pluralitas dalam pluralisme agama-kajian kritis pemikiran legenhausen

Upload: rinaldy-damanik

Post on 05-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pluralitas

TRANSCRIPT

PLURALITAS DALAM PLURALISME AGAMA Kajian Kritis Pemikiran Muhammad LegenhausenOleh: Dian Fafah*1. Sejarah Pluralismekita perlu memaknai ulang pluralitas. kita layak untuk menentukan makna pluralisme yang paling tepat, khususnya pluralisme agama, karena ini berkaitan dengan konsep kita tentang Tuhan dan melembaga dalam konstitusi yang disebut agama. Jangan-jangan kita mereduksi Tuhan dengan pemikiran pluralitas. kita akan menganalisa aneka rupa pandangan pluralisme.Akar kata pluralisme adalah plural. Ia berasal dari bahasa Yunani yaitu pluris yang berarti lebih dari satu. Sebagai pijakan awalnya saja untuk memahami pluralisme, dalam kamus filsafat The Balckwell Dictionary of Western Philosophy (2004), pluralisme terkait dengan doktrin bahwa realitas terdiri dari banyak hal dan tidak ada satu konstitusi yang lebih fundamental dengan konstitusi lainnya. Sehingga, tidak mungkin melakukan reduksi terhadap segala yang ada di realitas untuk memandang bahwa ada satu atau dua prinsip tertinggi (monisme atau dualisme)ini menggunakan pendekatan etika. Adapun dalam sisi yang lebih umum pluralisme menunjukkan bahwaAda banyak dunia yang dapat kita bangun tergantung penggunaan sistem yang dipilih. Sedangkan konsep sistem tersebut beragam dan beraneka standar pengukurannya. Maka, pluralisme yang memahami keberagaman juga memiliki keberagaman lagi dari sisi standar pengukuran keberagamannya.Dari sisi penggunaannya, sejak awal, istilah pluralisme masih terus diminati dalam sejarah kajian pemikiran dalam beragam konteks. Terma pluralisme pertama kali digunakan dalam ajaran doktrin metafisika oleh Christian Wolff (1679-1754) dan dipopulerkan oleh William James (1842-1910 dimana ia menggunakan terma ini dalam konteks moral, pluralisme moral. Pluralitas Metafisika mengungkapkan bahwa ada kebenaran prinsipil yang tak bisa direduksi lagi. Sementara Pluralitas moral meyakini bahwa ada nilai moral yang universal, independen, dan tidak bisa direduksi lagi. Pembahasan ini secara gamblang dituliskan dalam karya Isaiah Berlin (1909-1997) yang berjudul Plurality of Religious Pluralism. Meledaknya perbicangan pluralisme juga tidak lepas dari faktor politik di Eropa, dan John Rawls (1921-2002) mencoba mengupasnya dalam Political Liberalism. Secara komprehensif, ia menyentuh issu tentang sistem religius yang bervariasi, beragam teori sosialisme, etika humanisme, dll. Rawls bertitiktolak pada kajian pemikiran masyarakat demokrasi yang menunjung tinggi keadilan dan penyamarataan. Kemudian pluralisme digunakan untuk membahas keberagaman agama pertama kalinya oleh John Hick, disebut lah pluralisme agama.Jadi, pluralisme laris digunakan dalam beragam aspek kajian pemikiran. Bahkan teologi juga dibangun oleh klaim-klaim pluralisme agama. Ada pun dalam paper ini, penulis bermaksud untuk menggunakan pluralisme dari kacamata agama, pluralisme agama. Yaitu dimana agama dipandang sebagai lembaga yang memiliki dorongan persuasif agar manusia mengikuti ajarannya supaya bisa meraih keselamatan maupun kebenaran. Agama diangkat sebagai kendaraan yang membawa manusia kepada keselamatan dengan jalan kebenaran. Sedangkan agama ada beragam macamnya, masing-masing menawarkan jalan hidupnya yang unik demi meraih keselamatan. Nah, agama sebagai penuntun menuju kebenaran dan keselamatan memiliki beragam pandangan tentang konsep pluralisme. Pluralisme agama merupakan pemikiran bagaimana agama menghadapi keberagaman agama.

