pokok-pokok dan analisis konsep pendidikan muthahhari

153
35 POKOK-POKOK DAN ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN MUTHAHHARI A. Fitrah: Dimensi Asasi Pendidikan Islam Dikarenakan manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, sebagaimana telah dibahas pada Bab III, maka pembahasan mengenai pendidikan Islam, khususnya dalam pemikiran Muthahhari, biasanya diawali dengan awal terciptanya manusia. Dari awal penciptaan manusia ini akan diperoleh sejumlah informasi yang akan menjelaskan mengenai landasan utama pendidikan Islam yang sesungguhnya. Pembahasan pemikiran Muthahhari dalam masalah fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan Islam ini lebih bernunsa filosofis. Beliau mengutarakan hal-hal yang terkait dengan awal penciptaan manusia hingga dilahirkan ke dunia lalu membahas masalah mengenai: Manusia dan Pengetahuan. Pembahasan Manusia dan Pengetahuan ini adalah untuk mengetahui sifat dari fitrah manusia, dan apakah pengetahuan yang didapat 33

Upload: mfazlullah

Post on 01-Jul-2015

426 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Uploaded from Google Docs

TRANSCRIPT

Page 1: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

POKOK-POKOK DAN ANALISIS

KONSEP PENDIDIKAN MUTHAHHARI

A. Fitrah: Dimensi Asasi Pendidikan Islam

Dikarenakan manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, sebagaimana

telah dibahas pada Bab III, maka pembahasan mengenai pendidikan Islam,

khususnya dalam pemikiran Muthahhari, biasanya diawali dengan awal

terciptanya manusia. Dari awal penciptaan manusia ini akan diperoleh sejumlah

informasi yang akan menjelaskan mengenai landasan utama pendidikan Islam

yang sesungguhnya.

Pembahasan pemikiran Muthahhari dalam masalah fitrah sebagai dimensi

asasi pendidikan Islam ini lebih bernunsa filosofis. Beliau mengutarakan hal-hal

yang terkait dengan awal penciptaan manusia hingga dilahirkan ke dunia lalu

membahas masalah mengenai: Manusia dan Pengetahuan. Pembahasan Manusia

dan Pengetahuan ini adalah untuk mengetahui sifat dari fitrah manusia, dan

apakah pengetahuan yang didapat oleh manusia bersifat fitri ataukah murni hasil

dari pencarian manusia sendiri.

Di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul, persoalan fitrah memperoleh

perhatian yang sangat besar. Sebab, kedua sumber tersebut memiliki perspektif

tersendiri tentang manusia ketika keduanya mengatakan bahwa manusia

mempunyai fitrah. Dengan demikian, kita mesti mengkaji sejarah kosakata fitrah

dan maknanya, termasuk menjawab pertanyaan apakah di dalam diri manusia

benar-benar terdapat masalah-masalah yang bersifat fitrah, ataukah tidak.1

1 Murtadha Muthahhari, Al-Fithrah (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.6—34.

33

Page 2: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Menurut Muthahhari sendiri, bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah.

Hal itu pun akan terlihat sama dalam pandangan al-Ghazâlî, yang menurutnya

pondasi pendidikan manusia adalah pada nilai-nilai Ilahiyah, yang disebut oleh al-

Ghazâlî sebagai khulq (sebagai persamaan istilah dari fitrah).2 Di tengah-tengah

kajian tentang fitrah/khulq ini nantinya akan muncul beberapa cabang, antara lain

masalah “pendidikan” dan “pengajaran”, suatu tema yang amat luas dan

merentang panjang.

Karena itu, jika manusia memang memiliki rangkaian hal-hal yang

bersifat fitrah, maka kita mesti pula berbicara tentang masalah-masalah

pendidikan dan pengajaran dalam perspektif persoalan-persoalan fitrah tadi.

Bahkan, istilah “pendidikan” (tarbiyah atau ta'dib dalam terminologi

Naquib Alatas3) yang kita gunakan, disadari atau tidak, juga terbentuk atas asas

fitrah tersebut. Sebab yang dimaksud dengan pendidikan ialah rekayasa dan usaha

untuk menyempurnakan kecerdasan (al-rusyd) dan pertumbuhannya. Semua itu

disandarkan pada sekumpulan sarana. Atau, jika kita gunakan istilah modern,

semua itu membutuhkan sejumlah kekhususan yang mencukupi dalam diri

manusia, yang dimensi asasinya adalah fitrah.4

Dari pendapat di atas, sangat jelas terlihat bahwa dimensi dasar

pembentukan manusia melalui pendidikan adalah terletak pada fitrah manusia.

Fitrah manusialah yang selalu membawa manusia untuk selalu condong kepada

kebenaran dan membenci kejahatan, sebagaimana juga sifat pendidikan yang

mengajarkan manusia kepada pencapaian kebenaran dan mencegah kejahatan.

2

Jalaluddin Rahmat, et. al, “Kuliah-kuliah Tasawuf”, dalam Husein Shahab, Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Etika, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), cet. Ke-1, h.42.3 S.M. Naquib al-Attas, The Concept of Educatinal in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), h.60.4

Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 6.

33

Page 3: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Sebagaimana disebutkan dari tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-

Ghazali adalah mencetak insan kamil, yaitu manusia yang memiliki akhlak mulia

dengan menanamkan nilai-nilai Ilahiyah sejak dini dalam diri manusia sehingga

dalam mengarungi kehidupan ini memiliki pijakan yang kuat dalam menjalani

perjalanannya dalam menuju kesempurnaan hakiki, yaitu kesempurnaan pada saat

“bertemu” dengan Sang Pencipta.

1. Pengertian Fitrah dari Segi Bahasa

Lafadz fithrah, dengan berbagai derivatnya, banyak disebutkan dalam al-

Qur’an, misalnya dalam ayat-ayat di bawah ini:

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama (Din) yang lurus, (tetaplah

atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada

perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, akan tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Ar-Rum: 30).

“Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi

yang telah menciptakannya, dan aku adalah termasuk orang-orang yang bersaksi

akan hal itu” (QS. Al-Anbiya: 56).

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang

menciptakan langit dan bumi, dan aku bukanlah termasuk dari orang-orang yang

menyekutukannya” (QS. Al-An'am: 79)

“Apabila langit terbelah” (QS. Al-Infithar: 1)

“Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Adalah

janji-Nya itu pasti terlaksana” (QS. Al-Muzammil: 18)

Dalam kitab Mufradat, ar-Raghib al-Isfahani mengemukakan kosakata

fathara sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Atsir. Yakni menunjukkan arti

33

Page 4: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

“keawal-mulaan sesuatu dan tidak adanya sesuatu sejenis itu yang

mendahuluinya.”5

Sebagaimana diungkapkan oleh al-Ghazali, dalam konteks ini fithrah

seperti tercantum pada ayat-ayat di atas berarti al-khalq dan al-ibda’. Al-

Khalq itu sendiri identik dengan al-ibda’ (yang memiliki arti menciptakan

sesuatu tanpa contoh). Hanya saja, yang menyebutkannya dalam bentuk ini

(fithrah), yakni yang mengikuti pola fi’lah, hanya satu ayat ini, “Maka

hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas)

fitrah Allah yang telah menjadikan manusia menurut fitrah itu”. (QS. Ar-

Rum: 30).

Dalam bahasa Arab, bentuk fi’lah menunjuk pada mashdar yang

menunjukkan arti “keadaan atau jenis perbuatan”. Jika kita mengucapkan kata

jalsah, maka lafal ini menunjuk pada arti “duduk satu kali”. Tetapi jika kita

katakan jilsah, maka artinya adalah keadaan duduk. Karena itu, ucapan kita

yang berbunyi “Jalastu jilsata Zaidan”, berarti “Aku duduk seperti duduknya

Zaid”. Yakni, duduk seperti keadaan duduk yang dilakukan Zaid.

Berdasarkan itu, maka lafal fithrah yang berkaitan dengan keadaan

manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni yang

disebutkan dalam ayat, “Fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut

fitrah itu” (QS. Ar-rum: 30) mengandung arti “keadaan yang dengan itu

manusia diciptakan”. Artinya, Allah telah menciptakan manusia dengan

keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang

ditempatkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang

menjadi fitrahnya.6

5 Ar-Raghib al-Isfahani, Al-Mufradât, (Kairo: Mathba’ah al-Maimaniyah, 1324 H), dalam makna kata fathara. 6 Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 11.

33

Page 5: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Ibn Atsir, dalam kitab an-Nihayah, ketika mengemukakan hadits yang

berbunyi: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,” kitab tersebut

memberikan komentar bahwasanya "Al-Fathr" berarti menciptakan dan

menjadikan (al-ibtida’ wa al-ikhtira’), dan fithrah merupakan keadaan yang

dihasilkan dari penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang

baru, yang merupakan kebalikan dari “membuat sesuatu dengan mengikuti

contoh sebelumnya.” Allah adalah al-Fathir. Dia adalah al-Mukhtari’ (yang

menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia adalah at-taqlidi (membuat

sesuatu dengan mengikuti contoh). Manusia hanyalah mengikuti, bahkan di

saat dia membuat sesuatu yang baru sekalipun. Sebab, hasil dari kreasinya

pasti mengandung unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Al-Fithrah adalah

keadaan yang dihasilkan aripenciptaan itu, seperti halnya al-jilsah dan ar-

rikhbah, yakni fitrah merupakan sejenis ciptaan khusus yang memiliki

keadaan tertentu.7

Berdasarkan pengertian tentang fitrah dari para ulama di atas, dapat

diambil kesimpulan bahwasanya fitrah adalah sesuatu yang ada dalam diri

manusia yang berhubungan dengan awal diciptakannya, yang langsung

diciptakan oleh Allah Swt dengan tanpa meniru dari contoh yang lain.

2. Watak, Naluri, dan Fitrah

Setelah membahas mengenai pengertian fitrah, maka selanjutnya

dalam buku fitrah-nya Muthahhari mengajak kita untuk membedakan arti dari

tiga istilah yang terkesan sama namun pada hakekatnya berbeda. Hal ini

7 Ibn Atsir, Nihâyah fi Gharib al-Hadits, (Qum: Muassassah Isma’iliyyan, 1405), dalam makna kata fithrah.

33

Page 6: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

dirasakan penting, agar pemahaman kita terhadap fitrah tidak dikaburkan

dengan istilah-istilah yang kelihatannya sama namun berbeda.

Terdapat tiga istilah, yaitu “watak”, “naluri”, dan “fitrah” yang mesti

dibedakan dan diketahui perbedaannya, sebagai berikut.

a. Watak atau Sifat Dasar (ath-thabi’ah)

Watak (sifat dasar) biasanya digunakan untuk benda-benda mati. Tetapi,

bisa pula digunakan untuk benda-benda hidup. Contohnya, jika kita

bermaksud menunjukkah salah satu karakteristik (ciri khas) air, maka

kita mengatakan, “Wataknya adalah begini”. Atau, “Watak oksigen

adalah mudah terbakar.” Jadi, kita menyebut berbagai karakteristik asal

benda-benda dengan wataknya.

Manusia dengan pemikiran rasional dan filosofis yang dimilikinya,

berpikir bahwa dua benda yang sama dalam segala seginya tidak

mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Jika karakternya berbeda,

hal itu membuktikan bahwa kedua benda itu memiliki perbedaan dalam

satu segi atau lebih. Berdasarkan itu, maka pada setiap benda tersebut

terdapat potensi atau kekhususan yang memunculkan karakteristik tadi,

yang hanya dimiliki olehnya dan tidak oleh yang lainnya. Potensi atau

kekhususan itulah yang merupakan watak (thabi’ah) benda tersebut.

b. Naluri (al-gharizah)

Istilah ini banyak digunakan untuk binatang, dan jarang sekali

digunakan untuk manusia, serta tidak pernah digunakan untuk benda-

benda mati dan tumbuh-tumbuhan. Hakikat naluri belum jelas hingga

saat ini. Artinya, seseorang tidak sanggup menginterpretasikan apa

sebenarnya naluri itu. Kendati demikian, kita mengetahui bahwa dalam

diri binatang terdapat kekhususan-kekhususan internal tertentu yang

33

Page 7: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

menjadi penuntun hidupnya. Di dalam naluri tersebut terdapat kondisi

setengah sadar yang dengan itu binatang-binatang dapat dibedakan

perjalanan hidupnya. Kondisi tersebut bukan muktasabah (diperoleh

dengan usaha), tetapi merupakan sifat dasar yang ada pada binatang.

Termasuk dalam naluri tersebut adalah kesanggupan binatang yang baru

lahir untuk melakukan berbagai gerakan, tanpa melalui latihan lebih

dahulu. Pengetahuan yang seperti itulah yang kita sebut dengan

“Naluri”. Yakni, kondisi kesadaran yang tidak sempurna, suatu keadaan

yang merupakan gabungan dari sadar dan tidak sadar.

c. Fitrah (al-fithrah)

Istilah ini digunakan untuk manusia. Sebagaimana halnya dengan naluri

dan watak, fitrah merupakan bawaan alami. Artinya, ia merupakan

sesuatu yang melekat dalam diri manusia, dan bukan sesuatu yang

diperoleh melalui usaha. Fitrah mirip dengan kesadaran. Sebab, manusia

mengetahui bahwa dirinya mengetahui apa yang dia ketahui. Artinya,

dalam diri manusia terdapat sekumpulan hal yang bersifat fitrah, dan dia

tahu betul tentang hal itu.8

Dari pengertian tentang watak, naluri dan fitrah di atas, dapat

dipertegas kembali makna dari fitrah itu sendiri. Fitrah adalah sesuatu yang

melekat dan hadir dalam diri manusia sejak diciptakannya. Ia bersifat mencari

dan mencintai kebenaran. Seperti telah dikemukan di atas, bahwa pendidikan

pun memiliki fungsi yang sama, yaitu menanamkan dan mengajarkan kepada

manusia untuk mencari dan mencintai kebenaran.

Di sinilah titik temu antara fitrah dan pendidikan. Pendidikan

berfungsi mengajarkan kebenaran sesuai dengan sifat dari fitrah yang selalui

8 Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.20-24.

33

Page 8: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

cinta kebenaran. Maka, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang

berorientasi pada fitrah itu sendiri, yaitu pendidikan yang berazas pada nilai-

nilai kebenaran hakiki, yaitu nilai-nilai dari Allah SWT sebagai pencipta dari

fitrah itu sendiri. Di sinilah pendidikan Islam memainkan perannya.

Adanya anggapan bahwa anak manusia dilahirkan dalam keadaan

kosong, dengan diibaratkan sebuah kertas kosong yang masih putih, dan tugas

dari ayah-ibu dan lembaga pendidikan formallah yang mewarnainya, maka

dari pengertian fitrah di atas dengan sendirinya terbantah. Anak manusia

bukanlah seperti kertas kosong yang tidak memiliki apa-apa sehingga ia

seperti benda mati yang bebas diperlakukan oleh siapa saja, yang dengannya

tercipta satu kepribadian yang khas. Namun, lebih daripada itu, anak manusia

merupakan subjek yang telah tahu akan kebenaran dan eksistensinya di dunia.

Ketika seorang bayi menangis dan mendapat perlakuan yang tidak

dikehendakinya, ia langsung menangis. Ia tahu akan keberadaan dirinya. Apa

buktinya ia tahu akan keberadaan dirinya? Jika bayi itu tidak tahu bahwa ia

ada, maka dia tidak akan memiliki keinginan. Keinginan sesungguhnya lahir

dari pengetahuan akan eksistensi diri. Tanpa itu maka tidak akan ada

keinginan. Dengan demikian, seorang bayi pun bukanlah secarik kertas yang

kosong, tetapi dia telah memiliki basic pengetahuan mengenai eksistensi diri

yang dengannya dapat tumbuh dan mengenali lingkungannya. Pengetahuan

mengenai eksistensi diri itulah yang disebut fitrah.

Dengan demikian, tugas pendidikan yang utama adalah memberikan

informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Dan, dengan adanya fitrah

dalam diri manusia, maka informasi itu berguna sebagai bekal dalam

pencarian kebenarannya. Hal itu lebih disebabkan adanya sifat fitrah yang

33

Page 9: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

cinta kebenaran. Manusia, menurut Muthahhari, adalah makhluk pencari

kebenaran.9

Lebih jauh, Muthahhari memberikan penjelasan yang rinci mengenai

alasan manusia sebagai makhluk pencari kebenaran. Mencari kebenaran

sendiri adalah sesuatu yang dapat kita sebut dengan istilah “pengetahuan”,

atau kategori “penalaran terhadap alam luar”. Dorongan ini ada dalam diri

manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa

adanya, atau menalarnya sebagaimana mestinya. Artinya, manusia ingin

memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda

dalam keadaan yang sesungguhnya. Masalah pencarian kebenaran, di

kalangan para filosof, adalah kesempurnaan teoritis itu sendiri. Manusia,

dengan fitrahnya, mencari kesempurnaan teoritis, yakni mengetahui hakikat

alam semesta. Fitrah ini terdapat di dalam diri manusia dan dapat dilihat, yang

di dalam psikologi disebut dengan “dorongan mencari kebenaran”, atau “rasa

ingin tahu.10

Kecendrungan pada kebenaran dan pengetahuan bersumber pada

fitrah. Artinya, manusia merupakan realita yang tersusun (composite) dari

tubuh dan roh, dan bahwasanya di dalam roh terdapat hakikat Ilahiyah, seperti

yang dikatakan oleh ayat al-Qur’an:

“Dan ketika Aku telah sempurnakan kejadinnya (manusia), maka Aku

tiupkan ke dalam jiwanya Ruh-Ku, maka hendaklah kaliah bersujud kepada-

Nya” (QS. Shaad: 72).

Unsur-unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan

terikat dengannya, sedangkan unsur-unsur non-alaminya cenderung pada hal-

9 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.38.

10 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 57.

33

Page 10: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

hal yang metafisik dan terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran,

dan ini merupakan dorongan jiwanya (rohnya). Semua dorongan ini—

pengetahuan dan penciptaan, cinta dan ibadah—pada dasarnya merupakan

refleksi dari perhambaan terhadap Kekasih Sejati Yang Dirindukan. Kekasih

yang dirindukan oleh manusia, pada hakikatnya adalah Allah SWT. Jadi, jika

muncul kerinduan rohani dalam diri manusia, maka kerinduan tersebut

menghidupkan kerinduan hakiki terhadap Allah yang muncul dari adanya

fitrah tersebut.

3. Manusia dan Pengetahuan

Terdapat suatu pertanyaan yang secara khusus ber kaitan dengan

pengetahuan manusia, yaitu: Apakah dalam diri manusia terdapat sejumlah

pengetahuan yang sifatnya fitri, yakni pengetahuan pengetahuan yang ghair

muktasabah?

Di dalam diri kita terdapat setumpuk konsep dan gambaran, dan tidak

diragukan lagi bahwa banyak pen dapat yang mendekati konsensus

mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat banyak hal yang mukta sabah,

sebagaimana yang juga dijelaskan oleh ayat Al- Qur'an, "Dan Allah

mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui

sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati,

agar kamu bersyukur " (QS. an Nahl: 78).

Sebagian pemikir kita ingin bersandar pada ayat ini guna menegaskan

bahwa semua pengetahuan yang kita miliki adalah muktasabah (diperoleh

melalui usaha), sekalipun terlihat bahwa ada pula pengetahuan- pengetahuan

yang bersifat fitrah. Pengertian lahiriah ayat tersebut mengatakan,

"Sesungguhnya ketika kamu sekalian dilahirkan, kamu sekalian belum

33

Page 11: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

mengetahui suatu apa pun." Artinya, lembaran hati kalian masih bersih dan

belum ada goresan apa pun. Lalu, kamu sekalian diberi pendengaran,

penglihatan, dan hati, agar dengan itu kamu sekalian dapat menuliskan ber

bagai hal di lembaran hati kalian.11

Ini baru satu teori. Ada teori lain yang mengatakan sebaliknya. Yakni,

sesungguhnya ketika manusia di lahirkan, dia sudah mengetahui semua hal,

tanpa ada satu pun yang terlewat. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Sebelum bertempat di badan, roh manusia berada di alam lain, yakni alam

idea (ingat teori Plato). Idea adalah hakikat hakikat dari segala sesuatu yang

ada di alam semesta. Roh telah mengetahuinya dan telah pula menemukan

hakikat benda benda itu. Kemu dian, ketika ia bertempat di badan, muncullah

peng halang (hijab) yang memisahkan roh dari pengetahuan- pengetahuan

idea tersebut. Kondisinya seperti orang yang sudah mengetahui sesuatu, tapi

untuk beberapa waktu menjadi lupa, dan kemudian ingat kembali. Se tiap bayi

yang dilahirkan, menurut teori Plato, sudah mengetahui segala sesuatu.

Pengajaran dan belajar hanyalah usaha untuk mengingat kembali sesuatu yang

terlupakan. Guru adalah orang yang mengingatkan. Yakni, mengingatkan

sesuatu yang dia ketahui dalam dirinya.12

Teori ketiga mengatakan bahwa manusia mengetahui sesuatu melalui

fitrahnya. Benda benda yang dia ketahui dengan cara ini, tentu. saja, sangat

sedikit. Dengan kata lain, prinsip berpikir pada semua manu sia adalah

bersifat fitrah, sedangkan cabangnya bersifat muktasabah. Yang dimaksud

dengan prinsip berpikir di sini bukanlah prinsip berpikirnya Plato, yang me

ngatakan bahwa di alam lain manusia telah mengetahui segala sesuatu, namun

11 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 37-38.12 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 39.

33

Page 12: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

kemudian lupa. Tetapi, yang dimaksud adalah bahwa di dunia ini manusia

dingatkan pada prinsip prinsip tersebut. Hanya saja, untuk mengetahuinya, dia

membutuhkan guru, membutuh kan sistem yang membedakan besar dan kecil,

perlu membuat analogi, menempuh pengalaman, dan lain sebagainya. Artinya,

bangunan intelektualitas manusia dijadikan sedemikian rupa sehingga dengan

menyo dorkan beberapa hal saja, cukuplah baginya untuk mengetahui hal itu

tanpa harus ada dalil dan bukti, dan juga bukan karena dia telah mengetahui

hal itu se belumnya.

