pola pertumbuhan populasi artemia salina pada … · pola pertumbuhan populasi artemia salina pada...
TRANSCRIPT
POLA PERTUMBUHAN POPULASI Artemia salina
PADA KONDISI LINGKUNGAN TERKONTROL
IRMA YUSNITA
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
Pola Pertumbuhan Populasi Artemia salina pada Kondisi Lingkungan Terkontrol
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Irma Yusnita
C24052013
RINGKASAN
Irma Yusnita. C24052013. Pola Pertumbuhan Populasi Artemia salina pada
Kondisi Lingkungan Terkontrol. Di bawah bimbingan Majariana Krisanti dan
Niken T.M. Pratiwi
Artemia hidup secara planktonik di perairan laut dengan salinitas berkisar
antara 15–300‰. Keistimewaan Artemia sebagai plankton adalah sifat toleransi yang
sangat luas terhadap kisaran salinitas (euryhaline). Kondisi salinitas mempengaruhi
kehidupan Artemia, seperti derajat penetasan, pertumbuhan, dan perkembangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan Artemia salina
pada kondisi salinitas yang berbeda. Perlakuan salinitas yang digunakan dalam penelitian adalah 20, 30, dan 40‰. Kegiatan penelitian berupa percobaan di
laboratorium yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama.
Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan Maret–Juni dan penelitian utama pada
bulan Juli–Agustus 2009. Tahap penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui
derajat penetasan kista pada kondisi salinitas yang berbeda. Tahap penelitian utama
bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dan perkembangan A. salina pada
kondisi salinitas yang berbeda. Parameter yang diujikan dalam penelitian ini adalah
panjang total dan lebar tubuh, serta capaian instar A. salina. Pengambilan contoh
dilakukan secara acak dengan waktu pengamatan selama 10 hari. Model umum yang
digunakan adalah model yang mengikuti rancangan acak lengkap “dalam waktu” (RAL
in time). Kemudian dilakukan analisis dengan uji F (anova) dan uji lanjut Duncan.
Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).
Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian diketahui bahwa urutan derajat
penetasan yang tertinggi sampai terendah terjadi pada salinitas 20, 30, dan 40‰,
sedangkan pertumbuhan dan perkembangan secara berurutan dari yang tercepat
sampai terlambat terjadi pada salinitas 40, 20, dan 30‰. Hasil analisis statistik RAL in
time terhadap pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh menunjukkan bahwa model
keseluruhan hasil ANOVA dengan uji F pada taraf nyata 5% layak digunakan. Hasil uji
parsial menunjukkan bahwa perlakuan (salinitas) memiliki pengaruh berbeda nyata
(P<0,05) terhadap pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh A. salina. Hasil uji
lanjut Duncan terhadap perlakuan (salinitas) menunjukkan bahwa pengaruh
perlakuan salinitas 20 dan 30‰ tidak berbeda nyata, sedangkan pengaruh perlakuan
salinitas 40‰ berbeda nyata dari salinitas 20 dan 30‰. Selain itu, hasil uji lanjut
Duncan terhadap waktu (hari) menunjukkan adanya lima kelompok waktu yang
memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan panjang total A. salina dan terdapat tiga
kelompok waktu yang memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan lebar tubuh A. salina.
Kualitas air pada media pemeliharaan berada dalam kondisi lingkungan
terkontrol, diketahui parameter fisika dan kimia berupa suhu, pH, DO, dan amonia
memiiki kisaran nilai yang masih sesuai untuk kehidupan A. salina. Dengan demikian,
dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kehidupan A. salina dipengaruhi oleh
kondisi salinitas yang berbeda. Secara keseluruhan terlihat bahwa pada salinitas
berbeda terdapat perbedaan derajat penetasan, pola pertumbuhan, dan
perkembangan A. salina.
ABSTRACT
Irma Yusnita. C24052013. Artemia salina’s Population Growth under controlled
environment condition. Majariana Krisanti and Niken T. M. Pratiwi
Artemia live as planktonic in marine water with salinity range from 15 to 300‰.
Different from others, Artemia as plankton have tolerance characteristic which very
wide about salinity range (euryhaline). Salinity condition influence life of Artemia, like
hatching degree, growth, and development.
This research aimed to observe population growth of Artemia salina under
different salinity degree. The salinity which use in this research is 20, 30, and 40‰.
Research were conducted in the laboratory of two phase, they are minor (March-June
2009) and main phase (July-August 2009). The conducted in order to know hatching
degree under different salinity. The main phase conducted to know the growth rate
and development of A. salina in the different salinity. Total length and wide body, and
reach instar of A. salina were measured. Sample were taken random in time
observation during 10 days. General model which use is plan test model with repeated
measurement “in time”. Then analyze with F test (ANOVA) and continue with Duncan
test. This analysis in the interval of believe 95% (α=0,05).
According to observation in the research hatching degree from highest until
lowest happen in the salinity 20, 30, and 40‰ respectively, whereas growth and
development from fastest until lowest happen in the salinity 40, 20, and 30‰
respectively. Statistical analysis random complete design with repeated measurement
“in time” of growth from total length and wide body showed that whole model result
ANOVA with F test in the interval of believe 5% suitable to use. Partial test showed
that treatment (salinity) has influence real different (P<0,05) about growth of total
length and wide body A. salina. Result of Duncan test about treatment (salinity)
showed that salinity treatment 20 and 30‰ not significantly different, whereas
influence of salinity treatment 40‰ is significantly different from salinity 20 and 30%.
In addition to, result of Duncan test for time(days) showed five group of time that have
influence total length growth of A. salina and showed three group of time that have
influence wide body growth of A. salina.
Water quality of rearing medium in controlled condition, the temperature, pH,
DO, and ammonia were in range that still suitable for A. salina. As conclusion, the life
of A. salina influenced by different degrees of salinity. That is different salinity have
different hatching degree, growth rate, and development of A. salina.
POLA PERTUMBUHAN POPULASI Artemia salina
PADA KONDISI LINGKUNGAN TERKONTROL
IRMA YUSNITA
C24052013
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Pola Pertumbuhan populasi Artemia salina pada Kondisi
Lingkungan Terkontrol
Nama Mahasiswa : Irma Yusnita
Nomor Pokok : C24052013
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Majariana Krisanti, S.Pi. M.Si. Dr. Ir. Niken T. M. Pratiwi, M.Si.
NIP : 19691031 199512 2 001 NIP : 19680111 199203 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
NIP : 19660728 199103 1 002
Tanggal Ujian : 25 Januari 2010
iii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul
Pola Pertumbuhan Populasi Artemia salina pada Kondisi Lingkungan
Terkontrol, disusun berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan utama yang
dilaksanakan pada Maret-Juni dan Juli-Agustus 2009, dan merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada proses penulisan ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si. dan Dr. Ir. Niken T. M. Pratiwi, M.Si. selaku dosen
pembimbing pertama dan kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada penyusunan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan bantuan dari berbagai pihak,
sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Bogor, Januari 2010
Penulis
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
2. Majariana Krisanti, S.Pi. M.Si dan Dr. Ir. Niken T. M. Pratiwi, M.Si, masing-masing
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan hingga penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Achmad Fachrudin,
M.S selaku wakil komisi pendidikan program S1, atas saran, nasehat dan perbaikan
yang diberikan.
4. Yonvitner, S.Pi, M.Si selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi
dan nasehat selama ini.
5. Kedua orang tua penulis Ayahanda Matali dan Ibunda Siti Dahlia atas doa, kasih
sayang, kesabaran, pengorbanan, dan dukungan yang sangat berarti dan tak henti-
hentinya bagi penulis. Keluarga besar penulis : Almarhum (ibu Hj. Siti Hanah, baba
H. Ahmad Zaeni dan H. Sidik), cang, cing, dan sepupu-sepupu atas doa, semangat,
dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani perkuliahan hingga
penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Siti Nursiyamah selaku staf Lab. Biologi Mikro I (BIMI I) yang telah banyak
membantu selama proses identifikasi hingga terselesaikan dengan lancar.
7. Para staf Tata Usaha yang sangat saya banggakan, terutama mba Zaenab dan mba
Widar atas arahan dan kesabarannya.
8. Para staf Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, bu Ana, pak Toni,
pak Yayat, bang Aan, kang Heri, dan mang Adon. Khususnya Ka Budi yang baik hati.
9. Semua civitas MSP, terutama teman-teman seperjuangan MSP’42, Endah, Dinda,
Wati, Pungky, Intan, Silfi, Pipit, Diana, Shiro, Guse, Lenggo, Puput, Naila dan teman-
teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
10. Kakak dan adik asuh penulis yaitu Wahyu Ishartanto dan Maulana Ishak atas
keceriaannya.
11. Teman-teman BDP’42 yang pernah magang di Balai Besar Pengembangan Budidaya
Laut desa Hanura, Lampung yaitu Bundo, Fika, Sella, Fairus. Terutama Zhe-zhe dan
Evan atas bantuan dan dukungannya.
v
12. Keluarga besar “Wisma Agung 2”, Balio (Indah teman kamarku, Pipit, Ajeng, Bule,
Mba Nda, Mba Ir, Teh Popi, Rahme, Galz, dan Ely) dan Keluarga besar Asrama Aceh
“Pocut Baren”, Balebak (Mba Isul, Jeng En, Nyit2, Utie, Doyong, Jupe, Hani, Ami, dan
Ollin Dejeh) yang telah memberikan keceriaan selama ini.
13. Regy Febriawan, S.E atas doa, semangat, dan kasih sayang selama ini.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebutkan satu
persatu.
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Irma Yusnita dilahirkan di Bekasi pada tanggal 20
September 1987. Penulis merupakan putri tunggal dari pasangan
bapak Matali dan ibu Siti Dahlia. Penulis menyelesaikan
pendidikan formal di TK Bani Saleh 2 Bekasi, SD Negeri Bumi
Bekasi Baru VIII Bekasi tahun 1999, kemudian melanjutkan ke
SLTP Negeri 16 Bekasi tahun 2002.
Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan formal ke SMA Negeri 6 Bekasi
dan menamatkannya pada tahun 2005.
Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan formal ke Perguruan Tinggi
Negeri dan lulus seleksi masuk sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Kemudian penulis diterima di
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
pada tahun 2006. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Divisi
Sosial dan Lingkungan pada Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan
(HIMASPER) pada tahun 2007/2008. Selain itu, penulis juga aktif pada paduan suara
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Endeavor) pada tahun 2007/2008.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan
penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Pola Pertumbuhan Artemia salina
pada Kondisi Lingkungan Terkontrol”.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. xi
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................................ 2
1.3. Tujuan ........................................................................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi ...................................................................................... 3
2.2. Artemia sebagai pakan alami .............................................................................. 6
2.3. Ekologi, Fisiologi, dan Reproduksi .................................................................... 8
3. METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian ............................................................................................. 15
3.1.1. Penelitian Pendahuluan ............................................................................. 15
1. Tahap persiapan ......................................................................................... 15
2. Tahap perendaman dan penetasan kista Artemia salina ........... 15
3. Tahap pengamatan .................................................................................... 17
3.1.2. Penelitian utama ............................................................................................ 17
1. Tahap persiapan .......................................................................................... 18
2. Tahap pemeliharaan Artemia salina ................................................... 18
3. Tahap pengamatan ..................................................................................... 19
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................... 19
3.3. Variabel dan atau Parameter serta Pengukurannya ................................. 20
3.3.1. Dimensi Artemia salina ................................................................................ 20
3.3.2. Persentase capaian instar Artemia salina ............................................ 20
3.4. Metode Pengumpulan Data .................................................................................. 21
3.4.1. Penelitian pendahuluan .............................................................................. 21
Penentuan derajat penetasan kista pada salinitas berbeda ........ 21
3.4.2. Penelitian utama ............................................................................................ 22
a. Pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh Artemia
salina ............................................................................................................ 22
b. Distribusi frekuensi panjang total dan lebar tubuh
Artemia salina ........................................................................................... 22
c. Penentuan ciri-ciri morfologi perkembangan Artemia
salina ............................................................................................................. 22
3.5. Analisis Data ............................................................................................................... 23
3.5.1. Rancangan acak lengkap in time ............................................................... 23
3.5.2. Uji perbandingan berganda Duncan (DMRT) ...................................... 25
3.5.3. Uji t ....................................................................................................................... 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil ............................................................................................................................... 27
4.1.1. Pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh Artemia salina ....... 27
viii
4.1.2. Sebaran ukuran panjang total dan lebar tubuh Artemia
salina .................................................................................................................... 30
4.1.3. Penentuan ciri–ciri morfologi perkembangan Artemia
salina .................................................................................................................... 42
4.1.4. Kualitas air terkontrol dan perlakuan salinitas ............................... 46
4.2. Pembahasan ............................................................................................................... 52
4.2.1. Pertumbuhan Artemia salina..................................................................... 52
4.2.2. Perkembangan Artemia salina .................................................................. 56
5. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 61
LAMPIRAN ................................................................................................................................. 65
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Data kualitas air sebelum proses penetasan kista Artemia salina ................. 16
2. Persentase capaian instar Artemia salina pada salinitas berbeda
(Identifikasi menurut Lavens and Sorgeloos 1996) ............................................ 20
3. Sidik ragam RAL in time .................................................................................................. 24
4. Panjang total Artemia salina selama pengamatan ................................................ 27
5. Lebar tubuh Artemia salina selama pengamatan ................................................. 28
6. Analisis sidik ragam panjang total Artemia salina ................................................ 29
7. Analisis sidik ragam lebar tubuh Artemia salina ................................................... 29
8. Persentase capaian instar Artemia salina pada salinitas 20 ‰ ..................... 43
9. Persentase capaian instar Artemia salina pada salinitas 30 ‰ ..................... 44
10. Persentase capaian instar Artemia salina pada salinitas 40 ‰ ....................... 45
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pendekatan masalah ”Pola Pertumbuhan Populasi Artemia
salina pada Kondisi Lingkungan Terkontrol ............................................................ 2
2. Tahapan penetasan Artemia (Sorgeloos 1980) ..................................................... 4
3. Morfologi nauplius Artemia (Sorgeloos 1980) ...................................................... 4
4. Morfologi Artemia dewasa (Sorgeloos 1980) ......................................................... 6
5. Siklus hidup Artemia (Mudjiman 1989) ................................................................... 14
6. Rancangan wadah perendaman dan penetasan kista Artemia salina ........... 16
7. Cawan petri bertransek untuk menghitung derajat penetasan ....................... 17
8. Rancangan perlakuan selama penelitian utama ................................................... 18
9. Grafik rataan panjang total harian Artemia salina ................................................ 27
10. Grafik rataan lebar tubuh harian Artemia salina ................................................... 28
11. Sebaran ukuran panjang total Artemia salina pada salinitas berbeda
(a, b, dan c = salinitas 20, 30, dan 40‰) . ................................................................ 31
12. Sebaran ukuran panjang total Artemia salina setiap dua hari pada
salinitas 20 ‰ ................................................................................................................... 32
13. Sebaran ukuran panjang total Artemia salina setiap dua hari pada
salinitas 30 ‰ ................................................................................................................... 33
14. Sebaran ukuran panjang total Artemia salina setiap dua hari pada
salinitas 40 ‰ ................................................................................................................... 34
15. Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina pada salinitas berbeda
(a, b, dan c = salinitas 20, 30, dan 40‰) .................................................................. 38
16. Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina setiap dua hari pada
salinitas 20 ‰ ................................................................................................................... 39
17. Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina setiap dua hari pada
salinitas 30 ‰ ................................................................................................................... 40
18. Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina setiap dua hari pada
salinitas 40 ‰ ................................................................................................................... 41
19. Capaian instar Artemia salina selama penelitian .................................................. 46
20. Grafik suhu pagi hari (06.00 WIB) .............................................................................. 47
21. Grafik suhu siang hari (14.00 WIB) ............................................................................. 48
22. Grafik pH pagi hari (06.00 WIB) .................................................................................. 48
23. Grafik pH siang hari (14.00 WIB) ................................................................................ 49
24. Grafik DO pagi hari (06.00 WIB) .................................................................................. 50
25. Grafik DO siang hari (14.00 WIB) ................................................................................ 50
26. Grafik amonia pagi hari (06.00 WIB) .......................................................................... 51
27. Grafik salinitas pagi hari (06.00 WIB) dan siang hari (14.00 WIB) ................ 51
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut ......................................................................... 65
2. Daftar Istilah yang berkaitan dengan Artemia salina .......................................... 67
3. Kista Artemia salina “Great Salt Lake” ....................................................................... 68
4. Rancangan wadah perendaman dan penetasan kista Artemia salina,
serta langkah-langkah penetasan kista Artemia salina ................................... 69
5. Penentuan derajat penetasan kista Artemia salina pada salinitas
berbeda ................................................................................................................................... 70
6. Proses sterilisasi air laut, drigen, selang, dan batu aerasi ................................. 72
7. Formulasi bahan pembuatan pakan fermentasi dengan volume
60 liter .................................................................................................................................... 73
8. Identifikasi capaian instar Artemia salina menurut Lavens and
Sorgeloos (1996) ................................................................................................................ 74
9. Langkah-langkah menggunakan SAS 9.1, contoh perhitungan TSR,
dan hasil uji lanjut Duncan panjang total Artemia salina .................................. 75
10. Langkah-langkah menggunakan SAS 9.1, contoh perhitungan TSR,
dan hasil uji lanjut Duncan lebar tubuh Artemia salina . ................................. 79
11. Ciri-ciri instar-antara yang berada di antara ciri-ciri morfologi
perkembangan A. salina menurut Lavens and Sorgeloos (1996) ............... 83
12. Gambaran instar-antara Artemia salina yang ditemukan selama
penelitian ............................................................................................................................ 84
13. Hasil analisis kualitas air terkontrol dan perlakuan salinitas ...................... 87
14. Uji-t kualitas air selama penelitian utama ............................................................. 89
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Artemia hidup secara planktonik di perairan laut dengan salinitas berkisar
antara 15–300‰. Keistimewaan Artemia adalah sifat toleransi yang sangat luas
terhadap kisaran salinitas (euryhaline). Pada salinitas yang sangat tinggi, ketika
organisme lain pada umumnya tidak mampu bertahan hidup, ternyata Artemia mampu
mentolerirnya (Djarijah 1995).
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), pertumbuhan Artemia yang baik
membutuhkan salinitas antara 30 sampai 50‰. Salinitas yang diperlukan agar
Artemia dapat menghasilkan kista cukup bervariasi, tergantung galurnya. Pada
umumnya dibutuhkan salinitas lebih dari 100‰. Penetasan kista Artemia
membutuhkan salinitas kurang dari 85‰. Apabila salinitas air tersebut lebih dari
85‰, maka kista tidak akan menetas.
Selain kondisi salinitas, Artemia juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang
lain, seperti suhu, oksigen terlarut, pH, dan amonia. Menurut Mudjiman (1989),
Artemia secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25–30 °C. Artemia
termasuk hewan euroksibion, yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang
lebar terhadap kandungan oksigen. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk
pertumbuhan Artemia adalah di atas 3,0 mg/l. Kondisi pH air juga mempengaruhi
kehidupan Artemia. Artemia membutuhkan pH air yang sedikit bersifat basa untuk
kehidupannya. Nilai pH air sangat berpengaruh terhadap efisiensi penetasan kista.
Efesiensi penetasan kista akan menurun pada pH air yang kurang dari 8 (Mudjiman
1989). Artemia dapat tumbuh dengan baik pH air yang berkisar antara 7,5–8,5
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Menurut Sorgeloos (1980), konsentrasi amonia sebesar 2 mg/l dapat
menghambat penelanan makanan. Untuk kehidupan biota laut secara layak, nilai
amonia total (NH3–N) harus kurang dari 0,3 mg/l (Kep.51/MENLH/2004) (Lampiran
1).
Berdasarkan kebutuhan Artemia akan kondisi lingkungan tersebut, diperlukan
kajian tentang derajat penetasan, pertumbuhan dan perkembangan instar Artemia
pada salinitas yang berbeda. Dengan demikian, dapat diketahui besarnya salinitas
yang sesuai dengan kebutuhan kelangsungan hidup Artemia.
2
Dalam penelitian ini dikaji tentang derajat penetasan, pertumbuhan panjang
total, dan lebar tubuh, serta perkembangan instar Artemia salina sejak menetas
menjadi nauplius hingga mencapai bentuk dewasa pada kondisi salinitas yang
berbeda. Dengan demikian, akan diketahui derajat penetasan, pola pertumbuhan, dan
perkembangan yang optimal pada salinitas yang berbeda.
1.2. Perumusan Masalah
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan Artemia adalah salinitas, oksigen
terlarut, suhu, dan pH. Selain itu, cahaya juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses penetasan kista. Salah satu keistimewaan Artemia adalah
kemampuannya dalam beradaptasi terhadap rentang salinitas yang luas.
Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18–24 jam apabila
diinkubasikan dalam air bersalinitas 5–70‰. Selain mempengaruhi proses penetasan
kista, salinitas juga mempengaruhi pertumbuhan Artemia. Pertumbuhan Artemia yang
baik membutuhkan salinitas antara 30 sampai 50‰. Hal penting yang perlu diketahui
berkaitan dengan hubungan antara salinitas dan kehidupan Artemia adalah derajat
penetasan, pola pertumbuhan, dan perkembangan populasi Artemia. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kondisi lingkungan, yaitu kebutuhan
salinitas yang baik bagi pertumbuhan Artemia hasil penetasan. Dengan demikian
dapat diketahui pola pertumbuhan populasi Artemia salina pada kondisi lingkungan
terkontrol. Kerangka pendekatan masalah penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
(–) (+)
(–)
Gambar 1. Kerangka pendekatan masalah ”Pola Pertumbuhan Populasi Artemia salina
pada Kondisi Lingkungan Terkontrol”
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan Artemia salina
pada kondisi salinitas yang berbeda.
Pola
Pertumbuhan
Artemia
- Derajat Penetasan
- Ukuran Dimensi
- Capaian Instar
Salinitas
Kualitas Air
Terkontrol
Artemia Hasil
Penetasan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi
Genus Artemia mempunyai beberapa spesies, antara lain Artemia salina Leach, A.
parthenogenetica, A. franciscana Kellog, A. urmiana Gunther, A. tunisiana Bowen, A.
persimilis Prosdocimi dan Piccinelli, A. monica Verril, dan A. odesssensisr. Artemia
merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam filum Arthropoda dan kelas
Crustacea. Secara lengkap klasifikasi Artemia menurut Bougis (1979) in Isnansetyo
dan Kurniastuty (1995) adalah sebagai berikut.
