post-tradisionalisme islam

28
200 POST-TRADISIONALISME ISLAM: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Rumadi, dkk STAIN Bengkulu Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang oleh kader-kader mudanya. Mereka mempunyai gagasan-gagasan keagamaan progresif dalam merespon modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dari berbagai khasanah modern. Mereka tidak hanya concern dengan modernitas yang terus dikritik dan disikpai secara hati-hati, tapi juga melakukan revitalisasi tradisi. Pada perkemb@ngan lebih jauh, munculnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang keagamaan mempunyai pengaruh besar kepada anak muda NU. LSM-LSM tersebut tidak saja menggiatkan kehidupan keagamaan, tapi turut berperan dalam membangun wacana keagamaan progresif. Dalam kaitan itu, di sini dapat disebutkan beberapa LSM dimaksud seperti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) yang berdiri pada 1983, Lakpesdam (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU yang berdiri menjelang akhir 1980-an. Pad a tahun 1990-an jumlah LSM di lingkungan NU yang memberi perhatian pada pengembangan pemikiran keagamaan semakin banyak seperti LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat) di Yogyakarta, Desantara di Jakarta, llham di Semarang, eLSAD di Surabaya, Avveroes · di Malang dan sebagainya. Kelompok-kelompok inilah yang dalam perkembangannya menyebut dirinya sebagai post- tradisionalisme Islam. Penelitian ini bermaksud melakukan kajian lebih dalam hal-hal yang terkait dengan wacana post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa munculnya generasi muda NU dengan cakrawala pemikiran baru yang lebih progresif memang merupakan fen omena yang cukup unik dan menarik. Dikatakan unik dan menarik karena NU yang lSTiQRO' Vo/ume02,Nomor01, 2003

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

200

~ POST-TRADISIONALISME ISLAM:

Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU

Rumadi, dkk STAIN Bengkulu

Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang oleh kader-kader mudanya. Mereka mempunyai gagasan-gagasan keagamaan progresif dalam merespon modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dari berbagai khasanah modern. Mereka tidak hanya concern dengan modernitas yang terus dikritik dan disikpai secara hati-hati, tapi juga melakukan revitalisasi tradisi.

Pada perkemb@ngan lebih jauh, munculnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang keagamaan mempunyai pengaruh besar kepada anak muda NU. LSM-LSM tersebut tidak saja menggiatkan kehidupan keagamaan, tapi turut berperan dalam membangun wacana keagamaan progresif. Dalam kaitan itu, di sini dapat disebutkan beberapa LSM dimaksud seperti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) yang berdiri pada 1983, Lakpesdam (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU yang berdiri menjelang akhir 1980-an. Pad a tahun 1990-an jumlah LSM di lingkungan NU yang memberi perhatian pada pengembangan pemikiran keagamaan semakin banyak seperti LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat) di Yogyakarta, Desantara di Jakarta, llham di Semarang, eLSAD di Surabaya, Avveroes · di Malang dan sebagainya. Kelompok-kelompok inilah yang dalam perkembangannya menyebut dirinya sebagai post­tradisionalisme Islam.

Penelitian ini bermaksud melakukan kajian lebih dalam hal-hal yang terkait dengan wacana post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa munculnya generasi muda NU dengan cakrawala pemikiran baru yang lebih progresif memang merupakan fen omena yang cukup unik dan menarik. Dikatakan unik dan menarik karena NU yang

lSTiQRO' Vo/ume02,Nomor01, 2003

diklaim sebagai "tradisional" dengan stigma terbelakang, bodoh, jumud dan seterusnya ternyata di dalamnya ada sekelompok anak muda yang berpikir dan melakukan gerakan yang mampu melampaui stigma-stigma tersebut.

Tradisi pemikiran progrsif di kalangan kaum muda NU tersebut belakangan melembaga dalam LSM-LSM yang dikelola anak-anak muda NU. Munculnya tradisi LSM yang mengembangkan program-program dan berorientasi pada pengembangan masyarakat, terutama masyarakat pesantren dengan segala khasanah dan tradisi pemikiran yang dimiliki, mempunyai dampak signifikan berkembanganya wawasan pemikiran progresif di kalangan pesantren. Memang, jika dibandingkan dengan jumwah warga NU yang konon sekitar 40 juta orang, kelompok prograsif ini memang jumlahnya sangat kecil, namun karena kepintaran mereka mempublikasikan gagasan baik melalui penulisan buku, artikel pendek, jurnal, dan media massa lainnya, gagasan-gagasan mereka mempunyai gaung yang cukup diperhitungkan.

Kelompok-kelompok kecil inilah yang menyebutdirinya sebagai post­tradisionalisme Islam, yaitu sekelompok anak-anak muda NU yang dengan modal tradisinya melakukan revitalisasi dan tranformasi. Dalam proses revitalisasi dan transformasi tersebut dilakukan dengan melakukan kritisisme atas tradisi, bukan hanya tradisi "orang lain", tapi juga terhadap tradisinya sendiri. Akibat bersentuhan dengan khasanah keilmuan baru yang selama ini tidak didapatkan di pesantren, mereka menjadikan "ilmu baru" tersebut untuk melakukan pembacaan terhadap khasanah dan tradisi keislaman, terutama yang berkembang di lingkungan NU.

Sebenarnya banyak sekali spektrum pemikiran yang diangkat dan menjadi concern post-tradisionalisme Islam di kalangan anak-anak muda NU. Namun, beberapa tema yang senantiasa menjadi perbincangan, baik melalui penerbitan jurnal, buku, tulisan di media massa, maupun program­program Halaqah (Bel ajar Bersama) dapat diagendakan hal-hal sebagai berikut: 1) Kritik wacana agama sebagai perspektif pembacaan terhadap realitas dan wacana agama. Hal ini dilakukan karena wacan agama dalam bentuk apapun bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, tapi dibentuk melalui proses-proses kekuasaan dan kepentingan. Kritik wacana tersebut bukan saja ditujukan kepada tradisi-tradisi besar, tapi juga kepada tradisi NU sendiri seperti doktrin tentang Aswaja. 2) Problem di sekitar politik kewarganegaraan (civil society) dan juga implikasi politiknya. Di samping itu, masalah relasi agama dan negara berserta implikasi dan isu ikutannya seperti formalisasi syariat Islam juga mendapat perhatian serius komunitas post­tradisionalisme Islam. 3) lsu di sekitar feminisme juga mendapat perhatian yang diterjemahkan dalam program Belajar Bersama. 4) Wacana tentang pluralisme dan dialog an tar agama. 5) Islam dan kebudayaan lokal.

lsu-isu tersebut diangkat dan didekati menggunakan kerangka kritik nalar (naqd al-'aql) dengan membongkar kepentingan-kepentingan di bali~

ISTlQRO' Volume 02, Nomor01, 2003

RUMADI, DKK

201

POST-T RADISIONAUSME ISlAM

wacana dominan. lmplikasi dari model pendekatan semacam ini adalah te~adinya 'relativisasi' atas segala tafsir atas agama. Dengan demikian, proses memberi tafsir kepada agama merupakan ajang kontestasi yang terkadang dilakukan dengan tidak fair. Dengan demikian, kritik nalar dilakukan untuk menyibak kesadaran bahwa proses ma~inalisasi dan hegemoni satu kelompok atas kelompok yang lain merupakan hasil dari kontestasi yang tidak fair tersebut

Kata Kunci: Kaum Muda, Komunitas NU, Past-tradisionalisme, Tradisi Intelektual, Wacana

Mengkaji perkembangan pemikiran di lingkungan komunitas Nahdlatul Ulama bukanlah perkara mudah. Meskipun NU dikenal sebagai organisasi "tradisional", namun untuk melacak dinamika intelektualismenya harus melibatkan banyak elemen dan variabel­variabel. Hal ini disebabkan, meski akar-akar tradisi intelektualisme NU relatif sama, namun ekspresi yang ditampilkan oleh pemikir-pemikir NU ternyata sangat beragam. Keberagaman itulah yang menuntut kehati-hatian pengamat agar tidak mengambil kesimpulan yang salah. Apalagi dengan menggunakan pendekatan yang serampangan seperti menggunakan kategori "tradisionalis" dan "modernis" jelas sangat out of date untuk melihat wajah NU saat sekarang. Wal basil~ spektrum intelektualisme NU tidaklah berwajah tunggal.

Kesulitan yang lain berkaitan dengan kenyataan bahwa kajian tentang intelektualisme NU termasuk bidang kajian yang agak terlantar. Para peneliti NU baik asing maupun "pribumi" mempunyai kecenderungan umum mengkaji NU semata-mata dari aspek politik dan kekuasaan dibanding kajian dari aspek sosial-intelektual. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya buku dan karya-karya tentang NU, baik NU pada masa-masa awal hingga perkembangan yang pa­ling mutakhirpun lebih memberi bobot politik daripada sosial­intelektual, meski harus disadari perkembangan NU tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik bangsa secara keseluruhan. Sangat sedikit-untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali-kajian serius tentang NU yang mengkonsentrasikan diri pada pelacakan jaringan intelektual ulama NU serta wacana keislaman yang dikembangkan.

