pilar ketahanan pangan - pertanian

74
ISSN : JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR, KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DAN POLA ASUH MAKAN DENGAN KEJADIAN UNDERWEIGHT PADA BALITA Novita Nining Widyaningsih , Kusnandar, Sapja Anantanyu FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT Dini Nuraeni, Ratya Anindita, Syafrial PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN PENDUDUK IBUKOTA NEGARA DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2024 TELAAHAN BERBASIS POLA PANGAN HARAPAN Deshaliman, Anggit Gantina ASIMETRIS HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT PETANI TERHADAP HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT ECERAN Yanti Nurhayanti, Ari Wahyuningsih PROFIL RISIKO CEMARAN MIKOTOKSIN PADA BERAS DAN PENCEGAHANNYA Sarastuti, Apriyanto Dwi Nugroho Volume 01 Nomor 01, Juni 2019

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

ISSN : JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN

BADAN KETAHANAN PANGAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR, KETAHANAN PANGAN RUMAH

TANGGA DAN POLA ASUH MAKAN DENGAN KEJADIAN UNDERWEIGHT PADA

BALITA

Novita Nining Widyaningsih , Kusnandar, Sapja Anantanyu

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT INTEGRASI PASAR BAWANG

MERAH DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

Dini Nuraeni, Ratya Anindita, Syafrial

PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN PENDUDUK IBUKOTA NEGARA DI

PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2024

TELAAHAN BERBASIS POLA PANGAN HARAPAN

Deshaliman, Anggit Gantina

ASIMETRIS HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT PETANI TERHADAP HARGA

BAWANG MERAH DI TINGKAT ECERAN

Yanti Nurhayanti, Ari Wahyuningsih

PROFIL RISIKO CEMARAN MIKOTOKSIN PADA BERAS DAN PENCEGAHANNYA

Sarastuti, Apriyanto Dwi Nugroho

Volume 01 Nomor 01, Juni

2019

ISSN :

Volume 1 Nomor 1, Juli 2019

Page 2: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan

Volume 01 Nomor 01 Juni 2019 ISSN No.

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan (JPKP) adalah media Jurnal Ilmiah yang memuat artikel berupa hasil penelitian, kajian, gagasan dan telaahan implementasi kebijakan dalam aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, stabilisasi pasokan dan harga serta keamanan pangan di tingkat nasional dan daerah. Media ini mulai ditebitkan pada bulan Juni 2019. Jurnal Pilar Ketahanan Pangan terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember.

Pengarah Dr. Ir. Agung Hendriadi, M. Eng (Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian) Penanggung Jawab Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si (Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Ketahanan Pangan)

Dewan Redaksi Ketua Maino Dwi Hartono, STP, MP (Kepala Bidang Harga Pangan, Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan) Wakil Ketua Arifayani Rahman, STP, M.Si (Kepala Sub. Bidang Harga Pangan Konsumen, Bidang Harga Pangan) Anggota Lalang Ken Handita, S.Sos, MM (Kepala Sub. Bidang Harga Pangan Produsen, Bidang Harga Pangan) Ir. Dewi Novia Tarwiati, M.Si Eddy Suntoro S.Sos, M.Si Arif Syaifudin, ST, M.Sc Asti Mintoraras, S.Si Irnawati, S.Si, MM Mitra Bestari sebagai Penelaah Ahli Tetap Dr. Ir. Agung Hendriadi, M. Eng (Kepala Badan Ketahanan Pangan) Prof Dr. Ir. Achmad Suryana, MS (Profesor Riset Bidang Kebijakan Pangan dan Pertanian) Prof Dr. Drs. Benny Rachman, MS (Profesor Riset Bidang SosekPertanian, Kementerian Pertanian) Dr. Ir. Roy Sparingga, M.App.Sc, (Senior Adviser Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Dr. Ir. Riwantoro, MM (Sekretaris Badan Ketahanan Pangan) Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si (Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Ketahanan Pangan) Dr. Andriko Noto Susanto, MP, (Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan) Desain Grafis Nurtamtomo Hadi Nugroho, SP Redaksi Pelaksana Muhammad Yanto, SP, MM Ir. Deshaliman, MM Dini Nuraeni, SP, MP Ari Wahyuningsih, STP, MP Endang Ismaryati, SP, MM Rahmat Yandri, SP, MM Toni Tri Susanto, S.Si Trisno Mulyadi, SE Rini Turino Dewi, A.Md Ely Fauziah Alamat Penerbit/Redaksi Badan Ketahanan Pangan Kantor Pusat Kementerian Pertanian Gedung E Lantai VI Ruang 628 Jalan Harsono RM No. 03 Pasar Minggu Jakarta Selatan Kode Pos 12550 Telepon/Faximile : 021. 7804496 E-mail : [email protected]

Page 3: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat nikmat dan karunianya, Jurnal Pilar Ketahanan Pangan

(JPKP) Badan Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 edisi Juni 2019 yang merupakan edisi

perdana telah berhasil diterbitkan. JPKP merupakan media Jurnal Ilmiah yang memuat artikel berupa

hasil penelitian, kajian, gagasan dan telaahan implementasi kebijakan dalam aspek ketersediaan

pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, stabilisasi pasokan dan harga serta

keamanan pangan di tingkat nasional dan daerah.

JPKP edisi Juni 2019 ini memuat lima artikel. Artikel Hubungan Antara Berat Badan Lahir,

Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Pola Asuh Makan dengan Kejadian Underweight Pada Balita;

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Derajat Integrasi Pasar Bawang Merah di Kabupaten Majalengka

Jawa Barat; Perencanaan Penyediaan Pangan Penduduk Ibukota Negara di Provinsi Kalimantan

Timur Tahun 2024; Asimetris Harga Bawang Merah di Tingkat Petani Terhadap Harga Eceran

Bawang Merah di Tingkat Eceran; dan Profil Risiko Mikotoksin Pada Beras dan Pencegahannya.

Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah bersedia

mengusulkan karyanya untuk diterbitkan di JPKP. Kami juga menghaturkan terima kasih kepada para

Mitra Bestari yang telah bersedia memberikan komentar, koreksi, dan pandangan terhadap naskah

awal artikel yang diajukan kepada Redaksi. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan

untuk penyempurnaan edisi berikutnya.