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia salina
Artemia diperjualbelikan dalam bentuk telur dorman (istirahat) yang disebut
dengan kista. Kista tersebut berbentuk bulatan–bulatan kecil berwarna kelabu
kecoklatan dengan diameter berkisar antara 200–350 mikron. Satu gram kista
Artemia kering rata–rata terdiri dari 200.000–300.000 butir kista. Kista yang
berkualitas baik akan menetas sekitar 18–24 jam apabila diinkubasikan dalam air
bersalinitas 5–70‰. Terdapat beberapa tahap (proses) penetasan Artemia, yaitu
tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Pada
tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk
kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif melakukan metabolisme. Tahap
selanjutnya adalah tahap pecah cangkang, disusul dengan tahap payung yang terjadi
beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang. Tahap penetasan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2 (Sorgeloos 1980).
Artemia yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius berwarna oranye,
berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan
berat 0,002 mg. Ukuran–ukuran tersebut sangat bervariasi, tergantung pada galur
(strain). Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antenna. Antenulla
berukuran lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan antenna. Selain itu, di antara
antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang mandibulla
4
rudimenter terdapat di belakang antenna. Labrum (semacam mulut) terdapat di
bagian ventral. Morfologi nauplius disajikan pada Gambar 3 (Sorgeloos 1980).
Gambar 2. Tahapan Penetasan Artemia (Sorgeloos 1980)
Gambar 3. Morfologi nauplius Artemia (1) bintik mata (2) antennula (3) antenna
(4) calon thoracopoda (5) saluran pencernaan (6) mandibula (Sorgeloos
1980)
Nauplius berangsur–angsur mengalami perkembangan dan perubahan
morfologis dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Setiap tingkatan
pergantian kulit disebut dengan instar, sehingga dikenal instar I hingga instar XV.
Setelah cadangan makanan yang berupa kuning telur habis dan saluran pencernaan
berfungsi, nauplius mengambil makanan ke dalam mulutnya dengan menggunakan
setae pada antenna. Artemia mulai mengambil makanan setelah mencapai instar II
5
(Sorgeloos 1980). Sekitar 24 jam setelah menetas, nauplius instar I akan berubah
menjadi instar II (Mudjiman 1989).
Saat instar kedua, pada pangkal antenanya tumbuh gnatobasen setae, suatu
struktur yang menyerupai duri menghadap ke belakang (Isnansetyo dan Kurniastuty
1995). Perubahan morfologis yang sangat mencolok terjadi setelah masuk instar X.
Antenna mengalami perubahan sesuai dengan jenis kelaminnya. Thoracopoda
mengalami diferensiasi menjadi tiga bagian, yaitu telopodite dan endopodite yang
berfungsi sebagai alat gerak dan penyaring makanan, serta eksopodite yang berfungsi
sebagai alat pernafasan (Lavens and Sorgeloos 1996).
Artemia dewasa (Gambar 4) biasanya berukuran panjang 8–10 mm yang
ditandai dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala,
antenna sebagai alat sensori, saluran pencernaan yang terlihat jelas, dan 11 pasang
thoracopoda. Pada Artemia jantan, antenna berubah menjadi alat penjepit (mascular
grasper) dan sepasang penis di bagian belakang tubuh. Pada Artemia betina, antenna
mengalami penyusutan dengan sepasang indung telur atau ovari terdapat di kedua sisi
saluran pencernaan di belakang thoracopoda. Telur yang sudah matang akan
disalurkan ke sepasang kantong telur atau uterus (Sorgeloos 1980).
Artemia dewasa dapat hidup selama beberapa bulan (sampai 6 bulan). Di bawah
kondisi optimal, Artemia dapat tumbuh dari nauplius sampai dewasa hanya dalam
waktu 8 hari (Lavens and Sorgeloos 1996) atau 14 hari (Mudjiman 1989). Sementara
itu, setiap 4–5 hari sekali mereka dapat memperbanyak diri secara cepat, dengan
menghasilkan anak (pada kondisi lingkungan yang baik) dengan rata-rata 300
nauplius atau bertelur (pada lingkungan yang buruk) sebanyak 50–300 butir.
Menurut Harefa (1997), perkembangan Artemia dari proses penetasan sampai
menjadi individu dewasa membutuhkan waktu sekitar 7–10 hari. Artemia dewasa bila
diletakkan di air tawar akan bertahan 2–3 jam. Untuk sebagian besar strain, toleransi
salinitas maksimum adalah 200‰. Artemia mencapai tingkat dewasa dalam 16-19
hari ketika dibudidayakan pada kolam air garam (Kulasekarapandian and
Ravichandran 2003 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009). Menurut
Soundarapandian and Saravanakumar (2009), salinitas air laut (35-55‰) yang sesuai
untuk budidaya Artemia ditunjukkan dengan kelangsungan hidup yang lebih tinggi
(80%), ukuran yang lebih besar (1,2 cm) dan durasi yang lebih pendek (14 hari) untuk
mencapai tingkat dewasa. Menurut Vos (1979), morfologi dan penampilan umum
dewasa berubah pada salinitas yang berbeda. Semakin tinggi salinitas, semakin kecil
clasper pada Artemia jantan. Pada salinitas tinggi juga, tubuh menjadi lebih panjang
6
dan lebih kurus. Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada
Lampiran 2.
Gambar 4. Morfologi Artemia dewasa (Sorgeloos 1980)
2.2. Artemia sebagai pakan alami
Artemia atau “brine shrimp” tergolong famili Artemiidae yang merupakan salah
satu jenis pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut, Crustacea,
ikan konsumsi air tawar, dan ikan hias. Hal ini dikarenakan Artemia memiliki nilai gizi
yang tinggi dan ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh jenis larva
ikan.
Artemia memiliki posisi yang unik dalam sistem akuakultur dan sebagai pakan
hidup yang lebih dari 85% spesies yang dibudidayakan di seluruh dunia. Artemia
memiliki beberapa karakteristik, yang membuatnya menjadi ideal untuk kegiatan
budidaya. Artemia mudah untuk dipelihara, adaptasi yang lebar terhadap kondisi
lingkungan, non-selective filter feeder, mampu tumbuh pada padat tebar yang sangat
tinggi. Selain itu, Artemia juga memiliki nilai nutrisi yang tinggi, efesiensi konversi
yang tinggi, waktu untuk menghasilkan keturunan yang cepat, rataan fekunditas yang
tinggi, dan masa hidup yang sangat panjang. Artemia terdistribusi sebagian besar pada
danau hypersaline, kolam air asin, dan laguna. Artemia berkembang dengan sangat
baik pada air laut alami dan memiliki toleransi salinitas pada kisaran 3-300‰.
Sebagian besar peneliti mencoba untuk membudidayakan Artemia pada salinitas yang
lebih tinggi (>70‰) untuk memproduksi biomasa dan percobaan dilakukan hanya
7
pada kolam air garam (Gilchrist 1960; Arna 1987; Kulasekarapandian and
Ravichandran 2003 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009).
Pembudidaya memperhatikan dua hal, yaitu menyediakan organisme dengan
ukuran yang tepat sebagai pakan pertama larva dan menyediakan jumlah yang cukup
dengan kelangsungan hidup yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat mencapai
tingkat dewasa sehingga dapat digunakan untuk pakan organisme (Arulvasu and
Munuswamy 2009).
Naupli Artemia salina instar I yang baru menetas umumnya digunakan sebagai
pakan hidup untuk larva ikan. Selain dalam bentuk naupli, A. salina juga digunakan
dalam bentuk dewasa. Tingkatan naupliar (contohnya. instar II, III, atau metanauplii)
tidak sesuai lagi sebagai pakan larva ikan, karena memiliki panjang 50% lebih besar,
berenang lebih cepat dan mengalami penurunan nilai nutrisi (Watanabe et al. 1987;
Dye 1980; Sorgeloos et al. 2001 in John et al. 2005). Oleh karena itu, penyediaan
nauplius A. salina dilakukan melalui penetasan harian dari kista yang langsung
diberikan untuk larva ikan. Selain itu, untuk mengurangi waktu kerja laboran dan
proses yang tidak praktis, terdapat teknik lain berupa penyimpanan dingin dari nauplii
A. salina yang dilakukan pada strain A. salina yang berbeda (Baust and Lawrence
1980a,b; Leger et al. 1983 in Soundarapandian and Saravanakumar 2009).
Menurut Mudjiman (1989), kedudukan Artemia dalam dunia budidaya ikan
memiliki peranan penting, bukan hanya telurnya, melainkan juga Artemia dewasa.
Artemia dewasa merupakan pakan alami yang baik, terutama untuk pembesaran dan
pematangan gonad induk. Kandungan protein pada Artemia dewasa lebih besar
daripada anak Artemia (nauplius). Kandungan protein pada anak Artemia (nauplius)
adalah 42% dan Artemia dewasa 60% dari berat kering. Selain itu, kandungan lemak
Artemia dewasa lebih kecil dari nauplius Artemia.
Biomasa Artemia merupakan permintaan yang tinggi sebagai sumber dari pakan
yang berkualitas tinggi untuk budidaya ikan dan Crustacea (Persoone and Sorgeloos
1982 in Royan et al. 1990). Artemia dewasa dapat menjadi sumber berharga dengan
kualitas protein tinggi sebagai pakan hewan. Selain itu, pembesaran dan pematangan
beberapa spesies penaeid lebih efektif menggunakan Artemia dewasa. Rataan
pertumbuhan yang baik diamati pada Penaeus indicus, P. monoceros, dan P. monodon
ketika diberi pakan hidup Artemia dewasa (Royan et al. 1987 in Royan et al. 1990).
Menurut Mudjiman (1989), Kandungan nutrisi Artemia terdiri dari protein,
karbohidrat, lemak, air, dan abu. Protein merupakan kandungan terbesar, yaitu antara
40-60%. Kandungan protein yang tinggi inilah yang menyebabkan Artemia digunakan
8
sebagai pakan alami yang sulit digantikan dengan pakan yang lain. Menurut hasil
penelitian Fakultas Peternakan (1994), kandungan protein di dalam Artemia dapat
mencapai 58,58 %. Kandungan nutrisi lainnya adalah lemak 6,15%, karbohidrat
30,15%, abu 5,12%, dan kandungan energi 5,02 kkal/g.
Selain Artemia, terdapat jenis zooplankton yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan alami berbagai jenis ikan atau hewan air lainnya, misalnya Daphnia sp. Namun,
kandungan nutrisi Daphnia sp. lebih kecil jika dibandingkan dengan Artemia
(Mudjiman 1989). Secara umum larva-larva ikan-ikan laut berukuran sangat kecil
dengan ukuran mulut yang kecil pula, misalnya ikan kerapu (Kohno et al. 1997 in
Suwirya et al. 2001). Keadaan ini menyulitkan dalam manajemen pakan, dimana
secara fisik diperlukan pakan berukuran kecil, seperti rotifer tipe-SS. Rotifer dewasa
tipe-S dan tipe-L masih terlalu besar untuk stadia awal larva dari kebanyakan spesies
ikan kerapu (Lim 1993 in Suwirya et al. 2001). Asam lemak esensial bagi ikan-ikan
laut adalah kelompok n-3 HUFA (Izquierdo et al. 1989). Untuk menyesuaikan
kandungan asam lemak pakan hidup sehingga dapat memenuhi kebutuhan larva ikan
telah dikembangkan dengan metode pengkayaan, baik dengan menggunakan plankton,
pakan buatan, atau langsung dengan emulsi minyak yang mempunyai kandungan asam
lemak yang tinggi (Teshima et al. 1981 in Suwirya et al. 2001). Menurut Watanabe et
al. (1983b), komposisi asam lemak nauplii Artemia salina lebih besar daripada
komposisi asam lemak rotifer (Brachionus plicatilis) yang dikultur dengan pakan yang
berbeda.
2.3. Ekologi, Fisiologi, dan Reproduksi
Artemia terdistribusi di seluruh dunia, terdapat pada setiap benua kecuali
Antartika. Artemia ditemukan di danau bergaram dan daerah bergaram komersial.
Artemia dapat mentolerir salinitas naik lima kali lebih tinggi daripada air laut (Browne
and MacDonald 1982). Udang kecil ini mendiami danau hypersaline dan kolam yang
memiliki variasi komposisi ionik, suhu, dan altitute (ketinggian) (Triantaphyllidis et al.
1998). Populasi Artemia ditemukan di sekitar 600 danau garam alami dan danau
buatan manusia yang tersebar di seluruh zona beriklim tropis, subtropis, dan iklim
sedang, sepanjang garis pantai (Van Stappen 2002 in El-Gamal 2010).
Kehidupan Artemia dipengaruhi oleh faktor–faktor eksternal, yaitu salinitas,
oksigen terlarut, suhu, dan pH. Suhu di perairan dipengaruhi oleh musim, lintang,
ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran, dan
9
kedalaman badan air. Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisika, kimia,
dan biologi perairan. Selain itu, peningkatan suhu juga dapat menyebabkan
peningkatan laju metabolisme dan respirasi. Menurut Nontji (1993), suhu yang sangat
ekstrim serta perubahannya dapat berdampak buruk bagi kehidupan organisme
akuatik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Suhu air permukaan di perairan
Indonesia umumnya berkisar antara 28–31 °C. Menurut Mudjiman (1989), Artemia
secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25–30 °C .
Suhu merupakan parameter lingkungan yang mudah berubah sesuai dengan
perbedaan tempat dan waktu. Suhu secara langsung berpengaruh terhadap proses
metabolisme organisme air. Pada suhu tinggi, metabolisme terpacu; sedangkan pada
suhu rendah, metabolisme lambat. Suhu air yang tinggi dan terlalu rendah
mengakibatkan oksigen terlarut dalam air menjadi rendah (Supriya et al. 2002).
Menurut Nontji (2007), salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram)
yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ‰. Unsur–
unsur kimia terlarut dalam air laut, sebagian besar terdiri atas unsur makro (~95%)
dan hanya sebagian kecil yang merupakan unsur mikro (~5%). Oleh karena itu,
kandungan unsur makro (Na+, Mg2+, K+, Ca2+, Cl–, SO42–) sangat menentukan salinitas
suatu perairan. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.
Salinitas merupakan parameter yang penting untuk mengontrol pertumbuhan
dan kelangsungan hidup dari Artemia. Artemia merupakan organisme euryhaline,
tetapi Artemia merasa nyaman ketika berada pada salinitas yang optimum. Pada
lingkungan yang alami, temperatur (suhu), makanan, dan salinitas merupakan faktor
penting yang mempengaruhi populasi Artemia (Wear and Huslett 1987 in
Soundarapandian and Saravanakumar 2009). Menurut Vanhaecke et al. (1987) in
Kaiser et al. (2006), salinitas merupakan faktor lingkungan paling penting yang
menentukan sebaran Artemia dengan populasi yang ditemukan di danau garam pada
tingkat salinitas sekitar 40‰, dimana ikan dan banyak predator invertebrata tidak
ada. Organisme hypersaline beradaptasi pada salinitas tinggi dengan beberapa
mekanisme fisiologi, termasuk osmoregulasi, sintesis, dan akumulasi berbagai larutan
yang cocok. Artemia merupakan makrozooplankton yang dominan yang terdapat pada
lingkungan hypersaline (Wurtsbaugh and Gliwicz 2001 in Eimanifar and Mohebbi
2007).
Salinitas yang diperlukan agar Artemia dapat menghasilkan kista bervariasi
tergantung pada strainnya; pada umumnya membutuhkan salinitas di atas 100‰.
10
Penetasan kista Artemia membutuhkan salinitas kurang dari 85‰. Apabila salinitas
air yang digunakan untuk penetasan tersebut lebih dari 85‰, maka kista tidak akan
menetas. Hal ini disebabkan oleh tekanan osmosis di luar kista lebih besar, sehingga
kista tidak dapat menyerap air yang diperlukan untuk proses metabolisme (Mudjiman
1989). Pada usaha penetasan kista, umumnya digunakan air laut (salinitas 30–33‰).
Namun pada penelitian Vanhaeckeet et al. in Purwanti (2004) ditemukan laju
penetasan yang lebih tinggi dengan menggunakan salinitas lebih rendah dari air laut.
Menurut Sorgeloos (1980), hal tersebut terjadi karena pada salinitas yang lebih rendah
dari air laut terjadi penurunan kebutuhan energi untuk memecahkan cangkang.
Dengan demikian, proses penetasan kista lebih mudah. Salinitas yang dibutuhkan
untuk penetasan kista Artemia secara optimal adalah 20–30‰ (Direktorat Jendral
Perikanan dan Kelautan 2003). Pertumbuhan biomassa Artemia yang baik terjadi pada
kisaran salinitas 30–50‰ (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Salinitas dapat berfluktuasi karena pengaruh penguapan dan hujan. Salinitas
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan zooplankton. Kisaran
salinitas yang tidak sesuai berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup dan
tingkat pertumbuhannya (Supriya et al. 2002).
Oksigen terlarut (Dissolved oxygen/DO) merupakan jumlah gas oksigen yang
ditemukan terlarut di dalam air (mg/l). Jumlah oksigen yang terlarut ini tergantung
pada suhu, salinitas, tekanan atmosfer, dan turbulensi air. Semakin tinggi temperatur
dan salinitas perairan, semakin rendah tingkat kelarutan oksigen dalam air. Lapisan
atas permukaan laut dalam keadaan normal mengandung oksigen terlarut sebesar 4,5–
9,0 mg/l. Selain temperatur dan salinitas, oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh
tekanan hidrostatik. Semakin dalam laut, semakin rendah kandungan oksigen yang
terlarut dalam perairan tersebut (Sanusi 2006).
Oksigen terlarut dalam perairan sangat dibutuhkan oleh semua organisme yang
ada di dalamnya untuk pernafasan dalam rangka melangsungkan metabolisme dalam
tubuh mereka. Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari difusi, hasil fotosintesa
fitoplankton dan adanya aliran air baru (Supriya et al. 2002).
Dalam penentuan persyaratan pemeliharaan zooplankton, kandungan oksigen
perairan bukan merupakan faktor utama. Kebutuhan akan oksigen terlarut tersebut
dapat dipenuhi dari sumber pengudaraan tersendiri, yaitu dengan menggunakan
blower (Supriya et al. 2002).
Toleransi yang ekstrim terhadap konsentrasi oksigen terlarut adalah sifat umum
untuk beberapa spesies Artemia yang sukses menghadapi kondisi buruk dibawah
11
kondisi ekstrim (Amat 1985 in Nunes et al. 2005). Artemia termasuk hewan
euroksibion, yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang lebar terhadap
kandungan oksigen. Kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhan Artemia
adalah di atas 3,0 mg/l. Untuk kehidupan biota laut secara layak oksigen terlarut
harus lebih besar dari 5,0 mg/l (Kep.51/MENLH/2004) (Lampiran 1).
Salah satu parameter lingkungan penting yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan keberadaan organisme air termasuk zooplankton adalah pH.
Menurut Boyd (1982), dekomposisi bahan organik dan respirasi akan menurunkan
kandungan oksigen terlarut, yang berdampak pada meningkatnya kadar CO2 bebas,
sehingga mengakibatkan menurunnya pH air.
Sverdrup et al. (1960), mengatakan bahwa konsentrasi ion hidrogen dari air laut
umumnya bersifat basa. Ion H+ dan OH– merupakan bagian dari kesetimbangan,
beberapa pengertian dari sistem karbon dioksida memerlukan pengetahuan dari
konsentrasi mereka. Air hasil sulingan murni dibagi menjadi ke dalam ion hidrogen
dan hidroksil:
H2O H+ + OH–
Jika konsentrasi ion H+ melebihi ion OH–, maka larutan adalah asam, dan jika
lebih sedikit adalah basa. Konsentrasi ion hidrogen dinyatakan secara normal sebagai
kesetimbangan per liter dan dinyatakan sebagai :
pH = log +
1
[H ]
Jadi, larutan netral memiliki pH sekitar 7, larutan asam memiliki pH kurang dari
7, dan larutan basa memiliki pH lebih dari 7.
Kondisi pH air juga mempengaruhi kehidupan Artemia. Artemia membutuhkan
pH air yang sedikit bersifat basa untuk kehidupannya. Nilai pH air sangat berpengaruh
terhadap efisiensi penetasan kista. Efesiensi penetasan kista akan menurun pada pH
yang kurang dari 8 (Mudjiman 1989). Artemia dapat tumbuh dengan baik pada pH air
yang berkisar antara 7,5–8,5 (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Untuk kehidupan
biota laut secara layak nilai pH harus dalam kisaran 7,0–8,5 (Kep.51/MENLH/2004)
(Lampiran 1).
Amonia (NH3) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu
hasil dari proses penguraian bahan organik. Amonia ini berada dalam dua bentuk,
yaitu amonia tak berion (NH3) dan amonia berion (NH4). Amonia tak berion bersifat
racun, sedangkan amonia berion bersifat tidak beracun. Tingkat peracunan amonia
12
tak berion berbeda untuk setiap species, tetapi pada kadar 0,6 ppm dapat
membahayakan organisme tersebut (Boyd 1982).
Efesiensi penetasan kista Artemia dipengaruhi oleh suhu, salinitas, pH, oksigen
terlarut dan intensitas cahaya. Pengaruh intensitas cahaya terhadap 4 strain geografi
dari kista Artemia menunjukkan bahwa kista Great Salt Lake memiliki perbedaan yang
minimum dalam derajat penetasan dengan perlakuan intensitas cahaya berbeda
(Sorgeloos 1973 in Vanhaecke et al. 1981).
Amonia biasanya timbul akibat kotoran dan hasil aktivitas mikroorganisme
dalam proses dekomposisi bahan organik yang kaya akan nitrogen. Bahan organik
yang terkandung di dalam air berasal dari organisme yang mati, hasil ekskresi
(kotoran organisme), dan sisa pakan. Tingginya kadar amonia biasanya diikuti
naiknya kadar nitrit. Tingginya kadar nitrit terjadi akibat lambatnya perubahan dari
nitrit ke nitrat oleh bakteri Nitrobacter (Supriya et al. 2002).