Kenyataan semacam ini tentu saja sangat memprihatinkan serta tidak menguntungkan bagi NU. Mengapa? Karena akan menimbulkan

202 ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003

RuMADI, DKK

kesan seolah-olah NU, baik secara organisatoris maupun kultural, merupakan komunitas yang sepanjang sejarah kehidupannya selalu disibukkan oleh masalah-masalah politik dan mengabaikan aspek intelektual. Asumsi semacam ini tentu saja bertolak belakang dengan kenyataan bahwa NU, di mana ulama sebagai tulang punggungnya, mengemban misi sebagai transmitter khazanah intelektualisme Islam klasik. Di tingkat makro, hal ini juga akan menimbulkan kesan adanya kemiskinan intelektualisme Islam di Indonesia.

Padahal wacana intelektualisme dalam tubuh NU begitu menggeliat. Terutama dengan kemunculan figur Gus Dur sebagai ketua PBNU yang menjadi ikon baru bagi perguliran wacana komunitas muda NU. Tak heran kalau kemudian, dari rahim NU, memunculkan sekian pendapat kritis yang variatif dan beragam. Berangkat dari sini, muncullah genre pengetahuan baru di kalangan anak muda NU yang bergiat di jalur kultural yang mereka sebut sebagai "Post-Tradisionalisme Islam".

Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dinamika intelektual yang terj adi dalam komunitas NU hingga berkembangnya wacana pemikiran post-tradisionalisme Islam. Juga menelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya arus pemikiran post-tradisionalisme Is­lam sekaligus mengeksplorasi bentuk-bentuk liberalisme yang berkembang dalam komunitas NU melalui paradigma postra.

Pembentukan Intelektualisme NU Wacana intelektualisme dalam tubuh NU memang menarik untuk diamati. Hal ini menyita perhatian beberapa pihak untuk turut mengamati. Tak bisa ditampik, wacana intelektualisme ini berkembang begitu dinamis. Kalau mau ditelisik, akar-akar pembentukan intelektualisme NU dapat dilacak jauh ke belakang sejak abad 17 dan 18. 1 Penelitian yang dilakukan Azra menunjukkan bahwa pada masa ini Islam di Nusantara sudah menampakkan 1 Penelitian yang cukup komprehensif mengenai hal ini, lihat Azyumardi Azra,

Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992). Lihat pula Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara, Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1990).

ISTiQRO' Volume02,Nomor01, 2003 203

PosT-TRADJSJONAUSME IsLAM

dinamika intelektual yang cukup mengesankan, meskipun jika dibandingkan dengan dinamika intelektual di belahan dunia yang lain dapat dikatakan masih tertinggal. Dinamika itu antara lain nampak dari keterlibatan ulama-ulama Nusantara pada-meminjarn istilah Azyumardi Azra-jaringan ulama (network of the ulama) yang berpusat di Haramain (Makkah dan Madinah). Perintis keterlibatan ulama Nusantara atau sering disebut dengan "ulama Jawi" 2 itu antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H/1658 M), Abd al-Rauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1030-1111 H/1629-1699 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dan sebagainya.

J aringan intelektual tersebut terus berlanjut hingga abad 19 dan 20, saat di mana-pinjam istilah Zamakhsyari Dhofier­geneologi intelektual (intellectual genealogy) ulama NU mulai kelihatan jelas. Dengan demiskian, dalam rentang waktu yang cukup panjang, sebelum ulama-ulama NU periode awal menjalin jaringan intelektual dengan Makkah dan Madinah, para ulama Jawi telah menyerap tradisi Timur Tengah sekaligus mengembangkan wacana keagamaan, baik pada aspek teologi, fiqh maupun tasawuf yang pad a gilirannya akan dij adikan standar keislaman ulama Nusantara.

Pada paroh kedua abad 19, wacana keagamaan Nusantara antara lain ditandai dengan semakin mapannya jaringan tersebut. Namun pada masa ini ada perubahan-perubahan signifikan mengenai posisi ulama Nusantara di Haramain. Jika pada masa-masa sebelumnya ulama "Jawi" lebih sebagai murid dari ulama Haramain, pada abad 19 mulai muncul ulama-ulama Nusantara bertaraf internasional yang menjadi "guru besar" di pusat Islam tersebut. Guru-guru tersebut pada gilira·nnya akan melahirkan apa yang disebut Southeast Asia Connection (cabang jaringan di Asia Tenggara). Nama-nama yang paling menonjol mengenai hal ini antara lain Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), Ahmad Khatib

2 Kata "ulama Jawi" sebenarnya tidak selalu merujuk pada Jawa. Dalam bahasa Jawa, kata "Jawi" memang bentuk lain dari dari kata "Jawa". Namun dalam konteks ini, kata tersebut merujuk kepada ulama Nusantara yang hidup dan bermukim di Haramain. Makna demikian juga tercermin dalam buku yang ditulis oleh Mohd. Bin Nor Ngah, Kitab Jawi: Islamic Thought of the Malay Muslim Scholars, (Singapore: ISEAS: 1983).

204 lSTiQRO' Volume02, Nomor01, 2003

RuMADI, DKK

al-Sambasi (w. 1875 M), Abd al-Karim al-Bantani, Ahmacj Rifa'i Kalisalak (1200-1286 H/1786-1870), Ismail al-Khalidi al­Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M), Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338 H/1842-1929 M), Hasan Musthafa al­Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M), Sayyed Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya. 3

Jaringan intelektual ulama NU pada periode awal tidak terlepas dari tokoh-tokoh tersebut. Jika Hasyim Asyari (w. 1945) dij adikan sebagai tokoh sentral intelektualisme NU, maka ada beberapa ulama yang dapat disebut sebagai pusat jaringan intelektual ulama NU, yaitu Mahfuz al-Tirmasi, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Khalil Bangkalan. Generasi NU pertama yang seangkatan (atau sedikit di bawah) Hasyim Asy'ari seperti Bisri Syamsuri (1886-1990) dan Wahab Hasbullah (1888-1971) yang j aringan intelektualnya tidak terlepas dari nama-nama tersebut.

Di samping jaringan "domestik", geneologi intelektual ulama NU, sebagaimana ulama-ulama sebelumnya, juga menjadikan Makkah dan Madinah sebagai pusat orientasi intelektualnya. Semua ulama-ulama NU pada periode awal ini semuanya pernah belajar di Makkah. 4 Hasyim Asyari sebagai lokomotif NU misalnya, selama 8 tahun tinggal di Makkah sejak berusi 20 tahun dan berguru pada Ahmad Khatib Minangkabawi, Mahfuz al-Tirmasi dan Nawawi al­Bantani.

Mereka adalah ulama-ulama dengan reputasi internasional yang mempunyai pengaruh besar terhadap wacana intelektualisme Islam di Nusantara. Nawawi al-Bantani yang dipuji Snouck

3 Lihat Azyumardi Azra, "Ulama Indonesia di Haramain: Pasang Surut Sebuah Wacana Keagamaan" dalam Jurnal Ulumul Ouran, volume III no. 3 tahun 1992, him. 76-85. Tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam, Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), him. 143-161.

4 Mengenai geneologi intelektual ulama NU lebih lanjut lihat Zamakhsyari Dhofier, T'radisi Pesantren: Studi ten tang Pan dang Hid up Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. Ke enam, him. 85-96. Lihat pula Abdurrahman, The Pesantren Architects., him. 91.

lSTiQRO' Volume02,Nomor01, 2003 205·

PosT-TRADISIONAUSME IslAM

Hurgronje sebagai orang Indonesia yang paling alim pada masanya di samping juga sangat rendah hati, adalah ulama yang sangat produktif menulis berbagai kitab dalam berbagai disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. 5 Nawawi al-Bantani agaknya tepat jika dikatakan sebagai poros pembentukan intelektualisme NU.