Teori ini, pada umumnya, dianut oleh para filosof Muslim. Dengan

beberapa perbedaan dalam rincian nya, ia juga merupakan teori yang dianut

Aristoteles. Perbedaan tersebut juga terjadi di kalangan para filosof modern,

tetapi tidak dalam bentuknya yang Platonis. Sebab, hingga saat ini tidak ada

seorang pun yang tahu secara persis teori Plato. Kendati demikian, dewasa ini

dijumpai filosof filosof yang meyakini bahwa sebagian dari pengetahuan

manusia itu bersifat fitrah, dan se bagiannya lagi. bersifat tajribi (diperoleh

melalui pe ngalaman) dan terjadi sesudah manusia hidup di dunia. Tokoh

aliran ini adalah filosof besar Kant.13

Kant mengakui adanya himpunan pengetahuan yang bersifat fitri,

yakni pengetahuan pengetahuan yang tidak diperoleh melalui pengalaman

ataupun melalui indera, tapi pengetahuan yang mesti ada dalam diri manusia

demi terbentuknya aspek pemikiran manusia. Pemikiran seperti ini ditemukan

di kalangan filosof Jerman. Namun, para filosof Inggris yang mengatakan

bahwa pengetahuan diperoleh melalui indera, jumlahnya lebih banyak,

misalnya john Lock, David Hume, dan lain lain. Kelompok yang disebut

terakhir ini memiliki pendapat yang berbeda dengan kelompok yang disebut

13 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 40-41

33

Page 13: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

terdahulu. Mereka mengatakan bahwa lembaran lembaran diri manusia pada

mulanya kosong dari suatu pengetahuan pun, kemudian manusia bertemu

dengan segala sesuatu, dan mempelajarinya.

Titik pusat dan paling penting dalam pembicaraan kita sekarang ini

adalah teori yang dianut oleh para filosof Muslim, yang mengatakan bahwa

prinsip prinsip berpikir manusia tidak bersifat pengajaran (dibentuk melalui

belajar) dan tidak pula bersifat istidlaliah (di dapatkan melalui penyusunan

dalil dalil). Tetapi, dalam waktu yang bersamaan, mereka juga tidak

memandang hal itu sebagai karakteristik asal manusia. Ini berbeda dengan

Plato dan Kant, yang menganggapnya sebagai bawaan asal manusia. Para

filosof Muslim mengatakan, tatkala manusia dilahirkan, dia tidak mengetahui

apa pun, termasuk prinsip prinsip berpikir tersebut. Walau pun begitu, mereka

mengatakan bahwa terbentuknya prinsip prinsip tersebut sesudah itu tidak

membutuhkan pengalaman, penyusunan dalil, ataupun guru. Begitu seseorang

berpikir tentang dua sisi suatu. hal, yakni pokok permasalahannya dan

kemungkinan kemungkinannya, ia pun sampai pada kesimpulan antara pokok

persoal an dan kemungkinan kemungkinannya.

Sebagai contoh, jika kita mengatakan, "Keseluruhan itu lebih besar

daripada bagian bagiannya," maka Plato pasti mengata kan bahwa manusia

mengetahui itu sejak azali, sebagai mana halnya dengan pengetahuannya

terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Terhadap pernyataan

kita itu, Kant juga pasti akan mengatakan: Per nyataan bahwa keseluruhan itu

lebih besar daripada bagian bagiannya merupakan rangkaian dari unsur -unsur

berpikir yang sifatnya fitrah yang terdapat di dalam bangunan akal. Artinya,

sebagian pengetahuan itu diperoleh dari luar, dan sebagian lainnya terkait

dengan akal sejak asalnya.

33

Page 14: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Para filosof Muslim mengatakan tidak demikian. Seorang bayi yang

baru lahir tidak tahu apa pun mengenai konsep bahwa keseluruhan itu lebih

besar daripada bagian bagiannya. Sebab, dia tidak mempunyai konsepsi

mengenai "keseluruhan" dan "bagian bagian". Akan tetapi, begitu dia

memiliki konsepsi tentang ke dua hal itu, dan salah satu darinya dia terapkan

terhadap yang lain, maka saat itu juga dia dapat memutuskan tanpa perlu

adanya dalil, guru, atau eksperimen bahwa keseluruhan itu lebih besar

daripada bagian-bagiannya.

Kita juga menemukan perbedaan pandangan antara para filosof

Muslim dengan Plato dalam hal ada dan tidak adanya fitrah. Sekarang, mari

kita lihat bagaimana pendapat Al Qur'an. Di satu sisi, Al Qur'an mengatakan:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui suatu apa pun, dan Dia mem beri kamu pendengaran,

penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (QS. an Nahl: 78)

Dalam ayat di atas berpendapat bahwa semua bayi yang dilahirkan

berada dalam keadaan bersih se perti lembaran kertas putih, tanpa ada satu

goresan apa pun. Tetapi, pada sisi lain, Al Qur'an mengemuka kan pertanyaan

pertanyaan yang dari situ seseorang dapat mengetahui bahwa, dalam beberapa

hal, akal manusia tidak membutuhkan penyusunan dalil. Lalu, bagaimana

kedua pandangan ini dapat dikompromikan?

Sebagai contoh, kita ambil masalah tauhid dalam Al Qur'an.

Pengertian pengertian yang akan kami tarik dari ayat ayat tentang tauhid

menunjukkan bahwa tauhid adalah masalah fitrah. Berdasar itu, maka respons

terhadap keesaan Allah dalam instink manusia, sama sekali tidak sejalan

dengan ayat yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tidak

mengetahui apa pun". Akan tetapi, kenyataannya kedua hal ter sebut sejalan.

33

Page 15: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Atau, kita ambil sebagai contoh lagi, diulang ulangnya lafal at

tadzakkur (mengingat) dalam Al Qur'an. Ini betul betul menakjubkan. Ketika

Al Qur'an menghancur luluhkan teori Plato melalui ayatnya yang berbunyi,

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui apa pun, dan Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan,

dan hati" kita pun menemukan Al Qur'an berkata kepada Rasulullah saw,

"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu ada lah orang yang

menberi peringatan." (QS. al Ghasyiah: 21)

Lihatlah, bukankah Al Qur'an sendiri yang menggunakan kata tadzkir

(mengingatkan) dan memberi predikat mudzakkir (orang yang memberi

peringatan) kepada Nabi saw? Ini menunjukkan, Al Qur'an ber pendapat

bahwa ada beberapa hal yang (untuk me ngetahuinya) orang tidak

membutuhkan penyusunan dalil dan bukti, tetapi cukup dengan mengingat

saja. Antara lain, Al Qur'an mengatakan, "Apakah sama orang orang yang

mengetahui dengan orang orang yang tidak mengetahui?” QS. az Zumar: 9).14

Ini merupakan pertanyaan retorik (tidak membutuh kan jawaban),

seperti yang digunakan Socrates dalam pendidikan dan pengajaran.

Diceritakan bahwa ketika Socrates ingin menegaskan sesuatu kepada pende

ngarnya, dia memulainya dengan menyampaikan hal- hal yang sangat jelas

dengan menggunakan pertanya an, "Apakah persoalannya begini atau begitu?"

Kendati persoalannya sudah demikian jelas, Socrates benar -benar tahu bahwa

akal manusia akan memilih yang jelas. Karena itu, dia memberikan pilihan

kepadanya. Kemudian, dia mengangkat permasalahan dengan pertanyaan

kecil, dan dengan cara yang sama, "Apakah keadaannya memang seperti ini

atau seperti itu?" Me lalui pertanyaan ini, Socrates menyodorkan pilihan yang

14 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 41.

33

Page 16: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

secara pasti memang bakal dipilih oleh pendengarnya. Begitulah seterusnya

yang dia lakukan, sampai akhir nya pendengarnya mengetahui apa yang

sebenarnya diinginkan oleh Socrates untuk mereka ketahui, tanpa Socrates

sendiri menjelaskan suatu apa pun. Yang demikian itu dilakukan oleh

Socrates, karena pada dasarnya dia adalah seorang guru, sekaligus orang yang

mengerti tentang jiwa manusia. Karena itu, dia me nyimpulkan jawaban dari

pertanyaan itu sendiri. Socrates sendiri menggambarkan dirinya seperti ibunya

yang dukun bersalin. Socrates bekerja bagai "dukun ber salin" seperti yang

dilakukan ibunya. Alam mengajar kan kepada seorang perempuan untuk

melahirkan, tetapi dukun bersalinlah yang membimbing dan mem bantunya

melahirkan. Jadi, Socrates tidak melakukan apa pun kecuali membantu akal

manusia untuk me lahirkan pemikiran yang baru.15

Al Qur'an juga menggunakan gaya bahasa tertentu dalam melontarkan

pertanyan pertanyaan, antara lain sebagai berikut:

Katakanlah, "Apakah sama orang~orang yang menge tahui dengan

orang orang yang tidak mengetahui?" (QS. az Zumar: 9)

Patutkah Kami menganggap orang orang yang beriman dan

mengerjakan amal saleh sama dengan orang orang yang berbuat kerusakan

di muka bumi. Atau, patutkah [pula] Kami menganggap orang orang yang

bertakwa sama dengan orang~orang yang berbuat maksiat? QS. Shad: 28)

Dalam kedua ayat itu, Al Qur'an yang bertanya, dan manusia yang

mesti menjawab. Dalam posisi seperti itu, Al Qur'an kemudian menegaskan,

"Bahwasanya hanya orang orang yang berakal sajalah yang dapat meng

ambil pelajaran." (QS. ar Ra'd: 19)

15 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 41-42.

33

Page 17: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Demikianlah, maka menjadi jelaslah kepada kita bahwa masalah

masalah fitrah yang dikemukakan oleh al Qur'an bukanlah sejenis fitrah

seperti yang disebut kan Plato, tetapi ia merupakan potensi fitri yang di miliki

oleh setiap manusia. Saat seorang bayi sampai pada fase yang di situ dia telah

sanggup menkonsepsi kan hal hal tadi, maka pembenarannya terhadap hal- hal

tersebut bersifat fitri. Artinya, pembenaran yang terjadi setelah dia melakukan

konsepsi adalah bersifat fitri. Berdasar itu, maka tidak ada kontradiksi apa pun

ketika Al Qur'an mengatakan, "Dialah yang megeIuarkan kamu dari perut

ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan

untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur," dengan

per nyataan bahwa tauhid itu adalah fitrah.

Kendati Al Qur'an mengisyaratkan banyak masalah untuk diingat,

namun hal itu tidak bertentangan dengan fakta bahwa masalah masalah

tersebut bersifat fitrah. Artinya, untuk mengetahui masalah masalah itu,

seseorang tidak harus belajar dan menyusun dalil. Tetapi, itu juga bukan

sesuatu yang bersifat fitrah dalam pengertian bahwa ia sudah diketahui

manusia sebelum dia dilahirkan.

Sekarang, apa yang akan dikatakan oleh orang orang yang menolak

eksistensi fitrah? Mereka mengatakan bahwa dalam diri manusia tidak

terdapat prinsip pripsip yang tetap yang merupakan kemestian bagi

terbentuknya kegiatan berpikir akal (tak terkecuali kemestian yang dikatakan

oleh Kant). Misalnya, pemikir pemikir terdahulu mengatakan me ngenai

prinsip berpikir, "Menggabungkan dua hal yang bertentangan adalah

mustahil." Artinya, adalah mustahil suatu benda disebut ada dan tidak ada

pada saat yang bersamaan. Itu juga berarti, tidak mungkin ada konsep yang

sesuai dengan realitas dan, pada saat yang sama, tidak sesuai dengan realitas.

33

Page 18: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Mengenai masalah ini terdapat banyak sekali pendapat yang kita temukan

dalam filsafat Hegel dan dalam Marxisme. Tetapi masalah ini jelas sudah

berada di luar pembicaraan kita. Atau, misalnya lagi, kita mengatakan, "Dua

benda disebut sama jika semua aspek yang ada pada keduanya sama dengan

benda yang ketiga." Atau, "Keseluruhan lebih besar daripada bagiannya."

Atau lagi, "Menentu kan sesuatu yang lebih baik tanpa adanya penentu adalah

mustahil." 16

Misalnya, jika terdapat dua kemungkin an pada satu benda, di mana

kedua kemungkinan ter sebut bertentangan satu sama lain, dan menisbahkan

benda tersebut kepada masing masing kemungkinan tersebut adalah sama dan

setara, maka mencende rungkan benda tersebut kepada salah satu di antara

kedua kemungkinan tersebut mengharuskan adanya faktor luar (eksternal)

yang mempengaruhinya. jika tidak terdapat faktor luar, maka menentukan

kecen derungan benda tersebut pada salah satu di antara kedua kemungkinan

tersebut adalah mustahil.

Ada ilustrasi lain, misalnya suatu benda dapat ber ada di dua tempat

sekaligus. Hal hal seperti ini tidak mungkin dicarikan dalilnya. Tetapi, ini

tidak berarti bahwa hal hal itu tergolong dalam persoalan persoalan misterius

yang tidak mungkin dibuktikan. Ada hal hal yang tidak ditemukan dalil untuk

mem buktikannya, tetapi hal hal tersebut bukanlah sesuatu yang misterius

(tidak diketahui). Ambillah, sebagai contoh, luas alam semesta ini. Apakah

luas alam ini ada batasnya ataukah tidak? Orang bisa saja menjawab, "Saya

tidak tahu apakah ia terbatas atau tidak terbatas, sebab tidak mungkin

menyodorkan dalil untuk itu."

16 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 45.

33

Page 19: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Atau, misalnya lagi, ada yang mengatakan, "Semua benda membesar

bersama sama dan dengan perban dingan yang sama." Pengertiannya, kalau

pada saat ini tinggi Anda sama dengan sebelumnya, katakanlah 170 cm,

demikian pula ukuran ukuran tangan dan kaki, dinding, air, kursi, dan tirai,

kemudian ada orang yang mengatakan, "Ukuran semua benda itu sudah

bertam bah," lantas Anda bertanya, "Semula tinggi saya 170 cm, apakah

sekarang bertambah menjadi 180 cm?" maka orang itu menjawab, "Tidak,

sebab ukuran sentimeter sekarang ini sudah memanjang juga dengan perban

dingan yang sama." Masalah ini tidak dapat kita bukti kan dengan dalil, dan

tidak dapat pula kita buktikan dengan dalil akan kebalikannya. Persoalan

persoalan seperti ini tidak dapat dibuktikan ataupun ditolak dengan dalil,

sehingga seakan akan menjadi sesuatu yang misterius (majhulah).

Adapun pernyataan bahwa suatu benda dapat berada di dua tempat

yang berbeda pada saat yang sama merupakan masalah yang tidak dapat

dibuktikan, tetapi tidak dipandang oleh manusia sebagai sesuatu. yang

misterius (majhulah), maka pernyataan seperti ini, dan pernyataan pernyataan

lain yang sejenis, adalah tidak benar.

Orang orang yang mengakui adanya prinsip prinsip berpikir yang

bersifat bawaan, haruslahjuga mengakui bahwa prinsip prinsip tersebut asli

sifatnya, tidak berubah, dan tidak bisa salah. Mereka menga takan, "Ketika

kita berada di sini, prinsip prinsip ter sebut merupakan prinsip yang sahih, dan

jika kita pindah ke lingkaran lain, maka prinsip prinsip ter sebut tetap benar.

Contohnya, pernyataan 2x2= 4 ada lah benar di dunia ini, dan juga benar di

akhirat kelak, dan pasti akan tetap benar sesudah milyaran tahun lagi. Jadi,

kalau kita percaya tentang adanya fitrah dalam berpikir, maka kita dapat

meyakini adanya cabang dari fitrah tersebut, karena cabang-cabang terbentuk

33

Page 20: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

dari prinsip itu sendiri. Akan halnya jika ada yang menga takan bahwa prinsip

itu sendiri sesuatu yang diusaha kan, artinya ada suatu faktor yang mendorong

kita untuk menerimanya, dan kita bagaikan cermin yang diletakkan di

hadapan gambar, maka terhadap pen dapat itu kami menjawab: Keseluruhan

itu lebih besar daripada bagiannya. Kesimpulan seperti itu muncul dari

lingkungan sekitar yang memastikan demikian. Jika lingkungan berubah,

maka kita bisa mengatakan yang sebaliknya, yakni bagian lebih besar

daripada ke seluruhannya. Yang saya maksudkan adalah bahwa jika kita

menolak prinsip prinsip berpikir, maka ilmu dan kegiatan belajar mana pun

menjadi tidak berarti.17

Ilmu matematika, secara keseluruhan, dibangun atas sekumpulan

prinsip yang sudah dikenal. Jika prinsip- prinsip tersebut tidak diakui, bahkan

semata mata di sandarkan pada struktur dan bangunan akal kita yang khas,

maka jika struktur dan bangunan akal kita ber ubah, kita akan mengatakan

sesuatu yang berbeda dari yang kita katakan sebelumnya. Atau, bahwasanya

prinsip -prinsip tersebut akan seperti itu selama kita masih menghuni planet

bumi ini, dan begitu kita pindah ke Mars, maka model pemikiran kita pasti

akan berubah. Cara berpikir seperti ini, tentu saja, tidak dibangun atas kaidah

filsafat yang mana pun.18

Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan ini adalah bahwa

orang-orang yang menolak prinsip- prinsip fitrah yang asli (bersifat bawaan)

dalam berpikir tidak memiliki sudut pandang (yang benar) me ngenai alam

ini, dan tidak pula memiliki filsafat yang dapat memberi keputusan yang pasti

bahwa mereka mengetahui alam semesta ini secara baik. Mereka tidak sadar

17 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 46. 18 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 46.

33

Page 21: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

bahwa orang orang seperti mereka adalah ibarat orang yang duduk di atas

cabang satu pohon yang cabang itu dia gergaji sendiri. Dia tidak sadar, begitu

cabang tersebut tergergaji, maka dia akan jatuh bersamanya.

Itu sebabnya, tidak ada sesuatu pun yang dimiliki oleh filsafat

materialisme kecuali keberingasan semata, dan tidak pula ada teori yang ia

miliki kecuali mengatakan bahwa pemikiran pemikiran itu merupakan se

suatu yang dihasilkan oleh pengaruh faktor faktor eks ternal. Dengan teori itu,

mereka menolak prinsip-prinsip berpikir asli yang diakui banyak orang, yang

tetap, dan tidak berubah. Artinya, seluruh apa yang saya katakan, begitu pula

halnya dengan cabang cabangnya, dipandang oleh orang orang itu sebagai

sesuatu yang tidak memiliki landasan yang benar. Berdasarkan itu, maka

filsafat yang ditegakkan atas prinsip prinsip dan cabang cabang seperti itu,

juga tidak memiliki dasar yang benar. Bahkan, tidak ada asas yang sahih bagi

filsafat apa pun. Akibatnya adalah keraguan, menafikan ilmu pengetahuan dan

filsafat.

Sampai di sini, kajian kita berbicara seputar penalaran dan

pengetahuan. Yang kita peroleh adalah hal- hal berikut ini. Kita sudah

mengemukakan teori teori yang berbeda beda, lalu menentukan teori yang kita

pandang benar dan bisa kita terima, yaitu teori yang mengatakan bahwa

prinsip prinsip berpikir itu bersifat fitrah. Muthahhari juga telah menjelaskan

bahwa fitrah ter sebut berbeda dengan fitrah yang dikatakan Plato dan Kant,

dan ia bukan merupakan sesuatu yang terbentuk saat bayi dilahirkan.

Muthahhari pun telah mengatakan bahwa satu satunya cara membangun

pengetahuan, pemikir an, dan filsafat umat manusia adalah dengan menerima

prinsip prinsip sah yang ada dalam pikiran manusia, dan berarti tidak ada

sesuatu pun yang kita miliki kecuali keraguan. Selanjutnya, ada pula filsafat

33

Page 22: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

filsafat yang berpendapat seperti itu, tapi pada saat yang sama meyakini

materialisme dialektik. Yakni, teori yang mengatakan bahwa di alam semesta

ini tidak ada apa pun kecuali benda benda (materi). Mereka tidak menyadari

bahwa pernyataan mereka itu merupakan pemikiran yang tidak ada bobotnya

sedikit pun. Artinya, dengan mengabaikan kritik kritik yang bisa kita

lancarkan terhadap materialisme, toh materialisme itu sendiri tetap merupakan

ranting yang akan jatuh bersama tubuh mereka, saat mereka mengger

gajinya.19

4. Manusia dan Kebutuhan-kebutuhannya

Bagian kedua berbicara tentang kebutuhan kebutuhan yang bersifat

fitrah. Yakni apakah dalam dirinya, manusia mempunyai tuntutan-tuntutan

yang bersifat fitrah?

Sebelum ini telah dibicarakan tentang penge tahuan. Sekarang,

pembicaraan kita adalah tentang tuntutan tuntutan fitrah yang mencakup dua

hal berikut:20

a. Kebutuhan kebutuhan jasmani

Yang dimaksud dengan kebutuhan jasmani ialah kebutuhan

kebutuhan yang seratus persen berkaitan dengan jasmani, semisal naluri untuk

makan. Ini merupakan urusan yang bersifat fisik dan jasmani semata- mata,

tapi pada saat yang sama ia merupakan naluri. Artinya, ia berkaitan dengan

bangunan tubuh manusia dan binatang. Sesudah manusia mencerna makanan

19 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 47. 20 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 49.

33

Page 23: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

di dalam perutnya, ia merasa membutuhkan makanan yang baru. Perasaan

lapar muncul dari sejumlah saraf pencernaan yang secara otomatis memberi

sinyal ke pada otak manusia, bahkan di saat orang tersebut tidak tahu apakah

ia punya makanan ataukah tidak, misalnya anak kecil. Kemudian, agar

laparnya hilang, dia pun makan. Ketika dia selesai makan, laparnya pun

hilang, bahkan dia kadang kadang menjadi lelah seperti orang yang baru

berjalan jauh. Demikian pula halnya dengan naluri seksual, yang berkaitan

dengan syahwat dan hormon hormon tubuh serta saraf saraf tertentu. (Akan

halnya masalah cinta, pertanyaannya adalah: apakah cinta dan seks itu sama

atau berbeda? Seterusnya, apa kah kerinduan itu termasuk dalam kategori

seksual atau bukan? Persoalan persoalan ini membutuhkan kajian yang luas

dan tersendiri).

Masalah lain adalah persoalan tidur, apa pun juga substansinya. jika ia

disebabkan oleh kelelahan sel atau mengendurnya aktivitasnya akibat bekerja

dan penge rahan tenaga atau sebab sebab lain seperti itu, maka ia berkaitan

dengan masalah jasmani. Hal hal tersebut kita masukkan dalam kategori naluri

(al gharaiz). Te tapi ia tidak termasuk dalam kajian kita sekarang ini.21

b. Kebutuhan kebutuhan Rohani (Spiritual)

Terdapat sejumlah tuntutan dan kecenderungan-kecenderungan

naluriah atau. fitriah yang oleh para sarjana psikologi dikategorikan dalam

urusan urusan rohani, dan mereka menyebut kelezatan kelezatan yang

dirasakan manusia setelah terpenuhinya tuntutan tuntutan itu sebagai

"kelezatan rohani". Kecenderungan seperti itu misalnya kecenderungan

keibuan atau ke bapakan. Perasaan ini berbeda dengan naluri seksual yang

21 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 50.

