postdate

51
BAB I PENDAHULUAN Kehamilan postmatur (serotinus) adalah kehamilan yang berlangsung lebih lama dari 42 minggu.(lebih dari 294 hari). Angka kejadian kehamilan post matur ini antara 3-12%. 2,3,5,6,7 Pada umumnya, kehamilan manusia rata-rata berakhir dalam 280 hari. Kehamilan yang matur biasanya antara 37 minggu sampai 42 minggu. Kehamilan lewat waktu (postdate atau postterm) berakhir lebih dari 42 minggu atau lebih dari 294 hari yang dihitung dari hari pertama mens terakhir. Kira-kira 90% dari seluruh kehamilan akan berakhir pada kurang dari 42 minggu, dengan 50% sesuai kehamilan normal, 40% pada kehamilan minggu ke-42. 5% sesuai dengan taksiran tanggal persalinannya dan 4% setelah lewat 43%. 5 Menurut beberapa penelitian, peningkatan angka mortalitas perinatal (lahir mati ataupun kematian neonatus) berhubungan dengan memanjangnya waktu kehamilan (serotinus). Pada usia kehamilan 42 minggu, angka mortalitas meningkat 2 kali lipat, sedangkan bila lebih dari 44 minggu, maka angka kematian meningkat 4 sampai 6 kali lipat. Karena itu, sebaiknya usia kehamilan dapat diketahui dengan tepat untuk menurunkan insidensi kematian perinatal ini. 5,9

Upload: arief-tricahyono

Post on 15-Sep-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

postdate

TRANSCRIPT

4

BAB IPENDAHULUAN

Kehamilan postmatur (serotinus) adalah kehamilan yang berlangsung lebih lama dari 42 minggu.(lebih dari 294 hari). Angka kejadian kehamilan post matur ini antara 3-12%.2,3,5,6,7 Pada umumnya, kehamilan manusia rata-rata berakhir dalam 280 hari. Kehamilan yang matur biasanya antara 37 minggu sampai 42 minggu. Kehamilan lewat waktu (postdate atau postterm) berakhir lebih dari 42 minggu atau lebih dari 294 hari yang dihitung dari hari pertama mens terakhir. Kira-kira 90% dari seluruh kehamilan akan berakhir pada kurang dari 42 minggu, dengan 50% sesuai kehamilan normal, 40% pada kehamilan minggu ke-42. 5% sesuai dengan taksiran tanggal persalinannya dan 4% setelah lewat 43%. 5Menurut beberapa penelitian, peningkatan angka mortalitas perinatal (lahir mati ataupun kematian neonatus) berhubungan dengan memanjangnya waktu kehamilan (serotinus). Pada usia kehamilan 42 minggu, angka mortalitas meningkat 2 kali lipat, sedangkan bila lebih dari 44 minggu, maka angka kematian meningkat 4 sampai 6 kali lipat. Karena itu, sebaiknya usia kehamilan dapat diketahui dengan tepat untuk menurunkan insidensi kematian perinatal ini. 5,9

Yang menjadi permasalahan, adalah umumnya wanita yang sedang hamil sering tidak ingat dengan pasti kapan haid terakhirnya. Hal ini penting diketahui dengan pasti, tanggal pertama haid terakhir pasien, yang tentunya dengan siklus yang teratur. Saat ini sering digunakan rumus Naegele untuk menentukan umur kehamilan, tetapi rumusan ini menjadi kacau pada pasien yang haidnya tidak teratur, ataupun yang fase folikulernya sering memanjang. Karena itu dibutuhkan beberapa parameter klinik maupun penunjang lainnya untuk mengetahui perkiraan usia kehamilan.7Penentuan usia kehamilan penting dilakukan untuk menghindari terjadinya kehamilan lewat waktu (serotinus yang dapat menyebabkan banyaknya resiko pada ibu dan bayi, terutama pada bayi. Pada kehamilan diatas 41 minggu, komplikasi prenatal mulai meingkat. 5,7Pada beberapa pusat kesehatan, kehamilan lewat waktu merupakan komplikasi antepartun yang paling sering terjadi. Hal tersebut merupakan indikasi untuk tes kesejahteraan janin sebelum kelahiran dan merupakan indikasi sering untuk induksi persalinan. Karena meningkatkan resiko pada janin dan meningkatkan penggunaan alat dan bahan, maka penting untuk melakukan penatalaksaan yang baik, sehingga hasil akhir ibu dan anak baik,dan penggunaan alat dan bahan dapat efisien. 5

Pada kehamilan, 10 % nya berlangsung lebih dari 42 minggu. Pada beberapa kasus, mungkin ada sebab genetic untuk serotinus, tetapi kebanyakan penyebabnya tidak diketahui. Diagnosisnya biasanya ditegakkan dari riwayat pemeriksaan kehamilan dan biasanya dikonfirmasi ulang jika diperlukan dengan pemeriksaan ultrasonografi dengan mengukur lingkar perut janin, panjang femur, panjang janin dari corona (kepala) sampai tulang ekor, dan ukuran kantung amnion terpanjang dibandingkan dengan data nomogram. 4,7Resiko dari kehamilan lewat waktu adalah meningkatnya angka kematian janin terutama jika lama kehamilan lebih dari 43 minggu. Setidaknya 1 dari 3 dari angka kematian yang meningkat berhubungan dengan kelainan bawaan fetus. 4 A. Definisi

Kehamilan postmatur adalah kehamilan yang berlangsung lebih lama dari 42 minggu (lebih dari 294 hari). Partusnya disebut partus postmaturus atau serotinus dan bayinya disebut postmaturitas (serotinus). 2,3,5,6B. Etiologi

Etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang dikemukakan cukup banyak, antara lain:

1. Umumnya disebabkan tidak akuratnya penentuan usia kehamilan karena siklus haid yang tidak teratur dan tidak dilakukannya pemeriksaan dengan Ultrasound (USG) untuk memperkirakan usia kehamilan pada awal kehamilan. Menurut penelitian, bila tanggal pertama haid terakhit diketahui dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan USG, maka kehamilan yang benar-benar serotinus hanya sebanyak 1,1% saja. 7

2. Hormonal, yaitu: kadar progesterone tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan, sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang.2

3. Faktor lainnya adalah bila wanita hamil adalah seorang yang putus pemakaian kontrasepsi oral. Pada pasien-pasien ini sukar ditentukan masa ovulasinya karena sering terjadi keterlambatan haid 2 minggu atau lebih (siklus tidak teratur) pada beberapa siklus spontan awal. Dengan demikian tanggal haid pertama pada haid terakhir merupakan ukuran yang tidak tepat untuk menentukan taksiran persalinan.7