Namun jika dilihat dari tingkat keterpengaruhan, sebagaimana dikatakan Zamakhsyari Dhofier, 'guru besar' yang sangat berpengaruh kepada ulama NU, terutama Hasyim Asyari, adalah Syaikh Mahfuz al­Tirmasi.6 Otoritas intelektual Mahfuz agaknya bisa disejajarkan dengan Nawawi al-Bantani meskipun di antara keduanya terdapat hubungan guru­murid. Tulisan-tulisan Mahfuz meliputi berbagai bidang ilmu keislaman seperti fiqh, usul fiqh, tauhid dan juga tasawuf. Yang paling populer adalah karangannya dalam bidang hadis, baik menyangkut metodologi penelitian maupun sejarah dan karya ulama besar.7

Sebagaimana Hasyim Asy' ari, ulama-ulama seperti Wahab Hasbullah juga mempunyai j alur transmisi intelektual yang tidak j auh berbeda. Setelah berkelana di berbagai tempat (pesantren) mulai dari Tambak Beras Jornbang (tempat orang tuanya), Langitan Tuban, Mojosari Nganjuk, Tawangsari Surabaya, Kademangan Bangkalan (tenipat Kiai Khalil) sampai ke Tebu Ireng Jombang, Wahab kemudian melanjutkan pengernbaraannya ke Saudi Arabia. Di sana ia belajar dengan ulama-ulama yang diantaranya pernah mengasuh Hasyim Asy'ari, seperti Mahfuz al-Tirmasi, Kiai Muhtaram, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Bakir, Kiai Asy'ari dan Syaikh Abdul Hamid. 8 Tipe santri kelana demikian juga dilakukan tokoh­tokoh seperti Bisri Syamsuri, Wahid Hasyim, Kiai Munawir, 9 Kiai

206

5 Lebih jauh lihat Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), him. 117-127. Menurut catatan Martin tidak kurang dari 40 karya Nawawi dan sekitar 22 yang hingga sekarang masih beredar di pesantren. Martin van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning,Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1994), him. 38.

6 Zamakhsyari Dhofier, "KH. Hasyim Asy'ari : Penggalang Islam Tradisional", dalam Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ~m Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), him. 8.

7 Mengenai karier intelektual dan karya-karya Mahfuz, lihat Abdurrahman Mas'ud, "Mahfuz al-Tirmasi (d. 1338/1919): An Intellectual Biography" dalam Studia Islamika Vol. 5 No. 2 1998, him. 29.

8 Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, him. 26-27. 9 Ali As'ad, K.H.M. Munawir Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta,

(Yogyakarta: t.p., 1975).

ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003

RUMADI, DKK

Ma'shum, 10 As'ad Syamsul Arifin, Ahmad Siddiq11 dan sebagainya. Peneguhan tradisi intelektual di kalangan ulama NU tak dapat

dilepaskan dari j aringan tersebut. Dengan kaidah ai-m u!latad t!.ah 'ala al-qadim al-sh8.lill wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlag (memelihara [hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). kekayaan intelektualisme NU terbentang mulai zaman Nabi Muhammad SAW, zaman klasik, pertengahan hingga zaman modern. 12 Hazanah ini merupakan modal kultural­intelektual yang luar biasa bagi NU untuk berdialektika dengan modernitas.

Modal Sosial-Intelektua:l dan Munculnya Tradisi Baru Intelektualisme NU

Modal sosial (social capital) merupakan landasan sosio kultural suatu masyarakat yang mencakup nilai-nilai, norma-norma, relasi-relasi, pandangan hidup, ikatan solidaritas, dan sebagainya. Penyebutan modal sosial biasanya menunjuk pacta institusi-institusi, hubungan-hubungan dan norma-norma yang mempunyai pengaruh dalam membentuk dan menentukan kualitas dan kuantitas interaksi sosial dalam masyarakat. Dalam pengertian yang lebih luas, modal sosial mencakup berbagai aspek positif dan negatif dari berbagai kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, perilaku, serta resource yang ada di dalamnya.

Modal sosial bisa menampakkan dalam berbagai saluran, antara lain: pertama, saluran-saluran informasi yang ada dalam masyarakat sebagai sarana untuk melakukan penyebaran gagasan. Kedua, norma-norma resiprositas, yang keberlangsungannya tergantung

1° Chaidar, Manaqib Mbah Maksum, (Kudus: Menara Kudus, 1972). 11 Ulama-ulama NU yang berada dalam keluarga Siddiq sebagian besar juga pernah belajar di

Makkah. Lebih jauh lihat Affan Ilman Huda, Biografi Mbah Siddiq, (Jember: Pon­pes al-Fatah, t.t.).

12 Bandingkan dengan Muhammadiyah yang mengalami keterputusan (diskontinuitas) jalur intelektualnya karena mengenyampingkan khazanah intelektual pada periode pertengahan karena dianggap bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Karena tradisi intelektual Muhammadiyah terbatas pada generasi sahabat (salaf al-sha.lih), sedikit lbnu Taimiyah, kemudian pembaru modern seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamal al­Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan sebagainya. Kenyataan demikian telah menimbulkan kritik bahkan oleh orang yang sering diidentifikasi sebagai kader Muhammadiyah seperti Azyumardi Azra, "Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah" dalam Kompas, 9 November 1990.

ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003 207

PosT-TRADISIONALISME IsLAM

pada jaringan sosial (social networks) yang mempertemukan berbagai individu. Ketiga, tindakan kolektif yang dilakukan oleh jaringan sosial yang dimiliki. Keempat, identitas dan solidaritas yang lebih luas muncul sebagai hasil dari j aringan sosial yang telah dibangun. 13

Komunitas NU dikenal sebagai masyarakat "tradisional" (Is­lam tradisi) yang sering diperhadapkan dengan "Islam modernis". Deliar Noer, dengan karya klasiknya, 14 adalah intelektual Indonesia yang paling bertanggung jawab mengenai hal ini. Deliar-dengan mengadopsi distingsi tipologi yang dibuat oleh Charles Adam tentang modernisme di Mesir, Azis Ahmad mengenai modernisme di India-Pakistan-membuat semacam watertight distinction antara "Islam modernis" yang diwakili Muhammadiyah, Persis dan lain­lain, dengan "Islam tradisionalis" yang di wakili NU. Tipologi seperti ini dalam banyak hal sudah tidak tepat lagi untuk membaca perkembangan Muhammdiyah dan NU mutakhir, karenanya muncul gugatan terhadap tipologi tersebut. 15

Tradisionalisme tersebut di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, namun di pihak lain hal itu sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU. Artinya, apapun upaya yang dilakukan untuk "merubah wajah NU" harus berangkat dari realitas masyarakat NU sendiri. Hal ini mencakup beberapa aspek: pertama, komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meskipun belakangan terjadi mobilitas vertikal di kalangan elit pedesaan ini, terutama kalangan muda NU terpelajar. Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan tapi mulai menjadi agen-agen perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian besar warga NU tetap tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan dan lebih bersifat defensif terhadap modernitas.

208

Kedua, NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual luar biasa yang senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga pesantren. Pesantren, meskipun

13 Periksa lebih jauh Fawaizul Umam, "Modal SosiaJ NU, Ekonomi Pemberdayaan Warga Nahdliyyin", Gerbang, No. 12, Vol. V tahun 2002.

14 Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, (Singapore: Ox­ford University Press, 1973).

15 Lihat misalnya, Azyumardi Azra, "NU; Islam Tradisionalis dan Modernitas di Indonesia", dalam Studia lslamika, Vol. 4, No. 4, 1997.

lSTiQRO' Volume02, Nomor01, 2003

RuMADr, DKK

seringkali mendapat kritik baik dari segi kultur, sistem pengajaran dan sebagainya, harus diakui mempunyai peran yang tidak kecil dalam konteks konservasi keilmuan Islam. Kekayaan tersebut menjadikan NU sangat apresiatif terhadap terhadap pemikiran­pemikiran lama meskipun oleh kalangan tertentu diklaim sebagai bid'ah dan khurafat. 16 Melalui geneologi intelektual (intellectual genealogy) yang cukup panj ang dan rumit, peneguhan tradisi intelektual di kalangan ulama NU tak dapat dilepaskan dari jaringan yang dibentuk ulama-ulama perintisnya, terutama KH. Hasyim Asy'ariY

Namun sayangnya, dalam waktu yang cukup lama, kekayaan intelektual yang dimiliki NU tersebut tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Akibatnya, NU dengan berbagai tradisi dan lembaga pendidikannya (pesantren) hanya menjadi semacam "dapur pengawet" ilmu-ilmu keislaman. Tidak ada upaya serius untuk merevitalisasi, apalagi melakukan transformasi terhadap khasanah tersebut. 18 Hal ini bisa dipahami karena ulama NU pacta umumnya

16 Bandingkan dengan Muhammadiyah yang mengalami keterputusan (diskontinuitas) jalur intelektualnya karena mengenyampingkan khazanah intelektual pada periode pertengahan karena dianggap bercampur dengan bid'ah dan khura!at. Karena tradisi intelektual Muhammadiyah terbatas pada generasi sahabat (salaf al-shalih), sedikit Ibnu Taimiyah, kemudian pembaru modern seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan sebagainya. Kenyataan demikian telah menimbulkan kritik bahkan oleh orang yang sering diidentifikasi sebagai kader Muhammadiyah seperti Azyumardi Azra, "Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah" dalam Kompas, 9 November 1990.