33

Page 24: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

ingin disalurkan terhadap seorang perempuan. Kecenderungan yang dirasakan

seseorang bahwa dia ingin mempunyai seorang anak tidak sama dengan

kenikmatan jasmani. Artinya, ia tidak khusus berhubung an dengan organ

organ jasmani. Keinginan untuk menang, dihormati, dan berkuasa pada diri

manusia adalah sejenis kehausan yang bersifat rohani. Betapa pun telah

berkuasanya seseorang, pasti dia ingin me miliki kekuasaan yang lebih besar

lagi, dan barangkali keinginannya untuk itu tidak terbatas. Pujangga besar

Sa'di mengatakan:

Jika seorang manusia Tuhan makan roti

Dia kan memberikan separuhnya kepada orang miskin

Tetapi jika seorang raja berkuasa atas tujuh penjuru dunia

Maka hatinya akan tetap ingin menguasai negeri lain.22

Jika manusia berjalan di atas langkah langkah yang mengantarkannya

pada kekuasaan dan kedudukan, maka langkahnya tidak pernah ada akhirnya.

Bahkan, di saat kekuasaannya telah membentang di segenap penjuru dunia,

dia tetap berpikir untuk mengirim pa sukan ke planet planet lainnya yang

sekiranya dihuni oleh manusia. Adapun mencari ilmu dan mengkaji ke

benaran merupakan persoalan lain.

Pengetahuan, danjuga penemuan hakikat hakikat estetika dan seni,

berkreasi dan berteknologi, serta hal- hal lain di atas itu, yang selama ini kita

sebut dengan kerinduan dan peribadatan, semuanya muncul dari cinta.

(Sedangkan ibadah yang muncul dari rasa takut dan pamrih, maka Islam

mengajarkan kepada kita bahwa ibadah seperti itu tidak ada nilainya, kecuali

bahwa hal itu merupakan pengantar yang dengan itu kadang-kadang seseorang

dapat mencapai derajat yang lebih tinggi).

22 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 50-51.

33

Page 25: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Tuntutan tuntutan yang disebutkan di atas, wajib kita kaji dalam upaya

kita mengetahui apakah ia ter masuk fitrah atau tidak. Bila kita menolak

perolehan pengetahuan sebagai bersifat fitrah, maka kita pun sampai pada

jurang ke raguan yang sangat menakutkan. Yakni, keraguan total yang

menyeret kita pada Sophisme, penafian pengeta huan dan penalaran, bahkan

pada penafian kebenar an secara total.

Sekarang kita harus melihat apakah dalam diri kita terdapat tuntutan

tuntutan yang bersifat fitrah atau kah tidak. Tetapi, sebelum itu, kita terlebih

dulu harus melihat apakah terdapat perbedaan antara "Adanya tuntutan

tuntutan fitrah dalam diri kita", dengan "Tidak adanya tuntutan tuntutan fitrah

dalam diri kita". Kita juga harus melihat, apakah dalam hal ini ada orang-

orang yang menolak eksistensi tuntutan tuntutan yang bersifat fitrah, sehingga

mereka "memotong cabang dari pohonnya", seperti yang mereka lakukan saat

mereka menolak prinsip prinsip berpikir manusia dan memotong cabangnya

dari pohonnya pula, tanpa mereka sadari bahwa saat itu mereka sendiri sedang

duduk di atas cabang yang mereka gergaji itu.23

Pada bagian yang lalu saya telah mengatakan bahwa sesuatu yang

terdapat dalam diri manusia dan yang keberadaannya sama sekali tidak

diragukan, dan yang dengan itu manusia menjadi makhluk yang berbeda dari

semua makhluk yang ada (dengan mengabaikan perbedaan perbedaan

lainnya), adalah bahwa manusia dapat menyadari alam di luar dirinya. Atau,

dengan kata lain, dia berpikir tentang segala sesuatu yang ada di

sekelilingnya. Artinya, manusia adalah makhluk yang berpikir, atau jika kita

gunakan istilah yang lebih modern, manusia adalah makhluk yang sadar: sadar

akan dirinya, dan sadar akan alam yang ada di sekitarnya.

23 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 52.

33

Page 26: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Karena kelebihannya itu, manusia dapat menerima rangkaian

pengetahuan dari dunia luar. Kerja ini kita sebut dengan "menalar". Menalar!

Alangkah indahnya istilah yang dipilih oleh para pendahulu kita ini. Me nalar

(al idrak) dalam bahasa Arab berarti naik tangga dan sampai. Dengan

bersandar pada pengertian istilah ini, para filosof menyebut orang yang

mencari sesuatu dan menemukannya dengan "Innahu qad adrakahu (Dia telah

menemukannya). Misalnya, orang yang me ngejar orang lain yang melarikan

diri dan berhasil me nangkapnya disebut dengan "Innahu qad adrakahu" Itulah

yang diperoleh manusia dari alam luar, yakni sejenis pertemuan dan

keterikatan antara dirinya dengan dunia luar dirinya. Selagi manusia masih

bodoh, ter dapat tabir yang menutupi dirinya dari alam luar diri nya. Tabir itu

seakan akan menghalangi dirinya untuk sampai pada alam yang ada di luar

dirinya. Tetapi, begitu dia telah pandai (mengetahui) tentang alam di luar

dirinya, seakan akan dia telah sampai ke alam ter sebut. Hal tersebut memang

termasuk dalam jenis sampai pada sesuatu. Tidak diragukan sedikit pun

bahwa dalam masalah pengetahuan ini binatang, tum buh tumbuhan, dan

benda benda mati yang mana pun, tidak dapat disamakan dengan manusia.

Binatang memang memiliki pengetahuan yang kabur tentang alam di

luar dirinya. Akan tetapi, dan tidak diragukan sedikit pun, pengetahuannya

tidak mencapai pengetahuan yang dimiliki manusia. Binatang tidak dapat

berpikir. Sebab, yang dimaksud dengan berpikir adalah sesuatu yang harus

ada modalnya, yaitu penalaran yang mengantarkan pelakunya pada modal

yang baru. Artinya, dengan apa yang diketahuinya, manusia dapat

menemukan hal hal lain yang tidak dia ketahui, manusia dapat menemukan

hal-hal yang tidak dia ketahui.

33

Page 27: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Ketika Anda berpikir tentang sesuatu dan menge nai problem tertentu,

misalnya tentang sekolah, lalu Anda berhasil menemukan alternatif, maka apa

yang dimaksud dengan berpikir di situ? Kerja apa itu? Anda berpikir, dengan

bermodal pengetahuan pengetahuan yang Anda miliki, tentang hal hal yang

tidak Anda ke tahui, yang ada di hadapan Anda. Kemudian Anda mem buat

relasi antara pengetahuan pengetahuan yang Anda miliki dengan sesuatu yang

tidak Anda ketahui itu. Dengan itu, Anda pun menjadi orang yang me

ngetahui hal hal yang semula tidak Anda ketahui. Artinya, Anda berhasil

menemukan jalan keluar yang baru. Yang demikian ini dapat disamakan

dengan reproduksi dalam alam materi dan jasmani. Binatang tidak memiliki

sesuatu seperti itu. Binatang hanya dapat mengindera, yaitu penginderaan

yang tipis sekali. Mereka melihat warna warna, dan dapat merasakan panas

seperti kita merasakannya. Tetapi tidak lebih dari itu. Dengan demikian,

berpikir merupakan ke khususan manusia.24

Masalah lain yang membedakan manusia dari bukan manusia adalah

masalah motif motif yang dimiliki ma nusia. Yaitu, sesuatu yang dapat kita

sebut dengan motif motif suci di satu sisi, dan motif motif egois di sisi yang

lain. Apa yang dimaksud dengan motif egois? Ia adalah dorongan dorongan

yang membuat seseorang men jadikan dirinya sebagai pusat dari segala

tindakannya.

Benar, motif seperti ini juga dimiliki oleh binatang dan manusia pada

umumnya. Dorongan untuk makan dimiliki oleh binatang. Akan tetapi

dorongan untuk makan ini hanya merupakan dorongan yang ditujukan untuk

dirinya sendiri. Artinya, ia ingin mengambil makanan untuk dirinya saja.

Manusia juga mempunyai sejumlah kecenderungan egois seperti itu. Sebab,

24 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 52-53.

33

Page 28: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

manusia memang termasuk golongan binatang. Akan tetapi, manusia memiliki

dorongan dorongan dan kecenderungan lain, yang bukan kecenderungan

kecenderungan egois. Tetapi merupakan dorongan yang dipandang oleh

manusia sebagai dorongan suci yang ada dalam sanubarinya, dan dia

tempatkan di tempat yang jauh lebih tinggi dan mulia. Semakin tinggi bobot

kecenderungan tersebut dimi liki seseorang, semakin bertambah tinggilah

penghor matan orang lain terhadap dirinya. Kecenderungan kecenderungan

yang kita lihat dimiliki oleh binatang, adalah kecenderungan kecenderungan

yang bersifat egois semata, misalnya kecenderungan untuk tidur, makan, dan

sejenisnya. Kalau pun ada kecenderungan lain yang bukan itu, maka galibnya

ia terbatas pada kecenderungan mempertahankan jenis. Artinya, dalam batas

batas reproduksi dan berketurun an, dan itu termasuk dalam kategori naluri.

Sekali lagi, kita telah kembali pada definisi naluri. Yang saya mak sudkan

dengan naluri di sini ialah kerja sesuai tuntutan alam untuk dilakukan oleh

binatang, dan bukan kerja yang dilakukan berdasar kesadaran, kebebasan, dan

pilihan.

Ketika seekor kuda, misalnya, melahirkan bayinya, maka kuda

tersebut dibekali dengan sejenis kecen derungan yang sangat kuat yang tidak

diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah. Ketika bayi kuda itu men yusu,

tampak sekali bahwa induknya tidak ingin berada jauh jauh dari bayinya. Ia

takut jauh dari bayinya dan tak henti hentinya melihatnya. Bila Anda

mendorongnya agak jauh, ia segera merapatkan tubuhnya ke tubuh bayinya.

Begitulah keadaannya, sampai bayi kuda itu menjadi besar sedikit demi

sedikit. Semakin bertambah umur anak kuda itu, semakin lemahlah hubungan

induknya dengan anaknya, sampai akhirnya putus sama sekali.25

25 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 53.

33

Page 29: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Pada prinsipnya, jika anak kuda tersebut sudah menginjak usia enam

atau tujuh hari, dan ia mempunyai kecakapan berdiri untuk yang kesekian

kalinya, maka induk kuda itu merasa senang melihat kecakapan anaknya.

Akan tetapi dia tidak merasakan kesenangan yang sama bila yang dilihatnya

bukan anaknya. Bahkan ia seakan akan merasa kotor jika mendekatinya. Me

ngapa? Karena, hubungan naluriah yang pertama ber tujuan melindungi

anaknya dalam rangka memperta hankan jenis. Tidak ada tujuan lain selain

itu. Karena itu, begitu anak kuda itu sudah pandai berdiri sendiri seperti

induknya, maka hubungan induk kuda ter sebut dengan anaknya menjadi tidak

berbeda dengan hubungan induk kuda itu dengan kuda kuda lainnya.

Hal yang sama terjadi pada binatang-binatang yang hidup

berkelompok. Perbuatan yang mereka lakukan bukan bersifat pilihan diri

mereka, tetapi merupakan perbuatan perbuatan yang bersifat pemberian.

Artinya, alam memberi dan memilihkan untuk binatang binatang tersebut

perbuatan perbuatan yang harus mereka laku kan secara terpaksa, tanpa ada

kemampuan untuk me nentang,

Lebah tergolong binatang yang hidup berkelom pok. Demikian pula

halnya dengan semut dan bebe rapa jenis serangga. Semuanya bekerja dalam

bentuk naluriah. Artinya, bekerja secara otomatis, setengah sadar, dan tidak

punya pilihan. Pekerhaan pekerjaan tersebut dipilihkan oleh alam untuk

mereka sejak semula. Ka:rena itu, mereka tidak sanggup untuk tidak mela

kukan pekerjaan pekerjaan itu. Itulah kecenderungan- kecenderungan yang

dimiliki oleh binatang.

Akan halnya manusia, di dalam dirinya terda pat kecenderungan

kecenderungan dan dorongan- dorongan yang tidak mungkin diinterpretasikan

sebagai kecenderungan kecenderungan egois. Kalau pun dapat ditafsirkan

33

Page 30: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

seperti itu, maka di situ terdapat peluang untuk pro dan kontra. Lebih dari itu,

kecenderungan yang dimiliki manusia bersifat pilihan dan berdasar kesadaran.

Yang disebut "perikemanusiaan" sesungguh nya tak lain adalah

kecenderungan kecenderungan tersebut.26

Apa yang dikemukakan oleh semua aliran pemikiran yang ada di dunia

ini, baik teologis, materialis, atau skeptis, pada akhirnya mengandung hal hal

yang ber sifat non hewani, dan hanya khusus untuk manusia.

Kecenderungan kecenderungan dan dorongan- dorongan yang sesekali

kita sebut dengan motif motif suci itu, dapat disusun menjadi lima bagian atau

kate gori. Atau, setidak tidaknya, lima kategori itulah yang kita ketahui

sampai saat ini.

(1) Mencari Kebenaran

Mencari kebenaran adalah sesuatu yang dapat kita sebut dengan istilah

"pengetahuan", atau kategori "pe nalaran terhadap alam luar". Dorongan ini

ada dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat

seperti apa adanya, atau menalarnya se bagaimana mestinya. Artinya, manusia

ingin memper oleh pengetahuan pengetahuan tentang alam dan wujud benda

benda dalam keadaan yang sesungguh nya. Di dalam salah satu doa yang

dipanjatkan oleh Rasulullah saw, terdapat ucapan beliau yang menga takan,

"Ya, Allah, perlihatkanlah kepadaku segala se suatu. sebagaimana yang

sesungguhnya ada."27

Kebenaran adalah sesuatu yang dimaksud dengan istilah hikmah atau

falsafah. Manusia tidak cenderung pada filsafat kecuali karena adanya

26 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.55.27 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.55

33

Page 31: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

kecenderungan dan dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat berbagai

benda, sehingga kita dapat menyebutnya dengan "kesadaran filosofis," atau

"pencarian kebenaran." Ibn Sina mempunyai istilah yang saya kira belum

pernah diperkenalkan oleh orang lain. Tentang maksud dan tujuan filsafat, Ibn

Sina mengatakan, "Menjadikan manusia sebagai makhluk yang mengetahui,

rasional, dan memahami alam inderawi." Artinya, mengetahui alam inderawi

sebagaimana yang sebenarnya, agar dia menjadi tahu tentang dirinya, dan tahu

tentang alam rasional yang tersembunyi di alam inderawi yang ber ada di luar

dirinya."

Masalah pencarian kebenaran, di kalangan filosof, adalah

kesempurnaan teoritis itu sendiri. Manusia, dengan fitrahnya, mencari

kesempurnaan teoritis, yakni mengetahui hakikat alam semesta. Fitrah ini

terdapat di dalam diri manusia dan dapat dilihat, yang di dalam psikologi

disebut dengan "dorongan mencari kebenar an, atau "rasa ingin tahu".

Manusia mencarinya dalam lingkup yang sangat luas.

Para ahli mengatakan bahwa dorongan tersebut terdapat dalam diri

anak kecil sejak ia berusia dua se tengah atau tiga tahun. Pertanyaannya

tentang segala sesuatu menjadi semakin banyak. Hanya saja, orangtua yang

tidak mengerti tentang hal itu, melihatnya se bagai "sesuatu yang berlebih-

lebihan", dan "kekanak- kanakan", saat melihat anaknya berceloteh dalam

bahasa yang tidak karuan. Sikap seperti itu jelas keliru. Se orang anak kecil

bertanya, dan dia punya hak untuk itu. Bahkan, jika pertanyaannya tidak

mungkin dijawab oleh orangtuanya sekali pun. Orangtua tidak boleh

menghardiknya, bahkan wajib menjawabnya semaksimal mungkin. Anak

kecil kadang-kadang juga melakukan hal hal yang dianggap berbahaya oleh

kedua orang atuanya, misalnya menyentuh segala sesuatu yang berada di

33

Page 32: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

dekatnya. Biasanya, orangtuanya mengatakan, “jangan, itu berbahaya."

Padahal, belum tentu benda -benda itu berbahaya. Bukankah dorongan yang

membuat dia melakukan semuanya itu adalah rasa ingin tahu? Dia ingin

menggerakkan benda benda itu untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Kita,

tentu saja, sudah tahu apa yang akan terjadi. Sebab, kita sudah pernah

mengalaminya. Tetapi anak tadi belum me ngetahuinya, sebab dia memang

belum mengalaminya. Karena itu, dia ingin mengalaminya.

Ada sebuah cerita sangat indah yang dituturkan oleh Abu Raihan al

Biruni, khususnya dalam konteks ini. Al Biruni mempunyai seorang tetangga

yang ahli dalam bidang fikih, yang mengunjunginya saat dia sakit berat.

Orang itu melihat al Biruni terbujur di atas tempat tidur sambil menghadap

kiblat. Rupanya dia sudah mendekati ajalnya. Tetapi dalam keadaan yang

seperti itu, al Biruni masih sempat bertanya tentang masalah fikih kepada

tetangganya itu. Dengan takjub, orang itu menjawab, "Ini bukan waktunya

untuk bertanya." Mendengar itu, al Biruni berkata, "Aku tahu, bahwa saat ini

aku di ambang kematian. Tetapi aku tetap akan bertanya kepada Anda

tentang, manakah yang lebih baik, apakah aku mati dengan mengetahui

jawaban atas pertanyaanku tadi, ataukah aku mati tanpa mengetahui

jawabannya?" Orang itu menjawab, "Tentu saja, akan lebih baik jika engkau

mati dengan mengetahui jawabannya. " "Kalau begitu jawablah

pertanyaanku," kata al Biruni pula. Lalu, orang itu pun menjawab pertanyaan

al Biruni. Kemudian fakih itu menuturkan bahwa se belum dia sampai ke

rumahnya (sepulang menengok al Biruni), isak tangis pun terdengar dari

rumah al -Biruni. Dengan demikian, keinginan untuk mengetahui sesuatu itu

merupakan kesadaran yang tersembunyi dalam diri manusia. Para ulama yang

terus menerus memelihara dan merawat kesadaran tersebut agar tetap hidup,

33

Page 33: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

dapat mencapai suatu derajat yang di situ mereka dapat merasakan nikmatnya

penemuan suatu hakikat, yang kelezatannya melebihi apa pun juga.28

Ada kisah lain lagi, yakni kisah tentang Sayyid Muhammad Baqir,

seorang warga Ishfahan. Kisah itu sudah dituturkan orang sejak lama. Alkisah,

ketika malam sudah larut, Almarhum Sayyid Muhammad Baqir (yang saat itu

menjadi mempelai) melihat masih banyak perempuan yang memadati ruang

pengantin. Karena itu, dia segera masuk ke kamar yang bersebe lahan dengan

kamar pengantin itu, dan berkata dalam hati, "Ini kesempatan yang baik untuk

membaca." Karena itu, dia mengambil sebuah kitab dan segera larut di

dalamnya. Ketika kaum wanita itu telah mening galkan kamar pengantin, sang

pengantin perempuan terus menunggu kedatangan Sayyid Muhammad Baqir.

Tetapi yang ditunggu tidak kunjung tiba. Tiba tiba Sayyid Baqir terkejut

karena waktu Subuh telah tiba. Rupanya, Sayyid Baqir betul betul tenggelam

dalam kitab yang dibacanya, sampai sampai dia lupa pada istrinya di malam

pertama itu.

Kisah yang hampir sama diriwayatkan orang tentang diri seorang

pastur yang sedang menunggu waktu se tengah jam di malam pengantinnya.

Untuk menunggu waktu, dia masuk ke perpustakaannya. Dia baru sadar akan

dirinya ketika matahari telah menyingsing. Kondisi seperti itu, sedikit atau

banyak, ada dalam diri semua orang, dan sebagaimana halnya dengan

kesadaran kesadaran lainnya, ia bisa kuat dan bisa pula lemah. Tinggi rendah

pertumbuhannya, tergantung pada sejauh mana seseorang memelihara. dan

mengem bangkannya. Sementara itu, orang selalu mengutama kan orang yang

pandai daripada yang tidak pandai.

28 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.56-57.

33

Page 34: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Ada sebuah kata mutiara. yang diucapkan oleh John Stuart Mill,

filosof Inggris yang terkemuka itu. Dia me ngatakan, "Orang pandai yang

miskin jauh lebih baik daripada orang bodoh yang kaya." Artinya, Mill lebih

menghargai orang miskin yang pandai ketimbang orang kaya yang bodoh.29

Pernyataan pernyataan di atas mengisyaratkan betapa pentingnya

pencapaian hakikat bagi manusia. Makna suatu kebenaran terletak pada

kebebasan dan kesadaran, serta menjadi tahu tentang alam semesta ini.

(2) Moral (Akhlak)

Dorongan lain yang tersembunyi dalam diri manu sia adalah

berpegang pada nilai nilai moral, dan ini tergolong pada kategori nilai nilai

utama (summum bonum), yang dalam konteksnya dengan pembicaraan kita,

biasa kita sebut dengan akhlak yang baik (husn al khulq). Manusia memiliki

kecenderungan terhadap banyak hal, di antaranya ada yang memberi manfaat

secara fisik kepadanya, misalnya senang terhadap harta. Sebab, harta memang

memberi manfaat kepada ma nusia dalam menutupi berbagai kebutuhan

materil. Kesenangan terhadap harta ini merupakan bagian dari egosentrisme,

yakni dorongan untuk memper tahankan hidup. Tentu saja, masalah dorongan

yang ada dalam diri makhluk hidup untuk mempertahan kan hidupnya ini saja,

sudah merupakan masalah yang pelik. Kendati demikian, kita tidak punya

cukup ke sempatan untuk membahasnya di sini.

Dengan demikian, manusia memang mempunyai ketergantungan

terhadap banyak hal, bukan karena hal hal itu bermanfaat baginya, tetapi

karena hal hal itu merupakan suatu keutamaan dan kebajikan, dalam arti ia

tergolong sebagai kebaikan spiritual. Manfaat adalah kebaikan materil,

29 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.57.