2. Posisi Nilai Agama dalam PluralismeDari banyaknya yang melakukan klasifikasi pemikiran pluralisme, Legenhausen secara garis besar membagi pluralisme agama menjadi dua macam: pluralisme reduktif dan pluralisme non-reduktif. Sikap pandang reduksi (pengurangan) atau tidaknya di sini berdasarkan pada nilai agama-agama. Menurut Legenhausen, pandangan pluralisme agama dapat dibagi berdasarkan pada implikasinya dalam melihat nilai keagamaan; yaitu apakah nilai agama itu setara dengan agama-agama lainnya atau kah justru mengakui adanya nilai pada setiap agama namun bergradasi. Tentunya, penamaan ini bersifat subjektif dari sudut pandang Legenhausen sendiri. Dia berpendapat bahwa ada reduksi nilai yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh setiap agama ketika agama disetarakan maka akan ada nilai agama yang tereduksi karena bagaimanapun agama memiliki standar nilainya masing-masing.Pluralis reduktif berpandangan bahwa keberagaman dalam agama dan budaya adalah wujud dari beragamannya hasil spekulasi manusia. Agama adalah bentuk upaya untuk mengekspresikan kebenaran, lalu mempengaruhi manusia dalam bersikap terhadap sesama. Jadi, masing-masing agama memiliki caranya masing-masing dalam berekpresi. Tampaknya, hal ini bisa dianalogikan dengan kelompok manusia yang dibedakan berdasarkan penggunaan kacamata warna. Ada kelompok manusia yang menggunakan kacamata warna merah, ungu, kuning, hijau, coklat, atau bahkan bergaris hitam-putih, dan sebagainya. Setiap kelompok melihat warna yang berbeda terhadap realitas yang ia lihat tergantung warna kacamata yang dikenakannya, padahal realitasnya sama. Inilah yang agama ekspresikan dari apa yang ia pandang sebagai kebenaran mutlak. Dan menurut jenis pluralisme agama yang satu ini, semua agama setara dari nilainya.John Hick yang secara khusus menawarkan pluralisme masyarakat beragama dengan tipe ini. Ia melihat bahwa perbedaan adalah hasil dari pandangan doktrinal manusia yang disepakati secara umum oleh penganutnya. Namun, dibalik beragamnya pola pandangan agama ada prinsip yang secara keseluruhan setiap manusia pasti tidak akan bisa menolaknya. Prinsip kebenaran ini lah yang masuk pada wilayah nalar rasional. Adapun terapannya secara spesifik yang dilakukan oleh agamawan adalah doktrin.Dia percaya diri bahwa solusi keberagaman adalah penyamarataan agama-agama sebagai pembawa ajaran doktrinal dan mereka menyimpan gagasan universal yang sama. Jadi, intinya adalah adanya kebenaran universal yang diyakini oleh mereka. Dengan penekanan ini, dia berpandangan bahwa kalaupun tidak beragama, tapi menghayati kebenaran universal maka orang ini bisa mendapatkan keselamatan. Ini lah pluralisme soteorologis, yaitu doktrin bahwa tidak musti orang beragama yang selamat, norma-norma moral religius menjadi tidak efektif untuk agama semata. Tentang pengalaman religius, Hick percaya bahwa ini sama seperti tangkapan fenomenal tentang realitas absolut. Dalam hal ini Hick mengambil pemikiran Kant. Dia tidak optimis keberhasilan agama melihat realitas absolut secara utuh, mereka berujung pada spekulasi masing-masing tentang kebenaran absolut. Dengan begini, Hick mengupayakan adanya peredaman konflik antar umat beragama dengan berhenti pada prinsip universalnya. Kalau begitu caranya bersikap pluralis, maka memunculkan beberapa konsekuensi logis. Pertama, itu sama saja artinya kita mengeliminasi perbedaan-perbedaan yang ada. Kita hanya mengangkat sisi universalnya, sedangkan bentuk-bentuk spesifik agama, tentunya termasuk tradisi, terpinggirkan. Yang kedua, pada