pluralisme
TRANSCRIPT
PLURALISME
Pluralisme memiliki intelektual yang baik dalam filosofi politik, terutama filosofi politik
liberal. John Locke, seorang filosof Inggris dalam risalat keduanya tentang pemerintahan sipil
berpendapat bahwa negara seharusnya menyetujui adanya dana cadangan, dan seharusnya
otoritas pemerintahan tersebut tidak memiliki kekuatan yang absolut. Sasaran Lock adalah
Thomas Hobbes yang berpendapat dalam Leviathan bahwa kekuatan absolut dalam
pemerintahan diperlukan untuk menghindari perang global yang anarki. Penolakan terhadap
kekuatan absolut, yang merupakan kekuatan negara yang disatukan dan tidak dikontrol
merupakan bekas peninggalan dari pluralisme. Kedaulatan, yang merupakan doktrin bahwa
seharusnya hanya ada satu sumber akhir dari otoritas politik, dibangun dengan kemunculan
monarki absolut pada abad ke-18 di Eropa Barat. Hal tersebut menentang doktrin kedaulatan
yang ditimbulkan oleh politik pluralisme, yang merupakan hal yang paling terkenal dari
pemikiran filosof Perancis, Montesquieu. Tulisannya yang berjudul Jiwa dari Hukum yang
berisi pujian – pujian terhadap sistem pemerintahan Inggris pada abad ke-18, ia memisahkan
kekuatan politik tersebut ke dalam tiga cabang: eksekutif, legislatif, yudikatif. Berbeda dengan
Monarki Absolute Perancis jaman sekarang, Montesquieu merasa bahwa sistem di Inggris
mengkombinasikan elemen-elemen terbaik dari monarki dan aristokrasi. Pendapatnya tersebut
sebagian mengolah kembali teori ‘keseimbangan feodal’, menegaskan manfaat dari sebuah
sistem politik dengan lebih dari satu sumber otoritas.
Dasar yang serupa mendominasi pemikiran para pemikir revolusioner yang terdaftar
pada Konstitusi Amerika. Para pengarang Esai-esai Kaum Federal mencoba untuk
merekonstruksi apa yang Montesquieu yakini menjadi sebuah kenyataan pada pemerintahan
Inggris. Prioritas mereka adalah untuk mencegah kelaziman yang pernah mereka alami pada
masa kekuasaan George III. Kelaziman dimengerti sebagai campur tangan pemerintah yang
sewenang – wenang bertindak pada hak asasi individu tanpa dukungan hukum yang dibuat
untuk mewakilinya. Untuk menghindari kelaziman tersebut dibutuhkan institusi pluralisme:
pemisahan antara kekuatan – kekuatan dan federalisme. Dalam Esai – esai Kaum Federal No.
10 James Medison menjadi dasar dari pemikiran kaum plural yang terinstitusi. Madison
berasumsi bahwa semua individu merupakan kaum egois yang ingin memaksimalkan kekuatan
mereka. Perselisihan kepentingan antara kekuatan maksimal individu – individu yang tidak
terelakan. Oleh karena itu dibutuhkan struktur pemerintahan untuk menghindari konsekuensi-
konsekuensi terburuk dari keegoisan masyarakat tersebut. Madison berpendapat bahwa dengan
mewakili pemerintahan melemahkan ‘pelanggaran’ terburuk dalam demokrasi langsung, hal
tersebut sesungguhnya masih belum cukup. Pemeriksaan dan penyeimbangan secara akan
menghalang - halangi beberapa bagian pemerintahan yang berkuasa dengan lazim. Pada
akhirnya, sangat penting sekali untuk mendirikan perluasan suatu republik, termasuk group-
group sosial yang heterogen dan area - area teritorialnya, ragam dan banyak itu tidak dapat
dihindarkan. Semakin banyak jumlah dari divisi-divisi tersebut akan melemahkan
kemungkinan adanya ‘mayoritas tindak kelaziman para penguasa’, sebuah ide yang
diantisipasi pluralisme sosial – keyakinan bahwa pemeriksaan serta penyeimbangan non-
institusi dalam otoritas sama pentingnya dengan institusi pluralisme. Tentu saja pluralisme
sosial tidak menjadi alasan awal munculnya perbudakan terhadap orang-orang Amerika, tetapi
institusi-institusi politik didisain oleh para pendahulu yang merupakan kaum pluralisme yang
tidak dapat disangkal.