33

Page 35: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

sedangkan keutamaan adalah kebaikan spiritual. Manusia menyukai kejujuran

karena ia baik, dan membenci kebohongan karena ia berten tangan dengan

kejujuran. Ketergantungan terhadap ke jujuran, amanah, ketakwaan, kesucian,

dan lain lain ada lah ketergantungan terhadap keutamaan. Ketergan tungan

jenis ini terbagi menjadi dua bagian: individu al dan sosial. Yang individual

misalnya ketergantungan terhadap sistem dan stabilisasi, penguasaan diri, dan

keberanian yang berarti kekuatan hati, bukan kekuat an tubuh. Sedangkan

yang sosial semisal senang mem bantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat

baik, dan berkorban untuk orang lain, baik dengan jiwa maupun harta.30

(3) Estetika

Manusia tertarik secara total pada keindahan, baik keindahan dalam

akhlak maupun keindahan dalam bentuk. Tidak ada seorang manusia pun

yang kosong dari rasa suka kepada keindahan. Seseorang akan ber usaha

semaksimal mungkin, bahkan hingga soal berpa kaian sekali pun, agar

penampilannya menjadi indah. Keindahan, pada kenyataannya, memang

dibutuhkan dengan sendirinya. Anda mengenakan pakaian agar terlindung

dari panas dan dingin. Kendati demikian, dalam berpakaian Anda pasti

memperhatikan kein dahan dan estetika (seni keindahan). Manusia, pada

dasarnya, memang menyukai keindahan. Karena itu, begitu dia melihat air

gemercik, kolam untuk berenang, atau lautan luas membentang, maka dia

merasakan kenikmatan dan kenyamanan.

Demikian pula halnya dengan seni, yang berarti bentuk bentuk yang

indah. Misalnya, kaligrafi yang sejak lama dipandang sebagai seni. Dalam

kaligrafi terdapat nilai yang sangat penting bagi manusia. Kita seringkali

30 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 58-59.

33

Page 36: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

membolak balik Al Qur'an yang ditulis dengan khat yang indah, lalu berharap

untuk dapat melihatnya di lain waktu. Ayah saya adalah orang yang sangat

bagus tulisan Arabnya. Beliau membuat khat yang indah dalam ukuran besar,

dan ketergantungan jiwanya kepada kaligrafi demikian besar, sampai sampai

beliau menga takan, "Ketika sesekali aku memegang Al Qur'an yang ditulis

dengan khat yang indah, aku nyaris tidak sanggup membacanya, sebab aku

sudah terlebih dulu tenggelam dalam keindahan kaligrafinya."31

Salah satu di antara kaligrafi yang indah adalah al- Qur'an kecil yang

tersimpan di Iran yang betul betul tidak ada bandingannya. Sosok yang

terdapat dalam ayat ayat Al Qur'an itu sendiri sudah merupakan kate gori

keindahan tersebut. Sebab, keindahan fashahah dan kedalaman arti yang

dimiliki Al Qur'an merupa kan unsur unsur penting dari ajaran ajaran yang di

sampaikannya.

(4) Kreasi dan Penciptaan

Dalam diri manusia terdapat sejumlah dorongan untuk membuat

sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Benar, bahwa manusia

membuat sesuatu dan berkreasi adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan ilmu yang dipandang sebagai sarana

kehidupan, maka kreativitas pun demikian pula halnya. Pembaca pasti pernah

menyaksikan betapa gembiranya seorang anak ketika dia tahu bahwa dirinya

berhasil membuat atau menciptakan sesuatu. Saat itu dia merasakan kepriba

diannya.

Kreativitas dan daya cipta tersebut diaktualisasikan dalam bentuk yang

berbeda beda seperti merekayasa masyarakat, mengatur negara, membangun

31 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.60.

33

Page 37: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

kota, mem buat perencanaan berbagai program, merancang me tode dan

silabus pendidikan, serta menulis buku. Dengan demikian, kecenderungan

seperti itu memang ada dalam diri semua orang, dan setiap orang pasti senang

membuat dan mencipta sesuatu. Yang lebih dari itu adalah, seseorang

membuat teori baru dan mendukungnya dengan bukti bukti, kemudian

teorinya diterima orang lain, dan dia diakui sebagai penemunya. Yang

demikian ini merupakan sejenis kreativitas dan penciptaan, misalnya orang

yang me nemukan teori gerakan atom dan mendukungnya dengan bukti bukti.

Tidak diragukan, pembaca pasti dapat melihat bahwa dua atau tiga

kategori di antara kategori kategori yang telah disebutkan di atas, dapat

menyatu dalam diri se seorang untuk menciptakan sesuatu. Contohnya syair.

Untuk terciptanya sebuah syair, dua kategori pun me nyatu. Sebab, dengan

menyusun puisi puisinya, seorang penyair telah menciptakan sesuatu. Dia

mewujudkan sesuatu yang semula belum ada. Dengan begitu, dalam dirinva

terdapat kategori mencipta, dan pada saat yang sama ia telah menciptakan

sesuatu yang indah. Dengan begitu, dalam dirinya pun berkembang kate gori

estetika. Di situ juga dapat tumbuh kategori lain, misalnya, pencarian

kebenaran.32

(5) Kerinduan dan lbadah

Kategori kelima kita sebut dengan kategori kerin duan atau kategori

ibadah. Pada bagian yang lalu, saya telah mengatakan bahwa di dunia ini tidak

ada satu pun makhluk yang lebih membutuhkan penginterpretasian kecuali

manusia. Sebab, dalam diri manusia ditemukan banyak sekali masalah yang

tidak kita temukan dalam diri makhluk lain. Di dalamnya terdapat hal hal

32 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.60.

33

Page 38: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

yang sangat rumit yang sulit sekali diinterpretasikan. Itu sebabnya, manusia

disebut mikro kosmos. Artinya, ia merupakan alam berdiri sendiri. Bahkan,

sebagian orang arif tidak bersedia menyebutnya dengan alam kecil, melainkan

alam besar. Seorang penyair mengatakan: Apakah engkau menganggap dirimu

sebagai alam kecil Padahal dalam dirimu termuat alam besar Mereka

menganggap alam di luar diri manusia sebagai alam kecil. Karenanya, dalam

diri manusia di temukan banyak sekali rahasia yang hingga kini masih

membutuhkan penjelasan. Interpretasi yang meng anggap manusia sebagai

makhluk sederhana adalah keliru.

Saya tegaskan bahwa kategori yang kelima adalah kategori kerinduan

dan ibadah. Kategori ini membu tuhkan banyak penjelasan dan interpretasi,

yang dapat memperlihatkan bahwa dalam diri manusia terdapat suatu kondisi

yang disebut dengan kerinduan. Kerinduan (al 'isyq) adalah kondisi yang lebih

tinggi tingkat annya dibanding cinta. Cinta, dalam tingkatannya yang biasa

biasa saja, terdapat dalam diri setiap orang. Ia dapat dibagi dalam beberapa

jenis, misalnya cinta an tara dua orang sahabat, cinta antara murid (orang yang

menginginkan) dan murad (orang yang diinginkan), atau cinta antara dua

orang suami istri. Begitu pula halnya dengan cinta orangtua terhadap anak

anaknya.

Sedangkan kerinduan, jelas merupakan sesuatu yang berbeda. Konon,

al 'isyq (kerinduan) semula merupa kan nama pohon yang menempel pada

pohon lain dan memeluknya sedemikian rupa seakan akan dia adalah pemilik

pohon yang dipeluknya itu. Seperti itulah ke rinduan. Berbeda dengan cinta,

kerinduan bisa membuat seseorang keluar dari keadaan normalnya, sehingga

dia tidak mau makan dan minum, dan memusatkan perhatiannya pada titik

yang menjadi pusat perasaannya, yaitu al ma'syuq (sesuatu atau seseorang

33

Page 39: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

yang di rindukan). Dengan kerinduan tersebut, seseorang dapat memperoleh

kondisi "menyatu" dengan orang yang dirindukan. Yang dilihatnya adalah

sesuatu yang satu, karena ia menyatu dengan yang dia rindukan. Kondisi

seperti itu tidak dimiliki oleh binatang. Sebab, ikatan yang ada pada binatang

tak lebih dari apa yang pada manusia disebut dengan cinta, atau ikat an antara

suami dengan istrinya. Hubungan tersebut kadang kadang membentuk sedikit

atau banyak kecemburuan dalam diri binatang. Sementara itu, kerinduan jelas

khusus dimiliki oleh manusia.

Hakikat dan sumber kerinduan merupakan salah satu tema kajian

filsafat. Ibn Sina menulis ar Risalah fi al 'Isyq (risalah tentang kerinduan). Di

dalam manuskrip manuskrip yang ditulis Mulla Sadra kita juga dapat

menemukan risalah khusus tentang 'isyq yang jumlahnya tiga puluh halaman.

Kerinduan juga, termasuk dalam kajian psikologi modern dan psikoanalisa.

Yang penting untuk dijawab di sini adalah, apakah atau bermacam

macam jenis? Kerinduan itu satu jenis. Sebagian teori mengatakan bahwa

kerinduan itu hanya satu macam, yaitu kerinduan seksual. Artinya, ia

mempunyai sumber yang bersifat fisik dan tidak pada yang selain itu. Sesuai

jenis kerinduan yang ada di dunia ini, berikut pengaruh dan dampak

dampaknya termasuk di dalamnya kerinduan romantisisme dan hikayat

hikayat cinta dalam karya karya sastra termasyhur, tak lebih adalah kerinduan

seksual.

Teori lain mengatakan bahwa kerinduan antara manusia dengan

manusia lainnya terbagi menjadi dua. Nashiruddin Tusi, dan Mulla Shadra,

membagi kerinduan dalam dua macam. Sebagian merupakan kerinduan

seksual yang mereka namai dengan kerinduan majazi dan bukan hakiki, dan

sebagian lain merupakan kerinduan rohani atau nafsani (kerinduan jiwa).

33

Page 40: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Kerinduan seksual, karena merupakan naluri, akan berhenti jika

dipenuhi keinginannya. Sebab, hal itulah yang menjadi tujuannya. Jika

awalnya dimulai dari saraf saraf dalam tubuh, maka dengan menyalurkan

keinginan saraf saraf tersebut persoalan pun selesai. Seperti itu dimulainya,

dan seperti itu pula diakhiri nya.

Akan tetapi mereka mengatakan pula bahwa kerinduan kadang kadang

melebihi apa yang kita bicarakan di atas, sehingga Khwaja Nashiruddin Thusi

menganggapnya sebagai Masyakilah baina an-Nufus (kemusykilan antar

berbagai jiwa). Mereka menyatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat benih

benih kerin duan rohani dan nafsani, dan itulah yang menggerak kannya.

Ma'syuq hakiki manusia ini (yaitu hakikat yang bersifat metafisika) menyatu

dengan roh manusia, se sudah roh itu sampai dan menemukannya. Dengan

demikian, pada dasarnya ma'syuq hakiki tersebut ter dapat dalam diri

manusia.

Dengan karakterisk karakteristik khas seperti itu dinukillah berbagai

hikayat. Mereka mengatakan bahwa kerinduan itu dapat mencapai suatu

tingkat di mana khayalan tentang ma'syuq (kekasih yang dirindukan) lebih

bernilai daripada ma'syuq itu sendiri dalam diri orang yang merindukan. Yang

demikian itu terjadi karena ma'syuq nya hanyalah penggerak dan pendo rong

kerinduan itu sendiri, dan bahwasanya orang yang merindukannya mencari

dalam batinnya suatu hakikat yang lain. Dia merasa bahagia dengan gambaran

al- ma'syuq yang dia lihat dalam rohnya.

Para filosof bahkan menyebut nyebut hikayat Laila Majnun dalam

buku buku mereka. Majnun, sesudah melantunkan syair syair tentang Laila

dengan kasmaran dan penuh kerinduan, menyendiri di padang pasir. Tiba tiba,

ketika dia sedang tidur tiduran di padang pasir, Laila sudah berdiri di

33

Page 41: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

depannya. Laila memang gil berulang kali. Majnun mengangkat kepalanya,

dan bertanya, "Siapa engkau?" Laila menjawab, "Aku Laila, aku Laila.... Aku

datang untuk menemuimu." Laila merasa bahwa Majnun akan terbang

membawanya pergi dan dia (Majnun) akan menghambur memeluknya,

sesudah sekian lama tidak bertemu dan terpisah jauh. Tetapi tiba tiba Majnun

berkata, "Pergi, pergi jauh -jauh dariku. Aku tidak butuh segala

kerinduanmu!" 33

Keadaan seperti itu juga kita temukan dalam diri seorang penyair di

zaman kita sekarang, yakni penyair Syahriar. Syahriar adalah mahasiswa

Fakultas Kedokter an yang kost di sebuah rumah di Teheran. Ia demikian

kasmaran pada anak gadis pemilik rumah itu. Malang nya, orangtua si gadis

sudah mempunyai calon lain yang dipandangnya lebih baik dan lebih kaya

daripada Syahriar. Karena itu, mereka melarang Syahriar men dekati anak

gadisnya. Syahriar benar benar kasmaran dan menjadi "gila". Dia tidak mau

lagi bekerja dan belajar. Tidak ada yang dilakukannya kecuali memikir

kannya. Keadaan seperti itu berjalan bertahun tahun.

Suatu hari, secara kebetulan Syahriar bertemu dengan kekasihnya yang

saat itu berjalan bersama suaminya. Dia berkata kepada kekasihnya, “Aku

tidak membutuhkanmu lagi. Kalaupun suamimu mencerai kanmu, aku tidak

lagi menginginkanmu." Kemudian Syahriar menulis sebuah puisi, dan sesudah

pertemu an itu ia mempunyai syair yang salah satu baitnya ber bunyi:

Aku tidak mengerti mengapa aku begitu rindu kepadanya

Padahal aku tak lagi perduli kepadanya

Di bawah ini akan dikemukakan bebe rapa bait dari puisi puisi sufis

(sya'ir irfani) dalam Islam sebagai perkenalan. Sebab, puisi puisi sufi

33 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.61.

33

Page 42: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

memiliki tema tema yang sangat bagus untuk dikaji dan diana lisis. Untuk

mendukung kajiannya, Mulla Shadra me ngemukakan beberapa bait syair

yang kemungkinan besar berasal dari Muhyiddin Ibn Arabi. Ia meng

isyaratkan kerinduan rohani, dan bukan kerinduan jasmani, saat mengatakan:

Aku memeluknya sesudah jiwaku diamuk rindu kepadanya

Adakah sesudah ini kan berpisah lagi?

Kutatap bibirnya agar kehangatan tetap menyala se hingga

kegembiraanku semakin berbunga

Hatiku tidak bertutur tentang apa pun kecuali kulihat di situ dua

jiwa (roh) yang menyatu.34

Dengan demikian, ada teori yang membagi kerindu an dalam dua

macam: kerinduan jasmani dan kerindu an rohani. Artinya, teori ini meyakini

ada suatu kerinduan yang berbeda, secara prinsipil, dari kerinduan jasmani.

Sebab, kerinduan tersebut memiliki benih -benih yang tertanam dalam roh dan

fitrah manusia.

Begitu pula dalam hal tujuannya. Saat ini kita tidak berada dalam

kajian filosofis dan menyusun dalil dalil dalam usaha membuktikan adanya

kerinduan jenis ini (kerinduan rohani). Kendati demikian, kita akan

membicarakannya barang sedikit. Sebagaimana diakui, manusia sangat

memuja kerinduan, dalam arti dia menganggapnya sebagai se suatu yang

harus dijunjung tinggi. Sedangkan kerin duan yang berkaitan dengan syahwat

tidak seperti itu.

Manusia mempunyai kecenderungan untuk makan, dan itu merupakan

kecenderungan yang alami. Hanya saja, karena ia merupakan sesuatu yang

alami, maka manusia tidak memandang kecenderungan ini sebagai sesuatu

34 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.64.

33

Page 43: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

yang pantas disucikan. Cinta, dalam bentuknya yang berkaitan dengan

syahwat, tidak pantas dipuja -puja. Sebagian besar sastra dunia berkisar

seputar pensakralan kerinduan, dan ini merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap kajian psikologis. Mengapa demikian? Yang lebih

mengherankan lagi adalah manusia selalu bangga jika dapat berkorban dengan

apa saja untuk membela sang kekasih, bahkan jika perlu dengan jiwanya.

Merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan jika seseorang merasa tidak

punya apa pun yang berarti di depan kekasihnya, dan sang kekasih adalah

segala galanya baginya. Dengan kata lain: leburnya 'asyiq dalam ma'syuq.

Kerinduan seperti ini mirip dengan apa yang saya katakan dalam

masalah akhlak, sebagai tidak sesuai dengan logika fungsional. Akan tetapi ia

merupakan salah satu di antara nilai nilai utama (summum bonum), misalnya

altruisme. Manusia, secara etik, menjunjung tinggi kebaikan, kemuliaan,

altruisme, dan pengorba nan, dan menganggapnya sebagai nilai nilai luhur. Di

sini lantas dapat dibedakan antara kerinduan yang ber sifat hawa nafsu

(syahwani) dari kerinduan yang bukan syahwani. Jika persoalannya adalah

persoalan cinta dua orang dan berkaitan dengan nafsu, maka tujuannya adalah

ingin bersama sama dengan orang yang dirin dukan dan melampiaskan cinta

dengan pertemuan dengan sang kekasih. Akan tetapi, kerinduan yang kita

bicarakan ini tidak ada urusannya dengan kebersama an dan pertemuan

dengan sang kekasih. Artinya, ke rinduan tersebut tidak terdiri dari dua orang,

dan pusatnya adalah diri sendiri. Itu sebabnya, maka tema ini lebih rumit dan

membutuhkan analisis mendalam agar kita dapat mengetahui apa yang

sebenarnya dialami oleh manusia, dari mana datangnya kerinduan tersebut,

dan mengapa pula manusia menghadapinya dengan sikap pasrah semata,

33

Page 44: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

dalam arti dirinya seakan- akan lenyap begitu saja, sampai sampai Maulawi

me nulis sebuah puisi dalam bahasa Persianya, antara lain, sebagai berikut:

Kerinduan adalah penakluk

dan aku tunduk di bawah paksaan kerinduan

Aku pun memancarkan sinar bagai rembulan

karena cahaya rindu.35

Kerinduan dapat mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang di

situ dia ingin menjadikan ma’syuq-nya sebagai Tuhan (sesuatu yang dipuja)

dan dirinya se bagai hambanya. Dengan demikian, dia melihat ma’syuq-nya

tersebut sebagai al wujud, yakni al wujud al muthlaq (yang mutlak ada), dan

dirinya sebagai 'adam (tidak ada). Kategori apa ini? Dari mana sumbernya?

Dan apa pula hakikatnya?

Ada teori yang mengatakan bahwa kerinduan, dalam bentuknya yang

mana pun, berakar pada seks. Ada pula teori lain yang didukung oleh para

filosof kita. Yakni, teori yang mengatakan. adanya dua jenis kerinduan:

kerinduan jasmani dan kerinduan rohani. Sedangkan teori yang ketiga,

merupakan teori yang ingin melaku kan sintesa antara kedua teori

sebelumnya.

Di samping ketiga teori itu, ada pula teori Freud, seorang ahli

psikoanalisa terkemuka, yang berpenda pat bahwa sumber segala sesuatu, tak

terkecuali. cinta, adalah seks. Freud meyakini bahwa pengetahuan, ke

dermawanan, kebajikan, keutamaan, ibadah, kerindu an, dan lain lain,

bersumber dari seks (libido seksual). Sekarang teori ini tidak lagi diterima

oleh siapa pun.

35 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.65.

33

Page 45: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Di samping itu muncul pula teori lain yang me ngatakan bahwa di

dalam kerinduan itu terdapat aspek- aspek yang tidak sejalan dengan aspek

aspek seksual. Artinya, aspek aspek tersebut tidak bersumber dari saraf saraf

seksual. Sebab, kondisi yang berkaitan dengan seks dapat disamakan dengan

rasa lapar, sedangkan rasa lapar merupakan sesuatu yang dialami dalam diri

manusia. Ketika seseorang merasa lapar, beberapa saraf pencernaan

mengalami perenggangan, dan itu tidak terjadi saat dia kenyang. Sedangkan

kerinduan tidak dapat ditempatkan di bawah proses tersebut. Itu sebab nya,

maka dikatakan bahwa kerinduan bersifat seksual jika dilihat dari awal

mulanya, tetapi bukan seksual dalam hal proses dan tujuannya. Maknanya,

kerinduan dimulai dengan awalan yang bersifat seksual dan syah wani, tetapi

pada tahap akhir ia berubah menjadi hal yang bersifat rohani.

Dalam buku Ladzaidz al falsafah, Will Durant, se orang ahli sejarah

filsafat, menuliskan suatu kajian tentang kerinduan, dan secara khusus

mendukung teori di atas, sesudah menyinggung dan menyerang teori Freud.

Will Durant mengatakan, "Tidak, tidak demikian. Yang benar adalah bahwa

cinta itu merubah alur, tujuan, dan karakteristik ke rinduan, bahkan prosesnya

pula. Sebab, ia keluar dari kondisi seksual secara total." Seterusnya Will

Durant mengemukakan kesalahan mendasar teori Freud.

William James, dalam bukunya yang berjudul Religion and Soul

mengatakan, "Seperti halnya dengan kecenderungan kecendeirungan yang

terkait dengan alam, maka dalam diri kita juga terdapat kecende rungan

kecenderungan lain yang tidak sejalan dengan perhitungan perhitungan fisik,

bahkan mengaitkan kita dengan hal hal yang metafisik."36

36 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.66.

33

Page 46: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

5. Teori-teori yang Menolak Adanya Fitrah

Sekarang, mari kita kembali pada persoalan semula. Yakni, bagaimana

menafsirkan lima kategori di atas, yaitu kebenaran dan pengetahuan, seni dan

estetika, kebaikan dan ke utamaan, kreasi dan penciptaan, cinta dan ibadah.

Secara umum terdapat dua cara penafsiran yang dapat digunakan

untuk menginterpretasikan kelima kategori tersebut. Interpretasi pertama yaitu

pendapat yang mengatakan bahwa kelima kategori tersebut ber sumber pada

fitrah. Artinya, manusia merupakan realitas yang tersusun (composite) dari

tubuh dan roh, dan bahwasanya di dalam roh terdapat hakikat Ilahiah, se perti

yang dikatakan oleh ayat Al Qur'an, "Dan telah Aku tiupkan di dalam dirinya

Roh Ku.”

Unsur unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan

terikat dengannya, sedangkan unsur- unsur non alaminya cenderung pada hal

hal yang metafisik dan terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran,

dan ini merupakan dorongan jiwanya (roh nya). Semua dorongan ini-

kreativitas dan penciptaan, seni dan ibadah- pada dasarnya merupakan refleksi

dari perhambaan terhadap Kekasih Sejati Yang Dirindukan. Kekasih yang

dirindukan oleh manusia, pada hakikatnya adalah Allah SWT. Jadi, jika

muncul kerin duan rohani dalam diri manusia, maka kerinduan ter sebut

menghidupkan kerinduan hakiki terhadap Allah yang muncul dalam fenomena

seperti itu.

