konsep baik dan buruk menurut murtadha...
TRANSCRIPT
KONSEP BAIK DAN BURUK MENURUT
MURTADHA MUTHAHHARI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama ( S.Ag )
Disusun Oleh:
Busriyadi
(11150331000034)
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019/1441 H
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
KRITERIA AKHLAK BAIK DAN BURUK MENURUT MURTADHA
MUTHAHHARI
Skripsi
Diajukan kepada Falultas Ushuluddin Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam,
Sebagai syarat memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Busriyadi
11150331000034
Dosen Pembimbing
Dr. Kusen, Ph.D
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1441 H
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Vokal Panjang
Arab Indonesia
او Au
اي Ai
Arab
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
Indonesia
A
B
T
Ts
J
ḥ
Kh
D
Dz
R
Z
S
Sy
Sh DI
Inggris
A
B
T
Th
J
ḥ
Kh
D
Dh
R
Z
S
Sh
ṣ
ḍ
Arab
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي
ة
Indonesia
Th
Zh
“
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y h
Inggris
ṭ
ẓ
”
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Arab Latin A أ I إ U ا
Arab Indonesia Ā آ
Ī إ ى
Ū ا و
Arab Indonesia
Au ال
Ai وال
v
ABSTRAK
Busriyadi
Konsep Baik dan Buruk Menurut Murtadha Muthahhari
Murtadha Muthahhari merupakan filsuf muslim adab ke-20 dengan
pemikirannya yang mengkritik pandangan para pemikir barat tentang perbuatan
manusia. Cara pandang para pemikir barat dianggap kurang tepat karena tidak
menyertakan pengetahuan teologis sebagai dasar perbuatan manusia, sehingga
dalam pengaplikasiannya, perbuatan baik tidak akan bisa abadi hingga hari ini.
Dalam penulisan ini, penulis ingin mengetahui konsep perbuatan baik dan
buruk bagi manusia secara mendalam. Dengan cara melakukan penelitian studi
pustaka dengan menguraikan, menganalisa dan mengambil hasil dengan data yang
ada baik dari referensi primer maupun referensi sekunder yang dapat menunjang
penelitian ini.
Maraknya tindakan tidak manusiawi yang sering terjadi menunjukkan
bahwa manusia kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Murtadha Muthahhari
mencoba menguraikan konsep perbuatan baik pada manusia dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, serta hal-hal yang melatar belakangi munculnya
perbuatan buruk pada manusia. Sehingga dengan mengetahui hal tersebut maka
manusia mampu memaksimalkan perbuatan baik dan meminimalisir perbuatan
buruk.
Kata Kunci: Baik, Buruk, Akhlak, Etika
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur bagi Allah SWT, atas nikmat dan
karunia yang diberikannya kepada saya sehingga saya mampu menyelesaikan
salah satu tugas penting dalam penyelesaian masa studi saya di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan baik. dengan segala proses yang cukup menguras
tenaga, waktu dan pikiran hingga akhirnya saya mampu menyelesaikanya.
Sholawat beriring salam semoga senantiasa tersampaikan kepada Rasulurrahmah
yang tiada lelahnya dalam menyampaikan kebenaran pada seluruh umat manusia
dimuka bumi ini.
Skripsi yang berjudul “Konsep Baik dan Buruk Menurut Murtadha
Muthahhari” telah selesai saya tulis untuk mendapatkan gelar sarjana agama pada
jurusan Aqidah dan Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Disamping itu penulisan skripsi ini juga merupakan medium
untuk memperdalam sebuah kajian keislaman yang bisa menjadi landasan hidup
bagi saya pribadi ataupun bagi banyak orang untuk mampu memberikan manfaat
bagi manusia lainnya seperti apa yang dicita-citakan oleh Allah dan Rasulnya
yakni, menjadi khalifah di bumi.
Tentu saja upaya penyelesaian tulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
banyak pihak di sekeliling saya yang telah rela memberikan bermacam bantuan
moril maupun materil hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik. oleh karenanya penulis ingin sekali memberikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak dibawah ini.
vii
1. Dr. Kusen, MA, selaku pembimbing penulisan skripsi saya, yang dengan
sabar dan ketelatenannya membimbing saya hingga penulisan skripsi ini
selesai
2. Seluruh dosen di Fakultas Ushuluddin, yang juga banyak membantu dalam
hal pelengkapan segala berkas-berkas persyaratan skripsi hingga sampai
saya wisudah, terutama kepada Dra. Tien Rahmatin, MA, dan ibu Banun
Binaningrum selaku ketua jurusan dan sekretaris jurusan di Aqidah dan
Filsafat Islam yang selalu memberikan arahan motivasi dan semangat
kepada saya dikala saya tidak semangat.
3. Kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Supriyadi dan ibunda
Maisarah, yang senantiasa tak pernah lupa mensupport dan mendo’akan
saya siang dan malam setiap hari. Siti Muaminah nenek saya, meski
usianya sudah cukup tua, untuk bangun dari tempat tidur pun susah, beliau
juga senantiasa selalu berdo’a untuk kesuksesan saya. Mereka meletakkan
seluruh harapan besarnya kepada saya selaku anak pertama dari dua
bersaudara. Meski harapan itu tak beliau sebutkan seperti apa, namun saya
bisa menangkap dari tutur katanya setiap kali beliau menelpon saya, dari
mulai menanyakan sudah makan atau belum, sudah sholat atau belum
hingga mewanti-wanti untuk selalu tekun belajar dan berbuat baik kepada
orang lain. Salah satu kata ibunda yang selalu saya ingat dalam benak
saya dan menjadi penyulut semangat belajar saya dikala saya patah
semangat “nak belajar yang rajin yah biar jadi orang pintar dan bisa
diandalkan”. Ayah dan ibu akan senang kalo kamu jadi orang besar kelak.
viii
4. Kepada seluruh keluargaku terimakasih banyak atas segala motivasi,
harapan, dan semangatnya hingga saya mampu menyelesaikan tugas akhir
ini. Paman Ainor Hasyim, paman Matsani, Dedi, Joni, Heriyanto dan
seluruh sanak keluarga lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya
satu persatu, semoga Allah SWT, membalas semua kebaikan mereka.
5. Kepada seluruh masyarakat di kampung (Desa Masakambing) terutama
pada guru-guru saya yang telah mendidik saya sejak kecil, Ahmad Abbas,
Mahdar, H. Shaleh Mahri, Subhan Saleh, Taufik Ilahi, Abdul Jali, Ust.
Ridwan, Tasur, Satra, Badra. yang selalu menanyakan tentang masa
penyelesaian penulisan skripsi saya setiap saya pulang kekampung,
sehingga membuat motivasi tersendiri dalam diri saya untuk selalu
semangat dalam menyelesaikan tugas akhir.
6. Kepada pimpinan dan pengasuh pondok pesantren Al-Amin Prenduan,
KH. Dr. Ahmad Fauzi Tidjani, MA., KH. Dr. Ghozi Mubarok Idris, MA.,
KH. Moh Zainullah Rois, Lc, dan segenap jajaran kiyai yang tidak bisa
saya sebut namanya satu persatu semoga senantiasa berada dalam
lindungan Allah Swt.
7. Para sahabat saya, Ari Kriting, Ades Purwanto, Yunus, Sambusl Bahri,
Kurniawan, Mulyandi, Patiroy, Munip akbar, Zaldi. sahabat satu kos saya
yang selalu memberikan saya semangat dan motivasi selama penulisan
skripisi ini.
8. Para sahabat saya di organisasi GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia) bung Firan, bung Zein, bung Ahmad Fachri, bung Sadam, bung
ix
Umar, bung Zola dan lain-lain yang juga tidak bisa saya sebutkan
namanya satu persatu.
9. Kepada seluruh teman seangkatan saya di jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2015 terimakasih atas
dukungannya semoga kita semua dapat diberikan kemudahan dalam segala
urusan yang kita kerjakan.
10. Kepada seluruh teman satu daerah Sumenep yang tergabung dalam Ikatan
Mahasiswa Sumenep Jakarta, yang juga tidak bisa saya sebutkan namanya
satu persatu, terimakasih atas segala dukungannya selama ini.
11. Kepada para senior saya, Alamsyah dan Muhammad Fadhail, yang tidak
pernah bosan-bosan untuk memberi pencerahan dan mengingatkan saya
ketika saya terlarut dalam situasi yang tidak produktif.
12. Kepada seluruh para alumni pondok pesantren Al-Amin Prenduan yang
ada di Jakarta terutama kepada Hasbullah yang juga merupakan senior
saya.
Akhirnya penulis berdo’a dan berharap, semoga karya ini dapat
diridhoi oleh Allah Swt dan bisa bermanfaat untuk kepentingan orang
banyak. Sehingga saya selalu diberikan rahmat dan hidayahnya untuk
senantiasa membuat karya-karya yang lebih banyak guna bermanfaat
untuk Negara dan agama.
Selanjutnya kritikan dan saran yang konstruktif senantiasa penulis
harapkan demi kesempurnaan karya ini. Terimakasih dan mohon maaf atas
segala kekurangan.
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 5
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 6
E. Metode Penelitian .................................................................................. 6
F. Sistematika Penulisan ............................................................................ 7
BAB II BIOGRAFI MURTADHA MUTHAHHARI
A. Riwayat Hidup..................................................................................... 10
B. Latar Belakang Intelektual .................................................................. 12
C. Karya-Karya ........................................................................................ 16
D. Pokok-pokok Pemikirannya ................................................................ 18
BAB III FILSAFAT AKHLAK MENURUT PARA FILSUF
A. Pengertian Filsafat Akhlak Secara Umum .......................................... 25
B. Filsafat Akhlak Menurut Al-Kindi ...................................................... 32
C. Filsafat Akhlak Menurut Ar-Razi ....................................................... 35
D. Filsafat Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih .......................................... 38
BAB IV KONSEP BAIK DAN BURUK MENURUT MURTADHA
MUTHAHHARI
A. Pengertian Kebaikan ........................................................................... 43
B. Latar Belakang Tindakan Kebaikan .................................................... 48
C. Pengertian Keburukan ......................................................................... 53
D. Latar Belakang Tindakan Keburukan ................................................. 58
E. Kebaikan dan Keburukan itu Pilihan atau Takdir ............................... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 71
B. Saran .................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rene Descartes menyebut bahwa filsafat merupakan kumpulan segala
pengetahuan, dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok pembahasannya1.
Filsafat mencoba untuk memahami segala realitas yang ada, sehingga objeknya
mencakup segala yang ada termasuk juga manusia. Berpikir secara filosofis dapat
diartikan sebagai upaya berpikir yang sangat mendalam sampai pada akar
persoalannya, atau secara holistik.
Ketika filsafat menggunakan manusia sebagai objek kajiannya, maka filsafat
akan mengkaji seluk beluk manusia secara mendalam baik dari unsur dan fungsi
hidupnya. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan salah satu tokoh muslim Murtadha
Muthahhari dalam kajiannya tentang manusia dari sisi perbuatan baik dan buruk pada
manusia.
Dalam diri manusia kita mengetahui bahwa terdapat dua jenis perbuatan
yakni, perbuatan akhlaki (baik) dan perbuatan alami. Sehingga dirasa perlu adanya
kajian yang mendalam terkait dengan dua jenis perbuatan tersebut. Sehingga manusia
dalam kehidupannya mampu memahami suatu perbuatan yang memiliki nilai-nilai
tinggi. Supaya manusia mampu memaksimalkan potensi kebaikan yang ada dalam
1 Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta; RAJAWALI PERS, 2010), h. 3
2
dirinya untuk mencapai manusia yang sempurna sebagaimana yang dikehendaki oleh
Allah Swt.
Setelah nanti manusia mengetahui bahwa terdapat sejumlah perbuatan
manusia yang dianggap memiliki nilai yang tinggi dan tidak bisa dibandingkan
dengan materi. Maka akan berlanjut pada persoalan selanjutnya yakni, dengan alasan
apa manusia harus meyakini bahwa memang benar adanya bahwa suatu perbuatan
manusia mempunyai nilai yang tidak bisa dibandingkan dengan materi atau barang?,
dan dengan cara apa manusia mendapatkan pembuktian untuk mencapai adanya
kebenaran nilai itu?.
Meskipun secara sepintas persoalan tersebut terlihat sangat mudah untuk
dijawab, namun pada kenyataannya amat sulit, dibuktikan dengan adanya sejumlah
tokoh muslim maupun barat yang belum menemukan titik kesepakatan mengenai
persoalan tersebut dan beberapa dari mereka mempunyai pandangan yang berbeda.
Sudah beribu-beribu tahun lamanya para tokoh filosof muslim maupun barat tidak
kunjung menemukan titik sepakat yang sama terkait masalah tersebut. kiranya dirasa
perlu untuk menghadirkan pemikiran dari salah satu sosok filosof muslim yan cukup
familiar didunia Islam yaitu, Murtadha Muthahhari, kita tahu beliau mempunyai
perhatian khusus tentang kajian manusia. Kita lihat dari sejumlah karya imiahnya
yang tidak sedikit dia berbicara persoalan manusia dari semua sisi. Yang diharapkan
dalam hal ini mampu memberikan pemahaman yang rasional secara keseluruhan
dalam persoalan perbuatan manusia.
3
Allah Swt menciptakan manusia pada hakikatnya untuk saling berbuat
kebaikan kepada sesamanya. Hal tersebut tertuang dalam kitab Al-Qur’an.
المحسنين يحب الله إن وأحسنوا أيديكم إلى الت هلكةوأنفقوا في سبيل الله ول ت لقوا ب
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah SWT, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan. Dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-
Baqarah; 195).
Bahwa Allah Swt sangat menganjurkan kepada hambanya untuk selalu
berbuat baik kepada sesama manusia. Kita menganggap bahwa dibalik larangan dan
perintah Allah Swt, pasti mempunyai sebab musabab. Manusia sebagai objek dari
perintah dan larangan tersebut dalam kitabnya itu, tentu manusia ingin mengetahui
lebih dalam sebab musabab daripada perintah dan larangan Allah Swt. Sehingga
dalam prakteknya muncul beberapa pandangan diantara para tokoh muslim maupun
barat terkait dengan perbuatan manusia. berbagai pandangan yang berbeda muncul
karena sebab dilatari oleh tidak adanya keterangan spesifik dalam Al-Quran
mengenai perbuatan baik.
Dengan teori materialistisnya, Betrand Russel memandang manusia hanya
sebagai wujud materi, dan dia meyakini bahwa perbuatan manusia yang ditujukan
untuk kebaikan orang lain hanyalah kemustahilan semata2 alias tidak akan pernah
terjadi. Pada hakikatnya manusia melakukan sebuah perbuatan yang tujuannya hanya
2 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 36
4
untuk kepentingan dirinya sendiri. Dasar cinta terhadap orang lain sehingga manusia
rela melakukan sesuatu demi kepentingan manusia lainnya hanya ada dalam cerita
fiksi dan tidak pada realitas kehidupan manusia yang nyata
Immanuel Kant juga membuka pandangannya terkait dengan adanya
perbuatan baik, dia menyebut bahwa kriteria perbuatan baik itu adalah kewajiban
intuitif3. Kant berkeyakinan bahwa adanya perbuatan baik tidak bisa dibuktikan
melalui argumentasi akal murni, namun hal tersebut hanya bisa didapat melalui
dorongan intuitif. Adanya larangan dan perintah untuk melakukan perbuatan
merupakan dorongan intuisi. Misalnya larangan menyakiti orang lain dan perintah
untuk mencintai orang lain. Semuanya terdapat pada intuisi manusia secara fitrah.
Lebih dalam Immanuel Kant menyebut bahwa segala jenis perbuatan manusia yang
didasarkan pada kepatuhan instuisinya dan tidak mempunyai tujuan apapun, maka
perbuatan tersebut dikatakan perbuatan baik. sehingga ketika manusia dihadapkan
pada sebuah pertanyaan bahwa kenapa manusia melakukan perbuatan baik? Manusia
tersebut akan menjawab, aku melakukannya karena perintah intuisiku.
Namun pandangan tersebut dianggap tidak mampu memberikan argumetasi
filosofis yang mampu menggiring manusia cenderung untuk melakukan perbuatan
baik sesuai dengan tuntutan akal pikirannya. Bagaimana mungkin manusia bisa
mampu memantapkan hatinya untuk melakukan perbuatan yang diangap baik jikalau
tidak mempunyai alasan argumentatif yang logis. Karena pada hakikatnya, idealnya
suatu perbuatan manusia apabila dilandasi dengan suatu alasan dan tujuan yang jelas.
3 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, (Jakarta, Rausyan Fikr, 2014), h. 28
5
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan berbagai permasalahan diatas ada kiranya penulis membatasi
permasalahan yang ada, dalam hal ini peneliti berfokus kepada pemikiran Murthada
Muthahhari tentang Kriteria akhlak baik dan buruk. Dalam hal merumuskan masalah,
penulis menggunakan sebuah kalimat dalam bentuk pertanyaan, karena pada
hakikatnya masalah adalah sebuah pertanyaan yang mengandung problem.