Artemia memiliki ketahanan terhadap kandungan amonia yang tinggi. Menurut
Sorgeloos (1980), konsentrasi amonia sebesar 2 mg/l dapat menghambat penelanan
makanan. Untuk kehidupan biota laut secara layak, nilai amonia total (NH3–N) harus
kurang dari 0,3 mg/l (Kep.51/MENLH/2004) (Lampiran 1).
Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Makanan Artemia berupa
plankton, detritus, dan partikel–partikel halus yang dapat masuk ke dalam mulut.
Dalam mengambil makanan, Artemia bersifat penyaring tidak selektif (non selectif filter
feeder). Oleh karena itu, kandungan gizi Artemia sangat dipengaruhi oleh kualitas
pakan yang tersedia pada perairan tersebut. Ukuran terbesar dari partikel pakan yang
dapat ditelan Artemia adalah 50 mikron. Artemia mengambil pakan dari media
hidupnya terus–menerus sambil berenang. Pengambilan makanan dilakukan
menggunakan antenna kedua pada nauplius, dan menggunakan telopodite yang
merupakan bagian dari thoracopoda pada Artemia dewasa (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995).
Dalam melakukan proses tumbuh, Artemia secara periodik melakukan ganti kulit
(molting) yang frekuensinya tergantung dari stadium siklus hidup dan kondisi
lingkungan tempat hidupnya. Pada proses ganti kulit ini, aktivitas osmoregulasi
memegang peranan penting yang berhubungan dengan besarnya energi yang
digunakan (Riani 1990 in Purwanti 2004).
Menurut Locwood (1989) in Purwanti (2004), walaupun ganti kulit hanya
merupakan bagian yang pendek dari seluruh siklus hidup, tetapi periode ini cukup
berbahaya dan tingkat kematian sering tinggi pada saat ini. Sumber dari bahaya
13
tersebut ada tiga macam, yaitu meliputi faktor mekanik, fisiologi, dan biologi. Masalah
fisiologi yang timbul adalah akibat beragamnya rasio ionik dan konsentrasi total ion
dalam cairan tubuh pada saat ganti kulit dan hasil pengenceran akibat penarikan kadar
air yang masuk ke dalam sel dan dari perubahan permeabilitas pada permukaan
tubuh.
Menurut cara reproduksinya, Artemia dipilah menjadi dua, yaitu Artemia yang
bersifat biseksual dan Artemia yang bersifat parthenogenetik. Artemia biseksual
berkembangbiak secara seksual dengan perkembangbiakan yang didahului oleh
perkawinan antara jantan dan betina. Artemia parthenogenetik berkembangbiak
secara parthenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur atau nauplius tanpa adanya
pembuahan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Siklus hidup Artemia cukup unik, baik jenis biseksual maupun partenogenetik
(Gambar 5). Perkembangbiakannya dapat secara ovovivipar maupun ovipar
tergantung kondisi lingkungan, terutama salinitas. Pada salinitas tinggi akan
dihasilkan kista yang keluar dari induk betina, sehingga disebut perkembangbiakan
secara ovipar. Pada salinitas rendah tidak akan dihasilkan kista, tetapi telur langsung
menetas menjadi nauplius, sehingga disebut perkembangbiakan secara ovovivipar
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Dalam kehidupan Artemia, baik pada perkembangan biseksual maupun
parthenogenesis kedua–duanya dapat terjadi secara ovovivipar maupun ovipar. Pada
cara ovovivipar (menghasilkan nauplius), sel telur yang telah dibuahi di dalam uterus
berkembang menjadi embrio melalui stadia blastula dan gastrula. Dalam keadaan
lingkungan yang baik, gastrula akan berkembang lebih lanjut menjadi nauplius, yang
akhirnya dikeluarkan dari tubuh induknya. Apabila keadaan lingkungan tersebut
buruk, perkembangannya terhenti sampai pada tingkat gastrula. Selanjutnya stadia
gastrula dibungkus dengan cangkang telur yang kuat dan mengandung hematin yang
dihasilkan oleh kelenjar cangkang telur, yang dikeluarkan dari tubuh induknya dalam
bentuk kista. Kista akan menjadi nauplius melalui proses penetasan lebih dahulu yang
disebut dengan cara ovivar (Mudjiman 1989).
Menurut Mudjiman (1989), ovoviviparitas biasanya terjadi apabila keadaan
lingkungan cukup baik dengan salinitas air berkisar antara 100–150‰ ke bawah,
sehingga burayak yang masih lembut itu dapat hidup tanpa gangguan. Oviparitas
biasanya terjadi apabila keadaan lingkungan sangat buruk, terutama kadar oksigennya
sangat rendah dan salinitas lebih dari 150‰. Dengan demikian, kista yang
bercangkang tebal dan kuat itu mampu menghadapi keadaan yang buruk sambil
14
beristirahat. Apabila keadaan lingkungan sudah membaik, kista menetas menjadi
nauplius, dan memulai kehidupan baru.
Pada jenis biseksual, perkembangbiakan diawali dengan perkawinan.
Perkawinan diawali dengan adanya pasangan jantan dan betina yang berenang
bersama (riding pair). Artemia betina di depan, sedangkan Artemia jantan “memeluk”
dengan menggunakan penjepit di belakangnya. Riding pair berlangsung cukup lama,
walaupun perkawinan/kopulasinya hanya membutuhkan waktu singkat. Artemia
jantan memasukkan penis ke dalam lubang uterus betina dengan cara
membengkokkan tubuhnya ke depan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Gambar 5. Siklus Hidup Artemia (Mudjiman 1989)
3. METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Kegiatan penelitian berupa percobaan di laboratorium yang terdiri dari dua
tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk
mengetahui derajat penetasan kista pada kondisi salinitas yang berbeda (20, 30, dan
40‰). Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dan
perkembangan Artemia salina pada kondisi salinitas yang berbeda (20, 30, dan 40‰).
3.1.1. Penelitian pendahuluan
Penetasan kista Artemia salina dilakukan secara langsung, diawali dengan proses
perendaman menggunakan air tawar selama 2 jam, kemudian ditetaskan
menggunakan air laut pada kondisi salinitas yang berbeda (20, 30, dan 40‰) dengan
periode inkubasi 24 jam. Hasil penelitian pendahuluan akan dijadikan sebagai
landasan teknis dalam melakukan penelitian utama. Penelitian pendahuluan ini terdiri
dari tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, penetasan, dan pengamatan.
1. Tahap persiapan
Pada tahap ini disiapkan enam botol air mineral berukuran 1,5 liter untuk
proses perendaman dan penetasan kista Artemia salina, selang aerasi, kran aerasi,
aerator listrik, lampu TL 20 watt, saringan berukuran 60 µm, kista A. salina, air tawar,
dan air laut. Selain itu, diperlukan alat pengukur kualitas air untuk parameter pH dan
suhu menggunakan pH-meter “Ecoscan”, DO menggunakan DO-meter “Lutron DO-
5510 HA”, serta salinitas menggunakan hand refraktometer “Atago”.
2. Tahap perendaman dan penetasan kista Artemia salina
Kista Artemia salina yang digunakan dalam penelitian ini adalah Artemia yang
berasal dari Great Salt Lake (Lampiran 3). Pada tahap ini, kista A. salina ditimbang
sebanyak 0,5 g atau 500 mg, kemudian kista tersebut dimasukkan ke dalam wadah
perendaman yang telah berisi air tawar sebanyak 500 ml dan diaerasi selama 2 jam.
Setelah 2 jam, kista dikeluarkan dengan menggunakan saringan berukuran 60 µm.
Kemudian kista tersebut dimasukkan ke dalam wadah penetasan berisi air laut pada
kondisi salinitas yang berbeda (20, 30, dan 40‰) masing-masing sebanyak 500 ml
16
dan diaerasi selama 24 jam. Setelah 24 jam, proses aerasi dimatikan, kemudian
didiamkan selama 30 menit supaya kista A. salina yang menetas menjadi nauplius dan
kista yang tidak menetas terlihat terpisah pada wadah penetasan yang dibuat
berwarna hitam pada bagian atasnya (Gambar 6). Proses perendaman dan penetasan
dibantu cahaya dari luar wadah dengan menggunakan lampu TL 20 Watt dengan jarak
sekitar 20 cm antara lampu dengan wadah (Gambar 6 dan Lampiran 4). Kualitas air
yang diukur sebelum proses penetasan dapat dilihat pada Tabel 1.
20 cm
Wadah perendaman air aquades Wadah penetasan kista dengan air laut
20, 30, dan 40‰
Gambar 6. Rancangan wadah perendaman dan penetasan kista Artemia salina
Tabel 1. Data kualitas air sebelum proses penetasan kista Artemia salina
Perlakuan
(salinitas) pH
DO
(mg/l)
Suhu
(°C)
20 8,50 5,4 28,7
30 8,51 5,5 28,7
40 8,53 5,7 28,7
Setelah 30 menit tanpa aerasi, cangkang Artemia salina akan mengambang dan
terkumpul di permukaan air. Nauplius A. salina akan berenang menuju ke arah cahaya,
yaitu pada bagian wadah penetasan yang transparan dan dapat ditembus cahaya.
Dengan demikian, nauplius akan berkumpul di dasar wadah penetasan. Selain
nauplius, di dasar wadah juga akan terkumpul kista yang tidak menetas.
Setelah cangkang terkumpul di atas permukaan air dan terpisah dari nauplius
yang berada di dasar wadah, pemanenan dapat dilakukan. Pemanenan dilakukan
dengan cara mengeluarkan nauplius yang berada di dasar wadah dengan selang kecil
yang disaring dengan saringan berukuran 60 µm dan di bawah saringan tersebut
diletakkan wadah agar nauplius tetap berada dalam media air.
Lampu TL 20 Watt Lampu TL 20 Watt
17
3. Tahap pengamatan
Setelah pemanenan, dilakukan pengambilan contoh untuk mengetahui derajat
penetasan kista. Derajat penetasan dapat didekati melalui penentuan nilai efisiensi
penetasan dan persentase penetasan.
Pengambilan contoh untuk keperluan ini dilakukan secara acak sebanyak lima
kali, masing-masing sebanyak 10 ml. Setiap sampel diletakkan pada cawan petri
dengan dasar bertransek berukuran 0,5x0,5 cm2 (Gambar 7), dengan tinggi air 0,5 cm.
Setelah itu, diteteskan larutan Lugol sebanyak 1-2 tetes sampai nauplius mati dan
berwarna lebih jelas sehingga jumlah nauplius dan jumlah kista yang tidak menetas
dapat dihitung dengan bantuan alat hitung (hand counter). Pengamatan dilakukan
dengan menggunakan mikroskop stereo.
Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan derajat penetasan pada salinitas
20, 30, dan 40‰. Berdasarkan nilai efisiensi penetasan untuk satu gram kista Artemia
salina, nilai tertinggi sampai terendah, secara berurutan terdapat pada perlakuan
salinitas 20‰ (157.000 individu), 30‰ (148.000 individu), dan 40‰ (134.000
individu). Selanjutnya, urutan persentase penetasan yang tertinggi sampai terendah
adalah sebesar 62,97%, 59,29%, dan 53,77%, masing-masing pada perlakuan salinitas
20, 30, dan 40‰ (Lampiran 5).
Gambar 7. Cawan petri bertransek untuk menghitung derajat penetasan
3.1.2. Penelitian utama
Hasil penelitian pendahuluan digunakan sebagai landasan teknis dalam
penelitian utama. Penelitian utama merupakan eksperimen faktor tunggal, yaitu tiga
perlakuan salinitas (20, 30, dan 40‰) dengan tiga ulangan. Penelitian utama ini
terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, pemeliharan, dan pengamatan.
18
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini disiapkan wadah pemeliharaan Artemia salina berupa akuarium
dengan media pemeliharaan berupa air laut. Wadah pemeliharaan berukuran
30x30x30 cm3, aerator listrik, selang, kran, dan batu aerasi.
Sterilisasi air laut dilakukan dengan penyaringan menggunakan saringan
berukuran 20 µm dan perebusan hingga mendidih (sterilisasi basah). Proses
perebusan juga dilakukan untuk mendapatkan salinitas yang diperlukan sesuai dengan
perlakuan yang dibutuhkan. Sterilisasi wadah akuarium dilakukan dengan mencuci
menggunakan deterjen dan pemberian kaporit (Lampiran 6). Volume air laut pada
akuarium sebanyak 10 liter (±75% dari volume total akuarium). Air laut diaerasi
selama satu hari sebelum Artemia salina hasil penetasan dimasukkan ke dalam media
pemeliharaan.
Selanjutnya Artemia salina yang merupakan hasil penetasan kista ditebar ke
dalam wadah pemeliharaan dengan padat tebar 800 ind/l (Ari 2005) dan volume air
laut 10 L, sehingga nauplius yang dibutuhkan sebanyak 8000 ind. Berdasarkan hasil
penelitian pendahuluan, nauplius yang dibutuhkan tersebut adalah sebanyak 50,8;
54,0; dan 59,5 ml, masing–masing untuk perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰
(Lampiran 5).
2. Tahap Pemeliharaan Artemia salina
Pada tahap ini digunakan akuarium dan air laut dengan salinitas berbeda (20,
30, dan 40‰). Setiap perlakuan memiliki tiga ulangan. Perlakuan salinitas pada
wadah penetasan dan wadah pemeliharaan adalah sama. Rancangan perlakuan
selama penelitian utama dilakukan dengan tiga perlakuan salinitas dan tiga ulangan
dapat dilihat pada Gambar 8.
Akuarium
Keterangan : a = perlakuan (1,2, dan 3) dengan 1,2, dan 3 = salinitas 20, 30, dan 40‰,
b = ulangan (1,2, dan 3)
Gambar 8. Rancangan perlakuan selama penelitian utama
2.3 2.2 2.1
3.3 1.3 3.1
3.2 1.2 1.1
a.b
19
Pemeliharaan Artemia salina dilakukan selama 10 hari. Pakan yang diberikan
selama masa pemeliharaan berupa pakan buatan fermentasi (Lampiran 7) sebanyak
1,5 ml atau 30 tetes pipet tetes. Frekuensi pemberian pakan adalah tiga kali sehari
pada pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB. Pada kegiatan pemeliharaan dilakukan
kegiatan penyifonan. Penyifonan dasar wadah akuarium dilakukan sekali setiap tiga
hari pada pukul 07. 00 WIB, sebelum pemberian pakan.
Pengukuran kualitas air (suhu, pH, oksigen terlarut, dan salinitas) dilakukan
setiap tiga hari sekali pada pagi hari (pukul 06.00 WIB) dan siang hari (pukul 14.00
WIB). Alat pengukur yang digunakan untuk parameter pH dan suhu menggunakan pH-
meter “Ecoscan”, oksigen terlarut menggunakan DO-meter “Lutron DO-5510 HA”, serta
salinitas menggunakan hand refraktometer “Atago”. Pengukuran kadar amonia
(metode phenol) dilakukan menggunakan alat spektrofotometer di awal dan akhir
penelitian. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui adanya tingkat metabolisme
Artemia salina.
3. Tahap Pengamatan
Pada tahap ini dilakukan pengambilan contoh dari wadah pemeliharaan Artemia
salina secara acak sebanyak 10 individu untuk setiap ulangan (akuarium) pada setiap
perlakuan salinitas berbeda. Setelah itu, contoh tersebut diawetkan dengan
menggunakan larutan Lugol 1%. Pengamatan dilakukan melalui pengambilan gambar
dengan menggunakan mikroskop listrik yang terhubung dengan perangkat komputer
yang menggunakan program Motic Image Plus 2.0. Citra yang diperoleh digunakan
sebagai acuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dengan pengukuran dimensi
(panjang total dan lebar tubuh) A. salina. Citra tersebut digunakan untuk mengetahui
pola perkembangan dengan melihat persentase capaian instar.
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Plankton, Bagian
Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
pendahuluan dilakukan pada bulan Maret–Juni dan penelitian utama pada bulan Juli–
Agustus 2009.
20
3.3. Variabel dan atau Parameter serta Pengukurannya
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dimensi (panjang total dan lebar
tubuh), dan persentase capaian instar Artemia salina pada salinitas berbeda (20, 30,
dan 40‰). Selain itu, juga diamati ciri-ciri morfologi instar A. salina.
3.3.1. Dimensi Artemia salina
Pengukuran dimensi (panjang total dan lebar tubuh) Artemia salina dilakukan
terhadap 10 individu yang diambil secara acak pada setiap ulangan dari tiap
perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari pada pukul 09.00 WIB.
Kemudian sampel diawetkan menggunakan larutan Lugol 1%.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan program Motic Image Plus 2.0
dengan measure object lens 40x pada komputer yang terhubung dengan mikroskop
listrik dengan perbesaran 4x10. Nilai panjang total dan lebar tubuh dalam satuan µm
dapat langsung dilihat pada skala dalam citra yang muncul dengan menggunakan
program Motic Image Plus 2.0.
3.3.2. Persentase capaian instar Artemia salina
Capaian instar diketahui dengan melihat hasil foto pada setiap pengamatan
kemudian diamati ciri-ciri yang menjadi penanda setiap capaian instar. Tidak seluruh
capaian instar diamati berurutan, hal ini berkaitan dengan acuan yang digunakan dan
frekuensi waktu pengamatan yang dilakukan. Persentase capaian instar Artemia salina
pada salinitas berbeda disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase capaian instar Artemia salina pada salinitas berbeda (Identifikasi
menurut Lavens and Sorgeloos 1996)
Hari ke- Persentase capaian instar ke– pada salinitas 20, 30, atau 40‰ (%)
I V X XII XV
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
21
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan berupa penentuan derajat penetasan kista pada salinitas
berbeda. Penetasan kista dilakukan secara langsung, diawali dengan proses
perendaman menggunakan air tawar selama 2 jam, kemudian ditetaskan
menggunakan air laut pada salinitas berbeda (20, 30, dan 40‰) dengan periode
inkubasi 24 jam. Informasi mengenai derajat penetasan akan digunakan untuk
mengetahui jumlah nauplius Artemia salina (individu/ml) yang diperlukan pada
penelitian utama.
Penentuan derajat penetasan kista Artemia salina pada salinitas berbeda
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat penetasan kista Artemia
salina pada salinitas berbeda. Metode yang dilakukan dalam penetasan kista A. salina
adalah metode hatching efficiency (ind/g) dan hatching percentage (%). Metode
efisiensi penetasan (hatching efficiency) adalah suatu ukuran yang menggambarkan
jumlah nauplius yang dihasilkan dalam setiap gram kista. Efisiensi penetasan dihitung
dengan menggunakan rumus (Harefa 1997) sebagai berikut.
HE = N x 500 ml x 2
1 g kista
Keterangan : HE = Hatching efficiency (efisiensi penetasan) (ind/g)
N = jumlah nauplius yang dihasilkan (ind/ml)
Persentase penetasan (hatching percentage) adalah suatu nilai (dalam %) yang
menyatakan jumlah nauplius yang dihasilkan dari jumlah telur yang ditetaskan. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui berapa banyak jumlah kista Artemia salina yang menetas
pada salinitas berbeda. Persentase penetasan dihitung dengan menggunakan rumus
(Harefa 1997) sebagai berikut.
HP = N
(N + C) x 100%
Keterangan : HP = Hatching percentage (persentase penetasan) dalam %
N = jumlah nauplius yang menetas
C = jumlah kista yang berisi tapi tidak menetas
22
3.4.2. Penelitian utama
Kegiatan dalam penelitian utama terdiri dari penetasan kista pada salinitas 20,
30, dan 40‰, serta pemeliharaan Artemia salina pada kondisi salinitas yang sama
dengan media penetasan. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan
panjang total dan lebar tubuh, distribusi frekuensi panjang total dan lebar tubuh, serta
persentase capaian instar dengan melihat ciri-ciri morfologi perkembangan A. salina.
Dengan demikian dapat diketahui pola pertumbuhan dan perkembangan A. salina pada
salinitas berbeda.
a. Pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh Artemia salina
Dimensi panjang total dan lebar tubuh Artemia salina diukur selama 10 hari
pengamatan. Dimensi tersebut digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan
panjang total dan lebar tubuh harian A. salina pada perlakuan salinitas berbeda.
b. Distribusi frekuensi panjang total dan lebar tubuh Artemia salina
Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi ini adalah data
panjang total dan lebar tubuh Artemia salina. Pengambilan contoh secara acak
dilakukan pada 10 individu dari setiap ulangan pada wadah pemeliharaan dengan
periode pengambilan setiap hari. Pola pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh A.
salina disajikan dalam bentuk grafik.
Distribusi frekuensi panjang total dan lebar tubuh Artemia salina pada salinitas
berbeda diplotkan dalam bentuk diagram. Berdasarkan diagram tersebut dapat
terlihat pergeseran distribusi kelas panjang total dan lebar tubuh A. salina pada
salinitas berbeda.
c. Penentuan ciri–ciri morfologi perkembangan Artemia salina
Pengamatan ciri-ciri morfologi perkembangan Artemia salina menggunakan
mikroskop listrik. Pengambilan gambar menggunakan kamera yang terhubung
dengan mikroskop listrik dan program Motic Image Plus 2.0 pada perangkat komputer.
Citra yang telah dihasilkan dapat digunakan untuk mengetahui persentase capaian
instar A. salina. Morfologi capaian instar A. salina diidentifikasi menurut Lavens and
Sorgeloos (1996) (Lampiran 8).
23
3.5. Analisis Data
Model umum yang digunakan adalah model yang mengikuti rancangan acak
lengkap “dalam waktu” (RAL in time). Kemudian dilakukan analisis dengan uji F
(ANOVA) dan uji lanjut Duncan. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95% (α =
0,05) menggunakan perangkat lunak SAS (Statistical Analysis Software) versi 9.1.
Analisis pola pertumbuhan harian (panjang total dan lebar tubuh) populasi Artemia
salina dilakukan dengan melihat distribusi sebaran panjang total dan lebar tubuh. Pola
perkembangan A. salina dapat dilihat dari capaian instar berdasarkan ciri-ciri
morfologi perkembangan A. salina. Analisis kualitas air selama pengamatan dengan
uji-t dilakukan dengan menggunakan Microsoft office excel 2007.