Tafsir yang kedua tidak mengakui hal hal itu sebagai kondisi kondisi

yang bersifat fitri. Karena ia tidak se perti itu, maka ia harus menyandarkan

diri pada tafsir tafsir lain yang ada di luar diri manusia. Jika kita ambil contoh

yang paling representatif untuk itu, yakni cinta dan pengetahuan, dan

mengapa manusia mencintai ilmu pengetahuan dan menjunjung tingginya,

33

Page 47: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

niscaya kita lihat mereka mengatakan bahwa dalam hal ini tidak ada

perbedaan apa pun antara manusia dengan bina tang. Segala yang dilakukan

manusia dibangun ber dasarkan naluri, dan bahwasanya seluruh keinginannya

hanyalah untuk mempertahankan hidup dan berkait an dengan kehidupannya,

atau dengan masalah masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan fisik

material.37

Di balik kebutuhannya terhadap hal hal fisik yang berkaitan dengan

kehidupannya itu, manusia membu tuhkan hal hal lain. Misalnya, dia

membutuhkan hukum dan peraturan. Artinya, manusia adalah makhluk sosial.

Kepentingan kepentingan individualnya mengharus kan mereka hidup bantu

membantu satu sama lain. Kehidupan sosial mereka yang seperti ini

mengharus kan mereka membuat aturan aturan dan batas batas, agar setiap

orang tahu hak dan kewajibannya. Untuk itu, mereka pun membuat peraturan

dan undang- undang, dan berjanji untuk mentaatinya. Mereka ber usaha

menegakkan keadilan, karena mereka memang membutuhkan hal itu. Ketika

kita melihat diri kita, saya dan Anda semua, membutuhkan kehidupan sosial

seperti itu, dan bahwasanya kehidupan sosial tersebut mengharuskan adanya

keadilan, maka kita terpaksa menerima keadilan. Yang demikian itu, karena

saya memang menginginkan keadilan, agar Anda tidak memaksakan

kehendak Anda kepada saya dengan menggunakan kekuasaan Anda.

Sebaliknya, Anda juga membutuhkan keadilan, agar saya tidak memaksakan

kehendak saya kepada Anda dengan kekuasaan saya pula. Akan halnya

pendapat yang mengatakan bahwa saya membutuhkan keadilan karena

keadilan itu sendiri, maka pernyataan seperti ini tidak ada artinya sama sekali.

37 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.67.

33

Page 48: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Dengan kata lain, manusia melihat bahwa ilmu pengetahuan

merupakan sarana paling baik bagi tercapainya kesejahteraan material. Lalu,

terjadilah pensakralan terhadap ilmu pengetahuan. Kalau tidak ada tujuan se

perti itu, niscaya ilmu pengetahuan, dengan definisi nya yang seperti itu, tidak

mungkin disakralkan. juga, tidak ada artinya belajar untuk belajar itu sendiri.

Sebab, ilmu pengetahuan tak lebih hanyalah sarana kehidup an, sekalipun ia

merupakan sarana yang terbaik.

Kadang kadang suatu pensakralan dilekatkan pada beberapa hal tanpa

justifikasi. Misalnya, sebagian manusia memiliki ilmu yang lebih banyak dan

lebih luas. Kemudian mereka memperdaya orang lain agar kesimpulan

kesimpulan ilmu mereka dapat memberi keuntungan. Karena itu, mereka pun

memberi warna sakral pada ilmu pengetahuan mereka. Hal yang sama terjadi

pula dalam seni dan kreativitas. Sementara itu, cinta dan ibadah tidak ada

nilainya sama sekali. Sebab, keduanya merupakan dua hal yang membuat

manusia keluar dari lingkaran dirinya dan menjadi asing. Pendapat yang

mengatakan bahwa orang yang dimabuk rindu berubah menjadi manusia lain,

dan siapa binasa dalam membela sang kekasih dan mengorbankan segala yang

dimiliki deminya, tidak dapat dimasukkan di bawah logika yang mana pun.

Begitulah, kita melihat bahwa orang orang itu telah menghancurkan seluruh

asas kategori kategori yang kita bicarakan terdahulu, serta menolak dengan

sosok pemikiran mereka yang seperti itu -segala kaidah moral. Mereka

menganggap nilai nilai moral tak lebih dari aksioma aksioma yang dibuat oleh

manusia manusia usil. Lantas mereka pun bertanya, apa itu kederma wanan,

kebaikan, altruisme, dan pengorbanan? Tentu saja, mereka tidak dapat

menginterpretasikannya.

33

Page 49: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Akan tetapi sebagian aliran filsafat memiliki kebe ranian moral yang

mengantarkan mereka pada ke simpulan yang mungkin bisa mereka capai.

Akan tetapi tidak semua aliran seperti itu. Misalnya, dalam kajian kita tentang

masalah masalah yang berkaitan dengan fitrah, kita mengatakan bahwa

gelombang filsafat em pirisisme telah melanda Eropa, sehingga muncullah

masyarakat empiris, yang sampai saat ini masih ber pegang pada prinsip

prinsipnya yang empirik. Mereka mengatakan, "Kami tidak percaya pada

sesuatu yang tidak dapat kami tangkap dengan indera. Akan tetapi kami tidak

mengingkarinya." Lantas mereka pun terus menerus berpegang pada dua

prinsip berikut ini:38

Pertama, "Apa yang tidak dapat kita tangkap dengan indera, tidak kita

tolak dan tidak kita terima." Ini jelas dapat dimengerti. Seterusnya mereka

mengatakan, "Kita dapat merasakan hal ini." Dengan demikian, pe rasaan itu

ada. Akan tetapi apa yang tidak dapat kita rasakan, tidak mungkin kita ingkari

keberadaaannya, sebab perasaan kita tidak mengatakan bahwa hal itu tidak

ada.

Kedua, pendapat mereka yang mengatakan bahwa banyak hal diyakini

adanya oleh manusia dan mereka terima eksistensinya; akan tetapi, sesudah

kita melaku kan pengkajian, kita menemukan bahwa apa yang di nyatakan ada

itu ternyata tidak dapat dibuktikan dengan indera. Karena itu, kita tidak dapat

membenarkannya. Contohnya, prinsip kausalitas. Seterusnya, mereka me

ngatakan: Sesuatu dapat dikatakan inderawi (dapat diindera) jika ia

merupakan peristiwa peristiwa alam yang terjadi beberapa kali, susul

menyusul, dan me miliki kesamaan. Akan halnya teori kausalitas semisal: A

adalah sebab bagi B, yang digambarkan dengan, jika sekiranya tidak ada A

38 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.68-69.

33

Page 50: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

pasti tidak akan ada B, adalah teori yang logis, tapi tidak dapat dibuktikan

dengan indera. Karena itu, kita tidak dapat menerimanya. Orang orang yang

berpendapat seperti itu adalah penganut penganut empirisisme yang sangat

berani. Sebab, mereka yakin seyakin yakinnya terhadap mazhab mereka.

Karena itu mereka pantas dihormati.

Akan tetapi ada kelompok lain yang ingin dipandang sebagai orang

orang yang, dalam premis minor, dipan dang sebagai penganut empirisisme,

dan dalam premis mayor dipandang sebagai penganut rasionalisme. Di antara

mereka adalah para penganut materialisme. Dalam hal ilmu pengetahuan,

mereka mengekor kepada penganut empirisisme, tetapi dalam masalah-

masalah kefilsafatan mereka berpegang pada rasio nalisme, dalam arti mereka

berpegang pada masalah- masalah yang tidak ada urusannya sama sekali

dengan indera.

Hal yang sama terjadi pada aliran aliran. Aliran materialis yang

melihat manusia semata mata sebagai materi, terbagi menjadi dua aliran.

Pertama, penganut materialisme yang sangat berani, dan kedua, penganut

materialisme yang membelot.

Penganut materialisme yang sangat berani adalah orang-orang yang

menyatakan bahwa roh itu adalah materi, dari semua seginya. Mereka

konsekuen dengan pendapat mereka ini. Misalnya, Nietzsche, seorang filosof

materialis yang tidak percaya pada adanya roh dan hal hal lain sejenis itu.

Melalui filsafatnya yang se perti itu, Nietzsche sampai pada banyak

kesimpulan.

Nietzsche mengatakan, "Apa yang selama ini kita kenal dengan

sebutan moral (akhlak), hendaknya Anda buang seluruhnya dari diri Anda.

Jika sampai hari ini kaum moralis mengatakan kepada Anda, 'Anda jangan

33

Page 51: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

memperturutkan hawa nafsu Anda,' maka saya kata kan kepada Anda,

'Ikutilah hawa nafsu Anda.' Dan jika kaum moralis mengatakan kepada Anda,

'Tolonglah orang orang miskin,' maka saya mengatakan kepada Anda, jangan

bantu mereka."

Nietzsche mengatakan, "Perkataan adalah dosa. jika Anda melihat

seseorang mendekati pinggir sumur, maka lemparlah kepalanya dengan batu.

Jalan yang dilalui alam (hukum alam) adalah jalan yang benar. Orang orang

miskin harus. dimusnahkan. Orang yang disebut manusia unggul adalah orang

semisal Jengis Khan. Lalu, apa artinya kasih sayang? Kasih sayang dan

membela orang lain adalah kelemahan, karena itu ke duanya tidak boleh

diikuti." Lebih jauh lagi, kita me lihat Nietzsche menolak semua nilai

kemanusiaan, "Ke tika kita menganggap manusia sebagai makhluk yang

seratus persen materi, maka konsekuensinya kita harus menolak semua nilai

kemanusiaan. Nilai nilai kemanu siaan, dan hal hal lain yang sejenis dengan

itu, hanyalah ilusi tanpa dasar."39

Mengakui bahwa manusia semata mata materi di satu sisi, dan

mengakui adanya nilai nilai kemanusiaan di sisi lain, dipandang sebagai

pandangan yang kontra diktif, dan tidak mungkin dapat diinterpretasikan.

Nilai nilai kemanusiaan mempunyai hubungan langsung dengan fitrah, dan

fitrah dapat ditafsirkan dengan, bahwa dalam diri manusia terdapat hakikat

kemanusia an yang suci, salah satu di antaranya adalah kecende rungan

mencari Tuhan.

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan di kalangan Sunni dan Syiah.

Hadis yang diriwayatkan dalam al- Kafy ini menuturkan bahwa Allah SWT

menciptakan malaikat, lalu menempatkan akal dalam diri mereka. Kemudian

39 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.70.

33

Page 52: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Allah menciptakan binatang dan memberi mereka syahwat (nafsu), lalu

menciptakan manusia dan memberi mereka kedua duanya.

Struktur malaikat binatang yang dimiliki manusia, melahirkan dua

dorongan dalam diri mereka: Dorong an menuju ke atas dan dorongan mennju

ke bawah; dorongan langit dan dorongan tanah. Allah telah mem beri manusia

akal dan kemauan, lalu membiarkannya berada di persimpangan jalan. Al

Qur'an mengatakan, "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang

lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. " (QS. al Insan: 3)

Manusia mempunyai kebebasan mutlak dalam memilih kedua jalan

itu. Pertentangan pertentangan yang muncul dalam sejarah, bersumber dari

pertentangan ciptaan yang ada dalam diri manusia. Artinya, orang-orang yang

mengikuti bimbingan akal-langitnya adalah pengikut kebenaran dan tergabung

dalam barisan Allah, sedangkan orang orang yang terjerumus dalam jalur

binatang tanah adalah orang orang yang dapat diberi predikat sebagai

binatang. Pertarungan yang terjadi dalam sejarah tidak seluruhnya merupakan

pertem puran antara berbagai kepentingan dan antara lapisan- lapisan

masyarakat saja. Tidak diragukan bahwa kelas orang orang yang tertindas

memiliki semangat juang yang lebih berkobar. Sebab, perjuangan itulah yang,

di satu sisi, dapat memuaskan dorongan mereka untuk mencari kebenaran, dan

di sisi lain dapat mengantar kan mereka untuk memperoleh hak haknya.

Berdasar kan itu, maka apa yang dikenal dalam diri manusia se bagai

perikemanusiaan, adalah sesuatu yang muncul dari aspek maknawi rohani

malakuti manusia, yang tidak sama dengan kecenderungan kecenderungan

mate rialisnya. Itu sebabnya, dia harus memilih salah satu di antara kedua

jalan yang membentang di depannya.

33

Page 53: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Berkaitan dengan karakteristik tersebut, Maulawi menuturkan kisah

berikut ini: "Manusia diciptakan separuh bersifat langit dan separuh bersifat

tanah. Karena itu, ia selamanya berada dalam tarikan kedua kekuatan itu, dan

selalu berbolak-balik. Sesekali dia tertarik ke atas (langit), dan pada kali lain

ke bawah.

"Sekali waktu Majnun mengendarai untanya- yang memiliki anak-

menuju rumah kekasihnya. Begitu dia berada sedikit jauh dari kota dia pun

tenggelam dalam khayalan khayalan tentang kekasihnya. Dia lupa pada

untanya dan pada jalan yang dilaluinya. Tali kekang unta itu dilepaskannya

begitu saja, sehingga unta berjalan ke mana saja ia mau. Ketika unta itu me

rasa bahwa penunggangnya tidak perduli lagi kepadanya, ia pun berputar

menuju jalan pulang ke tempat anaknya yang merindukannya. Majnun

tersentak kaget saat tahu dirinya berada di depan rumahnya sendiri, bukan di

depan pintu rumah kekasihnya. Karena itu, dia kembali membalikkan untanya

ke arah rumah ke kasihnya. Tetapi, tidak lama kemudian Majnun kem bali

tenggelam dalam lamunan, dan untanya pun balik ke rumah. Begitu terjadi

beberapa kali, sehingga dia melantunkan syair di bawah ini:

Keinginan untaku adalah ke belakangku. Sedangkan nafsuku ke

depanku

Aku dan dia berbeda keinginannya.40

Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa semua kategori dan

karakteristik manusia itu dapat diinter pretasikan. Tetapi kaum materialis

tidak sanggup menafsirkannya sesuai dengan mazhab mereka. Interpre tasi

yang sama juga dikemukakan oleh para penganut eksistensialisme. Seraya

menganggap manusia sebagai seratus persen fisik, para penganut

40 Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.70.

33

Page 54: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

eksistensialisme mencoba menafsirkan nilai nilai kemanusiaan dalam bentuk

tertentu.

Itulah penjelasan mengenai kaitan antara fitrah dan pendidikan.

Penjelasan tentang fitrah tersebut adalah titik awal dalam memahami hakekat

pendidikan Islam yang sesungguhnya. Dari pembahasan di atas, kita telah

mendapat gambaran mengenai titik tolak pendidikan Islam, yaitu pendidikan

yang memiliki dimensi asasinya pada fitrah manusia. Pendidikan sebagai

pemberi informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Informasi tersebut

berguna bagi manusia untuk terus mencari kebenaran, sebagai sifat dasar dari

fitrah.

B. Kewajiban Mencari Ilmu

Berikut ini adalah pembahasan yang dikemukakan oleh Muthahhari mengenai

“Kewajiban Mencari Ilmu”.41

Tema tentang kewajiban mencari ilmu ini berlandaskan atas firman Allah

SWT dan hadits Nabi yang masing-masing berbunyi sebagai berikut.

“Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-

orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang

dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9).

“Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap Muslim dan Muslimat dari

buaian hingga liang lahat” (HR. Bukhori & Muslim).

Hadits di atas adalah salah satu dari sekian banyak hadits-hadits yang

diriwayatkan baik oleh ulama hadits dari mazhab Sunni maupun dari mazhab Ja’fari.

Masing-masing dari mereka menukilnya dari Rasulullah saw melalui sanad-sanad

41 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, terjemahan Dah Guftor oleh A. Subandi (Jakarta: Lentera, 1999), h.156-158.

33

Page 55: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

mereka. Dari sudut kebahasaan, kata faridhah dalam hadits di atas berarti ‘wajib’.

Kata ini berasal dari akar kata fardhu, yang berarti pasti dan wajib. Sesuatu yang

sekarang kita nyatakan dengan ungkapan wajib dan mustahab, pada masa awal

mereka menyatakannya dengan ungkapan mafrudh dan masnun. Kata wujub dan

wajib pada masa awal Islam pun juga digunakan, namun yang lebih banyak

digunakan adalah kata faridhah, mafrudh, dan fardhu. Sedangkan kata mustahab,

dengan makna sebagaimana yang digunakan sekarang, tampaknya adalah kata baru

yang diciptakan oleh para fuqaha.42

Arti dari hadits di atas adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang sejajar

dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari dan menuntut ilmu. Mencari ilmu

adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim; tidak hanya dikhususkan bagi satu

kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain. Di dalam sejarah disebutkan bahwa

pada masa sebelum datangnya Islam, sebagian masyarakat berperadaban pada waktu

itu memandang bahwa mencari ilmu adalah hak sebagian kelompok, dan tidak

mengakui bahwa mencari ilmu adalah hak dari seluruh lapisan masyarakat. Di dalam

Islam, ilmu bukan hanya dianggap sebagai hak bagi setiap orang, melainkan Islam

menganggapnya sebagai tugas dan kewajiban bagi setiap orang. Mencari ilmu adalah

sebuah kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain.

Muthahhari menjelaskan secara luas mengenai kewajiban mencari ilmu.

Shalat adalah satu kewajiban; puasa adalah salah satu kewajiban; zakat adalah salah

satu kewajiban; haji adalah salah satu kewajiban; jihad adalah salah satu kewajiban;

dan amar makruf nahi munkar adalah satu kewajiban. Demikian juga halnya—

berdasarkan hadits di atas—dengan mencari ilmu, ia merupakan salah satu kewajiban.

Pada sisi ini, secara umum, tidak ada perselisihan. Sejak masa permulaan Islam

hingga hari ini seluruh kelompok dan seluruh ulama Islam epakat dan menerima hal

42 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, terjemahan Dah Guftor oleh A. Subandi (Jakarta: Lentera, 1999), h.158.

33

Page 56: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

ini. Di dalam kitab-kitab hadits selalu ada satu bab khusus dengan judul “Bab

Kewajiban Mencari Ilmu” atau judul-judul lain yang sejenis. Kalau pun ada

perselisihan, itu hanya pada penjelasan dan penafsiran makna dan maksud hadits ini,

dan sampai sejauh mana cakupan hadits ini.

Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu. Sebagaimana

Muthahhari, maka al-Ghazâlî pun memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal

ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan

kekuatan bawaan manusia. Menurutnya, puncak kesempurnaan manusia ialah

terseimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti

dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal

ini berlandaskan pada firman Allah swt dan hadits di bawah ini:

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang

sangat agung” (QS. Al-Qalam: 4).

”Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan kemuliaan

akhlaq” (HR. Bukhari & Muslim).

Kewajiban menuntut ilmu tidak memiliki pengkhususan, hanya untuk wanita

atau lelaki saja, sebagaimana jihad dan shalat Jum’at hanya untuk kaum mukminin.

Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu, sebagaimana

hadis Nabi saw, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke liang kubur” (Bukhari &

Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah menggunakan kesempatan yang ada

untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban menuntut ilmu juga digambarkan dalam

hadis, “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. Artinya bahwa mencari ilmu tidak

memiliki batasan tempat tertentu, sebagaimana juga tidak memiliki waktu tertentu

seperti ibadah haji (umrah) di Mekah.

Muthhari menyebutkan bahwa akal dan ilmu merupakan saudara kembar.

Kembarnya akal dan ilmu adalah suatu keniscayaan dan merupakan perkara yang

33

Page 57: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

sangat penting. Orang yang memiliki kemampuan berpikir tetapi informasi ilmu yang

dimilikinya sangat sedikit dan lemah, ibarat sebuah pabrik yang tidak memiliki bahan

baku yang akan diolah atau bahan bakunya sangat sedikit, sehingga produksinya akan

sangat sedikit pula. Karena, banyaknya produksi tergantung banyaknya bahan baku

yang diolah. Sebaliknya, pabrik yang memiliki banyak bahan baku tetapi mesin

pengolahnya tidak difungsikan, maka pabrik itu akan lumpuh tak berproduksi.43

Muthahhari mengutip perkataan Imam Musa al-Kazhim, "Ya Hisyam,

ketahuilah dengan jelas, sesungguhnya akal sejalan dengan ilmu."44 Ungkapan ini

sekaligus menegaskan hubungan timbal balik antara akal dan ilmu. Ilmu merupakan

proses mengambil, ibarat mendapatkan bahan baku mentah. Sedangkan akal

merupakan proses berpikir, ibarat pabriknya. Maka pabriklah yang mengolah dan

memproduksinya menjadi barang jadi, sekaligus sebagai wadah proses analisa dan

pemilahan.

Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil salah satu

hadis Rasulullah saw, “Seandainya engkau mengetahui apa yang terkandung di dalam

mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun sampai harus mengalirkan darah

dan menyelami lautan”. Dalam mengambil ilmu sebagai hikmah, Muthahhari juga

tidak membatasi pada satu golongan tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul saw,

“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja

mereka menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali kw juga menyatakan,

“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu

meskipun dari orang munafik”.

43 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan dari kitab "Tarbiyatul Islam", (Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.38.44 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan dari kitab "Tarbiyatul Islam", (Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.38.

33

Page 58: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Jika Islam memerintahkan menuntut ilmu dengan tiada batasan golongan

tertentu, waktu, tempat dan pengajarnya, lalu mengapa kaum Muslimin saat ini begitu

mundur dan selalu berteman dengan kebodohan? Hal inilah yang sangat menyedihkan

karena sesungguhnya perintah-perintah yang mulia ini telah ditinggalkan begitu saja

oleh pengikut Islam itu sendiri.

Muthahhari mencoba memberikan gambaran mengenai ketidaksesuaian antara

hal yang seharusnya (hal yang idealis sesuai dengan tuntunan ajaran Islam) dengan

realitas yang ada dalam masyakat Islam mengenai adanya kemunduran dalam tradisi

keilmuan Islam.

Menurut Muthahhari, bahwa salah satu sebabnya adalah kejadian yang terjadi

di tengah-tengah masyarakat Muslimin. Bermula muncul dengan perantaraan alat-alat

kekhalifahan, lalu kemudian diikuti dengan munculnya friksi-friksi di dalam

kehidupan Muslimin, yaitu terciptanya masyarakat yang “berkasta”, yang sama sekali

tidak sejalan dengan maksud ajaran Islam. Masyarakat terbagi kepada dua kasta:

“kasta orang miskin dan malang”, yaitu mereka yang untuk memperoleh makanan

pokok saja harus bekerja keras; dan “kasta orang yang bermewah-mewahan dan

sombong”. Mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dengan harta

yang ada di tanggannya. Keadaan kehidupan seperti ini tidak lagi memberikan

kesempatan untuk memperhatikan dan melaksanakan perintah-perintah Islam, dan

bahkan muncul faktor-faktor yang mendorong tidak dilaksanakannya perintah-

perintah Islam.

