1Departemen Silvikultur,FakultasKehutanan IPB Kampus Darmaga,Bogor Email : [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRACT

Agroforestri is a system of planting shared between two components plants or more where one of its components is forestry plants. Mindi and sorghum are a very prospect developed. Mindi is fast growing species of forestry plant and have high economic value. Sorghum is food, fodder and energycrops. Besides, sorghum is a host of fungi mycorrhizal arbuskular. The aims of this research were to analyze the physiological response and production of sorghum and the influence ofsorghum planting on the growth of mindi. Research was conducted by split plot design with 3 repetitions and 2 factors. The main factor was shading and second factor was varieties of soghums. The results showed the chlorophyll a, b, carotene and total chlorophyll on sorghum with shading treatment were higher than sorghum on without shading treatment. Generally, The N, P,and K nutrients absorbtion on shading treatment were higher than sorghum on without shading treatment. G 24 variety had chlorophyll content and nutrients absorbtion were better than other var iety. Nevertheless, production sorghum with shading treatment were lower than without shading treatment. The result showed that growth of mindi with agroforestry treatment were higher than monoculture of mindi. Keyword : Agroforestry of mindi, physiologicalresponse,production ofsorghum

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Mindi (M azedarach) merupakan jenis pohon yang cepat tumbuh, mempunyai banyak

kegunaan dan bernilai ekonomi tinggi (Sulastiningsih dan Hadjib 2001). Hasil pengamatan di kebun rakyat cimahpar memperlihatkan bahwa dalam umur 10 tahun mindi mempunyai tinggi bebas cabang 10 meter dan rata-rata diameter 38.2 cm (Hendromono 2001). Mindi mempunyai karekteristik fenotif daun majemuk berukuran kecil dengan tajuk ringan dan mudah tertembus cahaya matahari serta mempunyai akar tunggang dalam dengan banyak cabang akar (Wardani 2001) sehingga pohon ini sangat cocok dikembangkan sebagai komponen utama dalam sistem agroforestri terutama pada hutan rakyat.

Pengembangan mindi telah banyak dilakukan di hutan rakyat terutama di Jawa Barat. Namun bentuk pengelolaan yang dilakukan sangat jarang ditemukan dengan jumlah banyak, tetapi pada umumnya tanaman ini ditemukan terpencar dengan jumlah sedikit. (Pramono dan Danu 2010)

Pengelolaan mindi yang ditemukan terpencar dengan jumlah sedikit di beberapa kabupaten Provinsi Jawa Barat mengindikasikan bahwa pola agroforestri yang dilakukan masyarakat tidak optimal. Pola penanaman agroforestri mindi yang dilakukan penduduk hanya sebatas pengetahuan lokal yang didapatkan secara turun temurun (Rambey 2011) dan pada umumnya hanya dalam bentuk hutan campuran yang tidak beraturan, penaung kebun teh, pelengkap lahan persawahan dan tegalan (Pramono dan Danu 2010).

Pengelolaan yang tidak beraturan pada pola agroforestri hutan rakyat mindi menyebabkan tujuan agroforestri baik sebagai penyedia bahan pangan maupun sebagai sumber tabungan masa depan berupa kayu tidak akan tercapai. Dalam rangka mencapai tujuan agroforestri serta mempertahankan keberlanjutan hutan rakyat mindi maka diperlukan suatu tanaman sebagai komponen pelengkap pola agroforestri yang mampu menyediakan bahan pangan bagi kebutuhan

Page 50: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

50 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

masyarakat sehari-hari dan juga banyak memiliki kegunaan lain sehingga dapat mendatangkan keuntungan. Salah satunya adalah sorgum (S bicolor).

Sorgum merupakan salah satu tanaman yang sangat prospek dikembangkan karena merupakan sumber bahan pangan, pakan ternak dan energi (Supriyanto 2012). Hasil utama tanaman sorgum yang berupa biji dapat dijadikan nasi sorgum, tepung sorgum, berondong dan kue sorgum (Widowati 2011, Supriyanto 2012). Semua bagian sorgum berupa tangkai biji, daun, batang dan akar sorgum bisa dimanfaatkan. Limbah sorgum (daun dan batang segar) dapat dijadikan pakan ternak, malai biji sorgum (hermada) digunakan sebagai bahan sapu yang diekspor ke jepang (Subagio dan Suryawati 2013).

Keberhasilan suatu sistem agroforestri adalah apabila komponen-komponen penyusunnya berinteraksi fositif, dimana komponen yang satu dengan yang lainnya tidak saling merugikan baik secara ekologis maupun ekonomis. Salah satu indikator interaksi adalah bagaimana respon fisologis dan produksi tanaman sorgum dibawah naungan mindi. Penelitian ini bertujuan melihat respon fisiologi dan produksi tanaman sorgum serta perkembangan dan pertumbuhan mindi pada pola agroforestri, sehingga data yang didapatkan dapat memberikan informasi untuk penentuan jarak tanam yang ideal bagi agroforestri mindi dan sorgum berdasarkan respon fisiologi sorgum terhadap naungan.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisisrespon fisiologis dan produksi tanaman sorgum pada agroforestri mindi 2. Menganalisis pengaruh penanaman sorgum terhadap pertumbuhan mindi.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lahan Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka Cikabayan Institut Pertanian Bogor dengan luas lahan 450 m2. Koordinat lokasi penelitian berada pada 106°43ʹ0.81ʹʹ E, 6°32ʹʹ51.95ʹʹ S. Penanaman sorgum pada lahan penelitian dilakukan pada lahan yang sudah ditanami pohon mindi yang telah berumur 1 tahun. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, terhitung dari bulan Maret sampai dengan Mei 2015. B. Alat dan Bahan

Bahan utama dari penelitian ini yaitu biji sorgum (S bicolor) dan tanaman mindi (M azadarach). Sorgum yang digunakan terdiri dari empat varietas yaitu varietas numbu, samurai01, G22 dan G24 didapatkan dari hasil pengembangan SEAMEO BIOTROP. Mindi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman mindi yang telah ada dilokasi penelitian dengan umur 9 bulan tanam dengan rata-rata tinggi tanaman 180 cm.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, cangkul, garpu tanah, meteran jahit, caliper, bor dan ring tanah, lux meter, tally sheet, timbangan, timbangan analitik, tugal, ajir, sprayer, penggaris, tali rapia, alat tulis menulis. Data hasil pengamatan akan dikelola oleh alat pengolahan data berupa softwere pengolah data SAS.

C. Prosedur Penelitian 1. Penyiapan Benih Sorgum

Benih sorgum adalah bahan utama dalam penelitian ini, untuk itu benih sorgum yang akan digunakan adalah benih memenuhi persyaratan genetika, fisik dan fisiologis. Benih sorgum varietas numbu,samurai01, G22 dan G24 merupakan Varietas sorgum yang dikembangkan oleh SEAMEO BIOTROP, sehingga benih tersebut sangat memenuhi persyaratan genetika, fisik dan fisiologis.

Page 51: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 51

2. Penyiapan Lahan dan Penanaman Sorgum Penyiapan lahan dilakukan untuk mempersiapkan lahan penananaman sehingga

pertumbuhan tanaman dapat tumbuh dengan baik, kegiatan ini meliputi pembersihan lahan dari gulma atau sisa-sisa tanaman sebelumnya, pengolahan tanah tempat penanaman dengan maksud untuk menggemburkan tanah, dan pembuatan guludan dan lubang tanam sorgum.

Penanaman sorgum dilaksanakan setelah terlebih dahulu dilakukan pembuatan lubang tanam sorgum pada guludan yang telah disiapkan pada tahap penyiapan lahan. Pembuatan lubang tanam untuk penanaman benih sorgum pada guludan menggunakan tugal ganda dengan jarak antar lubang 75 x 25 cm. 3. Pemupukan dan Pemeliharaan

Pemberian pupuk pada sorgum dilakukan dengan 2 tahap, tahap pertama dilakukan pada saat tanaman sudah berumur 10 hari setelah tanam dan tahap kedua dilakukan pada umur 3-4 minggu setelah tanam atau bersamaaan dengan pembubunan (Tabri dan Zubachtirodin 2013). Pemupukan dilakukan dengan cara meletakkan pupuk diantara 2 tanaman sorgum dengan membuat lubang tugal.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam proses pemeliharaan tanaman sorgum, yaitu meliputi : pemberian air, penyiangan gulma, pembubunan dan pengendalian hama dan penyakit 4. Pemanenan Sorgum

Tanaman sorgum dapat dipanen dengan umur 3-4 bulan. Pemanenan sorgum dilakukan pada saat biji sorgum masak fisiologis dimana tanaman sorgum apabila sudah mencapai biji masak fisiologis, daun akan kering dan mati walaupun beberapa daun akan tetap berwarna hijau dan tunas akan tumbuh pada ruas batang, terutama pada ruas bagian atas. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong tangkai malai sepanjang 15-20 cm dari pangkal malai (Andriani dan Isnaini 2013).

D. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik observasi dan studi pustaka. Untuk teknik observasi terdiri dari penelitian lapangan dan penelitian laboratorium. 1. Penelitian Lapangan

Pengukuran dilapangan adalah pengukuran yang dilakukan pada tanaman mindi dan sorgum untuk melihat pengaruh dan interaksi yang terjadi a. Tinggi dan diameter mindi; pengukuran tinggi dan diameter ini dilakukan dengan

memberikan tanda pada pangkal batang mindi yang diukur 30 cm dari permukaan tanah sehingga pengukuran dilakukan pada tanda tersebut. Tinggi tanaman dilakukan dari tanda sampai pucuk dengan menggunakan meteran dan diameter tanamann dilakukan pada tanda dengan menggunakan caliper. Pengukuran ini dilakukan setiap 2minggu

b. Produksi Sorgum; terdiri atas pengukuran: bobot 1000 biji, produksi biji per plot, dan biomassa.

2. Penelitian Laboratorium Penelitian laboratorium dilakukan untuk menganalisis respon fisiologis sorgum berupa analisis klorofil dan serapan hara tanaman, Mekanisme percobaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : a. Analisis klorofil tanaman; menggunakan 2 sampel daun/ulangan/varietas. Daun yang diambil

adalah daun yang sudah terbuka secara sempurna. b. Analisis kandungan hara menggunakan 3 sampel daun per perlakuan. Sampel daun tersebut

kemudian dihaluskan dan dikompositkan. Selanjutnya sampel daun dianalisis di laboratorium untuk mendapatkan kandungan hara.Serapan hara dihitung dengan menggunakan rumus: Serapan hara = bobot kering daun x kandungan hara (Agung dan Rahayu 2004)

3. Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka terhadap hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

Page 52: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

52 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

0

1

2

3

4

5

6

3,85

1,17

0,11

0,93

5,02

3,50

1,04

0,11

0,86

4,55

Tota

l Klo

rofi

l (m

g/g)

Agroforesri

monokultur

E. Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan petak terpisah

(split-plot design) dua faktor dengan 3 kali ulangan. Faktor utama (main plot) adalah agroforestri tegakan mindi dan tanpa agroforestri. Faktor kedua adalah perbedaan verietas sorgum dimana faktor ini ditempatkan sebagai anak petak (sub plot) di dalam petak utama. Varietas yang akan dipakai dalam anak petak terdiri atas 4 varietas sorgum yaitu sorgum varietas numbu, samurai 01, G 24, dan G 22.

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan Analysis of varians/analisis sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 5 %. Apabila hasil analisis sidik ragam berbeda nyata pada taraf 5 % maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata perlakuan. Pengolahan data menggunakan program SAS 9.0.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Respon fisiologi sorghum terhadap naungan

Fisiologi merupakan salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang metabolisme yang terjadi dalam tanaman yang menyebabkan tanaman tersebut dapat hidup. Dengan mempelajari Fisiologi tanaman, manusia dapat mengetahui laju proses-proses metabolisme. Salah satu proses metabolise dalam tumbuhan yang sangat penting adalah proses fotosintesis, dimana proses ini terjadi dalam kloroplas. Banyaknya kloroplas dalam tumbuhan sekitar setengah juta per milimeter persegi permukaan daun (Campbeel &Reece 2008). Kloroplas mengandung sejumlah pigmen-pigmen hijau yang bernama klorofil yang berfungsimenyerap cahaya matahari untuk menggerakkan sintesis molekul organik dalam kloroplas.

Pada penelitian ini peubah yang diamati untuk melihat respon fisiologi tanaman sorgum terhadap naungan yaitu kandungan klorofil dan serapan hara pada daun. Kandungan klorofil terdiri dari kandungan klorofil a, klorofil b, antosianin, karoten dan total klorofil. Serapan hara meliputi N total, P total dan K total

Gambar 1. Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil

Perlakuan naungan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon kandungan klorofil pada tanaman. Kandungan klorofil a, klorofil b karoten dan total klorofil berpengaruh nyata terhadap perlakuan naungan, dimana pada perlakuan naungan kandungan klorofil lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan klorofil tanpa naungan. Hanya kandungan antosianin yang tidak berpengaruh terhadap naungan. Sopandie (2014) menyatakan klorofil a, klorofil b, dan karoten merupakan pigmen tanaman yang menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu. Klorofil a adalah pigmen penghasil warna hijau menyerap cahaya pada kisaran tertinggi pada panjang

Page 53: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 53

gelombang 420 nm dan 660 nm. Klorofil b adalah penghasil warna hijau kekuningan menyerap cahaya pada gelombang 440 dan 640 nm. Karoten penghasil warna kuning mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang 425 dan 470, sedangkan antosianin penghasil warna merah menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu juga.

Umumnya tanaman yang ternaungi melakukan adaftasi dengan cara meningkatkan efesiensi penangkapan cahaya yang lebih besar yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas dan kandungan pigmen dalam kloroplas (klorofil), disamping itu untuk meningkatkan penyerapan cahaya tanaman yaitu dengan mengurangi kandungan pigmen non-kloroplas seperti antosianin karena pigmen ini terakumulasi pada vakoula sel-sel epedermis (Sopandie 2014). Data hasil penelitian memperlihatkan bahwasannya tingginya kandungan klorofil dan total klorofil merupakan salah satu respon fisiologis sorgum terhadap naungan.

Gambar 2 Kandungan klorofil a (A), Klorofil b (B), Karoten (C), Total Klorofil (D)

Perlakuan varietas menunjukan varietas G24 memiliki kandungan klorofil a, klorofil b,

karoten dan total klorofil lebih tinggi dibanding dengan varietas lain. Ini dikarenakan secara genetik varietas G24 dikembangkan untuk produksi pangan dimana varietas ini memiliki batang yang pendek tetapi memiliki malai yang panjang. Untuk memenuhi produksi biji tersebut, secara fisiologi varietas ini memiliki pigmen-pigmen penangkap cahaya lebih banyak daripada varietas lainnya.

0

0

0

1

1

1

1

1

2

G24 G22 Samurai Numbu

Klo

rofi

l b (

mg

g-1)

B

Agroforestri

Monokultur

0

1

2

3

4

5

6

G24 G22 Samurai Numbu

Klo

rofi

l a (

mg

g-1)

A

Agroforestri

Monokultur

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

G24 G22 Samurai Numbu

Ka

rote

n (

mg

g-1)

C

Agroforestri

Monokultur

0

1

2

3

4

5

6

G24 G22 Samurai Numbu

To

tal k

loro

fil a

(m

g.g-1

)

D

Agroforestri

Monokultur

Page 54: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

54 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

4,5

N p K N P K N P K N P K

G24 G22 Samurai01 Numbu

Pe

nye

rap

an h

ara

(%)

Agroforestri

Monokultur

Gambar 3 Pengaruh naungan terhadap serapan hara tanaman sorgum

Respon serapan hara pada tanaman sorgum terhadap naungan berbeda-beda. Serapan hara N, P, dan K tidak berbeda nyata antara agroforestri dan monokultur, namun secara umum serapan hara sorgum dalam pola agroforestri sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum monokultur. Ini diduga karena pembentukan klorofil yang lebih tinggi pada sorgum agroforestri memerlukan hasil fotosintesis (karbohidrat) yang lebih banyak sehingga menyebabkan tanaman beradaftasi dengan menyerap hara lebih banyak.

B. Pengaruh Perlakuan Naungan dan Varietas Terhadap Produksi Sorgum

Perlakuan naungan (agroforestri) dan varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah-peubah produksi sorgum. Pada penelitian ini adapun peubah produksi yang diamati adalah produksi biji per petak (g), berat 1000 biji (g) dan biomassa (g).

Tabel 1. Pengaruh Naungan terhadap produksi sorgum

Peubah Uji Fa Naunganb

N0 N1

jumlah biji/petak ** 6079.0a 2786,1b

berat 1000 biji ** 31.26b 34.85a

biomassa (berat basah) ** 347.67a 141.85b a(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Produksi biji per petak pada perlakuan tanpa naungan (monokultur) mencapai 2 kali lipat jumlah produksi sorgum dengan perlakuan naungan (agroforestri). Ini terjadi juga pada berat biomassa dimana biomassa sorgum dengan perlakuan naungan 2 kali lebih kecil dibandingkan dengan biomassa sorgum tanpa naungan. Kecilnya produksi sorgum dengan perlakuan naungan disebabkan oleh kurangnya cahaya matahari yang diserap oleh sorgum. Cahaya matahari mempunyai peran penting dalam dalam perkembangan dan produksi tanaman, karena cahaya matahari merupakan faktor utama dalam fotosintesis. Berkurangnya cahaya yang diterima sorgum akan menyebabkan depresi fotosintesis yang diakibatkan oleh berubahnya regulasi struktur daun, lambatnya penyerapandan transportasi CO2 dan rendahnya tingkat enzim yang berhubungan dengan siklus Calvin (Li et al 2014). Sehingga pertumbuhan, perkembangan dan produksi sorgum yang memerlukan hasil dari fotosintesis menjadi terhambat.

Page 55: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 55

200

250

300

350

400

450

500

550

MINGGU2

MINGGU4

MINGGU6

MINGGU8

MINGGU10

Tin

ggi P

oh

on

(cm

)

B

AGROFORESTRI

MONOKULTUR

20

30

40

50

60

70

80

MINGGU 2 MINGGU 4 MINGGU 6 MINGGU 8 MINGGU10

Dia

met

er (

mm

)

A

AGROFORESTRI

MONOKULTUR

Tabel 2. Pengaruh varietas terhadap produksi sorgum

Peubah Uji Fa Varietasb

G24 G22 Samurai01 Numbu

jumlah biji/petak ** 3395.0b 3138.2b 5655.9a 5541.1a berat 1000 biji ** 29.053c 31.820bc 34.985ab 36.368a biomassa (berat basah)

** 107.54b 150.83b 369.66a 351.03a

a(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Varietas Samurai 01 memiliki produksi biji paling banyak yaitu 5655.9 g.petak-1, sedangkan varietas G22 memiliki produksi terendah yaitu 3395 g.petak-1. Produksi biomassa paling tinggi dimiliki oleh varietas samurai 01 dan numbu, biomassa varietas jenis ini memiliki produksi biomassa 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan varietas G22 dan G24. Ini disebabkan perbedaan genetik dalam pengembangan sorgum, dimana sorgum varietas samurai01 dan numbu selain menghasilkan biji, sorgum varietas ini dikembangkan untuk produksi biomassa yang mengandung 15 % kadar gula. Varietas G22 dan G24 dikembangkan untuk produksi pangan dengan batang lebih pendek dan umur berbuah yang lebih singkat dibanding samurai 01 dan numbu.

Berdasarkan hasil pengamatan (tabel 1), perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata pada berat 1000 biji. Berat 1000 biji di bawah naungan lebih tinggi dibandingkan tanpa naungan, diduga karena kekurangan cahaya yang dialami sorgum sehingga depresi fotosintesis menyebabkan pemasakan buah menjadi terlambat. Pemasakan buah yang terlambat dibanding sorgum tanpa naungan akan mengandung kadar air lebih banyak sehingga beratnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan sorgum tanpa naungan. C. Respon Pertumbuhan Mindi terhadap agroforestri

Ketersedian unsur hara sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanah akan memberikan hasil pertumbuhan yang baik jika tanah cukup kuat menunjang tegak tanaman, tidak memiliki lapisan penghambat perkembangan akar, mempunyai aerasi yang baik, pH yang netral, tingkat salinitas yang rendah, dan tersedia unsur hara dan air dalam kondisi seimbang (Islami & utomo 1995).

Gambar 4 Pertumbuhan diameter (A) dan tinggi (B) pohon mindi

Hasil pengamatan pertumbuhan diameter dan tinggi mindi menunjukan bahwa pertambahan diameter dan tinggi mindi pada lahan agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan diameter dan tinggi mindi pada lahan monokultur. Hal ini disebabkan oleh

Page 56: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

56 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

faktor pengapuran dan pemeliharaan yang meliputi pemupukan dan pembubunan yang dilakukan pada sorgum di lahan agroforestri. Pengapuran dan pemupukan menyebabkan pH lebih baik dan unsur hara lebih tersedia tidak hanya bagi tanaman sorgum tetapi mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan mindi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Sorgum dengan perlakuan naungan (agroforestri) memiliki Kandungan klorofil lebih

tinggidibandingkan dengan sorgum tanpa naungan. 2. Sorgum dengan perlakuan naungan memiliki serapan hara lebih tinggi dibandingkan dengan

sorgum tanpa naungan. 3. Perlakuan naungan memberikan dampak hasil produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan

perlakuan tanpa naungan. 4. Pertumbuhan tinggi dan diameter mindi pada lahan agroforestri lebih tinggi dibandingkan

dengan mindi monokultur. B. Saran

Sorgum merupakan tanaman C4 yaitu tanaman yang memerlukan penyinaran yang banyak dalam melaksanakan proses fotosintesis, untuk itu penggunaan sorgum dalam komponen agroforestri harus memperhatikan jarak tanaman komponen utama (pohon) atau waktu tanam sehingga tidak ada persaingan cahaya yang berdampak pada produksi sorgum.

DAFTAR PUSTAKA

Agung T, Rahayu AY. 2004. Analisis efisiensi serapan N, pertumbuhan dan hasil beberapa kultivar kedelai unggul baru dengan cekaman kekeringan dan pemberian pupuk hayati. Agrosains. 6(2):70-74.

Andriani A dan Isnaini M. 2013. Morfologi dan Fase Pertumbuhan Sorgum. Balai Penelitian Tanaman Serelia.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta.

Campbell and Reece. 2008. Biologi. Erlangga. Jakarta Indonesia.

Hendromono. 2001. Silvikultur Tanaman Mindi (Melia azedarachL). Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi alam. Bogor Indonesia.

Islami T dan Utomo WH. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. Semarang: IKIP Semarang Press.

Li T, Liu LN, Jiang CD, Liu JY, Shi L. 2014. Effects of Mutual Shading on the Regulation of Photosynthesisin Field-Grown Sorghum. Journal of Photochemistry and Photobiology (137):31–38.

Murniati. 2010. Arsitektur Pohon, Distribusi Perakaran, dan Pendugaan Biomassa Pohon dalam Sistem Agroforestry. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Vol. VII No.2 : hlm 103-117.

Pramono AA dan Danu. 2010. Hutan Rakyat mindi (Melia azedarach L) di Jawa Barat Pola Pengelolaan dan karakteristik tegakannya. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor Indonesia.

Rambey R. 2011. Pengetahuan Lokal Sistem Agroforestri Mindi (Melia azedarach l.) (Studi Kasus di Desa Selaawi, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) [tesis].Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Page 57: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 57

Sopandie D. 2013. Fisiologi Adaftasi Tanaman terhadap Cekaman Abiotik pada Agroekosistem Tropika. Bogor (ID):IPB Pr.

Subagio H dan Suryawati. 2013. Wilayah Penghasil dan Ragam Penggunaan Sorgum di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Serelia Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta.

Supriyanto. 2012. Pengembangan Sorgum untuk menunjang kebutuhan Pangan, Pakan Energi dan Industri. SEAMEO BIOTROP. Bogor Indonesia.

Tabri F dan Zubachtirodin.2013. Budidaya Tanaman sorgum. Balai Penelitian Tanaman Serelia Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta.

Wardani. 2001. Morfologi, Persebaran dan Tempat Tumbuh Mindi (Melia azedarach L). Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi alam. Bogor Indonesia.

Widowati S. 2011. Sorgum, Penanganan dan Pengolahan Berbagai Produk Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta.

Page 58: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

58 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PENGEMBANGAN TEKNIK BUDIDAYA SUKUN (Artocarpus altilis) UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN HUTAN CADANGAN PANGAN

Hamdan Adma Adinugraha1 dan Dedi Setiadi1

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Email : [email protected]

ABSTRAK

Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) adalah salah satu tanaman penghasil buah yang potensial dijadikan sebagai sumber bahan makanan pokok alternative bagi masyarakat. Penyebaran sukun yang luas sangat potensial dikembangkan untuk mendukung program ketahanan pangan nasional melalui pembangunan hutan cadangan pangan. Sukun telah lama dibudidayakan secara tradisional oleh masyarakat sebagai tanaman pekarangan. Pembibitannya dilakukan dengan memanfaatkan tunas alami, pencangkokan dan stek akar. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas pembibitan sukun dilakukan pengembangan teknik perbanyakan sukun secara massal dengan teknik yang mudah diaplikasikan dan tidak memerlukan biaya tinggi. Penelitian ini diawali dengan koleksi materi genetik, pembibitan stek akar, pengamatan pertunasan, pembuatan stek pucuk dan pemeliharaan bibit siap tanam. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sukun dapat diperbanyak melalui teknik stek akar dan stek pucuk secara simultan.Hasil uji stek akar menggunakan materi akar dari beberapa lokasi menunjukkan persentase hidup berkisar dari 45,20-90,00%, sedangkan keberhasilan tumbuh stek pucuk dapat mencapai 93,85% menggunakan tunas yang tumbuh pada stek akar. Tunas yang tumbuh pada tanaman sukun yang dipangkas juga dapat dimanfaatkan untuk stek pucuk dengan keberhasilan rata-rata untuk tunas bagian ujung 35,50% dan bagian pangkal 70,83%.Bibit hasil perbanyakan stek akar maupun stek pucuk sudah siap tanam di lapangan pada umur 6 bulan. Kata Kunci : Stek akar, Stek pucuk, Sukun, hutan cadangan pangan

I. PENDAHULUAN

Sukun merupakan salah satu jenis tanaman keras/tanaman kehutanan yang mempunyai nilai ekonomis karena menghasilkan buah yang memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas penghasil sumber pangan bagi masyarakat. Disamping itu terdapat kegunaan lainnya yaitu batang pohon sukun dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan maupun papan kayu yang kemudian dikilapkan (Pitojo, 1992; Rajendran, 1992). Pemanfaatan sukun sebagai sumber pangan telah lama dilakukan secara tradisional seperti dibakar, direbus atau digoreng. Bahkan sekarang ini buah sukun sudah dapat diolah menjadi beraneka macam makanan seperti getuk sukun, klepon sukun, keripik sukun dan lain sebagainya. Tingginya kandungan karbohidrat yang dalam buah sukun merupakan alternatif pengganti beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat (Widowati, 2003). Apalagi produksi beras di Indonesia belum mencukupi kebutuhan penduduk Indonesia sehingga masih harus mengadakan impor beras setiap tahunnya. Sukun merupakan sumber bahan pangan potensial pada masa mendatang terutama dalam mendukung program keanekaragaman pangan.

Sebaran tanaman sukun di Indonesia cukup luas baik di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur maupun di luar Jawa seperti Aceh, Sumatera Utara, Pulau Nias, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan Papua/Irian (Pitojo, 1992). Pada umumnya masing-masing daerah menyatakan keunggulan dari sukun daerahnya, sedangkan informasi yang menjelaskan jenis-jenis sukun yang ada di Indonesia belum ada. Berdasarkan informasi yang ada menyebutkan adanya keanekaragaman dalam bentuk, ukuran, rasa dan musim buahnya. Sebagai contoh sukun dari Sulawesi Selatan dan Papua berbentuk lonjong sedangkan sukun dari Yogyakarta, Cilacap dan Kediri, Banyuwangi berbentuk bulat. Adanya sebaran yang luas tersebut merupakan potensi sumber daya hayati yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber pangan alternatif bagi masyarakat.

Page 59: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 59

II. PEMBAHASAN

A. Pengembangan Teknik Pembibitan di Persemaian Sukun merupakan jenis tanaman partinocarpy atau tidak memiliki biji dalam buahnya

sehingga pembibitannya hanya dilakukan secara vegetatif. Teknik pembibitan sukun mengalami perkembangan mulai dari cara sederhana sampai yang memerlukan biaya cukup mahal. 1. Pengembangan teknik stek akar

Teknik stek akar sudah lazim dilakukan oleh para petani bibit karena cukup mudah dilakukan dan jumlah bibit yang dihasilkan relatif banyak. Untuk meningkatkan produksi bibit sukun perlu dilakukan pemilihan pohon induk, teknik pembuatan stek akar, pemilihan jenis media dan teknik pembibitan yang tepat. Panjang stek akar sukun ±10-20 cm dan diameter optimal 2-3 cm. Akar sukun yang dipilih untuk stek adalah yang tumbuh menjalar di permukaan tanah karena memiliki kemampuan hidup lebih baik dari pada akar yang tumbuh di dalam tanah. Akar yang telah dipotong-potong menjadi stek, kemudian ditanam pada media pasir dalam polibag kecil (ukuran 8 x 10 cm) atau dideder pada media dalam bedengan yang ditutup sungkup plastik dengan posisi tanam tegak seperti tampak pada Gambar 1. Bagian akar yang ditanam pada media adalah bagian ujung (bagian yang lebih muda). Pada umur 3 bulan bibit stek akar sudah bisa disapih ke media campuran tanah dan kompos dalam polibag yang lebih besar (Hidayanto et al, 2003; Adinugraha et al, 2004).Persen hidup klon dan persen hidup stek akar sukun dari beberapa populasi asal di Indonesia. Dari hasil koleksi diperoleh rata-rata 20-30 klon per lokasi dengan persentrase jumlah klon yang tumbuh bervariasi dari 79,2-100%, sedangkan persentase hidup steknya bervariasi mulai dari 45,2-90%.

Gambar 1. Pembibitan sukun dengan teknik stek akar

2. Pengembangan Teknik Stek Pucuk

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa teknik stek pucuk cukup prospektif untuk dikembangkan dalam pembibitan sukun. Cara ini dapat relatif mudah dilakukan dan murah (low technology) sehingga bisa diterapkan oleh para petani bibit. Bahan stek pucuk menggunakan tunas/trubusan yang tumbuh pada stek akar atau tunas dari kebun pangkas yang dibangun dalam polibag di persemaian maupun ditanam pada areal tertentu (tingkat lapang). Hasil uji coba kebun pangkas sukun di Gunung Kidul, DIY mengindikasikan kemampuan menghasilkan tunas yang cukup baik yaitu rata-rata 6-17 tunas/tanaman dengan panjang 6,96-8,17 cm dan diameter tunas 3,30-5,57 mm pada umur 3 bulan sejak dilakukan pemangkasan (Adinugraha, 2009). Tunas yang telah berukuran 10 cm dapat dipanen untuk stek pucuk. Tunas yang panjangnya telah mencapai ± 20 cm dapat dibuat menjadi 2 buah stek (bagian pangkal dan ujung). Pada umur 2 bulan pengamatan, persentase jadi stek pucuk rata-rata untuk bagian pangkal tunas (70,83%), bagian ujung tunas (35,50%) dan stek pucuk dari trubusan pada stek akar (93,85%).

Page 60: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

60 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 2. Bibit stek pucuk yang sudah jadi (dari kiri: stek pucuk bagian tengah, pangkal

dan trubusan pada stek akar)

Untuk mendapatkan tingkat keberhasilan tumbuh yang memuaskan, maka sangat penting untuk memperhatikan beberapa hal di bawah ini: a. Penyiapan media

Bahan yang dapat digunakan untuk media stek adalah pasir sungai karena sifatnya yang porus, mudah diperoleh dan harganya relatif murah. Media pasir dapat dicampur dengan sekam padi, lumut yang telah hancur, tanah gembur atau kompos. Untuk mencegah serangan jamur, sebaiknya pasir disterilisasi terlebih dahulu sebelum digunakan, dengan cara pemanasan (disangray) atau disemprot fungisida. Adapun bahan untuk media sapih, digunakan media campuran tanah + kompos dengan perbandingan 3:1 dalam polibag serta dapat ditambahkan pupuk TSP sebanyak satu gram/polibag.

b. Penggunaan zat pengatur tumbuh akar Pemberian hormon tumbuh akar berpengaruh positif terhadap persentase jadi stek dan meningkatkan jumlah dan kualitas akar stek serta membentuk perakaran yang baik (Heddy, 1986). Pemberian hormon untuk stek akar sukun dilakukan dengan cara melarutkan hormon dalam air, kemudian stek akar direndam dan dibersihkan tanahnya, sedangkan untuk stek pucuk cukup dicelupkan bagian pangkalnya kedalam larutan hormon selama 5 menit (Adinugraha et al, 2004).

c. Pengaturan suhu dan kelembaban Pengaturan kelembaban media harus dilakukan dalam pembibitan dengan cara stek akar atau stek pucuk, karena akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan tumbuhnya. Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan memberi sungkup/penutup plastik sampai terjadi adanya pengembunan dengan kelembaban udara rata-rata diatas 80%. Pengaturan suhu dan intensitas cahaya di persemaian dapat dilakukan dengan memberikan naungan setelah penanaman stek, sampai stek tersebut tumbuh dengan baik (Sakai et al, 2001).

3. Pengembangan teknik kultur jaringan Pembibitan sukun dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan baik menggunakan bahan

trubusan atau bagian pucuk dari tanaman dewasa sebagai eksplan yang kemudian dilakukan induksi dan penanaman pada media agar (Rouse-Miller dan Duncan, 2000; Murch et al, 2007). Hasil penelitian Mariska et al (2004) menunjukkan bahwa persentase perakaran dengan teknik ini dapat mencapai 60% dengan jumlah akar 6,5 buah dan keberhasilan aklimatisasi bibit di rumah kaca mencapai 70%. Di Indonesia, penerapan teknik kultur jaringan secara operasional dalam pembibitan sukun belum dilakukan dan masih terbatas pada kegiatan penelitian. Akan tetapi di daerah Pasifik, produksi bibit sukun secara masal dikembangkan melalui teknik ini.

Page 61: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 61

Gambar 3. Aklimatisasi bibit sukun hasil kultur jaringan (Sumber:www.ntbg.org/ )

Pertimbangan penerapan teknik kultur jaringan untuk pembibitan sukun antara lain:

diperlukan keahlian khusus bagi pelaksana untuk melakukannya, diperlukan fasilitas laboratorium kultur jaringan yang memerlukan biaya relatif tinggi sehingga hanya dapat dikembangkan oleh perusahaan tertentu atau pemerintah. Sementara ini jenis sukun masih dianggap sebagai jenis tanaman rakyat dan pengembangan secara komersial dalam skala besar belum dilakukan. Penerapan teknik ini sulit dilakukan oleh para produsen bibit yang memiliki modal terbatas. Teknik pembibitan yang lebih murah dan mudah dilakukan menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi masyarakat. Penerapan teknik stek akar dan stek pucuk sukun dianggap yang paling menguntungkan karena dapat dilakukan dengan mudah dan biaya yang relatif murah.

B. Pemeliharaan bibit di persemaian

Kegiatan pemeliharaan bibit stek pucuk selama di persemaian sangat perlu dilakukan agar diperoleh hasil yang baik. Kegiatan yang dilakukan meliputi: a. Penyiraman secara rutin dan pembersihan rumput yang tumbuh pada polibag atau disekitar

bedengan. Kebersihan di sekitar bedengan perlu diperhatikan untuk memudahkan dalam pencegahan hama bekicot yang sering menyerang bibit.

b. Pemberantasan hama atau penyakit perlu dilakukan apabila terdapat gejala serangan hama/penyakit pada stek pucuk yang ditanam. Kegiatan ini dapat dilakukan secara manual atau mekanis maupun kimiawi.

c. Biasanya pada bulan kedua stek sudah berakar, maka secara perlahan-lahan naungan pada bedengan dikurangi dan sungkup sering dibuka secara periodik agar bibit dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Pada bulan ketiga stek pucuk sudah bisa disapih kedalam polibag berisi media campuran antara tanah, kompos atau pupuk kandang agar stek dapat berkembang lebih baik.

d. Pemupukan bibit dilakukan satu bulan setelah penyapihan. Pupuk yang diberikan berupa NPK dengan dosis 1 gram per polibag. Pemupukan dapat diulang lagi tiga bulan kemudian dengan dosis yang sama.

e. Seleksi bibit siap tanam dilakukan pada waktu bibit telah berumur lebih dari 6 bulan. Umumnya bibit sukun ditanam setelah 8 bulan, namun dari hasil penanaman di Gunung Kidul dengan bibit berumur 6 bulan mampu tumbuh dengan baik. Tinggi rata-rata bibit sekitar 30 – 50 cm dengan diameter batang rata-rata 1 cm.

C. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman

Budidaya tanaman sukun telah lama dilakukan oleh masyarakat di Indonesia sebagai tananam di pekarangan atau tanaman campuran di kebun. Pengembangan tanaman sukun dalam skala yang lebih luas dapat dilakukan dengan pola hutan kemasyarakatan atau hutan rakyat, mengingat potensinya yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Bibit sukun siap ditanam setelah berumur 6-8 bulan dengan tinggi rata 50 cm. Penanaman bibit sukun dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan lubang tanam 50 x 50 x 50 cm bahkan menurut Pitojo (1992) ukuran lubang

Page 62: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

62 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

sebaiknya 75 x 75 x 75 cm. Setiap lubang kemudian diberi pupuk kandang secukupnya (sekitar 2 kaleng minnyak). Jarak tanam sebaiknya lebih dari 5 x 5 m bahkan di Malaysia dilaporkan penanaman sukun dilakukan dengan jarak tanam 10 x 10 m, karena sukun memiliki tajuk yang rimbun. Untuk memacu pertumbuhan tanaman perlu dilakukan pemupukan secara periodik dengan NPK atau pupuk organik.

Tanaman sukun dapat ditanam pada tempat mulai dari dataran rendah sampai dengan ketinggian optimum 600 mdpl, rata-rata curah hujannya 100-2.500 mm/tahun dan rata-rata suhu tahunan 21-35 o C. Secara umum tanaman sukun dapat tumbuh pada semua jenis tanah (tanah podsolik merah kuning, tanah berkapur, tanah berpasir) namun akan lebih baik bial ditanam pada tanah gembur yang bersolum dalam, berhumus dan tersedia air tanah yang dangkal dengan pH 5-7. Tanaman sukun tidak baik dikembangkan pada tanah yang memiliki kadar garam tinggi. Tanaman sukun mulai berbuah pada umur 4 tahun apabila ditanam di tempat terbuka dan umur tujuh tahun bila ternaungi (Alrasjid, 1993).

Hasil pengamatan tanaman sukun di Gunung Kidul menunjukkan bahwa tanaman sudah mulai berbuah setelah berumur 3 tahun dengan rerata persen hidup tanaman yang bervariasi antara 32,8 – 80,80% dengan, dengan tinggi tanaman rata-rata 146,11 – 252,52 cm, diameter rata-rata 31,63 – 61,76 mm. Kamampuan tumbuh setiap klon rata-rata bervariasi antara 20 – 65% dengan klon yang menunjukkan persen hidup terbaik berturut-turut : SL2 (65%) dari Yogyakarta, LP2 (65%), LP1 (60%), LP4 (60%) dari Lampung dan BL6 (60%) dari Bali (Adinugraha et al., 2007). Data hasil pengamatan pertumbuhan tanaman di plot uji klon sukun disaijkan pada Tabel 1.

Gambar 4. Tanaman uji klon sukun di Gunung Kidul DIY mulai umur 2 s/d 5 tahun

Tabel 1. Rerata pertumbuhan tanaman sukun di plot uji klon di Gunung Kidul

Populasi Tinggi (m)

Dbh (cm)

Bebas cabang (m)

Lebar tajuk (m)

Tinggi tajuk (m)

Kerapatan

Lampung 3,48 7,73 0,84 1,67 2,07 Jarang

Manokwari 4,96 12,73 1,00 3,70 3,89 Sedang

Sleman 4,91 12,61 1,08 2,89 3,76 Sedang

Bali 4,96 11,18 1,06 3,01 2,27 Sedang

Mataram 4,09 8,63 1,31 2,07 2,78 Sedang

Malino 3,88 9,38 1,37 2,44 2,76 Sedang

Banyuwangi 3,93 8,37 1,24 2,11 2,69 Sedang

Gunung Kidul 5,79 13,78 1,37 3,21 4,24 Sedang

Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi :

1. Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati dengan tanaman baru yang telah disiapkan sebelumnya bersamaan dengan kegiatan pembibitan. Kegiatan ini dilakukan pada waktu tanaman berumur kurang dari 1 tahun untuk memperoleh pertumbuhan yang seragam.

Page 63: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 63

2. Pemberantasan hama dan penyakit yang menyerang tanaman sukun. Hama yang biasa menyerang tanaman sukun antara lain bekicot (Achatina fulica), belalang pemakan daun (Valanga sp), ketam, kumbang penggerek batang (Xyleberus sp), serangga penggerek buah dan kalong (Pterocarpus edulis). Hama bekicot biasanya banyak menyerang bibit di persemaian dan tanaman muda (baru ditanam di lapangan). Upaya pemberantasan hama dapat dilakukan secara manual dengan menangkap hama secara periodik dan menjaga kebersihan di persemaian. Untuk mengatasi hama pengerek batang bisa menggunakan insektisida sistemik yang disuntikkan pada lubang bekas gerekan. Penggunaan pestisida sebaiknya tidak dilakukan untuk membasmi hama buah, karena dapat menyisakan residu zat kimia yang dapat membahayakan kesehatan. Menurut Pitojo (1992), serangan hama buah dapat dicegah dengan membungkus buah tersebut sejak awal/masih muda. Beberapa penyakit yang menyerang tanaman sukun diantaranya penyakit mati tunas bibit di persemaian atau adanya spot kering daun, biasanya disebabkan oleh jamur sehingga dapat diatasi dengan penyemprotan fungisida dan memelihara kondisi persemaian agar tidak terlau lembab, naungan jangan terlalu teduh dan peyiraman tidak terlalu lembab. Penyakit lainnya adalah gugur buah dan busuk buah, diduga disebabkan oleh jamur (Fusarium sp). Untuk mengatasinya dilakukan dengan memelihara tanaman dengan baik, pendangiran dan pemupukan yang teratur serta membungkus buah sejak masih muda (Pitojo, 1992)

3. Pembersihan lahan dari gulma dan alang-alang yang tumbuh di sekitar tanaman pokok perlu dilakukan baik secara manual maupun penyemprotan dengan herbisida.

4. Pendangiran, pembuatan guludan dan piringan tanaman juga perlu dilakukan untuk mengemburkan tanah dan menambah sirlkulasi udara ke dalam tanah. Penambahan mulsa bahan organik dapat dilakukan sebelum pengguludan, berguna untuk sumber nutrisi bagi tanaman.

5. Pemupukan tanaman dilakukan untuk memacu tingkat pertumbuhan tanaman. Jenis pupuk yang diberikan berupa pupuk organik (pupuk kandang) maupun anorganik (NPK). Untuk memacu pertumbuhan tanaman perlu dilakukan pemupukan secara periodik dengan NPK atau pupuk organik. Menurut Pitojo (1992) pada pertumbuhan awal (0-1 tahun) tanaman harus dipupuk dengan 24-72 gram pupuk N, 42-70 gram P2O5 dan 24-36 gram KCl serta pupuk organik sebanyak satu blek.

III. PENUTUP

Sukun merupakan tanaman serbaguna yang bisa dimanfaatkan buah, kayu dan daunnya. Jenis ini sangat potensial dikembangkan dalam penanaman hutan kemasyarakatan atau hutan rakyat. Jenis ini hanya bisa dikembangbiakkan dengan cara vegetatif, karena tidak memiliki biji dalam buahnya. Mengingat potensinya sebagai tanaman cadangan pangan, maka pengembangaan jenis sukun sangat diharapkan. Upaya yang diperlukan antara lain pengembangan teknik pembibitan, penanaman dan pengolahan hasil panen buahnya. Dengan adanya informasi yang lengkap mengenai teknik budidaya dan pemanfaatannya, sukun dapat berkembang lebih baik untuk menunjang ketahanan pangan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, H.A. 2007. Pembangunan Uji Klon Sukun. Laporan Tahunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

----------------, 2009. Optimalisasi Produksi Bibit Sukun dengan Kombinasi Stek Akar dan Stek Pucuk. Tesis S2. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

----------------, 2010. Cara Mengoptimalkan Produksi Bibit Sukun. Informasi Teknis Vol. 8 No. 2, September 2010. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Page 64: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

64 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Adinugraha, H.A., N.K. Kartikawati dan Suwandi. 2004. Penggunaan Trubusan Stek Akar Tanaman Sukun Sebagai Bahan Stek Pucuk. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 1 No.1 (2004). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Yogyakarta.

Alrasjid, H. 1993. Pedoman Penanaman Sukun. Informasi Teknis No. 42. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Anonim. 2006. Daun Sukun, Obat Sakit Ginjal dan Jantung. http://www.suaramerdeka. com/harian/0609/04/ragam02.htm. diakses pada tanggal 26 Oktober 2008.

Departemen Pertanian. 2003. Panduan Teknologi Pengolahan Sukun Sebagai Bahan Pangan Alternatif. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Holtikultura. Jakarta.

Feryanto, H. 2006. Variasi Aksial Dan Radial Sifat-Sifat Kayu Sukun (Artocarpus communis FORST) Dari Bantul Yogyakarta. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universita Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hartman H,T, D.E. Kester and Davies. 1990. Plant Propagation Principles and Practices. Fifth Edition. Regent / Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs-New Jersey.

Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. CV. Rajawali. Jakarta.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Hidayanto, M., S. Nurjanah dan Yossita F. 2003. Pengaruh Panjang Stek Akar dan Konsentrasi Natrium Nitrofenol Terhadap Pertumbuhan Stek Akar Sukun (Artocarpus communis Forst). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6 No.2, Juli 2003, halaman 154-160. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. Samarinda.

http://www.destinationtropicals.com. Tropical Fruit Tree ”Bread Fruit” Artocarpus altilis. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2008.

Kartono, G.,Harwanto, Suhardjo dan T. Purbiati. 2004. Keragaman Kultivar Sukun dan Pemanfaatannya di Jawa Timur (Studi kasus di Kabupaten Kediri dan Banyuwangi) http://www.bptp-jatim-deptan.go.id. Diakses pada tanggal 15 Nopember 2006.

Mariska, I.,Y. Supriati dan S. Hutami. 2004. Mikropropagasi Sukun (Artocarpus communis Forst), Tanaman Sumber Karbohidrat Alternatif. Kumpulan Makalah Seminar Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, halaman 180-188. Badan Penelilitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Morris, A., Barnett, A. and Jean-Burrows, O. 2004. Effect of Processing on Nutrient Content of Food. http://www.paho.org diakses tanggal 16 Juni 2010.

Pitojo, S. 1992. Budidaya Sukun. Kanisius. Yogyakarta.

Page 65: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 65

JENIS-JENIS SUMBER ALTERNATIF PANGAN DAN OBAT-OBATAN PADA AGROFORESTRY TEMBAWANG DESA GURUNG MALI, SINTANG (KALIMANTAN BARAT)

Supartini1 dan Muhammad Fajri1

1Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Email : [email protected]

ABSTRAK

Agroforestri tembawang Desa Gurung Mali masih tetap dipertahankan oleh masyarakat, meskipun tekanan luar seperti invasi perkebunan kelapa sawit yang terus meluas. Hasil agroforestri tembawang pun merupakan sumber alternatif untuk kebutuhan pangan selain dari hasil pertanian dan sebagai sumber alternatif untuk pengobatan masyarakat. Penelitian dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis pada agroforestri tembawang yang berpotensi mendukung ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat. Inventarisasi jenis dilakukan pada plot seluas 2,16 ha di Desa Gurung Mali, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Hasil penelitian menujukkan bahwa komposisi jenis pada agroforestri tembawang di desa ini meliputi 138 jenis. Jenis yang berpotensi sebagai sumber alternatif pangan dan obat-obatan meliputi 33 jenis dan 16 famili. 15 jenis tersebut diantaranya Shorea macrophylla, Shorea stenoptera, Artocarpus sp., Durio zibethinus, Litsea sp., Areca catechu, Vitex pubescens Vahl., Alstonia angustifolia Miq., Alstonia scholaris, Archidendron pauciflorum, Arthocarpus champeden, Artocarpus sp., Dimocarpus longan, Artocarpus lanceifolius Roxb. dan Syzygium sp. Kata kunci : Agroforestri tembawang, Desa Gurung Mali, jenis sumber pangan dan obat-obatan.

I. PENDAHULUAN Agroforestri tembawang merupakan sistem agroforestri kompleks. Sistem ini terdiri dari

sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan rerumputan. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer maupun hutan sekunder, demikian pula dengan mekanisme produksi dan kelangsungan hidupnya (de Foresta et al., 2000). Komposisi jenis vegetasi pada agroforestri tembawang terdiri dari campuran jenis-jenis penghasil buah/biji, kayu, getah dan lain-lain. Sumarhani dan Kalima (2015) melaporkan bahwa pada tembawang di Dusun Periji dan Dusun Tukun, Desa Sei Dangin, Kecamatan Nayon, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dengan luas plot penelitian 0,2 ha tercatat 22 jenis yang meliputi 15 (68%) jenis penghasil buah, 4 (19%) jenis penghasil kayu dan 3 (13%) jenis penghasil getah.

Tembawang yang ada di Desa Gurung Mali umumnya termasuk “Tembawang waris”. Sundawati (2003) menyatakan bahwa tembawang waris adalah tembawang yang dimiliki oleh seseorang hasil warisan dari orang tua atau leluhurnya. Tembawang waris ini umumnya dimiliki oleh beberapa keluarga yang terikat dalam satu keluarga besar. Masyarakat di desa ini masih tetap mempertahan tembawangnya, meskipun perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit terus terjadi. Meraka sadar bahwa bila tembawang yang dimilikinya telah rusak atau hilang maka sumber air, energi dan perekonomian akan berkurang atau hilang. Sumber air yang berasal dari tembawang disalurkan ke rumah-rumah untuk memenuhi kebutuhan dan sehari-hari dan digunakan juga sebagai sumber pembangkit listrik.

Agroforestri tembawang berperan penting sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Suku Dayak, bermanfaat sebagai lahan pelestari sumberdaya genetik tumbuhan baik secara in-situ maupun eks-situ, dan juga sebagai kantung ekologi bagi spesies-spesies liar. Sementara nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya yaitu pelestarian untuk generasi yang akan datang dan merupakan tradisi uang yang mereka lakukan secara turun-temurun (Soeharto, 2010). Jenis-jenis vegetasi yang terdapat di agroforestri tembawang ini pun dapat menjadi sumber alternatif pangan dan kesehatan bagi masyarakat desa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis

Page 66: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

66 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

pada agroforestri tembawang yang berpotensi mendukung ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat Desa Gurung Mali, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Desa Gurung Mali, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang,

Kalimantan Barat pada bulan Februari 2014. Desa Gurung Mali memiliki luas wilayah 8 ha dengan jumlah dusun 3 yaitu Dusun Tem’bak, Dusun Riam Bersi dan Dusun Penyarak. Desa ini juga memiliki hutan yang masih tetap dilestarikan oleh masyarakat berupa hutan Ribang Ayau seluas 55 ha yang dijadikan lokasi penangkaran Orangutan, hutan Jalan Ramut seluas 15 ha, hutan Gupung Kabit seluas 10 ha dan hutan Sengkuang seluas 7 ha.

Kegiatan lapangan yang dilakukan meliputi pembuatan plot, inventarisasi jenis vegetasi, pengukuran diameter dan tinggi bebas cabang. Plot seluas 2,16 ha dibuat pada topografi lembah, lereng dan bukit. Plot di lembah berada pada ketinggian 92 m dpl dan 100 m dpl dengan titik koordinat 00o18’02,2” dan 00o18’05,6” (S) dan 111o18’09,0” dan 111o18’10,6” (E), plot di lereng dan bukit berada pada ketinggian 103 m dpl dan 120 m dpl dengan titik koordinat 00o18’01,7” (S) dan 111o17’44,0” (E). Plot terdiri dari 54 subplot yang berukuran 20 x 20 m2. Inventarisasi jenis vegetasi, pengukuran diameter dan tinggi bebas cabang dilakukan untuk tegakan yang berdiameter >10 cm. Data dianalisa dengan rumus-rumus sebagai berikut : Kerapatan (K) = jumlah individu / luas petak Kerapatan Relatif (KR) = kerapatan suatu jenis / kerapatan seluruh jenis x 100% Frekuensi (F) = jumlah petak suatu jenis / jumlah seluruh petak pengamatan Frekuensi Relatif (FR) = frekuensi suatu jenis / frekuensi seluruh jenis x 100% Dominansi (D) = jumlah luas bidang dasar suatu jenis / luas petak Dominansi Relatif (DR) = dominansi suatu jenis / dominansi seluruh jenis x 100% Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis Vegetasi pada Agroforestri Tembawang Agroforestri tembawang Desa Gurung Mali memiliki jenis yang beraneka ragam dari

tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat pohon. Jenis-jenis tumbuhan tingkat tiang dan pohon yang terdapat di tembawang meliputi 138 jenis. Jumlah jenis vegetasi di tiap topografi pada agroforestri tembawang Desa Gurung Mali disajikan pada Gambar 1 dan jenis-jenis vegetasi yang mendominasi terdapat pada Tabel 1.

Jenis-jenis vegetasi pada agroforestri tembawang Desa Gurung Mali memiliki diameter antara 10,1 cm sampai 152 cm dan tinggi bebas cabang antara 2 m sampai 31 m. Jenis-jenis yang berdiameter besar umumnya didominasi oleh kelompok jenis tengkawang. Jenis yang memiliki diameter dan tinggi bebas cabang paling besar yaitu Shorea stenoptera. Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa di agroforestri tembawang Desa Gurung Mali, jumlah jenis yang terdapat pada tiap topografi relatif banyak. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan di agroforestri tembawang yang relatif optimal untuk pertumbuhan jenis-jenis vegetasi yang ada sehingga jenis-jenis tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Jenis-jenis yang terdapat di ketiga topografi (lembah, lereng dan bukit) pada agroforestri tembawang Desa Gurung Mali meliputi

Page 67: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 67

Cempedak, Durian, Entawa, Jengkol, Karet, Medang, Pinang, Tengkawang tungkul putih, Tikalung, Ubah dan Umpang.

Gambar 1. Jumlah jenis vegetasi di lembah, lereng dan bukit pada agroforestri tembawang Desa

Gurung Mali. Tabel 1. Jenis-jenis vegetasi yang dominan pada agroforestri tembawang Desa Gurung Mali.

Jenis Jumlah tegakan

KJ KR FJ FR DJ DR INP

Karet (Hevea braziliensis)

217 100,46 30,56 0,57 7,81 611,04 53,17 91,54

Tengkawang tungkul putih (Shorea macrophylla)

62 28,70 8,73 0,48 6,55 360,52 31,37 46,65

Tengkawang tungkul merah (Shorea stenoptera)

28 12,96 3,94 0,33 4,53 91,45 7,96 16,44

Karet memiliki jumlah tegakan paling banyak dibandingkan dengan jenis lainnya sehingga

jenis ini yang paling dominan di agroforestri tembang Desa Gurung Mali dengan INP 91,54% (Tabel 1). Jenis ini mendominasi pada tiap topografi yang meliputi jumlah tegakan di lembah sebanyak 54 tegakan, di lereng sebanyak 49 tegakan dan di bukit sebanyak 114 tegakan. Selanjutnya jenis Shorea macrophylla dan S. stenoptera merupakan jenis tengkawang yang juga mendominasi di agroforestri tembawang karena memiliki INP lebih dari 15%. Sutisna (1981) menyatakan bahwa suatu jenis dikatakan berperan untuk tingkat tiang dan pohon jika INP sebesar >15%. Sumarhani dan Kalima (2015) menyatakan bahwa kehadiran suatu jenis tertentu yang dominan menunjukkan kemampuan tanaman tersebut dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga jenis yang mendominasi memiliki kemampuan toleransi yang lebar terhadap lingkungan.

Jenis-jenis di atas mendominasi pada agroforestri tembawang dikarenakan masyarakat memang membudidaya untuk faktor ekonomi, diantaranya : 1) Penjualan getah karet dapat menambah pendapatan petani dengan strategi penjualan saat harganya meningkat dan menyimpan dengan cara direndam dalam kolam air bila harganya turun. Soeharto (2010) menyatakan bahwa lebih dari 50% pendapatan masyarakat berasal dari hasil tanaman karet (getah karet) yang terdapat pada agroforestri tembawang; dan 2) Hasil panen buah tengkawang dari jenis S. macrophylla dan S. stenoptera lebih banyak bila dibandingkan dengan jenis tengkawang lain karena 2 jenis tengkawang ini memiliki ukuran buah yang besar. Buah tengkawang yang berukuran besar berjumlah 5 – 6 buah dalam 1 kg.

57 65 70

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Lembah Lereng Bukit

Jum

lah

jen

is

Topografi

Page 68: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

68 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

B. Jenis-jenis Vegetasi Sumber Alternatif Pangan dan Kesehatan Jenis-jenis vegetasi sumber alternatif pangan dan kesehatan yang dijumpai di agroforestri

tembawang Desa Gurung Mali pada tingkat tiang dan pohon sebanyak 33 jenis (23,9%) dan 17 famili (Tabel 2). Jenis-jenis vegetasi tersebut didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan Moraceae. Tabel 2. Jenis-jenis sumber alternatif pangan dan kesehatan pada agroforestri tembawang Desa

Gurung Mali.

Nama Lokal Nama Ilmiah Family Bagian yang

dapat dimanfaatkan

Penggunaan

Pinang Areca catechu Arecaceae Buah Makanan penghangat tubuh Obat luka, rabun mata, koreng, bisul, kudis dan mencret, obat cacing

Tengkawang tungkul putih

Shorea macrophylla Dipterocarpaceae Buah Penyedap masakan, pengganti lemak coklat. Obat sariawan

Tengkawang tungkul merah

Shorea stenoptera Dipterocarpaceae Buah

Tengkawang layar

Shorea beccariana Dipterocarpaceae Buah

Engkabang Shorea sp. Dipterocarpaceae Buah

Meranti Shorea sp. Dipterocarpaceae Kulit Aktif terhadap sel tumor

Keruing Dipterocarpus sp. Dipterocarpaceae Minyak Obat luka atau sakit kulit

Tekalong Artocarpus sp. Moraceae Buah Sumber pangan

Cempedak Arthocarpus champeden Moraceae Buah Sumber pangan

Entawa Artocarpus sp. Moraceae Buah Sumber pangan

Pudu Artocarpus lanceifolius Moraceae Buah Sumber pangan

Terap Artocarpus sp. Moraceae Buah Sumber pangan

Mentawak Artocarpus anisophyllus Moraceae Buah Sumber pangan

Durian Durio zibethinus Malvaceae (Bombacaceae)

Buah, kulit buah, kulit batang

Sumber pangan Obat sembelit dan disentri

Elai Durio kutejensis Malvaceae Buah Sumber pangan

Wanyi Mangifera sp. Anacardiaceae Buah Sumber pangan

Pelam Mangifera sp. Anacardiaceae Buah Sumber pangan

Kedondong Spondias dulcis Anacardiaceae Buah Sumber pangan

Jengkol Archidendron pauciflorum

Fabaceae Buah Sumber pangan

Rambutan Nephellium lappacium Sapindaceae Buah Sumber pangan

Klengkeng Dimocarpus longan Sapindaceae Buah Sumber pangan

Langsat Lansium domesticum Meliaceae Buah, kulit buah, biji

Sumber pangan, Obat sakit mata dan demam

Blimbing Averrhoa carambola Oxalidaceae Buah Sumber pangan

Ubah Syzygium sp. Myrtaceae Kulit batang Pencuci luka

Page 69: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 69

Nama Lokal Nama Ilmiah Family Bagian yang

dapat dimanfaatkan

Penggunaan

Bungkang Syzygium polyanthum Myrtaceae Daun Penyedap masakan Obat sakit perut, diare, kencing manis

Rembai Baccaurea motleyana Phyllanthaceae Buah, kulit buah

Sumber pangan Obat radang tenggorokan

Medang Litsea sp. Lauraceae Daun Obat kudis

Leban Vitex pubescens Verbenaceae Daun Obat pengering luka, penghenti darah, penahan sakit pinggang, obat sakit perut

Leban jawa Vitex sp. Verbenaceae Daun

Pelai pipit Alstonia angustifolia Apocynaceae Getah Obat luka atau korengan pada kulit

Pelai Alstonia scholaris Apocynaceae Getah

Purang Macaranga triloba Euphorbiaceae Kulit batang Obat diare

Kandis Garcinia celebica Guttiferae Buah, daun Obat luka, sariawan, tonikum setelah melahirkan, obat sakit pinggang

Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber alternatif pangan dari jenis-jenis

vegetasi pada agroforestri tembawang umumnya berupa buah. Pemanfaatan buah oleh masyarakat biasanya dengan mengkonsumsi langsung ataupun diolah lebih lanjut. Jenis-jenis vegetasi sumber alternatif pangan meliputi Pinang, Tengkawang, Engkabang, Tekalong, Cempedak, Entawa, Pudu, Terap, Mentawak, Durian, Elai, Wanyi, Pelam, Kedondong, Jengkol, Rambutan, Klengkeng, Langsat, Blimbing dan Rembai. Pinang umumnya termasuk jenis vegetasi sumber kesehatan, namun Pinang juga dapat dikelompokkan pada jenis vegetasi sumber pangan karena jenis ini merupakan salah satu makanan khas yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Kompasiana (2015) melaporkan bahwa sebagian besar penduduk asli Papua baik di pesisir pantai dan maupun pegunungan mengkonsumsi pinang sebagai makanan penghangat tubuh.

Jenis-jenis vegetasi pada agroforestri tembawang yang dapat digunakan sebagai obat-obatan (bahan kesehatan) meliputi Pinang, Meranti, Keruing, Durian, Ubah, Bungkang, Medang, Leban, Leban Jawa, Pelai Pipit, Pelai, Purang dan Kandis. Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan kesehatan terdiri dari daun, getah, kulit batang, kulit buah dan buah. Indrayana (2008) melaporkan bahwa ekstrak etanol 70% daun salam (nama lokalnya Bungkang) dosis 2,5 g/KgBB dan 5,0 g/KgBB pada pemberian dosis tunggal mempunyai efek antioksidan pada serum darah tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi karbon tetraklorida dosis 2,8 ml/KgBB. Winata et al. (2003) menyatakan bahwa ekstrak aseton kulit batang Shorea leprosula (meranti) mengandung hopeafenol, laevifonol dan (+)-α-viniverin 3 yang mempunyai fungsi sebagai aktivitas biologis. Hopeafenol bersifat aktif terhadap sel tumor P-388 dengan IC50 2,91 µg/ml, sementara (+)-aviniferin bersifat anti-inflammasi dan inhibitor asetilkolinesterase. Meliki et al. (2013) menyatakan bahwa Suku Dayak Iban Desa Tanjung Sari, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang menggunakan kulit buah Rembai sebagai obat radang tenggorokan.

Page 70: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

70 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Jenis-jenis yang berpotensi sebagai sumber alternatif pangan dan kesehatan pada

agroforestri tembawang Desa Gurung Mali, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada tingkat tiang dan pohon sebanyak 33 jenis (23,9%) dari 138 jenis dan 17 famili. Famili yang mendominasi yaitu Dipterocarpaceae dan Moraceae. Jenis-jenis vegetasi tersebut meliputi Pinang, Tengkawang tungkul merah, Tengkawang tungkul putih, Tengkawang layar, Engkabang, Meranti, Keruing, Tekalong, Cempedak, Entawa, Pudu, Terap, Mentawak, Durian, Elai, Wanyi, Pelam, Kedondong, Jengkol, Rambutan, Klengkeng, Langsat, Blimbing, Rembai, Ubah, Bungkang, Medang, Leban, Leban Jawa, Pelai Pipit, Pelai, Purang dan Kandis.

B. Saran

Teknik silvikultur untuk keberlangsungan regenerasi dari jenis-jenis vegetasi sumber pangan dan kesehatan ini perlu dilakukan dalam rangka mendukung pemanenan hasil secara berkelanjutan. Penelitian pemanfaatan jenis-jenis oleh masyarakat Desa Gurung Mali, proses pengolahannya secara tradisional dan analisis pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatanya perlu dilakukan untuk melengkapi kajian ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, S. H., M. A. Sardjono, L. Sundawati, T. Djogo, G. A. Wattimena dan Widianto. 2003.

Agroforestri di Indonesia. ICRAF. Bogor. de Foresta, H., A. Kusworo, G. Michon dan W. A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan -

Agroforstri Khas Indonesia - Sebuah Sumbangan Masyarakat Bagi Pembangunan Berkelanjutan. ICRAF. Bogor.

Indrayana, R. 2008. Efek Antioksidan Ekstrak Etanol 70% Daun Salam (Syzygium polyanthum [Wight.]

Walp.) Pada Serum Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar yang Diinduksi Karbon Tetraklorida (CCl4). Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Kompasiana, 2015. Buah Pinang, Makanan Penghangat Tubuh (1). KOMPASIANA.com.htm. Diakses

tgl 9-10-2015. 16.27 wita. Meliki, R. Linda dan I. Lovadi. 2013. Etnobotani Tumbuhan Obat oleh Suku Dayak Iban Desa Tanjung

Sari Kecamatan Ketungau Tengah Kabupaten Sintang. Jurnal Protobiont Vol. 2 No. 3, Hal. 129-135.

Mulyadi, G. E. Tavita dan F. Yusro. 2014. Kajian Etnobotani Tumbuhan Obat Di Desa Panding Jaya

Kecamatan Ketungau Tengah Kabupaten Sintang. Jurnal Hutan Lestari Vol. 2 No. 1, Hal. 134-141.

Soeharto, B. 2010. Tembawang: Bukan Sekedar Sistem Agroforestri. Kiprah Agroforestri. CIFOR,

Bogor. Sumarhani dan T. Kalima, (2015). Struktur dan Komposisi Vegetasi Agroforestri Tembawang di

Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Masyarakat Biodiversitas Indonesia Vol. 1 No. 5, Hal. 1099-1104.

Page 71: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 71

Sundawati, L. 2003. Tembawang : Praktek Agroforestri Khas Di Kalimantan Barat dalam Arifin, S. H., M. A. Sardjono, L. Sundawati, T. Djogo, G. A. Wattimena dan Widianto. Agroforestri di Indonesia. ICRAF. Bogor.

Sutisna, U. 1981. Komposisi jenis hutan bekas tebangan di Batulicin, Kalimantan Selatan. Deskripsi

dan Analisis. Laporan No.328, Balai Penelitian Hutan. Bogor. Winata, A. N. I., Y. M. Syah, S. A. Achmad, E. H. Hakim, L. D. Juliawaty, E. L. Ghisalberti, dan M. I.

Choudhary. 2003. Beberapa Senyawa Stilbenoid Dari Kulit Batang Shorea leprosula Miq. Jurnal Matematika dan Sains Vol. 8 No.1, Hal. 23-26.

Page 72: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

72 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

KARAKTERISTIK REGENERASI VEGETATIF TUNAS AKAR CENDANA (Santalum album Linn.) PADA POLA AGROFORESTRY

I Komang Surata1

1Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, Mataram Email : [email protected]

ABSTRAK

Potensi populasi regenerasi alami tunas akar cendana (Santalum album Linn.) di ladang dengan pola agroforestry cukup tinggi. Oleh karena itu teknik ini perlu diketahui dan dikembangkan untuk mengatasi masalah penurunan regenerasi cendana. Sampai saat penelitian regenerasi alami tunas akar cendana belum banyak diketahui. Penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik regenerasi vegetatif tunas akar pada beberapa pola agroforestry. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey secara purposive random sampling pada pohon induk cendana (sebagai titik pusat plot), dan melakukan pengamatan sampel regenerasi vegetatif pada plot ukuran 20 m x 20 m. Pengambilan sampel dilakukan di empat pola agroforestry yaitu: ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran, dan padang penggembalaan dengan mengambil 25 sampel plot per pola agroforestry di 4 (empat) lokasi. Pengamatan data meliputi regenerasi vegetatif tunas akar: jumlah regenerasi, jarak akar, kedalaman akar, dan diameter akar bertunas dari akar pohon induk. Analisis data dilakukan dengan menggunakan ianalisis varians dan deskriptif frekuensi dengan aplikasi program statistik software SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola agroforestry nyata menghasilkan variasi pertumbuhan jumlah regenerasi vegetatif tunas akar. Urutan pola agroforestry yang paling tinggi-terendah meningkatkan jumlah regenerasi tunas akar berturut-turut adalah pada pola ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran, dan padang penggembalaan. Jumlah regenerasi tunas akar nyata dipengaruhi oleh: jarak akar, kedalaman akar, dan diameter akar dari pohon induk. Kata kunci: Regenerasi, tunas akar, cendana, pola agroforestry

I. PENDAHULUAN Cendana (Santalum album Linn.) merupakan jenis pohon endemik yang tergolong sangat penting peranannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa berdasarkan data hasil inventarisasi tahun 1987-1998 telah terjadi penurunan produksi yang cukup tinggi sebesar 53,95 % (Darmokusumo et al., 2001), di lain pihak permintaan kayu cendana dewasa ini terus meningkat setiap tahun. Penurunan ini karena pemanenan yang dilakukan secara berlebihan, tingginya pencurian, gangguan kebakaran, ternak, serta kurang diimbangi dengan keberhasilan penanaman, sehingga potensinya menurun dan dimasukkan kedalam vulnerabel (IUCN, 2010). Potensi populasi pohon cendana yang masih tersisa saat ini sebagian besar (83 %) tumbuh di lahan masyarakat (Dinas Kehutanan NTT, 1998) dan regenerasi alamnya 88 % berasal dari tunas akar (Surata dan Idris, 2001). Melihat potensinya cukup tinggi pada pola ladang sistem agroforestry dengan regenerasi tunas akar, menyebabkabkan tanaman cendana masih tetap eksis dan ada peluang untuk melestarikannya. Namun teknik ini belum banyak diterapkan atau dilakukan pengembangan karena teknologinya belum dikuasai. Regenerasi vegetatif tunas akar adalah semua permudaan yang tumbuh dari kuncup-kuncup dorman dari bagian bakal tunas (bud) akar tanaman. Proses pertumbuhan tunas akar tumbuh dipicu oleh karena adanya gangguan fisik pada akar menyebabkan terluka atau putus. Menurut Bates et al. (2002) pertumbuhan tunas akar terjadi karena gangguan akar lateral (akar terluka/terputus) dan hal ini akan menghambat/menghentikan atau terjadi penumpukan aliran hormon tumbuh auksin dan unsur hara di bagian terluka. Hormon ini diproduksi di jaringan meristem ujung akar dan penyerapan makanan terjadi di akar rambut ujung akar. Penumpukan auksin dan unsur hara dan

Page 73: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 73

melalui proses kimia pada bagian akar yang terluka akan memicu pertumbuhan tunas akar (Bates et al, 2002). Untuk sementara energi pertumbuhan tunas akar dibantu dari unsur hara berupa karbohidrat akar pohon induk, dan kondisi ini akan berlangsung sampai tunas akar mempunyai akar baru yang cukup mapan untuk bisa mandiri memenuhi kebutuhan air, nutrisi, dan dukungan struktural pertumbuhannya (DeByle,1964). Ketersediaan hormon tumbuh dan karbohidrat ditentukan oleh umur jaringan tumbuhan sehingga pembentukan zat tersebut akan menurun dengan meningkatnya umur jaringan tumbuhan. Menurut Hartman et al. (1990) jaringan tanaman pada masa muda (juvenil) dan masa dewasa (mature) terdapat fase perubahan, baik perubahan sifat morfologi maupun sifat fisiologi yang memengaruhi keberhasilan pertumbuhan pucuk, vigoritas, kemampuan membentuk akar, dan tunas adventif. Potensinya tunas akar cendana pada pola sistem agroforestry yang umum diterapkan di NTT masih kurang data dan informasinya seperti : ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran, dan padang pengembalaan kondisi biotik dan abiotik bervariasi sesuai dengan perbedaan kondisi lingkungan diduga akan menentukan variasi tingkat regenerasi tunas akar. Regenerasi tunas akar sangat dipengaruhi oleh faktor biotik (pohon induk) : seperti kondisi pertumbuhan pohon induk, umur dan perakarannya. Demikian juga faktor abiotik (lingkungan) seperti iklim mikro dan kondisi tanah (kimia dan fisik) seperti: iklim mikro : cahaya, kelembaban udara, dan suhu udara akan memengaruhi keberhasilan pertumbuhan tunas akar dan kondisi tanah seperti : kadar air, sirkulasi udara, dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah memengaruhi pertumbuhan tunas akar. Pada tanah-tanah yang gembur akan menciptakan seed bed berupa pori-pori tanah yang lebih baik untuk menciptakan sirkulasi oksigen, ketersediaan air, ketersediaan unsur hara, dan akan mempermudah akar tanaman tumbuh lebih baik, dan terus tumbuh memanjang ke jarak yang lebih jauh di dalam tanah (Evans, 1986). Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik jumlah, jarak, dan diameter akar pohon induk yang menghasilkan regenerasi vegetatif tunas akar pada beberapa pola agroforestry.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Dusun Haunubenak, Babuin, Tetap dan Oenlasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dilakukan pada bulan Juli - Oktober 2014. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 100 -150 m dari permukaan laut. dengan tipe iklim D (Schmidt dan Ferguson,1951), jenis tanah Litosol, Renzina dan Mediteran yang tersusun dari bahan induk endapan batu kapur dan vulkan (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993). B. Bahan dan Peralatan Penelitian Dalam penelitian ini digunakan bahan dan alat sebagai berikut: phi band, haga meter, meter roll, kaliper, kompas, tali nilon, kantung plastik, besi gali, cangkul, spidol, label, cat, tiner, kuas. Pohon cendana pada pola agroforestry tumbuh secara acak di ladang yang diselingi pertumbuhan pohon adalah sebagai berikut: a. Ladang tanpa bera, yaitu penggunaan lahan utama untuk penanaman tanamanan semusim seperti:

jagung (Zea mays L.), singkong (Manihot utilissima Pohl.), kacang gude (Cajanus cajan (L) Millsp.), labu (Cucurbita maxima Duchesne) yang dilakukan setiap tahun secara terus menerus pada awal musim penghujan, dan pohon kehutanan /perkebunan tumbuh sebagai pembatas pagar.

b. Ladang bera, yaitu penggunaan lahan ladang yang untuk sementara diistirahatkan atau diberakan selama 2 - 3 tahun, yang ditumbuhi semak-semak, untuk memulihkan kesuburan tanahnya dan setelah pulih kesuburannya maka diusahakan kembali sebagai ladang. Selama masa proses pemberaan ditumbuhi oleh semak-semak, dan dan pohon kehutanan /perkebunan tumbuh sebagai pembatas pagar.

Page 74: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

74 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

c. Kebun campuran, yaitu penggunaan lahan untuk penanaman pola campuran antara tanaman semusim secara terbatas pada musim hujan dan tanaman tahunan (perkebunan dan kehutanan) dengan pola acak

d. Padang penggembalaan, yaitu penggunaan lahan hanya untuk padang penggembalaan ternak lepas.

C. Metode Penelitian 1. Pengamatan Data Penelitian menggunakan metode survei dengan pengambilan sampel secara purposive random sampling (Sugiyono, 2009). Sebagai satuan sampel pengamatan adalah pohon induk cendana dengan diameter ≥10 (Dinas Kehutanan NTT, 1998) dengan menggunakan pohon induk cendana dipakai sebagai pusat plot dan membuat petak ukur segi empat berukuran 20 m x 20 m di bawah pohon induk. Jumlah sampel plot yang diambil pada setiap pola penggunaan lahan masing-masing sebanyak 25 buah. Pengamatan data yang dilakukan meliputi: jumlah pohon induk yang menghasilkan tunas akar, jumlah tunas akar per pohon (tingkat semai dan pancang), jarak tumbuh tunas akar dari pohon induk, kedalaman tumbuh tunas akar dari permukaan tanah, dan diameter akar pohon induk yang menghasilkan tunas akar. 2. Analisis Data Pertumbuhan tunas akar cendana pada beberapa pola agroforestry seperti : jumlah regenerasi tunas akar pada pohon induk, jarak pertumbuhan tunas akar dari pohon induk, kedalaman akar dari permukaan tanah, serta diameter akar lateral bertunas dilakukan analisis dengan statistik Anova dengan menggunakan Uji Two Way Anova (Hartono,2008). Selanjutnya kalau ada perbedaan maka dilanjutkan dengan Uji Tukey 5 %

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil 1. Jumlah Tunas Akar Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pola agoforestry, desa, dan interaksinya nyata menghasilkan perbedaan jumlah pohon induk yang menghasilkan tunas akar, rata-rata jumlah tunas akar pada tingkat semai, pancang, dan permudaan total (Lampiran 1). Selanjutnya hasil analisis Uji Tukey 0,05 (Tabel 1) menunjukkan bahwa pola agroforestry yang terbaik sampai terendah yang meningkatkan jumlah pohon induk menghasilkan tunas akar pada tingkat semai, pancang, dan total berturut-turut adalah pada pola ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran, dan padang penggembalaan. Jumlah tunas akar yang tumbuh per pohon induk pada pola agroforestry ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran, dan padang penggembalaan bervariasi dari 0-13 anakan/pohon, jumlah pohon induk yang yang menghasilkan regenerasi tunas akar bervariasi 5 – 72 %, dengan urutan yang terbaik adalah pada pola ladang tanpa bera (72 %) dibandingkan dengan ladang bera (48 %), kebun campuran (26 %), dan padang penggembalaan (5 %) (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata jumlah regenerasi tunas akar tingkat semai, pancang, total,serta jumlah pohon induk bertunas akar,jumlah tunas akar maksimum, minimum pada beberapa pola agroforestry

Variabel

Rata-rata tunas akar (anakan/pohon)

Jumlah Pohon induk

bertunas akar

Jumlah tunas akar (anakan/pohon)

Semai Pancang Total Standar deviasi

(%) Minimum Maksimum

Ladang tanpa bera 0,99 a 1,65 a 2,64 a 2,88 72 a 0 13

Ladang bera 0,18 b 1,38 a 1,56 b 1,97 48 b 0 9

Kebun campuran 0,22 b 0,32 b 0,54 b 1,56 26 c 0 7

Page 75: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 75

Variabel

Rata-rata tunas akar (anakan/pohon)

Jumlah Pohon induk

bertunas akar

Jumlah tunas akar (anakan/pohon)

Semai Pancang Total Standar deviasi

(%) Minimum Maksimum

Padang penggembalaan

0,04 b 0,01 c 0,05 c 0,22 5 d 0 1

Keterangan :Nilai rata–rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Tukey 0,05 2. Jarak Pertumbuhan Tunas Akar dari Pohon Induk Jarak pertumbuhan tunas akar dinilai dari jarak tunas akar yang tumbuh dari pohon induk. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pola agroforestry, desa, dan interaksinya nyata memengaruhi jarak tumbuh tunas akar dari pohon induk (Lampiran 1). Tabel 2. Jarak tumbuh regenerasi tunas akar, jarak maksimum dan minimum, jumlah tunas akar mendekati 3 m, dan jumlah tunas akar per pohon dari pohon induk pada pola agroforestry

Variabel Jarak tunas akar (m)

Jarak permudaan (m) Jumlah tunas akar (%)

Jumlah tunas akar per pohon

Maksimum Minimum ≤ 3 m > 3 m anakan (%)

Ladang tanpa bera 3,12 a 1 9 76,9 23,1 2,60 54,74

Ladang bera 2,37 b 1 7 83,5 16,5 1,56 32,84

Kebun campuran 2,29 b 1 7 94,4 5,6 0,54 11,37

Padang penggembalaan

2,26 b 3 4 60,0 40,0 0,05 1,05

Keterangan :Nilai rata–rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD 0,05

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis Uji Tukey 0,05 menunjukkan bahwa pola agroforestry ladang tanpa bera menghasilkan jarak tumbuh tunas akar dari pusat pohon induk lebih panjang (3,12 m) dari pada ladang bera (2,37 m), kebun campuran (2,29 m), dan padang penggembalaan (2,26 m). Jumlah tunas akar minimum pada jarak 1 m dan maksimum 9 m. Jarak tumbuh tunas akar pada jarak ≤ 3 m adalah 60,0 – 94,4 % dan pada jarak > 3 m adalah 5,6 – 40,0 %. Jadi jarak yang menjauhi pohon induk lebih kecil atau jumlah anakannya mendekati pohon induk. Bila mengacu pada standar lebar penutupan tajuk pohon induk cendana 3 m, maka agar tidak terjadi persaingan jarak anakan cendana dari pohon induk yang ideal adalah lebih besar dari 3 m, hal ini untuk mengurangi tingkat persaingan cahaya, air dan unsur hara dengan pohon induk (Tabel 2). 3. Kedalaman Pertumbuhan Tunas Akar Pertumbuhan tunas akar dipengaruhi oleh kedalaman akar dari permukaan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman tumbuh tunas akar pada pola ladang tanpa bera, ladang bera dan kebun campuran lebih dalam dari pada padang penggembalaan. Jumlah tunas akar yang tumbuh dari kedalaman permukaan tanah bervariasi yaitu minimum 1 cm dan maksimum 7 cm, jumlah tunas akar tertinggi terjadi pada kedalaman 4,19-4,42 cm (atau 4 cm) berkisar 11,37- 54,74 % yang terjadi pada ladang tanpa bera, ladang bera dan kebun campuran dan yang terendah adalah pada padang penggembalaan sebesar 1,05 % (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata kedalaman tunas akar dari pohon induk dan kedalaman tumbuh tunas akar minimum dan maksimum dan jumlah rata rata tunas akar dari permukaan tanah pada pola agroforestry

Kedalaman tunas akar

Kedalaman anakan tumbuh (cm)

Standar deviasi

Jumlah rata-rata tunas akar

Page 76: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

76 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Variabel (cm) Minimum Maksimum (cm) (anakan /pohon)

(%)

Ladang tanpa bera 4,335 a 3 7 1,07 2,64 55,81

Ladang bera 4,190 a 3 7 1,11 1,54 32,55

Kebun campuran 4,423 a 3 7 1,17 0,53 11,21

Padang penggembalaan

3,220 a 1 2 0,93 0.02 0,43

Keterangan :Nilai rata–rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD 0,05 4. Diameter Akar Pohon Induk Menghasilkan Tunas Akar Pertumbuhan tunas akar dapat dinilai dari kemampuan ukuran diameter akar pohon induk menghasilkan tunas akar. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan dan interaksinya nyata mempengaruhi jumlah tunas akar yang dihasilkan oleh diameter akar pohon induk, sedangkan parameter desa tidak nyata memengaruhi pertumbuhan tunas akar yang dihasilkan oleh diameter akar pohon induk (Lampiran 1). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis Uji Tukey 0,05 menunjukkan bahwa pola agroforestry ladang, ladang bera menghasilkan jumlah tunas akar yang dapat tumbuh pada diameter akar pohon induk lebih besar (2,34-2,39 cm) dan berkisar 12,60-52,84 %, serta pada kebun campuran dan padang penggembalaan tunas akar tumbuh pada ukuran diameter akar pohon induk yang lebih kecil (2,26 cm) berkisar 0,83 % (Tabel 4) . Tabel 4. Rata-rata diameter pohon induk yang menghasilkan tunas akar pada beberapa pola penggunaan lahan dan desa

Variabel Diameter akar pohon induk

(cm)

Standar Deviasi

Diameter anakan tumbuh (cm)

Jumlah rata-rata tunas akar

Minimum (cm)

Maksimum (cm)

(anakan /pohon)

(%)

Ladang tanpa bera 2.34 a 0,29 1,50 3,0 0,83 33,73

Ladang bera 2.39 a 0,26 1,50 3,0 1,30 52,84

Kebun campuran 2.31 b 0,31 1,50 3,0 0,31 12,60

Padang penggembalaan

2.26 b 0,32 1,75 2,75 0,02 0,83

Keterangan :Nilai rata–rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Tukey 0,05

Diameter akar yang dapat tumbuh tunas akar dari akar pohon induk cendana pada pola agroforestry ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran, dan padang penggembalaan bervariasi dari 1,5-3,0 cm, dengan jumlah tunas tertinggi yang dihasilkan pada diameter 2,75- 3 cm. Dengan demikian maka urutan diameter akar lateral pohon induk yang dapat menghasilkan tunas tertinggi yaitu pada pola ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran dan yang terendah pada padang penggembalaan. Jumlah tumbuh tunas akar mencapai maksimum pada diameter 3 cm dengan jumlah tunas akar 12,60 - 52,84 %. B. Pembahasan 1. Jumlah Tunas Akar Pola agroforestty nyata menghasilkan variasi pertumbuhan tunas akar. Pola agroforestry ladang tanpa bera paling baik menghasilkan regenerasi vegetatif tunas akar yaitu : jumlah pohon induk bertunas akar sebesar 72 %, jumlah tunas akar yang dihasilkan 0-13 anakan//pohon dengan rata-rata 2,63 anakan/pohon. Tingginya pohon induk cendana menghasilkan tunas akar pada pola agroforestry ladang tanpa bera karena pada pola ladang tanpa bera lebih banyak peluang dilakukan pengolahan lahan berupa mencangkul atau menugal tanah untuk persiapan lokasi penanaman dan

Page 77: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 77

pemeliharaan tanaman pangan, sehingga secara tidak sengaja peluang akar terganggu (terluka/terputus) lebih banyak. Akar yang terluka atau terputus akan menghambat/menyumbat aliran hormon tumbuh seperti : auksin (Bates et al., 2002), hormon tumbuh sitokinin dan giberelin yang diproduksi di bagian meristik ujung akar (Faridah, 2007). Aliran hormon tumbuh ini akan berhenti pada bagian akar yang terluka atau terputus. Kondisi ini akan merangsang pertumbuhan primordia (tunas) dan selanjutnya tumbuh menjadi tunas akar. Menurut Hartman et al.( 1990) sel-sel dari jaringan tanaman yang terpotong akan membentuk struktur tanaman secara utuh seperti semula karena sel mempunyai sifat totipotensi dan dediferensiasi. Totipotensi mempunyai arti bahwa sel tanaman akan mempunyai informasi genetik penting untuk membentuk seluruh bagian tanaman dan sesuai dengan fungsinya. Sedangkan dediferensiasi mengandung arti bahwa sel mempunyai kemampuan berkembang seperti semula serta berdeferensiasi seperti semula. Pada ladang bera dan kebun campuran meskipun rutin dilakukan pengolahan lahan setiap tahun seperti ladang tanpa bera kondisi lingkungan tumbuhnya berbeda. Pada ladang bera untuk sementara 2-3 tahun tidak dilakukan pengolahan lahan sehingga tingkat gangguan akar berkurang, dan selama masa bera tingkat semainya rendah disamping itu dengan rapatnya tajuk semak yang tumbuh pada masa bera akan mengurangi intensitas cahaya matahari untuk fotosintesis tunas akar. Pada pola kebun campuran kelihatannya pertumbuhan permudaan alam dihambat oleh naungan pohon dari kebun campuran yang agak rapat dan hal ini meningkatkan tingkat kematian tunas akar. Pada padang penggembalaan tidak dilakukan pengolahan lahan dan peluang permudaan alam yang tumbuh sangat kecil. Permudaan alam yang tumbuh terjadi pada akar yang tersingkap di permukaaan tanah dan akibat dari gangguan ternak, kebakaran. Perbandingan jumlah total permudaan tunas akar pada ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran dan padang penggembalaan antara tingkat semai 0,37 (29 %) dan tingkat pancang 0,89 (71 %) atau 1 : 3 (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa populasi permudaan tunas akar cendana tingkat semai lebih kecil dari pada tingkat pancang. Hal ini disebabkan tingkat kematian semai yang tinggi akibat gangguan kebakaran, ternak, dan juga kekeringan. Pertumbuhan permudaan alam tunas akar pada awalnya cukup banyak yaitu pada setiap akar yang terpotong akan menghasilkan tunas akar, akan tetapi setelah tumbuh tunas akar hanya tinggal beberapa semai saja yang masih hidup karena gangguan dan faktor lingkungan tumbuh yang cukup tinggi. Penilaian regenerasi alam dari tunas akar ini pada pola agroforestry masih kurang jumlahnya. Menurut Smith et al.(1977) sesuai jumlah perbandingan kecukupan antara anakan dan pohon : 4 : 1. Dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang menghasilkan rata rata total pada ke empat pola agroforestry masih kurang yaitu jumlah total regenerasi tumbuh tunas < 2,6 buah /pohon . Hal ini mengindikasikan jumlah permudaan alam pohon induk masih kurang dan untuk mempertahankan dan meningkatkan perlu dilakukan pemeliharaan berupa perlindungan dari bahaya ternak, kebakaran dan penambahan jumlah tunas akar dengan cara pemotongan akar secara buatan. Teknik pemotongan akar secara buatan adalah strategi yang bisa dilakukan untuk mengatur jumlah dan strata permudaan untuk mendapatkan variasi umur masak tebang atau untuk mengatur siklus tebang, sehingga pohon-pohon cendana dapat dikelola multi umur. Menurut Balasundaran (1998) teknik pemotongan akar secara buatan maka pada saat akar lateral terluka atau terpotong, sebanyak 92 % tunas akar cendana akan tumbuh dari akar yang terpotong dan putus serta 8 % tumbuh dari akar yang hanya terluka. Menurut Surata dan Idris (2001) pemotongan akar lateral cendana secara buatan yang dilakukan pada musim kemarau yang berukuran 2-3 cm dapat menghasilkan keberhasilan tumbuh tunas akar 73 %. Pengaturan jumlah struktur tingkat semai, pancang, tiang dan pohon tanaman dapat dipakai untuk mengatur waktu pemanenan dan siklus tebang bisa diperpendek. 2. Jarak Pertumbuhan Tunas Akar Pola agroforestry dan interaksinya nyata memengaruhi jarak pertumbuhan tunas akar dari pohon induk. Jarak rata-rata tumbuh berkisar 2,26-3,12 m, dan penyebaran pertumbuhannya lebih

Page 78: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

78 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

banyak mendekati pohon induk yaitu pada jarak ≤ 3 m adalah 60,0 – 94,4 % dan jarak > 3 m adalah 5,6 – 40,0 %. Jadi jarak yang menjauhi pohon induk lebih kecil jumlah anakannya. Jarak pertumbuhan yang mendekati tajuk pohon induk lebih banyak, karena semakin dekat dengan pohon induk maka akar pohon induk cendana akan semakin dangkal dan semakin menjauhi pohon induk perakaran semakin dalam (Barnes et al.,1997). Peluang akar yang lebih dangkal akan lebih mudah terganggu baik dengan pengolahan lahan atau gangguan ternak. Pertumbuhan permudaan tunas akar ruang tumbuhnya terlalu rapat (bergerombol) dan lebih besar semakin mendekati pohon induk jumlahnya lebih banyak pada jarak < 3 m baik pada pola ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran, dan padang penggembalaan. Regenerasi tunas akar yang jaraknya sama dan kurang 3 m (mendekati pohon induk) dan lebih besar dan yang menjauhi pohon induk lebih kecil . Oleh karena itu agar pertumbuhan regenerasi alam cepat dan tidak tertekan karena persaingan maka perlu segera dilakukan pemeliharaan berupa penjarangan pada tunas akar yang tumbuh mendekati pohon induk (jarak <3 m) dan jarak populasinya diatur normal, sehingga tumbuhnya tersebar merata dan ruang tumbuhnya bisa lebih baik dan berjauhan sehingga tidak terjadi persaingan. 3. Kedalaman Pertumbuhan Tunas Akar Pola penggunaan lahan pada ladang tanpa bera, ladang bera, kebun campuran dan padang penggembalaan rata–rata menghasilkan tunas akar pada kedalaman bervariasi dari 1-7 cm dengan jumlah terbanyak pada jarak 4,19-4,42 cm atau berkisar 11,37- 54,74 % yang terjadi pada ladang tanpa bera, ladang bera dan kebun campuran dan yang terendah pada padang penggembalaan sebesar 1,05 %. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan tunas akar sangat ditentukan oleh cadangan oksigen dalam tanah dan kelembaban tanah yaitu kadar air tanah. Pada kedalaman melibihi 4 cm tanah semakin padat dan oksigen semakin sedikit, dan sebaliknya pada kedalaman yang lebih dangkal dari 4 cm maka kadar air tanah atau kelembaban tanah berkurang sehingga pertumbuhan tunas akar menurun. Menurut Barnes et al. (1997) pertumbuhan akar akan menyesuaikan dengan adaptasi dari species terhadap lingkungannya seperti iklim, kondisi air tanah, perbedaan jenis tanah, batuan induk, dan aerasi tanah. Pada daerah-daerah beriklim kering yang panjang, kedalaman air tanahnya dalam dan pertumbuhan akar akan semakin dalam. Pada tanah yang solumnya dangkal maka akar akan tumbuh dangkal dan akar akan tumbuh pada tempat yang aerasi tanah yang lebih baik. Mengacu pada hal ini maka diduga pertumbuhan tunas akar induk cendana lebih dalam dan pertumbuhan akar muda yang baru tumbuh akan berusaha tumbuh ke bawah dan kesamping mencari air dan unsur hara. Kalau sudah mentok pertumbuhan kesamping dan ke bawah maka akar akan mulai tumbuh mendekati permukaan tanah, sehingga akar–akar kasar lateral tumbuhnya agak ke atas. Menurut Barnes et.al.(1997) akar akan banyak tumbuh lebih dalam karena stress fisiologi kekeringan untuk dapat mengambil air. Pola pertumbuhan akar lateralnya semakin menjauhi pohon induk atau akan semakin dalam demikian sebaliknya. Dengan demikian semakin mendekat ke pohon induk pertumbuhan akar cendana ukuran diameter akar lateralnya akan semakin besar, sehingga peluang akar terputus saat pengolahan lahan sangat kecil dan hanya sampai terluka saja. 4. Diameter Akar Pohon Induk Menghasilkan Tunas Akar Diameter akar lateral yang mampu menghasilkan tunas akar nyata dipengaruhi oleh pola agroforestry. Peningakatan ukuran diameter akar yang mampu menghasilkan tunas akar dipicu oleh aktivitas pengolahan lahan, hal ini disebabkan pada pola ladang, ladang bera, dan kebun campuran dilakukan pengolahan lahan, sehingga peluang akar yang terputus pada akar yang berdiameter lebih besar dapat terjadi, sedangkan pada padang penggembalaan hanya mengandalkan pertumbuhan dari aktifitas ternak sehingga akar-akar yang mampu putus hanya akar yang kecil. Diameter akar pohon induk yang menghasilkan permudaan alam tunas akar bervariasi dari 1,5- 3,0 cm dan pola agroforestry ladang, ladang bera menghasilkan jumlah tunas akar yang dapat tumbuh pada diameter akar pohon induk lebih besar (2,34-2,39 cm), dan pada kebun campuran dan padang penggembalaan tunas akar tumbuh pada ukuran diameter akar pohon induk yang lebih kecil

Page 79: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 79

(2,26 cm), kemudian di atas 2,5 cm dan di bawah ukuran diameter 2,3 cm tersebut terjadi penurunan. Menurut Surata dan Idris (2001) diameter akar yang paling baik menghasilkan tunas akar adalah pada ukuran 2-3 cm dan akarnya harus sudah berkayu yang dapat menghasilkan persen tumbuh 73 %. Pada ukuran diameter akar tersebut akar sudah mencapai masak fisiologis. Menurut Hartman et al. (1990) kemampuan akar untuk membentuk tunas akar syarat utamanya adalah akar tersebut telah masak fisiologis. Pada akar yang telah mencapai tingkat pertumbuhan masak fisiologis, sel-selnya mengandung banyak zat makanan yang diperlukan sebagai sumber energi untuk proses pertumbuhan dan perkembangan pertumbuhan tunas. Menurut Zahner dan DeByle (1965) pertumbuhan tunas akar pada Aspen (Populus tremuloides Michx.) akan lebih baik bilamana diameter akar pohon induk berukuran kecil yaitu 2-20 mm. Pada ukuran ini hormon tumbuh auksin dan simpanan karbohidrat cukup baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan regenerasi tunas akar.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Pola agroforestry nyata menghasilkan variasi jumlah regenerasi tunas akar. Pola ladang tanpa

bera paling baik meningkatkan jumlah regenerasi tunas akar pada tingkat semai dan pancang. Jumlah pohon induk yang menghasilkan tunas akar dan rata-rata dari tertinggi-terendah berturut-turut adalah: pola ladang 72 %, ladang bera 48 %, kebun campuran 26 %, dan padang penggembalaan 5 % .

2. Pertumbuhan regenerasi tunas akar dipengaruhi oleh jarak tumbuh tunas akar dari pohon induk, kedalaman akar, dan ukuran diameter. Jarak rata-rata tumbuh tunas akar pada ladang tanpa bera, ladang bera dan kebun campuran lebih banyak mendekati pohon induk pada jarak ≤ 3 m berkisar 60,0 – 94,4 %, kedalaman tumbuh tunas akar terbanyak pada kedalaman 4 cm dari permukaan tanah dan berkisar jumlahnya 11,37- 54,74 %, serta ukuran diameter akar pohon induk paling besar menghasilkan tunas akar pada ukuran 2,34-2,39 cm yang jumlahnya berkisar 12,60-52,84 %.

B. Saran 1. Jumlah pohon induk cendana menghasilkan permudaan alam tunas akar pada beberapa pola

agroforestry pertumbuhannya dinilai bervariasi dan masih rendah, Oleh karena itu untuk meningkatkan jumlahnya yang dinilai masih kurang maka perlu ditingkatkan dengan pemeliharaan terhadap gangguan ternak, kebakaran, dan dibantu dengan teknik pemotongan akar lateral dengan cara mengatur waktu dan jumlah pemotongan akar lateral, pengaturan jarak tumbuh.

2. Teknik ini dapat membantu mengatur pohon induk yang masak tebang yang dapat dikelola multi umur dengan cara mengatur jumlah struktur strata permudaannya, untuk pengaturan siklus tebangan agar bisa diperpendek.

DAFTAR PUSTAKA

Balasundaran, M. 1998. A Method for Clonal Propagation of Sandal. Sandal and Its Products. ACIAR

Proceedings No.84, Canberra, Australia. Barnes, B.V., Zah. D.R., Denton, S.R., dan Spurr.S.N. 1997. Forest Ecology. 4th.ed. John Willey and

Sons Inc. New York. Bates, P.C., Blind, C.R. dan Alvin, A. 2002. Regeneration Quaking Aspen: Management

Recommendations. Minnesota Department of Forest Resources. University of Minnesota, Minnesota US.

Page 80: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

80 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

DeByle, N.V. 1964. Detection of Functional Intraclonal Root Connection by Tracers and Excavation.

For. Sci. 10: 386-396. Dinas Kehutanan Provinsi NTT. 1998. Laporan Inventarisasi Cendana (Santalum album L.) di Pulau

Timor. Dinas Kehutanan Provinsi NTT. Darmokusumo, S., Nugroho, A.A., Botu, E.U., Jehamat, A., Benggu, M. 2001. Upaya Memperluas

Kawasan Ekonomi Cendana di Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi Edisi Khusus Vol 5 .No.5. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Hal 509-515.

Evans, J. 1982. Plantation Forestry in the Tropics. The English Language Book Society and Clarendon

Press. Oxford. Faridah, E., 2007. Fisiologi Stress. Program Studi Ilmu Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana. Universitas

Gadjah Mada. Yogyakarta. Hartmann, H.T. Kester, D.E. dan Davis, J.R., 1990. Plant Propagation Principle and Practices. Prentice

Hall International. Inc. (UK) Limited.London. Hartono. 2008. SPSS 16.0. Analisis Data Statistika dan Penelitian. Pustaka Pelajar . Yogyakarta. IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. <www.http ://iucnredlist.org.> Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1993. Peta Tanah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Schmidt, F.G. dan Ferguson, J.H.A. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for

Indonesia with Western New Guinea. Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakarta.

Smith, D.R. dan Johnson, E.W. 1977. Silviculture: Higly Energy Efficient dalam Indrawan, A. 1996.

Penilaian Permudaan di Areal Bekas Tebangan. Dalam Rangka Penerapan TPTI di HPH PT Pertisa, Riau. Journal Manajemen Hutan Tropika. 12(1): 12-25.

Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. Surata, I.K. dan M.M. Idris. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Berita

Biologi Edisi Khusus. Pusat Penelitian Biologi LIPI. 5 (5): 521-537. Zahner, R., dan DeByle, N.V. 1965. Effect of Prunning the Parent Root on Growth of Aspen Suckers,

Ecology 46 (3); 373-375.

Page 81: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 81

Lampiran 1. Hasil analisis varians jumlah pohon induk menghasilkan tunas akar, dan jumlah rata- rata tunas akar pada beberapa pola Agroforestry

Sumber keragaman JK Db KT F Sig.

a. Pohon induk bertunas akar

Pola Agroforestry 24,508 3 8,169 52,918 0,000*

Dusun 3,968 3 1,323 8,567 0,000*

Interaksi pola agroforestry dan Dusun

5,743 9 0,638 4,133 0,000*

Galat 59,280 384 0,154

Total 93,499 400

b. Rata-rata jumlah tunas akar

Pola Agroforestry 359,570 3 119,85 37,654 0,000*

Dusun 87,770 3 29,257 9,191 0,000*

Interaksi pola agroforestry dan Dusun

137,850 9 15,317 4,812 0,000*

Galat 1222,32 384 3,183

Total 1807,57 400

c. Permudaan tingkat semai

Pola Agroforestry 64,650 3 21,550 18,386 0,000*

Dusun 16,190 3 5,397 4,604 0,004*

Interaksi pola agroforestry dan Dusun

52,670 9 5,852 4,993 0,000*

Galat 450,080 384 1,172

Total 583,590 400

d. Permudaan tingkat pancang

Pola Agroforestry 143,368 3 47,789 26,424 0,000*

Dusun 71,188 3 23,729 13,121 0,000*

Interaksi pola agroforestry dan Dusun

65,463 9 7,274 4,022 0,000*

Galat 694,480 384 1,809

Total 974,449 400

e. Jarak tunas akar tumbuh

Pola Agroforestry 1043373,35 3 347791,11 17,464 0,000 *

Dusun 196121,303 3 65373,768 3,283 0,021 *

Interaksi pola agroforestry dan Dusun

1382949,44 9 153661,04 7,716 0,000 *

Galat 7647163,88 384 19914,489

Total 10269607,970 400

f. Kedalaman tunas akar tumbuh

Pola Agroforestry 2,983 3 0,994 13,835 0,000 *

Dusun 0,131 3 0,044 0,607 0,611

Interaksi pola agroforestry dan Dusun

2,049 9 0,228 3,166 0,001*

Galat 27,604 384 0,072

Total 32,767 400

Page 82: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

82 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Sumber keragaman JK Db KT F Sig.

g. Diameter akar

Pola Agroforestry 0,131 3 0,044 0,607 0,611

Dusun 2,049 9 0,228 3,166 0,001*

Interaksi pola agroforestry dan Dusun

27,604 384 0,072

Galat 32,767 400

Total

* Berbeda nyata pada taraf Uji Tukey 5 %

Page 83: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 83

AGROFORESTRI DI ZONA PENYANGGA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PERLINDUNGAN TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

Sumarhani1 dan Titiek Setyawati1

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor.

