polemik di benteng vastenburg full
DESCRIPTION
one of dutch fort in indonesiaTRANSCRIPT
POLEMIK DI BENTENG VASTENBURG
Oleh DANAR ARIEF S.
ARKEOLOGI UGM 2011
Beteng Vastenburg didirikan Gubernur Baron van Imhoff tahun 1745 sebagai beteng
pertahanan Belanda di Surakarta dan Jawa Tengah berkaitan rumah Gubernur Belanda
(sekarang Balaikota). Secara arsitektur dinding tembok setinggi 6 m berbentuk tepung
gelang, terdapat dua pintu (barat dan timur), diluar tembok dikelilingi parit. Bentuk bangunan
tidak jauh berbeda dengan Beteng Vredenburg Yogyakarta dan Beteng Ontmoeting di
Ungaran. ( Eko Budihardjo,1989: 45). Hingga tahun 1985, menjadi markas Brigif 6
Kostrad. Sebagai markas tentara pada umumnya tertutup sehingga masyarakat tidak akan
pernah mengetahui yang terjadi di dalam beteng. Awal tahun 2007 penulis mencoba
mengambil gambar dari atap salah satu gedung masih terlihat dua bangunan kembar di kanan
kiri bangunan pengintai. Tiga bulan kemudian bangunan tersebut rata tanah, yang tersisa
bangunan pengintai itupun kondisinya memprihatinkan, beberapa tembok retak karena usia.
Bagian dinding yang mengelupas diperbaiki pemiliknya, diantaranya bagian yang rawan
diperkuat tulangan besi beton. Area seluas kurang lebih 2ha menyerupai lapangan sepak bola
dikelilingi pagar tembok setebal 2 sampai 3 m memancarkan aura keperkasaan mengingatkan
sejarah masa lalu perilaku Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Beteng Vredenburg Yogyakarta lebih beruntung, setelah direnovasi tahun 1985,
pemanfaatannya mencerminkan kota yang menghargai sejarah masa lalunya. Selain
ditetapkan sebagai Museum Perjuangan Nasional atau Museum Beteng Yogyakarta, juga
merupakan fasilitas yang disediakan bagi terselenggarakan kegiatan kebudayaan. Kabarnya
dibanding museum lain di Yogyakarta, Museum Beteng paling banyak dikunjungi wisatawan.
Beteng Vastenburg Solo dengan Vredenburg Yogyakarta terdapat kesamaan tata letak sesuai
fungsinya sebagai basis pertahanan, berdekatan dengan Keraton, berhadapan dengan pusat
pemerintahan Balaikota (Solo) dan Gedung Agung (Yogyakarta). Dua beteng tersebut
menarasikan cerdiknya Belanda dalam merencanakan fasilitas pertahanan yang jejaknya
masih dapat kita lihat. Aset peninggalan masa lalu seperti itu memberikan inspirasi
memahami sejarah kota sebelum terlalu jauh berpikir tentang Solo Toward Future. Masa
lampau, masa sekarang dan masa akan datang sebuah dimensi waktu yang saling terkait,
antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Adanya interaksi antar waktu
memperkaya pemahaman kita tentang sejarah dan kelangsungan kebudayaan yang berubah.
Kronologis
Seputar tahun 1987 ketika penulis sering mengikuti pertemuan UPT (unit pelaksana
tehnis) di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud dan Kanwil Depdikbud
Jawa Tengah termasuk Balai Suaka Purbakala Jateng sekarang BP3, Beteng Vastenburg
pernah menjadi pembahasan menegangkan karena tersiar kabar Departemen Pertahanan dan
Pemda Surakarta era Walikota R. Hartomo akan mengalihkan hak pemilikan kawasan cagar
budaya kepada swasta. Perdebatan alot karena Beteng Vastenburg masuk daftar cagar budaya
yang dilindungi undang-undang. Artinya, kawasan tersebut menjadi tanggung jawab
pemerintah dan siapapun tidak berhak merubah apalagi memiliki. Era orde baru kita semua
maklum, sesuatu yang tidak mungkin bisa jadi kenyataan termasuk Beteng Vastenburg.