Sedangkan setiap problem membutuhkan adanya pemecahan atau jawaban lebih
lanjut. Dan berdasarkan latar belakang dari pemikiran diatas, maka permasalahan
diatas yang berkaitan dengan judul maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep baik dan buruk menurut Murtadha Muthahhari?
2. Apa yang dimaksud perbuatan baik dan buruk menurut Murtadha
Muthahhari?
Dengan dua rumusan di atas itulah yang akan menjadi esensi masalah yang
akan di bahas dalam penulisan skripsi dibawah ini.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun Tujuan dan Manfaat Penelitian dalam sebuah karya Ilmiah ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep baik dan buruk menurut Murtadha Mutahhari
2. Diharapkan bisa menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya terkait pemikiran
Murtadha Muthahhari.
6
D. Tinjauan Pustaka
Adapun sumber-sumber yang di gunakan penulis untuk menyusun skripsi ini
adalah melalui library reseach atau literer. Sumber atau karya ilmiah skipsi yang
belum digunakan antara lain:
Ifah Nabilah Zahidah, Konsep Pendidikan Menurut Murthada Muthahhari
(Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) skripsi ini membahas tentang
Konsep Pendidikan Menurut Murthada Muthahhari.
Ilham, Konsep Tauhid dalam Perspektif Murthada Muthahhari (Skripsi: UIN
Syarif Hidayatullaj Jakarta, 2012) skripsi ini membahas tentang Konsep Tauhid
dalam Perspektif Murthada Muthahhari.
Muniroh, Konsep Fitrah Murthada Muthahhari, (Skripsi: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012) skripsi ini membahas tentang Konsep Tauhid dalam
Perspektif Murthada Muthahhari.
Siska Wulandari, Konsep Manusia dan Implementasinya dalam Perumusan
Tujuan Pendidikan Islam Menurut Murthada Muthahari (Skripsi: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014) sikripsi ini Konsep Manusia dan Implementasinya dalam
Perumusan Tujuan Pendidikan Islam Menurut Murthada Muthahari
E. Metode Penelitian
Metode penelitian pada skripsi ini yaitu :
1. Metode Pengumpulan Data
7
Dalam hal mengumpulkan data-data sebagai bahan dalam sebuah
pembahasan skripsi, penulis mencari dari beberapa buku yang ada
hubungannya dengan pembahasan skripsi ini.
2. Metode Analisis Data
Dalam hal menganalisis data penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu
dengan cara mengemukakan atau menggambarkan sebuah pemikiran yang telah
ada atau menjelaskan bagaimana adanya dari sebuah pemikiran itu. Untuk
mendapatkan gambaran dan kesimpulan yang jelas, dalam menganalisis, penulis
menggunakan sebuah metode deskriptif, yaitu dengan menggambarkan atau
(mendeskripsikan) dari pemikiran tokoh tersebut dengan apa adanya. Di samping
metode di atas penulis juga mnggunakan induksi dan juga deduksi, induksi yaitu
mengandung pengertian mengambil data-data yang bersifat khusus kemudian di
analisis dengan maksud mendapatkan kesimpulan secara umum. Sedangkan
pengertian dari deduksi yaitu mengambil data-data yang bersifat umum kemudian
di analisis dengan maksud untuk mendapatkan suatu kesimpulan secara khusus.
F. Sistematika Penulisan
Sistematisasi yang dilakukan penulis dalam skripsi ini sesuai dengan
penulisan. Tulisan ini akan dimulai dari Bab Pertama yaitu, penulis menguraikan latar
belakang yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini. Bab ini juga mengemukakan
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab ini penting untuk
mengurai secara umum keseluruhan isi tulisan. Pembahasan umum diperlukan agar
8
tercipta pengetahuan yang utuh mengenai keterkaitan satu bagian dengan bagian lain
di dalam tulisan ini.
Bab kedua, dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang biografi Murtadha
Muthahhari. Mulai dari latar belakang geneologi, latar belakang intelektual, karya-
karyanya dan pokok-pokok pemikirannya. Bab ini penting dikaji untuk mengetahui
konteks kehidupan Murtadha Muthahhari, dan mendapatkan ide-ide pembaharuan
dalam pemikirannya.
Bab ketiga, dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang filsafat akhlak
menurut para filsuf, filsafat akhlak menurut Al-Kindi, filsafat akhlak menurut Ar-
Razi, dan filsafat akhlak menurut Ibnu Miskawaih. Bab ini penting untuk dikaji
karena untuk mengetahui dasar-dasar judul yang penulis buat.
Bab keempat, bab ini merupakan topik utama yang menjadi pembahasan
dalam skripsi ini, yaitu pendapat Murtadha Muthahhari tentang konsep baik dan
buruk, pendapat Murtadha Mutahhari tentang pengertian kebaikan, pendapat
Murtadha Mutahhari tentang latar belakang timbulnya kebaikan, pendapat Murtadha
Mutahhari tentang pengertian keburukan, pendapat Murtadha Mutahhari tentang latar
belakang timbulnya keburukan, pendapat Murtadha Mutahhari tentang kebaikan dan
keburukan itu pilihan atau taqdir. Hal ini penting dikaji, karena bab ini merupakan
jawaban dari batasan dan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Sehingga,
kita mengetahui apa analisa dari konsep dari konsep baik dan buruk dalam pandangan
Murtadha Muthahhari.
9
Skripsi ini akan ditutup dengan Bab kelima, yaitu bab penutup. Pada bab ini,
penulis akan memaparkan kesimpulan dan saran
10
BAB II
BIOGRAFI MURTHADA MUTHAHHARI
A. Riwayat Hidup
Murthadha Muthahhari di lahirkan di Fariman yakni sebuah kota di Praja
yang terletak 60 km dari Marsyad, Iran Timur, pada tanggal 2 Februari 1919.
Murthadha Muthahhari di lahirkan dilingkungan pusat pendidikan terkemuka kaum
Syiria1. Nama ayahnya Muhammad Husein Muthahhari yang merupakan ulama
ternama di daerahnya. Keluarganya adalah pecinta mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah
Ushuliyah.
Dari kecil Muthahhari dibesarkan oleh ayahnya, hingga usia dua belas tahun.
Sedari kecil Muthahari mulai belajar ilmu agama di sebuah Madrasah Fariman yang
mana sebuah madrasah yang terbilang konu kala itu. Kefasihan membaca dan
menulis surat-surat Al-Quran membuatnya banyak mengetahui sastra-sastra Arab.
Murthada Muthahhari menikah dengan putri Ayatullah Ruhani di Teheran.
seketika itulah murthada Muthahhri mulai berkecimpung dalam bidang pendidikan. ia
mulai mengajar filsafat di madrasah-yi Marvi dan di universitas Teheran yang
merupakan salah satu pusat lembaga pengetahuan keagamaan terkemuka di ibu kota.
dari sini, kualitas keilmuan Muthahhari mulai diketahui banyak orang
1Haidar Baqir, Murthada Muthahhari Sang Mujahid Sang Mujtahid, (Bandung; Yayasan
Muthahhari, 1993), h. 25
11
Ditengah kesibukannya dalam mengajar di perguruan tinggi, dia juga
disibukkan dengan aktivitas politiknya, dia mulai aktif di beberapa organisasi
kemasyarakatan dan organisasi politik. Dia melakukan tindakan reaksioner bersama
Ayatullah Khomaini melawan rezim Pahlevi yang dianggap rezim yang zolim2.
Konsekuensi dari sikapnya tersebut membuatnya dipenjara bersama Ayatullah
khumaini pada tahun 1963. Ketika Ayatullah khumaini di deportasi ke Turki,
Murthada Muthahhari berinisatif menggantikan posisi Ayatullah khumaini menjadi
lokomotif gerakan perjuangannya bersama para ulama mujahid, Murthada
Muthahhari tidak pernah absen dalam perjuangannya tersebut, ia selalu berada di
barisan garda terdepan menentang rezim Pahlevi, hingga akhirnya mengalami puncak
politiknya yang lebih luas.
Tahun 1979 Murthada Muthahhari di angkat sebagai ketua dewan revolusi
Islam3. Hingga berhasil mencapai puncak kemenagannya pada tanggal 11 Februari
1979. Ternyata dibalik sebuah kemenangannya ada duka yang yang mendalam, dalam
memperjuangkan prinsip-prinsip Islam dengan kebenaran serta keadilan harus ditebus
dengan nyawanya, Murthada Muthahhari ditembak oleh pasukan ekstream furqan
hingga membuatnya meninggal dunia pada tanggal 19 Mei 1979. Murthada
Muthahhari meninggalkan Jasa-jasanya yang besar bagi tegaknya Islam yang
berprinsip kebenaran dan berkeadilan. Dia merupakan figur teladan yang akan
2 Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Terj. Ibrahim (Jakarta; Pustaka Zahra, 2003), h.
xxi 3 Syafi’I, Teologi Syi’ah Murthada Muthahhari, (Semarang; Rasail, 2004), h. 61
12
senantiasa di kenang oleh regenerasi Islam selanjutnya dalam memperjuangkan
prinsip-prinsip Islam di masa yang akan datang.
B. Latar Belakang Intelektual
Murthada Muthahhari memulai pendidikan pertamanya di Madrasah Fariman,
yaitu sebuah madrasah yang dikenal kuno dan bercorak tradisional. Disitu ia
diajarkan membaca dan menulis surat-surat Al-Quran dan diajarkan llmu sastra Arab.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di usianya yang ke-12 tahun, Murthada
muthahhari kemudian memilih hijrah ke kota Masyad yang mana kota tersebut
merupakan pusat lembaga pendidikan formal yang terkemuka. Disana ia kemudian
melanjutkan pendidikan formalnya, disana ia juga diajarkan oleh guru-guru yang ahli
dalam bidang ilmu tertentu. Sejak Di Marsyad Muthahhari mempunyai ketertarikan
penuh terhadap beberapa bidang ilmu keagamaan, diantaranya adalah filsafat, teologi
dan tasawuf. Berawal dari ketertarikan itulah Muthahhari dengan sungguh-sungguh
mendalami beberapa bidang ilmu tersebut. Dalam kesungguhannya memperdalam
bidang ilmu filsafat, teologi dan tasawuf, membentuk cara pandang Murthada
Muthahhari dalam melihat segala sesuatu.
Hingga pada tahun 1936 Murthada Mutahhari meninggalkan Masyad dan
pergi ke Qum hingga menetap disana, dengan kemantapan hatinya untuk menetap
tinggal di Qum tidak sia-sia, ia masuk perguruan tinggi atau universitas di Qum, guna
memperdalam berbagai bidang ilmu keagamaan atau pun ilmu pengetahuan modern.
Di Qum ia mendapatkan guru yang sangat otoritatif dalam bidangnya. Murthada
13
Muthahhari belajar llmu filsafat kepada Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah
Khumaini (1902-1989 M). selain kepada kedua gurunya tersebut, Muthahhari juga
belajar filsafat kepada Ayatullah Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I (1892-
1991 M)4.
Haidar Baqir menyebut dalam karyanya bahwa pemikiran filsafat Murthada
Muthahhari banyak dipengaruhi oleh gurunya yakni Thabathaba’i, karena sebagian
materi-materi filsafat yang sering diajarkan oleh Thabathaba’I kepada muthahhari
adalah menegenai filsafat materialisme dan filsafat Ibnu Sina dalam kitab Al-syifa.
Muthahhari dengan ketekunan dan kekonsistenannya ia mampu menguasai sejumlah
yang diajarkan oleh guru-gurunya. Sehingga berkat daripada ke tekunannya
Muthahhari menguasai bidang keilmuan timur dan barat sekaligus.
Dengan kapasitas keilmuannya yang luar biasa ia tidak meimliki sedikitpun
kepuasan dalam dirinya untuk terus mencari dan mencari ilmu pengetahuan di
Negara-negara lain. Tahun 1941 Muthahhari bertekad meninggalkan Qum pergi
menuju Isfahan. Disana ia belajar Nahl al-balaghah dengan salah seorang guru yang
mempunyai otoritas dari naskah Syi’ah yang sangat terkenal, Yakni Hajj Ali Aqa
Shirazi Isfahani. Setelah genap satu tahun Muthahhari belajar Nahl al-balaghah
kepada gurunya tersebut, ia sudah cukup mampu membaca sebuah naskah filosofis,
yaitu Manzumah karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomaini.
4 Jalaluddin Rahmat, “Kata Pengantar”, dalam Murthada Muthahhari, Perspektif Al-Quran
Tentang Manusia dan Agama, (Bandung; Mizan,1992), h. 8
14
Berbagai literasi ia baca guna untuk memperluas cakrawala pengetahuannya
tentang berbagai ilmu pengetahuan modern maupun agama, tahun 1946 ia mulai
menyentuh dan mempelajari buku-buku terjemahan Persia literature Marxis yang
diterbitkan oleh partai Tudeh, salah satu partai besar yang berkiblat kepada ajaran
Marxis dan juga merupakan poros besar gerakan politik di Iran. Selain literasi tentang
Marxis Muthahhari juga membaca karya-karya Taqi Arani, ia seorang terkemuka di
partai Tude yang mana gagasannya tidak pernah terabaikan oleh seluruh kader partai
Tude.
Dengan upaya kerja keras dan keingin tahuanya yang tinggi, berbagai
kesulitan dalam memahami berbagai literasi-literasi, Muthahhari mampu mengetahui
berbagai istilah-istilah filsafat modern yang sebelumnya ia sangat kesulitan untuk
memahaminya. Berkat upayanya, akhirnya ia mampu menguasai filsafat materialis
dan mampu menyelesaikan persoalan penolakan karena ketidak cocokan kaum
agamis dan paham Marxis di Iran dan ditempat lainnya5.
Murthada Muthahhari sangat rajin dalam mengikuti berbagai macam
kelompok-kelompok diskusi, diantaranya adalah diskusi kamis Allamah Thabathaba’I
tentang filsafat materialis, dari diskusi tersebut menghasilkan sebuah karya lima jilid
buku Ushul-e Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-Prinsip Filsafat dan Metode
realistic). Pengetahuan bidang ilmu filsafat Muthahhari semakin luas dan mendalam
sehingga pada tahun 1954 ia memilih untuk menjadi tenaga pendidik di Teheran
5 Hamid Algar, “Hidup dan Karya Murthada Muthahhari,” Dalam Haidar baqir (Penyunting),
Murthada Muthahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid, (Bandung; Yayasan Mutahhari, 1988,), h. 32-33
15
University, di Fakultas Teologi. Ditengah kesibukannya dalam menjadi tenaga didik
Muthahhari juga aktif didalam organisasi masyarakat Anjoman-eye dini, dan
menerbitkan majalah bulanan Goftar-eMah.
Dengan keotoritasannya dalam ilmu tentang keislaman dan ilmu pengetahuan
modern serta sikap ideologisnya yang non kompromis terhadap ideoloiginya
menjadikannya sebagai sosok ideologi yang tangguh. Ketiga perpaduan tersebut
membuatnya semakin dikenal oleh banyak orang.
Pada usia yang bisa dibilang cukup muda ia sudah menjadi pengajar ilmu
logika, filsafat, dan Fiqih di Kampus Teheran. Namun dari sejumlah bidang ilmu
yang ia ajarkan dikampus, ilmu filsafat atau ilmu rasional menjadi ilmu lebih
dominan bagi dirinya, menurutnya filsafat tidak hanya sekedar polemik atau disiplin
intelektual belaka, namun filsafat juga merupakan suatu pola dari religiusitas dan
suatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam yang sesungguhnya. Dia juga
menjabar sebagai ketua jurusan ilmu filsafat6.
Pada abad ke-20 Murthada Muthahhari menjadi ilmuan muslim yang terkenal.
Kehadirannya mempunyai peran yang sangat besar dalam kemajuan ilmu
pengetahuan baik dalam ilmu Islam ataupun ilmu pengetahuan modern. Visi
akademisnya adalah ingin merestorasi tradisi keilmiyahan yang dulu mampu
6 Hamid Algar, “Hidup dan Karya Murthada Muthahhari”, h. 30
16
membuat Islam maju dalam bidang Ilmu pengetahuannya. Murthada Muthahari
adalah ulama yang ingin melakukan perbaikan dan menyelamatkan Islam7.
C. Karya-Karya
Murthada Muthahhari merupakan seorang ulama yang memiliki sikap amar
yang aktif dan perjuangan yang dinamik serta menjadikan kefasadan dan kejahatan
terusik. Dia adalah ulama intlektualis. Muthahhari terkenal sebagai tokoh yang tidak
hanya sekedar menguasai bidang ilmu keislaman saja akan tetapi juga merupakan
sosok pejuang hebat peduli terhadap tegaknya prinsip-prinsip Islam yang benar dan
berkeadilan.
Selain itu juga Muthahhari mempunyai ciri khas tersendiri dalam
pemikirannya. Murtadha Muthahhari sering sekali dalam memadukan sejarah suatu
permasalahan masa lalu maupun modern, sehingga senantiasa melahirkan sebuah
sintesa baru yang ditinjau dari aspek kebaikan dan kemudharatan. Hal demikian
karena Murthada Muthhari mengedepankan pendekatan pengatehuan berbasis
rasionalitas yang berujung pada pencapaian pengetahuan teoritis. Dengan kata lain
Murthada Muthahhari mengukuhkan pemikiran Islam dengan cara mengkritisi sejarah
tekstual suatu permasalahan dan mengadukan sebuah jawaban yang disandarkan pada
Al-Quran.
