pluralitas dalam islam

Upload: sunu-wibirama

Post on 18-Oct-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Menyikapi pluralitas dalam Islam dengan bingkai persatuan

TRANSCRIPT

PLURALITAS DALAM PANDANGAN ISLAM:

PLURALITAS DALAM PANDANGAN ISLAM:

MENSIKAPI PERBEDAAN DAN KEMAJEMUKAN

DALAM BINGKAI PERSATUAN

Diterjemahkan dan Diringkas dari Kitab AL-ISLAM WA AT-TAADDUDIYYAH: AL-IKHTILAF WA AT-TANAWWU FI ITHARI WIHDAH

Karangan DR Muhammad Immarah

MUQADDIMMAH

Islam mengakui bahwa sifat ketunggalan (yang tidak memiliki arti plural) adalah bagi bagi ALLAH SWT, dan tidak bagi makhluk-NYA. Sedangkan semua makhluqnya, baik malaikat, manusia, hewan, tumbuhan dan materil semuanya berdiri di atas kemajemukan dan perbedaan. Dan bahkan pluralitas ini disebut oleh ALLAH SWT sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-NYA yang hanya bisa difahami oleh orang-orang yang mengetahui saja. Firman-NYA:

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah menciptakan langit dan bumi dan berbeda-bedanya bahasa kalian dan warna kulit kalian, sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui. (QS. Ar Rum, 30/22)

Ini adalah undang-undang Ilahiah, sehingga ALLAH SWT mengajak ummat Islam agar menjadi ummat yang moderat, yang berusaha menjadi saksi yang menengahi dan menyeimbangkan dari berbagai kemajemukan yang ada dan bukan dengan membiarkannya apa adanya tapi bukan pula menghilangkan sama sekali perbedaan tersebut. Firman-NYA:

Dan demikianlah KAMI telah menjadikan kamu ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian.. (QS. Al Baqarah, 2/143)

Banyak orang yang salah mengartikan berbagai ayat, sehingga menganggapnya sebagai ayat yang mencela perbedaan dan mewajibkan untuk menghilangkan perbedaan tersebut, seperti contohnya ayat:

Jikalau RABB-mu menghendaki niscaya DIA menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang dirahmati ALLAH, dan untuk itulah ALLAH menciptakan mereka (QS. Hud, 11/118-119).

Padahal para mufassir menafsirkan ayat ini sebagai: Perbedaan, kemajemukan dan pluralitas dalam syariat merupakan keadaan yang tidak bisa tidak dalam penciptaan makhluk, sehingga makna: Dan untuk itulah ALLAH menciptakan mereka, maka pluralitas merupakan illat (alasan) keberadaan wujud makhluk ini. [1]

Pluralitas, sepanjang pada hal-hal yang dibenarkan, adalah motivator untuk menghadapi ujian serta untuk berkompetisi dan berkarya diantara masing-masing pihak yang berbeda tersebut, karena jika hanya satu ummat saja maka tidak akan ada lagi motivasi untuk berlomba tersebut yang merupakan tujuan dari penciptaan manusia. Hal ini sesuai dengan firman ALLAH SWT yang lainnya sebagai berikut:

Untuk tiap-tiap ummat diantara kalian KAMI berikan aturan dan jalan yang terang, sekiranya ALLAH menghendaki niscaya kalian dijadikan-NYA satu ummat saja, tetapi ALLAH hendak menguji kalian terhadap pemberian-NYA kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS. Al Maidah, 5/48)

Bahkan dikalangan non muslimpun ALLAH SWT tidak menyamaratakan mereka semua sebagai jahat semua atau memusuhi kaum muslimin semua, ALLAH SWT Sang Maha Adil menyatakan dengan keadilan-NYA bahwa diantara mereka (non muslim) terjadi juga pluralitas dan ada yang masih memiliki nilai-nilai kebaikan, sebagaimana firman-NYA:

Mereka itu tidak sama, diantara ahli-kitab itu ada golongan yang berlaku lurus (QS. Ali Imran, 3/113-115).