Pemikiran Alexis de Tocqueville, seorang pemikir pluralisme yang paling penting di
abad ke-19, mempengaruhi sistem politik Amerika dengan sangat meyakinkan.‘Sebuah ilmu
pengetahuan baru dibutuhkan untuk sebuah dunia baru’, ia menjelaskan pada pengenalan
study keduanya, demokrasi di Amerika. Oleh karenanya, Tocqueville membangun sebuah
tipologi terperinci yang membandingkan antara masyarakat demokratis dan aristokratis, hal ini
didisain untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa orang-orang Amerika bersedia
mengkombinasikan persamaan kondisi yang ada dengan politik liberti. Sebaliknya, saat itu
orang-orang Perancis sedang mengalami kegagalan akibat kekuasaan satu orang. Tocqueville
mengutuk kaum feodal yang tidak memberi solusi pada ketidakstabilan di Perancis tersebut,
yakni hirarki yang mendasari kelahiran, difragmentasikan dan dibubarkan oleh kekuatan, hak-
hak istimewa dan diakui. Dipisahkan dari kekuatan hirarki yang cenderung condong terhadap
negara pusat. Dengan dibayar oleh air mata dan penghargaan dari tempat mereka yang
merupakan sebuah struktur kasta yang stabil, individualisme dan penggolongan terkecil
menjadi pertanda adanya kondisi sosial yang baru. Sebuah populasi terkecil sangat menerima
sebuah pemusatan, solusi yang mutlak untuk masalah-masalah di pemerintahan. Tocqueville
mencatat dengan sebuah campuran antara nostalgia dan kekhawatiran bahwa ‘aristokratis akan
membuat sebuah rantai pada semua anggota suatu komunitas dari kaum petani hingga raja :
demokrasi mematahkan rantai tersebut dan melayani semua golongan’. Masyarakat
demokratis mengisolasi penciptaan, kepemilikan pribadi, dan sikap apatis tiap individu, sangat
tidak terorganisasi dan fokus pada kebebasan. John Stuart Mill, mereview pemikiran
Tocqueville, meringkas ide - idenya menjadi : ‘dimana semua hal itu sama, semua pasti
menginginkan kebebasan, atau perbudakan’ Tocqueville lebih berharap ‘perbudakan’ daripada
kebebasan menjadi akibat dan hasil akhir yang normal pada masyarakat aristokratis. Sama
halnya dengan Montesquieu, dia berpendapat bahwa feodalisme ditandai oleh beberapa bentuk
kebebasan, yaitu kebebasan dari kesewenang-wenangan kekuasaan pusat. Kedudukan dari
bangsawan yaitu perantara swantara antara monarki dan orang-orangnya, merupakan sumber
dari kebebasan. Kebebasan dari sebuah demokrasi membutuhkan ‘asosiasi perantara’ yang
sejalan antara negara dengan penduduknya. Pada bahasa ilmu politik di abad ke-20, ia
mengharapkan group-group yang berminat untuk menetralkan pembangunan dari masyarakat
umum tersebut. Institusi pluralisme mengkombinasikannya dengan pembelajaran sosial yang
menimbulkan golongan-golongan yang kuat, banyak jumlahnya yang meliputi asosiasi-
asosiasi sukarela yang mungkin menimbulkan suatu kondisi demokratis yang menghindari
kelaliman. Tidak seperti Madison, yang mendukung pembagian institusional sebagai suatu
‘mekanisme pelindung’ melawan konsekuensi dari keegoisan individu-individu, Tocqueville
menegaskan manfaat-manfaat dari ‘pembangunan’ institusi dan sosial pluralisme.
Pemerintahan lokal dan organisasi golongan-golongan yang kuat dapat menciptakan sebuah
lingkungan untuk pendidikan politik, dan membangun semangat publik. Hal itu mengijinkan
individu-individu untuk membangun diri mereka menjadi lebih baik sebagai suatu masyarakat.
