portopolio berbasis konstruksionisme

38
PORTOFOLIO: MODEL PENILAIAN DESAIN BERBASISKAN KONSTRUKTIVISTIK ABSTRAK Lingkungan belajar konstruktivistis terpusat pada apa dan bagaimana orang belajar. Meningkatnya minat terhadap penilaian konstruktivistik tecermin dalam berkembangkan istilah ‘penilaian portofolio’. Portofolio mempunyai sejarah pemakaian di bidang seni dan desain. Aspek kritis penilaian portofolio adalah bahwa evaluasi pebelajar terhadap pekerjaannya adalah sepenting evaluasi yang dilakukan oleh pihak lain. Kata kunci: portofolio, konstruktivistik, penilaian. ABSTRACT Constructivist learning environments are concerned with both what and how one learns. The increasing interest in alternative assessment is reflecteted in the proliferation of term such as portfolio assessment. Portfolios have an honored history of use in fields such as art and design. A Critical, often overlooked, aspect of portfolio assessment is that the student’s evaluation of his/her own work is just as important as the evaluation rendered by others. Keywords: portfolio, constructivist, assessment. PENDAHULUAN Revolusi konstruktivistik menawarkan visi baru tentang pebelajar sebagai pengkonstruksi pemahaman yang aktif serta mengusulkan pembelajaran dan penilaian yang memberikan tekanan pada aktivitas kognitif pebelajar. Duffy dan Jonassen (1992) berpendapat bahwa pengkonstruksian

Upload: sriyandidjoew5174

Post on 18-Jun-2015

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: portopolio berbasis  konstruksionisme

PORTOFOLIO: MODEL PENILAIAN DESAIN BERBASISKAN KONSTRUKTIVISTIK

ABSTRAK

Lingkungan belajar konstruktivistis terpusat pada apa dan bagaimana orang belajar. Meningkatnya minat terhadap penilaian konstruktivistik tecermin dalam berkembangkan istilah‘penilaian portofolio’. Portofolio mempunyai sejarah pemakaian di bidang seni dan desain. Aspek kritis penilaian portofolio adalah bahwa evaluasi pebelajar terhadap pekerjaannya adalah sepenting evaluasi yang dilakukan oleh pihak lain.

Kata kunci: portofolio, konstruktivistik, penilaian.

ABSTRACT

Constructivist learning environments are concerned with both what and how one learns. The increasing interest in alternative assessment is reflecteted in the proliferation of term such as portfolio assessment. Portfolios have an honored history of use in fields such as art and design. A Critical, often overlooked, aspect of portfolio assessment is that the student’s evaluation of his/her own work is just as important as the evaluation rendered by others.

Keywords: portfolio, constructivist, assessment.

PENDAHULUAN

Revolusi konstruktivistik menawarkan visi baru tentang pebelajar sebagai

pengkonstruksi pemahaman yang aktif serta mengusulkan pembelajaran dan penilaian

yang memberikan tekanan pada aktivitas kognitif pebelajar. Duffy dan Jonassen (1992)

berpendapat bahwa pengkonstruksian pengetahuan merupakan proses desain yang

difasilitasi pada saat mahasiswa secara aktif mendesain pengetahuan. Mahasiswa menjadi

desainer pengetahuan ketika ia memfokuskan pada tujuan untuk membangun

pengetahuan, struktur yang mendasarinya, mengembangkan model, serta menggunakan

Page 2: portopolio berbasis  konstruksionisme

argumen-argumen yang diperlukan oleh masalah pokok bagi penyesuaian desainnya.

Dengan demikian, seperti yang ditegaskan oleh Jonassen dkk. (1996), memproduksi

pengetahuan lewat aktivitas pembelajaran dan penilaian merupakan bentuk yang paling

komplit dan memberdayakan konstruktivisme. Dengan mengkonstruksi mahasiswa akan

memperoleh pengetahuan yang serba lebih; sebaliknya, jika pembelajaran hanya

didudukkan sebagai kontainer pencurahan pengetahuan, mahasiswa akan memperoleh

pengetahuan yang statis dan ‘kering’. Jika pembelajaran desain merupakan proses

pengkonstruksian pengetahuan, maka penilaian desain mestinya didesain agar mampu

mengoptimalisasikan serta merefleksikan interaksi antara mahasiswa dengan pengalaman

belajar yang yang dikonstruksinya itu.

Konstruktivisme berpendapat bahwa dalam belajar sangat mungkin siswa

memanfaatkan pengetahuan yang sebelumnya telah dipelajarinya, meskipun sebelumnya

hal itu belum pernah terungkapkan, dalam mengkonstruksi skema-skema mereka

(Pranata, 2003b; Brooks & Brooks, 1993; Jonassen dkk., 1996). Pengetahuan yang

dikonstruksi tersebut tergantung atas informasi yang diketahui, jenis pengalaman belajar

yang dilalui, serta bagaimana informasi dan pengalaman itu diorganisasikan ke dalam

struktur pengetahuan. Implikasinya, penilaian dan pembelajaran merupakan dua aktivitas

yang tidak dapat dipisahkan. Di kelas-kelas desain yang berbasis konstruktivistik

penilaian portofolio dipandang sebagai kegiatan yang terintrgrasi dengan proses

pembelajaran. Sementara itu, di kelas-kelas desain tradisional penilaian portofolio

dipandang sebagai kegiatan yang terpisah dari proses pembelajaran. Sebenarnya,

penggunaan portofolio pada kelas-kelas desain tradisional tersebut tak dapat dipisahkan

dari sejarah panjang penggunaan portofolio dalam pendidikan seni dan desain.

PORTOFOLIO: LATAR KESEJARAHAN

Dalam tradisi desain, portofolio adalah sebuah koleksi yang berisi karya-karya

yang didesain untuk dikomunikasikan dalam berbagai macam cara untuk mengikhtisarkan

kemampuan diri sang penciptanya. Sebenarnya, para profesional di bidang seni dan

desain telah lama menggunakan portofolio sebelum model ini digunakan di bidang

pendidikan (periksa Knight, 1994). Para pelukis dan desainer menggunakan portofolio

untuk menunjukkan karya-karya terbaik mereka bagi berbagai macam tujuan: untuk

Page 3: portopolio berbasis  konstruksionisme

mempromosikan karya-karya mereka pada perusahaan-perusahaan yang potensial ketika

akan mengajukan permohonan mengenai bantuan keuangan, mengajukan lamaran

pekerjaan, atau untuk mendapatkan persetujuan dari galeri-galeri yang akan menampilkan

karya-karya mereka.