Jakarta, Juni 2019

Ketua Dewan Redaksi

Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si

Page 4: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

ii

JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN VOLUME 01 NOMOR 01, JUNI 2019

DAFTAR ISI Artikel HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR, KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DAN POLA ASUH MAKAN DENGAN KEJADIAN UNDERWEIGHT PADA BALITA Novita Nining Widyaningsih

, Kusnandar, Sapja Anantanyu 1 - 10

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT Dini Nuraeni, Ratya Anindita, Syafrial 11 - 24

PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN PENDUDUK IBUKOTA NEGARA DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2024 TELAAHAN BERBASIS POLA PANGAN HARAPAN Deshaliman, Anggit Gantina 25 - 38 ASIMETRIS HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT PETANI TERHADAP HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT ECERAN Yanti Nurhayanti, Ari Wahyuningsih 39 - 50

PROFIL RISIKO CEMARAN MIKOTOKSIN PADA BERAS DAN PENCEGAHANNYA Sarastuti, Apriyanto Dwi Nugroho

51 - 60

Page 5: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

iii

JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN

VOLUME 01 NOMOR 01, JUNI 2019 Novita Nining Widyaningsih

, Kusnandar, Sapja Anantanyu

HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR, KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DAN POLA ASUH MAKAN DENGAN KEJADIAN UNDERWEIGHT PADA BALITA Underweight merupakan salah satu masalah gizi yang terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi. Kejadian underweight bisa terjadi karena rendahnya kemampuan terhadap akses pangan. Selain itu dipengaruhi oleh riwayat berat badan lahir yang rendah dan pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir, ketahanan pangan rumah tangga, dan pola asuh makan dengan kejadian underweight pada balita usia 24-59 bulan di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Teknik pemilihan subjek dengan teknik simple random sampling. Data berat badan lahir diperoleh dari buku KMS. Ketahanan pangan dan pola asuh makan diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data kemudian dianalisis menggunakan path analisis. Hasil path analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara langsung antara ketahanan pangan rumah tangga (0,330), pola asuh makan (0,273) dan berat badan lahir dengan kejadian underweight pada balita (0,312). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor resiko kejadian underweight yang paling dominan adalah ketahananan pangan rumah tangga. Oleh sebab itu perlu peningkatan ketahanan pangan rumah tangga yang akan berdampak pada perbaikan gizi balita yang dalam jangka panjang akan berimplikasi pada peningkatan kualitas Sumberdaya Manusia.

Kata kunci: Berat Badan Lahir, Ketahanan Pangan, Pola Asuh Makan, Underweight

Dini Nuraeni, Ratya Anindita, Syafrial

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

Fluktuasi harga bawang merah yang sering terjadi dimanfaatkan oleh para pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat produsen sehingga transmisi harga dari pasar konsumen ke produsen cenderung bersifat asimetris. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi harga belum tersalurkan dengan baik dan pasar tidak terintegrasi. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi derajat integrasi pasar bawang merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Analisis yang digunakan adalah infrastuktur pemasaran, struktur pasar dan informasi pasar secara deskriptif dan untuk menentukan derajat integrasi pasar menggunakan pendekatan kointegrasi dengan model Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara pasar produsen dan pasar grosir tidak terjadi integrasi pasar dalam jangka panjang namun terintegrasi dalam jangka pendek. Antara pasar produsen dan pasar eceran terjadi integrasi pasar dalam jangka panjang namun dalam jangka pendek tidak terintegrasi. Antara pasar grosir dan pasar eceran terintegrasi baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Struktur pasar di produsen mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna/oligopsoni. Tingkat pengetahuan pasar petani juga tidak cukup baik karena hanya berkisar pada lingkungan sekitar sedangkan di tingkat pedagang pengetahuan pasarnya sudah cukup baik karena selain informasi yang diperoleh dari lingkungan sekitar, mereka juga mengakses informasi pasar melalui media massa.

Kata kunci: bawang merah; integrasi pasar; kointegrasi johansen; VAR; VECM

Page 6: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

iv

Deshaliman, Anggit Gantina PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN PENDUDUK IBUKOTA NEGARA DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2024 TELAAHAN BERBASIS POLA PANGAN HARAPAN Kebijakan Pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke Provinsi Kalimantan Timur menjadi isu penting, yang akan berimplikasi terhadap penyediaan pangan penduduk. Sekitar 6 juta Aparat Sipil Negara beserta keluarga dan warga negara lainnya dari berbagai kementerian/instansi pemerintah serta lembaga terkait lainnya akan berpindah pada tahap awal di tahun 2024. Telaahan ini bertujuan untuk menyusun perencanaan penyediaan pangan penduduk ibukota di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2024. Perencanaan penyediaan pangan ini menggunakan data konsumsi pangan Susenas Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta-BPS tahun 2018, diolah berbasis Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata penduduk Indonesia tingkat konsumsi sebesar 2.100 kkal/kap/hari. Perencanaan penyediaan pangan dihasilkan dari proksi 10 persen kecukupan gizi konsumsi seluruh kelompok pangan terhadap kecukupan di level penyediaan (tingkat pasar). Hasil analisis menunjukkan bahwa pasokan pangan yang harus disediakan di tingkat pasar di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2024 untuk komoditas beras 498.520 ton, jagung 1.727 ton, terigu 216.394 ton; Untuk komoditas umbi-umbian yaitu singkong 164.832 ton, ubi jalar 39.770 ton, kentang 62.454 ton, sagu 2.108 ton, umbi lainnya (suweg/talas) 5.746 ton. Penyediaan komoditas pangan hewani di tingkat pasar yaitu daging ruminansia 37,945 ton, daging unggas 35.713 ton, telur ayam ras 26.718 ton, susu sapi 115.375 ton, ikan kembung 92.694 ton, minyak kelapa 419 ton, minyak sawit 5.139 ton, minyak lainnya (minyak kacang tanah) 191 ton, kelapa 8.796 ton, kemiri 1.240 ton, kedelai 20.343 ton, kacang tanah 1.033 ton, kacang hijau 1.440 ton, kacang lainnya (kacang kapri) 1.582 ton, gula pasir 18.064 ton, gula merah 953 ton, daun singkong 25.717 ton, terong 19.140 ton, kangkung 22.550 ton, bawang putih 42.750 ton, cabai rawit 34.475 ton, bawang merah 21.487 ton, cabai merah 5.047 ton, pisang 74.448 ton, rambutan 25.575 ton, pepaya 8.624 ton, dan apel 6.675 ton.

Kata Kunci: perencanaan, ketersediaan, kebutuhan

Yanti Nurhayanti, Ari Wahyuningsih

ASIMETRIS HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT PETANI TERHADAP HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT ECERAN Kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis sejauh mana transmisi asimetris harga bawang tingkat produsen terhadap tingkat eceran. Kajian ini menggunakan Metode statistik Error Correction Model (ECM) serta uji kointegrasi dan kausalitas jangka panjang untuk mengindentifikasi asimetris harga. Data yang digunakan merupakan data bulanan harga bawang merah tingkat petani dan tingkat eceran di lima lokasi berbeda dari tahun 2014 sampai dengan 2018. Hasil analisis membuktikan adanya asimetris harga secara vertikal antara petani dan eceran. Penyimpangan yang disebabkan kenaikan harga bawang merah tingkat produsen akan lebih cepat direspon dengan kenaikan harga ditingkat eceran apabila dibandingkan dengan penyimpangan ketika terjadi penurunan harga bawang merah ditingkat produsen. Penyimpangan akan kembali pada titik keseimbangan sekitar 7 bulan.