4. Masalah yang jarang terjadi, tetapi penting dalam kehamilan serotinus adalah kelainan bawaan, seperti anencephaly tanpa danya kelenjar hipofise, insufisiensi adrenal, maupun defisiensi sulfatase pada plasenta yang berhubungan dengan X-linked. Pada janin anencephaly, tidak terdapat pembentukan kelenjar hipofise, kehamilannya selalu lewat waktu, berlawanan dengan janin anencephali dengan kelenjar hipofise yang berkembang normal. 10 dari 19 fetus lewat waktu meninggal karena hipoplasia kelenjar adrenal. 5 Kelainan defisiensi sulfatase terjadi 1:2000 sampai 1:6000 kelahiran. Janin terkena ichtiosis, kelainan kulit seperti hiperkeratosis, juga dihubungkan dengan kornea yang opak, stenosis pilorus dan criptorchism. Plasenta tidak mampu untuk menghidrolisis prekursor estrogen dihydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) atau 16 -hydroxy-DHEA-S; konsentrasi estrogen ibu biasanya rendah dan abnormal. Kebanyakan kehamilan dengan defisiensi sulfatse plasenta biasanya terdeteksi dengan kadar estriol yang terlalu rendah baik pada urine ibu maupun dalam darah ketika kita evaluasi fungsi plasenta yang berubungan dengan kehamilan leat waktu. Kebanyakan pasien ini gagal untuk persalinan normal dan banyak dilakukan persalinan dengan Sectio Caesarea.Lebih sering diberikan serum estriol unconjugated untuk identifikasi Down syndrome dan defisiensi sulfatase plasenta pada awal kehamilan. 5,7

5. Defisiensi produksi prostaglandin ataupun cervix yang refrakter terhadap prostaglandin endogen, sehingga cervix sukar berdilatasi.7

6. Faktor lain adalah faktor herediter, karena postmaturitas sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu. 2,5C. KOMPLIKASI-KOMPLIKASI MATERNAL DAN FETAL

Komplikasi ibu dan anak meningkat secara kuadrat dengan bertambahnya usia kehamilan, dengan angka kematian perinatal yang mulai meningkat antara minggu ke-41 hingga ke-42, meningkat 2 kali lipat pada minggu ke-43, dan menjadi 4-6 kali lipat pada minggu ke-44.6

Karena insidensi makosomia janin yang tinggi, maka ibu akan lebih sering dilakukannya persalinan secara Sectio Caesarean dan induksi persalinan buatan pervaginam. Laserasi dinding vagina, cervix, dan perineum meningkat karena persalinan buatan pervaginam. Wanita dengan kehamilan lewat waktu, biasanya juga memiliki skor Bishop yang rendah, sehingga induksi persalinan sering gagal. Dan insidensi bunyi jantung janin tidak teratur, sehingga persalinan secara Sectio Caesarean sering juga atas indikasi fetal distress. 5Resiko persalinan secara Sectio Caesarean lebih tinggi pada nulipara. Selain itu, kehamilan post matur ini juga meningkatkan resiko infeksi postpartum, perdarahan dan komplikasi luka, emboli pulmonal, dan memanjangnya masa rawat di rumah sakit serta turut memegang peranan dalam menambah angka kematian maternal. Masalah tekanan emosi pada ibu juga patut diperhatikan, dalam menantikan kelahiran bayi, kecemasan terhadap biaya yang meningkat akibat intervensi medis dan sejumlah tes yang harus dilakukan ibu.5,7

Komplikasi pada janin jauh lebih serius lagi dan meyebabkan insidensi gawat janin yang tinggi pada antenatal dan intrapartum. Ada 4 masalah serius yang dihadapi bayi yaitu:

1. Oligohydramnion dengan kompresi tali pusat akut

Pada kehamlan post matur, terjadi pengurangan volume cairan amnion (hanya tinggal 250-300ml), sehingga mudah terjadi kompresi tali pusat. Kompresi tali pusat menyebabkan refleks pengeluaran mekonium, sehingga insidensi aspirasi mekonium semakin meningkat, dan juga menyebabkan hipoglikemia. Komplikasi lain yang timbul pada neonatus bisa juga berupa kejang-kejang, dan insufisiensi pernafasan.

Grafik 1.1. Volume cairan amnion pada minggu-minggu terakhir kehamilan. (Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 729 )

Menurut Levano (1984), oligohidramnion berhubungan erat dengan gawat janin pada antepartum dan intrapartum. Keadaan ini, dapat dilihat dengan kardiotokografi, dimana tampak gambaran:

a. Deselerasi denyut jantung janin yang memanjang.

b. Deselerasi variabel

c. Ossilasi-ossilasi yang lebih dari 20 denyut per menit. 1,7

Kompresi tali pusat sukar diprediksi kejadiannya, sehingga semua kehamilan post matur seharusnya dilakukan pemeriksaan terhadap kejadian oligohydramnion.1,5,7

2. Makrosomia (berat lahir > 4500 gr)

Insidensi maksosomia mencapai 25%. Makrosomia muncul sebagai akibat berlanjutnya pertumbuhan in utero pada kehamilan serotinus, terutama pada ibu yang obesitas dan DM. Akibat makrosomia ini dapat terjadi kemacetan pada persalinan dan meningkatkan insidensi trauma lahir, terutama distosia bahu, trauma nervus brachialis dan hipoksia. Kemungkinan terjadinya distosia bahu pada janin dengan berat badan > 4000 gr meningkat 11x lipat daripada rata-rata. Pada penelitian di California tentang janin makrosomia dengan berat diatas 4500 gr, insidensi distosia bahu sebesar 18,5%. Lebih dari 20% bayi ini mengalami trauma syaraf, dan dapat menyebabkan kecacatan permanen. Angka kematian perinatal yang mengalami distosia bahu bervariasi dari 21 dalam 1000 sampai 290 dalam 1000. 5,7

Makrosomia dapat diprediksi dengan mengukur lingkar abdomen dengan USG (Abdominal Circumference (AC) > 36 cm dan juga dengan mengukur tinggi fundus > 40 cm pada wanita yang tidak obesitas.6,7

Gambar 1.2. Deselerasi denyut jantung janin memanjang, sering menyebabkan persalinan operatif SC. (Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 733)

3. Aspirasi mekonium

Kejadian aspirasi mekononium pada kehamilan post matur, meningkat 2 kali lipat dibandingkan dengan aterm atau insidensinya lebih dari 25%. Aspirasi mekonium ini berhubungan dengan sindrom aspirasi mekonium, hipertensi pulmonal, dan meningkatnya resiko gagal ventilasi pada neonatus. Mekonium jarang keluar sebelum minggu ke 32. Mekonium sendiri keluar, diduga karena hipoksia janin. Pada kehamilan post matur, volume cairan amnion telah mengalami penurunan drastis, sehingga bila mekonium keluar tidak lagi dapat diencerkan dengan baik. Akibatnya mekonium yang keluar, jauh lebih tebal dan akan menyumbat pernafasan, menghambat surfaktan alveoli sehingga tegangan permukaan berkurang dan mengganggu fungsi paru-paru. Bayi sendiri akan tampak terwarna mekonium pada saat lahir 5,7Gambar 1.3. Deselerasi variabel berat, dengan denyut jantung kurang dari 70 denyut per menit selama 60 detik atau lebih, dan merupakan indikasi SC. (Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 733)Gambar 1.4. Ossilasi-ossilasi lebih dari 20 denyut per menit. (Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 734)4. Insufisiensi plasenta