Di kalangan desainer, istilah portofolio bukanlah merupakan hal yang baru. Dari

sekian banyak karya yang pernah dirancangnya, desainer memilih beberapa karya terbaik

sebagai bahan portofolio. Seperti halnya pelukis, bagi desainer portofolio merupakan

bukti kumpulan rekaman karya terbaiknya. Seperti diketahui, profesionalitas seorang

desainer diukur dari karya-karya desain monumental yang pernah dirancangnya;

kesenimanan seorang pelukis biasanya diukur dari karya-karya lukisan terbaik yang

pernah diciptakannya. Karya-karya terbaik itu, yang merupakan representasi kualitas

keprofesian penciptanya, biasanya direkam sebagai bukti diri profesionalitas atau

curriculum vitae. Di bidang desain, kumpulan dan atau rekaman karya terbaik itu

kerapkali digunakan oleh desainer untuk mempromosikan karyanya kepada calon klien

atau ditunjukkan kepada agency ketika ia melamar pekerjaan.

Sebagai media promosi, portofolio terdiri atas portofolio individual dan portofolio

kelompok. Portofolio individual berisi kumpulan karya-karya terbaik seorang desainer

untuk memperkenalkan dan mempromosikan dirinya secara individual. Portofolio

kelompok berisi kumpulan karya-karya terbaik suatu kelompok desain untuk

memperkenalkan dan mempromosikan hasil karya terbaik sekelompok desainer kepada

klien atau sesuatu galeri.

Untuk meyakinkan klien, portofolio biasanya dikemas dengan rapi dan menarik.

Hal ini penting karena kemasan sebuah portofolio menunjukkan tingkat apresiasi,

kepekaan estetik, dan kompetensi desainer di bidangnya . Bila pada masa lalu portofolio

umumnya berupa map arsip, dibendel dalam bentuk buku, atau tas khusus dengan

kantong plastik tempat menyimpan lembaran rekaman karya, maka pada masa sekarang

portofolio mulai banyak yang dikemas secara digital misalnya dalam disket komputer,

CD-ROM, dikirim atau dipublikasikan lewat jaringan web.

Jenis karya yang disertakan dalam portofolio beragam. Isi karya dalam portofolio

yang difungsikan sebagai media promosi bisa berbeda dengan isi karya dalam portofolio

yang digunakan untuk melamar sesuatu pekerjaan. Portofolio seorang desainer pemula

Page 4: portopolio berbasis  konstruksionisme

yang akan melamar pekerjaan kepada sesuatu agency, misalnya, biasanya berisi karya-

karya yang menonjolkan aspek variasi kemampuan teknik, media, dan kreativitasnya

dalam memecahkan masalah-masalah desain. Sebagai pelamar pekerjaan, wajar jika

desainer memaparkan ragam potensi dan keahliannya tersebut. Untuk itu, selain berisi

karya-karya jadi, biasanya disertakan pula karya-karya sketsa atau draft rancangan yang

menggambarkan proses kerja perancangan suatu karya atau bagaimana ide dari sang

desainer berkembang. Sementara itu, portofolio kelompok biasanya berisi ragam karya

yang telah dihasilkan oleh kelompok tersebut. Karya-karya selektif tersebut, selain

menonjolkan aspek-aspek desain, biasanya juga mengedepankan ‘nama besar’ klien-klien

yang telah ditanganinya. Pertimbangan utama dalam memilih karya untuk diikutkan

dalam portofolio biasanya berkaitan erat dengan maksud dan kepada siapa portfolio

tersebut akan ditunjukkan. Apapun fungsi dan bentuknya, sebuah portfolio diharapkan

dapat menggambarkan potensi diri dari pemiliknya. Apapun isinya, penilaian terhadap

portofolio menjadi ‘hak’ klien, pengusaha, perorangan atau lembaga, kemana portofolio

tersebut diajukan.

PORTOFOLIO DI KELAS DESAIN

Penggunaan portofolio untuk kepentingan akademik sudah lama diaplikasikan di

kelas-kelas seni dan desain. Menurut konteks pembelajaran, portofolio didefinisikan

sebagai kumpulan koleksi dari pekerjaan-pekerjaan peserta didik yang menggambarkan

perkembangan belajarnya dalam jangka waktu tertentu. Portofolio-portofolio hasil studi

biasanya dikemas dalam suatu media yang konvensional dan umum seperti dalam bentuk

buku dan map-map yang berisi karya-karya mahasiswa serta catatan-catatan ringkas

mengenai konsep, jurnal, atau komentar mahasiswa mengenai karya-karya buatannya

tersebut.

Dalam beberapa tahun belakangan ini portofolio hasil studi telah dikemas dalam

media digital seperti disket komputer dan CD dimana para mahasiswa dapat menyimpan

tugas-tugas mereka. Portofolio tersebut berisi berbagai koleksi dokumen produk

perkuliahan yang dikerjakan oleh mahasiswa yang bersangkutan. Suatu portofolio dapat

berisi sketsa-sketsa, gambar-gambar ilustrasi, gambar-gambar rancangan, slide, esai foto,

poster, animasi, atau rekaman-rekaman video seperti maket dan presentasi. Selain itu,

Page 5: portopolio berbasis  konstruksionisme

disertakan pula data lain seperti sketsa-sketsa dan catatan-catatan penting yang melatari

terciptanya karya terbaik itu. Penggunaan computer workstations seperti kartu-kartu

digital, video-audio, printer, scanner, dan kamera-kamera digital telah memudahkan

mahasiswa untuk mampu memproduksi portofolio elektronik dan digital. Portofolio

elektronik dan digital tersebut merupakan pengorganisasian, perancangan, dan penyajian

portofolio tradisional secara elektronik. Ia merupakan teknik untuk menilai pembelajaran

siswa yang memanfaatkan teknologi maju. Menurut Campbell (1990), penggunaan

portofolio elektronik telah memudahkan pengembangan proses belajar dan pengukuran

hasil belajar mahasiswa seperti halnya dalam portofolio tradisional.

Portofolio berbasiskan web memiliki faedah melebihi portofolio tradisional dalam

caranya untuk mengkreasi dan menggunakannya. Pertama, portofolio ini dapat meluaskan

ukuran audiens; online portofolio dapat dibuka oleh audiens di mana pun ia berada.