[email protected]

ABSTRAK

Agroforestri merupakan suatu system pengelolaan lahan yang mengintegrasikan pohon-pohon dengan tanaman semusim yang memiliki peran penting meningkatkan produktivitas lahan dan perlindungan lingkungan. Agroforestri dapat di kembangkan di dalam dan di luar kawasan. Agroforestri dapat dikembangkan di dalam dan di luar kawasan. Di dalam kawasan seperti Taman Nasional, agoforestry dikembangkan pada zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi. Sedangkan di luar kawasan, agroforestri di kembangkan di zona penyangga dan di lahan milik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model agroforestri yang dikembangkan, komposisi jenis tanaman penyusun agroforestri dan pendapatan masyarakat. Penelitian dilakukan di zona penyangga TNBBS Desa Pemerihan, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Penelitian dilakukan melalui wawancara dan observasi lapangan. Hasil penelitian memperlihatkan model agroforestri yang dikembangkan adalah tanaman campuran (Mixed Cropping) dengan vegetasi penyusun Agroforestri untuk tingkat tiang adalah cempaka (INP=77,68), duren (INP= 60,19), jengkol (INP=15,06) dan coklat (INP=147,06). Jenis vegetasi untuk tingkat semai duren (INP=8,88), jengkol (INP=17,76), coklat (INP=28,83), kopi (INP=79,09) dan lada (INP=65,44). Rata-rata pendapatan petani dari hasil usahatani Rp 15.024.790,-/ha/th. Hasil pendapatan petani tersebut dikatakan dalam katagori cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Agroforestri memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan dalam program rehabilitasi lahan dan hutan dalam upaya melindungi kawasan konservasi TNBBS dan memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar kawasan. Kata kunci : Agroforestri, komposisi jenis tanaman, pendapatan

I. PENDAHULUAN Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu kawasan konservasi di

Indonesia yang terletak di Provinsi Lampung dan sebagian Provinsi Bengkulu dengan luas total 356.800 ha. Taman Nasional ini ditujukan untuk melindungi hutan hujan tropis dataran rendah pulau Sumatera beserta kekayaan alam hayati yang dimilikinya. Tujuh puluh tujuh persen (249.552 ha) dari luas taman nasional, secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus, dimana keduanya adalah bagian dari Provinsi Lampung. Sisanya dua puluh tiga persen (74.822 ha) dari luas taman keseluruhan berada di wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Keberadaan TN Bukit Barisan Selatan yang bernilai tinggi sebagai penyangga kehidupan, sumber plasma nutfah dan wisata alam potensial, kini kondisinya menghadapi tekanan dari penduduk disekitarnya berupa penebangan liar, perambahan kawasan dan perburuan. Mulyana et.al., (2010), menyebutkan kawasan konservasi di Indonesia hampir seluruhnya mengalami tekanan dan tidak ada yang tanpa keberadaan masyarakat .

Di sekitar TN Bukit Barisan Selatan terdapat 124 desa tersebar di 21 kecamatan dari ketiga Kabupaten (Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, 2009). Masyarakat tersebut memiliki ketergantungan terhadap keberadaan kawasan hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Ardi dkk. (2009), menyebutkan terdapat dua katagori ketergantungan masyarakat terhadap kawasan yaitu ketergantungan positif dan ketergantungan negatif. Ketergantungan positif, dimana masyarakat melestarikan kawasan hutan karena dengan lestarinya hutan, penghidupan mereka dapat sejahtera. Seperti air untuk mengairi sawah, ladang, mikrohidro, perikanan dan lain sebagainya. Disisi lain,

Page 84: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

84 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

masyarakat yang berhubungan langsung dengan kawasan tidak sepenuhnya mengetahui peran dan fungsi dari keberadaan kawasan tersebut, sehingga masyarakat merusak kawasan hutan dalam bentuk perambahan, penebangan pohon secara illegal, menjual satwa dan tumbuhan dilindungi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang demikian dikatagorikan sebagai ketergantungan negatif. Masyarakat yang mempunyai ketergantungan positif terhadap kawasan perlu dibina dalam melestarikan hutan dan ekosistem lingkungan, sedangkan masyarakat yang mempunyai ketergantungan negatif perlu disadarkan dan dibina untuk ikut melestarikan hutan. Kegiatan penyadartahuan dan pembinaan masyarakat dapat dilakukan salah satunya melalui kegiatan pendampingan masyarakat daerah penyangga. (Wild dan Mutebi, 1996) meyebutkan pembangunan daerah penyangga berbasis ekosistem hutan dapat mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif kawasan, baik dari kawasan konservasi terhadap masyarakat sekitarnya maupun sebaliknya. Zona penyangga adalah area yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, yang penggunaan lahannya terbatas untuk melindungi kawasan dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Perlindungan dengan mengembangkan daerah penyangga, agar dapat memberikan manfaat yang optimal maka perlu dirumuskan bentuk pengelolaannya sesuai dengan karakteristik biofisik dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat serta aspirasi masyarakat sekitarnya.

Mac Kinnon et al.,(1993), membedakan empat tipe zona penyangga yaitu: zona pemanfaatan tradisional di dalam kawasan, penyangga hutan, penyangga ekonomi dan rintangan fisik. Ke empat zona penyangga penyangga tersebut dapat dijumpai di sekitar TNBBS. Pengelolaan zona penyangga TNBBS adalah dengan menerapkan konsep agroforestri. Agroforestri merupakan suatu teknik pengelolaan lahan yang sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat disamping menjaga, melindungi dan melestarikan kawasan termasuk habitat satwa liar, flora fauna endemik dan biota lain. Purwaningsih (2006), menjelaskan bahwa kehadiran sistem agroforestri sangat diperlukan, karena terdapat dua keuntungan yang bisa di dapat yaitu keuntungan ekonomis dan ekologis. Dibanding dengan sitem tanam monokultur agroforestri jauh lebih menguntungkan (Schalik dan Noordwijk, 2003). Adanya diversivikasi tanaman pada system agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok pangan masyarakat dan sekaligus terlepas dari ketergantungan produk dari dalam kawasan.

Seperti halnya daerah penyangga pada kawasan hutan konservasi lainnya di Indonesia, TN Bukit Barisan Selatan yang dikelilingi desa mengalami tekanan dan kerusakan. Kerusakan kawasan tidak hanya berdampak pada hilangnya habitat alami bagi organisme hidup melainkan juga berkurangnya daya tarik kawasan sebagai obyek wisata. Untuk mengurangi tekanan terhadap taman nasional dan meningkatkan peran serta fungsi taman nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan maka pihak pengelola TNBBS melakukan upaya antara lain penataan zonasi, pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan, pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan, wisata alam, pembinaan home stay, model Desa Konservasi (Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, 2009).

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan agroforestri disekitar kawasan TNBBS selain berfungsi sebagai sumber pendapatan masyarakat juga diharapkan untuk melindungi kawasan TNBBS dari gangguan masyarakat yang ada disekitarnya. Jenis tanaman pohon penghasil kayu dan buah pada setiap petani beragam. Masing-masing spesies tanaman mempunyai manfaat ekonomi yang berbeda pula. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pengidentifikasian spesies tanaman agroforestri yang memiliki nilai ekonomi tinggi, Selanjunya dalam implementasi program pemberdayaan masyarakat di zona penyangga harus dikembangkan pola-pola kolaboratif dan membangun kemandirian ekonomi rakyat untuk mengurangi tekanan terhadap hutan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi potensi biofisik wilayah TNBBS dan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan TNBBS dan sebagai bahan untuk merumuskan atau rekomendasi tipe-tipe pengembangan agroforestri di zona penyangga.

Page 85: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 85

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Desa atau Pekon Pemerihan, Kecamatan Bengkunat Belimbing,

Kabupaten Pesisir Barat. Desa tersebut terletak di zona penyangga yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga September 2015. B. Metode Pengambilan Data Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapang, wawancara dan studi literature. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan dan pengambilan data vegetasi dengan membuat plot cuplikan 10m x 10m sebanyak 10 ulangan. Inventarisasi vegetasi meliputi jenis, populasi dan frekuensi, dibatasi hanya vegetasi tingkat semai dan pohon. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur dengan menggunakan kuisioner. Penentuan responden yang diwawancarai dilakukan secara purposive yaitu kepala keluarga (KK) yang mengerjakan agroforestri di zona penyangga TNBBS. Jumlah sample responden ditentukan menurut metode Slovin (Wulandari, 1999) dengan rumus sebagai berikut : N n = _________ 1 + Ne 2

Keterangan : n = jumlah responden N = populasi e = batas eror (10 %) Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas, dimana total KK di Desa Pemerihan sebanyak 556 KK, maka jumlah unit sample yang diwawancarai sebanyak 85 responden C. Analisis Data Data hasil wawancara ditabulasi dan dianalisis secara diskriptif kuantitatif. Data vegetasi dianalisis Indeks Nilai Penting untuk mengetahui dominansi jenis tanaman yang dikembangkan masyarakat dalam sistem agroforestri.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Tanaman Agroforestri di Zona Penyangga TNBBS Lungren (1982) dalam Huxley (1999) menyebutkan bahwa agroforestri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) terdiri atas berbagai macam tanaman, paling sedikit salah satunya harus beda jenis, b) jenis tanaman yang ditanaman secara bersamaan pada suatu tapak memiliki interaksi (ekonomi dan biofisik) antara kelompok pohon berkayu dengan pohon tidak berkayu, c) umumnya menghasilkan berbagai macam produk dan seringkali terdiri atas berbagai katagori (pangan, pakan dan kayu bakar) dan d) paling sedikit mempunyai satu fungsi jasa lingkungan (peneduh, ameliorasi tanah, kenyamanan, menjaga stabilitas tanah, penahan erosi/banjir/kekeringan dan lain-lain). Pada sebagian besar system agroforestri di Indonesia, tanaman berkayu merupakan komponen yang paling dominan. Penelitian oleh Sundawati (1993), menyampaikan bahwa agroforestri tembawang (bentuk kebun tradisional) di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat memiliki 90 jenis pohon per ha, kebun karet campuran memiliki 36 jenis pohon/ha dan pekarangan memiliki 27 jenis pohon/ha. Reny dkk.(2011), melaporkan masyarakat disekitar kawasan dan daerah penyangga Taman Nasional Kutai mengembangkan pola tanam system agroforestry dengan jenis durian (Durio zibethinus), rambutan (Nephelium lappaceum), jeruk (Citrus sp), duku (Lansium domesticum), pisang (Musa paradisiaca), manga (Mangifera indica), manggis hutan (Garcinea celebica) dan karet (Hevea brasiliensis). Jenis tanaman yang dikembangkan masyarakat sekitar kawasan tersebut dapat memberikan manfaat ekonomi dan ekologis bagi kelangsungan kelestarian ekosistem kawasan.

Pada dasarnya penerapan sistem agroforestri yang seharusnya ditanam adalah komponen tanaman hutan dan pertanian pada satu lahan secara bersamaan. Berikut hasil analisis vegetasi

Page 86: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

86 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

tingkat semai dan tingkat pohon pola tanam agroforestri di desa Pemerihan zona penyangga TNBBS. Jenis tanaman penyusun agroforestri pada tingkat semai di zona penyangga dapat di lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis tanaman penyusun agroforestri tingkat semai di zona penyangga TNBBS

Nama lokal Nama ilmiah Famili FR KR INP

durian Durio zibethinus Malvaceae 8.33 0.55 8.88

jengkol Archidendron jiringa Leuminosae 16.67 1.09 17.76

kakao Theobroma cacao Sterculiaceae 25.00 3.83 28.83

kopi Coffea robusta Rubiacae 25.00 54.10 79.10

lada Piper nigrum Piperaceae 25.00 40.44 65.44

100.00 100.00 200.00

Dari Tabel 1 terlihat bahwa jenis tanaman system agroforestri tingkat semai tidak

memperlihatkan adanya tanaman hutan. Komposisi vegetasi yang terbentuk dalam system agroforestri untuk tingkat semai menunjukkan komposisi jenis yang rendah. Rendahnya jumlah jenis tanaman agroforestri pada petak cuplikan, hal ini dimaklumi karena masyarakat hanya menanam sesuai dengan keinginan dan mempertahan jenis-jenis tanaman yang menguntungkan secara ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat mengembangkan jenis tanaman yang sifatnya ikut-ikutan, dimana masyarakat banyak menanam kopi mereka dengan cepat mengganti tanaman kayu dengan kopi. Pola tanam demikian konsep agroforestry yang dikembangkan tidak sesuai dengan yang disebutkan dalam pustaka.

Dari Tabel 1 memperlihatkan bahwa kopi paling dominan (INP=79,10 %) kemudian diikuti lada (INP=65,44 %) dan terkecil duren (INP=8,88%). Berdasarkan hasil wawancara 39,5 % responden menanam kopi dari sejak dahulu merupakan tanaman utama. Sementara 32,7 % responden mengusahakan tanaman lada diantara tegakan pohon-pohon penghasil buah. Jenis tanaman pohon lainnya yang dapat menguntungkan bagi masyarakat adalah kakao (14,4 %), jengkol (8,9 %) dan duren (4,4%). Alasan mengapa masyarakat memilih jenis tanaman tersebut adalah: (1) pendapatan, (2) kontinuitas produksi, (3) kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, (4) kemudahan pengelolaan pasca panen, (5) tidak memiliki sifat persaingan dengan tanaman lain yang ditanam bersamaan, dan (6) dapat menjaga stabilitas lahan.

Komposisi vegetasi tingkat pohon juga memperlihatkan jumlah jenis yang rendah. Jenis tanaman penyusun agroforestri tingkat pohon di zona penyangga TNBBS dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. jenis tanaman penyusun agroforestri tingkat pohon di zona penyangga TNBBS

Nama lokal

Nama ilmiah Famili DR KR FR INP

cempaka Michelia champaca Magnoliaceae 29.46 14.89 33.33 77.68

duren Durio zibethinus Malvaceae 27.32 10.63 22.22 60.18

jengkol Archidendron jiringa

Leguminosae 1.82 2.12 11.11 15.06

kakao Theobroma cacao Sterculiaceae 41.39 72.34 33.33 147.06

100 100 100 300

Sesungguhnya kondisi keanekaragaman jenis yang rendah demikian sangat rentan terhadap

serangan hama atau perubahan lingkungan. Berbeda dengan komunitas hutan alam yang tersusun oleh beranekaragam jenis tumbuhan penghasil kayu dan non kayu, dimana, komunitas vegetasi

Page 87: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 87

hutan jauh lebih tahan terhadap berbagai gangguan akibat serangan hama maupun perubahan lingkungan.

Dari Tabel 2 jenis tanaman tingkat pohon yang merupakan tanaman hutan didapati cempaka (Michelia champaca) yang lainnya adalah tanaman penghasil buah. Memperhatikan komposisi jenis vegetasi agroforestry di zona penyangga TNBBS yang demikian, maka pihak Taman Nasional dalam pembinaan masyarakat daerah penyangga perlu memperhatikan kesesuain jenis tanaman yang layak untuk dikembangkan. Selain itu tanaman pokok yang ditanam masyarakat dalam system agroforestri sebagian besar bukan merupakan tanaman asli setempat. Padahal tanaman hutan penghasil kayu sangat diperlukan sebagai bahan baku kayu jika masyarakat akan membangun disamping juga untuk menjaga kepunahan.

Tabel 2 memperlihatkan tanaman cempaka merupakan jenis yang dominan (INP= 77,68 %) kemudian durian (INP= 60,18 %). Hasil wawancara sebanyak 49,02 % masyarakat memiliki cacao yang sudah cukup tua kurang produktif, Kemudian 25,90 % masyarakat masih mempertahankan tanaman hutan yaitu cempaka dan 20,00 % masyarakat masih mempertahankan pohon duren. Jika komposisi vegetasi tingkat semai (Tabel 1) dibanding dengan vegetasi tingkat pohon (Tabel 2) tampak terlihat ada kecenderungan masyarakat akan mengembangkan kopi di zona penyangga Taman Nasional.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan pengamatan dilapangan secara keseluruhan dapat di peroleh 4 (empat) pola Agroforestri yang menjadi preferensi masyarakat untuk dapat dikembangkan di areal kelola atau di kawasan penyangga sekitar TNBBS yaitu (1) pohon buah dengan kekayuan, (2) pohon buah dengan lada (3) kopi dengan pohon buah dan kekayuan (4) coklat dengan lada dan pohon kayu-kayuan. Dari ke 4 pola tataguna lahan itu dapat diidentifikasikan bahwa sesungguhnya masyarakat telah melaksanakan pola Agroforestri berbasis pohon. Karakterisasi pola tersebut di dasarkan pada ketahanan pangan (food security), keanekaragaman jenis (species diversity), keamanan pendapatan (income security), frekuensi pendapatan (income frequency) dan kemungkinan keberlanjutan (sustainable).

B. Manfaat Ekonomi Agroforestry Bagi Masyarakat

Keberadaan zona penyangga dengan pengembangan agroforestri sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sekitar TNBBS baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi, system agroforestri sangat menguntungkan dalam hal: a) peningkatan luaran karena produksinya lebih bervariasi, b) memperkecil kegagalan panen karena gagal dari salah satu komponen masih dapat ditutupi dari komponen yang lain dan c) meningkatnya pendapatan petani karena input yang diberikan akan memberikan out put yang berkelanjutan (Supraptini, 2009).

Penelitian Sahri tahun 2013 dengan 87 responden menunjukkan bahwa kontribusi agroforestri di Desa Curahnongko terhadap pendapatan total sebesar 30 %. Perhitungan kontribusi agroforestri di lokasi penelitian desa Pemerihan sebesar 40 % ini dilakukan ketika tanaman penghasil buah belum banyak yang berbuah. Jika persentase kontribusi dihitung pada saat ini kemungkinan akan lebih besar lagi. Maka dari itu penerapan agroforestri sangat tergantung kepada tingkat ketrampilan pengelolanya. Berdasarkan wawancara dengan 85 responden didapatkan informasi mengenai rata-rata pendapatan petani dari hasil penjualan masing-masing produk tanaman pokok per ha untuk tiap tahunnya berkisar Rp 15.024.790,- Pendapatan tersebut menurut petani tergolong rendah namun petani menutupinya dengan pendapatan dari tanaman sela. Pendapatan tertinggi dari jenis tanaman agroforestri adalah kopi kemudian lada dan diikuti kakao. Harga jual merupakan salah satu hal yang mempengaruhi tingginya pendapatan petani selain dari jumlah jenis yang dimiliki. Harga jual yang rendah dikarenakan tempat ini merupakan sumber hasil pertanian dan juga karena petani menjual hasil panennya kepada tengkulak bukan ke pasar langsung. Selain tanaman pokok pohon terdapat pula tanaman sela yang hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti singkong, kacang-kacangan,dan cabe. Hanya saja tanaman pertanian semusim ini diusahakan pada saat musim hujan selanjutnya diberakan karena musim kemarau.

Page 88: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

88 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

C. Manfaat Keberadaan Agroforestry Bagi TNBBS Perlindungan hutan merupakan suatu upaya untuk menjaga, melindungi dan

mempertahankan hutan dari berbagai gangguan yang dapat merusak sumberdaya alam yang ada di dalamnya seperti flora, fauna , biota laut, ekosistem, habitat, tata air dan lain-lain. Perlindungan hutan hanya mungkin dilaksanakan jika direncanakan dengan baik dan benar untuk mengakomodir dan merefleksikan potensi atau daya dukung dari sumberdaya alam yang menjadi obyek perlindungan. Malamassam (2009), perlindungan hutan sesungguhnya dilandasi dengan pemahaman atau pengetahuan tentang kondisi ekosistem bentang alam dimana hutan yang menjadi obyek perlindungan. Selanjutnya perlindungan hutan berbasis ekosistem merupakan implementasi dari pengelolaan ekosistem yaitu pengelolaan yang memperhatikan fungsi-fungsi ekologis, ekonomi dan sosial. Agar keseimbangan fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dapat tercapai, semua pihak yang berkepentingan seperti: pengelola, pemerintah, pelaku usaha yang terkait, ilmuwan dan berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat perlu dilibatkan dalam proses penetapan perlindungan kawasan. Sulaiman (2012), untuk tercapainya perlindungan kawasan berbasis ekosistem, maka perencanaan, pelaksanaan harus dilakukan secara transparan, bertanggung jawab, partisipatif, terpadu dan memperhatikan kekhasan serta aspirasi daerah seperti diatur dalam Pasal 11 Ayat 92) UU No 41 Thn 1999 Tentang Kehutanan

Berkaitan dengan perlindungan kawasan Taman Nasinal Bukit Barisan Selatan yang selalu mendapat tekanan dari masyarakat sekitar kawasan, maka untuk mengurangi tekanan dan meningkatkan peran serta fungsi taman nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya maka pihak pengelola TN Bukit Barisan Selatan melakukan upaya-upaya antara lain: penataan zonasi, pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional dengan adopsi pohon, pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan, wisata alam, membangun partisipasi masyarakat dalam Model Desa Konservasi serta Hutan Desa(Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, 2009).

Perlindungan kawasan yang telah dilakukan oleh pihak pengelola, selain di dalam kawasan TNBBS juga dilakukan perlindungan di luar kawasan atau kawasan penyangga. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi tekanan dari masyarakat ke dalam kawasan konservasi. Peran hutan dengan memperhatikan ketiga fungsi ekologis, social dan ekonomi, di kawasan penyangga TN BBS telah direalisasikan melalui kegiatan antara lain Hutan Kemasyarakatan. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan merupakan program pembangunan dan perlindungan hutan yang khas dalam hal dasar pemikirannya (rationable), cara pelaksanaannya (procedures), dan tujuannya (obyectives). Program HKm didasarkan pada kenyataan bahwa beratnya tekanan social dan ekonomi masyarakat dibebankan pada hutan sebagai sumberdaya alternative dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat disekitar hutan. Disisi lain pengelolaan hutan yang selama ini di lakukan masih bersifat umum, belum menggunakan strategi khusus dalam menangani kawasan hutan rawan konflik. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan dengan program HKm bertujuan untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat sekitar hutan. Sebagai contoh program HKm di Lampung antara lain Lampung Barat, Tanggamus dan Lampung Utara, meskipun kegiatan untuk rehabilitasi kawasan, namun tidak semua kawasan terdegradasi mendapatkan program HKm.

Dalam pelaksanaannya, program HKm masih belum optimal dalam mencapai tujuan untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan pokok masyarakat di sekitar kawasan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan akan pangan secara berkelanjutan. Pengusahaan HKm bertumpu pada pengetahuan dan kemampuan kebutuhan masyarakat itu sendiri Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan dikembangkan berdasarkan keberpihakan kepada rakyat khususnya rakyat yang tinggal di dalam dan disekitar kawasan hutan (Kemitraan, 2011).

D. Agroforestri Melindungi Hutan dan Ketahanan Pangan

Pembangunan dibidang pangan diarahkan pada swasembada pangan, tidak hanya berorientasi pada beras, melainkan juga jenis komoditi lain yang strategis misalnya umbi-umbian sebagai bahan pangan yang pokok. Berbagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan telah

Page 89: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 89

dilakukan, antara lain melalui swasembada pangan dan diversifikasi pangan di lahan pertanian maupun di luar lahan pertanian seperti kehutananan dan perkebunan. Hutan memiliki potensi sebagai penghasil pangan yakni dengan mengembangkan pola Agroforestri dapat menghasilkan pangan. Mencermati peranan tumbuhan dan fungsi sebagai penyerap karbon yang paling efektif dalam eksistem hutan, serta upaya pemanfaatan lahan hutan sebagai sumber pangan.sehingga diperlukan system pengelolaan hutan yang tepat. Pola Agroforestri terbukti memberikan dampak positif bagi aspek kelestarian lingkungan. Sistem ini dapat meningkatkan prodktivitas lahan, mempunyai potensi yang cukup tinggi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca. Sehubungan dengan perubahan iklim, system Agroforestri memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan carbon © dari atmosfer. Dengan demikian pengelolaan lahan dengan system Agroforestri seperti di kawasan penyangga TNBBS diharapkan akan dapat mengurangi intensitas perambahan hutan dan juga dapat dipakai sebagai strategi dalam menghadapi perubahan iklim sehingga harus selalu tetap dijaga fungsinya sesuai dengan peruntukannya (wulandari, 2007).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Implementasi Agroforestri di kawasan penyangga telah menyumbangkan nilai ekonomi bagi masyarakat khususnya masyarakat sekitar kawasan. Jenis tanaman yang dikembangkan dalam system agroforestry masih belum mengakomodir pohon hutan penghasil kayu, jenis yang banyak ditanam masyarakat adalah kopi, lada dan kakao dengan pendapat total petani Rp 15.024.790/th/ha.

B. Saran

Perlu adanya bimbingan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya peran pohon hutan dalam pengelolaan kawasan penyangga.

DAFTAR PUSTAKA

Ardi Yusuf, Dwi Okvianita, Eko Budiyono, Harry Haryono dan Tri Suwandi. 2009. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. http://biologi2008fkipunila.blogspot.co.id diakses 02 November 2015.

Malamassam dan Daud. 2009. Perencanaan Hutan. Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan.

Universitas Hasanuddin Makasar (Tidak dipublikasikan). Kemitraan (2011), Mendorong Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa,

Partnership Policy Paper No.4/2011, diunduh dari www.kemitraan.or.id Leti Sundawati. 2009. Potensi Agroforestri Dalam Penyerapan Karbon Untuk Mengatasi Perubahan

Iklim Global. Penelitian-penelitian Agroforestri di Indonesia Tahun 2006-2009. Kerjasama antara Universitas Lampung dengan The South East Asian Network For Agroforestri Educatioan dan The Indonesia Network for Agroforestri Education

Sardjono, M.A. 1990. The Lembo-Culture in East Kalimantan. Dissertation. Hamburg University. Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (2009). Statistik Balai Taman Nasional Bukit Barisan

selatan 2008. Kota Agung. Lampung. BTNBBS Sudirman Sultan. 20012. Perlindungan Hutan Berbasis Ekosistem.

Page 90: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

90 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

http://pengamananhutan.blogspot.co.id/2012/05/perlindungan-hutan-berbasis-ekosistem diakses tgl 2 November 2015.

Purwaningsih 2006. Studi manfaat kegiatan rehabilitasi dalam peningkatan pendapatan masyarakat

dan reduksi gangguan terhadap kawasan Taman Nasional Meru Betiri.(Skrpsi) Institut Pertanian Bogor.

Sahri Maida Sinaga 2013. Manfaat agroforestry bagi masyarakat di zona rehabilitasi Taman Nasional

Meru Betiri. (Skripsi). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor.

Page 91: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 91

MANFAAT Sterculia obongifolia R.Br. dan Erithrina variegata L BAGI MASYARAKAT DI PULAU HALMAHERA

Supratman Tabba1, Lis Nurrani1 dan Dewi Maharani2

1Balai Penelitian Kehutanan Manado 2Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

Email : [email protected]

ABSTRAK

Halmahera merupakan wilayah terpenting Maluku Utara yang diyakini masih menyimpan cadangan hutan primer yang besar, salah satunya kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) yang memiliki kekayaan flora khas zona peralihan. Kawasan ini memiliki jenis-jenis tumbuhan potensial namun belum banyak informasi ilmiah terkait hal tersebut termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa tumbuhan berkhasiat obat. Dua Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai obat herbal oleh masyarakat di wilayah ini yaitu Sterculia obongifolia R.Br dan Erithrina variegata L. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai pemanfaatan jenis tersebut oleh masyarakat di Pulau Halmahera. Metode penelitian yang digunakan yaitu wawancara dan survei lapangan, sedangkan analisis fitokimia dilakukan pada Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa E.variegata secara tradisional digunakan sebagai obat luka oleh masyarakat dan S.obongifolia untuk pengobatan luka infeksi kronis. Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa S.obongifolia dan E.variegata positif mengandung Steroid, Flavonoid, Tanin dan Saponin, dimana senyawa aktif ini merupakan indikasi adanya potensi sebagai bahan baku biofarmaka. Kandungan flavonoid dan tanin pada kedua jenis ini juga potensial untuk dikembangkan sebagai penurun gula darah dan antihipertensi. Selain itu S.obongifolia dimanfaatkan masyarakat tradisional togutil untuk bahan pembuatan rumah sedangkan kayu E.variegata digunakan sebagai tiang pagar dan papan mal. Kata Kunci : Manfaat, S.obongifolia, E.variegata, Masyarakat, Halmahera

I. PENDAHULUAN

Provinsi Maluku Utara termasuk salah satu wilayah terpenting yang menjadi penyangga keanekaragaman hayati di Kawasan Timur Indonesia sebab daerah ini merupakan zona peralihan antara Wallacea dan Australasia. Kondisi dan posisi Pulau Halmahera yang paling besar dan adanya kawasan konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) memiliki peran strategis dalam mendukung keanekaragaman hayati di wilayah ini karena menjadi tempat hidup berbagai fauna dan flora khas dan unik. Kondisi semenanjung yang masih berhutan dan memiliki permukaan yang khas menjadikan Pulau Halmahera memiliki keragaman hábitat yang kompleks (Amama, 2007). Hal ini juga ditegaskan Poulsen et al (1999) yang mengungkapkan bahwa Pulau Halmahera memiliki nilai biologis yang sangat penting. Tingginya potensi yang ada belum didukung dengan ketersedian informasi ilmiah mengenai keragaman tumbuhan tersebut mengingat masih sangat minimnya informasi mengenai flora khususnya tumbuhan berkhasiat obat.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) khususnya tumbuhan alam berkhasiat obat masih cenderung bersifat tradisional dan belum dinilai penting guna mendukung kelestarian fungsi kawasan. Padahal paradigma pengelolaan HHBK merupakan kebijakan yang sangat cerdas sebab pengelolaan hutan berbasis kayu sudah sangat mengkhawatirkan (Ekayanake et al. 2007). Sehingga diharapkan dengan pola pengelolaan sistem zonasi pada taman nasional dapat memberikan manfaat secara lestari bagi masyarakat khususnya pada HHBK tumbuhan berkhasiat obat. Pengelolaan HHBK perlu dilakukan sebab hal ini dapat menjadi salah satu pilar konservasi hutan dan pelestarian biodiversitas (Prayitno, 2009).

Meski masih cenderung terabaikan namun pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat menjadi kearifan lokal dan kekayaan budaya masyarakat yang jika dikelola dengan baik akan memberikan

Page 92: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

92 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

keuntungan. Masyarakat pedesaan khususnya yang bermukim di sekitar kawasan hutan seringkali menggunakan tumbuhan alam untuk pengobatan (Krismawati & Sabran, 2004). Kondisi ini terlihat dari kebiasaan masyarakat halmahera yang bermukin disekitar kawasan TNAL dimana dalam kehidupan sehar-hari mereka memanfaatkan tumbuhan hutan sebagai obat dimana dua diantaranya adalah Jenis pohon S.obongifolia dan E.variegata. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai manfaat S.obongifolia dan E.variegata bagi masyarakat yang kemudian dilakukan pengujian secara fitokimia untuk mengetahui kandungan bahan aktif kimia pada ekstrak tumbuhan obat yang dimanfaatkan tersebut. Informasi ini penting sebagai dasar penentuan dan evaluasi zonasi, sehingga nantinya pengelolaan taman nasional tetap memperhatikan nilai-nilai budaya yang telah dipraktekkan masyarakat dalam mempertahankan budaya dan kebiasaanya.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Desa Bale Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan yang merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) I Weda dan Desa Akejawi Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara yang menjadi bagian dari SPTN Wilayah III Subaim. Pengamatan dan pengambilan data dimulai dengan survei pada bulan April, pelaksanaan pada bulan Juni serta identifikasi jenis dan analisis fitokimia pada bulan Oktober 2013.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah peta kawasan TNAL, alkohol 70 %, aquadest dan masyarakat selaku responden. Alat yang digunakan antara lain parang, pisau, gunting stek, hand counter, GPS, kuas, tally sheet, kamera, plaging tab, kuesioner, papan data, karung, koran, plastik clip ukuran 100 cm x 58 cm, baterai A2, baterai A3, spidol permanen dan alat tulis menulis.

C. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu wawancara secara mendalam (in depth interview) dan survei lapangan (observasi). Data yang dikumpulkan antara lain : (1) Data potensi meliputi : jenis, khasiat dan cara meramu (2) Data pemanfaatan kayu (3) Analisis Fitokimia (Kandungan Bahan Aktif Kimia).

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia aktif, seperti : alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid dan hidroquinon. Sebelum dilakukan uji fitokimia bahan simplisia berupa kulit kayu S.obongifolia dan pucuk daun muda serta kulit batang E.variegata di ekstraksi hingga menjadi serbuk. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dan mempercepat proses uji fitokimia pada laboratorium biofarmaka. Sedangkan studi literatur digunakan sebagai data

Page 93: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 93

sekunder guna mendukung hasil penelitian dari sumber-sumber ilmiah dan akurat. Dokumentasi data dilakukan dengan tally sheet untuk memudahkan proses kerja dan pengendalian data ketika dilapangan.

D. Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah deskriptif dimana data hasil wawancara dan interaksi masyarakat ditabulasi serta dianalisis secara deskriptif. Identifikasi jenis dilakukan dengan membuat sampel herbarium dan diidentifikasikan pada Laboratorium Botani Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor. Ekstraksi sampel tumbuhan dilakukan pada Laboratorium Flora dan Fauna Balai Penelitian Kehutanan Manado. Sedangkan untuk analisis kandungan bahan aktif dilakukan pada Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tumbuhan 1. Mengenal S.obongifolia Sebagai Jenis Non Komersil

S.obongifolia merupakan jenis pohon kurang dikenal dan informasi terkait jenis ini pun masih sangat minim, namun dalam pandangan masyarakat halmahera jenis ini sangat populer karena mendukung kehidupan mereka dari sisi kesehatan. S.obongifolia termasuk famili sterculiaceae serta dikenal dengan nama lokal toyom dan banyak digunakan sebagai obat tradisional untuk pengobatan luka infeksi kronis. Ketika akan membuat ramuan obat masyarakat mengambil bahan bakunya dari kawasan karena masyarakat memiliki ketergantungan terhadap pemanfaatan Sumber Daya Alam yang terdapat pada kawasan TNAL termasuk ramuan toyom. Karena alasan masih banyaknya tersedia di alam sehingga masyarakat masih enggan membudidayakannya jenis ini pada lahan-lahan pertanian mereka, padahal jika dibudidayakan maka ketika masyarakat akan mengambil ramuan tidak perlu lagi berjalan jauh ke dalam kawasan.

Toyom tumbuh baik disepanjang aliran sungai pada kawasan hutan akejawi dengan ketinggian tempat 50-100 m dpl. Tinggi pohon di alam ± 15-20 m dan secara morfologi toyom memiliki warna kulit luar berwarna coklat muda dan kulit dalam berwarna hijau, selain itu kulit sangat mudah terkupas. Daun tunggal menjari lebih dari lima dengan panjang tangkai daun ± 30-50 cm, kedudukan daun berhadapan dan terdapat duri halus pada tangkai daun. Susunan buah tandan membulat berwarna coklat tua berbentuk bulat kecil dengan bunga berwarna kuning.

Gambar 2. Morfologi pohon Toyom

2. Morfologi E.variegata.

E.variegata merupakan jenis pohon dari famili fabaceae yang sangat populer dan telah banyak dikenal serta telah digunakan secara luas oleh masyarakat di Indonesia dengan berbagai kepentingan. Masyarakat di Pulau Halmahera mengenal E.variegata dengan nama lokal galala dan seperti halnya toyom jenis ini juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat halmahera khususnya yang bermukim disekitar kawasan TNAL. Galala tumbuh baik pada kawasan TNAL dengan ketinggian

Page 94: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

94 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

tempat 50-100 m dpl dimana suhu antara 27-29 °C dan kelembaban mencapai 77-82 %. Bahkan jenis ini tumbuh baik dan banyak ditemukan disekitar pemukiman masyarakat, dengan kata lain jenis ini sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat.

Gambar 3. Morfologi E.variegata

Galala termasuk kategori pohon tidak besar dengan tinggi antara 15–20 m, ciri yang mudah dikenali dari jenis ini yaitu daunnya mengumpul di ujung ranting dan menggugurkan daun ketika musim kemarau. Galala temasuk jenis pohon yang memiliki pertumbuhan yang cepat yaitu dalam waktu 3 tahun saja mampu memiliki tinggi 2,5 m dan mencapai dewasa pada umur 8-10 tahun dengan tinggi 15-20 m dan pada beberapa tegakan mencapai 25 m dengan diameter mencapai 40-60 cm (Satyarini 2003). Daun majemuk beranak daun tiga dengan warna hijau dan terdapat tangkai daun dengan panjang ± 10-40 cm. Anak daun bundar telur terbalik berbentuk segitiga menyerupai belah ketupat dengan ujung anak daun meruncing. Batang berduri dan warna kulit batang sangat variatif yaitu coklat muda abu-abu keputihan dan batang muda bergaris-garis vertikal hijau. Bunga bertandan berbentuk meyerupai kerucut dengan warna merah jingga hingga merah gelap.

B. Pemanfaatan Kayu

S.obongifolia memiliki peran penting bagi kehidupan komunitas suku tradisional togutil, sebab jenis ini menjadi salah satu kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah tradisional. Ukuran kayu yang tidak terlalu besar menjadikan kayu ini sangat sesuai untuk digunakan, dimana rumah suku togutil hanya terdiri dari susunan kayu-kayu kecil dan ranting-ranting pohon yang diikat dengan rotan dan liana yang banyak ditemukan dalam kawasan TNAL. Rumah komunitas suku togutil sangat sederhana yaitu tanpa dinding pada sisinya dengan hanya beratapkan daun woka (Livistonia rotundifolia Mart) dan dilengkapi dengan tangga seadanya. Ketika melakukan kegiatan berburu dalam jangka waktu yang cukup lama di hutan maka suku togutil juga membuat pondok sementara yang bahan bakunya sama dengan rumah mereka namun ukurannya lebih kecil. Setelah selesai berburu dan kembali ke pemukiman inti maka pondok tersebut ditinggalkan dan dibiarkan rusak secara alamiah. Selain itu S.obongifolia juga digunakan sebagai kayu bakar ketika akan memasak dan membuat perapian dalam hutan oleh komunitas masyarakat tradisional ini.

E.variegata menjadi salah satu jenis kayu yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat halmahera sebagai tiang pagar rumah, karena daya adaptasinya yang cukup tinggi dan sangat mudah tumbuh. Biasanya untuk membuat pagar masyarakat memotong batang kayu E.variegata dengan ukuran ± 100-120 cm kemudian langsung ditancapkan. Karena jenis kayunya yang tidak kuat sehingga masyarakat tidak menggunakan kayu ini sebagai bahan baku pembuatan rumah.

Page 95: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 95

Gambar 4. Pemanfaatan toyom sebagai bahan pembuatan rumah suku togutil

Namun biasanya masyarakat hanya memanfaatkan E.variegata sebagai papan mal dan juga dijadikan sebagai kayu bakar. Sebab sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar TNAL masih menggunakan kayu sebagai bakar ketika memasak meskipun mereka juga memiliki alat masak modern (kompor).

Ciri-ciri kayu E.variegata menurut Valkenburg dan Bunyapraphatsara (2002) bahwa tidak ada perbedaan yang jelas antara kayu gubal dan kayu teras sebab warna kayunya yang putih atau pucat. E.variegata termasuk kayu ringan dengan berat jenis 0,24-0,38 g/cm3 dan termasuk kelas kuat V dan kelas awet V dengan arah serat lurus dan sedikit bergelombang dimana tekstur kasar dan tidak merata. E.variegata baik sebagai bahan baku pembuatan pulp (bubur kertas) sebab kayu dari genus Erythrina memiliki kualitas serat yang sangat bagus sehingga cocok untuk dijadikan bahan baku dalam pembuatan kertas (Satyarini, 2003).

C. Penggunaan Sebagai Obat Tradisional

Pengobatan dengan menggunakan ramuan yang berasal dari tumbuhan masih menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat umumnya yang berada di wilayah pedesaan. Sebagaimana yang dipraktekkan oleh masyarakat halmahera yang hingga saat ini masih memanfaatkan tumbuhan untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Kulit kayu S.obongifolia merupakan ramuan khas masyarakat Desa Akejawi yang diperoleh dari hutan akejawi sedangkan daun dan kulit batang E.variegata digunakan masyarakat Desa Bale dan Suku Togutil untuk pengobatan yang diperoleh dari hutan tayawi. Pemanfaatan S.obongifolia dan E.variegata sebagai obat berikut kegunaan dan cara meramunya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pemanfaatan S.obongifolia dan E.variegata sebagai tumbuhan obat.

No Nama Ilmiah

/Famili Nama Lokal

Habitus Kegunaan dan Cara Meramu

1. Sterculia obongifolia R.Br /Sterculiaceae

Toyom Pohon

Obat Luka Infeksi : Ambil kulit batang secukupnya kemudian bakar hingga menjadi arang (gosong) lalu tumbuk hingga halus, setelah itu campurkan dengan minyak goreng kelapa murni (buatan sendiri). Gosokkan pada bagian luka disertai dengan pijatan ringan.

2. Erithrina variegata L./ Leguminosae

Galala Pohon

Obat Luka : Kunyah pucuk daun sampai halus lalu tempelkan pada luka. Obat Batuk : Ambil kulit batang pohon dengan cara diserut kemudian masak hingga mendidih dan minum dalam kondisi masih hangat. Perut Bengkak : Ambil kulit batang dan haluskan

Page 96: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

96 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No Nama Ilmiah

/Famili Nama Lokal

Habitus Kegunaan dan Cara Meramu

kemudian campurkan satu buah jeruk nipis dan kapur sirih setelah itu gosokkan pada perut Menghentikan pendarahan : Ambil pucuk daun secukupnya dan remas-remas hingga mengeluarkan cairan kemudian tempelkan pada bagian luka sesaat setelah terkena benda tajam

Berdasarkan Tabel 1 dapat dikemukakan bahwa E.variegata lebih banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai obat untuk berbagai penyakit yaitu luka, batuk, perut bengkak dan menghentikan pendarahan. E.variegata merupakan tumbuhan obat yang telah banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam pengobatan anthelmintic dan malaria secara tradisional (Mursito, 2002). Cara meramunya pun sangat sederhana hanya dengan direbus atau dapat langsung digunakan, meski pemanfaatanya masih bersifat empiris dan hanya didasarkan pada pengalaman semata namun pengobatan tersebut terbukti berkhasiat. Pemanfaatan dan pengelolaan tumbuhan oleh masyarakat secara tradisional pada umumnya didasarkan pada akumulasi pengetahuan lokal dan kebijakan yang telah dipatuhi sebagai tradisi dan hukum adat yang turun temurun (Sutrisno dan Silitonga, 2004).

S.obongifolia merupakan tumbuhan obat yang memiliki efek sangat baik untuk infeksi luka bakar, jenis ini digunakan masyarakat Desa Akejawi untuk pengobatan luka infeksi berat. Berdasarkan informasi masyarakat diketahui bahwa S.obongifolia digunakan mengobati luka infeksi berat akibat terkena tembakan yang telah difonis amputasi oleh dokter. Cara membuat ramuannya sangat sederhana dimulai dari pengambilan kulit batang dialam selebar tangan orang dewasa sebanyak 3-5 lebar. Kemudian bakar kulit kayu hingga gosong (menjadi arang) setelah itu tumbuk kulit kayu hingga halus dan campurkan dengan minyak kelapa olahan Cocos nucifera lalu oleskan pada luka infeksi disertai dengan pijatan ringan. Ketentuan utama dari ramuan ini adalah minyak kelapa yang digunakan harus merupakan hasil olahan dan buatan tangan manusia bukan minyak pabrikan yang umum diperdagangkan. Lakukan pemberian ramuan sebanyak 3 x sehari dan akan terlihat hasilnya secara berangsur-angsur membaik dan pulih seperti biasanya setelah pengobatan secara kontinyu selama dua minggu. Bahkan dalam kurun waktu tersebut pasien dapat berjalan dengan normal setelah sebelumnya untuk menggerakkan kaki saja sangat kesulitan. S.obongifolia adalah salah satu dari 20 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat akejawi, dimana nilai dan tradisi ini telah tumbuh menjadi sebuah kearifan lokal (Nurrani et al, 2015).

D. Analisis Kandungan Bahan Aktif

Berdasarkan hasil analisis kandungan bahan aktif dari ekstrak tumbuhan diketahui bahwa S.obongifolia dan E.variegata positif mengandung senyawa yang sama yaitu steroid, flavonoid, tanin dan saponin. Senyawa aktif hasil uji tersebut telah terbukti efek dan khasiatnya bagi kesembuhan terhadap berbagai penyakit dan banyak digunakan sebagai bahan baku obat serta telah digunakan dalam dunia farmakologi dan kedokteran. Hasil analisis kandungan bahan aktif terhadap kedua jenis tumbuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis kandungan bahan aktif S.obongifolia dan E.variegata.

No Kandungan Bahan Aktif Jenis Tumbuhan

Erithrina variegata L Sterculia obongifolia R.Br.

1. Alkaloid - -

2. Steroid + +

3. Flavonoid + +

4. Tanin + +

Page 97: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 97

No Kandungan Bahan Aktif Jenis Tumbuhan

Erithrina variegata L Sterculia obongifolia R.Br.

5. Saponin + +

6. Triterpenoid - -

7. Hidroquinon - -

Kandungan flavonoid ekstrak tumbuhan E.variegata merupakan salah satu sebab jenis ini

digunakan sebagai obat luka sebab flavonoid memiliki efek mencegah pendarahan pada kulit dan antihipertensi (Robinson, 1995). E.variegata memberikan efek anti kanker pada sel kanker payudara T47D dengan aktivitas sedang dan tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa jenis ini dapat digunakan sebagai obat herbal untuk antikanker, antimalaria dan antifertilitas (Herlina et al, 2011). Secara tradisional E.variegata digunakan masyarakat halmahera untuk pengobatan batuk dan perut bengkak, hal ini juga dilakukan oleh masyarakat Marabahan Kalimantan Selatan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun E.variegata mampu menghambat radang pada mencit jantan yang diinduksi karagenin (Anwar et al, 2013). Fakta inilah yang membuat jenis ini baik sebagai obat batuk sebab biasanya batuk terjadi akibat terjadinya radang pada tenggorokan.

Tanin berfungsi menghentikan pendarahan dan menyembuhkan infeksi luka bakar, mampu membuat lapisan pelindung pada luka dan ginjal (Saifudin et al, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Steroid dengan konsentrasi tinggi berpotensi sebagai bahan pengobatan untuk menghilangkan keletihan kronis (Kissinger et al, 2013). Tanin dan Steroid memiliki persamaan fungsi sebagai penyembuhan luka bakar yang mengakibatkan keletihan kronis, fakta ini ditemukan pada S.obongifolia, dimana jenis ini telah dimanfaatkan untuk pengobatan infeksi luka bakar akibat tertembak.

Menurut Koswara (2012) saponin dapat digunakan sebagai antiseptik dan antibiotik alami dimana kandungan saponin pada tanaman lidah buaya mempunyai kemampuan membunuh kuman, menghilangkan rasa sakit dan antibiotik, zat ini juga mampu merangsang terbentuknya sel baru pada kulit. Fakta inilah yang membuat S.obongifolia dan E.variegata sangat baik sebagai obat luka terbakar sebab luka sangat rentan terjangkit kuman dan mikroorganisme melalui udara yang dapat berdampak infeksi. Ketika mengalami luka tubuh sangat membutuhkan daya tahan maksimal untuk segera memulihkan stamina sehingga senyawa kimia saponin pada kedua jenis tersebut menjadi suplemen untuk membantu percepatan proses pemulihan tubuh. Selain sebagai anti luka flavonoid jika ditemukan bersama saponin dalam tumbuhan maka kombinasi kedua senyawa ini bermanfaat sebagai antihiperglikemia atau penurun kadar gula darah (Studiawan & Santosa, 2005).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hutan menyimpan potensi bahan baku herbal yang sangat besar bagi kesehatan manusia, sehingga patutlah kiranya sumber daya alam tersebut senantiasa dijaga kelestarian dan keberadaannya. Pemanfaatan S.obongifolia dan E.variegata oleh masyarakat Pulau Halmahera sebagai obat tradisonal dan keperluan lainnya merupakan penegasan arti pentingnya keberadaan hutan bagi peradaban hidup manusia. Selain itu pemanfaatan tumbuhan obat merupakan nilai tradisi yang hadir dan menjadi sebuah norma yang membentuk sebuah peradaban masyarakat.

B. Saran

Perlu dilakukan uji toksisitas untuk memastikan kelayakan sebagai bahan baku herbal khususnya pada S.Obongifolia dan uji bioaktivitas terhadap kanker, antihiperglikemia dan malaria pada jenis ini mengingat kandungan bahan aktifnya sama dengan E.variegata dan masih terbatasnya informasi ilmiah terkait jenis ini.

Page 98: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

98 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

DAFTAR PUSTAKA

Amama, F. 2007. Yang Unik Yang Endemik. Majalah Burung Indonesia. Edisi Juli (6), 9-13. Anwar, K., H.B. Santoso dan N. Cahaya. (2013). Penghambatan Radang Infusa Daun Dadap Ayam

(Erythrina variegata L.) pada Mencit Jantan Yang Diinduksi Karagenin (pp. 45-52). Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, Bandar Lampung : Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Ekayanake S., D. Angammana, S. Fernando, P. Samarawickrama, N. Perera and S. Perera. 2007.

Sustainable of Extraction of Non Timber Forest Products (NTFP) in Diptorocarp Dominant Lowland Rain Forests-A Case Study in South Western Lowland Rain Forest in Sri Lanka. IUCN- The World Conservation Union.

Herlina, T., E. Julaeha, Nurlelasari, D. Kurnia dan U. Supratman. 2011. Potensi Tanaman Dadap Ayam

(Erythrina Variegata) Sebagai Obat Herbal. Jurnal Medika Planta, 1 (4), 62-65. Karim, K.A., M. Thohari dan Sumardjo. 2006. Pemanfaatan Keanekaragaman Genetik Tumbuhan oleh

Masyarakat Togutil di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Media Konservasi, XI (3), 1-12.

Kissinger., E.A.M. Zuhud, L.K. Darusman dan Iskandar. 2013. Penapisan Senyawa Fitokimia Dan

Pengujian Antioksidan Ekstrak Daun Pohon Merapat Dari Hutan Kerangas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31 (1), 9-18).

Koswara, S. 2012. Khasiat Apotek Hidup Lidah Buaya. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mursito, B., 2002, Ramuan Tradisional untuk Penyakit Malaria. Penebar Swadaya, Jakarta. Nurrani, L., S. Tabba dan H.S. Mokodompit. 2015. Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan Tumbuhan

Obat Oleh Masyarakat Di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Provinsi Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan, 12 (3), 1-24.

Prayitno, T.A. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pendekatan

Teknologi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan Prof. Dr. Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung Press. Bandung.

Saifudin, A., V. Rahayu dan H.Y. Teruna. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam. Edisi Pertama. Graha

Ilmu. Yogyakarta. Satyarini K. 2003. Sifat-Sifat Pulp Sulfat Kayu Dadap (Erythrina variegata Limk.). Skripsi. Departemen

Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Studiawan, H dan M.H. Santosa. 2005. Uji Aktivitas Penurun Kadar Glukosa Darah Ekstrak Daun

Eugenia polyantha pada Mencit yang Diinduksi Aloksan. Media Kedokteran Hewan, 21 (2), 62-65.

Sutrisno dan T.S. Silitonga. 2004. Pengelolaan Plasma Nutfah Nabati dan Jasa Renik (Tumbuhan dan Tanaman) Sebagai Aset dalam Pemenuhan Kebutuhan Manusia. Badan Perencanaan dan Pengendalian Daerah. Papua.

Page 99: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 99

Valkenburg V, Bunyayaprahatsara N. 2002. Medical and Poisonous Plants 2. Plant Resources of South

East Asia No. 12 (2). Bogor. Indonesia. Krismawati, A. dan M.Sabran, 2004. Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Obat Spesifik

Kalimantan Tengah. Buletin Plasma Nutfah Vol. 12 No.1.

Page 100: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

100 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

SISTEM AGROFORESTRI TRADISIONAL “PELAK” MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI TANAMAN BUAH LOKAL

Darmawan1 dan Tarmein Tisa Topan2

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Unpad 2 Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pembangunan ITB

Email: [email protected]

ABSTRAK

Sistem “pelak” salah satu kearifan lokal masyarakat melayu Jambi yang memilki bentuk pengelolaan seperti agroforestri. Tujuan dalam penulisan artikel ini untuk mengetahui kearifan lokal yang ada dalam sistem “Pelak” dan mengetahui pengaruh sistem “Pelak” terhadap tata kelola lingkungan dalam menjaga keanekaragaman hayati tanaman buah lokal. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif berupa observasi dan wawancara mendalam kepada pelaku sistem “Pelak” yang didukung pustaka yang terkait dengan analisis secara deskriptif. Pola sistem “Pelak” merupakan pola tanam yang mengkombinasikan antara jenis-jenis tumbuhan semusim dan tahunan sehingga membentuk tajuk tumbuhan yang berlapis-lapis, mulai dari tumbuhan merambat dan penutup permukaan tanah, sampai tumbuhan kayu yang mengisi lapisan tajuk atas. Dan sistem “Pelak” yang sudah berumur puluhan tahun bahkan ratusan tahun merupakan salah satu penyelamat keanekaragaman hayati tanaman buah lokal dari ancaman degradasi/ alih fungsi lahan serta dikategorikan sebagai salah satu usaha konservasi in situ tanaman buah lokal. Kata Kunci: Agroforestri, Pelak, Kearifan Lokal, Buah Lokal

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Indonesia secara keanekaragaman hayati, menduduki tingkat pertama keanekaan jenis

mamalia (515 jenis); memiliki keanekaan jenis burung peringkat empat dunia (1.539 jenis) dan memiliki keanekaan jenis reptilia peringkat ketiga (600 jenis) (Koziel, 2001 dalam Iskandar, 2015). Sedangkan menurut berbagai publikasi ilmiah yang ada hingga saat ini jumlah spesies binatang untuk taksa yang sudah diketahui, dan julah spesies endemik untuk masing-masing taksa tercermin dalam beberapa fakta sebagai berikut: 515 spesies mamalia besar (39% endemik); 511 spesies reptilia (29% endemik); 1531 spesies amfibi (37% endemik); 35 spesies primata (18% endemik), dan 121 spesies kupu-kupu (44% endemik). Dalam hal peringkat kekayaan spesiesnya (Bappenas, 2003).

Salah satu bentuk nyata yang mendukung keanekaragaman hayati di Indonesai adalah pengetahuan lokal/kearifan lokal. Kearifan lokal adalah kehidupan masyarakat lokal yang selaras dengan alam dan kembali kealam berdasarkan aturan-aturan adat yang dilaksanakan secara turun menurun dan biasanya tidak ditulis, kearifan seperti ini menjadi salah satu solusi yang dapat menyelamatkan alam ini dan sesuai dengan pandangan ecosentris. Di dalam kehidupan masyarakat lokal dengan aturan adat dan kebudayaan yang telah berkembang selama berabad-abad secara langsung telah memanfaatkan kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat di seluruh kepulauan Indonesia. Kita ketahui masyarakat tradisional di Indonesia yang tinggal di pelosok tanah air dapat hidup selaras dengan alam dengan memenuhi kebutuhan hidupnya yang disuplai oleh alam, mulai dari sandang, pangan, papan semuanya diperoleh dari alam tanpa merusak alam.

Bentuk kearifan lokal yang menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terutama untuk tanaman buah lokal seperti yang dilakukan masyarakat melayu jambi khususnya di Dusun Bangko Kecamatan Bangko Kabupaten Merangin Jambi dengan “Sistem Pelak”. Oleh sebab itu tulisan ini mengulas mengenai kehidupan masyarakat tradisional melayu jambi dalam keselarasan hidup mereka dengan alam dengan menggunakan sistem pelak yang tanpa mereka sadari sistem tersebut

Page 101: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 101

merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang menjaga keanekaragaman hayati tanaman buah lokal

B. Tujuan Penulisan

Penulisan ini tujuannya yaitu (1) mengetahui kearifan lokal yang ada dalam sistem “Pelak” dan, (2) mengetahui pengaruh sistem “Pelak” terhadap tata kelola lingkungan dalam menjaga keanekaragaman hayati tanaman buah lokal.

C. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan memiliki manfaat yaitu (1) manfaat teoritis: dapat memberikan kontribusi bagi akademisi maupun peneliti lainnya untuk mengetahui sistem agroforestri tradisional dalam tata kelola lingkungan yang menjaga kelestarian keanekaragaman hayati buah lokal dan, (2) manfaat praktis: dapat memberi manfaat bagi Pemerintah, Pihak swasta dan masyarakat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati adalah tingkat variasi bentuk kehidupan dalam, mengingat ekosistem bioma spesies pada suatu tempat. Kekayaan keanekaragaman hayati Indoensia sangat beragam salah satunya biodiversitas tanaman buah lokal. Biodiversitas tanaman buah terdapat biasanya terdapat di pekarangan, ini merupakan aset bernilai tinggi, baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Umumnya tanaman buah dipekarangan merupakan jenis tanaman tahunan, sehingga komposisi jenis tanaman buah hampir stabil dalam kurun waktu cukup lama. Biodiversitas tanaman yang tinggi di lahan sistem pekarangan memungkinkan terbentuknya struktur lapisan tajuk yang meningkatkan efisiensi pemanenan energi matahari (Muliawati dkk., 2012).

B. Tanaman Buah Lokal

Tidak kurang dari 329 jenis buah (terdiri 61 suku dan 148 marga) baik yang merupakan jenis asli Indonesia atau pendatang (introduksi) ditemukan di Indonesia (Rifai, 1986). Di Asia Tenggara dilaporkan terdapat ± 400 jenis buah yang dapat dimakan (Prosea, 1991). Jadi lebih dari 3/4 jenis buahan dilaporkan terdapat di Asia Tenggara ditemukan di Indonesia. Hasil pengumpulan data, tercatat 266 jenis (termasuk 4 anak jenis dan 2 varietas) buah-buahan asli Indonesia ditemukan sebagian besar masih tumbuh liar di hutan dan hanya sebagian kecil dibudidayakan. Dari 226 jenis buah sebagian besar berupa pohon (203 jenis), liana (26 jenis), perdu (17 jenis), herba (14 jenis) dan semak (4 jenis). Dengan adanya persentase jumlah jenis pohon yang paling besar (76%), hal ini menunjukkan usaha pemuliaan tanaman buah diperlukan waktu cukup lama karena jenis pohon daur hidupnya panjang. Selain itu tercatat 62 jenis dibudidayakan, 18 jenis berupa jenis endemik dan 4 jenis tumbuhan langka. Keempat jenis tumbuhan langka: kerantungan (Durio oxleyanus), lahong (Durio dulcis), lai (Durio kutejensis) dan burahol (Stelechocarpus burahol) (Mogea, dkk., 2001 dalam LIPI, 2007).

Jika dilihat berdasarkan lokasi buah lokal maka jenis terbanyak ditemukan di Sumatra (148), Kalimantan (144), Jawa (96), Sulawesi (43), Maluku (30), Nusa Tenggara (21), Papua (16) dan 34 jenis lain tersebar di Indonesia. Sedikitnya 4 marga dari 4 suku buah asli Indonesia bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi. Masing-masing adalah suku Anacardiaceae (marga Mangifera), Clusiaceae (Garcinia), Sapindaceae (marga Nephelium), Bombacaceae (marga Durio). Empat jenis buah dari keempat marga tersebut ditetapkan “buah unggulan nasional”,: buah mangga, manggis, rambutan dan durian (Winarno, 2000 dalam LIPI, 2007). Beberapa jenis buah asli Indonesia lainnya bernilai ekonomi dan berpotensi dikembangkan: salak (Salacca zalacca), duku (Lansium domesticum), buah merah (Pandanus conoideus) dan matoa (Pometia pinnata) (LIPI, 2007).

Page 102: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

102 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

C. Sistem Agroforestri Wanatani atau agroforestri sebenarnya bukan hal baru bagi petani, malah sebaliknya bagi

dunia ilmiah (Joshi, et. al., 2001). Istilah Agroforestri mulai diperkenalkan, terutama oleh para ahli barat 1970-an. Sistem Agroforestri merupakan sistem tata guna lahan yang ditanami aneka campuran jenis tanaman keras, tahunan dan semusim. Kendati istilah tersebut masih baru, sesungguhnya sistem agroforestri telah dipraktekan masyarakat sejak ribuan tahun (Iskandar, 2014: 11). Agroforestri sebagai praktek di Indonesia sudah dilakukan oleh masyarakat tradisional baik itu ditanah pekarangan atau dikebun.

Agroforestri dapat menjamin kesuburan tanah dan produktivitas lahan sehingga menjamin kelestarian daya dukung lingkungan1. Manfaat dari pelaksanaan agroforestri dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat aspek ekonomi bagi masyarakat yaitu sumber penghasilan, setelah mengkonsumsi hasilnya maka sisanya dapat dijual dan menjaga keanekaragaman tanaman lokal yang terdapat pada daerah tersebut.

Menurut Sunaryo dan Laxman Joshi (2003) prinsip ekologi mendasari pengembangan sistem agroforestri salah satunya yaitu penerapan sistem pertanian terpadu dengan tingkat keragaman hayati fungsional yang tinggi, sinergis sumber daya genetik. Muspida (2008), berbagai kearifan lokal dalam wanatani secara ilmiah memenuhi kaidah konservasi dan air di wilayah resapan. Contohnya makin curam lereng maka makin banyak pohon ditanam agar daya resapan air makin banyak dan untuk mencegah erosi2.

D. Sistem Agroforestri Melestarikan Kearifan Lokal

Pada masa silam, masyarakat lokal, masyarakat asli, masyarakat pribumi atau tradisional mengelola ekosistem senantiasa dilandasi “system corpus-cosmos-praxis”. Praktek (praxis) pemanfaatan pengelolaan sumber daya alam penduduk lokal, dilandasi pengetahuan (corpus) khususnya pengetahuan lokal, kepercayaan dan “world view” (cosmos) karena itu perilaku masyarakat pada alam berlaku bijaksana dan hati-hati, bersifat managemen adaptif dan penuh daya lenting3. Efek positifnya mereka dapat memanfaatkan sumberdaya alam dan ekosistem secara berkelanjutan (Cf. Toledo, 2010 dalam Iskandar, 2014)

Serangkaian kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam, mengelola hutan meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit atau benih, penanaman dan pemeliharaan, pemungutan hasil dan pemasaran hasil merupakan bentuk kearifan lokal. Menurut Noordwijk et. al., (2004) petani mempunyai pengetahuan dan kearifan lokal yang memadai (paling tidak secara kualitatif) tentang gejala alam sekitarnya. Pada masyarakat tradisional terdapat tradisi

1 Daya dukung berkelanjutan ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor biofisik maupun sosial-budaya-

ekonomi. Kedua kelompok faktor itu saling mempengaruhi (Soemarwoto, 2004: 89-91)

2 Air hujan yang tidak meresap kedalam tanah akan mengalir diatas permukaan tanah. Aliran ini mempunyai

energi tertentu. Makin curam dan panjang lereng makin besar energi kinetiknya dan dapat mengelupas

tanah (Soemarwoto, 2004: 229)

3 Dalam konsep ekologi kita mengenal konsep daya lenting. Daya lenting menunjukan kemampuan suatu

sistem untuk pulih setelah terkena gangguan. Makin cepat sistem itu pulih, makin pendek masa pulih dan

makin besar gangguan yang dapat ditanggungnya maka makin tinggi daya lenting sistem tersebut

(Soemarwoto, 2004: 92)

Page 103: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 103

tertentu melaksanakan kegiatan pertanian contoh sistem subak di bali, Sistem “Talun4” di Jawa Barat dan lainnya. Salah satu sistem pertanian yang dilaksanakan yaitu sistem agroforestri tradisional.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam tulisan ini yaitu metode kualitatif berupa observasi penulis,

wawancara mendalam kepada pelaku sistem “Pelak” , dan kajian pustaka, kemudian dilakukan analisis secara deskriptif. .

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sistem “Pelak”

Sebagai negara tropis Indonesia memiliki plasma nuftah buah-buahan yang paling beragam. Bahkan di hutan tropis yang ada di Sumatera, Kalimantan dan Papua masih tersimpan cadangan plasma nuftah buah-buahan yang belum dibudidayakan, sebutannya “buah liar”. Berbagai potensi perbuahan tersebut bersatu-padu dan bersinergi menyelamatkan keberadaan buah lokal yang telah dikembangkan turun-temurun oleh masyarakat dengan pengetahuan lokalnya yang tanpa disadari telah menjaga keberadaan, keberlangsungan keanekaan hayati tanaman buah lokal.

Salah satu kearifan lokal (local wisdom) yang ada di Indonesia adalah sistem Pelak”, sistem “Pelak” merupakan sistem tradisional Masyarakat Melayu Jambi5di Dusun Bangko, dalam mengelola hutan untuk keperluan hidup mereka baik hasilnya untuk dikonsumsi atau dijual di “kalangan” atau pasar yang ada di desa. Lahan yang digunakan untuk cocok tanam dengan Sistem “Pelak” yaitu dengan mengalih fungsikan hutan atau lahan yang pernah dipakai. Lahan yang pernah dipakai dan ditinggalkan ini disebut Masyarakat Melayu Jambi dengan nama “Sesap”. Dewasa ini pelaksanaan Sistem “Pelak” banyak menggunakan “Sesap” karena dipengaruhi pertumbuhan penduduk yang tinggi maka banyak alih fungsi hutan menjadi pemukiman. Sistem “Pelak” merupakan kebun kesepakatan keluarga dalam satu garis keturunan yang diwariskan dari nenek moyang, umumnya perpaduan antara “tanaman tuo” dan “tanaman mudo”. “Tanaman tuo” biasanya berupa tanaman buah lokal yang bernilai ekonomi seperti duku, durian, lengsat, manggis, cempedak, pelam, kuini, cupak dan sebagainya. Sedangkan “tanaman mudo” berupa tanaman untuk keperluan pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti cabe, kunyit, jahe, kacang panjang, terong dan lain-lainnya. Sistem “Pelak” ini merupakan kesempatan bagi generasi penerus memanfaatkan lahan yang diwariskan para leluhur dan merupakan lahan kebun kesepakatan. Pembuatan kebun kesepakatan ini biasanya terletak ditengah kampung, dekat kuburan (mengetahui siapa dahulu yang telah membuka “Sesap”), di tepi sungai desa dan jauh di dalam hutan yang batasnya berdasarkan informasi tetua atau dari mulut ke mulut. Lahan yang berada di hutan biasanya ditandai dengan bekas tebangan kayu “tunggul kayu”, bentang alam (bukit atau sungai) atau tanaman pembatas sehingga kecil kemungkinan terjadi permasalahan/konflik batas. Pembuatan kebun kesepakatan ini mempunyai luas yang bervarisasi tergantung dari warisan keluarga, luasannya mulai dari 0.5-3 hektar. Proses cocok tanam dengan Sistem “Pelak” ini melibatkan keluarga inti yang masuk dalam garis keturunan dan masyarakat lokal sekitar. Mulai dari pembukaan lahan sampai ke pemanenan hasil dari kebun ini masyarakat lokal selalu dilibatkan, apabila dalam batas waktu yang ditentukan belum bisa diselesaikan maka dilanjutkan oleh keluarga inti. Sistem kekerabatan antara individu diluar garis

4 Struktur system pekarangan dan kebun “talun” di Jawa Barat, umumnya menyerupai hutan dengan

penutupan tajuk berlapis dimana biasanya terdiri berbagai spesies, baik tanaman semusim ataupun tahunan

(Abdoellah, 2012: 90).

5 Suku Kubu memandang Masyarakat Melayu Jambi dengan sebutan “Orang Terang”. Suku Kubu yang ada di

Provinsi Jambi hidup berpindah-pindah atau nomaden. Kehidupannya dengan mengambil apa yang ada

dihutan setelah habis mereka pindah lagi untuk mencari sumber kekayaan hutan di pedalaman.

Page 104: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

104 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

keturunan terlihat masih kental dan terjaga. Gotong-royong yang dilakukan di luar garis keturunan tetap masih terjaga. “penuturan informan kunci: kalo ado keluarga lain yang lagi nak bikin kebun pasti kito nak nulung jugo”. Jadi, mulai dari persiapan lahan sampai ke distribusi hasil panen kebun tersimpan kearifan lokal yang selaras dengan alam dan terus dilakukan dari generasi terdahulu hingga saat ini.

B. Penanaman Sistem “Pelak” 1. Proses Penanaman

Penanaman yang dilakukan pertama kali dalam sistem pelak adalah dengan menanam padi. Kegiatan pertama yang dilakukan yaitu menugal atau pembuatan lubang tanam. Masyarakat Melayu Jambi menyebutnya dengan istilah “mencam”. Kegiatan pembuatan lubang tanam ini dilakukan oleh kaum laki dengan menggunakan kayu ukuran 4,5 cm sekepalan orang dewasa, panjang kayu 2 meter dan ujungnya ditajamkan sehingga runcing dan ditancapkan ketanah untuk membuat lubang tanam. Setelah terbuat lubang tanam maka kaum perempuan memasukan benih padi sampai selesai. Apabila proses penanaman tidak bisa diselesaikan dalam waktu satu hari maka dilanjutkan oleh keluarga inti.

Setelah padi ditanam, diselahnya dan batas lahan ditanami biji buah-buahan, bibit cabutan secara berbaris seperti dian (durian), cempedak, duku, nangka, bedaro (kelengkeng hutan), lengsat dan lainnya yang memiliki nilai ekonomis apabila nanti setelah padi selesai dipanen dan lahan tersebut ditinggal untuk beberapa tahun. Dengan adanya penanaman tanaman buah asli setempat atau disebut dengan tanaman buah lokal maka secara tidak langsung telah membantu pelestarian dan keberadaan tanaman buah lokal tersebut hingga sampai saat ini. Pengetahuan ini sebenarnya oleh masyakat setempat bermaksud agar cucu cicit mereka nanti menikmati hasil tanaman buah yang mereka tanam, hal ini berpedoman bahwa pada 100% masyarakat Dusun Bangko beragama Islam. Dalam ajaran Islam apabila suatu saat tuan yang memiliki pelak meninggal dunia, maka kebun pelak tersebut merupakan “amal jariyah” yang akan dinikmatinya selama kebun pelak tersebut memberikan hasil kepada anak cucu cicit atau siapapun yang memanfaatkannya. Prinsip seperti inilah membuat keberadaan pelak di masyarakat Dusun Bangko masih bertahan sampai saat ini.

Dilihat dari keilmuan saat ini, hal yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Bangko adalah upaya konservasi in-situ6, yaitu Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan (UU No. 5 Tahun 1990), tentunya sistem pelak inilah yang membantu pelestarian keberadaan tanaman buah lokal dari ancaman alih fungsi lahan, dan juga merupakan awal yang baik sebagai penyedia bank benih untuk dapat dikembangkan lebih lanjut oleh instansi dan pihak yang memiliki keilmuan tentang pemuliaan tanaman seperti Dinas Pertanian, Perkebunan, Kementerian Pertanian, LIPI dan sebagainya. 2. Lahan Pasca Panen Padi.

Pasca pemanenan padi maka kebun tadi ditinggalkan sementara waktu, bibit tanaman dibiarkan tumbuh secara alami, penyiangan hanya dilakukan 3-4 kali setahun. Setelah 5-7 tahun, saat tanaman buah berputik atau belajar berbuah, penyiangan, tebas dahan terhadap semak belukar yang sudah membesar dan yang tidak ekonomis, proses pembersihan ini dilakukan sebulan sekali. Bibit tanaman buah alami yang disebarkan binatang sejenis monyet atau biasa disebut Masyarakat Melayu Jambi “Cigak” seperti bedaro (lengkeng hutan), tampai (sejenis duku tapi masam), cupak, dian, dan lain sebagainya. 3. Kebun “Pelak”

Setelah beberapa tahun, tanaman buah tumbuh membesar menjadi hutan kembali inilah yang disebut dengan Sistem “Pelak”. Pemanenan kebun pelak yang sudah menghasilkan dijaga dan

6 Konservasi In-Situ adalah konservasi ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi

jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang (Konvensi Perserikatan Bangsa-BangsaTentang Keanekaragaman Hayati, 1992 Pasal 2)

Page 105: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 105

dilakukan oleh keluarga inti dalam satu garis keturunan. Sebelum masa panen tiba, maka keluarga inti membangun pondok dengan ketinggian 2,5-3 meter dari permukaan tanah. Hal ini untuk menghindari serangan binatang buas, seperti harimau sumatera, beruang, babi “jukut disebut masyarakat jambi”, monyet ekor panjang “ cigak bahasa melayu jambi” dan rusa “uso dalam bahasa melayu jambi”. Sedangkan dibawah pondok yang sudah dibersihkan akan ditanami dengan tanaman bumbu dapur. “Penuturan Informan Kunci: ada hal menarik saat musim durian tiba, dimana buah pertama yang jatuh tidak akan diambil oleh keluarga inti dan dibiarkan saja. Hal ini memberipersembahkan durian awal panen kepada “ninek7” sebutan harimau untuk Masyarakat Melayu Jambi”. Setelah memberikan persembahan kepada “ninek” barulah keluarga inti mengambil atau memanen durian. Keluarga inti akan dapat bagian paling banyak dan berhak untuk menjual hasilnya bila semua keluarga inti dan bukan inti sudah mendapat bagian. Menurut kaidah ekologi bahwa kearifan lokal manusia yang memberikan kesempatan untuk makan kepada “ninek” sebagai mahkluk hidup merupakan pandangan ekosentris.

C. Nilai-Nilai yang Terkandung pada Sistem “Pelak”

Sistem “Pelak” mulai dari Persiapan lahan sampai menjadi kebun “Pelak” terkandung kearifan lokal dan cara masyarakat melayu Jambi untuk mempertahankan tanah dan sejarah keturunannya. Sistem “Pelak” menggambarkan masih kentalnya interaksi sosial masyarakat dengan cara-cara bergotong-royong. Tata kelola sistem “Pelak” sesuai dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan yang tanpa disadari telah membantu penyelamatan kelestarian tanaman buah lokal sehingga dapat bertahan dan dinikmati oleh masyarakat setempat sampai dengan saat ini. Penjelasan mengenai sistem pelak dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Keunikan Sistem “Pelak” atau tanah kesepakatan dibandingkan daerah lain di Indonesia bahwa sangat kecil mengalami penyusutan atau alih fungsi karena sistem pelak mengutamakan prinsip amal jariyah sehingga memberikan umur berkelanjutan dalam keberadaan sistem pelak. Pada sistem “Pelak” apabila kebun akan dijual harus mendapatkan persetujuan keluarga inti. Satu anggota keluarga inti tidak setuju maka tidak bisa dijual, tetapi bila ada keluarga inti tidak mampu maka kebun pelak dapat dialih fungsikan untuk perumahan karena tidak terlalu signifikan

7 Harimau Sumatera atau “Ninek” sangat menyukai durian. Sisa-sisa durian yang dibelah oleh harimau sangat

rapi dan sisa-sisa biji mengkilat dan bersih.Masyarakat Melayu Jambi berpantangan memanggil hewan buas

ini dengan sebutan Harimau, karena menurut kepercayaan bahwa apabila menyebut harimau maka yang

bersangkutan dapat bertemu harimau tersebut langsung dan mimpi buruk.

Gambar 1. Pengelolaan Berkelanjutan Tanaman Buah Lokal

Page 106: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

106 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

mengurangi luasan. Jadi, kebun pelak yang tidak dialihfungsi kembali seperti hutan alam. Sistem “Pelak” tidak hanya menghasilkan satu jenis tanaman buah sehingga mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dalam setahun, memberikan keberlanjutan/sustainable hasil kebun, karena terdapat musim durian, duku, cempedak dan lainnya. Tanaman buah dan tanaman keras (kayu) yang sudah berumur dan menghasilkan disebut tanaman “tuo” sedangkan dibawa tegakan disebut tanaman “mudo”. Perpaduan tanaman “tuo dan mudo” di kebun pelak memiliki stratifikasi tajuk sangat beragam seperti hutan alam.

Selain menambah nilai ekonomis sistem pelak juga melestarikan tanaman buah lokal (keanekaan hayati tanaman buah lokal) yang ada dalam sistem pelak, karena sistem pelak berisikan tamanan buah yang sudah tua, yang ditanaman oleh ninek dari keluarga yang mempunyai sistem pelak. Dengan demikian kelestarian keanekaragaman hayati tanaman buah lokal akan terjamin dengan baik di Dusun Bangko Kecamatan Bangko Kabupaten Merangin Propinsi Jambi dengan masih bertahannya sistem pelak.

Gambar 2. Tata Kelola Lingkungan pada Sistem “Pelak” menjaga Alih Fungsi Lahan

Kondisi kebun pelak inilah sering kita sebut dengan istilah Agroforestri8. Sistem “Pelak” merupakan sistem “tata kelola lingkungan tradisional” dengan memberikan fungsinya seperti hutan alam9, perpaduan “tanaman tuo” dan “tanaman mudo” (fungsi iklim mikro, tangkapan air, penyerap polutan/carbon dan memberikan nilai ekonomis bagi Masyarakat Melayu Jambi, dapat dilihat pada gambar 2 diatas) dan merupakan cara efektif menjaga keanekaan hayati buah lokal dari ancaman alih fungsi lahan sehingga keberadaan tanaman buah local masih dirasakan sampai saat ini.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

8 Sistem agroforestri tradisional pada umumnya menggunakan pengetahuan lokal atau disebut kearifan lokal

yang diketahui secara turun temurun dengan penggunanaan teknologi yang sederhana, begitu pula sistem

agroforestri modern yang sangat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru (Iskandar, 2009)

9 Potensi carbon pada sistem pekarangan dan kebun-kebun di Indonesia yaitu rata-rata diatas tanah

pekarangan berkisar dari 30 dan 123 Mg C ha-1 (Roshetko, et. al., 2010 dalam Abdoellah, 2012: 94)

Page 107: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 107

Sistem “Pelak” masyarakat melayu Jambi di Dusun Bangko, Kecamatan Bangko, Provinsi Jambi merupakan kearifan lokal yang menjaga keberlangsungan keanekaragaman hayati buah lokal dengan pola “Multi-Storey Mixed Cropping”. Pola ini merupakan pola tanam mengkombinasikan jenis tumbuhan semusim dan tahunan sehingga membentuk tajuk tumbuhan berlapis-lapis, mulai dari tumbuhan merambat dan penutup permukaan tanah, sampai tumbuhan kayu yang mengisi lapisan tajuk atas. Dan sistem “Pelak” yang sudah berumur puluhan tahun bahkan ratusan tahun merupakan salah satu penyelamat keanekaragaman hayati buah lokal dari ancaman alih fungsi lahan serta dikategorikan sebagai usaha konservasi in-situ tanaman buah lokal.

B. Saran 1. Perlu dilakukan penetapan Sistem “Pelak” sebagai warisan budaya lokal dalam upaya konservasi

in-situ tanaman buah lokal agar dapat mengurangi alih fungsi lahan dari sistem pelak yang masih ada.

2. Perlunya penelitian lanjutan tentang inventarisasi tanaman buah lokal Sistem “Pelak”. 3. Apabila dikelola dengan baik dan melibatkan Dinas Pariwisata setempat, Sistem “Pelak” bisa

menjadi objek wisata alam yang layak dimanfaatkan pada saat musim buah, misal musim durian, duku, langsat, tampoy, cupak, kuini, pauh, pelam, bedaro (mata kucing) musim manggis dan beranekaragam buahan yang ada lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah O. S. 2012. Antropologi Ekologi: Konsep, Teori & Aplikasinya dalam Konteks Pembangunan

Berkelanjutan. Edisi Pertama. Penerbit AIPI & LPPM Unpad. Bandung. Bappenas. 2003. IBSAP Dokumen Regional : Strategi dan Rencana Aksi Keanekaaragaman Hayati

Indonesia 2003-2020. Iskandar, Johan. 2014. Manusia dan Lingkungan Dengan Berbagai Perubahan. Penerbit Graha Ilmu.

Yogyakarta. Iskandar, Johan. 2015. Keanekaan Hayati Jenis Binatang : Manfaat Ekologi Bagi Manusia. Penerbit

Graha Ilmu. Yogjakarta. Joshi, et. al., 2001. Recognising Local Knowledge and Giving Farmers a Voice in The Policy

Development Debate. Southeast Asian Regional Research. Bogor. LIPI. 2007. REVIEW : Keanekaragaman Jenis Buah-Buahan Asli Indonesia dan Potensinya. jurnal

BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X Vol 8, No 2 April 2007 Halaman: 157-167. Muliawati, Endang Setia; Budiastuti, MTH. Sri; dan Suayana, Jaka. 2012. Biodiversitas Tanaman Buah

Di Pekarangan Sebagai Pendukung Pengembangan Komoditas Buah Lokal. Prodi Agroteknologi, Fak. Pertanian, Univ. Sebelas Maret Surakarta. Disampaikan dalam Seminar Nasional Perhimpuman Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) 06 -07 Nopemnber 2012 di IPB Bogor.

Muspida. 2008. Kearifan Lokal dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros, Sulawesi

Selatan. Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol III No 2. Agustus 2008. Noordwijk, et. al., 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah

Aliran Sungai (DAS). Jurnal Agrivita Vol 26 No 1, Maret 2004.

Page 108: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

108 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Edisi 10. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Sunaryo dan Laxman Joshi. 2003. Sistem Agroforestry. World Agroforestry Centre (ICRAF). Penerbit

ICRAF. Bogor. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

Page 109: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 109

POLA KOMBINASI SISTEM AGROFORESTRI KARET DI DESA JORONG KABUPATEN TANAH LAUT

Hafizianor Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru

Email: [email protected]

ABSTRAK

Agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan yang memadukan tanaman berkayu dengan tanaman pertanian, peternakan atau perikanan sudah mulai berkembang di Desa Jorong Kabupaten Tanah Laut. Masyarakat petani karet memanfaatkan lahan di bawah tegakan karet ketika tanaman karet masih berumur di bawah tiga tahun. Pemeliharaan tanaman di bawah tegakan karet dengan cara pemupukan, pembersihan gulma dan pengemburan tanah diprediksi akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan karet. Begitu pula dengan keberadaan tanaman tumpangsari yang ditanam dibawah tegakan karet secara riel akan turut memberikan dampak terhadap pemanfaatan lahan sehingga lebih bernilai ekonomis. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola kombinasi agroforestri karet yang diterapkan masyarakat, mengetahui pertumbuhan tanaman karet sebagai tanaman pokok dan mengkaji nilai ekonomi tanaman tumpangsari dari agroforestri karet. Lokasi penelitian adalah di Desa Jorong Kabupaten Tanah Laut. Metode penelitian yang digunakan secara deskriptif dimana data dikumpulkan melalui wawancara dengan kelompok tani dan melalui observasi langsung di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian di ketahui bahwa pola kombinasi agroforestri yang diterapkan masyarakat terdiri dari 3 pola yaitu agroforestri karet-semangka, agroforestri karet-jagung dan agroforestri karet-lombok. Tahapan pengelolaannya meliputi tahap persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga sampai pemanenan dan pemasaran. Pertumbuhan tanaman karet yang ditanam dengan 3 pola kombinasi sistem agroforestri memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingan tanaman karet tanpa kombinasi tanaman tumpangsari. Secara ekonomi usaha tani buah semangka, lombok dan jagung yang dibudidayakan dengan pola agroforestri karet layak diusahakan. dengan nilai benefit cost rasio 2,689 untuk buah semangka, 2,905 untuk tanaman jagung dan 1,279 untuk tanaman lombok dimana nilai BCR lebih dari satu.

Kata kunci: agroforestri, karet

I. PENDAHULUAN

Di Kecamatan Jorong masyarakat menjalin kerjasama dengan PT Citra Putra Kebun dan PT. INHUTANI mengelola perkebunan karet diterapkan dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri karet yang dilaksanakan menerapkan sistem agroforestri dengan beberapa pola kombinasi tanaman bawah dengan tanaman pokok karet. Tujuan menerapkan sistem agroforestri ini merupakan salah satu program pemberdayaan terhadap masyarakat yang difasilitasi oleh pihak perusahaan agar dapat mensejahterakan masyarakat sekaligus menciptakan lapangan kerja.

Penerapan pola kombinasi tanaman karet dan tanaman tumpangsari sebagai suatu sistem agroforestri secara ekologis dan ekonomis akan menciptakan hubungan saling menguntungkan dalam jangka waktu tertentu. Pemeliharaan tanaman tumpangsari dengan cara pemupukan, pembersihan gulma dan pengemburan tanah diprediksi akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan karet. Begitu pula dengan keberadaan tanaman tumpangsari yang bisa ditanam dibawah tegakan akan karet turut memberikan dampak terhadap pemanfaatan lahan sehingga bisa bernilai ekonomis. Seberapa besar hubungan saling menguntungkan tersebut dapat dibuktikan akan terjawab setelah dilakukan penelitian yang terkait dengan pertumbuhan karet sebagai tanaman pokok agroforestri dan nilai ekonomi tanaman tumpangsari dilahan agroforestri karet. Berdasarkan latar belakang itulah penelitian mengenai kajian pola kombinasi sistem agroforestri karet di Desa

Page 110: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

110 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Jorong dilaksanakan. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Mendeskripsikan pola kombinasi agroforestri karet yang diterapkan (2) Mengetahui pertumbuhan tanaman karet sebagai tanaman pokok (3) Mengkaji nilai ekonomi tanaman tumpangsari dari agroforestri karet.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Jorong Kecamatan Jorong Kabupaten Tanah Laut pada

lahan perkebunan PT. Citra Putra Kebun Asri yang dikelola bersama masyarakat dengan sistem agroforestri karet. Obyek dalam penelitian ini adalah pelaku agroforestri karet dan agroforestri karet Untuk mencapai tujuan dari penelitian, maka dilakukan pengumpulan data berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi, pengukuran di lapangan dan wawancara dengan kelompok tani agforestri karet serta pihak pengelola sistem agroforestri karet . Kegiatan pengukuran tanaman karet meliputi pengukuran tinggi, diameter dan jumlah daun tanaman karet. Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan antara lain meliputi data keadaan lingkungan biofisik dan sosial wilayah setempat yang datanya bersumber dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, kecamatan dan desa.

Untuk mengetahui tujuan pertama yaitu pola kombinasi agroforestri karet yang diterapkan data dianalisis secara deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan pola kombinasi agroforestri karet dari persiapan lahan, pembibitan, penanaman dan pemanenan hasil dari tanaman agroforestri karet. Untuk mengetahui tujuan kedua yaitu mengkaji pertumbuhan tanaman karet maka parameter yang diukur meliputi tinggi tanaman, diameter batang tanaman dan jumlah daun dilakukan sebanyak 8x pengukuran setiap 10 hari sekali. Analisis data dilakukan secara matematis (enumerasi). Untuk mengetahui tujuan ketiga, yaitu menghitung nilai ekonomi tanaman tumpangsari berdasarkan perbandingan dari jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran, dianalisis dengan menggunakan Benefit Cost Ratio (BCR).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pola Kombinasi Agroforestri Karet

Berdasarkan hasil penelitian terdapat 3 pola kombinasi sistem agroforestri yang diterapkan, yaitu meliputi kombinasi agroforestri karet-semangka, kombinasi agroforestri karet-jagung dan kombinasi agroforesri karet-lombok. 1. Kombinasi karet dan semangka Tanaman semangka masa budidaya cukup singkat, dalam waktu 3 bulan tanaman semangka sudah siap dipanen dengan 2 kali pemanenan. Semangka merupakan tanaman yang memiliki nama latin Citrullus lanatus, tanaman semangka memiliki rasa yang manis serta kandungan air yang banyak. Dari asal usulnya, tanaman semangka berasal dari daerah Afrika bagian selatan dan masuk kedalam family Cucurbitaceae. Adapun gambar kombinasi tanaman karet dan semangka dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Agroforestri Karet-Semangka

Page 111: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 111

Ada beberapa tahap yang dilakukan untuk budidaya agroforestri pola kombinasi karet dan semangka yang meliputi persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Hasil produksi tanaman semangkan pada luas lahan 1 Ha yaitu 19 ton dengan dua kali pemanenan dan dipanen pada bulan ketiga. Harga jual buah semangka dari petani ke tengkulak yaitu Rp. 3.400.-/kg sedangkan dari tengkulak ke konsumen harga jual sebesar Rp.4.000 - 4.500,-/kg . Adapun proses pemasaran berlangsung dari petani ke tengkulak dan tengkulak menjual ke konsumen. 2. Kombinasi karet dan jagung

Menurut hasil wawancara dengan petani, tanaman jagung memerlukan air terutama untuk pertumbuhannya, jadi penanaman jagung diawali pada musim hujan. Karena pada musim hujan tanah menjadi lembab sehingga tanaman tidak kekurangan air.

Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam budidaya jagung meliputi persiapan lahan,

penanaman, perawatan, pemanenan dan pemasaran. Penanaman jagung yang diterapkan petani dengan cara ditugal dengan pola tanaman secara tumpangsari. Membuat lubang sedalam 2-3 cm kemudian masukan 2 butir benih jagung setiap lubangnya. Setelah itu masukkan tanah dan kompos kemudian siram agar kelembaban tanah terjaga. Adapun proses pemasaran berlangsung dari petani ke tengkulak atau ke petani langsung dan tengkulak menjual ke konsumen. 3. Kombinasi karet dan lombok

Ada beberapa tahap yang dilakukan untuk budidaya agroforestri pola kombinasi karet dan lombok yang meliputi persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Untuk persiapan lahan budidaya lombok, tanah tersebut pertama-tama digemburkan terlebih dahulu menggunakan traktor. Setelah tanah digemburkan, tanah tersebut dibuat bedengan kemudian ditaburkan pupuk kandang dan pupuk NPK. Selanjutnya dilakukan pengadukan bedengan agar pupuk yang sudah diberikan bercampur rata dengan tanah. Selanjutnya bedengan dipasang plastik mulsa sekaligus membuat lubang tanam.

Tanaman lombok mulai bias dipanen setelah berumur sekitar ±70 hari hasi setelah penanaman. Cara pemanenan dilakukan pada pagi hari dan pada saat pemetikan lombok, pada saat pemanenan lombok agar tidak telalu tua dengan tingkat kemasakan 80-90%. Hasil produksi tanaman jagung pada luas lahan 200 m2 yaitu 300 kg, dengan harga jual lombok dari petani ke konsumen sebesar Rp. 30.000,-.

Gambar 2. Tanaman karet dengan tanaman jagung

Page 112: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

112 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

B. Pertumbuhan Tanaman Karet

Pengukuran pertumbuhan karet pada tanaman agroforestri karet meliputi 3 pola kombinasi yaitu tanaman karet-semangka, tanaman karet-jagung dan tanaman karet-lombok. Parameter yang diukur meliputi pengukuran diameter, pengukuran tinggi dan perhitungan jumlah daun. 1. Pertumbuhan tanaman karet dengan semangka

Pertambahan diameter tanaman karet pada plot ukur 20x20 dari hasil pengukuran tidak terlalu banyak mengalami pertambahan. Pertambahan diameter tertinggi yaitu 1,80 cm sedangkan pertambahan diameter terendah yaitu 0,40 cm dimana rata-rata diameter dari 40 tanaman yang diukur 1,26 cm dan rata-rata pertambahan diameter 0,23 cm.

Sedangkan pertambahan tinggi tanaman karet untuk semua pengukuran cenderung sangat cepat. Pada setiap pengkuran per 10 hari, pertambahan tinggi tanaman karet menunjukkan pertambahan yang mencolok besar, hal ini terlihat dari data hasil penelitian dan laju rata-rata per 10 hari pengamatan. Pertambahan tinggi tertinggi yaitu 199 cm sedangkan pertambahan tinggi terendah yaitu 120 cm. Rata-rata tinggi karet yaitu 159, 95 cm dengan rata-rata penambahan tinggi 19, 99 cm. Kecepatan tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu tingkat kesuburan tanah dan tingkat kebersihan lahan dari gulma.Semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kandungan unsur hara yang diterima oleh tanaman akan semakin tinggi, begitu pula dengan seringnya frekuensi pemupukan pada tanaman tumpangsari, maka kandungan unsur hara juga semakin tinggi. Pertambahan tinggi tanaman karet pada plot ukur 20x20 meter dapat dilihat pada Gambar 4.

Pertambahan jumlah daun karet tertinggi yaitu 126 helai sedangkan pertambahan jumlah

daun terendah yaitu 39 helai daun. Rata-rata pertambahan jumlah daun tanaman karet 80 helai daun sedangkan rata-rata jumlah daun setiap tanaman sebanyak 131 helai daun. 2. Pertumbuhan tanaman karet dengan jagung

Pertambahan diameter tanaman karet mengalami pertambahan sama seperti pertambahan diameter tanaman karet yang ditanaman bersamaan tanaman semangka. Pertambahan diameter

0

50

100

150

200

250

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39Tin

ggi p

oh

on

(C

m)

No pohon

Pertambahan tinggi

Rata-rata

Gambar 3. Tanaman Karet Dengan Tanaman Lombok

Gambar 4. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman karet dengan tanaman semangka.

Page 113: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 113

tertinggi yaitu 1,60 cm sedangkan pertambahan diameter terendah 0,80 cm dengan rata-rata diameter 1,18 cm dan rata-rata pertambahan diameter 0,15 cm.

Sedangkan pertambahan tinggi tertinggi yaitu 188 cm dan pertambahan tinggi terendah yaitu 70 cm. Pertambahan tinggi tanaman karet selama pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata p tinggi tanaman karet 150 cm sedangkan rata-rata penambahan tinggi yaitu 21 cm. Pertambahan jumlah daun tanaman karet pada plot ukur 20x20 meter dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini.

Rata-rata pertambahan jumlah daun tanaman karet yaitu 79 helai daun sedangkan rata-rata penambahan jumlah daun selama 80 hari yaitu sebanyak 10 helai daun. 3. Pertumbuhan tanaman karet dengan Lombok Pertambahan diameter tanaman karet tertinggi yaitu 1,60 cm sedangkan pertambahan diameter terendah yaitu 0,70 cm. Diameter tanaman karet yaitu rata-rata 1,30 cm setelah 10 hari pengukuran sedangkan rata-rata penambahan diameter yaitu 0,16 cm. Pertambahan tinggi tanaman karet pada plot ukur 20x20 meter dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik pertambahan daun tanaman karet dengan tanaman jagung

Pada grafik dapat dilihat bahwa pada pengukuran setiap 10 hari, pertambahan tinggi

tanaman karet dengan tanaman tumpangsari jagung menunjukkan pertambahan yang mencolok besar, hal ini terlihat dari data hasil penelitian dan laju rata-rata per 10 hari pengamatan. Pertambahan tinggi tertinggi yaitu 190 cm sedangkan pertambahan tinggi terendah yaitu 81 cm. Rata-rata tinggi tanaman 163,30 cm dan rata-rata penambahan tinggi 20,42 cm . Sedangkan rata-rata jumlah daun tanaman karet yaitu 79 helai daun sedangkan rata-rata penambahan jumlah daun yaitu 10 helai daun.

Tanaman karet sebenarnya ditanam secara monokultur dengan jarak tanaman yang teratur. Namun pada tahun pertama sampai tahun ketiga tanaman karet ini ditanam dengan tanaman tumpangsari seperti tanaman semangka dan jagung. Namun setelah tajuk pohon karet menutup permukaan tanah dari sinar matahari, maka tanaman semusim sudah tidak efektif lagi ditanam dan tanaman karet nantinya akan menjadi homogen.

Tanaman karet pola agroforestri menjadi bagus pertumbuhannya salah satunya karena dari pemberian pupuk unsur hara yang diberikan terhadap tanaman tumpangsari secara tidak langsung

0

50

100

150

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39

Jum

lah

dau

n

No pohon

Pertambahan jumlah daun

Rata-rata

0

100

200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Tin

ggi (

cm)

No pohon

Pertambahan tinggi

Rata-rata

Gambar 5. Grafik pertambahan daun tanaman karet dengan tanaman jagung

Page 114: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

114 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

memberikan unsur hara terhadap tanaman pokok. Dari kombinasi tersebut, tanaman karet dan tanaman tumpangsari merupakan sistem agroforestri yang saling menguntungkan secara ekonomis dan ekologis. Tanaman tumpangsari seperti tanaman semangka, jagung dan lombok memberikan nilai ekonomis yang cukup besar terhadap petani serta pertumbuhan tanaman karet menjadi subur karena perawatan yang intensif diberikan terhadap tanaman tumpangsari memberikan dampak positif terhadap tanaman pokok.

C. Nilai Ekonomi Benefit Cost Ratio Tanaman Tumpangsari dari Agroforestri Karet

Analisis ekonomi yang dimaksudkan disini adalah analis biaya (Cost) dan keuntungan (Benefit) usahatani yang diperoleh petani berdasarkan komoditi dari tipe agroforestri yang diusahakan. Komponen biaya usahatani mencakup tanaga kerja, sarana produksi seperti peralatan, bibit, pupuk dan lain-lain. Komponen pendapatan seperti produksi, harga, total penerimaan dan pendapatan. 1. Pola kombonasi tanaman karet dan semangka

Biaya produksi dalam usaha budidaya tanaman semangka sebesar Rp. 8.128.060 biaya tersebut terbagi menjadi beberapa tahap kegiatan seperti biaya persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Pendapatan yang diperoleh dari budidaya tanaman semangka yaitu berasal penjualan buah semangka. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (1996) bahwa pendapatan adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usaha, pendapatan dari usaha budidaya tanaman semangka adalah buah semangka. Harga jual buah semangka yaitu Rp.3.500/kg. Keuntungan merupakan selisih antara total pendapatan dikurang total biaya produksi. Keuntungan = 19.000 kg @ Rp. 3.400 = Rp. 64.600.000, Jadi keuntungan bersihnya yaitu = Rp. 64.600.000 – Rp. 8.128.060 = Rp. 56.471.940

Analisis kelayakan finansial digunakan untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan secara finansial layak untuk dijalankan atau tidak. Untuk analisis kelayakan pengembangan usahatani sistem agroforestri digunakan analisis Benefit Cost Ratio (BCR) dengan tingkat suku bunga 12%. Dari hasil perhitungan benefit cost ratio tanaman tumpangsari tanaman semangka yaitu 2.689. Dari suku bunga yang digunakan tersebut menghasilkan Benefit Cost Ratio >1 sehingga usaha budidaya tanaman semangka layak dilanjutkan. 2. Pola kombinas tanaman karet dan jagung

Biaya produksi dalam usaha budidaya tanaman jagung sebesar Rp. 11.095.000 biaya tersebut terbagi menjadi beberapa tahap kegiatan seperti biaya persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Pendapatan yang diperoleh dari budidaya tanaman jagung yaitu berasal penjualan tanaman jagung. Keuntungan = 5.000 kg @ Rp. 3.000 = Rp. 24.000.000 Jadi keuntungan bersihnya yaitu = Rp. 24.000.000 – Rp. 11.095.000 = Rp. 12.905.000

Analisis kelayakan finansial digunakan untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan secara finansial layak untuk dijalankan atau tidak. Untuk analisis kelayakan pengembangan usahatani sistem agroforestri digunakan analisis Benefit Cost Ratio (BCR) dengan tingkat suku bunga 12%. Dari hasil perhitungan benefit cost ratio tanaman tumpangsari tanaman semangka yaitu 2.905. Dari suku bunga yang digunakan tersebut menghasilkan Benefit Cost Ratio >1 sehingga usaha budidaya tanaman semangka layak dilanjutkan. 3. Pola kombinasi tanaman karet dengan Lombok

Biaya produksi dalam usaha budidaya tanaman jagung sebesar Rp. 5.735.000 biaya tersebut terbagi menjadi beberapa tahap kegiatan seperti biaya persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Keuntungan = 300 kg @ Rp. 30.000 = Rp. 9.000.000,- Jadi keuntungan bersihnya yaitu = Rp. 9.000.000,- Rp. 5.735.000,- = Rp. 3.265.000. Dari hasil perhitungan benefit cost ratio tanaman tumpangsari tanaman lombok yaitu 1.279. Dari suku bunga yang digunakan tersebut menghasilkan Benefit Cost Ratio >1 sehingga usaha budidaya tanaman semangka layak dilanjutkan.

Dari hasil perhitungan BCR tanaman tumpangsari buah semangka, jagung, dan lombok menunjukan bahwa perbandingan yang diperoleh dengan menggunakan suku bunga 12% sebesar

Page 115: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 115

2.689, 2.435 dan 2.298. Dari suku bunga yang digunakan tersebut mengahasilkan BCR lebih dari satu yang berarti bahwa usaha tanaman semusim tanaman semangka, jagung dan lombok sebagai tanaman sela karet menguntungkan sehingga layak untuk dilanjutkan.

Jika didasarkan pada pertumbuhan karet maka kombinasi karet-lombok memiliki pertumbuhan yang paling bagus dibandingkan dengan kombinasi karet-jagung atau karet semangka. Berdasarkan pengamatan dilapangan dan hasil pengukuran, pertumbuhan karet yang ditanam dengan tanaman tanaman tumpangsari memberikan dampak positif bagi pertumbuhan tanaman karet. Tanaman karet menjadi subur dibandingkan dengan tanaman karet tanpa tanaman tumpangsari. Seperti yang terjadi dilapangan, tanaman karet yang berumur 6 bulan ditanami dengan tanaman tumpangsari pertumbuhannya sangat cepat, seperti halnya tinggi tanaman karet dengan tanaman tumpangsari tingginya hampir sama dengan tanaman karet tanpa tanaman tumpangsari yang berumur 1 tahun dengan jarak tanaman karet yag diterapkan yaitu 3x3 meter.

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat diperoleh yaitu : 1. Pola kombinasi agroforestri yang diterapkan masyarakat terdiri dari 3 pola yaitu pola agroforestri

karet-semangka, karet-jagung dan karet-lombok, dengan beberapa tahap dalam budidaya pengelolaan yaitu meliputi persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga sampai pemanenan dan pemasaran.

2. Pertumbuhan tanaman karet yang ditanam dengan 3 pola kombinasi sistem agroforestri memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingan tanaman karet tanpa kombinasi tanaman tumpangsari. Berdasarkan pengamatan di lapangan tanaman karet yang berumur 6 bulan ditanami dengan tanaman tumpangsari pertumbuhannya sangat cepat, seperti halnya tinggi tanaman karet dengan tanaman tumpangsari tingginya hampir sama dengan tanaman karet tanpa tanaman tumpangsari yang berumur 1 tahun. kombinasi karet-lombok memiliki pertumbuhan yang paling bagus dibandingkan dengan kombinasi karet-jagung dan kombinasi karet-semangka

3. Usahatani buah semangka, lombok dan jagung yang dibudidayakan dengan pola agroforestri karet layak diusahakan. dengan nilai Benefit Cost Rasio 2,689 untuk buah semangka, 2,905 untuk tanaman jagung dan 1,279 untuk tanaman lombok dimana nilai BCR lebih dari 1.

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh ternyata sistem agroforestri 3 pola kombinasi

yang diterapkan oleh petani di Desa Jorong menguntungkan dari segi ekonomi dan dari segi pertumbuhan tanaman karet, sehingga perlu dipertahankan atau dikembangkan dengan pola-pola yang baru lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Akiefnawati,Ratna. 2013. Kebun Karet Agroforestri Sebagai Penyangga Hutan. Bogor. De Foresta H, Kusworo A, Michon G dan WA Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan –

Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF. Bogor. Fahrizal Y, Hafizianor,Gunawansyah. 2011. Analisis Biaya Dan Pendapatan Petani Karet Di Desa

Mantimin Kecamatan Batumandi Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan. Fauzi H. 2010. Kehutanan Masyarakat Teori Dan Implementasi. Banjarmasin.

Page 116: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

116 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Hafizianor,2002. Pengelolaan Dukuh Ditinjau Dari Perspektif Sosial Ekonomi Budaya dan Lingkungan: Studi Kasus di Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan.

Hendrinova. 2000. Pengaruh Berbagai Pupuk Organik dan Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan dan

Hasil Rimpang Jahe. Jurusan budidaya pertanian Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Suharjito, Leti sundawati, Suyanto dan Sri Rahayu Utami, 2003. Aspek Sosial Ekonomi Budaya

Agroforestri, Bogor. Wahyuningtyas, 2013. Agroforestri Sistem Dukuh Sebagai Sumber Pangan Dan Mendukung

Kehidupan Satwa Liar (Studi Kasus Di Hutan Rakyat Desa Qiram Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru.