Plasenta mencapai fungsi dan ukuran maksimal pada minggu 37 kehamilan. Sesu- dah itu, terjadi penurunan fungsi dan luas permukaannya. Jika janin terus tumbuh, maka akan berakibat rasio plasenta-janin semakin mengecil, dan akan menyebab kan hipoksia janin. Fetal erythropoetin plasma akan dilepaskan akibat hipoksia, sehingga akan ditemukan meningkat secara signifikan pada kehamilan serotinus. Sebenarnya erythropoetin ini sendiri sudah meningkat setelah minggu 41. 1,7

Untuk mempertahankan hidupnya dan mencukupi kebutuhan energi, maka janin akan beradaptasi dengan keadaan plasenta dengan 2 cara, yaitu:

a. Mengurangi pertumbuhan dengan mengurangi deposit lemak subkutan dan glikogen, sehingga terjadi retardasi pertumbuhan dan dismaturitas janin. Kulitnya tampak mengkerut, tanpa vernix, dan terkelupas, kuku-kuku jari juga panjang. Akibat berkurangnya lemak subkutan dan glikogen, bayi sering rentan terhadap hipotermi juga. Sebenarnya pertumbuhan janin sendiri maksimal sampai usia kehamilan 42 minggu.1,7

Grafik 1.5. Kadar erythropoetin plasma tali pusat pada minggu 37 sampai 43.(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 737)

b. Menghentikan pergerakan in uteroTampak sebagai hipoksia saat istirahat. Pada saat persalinan sering muncul bradikardia setelah kontraksi uterus dan juga asidosis.

Jadi insufisiensi plasenta dapat mengakibatkan pertumbuhan janin yang jelek, kehilangan lemak subkutan dan glikogen, aspirasi mekonium, penurunan gerakan janin, oligohidramnion, non reaktif denyut jantung janin, deselerasi lambat setelah kontraksi uterus, hipoksia dan asidosis, skor APGAR yang rendah, kerusakan sistem saraf pusat, dan kematian. 5,7

Adanya ahli yang berpendapat bahwa gawat janin pada kehamilan lewat waktu, lebih sering disebabkan oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat daripada insufisiensi uteroplasental. 5Berikut ini adalah tanda tanda bayi postmatur :

1. Biasanya lebih berat dari bayi matur

2. Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur

3. Rambut lanugo hilang atau sangat kurang

4. Verniks kaseosa di badan kurang

5. Kuku kuku panjang

6. Rambut kepala agak tebal

7. Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel.

8. Kulit keriput

9. Wajahnya tampak lebih tua dan terlihat sakit 1,2,3,6Tabel 1.6. Perbandingan hasil akhir kehamilan lewat waktu (> 42 minggu) dibandingkan dengan kehamilan yang berakhir pada usia 40 minggu. Minggu 40 Post matur

Masalah (n=8135) % (n=3457) %

Mekonium 19 27

Induksi oksitosin 3 14

Distosia bahu 8 18

Sectio 0.7 1.3

Makrosomia (>4500g) 0.8 2.8

Aspirasi mekonium 0.6 1.6

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 739)D. PenatalaksanaanKarena insidensi komplikasi kehamilan post matur lebih dari 42 minggu meningkat secara signifikan, maka setiap kehamilan sebaiknya telah diidentifikasi pada minggu ke 41, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat sejak awal minggu ke 42. 7

Jika pasien seorang primigravida tua mempunyai riwayat susah hamil, radang panggul, diabetes mellitus dan komplikasi kehamilan yang lain, kehamilan harus diakhiri sebelum lewat waktu. Pada kasus lain ada 3 pilihan yang harus didiskusikan dengan pasien dan suaminya. Pilihannya yaitu induksi persalinan, melanjutkan kehamilan atau menjadwalkan operasi Sectio Caesarean elektif. 41. Menentukan usia kehamilan

Seperti yang telah diuraikan sedari awal, bahwa untuk menghindari overdignosis ataupun under diagnosis, perlu diketahui usia kehamilan secara pasti. Tetapi hal ini sering tidak diketahui oleh ibu, sehingga membutuhkan parameter-parameter klinik, dan pemeriksaan penunjang lainnya yang sebaiknya dilakukan pada saat masih trimester awal. Parameter-parameter klinik yang dapat digunakan untuk melihat usia kehamilan adalah ukuran uterus dan pemeriksaan pelvis. Untuk ukuran uterus, yang diukur adalah tinggi fundus dari symphisis pubis. Bila uterus setinggi umbilicus, maka diperkirakan sekitar 17 minggu, atau jika fundus sekitar 20 cm, diperkirakan usia kehamilan 20 minggu. 7

Selain itu dapat ditentukan dari permulaan ibu merasakan gerakan janin, dimana rata-rata gerakan janin dapat dirasakan ibu pada usia kehamilan 17 minggu (12-21 minggu). Biasanya multigravida lebih tanggap merasakan gerakan janin daripada primigravida. 7

Denyut jantung janin juga dapat dipakai sebagai parameter klinik, dimana bunyi jantung janin pertama sekali dapat didengat dengan stetoskop rata-rata pada minggu 17 (14-19 minggu). Bunyi jantung janin yang dapat didokumentasikan dengan alat elektronik (Doppler) pada kehamilan 10 minggu. Sebaiknya pasien dianjurkan untuk lebih sering berkunjung selama minggu-minggu awal ini bila usia kehamilan sukar ditentukan, sehingga dapat dibuat pencatatan parameter klinik dengan cermat. 7

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu untuk menentukan usia kehamilan, adalah:

1. Hormon-hormon plasenta seperti human chorionic gonadotropin (hCG) dan human Placental lactogen (hPL). Hormon-hormon ini meningkat pada kehamilan dini. Pengukuran hCG pada kehamilan dini memiliki keakuratan 3.2 hari antara hari ke 29-60 kehamilan.

2. Protein-protein spesifik pada kehamlan, seperti protein SP1 yang lebih baik daripada hPL walaupun tidak signifikan. Pemeriksaan ini jarang dilakukan.

3. Saat ini yang sering digunakan dan lebih diterima adalah ultrasound. Walaupun demikian penggunaan USG ini masih memiliki keterbatasan-keterbatasan seperti:

Biasanya tabel bagian janin yang diukur dengan usia kehamilan dikembangkan dari penelitian-penelitian para wanita yang tidak tahu dengan tepat tanggal ovulasinya, dan justru dari kesalahan inilah dibuat tabel tersebut.

Tidak semua janin memiliki ukuran dan pertumbuhan yang sama

Janin perempuan dan laki-laki memiliki gerak pertumbuhan yang berbeda, tetapi tabel-tabel yang ada tidak membuat perbedaan untuk kedua jenis seks ini.

Tergantung pada ketepatan peletakan kursor USG, yang tentunya bervariasi dari setiap ahli USG.