3.5.1. Rancangan acak lengkap dalam waktu (RAL in time)
Rancangan acak lengkap dalam waktu (RAL in time) digunakan untuk analisis
statistik parameter panjang total dan lebar tubuh Artemia salina. Tabel sidik ragam
RAL in time disajikan pada Tabel 3. Rumus umum dan hipotesis (Mattjik dan
Sumertajaya 2002) yang digunakan adalah sebagai berikut.
Yijk = µ + αi + δij + ωk + γjk + αωik + εijk
Keterangan :
Yijk = nilai parameter panjang total atau lebar tubuh Artemia salina
µ = rata-rata nilai parameter panjang total atau lebar tubuh A. salina
αi = pengaruh jenis fungsi ke-i, i=1,2,3
δij = komponen acak perlakuan
ωk = pengaruh waktu ke-k, k = 1,2,3,…,10
γjk = komponen acak waktu
αωik = pengaruh interaksi fungsi ke-i waktu ke-k
εijk = komponen acak interaksi perlakuan dan waktu
Hipotesis yang dapat diuji dari rancangan diatas digunakan untuk mengetahui
ada tidaknya pengaruh perlakuan, waktu, dan interaksi antara perlakuan dengan
waktu terhadap panjang total atau lebar tubuh Artemia salina. Bentuk hipotesis yang
dapat diuji adalah sebagai berikut :
a. H0 : tidak ada pengaruh faktor salinitas terhadap panjang total A. salina
H1 : ada pengaruh faktor salinitas terhadap panjang total A. salina
b. H0 : tidak ada pengaruh faktor waktu terhadap panjang total A. salina
H1 : ada pengaruh faktor waktu terhadap panjang total A. salina
24
c. H0 : tidak ada pengaruh faktor salinitas terhadap lebar tubuh A. salina
H1 : ada pengaruh faktor salinitas terhadap lebar tubuh A. salina
d. H0 : tidak ada pengaruh faktor waktu terhadap lebar tubuh A. salina
H1 : ada pengaruh faktor waktu terhadap lebar tubuh A. salina
Penarikan kesimpulan dilihat dari tabel anova. Kesimpulan yang dapat diambil adalah
sebagai berikut:
• Jika nilai Fhitung > nilai Ftabel maka tolak H0, berarti minimal ada satu perlakuan yang
memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0,05.
• Jika nilai Fhitung < nilai Ftabel maka gagal tolak H0, berarti tidak ada perlakuan yang
memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0,05.
Tabel 3. Sidik ragam RAL in time
Sumber keragaman Db Jumlah
kuadrat
kuadrat
tengah F-hitung F-tabel (5%)
perlakuan jenis (a) a-1 JKA KTA KTA/KTG (a) F(V1,V2)
waktu (b) b-1 JKB KTB KTB/KTG (b)
jenis*waktu (a-1)(b-1) JKAB KTAB
galat jenis (a) a (r-1) JKG (a) KTG (a)
galat waktu (b) (b-1) (r-1) JKG (b) KTG (b)
Sumber : modifikasi Mattjik dan Sumertajaya (2000)
Keterangan :
a = jenis perlakuan = 3
b = waktu (hari) = 10
r = total ulangan untuk semua perlakuan = 3
JKA = jumlah kuadrat faktor (A)
JKB = jumlah kuadrat faktor (B)
JKAB = jumlah kuadrat interaksi faktor (A) dan (B)
JKG (a) = jumlah kuadrat galat (a)
JKG (b) = jumlah kuadrat galat (b)
KTA = kuadrat tengah faktor (a)
KTB = kuadrat tengah faktor (b)
KTAB = kuadrat tengah interaksi faktor (A) dan (B)
KTG (a) = kuadrat tengah faktor (A)
KTG (b) = kuadrat tengah faktor (B)
V1 = i–1 dan V2 = ij–i
25
3.5.2. Uji perbandingan berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test)
Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2000) uji Duncan merupakan salah satu
metode untuk membandingkan nilai tengah perlakuan. Perlakuan-perlakuan yang
berada dalam satu garis yang sama berarti perlakuan tersebut tidak berbeda nyata
pada taraf α. Nilai kritis Duncan dapat dihitung sebagai berikut :
Rp = r α.p.dbg . Sγ
Sγ = KTGr
Keterangan :
r α.p.dbg = nilai tabel Duncan pada taraf nyata α = 5%, jarak peringkat dua perlakuan p, dan
derajat bebas galat sebesar dbg = 36. Dari rumusan diatas terlihat bahwa ulangan setiap
perlakuan harus sama.
3.5.3. Uji t
Uji t merupakan uji yang dilakukan terhadap dua variabel secara normal untuk
melihat perbedaan nilai terhadap dua varibel tersebut. Jika ukuran contoh kecil
(n<30), nilai σ berubah cukup besar dari contoh ke contoh dan nilai tersebut tidak lagi
menyebar normal baku. Dalam hal ini kita menghadapi sebaran statistik yang akan
disebut dengan uji t (Mattjik dan Sumertajaya 2000).
x - µ
nσ
Nilai tersebut adalah peubah acak yang menyebar uji-t dengan derajat bebas n-1.
Hipotesis yang dapat diuji dari uji-t apakah ada perbedaan nyata antara nilai kisaran
minimum dan maksimum kualitas air dari awal sampai akhir pengamatan. Dengan
demikian dapat diketahui apakah kondisi lingkungan berupa kualitas air terkontrol
atau tidak. Bentuk hipotesis yang dapat diuji adalah sebagai berikut :
Pengaruh perlakuan:
Ho: µ1 = µ2 = 0 (Kisaran kualitas air berupa suhu, pH, DO, dan amonia minimum =
maksimum)
H1: µ1 ≠ µ2 ≠ 0 (Kisaran kualitas air berupa suhu, pH, DO, dan amonia minimum ≠
maksimum)
26
Penarikan kesimpulan dilihat dari tabel anova. Kesimpulan yang dapat diambil
adalah sebagai berikut:
• Jika nilai │t hitung │> nilai t tabel maka tolak H0, berarti variabel 1 dan 2 berbeda
nyata pada taraf kepercayaan 0,05.
• Jika nilai │t hitung│< nilai t tabel maka gagal tolak H0, berarti tidak ada pebedaan
yang nyata antara variabel 1 dengan variabel 2 pada taraf kepercayaan 0,05.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh Artemia salina
Panjang total dan lebar tubuh Artemia salina diukur untuk mengetahui pola
pertumbuhan harian pada perlakuan salinitas yang berbeda. Pengukuran tersebut
dilakukan mulai dari hari pertama sampai hari ke sepuluh setelah proses penetasan
kista dengan periode inkubasi selama 24 jam. Rataan panjang total harian A. salina
disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 9.
Tabel 4. Panjang total Artemia salina selama pengamatan
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan panjang total (µm)
Waktu Pengamatan (hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
20 ‰ 608,7
(8,7)
780,4
(10,0)
855,5
(10,2)
953,8
(12,4)
1058,6
(20,7)
1135,8
(26,7)
1253,7
(30,6)
1538,3
(74,3)
1923,0
(134,9)
2111,8
(179,0)
30 ‰ 608,5
(7,5)
764,3
(10,1)
815,3
(16,4)
881,2
(16,0)
958,9
(19,1)
1163,2
(36,8)
1270,2
(48,6)
1339,5
(54,0)
1433,0
(52,6)
1658,9
(57,9)
40 ‰ 604,7
(5,4)
733,3
(9,5)
841,7
(10,7)
999,0
(16,6)
1205,7
(40,4)
1424,9
(36,5)
1932,9
(90,5)
2181,0
(108,9)
2351,6
(132,1)
2736,9
(162,0)
Keterangan : nilai dalam tanda kurung ( ) menunjukkan standard error
Gambar 9. Grafik rataan panjang total harian Artemia salina
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ra
taa
n P
an
jan
g T
ota
l (µ
m)
Waktu Pengamatan (hari)
Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
28
Tabel 4 tersebut menunjukkan rataan panjang total Artemia salina yang semakin
tinggi dengan bertambahnya hari, baik pada perlakuan 20, 30, maupun 40‰. Hal ini
menunjukkan A. salina mengalami pertumbuhan panjang total. Namun apabila
disimak lebih dalam, maka perlakuan salinitas 40‰ memiliki rataan panjang total
yang paling tinggi. Gambar 9 juga menunjukkan bahwa A. salina pada perlakuan
salinitas 40‰ mengalami pertumbuhan panjang total yang paling cepat.
Selain pertumbuhan panjang total, Artemia salina juga mengalami pertumbuhan
lebar tubuh (Tabel 5 dan Gambar 10). Secara umum terlihat bahwa pada perlakuan
salinitas berbeda juga terdapat pola pertumbuhan lebar yang berbeda.
Tabel 5. Lebar tubuh Artemia salina selama pengamatan
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan lebar tubuh (µm)
Waktu Pengamatan (hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
20 ‰ 115,1
(2,1)
113,2
(1,6)
111,9
(1,5)
113,8
(1,8)
116,2
(2,8)
118,6
(3,9)
122,3
(2,2)
152,7
(6,2)
162,0
(9,9)
171,0
(10,0)
30 ‰ 125,1
(3,3)
116,6
(1,6)
115,2
(2,9)
113,3
(1,3)
117,1
(1,6)
125,1
(2,8)
131,3
(2,9)
133,2
(3,1)
138,7
(3,6)
138,7
(2,7)
40 ‰ 124,4
(2,5)
112,8
(1,8)
113,4
(1,7)
123,0
(1,7)
126,3
(3,2)
134,3
(2,4)
162,3
(4,8)
157,2
(4,7)
162,2
(6,8)
180,4
(6,4)
Keterangan : nilai dalam tanda kurung ( ) menunjukkan standard error
Gambar 10. Grafik rataan lebar tubuh harian Artemia salina
0
40
80
120
160
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ra
taa
n L
eb
ar
Tu
bu
h (
µm
)
Waktu Pengamatan (hari)
Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
29
Salinitas merupakan parameter yang mempengaruhi pertumbuhan panjang total
dan lebar tubuh Artemia salina. Tabel 5 tersebut memperlihatkan bahwa rataan lebar
tubuh A. salina semakin tinggi dari awal sampai akhir pengamatan, baik pada
perlakuan 20, 30, maupun 40‰. Hal ini berarti A. salina mengalami pertumbuhan
lebar tubuh. Namun apabila perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ dibandingkan, maka
perlakuan salinitas 40‰ memiliki rataan lebar tubuh yang paling tinggi. Gambar 10
juga menunjukkan bahwa A. salina pada perlakuan salinitas 40‰ mengalami
pertumbuhan lebar tubuh yang paling cepat.
Hasil deskriptif tersebut dilanjutkan dengan analisis ragam panjang total
Artemia salina yang disajikan pada Tabel 6 dan Lampiran 9. Berdasarkan tabel
tersebut terlihat adanya perbedaan pola pertumbuhan panjang total A. salina pada
salinitas yang berbeda.
Tabel 6. Analisis sidik ragam panjang total Artemia salina
Sumber DF Tipe I SS Rataan
kuadrat Nilai F Pr > F
Perlakuan 2 2805001,53 1402500,77 13,09 * <,0001
Hari 9 21433351,02 2381483,45 22,23 * <,0001
Ulangan(Perlakuan) 6 2862557,23 477092,87 4,45 0,0018
Ulangan(Hari) 18 497304,01 27628,00 0,26 0,9983
Perlakuan*Hari 18 3004710,58 166928,37 1,56 0,1263
Keterangan : * menunjukkan pengaruh berbeda nyata (P<0,05)
Hasil analisis rancangan acak lengkap “dalam waktu” (RAL in time)
menunjukkan analisis sidik ragam lebar tubuh A. salina yang disajikan pada Tabel 7
dan Lampiran 10. Berdasarkan tabel tersebut terlihat adanya perbedaan pola
pertumbuhan lebar tubuh A. salina pada salinitas yang berbeda.
Tabel 7. Analisis sidik ragam lebar tubuh Artemia salina
Sumber DF Tipe I SS Rataan
kuadrat Nilai F Pr > F
Perlakuan 2 3209,38 1604,69 4,70 * 0,0153
Hari 9 26638,83 2959,87 8,67 * <,0001
Ulangan(Perlakuan) 6 10130,34 2218,38 6,50 0,0005
Ulangan(Hari) 18 8873,51 130,90 0,38 0,9834
Perlakuan*Hari 18 5345,90 296,99 0,87 0,6135
Keterangan : * menunjukkan pengaruh berbeda nyata (P<0,05)
30
4.1.2. Sebaran ukuran panjang total dan lebar tubuh Artemia salina
Sebaran ukuran panjang total Artemia salina selama 10 hari pengamatan pada
perlakuan salinitas berbeda disajikan pada Gambar 11. Pada Gambar 11 tampak
bahwa modus pada perlakuan salinitas berbeda terdapat pada selang kelas yang sama
yaitu 0,71–1,00 mm, masing-masing perlakuan sebesar 101, 112, dan 76 individu. Hal
ini menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan harian panjang total A. salina
pada salinitas berbeda. Artemia salina pada salinitas 40‰ dapat mencapai selang
kelas paling tinggi (Gambar 11), sedangkan pada salinitas 30‰ hanya dapat mencapai
selang kelas 2,21–2,50 mm. Namun jika pola pertumbuhan pada salinitas 40 dan 20‰
dibandingkan, maka pada salinitas 40‰ terdapat frekuensi yang lebih tinggi pada
selang kelas yang lebih tinggi. Dengan demikian perlakuan salinitas 40‰ memiliki
rataan panjang total yang paling tinggi. Hal ini juga dapat dilihat dari panjang total A.
salina pada perlakuan salinitas 40‰ pada hari kesepuluh yang menunjukkan
pertumbuhan panjang total yang paling tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa urutan pola pertumbuhan harian dari yang tercepat sampai terlambat yaitu
pada perlakuan salinitas 40, 20, dan 30‰.
Perbedaan pola pertumbuhan tersebut lebih terlihat jika dibuat sebaran panjang
total Artemia salina setiap dua hari selama 10 hari pada perlakuan salinitas 20, 30, dan
40‰ sebagaimana yang disajikan pada Gambar 12, 13, dan 14.
Berdasarkan Gambar 12 terlihat adanya pergeseran sebaran ukuran panjang
total pada perlakuan salinitas 20‰. Pada dua hari pertama, panjang total Artemia
salina terletak pada selang kelas 0,41–0,70 mm sampai 0,71–1,00 mm dengan
frekuensi tertinggi sebanyak 32 individu pada selang 0,41–0,70 mm. Pada dua hari
kedua, panjang total A. salina terletak pada selang kelas 0,71–1,00 mm sampai 1,01–
1,30 mm dengan frekuensi tertinggi sebanyak 51 individu pada selang 0,71–1,00 mm.
Pada dua hari ketiga, panjang total A. salina terletak pada selang kelas 0,71–1,00 mm
sampai 1,01–1,30 mm dengan frekuensi tertinggi sebanyak 33 individu pada selang
0,71–1,00 mm. Pada dua hari keempat, panjang total A. salina terletak pada selang
kelas 0,71–1,00 mm sampai 2,51–2,80 mm dengan frekuensi tertinggi sebanyak 23
individu pada selang 1,01–1,30 mm. Pada dua hari kelima, panjang total A. salina
terletak pada selang kelas 1,01–1,30 mm sampai 4,31–4,60 mm dengan frekuensi
tertinggi sebanyak 20 individu pada selang 1,01–1,30 mm.
31
Gambar 11. Sebaran ukuran panjang total Artemia salina pada salinitas berbeda (a, b,
dan c = salinitas 20, 30, dan 40‰)
0
20
40
60
80
100
120a
0
20
40
60
80
100
120
Fre
ku
en
si (
ind
ivid
u)
b
0
20
40
60
80
100
120
0.4
1-0
.70
0.7
1-1
.00
1.0
1-1
.30
1.3
1-1
.60
1.6
1-1
.90
1.9
1-2
.20
2.2
1-2
.50
2.5
1-2
.80
2.8
1-3
.10
3.1
1-3
.40
3.4
1-3
.70
3.7
1-4
.00
4.0
1-4
.30
4.3
1-4
.60
Selang Kelas (mm)
c
32
Gambar 12. Sebaran ukuran panjang total Artemia salina setiap dua hari pada salinitas
20‰
0
10
20
30
40
50
60H1& H2
0
10
20
30
40
50
60H3 & H4
0
10
20
30
40
50
60
Fre
ku
en
si
(in
div
idu
)
H5 & H6
0
10
20
30
40
50
60H7 & H8
0
10
20
30
40
50
60
0.4
1-0
.70
0.7
1-1
.00
1.0
1-1
.30
1.3
1-1
.60
1.6
1-1
.90
1.9
1-2
.20
2.2
1-2
.50
2.5
1-2
.80
2.8
1-3
.10
3.1
1-3
.40
3.4
1-3
.70
3.7
1-4
.00
4.0
1-4
.30
4.3
1-4
.60
Selang Kelas
H9 & H10
33
Gambar 13. Sebaran ukuran panjang total Artemia salina setiap dua hari pada salinitas
30‰
0
10
20
30
40
50
60
H1 & H2
0
10
20
30
40
50
60H3 & H4
0
10
20
30
40
50
60
Fr
ek
ue
ns
i
(in
div
idu
) H5 & H6
0
10
20
30
40
50
60
H7 & H8
0
10
20
30
40
50
60
0.4
1-0
.70
0.7
1-1
.00
1.0
1-1
.30
1.3
1-1
.60
1.6
1-1
.90
1.9
1-2
.20
2.2
1-2
.50
2.5
1-2
.80
2.8
1-3
.10
3.1
1-3
.40
3.4
1-3
.70
3.7
1-4
.00
4.0
1-4
.30
4.3
1-4
.60
Selang Kelas (mm)
H9 & H10
34
Gambar 14. Sebaran ukuran panjang total Artemia salina setiap dua hari pada salinitas
40‰
0
10
20
30
40
50
60H1 & H2
0
10
20
30
40
50
60
H3 & H4
0
10
20
30
40
50
60
Fr
ek
ue
nsi
(in
div
idu
)
H5 & H6
0
10
20
30
40
50
60H7 & H8
0
10
20
30
40
50
60
0.4
1-0
.70
0.7
1-1
.00
1.0
1-1
.30
1.3
1-1
.60
1.6
1-1
.90
1.9
1-2
.20
2.2
1-2
.50
2.5
1-2
.80
2.8
1-3
.10
3.1
1-3
.40
3.4
1-3
.70
3.7
1-4
.00
4.0
1-4
.30
4.3
1-4
.60
Selang Kelas (mm)
H9 & H10
35
Pergeseran modus kelas panjang total pada perlakuan salinitas 20‰ setiap dua hari
selama 10 hari ke arah kanan tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan.
Pada Gambar 13 terlihat adanya pergeseran sebaran ukuran panjang total pada
perlakuan salinitas 30‰. Pada dua hari pertama, panjang total Artemia salina terletak
pada selang kelas 0,41–0,70 mm sampai 0,71–1,00 mm dengan frekuensi tertinggi 34
individu pada selang 0,41–0,70 mm. Pada dua hari kedua, panjang total A. salina
terletak pada selang kelas 0,41–0,70 mm sampai 1,01–1,30 mm dengan frekuensi
tertinggi 53 individu pada selang 0,71–1,00 mm. Pada dua hari ketiga, panjang total A.
salina terletak pada selang kelas 0,71–1,00 mm sampai 1,61–1,90 mm dengan
frekuensi tertinggi 29 individu pada selang 0,71–1,00 mm. Pada dua hari keempat,
panjang total A. salina terletak pada selang kelas 0,71–1,00 mm sampai 1,91–2,20 mm
dengan frekuensi tertinggi 34 individu pada selang 1,01–1,30 mm. Sedangkan pada
dua hari kelima, panjang total A. salina terletak pada selang kelas 0,71–1,00 mm
sampai 2,21–2,50 mm dengan 21 individu pada selang yang sama yaitu 1,01–1,30 dan
1,31–1,60 mm. Pergeseran modus kelas panjang total ke arah kanan pada perlakuan
salinitas 30‰ setiap dua hari selama 10 hari tersebut menunjukkan adanya
pertumbuhan.
Pergeseran sebaran ukuran panjang total juga terjadi pada perlakuan salinitas
40‰ (Gambar 14). Pada dua hari pertama, panjang total Artemia salina terletak pada
selang kelas 0,41–0,70 mm sampai 0,71–1,00 mm dengan frekuensi tertinggi 37
individu pada selang 0,41–0,70 mm. Pada dua hari kedua, panjang total A. salina
terletak pada selang kelas 0,71–1,00 mm sampai 1,01–1,30 mm dengan frekuensi
tertinggi 49 individu pada selang 0,71–1,00 mm. Pada dua hari ketiga, panjang total A.
salina terletak pada selang kelas 0,71–1,00 mm sampai 1,91–2,20 mm dengan
frekuensi tertinggi 33 individu pada selang 1,01–1,30 mm. Pada dua hari keempat,
panjang total A. salina terletak pada selang kelas 1,01–1,30 mm sampai 3,41–3,70 mm
dengan frekuensi tertinggi 17 individu pada selang 1,61–1,90 mm. Sedangkan pada
dua hari kelima, panjang total A. salina terletak pada selang kelas 1,31–1,60 mm
sampai 4,31–4,60 mm dengan frekuensi tertinggi 14 individu pada selang 1,61–1,90
mm. Pertumbuhan terjadi pada perlakuan salinitas 40‰ setiap dua hari selama 10
hari dilihat dengan adanya pergeseran modus kelas panjang total ke arah kanan.
Pergeseran modus kelas panjang total ke arah kanan pada salinitas berbeda
menunjukkan adanya perbedaan. Pergeseran modus kelas panjang total pada salinitas
36
20 dan 40‰ memiliki pola yang sama, yaitu pada selang kelas dua hari pertama dan
kedua. Selanjutnya, pada dua hari ketiga, pada salinitas 40‰ lebih menyebar ke
selang kelas yang lebih tinggi. Begitu pula pada dua hari keempat dan kelima, pada
salinitas 40‰ terdapat pada selang kelas yang lebih tinggi dengan frekuensi yang
lebih tinggi. Dengan demikian, pada salinitas 40‰ terdapat rataan panjang total yang
paling tinggi. Sebaliknya, pada salinitas 30‰ terdapat sebaran frekuensi hanya
sampai selang kelas 2,21–2,50. Dengan demikian pada salinitas 30‰ terdapat rataan
panjang total yang paling rendah.
