pneumocystis pneumonia.pdf

22
1 PENDAHULUAN Pneumocystis jirovecii pneumoniamerupakan penyakit infeksi paru yang biasanya menyerang pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun. Pneumocystis jirovecii pneumonia disebabkan oleh suatu organisme yang disebut Pneumocystis jirovecii. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab kematian pada penderita immunocompromised seperti pada penderita human immunodeficiency virus / acquired immunodeficiency syndrom (HIV-AIDS), pasien yang sedang menjalani kemoterapi, pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid jangka lama, pasien dengan malnutrisi protein dan pasien dengan penyakit keganasan hematologi. Pernah dilaporkan pula terjadi penularan pneumocystis jirovecii melalui transplantasi organ. 1,2 Pneumocystis jirovecii mempunyai distribusi hampir di seluruh dunia dan manusia menjadi tempat berkembang biaknya organisme ini. Pneumocystis jirovecii tidak menginfeksi manusia dengan kekebalan tubuh yang normal.Studi terbaru menunjukkan Pneumocystis jirovecii dapat menginfeksi manusia pada kondisi immunodeficiency. Selain itu Pneumocystis pneumonia diyakini dapat muncul pula dari reaktivasi infeksi laten. Hal ini membuktikan telah terjadi pajanan di masa lampau dan menjadi aktif beberapa tahun kemudian. 3 Dahulu saat penyakit HIV-AIDS belum menjadi suatu epidemi penyakit ini masih jarang ditemukan. Saat ini pneumocystis jirovecii yang termasuk infeksi oportunistik ini mulai sering dijumpai seiring semakin meningkatnya jumlah penderita HIV-AIDS terutama pada stadium lanjut. Pada awal terjadi epidemi AIDS sebanyak 75% penderitanya terinfeksi Pneumocystis jirovecii.Sekitar dekade 1980-an diperkirakan sebanyak 75% penderita HIV di Amerika Serikat menderita Pneumocystis jirovecii pada stadium lanjutnya. Insidens Pneumocystis jirovecii di negara tersebut adalah 20 kasus per 100 penderita HIV dengan jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mm3.Pada suatu penelitian di spanyol tahun 2008 dari 233 pasien yang terinfeksi HIV, sebanyak 73% positif terinfeksi pneumocystis jirovecii. Di Myanmar pada tahun 2003 sebanyak 60 penderita HIV-AIDS yang terinfeksi P. Jirovecii adalah sebanyak 30%, dibandingkan dengan Zimbabwe sebanyak 22% (McLeod et al, 1989) dan Malaysia sebanyak 22,7% (Cheong et al, 1997). 3,4,5 Di Indonesia data Pneumocystis jirovecii pneumonia sangat terbatas. Lydia dkk melaporkan prevalens Pneumocystis pneumonia adalah 13,4% berdasarkan gejala dan

Upload: c-hendra-wijaya

Post on 19-Jul-2016

128 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

1

PENDAHULUAN

Pneumocystis jirovecii pneumoniamerupakan penyakit infeksi paru yang

biasanya menyerang pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun.

Pneumocystis jirovecii pneumonia disebabkan oleh suatu organisme yang disebut

Pneumocystis jirovecii. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab kematian pada

penderita immunocompromised seperti pada penderita human immunodeficiency virus /

acquired immunodeficiency syndrom (HIV-AIDS), pasien yang sedang menjalani

kemoterapi, pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid jangka lama, pasien dengan

malnutrisi protein dan pasien dengan penyakit keganasan hematologi. Pernah dilaporkan

pula terjadi penularan pneumocystis jirovecii melalui transplantasi

organ.1,2

Pneumocystis jirovecii mempunyai distribusi hampir di seluruh dunia dan

manusia menjadi tempat berkembang biaknya organisme ini. Pneumocystis jirovecii

tidak menginfeksi manusia dengan kekebalan tubuh yang normal.Studi terbaru

menunjukkan Pneumocystis jirovecii dapat menginfeksi manusia pada kondisi

immunodeficiency. Selain itu Pneumocystis pneumonia diyakini dapat muncul pula dari

reaktivasi infeksi laten. Hal ini membuktikan telah terjadi pajanan di masa lampau dan

menjadi aktif beberapa tahun kemudian.3

Dahulu saat penyakit HIV-AIDS belum menjadi suatu epidemi penyakit ini

masih jarang ditemukan. Saat ini pneumocystis jirovecii yang termasuk infeksi

oportunistik ini mulai sering dijumpai seiring semakin meningkatnya jumlah penderita

HIV-AIDS terutama pada stadium lanjut. Pada awal terjadi epidemi AIDS sebanyak

75% penderitanya terinfeksi Pneumocystis jirovecii.Sekitar dekade 1980-an

diperkirakan sebanyak 75% penderita HIV di Amerika Serikat menderita Pneumocystis

jirovecii pada stadium lanjutnya. Insidens Pneumocystis jirovecii di negara tersebut

adalah 20 kasus per 100 penderita HIV dengan jumlah CD4 kurang dari 200

sel/mm3.Pada suatu penelitian di spanyol tahun 2008 dari 233 pasien yang terinfeksi

HIV, sebanyak 73% positif terinfeksi pneumocystis jirovecii. Di Myanmar pada tahun

2003 sebanyak 60 penderita HIV-AIDS yang terinfeksi P. Jirovecii adalah sebanyak

30%, dibandingkan dengan Zimbabwe sebanyak 22% (McLeod et al, 1989) dan

Malaysia sebanyak 22,7% (Cheong et al, 1997).3,4,5

Di Indonesia data Pneumocystis jirovecii pneumonia sangat terbatas. Lydia dkk

melaporkan prevalens Pneumocystis pneumonia adalah 13,4% berdasarkan gejala dan

Page 2: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

2

tanda klinis yang dialami pasien. Pada tahun 2009 jumlah pasien pneumocystis pada RS

Persahabatan dan RSCM adalah 14,55% dari sebanyak 55 pasien yang diteliti. Bila

dibandingkan dengan negara lain angka tersebut masih lebih rendah. Di Afrika pada

tahun 1992 prevalens pneumocystis pneumonia adalah 21%, di Thailand setelah tahun