kenyataannya kita temukan konflik terjadi karena perbedaan tradisi-tradisi keagamaan. Hukum agama A berbeda dengan agama B. Belum lagi bila terjadi perbenturan antara hukum agama dengan hukum sekular yang non-nilai agama. Namun lantas, pluralime religius menjawab ini dengan mengatakan bahwa tidak ada makna bagi hukum-hukum agama, dan segala yang menunjukkan perbedaan pada agama layak untuk diabaikan. Kita telah sepakat, bahwa yang utama adalah hukum universalnya. Selain ia mengabaikan hukum agama, yang ketiga, ia mengesampingkan perbedaan agama yang dia sebut sebagai doktrin. Selanjutnya, poin yang keempat adalah, dia menunjukkan pada pengusiran peran nalar pada agama atau apapun yang berkaitan dengan agama. Termasuk di dalamnya ketika terjadi konflik, ia menyerah tanpa ada peran nalar untuk membantu mencari solusi. Kontras, pluralis non-reduktif memandang bahwa kebenaran dan kebaikan ada secara universal diamini oleh seluruh agama, dan juga diturunkan secara spesifik pada aktifitas keagamaan secara unik. Keunikan inilah yang berkaitan erat dengan pluralitas agama. Spesifikasi kebenaran ini terjadi dengan beragam kualitas. Setiap agama selalu berusaha mempertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional dan sesuai dengan prinsip kebenaran universal. Di dalam setiap upaya agama ini mengandung nilai-nilai tertentu, bisa jadi nilai setiap agama itu setara atau bisa juga bergradasi. Titik pembeda antara pluralisme reduktif dengan yang non-reduktif adalah posisi ajaran agama yang berbeda itu apakah sebagai doktrin atau memiliki nilai logis juga. Apakah agama adalah hasil budaya dan latar belakang sejarah, ataukah ada nilai absolut yang dibawanya secara khusus. Nah, setidaknya berdasarkan pemikiran Muhammad Legenhausen, pluralisme percaya dengan pillihan yang kedua. Legenhausen percaya bahwa perbedaan ajaran agama ini adalah perbedaan yang bergradasi. Legenhausen mengajak kita untuk mencari pertanggungjawaban atas ajaran-ajaran agama yang kita imani. Bukan hanya doktrin, bersifat historis, dan kultural, justru sebenarnya ada nilai kebenaran yang selalu dibawa agama untuk merepresentasikan kebenaran dengan ekspresi yang sedekat mungkin dengan nilai kebenaran sebagaimana kebenaran. Setiap agama mengupayakan ini, namun hasil dari upaya ini beragam nilai kedekatannya dengan nilai kebanaran yang absolut; bergradasi.Kebenaran Tuhan bisa ditemukan dengan ekspresi secara berbeda, bahkan mempertentangkan agama-agama, namun tidak berarti bahwa manusia bebas memilih agama apa pun sesuai dengan selera mereka. Ibnu Arabi sendirisaat ditanya oleh penguasa Muslim bagaimana memperlakukan orang Kristenmenjawab bahwa mereka harus diperlakukan persis sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum Islam. Ia menandaskan, adalah wajib bagi masyarakat zaman sekarang untuk mengikuti syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Dalam makna ini, semua agama yang diturunkan sebelumnya menjadi tidak valid (batil) dengan diturunkannya al-Quran. Bukan karena agama tersebut salah, timpalnya, ini pendapat orang tolol, namun bahwa ia menjadi pengikuti syariat Islam yang lebih spesifik ketimbang agama yang diturunkan sebelumnya. Dalam arti ini, semua sistem hukum keagamaan sebelumnya menjadi tidak berarti dan muspora. Lagi-lagi ini bukan karena agama tersebut tidak bernilai, tetapi karena apapun yang dibutuhkan dari mereka telah diwadahi dalam wahyu terakhir.[footnoteRef:1] [1: Muhammad Legenhausen. Satu Agama atau Banyak agama, Kajian Liberalisme dan Pluralisme Agama. Lentera. Hal. 126-127]