Pertentangan antara manfaat dari perlidungan dan pembangunan institusi dan sosial pluralisme
menyisakan suatu ketegangan dalam masa pluralisme jaman tersebut. Pada umumnya,
konservatif menekankan manfaat-manfaat perlindungan terhadap pluralisme, mengingat kaum
liberal dan sosialis juga mendukung pembangunan tersebut karena juga bermanfaat bagi
mereka. Setelah masa Stalinisme, kaum sosialis Eropa Timur yang sejaman menempatkan
lebih banyak penegasan pada manfaat-manfaat perlindungan.
Konsep dari pemeriksaan dan penyeimbangan sosial, dan hubungan ide-ide interaksi
grup dapat menghasilkan suatu equilibrium sosial, yang didominasi oleh pemikiran Arthur
Bentley, seorang pemula dari teori grup dan ilmu politik Amerika modern. Bentley mengkritik
bahwa doktrin-doktrin kedaulatan dan dalam bukunya Proses Pemerintahan melihat grup-grup
sebagai ‘penyusun kehidupan politik yang buruk’. Kontribusinya yang paling utama adalah
untuk mencoba membangun suatu kuantitatif, ilmu pengetahuan yang mempelajari politik.
Pernyataanya yang di ambil dari analisis terhadap estimasi kuantitatif merupakan
pernyataannya yang terbaik. Pemikiran kaum pluralisme Inggris pada abad ke-20 lebih
berfilosofi dalam tujuannya dibandingkan dengan pemikiran Bentley yang menentang negara
yang bermonopoli sebuah tema yang menjadi terkenal yang dicetuskan oleh Harold Laski.
Ada 5 kunci dari ilmu politik pluralisme kaum intelektual. Hal tersebut merupakan
yang paling utama dimulai sebagai sebuah serangan untuk negara monisme, bagaimanapun
cetusan filosofi dalam doktrin kedaulatan atau praktek-praktek di pusat merupakan negara -
negara kaum absolut. Kedua, kaum pluralisme menilai otonomi organisasi dan golongan -
golongan, aktivitas, dan keanekaragaman. Ketiga, mereka menyetujui bahwa konflik - konflik
grup yang bersemangat diharapkan dalam suatu masyarakat yang kompleks. Keempat, mereka
berdebat tentang hubungan manfaat dari institusi atau pemeriksaan dan penyeimbangan sosial
sebagai mekanisme untuk menjaga negara monisme. Mereka juga membagi rasio - rasio untuk
institusi atau pluralisme sosial yang merupakan perlindungan utama dan pembangunan.
Kelima, bagaimanapun mereka mendefinisikan jasa - jasa dari individualisme politik, kaum
pluralisme tetap sadar bahwa ada bahaya pada masyarakat saat minta - minta pribadi
mendominasi tujuan mereka dan hilangnya hubungan tradisional sosial mereka. Pengertian ini
masih membedakan kaum pluralisme dari individualisme untuk sebuah pemikiran baru yang
benar.
Metode dan Nilai – Nilai
Pada awalnya, kaum pluralisme menggunakan banyak metode-metode berbeda pada
argumen mereka, tapi yang kami uji disini hanya metode-metode yang paling berkarakter dari
kaum plural pada jaman tersebut: positivisme dan paham tingkah laku, metode individualisme,
dan paham fungsi.
Positivisme dan Paham Tingkah Laku
Ilmu politik perang Amerika pada masa terdahulu, sangat dipengaruhi oleh ‘positivisme
logika’, sebuah teori ilmu pengetahuan yang dikenal diciptakan oleh sebuah group filosof-
filosof Viennese pada tahun 1930an. Kaum postivisme logika meyakini bahwa semua
pernyataan-pernyataan dapat diklasifikasikan kedalam tiga tipe; yaitu pernyataan-pernyataan
yang dibuktikan secara empirik, kecakapan mengobservasi dunia yang sesungguhnya; dan
pernyataan-pernyataan ‘tidak bermakna’, yang tidak didefinisikan ataupun tidak dapat
dibuktikan keempirikannya. Diyakinkan oleh doktrin-doktrin tersebut, kaum pluralisme
mengklaim bahwa apa yang disuguhkan oleh ilmu politik pada masa yang lalu terdiri dari
pernyataan-pernyataan etika yang sebenarnya tidak dapat memecahkan problem-problem yang
ada, maka dari itu hal tersebut dikatakan ‘tidak bermakna’. Suatu analisis ilmu pengetahuan
politik seharusnya tersusun atas hipotesis-hipotesis atau (hukum – hukum) yang sifatnya
universal terhadap politik-politik serta dapat diuji melalui observasi empirik, akan lebih baik
lagi jika dibuat dalam bentuk kuantitatif.