Murthada Muthahari mempunyai beragam karya-karya Ilmiyah, yang mana
karya-karya tersebut sangat mempermudah bagi kaum kita untuk mengetahui dan
7 Murthada Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme, Terj. Akmal Kamil (Jakarta;
Al-Huda, 2001), h. 9
17
memahami pemikiran Murthada Muthahhari dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Sampai saat ini pemikirannya masih relevan untuk menjadi acuan
dalam memandang segala aspek persoalan hidup di era ini.
Berikut karya-karya Murthada Muthahhari :
1. Mas’ala-Yi Hijab (Masalah Hijab)
2. Muqaddima Bar Jahanbini-Yi Islami (Mukaddimah Pandangan Dunia
Islam)
3. Adl-i Illahi (keadilan Ilahi)
4. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama Membahas tiga
persoalan pokok manusia dan keimanan dan manusia menurut al-Qur’an,
manusia dan taqdirnya8.
5. Man and Universe yang membahas problematika antara manusia dan
binatang, filosofis, logis, yang merujuk pada Al-Quran.
6. Foundamintals of Islamic thought God yang membahas tentang Tuhan,
manusia, alam semesta, filsafat dan tauhid.
7. Gold Of Life Buku yang dikumpulkan dari ceramahnya ketika
membicarakan tentang Islam. Didalamnya membahas tentang sosial,
agama, mazhab, dunia Islam serta tauhid.
8. Nizam-I Huquqi Zandar Islam (Sistem Hak-Hak Wanita Dalam Islam)
8 Murthada Muthahhari, Filsafat Hikmah. Terj. Akmal Kamil (Jakarta; Islamic Center Jakarta
al-huda, 2001), h. 41
18
9. Introduction of Kalam membahas dasar-dasar pokok aqidah, pemahaman
teologi.
10. Ashna’I Ba’ulum-I Islami (Pengantar Keilmuan Islam)
D. Pokok-Pokok Pemikirannya
Murthada Muthahari dalam beragam karya tulisnya membahas banyak
bidang ilmu pengetahuan dari mulai persoalan sosial, politik, akhlak, filsafat, dan
banyak lagi bidang ilmu lainnya. Ini menandakan bahwa Murthada Muthahhari
adalah seorang yang sangat intelektualis dan menguasai banyak bidang ilmu
pengetahuan. Diantara beberapa karya tulisnya yang cukup familiar ialah;
1. Manusia sempurna
Manusia sempurna menurut Murthada Muthahhari adalah manusia
yang mengembangkan semua kualitas potensi yang ada dalam dirinya secara
seimbang. Kualitas itu seperti intelektual, cinta kasih, kejujuran, keberanian,
spiritual dan kreatifitas. Semua kualitas itu harus dimaksimalkan secara
seimbang. manusia tidak cukup hanya dengan mengembangkan intelektualnya
saja dan mengabaikan kejujuran. Murthada muthahhari mengkritik kelompok
yang hanya memaksimalkan akal pikiran saja, namun ia mengabaikan
spritualitas dalam dirinya, begitu juga sebaliknya. Menurutnya manusia
sempurna itu menggunakan kualitas didalam dirinya secara proporsional
dalam artian digunakan untuk kebaikan dan bukan malah sebaliknya9.
9 Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, (Yogyakarta; Rausyanfikr, 2012), h.
xiv
19
Mengetahui ciri-ciri manusia sempurna yang dijelaskan oleh Murthada
Muthahhari sangat penting bagi kita sebagai manusia yang masih jauh dari
kata sempurna, sehingga memunculkan keinginan untuk meniru atau
meneladani manusia yang menurut kriteria Murthada Muthahhari termasuk
manusia sempurna. Dalam pengertian manusia sempurna, Muthahhari
mengacu pada definisi yang di kemukakan oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
Yakni, muslim yang sempurna ialah orang yang mencapai kesempurnaan
dalam Islam, sedangkan mu’min yang sempurna ialah orang yang mencapai
kesempurnaan dalam keimanannya.
Setiap makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT mempunyai tingkat
kesempurnaan yang berbeda-beda, misalnya Allah menciptakan malaikat
dengan akal suci dan pikiraan murni tanpa unsur duniawi seperti hawa nafsu,
emosi, ambisi dan sejenisnya. Sedang kan binatang diciptakan hanya dengan
unsur duniawi saja tanpa unsur keilahian. Dan manusia mempunyai keduanya,
manusia diciptakan dengan unsur ilahi dan unsur duniawi. Karena itu manusia
mempunyai kebebasan untuk memilih atau menentukan nasibnya sendiri di
dunia dan di akhirat. Termasuk juga manusia pantas mendapatkan hukuman
atas perbuatannya, sedangkan malaikat dan binatang keduanya tidak
dikenakan hukuman tersebut karena keduanya tak mampu menentukan piliha
hidupnya10
.
Manusia merupakan makhluk yang diberi kebebasan penuh oleh Allah
SWT untuk menentukan pilihan, karena kebebasan yang ia miliki, maka
10
Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, h. 11
20
manusia dikenakan hukuman atas konsekuensi pilihannya. Sebagaimana salah
satu puisi yang ditulis oleh salah seorang penyair terkemuka yang bernama
Maulawi, puisinya sebagai berikut;
“Suatu riwayat mengatakan bahwa Allah Taala menciptakan tiga golongan
makhluk; golongan pertama adalah Malaikat, yang punya akal, pengetahuan
dan kebebasan suci, dan hanya mengenal sujud. Mereka tak punya unsur
serakah dan nafsu. Semata-mata cahaya, hidup dengan cinta Tuhan. Grup
satunya sama sekali tanpa pengetahuan, dan digemukkan bagai hewan
dipadang. Mereka tak melihat lain keculi kandang dan rumput dan mengenal
kekejian maupun harus kemuliaan. Kelompok ketiga adalah manusia, yang
setengah malaikat dan setengah keledai, setengahnya lagi cenderung kepada
yang luhur. Orang harus melihat paruhan mana yang menang dan yang mana
yang menaklukkan”.
2. Fitrah
Murthada Muthahhari membuka pandangannya tentang fitrah.
Menurutnya, didalam diri manusia terdapat dua unsur yang berbeda yaitu roh
dan jasad atau materialis dan spritualis. Pandangan pertama menyebut bahwa
roh bersifat kekal dan tidak akan binasa bersama musnahnya jasad. Sedangkan
pandangan kedua menyebut roh hanya sebagai mesin jasad yang akan musnah
bersamaan dengan matinya jasad. Namun kedua pendapat tersebut bersepakat
kalau dalam diri manusia terdapat satu unsur yang sangat penting yaitu akal.
Keniscayaan akal pada manusia menjadikan manusia lebih sempurna dari
pada makhluk lainnya, karena akal manusia memiliki kebebasan untuk
memilih nasibnya sendiri11
.
Dalam hal ini sang penyair mengutarakan pendapatnya tentang
manusia;
11
Murthada Muthahhari, Fitrah, (Jakarta; Penerbit Lentera, 1998), h. 32
21
“Jasad manusia dimuliyakan jiwanya,
dan baju bagus ini bukan tanda kemanusiaan,
bila manusia dikenal melalui mata, hidung, mulut dan telinga,
apa beda gambar dinding dengan manus?”
Dikalangan pemikir muslim ataupun barat mengalami perbedaan
pendapat tentang teori pengetahuan fitrah manusia. Salah satu pendapat
mengatakan bahwa didalam diri manusia sudah terdapat pengetahuan fitrah,
yang mana sebelum manusia dilahirkan atau sebelum ruh disatukan dengan
jasad roh berada di alam idea dan sudah mengetahui banyak hal, sehingga
ketika roh disatukan dengan jasad muncullah semacam penghalang diantara
keduanya, sehingga membuatnya menjadi lupa12
. ketika manusia dilahirkan
kedunia hanya perlu mengulang dan mengingat pengetahuan-pengetahuan
yang pernah ia ketahui. Anak kecil butuh seorang guru untuk membantu
mengingat pengetahuan-pengetahuan yang sudah ia ketahui, membutuhkan
sistem yang membedakan besar dan kecil, perlu membuat analogi, menempuh
pengalaman dan lain sebagainya.
Namun teori diatas bertolak belakang dengan para filsuf Inggris
seperti, Jhon Lock, David Hume, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa
lembaran-lembaran dalam diri manusia pada mulanya kosong dari suatu
pengetahuan, kemudian manusia bertemu dengan segala sesuatu
mempelajarinya. Kesimpulannya teori ini meyakini bahwa pengetahuan
manusia diperoleh melalui pengalaman inderawi13
.
12
Murthada Muthahhari, Fitrah, h. 33 13
Murthada Muthahhari, Fitrah, h. 33
22
3. Keadilan
Menurut Murthada Muthahari keadilan bukanlah merupakan bentuk
keseimbangan yang diukur dengan ukuran matematis. Akan tetapi mempunyai
hakikat baik dan buruk yang terukur dengan nurani seseorang dalam
menimbang14
. Misalnya, seorang ibu memberikan jatah bulanan uang belanja
yang berbeda jumlahnya kepada kedua anaknya yang masih sekolah
menengah dengan anaknya yang sudah kuliah, karena kebutuhan keduanya
berbeda-beda. Pengertian diatas menunjukkan bahwa keadilan merupakan
sikap kesesuaian yang pantas menurut ukuran tingkatannya.
Murthada muthahhari membagi keadilan kedalam dua bentuk,
keadilan individu dan keadilan sosial. Penjelasan dan contoh diatas
merupakan bentuk keadilan yang bersifat individu atau perorangan.
Sedangkan keadilan sosial merupakan tidak adanya sikap penindasan,
diskriminasi, penganiayaan, dan pengekangan yang dilakukan oleh penguasa
kepada masyarakat, ataupun antara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain. Karena pada hakikatnya yang menjadi titik sentral keadilan dalam
Islam adalah kesucian jiwa15
.
4. Filsafat Perempuan
Tidak sedikit kelompok yang berpandangan bahwa faktor-faktor yang dapat
menyatukan antara laki-laki dan perempuan adalah hasrat atau nafsu birahi,
14
Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, (Bandung; Mizan, 1986), hal.70-
71 15
Murtadha Muthahhari, Islam Agama Keadilan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988)
hal 45
23
alasan untuk mengambil untung, memanfaatkan, kepentingan untuk
mendapatkan pangan, dan kemewahan lainnya. Sebetulnya mereka tidak tahu
bahwa ada factor yang lebih penting dari sebuah penyatuan antara laki-laki
dan perempuan. Yang mana factor tersebut merupakan bawaan lahir dan
alamiah.
Murthada Muthahhari mengatakan bahwa sebetulnya landasan yang
dapat menyatukan antara sepasang suami dan istri adalah cinta (mawaddah)
dan Rahmat (rahmat). Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran;
“Dan diantara tanda-tandanya adalah bahwa dia menciptakan untuk
kamu dari kamu sendiri, pasangan yang membuat kamu merasa tenang, dan
dia telah menetapkan antara kamu cinta dan rahmat. Sesungguhnya ada tanda-
tanda bagi orang yang berpikir”. (QS; Ar-rum [30]: 21).
Murthada Muthahhari menentang pandangan yang menyebut bahwa
landasan hubungan laki-laki dan perempuan hanya semata berdasarkan ide
memanfaatkan dan mengeksploitasi perempuan16
. Pada hakikatnya laki-laki
dan perempuan mempunyai perbedaan dalam segala hal termasuk bentuk
ketertarikan seorang laki-laki kepada seorang perempuan berbeda dengan
bentuk ketertarikan seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Laki-laki
didesain sebagai sosok yang mencari, mencintai dan menuntut. Sedangkan
perempuan didesain sebagai sosok (0bjek) yang dicintai dan dipuja-puja.
16
Murthada Muthahhari, Filsafat Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta; RausyanFikr, 2012)
h. 150
24
Perasaan laki-laki cenderung meminta, mencari dan mendatangi, sedang
wanita memiliki kecenderungan malu-malu dan ingin didatangi17
.
5. Politik
Murthada Muthahhari selain banyak berkiprah dalam kegiatan
keagamaan dan pendidikan, namun beliau juga berkiprah dalam kegiatan
politik. Murthada Muthahhari pernah melakukan gerakan reaksioner
menetang rezim Syah Pahlevi di Iran, yang mengeluarkan dukungan terhadap
program modernisasi barat yang dianggap sebagai ancaman bagi Islam dan
kemerdekaan nasional Iran18
.
Walaupun dampak dari gerakan tersebut membuat dirinya ditahan. Namun hal itu
tidak membuat langkahnya terhenti ia tetap konsisten melakukan gerakan politiknya.
Hingga ia dipilih sebagai Ketua Dewan Revolusi Islam pada tanggal 12 Januari 1979.
Salah satu yang mendasari timbulnya gerakan politiknya adalah keinginan untuk
mewujudkan kebebasan untuk bangsanya (Iran) dari penjajahan bangsa asing.
Murthada Muthahhari menegaskan bahwa Islam tidak membenarkan segala bentuk
penjajahan yang dilakukan suatu bangsa kepada bangsa lain19
.
17
Murthada Muthahhari, Filsafat Perempuan dalam Islam, h. 153 18
Imam Khomeini, Islam dan Revolusi, Terj. Hamid Algar (Berkeley; Mizan Press, 1981), h.
185 19
Syafi’I, Memahami Theologi Syi’ah Murthada Muthahhari, h. 61
25
BAB III
FILSAFAT AKHLAK MENURUT PARA FILSUF
A. Pengertian Filsafat Akhlak Secara Umum
Dalam memahami akhlak secara komprehensif, maka perlu untuk
mengetahui beberapa istilah-istilah yang terkandung didalamnya dan tentu
mempunyai kaitan dengan akhlak yang termasuk dalam kajian pokok tentang
akhlak, adapun istilah-istilah tersebut adalah etika, moral, sopan santun dan
akhlak itu sendiri.
Yang pertama tentang etika, Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno.
Ethos yang berarti kesusilaan, perasaan batin dan suatu kecenderungan melakukan
suatu perbuatan1. Dalam kamus KBBI (edisi ke-1, 1988), bahwa makna etika
mempunyai tiga arti, pertama, ilmu yang mempelajari tentang perbuatan baik dan
perbuatan buruk. Kedua, kumpulan teori-teori yang berkaitan dengan akhlak.
Ketiga, tentang sebuah nilai dari suatu yang baik dan yang buruk.2
Hal demikian juga dikemukakan oleh Jan Hendrik Rapar dan Louis O.
Kattsof terkait pengertian etika. menurutnya dalam kamus besar bahasa Indonesia
“etika adalah ilmu apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral3. Franz Magnis Suseno juga menyebut bahwa istilah etika selalu
cenderung pada sisi kebaikan dan keburukan manusia dalam posisinya sebagai
manusia sejauh yang dapat dipikirkan oleh akalnya. Maka berdasarkan pengertian
diatas dapat diartikan bahwa etika merupakan suatu teori yang secara khusus
menjadikan perbuatan manusia sebagai objek kajiannya dan menjelaskan secara
1 Burhanuddin Salam, Etika Individual,(Jakarta; Rineka Cipta, 2000), h. 2
2 K. Bertens, Etika, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 4
3 Abd Haris, Etika Hamka, (Yogyakarta; LKis, 201), h. 34
26
rinci kriteria-kriteria perbuatan manusia yang termasuk dalam kategori baik dan
buruk serta nilai-nlai yang terkandung didalamnya.
Sehingga manusia mengetahui secara jelas jenis perbuatan seperti apakah
yang mempunyai nilai baik dan buruk. Dan bisa menjadi landasan dalam
bertindak, supaya tidak lagi ada keraguan dalam diri manusia untuk melakukan
suatu perbuatan baik. Dan tidak mengukur manfaat suatu perbuatan hanya dengan
materi saja, akan tetapi dengan hal yang lebih besar yaitu nilai-nilai yang
terkandung didalamnya. Karena demikian ilmu etika menjadi ilmu pokok bagi
manusia yang harus dipelajari, sebagai landasan manusia dalam menjalani hidup.
Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin. kata mores artinya adat
istiadat, kebiasaan dan tingkah laku4. Moral berarti menyangkut sikap dan prilaku
seseorang dalam hubungannya dengan orang lain (Mudhofir, 2009). Berdasarkan
pengertian diatas maka moral merupakan sikap nurani yang bersumber dari
kepekaan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang
tertuang dalam prilaku kehidupan sehari-sehari. Ilmu etika merupakan ilmu
teoritis sedangkan moral adalah prakteknya5. oleh karenanya etika menjadi suatu
pengetahuan manusia dalam melakukan segala perbutannya yang pada gilirannya
akan melahirkan perbuatan baik.
Sedangkan kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jama’ dari Khuluqun
secara makna etimologi artinya adalah budi pekerti, perangai, tabi’at dan susila .