Berikutnya, sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina selama 10 hari
pengamatan pada salinitas berbeda disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar
tersebut dapat diketahui adanya perbedaan modus terdapat pada selang kelas yang
sama (0,111–0,140 mm) untuk salinitas yang berbeda, masing-masing perlakuan
sebesar 139, 182, dan 163 individu. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola
pertumbuhan harian lebar tubuh A. salina pada salinitas berbeda. Pada salinitas 40‰
terdapat pola pertumbuhan lebar tubuh yang lebih menyebar ke selang kelas yang
lebih tinggi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada selang kelas tersebut daripada
perlakuan salinitas lainnya. Hal ini berarti bahwa pada salinitas 40‰ terdapat rataan
lebar tubuh yang paling tinggi. Hal ini juga dapat diketahui dari lebar tubuh A. salina
pada perlakuan salinitas 40‰ pada hari kesepuluh yang menunjukkan pertumbuhan
tertinggi. Urutan pola pertumbuhan lebar tubuh A. salina harian dari yang tercepat
sampai terlambat adalah pada perlakuan salinitas 40, 20, dan 30‰.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan tersebut dapat diketahui bahwa
pertumbuhan panjang total berbanding lurus dengan pertumbuhan lebar tubuh
Artemia salina. Hal ini berarti semakin panjang tubuh A. salina, semakin lebar pula
tubuhnya.
Pertumbuhan harian lebar tubuh Artemia salina menunjukkan pola yang
berbeda pada salinitas berbeda. Sebaran lebar tubuh A. salina setiap dua hari pada
perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ disajikan pada Gambar 16, 17, dan 18.
Pergeseran sebaran ukuran lebar tubuh pada salinitas 20‰ terlihat pada Gambar 16.
Pada dua hari pertama, lebar tubuh A. salina pada selang kelas 0,081–0,110 mm
sampai 0,141–0,170 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm
yaitu 36 individu. Pada dua hari kedua, lebar tubuh A. salina pada selang kelas 0,081–
0,110 mm sampai 0,111–0,140 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang 0,111–
37
0,140 mm yaitu 32 individu. Pada dua hari ketiga, lebar tubuh A. salina terletak pada
selang kelas 0,081–0,110 mm sampai 0,141–0,170 mm dengan frekuensi tertinggi
pada selang 0,081–0,110 mm yaitu 28 individu. Pada dua hari keempat, lebar tubuh A.
salina terletak pada selang kelas 0,081–0,110 mm sampai 0,201–0,230 mm dengan
frekuensi tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm yaitu 36 individu. Sedangkan pada
dua hari kelima, lebar tubuh A. salina terletak pada selang kelas 0,081–0,110 mm
sampai 0,291–0,320 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang 0,171–0,200 mm
yaitu 14 individu. Pergeseran modus kelas lebar tubuh setiap dua hari selama 10 hari,
pada dua hari kedua ke arah kiri menunjukkan adanya pola pertumbuhan lebar tubuh
yang mengecil. Setelah itu, pada dua hari ketiga, keempat, dan kelima terjadi
pergeseran modus kelas lebar tubuh ke arah kanan yang menunjukkan adanya
pertumbuhan.
Sebaran lebar tubuh Artemia salina setiap dua hari pada salinitas 30‰
menunjukkan pergeseran (Gambar 17). Pada dua hari pertama, lebar tubuh A. salina
terletak pada selang kelas 0,081–0,110 mm sampai 0,141–0,170 mm dengan frekuensi
tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm yaitu 33 individu. Pada dua hari kedua, lebar
tubuh A. salina terletak pada selang kelas 0,081–0,110 mm sampai 0,171–0,200 mm
dengan frekuensi tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm yaitu 33 individu. Pada dua
hari ketiga, lebar tubuh A. salina terletak pada selang kelas 0,081–0,110 mm sampai
0,141–0,170 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm yaitu 40
individu. Pada dua hari keempat, lebar tubuh A. salina terletak pada selang kelas
0,081–0,110 mm sampai 0,141–0,170 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang
0,111–0,140 mm yaitu 39 individu. Pada dua hari kelima, lebar tubuh A. salina terletak
pada selang kelas 0,081–0,110 mm sampai 0,171–0,200 mm dengan frekuensi
tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm yaitu 38 individu. Modus kelas lebar tubuh
pada salinitas 30‰ setiap dua hari selama 10 hari tidak mengalami pergeseran ke
arah kiri dan kanan. Namun, jika dilihat dari frekuensi yang meningkat pada selang
kelas 0,141–0,170 pada dua hari ketiga, terdapat pola pertumbuhan lebar tubuh yang
mengecil. Selanjutnya, pada dua hari keempat, frekuensi pada selang kelas tersebut
meningkat, dan pada dua hari kelima ke arah kanan menandakan adanya
pertumbuhan.
38
Gambar 15. Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina pada salinitas berbeda (a, b,
dan c = salinitas 20, 30, dan 40‰)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200a
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Fr
ek
ue
nsi
(in
div
idu
)
b
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
0,0
81
-
0,1
10
0,1
11
-
0,1
40
0,1
41
-
0,1
70
0,1
71
-
0,2
00
0,2
01
-
0,2
30
0,2
31
-
0,2
60
0,2
61
-
0,2
90
0,2
91
-
0,3
20
Selang Kelas (mm)
c
39
Gambar 16. Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina setiap dua hari pada salinitas
20‰
0
10
20
30
40
50H1 & H2
0
10
20
30
40
50H3 & H4
0
10
20
30
40
50
Fr
ek
ue
nsi
(in
div
idu
)
H5 & H6
0
10
20
30
40
50H7 & H8
0
10
20
30
40
50
0,0
81
-0,1
10
0,1
11
-0,1
40
0,1
41
-0,1
70
0,1
71
-0,2
00
0,2
01
-0,2
30
0,2
31
-0,2
60
0,2
61
-0,2
90
0,2
91
-0,3
20
Selang Kelas (mm)
H9 & H10
40
Gambar 17. Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina setiap dua hari pada salinitas
30‰
0
10
20
30
40
50
H1 & H2
0
10
20
30
40
50H3 & H4
0
10
20
30
40
50
Fre
ku
en
si
(in
div
idu
)
H5 & H6
0
10
20
30
40
50
H7 & H8
0
10
20
30
40
50
0,0
81
-0,1
10
0,1
11
-0,1
40
0,1
41
-0,1
70
0,1
71
-0,2
00
0,2
01
-0,2
30
0,2
31
-0,2
60
0,2
61
-0,2
90
0,2
91
-0,3
20
Selang Kelas (mm)
H9 & H10
41
Gambar 18. Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina setiap dua hari pada salinitas
40‰
0
10
20
30
40
50H1 & H2
0
10
20
30
40
50
H3 & H4
0
10
20
30
40
50
Fre
ku
en
si
(in
div
idu
)
H5 & H6
0
10
20
30
40
50
H7 & H8
0
10
20
30
40
50
0,0
81
-0,1
10
0,1
11
-0,1
40
0,1
41
-0,1
70
0,1
71
-0,2
00
0,2
01
-0,2
30
0,2
31
-0,2
60
0,2
61
-0,2
90
0,2
91
-0,3
20
Selang Kelas (mm)
H9 & H10
42
Pada Gambar 18 terlihat adanya pergeseran sebaran ukuran lebar tubuh pada
perlakuan salinitas 40‰. Pada dua hari pertama, lebar tubuh Artemia salina terletak
pada selang kelas 0,081–0,110 mm sampai 0,171–0,200 mm dengan frekuensi
tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm yaitu 44 individu. Pada dua hari kedua, lebar
tubuh A. salina terletak pada selang kelas 0,081–0,110 mm sampai 0,111–0,140 mm
dengan frekuensi tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm yaitu 45 individu. Pada dua
hari ketiga, lebar tubuh A. salina terletak pada selang kelas 0,081–0,110 mm sampai
0,141–0,170 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang 0,111–0,140 mm yaitu 44
individu. Pada dua hari keempat, lebar tubuh A. salina terletak pada selang kelas
0,111–0,140 mm sampai 0,201–0,230 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang
0,141–0,170 mm yaitu 26 individu. Sedangkan Pada dua hari kelima, lebar tubuh A.
salina terletak pada selang kelas 0,111–0,140 mm sampai 0,261–0,290 mm dengan
frekuensi tertinggi pada selang 0,141–0,170 mm yaitu 21 individu. Pergeseran modus
kelas lebar tubuh pada perlakuan salinitas 40‰ setiap dua hari selama 10 hari ke arah
kanan pada dua hari ketiga menunjukkan adanya pertumbuhan. Namun, pola
pertumbuhan lebar tubuh tersebut mengecil terlebih dahulu. Hal ini dapat terlihat
dari sebaran frekuensi yang menurun pada dua hari kedua.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pola pertumbuhan lebar tubuh
Artemia salina pada perlakuan salinitas berbeda menunjukkan bahwa lebar tubuh
mengecil terlebih dahulu dan kemudian mulai mengalami pertumbuhan lebar tubuh.
Hal ini sesuai dengan perubahan morfologi tubuh A. salina yang setelah menetas
menjadi Nauplius mempunyai lebar tubuh yang cukup besar, kemudian mengecil
terlebih dahulu mengikuti lebar tubuh terkecil, dan pada akhirnya melebar lagi
melebihi lebar terbesar pada awal pengamatan.
4.1.3. Penentuan ciri–ciri morfologi perkembangan Artemia salina
Pertumbuhan dan perkembangan Artemia salina merupakan parameter yang
perlu diamati. Perkembangan A. salina pada perlakuan salinitas berbeda (20‰, 30‰,
dan 40‰) dapat dilihat dari capaian instar setiap hari selama 10 hari. Berdasarkan
identifikasi yang telah dilakukan menurut Lavens and Sorgeloos (1996) didapatkan
pola perkembangan A. salina yang berbeda pada perlakuan salinitas yang berbeda.
Persentase capaian instar A. salina pada salinitas 20‰ disajikan pada Tabel 8.
43
Tabel 8. Persentase capaian instar Artemia salina pada perlakuan salinitas 20‰
Hari ke- Persentase capaian instar ke- pada perlakuan salinitas 20‰ (%)
I V X XII XV
1 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00
3 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00
4 0.00 53.33 46.67 0.00 0.00
5 0.00 26.67 73.33 0.00 0.00
6 0.00 0.00 36.67 63.33 0.00
7 0.00 0.00 20.00 80.00 0.00
8 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00
9 0.00 0.00 0.00 83.33 16.67
10 0.00 0.00 0.00 83.33 16.67 Keterangan : Jumlah contoh = 30 individu per hari
Persentase capaian instar Artemia salina pada salinitas 20‰ (Tabel 8)
menunjukkan bahwa A. salina pada hari pertama sampai hari ke sepuluh mengalami
perkembangan. Perkembangan tersebut dilihat dari perbedaan morfologi A. salina
yang terjadi setiap hari.
Pada hari pertama, Artemia salina sebanyak 30 individu (100,00%) termasuk
instar I. Pada hari kedua sebanyak 30 individu (100,00%) termasuk instar V. Pada
hari ketiga sebanyak 30 individu (100,00%) termasuk instar V. Pada hari keempat
sebanyak 16 individu (53,33%) termasuk instar V dan 14 individu (46,67%) termasuk
instar X. Pada hari kelima sebanyak 8 individu (26,67%) termasuk instar V dan 22
individu (73,33%) termasuk instar X. Pada hari keenam sebanyak 11 individu
(36,67%) termasuk instar X dan 9 individu (63,33%) termasuk instar XII. Pada hari
ketujuh sebanyak 6 individu (20,00%) termasuk instar X dan 24 individu (80,00%)
termasuk instar XII. Pada hari kedelapan sebanyak 30 individu (100,00%) termasuk
instar XII. Pada hari kesembilan sebanyak 25 individu (83,33%) termasuk instar XII
dan 5 individu (16,67%) termasuk instar XV. Pada hari kesepuluh sebanyak 25
individu (83,33%) termasuk instar XII dan 5 individu (16,67%) termasuk instar XV.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat diketahui periode yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu instar. Pencapaian instar I terjadi setelah proses
penetasan kista dengan periode inkubasi 24 jam atau pada hari pertama proses
pemeliharaan. Pencapaian instar V, X, XII, dan XV pada salinitas 20‰ terjadi pada hari
kedua, keempat, keenam, dan kesembilan proses pemeliharaan.
44
Tabel 9. Persentase capaian instar Artemia salina pada perlakuan salinitas 30‰
Hari ke- Persentase capaian instar ke- pada perlakuan salinitas 30‰ (%)
I V X XII XV
1 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 3.33 96.67 0.00 0.00 0.00
3 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00
4 0.00 86.67 13.33 0.00 0.00
5 0.00 66.67 33.33 0.00 0.00
6 0.00 30.00 40.00 30.00 0.00
7 0.00 20.00 43.33 36.67 0.00
8 0.00 6.67 20.00 73.33 0.00
9 0.00 3.33 16.67 80.00 0.00
10 0.00 0.00 6.67 93.33 0.00 Keterangan : Jumlah contoh = 30 individu per hari
Persentase capaian instar A. salina pada salinitas 30‰ disajikan pada Tabel 9.
Persentase capaian instar Artemia salina pada salinitas 30‰ (Tabel 9) menunjukkan
bahwa A. salina pada hari pertama sampai hari ke sepuluh mengalami perkembangan.
Perkembangan A. salina pada hari pertama sebanyak 30 individu (100,00%) termasuk
instar I, pada hari kedua sebanyak 1 individu (3,33%) termasuk instar I dan 29
individu (96,67%) termasuk instar V, pada hari ketiga sebanyak 30 individu
(100,00%) termasuk instar V, pada hari keempat sebanyak 26 individu (86,67%)
termasuk instar V dan 4 individu (13,33%) termasuk instar X, pada hari kelima
sebanyak 20 individu (66,67%) termasuk instar V dan 10 individu (33,33%) termasuk
instar X, pada hari keenam sebanyak 9 individu (30,00%) termasuk instar X, 12
individu (40,00%) termasuk instar XII, dan 9 individu (30,00%), pada hari ketujuh
sebanyak 6 individu (20,00%) termasuk instar V, 13 individu (43,33%) termasuk
instar X, dan 11 individu (36,67%) termasuk instar XII, pada hari kedelapan sebanyak
2 individu (6,67%) termasuk instar V, 6 individu (20,00%) termasuk instar X, dan 22
individu (73,33%) termasuk instar XII. Pada hari kesembilan sebanyak 1 individu
(3,33%) termasuk instar V, 5 individu (16,67%) termasuk instar X, dan 24 individu
(80,00%) termasuk instar XII. Pada hari kesepuluh sebanyak 2 individu (6,67%)
termasuk instar X dan 28 individu (93,33%) termasuk instar XII.
Berdasarkan hasil analisis diatas diketahui bahwa Artemia salina mencapai
instar I, V, X, dan XII terjadi pada hari pertama, kedua, keempat, dan keenam proses
pemeliharaan. Namun, A. salina pada salinitas 30‰ belum menunjukkan ciri-ciri
morfologi perkembangan instar XV selama 10 hari pengamatan.
45
Tabel 10. Persentase capaian instar Artemia salina pada perlakuan salinitas 40‰
Hari ke- Persentase capaian instar ke- pada salinitas 40‰ (%)
I V X XII XV
1 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00
3 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00
4 0.00 56.67 43.33 0.00 0.00
5 0.00 6.67 76.67 16.67 0.00
6 0.00 0.00 6.67 93.33 0.00
7 0.00 0.00 6.67 93.33 0.00
8 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00
9 0.00 0.00 0.00 70.00 30.00
10 0.00 0.00 0.00 43.33 56.67 Keterangan : Jumlah contoh = 30 individu per hari
Persentase capaian instar A. salina pada perlakuan salinitas 40‰ disajikan pada
Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa perkembangan Artemia salina pada
hari pertama sebanyak 30 individu (100,00%) termasuk instar I. Pada hari kedua
sebanyak 30 individu (100,00%) termasuk instar V. Pada hari ketiga sebanyak 30
individu (100,00%) termasuk instar V. Pada hari keempat sebanyak 17 individu
(56,67%) termasuk instar V dan 13 individu (43,33%) termasuk instar X. Pada hari
kelima sebanyak 2 individu (6,67%) termasuk instar V, 23 individu (76,67%)
termasuk instar X, dan 5 individu (16,67%) termasuk instar XII. Pada hari keenam
sebanyak 2 individu (6,67%) termasuk instar X dan 28 individu (93,33%) termasuk
instar XII, pada hari ketujuh sebanyak 2 individu (6,67%) termasuk instar X dan 28
individu (93,33%) termasuk instar XII. Pada hari kedelapan sebanyak 30 individu
(100,00%) termasuk instar XII. Pada hari kesembilan sebanyak 21 individu (70,00%)
termasuk instar XII dan 9 individu (30,00%) termasuk instar XV. Pada hari kesepuluh
sebanyak 13 individu (43,33%) termasuk instar XII dan 17 individu (56,67%)
termasuk instar XV. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada salinitas 40‰ A.
salina mencapai instar I, V, X, XII, dan XV setelah 1, 2, 4, 5, dan 9 hari proses
pemeliharaan.
Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa
pada salinitas yang lebih tinggi, perkembangan Artemia salina merupakan yang paling
cepat. Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan A. salina memiliki pola
yang sama.
46
Instar I Instar V
Instar X Instar XII
Instar XV
Gambar 19. Capaian instar Artemia salina selama penelitian
Adapun hasil identifikasi capaian instar menurut Lavens and Sorgeloos (1996)
disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 8. Selama pengamatan juga diperoleh catatan
mengenai ciri-ciri morfologi Artemia salina yang sedikit berbeda dari acuan
identifikasi menurut Lavens and Sorgeloos (1996). Ciri-ciri tersebut mengindikasikan
bahwa A. salina berada pada instar-antara, yaitu di antara instar I dan V, V dan X, X dan
XII, serta XII dan XV. Ciri-ciri dari instar-antara tersebut disajikan pada Lampiran 11.
Selain itu, citra atau gambaran instar-antara A. salina yang ditemukan selama
penelitian disajikan pada Lampiran 12.
4.1.4. Kualitas air terkontrol dan perlakuan salinitas
Kualitas air terkontrol dilakukan pada parameter fisika dan kimia perairan
berupa suhu, pH, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen), dan amonia total. Pengontrolan
dilakukan dengan cara meletakkan media pemeliharaan di dalam laboratorium agar
tidak terjadi perubahan yang signifikan pada parameter-parameter tersebut. Selain
47
itu, pengontrolan tersebut dilakukan agar tercipta kondisi yang relatif sama pada
perlakuan salinitas yang berbeda dengan kisaran yang masih sesuai dengan baku mutu
air laut untuk biota laut (Lampiran 1). Selain itu juga dilakukan pengukuran
parameter salinitas pada setiap perlakuan salinitas berbeda yang diujikan. Hasil
analisis kualitas air terkontrol dan perlakuan salinitas disajikan pada Lampiran 13.
Kualitas air yang diukur diuji dengan menggunakan uji-t (Lampiran 14).
1. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan pada pagi hari (06.00 WIB) dan siang hari (14.00
WIB). Hal ini dikarenakan suhu pada saat tersebut merupakan suhu yang cukup
mewakili dalam satu hari. Selain itu alasan pengukuran suhu dilakukan setiap tiga hari
sekali dikarenakan kondisi suhu yang cenderung stabil. Kondisi suhu pagi hari dan
siang hari disajikan pada Gambar 20 dan Gambar 21.
Gambar 20. Grafik suhu pagi hari (06.00 WIB)
Gambar 20 menunjukkan bahwa selama penelitian suhu media pemeliharaan
perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ pada pagi hari berkisar antara 27,7–28,6; 27,9–
28,8; dan 27,6–28,7 °C. Suhu media pemeliharaan perlakuan salinitas 20, 30, dan
40‰ pada siang hari berkisar antara 28,2–29,1; 28,7–29,3; dan 28,3–29,2 °C .
25,0
26,0
27,0
28,0
29,0
30,0
1 4 7 10
Su
hu
(°C
)
Waktu Pengamatan (hari)
Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
48
Gambar 21. Grafik suhu siang hari (14.00 WIB)
Pada semua perlakuan salinitas mengalami penurunan suhu dari awal sampai
akhir pengamatan baik pada pagi hari (Gambar 20) maupun pada siang hari (Gambar
21). Kondisi suhu pada media pemeliharaan cenderung stabil karena media
pemeliharaaan berada dalam ruangan yang mendapatkan cahaya matahari secara
tidak langsung.
2. pH
Penggukuran pH perlu dilakukan karena sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH. Pengukuran pH dilakukan pada pagi hari (06.00) dan siang
hari (14.00) setiap tiga hari sekali. Kondisi pH pagi hari dan siang hari disajikan pada
Gambar 22 dan Gambar 23.
Gambar 22. Grafik pH pagi hari (06.00 WIB)
25,0
26,0
27,0
28,0
29,0
30,0
1 4 7 10
Su
hu
(°C
)
Waktu Pengamatan (hari)
Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
7,00
7,50
8,00
8,50
1 4 7 10
pH
Waktu Pengamatan (hari)
Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
49
Gambar 23. Grafik pH siang hari (14.00 WIB)
Nilai pH media pada perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ pagi hari selama
penelitian berkisar antara 7,76–7,95; 7,83–8,10; dan 7,47–7,89. Nilai pH media pada
perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ siang hari selama penelitian berkisar antara
7,69–7,81; 7,81–8,96; dan 7,40–7,73. Nilai tersebut mengalami penurunan dari
pengamatan awal sampai akhir baik pada pagi hari (Gambar 22) maupun pada siang
hari (Gambar 23).
3. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO)
Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan pagi hari (pukul 06.00) dan siang
hari (pukul 14.00) setiap tiga hari sekali. Hal ini dilakukan karena pada pagi hari,
oksigen terlarut yang terukur merupakan oksigen terlarut sisa setelah digunakan
untuk proses respirasi oleh Artemia salina saat malam hari. Sedangkan pada siang hari
diduga terjadi proses fotosintesis. Selain itu, pengukuran dilakukan tiga hari sekali
agar tidak mengganggu kehidupan A. salina. Kadar oksigen terlarut pada pagi dan
siang hari disajikan pada Gambar 24 dan 25.