3. 7 Model Pluralisme Menurut Nilai Plural yang MendasarPihak yang reduktif dalam pluralisme agama adalah kelompok yang memandang adanya identifikasi elemen umum yang terjadi pada masing-masing agama. Dan agama-agama telah sukses melakukan upaya agar elemen universal tersebut dapat dispesifikasikan. Adapun pluralisme agama non-reduktif adalah pandangan bahwa Tuhan telah memberikan petunjukNya. Petunjuk tersebut adalah batasan elemenpalingumum bagi setiap manusia. Pluralisme juga dibagi ada yang pluralisme yang setara dan ada pluralisme bergradasi. Pluralisme bisa jadi fokusnya pada doktrin, praktiknya, institusi, komunitas, atau orang-orang penganutnya secara individual. Ada 7 tipe pluralisme agama berdasarkan argumentasi tipe nilainya yaitu; soteriologis, normatif, epistemologis, Alethic, etis, deontologis, dan hermetik.[footnoteRef:2] Pada pertimbangan-pertimbangan ini akan terbukti bahwa nilai agama tidak lah selalu setara. [2: Dalam essai bagian introduksi.]

1. Pluralisme Agama Soteriologis (Setertiologic Religious Pluralism/SRP)Pluralisme ini memposisikan agama sebagai penuntun menuju keselamatan. Tujuan yang diharapkan dari agama adalah sejauh mana ia menggiring penganutnya pada keselamatan. Dari sini nilai agama-agama dipertimbangan, apakah setara atau bergradasi. Mungkin kita bisa melihatnya bertingkat-tingkat, tergantung banyaknya umat yang bisa agama rangkul menuju keselamatan.Selanjutnya persoalan agama sebagai penuntun keselamatan juga menjadi dilematis ketika kita mengasumsikan bahwa ada gradasi dalam nilai agamabila kita tidak mau mengatakannya secara ekslusif bahwa ada agama yang satu-satunya benar membawa kebenaran. Padahal pandangan tentang keselamatan juga ada banyak perspektif, masing-masing agama menawarkan bentuk keselamatannya masing-masing. kita juga tidak bisa membandingkannya sehingga mana yang menunjukkan nilai keselamatan lebih tinggi atau rendah.Keselamatan yang ditawarkan ajaran kristen berbeda dengan ajaran Islam, Hindu, maupun Budha. Bisa kah kita menentukan mana yang paling benar? Jika iya, Bagaimana dengan mereka yang telah mengupayakan diri pada jalan keselamatan yang keliru? Penolakan terhadap jalan keselamatan yang lain adalah bentuk esklusifisme. Islam menawarkan jawaban bahwa setiap jalan keselamatan akan diberikan balasannya oleh Tuhan: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin,[footnoteRef:3] siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,[footnoteRef:4] hari kemudian dan beramal saleh,[footnoteRef:5] mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah[2:62]) [3: Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.] [4: Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah Termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.] [5: Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.]

Meskipun begitu, keselamatan yang dimaksud tetap akan simpang siur. Ini karena setiap agama memiliki konsep keselamatannya masing-masing. agama kristen, Hindu, Budha, dan Islam memiliki bentuk tawarannya masing-masing tentang keselamatan yang akan diraih bila kita mengikuti jalan yang dituntun masing-masing agama.