Untuk USG, pada kehamlan dini (5-10 minggu) dapat digunakan pengukuran diameter kantung gestasional. Pengukuran ini memiliki kesalahan 0.64 minggu. Dari minggu 12-23, diameter biparietal kepala janin dianggap akurat untuk menentukan usia kehamilan dengan prediksi kesalahan 6.3 hari, atau ada juga yang mengatakan 7-10 hari. Setelah 24 minggu kehamilan, perbedaannya bisa mencapai 2 minggu, sehingga kehilangan keakuratannya sebagai salah satu metode untuk mengukur usia kehamilan. 5,7

Ada juga yang mengukur panjang femur janin yang memiliki kesalahan 6.7 hari. Ada juga yang mengukur panjang janin dari corona (kepala) sampai ekor (Crown Rump Length=CRL). Pengukuran inilah yang umumnya akurat untuk usia kurang dari 12 minggu, dimana keakuratannya mencapai 95%. CRL mulai dapat digunakan pada usia kehamilan 5 hari. Sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan, keakuratan penggunaan USG semakin berkurang, karena pertumbuhan janin yang lebih bervariasi. USG hanya dilakukan sebelum usia kehamilan 25 minggu.5,7 Tabel 1.7. Prediksi usia kehamilan (minggu) berdasarkan panjang corona (kepala) sampai ekor (CRL).

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 740)

Karena insidensi komplikasi kehamilan post matur lebih dari 42 minggu meningkat secara signifikan, maka setiap kehamilan sebaiknya telah diidentifikasi pada minggu ke 41, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat sejak awal minggu ke 42. 7

Tabel 1.8.Prediksi usia kehamilan (HPHT) berdasarkan ukuran bagian janin.

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 740)2. Pematangan Cerviks

Umumnya intervensi antepartum diindikasikan sebagai penatalaksanaan kehamilan post matur. Jenis-jenis intervensi dan kapan dilakukan, juga masih kontroversial. Di satu sisi, ada yang berpendapat untuk mengintervensi kehamilan pada minggu 41 atau 42, sementara di pihak lain mempertanyakan apakah induksi persalinan lebih terjamin daripada menunggu persalinan sambil mengawasi janin dengan pemantauan-pemantuan antepartum.1

Sering induksi persalinan dilakukan tanpa melakukan pemeriksaan skor Bishop, sehingga justru angka persalinan operatif (Sectio Cesarean) meningkat. Skor Bishop merupakan klasifikasi objektif untuk memilih penderita-penderita yang kemungkinan besar berhasil bila dilakukan induksi persalinan. Hal-hal yang dinilai adalah pembukaan cervix (cm), pendataran cervix (%), kedudukan kepala terendah (station), konsistensi cervix, dan arah cervix. Sebenarnya, baik penatalaksanaan dengan menginduksi persalinan ataupun dengan hanya menunggu kelahiran, pada keduanya sebaiknya dilakukan pemeriksaan skor Bishop unutk melihat kematangan cervix dan segmen bawah rahim. Angka keberhasilan persalinan menjadi tinggi bila skor Bishop di atas 6, dan keberhasilan rendah bila skor kurang dari 6.1,8

Tabel 1.9. Skor Bishop

Skor Dilatasi Pendataran Station Konsistensi Posisi

(cm) cervix (%) cervix cervix

0 tertutup 0-30 -3 kaku posterior

1 1-2 40-50 -2 medium midposisi

2 3-4 60-70 -1 lunak anterior

3 5 80 0 - -

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 730)

Supaya terjadi induksi persalinan yang berhasil, jelas sekali kalau keadaan cervix harus menguntungkan. Karena itu, pasien harus dilakukan pemeriksaan vaginal secara mingguan untuk menilai dilatasi dan pendataran cervix. Jika vertex telah berada di station 0, induksi persalinan dapat dimulai dengan amniotomi. Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan untuk membantu pematangan cervix (skor Bishop < 4), yaitu:

a. Hygroscopic osmotic cervical dilators dan Foley kateter yang dimasukan ke canalis cervicalis.

Keefektifan cara ini sebanding dengan penggunaan gel prostaglandin E2 intracervical. Salah satu metode yang sering digunakan adalah dilatasi cervical dengan balon kateter 30ml yang ditempatkan transcervical,baik tanpa ataupun dengan infus ekstraamnion dengan garam fisiologis sebanyak 1000ml. 1b. Menggunakan preparat prostaglandin.

Terdapat 2 preparat prostaglandin yang digunakan untuk induksi persalinan, yaitu : Prepidil (gel cervical dinoprostone, Upjohn, Kalamazoo, MI), yakni suatu gel prostaglandin E2 dengan sediaan semprotan 2,5 ml, diberikan secara intracervical dengan dosis 0,5 mg tiap 6 jam, dan Cervidil (dinoprostone 10 mg), yang dimasukkan dalam vagina, dan dirancang untuk melepaskan dinoprostone 0,3 mg per jam selama 12 jam. Banyak rumah sakit yang menyiapkan gel prostaglandin supositoria E2 dengan dosis 20 mg. Penggunaan prostaglandin E2 pada dosis rendah, akan meningkatkan keberhasilan induksi, menurunkan insidensi persalinan memanjang, dan mengurangi dosis total pemakaian oksitosin. Pada penggunaan preparat prostaglandin ini, harus dilakukan pengawasan kontraksi uterus dan denyut jantung janin. Pasien harus berbaring paling sedikit 30 menit setelah pemberian obat dan dilakukan observasi antara 30 menit sampai 2 jam. Jika tidak terdapat perubahan aktivitas uterus ataupun denyut jantung janin, maka pasien boleh dipindahkan. Jika timbul kontraksi-kontraksi pada jam pertama dan menunjukkan puncak aktivitasnya dalam 4 jam pertama dan terus menetap, maka pengawasan denyut jantung janin harus diteruskan dan tanda-tanda vital juga harus dicatat.1,5Tidak ada ketentuan yang pasti jarak pemberian prostaglandin E2 dengan pemberian awal oksitosin. Tetapi ada yang berpendapat bahwa induksi oksitosin sebaiknya ditunda dulu selama 6 sampai 12 jam.1