Page 117: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 117

POLA AGROFORESTRI : TEMBAKAU, KOPI, DAN SUREN DI TEMANGGUNG (Studi Kasus Desa Tlahap, Kecamatan Kledung)

Agus Romadhon1 dan Wahyu Hidayat1

1Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Temanggung email : [email protected]

ABSTRAK

Lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro dengan ketinggian 700 s.d. 1500 di atas permukaan laut memiliki potensi alam yang sangat luar biasa. Sebagai kota tembakau 80% petani menanam tembakau. Tembakau sebagai tanaman pilihan karena di saat kemarau panjang, hanyalah tembakau yang mampu bertahan. Namun harga tembakau tiap tahunnya mengalami fluktuatif. Di tahun 2000, Pemerintah mulai mengenalkan tanaman kopi arabika dengan harapan sebagai alternatif tambahan pendapatan petani. Pada saat yang sama, petani juga dikenalkan suren sebagai naungan kopi sebagai upaya pengendalian erosi yang telah mencapai 60 ton/ha setiap tahunnya. Pada awalnya petani hanya berharap memanen kayu dari kopi dan suren. Seiring berjalannya waktu, ternyata kopi arabika memiliki nilai jual yang cukup bagus sehingga masyarakat telah banyak mengembangkan pola tembakau – kopi dan suren ini. Pola tembakau, kopi dan suren telah menjadi model pengembangan agroforestri di Temanggung. Agroforestri ini telah diakui manfaatnya oleh petani. Di saat mulai tanaman tembakau, kopi telah panen terlebih dahulu sehingga hasilnya dapat digunakan untuk membantu penanaman tembakau dan suren pun dapat menjadi tabungan masa depan. Petani menyadari bahwa lahan mereka merupakan kawasan kritis namun mereka juga sadar bahwa mereka tidak bisa hidup dengan hanya mengandalkan satu komoditas saja. Untuk bisa bisa hidup, mereka menaman tembakau dan memperoleh hasil dari kopi dan suren dengan pola agroforestri. Kata kunci : tanaman tembakau, kopi, suren, erosi dan tambahan pendapatan

I. PENDAHULUAN

Temanggung, kabupaten di Lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro dengan bentang alam di ketinggaian 400 – 1450 m dpl, dengan suhu 200C–300C dan curah hujan cukup tinggi (Bappeda, 2008). Sektor pertanian menyumbang 31% pendapatan daerah Temanggung, jauh di atas sektor-sektor lain (industri pengolahan maupun perdagangan). Komoditas pertanian unggulan khas Temanggung adalah tembakau. Keberadaan budidaya tanaman tembakau di 14 kecamatan dari 20 kecamatan yang ada.

Perkembangan budidaya tembakau di Temanggung menimbulkan beberapa permasalahan antara lain (1) menurunnya produktivitas tembakau karena menurunnya tingkat kesuburan tanah, (2) meningkatkan biaya usaha tani karena degradasi lahan, (3) semakin meluasnya kerusakan sumber daya alam.

Tingkat erosi di Kledung telah mencapai 60 ton/ha per tahun (Teguh W, 2008). Bila kondisi seperti ini dibiarkan, kesuburan lereng Sindoro Sumbing hanya akan tinggal sejarah. Apalagi lereng yang dijadikan sentra budidaya tembakau memiliki kemiringan bervariasi sampai di atas 40 persen. Kemiringan lereng ini berpotensi menyebabkan erosi, apalagi ketika di saat curah hujan sangat tinggi. Berangkat dari hal tersebut, pemerintah mengenalkan diversifikasi di lahan tembakau dengan tanaman kopi arabika dan suren. Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran dan manfaat yang diperoleh tentang pola agroforestri yang telah diterapkan petani di Desa Tlahap, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung.

Page 118: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

118 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

II. METODOLOGI

Wilayah sasaran penelitian adalah di Desa Tlahap, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung. Desa ini menjadi sentra pertanian khususnya tembakau, kopi dan suren. Waktu dilaksanakan pada bulan September s.d. Oktober 2015. Teknik pengumpulan data dengan pemilihan responden secara acak dengan tujuan tertentu (purposive random sampling). Di Desa Tlahap kelompok tani pelaksana pola agroforestry yaitu kelompok Margo Rahayu dengan kelompok Daya Sindoro.

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan observasi lapangan, wawancara, dan kuisioner untuk menggali fakta dan pendapat. Adapun metode analisis yang dipakai adalah dengan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang. (Moleong, 2007). Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan maksud untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Suharsimi, 2000). Penelitian deskriptif survai yang digunakan untuk mengukur gejala yang ada tanpa menyelediki kenapa gejala tersebut ada. Di samping itu, Penelitian yang ditujukan untuk memperoleh gambaran umum tentang karakteristik populasi. Ruang lingkup survai dilakukan dengan sampel responden terpilih.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola perpaduan tembakau, kopi dan suren mulai tahun anggaran 2000 s.d 2004 oleh

pemerintah. Kegiatan ini dimulai dari perencanaan teknis kegiatan, pelaksanaan penanaman di lahan, pemeliharaan dan perawatan sampai dengan penyuluhan kepada petani, baik pada saat pelaksanaan kegiatan di lahan maupun pada saat kegiatan di lahan sudah selesai dilaksanakan. Bimbingan pasca pelaksanaan kegiatan lebih dimaksudkan untuk mengubah pola pikir dan pemahaman petani terhadap kultur pola tanam petani yang sebelumnya sangat berorientasi kepada tanaman tembakau, kemudian mulai diperkenalkan kepada pola tanam yang terintegrasi dengan melaksanakan diversifikasi pola tanam, memadukan tanaman tembakau sebagai tanaman utama dengan tanaman kopi arabika, pohon suren dan rumput gajah.

Hal yang mendasari penanaman tembakau adalah kesesuaian lahan karena di musim kemarau hanya tembakau yang mampu bertahan dengan minimnya asupan air. Topografi area tembakau sangat beragam, mulai dari wilayah datar, berbukit sampai lereng gunung dengan kemiringan 60% dan ketinggian tempat 600−1.500 m dpl. Jenis tanahnya regosol dan latosol dengan tekstur lempung, lempung berpasir, dan pasir, sedangkan lahannya berupa lahan kering/tegal, sawah tadah hujan, dan sawah irigasi (Jaka, dkk : 2010).

Memang awal kegiatan masyarakat pelaksana kegiatan masih sedikit yang melaksanakan karena dengan alasan ketakutan akan mengganggu tanaman tembakau yang notebene menjadi tanaman unggulan. Sehingga perlu hati-hati dalam menjelaskan mengenai alasan pemerintah memberikan tanaman kopi arabika dan suren di lahan mereka. Tanaman kopi arabika ini ditanam dengan maksud mengurangi erosi yang terjadi. Di samping itu, harapannya tanaman kopi ini bisa dimanfaatkan kayunya. Hal yang mendasari diterimanya kopi di lingkungan tembakau adalah tanaman arabika dapat berdampingan dengan tembakau. Kopi arabika memiliki percabangan yang lentur serta berdaun tipis. Dengan kata lain, tanaman kopi tidak akan mengganggu tanaman tembakau.

Hal lainnya, kopi arabika memiliki persyaratan ketinggian 700 – 1500 m dpl dengan kisaran optimum 900 – 1100 m dpl, iklim memiliki batas yang tegas antara musim kering dan penghujan atau Iklim C – D menurut Schmidt dan Fergusson dengan curah hujan 1.000–2.000 mm/tahun dengan 3–5 bulan kering. Dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan tekstur geluh pasiran dan kaya bahan organik, terutama pada daerah dekat permukaan tanah. Produksi tanaman dapat stabil bila tersedia sarana pengairan dan atau pohon pelindung. Sifat kimia tanah umumnya menghendaki

Page 119: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 119

pH agak masam yaitu 5,5 – 6,5. dan tahan kekeringan. Tanaman kopi membutuhkan waktu 3 tahun dari saat perkecambahan sampai menjadi tanaman berbunga dan menghasilkan buah kopi (Teguh W, 2011)

Tidak lama setelah kopi mulai diterima, tanaman suren dimasukkan di lahan tembakau dengan maksud sebagai naungan tanaman kopi arabika dan tidak menggangu tanaman tembakau. Tanaman ini tumbuh pada daerah bertebing dengan ketinggian 600 s.d 2.700 m dpl dengan temperature 22ºC. Bentuk batang lurus dengan bebas cabang mencapai 25 m dan tinggi pohon dapat mencapai 40 sampai 60 m. Kulit batang kasar dan pecah-pecah seperti kulit buaya berwarna coklat. Batang berbanir mencapai 2 m. Pohon suren berukuran sedang sampai besar, dapat mencapai tinggi 40-60 m dengan tinggi bebas cabang hingga 25 m. Diameter dapat mencapai 100 cm, bahkan di pegunungan dapat mencapai hingga 300 cm. Kayunya ringan, dengan gubal merah muda dan teras coklat. Kelebihan suren dengan perlakuan pemangkasan ranting tidak mengganggu pertumbuhan suren. Dengan kelebihan itu tanaman bisa tumbuh tanpa harus mengganggu tanaman tembakau.

Pola yang diterapkan dengan sistem strip jalur dan penguat pagar. Untuk sistem strip, jarak tanamn 5 x 3 untuk tanaman kopi disela-selanya ditanamlah tembakau. Petani biasaya menerapkan 5-6 tanaman tembakau baru ditanamn kopi. Sedangkan suren ada yang menanam di tengah ataupun di pinggir lahan. Untuk 1 ha lahan murni dapat menghasilkan 12-15 keranjang tembakau. Sedangkan dengan pola agroforesti, tembakau yang dihasilkan masih relatif sebanding. Tanaman kopi yang ada di pola agroforestri 500-800 batang. Panen kopi yang didapatkan 6-8 kg per pohon. Dengan kata lain, ada penghasilan tambahan yang diakui. Pemupukan langsung hanya diberikan pada tanaman tembakau, tetapi manfaat tidak langsung juga dirasakan pada tanaman kopi dan suren.

Hasil analisa yang dilakukan pada petani di Desa Tlahap diperoleh hasil bahwa pola agrofrestri banyak memberikan manfaat. Itu artinya petani sudah menerapkan pola yang benar akan tetapi belum pola yang biasa dilakukan pada sistem baku Agroforestri.. Umur responden yang berkisar 25-55 tahun, semakin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi meskipun mereka belum berpengalaman. Menurut Mardikanto (2009) semakin tua biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan warga masyarakat setempat.

Dalam teknologi konservasi yang diterapkan sebagian besar masyarakat adalah secara vegetatif dan mekanis. Secara vegetatif sebagian petani sudah mulai menanam menanam pola ini di lahan walau masih tanaman keras hanya ditanam di pinggir sebagai batas lahan dan pemanfaatannya hanya sebatas pada pemenuhan kayu bakar. Petani telah mengakui manfaat adanya pola tembakau, kopi dan suren. Manfaat langsung yang dirasakan adanya perbaikan struktur tanah. Menurut mereka, tanah senantiasa basah artinya disamping adanya resapan air yang lebih baik, ketersediaan unsur hara dan terkuranginya erosi menjadi hal yang cukup memberikan dampak langsung. Rahim dalam Retno (2010), menjelaskan bahwa terjadinya erosi pada lahan terbuka yang diikuti oleh hilangnya bahan organik dan pemadatan tanah menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi tanah. Akibatnya hujan yang terjadi selanjutnya akan dengan mudah untuk terakumulasi di permukaan membentuk limpasan permukaan (run-off), hanya sedikit air yang masuk ke dalam tanah. Itulah sebabnya daerah hulu mengalami erosi berat dengan mudah kekurangan air terutama di musim kemarau. Fungsi lain daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani (Hamilton dkk., (1997) dalam Ridiah (2010).

Pemilihan tanaman kopi memang didasarkan pada tanaman tembakau. Memang pada awalnya petani tidak berharap nilai ekonomi dari kopi. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, hasil panen kopi ternyata memiliki nilai ekonomi yang cukup menjanjikan. Pada tahun 2000 harga 1 kg gelondong hanya berkisar Rp. 600 sedangkan pada tahun 2015 ini telah mencapai harga Rp. 7.250. Dalam hitungan mudah, per pohon menghasilkan 6 kg dengan 500 batang mampu menghasilkan ± 21 juta. Sampai ada kelakar petani bahwa yang menghidupi tanaman tembakau adalah tanaman

Page 120: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

120 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

kopi. Karena musim panen kopi bertepatan musim pemeliharaan tembakau. Di samping itu, produksi kopi yang terus meningkat membawa perubahan yang cukup bagus. Hal ini terlihat dari jumlah tanaman kopi yang terus meningkat tiap tahunnya (Bappeda, 2014).

Di sisi lain, adanya perubahan pola pikir petani. Dengan rencana pendapatan dari tembakau hasil jangka pendek, kopi jangka menengah, dan suren jangka panjang. Disadarinya pentingnya tanaman penguat teras, terkendalinya erosi, dan adanya perbaikan struktur tanah menjadi kunci penting dari manfaat agroforestri yang diharapkan. Hal ini didukung adanya peran penyuluh dalam mendampingi petani.

Hasil evaluasi penyuluhan yang dilakukan, semula petani belum menerapkan pola agrorestri. Setelah dilakukan ceramah disertai pemutaran slide, video dan dilanjutkan dengan diskusi, pernyataan sikap petani untuk menerapkan semakin meningkat. Ceramah diikuti diskusi dengan membahas hal-hal yang menjadi persoalan di masyarakat berkaitan pola agroforestri. Penggunaan alat bantu audio visual dapat menambah keefektifan penyuluhan. Film dan video berguna untuk mengembangkan dan memperkuat motivasi karena dapat membangkitkan keterlibatan emosi petani pada masalah yang akan didiskusikan (Ban, 1999). Slide yang diputar adalah foto-foto kondisi kerusakan lahan petani akibat tidak ada pemeliharaan teras dan kondisi lahan yang sudah menerapkan pemeliharaan teras. Pada saat dilakukan penyuluhan belum sepenuhnya petani berada pada tahapan menyadari terhadap informasi, selanjutnya petani menunjukkan ketertarikan yang terlihat pada saat dilakukan diskusi petani banyak menanyakan lebih lanjut mengenai pola agroforestri.

Penerapan agroforestri diharapkan dapat menekan laju erosi dan meluasnya lahan kritis sekaligus merehabilitasi lahan kritis. Pendekatan yang paling tepat dilakukan adalah dengan pengembangan sistem teknologi usahatani konservasi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang mampu menurunkan laju erosi, meningkatkan produktivitas lahan serta meningkatkan pendapatan petani.Menurut Thamrin (1997), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan menu teknologi tersebut diantaranya adalah potensi dan kendala yang ada. Pemberdayaan diperlukan untuk mewujudkan usahatani berbasis konservasi.

IV. KESIMPULAN

Pola agroforestri yang dikembangkan di daerah Kabupaten Temanggung sebagai bentuk

terobosan teknologi untuk mendukung ketahanan pangan dan kesejahteraan ekonomi petani. Pengembangan agroforetry khususnya tembakau, kopi dan uren sedikit banyak telah dirasakan petani dalam hal ekonomi semakin meningkat. Dengan meningkatnya pendapatan petani tanpa menghilangkan budaya pola tanam tembakau yang telah berlangsung lama serta mengurangi terjadinya kerusakan lingkungan akibat budidaya tanaman tersebut maka tujuan dari pemerintah dapat tercapai. Kegiatan pertanian yang bersifat partisipatif tersebut sangat memerlukan peran serta aktif semua pihak dan kemauan para petani untuk melaksanakan sistem tersebut di lahan yang dikelolanya.

Lahan pertanian dan cara mengelolanya bagi para petani adalah sumber pendapatan dan kehidupan mereka, sehingga kesediaan para petani untuk melaksanakan pola agroforestry di lahannya sangat dilatarbelakangi cara pandang, persepsi dan pengetahuan petani tentang keuntungan, kerugian dan resiko yang dihadapinya apabila melaksanakan pola agroforestri.

Perubahan budaya dan cara pandang petani terhadap pola tanam yang berbeda dengan yang kuasai sebelumnya adalah proses sosial yang memerlukan waktu lama untuk berubah sehingga diperlukan bimbingan, penyuluhan dan perhatian kepada petani sampai mereka mau menerima dan merespon positif pola agroforestri.

Page 121: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 121

DAFTAR PUSTAKA

Arfiato, Andrie. 2012. Respon Petani Tembakau dalam Kegiatan Pengembangan Model Usahatahi Partisipatif (PMUP) Di Desa Tlahap, Kecamatan Kledung. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. Undip : Semarang.

Bappeda. 2010. Rencana Induk Pertembakauan Kabupaten Temanggung. Bappeda Kabupaten

Temanggung. Bappeda. 2013. Indikasi Geografis Tembakau Srinthil Temanggung. Kabupaten Temanggung. Bappeda. 2014. Pengembangan Ekonomi Lokal Kab.Temanggung melalui Klaster Perkebunan Kopi

dan Tembakau. Kabupaten Temanggung. Bappeda. 2015. Sejarah Kopi Arabika di Kabupaten Temanggung di Kawasan Sindoro Sumbing.

Kabupaten Temanggung. Dewi ES. 2013. Kontribusi Pendapatan Usahatani Peserta Program Pengembangan Model Usahatani

Partisipatif (PMUP) Tembakau-Kopi Arabika terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani. Unsoed : Purwokerto.

Endri Martini, dkk. 2013. Kebutuhan penyuluhan agroforestri pada tingkat masyarakat di lokasi

proyek AgFor di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Indonesia. World Agoforestry Centre. Haroeno, Tegoeh Wynarno. 2011. Pola Tlahab Menyelamatkan Lahan. www.suaramerdeka.co.id. Jaka dkk. 2010. Kajian Kemampuan Lahan Pada Usahatani Lahan Kering Berbasis Tembakau Di

Sub‐Das Progo Hulu. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimat. Bogor : IPB. Moleong Lexy, J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja Rosdakarys Offset. Profil Desa Tlahap. 2014., Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung. Puslitbang Perkebunan. 2015. Varietas Kopi Arabika – Kartika 1,2,3. Balitkoka : Malang. Sri Redjeki, Retno. 2008. Kajian Pengelolaan Lingkungan pada Kawasan Gunung Sindoro Sumbing.

Semarang : Undip. Tim Redaksi. 2010. Diversifikasi Tanaman Tembakau. Majalah Gema Bhumiphala.

Page 122: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

122 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

STRATEGI PENGHIDUPAN PETANI AGROFORESTRI UNTUK KETAHANAN PANGAN DI SULAWESI SELATAN

Megawati, Endri Martini, Noviana Khususiyah, Pratiknyo Purnomo Sidhi, James M. Roshetko

World Agroforestry Centre (ICRAF) Email: [email protected]

ABSTRAK

Sulawesi Selatan termasuk memiliki ketahanan pangan yang baik, walaupun tidak semua petaninya khusus bertanam tanaman pangan, bahkan sebagian besar petaninya bertanam dengan sistem agroforestri. Beberapa kajian menyebutkan bahwa agroforestri memiliki potensi mendukung ketahanan pangan, tetapi belum banyak dilakukan kajian peran agroforestri dalam strategi penghidupan petani untuk mengatasi kekurangan pangan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan strategi penghidupan petani agroforestri dalam mendukung ketahanan pangan yang baik di Sulawesi Selatan. Studi ini dilakukan di kabupaten di Sulawesi Selatan yang sumber penghidupan utamanya dari agroforestri. Wawancara dilakukan terhadap 280 responden dari 13 desa yang tersebar di 4 kabupaten (Gowa, Jeneponto, Bulukumba dan Bantaeng). Data yang dikumpulkan adalah kepemilikan lahan, sumber dan nilai pendapatan, serta rata-rata produksi kebun dari masing-masing rumah tangga. Diskusi dengan informan kunci di masing-masing desa juga dilakukan untuk mengetahui strategi ketahanan pangan masyarakatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kebutuhan pangan, petani agroforestri di Sulawesi Selatan rata-rata menanam padi dan atau jagung, dengan persentase kepemilikan lahan untuk tanaman pangan kurang dari 30%. Untuk pemenuhan kebutuhan pangan, ada desa yang bersawah dan bertanam jagung, bersawah tidak menanam jagung, dan hanya menanam jagung. Strategi tersebut diterapkan berdasarkan pada ketersediaan air untuk irigasi, topografi dan kepadatan tanaman di kebun agroforest. Pada daerah yang berhutan baik, jarang terjadi gagal panen padi maupun jagung, sedangkan yang hutannya kritis sering mengalami gagal panen. Peran agroforestri dalam strategi ketahanan pangan petani di Sulawesi Selatan lebih kepada sebagai penghasil uang untuk membeli bahan pangan jika terjadi kegagalan panen, dan sebagai tempat menanam jagung pada kebun yang belum dipadati tanaman. Kata Kunci: padi, jagung, sawah, buruh tani

I. PENDAHULUAN

Tantangan besar yang dihadapi saat ini khususnya negara-negara sedang berkembang adalah persoalan kekurangan pangan dan kerusakan lingkungan hidup. Kekurangan pangan bukan hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi manusia yang tidak seimbang tetapi juga persoalan degradasi lahan dan hutan yang berdampak pada menurun dan terbatasnya produksi pangan (Amiruddin, 2011).

Dampak pemanasan global yang menyebabkan timbulnya perubahan iklim, mengancam ketersedianan bahan pangan. Pangan pokok yang selama ini dikonsumsi masyarakat secara umum dikhawatirkan dapat mengalami kegagalan panen akibat tidak dapat diprediksinya musim hujan yang dapat menyebabkan sulitnya pengairan. Kondisi cuaca yang ekstrim juga dikhawatirkan dapat mengganggu produksi pangan khususnya terhadap komoditas pangan yang selama ini menjadi pangan pokok. Ketergantungan pada satu jenis komoditi seperti beras akan menimbulkan masalah karena harus mencari varietas-varietas baru yang sesuai dengan kondisi perubahan iklim. Padahal banyak sumber karbohidrat selain beras yang diproduksi oleh masyarakat sesuai dengan kearifan lokal (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI, 2013).

Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil tanaman pangan terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Predikat sebagai lumbung padi nasional mengukuhkan posisi Sulawesi Selatan sebagai produsen tanaman pangan yang cukup potensial terutama komoditas padi dan jagung sebagai komoditas andalannya. Sulawesi Selatan juga termasuk memiliki ketahanan pangan yang baik,

Page 123: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 123

walaupun tidak semua petaninya khusus bertanam tanaman pangan, bahkan sebagian besar petani di Sulawesi Selatan bertanam dengan sistem agroforestri. Dengan luas wilayah 45.584,55 km2 (BPS Provinsi Sulsel, 2013), Sulawesi Selatan memiliki sumber daya lahan dan iklim (jenis tanah, bahan induk, fisiologi dan bentuk wilayah, ketinggian tempat, dan iklim) yang sangat bervariasi (Herniwati dan Kadir, 2009).

Kajian peran agroforestri di dalam kawasan hutan banyak dilakukan terutama di Pulau Jawa dengan pola PHBM (Mayrowani dan Ashari, 2011), tapi belum banyak pengkajian peran agroforestri untuk di luar kawasan hutan. Walaupun ada beberapa studi tentang agroforestri seperti yang dilakukan di lahan pekarangan di Sulawesi khususnya di Kabupaten Luwu dimana hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, dantanaman obat keluarga (toga) (Sahardi et al., 2013).

Beberapa kajian menyebutkan bahwa agroforestri memiliki potensi mendukung ketahanan pangan, tetapi belum banyak dilakukan kajian peran agroforestri dalam strategi penghidupan petani untuk mengatasi masalah kekurangan pangan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan strategi penghidupan petani agroforestri pada kondisi lingkungan yang berbeda, dalam mendukung ketahanan pangan yang baik di Sulawesi Selatan. Harapannya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi daerah lain yang ketahanan pangannya terkategori rendah.

II. METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2015. Pengumpulan data dan

informasi dilakukan di tiga belas desa di empat Kabupaten binaan ICRAF melalui proyek AgFor (Agroforestry dan Forestry) di Sulawesi Selatan, antara lain Desa Kassi dan Desa Jenetallasa di Kabupaten Jeneponto, Desa Rappolemba dan Kelurahan Cikoro di Kabupaten Gowa, Desa Kayu Loe, Desa Pattaneteang, Desa Bonto Karaeng dan Kelurahan Campaga di Kabupaten Bantaeng, serta Desa Pattiroang, Desa Tana Toa, Desa Tugondeng, Desa Karassing dan Desa Balang Pesoang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan pertimbangan bahwa desa-desa/kelurahan tersebut memiliki sumber penghidupan utamanya dari agroforestri. Pengumpulan data primer berupa data kualitatif dan kuantitatif dilakukan melalui metode wawancara terstruktur pada 240 petani responden, dan 1 informan kunci di masing-masing desa.

Pada umumnya masyarakat di desa-desa tersebut mencari nafkah dengan mengelola kebun campur/agroforest, sawah dan ladang. Pada kebun yang mereka kelola ditanami dengan tanaman seperti cengkeh, merica, kopi, coklat, durian dan beberapa tanaman kayu serta tanaman jangka pendek seperti sayuran.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer berupa data personal petani (jenis penggunaan lahan, kepemilikan lahan, sumber dan nilai penghasilan, produksi kebun), serta informasi mengenai strategi dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik deskriptif untuk kepemilikan lahan dan pendapatan, dan analisa kualitatif terhadap strategi pemenuhan kebutuhan pangan secara normal maupun jika terjadi gagal panen serta peran agroforestri dalam mengatasi kekurangan pangan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kepemilikan petak untuk bertanam pangan Secara umum, desa yang dijadikan lokasi penelitian memiliki topografi berbukit, relatif datar

dan datar dimana ketinggian tempatnya antara 150 sampai dengan 1000 mdpl dan kondisi hutan yang baik meliputi Desa Pattaneteang, Kelurahan Campaga, Desa Pattiroang dan Desa tana Toa dan

Page 124: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

124 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

kondisi hutan kritis untuk desa lainnya (Kayu Loe, Jenetallasa, Rappolemba, Kassi, Balang Pesoang, Cikoro, Karassing, Tugondeng dan Bonto Karaeng). Tipe desa yang menjadi lokasi penelitian dibagi menjadi 3 tipe: (1) daerah yang petaninya bersawah dan menanam jagung, (2) daerah yang bersawah dan tidak menanam jagung, dan (3) daerah yang tidak bersawah dan menanam jagung (Desa Kayu Loe) (Tabel 1.). Tabel 1. Kondisi umum desa-desa di Kabupaten Gowa, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba,

Sulawesi Selatan Tipe Desa

Desa Topografi Altitude (mdpl)

Kon-disi

hutan

Ber-sawah

Ber-tanam jagung

Rata-rata pendapatan on farm per KK per hari

(Rp)

proporsi pendapatan dari agroforest

1 Kassi

Datar-Berbukit 600

Kritis Ya Ya 25.659,7

60%

1 Cikoro

Datar-Berbukit 1000

Kritis Ya Ya 15.300,7

54%

1 Bonto Karaeng

Datar-Berbukit 600

Kritis Ya Ya 33.234,6

26%

1 Jenetallasa Berbukit 1000 Kritis Ya Ya 63.069,8 27%

1 Karassing Datar 150 Kritis Ya Ya 34.727,7 35%

1 Tugondeng Datar 150 Kritis Ya Ya 143.451,1 36%

1 Tana Toa Datar 150 Baik Ya Ya 27.491,2 16%

1 Campaga

Relatif datar 400

Baik Ya Ya 81.607,1

43%

1 Pattiroang

Relatif datar 150

Baik Ya Ya 14.505,9

90%

2 Rappolemba

Datar-Berbukit 1000

Kritis Ya Tidak 30.315,4

41%

2 Balang Pesoang

Relatif datar 200

Kritis Ya Tidak 34.334,1

67%

2 Pattaneteang Berbukit 700 Baik Ya Tidak 27.277,0 40%

3 Kayu Loe Berbukit 700 Kritis Tidak Ya 16.366,1 32%

Sumber: Data Primer

Rata-rata petani di desa yang disurvey memiliki sawah dengan luas sekitar 0,1-0,5 ha, ladang dengan luas 0,1-1 ha, dan agroforest sekitar 0,4-0,9 ha. Pada lahan sawah, biasanya dipanen maksimum 2 kali dalam setahun jika ketersediaan air memadai, umumnya memanen 1 kali dalam setahun. Untuk ladang biasanya ditanami dengan sayur-sayuran, jagung dan beberapa tanaman buah-buahan seperti pisang. Sedangkan pada kebun agroforest umumnya ditanam dengan tanaman keras yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti kopi, cengkeh, kakao, dan beberapa tanaman kayu seperti suren, gmelina dan jati. Berdasarkan data persentase kepemilikan lahan per KK, secara umum persentase lahan yang dijadikan sebagai tempat menghasilkan tanaman pangan kurang dari 30% yang dimiliki oleh masing-masing KK (Gambar 1.). Bahkan di beberapa desa seperti di Rappolemba, Balang Pesoang, Pattaneteang, Pattiroang, Jenetallasa dan Cikoro, persentase lahan yang ditanami oleh tanaman pangan kurang dari 5%. Sisa lahan yang dimiliki oleh petani diusahakan untuk kebun agroforestri dengan jenis tanaman yang bervariasi berdasarkan kondisi ketinggian tempat dan tipe tanah di masing-masing desa.

Page 125: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 125

Gambar 1. Persentase kepemilikan lahan berbasis pangan jagung dan sawah per kepala keluarga di

Kabupaten Gowa, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba. B. Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan per Desa

Produksi petak sawah dan jagung untuk masing-masing keluarga bervariasi. Rata-rata produksi gabah padi per masing-masing keluarga yang memiliki sawah adalah sekitar 930 kg/keluarga/tahun, sedangkan produksi jagung sekitar 880 kg bonggol /keluarga/tahun. Jika petani tidak memiliki petak sawah ataupun tidak bertanam jagung, maka untuk pemenuhan kebutuhan pangan pokok sehari-hari dengan membeli beras di pasar atau menjadi buruh tani di daerah lain dan mendapatkan upah berupa gabah dengan sistem bagi hasil.

Mengacu pada data konsumsi beras per rumah tangga di Indonesia yaitu sekitar 120 kg per tahun (Data hasil Susenas BPS dan Kementerian Pertanian, 2013), maka produksi 930 kg bisa untuk mencukupi untuk 2 tahun persediaan beras, dengan sisanya dijual untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Biasanya petani di Sulawesi Selatan menyimpan beras hasil panen hingga maksimum 2 tahun setelah panen.

Frekuensi kegagalan panen padi lebih banyak terjadi pada daerah yang hutannya kritis. Sedangkan di daerah yang hutannya masih terjaga seperti di Campaga dan Pattaneteang yang hutannya berupa hutan desa dan di Pattiroang dan Tana Toa yang hutannya berupa hutan adat, kegagalan panen padi jarang terjadi karena persediaan air untuk irigasi masih mencukupi walaupun pada saat musim kemarau. Untuk daerah yang hutannya kritis, kegagalan panen padi maupun jagung tidak hanya terjadi karena kekurangan air tapi juga terjadi akibat meningkatnya serangan hama wereng untuk padi dan hama babi untuk jagung.

Strategi yang dilakukan oleh petani untuk mengatasi gagal panen bervariasi berdasarkan tipe desanya dan tingkat kesejahteraannya (Tabel 2.). Tingkat kesejahteraan miskin adalah yang pendapatan per harinya kurang dari Rp 20.000, untuk yang sedang antara Rp 20.000-Rp 50.000, sedangkan yang kaya adalah yang pendapatan per harinya lebih dari Rp 50.000. Untuk daerah tipe desa 1 (bersawah dan bertanam jagung), petani yang miskin akan membeli beras di pasar, menjadi buruh tani atau merantau; petani yang kesejahteraannya sedang selain melakukan strategi yang dilakukan oleh petani yang miskin, juga meminjam uang dari bank atau tetangga; sedangkan petani yang kaya, selain melakukan strategi petani yang kesejahteraannya sedang, juga membeli sawah di

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0P

ers

en

tase

ke

pe

mil

ikan

lah

an b

erb

asis

jagu

ng

atau

saw

ah p

er

KK

(%

)

Desa yang disurvey

Jagung

Sawah

Page 126: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

126 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

luar desa dan memperoleh akses ke subsidi beras dari pemerintah. Untuk daerah tipe desa 2 (Bersawah dan tidak bertanam jagung), akan membeli beras di pasar dan menjadi buruh tani di tempat lain. Dan untuk daerah tipe desa 3 (Bertanam jagung dan tidak bersawah), jika gagal panen jagung maka akan bekerja menjadi buruh bangunan, buruh kebun untuk membeli beras atau jagung dan kebutuhan pangan lainnya.

Tabel 2. Strategi pemenuhan kebutuhan pangan

Tipe desa Tingkat kesejahteraan

Strategi normal dalam pemenuhan kebutuhan pangan

Strategi pemenuhan kebutuhan pangan jika terjadi gagal panen padi dan jagung

1 (Bersawah dan bertanam jagung)

Miskin (Cikoro, Pattiroang)

Menanam padi di sawah, bertanam jagung

Membeli beras di pasar, menjadi buruh tani, merantau ke Makassar untuk mencari kerja non pertanian

Sedang (Kassi, Rappolemba, Tana Toa, Karassing)

Menanam padi di sawah, menanam jagung di ladang, pekarangan dan kebun

Membeli beras, menjadi buruh tani, meminjam uang di bank atau tetangga

Sedang (Bonto Karaeng)

Menanam padi di sawah, menanam jagung di ladang, pekarangan dan kebun

Meminjam uang dari bank dan tetangga untuk membeli beras, menjadi buruh bangunan dan buruh tani, beternak ayam

Kaya (Jenetallasa)

Menanam jagung, membeli beras di pasar, membajak sawah milik orang lain

Membeli beras, menjadi buruh tani, bagi yang mampu membeli sawah di luar desa

Kaya (Campaga, Tugondeng)

Bersawah, menanam jagung di pekarangan dan kebun

Membeli beras, meminjam uang di bank atau keluarga, mendapat subisidi beras dari pemerintah, buruh tani di kecamatan lain, merantau menjadi buruh bangunan

2 (Bersawah tidak bertanam jagung)

Sedang (Balang Pesoang dan Pattaneteang)

Membeli di pasar, membeli lahan untuk bersawah di kabupaten lain

Membeli beras di pasar, menjadi buruh tani di tempat lain

3 (Bertanam jagung tidak bersawah)

Miskin (Kayu Loe)

Menanam jagung Bekerja jadi buruh bangunan, buruh kebun, hasil dari bekerja menjadi buruh dibelikan beras dan kebutuhan pangan

Sumber: Data primer C. Peran Agroforestri untuk Ketahanan Pangan

Berdasarkan persepsi para petani di masing-masing tipe desa, saat ini peran agroforestri dalam mengatasi ketahanan pangan belum terlalu utama. Menurut responden, peran utama dari agroforestri dalam ketahanan pangan lebih kepada sebagai penghasil uang yang bisa dibelikan bahan pangan berupa beras, jagung dan kebutuhan pangan lainnya (Tabel 3.). Pemanfaatan kebun agroforestri sebagai sumber pangan utama belum dilakukan karena tingkat ketahanan pangan di keempat kabupaten ini masih tergolong baik. Walaupun di beberapa lokasi seperti di Kayu Loe,

Page 127: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 127

Kabupaten Bantaeng dan di Kassi, Kabupaten Jeneponto. Beberapa petani juga menanam jagung di sela-sela kebun agroforestri kopinya. Sedangkan di desa-desa lainnya, karena kebun agroforestrinya sudah cukup penuh dengan jenis tanaman keras, sehingga kebun agroforestri tidak ditanami dengan tanaman pangan seperti jagung dan sayuran. Tabel 3. Peran Agroforestri dalam mengatasi ketahanan pangan di Sulawesi Selatan

Tipe Desa Peran agroforestri

1 (Bersawah dan bertanam jagung)

Menghasilkan uang untuk membeli pangan dan sebagai tempat untuk menanam jagung (terutama di Desa Kassi, Jeneponto)

2 (Bersawah tidak bertanam jagung)

Menghasilkan uang untuk membeli pangan dan juga lahan sawah di desa lainnya.

3 (Bertanam jagung tidak bersawah)

Menghasilkan uang untuk membeli pangan dan sebagai tempat untuk bertanam jagung.

Sumber: Data primer

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa padi dan jagung sebagai sumber pangan utama di Sulawesi Selatan, dengan kepemilikan lahan petani per keluarga untuk sumber pangan kurang dari 30% dari total luas lahannya. Tipe-tipe desa di Sulawesi Selatan dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe berdasarkan ketersediaan air untuk irigasi, topografi dan kepadatan tanaman di kebun agroforestnya, yaitu 1) tipe yang kondisi ketersediaan airnya cukup dan topografi relatif datar akan bersawah dan bertanam jagung; 2) tipe yang ketersediaan airnya cukup, topografinya relatif datar dan kebun agroforestrinya padat, akan bersawah saja; dan 3) tipe yang ketersediaan airnya tidak cukup, berbukit, dan kebun agroforestrinya relatif tidak padat, akan bertanam jagung. Daerah yang berhutan baik cenderung mengalami sedikit kegagalan panen tanaman pangan dibandingkan daerah yang hutannya kritis. Peran agroforestri dalam pemenuhan kebutuhan pangan lebih kepada sebagai penghasil uang yang dapat digunakan untuk membeli beras ataupun jagung dan kebutuhan pangan lainnya jika terjadi gagal panen. Di beberapa tempat yang kebun agroforestrinya tidak terlalu padat, agroforest juga sebagai lahan tempat menanam jagung. Peran agroforestri sebagai sumber pangan belum terlalu utama di daerah Sulawesi Selatan yang ketahanan pangannya cukup baik. Akan tetapi penggalian potensi dan peluang dari agroforestri sebagai sumber pangan tetap perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap hasil pangan dari daerah lainnya jika terjadi kegagalan pangan. Diversifikasi jenis pangan yang dapat ditanam di kebun agroforestri juga perlu dilakukan dengan menanam jenis tanaman yang juga dapat menghasilkan karbohidrat seperti sukun, nangka dan umbi-umbian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari program Agroforestry and Forestry: Linking

Knowledge to Action (AgFor) project (Contribution Arrangement No.7056890) yang didanai oleh

Department of Foreign Affairs, Trade, and Development (DFATD) Canada. Ucapan terima kasih juga

ditujukan pada teman-teman Tim AgFor Sulawesi Selatan dan teman-teman mahasiswa UNHAS, dan

terutama pada petani di Kabupaten Bantaeng, Bulukumba, Gowa dan Jeneponto atas kerjasamanya

selama proses pengambilan data.

Page 128: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

128 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, A. 2011. Disertasi: Analisis Kebijakan Pangan dalam Menangani Ketahanan Pangan di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Universitas Hasanuddin, Makassar. Diakses melalui repository.unhas.ac.id pada tanggal 28 September 2015.

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI. 2013. Roadmap Diversifikasi Pangan 2011-

2015. Edisi 2. Penerbit: Kantor Kementerian Pertanian RI. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 2013. Sulawesi Selatan dalam Angka 2013. Kerja

sama Bappeda Sulawesi Selatan dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. Nomor Publikasi 73552.1104.

Herniwati dan Syafruddin Kadir. 2009. Potensi iklim, sumber daya lahan dan pola tanam di Sulawesi

Selatan. Prosiding Seminar Nasional Serealia, tanggal 28-30 Juli 2009 di Makassar. Hal 218-224. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan.

Mayrowani H., dan Ashari. 2011. Pengembangan Agroforestry untuk Mendukung Ketahanan Pangan

dan Pemberdayaan Petani Sekitar Hutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 29 No 2, Desember 2011 Hal. 83-98.

Sahardi, Kartika Fauziah, Asryanti Ilyas, dan Dewi Mayanasari. 2013. Optimalisasi Pemanfaatan

Pekarangan di Desa Salu Paremang Selatan Kabupaten Luwu. Prosiding Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan - Akselerasi Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan, tanggal 19-21 Juni 2013 di Makassar. Hlm 970-978. Kerjasama Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Balai Penelitian dan Pegembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Page 129: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 129

PERBAIKAN KONDISI SIFAT FISIK TANAH PADA SISTEM AGROFORESTRI KOPI SEDERHANA DENGAN MASUKAN BERBAGAI MACAM BAHAN ORGANIK

Widianto1, Yulia Nuraini1, Balqis Zamrudiah2, Budy Satya Utomo2, Iva Dewi Lestariningsih1

1) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2) Alumni Fakultas Pertanian Univesitas Brawijaya Email: [email protected]

ABSTRAK

Budidaya tanaman kopi yang intensif di wilayah perkebunan berpotensi menimbulkan kerusakan struktur dan kemampuan tanah dalam menahan air (retensi air tanah). Pemberian pupuk organik selain dapat meningkatkan produktifitas tanaman juga dapat dipergunakan untuk memperbaiki kerusakan tanah. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk megetahui pengaruh berbagai masukan bahan organik untuk memperbaiki kemantapan agregat tanah, meningkatkan porositas tanah dan retensi air tanah. Penelitian dilakukan di PT. Perkebunan Nasional XII (Persero) di desa Bagelan Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Bahan organik yang diberikan berupa pupuk vermikompos, pupuk kulit buah kopi, pupuk kandang sapi dan pupuk NPK sebagai kontrol. Pengambilan sampel tanah dilakukan di dalam plot berukuran 20 m x 20 meter yang dibuat pada setiap lokasi pemberian pupuk organik. Sampel tanah diambil pada tiga kedalaman tanah yaitu 0-10 cm, 10-20 cm dan 20-30 cm. Analisa sampel tanah yang dilakukan berupa analisa kandungan bahan organik tanah, kemantapan agregat tanah, tekstur tanah, dan retensi air tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kategori tekstur tanah pada lokasi pengamatan masuk dalam kategori tekstur sedang (klei loam) hingga halus (klei). Pemberian vermikompos membuat tanah pada kedalaman 0 – 10 cm mempunyai kandungan bahan organik tanah lebih tinggi dibandingkan dengan permberian pupuk kulit kopi dan pupuk kandang sapi. Namun demikian, pada kedalaman 10 – 30 cm, pemberian ketiga macam pupuk tersebut tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kandungan bahan organik tanah. Pemberian ketiga macam pupuk organik tersebut ternyata dapat meningkatkan kemantapan agregat dibandingkan dengan tanpa pupuk organik. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah, semakin tinggi pula tingkat kemantapan agregat tanah (r = 61%). Vermikompos menyebabkan peningkatan nilai kadar air pada kapasitaas lapang dan retensi air tanah tertinggi diantara perlakuan pupuk organik lainnya (0,43 cm3.cm-3), diikuti oleh pemberian pupuk kandang sapi (0,38 cm3.cm-3). Pengaruh pemberian pupuk kulit kopi dan perlakuan kontrol tidak memberikan pengaruh paling rendah terhadap nilai kadar air kapasitas lapang dan retensi air tanah, disamping pada kedua perlakuan bahan organik ini tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Kata kunci: agroforestri kopi sederhana, pupuk organik, bahan organik tanah, kemantapan agregat, retensi air tanah.

I. PENDAHULUAN Praktek pertanian yang banyak dilakukan pada saat ini mengandalkan pengolahan tanah yang intensif dan mendorong terjadinya perubahaan penutupan lahan (alih fungsi lahan) sehingga menyebabkan turunnya kandungan bahan organik dalam tanah. Penurunan kandungan bahan organik dalam tanah berdampak pada menurunnya kualitas tanah secara fisik yang ditandai dengan menurunnya stabilitas agregat tanah, berat isi dan porositas tanah (Wu and Tiessen, 2002). Alih fungsi lahan, terutama lahan hutan menjadi lahan perkebunan dilaporkan dapat meningkatkan kepdatan tanah dan menurunkan porositas serta permeabilitas tanah (Suprayogo et al., 2004). Perubahan lahan hutan menjadi lahan perkebunan juga terjadi di PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) Desa Bangelan Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Perusahaan perkebunan ini membudidayakan tanaman kopi robusta. Pada awalnya, lahan pada pekebunan ini merupakan lahan hutan yang pada tahun 1935 oleh perusahaan Belanda dilakukan pembukaan dengan sistem tebang bakar. Setelah proses tebang bakar dan tanaman kopi mulai ditanam hingga saat ini (45 tahun), aktivitas pengelolaan yang dilakukan untuk mempertahankan produksi tanaman kopi adalah dengan pemupukan menggunakan pupuk anorganik (pupuk NPK). Aplikasi pemupukan dengan

Page 130: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

130 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

menggunakan pupuk anorganik yang terus menerus menyebabkan turunnya kualitas tanah di perkebunan ini salah satunya adalah meningkatnya kepadatan tanah. Guna menjaga tingkat produksi tanaman kopi serta menurunkan kepadatan tanah, PT. Perkebunan Nusantara XII melakukan proses pengelolaan bahan organik dimana bahan organik yang dihasilkan dari sistem lahan perkebunan dikembalikan lagi ke lahan untuk dapat meningkatkan kualitas tanah tekait dengan permasalahan pemadatan tanah, penurunan tingkat kelembaban tanah serta penurunan status hara di lahan-lahan di perkebunan ini. Upaya yang dilakukan oleh Perusahaan adalah dengan mengaplikasikan bahan organik berupa vermikompos, kulit buah kopi, dan pupuk kandang. Pemberian bahan-bahan organik tersebut ke lahan perkebunan diharapkan dapat meningkatkan stabilitas struktur tanah, membantu memperbaiki proses infirltrasi air dan udara, meningkatkan retensi air dan mengurangi erosi (Gregorich et al., 1994). Pemanfaatan kulit buah kopi dilakukan berdasarkan pertimbangan pengembalian bahan organik ke dalam sistem (agar menjadi sistem tertutup) sehingga meminimalkan input dari luar. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sutrisno dan Zaman (2007), pupuk organik dari kulit buah kopi ternyata mempunyai peran dalam memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah. Penelitian ini selain bertujuan untuk membandingkan dan mengetahui pengaruh pemberian bermacam bahan organik tersebut terhadap kemantapan agregat serta kemampuan tanah dalam menahan air (retensi air), juga bertujuan untuk mengetahui pemberian kandungan bahan organik tertinggi pada kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm dan 20-30 cm.

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan kebun kopi Robusta PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) Desa Bangelan Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang pada bulan November 2013 – April 2014. Secara topografis, lokasi penelitian memiliki ketinggian antara 450 – 680 meter dpl. Pengambilan sampel tanah dilakukan di blok 10 yang mempunyai kemiringan lahan yang relatif datar (3-6%) selain pada blok ini juga telah dilakukan aplikasi pemupukan organik. Jenis tanah pada lokasi penelitian merupakan tanah Inceptisol dengan lapisan solum yang tebal (130 – 500 cm), kadar bahan organik 3-5%, kemasaman tanah (pH) dari masam sampai agak masam (4,0 – 6,5) tekstur tanah yang didominasi klei dan struktur tanah remah dengan konsistensi gembur. Kondisi iklim menunjukkan kondisi iklim basah dengan curah hujan > 100 mm per bulan menurut klasifikasi Schmidth & Ferguson. B. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial dengan faktor jenis pupuk organik dan tingkat kedalaman tanah. Faktor jenis pupuk organik yang digunakan terdiri dari vermikompos (P1), pupuk kulit buah kopi (P2), pupuk kandang sapi (P3) dan tanpa pemberian pupuk anorganik atau kontrol (P0). Pemberian pupuk dilakukan dengan cara disebar di permukaan tanah dimana pupuk vermikompos, pupuk kandang sapi dan pupuk kulit buah kopi diaplikasikan sebanyak 20 kg pohon-1 tahun-1 sedangkan perlakuan kontrol menggunakan pupuk NPK yang diaplikasikan dengan dosis 0,41 kg pohon-1tahun-1(diberikan 2 kali selama satu tahun). Aplikasi pemberian pupuk organik di perkebunan ini telah dilakukan kurang lebih selama 10 tahun. Faktor kedalaman tanah terdiri dari tiga kedalaman yaitu kedalaman 0 - 10 cm (K1), 10 – 20 cm (K2), dan 20 – 30 cm (K3). Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara membuat plot seluas 400 m2 (20m x 20m). Sampel tanah diambil pada jarak 50 cm dari pokok tanaman kopi (pemupukan dilakukan pada 60 cm dari pokok tanaman kopi) dan diulang sebanyak 7 kali pada setiap plot. Parameter yang diamati adalah kandunggan bahan organik tanah, berat isi tanah, kemantapan agregat tanah, kadar air pada berbagai tekanan (pF) dan proporsi pori-pori tanah. Data yang dihasilkan dianalisa dengan

Page 131: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 131

analisa sidik ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan hasil dari empat perlakuan pemberian pupuk organik terhadap parameter pengamatan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Kandungan Bahan Organik Tanah dan Rasio CN

Tanah Pemberian bahan organik tanah selama kurang lebih 10 tahun memberikan pengaruh nyata

(p<0,05) terhadap peningkatan kandungan bahan organik dalam tanah pada kedalaman tanah 0 – 10 cm dibandingkan dengan perlakuan tanpa bahan organik. Kandungan bahan organik tanah pada pemberian pupuk vermikompos menunjukkan hasil tertinggi, sementara pemberian pupuk kulit buah kopi memberikan pengaruh yang sama dengan pupuk kandang sapi terhadap kandungan bahan organik tanah. Sementara itu, pemberian pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan bahan organik tanah pada kedalaman tanah 10 – 20 cm dan 20 - 30 cm (Gambar 1). Analisa terhadap rasio CN tanah menunjukkan bahwa pemberian pupuk vermikompos menghasilkan nilai rasio CN tanah paling rendah (10,05) diikuti oleh pupuk kandang sapi (16,26) dan pupuk kulit buah kopi (25,53). Pupuk vermikompos dilaporkan juga oleh Badan Litbang (2011) menghasilkan kandungan bahan organik tanah mencapai dua kali lebih tinggi dibandingakan sekitarnya pada kedalaman (0 – 10 cm).

Gambar 1. Sebaran rerata kandungan bahan organik tanah pada tiap plot penggunaan jenis pupuk

Sementara itu, rasio CN tanah yang dihasilkan oleh pupuk vermikompos tergolong dalam

kategori rendah (Hasibuan, 2006). Rendahnya nilai rasio CN tanah yang dihasilkan oleh vermikompos mengindikasikan kecepatan tingkat dekomposisi dari pupuk ini. Hal ini sesuai dengan Hairiah et al. (2000) yang menyatakan bahwa kecepatan pelapukan bahan organik tergangung dari perbandingan karbon dan nitrogen dari bahan tersebut. Semakin kecil nilai rasio CN bahan organik maka semakin cepat proses pelapukan yang mungkin terjadi. B. Pengaruh Aplikasi Pupuk Organik terhadap Berat Isi dan Kemantapan Agregat Tanah

Aplikasi pemberian bahan organik pada kopi robusta di perkebunan PTPN XII memberikan pengaruh nyata (P<0,5) terhadap nilai berat isi tanah. Perlakuan tanpa bahan organik mengakibatkanberat isi tanah lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pemberian bahan organik. Pemberian pupuk vermikompos dan pupuk kandang sapi memberikan nilai dan pengaruh yang sama terhadap penurunan berat isi tanah. Sementara itu, tingkat kedalaman tanah menunjukkan

Page 132: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

132 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

pengaruh yang nyata terhadap nilai berat isi. Secara umum pada setiap plot perlakuan, semakin dalam lapisan tanah maka semakin besar nilai berat isi.

Gambar 2. Sebaran rerata berat isi tanah pada tiap plot penggunaan jenis pupuk

Kemantapan agregat tanah menunjukkan tingkat perkembangan struktur tanah. Pemberian

pupuk organik berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kemantapan agregat tanah. Pemberian bahan organik mengakibatkan kemantapan agregat lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian bahan organik tanah. Bahan organik tanah akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan akan menciptakan struktur yang lebih baik dan agregat-agregat tanah yang lebih stabil (Utomo, 1985). Kemantapan agregat tanah yang lebih tinggi pada kedalaman 0 – 10 cm dibandingkan kedalaman tanah di bagian bawahnya disebabkan karena kandungan bahan organik tanah yang lebih banyak terakumulasi di lapisan 0 – 10 cm. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Darmawijaya (1990) yang menyatakan bahwa semakin dalam lapisan tanah, maka semakin berkurang kandungan bahan organik di dalam tanah. Aplikasi bahan organik menunjukkan hasil yang lebih baik terhadap kandungan bahan organik tanah, berat isi tanah serta kemantapan agregat tanah dibandingkan perlakuan tanpa pemberian bahan organik tanah. Vermikompos memberikan pengaruh yang paling baik terhadap ketiga parameter tersebut. Hal ini disebabkan karena vermikompos memiliki kandungan bahan organik paling tinggi diantara kedua jenis bahan organik lainnya yang dipergunakan dalam penelitian ini. Hubungan antara prosentase bahan organik tanah yang dihasilkan oleh setiap perlakuan dengan kemantapan agregat pada setiap kedalaman disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Hubungan kandungan bahan organik tanah dengan kemantapan agregat tanah pada berbagai tingkat kedalaman tanah

C. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Kadar Air Kapsitas Lapang, Titik Layu Permanen

dan Retensi Air Tanah Pemberian pupuk organik memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar air pada kapasitas lapang. Rerata kadar air pada kapasitas lapang tertinggi dijumpai pada plot P1

Page 133: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 133

(vermikompos) dengan nilai kadar air sebesar 0,43 cm3 cm-3. Pemberian pupuk vermikompos tidak berbeda nyata dengan pupuk kandang sapi dan perlakuan tanpa pemberian pupuk organik, tetapi berbeda nyata dengan pemberian pupuk kulit buah kopi. Nilai kadar air pada kapasitas lapang menunjukkan nilai yang semakin rendah seiring dengan semakin dalam lapisan tanah. Sementara itu, kadar air pada titik layu permanen tertinggi dijumpai pada plot pupuk anorganik (NPK) sebesar 0,29 cm3 cm-3 dan terendah pada plot pupuk vermikompos sebesar 0,19 cm3 cm-3. Pemberian pupuk kulit buah kopi dan pupuk kandang sapi menunjukkan hal yang sebaliknya, dimana perlakuan yang diberikan menunjukkan hasil yang sama dengan kadar air pada perlakuan tanpa pupuk, dengan kata lain aplikasi kedua macam pupuk ini tidak memberikan hasil penurunan kadar air pada titik layu permanen. Kedalaman tanah menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap perbedaan nilai kadar air tanah pada titik layu permanen.

Gambar 4. Hubungan kandungan bahan organik tanah dengan kadar air tanah

Gambar 4 menunjukkan pengaruh bahan organik terhadap kadar air tanah pada kapasitas

lapang dan titik layu permanen. Semakin besar kandungan bahan organik di dalam tanah, semakin besar pula nilai kadar air tanah pada kapasitas lapang. Sebaliknya semakin kecil kandungan bahan organik di dalam tanah, semakin besar nilai kadar air tanah pada titik layu permanen. Peran bahan organik terhadap kemampuan mengikat air ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dari bahan organik tersebut. Jika bahan organik telah melapuk dengan baik maka kemampuan tanah untuk mengikat air pun akan meningkat sehingga pencucian hara akan semakin berkurang (Samosir, 2002).

Retensi air yang menunjukkan kemampuan tanah untuk dapat menyimpan air. Retensi air pada penelitian ini menunjukkan nilai tertinggi sampai dengan terendah pada perlakuan vermikompos, pupuk kandang sapi, kulit buah kopi dan tanpa bahan organik, secara berturut-turut. Pemupukan dengan vermikompos menghasilkan nilai retensi air yang tidak berbeda nyata dengan pupuk kandang sapi, sementara pemberian pupuk kulit buah kopi juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemupukan bahan organik. Rerata kadar air tersedia atau retensi air semakin rendah seiring dengan semakin dalam lapisan tanah. Namun demikian kemampuan tanah untuk menahan air pada lapisan 0 – 10 cm tidak berbeda nyata dengan lapisan 10 – 20 cm. Sebaliknya, retensi air pada kedalaman 0 – 20 cm berbeda nyata (p<0,05) dari lapisan 20 – 30 cm. Besarnnya nilai kadar air tersedia pada plot perlakuan vermikompos didukung oleh kondisi tekstur tanah dengan kandungan liat yang lebih tinggi (68%) dibandingkan dengan kadar liat dari plot-plot perlakuan lainnya. Hal yang sama juga terlihat dari nilai kemantapan agregat tanah. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Hardjowigeno (1992) yang menyatakan bahwa tanah-tanah dengan tekstur halus memiliki daya ikat yang kuat sehingga kemampuan tanah dalam mengikat air karena pori-pori tanah semakin kecil seiring dengan semakin dalamnya lapisan tanah.

Page 134: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

134 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 5. Kadar air tersedia pada berbagai aplikasi pemberian pupuk organik

D. Pupuk Organik dan Porositas Tanah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan pori makro pada kedalaman 0 – 30 cm. Kondisi tekstur tanah yang relatif sama serta pengelolaan lahan yang mungkin dapat menghambat pembentukan pori makro (pengolahan tanah dan lain sebagainya) diduga menjadi faktor penyebab tidak terbentuknya pori makro tanah dengan baik.. Jumlah pori makro dan meso cenderung menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Hal sebaliknya terjadi pada pori mikro.

Kondisi ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Stevenson (1982) yang menyatakan bahwa pemberian bahan organik pada tanah akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro, sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air.Pengaruh pupuk organik terhadap pori meso dan mikro disajikan pada gambar 6.

Gambar 6. Jumlah pori meso dan mikro pada berbagai perlakuan pupuk organik dan kedalaman tanah

Page 135: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 135

Aplikasi pupuk organik yang berpengaruh nyata terhadap kandungan bahan organik tanah tentunya berpengaruh pula terhadap keberadaan pori dalam tanah. Hasil korelasi regresi antara kandungan bahan organik tanah dengan poi makro menunjukkan adanya hubungan linier (y = -2,072x + 16,18) dengan nilai r = 0,394 dan R2 = 0,139. Pengaruh pemberian pupuk organik terhadap pori meso dinyatakan dalam garis linier dengan persamaan y = 10,45x – 20,02 dengan nilai r = 0,563 dan R2 = 0,192. Sementara pengaruh kandungan bahan organik terhadap pori mikro dinyatakan dalam garis linier y = -18,20x + 82,55 dengan nilai r = 0,889 dan R2 = -0,383. Dari data-data tersebut dapat kita simpulkan bahwa kandungan bahan organik tanah berpengaruh paling besar terhadap pembentukan pori mikro di dalam tanah dibandingkan pori meso dan makro. Pengaruh keberadaan bahan organik tanah berbanding terbalik dan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan jumlah pori makro. Semakin banyak kandungan bahan organik tanah, semakin kecil jumlah pori mikro yang terbentuk. Rendahnya jumlah pori mikro yang terbentuk bisa jadi disebabkan karena bahan organik tanah lebih berperan dalam pembentukan pori makro dan meso. Hal ini tercermin dari nilai korelasi antara kandungan bahan organik tanah dan jumlah pori makro dan meso yang relatif tinggi (berturut-turut sebesar 0,394 dan 0,563).

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian aplikasi pupuk organik pada lahan perkebunan kopi robusta di

PTPN XII adalah sebagai berikut: 1. Aplikasi pupuk vermikompos memberikan kontribusi terhadap penambahan bahan organik tanah

paling tinggi diantara pupuk kulit buah kopi dan pupuk kandang sapi pada kedalaman 0 – 10 cm, sementara pada lapisan dibawahnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

2. Aplikasi semua jenis pupuk organik yang digunakan dalam penelitian berkontribusi nyata terhada kemantapan agregat tanah dibandingkan perlakuan tanpa pemberian pupuk organik. Ada korelasi positif antara jumlah bahan organik dalam tanah pada kedalaman 0 – 10 cm dengan kemantapan agregat (61%), sementara pada lapisan tanah yang lebih dalam tidak terdapat hubungan yang nyata.

3. Aplikasi pupuk vermikompos dan pupuk kandang sapi meningkatkan kadar air tanah pada kapasitas lapang dengan nilai di atas perlakuan kontrol (berturut-turut 0,43 cm3 cm-3 dan 0,38 cm3 cm-3). Sementara itu aplikasi pupuk kulit buah kopi menunjukkan hasil kadar air tanah pada kapasitas lapang dengan nilai di bawah perlakuan kontrol (0,34 cm3 cm-3).

4. Aplikasi pupuk vermikompos mengakibatkan nilai retensi air (0,43 cm3 cm-3) dan jumlah pori meso (24,6%) paling tinggi pada kedalaman 0 – 10 cm dibandingkan perlakuan pupuk organik lainnya. Jumlah pori mikro paling banyak didapatkan dari perlakuan tanpa pemberian pupuk organik (30,44%).

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2011. Inovasi Sumber Daya Lahan Mendukung Sukses Pertanian. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 1-14. Darmawijaya, I. 1990. Klasifikasi Tanah. Dasar-Dasar Teori Bagi Penelitian Tanah dan Pelaksanaan

Penelitian. UGM Press. Yogyakarta. Gregorich, E.G., M.R. Carter, D.A. Angers, C.M. Monreal, and B.H. Ellert. 1994. Towards a Minimum

Data Set to Assess Soil Organic Matter Quality in Agricultural Soils. Can. Soil Science Journal. 74: 367-385.

Hairiah, K., M. Sardjono dan S. Sabarnurdin. 2000. Pengantar Agroforestri. Wold Agroforestry Centre

(ICRAF) South East Asia. Bogor.

Page 136: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

136 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Cetakan ketiga PT. Mediyatama Sarana Perkasa.

Jakarta. Hasibuan, B.E. 2006. Ilmu Tanah. USU Press. Medan. Samosir, S.S.R. 2002. Pengolahan Lahan Kering. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian dan

Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makasar. Stevenson, F.T. 1982. Humus Chemistry. John Wiley and Sons. New York. Suprayogo, D., Widianto, P. Pratiknyo, H.W. Rudy, R. Fisa, Z.A. Zulva, K. Ni’matul dan Z. Kusuma.

2004. Degradasi Sifat Fisik Taah Sebagai Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Sistem Kopi Monokultur: Kajian Perubahan Makroporositas Tanah. Jurnal Pertanian Agrivita. 26 (1): 60-68.

Sutrisno, E. dan B. Zaman. 2007. Studi Pengaruh Pencampuran Sampah Domestik, Sekam Padi dan

Ampas Tebu dengan Metode Mac. Donald terhadap Kematangan Kompos. Program Studi Teknik Lingkungan FT Universitas Diponegor. Jurnal Presipitasi. 2 (1): 2-3.

Utomo, W.H. 1985. Dasar-Dasar Fisika Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas

Brawijaya. Malang. Wu, R.G., and H. Tiessen. 2002. Effect of Land Use on Soil Degradation in Alpine Grass Land Soil,

China. Soil Sci.Soc. Am. J. 66: 1648 – 1655.

Page 137: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 137

POTENSI PAKAN LEBAH PADA HUTAN KEMASYARAKATAN MODEL BERBASIS AGROFORESTRI DI KABUPATEN TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN

Trisnu Satriadi1, Mahrus Aryadi1, dan Hamdani Fauzi1

Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Madu merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan Kabupaten Tanah Laut yang telah ditetapkan berdasarkan SK Bupati Nomor 1.88.45/463-KUM/2013. Pengembangan madu (apikultur) perlu mempertimbangkan ketersediaan pakan lebah sepanjang tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ketersediaan pakan lebah madu sebagai peluang pengembangan apikultur. Penelitian dilakukan di kawasan Hutan Kemasyarakatan Model Berbasis Agroforestri Desa Tebing Siring Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Metode penelitian menggunakan transek dengan petak ukur 20 m x 20 m sebanyak 20 petak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang dapat menjadi sumber pakan lebah madu berasal dari 1 jenis tanaman HHBK, 5 jenis jenis tanaman buah, dan 3 jenis tumbuhan bawah semusim, dan 2 jenis tumbuhan bawah liar. Tanaman Karet merupakan pakan lebah madu paling potensial berdasarkan indeks nilai penting 113,69%. Keberadaan jenis tanaman pakan lebah madu jumlahnya melimpah namun periode ketersediaannya tidak berkelanjutan. Perlu dilakukan pengkayaan dengan tumbuhan sumber pakan lebah yang berbunga sepanjang tahun seperti kaliandra dan kelapa. Kata kunci : HHBK Unggulan, apikultur, agroforestri, pakan lebah

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan kehutanan,

namun pengembangannya mengembirakan. Ketersediaan data dan informasi teknologi pasca panen HHBK dan informasi tentang sosial ekonomi dan kebijakan yang berkaitan dengan HHBK yang mendukung pengembangannya masih minim dan bersifat parsial di masing-masing instansi (Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kemenhut, 2010). Kebijakan pengembangan HHBK telah diatur Pemerintah Indonesia melalui Permenhut No P.35/MENHUT-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu dan Permenhut No P.21/MENHUT-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan.

Bentuk dukungan Pemerintah Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan dalam pengembangan HHBK Unggulan adalah dengan menetapkan madu sebagai HHBK Unggulan prioritas I kabupaten sebagaimana tertuang dalam SK Bupati Tanah Laut No.188.45/463-KUM/2013. Penetapan madu sebagai HHBK Unggulan prioritas I didasarkan dari potensinya yang hampir ditemukan di setiap kecamatan di Kabupaten Tanah Laut. Pembentukan sentra madu kabupaten, pelaksanaan pelatihan budidaya lebah madu, pengadaan koloni dan alat pemanenan merupakan implementasi dari SK Bupati tersebut.

Pengembangan madu sebagai HHBK Unggulan ditentukan oleh ketersediaan pakannya. Tanaman pakan merupakan syarat utama dan pokok dalam budidaya lebah madu. Tanaman pakan lebah yaitu semua tanaman yang bunganya dan organ tanaman yang lainnya dapat digunakan oleh lebah madu sebagai pakannya karena dapat menghasilkan nektar dan tepung sari (Soemarno, dkk, 2000).

Budidaya lebah madu memberikan keuntungan selain mendapat madu, kelestarian dari tanaman-tanaman di hutan tersebut dapat dijaga. Terjadinya penyerbukan oleh lebah akan membantu regenerasi dan perbanyakan dari pohon-pohon yang ada. Selain itu, kegiatan masyarakat untuk menebang hutan secara liar setidaknya dapat dikurangi, jika masyarakat dapat

Page 138: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

138 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

membudidayakan lebah madu di dalam atau sekitar hutan, karena untuk mendapatkan madu, mau tidak mau mereka harus menjaga pohon-pohon sumber pakan lebah yang ada di kawasan hutan tersebut (Gunawan, 2004).

Penyebaran lokasi budidaya lebah madu ditentukan berdasarkan ketersediaan pakan. Lokasi pengembangan budidaya lebah madu yang potensial dikembangkan adalah lokasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) model berbasis agroforestri yang terletak di Desa Tebing Siring Kecamatan Bajuin. Hutan Kemasyarakatan model dikembangkan sejak tahun 2012 dengan pola agroforestri. Untuk itu, diperlukan suatu penelitian inventarisasi potensi pakan lebah terlebih dahulu sebelum dilakukan pengembangan budidaya lebah madu di kawasan tersebut. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ketersediaan pakan lebah madu di lokasi HKm model sebagai peluang pengembangan budidaya lebah madu.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian di lakukan pada bulan Juni tahun 2014. Lokasi penelitian ini bertempat di kawasan HKm model Tanah Laut Kalimantan Selatan. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, kompas, meteran, kamera dan alat tulis. bahan yang digunakan adalah tali rafia. C. Prosedur Metode penelitian menggunakan transect dengan petak ukur 20 m x 20 m sebanyak 20 petak. Jumlah petak terbagi menjadi 5 jalur dimana masing-masing jalur ada 4 petak. Data primer yang dikumpulkan berupa jenis tanaman, diameter batang, dan jumlah individu. Setiap tingkat pertumbuhan tanaman diukur dengan menggunakan ukuran plot yang berbeda. petak contoh berukuran 20 x 20 m untuk tingkat pohon; 10 x 10 m untuk tingkat tiang; 5 x 5 m untuk tingkat pancang dan 2 x 2 m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah. Tumbuhan yang ditemukan dalam petak selanjutnya dianalisis potensinya sebagai pakan lebah berdasarkan periode pembuangaan dan jenis pakan dengan menggunakan studi literatur. Analisis data dilakukan terhadap data primer yang dikumpulkan dengan menghitung frekuensi, dominansi, kerapatan, indeks nilai penting dan keragamannya. Hasil analisis data selanjutnya digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk rencana pengembangan budidaya lebah madu di kawasan HKm model tersebut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Lahan HKm Model Tanah Laut (Luasan, Gambar panorama) Lahan HKm Model Tanah Laut terletak di kawasan Hutan Lindung Gunung Langkaras Desa Tebing Siring Kecamatan Bajuin Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis Desa Tebing Siring terletak pada 114055'12" hingga 114049'12" BT dan 3036'36" hingga 3046'12" LS. Pembangunan HKm Model Tanah Laut dimulai sejak tahun 2012 (fase 1) dengan luasan awal 13 Ha dan tahun 2013 (fase 2) dengan luas 12 Ha. Penanaman dilakukan pola agroforestri dengan tanaman pokok Karet 80% dan MPTS 20%. Lokasi HKm Model Tanah Laut ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Page 139: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 139

Gambar 1. Peta kawasan HKm Model Tanah Laut Fase 1 dan 2 (Citra Pleiades Tanah Laut Tahun 2014) B. Keragaman Pakan Lebah

Tanaman yang ada di kawasan HKm model ditanam sejak tahun 2012. Sehingga umur tanam berkisar antara 1 hingga 2 tahun. Berdasarkan keterangan tersebut, maka tingkat pertumbuhan tanaman masih berada pada tingkat semai dan pancang. Oleh sebab itu, data keragaman yang diperoleh pada penelitian ini hanya pada tingkat tumbuhan bawah, semai dan pancang sebagaimana terlihat secara berturut-turut pada Tabel 1, 2, dan 3.

Tabel 1. Keragaman tumbuhan bawah sebagai pakan lebah di kawasan HKm model Tanah Laut

No. Jenis Nama Botani INP (%) H'

1 Terong Solanum melongena 16,580

0,151

2 Cabe rawit Capsicum frutescens L. 62,961

0,300

3 Labu Cucurbita moschata 19,101

0,195

4 Jagung Zea mays 82,612

0,267

5 Bandotan Ageratum conyzoides

9,373

0,069

6 Matahari Mini Helianthus debilis

9,373

0,069

Jumlah 200 1,050

Tabel 2. Keragaman tumbuhan tingkat semai sebagai pakan lebah di kawasan HKm model Tanah

Laut

No. Jenis Nama Botani INP (%) H'

1 Karet Hevea brasiliensis 106,667 0,335

2 Mangga Mangifera indica 13,333 0,181

3 Durian Durio zibethinus 13,333 0,181

4 Rambutan Nephelium spp 13,333 0,181

5 Cempedak Artocarpus integer 26,667 0,269

Page 140: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

140 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No. Jenis Nama Botani INP (%) H'

6 Petai Parkia speciosa 26,667 0,269

Jumlah 200,000 1,414

Tabel 3. Keragaman tumbuhan tingkat pancang sebagai pakan lebah di kawasan HKm model Tanah

Laut

No. Jenis Nama Botani INP (%) H'

1 Karet Hevea brasiliensis 116,667 0,270

2 Mangga Mangifera indica 27,778 0,244

3 Cempedak Artocarpus integer 27,778 0,244

4 Petai Parkia speciosa 27,778 0,244

Jumlah 200,000 1,003

Pada Tabel 1 menjelaskan bahwa terdapat enam jenis tumbuhan bawah yang ditemukan, yang terdiri atas tanaman semusim (terong, cabe rawit, labu dan jagung) dan tanaman liar / gulma (bandotan, matahari mini). Indeks nilai penting tertinggi dijumpai pada tanaman jagung dengan nilai 82,612%. Sedangkan untuk indeks keragaman tergolong sedang yaitu hanya 1,050. Tanaman tingkat semai yang dijumpai di kawasan HKm model adalah Karet, Mangga, Durian, Rambutan, Cempedak dan Petai (Tabel 2). Hasil pengukuran tingkat semai diketahui bahwa Karet memiliki nilai INP tertinggi (106,667%) dengan keragaman sedang 1,515. Sedangkan pada pengukuran tingkat pancang (Tabel 3) hanya ditemui 4 jenis yaitu Karet, Mangga, Cempedak dan Petai. Tanaman dengan INP tertinggi untuk tingkat pancang ini adalah tetap Karet sebesar 116,667 dan keragaman sedang 1,003. Tabel 4. Potensi tanaman HKm sebagai sumber pakan lebah

No Jenis Tanaman Masa Berbunga (Bulan masehi ke-) Kandungan (N, P, E) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Durian (Durio zibethinus) P, N

2 Karet (Hevea Brasiliensi) E

3 Mangga (Mangifera indica)

N

4 Petai (Parkia speciosa) P

5 Rambutan (Nephelium spp)

P, N

6 Cempedak (Artocarpus integer)

P, N

7 Labu (Cucurbita moschata)

P

8 Terong (Solanum melongena)

P

9 Bandotan (Ageratum conyzoides)

P

10 Matahari Mini (Helianthus debilis)

P

11 Cabe Rawit (Capsicum frutescens L.)

P

12 Jagung (Zea mays) P

Sumber: Palmer, dkk,1994; Singh, 1962; Akratanakul, 1987; Mishra, 1995

Page 141: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 141

Berdasarkan Tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa tanaman pokok yaitu Karet dan tanaman serba guna seperti Durian, Mangga, dan Petai memiliki periode pembungaan yang hampir sama, yaitu antara bulan juni (6) hingga bulan oktober (10), sedangkan Rambutan memiliki periode antara bulan oktober (10) hingga bulan desember (12). Periode pembungaan yang terjadi sepanjang musim ditemukan pada tanaman semusim seperti Jagung, Cabe Rawit, Terong dan Labu dan tanaman gulma seperti Bandotan dan Matahari Mini, tergantung dari musim tanamnya. Durian, Rambutan, dan Cempedak berperan sebagai sumber nektar, sedangkan tanaman semusim berperan sebagai sumber polen. Menurut Widiarti (2012), tanaman untuk sumber nektar adalah karet, rambutan, dan mangga sedangkan untuk sumber pollen diperoleh dari tanaman jagung.Menurut Kuntadi (2012), makanan pokok lebah yaitu serbuksari (pollen) dan nektar (larutan gula yang berasal dari tanaman). Bagi lebah, serbuksari adalah sumber protein, sementara nektar adalah sumber karbohidrat. Kedua jenis makanan ini diambil oleh lebah dari tanaman, khususnya di bagian bunga. Namun, pada tanaman tertentu, misalnya karet dan akasia, nektar tidak dikeluarkan dari kelenjar yang ada di bagian dasar bunga, melainkan dari tunas daun muda dan pangkal daun. Selain itu, lebah madu juga dapat memperoleh karbohidrat dari honeydew, yaitu cairan gula yang disekresikan tanaman melalui perantaraan sejenis kutu (plant sucking insects) (Kuntadi, 2008). Komposisi tanaman sumber pakan lebah saat ini belum memenuhi kelayakan untuk pengembangan budidaya lebah madu di kawasan HKm model tersebut. Apabila dipaksakan akan menyebabkan kegagalan. Menurut Harmonis, dkk (2007), sistem pakan yang belum berpola permanen dan mengandalkan tanaman semusim akan mengakibatkan koloni-koloni lebah akan meninggalkan sarang saat musim paceklik. Lebih lanjut menurut Saepudin, dkk (2011), produktivitas lebah sangat tergantung dari perkembangan populasinya dan kondisi poulasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nektar dan polen secara alami, maka pengelolaan lebah perlu didesain dalam kawasan yang lebih komprehensif. C. Rencana Pengembangan Faktor utama budidaya lebah madu adalah ketersediaan pakan. Kegiatan pengkayaan tanaman pakan lebah dapat dilakukan pada kawasan-kawasan dengan ketersediaan pakan yang kurang. Keragaman, masa berbunga, dan komposisi pakan menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tanaman pengkayaan. Menurut Stoner (2012), untuk mendukung keragaman dan jumlah lebah yang tinggi, diperlukan musim bunga sepanjang tahun. Tidak semua jenis tanaman menyediakan sumber pakan sepanjang tahun, sehingga hal ini menimbulkan masalah ketidaklangsungan hidup lebah madu dan menyulitkan kegiatan budidaya lebah madu. Ketersediaan pakan ini baru dilihat dari segi jenis tanamannya dan belum dilihat dari segi kesinambungan pakannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya penentuan wilayah pengembangan yang memiliki selama mungkin adanya kesinambungan sumber pakan lebah madu. Kawasan HKm model terletak di dalam kawasan hutan lindung. Oleh sebab itu, pemilihan jenis diprioritaskan pada tanaman yang tidak memanfaatkan kayu sebagai hasil utama, melainkan tanaman HHBK. Pengelolaan HKm juga dipercayakan kepada masyarakat, dalam hal ini KT-HKm, sehingga pemilihan jenis tanaman pengkayaan juga mempertimbangkan aspek kesukaan / ketertarikan anggota KT-HKm. Pertimbangan utama dalam pemilihan jenis pakan adalah status kawasan HKm yang merupakan kawasan hutan lindung, sehingga aktivitas penebangan pohon tidak diperbolehkan. Untuk itu, jenis-jenis pakan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah dari jenis HHBK. Rekomendasi pemilihan jenis pengkayaan pakan berdasarkan hasil studi literatur dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Page 142: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

142 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 5. Rekomendasi pemilihan jenis tanaman pengkayaan dalam rangka pengembangan budidaya lebah madu

No

Jenis Tanaman

Masa Berbunga (Bulan masehi ke-) Kandungan (N, P, E) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Belimbing (Averhoa carambola)

P, N

2 Bunga Matahari (Helianthus annuus)

P, N

3 Jambu Biji (Psidium guajava)

P, N

4 Kaliandra (Calliandra calothyrsus)

N

5 Kelapa (Cocus nucifera) P, N

6 Klengkeng (Euphoria longana)

P, N

7 Kopi (Coffea arabica) P, N

8 Lamtoro (Leucaena leucocephala)

P

9 Randu Ceiba pentandra P, N

10 Jambu Air (Syzygium aqueum) N

Sumber: Akratanakul, 1987; Palmer, dkk,1994; Singh, 1962; Saepudin, dkk, 2011 Keterangan: N = Nektar, P = Polen, E = Ekstra flora

Beberapa jenis tanaman pakan lebah dapat dikembangkan di kawasan HKm model diantaranya Belimbing, Bunga Matahari, Jambu Biji, Jambu Air, Kaliandra, Kelapa, Kopi, Lamtoro, dan Randu. Semua jenis tersebut merupakan jenis HHBK yang dapat dimanfaatkan hasilnya selain dari kayu, terutama sekali dari bagian buah. Kombinasi tanaman pakan lebah yang direkomendasikan adalah kaliandra dengan kelapa, atau kaliandra dengan tumbuhan semak-semak. Komposisi jenis tanaman pakan lebah penghasil nektar dan polen agar selalu tersedia sepanjang tahun dan dalam keadaan seimbang, yaitu 60% nektar dan 40% polen (Soemarno, dkk., 2000). Kaliandra telah menjadi tanaman agroforesti di daerah daerah tropis. Kayu kaliandra dapat menghasilkan sumber energi dengan kualitas tinggi. Bunga kaliandra dimanfaatkan sebagai sumber pakan lebah (Palmer, dkk, 1994). Di Asia, kelapa telah dimanfaatkan sebagai penyuplai pakan lebah sepanjang tahun, sehingga peternak tidak membutuhkan pakan tambahan dari sirup gula maupun pakan tambahan lainnya (Akratanakul, 1987).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diratik berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tanaman yang dapat menjadi sumber pakan lebah madu berasal dari 1 jenis tanaman HHBK, 5

jenis jenis tanaman buah, dan 3 jenis tumbuhan bawah semusim, dan 2 jenis tumbuhan bawah liar.

2. Tanaman Karet merupakan pakan lebah madu paling potensial berdasarkan indeks nilai penting 116,67%. Keberadaan jenis tanaman pakan lebah madu jumlahnya melimpah namun periode ketersediaannya tidak berkelanjutan.

Page 143: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 143

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disampaikan saran bahwa perlu dilakukan pengkayaan dengan tumbuhan sumber pakan lebah yang berbunga sepanjang tahun seperti kaliandra dan kelapa.

DAFTAR PUSTAKA

Akratanakul, P., 1987. Beekeping in Asia. Food and Agriculture Organisation of the United Nations. Roma.

Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kemenhut, 2010. Rencana Penelitian Integratif (RPI)

Tahun 2010 ‐ 2014 Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kemenhut, Jakarta.

Gunawan, I., 2004. Berternak Lebah Madu di Kebun Buah dan Kawasan Hutan. Majalah Salam Edisi 6

Maret 2004. Harmonis, M. Sutisna, D. Mardji, dan R.E. Iskandar. 2007. Potensi dan Prospek Pengembangan Usaha

Perlebahan di Kalimantan Timur. Rimba Kalimantan Vol. 12 No. 1, Juni 2007. Kuntadi. 2008. Pengembangan Budidaya Lebah Madu Dan Permasalahannya. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Konsevasi dan Rehabilitasi Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Mishra, R.C., 1995. Honeybees and Their Management in India. Indian Council of Agricultural

Research. New Delhi. Palmer, B., D.J. Macqueen and R.C. Gutteridge. 1994. Calliandra calothyrsus - a Multipurpose Tree

Legume for Humid Locations. Forage Tree Legumes in Tropical Agriculture. Tropical Grassland Society of Australia Inc. Australia.

Saepudin, R., A.M. Fuah, L. Abdullah, 2011. Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui

Penerapan Sistemm Integrasi dengan Kebun Kopi. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, Vol 6 No 2, Juli - Desember 2011.

Soemarno, Arief, A., dan Yunus, M., 2000. Agroforestry dan Tanaman Pakan Lebah. Agritek Vol 8 No

1 Januari 2000. Stoner, K.A., 2012. Planting Flowers for Bees in Connecticut. Department of Entomology The

Connecticut Agricultural Experiment Station, New Haven, USA. Widiarti, A. 2012. Model Pengembangan Sumber Pakan Lebah Madu pada Kawasan Hutan Tanaman.

Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III, Yogyakarta.

Page 144: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

144 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

KETAHANAN JENIS-JENIS TANAMAN PADA SISTEM AGROFORESTRY TERHADAP MUSIM KEMARAU PANJANG DI SULAWESI TENGGARA

Hendra Gunawan, Heru T. Maulana, Endri Martini, Mahrizal, James M. Roshetko

World Agroforestry Centre (ICRAF) Korespondensi email: [email protected]

ABSTRAK Kemarau panjang dengan suhu udara tinggi saat ini lebih sering terjadi dan dapat mempengaruhi perkembangan tanaman yang menjadi sumber pendapatan petani agroforestri. Setiap tanaman memiliki ketahanan terhadap kemarau yang berbeda, jika dalam satu kebun agroforestri ditanam tanaman yang semua rentan terhadap kemarau maka pendapatan petani akan menurun secara drastis pada musim kemarau. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui ketahanan jenis tanaman yang biasa ditanam di kebun agroforestri petani, sehingga bisa disarankan kombinasi jenis yang ideal untuk ditanam di kebun agroforestri daerah yang sering mengalami kemarau panjang seperti di Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara terhadap 30 petani di Sulawesi Tenggara untuk mengetahui respon tanaman (kayu-kayuan, buah-buahan dan perkebunan) yang biasa ditanam di kebun agroforestri di Sulawesi Tenggara, 4 bulan setelah akhir musim kemarau panjang yang terjadi pada tahun 2014 yang merupakan tahun terpanas selama 135 tahun terakhir di dunia. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, berdasarkan pengamatan di kebun agroforest mereka, tanaman kayu-kayuan lebih tahan terhadap kekeringan jika dibandingkan dengan tanaman perkebunan dan buah-buahan. Persentase tanaman yang muda yang mati lebih dari 20% terjadi pada durian, karet, rambutan, langsat, cengkeh dan pala, sedangkan yang kurang dari 20% terjadi pada merica, jeruk dan kakao. Tanaman yang tahan kekeringan adalah kelapa dan mangga. Untuk tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan, sebaiknya dinaungi dan disiram pada tanaman mudanya. Sedangkan untuk tanaman tua, perlu dilembabkan daerah sekitar akarnya. Pengkombinasian tanaman yang tahan dan tidak tahan terhadap kekeringan perlu dilakukan di kebun agroforest untuk menjamin keberlangsungan produksi di musim kemarau panjang. Kata kunci : tahun 2014, tanaman kayu-kayuan, perkebunan, buah-buahan

I. PENDAHULUAN

Perubahan iklim seperti meningkatnya frekuensi dan kekuatan dari fenomena alam El Nino menyebabkan adanya kemarau panjang di Indonesia. Kekeringan panjang yang disebabkan oleh El Nino biasa terjadi setiap 2 hingga 7 tahun, dan terutama terjadi pada sekitar bulan Juni ke Oktober yang biasanya merupakan tahap kedua penanaman padi sehingga seringkali kemarau panjang El Nino menyebabkan terjadinya gagal panen padi di banyak tempat di Indonesia.El Nino lebih banyak berdampak pada daerah yang berada di lintang Selatan seperti halnya Sulawesi Tenggara, yang sering mengalami kekeringan dengan 4-5 bulan tanpa hujan.

Kemarau panjang dengan suhu udara tinggi saat ini lebih sering terjadi, seperti yang baru-baru ini terjadi di tahun 2014 yang merupakan suhu udara global terpanas selama 135 tahun. Kemarau panjang tentu akan mempengaruhi perkembangan tanaman yang menjadi sumber pendapatan petani agroforestri (Keil et al., 2008; Martini et al., 2013). Walaupun dalam sistem agroforestri, petani mendapatkan keuntungan dengan adanya multi tanaman dan multistrata yang dapat menjaga kelembaban suhu udara di sekitar tanaman yang berada di dalamnya (Kohler, 2010; Tscharntke et al., 2011). Akan tetapi setiap tanaman memiliki ketahanan yang berbeda terhadap kemarau, jika dalam satu kebun agroforestri ditanam tanaman yang semua rentan terhadap kemarau maka pendapatan petani akan menurun secara drastis pada musim kemarau.

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui ketahanan jenis-jenis tanaman yang biasa ditanam di kebun agroforestri petani, sehingga dapat disarankan kombinasi jenis yang

Page 145: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 145

ideal untuk ditanam di kebun agroforestri daerah yang sering mengalami kemarau panjang seperti di Sulawesi Tenggara. Agroforestri termasuk salah satu sumber penghidupan utama petani yang ada di Sulawesi Tenggara (Janudianto et al., 2012). Penelitian ini dilakukan dengan mengamati respon pertumbuhan dan produksi tanaman tanaman (kayu-kayuan, buah-buahan dan perkebunan) yang biasa ditanam di kebun agroforestri di Sulawesi Tenggara, 4 bulan setelah akhir musim kemarau panjang yang terjadi pada tahun 2014 yang merupakan tahun terpanas selama 135 tahun terakhir di dunia.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Desa Awua Jaya dan Desa Asinua Jayadi Kecamatan Asinua; Desa Lawonua, Kecamatan Besulutu; Desa Wonua Hoa, Kecamatan Lambuya) dan Kabupaten Kolaka Timur (Desa Simbune dan Desa Tasahea, Kecamatan Tirawuta; Desa Taosu, Kecamatan Polipolia). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan desa yang memiliki kebun contoh agroforestri yang dibina oleh program AgFor.

Informasi yang dikumpulkan melalui wawancara personal dengan 30 petani adalah berdasarkan pengamatan petani yang dilakukan pada kebun contoh agroforestrinya. Data yang dikumpulkan adalah jumlah tanaman yang mati, jumlah tanaman yang masih hidup, jumlah tanaman yang mengugurkan daun ketika kemarau, dan persentase perubahan hasil setelah terjadinya kemarau panjang di akhir tahun 2014 (Juli-November 2014). Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret hingga Agustus 2015, dengan pertimbangan pada saat itu hampir semua jenis tanaman buah-buahan dan perkebunan yang ditanam di kebun sudah dapat dipanen, sehingga bisa dihitung persentase perubahan hasil jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Data yang dikumpulkan dianalisa dengan deskriptif statistik dan secara kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik kebun agroforestri di lokasi studi Kebun agroforestri yang dimiliki oleh petani di Konawe dan Kolaka Timur memiliki luas rata-

rata 1 ha, dengan umur kebun bervariasi dengan rata-rata sekitar 9 tahun.Sistem agroforestri yang diterapkan oleh pemilik kebun adalah kebun agroforestri berbasis kakao, walaupun ada beberapa yang berbasis tanaman kehutanan seperti jati. Pengelolaan kebun agroforestri di daerah ini tergolong semi intensif, dengan pemupukan rutin dilakukan menggunakan pupuk organik dan pupuk kimia dengan frekuensi pemupukan antara 1-2 kali per tahun. Pada beberapa kebun yang ditanami dengan tanaman cengkeh, rata-rata pohon cengkehnya disiram ketika datang kemarau, karena pohon cengkeh termasuk yang rentan terhadap kekeringan. Jenis-jenis tanaman yang umum ada di kebun campur agroforestri di Konawe dan Kolaka Timur adalah kakao, merica, durian, rambutan, langsat, jeruk, kelapa, mangga dan cengkeh. Tanaman alpukat, pala dan karet adalah jenis tanaman baru yang mulai dikembangkan sejak 3 tahun terakhir. Jenis tanaman kayu-kayuan yang paling banyak ada di daerah ini diantaranya adalah jati, gmelina atau yang dikenal juga dengan jati putih, mahoni, sengon, bayam dan jabon. Gamal banyak ditemukan di kebun karena berfungsi sebagai naungan tanaman kakao. Komposisi tanaman yang ada di masing-masing kebun umumnya karena petani menyukai jenis tanaman tersebut. Hingga saat ini belum ada pertimbangan penanaman dengan melihat respon tanaman terhadap perbedaan perubahan iklim. Petani umumnya menanam jenis tanaman yang memiliki harga tinggi. B. Respon pertumbuhan tanaman terhadap kemarau panjang

Berdasarkan wawancara dengan petani di Konawe dan Kolaka Timur, pengamatan mereka terhadap tanaman yang tumbuh di kebun agroforestnya, respon pertumbuhan tanaman terhadap kemarau panjang bervariasi tergantung pada jenisnya masing-masing (Tabel 1.).

Page 146: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

146 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 1. Respon pertumbuhan tanaman terhadap kemarau panjang pada tahun 2014 di Konawe dan Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara

Jenis tanaman

Rata-rata % tanaman yang mati per kebun

Rata-rata % tanaman yang gugur daun per kebun

Tanaman muda

Tanaman produktif

Tanaman muda

Tanaman produktif

Kayu-kayuan

Sengon (Paraserianthes falcataria) 13,3 0,0 20,4 70,0

Gmelina (Gmelina arborea) 5,0 3,2 26,7 28,9

Gamal (Gliricidia sepium) 3,3 N.D. 0,0 N.D.

Jati (Tectona grandis) 2,7 N.D. 22,5 N.D.

Jabon kuning (Anthocephalus chinensis) 0,0 0,0 0,0 100,0

Bayam (Intsiabijuga) 0,0 0,0 0,0 0,0

Mahoni (Swietenia mahogany) 0,0 0,0 0,0 0,0

Perkebunan dan buah-buahan

Durian (Durio zibethinus) 41,8 3,8 5,0 20,4

Karet (Hevea brasiliensis) 40,6 N.D. 21,7 N.D.

Rambutan (Nephelium lappaceum) 35,0 7,1 9,4 1,2

Langsat (Lansium domesticum) 32,5 2,7 0,0 0,4

Cengkeh (Eugenia aromatica) 29,9 14,0 0,1 15,0

Pala (Myristica fragrans) 24,7 N.D. 0,0 N.D.

Merica (Piper nigrum) 17,9 5,7 1,2 2,0

Jeruk (Citrus chinensis) 12,5 0,0 0,0 0,0

Kakao (Theobroma cacao) 7,5 8,8 2,3 3,8

Alpukat (Persea americana) 0,0 N.D. 0,0 N.D.

Kelapa (Cocos nucifera) 0,0 0,0 0,0 0,0

Mangga (Mangifera indica) 0,0 0,0 0,0 0,0

Sumber: hasil wawancara dengan petani berdasarkan observasi petani terhadap kebunnya

Respon jenis-jenis tanaman kayu-kayuan cenderung lebih tahan terhadap kemarau panjang jika dibandingkan dengan tanaman perkebunan dan buah-buahan. Untuk tanaman yang muda, hanya sekitar 3-13% tanaman kayu-kayuan yang mati, dan hanya 3% tanaman tua yang mati. Respon tanaman kayu-kayuan terhadap kekeringan hanya berupa pengguguran daun seperti yang terjadi pada sengon, gmelina, jati dan jabon kuning. Sedangkan untuk tanaman perkebunan dan buah-buahan, durian, karet, rambutan, langsat, cengkeh, dan pala termasuk tanaman yang rentan bila dilihat dari persentase jumlah tanaman yang mati akibat kemarau pada tahun 2014, khususnya pada tanaman muda. Sehingga ketika musim kemarau tanaman muda keenam jenis tanaman tersebut perlu dinaungi agar tidak kekeringan. Tanaman merica, kakao dan jeruk termasuk yang agak tahan terhadap kekeringan bila dilihat dari tanaman yang mati kurang dari 20% baik pada tanaman muda maupun pada tanaman produktif. Bahkan Moser et al. (2010) membuktikan pohon kakao bisa tahan kekeringan sampai 13 bulan. Alpukat, kelapa dan mangga adalah jenis tanaman yang tahan terhadap kekeringan, dimana ketika kemarau terjadi pada tahun 2014 tidak ada satupun tanaman ini yang mati maupun menggugurkan daunnya.

Page 147: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 147

C. Respon produksi tanaman perkebunan dan buah-buahan terhadap kemarau panjang Kemarau panjang tidak hanya berdampak pada pertumbuhan tanaman tapi juga pada

produksi hasil dari tanaman tersebut. Umumnya kemarau menyebabkan terganggunya produksi hasil, sehingga bisa menyebabkan terjadinya penurunan maupun peningkatan hasil. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, ada 7 orang responden yang memberikan jawaban tentang respon produksi tanaman cengkeh terhadap kemarau panjang yaitu cenderung mengalami penurunan. Akan tetapi tidak dapat teridentifikasi besarnya penurunan yang terjadi (Gambar 1.). Cengkeh termasuk tanaman yang rentan terhadap kemarau panjang. Sedangkan durian, kakao, merica, langsat, jeruk, dan rambutan termasuk yang tidak terlalu rentan maupun toleran terhadap musim kemarau panjang, karena sebagian petani bilang terjadi penurunan dan sebagian lagi bilang terjadi peningkatan hasil, dan bahkan ada yang menjawab sama saja produksinya dengan tahun sebelumnya. Jenis-jenis yang relatif tahan terhadap kemarau panjang adalah kelapa dan mangga yang mengalami peningkatan hasil, walaupun pada studi kali ini ulangan untuk kelapa dan mangga sangat minim, yaitu hanya berdasarkan jawaban dari 1 orang responden.

Gambar 1. Respon produksi jenis-jenis tanaman perkebunan dan buah-buahan terhadap kemarau tahun 2014.

IV. KESIMPULAN

Jenis-jenis tanaman yang biasa ditanam di kebun agroforestri di Konawe dan Kolaka Timur memiliki respon yang berbeda terhadap kekeringan. Ada tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan seperti cengkeh, durian, langsat, pala dan rambutan; tanaman yang agak tahan terhadap kekeringan seperti kakao, merica dan jeruk; dan tanaman yang tahan terhadap kekeringan seperti kelapa, mangga dan jenis-jenis kayu-kayuan. Untuk tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan, sebaiknya dinaungi dan disiram pada tanaman mudanya. Sedangkan untuk tanaman tua, perlu dilembabkan daerah sekitar akarnya. Pengkombinasian tanaman yang tahan dan tidak tahan terhadap kekeringan perlu dilakukan di kebun agroforest untuk menjamin keberlangsungan produksi di musim kemarau panjang.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari program Agroforestry and Forestry: Linking Knowledge to Action (AgFor) project (Contribution Arrangement No.7056890) yang didanai oleh

Page 148: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

148 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Department of Foreign Affairs, Trade, and Development (DFATD) Canada. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para petani di Kabupaten Konawe dan Kolaka Timur, dan staf lembaga OWT (Operation Wallacea Terpadu) yang sudah membantu berjalannya proses pengambilan data.

DAFTAR PUSTAKA

Janudianto, Khususiyah N, Isnurdiansyah, Suyanto and Roshetko JM. 2012. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Livelihood strategies and land use system dynamics in Southeast Sulawesi. Working paper 156. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 53p. DOI: 10.5716/WP12055.PDF.

Keil, A., Zeller M, Wida A, Sanim B and Birner R. 2008. What determines farmers’ resilience towards

ENSO-related drought? An empirical assessment in Central Sulawesi, Indonesia. Climatic Change 86: 291–307.

Kohler, M. 2010. Cacao agroforestry under ambient and reduced throughfall: tree water use

characteristics and stand water budgeting. Dissertation. Georg-August-Universitat. Gottingen. 113p.

Martini E, Dewi S, Janudianto , Setiawan A and Roshetko JM. 2013. Strategi Penghidupan Petani

Agroforest Dalam Menghadapi Perubahan Cuaca Yang Tidak Menentu: Contoh Kasus Di Sulawesi Selatan Dan Sulawesi Tenggara. In: Kuswantoro DP, Widyaningsih TS, Fauziyah E and Rachmawati R,(eds). Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013. “Agroforestri untuk Pangan dan Lingkungan yang Lebih Baik”. Malang, 21 Mei 2013. . Malang, Indonesia. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, World Agroforestry Centre (ICRAF) - Southeast Asia Regional Program, and Masyarakat Agroforestri Indonesia.

Moser, G. Leuschner C., Hertel D, Holscher D, Kohler M, Leitner D, Michalzik B, Prihastanti E,

Tjitrosemito S, Schwendenmann L. 2010. Response of cocoa trees (Theobroma cacao) to a 13-month desiccation period in Sulawesi, Indonesia. Agroforestry Systems 79: 171-87.

Tscharntke, T., Y. Clough, S.A. Bhagwat, D. Buchori, H. Faust, D. Hertel, D. Holscher, J. Juhrbandt, M.

Kessier, I. Perfecto, C. Scherber, G. Schroth, E. Veldkamp, T.C. Wanger. 2011. Multifunctional shade tree management in tropical agroforestry landscapes – a review. Journal of Applied Ecology 48: 619-629.

Page 149: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 149

PERANAN DUSUNG SEBAGAI POLA AGROFORESTRY TRADISIONAL DAN BUDAYA LOKAL DALAM MENGATASI MASALAH KETAHANAN DAN KEAMANAN PANGAN

PADA PULAU-PULAU KECIL

Thomas M. Silaya dan Ludia Siahaya

Program Studi Kehutanan Universitas Pattimura Email: [email protected]

ABSTRAK

Pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia dan permintaannya terus meningkat, terutama pada pulau-pulau kecil di Maluku yang rentang terhadap pengaruh kondisi ekologi. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan, diperlukan pendekatan baru dalam pengelolaan bahan pangan melalui pola agroforestri. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengembangan pola pengelolaan dusung sebagai agroforestri tradisional yang dapat memberikan manfaat optimal pada aspek produksi pangan guna mengatasi masalah ketahanan dan keamanan pangan pada pulau-pulau kecil. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian deskriptif dan metode penelitian survey. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data dan informasi yang dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan menggunankan analisis vegetasi, tingkat pendapatan, kontribusi dusung berupa pendapatan petani pemilik dusung dan frekuensi pemungutan hasil dusung. Hasil penelitian menunjukan bahwaStruktur dan komposisi vegetasi dusung di lokasi penelitian terdiri atas tingkat pohon, tiang, sapihan dan semai. Terdapat 17 jenis vegetasi pohon di dalam dusung(70,83%) dan 15 jenis tanaman/ tumbuhan bawah yang dapat dimakan atau diolah untuk menjadi bahan makanan dan minuman. Hal ini membuktikan bahwa vegetasi tingkat pohon di dalam dusung sangat potensial dalam menunjang kebutuhan pangan bagi masyarakat. Kontribusi usaha tani dusung terhadap rata-rata pendapatan keluarga per tahun sebesar Rp. 25.255.781,25,- atau 73.30 %. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan pengelolaan dusung dalam mengatasi masalah ketahanan dan keamanan pangan adalah faktor sosial-budaya, sistim pewarisan/ kepemilikan dusung, Pola tanam dan jenis tanah dalam dusung dan faktor Perubahan pola hidup masyarakat Kata kunci : pangan, agroforestri, dusung, pulau-pulau kecil.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia dan

permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup, selain itu kualitas pangan yang diminta juga meningkat, sehingga peningkatan produksi dan kualitas pangan dalam negeri sangat penting.

Pada tahun 1987, World Commision on Environment and Development (WCED) menyerukan perhatian pada masalah besar dan tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian di dunia, bahwa kebutuhan pangan saat ini dan mendatang harus terpenuhi, dan perlunya suatu pendekatan baru untuk pengembangan pertanian. Oleh karena itu,beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia terhadap ketahanan pangan dirasakan semakin meningkat.

Ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem utama yakni ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Jika ketiga subsistem tersebut dapat dikelola dengan baik disuatu wilayah maka tercapailah yang disebut dengan kondisi wilayah yang tahan pangan dan sebaliknya bila hal tersebut tidak dapat diwujudkan maka akan terjadi rawan pangan. Kondisi ketahanan pangan menentukan status gizi individu dan keluarga dalam masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. (Kholiq, dkk 2008)

Page 150: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

150 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan bahan pangan penduduk secara fisik maupun ekonomi, diperlukan pendekatan baru dalam pengelolaan bahan pangan di seluruh komponen masyarakat. Salah satu pendekatan baru untuk pengembangan pertanian terutama pada wilayah kepulauan dengan pulau-pulau kecil yang sangat rentang terhadap gangguan kondisi lingkungan seperti Maluku adalah sistem pemanfaatan lahan yang optimal guna menjamin kelestarian produksi pangan. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui pola agroforestri yang mengkombinasikan berbagai produk pertanian berupa tanaman pangan, pekebunan, kehutanan dan aktifitas peternakan.

Pola agroforestri tradisional sudah lama di kenal dan dipraktekan di Maluku dalam bentuk dusungyang merupakan tradisi masyarakat Maluku dalam pemanfaatan lahan.Pemanfaatan hutan dan lahan di Maluku,khususnya di Pulau Ambon melalui aktifitas pertanian selalu berkaitan dengan norma-norma yang mengatur keselarasan dan keharmonisan dengan alam lingkungannya melalui pola agroforestryyang dikenal dengan nama “Dusung”.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji pengembangan pola pengelolaan dusung agar dapat memberikan manfaat optimal

pada aspek produksi pangan guna mengatasi masalah ketahanan dan keamanan pangan pada pulau-pulau kecil.

2. Mengetahui struktur dan komposisi berbagai jenis vegetasi di dalam dusung berkaitan dengan pengelolaan dusung sebagai sumber bahan pangan.

3. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peran dusung dalam mengatasi masalah ketahanan dan keamanan pangan pada pulau-pulau kecil.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada dua desa di wilayah Pulau Ambon, yaitu desa Hatalai di jasirah Leitimur dan desa Tial di jasirah Leihitu. Pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama enambulanyaitu dari bulan Januari sampai dengan Juni 2015. B. Metode Penelitian Dalam penelitian ini digunakan dua metode penelitian yaitu metode penelitian deskriptif dan metode penelitian survey. Tujuan penelitian deskriptif adalah membuat gambaran suatu keadaan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat-sifat dan hubungan antara fenomena yang ada di lapangan (Nasir, 1998). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif (positifisme) dan kualitatif (fenomenologis). C. Pengumpulan Data Penentuan lokasi penelitian pada desa Hatalai dan desa Tial, dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling, berdasarkan potensi dan kondisi dusung pada desa tersebut, letak desa, dan latar belakang sejarah. Selanjutnya dari masing-masing desa diambil secara acak jumlah responden sebesar 15 – 20 % dari jumlah KK pemilik dusung. Proses pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengamatan terlibat dan wawancara terbuka dan mendalam. Pengamatan terlibat yaitu pengamatan yang dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan sehari-hari masyarakat setempat dalam pengelolaan dusung.

Data yang telah dikumpulkan, baik berdasarkan penelitian lapangan (field work), maupun dari instansi-instansi terkait akan diklasifikasikan, dideskripsikan, dianalisis dan diinterpretasikan secara kualitatif dan kuantitatif.

Page 151: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 151

D. Analisis Data Data dan informasi yang dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan analisis deskriptif

kualitatif dan kuantitatif. Data yang dianalisis secara kuantitatif adalah data vegetasi untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi , termasuk Indeks Nilai Penting.