17 Geneologi intelektual ulama NU, terutama generasi NU awal seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri dan sebagainya, sebagaimana ulama-ulama Islam pada umumnya menjadikan Haramain (Mekah dan Madinah) sebagai pusat orientasi intelektualnya. Hampir semua ulama NU pernah belajar di Mekah. Sebuah penelitian yang membuktikan mengenai hal ini lihat misalnya Abd. Rachman, The Pesantren Architects And Their Socio-Religious Teach­ings (1850-1950), (Los Angeles: Disertasi UCLA, 1997) (tidak diterbitkan). Lihat pula Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi ten tang Pandangan Hid up Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982).

18 Fenomena semacam ini sebenarnya bukan khas NU. Harus diakui tradisi keilmuan Islam sudah lama mengalami pembekuan dan pembakuan melalui proses ortodoksi sejak abad III H. Bahkan, Islam yang datang ke Indonesia dan mengalami proses massifikasi pada abah XII/XIII M adalah Islam yang sudah "turun" dari puncak kejayaannya. Dengan demikian, perkembangan keilmuan NU pada .. gasarnya merupakan kelanjutan dari tradisi intelektual dalam dunia Islam pada umumnya.

lSTiQRO' Volume02,Nomor01,2003 209

Posr-TRADISIONALISME IsLAM

210

mempunyai pengetahun keagamaan yang hampir seragam, baik di bidang teologi, tasawuf maupun fiqh. Sumber pengetahuan yang digunakan, baik dalam arti geneologi intelektual maupun kitab-kitab yang menjadi rujukan, juga dapat dikatakan sama, sehingga belum terjadi apa yang disebut "diversifikasi pengetahuan". Dalam situasi demikian, bisa dipahami jika pada masa-masa ini para pengamat tidak begitu tertarik dengan NU, akibatnya, hingga awal 90-an kita masih sulit untuk menemukan karya-karya berbobot mengenai NU. Kalau toh orang melihat NU paling-paling hanya gemuruh politiknya yang nampak di permukaan, sedang hasil pemikirannya hampir-hampir tidak dilirik orang. Singkatnya, hingga parch ke dua 80-an NU tidak mempunyai pesona. Hal demikian diakui pengamat seperti Mitsuo Nakamura yang merasa mempunyai bias tidak hanya dari pengalamannya ketika melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di Kotagede, tetapi juga pada intellectual bias yang menganggap bahwa NU semata-mata organisasi ulama yang ketinggalan zaman di pedesaan Jawa, yang secara intelektual tidak canggih, secara politik oportunis dan secara kultural sinkretik. 19

Ketiga, NU mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis transmisi keilmuannya, yaitu pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan sub-kulturnya, pesantren terbukti manipu bertahan dalarn masyarakat yang terus berubah. Meskipun banyak kritik yang ditujukan ke lembaga pendidikan tradisional ini seperti kepemimpinan kyai yang sangat kharismatik, tidak menumbuhkan kritisisme santri, pengajarannya tidak terprogram dan sebagainya, namun pesantren mempunyai kekuatannya sendiri berupa "nilai" yang tidak dimiliki oleh lembaga lain.

Berbagai hal di atas pada gilirannya mengkristal dan menghasilkan pemahaman keagamaan tertentu yang menjadi kekhasan bagi NU meskipun jika dilihat dalam konteks makro dunia Islam pemahaman demikian bukanlah hal yang baru, bahkan dapat

19 Mitsuo Nakamura, "Tradisionalisme Radikal, Catatan Muktamar Semarang 1979", dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 59. Akibat dari bias intelektual tersebut, muncul kecenderungan kuat di antara para ahli dan pengamat tentang Islam di Indonesia, untuk lebih memberi perhatian pada organisasi-organisasi "modernis". Karena itu, tidak heran kalau organisasi seperti Muhammadiyah dianggap lebih mempunyai pesona untuk dijadikan sebagai obyek studi.

ISTl.QRO' Volume 02. Nomor01, 2003

RuMADI, DKK

dikatakan sebagai penegasan tradisionalisme Islam secara umum. Pemahaman keagamaan itu bertumpu pada ideologi yang di sebut ahl al-sunnah wa al-jama'ah (Aswaja) yang dipahami secara khusus oleh NU, yaitu orang yang dalam bidang fiqh menganut salah satu mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali), dalam teologi menganut Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam dalam tasawuf mengikuti Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali.

Terlepas dari itu, image yang terbangun dalam masyarakat adalah bahwa karakteristik kalangan tradisionalis pada umumnya dianggap lebih terbelakang, cenderung mapan, pro status quo dalam pemahaman mengenai masyarakat dan pemikiran Islam. Hal ini, menurut Abdurrahman Wahid, karena keteguhan mereka dalam memegang tradisi dan hukum Islam ortodoks (fiqh) yang mengantarkan mereka pada penolakan terhadap modernitas dan pendekatan rasional dalam kehidupan. Demikian juga dalam teologi, mereka sangat teguh dalam memegang teologi skolastik al-Asy'ari dan al-Maturidi yang menjadikan mereka bersikap fatalistik dan memandang rendah rasio (ra 'y). Selanjutnya, kelompok "tradisionalis" ini juga sering dituduh mengabaikan masalah-masalah duniawi dalam praktek mistisisme Islam (tasawuf). Aktivitas mereka dalam organisasi sufi .. (tarekat) menjadikannya dianggap acuh dengan dinamika modernisasi dan lebih bersikap defensif daripada ofensif.

Dari ilustrasi tersebut, terlihat bahwa NU mempunyai modal sosial-intelektual yang luar biasa.

Mobilitas intelektual komunitas NU sendiri barn terjadi pada paroh kedua 70-an dan awal 80-an yang antara lain ditandai dengan mulai banyaknya anak-anak NU yang tidak hanya menjadi penghuni setia pesantren tapi juga sekolah ke perguruan tinggi. Hal ini dimungkinkan sekali setelah NU secara institusional tidak lagi terlibat dalam politik praktis dalam partai politik setelah berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama faksi-faksi Is­lam yang lain seperti, Parmusi, PSII dan Perti pada tahun 1973.20

20 Lebih jauh lihat Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta: PT. Grasindo, 1991). him. 158. Lihat juga Choirui Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Saia: Jatayu, 1985). him. 266-268. Hampir semua buku-buku yang berbicara tetang NU seiaiu menempatkan peristiwa fusi ini sebagai saiah satu bahasannya sebagaimana ditulis oieh Andreen Feillard, Martin van Bruinessen sampai A. Gaffar Karim.

ISTiQRO' Volume02, Nomor01, 2003 211

PosT-TRADISIONAUSME IsLAM

212

Peristiwa ini secara politis memang tidak menguntungkan bagi kehidupan politik masyarakat secara umum karena hal itu berarti membatasi hak-hak politik rakyat. Namun secara tidak disadari hal itu mengandung "hikmah terselubung" (blessing in disguise) bagi warga NU. Betapa tidak, dengan sedikit "berpuasa" dari kehidupan politik, warga NU jadi mempunyai lebih banyak waktu untuk memikirkan pendidikan generasi mudanya. Pesantren dan lembaga­lembaga pendidikan lain yang semula terlantar karena semuanya terkonsentrasi dalam politik, mulai mendapat perhatian. Anak-anak muda NU yang semula menjadikan politik sebagai puncak-cita­citanya juga mulai bergeser.

Peristiwa kembalinya NU ke Khittah 1926 tahun 1984 agaknya merupakan momentum panting sekaligus sebagai "titik balik" munculnya gairah baru tersebut. Kehadiran KH. Achmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid (masing-masing sebagai Rais 'Am dan Ketua umum Tanfidziyah NU 1984-1989) merupakan dua figur determinan yang mampu mengusung gairah baru intelektual. Mereka berdua menjadi bagian panting kampanye pembaruan dalam NU yang menandai dimulainya era baru bagi komunitas tradisional ini. Yang menarik, gairah intelektual yang antara lain ditandai dengan sikap terbuka terhadap segala bentuk fanatisme keagamaan tersebut terjadi pada saat-saat dimana dunia Islam pada umumnya justru ditandai dengan reislamisasi, kalau tidak dikatakan fundamentalisasi. Karenanya, dalam konteks makro, seruan liberalisasi duet Achmad Siddiq-Gus Dur tersebut bagaikan "suara lirih" di tengah hiruk pikuk gerakan fundamentalisme Islam.

Gerakan intelektualisme NU semakin menampakkan gairahnya sejak pertengahan 1980-an ketika dalam komunitas NU (atau anak-anak muda NU) mulai muncul LSM-LSM. LSM tersebut bukan sekedar melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, tapi juga mengusung gagasan dan pemikiran-pemikiran ke-Islaman yang lebih segar dan progresif. Kelompok muda ini mulai berani mendobrak dan mempertanyakan beberapa segi tradisi, bahkan doktrin, yang selama ini diterima begitu saja nyaris tanpa reserve.