Kata kunci: asimetris harga, error corection model, bawang merah

Sarastuti, Apriyanto Dwi Nugroho

PROFIL RISIKO CEMARAN MIKOTOKSIN PADA BERAS DAN PENCEGAHANNYA Beras merupakan salah satu pangan pokok strategis di Indonesia, ditinjau dari aspek produksi, ekonomi, dan konsumsi. Dengan tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia yaitu mencapai 111,58 kg/kap/tahun, maka beras yang dikonsumsi sebagai pangan pokok harus aman. Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penanganan pascapanen pada produksi beras dan mengetahui profil risiko cemaran mikotoksinnya melalui studi literatur. Penggilingan padi di Indonesia yang didominasi oleh skala kecil, mempunyai potensi menghasilkan beras bermutu rendah dengan kadar air dan beras

Page 7: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

v

patah tinggi, serta derajat sosoh rendah. Beras tersebut lebih berisiko terkontaminasi jamur penghasil mikotoksin, terutama bila disimpan pada tempat lembab dan penerapan GMP yang tidak optimal. Aflatoksin dan okratoksin A merupakan jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan pada komoditas beras. Racun tersebut diproduksi apabila jamur penghasil mikotoksin mengalami stress akibat cekaman faktor lingkungan. Risiko cemaran mikotoksin dapat diturunkan melalui penerapan good practices pada rantai pasok beras. Dengan tingginya tingkat konsumsi serta beragamnya penanganan beras di Indonesia, maka perlu dilakukan kajian resiko terhadap cemaran mikotoksin ini secara komprehensif untuk pengembangan standar cemaran mikotoksin pada beras, dan upaya penguatan pengawasan dan surveilan komoditas beras.

Kata kunci: beras, cemaran, mikotoksin, pascapanen, risiko

Page 8: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

vi

JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN VOLUME 01 NOMOR 01, JUNI 2019 Novita Nining Widyaningsih

, Kusnandar, Sapja Anantanyu

The Relationship Between Birth Weight, Household Food Secutity, Child Feeding Practice, And The Prevalance Of Underweight In Children

Underweight is a form of malnutrition reflecting an inadequate intake of dietary energy. Several studies found that the prevalence of underweight in children is influenced by some factors, such as lack of sufficient access to safe and nutritious food, low birth weight and child feeding practice adopted by mother. This study aims to investigate the relationship between birth weight, household food security, child feeding practice and the prevalence of underweight among children aged 24 – 59 months in Bayat Sub-district, Klaten Regency. A cross-sectional study and simple random sampling technique were conducted in this research. Data of brith weight collected from KMS book meanwhile data of household food insecurity and child feeding practise was obtained through interviews employing a structured questionnaire. Subsequently, the collected data was analyzed using the path analysis. The results show that there was a direct relationship between household food insecurity (0,330), feeding practice (0,273), birth weight and prevalence of underweight (0,312). It can be concluded that household food insecurity becomes the main factors influencing underweight in children. Therefore, it is necessary to increase the household food security situation which will have an impact on improving child nutritional status, and in turn, will improve the quality of human resources in the future.

Keywords: Birth Weight, Food Security, Child Feeding Practice, Underweight Dini Nuraeni, Ratya Anindita, Syafrial

Determinants Factors of Shallot Market Integration in Majalengka District, West Java

Unstable shallot price is often used by traders to manipulate the price information at producer’s level, so the price transmission from consumer to producer level tend to be asymmetrical. This condition indicates that the price information is not transfered properly and the market is not integrated. This study aims to analyze factors influencing the integration of shallot market in Majalengka, West Java. A descriptive analyis was conducted to explain shallot marketing infrastructures, market structures, and market information. A Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM) was chosen to understand the degree of market integration. This results show that the producer and the wholesale markets are not integrated in the long-term, but they are integrated in the short-term. On the othe hand, the producer and the retailer markets are integrated in the long-term, but they are not intergrated in the short-term. Meanwhile, the wholesale and the retailer markets are integrated both in the long and short terms. Structure of the producer markets indicates that the shallot market was imperfect competition one/oligopsony. In this circumstance, farmers have insufficient knowledge because they have lack of access to market information, meanwhile traders own better knowledge because they obtain market information not only from the producers but also from mass media.

Keywords: Shallot; market integration; Johansen cointegration; VAR; VECM

Page 9: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

vii

Deshaliman, Anggit Gantina Food Supply Planning 2024 in East Kalimantan, Indonesia’s Country’s Capital Desk Analysis based on Desirable Dietary Pattern

The Indonesian Government policy to relocate the national capital from Jakarta to the Province of East Kalimantan becomes a crucial issue, particularly related to food supply for the population. Around 6 million people consisting of State Civil Apparatuses from various ministries/government institutions with their families and the others will move to the new capital at the first stage by 2024. This study aims to formulate a food supply plan for the new capital’s population situated in the Province of in East Kalimantan in 2024. The food supply plan is based on the Dietary Diversity Score (DDP), which is not only taking into account the quantity aspect, but also its quality, including food diversity and balanced nutrition, as well as referring to the Recommended Dietary Allowance (RDA) of the consumption level of 2,100 kcal. The results show that the ideal food supply at market level for 6 million people in the new capital in 2024 is: rice 498,520 tons, corn 1,727 tons, flour 216,394 tons, cassava 164,832 tons, sweet potatoes 39,770 tons, potatoes 62,454 tons, sago 2,108 tons, other tubers (suweg / taro) 5,746 tons, ruminant meat 37,945 tons, poultry meat 35,713 tons, egg sago purebred chicken 26,718 tons, cow's milk 115,375 tons, mackerel fish 92,694 tons, coconut oil 419 tons, palm oil 5,139 tons, other oils (peanut oil) 191 tons, coconut 8,796 tons, hazelnut 1,240 tons, soybeans 20,343 tons, peanuts 1,033 tons, green beans 1,440 tons, other beans (peas) 1,582 tons, sugar 18,064 tons, brown sugar 953 tons, cassava leaves 25,717 tons, eggplant 19,140 tons, kale 22,550 tons, garlic 42,750 tons, cayenne pepper 42,750 tons, onion chili red 21,487 tons, red pepper 5,047 tons, bananas 74,448 tons, rambutan 25,575 tons, papaya 8,624 tons, and apples 6,675 tons.