Sedangkan data yang dianalisis secara deskriptif kualitatif meliputi sistem pemanfaatan lahan, dan aturan adat yang dilakukan dalam memanfaatkan sumber daya alam/ hutan dan lingkungan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Struktur dan Komposisi Vegetasi Dusung Sebagai Sumber Bahan Pangan

Areal dusung pada lokasi penelitian di desa Hatalai dan Tialmerupakan suatu ekosistem yang sangat dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik lingkungan setempat seperti faktor edafik, fisiografik, klimatik dan juga faktor biotik. Hasil penelitian menunjukan bahwa di dalam dusung pada lokasi penelitian terdapat 24 jenis vegetasi tingkat pohon, 22 jenis tingkat tiang, 17 jenis tingkat sapihan dan 16 jenis tingkat semai. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi dari 10 jenis vegetasi tingkat pohon terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Indeks Nilai Penting (INP) Jenis Vegetasi Tingkat Pohon di Lokasi Penelitian

No. Nama Jenis KR FR DR INP

1 Durian (Durio zibethinus) 13.38 12.04 10.37 35.79

2 Pala (Myristica fragrans) 10.36 9.20 9.14 28.70

3 Cengkih (Eugenia aromatica) 8.62 8.98 7.87 25.47

4 Manggis (Garcinia manggostana) 6.04 7.33 7.15 20.52

5 Gandaria (Bouea macrophylla) 6.48 6.33 6.49 19.30

6 Mangga (Mangifera indica) 5.15 5.02 5.89 16.06

7 Langsat (Lancium domesticum) 5.01 4.46 4.29 13.76

8 Kenari (Canarium commune) 4.57 4.27 3.88 12.72

9 Kayu titi (Gmelina mollucana) 4.43 3.99 3.72 12.14

10 Salawaku (Albizzia falcataria) 3.99 3.29 3.68 10.96

Berdasarkan stratifikasi tegakan menurut Soerianegara (1979) maka pada kawasan dusung

di lokasi penelitian terdapat perbedaan struktur vegetasi (stratum), dimana terdapat 5 stratum dengan pembagian stratum berdasarkan tinggi tegakan. Stratum A (dengan tinggi 30 m Up), stratum B (20-30 m), stratum C (4-20 m), stratum D (1-4 m) dan stratum E (< 1 m). Jenis-jenis vegetasi yang berada pada stratum A dan B di lokasi penelitian antara lain : Durio zibethinus, Gmelina mollucana, Aleuritus mollucana , Canarium commune dan Albizzia falcataria. Keberadaan vegetasi stratum A dan B ini menunjukan bahwa vegetasi dusung di lokasi penelitian sudah diusahakan dan menglami perkembangan yang cukup lama. Sedangkan jenis-jenis vegetasi yang berada pada stratum C antara lain : pala (Myristica fragrans), cengkih (Eugenia aromatica),manggis (Garcinia manggostana), gandaria (Bouea macrophylla), mangga (Mangifera indica) dan langsat (Lancium domesticum).

Dengan mengacu pada perbedaan tingkat stratum ini pula maka dapat dikatakan bahwa kondisi vegetasi dusung yang dimiliki oleh masyarakat di lokasi penelitian hampir sama dengan kondisi vegetasi hutan primer. Kondisi yang demikian dapat menjamin berbagai fungsi hutan yang terkait dengan kelestarian lingkungan (tempat tumbuh) dan kesuburan tanah bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Berdasarkan data INP pada Tabel 1, maka jenis-jenis vegetasi di dalam dusung yang memiliki tingkat penguasaan yang lebih tinggi adalah jenis durian (Durio zibethinus),pala (Myristica fragrans), cengkih (Eugenia aromatica), manggis (Garcinia manggostana), dan gandaria (Bouea macrophylla).

Page 152: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

152 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Menurut Odum (1971) dalam Soenaryo (2004), bahwa semakin besar INP suatu jenis maka jenis tersebut sangat stabil pertumbuhannya pada ekosistem tersebut karena didukung oleh faktor-faktor tempat tumbuhnya. Oleh karena itu jenis-jenis yang nilai INP-nya semakin tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang serta berproduksi yang jauh lebih besar dari jenis lainnya. Dari 24 jenis vegetasi tingkat pohon yang terdapat di dalam dusung, 17 jenis (70,83%) dapat dimakan atau diolah untuk menjadi bahan makanan dan minuman. Hal ini membuktikan bahwa vegetasi tingkat pohon di dalam dusung pada lokasi penelitian sangat potensial dalam menunjang kebutuhan pangan bagi masyarakat terutama bagi pemilik dusung. Tabel 2. Jenis-Jenis Vegetasi Dusung yang Biasanya Dimanfaatkan Masyarakat di Lokasi Penelitian sebagai Sumber Bahan Pangan.

No. Jenis Vegetasi Bagian yang dimanfaatkan

Pemanfaatan

1. Sagu pati diolah menjadi berbagai jenis bahan pangan

2. Kelapa buah (muda/tua) minuman dan makanan

3. Sukun daging buah diolah menjadi makanan

4. Kenari daging buah dimakan dan bisa diolah menjadi makanan

5. Melinjo daun dan biji diolah menjadi makanan

6. Gayang daging buah diolah menjadi makanan

7. Petai biji diolah menjadi makanan

8. Durian daging buah + biji dimakan dan bisa diolah menjadi makanan

9. Aren buah muda dan nira diolah menjadi minuman dan gula aren

10. Manggis daging buah dimakan dan diolah menjadi minuman

11. Gandaria daging buah dimakan dan diolah menjadi minuman

12. Langsat daging buah dimakan

13 Mangga daging buah + biji dimakan dan diolah menjadi minuman

14 Kecapi daging buah dimakan

15 Kemiri daging buah/biji diolah menjadi bumbu

16 Jambu mete daging biji diolah menjadi makanan

17 Namu-namu daging buah dimakan

B. Jenis dan Produksi Tanaman Pangan di Dusung.

Berdasarkan bentuk penggunaan lahan yang ada di lokasi penelitian maka dapat diketahui bahwa pola agroforestry tradisional (dusung) ada karena praktek tradisional masyarakat dalam memproduksi tanaman pangan, tanaman perkebunan (semusim) dan tanaman kehutanan yang memiliki struktur yang serupa dengan hutan alam primer dan sekunder karena didominasi oleh pepohonan dan aneka ragam tumbuhan. Jenis-jenis tanaman pangan yang ada dalam dusung di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Jenis-jenis tanaman pangan pada Tabel 3, tidak seluruhnya berada dalam suatu dusung tertentu, biasanya hanya sebahgian tanaman saja. Namun terdapat beberapa jenis tanaman pangan yang biasanya selalu ada atau ditanam oleh petani di dalam dusung/kebun yaitu jenis umbi-umbian (singkong, keladi, ubi jalar) dan juga jenis pisang, karena jenis-jenis ini merupakan sumber karbohidrat bagi masyarakat di desa.

Page 153: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 153

Tabel 3. Jenis-Jenis Vegetasi Tumbuhan bawah di Dusung yang Dimanfaatkan Masyarakat sebagai Sumber Bahan Pangan

No. Jenis Tanaman Bagian yang dimanfaatkan

Pemanfaatan

1. Singkong umbi, daun diolah menjadi berbagai jenis bahan pangan

2. Keladi umbi diolah menjadi berbagai jenis bahan pangan

3. Pisang buah diolah menjadi berbagai jenis bahan pangan

4. Ubi jalar umbi diolah menjadi berbagai jenis bahan pangan

5. Kacang tanah buah diolah menjadi berbagai jenis bahan pangan

6. Kacang panjang buah sayuran

7. Bayam daun + batang sayuran

8. Mentimun buah sayuran

9. Labu buah sayuran

10. Terong buah sayuran

11. Pepaya daun, bunga, buah sayuran dan buah-buahan

12. Nenas buah buah-buahan

13. Matel daun sayuran

14. Rebung/ bambu tunas muda sayuran

15. Salak buah buah-buahan

Kondisi tanaman pangan di dalam dusung memberikan gambaran betapa potensialnya

pengembangan dusung sebagai pola agroforestry tradisional untuk menghasilkan bahan pangan bagi masyarakat yang berada pada pulau-pulau kecil di Maluku. Dusung sebagai pola agroforestry tradisional merupakan suatu pilihan strategis pengelolaan lahan yang selain memperhatikan faktor ekonomi, sosial tetapi juga berwawasan lingkungan. Hal ini menjadikan sistem dusung berpotensi lebih berkelanjutan dibandingkan sistem monokultur.

Menurut Silaya (2011) sistim agroforestri tradisional dusung memiliki keunggulan baik dari segi ekologis, ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya. Keunggulan ekologis sebab dusung terdiri dari multi jenis, multi strata tajuk dan kesinambungan vegetasi. Keunggulan ekonomi karena jenis yang ditanam bernilai komersial dan dengan keragaman maka memiliki ketahanan terhadap fluktuasi harga dan jumlah permintaan pasar. Dusung memiliki keunggulan sosial budaya karena teknologi yang fleksibel, familiar, efisien. Dusung juga merupakan bentuk sinergi antara sektor kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan. Sinergitas antar sektor tersebut potensial menjadi alternatif untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dusung sebagai pola agroforestri tradisional di Maluku potensial berkontribusi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Semua bentuk-bentuk agroforestri (agrisilviculture, silvopasture, sericulture, apikultur dan silvofisheri) selalu menghasilkan atau berkaitan dengan masalah pangan. Hal ini dipertegas oleh Von Meydell, (1986) bahwa sasaran dan manfaat agroforestri di daerah tropis adalah (1) menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan, (2) memperbaiki penyediaan energi lokal, misalnya kayu bakar, (3) meningkatkan/memperbaiki produksi bahan mentah hasil hutan dan pertanian, (4) memperbaiki kualitas hidup pedesaan, dan (5) memelihara dan memperbaiki jasa lingkungan.

Page 154: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

154 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

C. Kontribusi Dusung Terhadap Pendapatan Masyarakat Pendapatan masyarakat pada suatu daerah bergantung pada mata pencaharian masyarakat

tersebut, umumnya masyarakat yang hidup di wilayah pedesaan mempunyai jenis matapencaharian yang homogen, tergantung dari sumber daya alam yang ada dan dimanfaatkan oleh masyarakat pada wilayah tersebut.

Masyarakat di lokasi penelitian menanam tanaman perkebunan terutama cengkih, pala dan kelapa sebagai tanaman yang paling dominan dalam menghasilkan pendapatan. Selain itu masyarakat juga menanam tanaman pangan seperti pisang, ubi kayu, dan talas/keladi. Sedangkan untuk buah-buahan yang turut memberikan kontribusi terhadap pendapatan yaitu jenis durian, mangga dan langsat.

Rata-rata pendapatan keluarga atau responden pertahun di lokasi penelitian, berasal dari sumber pendapatan usaha tani dusung (tanaman pangan, perkebunan serta buah-buahan dan sayur-sayuran) adalah yang paling tinggi yaitu Rp.25.255.781,25,- atau sebesar 73.30 %.Kemudian disusul dengan pendapatan yang bersumber dari pekerjaaan sampingan (di luar hasil dusung) sebesar Rp.7.948.437,50,- atau sebesar 23,07 % dan yang paling rendah berasal dari pendapatan yang bersumber dari hasil hutan kayu dengan jumlah pendapatan sebesar Rp. 1.250.000,- atau sebesar 3.63%.

Melalui kontribusi hasil dusung ini, maka dapat diketahui bahwa masyarakat di lokasi penelitian sangat menggantungkan kehidupannya dari berbagai jenis tanaman yang ada di dalam dusung yang merupakan warisan turun-temurun keluarga.

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peran Dusung Dalam Mengatasi Masalah Ketahanan Dan

Keamanan Pangan Pada Pulau-Pulau Kecil 1. Sosial-Budaya

Dalam kehidupan masyarakat di lokasi penelitian terdapat sejumlah nilai sosial budaya atau tradisi yang mengatur hubungan antara masyarakat dengan alam lingkungannya. Nilai sosial-budaya ini merupakan wujud dari kearifan masyarakat dalam menjaga keserasian dan keharmonisan dengan alam lingkungan, nilai-nilai tersebut diantaranya adalah sasi dan lembaga Kewang.

Sasi adalah suatu aturan atau norma yang melarang masyarakat untuk mengambil hasil tanaman atau hasil hutan dalam jangka waktu tertentu, dimana aturan atau norma tersebut telah menyatu dalam kehidupan mereka, sedangkan Kewang adalah lembaga adat yang berfungsi untuk mengawasi areal petuanan suatu kelompok masyarakat adat termasuk mengawasi pelaksanaan sasi. 2. Pola Tanam dan Jenis Tanah dalam Dusung

Pola tanam di dalam dusung umumnya beragam atau pola diversifikasi, dan pola ini tidak hanya dilakukan pada tanaman buah-buahan, namun juga dilakukan pada tanaman perkebunan berupa, cengkih, pala, kelapa, dan jenis lainnya yang ditanam pada lokasi yang berbeda-beda. Melalui pola diversifikasi ini maka kemungkinkan kegagalan usaha pada jenis tanaman yang satu dapat ditutup oleh usaha jenis tanaman lainnya. Terkait dengan hal ini maka aspek kesesuaian jenis tanah dengan tanaman merupakan hal yang perlu diperhatikan.

Tanah sangat memegang peranan penting karena dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, sehingga kesesuaian lahan mendapat prioritas yang sangat penting, yaitu mencari lokasi yang mempunyai sifat-sifat positif dalam hubungannya dengan keberhasilan produksi atau penggunaannya (Sitorus, 1985). 3. Sistim Pewarisan/Kepemilikan Dusung

Dusung yang ada di Maluku umumnya merupakan dusung yang telah lama diusahakan oleh generasi-generasi terdahulu dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi saat ini. Masalah sosial yang terjadi berkaitan dengan pewarisan ini adalah masing-masing pihak merasa lebih berkepentingan dalam pengelolaan dusungtersebut, sehingga sering terjadi konflik dalam hal pembagian hasil dusung. Konflik ini terjadi karena belum adanya aturan yang baku atau aturan yang jelas tentang pembagian hasil dusung.

Page 155: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 155

4. Perubahan Pola Hidup Masyarakat Adanya interaksi sosial akanmenimbulkan proses sosial di dalam masyarakat, hal ini akan

menentukan arah,norma dan nilai-nilai dalam organisasi-organisasi, lembaga sosial dan bentuk sosiallainnya. (Soelaiman, 1998 ). Kondisi yang dikemukakan oleh Soelaiman ini juga terjadi pada masyarakat Maluku.

Perubahan sosial yang terjadi dewasa ini merupakan gejalanormal yang bersifat saling sambung menyambung antara masyarakat yang satudengan yang lainnya. Sehingga sangat sulit bagi suatu masyarakat untuk menutupdiri dari adanya rembetan perubahan sosial, artinya tidakada masyarakat di dunia ini secara sosial tidak mengalami perubahan (Soeprapto,2002 ).

Dalam kaitan dengan pengelolaan dusung maka masyarakat pemilik dusung di Maluku juga telah mengalami perubahan sosial (pola hidup) yang merupakan dampak dari proses modernisasi dan pembangunan di segala aspek. Perubahan dimaksud yaitu perubahan dari pola hidup yang sederhana menjadi pola hidup yang cenderung konsumtif sehingga segala usaha yang dilakukan diarahkan untuk memperoleh manfaat ekonomi dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini mengakibatkan masyarakat pemilik dusung cenderung memanfaatkan hasil dusung lebih awal dari waktu panen yang sesungguhnya. Cara panen seperti ini menyebabkan menurunnya kualitas hasil panen dan produksi dusung pada musim panen berikutnya, bahkan terjadi penurunan yang cukup signifikan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Struktur dan komposisi vegetasi dusung di lokasi penelitian terdiri atas tingkat pohon, tiang,

sapihan dan semai, sedangkan stratifikasi tegakan terdiri atas stratum A ( tinggi > 30 m ), stratum B (20-30 m), stratum C (4-20 m), stratum D (1-4 m) dan stratum E (< 1 m). Jenis dengan INP tertinggi adalah durian (Durio zibethinus),pala (Myristica fragrans), cengkih (Eugenia aromatica), danmanggis (Garcinia manggostana).

2. Pada lokasi penelitian terdapat 17 jenis vegetasipohon dari 24 jenis vegetasi tingkat pohon di dalam dusung(70,83%) dan 15 jenis tanaman/ tumbuhan bawah yang dapat dimakan atau diolah untuk menjadi bahan makanan dan minuman. Hal ini membuktikan bahwa vegetasi tingkat pohon di dalam dusung sangat potensial dalam menunjang kebutuhan pangan bagi masyarakat.

3. Kontribusi usaha tani dusung (tanaman pangan, perkebunan serta buah-buahan dan sayur-sayuran) terhadap rata-rata pendapatan keluarga pertahun di lokasi penelitian, sebesar Rp.25.255.781,25,- atau 73.30 %.

4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan pengelolaan dusung dalam mengatasi masalah ketahanan dan keamanan pangan adalah faktor sosial-budaya berupa kearifan masyarakat seperti sasi dan kewang, faktor Sistim Pewarisan/Kepemilikan Dusung, Pola tanam dan jenis tanah dalam dusung dan faktor Perubahan pola hidup masyarakat.

B. Saran 1. Pengelolaan dusung di Pulau Ambon perlu dikembangkan terutama kombinasi jenis tanaman,

jarak tanam dan penerapan teknologi pertanian agar lebih bermanfaat dalam mengatasi permasalahan pangan dan lingkungan.

2. Sinergi dan dukungan seluruh pihak sangat diperlukan dalam upaya pengembangan dusung sebagai agroforestri tradisional guna optimalisasi pemanfaatan lahan dalam mendukung ketahanan dan keamanan pangan pada pulau-pulau kecil di Maluku.

Page 156: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

156 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

DAFTAR PUSTAKA Kholiq, Hardiansyah, dan Djamaludin. 2008. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam

Pengembangan Lumbung Pangan di Kabupaten Lampung barat. Jurnal Gizi dan Pangan, November 2008 3 (3) : 217 – 226.

Nasir, M. 1998. Metode Penelitian. Graha Jakarta. Silaya. Th, 2011. Kajian Aspek Sosial Agroforestry Tradisional “Dusung” pada Beberapa Desa di

Pulau Ambon. Sitorus, S. R. P, 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Tarsito, Bandung. Soelaiman.M.M, 1998. Dinamika Masyarakat Transisi. Pustaka Pelajar Yogyakarta. Soenaryo, 2004. Studi Tentang Struktur dan Komposisi Hutan Pantai di Pulau Nusalaut. Skripsi

Fakultas Pertanian Kehutanan Unpatti, Ambon. Soeprapto, R. 2002. Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern. Pustaka Pelajar,

Averroes Press. Malang - Yogyakarta. Surianegara,I. 1979. Ekologi Hutan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Von Maydell., U H.J. 1986. Trees and Shrubs of the Sahel, Their Characteristics and Uses. Deutsche

Geselischaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ). Federal Republic of Germany.

Page 157: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 157

TEKNOLOGI AGROFORESTRY KOMPLEK - PERMANEN BERBASIS PANGAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Murniati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan

ABSTRAK

Jumlah penduduk yang terus meningkat, menuntut penyediaan pangan dalam jumlah yang juga terus meningkat dan kualitas nutrisi yang baik. Di sisi penyediaan, produksi pangan berfluktuasi dan sering menurun. Hal ini terutama disebabkan luas lahan pertanian semakin terbatas karena upaya perluasan areal pertanian semakin sulit sementara konversi lahan pangan produktif untuk penggunaan lain terus terjadi dan banyak jaringan irigasi yang rusak. Disamping itu, pemanfaatan lahan hutan untuk produksi pangan belum optimal, baik melalui program pemanfaatan lahan bawah tegakan, pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD) yang sesungguhnya memberi peluang meningkatkan produksi pangan. Makalah ini ditulis berdasarkan studi literatur dan kajian terhadap regulasi yang ada serta gagasan penulis. Sejauh ini, penerapan agroforestri di dalam kawasan hutan yaitu dalam pembuatan hutan tanaman, program HKm, HD dan HTR berlangsung hanya dua sampai tiga tahun pertama penanaman pohon dengan menggunakan sistem sederhana (tumpangsari). Dalam upaya mendukung ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi dan diversivikasi pangan, mewujudkan diversifikasi produk hutan dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan hutan, aplikasi teknologi agroforestri komplek – permanen berbasis pangan di dalam kawasan hutan mendesak untuk dilakukan. Untuk itu perlu didukung dengan regulasi yang memadai sehingga menjamin keberlanjutan peningkatan produksi pangan dari lahan hutan. Pada makalah ini didiskusikan peluang penerapan teknologi agroforestri komplek - permanen berbasis pangan pada berbagai program pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan. Aplikasi teknologi agroforestri komplek – permanen berbasis pangan di dalam kawasan hutan merupakan pelaksanaan amanat Nawa Cita Kabinet Kerja 2014 – 2019 dan RPJMN 2015-2019 menuju ketahanan pangan nasional. Kata kunci: Diversifikasi produk, selama daur, masyarakat sekitar hutan, regulasi

I. PENDAHULUAN

Ketahanan pangan (food resilience) menjadi isu global dan nasional yang perlu diujudkan oleh setiap bangsa. Jumlah penduduk yang terus meningkat, menuntut penyediaan pangan dalam jumlah yang juga terus meningkat dan kualitas nutrisi yang baik. Di sisi penyediaan, produksi pangan berfluktuasi dan sering menurun. Sebagai contoh, produksi padi tahun 2014 turun menjadi 70,8 juta ton gabah kering giling dari 71,3 juta ton pada tahun 2013 (Badan Pusat Statistik (BPS) (2015)). Salah satu penyebabnya yang signifikan adalah luas lahan pertanian semakin terbatas yang ditunjukkan oleh luas panen padi dan palawija yang semakin menurun (BPS, 2015). Hal ini diduga karena upaya perluasan areal pertanian sulit dilakukan sementara konversi lahan pangan produktif untuk penggunaan lain seperti perumahan, gedung perkantoran, dan lain-lain terus terjadi. Permasalahan lainnya adalah ketersediaan sumberdaya air untuk mendukung produksi pangan semakin berkurang sebagai akibat kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), persaingan penggunaan air untuk kebutuhan sektor lain dan rusaknya jaringan irigasi. Pemanfaatan lahan hutan untuk produksi pangan sampai saat ini belum optimal, baik melalui pemanfaatan lahan bawah tegakan, pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD) yang sesungguhnya memberi peluang untuk mengembangkan tanaman pangan, baik berupa tanaman semusim (padi dan palawija) maupun berupa pohon penghasil pangan atau pohon serbaguna seperti sukun, nangka, melinjo, dan lain-lain. Suryadi (2013) mengemukakan bahwa realisasi pengembangan HKm dan HD masih rendah yakni hanya 12 persen dari target yang

Page 158: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

158 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

ditetapkan sebesar 2,5 juta ha sampai dengan tahun 2014. Statistik Kementerian Kehutanan tahun 2013 memuat bahwa realisasi pengembangan HKm dan HD tahun 2009 sampai 2013 berturut-turut adalah 437.589 ha dan 263.897 ha (Kementerian Kehutanan, 2014). Realisasi tersebut hanya 28% dari target. Untuk meningkatkan akses masyarakat mengelola hutan, pada periode 2015-2019 pemerintah mengalokasikan lahan hutan seluas 12,7 juta ha untuk dikelola masyarakat dalam bentuk HKm, HD, HTR dan HA. Untuk mencapai target pengalokasian ini dan untuk pemanfaatan lahan hutan tersebut dengan optimal terutama untuk menghasilkan pangan perlu didukung dengan teknologi peningkatan produktivitas berupa penerapan teknologi agroforestri komplek-permanen berbasis pangan. Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan berkelanjutan yang semakin mendapat perhatian di seluruh dunia karena peranannya secara ekologi, ekonomi dan sosial (Nair dan Garrity, 2012). Selanjutnya Garrity (2012) menyatakan bahwa agroforestry mempunyai tools untuk merespon permasalahan dan tantangan penggunaan lahan yang semakin berat secara terintegrasi yaitu keamanan pangan, degradasi lahan, kemiskinan yang ekstrim, perubahan iklim, dan lain-lain. Aktivitas agroforestri merupakan cara untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan pada waktu yang sama, agroforestry juga memberikan pilihan yang sangat menarik untuk mitigasi emisi gas rumah kaca, karena kandungan CO2 akan diserap dalam jumlah besar oleh vegetasi yang merupakan komponen agroforestry (Pachauri, 2012). Agroforestri adalah pendekatan yang komprehensif, menggabungkan pengetahuan tradisional petani berabad yang lalu dengan ilmu pengetahuan modern. Penggunaan lahan dimasa datang tidak lagi hanya sekedar lahan, tetapi juga tentang atmosfer, keragaman hayati, pangan, air dan energi (Steiner, 2012). Di Indonesia, sistem agroforestri yang dikenal juga dengan istilah Wanatani, telah dipraktekkan oleh masyarakat secara tradisional sejak berabad-abad yang lalu. Kita mengenal sistem agroforestri sederhana berupa pepohonan dan tanaman pangan, sistem agroforestri kompleks berupa kebun hutan seperti repong damar di Krui, kebun campur dan talun di Jawa Barat, kebun multi strata atau parak di Sumatera Barat, dll. Di desa-desa sekitar hutan, praktek agroforestri komplek telah menopang kehidupan masyarakat secara turun temurun, karena sistem penggunaan lahan ini mampu menyediakan pangan, papan, energy, pakan dan obat-obatan (Widagda et al., 1984; Torquebiau, 1984; Bratawinata dan Sardjono, 1988; de Foresta et al., 2000). Bentuk dan praktek agroforestri tradisional tersebut mempunyai keseimbangan dengan lingkungannya sehingga dapat berkelanjutan (de Foresta et al., 2000). Sejauh ini, penerapan agroforestri, terutama di dalam kawasan hutan yaitu dalam pembuatan hutan tanaman, rehabilitasi kawasan hutan yang rusak, program Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) umumnya berlangsung dalam periode yang relatif pendek, dua sampai tiga tahun pertama penanaman pohon hutan. Sistem yang digunakan adalah agroforestri sederhana (tumpangsari), dengan menanam jenis tanaman semusim (umumnya palawija) diantara larikan tanaman hutan. Setelah tajuk tanaman pokok saling menutup, maka penanaman tanaman semusim diberhentikan dengan alasan produksi tanaman bawah sudah tidak optimal. Untuk meningkatkan dan menjamin keberlanjutan produksi pangan dan mata pencaharian masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan lahan hutan, seyogianya aplikasi agroforestri di dalam kawasan hutan dilaksanakan selama daur tanaman hutan dengan memperbanyak komponen biotik penghasil pangan sehingga terbentuk agroforesti komplek dan permanen berbasis pangan. Pada makalah ini didiskusikan teknologi agroforestri komplek - permanen berbasis pangan dan peluang serta prospek pengembangannya pada berbagai program pengelolaan hutan bersama masyarakat dalam rangka mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.

II. TEKNOLOGI AGROFORESTRI KOMPLEK–PERMANEN BERBASIS PANGAN

Konsep tentang agroforestri secara umum merujuk pada sistem penggunaan lahan terpadu yang dinamis, baik secara ekologi maupun secara ekonomi, dengan mengkombinasikan tanaman

Page 159: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 159

pertanian dan/atau hewan dengan tanaman hutan dalam suatu struktur vegetasi yang berlapis, secara simultan atau berurutan (King, 1978; Nair, 1987, 1985, 1983). Dalam prakteknya, penerapan agroforestri, terutama di dalam kawasan hutan yaitu dalam pembuatan hutan tanaman di Jawa atau rehabilitasi kawasan hutan yang rusak, umumnya berlangsung dalam periode yang relatif pendek, dua sampai tiga tahun pertama penanaman pohon hutan. Sistem yang digunakan adalah agroforestri sederhana (tumpangsari), dengan menanam jenis tanaman semusim (umumnya palawija) diantara larikan tanaman hutan. Setelah tajuk tanaman pokok saling menutup, maka penanaman tanaman semusim diberhentikan dengan alasan produksi tanaman bawah sudah tidak optimal. Sekalipun program Perhutanan Sosial yang dikembangkan Perhutani mulai tahun 1986 dan PHBM pada tahun 2001 telah menganut prinsip tumpangsari sepanjang atau selama daur tanaman pokok, namun dalam pelaksanaannya di lapangan masih sangat jarang ditemukan. Pelaksanaan PHBM di KPH Sukabumi dengan menggunakan multicropping system dan penanaman nilam di bawah tegakan kayu afrika (Maesopsis eminii) di KPH Kuningan merupakan sedikit contoh pelaksanaan agroforestri komplek dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan (Gambar 1). Penerapan teknologi agroforestri selama daur (khususnya di dalam kawasan hutan) dimaksudkan memberi kesempatan atau akses masyarakat yang lebih lama atau berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan hutan. Bratamiharja (1990) mengemukakan bahwa dalam program Perhutanan Sosial, budidaya tanaman semusim yang dilakukan di antara larikan tanaman pokok hutan dapat berlangsung selama atau sepanjang daur tanaman pokok, misalnya 20 – 30 tahun untuk tanaman pinus, 60 – 80 tahun untuk tanaman jati, dan seterusnya. A B Gambar 1. Program PHBM dengan multicropping system di KPH Sukabumi (A) dan tanaman nilam di bawah tegakan kayu afrika (Maesopsis eminii) di KPH Kuningan, Jawa Barat (B) Agar teknologi agroforestri selama daur dapat diterapkan dengan optimal, maka jarak tanam tanaman pokok harus lebih lebar misalnya 6 m x 2 m atau 6 m x 4 m. Hal ini dimaksudkan untuk memberi ruang tumbuh yang cukup sehingga selain tanaman pangan semusim, jenis pohon penghasil pangan juga dapat ditanam untuk meningkatkan produksi dan diversivikasi pangan serta menambah sumber pendapatan masyarakat dari lahan hutan. Dapat pula disediakan larikan khusus untuk menanam tanaman pohon penghasil pangan tersebut, misalnya dengan perbandingan 2:1 (dua baris tanaman hutan dan satu baris tanamann pohon penghasil pangan). Jenis pohon penghasil pangan misalnya sukun (Artocarpus altilis), sagu (Metroxylon spp.), aren (Arenga pinnata), melinjo (Genetum gnemon), petai (Parkia speciosa), nangka (Artocarpus heterophyllus), jambu mete (Anacardium occidentale) dan lain-lain. Seiring dengan meningkatnya naungan dari tanaman pokok dan atau tanaman pohon penghasil pangan, maka jenis tanaman bawah harus diganti dengan jenis-jenis tanaman pangan tahan naungan (shade tolerant species). Beberapa jenis tanaman bawah penghasil karbohidrat dan

Page 160: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

160 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

protein yang tahan naungan adalah (Amorphopallus onchophillus Prain), ubi jalar (Ipomoea batatas L.), beberapa varietas padi gogo dan beberapa varietas kedelai. Murniati dan Sumarhani (2013) melaporkan bahwa produksi umbi tanaman porang yang ditanam di bawah tegakan damar (Agathis borneensis) kelas umur V (KU V) dengan intensitas cahaya rata-rata hanya 19% nyata lebih tinggi dibandingkan produksi umbi porang di bawah tegakan KU II dengan intensitas cahaya mencapai 71%. Mawarni (2011) melaporkan bahwa kacang kedelai varietas Pangrango mampu toleran pada penaungan 70%, sedangkan varietas Anjasmoro mampu bertoleransi pada tingkat naungan 30 sampai 50%. Dua varietas baru kedelai tahan naungan yang dilaporkan oleh Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang adalah Dena-1 dan Dena-2 (Kompas, 2015). Murniati (2002), melaporkan bahwa jagung yang ditanam secara tumpangsari dengan mahoni (Swietenia macrophylla King) dan sungkai (Peronema canescens Jack.) berproduksi optimal sampai pada tingkat naungan 40%, pada naungan yang lebih besar produksi menurun tajam. Dengan tersedianya beberapa varietas tanaman pangan semusim yang tahan naungan (dengan berbagai tingkatan intensitas), kesempatan untuk pemanfaatan lahan di bawah tegakan selama daur tanaman pohon untuk peningkatan produksi pangan semakin terbuka lebar. Namun ketersediaan benih di tingkat petani, khususnya petani hutan, nampaknya masih memerlukan dukungan dan fasilitasi dari pemerintah. Pola tanam seperti ini akan membentuk komplek agroforestri dan dapat bertahan selama daur tanaman pokok hutan sehingga terujud “Komplek dan Permanen Agroforestri Berbasis Pangan”. Michon et al. (1992) mendefinisikan komplek agroforestri sebagai persekutuan dari banyak komponen (pohon, perdu, liana dan semak) dimana fisiognomi dan fungsinya mendekati ekosistem alam, baik berupa hutan primer maupun hutan sekunder. Sistem ini ditemui hanya di daerah tropik. Di Brazil system ini merupakan hutan yang dikelola yang berkembang dan mengalami transformasi terpadu dari ekosistem yang asli, tetapi di Indonesia merupakan kebun yang dibangun pada kawasan hutan yang rusak akibat penebangan yang tidak terkendali melalui penanaman kembali. Kebun damar di Krui, kebun karet rakyat di Jambi, kebun campuran di Jawa Barat dan parak atau kebun multi strata di Sumatera Barat merupakan contoh agroforestri komplek dan permanen yang merupakan kearifan lokal (local knowledge) yang dapat dijadikan contoh untuk diterapkan di dalam kawasan hutan negara. Untuk jenis-jenis tanaman yang digunakan difokuskan pada jenis-jenis penghasil pangan, baik tanaman pohon dan perdu maupun tanaman bawah (semusim). Repong Damar sebagai agroforestri komplek menghasilkan berbagai produk antara lain getah damar, buah-buahan (petai, duku, durian, jengkol), kayu bangunan dan kayu bakar. Wijayanto (2001) melaporkan bahwa berbagai produk yang dihasilkan ini memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan total rumah tangga yaitu 52% per tahun. Selanjutnya disebutkan bahwa dari nilai kontribusi tersebut, getah damar memberikan andil terbesar yaitu 65 %. Hasil penelitian Wijayanto dan Hartoyo (2015) menunjukkan bahwa repong damar di Krui dan kebun campuran di Jawa Barat terbukti menyediakan biodiversitas yang tinggi, berperan penting menggerakkan ekonomi - bisnis, dan menunjang terwujudnya stabilitas sosial budaya di pedesaan.

III. PELUANG PENGEMBANGAN AGROFORERSTRI KOMPLEK–PERMANEN BERBASIS PANGAN

Nawa Cita merupakan program kabinet kerja 2014 – 2019, dimana lima dari sembilan Nawa Cita tersebut terkait dengan lingkungan hidup dan kehutanan. Selanjutnya, tiga dari lima Nawa Cita yang terkait dengan lingkungan hidup dan kehutanan terkait dengan Pembangunan Pedesaan, Kedaulatan Pangan dan Ketahanan Air, serta Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Marginal. Beberapa sasarannya pada RPJMN 2015-2019 adalah (Kemen LHK, 2014): 1. Peningkatan kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui pola HTR, HKm, HD

dan HR serta Hutan Adat, 12,7 juta ha. 2. Pemanfaatan lahan bawah tegakan, 250.000 ha. 3. Penurunan luas lahan kritis, 5,5 juta ha.

Page 161: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 161

4. Identifikasi kawasan hutan yang akan diserahkan hak kelolanya kepada masyarakat marginal sedikitnya 4,1 juta ha.

Keempat sasaran di atas terkait dengan peningkatan produksi dan diversifikasi pangan melalui diversifikasi produk hutan untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Pola tanam yang berpotensi digunakan adalah pola agroforestri. Agar peningkatan dan diversifikasi produksi pangan tersebut dapat berkelanjutan, maka sistem agroforestri yang direkomendasikan untuk diterapkan adalah agroforestri komplek permanen berbasis pangan. Pengelolaan Hutan melalui Pola HTR, HKm dan HD diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan berikut perubahannya berdasarkan PP N0. 3 Tahun 2008. Selanjutnya, pengelolaan hutan melalui pola HTR diatur pula dalam Permenhut P.55/2011 (yang terakhir) sebagai pengganti dari Permenhut P.23/2007 dan P.5/2008. Pengelolaan HKm diatur melalui Permenhut P.37/2007 berikut perubahannya P.18/2009 dan P.52/2011. Pengelolaan HD diatur melalui Permenhut P.49/2008, P.14/2010 dan P.53/2011. Dari semua peraturan yang ada, pengelolaan hutan dengan pola HTR, HKm dan HD dapat dan atau dianjurkan untuk dilaksanakan dengan sistem agroforestri dengan menanam jenis pohon hutan berkayu sebagai tanaman utama yang dapat dicampur dengan jenis tanaman tahunan berkayu lainnya berupa jenis pohon serbaguna atau pohon penghasil buah atau getah. Untuk tanaman bawah tidak ada batasan secara spesifik, tetapi disebutkan bisa menanam tanaman obat dan hijauan pakan ternak. Namun dalam aturan pemanfaatan jasa lingkungan pada Hutan Lindung dengan pola HKm dan HD salah satu kegiatannya berupa penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Kegiatan penanaman tanaman bawah, sekalipun bersifat sementara, termasuk pada kegiatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Agar konsep agroforestri komplek - permanen berbasis pangan dapat dilakukan pada pengelolaan hutan pola HKm, HD dan HTR yang berlokasi di dalam kawasan hutan negara, baik hutan produksi (untuk HKm, HD dan HTR) maupun hutan lindung (untuk HKm dan HD) dapat diaplikasikan, maka regulasi yang ada harus disempurnakan. Penyempurnaan yang diperlukan terutama tentang jenis pohon serbaguna atau pohon penghasil buah atau getah dengan menambahkan “jenis pohon penghasil pangan”. Untuk tanaman bawah harus secara spesifik disebutkan “dapat menanam tanaman pangan” dengan menyesuaikan jenis tanaman dengan kondisi naungan pohon (intensitas cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan).

IV. PENUTUP

Aplikasi teknologi agroforestri komplek-permanen berbasis pangan di dalam kawasan hutan dapat mendukung peningkatan produksi dan diversifikasi pangan serta diversifikasi produk hutan dalam rangka meujudnya ketahanan pangan nasional. Teknologi agroforestri komplek permanen berbasis pangan berpotensi dikembangkan pada program Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat di dalam kawasan hutan negara, namun regulasi yang ada perlu disempurnakan.

DAFTAR PUSTAKA BPS. (2015). Statistik Indonesia 2015. Jakarta. Badan Pusat Statistik. Bratamiharja, M. (1990). Agroforestry on forest land in Java. Dalam Agroforestry systems and

technologies, BIOTROP special publication No. 39. Bogor. p.141-146.

Page 162: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

162 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Bratawinata, A.A. and Sardjono, M.A. (1988). Inventarisasi sistem-sistem agroforestry di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Agroforestry untuk Pengembangan Daerah Pedesaan di Kalimantan Timur. Kerjasama UNMUL dengan GTZ German Forestry Groups, Samarinda. p.7-16.

de Foresta, H., Kusworo, A., Michon, G. and Djatmiko, W.A. (2000). Ketika kebun berupa hutan -

Agroforest khas Indonesia - Sebuah sumbangan masyarakat. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor, Indonesia; Institut de Recherche pour le Developpement, France; dan Ford Foundation, Jakarta, Indonesia. 249 hal.

Garrity, D. (2012). Agroforestry and the future of global land use. In Nair and Garrity (Eds.).

Agroforestry – The Future of Global Land Use. Advances in Agroforestry. Springers. Pp 21-27. Kemen LHK. (2014). Arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Rapat Konsultasi dan

Koordinasi Nasional Perencanaan Anggaran Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.

Kementerian Kehutanan. (2014). Statisktik Kementerian Kehutanan tahun 2013. Jakarta.

Kementerian Kehutanan. King, K.F.S. (1978). Some aspects of land-use planning. Guest Speaker’s Address. Proceedings of the

Eighth World Forestry Congress Volume III: Forestry For Food (FFF). P. 29-36. Jakarta. Kompas. 2015. Banyak varietas unggul, petani masih enggan tanam kedelai. Harian Kompas, 24

Februari, hal. 14. Mawarni, L. (2011). Kajian awal varietas kedelai tahan naungan untuk tanaman sela pada

perkebunan kelapa sawit. Jurnal Ilmu Pertanian KULTIVAR, 5 (2): 54-59. Fakultas Pertanian, universitas Sumatera Utara.

Michon, G., de Foresta, H., and Widjayanto, N. (1992). Complex agroforerstry system in Sumatra.

Prosiding Lokakarya “Sumatra, Lingkungan dan Pembangunan yang Lalu, Sekarang dan yang Akan datang” hal. 335-347. Biotrop Special Publication No. 46. SEAMEO BIOTROP _ APHI/MPI. 405 hal.

Murniati dan Sumarhani. (2013). Growth and production of porang (Amorphopallus onchophillus

Prain) under dammar ((Agathis borneensis) stand. Proceeding INAFOR 2011. Forestry Research and Development Agency. p. 586-595.

Murniati. (2002). From Imperata cylindrica grasslands to productive agroforestry. PhD Thesis.

Wageningen University, The Netherlands. 172 pages. Nair, P.K.R and Garrity, D. (2012). Agroforestry – The Future of Global Land Use. Advances in

Agroforestry. Springer. Pp541. Nair, P.K.R. (1987). Agroforestry system inventory. Agroforestry Systems 5(3):301-317. Nair, P.K.R. (1985). Agroforestry in the context of land clearing and development in the tropics.

In: Tropical Land Clearing for Sustainable Agariculture. IBSRAM Proc.No.3:29-41.

Page 163: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 163

Nair, P.K.R. (1983). The remarriage of crops and trees. International Agricultural Dev. Vol. 3(4):5-8.

Pachauri, R.K. (2012). Climate change and agroforestri. In Nair and Garrity (Eds.). Agroforestry – The

Future of Global Land Use. Advances in Agroforestry. Springers. P 13-16. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan

Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan Pemerintah N0. 3 Tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 tahun

2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 5/Menhut-II/2008 tentang perubahan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor : P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 18/Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 52/Menhut-II/2011 tentang perubahan ketiga atas

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 14/Menhut-II/2010 tentang perubahan

atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 53/Menhut-II/2011 tentang perubahan

kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.

Suryadi, S. (2013). Realisasi hutan kemasyarakatan rendah. ANTARA News, 25 April 2013. Steiner, A. (2012). Agroforestry and the transition to the future. In Nair and Garrity (Eds.).

Agroforestry – The Future of Global Land Use. Advances in Agroforestry. Springers. Pp 17 – 20.

Page 164: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

164 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Torquebiau, E. (1984). Man-made Dipterocarp forest in Sumatera. Agroforestry System 2(2):103-127. Martinus/Dr.W.Junk Publishers in cooperation with ICRAF. Dordrecht, The Netherlands.

Widagda, L.C., Abdoellah, O., Marten, G and Iskandar, J. (1984). Traditional agroforestry in West

Java. The pekarangan (home garden) and Kebun-Talun (perennial-annual rotation) cropping systems, East-West Center Honolulu, Hawaii.

Wijayanto, N. dan Hartoyo, A.P.P. (2015). Biodiversitas berbasiskan agroforestry. Prosiding Seminar

Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia Vol. 1 No2 : 242- 246. Fakultas Kehutanan IPB. Wijayanto, N. (2001). Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap usaha Kehutanan Masyarakat:

Repong Damar di Pesisir Krui, Lampung, Dalam Darusman, D. dkk. 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia. Debut Press. Yogyakarta Hal 28-39.

Page 165: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 165

SEBARAN PENYAKIT KARAT TUMOR PADA TANAMAN SENGON DI BERBAGAI LOKASI KETINGGIAN DI KABUPATEN CIAMIS

Benyamin Dendang, Aditya Hani dan Encep Rachman

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah untuk menentukan tingkat kesehatan tegakan sengon di Kabupaten Ciamis, mengetahui faktor-faktor pendukung yang mempengaruhi tingkat kesehatan tegakan, menentukan alternatif pencegahan, dan pengendalian dalam rangka mempertahankan kesehatan tegakan sengon dengan berpedoman pada panduan Forest Health monitoring (FHM). Metode yang digunakan adalah metode survei secara sensus dengan mengikuti panduan FHM. Hasil penelitian menunjukkan tingkat keparahan pucuk tertinggi ditemukan pada plot pada masing-masing-masing plot terdiri dari; plot tertinggi tertinggi pada plot 6 sebesar 60,71 % (kode6 ) dan plot 5 sebesar 67,74% (Kode 6); tingkat keraparan ranting diperoleh nilai tertinggi pada plot 6 sebesar 61,90% (kode 6); Tingkat keparahan pada batang diperoleh nilai tertinggi pada plot 2 sebesar 64,81% (kode 6); dan tingkat keparahan pada cabang diperoleh nilai tertinggi pada plot 4 dengan nilai sebesar 26,08% (kode 2). Kata Kunci : Penilaian Kesehatan Hutan, Karat puru, Sengon

I. PENDAHULUAN

Sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan salah satu tanaman yang menjadi andalan untuk hutan rakyat di pulau jawa yang dapat menunjang pasokan kayu rakyat, baik untuk pertukangan, pulp, maupun untuk tujuan ekspor. Petani lebih memilioh menanam sengon karena pertumbuhan tanaman tergolong sangat cepat dengan umur mulai dapat ditebang 4-5 tahun, mudah untuk dibudidayakan, dan mempunyai pasar yang jelas. Pemasaran kayu sengon sangatlah mudah karena didukung oleh banyaknya industri-industri kayu baik skala penggergajian maupun industri besar yang ada disekitar Kabupaten Ciamis (±350 buah) yang sebagian bisa bahan bakunya didominasi kayu sengon. Harga kayu sengon setiap tahun juga semakin meningkat 3 tahun sebelumnya Rp. 500.000/m3 saat ini dapat mencapai Rp. 750.000,00/m3 dalam bentuk gelondongan.

Penanaman sengon (P. falcataria) sudah sangat luas di Kabupaten Ciamis merata ditemukan ditanam secara monokultur ketinggian sampai 1000 meter dari permukaan laut. Kondisi ini menyebabkan tanaman sengon menjadi rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Jenis penyakit yang menyerang tanaman sengon diantaranya karat puru (Gall rust)

Adanya serangan karat puru yang dapat menyebabkan kerugian berupa kematian pohon dalam skala luas dan waktu yang singkat. Penyakit karat tumor dapat berkembang sangat cepat dari mulai germinasi, penetrasi dan infeksi hanya dalam waktu kurang dari 24 jam (Rahayu et al. 2010). Kerusakan sengon akibat penyakit dalam skala yang luas dapat berdampak pada perekonomian masyarakat. Hal ini disebabkan karena sengon merupakan komoditas utama hutan rakyat dan industri kayu di Jawa. Oleh karena itu perlu dilakukan teknik pencegahan dan pengendalian karat puru sehingga tidak berkembang lebih lanjut. Upaya untuk melakukan pengendalian tersebut diperlukan suatu bentuk pengendalian yang sesuai. Dalam Hal ini Monitoring kesehatan hutan (Forest Health Monitoring) sangat erat kaitannya untuk menentukan teknik apa yang paling cocok untuk mengendliakan penyakit tersebut.

Kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh patogen, serangga, polusi udara dan kondisi alamiah lain serta aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon. Kerusakan yang disebabkan oleh agen-agen ini, baik secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan, dengan nyata mempengaruhi kesehatan hutan. Identifikasi

Page 166: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

166 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

tanda dan gejala dari kerusakan yang terjadi merupakan informasi yang berharga yang diperhatikan dari kondisi hutan dan indikasi yang mungkin menyebabkan penyimpangan dari kondisi yang diharapkan. Untuk monitoring kesehatan hutan, tanda-tanda dan gejala-gejala kerusakan dicatat, didefenisikan, apakah kerusakan dapat mematikan pohon atau memberi pengaruh jangka panjang terhadap kemampuan bertahan dari pohon.

Definisi dari kerusakan ini dikembangkan untuk meningkatkan kualitas data dan meningkatkan kemampuan mengulang dari pengukuran. Hanya kategori-kategori kerusakan yang dapat mematikan pohon atau mempengaruhi kemampuan bertahan dari pohon dalam jangka panjang yang dicatat. Penyebab kerusakan yang tidak dicatat memberikan variasi diantara penaksiran. Penempatan kategori kerusakan yang diprioritaskan didasarkan pada menghilangkan ketidak pastian berkaitan dengan perkiraan pengamat. Ambang batas minimum dan keparahan ada untuk kategori kerusakan yang sesuai.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kesehatan tegakan sengon di Kabupaten Ciamis, mengetahui faktor-faktor pendukung yang mempengaruhi tingkat kesehatan tegakan, menentukan alternatif pencegahan, dan pengendalian dalam rangka mempertahankan kesehatan tegakan sengon dengan berpedoman pada panduan Forest Health monitoring (FHM).

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode survey. Daerah yang disurvey merupakan daerah yang memiliki perbedaan kondisi tempat tumbuh pertama yaitu daerah dengan ketinggian kurang dari 150 m dpl yang diwakili oleh 3 desa dari 3 kecamatan yang berbeda yaitu Desa Sukajadi Kecamatan Pamarican, Desa Banjar Anyar Kecamatan Banjarsari dan Desa Karangsari Kecamatan Padaherang. Tempat tumbuh kedua mempunyai ketinggian tempat 200 m dpl-600 m dpl yang meliputi 3 Desa dari 2 Kecamatan yaitu Desa Situmandala Kecamatan Rancah, Desa Sirnajaya dan Desa Purwaharja Kecamatan Rajadesa. Tempat tumbuh ketiga yaitu daerah dengan ketinggian tempat diatas 600 m dpl yang diwakili oleh Sagalaheurang Kecamatan Panawangan serta Desa Purwasari Kecamatan Kawali.

B. Metode Pengambilan Data

Data dikumpulkan dengan teknik pengambilan sampel dengan pembuatan plot pengamatan yang didalamnya dilakukan inventarisasi. Plot pengambilan sampel dibuat pada tegakan sengon yang terkena serangan karat puru pada daerah yang banyak dijumpai tanaman sengon serta telah terkena serangan karat puru. Inventarisasi dilakukan secara sensus 100% dengan mengamati bagian tanaman yang ditemui adanya tanda berupa gall karat puru yaitu batang,ranting, cabang dan pucuk. Setiap pohon yang ada pada petak tersebut diidentifikasi kerusakannya, baik tipe kerusakan, lokasi kerusakan maupun tingkat keparahan dan dicatat pada blanko scoring kesehatan hutan sesuai dengan model monitoring yang dikembangkan dari buku Forest Health Monitoring. Berdasarkan hasil di lapangan, maka diadakan evaluasi untuk melihat sampai sejauh mana perkembangan tegakan tersebut dan kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga dan mengendalikan kerusakan di tegakan tersebut.

C. Analisa Data

Data dianalisis dengan mengidentifikasi tingkat keparahan berdasarkan model monitoring yang dikembangkan dari buku Forest Health Monitoring (Dunn, 1999).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persentase Serangan Gall Rust

Page 167: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 167

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan maka diperoleh jumlah jumlah gall pada Setiap pohon (pucuk ranting dan cabang), seperti yang ditampilkan pada gambar 1. Jumlah gall terbesar rata diperoleh pada bagian pucuk pohon. Dengan melihat jumlah gall pada bagian tanaman maka dapat dipastikan persentase serangan tertinggi diperoleh pada bagian ranting, sedangkan nilai terendah pada bagian batang. Penyakit karat puru pada sengon menunjukkan gejala yang khas, yaitu hiperplasia (pertumbuhan lebih) pada bagian tumbuhan yang terserang Gejala penyakit diawali dengan adanya pembengkakan lokal (tumefaksi) di bagian tanaman yang terserang (daun, cabang, dan batang). Lama kelamaan pembengkakan berubah menjadi benjolan-benjolan yang kemudian menjadi bintil - bintil kecil atau disebut puru (gall). Puru yang timbul mempunyai bentuk bervariasi mulai bulat sampai tidak beraturan dengan diameter mulai dari beberapa milimeter sampai lebih besar dari 10 cm. Puru tersebut dapat berkelompok atau menyebar pada bagian yang terserang. Apabila yang terserang penyakit bagian tangkai daun majemuk atau tajuk maka bagian tersebut agak membengkok karena adanya penebalan dan pembengkakan kemudian tajuk daun menggulung berubah bentuk (malformasi) tanpa daun lagi (Anggraeni dan Santoso, 2003 ).

Gambar 1. Jumlah gall pada bagian tanaman

Lokasi keberadaan gall yang tinggi pada ranting dan pucuk akan menggu pertumbuhan

tanaman terutama tentang proses fotosintesis karena pada daun terjadi pembengkakan jaringan. Hasil pengamatan Intensitas sampling pada setiap plot yang diserang oleh gall rust dapat dilihat pada gambar 2. Intensitas sampling pohon yang sakit di peroleh nilai terbesar pada plot 6 (enam) sebesar 0,92%.

Gambar 2. Intensitas sampling serangan oleh gall rust

0,25 0,15

0,62

0,35

0,71

0,91

plot 1 plot 2 plot 3 plot 4 plot 5 plot 6

IS (%)

IS (%)

Page 168: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

168 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

B. Tingkat Keparahan. Tingkat keparahan serangan Gall rust ditentukan dengan kelas umur dan kerapatan

tanaman. Dari hasil pengamatan, tanaman yang berumur lebih mudah (1 tahun) dan intensitas sampling lebih tinggi sebesar 0,91% (plot 6) dibandingkan dengan plot lain. Besarnya tingkat keparahan tersebut disebabkan karena batang sengon dengan lapisan kulitnya masih muda sehingga lebih mudah ditembus oleh spora Gall rust. Tanaman sengon muda umumnya di tanam dalam jarak yang rapat (1x1 atau 2x2), sehingga menyebabkan jamur mudah menular dari satu tanaman ketanaman yang lain akibat tanaman saling bersentuhan. Jarak tanam yang rapat juga menyebabkan kelembaban di bawah tajuk lebih tinggi serta suhu lebih rendah sebagai akibat penutupan tajuk yang rapat. Indresputra et al.(2013) menyatakan bahwa perkembangan karat tumor banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan berupa suhu dan kelembaban. C. Penilaian Kesehatan Hutan

Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya dinilai berdasarkan kesehatan pohon penyusunnya, sedangkan kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut. Kerusakan atau cacat yang dimaksud dalam penilaian ini adalah segala macam kerusakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya. Nilai penting kerusakan bagi pertumbuhan ditentukan oleh tipe, lokasi pada tanaman dan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi. Tipe kerusakan biasanya sangat spesifik dan masing-masing mempunyai nilai yang spesifik pula. Kanker pada bagian batang memberikan risiko kerusakan lebih tinggi dibanding dengan kerusakan oleh pembengkokan batang Lokasi kerusakan ditentukan berdasarkan atas kedudukan kerusakan pada bagian batang pokok dan pada bagian tajuk. Batang pokok merupakan lokasi yang mempunyai nilai kerusakan lebih tinggi dibanding bagian tanaman yang lain, makin dekat dengan permukaan tanah nilai kerusakan lebih tinggi.

Keparahan merupakan faktor lain yang menentukan nilai penting suatu kerusakan dan batas minimalnya ditentukan berdasarkan atas proporsi bagian tanaman yang rusak. Kanker batang yang lebar luka terbesarnya lebih dari 20% lingkar batang tempat kanker terjadi akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya. Berdasarkan Forest Health Monitoring Field Methods Guide (1999), ada 7 (tujuh) indikator utama yang digunakan dalam menilai kesehatan hutan, yaitu Nilai hutan, Klasifikasi Kondisi Tajuk, Penentuan Kerusakan dan Kematian, Radiasi Aktif Fotosintesis, Struktur Vegetasi, Jenis-jenis Tanaman Bioindikator Ozon, dan Komunitas Lumut Kerak, dimana metode, standar ukuran dan jaminan mutunya telah ditetapkan untuk masing-masing indikator. Namun dalam praktikum ini, yang dipantau hanyalah tingkat kerusakan dan kematian pada tegakan di kebun benih ini.

Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya (Dunn, 1999) menilai kesehatan hutan berdasarkan kesehatan pohon penyusunnya, sedangkan kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut. Kerusakan pohon dalam hutan dapat terjadi karena aktivitas patogen, serangga atau factor alami, termasuk aktivitas manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh agen ini. baik tunggal atau dalam kombinasi, secara signifikan dapat mempengaruhi kesehatan hutan. Mengidentifikasi tanda dan gejala kerusakan menyediakan informasi yang berharga mengenai kondisi hutan dan menunjukkan kemungkinan penyebab penyimpangan dari kondisi yang diharapkan. Untuk pemantauan kesehatan hutan, kerusakan tanda-tanda dan gejala dicatat jika, menurut definisi, kerusakan bisa membunuh pohon atau mempengaruhi kelangsungan hidup jangka panjang dari pohon.

Penyakit kanker dapat disebabkan oleh berbagai agen tetapi yang paling sering disebabkan oleh jamur. Merusak kulit dan kambium, dan diikuti dengan kematian dari kayu yang mendasari, meskipun agen penyebab mungkin atau tidak mungkin menembus kayu. Hal ini menyebabkan di daerah jaringan mati yang menjadi lebih dalam dan lebih luas, atau menyakitkan hati (termasuk galls yang disebabkan oleh jamur karat). Kerusakan yang disebabkan oleh kanker semua dicatat sebagai no 1. Pemberian kode berdasarkan lokasi serangan gall pada sengon pada gambar 3.

Page 169: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 169

Memperlihatkan besarnya kerusakan tiap plot yang dihitung dari jumlah gall yang ada pada bagian lokasi serangan.

Plot Jumlah

serangan (%)

Kelas Kode

Plot Jumlah

serangan (%)

Kelas Kode

1 57.98 50-59 5

1 42.02 40-49 4

2 5.56 1-9 0

2 33.33 33-39 3

3 56.07 50-59 5

3 46.23 40-49 4

4 47.82 40-49 4

4 52.17 50-59 5

5 60.714 60-69 6

5 61.90 60-69 6

6 67.74 60-69 6

6 58 50-59 5

(a) Pucuk

(b) Ranting

Plot Jumlah

serangan (%)

Kelas Kode

Plot Jumlah

serangan (%)

Kelas Kode

1 10.08 10-19 1

1 2.52 1-9 0

2 64.81 60-69 6

2 12.96 10-19 1

3 35.85 30-39 3

3 25.47 20-29 2

4 0 0 0

4 26.08 20-29 2

5 17.86 10-19 1

5 2.38 1-10 0

6 25.81 20-29 2

6 0 0 0

(c) Batang (d) Cabang Gambar 3. Tingkat keparahan pada pucuk, ranting, batang, dan cabang (Figure 3. The severity of the

shoots, twigs, stems, and branches) D. Pengendalian Penyakit.

Sampai saat ini pengeobatan penyakit karat tumor masih belum ditemukan. Namun kita dapat mengendalikan serangannya sehingga intensitas dan luas serangannya dapat berkurang. Rahayu (2008) menyatakan bahwa upaya untuk mengendalikan penyakit karat tumor dapat lebih efektif apabila: a) mengetahui penyebab penyakit, perilaku cara penyebaran serta siklus hidupnya, b) mengetahui gejala dan akibat yang ditimbulkan, c) mengetahu faktor lingkungan maupun faktor dalam tanaman itu sendiri yang mendukung atau menghambat teradinya penyakit. Oleh karena itu beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam upaya pengendalian penyakit karat tumor adalah sebagai berikut: Pengendalian secara bercocok tanam. • Terhadap Penyebabnya

Pengendalian yang langsung ditujukan terhadap penyebabnya dapat dilakukan dengan cara sanitasi ataupun eradikasi. Sanitasi dilakukan dengan cara membersihkan lapangan dari bekas tanaman, tumbuhan liar dan semua bagiannya yang terserang patogen, sedangkan eradikasi dilakukan dengan cara memusnahkan penyebab penyakit bersamasama dengan tanaman inang yang terserang. Patogen yang memiliki kemampuan reproduktif yang terbatas kemungkinan dapat dieradikasi dari tegakan. Cara ini kurang sesuai diterapkan untuk patogen yang mampu bereproduksi dalam jumlah yang banyak dengan cepat.

Terhadap Tanaman Inang Pengendalian terhadap inang dapat dilakukan dengan cara membuat tanaman tumbuh baik dan sehat atau dengan memanfaatkan yang tahan terhadap patogen. Misalnya, pemilihan tanaman yang tahan, penggunaan tanaman yang hipersensitif (tanaman yang sangat peka), pengimbasan

Page 170: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

170 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

ketahanan (induced resistance), atau penggunaan tanaman yang toleran. Sengon yang terserang penyakit karat tumor di Pulau Jawa diketahui mempunyai keragaman genetik yang rendah, sedangkan sengon asal wamena diduga mempunyai sifat toleransi yang tinggi terhadap serangan karat tumor, sehingga perlu adanya kegiatan konservasi insitu dan eksitu sengon yang berasal dari Wamena (Rahayu, 2012).

• Pengendalian Melalui Lingkungan Pengendalian ini dapat dilakukan dengan membuat lingkungan yang cocok untuk tanaman tetapi tidak cocok untuk penyebab penyakit. Misalnya, pengaturan air, pengaturan pH tanah, pengaturan jarak tanam, pengaturan iklim mikro.

• Pengendalian Hayati Pengendalian hayati patogen tumbuhan adalah pengurangan jumlah inokulum atau aktivitas yang menimbulkan kerusakan yang disebabkan oleh patogen, menggunakan satu atau beberapa jenis organisme. Pengendalian ini meliputi penggunaan varian patogen avirulen, tanaman inang yang tahan dan mikrobia antagonis yang ikut mempengaruhi keberadaan atau aktivitas patogen penyebab kerusakan. Beberapa keuntungan dari pengendalian ini adalah: (1) tidak menyebabkan peristiwa ketahanan pada patogen, (2) tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, (3) tidak mengganggu keseimbangan biologi, dan (4) sekali aplikasi berhasil maka akan memiliki efek pengendalian yang relatif lama. Salah satu contoh agens pengendali hayati yang cukup potensial dikembangkan di sektor kehutanan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh jamur Patogen tular tanah adalah jamur Trichoderma spp. (Sumardi and Widyastuti .2004)

Pengendalian kimiawi dengan fungisida atau bakterisida

Fungisida adalah bahan kimia yang digunakan untul mengendalikan jamur atau fungi, sedangkan bakterisida adalah bahai kimia yang digunakan untuk mengendalikan bakteri. Kedua bahai kimiawi tersebut dapat dikelompokkan menjadi (1) fungisida dan bakterisida pelindung, (2) fungisida dan bakterisida pemberantas dan (3) fungisida dan bakterisida.

Penggunaan fungisida dan bakterisida dapat bermacam-macai misalnya dengan cara penyemprotan, pengolesan, fumigasi. Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan fungisida adalah (1) pemilihan bahan aktif yang tepat, (2) prosedur penggunaan yang betul (konsentrasi, cara aplikasi dan persyaratan yang dibutuhkan), dan (3) waktu pelaksanaan yang tepat (Sumardi &Widyastuti, 2004).

Pengendalian dengan Peraturan Perundangan

Peraturan perundangan merupakan sarana hukum yang digunakan untuk mencegah perpindahan patogen dan organisi pengganggu tumbuhan (OPT) yang lain ke suatu wilayah tertentu misalnya negara, negara bagian, atau antar daerah setempat. Pengendalian cara ini menyangkut aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan pelarangan (embargo) dan pembatasan pemasukan komodit perhutanan dan tanaman hutan yang dapat mengandung OPT tertenti dari luar negeri atau luar daerah.

Pemerintah Republik Indonesia telah membentuk institusi Pusat Karantina Pertanian guna melindungi usaha pertanian dan perhutam terhadap ancaman OPT, yang antara lain bertugas: 1. Mencegah masuknya OPT karantina dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. 2. Mencegah tersebarnya OPT karantina dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara

Republik Indonesia. 3. Mencegah keluarnya OPT tertentu dari wilayah negara Republik Indonesia apabila negara tujuan

menghendakinya. Upaya untuk mencegah masuk dan menularnya berbagai jenis OPT dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, dilakukan dengan melaksanakan tindakan-tindakan

karantina terhadap komoditas yang dapat menjadi media pembawa OPT tersebut, yang meliputi: (1) pemeriksaan, (2) pengasingan, (3) pengamatan, (4) perlakuan, (5) penahanan, (6) penolakan, (7) pemusnahan, dan (8) pembebasan. Dasar tindakan karantina tumbuhan adalah Undang -Undang No.

Page 171: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 171

16 Tahun 1992 tentang karantina hewan, ikan dan tumbuhan, dan Keputusan - keputusan Menteri Pertanian yang mengatur tentang kegiatan operasional karantina tumbuhan. ( Sumardi dan Widyastuti,2004).

IV. KESIMPULAN

1. Serangan karat tumor di Kabupaten Ciamis ditemukan pada semua tingkat ketinggian tempat. 2. Serangan penyakit gall rust pada sengon ditemukan serangan paling besar mulai dari ranting,

pucuk, cabang dan batang.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, I. dan E. Santoso. 2003. Penyakit Karat Puru pada Sengon (Paraserianthes falcataria) di Pulau Seram. Buletin Penelitian Hutan. No. 636/2003. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.

Indresputra, F., S. Rahayu and Widiyatno. 2013. Effect of pyroclastic cloud from Merapi Vulcano to

the survival of Uromcladium tepperianum on Falcataria moluccana in Yogyakarta, Indonesia. Procedia Environmental Sciences 17: 70-80.

Rahayu, S. 2008. Penyakit Karat Tumor Pada Sengon. Makalah Workshop Penanggulangan Serangan

karat Puru pada Tanaman Sengon. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. 19 November 2008.

Rahayu, S. 2012. Gall rust disease and genetic variation of Falcataria moluccana in Indonesia.

Proceeding of International Conference on the impact of climate change to forest pest and diseases in the tropics: 50-54. Yogyakarta, 8-10 Oktober 2012.

Rahayu, S., S.S. Lee and N.A.Ab. Shukor. Uromycladium tepperianum, the gall rust fungus from

Falcataria moluccana in Malaysia and Indonesia. Mycosience Japan, 51: 149-153. Sumardi dan S.M. Widyastuti, 2004, Dasar-Dasar Perlindungan Hutan, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta. Sumardi dan S.M. Widyastuti, 2004. Panduan Praktikum Dasar-Dasar Perlindungan Hutan,

Laboratorium Kesehatan dan Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Widyastuti, S. M, 2004, Kesehatan Hutan : Suatu Pendekatan dalam Perlindungan Hutan (Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perlindungan Hutan pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Page 172: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

172 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

LESSON LEARN SISTEM AGROFORESTRI HUTAN RAKYAT UNTUK KETAHANAN PANGAN DAN KEDAULATAN BANGSA

Faridh Almuhayat Uhib Hamdani1, Yustina Murdiningrum2

1Direktur Eksekutif MAP Institute, 2Manajer Pengabdian dan Pendampingan MAP Institute Vila Bogor Indah 2 Blok DD 2 No. 31, Ciparigi, Bogor Utara, Kota Bogor 16157

Email: [email protected]

ABSTRAK

Agroforestri telah lama dikembangkan oleh masyarakat di Indonesia dengan sebutan antar daerah yang berbeda-beda seperti di Lampung disebut repong, di Jawa disebut talun, dan di Kalimantan disebut Tembawang. Pada dasarnya agroforestri merupakan kombinasi antara tanaman pertanian dengan tanaman kehutanan. Kombinasi-kombinasi tersebut dilakukan untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan oleh pemilik yang pada akhirnya memiliki tujuan yang lain seperti tujuan ekologis. Penelitian dilakukan di Kabupaten Ciamis tahun 2014 di 2 kecamatan yaitu Panumbangan dan Cijeungjing. Metode yang digunakan yaitu wawancara mendalam dan observasi lapangan kemudian dianalisis melalui analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem agroforestri yang digunakan oleh masyarakat petani hutan rakyat untuk tanaman sela diantara tanaman hutan rakyat. Petani memiliki prinsip bahwa dengan menanam tanaman agroforestri mereka mendapatkan manfaat ekologis dan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman monokultur hutan rakyat. Tanaman agroforesti menghasilkan berbagai jenis seperti palawija, buah-buahan, sayur, dan tanaman obat-obatan yang dapat menjadi tambahan penghasilan bagi petani. Ketahanan pangan lebih kepada pengaturan pola konsumsi antara makanan pokok dengan makanan selingan (ubi, singkong, ketela, dll). Pembelajaran dari masyarakat pengelola hutan rakyat melalui sistem Agroforestri yaitu ketahanan pangan dapat tercapai melalui pola konsumsi dengan memanfaatkan hasil tanaman dari lahan yang dimiliki. Agroforestri dengan sistem tanam campuran lebih memberikan hasil yang multi guna bagi pemilik, baik tahunan maupun musiman sehingga pola agroforestri yang dapat menjadi percontohan untuk upaya ketahanan pangan. Kata kunci: Agroforestri, hutan rakyat, ketahanan pangan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kerusakan hutan Indonesia merupakan sejarah penting bagi pengelolaan hutan dimasa yang

akan datang. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) tahun 2013 menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan Indonesia menurun menjadi 850 ribu ha/tahun dibandingkan beberapa tahun yang lalu yang mencapai 1 juta ha/tahun. Berbagai permasalahan kehutanan seperti tumpah tindih kebijakan, sengketa tenurial, okupasi kawasan hutan, illegal logging, dan perambahan hutan menjadi faktor pendorong laju kerusakan hutan di Indonesia. Hasil pemotretan citra satelit Indonesia dari tahun ke tahun, tutupan lahan di kawasan hutan menunjukkan adanya penurunan. Sedangkan tutupan lahan diluar kawasan hutan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan tersebut kemudian banyak dilakukan penelitian, sehingga terjawab bahwa banyak masyarakat yang menanam pohon di lahan milik baik pekarangan, kebun dengan tanaman-tanaman yang komersiil baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang yang kemudian disebut dengan hutan rakyat (HR).

Hutan rakyat menjadi harapan baru bagi banyak pihak dalam upaya pembangunan kehutanan diluar kawasan hutan, sehingga dapat menyeimbangkan berbagai kebutuhan baik kebutuhan kayu, non kayu, dan jasa lingkungan. Pembangunan HR disesuikan dengan kebutuhan

Page 173: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 173

individu petani, dimana petani HR sebagai pemilik lahan memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam membangun hutannya, seperti untuk tabungan, usaha sampingan, konservasi tanah dan air, membangun/memperbaiki rumah, dan modal murah (Hamdani 2015). Berbagai tipe HR yang sering dijumpai yaitu HR monokultur, HR polikultur, dan Agroforestri (Darusman dan Wijayanto 2007). Diniyati et al. (2005) menyatakan ada beberapa jenis tanaman penyusun berdasarkan pengetahuan masyarakat di Kabupaten Ciamis antara lain: 1) Tanaman kehutanan dan tanaman buah-buahan; 2) Tanaman kehutanan, tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan, dan tanaman semusim; 3) Tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman semusim, tanaman obat-obatan. Tipe-tipe yang ada di HR merupakan pilihan dari petani yang disesuiakan dengan kebutuhannya masing-masing.

Agroforestri merupakan suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian. Saat ini agroforestri menjadi cabang ilmu pengetahuan tersendiri di bidang pertanian, kehutanan, dan peternakan yang berupaya mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri yang telah lama dipraktekkan oleh petani secara turun temurun. Agroforestri telah banyak dikembangkan dan dilakukan diberbagai wilayah si Indonesia dengan pola-pola yang disesuaikan dengan kondisi wilayahnya, seperti di Lampung pola agroforestri disebut dengan repong, di Kalimantan disebut dengan tembawang, di Sumatera Barat disebut dengan parak, dan di Jawa disebut dengan talun. Berbagai manfaat dengan diterapkannya sistem agroforestri antara lain hasil yang diperoleh lebih dari satu jenis, sehingga hasil yang diperoleh oleh pengelola selain untuk menunjang kebutuhan sehari-harinya juga dapat menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan. Atas dasar diatasm maka pertanyaan dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengelolaan HR dengan sistem agroforestri yang dilakukan oleh petani dapat mendukung ketahanan pangan skala rumah tangga petani, oleh sebab itu bagaimana kaitannya antara ketahanan pangan dengan kedaulatan bangsa yang ditinjau dari sistem agroforestry yang dilakukan saat ini. B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem agroforestri yang terapkan oleh masyarakat petani HR sebagai pembelajaran dalam mewujudkan ketahanan pangan skala rumah tangga dan kaitannya dengan kedaulatan bangsa. Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan analisis kritis tentang peran-peran HR dan agroforestri dalam memberikan contoh tentang ketahanan pangan yang jika diterapkan dalam skala luas maka kedaulatan bangsa dapat terwujud.

II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kecamatan Panumbangan dan Cijeunjing, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014.

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Data primer meliputi data pengelolaan HR dan Agroforesri yang diambil dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) kepada petani pengelola HR. Singarimbun dan Sufian (1995) menyatakan bahwa dalam penelitian survei standar minimal, responden yang diambil sebanyak 30 orang per wilayah. Dengan demikian responden diambil di masing-masing kecamatan yaitu sebanyak sebanyak 60 orang petani yang mengelola HR dan menerapkan sistem agroforestri. Data pola konsumsi masyarakat, data ketahanan pangan diambil secara sekunder melalui studi litelatur. Selain itu pengamatan dilapangan dilakukan untuk mendapatkan gambaran lokasi HR dan sistem agroforestri yang diterapkan. Data hasil wawancara dan pengamatan dilapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif tabulatif dengan menghubungkan berbagai faktor yang ada.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 174: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

174 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

A. Hutan Rakyat dan Sitem Agroforestri 1. Pengelolaan Hutan Rakyat

Luas HR yang dikelola petani di wilayah penelitian memiliki luas rata-rata 0,6 ha dengan pola campuran dan agroforestri. Hutan rakyat yang dikelola merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan disela-sela pekerjaan utama, sehingga pengelolaan yang dilakukan kurang intensif (Gambar 1). Kurang intensifnya pengelolaan memberikan dampak pada pola tanam yang dilakukan oleh petani HR yaitu sebanyak 88% petani HR menerapkan pola polyculture (campuran) dan 12% menerapkan pola monoculture (satu jenis). Pola campuran lebih banyak diminati dengan alasan: 1) Sedikit terserang hama penyakit, 2) Konservasi tanah dan air, 3) Tanaman MPTS memberikan hasil yang saling bergantian/kontinyu, 4) Biaya yang dikeluarkan lebih kecil, 5) Kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun. Berbagai jenis tanaman dengan pola campuran antara lain jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), sengon (Paraserianthes falcataria), afrika (Meisopsis eminii), manglid (Michelia velutina), jati putih (Gmelina arborea), pulai (Alstonia scholaris), dan rimba campuran lainnya. Sedangkan jenis yang biasa ditanam secara monokultur yaitu Sengon dan Mahoni.

Gambar 1. Pekerjaan utama petani HR Gambar 2. Jenis pohon penyusun di HR

Dengan luasan yang kecil maka pengelolaan HR sebagian besar dilakukan secara mandiri (swadaya), mulai dari pengadaan bibit, penanaman, perawatan, bahkan hingga pemanenan sebab petani sebagai pemilik juga berlaku sebagai pekerja. Jenis pohon penyusun di lahan HR yang paling dominan di dua wilayah penelitian yaitu sengon dan mahoni, namun di wilayah Panumbangan lebih banyak jenis tanaman campuran. Topografi wilayah panumbangan adalah pegunungan, sehingga lebih difungsikan untuk konservasi tanah dan air. Berbeda dengan wilayah Cijeungjing, bahwa masyarakat lebih memilih menanam tanaman komersiil untuk digunakan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang mereka serta kayu yang mudah diterima di industri kayu. Pengelolaan HR yang dilakukan dapat menjadi pembelajaran penting bahwa, sumberdaya alam yang dimiliki petani HR didayagunakan secara mandiri untuk memanfaatkan dan menciptakan berbagai peluang yang ada. 2. Sistem Agroforestri

Pengelolaan HR dengan sistem campuran mendorong petani memanfaatkan peluang untuk memanfaatkan lahan disela-sela tegakan HR dengan pola agroforestri. Sistem agroforestri yang diterapkan di lahan HR campuran, sebagian besar tanaman agroforestri disesuaikan dengan kebutuhan petani serta yang memiliki nilai ekonomi. Jenis agroforestri yang ditemukan diwilayah penelitian yaitu sistem agroforestri sederhana, yaitu suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Achmad (2010) menyatakan bahwa sempitnya rata-rata pemilikan lahan HR tidak ekonomis jika dikembangkan pola monokultur murni, karena nilai ekologinya rendah dan hasil diantara menunggu waktu panen pohon tidak diperoleh. Jenis tanaman agroforestri yang ditemui antara lain tanaman palawija (jagung, ubi

Page 175: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 175

kayu, ubi jalar, talas, kacang tanah), jahe, cabai, pepaya, pisang, sayur-mayur, dan rerumputan (Gambar 3).

Petani rata-rata memanen tanaman semusimnya sebanyak 2 kali dalam 1 tahun. Karakteristik pemanenan yang dilakukan berbeda-beda seperti waktu panen antar tanaman agroforestri bersamaan, dan waktu panen antar tanaman agroforestri secara bergantian. Petani mendapatkan tambahan penghasilan rata-rata Rp.200.000 – Rp. 400.000,./panen. Panen dilakukan dalam 4 – 6 bulan sekali, dengan demikian agroforestri memberikan kontribusi untuk perekonomian petani HR. Hal tersebut dikuatkan dengan penelitian Diniyati et al. (2003) menyatakan bahwa kontribusi ekonomi dari pola agroforestry mencapai rata-rata 28,88 %, sedangkan Kusumedi (2005) mencatat sebesar 25,37%.

3. Sistem Agroforestri: Kemandirian Petani

Sistem agroforestri yang telah melalui proses panjang baik yang dilakukan di dalam maupun diluar kawasan hutan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengelolaan HR yang besifat subsisten, jenis tanaman penyusun sebagian besar adalah campuran, perawatan yang dilakukan tidak teratur, serta tanaman sela diantara tanaman utama merupakan jenis yang digunakan untuk sendiri maupun untuk dijual. Maka hal tersebut menjadi ciri dari agroforestri sederhana yang dapat mendorong kebutuhan para petani HR. Sardjono et al. (2003) menyatakan bahwa agroforestri dengan skala subsisten secara umum merupakan agroforestri yang tradisional, yang terdapat beberapa ciri-ciri yang bisa dijumpai, yaitu: (a) Lahan yang diusahakan terbatas; (b) Jenis yang diusahakan beragam (polyculture) dan biasanya hanya merupakan jenis-jenis lokal non-komersial saja (indigenous dan bahkan endemic) serta ditanam/dipelihara dari permudaan alam dalam jumlah terbatas; (c) Pengaturan penanaman tidak beraturan (acak); (d) Pemeliharaan/perawatan serta aspek pengelolaan lainnya tidak intensif.

Disisi lain, petani HR melakukan pengelolaan dilakukan secara mandiri yang tidak terpengaruh oleh pasar ataupun mengandalkan bantuan-bantuan dari pemerintah/lembaga lainnya walaupun terdapat peluang untuk mendapatkannya. Petani berpendapat bahwa apabila terjadi sesuatu dilahan mereka, maka yang akan menanggung resiko yaitu petani sediri. Hal tersebutlah yang menjadi penyemangat petani HR dalam mengelola dan mengusahan lahan HR secara mandiri. Kemandirian petani HR juga dikarenakan minimnya informasi yang didapatkan baik dari dinas maupun lembaga lain, karena minimnya penyuluhan oleh dinas terkait. Menurut petani bahwa penyuluhan pernah dilakukan namun dilakukan di kantor Kelurahan dan diikuti oleh orang-orang tertentu sehingga informasi tidak merata. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dikedua tempat 70% petani HR tidak tergabung dalam kelembagaan kelompok tani, hal ini juga menjadi faktor

Gambar 3. (a) Agroforestri di Panumbangan antara tegakan pulai dan tanaman jahe dan sebagian tomat; (b) Agroforestri di Cijeungjing antara tegakan sengon dan mahoni dengan tanaman pisang

(a) (b)

Page 176: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

176 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

penyebab kurangnya informasi kepada para petani HR. Keterbatasan tersebut juga mendorong petani untuk berusaha secara mandiri dalam mengelola HR.

Pembelajaran dari pemanfaatan lahan di HR dengan pola agroforestri antara lain: 1) Mengelola secara mandiri bagi petani merupakan bentuk tanggung jawab pengelola dalam mengoptimlakan lahan untuk menunjang kebutuhannya, 2) Dengan sistem agroforestri yang diterapkan, maka produktifitas lahan bertambah karena adanya berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan, 3) Agroforestri yang diusahakan dengan luasan sempit memberi kontribusi secara ekonomi dan ekologi yang keberlanjutan. 4) Perlunya wadah yang menjadi penunjang aktifitas petani HR agar mendapatkan informasi yang lebih luas. Menurut Arifin (2003) bahwa keanekaragaman jenis dari agroforestri memberikan hasil yang terus menerus sepanjang tahun dan pada skala kecil hasil pekarangan dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga sendiri secara subsisten, namun pada skala tertentu hasil pekarangan dapat memberikan pendapatan tambahan bagi pemiliknya terutama bagi mereka yang menerapkan sistem pertanian terpadu. 4. Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Bangsa

Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia (Rome Declaration on World Food Security) yang dicanangkan pada saat Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) tanggal 13-17 November 1996, mendefinisikan ketahanan pangan sebagai: ‘Food security exists when all people, at all time, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life’10

Ketahanan pangan dalam pengelolaan HR dengan sistem agroforestri dapat ditemukan dengan tersedianya sumber pangan, akses terhadap sumber pangan yang mudah, pola konsumsi yang dapat menyesuaikan dengan ketersediaan hasil agroforestry (Tabel 1).

Wilayah Akses Menuju HR Hasil Agroforestri dari HR

Makanan Pokok

Waktu Makanan Selingan

Waktu

Panumbangan

Jalan utama aspal, menuju ke lokasi sebagian jalan beton dan tanah

± 10 m – 1 km Padi

33-36 hari setelah

berbunga Ubi, Talas, Singkong,

Jagung

4 – 10 bulanan

Cijeunjing

Jalan utama aspal, menuju ke lokasi sebagian jalan beton dan tanah

± 5 m – 800 m -

Ubi, Talas, Singkong,

Jagung

4 – 10 bulanan

Sumber: Pengolahan data primer (2014)

Masyarakat dimudahkan dengan adanya akses menuju HR, sehingga mudah untuk mengawasi dan melakukan perawatan walaupun tidak intensif. Selain makanan pokok berupa padi yang didapatkan dari sawah, masyarakat Panumbangan sebagian juga ada yang menanam padi di wilayah yang biasanya terbuka seperti saat dilakukan penanaman tanaman pokok sehingga ketika tanaman pokok sudah besar padi telah siap untuk dipanen. Disisi lain hasil agroforesti berupa ubi, singkong, talas dan jagung juga digunakan sebagai tanaman selingan selain makanan pokok.

Dari pembelajaran yang ada secara tidak langsung telah tercermin usaha mandiri para petani HR untuk menjalankan ketahanan pangan dalam skala rumah tangga. Jika diperluas dalam skala wilayah maka dapat menjadi simpul-simpul masyarakat untuk menjadi contoh dalam upaya menumbuhkan ketahanan pangan tingkat wilayah. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang

10 World Food Summit, Plan of Action, point 1 dalam www.fao.org

Page 177: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 177

Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari ketersediaan pangan, baik jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau. Pemahaman kebanyakan masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa beras adalah satu-satunya makanan pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, maka pembelajaran dalam penelitian ini dari makna ketahanan pangan yaitu masyarakat dapat bertransformasi sesuatu yang telah membudaya dari kebiasaan atau habit yang sebagian besar masyarakat sangat tergantung dengan beras kearah pola pangan yang bukan hanya hemat, tetapi juga bersumber dari keanekaragaman pangan yang telah disediakan oleh alam di sekitar kita.

Wujud nyata sistem agroforestri dengan hasil pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan tingkat petani HR yaitu tanaman ubi jalar, singkong, jagung, talas yang digunakan untuk selingan dari makanan pokok (beras) yaitu ketika setelah panen tanaman semusim. Seperti ketika terdapat panen ubi-ubian maka sebagian yang digunakan untuk menggantikan beras yaitu ubi-ubian. Dengan demikian maka petani yang biasanya menggunakan beras untuk makan-sehari-hari dapat digantikan atau diselingi dengan hasil panen dari agroforestri. Namun tidak semua hasil panen agroforestri digunakan untuk konsumsi, tetapi juga dapat dijual untuk menambah penghasilan petani.

Maka dalam hal mendorong peningkatan ketahanan pangan baik dalam ketersediaan, stabilitas, aksesabilitas, konsumsi bagi petani, maka dapat dilihat dari keinginan dan kemampuan untuk memajukan pertumbuhan ekonomi, dan daya saing individu petani. Dari pembelajaran pengelolaan HR dengan pola agroforestri dapat terlihat bahwa petani memiliki keinginan yang kuat dan tindakan nyata dalam mempertahankan keberlanjutan ekonomi dan pangannya. Dengan demikian ketika daya saing individu meningkat maka ketahanan pangan dapat terwujud, jika kedaulatan pangan dapat terwujud maka kedaulatan bangsa juga akan terwujud dengan sendirinya melalui manajemen yang berpihak pada upaya kemandirian. Mengutip pernyataan mantan Presiden RI Soekarno bahwa “hidup matinya suatu bangsa ditentukan oleh ketahanan pangan negara, posisi ini adalah ironi yang sangat mengkhawatirkan. Sebab apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka akan menjadi malapetaka. Karena itulah untuk menjamin kemakmuran rakyat, sebuah negara harus memantapkan kedaulatan pangannya”.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Sistem agroforestri yang diterapkan oleh petani HR yaitu sistem agroforestri sederhana yang

dapat memberikan manfaat ekonomi dan ekologi untuk kepentingan jangka panjang petani HR. 2. Pembelajaran dari pola agroforestri yaitu kemandirian petani mengelola sumberdaya yang ada

untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonominya. 3. Ketahanan pangan diwujudkan oleh petani HR melalui diversifikasi jenis tanaman agroforestri

untuk kebutuhan pangannya dan ekonominya. 4. Kedaulatan bangsa dapat terwujud jika ada daya saing dalam skala individu petani kemudian

skala wilayah yang diwujudkan dengan kemandirian dalam upaya mengelola dan mengusahakan lahan milikinya untuk menghasilkan barang yang bermanfaat sekaligus mempertahankan sumberdaya yang ada.

B. Saran Penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang ketahanan pangan skala yang lebih luas perlu dilakukan agar mendapatkan hasil yang lebih luas dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Acmad B, Simon H, Diniyati D, Widyaningsih TS. 2010. Persepsi Petani Terhadap Pengelolaan dan

Fungsi Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis. J Bumi Lestari 12(1): 123-136.

Page 178: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

178 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Arifin HS, Sardjono MA, Sundawati L, Djogo T, Wattimena GA dan Widianto. 2003. Agroforestri di Indonesia (Bahan Latihan). Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF).

Darusman D., Wijayanto N. 2007. Aspek konomi Hutan Rakyat (Skim Pendanaan) Makalah pada

Stadium General Pekan Hutan Rakyat II 30 Oktober 2007. Ciamis: Jawa Barat. Diniyati D, Yuliani E, Fauziyah, Suyarno, dan A. Badrunasar. 2005. Kondisi dan Potensi Hutan Rakyat

di Ciamis, Cilacap, Tasikmalaya, Wonosobo dan Kuningan. Prosiding Seminar “Optimalisasi Peran Litbang dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan, tanggal 6 Desember di Tasikmalaya.Hlm 132-150. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.

Diniyati, D., Suyarno, Anas B., Tjetjep S. 2003. Kajian sosial ekonomi hutan rakyat di desa Boja

Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap. Prosiding seminar sehari “prospek pengembangan hutan rakyat di era otonomi daerah”. Ciamis: Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Ciamis.

Hamdani, FAU. 2015. Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di

Kabupaten Ciamis (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican). Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kusumedi, P. 2005. Potensi Sengon Pada Hutan Rakyat Di Desa Pacekelan Kabupaten Wonosobo

(Potential of Sengon Community Forest in Pacekelan Village of Wonosobo Regency). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol.2 (1), April Tahun 2005. Bogor: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan.

Sardjono MA, Djogo T, Arifin HS, Wijayanto N. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen

Agroforestri. Bogor (ID): ICRAF. Singarimbun M, Sufian E. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3S. Soekarno. 1952. Soal Hidup atau Mati. Pidato Presiden Soekarno dalam Peletakan Batu Pertama

Gedung Fakultas Pertanian, Bogor. Digandakan oleh PSP3 IPB, 2005.

Page 179: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 179

AGROFORESTRY KOPI ARABIKA DI BAWAH TEGAKAN HUTAN LINDUNG (Pinus merkusii): (Kasus Petak 27b, RPH Sukorejo, BKPH Sukosari, KPH Bondowoso)

Corryanti dan D. Waluyani

Puslitbang Perum Perhutani

ABSTRAK

Keberadaan masyarakat di sekitar hutan di wilayah Perum Perhutani, merupakan kondisi umum di pulau Jawa. Melalui program mengelola hutan secara bersama, Perhutani menerapkan kegiatan agroforestry bekerjasama dengan masyarakat hutan, misalnya tumpangsari kopi. Menanam kopi sudah menjadi budidaya masyarakat di sekitar Bondowoso. Jenis kopi yang dikembangkan adalah kopi arabika, yaitu jenis yang dinilai lebih baik kualitas dan nilai jualnya dibanding kopi lokal. Tumpangsari kopi dengan tanaman utama pinus (Pinus merkusii) pada hutan produksi telah dikembangkan di wilayah BKPH Sukosari dalam lima tahun belakangan, yaitu masing-masing di RPH Blawan (15 ha), RPH Sumber Wringin (211,6 ha), dan RPH Sukorejo (2.119,24 ha). Penerapan budidaya kopi ini dilakukan secara organik, yaitu menggunakan pupuk organik berupa pupuk kandang dan bahan organik (seresah hutan) yang dimasukkan ke dalam parit buntu “gondang-gandong” dengan ukuran panjang 50 - 60 cm, lebar 25 - 50 cm dan kedalaman 20 - 30 cm. Pengembangan budidaya kopi arabika pada kawasan lindung yang didominasi jenis suren (Toona sureni), menghasilkan produksi kopi arabika (gelondong segar) dengan rerata 3,59 ton/ha. Pendapatan dari budidaya kopi arabika sangat menjanjikan dan merupakan penghasilan utama bagi masyarakat hutan di wilayah RPH Sukorejo. Kata Kunci : budidaya, kopi arabika, dibawah tegakan pinus.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perum Perhutani KPH Bondowoso mengelola hutan sekitar 88 ribu hektar lahan yang berada

di wilayah Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Situbondo. Kawasan hutan di Kabupaten Bondowoso berada dalam pengelolaan KPH Bondowoso dengan perincian: hutan lindung 46.784,2 ha; hutan produksi 45.218 ha; dan LDTI 366,32 Ha.

Pengembangan tanaman kopi (robusta) di wilayah KPH Bondowoso berlangsung secara illegal sejak puluhan tahun yang lalu meliputi 6 BKPH, yaitu Besuki, Bondowoso, Prajekan, Sumber Wringin, Sukosari, dan Wonosari. BKPH Sukosari dengan luas wilayah kerja 24.815,90 ha merupakan BKPH yang terluas sebagai BKPH penghasil kopi dengan luasan ± 2.345,84 ha. Dari luasan tersebut, 90% tanaman kopi berada di RPH Sukorejo yang secara administratif berada di wilayah Desa Sukorejo, Kecamatan Sumber Wringin, Kabupaten Bondowoso. Hingga tahun 2015 pengembangan kopi di wilayah RPH Sukorejo mencapai 1.494 ha dan terluas dibanding RPH lainnya.

B. Tujuan Tujuan kajian ini adalah untuk : 1) mengetahui teknik budidaya agroforestry kopi arabika dan 2) mengetahui kontribusi pendapatan budidaya tanaman kopi arabika di bawah tegakan hutan terhadap pendapatan total masyarakat desa hutan.

Page 180: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

180 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 1. Sebaran Tanaman Kopi (Robusta dan Arabika ) di Wilayah KPH Bondowoso

No SKPH BKPH Luas Jumlah N/HaPohon

1 Bondowoso Utara Prajekan 618,40 996.065 1.611

2 Bondowoso Selatan a. Besuki 20,00 10.000 500 b. Bondowoso 317,83 407.456 1.282 c. Sukosari 2.345,84 3.873.640 1.651 d. Sumberwringin 1.282,90 1.779.291 1.387

e. Wonosari 2.258,70 2.679.278 1.186

Jumlah 6.843,67 9.745.730,00 7.617,12 Sumber : KPH Bondowoso, 2015

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive sampling). Lokasi

penelitian yang dipilih adalah Petak Pangkuan Hutan LMDH Sukorejo Makmur, RPH Sukosari, BKPH Sukosari. Pertimbangan pemilihan lokasi tersebut terdapat tanaman kopi arabika dan sudah berproduksi sejak tahun 2012. B. Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif. Menurut Sugiyono (2004 : 14) penelitian deskriptif yaitu, penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Wilayah Pengembangan tanaman kopi arabika di wilayah Hutan Pangkuan Desa LMDH Sukorejo Makmur berada di petak 27b, RPH Sukorejo, BKPH Sukosari (Hutan Alam Sekunder) dengan luas ± 46,90 ha. Ketinggian tempat ± 1.000 m.dpl dengan jenis tanah Latosol ciri memiliki solum yang dalam, namun kandungan unsur hara rendah. Jenis tegakan yang ada antara lain : Cinnamomum parthenoxylon, Toona sureni, Artocarpus elasticus, Aplaia palembanica, dan Erythrina. Petak 27b berada di pegunungan Ijen-Raung yang tergolong iklim E (Schmidt & Ferguson) dengan curah hujan rata-rata 1.514 mm per tahun dengan jumlah bulan basah serta bulan kering 5-6 bulan.

Masyarakat desa hutan yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan Sukorejo Makmur sejak tahun 80-an telah membudidayakan tanaman kopi (robusta) di bawah tegakan hutan (produksi). LMDH Sukorejo Makmur secara administratif berada di wilayah Desa Sukorejo Kecamatan Sumber Wringin Kabupaten Bondowoso. Jumlah penduduk Desa Sukorejo sebanyak 6.844 jiwa dan 71,79% penduduk tergolong usia produktif (< 65 tahun). Tingkat pendidikan penduduk Desa Sukorejo didominasi oleh penduduk yang tidak lulus Sekolah Dasar dan Lulusan Sekolah Dasar (60%). Pada umummya sebagian besar mata pencaharian pokok masyarakat Desa Sukorejo didominasi oleh penduduk yang bekerja di sektor pertanian (60%) dengan kepemilikan lahan yang sangat minim (rata-rata 0,026 ha). Oleh karena itu masyarakat Desa Sukorejo memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan hutan di sekitarnya. B. Identitas Responden Responden penelitian merupakan anggota LMDH Sukorejo Makmur dengan tingkat pendidikan rendah yaitu Tidak Sekolah dan Lulusan Sekolah Dasar (92,86%). Usia responden

Page 181: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 181

tergolong produktif dengan kisaran usia 30-55 tahun dengan jumlah tanggungan keluarga rata-rata sebanyak 4 orang/KK. Mata pencaharian pokok responden seluruhnya adalah buruh tani (buruh perkebunan dan petani hutan). Sebanyak 50% responden memiliki ternak kambing (5 ekor) dan 7% memiliki Sapi (1 ekor). Pada umumnya ternak yang dimiliki responden hanya dimanfaatkan kotorannya untuk memelihara tanaman kopi di dalam kawasan hutan. C. Budidaya Tanaman Kopi Arabika di Bawah Tegakan Hutan Lindung

Keberadaan PT Perkebunan Nusantara VII Kalisat Jampit yang berada di sekitar Desa Sukorejo secara tidak langsung telah mempengaruhi kultur masyarakat setempat. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar masyarakat bekerja sebagai buruh tani (perkebunan kopi). Masyarakat yang memiliki pengalaman bekerja di perkebunan kopi menularkan pengetahuan teknik budidaya tanaman kopi di perkebunan kepada masyarakat lainnya. Sekitar 5 - 6 tahun yang lalu, masyarakat desa hutan di Desa Sukorejo yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan mencoba membudidayakan tanaman kopi arabika seluas 46,9 ha yang berada pada kawasan lindung. Umumnya masyarakat desa hutan yang terlibat dalam agroforestry tanaman kopi arabika sudah memahami pentingnya keberadaan tegakan hutan sebagai penaung tanaman kopi arabika. Saat ini dengan sendirinya petani kopi melakukan pengayaan tanaman pada petak 27b dengan beberapa jenis yaitu Dadap, Selasihan dan Maesopsis pada lokasi yang terbuka untuk menggantikan tegakan hutan yang tua (roboh dan mati).

Teknik budidaya tanaman kopi arabika yang diterapkan masyarakat desa hutan di lokasi kajian adalah sebagai berikut : 1. Bahan Tanam

Kopi arabika yang dikembangkan petani di Petak 27b terdiri dari berbagai varietas, antara lain, adalah : Lyni S, Andungsari 1, Andungsari 2, Komasti, Kartika, dan Cobra. Bahan tanam yang digunakan petani kopi adalah berasal perbanyakan secara generatif (biji). Petani kopi umumnya membeli dalam bentuk bibit. Jumlah bibit yang ditanam antar petani kopi cukup beragam dan tergantung jarak tanam yang digunakan. Petani kopi umumnya membeli dalam bentuk bibit dengan harga beragam mulai Rp. 1.000,- s/d Rp. 3.000,- per plances. 2. Persiapan Tanam Kegiatan persiapan tanam, meliputi : a. Pembersihan lahan

Pembersihan lahan dilakukan dengan cara manual dengan membabat dan mendongkel akar tumbuhan bawah dan sama sekali tidak menggunakan herbisida kimiawi, seperti herbisida merk round up. b. Pemasangan Ajir

Pemasangan ajir dilakukan untuk mengatur tanaman kopi agar tumbuh teratur. c. Pembuatan lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan, yaitu : 1,2 m x 2 m; 2 m x 1 m; dan 2 m x 2,5 m. Ukuran lubang tanam : panjang 40cm, lebar 40 cm dan kedalaman 40-60 cm. Ukuran lubang umumnya tergantung dari struktur tanahnya, sebab pada struktur tanah yang berat, maka lubang harus kita buat lebih besar lagi, dengan demikian maka akan lebih banyak kita isi dengan bahan-bahan organik. Pembuatan lubang tanaman dilakukan jauh sebelum pelaksanaan penanaman kopi, yaitu antara 2-3 bulan. d. Pemupukan dasar

Pupuk dasar yang digunakan berupa pupuk kandang sebanyak ± 2 kg/lubang. e. Penanaman

Penanaman kopi dilakukan saat musim penghujan dengan memposisikan akar kopi melebar dalam lubang. Kemudian permukaan lubang ditutup dengan tanah dengan kondisi cembung. 3. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan, meliputi : a. Pembuatan parit buntu (gondang-gandong)

Page 182: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

182 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Saat tanaman kopi berumur ± 5 bulan, petani kopi membuat parit buntu atau yang dikenal di masyarakat dengan istilah “gondang-gandong” di sekitar tanaman kopi dengan ukuran panjang 50 - 60 cm, lebar 25 – 50 cm dan dalam 20 - 30 cm. Jumlah gondang-gandong setiap tahun umumnya bertambah mengikuti usia tanaman, namun demikian petani kopi masih mempertimbangkan kondisi lahan (kelerengan). Pada lahan yang datar jumlah gondang-gandong mencapai 3 - 4 buah sedangkan pada kondisi berlereng petani hanya membuat 1 buah per tanaman. b. Pemupukan

Pemupukan umumnya dilakukan 3x setiap tahunnya dengan menggunakan pupuk organik (pupuk kandang) dan seresah hutan yang dikumpulkan dan dimasukkan dalam gondang-gandong. Hasil kajian menginformasikan bahwa hanya ada 57% petani yang melakukan pemupukan dengan pupuk kandang (± 1 kg/phn). Sebagian lainnya menyatakan tidak mampu membeli pupuk kandang sehingga hanya mengandalkan seresah hutan. Penggunaan pupuk an-organik (Urea sebanyak 50 gr/phn dan Za sebanyak 25 gr/phn). Pupuk an-organik diaplikasikan 2 kali, yaitu ½ dosis pada awal musim penghujan dan ½ dosis pada awal musim kemarau pada tahun I (setelah tanam). c. Pemangkasan

Pemangkasan tanaman kopi yang dilakukan berupa pemangkasan bentuk dengan sistim pemangkasan batang tunggal. Tinggi pangkasan berbeda-beda antar petani kopi antara 1 – 1,5 meter tergantung pertumbuhan kopi. Selepas masa panen, dilakukan pemangkasan produktif dengan membuang cabang – cabang tua, cabang-cabang yang tidak sehat, cabang - cabang patah/kering dan wiwil tunas air. 4. Pemanenan

Pengunduhan buah kopi dilakukan secara selektif yaitu dengan memetik buah yang telah berwarna merah penuh atau telah matang sempurna. Buah kopi yang masih muda (hijau) dibiarkan untuk pengunduhan selanjutnya. Biasanya buah kopi mulai memerah (masak) pada bulan Mei sampai dengan Bulan September. Produksi kopi pada panen pertama umumnya produksinya masih rendah dengan rerata produksi kopi glondong basah 100,8 kg/ha. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi kopi arabika mengalami peningkatan yaitu sebesar rata-rata 3,586 Ton/ha (glondong basah).

Gambar 1. Agroforestry kopi arabika pada kawasan lindung (Petak 27b, RPH Sukorejo, BKPH Sukosari) D. Kontribusi Agroforestry Kopi Arabika terhadap Pendapatan Total Masyarakat Desa Hutan

Sumber pendapatan masyarakat desa hutan di Desa Sukorejo berasal dari kegiatan berburuh tani (perkebunan kopi) dan kegiatan agroforestry kopi dalam kawasan hutan (robusta dan arabika). Pendapatan masyarakat desa hutan dalam kegiatan agroforestry kopi arabika dihitung dari penerimaan kopi (produksi dikalikan harga jual kopi) dikurangi dengan biaya yang rutin dikeluarkan

Page 183: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 183

setiap tahun, yaitu pemeliharaan (wiwil, pemupukan, dan pemangkasan lepas panen pada tahun sebelumnya) dan biaya pemungutan buah kopi (glondong).

Pada umummya petani kopi menjual hasil panennya kepada Kelompok Unit Pengolahan Hasil (UPH) dalam bentuk basah glondong basah dengan harga jual berkisar antara Rp. 7.000,- s/d Rp. 7.500,- per kg. Apabila djual dalam bentuk biji kopi HS (basah) harga jualnya lebih tinggi yaitu mencapai Rp. 22.800,- per kg. Namun demikian, hanya sebanyak 14% petani kopi yang menjual dalam bentuk biji kopi HS (basah). Alasan petani lebih senang menjual dalam bentuk glondong basah adalah dikarenakan petani kopi ingin segera melunasi pinjaman uang yang digunakan untuk memelihara tanaman kopi setiap (rata-rata biaya pemeliharaan sebesar 6 - 7 juta per tahun). Pada kondisi ini, tidak jarang membuat petani terpaksa menjual kopi dengan sistim ijon dengan harga hanya setengah dari harga jual (pada saat panen).