Walaupun dari penelitian unit ibu dan anak diketahui bahwa gel prostaglandin E2 tidak lebih efektif daripada placebo dalam induksi persalinan, penelitian lain pada wanita dengan kehamilan lewat waktu (post matur) ternyata efektif dengan gel prostaglandin. Analisis data yang membandingkan terapi prostaglandin dengan placebo dan tanpa terapi serta membandingkan preparat prostaglandin yang berbeda dan cara pemberiannya, memperlihatkan bahwa cara pemberian intracervical merupakan yang paling efektif dan aman. Prostaglandin E2 merupakan yang paling dianjurkan karena paling efektif pada dosis yang rendah. 5Efek samping penggunaan obat ini adalah ditemukannya hiperstimulasi sebanyak 6 atau lebih kontraksi dalam 10 menit dalam waktu 20 menit pada 1% penggunaan gel intracervical (0.5 mg) dan sebanyak 5% paad penggunaan gel intravaginal (2-5mg) seperti yang dikemukakan oleh Brindley dan Sokol 1988; Rayburn, 1989. Karena itu preparat ini tidak diterima secara umum.1Misoprostol (Cytotec), merupakan sintetis analog prostaglandin E1 yang dipasarkan di Amerika Serikat, untuk melindungi mukosa gaster pada pasien yang menggunakan anti inflamasi nonsteroid. Obat ini telah dipromosikan untuk pematangan cervix dan menginduksi persalinan. Berbagai penelitian membandingkan misoprostol intravagina dengan dosis yang bervariasi dengan gel prostaglandin E2 intracervical, dimana hasil yang ada menunjukkan bahwa Misoprostol efektif untuk menginduksi persalinan. Analisis data dari 8 penelitian yang mencakup 488 pasien yang mendapat misoprostol dan 478 sebagai kontrol, menyebutkan bahwa wanita yang menerima Misoprostol kemungkinan persalinan secara Sectio Caesarean rendah dan insidensi untuk persalinan pervaginam dalam 24 jam tinggi. Penggunaan Misoprostol juga dihubungkan dengan insidensi tachysistol tetapi tidak hiperstimulasi, dan rata-rata interval dari permulaan induksi persalinan sampai persalinan lebih pendek.5Dosis yang dianjurkan bila digunakan secara intravaginal adalah 25-50g, dimana menurut beberapa penelitian, penggunaan dosis 25g setiap 3 jam telah cukup efektif dan efek samping yang timbul lebih sedikit dibanding penggunaan dosis 50g.5Karena insidensi poli sistol yang tinggi, maka Misoprostol harus diberikan dengan hati-hati. Dosis optimal antara 25-50 g tiap 3 jam per vaginam. Kemudian sediaan lainnya tablet 100 g yang dapat digunakan secara per oral langsung dengan keefektivitasannya sama dengan penggunaan dosis 25 g intraveginal. Sedian 100 g ini juga dapat dibagi menjadi 2 atau 4 bagian untuk dosis 50 atau 25 g. Potongan tablet tersebut harus di tempatkan di fornix posterior vagina dengan jari tangan. Jika fetus tidak dapat mentoleransi selama persalinan, potongan tablet tersebut harus dikeluarkan dari vagina, kemudian vagina diirigasi dengan saline dan 0,25 mg terbutaline diberikan subcutan. Cara ini akan memperbaiki poli sistol uterus pada sebagian besar pasien. Selama pemberian misoprostol, keadaan janin harus diperhatikan. Sebagai tambahan, Misoprostol tidak mahal bila dibandingkan dengan preparat prostaglandin E2 yang lain dan tidak membutuhkan lemari es untuk penyimpanan. 1,5Beberapa komplikasi serius telah dilaporkan pada pasien yang menggunakan Misoprostol. Penelitian yang dilakukan Wing, dkk yang membandingkan Misoprostol dan Oksitosin untuk menginduksi persalinan pada wanita yang pernah melahirkan secara Sectio Caesarean. 2 pasien yang menggunakan Misoprostol mengalami kesulitan saat incisi uterus, sehingga untuk keamanan, penelitian ini dihentikan setelah 38 pasien. Sebagai tambahan, Bennett menjabarkan seorang pasien yang mendapat 25 g Misoprostol setiap 3 jam untuk induksi persalinan dan dia mengalami ruptur uterus posterior dan harus dilakukan histerektomi untuk menyelamatkan hidupnya. Menurut Plaut dkk, Misoprostol dapat meningkatkan resiko ruptur uterus pada pasien dengan luka bekas operasi di uterus. Mereka menemukan kasus ruptur uterus sebanyak 5 pasien dari 89 pasien yang pernah melahirkan secara Sectio Caesarean dan diberikan Misoprostol untuk menginduksi persalinan. Pada penelitian mereka, tingkat kejadian ruptur uterus pada pasien yang melahirkan per vaginal setelah persalinan Sectio Caesarean lebih tinggi pada pasien yang mendapat Misoprostol, 5,6% dibandingkan dengan 0,2% pada yang tidak mendapat Misoprostol. 53. Melepaskan selaput amnion

Melepaskan selaput amnion dari lapisan dalam segmen bawah uterus dapat membantu untuk induksi persalinan dengan menyebabkan pelepasan prostaglandin. Metode ini pertama kali dikemukakan oleh Swann tahun 1958. Dia menjabarkan tehnik ini sebagai alternatif dari metode pemecahan ketuban untuk menginduksi persalinan. 5Ada sepuluh artikel yang melaporkan tentang efektifnya melepaskan selaput amnion sebagai salah satu metode untuk mempercepat timbulnya persalinan dan menurunkan angka kejadian kehamilan lewat waktu. Dari 7 laporan, 6 laporan melaporkan, bahwa melepaskan membran amnion efektif untuk mempercepat timbulnya persalinan dibandingkan dengan grup kontrol. Dalam tujuh penelitian, 4 penelitian mencakup pemeriksaan dalam dan pelepasan membran direkomendasikan pada minggu ke-38, dua mencakup pemeriksaan tunggal dengan pelepasan membran diatas minggu ke 40, satu mencakup pemeriksaan tunggal pada minggu ke-41. Tidak ada kenaikan tingkat infeksi, ketuban pecah sebelum waktu, dan komplikasi lain pada grup yang dilakukan pelepasan selaput amnion. 5Berikut ini adalah prosedur yang disarankan untuk melakukan pelepasan membran untuk menginduksi persalinan dan untuk mengurangi insidensi kehamilan lewat waktu. Pertama, dokter harus yakin bahwa usia kehamilannya > 39 minggu dan ditentukan oleh data yang akurat. Pada pemeriksaan sonography harus didapatkan plasenta yang normal. Fetus harus presentasi kepala, atau jika bokong, pasien harus sudah dievaluasi dan dikonsulkan untuk persalinan pervaginam. Harus tidak ada kontraindikasi untuk persalinan pervaginam. Setelah pasien dikonsulkan, prosedur harus dilakukan dengan sarung tangan steril. Jika jari pemeriksa masuk ke rongga cervix, jari pemeriksa kemudian masuk kedalam ostium interna dan selaput amnion dilepaskan dari decidua sekurang-kurangnya 2 cm dengan gerakan sirkuler. Jika jari pemeriksa tidak dapat masuk ke rongga cervix, kemudian pemijatan cervix dapat dilakukan, prosedur ini pasti menyakitkan. Pasien harus diberi informasi tentang prosedur ini, dan pasien berhak untuk menghentikan prosedur ini bila dirasakan oleh pasien terlalu menyakitkan. Pasien juga harus diberi tahu tentang kemungkinan terjadinya perdarahan pervaginam dan spotting. Prosedur ini dapat diulang pada waktu pemeriksaan antenatal selanjutnya jika persalinan secara spontan tidak terjadi.5