Keywords: planning, availability, needs.

Yanti Nurhayanti, Ari Wahyuningsih

Asymmetric of Shallot Prices on Producer to Retail Level

The objective of this research is to analyze to what extent an asymmetrical transmission of shallot prices from producer to retail level. A statistical method of Error Correction Model (ECM), cointegration test and causality tests was chosen to identify the price asymmetries. The data of monthly shallot price situated in five different locations in the period of 2014 and 2018 was gathered. The results prove the existence of vertical asymmetric prices between farmer and retailer level. The deviation caused by an increase of shallot price at producer level will be quickly responded to an increase of shallot prices at retail level, compared to the deviation when a decrease of shallot price occurs at producer level. Furthermore, the teviations will return to the equilibrium about 7 months.

Keyword: assymetry price, error corection model, shallot

Sarastuti, Apriyanto Dwi Nugroho

Mycotoxin Contaminations Profile in Rice and Its Prevention

Rice is considered as a valuable and strategic commodity in Indonesia. It is reported that the rice consumption per capita in Indonesia has been relatively high, namely 111.58 kg/cap/year in 2017. However, rice milling units that convert paddy into rice are mainly dominated by small scale one that tend to produce low quality rice in term of moisture content, broken rice, and milling degree. The low quality rice will be susceptible to deterioration when it is stored in an improper humidity because this circumstance can stimulate the infestation of mycotoxigenic fungi. Aflatoxin and Ochratoxin A are mycotoxin which is commonly found in rice. The risk of toxin contamination will increase in line with the level of broken rice. Hence, considering the strategic position of rice, it is important to review the profile of mycotoxin contamination in rice and the prevention measures. The risk of toxin contamination in rice can be reduced by implementing good practices along rice supply chain. Establishment of standard through surveillance and supervision is also needed as an effort to address the risk of toxin contamination in rice before entering market.

Keywords: contamination, mycotoxin, postharvest, rice, risk.

Page 10: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

1

HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LAHIR, KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DAN POLA ASUH MAKAN DENGAN KEJADIAN UNDERWEIGHT

PADA BALITA

The Relationship Between Birth Weight, Household Food Secutity, Child Feeding Practice, And The Prevalance Of Underweight In Children

Novita Nining Widyaningsih

1, Kusnandar2, Sapja Anantanyu

2

1 Analis Ketahanan Pangan Ahli Pertama, Badan Ketahanan Pangan 2 Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret

*Penulis korespondensi. E-mail: [email protected]

Diterima: 7 Oktober 2019 Direvisi: 10 Oktober 2019 Disetujui terbit: 17 Oktober 2019

ABSTRACT

Underweight is a form of malnutrition reflecting an inadequate intake of dietary energy. Several studies found that the prevalence of underweight in children is influenced by some factors, such as lack of sufficient access to safe and nutritious food, low birth weight and child feeding practice adopted by mother. This study aims to investigate the relationship between birth weight, household food security, child feeding practice and the prevalence of underweight among children aged 24 – 59 months in Bayat Sub-district, Klaten Regency. A cross-sectional study and simple random sampling technique were conducted in this research. Data of brith weight collected from KMS book meanwhile data of household food insecurity and child feeding practise was obtained through interviews employing a structured questionnaire. Subsequently, the collected data was analyzed using the path analysis. The results show that there was a direct relationship between household food insecurity (0,330), feeding practice (0,273), birth weight and prevalence of underweight (0,312). It can be concluded that household food insecurity becomes the main factors influencing underweight in children. Therefore, it is necessary to increase the household food security situation which will have an impact on improving child nutritional status, and in turn, will improve the quality of human resources in the future.

Keywords: Birth Weight, Food Security, Child Feeding Practice, Underweight

ABSTRAK

Underweight merupakan salah satu masalah gizi yang terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi. Kejadian underweight bisa terjadi karena rendahnya kemampuan terhadap akses pangan. Selain itu dipengaruhi oleh riwayat berat badan lahir yang rendah dan pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir, ketahanan pangan rumah tangga, dan pola asuh makan dengan kejadian underweight pada balita usia 24-59 bulan di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Teknik pemilihan subjek dengan teknik simple random sampling. Data berat badan lahir diperoleh dari buku KMS. Ketahanan pangan dan pola asuh makan diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data kemudian dianalisis menggunakan path analisis. Hasil path analysis menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara langsung antara ketahanan pangan rumah tangga (0,330), pola asuh makan (0,273) dan berat badan lahir dengan kejadian underweight pada balita (0,312). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor resiko kejadian underweight yang paling dominan adalah ketahananan pangan rumah tangga. Oleh sebab itu perlu peningkatan

ketahanan pangan rumah tangga yang akan berdampak pada perbaikan gizi balita yang dalam jangka panjang akan berimplikasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Kata kunci: Berat Badan Lahir, Ketahanan Pangan, Pola Asuh Makan, Underweight

Page 11: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

2

PENDAHULUAN

Underweight merupakan salah satu permasalah gizi di dunia. Pada tahun 2011 ada 101 juta balita di dunia mengalami underweight.[1] Prevalensi underweight di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 17,9 persen meningkat menjadi 19,6 persen pada tahun 2013 dan pada tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 17,7%.[2],[3] Kondisi ini menggambarkan bahwa underweight merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang mendekati prevalensi tinggi. Menurut WHO suatu daerah memiliki prevalensi underweight rendah jika prevalensi underweight kurang dari 10%. [4]

Hasil penelitian yang dilakukan di Ethiopia dan Indonesia menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian underweight adalah pendidikan ibu, pendapatan rumah tangga, penyakit infeksi, berat badan lahir rendah (BBLR), dan pemberian ASI eksklusif [5], [6]. Selain faktor-faktor tersebut, hasil penelitian yang dilakukan di Nepal menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian underweight. Balita yang berasal dari rumah tangga rawan pangan memiliki resiko 1,40 kali lebih besar untuk mengalami underweight jika dibandingkan dengan balita yang berasal dari rumah tangga tahan pangan.[7]

Penelitian terkait hubungan antara ketahanan pangan dengan underweight sudah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Penelitian yang dilakukan di kota Surabaya menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga yang diukur dengan menggunakan kuisioner US-HFSSM (United Status Household Food Security Survey Module) berhubungan dengan kejadian underweight pada balita.[8]. Penelitian di Indramayu menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga yang diukur dengan menggunakan pendekatan Tingkat Kecukupan Energi (TKE) berhubungan dengan kejadian underweight pada balita. [9] Hasil penelitian yang sama juga diungkapkan pada penelitian yang dilakukan di Nepal dan Kabupaten Boyolali (Indonesia) bahwa ketahanan pangan rumah tangga diukur dengan menggunakan metode HFIAS (Household Food Insecurity Access Scale) berhubungan dengan kejadian underweight pada balita. [7], [10].