Gambar 2. Komposisi pendapatan masyarakat desa hutan dari berbagai sumber pendapatan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kegiatan agroforestry tanaman kopi arabika dalam kawasan hutan menyumbang 49% terhadap pendapatan total masyarakat desa hutan, disusul agroforestry kopi robusta dalam kawasan hutan (32%), dan terendah adalah dari kegiatan berburuh tani (19%). Sebanyak 21% masyarakat masih memelihara tanaman kopi arabika dengan luasan rerata 0,6 ha (jarak tanam 3 x 2,5 m). Namun demikan tidak banyak tanaman kopi robusta yang bisa dipetik kopinya dikarenakan umur tanaman sudah tua (>30 tahun). Masyarakat Desa Sukorejo pada umumnya berburuh tani kopi rata-rata per bulan hanya 10-15 hari dengan upah Rp. 30.000,-/bulan. Oleh karena itu kontribusinya paling rendah dibandingkan hasil kopi arabika maupun robusta. E. Prospek dan Tantangan Pengembangan Bisnis Agroforestry Kopi Arabika Kopi arabika dari wilayah Kabupaten Bondowoso (lereng Gunung Ijen dan Raung) saat ini sudah dikenal oleh manca negara (Amerika, Swiss dan Eropa Timur), namun luas tanaman dan produksi kopi arabika Bondowoso masih sangat terbatas. Perum Perhutani dan LMDH bersama stakeholder (DisHutBun, Puslit Koka Jember, BI, PT. Indocom, Bank Jatim, APEKI) pada tahun ini berencana memperluas lahan kopi arabika dengan target 10 ribu hektar di dalam kawasan hutan Perhutani. Target lainnya adalah mengkonversi 3.000 hektar kopi robusta menjadi kopi arabika (dalam kawasan hutan). Program tersebut di atas apabila dapat terealisasi, maka akan membantu Perhutani untuk meningkatkan potensi sumberdaya hutan. Disadari atau tidak, pengembangan kopi robusta sejak tahun 1960 dengan tanpa pengaturan (illegal) di beberapa tempat telah mengganggu keberadaan tegakan hutan. Data evaluasi potensi sumberdaya hutan di wilayah RPH Sukorejo (Tahun 2012) menginformasikan bahwa sebanyak 91% kawasan produksi (Kelas Perusahaan Pinus) berubah

- 5.000.000 10.000.000 15.000.000

Kopi Arabika

Kopi Robusta

Buruh Tani

13.045.385

8.481.250

5.208.000

Page 184: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

184 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

menjadi kelas bukan perusahaan (TKL) dengan jenis tanaman kopi robusta. Tegakan hutan berupa pinus lambat laun hilang dan tergantikan dengan jenis non pinus. Berdasarkan hasil kajian di lapangan, terdapat beberapa kendala dalam agroforestry kopi arabika, antara lain adalah : a. Pada umumnya masyarakat desa hutan sudah memiliki pengalaman berbudidaya tanaman kopi,

namun sebagian besar mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk memelihara tanaman kopi setiap tahunnya. Sehingga pemeliharaan tanaman kopi terlambat (wiwil, pemupukan, dan pangkasan produksi).

b. Meskipun kelembagaan pemasaran kopi sudah terbentuk (UPH, Koperasi, PT Indocom) dengan dukungan stakeholder, namun masyarakat desa hutan masih belum lepas dari sistim ijon, sehingga tidak semua hasil panen disalurkan melalui UPH.

c. Masyarakat desa hutan masih mengharapkan bantuan teknik dan ekonomi untuk meningkatkan produksi kopi arabika. Masyarakat desa hutan berharap mendapatkan fasilitas pinjaman lunak untuk pemeliharaan tanaman kopi, utamanya pupuk organik. Selain itu, peran Perhutani masih diperlukan dalam kegiatan pendampingan kelompok petani kopi (pelatihan pembuatan pupuk organik).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Masyarakat desa hutan yang mengembangkan tanaman kopi arabika tergolong usia produktif

dengan tingkat pendidikan rendah dan memiliki mata pencaharian utama sebagai buruh tani. 2. Jenis kopi arabika yang dikembangkan masyarakat desa hutan terdiri dari berbagai varietas.

Teknik budidaya kopi arabika yang diterapkan masyarakat desa hutan mengadopsi teknik budidaya kopi di perusahaan perkebunan. Dalam hal pemeliharaan masyarakat masih belum sepenuhnya mengikuti pola perkebunan.

3. Agroforestry tanaman kopi dalam kawasan hutan menyumbang pendapatan sebesar 49% dari pendapatan total masyarakat desa hutan.

B. Saran Untuk meningkatan bisnis agroforestry tanaman kopi arabika di bawah tegakan pinus beberapa saran berikut: 1. Adanya pendampingan dari para pihak untuk meningkatkan kemampuan teknis pertanaman kopi

arabika. 2. Mengembangkan skema pendanaan sehingga dapat meningkatkan proses produksi tanaman

kopi

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Perhutani Bondowoso Fokus Garap Kopi Arabika. http://m.kominfo.jatimprov.go.id/watch/46068. Diunduh pada tanggal 25 September 2015. Hulup, R dan Endri Martini. Pedoman Budidaya dan Pemeliharaan Tanaman Kopi di Kebun Campur.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia bekerjasama dengan AGROF Sulawesi. 2013. http://worldagroforestry.org/sea/Publications /files/booklet/ BL0048-13.pdf. Diunduh pada tanggal

5 September 2015.

Page 185: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 185

Rahayu LP, 2014. Agroindustri : Analisis Nilai Tambah, Saluran Pemasaran, dan Sistim Manajemen Rantai Pasok (Studi Kasus Kecamatan Sumber Wringin Kabupaten Bondowoso. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Negeri Jember.

http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/1234. Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2015. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung. Pusat Bahasa Depdiknas. http://wanahijaulestari.wordpress.com/2012/10/23/budidaya-kopi-robusta-di-magelang/diunduh

pada tanggal 5 Oktober 2015. http://lampung.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/publikasi/kopi.pdf. Diunduh pada tanggal

17 Oktober 2015/ http://nutrisi-coffee.blogspot.co.id/2012/02/betuk-kopi-dan-rasio-konversi-di-gayo.html. Diunduh

pada tanggal 28 Oktober 2015.

Page 186: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

186 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN TERHADAP TANAMAN AGROFORESTRI DI KAWASAH HUTAN KPH GUNDIH

Purwanto, Datin W, Anton Sudiharto, Alim Sugiharto, Corryanti

PuslitbangPerumPerhutani Email : [email protected]

ABSTRAK

Pemanfaatan lahan hutan oleh penduduk sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangannya, seperti budidaya tanaman, perikanan, peternakan, dikenal sebagai agroforestry. Produktivitas agroforestry sangat ditentukan pada kesesuaian lahan. Oleh karena itu praktik agroforestry di lahan hutan harus diiringi dengan upaya memilih jenis tanaman yang cocok dengan kondisi lahan dan praktik budidaya yang sesuai dengan karakter wilayah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis-jenis tanaman agroforestri yang diminati masyarakat dan penilaian kelaskesesuaian lahannya. Hasil kajian menunjukkan, jenis tanaman agroforestry yang diminati masyarakat sekitar hutan di wilayah KPH Gundih adalah jagung dengan tingkat kesesuaian lahan S3rf, yaitu lahan sesuai marginal dengan faktor pembatas serius, media perakaran dan retensi hara. Jenis tanaman agro-industri, seperti jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah pada lahan dengan tingkat kesesuaian lahan S3 dan dapat tumbuh dengan baik dengan teknik budidaya yang dapat mengatasi faktor pembatas yang ada. Dari pengamatan menunjukkan, pertumbuhan tanaman tumpangsari terbaik, berturut-turut adalah jagung, kacang hijau, kedelai, dan kacang tanah. Kata Kunci : hutan, agroindustri, jenis tanaman pertanian, kesesuaian lahan.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kawasan hutan telah lama dipergunakan oleh penduduk sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Oleh karena itu kawasan hutan dapat dipergunakan sebagai lahan produksi pertanian. Berbagai kegiatan pertanian seperti budidaya tanaman, perikanan, peternakan, telah dilakukan di kawasan hutan, dan sistem pertanian tersebut kemudian dikenal sebagai sistem agroforestri. Hutan pada hakekatnya adalah sumber ketahanan pangan masyarakat pedesaan di sekitar hutan. Namun pada kenyataannya, ketergantungan penduduk sekitar hutan tidak hanya terbatas pada ketahanan pangan, tetapi juga pada upaya perluasan usaha tani. Kegiatan pengusahaan hutan secara komersial dianggap dapat mengganggu ketahanan pangan penduduk sekitar hutan. Hal ini terjadi karena seringkali kegiatan pengelolaan hutan tersebut belum memperhatikan dan memasukkan aspek sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan (Mubyarto dkk, 1992 dalam Anonimous, 2007). Kegiatan agroforestri dengan tumpangsari untuk memperoleh pendapatan dalam jangka pendek daripada sharing produksi kayu yang umumnya dalam jangka panjang. Degradasi lahan hutan dan pertumbuhan tanaman yang kurang optimal merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan agroforestri dalam kawasan hutan. Oleh karena itu perlu upaya dalam pemanfataan lahan di hutan, antara lain melalui pemilihan jenis tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dan sesuai dengan kondisi lahannya.

Kajian kesesuaian lahan telah dilakukan oleh Perum Perhutani bekerjasama dengan UGM yang menghasilkan informasi jenis-jenis tanaman agroindustri dengan pola agroforestry di wilayah KPH Gundih. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian kesesuaian jenis tanaman agroforestri yang mempertimbangkan kebutuhan/keinginan masyarakat sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan lahan. Di samping itu, untuk membantu meningkatkan pendapatan masyarakat desa hutan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan.

Page 187: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 187

B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis tanaman agroforestri yang diminati

masyarakat dan pola tanamnya serta penilaian kelas kesesuaian lahannya.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di KPH Gundih yang telah dilakukan kajian kesesuaian lahannya untuk jenis

tanaman agro-industri. Penelitian pada Pebruari -Desember 2011.

B. Alat dan Bahan Alat dan bahan : alat tulis, peta, clip-board, tally sheet, dan alat tulis.

C. Prosedur Penelitian 1. Pengumpulan data dengan wawancara terhadap pesanggem/penggarap di kawasan hutan

mengenai jenis tanaman dan budidaya, pertumbuhan, dan produksinya. 2. Penilaian kesesuaian lahan pada jenis tanaman agroforestriyang diminati masyarakat

berdasarkan kelas kesesuaian lahan yang telah disusun oleh Perum Perhutani. 3. Pengamatan teknik budidaya tanaman agroforestri di lahan hutan.

D. Analisa Data

Data dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif, yaitu menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya.sud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jenis tanaman yang diminati masyarakat untuk dibudidayakan di lahan hutan Pola usahatani yang dapat diterapkan dalam kegiatanagroforestri untuk pengembangan

tanaman agroindustri di wilayah KPH Gundih adalah pola monoculture, pola tumpangsari (multiple cropping/intercropping), dan multiple cropping : intercropping dan sequential cropping (Anonimous, 2000). Kondisi iklim di KPH Gundih tersebut sangat cocok untuk budidaya tanaman tahunan atau tanaman semusim yang memiliki ketahanan terhadap iklim kering. Tanaman tahunan yang dibudidayakan di daerah ini adalah jati, mahoni, dan sonokeling.

Pada umumnya lahan di bawah tegakan muda dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya tanaman palawija seperti padi, jagung, dan kedelai. Sedangkan pada lahan di bawah tegakan tua dimanfaatkan untuk budidaya tanaman umbi-umbian atau jenis-jenis tanaman tahan naungan. Jenis tanaman tumpangsari pada kawasan hutan di wilayah KPH Gundih terdapat lebih dari 5 jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan, antara lain : padi, jagung, kedelai, kacang tanah, dan singkong. Selain jagung, terdapat tanaman cabai rawit dan ketela pohon, namun populasinya sangat sedikit dan hanya dijadikan sebagai tanaman pembatas antar penggarap. Hasil panennya digunakan untuk konsumsi keluarga saja, sehingga pendapatan dari kedua tanaman sangat kecil.

Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan di hutan didominasi oleh jagung. Jagung sangat diminati oleh masyarakat karena pangsa pasar sudah ada. Tanaman jagung diusahakan sepanjang tahun (2 – 3 kali per tahun). Lahan untuk budidaya jagung umumnya pada lahan tanaman jati umur 1– 3 tahun.

Hasil wawancara terhadap pesanggem tentang jenis tanaman pertanian yang diminati untuk dibudidayakan di kawasan hutan KPH Gundih seperti pada tabel 1.

Page 188: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

188 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 1. Jenis tanaman pertanian yang diminati masyarakat

No Jenis Tanaman Varietas

1 Cabai Rawit Lokal

2 Jagung P21, P27, PAC

3 Kedelai Anjasmoro, Kaba, Arjuna, Wilis, Grobogan

4 Kacang Tanah Lokal

5 Kacang Hijau Var. Gronong

B. Penilaian Penerapan Agroforestri Berdasarkan Kesesuai Lahan

Kesesuaian lahan untuk tanaman agroforestri telah dilakukan kajian pada tahun 2000. Petak 59, RPH Getas, BKPH Monggot termasuk Satuan Peta Tanah(SPT-16). Dengan kondisi lahan berombak s/d berbukit, lereng 15-25%, drainase permukaan cepat, bahan induk napal dan kapur lunak, erosi berat. Hasil penilaian kesesuaian lahan terhadap jenis tanaman yang diminati masyarakat di KPH Gundih pada SPT-16 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelas kesesuaian lahan terhadap tanaman pertanian yang diminati masyarakat di RPH Getas, BKPH Monggot

Sumber : Anonimous, 2000

Lahan pada SPT-16 secara umum memiliki faktor pembatas yang cukup berat, yaitu : media perakaran, retensi hara, dan air. Oleh karena itu dalam budidaya tanaman agroforestridiperlukan upaya-upaya, seperti : memperbaiki media perakaran melalui pengolahan lahan intensif, perbaikan drainase tanah, penerapan teknik KTA, dan memperbaiki unsur hara tanah dengan penggunaan pupuk organik/an-organik.

C. Pola Tanam Agroforestri di Kawasan Hutan KPH Gundih

Pola tanam yang digunakan adalahtanaman bersisipan (relay cropping). Tanaman bersisipanadalah sebuah sistem dengan tanaman kedua ditanam ke dalam tanaman yang ada ketika telah berbunga (tahap reproduksi) tapi sebelum panen. Pola tanam dengan menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman selain tanaman pokok.

No Jenis Tanaman

Kelas Kesesuaian Lahan

Keterangan

1 Jagung S3rf Lahan sesuai marginal dengan dua faktor pembatas sedang,yaitu media perakaran dan retensi hara

2 Padi Gogo S3rf Lahan sesuai marginal dengan dua faktor pembatas sedang, yaitu media perakaran dan retensi hara

3 Kacang hijau S3wr Lahan sesuai marginal dengan dua faktor pembatas sedang, yaitu ketersediaan air dan media perakaran

4 Kacang Tanah S3r Lahan sesuai marginal dengan satu faktor pembatas Sedang, yaitu media perakaran

5 Kedelai S3wr Lahan sesuai marginal dengan dua faktor pembatas sedang, yaitu ketersediaan air dan media perakaran

6 Cabai S3r Lahan sesuai marginal dengan satu faktor pembatas Sedang, yaitu media perakaran

Page 189: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 189

Gambar 1. Relay cropping : jagung - kedelai

Tanaman pokok (jati) dengan jarak tanam 3 m x 3 m, jarak tanam jagung adalah 80 cm x 30 cm, kedelai ditanam diantara tanaman jagung dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Penanaman jagung dilakukan pada awal musim penghujan (akhir Oktober), sedangkan tanaman lainnya (kedelai, kacang hijau, kacang tanah, dan cabai rawit) ditanam setelah jagung berusia ± 1 bulan.

Gambar 2. Relay cropping : jagung - kacang hijau

Untuk memacu keberhasilan tanaman kedelai digunakan pupuk hayati yang mengandung

Rhizobium, Lactobacillus, dan Pseudomonas. Disamping pupuk tersebut untuk memacu produksi buah dan biji kedelai, diharapkan pula dapat memperbaiki kondisi kesuburan lahan karena lahan hutan di KPH Gundih yang tergolong marginal.

Penanaman kacang hijau dilakukan seperti pola tanam kedelai, yaitu kacang hijau ditanam setelah jagung berumur satu bulan dan ditanam di sela-sela tanaman jagung. Jarak tanam kacang hijau 25 cm x 25 cm. Benih kacang hijau yang dipilih adalah kacang hijau varietas “Gronong”. Pemilihan benih kacang hijau berdasarkan pada jenis yang laku di pasar lokal.

Gambar 3 menunjukkan kacang tanah ditanam di sela-sela tanaman jagung dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Benih kacang tanah yang ditanam merupakan jenis lokal yang biasanya ditanam masyarakat pada sawah/tegalan. Penanaman kacang tanah setelah tanaman jagung berumur satu bulan.

Jagung Kedelai

edelai

Kemlanding Jati

Kacang hijau Jati Jagung Kemlanding

Page 190: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

190 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 3. Relay cropping : jagung - kacang tanah

Pada gambar 4, Cabai rawit merupakan jenis cabai yang sudah beradaptasi di bawah tegakan hutan (kayu putih dan tanaman jati) dan relatif tahan naungan. Jarak tanam cabai 20 cm x 40 cm. Benih cabai yang digunakan adalah varietas lokal dan ditanam setelah jagung.

Gambar 4. Relay cropping : jagung - cabai rawit D. Pengamatan Tanaman Agroforestri 1. Tanaman Jagung Tanaman jagung pada saat umur dua minggu tumbuh normal, tetapi terdapat hama ulat daun atau ulat grayak (Prodenia litura F) yang menyerang sebagian kecil tanaman jagung. Penanganan hama ulat daun tersebut dengan menggunakan Confidor dan hasilnya cukup efektif,sehingga tidak menyebabkan kematian tanaman jagung. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa penampakan fisik tanaman jagung dari tinggi tanaman, panjang tongkol, keliling tongkol, jumlah baris, dan jumlah biji terbaik adalah jenis jagung P27.Pertumbuhan yang lebih baik dengan tinggi tanaman umur 87 hari rata-rata 278,33 cm, panjang tongkol 20 cm. Di samping itu P27 memiliki batang yang relatif kokoh, sehingga tidak mudah roboh.

Pertumbuhan tanaman jagung varietas PAG 988 paling pendek, yaitu tinggi rata-rata 245 cm. Pengamaan terhadap tongkol PAC 988 juga paling rendah produksinya. Disamping itu, batang jagung varietas PAC 988 juga mudah roboh. Namun kelebihan jagung varietas ini adalah umur panen relatif lebih cepat daripada P27 dan P21.

Jagung Kacang tanah Jati Kemlanding

Cabai rawit Jati Jagung Kemlanding

Page 191: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 191

Tabel 4. Pengamatan tanaman dan buah masing-masing varietas No Parameter P 27 P 21 PAC 988

1 Tinggi (cm) 278,33 250,00 245,00

2 Panjang Tongkol(cm) 20,00 19,00 17,20

3 Keliling Tongkol (cm) 20,17 20,00 19,50

4 Jumlah Baris per tongkol 16,67 15,60 14,00

5 Jumlah Biji per baris 37,00 35,20 33,20

Keterangan : umur tanaman jagung 87 hari. 2. Tanaman Kedelai

Jenis tanaman kedelai yang ditanam pada plot demo menggunakan 5 varietas, yaitu Arjuna, Caba, Wilis, Burangrang, dan Grobogan. Penanaman kedelai dengan pola tumpangsari pertumbuhan baik. Berdasarkan pengalaman pesanggem bahwa di wilayah tersebut tidak cocok untuk ditanami kedelai. Penanaman kedelai di lahan hutan di KPH Gundih) tidak pernah sampai pada tahap berbuah. Tanaman kedelai pada umur ± 60 hari telah berbuah pada masing-masing varietas. Varietas Grobogan secara fisik menampakkan penampilan polong yang terbesar, namun relatif sedikit polongnya dibandingkan varietas lainnya. 3. Tanaman kacang Hijau

Tanaman kacang hijau yang ditanam adalah varietas lokal. Pada fase pertumbuhan vegetatif, tanaman kacang hijau menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding kedelai. Tanaman kacang hijau dapat tumbuh baik dan mulai berbuah pada umur ± 2 bulan. Penanaman benih kacang hijau (3 biji per lubang) menghasilkan polong rata-rata 10 polong. 4. Tanaman Cabai (Rawit)

Berdasarkan pengalaman bahwa penanaman cabai menguntungkan dan bisa dipungut hasilnya beberapa kali dalam setahun. Pemasarannya relatif mudah, namun permasalahannya adalah benih/bibit cabai yang unggul masih sangat terbatas.Jenis tanaman cabai memiliki pertumbuhan yang kurang baik dibanding jenis lainnya. Tanaman cabai pada awal penanaman (umur 1 minggu) menunjukkan pertumbuhan yang baik. Namun pada saat umur 3 bulan menunjukkan respon yang kurang baik, warna daun agak kekuning-kuningan dan keriting. Secara umum, sebagian besar (> 60%) tanaman cabai nampak kerdil. Hal tersebut diduga pada awal penanaman curah hujan relatif tinggi yang menyebabkan daun cabai keriting. 5. Tanaman Kacang Tanah

Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman kacang tanah pada umur ± 2 bulan menunjukkan bahwa kacang tanah relatif tumbuh subur. Daun berwarna hijau tua dan nampak subur.

Berdasarkan hasil pengamatan bahwa secara umum tanaman jagung memiliki pertumbuhan terbaik dibanding lainnya. Kelas Kesesuaian Lahan (petak 59), bahwa tanaman jagung tergolong sesuai pada lahan marginal dengan faktor pembatas media perakaran dan retensi hara. Jenis tanah yang dapat ditanami jagung, antara lain adalah : andosol, latosol, grumosol, dan tanah berpasir (Anonimous, 2000). Wilayah hutan KPH Gundih 50%-60% jenis tanahnya tergolong grumosol. Pada tanah-tanah dengan tekstur berat seperti grumosol masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik apabila dilakukan pengolahan tanah intensif dan pemupukan.

Faktor pembatas dalam budidaya tanaman jagung pada petak 59, yaitu media perakatan (r) dan retensi hara (f) dapat diatasi dengan teknik budidaya yang dilakukan oleh petani. Untuk mengatasi faktor pembatas media perakaran (r) dalam budidaya tanaman jagung, maka dilakukan persiapan lahan yang cukup intensif. Tanah dicangkul sedalam 15-20 cm, dihaluskan dan kemudian diratakan. Pengolahan tanah pada umumnya dilakukan untuk memperbaiki kondisi tanah dan memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan akar. Disamping itu, melalui pengolahan tanah dapat memperbaiki drainase dan areasi.

Untuk mengatasi faktor pembatas dalam hal retensi hara (f), pada saat persiapan tanam, petani menggunakan pupuk kandang, yaitu kotoran ayam. Pupuk kandang memiliki beberapa sifat yang lebih baik dari pupuk alam lainnya, yaitu : 1) merupakan humus yang dapat

Page 192: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

192 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

menjaga/mempertahankan struktur tanah; 2) sebagai sumber hara N, P, dan K yang penting bagi pertumbuhan tanaman; 3) menaikkan daya menahan air; dan 4) banyak mengandung mikro-organisme yang dapat mensintesa senyawa-senyawa tertentu sehingga berguna bagi tanaman (Syarief, 1990 dalam Fidiyati, 2011). Kotoran ayam juga mengandung unsur mikro seperti Zn, Cu, Fe, Mo. Pupuk kandang kotoran ayam dikategorikan berkualitas tinggi dikarenakan mengandung bahan organik, nitrogen, fospor, kalium yang tersedia lebih besar. Selain itu, pupuk kotoran ayam merupakan pupuk organik yang cepat terdekomposisi sehingga biasanya direkomendasikan untuk tanaman berumur pendek termasuk tanaman kentang (Makawi, 1982 dalam Fidiyati, 2011). Lebih lanjut menurut Hardjowigeno (1995) dalam Fidiyati ( 2011) menyatakan bahwa kotoran ayam mengandung unsur-unsur hara seperti N (1,70%) , P (1,90%), dan K (1,50%) yang lebih tinggi dibanding jenis kotoran hewan lainnya (sapi, kuda, babi, dan domba). Disamping penggunaan pupuk organik, juga digunakan jenis pupuk an-organik (Urea, TSP, dan KCl) sesuai kebutuhan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan memacu produksi tanaman jagung dan tanaman sisipan lainnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Jenis tanaman agroforestri yang dibudidayakan di KPH Gundih adalah padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ketela pohon, dan cabai.

2. Tanaman pertanian yang paling diminati masyarakat untuk dibudidayakan di lahan hutan adalah tanaman jagung.

3. Tanaman jagung dengan kesesuaian lahan S3rf, yaitu sesuai marginal dengan faktor pembatas media perakaran dan retensi hara. Faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan pengolahan tanah (gebrus dan dangir) dan pemupukan dengan pupuk kandang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Anonimous, 2000. Kesesuaian Lahan Hutan untuk Tanaman Agroindustri dalam Rangka Pelaksanaan

Agroforestry di Lahan Kehutanan KPH Telawa dan KPH Gundih. Kerjasama Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Fak. Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Anonimous, 2000. Jagung (Zea mays L.). Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan

Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. BPP Teknologi. Jakarta http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/ jagung.pdf.

Fidiyati N, 2011. Manfaat Kotoran Ayam Sebagai Bahan Organik.

Http://fidiaja.blogspot.com/2011/01/manfaat-kotoran-ayam-sebagai-bahan.html. Hairiyah.K, dkk. 2003. Pengantar Agroforestri. Bahan Ajar Agroforestry. World Agroforestry Centre

(ICRAFT). Bogor. Kurniawan, P. 2006. Estimasi Volume Liputan Hutan Jati di Bagian Hutan Sulur, KPH Gundih, Jawa

Tengah. Http://rsrc.pandhitopanji-f.org/ documents/ files/ laporan-pdf. Diunduh tanggal 4 Januari 2012.

Syamsudin, 2007. Intensitas Serangan dan Populasi Predator pada Berbagai Waktu Tanam Jagung.

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel 2007. Balai Penelitian Tanaman Serelia Maros. Http://www.peipfikomdasulsel.org/ wp-content/ uploads/2011 /06/17.-INTENSITAS-SERANGAN-HAMA-DAN-Syamsuddin.pdf.

Page 193: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 193

Suryanto, P, Budiadi dan S. Sabarnurdin, 2005. Agroforestry (Bahan Ajar). Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Whitmore, T.C, 1975, Tropical Rain Forests of the Far East , 1st Edition, Oxford University Press, Oxford.

Suprayogo. D, K Hairiah, N Wijayanto, Sunaryo dan M Noordwijk, 2003, Peran Agroforestri pada

Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia.

Page 194: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

194 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

MODEL PENANGANAN LAHAN PENGGEMBALAAN DI HUTAN JATI PERHUTANI : UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIFITAS DAN KUALITAS HUTAN TANAMAN

Padang Jayanto

Puslitbang Perum Perhutani

ABSTRAK

Penggembalaan ternak secara liar dan tidak terkendali menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan pertanaman jatidi banyak kawasan hutan di Perum Perhutani. Aktivitas penggembalaan liar menyebabkan tanah menjadi padat, sehingga perakaran tanaman tidak dapat tumbuh berkembang secara optimal, menjadikan tanaman kerdil. Upaya merehabilitasi lahan bekas penggembalaan seringkali mengalami kegagalan, karena masih menggunakan teknik penanaman biasa yang belum bisa mengatasi kepadatan tanah dan drainase tanah yang kurang baik. Tujuan dari model ini adalah untuk mengembalikan dan meningkatkan produktivitas lahan hutan jati yang rawan penggembalaan ternak secara liar serta dapat membuka peluang pengembangan ternak di dalam kawasan hutan jati. Metodologi yang digunakan adalah menggemburkan tanah secara melingkar pada pangkal tanaman selebar ± 1 meter dan meninggikannya setinggi 0,5 meter (membuat lubang tanam, menggebrus tanah, membuat kenongan), serta merawatnya selama 4 tahun (membuat parit/memperbaiki drainase yang setiap tahun diperlebar dan diperdalam, menambahkan pupuk kandang ± 10 kg/tanaman/tahun, dan menambah kenongan dari tanah hasil galian parit). Hasilnya adalah pertumbuhan tanaman jati sampai dengan umur 5 tahun memiliki diameter batang antara 12 – 18 cm dan memiliki tinggi antara 9 – 13 meter. Gangguan ternak pada tanaman dapat diminimalisasi, tanah yang diperlakukan masih tetap gembur/tidak padat karena terhindar dari injakan kaki sapi dan tanaman tidak tersentuh badan sapi sehingga tidak roboh/mati. Sedangkan lahan hutan tersebut merupakan lahan yang tidak produktif akibat kegiatan penggembalaan ternak, dan sudah lebih dari 20 tahun tidak pernah berhasil direhabilitasi. Dari kajian menunjukkan tanaman jati dapat tumbuh baik, tidak terganggu oleh ternak meskipun lahan pertanaman masih berfungsi sebagai lahan penggembalaan, dimana masyarakat di sekitar lokasi menggembala ternak sebanyak ± 20 - 30 ekor sapi per hari sejak awal pembangunan tanaman sampai dengan saat ini. Penemuan teknik khusus ini membuka peluang pengembangan ternak di kawasan hutan Perum Perhutani. Kata kunci : penggembalaan, ternak, dibawah tegakan, hutan jati

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penggembalaan ternak secara liar dan tidak terkendali di kawasan hutan Perum Perhutani

menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan pembangunan tanaman jati. Aktivitas penggembalaan liar menyebabkan pemadatan tanah sehingga perakaran tanaman tidak dapat tumbuh/berkembangsecara optimal, menjadikantanaman kerdil dan tidak produktif. Pada tanaman yang masih kecil, aktivitas ternak dapat menyebabkan kematian karena tanaman terinjak-injak. Sedangkan pada tanaman yang relatif besar/tinggi, kebiasaan ternak menggosok-gosokkan badannya menyebabkan pohon miring atau kulit batang mengelupas sehingga menimbulkan luka terbuka (openwound) pada batangpohon. Oleh sebab itu, Perum Perhutani melarang aktivitas penggembalaan ternak secara liar di dalam kawasan hutan, khususnya pada tegakan muda.

Penggembalaan liar di lahan hutan jati dapat kita lihat di KPH Cepu, KPH Blora, KPH Randublatung, KPH Purwodadi dan KPH Gundih. Kasus penggembalaan liar dan tidak terkendali di kawasan hutan jati tersebut hingga hari ini masihberlangsung, dan sangat sulit dilarang atau ditiadakan karena banyaknya peternak sapi di sekitar hutan yang membutuhkan sumber pakan ternak yang melimpah dan murah.

Page 195: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 195

Menurut Widyobroto B.P.dkk, (2003), sebagian besar peternak di empat KPH memanfaatkan hutan sebagai tempat penggembalaan ternaknya, penggembalaan biasanya dilakukan secara berkelompok 4-5 orang dengan masing-masing gembala membawa 4-10 ternak. Waktu penggembalaan dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Ada beberapa pertimbangan yang diambil oleh penggembala yaitu a) penggembala tidak menentukan tempat-tempat di hutan untuk menggembalakan ternaknya, tetapi tergantung pada ternak itu sendiri/keinginan ternak makan dalam hutan, 2) penggembala memilih tanaman hutan yang masih kecil dengan alasan jumlah rumputnya relatif melimpah, 3) lokasinya dekat dengan rumah. Penggembalaan di dalam hutan secara ekonomis sangat menguntungkan bagi peternak, namun bagi Perum Perhutani tidak menguntungkan.Untuk itu perlu adanya penanganan secara komprehensif baik kepentingan Perum Perhutani sebagai pengelola hutan maupun pemahaman peternak tentang pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupan ekonominya.

Di kawasan hutan Perum Perhutani terdapat kawasan yang rawan tekanan sosial ekonomi cukup luas (± 300.000 ha). Di lain pihak, saat ini Indonesia kekurangan pasokan daging sapi dan harus mengimpor untuk mecukupi kebutuhan daging. Mengacu keberhasilan program pemuliaan pohon dan teknik penanaman jati JPP pada berbagai area yang berbeda daya dukungnya, maka muncul ide/gagasan untuk mengatasi tekanan sosek tersebut, yang salah satunya adalah lahan marginal akibat penggembalaan ternak secara liar dan tidak terkendali di kawasan hutan jati Perum Perhutani. Dengan demikian, diharapkan produkivitas lahan akan meningkat dengan tanaman jati serta membuka peluang pengembangan ternak di dalam kawasan hutan untuk mencukupi kebutuhan daging secara nasional. B. Tujuan

Tujuan dari model ini yaitu : 1Untuk mengembalikan dan meningkatkan produktivitas lahan hutan jati yang rawan penggembalaan ternak secara liar; dan 2. Dapatmembuka peluang pengembangan ternak di dalam kawasan hutan jati.

II. METODE PENELITIAN

A. Alat dan bahan

Peralatan yang dibutuhkanalat teknis penanaman (cangkul, parang, garpu, ember, bambu, tambang); alat teknis pengukuran (meteran, galah, phiband, haga meter); alat tulis (buku, pensil, pulpen, thallysheet, penggaris, kalkulator). Bahan yang diperlukan bibit Jati Plus Perhutani asal stek pucuk (PHT 1)dan pupuk kandang dan pupuk kimia (Urea dan SP36). B. Lokasi

Penanaman dilakukan pada lokasi yang masih aktif dipakai sebagai areal penggembalaan ternak secara liar yaitu di petak 3035 b terletak di wilayah RPH Gerdu Sapi, BKPH Kendilan, BH Kedinding, KPH Cepu, Divisi Regional Jawa Tengah.

C. Waktu pelaksanaan

Model ini mulai dibangun padabulan Maret 2010 – Bulan Maret 2015 (lima tahun).

D. Pendekatan silvikultur Pendekatan Silvikultur yang dilakukan terdiri dari :

1. Mengembangkanruang tumbuh jati menjadi lebih luas (jarak tanam : 6 m x 4 m) sampai dengan akhir daur tanpa penjarangan sehingga tanaman jati dapat tumbuh baik/bebas gangguan ternak dan ternak tetap leluasa di area tanaman serta tersedia rumput yang melimpah.

2. Menyuburkan media tanam jati di sekitar pangkal tanaman : Membuat lubang tanam (30 cm x 30 cm x 30 cm)

Page 196: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

196 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Menggemburkan tanah padat di sekitar lubang tanam dalam bentuk lingkaran dengan diameter ± 1 meter (gebrus lokal sedalam ± 15 cm)

Menambahkan bahan organik berupa pupuk kandang, pemberian pupuk kandang pada bumbunan meningkatkan keremahan tanah dan mendatangkan cacing tanah. Cacing tanah berperan meningkatkan porsi pori-pori tanah, khususnya di area bumbunan baik di atas rerata permukaan maupun di bawah permukaan, seiring dengan pertambahan umur area bumbunan diperluas.

Menambahkan pupuk organik 1 bulan setelah tanam dengan dosis @ 50 gram urea dan 50 gram SP36 per pohon.

Perluasan area bumbunan berasal dari media tanah galian parit. Sebelum perluasan area bumbunan ditambahkan pupuk kandang (10 kg/pohon). Dengan area bumbunan yang semakin diperluas, maka pohon jati akan tumbuh kokoh tidak mudah roboh dan area tanah yang tidak terganggu ternak akan semakin luas.

3. Upaya mengatasi gangguan ternak : Membuat bumbunan atau kenongan tanah setinggi ± 40 cm dari permukaan tanah semula

pada pangkal tanaman. Ternak diharapkan akan menjauhi area bumbunan dan akan memilih tanah yang datar, hal ini memungkinkan resiko pemadatan tanah berkurang

Membuat parit memanjang dengan jarak ±2 meter dari pangkal tanaman dengan lebar 30 cm dan sedalam 30 cm

4. Upaya mengatasi drainase tanah yang jelek : Menanam jati di atas bumbunan tanah, dengan penanaman jati pada posisi tanah yang lebih

tinggi dari rerata permukaan dan struktur yang lebih remah diharapkan perakaran jati lebih optimal tumbuh dan resiko kerusakan akibat drainase yang buruk lebih rendah

Membuat parit, perbaikan drainase dilakukan dengan membuat parit di sebelah kanan jalur tanaman, dengan membuat parit drainase maka permukaan air di tanah akan menurun sehingga akan meningkatkan sebaran akar secara horisontal dan secara vertikal

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi umum lahan hutan

Jenis tanah di Petak 3035b adalah tanah vertisol (grumusol, margalit) dengan topografi relatif datar. Tanah vertisol merupakan tanah lempung berat dan nilai kembang susut tanah tinggi sehingga ketika kemarau tanah pecah-pecah dan ketika musim hujan tanah lengket. Dengan kandungan liat (lempung) berat, untuk pertumbuhan tanaman yang optimal memerlukan pengolahan tanah yang intensif agar tanah lebih mudah diolah (remah). Tanah vertisol secara kimiawi cukup subur, kandungan hara esensial umumnya cukup baik. Topografi lahan Petak 3035 b secara umum datar. Hal ini sesuai dengan karakteristik tanah vertisol: sebaran tanah vertisol pada lahan dengan topografi datar. Petak 3035b merupakan lahan Kelas Perusahaan Jati yang tidak produktif selama lebih dari 25 tahun, meskipun telah ditanami berulang-ulang. Penyebab tidak produktifnya lahan adalah akibat aktivitas penggembalaan ternak di dalam lahan. Penggembalaan ternak menyebabkan tanah padat/keras dan drainase tanah semakin jelek. Pada kondisi tanah padat, alang-alang dan rumput tumbuh dominan. Pada musim kemarau, lahan alang-alang ini rawan kebakaran. B. Hasil

Kondisi kesehatan dan pertumbuhan tanaman JPP pada model ini (LUGENONG-PK BUMRIT) sampai dengan umur 5 tahun cukup baik, yaitu pertumbuhan tanaman jati sampai dengan umur 5 tahun memiliki diameter batang antara 12 – 18 cm (rerata keliling 44,68 cm) dan memiliki tinggi antara 9 – 13 meter (rerata tinggi pohon 12,11 meter). Penggembalaan ternak secara liar dan tidak terkendali sampai dengan saat ini masih tetap berlangsung. Jumlah ternak yang digembala sekitar 20 – 30 ekor sapi setiap hari. Namun gangguan ternak pada tanaman dapat diminimalisasi, tanah yang

Page 197: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 197

diperlakukan masih tetap gembur/tidak padat karena terhindar dari injakan kaki sapi dan tanaman tidak tersentuh badan sapi sehingga tidak roboh/mati. 1. Aspek Kesehatan

Pada aspek kesehatan, tanaman JPP tidak dijumpai sama sekali bekas kerusakan pada batang : a. kebiasaan ternak pada umumnya adalah menggosok-gosokkan badannya pada batang pohon

yang menimbulkan luka terbuka pada batang (open-wound) b. gejala kerusakan tanaman akibat tanah padat dan drainase buruk tidak dijumpai pada tanaman.

Jati pada umumnya sangat responsif terhadap tanah padat dan drainase buruk. Daun-daun menguning (tidak hijau segar), pucuk-pucuk ranting atau pucuk batang kering (mati pucuk)

c. jenis tumbuhan bawah yang tumbuh dekat batang adalah kirinyu (Euphatorium odoratum) dan walur. Jenis ini merupakan gulma daun lebar yang merupakan indikator tanah remah (tidak padat), sebelumnya hanya tumbuh alang-alang dan rumput. Tidak dijumpainya gejala spesifik akibat ternak dan drainase buruk seperti roboh, batang luka atau kulit terkelupas, tumbuh miring, pertumbuhan kerdil, mati pucuk, jumlah pohon tinggal sedikit atau banyak yang mati, tanah padat, air menggenang, akar busuk, daun menguning menunjukkan bahwa teknik khusus pada area pembumbunan efektif untuk mencegah kerusakan akibat penggembalaan ternak secara liar.

2. Aspek Pertumbuhan

Pertumbuhan tanaman JPP sampai dengan umur 5 tahun di Petak 3035 b cukup baik, rerata keliling pohon sebesar 44,68 cm dan rerata tinggi pohon setinggi 12,11 meter. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman jati lain dan standar pertumbuhan normal JPP Stek Pucuk pada umur yang sama dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

1,50

11,90

21,75

32,06

37,99

44,68

-

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

45,00

50,00

0 1 2 3 4 5 6

Cen

ti M

eter

Umur (tahun)

PERTUMBUHAN KELILING (CM) TANAMAN JATI

LHP

KMS

KBK

APB Ngawi

Page 198: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

198 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Keterangan : LHP : JPP Stek Pucuk di Lahan Penggembalaan Secara Liar (Lokasi di KPH Cepu) KMS : JPP Stek Pucuk di Kartu Menuju Sehat (Tabel Pertumbuhan Normal) KBK : JPP asal bibit dari benih KBK (Lokasi di KPH Ngawi) APB : Jati asal bibit dari benih APB Ngawai (Lokasi di KPH Ngawi)

Gambar 1. Pertumbuhan keliling (atas) dan tinggi (bawah) pohon jati s/d umur 5 tahun

Pertumbuhan keliling pohon (cm) tanaman JPP sampai dengan umur 5 tahun di lahan

penggembalaan secara liar lebih cepat besar apabila dibandingkan dengan pertumbuhan keliling pohon (cm) tanaman JPP di KMS dan lainnya dikarenakan ditanam dengan jarak tanam yang lebih lebar yaitu 6 meter x 4 meter, sehingga ruang tumbuh yang lebih luas dan kompetisi antar pohon lebih ringan membuat pertumbuhan keliling pohonnya lebih cepat. Sedangkan tanaman jati yang lain ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat yaitu 3 meter x 3 meter.

Pertumbuhan tinggi (m) tanaman JPP sampai dengan umur 5 tahun di lahan penggembalaan secara liar lebih tinggi apabila dibandingkan petumbuhan tinggi tanaman JPP asal bibit dari benih KBK dan tanaman jati asal bibit dari benih APB KPH Ngawi dikarenakan penggunaan materi JPP yang lebih unggul dan berhasilnya teknik penamanan pada model ini, namun kalah tinggi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi (m) tanaman JPP di KMS yaitu setinggi 13 meter. Diduga, pertumbuhan tinggi tanaman JPP di lahan penggembalaan secara liar lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tinggi tanaman JPP di KMS disebabkan ditanam dengan jarak tanam yang lebih lebar yaitu 6 meter x 4 meter. Sedangkan tanaman JPP di KMS ditanam dengan jarak tanam 3 meter x 3 meter (sesuai Pedoman Tanaman JPP). Dengan kompetisi yang lebih tinggi pada jarak tanam 3 meter x 3 meter, maka pertumbuhan JPP lebih dominan ke arah tinggi/vertikal daripada ke arah keliling pohon/horizontal. Namun seiring dengan pertambahan umurnya, maka perbedaan tinggi tanaman JPP di lahan penggembalaan secara liar semakin mendekati tinggi tanaman JPP pada tabel normal pertumbuhan JPP Stek Pucuk di KMS tersebut. 3. Analisis Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka sebagai BUMN pengelola hutan di Pulau Jawa, maka Perum Perhutani harus terus menerus berupaya meningkatkan potensi sumber daya hutan baik berupa kayu maupun non kayu, menekan atau menghilangkan sumber-sumber masalah yang menjadi ancaman penyebab kegagalan tanaman, dan inefisiensi usaha lainnya. Apabila semua sumber daya manusia yang dimiliki Perum Perhutani mempunyai keinginan yang kuat untuk terus belajar sambil bekerja, maka berbagai masalah dapat di atasi. Bahkan ancaman kegagalan tanaman

0,15

3,05

5,53

7,12

10,31

12,11

-

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

0 2 4 6

Met

er

Umur (tahun)

PERTUMBUHAN TINGGI (M) TANAMAN JATI

LHP

KMS

KBK

APB Ngawi

Page 199: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 199

dapat menjadi peluang untuk menambah jenis usaha baru di dalam hutan agar memperoleh keuntungan yang tinggi, sehingga Negara Indonesia yang kita cintai ini mampu mandiri dalam pemenuhan kebutuhan daging untuk rakyatnya, demikian pula masyarakat peternak di sekitar hutan jati dapat memanfaatkan hutan untuk meningkatkan sumber kehidupan ekonominya.

Untuk itu perlu menerapkan hasil penelitian ini dalam skala operasional untuk lahan-lahan yang memiliki kasus hampir sama dengan lokasi penelitian, sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan nilai tambah sumber daya hutan dapat menjadi lebih tinggi lagi. Hutan tidak hanya menghasilkan sumber daya hutan berupa kayu saja, tetapi juga menghasilkan hasil hutan non kayu, misalnya daging sapi yang saat ini belum lumrah di Perum Perhutani. Setelah diketemukan metode menanam jati yang tepat dan pertumbuhan jati tidak terganggu meskipun penggembalaan liar masih berlangsung, maka Perum Perhutani mempunyai peluang untuk menambah jenis usaha baru di dalam hutan yaitu Agroforestry dalam bentuk Silvopastural. Jenis ternak yang dibudidayakan dapat berupa ternak sapi, kerbau, kambing atau domba. Keuntungan yang diperoleh dari Agroforestry dalam bentuk Silvopastural di dalam hutan selain sebagai penghasil daging yaitu tersedianya kotoran ternak sebagai bahan organik untuk menambah kesuburan tanah dalam kegiatan menanam maupun kegiatan pemeliharaan tanaman hutan. Ke depan diharapkan, sedikit demi sedikit ketergantungan terhadap pupuk kimia dalam budidaya tanaman hutan melalui metode silvikultur intensif semakin berkurang atau bahkan dapat dihilangkan sehingga pengelolaan hutan semakin ramah lingkungan. Di sisi lain, masyarakat di sekitar hutan dapat belajar budidaya sapi lebih baik dari sebelumnya dan dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Gambar 2. Pertumbuhan jati tidak tertanganggu penggembalaan secara liar (potensi untuk pengembangan Agroforestry dalam bentuk Silvopasturaldi hutan jati)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Metode tanam dan pemeliharaan (LUGENONG PK-BUMRIT) yang digunakan cukup baik bagi

pertumbuhan tanaman Jati Plus Perhutani. Rerata keliling pohon sebesar 44,68 cm dan rerata tinggi pohon setinggi 12,11 meter.

2. Kesehatan tanaman JPP baik karena tidak dijumpai gejala spesifik akibat ternak dan drainase buruk seperti roboh, batang luka atau kulit terkelupas, tumbuh miring, pertumbuhan kerdil, mati pucuk, jumlah pohon tinggal sedikit atau banyak yang mati, tanah padat, air menggenang, akar busuk, daun menguning

3. Penggembalaan secara liar masih dapat berlangsung dan dapat dikembangkan secara terkendali dan intensif dalam kawasan hutan.

B. Saran 1. Uji coba model dapat dilakukan pada lokasi yang berbeda dengan kasus yang setiap tempat

berbeda pula, sehingga diperoleh hasil yang lebih baik untuk menyempurnakan metode yang ada.

Page 200: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

200 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

2. Pengembangan ranch perlu melakukan kajian secara mendalam agar diperoleh hasil sesuai yang diharapkan.

3. Sangat dibutuhkan komitmen bersama untuk memperbaiki potensi sumber daya hutan agar menghasilkan produktivitas yang tinggi pada setiap jengkal lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Buku Statistik Perum Perhutani, Jakarta. Na’iem, M. 2007. Peran Pemuliaan Pohon dalam Meningkatkan Produktivitas Hutan. Hand Out

Pemuliaan Pohon Lanjut. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Sadhardjo dan Aris Wibowo, 2003. Peningkatan Produktivitas Tegakan Jati Melalui Silvikultur

Intensif. Seminar Reuni Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Sadhardjo dan Hertapari, 2001. Kartu Menuju Sehat JPP, Buku Seperempat Abad Pemuliaan Jati

Perum Perhutani. Perum Perhutani. Jakarta. Widyobroto, B. Dkk, 2003. Analisis Supply dan Demand Hijauan Pakan Di Wilayah KPH Cepu Sebagai

Dasar Perhitungan Carrying Capacity. Laporan Akhir Kerjasama Pusbang SDH Perum Perhutani dengan Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Page 201: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 201

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG TANAMAN OBAT JENIS JAMBLANG/DUWET (Syzygium cumini Linn) (KASUS DI DESA LINGGAJAYA, KECAMATAN CISITU, SUMEDANG)

Maria Palmolina dan Dian Diniyati

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Jamblang (Syzygium cumini Linn) merupakan tanaman yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan obat-obatan. Biji, kulit dan buahnya dapat digunakan sebagai obat diabetes miilitus dan komplikasinya. Namun demikian keberadaan jamblang, khususnya di pulau Jawa semakin sulit ditemui. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi/pengetahuan masyarakat terhadap tanaman penghasil obat jenis jamblang (Syzygium cumini Linn) di Desa Linggajaya Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang. Data dikumpulkan pada bulan Juni-September 2015 melalui observasi dan wawancara terhadap 35 (tiga puluh lima) orang anggota kelompok tani. Data yang terkumpul ditabulasi dan dipaparkan secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki dengan usia >30 tahun dan berpendidikan SD/sederajat. Persepsi petani tentang tanaman penghasil obat jenis jamblang, pertama, jamblang dikenal dengan istilah “duwet” semenjak tahun 1970-an. Kedua, selama ini bagian dari tanaman jamblang/duwet yang dimanfaatkan adalah bagian buah dan kayunya; buah dimakan langsung, kayu dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Ketiga, 100% dari responden belum mengetahui manfaat herbal dan nilai ekonomi yang tinggi dalam tanaman jamblang sehingga tidak dibudidayakan, dan keempat, 92% dari responden menyatakan bersedia melakukan budidaya tanaman jamblang di lahan miliknya bilamana telah diketahui dan terbukti akan manfaat dan nilai ekonominya. Kata kunci: tumbuhan obat, jamblang, persepsi, Sumedang

I. PENDAHULUAN

Jamblang (Syzygium cumini Linn) merupakan tanaman yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan obat-obatan. Biji, kulit dan buahnya dapat digunakan sebagai obat diabetes miilitus dan komplikasinya (Heyne, 1987). Namun pada saat sekarang ini tanaman jamblang sudah sangat jarang sekali dimanfaatkan dan digunakan oleh masyarakat, bahkan ada kecenderungan tanaman ini mulai punah keberadaannya. Salah satu faktor terjadinya kelangkaan disebabkan karena kurangnya pembudidayaan serta kurangnya informasi tentang aspek ekonomi dan manfaat sebagai pengobatan alternatif (herbal) dari tanaman jamblang. Namun pada beberapa daerah masih ditemukan tanaman jamblang akan tetapi keberadaannya juga mengalami ancaman kepunahan, salah satunya adalah di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.

Untuk menjaga keberadaan jamblang dari kepunahan maka perlu dilakukan pengembangan jenis tersebut, salah satunya melalui transver teknologi mulai dari hulu sampai hilir. Selain itu juga perlu dilakukan penyuluhan tentang pengetahuan jamblang, supaya dapat diketahui tentang persepsi masyarakat mengenai tanaman jamlang. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka (Ismarani, 2013).

Pengembangan jamblang merupakan salah satu alternative lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Untuk itu diperlukan kajian tentang persepsi/pengetahuan masyarakat mengenai tanaman jamblang, sehingga dapat diketahui bagaimana seharusnya pengembangan budidaya tanaman obat jenis jamblang. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi/pengetahuan masyarakat terhadap tanaman penghasil obat jenis jamblang (Syzygium cumini Linn).

Page 202: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

202 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

II. METODOLOGI

Penelitian bersifat studi kasus yang berlokasi di Desa Linggajaya Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-September 2015 melalui observasi dan wawancara terhadap 35 (tiga puluh lima) orang anggota kelompok tani sebagai responde. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja dengan kriteria petani yang diperkiran mengetahui tentang tanaman jablang. Desa Linggajaya dipilih sebagai lokasi kajian karena merupakan daerah demplot penerapan agroforestry tanaman hutan penghasil obat jenis jamblang (Syzygium cumini Linn). Data dianalisis secara kualitatif-kuantitatif dan dipaparkan secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Masyarakat Petani Di Desa Linggajaya Karakteristik petani di Desa Linggajaya digambarkan melalui karakteristik responden (Tabel

1). Tabel 1 menunjukkan bahwa petani di Desa Linggajaya didominasi oleh responden laki-laki dengan usia berkisar 30-50 tahun (54% ) dan diatas 50 tahun (46%), berpendidikan SD/sederajat (57%), jumlah tanggungan keluarga antara 1-3 orang (80%).

Pengelolaan lahan oleh responden didukung oleh kepemilikan lahan milik dan lahan garapan yang terbilang variatif; mayoritas kurang dari 0,25 ha (51%). Namun yang memiliki lahan luas, lebih dari 1 ha juga terbilang cukup banyak (26%). Lahan yang mereka gunakan sebagai kebun kayu dominan berfungsi pula sebagai pekarangan, baik di depan, belakang, maupun samping rumah dengan jenis tanaman yang bervariasi pula.

Tabel 1. Karakteristik Responden

No. Uraian Jumlah %

1 Suku:

a. Sunda 35 100

b. Lainnya:………………….. 0 0

2 Jenis Kelamin:

a. Laki-laki 30 86

b. Perempuan 5 14

3 Usia:

a. < 30 tahun 0 0

b. 30 – 50 tahun 19 54

c. > 50 tahun 16 46

4 Tempat lahir:

a. Dalam Desa 22 63

b. Luar Desa/Kecamatan/Kabupaten/Provinsi 13 37

5 Jumlah tanggungan keluarga:

a. 1 – 3 orang 28 80

b. 4 – 6 orang 7 20

c. > 6 orang 0 0

6 Tingkat pendidikan:

a. SD/sederajat 20 57

b. SLTP/sederajat 8 23

c. SLTA/sederajat 5 14

d. Diploma 1 3

e. Sarjana 1 3

7 Pekerjaan utama:

a. Petani 20 57

Page 203: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 203

No. Uraian Jumlah %

b. Buruh tani 4 11

c. Non pertanian (tukang bangunan, pedagang, pns, pensiunan, tukang listrik)

11 32

8 Pekerjaan sampingan:

a. Petani 8 23

b. Buruh tani 5 14

c. Peternakan 7 20

d. Non pertanian (tukang kayu, peternak, tukang bangunan, pedagang, pns, pensiunan, ojek)

13 37

e. Tidak punya 2 6

9 Luas lahan garapan:

a. < 0.25 ha 18 51

b. 0.251 – 0.5 ha 5 14

c. 0.501 – 0.75 ha 2 6

d. 0.751 – 1 ha 1 3

e. > 1 ha 9 26

10 Kepemilikan lahan garapan:

a. Warisan 5 14

b. Beli 2 6

c. Bagi hasil 1 3

d. Pembagian dari desa (sewa) 1 3

e. a+b 11 31

f. b+c 1 3

g. a+d 4 11

h. a+b+d 8 23

i. b+c+d 2 6

Sumber: Data Primer 2015

Kepemilikan lahan mayoritas petani di Desa Linggajaya adalah warisan, beli dan pembagian dari desa (sewa). Masyarakat petani di Desa Linggajaya lebih intensif mengelola lahan basah dan ternak dibandingkan dengan lahan keringnya. Oleh karenanya, banyak dari lahan kering yang dimiliki responden dibiarkan saja tanpa ada pengelolaan yang intensif, sekalipun mereka memiliki lahan kering yang relatif lebih luas dari lahan basahnya. Secara umum lahan kering di Desa Linggajaya masih banyak yang terlantar baik lahan milik maupun lahan desa. Program dari Desa Linggajaya sendiri adalah berusaha menghijaukan kembali lahan kering di desa mereka.

B. Pengetahuan Responden Terhadap Tanaman Jamblang

Sejak tahun 1990-an tanaman jamblang mulai langka keberadaannya, hal ini disebabkan karena banyaknya penebangan tanpa ada upaya untuk menanam kembali. Berdasarkan keterangan dari 77,1% responden bahwa pohon jamblang banyak ditebang untuk memenuhi kebutuhan kayu bangunan dan kayu bakar. Selain itu hampir seluruh responden (100%) merasa bahwa tanaman jamblang tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat tidak berminat melakukan pembudidayaan tanaman jamblang. Dampaknya, pengetahuan tanaman jamblang pada generasi muda. (22,9% responden) tidak mengetahui tanaman jamblang (gambar 1 dan 2).

Kelangkaan tanaman jamblang turut mempengaruhi pengetahuan anggota keluarga petani yang berusia muda atau pendatang (suami/istri berasal dari luar daerah). Anggota keluarga responden yang mengetahui sebanyak 88,6%, itu pun tidak semua anggota keluarga hanya sebagain terutama yang berusia muda. Selebihnya, sebanyak 11,4% responden menyatakan bahwa anggota keluarganya tidak ada yang mengetahui sama sekali akan tanaman jamblang. Hal ini menunjukkan

Page 204: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

204 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

bahwa jumlah generasi muda di lokasi penelitian sangat sedikit sekali yang mengetahui tanaman jamblang, dan ini berdampak terhadap pengetahun petani tentang pemamanfaatnya (Tabel 2 dan 3). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Rasna (2010) bahwa pengetahuan remaja desa di 9 kecamatan Kabupaten Buleleng tentang manfaat tanaman / tumbuhan obat tradisional kurang, demikian halnya dengan pengetahuan tentang manfaat tanaman obat tradisional pada para remaja / kota di Kabupaten Buleleng dapat dikatakan kurang.

Gambar 1. Distribusi Pengetahuan Responden Terhadap Jamblang

Gambar 2. Distribusi Pengetahuan Keluarga Responden Terhadap Jamblang

C. Pengetahuan Pemanfaatan Tanaman Jamblang

Sebagian besar dari masyarakat khususnya yang berusia lanjut, mengetahui tanaman jamblang, yakni sekitar 80% responden menyatakan mereka mengetahui pemanfaatan tanaman jamblang, yakni bagian buah untuk dikonsumsi dan bagian kayunya sebagai kayu bakar. Sementara 20% responden tidak mengetahui pemanfaatan tanaman jamblang (tabel 2 dan 3). Lain halnya dengan hasil penelitian dari Diniyati et al (2013) tentang tanaman kapulaga sebagi salah satu tanaman herbal/obat, seluruh petani di Ciamis dan Tasikmalaya memiliki persepsi bahwa tanaman kapulaga ini memiliki manfaat mulai dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Tanaman jamblang atau bahasa latinnya Syzygium cumini Linn, lebih dikenal dengan nama “duwet” oleh masyarakat Desa Linggajaya. “Duwet” merupakan makanan cemilan bagi mereka pada tahun 1970an, warnanya ungu kemerahan dengan rasa yang cenderung asam sepat, namun ada manis menyegarkan sejalan dengan pendapat dari Kennert dan Winters (1960) dalam Swami et al (2012) buah jamblang bila dimakan terasa manis bercampur asam serta menyisakan warna biru pada lidah. Umumnya “duwet” dimakan dengan campuran garam + cabe rawit, atau di”cocol” dengan gula. Selain buah, kayu dari tanaman “duwet” dipakai sebagai kayu energy, karena jenis kayunya yang cepat terbakar dan memberikan api yang besar. Kayu dari tanaman “duwet” ini pun digunakan sebagai bahan bangunan, seperti: kusen, pintu, rangka fentilasi udara, dan meja-kursi. Seperti disampaikan oleh Palmolina dan Sudomo (2015) bahwa seluruh bagian dari tanaman jamblang bisa dimanfaatkan yaitu mulai dari daun, bunga, buah, biji, kulit dan kayu.

22.9% responden tidak mengetahui jamblang

77.1% responden mengetahui jamblang

< 1980

1980-1990

1991-2000

> 2000

34.4%

8.6% 2.9%

31.4%

88.6% responden yang menyatakan bahwa hanya sebagian saja dari anggota keluarganya yang mengetahui tanaman jamblang

11.4% responden yang menyatakan bahwa semua anggota keluarganya mengetahui tanaman jamblang

Page 205: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 205

Tabel 2. Pengetahuan Responden Tentang Pemanfaatan Tanaman Jamblang

BAGIAN TANAMAN PEMANFAATAN RESPONDEN (%)

Buah Untuk dimakan; dulu dijual; disukai monyet, kalong, careuh

45.7

Biji - 0

Daun - 0

Kayu Sebagai kayu bakar dan bahan bangunan 34.3

Akar - 0

Sumber: Data Primer 2015

Tabel. 3 Pengetahuan Responden Mengenai Pemasaran Tanaman jamblang

URAIAN PEMANFAATAN RESPONDEN (%)

Bagian Yang Dijual Batang/kayu dan buah 8.6

Tempat Jual Bandar 2.9

Harga Buah seharga Rp. 100,-/kg. (tahun 1800-an) Batang/kayu seharga Rp. 100.000,- hingga Rp. 300.000,-/batang dalam kondisi berdiri

5.7

Sumber: Data Primer 2015

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Persepsi masyarakat Desa Linggajaya terhadap tanaman jamblang sebatas sebagai salah satu tanaman hutan yang tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan tidak menguntungkan secara ekonomi. Oleh karena itu, masyarakat tidak tertarik untuk membudidayakannya hingga keberadaan tanaman jamblang di Desa Linggajaya menjadi langka. Kondisi ini berdampak terhadap pengetahuan generasi muda terhadap tanaman jamblang ini menjadi kurang. Dengan kondisi yang demikian maka tanaman jamblang di lokasi penelitian dapat digolongkan sebagai tanaman langka. B. Saran Perlu dilakukan sosialisasi mengenai manfaat tanaman jamblang, baik dari segi ekologi, maupun ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu wadah/lembaga di Desa Linggajaya yang baku untuk pengembangan hasil dari budidaya tanaman jamblang. Kegiatan sosialisasi ini dapat dilakukan oleh semua stakeholder terutama instansi terkait, yang berkepentingan terhadap keanekaragaman jenis tanaman kehutanan supaya jenis jamblang ini tidak punah.

DAFTAR PUSTAKA

Diniyati D, E. Fauziyah dan TS Widyaningsih. 2013. Persepsi petani tentang pengembangan kapulaga jenis sabrang (Elettaria cardamomum (L) Maton) di hutan rakyat pola agroforestry. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013, tanggal 21 Mei di Malang. Hlm 549 – 555. Kerjasama Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Masyarakat Agroforestri Indonesia. Ciamis.

Heyne, K. 1987. JiliD III. Tumbuhan Berguna Indonesia. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan

Indonesia. Koperasi Karayawan. Gedung Manggala Wanabakti Lantai I. Departemen Kehutanan.

Ismarani. 2013. Kajian Persepsi Konsumen Terhadap Penggunaan Obat Herbal (Kasus di Unisma

Bekasi). CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 4 No. 2 Juni 2013. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=261606&val=1236&title=KAJIAN%20P

Page 206: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

206 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

ERSEPSI%20KONSUMEN%20TERHADAP%20PENGGUNAAN%20OBAT%20HERBAL%28KASUS%20DI%20%20UNISMA%20BEKASI%29. Di akses pada tanggal 22 Pebruari 2016.

Palmolina M dan A. Sudomo. 2015. Pemanfaatan Hutan Dengan Konservasi Tanaman Penghasil Obat

Jenis Jamblang (Syzgium cumini Linn). Prosiding Seminar nasional Restorasi DAS, tanggal 25 Agustus di Surakarta. Hlm 412 – 421. Kerjasama Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah aliran Sungai, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret dan Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta

Rasna. 2010. Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten

Buleleng Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan : Sebuah Kajian Ekolinguistik. Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010. hlm. 321 – 332 321. http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/download/136/119. Di akses pada tanggal 22 Pebruari 2016.

Swami, S.B., et al. 2012. Jamun (Syzygium cumini (L.)): A Review of Its Food and Medicinal Use. Food

and Nutrion Sciences, 2012, 3,1100-1117. http://dx.doi.org/10.4236/fns.2012.38146 Published Online August 2012 (http://www.SciRP.org/journal/fns)

Page 207: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 207

PRODUKTIVITAS POLA AGROFORESTRY BERBASIS NYAMPLUNG (Calopyllum inophyllum L) DI PANTAI KETAWANG PURWOREJO

Encep Rachman

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Email: [email protected]

ABSTRAK

Demplot tanamann yamplung seluas 50 ha yang terletak di pantai Ketawang, Kutoarjo, Kabupaten Purworejo dibangun pada tahun 2009 dengan tujuan untuk mensuplay bahan baku biofuel berbasis tanaman nyamplung pada program Desa Mandiri Energy (DME). Terbentuknya pola tanam agroforestry nyamplung dengan tanaman semusim terjadi pada tahun kedua, dimana tanaman semusim yang diusahakan oleh masyarakat setempat bervariasi menurut blok dan petak tanaman nyamplung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi produktivitaas pola tanam agroforestry berbasis tanaman nyamplung pada program Desa Mandiri Energi (DME) di Pantai Ketawang Kutoarjo Kabupaten Purworejo. Metode pengumpulan data dilakukan melalui survey terhadap blok tanaman nyamplung di lokasi terbuka dan di bawah tegakan kelapa. Wawancara dilakukan dengan petani pemilik/penggarap tanaman semusim. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman nyamplung umur 4 tahun meliputi tinggi, diameter, lebar tajuk , dan jumlah buah, serta produksi tanaman semusim (jagung dan kacang tanah) pada pola tanam agroforestry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam agroforestry di lokasi terbuka menghasilkan pertumbuhan tanaman nyamplungdengan parameter rata-rata tinggi 3,75 m, diameter 7,43 cm, lebar tajuk 2,15 m dan jumlah buah rata-rata 42,32 buah, dimana hasil pertumbuhan ini lebih baik dibandingkan pada petak tanam di bawah tegakan kelapa. Demikian halnya produksi tanaman semusim jagung dan kacang tanah yang dihasilkan di petak tanam terbuka lebih tinggi dibandingkan pada petak tanam di bawah tegakan kelapa. Kata kunci: Nyamplung, agroforestry, tanaman semusim, biofuel. produktivitas,

I. PENDAHULUAN

Pembangunan hutan pantai sekarang ini bukan hanya ditujukan untuk rehabilitasi lahan, akan tetapi diharapkan dapat berkontribusi dalam mengatasi masalah penting dunia, yaitu krisis energi, krisis pangan dan pemanasan global. Dihubungkan dengan penyediaan energi, pembangunan hutan tanaman nyamplung memberikan manfaat ganda, selain dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar nabati juga akan berkontribusi positif terhadap aspek ekologi dan okupasi lahan, sistem pemanenannya tidak bersifat merusak dan tidak akan habis selama upaya budidaya terus dilakukan. Dilain pihak menurut Prihandana dan Hendroko (2008), Bahan Bakar Minyak (BBM) fosil, baik premium, solar, maupun minyak tanah merupakan bahan bakar yang bersifat tidak bisa diperbarui (un renewable).

Penyebaran habitat alami tanaman nyamplung di Indonesia umumnya di daerah pantai berpasir. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, yaitu sepanjang 81.000 km dengan luas 6,4 juta ha (Dahuri dkk, 1996; Bustomi et al., 2008). Melihat potensi kawasan pantai yang luas ini memberi peluang bagi pengembangan tanaman nyamplung sebagai penghasil bahan bakar nabati (BBN). Namun sampai saat ini wilayah pesisir belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Optimalisasi penyediaan bahan baku biofuel yang berasal dari tegakan nyamplung tidak dapat mengandalkan dari tegakan alam, sehingga diperlukan pengembangan tanaman nyamplung di sepanjang pantai.

Permasalahan yang dihadapi di dalam penanaman nyamplung di wilayah pesisir pantai adalah tanah yang memiliki tingat kesuburan rendah dan porositasnya tinggi sehingga tidak mampu menyimpan air dalam waktu lama. Kondisi lahan pantai yang ekstrim (tanah, cahaya, angin dan air

Page 208: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

208 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

laut), maka teknik penanaman nyamplung tidak bisa dilakukan seperti umumnya jenis tanaman lainnya.

Penerapan pola agroforestry untuk lahan pantai dianggap yang paling tepat untuk tujuan penanaman jenis-jenis pantai. Pemilihan jenis pencampur dan teknik silvikultur (manipulasi lingkungan) sangat penting untuk menjamin keberhasilan tanaman nyamplung dan tanaman pencampur (tanaman semusim). Dengan demikian abrasi air laut, keharaan tanah dan tiupan angin dapat diatasi melalui pola agrofotrestry tersebut. Arsyad (1989), menyampaikan bahwa pemanfaatan lahan dengan model agroforestry merupakan suatu alternatif pilihan yang dapat ditempuh dengan pemilihan jenis yang relatif dapat tumbuh dengan baik di suatu tempat pengembangan guna menunjang keberhasilan pemulihan lahan-lahan terdegradasi atau lahan kritis. de Forestaet al., (2000) menambahkan bahwa Agroforestry diharapkan berguna bagi daerah tropika, sebagai usaha mencegah perluasan tanah tandus dan kerusakan kesuburan tanah, dan mendorong pelestarian sumberdaya hutan. Agroforestryjuga diharapkan berguna bagi peningkatan mutu pertanian serta intensifikasi dan diversifikasi silvikultur.

Kawasan pantai Ketawang Kutoarjo Jawa Tengah memiliki hutantanaman nyamplung seluas 86,2 ha yang dikelola oleh KPH Kedu SelatanPerum Perhutani Unit I Jawa Tengah.Tegakan nyamplung ini telah ditanam sejak tahun 1950 dengan tujuan sebagai tanaman penahan angin (wind breaker). Dengan adanya program Desa mandiri Energi (DME) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berlokasi di Desa Patutrejo Kabupaten Purworejo, maka tanaman nyamplung ini dijadikan sebagai sumber bahan baku pabrik pengolahan biji nyamplung penghasil biodiesel.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku biji nyamplung secara mandiri pada program DME di daerah ini, maka sejak tahun 2009 dibangun perluasan 50 ha tanaman nyamplung pada 3 (tiga) blok kawasan pantai Ketawang dengan karakteristik lahan yang berbeda.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi produktivitaas pola tanam agroforestry berbasis tanaman nyamplung pada program Desa Mandiri Energi (DME) di Pantai Ketawang Kutoarjo Kabupaten Purworejo.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah : tanaman nyamlung dengan pola tanam

ahroforestry, tally sheet, sedangkan peralatan yang digunakan adalah, meteran, tambang plastik, kaliper dan GPS.

B. Waktu dan lokasi

Penelitian dilaksanaka bulan November 2013. Lokasi peelitian adalah kawasan pantai Ketawang, Desa Patutrejo, Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo.

C. Metode

Pengumpulan data dilakukan pada petak tanaman nyamplung di 2 (dua) lokasiyaitu Blok Gendog (tanaman dengan pohon kelapa yang telah ada) dan BlokJepet II (areal terbuka ke arah pantai).Ukuran petak contoh tanam nyamplung pada masing-masing blok dibuat sama (50 m x 50 m) dengan jenis tanaman semusim yang sama. Parameter yang diukur pada setiap petak pengamatan adalah tinggi, diameter, lebar tajuk dan jumlah buah nyamplung. Wawancara dengan pemilik/petani penggarap serta pengamatan lapangan dilakukan untuk mengukur produksi panen tanaman semusim per satuan luas.Dilakukan juga pengumpulan data skunder potensi tegakan nyamplung yang dikelola oleh KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan bantuan tabulasi.

Page 209: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 209

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potensi Hutan Tanaman Nyamplung di Pantai Ketawang Tegakan nyamplung di pantai Ketawang Purworejo merupakan hutan tanaman dibawah

pengelolaan KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Secara administratif, pantai Ketawang termasuk dalam pemerintahan desa Patutrejo, kecamatan Grabag, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Data potensi tegakandan buah Nyamplung di Purworejo tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi tegakan dan buah nyamplung pada 6 provenan/ras lahan di Jawa

No Provenan/ ras lahan

Luas (ha)

Kerapatan (pohon/ha)

Perkiraan Jumlah Pohon

Potensi buah (ton/tahun)

1. Banyuwangi (Jatim) 40 100 4.000 200

2. Gunung Kidul (DIY) 2 535 1070 53,5

3. Purworejo (Jateng) 86,2 125 10.814 500

4. Cilacap (Jateng) 17 34 550 27,5

5. Ciamis (Jabar) 8 12 85 4,25

6. Pandeglang (Banten) 12,5 10 125 6,25

Jumlah 165,7 791,5

Sumber : Leksono dkk (2009) Berdasarkan informasi dari petugas Perum Perhutani Hutan tanaman nyamplung di Pantai

Ketawang Purworejo telah ditanam sejak tahun 1950, 1977 dan tahun 1980 dengan tujuan sebagai tanaman penahan angin (wind breaker). Hasil pengamatan langsung di lapangan pada tegakan tersebut juga terdapat tanaman campuran seperti mahoni, akasia , kayu putih, jambu mete dan disekitar tegakan juga tumbuh pohon kelapa dan tanaman semusim (ketela pohon, jagung, kacang tanah, ubi jalar, dll.).

Leksono dkk (2009) melaporkan bahwa tegakan nyamplung di pantai Ketawang Purworejo dengan luas 86,2 ha, memiliki kerapatan 125 pohon/ha dengan perkiraan jumlah seluruhnya 10.8014 pohon. Tanaman tertua tahun 1950 bercampur dengan tahun 1977 memiliki tinggi tanaman rata-rata mencapai 17 m dengan diameter pohon rata-rata 44 cm Seangkan tegakan nyamplung yang ditanam tahun 1980 memiliki tinggi pohon rata-rata 8 mdan diameter rata-rata sebesar 13 cm atau berkisar antara 10–20 cm.

Tanaman nyamplung di Pantai Ketawang mulai berbuah pada umur 7 tahun dan seterusnya berbuah sepanjang tahun dengan musim buah raya terjadi pada bulan Agustus-September. Potensi buah dari seluruh pohon nyamplung mencapai 500 ton/tahun (Tabel 1). Produksi buah nyamplung telah dimanfaatkan sebagai sumber benih untuk persemaian di wilayah Kedu Selatan pada program penanaman 40 ha pada tahun 2010-2011. Bahkan sampai saat ini bijinya dimanfaatkan sebagai bahan baku pengolahan minyak nyamplung pada program Desa Mndiri Energi yang berlokasi di Desa Patutrejo Kabupaten Purworejo. B. Penanaman Nyamplung pada Program Desa Mandiri Energi di Pantai Ketawang

Munculnya program Desa Mandiri Energi (DME) merupakan respon dari permasalahan energi yang makin terbatas dan masalah lingkungan yang harus diselamatkan akibat kurang terjaganya fungsi pelestarian lingkungan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2010) menyampaikan tujuan dari program DME adalah untuk meningkatkan pasokan energy bagi masyarakat, menganekaragamkan sumber energy masyarakat, serta untuk meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi masyarakat desa, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan pada umumnya melalui penyediaan energy terbarukan yang terjangkau dan berkelanjutan tersebut. Kemudian Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (2008) menyampaikan target yang dicanangkat sampai tahun 2014 untuk program DME tersebut dapat mencapai 3.000 DME di seluruh Indonesia.

Page 210: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

210 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Pembangunan DME di Purworejo dikembangkan dengan konsep pemanfaatan energi setempat khususnya energi terbarukan untuk pemenuhan kebutuhan energi dan kegiatan yang bersifat produktif. Pemilihan jenis tanaman nyamplung sebagai penghasil sumber biofuel didasarkan atas durabilitas tanaman, kesesuaian lahan dengan tempat tumbuh, kemudahan dalam membudidayakannya serta fungsi yang dimiliki sebagai wind breaker. Beberapa bentuk kegiatan yang telah dilaksanakan pada program DME di Purworejo antara lain, pelatihan, pendampingan, pembibitan dan penanaman nyamplung, pembangunan pabrik pengolahan dan pendampingan.

Penanaman nyamplung dengan jarak tanam 5 m x 5 m di pantai Ketawang melalui program DME dilakukan pada tahun 2009 seluas 50 ha dengan jumlah 20.00 tanaman, meliputi 3 blok areal penanaman yaitu Blok gendog (penanaman dengan pohon kelapa yang telah ada), Blok Jepet I (areal terbuka +300 m dari pantai) dan Blok Jepet II (areal terbuka + 100 m dari bibir pantai).Pertumbuhan tanaman pada tahun kedua mengalami kegagalan, terutama pada Blok Jepet II persen tumbuh hanya mencapai 30%, bahkan pada tahun-tahun berikutnya hampir seluruh tanaman nyamplung di Blok ini mengalami kematian. Tanaman nyamplung pada Blok Gendog pertumbuhannya masih cukup baik dengan persen tumbuh 60% dan pada Blok Jepet II pertumbuhannya lebih baik yaitu mencapai 70%. (Bustomi, 2012). Tingginya kematian tanaman nyamplung di Blok Jepet I disebabkan karena lokasi penanaman ini merupakan tempat terbuka (tanpa shelter) yang berhadapan langsung dengan bibir pantai dengan kondisi lahan yang seluruhnya bepasir. Penyulaman yang telah dilakukan juga tidak menunjukan hasil yang diharapkan. Pengaruh lainnya terhadap kemampuan tumbuh tanaman nyamplung adalah pola tanam yang diterapkan pada setiap Blok penanaman. Pola tanam agroforestry nyamplung dengan tanaman semusim yang diterapkan pada Blok Gendog dan Blok Jepet II menunjang keberhasilan pertumbuhan tanaman nyamplung.

C. Produktivitas Agroforestry Berbasis Nyamplung 1. Pertumbuhan Tanaman Nyamplung

Penilaian yang mudah untuk mengukur produktivitas dan kualitas tegakan adalah dengan melihat penampilan pertumbuhan pohon (tinggi dan diameter). Pertumbuhan tinggi dan diameter sangat dipengaruhi oleh kesuburan tanah, iklim, sumber bibit, pola tanam dan teknik budidaya yang diterapkan. Penerapan pola tanam agroforestry pada tanaman nyamplung di Blok Gendog dan blok Jepet II dilakukan pada tahun kedua setelah penanaman nyamplung. Sedangkan pengukuran pertumbuhannya dilakukan setelah tanaman berumur 4 tahun. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman nyamplung pada 2 lokasi penanaman dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pertumbuhan rata-rata tanaman nyamplung umur 4 tahun pada 2 lokasi penanaman di

Pantai Ketawang Purworejo

Lokasi Tinggi

(m) Diameter

(cm) lebar tajuk

(m) jumlah buah

Blok Gendog 2,8773 6,3533 1,8201 16,4866

Blok Jepet II 3,7535 7,4251 2,1572 43,3211

Tabel 1 menunjukan bahwa pertumbuhan tanaman nyamplng di lokasi blok Jepet II lebih

baik dibandingkan dengan blok gendog, baik untuk pertumbuhan tinggi, diameter, lebar tajuk maupun jumlah buah yang dihasilkan. Secara umum perbedaan ini diduga karena faktor tempat tumbuh dan tindakan pemeliharaan yang dilakukan. Dalam bentuk grafik perbedaan pertumbuhan tanaman nyamplung pada kedua lokasi penanaman dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Page 211: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 211

Gambar 2 meunjukan bahwa kondisi tempat tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman nyamplung sampai umur 4 tahun. Pola tanam agroforestry nyamplung dan tanaman semusim (jagung) pada blok Jepet IIdengan kondisi tempat tumbuh terbuka menghasilkan tinggi rata-rata 3,75 m lebih baik dibandingkan blok Gendog dengan pola tanam kelapa +nyamplung +jagung, dimana tinggi rata-rata yang dihasilkan adalah 2,87 m. Demikian halnya untuk pertumbuhan rata-rata diameter, pada blok Jepet II lebih baik ( 7,42 cm) dibandingkan blok Gendog (6,33 cm).

Pertumbuhan rata-rata lebar tajuk (Gambar 2) yang dihasilkan blok Jepet II (2,15 m) lebih baik dibandingkan blok Gendog (1,82). Demikian halnya dengan jumlah buah yang dihasilkan blok Jepet II (43,32 buah) lebih banyak dibandingkan blok gendog (16,48 buah).Pertumbuhan tanaman nyamplung di Blok Jepet yang lebih baik dibandingkan dengan blok Gendog dikarenakan pada areal tanaman ini pemberian pupuk organik lebih intensif. Menurut Djajadi dkk, (2002), pupuk organik sebagai bahan organik lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan penyerapan N dan P, semakin banyak dosis pupuk organik serapan N dan P juga semakin meningkat.

Gambar 1. Pertumbuhanrata-rata tinggi dan diameter agroforestry nyamplung umur 4 tahun pada dua lokasi penanaman di pantai Ketawang Purworejo

Gambar 2. Pertumbuhan rata-rata lebar tajuk dan jumlah buah agroforestry nyamplung umur 4 tahun pada dua lokasi penanaman di pantai Ketawang Purworejo

0

1

2

3

42,8773

3,7535

Tin

ggi (

m)

Gendog Jepet II

tinggi

5,5

6

6,5

7

7,5

6,3533

7,4251

Dia

me

ter

(cm

)

Gendog Jepet II

diameter

0

20

40

60

16,486

43,321

Gendog Jepet II

jumlah buah

1,6

1,8

2

2,2

1,8201

2,1572

Leb

ar t

aju

k (m

)

Gendog Jepet II

lebar tajuk

Page 212: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

212 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Lokasi blok Gendog sejak awal merupakan areal tanaman kelapa dengan jarak tanam 6 m x 6 m. Kerapatan tegakan kelapa ini tidak memberi ruang dan cahaya yang cukup untuk proses pertumbuhan tanaman nyamplung. Kondisi areal tanaman yang ditumbuhi rumput/ gulma yang melitit tanaman nyamplung menunjukan kurangnya tindakan pembersihan atau penanggulangan sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Tanaman nyamplung pada umumnya mulai berbuah pada umur 7 tahun, akan tetapi di pantai Ketawang dengan pola tanam agroforestry pada umur 4 tahun sudah mulai berbuah, meskipun produksi buah per pohon masih tergolong kecil berkisar antara 25 – 105 buah atau 1-5 kg / pohon. Pembuahan yang terjadi pada umur muda (4 tahun) menunjukan tingginya produktivitas pola tanam agroforestry nyamplung dengan tanaman semusim 2. Produksi Tanaman Semusim

Tanaman semusim sebagai tanaman agrodorestry berbasis nyamplung yang ditanam pada tahun 2013 (umur tanaman nyamplung 4 tahun) adalah kacang tanah dan jagung. Informasi yang diperoleh dari petani penggarap, dalam satu tahun dilakukan dua kali penanam, dimana penanaman kacang tanah dilakukan pada musim tanam pertama dana jagung pada musim tanam kedua. Polatanam agroforestry nyamplung + kacang tanah pada luasan 50 m x 50 m (0,25 ha) menghasilkan kacang tanah 400 kg (berat basah kacang tanah berkulit) di blok Jepet IIdan 350 kg di blok gendog. Sedangkan tanaman jagung yang dihasilkan masing-masing 700 kg untuk blok Jepet II dan 600 kg untuk blok Gendog. Hasil penelitian Rachman, dkk ( 2012), melaporkan bahwa pola tanam agroforestry nyamplung + kacang tanah pada unit penelitian seluas 12 m x 42 m = ±504 m2 di pantai pangandaran menghasilkan kacang tanah sampai 70 kg (berat basah kacang tanah berkulit), sedangkan untuk jagung menghasilkan 300 kg tanpa bongkol.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Wilayah pantai Ketawang Purworejo memiliki hutan tanaman nyamplung yang berpotensi sebagai penghasil sumber biofuel. Peningkatan produktivitas lahan pantai dapat dilakukan dengan penerapan pola tanam agroforestry Nyamplung dan tanaman semusim (kacang tanah dan jagung). B. Saran

Untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman nyamplung perlu dilakukan kegiatan pemeliharaan yang lebih intensif seperti pembersihan gulma, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2010. Konsep Dasar Progam DME (Desa Mandiri Energi). Kementerian Koordinator

Perekonomian Republik Indonesia. Jakarta. Arsyad, 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press Bogor. de Forestra, H. A. Kusworo, G. Michon dan WA Djatniko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan:

Agroforest Khas Indonesia, Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF. Bogor. ESDM. 2008. Rencana strategis 2009-2014 Program Desa Mandiri Energi. Direktorat Jenderal Listrik

dan Pemanfaatan Energi. Jakarta. Bustoni, S., T. Rostiwati, R. Sudrajat, A.S. Kosasih, I. Anggraeni, D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, D.

Djaenudin, Mahfudz dan E. Rachman. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophullum L.) Sumber Energi Biofuel Yang Potensial. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Page 213: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 213

Dahuri, Rokhim; Jacub Rais; Sapta Putra Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. pengelolaan sumberdaya wiayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya paramita. Jakarta.

Leksono. B. 2009. Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L)

Sebagai Bahan Baku Biofuel. Laporan Penelitian Tahun 2009 .Program Insentif Riset Terapan (Tidak dipublikasikan).

Prihandana. R dan Hendroko, R. 2008. Energi Hijau. Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi.

Jakarta. Rachman, E. A. Sudomo, Suhaendah, E dan Rusdi. 2012. Penelitian Agroforestry Lahan Pantai

Berbasis Nyamplung. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. tahun anggaran 2012. (Tidak diterbitkan).

Djajadi, M. Sholeh. dan N. Sudibyo (2002) Pengaruh Pupuk Organik dan Anorganik ZA dan SP 36

Trhadap Hasil dan Mutu Tembakau Temanggung Pada Tanah Andisol. Jurnal Littri Vol 8 No 1, Maret 2002. Bali Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat.

Page 214: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

214 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PENYAKIT KARAT TUMOR PADA AGROFORESTRY SENGON

Aji Winara1 dan Endah Suhaendah1

1Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Email: [email protected]

ABSTRAK

Sengon merupakan tanaman kayu pertukangan yang menjadi primadona bagi petani hutan rakyat. Perkembangan komoditas sengon pada hutan rakyat saat ini, tidak terlepas dari berbagai masalah yang dihadapi, salah satunya adalah serangan penyakit karat tumor. Penyakit ini sangat merugikan karena dapat menurunkan produksi dan kualitas kayu sengon yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui luas dan intensitas serangan karat tumor pada dua pola agroforestry. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya. Hasil pengamatan menunjukkan, luas serangan penyakit pada pola sengon dan teh tergolong biasa (33,66%) sedangkan pada pola sengon dan kapulaga tergolong luas serangan sangat umum (61,66%). Intensitas serangan karat tumor pada sengon dengan pola agroforestry teh tergolong ringan (21,38%), sedangkan sengon pada pola agroforestry dengan kapulaga intensitas serangannya tergolong sedang (29,16%). Kata kunci : karat, penyakit, sengon, serangan, tumor

I. PENDAHULUAN

Falcataria moluccana (Miq.) Barneby and Grimes, dikenal sebagai sengon, merupakan salah satu pelopor jenis pohon serbaguna di Indonesia. Sengon dipilih menjadi salah satu jenis untuk hutan tanaman industri di Indonesia karena pertumbuhannya yang cepat serta kemampuan untuk tumbuh pada berbagai tipe tanah. Selain itu, sengon juga memainkan peran penting dalam sistem pertanian komersial dan tradisional di beberapa tempat di Indonesia (Krisnawati et.al., 2011).

Penanaman sengon banyak dilakukan dengan pola monokultur. Pola monokultur menimbulkan berbagai permasalahan yang serius, salah satunya adalah penyakit karat tumor (gall rust) (Anggraeni, 2008). Penyebab penyakit karat tumor pada sengon adalah jenis fungi Uromycladium tepperianum. Jenis fungi ini masuk dalam divisio Basidiomycota, kelas Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pileolariaceae (Rahayu et. al., 2010). Fungi ini umumnya dianggap sebagai parasit obligat (hanya dapat tumbuh dan berkembang biak pada jaringan hidup) (Anggraeni 2008). Fungi ini menghasilkan tiga teliospora longitudinal bergerigi pada setiap kepala, dengan spora berukuran 13-20 m dan lebar 17-28 m panjang. Fungi termasuk mikrosiklik sehingga fungi menyelesaikan seluruh siklus hidup pada F. Moluccana (Rahayu et. al., 2010). Penyakit ini telah ada sejak tahun 1990-1n di Asia Tenggara dan tersebar di Indonesia sejak 2003, khususnya di Pulau Jawa (Rahayu, 2014).

Serangan penyakit karat tumor sudah mencapai tingkat epidemik. Pada tanaman muda menyebabkann kematian dan pada tanaman siap panen menyebabkan penurunan kualitas kayu (Anggraeni dan Lelana, 2011). Terjadinya epidemi penyakit ini, disebabkan oleh kombinasi dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu tumbuhan inang yang rentan, patogen yang infektif dan kondisi lingkungan yang menguntungkan (Agrios, 1996). Selain itu manusia dapat mempengaruhi inang, patogen dan lingkungan, manusia berperan dalam menentukan perkembangan dan pengendalian suatu penyakit (Anggraeni dan Lelana, 2011). Menurut Rahayu (2014) faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan penyakit ini adalah intensitas kabut, kelembaban relatif dan kecepatan angin. Benih yang berasal dari sumber yang tidak jelas terlebih yang telah menunjukkan gejala karat tumor di lapangan, cenderung memiliki respon yang buruk terhadap penyakit ini.

Page 215: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 215

Menurut Anggraeni dan Lelana (2011), salah satu cara pengendalian karat tumor adalah pengendalian berbasis ekologi, yaitu melalui pemilihan varietas-varietas yang resisten atau toleran, pemusnahan inang atau bagian-bagian inang dengan sanitasi, serta cara bertanam yang tepat (tindakan silvikultur). Salah satu tindakan silvikultur yang dapat dilakukan adalah penanaman secara campuran. Pada penelitian ini, kajian dilakukan terhadap intensitas serangan karat tumor sengon pada beberapa pola campuran. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui luas dan intensitas serangan karat tumor sengon pada dua pola agroforestry sengon.

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 di Desa Cukangkawung, Kecamatan

Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, dengan ketinggian > 800 m dpl.

B. Prosedur Penelitian dan Pengumpulan Data Penelitian dilakukan pada dua pola tanam agroforestry sengon yaitu sengon dengan

tanaman bawah teh dan sengon dengan tanaman bawah kapulaga. Pengamatan dilakukan pada setiap pola agroforestry dengan ukuran plot 20 m x 20 m. Plot pengamatan diulang sebanyak 5 kali sehingga total plot pengamatan adalah 10 plot. Parameter yang diamati adalah luas serangan dan intensitas serangan. Luas serangan penyakit karat tumor dihitung dengan menggunakan rumus:

L = Tanaman yang terserang x 100%

Jumlah seluruh tanaman Intensitas serangan karat tumor dihitung dengan rumus:

Dimana: I = Intensitas serangan n = jumlah tanaman yang diamati dari setiap kategori serangan yang sama v = nilai skala dari setiap kategori serangan Z= nilai skala dari kategori serangan yang tertinggi N = jumlah tanaman yang diamati

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Luas dan Intensitas Serangan

Hasil pengamatan kejadian penyakit karat tumor pada tegakan sengon dengan dua pola tanam agroforestry menunjukkan adanya serangan penyakit dengan luas serangan tergolong biasa (33,66 %) untuk pola sengon dan teh, sedangkan pada pola sengon dan kapulaga tergolong luas serangan sangat umum (61,66%) sebagaimana Gambar 1. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian penyakit karat tumor pada sengon dengan pola agroforestry sengon dan kapulaga lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan pada pola agroforestry sengon dan teh.

Page 216: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

216 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 1. Luas (LS) dan intensitas serangan (IS) penyakit karat tumor pada tegakan sengon dalam beberapa pola agroforestry di Tasikmalaya.

Sementara itu berdasarkan intensitas serangan atau keparahan penyakit karat tumor, sengon dengan pola agroforestry teh mengalami serangan dengan keparahan tergolong ringan (21,38%), sedangkan sengon pada pola agroforestry dengan kapulaga mengalami serangan penyakit dengan keparahan tergolong sedang (29,16%) meskipun secara statistik tidak berbeda (Gambar1). Apabila mengacu pada intensitas pemeliharaan tanaman bawah pada kedua pola agroforestry, tanaman teh tergolong tanaman yang cukup intensif dipelihara oleh masyarakat terutama melalui kegiatan pemupukan dibandingkan dengan kapulaga karena nilai jual teh bagi masyarakat Desa Cukangkawung lebih ekonomis dibandingkan kapulaga. Pemupukan yang dilakukan terhadap tanaman teh secara tidak langsung berpengaruh pula terhadap tegakan sengon yang terdapat di sampingnya, sehingga sengon yang lebih banyak mendapatkan pemupukan dapat lebih sehat dan lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit.

Lebih rendahnya luas dan intensitas serangan karat tumor pada agroforestry sengon dengan teh karena tanaman teh memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan tinggi tanaman kapulaga. Hal ini menyebabkan intensitas cahaya yang masuk pada agroforestry sengon dengan teh lebih tinggi. Rahayu (2014) menyatakan bahwa adanya radiasi sinar ultraviolet mampu menekan kemampuan teliospora untuk berkecambah membentuk basidiospora sehingga penyakit karat tumor cenderung lebih lambat berkembang.

Gambar 2. Jumlah individu sengon yang terserang karat tumor berdasarkan tingkat pertumbuhan

pada dua pola agroforestry sengon.

Secara umum menunjukkan bahwa pola tanam agroforestry sengon tidak dapat melindungi sengon dari serangan karat tumor namun dapat menekan intensitas serangannya. Hal ini senada dengan hasil penelitian Lestari (2012) yang menunjukkan bahwa serangan karat tumor terjadi pada

33.66 b

61.16 a

21.38 a

29.16 a

0

10

20

30

40

50

60

70

Sengon+tehh Sengon+Kapulaga

LS

IS

1,69 1,37

61,02

50,68

35,59

47,95

1,69 0,00 0

10

20

30

40

50

60

70

Sengon+Tehh Sengon+Kapulaga

Jum

lah I

ndiv

idu (

%)

semai

pancang

tiang

pohon

Page 217: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 217

semua pola agroforestry yang diamati dengan perkembangan penyakit yang bervariasi antar pola. Namun demikian, pola agroforestry tetap lebih baik dalam menekan penyakit karat tumor seperti hasil penelitian Syakirin (2014) yang menyatakan bahwa luas dan intensitas serangan penyakit karat tumor pada sengon pola agroforestry lebih rendah dibandingkan pada sengon monokultur.

Tingkat patogenesitas karat tumor pada sengon dengan berbagai tingkat pertumbuhan secara umum menunjukkan bahwa karat tumor dapat menyerang sengon pada semua kelas umur mulai tingkat pertumbuhan semai hingga pohon meskipun sebagian besar yang terserang adalah tegakan pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Rahayu (2014) bahwa fungi U. Tepperianum hanya mampu menginfeksi jaringan-jaringan tanaman yang masih muda, terutama pada jaringan meristematik sehingga kemungkinan terjadinya infeksi baru pada tanaman dewasa sangat kecil. Gejala yang tampak pada tanaman dewasa merupakan infeksi yang telah terjadi pada saat tanaman masih muda.

IV. KESIMPULAN

Luas serangan penyakit pada pola sengon dan teh tergolong biasa (33,66 %) sedangkan pada

pola sengon dan kapulaga tergolong luas serangan sangat umum (61,66%). Intensitas serangan karat tumor pada sengon dengan pola agroforestry teh tergolong ringan (21,38%), sedangkan sengon pada pola agroforestry dengan kapulaga intensitas serangannya tergolong sedang (29,16%).

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi Ketiga. Gajahmada University Press. Yogyakarta. Anggraeni I. 2008. Pengendalian penyakit karat tumor (Gall rust) pada sengon (Paraserianthes

falcataria) di RPH Pandantoyo, BKPH Pare, KPH Kediri dalam: Makalah Workshop Penanggulangan Serangan karat Tumor pada Tanaman Sengon, 19 Nop 2008; Yogyakarta. Bogor (ID): Puslitbang Hutan Tanaman.

Anggraeni, I. Dan Lelana, N.E. 2011. Penyakit Karat Tumor pada Sengon. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., Kanninen, M. 2011. Paraserianthe falcataria (L.) Nielsen. Ecology,

Silviculture and Productivity. Center for International Forestry Research. Bogor. Lestari, P. 2012. Dinamika Penyakit Karat Tumor pada Sengon (Falcataria moluccana) di berbagai

Pola Agroforestri dengan Beberapa Level Pemupukan NPK. Skripsi. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

Rahayu, S. 2014. Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia: Penyakit Karat Tumor

pada Tanaman Sengon (Falcataria moluccana). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Rahayu, S., Lee, S.S., Nor Aini, A.S., Ghizan, Saleh. 2010. Uromycladium tepperianum, the gall rust

fungus from Falcataria moluccana (Miq.) Barneby and J.W. Grimes in Malaysia and Indonesia. Journal of Micoscience. 51:149-153.

Syakirin, A. M., 2014. Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon

(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor. Skripsi. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Page 218: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

218 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PENGARUH PROVENAN TERHADAP KETAHANAN KARAT TUMOR PADA SENGON UMUR 2,5 TAHUN

Levina Augusta G.Pieter1, Asep Rohandi1, dan Gunawan1

1Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis

ABSTRAK Sengon (Falcataria moluccana) yang masuk kedalam famili Mimosae termasuk dalam fast growing species dapat dipanen dalam waktu yang cukup singkat dibandingkan tanaman kayu lainnya yaitu sekitar umur 8 tahun. Pada saat ini, penyakit yang banyak menyerang sengon adalah karat tumor yang disebabkan oleh jamur Uromycladium falcatarium sp. nov. dan sudah menjadi epidemi di Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan kerugian yang besar di kalangan petani. Respon tanaman terhadap penyakit dipengaruhi oleh karakteristik genetik dari tanaman tersebut dan faktor lingkungan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui provenan mana yang cenderung tahan terhadap serangan karat tumor. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Acak berblok dengan jumlah 4 blok. Pengolahan data statistik dilakukan dengan menggunakan program SAS. Pada akhir penelitian hasil identifikasi menunjukkan bahwa luas serangan berkisar antara 0-33,33%, sedangkan intensitas serangan antara 0-17,25%. Provenan dengan tingkat serangan tertinggi terdapat pada provenan Wadapi, Menawi. Sementara itu, beberapa provenan yang tidak terinfeksi oleh jamur karat tumor adalah Waga – Waga Kuluru dan Holima.

Kata kunci : Karat tumor, Provenan, Sengon

I. PENDAHULUAN

Sengon (Falcataria Moluccana) yang termasuk dalam family Mimosae merupakan tanaman yang banyak digunakan dalam hutan rakyat. Tanaman ini merupakan tanaman asli dari Indonesia, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Australia (Soerianegara dan Lemmens 1993). Sengon merupakan tanaman fast growing spesies dan disebut juga miracle tree yang banyak ditanam pada hutan rakyat di pulau Jawa (Anggraeni dkk 2010, Krisnawati et al 2011). Sifat kayunya yang masuk kayu ringan, dengan berat jenis 0,33-0,49; kelas awet IV/V dan kelas kuat IV-V dengan kayu terasnya berwarna putih sampai coklat muda pucat atau kuning muda sampai coklat kemerahan banyak digunakan dalam kayu pertukangan (Syahri 1991 dalam Pieter dkk 2013, Soerianegara dan Lemmens 1993).

Pada tahun 1990-1995 mulai dilaporkan terjadinya serangan penyakit karat tumor pada tanaman sengon di daerah di Filipina (Braza 1997 dalam Doungsa-ard 2015), kemudian di Pulau Seram, Maluku pada tahun 1996 (Aggraeni dan Santoso 2003 dalam Anggraeni dkk 2010) yang kemudian dilaporkan terjadi di Ermera, Timor-Timur pada tahun 2001 (Old and Kristovao 2003) pada tahun 2006 menjadi epidemic di Jawa Timur dan diperkirakan akan terus menyebar (Rahayu 2010). Karat tumor disebabkan oleh jamur Uromycladium falcatarianum sp. nov. (Doungsa-ard et al 2015) yang sebelumnya disebutkan bahwa disebabkan oleh U. tepperianum (Old and Kristovao 2003; Rahayu 2007; Rahayu 2010; Rahayu et al 2010; Anggraeni dkk 2010). Perbedaan morfologinya terletak pada jumlah striae pada teliosporanya (Doungsa-ard et al 2015). Penyakit ini cepat menyebar karena penyebaran spora yang tertiup angin (Rahayu, 2010). Penyakit ini merupakan penyakit yang paling mengancam pada tanaman sengon karena dapat menyerang dari semai hingga tnaman dewasa dengan menghambat pertumbuhan, hingga mematikan tanaman dan merusak kualitas kayu (Rahayu, 2010).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh BBPBPTH Yogyakarta menemukan bahwa ada satu provenan sengon yang toleran terhadap karat tumor yaitu dari provenan Papua. Dari hasil tersebut maka diadakanlah kerjasama dengan BPTA Ciamis untuk eksplorasi benih sengon di Papua pda tahun 2010, yang kemudian digunakan sebagai bahan untuk penelitian ini. Tujuan dari

Page 219: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 219

penelitian ini adalah mengetahui pengaruh provenan sengon terhadap pertumbuhan dan ketahanan terhadap serangan karat tumor sampai dengan umur 2,5 tahun.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2011 sampai Juli 2013 pada plot uji resistensi yang berada di desa Sandingtaman, kecamatan Panjalu, kabupaten Ciamis.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman sengon pada uji provenan yang berasal dari 12 populasi asal Papua sebagai uji resistensi tingkat lapang (Tabel 1). Benih tanaman merupakan hasil kerjasama eksplorasi dengan BBPBPTH Yogyakarta tahun 2010. Alat yang digunakan meliputi alat tulis, alat ukur, termohigrometer, selang, kawat, staples, pita meter, benang, cangkul, tali/tambang plastik, karet gelang, alat siram, pisau kecil, golok dan lain-lain.

Tabel 1. Provenan tanaman sengon yang diuji

No. Provenan

1. Hobikosi

2. Waga-Waga, Kuluru

3. Holima

4. Elagaima, Hobikosi

5. Pyramid, Muai

6. Mualiama Bawah

7. Wadapi Menawi

8. Nifasi

9. Worbag

10. Maidi

11. Meagama

12. Siba, Kuluru

C. Metode

Evaluasi pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui variasi pertumbuhan tanaman sengon yang berasal dari 12 populasi dari Papua. Karakter yang diukur: persentase hidup, tinggi total dan diameter batang. Pengukuran tinggi dan diameter tanaman dilakukan sampai tanaman berumur 2,5 tahun. Rancangan yang digunakan adalah acak lengkap berblok (RCBD) dengan 4 blok yang terdiri dari 12 provenan Papua, dengan jumlah treeplot sebanyak 25 per provenan dan jarak tanam 2 x 3m. Tanaman ditanam di lapangan pada daerah endemik serangan karat tumor. Intensitas serangan (IS) dan luas serangan (LS) diukur menggunakan rumus yang dimodifikasi dari Chester’s (1959) sebagai berikut : LS = (n/N) x 100% IS = ((n0 x z0) + (n1 x z1) + ....+ (n5 x z5))/(N x Z) x1 00% Dimana :

N = Jumlah pohon yang terinfeksi n0, n1,n2,n3,nx = Jumlah pohon dengan indek skor 1,2,3,...x z0,z1,z2,z3,zx = Jumlah skore penyakit karat tumor dengan indek skor

1,2,3,....,x N = Jumlah total pohon dalam 1 plot Z = Skor tertinggi

Page 220: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

220 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Penentuan skor selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Penentuan skore penyakit karat tumor pada tanaman muda

Skor Keterangan Gejala

0 Tanaman sehat tidak ada gejala

1 Ada gejala, infeksi terlihat pada pucuk saja

2 Ada gejala, infeksi terlihat pada pucuk dan cabang

3 Terdapat gall pada cabang

4 Terdapat gall pada pucuk dan atau batang

5 Tanaman mati karena penyakit karat tumor

Sumber : Rahayu, 2010

Tingkat serangan pada plot uji masing-masing lokasi berdasarkan pada intensitas serangan dan luas serangan yang diklasifikasikan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Level tingkat keparahan berdasarkan intensitas serangan (IS) dan luas serangan (LS)

Nilai Luas Serangan

Luas Serangan

Nilai Intensitas Serangan

Tingkat Keparahan

<10% Jarang 0% Tidak ada

10 - <25% Kadang-kadang <25% Rendah

25 - <50% Biasa 25 - <50% Sedang

50 - <75% Luas 50 - <75% Parah

>75% Sangat Luas 75 – 100% Sangat parah

Sumber : Rahayu, 2010

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Provenan Terhadap Pertumbuhan Tanaman Tinggi, diameter dan persen tumbuh tanaman merupakan parameter pertumbuhan yang

paling terlihat pada tanaman. Berikut ini merupakan hasil analisis ragam pengaruh provenan terhadap pertumbuhan sengon penelitian (Tabel 4).

Tabel 4. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh provenan terhadap pertumbuhan sengon sampai

umur 2,5 tahun pada plot uji resistensi di Panjalu, Ciamis

No Karakter Kuadrat Tengah Pr>F

1 Persentase Hidup 1,92ns 0,0619

2 Tinggi 2,09* 0,0408

3 Diameter 2,70** 0,0095

Keterangan : ** : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99% * : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% ns : Tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%

Dari hasil di atas provenan berpengaruh secara nyata dengan selang kepercayaan 99% hanya

terhadap parameter diameter dan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter persen tumbuh tanaman. Pertumbuhan tertinggi untuk tinggi dan diameter terdapat pada provenan Maidi dengan rata rata diameter sebesar 49,28 cm dan tinggi sebesar 3,88m (Tabel 5). Untuk persen hidup tanaman tertinggi didapat dari Provenan Nifasi, yaitu 96% hidup. Kematian tanaman pada plot selain diakibatkan oleh karat tumor, lebih banyak disebabkan oleh hama seperti uter dan ulat kantong. Hal yang berbeda terjadi pada penelitian Rohandi dan Widyani 2010 bahwa pada mahoni berumur 4,5

Page 221: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 221

bulan, provenan lebih bepengaruh pada parameter tinggi tanaman dan tidak berpengaruh nyata terhadap diameter.