4. Induksi persalinan atau menunggu persalinan dengan pengawasan antepartum/antenatal

Walaupun secara per definisi, kehamilan tidak dikatakan lewat waktu (post matur) bila tidak mencapai usia 42 minggu, namun dengan tingginya angka kematian perinatal setelah 41 minggu, maka harus dilakukan tes antenatal pada minggu ke-41. Data klinik yang ada mendukung untuk dilakukannya tes antenatal pada minggu ke-41, dimana menunjukkan erythtropetin plasma dari tali pusat janin meningkat paad minggu 41 dibandingkan dengan neonatus yang lahir pada minggu ke 37 40. Erytropoetin pusat merupakan indikator turunnya oksigenasi fetus, dan erytropoetin ini meningkat sekali pada kehamilan diatas minggu 41. 1,5,7

Saat ini terdapat sejumlah penelitian untuk penatalaksanaan kehamilan post matur. Salah satu strategi penatalaksanaan adalah dengan induksi persalinan pada semua pasien bila usia kehamilan sudah mencapai 41 minggu. Kerugiannya adalah pasien dengan kehamilan lewat waktu mempunyai cervix yang belum matang. Hal ini menimbulkan masalah : Apakah sebaiknya pasien dengan kehamilan lewat waktu dilakukan induksi persalinan walaupun cervix belum matang? Akibatnya dapat meningkatkan resiko persalinan secara Sectio Caesarean. Ataukah sebaiknya pasien dengan kehamilan lewat waktu dilakukan pengawasan antepartum sampai terjadi persalinan spontan atau cervixnya matang untuk dilakukan induksi persalinan? 5,10Terdapat 2 penelitian, pertama dilakukan di Canada. Penelitian ini mengevaluasi 3407 wanita dengan kehamilan >41 minggu tanpa komplikasi. Wanita-wanita ini dilakukan induksi persalinan pada minggu ke-41 (menggunakan gel prostaglandin intracervical saat cervix belum matang), dibandingkan dengan tes antenatal dengan fetal kick counts setiap hari dan NST 3 kali per minggu. Tingkat persalinan secara Sectio Caesarean secara signifikan lebih rendah pada yang diinduksi persalinannya (21,2% vs 24,5%, p=0,03). Tingkat persalinan secara Sectio Caesarean ini lebih rendah karena frekuensi gawat janin rendah pada grup yang diinduksi. Terjadi 2 kasus lahir mati pada grup yang menunggu kelahiran spontan, hal ini tidak terjadi pada grup yang diinduksi, tapi ini merupakan perbedaan yang tidak signifikan. Ling,dkk menyimpulkan bahwa induksi persalinan menghasilkan tingkat persalinan secara Sectio Caesarean lebih rendah dan angka kematian dan kesakitan neonatal pada kedua grup sama. 5Penelitian kedua disponsori oleh National Institute of Child Health and Human Development Network of Maternal Fetal Units, mengevaluasi 440 wanita dengan kehamilan >41 minggu tanpa komplikasi. Pasien secara random dilakukan induksi persalinan (n=265) sebagian lagi ditunggu untuk persalinan spontan dan dipantau dengan NST dan penentuan cairan amnion 2 kali per minggu. Pada grup yang dilakukan induksi persalinan dibagi lagi menjadi 2 grup, yang pertama mendapat gel prostaglandin E2 intracervical dan yang kedua mendapat gel placebo. Insidensi yang buruk antara 2 grup mirip (1,5% vs 1%, p=>005). Tidak ada kematian fetus pada kedua grup. Gel prostaglandin tidak lebih efektif daripada plasebo dalam mematangkan cervix, tingkat persalinan secara Sectio Caesarean mirip pada semua grup (18% pada grup yang menunggu persalinan spontan, 23% pada grup yang diinduksi persalinan dengan gel prostaglandin, 18% pada grup yang diinduksi persalinan dengan gel plasebo). Ling, dkk menyimpulkan dengan hasil akhir yang mirip, berbagai management strategi dapat diterima. 5

Pada evaluasi dari 11 penelitian tentang kebijakan induksi persalinan pada minggu 41, Grant menyimpulkan bahwa induksi persalinan pada minggu 41 menghasilkan penurunan tingkat persalinan secara Sectio Caesarean (14%) dan angka kematian perinatal yang lebih rendah (0,3 vs 2,5 per 1000) dibandingkan dengan menunggu persalinan spontan. Ling, dkk menyimpulkan bahwa induksi persalinan sebaiknya disarankan pada wanita dengan usia kehamilan > 41 minggu. Saat ini pun masih terdapat berbagai kontroversial apakah kehamilan akan diakhiri sebelum berusia 42 minggu dengan induksi persalinan, ataukah kehamilan dapat dipertahankan dan hanya menanti sampai tanda persalinan muncul. The Society of Obstetricians and Gynecologists of Canada (SOGC) mengeluarkan panduan untuk melakukan induksi persalinan pada kehamilan minggu 41 (1997). Sementara itu, the Amerocan College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan persalinan dapat ditunda hingga minggu 43 pada kehamilan yang beresiko rendah (1989). Yang menarik lagi, pada panduan ACOG tahun 1997 malahan tidak menentukan batas atas usia kehamilan yang boleh ditunggu, asalkan keadaan janin terus dipantau mulai usia kehamilan minggu 42.9,10

Saat dokter dan pasien memilih menunggu persalinan (tentunya pada kehamilan dengan resiko rendah), maka pengawasan janin dengan ketat sangat diharuskan. Pengawasan tersebut adalah:

a) Non Stress Tests (NSTs) 2 kali seminggu

b) Contraction Stress Test (CSTs)

c) Pemeriksaan indeks cairan amnion (Amnion Fluid Index=AFI)

d) Biophysical profiles (BPP)

e) Doppler

Yang perlu diingat, tidak ada satu pun penelitian yang mengatakan bahwa salah satu dari tes-tes tersebut diatas lebih unggul dari tes lainnya. Semua tes yang ada harus saling melengkapi. 1,9

Mula-mula diperkirakan dulu usia kehamilan, minimal harus ditemukan kriteria maturitas janin sebelum persalinan diinduksi, misalnya dengan taksiran berat badan. Segala resiko dan keuntungan bila melakukan induksi persalinan atau menunggu kelahiran, harus dikomunikasikan dengan pasien. Jika psien menginginkan untuk dilakukan induksi persalinan, dan memang tidak ada kontraindikasinya, maka proses induksi dapat dijadwalkan dengan segera. Jika pasien memilih untuk menunggu saja, maka pemantauan janin antepartum sebaiknya segera dimulai.9

Gambar 1.10. Alogaritma penatalaksanaan kehamilan di atas 40 minggu dengan resiko rendah (Sumber : Briscoe D., et al. 2005 : www.aafp.org/afp)

Kontraindikasi pematangan cervix dan induksi persalinan adalah:

a) Kontraindikasi absolut:

Plasenta previa komplit

Pernah dilakukan bedah uterus transfundal

Janin letak lintang

Prolaps tali pusat

Vasa previa

b) Yang membutuhkan perhatian ketat adalah:

Denyut jantung janin abnormal, tetapi tidak termasuk kelahiran yang emegensi

Letak bokong

Penyakit jantung maternal ataupun hipertensi berat

Kehamilan ganda

Polihidramnion

Letak terendah janin masih tinggi

Kelahiran SC sebelumnya. 9Pada pengawasan antenatal, bila ditemukan NSTs yang non reaktif disertai dengan BPP modifikasi yang abnormal juga, maka harus dilakukan tes selanjutnya, yaitu CSTs ataupun full BPP.