Kata tersebut mempunyai kaitan dengan kata khalqun yang artinya pencipta, dan
mempunyai kaitannya pula dengan kata makhluqun yang artinya berarti yang
4 Alex Sobur, Kamus Besar Filsafat, (Bandung; CV PUSTAKA SETIA, 2017), h. 676
5 Abd Haris, Etika Hamka, h. 34
27
diciptakan6. Ketiga kata tersebut bukan hanya mempunyai keterkaitan secara kata,
namun lebih dari pada itu secara substansial mempunyai hubungan yang koheren
dalam fungsi dan tujuannya. Untuk mendapatkan nilai-nilai ketuhanan, maka
akhlak sebagai alatnya. Kalo kita cermati pengertian akhlak diatas bahwa
pembahasan ilmu akhlak meliputi perihal prilaku manusia yang kemudian dinilai
mempunyai dimensi kebaikan dan keburukan didalamnya. Pengertian diatas
berbanding lurus dengan apa yang kemudian dikemukakan oleh Imam Al-ghazali
tentang akhlak, bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak
memerlukan pertimbangan pemikiran terlebih dahulu7.
Berdasarkan pengertian diatas maka akhlak atau budi dapat diartikan
sebagai prilaku manusia yang dilakukan atas kehendak dan kemauan yang telah
tertanam dalam jiwanya yang tertuang dalam perbuatan dan dilakukan secara
berkelanjutan hingga menjadi kebiasaan. Perbuatan manusia yang diluar
pengertian tersebut tidak termasuk dalam kategori akhlak. Contoh, atas dasar
kebiasaannya seseorang membersihkan jalan umum untuk kepentingan orang
banyak, hal ini merupakan salah satu jenis perbuatan akhlak baik. Sedangkan
perbuatan yang dilakukakan bukan berdasarkan kebiasaan tidak lah termasuk
akhlak. Contoh, seseorang politisi memberikan bantuan kepada lembaga
pendidikan pada saat momentum politik saja, ini tidak termasuk perbuatan akhlak
karena bukan berdasarkan kebiasaan yang berkelanjutan.
Menurut KBBI sopan santun adalah tata krama. Sopan santun terdiri dari
dua kata sopan dan santun. Sopan artinya takzim menurut adat yang baik.
6 Zulkifli, Jamaluddin, Akhlak Tasawwuf, (Yogyakarta; Kalimedia, 2018), h. 3
7 Zulkifli, Jamaluddin, Akhlak Tasawwuf, h. 5
28
Sedangkan santun adalah baik dan halus budi bahasa dan tingkah lakunya.
Sedangkan pengertian sopan santun menurut para ahli ialah suatu aturan atau tata
cara yang berkembang secara turun temurun dalam suatu budaya dimasyarakat
yang bisa bermanfaat bagi pergaulan antar sesama manusia sehingga terjalin suatu
pemahaman yang akrab, saling pengertian serta saling hormat menghormati8.
(Taryati dalam Suharti; 2004). Berdasarkan pengertian diatas dapat kita artikan
bahwa sopan santun adalah tata krama tindakan yang diatur oleh aturan yang
berlaku dalam lingkungan sekitar atau tradisi lokal.
Kalo melihat peristiwa amoral yang beberapa dekade ini kerap terjadi di
negara ini, maka akan muncul sebuah pertanyaan mendasar mengenai fungsi
etika, bahwa dimana peran etika dalam hal ini? Bisakah etika membuat manusia
menjadikan semua manusia baik? Jawabannya adalah etika tidak dapat membuat
manusia menjadi baik, akan tetapi etika dapat membuka matanya supaya bisa
melihat mana yang baik dan yang buruk9. Posisi etika sama halnya dengan
seorang dokter, dokter hanya bisa menjelaskan kepada pasiennya yang sedang
mengidap penyakit diabetes untuk tidak mengkonsumsi makanan yang ada unsur
gulanya karena akan semakin membahayakan kesehatan tubuhnya, kemudian
pasien boleh memilih untuk tidak mengkonsumsinya atau tetap
mengkonsumsinya, dan seorang dokter tidak kuasa mencegahnya. nah seperti
inilah cara etika bekerja.
Kalau kita lihat pada hakikatnya fungsi dan peran dari pada etika, moral,
sopan santun dan akhlak mempunyai kesamaan, yakni untuk menentukan hukum
atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk menentukan baik
8 http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-sopan-santun-dan-ramah-tamah/
9 Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, Terj. K.H. Farid Ma’ruf dari judul Asli al-akhlak, (Jakarta;
Bulan Bintang, 1975), h. 6
29
dan buruknya10
. keempat istilah diatas sama-sama memiliki tujuan yang sama pula
yakni menginginkan terbentuknya kondisi masyarakat yang damai, rukun, tentram
dan sejahtera secara lahiriah dan batiniah.
Adapun yang membedakan keempat istilah tersebut adalah hanya sumber
atau landasannya. Kalau pada etika sumber pengetahuan baik dan buruk itu
terletak pada akal, sumber moral terletak pada nurani, sumber akhlak terletak pada
Al-Quran dan Al-Hadits dan kebiasaan, sedangkan sumber sopan santun terletak
pada tradisi yang berlaku umum dalam suatu kelompok masyarakat. Kalau etika
mempunyai kecenderungan pada wilayah teoritis sedangkan moral, akhlak dan
sopan santun memiliki kecenderungan pada ranah praktis11
.
Pengetahuan tentang akhlak menurut agama Islam banyak dikemukakan dalam
kitab Al-Quran dan Hadits, karena keduanya merupakan pedoman bagi umat
Islam dalam melakukan perbuatan.
المحسنين يحب الله إن وأحسنوا أيديكم إلى الت هلكةل الله ول ت لقوا ب وأنفقوا في سبي
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah SWT, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan. Dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”
(QS. Al-Baqarah; 195).
10
Burhanuddin Salam, Etika Individual, h. 81 11
Burhanuddin Salam, Etika Individual, h. 81
30
اإن من أحبكم إلي وأق ربكم مني مجلسا ي وم القيامة أحسنكم أخلق
Artnya : “Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai dan paling
dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku yaitu orang-orang yang paling
baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi).
Dan telah kita ketahui bahwa ajaran Islam tentang akhlak bersumber dari
aqidah yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasulnya dan disampaikan
kepada umat manusia untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-sehari dengan niat
dan tujuan mencapai Tuhannya. Akhlak dalam Islam merupakan suatu cabang
ilmu pengetahuan. Namun akhlak lebih cenderung pada wilayah aplikatif,
sedangkan etika lebih kepada wilayah filosofis. Maka dari itu, keduanya sama-
sama membahas tentang yang baik dan yang buruk12
.
Hamka membuka pendapatnya tentang etika, menurutnya fokus
pembahasan etika mengarah pada persoalan baik dan buruk. Sedangkan fokus
pembahasan yang mengarah pada keindahan dan kejelekan masuk pada kajian
estetika. Dan keduanya termasuk pada pembahasan teori aksiologi (teori nilai atau
filsafat nilai). Untuk mendalami kajian tentang etika maka tidak lepas dari sesuatu
yang namanya nilai, karena didalam esensi baik dan buruk syarat dengan nilai-
nilai.
Oleh karenanya Buya Hamka juga menyinggung tentang nilai, menurutnya
nilai sebagai bentuk pemahaman yang lebih dalam tentang etika, walaupun
mungkin sejumlah pihak berasumsi bahwa nilai tidak ada korelasinya dengan
etika. Buya Hamka mencoba memberikan penjelasan tentang hubungan nilai
dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk. Buya Hamka menyebut nilai adalah
12
Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), h. 3
31
standard atau ukuran yang digunakan manusia untuk mengukur segala sesuatu13
.
Gordon Allport pun juga berkata demikian, bahwa nilai merupakan keyakinan
yang membuat manusia bertindak atas dasar pilihannya. Karena itulah
menurutnya keyakinan yang berdasarkan pada akal pikiran menempati posisi
tertinggi bila dibandingkan dengan posisi lainnya. Oleh karenanya nilai menjadi
sangat penting untuk dibahas dalam kajian etika.
Dalam sejarah Yunani dijelaskan bahwa filsuf yang kali pertama mengkaji
tentang etika adalah Sokrates ( 469-399 M). oleh banyak pihak Sokrates dianggap
sebagai pelopor yang mencoba menjadikan manusia sebagai objek kajian dalam
bidang filsafat (anthropocentris). Namun sejumlah peneliti mengatakan bahwa
dalam gagasan etika Sokrates tidak menunjukkan secara jelas tentang tujuan akhir
dari perbuatan etis dan tidak pula memberikan norma atau ukuran yang menjadi
dasar acuan dalam memberikan hukum baik atau buruk pada perbuatan manusia14
.
Akhirnya muncullah sejumlah ilmuan dengan berbagai teorinya tentang etika yang
dikaitkan dengan gagasan etika Sokrates.
Misalnya Aristoteles, ia tampak mencoba menyempurnakan teori etika
Sokrates yang dianggap mempunyai kekurangan yaitu tidak menunjukkan secara
jelas tentang tujuan akhir dari pada perbuatan etika itu sendiri. Sehingga dalam
teori etika Aristoteles ia menyebut bahwa tujuan akhir dari segala perbuatan
manusia adalah kebahagiaan. Metode untuk meraih kebahagiaan tersebut adalah
dengan optimalisasi penggunaan akal dengan sebaik-baiknya dalam melakukan
perbuatan.
13
Abd Haris, Etika Hamka, h. 58 14
Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, Terj. K.H. Farid Ma’ruf dari judul Asli al-akhlak, h. 156
32
Para pemikir akhlak Yunani lainnya selain Sokrates juga sangat
mengedepankan rasionalistik, mereka mendasarkan temuan-temuannya tentang
etika didasarkan pada usaha akal sehingga semuanya bersifat rasional. Ketentuan
baik dan buruk didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia.
Oleh karenanya benar jikalau fokus objek kajian etika yang di gagas oleh para
pemikir Yunani kita sebut sebagai anthtropocentris (memusat pada manusia)15
.
Teori etika yang berdasarkan akal tersebut sah-sah saja kita yakini kebenarannya
dan kita jadikan sebagai acuan dalam tindakan kita sehari-hari itu selagi tidak
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
B. Filsafat Akhlak Menurut Al-Kindi
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq Al-Kindi,
beliau hidup pada tahun (180-260 H/796-873 M). Nama Al-Kindi di ambil dari
sebuah suku yang merupakan suku asalnya yakni, banu Kindah, tepatnya di
daerah Selatan Jazieah Arab16
. Di dunia barat Al-kindi populeer dengan Al-
Kindus. Ia berasal dari keturunan bangsawan Arab dari kerajaan Kinda
(Yaman)17
.
Al-Kindi hidup pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah dibawah
kepemimpinan, al-Amin (809-813 M.), al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasyim
(833-842 M), al-Wathiq (842-874 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M)18
. Al-
Kindi merupakan orang pertama dari golongan pemikir muslim yang paling
termasyhur dalam membentuk renaissance Arab pada abad pertengahan dengan
15
Burhanuddin Salam, Etika Individual,h. 55 16
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta; Rineka Cipta, 2010), h. 21 17
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (jakarta; Karya Unipers, 2003), h.
42 18
George N. Atiyeh, Rawalpindi, AL-Kindi: Tokoh Filosof Muslim, (Bandung;
PUSTAKA, 1983 M), h. 118
33
karya dan keilmuannya. Al-Kindi dijuluki sebagai filosof Arab, karena ia
keturunan Arab.
Al-Kindi mengatakan bahwa tujuan akhir dari filsafat adalah untuk
kepentingan moralitas. Sedangkan tujuan dari para filsuf adalah untuk mengetahui
suatu kebenaran dan berusaha untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan
kebenaran yang ia ketahui. Pengertian akhlak menurut Al-Kindi adalah upaya
untuk mematikan hawa nafsu. Dengan kata lain usaha untuk menghilangkan
kenikmatan yang bersifat materi dalam kehidupannya, karena bagi Al-Kindi
berusaha untuk mendapatkan kenikmatan materi berarti menghilangkan fungsi
akal19
.
Bahkan Al-kindi menyebut kenikmatan hidup yang materialistik itu adalah
suatu keburukan. Ia meyakini bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya itu adalah
kebahagiaan pada jiwa, karena menurutnya kebahagiaan yang cenderung pada
meteri maka tidak akan kekal dan akan cepat hilang, ketika benda itu hilang maka
hilanglah juga kebahagiaan itu. Al-kindi memberikan nasehat praktis dalam
kehidupan, bahwa kekayaan yang haqiqi bukanlah bersifat materi, akan tetapi
kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan spritual yang apabila hilang akan
membuat kita benar-benar merasa kehilangan20
.
Ketika seorang Socrates pernah ditanya mengenai keadaan dirinya,
mengapa Socrates tidak pernah mengalami kesusahan?. Kata Socrates, saya tidak
memiliki susuatu yang patut saya susahkan apabila hilang. Kemudian ditanya lagi
kenapa Socrates tidak pernah mengalami kesengsaraan dalam hidupnya?. Ia
19
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2007), h. 110 20
Mustofa, Filsafat Islam, h. 123
34
menjawab, saya tidak pernah merasa tidak menginginkan sesuatu yang memang
tidak saya inginkan21
.
Al-Kindi menyebut bahwa keutamaan yang ada pada manusia adalah budi
pekerti yang terpuji, sehingga manusia mempunyai sebuah keutamaan-keutamaan
yang sempurna dan mampu mencapai keutamaan tersebut dengan menghilangkan
keinginan pada hal-hal yang bersifat lahiriyah. Menurutnya ilmu pengetahuan
etika tidak hanya berfungsi untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, akan
tetapi juga ilmu etika berfungsi untuk menyatukan jiwa manusia dengan cahaya
ketuhanan, sehingga akan tercapai kebahagiaan yang haqiqi22
.
Sifat terpuji merupakan sifat alami yang ada pada manusia, oleh karenanya
manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan perbuatan baik. Karena
menurut Al-Kindi didalam pikiran manusia ada sifat keilahian yang selalu
memunculkan kecenderungannya pada kebaikan. Sedangkan perbuatan buruk
yang terjadi hanya merupakan sebuah aksiden kemenangan hawa nafsu atas akal
pikiran saja23
.
Al-Kindi membagi keutamaan menjadi tiga, yakni, sifat jiwa, buah dari
sifat jiwa, dan buah sifat yang tercermin dalam keadilan. Sifat jiwa dibagi menjadi
tiga pula yaitu, kebijaksanaan (hikmah), keberanian (sajaah), kesucian (iffah).
Kebijaksanaan merupakan keutamaan daya berpikir. Keberanian adalah sifat jiwa
21
Mustofa, Filsafat Islam, h. 112 22
George N. Atiyeh, Rawalpindi, AL-Kindi: Tokoh Filosof Muslim, h. 118 23
George N. Atiyeh, Rawalpindi, AL-Kindi: Tokoh Filosof Muslim, h. 118
35
untuk mematikan keinginan hawa nafsu. Kesucian adalah memelihara badan serta
jiwa dari keinginan pada sesuatu yang bersifat materialistis24
.
Adapun kata-kata mutiara Al-Kindi yang menasehati kepada manusia
untuk bersifat qana’ah (cepat puas) dalam mendapakan sesuatu yang materialistis.
Diantaranya sebagai berikut:
Tentanglah hawa nafsu dan ikutilah kehendakmu
Kau tidak akan selamat dari hal yang kau benci hingga kau sanggup
menahan diri dari banyak hal yang kau senangi dan kehendaki
Menelaah kitab-kitab filsafat merupakan kegemaran jiwa yang berpikir
Jika manusia merusak anggota badannya yang terbaik pasti ia dicela;
anggota badan yang paling mulia adalah otak; darinya timbul rasa
inderawi, gerak dan perbuatan-perbuatan mulia. Orang-orang yang
minum-minuman keras berarti memasukkan kerusakan kedalam otak
mereka; jika berturut-turut badan terkena mabuk, otak menjadi sakit,
badan menjadi lemah dan jauh dari kemampuan yang dapat menimbulkan
inisiatif kegiatan-kegiatan kejiawaan yang kreatif25
.
C. Filsafat Akhlak Menurut Ar-Razi
Ar-Razi nama lengkapnya adalah Abu bakar Muhammad Ibnu Zakaria
ibnu Yahya Al-Razi. Di barat ia populer dengan nama Rhazes. Beliau dilahirkan
di Ray deket Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Selain dikenal sebagai
filsuf Muslim ia juga dikenal sebagai seorang dokter pada masa gubernur
Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Asad (gubernur Ray), selama enam tahun.
24
A. Mustofa, Filsafat Islam, h. 111 25
A. Mustofa, Filsafat Islam, h. 114
36
Kabarnya ar-Razi dikenal sebagai seorang dokter yang paling orisinal dari semua
dokter muslim.