Dalam firman-NYA yang lain:

dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kalian lihat mata-mata mereka mencucurkan airmata disebabkan kebenaran al-Quran (QS. Al Maidah, 5/82-83)

REFERENSI:

[1] Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran, Darul Kutub al-Mishriyyah, juz-9, hal 114-115.

SIKAP PARA ULAMA SALAFUS-SHALIH

TERHADAP PLURALITAS DALAM MAZHAB DAN FATWA

1. Imam al-Qurthubi: Karena berbeda-bedalah maka ALLAH SWT menciptakan mereka manusia. [1]

2. Imam Ghazali: Bagaimana mungkin ummat akan bersatu mendengarkan satu pendapat saja, padahal mereka telah ditetapkan sejak di alam azali bahwa mereka akan terus berbeda pendapat kecuali orang-orang yang dirahmati ALLAH (para Rasul as), dan karena hikmah perbedaan itulah mereka diciptakan. [2]

3. Abu Hayyan at-Tauhidi: Tidak mungkin manusia berbeda pada bentuk lahir mereka lalu tidak berbeda dalam hal batin mereka, dan tidak sesuai pula dengan hikmah penciptaan mereka, jika sesuatu yang terus menerus membanyak sementara tidak berbeda2. [3]

4. Sayyid Quthb: Adalah tabiat manusia untuk berbeda, karena perbedaan adalah dasar diciptakannya manusia yang mengakibatkan hikmah yang sangat tinggi, seperti perbedaan mereka dalam berbagai potensi dan tugas yang diemban, sehingga akan membawa perbedaan dalam kerangka berfikir, kecendrungan metodologi dan tehnik yang ditempuh. Kehidupan dunia ini akan membusuk jika ALLAH SWT tidak mendorong manusia melalui manusia lainnya, agar energi berpendar, saling bersaing dan saling mengungguli, sehingga mereka akan menggali potensi terpendam mereka untuk terus berupaya memakmurkan bumi ini yang akhirnya akan membawa pada kebaikan, kemajuan dan pertumbuhan. Itulah kaidah umum yang tidak akan berubah selama manusia masih tetap disebut sebagai manusia. [4]

5. Imam Syihabuddin al-Qarafi: Telah ditetapkan dalam ushul-fiqh bahwa hukum-hukum syariat seluruhnya dapat diketahui disebabkan oleh adanya ijma bahwa seluruh mujtahid, jika zhan (kecendrungan terkuat menurutnya) mencapai suatu hukum tertentu maka itulah hukum ALLAH SWT bagi dirinya dan bagi para pengikutnya. [5]

6. Imam Malik (pemimpin mazhab Maliki) pernah diminta oleh khalifah abu Jafar al-Manshur untuk menyatukan semua ummat di dalam mazhab fiqh-nya, maka jawab Imam Malik: Wahai amirul muminin jangan lakukan itu, karena manusia telah banyak menerima pendapat ulama lainnya, mereka pun telah mendengar dan meriwayatkan banyak hadits, dan setiap kaum telah berhukum sesuai dengan riwayat yang telah lebih dulu sampai pada mereka, maka biarkanlah mereka mengambil hukum sesuai dengan pilihan mereka sendiri. [6]

7. Lebih lanjut dimasa Harun ar-Rasyid, Imam Malik kembali diminta untuk menyatukan manusia dalam mazhab-nya, maka kembali ditolak oleh Imam Malik, katanya: Jangan lakukan itu karena sahabat-sahabat rasuluLLAH SAW telah berbeda pendapat dalam masalah furu hukum dan mereka telah berpencar di banyak wilayah, dan setiap sunnah telah didengar dan dijalankan orang. Mendengar itu khalifah ar-Rasyid merasa puas dan memuji Imam Maliki seraya berkata: Semoga ALLAH SWT memberikan taufiq kepada anda wahai abu AbdiLLAH. [7]

REFERENSI:

[1] Al-Jami li Ahkam al-Quran, juz 9, hal 114-115.