1992 mencapai 30%, di Asia Selatan angka kejadian mencapai 66% sedangkan di

Filipina adalah sebanyak 30%. Pada penelitian di Panama prevalens mencapai 84% dan

Brazil sekitar 18% sedangkan di India mencapai 12,67% serta di korea selatan sekitar

10%. Penelitian di Spanyol ditemukan sebanyak 40% pasien terdeteksi PCP dari jumlah

pasien yang diteliti sebanyak 20 pasien.6Penggunaan terapi profilaksis dan pengobatan

anti retroviral kombinasi pada penderita HIV akhirnya menurunkan jumlah insidens

Pneumocystis jirovecii. Pada periode 1992 hingga 1995 jumlah penderita pneumocystis

jirovecii menurun sebanyak 3,4 % dan menurun sebanyak 21,5 % pada periode tahun

1996 hingga 1998 menurut data Centre for Disease Control and Prevention.Di Eropa

pada akhir dekade 1990an terjadi penurunan angka kejadian Pneumocystis jirovecii

(Santamauro and Stover, 1997).7

ETIOLOGI

Pneumocystis jirovecii pneumonia yang disebabkan oleh organisme

Pneumocystis jirovecii sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii.

Pemberian nama jirovecii sendiri adalah sebagai tanda penghormatan kepada Otto

Jirovec, seorang ahli parasitologi berkebangsaan Cechnya. Organisme ini pertama kali

diidentifikasi oleh Carlos Chagas pada tahun 1909 dari paru guinea pig di Sao Paulo,

Brazil dan Antonio Carinii dari paru tikus yang terinfeksi. Chagas menemukan bentuk

kista pneumocystis dari bagian siklus hidup yang dahulu diduga suatu

Tripanosoma(trypanosoma cruzi) dari jenis protozoa. Kemudian Delanoes menyatakan

bahwa organisme ini bukan termasuk genus trypanosoma tetapi merupakan jenis spesies

baru dan diberi nama Pneumocystis carinii. Pada tahun 1952 Vanek dan Jirovec

melaporkan bahwa organisme ini menyebabkan wabah pneumonia sel plasma interstitial

pada anak-anak panti asuhan yang kekurangan gizi di Iran.4,8

Pada tahun 1988 melalui analisis DNA ditemukan bahwa Pneumocystis

merupakan golongan jamur tanpa komponen ergosterol dalam dinding selnya.

Page 3: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

3

Kemudian pada tahun 1999 dilakukan pengelompokan yang lebih spesifik secara

taksonomi berdasarkan analisis DNA. Pneumocystis carinii dikelompokkan lebih

spesifik menjadi Pneumocystis Carinii f.sp.Carinii (Pneumocystis carinii) dan

Pneumocystis carinii f. sp. Hominis (Pneumocystis jirovecii). Nama baru tersebut tidak

mengubah akronim PCP karena masih dapat diambil dari Pneumocystis

pneumonia.8Pneumocystis pneumonia pada manusia disebabkan oleh Pneumocystis

jirovecii yang berbeda dengan Pneumocystis carinii. Dari dua spesies pneumocystis,

pneumocystis carinii hanya ditemukan pada hewan tikus dan mamalia sedangkan

pneumocystis jirovecii hanya ditemukan pada manusia. Pneumocystis jirovecii adalah

jamur yang bersifat patogen karena kasusnya yang sering ditemukan sebagai penyebab

pneumonia pada pasien immunodeficiency.Contoh orang-orang yang berisiko meliputi

pasien dengan pengobatan anti neoplastik, malnutrisi protein, penggunaan obat-obat

immunosuppressive dan glukokortikoid, orang-orang dengan penyakit keganasan

hematologi (leukemia, limfoma, multiple myeloma) serta orang-orang dengan infeksi

HIV.9

SIKLUS HIDUP

Pneumocystis jirovecii adalah mikroorganisme eukariotik dan uniselular.

Organisme ini memiliki 3 stadium dalam siklus hidupnya yaitu bentuk trofozoit,

sporozoit dan kista. Bentuk kista dan trofozoit dapat ditemukan dalam rongga alveoli

yang terinfeksi. Secara mikroskopis kista berbentuk sferis atau bulan sabit (crescent-

shaped form) berdinding tebal. Inti kista dapat terlihat dengan pulasan Giemsa atau

Hematoksilin. Ukuran diameter kista kira-kira 5-8 m dan bila matang, berisi delapan

sporozoit berdiameter 1-2 um yang akan berkembang menjadi bentuk trofozoit setelah

mengalami ekskistasi. Trofozoit berukuran 1-5 um terlihat sebagai bentuk uniselular

atau ameboid, berdinding tipis, berukuran kecil (2-5 um), pleimorfik, memiliki inti

eksentrik dan sering ditemukan berkelompok. Trofozoit dan sporozoit akan tampak jelas

dengan pewarnaan Giemsa, Gram atau Wright.Siklus hidup dari Pneumocystis jirovecii

dapat dilihat pada gambar 1.8

Secara umum siklus hidup Pneumocystis digambarkan oleh John J. Ruffolo,

Ph.D terbagi menjadi 2 yaitu aseksual dan seksual. Pada fase aseksual bentuk trofozoid

Page 4: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

4

akan bereplikasi melalui proses mitosis yaitu sebuah sel trofozoid akan membelah

menjadi 2 di mana trofozoid kedua mempunyai genetik yang sama dengan trofozoid

awal. Pada fase seksual bentuk trofozoid yang haploid akan berkonjugasi menjadi satu

dan akan menghasilkan bentuk kista dini yang diploid (diploid precyst) atau zigot.

Kemudian zigot akan membelah diri secara meiosis dilanjutkan dengan membelah diri

secara mitosis untuk menghasilkan 8 nukleus yang haploid atau kista matur. Kista matur

mengandung 8 sporozoit yang berbentuk sferis atau memanjang yang kemudian akan

berelongasi dan akan memicu sporozoit keluar dari kantongnya pada fase ekskistasi

(excystment phase)sebagai trofozoid yang baru.8

Gambar 1. Siklus hidup Pneumocystis jirovecii

Dikutip dari (8)

Page 5: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

5

PATOGENESIS

Penularan Pneumocystis jirovecii terjadi melalui respiratory droplet infection,

terhirup atau kontak langsung dengan penderita dalam bentuk infektifnya yaitu kista.