Pembicaraan tidak tuntas, ada kesan pasrah, masa bodoh, dibiarkan berlalu. Seiring
berjalannya waktu diikuti lengsernya penguasa yang bertanggung jawab atas pemindahan
hak kepemilikan seperti mewariskan bom waktu.
Pengalihan hak kepemilikan kepada swasta seharusnya tidak terjadi seandainya
siapapun pengambil keputusan memiliki kesadaran kultural. Hal-hal terkait dengan pelepasan
Beteng Vastenburg pada dasarnya tidak dibangun komunikasi efektif diantara pihak yang
terlibat langsung maupun tak langsung. Bahkan pada saat beteng dilepas juga tidak terlihat
reaksi masyarakat dalam bentuk demo, opini publik di media massa maupun suara
budayawan.Sikap skeptis, pasrah, rupanya bagian tak terpisahkan dari pemerintahan represif
dan militerisasi era Soeharto dan beteng termasuk persoalan sensitif karena terkait eksistensi
militer.
Bangsa ini sudah terlalu lama mengesampingkan kebudayaan, kebudayaan sebatas
dimaknai fisik sehingga outputnya tidak menyentuh yang hakiki dari nilai kemanusiaan
sebagai pelaku budaya. Representasi ketidak seimbangan itu mewujud lingkungan anomi,
secara spesifik penyimpangan perilaku diluar norma dan tatanan budaya. Ketika bangsa ini
sedang terpuruk, penyelamatan aset budaya seperti Beteng Vastenburg bisa menjadi ukuran
kepedulian kita tatkala nilai kemanusiaan dan moralitas tersingkir oleh kepentingan ekonomi
dan politik. Tipologi masyarakat anomi termasuk korban percepatan transformasi kehidupan
sosial yang mempengaruhi pola perilaku, hubungan sosial dan lembaga maupun struktur
sosial.
Pembahasan beteng kandas, faktanya menjadi milik perorangan secara sah. Persoalan
beteng contoh pengambilan keputusan aji mumpung, tanpa mempertimbangkan kepentingan
lebih besar bagi sejarah peradaban dan kota Solo. Keputusan akhirnya menyerupai bom
waktu, meledak kapan saja. Teori konsentris Burgess membuktikan seiring proses segregasi
dan diferensiasi terus berjalan sebagai konsekuensi perkembangan perkotaan.
Kecenderungan bagian paling inti (the heart of the area) disebut RBD (retail business
district) aktivitas yang dominan antara lain department stores, hotel, bank. (Hadi Sabari
Yunus,2000:9). Area potensial termasuk landmark kultural terdepak oleh kepentingan
ekonomi dan menempati area-area yang aksesbilitasnya rendah.
Bom waktu.
Bom meledak di saat yang tepat ketika Solo sedang berbenah mewujudkan
pembangunan kota berkarakter. World Heritage Cities yang baru lalu misalnya, seharusnya
menjadi momentum membuka kesadaran dan kearifan menjaga identitas kota dengan
mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan (sustainable). Adanya keseimbangan dan
keselarasan antara aspek ekonomi dan lingkungan dan keterkaitan antara lingkungan dengan
kebudayaan menjadi harapan masyarakat. Seperti kota-kota asli jaman pemerintahan kerajaan
biasanya mempertahankan sistem bersiku. (Hadi Sabari Yunus, 2000:145).
Pembangunan kota pada umumnya sekedar mengadaptasi kota-kota besar kemudian
dipaksakan tanpa mempertimbangan tata ruang kota serta kultur masyarakatnya. Pemaksaan
dari pergeseran lingkungan tradisi atau kosmologi yang tertata harmonis menuju modernisasi
yang bergerak yang tidak pasti atau dislokasi nilai, dapat pula mengakibatkan perubahan
kebudayaan. Karena kebudayaan memuat berbagai fakta sosial dan merupakan gambaran
kolektif suatu masyarakat, maka tingkah laku manusia ditentukan oleh kebudayaannya. (Hari
Poerwanto,2000:89).