Tentu saja posisi ini berperan penting untuk ‘paham tingkah laku’, doktrin yang
menyatakan bahwa ilmu sosial seharusnya hanya fokus terhadap tingkah laku objektif orang-
orang selama maksud-maksud dasar, keinginan, serta motif-motif mereka merupakan hak
pribadi yang sebenarnya tidak dapat diobservasi secara sains. Kaum pluralisme seperti Bentley
dan Truman yang memperhatikan pembentukan sebuah teori empirik yang akurat yang di
ambil dari realita proses berlangsungnya politik dalam demokrasi modern. Hal tersebut
merupakan kecaman dari perspektif politik yang telah melalui debat tentang kontrak sosial,
obligasi politik, atau hanya masyarakatnya saja. Hal tersebut nampaknya sesuai untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berpusat pada ilmu politik, yang diformulasikan oleh
Harold Lasswell yaitu ‘siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana ?’
Pengaruh dari doktrin-doktrin oleh kaum penganut positivisme dan paham tingkah laku,
dalam penelitian oleh para ahli pluralisme, diiliustrasikan dengan sangat baik dalam studi
klasik oleh Robert Dahl tentang politik-politik kota di New Heaven yang berjudul Siapa
Pemerintahnya?. Ia mengeksplorasi dua hipotesis yang saling bersaing, yaitu sebuah
penyatuan oligarki yang memerintah New Heaven (pandangan teori kaum elit) atau
(pandangan kaum pluralisme) yang menyebutkan bahwa sistem politik di kota dapat dijelaskan
sebagai sebuah bentuk poliarki. Poliarki berbeda dengan demokrasi, sedangkan poliarki
merupakan peraturan oleh beberapa golongan masyarakat saja. Dalam kekuatan politik
poliarki tidak didstribusikan sama rata seperti praktek demokrasi, juga tidak disusun secara
akumulasi kedalam pihak seperti oligarki. Memutuskan apakah New Heaven menganut paham
oligarki atau poliarki membutuhkan Dahl untuk memformulasikan sebuah pengertian
operasional tentang kekuatan. Konsekuensi Dahl berpusat pada keputusan yang kontrofersial
dimana berbagai minat yang berbeda jelas menimbulkan konflik, dan mempertanyakan siapa
yang bersedia untuk memprakarsai atau merubah kebijakan veto. Sejak grup-grup yang
berbeda tersebut telah berhasil di tiap-tiap kebijakan mereka, dan mempengaruhi
pemberhentian ketua yang dipilih secara langsung oleh publik. Dahl merasa bahwa ia harus
menunjukkan bahwa kekuatan politik tidak dapat diorganisasi kedalam sebuah piramid yang
terhalang oleh paham monitik atau ‘peraturan elit’ yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Komunitas kaum pluralisme lainnya yang mempelajari hal yang sama pula menunjukkan
persamaan antara penelitian mereka dengan doktrin-doktrin positivisme logika
Metode Individualisme
Sebagian besar ahli pluralisme menganjurkan metode individualisme-sebuah doktrin
yang menegaskan bahwa semua hipotesis tentang kebersamaan manusia dapat dan harus
melemahkan pernyataan-pernyataan tentang wakil-wakil individu. Mengikuti prinsip – prinsip
dari paham tingkah laku, kaum pluralisme meyakini bahwa minat – minat individu dapat
dilihat dari kebijakan-kebijakan yang menjadi pilihan mereka : tingkah laku mereka
merupakan cerminan dari kebijakan yang mereka anut. Kemungkinan bahwa suatu individu
tidak menyatakan minat mereka dalam pilihan kebijakan yang sesuai merupakan hal di luar
kasus bahasan ini. Hal tersebut efektif akan menjadi tidak mungkin apabila ada orang – orang
yang salah memahami apa yang sebenarnya mereka minati. Kelompok Marxis dan radikal
mengklaim tentang kemungkinan terjadinya ‘kesadaran akan kesalahan’ tersebut sebaiknya
dimaklumi sebagai ketidaktahuan atau yang tercantum dalam nilai. Tidak ada ‘minat-minat
objektif’ apabila tidak ada pula grup-grup atau individu-individu yang mengakui mereka.