Dilaporkan pula bahwa transmisi dapat terjadi secara in utero dari ibu ke bayi yang

dikandungnya namun dengan trofozoid sebagai bentuk infektifnya. Dalam bentuk kista

Pneumocystis jirovecii terhirup oleh manusia dan sampai ke alveoli dan melekat pada

permukaan sel alveolar tipe I. Perlekatan itu diperantarai oleh major surface

glycoprotein (MSG) yaitu suatu antigen yang paling banyak ditemukan pada permukaan

sel pneumocystis dan berperan penting dalam interaksinya dengan pejamu serta

menimbulkan suatu respon imun. Individu dengan sistem imun intak akan mengontrol

infeksi primer itu dan mikroorganisme tersebut tetap berada di dalam paru secara laten.

Penyakit akan muncul bila suatu ketika terjadi gangguan atau defisiensi sistem

imun.10,15

Pada proses infeksi lebih lanjut di alveoli pneumocystis jirovecii akan berkembang biak

di paru dan menstimulasi pembentukan eksudat yang eosinofilik yang mengisi ruang

alveoli. Eksudat mengandung histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan

kerusakan alveoli paru sehingga menurunkan fungsi difusi sebagai bagian dari proses

oksigenasi. Pada keadaan lanjut interstisium paru menebal (edema interstitial) dan

menjadi fibrosis. Pada akhirnya dapat terjadi kegagalan proses difusi di paru

dikarenakan blokade alveoli hingga ke bronchial oleh massa jamur yang

berproliferasi.8,15

Dinding alveoli yang menebal dan alveoli sendiri yang berisi eksudat

eosinofilik, yang mengandung histiosit, limfosit sel plasma dan mikroorganisme itu

sendiri memberi gambaran seperti sarang lebah (honeycomb appearance).Reaksi

inflamasi di paru lebih berpotensi menimbulkan kerusakan paru dibandingkan efek

virulensi Pneumocystis jirovecii itu sendiri. Penelitian selanjutnya memperlihatkan

kondisi pemulihan kekebalan pada tikus yang terinfeksi menunjukkan terjadi

peningkatan sitokin proinflamasi dan kemokin di paru sebagai tanda bahwa sistem imun

mulai bekerja.15

Pada penelitian Limper dkk, ditemukan bahwa jumlah P. jirovecii pada

pasien dengan AIDS adalah lebih tinggi dibandingkan pasien PCP lainnya dan memiliki

jumlah netrofil lebih sedikit di dalam sampel cairan BAL. Maka diambil suatu hipotesis

bahwa inflamasi paru berkontribusi terhadap kerusakan paru pada pasien PCP.10

Page 6: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

6

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis Pneumocystis pneumonia meliputi demam yang tidak terlalu

tinggi, batuk yang non produktif dan sesak napas yang terjadi secara subakut 2 minggu

atau lebih.Gambaran penyakitnya akan berbeda pada pasien AIDS dan pasien tanpa

sindroma AIDS. Pada pasien bukan AIDS onsetnya tidak jelas dengan masa inkubasi

sampai 2 bulan. Batuk nonproduktif merupakan gejala yang tipikal dan dapat berlanjut

hingga kapasitas ventilasinya menurun. Meski gangguan pernapasannya menjadi berat,

tanda-tanda kliniknya tidak begitu jauh dari normal. Pasien mungkin afebris, jumlah sel

darah putih normal atau meningkat sedikit, dan mungkin terdapat eosinophilia. Pada

bayi di bawah 3 bulan dapat timbul batuk-batuk, takipnea, dengan episode apnea. Pada

pemeriksaan fisik biasanya terdapat ronki yang difus.9,11

Pada pasien dengan AIDS, masa inkubasinya lebih lama, rata-rata sekitar 40 hari

tetapi dapat sampai setahun dengan berat badan menurun, malaise, diare, batuk

nonproduktif, dispnea progresif dan demam ringan. Pada pemeriksaan dada, ronki dapat

ada atau tidak ada. Laporan-laporan menunjukkan bahwa sebanyak 28% dari pasien

terindikasi P. jiroveciifoto toraksnya normal serta kelainan fisik di dadanya tidak ada

atau tidak jelas. Klinisi diharapkanwaspada akan kemungkinan infeksi pneumocystis

bila ditemukan bintik seperti kapas di fundus mata, terutama bila tidak ada diabetes atau

hipertensi. Meskipun P. jirovecii telah ditemukan pada berbagai jaringan seperti

kelenjar limfe, limpa, hati, darah perifer, lambung, usus kecil, sumsum tulang,

miokardium, kelenjar adrenal dan tiroid, penyebaran yang berasal dari paru-paru sangat

jarang. Dapat ditemukan juga cairan serosa dan sel-sel lain di rongga interstisial dan

alveoli paru-paru.11,12,13

Tabel 1. Derajat Tingkat Keparahan Pneumocystis Pneumonia

Derajat Kriteria klinis

Ringan Sesak napas saat beraktivitas ringan, batuk, berkeringat.

PaO2 > 80 mmHg, SaO2 > 96%

Gambaran foto toraks dapat normal atau terdapat infiltrat di perihiler

yang minimal.

Page 7: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

7

Sedang Sesak napas saat beraktivitas sedang, demam dengan atau tanpa

berkeringat.

PaO2 60-80 mmHg, SaO2 91-96%

Gambaran foto toraks terdapat infiltrat interstitial bersifat difus.

Berat Sesak napas saat beristirahat, demam dan batuk yang persisten.

PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 91%

Gambaran foto toraks terdapat infiltrat yang ekstensif dengan atau

tanpa infiltrat alveolar.