Menurut pengalaman, para mahasiswa cenderung lebih cocok jika dimotivasi dengan

audiens yang lebih luas. Foto-foto, video klips, rekaman audio, animasi, gambar-gambar,

ragam typografi, serta hyperteks memudahkan mahasiswa untuk mengkreasi portofolio

secara lebih menyenangkan dan menarik. Para mahasiswa dapat berkesempatan untuk

mengkreasi dan memamerkan minat dan hobi mereka kepada banyak jenis dan tingkat

kalangan masyarakat. Portofolio berbasiskan elektronik ini mudah untuk diedit dan

dimodifikasi setiap saat.

Menjelang penghujung masa akhir perkuliahan biasanya portofolio-portofolio itu

dikumpulkan untuk dinilai oleh dosen. Dalam hal ini portofolio cenderung hanya

dipandang sebagai produk, bukan proses, yang merepresentasikan kemampuan

mahasiswa dalam menempuh sesuatu matakuliah tertentu. Tak jarang portofolio hanya

diperlakukan sebagai setumpuk hasil karya mahasiswa, tanpa input partnership dengan

mahasiswa sebagai pekarya yang ‘memiliki’ bangunan pengalaman belajar yang spesifik

itu. Penyusunan dan penggunaan portofolio untuk menilai kemampuan mahasiswa

bergantung atas cara pandang dosen tentang belajar dan pembelajaran yang dianutnya.

Penggunaan portofolio dalam kegiatan penilaian di kelas-kelas seni dan desain

pada awalnya dilakukan oleh kalangan seniman dan praktisi desain yang kebetulan

menjadi dosen pada perguruan tinggi seni, utamanya seni lukis. Tradisi ini kemudian

diikuti oleh para akademisi desain di kelas-kelas desain seperti arsitektur, desain interior,

Page 6: portopolio berbasis  konstruksionisme

desain grafis, desain produk, dan desain komunikasi visual. Oleh kalangan akademisi

desain (baca: dosen program studi desain) portofolio lebih banyak digunakan sebagai

bentuk penilaian dalam proses pembelajaran, khususnya pada mata-mata kuliah studio.

Di kelas-kelas desain berbasiskan behaviorisme, yang menerapkan model

hubungan ‘ahli’ dan ‘non-ahli’ secara kaku, model penilaian ini berbentuk pemberian

skor dan umpan-balik kepada mahasiswa dalam rangka pengembangan karya-karyanya

(Holt, 1997). Dalam penilaian tersebut, selain memberikan skor terhadap karya, dosen

memberikan komentar lisan maupun catatan tertulis mengenai karya-karya yang dibuat

mahasiswa. Karena mahasiswa dipandang sebagai ‘non-ahli’ maka ia dipandang tak

memiliki keahlian dan kewenangan dalam memberikan penilaian; tegasnya, penilaian

sepenuhnya merupakan otoritas dosen. Dalam penilaian itu kemampuan mahasiswa

diukur dari portofolio sebagai karya; portofolio hanya merepresentasikan hasil dan bukan

rekaman proses belajar mahasiswa. Pada kelas-kelas desain yang menggunakan

pendekatan behavioristik, penilaian dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan

pembelajaran; penilaian biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar dengan

penekanan pada penilaian individual.

PENILAIAN: CARA PANDANG YANG BERBEDA

Portofolio menduduki posisi sentral dalam aktivitas penilaian desain. Dalam

konteks penilaian desain, perbedaan cara pandang terhadap konsep belajar dan

pembelajaran desain mempengaruhi bagaimana portofolio dibuat dan diperlakukan.

Penilaian yang berbasiskan pada pandangan behavioristik memandang bahwa portofolio

merupakan produk pembelajaran yang secara absolut mencerminkan kemampuan

pebelajar. Dalam proses, penilaian portofolio hanya dinilai oleh dosen yang bersangkutan

atau pihak-pihak relevan lainnya yang dipandang memiliki kewenangan atau kematangan

dalam penilaian. Sementara itu, mahasiswa, yang diposisikan sebagai ‘non-ahli’,

dipandang belum memiliki hak dan kemampuan dalam pengambilan keputusan pada

proses penilaian itu.

Di kalangan profesi desain portofolio bukanlah merupakan hal yang baru; namun,

perspektif teoritik penilaian portofolio merupakan hal yang baru (Knight, 1994).

Landasan teoritik model penilaian portofolio ialah teori konstruktivistik , suatu pendekatan

Page 7: portopolio berbasis  konstruksionisme

pembelajaran yang populer setelah tahun 1990-an (Burton, Moore, dan Kagliaro, 1996).

Teori konstruktivistik memiliki pandangan yang berbeda dengan teori behavioristik

tentang belajar dan pembelajaran. Teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan

adalah objektif, pasti, dan tetap--tidak berubah. Dalam wujudnya, pengetahuan berupa

fakta-fakta, konsep-konsep, dan kaidah-kaidah yang siap untuk diambil dan dimiliki.

Karena pengetahuan bersifat tetap maka ia bisa ditransfer dari seseorang yang ‘ahli’

kepada seseorang yang ‘tidak ahli’. Selain itu, pengetahuan bisa diwariskan secara turun-

temurun lewat pembelajaran yang diatur secara ketat dan terstruktur. Behavioristik

memandang bahwa belajar merupakan proses pengubahan perilaku dan mengajar adalah

proses menanamkan pengetahuan dan keterampilan kepada si-belajar. Esensi dari teori

behavioristik adalah ide bahwa mahasiswa harus dikondisi untuk menerima curahan

pengetahuan. Jadi, ukuran keberhasilan belajar dan pembelajaran terletak pada seberapa

banyak materi pembelajaran telah diserap dan disimpan oleh pebelajar. Dengan dasar itu,

pembelajaran dikemas berdasarkan desain ‘stimulus-respon’ yang memungkinkan

pebelajar dapat menyerap materi sebanyak-banyaknya. Dalam proses pembelajaran,

mahasiswa secara pasif menerima curahan pengetahuan dari dosen; dosen menjadi pusat

kegiatan, bukan mahasiswa sebagai pusat kegiatan.

Landasan berpikir behavioristik berfokus pada hasil pembelajaran. Bagi kaum

behavioris tujuan pembelajaran ditekankan pada upaya penambahan pengetahuan.

Karena itu, aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada ‘pengetahuan yang sudah ada’

dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali pengetahuan tersebut;

pembelajaran dan penilaian ditekankan pada hasil pengetahuan sebanyak-banyaknya

yang bisa diserap mahasiswa.