2. Pluralisme Agama NormatifFrancoise Champion adalah salah satu tokoh yang menaruh perhatian pada pluralisme, meskipun sebetulnya dia lebih fokus pada ranah politik. Walau begitu, Legenhausen mengaitkannya dengan pluralisme agama normatif. Dalam pandangan Champion, pluralisme normatif dibagi menjadi dua macam. Yang pertama adalah pluralisme emansipasi-normatif dan yang kedua yaitu pluralisme identitas dasar-normatif. Pluralisme emansipasi-normatif maksudnya adalah setiap pemeluk agama apapun itu layak untuk mendapatkan kesetaraan hak individual. Sedangkan pluralisme identitas dasar-normatif adalah pluralisme emansipasi yang liberal dimana ia mengakui juga kesetaraan hak kelompok. Sebagai individu, memang kita memiliki hak asasi manusia (HAM) untuk memeluk agama yang diimaninya masing-masing dan melaksanakan komitmen yang sudah dituntun oleh agama tersebut. Dalam artian, plurasme normatif sebagai pengakuan hak individu sudah tepat. Para penganut agama katolik berpegang bahwa hak untuk mengamalkan sakramen dibatasi untuk para pendeta, Hindu dikenal dengan pembagian kasta masyarakat penganutnya, dan agama-agama tertentu membolehkan penganutnya menghadiri pertemuan tertentu. setiap pemeluk agama bertanggungjawab dengan hukumnya masing-masing dan memiliki hak sebagaimana yang dicanangkan agamanya.Namun, sebagai bagian dari masyarakat lebih umum, hukum perlu ditegakkan untuk segala macam umat. Para penganut agama yang beraneka. Champion mengajukan pluralisme identitas dasar-normatif untuk problem ini. Namun ini menjadikan pertanyaan bagi kita semua; bagaimana hukum dan kewajiban berasyarakat dapat dibangun di atas masyarakat agama yang heterogen ini. Kita perlu menemukan terlebih dahulu norma paling mendasar bagi seluruh ajaran agama sehingga dapat merangkul norma dan hukum semua agama. Contoh yang paling gamblang adalah negeri kita, Indonesia. Negeri kita adalah negeri heterogen yang penduduknya menganut beragam agama. Padahal Indonesia sendiri ada aturan negara tersendiri, maka bagaimana aturan tersebut dapat ditegakkan di atas agama-agama di negeri kita?

3. Pluralisme Agama EpistemologisSecara epistemologis agama juga boleh jadi bertanggungjawab menjelaskan ajarannya secara rasional. Manusia, sebagai makhluk yang berpikir, niscaya mempertanyakan alasan rasional atas setiap ajaran yang ditawarkan oleh agama-agama. Perkembangan peradaban manusia yang lebih kritis saat ini lah yang semakin mendorong para pemikir mencari epistemologi dari setiap ajaran-ajaran agama. Bahkan lebih jauh lagi, agama dituntut untuk menjelaskan ekspresi pengalaman religius yang dialami oleh penyebar ataupun penganutnya, sehingga dengan begitu mereka menghadirkan ajaran keagamaan. Tentunya hal ini memaksa kita mencari-cari justufikasi agama.Keberagaman agama berarti keberagaman justifikasi. Terdengar naif ketika mengatakan bahwa penjelasan rasional dapat menjadi beragam, apalagi bila yang dijelaskan adalah pengalaman religius. Padahal pengalaman religius adalah pengalaman tentang Realitas Absolut Yang Esa. Boleh jadi kita katakan; pengalaman religius itu seperti penangkapan kita terhadap nomena dan telah menjadi fenomena, yaitu teori ala Immanuel Kant. Sehingga terjadi lah keberagaman pengalaman religius secara fenomenal. Hal ini dapat digambarkansebagai analogi yang diajukan oleh Rumidengan sekelompok orang-orang buta yang sedang meraba gajah untuk menjelaskan seperti apa gajah itu. Masing-masing meraba gajah pada bagian yang berbeda sehingga masing menjelaskan tentang gajah dengan ungkapan yang berbeda. Ada yang bilang, Gajah itu seperti selang raksasa, ada lagi, Gajah itu seperti tiang, dan ada juga yang mengatakan, Gajah itu seperti dinding tebal dan besar yang kasar. Mereka benar semua berdasarkan sisi pandangnya masing-masing. begitulah analogi bagi feneomenologi terhadap pengalaman religius.Namun, walau bagaimanapun, Legenhausen tetap meresahkan hal ini. Justifikasi rasional yang dapat beragam dan relatif, padahal sama-sama tentang Realitas yang Satu adalah sesuatu yang ambigu. Pluralisme ini perlu diluruskan kembali.