Dikutip dari (30)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis Pneumocystis jirovecii masih menjadi tantangankarena gejala dan

tandanya yang masih kurang spesifik, selain terdapat perbedaan gejala pada pasien HIV-

AIDS dengan pasien tanpa infeksi HIV.Pada pasien AIDS yang dicurigai menderita

pneumocystis, meskipun kelainan laboratorisnya tidak terlalu abnormal dapat terjadi

dyspnea berat dan hipoksemia. Diagnosis biasanya berdasarkan pada penemuan

organisme tersebut dari bahan pemeriksaan jaringan paru-paru. Sebelum timbulnya

wabah AIDS prosedur pilihan adalah biopsi paru terbukatetapi prosedur ini mempunyai

risiko terjadinya perdarahan dan pneumotoraks. Pada pasien yang mengidap kista dalam

jumlah besar prosedur yang kurang invasive dapat juga dipakai untuk menemukan

organisme ini. Pada pasien-pasien ini biopsi transbronkial (93%) merupakan cara yang

paling berhasil dalam menemukan organismenya.16

Bronchoalveolar lavage dapat membantu apabila terdapat kontraindikasi

terhadap biopsi. Pada 171 pasien yang diketahui atau dicurigai menderita AIDS, bila

dilakukan bronkoskopi disertai bronchoalveolar lavage dan biopsi transbronkial,

sensitivitas terhadap infeksi P. jirovecii mencapai 100% (Broaddus dkk, 1985). Teknik

lain yang kurang efektif yaitu apusan transtrakeal, apusan bronkial dan bilasan bronkial.

Sputum dapat digunakan sebagai cara untuk menemukan organismenya tetapi

memerlukan bahan yang banyak untuk dapat menemukan parasit tersebut.16

Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kista atau trofozoit

pneumocystis dalam sediaan bahan sample pasien misal dari bilasan bronkus, biopsi

Page 8: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

8

atau sputum. Berbagai macam jenis pulasan telah digunakan untuk mendeteksikista

pneumocystis antara lain: modifikasi tahan asam Gram-Wiegart, cresylecht violet, biru

toluidine, acridine orang, pulasan Gomori’s methenamine silver dan pulasan fiksasi

aseton-alkohol. Pewarnaan konvensional yang paling sering digunakan adalah Gomori

Methenamine Silver (GMS) untuk mendeteksi dinding kista, serta giemsa dengan

modifikasi untuk mendeteksi semua stadium pneumocystis.14

Bila sediaan dipulas dengan Giemsa, kista tampak sebagai daerah yang terang

berisi sampai 8 titik, yang merupakan inti dari sporozoit dalam dinding kista (Gambar

2). Pada bentuk trofozoit lebih sulit ditemukan dan diidentifikasi daripada bentuk kista.

Organisme juga dapat terlihat dengan pewarnaan Gram, tetapi teknik ini tidak sepeka

teknik lainnya (Felegie dkk, 1984). Sedangkan apabila menggunakan pewarnaan GMS

sensitivitasnya dalam mendeteksi pneumocystis dari sediaan bilasan bronkus mencapai

70-92%, bila dikombinasikan dengan pemeriksaan sediaan biopsi transbronkial

sensitivitasnya dapat mencapai 100% (Gambar 3). Induksi sputum merupakan prosedur

pemeriksaan yang lebih sederhana serta noninvasif dibandingkan bilasan bronkus atau

biopsi transbronkial, tetapi sensitivitasnya menggunakan pewarnaan konvensional

hanya 35-78%. Pengembangan teknik pewarnaan imunositokimia dilaporkan

meningkatkan sensitivitas pemeriksaan induksi sputum hingga 97%.14

Gambar 2. Kista Pneumocystic jirovecii dengan pewarnaan Giemsa

Dikutip dari (14)

Page 9: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

9

Gambar 3. Kista Pneumocystic jirovecii dengan pewarnaan

Gomori Methenamine Silver

Dikutip dari (14)

Tabel 2. Teknik Pemeriksaan Pneumocystis jirovecii

No Teknik pemeriksaan Hasil Komplikasi Keterangan

1. Sputum rutin Kurang Jarang Dibutuhkan kultur

2. Induksi sputum 30-75% Jarang Pilihan utama, sesuai

pada pasien AIDS

3. Aspirasi transtrakeal Sedang (dengan

pengalaman)

Perdarahan, emfisema

subkutan.

Angka keberhasilan

Masih jarang.

4. Gallium scan Tidak spesifik Risiko jarum suntik

pasien yang terinfeksi.

Angka keberhasilan

untuk positif > 95%

5. Bronchoalveolar

lavage (BAL)

>50% (>95% pada

penderita AIDS)

Perdarahan,

bronkospasme.

Merupakan pilihan

terakhir.

6. Brushing (BAL) sda sda -

7. Transbronchial biopsi >90% Pneumotoraks -

8. Biopsi paru terbuka >95% (pada semua

pasien)

Efek anestesia,

Luka infeksi.

Bahan sample lebih

besar.

9. Aspirasi jarum

(Needle aspirate)

<60% Perdarahan,

pneumotoraks.

Baik bila dilakukan

di tempat lesi.

Dikutip dari (16)

Page 10: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

10

Radiologi

Pada pemeriksaan radiologis foto toraks memperlihatkan infiltrat bilateral difus

yang dapat meningkat menjadi homogen. Infiltrat bilateral dapat simetris mulai dari

hilus hingga ke perifer dan dapat pula meliputi seluruh lapangan paru. Kadangkala

ditemukan pula gambaran berupa nodul soliter atau multipel, kavitas, kista, bulla atau

pneumatocele dan konsolidasi. Pada 2-6% kasus dapat ditemukan gambaran

pneumotoraks. Ditemukan pula gambaran emfisema yang meluas hingga menyerupai

gambaran sarang lebah (honey comb appereance). Ditemukan gambaran foto toraks

yang normal pada 10-40% kasus namun bila dilakukan CT scan dapat ditemukan

gambaran ground glass atau lesi kistik. Maka apabila gambaran foto toraks terlihat

normal atau meragukan tetapi gejala klinis mendukung ke arah pneumocystis dapat

dianjurkan pemeriksaan CT scan atau High Resolution Computed Tomography.23

Pada beberapa kasus pemeriksaan HRCT menunjukkan sensitivitas mencapai

100% spesifitas mencapai 86% serta akurasi 90%. Pada pemeriksaan HRCT untuk

kasus pneumocystis pneumonia seringkali ditemukan gambaran ground glass opacity

yang difus atau patchy yaitu sebanyak 92%. Penelitian lain menemukan gambaran kistik

33%, nodul sentral lobuler 25% limfadenopati 25% dan efusi pleura 17%. Pada

beberapa kasus gambaran bronkus yang lebih gelap (dark bronchus appereance) sangat

bermanfaat untuk mengidentifikasi gambaran ground glass opacity yang difus.