Hasil penelitian berbeda diungkapkan oleh Motbainor et al. (2016) bahwa ketahanan pangan yang diukur dengan menggunakan metode HFIAS tidak berhubungan dengan kejadian underweight dan stunting pada balita, tetapi lebih dipengaruhi oleh riwayat pemberian ASI dan praktik pemberian makan yang diterapkan oleh ibu kepada balita.[11], [12]. Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini menggabungkan variabel ketahanan pangan rumah tangga dan pola asuh makan untuk mengetahui variabel yang paling berhubungan dengan kejadian underweight.

Tingkat ketahanan pangan rumah tangga pada penelitian ini diukur dengan menggunakan pendekatan Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Rumah Tangga karena tingkat kecukupan energi telah lama digunakan sebagai gold standard untuk mendeteksi rawan pangan. Tingkat konsumsi energi yang kurang dari 70% mengimplikasikan terjadinya rawan pangan. [13]. Faktor riwayat berat badan lahir juga diamati karena penelitian terdahulu menunjukkan bahwa berat badan lahir balita berhubungan dengan kejadian underweight.[14]. Selain itu berat badan lahir merupakan salah satu penyebab kematian pada balita.[15].

Kemiskinan merupakan penyebab dasar terjadinya underweight. Rumah tangga yang keadaan sosial ekonominya rendah memiliki risiko lebih besar untuk mengalami underweight. Kondisi sosial ekonomi akan menentukan kemampuan rumah tangga untuk membeli makanan yang berkualitas, fasilitas perumahan yang layak, akses perawatan kesehatan yang memadai yang kemudian akan mempengaruhi status gizi balita. Klaten merupakan salah satu kabupaten yang berada diprovinsi Jawa Tengah yang mempunyai jumlah penduduk miskin yang banyak. Data dari Bappeda Kabupaten Klaten, jumlah desa miskin di Kabupaten Klaten ada 72 desa dan Kecamatan Bayat merupakan salah satu kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin terbanyak. Selain itu di Kabupaten Klaten banyak ditemukan kasus underweight dan berat badan lahir rendah. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian terkait hubungan antara berat badan lahir, ketahanan pangan rumah tangga dan pola asuh makan dengan kejadian underweight pada balita usia 24 – 59 bulan di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

Page 12: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

3

METODE PENELITIAN

Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten pada bulan April 2018.

Desain penelitian yang digunakan cross sectional study. Besar subjek dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan slovin, sehingga diperoleh subjek sebanyak 100 balita. Teknik pemilihan subjek dengan menggunakan simple random sampling. Balita yang termasuk kedalam kriteria inklusi dipilih kemudian dilakukan pengacakan. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah anak tidak sedang dalam perawatan medis pada saat penelitian, tinggal bersama orang tua, bertempat tinggal di Kecamatan Bayat, balita berusia antara 24-59 bulan dan memiliki buku Kesehatan Ibu dan Anak/KIA.

Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas variabel terikat dan bebas. Variabel terikat adalah status gizi berdasarkan berat badan menurut usia. Status gizi dikategorikan menjadi 2 yaitu yaitu underweight jika status gizi berdasarkan BB/U mempunyai nilai z-score <-2SD dan tidak underweight jika status gizi berdasarkan BB/U mempunyai nilai z-score ≥-2 SD. [4] Variabel bebas yaitu berat badan lahir, pendidikan ibu, pendapatan rumah tangga, pola asuh makan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Berat badan lahir dikategorikan menjadi 2 yaitu berat badan lahir rendah jika <2.500 gram dan normal apabila ≥ 2.500 gram. [2]

Pola asuh makan pada penelitian ini meliputi riwayat pemberian ASI dan MP-ASI serta praktek pemberian makan. Kuesioner pola asuh makan dimodifikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Martianto (2011) dan Nabuasa et al. (2013). [16], [17] Setelah dimodifikasi kemudian dilakukan uji validitas dan realibilitas dengan nilai Cronbach’s alpha 0,676. Setelah itu pola asuh makan dikategorikan menjadi 2 yaitu kurang (jika skor pola asuh makan <60%) dan baik (jika skor pola asuh makan > 60%). Ketahanan pangan rumah tangga diukur dengan menggunakan pendekatan tingkat kecukupan energi rumah tangga. Tingkat konsumsi energi yang kurang dari 70% mengimplikasikan terjadinya rawan pangan.[13]. Tingkat kecukupan energi rumah tangga diukur dengan menggunakan Formulir household 24-hour recall method . [18]

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan ibu balita dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran langsung kepada balita seperti data pola asuh makan, tingkat kecukupan energi rumah tangga serta data pengukuran berat badan. Data sekunder diperoleh dari data balita yang terdapat di posyandu dan puskesmas serta data Berat Badan Lahir (BBL) yang ada di buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Analisis Data

Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Pada penelitian ini analisis bivariat yang digunakan adalah uji Chi Square sedangkan analisis multivariat yang digunakan adalah path analisis dengan menggunakan sofware Amos 23. Penelitian ini sudah mendapatkan Ethical Clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr. Moewardi dengan Nomor : 328/ III/ HREC/ 2018.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

A.1. Analisis Univariat

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebanyak 54% balita pada pada penelitian ini berumur ≥ 36 bulan dan 59% berjenis kelamin laki-laki. Balita yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah ada sebanyak 15%. Sebanyak 31% balita tergolong dalam kategori miskin dan 37% termasuk kedalam kategori keluarga besar. Pada peneltian ini sebanyak 55% ibu berpendidikan rendah dan 35% balita berasal dari rumah tangga rawan pangan. Sebanyak 36% balita memiliki pola asuh makan yang

Page 13: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

4

kurang dan sebanyak 30% balita mengalami underweight. Sebaran karakteristik balita disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran Karakteristik Balita

Karakteristik Balita Kategori Frekuensi Persentase (%)

Umur

<36 bulan 46 46

≥ 36 bulan 54 54

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

59

41

59

41

Berat Badan lahir

< 2500 gram Rendah 15 15

≥ 2500 gram Normal 85 85

Besar Keluarga

≤ 4 orang Kecil 63 63

> 4 orang Besar 37 37

Pendapatan RT

<Rp.376.305/kap/ bln Miskin 31 31

≥ Rp.376.305/kap/ bln Tidak Miskin 69 69

Pendidikan Ibu

SD, SMP Rendah 55 55

SMA, PT Tinggi 45 45

Ketahanan Pangan RT

TKE >70% Rawan Pangan 35 35

TKE ≤ 70% Tahan Pangan 65 65

Pola Asuh Makan

Skor < 60% Kurang 36 36

skor ≥ 80% Baik 64 64

Status Gizi berdasarkan BB/U

Z-Score TB/U ≥-2SD Tidak Underweight 70 70

Z-Score TB/U <-2SD Underweigh 30 30

Sumber : Data Primer (2018)

A.2. Analisis Bivariat

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 30% balita underweight memiliki riwayat berat badan lahir < 2.500 gram. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian underweight pada balita (p<0,05). Kondisi ini menggambarkan bahwa balita yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah memiliki resiko lebih besar untuk mengalami underweight jika dibandingkan dengan balita yang memiliki riwayat berat badan lahir normal.

Pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu berhubungan dengan kejadian underweight. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 53,3% balita yang memiliki pola asuh makan yang kurang mengalami underweight. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian underweight (p<0,05). Balita yang mempunyai pola asuh makan kurang memiliki resiko lebih besar untuk mengalami underweight jika dibandingkan dengan balita yang mempunyai pola asuh makan yang baik.

Selain variabel berat badan lahir dan pola asuh makan, variabel yang berhubungan dengan kejadian underweight pada balita adalah variabel ketahanan pangan rumah tangga. Sebanyak 63,3% balita yang berasal dari rumah tangga rawan pangan mengalami underweight. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian

Page 14: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

5

underweight pada balita (p<0,05). Balita yang berasal dari rumah tangga rawan pangan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami underweight jika dibandingkan dengan balita yang berasal dari rumah tangga tahan pangan.

Tabel 2. Karakteristik Subjek pada Balita underweight dan tidak underweight

Karakteristik Subjek Underweight Tidak Underweight Uji Chi-Square

n % n % p value

Umur

< 36 bulan 13 43.3 33 47.1 0,726

≥ 36 bulan 17 56.7 37 52.9

Jenis Kelamin

Laki-Laki 16 53.3 43 61.4 0,451

Perempuan 14 46.7 27 38.6

Berat Badan Lahir

< 2500 gram 9 30.0 6 8.6 0,006*

≥ 2500 gram 21 70.0 64 91.4

Besar Keluarga

Kecil 19 63.3 44 62.9 0,964

Besar 11 36.7 26 37.1

Pendapatan RT

Miskin 9 30.0 22 31.4 0,887

Tidak Miskin 21 70.0 48 68.6

Pendidikan Ibu

Rendah 19 63.3 36 51.4 0,273

Tinggi 11 36.7 34 48.6

Pola Asuh Makan

Kurang 16 53.3 20 28.6 0,018*

Baik 14 46.7 50 71.4

Ketahanan Pangan RT

Rawan Pangan 19 63.3 16 22.9 0,001*

Tahan Pangan 11 36.7 54 77.1

Sumber : Data Primer (2018)

A.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis jalur (path analysis). Langkah-langkah yang dilakukan ketika melakukan path analisis adalah sebagai berikut :

a. Spesifikasi Model

Pada penelitian ini variabel eksogen adalah pendapatan RT, pendidikan ibu, berat badan lahir, besar keluarga. Variabel intervening adalah pola asuh makan, ketahanan pangan rumah tangga sedangkan variabel endogen adalah underweight. Spesifikasi model dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel endogen dan variabel eksogen.

b. Identifikasi Model

Pada tahap ini dilakukan perhitungan degree of freedom (df) untuk mengetahui apakah analisis jalur dapat dilakukan atau tidak. Hasil perhitungan degree of freedom (df) dengan menggunakan software Amos 23 adalah 11. Analisis jalur dapat dilakukan jika nilai df ≥ 0 yang disebut dengan over identified, dengan demikian analisis jalur dapat dilakukan pada penelitian ini.[19]

Page 15: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

6

c. Kesesuaian model dan estimasi parameter

Pada tahap ini dilakukan penilaian overall model fit dengan berbagai kriteria penilaian model fit. Goodness-of-fit mengukur kesesuaian input observasi atau sesungguhnya (matrik kovarian dan kolerasi) dengan prediksi dari model yang diajukan. [19] Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa model dapat dikategorikan memenuhi kriteria fit, karena semua kriteria sudah terpenuhi dengan baik. Tabel 3 menunjukkan hasil pengujian kesesuaian model. Model analisis jalur disajikan pada gambar 1.

Tabel. 3. Hasil Pengujian Kesesuaian Model

Goodness-of-fit Index Cut of Value Hasil Analisis Evaluasi Model

Chi-square Mendekati 0 18,096 Baik

Probability ≥ 0,05 0,079 Baik

CMIN/df <2 1,645 Baik

GFI ≥ 0,90 0,949 Baik

RMSEA ≤ 0,08 0,081 Baik

Sumber : Data primer (2018) yang diolah

Gambar 1. Model Analisis Jalur

Tabel 4. Hasil Analisis Jalur

Hubungan Variabel Β P

Hubungan Langsung

Underweight <--- Berat Badan Lahir 0,311 0,001*

Underweight <--- Ketahanan pangan 0,286 0,001*

Underweight <--- Pola Asuh Makan 0,273 0,002*

Ketahanan pangan <--- Pendapatan RT 0,188 0,076

Ketahanan pangan <--- Pendidikan ibu 0,227 0,019*

Pola Asuh Makan <--- Pendidikan ibu 0,222 0,025*

Pola Asuh Makan <--- Ketahanan pangan 0,163 0,100

Hubungan Tidak Langsung

Underweight <--- Pendapatan RT 0,071 -

Underweight <--- Pendidikan ibu 0,132 -

Total Hubungan

Underweight <--- Pendapatan RT 0,071 -

Underweight <--- Pendidikan ibu 0,132 -

Underweight <--- Berat Badan Lahir 0,312 -

Page 16: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

7

Sumber : Data Primer yang diolah, 2018

Berdasarkan Gambar 1 dan Tabel 4, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan langsung (p<0,05) antara berat badan lahir, ketahanan pangan rumah tangga dan pola asuh makan dengan kejadian underweight pada balita dengan besar hubungan 0,312 untuk variabel berat badan lahir, 0,330 untuk variabel ketahanan pangan rumah tangga dan 0,273 untuk variabel pola asuh makan. Pendapatan rumah tangga berhubungan secara tidak langsung dengan kejadian underweight melalui variabel ketahanan pangan rumah tangga, dengan besar hubungan 0,071 (p<0,05). Sedangkan variabel pendidikan ibu berhubungan secara tidak langsung dengan kejadian underweight pada balita melalui variabel pola asuh makan dan ketahanan pangan rumah tangga dengan besar hubungan 0,132 (p<0,05). Variabel ketahanan pangan rumah tangga tidak berhubungan dengan pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu (p>0,05).

d. Respesifikasi Model Model pada penelitian ini sudah sesuai dengan model yang ditunjukkan oleh model saturasi dan juga koefisiensi regresi yang bernilai lebih dari nol serta secara statistik signifikan, maka tidak perlu dibuat model ulang.

B. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase balita yang mengalami underweight adalah 30%, data tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan data nasional yang menyebutkan bahwa prevalensi kejadian underweight di Indonesia adalah 19,6% pada tahun 2013. [2] Menurut WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami masalah gizi serius jika prevalensi underweight lebih dari 30%.[4] Tingginya prevalensi underweight terjadi karena sebanyak 63,3%, balita underweight pada penelitian ini berasal dari rumah tangga rawan pangan sehingga mempunyai akses yang rendah terhadap pangan. Kondisi ini menyebabkan ibu kurang maksimal dalam memberikan makanan yang beranekaragam. Penelitian yang dilakukan di Ethiopia mengungkapkan bahwa kurangnya maksimal ibu dalam memberikan makan kepada balita terutama makanan yang beranekaragam sangat berpengaruh terhadap kejadian underweight.[20]. Hasil analisis path menunjukkan bahwa kejadian underweight pada penelitian ini berhubungan langsung dengan variabel berat badan lahir, pola asuh makan, dan ketahanan pangan rumah tangga.

Hubungan antara Berat Badan Lahir dengan Underweight

Kebiasaan ibu ketika hamil akan berpengaruh terhadap Berat Badan Lahir (BBL). Ibu yang mempunyai pola makan yang buruk akan melahirkan bayi dengan BBL rendah. Hasil penelitain ini menunjukkan bahwa balita underweight yang memiliki riwayat BBL < 2500 gram adalah 30% dan 70% balita underweight memiliki BBL normal. Hasil path analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara berat badan lahir dengan kejadian underweight dengan besar hubungan 0,312. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Bangladesh, bahwa balita yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram memiliki resiko 47% lebih tinggi untuk mengalami underweight .[14] Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan di Brazil, bahwa berat badan lahir yang sangat rendah (< 1.500 gram) merupakan salah satu faktor resiko kejadian gizi kurang pada balita.[21] Penelitian lain telah mengungkapkan bahwa berat lahir yang rendah menyebabkan peningkatan kematian pada balita akibat malnutrisi. [15]

Hubungan antara Pola Asuh Makan dengan Underweight

Pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita karena kekurangan gizi pada masa balita akan bersifat irreversible (tidak dapat pulih), sehingga pada masa ini balita membutuhkan asupan makan yang berkualitas.[22] Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara pola asuh makan dengan kejadian underweight pada balita (β = 0,273, p = 0,002). Kondisi ini menggambarkan bahwa semakin baik pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu maka semakin baik status gizi balita berdasarkan indikator BB/U, sehingga semakin kecil risiko untuk mengalami underweight. Pola asuh makan pada penelitian ini diukur dengan menggunakan dua indikator yaitu riwayat pemberian ASI dan MPASI serta praktek pemberian makan yang dilakukan ibu kepada balita. Hasil penelitian ini sama dengan

Underweight <--- Pola Asuh Makan 0,273 -

Underweight <--- Ketahanan pangan 0,330 -

Page 17: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

8

penelitian yang dilakukan di India bahwa kejadian underweight berhubungan dengan pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu. Anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan mendapatkan makanan pendamping ASI yang sesuai dengan usianya memiliki resiko lebih kecil untuk mengalami underweight.[23] Anak yang mendapatkan ASI eksklusif sampai berumur 6 bulan memiliki resiko 2% lebih sedikit untuk mengalami underweight. [24].

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari & Ratnawati (2018) bahwa ada hubungan antara praktik pemberian makan kepada balita dengan status gizi. Makanan yang diberikan kepada balita harus lebih beragam, bergizi dan seimbang untuk menunjang status gizi dan tumbuh kembang balita. Pemberian pola makan yang memadai berhubungan dengan baiknya kualitas konsumsi makanan yang pada akhirnya akan meningkatkan kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan zat gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita.[25].

Pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu kepada balita sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik status gizi balitanya.[23], [24] Pendidikan ibu mengurangi resiko balita untuk menjadi underweight. Pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap pengetahuan ibu tentang praktek pemberian makan kepada balita sehingga balita akan memiliki status gizi yang baik.[26], [27]. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan ibu berhubungan secara tidak langsung dengan kejadian underweight pada balita melalui variabel pola asuh makan dengan besar hubungan 0,132. Kondisi ini menggambarkan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik pola asuh makan dan status gizi balita.

Hubungan antara Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Underweight

Ketahanan pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian underweight. Hasil analisis multivariate dengan path analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian underweight. Kondisi ini menggambarkan bahwa semakin baik tingkat ketahanan pangan rumah tangga maka semakin baik status gizi balita berdasarkan indikator BB/U, sehingga semakin kecil risiko untuk mengalami underweight.

Hasil penelitian yang dilakukan di Nepal menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian underweight. Balita yang berasal dari rumah tangga rawan pangan memiliki resiko 1,40 kali lebih besar untuk mengalami underweight jika dibandingkan dengan balita yang berasal dari rumah tangga tahan pangan.[7] Balita yang berasal dari rumah tangga tahan pangan memiliki tingkat kecukupan energi yang baik, berbeda dengan balita yang berasal dari rumah tangga yang rawan pangan yang mengalami masalah gangguan pertumbuhan karena kurang memiliki akses terhadap makanan, sehingga porsi makan dikurangi untuk berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Kondisi ini akan berdampak pada terpenuhinya kebutuhan gizi balita sehingga tercapai status gizi optimal [28], [29].