4. Alethic religious pluralism Nilai pluralisme yang ditanamkan dalam aliran ini lebih universal dan menyeluruh. Ia tidak menintikberatkan keragamanan pada sisi agennya (pelaku) ataupun keimanannya. Segala rupa keragaman dipandang lumrah, dan semuanya dilihat sebagai wujud kebenaran yang setara. Kalau dibenturkan akan terjadi kontradiksi, tapi karena keragaman adalah wujud nyata, kita setarakan saja keberadaannya sebagai bentuk-bentuk keimanan masyarakat dunia.Sekilas, kita akan menganggap ini adalah bentuk perspektif relatifis. Namun, bagi Legenhausen ini bentuk relatifisme yang rancu. Atau kita bisa juga menganggapnya sebagai kebingungan dialektis. Para ahli logika melihat bahwa ketika terjadi perbedaan apalagi kontradiksi maka terjadi lah dialektika, antara tesis dan antitesisnya. Namun, bentuk sikap pluralisme agama alethic merupakan hal yang membingungkan bagi mereka sendiri.Bagaimanapun, pluralis alethic memiliki keyakinan pribadinya, ia memilih salah satu dari beraneka keyakinan. Merupakan hal yang membingungkan, di satu sisi kita meyakini semuanya benar dan setara, namun di sisi lain kita meyakini satu yang benar dan diimani. Legenhausen mengatakan bahwa ini adalah pluralisme yang tidak bisa dipertahankan dan sulit dibayangkan.

5. Pluralisme Agama EtisPluralisme agama bukan sebagai teori, tapi praktis (aspek moral). Keberagaman agama dalam nilai yang satu ini dilihat dari sisi moralnya. Keragaman terjadi karena keberagaman sistem moral. Dari sini lah lahir relatifisme moral. Namun, dari segala keberagamannya, ada sisi universal yang menyatukan agama-agama secara moral. Yaitu setiap agama memiliki prinsip moral.

6. Pluralisme Agama DeontologisPluralisme agama bukan sebagai teori, tapi praktis (aspek kewajiban agama). ini adalah perspektif kedua tentang pluralisme agama secara praktis. Kalau yang sebelumnya praktis dalam artian moralitas secara umum, namun pada bagian ini menekankan pada makna morallitas yang sudah dibentuk oleh ajaran-ajaran agama. Agama telah hadir dalam masyarakat dunia, dan ia adalah keberadaan yang sengaja Tuhan ciptakan agar manusia mengikuti aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Setiap manusia layak untuk mematuhi aturan yang diberlakukan agama. Nah, pluralisme agama deontologis adalah sikap yang dipilih para agamawan untuk menghadapi keragaman agama beserta aturan-aturannya.Bentuk penyikapannya dibagi lagi menjadi dua macam. Pertama, setiap umat beragama memiliki komitmen untuk melaksanakan kewajibannya masing-masing sesuai dengan keimanan yang diyakininya. Ini adalah pluralisme keimanan (belief pluralism). Setiap agama melihat bahwa Tuhan telah menurunkan agama dengan kewajiban-kewajiban yang musti ditaati. Dan masing-masing telah mengupayakan yang terbaik untuk merepresentikan kehendak Tuhan dengan ajaran dan kewajiban tersebut. Dalam hal ini, pluralisme jenis ini dapat diarahkan pada pluralisme epistemologis. Sedangkan yang kedua adalah sikap agen pluralis agama (agent pluralism) yang menyikapi keragaman dalam artian mengikuti kewajiban ajaran agama yang sesuai dengan tuntunan zaman ia berada. Bisa dikatakan ia bersikap ekletik, memetik ajaran-ajaran yang sekiranya tepat dengan kondisi setempat. Atau bisa juga berkomitmen dengan satu agama secara spesifik yang sekiranya cukup sesuai dengan tantangan zamannya. Contohnya, adalah agama Islam, kata Legenhaunsen, sebagai agama pembaharu setelah agama Kristen.

7. Pluralisme agama hermetikSalah satu tokoh utama dalam pandangan yang terakhir ini adalah Fritjof Schuon. Pemikiran nilai pluralisme ini masih belum lah jelas. Namun intinya adalah; agama-agama hadir dengan keberagamnya adalah bentuk keniscayaan secara eksoteris. Namun, secara esoteris sebetulnya mengarah pada satu tujuan, yaitu kebijakan puncak (The Ultimate Wisdom) sebagai prinsip metafisik yang universal.