[2] Al-Qisthas al-Mustaqim, hal.61. Bagian dari kumpulan kitab al-Qushur al-Alawi min Rasail al-Imam al-Ghazali. Maktabah al-Jundi, Kairo.

[3] Al-Imtina wa al-Muassanah, juz 3, hal 99, Kairo (tahqiq Ahmad Amin dan Ahmad az-Zain).

[4] Fi Zhilalil Quran, juz 1, hal 171, 215 dan juz 4, hal 2425.

[5] Al-Umniyyah fi Idrak Anniyyah, hal 515, dalam kumpulan kitab Al-Qarafi wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami (tahqiq AbduLLAH Ibrahim Shalah)

[6] Risalah ash Shahabah dalam Jamharah Rasail al-Arab, Ahmad Zaki Shafwat, no.26 dikutip dari An Nazhariyyah Ammah lisy Syariah Islamiyyah, hal 200.

[7] HujjatuLLAH al-Balighah, Syah WaliuLLAH ad-Dahlawi, juz 1, hal 145.

PLURALITAS ANTARA YANG DIBENARKAN DAN YANG DILARANG

Pluralitas dalam ijtihad furu bukan berarti perbedaan dalam pokok agama, dan pluralitas dalam masalah ini tidak termasuk perpecahan ummat dan perbedaan yang dilarang. Berkata Imam Syafii: Aku mendapati ahli ilmu pada masa lalu dan kini berbeda pendapat dalam sebagian masalah, apakah itu dibolehkan? Lalu ia menjawabnya sendiri: Perbedaan pendapat ada 2 macam: Ada yang diharamkan dan ada yang tidak, yang diharamkan adalah segala hal telah ALLAH SWT berikan hujjah-NYA baik dalam kitab-NYA atau melalui lisan nabi-NYA secara jelas dan tegas maka hal ini tidak boleh berbeda pendapat bagi yang mengetahuinya. Maka ALLAH melarang perbedaan pendapat pada masalah yang telah dijelaskan secara tegas dalam nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. [1]

Imam asy Syatibi menjelaskan lebih rinci, sebagai berikut: Perpecahan yang dilarang adalah perpecahan dalam agama (QS 6/159 dan QS 3/7) dan bukan perbedaan dalam hukum agama. Perbedaan yang kedua ini kita dapatkan para sahabat ra setelah wafatnya nabi SAW berbeda pendapat dalam berbagai hukum agama. Pendapat mereka berbeda-beda tetapi mereka menjadi terpuji karena mereka telah berijtihad dalam masalah yang memang diperintahkan untuk itu. Bersamaan dengan itu mereka adalah orang-orang yang saling mencintai satu sama lain serta saling menasihati dalam persaudaraan Islam. [2]

Hikmah yang tinggi ini hanya dapat difahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya tentang syariat, lihatlah bagaimana jawaban khalifah Ali ra ketika ditanyakan padanya: Bagaimana hukum orang-orang yang memerangi beliau apakah mereka kafir? Maka jawab Imam Ali ra: Justru mereka itu adalah orang-orang yang lari dari kekafiran! Lalu ditanya lagi: Apakah mereka itu orang-orang munafiq? Maka jawab Imam yang mendalam ilmunya ini: Orang munafiq adalah orang yang tidak menyebut nama ALLAH kecuali sedikit, tidak mendirikan shalat kecuali merasa malas dan tidak berinfaq kecuali merasa berat. Lalu ditanya lagi: Lalu apa hukum mereka itu? Maka jawab khalifah: Mereka adalah saudara-saudara kita yang sedang memberontak terhadap kita, maka sebab itulah kita memeranginya.