Tabel 5. Pertumbuhan 12 provenan sengon asal Papua sampai umur 2,5 tahun pada plot uji resistensi di Panjalu, Ciamis

No. Provenan Pertumbuhan

Tinggi (m) Diameter (cm) Persen hidup

1 Hobikosi 2,12ab 23,12bc 92ab

2 Waga-waga, Kuluru 2,32ab 23,91bc 87abc

3 Holima 2,90ab 27,62abc 89abc

4 Elaigama, Hobikosi 2,21ab 23,14bc 69c

5 Pyramid, Muai 2,00ab 19,12c 72bc

6 Mualiama bawah 3,00ab 32,06abc 88abc

7 Wadapi Menawi 3,52ab 42,31ab 72bc

8 Nifasi 3,02ab 39,53abc 96a

9 Worbag 3,43ab 43,59ab 84abc

10 Maidi 3,88a 49,28a 79abc

11 Meagama 1,69b 19,08c 79abc

12 Siba, Kuluru 2,61ab 25,53bc 83abc

B. Pengaruh Provenan Terhadap Ketahanan Karat Tumor

Dari hasil analisis ragam (Tabel 6), dapat dilihat bahwa provenan mempengaruhi secara nyata ketahanan tanaman terhadap karat tumor. Menurut Zobel dan Talbert 1984 dalam Rohandi dan Widyani 2010, perbedaan diantara pohon disebabkan perbedaan lingkungan tempat pohon tumbuh, perbedaan genetic diantara pohon, dan interaksi antara genotip pohon dengan lingkungan tempat tumbuh, sehingga perbedaan geografi sangat mempengaruhi antar sumber benih. Tabel 6. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh provenan terhadap intensitas dan luas serangan karat tumor pada tanaman sengon umur 2,5 tahun

No. Parameter Kuadrat Tengah Pr>F

1 Intensitas Serangan 9,25** < 0.0001

2 Luas Serangan 10,54** < 0.0001

Dari table 7 di bawah ini, dapat terlihat bahwa hingga berumur 2,5 tahun, terdapat dua

provenan yang sama sekali tidak pernah terkena karat tumor, yaitu provenan Waga-Waga, Kuluru dan Holima. Untuk serangan tertinggi dialami provenan Wadapi Menawi dengan besarnya Intensitas Serangan 17,25% tergolong rendah dengan Luas serangan sebesar 33,34% dengan kategori Biasa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu, 2009 bahwa bibit sengon dari Provenan Wamena relative lebih tahan dibandingkan dari Walang Gintang, Morotai, Kediri, Timor Timur dan Sabah. Ketahanan ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi awal sumber benih dimana telah beradaptasi dengan kondisi yang berkabut, sehingga merubah morfologinya menjadi lebih tahan terhadap jamur karat tumor.

Page 222: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

222 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 7. Intensitas serangan (IS) dan luas serangan (LS) karat tumor terhadap 12 provenan sengon asal Papua pada umur 2,5 tahun

No. Provenan Intensitas Serangan (IS) Luas Serangan (LS)

% Kategori % Kategori

1 Hobikosi 0,15c Rendah 0,33c Jarang

2 Waga-Waga, Kuluru 0,0c Tidak ada 0,0c Tidak ada

3 Holima 0,0c Tidak ada 0,0c Tidak ada

4 Elaigama, Hobikosi 0,03c Rendah 0,08c Jarang

5 Pyramid, Muai 0,2c Rendah 0,5c Jarang

6 Mualiama Bawah 0,11c Rendah 0,28c Jarang

7 Wadapi Menawi 17,25a Rendah 33,34a Biasa

8 Nifasi 5,55b Rendah 11,0b Kadang-kadang

9 Worbag 6,63b Rendah 12,08b Kadang-kadang

10 Maidi 4,43bc Rendah 8,91bc Jarang

11 Meagama 0,22c Rendah 0,58c Jarang

12 Siba, Kuluru 0,2c Rendah 0,50c Jarang

Dari gambar 1 terlihat kenaikan yang tajam pada nilai intensitas serangan dan luas serangan

pada bulan ke 12 ke 14 dan intensitas kembali meningkat sedikit pada bulan 24 ke 26. Kejadian tersebut dimulai pada pertengahan musim hujan (Desember - Februari). Penurunan luas dan intensitas serangan terjadi pada bulan kering (musim kemarau). Pada musim penghujan kelembaban rata-rata di plot penelitian sebesar 72%. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa kelembaban yang relatif tinggi (RH ≥90%), kecepatan angin yang rendah dan lapisan air yang diam pada permukaan tanaman sekurang-kurangnya selama 2 jam, mampu meningkatkan serangan karat tumor (Rahayu 2010; Rahayu 2007).

Gambar 1. Grafik Serangan Karat Tumor Terhadap Umur Tanaman

IV. KESIMPULAN

1. Provenan bepengaruh secara nyata terhadap parameter diameter, dan tidak berpengaruh

terhadap persen hidup tanaman.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

4 8 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

%

Bulan ke-

Serangan vs Umur

LS

IS

Page 223: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 223

2. Provenan berpengaruh nyata terhadap ketahanan tanaman pada karat tumor.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni I., B. dendang, N.E. Lelana. 2010. Pengendalian Penyakit Karat Tumor (Uromycladium tepperianum (Sacc.) Mc. Alpin) Pada Sengon (Falcataria mollucana(Miq.) Barneby&J.W.grimes) di Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat.Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 7 No. 5 (Desember 2010): 273-278.

Doungsa-ard C, A. R. McTaggart, A.D.W. Geering, T. U. Dalisay. J. Ray, R.G. Shivas. 2015.

Uromycladium falcatarianum sp. nov., the cause of gall rust on Paraserianthes falcataria in South East Asia. Australasian Plant Pathology 44 :25-30.

Krisnawati, H., E. Varis, E. Kallio, M. Kanninen. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. ekologi,

silvikultur dan produktivitas. CIFOR. Bogor. Old, K.M. and C.D.S. Cristovao. 2003. A rust epidemic of the coffee shade tree (Paraserianthes

falcataria) in East Timor. ACIAR Proceedings No. 113, pg: 139-145. Pieter L.A.G., A Rohandi, Gunawan, Y. Nadiharto, dan B. Rahmawan. 2013. Populasi Pemuliaan Untuk

Kayu Pertukangan Daur Pendek: Pemuliaan Resistensi Karat Tumor Pada Sengon. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis. Tidak Dipublikasikan.

Rahayu, S. 2007. Gall Rust Disease of ‘Batai’ (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) in

Sabah, Malaysia. Abstract of PhD. Thesis. Universiti Putra Malaysia. Malaysia. Rahayu, S. 2010. Pelatihan Penyakit Karat Tumor pada Sengon dan Pengelolaannya. Yogayakarta:

Fakultas Kehutanan UGM. Rahayu, S., N.A.B. Sukhor, L.S.See, and G. Shaleh. 2009. Responses of Falcataria moluccana seedlings

of Different Seed Sources Innoculation With Uromycladium tepperianum. Journal in Silvae Genetica 58, Issue 1-2 (2009) : 62-68.

Rohandi, A, N. Widyani. 2010. Pertumbuhan Tiga Provenans Mahoni Asal Kostarika. Tekno Hutan

Tanaman. Vol 3 No.1 (April 2010) : 7-11. Soerianegara, I. dan Lemmens, R.H.M.J. 1993 Plant resources of South-East Asia 5(1): Timber trees:

major commercial timbers. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen, Belanda.

Page 224: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

224 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PERTUMBUHAN PERTANAMAN JATI HASIL KULTUR JARINGAN PADA LAHAN BERBATU DI GUNUNG KIDUL

Hamdan Adma Adinugraha1, Sugeng Pudjiono1 dan Mahfudz1

1Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Email: [email protected]

ABSTRAK

Jati (Tectona grandis L. F) adalah salah satu jenis penghasil kayu pertukangan yang penting dan sangat populer dikembangkan oleh masyarakat di Indonesia. Mengingat kebutuhan kayu secara nasional terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk sedangkan produksi kayu nasional dari hutan alam sangat terbatas maka diperlukan iptek untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman. Ketersediaan sumber materi genetik jati yang berkualitas di beberapa sebaran jati di Indonesia merupakan potensi yang sangat baik untuk mendapatkan bahan tanaman unggul yang dapat dikembangkan secara luas. Melalui penelitian uji keturunan dan uji klon dapat diperoleh bahan tanaman yang berkualitas. Hasil seleksi di uji klonjati di Gunung Kidul diperoleh riap volume tegakan sebesar 14,98 m3/ha/tahun dan melalui seleksi klon terbaik riapnya berpotensi untuk ditingkatkan mencapai 21,49 m3/ha/tahun. Sementara itu riap hutan tanaman jati konvensional umumnya hanya sekitar2-5 m3/ha/tahun. Hasil evaluasi pertanaman klon jati hasil kultur jaringan di Gunung Kidul Yogyakarta dengan pola silvikultur intensif menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik.Persentase hidup tanaman rata-rata di atas 90% pada umur 4 tahun. Taksiran riap volume tegakan pada umur 2 tahun mencapai 28 m3/ha/tahun dan pada tanaman umur 4 tahun rata-rata 27 m3/ha/tahun. Kata Kunci : Jati, Produktivitas tanaman, Uji Klon, Uji Keturunan

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan kayu khususnya kayu pertukangan baik untuk keperluan domestik maupun ekspor terus mengalami peningkatan sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia. Disisi lain ketersedian pasokan kayu dari hutan alam terus menurun untuk memenuhi kebutuhan kayu dunia. Akibat nyata dari kondisi tersebut ditunjukkan dengan adanya kawasan hutan dan lahan rusak seluas kurang lebih 40 juta hektar dengan laju deforestasi sebesar kurang lebih 1,6-2 juta hektar pertahun (Barr, 2007). Oleh karenanya upaya pembangunan hutan tanaman menjadi salah satu kunci dalam pemenuhan kebutuhan kayu. Pembangunan hutan tanaman dikembangkan secara luas untuk menghasilkan bahan baku kayu nasional.

Jati (Tectona grandis L.F.) adalah salah satu jenis primadona untuk penghasil kayu pertukangan. Kayu jati banyak dimanfaatkan untuk pertukangan yaitu kusen, daun pintu, meubel, ukiran, konstruksi berat dan ringan, perkapalan dan bisa dipakai sebagai bantalan rel kereta api. Termasuk jenis kayu yang paling digemari di pasar kayu domestik maupun internasional. Harganya relatif tinggi, pada tahun 2013 dilaporkan bahwa kisaran harga untuk kayu jati A1 (diameter 16-19 cm) Rp 2,5-2,8 juta/m3, A2 (diameter 22-28 cm) Rp 3,4-3,6 juta/m3, A3 (diameter 30-39 cm) Rp 5,5-5,8 juta/m3 dan A4 (> 40 cm) sekitar Rp 7-7,5 juta/m3. Adapun di pasar internasional dilaporkan harga kayu jati gergajian mencapai US$ 1400-3000/m3. Sementara jumlah produksi kayu jati nasional masih jauh belum mencukupi permintaan pasar sehingga prospek pengembangan jati masih sangat terbuka lebar.

Permasalahan yang dihadapi adalah produksi kayu jati setiap tahun belum dapat mencukupi kebutuhan pasar yang disebabkan karena produktivitas hutan tanaman jati secara umum masih relatif rendah, yaitu hanya mencapai 2-5 m3/ha/tahun (Enters, 2000). Dilaporkan bahwa riap tegakan jati yang menggunakan benih dari APB yang hanya mencapai 1,6 m3/ha/tahun (Wibowo et al., 2007).Dalam rangka meningkatkan produktivitas huatan tanaman jati, Badan Litbang Kehutanan menargetkan produktivitas hutan tanaman penghasil kayu pertukangan daur panjang tahun 2010-

Page 225: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 225

2014 adalah ≥ 15 m3/ha/tahun, melalui penelitian pemuliaan jati. Hasil seleksi pada uji klon jati yang dibangun oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan sejak tahun 2002, diperoleh estimasi riap tanaman jati di dua lokasi (Wonogiri dan Gunung Kidul) rata-rata 12,43 – 14,98 m3/ha/tahun padaumur 10 tahun. Melalui seleksi klon-klon terbaik potensinya dapat ditingkatkan menjadi 15,56 – 24,38 m3/ha/tahun (Adinugraha et al., 2013). Hasil tersebut telah diluncurkan oleh Menteri Kehutanan RI dengan nama klon Jati Purwo. Untuk mengetahui kinerja pertumbuhan yang sebenarnya dari klon-klon terpilih tersebut, dilakukan pengujian penanaman lebih lanjut dan evaluasi secara periodik, sebagai plot uji perolehan genetik jati. Hasil penelitian ini merupakan ferivikasi dalam menyeleksi klon-klon jati unggulan yang dapat dikembangkan secara luas.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pembangunan plot uji pertanaman hutan klon jati hasil kultur jaringan dilakukan di lahan perbukitan dan berbatu di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul Yogyakarta. Pembangunan Plot uji dilakukan mulai tahun 2011 dengan luas pertanaman secara keseluruhan sekitar 50 ha.Kegiatan evaluasi pertumbuhan tanaman jati tersebut dilakukan pada bulan Maret 2015.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman jati hasil kultur jaringan umur 2 s/d 4 tahun di Gunung Kidul. Materi genetik asal yang digunakan untuk bahan perbanyakan diambil dari klon-klon terbaik di plot uji klon jati di Gunung Kidul. Bahan lain yang digunakan yaitu tabel pengamatan dan tali plastik/rafia, sedangkan alat yang dipergunakan yaitu galah ukur 15 m, pita diameter, haga meter dan alat tulis.

C. Metode Penelitian 1. Membuat Petak Ukur berukuran 30 x 30 meter, sehingga dalam satu petak ukur terdapat 225

tanaman (intensitas sampling 10%). Jumlah petak ukur yang dibuat sebanyak 4 buah yaitu di blok 2, 3 dan 10 yang berisi tanaman umur 4 tahun dan satu petak ukur di blok tanaman umur 2 tahun.

2. Melakukan pengamatan pertumbuhan tanaman (tingkat kematian, kelurusan batang, percabangan), pengukuran tinggi pohon dengan menggunakan haga meter dan diameter batang setinggi dada atau diameter breast height/DBH dengan menggunakan pita diameter. Dari hasil pengukuran tinggi dan DBH selanjutnya dilakukan penaksiran volume pohon berdiri dengan menggunakan rumus V = ¼ π x (DBH)2 x T x F (Simon, 1996), dimana : V = volume pohon (m3) π = 3,14 DBH= diameter setinggi dada atau pada ketinggian 1,30 m (m) T = tinggi pohon (m) F = faktor angka bentuk sebesar 0,54 (Wardani et al., 2009)

3. Melakukan pengamatan kondisi tempat tumbuh tanaman (tapak) yang meliputi kondisi lahan, solum tanah, bahan organic dan tumbuhan bawah.

D. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskrisi terhadap karakter pertumbuhan tanaman yaitu tinggi

pohon, diameter batang/dbh, kelurusan batang, keseragaman pertumbuhan tanaman dan kondisi lahannya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 226: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

226 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

A. Pertanaman Klon Jati di Gunung Kidul Pada saat ini telah banyak dikembangkan pertanaman jati menggunakan klon-klon tertentu

hasil perbanyakan dengan teknik kultur jaringan seperti Jati Unggul Nusantara (JUN). Sebenarnya sejak tahun 1990-an telah banyak dipasarkan bibit jati hasil kultur jaringan dengan banyak keunggulan yang dipromosikan, antara lain jati emas, jati super dan jati unggul. Jati emas dan jati super dilaporkan menggunakan klon-klon terpilih yang berasal dari Myanmar, Malaysia dan Thailand sementara jenis jati unggul menggunakan klon pilihan dari pertanaman jati di Jawa (Tini dan Amri 2002). Dibandingkan dengan tanaman dari biji, pertanaman klon jati menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih cepat. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena bibit yang digunakan berasal dari klon-klon pilihan yang memiliki pertumbuhan yang baik. Selain itu biasanya penanaman sudah dilakukan dengan pola silvikultur intensif sehingga suplai hara untuk tanaman sangat mencukupi.

Hasil pengamatan dan pengukuran tanaman umur 2,5 tahun dilakukan pada 1 petak ukur berukuran 30 x 30 m. Jarak tanam 2 x 2 m, sehingga jumlah tanaman per hektar terdapat 2.200 tanaman.Tingkat kematian tanaman pada petak ukur sebanyak 20 pohon (sehingga diprediksi tingkat kematian per hektar sekitar 200 pohon). Kondisi lahan relatif datar dan tidak berbatu-batu.Pengukuran tanaman klon Jati Purwo umur 4 tahun dilakukan pada 3 petak ukur yang masing-masing dilakukan di blok 2, blok 3 dan blok 10 (masing-masing blok luasnya 1 ha). Jarak tanam yang digunakan sama yaitu 2 x 2 meter dengan total tanaman per hektar 2200 tanaman. Kondisi lahan tempat tumbuh di blok 2 dan 10 berada pada bagian lembah dengan lahan yang relatif datar dan solumnya lebih tebal dan memiliki bahan organik (humus) yang relatif tebal. Adapun lahan petak ukur di blok 2 solumnya relatif dangkal dan berbatu dan kandungan bahan organiknya relatif tipis. Tingkat kematian tanaman pada setiap petak ukur 10 – 20 tanaman, sehingga untuk perhitungan riap tegakan diperkirakan tingkat kematian sekitar 200 pohon/ha.

Gambar 1. Pertumbuhan klon jati umur 2 tahun di Gunung Kidul

Gambar 2. Pertanaman klon Jati umur 4 tahunpada lahan berbatu di Gunung Kidul

B. Tingkat Pertumbuhan Tanaman

Page 227: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 227

Hasil pengukuran tanaman secara umum tegakan menunjukkan tingkat petumbuhan yang sangat baik yang ditandai dengan rata-rata persentase hidup tanaman sampai dengan umur 2,5 sampai dengan 4 tahun lebih dari 90%. Menurut Abdurahman (2009) pertumbuhan tanaman dinyatakan sangat berhasil apabila persentase hidupnya ≥ 85%. Pertumbuhan tanaman umur 2 tahun diperoleh rerata tinggi 8,3 m, DBH 8,5 cm dan taksikran volume pohon 0,028 m3/pohon. Adapun tanaman umur 4 tahun menunjukkan rerata tinggi 10,4 m, DBH 10,13 cm dan taksiran volume sebesar 0,054 m3/pohon (Tabel 1 dan 2). Secara umum pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh materi genetik yang digunakan, manipulasi lingkungan tumbuh dan pemeliharaan tanaman. Tanaman hasil perbanyakan vegetatif umumnya sangat pejka terhadap perubahan kondisi lingkungan Matheson dan Raymond (1984). Hasil-hasil penelitian lainnya membuktikan hal tersebut seperti dilaporkan Rachmanadi et al,( 2003) dalam Efendi et al. (2013) bahwa tanaman jati super di Kalimantan Selatan pada umur 2 tahun hanya menunjukkan rerata tinggi 4,9 m dan DBH 5,1 cm. Setyaningsih et al. (2009) melaporkan bahwa pertumnbuhan jati JUN di Kebun Penelitian Cogreg umur 2 tahun menunjukkan rerata tinggi 7,71 m dan DBH 8,83 cm.

Tabel 1. Hasil pengamatan tanaman klon jati hasil kultur jaringan di Gunung Kidul

Petak Umur Jumlah Rerata Rerata Rerata Riap Tinggi Riap Dbh

Ukur (th) Pohon Tinggi (m) Dbh (cm) Vol (m3) (m/th) cm/th

PU 1 4 239 9,70 9,61 0,046 2,43 2,40

PU 2 4 240 9,66 9,69 0,040 2,42 2,42

PU 3 4 211 11,69 11,08 0,076 2,92 2,77

PU 4 2 237 8,27 8,50 0,028 4,13 4,25

Tabel 2. Taksiran produktivitas tegakan Jati Purwo di Gunung Kidul umur 4 tahun

Petak Umur Jarak Jumlah Pohon Rerata Vol. per ha Riap Vol.

Ukur (th) Tanam per ha Vol (m3) (m3/ha) (m3/ha/th)

PU 1 4 2 x 2 m 2000 0,046 92,00 23,00

PU 2 4 2 x 2 m 2000 0,040 80,00 20,00

PU 3 4 2 x 2 m 2000 0,076 152,00 38,00

PU 4 2 2 x 2 m 2000 0,028 56,00 28,00

Rata-rata 2000 0,048 95,00 27,25

Hasil penghitungan riap pertumbuhan untuk tanaman jati umur 2 tahun diperoleh riap tinggi

sebesar 4,13 m/tahun dan riap DBH 4,25 cm/tahun. Hasil tersebut hampir sama dengan hasil yang dilaporkan Setyaningsih et al. (2009) untuk tanaman jati JUN umur 2 tahun diperoleh riap tinggi 3,85 m/tahun dan riap DBH 4,15 cm/tahun. Adapun hasil perhitungan riap volume tegakan secara keseluruhan diperoleh rata-rata sebesar 27,25 m3/ha/tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertanaman jati dengan klon-klon terpilih pada lokasi yang tepat dapat meningkatkan produktivitasnya dibandingkan hanya pertanaman menggunakan bibit generatif yang hanya mencapai rata-rata 8-12 m3/ha/tahun (Kaosa-ard, 1999).

Page 228: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

228 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3. Grafik sebaran DBH di 4 petak ukur: (a) PU 1 (b) PU 2, (c) PU 3dan (d) PU 4

Keterangan: 1. Kelas diameter 2,5 – 5,0 cm 2. Kelas diameter 5,0 – 7.5 cm 3. Kelas diameter7.5 – 10,0 cm 4. Kelas diameter 10.0 – 12.5 cm

5. Kelas diameter12.5_15.0 cm 6. Kelas diameter 15,0 – 17.5 cm 7. Kelas diameter 17.5 – 20,0 cm 8. Kelas diameter 20,0 cm 22,5 cm

Pada Gambar 3 disajikan hasil pengamatan sebaran diameter batang/DBH tanaman pada

semua petak ukur yang dibuat. Pada tanaman umur 4 tahun sebaran DBH terbanyak pada kelas diameter 3 yaitu 7,5 – 10 cm untuk PU 1 dan 2, sedangkan PU 3 terbanyak pada kelas diameter 5 yaitu 12,5 – 15 cm. perbedaan tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan kondisi lahan. Kondisi lahan PU 1 da 2 merupakan lahan yang berbatu dengan solum tanah lebih dangkal, sedangkan PU 3 terletak di bagian lembah dengan kondisi lahan yang lebih baik dan solum tanahnya lebih tebal.Adapun sebaran DBH pada tanaman umur 2 tahun juga pada kisaran kelas diameter 3.

IV. KESIMPULAN

Pertanaman klon jati hasil perbanyakan dengan teknik kultur jaringan di Panggang, Gunung Kidul menunjukkan tingkat adaptasi yang baik terhadap konidisi lahan berbatu yang ditandai dengan persentase hidup tanaman yang tinggi dan memiliki riap tinggi 2,98 m/tahun dan riap DBH 2,96 cm/tahun.

2

56

82

58

32

9

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6

Jum

lah

po

ho

n

Kelas diameter (cm)

0

16

129

95

0 0

20

40

60

80

100

120

140

1 2 3 4 5

Jum

lah

po

ho

n

Kelas diameter (cm)

1

28 29

60

74

15

1 3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 2 3 4 5 6 7 8

Jum

lah

po

ho

n

Kelas diameter (cm)

14

48

140

34

1 0

20

40

60

80

100

120

140

160

1 2 3 4 5

Jum

lah

po

ho

n

Kelas diameter (cm)

Page 229: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 229

DAFTAR PUSTAKA Abdurahman. 2009. Pertumbushan Ulin (Eusideroxylon zwageri T & B) pada Umur 5 Tahun di

Arboretum Bala Besar Penelitian Dipterocarpa Samarinda. Mitra Hutan Tanaman Vol. 4 No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Adinugraha, HA., Pudjiono, S., Fauzi, MA., Hasnah, T.M., Suwandi, Susanto, Setyobudi. 2013.

Populasi Pemuliaan untuk Kayu Pertukangan Daur Panjang. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Tidak dipublikasikan.

Barr, C. 2007. Intensively Managed Forest Plantation in Indonesia. Overview of recent trend and

curretnt plans. Meeting of the forest dialogue. Pekanbaru, March 7-8, 2007. center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Effendi, R., Mindawati, N., dan Widyani, N. 2013. Manual Budidaya Jati (Tectona grandis L.f.).

Kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor dengan Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta.

Enters, T. 2000. Site, Technology and Productivity of Teak Plantation in Southeast Asia. Unasylva 201,

vol. 51, 2000. Kasosa-ard, A. 1999. Teak (Tectona grandis Linn.f) Domestication and Breeding. Teaknet Asia Pacific

Region. Yangon Myanmar. Matheson, AC., dan Raymond, CA. 1984. The Impact of Genotype x Environment Interaction on

Australian Pinus radiate. Breeding Program. Setyaningsih, L., Latupeirissa, FM., dan Supriono, B. 2009. Pertumbuhan Jati Unggul Nusantara Pada

Pola Tanam Tumpangsari di Kebun Percobaan Cogreg. Jurnal Nusa Sylva Vol 9 No. 2, halaman 92-97.

Simon, H. 1996. Metode Inventore Hutan. Edisi I. Cetakan ke-2. Aditya Media. Yogyakarta. Tini, N., dan Amri, K. 2002. Mengebunkan Jati Unggul: Pilihan Investasi Prospektif. Agro Media

Pustaka. Jakarta. Wardani, B., Nai’eim, M. dan Hardiyanto, EB. 2009. Genetic Parameter Estimates for Growth and

Stem Form in 9-years old Clonal Test of Teak (Tectona grandis Linn. F.) in Java. Paper presented at Australian Foret Genetics, April 20-22, 2009. Perth Australia.

Wibowo, A., Sutijasno dan Rodiana, D. 2007. Variasi Genetik dan Korelasi Pertumbuhan Uji

KeturunanHalf-sib Jati di KPH Cepu. Buletin Puslitbang Perhutani X(1): 577-583

Page 230: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

230 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

STRUKTUR DAN KOMPOSISI HUTAN RAKYAT BITTI (Vitex cofassus Reinw.) DAN SUREN (Toona sinensis) DI SULAWESI SELATAN

Heri Suryanto dan C. Andriyani Prasetyawati

Balai Penelitian Kehutanan Makassar Email : [email protected]

ABSTRAK

Sumberdaya lahan dan iklim Sulawesi Selatan sangat bervariasi. Keragaman antar daerah mengindikasikan bahwa wilayah ini berpotensi besar untuk pengembangan berbagai jenis hutan rakyat. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik komposisi dan struktur hutan rakyat bitti dan suren di Sulawesi Selatan guna strategi pengelolaan ke depan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada 4 lokasi hutan rakyat bitti dan suren dengan jenis tanaman bitti dan suren. Metode pengamatan dilakukan dengan deskripsi pola, jarak tanam dan jenis komponen penyusun pada masing-masing hutan rakyat, kemudian digambarkan dalam profil arsitektur tegakan. Hasil pengamatan struktur horisontal hutan rakyat bitti di Kabupaten Bulukumba dan Luwu Utara menunjukkan bahwa tanaman pokok (bitti) ditanam dengan pola teratur, tidak teratur dan pagar. Struktur vertikal masing masing pola dibangun oleh beberapa jenis tanaman pengisi. Pola teratur tersusun atas stratum atas (bitti), stratum tengah (jambu, gmelina), Stratum bawah (kosong). Pola tidak teratur tersusun atas stratum atas (Bitti), tengah (kakao, gmelina, gamal, waru-waruan), stratum bawah (kosong). Pola pagar tersusun atas stratum atas (Bitti), stratum tengah (mangga, jambu mete), Stratum bawah (lantana camara, senggani, kecombrang, jarong). Hutan rakyat suren di Kabupaten Bantaeng dan Enrekang ditanam dengan pola teratur, tidak teratur dan pagar. Struktur vertikal pola teratur terdiri atas stratum atas (cengkeh, durian, rambutan), Stratum tengah (kopi, pisang, papaya, kakao), Stratum bawah (lengkuas, nanas). Pola tidak teratur tersusun atas stratum atas (suren, gamal, aren, kopi), stratum tengah (kopi, pisang) Stratum bawah (cabe, paku-pakuan, kerinyu). Pola pagar tersusun atas stratum atas (suren), stratum tengah (kopi, cengkeh), stratum bawah (kosong). Kata kunci : Hutan rakyat, sumberdaya lahan, bitti, suren, Sulawesi Selatan.

I. PENDAHULUAN

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik maupun hak

lainnya dengan ketentuan luas minimum 0.25 Ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50% (Kementerian Kehutanan, 2011). Hutan-hutan rakyat ini secara teknik pada umumnya berbentuk wanatani yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon, baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam. Hutan rakyat bersifat subsisten dan ada yang dengan tujuan komersial. Program hutan rakyat biasanya diawali dengan satu kampanye dari pihak pemerintah kepada rakyat yang sebagian lahannya terlantar karena kritis. Ciri dari hutan rakyat adalah bahwa kegiatan penanaman pohon dilaksanakan di atas lahan milik rakyat namun dapat juga dilaksanakan di atas lahan negara yang diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon dan manfaatnya untuk masyarakat (Awang, 2003). Dewasa ini hutan rakyat sudah mencapai 1.265.000 hektar yang tersebar di 24 propinsi. Potensi tegakan tanaman kayu milik rakyat tersebut diperkirakan mencapai 43 juta m3, dengan riap sekitar 8,72 juta m3/tahun dengan jenis kayu sengon, jati, akasia, sonokeling, mahoni dan jenis tanaman buah-buahan (Mindawati, 2006). Hutan rakyat memiliki potensi yang besar baik dari sisi potensi kayu yang dihasilkan maupun besarnya rumah tangga atau tenaga kerja khususnya di pedesaan yang bisa dilibatkan (Suprapto, 2010).

Sulawesi Selatan memiliki wilayah seluas 45.764,53 km (BPS, 2008). Sumber daya lahan dan iklim (jenis tanah, bahan induk, fisiologi dan bentuk wilayah, ketinggian tempat, dan iklim) sangat bervariasi. Berdasarkan klasifikasi iklim Oldemen terdapat 13 tipe iklim di Sulawesi Selatan yaitu A,

Page 231: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 231

B1, B2, C1, C2, C3, D1, D2, D3, E1, E2, E3 dan E4 (Herniwati et.al., 2009). Keragaman tipe iklim antar daerah mengindikasikan bahwa wilayah ini berpotensi besar untuk pengembangan berbagai jenis hutan rakyat. Salah satu tipe hutan di Sulawesi Selatan adalah hutan rakyat bitti dan suren dengan jenis tanaman bitti dan suren. Perry (1994) bahwa setiap spesies konifer dan beberapa spesies angiosperm memiliki bitti dan suren karena apikal dominan menyebabkan tajuk berkembang ke atas dari pada kesamping sebaliknya kebanyakan spesies angiosperm tidak memiliki dominan apikal yang kuat sehingga bentuk tiap –tiap jenis punya karakter menyebar daripada tumbuh ke atas. Jenis tanaman ini memiliki karakter bitti dan suren, bentuk kerucut, dan diameter tajuk kecil. Tanaman suren di Sulawesi Selatan banyak dibudidayakan di daerah Bulukumba, Bantaeng, Gowa, Enrekang dan Tana Toraja. Suren atau surian tumbuh dan mneyebar secara alami di berbagai belahan dunia dari Nepal, India, bhutan, myanmar, Indo-china, Thailand, malaysia hingga barat papua nugini dan di Australia Utara (Jayusman et. al., 2006). Tanaman suren banyak dibudidayakan masyarakat sebagai tanaman pagar atau tanaman tepi kebun, atau ditanam sebagai naungan untuk tanaman perkebunan seperti kopi dan kakao. Sedangkan kayu bitti atau gofasa merupakan salah satu pohon terpenting di Sulawesi (Langga et. al. 2012). Jenis ini banyak tumbuh di Sulawesi dan pulau - pulau bagian selatan sampai ke timur Kepulauan Maluku (Nurhasybi et.al. 2010). Kayu ini banyak digunakan untuk bangunan rumah, bahan pembuat kapal phinisi, meubel dan perabotan rumah tangga lainnya. Tegakan bitti khususnya di Sulawesi Selatan merupakan jenis pioner yang saat ini banyak ditemukan pada areal hutan sekunder (Gusmiaty et. al. ,2012).

Widiarti, et. al. (2008) menyebutkan bahwa untuk peningkatan produktivitas kebun campuran diperlukan penataan tekhnik budidaya tanaman agroforestri untuk menjaga keserasian pertumbuhan tanaman dengan penataan jarak dan jalur untuk pertumbuhan yang optimal masing-masing tanaman yang diusahakan yaitu dengan memperhatikan sifat fisiologis, pohon, tajuk dan perakaran. Maryudi (2005) menegaskan beberapa dari karakteristik hutan rakyat ini berpotensi untuk menjadi kendala dalam upaya meraih sertifikat lestari. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan produksi hutan rakyat adalah pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi lahan di lapangan dan pasar serta keinginan masyarakat. Mindawati (2006) menyebutkan bahwa pemahaman tentang karakteristik hutan rakyat diperlukan guna strategi pengelolaannya ke depan. Untuk itu maka kemudian dilakukan kegiatan penelitian hutan rakyat. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik struktur dan komposisi hutan rakyat bitti dan suren sebagai bagian dari upaya membangun strategi pengelolaan hutan rakyat Sulawesi Selatan ke depan yang lebih optimal.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada 4 lokasi hutan rakyat bitti dan suren. Lokasi pengamatan tegakan bitti berada di Kab. Bulukumba dan Luwu Utara sedangkan tegakan suren berada di Kab. Bantaeng dan Enrekang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Nopember 2010.

B. Alat dan Bahan

Alat yang diperlukan adalah : 1. Peralatan inventarisasi tanaman berupa: GPS, hand counter, meteran, pita ukur, buku

determinasi umbi-umbian dan sasak. 2. Peralatan untuk mengambil data lingkungan berupa: light meter, termohygrometer, pHmeter

tanah, termometer tanah. C. Tahapan Penelitian

Page 232: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

232 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Penentuan lokasi hutan rakyat dilakukan secara purposive dari hasil survey awal dan data sekunder yang diperoleh dari dinas pertanian dan kehutanan setempat. Selanjutnya pada tiap lokasi hutan rakyat yang telah dipilih dilakukan pengamatan : 1. Identifikasi pola dan komponen penyusun agroforestri di hutan rakyat dengan terlebih dahulu

melakukan inventarisasi terhadap beberapa tegakan hutan rakyat dengan pengamatan risalah tegakan meliputi tegakan pokok, tanaman pengisi, tanaman pengisi stratum tengah dan penutup tanah. Pengamatan dilakukan dengan membuat plot pengamatan 20 m x 20 m pada pada masing masing lokasi yang telah ditentukan.

2. Deskripsi pola, jarak tanam dan jenis komponen penyusun pada masing masing hutan rakyat tersebut kemudian digambarkan dalam profil arsitektur tegakan.

3. Pengukuran faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan intensitas cahaya matahari dibawah tegakan hutan rakyat dilakukan secara acak dalam areal penelitian dengan 3 kali ulangan. Letak pengambilan data memperhatikan kondisi keseluruhan populasi tempat penelitian sehingga peletakan harus tersebar pada seluruh areal penelitian. Pengambilan data dilakukan pada pagi jam 09.00, siang hari jam 12.00 dan sore jam 16.00 pada hari pengamatan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur dan komposisi setiap hutan rakyat memiliki karakter khusus yang timbul oleh

adanya interaksi antar komponen – komponen pembentuk. Perubahan yang terjadi pada karakteristik hutan tersebut akan berpengaruh terhadap faktor lingkungan bawah tegakan secara langsung dan tidak langsung. Dengan demikian maka pemahaman tentang karakteristik hutan rakyat yang menyeluruh akan membuka peluang pengelolaan yang optimal. Karakteristik masing – masing hutan rakyat tersebut dapat dilihat dan dicermati dari struktur horisontal dan vertikal yang dijelaskan dalam pola – pola pertanaman dan tingkatan stratum tajuk yang ada. Adapun struktur dan komposisi hutan rakyat bitti dan suren di sulawesi selatan adalah sebagai berikut.

A. Bitti (Vitex cofassus Reinw.)

Tegakan bitti di Bulukumba sebagian besar terdapat di hutan rakyat. Rizal et. al. (2012) Menyebutkan bahwa masyarakat petani di Kabupaten Barru dan Kabupaten Bulukumba memanfaatkan sebagian besar lahannya untuk hutan rakyat. Pola tanam bitti di Sulawesi Selatan dapat dijumpai dalam pola teratur, tidak teratur dan pagar di Kabupaten Bulukumba dan Luwu utara. 1. Pertanaman bitti pola teratur

Pertanaman bitti pola teratur dapat ditemukan di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba dimana rata-rata umur tanam bitti tersebut lebih dari 15 tahun dengan jarak tanam adalah 2 m x 3 m. Penanaman dicampur dengan gmelina dan jambu sebagai pengisi pada stratum tengah. Hasil pengkuran faktor lingkungan menunjukkan bahwa intensitas cahaya pada lantai hutan antara 39% - 86% dengan suhu di bawah tegakan hutan antara 26oC – 28oC dan kelembaban 89% - 92%. Hasil analisa kimia tanah menunjukkan bahwa pH tanah pada areal ini adalah masam dengan kisaran nilai 4,8 – 5,4.

Profil arsitektur tegakan menunjukkan bahwa tajuk bitti yang mengisi stratum atas sedangkan tajuk jambu dan gmelina pada stratum tengah berpengaruh terhadap faktor lingkungan yang masuk di lantai hutan. Rendahnya intensitas cahaya dibawah tegakan dengan kelembaban udara tinggi menyebabkan tidak ada tumbuhan bawah yang mengisi stratum bawah tegakan bitti pola teratur. Kondisi demikian menyebabkan tanah cenderung subur karena adanya makrofauna tanah. Makrofauna tanah merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam perbaikan sifat fisik, kimiawi, dan biologi tanah melalui proses ”imobilisasi” dan ”humifikasi”. Peritika (2010) menyebutkan bahwa peningkatan intensitas cahaya dapat menurunkan indeks diversitas makrofauna tanah begitu pula sebaliknya. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan menyebabkan sebagian makrofauna dalam tanah yang ada tidak dapat bertahan hidup karena kondisi lingkungan di

Page 233: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 233

dalam tanah semakin panas. Jenis nanas dan alang – alang mengisi stratum bawah ( 0 m – 2 m) namun demikian tidak tampak pada profil karena persebaran tidak beraturan.

Gambar 1. Profil arsitektur tegakan bitti di Desa Bontobahari, pola pertanaman teratur.

Pola yang sama juga ditemukan di Desa Pandak Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara. Tegakan bitti ditanam dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Tanaman pengisi adalah durian dan tanaman stratum tengah adalah kakao yang ditanam teratur dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Tanaman paku-pakuan sebagai tanaman land cover tumbuh secara merata. Intensitas cahaya yang masuk pada lantai hutan sebesar 37,94% dengan suhu 27,2oC dan kelembaban 89,9%. Analisis kimia tanah menunujukkan bahwa klasifikasi keasaman tanah adalah netral dengan nilai 6,4.

2. Pertanaman bitti pola pagar

Pertanaman ini terdapat di Desa Malelleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Tajuk bitti dan jambu mete tampak mengisi stratum atas ( 5 m - 10 m). Penanaman bitti juga dicampur dengan tanaman mangga sebagai jenis pengisi pada stratum tengah (5 m – 2 m) sedangkan tumbuhan penutup tanah (0 m - 2 m) adalah Lantana camara, senggani, kecombrang dan jarong. Profil arsitektur tegakan bitti pada pola ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Persentase intensitas cahaya matahari yang masuk lantai hutan antara 8 % sampai 66 % dengan suhu antara 26o C – 28o C, sedangkan kelembaban hingga 92 %. Analisis kimia menunjukkan bahwa pH tanah adalah agak masam dengan kisaran nilai 5,2 – 6,5. Kerapatan tajuk stratum tengah hingga 90 % berpengaruh pada kondisi lingkungan di bawah tegakan. Beberapa gulma yang hidup di bawah naungan seperti Lantana camara tampak mengisi stratum bawah tegakan. Kondisi lingkungan bawah tegakan demikian memberi peluang pemanfaatan dan pengembangan beberapa jenis tumbuhan bawah untuk optimalisasi lahan. Keberadaan tanaman bitti di sepanjang pinggir areal kebun kurang memberi pengaruh terhadap keberadan komponen lain.

Keterangan : Bitti

1;2;4,6;7;8;9;10;11;12;

14;16;18, Gmelina

5;13,15;17;19, Jambu

3.

3

5

4 2

1 19 11

10

9

8 77 6

15

114

12

13

18

17 16

15 m

10 m

5 m

0

Page 234: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

234 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 2. Profil arsitektur tegakan bitti di Desa Kajang pada pertanaman pola pagar. Pertanaman bitti dengan pola pagar juga dapat dijumpai di Desa Rumpu Kecamatan

Masamba, Kabupaten Luwu Utara. Struktur vertikal pada profil arsitektur tegakan menunjukkan bahwa stratum tengah diisi tajuk tanaman kakao. Tanaman kakao tampak ditanam dengan pola teratur dengan umur rata –rata tanaman 8 - 10 tahun. Land cover berupa semak yang tumbuh secara alami dan tidak beraturan. Hasil pengukuran faktor lingkungan menunjukkan bahwa intensitas cahaya yang dapat masuk kebawah tegakan adalah sebesar 17,52% dengan suhu pada bagian bawah tegakan 27o C dengan kelembaban 90,8%. Tingkat keasaman tanah pada dengan klasifikasi netral. Kondisi demikian memungkinkan untuk pemanfatan ruang bawah tegakan dengan penanaman tumbuhan bawah terutama umbi-umbian.

3. Pertanaman bitti pola tidak teratur

Pola pertanaman ini dapat ditemukan di Desa Mallelleng, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Penanaman bitti di lokasi ini dicampur dengan jenis tanaman kelapa dan mangga sebagai tanaman pengisi. Profil arsitektur tegakan menunjukkan bahwa tajuk bitti dan kelapa mendominasi stratum atas sedangkan tanaman kakao, gmelina, gamal dan jenis waru-waruan mengisi stratum tengah. Tidak ada tumbuhan pada stratum bawah. Profil arsitektur tegakan bitti pada pola ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Keterangan : Bitti

1;2;3;8, Jambu mete

4;6;9, Mangga 5,

Tumbuhan bawah

(Lantana camara,

senggani, kecombrang,

jarong) 7.

15 m

10

5

0

4 1 5

6 8 9

3 2 7

Page 235: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 235

Gambar 3. Profil arsitektur tegakan bitti di Desa Kajang pada pertanaman pola tidak teratur. Hasil pengukuran faktor lingkungan dibawah tegakan menunjukkan bahwa intensitas cahaya

matahari yang masuk lantai hutan rendah yaitu antara 0.95% - 6.93% dengan suhu antara 24oC - 30oC dan kelembaban antara 87% - 93%. Kondisi demikian disebabkan kerapatan tutupan tajuk hingga 90 % di samping kerapatan tegakan bitti yang mencapai 400 pohon per hektar. Hasil analisa menunjukkan bahwa pada areal ini pH tanah adalah masam (4,4 - 5,18). Hardjowigeno (2003) dalam Hilwan (2013) menyebutkan bahwa pH tanah yang sangat masam menyebabkan sulitnya unsur hara diserap tanaman. Hal ini karena adanya unsur - unsur hara yang berracun dan mengganggu perkembangan mikroorganisme.

Tegakan bitti dengan pola sama juga terdapat di Desa Balease Kecamatan Masamba Kabupaten Luwu Utara. Umur tanaman bitti kurang lebih 15 tahun dengan tanaman pengisi adalah kelapa dan mangga-manggaan. Struktur vertikal pada profil arsitektur tegakan menunjukkan bahwa tanaman pengisi stratum tengah adalah kakao yang ditanam secara teratur dengan jarak tanam 3 m x 3,5 m. Intensitas cahaya sebesar 20,61 % dengan suhu 25,5 oC dan kelembaban 91,9%. Hasil analisis pH tanah adalah netral. Kerapatan tajuk pada stratum atas dengan komposisi tajuk bitti dengan mangga mencapai 80 %. Kondisi demikian memungkinkan adanya pemanfatan lahan bawah tegakan dengan tumbuhan bawah yang toleran terhadap naungan seperti ganyong (Canna edulis Ker-Gawler) atau garut ( Marantha arundinaceae).

B. Suren (Toona sinensis)

Hutan rakyat suren dapat ditemukan di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Enrekang. Berdasarkan pengamatan struktur horisontal maka pertanaman suren dibedakan dalam tiga pola, yaitu: sebagai pagar, tidak teratur dan teratur. 1. Pertanaman suren sebagai pagar/ tanaman tepi

Tanaman suren sebagai tanaman tepi dapat ditemukan di Desa Bontotapallang, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Tanaman suren ditanam di sepanjang tepi kebun sebagai pagar pembatas. Struktur vertikal pada profil arsitektur tegakan menunjukkan bahwa stratum atas diisi tajuk suren hingga ketinggian 20 meter. Tidak tampak jenis – jenis tanaman pengisi lainnya di stratum tersebut. Stratum tengah (2 m – 10 m) diisi oleh tanaman kopi dan cengkeh. Tanaman ini dibudidayakan dengan jarak tanam yang teratur. Tanaman pada stratum tengah merupakan tanaman utama yang ditanam oleh pemilik lahan. Stratum bawah tegakan (0 - 2 m) tampak bersih

20 m

15

10

5

0

Keterangan : Bitti

4;11;13;17;20, Gamal 14,

Kelapa 6;10;12;18, Mangga

1;5, Gmelina 2;16, Kakao

9;15;19, Waru-waruan 3;7;8.

11 10 5 4

3 2 1 9

8 7

6 16 17

18

19

15 14 13 12

20

Page 236: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

236 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

20 m

15

10

5

0

dan tidak ada tumbuhan penutup lantai hutan (forest land cover). Berbeda dengan lokasi pengamatan ini, tanaman pengisi berupa jenis sengon, nangka, gamal dan kaya’ kane dapat ditemukan di beberapa lokasi pengamatan lain pada pola pertanaman yang sama. Semua tanaman pengisi tersebut tampak ditanam tidak teratur. Sedangkan stratum tengah diisi oleh tanaman budidaya yaitu tanaman kakao. Stratum bawah tampak sama dengana lokasi yang lain di mana tidak tampak tumbuhan bawah tegakan. Kondisi ini disebabkan oleh pemeliharaan tanaman kopi dan kakao berupa penyiangan dan pembersihan tumbuhan bawah dengan herbisida. Penyemprotan gulma dengan herbisida menyebabkan gulma dan rumput-rumputan mati. Penutupan pohon yang tanpa diimbangi oleh terbentuknya serasah dan tumbuhan bawah justru malah meningkatkan laju erosi, mengingat energi kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 m justru lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Agus et al. (2002) menyebutkan bahwa besarnya serasah dan tumbuhan kecil di bawah pepohonan juga memberikan penutupan lahan secara ganda sehingga hutan memiliki kemampuan untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Sejalan dengan apa yang disampaikan Soendjoto (2008) bahwa hutan rakyat tidak hanya berperan secara ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan memperluas lapangan kerja atau kesempatan berusaha, tetapi juga berfungsi ekologis dalam penanggulangan lahan kritis, konservasi tanah dan air, serta konservasi flora dan fauna.

Gambar 4. Profil arsitektur tegakan suren desa Bontotapallang ( 20 m x 20 m) pertanaman pola pagar.

Pengamatan struktur horizontal menunjukkan bahwa tanaman pokok di tanam teratur

merata di semua bagian kebun dengan tanaman suren hanya berada di batas tepi kebun saja. Penanaman suren berfungsi sebagai pembatas (border) dengan kebun lain disamping itu suren juga berfungsi sebagai pemecah angin (Wind break). Wind break adalah barisan pohon yang ditanam dengan jarak yang tepat untuk mencegah atau mengurangi erosi angin dan kerusakan tanaman yang disebabkan oleh angin (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2004). Dengan demikian diharapkan keberadaan tanaman suren dapat menjaga tanaman pokok yaitu kopi dan kakao dari kerusakan oleh angin.

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain cahaya, suhu dan kelembaban. Hasil pengamatan faktor lingkungan menunjukkan bahwa secara umum intensitas cahaya di bawah tegakan kurang dari 50 %. Penutupan tajuk mencapai 50% sehingga

Keterangan : Kopi

1;3;5;7;

8;10;13;15;16;17,

Cengkeh

2;4;6;9;11;12;14,

Suren 18.

1 1

2

3 4 7 8 9

9 10

11 5

6 12

13 14 15 16 17 18

Page 237: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 237

cahaya yang masuk ke lantai hutan rendah. Suhu di lantai hutan antara 23 oC – 27oC dengan kelembaban 89% – 91 %. Tingkat keasaman atau pH tanah pada areal ini menunjukkan agak masam (5,9 - 6,2). Keberadaan tanaman pengisi dengan karakter tajuk yang beragam menyebabkan kerapatan tajuk tanaman pada stratum tengah cukup tinggi sehingga intesitas cahaya matahari yang masuk lantai hutan rendah. Kondisi demikian berakibat suhu turun dengan kelembaban tinggi dan memberi peluang bagi beberapa jenis gulma dan tumbuhan bawah untuk tumbuh dan berkembang. Cahaya matahari yang langsung menembus lantai hutan juga dapat mempengaruhi pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan, terutama tumbuhan dengan tingkat yang rendah (pancang, semai)( Asyamannur et al. 2012). Namun demikan, adanya pemeliharaan intensif pada lantai hutan menyebabkan lantai hutan tampak bersih dari tumbuhan bawah.

2. Pertanaman suren pola tidak teratur

Pola tanam suren pola tidak teratur dapat ditemukan di Desa Pattaneang Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Tanaman suren pada lokasi pengamatan ini ditanam bersama dengan tanaman pengisi seperti gamal, aren, cengkeh dan kopi. Tanaman pengisi seperti tanaman cengkeh, kemiri dan sengon tampak mengisi pada lokasi pengamatan lain dengan pola pertanaman yang sama. Struktur vertikal menunjukkan bahwa tajuk tanaman suren pada stratum atas (10 m - 20 m) terlihat tidak terlalu dominan karena bercampur dengan tajuk tanaman pengisi. Stratum tengah pada ketinggian 5 m – 10 m di isi tanaman kopi dan pisang. Tanaman kopi ditanam secara teratur dengan jarak tanam tertentu, sedangkan pisang ditanam dengan pola tidak teratur. Sebagaimana diketahui tanaman kopi adalah tanaman perkebunan yang tumbuh baik pada intensitas cahaya rendah. Tanaman suren dan sengon banyak digunakan sebagai tanaman pelindung kopi karena karakter tajuk suren dan sengon yang padat namun masih dapat ditembus cahaya matahari. Stratum paling bawah (0 m - 5 m) diisi oleh tanaman cabe (Capsicum annum L) yang dibudidayakan serta jenis paku-pakuan serta kerinyu (Eupatorium odoratum L.) yang tersebar merata di bawah tegakan. Paku-pakuan dan kerinyu tumbuh secara alami dibawah tegakan dan dianggap sebagai gulma pada pertanaman ini.

Gambar 5. Profil arsitektur tegakan suren Desa Pattaneang (20 x 20 m ) pertanaman pola tidak

teratur

20 m

15

10

5

Keterangan : Gamal 1; 3; 6;

8;9 , Aren 2, Kopi 4; 5; 7; 11;

12; 13; 14, Suren 17 ,

Sengon 10;15, 16 Cengkeh

1 2

3 4 5 6 7 8 9 10 1

1

1313 14 1 15 17 16 11

12

Page 238: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

238 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Kerapatan tajuk berpengaruh terhadap faktor lingkungan di bawah tegakan baik diatas maupun dibawah tanah. Hasil penelitian Sugiyarto et al. tahun 2002 menjelaskan bahwa diversitas makrofauna permukaan tanah berkorelasi negatif (-0,63) dengan tingkat penetrasi cahaya matahari. Hasil persentase cahaya yang masuk pada lantai hutan antara 3 % – 27 %, sedangkan suhu di lantai hutan antara 20 oC – 21oC dengan kelembaban tinggi yaitu 90 % - 94 %. Hasil analisis kimia tanah menunjukkan bahwa pH tanah adalah netral namun pada beberapa bagian lain adalah masam dan agak masam (5,3 – 6,5). Banyaknya jenis tanaman penyusun stratum atas dengan karakter tajuk yang berbeda-beda menyebabkan kerapatan tajuk mencapai 90 % sehingga intensitas cahaya yang masuk lantai hutan menjadi rendah dengan suhu turun dan kelembaban tinggi.

Pola pertanaman suren yang sama dapat di temukan di Kabupaten Enrekang. Tanaman pengisi stratum tengahnya adalah kakao dan salak. Tegakan suren yang dicampur dengan tanaman salak yang ditanam sangat rapat dengan jarak tanam yang teratur menyebabkan cahaya yang masuk ke dalam lantai hutan terhalang oleh tanaman salak. Cahaya yang masuk ke lantai hutan hanya berkisar 15 % – 20 %. Hal ini juga menyebabkan kelembaban menjadi tinggi. 3. Pertanaman suren pola teratur

Pola tanam suren teratur dapat ditemukan Desa Bontotapallang, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng dimana suren ditanam dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Tanaman suren pada umumnya ditanam dengan jarak tanam tertentu seperti 4 m x 4 m atau 6 m x 8 m bila ditanam dengan tanaman sayuran. Profil arsitektur menunjukkan bahwa di sela-sela suren, stratum atas hingga ketinggian 15 m – 20 m terdapat tanaman pengisi berupa cengkeh yang ditanam dengan jarak tanam 10 m x 5 m dan tanaman buah-buahan antara lain durian dan rambutan yang ditanam dengan tak teratur. Stratum tengah (5 m – 15 m) biasanya diisi dengan tanaman perkebunan antara kopi, pisang dan kakao. Kopi ditanam dengan jarak 10 m x 5 m sedangkan kakao ditanam teratur di antara kopi. Lahan pada stratum bawah ( 0 m - 5 m ) dimanfaatkan untuk ditanami lengkuas dan nanas. Tanaman ini ditanam secara tidak beraturan di bawah tegakan yang ternaungi. Selain itu, pada bagian bawah ditumbuhi tanaman kerinyu yang memanfaatkan cahaya yang masuk ke lantai hutan. Sinar matahari yang berlimpah akan memicu pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan bawah yang bersifat senang akan cahaya (intoleran) (Hilwan et. al. 2013). Persebarannya yang acak sehingga tidak tergambar dalam profil arsitektur.

Hasil pengamatan faktor lingkungan menunjukkan bahwa persentase cahaya yang masuk di lantai hutan antara 55 % - 99 %, suhu 21 o C - 26o C sedangkan kelembaban yaitu 90 % - 91% dengan kondisi pH tanah agak masam (6,14 - 6,6). Tanaman pokok suren yang memiliki karakter tajuk tidak padat menyebabkan cahaya dapat masuk ke lantai hutan namun demikian keberadaan tajuk cengkeh pada stratum atas dan beberapa tanaman buah pada stratum tengah menyebabkan kerapatan tajuk menjadi tinggi sehingga intensitas cahaya menurun dan suhu serta kelembaban naik.

Page 239: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 239

Gambar 6. Profil arsitektur tegakan suren di Desa Bontotapallang (20 x 20 m ) pertanaman pola

teratur.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Hutan rakyat bitti di Kabupaten Bulukumba dan Luwu utara ditanam dalam tiga pola tanam

yaitu 1) Pola teratur dengan stratum atas diisi oleh bitti, stratum tengah jambu dan gmelina sedangkan stratum bawah tidak ditemukan jenis tumbuhan bawah, 2) Pola pagar dengan tajuk bitti dan jambu mete mengisi stratum atas, stratum tengah adalah tajuk mangga sedangkan stratum bawah lantana camara, senggani, kecombarang dan jarong, 3) Pola tidak teratur dengan stratum atas diisi oleh tajuk bitti dan kelapa, stratum tengah diisi tajuk kakao, gmelina, gamal dan jenis waru-waruan sedangkan stratum bawah tidak tampak tumbuhan bawah. Hutan rakyat suren di Kabupaten Bantaeng dan Enrekang dengan 3 pola tanam yaitu 1) Pola pagar dengan stratum atas diisi suren, stratum tengah kopi dan cengkeh, stratum bawah tidak tampak tumbuhan bawah, 2) Pola tidak teratur dengan stratum atas tajuk terdiri dari jenis suren, gamal, aren, cengkeh dan kopi, sedangkan stratum tengah diisi kopi dan pisang sedangkan stratum bawah adalah cabe, paku-pakuan dan kerinyu, 3) Pola teratur dengan tanaman pengisi yaitu cengkeh, durian dan rambutan mengisi stratum atas sedangkan stratum tengah diisi tanaman perkebunan antara kopi, pisang dan kakao namun pada staratum bawah ditanami lengkuas dan nanas.

B. Saran

Perlu dilakukannya evaluasi kesesuaian lahan untuk pemilihan jenis tumbuhan bawah, kajian ekonomi untuk pemanfaatan ruang pada stratum bawah hutan rakyat tersebut dan pemetaan lokasi untuk penanaman tumbuhan bawah guna optimalisasi pemanfaatan stratum bawah hutan rakyat.

UCAPAN TERIMA KASIH

3 2 1

7 6

5

4

21

22 14 16 17 15 13

19 18 20

10

00 11

12 8 9

Keterangan : Suren 1; 6; 10,

Kakao

2;3;4;7;8;9;11;13,16;18

Cengkeh 21, Durian 12,

Rambutan 14;17, Kopi

5;8;15;20, Pisang 19;22.

25m

20

15

10

5

0

Page 240: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

240 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bapak Bintarto Wahyu Wardani, Ibu Retno Prayudyaningsih dan segenap anggota Tim Penelitian Program Insentif Riset Terapan ”Kajian Pemanfaatan Tanaman Umbi-Umbian sebagai Komponen Pengisi Ruang di Bawah Tegakan Hutan untuk Ketahanan Pangan di Sulawesi Selatan”.

DAFTAR PUSTAKA

Agus F.,Gintings, N., Noordwijk. M.V.,2002 Pilihan teknologi agroforestry Konservasi tanah untuk

areal pertanian berbasis kopi di Sumber Jaya Lampung barat. ICRAF. Bogor. Asmayannur,I. Chairul, Syuhrisyam. 2012. Analisi Vegetasi Dasar di Bawah Tegakan Jati Emas

(Tectona grandis Linn) dan Jati Putih (Gmelina arborea Roxb) di Kampus Universitas Andalas. Jurnal Biologi. Universitas Andalas. Padang . hal 73-178.

Awang, S. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana. Yogyakarta. BPS. 2008. Sulawesi Selatan Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Perry.D.A.1994. Forest. Ecosystems. Department of Forest Science and. Cascade Center for

Ecosystem Management. Oregon State University.Oregon. Gusmiaty, Restu M., Pongtuluran. I., 2012. Seleksi Primer untuk Analisis Keragaman Genetik Jenis

Bitti (Vitex Coffassus). Jurnal Perennial. 8 No. 1: 25-29 . Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Herniwati dan Kadir, S., 2009. Potensi Iklim, Sumberdaya Lahan dan Pola Tanam di Sulawesi Selatan.

Prosiding Seminar Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Sulawesi Selatan. Hilwan. I, Mulyana, D., Pananjung, W.G., 2013. Keanakaragaman jenis Tumbuhan Bawah pada

Tegakan Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum Griseb) dan Trembesi (Samanea saman Merr) di Lahan Pasca Tambang Batu Bara. PT Kitadin Embalut. Kutai Kartanegara Kalimanatan Timur. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol 4 no1. Institute Pertanian Bogor. Bogor. Hal 6-10.

Jayusman, Mashudi, Syamsuwida.D., 2006. Mengenal dan Membudidayakan Surian. Jenis dengan

Spektrum Pemanfaatan Luas. Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan penelitian dan Pengembanagan Kehutanan. Bogor.

Kementerian Kehutanan.2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Nomor p.63

/menhut II/2011. Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kehutanan. Jakarta. Langga. F. I., Restu, M., Kuswinanti. T., 2012. Optimalisasi Suhu dan Lama Inkubasi dalam Ekstraksi

DNA Tanaman Bitti (Vitex cofasus Reinw) serta Analisis Keragaman Genetik dengan Teknik. Jurnal Sains & Teknologi. Vol 12 no 3. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal 265-276.

Maryudi. A., 2005. Beberapa Kendala bagi Sertifikasi Hutan Rakyat. Jurnal Hutan rakyat. Vol. 7 no 3.

Pusat Kajian Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Hal 25 -39. Mindawati, N. 2006. Tinjauan tentang Pola Tanam Hutan Rakyat. Info Hutan Tanaman Vol 1 No 1,

31-39. Pusat penelitian Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Page 241: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 241

Nurhasybi, Kartiko. H. D. P., Zanzibar. M.,Sudrajat D.J.,Pramono A.A., Buharman, Sudrajat, Suhariyono., 2010., Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor.

Peritika., M.Z., 2010. Keanekaragaman Makrofauna Tanah pada Berbagai Pola Agroforestri Lahan

Miring di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Biologi dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Rizal A. H.B.,Nurhaedah, Hapzari E., 2012. Kajian Strategi Optimalisasai Pemanfaatan Hutan Rakyat di

Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan. Vol. 9. No 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. hal 216-228.

Sugiyarto, Wijaya,D., Rahayu,S.Y., (2002). Biodiversitas Hewan Permukaan Tanah Pada Berbagai

Tegakan Hutan di Sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar. Jurnal Biodiversitas. Volume 3, Nomor 1 Januari 2002. Halaman: 196-200.

Suprapto, E. 2010. Hutan Rakyat : Aspek Produksi, Ekologi dan Kelembagaan. Seminar Nasional

Pengurangan Emisi Karbon di Kawasan Hutan. Forest Watch Indonesia (FWI). Jakarta. Soendjoto, Mochammad. A., Suyanto, Hafizanor, Purnama,A., Rafiqi, A., Sjukran, S.,2008.

Keanekaragaman Tanaman pada Hutan Rakyat di Kabupaten Tanah Laut. Kalimantan Selatan. Jurnal Biodiversitas. Volume 9 no 2. Universitas Negeri Sebelas Maret. Surakarta. Hal 142-147.

Widiarti,A., Prajadinata, S.,2008. Karakteristik Hutan rakyat Pola Kebun Campuran. Jurnal penelitian

dan Konservasi Alam. Vol. V No 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hal: 145-156.

Page 242: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

242 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

SENGON DAN JENIS KOMBINASINYA DALAM POLA AGROFORESTRI

Riskan Effendi1 dan Asmanah Widiarti1

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jalan Gunung Batu 5 BOGOR Email : [email protected] ; [email protected]

ABSTRAK

Jenis pohon sengon (Falcataria moluccana) telah dikenal oleh masyarakat dan saat ini telah dijadikan salah satu hasil hutan kayu dengan harga yang cukup tinggi. Hutan tanaman sengon yang dikelola oleh pemerintah (Perum Perhutani) , swasta (IUPHHTI) dan masyarakat dalam bentuk HTR dan Hutan Rakyat serta HKm terdapat antara lain di pulau-puau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pola tanam umumnya hutan monokuktur dan hutan campuran serta pola agroforestri. Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait keunggulan jenis sengon dan kombinasi jenis dengon dengan jenis tumbuhan lain. Penyajian yang akan disampaikan meliputi keunggulan tanaman sengon yaitu tumbuh cepat (fast growing species), mempunyai harga jual yang cukup tinggi, salah satu komoditas ekspor, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan daunnya berfungsi sebagai pupuk hijau serta untuk makanan ternak. Kombinasi sengon dengan jenis tanaman yang akan diutarakan meliputi (a) pohon hutan seperti jabon, karet; (b) tanaman pangan seperti jagung, kacang tanah, singkong; (c) tanaman perkebunan seperti teh, cocoa, (d) tanaman holtikultura seperti nenas, papaya, salak (e) tanaman obat dan rempah seperti jahe, kencur, sereh dan (f) bidang peternakan seperti daunnya untuk kamibng dan domba. Kata kunci : sengon, Falcataria moluccana. keunggulan sengon, jenis kombinasi sengon

I. PENDAHULUAN

Jenis pohon sengon telah dikenal hampir diseluruh Indonesia, dengan nama yang berbeda menurut daerah. Nama nasional untuk jenis ini adalah sengon dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W.Grimes dan termasuk suku Leguminosae (Plant List, 2015). Nama-nama daerah diantaranya jeunjing (Jawa Barat), Rawe selowoku (Maluku), Bae, Wanogon (Irian). Pohon sengon dapat mencapai tinggi 46 m, batang bebas dahan 10-30m, diameter mencapai 80 cm. kayunya mempunyai Berat Jenis 0,24 – 0,49. Kegunaan kayu sengon bahan pulp, papan serat, vinir, particle board, kayu lapis, korek api, mebel ringan, alat music dan bahan bangunan ringan (Heyne, K. 1987; Martawijaya dkk,1989).

Jenis pohon sengon dikategorikan sebagai jenis pohon tumbuh cepat (fast growing tree species). Pada umur enam tahun dan tanah yang subur (Bonita IV) jenis sengon mencapai diameter rata-rata 36 cm dengan tinggi 30 m (Mawazin, 2007). Sengon adalah salah satu jenis pohon yang ditanam pada Hutan Tanaman Industri (HTI). Akhir-akhir ini masyarakat menanam sengon karena harga jual yang tinggi. Pada bulan Oktober 2015 harga kayu sengon di kabupaten Malang mencapai Rp.1.250.000 per m3 untuk diameter 30-40 cm dan diameter yang lebih kecil yaitu diameter 25-29 cm harganya Rp.900.000,- per m3 (Tasemat 2015, komunikasi pribadi). Di beberapa daerah, seperti di Jawa Tengah, sebagian tanah pertanian untuk padi dan tanah tegalan bahkan ditanamai sengon.

Jenis sengon yang merupakan salah satu jenis asli Indonesia ini tumbuh pada berbagai jenis tanah walaupun mempunyai drainase yang kurang baik. Tumbuh baik pada iklim basah dengan curah hujan tahunan 2.000 – 2.700 mm, dan bulan kering maksimum empat bulan. Di Maluku tumbuh pada curah hujan 1,760,7 mm per tahun, suhu rata-rata 20,30 C dan maksimum 39,7 0 C. Selanjutnya dikemukakan bahwa sengon dapat tumbuh pada ketinggian tempat tumbuh 0-800 m dpl, dengan curah hujan tahunan 1.500 – 4.000 mm dan tipe iklim A, B dan C, dengan bulan kering 2-6 bulah. Dapat tumbuh pada jenis tanah: ultisol, alfisol, inceptisol, (podzolik merah kuning, Regosol, alluvial, latosol ) pada keasaman tanah (pH): 4.5 – 6.5, dengan drainase tanah buruk hingga baik. Kedalaman efektif minimal 40 cm (Hendromono et al., 2006, Alrasjid 2003) .

Page 243: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 243

Buah sengon berbentuk polong, buah terbanyak dihasilkan pada pohon yang berumur tujuh tahun. Benih sengon yang disimpan dalam botol tertutup selama satu tahun mempunyai kecamabah cukup tinggi yaitu 70-95 %.

Pengecambahan benih sengon dimulai dengan penyiraman benih dengan air mendidih lalu direndam dalam air tersebut selama 24 jam. Benih dikecambahkan pada bak tabur. Setelah berkecambah dan tingginya 5 cm disapih ke polybag. Penyakit yang menyerang bibit sengon adalah damping off dan jamur busuk akar.

Penanaman sengon umumnya dilakukan secara generatip dengan biji, tapi dapat pula secara vegetatip dengan cangkokan, seperti di Wonosobo dan Tasikmalaya, dan trubusan antara lain di Jasinga (Jawa Barat).

Pola tanam umumnya dengan sistem tumpangsari dimana sengon dikombinasikan dengan jenis-jenis pohon hutan, tanaman perkebunan, tanaman pertanian, tamaman obat.

II. PEMBAHASAN

A. Keunggulan Sengon Jenis pohon Sengon mempunyai banyak keunggulan sehingga jenis ini paling banyak ditanam

terutama di hutan rakyat di pulau Jawa. Kenggulan pohon sengon diantaranya: 1. Mempunyai pertumbuhan yang cepat. Pada tanah subur sengon umur dua tahun memiliki

diameter 10 cm. Umumnya sengon dipanen pada umur 5-7 tahun dengan diameter kurang lebih 30 cm. Hasil pengamatan Effendi (2014) pada tanaman sengon umur empat tahun diperoleh rerata diameter di Sukabumi (Jabar) sebesar 17,4 cm (maksimum 22,6 cm) dan di Batang (Jateng) rerata diameter 18,2 cm (maksimum 23,0 cm) dengan rerata tinggi masing-masing 19,7 m dan 18,1 m.

2. Memiliki harga jual yang cukup tinggi. Harga kayu sengon pada bulan Oktober 2015 mencapai Rp1.250.000 per m3 untuk diameter 30-40 cm. Untuk diameter 20-24 cm haraganya adalah Rp. 700.000- Rp.800.000 dan diameter 25-29 cm Rp.900.000 per m3.

3. Dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, dengan drainase yang kurang baik. Pada lahan lereng pertumbuhan tinggi lebih besar dibandingkan dengan ditempat rata. Di Sukabumi dan Jasinga sengon yang ditanam pada lahan miring mempunyai batang yang lurus dengan tinggi batang bebas dahan relatif lebih tinggi diban dingkan dengan ditempat rata

4. Penanaman sengon dapat dilakukan melalui biji, cangkokan dan trubusan (coppice). Bibit sengon mudah diperoleh dari para penjual bibit sengon.

5. Daun tanaman sengon dapat berfungsi sebagai pupuk hijau. Sebagai jenis legume, dan ukuran daun yang kecil, daun sengon mudah hancur dan menjadi pupuk hijau bagi tanaman pertanian yang ditanam dibawah pohon sengon.

6. Daun sengon juga digunakan untuk makanan ternak kambing dan domba antara lain di kabupaten Kediri di areal Perum Perhutani dan di kabupaten Batang (Jawa Tengah).

7. Tanaman sengon juga berfungsi sebagai tanaman peneduh untuk tanaman perkebunan seperti cocoa dan kopi

8. Masyarakat pedesaan menganggap tanaman sengon sebagai tabungan. Bila diperlukan untuk keperluan keluarga, maka pohon sengon dengan mudah dapat dijual kepada para pembeli kayu sengon yang uumnya berkeliling desa yang menanam sengon.

9. Tanaman sengon dapat dibangun melalui trubusan (coppice) misalnya di daerah Jasingan (Jawa Barat), dengan demikian biaya akan lebih murah karena tidak perlu membeli bibit. Pohon yang akan dijadikan trubus haruslah dipilih dari pohon yang pertumbuhannya baik yaitu lurus, tidak terserang hama dan penyakit. Pohon-pohon tersebut harus diberi tanda pada bagian bawah agar setelah ditebang dapat dengan mudah diketahui untuk dijadikan trubusan.

B. Kombinasi Jenis Sengon

Page 244: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

244 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Jenis pohon sengon ditanam dalam pola monokultur atau tanaman sejenis dan tanaman campuran dengan jenis-jenis pohon dan tumbuhan lainlain. Juga dibawah tanaman sengon ditanam berbagai jenis tanaman meliputi pangan, buah-buahan, perkebunan, rumput. Berikut ini disajikan kombinasi jenis pohon sengon dengan tanaman lainnya (Effendi, 2013). 1. Tanaman kehutanan : jabon (Antocephalus cadamba), mahoni (Swietenia macrophylla), manglid

(Manglietia glauca) , jati putih (Gmelina arborea), suren (Toona sureni), mahoni Afrika (Khaya antoteca), mindi (Melia azedarach), jati (Tectona grandis) , kapuk (Ceiba petandra), kemiri (Aleuritus moluccana), karet (Hevea brasiliensis) dan bambu (Bambussa spp.) antara lain terdapat di Ciamis, Sukabumi, Kediri, Cianjur Selatan, Kroya, Kebumen dan Malang. Masyarakat pada umumnya mencampur sengon hampir dengan semua jenis tanaman pada kebun mereka di lahan kering terutama di pulau Jawa.

2. Tanaman pangan: padi ( Oriza sativa), jagung (Zea mays ssp. Mays), kacang tanah (Arachis hypogaea L.), singkong (Manihot esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas L.) talas (Colocasia esculenta L) dapat ditemui diantaranya di Ciamis, Malang, Cianjur, Kroya, Kediri, Sentul, Bogor

3. Tanaman perkebunan : teh (Camellia sinensis), cacao (Theobroma cacao), kelapa (Cocos nucifera), petai (Parkia speciosa) antara lain diteui di Cianjur, Kediri, Pangandaran.

4. Tanaman buah-buahan : nanas (Ananas comosus (L.) Merr.), salak (Salacca zalacca (Gaertn.) Voss) , papaya (Carica papaya L.), pisang (Musa acuminata, M. balbisiana) , alpokat, (Persea Americana Mill), durian (Duriozibethinus Rumph. ex Murray), manga (Mangifera sp.), nangka (Artocarpus heterophyllus) dan sukun (Artocarpus sp.) terdapat diantaranya di Kediri, Kroya, Kebumen dan Wonosobo,

5. Tanaman rempah : jahe (Zingiber officinale Roscoe) , kencur (Kaempferia galanga), salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walpers), cabe (Capsicum annuum L.) , sereh (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf,) , kapulaga (Amomum compactum, Elettaria cardamomum), cengkeh (Syzygium aromaticum) (L.) Merrill & Perry) , lada (Piper nigrum L., ) antara lain dapat ditemui di Malang, Cianjur, Sukabumi.

6. Tanaman obat : kunyit, (Curcuma longa Linnaeus) diantaranya terdapat di Malang. 7. Tanaman sayuran : gide antara lain di Malang. 8. Tanaman parfum : nilam (Pogostemon cablin Benth. diantaranya di Malang. 9. Tanaman silvo pastur : rumput gajah ( Pennisetum purpureum Schumach) , odod (sejenis rumput

untuk ternak) terdapat di Malang . 10. Tanaman naungan : kopi (Coffea arabica ) , cacao antara lain di Malang 11. Tanaman untuk ternak, daun sengon untuk kambng dan domba antara lain di Kediri

Page 245: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 245

Gambar 1. Kombinasi tanaman Sengon dan manii di hutan rakyat di Sukabumi

Gambar 2. Sengon dengan tanaman nenas dibawahnya di areal Perhutani Kediri

Gambar 3. Tanaman kapulaga yang ditanam dibawah tegakan sengon di Ciamis

Gambar 4. Tanaman sengon yang dica,mpur dengan perkebunan the di Cianjur

Gambar 5. Tanaman sengon dicampur dengan Karet di hutan rakyat di Sukabumi

Gambar 6. Pohon pisang ditanam bersama dengan sengon di hutan rakyat di Cianjur.

III. PENUTUP

Jenis pohon sengon merupakan salah satu jenis asli Indonesia yang saat ini sudah tersebar di

seluruh Indonesia. Di pulau Jawa sengon telah ditanam dan diusahakan oleh masyarakat karena

Page 246: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

246 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

berbagai faktor yang menguntungkan seperti harga jual yang cukup tinggi dan mudah memperoleh bibit serta dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan curah hujan 2000-2900 mm per tahun dan pada ketinggian 0-800 m dpl. Jenis pohon sengon telah ditanam bersama-sama dengan jenis-jenis tumbuhan lainnya seperti tanaman hutan, pertanian, buah-buahan, perkebunan, obat, rempah dan sebagai pelindung.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2015. Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W.Grimes. Plant List. A working list of all

plant species. Diakses dari internet tanggal 26 Oktober 2015. Alrasjid, H. 1973. Beberapa keterangan tentang Albizia falcataria (L) Fosberg.Laporan No. 157.

Lembaga Penelitian Hutan Bogor. Effendi, R dan A.S. Kosasih. 2010. Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Kayu Pertukangan. Sintesa Hasil

Penelitian. Silvikultur Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor.

Effendi, R dan N.Mindawati. 2014. Hutan rakyat jenis sengon yang tumbuh cepat. Prosiding Seminar

Nasional Silvikultur. Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Effendi, 2013. Kajian Hutan Tanaman Campuran Jenis Sengon. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2013.

Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor. Hendromono. 2007. Teknik silvikultur Sengon (Paraserianthes falcataria) di Hutan Rakyat. Mitra

Hutan Tanaman, Vol. 2 No. 1 . Pusat Litbang Hutan Tanaman Bogor. Heyne, K. 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan dari De Nutige Planten van Indonesia,

1950. Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Mawazin. 2007. Prospek pengembangan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Fosberg) untuk

meningkatkan pendapatan masyarakat. Prosiding Gelar teknologi Pemanfaatan untuk kesejahteraan Masyarakat. Purworejo 30-31 Oktober 2007. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.

Page 247: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 247

TEKNIK PENGUPASAN BIJI KEMIRI: SUATU KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA BATU DULANG, SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

Asmanah Widiarti dan Riskan Effendi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Email : [email protected] ; [email protected]

ABSTRAK

Salah satu hasil yang menonjol yang dihasilkan dari Desa Batu Dulang, kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Narat adalah kemiri (Aleuritus moluccana). Hasil lainnya yang juga tinggi adalah madu hutan dan kopi. Pohon kemiri banyak dimiliki oleh masyarakat Desa Batu Dulang dan pada musim panen raya banyak sekali dihasilkan biji kemiri. Msyarakat desa Batu Dulang mempunyai teknik yang sederhana untuk mengolah biji kemiri. Makalah ini bertujuan untuk menyajikan teknik pengupasan biji kemiri yang merupakan suatu kearifan lokal masyarakat Desa Batu Dulang. Teknik pengupasan biji kemiri dimulai dengan mengeluarkan biji kemiri dari buah kemiri. Biji kemiri selanjutnya dijemur pada sinar matahari penuh selama satu minggu. Lalu biji disiram dengan air, dan dimasukkan kedalam baskom untuk diangin-anginkan. Kemudian biji kekupas kulitnya dengan cara membanting biji. Sebelumnya biji dimasukkan kedalam alat yang dapat memegang biji yang dibuat dari bekas botol plastik yang ukurannya sama dengan ukuran biji kemiri. Sebagai pemegang biji kemiri digunakan pipa plasti atau selang plastik yang memiliki daya lentur. Biji kemiri di banting atau dihempaskan ke batu yang cukup besar. Membanting biji kemiri pada batu dilakukan dengan kekuatan sedang. Bila terlalu keras biji akan hancur, sedangkan bila terlalu pelan kulit biji tidak lepas. Melalui pengalaman akan diperoleh kekerasan yang sesuai sehingga kulit biji kemiri akan lepas dan biji kemiri tidak pecah atau masih bulat. Dengan teknik tradisional ini maka harga biji tanpa kulit dan bentuknya utuh dapat meningkat menjadi Rp.30.000 per kg sedangkan biji yang tidak dikupas seharga Rp.5.500 per kg. Kata kunci : pengupasan biji kemiri, Desa Batu Dulang, kearifan lokal

I. PENDAHULUAN

Biji kemiri yang berasal dari buah pohon kemiri telah dikenal di seluruh Indonesia. Nama-nama untuk kemiri di Indonesia adalah : Buwa kare, kembiri, kemili, kemiling, kereh, madang ijo, tanoan (Sumatra) ; kamere, kemiri, komere, midi, miri, muncang, pidekan (Java); eminting, kemiri (Kalimantan); berau, bontalo dudulaa, boyau, lana, saketa, wiau (Sulawesi); kemiri, kemwiri, kumiri, mi, nena, nyenga (Maluku); tenu (Nusa Tenggara); anoi (Papua) (Hetne, 1987; Martawijaya et al. 1989). Kemiri di perdagangan internasional dikenal dengan nama candle nut, candle berry, varnish tree, Indian or Brlgaum walnut (Inggris).

Jenis pohon kemiri mempunyai nama botani Aleurites moluccana (L.) Willd termasuk suku Euphorbiaceae. Sinonim untuk kemiri yaitu : Aleurites javanica Gand. Aleurites remyi Sherff., Aleurites triloba Forster & Forster f,. Camirium moluccanum (L) Ktze., Croton moluccanus L., Jatropha moluccana L. Pohon kemiri dapat mencapai tinggi 20 m dengan diameter 90 cm, mempunyai tajuk yang lebar. Kulit batang berwarna coklat-kelabu. Daun mempunyai lebar 10-20 cm (Elevitch and Manner 2006 dalam Krisnawati et al ., 2011).

Jenis pohon kemiri dapat tumbuh pada ketinggian sampai 1200 m diatas permukaan laut. Rata-rata curah hujan tahunan 650-4300 mm, suhu rata-rata tahunan 18 -28 0 C. Pertumbuhan kemiri yang ideal pada pH 5 – 8. Secara alami jenis pohon kemiri dapat ditemukan di Brunei, Cambodia, China, Cook Islands, Fiji, French Polynesia, Indonesia, Kiribati, Laos, Malaysia, Marshall Islands, Myanmar, New Caledonia, Norfolk Island, Papua New Guinea, Philippines, Samoa, Solomon Islands, Thailand, Tonga, Vanuatu, Vietnam (Orwa et al., 2011).

Page 248: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

248 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Bibit kemiri diperoleh dengan penyemaian biji. Untuk mempercepat perkecambahan maka biji diberi perlakuan berupa biji diletakkan diatas tanah lalu ditutup dengan daun kering atau alang-alang kering setebal 3-5 cm. Kemudian daun dibakar sekitar 3 menit selanjutnya disiram dengan air. Dengan cara ini biji yang cangkangnya keras akan retak. Perkecambahan mencapai 85 % bila biji retak. Biji yang retak disemai didalam polybag. Biasanya biji berkecambah setelah 15-20 hari. Bibit kemiri siap ditanam di lapangan setelah tingginya kurang lebih 60 cm atau setelah berumur sekitar 6 bulan (Wahid, 1991).

Pertumbuhan kemiri di tempat terbuka atau di tepi hutan cukup cepat. Hasil pengamatan Krisnawati et al., 2011 di kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Pohon kemiri umur 5 tahun di lahan masyarakat diameternya berkisar antara 3,2 cm sampai 21,9 cm dengan tinggi pohon 2,9 – 12,5 m. Di Sumatera Selatan pohon kemiri umur 24,5 tahun mempunyai rata-rata diameter 46,9 cm dan rata-rata tinggi 25,9 m.

Penanaman pohon kemiri terutama ditujukan untuk menghasilkan biji kemiri. Satu pohon kemiri yang sudah dewasa akan menghasilkan sekitar 30–80 kg biji kemiri. Inti biji kemiri mengandung 60–66% minyak. Di Hawaii, Amerika Serika pada masa lalu kemiri (disebut kukui) dibakar untuk menghasilkan cahaya. Jenis pohon Kemiri juga sering ditanam sebagai pohon serbaguna antara lain untuk menghijaukan lahan, sebagai peneduh di pekarangan, dan juga untuk pohon hias. Di Jawa, biji kemiri biasa dijadikan sebagai bahan permainan untuk diadu kekerasan tempurungnya.

Kegunaan kemiri cukup banyak. Beberapa bagian dari pohon kemiri digunakan dalam obat-obatan tradisional di daerah-daerah pedalaman. Minyaknya digunakan sebagai bahan tambahan dalam perawatan rambut (untuk menyuburkan rambut). Bijinya dapat digunakan sebagai pencahar. Di Jepang, kulit kayunya telah digunakan untuk tumor. Di Sumatera, bijinya dibakar dengan arang, lalu dioleskan di sekitar pusar untuk menyembuhkan diare. Di Jawa, kulit batangnya digunakan untuk mengobati diare atau disentri. Biji kemiri digunakan oleh masyarakat untuk masakan (Krisnawati et.al., 2011).

II. PEMBAHASAN

A. Desa Batu Dulang

Desa Batu Dulang adalah salah satu desa yang terletak di pulau Sumbawa. Menurut adminstrasi pemerintahan daerah Desa Batu Dulang termasuk dalam kecamatan Batu Lanteh, kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa ini berada di sebelah Barat Daya kota Sumbawa Besar yang merupakan ibukota kabupaten Sumbawa. Luas Desa Batu Dulang adalah 70,24 km2 atau seluas 7,024 ha. Desa ini berada pada ketinggian sekitar 800 m dpl, sehingga suhu cukup dingin terutama pada malam hari, dengan suhu berkisar 20-250 C. Desa Batu dulang terkenal sebagai penghasil utama Madu Sumbawa. Madu Sumbawa diambil dari hutan lindung yang berada dekat dengan Desa Batu Dulang. Disamping madu, desa ini juga terkenal sebagai penghasil kopi dan kemiri.

Masyarakat Desa Batu dulang mulai menanam pohon kemiri di ladang mereka sekitar Tahun 1980an (Junaidi, 2015. Komunikasi pribadi). Luas hutan tanaman kemiri lebih kurang 2000 ha. Setiap petani memiliki tanaman kemiri kurang lebih 2 ha. Jarak tanam yang dipakai untuk tanaman kemiri umumnya 10 m x 10 m. Panen kemiri biasanya pada bulan November sam[ai Desember. Produksi biji kemiri pada panen puncak tahun 2009 mencapai 316,24 ton. Pengolahan biji kemiri berupa pengupasan dalam jumlah yang lebih sedikit dari pada tanpa pengupasan cangkang. Para pembeli umumnya dari kota Sumbawa Besar. Mereka mendatangi para pemilik kemiri atau para pengumpul buah / biji kemiri. Biji kemiri setelah sampai di Sumbawa Besar selanjutnya dijual kembali ke pulau Lombok atau tempat tujuan lainnya. Umumnya biji kemiri digunakan untuk bumbu masak lokal. Setiap panen biji kemiri biasanya habis terjual ke Sumbawa Besar.

World Agroforestry Centre/International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) Bogor telah memilih Desa Batudulang sebagai salah satu dari tujuh desa pada kegiatan penelitian

Page 249: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 249

“Development of timber and NTFP’s production and marketing strategies for improvement of smallholders livelihood in Indonesia”. Penelitian yang dilakukan berkaitan dengan peningkatan produksi batang rumput ketak (Lygodium circinnatum) yang banyak terdapat di desa ini. Tumbuhan rumput ketak termasuk paku-pakuan yang merambat dengan panjang sulur mencapai 10 m. Rumput ketak adalah bahan baku untuk pembuatan anyaman, tas, alas gelas yang saat ini sudah diekspor ke manca negara. Mulai tahun 2014 telah dilakukan base line studi dan inventarisasi kebun/ladang masyarakat di desa Batu Dulang. B. Teknik Pengupasan Biji Kemiri

Buah kemiri umumnya jatuh dibawah atau dekat dengan pohon kemiri, karena buahnya agak berat. Kecuali pada lahan miring kemungkinan buah agak jauh dari pohon. Setiap buah kemiri terdiri dari satu atau dua biji kemiri. Biji kemiri dikeluarkan dari buah kemiri. Biji kemiri selanjutnya dikumpulkan dari bawah pohon kemiri dan dimasukkan kedalam karung dan dibawa ketempat pengupasan.

Setelah tiba di desa atau ditempat pengumpulan, biji kemiri selanjutnya dijemur pada sinar matahari penuh. Lamanya penjemuran bibji-biji tersebut kurang lebih selama satu minggu. Biji yang telah dikumpulkan dibawa ketempat pengupasan kulit, biasanya dihalaman rumah atau ditempat yang agak teduh dan tidak kena panas atau hujan. Seperti diketajui di desa Batu Dulang sebagian rumah berbentuk panggung, sehingga dibagian bawah dpat digunakan untuk pengupasan biji kemiri. Sebelum dikupas biji disiram dengan air agar dingin , dan dimasukkan kedalam baskom atau wadah untuk diangin-anginkan.

Teknik mengupas biji atau melepaskan kulit/cangkang yang keras dilakukan dengan cara membanting biji diatas batu yang besar. Sebelumnya biji dimasukkan kedalam suatu alat yang dapat memegang biji yang dibuat dari bekas botol plastik yang ukurannya sama dengan ukuran biji kemiri. Alat tersebut mempunyai pegangan yang menggunakan selang plastik. Penggunaan selang plastik karena lentur. Pada Gambar 1 disajikan alat untuk mengupas biji kemiri.

Gambar 1. Alat untuk memegang biji kemiri yang terbuat dari bekas

botol plastik, yang ukurannya sama dengan biji kemiri,

Biji kemiri kemudian di banting atau dihempaskan ke batu yang cukup besar. Membanting biji kemiri pada batu dilakukan dengan kekuatan sedang. Bila terlalu keras biji akan hancur, sedangkan bila terlalu pelan kulit biji tidak lepas. Dengan pengalaman akan diperoleh kekerasan yang sesuai sehingga kulit biji kemiri akan lepas dan biji kemiri tidak pecah atau masih bulat. Setelah dipecahkan diatas batu, maka cangkang kemiri belumlah lepas seluruhnya dan masih ada yang harus dilakukan untuk melepaskan cangkang dari biji dalamnya. Biji-biji kemiri yang sudah dipukul hingga retak-retak atau pecah, lalu dikupas dengan menggunakan alat yang mirip obeng. Kegiatan

Page 250: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

250 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

pengupasan kulit kemiri juga dapat dilakukan oleh ibu rumah tangga (Gambar 2), karena tidak memerlukan tenaga yang cukup kuat. Bahkan para anak-anak dan remaja juga dapat melaksanakan kegiatan ini setelah mendapat pelatihan seperlunya.

Gambar 2. Seorang ibu sedang mengupas biji kemiri dengan cara membanting biji kemiri keatas batu.

Gambar 3. Biji kemiri yang telah dikupas, berwarna putih, dan yang belup dikupas

Hasil kupasan selanjutnya disortir kedalam 4 kelas sebagai berikut:

1. Utuh atau sedikit sekali yang pecah dengan persentase mencapai 60 % 2. Pecah menjadi dua bagian dengan persentase sekitar 20 %. 3. Pecah menjadi empat dimana persentasenya sampai 15 % dan 4. Hancur dengen persentas sekitar 5 %

Pada umumnya dari sebanyak 100 kg kemiri gelondongan atau yang belum dikupas, setelah dilakukan pengupasan biji akan menjadi sebanyak 34 kg biji kemiri kupas. Harga jual biji kemiri yang telah dikupas lebih mahal dari biji kemiri yang tidak dikupas. Harga tersebut tergantung kondisi kalitas biji yang dikupas. Harga biji yang sudah dikupas dikelompokkan kedalam empat kelas seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Harga biji kemiri menurut kualitas biji setelah dikupas

No. Kelas kualitas biji Harga per kg Keterangan

1 Utuh Rp. 30.000 Harga di Desa Batu Dulang

2 Pecah dua Rp. 25.000

3 Pecah empat Rp.20.000

4 Hancur Rp.15.000

Harga biji kemiri gelondongan atau tanpa dikupas di Desa Batu Dulang, saat ini (2015)

adalah rata-rata Rp.5.500,- per kg. C. Kegunaan

Biji kemiri digunakan untuk berbagai keperluan yaitu sebagai bumbu masakan dan untuk industri munyak wangi. Minyak kemiri berfungsi sebagai pengikat munyak wangi/parfum.

Pohon kemiri juga digunakan untuk penghijauan pada lahan kritis. Dengan tajuknya yang lebat dan pertumbuhan yang relatif cepat pohon kemiri dengan cepat menghijaukan lahan kritis. Disamping itu jenis ini menghasilkan biji yang laku dijual atau untuk kebutuhan masyarakat.

Page 251: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 251

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Djunaidi, Desa Batu Dulang, sebagai nara sumber dalam tulisan ini. Kami sampaikan juga terIma kasih kepada Bapak Udo, Desa Batu Dulang yang telah memberikan informasi yang sangat berharga yang terkait dengan kearifan lokal tentang pengupasan biji kemiri.

DAFTAR PUSTAKA Heyne, K. 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan dari De Nutige Planten van Indonesia,

1950. Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Junaidi. 2015. Informasi pohon kemiri di Desa Batu Dulang, Sumbawa. Komunikasi pribadi dengan

Bp. Junaidi Desa Batu Dulang. HP. 0812 3772 839. Krisnawati, H., Kallio, M. and Kanninen, M. 2011. Aleurites moluccana (L.) Willd.: Ecology, Silviculture

and Productivity. CIFOR, Bogor, Indonesia. Orwa C, A Mutua, Kindt R , Jamnadass R, S Anthony. 2009 Agroforestry Database:a tree reference

and selection guide version 4.0 .http /www.worldagroforestry.org/sites/treedbs/ treedatabases.asp). Diakses via internet tanggal 17 Oktober 2015.

Wahid. 1991. Perkecambahan dan Pembibitan kemiri. Edisi Khusus Littro 7(2):32-80.

Page 252: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

252 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

SERANGAN HAMA DEFOLIATOR PADA POLA TANAM MONOKULTUR DAN AGROFORESTRI JABON

Sri Utami1 dan Agus Ismanto2

1Balai Penelitian Kehutanan Palembang, 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Email : [email protected]

ABSTRAK

Jabon (Anthocephalus spp.) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti reklamasi lahan bekas tambang, penghijauan dan pohon peneduh, karena pertumbuhannya yang sangat cepat, kemampuan beradaptasinya pada berbagai kondisi tempat tumbuh, serta perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah. Jenis ini juga diharapkan menjadi semakin penting bagi industri perkayuan di masa mendatang, terutama ketika bahan baku kayu pertukangan dari hutan alam diperkirakan akan semakin berkurang. Tanaman ini sudah lama dibudidayakan masyarakat hampir di seluruh wilayah Indonesia baik dengan pola tanam monokultur maupun campuran seperti agroforestri. Salah satu kendala dalam budidaya jenis ini yaitu adanya serangan hama defoliator. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis hama defoliator yang mneyerang tegakan jabon merah (A. macrophyllus Roxb. Havil) dan jabon putih (A. cadamba Miq.) umur 8 bulan yang ditanam secara monokultur maupun agroforestri (dengan tanaman padi). Penelitian dilakukan pada Bulan Agustus sampai Desember 2014 di Desa Sumber Mekar Mukti dan Desa Sukatani Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis hama defoliator yang menyerang tegakan jabon merah yaitu Moduza procris Cramer (Lepidoptera : Nymphalidae) dengan persentase serangan sebesar 45,5%. Sedangkan pada tegakan jabon putih yaitu Arthroschista hilaralis Walk dengan persentase serangan sebesar 86%. Adapun pada pola agroforestri antara jabon merah, jabon putih dan padi hanya dijumpai serangan hama A. hilaralis dengan persentase serangan sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa pola tanam agroforestri mampu menekan serangan hama pada tegakan jabon. Kata kunci : hama, jabon merah, jabon putih

I. PENDAHULUAN

Jabon (Anthocephalus spp.) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti reklamasi lahan bekas tambang, penghijauan dan pohon peneduh, karena pertumbuhannya yang sangat cepat, kemampuan beradaptasinya pada berbagai kondisi tempat tumbuh, serta perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah.

Jabon merah (Anthocephalus macrophyllus Roxb. Havil) dan jabon putih (A. cadamba Miq.) termasuk dalam famili Rubiaceae. Tanaman ini merupakan jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri maupun hutan rakyat yang ada di Indonesia. Pertumbuhan tanaman ini relatif cepat, mampu beradaptasi pada berbagai kondisi tempat tumbuh, serta perlakuan silvikulturnya relatif mudah. Tanaman ini sudah lama dibudidayakan masyarakat hampir di seluruh wilayah Indonesia baik dengan pola tanam monokultur maupun campuran seperti agroforestri.

Pemanfaatan kayu jabon digunakan sebagai bahan bangunan non-konstruksi, meubelir atau furniture, bahan plywood, papan, peti, korek api dan sebagainya. Pemanfaatan non kayu lainnya sebagai obat tradisional yaitu digunakan sebagai obat kumur dengan cara diekstrak terlebih dahulu. Daun segar dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pakan ternak. Kayu jabon merah bisa dimanfaatkan juga sebagai arang aktif. Arang yang dihasilkan dari jabon merah tidak memiliki bau dan tidak mengeluarkan asap atau percikan, namun nilai energi yang dihasilkan tergolong rendah yaitu 19.800 kJ/kg (Halawane et al. 2011).

Page 253: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 253

Salah satu kendala dalam budidaya jenis ini yaitu adanya serangan hama. Hal ini disebabkan sebagai suatu ekosistem yang homogen, kawasan hutan tanaman rentan terhadap berbagai kendala di antaranya serangan hama. Populasi tanaman hutan yang homogen akan mudah diserang dan berpotensi terjadi ledakan (outbreak hama, baik di lapangan maupun di persemaian (Krisnawati et al. 2011).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis hama defoliator yang mneyerang tegakan jabon merah (A. macrophyllus Roxb. Havil) dan jabon putih (A. cadamba Miq.) umur 8 bulan yang ditanam secara monokultur maupun agroforestri (dengan tanaman padi).

II. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada Bulan Agustus sampai Desember 2014 di Desa Sumber Mekar

Mukti dan Desa Sukatani Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.

B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan monokultur jabon putih,

monokultur jabon merah, dan campuran (jabon merah jabon putih serta padi) dimana masing-masing tegakan berumur 8 bulan, dan kertas label. Sedangkan alat yang digunakan antara lain hand counter, kotak serangga, ice box, pinset, kamera, dan alat tulis.

C. Prosedur Kerja 1. Monitoring Hama

Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memonitor populasi hama pada tegakan jabon pola monokultur dan campuran. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengamati jenis hama dan tingkat serangan baik persentase dan intensitas serangan hama setiap seminggu sekali selama empat minggu.

Identifikasi hama dilakukan dengan mengumpulkan telur, ulat, pupa dan atau imago. Identifikasi dilakukan di LIPI Bogor. 2. Penghitungan persentase serangan dan tingkat kerusakan tanaman

Persentase serangan hama (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah bibit yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 %.

%100tan

tanx

ukurpetaksuatudalamamanseluruhJumlah

ukurpetaksuatudalamterserangyangamanJumlahP

Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) dilakukan menurut kriteria Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1 dan Tabel 2). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini.

%100)(

xNxZ

vxnI

ji

Keterangan : I : Tingkat kerusakan tanaman ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh.

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama

Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan yang Terlihat pada Daun Nilai

Sehat - Kerusakan daun 5 % 0

Page 254: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

254 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan yang Terlihat pada Daun Nilai

Ringan - Kerusakan daun antara 5 % x 25 % 1

Agak berat - Kerusakan daun antara 25 % x 50 % 2

Berat - Kerusakan daun antara 50 % x 75 % 3

Sangat berat - Kerusakan daun antara 75 % x 100 %

4 - Pohon gundul/hampir gundul

Tabel 2. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama

Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Tanaman Nilai

Sehat - Batang rusak 0 % 0

Ringan - Batang rusak antara 1 % - 20 % 1

Agak berat - Batang rusak antara 20,1 % - 40 % 2

Berat - Batang rusak antara 40,1 % - 60 % 3

Sangat berat - Batang rusak antara 60,1 % - 80 % 4

Gagal - Batang rusak di atas 80 % 5

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jenis Hama dan Gejala Serangan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan dua jenis hama yang

menyerang tegakan jabon yaitu Moduza procris Cramer dan Arthroschista hilaralis Walk. Hama M. procris lebih menyerang tegakan jabon merah sedangkan A. hilaralis lebih menyerang tanaman jabon putih. 1. M. procris

M. procris merupakan serangga yang termasuk ordo Lepidoptera famili Nymphalidae. Serangga ini mempunyai tipe metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu terdiri dari stadia telur, larva, pupa dan imago. Telur berbentuk agak bulat berwarna hijau kekuningan dan terdapat rambut-rambut halus seperti duri pada permukaannya (Gambar 1). Menurut Morrell (1948), telur M. procris berukuran 1 mm, dengan lama fase telur 3.5 hari. Telur diletakkan kupu-kupu betina pada ujung daun tanaman inang yang terdapat bekas gigitan larva. Telur berwarna hijau kekuningan, agak bulat berbentuk kubah.

Gambar 1. Telur M. procris

Larva M. procris berbentuk silindris (erusiform). Larva tua berwarna coklat tua sampai hitam.

Pada ruas tubuh terdapat sejumlah duri (Gambar 2). Kepala berwarna coklat tua sampai coklat kemerahan dengan bercak-bercak merah. Pada kepala terdapat ciri khas yaitu adanya semacam tanduk bercabang pada bagian ujung. Larva memakan daun dengan cara menggigit dari ujung daun tanaman dan meninggalkan tulang daun.

Page 255: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 255

Gambar 2. Larva M. procris

Bentuk pupa berlekuk-lekuk dan terlihat seperti daun kering yang menggulung. Pupa

berwarna coklat kekuningan atau coklat kehitaman. Bagian posterior pupa menempel pada batang atau daun dan terikat oleh benang sutra tipis (Gambar 3).

Imago yang baru keluar dari pupa sayapnya masih pendek, lunak, dan berkerut. Setelah beberapa saat, sayap-sayap akan berkembang dan mengeras, pigmentasi akan terbentuk, dan imago siap melanjutkan perkembangannya. Kupu-kupu M. procris berwarna hitam, coklat kemerahan dengan spot putih.

Gambar 4. Imago M. procris

Adapun gejala serangan pada tanaman jabon, larva serangga hama ini menyerang baik daun

muda maupun daun tua dengan cara menggigit permukaan atas daun. Pada daun nampak gejala berbentuk lubang-lubang, lama kelamaan akan melebar dan mengakibatkan kerontokan daun. Gejala berat mengakibatkan tanaman menjadi gundul. 2. A. hilaralis

A. hilaralis termasuk ke dalam ordo Lepidoptera, famili Pyralidae. A. hilaralis memiliki ukuran tubuh yang kecil dengan sayap depan memanjang dan berbentuk segi tiga dengan sayap belakang yang lebar, serta memiliki palpus labialis yang mencuat kedepan seperti moncong. Borror et al.

Gambar 3. Pupa M. procris

Page 256: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

256 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

(1976) menjelaskan bahwa famili Pyralidae merupakan famili terbesar ketiga dalam ordo Lepidoptera.

Telur A. hilaralis berbentuk bulat telur dan akan menetas setelah 2-3 hari diletakkan, dengan rata-rata waktu menetas 2.7 hari. Di West Bengal (India) periode telur berlangsung selama 3-4 hari (Thapa dan Bhandari 1976).

Larva A. hilaralis memiliki tubuh berbentuk silindris dengan tiga pasang tungkai sejati pada bagian thoraks dan terdapat 4 pasang tungkai semu pada ruas ketiga hingga keenam abdomen (Gambar 5).

Gambar 5. Larva A. hilaralis

Pupa A. hilaralis termasuk ke dalam tipe obtekta. Bagian bakal antena, bakal mulut, bakal sayap dan bakal tungkai melekat pada tubuh dan tidak dapat dipisahkan. Perbedaan pupa jantan dan betina ditandai oleh adanya tonjolan pada sternum abdomen ruas terakhir pada pupa betina, sedangkan pada pupa jantan tidak terdapat tonjolan. Di West Bengal (India) periode pupa berlangsung selama 5-7 hari (Thapa dan Bhandari 1976).

Imago A. hilaralis berwarna hijau kebiruan dengan warna kuning oranye di sepanjang costa sayap (Gambar 6). Imago jantan dan betina memiliki ukuran tubuh yang tidak berbeda nyata. Lama hidup imago jantan lebih singkat dari imago betina. Rata-rata lama hidup imago jantan 4.0 hari, sedangkan imago betina 6.9 hari.

Gambar 6. Imago A. hilaralis Adapun gejala serangan hama ini adalah terdapatnya lubang-lubang daun bekas gigitan larva. Awalnya larva menyerang tanaman dengan cara menggulung daun ke arah dalam kemudian larva akan menggigit daun. Serangan yang berat dapat mengakibatkan terjadi kerontokan daun dan tanaman menjadi gundul.