Penutup (Kesimpulan)Pluralnya tipe-tipe pluralisme agama menunjukkan adanya keberagaman paradigma dan sudut pandang. Itu artinya ada konsep pluralisme yang perlu dikritisi dan yang paling diterima. Dari sini, para penulis memulai dengan menyoroti pemikiran pluralisme ala John Hick sebagaimana yang Legenhausen sebut reduktif. Bagi Legenhausen, pluralisme inilah yang absurd. Bagaimanapun, terutama dari sisi moral, manusia akan mempertahankan prinsip kebenaran dan kesalahan, juga kebaikan dan keburukan yang menurutnya tepat. Pasti, setiap manusia mempertahankan prinsip kebenaran dan kebaikan tersebut dalam segala sisi kehidupannya. Sedangkan pandangan tentang kebenaran dan kebaikan sendiri ada beragam pandangan. Maka, cukuplah jelas kelemahan pemikiran pluralisme jenis ini.Legenhaunsen memperkuat pandangannya ini bahwa prinsip kebenaran dan kebaikan pada agama memberikan penekanan bahwa sikap pluralis reduktif tidak akan bisa diterima. Terlebih lagi pada agama Islam. Kebenaran agama Islam itu tegas namun tidaklah ekslusif, ajarannya (Islam) sendiri bersikap inklusif dengan agama-agama lainnya. Terutama agama moyangnya, Kristen dan Yahudi. Hal ini mengingatkan kita pada dua tipe pluralitas yaitu agama sebagai pembawa kebenaran dan sebagai penuntun menuju keselamatan. Apa yang Hick tawarkan adalah bentuk dari agama keselamatan. Keselamatan adalah milik semua yang tetap berpegang pada prinsip universal kebenaran. Sedangkan prinsip universal tidak dikaitkan dengan ajaran doktrin agama. Prinsip universal agama ini adalah prinsip yang dijustifikasi oleh nalar, sedangkan agama sebagai pembawa keselamatan cenderung membawa doktrin tak berdasar nalar, karena rahasia-rahasianya beyond reason. Telah kita diskusikan konsekuensinya pada bagian sebelumnya. Pluralisme ini berujung pada liberalisme; tiap agama sama saja selama membawa pada keselamatan. Bagaimanapun agama dipercaya sebagai pembawa kebenaran, bukan sekadar produk budaya atau doktrin yang tak jelas pembenarannya.Sedangkan pluralisme kebenaran, dari banyaknya pemikiran lagi yang diklasifikasikan dari pluralisme non-reduktif, ini terjadi semata karena adanya perbedaan prinsip kebenaran. Perbedaan ini adalah hal yang nyata adanya di dunia manusia. Prinsip kebenaran, kebaikan, moral, dan berakhir pada standar-standar kewajiban akan berujung pada pluralitas budaya, dan juga agama. Maka, perbedaan ini kembali pada prinsip kebenaran masing-masing kelompok pemikiran, agama, atau kelompok masyarakat lainnya. Mereka dituntut untuk konsisten dan berkomitmen atas kebenaran yang mereka pandang sebagai hal prinsipil tersebut. Jadi, sebetulnya pluralisme agama itu tidak lah begitu siginifikan bagi ajaran agama itu sendiri, dan bila tidak, maka pluralisme menjadi independen.Yang ingin Legenhausen tawarkan adalah pluralisme dalam artian gradasi kebenaran dan keselamatan. Setiap agama ingin menuntun para penganutnya agar bisa sampai pada keselamatan yang paling tepat dengan jalan kebenaran yang paling tepat pula. Nah, keberagaman tuntunan ini terbentuk secara gradatif. Ini menjawab dilematika seteriologis, dan juga epistemologis. Secara normatif juga kegelisahan dapat terjawab. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, ajaran-ajaran Tuhan berikan pada umat sesuai dengan zamannya. Perkembangan zaman menunjukkan perkembangan ajaran. Dan ajaran yang mutakhir adalah yang tertinggi karena paling sesuai dengan zamannya. Ini lah gradasi. Ajaran agama sebelumnya tidaklah salah, namun tingkatnya sudah lebih rendah. Maka, kejanggalan yang dikeluhkan ahli logika terhadap alethic dapat terjawab juga. Secara serta merta, persoalan etis dan deontologis juga terselesaikan. Dan kini, tugas kita adalah mendalami nilai esoteris agama Islam sebagai wujud paling representatif dalam menjelaskan ekspresi nilai ketuhanan, tauhid. Kurang lebih, begitulah yang diinginkan Muhammad Legenhausen. Islam sebagai agama yang tertinggi. Tapi, lepas dari sisi argumentatif Legenhausen terhadap Islam. Kita bisa mengambil hikmah darinya tentang bersikap pluralis. Kita diajak untuk terus mencari jalan keselamatan dan kebenaran yang paling tinggi. Kita tidak begitu saja menyalahkan atau merendahkan ajaran lain. Ajaran lainnya juga toh ingin menuju pada hal yang sama. Di sisi lain, kita dianjurkan untuk tetap terbuka dan temukan mana yang paling dekat dengan tujuan tersebut. Nalar kita tetap harus aktif sampai pada batas penghabisannya untuk menemukan jalan pada kebenaran dan keselamatan teragung. Dengan merefleksikan nilai ini kepada sikap kita sebagai rakyat Indonesia, sedikitnya ada pencerahan yang bisa kita ambil melihat keberagaman di negeri kita. Dari sisi agama--tentunya negeri kita memang negeri yang beragama dengan asas Ketuhanan yang Maha Esa--terdapat beraneka agama yang dianut oleh masyarakat tanah air. Di setiap agama pun, masih ada beragam sekte atau mazhab yang diyakini. Ini adalah keniscayaan yang terjadi di negeri kita. Bagaimanapun, semua perbedaan ini menuju pada universalitas bahwa kita sama-sama memilih kebenaran. Kita juga berupaya sebisa mungkin mempertanggungjawabkan kebenaran yang kita anut. Meskipun pada dasarnya, kita masing-masing menyakini iman kita lah yang paling dekat dengan kebenaran, sejauh pencarian kita masing-masing. Menyalahkan, menganggap sesat, bahkan membinasakan keimanan kelompok yang berbeda bukanlah sikap yang tepat. Karena kita semua sadar bahwa kita sama-sama menginginkan dan menerima kebenaran, kebenaran yang diimani masing-masing dari kita. Islam meyakini bahwa kebenaran yang diusungnya adalah kebenaran pamungkas. Sejalan dengan pandangan Legenhausen, Buya Hamka menjelaskan dengan lebih gamblang kebenaran ajaran Islam di tengah keberagaman agama dalam karyanya Tasawuf Modern. Dia berargumentasi bahwa perbedaan yang hadir di antara masyarakat harus disingkirkan. Perselisihan dan perkelahian lantaran perbedaan keyakinan ini dapat dihadapi dengan akal. Islam hadir dengan segala ajarannya sebagai pedoman hidup manusia sepanjang zaman. Islam adalah agama terakhir karena manusia sudah bisa berpikir dengan cerdas untuk menilai manakah yang tepat dan keliru. Yang terpenting adalah akalnya, bagaimana kita mempertanggungjawabkan keimanan kita. agama apapun yang diimani, termasuk agama Islam, bila tanpa mengkatifkan akal budi maka hikmah tidak akan sampai pada hati setiap manusia, sehingga yang terjadi adalah perselisihan merasa kebenarannya hanya miliknya saja.[]

Daftar RujukanInternational Journal of Hekmat Volum 1; Religious Pluralism. Islamic Reasearch Institute for Culture and Thought: Tehran. 2009Hick, John. Phlosophy of Religion. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall. Edisi ke-7. 1963Legenhausen, Muhammad. Satu Agama atau Banyak agama, Kajian Liberalisme dan Pluralisme Agama. Lentera

1