Ar-Razi menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan diantaranya adalah
ilmu kesehatan, ilmu kimia, ilmu dan ilmu filsafat, sastra, astronomi dan
matematika. Selain Ar-Razi seorang filsuf ada juga nama ar-Razi yang lain,
misalnya Fakhruddin Ar-Razi dan Najmuddin Ar-Razi. Karenanya untuk
membedakan Ar-Razi seorang filsuf dengan Ar-Razi yang lain perlu adanya
penambaan sebutan Abu Bakar yang merupakan nama gelarnya26
.
Di kota Ray beliau belajar dengan ilmu kedokteran kepada Ali Ibn Rabban
Al-Thabari dan belajar ilmu filsafat kepada Al-Balkhi. Ia juga merupakan
seorang penulis yang masyhur, hal demikian terbukti dengan banyaknya
karyanya yang ia hasilkan dan menjadi referensi bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Menurut Ar-Razi tingkah laku manusia berdasarkan pada petunjuk rasio.
Hawa nafsu harus berada dibawah kendali akal dan agama27
. Oleh karenanya Ar-
Razi sangat melarang sesuatu apapun yang dapat merusak akal manusia dan
sesuatu yang melanggar ajaran agama. Misalnya konsumsi narkoba, minuman
keras dan tindakan tercela lainnya, Karena hal tersebut selain dapat merusak
kinerja akal normal juga melanggar ajaran agama, yang kemudian pada akhirnya
akan mengantarkan manusia pada kehancuran.
Ar-Razi meyakini bahwa jiwa dan tubuh merupakan dua unsur yang saling
berpengaruh. Semisal, keinginan jiwa tidak akan tercapai kecuali dengan melalui
perbuatan tubuh. Dalam hal ini, demi tercapainya akhlak terpuji, Ar-Razi tidak
26
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, h. 113 27
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, h. 194
37
hanya mencegah sesuatu yang sifatnya jasadi akan tetapi juga mencegah susuatu
yang sifatnya nonjasadi yakni, sifat iri hati, dengki, cinta yang berlebihan, dusta,
tamak, kikir, sombong dan lainsebagainya28
.
Ar-Razi menjelaskan tentang pentingnya hidup bermasyarakat yang baik,
menurut Ar-Razi fungsinya adalah supaya satu sama lain saling menasehati
untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak dirinya. Secara medis, Ar-
Razi bukan hanya menginginkan adanya dokter tubuh (At-Thib Al-jasmani), tapi
juga menginginkan adanya dokter jiwa (Ath-Thibb Ar-Ruhani), tujuannya adalah
supaya selain penyembuhan penyakit tubuh, jiwa juga harus mendapat kan
penyembuhan yang setara dengan tubuh untuk menjaga keseimbangan jiwa
dalam melakukan segala aktivitasnya, supaya tidak mengalami kekurangan
ataupun kelebihan, karena kondisi yang dialami jiwa akan berdampak pada
perbuatan tubuh, hal itu lah yang dinamakan dengan akhlak.
Menurut Ar-Razi tujuan dari pada perbuatan itu adalah kebahagiaan, hal
itu dibuktikan oleh penjelasannya tentang teori kebahagiaan dalam karyanya At-
Thib Ar-Ruhani dan Ash-Shirat Al-Falsafiyah bahwa kebahagiaan tidak lain
adalah kembalinya apa yang telah tersingkir oleh kemudharatan29
. Maksudnya
adalah bahwa pada hakikatnya fitrah manusia adalah baik, namun hakikat itu
terkikis oleh sesuatu yang dapat merusak diri manusia, baik hal yang bersifat
jasadi maupun yang nonjasadi.
Oleh karenanya Ar-Razi sangat mengecam keras adanya sifat sombong
dan lalai, karena hal demikian dapat menghambat manusia dalam belajar dan
bekerja untuk lebih baik. iri hati, karena iri hati dapat memicu terjadinya
28
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 29 29
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2009), h. 78
38
permusuhan sesama manusia. Tamak, karena sifat tamak dapat melahirkan rasa
sakit hati. Mabuk, mabuk dapat menyebabkan hilangnya kerja otak pada
manusia, Persetubuhan yang berlebihan akan dapat menghasilkan penyakit dan
lain sejenisnya30
, kecemasan yang berlebihan akan mengakibatkan halusinasi dan
sikap loyo.
Secara keseluruhan Inti pembahasan etika Ar-Razi ada pada himbauan
pada akal untuk selalu mengawasi dan memerangi hawa nafsu agar tidak
merusak diri manusia. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Mohaghegh, bahwa
Ar-Razi lebih sering memakai kata hawa dibandingkan para filsuf muslim moral
yang lainnya, karena lebih menitik beratkan pada pentingnya melawan dan
mengendalikan hawa nafsu oleh akal.31
D. Filsafat Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Kasim Ahmad
(Muhammad) bin Ya’qub bin Maskawaih. Beliau dilahirkan di Ray (Iran) pada
320 H (932 M). dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M)32
.
Beliau menimba ilmu pengetahuan di Baghdad. Beliau mendapat gelar guru ketiga
setelah Al-Farabi. Ibnu Miskawaih selain sebagai seorang filsuf beliau sebagai
penyair, sejarawan yang sangat popular. Selain itu Miskawaih dikenal sebagai
bapak etika Islam. Beliau mampu merumuskan dasar-dasar ilmu etika dalam
kitabnya Tahdzib Al-akhlak wa Tathir Al-A’raq (pendidikan budi dan
30
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Iskam, (Jakarta; Gaya Media Pratama, 1999), h. 29 31
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 80 32
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Iskam, h. 55
39
pembersihan akhlaq)33
. Referensi filsafat etika Ibnu Miskawaih bersumber dari
filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran syariat Islam, dan pengalaman pribadi34
.
Dari sekian banyak bidang ilmu yang ia geluti, ia lebih mencondongkan
diri pada bidang sejarah dan akhlak. Miskawaih mempunyai banyak guru yang
sangat berpengaruh dalam kemahirannya dalam menguasai segala bidang ilmu
pengetahuan. Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi adalah salah satu gurunya
dibidang ilmu sejarah dan Ibnu al-Khammar salah satu gurunya dibidang filsafat.
Ia mempunyai karya tulis yang cukup banyak dan fenomenal, ini membuktikan
bahwa kapasitas keilmuan Ibnu Miskawaih tidak diragukan.
Dalam Konsep akhlak yang di gagas oleh Ibnu Miskawaih terdapat istilah
titik tengah, yang dimaksud sebagai kriteria kebajikan menurut Ibnu Miskawaih.
Titik tengah adalah posisi ideal yang mempunyai jarak yang begitu jauh dari dua
kehinaan disamping kanan dan kirinya. Dan untuk menjaga nilai-nilai kebaikan
tersebut agar tetap utuh dan tidak berkurang nilainya maka titik tengah tidak boleh
bergeser sedikit pun mendekati salah satu kehinaan disampingnya, karena hal
tersebut akan mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam kebaikan itu. Oleh
karena itulah para filsuf mengatakan bahwa untuk mencapai posisi ideal titik
tengah tidak lah mudah, ketika sudah dicapai maka lebih sulit untuk
mempertahankannya agar tidak bergeser mendekati kehinaan disamping kanan
dan kirinya. Karena menurutnya sebab-sebab kejelekan lebih banyak
dibandingkan dengan sebab-sebab kebaikan itu sendiri. Berikut penjelasan makna
titik tengah yang dimaksud oleh Ibnu Miskwaih35
;
33
Musthofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2015), h. 86 34
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), h. 204 35
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat (Bandung;
Mizan, 1994), h. 51
40
Kejujuran adalah titik tengah yang posisinya terletak diantara dua
kehinaan, yaitu, bohong dan munafik. Orang yang berbohong tidak akan
mengatakan apa sebenarnya terjadi serta melebih-lebihkan sesuatu yang tidak
terjadi sebenarnya. Sedang munafik adalah perkataan seseorang yang bertolak
belakang dengan perbuatannya.
Dermawan merupakan titik tengah yang terletak dari dua perbuatan yang
hina yaitu kikir dan boros. Orang yang kikir tidak akan menyedekahkan hartanya
kepada orang miskin. Sedangkan orang yang boros akan menggunakan hartanya
secara berlebihan untuk sekedar berpoya-poya untuk mencari kesenangan semata.
Kearifan adalah titik tengah yang terletak diantara bodoh dan dungu. Yang
dimaksud kebodohan disini adalah menggunakan akal pikiran pada sesuatu yang
tidak baik. Sedangkan yang dimaksud dungu adalah dengan sengaja
mengenyampingkan akal pikirannya pada sesuatu hal yang baik. Dengan kata lain
dungu bukanlah sifat yang dipahami sebagai cacat alami.
Pandai merupakan titik tengah yang letaknya terdapat diantara kebusukan
mental dan ketololan. busuk mental disini dimaknai dengan kondisi mental yang
mempunyai sifat yang berlebihan. Sedang tolol dimaknai dengan kondisi mental
yang bersifat kekurangan, kurangnya illmu, kurangnya nilai spiritual dan lain
sebagainya. Sederhana adalah titik tengah yang posisinya berada diantara dua sifat
yang tercela yaitu, berlebihan dan berkekurangan.
Ingat merupakan titik tengah yang berada diantara dua lupa, yaitu, lupa yang
melalaikan apa yang seharusnya diingat dan lupa yang berupa memperhatikan
sesuatu yang tidak boleh diingat. Dan banyak lagi suatu kehinaan dan keutamaan
41
yang bisa menjadi titik tengah untuk menemukan kriteria kebaikan yang dimaksud
oleh Ibnu Miskawaih36
.
Ibnu Miskawaih mengartikan bahwa akhlak adalah sebuah sikap mental
atau keadaan jiwa yang mempunyai daya dorong untuk bertindak tanpa berpikir
dan pertimbangan37
. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih membagi akhlak manusia
menjadi dua, akhlak yang bersumber dari watak dan akhlak yang bersumber dari
kebiasaan dan latihan. Sehingga dengan pengertian tersebut manusia dituntut
untuk selalu melakukan perbuatan baik.
Ibnu Miskawaih mempunyai pengertian yang berdeda dengan pada
umumnya dalam memaknai kata al-insan (Manusia). Ibnu Miskawaih
memaknai kata al-insan (manusia) berasal dari kata al-uns, yang artinya jinak.
Sedangkan perspektif lain pada umumnya memaknai kata al-insan bersal dari kata
al-nisyan artinya pelupa38
. Mengenai akhlak manusia, Ibnu Miskawaih menentang
keras pendapat beberapa filsuf klasik yang menyebut bahwa akhlak manusia
bersumber dari watak dan tidak bisa dirubah dan diperbaiki.
Terdapat perbedaan pendapat diantara para filsuf klasik mengenai akhlak,
berikut jenis-jenis perbedaan pendapat tersebut, ada yang berpendapat bahwa
akhlak manusia dimiliki oleh jiwa yang tidak berpikir (nonrasional). Ada pula
yang berpendapat bahwa akhlak dimiliki oleh jiwa yang berpikir (rasional),
pendapat lain mengatakan bahwa akhlak manusia bersumber dari watak alami dan
bersifat permanen, sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa akhlak
manusia tidak berasal dari watak alami, sedangkan pendapat yang terakhir
36
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, h. 52 37
Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta; Rajawali Pers, 2004), h. 135 38
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Iskam,h. 61
42
mengatakan bahwa akhlak manusia sifatnya alami namun dapat berubah dengan
cepat atau lambat melalui latihan dan pendidikan39
.
Pendapat yang terakhir inilah yang didukung oleh Ibnu Miskwaih tentang
akhlak manusia, karena menurutnya sejalan dengan ajaran Islam. Al-Quran dan
Al-Hadits menyatakan secara terang bahwa tujuan diutusnya Nabi Muhammad
SAW kedunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Bahkan dalam
Islam akhlak yang baik menjadi parameter bagi keberhasilan manusia dalam
mencapai kesempurnaan kemanusiaannya. Adapun dalam proses penyempurnaan
itu tentu mempunyai cara-cara, yaitu dengan melalui pendidikan dan latihan.
Adanya perintah atau kewajiban untuk melakukan ibadah, salah satu
tujuannya adalah untuk melatih dan mendidik karakter manusia agar senantiasa
melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk40
. Kebenaran tersebut
tidak bisa dibantah, binatang yang notabenenya tidak mempunyai akal pikiran bisa
jinak dengan dididikan dan latihan-latihan, apalagi manusia yang mempunyai akal
pikiran.
Misalnya kondisi akhlak yang dialami oleh bangsa Arab pada masa sebelum
diutusnya Rasulullah sangat kacau, namun dengan cara pendidikan dan latihan-
latihan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad kepada bangsa Arab akhirnya
tingkah laku atau akhlak bangsa Arab semakin baik kendatipun tidak secara
keseluruhan. Fakta tersebut mengafirmasikan bahwa watak alami manusia bisa
dirubah dengan nasihat pendidikan dan latihan. Seorang anak dapat berpotensi
memiliki kecenderungan kepada akhlak baik dan pada akhlak buruk tergantung
pendidikan dan kebiasaan yang diajarkan oleh orang tuanya.
39
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, h. 56 40
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Iskam,h. 61
43
BAB IV
KONSEP BAIK DAN BURUK MENURUT MURTADHA
MUTHAHHARI
A. Pengertian Kebaikan
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna karena keniscayaan
akal pikiran yang dimilikinya dan dituntut untuk berbuat kebaikan dalam segala
tindak tanduknya. Adanya wahyu juga sangat membantu manusia sebagai
pedoman atau landasan manusia untuk bertindak, sehingga umat manusia dituntut
untuk selalu berbuat kebaikan. Akan tetapi dalam perkembangannya muncul
persoalan terkait dengan perbuatan manusia.
Di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang kriteria
perbuatan baik. Apa kriteria perbuatan baik itu? Apakah semua perbuatan
manusia disebut sebagai perbuatan yang baik? Apa keistimewaan yang dimiliki
oleh sebuah perbuatan sehingga bisa dikatakan baik?. bertolak dari pertanyaan-
pertanyaan inilah kemudian para ulama kemudian mempunyai pandangan yang
berbeda-beda.
Murthada Muthahhari dalam bukunya yang berjudul Filsafat Akhlak
mengemukakan pendapatnya terkait dengan perkara perbuatan manusia. Murtdha
Muthahhari membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian, perbuatan alami
dan perbuatan akhlaki. Perbuatan alami adalah suatu perbuatan fitrah manusia
yang tanpa didasari dengan adanya upaya pikiran. Misalnya ketika lapar ya
makan, haus ya minum, ngantuk ya tidur. dan perbuatan alami ini tidak layak
mendapat pujian, karena binatang pun juga demikian. Sedangkan perbuatan
44
akhlaki adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang untuk orang lain1
tanpa mengharapkan sesuatu selain hendak berbuat baik kepada orang tersebut.
Perbuatan inilah yang termasuk perbuatan mulya dan layak untuk dipuji dan
diapresiasi.
Perbuatan baik atau akhlaki memiliki kedudukan tertinggi dalam diri
manusia. Karena perbuatan akhlaki mengandung nilai-nilai yang lebih tinggi
dibanding dengan materi atau uang atau barang. Misalnya para sukarelawan yang
bekerja untuk korban gempa bumi sampai rela mempertaruhkan jiwa raganya
untuk orang lain tanpa mengharap imbalan, kedudukannya lebih tinggi dibanding
karyawan yang bekerja siang dan malam hanya karena untuk mendapatkan upah.
Nilai-nilai yang terkandung dalam perbuatan akhlaki itu tidak bisa dibandingkan
dengan nilai materi atau barang.
Definisi perbuatan baik atau akhlaki didasarkan pada tujuan, ada juga
pandangan yang menyebut bahwa definisi akhlaki didasarkan pada perasaan
mencintai sesama2. Namun pada prinsipnya kedua pandangan tersebut mempunyai
suatu kesamaan, karena perbuatan yang dilakukan tujuannya untuk orang lain
tidak akan terealisasi tanpa ada perasaan cinta terhadap sesama. Definisi tersebut
dapat terbantahkan dengan adanya perbuatan seorang ibu terhadap anaknya yang
juga didasari dengan perasaan cinta terhadap orang lain dan orang lain itu adalah
anaknya, seorang ibu rela berkorban jiwa dan raga untuk anak yang disayanginya.
sekalipun sikap keibuan secara emosional merupakan perbuatan yang sangat
bernilai, namun kendati demikian perbuatan seorang ibu terhadap anaknya tidak
1 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 24
2 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 26
45
termasuk dalam kategori perbuatan akhlaki, karena perbuatan keibuan atas dasar
fitrah dan alami, dan seorang ibu tidak memperoleh perbuatan tersebut dari hasil
upayanya sendiri. Seperti halnya seorang laki-laki secara fitrah dan alami
mempunyai hasrat seksual pada seorang perempuan.
Contoh diatas mempunyai makna yang berbeda dengan pandangan orang
lain pada umumnya. Pada umumnya Kasih sayang seorang ibu pada anaknya
justru mempunyai nilai yang besar sehingga jasa seorang ibu dianggap perbuatan
yang sangat mulia. Namun Murtadha Muthahhari mempunyai pandangan yang
berbeda beliau menganggap perbuatan seorang ibu pada anaknya adalah hal yang
fitrah atau alami dan tidak patut dimulyakan karena tidak adanya upaya pikiran,
karena hewan yang tidak punya akal pikiran juga melakukan hal demikian.