Beteng Vastenburg telah dimiliki swasta secara sah, dasar pemilikan dilindungi
oleh undang-undang. Sementara kalangan budayawan terus mendesak untuk
menyelamatkan Beteng Vastenburg sebagai cagar budaya. Sedang di pihak pemerintah
kota dalam hal ini walikota yang memegang otoritas terbitnya IMB (ijin mendirikan
bangunan) dipastikan pusing tujuh keliling. Komitmen untuk mewujudkan kota pusaka
sedang diuji, sekaligus membuktikan apakah walikota memahami nilai serta makna heritage
atau sekedar melakukan penjelajahan fisik bagian dari popularitas. Institusi BP3 Jateng
seharusnya menjadi bagian dalam menentukan arah penyelamatan malah melempar
tanggung jawab dan secara politis menyelinap dibalik opini publik.
Kepentingan bisnis selalu dalam perspektif ekonomi, bicara untung rugi. Investasi
property selalu mempresentasikan fasilitas modern memenuhi harapan dan gaya hidup
(lifestyle) sesuai target marketnya. Pembangunan hotel yang diintegrasikan dengan pusat
perbelanjaan modern sudah pasti kental nilai ekonominya. Sejalan dengan pusat kegiatan
ekonomi, konstribusi untuk pemerintah maupun masyarakat antara lain pajak, penyerapan
tenaga kerja, sektor informal dan jasa terkait aktivitas hotel maupun mal. Hal-hal yang terkait
dengan kepentingan masyarakat menjadi bargaining sehingga membuat penguasa pada posisi
sulit.
Bagi kalangan yang keberatan atas rencana ekonomisasi beteng, undang-undang
cagar budaya sebaiknya dilihat efektivitasnya. Lebih masuk akal jika menyusun rencana,
gagasan maupun ide-ide yang dapat diimplementasikan dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Sejalan konsep penyelamatan cagar budaya, revitalisasi, konservasi, atau apapun
namanya tidak sekedar mempertahankan yang ada, tidak sebatas meratapi nilai sejarah.
Selain bagian dari identitas kota, penyelamatan harus memberi aktivitas hidup, bermanfaat
bagi masyarakat belajar memaknai peradaban masa lalu sebagai sumber inspirasi. Adalah
pemborosan merawat bangunan kuno bersejarah jika membiarkan kosong mlompong tanpa
sedikitpun manfaatnya bagi masyarakat dalam aktivitas kultural. Selain membuang uang
rakyat sekaligus membebani generasi mendatang. Bahwa masa lalu tidak berarti punah, yang
terjadi saat ini bagian dari masa lalu. Suatu kebudayaan harus mampu mengembangkan
berbagai sarana yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok individu. (Hari
Poerwanto, 2000:91).
Paradok global.
Pemikiran Geoffery Lipman, Presiden World Travel & Tourism Council, bahwa abad
21 akan terjadi gelombang pelancong Asia di pasar-pasar seluruh dunia, dan negara-negara
Asia akan menjadi tempat pelancong utama (John Naisbitt,1994:110). Prediksi Lipman tidak
seluruhnya benar. Seiring perubahan politik, ekonomi dan kebudayaan global, secara spesifik
Donald Hawkins, profesor di George Washinton University menangkap adanya isu
lingkungan dalam politik sehingga mempengaruhi wisatawan pada hal-hal yang bersifat
ekoturisme (alam) termasuk budaya.