Gambaran bronkus yang lebih gelap terjadi oleh karena udara mengisi area bronkusyang

dikelilingi oleh parenkim paru yang berisi sel-sel inflamasi dan eksudat. Pemeriksaan

HRCT dapat memberikan hasil pemeriksaan yang lebih akurat dan dapat mendiagnosis

lebih dini pada pasien yang memiliki foto toraks yang tampak normal.23,24

Gambar 4. Infiltrat interstitial bilateral yang homogen

Dikutip dari (26)

Page 11: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

11

Gambar 5. Emfisema yang tersebar meluas disertai infiltrat interstitial

multifokal pada kasus yang berat

Dikutip dari (26)

Gambar 6. Gambaran infiltrat ground glass dan pneumatokel yang multipel

Dikutip dari (26)

Pemeriksaan Laboratorium

Berdasarkan penelitian terbaru pemeriksaan serum Beta-D-glucan merupakan

pemeriksaan yang potensial dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mendiagnosis

pneumocystis jirovecii. Beta-D-glucan sendiri merupakan komponen dinding sel jamur

termasuk jenis pneumocystis jirovecii. Sensitivitas pemeriksaan beta-D-glucan dalam

mendiagnosis pneumocystis jirovecii mencapai 92% serta spesifitasnya mencapai 65%.

Pemeriksaan beta-D-glucan berdasarkan reaksi antigen-antibodi untuk mendeteksi suatu

infeksi jamur di dalam darah manusia telah diakui oleh Food and Drug Administration.

Page 12: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

12

Walaupun demikian cara pemeriksaan ini masih jarang digunakan di Indonesia selain

biayanya yang relatif mahal.15

Pemeriksaan laboratorium lainnya adalah pemeriksaan kadar serum lactate

dehydrogenase (LDH) dalam darah yang merupakan enzim yang terdapat di dalam

sitoplasma dari sel pada semua sistem organ tubuh. Apabila terdapat peningkatan kadar

LDH maka dapat dideteksi telah terjadi kerusakan dari suatu sel organ tubuh tertentu.

Pada pasien dengan diagnosis pneumonia peningkatan kadar serum LDH dikaitkan

dengan kerusakan pada jaringan paru. Tetapi hal tersebut lebih menggambarkan proses

inflamasi paru itu sendiri dibandingkan merupakan suatu petanda khusus dari infeksi

pneumocystis jirovecii sehingga dapat dikatakan bahwa pemeriksaan ini kurang

spesifik. Pada penelitian di German dengan menggunakan pemeriksaan LDH hasilnya

adalah pada pasien HIV-AIDS sensitivitasnya mencapai 100% dan spesifitasnya

mencapai 47%. Sedangkan pada pasien non HIV sensitivitasnya mencapai 63% dan

spesifitasnya mencapai 43%. Secara keseluruhan keakuratan pemeriksaan LDH untuk

mendiagnosis pneumocystis pneumonia adalah 52%, pada pasien non HIV 51%

sedangkan pada pasien HIV 58%.17

Polymerase Chain Reaction

Penggunaan Polymerase Chain Reaction dalam mendiagnosis Pneumocystis

pneumonia pertama kali dilaporkan oleh Wakefield dkk. Pemeriksaan PCR dilaporkan

dapat meningkatkan sensitivitas deteksi Pneumocystis hingga 86-100% dari sediaan

induksi sputum. Beberapa penelitian menggunakan PCR telah berhasil mendeteksi P.

Jirovecii pada individu yang sediaan pewarnaannya negatif. Sebagian pasien tersebut

memperlihatkan gejala klinis, sebagian lagi tidak sehingga memungkinkan dugaan

kolonisasi asimtomatik. Pemeriksaan P. Jirovecii secara kuantitatif menggunakan real-

time PCR memungkinkan dibedakannya kolonisasi komensal dengan patogen secara

cepat dan akurat.18,19,20

Flori dkk. membandingkan pemeriksaan realtime PCR dengan PCR

konvensional serta teknik pewarnaan dalam diagnosis pneumocystis pneumonia. Nilai

sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan real-time PCR adalah 100% dan 87% sedangkan

teknik pewarnaan adalah 60% dan 100%. Penggunaan real-time PCR telah memberikan

Page 13: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

13

pencerahan dalam pengembangan studi epidemiologi di antaranya dalam hal

peningkatan kecepatan reaksi yang diperlukan dan keleluasaan ruang lingkup.

Pengembangan real-time PCR memungkinkan pemeriksaan secara kuantitatif untuk

membedakan keadaan komensal atau infeksi subklinis dengan patogen dalam waktu

singkat namun memerlukan tingkat keterampilan teknis yang tinggi, dukungan fasilitas

yang memadai dan biaya penyediaan alat yang tinggi.20,21,22

PENGOBATAN

Pneumocystis pneumonia yang tidak diterapi dapat berakibat fatal. Pengobatan

pneumocystis pneumonia tergantung pada berat ringannya penyakit. Pengobatan

pneumocystis pneumonia pada kasus ringan dapat ditatalaksana secara oral atau rawat

jalan. Sedangkan pada kasus sedang hingga berat biasanya memerlukan perawatan di

rumah sakit dan pemberian obat secara intravena. Trimetoprim sulfametoksazol (TMP-

SMZ) merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan pneumocystis pneumonia. Obat

ini terdiri dari 2 antimikroba yang bekerja secara bersinergi terhadap berbagai macam

bakteri dengan cakupan yang luas. Bila digunakan secara individual TMP dan SMX

merupakan agen bakterisid yang lemah, tetapi ketika diberikan bersama-sama keduanya

menjadi agen bakterisid yang kuat terhadap berbagai macam bakteri.Terapi oral TMP-

SMZ dosis 960 mgtiga kali sehari diberikan selama 14-21 hari pada pneumocystis kasus

ringan. Pada kasus sedang hingga berat diberikan dosis oral TMP 15 mg/kgBB/hari dan

SMZ 75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 21 hari.25,26

Pada pasien tanpa infeksi HIV terapi harus sudah dimulai dalam 4 sampai 5 hari.