Kecenderungan ini tidak terlepas dari mulai munculnya mobilitas vertikal dan horizontal sebagian orang-orang NU, terutama kaum mudanya, yang memasuki dunia pendidikan tinggi modern. Seiring dengan itu, ban yak

ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003

RuMADr, DKK

anak-anak NU yang tinggal di perkotaan dan melakukan gesekan dengan ilmu-ilmu modern yang tidak pernah diperoleh ketika masih tinggal dan belajar di "desa". Konsekuensi dari perkembangan itu adalah adanya perubahan dan variasi pemikiran, bukan saja berupaya untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran dan tradisi ke-NU-an dengan realitas yang terjadi di luar, tapi juga mengembangkan pemikiran kritis atas sejumlah "doktrin agama" yang diyakini selama ini.

Kenyataan tersebut menimbulkan respon yang beragam di kalangan NU, terutama para kiai senior. NU sebagai sebuah jarna 'ah dan jam 'iyyah kemudian terbelah dalam dua arus besar, yaitu arus konservatif yang begitu setia dengan tradisi dengan wataknya yang eksklusif dan defensif di satu pihak, dan komunitas kritis yang terus mempertanyakan doktrin dan tradisinya di pihak yang lain. Dari segi kuantitas dan otoritas tradisional, kelompok pertama jauh lebih besar, meskipun kelompok kedua mempunyai kualitas pemikiran yang lebih terstruktur dan dokumentatif.

NU dan Wacana Post Tradisionalisme Islam ISTILAH "Post-Tradisionalisme Islam" (selanjutnya disebut postra) hingga kini memang masih diperdebatkan, baik dari segi istilah maupun substansi pemikirannya. Dari segi istilah, postra dianggap tidak lazim, di samping tidak ada dalam kamus, kata "post" yang dikaitkan dengan "tradisi" justru dianggap melewati, melampaui, mencampakkan dan meninggalkan tradisi. Padahal ruh dari gerakan itu justru ingin melakukan transformasi terhadap tradisi, bukan meninggalkan tradisi. Sedangkan berkaitan dengan substansi dan wac ana, pemikiran yang dikembangkan ini sering dianggap tidak (belum?) jelas dan sekedar ingin "menegaskan identitas tradisional" kelompok tertentu (baca, NU).

Berkaitan dengan istilah barangkali tidak menjadi masalah yang serius. Kalau dikatakan "postra" tidak ada dalam kamus, tidak perlu dipikirkan karena kamus dan kehidupan pasti lebih dulu kehidupan. Kamus merupakan konstruksi dari kehidupan. Sedangkan "post" yang diartikan "melewati" dan "meninggalkan" tradisi juga tidak terlalu serius, karena dalam kata "post" sebenarnya mengandung pengertian kontinuitas (continuity) dan perubahan (change). Namun dari segi substansi pemikiran, memang perlu dipikirkan secara serius. Para penggagasnya harus bisa membuktikan bahwa postra tidak sekedar

ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003 213

Posr-TRADISIONAUSME IslAM

214

sebagai kelanjutan dari ketegangan kaum "tradisionalis" dan "modernis" dengan menggunakan perangkat yang lebih "canggih" dan "teoritis" seperti dituduhkan sementara kalangan, tapi juga sebagai hasil dari pergulatan panjang dari proses transformasi intelektual. Komunitas ini tidak muncul secara instant dan tiba­tiba, tapi melalui proses pergulatan intelektual dengan kesadaran tradisi yang cukup dalam, baik tradisi dalam arti perilaku maupun khazanah pemikiran yang terbentang luas.

Sejarah munculnya komunitas ini dapat dirunut ke belakang ketika NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 pada 1984, meskipun sebelum itu benihnya sudah mulai tampak. Terlepas dari berbagai tafsir di sekitar Khittah, yang jelas momentum itu mampu memberi ruang yang cukup kepada warga NU untuk membentuk "lapisan baru" yang lebih berorientasi pengembangan intelektual.21 Dalam kaitan ini, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan figur determinan yang menjadi semacam "lokomotif" bangkitnya gairah intelektualisme NU. 22 Meskipun sempat terjadi ketegangan-ketegangan dengan ulama "senior" akibat "kenakalan" intelektualnya. Namun, karena faktor Gus Dur dengan modal intelektual dan darah birunya yang memberi perlindungan terhadap "kelompok nakal" ini, maka ketegangan tersebut dapat dicairkan. Meski demikian, jika di banding dengan jumlah warga NU, lapisan ini memang masih sangat tipis dan seringkali diterpa godaan-godaan politik yang luar biasa. Godaan itu datang terutama pada saat reformasi bergulir yang antara lain disambut oleh masyarakat dengan ramai-ramai mendirikan partai politik. NU sebagai kekuatan masyarakat dengan kekuatan massa yang cukup riil ikut tergoda dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998.

Generasi muda NU yang selama ini menjadi "patron"-nya Gus Dur di garis "non-politis" berada dalam kebimbangan yang luar

21 Untuk melihat dinamika ini lebih jauh, lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, Pencarian lsi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), him. 364-411. Lihat pula Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKIS, 1994), him. 1994.

22 Hampir semua pengamat mengakui peran determinan Gus Dur ini dalam membangkitkan gairah intelektualisme NU. Di samping Martin van Bruinessen, Greg Barton dan juga Andree Feillard, lihat pula tulisan John L Esposito dan John 0 Vall, Makers of Contamporary Islam, (Oxford: Oxford University Press, 2001), him. 199-216.

ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003

RUMADI, DKK

biasa ketika melihat kiblat intelektualnya justru mendeklarasikan partai politik. Kebimbangan itu terletak pada pilihan apakah tetap istiqamah dalam jalur kultural dengan agenda penguatan civil so­ciety, mengembangkan intelektualisme dengan memerankan politik "tanpa panggung", ataukah masuk dalam kancah politik praktis dengan menjadi aktivis partai. Godaan itu semakin dahsyat ketika Gus Dur berhasil terpilih menjadi presiden pada Oktober 1999. Gus Dur memang punya alasan sendiri ihwal perubahan model gerakannya ini. Atas pendirian PKB Gus Dur berargumentasi: para aktivis dan simpatisan NU perlu "dibimbing" dalam pilihan pemilu mereka, suatu persoalan yang dianggap "hid up mati" bagi NU. Setelah reformasi, NU harus memikirkan kembali strategi politiknya. Dengan kekuatan massanya, Gus Dur harus mempunyai partai sendiri agar bisa bicara dengan satu suara untuk menghindari suara NU dimanfaatkan oleh partai politik lain yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan NU. 23

Dalam situasi demikian, banyak anak muda NU potensial yang akhirnya memutuskan untuk menjadi aktivis partai, organisasi underbow partai, atau menjadi partisan partai, baik di PKB maupun parpol yang mengandalkan mass a dari NU seperti PKU, PNU, SUNI maupun PPP. Tokoh­tokoh muda PKB seperti Muhaimin Iskandar, Ali Masykur Musa, Chotibul Umam Wiranu dan sebagainya adalah orang yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh intelektual muda NU. Di luar itu, sedikit dari mereka tetap istiqamah berada di jalur kultural-intelektual dengan menjadi aktivis LSM, akademisi, penulis dan sebagainya. Mereka tetap memilih jalur "akses intelektual" dengan segala resikonya meski secara ekonomi dan publisitas mereka kurang beruntung. Kelompok yang mengambil pilihan pertama memang jauh lebih "sejahtera" dibanding kelompok kedua.

Tanpa bermaksud mempertentangkan kedua pilihan tersebut, komunitas postra sebenarnya lahir dari pergulatan kelompok

23 Andree Feillard, NU vis a vis Negara, him. 428-429. Perkembangan NU dalam Muktamar XXX tahun 1999 di Lirboyo Kediri dan PKB, terutama dari segi asas cukup menarik karena adanya kontradiksi arah perkembang·an. Jika tahun 1998 NU memfasilitasi berdirinya PKB dengan asas kebangsaan, "partai sekular", tidak menjadikan Islam sebagai asas partai, namun Muktamar NU di Lirboyo justru mengembalikan NU berasas Islam.

ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003 215

Posr-TRADISIONAUSME IslAM

216

kultural ini. Mereka inilah yang oleh para pengamat sering disebut sebagai lapisan baru gerakan intelektual NU. Gejala ini terjadi hampir di semua kota-kota besar di Jawa dan luar jawa seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Lampung dan sebagainya. Belakangan, mereka menyadari pentingnya untuk membuat sinergi kekuatan intelektual di antara mereka yang kemudian berhimpun dalam komunitas yang di menyebut dirinya sebagai komunitas "post-tradisionalisme Islam". Komunitas ini merupakan "aliansi" beberapa aktifis LSM yang mempunyai afiliasi kultural pada NU, seperti LKiS Yogyakarta, eLSAD Surabaya, Lakpesdam NU Jakarta, P3M Jakarta, Desantara Jakarta, ISIS Jakarta dan sebagainya.