Paham Fungsional
Beberapa ahli pluralisme, khususnya yang mendapat pengaruh dari Talcott Parsons,
sangat mempercayai pada paham-paham fungsional serta penjelasan secara fungsional. Pada
bentuk terkuatnya, paham fungsional merupakan doktrin yang menerangkan bahwa semua
fenomena sosial memiliki konsekuensi – konsekuensi yang berguna yang menjelaskan mereka.
Biasanya, hal tersebut akan lebih mudah diartikan ke dalam kata ‘fungsi’ dalam konteks yang
lebih simpel ini yang sebenarnya bermakna sebagai ‘konsekuensi.
Fungsionalisme sosiologika disekutukan dengan dua tema. Pertama, hal tersebut
mengasumsikan bahwa masyarakat akan menjadi semakin tinggi tingkat kompleksitas dan
keanekaragamannya, sehingga akan menyebabkan peraturan-peraturan serta institusi-institusi
sosial juga akan berkembang menjadi lebih khusus pula., pembangunan oleh masyarakat
industri terhadap negara demokrasi liberal. Keanekaragaman dan modernisasi merupakan tema
yang paling populer untuk membandingkan politik-politik yang ada dan membandingkan
sistem administrasi publik yang berlangsung pada masa peperangan, serta masa kejayaan
pluralisme. Setiap negara merupakan suatu hubungan yang gigih, serta struktur yang stabil
dari elemen-elemen yang terintegrasi dengan baik, dan setiap hal memiliki sebuah ‘fungsi’.
Setiapelemen bagaimanapun seharusnya memberikan kontribusi untuk menata masyarakat
sebagai suatu sistem. Hal tersebut mengikuti perintah sosial , atau integrasi, yang telah dicapai
melalui persetujuan terhadap nilai-nilai tersebut, yang merupakan suatu persetujuan umum
secara normatif diantara anggota suatu kelompok masyarakat. Kritik-kritik yang berpendapat
bahwa pola dari argumen tersebut bersifat sirkuler, karena hal tersebut tampak menyebabkan
kebingungan terhadap kosekuensi-konsekuensi antara aksi dangan penyebabnya. Fungsional
lainnya tidak memberi tanggung jawab pada mekanisme kausal terhadap hasil-hasil fungsional
yang diproduksi.. Di banyak fenomena yang terjadi diterangkan dengan pertimbangan
konsekuensi fungsional yang dapat dipertanggungjawabkan dengan baik untuk penjelasan
intensional terhadap tingkah laku individu-individu atau grup-grup.
Ilmuwan politik pluralisme seringkali dituduh menggunakan asumsi serta alasan-alasan
kaum fungsional karena mereka tampaknya menghormati kebudayaan mufakat sebagai
komponen kritis dari integrasai sosial. Pada kenyataanya tuduhan ini hanya terbukti pada
sebagian kecil kaum pluralisme saja. Sebagian besar kaum pluralisme lainnya tidak berasumsi
bahwa masyarakat merupakan suatu hubungan yang kuat dari struktur yang stabil dalam
elemen-elemen yang terintegrasi dengan sebuah fungsi ‘pengaturan sistem’. Termasuk
kecenderungan mereka untuk berasumsi bahwa amasyarakat dikarakteristikan oleh konflik
serta perubahan yang terjadi di mana-mana. Tanpa bagian dari institusi politik dan perpecahan
sosial, perpecahan sosial negara menjadi seperti terintegrasi. Konflik dari minat-minat serta
kekuatan perjuangan merupakan salah satu hal yang tidak dapat dihilangkan dari masyarakat
yang kompleks. Lagipula, sebagian besar kaum pluralisme pada pernyataan metodologi dan
empirik bekerja secara tidak sadar berusaha menjelaskannya secar fungsional.