Page 257: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 257

B. Persentase dan Intensitas Serangan Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa jenis hama defoliator yang menyerang

tegakan jabon merah yaitu M. procris dengan persentase serangan sebesar 45,5%. Sedangkan jenis hama yang menyerang tegakan jabon putih yaitu A. hilaralis dengan persentase serangan sebesar 86%. Pada pola agroforestri antara jabon merah, jabon putih dan padi hanya dijumpai serangan hama A. hilaralis dengan persentase serangan sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa pola tanam agroforestri mampu menekan serangan hama pada tegakan jabon. Dengan penerapan pola tanam secara agroforestri akan mengalihkan perhatian hama utama dalam menyerang tanaman inangnya. Selain itu penanaman secara agroforestri juga mampu menghambat siklus hidup hama tertentu. Oleh karena itu penanaman secara campuran seperti agroforestri sangat penting dilakukan dalam budidaya tanaman kehutanan mengingat sistem penanaman ini terbukti mampu mencegah dan menekan serangan hama.

Dengan ditemukannya jenis hama yang berbeda pada tegakan jabon yang berbeda pula menunjukkan bahwa hama mempunyai preferensi makan terhadap tanaman inang yang diserangnya. Hal ini diduga karena kandungan nutrisi yang terdapat pada pakan mempunyai fungsi dan pemanfaatan yang berbeda-beda sesuai kebutuhan larva. Wali (2014) melaporkan bahwa jabon putih kandungan nutrisi penting seperti kadar air, protein, karbohidrat (serat kasar dan BETA-N), lignin, nitrogen dan kandungan lainnya dalam persentase yang banyak. Akan tetapi, persentase serat kasar dan lignin yang terdapat pada daun jabon putih. dalam jumlah yang banyak dapat menjadi faktor terjadinya antifeedant.

Selanjutnya Wali (2014) melaporkan bahwa kandungan nitrogen yang tinggi pada jabon putih juga kurang berperan pada larva instar akhir, karena kandungan nitrogen lebih banyak dibutuhkan oleh larva instar awal daripada larva instar akhir. Disamping berfungsi sebagai sumber energi, lemak juga berperan sebagai struktur membran dan yang paling penting yaitu sebagai komponen kulit pelindung, karena salah satu jenis lemak dalam bentuk sterol merupakan prekursor hormon moulting exdison (Bernays dan Chapman 1994).

IV. KESIMPULAN

1. Jenis hama defoliator yang menyerang tegakan jabon merah yaitu Moduza procris Cramer (Lepidoptera : Nymphalidae) dengan persentase serangan sebesar 45,5%.

2. Jenis hama yang menyerang tegakan jabon putih yaitu Arthroschista hilaralis Walk dengan persentase serangan sebesar 86%.

3. Pada pola agroforestri antara jabon merah, jabon putih dan padi hanya dijumpai serangan hama A. hilaralis dengan persentase serangan sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa pola tanam agroforestri mampu menekan serangan hama pada tegakan jabon.

DAFTAR PUSTAKA

Bernays EA, Chapman RF. 1994. Host-plant selection by phytophagous insects. Chapman and Hall.

International Thomson Publishing Company. New York. Borror DJ, Delong DM, Triplehorn CA. 1976. An introduction to the study of insects. Holt, Rinehart

and Winston. New York. Djunaedah S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman

terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Page 258: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

258 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Halawane JE, Hidayah HN, Kinho J. 2011. Prospek Pegembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus Roxb. Havil) Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado.

Krisnawati H, Kallio M, Kanninem M. 2011. Anthocepalus cadamba Miq. Ekologi, Silvikultur, dan

Produktivitas. CIFOR. Bogor. Morrell R. 1948. Notes on the larvae of some common Malayan butterflies. Malay Nat J. 3(2): 1-8. Thapa RS, Bhandari RS. 1976. Biology, ecology and control of Kadam defoliator, Arthroschista

hilaralis Walk. (Lepidoptera:Pyralidae) in plantation in West Bengal. Indian For. 102 (6): 333-401.

Wali M. 2014. Moduza procris Cramer (Lepidoptera : Nymphalidae) pada Jabon Merah dan Putih

(Anthocephalus spp.) Perkembangan dan Preferensi Makan [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 259: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 259

POTENSI TRUBUSAN GMELINA (Gmelina arborea) SEBAGAI PERMUDAAN ALAM DI HUTAN RAKYAT

Aditya Hani1 dan Benyamin Dendang1

1Balai Penelitian Teknologi Agroforestri Email: [email protected]

ABSTRAK

Hutan rakyat saat ini mempunyai peran yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan kayu nasional. Kelestarian hutan rakyat salah satunya didukung karena regenerasi tanaman yang berjalan dengan baik. salah satu bentuk regenerasi tanaman yang ada di hutan rakyat adalah dengan memanfaatkan trubusan pada tungggak setelah penebangan. Salah satu jenis yang sudah banyak dibudidayakan di hutan rakyat adalah gmelina (gmelina arborea). Salah satu kelebihan jenis ini adalah mempunyai kemampuan trubusan yang baik. Kemampuan trubus yang baik dapat meningkatkan efesiensi dalam pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan trubusan pada tunggak hasil penebangan. Penelitian dilakuan menggunakan metode observasi. Sampel penelitian diperoleh secara purposif sampling yaitu pada tunggak hasil penebangan yang ada di hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Hasil penelitian menunjukan bahwa trubusan pada tunggak hasil penebangan pohon gmelina mempunyai potensi trubusan rata-rata sebanyak 7 trubusan per tunggak pohon dengan tinggi dan diameter rata-rata sebesar 131,5 cm dan 14,5 cm. Kata Kunci: Gmelina, hutan rakyat, trubusan

I. LATAR BELAKANG

Kebutuhan kayu untuk berbagai macam kebutuhan semakin meningkat. Kebutuhan kayu di dalam negeri dipenuhi dari hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI) dan hutan rakyat. Suplai kayu yang berasal dari hutan alam sebesar 3,6 juta m3, hutan tanaman 19,5 juta m3 dan hutan rakyat sekitar 7 juta m3 atau 11,61% dari suplai kebutuhan kayu nasional (Kementerian Kehutanan, 2013). Potensi produksi dari hutan rakyat kemungkinan lebih besar dari yang sudah tercatat hal ini disebabkan karena banyak penggunaan kayu yang bersifat perorangan maupun berasal dari kebun milik sendiri sulit untuk dihitung. Proporsi suplai kayu yang berasal dari hutan rakyat diperkirakan semakin meningkat. Peningkatan suplai kayu yang berasal dari hutan rakyat didorong oleh peningkatan luas hutan rakyat. Luas hutan rakyat di Pulau Jawa sampai tahun 2009 tercatar 2,6 juta hektar (BPKH Jawa-Madura dan MFP Program, 2009). Jenis tanaman di hutan rakyat terdiri dari jati,mahoni, suren, akasia, pinus dan sonokeling (Jariyah dan Wahyuningrum (2008).

Jenis sengon merupakan jenis yang paling dominan ditanam dihutan rakyat. Namun saat ini jenis sengon mengalami banyak gangguan berupa serangan hama dan penyakit. Banyak petani sengon yang mengalami kerugian akibat tanaman sengon mereka mengalami kerusakan atau kegagalan. Oleh karena itu perlu adanya alternatif jenis tanaman cepat tumbuh sehingga dapat memberi alternatif jenis bagi petani hutan rakyat. Salah satu alternatif jenis tersebut adalah gmelina (Gmelina arborea)

Gmelina merupakan salah satu jenis alternatif yang mulai banyak dibudidayakan di hutan rakyat. Sebelumnya jati putih merupakan jenis yang banyak ditanam di hutan tanaman industri (HTI) sebagai bahan baku pembuat pulp and paper. Jati putih merupakan jenis cepat tumbuh serta mudah dibudidayakan sehingga menjadi daya tarik bagi masayarakat untuk menanamnya. Beberapa daerah yang sudah mulai banyak antara lain di Kabupaten Gowa, Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Sukabumi, Purwakarta dan Banten (Diniyati & Fauziah, 2012; Millang, 2009; Effendi, 2011). Kayu gmelina memiliki kelas kuat III-IV memiliki banyak kegunaan antara lain untuk venir, kayu lapis, konstruksi ringan, mebel, kayu pertukangan, pulp, alat musik, dan papan parikel (Abdurrohim, 2004).

Page 260: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

260 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Salah satu pertimbangan dalam pemilihan jenis kayu di hutan rakyat adalah kemudahan dalam permudaan. Selain itu permudaan secara alam yang berlangsung dengan baik akan lebih meningkatkan kelestarian hutan rakyat. Jenis tanaman yang mempunyai permudaan alam yang bagus (biji maupun trubusan) akan lebih disenangi masyarakat. Hal ini disebabkan karena apabila permudaan secara alami bagus maka masyarakat tidak perlu menanam kembali setelah dilakukan penebangan, sehingga petani tidak mengeluarkan biaya untuk penanaman kembali. Sistem permudaan alam secara trubusan banyak ditemukan di hutan rakyat di Pulau Jawa khususnya pada jenis sengon dan jati (Wahyuningtyas, 2010). Read (2000) menyatakan bahwa pengelolaan hutan dengan menggunakan permudaan trubusan juga sudah lama dipraktekan di Benua Eropa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kayu energi, pakan ternak, kayu kerajinan dan bahan bangunan.

Trubusan merupakan sistem permudaan secara vegetatif sehingga generasi yang dihasilkan akan mempunyai sifat yang identik dengan induknya, sehingga apabila pada saat penanaman awal menggunakan bibit yang berkualitas maka selanjutnya akan mempunyai peluang besar keturunan yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan jenis gmelina dalam menghasilkan permudaan alam melalui trubusan. Harapannya dengan adanya informasi kemampuan trubusan gmelina maka kelestarian hutan rakyat jenis gmelina akan lebih terjaga sekaligus meningkatkan daya tarik masyarakat untuk membudidayakan gmelina.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Kertaharja,Kecamatan Cijeunjing, Kabupaten Ciamis. Waktu penelitian Bulan Juli – Oktober 2015.

B. Bahan dan alat Bahan penelitian yaitu tunggak hasil penebangan kayu gmelina. Penebangan dilakukan terhadap tanaman gmelina umur 5,5 tahun yang telah dilakukan pada Bulan Mei 2015.

C. Metode penelitian Penelitian menggunakan metode purposif sampling terhadap tunggak sisa penebangan. Jumlah tunggak yang diamati sebanyak 60 buah. Parameter yang diamati adalah tinggi tunggak, diameter tunggak, jumlah trubusan dan tinggi trubusan.

D. Analisa Data Data hasil pengamatan selanjutnya dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui potensi trubusan gmelina.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem permudaan dengan trubusan banyak digunakan pada berbagai jenis di hutan rakyat. Hasil pengamatan trubusan gmelina pada hutan rakyat di Kabupaten Ciamis disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan trubusan gmelina berdasarkan umur pasca penebangan

Umur % Trubus

Σ Trubusan

T Trubusan

(cm) Ф Trubusan

(cm) Σ Daun

2,5 Bulan 70 4 7,44 0,42 15

4,5 Bulan 96,67 7 131,46 1,45 -

Tabel 1 menunjukkan bahwa gmelina mempunyai kemampuan trubusan yang sangat baik. waktu yang diperlukan untuk keluarnya trubusan gmelina tidak terlalu lama. Hal ini ditunjukkan pada

Page 261: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 261

umur 2,5 bulan pasca penebangan, jumlah tunggak yang sudah mengeluarkan trubusan sebanyak 70%. Semakin bertambahnya umur pasca penebangan maka semakin banyak tunggak yang mengeluarkan, bahkan pada umur 4,5 bulan setelah penebangan 96,67% tunggak mengeluarkan trubusan. Selain itu dengan bertambahnya umur maka terjadi peningkatan jumlah, tinggi, diameter yang cukup besar. Jumah trubusan meningkat sebanyak 3 trubusan setiap tunggak. Trubusan juga mengalami pertambahan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 62 cm dan 0,52 cm per bulan. Hal yang sama ditunjukan pada trubusan Eucalyptus pellita yang memiliki jumlah trubusan rata-rata sebanyak 9 (sembilan) per tunggak dengan pertambahan tinggi 10,5 cm per 8 minggu (Fanny et al., 2015), maupuan merbau yang memiliki 11-18 trubusan per tunggak (Reyaan, 2013). Walaupun pada saat pengamatan masih musim kemarau, namun trubusan gmelina masih mampu tumbuh dengan baik. Hal ini disebabkan karena permudaan menggunakan trubusan sudah memiliki sistem perakaran yang sudah berkembang sangat baik serta sudah masuk kedalam lapisan tanah yang dalam, sehingga tetap mampu mensuplai kebutuhan air dan hara walaupun musim kemarau. Sistem permudaan trubusan memiliki beberapa kelebihan antara lain: a) sistem perakaran sudah berkembang dengan baik sehingga kebutuhan air dan nutrisi cepat terpenuhi, b) tanaman sudah beradaptasi dengan baik sehingga tingkat keberhasilan sangat tinggi, dan c) pertumbuhan dan perkembangan tidak bergantung pada musim hujan, d) tidak memerlukan persiapan lahan untuk penanaman seperti adanya land clearing sehingga lebih ramah lingkungan, e) dapat lebih mempertahankan sumberdaya genetik. Rydberg (2000) menyatakan bahwa permudaan menggunakan trubusan dapat berfungsi untuk melindungi komponen suatu landscape dan habitat dengan nilai konservasi yang tinggi. itu Sjoulund et al (2015) juga menyatakan bahwa keragaman genetik antara tegakan hutan asal trubusan dengan menggunakan biji tidak berbeda nyata. Pertumbuhan trubusan berdasarkan diameter tunggak disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengamatan kecepatan trubusan berdasarkan rata-rata tinggi tunggak pada umu 2,5 bulan setelah penebangan

Tinggi Tunggak

(cm)

Σ Tunggak % Trubus Σ Trubusan per tunggak

Ф trubusan (cm)

T trubusan (cm)

Σ Daun trubusan

5,0-5,9 11 63,64 4 0,71 45,48 16,28

6-6,9 12 75 4 0,70 40,44 15,80

7-7,9 9 88,89 4 1,13 74,22 29,78

8-8,9 6 83,33 6 0,50 37,83 13,64

9-9,9 8 75 5 0,70 33,5 17,00

10-10,9 4 50 1 0,92 47,25 18,17

>10 6 83,33 4 0,82 33,75 23,67

Tabel 3. Hasil pengamatan kecepatan trubusan berdasarkan rata-rata diameter tunggak pada umur 2,5 bulan setelah penebangan

Diameter Σ Tunggak

% Trubus Σ Trubusan

Ф trubusan

(cm)

T trubusan

(cm)

Σ Daun

10-15 3 67 2 0,76 42,75 17,50

16-20 8 100 5 0,87 59,41 22,48

21-25 9 88,89 6 0,55 26,49 9,83

26-30 16 68,75 3 0,86 58,85 21,84

31-35 15 60 4 0,75 29,83 22,67

35-45 5 60 4 0,97 70,47 22,28

Page 262: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

262 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 2 menunjukkan bahwa waktu munculnya trubusan paling awal (umur 2,5 bulan) ditunjukkan pada tunggak dengan tinggi 7-7,9 cm sebesar 83,33% tunggak yang sudah muncul trubusan. Jumlah trubusan per tunggak paling banyak ditunjukkan pada kelompok tinggi tunggak 8-8,9 cm yaitu sebanyak 6 trubusan per tunggak. Tabel 3 menunjukkan bahwa kelompok diameter yang memberikan pertumbuhan trubusan awal tertinggi ditunjukkan pada kelompok tunggak dengan diameter 21-25 cm. Namun pada umur 4,5 bulan hampir semua tunggak menghasilkan trubusan (96,67%) dengan jumlah rata-rata tiap tunggak cukup tinggi (7 trubusan per tunggak). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi dan diameter tunggak tidak memberi pengaruh terhadap kemampuan menghasilkan trubusan. Hal yang sama ditunjukan pada kemampuan trubusan pohon oak (Quercus petraea Liebl.) yang tidak dipengaruhi oleh metode panen, serta tidak berhubungan dengan tinggi tunggak serta karakteristik pohon induk (Pytell et al., 2013). Tran et al. (2005) menyatakan tidak ada hubungan antara tinggi dan diameter terhadap kemampuan menghasilkan trubusan suatu jenis pohon. Pengelolaan trubusan gmelina disesuaikan dengan tujuan dari hasil akhir yang diharapkan. Apabila ditujukan untuk produksi kayu pertukangan, jumlah trubusan pada setiap tunggak perlu dikurangi dengan meninggalkan 1- 3 trubusan terbaik. Wahyuningtyas (2010) menyatakan bahwa jumlah trubusan yang dapat dipelihara 2-3 batang yang berbatang lurus serta sehat, selanjutnya pada umur 3-5 tahun tunas-tunas tersebut sudah dapat dipanen Apabila jumlah trubusan terlalu banyak maka dapat terjadi persaingan antar trubusan dalam memperoleh sumber makanan dan air. Akibatnya jumlah kayu yang tumbuh banyak namun tinggi dan diameter tidak optimal. Trubusan gmelina dengan jumlah daun yang cukup banyak dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif sumber pakan ternak. Daun gmelina berpotensi sebagai pakan ternak dengan produktivitas pada pemangkasan pertama sebesar 7 ton per hektar dan selanjutnya akan meningkat dalam jumlah 150% (Muwakhid, 2011). Rahmansyah et al (2013) menyatakan bahwa Gmelina arborea merupakan alternatif pakan ternak khusunya untuk penyediaan pakan ternak disaat musim kemarau pada daerah kering. Sehingga apabila akan dijadikan sebagai sumber pakan ternak jumlah trubusan dapat tetap dipertahankan tanpa ada kegiatan penjarangan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ukuran tinggi dan diameter tunggak tidak memberi pengaruh pada kuantitas dan kualitas trubusan.

2. Tunggak gmelina pada umur 4,5 bulan setelah penebangan mempunyai potensi trubusan rata-rata sebanyak 7 trubusan per tunggak dengan tinggi dan diameter rata-rata sebesar 131,5 cm dan 14,5 cm

B. Saran

Satu tunggak pohon gmelina memiliki rata-rata 7 (tujuh) trubusan, oleh karena itu perlu dilakukan penjarangan untuk dapat dijadikan pohon yang dewasa serta diamati pertumbuhan sampai layak tebang.

DAFTAR PUSTAKA Abdurrohim, S., Y.I. Mandang & U. Sutisna. 2004. Atlas Kayu Indonesia Jilid III. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Diniyati, D. & E. Fauziah. 2012. Pemilihan jenis tanaman penyusun hutan rakyat pola agroforestri

berdasarkan keputusan petani di Kabupaten Tasikmalaya. Prosiding Seminar Agroforestri III. Malang 29 Mei 2012.

Page 263: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 263

Fanny, R., M. Mardhiansyah & R. Sulaeman. 2015. Potensi pertumbuhan tunggak sisa penebangan pohon Eucalyptus pellita. JOM FAPERTA, 2 (1).

Jariyah, N.A. & N. Wahyuningrum. 2008. Karakteristik Hutan Rakyat di Jawa. Jurnal Penelitian Sosial

dan Ekonomi Kehutanan, 5 (1): 43-56. Muwakhid, B. 2011. Potensi limbah hasil pemangkasan ranting Gembilina sebagai pakan ternak.

Prosiding seminar Nasional, Malang. Pyttel, P.L., U.F. Fisher, C. Suchomel, S.M., Gartner & J. Bauhus. 2013. The effect of harvesting on

stump mortality and re-sprouting in aged oak coppice forests. Forest Ecology and Management, 289: 18-27.

Rahmansyah, M., A. Sugiharto, A. Kanti & I.M. Sudiana. 2013. Kesiagaan pakan ternak sapi skala kecil

sebagai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim melalui pemanfaatan biodiversitas flora. Buletin Peternakan, 37(2): 95-106.

Read, H. 2000. Veteran Trees: A Guide to Good Management. English Nature. Peterborough. Reyan, C. E. 2013. Kemampuan Regenerasi Merbau (Instia sp) Melalui Tunggak Bekas Tebangan.

Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Negeri Papua. Rydberg, D. 2000. Initial sprouting, growth and mortility of European aspen and birch after selective

coppicing in central Sweden. Forest Ecology Management, 130: 27-35. Sjould, M.J. & A.S. Jump. 2015. Coppice management of forest impact spatial genetic structure but

not genetic diversity in European beech (Fagus sylvatica L.). Forest Ecology and Management, 330: 65-71.

Tran, H., S., Tida & S. Inoue. 2005. Initial sprouting of some tree species in natural forest following 9-

month cutting in Kayusa Research Forest of Kyushu University Forest, Japan. J. Fac. Agriculture Kyushu University, 50: 471-480.

Wahyuningtyas, R.S. 2010. Hutan rakyat trubusan sebagai alternatif sistem permudaan. Galam, IV

(3): 189-207.

Page 264: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

264 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

HUTAN RAKYAT AGROFORESTRY SEBAGAI SUMBER ENERGI MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN CIAMIS

Mohamad Siarudin

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Email: [email protected]

ABSTRAK

Hutan rakyat agroforestry di Jawa merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang berkembang pada lahan-lahan milik masyarakat. Selain menghasilkan kayu pertukangan dan hasil-hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat juga merupakan sumber energi kayu bakar rumah tangga bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan hutan rakyat sebagai sumber energi kayu bakar rumah tangga di beberapa wilayah pedesaan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan di Desa Buniseuri Kecamatan Cipaku, Desa Utama dan Desa Bojongmengger Kecamatan Cijeunjing, Kabupaten Ciamis. Wawancara dan kuisioner dilakukan pada 60 responden di ketiga lokasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (84,7 %) masyarakat pedesaan masih menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi. Kayu bakar merupakan bahan bakar yang menjadi pilihan masyarakat karena sudah menjadi tradisi, lebih hemat dan mudah didapat. Frekuensi pengambilan kayu bakar rata-rata 8 kali/bulan (kisaran 5-17 kali/bulan) masing-masing sejumlah 1-4 ikat dengan perkiraan volume total 1 m3 (kisaran 0,5-2 m3). Tingkat ketergantungan keluarga pra-sejahtera tampak lebih tinggi terhadap kayu bakar dengan jumlah pengguna mencapai 94,3 %, serta frekuensi pengambilan dan volume kayu bakar yang lebih tinggi dibanding keluarga sejahtera. Penggunaan kayu bakar bagi keluarga pra-sejahtera lebih mempertimbangkan alasan ekonomi (lebih hemat), sementara keluarga sejahtera lebih mempertimbangkan ketersediaan dan kemudahan didapat. Kayu bakar rumah tangga dianggap salah satu sebagai kebutuhan paling penting yang harus dipenuhi, sehingga masyarakat menjadikan kayu bakar dari hutan rakyat sebagai aset bersama. Kata kunci : Hutan rakyat, agroforestry, kayu bakar, sumber energi

I. PENDAHULUAN

Hutan merupakan sumber biomasa vegetasi berkayu (pohon) terbesar di bumi. Sejak ribuan tahun yang lalu manusia memanfaatkan biomasa pohon sebagai sumber energi, baik untuk memasak, penghangat maupun proses industri (Kellomaki et al., 2013). Pemanfaatan biomasa pohon sebagai sumber energi ini sering disebut sebagai bioenergi dari kayu, bioenergi dari hutan, energi biomasa, atau kayu bakar (Seifert 2014; Kellomaki et al, 2014).

Kayu bakar merupakan sumber energi yang relatif murah dan terbarukan (Seifert et al., 2014). Penggunaan kayu sebagai sumber energi masih berlangsung saat ini dan diperkirakan terus berkembang hingga ke depan. Konsumsi kayu energi berupa kayu bakar, arang dan energi berbasis kayu lainnya secara global mencapai 1,87 milyar m3, dan ¾ diantaranya dikonsumsi negara-negara tropis (FAO, 2011). Sebuah proyeksi menyebutkan bahwa diperkirakan di Asia terdapat 1,7 milyar pengguna kayu energi di tahun 2030 (IEA, 2006). Proyeksi yang lainnya memperkirakan tingkat konsumsi kayu energi di Asia Tenggara lebih dari 400 juta m3 pada tahun 2030 (Broadhead et al., 2001 dalam Angelsen, 2009). Di Indonesia sendiri, 50 % penduduk Indonesia menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi dengan tingkat konsumsi 1,2 m3 /orang/tahun (Tampubolon, 2008).

Sementara itu hutan rakyat di Kabupaten Ciamis adalah salah satu bentuk pemanfaatan lahan millik masyarakat yang sebagian besar berkembang dalam bentuk agroforestry kompleks. Struktur tegakannya yang terdiri dari berbagai campuran jenis pohon dan tanaman pertanian/perkebunan dan vegetasi lainnya. Berdasarkan analisis tutupan lahan pada penafsiran citra lansat tersebut, hutan rakyat di Kabupaten Ciamis pada kurun 2006-2008 diperkirakan mencapai 172,132,6 ha (Departemen Kehutanan, 2009). Keberadan hutan rakyat di Kabupaten

Page 265: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 265

ciamis ikut mendorong kegiatan ekonomi lokal yang nampak pada pertumbuhan industry penggergajian kayu skala kecil yang mencapai sekitar 800 unit (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Ciamis, 2009); dan industry hilir skala kecil dan menengah yang mencapai 911 unit (Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kab. Ciamis, 2009). Berdasarkan laporan Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kab. Ciamis, industri-industri tersebut menyerap tenaga kerja hingga lebih dari 6000 orang dengan total investasi mencapai 11,4 milyar rupiah.

Meskipun hutan rakyat berkontribusi secara nyata pada perekonomian lokal, tetapi perannya dalam mendukung kebutuhan energi berbasis biomasa masih belum banyak dibahas. Beberapa penelitian mengenai jenis-jenis kayu di berbagai lokasi sebagai sumber energi telah dilakukan seperti Sylviani dan Widiarti (2001); Wahyudi (2006); Cahyono et al (2008); Baskorowati et al (2013); kajian teknis dan kebijakan pengembangan kayu energi seperti disampaikan oleh Alimah (2010) dan Tampubolon (2008). Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pemanfaatan hutan rakyat sebagai sumber energi bagi masyarakat pedesaan di Kabupaten Ciamis. Informasi dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satau pertimbangan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis untuk mendukung pengembangan energi alternatif terbarukan bagi masyarakat pedesaan.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada di 3 lokasi di Kabupaten Ciamis, yaitu Desa Buniseuri

Kecamatan Cipaku, Desa Utama dan Desa Bojongengger Kecamatan Cijeunjung. Lokasi ini dipilih karena memiliki potensi hutan rakyat yang cukup mewakili kondisi secara umum di Kabupaten Ciamis. Ketiga desa tersebut mewakili wilayah pedesaan dimana sektor primer (pertanian) merupakan sumber pendapatan utama masyarakat (Ashley and Maxwell, 2001; IFAD, 2001; IFAD, 2006). Selain itu, ketiga desa ini memiliki karaktersitik geografis yang berbeda-beda berdasarkan jarak dari pusat kota Kabupaten Ciamis, sehingga diharapkan dapat menggambarkan secara lebih menyeluruh tentang penggunaan kayu bakar pada berbagai kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Wawancara dan observasi dilakukan terhadap 60 responden dari ketiga lokasi tersebut untuk mengetahui tingkat penggunaan kayu bakar. Responden dipilih dengan mempertimbangkan keterwakilan tingkat kesejahteraan, yaitu 35 responden yang termasuk dalam keluarga pra-sejahtera dan 25 responden termasuk dalam keluarga sejahtera. Kategori tingkat kesejahteraan tersebut didasarkan pada data hasil Analisis Kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis pada tahun 2009. Analisis kemiskinan yang dilakukan didasarkan pada kemampuan dalam memenuhi 14 kritera (pemenuhian 2100 kalori perkapita per hari serta non-pangan seperti sandang, rumah dan fasilitas, biaya pendikan, kesehatan, transportasi serta berbagai barang dan jasa) ( (Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis, 2009). Tingkat kesejahteraan responden tersebut diverifikasi kembali pada saat observasi dan wawancara dengan metode yang sama.

Informasi yang digali dari responden antara lain penggunaan jenis sumber energi rumah tangga, alasan pemilihan jenis sumber energi, serta proses dan pola pemanfaatan kayu bakar dari hutan rakyat (frekuensi, volume dan penyimpanan kayu bakar). Data dan informasi dianalisis secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penggunaan sumber energi rumah tangga

Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi rumah tangga / memasak, disamping penggunaan gas elpiji (Tabel 1). Lebih dari separuh (53,2 %) masyarakat pedesaan dilokasi penelitian hanya menggunakan kayu bakar tanpa menggunakan gas elpiji. Sebagian masyarakat lainnya secara berurutan menggunakan kayu bakar sehari-hari dan gas elpiji sebagai cadangan (22 %), hanya gas elpiji (15,3 %) dan gas elpiji

Page 266: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

266 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

dengan kayu bakar sebagai cadangan (8,5 %). Dengan demikian secara total 84,7 % masyarakat masih menggunakan kayu bakar baik sebagai bahan bakar utama maupun cadangan.

Tabel 1. Persentase penggunaan sumber energi untuk rumah tangga

Penggunaan jenis sumber energi untuk memasak

persentase (%)

Keluarga pra-sejahtera

Keluarga sejahtera

Total

Selalu kayu bakar 77,1 20,8 54,2

Kayu bakar sehari-hari, gas elpjij sebagai cadangan 17,1 29,2 22,0

Gas elpiji sehari-hari, kayu bakar sebagai cadangan - 20,8 8,5

Selalu gas elpiji 5,7 29,2 15,3

Berdasarkan tingkat kesejahteraan, masyarakat pra-sejahtera nampak lebih dominan

menggunakan kayu bakar. Sejumlah 94,3 % masyarakat pra sejahtera menggunakan kayu bakar sedangkan masyarakat sejahtera hanya 70,8 % yang menggunakan kayu bakar. Baik kelompok masyarakat pra-sejahtera maupun sejahtera menyatakan alasan penggunaan kayu bakar karena merasa sudah terbiasa menggunakannya (51,9 %), lebih hemat (33 %) dan kayu bakar yang mudah didapat (14,8 %).

Tabel 2. Alasan responden untuk menggunakan kayu bakar

Alasan penggunaan kayu bakar Persentase (%)

Keluarga pra-sejahtera

Keluarga sejahtera

Total

Sudah terbiasa menggunakan kayu bakar / tidak berani menggunakan gas

55,0 42,9 51,9

lebih hemat 35,0 28,6 33,3

kayu bakar mudah didapat 10,0 28,6 14,8

Masyarakat pra-sejahtera nampak lebih mempertimbangkan alasan lebih hemat selain

kebiasaan menggunakan kayu bakar dibanding kelompok masyarakat sejahtera. Selain sudah menjadi tradisi turun temurun, penggunaan kayu bakar juga dapat menekan pengeluaran untuk pembelian gas elpiji. Sebaliknya masyarakat sejahtera lebih mempertimbangkan kayu bakar yang mudah didapat dibandingkan dengan masyarakat pra-sejahtera (Tabel 2). Hal ini dapat dipahami mengingat masyarakat sejahtera tentunya memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi sehingga tidak terlalu mempermasalahkan pembelian gas elpiji. Selain itu, masyarakat sejahtera pada umumnya tidak memiliki banyak waktu untuk mencari kayu bakar, sehingga ketersediaan kayu bakar dan kemudahan mendapatkannya menjadi alasan yang lebih dipertimbangkan.

Beberapa responden yang tidak menggunakan kayu bakar pada umumnya menyatakan alasan sudah tidak sempat atau sudah tidak mampu (karena faktor usia atau kesehatan) untuk mencari kayu bakar. Meskipun penggunaan gas elpiji sempat menjadi masalah karena banyaknya kasus gas tabung yang meledak, tetapi responden merasa penggunaan gas lebih praktis. Sebagian responden secara rasional memilih kombinasi antara kayu bakar dan gas elpiji. Umumnya gas elpiji digunakan pada pagi hari karena alasan praktis pada saat mempersiapkan anggota keluarga yang akan berangkat kerja atau anak sekolah. Sedangkan kayu bakar digunakan pada siang dan malam hari pada saat waktu untuk mempersiapkan pembakaran lebih leluasa. B. Proses dan pola pemanfaatan kayu bakar dari hutan rakyat

Masyarakat umumnya mengambil kayu bakar dari beberapa sumber yaitu, yaitu ranting/cabang pohon yang mati atau kering di kebun/pekarangan/hutan rakyat dan ranting/cabang

Page 267: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 267

yang berasal dari limbah penebangan. Ranting atau cabang pohon yang diambil sebagai kayu bakar adalah ranting yang sudah kering atau mati. Masyarakat dapat mengambil dari kebun sendiri maupun kebun milik orang lain tanpa perlu meminta ijin terlebih dulu. Jenis-jenis ranting yang digunakan sebagai kayu bakar adalah jenis ranting dari pohon apa saja yang ada di kebun/hutan rakyat, termasuk pelepah dan daun kelapa yang sudah kering. Masyarakat biasanya hanya mengambil ranting yang sudah jatuh, namun pada saat tertentu juga kadang menjatuhkan cabang mati yang masih menempel pada batang pohon.

Pengambilan kayu bakar dari limbah penebangan dilakukan pada saat ada salah satu petani yang sedang melakukan pemanenan/penebangan pohon. Masyarakat yang terdekat dengan kegiatan penebangan biasanya akan berdatangan untuk mengambil cabang dan ranting pohon. Ranting pohon dari limbah kegiatan penebangan yang dapat diambil oleh masyarakat sebagai kayu bakar rumah tangga adalah ranting berdiameter < 5 cm. Sedangkan cabang/ranting dengan diameter 5-10 cm umumnya akan menjadi milik pemilik lahan, atau penebang/bandar yang membeli pohon tergantung kesepakatan. Cabang berdiameter 5-10 cm tersebut biasanya dijual untuk memasok kayu bakar industri di Ciamis dan sekitarnya. Industri dikenal yang mengkonsumsi kayu bakar antara lain industri pembuatan tahu di Ciamis dan sekitarnya, serta industri pembakaran genting di Cirebon.

Pada pengambilan kayu bakar yang berasal dari ranting kering, masyarakat yang berprofesi sebagai petani umumnya melakukannya tanpa mengalokasikan waktu khusus. Pengambilan dilakukan pada saat pulang dari kebun atau sawah. Sebagian masyarakat yang tidak banyak waktu untuk berkebun kadang mengalokasikan waktu khusus pada pagi hari atau sore hari pada pekarangan terdekat. Pengambilan kayu bakar ini umumnya dilakukan kepala rumah tangga dan seringkali melibatkan istri atau bahkan anggota keluarga lainya, terutama pada keluarga petani yang memiliki intensitas lebih tinggi untuk menuju kebun/hutan rakyat. Jumlah yang diambil biasanya beberapa ikat dengan perkiraan volume 0,05 m3/ikat (atau 20 ikat/m3). Volume ikatan tersebut didasarkan pada pertimbangan teknis untuk kemudahan membawa.

Frekuensi pengambilan rata-rata 8 kali setiap bulannya atau seminggu dua kali dengan kisaran 5-17 kali per bulan (Tabel 3). Keluarga pra-sejahtera mengambil kayu bakar lebih sering dengan frekuensi 9 kali/bulan dibanding keluarga sejahtera yang hanya 7 kali/bulan. Selain frekuensi yang lebih tinggi, keluarga pra-sejahtera juga melakukan pengambilan dengan volume yang lebih tinggi, yaitu rata-rata 2,4 ikat (1-3 ikat) sedangkan keluarga sejahtera rata-rata 2,1 ikat (1-3 ikat) setiap pengambilan. Berdasarkan informasi ini dapat diperkirakan volume pengambilan keluarga pra-sejahtera adalah 1,1 m3/bulan/keluarga sedangkan keluarga sejahtera hanya 0,8 m3/bulan/keluarga. Frekuensi dan perkiraan volume pengambilan kayu bakar ini menggambarkan bahwa masyarakat pra-sejahtera memiliki ketergantungan yang lebih tinggi terhadap kayu bakar dari hutan rakyat. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik masyarakat pedesaan yang umumnya banyak tergantung pada kegiatan pertanian (IFAD, 2001; 2006) sehingga interaksi terhadap hutan rakyat tinggi, termasuk dalam hal pemanfaatannya sebagai kayu bakar bahwa (Angelson dan Wunder, 2003).

Tabel 3. Frekuensi dan perkiraan volume pengambilan kayu bakar dari hutan rakyat

Kelompok responden Frekuensi

pengambilan (kali/bulan)

Perkiraan volume

(ikat/ pegambilan)

(ikat/bulan) (m3/bulan)

Keluarga pra-sejahtera 9 (6-17) 2,4 (2-4) 21,7 (13,8-39,4) 1,1 (0,7 – 2)

Keluarga sejahtera 7 (5-11) 2,1 (1-3) 15,8 (11-22,8) 0,8 (0,5 – 1,1)

Total 8 (5-17) 2,3 (1-4) 19,5 (11-39,4) 1,0 (0,5 – 2)

Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan kisaran; 1 ikat = + 0,05 m3 Masyarakat umumnya memiliki tempat penyimpanan atau gudang kayu bakar. Gudang

dapat berupa tempat tersendiri dsamping rumah, atau didalam rumah didekat dapur. Gudang ini selain berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan kayu bakar juga untuk menjaga agar kayu

Page 268: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

268 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

bakar tidak terkena hujan pada musim penghujan. Pada pengambilan kayu bakar yang berasal dari limbah tebangan, ranting yang masih basah biasanya dijemur sebelum disimpan di gudang dan digunakan.

Gambar 1. Beberapa bentuk tempat penyimpanan kayu bakar

Berdasarkan proses pemanfaatan kayu bakar yang dilakukan oleh masyarakat, dapat

diketahui bahwa pemanfaatan kayu bakar sudah menjadi budaya dan kebutuhan masyarakat yang masih bertahan hingga saat ini. Masyarakat menganggap kayu bakar untuk rumah tangga adalah salah satu kebutuhan paling mendasar yang harus terpenuhi bersama. Hal ini tergambar dari adanya kesepakatan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat bahwa ranting (baik dari limbah penebangan maupun yang jatuh dari pohon) merupakan barang milik bersama (public good) yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja termasuk selain pemilik lahan. Kondisi ini membuktikan bahwa keberadaan hutan rakyat mendukung ketahanan energi masyarakat.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Sebagian besar (84,7 %) masyarakat pedesaan masih menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi. Kayu bakar merupakan bahan bakar yang menjadi pilihan masyarakat karena sudah menjadi tradisi, lebih hemat dan mudah didapat.

2. Frekuensi pengambilan kayu bakar rata-rata 8 kali/bulan (kisaran 5-17 kali/bulan) masing-masing sejumlah 1-4 ikat dengan perkiraan volume total 1 m3 (kisaran 0,5-2 m3).

3. Tingkat ketergantungan keluarga pra-sejahtera tampak lebih tinggi terhadap kayu bakar dengan jumlah pengguna mencapai 94,3 %, serta frekuensi pengambilan dan volume kayu bakar yang lebih tinggi dibanding keluarga sejahtera. Penggunaan kayu bakar bagi keluarga pra-sejahtera lebih mempertimbangkan alasan ekonomi (lebih hemat), sementara keluarga sejahtera lebih mempertimbangkan ketersediaan dan kemudahan didapat.

4. Kayu bakar rumah tangga dianggap salah satu sebagai kebutuhan paling penting yang harus dipenuhi, sehingga masyarakat menjadikan kayu bakar dari hutan rakyat sebagai aset bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Alimah, Dewi. 2010. Kayu sebagai Sumber Energi, Makalah dalam seminar Hasil. Penelitian

Kehutanan, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Angelsen, A. with Brockhaus, M., Kanninen, M., Sills, E., Sunderlin, W.D. and Wertz-Kanournikoff, S.

(eds), 2009. Realising REDD+: National Strategy and Policy Options. CIFOR, Bogor , Indonesia. Angelsen, A. and S. Wunder, 2003. Exploring the Forest – Poverty Link: key concepts, issues and

research implications. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Page 269: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 269

Ashley, C. and S. Maxwell. 2001. Rethinking rural development. Development Policy Review 19(4): 395-425.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis, 2008. Analisis Kemiskinan Kabupaten Ciamis Tahun 2008.

BPS. Baskorowati, L., M.A. Fauzi, D. Setiadi dan M. Susanto, 2013. Nilai Kalor Acacia decurrens sebagai

Bahan Baku Arang Kayu, Masyarakat Pegunungan Tinggi. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry: Agroforestry untuk Pangan dan Lingkungan yang Lebih Baik. Malang, Mei 2013.

Cahyono, T.D., Z. Coto, dan F. Febrianto, 2008. Analisis Nilai Kalor dan Kelayakan Ekonomis Kayu

sebagai Bahan Bakar Substitusi Batu Bara di Pabrik Semen. Forum Pascasarjana Vol. 31 No. 2 April 2008: 105-116.

Departemen Kehutanan, 2009. Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Jawa Tahun 1990-2008.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura dan Multistakeholder Forestry Program.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, 2009. Rencana Strategis Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Ciamis 2009-2014. Pemerintah Daerah kabupaten Ciamis. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, 2010. Data Produksi dan Peredaran Hasil Hutan

Rakyat Tahun 2010. Laporan, tidak diterbitkan. Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ciamis, 2009. Potensi Industri di

Kabupaten Ciamis. Laporan, tidak diterbitkan. FAO, 2011. World forestry report. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. IEA, 2006. World Energy Outlook. International Energy Agency, Paris. IFAD (International Fund For Agriculture Development), 2001. The Challenge of Ending Rural

Poverty. Oxford press. IFAD, 2006. Targeting Policy, Reaching the Rural Poor. IFAD, Rome, Italy. Kellomaki, S., Kilpelainen, A., Alam, A. (eds). 2013. Forest Bioenergy Production: Management,

Carbon Sequestration and Adaptation. Springer. New York. 268. Seifert, T and S. Seifert, 2014. Modelling and Simulation Tree Biomass. In T. Seifert (Ed). Bioenergy

from Wood: Sustainable Production in the Tropic. Springer Dordrecht Heidelberg New York London. P.42-65.

Seifert, T., Ackerman, P., Chirwa, P.W., von Doderr, C., du Toit, B., Gorgens, J., Ham, C., Kunneke, A.,

and Meincken, M., 2014. Biomass from Wood in the Tropic. In T. Seifert (Ed). Bioenergy from Wood: Sustainable Production in the Tropic. Springer Dordrecht Heidelberg New York London. P.1-10.

Sylviani dan Widiarti, A., 2001. Penentuan jenis pohon unggulan sebagai penghasil kayu bakar. Jurnal

Sosial Ekonomi Vol. 2 No.2 (2001), 139–150.

Page 270: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

270 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tampubolon, A.P, 2008. Kajian Kebijakan Energi Biomassa Kayu Bakar (Study of Fuelwood Biomass Energy Policies). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 5 No. 1, April 2008, 29 – 37.

Wahyudi, 2006. Penelitian Nilai Kalor Biomassa : Perbandingan Antara Hasil Pengujian dengan Hasil

Perhitungan. Jurnal Ilmiah Semesta Teknika, Vol. 9, No. 2, 2006, 208 – 220.

Page 271: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 271

PENYIAPAN SUMBER BENIH JATI (Tectona grandis Linn.f) PADA HUTAN RAKYAT DI GUNUNGKIDUL DENGAN PENDEKATAN PEMULIAAN POHON

M. Anis Fauzi

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Email: manisfauzi76@gmailcom

ABSTRAK Kebutuhan benih Jati unggul untuk mendukung produktivitas hutan rakyat sangat diperlukan oleh petani penanam jati. Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten di DIY mempunyai luas hutan rakyat 28.551 Ha, dan potensi volume 137.096.018 m3 dimana sebagian besar ditanami jenis tanaman jati. Untuk meningkatkan produktivitas hutan rakyat perlu dilakukan upaya introduksi benih yang unggul kepada masyarakat Gunungkidul. Penunjukkan sumber benih Jati TBT (Tegakan Benih Teridentifikasi) di Gunungkidul telah dilakukan pada 5 lokasi seluas 36,16 Ha dengan potensi benih 5.491,5 kg/tahun di Desa Dengok, Girisekar dan Banyusoca. Pada tingkat petani upaya penyiapan sumber benih mandiri dapat dilaksanakan dengan upaya pendekatan pemuliaan secara sederhana yaitu dengan seleksi pohon induk di lahan mereka sendiri kemudian mengumpulkannya dengan anggota lain dalam satu kelompok tani. Kemudian benih jati dari 1 kelompok tani tersebut dicampurkan (bulk) dengan beberapa kelompok tani yang lain. Kemudian benih tersebut didistribusikan kembali kepada seluruh anggota melalui kelompok tani tersebut untuk penanaman berikutnya. Pohon induk yang dipilih sebaiknya jangan berdekatan gunakan jarak 50-100 meter untuk mengurangi kemungkinan adanya inbreeding. Pilih pohon induk yang berfenotif lurus, tidak terserang penyakit, tinggi batang bebas cabang diatas 5 meter dan memiliki diameter lebih besar bila dibandingkan dengan pohon seumuran disekitar lahan. Diharapkan dengan cara ini, petani penanam jati dapat secara mandiri memperoleh benih jati yang unggul dengan menggunakan sumber benih yang berada di areal mereka sendiri. Kata Kunci: Gunungkidul, Kelompok tani, sumber benih, jati

I. PENDAHULUAN

Gunungkidul adalah salah satu Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki luas 1.485,36 km² yang merupakan 46,6% dari total kawasan propinsi DIY. Secara geografis Kabupaten

Gunungkidul berada pada 746 LS-809 LS dan 11021 BT-11050 BT . Kawasan Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Bantul dan Sleman di sebelah Barat, Klaten dan Sukoharjo sebelah Utara, Wonogiri di sebelah Timur dan Samudera Hindia di sebelah Selatan (Gambar 1).

Gunungkidul dikenal sebagai salah satu daerah pengembangan hutan rakyat yang potensial. Luas Hutan rakyat di Gunungkidul adalah 28.551 Ha dimana sebagian besar tanaman adalah Jati (Tectona grandis). Hutan rakyat memiliki pengertian yaitu hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman berkayu dan atau jenis lainnya lebih dari 50%. Pada perkembangannya hutan rakyat memiliki definisi yang bervariasi yang pada intinya adalah hutan yang dimiliki rakyat yang berada diluar kawasan hutan negara dan menghasilkan kayu yang mereka tanam, kelola dan panen dengan budidaya mereka sendiri

Page 272: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

272 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 1. Peta Kabupaten Gunungkidul

Hutan rakyat di Gunungkidul dari sisi pengelolaan hutan memiliki karakteristik (BPKH, 2007) antara lain: 1. Ditanam pada lahan milik. Tanaman atau pohon ditanam pada tanah milik perseorangan dengan

beberapa pertimbangan kesuburan yang rendah (kurang cocok ditanami tanaman pangan), kondisi lahan yang miring dan berbatu, jarak lahan yang jauh dari pemukiman, kurang tenaga kerja dan kemudahan pemeliharaan.

2. Pola lahan tidak mengelompok tetapi tersebar sesuai dengan letak dan luas lahan yang dimiliki serta variasi usaha tani yang dilakukan.

3. Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga dalam arti setiap keluarga merupakan unit kerja pengelolaan hutan rakyat terkecil yang masing-masing memiliki pola pengembangan dan pengaturan yang berbeda antara keluarga satu dan lainnya.

4. Hutan rakyat memberikan manfaat bagi pemiliknya berupa hasil kayu dan non kayu (jagung, ketela, kacang tanah, hijauan pakan ternak dan lain-lain).

5. Pemanenan kayu masih berdasarkan sistem tebang butuh, dimana konsep kelestarian hasil belum berdasarkan perhitungan volume kayu yang dipanen dibandingkan dengan pertumbuhan kayu (riap/ha/tahun) pada hutan rakyat.

6. Organisasi profesional yang mengelola hutan rakyat belum terbentuk. Kelompok tani yang mewadahi komunitas pertanian memang sudah ada, namun wujud organisasi yang berfokus pada usaha hutan rakyat yang lestari dan mampu meningkatkan kesejahteraan bagi petani hutan rakyat masih dalam proses.

7. Belum terdapat perencanaan pemanenan sistematis yang mendukung industri kayu. Industri kayu memerlukan jaminan keberlangsungan pasokan kayu jati baik secara jumlah (volume) dan kontinuitas.

8. Harga kayu jati hutan rakyat tidak dapat dikendalikan oleh petani penanam kayu jati sebagai produsen. Akibatnya keuntungan terbesar kayu jati belum dirasakan oleh petani.

Page 273: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 273

Berdasarkan hasil penelitian Roshetko, et.al, (2012) menunjukkan bahwa penggunaan benih unggul di hutan rakyat masih rendah sekitar 12%. Masyarakat pada umumnya menggunakan benih yang didapatkan disekitar tempat tinggalnya baik berupa cabutan dan biji jati lokal yang terdapat di pekarangannya rumahnya. Faktor yang mendorong mereka untuk melakukan penanaman jati bersumber dari pekarangan mereka sendiri adalah murah (tidak perlu membeli) dan dari hasil pengalaman mereka jati yang ditanam tetap tumbuh serta dapat dipanen. Dapat disimpulkan bahwa tingkat penggunaan sumber benih yang bergenetik unggul adalah masih rendah. Menurut Kaosa-ard,et.al (1998) terdapat peningkatan volume sebesar 5-12% dengan penggunaan benih yang berasal dari APB dibandingkan dari tegakan benih. Berdasarkan pengalaman di Thailand penggunaan benih jati dari classified stand (APB) mampu meningkatkan 8% dari parameter volume produksi dan stem form dibandingkan dengan benih jati dari tegakan benih sembarang (Kjaer, Kaosa-ard and Suangtho, 2000). Bukti penggunaan benih unggul lainnya antara lain di Costa Rica dan Brazil dimana dengan materi benih unggul mampu memperpendek daur dari 60-100 tahun menjadi 40-50 tahun. Dimana umur rotasi masih dapat diperpendek sesuai dengan tujuan akhirnya penggunaan kayunya (Kjaer and Foster, 1996). Minat petani hutan rakyat untuk menanam tanaman dengan menggunakan benih unggul terutama untuk tanaman berkayu masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain petani lebih mengalokasikan dana untuk membeli benih tanaman pangan/tanaman semusim (jagung, padi, kacang tanah dan tanaman palawija) dibandingkan untuk membeli benih jati. Pengalaman membuktikan bahwa petani akan tergerak untuk menggunakan bibit jati unggul bila mereka secara langsung melihat tingkat pertumbuhan dan keberhasilan pelaku penanam jati lainnya yang plot penanamannya berada disekitar mereka

Untuk mencukupi kebutuhan benih yang jati yang unggul, langkah penyiapan sumber benih jati oleh Dinas Kehutanan Gunungkidul telah dilakukan. Diantaranya ditunjuknya beberapa sumber benih jati dengan kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) di Desa Dengok, Desa Girisekar (Panggang) dan Desa Banyusoca (Playen) seluas 36,16 Ha dengan potensi benihnya ± 5491,5 kg/tahun (Dishut Gunungkidul, 2005). Namun demikian benih yang dihasilkan tersebut belum mampu mencukupi untuk penanaman jati di Gunungkidul sendiri. Untuk itu langkah-langkah penyediaan benih jati secara mandiri berbasis tegakan jati milik masyarakat harus dikembangkan. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah penyiapan benih berbasis pohon benih didalam kelompok tani di Gunungkidul.

II. PEMBAHASAN

A. Distribusi Benih Mandiri Berbasis Pohon Benih Salah satu langkah pemuliaan pohon secara sederhana adalah menentukan sumber benih

berdasarkan kenampakan pertumbuhan dilapangan dan menggunakan benihnya untuk tapak yang memiliki persamaan ekologi (Barner and Willan, 1998 dalam Kjaer, Kaosa-ard and Suangtho, 2000 ). Benih yang berasal dari satu zona ekologi sebaiknya tidak didistribusikan ke zona lain yang berbeda. Pendekatan yang dilakukan adalah benih tanaman dalam zone tertentu tidak akan ditanam pada areal yang memiliki iklim yang berbeda. Teknik penggunaan benih berdasarkan zone iklim bukan merupakan salah satu pendekatan terbaik tetapi cara ini merupakan langkah yang dapat mengurangi resiko kegagalan dalam sebuah penanaman. Pendekatan inilah yang digunakan sebagai penyiapan sumber benih di hutan rakyat di Gunungkidul.

Secara garis besar Gunungkidul terbagi menjadi 3 bagian yaitu zona utara (Batur Agung), zona tengah (Ledok Wonosari) dan zona selatan (Gunung Seribu). Ketiga daerah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dapat digunakan dasar sebagai zonasi sumber benih jati. Intinya sumber benih jati yang telah ditunjuk pada zonasi tertentu, sebaiknya hanya digunakan untuk daerah dalam zona yang sama. Dengan pendekatan tersebut daerah mana yang termasuk zona Batur Agung, Zona Ledok Wonosari dan Zona Gunung Seribu diidentifikasi kemudian masing-masing zona mendistribusikan benih tersebut secara mandiri. Dalam lingkungan distribusi benih yang lebih

Page 274: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

274 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

sempit (tingkat desa) dapat diusahakan dengan cara pertukaran benih dalam kelompok tani di desa tersebut. Dimana terdapat beberapa persyaratan teknis agar sumber benih jati tersebut dapat digunakan dan memenuhi kaidah pemuliaan pohon.

(Gambar: Agus Astho P) Gambar 2. Skema penyiapan benih secara mandiri berbasis pohon benih

Berdasarkan Gambar 2 dapat dijelaskan misalkan didalam satu desa terdapat 5 kelompok

tani (kelompok A,B,C,D dan E). Dalam setiap kelompok tani A dipilih pohon benih yang berfenotif unggul sebanyak 5 pohon. Kemudian benih tersebut diunduh dan dikumpulkan serta diberi identitas benih dari kelompok A. Selanjutnya benih jati dikumpulkan dari kelompok A, B, C, D dan E kemudian benih tersebut dibulk jadi satu, sehingga benih tersebut merupakan campuran dari 25 pohon jati berfenotif baik lalu benih tersebut didistribusikan kembali kepada kelompok tani masing-masing untuk penanaman berikutnya.

Dalam pemilihan pohon benih terdapat kaidah pemuliaan pohon yang harus dipenuhi antara lain: 1. Pilih pohon dari tegakan dan tempat tumbuh yang seragam. Tempat tumbuh yang seragam akan

memudahkan kita untuk memilih pohon yang memiliki pertumbuhan terbaik. Pada lingkungan yang tidak seragam akan sulit memilih pohon yang bergenetik baik karena pengaruh lingkungan yang lebih besar.

2. Pohon benih dipilih dari tegakan terbaik dibandingkan pohon disekitarnya. Untuk tanaman Jati (Tectona grandis) yang digunakan sebagai kayu pertukangan dipilih pohon yang lurus, batang bebas cabang tinggi, tidak bengkok dan tidak terserang penyakit.

3. Hindari pohon jati yang tumbuh soliter (sendirian) terpisah dari tegakannya, karena dimungkinkan benih yang dihasilkan merupakan hasil dari selfing (penyerbukan sendiri). Benih selfing memiliki potensi terjadi penurunan pertumbuhan.

4. Pohon benih yang dipilih berjumlah ± 25-30 (Mulawarman, Roshetko, Sasongko dan Irianto, 2002) pohon agar keragaman genetik benih terjaga. Jumlah dari pohon benih yang dikumpulkan diharapkan dapat mempertahankan keragaman genetik yang ada. Keragaman genetik yang tinggi akan mengurangi resiko kemerosotan pertumbuhan tanaman pada generasi berikutnya akibat

Page 275: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 275

dari penyerbukan sendiri dan akan menjamin daya adaptasi benih pada lokasi pengembangan yang bervariasi.

III. PENUTUP

Benih jati yang berasal dari pohon benih di hutan rakyat bila dibandingkan benih dari APB

(Area Produksi Benih) atau Kebun Benih tentu berbeda hasil dan produktivitasnya. Namun cara penyediaan benih jati secara mandiri berbasis pohon benih ini dapat memperkecil resiko kerugiaan akibat benih yang dihasilkan dari perkawinan sendiri (selfing). Yang utama petani hutan rakyat paling tidak mampu memenuhi kebutuhan benih jati dari kebun atau tegakannya sendiri dengan pendekatan pemuliaan pohon yang sederhana.

Harapannya kedepan, bila APB dan Kebun Benih jati di Gunungkidul telah mampu memenuhi kebutuhan benih jati, benih tersebut dapat didistribusikan ke masyarakat petani hutan rakyat di Gunungkidul sendiri maupun lokasi pengembangan jati lain yang memiliki kondisi ekologi yang sama.

DAFTAR PUSTAKA BPS, 2007, Gunungkidul Dalam Angka, BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Gunungkidul,

Yogyakarta. BPKH, 2007, Potret Hutan Rakyat Propinsi DIY, BPKH wilayah XI, Yogyakarta Roshetho, J.M.et.al, 2012. Smallholder teak systems on Java, Indonesia: income for families, timber

for industry, Proceeding on IUFRO Small-scale forestry Conference, Amherst, Massachusetts, USA.

Kjaer, E.D and Foster, G.S.,1996. The economic of tree improvement of Teak, Technocal note 43,

Danida Forest Tree Seed Center, Humlebaek, Denmark. Kjaer, Erik D., Kaosa-ard. Apichart and Suangtho. Verapong 2000. Domestication of Teak Through

Tree Improvement: Options. Potential Gain and Critical Factors. Proceeding Seminar on Site. Technology and Productivity of Teak Plantations. Forestry Research Support Programe for Asia and Pasific FAO. Bangkok. Page: 168-175.

Mulawarman, JM Roshetko, SM Sasongko dan D Irianto. 2002. Pengelolaan Benih Pohon, Sumber

benih, pengumpulan dan penanganan benih: pedoman lapang untuk petugas lapang dan petani. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan Winrock International. Bogor, Indonesia.

Page 276: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

276 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

STRATEGI PENYELAMATAN TANAMAN KIRAI SOLUSI TERINTEGRASI UNTUK PERBAIKAN EKOSISTEM DAN KEMANDIRIAN PANGAN DI JAWA BARAT

Nana Sutrisna

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Email : [email protected]

ABSTRAK

Kirai/sagu (Metroxylon sp.) sebagai sumber karbohidrat paling potensial, saat ini terancam punah di Jawa Barat. Sementara itu kerusakan ekosistem juga sudah berada pada tahap yang mengkhawatirkan yang ditandai antara lain dengan meningkatnya lahan kritis dan lahan sangat kritis. Disisi lain kebutuhan akan pangan kian meningkat dari waktu ke waktu, padahal dalam waktu bersamaan lahan pertanian justru mengalami pengurangan untuk kepentingan berbagai sektor. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengatasi 3 masalah krusial tersebut secara sinergis dan menjadi satu-kesatuan yaitu “membangun kemandirian pangan berbasis perbaikan ekosistem untuk menyelamatkan biodiversitas penting yang terancam punah”. Upaya penyelamatan Kirai/sagu merupakan langkah strategis untuk menjadi solusi terintegrasi terhadap perbaikan ekosistem dan kemandirian pangan di Jawa Barat. Kajian ini bertujuan untuk (1) mengetahui potensi tanaman sagu di Jawa Barat, (2) menemukan strategi untuk menyelamatkan sagu sebagai solusi terintegrasi untuk perbaikan ekosistem dan kemandirian pangan di Jawa Barat. Hasil kajian menunjukkan bahwa (1) Jawa Barat memiliki potensi besar untuk pengembangan sagu, dan (2) strategi yang dapat dilakukan antara lain dengan pemetaaan kondisi eksisting populasi sagu secara lengkap dan sistematis, penerapan pola intensifikasi, pola ekstensifikasi, dan pola diversifikasi usaha. Kata Kunci : Sagu, Perbaikan Ekosistem, Kemandirian Pangan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kirai adalah sebutan masyarakat Jawa Barat untuk tanaman Sagu (Metroxylon sp.), suatu

bukti sosiologis bahwa pada masa lalu daerah ini cukup akrab dengan sagu, atau dengan kata lain daerah ini merupakan salah satu habitat alami sagu. Tetapi menurut Sutrisna (2010) saat ini tanaman sagu di Jawa Barat terancam punah, padahal sagu merupakan sumber karbohidrat paling potensial jika dibandingkan dengan seluruh tanaman penghasil karbohidrat lainnya.

Boleh jadi hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam mengatasi kebutuhan pangan dimasa lalu. Di satu sisi pemerintah bersungguh-sungguh untuk mencapai swasembada pangan, tetapi sayangnya disisi lain langkah yang diambil menjadi timpang karena upaya yang dilakukan hanya fokus terhadap pengadaan pangan superior yaitu beras. Sedangkan sumber pangan lokal dikesampingkan/ dikorbankan untuk mencapai target “swasembada beras”. Padahal seandainya program swasembada beras tersebut berhasil sekalipun, maka ekses yang ditimbulkan dari peningkatan produksi beras hanya akan menjauhkan masyarakat dari pangan lokal.

Menurut Numberi11 (2014) masyarakat Papua terkesan dipaksakan untuk mengkonsumsi beras oleh pemerintah Orde Baru, “padahal makanan utama orang Papua adalah sagu yang kaya manfaat. Sewaktu saya jadi gubernur, tidak ada nasi yang dihidangkan di atas meja, semuanya harus sagu”. Sementara menurut Tjahjohutomo12 (2014) “Ada semacam rice food trap (jebakan pangan beras). Selama ini kita memang dipaksa makan beras, kalau beras tidak ada akhirnya harus impor”.

11 Freddy Numberi, Mantan Gubernur Papua

12 Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kementerian Pertanian

Page 277: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 277

Ditjen Perkebunan Kementan (2013) menyatakan bahwa “Pemenuhan pangan di Indonesia, saat ini mengarah ke satu komoditas yaitu padi/beras, sedang program diversifikasi pangan, bisa disebut baru sebatas wacana yang tidak diikuti dengan program yang jelas dan berkesinambungan. Sebagian penduduk Indonesia yang tadinya pola pangan utamanya bukan beras, secara sengaja atau tidak, malah beralih ke beras. Hal ini disebabkan beberapa hal : (1) Program Pemerintah; (2) Status sosial; (3) Ketersediaan pangan non beras yang tidak kontinyu, dan lain-lain”.

Menurut Heriawan13 (2014) "Sekarang 90 persen lebih masyarakat kita tergantung dengan beras. Ini jelas suatu kesalahan besar. Padahal pada tahun 1950, hanya sekitar 53 persen masyarakat Indonesia yang menjadikan beras sebagai makanan pokok. Selebihnya, ada yang makan sagu, jagung ataupun umbi-umbian"

Fokus dan intens terhadap pangan beras telah melalaikan perhatian terhadap sumber pangan lokal yang justru sangat potensial dengan beragam keunggulannya. Diantara jenis pangan lokal Jawa Barat yang kurang mendapat perhatian adalah Kirai atau Sagu (Metroxylon sp.)

Rendahnya kesadaran/pengetahuan dimasa lalu tentang potensi penting yang dimiliki sagu membuat kita lebih memilih menyia-nyiakannya untuk selanjutnya menempuh jalan pintas dengan mengimpor beras jutaan ton/th, impor biji gandum dan terigu jutaan ton/th, impor gula puluhan s/d ratusan ribu ton/th, dll (Anonim 2014). Sementara di Jawa Barat sendiri pemenuhan “pati” ditempuh dengan cara menebang tanaman aren hingga puluhan ribu batang/th (sutrisna, 2010). Padahal semua itu (beras, gandum, gula, pati aren) bisa dipenuhi hanya dari satu jenis komoditas penghasil pangan lokal yaitu : sagu

Adalah fakta bahwa program swasembada beras telah gagal kecuali 1 – 2 tahun saja pada dekade 80-an. Upaya pencetakan sawah baru dalam skala besarpun tidak menjadi solusi karena disamping kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk, ditempat lain sawah yang subur telah dan akan terus berubah fungsi untuk kepentingan berbagai sektor. Pencetakan sawah baru juga tidak selamanya dapat dilakukan karena keterbatasan cadangan lahan, disamping itu bentang sawah tidak menguntungkan ditinjau dari sudut konservasi karena sawah terbuka sepanjang tahun, menimbulkan penguapan dan pencucian material yang cukup tinggi.

Sementara itu kerusakan ekosistem di Jawa Barat terus berlangsung secara mengkhawatirkan yang ditandai dengan laju peningkatan lahan kritis dan lahan sangat kritis yang cukup dramatis yaitu 300% hanya dalam kurun waktu 5 tahun (2006-2011), padahal berbagai program rehabilitasi lahan diluncurkan setiap tahun dengan biaya yang fantastik.

B. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk (1) mengetahui potensi tanaman sagu di Jawa Barat, (2) menemukan strategi untuk menyelamatkan sagu sebagai solusi terintegrasi untuk perbaikan ekosistem dan kemandirian pangan di Jawa Barat

C. Keunggulan Sagu

Menurut Alfons dan Bustaman (2005) dan Maliangkay (2007) dalam Sutrisna (2010), sagu memiliki keunggulan komparatif : (a) pohon sagu tumbuh baik di rawa-rawa dan daerah pasang surut; (b) dapat berkembang biak dengan anakan; (c) dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim; (d) resiko terserang hama dan penyakit tanaman kecil dan; (e) produk olahan dapat tahan simpan.

Menurut Novarianto & Hosang (2008) dalam Sutrisna (2010) : (a) sagu merupakan tanaman penghasil pati dan serat yang lebih tahan terhadap bencana alam baik berupa banjir, gempa bumi ataupun tsunami; (b) eksploitasi sagu tidak mengganggu konservasi tanah karena sagu dikelilingi anakan yang sangat banyak.

13

Dr Rusman Heriawan, Wakil Mentan RI (2009-2014)

Page 278: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

278 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Bintoro14 (2014) menyatakan bahwa “produksi sagu lebih besar dibandingkan beras. Untuk menghasilkan beras 30 juta ton/th diperlukan lahan seluas 12 juta ha, sedangkan untuk menghasilkan sagu 30 juta ton/th hanya diperlukan lahan seluas 1 juta ha”. 1. Manfaat Ekologis

Secara ekologi tumbuhan sagu tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah rawa gambut, daerah sekitar aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Suryana (2007) dalam Botanri et al. (2011) menyebutkan tumbuhan sagu mempunyai daya adaptasi tinggi pada daerah-daerah rawa dan lahan marginal yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan dan tanaman perkebunan, sehingga sagu dapat berperan sebagai tanaman koservasi.

Tanaman ini dapat mengabsorbsi gas CO2 yang ditransmisikan dari lahan rawa dan gambut ke udara. Adanya tanaman sagu dapat mengurangi transmisi gas CO2 karena gas ini digunakan untuk fotosintesis (Sulistio, 2013). Pengembangan tanaman sagu secara sustainable dapat menyerap CO2 sebesar 289 ton/ha/tahun (Novarianto & Hosang 2008, Sutrisna 2010)

Budidaya sagu juga dapat dilakukan dengan pola wanamina, dimana lahan rawa diantara rumpun sagu dapat digunakan budidaya ikan rawa (Bintoro 2014). 2. Manfaat Ekonomis

Menurut Bintoro (2014), sagu sebagai solusi untuk menggantikan beras dan gandum impor jika sudah dikelola dengan baik. Pati sagu juga dapat dijadikan gula cair yang bisa digunakan industri makanan dan minuman. Sementara ampas sagu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan media tumbuh jamur selain dijadikan kompos atau pestisida nabati.

BPPT 2004, menyatakan bahwa pati sagu dapat menjadi bahan kemasan obat sehingga ketergantungan impor, yang bernilai sekitar Rp 24 miliar/th, dapat ditekan. (Jong dan Widjono 2007, Sutrisna 2010)

II. PEMBAHASAN

Tahun 1980 masih tercatat luas populasi sagu di Jawa Barat (plus Banten) ± 300 ha (Jong dan

Widjono 2007) dengan sebaran terluas berada di wilayah Bogor dan Sukabumi (Baharuddin & Taskirawati 2009), selain itu keberadaan tanaman sagu juga dijumpai secara sporadis di wilayah Ciamis selatan dan Tasikmalaya (Sutrisna, 2010).

Penyelamatan sagu di Jawa Barat sangat penting dilakukan karena akan memiliki dampak multiflier effect, antara lain : terselamatkannya populasi sagu dari kepunahan, perbaikan ekosistem dan peningkatan mutu lingkungan hidup, peningkatan produktivitas lahan, peningkatan cadangan karbon, melestarikan populasi aren, tersedianya cadangan pangan potensial, meningkatnya mekanisme dan dinamika perekonomian masyarakat.

Secara garis besar upaya penyelamatan sagu diharapkan dapat menyelesaikan 3 masalah krusial yang akan berlangsung secara sinergis dan menjadi satu-kesatuan yaitu “membangun kemandirian pangan berbasis perbaikan ekosistem untuk menyelamatkan biodiversitas penting yang terancam punah”

Penyelamatan/pengembangan sagu untuk perbaikan ekosistem dan kemandirian pangan akan lebih menguntungkan baik secara ekologis maupun ekonomis dibandingkan dengan komoditas lainnya, karena :

- Tegakan sagu selalu hijau sepanjang tahun sehingga memberi dampak positif terhadap mutu lingkungan hidup (ekosistem)

- Menanam sagu cukup satu kali, sedangkan panen berkelanjutan tanpa merusak lingkungan dan konservasi tanah karena sagu dikelilingi anakan yang banyak,

14 Pakar agronomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB)

Page 279: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 279

- Produktifitas sagu adalah yang tertinggi dibandingkan komoditas pangan yang lain persatuan waktu dan luasan. Dengan mengembangkan sagu merupakan jalan keluar dari sempitnya persediaan lahan pertanian

- Berbeda dengan komoditas lain, tumbuhan sagu lebih tahan terhadap dinamika iklim/cuaca ekstrim yang disebabkan oleh pamanasan global (banjir, kekeringan) sehingga produksi pangan lebih terjamin

- Pengembangan sagu tidak akan mengganggu komoditas penghasil pangan lain karena sagu tidak memerlukan lahan khusus sebagaimana padi dan penghasil pangan lainnya. Justru sagu merupakan pelengkap untuk mengisi ruang kosong dalam tatanan ekosistem. Fungsi dan manfaat pertama sagu adalah nilai konservasi, selanjutnya setelah berproduksi memiliki dua fungsi yaitu nilai konservasi dan nilai ekonomi

Untuk mencapai hasil optimum dalam upaya penyelamatan sagu di Jawa Barat diperlukan strategi, sebagai berikut : A. Pemetaan kondisi eksisting populasi sagu

Kegiatan ini bertujuan untuk memetakan kondisi eksisting sebaran populasi dan potensi lahan yang meliputi kondisi geografis dan ekologis dari tegakan alami sagu. Ruang lingkup pemetaan mencakup dua aspek, yaitu : (1) aspek geografi, yaitu memetakan posisi sebaran alami sagu berdasarkan letak wilayah geografis, (2) aspek ekologi dan sosial ekonomi, yaitu memetakan kondisi tumbuhan sagu plus lingkungan tempat tumbuhnya untuk mengetahui peluang kelestarian dan pengembangannya. Hasil pemetaan ini sebagai dasar dalam penyusunan rencana pengembangan tanaman HHBK Potensial Penghasil Pati jenis Sagu (Metroxylon sp.) di Jawa Barat. B. Pola Intensifikasi

Kegiatan intensifikasi dilakukan terhadap populasi eksisting sagu yang meliputi : penataan tegakan, pemeliharaan dan pengamatan tegakan, identifikasi sumber bibit, dll. C. Pola Ekstensifikasi

Ekstensifikasi adalah upaya pengembangan tanaman sagu di luar habitat aslinya untuk meningkatkan kuantitas tegakan sagu sebagai penghasil pangan lokal potensial di Jawa Barat. Kegiatan ekstensifikasi tanaman sagu (Metroxylon sp.) secara teknis dimungkinkan karena persyaratan tumbuh sagu cukup longgar, mulai dari rawa air tawar, rawa gambut, tepian sungai dan mata air, lahan kritis dll dengan variasi ketinggian terbaik 0 – 400m dpl. Peluang ekstensifikasi sagu berdasarkan kondisi eksisting lahan di Jawa Barat, antara lain : 1. Lahan Kritis dan Sangat Kritis

Tabel 1. Peningkatan Lahan Kritis di Jawa Barat

No Tahun Kritis (ha)

Sangat Kritis (ha)

Jumlah (ha)

Ket

1

2006

140.895

19.487

160.382

2 2011 415.806 68.139 483.944 naik 300%

?

Sumber : BPDAS Lingkup Jawa Barat, Statistik Kehutanan 2011 (BPKH Wil.XI, 2012)

Menurut BPLHD Jawa Barat (2006), analisis terhadap 40 DAS di Jawa Barat mengindikasikan telah merosotnya fungsi hidrologis dari DAS tersebut, yaitu 14 DAS dari 22 DAS yang mengalir ke utara sudah dalam kategori sangat kritis dan sisanya masuk kategori kritis. Berdasarkan ketersediaan air mantapnya, maka ada 5 DAS sudah termasuk tidak tersedia, sementara 14 DAS termasuk memiliki ketersediaan air mantap. Ditinjau dari tingkat erosi lahannya, maka 15 DAS dari 22 DAS tersebut termasuk dalam kategori kritis hingga sangat kritis. Dari tiga SWS yang mengalir ke

Page 280: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

280 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

pantai utara, yang paling penting sebagai pemasok air adalah Citarum, namun kondisi kemantapan alirannya sudah makin merosot seperti halnya hampir semua DAS lainnya. 2. Fungsi dan Peruntukan Lahan

Tabel 2. Luas Lahan Bukan Pertanian Dirinci Menurut Jenis Penggunaannya di Jawa Barat (Ha) 2011

Kabupaten/ Rumah/ Hutan Rawa Lainnya JML Kota Halaman Negara (tdk ditanami)

01. Bogor 43 282 36 610 76 21 530 101 498 02. Sukabumi 22 036 75 319 50 14 368 111 773 03. Cianjur 35 015 61 386 31 15 257 111 689 04. Tasikmalaya 13 234 33 978 5 4 762 51 979 05. C i a m i s 27 914 33 117 133 9 101 70 265 06. Majalengka 12 191 17 203 99 3 683 33 176 07 Indramayu 14 751 11 884 214 5 592 32 441 08. Purwakarta 11 176 18 244 2 028 10 720 42 168 09. Karawang 23 498 13 354 176 6 114 43 142 10. B e k a s i 24 606 234 95 13 006 37 941 11. Cirebon (kota) 2 252 - 32 342 2 626 12. Depok (kota) 11 005 13 26 2 052 13 096 13. Banjar (kota) 1 632 944 20 277 2 873

Jawa Barat 399 348 538 417 2 985 149 852 1 090 602

Sumber : Jawa Barat Dalam Angka (2012)15 Dari uraian point (1) dan (2) di atas, kegiatan ekstensifikasi tanaman sagu di Jawa Barat sangat dimungkinkan terutama pada rawa-rawa yang tidak ditanami seluas ± 2.985 ha.

D. Pola Diversifikasi

Upaya diversifikasi yang dapat ditempuh salah satunya adalah dengan pengayaan jenis melalui introduksi varietas potensial/unggul. Salah satu jenis yang relatif memenuhi persyaratan geografis dan ekologis adalah sagu baruk (Arenga macrocarpha Becc.) yang merupakan tumbuhan asli dari daerah Kepulauan Sangihe, Maluku, Papua dan Papua New Guinea.

Menurut Maliangkay (2007) dari berbagai sumber, sagu baruk memiliki keistimewaan dapat tumbuh baik pada lahan kering, bahkan di lereng-lerang dimana tanaman lain sulit tumbuh dan berkembang (Sutrisna,2010). Dengan demikian pengembangan sagu baruk di Jawa Barat mempunyai peluang cukup besar karena wilayah ini memiliki lahan kering yang cukup luas.

Lebih lanjut Maliangkay (2007) menerangkan, faktor-faktor menguntungkan yang menjadi pendorong pengembangan tanaman sagu baruk adalah : (a) dapat tumbuh pada kemiringan sampai dengan 60%; (b) pencegah erosi; (c) ramah lingkungan; (d) pengendalian tanah, dan (e) pendukung sistem agrososial yang stabil.

Maliangkay dan Matana (2005), Miftahurrachman, (2005) (Maliangkay, 2007), tanaman sagu baruk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik mulai dari pingiran pantai hingga pada ketinggian 700 m dpl dengan kemiringan lereng di atas 40%-60% dengan curah hujan antara 2500-4000 mm. Sagu baruk juga dapat dikembangkan dengan “pola agroforestry” bersama-sama dengan tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa, pala, cengkeh dll (Sutrisna 2010).

Persyaratan tumbuh sagu baruk yang sangat fleksibel dan nyaris tidak memerlukan pemeliharaan, memungkinkan untuk dijadikan varietas pengayaan dan berfungsi sebagai tanaman konservasi pada seluruh area pertanian lahan kering (hutan rakyat) di Jawa Barat.

15 http://www.jabarprov.go.id/root/dalamangka/dda2012.pdf

Page 281: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 281

Menurut Lay (2012) sagu baruk dapat berperan sebagai tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman kehutanan, tumbuh baik pada berbagai habitat, topografi lahan miring/curam dan musim kemarau panjang. Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan memberi manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan.

Bagan : Strategi Penyelamatan Sagu di Jawa Barat

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Sagu (Metroxylon sp.) merupakan sumber karbohidrat paling potensial dengan beragam

keunggulannya, antara lain : - Secara ekonomis : sebagai solusi untuk menggantikan beras dan gandum impor jika sudah

dikelola dengan baik. Pati sagu juga dapat dijadikan gula cair yang bisa digunakan industri makanan dan minuman. Sementara ampas sagu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan media tumbuh jamur selain dijadikan kompos atau pestisida nabati.

Pola Diversifikasi

Pengayaan Jenis (Introduksi Varietas Unggul)

Pola Ekstensifikasi

Pada Lahan Kritis dan Sangat Kritis

Berdasarkan Fungsi/ Peruntukan Lahan

Pola Intensifikasi

Penataan & Pemeliharaan Tegakan

Identifikasi Sumber Bibit

Pemetaan Kondisi Eksisting Populasi Sagu

Aspek geografi Aspek ekologi dan

sosial ekonomi

5. Cadangan pangan & karbon

potensial

4. Populasi Aren Lestari

3. Produktivitas lahan Meningkat

2.Perbaikan ekosistem

1.Tanaman Sagu Terselamatkan dr Kepunahan

Strategi Penyelamatan Sagu di Jawa

Barat

KEMANDIRIAN PANGAN DAN

PRODUKSI PANGAN BERKELANJUTAN

Page 282: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

282 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

- Secara ekologis : tumbuhan sagu mempunyai daya adaptasi tinggi pada daerah-daerah rawa dan lahan marginal yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan dan tanaman perkebunan, sehingga sagu dapat berperan sebagai tanaman koservasi

2. Jawa Barat pada masa lalu merupakan salah satu habitat sagu, tetapi saat ini keberadaannya terancam punah. Upaya penyelamatan sagu disamping bertujuan untuk menyelamatkan biodiversitas penting yaitu sagu itu sendiri, juga akan memberikan dampak multiflier effect yang secara garis besar akan menjadi solusi terintegrasi untuk perbaikan ekosistem dan kemandirian pangan di Jawa Barat.

3. Strategi penyelamatan sagu di Jawa Barat dapat dilakukan dengan 4 langkah, yaitu (a) pemetaan kondisi eksisting populasi sagu secara lengkap & sistematis, (b) penerapan pola intensifikasi, (c) pola ekstensifikasi, dan (d) pola diversifikasi usaha.

B. Saran 1. Pentingnya mengintesifkan pemanfaatan ruang melalui pengembangan sagu untuk

mengantisipasi beberapa kelemahan vital yang dihadapi komoditas pangan lain terutama padi/beras. Menurut Wijayanti16 (2014) "Swasembada beras menghadapi berbagai ancaman, mulai dari kebutuhan yang semakin meningkat seiring pertambahan penduduk, alih fungsi lahan persawahan untuk kepentingan lain seperti pemukiman, fasilitas umum dan industri. Selain itu, ketersediaan air untuk persawahan juga menghadapi ancaman dengan meningkatnya kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri. Belum lagi menghadapi gangguan akibat perubahan iklim global yang banyak mengakibatkan gagal panen, misalnya bencana banjir dan kekeringan".

2. Upaya penyelamatan dan pengembangan sagu di Jawa Barat perlu dibarengi dengan kegiatan penelitian dan kajian secara komprehensif untuk menentukan langkah teknis secara tepat sehingga lebih menjamin tingkat keberhasilannya

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2014.10 Bahan Pangan Indonesia Masih Impor, http://beranda-miti.com/ 10-bahan-pangan-

indonesia-masih-impor/, diakses tgl 20 april 2014. Baharuddin dan Taskirawati Ira, 2009. Buku Ajar : Hasil Hutan Bukan Kayu (II-59). Fak.Kehutanan

Universitas Hasanudddin http://unhas.ac.id/fahutan/index.php/karya-ilmiah/bukuajar.html%3F download%3D2% 253Ahasil-hutan-bukan-kayu, diakses tgl 20 april 2014.

Bintoro, 2014. Sagu bisa gantikan impor gandum. Antaranew edisi kamis 27 Maret 2014,

http://www. antaranews.com/berita/426241/sagu-bisa-gantikan-impor-gandum, diakses tgl 20 April 2014.

Botanri Samin, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim dan Lilik B.Prasetyo 2011. Karakteristik

Habitat Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) di Pulau Seram, Maluku. Forum Pascasarjana Vol.34 No.1 Januari 2011, 33-34. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=86384&val=245 diakses tgl 20 April 2014.

BPLHD (2006). Degredasi Sumberdaya Alam, http://www.bplhdjabar.go.id/ index.php/isustrategis/

degredasi-sda, diakses tgl 20 April 2014.

16 Listyani Wijayanti, Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi

Page 283: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 283

BPKH Wil.XI Jawa Madura, 2012, Potret Hutan Jawa – Madura, http://www.bpkhjogja.net/Dokumen/ PotretHutanJawaMadura.pdf, diakses tgl 20 April 2014.

Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, 2013. PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN TANAMAN

SAGU TAHUN 2014, https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7& cad=rja&uact=8&ved=0CGEQFjAG&url=http%3A%2F%2Fditjenbun.pertanian.go.id%2Fdownlot.php%3Ffile%3DPedoman%2520Teknis%2520Pengembangan%2520Tanaman%2520Sagu.pdf&ei=WMtnU4e5LtaMuAS4KICQ&usg=AFQjCNFNPwepvjC2ti14Lx5a24gxp4HBNw&sig2=bVwdmDJqkoguhXHmnvna0Q&bvm=bv.65788261,d.c2E, 05 Mei 2014.

Heryawan Rusman, 2014. Indonesia Ekspor Sagu Hingga Eropa. Republika Online, Sabtu, 03 Mei

2014, 21:36 WIB http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/05/03/n505xd-indonesia -ekspor-sagu-hingga-eropa, diakses 03 Mei 2014, 22:36 WIB.

Jong F.S. dan Widjono Adi (2007). Sagu: Potensi Besar Pertanian Indonesia, Iptek Tanaman Pangan

Vol. 2 No. 1 – 2007, www.puslittan.bogor.net, diakses tanggal 29 Juni 2010. Lay Abner, 2012. Pendayagunaan Sagu Baruk Sebagai Tanaman Konservasi,Produksi Pangan dan

Pakan Ternak. http://www.forda-mof.org/files/Sagu_Baruk.pdf, diakses tgl 20 April 2014. Maliangkay Ronny Benhard, (2007). Sagu Salah Satu Komoditi Andalan Untuk Lahan Marginal,

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal, Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/diseminasi/2007/73-semi-nar-nasional-pengembangan-inovasi-pertanian-lahan-marginal-p4mi?format=pdf diakses tanggal 6 April 2009.

Numberi Fredy, 2014. Sagu, sumber pangan dan energi yang terabaikan. Antara new edisi kamis 27

Maret 2014 http://www. antaranews.com/berita/426253/sagu-sumber-pangan-dan-energi-yang-terabaikan, diakses tgl 20 April 2014.

Sulistio, 2013. Sagu, Tanaman Masa Depan yang Masih Terlupakan. http://faperta.ipb.ac.id/

index.php/en/ component/k2/item/28-sagu-tanaman-masa-depan-yang-masih-terlupakan?Itemid=101, diakses tgl 26 April 2014.

Sutrisna Nana, 2010. Melindungi Petani Gula Aren Jawa Barat dengan Mengembangkan Tanaman

Kirai. Prosiding Seminar “Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat untuk Kesejahteraan Masyarakat”, Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Bandung 20 Oktober 2010.

Tjahjohutomo R. 2014. Kementan: sagu lebih sehat dibandingkan beras, Antaranew edisi kamis 27

Maret 2014 http://www.antaranews.com/berita/426256/kementan-sagu-lebih-sehat-dibanding-kan-beras, diakses tgl 20 april 2014.

Wijayanti Listiani, 2014. Sagu Juga Mampu Menjadi Sumber Pangan Nasional, 05 May 2014

http://www.bppt.go.id/index.php/teknologi-agroindustri-dan-bioteknologi/1971-sagu-juga-mampu-menjadi-sumber-pangan-nasional, diakses tgl 6 Mei 2014.

Page 284: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

284 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

FISIOLOGI DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L) Merril) DI DALAM SISTEM AGROFORESTRI SENTANG (Azadirachta excelsa Jack)

Suci Ratna Puri, Nurheni Wijayanto, Arum Sekar Wulandari

Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB Email: [email protected]

ABSTRAK

Produksi kedelai Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan pada tahun 2013. Penurunan produksi ini tentunya dapat menyebabkan peningkatan impor kedelai di Indonesia. Penggunaan lahan tidur di bawah tegakan atau yang dikenal dengan agroforestri, akan lebih mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang selama ini belum termanfaatkan. Tanaman sentang (Azadirachta excelsa Jack) merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan dalam sistem agroforestri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon fisiologi, pertumbuhan dan produksi berbagai varietas tanaman kedelai Rancangan penelitian yang digunakan pada percobaan ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan petak terbagi (split plot design) yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Pola tanam sebagai petak utama, yang terdiri dari pola tanam agroforestri (S1) dan monokultur (S0). Faktor kedua yang merupakan anak petak adalah berbagai varietas kedelai yang keragamanya terletak di dalam petak utama. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada dimensi pohon (diameter tajuk dan diameter akar) pola tanam Agroforestri memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan monokultur, namun hasil sebaliknya terjadi pada parameter tinggi tanaman. Pola tanam monokultur memiliki nilai rata-rata dimensi akar yang tertinggi dibandingan agroforestri. Kandungan klorofil dan serapan hara NPK pada pola agroforestri memiliki nilai tertinggi dibandingkan pada monokultur, sedangkan hasil sebaliknya terjadi pada parameter nisbah klorofil a/b. Pola tanam monokultur memiliki nilai tertinggi pada setiap parameter pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai, kecuali pada parameter tinggi kedelai. Dalam penelitian ini, tanggamus memberikan hasil pertumbuhan maupun produksi tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan varietas anjasmoro dan wilis.

I. PENDAHULUAN

Produksi kedelai Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan pada tahun 2013. Produksi kedelai Indonesia tahun 2013 mencapai 779.992 ribu ton atau mengalami penurunan sebesar 63.16 ribu ton (7.89%) dibandingkan tahun 2012 dengan produksi sebesar 843.15 ribu ton. Penurunan produksi ini diperkirakan terjadi karena adanya penurunan luas panen seluas 16.83 ribu ha (11.46%), diikuti juga dengan penurunan produktivitas sebesar 0.69 kw/ha (4.87%) (BPS 2014). Penurunan produksi ini tentunya dapat menyebabkan peningkatan impor kedelai di Indonesia. Penggunaan lahan tidur di bawah tegakan atau yang dikenal dengan agroforestri, akan lebih mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang selama ini belum termanfaatkan. Setiap tahunnya sekitar 3–4 % dari areal perkebunan merupakan tanaman baru (replanting) yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman sela sampai tanaman perkebunan berumur 3 tahun (Sopandie dan Trikosoemaningtyas 2011). Kendala utama pada lahan semacam ini adalah intensitas cahaya, suhu, kelembaban dan kesuburan tanah, oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperoleh varietas yang berproduksi tinggi pada kondisi demikian (Sopandie et al. 2005). Tanaman sentang (Azadirachta excelsa Jack) merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan dalam sistem agroforestri. Tanaman sentang merupakan jenis tanaman cepat tumbuh yang keberadaannya belum banyak diketahui dan diteliti khususnya di Indonesia.

Berdasarkan keunggulan yang dimiliki dari kedua jenis tersebut, diharapkan akan meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, dikarenakan terjadinya interaksi dari kombinasi kedua jenis tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang bagaimana hubungan interaksi yang terjadi antar komponen penyusun agroforestri dan produktivitas kedua jenis tanaman

Page 285: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 285

penyusunnya dan pengujian berbagai varietas kedelai perlu dilakukan terutama di bawah tegakan sentang, mengingat hal ini belum banyak dilakukan.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Pebruari 2015 sampai Juni 2015. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di lahan kebun Pusat Penelitian Tanaman Obat Biofarmaka di Cikabayan Kampus IPB Dramaga dengan luas lahan 450 m2.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai (varietas anjasmoro, grobogan, wilis, tanggamus), pupuk kandang sapi, pupuk NPK, insektisida (bahan aktif karbofuran: 3%), insektisida (bahan aktif delta metrin 25 g/L), kapur (dolomit). lux meter, kaliper, termometer dll.

C. Pengamatan dan Pengambilan Data

Menurut Wijayanto dan Hidayanthi (2012) pengkuran dimensi tanaman sentang meliputi: (1) Pengukuran tinggi (cm) : Pengukuran ini dilakukan setiap 1 (satu) minggu sekali sampai bulan ke-4, (2) Pengukuran diameter batang (cm) : Pengukuran diameter dilakukan setiap 1 (satu) bulan sekali sampai bulan ke-4, (3) Pengukuran Tajuk : Pengukuran dilakukan pada awal, pertengahan dan akhir penanaman tanaman kedelai, (4) Pengukuran akar tanaman sentang : Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir penanaman tanaman kedelai. Pengukuran dilakukan terhadap jumlah akar sentang yang berada pada kedalaman 0–20 cm dengan mengukur diameter setiap akar yang ditemukan menggunakan kaliper (cm) dan busur (derajat) sebagai penanda arah akar. 1. Hasil dan komponen hasil tanaman kedelai Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hasil per ha (Iqbal et al. 2013). 2. Analisis kandungan klorofil dan serapan hara

Analisis fisiologi tanaman kedelai terdiri atas analisis klorofil dan serapan hara tanaman (Kisman et al. 2007). Analisis kandungan klorofil (klorofil a, klorofil b, klorofil total) dan rasio klorofil a/b menggunakan 2 sampel daun per varietas yang telah membuka sempurna yaitu pada umur 5 MST. Pengambilan sampel daun dilakukan pada daun ke-3 atau ke-4 dari atas pada setiap varietas pada tanaman di bagian tengah. Analisis kandungan hara menggunakan 3 sampel daun per perlakuan. Cara pengambilan daun sampel untuk analisis kandungan hara sama dengan pengambilan saun sampel pada analisis kandungan klorofil. D. Analsis Data

Rancangan penelitian yang digunakan pada percobaan ini adalah petak terbagi (split plot design) yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Pola tanam sebagai petak utama, yang terdiri dari pola tanam agroforestri (S1) dan monokultur (S0). Faktor kedua yang merupakan anak petak adalah berbagai varietas kedelai yang keragamanya terletak di dalam petak utama yang terdiri dari varietas anjasmoro (A), grobogan (G), tanggamus (T) dan wilis (W).

Ukuran petak percobaan 1.2 m x 4 m, jarak tanam yang digunakan 40 cm x 20 cm sehingga dalam satu petak percobaan terdiri dari 60 lubang tanam. Sampel tanaman kedelai diambil disetiap satuan petak percobaan yang terdiri atas 10 tanaman kedelai untuk diamati, dan 2 tanaman kedelai per perlakuan/ulangan sebagai tanaman destruktif yang diambil di bagian tengah

Page 286: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

286 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Akar dan dimensi sentang Tabel 1 Hasil pengukuran dimensi sentang

Dimensi pohon Pola Tanam Waktu Pengukuran

Awal Bulan 1 Bulan 2 Bulan ke 3

Tinggi Total (cm) Agroforestri 116.81 140.91 164.94 182.41

Monokultur 124.09 144.31 164.22 182.62

Diameter Batang(cm) Agroforestri 1.3 1.63 1.84 2.23

Monokultur 1.3 1.53 1.76 2.17

Tajuk (cm) Agroforestri 74.69 82.29 110.89 121.06

Monokultur 76.07 83.09 104.7 111.87

Tabel 2 Hasil pengukuran perakaran sentang

Dimensi akar Pola Tanam Waktu Pengukuran

Awal pertanaman kedelai Akhir pertanaman kedelai

Panjang (cm) Agroforestri 25.05 59.71

Monokultur 26.33 75.39

Kedalaman (cm) Agroforestri 11.83 17.89

Monokultur 8.51 17.68

Diameter (cm) Agroforestri 0.07 0.11

Monokultur 0.07 0.13

Berdasarkan hasil pengukuran dimensi pertumbuhan dan akar sentang, terlihat perbedaan

pertumbuhan antara plot monokultur dan plot agroforestri. Rata-rata tinggi sentang pada plot monokultur lebih tinggi dibandingkan pada plot agroforestri, namun untuk rata-rata diameter batang dan diameter tajuk pada plot agrforestri memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan plot monokultur (Tabel 2). Perbedaan tersebut diduga karena adanya perbedaan penerimaan radiasi matahari pada setiap plot.

Berdasarkan rata-rata pertambahan diameter batang dan diameter tajuk sentang pada plot agroforestri tumbuh lebih cepat dibandingkan pada plot monokultur (Tabel 1), hal ini diduga karena perlakuan yang diberikan pada tanaman kedelai memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan sentang. Perlakuan tersebut seperti pemupukan, penggemburan, penyiangan gulma.

B. Respon Fisiologi Kedelai 1. Kandungan Klorofil Daun Kedelai

Gambar 1. Grafik kandungan klorofil daun kedelai

Page 287: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 287

Kandungan klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan monokultur dibandingkan dengan perlakuan agroforestri (Gambar 1), begitu juga dengan rasio klorofil a/b terlihat bahwa rasio klorofil a/b pada perlakuan agroforestri lebih rendah dengan perlakuan monokultur, namun perbedaanya tidak terlalu besar dikarenakan penutupan tajuk pada tanaman sentang belum terlalu rapat. Berdasarkan Gambar 1 varietas Wilis memiliki kandungan klorofil tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Daun yang terbentuk pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukan peningkatan jumlah klorofil dan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas empat sampai lima kali lebih banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah dibandingkan pada tanaman cahaya penuh karena memiliki kompleks pemanenan cahaya yang meningkat sehingga mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya untuk fotosintesis (Djukri dan Purwoko 2003). 2. Serapan Hara Kedelai

Gambar 2 Grafik Serapan hara tanaman kedelai

Perlakuan agroforestri memiliki serapan hara N dan K tertinggi dibandingkan dengan perlakuan monokultur (Gambar 2), namun perbedaanya tidak terlalu besar, sedangkan untuk serapan hara P, kedua perlakuan memiliki nilai yang sama. Hal ini diduga perolehan radiasi matahari baik pada perlakuan agroforestri dan monokultur tidak terlalu berbeda sehingga hasil yang dihasilkan hampir sama. Perlakuan agroforestri lebih tinggi diduga penerimaan radiasi matahari dan suhu udara pada plot tersebut merupakan yang optimal bagi serapan hara tanaman kedelai, hal tersebut menunjukan suhu pada plot monokultur terlalu tinggi sehingga menyebabkan terjadinya cekaman dengan traspirasi yang terlalu tinggi sehingga dapat menurunkan serapan hara tanaman. 3. Produksi Kedelai Perlakuan naungan dan varietas memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komponen hasil kedelai (Tabel 3). Interaksi antara naungan dengan varietas memberikan pengaruh yang berbeda terhadap beberapa komponen hasil (Tabel 6). Tabel 3. Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan perlakuan pola tanam dan varietas.

Peubah Pola Tanam Varietas Interaksi

KK R2 (S)a (V)a (SxV)a

Produksi 1. Jumlah buku produktif/tanaman tn ** tn 6.13 0.97

2. Jumlah cabang produktif tn ** ** 10.43 0.91

3. Jumlah polong/tanaman tn ** * 14 0.94

4. Jumlah polong isi/tanaman tn ** * 14.01 0.94 5. Jumlah polong hampa/tanaman tn tn tn 22.11t 0.54t

Page 288: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

288 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Peubah Pola Tanam Varietas Interaksi

KK R2 (S)a (V)a (SxV)a

6. Bobot biji/tanaman tn ** tn 16.47 0.85

7. Bobot 100 biji * ** tn 5.53 0.98

8. Bobot biji/petak tn ** tn 20.32 0.79

9. Umur panen kedelai (HST) ** ** ** 0 1

10. Hasil/ha tn ** tn 19.77 0.79 (tn) : tidak berbeda nyata, (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**) : berbeda sangat nyata pada taraf uji 1% ; KK : koefisien keragaman; (t) : hasil trasformasi akar (x+0.5); HST : hari setelah tanam.

Tabel 4. Pengaruh pola tanam terhadap produksi kedelai.

Peubah Pola tanam

S1 S0

Produksi

1. Jumlah buku produktif/tanaman 9.15a 9.06a

2. Jumlah cabang produktif 3.36a 3.54a

3. Jumlah polong/tanaman 78.77a 82.49a

4. Jumlah polong isi/tanaman 75.95a 78.30a

5. Jumlah polong hampa/tanaman 1.72a 2.08a

6. Bobot biji/tanaman 17.47a 17.99a

7. Bobot 100 biji 13.26b 14.05a

8. Bobot biji/petak 757.18a 755.53a

9. Umur panen kedelai (HST) 89.50a 87.00b

10. Hasil/ha 1.65a 1.64a Angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Tabel 5. Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan kedelai.

Peubah Varietas

Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis

Produksi

1. Jumlah buku produktif/tanaman 5.78c 8.85b 11.12a 10.67a

2. Jumlah cabang produktif 2.33c 3.47b 3.97a 4.03a

3. Jumlah polong/tanaman 33.22c 80.43b 99.77a 109.10a

4. Jumlah polong isi/tanaman 28.75c 76.98b 97.02a 105.75a

5. Jumlah polong hampa/tanaman 2.02a 2.05a 1.69a 1.85a

6. Bobot biji/tanaman 10.40b 21.98a 19.35a 19.20a

7. Bobot 100 biji 20.32a 14.10b 10.36c 9.82c

8. Bobot biji/petak 495.09b 845.00a 742.83a 942.50a

9. Umur panen kedelai (HST) 77.50d 90.50c 93.50a 91.50b

10. Hasil/ha 1.07b 1.85a 1.63a 2.04a Angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Tabel 6. Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai

Peubah Pola

tanam

Varietas

Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis

Page 289: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 289

Peubah Pola

tanam

Varietas

Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis

1. Umur panen kedelai (HST) S0 77.00f 88.00d 93.00b 90.00c

S1 78.00e 93.00b 94.00a 93.00b

2. Jumlah cabang produktif S0 2.70d 3.27cd 4.47a 3.73bc

S1 1.97e 3.67bc 3.47c 4.33ab

3. Jumlah polong/tanaman S0 36.93d 76.70c 114.10a 102.23ab

S1 29.50d 84.17bc 85.43bc 115.97a

4. Jumlah polong isi/tanaman S0 30.13d 73.30c 110.60a 99.17ab

S1 27.37d 80.67bc 83.43bc 112.33a

Angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan) 4. Umur panen

Umur panen kedelai pada pola tanam agroforestri berbeda nyata bila dibandingkan dengan umur panen pada perlakuan pola tanam monokultur. Diduga karena adanya tanggap faktor genetik yang berbeda terhadap faktor lingkungan, sehingga menunjukkan perbedaan pertumbuhan dan pemasakan buah. Suhartina dan Arsyad (2006) menyatakan bahwa kekeringan pada fase reproduktif mempercepat umur masak. Umur panen varietas tanggamus pada pola tanam agroforestri lebih lama dibandingkan dengan varietas lainnya baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri. Umur panen tercepat terdapat pada varietas pada pola tanam monokultur. 5. Jumlah buku produktif

Jumlah buku produktif varietas tanggamus memberikan hasil jumlah buku produktif yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan varietas wilis. Perbedaan jumlah buku tiap varietas diduga karena adanya perbedaan rata-rata tinggi tanaman. Banyaknya buku produktif yang terbentuk dipengaruhi oleh tinggi tanaman dan banyak cabang dinyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara karakter tinggi tanaman dengan jumlah cabang dan buku produktif. Terlihat bahwa tinggi tanaman dan percabangan dari varietas tanggamus memiliki nilai rata-rata yang tinggi sehingga diikuti dengan tingginya nilai rata-rata dari buku produktif. 6. Jumlah cabang produktif

Pola tanam monokultur memiliki jumlah cabang produktif yang banyak dibandingkan dengan pola tanam agroforestri. Pembentukan cabang dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan jarak tanam. Garner et al. (1991) menyatakan bahwa peningkatan intensitas cahaya dapat melipatgandakan percabangan per tanaman. Varietas tanggamus pada pola tanam monokultur memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan varietas grobogan baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri, namun tidak berbeda nyata dengan varietas anjasmoro dan wilis baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri. 7. Jumlah polong total

Jumlah polong per tanaman varietas wilis memberikan hasil jumlah polong per tanaman yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan varietas tanggamus. Pola tanam monokultur memiliki jumlah polong total kedelai yang banyak dibandingkan dengan pola tanam agroforestri. Penurunan jumlah polong dapat disebabkan adanya penerimaan cahaya yang sedikit oleh tanaman yang menyebabkan berkurangnya hasil fotosintat. Jumlah polong per tanaman varietas wilis pada pola tanam agroforestri memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan varietas grobogan baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri, namun tidak berbeda nyata dengan varietas anjasmoro dan wilis baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri. 8. Jumlah polong isi

Page 290: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

290 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Jumlah polong isi per tanaman varietas wilis memberikan hasil jumlah polong isi per tanaman yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan varietas tanggamus. Hal tersebut di duga karena jumlah buku produktif, cabang produktif dan polong total dari varietas wilis memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Peningkatan jumlah polong diikuti dengan meningkatnya jumlah cabang produktif, buku produktif dan jumlah polong total. 9. Bobot biji per tanaman, bobot biji per petak, Hasil per ha

Bobot biji per tanaman varietas anjasmoro memberikan hasil bobot biji per tanaman yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan varietas wilis dan tanggamus. Sedangkan pada hasil bobot biji per petak varietas wilis memiliki nilai yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan varietas anjasmoro dan tanggamus. Jumlah polong berisi, jumlah polong hampa dan jumlah polong total sangat berpengaruh terhadap bobot biji per tanaman. Varietas wilis memiliki nilai rata-rata tertinggi pada semua indikator tersebut sehingga menyebabkan varietas wilis memiliki nilai tertinggi terhadap bobot biji pertanaman yang diikuti dengan meningkatnya bobot biji perpetak dan akan mempengaruhi hasil per ha nya.