CSTs dengan perangsangan puting ataupun oksitosin intra vena dapat digunakan untuk melihat adanya/tidaknya deselerasi lambat pada jantung janin. CSTs disebut positif, jika terdapat deselerasi lambat, dan negatif bila tidak terjadi deselerasi. Bila hasil CSTs positif setelah NSTs non reaktif, maka janin dalam keadaan asidosis akibat hipoksia. Selanjutnya dilakukan penilaian ulang terhadap janin. Bila ternyata dapat menjamin keadaan janin, maka kehamilan boleh dilanjutkan hingga awal minggu 43, selanjutnya kehamilan harus diakhiri. Tetapi bila CSTs negatif setelah NSTs non reaktif, mungkin janin dalam siklus tidur, terpapar dengan obat-obat tertentu, atapun adanya kelainan neurologis.Kehamilan masih boleh dilanjutkan.9

Bagaimana pun juga, dari beberapa penelitian ditemukan, bahwa resiko terhadap ibu dan janin meningkat pada kehamilan lewat waktu. Karena itu komunikasi yang baik antara dokter dan pasien sangat dibutuhkan.9BAB II

LAPORAN KASUSA. Identitas PasienNama

: Ny.Mufidah

Kelamin

: PerempuanTempat, Tgl Lahir: Pasuruan, 15 Februari 1985Usia

: 30 tahunPekerjaan

: Ibu Rumah TanggaAlamat

: Bulu 05/03 tambakrejo-Kraton-PasuruanAgama

: IslamStatus

: Sdh MenikahTanggal MRS

: 15 April 2015No.Med-Reg

: 00-17-93-41B. Anamnesa (Autoanamnesis).

Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 15 April 2015 pukul 13.00 WIB di Ruang Obgyn.

Keluhan Utama : Hamil lewat bulan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Poli kandungan RSUD Bangil pada tanggal 15 April 2015 dengan keluhan dengan kehamilan 9 bulan lebih, pasien mengeluhkan kenceng-kenceng tetapi jarang, tidak ada keluar cairan dari jalan lahir, tidak ada perdarahan, tidak ada riwayat keputihan, tidak ada anyang-anyangan.Pasien merasa hamil 9 bulan lebih. Hari pertama haid terakhir 25 Juni 2014. Menikah 1x sudah berlangsung 5 tahun sampai saat ini. Pasien mengatakan ada riwayat pijat 1x selama hamil, tidak ada riwayat jamu.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien mengatakan pernah keguguran pada hamil pertama dengan usia kehamilan 2,5 bulan karena jatuh dari kamar mandi, dan dilakukan kuretase di Swasta pada tahun 2010. Pada kehamilan kedua pasien pernah hamil dengan lewat bulan juga. Pasien tidak ada riwayat Diabetes Melitus, Hipertensi.Riwayat Persalinan:NOKeadaan BayiUmurKeterangan

12,5 bulan/Abortus/RS Swasta/Kuretase/tahun 20102,5 bulanRS Swasta

29 bulan lebih/spt B/RSUD Bangil/laki-laki/3500gr/2 tahun2 tahunBPS

3Hamil ini

Ante Natal Care:

Selama kehamilan pasien secara teratur periksa ke bidan praktek swasta sebanyak 5x, terakhir 1 minggu yang lalu.C. Pemeriksaan FisikKeadaan umum : BaikKesadaran

:Compos mentis, GCS E4M5V6

Tanda vitalTensi

: 120/70 mmHg (berbaring)

Nadi

: 88 x/mnt, reguler, Isi dan tegangan cukup

RR

: 20 x/mnt

Suhu

: 36,3C (aksiler)

Kepala Leher

: Anemis (-), icterus (-), cyanosis(-), dyspneu (-)

Hidung

: Epistaksis (-),deviasi septum (-), sekret (-), nafas cuping

hidung (-)

Mulut

: Bibir pucat (-), bibir kering (-), perdarahan gusi (-)

Leher

: Kelenjar getah bening dan tiroid tak teraba membesar,

JVP R-2cmH2O, deviasi trakea (-)Thorax

: Bentuk normal, emfisematus (-), sela iga tidak melebar,

Retraksi intercosta dan supraclavicula (-)

- Pulmo (Paru depan-belakang)Inspeksi: Simetris,sela iga normal,retraksi sela iga (-) Palpasi: Fremitus raba kanan = kiri Perkusi: Sonor seluruh lapang paru Auskultasi: Vesikuler, rhonci -/-,whezzing -/-- Cor

Inspeksi: Ictus Cordis tidak tampak Palpasi: Ictus Cordis teraba di ICS V 1 cm lateral midclavicula linia sinistra,kuat angkat, tidak melebar,pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrial (-)

Perkusi:Batas kanan jantung ICS V linea parasternalis dextra

Batas kiri jantung ICS V 2 cm medial linea midclavicularis sinistra

Batas pinggang jantung ICS III linea sternalis sinistra

Kesan tidak terdapat kardiomegali

Auskultasi

: HR: 90x/menit, reguler

S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

:Tinggi Fundus Uteri: 36 cm

Letak anak

: Letak kepala

Denyut jantung janin: 150x/menit

HIS

: 10.3.40Genitalia Eksterna: Fluxus (-), Fluor (-)

Vaginal Toucher: Portio pembukaan 1 cm

Ketuban (+)

Terdahulu presentasi kepala, UUK arah jam 3

Hodge 1

Effisement 25%

Inspekulo

: Tidak dilakukan

Extremitas : Edema (-), pucat (-), sianosis (-), perabaan dingin (-)D. Pemeriksaan Penunjang1. Darah Rutin

15/4/2015Nilai normal/satuan

WBC7,94,310,5 103/L

LYM2,01,23,4 103/L

MID1.10,10,6 103/L

GRA4,81,46,5 103/L

LYM%25,520,5%-51,1%

MID%13,91,7%-9,3%

GRA%60,642,2%-75,2%

RBC4,504,00-6,00 106/L

HB12,411,0-16,0 g/dl

HCT36,335,0-40,0 %

MCV80,680,0-99,0 Fl

MCH27,627,0-31,0 pg

MCHC34,233,0-37,0 g/dl

RDW13,811,6-13,7 %

PLT222150450 103/L

MPV8,07,011,0 Fl

Gol darahB Rhesus (+)