Dua alasan yang menjelaskan mengapa mereka mengkritik identifikasi semua kaum
pluralisme dengan kaum fungsional sosiologi. Pertama, kaum sosiologi yang konservatif dan
ilmuwan politik liberal mempertahankan demokrasi liberal. Nilai-nilai ini mengaburkan dasar
dari konflik metodologi antar fokus kaum pluralisme dalam perpecahan dan kaum fungsional
yang fokus pada mufakat. Kedua, kaum fungsional sosiologi sering mengklaim bahwa suatu
negara pluralisme dan masyarakatnya membutuhkan poin akhir dari modernisasi, suatu
perkiraan yang terlihat mendekati kesesuaian denagn kepuasan pendirian liberal yang
sebenarnya meyakini poliarki sebagai sistem politik terbaik yang dapat dicapai.
Nilai –nilai
Kaum positivisme mempertahankan Hukum Kemanusiaan, suatu keyakinan bahwa satu
hal dapat selalu menimbulkan pertanyaan terpisah (positif) dari pertanyaan tentang nilai
(normatif). Kaum pluralisme berpendapat bahwa pernyataan positif mereka tentang realita
poliarki dalam prinsip-prinsipnya, serta dapat dipisahkan dari pengesahan normatif poliarki.
Miller membuat perbedaan yang berguna antara pluralisme ‘normatif’ dengan pluralisme
‘analitik’. Pluralisme normatif menegaskan bahwa negara merupakan suatu asosiasi antar
beberapa individu yang salin memiliki dan berhutang royalti; oleh karena itu, penolakan
beberapa obligasi keberatan dalam masyarakat yang mematuhi negara dalam segala
kondisinya. Analitik pluralisme bertentangan dengan teori yang memperhatikan struktur aksi
politik dalam negara modern serta pola-pola pengaruh subjeknya. Meskipun hal tersebut
diasosiasikan dengan nilai-nilai partikular, analitik pluralisme merupakan prinsip bebas bagi
mereka.
Krisis
Teori krisis politik dibedakan menjadi tiga kemungkinan, yaitu: keruntuhan negara
(terminal crisis), kesulitan-kesulitan kronik (endurable crisis) dan pekerjaan sub-optimal, serta
masalah-masalah politik kekurangan (curable crisis). Walaupun kaum pluralisme secara umum
optimis terhadap poliarki, mereka tetap mempunyai kemungkinan terjadinya krisis dalam
suatu masyarakat atau institusi-institusi pemerintahan. Beberapa konflik-konflik politik dalam
pekerjan pemerintah dalam beberapa demokrasi liberal memimpin beberapa kaum pluralisme
untuk mendeteksi potensi krisis yang berasal dari beban pemerintah yang terlalu berat atau
dari kuramgmya pertanggungjawaban politik dan pembangunan diluar kontrol.
Krisis dan Kurangnya Kedaulatan
Konsistensi kaum pluralisme menyerang pemikiran simpel dari Marxisme menyarankan
bahwa sebuah proses tunggal dari kelas pejuang mendasari semua konflik-konflik yang
tampak dalam sistem-sistem tunggal partai, termasuk di dalamnya organisasi-organisasi
negara atau pembuat kebijakan publik. Bagaimanapun, krisis mungkin akan muncul pada saat
ada penurunan pluralisme sosial karena ada kedaulatan sosial yang tidak dapat disetujui pada
waktu yang sama sebagai suatu isu – isu kelas. Kunci yang dapat mengancam sistem stabilitas
sosial yaitu: ras, etnik, agama serta bahasa.
Semua masyarakat dibagi oleh suatu kedaulatan, tapi pola mereka merupakan suatu
kritik terhadap stabilitas sosial. Tiga tipe dasar dari eksisnya struktur kedaulatan, yaitu:
pemotongan bersebrangan, saling melengkapi serta saling menjumlahkan.
Dalam suatu masyarakat dengan kedaulatan kumulatif, atau pembagian suatu dimensi
tunggal yang lebih berat daripada semua isu-isu lainnya, pengenalan dari sebuah bentuk
institusi yang tidak sesuai akan menciptakan sebuah krisis terhadap legitimasi terhadap negara.