Pola tanam monokultur memiliki bobot biji per tanaman, bobot biji per petak dan hasil per ha yang tinggi dibandingkan dengan pola tanam agroforestri. Baharsjah (1980) menyatakan bahwa hasil kedelai dapat menurun dengan terjadinya penurunan jumlah buku, cabang, dan polong serta dengan meningkatnya jumlah polong hampa per tanaman. Hasil kedelai pun akan menurun dengan menurunnya intensitas cahaya yang diterima tanaman. 10. Bobot 100 biji Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa bobot 100 biji pola tanam monokultur memberikan hasil bobot 100 biji yang tertinggi dibandingkan dengan pola tanam agroforestri. Bobot 100 butir merupakan karakter untuk mengetahui ukuran biji kedelai, semakin besar bobot 100 butir biji kedelai maka ukuran biji kedelai juga semakin besar. Tanaman kedelai yang tumbuh pada lingkungan ternaungi pada fase generatif akan mengalami penurunan aktivitas fotosintesis sehingga alokasi fotosintat ke organ reproduksi menjadi berkurang (Kakiuchi dan Kobata 2004) hal ini menyebabkan ukuran biji menjadi lebih kecil dibandingkan pada kondisi tanpa naungan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Kedelai pada pola monokultur mengandung klorofil a, b, kandungan karoten dan total

klorofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai pada pola tanam agroforestri. Serapan hara N, P, dan K pada pola tanam agroforestri memiliki serapan hara yang tertinggi dibandingkan dengan kedelai pada pola tanam monokultur. Varietas tanggamus pada pola tanam monokultur lebih unggul dibandingkan dengan varietas lainnya. Penggunaan berbagai varietas kedelai pada agroforestri tanaman sentang umur 1 tahun menghasilkan produksi yang lebih rendah dari hasil pada pola tanam monokultur. Akar lateral sentang lebih banyak ditemukan pada lahan monokultur dari pada lahan agroforestri. tinggi sentang pada plot monokultur lebih tinggi dibandingkan pada plot agroforestri, namun untuk rata-rata diameter batang dan diameter tajuk pada plot agrforestri memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan plot monokultur. B. Saran Penelitian agroforestri kedelai dan sentang perlu diuji pada jarak tanam, variasi pemupukan dan pengapuran sehingga dapat diperoleh produksi terbaik. Pengamatan terhadap hubungan kedelai dengan dimensi sentang membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini bertujuan agar terlihat pertumbuhan sentang yang signifikan. Perakaran sengon diamati sampai dengan akar tersier untuk melihat indeks persaingan antara kedelai dengan sentang.

Page 291: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 291

DAFTAR PUSTAKA

Baharsjah J, Suardi D, dan Las I. 1985. Hubungan iklim dengan pertumbuhan kedelai Dalam Somaatmadja S, Ismunadji M, Sumarno, Syam M, Manurung O, Yuswadi (Eds.) Kedelai. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi padi, jagung dan kedelai. [internet]. [Diunduh 2015 Feb

3]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php. Djukri, Purwoko BS. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman talas

(Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian. 10(2): 17-25. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo H dan Subiyanto,

penerjemah. Jakarta (ID): UI Press. Iqbal M, Mawarni L, Charloq. 2013. Pertumbuhan dan produksi beberapa varietas kedelai (Glycine

max (L.) Merrill) pada berbagai tingkat penaungan tahap kedua. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1(3).

Kakiuchi J, Kobata T. 2004. Shading and thinning effects on seed and shoot dry matter increase in

determinate soybean during the seed-fi lling period. Agron J. (96):398-405. Kisman, Khumaida N, Trikoesoemaningtyas, Sobir, Sopandie D. 2007. Karakter morfo – fisiologi daun,

penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Argon. 35(2):96–102. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas. 2011. Pengembangan Tanaman Sela di bawah Tegakan Tanaman

Tahunan. Iptek Tanaman Pangan. 6(2):168-182. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Khumaida N. 2005. Fisiologi, Genetik dan Molekular Adaptasi

Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah : Pengembangan Varietas Unggul Kedelai sebagai Tanaman Sela. Usulan Penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana-HPTP (Hibah Pasca). Bogor (ID): IPB.

Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Khumaida N. 2006. Fisiologi, Genetik, dan Molekuler Adaptasi

Terhadap Intensitas Cahaya Rendah: Pengembangan Varietas Unggul Kedelai sebagi Tanaman Sela. Laporan Akhir Penelitian Hibah Penelitian Tim Pasca Sarjana-HPTP Angkatan II ; Tahun 2004 – 2006. Bogor (ID): Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. 159 hal.

Suhartina, Arsyad DA. 2006. Toleransi galur dan varietas kedelai terhadap cekaman kekeringan

Dalam Suharsono, Makarim AK, Rahmianna AA, Adie MM, Taufik A, Rozi F, Tastra IK, Harnowo D (Eds) Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Bogor (ID). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Wijayanto N, Hidayanthi D. 2012. Dimensi dan sistem perakaran tanaman sentang (Melia excelsa

Jack) di lahan agroforestri. Jurnal Silvikultur Tropika. 3(3):196–202.

Page 292: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

292 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) BERBASISKAN AGROFORESTRI SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

Adisti Permatasari Putri Hartoyo, Nurheni Wijayanto, Sri Wilarso Budi R

Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Email: [email protected]

ABSTRAK

Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 4.00 ribu ton (0.47%) dibandingkan tahun 2012 dengan produksi sebesar 843.15 ribu ton biji kering. Konsumsi kedelai di Indonesia sebesar 2.25 juta ton/tahun. Kekurangan pasokan kedelai diperoleh dengan melakukan impor. Upaya untuk menekan laju impor antara lain melalui strategi perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas (varietas unggul). Luas lahan untuk budidaya tanaman semakin menyempit. Salah satu strategi perluasan areal tanam kedelai adalah dengan menerapkan sistem agroforestri. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Wilis, Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan berbasiskan agroforestri sengon. Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dua faktor dan lima ulangan. Faktor utama adalah naungan yang terdiri atas naungan tegakan sengon (N1) dan tanpa naungan (N0). Faktor kedua adalah perbedaan varietas kedelai. Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan varietas Grobogan di lahan terbuka memiliki persen tumbuh, dan tinggi tanaman tertinggi, serta berumur paling genjah. Varietas Pangrango di lahan terbuka memiliki bobot basah dan kering tertinggi. Produksi varietas Pangrango pada perlakuan N0 lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya pada perlakuan yang sama, yakni sebesar 2.29 ton/ha. Varietas kedelai yang ditanam pada agroforestri sengon 4 tahun dengan jarak tanam (3x2.5) m menghasilkan produksi yang lebih rendah 3-4 kali dari hasil kedelai di lahan terbuka. Kata kunci: Agroforestri sengon, kedelai, pertumbuhan, produksi

I. PENDAHULUAN

Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan 847.16 ribu ton biji kering atau mengalami peningkatan sebesar 4.00 ribu ton (0.47%) dibandingkan tahun 2012 dengan produksi sebesar 843.15 ribu ton biji kering, namun produktivitas diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0.03 kwintal/hektar (0.20%) (BPS 2013). Menurut data Kementerian Perdagangan RI, konsumsi kedelai di Indonesia sebesar 2.25 juta ton/tahun dan kekurangan pasokan kedelai diperoleh dengan melakukan impor dari Amerika Serikat (Nugrayasa 2013). Upaya untuk menekan laju impor antara lain melalui strategi perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas (varietas unggul). Salah satu strategi perluasan areal tanam kedelai adalah dengan menerapkan sistem agroforestri. Beberapa hutan rakyat sengon di Kabupaten Bogor masih menerapkan pola monokultur. Hal ini menunjukkan bahwa optimalisasi lahan belum sepenuhnya diterapkan oleh masyarakat (Hartoyo 2014).

Uji coba penanaman varietas kedelai toleran perlu dilakukan di bawah tegakan sengon. Tanaman dominan yang dikembangkan di hutan rakyat Kabupaten Bogor adalah sengon, yakni seluas 4 745.02 ha (Supriadi 2006). Penelitian mengenai pertumbuhan dan produksi kedelai berbasiskan agroforestri sengon dapat menjadi salah satu upaya optimalisasi pemanfaatan lahan, dan menjadi masukan bagi petani hutan rakyat dalam pengembangan kedelai tersebut di hutan rakyat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pertumbuhan dan produksi kedelai yakni varietas Wilis, Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan berbasiskan agroforestri sengon.

Page 293: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 293

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Lokasi

penelitian yang digunakan adalah ternaungi oleh tegakan sengon berumur 4 tahun (N1) dan tanpa naungan (N0). Pelaksanaan penelitian pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2014.

B. Alat dan Objek Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kaliper, pita ukur, meteran jahit, GPS (Global Positioning System), software google map, software Microsoft Word, software Microsoft Excel, kamera, cangkul, garpu tanah, golok, ring tanah, bor tanah, altimeter, hygrometer, lux meter, tally sheet, penggaris, dan timbangan. Objek dalam penelitian ini adalah sengon dan 4 varietas kedelai, yakni Wilis, Argomulyo, Pangrango, dan Grobogan. C. Prosedur Penelitian 1. Penyiapan Benih Kedelai

Benih kedelai diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Genetika Cimanggu, Bogor. Varietas kedelai yang digunakan, terbagi manjadi 2 jenis, yakni kedelai biji sedang (Wilis dan Pangrango), kedelai biji besar (Grobogan dan Argomulyo). 2. Penyiapan Lahan dan Penanaman Penyiapan lahan dilakukan 2 minggu sebelum penanaman, meliputi pembersihan lahan, pengolahan lahan, penyemprotan herbisida, dan pembuatan lubang tanam. Benih kedelai ditanam dengan tugal pada kedalaman 2−3 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 40x20 cm dan tiap lubang ditanam kedelai 3 biji. Furadan ditaburkan pada lubang tanam yang telah berisi biji kedelai. 3. Aplikasi Pemeliharaan Pupuk yang diberikan pada lokasi ternaungi dan terbuka adalah urea 1.35 kg/lokasi, dan ditambah pupuk SP36 1.81kg/lokasi, serta pupuk KCl 1.81 kg/lokasi. Pupuk kandang (kotoran ayam) diberikan sebanyak 18 kg/lokasi. Pupuk-pupuk tersebut ditaburkan dengan membuat rorak di dekat lubang dengan jarak 5–7 cm dari lubang tanam. Pupuk diberikan saat penanaman. Penyiangan dilakukan pada umur 15 hari setelah tanam, 45 hari setelah tanam, dan disesuaikan dengan keadaan. Pada umur 2 MST, dilakukan penjarangan sehingga tiap lubang tanam berisi 1 tanaman. Pengendalian hama kedelai dapat dilakukan dengan pemberian Decis. Pengendalian penyakit kedelai, yakni dengan pemberian Dithane-45. 4. Panen Waktu panen ditentukan apabila polong telah kehilangan warna hijaunya, kurang lebih 90% daun telah berwarna kuning, dan rontok, serta biji telah mengeras (Jufri 2006, Sito 2010). Pada umur kedelai 10 MST, kedelai yang dipanen adalah Grobogan pada N0, Argomulyo pada N1, Grobogan pada N1, dan selebihnya dipanen pada umur 12 MST. D. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik observasi, dan studi pustaka. Pemilihan lokasi hutan rakyat sengon dilakukan secara purposive sampling. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : a. Data Primer, terdiri dari : 1). informasi mengenai umur sengon, dan penggunaan lahan sebelumnya, 2). pengukuran biofisik hutan rakyat, antara lain: suhu, kelembaban, ketinggian, latitude, dan karakteristik sifat fisik-kimia tanah, 3). pengukuran pertumbuhan kedelai yang terdiri atas: persen tumbuh benih, tinggi tanaman, % hidup, jumlah daun trifoleat, umur berbunga kedelai, bobot basah, bobot kering, 4). pengukuran produksi terdiri dari: jumlah tanaman panen petak bersih, jumlah cabang produktif, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong terserang hama, bobot biji kering per tanaman, bobot biji kering per petak bersih, bobot biji kering per petak pinggir.

Page 294: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

294 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

b. Data sekunder berasal dari studi pustaka. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan tiap bulan di 2 lokasi selama penelitian.

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan tiap minggu. Masing-masing pengukuran dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari, serta diulang sebanyak 3 kali. Pengambilan sampel tanah melalui metode tanah terusik dan metode tanah utuh (BLSDLP 2006).

E. Analisis Data Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dua faktor dan lima ulangan. Faktor utama adalah naungan yang terdiri atas naungan tegakan sengon (N1) dan tanpa naungan (N0). Faktor kedua sebagai anak petak adalah perbedaan varietas kedelai yang terdiri atas varietas Argomulyo, Grobogan, Pangrango, dan Wilis. Luas percobaan yang digunakan kurang lebih (12 x 15) m. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), model statistik untuk analisis gabungan antar lokasi adalah:

Yijk = μ + β + αi+ мk+ νj+ (αi) (νj) + εijk Keterangan: Yijk : variabel respon yang diamati µ : nilai tengah sebenarnya β : pengaruh ulangan/blok αi : pengaruh lingkungan ke-i мk : pengaruh galat main plot νj : pengaruh perlakuan faktor varietas (αi) (νj) : pengaruh interaksi lingkungan ke-i varietas ke-j εijk : pengaruh galat lingkungan ke-i, ulangan ke-j dan varietas ke-k. Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf 5% untuk melihat perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut Duncan pada taraf 5% dilakukan apabila terdapat pengaruh beda nyata terhadap peubah yang diamati. Data diolah menggunakan program SAS 9.0.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Kedelai 1. Persen Tumbuh Benih Persen tumbuh benih pada kedelai yang diberikan perlakuan N0 adalah sebesar 83.86%. Persen tumbuh tersebut lebih tinggi dari pada kedelai yang diberikan perlakuan N1, yakni 70.50%. Faktor yang memengaruhi persen tumbuh benih adalah daya kecambah tinggi, murni atau tidak tercampur dengan varietas lain, bersih atau tidak tercampur biji-bijian tanaman lain dan kotoran, bersih, tidak keriput, dan tidak luka/tergores, baru (umur benih tidak lebih dari 6 bulan sejak dipanen). Selain itu, faktor yang memengaruhi persen tumbuh benih adalah iklim. Persen tumbuh benih varietas Argomulyo, Grobogan, dan Wilis tidak berbeda nyata, namun berbeda sangat nyata terhadap varietas Pangrango. Varietas Argomulyo memiliki persen tumbuh tertinggi (82.44%) dibandingkan varietas lainnya, meskipun tidak berbeda nyata dengan varietas Grobogan dan Wilis. Interaksi antara naungan dengan varietas memberikan pengaruh yang sama pada seluruh perlakuan, kecuali pada varietas Pangrango di bawah naungan. 2. Pertumbuhan Tinggi Kedelai Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, faktor naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 3 MST, dan 6−8 MST. Namun, memberikan pengaruh tidak berbeda nyata pada 4−5 MST. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi kondisi tersebut adalah intensitas cahaya yang rendah dan curah hujan yang cukup tinggi. Pada umur 8 MST, tinggi varietas Argomulyo, Grobogan, Pangrango, dan Wilis secara berturut-turut adalah 58.04 cm, 51.51 cm, 47.24 cm, dan 47.99 cm. Deskripsi tinggi varietas Argomulyo, Grobogan, Pangrango, dan Wilis secara berturut-turut adalah 40 cm, 50−60 cm, ± 65 cm,

Page 295: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 295

± 50 cm (Deptan 2000, Balitkabi 2012, Balitkabi 2008). Pada umur 7 MST, varietas Grobogan dengan perlakuan N0, memiliki tinggi tanaman terbesar, yaitu sebesar 52.72 cm, sedangkan tinggi tanaman terendah adalah varietas Pangrango dengan perlakuan N1 (30.09 cm). 3. Jumlah Daun Trifoleat Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun trifoleat umur 5-7 MST. Kedelai dengan perlakuan N0, memiliki jumlah daun trifoleat lebih banyak dibandingkan kedelai dengan perlakuan N1. Jumlah daun trifoleat yang lebih sedikit pada perlakuan N1, diduga disebabkan oleh kurangnya cahaya yang didapatkan oleh tanaman, sehingga proses fotosintesis dan pembentukan jaringan tanaman menjadi terganggu. Varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun trifoleat pada umur 6 dan 7 MST. Varietas Grobogan memiliki rata-rata jumlah daun terbanyak pada umur 6 MST dan 7 MST secara berturut-turut adalah 4.7 daun dan 6.31 daun. Varietas Wilis memiliki rata-rata jumlah daun terkecil pada umur 6 MST dan 7 MST secara berturut-turut adalah 4.08 daun dan 5.49 daun. Hal ini diduga disebabkan oleh varietas Grobogan merupakan jenis kedelai berumur genjah, sehingga diduga pembentukan jaringan tanaman lebih cepat dari varietas Wilis yang bukan termasuk kedelai berumur genjah. 4. Umur Berbunga Kedelai Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap umur berbunga kedelai. Kedelai dengan perlakuan N0 lebih cepat berbunga dari pada N1. Menurut Susanto dan Adie (2006), perbedaan iklim dan elevasi dapat memengaruhi perbedaan pula terhadap umur tanaman. Umur berbunga tercepat secara berturut-turut adalah Grobogan, Argomulyo, Pangrango, dan Wilis, dengan umur berbunga 4.90 MST, 5.20 MST, 5.90 MST, dan 6.50 MST. Hal ini sesuai dengan kisaran umur berbunga menurut deskripsi secara berturut-turut dari varietas Grobogan, Argomulyo, Pangrango, dan Wilis adalah ± 4 MST (Puslitbangtan 2010), ± 5 MST (Deptan 2000), ± 5 MST, ± 5 MST (Balitkabi 2005). Interaksi (NxV) berpengaruh sangat nyata terhadap umur berbunga kedelai. Umur berbunga tercepat adalah varietas Grobogan dengan perlakuan N0, dan terlama adalah varietas Wilis dengan perlakuan N1. 5. Bobot Basah Kedelai Bobot basah kedelai daun, batang, dan akar tanpa naungan lebih tinggi sekitar 85−90% dari pada ternaungi. Hal ini diduga disebabkan oleh kedelai di bawah naungan menerima cahaya dengan intensitas yang lebih rendah dari kedelai tanpa naungan, sehingga daun lebih tipis, batang lebih kecil dan panjang (etiolasi), dan perkembangan akar juga lebih terhambat pada kedelai di bawah naungan. Varietas Pangrango memiliki bobot basah daun, batang, dan akar tertinggi dibandingkan varietas lainnya. Varietas ini memiliki jumlah cabang produktif yang banyak, diduga daun yang dihasilkan pada tiap percabangan juga banyak, sehingga memiliki batang yang lebih besar dibandingkan varietas lainnya. Varietas Grobogan memiliki bobot basah daun, batang, dan akar terendah. Ditinjau dari jumlah cabang batang, varietas ini tidak memiliki cabang batang (Puslitbangtan 2010), hanya ada satu batang utama sehingga jumlah dan berat daun juga lebih rendah. Interaksi antara naungan dan varietas menghasilkan bobot basah daun, batang, dan akar tertinggi pada varietas Wilis dengan perlakuan N0, dan terendah adalah varietas Grobogan dengan perlakuan N1. Seluruh kedelai yang ditanam dengan perlakuan N1, memiliki bobot basah yang jauh lebih rendah dibandingkan kedelai dengan perlakuan N0. Intensitas cahaya sangat memengaruhi kondisi tersebut. 6. Bobot Kering Kedelai Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bobot kering daun, batang, akar, dan bintil akar. Bobot kering kedelai tanpa naungan lebih tinggi dari pada kedelai di bawah naungan. Hal ini diduga disebabkan oleh kebutuhan cahaya matahari pada kedelai tanpa naungan dapat terpenuhi secara optimal (403.78 lux), sehingga pertumbuhannya menjadi normal dan bobot kering yang dimiliki juga lebih besar. Varietas dan interaksi antara naungan dengan varietas memberikan

Page 296: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

296 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

pengaruh sangat nyata terhadap bobot kering akar. Varietas Wilis memiliki bobot kering akar tertinggi dan varietas Grobogan memiliki bobot kering terendah. B. Produksi Kedelai 1. Jumlah Cabang Produktif Jumlah cabang produktif kedelai pada perlakuan N0 lebih banyak 3 kali lipat dari jumlah cabang produktif kedelai pada perlakuan N1. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari yang didapatkan oleh kedelai dengan perlakuan N0 dan N1 (Hartoyo 2014). Baharsjah (1980) dan Karamoy (2008), menjelaskan bahwa hari yang panjang akan meningkatkan banyaknya cabang, sedangkan penurunan intensitas cahaya menjadi 40% sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah cabang. Varietas Pangrango memiliki cabang produktif terbanyak, yakni 2.96 cabang, sedangkan varietas Grobogan memiliki cabang produktif terendah, yakni 1.12 cabang (Hartoyo 2014). Cabang produktif dari varietas Pangrango, Wilis, Argomulyo dan Grobogan secara berturut-turut adalah 3−4 cabang (Balitkabi 2005), 3.65 cabang (Yassi 2011), 3−4 cabang (Deptan 2000), dan tidak ada percabangan (Puslitbangtan 2010). Varietas Pangrango pada perlakuan N0 memiliki jumlah cabang produktif tertinggi, dan varietas Argomulyo dengan perlakuan N1 memiliki cabang produktif terendah, namun cabang produktif terendah tersebut tidak berbeda nyata dengan varietas lain pada perlakuan N1. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh varietas pada perlakuan N1 memiliki cabang produktif terendah. Faktor intensitas cahaya diduga sangat memengaruhi hasil ini. 2. Jumlah polong isi Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong isi. Kedelai pada N1 mengalami penurunan jumlah polong isi sekitar 94.17% dari jumlah polong isi pada kedelai N0 (Hartoyo 2014). Wahyu dan Sundari (2010) menjelaskan, bahwa tingkat naungan yang berat, yaitu tingkat naungan 50% berpengaruh nyata terhadap hasil biji varietas unggul kedelai. Hal ini didukung oleh Sopandie et al. (2003), bahwa pengurangan intensitas cahaya sebesar 50% akan menurunkan jumlah polong isi dengan nilai tengah 72% dari kontrol (kondisi intensitas cahaya 100%). Untuk mendapatkan hasil optimal, tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100-200 mm/bulan (Warintek 2008). Curah hujan yang sangat tinggi selama penelitian, diduga menyebabkan kedelai menerima pasokan air yang berlebihan, sehingga hal ini berpengaruh terhadap komponen hasil kedelai. Varietas Pangrango memiliki jumlah polong isi tertinggi, yakni 35.34 polong/tanaman dan varietas Grobogan memiliki jumlah polong isi terendah, yakni 7.70 polong/tanaman. Varietas Pangrango pada perlakuan N0 menghasilkan rata-rata polong isi tertinggi (Hartoyo 2014). 3. Jumlah polong hampa dan terserang hama Jumlah polong hampa pada kedelai tanpa naungan sebesar 2.97/tanaman, sedangkan pada kedelai yang ternaungi sebesar 0.79/tanaman atau dengan kata lain jumlah polong hampa pada perlakuan N0 lebih banyak sekitar 73.40% dari pada N1. Menurut Sumarno (1985), kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar antara 75–90% selama periode tanaman tumbuh sampai fase pengisian polong. Kelembaban udara di N1 berkisar antara 60–69.33% dan kisaran ini lebih tinggi dari pada kelembaban udara di N0, yakni sebesar 48.78–59.78%. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor jumlah polong hampa pada perlakuan N0 lebih besar dari pada N1. Pada perlakuan N0, jumlah polong yang terserang hama juga lebih banyak dari pada perlakuan N1. Hal ini diduga karena sistem penanaman kedelai monokultur pada N0 merupakan sumber makanan berlimpah bagi hama penyakit. Rata-rata jumlah polong hampa tertinggi adalah pada varietas Pangrango, dan terendah adalah varietas Grobogan dan Argomulyo (Hartoyo 2014). Murty dan Sahu (1987) melaporkan bahwa peningkatan kandungan total amino-N dan N terlarut pada tanaman yang menyebabkan sintesis protein terganggu dan ketersediaan karbohidrat menjadi rendah dan tingkat kehampaan menjadi tinggi.

Page 297: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 297

4. Bobot biji kering per tanaman, per petak bersih, dan per petak pinggir Pada perlakuan N1, secara berturut-turut bobot biji kering per tanaman, per petak bersih, dan per petak pinggir mengalami penurunan sekitar 97.60%, 97.52%, dan 97.56% dari pada bobot biji kering di N0. Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan Balitkabi (2012), kedelai varietas Wilis di bawah naungan paranet 50 % atau ± 221.46 lux mengalami penurunan hasil biji per tanaman sebesar 50.42%. Intensitas cahaya tersebut lebih tinggi dari intensitas cahaya pada N1, yakni sebesar 78.02 lux. Hal ini diduga menyebabkan semakin tingginya penurunan hasil pada N1 (Hartoyo 2014). Varietas Pangrango memiliki bobot kering per tanaman dan per petak bersih tertinggi, sedangkan varietas Grobogan memiliki bobot kering per tanaman dan per petak bersih terendah daripada varietas lainnya. Interaksi antara naungan dan varietas menghasilkan bobot biji kering per tanaman dan per petak bersih tertinggi adalah varietas Pangrango pada perlakuan N0, dan terendah adalah varietas-varietas kedelai yang mendapatkan perlakuan N1 (Hartoyo 2014). Sopandie et al. (2006) menjelaskan bahwa jumlah cabang, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong total, dan persentase polong isi berkorelasi positif dan sangat nyata terhadap bobot biji per tanaman.

IV. KESIMPULAN

Pertumbuhan varietas Grobogan di lahan terbuka memiliki persen tumbuh, dan tinggi tanaman tertinggi, serta berumur paling genjah. Varietas Pangrango di lahan terbuka memiliki bobot basah dan kering tertinggi. Produksi varietas Pangrango pada perlakuan tanpa naungan lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya baik pada naungan sengon maupun tanpa naungan, yakni sebesar 2.29 ton/ha. Produksi seluruh varietas kedelai di bawah naungan sengon tidak berbeda nyata. Penanaman beberapa varietas kedelai pada agroforestri sengon 4 tahun dengan jarak tanam (3x2.5) m menghasilkan produksi yang lebih rendah 3-4 kali dari hasil kedelai di lahan terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

Baharsjah JS. 1980. Penaungan naungan pada beberapa tahap perkembangan dan populasi tanaman terhadap pertumbuhan, hasil dan kedelai (Glycine max, L) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi padi, jagung, dan kedelai. [internet].

[diunduhi2013iNovi22].iTersediaipada:ihttp://www.bps.go.id/brs_file/aram_01jul13.pdf [Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2005. Deskripsi varietas

unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Malang (ID): Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.

[Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2008. Deskripsi varietas

unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Malang (ID): Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. hlm 171.

[Balitkabi] Balai Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi. 2012. Galur kedelai toleran

naungani[internet].iBogori(ID):iBalitkabii[diunduhi2013iNovi22].i Tersediai pada: http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/info-teknologi/1329-dena-1-dan-dena-2-calon-

varietas-unggul-kedelai-toleran-naungan.html. [Deptan] Departemen Pertanian. 2000. Penanganan pasca panen [internet].

[diunduhi2014iMeii9].iTersediaipada:ihttp://agribisnis.deptan.gp/id/web/pustaka/.

Page 298: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

298 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

[BLSDLP] Balai Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Jakarta (ID): BLSDLP.

Hartoyo APP. 2014. Respon Fisiologi dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Toleran Naungan

Berbasiskan Agroforestri Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Jurnal Silvikultur Tropika. Vol. 05 No. 2 Agustus 2014, Hal 84-90

Jufri A. 2006. Mekanisme adaptasi kedelai (Glycine max (L.) Merrill) terhadap cekaman intensitas

cahaya rendah. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Karamoy L. 2008. Relationship between climate and soybean (Glicine max L. Merrill) growth. Soil

Environment. 2008; 7 (1): 65–68. Murty YS, Sahu G. 1987. Impact of low light stress on growth and yield of rice. Di dalam: Dey SK, Baig

MJ, editor. Weather and rice, Proceedings of International workshop on Impact of Weather Parameters on Growth and Yield of Rice. Los Banos (Phillippines): IRRI.

Nugrayasa O. 2013. Problematika harga kedelai di Indonesia. [internet]. [diunduh 2013 Nov 22].

Tersedia pada: http://setkab.go.id/en/artikel−10045−.html [Puslitbangtan] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2012. Produksi kedelai. Bogor

(ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.\ Sito J. 2010. Budidaya kedelai dengan PMMG rhizo-plus. [internet]. [diunduh 2013 Nov 22]. Tersedia

pada: http://penyuluhthl.files.wordpress.com/2010/11/budidaya-tanaman-kedelai1.pdf Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Handayani T, Jufri A, Takano T. 2003. Adaptability of soybean to

shade stress: identification of morphological responses. Di dalam: [tidak disebutkan], editor. The 2nd Seminar toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production; 2003 15-16 Feb; Tokyo University, Tokyo.

Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Khumaida N. 2006. Fisiologi, Genetik, dan Molekuler Adaptasi

Terhadap Intensitas Cahaya Rendah: Pengembangan Varietas Unggul Kedelai sebagi Tanaman Sela. Laporan Akhir Penelitian Hibah Penelitian Tim Pasca Sarjana-HPTP Angkatan II Tahun 2004–2006. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. 159 hlm.

Sumarno. 1985. Teknik pemuliaan kedelai. Bogor (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

hlm 288. Susanto GWA, Adie MM. 2006. Sidik lintas dan implikasinya pada seleksi kedelai. Di dalam:

Suharsono et al., editor. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. [2005; Malang]. Malang (ID): Balitkabi. hlm 12-22.

Supriadi A. 2006. Potensi, kegunaan dan nilai tambah kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Di

dalam: Supriadi, editor. Seminar Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari [internet]. [Waktu dan Tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): Litbang. hlm 58–63; [diunduh 2013 Jun 25]. Tersedia pada: http://www.dephut.go.id/files/pot_bogor.pdf.

Wahyu G, Sundari T. 2010. Penampilan varietas unggul kedelai di lingkungan naungan buatan. Malang (ID): Balitkabi.

Page 299: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 299

[Warintek] Warung Informasi dan Teknologi Bantul. 2008. Budidaya pertanian [internet]. [diunduh 2013 Mei 8]. Tersedia pada: http://warintek.bantulkab.go.id/web.php?mod=basisdata&kat=1&sub=2&file=59.

Wahyu G, Sundari T. 2010. Penampilan varietas unggul kedelai di lingkungan naungan buatan.

Malang (ID): Balitkabi.

Page 300: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

300 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PELUANG PENGEMBANGAN TANAMAN BAMBU PENGHASIL REBUNG BAMBU

Asmanah Widiarti

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Email : [email protected]

ABSTRAK

Rebung bambu atau tunas bambu saat ini sudah banyak ditinggalkan masyarakat sebagai salah satu bahan sayur-sayuran. Padahal sebagai sayuran, disamping lezat rasanya rebung bambu memiliki banyak kelebihan diantaranya mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan berkhasiat obat serta kaya akan serat. Kelangkaan dari rebung bambu tidak lepas dari potensi nya yang juga semakin sulit ditemukan pada lahan atau kebun - kebun petani. Lain halnya di Jepang, Korea Selatan dan RRC rebung bambu semakin digemari oleh masyarakatnya. Oleh karena itu pengembangan rebung bambu memiliki prospek untuk diekspor. Penelitian dilakukan dengan metode deskstudy, dan pengamatan langsung. Hasil kajian menunjukkan bahwa rebung bambu memiliki kharakteristik yang khas memenuhi dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Indonesia khususnya di Jawa memiliki potensi banyak jenis bambu untuk dikembangkan. Dari dua desa yang ditinjau sebagai sentra produksi rebung yakni di Desa Banyumeneg dan Desa Timbang di Jawa Tengah, tanaman bambu penghasil rebung diusahakan ada dua jenis yaitu ampel gading dan ampel ijo. Kedua-duanya ditanam secara tumpangsari baik pada lahan milik maupun lahan garapan (PHBM). Rebung bambu dengan ragam kandungan nutrisi, serat dan vitamin merupakan sumber pangan prospektif untuk dikembangkan. Ada pun strategi yang perlu diantaranya adalah melakukan promosi citra rebung bamboo perlu digalakan sebagai makanan yang berkhasiat, Pengembangan bambu harus dilakukan secara terintegrasi untuk meningkatkan aneka pemanfaatan menjadi berbagai aneka produk untuk meningkatkan nilai tambah. Pengembangan bambu merupakan langkah yang tepat untuk mendukung upaya ketahanan pangan dan pelestarian alam sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kata kunci : kaya nutrisi, pemanfaatan, pola tanam, sumber pangan, pelestarian lingkungan

I. PENDAHULUAN

Saat ini mungkin banyak orang yang tidak tahu rasanya sayur rebung, padahal budaya mengkonsumsi rebung sudah berlangsung selama berabad-abad oleh para leluhur kita. Rebung sebagai sayur sudah banyak ditinggalkan tergantikan dengan sayur seperti brokoli, caisin, pakcay dll yang berasal dari luar. Hal ini terjadi selain karena sayur rebung susah ditemui di pasa-pasar tradisional, juga kurang diketahuinya keunggulan manfaat dari sayur rebung dibandingkan sayur lain. Sebaliknya di negara lain sayur rebung semakin digemari, terbukti makanan yang memanfaatkan rebung bisa dijumpai tidak hanya di China namun di berbagai negara seperti, Jepang, Korea dan negara-negara di Eropa dan Amerika.

Rebung sebagai sayuran selain lezat rasanya, juga kaya serat dan nutrisi, rebung mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin A, thiamin, riboflavin, vitamin C, serta mineral seperti kalsium, fosfor, besi , kalium , mangan dan Zeng (Qiu, 1992 dan Shi 1992). Jika dilihat dari kandungannya, makan sayur rebung memberikan banyak manfaat mulai dari menurunkan darah tinggi hingga mencegah kanker serta bahan diet bagi yang ingin menurunkan berat badan. Informasi kandungan manfaat dari rebung yang cukup baik tersebut belum banyak diketahui orang, sehingga sampai saat ini masih sedikit masyarakat yang mengetahui khasiat rebung bila mengkonsumsinya. (Senior, 2007)

Sampai saat ini budidaya bambu dan rebung bambu belum ditangani serius dan terintegrasi di Indonesia. Lain halnya di China yang telah mengembangkan industri bambu dan rebungnya

Page 301: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 301

sebagai makanan kalengan, sehingga pada tahun 2011, menempati posisi pertama eksportir rebung kalengan, disusul Thailand dan Taiwan.

Mengingat masih luasnya lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan di Jawa yaitu tercatat data tahun 2013 seluas 1.75 juta Ha (Kementerian Kehutanan, 2015). Di sisi lain perlu kesadaran masyarakat akan pentingnya penggalian tanaman sumber pangan yang prospektif, maka bambu sudah saatnya dipilih sebagai salah satu jenis tanaman untuk dikembangkan pada kegiatan rehabilitasi lahan kritis dan pengayaan tanaman pada kebun-kebun campuran milik masyarakat. Rehabilitasi dengan pohon membutuhkan waktu tumbuh yang lama sementara kerusakan kondisi lingkungan berjalan cepat. Dengan keunggulan yang dimiliki tanaman bambu dapat menjadi tanaman alternatif pengganti pohon yang lebih ramah lingkungan. Pengembangan bambu merupakan langkah yang tepat untuk turut berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan sekaligus mendukung upaya pelestarian alam. Selain itu berpotensi menumbuhkan usaha baik skala kecil, menengah dan besar. Bambu bila dikelola dengan baik maka rangkaian keterkaitan usaha ini akan menyumbang adanya multifliyer effek bagi pendapatan dan usaha baru. Bambu bisa dikembangkan menjadi berbagai produk yang menghasilkan nilai tambah, bahkan sebagai alternatif bahan pangan. Dengan karakateristik lengkap ini, bambu akan dapat menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi yang sangat dibutuhkan dalam berbagai kehidupan masyarakat dan meningkatkan daya saing Indonesia. (Alisjahbana, 2012).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran peluang pengembangan tanaman rebung bambu dan keadaan usaha rebung bambu beserta strategi yang dapat diimplementasikan dalam mengembangkan tanaman rebung bambu.

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode desk study dan melakukan pengamatan langsung di lapangan pada sentra poroduksi rebung bambu di desa Banyumeneng Kabupaten Demak dan Desa Timbang Kabupaten Wonosobo. Data dan informasi selanjutnya dideskripsikan sebagai mana adanya untuk dibuat beberapa strategi pengembanganya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Manfaat Rebung Bambu Seperti diuraikan dimuka, rebung mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin A,

thiamin, riboflavin, vitamin C, serta mineral lain seperti kalsium, fosfor, besi, dan kalium. Bila dibandingkan dengan sayuran lainnya, rebung, tidak berbeda jauh. Selain itu rebung mempunyai kandungan kalium cukup tinggi, yaitu 533 m per 100 gram rebung. Kandungan tersebut membuat rebung dapat mengurangi risiko stroke (Senior, 2007 ). Kandungan serat pangan pada rebung juga cukup baik yaitu 2,56 % lebih tinggi dibandingkan jenis sayuran tropis lainnya, seperti kecambah kedelai (1,27 %), pecay (1,58 %), ketimun (0,61 %), dan sawi (1,01 %) (Senior, 2007 ).

Serat pangan (dietary fiber) meskipun tidak menghasilkan energi namun merupakan faktor penting karena kekurangan serat bisa menimbulkan gangguan kesehatan seperti penyumbatan pembuluh darah, jantung koroner, kencing manis, kolesterol tinggi , darah tinggi/ hipertensi, dan kanker usus. Konsumsi serat pangan penduduk Indonesia masih kurang yaitu rata-rata 10,5 gram per hari, sementara kebutuhan ideal sebesar 30 gram setiap hari (Senior, 2007 ). Selain mengandung serat, kelebihan lain dari rebung adalah kandungan lemak dan gulanya yang rendah, sehingga mengkonsumsi rebung sangat menunjang dalam program diet.

Rebung juga banyak mengandung antioksidan, sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety mengungkap, jenis antioksidan yang terdapat dalam rebung adalah fitosterol, bahan ini bisa menangkal radikal bebas, senyawa berbahaya yang bisa memicu pertumbuhan kanker. Menurut penelitian tersebut, Ilmu pengobatan tradisional China mengatakan, herbal dengan kandungan ini juga bisa dimanfaatkan untuk menurunkan kadar kolesterol jahat dalam darah. Demikian juga di masyarakat pedesaan kita rebung

Page 302: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

302 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

memiliki khasiat yang bermanfaat untuk mengobati penyakit sirosis hati (khususnya rebung kuning), batuk berdahak dan demam.

Mengingat begitu banyak kandungan manfaat yang terdapat dalam rebung bambu, maka sudah saatnya kita mempromosikan kembali makanan tradisional ini kepada masyarakat luas. Rebung sebenarnya sudah dapat diolah untuk berbagai bahan makanan, dengan kemajuan teknologi. Rebung dapat diolah menjadi tepung rebung yang memiliki kadar pati tinggi, baik untuk bahan baku kue, rebung juga dapat diolah menjadi cuka yang baik untuk digunakan sebagai cuka makan. Produk olahan rebung lainnya yang memiliki prospek cerah adalah keripik rebung yang rasa dan teksturnya tidak kalah dengan potato chip yang sangat enak untuk dijadikan bahan camilan dan rebung beku untuk bahan sayuran terutama untuk dieksport.

B. Potensi Usaha Rebung Bambu

Indonesia merupakan salah satu wilayah yang menjadi tuan rumah bagi banyak jenis tanaman bambu. Diperkirakan terdapat sedikitnya 159 jenis bambu, dimana 88 jenis diantaranya merupakan spesies endemik Indonesia. Namun tidak semua jenis bambu memiliki rebung yang enak dimakan. Diantara jenis-jenis bambu yang rebungnya biasa dimakan diurut dari yang rasanya paling enak/manis adalah bambu petung (Dendrocalamus asper Back.), bambu taiwan (D. latiflorus), bambu peting (Gigantochloa levis), bambu andong (G pseudoarundinacae 1), bambu temen (G. pseudoarundinacae 2), bambu mayan (G. robusta), bambu ater (G. atter), bambu hitam (G. atroviolacae) dan bambu cendani (Phyllostachys aurea) ; bambu ampel (Bambusa vulgaris var. vitata) dan bambu ori (Bambusa arundinacae) (Sutiyono dkk, 2009).

Di dunia diperkirakan ada sekitar 37 juta hektare hutan bambu natural ataupun budidaya yang setara dengan satu persen luasan hutan dunia. Dari jumlah itu, 5 persen di antaranya terdapat di Indonesia sementara China memiliki 14 persen, dan India yang terluas, yaitu 30 persen. Menurut data Departeman Kehutanan tahun 2004 potensi tanaman bamboo Indonesia terbesar terletak di Pulau Jawa, yaitu mencapai 29,14 juta rumpun, atau sekitar 76,83 % dari total populasi bamboo Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 23,17 % atau 8,79 rumpun berada di luar Jawa. Tanaman bamboo tersebut tersebar di tiga propinsi yaitu terluas di jawa Barat 28,09%, jawa tengah 21,59% dan jawa timur 19,38% (www.dephut.go.id, 2004).

Saat ini jenis bambu yang mendominasi di wilayah di Jawa Barat antara lain: bambu ori, bambu gesing, bambu ampel, bambu cendani, petung, bambu buluh kecil, bambu buluh besar, bambu lampar, gombong, bambu apus, bambu bubat, bambu legi, dan bambu cina. Jenis bambu tersebut termasuk jenis bamboo untuk produksi rebung, bahan kerajinan, pulp, kertas, lamina dan bahan baku lainnya, Oleh karena itu pengembangan bamboo tersebut akan dihasilkan batangnya untuk bahan baku dan rebungnya untuk sumber pangan dan menjadi komoditi eksport. Dengan penerapan teknologi tepat guna berbagai produk dari tanaman bambu dapat dikembangkan dan akan menghasilkan nilai tambah bagi komoditas bambu.

Bamboo memiliki pertumbuhan yang tercepat, yaitu untuk pertumbuhan vegetatifnya berkisar 30 cm – 120 cm per 24 jam, merupakan keajaiban pertumbuhan yang tidak dapat ditemukan pada tanaman lain. Sehingga penghasil oksigen paling besar dibanding pohon lain (kemampuan fotosintesisnya 35% lebih cepat), daya serap karbon yang cukup tinggi. Kemampuan yang cukup baik dalam memperbaiki lahan kritis dan dengan sifat akar yang mampu mencegah erosi. Dengan begitu untuk memulihkan hutan dan lahan kritis tidak perlu waktu yang lama (Widjaya dkk, 2001)

Pertumbuhan bambu yang cepat juga dapat membantu menyelamatkan daerah resapan air. Bambu bisa menyimpan air rata-rata 1 liter per hari sehingga bisa mempertahankan mata air pegunungan dan debit air sungai serta mencegah banjir. Bambu juga dapat menciptakan iklim mikro yang memungkinkan berkembangnya dan tempat mikroorganisme lain.

Sebagaimana halnya tanaman bambu umumnya, tidak memerlukan persyaratan khusus untuk pertumbuhannya, namun untuk menghasilkan kemampuan menghasilkan rebung bamboo yang tinggi diperlukan tanah yang subur dan sumber air agar kebutuhan makanannya terpenuhi.

Page 303: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 303

Bambu sangat potensial sebagai bahan substitusi kayu, karena rumpun bambu dapat terus berproduksi selama pemanenannya terkendali dan terencana. Potensi produktifitas tanaman bambu dapat digambarkan, sebagai berikut : Bambu petung menghasilkan batang 43,4 ton/ha dengan rotasi 2 tahun dan bambu apus produktivitasnya 682-6.053 batang/ha/tahun (Wijaya dkk., 2004).

Luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 sebesar 973.860 Ha atau setara dengan 26,27 % dari luas Provinsi Jawa Barat. Luasan hutan rakyat tersebut merupakan potensi yang sangat besar bila di lakukan pengayaan tanaman bambu penghasil rebung selain untuk mendukung penyediaan bahan baku juga sumber pangan, selain itu sebagai pendukung fungsi ekologi Daerah Aliran Sungai di Provinsi Jawa Barat (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2014).

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 tahun 2009 menyebutkan bahwa sumberdaya hutan mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Pengembangan tanaman bambu secara tumpangsari pada areal PHBM akan mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat 5278 desa hutan di Jawa, dengan areal seluas 2,2 juta Ha kawasan hutan (www.bumn.go.id }). Dengan demikian tersedia potensi yang cukup luas untuk pengembangan tanaman rebung bambu.

Potensi tanaman bamboo yang sangat besar tersebut, mestinya mendorong beberapa pengusaha untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan membuka usaha yang berbasiskan bamboo. C. Prospek Pengembangan Rebung Bambu

“Ada beberapa hal yang menjadi tantangan pembangunan kedepan cukup serius yaitu, krisis pangan, energy, krisis air, dan krisis lingkungan (ekosistem) yang sangat embedded dengan kehutanan.”

Pengembangan dan pemanfaatan bambu akan memenuhi tantangan di atas. Dari sisi ketahanan pangan, sebagai bahan pangan yang menyehatkan dan kaya nutrisi, tunas bambu berpotensi dalam menjamin ketahanan pangan dunia (global food security). Sementara ditinjau segi pohonnya merupakan upaya alternatif meningkatkan wilayah resapan air dan pelestarian lingkungan. Selain itu bambu dapat pengganti kayu dalam membuat furniture, konstruksi bangunan tahan gempa, bamboo flooring, serta penghasil serat tekstil dan pulp kertas.

Memperhatikan pada jumlah species bambu yang ada di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, tersedia potensi dan peluang besar untuk pemanfaatan tanaman bambu menjadi berbagai jenis produk baik tunas, batang bambu, daun, maupun limbahnya. Beberapa negara maju maupun negara berkembang secara jeli telah memanfaatkan peluang - peluang tersebut. China yang menempati urutan pertama negara penghasil bambu di dunia memanfaatkan peluang membangun industri pengolahan tunas bambu (rebung) kalengan.

Di RRC, Taiwan, Vietnam, Jepang dan Thailand, bambu dibudidayakan secara serius, dengan pengairan teknis sehingga panen rebung bisa dilakukan secara teratur sepanjang tahun. Jenis bambu yang diusahakan adalah bambu ater (Gigantochloa atter) dan bambu betung (Dendrocalamus asper) karena yang paling enak rebungnya. Bagi orang Cina rebung merupakan komoditi penting, produksinya mencapai 17 juta ton per tahun. Sedangkan di Taiwan budidaya bambu penghasil rebung tiap hektar dapat di panen sebanyak 4000 rebung dan 800 batang bambu. Sedangkan untuk produksi rebung di Thailand, bambu petung produksinya sebesar 38.000 ton/ha (Rahardi,2009)

China yang mempunyai banyak inovasi dan produk kreatif dari bambu, termasuk makanan rebung, pasarannya sudah merambah ke berbagai negara. Pada tahun 2011 volume ekspor rebung kalengan dari China menempati posisi teratas, yakni sebanyak 143.000 ton, disusul Thailand 68.000 ton dan Taiwan 18.500 ton. Selain dalam bentuk bahan pangan negara-negara tersebut juga unggul dalam mengolah bambu sebagai bahan alternatif pengganti kayu karena karakteristiknya yang kuat dan jangka waktu penanamannya lebih cepat dibanding tanaman kayu.

Data dari Badan Pusat Statistik dari Kementerian Perdagangan menyatakan nilai ekspor bambu Indonesia tahun 2011 sebesar US$ 193,33 juta. Dengan pangsa pasar di dunia hanya mencapai 6,97 persen, sedangkan China pangsa pasarnya sampai 67,82 persen, ke depan dengan

Page 304: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

304 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

potensi yang ada bila ditangani dengan sungguh-sungguh bambu dapat menjadi komoditi yang diperhitungkan. Contohnya Vietnam, ekspor komoditas bamboo mengalami peningkatan dari US$ 48 juta pada 1999, menjadi US$224.7 juta pada 2008. Vietnam memiliki 71.000 ha hutan bambu industri, ditambah 80.000 ha hutan bambu alami. Sementara Indonesia dengan hutan bambu seluas 2,1 juta ha atau 14 kali luas hutan bambu Vietnam, baru mampu menghasilkan nilai ekspor sebesar US$ 90 juta pada tahun yang sama.

Untuk dalam negeri khususnya Semarang dengan makanan khasnya yang cukup terkenal yaitu “Lumpia” masih merasakan kekeurangan bahan baku rebung. Saat ini untuk memenuhi kebutuhan rebung diantaranya didatangkan dari Kabupaten Demak dan Wonosobo. Dari kedua daerah ini dihasilkan rebung jenis ampel gading (Bambusa vulgaris var. striata) dan ampel ijo (Bambusa vulgaris var. vitata), yang cocok untuk lumpia karena selain enak juga bisa dipanen setiap saat meskipun saat musim kemarau hasil rebung lebih sedikit bila dibandingkan saat musim penghujan.

Hasil analisa usahatani bambu penghasil rebung dengan pola kebun campuran di dua desa yang merupakan sentra produksi rebung, yakni untuk supplay rebung kota Semarang memberikan informasi sebagai berikut : Budidaya bambu penghasil rebung dengan pola kebun campuran di kedua wilayah tersebut umumnya masih di kelola secara tradisional (subsisten) tanpa pemeliharaan dan pemupukan sehingga produktifitasnya masih rendah. Adapun jenis bamboo yang diusahakan adalah ampel gading di Desa Banyumeneng dan ampel ijo di Desa Timbang. Dengan produksi rebung untuk masing-masing sebesar 4994,53 kg/ha/tahun dan 3128,85 kg/ha/tahun.Adapun hasil usahatani khusus dari rebung berturut turut memberikan hasil sebesar Rp 9.989.053,-/ha/tahun dan Rp 6.257.700,- /ha/tahun. (Widiarti,2013). Rebung bambu taiwan di Boyolali menghasilkan 2-6 kuintal/ha/panen (dlm 1 minggu 2 kali panen) setelah tanaman berumur >2 th.

Saat ini baru di Bali tepatnya di Kabupaten Gianyar telah digagas untuk dijadikan sebagai pusat pengembangan budi daya bambu khususnya jenis bamboo tabah untuk produksi rebung seluas 500 hektar. Proyek ini cukup prospektif karena meskipun baru memulai proses penanaman tahun 2012 sudah banyak permintan ekspor diiantaranya Taiwan sebanyak 80 ribu ton, Jepang 32 ribu ton dan Australia sebanyak 12 ribu ton per tahunnya.

Penanaman bamboo dilakukan dengan jarak tanam 4 X 6 m, (400 rumpun/ha). Bila dalam ada 5 batang/rumpun dan siap untuk dipanen 1 batang/ tahun, tiap tahunnya diperoleh 400 batang bambu berumur 5 tahun, dengan harga Rp 5.000/batang, diperoleh pendapatan Rp 2.000.000. Selain itu, dari masing-masing rumpun, tiap minggunya dapat dipanen 1 rebung bambu, dapat dipanen 400 rebung per minggu. Hingga diperoleh hasil sekitar 20 sd. 30 ton rebung per hektar per tahun.Dengan harga sekitar Rp 2.000 per kg, maka akan dapat diperoleh pendapatan kotor dari rebung Rp 40.000.000 sd. Rp 60.000.000 per hektar per tahun. Sebagian besar pendapatan akan terserap untuk biaya penyusutan, tenaga kerja (pengambilan rebung dan pengupasan), serta untuk pengairan. Pendapatan bersih bisa separo dari pendapatan kotor tersebut.(Kencana, 2012)

Jenis bambu tropis yang batangnya besar, dan rebungnya enak adalah bambu ater (Gigantochloa atter), bambu hitam (Gigantochloa verticillata), bambu strip (bambu hijau bergaris-garis vertikal kuning, Gigantochloa maxima), dan bambu betung (Dendrocalamus asper). Jenis bambu ini paling populer sebagai bahan kerajinan, meubel, maupun bangunan tradisional, terutama saung yang artistik. Meskipun permintaan bambu hitam cukup besar, namun sampai sekarang belum ada kebun bambu hitam dalam skala besar yang dikelola secara profesional. Sementara di Jepang, Korea, dan RRC, bambu hitam sudah menjadi komoditas yang cukup penting, dengan dua hasil utama: kayu dan rebung.

Untuk pasar China, Thailand dan Taiwan, produk makanan rebung bambu adalah bisnis bernilai jutaan dolar, baik dalam kondisi mentah ataupun sudah menjadi produk makanan kalengan. Pasar komoditas rebung paling potensial adalah Cina, Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, oleh karena itu sebenarnya rebung memiliki prospek ekonomi sangat baik.

Page 305: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 305

D. Strategi pengembangan Rebung Bambu Seperti diuraikan dimuka Di RRC, Taiwan, Jepang, Vietnam, dan Thailand bambu sudah

biasa dikebunkan dan yang dipanen batang, maupun rebungnya. Ini menunjukkan budidaya bambu bisa menjadi bisnis yang menarik.

Indonesia sebagai negara ketiga terbesar yang memiliki banyak jenis bamboo, pemanfaatannya sebagai komoditi belum tampak nyata memberikan nilai ekonomi dan ekspor. Menyadari potensi manfaat dan keunggulan yang dapat diperoleh, sangat disayangkan apabila budidaya dan pendayagunaan bambu di Indonesia hingga kini belum ditangam secara serius dan terintegrasi.

Apabila melihat kondisi saat ini, keunggulan, manfaat dan nilai ekonomi yang diperoleh dari tanaman ini baik batangnya atau rebungnya ternyata belum diketahui sepenuhnya oleh masyarakat, oleh karena itu promosi citra rebung bamboo perlu digalakan sebagai makanan yang berkhasiat, hal ini untuk mendorong peningkatan pemasaran dan pangsa pasar produk rebung bambu.

Pengembangan bambu akan memberikan nilai tambah dan memberikan kontribusi yang tinggi bagi pertumbuhan ekonomi daerah bila diversifikasi produksi bambu berkembang dan hasil ikutannya dimanfaatkan, tingkat pengetahuan dan keterampilan petani ditingkatkan demikian juga sarana dan prasarana pengolahan dan modal usaha tersedia.

Pengembangan bambu harus dilakukan secara terintegrasi oleh para pihak sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan, Kebijakan pembangunan kehutanan tahun 2015, diarahkan pada : Peningkatan hasil hutan dan bioprospecting melalui pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan hutan (public private patnership) dan perkuatan integrasi industri hulu-hilir dalam bentuk pengembangan integrated forest based cluster industry.

Pengembangan bamboo beserta rebungnya sebaiknya berbasis klaster, agar tidak hanya di bagian hulu tetapi akan memperhatikan keterkaitan (linkages) dengan unsur-unsur pendukungnya (industri), perguruan tinggi/litbang, pasar dan sebagainya, sehingga tercipta keterkaitan yang kuat untuk mendukung pengembangan pemanfaatan bamboo beserta rebungnya menjadi berbagai aneka produk untuk meningkatkan nilai tambah.

Pemerintah dan para pihak secara bersama-sama menetukan tingkat teknologi, produktivitas dan skala industri yang dikembangkan mengikuti perkembangan teknologi industri pengolahan bambu yang terbaru. Pemerintah perlu memfasilitasi kemitraan serta menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dengan demikian pengembangan bambu mempunyai pilihan model pembangunan industri skala kecil, dan menengah yang dirancang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi wilayah setempat yang ingin dicapai.

Dan yang terpenting perlunya konsistensi kebijakan pemerintah pusat dan daerah terhadap pemanfaatan bambu untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu menyelenggarakan forum bambu, dalam forum ini, seluruh ide, gagasan dan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan bambu dan lingkungan dapat tersalurkan. Saatnya masyarakat ikut serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengelolaan sumber daya hutan.

Upaya pengembangan bambu sebaiknya tidak berhenti pada peran pemerintah dan peran serta masyarakat semata. Program corporate social responsibility (CSR) dapat diarahkan untuk medukung upaya pengembangan bambu dan kegiatan kampanye cinta bambu cinta lingkungan. Kerjasama antar daerah dalam pengembangan bambu perlu terus digagas baik dengan perguruan tinggi dan dunia usaha untuk peningkatan potensi produksi di hulu dan industri di hilir dengan ketersediaan teknologi pemrosesan.

Indonesia mestinya memanfaatkan peluang ini karena potensi bambu kita yang luar biasa. Peningkatan pemanfaatan bambu sebagai komoditi yang memberikan nilai tambah akan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, khususnya ekonomi yang berbasis kerakyatan.

Page 306: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

306 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

IV. KESIMPULAN

1. Rebung bambu dengan ragam kandungan nutrisi, serat dan vitamin yang begitu lengkap merupakan sumber pangan potensial untuk dikembangkan

2. Promosi citra rebung bamboo perlu digalakan sebagai makanan yang berkhasiat, untuk mendorong peningkatan pemasaran dan pangsa pasar produk rebung bambu.

3. Pengembangan bambu merupakan langkah yang tepat untuk mendukung upaya ketahanan pangan dan pelestarian alam sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

4. Pengembangan bambu harus dilakukan secara terintegrasi untuk meningkatkan aneka pemanfaatan bambu beserta rebungnya menjadi berbagai aneka produk untuk meningkatkan nilai tambah.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Armida S. 2012. Pidato Arahan Menteri PPN/Kepala Bappenas pada Forum

Pengembangan Bambu Nasional Kementerian Perindustrian tahun 2012 di Bandung. Daryanto, A, 2004. Keunggulan Daya Saing dan Teknik Identifikasi Komoditas Unggulan dalam

Mengembangkan Potensi Ekonomi Regional. Jurnal Agrimedia, 9 (2), 51–62. Kemeterian Kehutanan, 2015. Direktorat PEPDAS, Ditjen BPDASPS Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan. Jakarta. Kementerian Perdagangan, 2011. Warta Ekspor Edisi Desember : Menggali Peluang Ekspor Untuk

Produk Dari Bambu. Jakarta . Kementerian Perindustrian, 2012. Pidato Pembukaan Forum Pengembangan Bambu Nasional

dengan tema acara "Bambu Sebagai Produk Ramah Lingkungan Guna Meningkatkan Ekonomi Kerakyatan yang Berkelanjutan" di Jakarta, 23 Oktober 2012 . Jakarta.

Lembaga Biologi Nasional – LIPI. 1980. Beberapa Jenis Bambu. PT Sumber Bahagia : PN Balai Pustaka.

Jakarta. Qiu F, G. 1992. The recent development of bamboo food. Bamboo and its use. Int’l symposium on

indsutrial of bamboo. Beijing, China. p : 333 – 345. Rahardi, F, 2009. Memperbaiki Tata Air dengan Bambu. http://www.kompas.co.id. 10/5/2009.

Diakses 20 Agustus 2010. Senior, 2007. Rebung Kaya Serat, Penangkal Stroke. http://cybermed.cbn.net.id Kamis, 26 April

2007. Diakses 16 Oktober 2009. Shi, Q, T. 1992. Study on relationship between nutrients in bamboo shoots and human helath.

Bamboo and its use. Int’l symposium on indsutrial of bamboo. Beijing, China. p : 338 – 346. Sutiyono, Asmanah, W dan Mawazin. 2009. Budidaya Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Scharader ex.

Wendland). Laporan Penelitian dengan dana Ristek. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Page 307: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 307

Tan, Lieke. 2012. mengenal bambu dan manfaatnya terhadap konservasi alam, konstruksi dan kerajinan [Serial Online]. http://www.indonesiaforest.net/bambu.html. Di unduh pada 21 Juni 2012.

Widiarti, A, 2013. Pengusahaan Rebung Bamboo Oleh Masyarakat : Studi kasus di Kabupaten Demak

dan Wonosobo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 10 No. 1. Bogor. Widjaja, Elizabeth A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. LIPI- Seri Panduan Lapangan. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI. Balai Penelitian dan Pengembangan Botani, Herbarium Bogoriense. Bogor.

Widjaja, E. A., N. W. Utami dan Saefudin. 2004. Panduan Membudidayakan Bambu . Puslitbang

Biologi LIPI. Bogor. Widnyana. K. 2012. Bambu dengan berbagai manfaatnya. Fakultas Pertanian Universitas

Mahasaraswati. Denpasar-Bali

Page 308: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

308 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

RESPON PERTUMBUHAN NYAMPLUNG (Calophylum inophylum L) AKIBAT POLA TANAM DAN PEMBERIAN PEMBENAH TANAH DI LAHAN PANTAI SELATAN TASIKMALAYA

Aditya Hani1, Wuri Handayani1 dan Edy Junaedi1

1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry Email : [email protected]

ABSTRAK Penanaman jenis pohon di ekosistim pantai membutuhkan teknik yang berbeda dengan penanaman di

ekosistim lainnya. Hal ini disebabkan kondisi lahan pantai yang ekstrim yaitu unsur hara dan biologi tanah yang

sangat rendah, intensitas cahaya yang cukup tinggi, gelombang air laut pasang, angin kencang dan pengaruh

uap air garam. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola tanam nyamplung dan aplikasi media

penyimpan air yang tepat terhadap pertumbuhan bibit nyamplung di lahan pantai. Penelitian dilaksanakan di

desa Sindanglaya, Cikalong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Split Plot

dengan pola tanam sebagai plot utama (A1= nyamplung+pandan+kacang tanah; A2=

nyamplung+pandan+semangka pandan-sistem jalur); A3= nyamplung + pandan-sistem cemplongan). Aplikasi

media tanam sebagai sub plot (B1=pemberian zeolith+pupuk kandang 5 kg; B2= pemberian akrosol+pupuk

kandang 5 kg; dan B3= pupuk kandang 5 kg). Jumlah tanaman yang digunakan sebanyak 486

tanaman.Parameter yang diamati meliputi tinggi dan diameter tanaman nyamplung umur 15 bulan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penanaman nyamplung di lahan pantai berpasir memiliki tingkat keberhasilan

paling tinggi apabila dilakukan dengan cara menerapkan pola tanam agroforestri nyamplung+pandan+kacang

panjang atau dengan cara memberikan bahan pembenah tanah menggunakan pupuk kandang 5 kg+akrosol 1

kg.

Kata kunci : Hutan pantai, pola tanam, nyamplung (Calophylum inophylum)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan hutan pantai selain untuk menyelamatkan kondisi ekosistem pesisir laut dapat diselaraskan dengan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hutan pantai dapat dikelola dengan melibatkan masyarakat tanpa mengurangi fungsi utamanya. Pemenuhan kebutuhan pangan dan energi dari lahan pantai dapat dilakukan dengan mengembangkan pola agroforestry yang sesuai dengan kondisi ekosistem pantai. Salah satu jenis pohon yang sesuai untuk dikembangkan dengan pola agroforestry dengan tujuan pemenuhan pangan dan energi adalah dengan jenis nyamplung (Callophylum inophyllum L) dan tanaman pangan.

Pohon nyamplung (C. inophyllum) bisa mencapai tinggi 10-30 m, tumbuh pada habitat pantai berpasir, hingga ketinggian tempat 200 m dari permukaan laut (dpl). Sebaran alaminya terdapat di seluruh pantai di Indonesia. Mempunyai kegunaan sebagai bahan pewarna, minyak, kayu dan obat-obatan (Noor dkk., 1999). Manfaat buah nyamplung sebagai bahan biokerosin semakin mencuat setelah adanya kenaikan bahan bakar minyak dunia. Hasil penelitian Biji nyamplung memiliki kadar lemak yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati (Hamim dan Miftahudin 2008).

Penanaman nyamplung di daerah pantai mempunyai tantangan yang besar. Lahan pasir umumnya mempunyai sifat tanah tidak stabil, lengas tanah rendah, evapotranspirasi tinggi, kandungan garam tinggi, kandungan bahan organik, kandungan unsur hara rendah (Sumardi, 2009). Upaya untuk meningkatkan kualitas lahan pantai memerlukan waktu yang lama. Reklamasi lahan pantai untuk kegiatan pertanian akan meningkatkan kandungan bahan organik, phospor, nitrogen

Page 309: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 309

dan stabilitas tanah dalam waktu 30 tahun setelah reklamasi (Jianguo et al. 2014). Peningkatan kualitas lahan tanah pasir dapat dilakukan dengan penambahan bahan pembenah tanah. Penambahan pupuk kandang dan tanah liat akan meningkatkan kualitas tanah pada lahan pasir, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian (Partoyo, 2005). Selain pupuk kandang dan tanah mineral, masih banyak bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah antara lain zeolith dan akrosol. B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk megetahui pengaruh pola tanam nyamplung dan pemberian bahan pembenah tanah terhadap pertumbuhan dan daya hidup nyampung di lahan pantai.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian merupakan sempadan pantai dengan vegetasi utama pandan laut. Kondisi lahan datar sampai landai dengan perbedaan tinggi dengan garis pasang adalah 50 cm-100 cm.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian adalah tanaman nyamplung dengan tinggi rata-rata 45 - 57 cm dan diameter rata-rata 0,55 - 0,57 cm, benih dan bibit tanaman semusim (kacang panjang dan semangka), kompas, meteran, kamera, cangkul, dan alat tulis.

C. Prosedur Penelitian 1. Rancangan penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terbagi dengan Faktor utama yaitu pola tanam:

A1= Nyamplung+ pandan

A2= nyamplung+pandan+kacang panjang;

A3= Nyamplung+pandan +semangka

Anak petak yaitu pemberian bahan pembenah tanah (soil conditioning):

B1= pupuk kandang 5 kg+pemberian zeolith 1 kg;

B2= pupuk kandang 5 kg+pemberian aqrosol 1 kg;

B3= pupuk kandang 5 kg.

Sehingga kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut :

A1 A2 A3

B1 B2 B3 B2 B3 B1 B3 B1 B2 Blok 1

B1 B2 B3 B2 B3 B1 B3 B1 B2 Blok 2

B1 B2 B3 B2 B3 B1 B3 B1 B2 Blok 3

Jumlah tanaman nyamplung yang digunakan tiap kombinasi perlakuan sebanyak 18 tanaman sehingga total tanaman adalah 18 x 3 pola tanam x 3 media x 3 blok= 486 tanaman. Pengukuran dilakukan terhadap tinggi, diameter tanaman nyamplung dan persen hidup. Lokasi penelitian pada awalnya didominasi oleh tanaman pandan yang ditanam oleh masyarakat berumur 1-2 tahun. Penanaman tanaman semusim (kacang panjang/semangka) dilakukan dengan dengan cara membuat jalur diantara tanaman pandan selebar 2 meter dan selanjutnya jalur tanaman pandan selebar 3 meter seperti ditampilkan pada gambar 1.

Page 310: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

310 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Pola Tanam Nyamplung + pandan

Pola Tanam Nyamplung + pandan+kacang panjang

Pola Tanam Nyamplung + pandan+semangka

Baris tanaman pandan

Baris tanaman pandan

Baris tanaman pandan

Baris nyamplung dan pandan

Baris tanaman nyamplung kacang

panjang

Baris tanaman nyamplung+seman

gka

Baris tanaman pandan

Baris tanaman pandan

Baris tanaman pandan

Baris nyamplung dan pandan

Baris tanaman nyamplung kacang

panjang

Baris tanaman nyamplung+seman

gka

Gambar 1. Rancangan pola tanam nyamplung

Jarak tanam antara pohon nyamplung 5 m x 5 m, pola tanam nyamplung +pandan ditanam secara cemplongan, lebar masing-masing blok pola tanam adalah 35 meter.

D. Analisis Data Data pertumbuhan tanaman dianalisis menggunakan analisis varians dengan alat bantu

program SPSS. Apabila ada perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Pertumbuhan Tanaman Nyamplung (C. inophylum)

Hasil analisis sidik ragam pengaruh pola tanam dan jenis bahan pembenah tanah terhadap pertumbuhan tanaman nyamplung disajikan pada lampiran dalam tulisan ini. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara pola tanam dan jenis bahan pembenah tanah tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman nyamplung pada semua umur pengamatan.

Faktor tunggal yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman nyamplung dapat dilihat mulai umur 7 (tujuh) bulan. Tinggi tanaman nyamplung pada umur tersebut dipengaruhi oleh perbedaan pola tanam, sedangkan diameter tanaman nyamplung dipengaruhi oleh pola tanam dan jenis bahan pembenah tanah. Hasil uji Duncan pengaruh faktor tunggal yang memberi pertumbuhan terbaik disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola tanam terhadap pertumbuhan tinggi tanaman nyamplung

Pola tanam/ Cropping pattern Tinggi/Height (cm) Diameter (Cm)

Nyamplung+pandan (A1) 49,76 a 0,78 a

Nyamplung+ pandan+kacang panjang (A2) 46,05 a 0,67 b

Nyamplung+pandan+semangka (A3) 33,57 b 0,54 c

Page 311: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 311

Tabel 1 menunjukkan bahwa pola tanam nyamplung+pandan menghasilkan tinggi dan diameter tanaman nyamplung terbesar. Hal ini disebabkan karena tanaman pandan yang mempunyai ukuran lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman nyamplung akan menyebabkan persaingan dalam memperoleh cahaya, sehingga tanaman nyamplung memiliki pertmbuhan tinggi yang lebih cepat dibandingkan pola tanam yang lain, sedangkan diameter tanaman nyamplung lebih tinggi disebabkan karena pola tanam nyamplung dan pandan memiliki komposisi jenis yang lebih sedikit dibandingkan pola tanam yang lain sehingga tingkat persaingan dalam memperoleh unsur hara lebih rendah. Tabel 2. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh bahan pembenah tanah terhadap pertumbuhan diameter tanaman nyamplung

Bahan Pembenah Tanah (Soil conditioning) Diameter (cm)

Pupuk kandang 5 kg 0,71 a

Pupuk kandang 5 kg+akrosol 1 kg 0,64 b

Pupuk kandang 5 kg+zeolith 1 kg 0,64 b

Tabel 2 menunjukkan bahwa sampai umur 7 bulan, pemberian pupuk kandang sebanyak 5 kg

dapat meningkatkan pertumbuhan diameter tanaman paling besar. Pupuk kandang 5 kg cukup berfungsi sebagai bahan pembenah tanah sekaligus penyedia unsur hara bagi tanaman.

Hasil analisis sidik ragam pada umur 12 bulan menunjukkan bahwa interaksi perlakuan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman, namun faktor tunggal berupa pola tanam dan jenis bahan pembenah tanah memberikan perbedaan yang nyata pada kemampuan hidup tanaman seperti disajikan pada hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola tanam terhadap kemampuan hidup tanaman nyamplung

Pola tanam Kemampuan hidup

Nyamplung+ pandan+kacang panjang (A2) 76,44 a

Nyamplung+pandan (A1) 55,22 b

Nyamplung+pandan+semangka (A3) 54,11 b

Tabel 3 menunjukkan bahwa kemampuan hidup tanaman nyamplung tertinggi ditunjukkan

pada pola tanam nyamplung+pandan+kacang panjang. Hal ini disebabkan karena pola tana tersebut memiliki kondisi iklim mikro yang lebih sesuai bagi tanaman nyamplung. Tanaman pandan akan melindungi tanaman nyamplung dari angin laut, sedangkan kacang panjang yang ditanam dengan turus diatas tanaman nyamplung dapat berfungsi sebagai naungan sehingga dapat mengurai intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman nyamplung. Pertumbuhan nyamplung sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim. Pada musim kemarau sebagian besar tanaman nyamplung mengalami mati pucuk akibat kekeringan yang selanjutnya akan muncul banyak trubusan dari bawah atau bahkan akan mengalami kematian. Oleh karena itu keberadaan tanaman penaung akan membantu meningkatkan kemampuan hidup tanaman nyamplung. Tabel 4. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh bahan pembenah tanah terhadap kemampuan hidup tanaman nyamplung

Bahan Pembenah Tanah Kemampuan hidup

Pupuk kandang 5 kg+akrosol 1 kg 69,89 a

Pupuk kandang 5 kg 61 33 b

Pupuk kandang 5 kg+zeolith 1 kg 54,56 b

Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian bahan pembenah tanah berupa pupuk kandang 5 kg + akrosol 1 kg memberikan jumlah tanaman yang hidup sampai akhr penelitian paling tinggi (69,8%).

Page 312: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

312 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Hal ini disebabkan karena pupuk kandang berfungsi sebagai penyedia unsur hara, memperbaiki sifat fisik tanah serta meningkatkan aktifitas mikroorganisme, sedangakan akrosol berfungsi sebagai media penyimpan air sehingga dapat menjaga tanah di sekitar media perakaran tetap lembab. B. Pembahasan

Penananaman di lahan pantai berpasir mempunyai resiko kegagalan yang tinggi dikarenakan kondisi iklim yang ekstrim serta kesuburan tanah yang rendah. Oleh karena itu teknologi yang diperlukan untuk penanaman di lahan pantai adalah bagaimana meningkatkan keberhasilan penanaman pohon nyamplung. Pola tanam nyamplung+pandan+kacang panjang merupakan teknik terbaik untuk menanam nyamplung karena memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi. penanaman semangka jalur penanaman dibiarkan terbuka serta pertumbuhan semangka merambat di atas permukaan tanah, sehingga tidak ada naungan bagi tanaman nyamplung. Pola tanam nyamplung dan semangka memberikan tingkat keberhasilan paling rendah. Hal ini disebabkan karena pada pola tersebut tidak ada naungan bagi tanaman nyamplung. Semangka mempunyai pertumbuhan yang merambat diatas permukaan tanah. Akibatnya kondisi suhu dan intensitas cahaya matahari lebih tinggi dibanding pola tanam A1 dan A2. Kodisi iklim mikro pasir pantai di lokasi penelitian yang berada pada zona supra littoral umumnya sangat ekstrim. Suhu tanah yang tinggi disiang hari, cahaya yang sangat terik serta tiupan angin yang mengandung uap air garam dengan tingkat salinitas yang tinggi adalah merupakan ciri khas daerah tersebut (Webster, 2003).

Manipulasi lingkungan pada kondisi yang ekstrim diperlukan agar tercipta kondisi yang sesuai bagi tanaman sehingga dapat beradaptasi dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan pemberian windbreak dan penaung. Dalam perlakuan yang dicobakan, pandan dan kacang panjang dapat berfungsi sebagai windbreak sekaligus sebagai penaung sehingga memberikan hasil yang baik bagi tanaman nyamplung muda. Mile (2007), kondisi pasir yang marginal dengan struktur lepas, salinitas tinggi, kelembaban yang rendah serta suhu yang relatif tinggi merupakan faktor pembatas utama.

Kondisi salin dapat berasal dari tanah tempat media perakaran dan udara disekitar tanaman yang mengandung garam. Munns (2002) menyatakan bahwa tanaman yang toleran terhadap salinitas berbeda adaptasinya dengan tanaman yang sensitif salinitas. Jenis tanaman yang toleran mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan ion-ion garam dalam kompartemen yang ada dalam vakuola untuk menjaga kemampuan dari sitoplasma atau dinding sel serta mencegah keracunan garam. Respon terhadap stress salinitas merupakan proses multigen, keterlibatan sejumlah proses dalam mekanisme toleransi yang saling mempengaruhi misalnya pembentukan berbagai kompatibel solutes/osmolytes, polyamines, jenis reaksi oksigen dan mekanisme pertahanan antioksidan, transportasi ion dan pengumpulan dalam kompartemen ion yang berbahaya (Sairam & Tyagi, 2004). Akibat salinitas akan mengurangi kemampuan tanaman untuk mengambil air dan kemampuan pada pengurangan kecepatan tumbuh tanaman (Munns, 2002). Salinitas akan mengurangi konsentrasi kalsium di akar sehingga perkembangan akar akan terganggu (Cabanero et al., 2004). Pasir yang kering dan suhu yang tinggi akibat cahaya langsung pada siang hari dapat mematikan tanaman yang perakarannya belum beradaptasi dengan baik. Cabanero et al. (2004) kondisi salin maka akan meningkatkan penyerapan air. Salinitas dapat menurunkan fotosintesis serta meningkatkan respirasi sehingga mengakibatkan perubahan aktivitas enzim, serta keseimbangan hormon. Pada kondisi salinitas daun tanaman akan lebih cepat mati sebelum dewasa (Moud Maghsoudi and Maghsoudi, 2008). Salinitas dapat menyebabkan kekurangan gizi atau ketidakseimbangan, karena kompetisi dari Na+ dan Cl-dengan nutrisi seperti K+ , Ca2+ (Yuncai Hu and Urs Schmidhalter, 2005).

Penambahan bahan pada tempat tumbuh tanaman dengan soil conditioning (akrosol dan zeolith) tidak efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman nyamplung muda pada lahan pasir pantai. Pemberian pupuk kandang sebanyak 5 kg per lubang tanam merupakan teknik yang efektif untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Pupuk kandang merupakan salah satu bahan aleomerant yang berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik tanah sehingga lebih mampu mengikat unsur hara dan air. Sehingga air dan unsure hara tidak mudah larut kedalam tanah. Daerah disekitar perakaran

Page 313: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 313

menjadi lebih lembab dalam waktu yang lebih lama. Selain itu dimungkinkan faktor yang paling berpengaruh pada tanaman nyamplung adalah faktor iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan).

Berbeda dengan hasil penelitian pada budidaya tanaman bawang pada lahan pasir. Di daerah Kabupaten Bantul, penambahan bahan aleomeriant yaitu zeolith sebanyak 450 kg/ha, tanah liat 50 ton/ha, pupuk organik 10 ton/ha mampu meningkatkan produktivitas lahan berupa perolehan hasil panenan bawang merah yang mencapai 20 ton/ha (Setyono dan Surandal, 2009). Stevenson, 1981 dalam Subagyono (2007) menyatakan bahwa pengelolaan kelengasan tanah dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk menahan air. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui aplikasi bahan organik dan bahan pembenah tanah (soil conditioner). Pupuk organik yang diterapkan pada tanaman di lapangan diharapkan akan menjaga ketersediaan NO3-N lebih stabil sepanjang masa pertumbuhan serta meningkatkan jumlah mikroorganisme tanah seperti bakteri aerobes, dan actinomycetes (Lee, 2010).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penanaman nyamplung di lahan pantai berpasir memiliki tingkat keberhasilan paling tinggi

apabila dilakukan dengan cara menerapkan pola tanam nyamplung+pandan+kacang panjang atau

dengan cara memberikan bahan pembenah tanah menggunakan pupuk kandang 5 kg+akrosol 1 kg.

B. Saran Untuk lebih meningkatkan keberhasilan penanaman nyamplung pada lahan pantai berpasir,

sebaiknya penanaman nyamplung dilakukan dengan sistem agroforestry. Oleh karena itu sistem agroforestry dapat memberikan tambahan penghasilan bagi petani maka perlu dilakukan analisis finansial dari pola tanam nyamplung yang tepat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Cabanero, F.J., V. Martinez, M. Carvajal. 2004. Does calcium determine water uptake under saline conditions in pepper plants, or is it water flux which determines calcium uptake? Plant Science 166: 443-450.

Hairiah. K. dan Widianto. 2007. Adaptasi dan mitigasi pemanasan global melalui pengelolaan

diversitas pohon di lahan-lahan pertanian. bunga rampai konservasi tanah dan air. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta.

Hamim & Miftahudin. (2008). Tantangan dan kendala pengembangan komoditas penghasil bahan

bakar nabati (biofuel): studi kasus di Bali dan Nusa Tenggara Prosiding Seminar Nasional Sains. Bogor: FMIPA-IPB, 1-6.

Jianguo L, L. Pu, M. Zhu, Zhang J, P. Li, D. Xiaoqing , Y. Xu and L. Liu. 2014. Evolution of soil

properties following reclamation in coastal areas:A review. Geoderma 226-227: 130-139. Lee, J. 2010. Effect of application methods of organic fertilizer on growth, soil chemical properties

and microbial densities in organic bulb onion production. Scientia Horticulturae 124: 299-305.

Mile, M.Y. 2007. Pengembangan species tanaman pantai untuk rehabilitasi dan perlindungan

kawasan pantai, Info Teknis Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.

Page 314: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

314 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Moud, A.M. dan K. Maghsaudi. 2008. Salt stress effects on respiration and growth of germinated seeds of different wheat (Triticum aestivum L.) Cultivars. World Journal of Agricultural Sciences 4 (3): 351-358.

Munns. R. 2002. Comparative physiologi of salt and water stress. Plant Cell And Environment 25:

239-250. Noor, Y.R. , Khazali,M. dan Suryadiputra, I.N.N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.

Weetlands International. Bogor. Notohadiprawiro, T., S. Soekadarmodjo, dan E.Sukana, 2006. Pengelolaan kesuburan tanah dan

peningkatan efisiensi pemupukan. Repro : Ilmu Tanah UGM. UGM. Yogyakarta. Partoyo. 2005. Analisi indeks kualitas tanah pertanian di lahan pasir pantai samas di Yogyakarta. Ilmu

Pertanian, 12 (2): 140-151. Sairam, R.K. and A.Tyagi. 2004. Physiology and molecular biologi of salinity stress tolerance in plants.

Current Science 86. Setyono, B. Dan Suradal. 2009. Agribisnis bawang merah di lahan pasir pantai melalui penerapan

teknologi ameliorasi di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Makalah Seminar Nasional. Peningkatan daya saing agribisnis berorientasi kesejahteraan petani. Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Subagyono, K. 2007. Konservasi air untuk adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim. bunga

rampai konservasi tanah dan air. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta.

Sumardi. 2009. Prinsip silvikultur reforestasi dalam rehabilitasi formasi gumuk pasir di kawasan

pantai Kebumen. Prosiding seminar nasional Silvikultur Rehabilitasi Lahan: Pengembangan Strategi untuk Mengendalikan Tingginya Laju Degradasi Hutan. Yogyakarta, 24-25 November 2008, pp.58-65.Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Surat Kabar Harian Kompas. 2008. Yang Muda Yang Bertani. Terbitan Jumat 11 April 2008. Jakarta. Webster, I.T., P.W.Ford, B. Robson, Margvellivili and J.P Parstow. 2002. Conceptual Models of the

hydrodinamics, Fine Sediment dinamicss, bio chemestry and primary production, Fitzroy estuary, Final report, Coastal CRD Project CSIRO, Canbera.

Yuncai Hu and Urs Schmidhalter. 2005. Drought and salinity: A comparison of their effects on

mineral nutrition of plants. Journal Plant Nutrition Soil Science 168: 541-549.

Page 315: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 315

Tabel 1. Analisis sidik ragam perlakuan pola tanam dan media tanam nyamplung

Sumber Variasi

Jumlah Kuadrat db (Degrees of freedom

Kuadrat Tengah F hit.

Sig.

T (cm) Ф (cm)

% hidup T (cm)

Ф (cm)

%

hidup

T (cm) Ф (cm)

% hidup T (cm)

Ф (cm)

%

hidup

T (cm) Ф (cm) %

hidup

Umur 1 Bulan

Blok 935,63 0,074 58,07 2 2 2 467,82 0,037 29,04 2,001 0,58 4 0,250 0,601 0,11

Pola tanam 2632,95 0,555 58,07 2 2 2 1316,50 0,277 29,04 5,63 4,36 4 0,069 4,36 0,11

Galat a 935,21 0,254 29,04 4 4 4 233,81 0,064 7,26

Pembenah tanah

319,19 0,001 14,52 2 2 2 159,60 0,000 7,26 1,55 0,026 0,29 0,214 0,974 0,756

Pola tanam*Media tanam

257,94 0,087 203,26 4 4 4 64,484 0,022 50,82 0,63 1,31 2 0,645 0,264 0,159

Galat b 47872,89 7,704 304,89 464 467 12 103,17 0,016 25,41

Umur 7 bulan

Blok 1046,5 0,07 58,07 2 2 2 523,25 0,033 29,04 1,87 0,56 4 0,267 0,609 0,11

Pola tanam 16062,55 2,87 58,07 2 2 2 8031,28 1,44 29,04 28,56 24,15 4 0,004* 0,006* 0,11

Galat a 1175,60 0,24 29,04 4,18 4,06 4 281,22 0,06 7,26

Pembenah tanah

220,76 0,36 14,52 2 2 2 110,38 0,18 7,26 0,33 3,49 0,29 0,719 0,032* 0,76

Pola tanam*Media tanam

1199,81 0,47 203,26 4 4 4 299,95 0,12 50,82 0,90 2,27 2,0 0,465 0,061 0,16

Galat b 113866,29 18,21 304,89 341 351 12 333,91 0,05 25,41

Umur 12 bulan

Blok 827,29 0,35 146,74 2 2 2 413,64 0,17 73,37 0,681 0,29 1,76 0,595 0,77 0,284

Pola tanam 871,12 2,18 2851,19 2 2 2 435,59 1,09 1425,59 0,653 1,27 34,09 0,660 0,46 0,003*

Galat a 660,26 1,52 167,26 0,99 1,77 4 667,54 0,86 41,82

Pembenah 495,51 0,31 1062,74 2 2 2 247,76 1,57 531,37 0,495 1,57 9,06 0,610 0,21 0,004*

Page 316: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

316 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Sumber Variasi

Jumlah Kuadrat db (Degrees of freedom

Kuadrat Tengah F hit.

Sig.

T (cm) Ф (cm)

% hidup T (cm)

Ф (cm)

%

hidup

T (cm) Ф (cm)

% hidup T (cm)

Ф (cm)

%

hidup

T (cm) Ф (cm) %

hidup

tanah

Pola tanam*Media tanam

1031,58 0,19 699,93 4 4 4 257,90 0,48 174,98 0,52 0,48 2,98 0,725 0,75 0,063

Galat b 148787,71 32,95 704,00 297 335 12 500,97 58,67

Page 317: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 317

KOMPOSISI VEGETASI PADA AGROFORESTRI KENCUR DI WILAYAH PRIANGAN TIMUR, JAWA BARAT

Gunawan1, Asep Rohandi1 dan Sri Purwaningsih1

1Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis vegetasi pada pola agroforestri kencur di di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Penentuan plot pengamatan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan metode pengambilan contoh untuk analisis komunitas tanaman menggunakan metode petak tunggal. Pengambilan data berdasarkan klasifikasi tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang, pohon. Parameter yang diukur untuk tanaman bawah, semai, dan pancang meliputi jumlah dan jenis tanaman. Sedangkan parameter tiang dan pohon meliputi jenis tanaman, tinggi dan diameter tanaman. Parameter tersebut dianalisis untuk mengetahui komposisi vegetasi lokasi sebaran tanaman garut dengan menggunakan Indeks Nilai Penting (Important Value Index) yang dapat menggambarkan kerapatan, penyebaran, penguasaan dan peran jenis. Hasil penelitian menunjukan bahwa vegetasi penyusun agroforestri tanaman kencur pada tingkat pohon didominasi oleh tanaman kelapa dengan nilai indeks penting sebesar 74,12%, pada tingkat tiang adalah tanaman sengon dengan niali indeks penting 80,32%, pada tingkat pancang juga tanaman sengon dengan nilai indeks penting 45,96%, sedangkan pada tingkat semai tanaman kencur nilai indek penting mencapai 106,53%. Kata kunci: komposisi vegetasi, kencur, agroforestri, Priangan Timur

I. PENDAHULUAN

Kencur (Kaempferia galanga L.) termasuk kedalam komoditas yang memiliki prospek pasar

cukup baik karena merupakan bahan baku industri penting di dalam negeri baik untuk obat tradisional, kosmetik, obat herbal terstandar, saus rokok, bumbu, bahan makanan maupun minuman penyegar lainnya (Ditjen TPH, 1996). Manfaat tanaman kencur sangat banyak terutama untuk masyarakat indonesia, mulai dari kegunaan secara tradisional maupun sosial. Pemanfaatan tanaman kencur utamanya adalah untuk diambil rimpangnya yang berguna untuk bahan obat tradisional, sebagai saus untuk industri rokok kretek, bahan baku industri minuman penyegar serta bumbu dapur. Kencur di Indonesia banyak dikembangkan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Seiring dengan tren back to nature maka permintaan kencur sebagai salah satu obat tradisional populer pun semakin meningkat. Produktivitas kencur di wilayah pengembangannya dengan masing-masing 5-6 daerah sentra pengembangan masih tergolong rendah, yaitu 0.3 – 10 ton per hektar (Disbun Jawa Barat, 2000; Disbun Jawa Tengah, 1998;Disbun, Jawa Timur, 1999), sehingga masih perlu dilakukan peningkatan produktivitas tanaman tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas adalah melalui teknik budidaya optimal. Mengingat besarnya permintaan akan kebutuhan tanaman obat dan keterbatasan lahan pertanian untuk dijadikan areal pengembangan budidaya tanaman obat maka diperlukan intensifikasi lahan dengan menerapkan pola agroforestry Dalam rangka mendukung hal tersebut maka diperlukan informasi awal mengenai kondisi alami kencur dilapangan dalam hal komposisi vegetasi penyusun dengan jenis lain. Penelitian ini dipandang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan arah pengembangan kencur secara agroforestri terutama dalam hal pemilihan jenis.

II. METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2014 sampai Desember 2014 di wilayah Priangan Timur yang merupakan sentra budidaya tanaman kencur di Jawa Barat.

Page 318: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

318 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Eksplorasi tanaman dilakukan dengan Snowball Samplings (sampel bola salju) karena tidak adanya data tentang keberadaan populasi tanaman kencur. Penentuan plot pengamatan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan metode pengambilan contoh untuk analisis komunitas tanaman menggunakan metode petak tunggal (Indriyanto, 2006). Pengukuran dilakukan berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Soerianegara dan Indrawan (2005) yaitu pohon (diameter 20 cm ke atas), Tiang (diameter 10-20cm), Pancang (Permudaan yang tingginya 1,5 m dan lebih sampai diameter 10 cm) , Semai (Anakan pohon sampai mencapai tinggi hingga 1,5 m). Ukuran petak contoh untuk ukuran dewasa adalah 20 m x 20 m, fase tiang (poles) 10 m x 10 m, fase pancang (sapling) 5 m x 5 m dan fase semai (seedling) serta tumbuhan bawah menggunakan petak contoh berukuran 2 m x 2 m. Sedangkan untuk ukuran plot tanaman cikur berbentuk petak bujur sangkar dengan ukuran 2 m x 2 m.

Pengamatan tanaman cikur berdasarkan parameter jumlah tanaman tiap plot. Pengamatan vegetasi fase pohon dewasa pada plot berukuran 20 m x 20 m dan fase tiang (poles) 10 m x 10 m dilakukan dengan mengukur parameter jumlah, jenis, tinggi, diameter batang dan luas bidang dasar. Sementara untuk fase pancang (sapling) pada plot 5 m x 5 m, parameter yang diukur meliputi jumlah dan jenis tanaman. Parameter vegetasi yang dianalisis meliputi jenis tanaman, tinggi dan diameter tanaman.

Analisis data dilakukan terhadap parameter yang diperoleh untuk mengetahui komposisi vegetasi lokasi sebaran tanaman garut dengan menggunakan Indeks Nilai Penting (Important Value Index) yang dapat menggambarkan kerapatan, penyebaran, penguasaan dan peran jenis. Perhitungan INP dilakukan dengan mengacu pada rumus yang dikemukakan oleh Kusmana (1997) sebagai berikut:

Kerapatan Jenis

petak Luas

individuJumlah

Kerapatan Relatif (KR) (%) 100% x

jenis semuaKerapatan

jenissuatu Kerapatan

Frekuensi 100% x

petak alJumlah tot

jenissuatu yaditemukannplot Jumlah

Frekuensi Relatif (FR) (%)

100% x jenis semua Frekuensi

jenissuatu Frekuensi

Dominansi

petak Luas

dasar bidang Luas

Dominansi Relatif (DR)(%) 100% x

jenis semua Dominansi

jenissuatu Dominansi

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap komposisi vegetasi penyusun agroforestri

tanaman kencur ditemukan 16 spesies pada tingkat semai, 12 spesies pada tingkat pancang, 11 spesies pada tingkat tiang dan 12 spesies pada tingkat pohon. Sebagian besar tumbuhan yang ditemukan adalah tanaman budidaya karena fokus penelitian yang merupakan lahan agroforestri yang telah banyak diintroduksi oleh masyarakat. Secara umum tananam kencur berada pada lahan yang dipelihara masyarakat dan sebagian besar berasosiasi dengan tanaman budidaya laiannya. Sedangkan apabila ditanam diareal yang lebih luas yang berasosiasi dengan tanaman berkayu maka jenis yang mendominasi adalah jenis-jenis hutan rakyat seperti sengon, mahoni, aprika, dan tisuk.

Page 319: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 319

Komunitas kencur dalam agroforestri yang ditemukan pada plot penelitian mengacu pada Sardjono et al., 2003 membentuk beberapa pola yaitu : sistem jalur berselang (alternite rows), tegakan pohon tidak merata (model acak atau random), bentuk jalur/lorong (alley cropping) dan di sekeliling petak atau pada sisi-sisi petak (trees along border). Sementara itu untuk mengetahui komposisi dan struktur lebih lanjut maka dilakukan pengelompokan berdasarkan fase semai, pancang, tiang, dan pohon. 1. Tingkat Semai

Pada tingkat semai tanaman yang paling tinggi nilai indeks pentingnya adalah tanaman kencur dengan nilai INP sebesar 106,53% dari 16 jenis yang ditemukan (Tabel 2). Tanaman kencur merupakan fokus dari penelitian ini dimana plot yang dibuat adalah pada daerah atau lokasi yang terdapat tanaman kencur baik itu pada pekarangan, sawah maupun tegalan. Secara umum, pada tingkat semai jenis tanaman didominasi dengan tanaman budidaya yang sengaja ditanam oleh masyarakat. Beberapa diantaranya merupakan tanaman pertanian yang dibudidayakan skala besar seperti kucai dan cabai. Hal ini terlihat pula dari nilai INP nya yang menduduki peringkat ke dua (Kucai : 42,31%) dan cabai pad urutan ke tiga (19,29%). Ada 3 tanaman yang merupakan semai untuk jenis pohon yaitu gaharu, afrika, dan cengkeh.

Tabel 2 menunjukkan bahwa agroforestri kencur yang diterapkan merupakan sistem agroforestri sederhana (De Foresta et al., 2000). Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam dan bernilai ekonomi tinggi, sedangkan tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya (Hairiah et al., 2003). Hal tersebut juga ditemukan pada pola agroforestri kencur di beberapa lokasi dimana jenis tanaman berkayu yang ditanam merupakan jenis-jenis bernilai ekonomi seperti, gaharu, afrika dan cengkeh (Tabel 2), sengon, mahoni, rambutan, manglid, acacia, petai (Tabel 3), kelapa, duku, jati, karet (Tabel 4), kesambi, nangka, alpukat dan nangka. Sementara itu, tanaman semusim yang dikombinasikan dengan kencur adalah cabai, kucai, laja, padi, ketela pohon dan adas (di Sumedang), tanaman obat lain yang ditanam bersama dengan kencur adalah tanaman kunyit dan jahe. Tanaman kunyit dapat dijumpai pada plot 5 dan 7. Sementara untuk anakan kayu afrika, cengkeh dan gaharu dapat ditemukan pada plot 5 yang terletak disumedang. Tanaman ini bukan anakan alam melainkan ditanam pada lokasi plot pengamatan, dimana bibitnya beli. Tabel 2. Frekwensi relatif, kerapatan relatif dan indeks nilai penting vegetasi penyusun agroforestri

kencur pada tingkat semai

No Nama Lokal Nama Ilmiah FR (%) KR (%) INP (%)

1 Kencur Kaempferia galanga L 34,25 72,28 106,57

2 Cabai Capsicum annuum L 17,12 2,15 19,29

3 Kucai Allium tuberosum Rottler ex Spreng

19,98 22,31 42,31

4 Rumput Cyperus rotundus 1,43 0,14 1,57

5 Laja Alpinia galanga (L.) 4,28 0,42 4,70

6 Ketela Pohon Manihot utilissima 2,85 0,35 3,20

7 Adas Foeniculum vulgare Miller. 1,43 0,14 1,57

8 Padi Oryza sativa L. 1,43 0,21 1,64

9 Kacang Tanah

Arachis hypogaea L. 1,43 0,14 1,57

10 Kunyit Curcuma longa. 4,28 0,90 5,19

11 Gaharu Aquilaria malaccensis 1,43 0,07 1,50

12 Cengkeh Syzygium aromaticum 1,43 0,07 1,50

Page 320: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

320 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No Nama Lokal Nama Ilmiah FR (%) KR (%) INP (%)

13 Afrika Maesopsis eminii Engl. 1,43 0,07 1,50

14 Jahe Zingiber officinale Rosc 4,28 0,62 4,91

15 Talas Colocasia esculenta (L.) Schott 1,43 0,07 1,50

16 Pepaya Carica papaya L. 1,43 0,07 1,50

Sumber: Data diolah (2014). 2. Tingkat Pancang

Pada tingkat pancang tanaman yang mendominasi adalah jenis sengon dimana hampir disemua plot dengan INP sebesar 45,96%, tanaman kedua yang mendominasi adalah jenis mahoni dengan INP sebesar 30,30%. Pada tingkat pancang jenis tanaman yang dijumpai mempumyai indeks nilai penting yang hampir merata dimana nilai indeks penting berkisar antara 7,32–45,96%. Ada 5 jenis tanaman yang mempunyai nilai indeks penting sama dan paling kecil yaitu sebesar 7,32%, jenis tersebut meliputi pisang, randu, manglid, rambutan dan kelor. Hasil analisis INP selengkapnya disajikan dalam tabel 3.

Dominasi sengon pada agroforestri kencur karena jenis ini merupakan jenis hutan rakyat utama sehingga banyak dipilih dan dibudidayakan hampir di semua lokasi yang dikunjungi. Menurut Syahri dan Nurhayati (1991) dan Sudarmonowati et al. (2009), tanaman sengon banyak dikembangkan sebagai hutan rakyat karena dapat tumbuh pada sebaran kondisi iklim yang luas, tidak menuntut persyaratan tempat tumbuh yang tinggi dan mempunyai banyak manfaat. Sengon masih menjadi pilihan utama masyarakat meskipun saat ini banyak mengalami beberapa hambatan diantaranya dengan adanya serangan penyakit karat tumor.

Tabel 3. Frekwensi relatif, kerapatan relatif dan indeks nilai penting vegetasi penyusun agroforestri kencur pada tingkat pancang

No Nama Lokal Nama Ilmiah FR (%) KR (%) INP (%)

1. Jengkol Archidendron pauciflorum 13,64 8,33 21,97

2. Pisang Musa paradisiaca 4,55 2,78 7,32

3. Sengon Falcataria mollucana 18,18 27,78 45,96

4. Mangga Mangifera indica 9,09 5,56 14,65

5. Mahoni Swietenia mahagoni 13,64 16,67 30,30

6. Randu Ceiba pentandra 4,55 2,78 7,32

7. Afrika Maesopsis eminii Engl. 9,09 5,56 14,65

8. Manglid Manglieta glauca 4,55 2,78 7,32

9. Acacia Acacia mangium 4,55 16,67 21,21

10. Petai Parkia speciosa 9,09 5,56 14,65

11. Rambutan Nephelium lappaceum 4,55 2,78 7,32

12. Kelor Moringa oleifera 4,55 2,78 7,32

Sumber : Data diolah (2014) 3. Tingkat Tiang

Pada tingkat tiang jenis tanaman yang ditemukan sebanyak 11 jenis tanaman dengan jenis tanaman yang mendomminasi adalah jenis sengon dengan nilai INP sebesar 80,32%, jenis kedua yang mendominasi tingkat tiang adalah kayu afrika dengan nilai indeks penting sebesar 74,39%. Hasil analisis vegetasi tinngkat tiang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tanaman sengon hampir dijumpai disemua plot pengamatan. Plot 1-4 jenis tanaman tingkat tiang yang paling banyak dijumpai adalah afrika, rambutan, dan mangga. Tanaman afrika pada plot

Page 321: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 321

pengamatan merupakan anakan yang tumbuh dari pohon afrika yang berada disekitar plot penelitian, sedangkan tanaman rambutan dan mangga ditanam oleh petani pada pematang sawah. Bentuk agroforestry pada plot 1-4 merupakan lahan sawah yang ditanami tanaman kayu pada pematangnya, sedangkan untuk plot 5-8 bentuk agroforestry merupakan lahan tegalan dengan penanaman tanaman kayu campuran dan tidak beraturan.

Tabel 4. Frekwensi relatif, kerapatan relatif dan indeks nilai penting vegetasi penyusun agroforestri

kencur pada tingkat tiang

No Nama Lokal Nama Ilmiah FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)

1 Sengon Falcataria mollucana 26,316 30,488 23,52 80,23

2 Afrika Maesopsis eminii Engl. 15,789 24,390 34,21 74,37

3 Rambutan Nephelium lappaceum 5,263 3,049 4,49 12,80

4 Mangga Mangifera indica 5,263 3,049 3,06 11,36

5 Kelapa Cocos nucifera 5,263 3,049 7,60 15,92

6 Jati Tectona grandis 5,263 3,049 6,47 14,79

7 Petai Parkia speciosa 5,263 3,049 6,47 14,79

8 Duku Lansium domesticum 10,526 6,098 3,44 20,04

9 Tisuk Hibiscus macrophyllus 10,526 12,195 4,61 27,27

10 Karet Hevea brasiliensis 5,263 3,049 1,12 9,42

11 Mahoni Swietenia mahagoni 5,263 9,146 4,63 19,01

Sumber : Data diolah (2014) 4. Tingkat Pohon

Tercatat ada 12 jenis tanaman yang ditemukan dengan struktur dan perawakan pohon besar yang masuk dalam 8 petak pengamatan. Dari hasil perhitungan terhadap frekuensi dan analisa terhadap frekuensi keterdapatan, kerapatan jenis, dan dominansi jenis ternyata ada satu jenis yang paling mendominasi yaitu kelapa dengan indikator nilai INP tebesar yaitu 74,12% (Tabel 5). Tanaman kelapa merupakan tanaman dengan indeks nilai penting paling tinggi, tanaman kelapa dapat ditemukan pada plot 6 dan 7. Plot 7 merupakan kebun kelapa yang dibawahnya ditanami dengan tanaman kencur. Sedangkan pada plot 6 merupakan pekarangan dengan tanaman kelapa mendominasi namun masih banyak tanaman kayu lain seperti mahoni, kesambi, sengon, nangka dan tisuk.

Dominasi tanaman kelapa pada lahan masyarakat dianggap wajar karena jenis ini dianggap komoditas strategis yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Secara ekonomi, manfaat kelapa tidak hanya terdapat pada daginga buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanamannya dapat dimanfaatkan. Di samping itu, kelapa dianggap mudah untuk dibudidayakan tanpa perawatan dan pengelolaan yang khusus. Adapun jenis kedua dengan nilai INP 34,41 % adalah tanaman randu. Jenis ini berada pada plot 1-4 dimana tanaman ditanam pada pematang sawah. Tabel 5. Frekwensi relatif, kerapatan relatif dan indeks nilai penting vegetasi penyusun agroforestri

kencur pada tingkat pohon

No Nama Lokal Nama Ilmiah FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)

1 Randu Ceiba pentandra 14,286 9,375 10,75 34,41

2 Alpukat Persea americana Mill. 9,524 6,250 5,07 20,84

3 Kelapa Cocos nucifera 9,524 28,125 36,47 74,12

4 Jati Tectona grandis 4,762 9,375 13,92 28,06

5 Aren Arenga pinnata 9,524 6,250 8,09 23,87

Page 322: POTENSI AGROFORESTRY UNTUK MENINGKATKAN …...periode 1987-1993; dan sampai akhir tahun 2000, mencapai sekitar 100.000 hektar (Dirjen RLPS, Dephut Jakarta, 2008). Adapun contoh kasus

322 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No Nama Lokal Nama Ilmiah FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)

6 Petai Parkia speciosa 9,524 12,500 4,58 26,61

7 Tisuk Hibiscus macrophyllus 9,524 6,250 2,05 17,82

8 Sengon Falcataria mollucana 9,524 6,250 2,53 18,31

9 Afrika Maesopsis eminii Engl. 9,524 6,250 2,05 17,82

10 Kesambi Schleichera oleosa 4,762 3,125 1,18 9,07

11 Mahoni Swietenia mahagoni 4,762 3,125 12,25 20,14

12 Nangka Artocarpus heterophyllus

4,762 3,125 1,05 8,94

Sumber : Data diolah (2014)

IV. KESIMPULAN

Komposisi vegetasi agroforestri kencur didominasi tanaman budidaya yang diklasifikasikan sebagai sistem agroforestri sederhana. Analisis vegetasi penyusun agroforestri tanaman kencur pada tingkat pohon didominasi oleh tanaman kelapa dengan nilai indeks penting sebesar 74,12%, pada tingkat tiang jenis tanaman yang mendominasi adalah tanaman sengon dengan niali indeks penting 80,32%, pada ingkat pancang juga tanaman sengon dengan nilai indeks penting 45,96%, sedangkan pada tingkat semai tanaman kencur nilai indek penting mencapai 106,53%.

DAFTAR PUSTAKA

De Foresta, H dan G. Michon. 1997. "The Agroforest alternative to Imperata grassland : when

smallholder agriculture and forestry reach sustainability" Agroforestry System 36 : 105-120 Ditjen TPH. 1996. Program Pengembangan Perbenihan Tanaman Obat-obatan di Indonesia. Hairiah, K; Widianto; S Rahayu; B. Lusiana. 2003. Wanulcas : Model Simulasi Untuk Sistem

Agroforestri. Bogor : ICRAF. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sardjono, M. A., T. Djogo, H. S. Arifin, dan N.Wijayanto. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi

Komponen Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 2. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office.Bogor.http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/lecturenote/LN0002-04.PDF. Diakses tanggal 29 Nopember 2014.

Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.