Pada pasien dengan HIV terapi dimulai biasanya lebih lama tetapi sudah harus dimulai

dalam 8 hari pertama. Pada kasus sedang hingga berat pasien diobservasi dalam 24 jam

pertama saat dimulainya terapi pertama. Lama pengobatan pada pasien dengan infeksi

HIV adalah 21 hari sedangkan pada pasien tanpa infeksi HIV lama pengobatan adalah

14 hari. Durasi yang lama pada pengobatan pasien terinfeksi pneumocystis disertai

dengan infeksi HIV adalah karena respon yang lambat terhadap terapi dibandingkan

pasien yang tidak terinfeksi HIV.Dosis pengobatan ini harus disesuaikan dengan kondisi

hati dan ginjal pasien. Pemilihan pengobatan termasuk jenis obat-obatan dan perlu

tidaknya pasien dirawat diputuskan oleh tim dokter yang mengobati serta tergantung

Page 14: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

14

dari derajatberat penyakit saat diagnosis (Tabel 3).Secara umum pengobatan parenteral

lebih disukai dalam pemberian antibiotik pada pasien dengan tingkat penyakit sedang

hingga berat atau pada pasien dengan gangguan pencernaan.26,27

Tabel 3. Penatalaksanaan Pneumocystis pneumonia berdasarkan derajat penyakit

dengan pengobatan TMP-SMZ

Derajat Penyakit Tatalaksana

Ringan TMP-SMZ oral 960 mg 3 kali sehari selama 21 hari atau 14 hari

bila respon baik.

Sedang Perlu dipertimbangkan rawat inap.

TMP-SMZ oral 960 mg 3 kali sehari selama 21 hari.

Berat Rawat inap, TMP-SMZ i.v atau oral dosis TMP 15 mg/kgBB/hari

dan SMZ 75 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 21 hari.

Dikutip dari (30)

Pengobatan pilihan lain dapat diberikan Trimethoprim oral 15 mg/kgBB/hari

dan Dapson 100 mg/hari selama 21 hari. Pada kasus berat dapat diberikan Pentamidin

intravena 3-4 mg/kgBB/hari selama lebih dari 60 menit selama 21 hari. Terapi lain

adalah Clindamycin intravena dengan dosis 3 x 600-900 mg atau oral 4 x 300-450 mg

ditambah Primakuin oral dosis 1 x 15-30 mg selama 21 hari. Dapat diberikan pula

Atovaquon oral 2 x 750 mg selama 21 hari. Pada kondisi kasus sedang hingga berat

dapat diberikan kortikosteroid bersamaan dengan antibiotik yaitu prednison oral 2 x 40

mg dalam 5 hari pertama, 1 x 40 mg dalam 5 hari berikutnya dan dilanjutkan 20 mg/hari

hingga terapi selesai. Metilprednisolon intravena dapat diberikan dengan dosis awal 4 x

100 mg bila tidak dapat diberikan terapi prednison oral. Bila diberikan terapi

kortikosteroid paling lambat 72 jam pertama sebelum terjadi perburukan.26,28,30

Page 15: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

15

Tabel 4. Pengobatan Pneumocystis pneumonia pada kasus sedang hingga beratdengan

kombinasi kortikosteroid

Jenis Obat Dosis dan cara pemberian

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

TMP 15-20 mg/kgBB/hari dan SMZ 75-100 mg/kgBB/hari

peroral

dalam 3 dosis selama 21 hari.

Kortikosteroid

(Prednison atau

Metilprednisolon)

Prednison 2 x 40 mg peroral dalam 5 hari pertama,

dilanjutkan 1 x 40 mg dalam 5 hari selanjutnya, kemudian

20 mg/hari sampai terapi selesai.

Metilprednisolon 4 x 100 mg secara intravena.

Dikutip dari (26)

Tabel 5. Rejimen Pengobatan Pilihan Lain

Jenis Obat Dosis dan cara pemberian

Trimethoprim dan

Dapson

TMP 15 mg/kgBB/hari peroral dan Dapson 100 mg/hari

peroral selama 21 hari.

Pentamidin Pentamidin 3-4 mg/kgBB/hari secara intravena dalam infus

selama lebih dari 60 menit selama 21 hari.

Klindamisin dan

Primakuin

Klindamisin 600-900 mg secara intravena dalam 3 kali sehari

atau 300-450 mg peroral dalam 4 kali sehari.

Primakuin 15-30 mg/hari peroral selama 21 hari.

Atovaquone Atovaquone 2x750 mg/hari dalam suspensi peroral selama

21 hari.

Dikutip dari (26)

TERAPI PROFILAKSIS

Pemberian terapi profilaksis menggunakan Trimethoprim dan Sulfametoksazol

telah menurunkan prevalens Pneumocystis pneumonia dari 53% pada tahun 1989

Page 16: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

16

menjadi 42% pada tahun 1992. Pemberian highly active antiretroviral therapy

(HAART) juga menurunkan insidens Pneumocystis pneumonia 3,4% setiap tahunnya.

Namun penyakit ini masih menjadi infeksi oportunistik yang tidak dapat diabaikan pada

pasien AIDS serta pasien dengan gangguan sistem imun lainnya.28

Profilaksis primer

diindikasikan pada semua pasien terinfeksi HIV/AIDS dengan sel CD4 kurang dari 200

sel/mm3 atau ditemukan kandidiasis orofarings atau prolong febris. Terapi yang

digunakan adalah TMP-SMZ 960 mg/hari peroral sampai CD4 menetap atau lebih dari

200 sel/mm3 selama 3-6 bulan. Terapi ini diberikan kembali bila sel CD4 turun menjadi

kurang dari 200 sel/mm3 atau terdapat kandidiasis orofaring atau dapat diberikan TMP-

SMZ dosis 960 mg 3 kali dalam seminggu. Pilihan terapi lainnya adalah Dapson dengan

dosis 100 mg/hari. Terapi lainnya adalah Atovaquone 1 x 750 mg dalam 2 kali sehari

atau Pentamidin aerosol 300 mg/bulan dengan nebuliser.26,27

Pasien dengan riwayat PCP disarankan untuk tetap menjalani terapi profilaksis

dengan salah satu rejimen yang disebutkan di atas, bila pemulihan kekebalan tidak dapat

dicapai. Tetapi apabila nilai CD4 di atas 200 sel/mm3 terapi profilaksis dapat

dihentikan. Pemberian terapi profilaksis dapat mulai dilanjutkan kembali (profilaksis

sekunder) apabila jumlah CD4 menurun kembali menjadi kurang dari 200

sel/mm3.28,29,30

Tabel 6. Rejimen profilaksis PCP yang dianjurkan

Jenis Obat Dosis dan cara pemberian

Trimethoprim-Sulfametoxazol TMP-SMZ 1 x 960 mg/hari atau 3 x 960/minggu

Dapson Dapson 1 x 100 mg/hari

Dapson dengan Pirimetamin Dapson 1 x 50 mg/hari dengan Pirimetamin 1 x 50

mg/minggu ditambah Leukovorin 1 x 25 mg/minggu

Atovaquone suspensi Atovaquone susp 1 x 750 mg sehari dua kali

Pentamidin aerosol Pentamidin aerosol dengan dosis 300 mg sebulan

sekali dengan

nebuliser.