Sebab yang lain dari mundurnya umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan,

menurut Muthahhari, adalah adanya kesalahan persepsi dari masyarakat Islam sendiri

terhadap ajaran Islam itu sendiri. Gejala yang ada dalam masyarakat saat ini adalah

bukan berlomba-lomba untuk menjadikan diri mereka dan anak-anak mereka sebagai

orang yang berilmu, malah tertarik kepada bagaimana memperoleh ganjaran dan

33

Page 59: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

keutamaan dengan cara menghormati dan bersikap khudu’ kepada orang yang

berilmu. Penghargaan masyarakat dengan sendirinya telah beralih dari yang

seharusnya kepada ilmu pengetahuan tetapi berbalik dengan mengambil bentuk yang

salah arah, yaitu memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berilmu,

meskipun hal itu bukan sesuatu yang salah.45

Al-Ghazâlî, secara lugas membahas tentang ilmu. Menurutnya, karena ilmu

dan amallah diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.46

“Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah

Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui sesungguhnya Allah Mahakuasa

atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu”

(QS. Ath-Thalaq: 12).

1. Mencari Ilmu: Wajib Tahayyu’i (Siap Sedia)

Lebih jauh, Muthahhari menjelaskan bahwa, para fuqaha mempunyai

sebuah istilah, yaitu mereka mengatakan bahwa kewajiban mencari ilmu

adalah bersifat wajib tahayyu’i (kewajiban menjadikan diri siap sedia).

Artinya, kewajiban ilmu bukan hanya satu kewjaiban mukadimah seperti

semua mukadimah kewajiban-kewajiban, yang tidak memiliki hukum wajib

yang berdiri sendiri; melainkan dia adalah kewajiban yang berdiri sendiri.

Pada saat yang sama, ilmu juga merupakan satu kewajiban dari sisi dia

memberikan kesiapan kepada seorang manusia untuk bisa melaksanakan

semua kewajibannya.

45 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan dari kitab "Tarbiyatul Islam", (Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.168-169. 46 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998), h. 231-240.

33

Page 60: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Para fuqaha mengkhususkan wajib tahayyu’i ini kepada mempelajari

ahkam (hukum-hukum). Sepertinya, kebanyakan dari mereka mengibaratkan

bahwa pelaksanaan kewajiban-kewajiban Islam hanya bisa dilaksanakan bila

Muslimin mengetahui kewajiban-kewajiban mereka. Ketika mereka telah

mengetahui kewajiban-kewajiban mereka, maka dengan sendirinya mereka

pun akan mampu melaksanakannya. Jadi, ilmu yang diwajibkan dalam

pandangan para fuqaha adalah ilmu yang menjadikan seorang Muslim

mengetahui kewajibannya, yaitu apakah menjadi seorang mujtahid atau

muqallid (orang yang bertaklid).

Jelas bahwa sebagaimana mengetahui kewajiban dan mempelajari

perintah-perintah agama adalah sesuatu yang wajib, maka banyak sekali

pekerjaan-pekerjaan yang menurut hukum agama adalah wajib, yaitu

pekerjaan-pekerjaan yang menuntut belajar, pengetahuan, dan kemahiran.

Sebagai contoh, bidang kedokteran adalah kewajiban kafa’i (fardhu kifayah).

Pelaksanaan kewajiban ini sulit untuk dilaksanakan tanpa terlebih dahulu

mempelajari ilmu kedokteran. Jadi berdasarkan ini, mempelajari ilmu

kedokteran pun wajib hukumnya. Demikian juga banyak bidang yang lain.

Jadi harus dilihat, perkara apa saja yang menurut pandangan Islam itu harus

wajib, dan perkara itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik kecuali dengan

belajar, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu yang berkaitan dengan perkara

itu wajib hukumnya. 47

Kewajiban mencari ilmu, dari semua sisi mengikuti ukuran kebutuhan

masyarakat. Zaman dahulu, pertanian, pertukangan, perdagangan, dan politik

adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu; dan tidak satu

pun dari keempat bidang tersebut banyak membutuhkan ilmu dan belajar.

47 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan dari kitab "Tarbiyatul Islam", (Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.172.

33

Page 61: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Masyarakat, cukup menjadi murid untuk beberapa saat di hadapan seorang

tukang kayu atau pedagang, dan bekerja di bawah pengawasan seorang

politikus atau pedagang yang mahir, atau tukang kayu. Sekarang, keadaan

dunia telah berubah; kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman

sekarang, tidak satu pun dari bidang di atas dapat sejalan dan menyesuaikan

diri dengan keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang kecuali bila disertai

ilmu dan belajar. Bahkan, pertanian pun, sekarang harus dilakukan

berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan. Seorang pedagang tidak dapat

menjadi pedagang yang diperhitungkan hingga dia mempelajari ilmu

ekonomi. Seorang politikus tidak bisa menjadi seorang politikus yang baik di

dunia sekarang hingga dia mempelajari ilmu politik.

Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga jenis, yakni

ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya,

ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta.

Muthahhari mengutip perkataan Imam Ali kw bahwa "Allah

mempunyai dua hujjah: hujjah yang nyata (hujjah zhahirah) dan hujjah yang

bathin (hujjah bathinah)." Hujjah yang nyata adalah para nabi, sedangkan

hujjah yang bathin adalah akal manusia.48

Kebodohan adalah lawan dari akal. Akal dalam riwayat-riwayat Islam

ditegaskan sebagai kekuatan atau daya untuk menganalisis (analysis power).

Islam senantiasa menyeru manusia untuk memerangi kebodohan, yaitu

kebodohan yang disebabkan tidak menggunakan potensi akal. Orang yang

berakal adalah orang yang mampu memahami dan menganalisis sedangkan

orang yang bodoh adalah orang yang tidak memiliki kemampuan ini. Banyak

orang yang dianggap pintar padahal sebenarnya tidak. Mereka hanya memiliki

48 Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam, (Beirut: Darul Hadi, t.t.), h.228.

33

Page 62: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

banyak informasi yang mereka dapatkan dari luar. Mereka telah mempelajari

banyak hal, tetapi otak mereka hanya ibarat sebuah gudang yang menyimpan

banyak informasi namun tidak dimanfaatkan untuk melakukan ijtihad,

mencari solusi ataupun dalam menganalisis persoalan berbagai persoalan yang

dihadapi. Orang dalam kelompok ini masih belum dapat dikatakan sebagai

orang yang pintar, karena otak mereka beku.

Muthahhari pun mengutip pendapat Ibn Sina dalam menganalisis

masalah pentingnya ilmu. Di dalam kitab Al-Isyarat, Ibnu Sina menyatakan

"Barangsiapa yang terbiasa membenarkan sesuatu tanpa dalil, sesungguhnya

dia telah melepas atribut jati diri kemanusiaannya". Ini berarti bahwa

seseorang tidak boleh menerima sesuatu pernyataan tanpa sesuatu argumen

atau dalil. Sebaliknya Ibn Sina juga menyatakan, "Barangsiapa yang terbiasa

mengingkari sesuatu tanpa dalil, maka sesungguhnya inipun sesuatu yang

jelek". Dia pun mengatakan, "Manusia sesungguhnya adalah orang yang

senantiasa menerima dan menolah sesuatu berdasarkan kepada dalil. Jika

tidak ada dalil maka dia akan menjawab, "Saya tidak tahu".

Untuk memperkuat pemikirannya tersebut, Muthahhari pun mengutip

statement yang dikemukakan Backon, bahwa para ilmuwan itu dapat

dikategorikanm ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, ada yang diibaratkan

seperti semut yang senantiasa menarik biji-bijian dari luar lalu menyimpannya

ke dalam gudang sarangnya. Ilmuwan semacam ini, otaknya tak ubahnya

seperti sebuah gudang, mereka hanya merekam seluruh informasi ilmu dan

menyimpannya. Ketika dibutuhkan barulah mereka menyebutkan apa yang

telah mereka pelajari. Kedua, ibarat ulat, mereka merajut sarang dengan air

liurnya, ilmuwan semacam ini juga tidak baik karena tidak ada masukan

informasi dari luar. Ia hanya melahirkan ilmu lewat daya imajinasi dan

33

Page 63: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

batinnya saja. Akibatnya, mereka dapat tercekik di sarangnya sendiri. Ketiga,

mereka inilah ilmuwan sesungguhnya. Mereka ibarat lebah, mengisap saripati

bunga-bungaan dari luar kemudian mereka sendiri yang mengolah madu.

Karena itu akan lebih ideal jika antara akal dan ilmu berpadu, ilmu yang

diperoleh dipadu dengan daya kekuatan dari dalam serta daya analisis yang

dimiliki untuk melahirkan sesuatu yang bermanfaat. 49

Sementara itu, Al-Ghazâli memberikan pandangan yang berbeda

mengenai jenis ilmu. Menurutnya, ilmu yang paling bermanfaat adalah ilmu

yang dapat menghantarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan ukhrâwî.

Ada beberapa jenis keutamaan yang harus dipersiapkan manusia untuk

mencapai kebahagiaan, dalam empat kategori, yang setiap kategori mencakup

empat kebahagiaan.50

Pertama, menurut al-Ghazâlî, keutamaan rohani (al-fadlâil al-nafsiah)

adalah iman dan akhlak yang baik. Iman dibagi atas ilmu mukasyafah

(pengetahuan tentang wahyu), dan ilmu muamalah (ilmu pengetahuan

agama). Jadi, iman dianggap sinonim dengan ilmu. Akhlak yang baik terdiri

empat kebajikan utama, terdiri dari: hikmah (kebijaksanaan), ‘iffah (menahan

diri), syaja’ah (keberanian), dan ‘adalah (keadilan). Keempat keutamaan jiwa

akhirnya dapat diperkecil menjadi iman atau ilmu dan semua sifat jiwa yang

terpuji. Keduanya merupakan sarana terdekat menuju kebahagiaan.

Kedua, keutamaan jasmani (al-fadlâil al-jismiyah) juga dianggap

sebagai sarana yang esensial bagi tercapainya kebahagiaan. Karena tanpa itu,

keutamaan jiwa tidak dapat tercapai dengan sempurna. Meskipun sama

49 Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam, (Beirut: Darul Hadi, t.t.), h.232. 50 M. Abul Quasem, Etika al-Ghazâlî: Etika Majemuk Di dalam Islam, (terj.) J. Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 55-59.

33

Page 64: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

pentingnya, derajat keutamaan jasmani berda di bawah kebaikan jiwa.

Keutamaan jasmani adalah kesehatan, kekuataan, panjang usia, dan

kerupawanan.

Ketiga, keutamaan luar badan (al-fadlâil al-kharijiyah) adalah

kekayaan, pengaruh, keluarga, dan keturunan. Semuanya tidak esensial hanya

berguna bagi kebahagiaan.

Keempat, keutamaan bimbingan Allah (al-fadlâil al-taufiqiyah) adalah

berupa petunjuk Allah (hidâyah), pengarahan Allah (rusyd), pimpinan Allah

(tasdîd), dan penguatan Allah (ta’id). Taufik di sini berarti persesuaian

perintah Allah dengan kemauan manusia tentang apa yang benar. Fungsi

fadhilah ini ialah menggabungkan fadlîlah jasmani dan fadlîlah luar jasmani

dengan jiwa. Oleh karena itu, taufik dipandang sebagai sarana hakiki bagi

kebahagiaan.

Keempat keutamaan di atas saling berkaitan satu sama lain atau saling

menyempurnakan untuk menuju kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan

ukhrâwî. Jalan yang lurus ditempuh untuk menuju kebahagiaan yang hakiki

itu ialah ilmu dan amal. Ilmu ialah untuk menentukan apa-apa yang harus

dipersiapkan menuju kebahagiaan tersebut, sedangkan amal ialah untuk

membersihkan jiwa dari keinginan-keinginan duniawi yang dapat

memalingkan manusia dari kebahagiaan tersebut. Dan mencapai kebahagiaan

itu melalui latihan-latihan kerohanian (mujahadah) adalah jalan yang paling

selamat bagi al-Ghazâlî untuk mencapai kebahagiaan. Inilah jalan para sufi,

orang-orang shâlih, shiddîqîn, dan para nabi.51

Ilmu dan amal mempunyai makna yang jelas dalam etika al-Ghazâlî.

Dalam al-Qur’ân dan al-Hadits, amal berarti perbuatan baik apapun yang

51 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), h. 76.

33

Page 65: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

berhubungan dengan pribadi lahir (zhâhir), maupun batin manusia, tetapi

yang menyangkut batin ini dilukiskan kurang rinci, sebab tidak semua orang

bisa melakukannya. Menurut al-Ghazâlî, para ahli fiqih Muslim

mentitikberatkan pada alam diri lahir dengan mengabaikan amal batin. Kaum

sufi memberikan perhatian seimbang kepada kedua jenis amal, kecuali yang

berhubungan dengan politik. Oleh karena itu, dalam etika sufi al-Ghazâlî, kata

‘amal mempunyai konotasi yang amat luas ia mencakup amal lahir (al-’amal

al-zhâhirah) dan amal batin (al-‘amal al-bathiniyah). Masing-masing terbagi

dua, amal lahir terbagi dalam amal ibadat ditujukan kepada Allah (ibadat), dan

amal baik yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat

(adat). Sedangkan amal batin dibagi dalam amal pemurnian jiwa (tazkiyat al-

nafs) dari perangai yang tercela, dan amal memperindah jiwa (tahliyat al-

qalb) dengan sifat-sifat yang baik. Amal yang empat jenis ini membentuk

keseluruhan aspek praktis etika al-Ghazâlî.52

Ilmu dipelajari karena manfaatnya, dan sarana terbaik dari ilmu adalah

amal yang mengantarkannya kepada kebahagiaan. Amal tidak mungkin

terlaksana dengan baik tanpa ilmu tentang cara beramal. Dengan demikian,

asal kebahagian adalah ilmu, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Kebahagiaan yang asli dan luhur adalah mengenal hakikat. Tidak ada

pengetahuan yang lebih luhur selain mengenal hakikat Allah dan inilah

puncak kebahagiaan.53

Di lain pihak, Muthahhari mengatakan bahwa pekerjaan dan profesi

zaman sekarang telah menjadi sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin

dilakukan tanpa pengetahuan, belajar, dan spesialisasi. Jenis-jenis pekerjaan

52 M. Abul Quasem, Etika al-Ghazâlî: Etika Majemuk Di dalam Islam, (terj.) J. Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 63.

53 Al-Ghazâlî, Ilhya Ulum al-Din, vol. I, (Kairo: Mustafa al-Halabi, 1334 H), h. 12.

33

Page 66: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

yang zaman dahulu dapat dikuasai dengan hanya melakukan latihan sebentar

atau belajar singkat di hadapan seorang ahli, pada zaman sekarang sudah

sedemikian berbeda, di mana tidak dapat dikuasai kecuali dengan belajar di

sekolah-sekolah menengah kejuruan, perguruan-perguruan tinggi politeknik,

atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pada zaman sekarang, kebanyakan

pekerjaan memerlukan orang-orang yang ahli.54

Dapat dikatakan, dari penjelasan yang luas dari paparan Muthahhari

dan al-Ghazali di atas, bahwa dikarenakan keadaan yang telah disebutkan di

atas, maka kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang

mempunyai tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman.

Kewajiban mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban. Sebab tanpa

adanya ilmu, maka kewajiban yang mesti dilakukan oleh seseorang tidak akan

diketahuinya yang dengannya tidak terpenuhi.

Mengenai kewajiban mencari ilmu bagi setiap Muslim, di sini juga

terdapat persamaan pemikiran di antara al-Ghazâlî dan Muthahhari. Meskipun

tidak secara implisit, al-Ghazâlî juga menekankan pentingnya menuntut ilmu

yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama semata. Namun, di sini, al-Ghazâlî

lebih menekankan pada kewajiban setiap manusia dalam mendalami ilmu-

ilmu keagamaan, sedangkan ilmu-ilmu yang lain bersifat wajib kifa’i;

sementara cakupan pemikiran Muthahhari lebih luas, yaitu pada kewajiban

menuntut ilmu bagi setiap muslim pada semua ilmu yang dibutuhkan oleh

masyarakat Islam. Setiap ilmu yang disyaratkan untuk kemajuan dan

pemenuhan kebutuhan masyarakat Muslim menjadi wajib dengan sendirinya.

2. Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama

54 Al-Ghazâlî, Ilhya Ulum al-Din, vol. I, (Kairo: Mustafa al-Halabi, 1334 H), h.174.

33

Page 67: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Di bawah judul “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama”,55 Muthahhari

menjelaskan bahwasanya telah menjadi sebuah istilah, di mana kita

menamakan sebagian ilmu pengetahuan dengan nama “ilmu agama”, dan

sebagian ilmu pengetahuan lain dengan nama “ilmu bukan agama”. Ilmu-ilmu

agama adalah ilmu-ilmu yang secara langsung terkait dengan masalah-

masalah keyakinan, akhlak, atau amal perbuatan agama; atau ilmu-ilmu yang

menjadi mukadimah bagi pengetahuan, perintah-perintah, dan hukum-hukum

agama, seperti ilmu gramatika bahasa Arab dan ilmu logika.

Muthahhari melanjutkan, bahwa mungkin sebagian orang menyangka

ilmu-ilmu yang non-agama itu asing dari agama, dan setiap kali di dalam

Islam dikatakan tentang keutamaan ilmu dan pahala mencarinya, maka itu

hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang menurut istilah dikatakan sebagai ilmu-

ilmu agama. Atau, jika Rasulullah Saw mengatakan bahwa ilmu itu wajib,

maka yang sebagian menganggap bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw

terbatas pada ilmu-ilmu agama.

Seraya meluruskan pandangan di atas, Muthahhari berpendapat bahwa

yang benar, ini tidak lebih dari hanya sekadar istilah. Dari satu sisi pandangan,

ilmu-ilmu agama hanya terbatas pada matan-matan pertama agama, yaitu al-

Qur’an al-Karim, Sunah Rasul Saw, atau wasiat-wasiat beliau. Pada masa

awal Islam pun, di mana masyarakat ketika itu masih belum mengenal Islam,

diwajibkan atas setiap Muslim untuk mempelajari matan-matan pertama

agama terlebih dahulu sebelum segala sesuatu. Pada masa itu belum ada satu

ilmu pun, belum ada yang dinamakan ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih,

dan belum juga ada yang dinamakan ilmu sejarah Islam, dan lain-lainnya.

55 Murtadha Muthahhari, “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama, dalam Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h.175.

33

Page 68: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Kemudian kaum Muslimin mulai mengenal matan-matan pertama

agama tersebut, yang berkedudukan sebagai undang-undang dasar Islam. Lalu

dengan berdasarkan perintah al-Qur’an dan hadits Nabi Saw mereka mengenal

secara mutlak bahwa ilmu adalah sebuah kewajiban yang tidak diragukan; dan

selanjutnya secara bertahap ilmu-ilmu pun tersusun. Oleh karena itu, dari sisi

pandangan lain, setiap ilmu yang memberikan mabfaat kepada kaum

Muslimin, maka ilmu itu merupakan kewajiban agama dan merupakan ilmu

agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap ilmu yang bermanfaat

kepada keadaan Islam dan Muslimin, dan hal itu sesuatu yang harus bagi

mereka, maka ilmu tersebut harus dikategorikan sebagai bagian dari ilmu-

ilmu agama. Dan jika seseorang mempunyai niat yang tulus dalam

mempelajari ilmu tersebut untuk bisa berkhidmat kepada Islam dan Muslimin,

maka dia tentu akan memperoleh ganjaran yang telah disebutkan bagi orang

yang mencari ilmu.

Sejak awal, pembagian ini sudah tidak benar, yaitu di mana kita

membagi ilmu kepada dua bagian: ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu bukan

agama. Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian

orang, bahwa ilmu-ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan

agama” adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan

keuniversalan Islam menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting

dan diperlukan oleh masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu

agama.56

Sementara itu, al-Ghazâlî membagi ilmu ke dalam dua bagian: (1)

ilmu mengenai Allah dan (2) ilmu yang berhubungan dengan jalan menuju

Dia. Pertama, yang berkenaan dengan esensi, sifat-sifat dan ciptaan Allah

56 Murtadha Muthahhari, “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama, dalam Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 177.

33

Page 69: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

meliputi semua wujud kecuali Dia, beberapa di antaranya merupakan dunia

persepsi indera, sedang yang lainnya berupa dunia gaib, seperti malaikat dan

ruh. Ilmu tentang Allah, atribut-Nya, dan ciptaan-Nya adalah ilmu jenis

tertinggi. Kedua, ialah ilmu tentang jalan menuju Allah bertalian dengan

semua amal yang empat jenis tersebut di atas tersebut dengan tarikat

(tharîqat), tanpa ilmu pengetahuan ini, amal tidak dapat dilaksanakan secara

pantas. Meskipun ilmu tentang wahyu (ilmu ma’rifat) dan ilmu tentang jalan

(tharîqat) dua-duanya perlu untuk kebahagiaan, namun yang pertama sangat

fundamental, ia kadang-kadang dinamakan benih kebahagiaan di akhirat atau

malah kebahagiaan itu sendiri.57

Terdapat sedikit perbedaan antara Muthahari dan al-Ghazali, al-

Ghazali lebih mengutamakan ilmu yang berkaitan ilmu agama sementara

Muthahhari berusaha memperbaharui pemikiran hal tersebut yang selalu

mengadakan upaya dikhotomisasi antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu

bukan agama”.

C. Kaitan antara Sains dan Agama (Ilmu dan Iman)

Setelah membahas mengenai dua konsep dasar pendidikan Muthahhari di atas,

yaitu tentang fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan dan kewajiban mencari ilmu

bagi Muslimin, maka selanjutnya akan dibahas pemikiran beliau tentang kaitan antara

Sains dan Agama. Hal ini sengaja dibahas pada subbab khusus untuk memperlihatkan

bagaimana konsep dasar dari ide-ide Muthahhari dalam dunia pendidikan, yang

nantinya dapat dirumuskan bagaimana sistematika konsep pendidikan Muthahhari

secara utuh.

57 Murtadha Muthahhari, “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama, dalam Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 64.

33

Page 70: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Di bawah judul “Kaitan antara Sains dan Keimanan” dalam buku Man and

Universe, Muthahhari menjelaskan secara rinci mengenai kedua hal tersebut beserta

analisisnya yang tajam.58 Berikut ini adalah pembahasan beliau mengenai hal

tersebut.

Dalam hubungannya dengan keimanan dan sains, seseorang bisa

memperbincangkan hal itu dari dua sudut pandang. Yang satu adalah apakah ada

penafsiran yang akan meningkatkan keimanan dan ideal-ideal seseorang, dan pada

saat yang sama bersifat logis? Lalu, adakah semua pemikiran yang diilhami oleh sains

dan filsafat bertentangan dengan keimanan, harapan dan ortimisme? Aspek kedua

adalah pengaruh sains atas manusia di satu pihak, dan keimanan di pihak lain.