Cara pandang dalam hal belajar dan pembelajaran desain ini berdampak pula pada

model penilaian desain. Penilaian yang menggunakan landasan behavioristik

menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan

paper and pencil test. Penilaian yang behavioristik cenderung menuntut satu jawaban

yang benar serta jawaban yang mengindikasikan bahwa mahasiswa telah menyelesaikan

tugas belajar yang telah ditetapkan batas-batasnya. Karena pengetahuan bersifat tetap,

penilaian lebih berorientasi pada pemerolehan hasil pengetahuan, dan yang dinilai adalah

kemampuan mahasiswa dalam menyerap pengetahuan tersebut, maka mahasiswa tidak

dilibatkan dalam keputusan pemberian nilai.

Dalam konteks penilaian desain, perbedaan cara pandang terhadap konsep belajar

dan pembelajaran desain mempengaruhi bagaimana penilaian terhadap hasil belajar

Page 8: portopolio berbasis  konstruksionisme

desain dirancang dan dilaksanakan. Selama ini, penilaian terhadap karya desain terfokus

pada penilaian terhadap portofolio dan sering dipandang sebagai kegiatan yang terpisah

dari pembelajaran (bandingkan Holt, 1997). Penilaian dengan konsep tradisional ini

berdasarkan pandangan instruksionisme yang mendudukkan siswa sebagai penerima yang

pasif terhadap informasi dan pengetahuan yang ditanamkan (oleh dosen dan atau buku

teks) kepadanya. Pendukung instruksionisme cenderung memandang bahwa

pembelajaran merupakan masalah ‘teknis’, bukan masalah ‘keilmuan’; dalam hal ini

pembelajaran, dari segi dosen, dipandang sebagai ‘pencurahan pengetahuan’, dari segi

mahasiswa, hanya dipandang sebagai peristiwa ‘mengalami’ informasi, transfer informasi

(bandingkan Duchastel, 1999; Meyrs, 1999). Sebenarnya, ketika pembelajaran desain

hanya dipandang sebagai masalah pencurahan informasi seperti itu maka dalam

pembelajaran tersebut mahasiswa tak lebih dari penerima pesan yang pasif. Jika

pembelajaran mengabaikan akses kognitif mahasiswa maka dalam kegiatan penilaian

mahasiswa tidak memiliki input partnership intelektual dengan materi dan proses

penilaian yang bersangkutan. Tegasnya, penilaian merupakan kegiatan yang ‘terpisah’

dari potensi dan kebutuhan belajar mahasiswa yang semestinya.

Menurut pandangan yang berbasiskan pada instruksionisme, misalnya

behaviorisme, secara teoritik pembelajaran dan penilaian desain seharusnya dirancang

dan diaplikasikan secara sangat terstruktur. Hal ini dilatari oleh azas stimulus-respon

yang menyatakan bahwa untuk mencapai suatu sasaran perilaku (prestasi) tertentu

pembelajaran (dan penilaian) perlu ‘dibatasi’ dengan apa saja agar sasaran tersebut dapat

tercapai (bandingkan Burton, Moore, & Kagliaro, 1996). Jenis pembelajaran dan

penilaian tipe ini menerapkan konsep pengajaran sponge dan banking yang menempatkan

mahasiswa sebagai penyerap dan penimbun informasi yang diberikan sampai adanya

penilaian yaitu saat timbunan informasi yang diberikan itu diperas. Jadi, dalam

pembelajaran bertipe instruksionisme ini penilaian lebih diarahkan pada penguasaan

menyerap dan mengingat sebanyak-banyaknya informasi yang diberikan.

PENILAIAN PORTOFOLIO: PANDANGAN KONSTRUKTIVISTIK

Tantangan pendidikan desain dalam menghadapi masa depan adalah

mempersiapkan para mahasiswa desain untuk hidup dan berkarier secara profesional

Page 9: portopolio berbasis  konstruksionisme

dalam sebuah dunia yang terus berubah (bandingkan Cross, 1984). Oleh karena itu,

program-program pendidikan desain tak cukup hanya membantu para mahasiswanya

untuk menguasai seperangkat keterampilan, apalagi teknis, melainkan mengembangkan

pemahaman yang lebih baik terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan

aspirasi-aspirasi mereka dalam profesi desain dan masyarakat, serta menyediakan sebuah

proses untuk mencapai perkembangan kompetensi dan kesadaran yang berkelanjutan bagi

mereka (Pranata, 2003b). Untuk itu, para mahasiswa dituntut membelajarkan dan

memahami dirinya sendiri dan pengalaman-pengalaman batinnya sebelum ia mampu

membandingkan posisi dan perspektifnya dengan orang lain di sekitarnya (Owen, 1990;

Verma, 1997). Melalui proses rekonstruksi secara terus-menerus serta keterbukaan diri

tersebut mahasiswa belajar membangun kompetensi untuk berhubungan secara lebih

dekat dengan pengalaman batinnya dan orang lain. Penelitian terbaru menemukan,

kemampuan mengelola diri dan membangun hubungan dengan orang lain memberikan

kontribusi terbesar bagi suatu kesuksesan (Goleman, 2002).

Dalam konteks pembelajaran desain, realita baru ini menuntut adanya rekonstruksi

metode-metode belajar dan pembelajaran desain yang telah ada dan mengubahnya

menjadi 'sebuah proses belajar untuk belajar' dalam suatu lingkungan belajar yang

terbuka dan berorientasi pada tindakan, serta berdasarkan pada keterbukaan diri,

kerjasama, dan pembelajaran dari pengalaman nyata.

Pada hakikatnya, pengetahuan dikonstruksi dari tanggapan terhadap

pertanyaan-pertanyaan, pengetahuan baru dikonstruksi dari pengajuan pertanyaan-

pertanyaan baru; cukup sering pertanyaan-pertanyaan baru yang diajukan adalah

mengenai pertanyaan-pertanyaan lama. Pengkonstruksian pengetahuan itu secara

sederhana dapat digambarkan berikut. Pada saat peserta didik telah belajar bagaimana

caranya untuk mengajukan pertanyaan, pertanyaan yang relevan dan tepat serta penting,

ia telah belajar bagaimana caranya untuk belajar dan tidak ada seorang pun yang mampu

untuk menghalanginya untuk belajar apa pun yang ia inginkan atau butuhkan untuk

mengetahuinya (bandingkan Stolterman, 1994). Apabila pengajuan pertanyaan bukanlah

suatu kegiatan yang tidak menghasilkan ataupun kegiatan yang sudah menjadi rutinitas,

maka kegiatan tersebut mestinya mampu menghadapi masalah-masalah yang dipahami

sebagai sesuatu yang berguna dan nyata oleh para pebelajar. Singkatnya, tidak ada proses

Page 10: portopolio berbasis  konstruksionisme

72 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

pembelajaran tanpa adanya seorang pebelajar yang mengkonstruksi pengetahuan, dan

tidak ada makna tanpa adanya seorang pembuat makna. Agar dapat bertahan hidup dalam

sebuah dunia yang terus berubah secara cepat, tidak ada lagi yang lebih berarti untuk

diketahui selain proses berkelanjutan bagaimana caranya untuk mengkonstruksi makna-

makna.