Terlihat bahwa kenaikan DO pada pagi hari dari awal sampai akhir pengamatan
pada perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ berkisar antara 6,4–8,0; 6,2–8,5; 6,5–8,4
mg/l. Nilai DO siang hari pada perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ berkisar antara
6,6–7,8; 7,6–8,7; 7,1–8,5 mg/l. Nilai tersebut mengalami kenaikan dari pengamatan
awal sampai akhir pada pagi hari (Gambar 24) maupun pada siang hari (Gambar 25).
7,00
7,50
8,00
8,50
1 4 7 10p
H
Waktu Pengamatan (hari)
Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
50
Gambar 24. Grafik DO pagi hari (06.00 WIB)
Gambar 25. Grafik DO siang hari (14.00 WIB)
4. Amonia
Pengukuran amonia dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui kandungan amonia yang terdapat pada media pemeliharaan
Artemia salina pada perlakuan salinitas berbeda. Pengukuran amonia dilakukan pada
pagi hari pukul 06.00 sebelum proses penyifonan dan pemberian pakan. Hal ini
dilakukan agar diketahui kadar amonia sisa pakan yang tidak termakan dan sisa hasil
metabolisme A. salina. Kadar amonia yang telah terukur disajikan pada Gambar 26.
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
1 4 7 10
DO
(m
g/
l)
Waktu Pengamatan (hari)Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
1 4 7 10
DO
(m
g/
l)
Waktu Pengamatan (hari)Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
51
Gambar 26. Grafik amonia pagi hari (06.00 WIB)
Tampak bahwa kadar amonia total yang terkandung dalam media penelitian
pada perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ berkisar antara 0,142–0,143; 0,08–0,111;
dan 0,060–0,105 mg/l. Kadar amonia total yang terukur pada perlakuan salinitas 20,
30, dan 40‰ dari awal sampai akhir pengamatan mengalami penurunan.
5. Salinitas
Salinitas merupakan parameter yang sangat mempengaruhi kehidupan Artemia
salina. Salinitas media yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20, 30, dan 40‰.
Pengukuran dilakukan pada pagi hari (pukul 06.00) dan siang hari (pukul 14.00)
memiliki nilai yang sama disajikan pada Gambar 27. Terlihat adanya kenaikan
salinitas pada media pemeliharan sebesar 2–3‰ pada akhir pengamatan.
Gambar 27. Grafik salinitas pagi hari (06.00 WIB) dan siang hari (14.00 WIB)
0,000
0,050
0,100
0,150
0,200
1 10
Am
on
ia (
mg
/l)
Waktu Pengamatan (hari)
Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
0
10
20
30
40
50
1 4 7 10
Sa
lin
ita
s (‰
)
Waktu Pengamatan (hari)
Salinitas 20 Salinitas 30 Salinitas 40
52
4.2. Pembahasan
4.2.1. Pertumbuhan Artemia salina
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dapat diketahui bahwa rataan
panjang total nauplius Artemia salina hasil penetasan secara berurutan dari yang
terpanjang sampai terpendek yaitu pada salinitas 20, 30, dan 40‰. Sedangkan
berdasarkan hasil penelitian utama yang diperoleh diketahui bahwa semakin
bertambahnya hari, semakin meningkat pula rataan panjang total dan lebar tubuh A.
salina pada masing–masing perlakuan salinitas. Namun terdapat perbedaan pola
pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh A. salina pada salinitas berbeda. Pada
perlakuan salinitas 40‰ terlihat pertumbuhan yang paling cepat jika dibandingkan
dengan perlakuan salinitas 20 dan 30‰.
Model linier pada analisis statistik RAL in time merupakan gambaran keterkaitan
antara perlakuan (salinitas) dengan pertumbuhan panjang total dan lebar tubuh
Artemia salina serta periode pengamatan (hari). Hasil ANOVA terhadap model
keseluruhan menunjukkan bahwa model linier tersebut layak digunakan. Hal ini
berdasarkan dari nilai–p uji F kurang dari taraf nyata 5% atau 0,05.
Hasil uji parsial untuk setiap komponen model tersebut menunjukkan bahwa
perlakuan (salinitas) memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap
pertumbuhan panjang total Artemia salina. Oleh karena itu dibutuhkan uji lanjut.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9) terhadap perlakuan (salinitas)
menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan salinitas 20 dan 30‰ tidak berbeda nyata
terhadap panjang total Artemia salina. Pengaruh perlakuan salinitas 40‰ berbeda
nyata dari salinitas 20 dan 30‰ terhadap panjang total A. salina. Hal ini dapat dilihat
dari nilai rataan panjang total A. salina pada perlakuan salinitas 40‰ yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan salinitas 20 dan 30‰.
Selain itu, berdasarkan hasil uji lanjut Duncan terhadap waktu (hari) terlihat
bahwa waktu memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan panjang
total Artemia salina. Berdasarkan uji tersebut terdapat lima kelompok waktu
pertumbuhan panjang total. Kelompok pertama waktu pertumbuhan panjang terdapat
pada hari pertama, kelompok kedua pada hari kedua dan ketiga, kelompok ketiga pada
hari keempat sampai hari keenam, kelompok keempat pada hari ketujuh dan
kedelapan, serta kelompok kelima pada hari kesembilan dan kesepuluh.
53
Selanjutnya, apabila dilihat dari pola perkembangan capaian instar, dapat
diketahui bahwa capaian instar I terdapat pada kelompok waktu pertama, capaian
instar V pada kelompok waktu kedua, capaian instar X dan XII pada kelompok waktu
ketiga, dan capaian instar XV terdapat pada kelompok waktu kelima. Apabila disimak
lebih dalam, terlihat bahwa pada kelompok waktu ketiga terdapat perubahan instar X
dan XII, sedangkan pada kelompok waktu keempat dijumpai adanya perkembangan
instar yang relatif lambat. Dengan demikian, pada periode tertentu, pertumbuhan
panjang tidak selalu diikuti oleh perkembangan instar, dan pada periode yang lain,
perkembangan instar tidak selalu diikuti oleh pertambahan panjang yang signifikan.
Sebaran ukuran panjang total menunjukkan perbedaan pola pertumbuhan
harian panjang total Artemia salina pada salinitas berbeda. Pada salinitas 40‰ dapat
mencapai selang kelas paling tinggi. Sedangkan pada salinitas 30‰ hanya dapat
mencapai selang kelas 2,21–2,50 mm. Hal ini diduga karena A. salina memiliki sifat
euryhaline yang mampu beradaptasi pada rentang salinitas yang luas sehingga A. salina
lebih menyukai kondisi salinitas yang ekstrim yaitu 20 dan 40‰. Namun jika pola
pertumbuhan pada salinitas 40 dan 20‰ dibandingkan, maka pada salinitas 40‰
memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada selang kelas yang lebih tinggi. Dengan
demikian, perlakuan salinitas 40‰ memiliki rataan panjang total yang paling tinggi.
Hal ini juga dapat dilihat dari panjang total A. salina pada perlakuan salinitas 40‰
pada hari kesepuluh yang menunjukkan pertumbuhan panjang total yang paling tinggi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Vos (1979) bahwa morfologi dan penampilan umum
Artemia dewasa berubah dalam salinitas berbeda. Pada perlakuan salinitas lebih
tinggi, tubuh menjadi lebih panjang dibandingkan pada perlakuan salinitas rendah.
Perbedaan pola pertumbuhan tersebut lebih terlihat setiap dua hari selama 10
hari pengamatan pada perlakuan salinitas berbeda. Pada pergeseran modus kelas
panjang total ke arah kanan pada salinitas berbeda terdapat perbedaan. Pergeseran
modus kelas panjang total pada salinitas 20 dan 40‰ memiliki pola yang sama, yaitu
pada selang kelas dua hari pertama dan kedua. Selanjutnya, pada dua hari ketiga, pada
salinitas 40‰ lebih menyebar ke selang kelas yang lebih tinggi. Begitu pula pada dua
hari keempat dan kelima, pada salinitas 40‰ terdapat pada selang kelas yang lebih
tinggi. Oleh karena itu pada salinitas 40‰ terdapat rataan panjang total yang paling
tinggi. Namun, pada perlakuan salinitas 30‰, sebaran frekuensi hanya sampai selang
kelas 2,21–2,50, sedangkan pada perlakuan salinitas 20‰ mencapai panjang total
54
maksimum pada selang kelas 4,31–4,60. Hal ini berarti rataan panjang total pada
salinitas 30‰ adalah yang paling rendah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
secara berurutan pola pertumbuhan panjang harian dari yang tercepat sampai
terlambat, yaitu pada perlakuan salinitas 40, 20, dan 30‰.
Hasil analisis statistik RAL in time terhadap respon pertumbuhan lebar tubuh
menunjukkan bahwa model keseluruhan hasil ANOVA dari nilai-P uji F pada taraf
nyata 5% layak digunakan. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa perlakuan (salinitas)
memiliki pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan lebar tubuh
Artemia salina. Selain itu, waktu (hari) juga memiliki pengaruh berbeda nyata
(P<0,05) terhadap pertumbuhan lebar tubuh A. salina. Oleh karena itu dibutuhkan uji
lanjut.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10) terhadap perlakuan (salinitas)
menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan salinitas 20 dan 30‰ tidak berbeda nyata
terhadap lebar tubuh Artemia salina. Pengaruh perlakuan salinitas 20 dan 40‰ juga
tidak berbeda nyata terhadap lebar tubuh. Sedangkan pengaruh perlakuan salinitas
40‰ berbeda nyata dari salinitas 30‰ terhadap lebar tubuh A. salina. Hal ini dapat
dilihat dari nilai rataan lebar tubuh A. salina pada perlakuan salinitas 40‰ lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan salinitas 20 dan 30‰.
Selain itu, berdasarkan hasil uji lanjut Duncan terhadap waktu (hari)
menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok waktu pertumbuhan lebar tubuh.
Kelompok pertama waktu pertumbuhan lebar tubuh terdapat pada hari kedua sampai
hari keempat, kelompok kedua terdapat pada hari kelima sampai hari ketujuh, serta
kelompok ketiga terdapat pada hari kedelapan sampai hari kesepuluh. Dengan
demikian, pertumbuhan lebar tubuh tidak terlalu menggambarkan adanya pola
perkembangan instar Artemia salina.
Sebaran ukuran lebar tubuh Artemia salina juga menunjukkan perbedaan pola
pertumbuhan harian pada salinitas berbeda. Pada salinitas 40‰ terdapat pola
pertumbuhan lebar tubuh yang lebih menyebar ke selang kelas yang lebih tinggi
dengan frekuensi yang lebih tinggi daripada perlakuan salinitas lainnya. Dengan
demikian perlakuan salinitas 40‰ memiliki rataan lebar tubuh yang paling tinggi. Hal
ini juga dapat diketahui dari lebar tubuh A. salina pada perlakuan salinitas 40‰ pada
hari kesepuluh menunjukkan pertumbuhan yang paling tinggi. Hal ini berbeda dari
55
pernyataan Vos (1979) bahwa pada perlakuan salinitas lebih tinggi tubuh menjadi
lebih kurus daripada pada perlakuan salinitas rendah.
Perbedaan pola pertumbuhan tersebut lebih terlihat polanya setiap dua hari
selama 10 hari pengamatan pada perlakuan salinitas berbeda. Pergeseran modus
kelas panjang total pada salinitas 30 dan 40‰ memiliki pola yang sama. Namun, pada
perlakuan salinitas 30‰ memiliki sebaran frekuensi hanya sampai selang kelas
0,171–0,200.
Pergeseran modus kelas lebar tubuh setiap dua hari selama 10 hari pada
salinitas 20‰, pada dua hari kedua ke arah kiri menunjukkan adanya pola
pertumbuhan lebar tubuh yang mengecil. Setelah itu, pada dua hari ketiga, keempat,
dan kelima terjadi pergeseran modus kelas lebar tubuh ke arah kanan yang
menunjukkan adanya pertumbuhan lebar tubuh. Modus kelas lebar tubuh pada
salinitas 30‰ setiap dua hari selama 10 hari tidak mengalami pergeseran ke arah kiri
dan kanan. Namun, berdasarkan frekuensi yang muncul pada selang kelas 0,141–
0,170 pada dua hari ketiga menunjukkan pola pertumbuhan lebar tubuh yang
mengecil. Selanjutnya, pada dua hari keempat, frekuensi pada selang kelas tersebut
meningkat dan pada dua hari kelima ke arah kanan menandakan adanya pertumbuhan
lebar tubuh. Pergeseran modus kelas lebar tubuh pada salinitas 40‰ setiap dua hari
selama 10 hari ke arah kanan pada dua hari ketiga menunjukkan adanya
pertumbuhan. Namun, pola pertumbuhan lebar tubuh tersebut mengecil terlebih
dahulu. Hal ini dapat terlihat dari sebaran frekuensi yang menurun pada dua hari
kedua.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pola pertumbuhan lebar tubuh
Artemia salina pada perlakuan salinitas berbeda menunjukkan bahwa lebar tubuh
mengecil terlebih dahulu dan kemudian mulai mengalami pertumbuhan lebar tubuh.
Hal ini sesuai dengan morfologi tubuh A. salina pada awal menetas menjadi nauplius
mempunyai lebar tubuh yang cukup besar, kemudian mengecil terlebih dahulu
mengikuti lebar tubuh terkecil dan pada akhirnya melebar melebihi lebar terbesar
pada awal pengamatan.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
pertumbuhan panjang total berbanding lurus dengan pertumbuhan lebar tubuh
Artemia salina. Hal ini berarti semakin tinggi salinitas maka tubuh A. salina semakin
panjang dan semakin lebar daripada perlakuan salinitas yang lebih rendah. Dengan
56
demikian dapat disimpulkan bahwa urutan pola pertumbuhan harian dari yang
tercepat sampai terlambat yaitu pada perlakuan salinitas 40, 20, dan 30‰.
4.2.2. Perkembangan Artemia salina
Citra yang didapatkan dengan menggunakan mikroskop listrik yang terhubung
dengan program komputer Motic Image Plus 2.0 dapat digunakan untuk mengetahui
persentase capaian instar setiap hari selama 10 hari pengamatan. Identifikasi capaian
instar dilakukan menurut Lavens and Sorgeloos (1996) tentang morfologi Artemia
salina. Berdasarkan tabel persentase capaian instar A. salina pada perlakuan salinitas
berbeda terlihat adanya perbedaan perkembangan A. salina sejak nauplius hingga
menjadi dewasa dalam waktu pengamatan selama 10 hari. Hasil identifikasi ciri-ciri
morfologi A. salina menurut Lavens and Sorgeloos (1996) dalam penelitian ini
disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 8.
Selain ciri-ciri menurut Lavens and Sorgeloos (1996), Artemia salina juga
memiliki ciri-ciri instar-antara. Pada hari kedua untuk perlakuan salinitas 30‰ masih
ada A. salina yang tergolong instar I terdapat ciri-ciri belum mempunyai calon
thoracopoda yang merupakan ciri instar V. Pada hari keempat dan kelima untuk
semua perlakuan salinitas serta hari keenam dan ketujuh untuk perlakuan salinitas
30‰ masih ada A. salina yang termasuk instar V terdapat ciri-ciri belum mempunyai
eksopodit dan telopodit yang merupakan ciri instar X. Pada hari keenam dan ketujuh
untuk semua perlakuan salinitas serta hari kedelapan sampai hari kesepuluh untuk
salinitas 30‰ masih ada A. salina yang termasuk instar X terdapat ciri-ciri belum
terdapat endopodit yang merupakan ciri instar XII. Sedangkan pada hari kesembilan
dan kesepuluh untuk semua perlakuan masih ada A. salina yang termasuk instar XII
terdapat ciri-ciri belum mempunyai kaki (thoracopoda) sejumlah 11 pasang yang
merupakan ciri instar XV. Ciri-ciri instar yang belum menunjukkan ciri-ciri instar yang
lebih tinggi menurut Lavens and Sorgeloos (1996) diklasifikasikan sebagai ciri-ciri
instar-antara A. salina (Lampiran 11). Adapun citra atau gambaran instar-antara A.
salina yang ditemukan selama penelitian disajikan pada Lampiran 12.
Berdasarkan uraian tersebut diketahui periode yang dibutuhkan untuk
mencapai suatu instar. Pencapaian instar I terjadi setelah proses penetasan kista
dengan periode inkubasi 24 jam atau pada hari pertama proses pemeliharaan.
57
Pencapaian instar V, X, XII, dan XV pada salinitas 20‰ terjadi pada hari kedua,
keempat, keenam, dan kesembilan proses pemeliharaan.
Pada salinitas 30‰ diketahui bahwa Artemia salina mencapai instar I, V, X, dan
XII terjadi pada hari pertama, kedua, keempat, dan keenam proses pemeliharaan.
Namun, A. salina pada salinitas 30‰ belum menunjukkan ciri-ciri morfologi
perkembangan instar XV selama 10 hari pengamatan. Selain itu, pada salinitas 40‰
dapat diketahui bahwa A. salina mencapai instar I, V, X, XII, dan XV setelah 1, 2, 4, 5,
dan 9 hari proses pemeliharaan.
Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa pada
salinitas 40‰, Artemia salina mengalami perkembangan yang paling cepat. Hal ini
terlihat pada hari kelima, A. salina sudah mencapai instar XII dan pada hari kesembilan
A. salina sudah mencapai instar XV dengan persentase capaian instar yang lebih besar
daripada salinitas 20‰. Sedangkan pada salinitas 30‰, selama pengamatan belum
menunjukkan ciri-ciri mofologi instar XV. Dengan demikian, pertumbuhan dan
perkembangan A. salina memiliki pola yang sama dengan waktu capaian yang berbeda.
Kondisi suhu yang telah diukur dalam penelitian ini termasuk pada kisaran suhu
yang baik untuk pertumbuhan Artemia salina menurut Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995). Pada kisaran suhu tersebut, A. salina mengalami metabolisme yang baik,
sehingga pertumbuhannya optimum. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan panjang
total dan lebar tubuh A. salina pada tiga perlakuan salinitas yang berbeda mengalami
kenaikan yang cukup signifikan selama penelitian.
Salah satu parameter lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
keberadaan organisme air, termasuk zooplankton, adalah pH. Berdasarkan hasil
pengukuran bahwa nilai pH media pada perlakuan salinitas 20, 30, dan 40‰ pada
pagi dan siang hari mengalami penurunan dari awal sampai akhir pengamatan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Boyd (1982) in Supriya et al. (2002), bahwa dekomposisi
bahan organik dan respirasi akan menurunkan kandungan oksigen terlarut, yang
berdampak pada meningkatnya kadar CO2 bebas, sehingga mengakibatkan
menurunnya pH air. Kondisi pH yang telah diukur dalam penelitian ini termasuk pada
kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan A. salina menurut Sorgeloos (1980).
Oksigen terlarut dalam perairan sangat dibutuhkan semua organisme yang ada
di dalamnya untuk pernafasan dalam rangka melangsungkan metabolisme dalam
tubuh mereka. Kondisi oksigen terlarut dari awal sampai akhir pengamatan
58
mengalami kenaikan. Kandungan oksigen yang terdapat pada setiap media penetasan
dan pemeliharaan dalam penelitian ini dikendalikan dengan menggunakan aerasi.
Aerasi yang diberikan pada setiap media pemeliharaan digunakan untuk membentuk
arus supaya nauplius yang dipelihara tidak mengumpul ataupun mengendap. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan proses molting pada nauplius. Selain itu adanya arus
yang terbentuk juga membantu mengumpulkan kotoran yang berupa sisa cangkang
pada dinding bak sehingga mudah untuk dibersihkan. Kandungan oksigen terlarut
yang terukur dalam penelitian ini temasuk dalam kisaran yang baik untuk
pertumbuhan menurut Kep.51/MENLH/2004 (Lampiran 1).
Kadar amonia total yang terkandung dalam media penelitian pada perlakuan
salinitas 20, 30, dan 40‰ dari awal sampai akhir pengamatan mengalami penurunan.
Hal ini diduga terjadi karena dalam kegiatan pemeliharaan Artemia salina dilakukan
kegiatan penyifonan dasar wadah pemeliharaan berupa akuarium setiap tiga hari
sekali. Dengan demikian, bahan organik yang terkandung di dalam air media yang
berasal dari organisme yang mati, hasil ekskresi (kotoran organisme) dan sisa pakan
berkurang sehingga tidak ada persaingan terhadap kebutuhan oksigen untuk
pernafasan dan persaingan pemakaian oksigen terlarut oleh aktivitas bakteri aerob
pada proses penguraian bahan organik yang tersisa pada media pemeliharaan setelah
proses penyifonan tersebut. Konsentrasi amonia yang terukur dalam penelitian ini
termasuk kisaran yang tidak menghambat penelanan makanan menurut Sorgeloos
(1980).
Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa salinitas pada media
pemeliharaan dari awal sampai akhir pengamatan mengalami kenaikan. Salinitas
media yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20, 30, dan 40‰. Kenaikan
salinitas sebesar 2–3‰ pada media tersebut diduga karena adanya penguapan air,
sehingga kadar garam (salinitas) yang terdapat dalam media pemeliharaan berupa air
laut menjadi lebih pekat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supriya et al. (2002),
bahwa salinitas dapat berfluktuasi karena pengaruh penguapan. Salinitas dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan zooplankton. Kisaran salinitas
yang tidak sesuai berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup dan tingkat
pertumbuhannya. Artemia tergolong organisme euryhaline, yaitu organisme yang
dapat hidup pada rentang salinitas yang lebar. Artemia mampu hidup pada rentang
salinitas antara 5–150‰ (Harefa 1997).