Adakah sains membawa manusia kepada suatu hal, sedangkan keimanan kepada hal

yang lain, yang bertentangan satu sama lain? Adakah sains bermaksud membuat

sesuatu yang lain? Adakah sains menyeret kita ke suatu sis dan keimanan ke sisi yang

lain? Adakah sains dan keimanan bersifat melengkapi satu sama lain? Marilah kita

lihat apa yang telah diberikan oleh sains dan keimanan kepada kita.

Muthahhari lalu memberikan jawaban atas pertanyaan di atas dengan

ungkapan yang dalam dan sarat dengan makna filosofis yang mesti diselami

maknanya secara serius. Dalam pandangan Muthahhari, sains memberi kita kekuatan

dan pencerahan, dan keimanan memberikan cinta, harapan, dan kehangatan. Sains

meniciptakan teknologi, dan keimanan menciptakan tujuan. Sains memberi kita

momentum, dan keimanan memberi kita arah. Sains berarti kemampuan, dan

keimanan adalah kehendak baik. Sains menunjukkan kepada kita apa yang ada di

sana, sementara keimanan mengilhami kita tentang apa yang mesti kita kerjakan.

Sains adalah revolusi eksternal, dan keimanan adalah revolusi internal. Sains

memperluas hubungan manusia secara horizontal, dan keimanan meningkatkannya

58 Murtadha Muthahhari, Man and Universe, (Qum: Ansariyan Publication, 1997M / 1417 H), h.9.

33

Page 71: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

secara vertikal. Baik keimanan maupun sains berarti keindahan. Sains adalah

keindahan kebijaksanaan, dan keimanan adalah ruh.59

Itulah yang dikatakan oleh Muthahhari, yang secara langsung dapat kita

pahami bahwa menurut beliau Sains (ilmu pengetahuan) dan agama (keimanan)

adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan, jika

salah satu hilang dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan oleh

Muthahhari—dengan mengutip hadits Nabi--sebagai “orang berilmu yang kurang ajar

dan orang bodoh yang tekun beribadah”.60

Senada dengan pendapat Muthahhari di atas, adalah apa yang diutarakan oleh

Muhammad Iqbal. Beliau mengatakan secara tegas bahwa Eropa masa sekarang

adalah hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Hal itu

dikarenakan adanya kesenjangan antara sains dan wahyu (keimanan).

Menurut Iqbal, kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal: (1) Suatu

penafsiran Spiritual atas jagat, (2) emansipasi spiritualitas atas individu, dan (3) suatu

himpunan asas yang dianut secara universal yang akan menjelaskan evolusi

masyarakat manusia atas dasar spiritual. Eropa modern, tak syak lagi, telah

membangun sistem idealistis pada jalur ini, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa

kebenaran yang terungkap lewat akal murni tidak mampu membawa api keyakinan

hidup yang hanya bisa dibawa oleh wahyu yang bersifat personal saja. Inilah

alasannya, kenapa pemikiran saja telah mempengaruhi manusia sedemikian sedikit,

sementara agama selalu meningkatkan individu-individu dan mentransformasikan

masyarakat secara keseluruhan. Hasilnya adalah ego yang menyeleweng, yang

59 Murtadha Muthahhari, Man and Universe, (Qum: Ansariyan Publication, 1997M / 1417 H), h.12.

60 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h.184.

33

Page 72: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

mencari dirinya melalui demokrasi-demokrasi saling tidak toleran yang befungsi

hanya untuk menindas yang miskin demi kepentingan kaum yang kaya.

Iqbal mempertegas, percayalah padaku, Eropa masa sekarang adalah

hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Orang-orang

Muslim, di pihak lain, memiliki gagasan-gagasan puncak yang bersumber dari wahyu

yang datang dari lubuk kehidupan yang paling dalam, menginternalisasikan

eksternalitas nyatanya. Baginya, basis spiritual kehidupan adalah masalah keyakinan

yang untuknya orang-orang yang paling sedikit tercerahkan di antara kita sekalipun

bisa dengan mudah mengatur hidupnya.61

Dengan lebih rinci, Muthahhari selanjutnya menegaskan bahwa telah tiba

saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa bukan saja sains dan keimanan itu tidak

bertentangan, tetapi mereka bahkan bersikap saling melengkapi satu sama lain.

Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah

menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan tanpa

sains akan berakibat fanatisisme dan kemandekan. Jika saja tak ada sains dan ilmu,

maka agama, dalam diri penganut-penganutnya yang naif, akan menjadi suatu

instrumen di tangan-tangan pada “dukun cerdik”.

Sains tanpa agama adalah seperti sebilah pedang di tangan orang mabuk;

seperti secercah cahaya di tangah pencuri di tengah malam, membuatnya mampu

mencuri barang-barang yang terbaik. Inilah sebabnya, kenapa orang-orang terpelajar

yang kafir pada masa kini sama sekali tidak berbeda dari orang-orang yang kafir pada

masa lampau dalam hal sifat dan perilakunya.

Pemisahan antara sains dan keimanan akan mengakibatkan bencana yang

mengerikan. Di mana saja ada agama tapi tak ada sains, maka upaya-upaya

kemanusiaan telah diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak selalu memadai dan

61 Murtadha Muthahhari, Man and Universe, (Qum: Ansariyan Publication, 1997M / 1417 H)., h.12-13.

33

Page 73: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

bahkan telah menyebabkan fanatisisme, prasangka-prasangka dan bentrokan-

bentrokan destruktif. Sejarah masa lampau kemanusiaan penuh dengan contoh-contoh

semacam itu. Dan di mana saja ada sains tanpa tanda-tanda agama sebagaimana di

dalam masyarakat masa kini, maka semua kekuatan sains telah digunakan untuk

memenuhi pementingan diri sendiri, egoisme, ekspansionisme, ambisi, penindasan,

perbudakan, penipuan dan kecurangan.62

Dengan berlandaskan pada pemikiran Muthahhari di atas, kaitannya dengan

pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa jika suatu corak pendidikan yang

mengesampingkan salah satu dari kedua aspek di atas, yakni hanya mementingkan

sains tanpa agama dan sebaliknya, maka pendidikan tersebut hanya akan melahirkan

generasi-generasi, seperti yang dikatakan Muthahhari di atas, yaitu orang berilmu

yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah. Inilah salah satu inti dasar

pembahasan yang dapat diidentiifkasikan sebagai konsep pokok pendidikan

Muthahhari, yaitu pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kemuliaan manusia

dengan pijakan keimanan dan penguasaan sains yang handal.

Namun, mengenai konsep sains dan agama, di sini terlihat perbedaan yang

cukup signifikan antara pemikiran Muthahhari dan al-Ghazâlî. Hal ini bisa dipahami

dikarenakan landasan pemikiran Muthahhari adalah filsafat—yang menjadi musuh

utama al-Ghazali, yang dapat dilihat dalam karya monumental beliau, tahâfut al-

falâsifah—sedangkan landasan pemikiran al-Ghazâlî adalah tasawuf—yang banyak

dianut oleh para ulama salaf yang cenderung “kekiri-kirian”, dalam arti sangat anti

terhadap filsafat. Dalam konsep ma’rifah-nya, terlihat dengan jelas bahwa al-Ghazâlî

sangat anti terhadap filsafat, sedangkan filsafat seperti banyak dikatakan oleh para

ahli adalah bapaknya dari ilmu pengetahuan (sains) modern. Pengetahuan yang

didapat dari hasil penalaran akal, yang merupakan ciri khas dari sains modern, sangat

62 Murtadha Muthahhari, Man and Universe, (Qum: Ansariyan Publication, 1997M / 1417 H), h.15-16.

33

Page 74: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

ditentang oleh al-Ghazâlî. Pengetahun yang hakiki, menurut beliau, adalah

pengetahuan yang didapat dari hasil nalar intuisi (qalb) melalui jalur tasawuf.63

Lebih jelas, al-Ghazâlî membagi ma’rifat ke dalam tingkatan sesuai dengan

dasar pengetahuan dan metode yang dipergunakan, yaitu: pertama, ma’rifat orang

awam, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui jalan meniru atau taklid. Kedua,

pengetahuan Mutakallimin dan Filosof yaitu pengetahuan yang didapat melalui

pembuktian rasional. Ketiga, pengetahuan para sufi yaitu pengetahuan yang diperoleh

melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi, yaitu qalbu yang

bening. Adapun pengetahuan mistis atau sufisme menurut al-Ghazâlî adalah Dzat

Allah, sifat-sifat-Nya serta af’al-nya, dan inilah pengetahuan yang paling tinggi

nilainya. Pengetahuan yang demikian ini akan membawa kebahagiaan bagi yang

memilikinya, serta akan menemukan kesempurnaan dirinya, karena ia berada di sisi

Yang Maha Sempurna.64

Untuk mengetahui dampak dari sains yang tanpa dilandasi adanya keimanan,

berikut ini dikemukakan hasil analisis Kuntowijoyo mengenai hal tersebut.65

Kuntowijoyo (1999) pernah mengeluhkan mengenai kenyataan berubahnya

sistem sosial manusia saat ini. Menurutnya, sistem sosial kebebasan manusia telah

digantikan dengan mekanisasi manusia lewat industrialisasi dan teknologi. Manusia

hanyalah dipakai sebagai bagian dan pelengkap dari mesin, ia berada pada bayang-

bayang alienasi industrialisasi yang membawa manusia terpuruk pada tipe

“perbudakan” baru, “perbudakan mesin”. Itulah masyarakat yang kita sebut sebagai

“masyarakat kapitalistik”. Di dalam masyarakat kapitalistik, manusia hanya menjadi

elemen dari pasar. Dalam masyarakat seperti itu, kualitas kerja dan bahkan kualitas

kemanusiaan itu sendiri, ditentukan oleh pasar.

63 Imam Al-Ghazali, Al-Munqizh min al-Dlalâl, (Kairo: tpn., 1336 H), h.12. 64 Al-Ghazâlî, Al-Munqizh min al-Dlalâl, (Kairo: tpn., 1336 H), h. 13.65 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h.73-75.

33

Page 75: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Selain itu, kenyataan lainnya, seperti banyak dikemukakan oleh banyak ahli

yang menanggapi perkembangan dunia modern saat ini, bahwa sebagai akibat dari

kemajuan sains yang tanpa landasan keimanan, jiwa manusia banyak mengalami

gangguan psikologis; dari mulai keresahan jiwa, kejenuhan dalam mengejar ambisi

yang tidak pernah berhenti, dan banyak lagi penyakit manusia modern lainnya. Belum

lagi kejahatan yang kian merajalela dan telah dikemas sedemikian rupa sehingga

menyerupai “kebijaksanaan sejati”: pembunuhan di mana-mana, penindasan terhadap

kaum tertindas sudah menjadi hiburan, dan mencuri telah menjadi kewajiban. Itu

semua adalah penyakit manusia saat ini.

Berbagai terapi psikologis telah dikembangkan untuk mengobati penyakit

manusia modern, dari mulai terapi sugesti sampai terapi bunuh diri. Namun itu semua

hanya pengobatan secara sementara dan terkesan sebagai upaya untuk lari dari

kenyataan (escape from reality). Manusia modern akhir-akhir ini sedang melirik ke

jalur spiritual (keimanan yang bersumber dari wahyu dan cinta) untuk mengobati

penyakit jiwanya. Di Barat pun, kini telah berkembang banyak ragam pengobatan

dengan menggunakan mediasi ghaib. Terbukti dengan semakin banyaknya buku-buku

yang berbau spiritual yang diterbitkan untuk melatih spiritualitas manusia dengan

berbagai metode dan beberapa di antaranya termasuk the best seller; dari mulai

latihan aura jiwa, keajaiban berdoa, meditasi, dan banyak lagi.

Di Indonesia sendiri, terapi spiritual yang banyak berkembang, sebagai objek

pelarian manusia modern untuk mengobati kehausan jiwanya, adalah terapi spiritual

(biasanya mengambil bentuk jalur tasawuf). Namun, terkadang dalam prakteknya,

jalur tasawuf pun masih sama sebagai alat pelarian diri dari kenyataan. Seseorang

yang menekuni bidang tasawuf—meskipun tidak seluruhnya begitu—sering terlena

dalam menikmati kelezatan kontemplasi dengan Tuhan sehingga “lupa untuk turun ke

33

Page 76: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

alam nyata” (bidang-bidang keduniaan dan sosial). Mereka terlalu berambisi dalam

memenuhi hasrat bathinnya, tetapi lupa terhadap kehidupan sosial di sekelilingnya.

D. Dunia Pendidikan dan Tantangan Zaman

1. Belajar tentang Zaman

Di antara kata-kata cemerlang Imam Shadiq, salah satu cucu Rasulullah

dari kalangan Ahlul Bait Nabi, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Kâfi

adalah ucapannya:66

. اِب�ُس� الَّل�َو� َع�َّل�ْي�ِه� ُم� ُج� َت�ْه� َال� اِن�ِه� َم� ِب�َز� �ل�َع�ال�ُم� ا

“Barangsiapa mengerti tentang zamannya, tak akan dikejutkan oleh serbuan

segala yang membingungkannya”.

Maksud dari hadits di atas, sebagaimana dikatakan oleh Muthahhari,

adalah siapa saja yang menguasai pengetahuan tentang zamannya dan

menguasai pengetahuan tentang segala seluk-beluknya, tidak akan sekali-kali

dikejutkan oleh hal-hal yang membingungkan. Kata “serbuan” (hujûm) dalam

ucapan Imam Shadiq di atas, digunakan dalam bahasa Persia untuk

menunjukkan suatu serangan yang dahsyat, tapi dalam bahasa Arab digunakan

untuk menunjukkan suatu serangan mendadak yang menimbulkan kebingungan.

Atas dasar itu, ucapan Imam Shadiq tersebut menunjukkan bahwa seorang ‘arif

(bijak) yang mengenal baik-baik segal ihwal zamannya, dan benar-benar

mengetahui segala rahasianya, pasti tidak akan dikejutkan oleh hal-hal yang

datang secara mendadak, sehingga membuatnya kebingungan, hilang akal, dan

kehilangan kesempatan untuk meluruskan pikirannya guna memecahkan

persoalan-persoalan yang muncul di hadapannya.67

66 Al-Kulayni, Al-Kafi, Jilid II, h.45. 67 Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima’, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1395 H), h. 57.

33

Page 77: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Muthahhari menambahkan, bahwa dalam ucapan beliau ini, masih ada

lagi kalimat-kalimat lainnya yang menguatkan hal itu, di antaranya: “Takkan

berhasil siapa saja yang tidak menggunakan akalnya, dan takkan menggunakan

akalnya siapa yang tidak berpengetahuan”. Yakni, takkan berhasil orang yang

tidak memiliki pengetahuan; sebab akal sama dengan kemampuan melakukan

analisis dan menetapkan kaitan antara sejumlah permasalahan. Atau membuat

premis agar mencapai kesimpulan. Akal memperoleh “minuman” dari ilmu, dan

akal adalah pelita sedangkan minyaknya adalah ilmu. Kemudian, kata Imam

Shadiq lagi: “Barangsiapa memiliki pemahaman, akan meraih kepandaian dan

menjadi terouji dalam ucapan dan tindakannya.” Karena itu, seyogianya kita

tidak mencemaskan ilmu dan tidak menganggapnya sebagai bahaya atas diri

kita.

Sekarang ini, kita berdiri berseberangan dengan ucapan berikut:

“Barangsiapa mengerti tentang zamannya, takkan dikejutkan oleh hal-hal yang

membingungkannya.” Dengan kata lain, kita kini tak mengerti sedikit pun

tentang zaman kita sendiri, dari awal sampai akhir. Kita sedang terlelap dalam

tidur yang membuat kita lalai akan segalanya. Dan tiba-tiba, kita mendapati diri

kita berhadapan langsung dengan berbagai masalah serius.

Selanjutnya, Muthahhari mengemukakan secara lugas mengenai

bagaimana membina dan mendidik generasi muda untuk dipersiapkan di masa

depan yang boleh jadi tantangan zamannya berbeda dengan zaman di saat

sekarang. Menurut beliau, ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya

membuat planning untuk membimbing generasi ini. Yaitu dengan memperteguh

—di dalam diri kita sendiri—pendapat yang mengatakan bahwa bimbingan dan

pembinaan (pendidikan), baik dalam segi teknis administratif maupun dalam

aplikasinya, harus berbeda caranya sesuai dengan perkembangan zaman dan

33

Page 78: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

juga perbedaan objek yang hendak dibina/dididik. Karenanya, kita harus

menghapus dari pikiran kita, bahwa kita mampu membina dan mendidik

generasi muda ini dengan cara-cara lama.68

Pertama-tama, kita harus memahami terlebih dahulu generasi muda saat

ini. Memahami karakteristik dan ciri-ciri khas kepribadiannya. Dan untuk itu,

secara umum, ada dua cara untuk menanganinya, serta ada dua cara pula untuk

melakukan penilaian terhadapnya. Sebagian orang menilai generasi muda

sebagai sekelompok orang yang belum matang dan dikuasai oleh ilusi tentang

dirinya sendiri, budak-budak hawa nafsu, dan seribu macam keburukan lainnya.

Orang-orang seperti itu memandang kepada generasi muda dengan pandangan

penuh kebencian dan pelecehan.

Akan tetapi, pandangan generasi muda itu kepada dirinya sendiri adalah

sangat berbeda. Mereka tidak melihat adanya suatu cacat dalam diri mereka.

Bahkan mereka adalah manusia-manusia yang penuh dengan kecerdasan dan

kepiawaian yang memiliki cita-cita paling mulia dan terhormat. Namun,

terkadang generasi lama memandang dari sudut dirinya sendiri dengan

memandang buruk kepada generasi saat ini, dikarenakan berbeda dalam segala

aspeknya.

Ada beberapa ayat dalam Surat Al-Ahqâf yang mengandung dua

gambaran tentang dua generasi: yang saleh dan yang menyeleweng. Tetapi tidak

mungkin dikatakan bahwa generasi yang berikutnya senantias lebih banyak

kerusakannya daripada generasi sebelumnya, dan bahwa dunia ini berjalan

menuju kepada kerusakan. Dan tidak pula dapat dikatakan bahwa generasi yang

berikutnya senantiasa lebih sempurna daripada yang sebelumnya. Ayat-ayat

tersebut adalah sebagai berikut.

68 Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima’, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1395 H), h.59.

33

Page 79: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

“Kami telah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik

kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah.

Masa mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.

Sehingga apabila telah mencapai dewasa dan usianya sampai empat puluh

tahun, ia berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku mensyukuri

nikmat-Mu yang telah Kau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku,

dan agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan

kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sungguh aku

bertobat kepada-Mu dan sungguh aku termasuk ke dalam orang-orang yang

berserah diri kepada-Mu” (QS. Al-Ahqaf: 15).

Ayat di atas melukiskan cara pemikiran generasi yang shaleh. Di

antaranya, adalah semangat bersyukur dan mengakui luasnya karunia-karunia

Allah Swt. “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku mensyukuri nikmat-

Mu yang engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…”. Di sini

ia mengakui nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah Swt atas dirinya dan

generasi pendahulunya, lalu meminta dari-Nya agar diberi kekuatan untuk

memnuhi rasa terima kasih dan penghargaannya atas semua itu. Dan agar ia

diberi petunjuk untuk dapat menggunakan nikmat-nikmat itu demi meraih

keridhaan-Nya. Sebab, arti mensyukuri suatu nikmat adalah dengan

memanfaatkannya secara proporsional, sesuai yang dikehendaki oleh Sang

Pemberi. Dan karenanya ia memohon daari Allah Swt agar memberinya taufik

untuk menggunakan nikmat-Nya demi sesuatu yang bermanfaat dan diridhai

oleh-Nya: “…agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridhai..”.

Di antaranya pula, perhatiannya kepada generasi berikutnya, semoga ia

menjadi generasi yang shaleh. Karenanya, ia memohon kepada Allah Swt, “…

Berikan kepadaku kebaikan dengan memberi kebaikan kepada anak-

33

Page 80: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

cucuku…” Selanjutnya, semangat bertobat dan menyesali kelalaian dan

kekurangannya pada masa-masa lalu, “….Sungguh aku bertobat kepada-

Mu..”

Tentang generasi seperti ini, Allah Swt kemudian berfirman: “Mereka

itulah orang-orang yang Kami terima amal baik yang telah mereka kerjakan,

dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama para penghuni

surga, sebagai janji yang benar yang dijanjikan kepada mereka” (QS. Al-

Ahqaf: 16)

Adapun ayat berikutnya (QS. al-Ahqâf [46]: 17) berbicara tentang

suatu generasi yang tusak dan menyimpang:

“Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya, “Cis bagi

kalian berdua; adakah kalian memperingatkan kepadaku bahwa aku akan

dibangkitkan (setelah mati), padahal sungguh telah berlalu beberapa umat

sebelumku?” Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan kepada

Allah seraya mengatakan, “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh janji Allah

adalah benar.” Maka berkatalah ia, “Ini tidak lain hanyalah dongengan

orang-orang dahulu belaka” (QS. Al-Ahqaf: 17)

Ayat ini, menurut Muthahhari, adalah generasi yang menyimpang dan

terkelabui. Generasi yang mentah, belum matang. Begitu telinganya

mendengar dua kalimat, ia tidal lagi merasa terikat dengan sesuatu. Ia tidak

merasa sebagai hamba Allah. Ia merasa kesal terhadap kedua orang tuanya.

Menghina mereka. Mengejek pandangan mereka, juga semua kepercayaan

mereka. Menertawakan mereka akibat ucapan mereka tentang adanya Hari

Kiamat, hari kebangkitan kembali tentang alam yang lain dan kehidupan yang

lain. Padahal generasi-generasi terdahulu, datang dan hidup, kemudian mati

dan tidak kembali lagi. Dan kedua orang tuanya yang religius, dan yang tidak

33

Page 81: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

tahan mendnegar sesuatu yang bertentangan dengan agama, kini mendengar

putra kesayangan mereka menyakiti hati mereka dengan omongan seperti itu,

sehingga mereka berteriak, “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh janji Allah

adalah benar.”69

Itulah ayat-ayat yang menjelaskan tentang dua generasi yang berbeda:

generasi yang shaleh dan yang lainnya rusak dan menyimpang. Dari

penjelasan Muthahhari di atas, dapat dikatakan bahwa penjelasan yang

disampaikan beliau di atas terkait erat dengan upaya memahami dalam

mengidentifikasi generasi saat ini, sebagai objek dari dunia pendidikan yang

akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Memahami sifat dan

karakteristik generasi saat ini sangat penting dalam merumuskan metode

pendidikan yang akan diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Karena

metode lebih bersifat cara penyampaian pesan agar tujuan dari pesan dan misi

pendidikan sampai sesuai dengan yang diharapkan. Jika pengidentifikasian

objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara tidak komprehensif

maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan sendirinya, sehingga

generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan terwujud.