Dikutip dari (26)

Page 17: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

17

PROGNOSIS

Prognosis Pneumocystis pneumonia apabila tidak ditatalaksana secara tepat dan

sedini mungkin biasanya buruk. Gejala yang tidak khas pada penderita

immunodefisiensi menyebabkan keterlambatan diagnosis sehingga akibatnya

pengobatan menjadi terlambat. Pneumocystis pneumonia yang terlambat ditangani akan

menyebabkan kegagalan pernapasan yang dapat mengakibatkan kematian. Di Amerika

Serikat sejak penggunaan terapi antiretroviral (ART) dan terapi profilaksis pada pasien

HIV-AIDS angka kejadian pneumocystis pneumonia mengalami penurunan menurut

data Center for Diseases Control and Prevention (CDC). Pada pasien dengan

immunocompromised angka kematian karena pneumocystis pneumonia berkisar antara

5-40% pada mereka yang mendapatkan pengobatan sedangkan pada pasien yang tidak

mendapatkan terapi angka kematian mendekati 100%.28,29

Sebuah penelitian di Thailand oleh Wang dkk pada tahun 2010, ditentukan suatu

prediktor mortaliti di antara pasien PCP dengan HIV-AIDS dengan tujuan agar para

klinisi lebih waspada terhadap kejadian kematian dini pada pasien terduga PCP. Dari 85

pasien yang diteliti angka kematian keseluruhan adalah 37,7%. Faktor yang secara

signifikan berhubungan dengan mortaliti pada pasien PCP adalah umur, tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan oksigen pada arteri (PaO2), jumlah limfosit,

jumlah CD4, serum protein total, albumin dan blood urea nitrogen (BUN). Berdasarkan

analisis multivariat ditentukan tiga prediktor yang berhubungan dengan mortaliti yaitu

tekanan darah sistolik ≤ 110 mmHg, tekanan O2 arteri (PaO2) pada suhu kamar ≤ 60

mmHg dan jumlah limfosit ≤ 10%. Dengan tiga prediktor ini ditentukan pasien dengan

PCP ke dalam 3 grup dengan risiko mortaliti. Bila ≤ 1 prediktor maka angka kematian

mencapai 14%, bila terdapat 2 prediktor angka kematian mencapai 47% dan bila

terdapat 3 prediktor maka angka kematian mencapai 75%.31

Page 18: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

18

KESIMPULAN

1. Pneumocystis pneumonia masih menjadi suatu infeksi oportunistik yang umum

pada pasien dengan HIV-AIDS, selain pasien yang menjalani kemoterapi,

pengobatan imunosupresif dan pasien dengan kondisi immunocompromised.

2. Manifestasi klinis yang kadang-kadang tidak khas pada pasien PCP menyebabkan

keterlambatan diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan

sehingga pada akhirnya meningkatkan risiko kematian.

3. Penegakan diagnosis PCP selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis

ditunjang dengan beberapa pemeriksaan lainnya seperti radiologis, pewarnaan

yang didapat dari bahan sampel (sputum, bilasan, biopsi), pemeriksaan

laboratorium LDH, Beta-D-glucan dan PCR.

4. Penatalaksanaan PCP disesuaikan dengan derajat tingkat keparahan penyakit dan

trimetophrim-sulfamethoksazole masih merupakan obat yang efektif untuk

pencegahan dan pengobatan selain obat alternatif lainnya.

5. Pengobatan profilaksis terhadap pasien HIV-AIDS dapat menurunkan angka

kejadian PCP dan angka kematian pada penderita PCP.

Page 19: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Barry SM, Johnson MA. Pneumocystis carinii pneumonia: a review of current

issues in diagnosis and management. British HIV Association HIV Medicine

2001:vol.2:123-32.

2. Gutierrez S, Morilla R, Leon J, et.al. High Prevalence of Pneumocystis jirovecii

Colonization Among Youth HIV-Infected Patients. Department of Internal

Medicine, Virgen del Rocio University Hospital Spain. Journal of Adolescent

Health 2011:vol.48:103-5.

3. Han K, Mra R, Saw H, Naing W. Pneumocystis Carinii Infection Among Human

Immunodefi-ciency Virus Infected Myanmar Patients. Parasitology Research

Division, Department of Medical Research Myanmar. Southeast Asian Journal

Trop Medicine Public Health, Sept 2003:vol.34:no.3:577-9.

4. Tabarsi P, Baghaei P, Karimi S, Mansoori S. Pneumocystis Pneumonia in Patients

with Human Immunodeficiency Virus. National Research Institute of

Tuberculosis and Lung Disease, Iran. Tanaffos 2007:vol.6:26-9.

5. Rabodonirina M, Vanhems P, Couray S, et al. Molecular Evidence of Interhuman

Transmission of Pneumocystis Pneumonia among Renal Transplant Recipients

Hospitalized with HIV-Infected Patients. Emerging Infectious Diseases

2004:vol.10:1766-72.

6. Rozaliyani A. Karakteristik Klinis, Radiologis dan Laboratoris Pneumonia

Pneumocystis pada Pasien AIDS dengan Gejala Pneumonia di Beberapa Rumah

Sakit di Jakarta, Bagian Pulmonologi FKUI 2009.

7. Maskell NA, Waine DJ, Lindley A, et.al. Asymptomatic carriage of Pneumocystis

jirovecii in subjects undergoing bronchoscopy: a prospective study. Church

Hospital, Oxford UK. BMJ Thorax 2003:vol.58:594-7.