59
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan terhadap data kisaran kualitas air selama
10 hari pengamatan diperoleh nilai t hitung <t tabel pada parameter suhu, pH, dan
amonia. Karena nilai t hitung yang diperoleh lebih kecil daripada t tabel, maka gagal
tolak H0 atau terima H0. Sedangkan uji t terhadap parameter DO diperoleh nilai t
hitung >t tabel. Karena nilai t hitung yang diperoleh lebih besar daripada t tabel, maka
tolak H0 atau terima H1 (Lampiran 14). Oksigen terlarut yang terukur dipengaruhi
oleh proses aerasi yang dilakukan selama pengamatan, sehingga diduga jumlah
oksigen terlarut yang terdapat pada media pemeliharaan di akhir pengamatan
mengalami kenaikan sehingga menunjukkan perbedaan yang nyata antara kisaran
tersebut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa A. salina dipelihara pada kondisi
lingkungan terkontrol dan parameter fisika–kimia berupa suhu, pH, DO, dan amonia
memiiki kisaran nilai yang masih sesuai untuk kehidupan A. salina. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kehidupan A. salina dipengaruhi oleh kondisi salinitas yang
berbeda. Secara keseluruhan terlihat bahwa pada salinitas berbeda terdapat
perbedaan derajat penetasan, pola pertumbuhan, dan pola perkembangan A. salina.
Dalam kaitan dengan kegiatan budidaya, A. salina instar I dimanfaatkan sebagai
pakan alami bagi larva ikan laut, Crustacea, ikan konsumsi air tawar, dan ikan hias.
Selain itu, Artemia dewasa juga merupakan pakan alami yang baik, terutama untuk
pembesaran dan pematangan gonad induk.
Penelitian terhadap Artemia salina ini mencakup pengamatan yang dimulai dari
penetasan kista dan pemeliharaan nauplius hingga dewasa. Secara keseluruhan
diketahui bahwa salinitas air laut 40‰ merupakan salinitas yang sesuai untuk proses
penetasan, pertumbuhan, dan perkembangan A. salina. Hal ini ditunjukkan dari
rendahnya ukuran rataan panjang total nauplius A. salina instar I pada salinitas 40‰.
Keadaan demikian sesuai dengan lebar bukaan mulut larva ikan dan Crustacea. Selain
itu, pada salinitas 40‰ terdapat pola pertumbuhan dan perkembangan A. salina yang
paling cepat dengan persentase capaian instar A. salina yang paling besar untuk
mencapai tingkat dewasa. Dengan demikian, untuk melakukan aplikasi dalam
pemanfaatan A. salina sebagai pakan alami, lebih baik dilakukan penetasan dan
pemeliharaan pada salinitas 40‰.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pola pertumbuhan dan perkembangan Artemia salina dipengaruhi oleh kondisi
salinitas. Rataan panjang total nauplius A. salina instar I pada salinitas 40‰
merupakan ukuran yang terkecil. Pertumbuhan dan perkembangan tercepat juga
terjadi pada salinitas 40‰. Pertumbuhan panjang total lebih dapat menggambarkan
perkembangan capaian instar jika dibandingkan dengan pertumbuhan lebar tubuh.
5.2. Saran
Proses penetasan kista Artemia salina dan pemeliharaan nauplius A. salina
hingga bentuk dewasa sebaiknya dilakukan pada salinitas 40‰ untuk dapat
memenuhi kebutuhan pakan bagi pemeliharaan larva, atau pun pembesaran serta
pematangan gonad ikan dan Crustacea.
DAFTAR PUSTAKA
Ari KW. 2005. Pembenihan kuda laut. Balai Budidaya Laut Lampung. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Lampung. 2007. Budidaya fitoplankton &
zooplankton. Seri Budidaya Laut No : 9.
Arulvasu C & Munuswamy N. 2009. Survival, growth, and composition of Poecilia
latipinna fry fed enriched Artemia nauplii. Journal of Current Science. 96 (1) : 114-
119.
Boyd CE. 1982. Water quality management for pond fish culture. Development in
aquaculture and fish science, Vol.9. Elsevier scientific publishing company. New
York. 318 hlm.
Browne RA & GH MacDonald. 1982. Biogeography of the brine shrimp, Artemia:
distribution of parthenogenic and sexual populations. Journal of Biogeography. 9 :
331-338.
Direktorat Jendral Perikanan dan Kelautan. 2003. Budidaya di Rembang. [terhubung
berkala]. http:// www.suaramerdeka.com[akses: 20 September 2008].
Djarijah AS. 1995. Pakan ikan alami. Kanisius: Yogyakarta. 46-47 hlm.
Eimanifar A & Feridon M. 2007. Review Urmia lake (Northwest Iran) : a brief review.
Journal of BioMed Central. 3 (5): 1-8
El-Gamal MM. 2010. Morphometric and molecular variability of three Artemia strains
(El-Max and Wadi El-Natrun, Egypt, and San Francisco Bay, U.S.A). Journal of
American Science. 6 (2): 98-107
Harefa F. 1997. Pembudidayaan Artemia untuk pakan udang dan ikan. Penebar
Swadaya. Jakarta. 78 hlm.
Isnansetyo A & Kurniastuty. 1995. Teknik kultur phytoplankton dan zooplankton
(pakan alami untuk pembenihan organisme laut). Kanisius : Yogyakarta. 52-57
hlm.
62
Izquierdo MS, Watanabe T, Takeuchi T, Arakawa T, & C Kitajima. 1989. Requirement of
larval red sea bream Pagrus major for essential fatty acids. Nippon Suisan
Gakkaishi. 55: 859-867.
John, Benedictal, Brintha, & Marian. 2005. Hatching characteristics and cold storage of
nauplii of brine shrimp Artemia KKT1 from Thamaraikulam, India. Journal of
Biological Research 3: 39–46.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut untuk Biota Laut.
Kaiser H, Gordon AK, & TG Paulet. 2006. Review of the African distribution of brine
shrimp genus Artemia. Journal of Water SA. 32 (2): 597-603.
Matjik AA & Sumertajaya IM. 2000. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan
minitab Jili 1. IPB Press. Bogor. 282 hlm.
Lavens & Sorgeloos. 1996. Manual on the production and use of live food for
aquaculture. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Artemia
Reference Center. Belgium. 104–110 hlm.
Mudjiman A. 1989. Udang renik air asin (Artemia salina). P.T. Bhratara Niaga Media,
Jakarta. 149 hlm.
Nontji A. 2007. Laut nusantara (edisi revisi). Djambatan. Jakarta. 53-59 hlm.
Nunes BS, Carvalho FD, Guilhermino LM, & GV Stapen. 2005. Use of the genus Artemia
in ecotoxicity testing. Journal of Environmental Pollution. 144: 453-462.
Pennak RW. 1964. Collegiate dictionary of zoology. The renold press company. New
York.
Purwanti E. 2004. Pengaruh salinitas yang berbeda terhadap daya tetas siste Artemia
yang dihasilkan di tambak garam Rembang, Jawa Tengah. [skripsi]. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Royan JP, Sumitra-Vijayaraghavan, & L Krishna Kumari. 1990. Biomass production of
Artemia in air-water-lift raceway system. Mahasagar-Bulletin of the National
Institute of Oceanography. 23 (2): 163-168.
63
Sanusi HS. 2006. Kimia laut (proses fisik kimia dan interaksinya dengan lingkungan).
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Sofa. 2008. Sejarah dan ruang lingkup ekologi dan ekosistem. [terhubung berkala].
http:// www.masofa.wordpress.com [akses: 15 November 2008].
Soundarapandian P & Saravanakumar G. 2009. Effect of different salinities on the
survival and growth of Artemia spp. Journal of Biological Sciences. 1 (2) : 20-22.
Sorgeloos. 1980. The use of the brine shrimp Artemia in aquaculture. Reference Centre
State University of Ghent. Belgium.
Supriya, Ali HAQ, & Mustamin. 2002. Persyaratan budidaya zooplankton. Balai
budidaya Laut Lampung. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Budidaya Fitoplankton & Zooplankton. Seri Budidaya
Laut No: 9.
Suwirya K, Giri NA, & M Marzuqi. 2001. Beberapa kebutuhan ikan dalam
pengembangan pakan untuk menunjang budidaya laut. Prosiding Seminar
Riptek Kelautan Nasional. IKN : 94-99.
Sverdrup HU, MW Johnson, & RH Fleming. 1960. The Ocean : Their physic, chemistry,
and general biology. Englewood cliffs, Practice Hall. 193 atau 1058 hlm.
Triantaphyllidis GV, Abatzopoulos, & P Sorgeloos. 1998. Review of the biogeography of
the genus Artemia (Crustacea, Anostraca). Journal of Biogeography. 25: 213-226
Vanhaecke P, Cooreman A, & P Sorgeloos. 1981. International study on Artemia XV.
Effect of light intensity on hatching rate of Artemia cyst from different
geographical origin. Journal of Marine Ecology. 5 : 111-114.
Von J. 1979. Brine shrimp (Artemia salina) inoculation in tropical salt ponds : A
preliminary guide for use in Thailand. FAO Associate Expert (Culture of Food
Organism). National Freshwater Prawn Research and Training Center
Freshwater Fisheries Division. Departement of Fisheries Ministry of Agriculture
and Cooperatives (FAO/UNDP:THA/75/008).
Watanabe T, Kitajima C, & S Fujita. 1983b. Nutritional values of live organisms used in
Japan for mass propagation of fish : a review. Aquaculture. 34: 115-143.
Lampiran 1. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004
No. Parameter Satuan Baku mutu
FISIKA
1 Kecerahan a m
coral: >5
mangrove: -
lamun: >3
2 Kebauan - alami 3
3 Kekeruhan a NTU <5
4 Padatan tersuspensi total b mg/l
coral: 20
mangrove: 80
lamun: 20
5 Sampah - nihil 1(4)
6 Suhu c °C
alami 3 (c)
coral: 28-30 (c)
mangrove: 28-32 (c)
lamun: 28-30 (c)
7 Lapisan minyak 5 - nihil 1 (5)
KIMIA
1 pH d - - 7 - 8,5 (d)
2 Salinitas %o
alami 3(e)
coral: 33-34 (e)
mangrove: s/d 34 (e)
lamun: 33-34 (e)
3 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4 BOD5 mg/l 20
5 Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3
6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
8 Sianida (CN-) mg/l 0,5
9 Sulfida (H2S) mg/l 0,01
10
PAH (Poliaromatik
hidrokarbon) mg/l 0,003
11 Senyawa Fenol total mg/l 0,002
66
Lampiran 1. (Lanjutan)
No. Parameter Satuan Baku mutu
12 PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0,01
13 Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1
14 Minyak & lemak mg/l 1
15 Pestisidaf µg/l 0,01
16 TBT (tributil tin) 7 µg/l 0,01
Logam terlarut:
17 Raksa (Hg) mg/l 0,001
18 Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005
19 Arsen (As) mg/l 0,012
20 Kadmium (Cd) mg/l 0,001
21 Tembaga (Cu) mg/l 0,008
22 Timbal (Pb) mg/l 0,008
23 Seng (Zn) mg/l 0,05
24 Nikel (Ni) mg/l 0,05
BIOLOGI
1 Coliform (total) g
MPN/100
ml 1000 (g)
2 Patogen sel/100 ml nihil1
3 Plankton sel/100 ml
tidak
bloom6
RADIO NUKLIDA
1
Komposisi yang tidak
diketahui Bq/l 4
67
Lampiran 2. Daftar istilah yang berkaitan dengan Artemia salina
Antenna : 1. Pasangan pertama dari dua pasang dari beberapa struktur pada
Crustacea (Pennak 1964).
2. Berfungsi sebagai alat gerak dan penyaring makanan (Lavens and
Sorgeloos 1996).
Antenulla : Fungsi sensorial pada nauplius (Lavens and Sorgeloos 1996).
Apendiks : Perubahan struktur bagian yang menonjol yang digunakan sebagai
fungsi locomotory (daya gerak), alat sensorial (pancaindera), makanan,
atau untuk tujuan lain; seperti kaki, bagian mulut pada Arthropods,
tentakel, dll (Pennak 1964).
Eksopodite : Sebagai alat pernapasan yang terdapat pada Thoracopoda (Lavens and
Sorgeloos 1996).
Endopodite : Fungsi penyaring makanan yang terdapat pada Thoracopoda (Lavens
and Sorgeloos 1996).
Furka : Beberapa proses percabangan, dua caudal rami pada Copepods, Proses
percabangan bagian belakang pada serangga yang lebih besar (Pennak
1964).
Hidrasi : Tahapan penyerapan air pada proses penetasan kista (Sorgeloos 1980).
Nauplius : Karakteristik tingkatan larva mikroskopik yang berenang bebas seperti
Copepods, Ostracods, Decapods, Barnacles, dll; ciri khas hanya tiga
pasang apendiks (Pennak 1964).
Instar : Periode diantara dua pergantian kulit yang sukses pada Arthropoda,
Nematoda, Tardigrade, dll (Pennak 1964).
Kista : Telur dorman (istirahat) (Sorgeloos 1980).
Labrum : Semacam mulut yang terdapat di bagian ventral (Sorgeloos 1980).
Mandibulla : Rahang bawah yang memilki fungsi menangkap makanan (Lavens and
Sorgeloos 1996).
Telopodite : Fungsi locomotory (alat gerak) yang terdapat pada Thoracopoda
(Lavens and Sorgeloos 1996).
Thoracopoda : Kaki pada Artemia yang mengalami diferensiasi menjadi tiga bagian,
yaitu telopodite, eksopodite, dan endopodite (Lavens and Sorgeloos
1996).
68
Lampiran 3. Kista Artemia salina “Great Salt Lake”
69
Lampiran 4. Rancangan wadah perendaman dan penetasan kista Artemia salina, serta
langkah-langkah penetasan kista Artemia salina
20 cm
Lampu TL
Wadah perendaman air aquades Wadah penetasan kista dengan
air laut 20,30, dan 40‰
• Langkah-langkah penetasan kista Artemia salina:
• Kista Artemia salina ditimbang sebanyak 0,5 gram
• Air akuades disiapkan sebanyak 500 ml
• Kista Artemia salina dan air aquades tersebut dimasukkan ke dalam wadah
perendaman
• Aerator dinyalakan dengan periode inkubasi 2 jam
• Air laut salinitas 20, 30, dan 40% masing-masing sebanyak 500 ml dimasukkan ke
wadah penetasan
• pH diturunkan dengan menggunakan HCl 0,1 N hingga mencapai nilai pH = 8,5
• Setelah proses perendaman selama 2 jam, matikan aerator.
• Air akuades dan kista yang telah direndam dikeluarkan menggunakan selang
kecil yang disaring dengan saringan berukuran 60 µm
• Kista yang sudah disaring tersebut dan air laut sebanyak 500 ml dimasukkan ke
dalam masing-masing wadah penetasan dengan salinitas berbeda
• Aerator dinyalakan dengan periode inkubasi 24 jam
70
Lampiran 5. Penentuan derajat penetasan kista Artemia salina pada salinitas berbeda
1. Salinitas 20 ‰
Rata-rata menetas (N) = 790 776 862 636 871
40 5x
+ + + + = 19,675 ind/0,125 ml
Jadi, Rata-rata yang menetas 19,675 ind/0,125 ml atau 157,4 ind/ml
Untuk padat tebar 800 ind/L dalam 10 L air laut, terdapat = 10 L x 800 ind/L =
8000 ind, maka dibutuhkan 8000 ind
157,4 ind/ml = 50,82 ml = 50,8 ml
HE = N x 500 x 2
1 g kista
= 157 x 500 x 2
1 g kista
= 157.000 ind
1 g kista
2. Salinitas 30 ‰
Rata-rata menetas (N) = 839 730 729 778 629
40 5x
+ + + += 18,525 ind/0,125 ml
Jadi, Rata-rata yang menetas 18,525 ind/0,125 ml atau 148,2 ind/ml
Untuk padat tebar 800 ind/L dalam 10 L air laut, terdapat = 10 L x 800 ind/L =
8000 ind, maka dibutuhkan 8000 ind
148,2 ind/ml= 53,98 ml = 54 ml
HE = N x 500 x 2
1 g kista
= 148 x 500 x 2
1 g kista
= 148.000 ind
1 g kista
3. Salinitas 40 ‰
Rata-rata menetas (N) = 635+678+550+752+744
40x5= 16,795 ind/0,125 ml
Jadi, Rata-rata yang menetas 16,795 ind/0,125 ml atau 134,4 ind/ml
Untuk padat tebar 800 ind/L dalam 10 L air laut, terdapat = 10 L x 800 ind/L =
8000 ind, maka dibutuhkan 8000 ind
134,4 ind/ml = 59,54 ml = 59,5 ml
71
Lampiran 5. (Lanjutan)
HE = N x 500 x 2
1 g kista
= 134 x 500 x 2
1 g kista
= 134.000 ind
1 g kista
Berdasarkan penghitungan dalam 1 gram kista terdapat 249.972 butir.
Jika persentase penetasan 100% maka terdapat 249.972 ind/1000 ml
1. Salinitas 20‰
Rata-rata yang menetas (N) = 157,4 ind/ml = 157.400 ind/500 ml
Persentase penetasan (HP) = N
(N + C) x 100%
= 157.400
249.972 x 100% = 62,97%
2. Salinitas 30‰
Rata-rata yang menetas (N) = 148,2 ind/ml = 148.200 ind/1000 ml
Persentase penetasan (HP) = N
(N + C) x 100%
= 148.200
249.972x 100% = 59,29%
3. Salinitas 40‰
Rata-rata yang menetas (N) = 134,4 ind/ml = 134.400 ind/1000 ml
Persentase penetasan (HP) = N
(N + C) x 100%
=134.400
249.972 x 100% = 53,77%
72
Lampiran 6. Proses sterilisasi air laut, drigen, selang, dan batu aerasi
a. Sterilisasi air laut (sterilisasi basah)
Penyaringan air laut dengan menggunakan saringan berukuran 20 µm, kemudian
dilakukan perebusan air laut menggunakan kompor gas.
b. Sterilisasi jerigen
Jerigen dicuci dengan deterjen, lalu dikeringkan, kemudian disemprotkan alkohol 70%.
c. Sterilisasi akuarium, selang dan batu aerasi
Akuarium dicuci dengan deterjen, lalu akuarium diisi air tawar dan diberikan kaporit,
kemudian dibilas hingga bersih menggunakan air laut, setelah itu masukkan air laut ke
dalam akuarium. Sedangkan selang dan batu aerasi dicuci dengan deterjen, kemudian
diberikan kaporit dan dibilas hingga bersih menggunakan air laut.
73
Lampiran 7. Formulasi bahan pembuatan pakan fermentasi dengan volume 60 liter
Bahan Organik Komposisi Bahan Satuan
Dedak 2000 gram
Tepung Beras 1000 gram
Molase 250 ml
Probiotik 150 ml
Air Laut 60 l
Sumber : Lab. Kuda laut, BBPBL Lampung (2006)
74
Lampiran 8. Identifikasi capaian instar Artemia salina menurut Lavens and Sorgeloos
(1996)
Instar I Instar V
Instar X Instar XII
Instar XV (Artemia Jantan) Instar XV (Artemia Betina)
Keterangan :
Instar I : (1) Mata nauplius, (2) Antenula, (3) Antena, dan (4) Mandibel
Instar V : (1) Mata nauplius, (2) Mata majemuk, (3) Antena, (4) Labrum, (5) Budding
torakopoda, dan (6) Saluran pencernaan
Instar X : (1) Antena, (2) Telopodit, dan (3) Eksopodit
Instar XII : (1) Mata nauplius, (2) Mata majemuk, (3) Antenula, (4) Antena, dan
(5) Eksopodit, (6) Telopodit, (7) Endopodite
Instar XV : ada 11 pasang thoracopoda
75
Lampiran 9. Langkah-langkah menggunakan SAS 9.1, contoh perhitungan TSR, dan
hasil uji lanjut Duncan panjang total Artemia salina
a. Langkah-langkah menggunakan software SAS 9.1
1. Buka program SAS 9.1
2. File- import data-next- workbook pilih file dimana
3. Pilih sheet panjang total
4. Library-work-beri nama file di SAS misal: Mair_Panjang_total-finish
5. Ketik syntax di Editor, misalnya:
Proc glm data=work.Mair_Panjang_total;
Class perlakuan ulangan hari;
Model respon= perlakuan hari ulangan(perlakuan) ulangan(hari)
perlakuan*hari;
Means perlakuan/duncan;
Means hari/duncan;
Run;
quit;
6. Blok syntax tekan tombol F3
b. Contoh perhitungan Tabel sidik ragam panjang total
Sumber keragaman Db Jumlah
kuadrat
Kuadrat
tengah F-hitung
F-tabel
(5%)
perlakuan jenis (3) 3-1 = 2 2805001,53 1402500,766 2,9397 F(2,27)
waktu (10) 10-1 = 9 21433351,02 2381483,446 86,1981
jenis*waktu (3-1)(10-1) =18 3004710,58 166928,365
galat jenis (3) 3 (3-1) = 6 2862557,23 477092,8714
galat waktu (10) (10-1)(3-1) =18 497304,01 27628,0007
• FK = Faktor koreksi
Jumlah Y = 113960,6
FK =
2Y
axbxr=
2(113960,6)
3 x 10 x 3= 144300147,6
• JKT = Jumlah kuadrat total
JKT = a b r
2ijk
i=1 j=1 k=1
(Y Y)−∑∑∑ = 2
ijkY FK−∑∑∑
= [(622,8)2+ (761,7)2+….+(3056,2)2] – 144300147,6
= 34459895,24
• JKA = Jumlah kuadrat faktor (A)
JKA = a b r
2i... ...
i=1 j=1 k=1
(Y Y )−∑∑∑ =
2i...Y
FKbxr
−∑
=
2 2 2(36659,0) +(32267,0) +(45034,6)
10 3x– 144300147,6
JKA = 2805001,53
76
Lampiran 9. (Lanjutan)
• JKB = Jumlah kuadrat faktor (B)
JKB = a b r
2j... ...
i=1 j=1 k=1
(Y Y )−∑∑∑ =
2j...Y
FKaxr
−∑ =
=
2 2 2[(5465,55) + (6834,03) + ... + (19118,35) ]
3 3x– 144300147,6
JKB = 21433351,02
• JKAB = Jumlah kuadrat interaksi faktor (A) dan (B)
JKAB = a b r
2ij... i... j... ...
i=1 j=1 k=1
(Y Y Y + Y )− −∑∑∑ = [
a b2
ij.. ...i=1 j=1
r (Y Y )−∑∑ – FK ] – JKA – JKB
= [ijY
r∑ – FK ] – JKA – JKB
= [514629632,13
3– 144300147,6 ] –
2805001,53 – 21433351,02
JKAB = 3004710,58
• JKG (a) = jumlah kuadrat galat (a)
JKG (a) = JKST1 – JKA
= [ b
2j... ...