Lalu khalifah yang adil ini berkhutbah: Wahai sekalian manusia! Kita telah berhadapan dengan mereka, Tuhan kita satu, nabi kita satu, dan dakwah kita satu. Kita tidak pernah menganggap keimanan kita kepada ALLAH lebih baik dari mereka, serta pembenaran kita kepada rasuluLLAH SAW lebih baik dari mereka, dan mereka pun tidak beranggapan lebih baik dari kita. Yang menjadi masalah kita adalah satu, yaitu perbedan pendapat kita tentang darah Utsman, sedang kita bebas dari hal tersebut. [3]

Demikianlah bahwa perselisihan dan perbedaan pendapat tidak selalu berarti perpecahan dalam agama yang diharamkan, selama hal tersebut dalam masalah-masalah cabang syariat (furu) dan bukan pada masalah-masalah pokok (ushul), serta masih berada dalam koridor Islam dan dilakukan demi terwujudnya hukum-hukum syariat, demi hikmah penciptaan yang sudah difitrahkan bagi manusia.

REFERENSI:

[1] Ar-Risalah lisy Syafii, hal 560, Maktabah Ilmiyyah, Kairo (tahqiq Ahmad Muhammad Syakir).

[2] Al-Muwafaqaat lisy Syatibi, juz 4, hal 121, 124.

[3] Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 17, hal 141.

SENANTIASA BERKELINDANNYA PENCIPTAAN ALLAH SWT ANTARA SINGULARITAS DAN PLURALITAS

1. Tuhan yang Satu tapi Pluralitas dalam Sifat dan Asma-NYA: Salah satu konsekuansi dari syahadah kita adalah menyatakan dan meyakini bahwa RABB kita dan ILAH kita adalah Satu, tiada sekutu bagi-NYA dan DIA adalah Pemilik kita dan kepada-NYA kita akan kembali. Tetapi Tuhan yang Maha Satu itu ternyata memiliki pluralitas dalam Sifat dan Asma-NYA (diantaranya termasuk 99 asma ALLAH SWT) yang barangsiapa menghafal dan mengaplikasikannya akan masuk Jannah.

2. Awal Penciptaan Makhluq yang Satu tapi Pluralitas dalam Jenis-jenisnya: Firman-NYA: Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya ALLAH menurunkan air dari langit maka diatur-NYA menjadi sumber-sumber air di bumi, lalu ditumbuhkan-NYA dengan air itu tanaman yang bermacam-macam warnanya (QS 39/21). ALLAH SWT menciptakan angin, lalu DIA membeda-bedakan angin tersebut menjadi angin yang sangat dingin (QS 3/117), angin yang baik (QS 10/22), angin topan (16/69), angin yang membinasakan (QS 51/41), angin yang mengawinkan (QS 15/22), angin yang membawa berita gembira (QS 30/46).

3. Agama yang Satu dan Pluralitas dalam Syariat, Metode dan Politik. Agama yang diridhoi disisi ALLAH SWT hanya satu yaitu Islam (QS 3/19-20, 52, 67, 85). Ibnul Qayyim mengatakan: Ada politik yang fariyyah karena disesuaikan dengan maslahat yang berbeda karena perbedaan zaman, dan ada pula syariat-syariat yang umum yang harus terus menjadi aturan ummat sampai hari Kiamat. Adapun politik yang fariyyah yang mengikuti maslahat-maslahat tertentu ia terbatas dalam lingkup zaman dan tempat tertentu, dan tentang hal ini para fuqaha telah bersepakat.[1]

4. Syariat yang Satu tapi Pluralitas dalam Fatwa dan Hukum. Syariat adalah satu tetapi penerapan hukumnya bisa beragam dan berbeda-beda, renungkanlah jawaban khalifah Ali ra ketika kaum Khawarij meneriakkan yel-yel: Tidak ada keputusan hukum kecuali hanya bagi ALLAH! Maka jawab Ali ra: Itu adalah kalimat yang benar, tapi digunakan secara salah[2] Masalah syariat menjadi tidak boleh berbeda jika dalilnya berkekuatan qathi tsubut dan qathi dilalah, dan sebaliknya masalah tersebut menjadi boleh beragam penafsiran jika dalilnya zhanni tsubut atau zhanni dilalah. Berkata Imam Ibnu Hazm: Diantara bagian dari syariat ALLAH adalah memberikan hak perumusan hukum tertentu bagi selain ALLAH SWT.[3] Berkata Imam Ghazali: Masalah Imamah tidak termasuk masalah pokok (ushul), tapi ia adalah masalah fiqh furu Kesalahan dalam imamah, penentuan dan syarat-syaratnya serta yang berhubungan dengan negara dan politik tidak sedikitpun berimplikasi pada pengkafiran.[4] Berkata pula Imam al-Haramain: Sesungguhnya pembicaraan dalam masalah Imamah bukan termasuk ushul aqidah.[5] Berkata Imam aj-Jurjani: Sesungguhnya imamah bukan termasuk ushul agama dan akidah, tapi ia adalah bagian furu yang juzi yang berkaitan dengan orang-orang yang mukallaf.[6] Ditambahkan oleh Asy Syahrastani: Benar bahwa imamah bukan termasuk bagian ushul dari aqidah.[7] Ibnu Khaldun seorang pakar politik Islam berkata: Imamah bukan termasuk rukun agama, karena ia adalah bagian dari maslahat yang diserahkan pada hasil pemikiran manusia.[8]