Metafora mengenai pengkonstruksi makna-makna tersebut menempatkan para

mahasiswa desain pada titik pusat dari proses pembelajaran. Metafora tersebut

menjadikan pluralisme makna sebagai sesuatu yang mungkin dan dapat diterima, karena

pembelajaran konstruktivisme ada tidak hanya untuk mempermasalahkan makna-makna

yang telah dibakukan tetapi lebih untuk membantu para mahasiswa mengembangkan dan

memperbaiki kemampuan unik mereka dalam menciptakan makna-makna baru. Hal ini

merupakan dasar dan proses pembelajaran tentang bagaimana caranya untuk belajar,

bagaimana caranya untuk menghadapi 'keadaan tanpa makna', bagaimana caranya untuk

menghadapi perubahan yang menuntut adanya penciptaan makna-makna baru.

Pada kelas desain, pendekatan pembelajaran ini tak cuma menekankan pada aspek

keterampilan psikomotorik, lebih-lebih pada perkembangan afektif maupun

perkembangan kognitif, pemrosesan nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan

pengklarifikasian nilai-nilai (bandingkan Daley, 1994). Dasar dari pendekatan

pembelajaran ini ialah keyakinan bahwa kecuali suatu pembelajaran dipahami sebagai

sesuatu yang relevan oleh para pebelajar, tidak akan terjadi suatu pembelajaran yang

bermakna. Tidak seorang pun yang akan belajar sesuatu yang tidak ia ingini untuk

dipelajari; belajar hanya terjadi jika pebelajar bersedia untuk belajar (Brooks & Brooks,

1993). Bagi pendidikan desain, hal ini berarti menciptakan sebuah lingkungan yang

memberikan prioritas tertinggi yang mungkin bagi perilaku belajar dan pembelajaran. Ini

merupakan sebuah lingkungan di mana mahasiswa merupakan pusat dan subjek dalam

belajar dan pembelajaran; sementara itu, nilai-nilai adalah titik-tolak segala

perkembangan sikap-sikap, pilihan-pilihan, kecukupan diri, keterbukaan pikiran,

fleksibilitas, kemampuan mengkonstruksi, dan kondisi yang penuh dengan

sumber-sumber belajar. Pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan desain

mengintegrasikan teori pemrosesan nilai dan teknik pemecahan masalah untuk

menciptakan metode pembelajaran yang menekankan pengkonstruksian pengetahuan dan

Page 11: portopolio berbasis  konstruksionisme

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 73http://puslit.petra.ac.id/journals/design/

aktivitas pembelajaran yang berpusat pada para mahasiswa. Metode ini memiliki ciri

'saya memberikan apa yang mareka mau’; metode pembelajaran ini berpusat pada

pebelajar serta peduli dengan fakta nyata yang ada di lapangan dan di tengah

masyarakatnya.

Kebutuhan untuk pemrosesan nilai-nilai dalam ‘belajar membelajarkan diri sendiri’

memerlukan waktu yang relatif lama. Menurut Qualye (1990), seorang dosen sedikitnya

mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang dibutuhkan mahasiswa: fakta,

konsep, metode, rumus, kemampuan, teknik, formula, pendekatan, pemahaman,

keterampilan berpikir, serta nilai. Fakta-fakta dan rumus-rumus akan hilang dan harus

diganti, kemampuan-kemampuan dan teknik- teknik menjadi kuno atau berubah dalam

praktiknya. Beberapa pendekatan, konsep, dan pemahaman diubah oleh

pengalaman-pengalaman hidup, tetapi di sisi lain memberi pengaruh pada pikiran dan

hidup. Nilai-nilai dan keterampilan pemecahan masalah yang konstruktif itulah yang

bertahan lama. Karena itu, pembelajaran desain dengan berasaskan pada kemampuan

pengkonstruksian nilai-nilai dan pengetahuan yang berbasiskan keterampilan berpikir

konstruktif secara berkelanjutan merupakan tantangan riil pendidikan desain yang

sebenarnya. Pendekatan konstruktivistik memberdayakan peserta didik dalam

menghadapi masa depan untuk berkarier secara profesional dalam sebuah dunia yang

terus berubah (Pranata, 2003b).

MODEL PENILAIAN PORTOFOLIO

Tujuan terpenting dari pembelajaran desain menurut pandangan konstruktivisme

ialah mengembangkan kemampuan mental yang memungkinkan pebelajar dapat belajar

dengan caranya sendiri apa yang sedang dipelajarinya. Pendekatan ini bertolak dari

keyakinan bahwa kemampuan mental yang produktif dapat terbangun secara optimal

hanya apabila yang bersangkutan mendapatkan kebebasan yang cukup untuk bertindak

secara mandiri tanpa dikekang oleh aturan-aturan yang tak ada kaitannya dengan belajar.

Berkaitan dengan hal itu, dalam hal penilaian pembelajaran konstruktivisme lebih

menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan

terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata. Penilaian

konstruktivistik lebih mengedepankan pemahaman mendalam daripada pemahaman yang

berdifat hafalan.

Page 12: portopolio berbasis  konstruksionisme

74 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

Konstruktivistik memandang bahwa penilaian merupakan bagian utuh dari belajar,

untuk itu pembelajaran dilaksanakan dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut

aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks

nyata (periksa Reeves & Okey, 1996). Dalam hal ini, penilaian dikondisi untuk

mengarahkan dan menggali munculnya kemampuan kreatif, pendayagunaan kecerdasan

majemuk, serta pemecahan masalah secara kompleks. Karena belajar adalah interaksi

kompleks dengan konteks yang nyata maka penilaian juga menekankan pada

keterampilan proses dalam kelompok. Salah satu model penilaian yang sejalan dengan

prinsip-prinsip tersebut ialah model penilaian portofolio.