Dalam hal ini perlu kiranya ada penambahan definisi yang memberikan
batasan atau pembeda secara terang antara perbuatan akhlaki dan perbuatan alami,
yaitu perbuatan akhlaki adalah perbuatan yang tujuannya adalah untuk orang lain
atau suatu hal diluar dirinya dengan syarat keadaan tersebut diperoleh dari hasil
usahanya bukan secara alami3. Beberapa contoh perbuatan akhlaki sebagai
berikut;
1. Memaafkan
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Nabi
Muhammad Saw, ada tiga hal perbuatan yang termasuk perbuatan
akhlaki; memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang
3 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 27
46
yang tidak mau memberimu, dan menyambung tali persaudaraan
dengan orang yang memutuskanmu.
2. Menjaga lingkungan
Menjaga lingkungan sekitar juga termasuk dalam kriteria
perbuatan baik, karena ada hakikatnya fungsinya adalah
menyelamatkan manusia dari bencana alam yang diakibatkan oleh
rusaknya alam itu sendiri. Adanya penebangan hutan yang berskala
besar, tidak membuang sampah pada tempatnya, pengeboman ikan dan
lain sebagainya. Dari perbuatan tersebut akan berdampak signifikan
pada orang lain. Berdampak pada nelayan sehingga para nelayan
mengalami kesulitan dalam mencari ikan karena karangnya rusak
akibat pengeboman, warga pedesaan terdampak longsor akibat
penebangan hutan secara berlebihan dan masyarakat mengalami
kebanjiran karna sampah tidak buang pada tempatnya sehingga
membuat saluran air tersumbat.
3. Menyayangi binatang
Pada hakikatnya semua benda atau mahluk hidup yang ada di
alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Yang mana manusia diberi
tanggung jawab untuk menjaganya dan melestarikannya (mu’amalah
ma’al bi’ah). Termasuk juga binatang. Dalam sebuah hadits shahih
yang diriwayatkan mutafaq’alaih yang mengkisahkan bahwa (“ada
seorang yang berjalan dipadang pasir kemudian melihat seekor anjing
yang menjulurkan lidahnya kehausan ditepi sumur, melihat anjing
tersebut sontak seorang itu kemudian membuka sepatunya dijadikan
47
timba untuk menimba air dalam sumur itu dan kemudian memberikan
anjing air minum hingga puas. Atas perbuatan mulya yang dilakukan
pemuda itu Allah membalasnya dengan memasukkannya dia ke
syurga”).
Imam Ali Zaenal Abidin sangat berharap do’a tersebut menjadi landasan
tindakan bagi umat manusia dalam berbuat. Begitulah seharusnya manusia
bersikap. perbuatan yang terkandung dalam do’a-do’a tersebut memberikan nilai-
nilai yang tinggi yang dan tidak bisa disetarakan dengan nilai materi. Dampak dari
perbuatan do’a tersebut memberikan dampak yang besar dalam segala aspek bagi
kehidupan umat manusia dimuka bumi ini.
Dalam hal demikian, ada sebuah kisah yang dapat memotivasi umat
manusia agar senantiasa mementingkan kepentingan orang lain atau berbuat baik
kepada orang lain, yakni tentang kisah Sirriy Siqthiy. Beliau adalah seorang urafa.
Dalam kisahnya, Beliau mempunyai satu unit toko yang posisinya di Pasar
Baghdad, suatu ketika Sirriy mendengar berita bahwa pasar pasar Baghadad
mengalami kebakaran, mendengar berita itu Sirriy sontak terkejut dan mendatangi
lokasi pasar Baghdad dengan hati sedih, ternyata toko miliknya tidak terbakar,
hanya toko milik orang lain dasampingnya yang terbakar, kemudian dengan
legah hati dia mengucapkan “Alhamdulillah”. Sejak peristiwa itulah Sirriy
senantiasa beristighfar kepada Allah mengucap Al hamdulillah selama tiga puluh
tahun. Akhirnya Sirry pun sadar bahwa ucapan Alhamdulillah yang diucapkan
hanya karena rasa syukur karena api tak membakar toko miliknya nya, akan tetapi
seakan-akan ia rela toko orang lain terbakar. dengan perasaan bersalah kemudian
dia bertanya pada diri-sendiri, tak adakah perasaan sedih atas musibah yang
48
menimpa orang yang toko nya terbakar sedangkan orang itu adalah saudara kita.
Dari situlah ia menyitir hadits Nabi, “Barang siapa melewatkan waktu paginya
tanpa memperhatikan urusan kaum muslimin, maka tidaklah dia termasuk dari
mereka”.
B. Latar Belakang Tindakan Kebaikan
Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya
membuat dirinya tidak lepas dari adanya perbuatan baik dan buruk yang
dilakukannya. namun terlepas dari itu semua manusia mempunyai kecenderungan,
rangsangan, perasaan yang membuat dirinya ingin selalu melakukan perbuatan
baik, sehingga rela mengorbankan kesenangan dirinya, rela mengorbankan
kepentingan egoistiknya dan rela memendam semua keinginan dirinya. Demi
suatu hal yang dianggapnya me mpunyai nilai-nilai yang tak bisa tergantikan oleh
apapun. Perbuatan baik merupakan sebuah tindakan yang berangkat dari sebuah
kecenderungan yang tidak berkaitan dengan subjek pelakunya, akan tetapi
berkaitan dengan orang lain atau hal lain diluar dirinya4.
Hal demikian yang dimaksud adalah perbuatan akhlaki atau kebaikan. Tak
sedikit pihak lain dari berbagai latar belakang yang menghujat keyakinan manusia
yang konsisten mempertahankan kecenderungannya itu, sehingga memunculkan
rasa keingin tahuan dari pihak tersebut yang seakan-akan harus dijawab. Perlu kita
ketahui bahwa idealnya setiap segala sesuatu yang kita kerjakan mempunyai
landasan dan tujuan yang jelas sehingga memantik diri kita untuk melakukan
perbuatan itu tanpa keraguan.
4 Murtadha Muthahhri, Keadilan Ilahi, (Bandung; Mizan, 2009), h. 18
49
Begitu juga dengan perbuatan baik atau akhlaki tentunya mempunyai
fondasi dan tujuan yang jelas. Dalam hal ini Murtadha Muthahhari merasa
mempunyai tanggung jawab penuh untuk menjawab segala keresahan sejumlah
pihak terkait dengan latar belakang perbuatan baik atau akhlaki. Sebagaimana
Imam Ali pernah mengatakan bahwa “Awal agama adalah pengetahuan tentang
Tuhan”, maka pengetahuan tentang Tuhan (teologi) merupakan batu loncatan
pertama bagi kemanusiaan5. Kemanusiaan dan akhlak tidak akan pernah memiliki
arti apa-apa tanpa ditopang dengan pengenalan Tuhan. Dengan kata lain perkara
spiritual tidak akan ada nilainya bila tidak didahului dengan pengenalan Tuhan.
Terkait dengan adanya perbuatan akhlaki pada manusia, ada dua pendapat
yang menyebut bahwa, pertama perbuatan akhlaki adalah perbuatan yang
langsung diperintahkan oleh agama. Kedua, manusia dapat dididik dan dibimbing
sehingga menyandang kebiasaan, sehingga dari kebiasaan-kebiasaan itu
melahirkan perbuatan akhlaki. Jadi agama memiliki peran penting dalam
melahirkan perbuatan akhlaki. Hal demikian juga berbanding lurus dengan
perkataan Dostoevsky bahwa, agama merupakan satu-satunya timbangan yang
membuat manusia membatasi antara perbuatan yang harus dikerjakan dan
perbuatan yang harus ditinggalkan6. Jika Tuhan dan agama itu tidak ada, maka
semua batasan dan larangan tidak berarti.
Murtadha Muthahhari mengecam keras logika Russel tentang
kemanusiaan. Russel mempunyai pikiran materialistis. Dia selalu menganjurkan
suatu perbuatan demi kemanusiaan. Padahal, apabila suatu perbuatan akhlaki tidak
5 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 56
6 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 25
50
mempunyai landasan teologis dalam jiwa manusia maka nilai-nilai yang
terkandung didalamnya tidak akan berarti. Agama sudah membuktikan tentang
kebenaran akhlaki yang berlandaskan agama melalui eksperimen, dan hasilnya
adalah, agama mampu menciptakan adanya ketaatan serta keyakinan yang besar
pada kekuatan akhlak sejak dahulu, saat ini, hingga masa yang akan datang.
Sejak dahulu orang-orang barat yang sangat getol meneriakkan jargon-
jargon kemanusiaan dan hak asasi manusia entah kemana perginya ketika perang
dunia pertama dan kedua, yang dimana nilai-nilai kemanusia sudah tidak lagi
ditampakkan dan hak asasi manusia sudah tak lagi diperdulikan. Bahkan manusia
menjadi korban kepentingan Negara untuk mencapai kekuasaan. Fakta tersebut
secara spontanitas menampikkan atau menepis bahwa perbuatan akhlaki bisa
terwujud tanpa adanya pengenalan Tuhan atau iman.
Dimanakah orang-orang yang dahulu menyuarakan kemanusiaan dengan
kencangnya dalam tragedi Aljazair dan berbagai fenomena kemanusiaan lainnya,
berbagai tindakan kekejian berlangsung disana, apakah orang-orang Prancis
peduli para korban perang, apakah mereka peduli dengan peradaban-peradaban
yang dihancurkan, apakah mereka prihatin dengan nasib manusia yang terlantar
hidupnya, apakah mereka peduli dengan tempat-tempat ibadah yang telah mereka
hancurkan, dimanakah nilai-nilai kemanusiaan pada waktu itu.
Pemikiran-pemikiran tentang kemanusiaan banyak mereka tulis dalam
karya-karya ilmiahnya, dan kalau kita membacanya tentu kita akan takjub dan
terkesima dengan teori-teori baru yang ia telurkan dalam kajian kemanusiaan.
Akan tetapi tanpa adanya fondasi keimanan yang kuat atau pengetahuan tentang
51
Tuhan maka teori-teori yang mereka hasilkan dilanggar dengan sendirinya yakni
mengedepankan kepentingan egonya.
Hal demikian semakin meyakinkan kita bahwa perbuatan baik atau akhlaki
tidak akan konsisten diaplikasi jikalau tanpa fondasi agama dan keimanan yang
kuat. saya akan mengupas sisi lain dari kisah seorang Imam Husein yang
senantiasa konsisten dalam melakukan perbuatan baik yang didasarkan pada
keimanan yang kuat serta pengetahuan tentang Tuhan. Sisi lain yang paling
terlihat dari sosok seorang Imam Husein adalah tentang keluhuran budinya
sehingga begitu pantas kisahnya untuk diangkat dalam kondisi ini dan dapat
menjadi inspirasi bagi umat manusia untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan.
Yang memicu munculnya gerakan dari sosok seorang Imam Husen untuk
menegakkan nilai-nilai agama Islam adalah ketika kondisi lingkungan dipenuhi
dengan berbagai macam tindakan kezaliman yang luar biasa, namun Imam Husen
tidak serta merta melakukan tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai akhlaki,
dia tidak berbuat keji pada musuh-musuhnya, dia tidak menyakiti musuhnya dan
tidak menzalimi musuhnya. Salah seorang muridnya sekaligus loyalisnya
bernama Muslim Ibnu Aqil mengatakan bahwa meskipun Imam Husen
mempunyai peluang emas untuk membunuh Ibnu Ziyad yang merupakan lawan
perangnya, akan tetapi masih sempatnya dia berpikir bahwa agamanya (Islam)
melarang membunuh orang lain dari belakang.
Dalam konteks ini menurutnya Islam menganggap rendah perbuatan
membunuh orang dari belakang. Kemudian banyak orang bertanya kepada
52
Muslim Ibnu Aqil (muridnya) mengapa Imam Husein tidak membunuh Ibnu
Ziyad waktu itu yang sudah jelas-jelas merupakan musuh perangnya? Kemudian
Muslim menjawab dengan tegas bahwa waktu itu Imam Husein teringat dengan
sebuah hadits Nabi Muhammad Saw. Bahwa “keimanan seorang muslim tiada
akan pernah mengizinkan penyandangan bersikap zalim terhadap orang lain,
sekalipun terhadap non muslim”.
Menurutnya tindakan zalim itu tidak jantan dan tidak bertanggung jawab.
Imam Husen berkata kepada pengikutnya, Islam tidak mengizinkan pengikutnya
memboikot air bagi musuh yang sedang kehausan, janganlah bersikap demikian
karena metode perang kita bukan seperti itu. maka berikanlah air pada mereka,
bahkan kepada kuda-kuda mereka7.
Ketika itu, salah satu pengikutnya berkata kepada Imam Husein bahwa
momen inilah yang sangat tepat bagi kita untuk memulai penyerangan kepada
mereka karena mereka sedang dalam kehausan dan kelaparan, Imam Husen
menjawab dengan tegas “saat ini memang waktu yang baik untuk membantai
musuh, tetapi secara hukum Islam itu merupakan tindakan yang dilarang, selagi
musuh perang tidak melakukan penyerangan kepada kita, maka kita tidak akan
pernah memulainya terlebih dahulu. Karena sejatinya mereka itu muslim kitapun
muslim.
Sikap mulya dari seorang Imam Husein merupakan perbuatan yang patut
mendapat pujian. Inilah contoh perbuatan akhlaki yang didasarkan pada iman atau
pengenalan tentang Tuhan secara mendalam. Terbukti bahwa perbuatan akhlaki
7 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 66
53
yang dilandaskan pada pengenalan Tuhan akan bertahan abadi dalam jiwa
manusia selama-lamanya, tanpa bisa dihancurkan oleh kepentingan kekuasaan,
kepentingan individual, kepentingan keluarga dan kepentingan golongan. Begitu
juga sebaliknya perbuatan yang tidak didasarkan pada fondasi keimanan akan
sangat mudah dihancurkan oleh kekuatan egoisme. Pandangan Nitsche tentang
moralitas hanya akan memberi manfaat pada keadaan tertentu saja dan tidak akan
kekal abadi.
Di era ilmu pengetahuan seperti saat ini, salah satu faktor yang juga
memberikan pengaruh dalam mempertahankan serta mewujudkan perbuatan
akhlaki agar tidak hancur dan terus dilakukan adalah dengan melalui logika dan
basis yang kuat, bukan melalui taklid dan indoktrinasi. Dalam hal ini, Allah Swt,
memberikan analogi dalam firmannya “Tidakkah kalian memperhatikan,
bagaimana Allah memberikan perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon
yang baik; batangnya kokoh dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Ia
memberikan buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan bagi manusia supaya mereka berpikir,” (QS 14: 24).
Dalam firman diatas Allah Swt memberi contoh kepada umat manusia
apabila manusia ingin subur dan memiliki dahan, daun yang lebat dan buah. Maka
manusia itu harus memiliki akar atau fondasi yang kuat. bila tidak, maka manusia
tidak akan mungkin seperti itu alias tumbang diterpa badai.
C. Pengertian Keburukan
Sejatinya keberadaan manusia dimuka bumi ini dengan segala potensi
kebaikan yang ada dalam dirinya membuat manusia akan cenderung melakukan
54
kebaikan yakni bermanfaat untuk orang lain dan segala ciptaan Allah yang ada
dimuka bumi ini. Karena itulah salah satu tujuan diciptakannya manusia ke muka
bumi ini yakni, menjadi khlaifah dimuka bumi. Namun akan menjadi ironis ketika
keberadaan manusia dimuka bumi ini justru malah membuat kehancuran,
kerusakan dan malapetaka.
Perbuatan manusia yang dapat merugikan orang lain karena perbuatannya
maka itulah yang dinamakan keburukan. Karena tidak sesuai dengan fungsi
dirinya sebagai manusia yang dianugrahi akal pikiran oleh Allah Swt untuk
difungsikan sebaik mungkin, karena akal pikiran merupakan alat untuk
menemukan kebaikan. Dengan kata lain manusia yang tidak memfungsikan
akalnya sebaik-baiknya adalah termasuk manusia yang buruk. Misalnya sifat ke-
singaan bagi singa, sifat ke kudaan bagi kuda, sifat kemanusiaan bagi manusia,
dan lain sebagainya8.
Merupakan sebuh kemustahilan bahwa singa tanpa sifat kesingaannya,
kuda tanpa sifat kekudaannya, begitupun manusia tanpa sifat kemanusiaannya.
Namun faktanya banyak kita menjumpai berbagai fenomena yang mencerminkan
manusia tanpa sifat kemanusiaannya. Dikatakan buruk bilamana manusia
melakukan perbuatan diantaranya sebagai berikut;
1. Tidak memaafkan
Memaafkan merupakan sifat hakiki kemanusiaan, apabila manusia
tidak memaafkan maka termasuk perbuatan buruk. Manusia yang tidak
cinta dengan kedamaian, manusia yang tidak cinta dengan kerukukan,
8 Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, (Jakarta; Sadra Press, 2012), h. 74
55
manusia yang menginginnkan adanya perpecahan, termasuk manusia yang
tidak memfungsikan akal pikirannya, maka itu disebut dengan keburukan.