2. Kimia Klinik4/4/2015Harga Normal/Satuan

HbsAg (kuantitatif)-Pos > 1; Neg < 1mg/dl

E. Diagnosis

1. G3P1001AB100 part 41-42 mgg T/H tak inpartu

+Postdate

+Riwayat 3500 gr

F. PenatalaksanaanTerapi : Perawatan Konservatif1. Bed rest

2. IVFD RL 20 tpm

3. Nipening misoprostol 4x50 mg/oral/6 jam s/d PS > 5 ( bila PS > 5 pro OD 12 jam setelah misoprostol.Monitoring : Observasi vital sign, Keluhan, Denyut jantung janin, His, Tanda-tanda inpartuEdukasi : Komunikasi Informasi Edukasi

G. Follow Up

16 April 2015 S: kadang masih nyeri dari jalan lahirO: T: 120/70 mHg; N:74x/mnt;S: 36,5C; RR: 20x/mnt

Tinggi Fundus Uteri sejajar dengan pusatA: P20002Ab100/Spt B + Postdate+ riwayat 3500 gr P: Amoxcillin 3x500 mg

Asam mefenamat 3x500mg

Roborantia 1x1BAB IIIPEMBAHASAN

Dari laporan kasus diatas didapatkan bahwa faktor resiko atau predisposisi pada pasien postdate ini yaitu dari segi riwayat persalinan sebelumnya pada anak kedua pasien pernah mengalami postdate juga. Berdasarkan teori didapatkan beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya.Pasien juga lupa kapan terakhir menstruasinya sehingga tidak akuratnya penentuan usia kehamilan karena siklus haid yang tidak teratur dan tidak dilakukannya pemeriksaan dengan Ultrasound (USG) untuk memperkirakan usia kehamilan pada awal kehamilan. Menurut penelitian, bila tanggal pertama haid terakhit diketahui dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan USG, maka kehamilan yang benar-benar serotinus hanya sebanyak 1,1% saja. 7 Faktor resiko atau predisposisi lainnya yang tidak ada di pasien ini adalah pemakaian kontrasepsi oral, kelainan bawaan (anencephaly tanpa danya kelenjar hipofise, insufisiensi adrenal, maupun defisiensi sulfatase pada plasenta yang berhubungan dengan X-linked).7Untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari pemeriksaan fisik abdomen pasien, tinggi fundus uteri 36 cm, letak kepala, denyut jantung janin: 150x/menit, HIS: 10.3.40, dari pemeriksaan genitalia eksterna tidak terdapat fluxus dan fluor, serta pada pemeriksaan vaginal toucher portio pembukaan 1 cm, Ketuban (+), terdahulu presentasi kepala, UUK arah jam 3, hodge 1, effisement 25%. Menurut teori pada Postdate terdapat ada sepuluh artikel yang melaporkan tentang efektifnya melepaskan selaput amnion sebagai salah satu metode untuk mempercepat timbulnya persalinan dan menurunkan angka kejadian kehamilan lewat waktu.5

Penapisan yang digunakan untuk mengetahui terjadinya Postdate pada pasien ini, yaitu sebagai berikut (sarwono): a. Pemeriksaan Antenatal

Kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut:

Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif

Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali

Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec.

b. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Bila telah dilakukan pemeriksaan USG serial terutama sejak trimester pertama, hampir dapat dipastikan usia kehamilan. Pada trimester pertama pemeriksaan panjang kepala-tungging (Crown-rump length/CRL) memberikan ketepatan kurang lebih 4 hari dari taksiran persalinan. Pada umur kehamilan sekitar 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal dan panjang femur memberikan ketepatan sekitar 7 hari dari taksiran persalinan.c. Pemeriksaan Laboratorium

Kadar lesitin/spingomiclin

Bila lesitin/spingomiclin dalam cairan amnion kadarnya sama, maka umur kehamilan sekitar 22-28 minggu, lesitin 1,2 kali kadar spingomielin maka sekitar 28-32 minggu. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm, tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakah janin cukup umur/matang untuk dilahirkan yang berkaitan dengan mencegah kesalahan dalam tindakan pengakhiran kehamilan.

Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA)Pada umur kehamilan 41-42 minggu ATCA berkisar antara 45-65 detik, pada umur kehamilan lebih dari 42 minggu didapatkan ATCA kurang dari 45 detik. Bila didapat ATCA antara 42-46 detik menunjukkan bahwa kehamilan berlangsung lewat waktu.

d. Sitologi cairan amnion

Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion. Bila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan 36 minggu dan apabila 50% atau lebih, maka umur kehamilan 39 minggu atau lebih.

Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan Pemberian Infus RL 20 tpm menurut teori adalah terapi adjuvan untuk memudahkan memasukkan obat intravena.17 Induksi misoprostol oral, karena Misoprostol (Cytotec), merupakan sintetis analog prostaglandin E1 yang dipasarkan di Amerika Serikat, untuk melindungi mukosa gaster pada pasien yang menggunakan anti inflamasi nonsteroid. Obat ini telah dipromosikan untuk pematangan cervix dan menginduksi persalinan. Analisis data dari 8 penelitian yang mencakup 488 pasien yang mendapat misoprostol dan 478 sebagai kontrol, menyebutkan bahwa wanita yang menerima Misoprostol kemungkinan persalinan secara Sectio Caesarean rendah dan insidensi untuk persalinan pervaginam dalam 24 jam tinggi.5BAB IV

KESIMPULAN

A. RingkasanBerdasarkan pembahasan laporan kasus diatas didapatkan faktor resiko atau predisposisi Postdate pada pasien ini adalah riwayat persalinan anak kedua sebelumnnya yang mengalami Postdate, pasien yang tidak mengetahui secara pasti kapan terakhir menstruasi sehingga dalam penghitungan perkiraan persalinan kurang tepat.Pada pemeriksaan fisik yang digunakan untuk menunjang diagnosis postdate yaitu tinggi fundus uteri 36 cm, pemeriksaan vaginal toucher portio pembukaan 1 cm, ketuban (+),Pemeriksaan harus dilakukan secara teliti agar dapat menentukan diagnosa dengan cermat.

Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan faktor resiko yang dialami pasien ini. Umumnya pemeriksaan laboratorium normal.

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur, minimal 4 kali selama kehamilan, 1 kali pada trimester pertama (sebelum 12 minggu), 1 kali pada trimester ke dua (antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2 kali trimester ketiga (di atas 28 minggu). Hal ini akan menjamin ibu dan dokter mengetahui dengan benar usia kehamilan, dan mencegah terjadinya kehamilan serotinus yang berbahaya. Untuk itu perlu diketahui dengan tepat tanggal hari pertama haid terakhir seorang (calon) ibu itu. Perhitungannya, jumlah hari sejak hari pertama haid terakhir hingga saat itu dibagi 7 (jumlah hari dalam seminggu).Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan induksi misoprostol kemungkinan persalinan secara Sectio Caesarean rendah dan insidensi untuk persalinan pervaginam dalam 24 jam tinggi.

1

26

31

34