2. Dunia Pendidikan dalam Menyikapi Perubahan Zaman

Muthahhari dalam bukunya “Islam dan Tantangan Zaman” di bawah

judul “Dua Perubahan Zaman” mengutarakan pandangannya tentang cara

menyikapi perubahan zaman. Perubahan-perubahan mana yang mesti kita

hitung sebagai mengarah pada kebaikan dan perkembangan mana yang harus

kita hitung sebagai mengarah pada penyimpangan dan kerusakan? Dari mana

kita bisa mengetahui bahwa suatu perubahan keadaan itu baik dak kita mesti

69 Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima’, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1395 H), h.70-72.

33

Page 82: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

bekerja sama atau perubahan keadaan itu justru buruk sehingga kita harus

menentangnya? Apa yang menjadi sebagai ukuran?

Ukuran umum ialah bahwa kita mesti memperhatikan dengan teliti apa

yang menjadi penyebab terjadinya berbagai macam fenomena yang ada pada

semua zaman, ke mana arah tujuannya, dan apa yang dihasilkannya.

Terkadang, dalam perkembangan ilmu pengetahuan sering muncul manusia

penyembah hawa nafsu yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat

untuk memeras kantong masyarakat dan moral mereka. Misalnya, ada

manusia yang mengeksploitasi ilmu pengetahuan untuk membuat film-film

yang merusak.70

Dengan demikian, dari pendapat Muthahhari di atas, jika dikaitkan

dalam dunia pendidikan, dapat dikatakan bahwa sikap dunia pendidikan dalam

menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara buta menerima seluruh

perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak perkembangan zaman.

Artinya, dalam penerapannya, dunia pendidikan tidak boleh kehilangan jati

dirinya diakibatkan terlalu ingin menyesuaikan diri dengan perkembangan

zaman, dan tidak boleh pula terlalu tradisionalistis dari sikap menolak seluruh

perkembangan zaman yang menurut pemahamannya tidak sesuai dengan

idealistis orang yang memandangnya.

Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap seimbang, yaitu

menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang keberhasilan

pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan menimbulkan efek-

efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap menjadikan keimanan sebagai

landasan utama dalam memilih perkembangan mana yang sesuai dengan misi

dari sebuah lembaga pendidikan.

70 Murtadha Muthahhari, Inna ad-Dîn ‘inda Allah al-Islâm (Qum: Muassasah Sadr, 1394 H), h.22.

33

Page 83: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

E. Disiplin Ilmu Islam

Berikut ini akan dikemukakan pemikiran Muthahhari mengenai disiplin ilmu-

ilmu Islam (‘ulûm Islami). Menurut beliau, ilmu-ilmu Islam dapat didefinisikan

dengan berbagai pola, yang masing-masing pola akan memiliki sesuatu sebagai

subyek. Dengan demikian, subyek akan ditentukan dengan pola pendefinisian tadi. Di

bawah ini adalah pola-pola yang muncul untuk mendefinisikan ulum Islami:71

1. Serangkaian ilmu yang membahas seputar agama Islam; pokok maupun

cabangnya, sekaligus hal-hal yang menjadi pendahuluan bagi hasil pokok dan

cabang tersebut, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Yang termasuk ilmu-ilmu

tersebut ialah: Ilmu Qira’ah, Hadits, Tafsir, Ilmu Kalam Nakli, Fiqih, dan

Ilmu Akhlaq.

2. Ilmu-ilmu yang tercantum di atas, ditambah serangkaian ilmu yang menjadi

pendahuluan baginya, seperti: Ilmu-ilmu linguistik Arab (Sharaf, Nahwu,

Lughoh Ma’ani, Bayan, Badi’, dan sebagainya), Ilmu Rijalul Hadits, Ilmu

Dirayah Hadits, Ilmu Kalam Akli, Ilmu Akhlaq akli, Hikmah Ilahiyah,

Mantiq, dan Ushul Fiqh.

3. Disiplin-disiplin ilmu yang mempelajarinya bagaimanapun juga termasuk

dalam kewajiban agama, walaupun sekadar wajib kifa’i.

Berdasarkan definisi ketiga di atas, ulum Islami akan mencakup mayoritas Ilmu

Alam dan Ilmu Matematika yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam.

Sementara itu, al-Ghazâlî menyebut empat sistem klasifikasi ilmu yang berbeda:

1. Pembagian ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.

2. Pembagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhûri) dan yang dicapai

(hushûli).

71 Murtadha Muthahhari, Pengantar Menuju Logika, terjemahan Asynai ba Ulume Islami, Duruse Mantiq oleh I.H. Al-Habsyi (Bangil: Yapi, 1994), h. 12—14.

33

Page 84: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

3. Pembagian ilmu-ilmu religius (sya’iyah) dan intelektual (aqlîyah).

4. Pembagian ilmu menjadi fadhu ‘ain dan fardhu kifayah.72

Pembagian yang terakhir didasarkan pada hadits Rasul saw: "Menuntut ilmu

itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat” (HR. Bukhori & Muslim).

Dengan demikian, terdapat kemiripan antara pembagian ilmu antara

Muthahhari dan al-Ghazali. Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga

jenis, yakni ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-

jalannya, ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta.

Lebih lanjut, al-Ghazâli memberikan arahan bahwasanya ilmu yang paling

bermanfaat adalah ilmu yang dapat menghantarkan manusia untuk mencapai

kebahagiaan ukhrâwî. Ada beberapa jenis keutamaan yang harus dipersiapkan

manusia untuk mencapai kebahagiaan, dalam empat kategori, yang setiap kategori

mencakup empat kebahagiaan.73

Pertama, menurut al-Ghazâlî, keutamaan rohani (al-fadlâil al-nafsiah) adalah

iman dan akhlak yang baik. Iman dibagi atas ilmu mukasyafah (pengetahuan tentang

wahyu), dan ilmu muamalah (ilmu pengetahuan agama). Jadi, iman dianggap sinonim

dengan ilmu. Akhlak yang baik terdiri empat kebajikan utama, terdiri dari: hikmah

(kebijaksanaan), ‘iffah (menahan diri), syaja’ah (keberanian), dan ‘adalah (keadilan).

Keempat keutamaan jiwa akhirnya dapat diperkecil menjadi iman atau ilmu dan

semua sifat jiwa yang terpuji. Keduanya merupakan sarana terdekat menuju

kebahagiaan.

Kedua, keutamaan jasmani (al-fadlâil al-jismiyah) juga dianggap sebagai

sarana yang esensial bagi tercapainya kebahagiaan. Karena tanpa itu, keutamaan jiwa

72 Lebih rinci lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998), h. 231-250. 73 M. Abul Quasem, Kamil, Etika al-Ghazâlî: Etika Majemuk Di dalam Islam, (terj.) J. Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 55-59.

33

Page 85: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

tidak dapat tercapai dengan sempurna. Meskipun sama pentingnya, derajat keutamaan

jasmani berda di bawah kebaikan jiwa. Keutamaan jasmani adalah kesehatan,

kekuataan, panjang usia, dan kerupawanan.

Ketiga, keutamaan luar badan (al-fadlâil al-kharijiyah) adalah kekayaan,

pengaruh, keluarga, dan keturunan. Semuanya tidak esensial hanya berguna bagi

kebahagiaan.

Keempat, keutamaan bimbingan Allah (al-fadlâil al-taufiqiyah) adalah berupa

petunjuk Allah (hidâyah), pengarahan Allah (rusyd), pimpinan Allah (tasdîd), dan

penguatan Allah (ta’id). Taufik di sini berarti persesuaian perintah Allah dengan

kemauan manusia tentang apa yang benar. Fungsi fadhilah ini ialah menggabungkan

fadlîlah jasmani dan fadlîlah luar jasmani dengan jiwa. Oleh karena itu, taufik

dipandang sebagai sarana hakiki bagi kebahagiaan.

Keempat keutamaan di atas saling berkaitan satu sama lain atau saling

menyempurnakan untuk menuju kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan ukhrâwî.

Jalan yang lurus ditempuh untuk menuju kebahagiaan yang hakiki itu ialah ilmu dan

amal. Ilmu ialah untuk menentukan apa-apa yang harus dipersiapkan menuju

kebahagiaan tersebut, sedangkan amal ialah untuk membersihkan jiwa dari

keinginan-keinginan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari kebahagiaan

tersebut. Dan mencapai kebahagiaan itu melalui latihan-latihan kerohanian

(mujahadah) adalah jalan yang paling selamat bagi al-Ghazâlî untuk mencapai

kebahagiaan. Inilah jalan para sufi, orang-orang shâlih, shiddîqîn, dan para nabi.74

Ilmu dan amal mempunyai makna yang jelas dalam etika al-Ghazâlî. Dalam

al-Qur’ân dan al-Hadits, amal berarti perbuatan baik apapun yang berhubungan

dengan pribadi lahir (zhâhir), maupun batin manusia, tetapi yang menyangkut batin

ini dilukiskan kurang rinci, sebab tidak semua orang bisa melakukannya. Menurut al-

74 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), h. 76.

33

Page 86: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Ghazâlî, para ahli fiqih Muslim mentitikberatkan pada alam diri lahir dengan

mengabaikan amal batin. Kaum sufi memberikan perhatian seimbang kepada kedua

jenis amal, kecuali yang berhubungan dengan politik. Oleh karena itu, dalam etika

sufi al-Ghazâlî, kata ‘amal mempunyai konotasi yang amat luas ia mencakup amal

lahir (al-’amal al-zhâhirah) dan amal batin (al-‘amal al-bathiniyah). Masing-masing

terbagi dua, amal lahir terbagi dalam amal ibadat ditujukan kepada Allah (ibadat),

dan amal baik yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat

(adat). Sedangkan amal batin dibagi dalam amal pemurnian jiwa (tazkiyat al-nafs)

dari perangai yang tercela, dan amal memperindah jiwa (tahliyat al-qalb) dengan

sifat-sifat yang baik. Amal yang empat jenis ini membentuk keseluruhan aspek

praktis etika al-Ghazâlî.75

Kita sadar bahwa serangkaian ilmu yang membahas seputar agama dalan hal-

hal yang menjadi pendahuluan bagi mereka, memang wajib untuk dipelajari dan

dikaji, karena mengenali pokok agama (ushuluddin) merupakan kewajiban bagi setiap

pribadi muslim, sementara mengenali cabang agama (furu’udin) merupakan wajib

kifa’i. Mengenali al-Qur’an dan Sunnah juga wajib, karena tanpa keduanya tak akan

didapatkan pengenalan tentang pokok maupun cabang agama. Demikian pula

disiplin-disiplin ilmu yang menjadi pendahuluan bagi serangkaian ilmu di atas, juga

menjadi wajib berdasarkan muqadimatul wajib.

Semestinya, di kalangan ilmuwan Islam terdapat orang-orang yang senantiasa

menguasai disiplin-disiplin ilmu tersebut, bahkan orang-orang yang

mengembangkannya. Para ilmuwan Islam sepanjang empat belas abad, telah berusaha

semaksimal mungkin untuk terus memperluas jangkauan ilmu-ilmu di atas, dan

75 Abul Qasem. Etika al-Ghazâlî: Etika Majemuk Di dalam Islam, (terj.) J. Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 63.

33

Page 87: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

sebagaimana yang nantinya akan menjadi jelas bagi kita, mereka telah mencapai

kesuksesan yang menonjol sekali.

Kini kita menyadari bahwa ilmu yang merupakan kewajiban bagi segenap

umat Islam, tidaklah terbatas pada apa yang telah disebutkan di atas, melainkan juga

mencakup segala macam ilmu yang menjadi syarat atas terselesaikannya setiap

kebutuhan dan kepentingan masyarakat Muslim. Hal itu lebih dikarenakan, Islam

merupakan agama yang tidak membatasi dirinya pada sejumlah petuah etis yang

individual personal, melainkan merupakan agama yang berusaha untuk membangun

sebuah masyarakat sempurna.

Apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat, Islam telah

mewajibkannya. Misalnya sebuah masyarakat membutuhkan dokter, maka menuntut

ilmu kedokteran akan menjadi wajib kifa’i; artinya harus terdapat dokter sebanyak

yang dibutuhkan oleh masyarakat, jika tidak, maka setiap orang dalam masyarakat

tersebut bertanggung jawab dan harus mencurahkan upayanya demi menghasilkan

angka yang mencukupi, yaitu dengan mendatangkan dokter-dokter dari luar yang

resikonya jauh lebih tinggi.

Begitu pula dengan ilmu politik, ekonomi, industri, dan sebagainya. Jika pada

kondisi tertentu keterjagaan sebuah masyarakat Islam tergantung pada penguasaan

terhadap tahap-tahap tertinggi dari teknologi, maka Islam akan mewajibkan

pengkajian terhadapnya. Dengan demikian, pada prinsipnya, segala ilmu yang

dibutuhkan oleh sebuah masyarakat Islam akan menjadi wajib kifa’i bagi setiap

pribadi untuk menuntutnya.

Ilmu-ilmu yang—garis besarnya—berkembang di kalangan kebudayaan

Islam, mencakup ilmu yang menurut Islam wajib atau bahkan haram sekalipun.

Seperti ilmu Astrologi dan beberapa ilmu lainnya.

33

Page 88: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Sebagaimana kita ketahui, jika ilmu yang mengkaji tentang perbintangan

menerangkan prinsip-prinsip yang bersangkutan dengan mekanisme benda-benda

angkasa dan memperkirakan kejadian-kejadian yang diperhitungkan, seperti gerhana,

cuaca, dan hal semacam itu (astronomi), tetap merupakan disiplin ilmu yang

diperbolehkan oleh agama.

Sementara itu, ilmu perbintangan yang mengkaji tentang hal-hal di luar

perhitungan matematis dan menjelaskan hubungan yang terselubung antara kejadian-

kejadian kosmik dengan kejadian di bumi (Astrologi), merupakan disiplin ilmu yang

dilarang oleh agama. Meski demikian, kedua ilmu ini pernah berkembang di

lingkungan kebudayaan Islam.76

Dari keempat definisi di atas, jelaslah bahwa ilmu-ilmu Islam telah digunakan

pada beberapa arti yang sebagian dari arti tersebut lebih luas dari sebagian yang lain.

Harus disadari bahwa sesungguhnya budaya Islam merupakan sebuah budaya yang

eksklusif (unik) di antara budaya-budaya yang tersebar di seantero bumi, memiliki

ciri dan gelora tersendiri. Demi membantu kita mengenali budaya Islam sebagai

budaya yang sedemikian hebat, maka haruslah kita memperhatikan animo yang

mewarnai kebudayaan tersebut, arah gerak, serta nilai-nilai yang menonjol padanya.

Jika dalam beberapa hal di atas itu budaya Islam berbeda dengan budaya-

budaya selainnya, itu akan merupakan tanda orisinalitas budaya Islam. Tetapi

mengambil keuntungan dari budaya di sekitarnya sama sekali tidak bertentangan

dengan orisinalitas budaya Islam, bahkan mustahil suatu budaya muncul tanpa

menggunakan beberapa hal dari budaya-budaya sebelumnya. Lagipula penggunaan

itu sendiri memiliki dua cara yang berbeda: menelan sebuah budaya asing ke dalam

lingkaran kebudayaan tersebut. Atau menyerap hal-hal dari budaya lainnya, seperti

sebuah sel hidup yang menyerap zat makanan dari benda-benda di sekitarnya.

76 Murtadha Muthahhari, Pengantar Menuju Logika, (Bangil: Yapi, 1994), h. 14.

33

Page 89: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

Penyerapan yang terjadi oleh budaya Islam dari budaya Yunani, India, Persia, dan

sebagainya merupakan contoh bagi cara yang kedua tersebut.

Menurut penilaian para ahli sejarah budaya, budaya Islam merupakan salah

satu dari budaya terbesar yang pernah muncul di muka bumi. Tentunya, budaya

agung ini pertama kali dicetuskan oleh Nabi Besar Muhammad Saw di kota Madinah.

Layaknya setiap sel hidup yang berkembang, budaya itu muncul secara diam-diam

tanpa disadari oleh mereka yang berada di sekitarnya.77

Itulah penjelasan dari Muthahhari dan al-Ghazali mengenai pengenalan

terhadap berbagai disiplin ilmu Islam, yang nantinya dapat dijadikan sebagai panduan

dalam merumuskan bidang-bidang ilmu Islam yang dapat diterapkan dalam sebuah

pendidikan Islam yang ada di sekitar kita.

F. Paradigma Model Pendidikan Islam Murtadha Muthahhari

Setelah dipaparkan mengenai pokok-pokok konsep pendidikan Mutahhari

yang penulis coba identifikasikan dari seluruh karya-karya beliau, maka pada bab ini

penulis mencoba untuk menganalisis seluruh konsep-konsep pendidikan Muthahhari

tersebut dengan membuat suatu perumusan ke dalam poin-poin yang sistematis.

Setelah menyusunnya kepada beberapa poin, maka akan terlihat jelas konsep-konsep

pendidikan Muthahhari secara integral.

Konsep pendidikan Muthahhari dapat dirumuskan secara sistematis dan

integral sebagai berikut:

1. Menurut Muthahhari, bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah. Fitrah

adalah dimensi asasi dari pendidikan. Fitrah adalah sesuatu yang melekat dan

77 Murtadha Muthahhari, Pengantar Menuju Logika, (Bangil: Yapi, 1994), h. 15.

33

Page 90: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

hadir dalam diri manusia sejak diciptakannya. Ia bersifat mencari dan

mencintai kebenaran. Pendidikan pun memiliki fungsi yang sama, yaitu

menanamkan dan mengajarkan kepada manusia untuk mencari dan mencintai

kebenaran. Di sinilah titik temunya antara fitrah dan pendidikan. Pendidikan

berfungsi mengajarkan kebenaran sesuai dengan sifat dari fitrah yang selalui

cinta kebenaran. Maka, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang

berorientasi pada fitrah itu sendiri, yaitu pendidikan yang berazas pada nilai-

nilai kebenaran hakiki, yaitu nilai-nilai dari Allah SWT sebagai pencipta dari

fitrah itu sendiri. Di sinilah pendidikan Islam memainkan perannya.

Pendidikan sebagai pemberi informasi kepada manusia mengenai kebenaran.

Informasi tersebut berguna bagi manusia untuk terus mencari kebenaran,

sebagai sifat dasar dari fitrah.

2. Kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai

tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman. Kewajiban mencari

ilmu adalah kunci dari semua kewajiban. Sebab tanpa adanya ilmu, maka

kewajiban yang mesti dilakukan oleh seseorang tidak akan diketahuinya yang

dengannya tidak terpenuhi. Keadaan dunia telah berubah; kebutuhan-

kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman sekarang, tidak satu pun dari

bidang kehidupan manusia dapat sejalan dan menyesuaikan diri dengan

keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang kecuali bila disertai ilmu dan

belajar.

3. Pembagian antara “ilmu agama” dan “ilmu bukan agama” adalah tidak benar.

Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian orang,

bahwa ilmu-ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan agama”

adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan keuniversalan Islam

33

Page 91: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting dan diperlukan oleh

masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu agama.

4. Sains (ilmu pengetahuan) dan agama (keimanan) adalah dua hal yang saling

melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan, jika salah satu hilang

dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan oleh Muthahhari

—dengan mengutip hadits Nabi--sebagai “orang berilmu yang kurang ajar dan

orang bodoh yang tekun beribadah”. Sejarah telah membuktikan bahwa

pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tak bisa

diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan tanpa sains akan berakibat

fanatisisme dan kemandekan. Jika saja tak ada sains dan ilmu, maka agama,

dalam diri penganut-penganutnya yang naif, akan menjadi suatu instrumen di

tangan-tangan para “dukun cerdik”.

5. Upaya untuk memahami dan mengidentifikasi karakteristik generasi saat ini

adalah sesuatu yang penting, sebagai objek dari dunia pendidikan yang akan

hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Hal ini sangat penting dalam

merumuskan metode pendidikan yang akan diterapkan dalam sebuah lembaga

pendidikan. Karena metode lebih bersifat cara penyampaian pesan agar tujuan

dari pesan dan misi pendidikan sampai sesuai dengan yang diharapkan. Jika

pengidentifikasian objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara

tidak komprehensif maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan

sendirinya, sehingga generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan

terwujud.

6. Sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak

secara buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya

menolak perkembangan zaman. Artinya, dalam penerapannya, dunia

pendidikan tidak boleh kehilangan jati dirinya diakibatkan terlalu ingin

33

Page 92: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan tidak boleh pula terlalu

tradisionalistik dari sikap menolak seluruh perkembangan zaman yang

menurut pemahamannya tidak sesuai dengan idealisme orang yang

memandangnya. Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap seimbang,

yaitu menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang keberhasilan

pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan menimbulkan efek-

efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap menjadikan keimanan sebagai

landasan utama dalam memilih perkembangan mana yang sesuai dengan misi

dari sebuah lembaga pendidikan.

7. Ilmu yang merupakan kewajiban bagi segenap umat Islam, tidaklah terbatas

pada ilmu-ilmu agama, melainkan juga mencakup segala macam ilmu yang

menjadi syarat atas terselesaikannya setiap kebutuhan dan kepentingan

masyarakat Muslim. Hal itu lebih dikarenakan, Islam merupakan agama yang

tidak membatasi dirinya pada sejumlah petuah etis yang individual personal,

melainkan merupakan agama yang berusaha untuk membangun sebuah

masyarakat sempurna. Apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat,

Islam telah mewajibkannya.

Perlu penulis tambahkan, sehubungan dengan perkembangan zaman yang ada

pada saat ini, dan dengan menginduk kepada pendapat Muthahhari di dalam

menyikapi perubahan zaman di atas. Metode-metode pengajaran sebagai akibat dari

perubahan zaman telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Hal itu bisa

diadopsi ke dalam dunia pendidikan Indonesia sejauh metode itu bisa meningkatkan

proses belajar dari peserta didik. Selain itu, teknologi yang telah berubah pesat dapat

pula diadopsi dalam dunia pendidikan, khususnya yang menyangkut media

pengajaran yang dengan menggunakan teknologi mutakhir dapat meningkatkan

efektifitasnya. Namun, teknologi adalah suatu produk yang mesti disertai dengan

33

Page 93: Pokok-pokok Dan Analisis Konsep Pendidikan Muthahhari

35

sensor keimanan yang ada dalam diri masing-masing orang, termasuk dalam diri

peserta didik.

Dari ketujuh poin di atas, dapat dibuatkan paradigma model konsep

pendidikan Muthahhari beserta penerapannya, seperti tampak di bawah ini. Gambar

tersebut dapat memudahkan kita dalam melihat konsep pendidikan Muthahhari yang

utuh.

33