2. Tidak memberi
Saling memberi kepada sesama manusia juga merupakan sifat
hakiki manusia bagi manusia lainnya, jikalau manusia tidak memberi
untuk manusia lainnya maka disebut dengan keburukan. Karena pada
hakikatnya saling memberi kepada sesama manusia akan menimbulkan
persatuan dan hubungan erat.
3. Memutuskan tali persaudaraan
Kalau manusia mau menggunakan akalnya untuk berpikir jernih
bahwa sebetulnya memutuskan tali persaudaraan sesama manusia
mempunyai dampak negatif yang besar dalam hidup dan kehidupan
manusia, yakni akan memicu terjadinya permusuhan yang pada akhirnya
akan menimbulkan perpecahan. Maka perbuatan tersebut merupakan
perbuatan buruk.
4. Tidak membantu
Saling membantu juga merupakan sifat hakiki bagi manusia.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. bagi manusia yang tidak membantu sesama manusia
disebut dengan keburukan. Karena sejatinya manusia tidak hidup tanpa
bantuan orang lain.
5. Tidak menjaga lingkungan
56
Manusia yang baik adalah manusia yang mengedepankan
kepentingan orang banyak dibanding dengan kepentingan dirinya sendiri.
menjaga lingkungan merupakan sifat hakiki manusia, yakni sebagai
khalifah dibumi. Tidak menjaga lingkungan sudah barang tentu merupakan
perbuatan yang buruk karena mempunyai dampak negatif pada lingkungan
yang pada akhirnya dapat merugikan manusia yang lainnya. Misalnya,
manusia melakukan penebangan hutan secara luas dengan tidak
memperbaharuinya akan menimbulkan tanah longsor, banjir dan lain
sebagainya yang akhirnya akan mengancam keselamatan warga yang
bermukim di daerah-daerah tertentu. Contoh lainnya juga, membuang
sampah tidak pada tempatnya, hal tersebut juga akan menimbulkan banjir
akibat saluran air tersumbat. Sehingga perbuatan tersebut jdapat
mengancam keselamatan warga yang bermukim di titik tertentu. Dan
banyak lagi perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak mencerminkan sikap
kemanusiaan.
6. Tidak menyayangi binatang
Sifat hakiki manusi adalah menjaga dan melestarikan segala bentuk
ciptaan Tuhan, termasuk alam, agar binatang dapat hidup. Adapun
perbuatan buruk lainnya yang dapat merusak ekosistem ikan adalah,
pengeboman dan potasium ikan yang dapat menyebabkan karang-karang
mati sehingga tidak bisa ditempati oleh ikan lagi. Tidak memberi makan
hewan yang kelaparan, tidak membantu kucing yang sedang tenggelam,
tidak mengobati binatang terluka, memukul binatang dan lain-lain
sebagainya.
57
Perlu diketahui bahwa perbuatan buruk akan melahirkan dampak yang
buruk pula terhadap segala aspek hidup dan kehidupan seperti yang sudah
dicontohkan diatas, kalau kita berpikir secara logis, perbuatan buruk tidak akan
pernah mendatangkan keuntungkan, bahkan justru sebaliknya perbuatan buruk
akan mendatangkan malapetaka atau kerugian bagi dirinya yang melakukan dan
bagi manusia yang lainnya. Sehingga merupakan fungsi akal pikiran untuk bisa
mengetahui dampak dari segala perbuatan manusia bu an hanya dampak bagi
dirinya akan tetapi juga bagi orang lain.
Masalah lainnya juga adalah krisis kasih sayang (sentiment kasih sayang).
Di era modern sekarang ini tak sedikit kita temui fenomena ironis yang berkaitan
dengan sifat kemanusiaan. Kondisi ini merupakan keburukan bagi masa depan,
karena yang seharusnya manusia saling menaruh rasa kasih sayang, cinta kasih
terhadap sesama manusia ternyata tidak demikian adanya. Belakangan ini banyak
sekali fenomena tragis yang tidak mencerminkan sifat kemanusiaannya, misalnya,
terjadi pembunuhan yang mana korbannya dimutilasi, dibakar hidup-hidup,
seorang anak membunuh orang tuanya, orang tua membunuh anaknya, suami
membunuh strinya, istri membunuh suaminya dan banyak lagi fenomena-
fenomena tragis lainnya yang jauh dari sifat kemanusiaan dan hal tersebut terjadi
di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan perbuatan tersebut lebih terhina daripada
perbuatan binatang.
pada era ini orang-orang yang berpandangan sempit pun menyadari adanya
krisis yang melanda masyarakat. disamping krisis ekonomi, krisis politik juga
58
krisis spiritual terutama dikalangan masyarakat modern dan industri9. Krisis
politik contohnya, konflik Negara Arab da Israil atau perbatasan antara Soviet,
China dan Negara-negara yang lain. krisis politik contohnya, masalah inflasi yang
sampai saat ini persoalan tersebut belum kunjung terselesaikan. Namun dua krisis
itu tentu mempunyai solusi atau jalan keluarnya. Akan tetapi lain halnya dengan
krisis spiritual yang masih belum ditemukan solusi konkritnya.
Misalnya akhir-akhir ini juga cukup banyak kita temukan peristiwa bunuh
diri. Kalo kita asumsikan bahwa orang yang bunuh diri ini ada kaitannya dengan
krisis ekonomi, namun faktanya cukup banyak juga kita jumpai orang yang bunuh
diri itu bukan hanya dari orang miskin akan tetapi orang kaya pun juga demikian.
Berarti kesimpulannya adalah bahwa adanya krisis spiritual disebabkan karena
meredupnya cahaya keimanan pada Tuhan dan keimanan tersebut tidak didasari
dengan argumentasi filosofis. Di penjelasan awal sudah disebutkan bahwa
kemanusiaan yang tidak didasarkan pada ketuhanan maka tidak akan kuat dan
abadi.
D. Latar Belakang Tindakan Keburukan
Selain perbuatan baik mempunyai latar belakang, perbuatan burukpun juga
mempunyai latar belakang, namun keduanya tentu mempunyai jenis latar
belakang yang berbeda. Sehingga tak jarang perbuatan buruk itu juga kerap
dilakukakan oleh manusia sekalipun manusia tersebut mengetahui bahwa pada
hakikatnya manusia adalah untuk kebaikan bagi manusia lainnya. Apa yang
9 Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 254
59
kemudian melatar belakangi manusia sehingga mempunyai kecenderungan
melakukan perbuatan buruk?
Salah satu sebab adanya kecenderungan pada tindakan buruk sehingga
sampai mempertaruhkan tindakan kebaikan pada dirinya, kal demikian terjadi
karena perbuatan akhlaki tidak didasarkan pada fondasi agama atau keimanan
yang kuat dan tidak adanya argumentasi, logika dan basis yang kuat pula. yang
ada hanya indoktrinasi dan taklid sebagai dasar keyakinan perbuatannya. Model
semacam ini memang rentan terpapar oleh berbagai kepentingan individual
sehingga cenderung mengabaikan orang lain10
.
Dalam diri manusia terdapat sesuatu yang bisa dikatakan sebagai
pengganggu terwujudnya perbuatan akhlaki. Sesuatu itu kita sebut dengan
egoisme. Keberadaan ego ini cukup berbahaya apabila tidak kita kendalikan
sebaik-baiknya. Ego ini semacam virus yang dapat menggerogoti energy akhlaki
sedkit demi sedikit sehingga membuat dorongan perbuatan akhlaki menjadi
lemah.
Dalam diri manusia terdapat tiga jenis ego yang mampu melemahkan
kekuatan akhlaki manusia yakni11
;
1. Ego Individualisme
Manusia yang mempunyai ego ini cenderung sangat mementingkan
dirinya sendiri bahkan apapun akan ia lakukan demi kepentingan diri
sendiri kendatipun kepentingan orang lain menjadi korban, tidak masalah
10
Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 68 11
Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, h. 190
60
yang penting aku senang. Fenomena pembunuhan, perampasan hak orang
lain dan perbuatan zalim lainnya disebabkan oleh kekuatan ego
individualisme. Yang ada dibenak manusia model ini adalah ibarat gambar
lingkaran dimana yang ada didalam lingkaran hanyalah dirinya sendiri dan
orang lain berada diluar lingkaran tersebut, seakan-akan hanya dirinyalah
yang menjadi pusat prioritas dalam segala hal. Saya sangat yakin sikap
hidup seperti ini akan sangat cenderung mengabaikan kepentingan orang
lain dan lebih mementingan diri sendiri dalam segala hal apapun.
2. Ego Kekeluargaan
Ego jenis ini pada prakteknya sama, hanya saja cakupannya lebih
luas, apabila orang yang egois tersebut mempunyai keluarga maka barang
tentu orang tersebut akan mementingkan segala kepentingan kelaurganya.
Dia tampak terlihat adil seadil-adilnya didalam kelurganya, dia rela
melakukan apapun demi keluarganya tercinta. Bahkan bisa dibilang dia
cenderung tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat
kelaurganya tidak nyaman, dia tidak akan berbohong, tidak akan
menghianatinya, dia akan bersikap lemah lembut dan lain-lain
semacamnya.
Sikap seperti ini secara sepintas memang terlihat terpuji, akan
tetapi jika kepentingan keluarganya diletakkan diatas segala-galanya dang
kemudian mengabaikan kepentingan masyarakat disekitarnya, juga kurang
baik. perlu diketahui bahwa perbuatan buruk terjadi dipicu oleh adanya
egoisme, kendati dilingkup keluarganya orang tersebut tidak egois, akan
61
tetapi dimasyarakat dia egois karena aktivitas dan ketamakannya lebih
luas.
Akhirnya sangat mungkin dia akan melakukan pembunuhan,
penipuan, pembohongan demi kepentingan keluarganya. Egoisme tetaplah
egoisme, akan tetapi satuannya telah berubah dari hanya individu menjadi
keluarga, dan juga ego ini tidak kalah bahayanya dengan ego
individualisme. Meski demikian tidak sedikit pihak yang menganggap
orang seperti ini termasuk orang yang mempunyai akhlak baik, karena
sikapnya yang sangat mementingkan kesenangan kelurganya, ketika setiap
pulang kerumah membawa oleh-oleh untuk keluarganya, membelikan
keluarganya pakaian yang mahal, dan mengajak keluarganya jalan-jalan.
Akan tetapi sangat disayangkan keadilan yang ia lakukan itu hanya sebatas
pada keluarganya saja, sikap-sikap keadilan yang ia lakukan kepada
kelaurganya itu tidak sama sekali ia lakukan kepada orang lain diluar
keluarganya. Sikap semacam ini tidaklah termasuk dalam kategori
perbuatan akhlaki.
Akan pantas disebut sebagai perbuatan akhlaki jika dia tidak
melakukan keadilan hanya sebatas pada keluarganya saja akan tetapi juga
pada orang lain. Hal tersebut sama halnya dengan para pencuri yang
membuat kelompok atau geng yang dimana dia akan senantiasa melakukan
perbuatan baik, adil, setia dan saling membantu diantara kelompoknya
saja, akan tetapi dia tidak akan bersikap demikian kepada orang lain diluar
kelompok atau gengnya, bahkan dia menjadikan orang lain diluar
62
kelompoknya sebagai sasaran empuknya untuk mendapatkan keuntungan
dan kesenangan dalam kelompoknya.
Dia melakukan penipuan, pembegalan, pembunuhan,
pemerkosaan, pencurian dan segala macamnya, semua itu ia lakukan demi
kesenangan teman sekelompoknya, tindakan tersebut sangat jauh dari
nilai-nilai perbuatan akhlaki yang justru pada hakikatnya mengutamakan
kesenangan orang lain diatas kepentingan dirinya dengan ada pihak yang
merasa dirugikan.
3. Ego Kebangsaan (Chauvinisme)
Egoisme tetaplah egoisme, namun hal ini cakupannya sangat luas
dari sebelumnya karena satuannya menjadi satu bangsa, egoisme tetap
mempunyai pola yang sama, dia akan melakukan perbuatan adil, rela
berbuat apapun demi kebaikan bangsanya, dia akan setia bagi bangsanya,
akan jujur bagi bangsanya, akan memberi kepada bangsanya, dia bukanlah
penghianat bagi bangsanya, dia bukanlah perampok bagi bangsanya dan
dia bukanlah pencuri bagi bangsanya.
Tidak jarang orang yang begitu adil didalam bangsanya, justru dia
sangat gencar menyuarakan perlawanan dan kezaliman terhadap bangsa
lainnya. Sikap egoisme semacam ini tidak dianggap melanggar aturan
kemanusiaan oleh para tokoh barat, bahkan ironisnya tindakan tersebut
dianggap tindakan yang mulya yang patut diapresiasi. Sebagaimana yang
telah dilakukan oleh tokoh-tokoh barat yang dimana tindakan penjajahan
kepada bangsa lain merupakan tujuannya.
63
Tanpa mereka sadari mereka tidak mampu lagi mempertahankan
sikap akhlaki yang seharusnya ia lakukan, justru malah terpapar dengan
kepentingan egoisme kabangsaan. Sehingga apapun akan ia lakukan demi
kepentingan negaranya sekalipun bangsa lain menjadi korban. Seolah-olah
ia merasa bahwa pada situasi tertentu akhlak tidak lagi dibutuhkan.
Dalam sebuah karangan ilmiah yang berjudul Perang Dunia,
membahas tentang konsep moralitas. Penulis mengatakan dalam buku itu
bahwa semua konsep moralitas yang dibangunnya adalah benar menurut
individu-individu, namun tidak demikian adanya menurut bangsa-bangsa.
Karena menurutnya ego bangsa-bangsa mempunyai logika yang berbeda
dengan logika ego pada umumnya, sehingga semua perbuatan akhlaki,
perdamaian, kejujuran, kasih sayang dan keadilan akan dianggap benar
ketika menguntungkan bagi Negara tersebut dan apabila tidak
menguntungkan maka hal tersebut tidak benar.
Terdapat dua cara untu memerangi ego. Salah satunya adalah
melemahkan ego, kita bunuh dan habisi yang namanya ego (keakuan), cara
tersebut dilakukan oleh kaum Hindu Buddha dalam kehidupannya12
. Namun cara
ini dinilai salah oleh Islam, menurut Islam cara yang tepat untuk memerangi ego
adalah tidak dengan membunuh dan menghabisi ego, akan tetapi dengan cara
memperluas batasan ego itu sehingga mencakup seluruh manusia, bahkan
mencakup seluruh wujud alam. Dengan kata lain membentuk sebuah lingkaran
dengan radius yang tak ada batasnya dan diluar batas taka da sesuatu apapun.
Inilah perlawan secara positif.
12
Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 62
64
Islam juga memerintahkan kepada umat manusia untuk menjaga dan
mempertahankan hak serta kehormatan dirinya. Menurut Islam membela diri
adalah wajib hukumnya. Maka dari itu Islam sebetulnya menganjurkan manusia
untuk memelihara ego, akan tetapi pemeliharaan ego yang tidak menimbulkan
kerendahan tindakan akhlaki. Ego dalam Islam tidak terbatas pada batasan-
batasan yang terbatas, dengan kata lain tidak terbatas pada ego individu, keluarga,
kelompok, bangsa, agama, dan lain sebagainya, akan tetapi mencakup semua
wujud yang ada di alam semesta. Sebagaimana pribahasa mengatakan;
“Aku sangat mencintai dunia yang serba hijau ini
Karena dunia berasal dari-Nya aku mencintai alam semesta
Karena alam semesta darinya13
”.
E. Kebaikan dan Keburukan Itu Pilihan atau Takdir
Menurut para filsuf atau ahli logika, makhluk hidup terbagi menjadi tiga
spesies, tumbuhan, hewan dan malaikat14
. Sedangkan manusia termasuk dalam
kelompok hewan yang bisa mengindera dan bergerak. Namun secara spesifik
yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah akal pikirannya.
Dengan keniscayaan akal inilah manusia dapat membedakan dirinya denga
hewan. Yang kemudian disebut sebagai mahkluk rasional.
Akal memiliki fungsi yang luar biasa, bahkan karena akalnya manusia
diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan pilhannya dengan kerja
akalnya. Sedangkan hewan tidak diberikan kebebasan memilih karena dia tidak
13
Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 61 14
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, (Bandung; MIzan, 2017). H. 136
65
dianugrahi akal pikiran oleh Allah swt, yang merupakan alat untuk memilih dan
menentukan tindakannya. Namun kebebasan memilih yang dimiliki manusia,
harus dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga manusia dengan segala
kelebihannya, boleh disebut jahat dan baik, tergantung pada tindakan yang
dipilih melalui pikirannya.
Suatu keutamaan yang ada pada diri manusia adalah akalnya, keniscayaan
akal pikiran menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulia selagi fungsi akal
itu digunakan sebagaimana seharusnya, yakni berpikir dan bernalar (logika).
