pluralisme kesejahteraan

3
CSR: Politik Neoliberal Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu wujud perkembangan politik pluralism dari kaum libertarian. CSR muncul untuk mengurangi akibat dampak negative dari aktivitas korporasi- korporasi besar, seperti kesenjangan ekonomi, semakin termajinalkan kelompok individu yang kurang beruntung dan kerusakan vegetasi ekologi lingkungan. Di sisi lain pandangan politik kaum libertarian yang menjunjung tinggi kalimat “people are powerful because they control various resources” dapat menyumbangkan pertumbuhan ekonomi secara makro dari Negara yang menerapkan system ekonomi neoliberal. Perkembangan dan penerapan konsep politik pluralism tak lepas dari peran multi-national cooperation, organisasi internasional, lembaga-lembaga ekonomi, perhimpunan ilmu pengetahuan, perkumpulan pengembangan teknologi, asosiasi budaya dan seni, yang sering disebut sebagai global governance. Sistem politik pluralism mendorong agar kekuasaan tidak terkonsentrasi pada pusat (Negara) yang seringkali dijalankan secara otoriter. Namun kekuasaan pada masyarakat plural pengambilan keputusan lebih terdistribusikan kepada pluralism masyarakat. pluralisme dianggap mewakili masyarakat modern yang semakin besar menerima keberagaman, yang dianggap sebagai motor penggerak terjadinya kemajuan di berbagai bidang seperti solidaritas sosial masyarakat untuk menciptakan perdamaian, spirit persaudaraan global tanpa memandang ras, etnik, agama dan asal-usul, kerjasama yang semakin kuat dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta perkembangan ekonomi tingkat global. Konsep politik pluralism menguat ketika negara-negara yang menganut konsep negara pemegang otoritas tunggal atas rakyatnya yang biasa disebut dengan istilah negara kesejahteraan (welfare state) mengalami kemunduran sejak tahun 1980. Krisis negara-negara kesejahteraan tersebut akibat tidak bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan korporasi global. Krisis yang dihadapi negara-negara kesejahteraan mengharuskan mereka melakukan reformasi dan restrukturisasi untuk merawat capaian negara kesejahteraan yang selalu mempunyai peringkat kesejahteraan yang tingggi, seperti Human Development Index, yang tinggi dengan