Di kalangan profesi desain portofolio bukanlah merupakan hal yang baru; namun,

perspektif teoritik penilaian portofolio merupakan hal yang baru. Landasan teoritik model

penilaian portofolio ialah teori konstruktivistik , suatu pendekatan pembelajaran yang

populer setelah tahun 1990-an (Reeves & Okey, 1996; Burton, Moore, dan Kagliaro,

1996). Teori konstruktivistik memiliki pandangan yang berbeda dengan teori

behavioristik tentang belajar dan pembelajaran. Teori behavioristik memandang bahwa

pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap--tidak berubah. Sebaliknya, teori

konstruktivistik memandang bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi

sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak se-

konyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah

yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan

memberi makna melalui pengalaman nyata. Karena itu, menurut teori konstruktivistik,

pengetahuan adalah non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu

(Brooks & Brooks, 1993). Belajar merupakan penyusunan pengetahuan dari pengalaman

konkrit, aktivitas kolaboratif, serta refleksi dan interpretasi (Dede, 1996); mengajar

adalah menata lingkungan agar mahasiswa termotivasi dalam menggali makna serta

menghargai ketidakmenentuan. Untuk itu, mahasiswa perlu dibiasakan untuk

memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut

dengan ide-ide. Dosen tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada

mahasiswa. Karena itu, mahasiswa dikondisi agar mampu mengkonstruksikan

pengetahuannya sendiri. Esensi dari teori konstruktivistik adalah ide bahwa mahasiswa

harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan

Page 13: portopolio berbasis  konstruksionisme

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 75http://puslit.petra.ac.id/journals/design/

apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu,

pembelajaran mestinya dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi' bukan 'menerima'

pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa membangun sendiri pengetahuan

mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Mahasiswa menjadi

pusat kegiatan, bukan dosen sebagai pusat kegiatan.

Landasan berpikir konstruktivisme berbeda dengan pandangan kaum behavioris ,

yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Bagi kaum behavioris tujuan

pembelajaran ditekankan pada upaya penambahan pengetahuan. Karena itu, aktivitas

belajar lebih banyak didasarkan pada ‘pengetahuan yang sudah ada’ dengan penekanan

pada keterampilan mengungkapkan kembali pengetahuan tersebut; pembelajaran dan

penilaian ditekankan pada hasil pengetahuan sebanyak-banyaknya yang bisa diserap

mahasiswa. Sementara itu, dalam pandangan konstruktivis, 'strategi memperoleh' lebih

diutamakan dibandingkan seberapa banyak mahasiswa memperoleh dan mengingat

pengetahuan. Untuk itu, dalam pembelajaran yang berbasiskan konstruktivistik, tugas

dosen adalah menfasilitasi proses pembelajaran dengan (a) menjadikan pengetahuan

bermakna dan relevan bagi mahasiswa, (b) memberikan kesempatan kepada mahasiswa

untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (c) mengkondisikan mahasiswa

agar mereka menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang

semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut

Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak -kotak yang

masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sama bagi

beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan

dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak

(struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan

dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi atau akomodasi. Melalui asimilasi

struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang

sudah ada. Melalui akomodasi struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk

menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.

Perbedaan pandangan antara kedua kubu tersebut di atas berdampak pula pada

model penilaian pembelajaran. Penilaian yang menggunakan landasan behavioristik

Page 14: portopolio berbasis  konstruksionisme

76 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan

paper and pencil test. Penilaian yang behavioristik cenderung menuntut satu jawaban

yang benar serta jawaban yang mengindikasikan bahwa mahasiswa telah menyelesaikan

tugas belajar yang telah ditetapkan batas-batasnya. Karena pengetahuan bersifat tetap,

penilaian lebih berorientasi pada pemerolehan hasil pengetahuan, dan yang dinilai adalah

kemampuan mahasiswa dalam menyerap pengetahuan tersebut, maka mahasiswa tidak

dilibatkan dalam keputusan pemberian nilai.

Penilaian yang menggunakan landasan konstruktivisme menekankan pada

penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintergrasi, dengan

menggunakan masalah dalam konteks nyata. Penilaian merupakan bagian utuh dari

belajar, dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut kegiatan belajar yang

bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Penilaian ini lebih

menekankan pada keterampilan proses. Karena pengetahuan dibangun oleh mahasiswa

dengan dan melalui proses pemberian makna secara unik dan spesifik, bukan diterima

begitu saja secara instant, maka penilaian dilakukan dengan mengindahkan mahasiswa

sebagai subjek belajar dan pembelajaran. Model penilaian portofolio memberikan ruang

yang luas untuk penerapan prinsip-prinsip penilaian yang berbasiskan teori

konstruktivistik.

Sementara itu, pada kelas-kelas desain yang menerapkan konstruktivistik,

penilaian merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang

menuntut aktivitas belajar bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks

nyata. Selain itu, penilaian menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok dan

melibatkan mahasiswa. Pelibatan mahasiswa dalam penilaian tersebut merupakan bentuk

pemberdayaan dan pengakuan terhadap mahasiswa sebagai subjek belajar serta

pengkonstruksi karya. Dalam praktiknya, portofolio dimanfaatkan pada penilaian yang

berbasiskan behavioristik maupun konstruktivistik.

Menurut paradigma konstruktivistik penilaian portofolio dipandang sebagai bagian

yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran. Implikasinya, penilaian portofolio adalah

penilaian yang dilakukan terhadap karya dan proses penciptaan dari kumpulan karya

terbaik mahasiswa yang dikerjakannya dalam kurun waktu tertentu. Dalam kegiatan

tersebut penilaian terhadap proses dilakukan melalui penilaian formatif, penilaian

terhadap hasil dilakukan melalui penilaian sumatif.

Page 15: portopolio berbasis  konstruksionisme

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 77http://puslit.petra.ac.id/journals/design/

Agar penilaian terhadap proses dan hasil belajar mahasiswa konsisten dengan

semangat konstruktivisme maka pada awal perkuliahan perlu diinformasikan secara jelas

karakteristik portofolio yang diharapkan setelah mahasiswa menyelesaikan program

perkuliahan. Isi informasi meliputi deskripsi tujuan dan indikator atau rambu-rambu

pencapaian tujuan untuk setiap tugas, tema dan jadwal waktu penyelesaian setiap tugas,

format dan jumlah karya untuk setiap tugas, serta cakupan karya yang disertakan dalam

portofolio. Seperti diketahui, beberapa keterampilan dan teknik yang beragam dibutuhkan

untuk menghasilkan sebuah portofolio yang efektif. Untuk itu, sebaiknya disajikan

beberapa contoh model penyusunan portofolio pada awal pemebelajaran; contoh tersebut

akan memacu peserta kuliah untuk mengembangkan portofolio yang baik. Penyeleksian

dan pengkonstruksian contoh portofolio hendaknya melibatkan para mahasiswa; dari

keterlibatan tersebut dapat diidentifikasi refleksi keberadaan diri mereka.