Fenomena ekoturisme dan budaya seharusnya menginspirasi investor, misalnya
mengapa pilihan investasi selalu hotel, mal maupun apartemen sebatas memenuhi lifestyle
hedonis kalangan tertentu. Saya tidak bermaksud mempengaruhi langkah investor yang
selama membidik property. Seiring kecenderungan global, Solo ke depan lebih memerlukan
ruang-ruang kultural dengan atmosfer kelokalitasan, bersifat privat dan spesifik daripada
pendekatan turisme masal. Penggalian atau rekontruksi life historis salah satu daya tariknya
jika diintegrasikan dengan fasilitas akomodasi. Seperti dalam paradoks global, industri
terbesar digerakkan oleh keputusan individu yang sekaligus mencerminkan paradoks bahwa
semakin kita menjadi universal semakin tindakan kita bersifat kesukuan. Seperti ditulias
World Travel & Tourism Review, bahwa kecenderungan wisatawan ingin mengamati dan
berpartisipasi sebuah perilaku, gaya hidup suatu masyarakat secara natural, termasuk
didalamnya seni, arsitektur, sejarah, bagian dari proses belajar budaya suatu masyarakat.
Membicarakan turisme dalam konteks perkembangan Solo kini maupun ke depan
cukup relevan karena hampir semua infrastruktur yang telah maupun sedang dibangun
termasuk Beteng Vastenburg diarahkan untuk potensi pasar wisata lokal maupun manca
negara. Singapura dan Cina rupanya memberi inspirasi aksi para investor. Tetapi lupa bahwa
sesuatu yang ada di suatu negara tidak sekaligus bisa diimplementasikan. Faktor internal
khususnya kebudayaan sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Adanya perbedaan budaya justru
kita dapatkan positioning value-nya. Contoh pemaksaan adanya City Walk seperti terdapat di
Orchard Road Singapura. Perbedaan kultur dan perilaku berpengaruh tingkat efektivitasnya.
Jalan kaki bukan kebiasaan masyarakat kota, contohnya dilihat ketika parkir selalu ingin
dekat tempat yang dituju. Kelemahan city walk pertama, hambatan kultur, kedua, tidak
didukung infrastruktur sebagai daya tariknya. Tentang rasa nyaman pun tidak akan didapat
ketika diketahui tingkat emisi kendaraan di sepanjang jalan Slamet Riyadi.
Imajiner
Terlepas setuju atau tidak, Bangsa ini telah mengantarkan kita pada kehidupan bawah
sadar. Segala sesuatunya sebatas inderawi, pragmatis, normatif tanpa pengecualian. Hidup
tidak lagi diperkaya imajinasi dan pluralitas, melainkan bergerak seragaman. Demikian
pentingnya imajinasi, berpikir hari esok, menetapkan tujuan, membuat pilihan, menyiratkan
kepercayaan bahwa manusia memiliki kebebasan meskipun manusia itu sering tidak
menyadarinya. Dalam konteks imajinasi, siapapun bebas mengkonstruksikan Beteng
Vastenburg sesuai isi kepala masing-masing. Apakah imajinasi tersebut menembus batas
ketidak nalaran, itu tidak penting. Dengan berimajinasi selain mendorong perkembangan
fantasi kolektif yang bisa disajikan secara berkesinambungan dalam waktu yang lama, akan
menjadi realita kolektif yang baru, juga mengungkap realita-realita alternatif sambil
mengkritisi kondisi masyarakat kita dan kenyataan yang saat ini terjadi. Indonesia tidak akan
pernah bebas korupsi. Korupsi telah menjadi kejahatan sistemik, merupakan metabolisme
seperti makan, minum dan tidur. Jika demikian korupsi bagian dari kultur. Realitas Beteng
Vastenburg dan realitas koruptor tidak ada kaitan sama sekali. Namun dalam konteks
imajiner keduanya bisa menjadi realitas kolektif apabila cagar budaya tersebut tidak untuk
hotel, mal, pusat budaya, museum, perkantoran, bank, salon, restoran, tetapi dipersiapkan
sebagai TAMAN PATUNG KORUPTOR.
Daftar pustaka.
Eko Budihardjo (1989). Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta, Gajah Mada Press Yogyakarta. Hari Poerwanto (2000), Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Hadi Sabari Yunus (2000). Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar Yogyakarta. John Naisbitt (1994), Global Paradox, Binarupa Aksara Jakarta.
tahun 2002, tampak 2 buah menara pengintai
menara pengintai sudah hilang 2007
vastenburg tempo dulu
benteng vredeburg untuk perbandingan