Upload: ahmad-zainul-ihsan-arif

Post on 23-Nov-2015

105 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fg

TRANSCRIPT

CSR: Politik NeoliberalCorporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu wujud perkembangan politik pluralism dari kaum libertarian. CSR muncul untuk mengurangi akibat dampak negative dari aktivitas korporasi-korporasi besar, seperti kesenjangan ekonomi, semakin termajinalkan kelompok individu yang kurang beruntung dan kerusakan vegetasi ekologi lingkungan. Di sisi lain pandangan politik kaum libertarian yang menjunjung tinggi kalimat people are powerful because they control various resources dapat menyumbangkan pertumbuhan ekonomi secara makro dari Negara yang menerapkan system ekonomi neoliberal.Perkembangan dan penerapan konsep politik pluralism tak lepas dari peran multi-national cooperation, organisasi internasional, lembaga-lembaga ekonomi, perhimpunan ilmu pengetahuan, perkumpulan pengembangan teknologi, asosiasi budaya dan seni, yang sering disebut sebagai global governance. Sistem politik pluralism mendorong agar kekuasaan tidak terkonsentrasi pada pusat (Negara) yang seringkali dijalankan secara otoriter. Namun kekuasaan pada masyarakat plural pengambilan keputusan lebih terdistribusikan kepada pluralism masyarakat. pluralisme dianggap mewakili masyarakat modern yang semakin besar menerima keberagaman, yang dianggap sebagai motor penggerak terjadinya kemajuan di berbagai bidang seperti solidaritas sosial masyarakat untuk menciptakan perdamaian, spirit persaudaraan global tanpa memandang ras, etnik, agama dan asal-usul, kerjasama yang semakin kuat dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta perkembangan ekonomi tingkat global.Konsep politik pluralism menguat ketika negara-negara yang menganut konsep negara pemegang otoritas tunggal atas rakyatnya yang biasa disebut dengan istilah negara kesejahteraan (welfare state) mengalami kemunduran sejak tahun 1980. Krisis negara-negara kesejahteraan tersebut akibat tidak bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan korporasi global. Krisis yang dihadapi negara-negara kesejahteraan mengharuskan mereka melakukan reformasi dan restrukturisasi untuk merawat capaian negara kesejahteraan yang selalu mempunyai peringkat kesejahteraan yang tingggi, seperti Human Development Index, yang tinggi dengan ditopang oleh keseimbangan peran negara, pasar/modal dan warga, yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja yang luas dan jaminan sosial yang merata (Esping Andersen, 1990; Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, 2006). Negara-negara kesejahteraan mencapai puncak kejayaan (golden age) pada tahun 1945-1975. Reformasi dan restrukturisasi yang diwajibkan oleh kalangan libertarian adalah mengurangi hiraki dan struktur negara kesejahteraan yang sentralistik dan desentralisasi fiscal. Kritik yang dilontarkan kalangan libertarian negara kesejahteraan terlalu besar, terlalu mahal, terlalu birokratis dan terlalu boros. Promotor utama gerakan politik pluralisme adalah Presiden Amerika Ronalad Ragen dan Presiden Negara Inggris Margareth Thatcher yang mendorong lahirnya Konsensus Washington. Pilar utama dari konsesus tersebut adalah ekonomi pasar, deregulasi ekonomi, peran minimal pemerintah dan perdagangan bebas internasional.Selama 10 tahun perkembangan konsep libertarian yang didorong oleh konsesus Washington tak lepas dari kritik. Praktek politik pluralism melalui Konsesus Washington mempunyai dampak negative kesenjangan ekonomi, banyak kalangan yang kurang beruntung yang semakin termajinal. Kensenjangan ekonomi antar negara juga semakin jelas, terutama kesenjangan ekonomi antara negara-negara utara dan selatan. Konsep trickle down effect yang diharapkan dari aktifitas ekonomi pasar bebas tak kunjung terjadi. Konsep trickle down effect mengasumsikan pembangunan ekonomi makro nasional yang tinggi berdampak pada rembesan ke bawah kesejahteraan rakyat dengan sendirinya. Indikator dampak negativenya, setidaknya dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat, sementara kemiskinan dan pengangguran tidak beranjak turun, bahkan cenderung naik. Sedangkan dari sisi lain, investasi langsung akumulasi capital global terus naik yang mendorong laju pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi. Hal ini disebabkan pertumbuhan pasar yang tidak sempurna. Untuk itu Antoni Gidden penganut paham libertarian melalui bukunya the third wave memanggil peran negara kembali untuk menata kelembagaan pasar.Konsep politik pluralism dikonsepsi ulang pada tahun 1990-an, yang disebut era paska Konsensus Washington (PKW). Pandangan Neoliberal PKW dikembangkan dari teori ekonomi institusional baru yang dipopulerkan oleh Stiglitzseorang pejabat teras Bank Dunia. PKW menggeser fokus analisis dari penekanan neoklasik pada kompetisi dan pasar menuju seting kelembagaan aktivitas ekonomi, signifikansi ketidaksempurnaan pasar, dan dampak potensial perbedaan atau perubahan dalam lembaga. Inti proses kebakan berada dalam pergeseran hubungan sosial, distribusi hak milik, jaminan sosial, dan pengurangan kemiskinan. Paradigma ini bertujuan memperluas pasar dalam kehidupan sosial, namun mengabaikan isu hubungan kekuasaan di dalam pasar. PKW membangun sebuah pendekatan manajerial-teknokratik ke dalam politik yang berdampak pada depolitisasi konflik dan perjuangan kelas dalam pembangunan (Carroll 2007). Berawal dari sinilah konsep CSR yang terus mengalami perdebatan secara akademik sejak tahun 1950 didorong untuk terus berkembang dalam kontek global.Pada bulan Juli 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sekretaris jendralnya Koffi Anan telah membentuk United Nation GIobaI Compact di Markas Besar UN New York. Lembaga ini dibentuk untuk merangkai implementasi skema CSR di seluruh dunia. Melalui skema ini UNGC mendorong korporasi melakukan tanggung jawab sosialnya. Tanggug jawab sosial yang dimaksud adalah memberikan pelayanan sosial pada masyatakat lokal secara sukarela melalui program community development.