Banyak para filosof muslim seperti Abu Ali Sina sepakat bahwa dikatakan
manusia sempurna ketika manusia itu berakal dan bijaksana15
. Pendapat filosof
lain juga menyebut bahwa insan kamil adalah manusia yang akalnya telah
sempurna, dalam artian, kerangka serta gambar keberadaan secara menyeluruh
telah tercetak dalam akalnya.
Mengacu pada pengertian perbuatan akhlaki yakni, suatu perbuatan dapat
disebut sebagai perbuatan akhlaki apabila diperoleh dengan adanya usaha
pikiran, dan bukan terjadi secara alami. Maka atas dasar pengertian tersebut bisa
dikatakan bahwa adanya kebaikan itu merupakan sebuah pilihan yang dapat
dipertanggung jawabkan dengan argumentasi logis, sehingga dapat meneguhkan
sebuah keyakinan yang kuat untuk mengambil sebuah tindakan yang mulya,
yakni perbuatan baik.
Usaha yang dilakukan oleh manusia untuk melakukan perbuatan baik bisa
dikatakan relative tidak mudah, karena dia harus mengorbankan kepentingan
15
Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, h. 102
66
dirinya, menundukkan egonya serta menghilangkan kesenangan pribadinya.
Maka dari itu sangat pantas bagi manusia yang melakukan perbuatan akhlaki kita
beri pujian.
Harus diakui bahwa didalam diri manusia terdapat dua kecenderungan
yakni, keburukan dan kebaikan, jikalau manusia tidak mampu mengendalikan
dorongan ego dengan baik maka manusia akan cenderung melakukan perbuatan
buruk. Keberadaan pikiran salah satu fungsinya adalah untuk mengendalikan ego
agar tetap bekerja sesuai aturannya atau tidak terlalu liar dan mendominasi
tindakan manusia, kalau sudah demikian adanya maka sangat berbahaya pada
manusia itu sendiri.
Allah Swt menciptakan manusia dalam keadaan lemah, dengan kata lain
secara fitrah manusia diciptakan dengan tidak sempurna. Meskipun pada
hakikatnya manusia mempunyai potensi yang besar dalam dirinya dan apabila
potensi-potensi yang dimilikinya itu dioptimalisasikan, maka manusia mampu
mencapai kesempurnaan yang hakiki. Yakni menjadikan dirinya lebih baik dari
pada binatang bahkan malaikat.
Untuk mencapai pada kesempurnaan tersebut manusia membutuhkan
sistem pendidikan dan moralitas yang dianggapnya perlu16
. Adanya pembimbing
atau guru yang tugasnya adalah untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan
yang terdapat pada fitrah alamiah manusia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
Saw, “aku diutus kedunia adalah untuk menyempurnakan akhlak”. Hadirnya
sistem akhlaki membuat manusia terlepas dari kekurangan dan kelemahan
16
Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 52
67
fitrahnya sehingga manusia mampu mencapai kesempurnaan dengan adanya
kekuatan pikiran dan kehendaknya. Itulah yang kemudian menghasilkan
kesimpulan bahwa manusia membutuhkan sistem akhlaki.
Jadi menurut penjelasan diatas maka kebaikan atau akhlaki merupakan
sebuah pilihan yang diyakini oleh manusia untuk mencapai kesempurnaan.
Adanya upaya-upaya itu mengidentifikasi bahwa kebaikan itu membuthkan
adanya usaha yang serius, dan tidak akan tercapai secara alamiah. Adanya upaya-
upaya rasional menjadi fondasi bagi terwujudnya kebaikan dan tidaklah mudah
untuk mencapai itu, kendatipun kita meyakini adanya potensi fitrah dalam diri
manusia, namun tanpa adanya usaha, potensi tersebut tidak akan berfungsi secara
maksimal.
Kita meyakini bahwa pengetahuan yang kita punya merupakan hal yang
kita peroleh melalui usaha. Meskipun ada juga pengetahauan yang bersifat fitrah.
Sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Didalam hati ataupun pikiran kita tidak ada sedikitpun pengetahuan yang
bisa kita miliki, adanya indra penglihatan, pendengaran dan perabaan sebagai alat
untuk memperoleh pengetahuan yang kemudian kita kumpulkan dalam hati dan
pikiran kita17
. Dan dapat menjadi fondasi bagi manusia untuk berbuat baik.
Manusia yang mendasari setiap perbuatannya pada argumentasi rasional sudah
barang tentu perbuatan tersebut mempunyai tujuan yang jelas dan masuk akal,
17
Murtadha Muthahhari, Fitrah, h. 32
68
yakni perbuatan yang tujuannya untuk kemaslahatan tertentu dapat dinilai
sebagai perbuatan yang bijaksana. Sebaliknya, perbuatan yang tidak mempunyai
tujuan dinilai sebagai perbuatan yang tak mempunyai dasar rasionalitas.
Perbuatan semacam itu disebut perbuatan yang sia-sia.
Antonim dari kata sia-sia adalah bijaksana, perbuatan bijaksana meski
dengan kerelatifannya pasti mempunyai tujuan dan maksud yang jelas atau
rasional. Adapun ketentuan dari perbuatan bijak itu yakni, pertama, manusia
yang perbuatannya memiliki maksud dan tujuan, kedua, tujuan itu merupakan hal
yang paling maslahat dan paling tepat, ketiga,untuk mencapai tujuan itu, dia akan
menggunakan sarana yang paling utama dan cepat18
.
Untuk mencapai suatu perbuatan yang bijak tentu membutuhkan upaya-
upaya rasional sehingga perbuatan yang kita lakukan mempunyai nilai. jadi
perbuatan baik itu adalah pilihan yang membutuhkan pertimbangan-
pertimbangan rasional. Tidak benar adanya pandangan bahwa kebaikan itu
adalah takdir. Kendati adanya manusia untuk kebaikan dimuka bumi, akan tetapi
segala bentuk tindakan-tanduk yang dilakukakan manusia dibutuhkan upaya-
upaya yang melibatkan akal pikiran dan intuisi sebagai penentu sebuah
perbuatan.
Perlu diketahui bahwa suatu hal yang menjadi tolak ukur utama bagi
kesempurnaan manusia bukan kekayan, bukan status sosial, jabatan,
pengetahuan dan lain-lain. Akan tetapi watak akhlaki yang menjadi tolak ukur
18
Murtadha Muthahhri, Keadilan Ilahi, h. 22
69
utama kesempurnaan manusia19
. Kendatipun pengetahuan merupakan syarat
kemanusiaan, akan tetapi hal itu tidaklah cukup tanpa adanya kehendak
perbuatan manusia yang melakukannya.
Ada suatu pendapat dari salah satu pihak yang menyebut bahwa
manusia tidak mempunyai kebebasan dalam hal apapun, karena semua kehendak
manusia itu diatur oleh zat yang menciptakannya, layaknya sebuah wayang
ditangan dalangnya. Menurut ahli kalam pandangan tersebut dinamakan kaum
jabariyah atau fatalis.20
Manusia dikatakan baik atau buruk karena tindakannya.
Akan tetapi ketika tindakan manusia dikatakan sebagai murni kehendak Tuhan
maka tidak pantas manusia dikatakan baik dan buruk. Yang berkehendak Tuhan
kok yang disalahkan manusianya. Hal tersebut bertentangan dengan kerja
rasional. kenapa kita membenci perampok kalo yang melakukan perampokan itu
Tuhan dengan menggerakkan tangan manusia. Hal tersebut tidaklah benar.
Sebagaimana kata jalaluddin Rumi bahwa, kebebasan itu merupakan
hadiah terbesar Tuhan untuk manusia, sebagai amanat yang sebelumnya telah
ditawarkan kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, tetapi yang pada
akhirnya diterima oleh manusia, sehingga jadilah ia sekarang yang mampu
memilih tindakannya, tetapi juga yang harus juga bertanggung jawab atas segala
pilihannya tersebut. Dan berdasarkan tindakan baik atau buruk yang ia pilih
itulah manusia bisa dikatakan baik atau buruk dan menyandang gelar sebagai
makhluk moral21
.
19
Murtadha Muthahhari, Wacana Spritual, (Jakarta; Firdaus, 1991), h. 9 20
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan,h. 145 21
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan,h. 148
70
Murtadha Muthahhari mengatakan timbulnya perbuatan akhlaki
didorong oleh dua hal penting dalam diri manusia yakni, rasio dan intuisi. Selain
kekuatan akal pikiran, Tuhan juga menganugrahkan intuisi sebagai lokomotor
manusia untuk bertindak22
. Dalam hal ini saya ingin mengutip kisah seorang
sahabat Nabi bernama Wabishah yang bertanya kepada Rasulullah, tentang
definisi takwa serta dosa dan perbuatan keji. Kemudian Rasul memegang tangan
Wabishah kemudian menempelkan pada dada Wabishah dan berkata, wahai
Wabishahfmintalahnpetunjukkdarikhatimu.
22
Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, h. 83
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang konsep baik dan buruk
menurut Murtadha Muthahhari yang telah dilakukan, penulis merumuskan
beberapa poin kesimpuan :
1. Murthada Muthahhari membagi perbuatan manusia menjadi dua
bagian, yakni, perbuatan alami dan perbuatan akhlaki. Perbuatan
alami adalah suatu perbuatan fitrah manusia yang tanpa didasari
dengan adanya upaya pikiran. Misalnya ketika lapar ya makan, haus
ya minum, ngantuk ya tidur. dan perbuatan alami ini tidak layak
mendapat pujian, karena binatang pun juga demikian. Sedangkan
perbuatan akhlaki adalah perbuatan yang tujuannya adalah untuk
orang lain atau suatu hal diluar dirinya dengan syarat keadaan tersebut
diperoleh dari hasil usahanya bukan secara alami. Perbuatan inilah
yang termasuk perbuatan mulya dan layak untuk dipuji dan
diapresiasi. Perbuatan baik atau akhlaki memiliki kedudukan tertinggi
dalam diri manusia. Karena perbuatan akhlaki mengandung nilai-nilai
yang lebih tinggi dibanding dengan nilai materi atau uang atau barang.
2. Idealnya setiap segala sesuatu yang kita kerjakan mempunyai landasan
dan tujuan yang jelas sehingga memantik diri kita untuk melakukan
perbuatan itu tanpa keraguan. Dengan kata lain suatu perbuatan harus
didasarkan pada pengetahuan teologis dan argumentasi rasional. Awal
72
3. agama adalah pengetahuan tentang Tuhan”, maka pengetahuan
tentang Tuhan (teologi) merupakan batu loncatan pertama bagi
kemanusiaan. Kemanusiaan dan akhlak tidak akan pernah memiliki
arti apa-apa tanpa ditopang dengan pengenalan Tuhan. Terkait dengan
adanya perbuatan akhlaki pada manusia, ada dua pendapat yang
menyebut bahwa, pertama perbuatan akhlaki adalah perbuatan yang
langsung diperintahkan oleh agama. Kedua, manusia dapat dididik dan
dibimbing sehingga menyandang kebiasaan, sehingga dari kebiasaan-
kebiasaan itu melahirkan perbuatan akhlaki.
4. Perbuatan manusia yang dapat merugikan orang lain karena
perbuatannya maka itulah yang dinamakan keburukan. Karena tidak
sesuai dengan fungsi dirinya sebagai manusia yang dianugrahi akal
pikiran oleh Allah Swt untuk difungsikan sebagaimana mestinya,
karena akal pikiran merupakan alat untuk mengetahui kebaikandan
keburukan. Dengan kata lain manusia yang tidak memfungsikan
akalnya sebaik-baiknya adalah termasuk manusia yang buruk.
5. Salah satu sebab adanya kecenderungan pada tindakan buruk sehingga
sampai mempertaruhkan tindakan kebaikan pada dirinya, hal demikian
terjadi karena perbuatan akhlaki tidak didasarkan pada pengetahuan
teologis dan tidak memiliki argumentasi logis. Yang ada hanya
indoktrinasi dan taklid sebagai dasar keyakinan perbuatannya.
6. Dalam diri manusia terdapat tiga jenis ego, yakni ego indivdualisme,
ego kekeluargaan dan ego kebangsaan. Tigal hal tersebut yang bisa
dikatakan sebagai pengganggu terwujudnya perbuatan akhlaki.
73
Keberadaan ego ini cukup berbahaya apabila tidak kita kendalikan
sebaik-baiknya. Ego ini semacam virus yang dapat menggerogoti
energy akhlaki sedikit demi sedikit sehingga membuat dorongan
perbuatan akhlaki menjadi lemah.
7. Akal memiliki fungsi yang luar biasa. Karena akalnya manusia
diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan pilhannya.
Sedangkan hewan tidak diberikan kebebasan memilih karena dia tidak
dianugrahi akal pikiran oleh Allah swt, yang merupakan alat untuk
memilih dan menentukan tindakannya1. Namun kebebasan memilih
yang dimiliki manusia, harus dapat dipertanggung jawabkan.
Sehingga manusia dengan segala kelebihannya, boleh disebut jahat
dan baik, tergantung pada tindakan yang dipilih melalui pikirannya.
B. Saran
Pesan yang ingin disampaikan penulis adalah, Murtadha muthahhari
merupakan tokoh muslim yang banyak menghasilkan karya tulis yang
membahas tentang berbagai aspek kehidupan secara mendalam, tentang
politik, pendidikan, sosial, filsafat, agama dan berbagai bidang lainnya.
Yang terakhir penulis berharap adanya saran dan krtikan yang
konstruktif guna untuk sempurnanya skripsi ini dan pribadi penulis
sendiri. semoga nantinya atas dasar saran dan kritikan dari para pembaca,
penulis bisa menulis karya-karya ilmiah lainnya yang lebih baik.
JazakumullahaKhairankKatsiran.
1 Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, (Bandung; MIzan, 2017). H. 136
74
DAFTAR PUSTAKA
Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta; RAJAWALI PERS, 2010
Algar, Hamid , “Hidup dan Karya Murthada Muthahhari,” Dalam Haidar baqir
Penyunting
Amin, Ahmad. Ilmu Akhlak, Terj. K.H. Farid Ma’ruf dari judul Asli al-akhlak,
Jakarta; Bulan Bintang, 1975
Alfan, Muhammad. Filsafat Etika Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2011
Abd Haris, Etika Hamka, Yogyakarta; LKis, 2001
Baqir, Haidar. Murthada Muthahhari Sang Mujahid Sang Mujtahid, Bandung;
Yayasan Muthahhari, 1993
Dahlan, Abdul, Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (jakarta; Karya Unipers,
2003)
Hasan, Musthofa. Sejarah Filsafat Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2015
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat Bandung;
Mizan, 1994
Kartanegara, Mulyadhi. Lentera Kehidupan, Bandung; MIzan, 2017
K. Bertens, Etika, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2011
Khomeini, Imam. Islam dan Revolusi, Terj. Hamid Algar Berkeley; Mizan Press,
1981
Muthahhari , Murtadha. Filsafat Akhlak, Jakarta, Rausyan Fikr, 2014
Muthahhari, Murtadha. Manusia Seutuhnya, Jakarta; Sadra Press, 2012
Muthahhari, Murtadha. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Terj. Ibrahim Jakarta; Pustaka
Zahra, 2003
Muthahhari, Murtadha. Sang Mujahid, Sang Mujtahid, Bandung; Yayasan
Mutahhari, 1988
Muthahhari, Murthada. Kritik Islam Terhadap Materialisme, Terj. Akmal Kamil
Jakarta; Al-Huda, 2001
Muthahhari, Murtadha. Filsafat Hikmah. Terj. Akmal Kamil Jakarta; Islamic
Center Jakarta al-huda, 2001
75
Muthahhari, Murtadha. Manusia Sempurna, Yogyakarta; Rausyanfikr, 2012
Muthahhari, Murtadha. Fitrah, Jakarta; Penerbit Lentera, 1998
Muthahhari, Murtadha. Masyarakat dan Sejarah, Bandung; Mizan, 1986
Muthahhari, Murtadha. Islam Agama Keadilan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988
Muthahhari, Murtadha. Filsafat Perempuan dalam Islam, Yogyakarta;
RausyanFikr, 2012
Muthahhri, Murtadha. Keadilan Ilahi, Bandung; Mizan, 2009
Muthahhari,fMurtadha.dWacanadSpritual,dJakarta;dFirdaus,c1999
Mustofa, Filsafat Islam. Bandung; Pustaka Setia, 2007
N. Atiyeh, George. Rawalpindi, AL-Kindi: Tokoh Filosof Muslim, Bandung;
PUSTAKA, 1983 M
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Iskam, Jakarta; Gaya Media Pratama, 1999
Rahmat, Jalaluddin. “Kata Pengantar”, Dalam Murthada Muthahhari, Perspektif
Al-Quran
Syafi’I, Teologi Syi’ah Murthada Muthahhari, Semarang; Rasail, 2004
Syukur, Suparman. Etika Religius, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2009
Salam, Burhanuddin , Etika Individual,Jakarta; Rineka Cipta, 2000
Sobur, Alex, Kamus Besar Filsafat, Bandung; CV PUSTAKA SETIA, 2017
Zulkifli, Jamaluddin. Akhlak Tasawwuf, Yogyakarta; Kalimedia, 2018
Sumber internet:
http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-sopan-santun-dan-ramah-
tamah/