j=1
(Y Y )−∑ =
2jY
b∑ – FK ] – JKA
= [
2 2 2(14745,6) + (9705,38) + ... + (16121,00)
10– 144300147,6 ] – JKA
= 5667558,76 – 2805001,53
JKG (a) = 2862557,23
• JKG (b) = = jumlah kuadrat galat (b)
JKG (b) = JKST2 – JKA
= [ r
2k... ...
k=1
(Y Y )−∑ =
2kY
r∑ – FK ] – JKB
= [
2 2 2(1852,05) + (1835,6) + ... + (6978,58)
3– 144300147,6 ] – JKB
= 21930655,03 – 21433351,02
JKG (b) = 497304,01
• KTA = kuadrat tengah faktor (A)
KTA = JKA
dBA =
2805001,53
2 = 1402500,766
• KTB = kuadrat tengah faktor (B)
KTB = JKB
dBB =
21433351,02
9= 2381483,446
• KTAB = kuadrat tengah interaksi faktor (A) dan (B)
KTAB = JKAB
dBAB=
3004710,58
18= 166928,365
77
Lampiran 9. (Lanjutan)
• KTG (a) = kuadrat tengah (a)
KTG (a) = JKG (a)
dBG (a)=
2862557,23
6= 477092,8714
• KTG (b) = kuadrat tengah (b)
KTG (b) = JKG (b)
dBG (b)=
497304,01
18 = 27628,0007
• F hitung (a) = KTA
KTG (a)=
1402500,766
477092,8714 = 2,9397
• F hitung (b) = KTB
KTG (b)=
2381483,446
27628,0007 = 86,1981
c. Hasil uji lanjut Duncan
Alpha 0,05
Derajat bebas galat (Dbg) 36
Kuadrat tengah galat (KTG) 107138,1
Jumlah rataan (p) 2 3
Nilai kritis (Rp) 171,4 180,2
Rataan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
Pengelompokan Duncan Rataan N Perlakuan (Salinitas)
A 1501,15 30 40
B 1221,97 30 20
B
B 1075,57 30 30
• Untuk mengetahui pengelompokan Duncan :
- Urutkan rataan perlakuan dari yang terkecil sampai yang terbesar atau sebaliknya
Salinitas 30‰ = 1075,57 (1)
Salinitas 20‰ = 1221,97 (2)
Salinitas 40‰ = 1501,15 (3)
- Hitung beda antara rataan perlakuan
(1) dan (2); jumlah p = 2 dan R2 = 171,4; beda antara rataan perlakuan = 146,40
(2) dan (3); jumlah p = 3 dan R3 = 180,2; beda antara rataan perlakuan = 279,18
(1) dan (3); jumlah p = 2 dan R2 = 171,4; beda antara rataan perlakuan = 425,58
- Jika rataan perlakuan < Rp, maka perlakuan-perlakuan tersebut tidak berbeda nyata
pada taraf α = 0,05
146,40 < 171,40 berarti perlakuan salinitas 30 dan 20‰ tidak berbeda nyata
279,18 > 180,20 berarti perlakuan salinitas 20 dan 40‰ berbeda nyata
425,58 > 171,40 berarti perlakuan salinitas 30 dan 40‰ berbeda nyata
78
Lampiran 9. (Lanjutan) Alpha 0,05
Derajat bebas galat (Dbg) 36
Kuadrat tengah galat (KTG) 107138,1
Jumlah rataan (p) 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nilai kritis 312,9 329,0 339,4 347,0 352,7 357,2 360,8 363,9 366,4
Rataan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
Pengelompokan Duncan Rataan N Waktu (hari)
A 2124,3 9 10
B A 1902,5 9 9
B
B C 1686,3 9 8
C
D C 1485,6 9 7
D
D E 1240,5 9 6
E
F E 1074,4 9 5
F E
F E G 944,7 9 4
F G
F G 837,5 9 3
F G
F G 759,3 9 2
G
G 607,3 9 1
79
Lampiran 10. Langkah-langkah menggunakan SAS 9.1, contoh perhitungan TSR,
dan hasil uji lanjut Duncan lebar tubuh Artemia salina
a. Langkah-langkah menggunakan software SAS 9.1
1. Buka program SAS 9.1
2. File- import data-next- workbook pilih file dimana
3. Pilih sheet panjang total
4. Library-work-beri nama file di SAS misal: Mair_Lebar_tubuh-finish
5. Ketik syntax di Editor, misalnya:
Proc glm data=Mair_Lebar_tubuh;
Class perlakuan ulangan hari;
Model respon=perlakuan hari ulangan(perlakuan) ulangan(hari)
perlakuan*hari;
Means perlakuan/duncan;
Means hari/duncan;
Run;
quit;
6. Blok syntax tekan tombol F3
b. Contoh perhitungan Tabel sidik ragam lebar tubuh
Sumber keragaman Db Jumlah
kuadrat kuadrat tengah F-hitung F-tabel (5%)
perlakuan jenis (3) 3-1 = 2 3209,3771 1604,6886 0,9504 F(2,27)
waktu (10) 10-1 = 9 26638,8327 2959,8703 22,6118
jenis*waktu (3-1)(10-1) =18 5345,8980 166928,365
galat jenis (3) 3 (3-1) = 6 10130,3392 1688,3899
galat waktu (10) (10-1)(3-1) =18 2356,1879 130,8993
• FK = Faktor koreksi
Jumlah Y = 11840,0
FK =
2Y
axbxr=
2(11840,0)
3 x 10 x 3= 1557605,353
• JKT = Jumlah kuadrat total
JKT = a b r
2ijk
i=1 j=1 k=1
(Y Y)−∑∑∑ = 2
ijkY FK−∑∑∑
= [(119,4)2+ (108,6)2+….+(191,8)2] – 1557605,353
= 59965,1724
• JKA = Jumlah kuadrat faktor (A)
JKA = a b r
2i... ...
i=1 j=1 k=1
(Y Y )−∑∑∑ =
2i...Y
FKbxr
−∑
=
2 2 2(3890,4) +(3760,9) +(4188,7)
10 3x– 1557605,353
JKA = 3209,3771
80
Lampiran 10. (Lanjutan)
• JKB = Jumlah kuadrat faktor (B)
JKB = a b r
2j... ...
i=1 j=1 k=1
(Y Y )−∑∑∑ =
2j...Y
FKaxr
−∑ =
=
2 2 2[(1093,825) + (1027,875) + ... + (1470,375) ]
3 3x– 1557605,353
JKB = 26638,8327
• JKAB = Jumlah kuadrat interaksi faktor (A) dan (B)
JKAB = a b r
2ij... i... j... ...
i=1 j=1 k=1
(Y Y Y + Y )− −∑∑∑ = [
a b2
ij.. ...i=1 j=1
r (Y Y )−∑∑ – FK ] – JKA – JKB
= [ijY
r∑ – FK ] – JKA – JKB
= [4778398,4
3– 1557605,353] – 2805001,53
– 21433351,02
JKAB = 5345,8980
• JKG (a) = jumlah kuadrat galat (a)
JKG (a) = JKST1 – JKA
= [ b
2j... ...
j=1
(Y Y )−∑ =
2jY
b∑ – FK ] – JKA
= [
2 2 2(1503,275) + (1116,425) + ... + (1444,55)
10– 1557605,353 ] – JKA
= 13339,7164 – 3209,3771
JKG (a) = 10130,3392
• JKG (b) = = jumlah kuadrat galat (b)
JKG (b) = JKST2 – JKA
= [ r
2k... ...
k=1
(Y Y )−∑ =
2kY
r∑ – FK ] – JKB
= [
2 2 2(394,025) + (340,05) + ... + (517,75)
3– 1557605,353] – JKB
= 28995,02 – 26638,8327
JKG (b) = 2356,1879
• KTA = kuadrat tengah faktor (A)
KTA = JKA
dBA =
3209,3771
2 = 1604,6886
• KTB = kuadrat tengah faktor (B)
KTB = JKB
dBB =
26638,8327
9= 2959,8703
• KTAB = kuadrat tengah interaksi faktor (A) dan (B)
KTAB = JKAB
dBAB=
5345,8980
18= 166928,365
81
Lampiran 10. (Lanjutan)
• KTG (a) = kuadrat tengah (a)
KTG (a) = JKG (a)
dBG (a)=
10130,3392
6= 1688,3899
• KTG (b) = kuadrat tengah (b)
KTG (b) = JKG (b)
dBG (b)=
2356,1879
18 = 130,8993
• F hitung (a) = KTA
KTG (a)=
1604,6886
1688,3899 = 0,9504
• F hitung (b) = KTB
KTG (b)=
2959,8703
130,8993 = 22,6118
c. Hasil uji lanjut Duncan
Alpha 0,05
Derajat bebas galat (Dbg) 36
Kuadrat tengah galat (KTG) 341,2372
Jumlah rataan (p) 2 3
Nilai kritis (Rp) 9,67 10,17
Rataan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
Pengelompokan Duncan Rataan N Perlakuan (Salinitas)
A 139,624 30 40
B 129,678 30 20
B
B 125,363 30 30
• Untuk mengetahui pengelompokan Duncan :
- Urutkan rataan perlakuan dari yang terkecil sampai yang terbesar atau sebaliknya
Salinitas 30‰ = 125,363 (1)
Salinitas 20‰ = 129,678 (2)
Salinitas 40‰ = 139,624 (3)
- Hitung beda antara rataan perlakuan
(2) dan (2); jumlah p = 2 dan R2 = 9,67; beda antara rataan perlakuan = 4,315
(2) dan (3); jumlah p = 3 dan R3 = 10,17; beda antara rataan perlakuan = 9,946
(1) dan (3); jumlah p = 2 dan R2 = 9,67; beda antara rataan perlakuan = 4,261
- Jika rataan perlakuan < Rp, maka perlakuan–perlakuan tersebut tidak berbeda
nyata pada taraf α = 0,05
4,315 < 9,67 berarti perlakuan salinitas 30 dan 20‰ tidak berbeda nyata
9,946 < 10,17 berarti perlakuan salinitas 20 dan 40‰ tidak berbeda nyata
14,261 > 9,67 berarti perlakuan salinitas 30 dan 40‰ berbeda nyata
82
Lampiran 10. (Lanjutan)
Alpha 0,05
Derajat bebas galat (Dbg) 36
Kuadrat tengah galat (KTG) 341,2372
Jumlah
rataan (p)
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nilai kritis 17,66 18,57 19,16 19,58 19,90 20,16 20,36 20,54 20,68
Rataan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
Pengelompokan Duncan Rataan N Waktu (Hari)
A 163,375 9 10
A
B A 154,306 9 9
B A
B A 147,722 9 8
B
B C 138,594 9 7
C
D C 125,767 9 6
D C
D C 121,536 9 1
D C
D C 119,853 9 5
D
D 116,708 9 4
D
D 114,208 9 2
D
D 113,481 9 3
83
Lampiran 11. Ciri–ciri instar-antara yang berada di antara ciri–ciri morfologi
perkembangan A. salina menurut Lavens and Sorgeloos (1996) Ciri-ciri instar-antara pada salinitas 20‰
Instar antara I dan V Instar antara V dan X Instar antara X dan XII Instar antara XII dan XV
naupliar eye tidak
terlalu jelas, swimming
setae ada 9, endopod
setae ada 2, mandible
setae ada 3,labrum tidak
jelas, mulut tidak
terlihat, belum terdapat
mata majemuk dan
calon thoracopoda
Terdapat calon
thoracopoda besar dan
kecil sekitar 2-5 bagian,
maxillary gland sangat
kecil, labrum jelas, mata
majemuk mulai
membesar, belum
terdapat eksopodite dan
telopodite.
Terdapat eksopodite
dan telopodite sekitar 1-
5 bagian, calon
thoracopoda kecil
sekitar 2-7 bagian,
maxillary gland kecil,
labrum jelas, mata
majemuk mulai
membesar, belum
terdapat endopodite.
Terdapat eksopodite
dan telopodite,
endopodite,dan
thoracopoda kecil
sekitar 1-4, 2-5,dan 1-4
bagian, maxillary gland
cukup jelas, labrum
jelas, mata majemuk
mulai membesar,
sudah terdapat furka,
belum terdapat
kelengkapan
toracopoda sebanyak
11 pasang.
Ciri-ciri instar-antara pada salinitas 30‰
Instar antara I dan V Instar antara V dan X Instar antara X dan XII Instar antara XII dan XV
naupliar eye tidak
terlalu jelas, swimming
setae ada 9, endopod
setae ada 2, mandible
setae ada 3,labrum
tidak jelas, mulut tidak
terlihat, belum
terdapat mata
majemuk dan calon
thoracopoda
Terdapat calon
thoracopoda besar dan
kecil sekitar 3-5 dan 1-
5 bagian, maxillary
gland sangat kecil,
labrum jelas, mata
majemuk mulai
membesar, belum
terdapat eksopodite
dan telopodite.
Terdapat eksopodite
dan telopodite sekitar
1-5 bagian, calon
thoracopoda kecil
sekitar 2-6 bagian,
maxillary gland kecil,
labrum jelas, mata
majemuk mulai
membesar, belum
terdapat endopodite.
Terdapat eksopodite
dan telopodite,
endopodite, dan
thoracopoda kecil
sekitar 1-5, 1-9,dan
1-6 bagian, maxillary
gland cukup jelas,
labrum jelas, mata
majemuk mulai
membesar, sudah
terdapat furka, belum
terdapat kelengkapan
toracopoda sebanyak
11 pasang.
Ciri-ciri Instar-antara pada salinitas 40‰
Instar antara I dan V Instar antara V dan X Instar antara X dan XII Instar antara XII dan
XV
naupliar eye tidak
terlalu jelas, swimming
setae ada 9, endopod
setae ada 2, mandible
setae ada 3,labrum
tidak jelas, mulut tidak
terlihat, belum
terdapat mata
majemuk dan calon
thoracopoda
Terdapat calon
thoracopoda besar dan
kecil sekitar 2-5 dan 2-
4 bagian, maxillary
gland sangat kecil,
labrum jelas, mata
majemuk mulai
membesar, belum
terdapat eksopodite
dan telopodite.
Terdapat eksopodite
dan telopodite sekitar
1-5 bagian, calon
thoracopoda kecil
sekitar 3-5 bagian,
maxillary gland kecil,
labrum jelas, mata
majemuk mulai
membesar, belum
terdapat endopodite.
Terdapat eksopodite
dan telopodite,
endopodite,dan
thoracopoda kecil
sekitar 1-4, 2-10,dan
1-6 bagian, maxillary
gland cukup jelas,
labrum jelas, mata
majemuk mulai
membesar, sudah
terdapat furka, belum
terdapat kelengkapan
toracopoda sebanyak
11 pasang.
84
Lampiran 12. Gambaran instar-antara Artemia salina yang ditemukan selama
penelitian
1. Instar antara I dan V (belum terdapat ciri calon thoracopoda)
2. Instar antara V dan X (belum terdapat ciri telopodite dan eksopodite)
85
Lampiran 12. (Lanjutan)
3. Instar antara X dan XII (belum terdapat ciri endopodite)
86
Lampiran 12. (Lanjutan)
4. Instar XII dan XV (belum terdapat ciri kelengkapan thoracopoda sebanyak 11
pasang)
87
Lampiran 13. Hasil analisis kualitas air terkontrol dan perlakuan salinitas
Suhu pagi hari (06.00 WIB)
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan Suhu (°C) pada hari ke–
1 4 7 10
20‰ 28,6 28,2 27,9 27,7
30‰ 28,8 28,5 28,0 27,9
40‰ 28,7 28,3 27,6 27,8
Suhu siang hari (14.00 WIB)
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan Suhu (°C) pada hari ke–
1 4 7 10
20‰ 29,1 28,6 28,2 28,3
30‰ 29,3 28,9 28,7 28,7
40‰ 29,2 28,7 28,3 28,5
pH pagi hari (06.00 WIB)
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan pH pada hari ke–
1 4 7 10
20‰ 7,95 7,79 7,77 7,76
30‰ 8,10 7,91 7,83 7,87
40‰ 7,89 7,58 7,47 7,47
pH siang hari (14.00 WIB)
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan pH pada hari ke–
1 4 7 10
20‰ 7,81 7,69 7,74 7,71
30‰ 7,96 7,83 7,81 7,83
40‰ 7,73 7,52 7,45 7,40
88
Lampiran 13. (Lanjutan)
DO pagi hari (06.00 WIB)
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan DO (mg/l) pada hari ke–
1 4 7 10
20‰ 6,4 7,8 8,0 8,0
30‰ 6,2 8,1 8,5 8,3
40‰ 6,5 7,9 8,4 8,1
DO siang hari (14.00 WIB)
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan DO (mg/l) pada hari ke–
1 4 7 10
20‰ 6,8 6,6 7,8 7,5
30‰ 8,7 7,8 7,6 8,5
40‰ 7,1 7,1 8,5 8,3
Amonia pagi hari (06.00 WIB)
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan amonia total (mg/l)
Waktu Pengamatan (hari)
1 10
20‰ 0,143 0,142
30‰ 0,111 0,080
40‰ 0,105 0,060
Salinitas pagi hari (06.00 WIB) dan siang hari (14.00 WIB)
Perlakuan
(Salinitas)
Rataan salinitas (‰) pada hari ke–
1 4 7 10
20‰ 20 20 22 22
30‰ 30 30 31 32
40‰ 40 40 41 43
89
Lampiran 14. Uji-t kualitas air selama penelitian utama
Parameter Uji t (Salinitas 20‰)
t hitung t tabel
Suhu * 0.2274 * 2.5706
pH * 0.8477 * 2.5706
DO 6.7721 2.5706
Amonia * 0.1399 * 4.3026
Parameter Uji t (Salinitas 30‰)
t hitung t tabel
Suhu * 0.4856 * 2.5706
pH * 0.8017 * 2.5706
DO 7.5047 2.5706
Amonia * 2.8484 * 4.3026
Parameter Uji t (Salinitas 40‰)
t hitung t tabel
Suhu * 0.5107 * 2.5706
pH * 0.3082 * 2.5706
DO 20.9179 2.5706
Amonia * 3.5266 * 4.3026
Keterangan : * jika nilai t hitung < t tabel maka gagal tolak H0 atau terima H0 atau tidak berbeda
nyata
90
Lampiran 14. (Lanjutan)
t-Test: Paired Two Sample for Means (Suhu pada salinitas 20‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 28.38333333 28.46666667
Variance 0.565666667 0.026666667
Observations 6 6
Pearson Correlation -0.868488483
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -0.22741373 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.414554201
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 0.829108403
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
t-Test: Paired Two Sample for Means (Suhu pada salinitas 30‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 28.58333333 28.75
Variance 0.617666667 0.003
Observations 6 6
Pearson Correlation -0.998920086
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -0.485642931 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.323876581
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 0.647753162
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
t-Test: Paired Two Sample for Means (Suhu pada salinitas 40‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 28.4 28.6
Variance 0.72 0.02
Observations 6 6
Pearson Correlation -0.75
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -0.510753918 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.315633909
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 0.631267819
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
91
Lampiran 14. (Lanjutan)
t-Test: Paired Two Sample for Means (pH pada salinitas 20‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 7.763333333 7.83
Variance 0.004386667 0.02116
Observations 6 6
Pearson Correlation -0.599932914
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -0.847731644 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.217639332
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 0.435278665
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
t-Test: Paired Two Sample for Means (pH pada salinitas 30‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 7.89 7.965
Variance 0.00844 0.02219
Observations 6 6
Pearson Correlation -0.799406081
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -0.801707376 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.22955578
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 0.459111561
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
t-Test: Paired Two Sample for Means (pH pada salinitas 40‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 7.583333333 7.645
Variance 0.036746667 0.09971
Observations 6 6
Pearson Correlation -0.85708054
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -0.308194249 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.385180336
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 0.770360672
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
92
Lampiran 14. (Lanjutan)
t-Test: Paired Two Sample for Means (DO pada salinitas 20‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 6.2411 8.03543
Variance 0.138695664 0.333593189
Observations 6 6
Pearson Correlation 0.118719954
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -6.772136971 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.000533562
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 0.001067124
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
t-Test: Paired Two Sample for Means (DO pada salinitas 30‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 6.8098 8.59105
Variance 0.482299137 0.033331909
Observations 6 6
Pearson Correlation 0.700426303
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -7.50467939 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.000332162
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 0.000664324
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
t-Test: Paired Two Sample for Means (DO pada salinitas 40‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 6.522391667 8.479
Variance 0.047957192 0.008110461
Observations 6 6
Pearson Correlation 0.09056695
Hypothesized Mean Difference 0
Df 5
t Stat -20.91795102 t hitung
P(T<=t) one-tail 2.31261E-06
t Critical one-tail 2.015048372
P(T<=t) two-tail 4.62522E-06
t Critical two-tail 2.570581835 t tabel
93
Lampiran 14. (Lanjutan)
t-Test: Paired Two Sample for Means (Amonia pada salinitas 20‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 0.143099228 0.140902529
Variance 0.000790592 0.000514357
Observations 3 3
Pearson Correlation 0.443373261
Hypothesized Mean Difference 0
Df 2
t Stat 0.139916076 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.450772536
t Critical one-tail 2.91998558
P(T<=t) two-tail 0.901545072
t Critical two-tail 4.30265273 t tabel
t-Test: Paired Two Sample for Means (Amonia pada salinitas 30‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 0.110776376 0.069980544
Variance 0.00044877 1.97943E-05
Observations 3 3
Pearson Correlation -0.77895094
Hypothesized Mean Difference 0
Df 2
t Stat 2.848385179 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.052160582
t Critical one-tail 2.91998558
P(T<=t) two-tail 0.104321164
t Critical two-tail 4.30265273 t tabel
t-Test: Paired Two Sample for Means (Amonia pada salinitas 40‰)
Variable 1 Variable 2
Mean 0.104813908 0.044561602
Variance 0.000802409 7.20868E-05
Observations 3 3
Pearson Correlation -0.0024568
Hypothesized Mean Difference 0
Df 2
t Stat 3.52664812 t hitung
P(T<=t) one-tail 0.035923112
t Critical one-tail 2.91998558
P(T<=t) two-tail 0.071846223
t Critical two-tail 4.30265273 t tabel