8. Thomas CF, Limper AH. Current insights into the biology and pathogenesis of

Pneumocystis pneumonia. Nature Review Microbiology 2007:vol.5:298-308.

9. Viegas C, MacGregor RR, Collman RG. Management of Pneumocystis carinii

pneumonia in HIV-infected patients: empiric treatment versus microscopic

confirmation. Journal Pneumologi 1997:vol.23:61-5.

Page 20: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

20

10. Sepkowitz A. Opportunistic Infections in patients with and patients without Aquired

Immunodeficiency Syndrom. Journal Oxford Clinical Infection Diseases

2002:34(8):1098-107.

11. Monnet X, Vidal E, Osman D, Hamzaoui O, Durrbach A, et.al. Critical care

management and outcome of severe Pneumocystis pneumonia in patients with and

without HIV infection. University Paris-Sud Hospital France. Journal Critical

Care 2008:vol.12:1-12.

12. Gripaldo R, Lippmann M. Pneumocystis Pneumonia in HIV-Negative Patients: A

Review of the Literature. Clinical Pulmonary Medicine 2012:vol.19:5-11.

13. Matsumura Y, Shindo Y, Yamamoto M, et al. Clinical characteristics of

Pneumocystis pneumonia in non-HIV patients and prognostic factors including

microbiological genotypes. Department of Clinical laboratory Medicine, Kyoto

University, Japan. BioMed Central Infectious Diseases 2011:1-9.

14. Beck JM, Cushion MT. Pneumocystis Workshop: 10th Anniversary Summary.

American Society for Microbiology Eukaryotic Cell 2009:vol.8:no.4:446-60.

15. Onishi A, Sugiyama D, Kogata Y, Saegusa J, et.al. Diagnostic Accuracy of serum

1,3-β-D-Glucan for Pneumocystis jirovecii Pneumonia, Invasive Candidiasis, and

Invasive Aspergillosis: Systematic Review and Meta-Analysis. Department of

Evidence Based Laboratory Medicine Kobe Japan. Journal of Clinical

Microbiology 2011:vol.50:7-15.

16. Elias JA, Fishman AP, Fishman JA, Grippi MA, et.al. Fishman’s Pulmonary

Diseases and Disorders, Fourth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Copyright 2008:vol.2:2351-71.

17. Vogel M, Weissgerber P, Goeppert B, Hetzel J. Accuracy of serum LDH

elevation for the diagnosis of Pneumocystis jirovecii pneumonia. The Eropean

Journal of Medical Sciences 2011:1-4.

18. Samuel C, Whitelaw A, Morrow B, Zampoli M, et.al. Improved detection of

Pneumocystis jirovecii in upper and lower respiratory tract specimens from

children with suspected pneumocystis pneumonia using real-time PCR: a

prospective study. BMC Infectious Diseases 2011:vol.11:1471-2334.

19. Oren I, Hardak E, Finkelstein R, Yigla M, et.al. Polymerase Chain Reaction-

Based Detection of Pneumocystis jirovecii in Bronchoalveolar Lavage Fluid for

Page 21: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

21

the Diagnosis of Pneumocystis Pneumonia. The American Journal of the Medical

Sciences 2011:vol.342:no.3:182-5.

20. Rozaliyani A, Antariksa B, Dianiati KS, Wahyuningsih R. Pemeriksaan Real-time

PCR dalam Diagnosis Pneumonia Pneumocystis. Journal Respirasi Indonesia

2011:vol.31:150-4.

21. Yuan L, Ling G, Qiang C, Ming Q, Wang K, et.al. PCR Diagnosis of

Pneumocystis Pneumonia: a Bivariate Meta-Analysis. Department of Respiratory

Diseases, Guangxi Medical University Republic of China. Journal of Clinical

Microbiology American Society 2011:vol.49:no.12:4361-3.

22. Joly ID, Chabe M, Soula F, Delhaes L, et. al. Molecular diagnosis of

Pneumocystis pneumonia. FEMS Immunology and Medical Microbiology

2005:vol.45:405-10.

23. Yaday P, Seith A, Sood R. The ‘dark bronchus’ sign: HRCT diagnosis of

Pneumocystis carinii pneumonia. Annals of Thoracic Medicine 2007:vol.2:p.26-7.

24. Muller NL, Fraser RS, Lee KS, Johkoh T. Diseases of The Lung. Radiologic and

Pathologic Correlations. Lippincott Williams & Wilkins 2003:59-63.

25. Thomas CF, Limper AH. Pneumocystis pneumonia. The New England Journal of

Medicine 2004:vol.350:2487-95.

26. Castro G, Bryant, Morrison M. Management of Pneumocystis Jirovecii

pneumonia in HIV infected patients: current options, challenges and future

directions. Division of Infectious Diseases, University of Miami Miller School of

Medicine, Miami, Florida, USA.HIV/AIDS-Research and Palliative Care

2010:2:123-34.

27. Krajicek B, Thomas C, Limper A. Pneumocystis Pneumonia: Current Concepts in

Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment. Division of Pulmonary and Critical Care

Medicine, Mayo Clinic, USA. Clinical Chest Medicine 2009:vol.30:265-78.

28. Vilar FJ, Khoo H, Walley T. The management of Pneumocystis carinii

pneumonia. Blackwell Science Ltd Br Journal Clin. Pharmacol.:vol.47:605-9.

29. Fisk M, Sage EK, Edwards SG, Cartledge JD, Miller RF. Outcome from treatment

of Pneumocystis jirovecii pneumonia with co-trimoxazole. University College

London Hospitals. International Journal of STD & AIDS 2009:vol.20:652-3.

30. Adler MW, Miller R. ABC of AIDS fifth edition, AIDS in the lung. University

college London. BMJ Publishing Group ISBN 2001:32-3.

Page 22: PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA.pdf

22

31. Wang HW, Chih Lin C, Feng Kuo C, et.al. Mortality predictors of Pneumocystis

jirovecii pneumonia in human immunodeficiency virus-infected patients at

presentation: Experience in a tertiary care hospital of northern Taiwan. Journal of

Microbiology, Immunology and Infection 2011:vol.44:274-81.

Korektor

Dr. Vinci Edi Wibowo