Struktur tipe ideal di desain untuk memberi kekuatan kaum mayoritas simpel terhadap
kebijakan politik. Meskipun pemerintahan legislatif bersifat bikameral, kekuatan legislatif
tetap berkonsentrasi pada dewan perwakilan yang terpilih oleh populasi yang mendasari.
Bagaimanapun, kaum pluralisme yakin bahwa ada bebrapa bentuk dari organisasi negara yang
lebih pantas untuk mencegah terjadinya krisis di masyarakat seperti tipe ideal dari ‘demokrasi
konsosiasional’. Di sini kekuatan eksekutifdari pemerintah oleh koalisi utama memastikan
bahwa semua segmen-segmen penting dalam masyarakat merupakan perwakilan dalam forum
pembuat keputusan yang utama, normalnya pada sebuah proporsional dasar dari jumlah
mereka. Kekuatan eksekutif dan legislatif merupakan hal formal dan non formal yang terpisah,
membubarkan otoritas legal. Aksi dari dua legislatif dengan perwakilan kaum minoritas yang
kuat sebagai dasar dari masyarakat tirani, menjamin perwakilan yang ‘adil’ bagi kaum
minoritas. Bersama dengan struktur kedaulatan multi – dimensional, seperti penyusunan
sistem multi partai. Daerah teritorial federalisme, dan bentuk dari ketidaksetujuan
administratif dari pusat, memberi bebrapa kontrol otonomi pada kebijakan publik untuk
memisahkan segmen-segmen sosial tersebut. Pada akhirnya, sistem politik dalam suatu
demokrasi konsosiasional diatur oleh konstitusi tertulis yang lebih luar biasa ketimbang
mayoritas simpel yang telah diamandemen.
Pemusatan Yang Berlebih
Beberapa ahli pluralisme mendeteksi krisis dalam masyarakat yang tudak terbagi secara
jelas tetapi dimana pembangunan masih sangat kurang dengan pemusatan perlengkapan
negara yang terlalu berlebihan. Perancis disebut sebagai suatu contoh kunci. Tocqueville
berpendapat bahwa pemusatan di Perancis telah ditinggalkan oleh kaum absolutisme pada
abad -18 serta Bonapartisme menjadi dasar pembangunan asosiasi sukarela ekstensif, sehingga
Perancis pada abad ke-19 cenderung mengulang periode-periode dari dominasi birokrasi oleh
masa pemberontakan. Tema ini dihidupkan kembali pada beberapa pekerjaan modern, yang
sebagian didasari oleh psikologi sosial tentang kebudayaan dan penelitian di organisasi –
organisasi Perancis. Kebudayaan ini menjelaskan mengapa masyarakat menggunakan dendam
mereka untuk berubah menjadi impersonal, formal, berjarak, dan menggunakan peraturan –
peraturan yang bersifat hirarki, khususnya jika mereka berada dalam kondisi terancam.
Birokrasi negara mendorong mereka umtuk menjadi aktivis yang netral. Grup-grup yang
mengatur munculnya bagian-bagian penting serta kecakapan koalisi-koalisi besar dan asosiasi-
asosiasai puncak yang kuat. Persetujuan, kenaikan, serta kapasitas untuk saling menyesuaikan
merupakan hal-hal di luar pengembangan. Grup-grup melawan peleburan dan penolakan untuk
akomodasi satu dan lainnya dalam kebijakan komunitas.
Modernitas serta Penghancuran Kepuasan Kum Pluralisme
Kaum pluralisme percaya bahwa poliarki merupakan hal yang normal, yang merupakan
sumber penyehat dari wujud praktek modernisasi, kebutuhan akhir dari negara pada
pembangunan sosial. Pemerintahan mencoba untuk menciptakan masyarakat modern,
kompleks, dan ekonomi yang berbeda, dan harus mengontrol politik pada grup – grup yang
mosaik. Beberapa kaum pluralisme di akhir tahun 1950 an dan awal tahun 1960 an percaya
bahwa kesejahteraan negara diantarkan dalam ‘ideologi akhir’ dan sebuah era yang hanya
mampu mengatur konflik-konflik pada masyarakat industri .