Nama ini bukan sekedar menunjuk sebagai identitas kelompok, tapi -yang lebih penting dari itu adalah-menjadikannya sebagai "pola berpikir". Kesadaran ini semakin kuat ketika melihat realitas bahwa keterlibatan massa NU dalam politik praktis ternyata mempunyai efek yang luar biasa terhadap keseimbangan kehidupan warga NU. Mereka sempat "goyah" ketika sendi-sendi politiknya terkoyak yang kemudian diikuti dengan lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan. Bahkan, lengsernya Gus Dur dengan segala ekses negatifnya di kalangan warga NU, semakin menyakinkan komunitas tersebut l>ahwa perjuangan kultural merupakan pilihail tepat yang harus diperankan NU dan warganya. Atas dasar itu, pilihan untuk tetap mengembangkan kerj a kultural-intelektual adalah pilihan yang tidak salah.

Beberapa faktor yang turut berperan dalam mendorong gerakan intelektual anak muda NU yang kemudian mengkristal dalam komunitas postra yakni, pertama, faktor perkembangan politik. Faktor ini menjadi panting karena dinamika sejarah NU, baik secara struktural maupun kultural banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor perkembangan politik. Keputusan kembali ke Khittah 26 pada 1984 yang sangat dipengaruhi oleh proyek restrukturisasi politik Orde Baru ternyata mempunyai makna signifikan bagi gerakan sosial-intelektual NU (social-intellectual movement) di lingkungan NU. Perubahan peta politik nasional yang terjadi pada 1998 juga mempunyai imbas pada komunitas NU. Di satu pihak ada gerakan politik demikian kuat yang antara lain ditandai dengan berdirinya PKB dan beberapa parpol yang berbasis massa NU, namun di pihak

ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003

RuMADI, DKK ·

lain sebagian kecil anak muda, terutama yang menjadi aktifis LSM, tetap menjaga jarak dengan kekuatan politik sembari tetap melakukan gerakan sosial-intelektual.

Kedua, persaingan antara kelompok yang diidentifikasi sebagai "modernis" dan "tradisionalis" meskipun tidak "terucap" tetap bergerak dalam ruang psikologis anak-anak muda NU. Namun harus segera ditegaskan bahwa persaingan tersebut sudah berbeda sama sekali dengan pola persaingan generasi awal. Bila persaingan generasi awal lebih bernuansa teologis yang kemudian berimbas ke persaingan politis, persaingan generasi berikutnya lebih berwarna sosiologis. Ketiga, munculnya arus intelektualisme progresif di belahan dunia Arab turut mendorong dan memberi inspirasi semangat intelektualisme postra. Bahkan wacana yang dikembangkan sedikit banyak merupakan tema-tema yang diangkat dan menjadi perbincangan intelektual di kalangan mereka. Seperti tema-tema yang terdapat dalam karya tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Muhammad 'Abed al-Jabiri, dan sebagainya.

·-Kelompok ini mempunyai kecenderungan-kecenderungan tertentu yang

oleh Laode Ida dipetakan sebagai berikut: pertama, mereka sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran baru progresif yang berkembang di dunia luar, baik yang berasal dari Barat maupun Timur Tengah. Intervensi pemikiran dari luar ini diperlukan untuk memperbarui tradisi dan pemikiran kultur domestik yang dianggap tertinggal. Dalam teori modernisasi, tradisi dari luar yang harus diikuti adalah tradisi yang berkembang di negara-negara yang menjadi kiblat perkembangan. Dalam konteks ini, budaya dan tradisi NU dianggap "tertinggal" dan tidak bisa diandalkan untuk memajukan komunitasnya. Atas dasar itu,

~ meskipun tokoh-tokoh kritis NU seperti Gus Dur dan Masdar F Mas'udi sangat kritis terhadap proyek modernisasi, namun dalam beberapa segi mereka tidak dapat menolak modernisasi.

Kedua, adanya tokoh dan agen yang menjadi lokomotif perubahan dan berperan langsung dalam struktur kelembagaan yang ada. Kelompok ini, di samping memiliki wawasan tradisional Islam yang baik, pengetahuan mereka juga telah ditransformasikan dan dipersentuhkan dengan khazanah dan tradisi lain; Atas dasar itu, kelompok ini telah mengalami "lompatan tradisi" setelah melakukan pergulatan secara intens dengan tradisi lain.

ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003 217

POST-T RADISIONALISME ISLAM

Ketiga, generasi baru yang mengalami "lompatan tradisi" tersebut bukan saja kritis terhadap tradisi lain, tapi juga kritis terhadap tradisi dan doktrinnya sendiri. Oleh karena itu, mereka tidak segan-segan melakukan kritisisme terhadap doktrin ahl al­sunnah wa al-jama'ah, sebuah doktrin yang selama ini tidak pernah disentuh, apalagi dipertanyakan. 24 Selama ini ajaran-ajaran tersebut dipandang sebagai sesuatu yang sudah final, namun melalui proses konfirmasi logika dan pergulatan dengan realitas, maka doktrin­doktrin tersebut dianggap tidak lagi mempunyai kemampuan untuk merespon perkembangan. Atas dasar itu, kritisisme dan kontekstualisasi atas doktrin merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari.

lsu-Isu Pemikiran Keagamaan Post-Tradisionalisme Islam 1. Kritik Wacana Agama Sebagai Perspektif Pembacaan

Kritik Wacana Agama (KWA) menjadi concern yang cukup kuat di kalangan komunitas postra. Asumsi dasar dari KWA adalah tidak ada satu agama pun yang lahir dalam ruang yang kosong. Sebaliknya, setiap agama selalu saja lahir dalam konteks yang menyejarah. Karena, jika tanpa konteks yang menyejarah, maka agama tidak akan mempunyai arti, keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Hal ini sekaligus menjadi bukti, bahwa agama

· juga berdialog dengan zamannya. Justru dengan aialog inilah agama dapat menemukan signifikansinya di tengah masyarakat (baca: umat manusia). · Dengan berdialog, agama dipercaya dapat mengubah realitas di luar dirinya, dan pada saat yang sama realitas luar itu berpengaruh terhadap agama.

218

Karena itu, harus ditelusuri kembali dan dibongkar seperangkat aturan atau sistem nilai yang ada dalam agama dan meletakkannya pada aras sejarah pembentukan dan keterbentukannya. Hal ini penting dilakukan karena adalah sangat mungkin jika dikatakan sistem nilai tersebut bersentuhan dengan dan dikonstruk oleh sistem nilai yang berada di luar dirinya. Dengan kata lain, mengembalikan sistem nilai yang selama ini diklaim sebagai agama atau apa-apa yang lahir sebagai hasil dari interpretasi terhadap agama (pemikiran keagamaan) kepada dimensi historisnya menjadi suatu keharusan.

Berkaitan dengan tafsir agama, setiap kelompok dalam Islam membangun artikulasi wacana keagamaannya masing-masing secara

24 Lihat misalnya laporan Jurnal Taswirul Afkar, No. 1 tahun 1997, yang secara khusus melakukan pembongkaran terhadap doktrin aswaja.

ISTl.QRO' Volume 02, Nomor01, 2003

RUMADI, DKK

ideologis. Masing-masing saling berkompetensi untuk memperebutkan sebuah otoritas kebenaran agama. Antara satu sama lain mencoba untuk menghegemoni melalui kekuasaan politik (kontrol negara) dan sistem kebudayaan yang dideklarasikan sebagai sistem yang universal. Melalui proses ini, tafsir kebenaran agama itu diproduksi dan direproduksi secara terus menerus, ditulis dan dibaca secara berulang-ulang serta diekspresikan kembali dalam ruang sosial yang terus berubah, baik oleh individu maupun memori kolektif.

2. Islam dan Politik Kewarganegaraan Dalam konteks ini, tema mengenai civil society menjadi fokus untuk

mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Halaqah-halaqah yang dilakukan P3M dengan tema seperti "Fiqh Siyasah li MasMlih. al-Ra'iyyah" atau "Pelatihan Fiqh Siyasah untuk Penguatan Hak-Hak Rakyat" merupakan upaya untuk menumbuhkan kesadaran hak-hak rakyat sebagai warga negara. Dalam rentang 1996-2000, P3M melakukan serangkaian pelatihan fiqh siyasah dengan berbagai variasi, baik dari segi materi maupun nama kegiatannya. Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan meliputi: 1. Halaqah Sosialisasi, bertujuan untuk memperkenalkan dasar pikiran

dan tujuan dari fiqh siyasah kepada para pemimpin pesantren, terutama kalangan tua. Kegiatan ini diikuti 50-60 orang dan dilakuRan dengan mengambil tema-tema tertentu sesuai dengan isu daerah di mana kegiatan di adakan. Dalam kegiatan ini dihimpun gagasan-gagasan untuk penyusunan kurikulum pelatihan.