Penilaian formatif berlangsung pada saat terjadinya proses pembelajaran. Penilaian

ini bertujuan untuk memberikan balikan kepada mahasiswa dalam rangka pengembangan

portofolionya. Fokus pengamatan dalam tahap penilaian ini adalah apakah mahasiswa

telah belajar secara maksimal dan efisien. Bila hasil pengamatan menunjukkan gejala

positif, maka kegiatan pembelajaran dapat terus dilangsungkan, namun bila sebaliknya

maka kegiatan pembelajaran mungkin perlu dimodifikasi. Pada penilaian formatif ini,

mahasiswa diberi informasi mengenai kemajuan yang telah dicapainya serta dimotivasi

agar lebih bergairah dalam kegiatan belajar pada tahapan selanjutnya. Frekuensi

penilaian dilakukan sesuai dengan kapasitas projek yang dikerjakan.

Tahap penilaian formatif sejalan dengan langkah-langkah pemecahan masalah

(estetik maupun fungsional) yang dilakukan mahasiswa. Biasanya proses ini terdiri atas

langkah-langkah studi awal untuk (a) mendalami dan mengembangkan konsep-konsep

bagi pemecahan masalah, (b) berpikir gambar (melakar) untuk menghasilkan beberapa

sketsa alternatif, (c) menganalisis dan mensintesis sketsa-sketsa terpilih untuk

dikembangkan menjadi comp, serta (d) penggarapan karya final berdasarkan comp yang

terpilih. Proses ini dapat diobservasi langsung dan atau diidentifikasi lewat eksplorasi

konsep dan cakupan karya (sketsa-sketsa, comp, catatan-catatan pribadi, jurnal, dan data

lainnya) yang dihasilkan mahasiswa selama menyelesaikan tugas tersebut.

Page 16: portopolio berbasis  konstruksionisme

78 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

Di kelas-kelas desain, penilaian formatif seringkali diperluas dengan kegiatan

apresiasi yang bersifat membandingkan karya seorang mahasiswa dengan mahasiswa

lainnya serta dengan melibatkan seluruh mahasiswa sebagai apresiator. Dari kegiatan ini

mahasiswa memiliki kesempatan untuk membabarkan ide-idenya serta akan memperoleh

balikan dari dosen serta kritik dan komentar dari sesama mahasiswa. Kegiatan semacam

ini akan mengantarkan para mahasiswa pada tingkat pemahaman dan apresiasi tentang

poses-proses penciptaan serta karya-karya terbaik menurut mereka bersama.

Tahap penilaian sumatif dilakukan pada penghujung masa studi setelah portofolio

yang ditugaskan telah diselesaikan oleh peserta kuliah. Jika pada tahap formatif penilaian

diberikan dalam rangka membantu mahasiswa untuk mengembangkan portofolio, maka

penilaian sumatif dilakukan untuk mempertimbangkan prestasi hasil belajar mahasiswa

yang tecermin pada portofolionya. Jadi, tujuan penilaian pada tahap ini ialah untuk

memberikan penilaian akhir terhadap hasil belajar dalam kaitannya dengan perbandingan

perkembangan antar mahasiswa peserta kuliah, perbandingan antara hasil yang dicapai

oleh mahasiswa sesuai dengan standar yang telah ditentukan, serta kemajuan yang dicapai

oleh mahasiswa sebelum dan sesudah melewati proses belajar. Hasil penilaian sumatif ini

dapat dijadikan sebagai masukan untuk memberikan penilaian yang komprehensif

terhadap keberhasilan program kurikulum.

Penilaian sumatif dilakukan untuk menentukan tingkat prestasi mahasiswa dengan

cara membandingkan antara portofolio yang dihasilkannya dengan tujuan pembelajaran

yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa dan dosen secara

bersama-sama meneropong kualitas karya berdasarkan tujuan pembelajaran dan atau

indikator pencapaian tujuan pembelajaran yang telah diketahui sejak awal semester serta

dijadikan rambu-rambu mahasiswa dalam proses berkarya. Hasilnya ialah sebuah

pengertian bersama tentang kekuatan dan kelemahan karya-karya yang telah dihasilkan.

Bentuk penilaian sumatif lainnya ialah penilaian atas kemajuan mahasiswa dengan

membandingkan antara karya mahasiswa pada masa awal dan akhir kegiatan

pembelajaran. Dari perbandingan tersebut dapat diketahui kemajuan dan perkembangan

yang telah dicapai mahasiswa selama mengikuti perkuliahan. Cara-cara penilaian yang

beragam tersebut dimaksudkan untuk memperoleh potret sejati kompetensi mahasiswa.

Namun, apapun cara yang digunakan, penilaian tidak dipisahkan dari proses

Page 17: portopolio berbasis  konstruksionisme

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 79http://puslit.petra.ac.id/journals/design/

pembelajaran serta dari keterlibatan mahasiswa sebagai konstruktor makna yang tecermin

dalam portofolio tersebut.

Seperti diketahui, gagasan penilaian portofolio antara lain adalah untuk mengukur

pencapaian kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi serta keterampilan mahasiswa

dalam menciptakan karya-karya yang dapat diselesaikannya dengan baik. Sebagai model,

portofolio telah menyediakan sebuah gambaran luas tentang apa yang telah diketahui dan

dilakukan oleh mahasiswa. Ia dapat menggambarkan proses sekaligus produk yang

dikerjakan, serta mendemonstrasikan pertumbuhan belajar mahasiswa secara baik.

Mahasiswa dapat merefleksikan hal-hal penting dalam portofolio. Aktivitas refleksi diri

itu melibatkannya dalam penilaian diri tentang pembelajarannya serta merefleksikan

kemampuan dan kemajuan aktivitasnya dalam pekerjaannya. Karena itu, sudah

selayaknya penilaian sumatif melibatkan mahasiswa sebagai pemilik sekaligus

konstruktor portofolio.