5. Satu Kemanusiaan tapi Pluralitas dalam Ummat, Suku, Bangsa dan Ras. Firman-NYA: Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada RABB-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan darinya ALLAH menciptakan istrinya dan dari keduanya ALLAH memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.. (QS 4/1) Dan bahkan hal ini dimasukkan sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan-NYA (QS 30/22). Bahkan golongan Jin pun disebutkan memiliki pluralitas pula: Dan diantara kami (Jin) ada orang-orang yang shalih dan ada pula yang tidak demikian, adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS 72/11)

6. Ummat yang Satu tapi Pluralitas dalam Partai Politik. Lihatlah fatwa pemimpin Salafi paling terkemuka syaikh Abdulaziz bin Baaz (mufti Saudi) yang sangat berbeda dengan para bawahannya, ketika beliau ditanya tentang perbedaan berbagai jamaah Islamiyyah yang ada di negara-negara kaum muslimin, jawab beliau: Keberadaan jamaah-jamaah ini adalah baik bagi kaum muslimin dan agar setiap jamah Islam seperti Jamaah Tabligh, Ittihad Thalabil Muslimin, Al-Ikhwanul Muslimin, Asy Syubbanul Muslimin, Anshar as Sunnah al Muhammadiyyah, al Jamiah asy Syariyyah dll bekerjasama satu dengan lainnya dalam kebenaran yang mereka sepakati dan agar saling memaklumi akan sisi-sisi perbedaan diantara mereka.[9]

7. Peradaban yang Satu tapi Pluralitas dalam Budaya. Terminologi al-Quran menyebutkannya dengan umran dan bukan hadharah (lih QS 11/61 dan 30/9), peradaban Islam memiliki ciri-ciri yang bersendikan tauhid, rabbaniyyah (tidak materialistik), wasathiyyah (moderat), insaniyyah (kemanusiaan), naqliyyah wa aqliyyah (bersumber pada dalil dan akal). Tetapi Islam juga menghormati perbedaan budaya (urf), seni, bahasa, dst, semua hal ini dibolehkan dan dikembangkan dalam Islam sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah pokok syariat.

REFERENSI:

[1] Ath Thuruq al Hakimah fis Siyasatis Syariyyah, hal 25-27 (tahqiq DR Jamal Ghazy).

[2] Nahjul Balaghah, hal 65.

[3] Al Mufadhalah baina as Shahabah, hal 66 dalam Nizhamul Khilafah fil Fikr al-Islami, DR Musthafa Hilmy, hal 171, Darud Dawah, Iskandariah.

[4] Fayshalah at Tafriqah bainal Islam wa az Zanadiqah, hal 15.

[5] Al-Irsyad, hal 410, Kairo, 1950.

[6] Syarh al-Mawaqif, juz 3, hal 261, Kairo.

[7] Nihayah al Iqdam, hal 478.

[8] Al-Muqaddimmah, hal 168, Kairo.

[9] Ar Raddul Wajiz ala syaikh Rabi bin Hadi al Madkhali, hal 60-61, DR AbduRRAHMAN abdul Khaliq.