2. Pelatihan /iqh siyasah. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan berbagai isu kunci antara Islam, demokrasi, dan HAM, serta refleksi atas situasi sehari-hari. Kegiatan ini melibatkan berbagai ahli dan aktifis sesuai dengan materi dalam pelatihan. Kegiatan yang dilakukan selama 1 minggu ini sudah dilaksanakan 12 kali di daerah Jawa, NTB, Lampung, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Setiap angkatan diikuti 35-40 peserta.

3. Halaqah lanjutan. Kegiatan ini dilakukan untuk memecahkan berbagai problem dalam masyarakat setelah para alumni melakukan kegiatan yang berhubungan dengan upaya demokratisasi, baik advokasi di tingkat masyarakat maupun membentuk kelompok diskusi (bah.st al-masail). Pendidikan fiqh siyasah berupaya untuk memfasilitasi alumni dalam melakukan

ISTiQRO' Volume02, Nomor01, 2003 219

PosT-TRADISIONALISME IsLAM

220

diskusi lanjutan dengan topik tertentu sesuai dengan kebutuhan daerah di mana alumni berada.

4. Penelitian. Sebagai upaya untuk mengembangkan gagasan dan evaluasi atas kegiatan yang dilakukan, maka dilakukan penelitian untuk merumuskan ide-ide yang berkembang di kalangan kiai/ nyai, baik yang terlibat dalam pendidikan fiqh siyasah maupun yang tidak terlibat. Kegiatan ini juga bertujuan untuk melakukan pemetaan masalah dan ide yang berkembang di dalam pesantren kaitannya dengan demokrasi dan penegakan HAM. Penelitian yang sudah dilakukan mengambil tema: "Pesantren dan Demokrasi: Pandangan Kyai/Nyai tentang Pluralisme, Toleransi, Negara, Partai Politik, dan Pemilu.

5. Penerbitan dan Seminar. Penerbitan dilakukan dalam dua bentuk, yaitu Majalah Halqah, yang terbit dua bulan sekali sebagai wahana diskusi dan tukar informasi para alumni, kyai/nyai, santri dan masyarakat pada umumnya. 25

Di samping P3M, LKiS juga melakukan program yang kurang lebih sama, yang diberi nama "Pelatihan Islam dan Penegakan al­Dharuriyyat al-Khamsah". Kegiatan yang digelar pada tahun 2001 di beberapa tempat seperti Aceh, Makassar~ dan Jawa ini merupakan model pendidikan politiR, bukan saja untuk masyarakat NU tapi juga masyarakat secara umum.

3. Islam dan Feminisme Post-tradisionalisme Islam menganggap doktrin dan tafsir

agama yang serba masculin oriented sangat merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Lebih dari itu, tafsir agama yang tidak berpihak kepada perempuan seperti itu sangatlah bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini, post-tradisionalisme Islam, sebagaimana gerakan feminis di lingkungan Islam pada umumnya, mengusulkan perlunya melakukan pembacaan kembali terhadap doktrin, pemikiran dan

25 Laporan akhir, "Pendidikan Politik untuk Demokrasi dan Penguatan HAM bagi Pemimpin Pesantren dan Ormas Islam", Kerjasama P3M-The Asia Foundation, 1997-1999.

IS TiQ RO' Volume 02, Nomor01, 2003

RuMADI, DKK

teks-teks keagamaan secara kritis. 26 Hal ini dilakukan dengan semangat penghargaan bukan karena dia perempuan, tapi dibangun atas dasar semangat kemanusiaan.

Mengapa tafsir al-Qur'an dianggap punya peran di dalam pembentukan opini yang mendeskreditkan perempuan? Hal ini tidak lain disebabkan, mayoritas mufassir mengartikan ayat-ayat itu dengan penafsiran tekstual yang seringkali dalam penafsiran itu terjadi bias kepentingan kaum pria, dan mengenyampingkan kondisi sosial masyarakat. Selama ayat-ayat itu diinterpretasi secara tekstual, maka penyempitan (untuk tidak mengatakan diskriminasi) terhadap peran-peran dan penomor dua-an terhadap wanita bukanlah satu bentuk diskriminasi agama terhadap wanita, sebab itu telah dilegalkan atau bahkan menjadi tuntutan agama.

Penafsiran secara tekstual akan semakin tampak biasnya manakala dihadapkan pada ayat-ayat yang lain, yang secara normatif menjelaskan kesejajaran antara laki-laki dan wanita. Oleh karena itu penafsiran terhadap al-Our'an harus berpindah dari pola tekstual ke konstektual dengan tanpa meninggalkan teks. Zaman terus berubah dan berkembang secara dinamis, maka adalah satu keniscayaan jika penafsiran terhadap al-Our'an juga harus dinamis. Dalam kaitan ini, hampir semua ulama sepakat bahwa al-Qur'an selalu terbuka untuk ditafsirkan.

Di lingkungan NU, wacana tentang perempuan memang berkembang cukup subur. Badan-badan otonom NU seperti IPPNU, Fatayat, dan Muslimat hampir seluruhnya menjadikan isu-isu perempuan sebagai program utamanya. Beberapa LSM di lingkungan NU, atau yang dikelola anak-anak muda NU, juga mempunyai perhatian terhadap isu perempuan meskipun kadarnya berbeda-beda. P3M misalnya sepanjang tahun 90-an mempunyai program fiqh perempuan (fiqh al-nisa'), yang kemudian dilanjutkan oleh Rahima, sebuah LSM 'pecahan' P3M dari divisi fiqh al-nisa '. LKiS dalam program 'Belajar Bersama'-nya menjadikan problem gen­der sebagai salah satu bahasannya. Demikian juga Desantara menjadikan 'Kritik Wacana Gender' menjadi bagian dari 'Madrasah Emansipatoris'. Di luar itu, beberapa anak muda NU seperti Syafiq

26 Wawancara dengan Hairussalim, 20 Desember 2002 dan M. Jadul Maula, 23 Desember 2002.

lSTiQRO' Volume02, Nomor01, 2003 221

Posr-T RADISIONALISME IsLAM

Hasyim, Husein Muhammad, Badriyah Fayumi, dan sebagainya jug a mempunyai perhatian khusus terhadap isu-isu perempuan, di samping para aktifis yang lain.

4. Dialog Agama Dialog agama menjadi agenda panting karena kalangan postra melihat

bahwa hubungan antar agama di Indonesia begitu senjang dan tak ubahnya bak bara dalam sekam. Kesenjangan hubungan antara muslim dan non­muslim disebabkan oleh ban yak hal, an tara lain: pertama, pemahaman agama yang tidak toleran. Hal ini disebabkan karena doktrin teologi yang ditanamkan kepada masyarakat adalah teologi yang lebih mengedepankan eksklusifisme yang tertutup. Teologi demikian akan lebih mengedepankan klaim kebenaran (truth claim) dan sulit menerima kebenaran lain di luar agamanya. Kedua, tidak adanya hubungan yang terbuka lintas agama. Meskipun dialog antar agama sudah sering dilakukan, namun jangkauannya masih sangat terbatas, kalau tidak dikatakan elitis. Ketiga, kebijakan politik dan produk hukum yang diskriminatif. Keempat, adanya kelompok yang memang mempunyai kepentingan dengan suasana ketegangan antar pemeluk agama. Dua faktor yang pertama lebih merupakan akibat dari praktik diskursif keagamaan, sedangkan dua yang terakhir merupakan akibat campur tangan kekuasaan dan kepentingan pelakunya.

Di saat yang sama, dialog keagamaan yang dilakukan seringkali bersifat sambillalu sehingga tidak mampu menyentuh persoalan. Dengan demikian, kalangan postra mencanangkan dialog yang mampu menyentuh akar rumput, utamanya pihak-pihak yang berkonflik. Model dialog ini tidak lagi top down melainkan bottom up.