Penilaian portofolio di bidang desain sering dilakukan dalam atmosfer partisipatori

kolaboratif. Secara tradisional, penilaian sumatif tersebut dilakukan dengan cara

‘memajang’ karya-karya terbaik (karya final lengkap dengan karya-karya serta catatan-

catatan yang menggambarkan proses penciptaannya) secara berurutan, mulai dari karya

pertama sampai dengan yang terakhir. Para mahasiswa peserta kuliah dan dosen

mendiskusikan kemajuan dan perkembangan yang telah mereka capai selama studi yang

telah dilalui. Perspektif kajian biasanya berfokus menurut aspek bentuk (teknik, media,

representasi) maupun isi (konsep, fungsi, pesan, nilai, filosofi) karya. Model penilaian ini

pada gilirannya akan menghasilkan sebuah pemahaman mahasiswa tentang karya-karya

terbaik menurut pandangan mereka bersama. Selain itu, ia juga dapat merefleksikan

grafik perkembangan hasil belajar yang telah dicapai oleh kelas serta masing-masing

mahasiswa.

PENUTUP

Selama ini sebagian pendidik dan mahasiswa, yang berpandangan bahwa tujuan

pembelajaran sebenarnya ialah ‘belajar bagaimana belajar’, boleh jadi merasa tidak

sejahtera oleh bentuk tes standar dan penilaian konvensional papers and pencil yang

menuntut mahasiswa untuk menunjukkan sebanyak-banyaknya materi pelajaran yang

Page 18: portopolio berbasis  konstruksionisme

80 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

telah mereka kuasai. Penilaian semacam ini memandang bahwa mahasiswa merupakan

individu yang pasif serta pengetahuan merupakan sesuatu yang pasti dan bersifat tetap.

Bentuk penilaian yang demikian memisahkan secara tegas antara belajar dan

pembelajaran dengan penilaian, antara proses dengan produk. Sementara itu, penilaian

portofolio dipandang mampu menghargai mahasiswa sebagai individu yang dinamis, aktif

mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalamannya yang spesifik. Penilaian

portofolio konsisten dengan filosofi konstruktivistik yaitu memusatkan hal terpenting

pada pengkonstruksian pengetahuan yang dilakukan sendiri oleh mahasiswa sebagai

subjek didik. Model ini memandang bahwa pembelajaran dan penilaian merupakan dua

hal yang tak terpisahkan.

Kemampuan-kemampuan para mahasiswa untuk memanfaatkan berbagai sumber

belajar serta untuk mengkreasi pengertian mereka sendiri tentang sesuatu tema

merupakan pusat pengalaman belajar berdasarkan konsep portofolio. Dalam hal ini

portofolio telah membantu mahasiswa untuk (a) mengumpulkan, mengorganisasikan, dan

berbagi informasi, (b) menganalisis hubungan-hubungan; (c) mengkomunikasikan

hasil-hasil secara efektif, (d) menguji hipotesis, (e) menyimpan variasi-variasi dari

pekerjaannya, (f) merefleksi pekerjaan dan aktivitas-aktivitas mereka, (g) memikirkan

prestasi-prestasi, pengaruh-pengaruh eksternal, dan prioritas-prioritas mereka, serta (h)

menunjukkan kreativitas dan kepribadian mereka. Oleh karena itu penilaian portofolio

dipandang sebagai model penilaian yang cocok serta sesuai dengan model pembelajaran

yang meletakkan mahasiswa, dan bukan dosen, sebagai pusat aktivitas belajar dan

pembelajaran.

KEPUSTAKAAN

Brooks, J.G. & Brooks, M.G., The Case for Constructivist Classrooms. Alexandria, Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. 1993.

Burton, J.K., Moore, D.M., dan Kagliaro, S.G., Behaviorism and instructional technology. Dalam David H. Jonassen (Ed.), Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York: Association for Educational Communications and Technology-Simon & Schuster Macmillan. 1996.

Cross, A., Towards an understanding of intrinsic values of design education. DesignStudies, 5(1), 1984: 31-39.

Page 19: portopolio berbasis  konstruksionisme

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 81http://puslit.petra.ac.id/journals/design/

Daley, J., Design creativity and the understanding of objects. Dalam Nigel Cross (Ed.),The Philosophy of Design Method. London: John Wiley & Sons Ltd. 1994.

Dede, C., The evolution of constructivist learning environments: immersion in distributed, virtual worlds. Dalam Brent G. Wilson, Constructivist Learning Environments. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. 1996.

Duchastel, P., Instructional design in the information age. Makalah dipresentasikan untukIFETS Forum, 17-28 Mei 1999. http:/ ifets.gmd.de/discussions/discuss- may99.htm l

Duffy, T.M., & Jonassen, D.H., Constructivistism: New implications for instructional technology. Dalam Duffy, T.M., & Jonassen, D.H. (Eds.), Constructivism and the Technology of Instruction: A Conversation. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. 1992.

Holt, J.E., The Designer’s Judgement. Design Studies, 18: 113-123. 1997.

Jonassen, D.H., Myers, J.M., McKillop, A.M., From constructivism to constructionism: Learning with hypermedia/multimedia rather than from it. Dalam Wilson, B.G. (Ed.), Constructivist Learning Environments. New Jersey: Educational Technology Publications. 1996.

Knight, M.E., Portfolio assessment: Application of portfolio analysis. Lanham, MD: University Press of America. 1994.

Meyrs, K.L. Is there a place for instructional design in the information age?Educational Technology, Nov.-Dec., 1999: 50–59.

Owen, C.L., Design education in the information age. Design Studies, 11(4), 1990: 34-41.

Pranata, M., Ceramah desain berbesiskan kecerdasan visual. Nirmana, Jurnal DesainKomunikasi Visual 5(2), 2003a: 149-161.

Pranata, M., Konstruktivistik: Arah baru pembelajaran desain. Dimensi Interior, JurnalDesain Interior, 1(2), 2003b: 157-172.

Reeves, T.C. dan Okey, J.R., Alternative assessment for constructivist learning environments. Dalam Brent G. Wilson (Ed.), Constructivist Learning Environments. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. 1996.

Qualye, M., Idea Book for Teaching Design. Mesa, Arizona: PDA Publisher Corp. 1990.

Stolterman, E., Guidelines or aesthetics: design learning strategies. Design Studies, 15(4),1994: 117-124.

Verma, N., Design theory education: how useful is provious design experience? DesignStudies, 18(1), 1997: 23-31.