222

6. Islam dan Budaya Lokal Komunitas post-tradisionalis di lingkungan NU menilai bahwa, atas

nama purifikasi dan universalisme agama, telah dijadikan sebagai "dalih" bagi peminggiran dan bahkan penyingkiran terhadap suatu komunitas keislaman t~rtentu melalui penyebutannya sebagai Islam lokal, Islam tradisional, Islam adat, Islam sinkretis dan zindiq serta ban yak lagi sebutan sejenis lainnya. Lebih parah lagi, dalam proses penyingkiran tersebut, tidak diberikan porsi yang cukup kepada apa yang disebut "Islam lokal" atau sebutan sejenis untuk tampil secara utuh dan wajar, melainkan

ISTiQRO' Volume02, Nomor01. 2003

RuMADI, DKK

ia ditampilkan hanya sebagai kumpulan stereotype yang dangkal dan tanpa konteks, lalu tradisi Islam tersebut segera "dimasukkan ke dalam kotak", untuk menjaga "kemurnian" Islam dan "universalisme" Islam. Bahkan, karenanya, ia sering disebut sebagai "bukan" tradisi Islam, melainkan hanya sebagai "penyimpangan­penyimpangan lokal". 27

Peminggiran budaya lokal semacam ini, merupakan sesuatu yang ahistoris dari keberadaan Islam pada zaman Nabi Muhammad. Pada zaman Muhammad, Islam hadir dengan suasana yang dialogis dengan budaya lokal masyarakat Arab, oleh sebab itu ia tidak berdiri sendiri. Terdapat latar sejarah dan konteks sosial masyarakat Arab yang menjadikan Islam berkembang pada zaman itu. Pertautan lokal yang signifikan bagi gerakan Islam pada zaman itu adalah nenek moyang bangsa Arab yaitu Ibrahim dan Ismail menjadi landasan historis bagi Muhammad untuk diterima bangsa Arab dan mengembangkannya.

Islam, sejauh bisa dipahami dari pengalaman Nabi, adalah sebuah gerakan yang membuka dan memberi harapan (antropologi wahyu) kepada semua kelompok-kelompok sosial baik agama, kelas, etnik, dan gender, yang hidup di dalam wilayah sosio-kultural tertentu, untuk meneguhkan identifikasi diri mereka kepada lokalitasnya secara kritis, mengelola perbedaan-perbedaan yang muncul sebagai konsekuensinya (the politics of recognition), dan mengarahkan berbagai kelompok-kelompok yang berbeda tersebut untuk selalu melihat cita-cita yang lebih jauh untuk pemenuhan ketinggian harkat kemanusiaan mereka sendiri. 28

·

Gagasan-gagasan tersebut pada ujungnya ingin menghindari klaim otentisitas sehingga akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya. Penghargaan atas lokalitas diikuti dengan pengakuan keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.

27 M. Jadul Maula, Syari'at (Kebudayaan) Islam: Lokalitas dan Universalitas, makalah untuk modul Belajar Bersama Islam Transformatif dan Toleran, LKiS.

28 M. Jadul Maula, Syari'at (Kebudayaan) Islam.

ISTl.QRO' Volume02, Nomor01, 2003 223

PosT-TRADISIONAUSME IslAM

Kesimpulan Satalah dilakukan panelusuran atas data-data yang diparlukan,

ditamukan bahwa munculnya ganarasi muda NU dangan cakrawala pemikiran baru yang labih prograsif mamang marupakan fenomana yang cukup unik dan manarik. Dikatakan unik dan manarik karana NU yang diklaim sabagai "tradisional" dang an stigma terbalakang, bodoh, jumud dan satarusnya tarnyata di dalamnya ada sakalompok anak muda yang barpikir dan malakukan garakan yang mampu malampaui stigma-stigma tarsabut. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari kaputusan NU kambali ka Khittah 26 pada 1984. Kaputusan tarsabut mampunyai implikasi yang cukup luas tarhadap NU, bukan saja dalam kahidupan politik, tapi juga oriantasi parjuangannya. Jika pra Khittah kabarhasilan perjuangan NU salalu diukur dengan sajauh mana NU mampu malatakkan kadar-kadarnya dalam posisi stratagis pemarintahan, pasca Khittah ukurannya adalah sejauh mana NU berparan dalam membari kontribusi pamikiran-pamikiran altarnatif­progresif dan melakukan pambardayaan rakyat di tengan otoritarianisme orde baru.

224

Perubahan orientasi tersabut tidak dapat dilapaskan dari dua figur yang sangat barpangaruh, yaitu Kiai Achmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid. Maraka bardua marupakan figur panting yang maraprasantasikan seorang pamimpin NU yang peduli dengan parkambangan sosial budaya dan intalaktual daripada sosial-politik. Kebaradaan dua tokoh ini mambari spirit intalaktual di antara ganarasi muda NU. Salah satu kontribusi panting Kiai Achmad Siddiq adalah kabarhasilannya mancairkan katagangan hubungan agama dan nagara katika pamarintah Orba meluncurkan program asas tunggal Panasila. Pada saat yang sama, Abdurrahman Wahid mamainkan paran signifikan sabagai "payung" bagi ganarasi muda NU yang mangambangkan pamikiran-pamikiran prograsif dan mengambangkan tradisi intalaktualisme NU.

Tradisi pamikiran prograsif di kalangan kaum muda NU tersabut belakangan melambaga dalam LSM-LSM yang dikelola anak-anak muda NU. Munculnya tradisi LSM yang mangambangkan program-program dan berorientasi pada pangambangan masyarakat, terutama masyarakat pesantran dangan sagala khasanah dan tradisi pamikiran yang dimiliki, mempunyai dampak signifikan barkembangnya wawasan pemikiran

ISTiQRO' Volume02, Nomor01, 2003

RuMADI, OKK

progresif di kalangan pesantren. Memang, jika dibandingkan dengan jumlah warga NU yang konon sekitar 40 juta orang, kelompok prograsif ini memang jumlahnya sangat kecil, namun karena kepintaran mereka mempublikasikan gagasan baik melalui penulisan buku, artikel pendek, jurnal, dan media massa lainnya, gagasan­gagasan mereka mempunyai gaung yang cukup diperhitungkan.

Kelompok-kelompok kecil inilah yang menyebut dirinya sebagai post-tradisionalisme Islam, yaitu sekelompok anak-anak muda NU yang dengan modal tradisinya melakukan revitalisasi dan tranformasi. Dalam proses revitalisasi dan transformasi tersebut dilakukan dengan melakukan kritisisme atas tradisi, bukan hanya tradisi "orang lain", tapi juga terhadap. tradisinya sendiri. Akibat bersentuhan dengan khasanah keilmuan baru yang selama ini tidak didapatkan di pesantren, mereka menjadikan "ilmu baru" tersebut untuk melakukan pembacaan terhadap khasanah dan tradisi keislaman, terutama yang berkembang di lingkungan NU.

lSTiQRO' Vo/ume02, Nomor01, 2003 225

Posr-TRADISIONAUSME IsLAM

226

Daftar Pustaka

Abd. Rachman, The Pesantren Architects And Their Socio-Religious Teachings (1850-1950), Disertasi UCLA, Los Angeles, 1997 (tidak diterbitkan).

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara, Sejarah

dan Perkembangannya hingga Abad ke-19, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1990.

Affan Ilman Huda, Biografi Mbah Siddiq, Pon-pes al-Fatah, Jember, t.t.

Ali As'ad, K.H.M. Munawir Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, tanpa penerbit, Yohyakarta, 1975.

Andree Feillard, NU vis a vis Negara, Pencarian lsi, Bentuk dan Makna,

LKiS, Yogyakarta, 1999. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di In­donesia, Mizan, Bandung, 1992).

___ , Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan, Rosdakarya, Bandung, 1999.

Chaidar, Manaqib Mbah Maksum, Menara Kudus, Kudus, 1972. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatayu,

Sala, 1985. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, Ox­

ford University Press, Singapore, 1973. Gerbang, No. 12, Vol. V tahun 2002. Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan

Nahdlatul Ulama Negara, LKiS, Yogyakarta, 1997. Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ~ Nahdlatul

Ulama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995. John L Esposito dan John 0 Voll, Makers of Contamporary Islam, Oxford

University Press, Oxford, 2001. Jurnal Taswirul Afkar No. 1 tahun 1997. Jurnal Ulumul Ouran, volume III no. 3 tahun 1992. Karel A Steen brink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia A bad

ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984. Kompas, 9 November 1990. Laporan akhir, "Pendidikan Politik untuk Demokrasi dan Penguatan HAM

bagi Pemimpin Pesantren dan Ormas Islam", Kerjasama P3M-The

ISTiQRO' Volume02, Nomor01, 2003

RuMADI, DKK

Asia Foundation, 1997-1999. M. Jadul Maula, Syari'at (Kebudayaan) Islam: Lokalitas dan

Universalitas, makalah untuk modul Belajar Bersama Islam Transformatif dan Toleran, LKiS.

Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, LKiS, Yogyakarta, 1994.

Martin van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, 1994.

Mohd. Bin Nor Ngah, Kitab Jawi: Islamic Thought of the Malay Muslim Scholars, ISEAS, Singapore, 1983.

Studia Islamika, Vol. 5 No. 2, 1998. ___ , Vol. 4 No. 4, 1997.

Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, PT. Grasindo, Jakarta, 1991. Wawancara dengan Hairussalim, 20 Desember 2002 dan M. Jadul Maula,

23 Des ember 2002. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi ten tang Pandang Hidup Kiai,

LP3ES, Jakarta, 1994.

lSTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003 227