Ketahanan pangan dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi seperti pendapatan rumah tangga dan pendidikan ibu. Hasil analisis path menunjukkan bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara pendapatan rumah tangga dengan kejadian underweight pada balita melalui variabel ketahanan pangan rumah tangga dengan besar hubungan 0,071. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa semakin besar pendapatan rumah tangga maka semakin baik tingkat ketahanan pangan rumah tanggan dan status gizi balitanya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amalia dan Mahmudiono (2017) bahwa ada hubungan antara pendapatan rumah tangga yang diukur berdasarkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Pengeluaran per kapita/ bulan akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga, semakin tinggi pengeluaran per kapita per bulan maka semakin baik konsumsi energi dan proteinnya jika dibandingkan dengan rumah tanggga yang mempunyai pengeluaran per kapita/ bulan yang rendah. [30] Pendapatan rumah tangga akan menentukan kemampuan rumah tangga untuk membeli makanan yang berkualitas, fasilitas perumahan yang layak, akses perawatan kesehatan yang memadai yang kemudian akan mempengaruhi status gizi balita.[31]

Page 18: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

9

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat hubungan langsung antara faktor berat badan lahir, pola asuh makan dan ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian underweight pada balita di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Faktor resiko kejadian underweight yang paling dominan adalah ketahanan pangan rumah tangga, sedangkan pendapatan rumah tangga dan pendidikan ibu merupakan penyebab dasar terjadinya underweight pada balita. Penguatan ketahanan pangan rumah tangga dapat meningkatkan status gizi balita dan merupakan kunci utama untuk mencegah terjadinya kasus underweight pada balita. Kasus underweight dalam jangka panjang akan berimplikasi pada penurunan kualitas sumber daya manusia.

DAFTAR PUSTAKA

[1] M. de Onis, D. Brown, M. Blossner, and Elaine Borghi, Level & Trends in Child malnutrition. Washington, DC: The United Nations Children’s Fund, the World Health Organization and the World Bank, 2012.

[2] Kementerian Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Kementerian Kesehatan RI, 2013.

[3] Ministry of Health Republic of Indonesia, “Riskesdas Launching Tahun 2018.” Ministry of Health Republic of Indonesia, Jakarta, 2018.

[4] World Health Organization, Nutrition Landscape Information System: Country Profile Indicator, Interpretation Guide. Geneva, 2012.

[5] D. Tosheno, Y. Mehretie Adinew, T. Thangavel, and S. Bitew Workie, “Risk Factors of Underweight in Children Aged 6-59 Months in Ethiopia,” J. Nutr. Metab., vol. 2017, 2017.

[6] C. N. Rachmi, K. E. Agho, M. Li, and L. A. Baur, “Stunting, underweight and overweight in children aged 2.0-4.9 years in Indonesia: Prevalence trends and associated risk factors,” PLoS One, vol. 11, no. 5, pp. 1–17, 2016.

[7] A. Singh, A. Singh, and F. Ram, “Household food insecurity and nutritional status of children and women in Nepal,” Food Nutr. Bull., vol. 35, no. 1, pp. 3–11, 2014.

[8] D. E. Jayarni and S. Sumarmi1, “Relationship between Food Security , Family Characteristics with Nutritional Status of Children aged 2-5 Years Old (Study in area Puskesmas Wonokusumo Kota Surabaya),” Amerta Nutr., pp. 44–51, 2018.

[9] S. Rohaedi, M. Julia, I. Made, and A. Gunawan, “The relationship between household food security level with under fi ve children’s nutritional status in family of food scarcity-area in Indramayu Sub-district,” vol. 2, no. 2, pp. 85–92, 2014.

[10] A. M. Safitri and D. R. P. R. A. Bagian, “Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dan Pola Konsumsi dengan Status Gizi Balita Keluarga Petani (Studi di Desa Jurug Kabupaten Boyolali Tahun 2017),” J. Kesehat. Masy., vol. 5, no. 3, pp. 120–128, 2017.

[11] A. Motbainor, A. Worku, and A. Kumie, “Stunting Is Associated with Food Diversity while Wasting with Food Insecurity among Underfive Children in East and West Gojjam Zones of Amhara Region , Ethiopia,” pp. 1–14, 2015.

[12] S. A. Alshahrani, S. A. Al-Harbi, A. A. M. Osman, S. M. Alqahtani, and S. M. Alqahtani, “Feeding practice and weight status in children up to 2 years old in Abha City, KSA, 2014,” Curr. Pediatr. Res., vol. 21, no. 1, pp. 35–41, 2017.

[13] D.Maxwell, J.Coates, and B.Vaitla, How do different indicators of household food security compare? Empirical Evidence Fro Tigray. USA: Feinstein International Center, 2013.

[14] M. S. Rahman, T. Howlader, M. S. Masud, and M. L. Rahman, “Association of Low-Birth Weight with Malnutrition in Children under Five Years in Bangladesh: Do Mother’s Education, Socio-Economic Status, and Birth Interval Matter?,” PLoS One, vol. 11, no. 6, p. e0157814, 2016.

[15] S. M. R. Haque, S. Tisha, and N. Huq, “Poor Birth Size a Badge of Low Birth Weight Accompanying Less Antenatal Care in Bangladesh with Substantial Divisional

Page 19: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

10

Variation : Evidence from BDHS - 2011,” vol. 5, no. 6, pp. 184–191, 2015. [16] D. Martianto, H. Riyadi, and R. Ariefiani, “Feeding Practices in Food-secure and Food-

insecure Households and It’s Impacts to Underfive Nutrition in Banjarnegara,” J. Nutr. Food, vol. 6, no. 1, pp. 51–58, 2011.

[17] E. Nabuasa, C.D, Juffrie, M, dan Huriyati, “History of rearing pattern, eating pattern, and intake of nutrients are associated with stunting in children of 24–59 months old at Subdistrict of Biboki Utara, District of Timor Tengah Utara Province of Nusa Tenggara Timur,” J. Gizi dan Diet. Indones., vol. 1, no. 3, pp. 31–43, 2013.

[18] Par’i, Penilaian Status Gizi. Jakarta: ECG. [19] Imam Ghozali, Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan Program

AMOS 21. Semarang: Universitas Diponegoro, 2013. [20] G. Nigatu, S. Assefa Woreta, T. Y. Akalu, and M. K. Yenit, “Prevalence and associated

factors of underweight among children 6-59 months of age in Takusa district, Northwest Ethiopia,” Int. J. Equity Health, vol. 17, no. 1, pp. 1–8, 2018.

[21] F. M. De Oliveira, “Prevalence and determinants of child undernutrition and stunting in semiarid region of Brazil Prevalência e determinantes da desnutrição infantil no semiárido do Brasil,” vol. 48, no. 1, pp. 19–28, 2014.

[22] Marni, Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. [23] M. Katepa-bwalya, V. Mukonka, C. Kankasa, F. Masaninga, and O. Babaniyi, “Infants

and young children feeding practices and nutritional status in two districts of Zambia,” pp. 1–8, 2015.

[24] A. Kumar and V. K. Singh, “A Study of Exclusive Breastfeeding and its impact on Nutritional Status of Child in EAG States,” vol. 445, no. 3, pp. 435–445, 2015.

[25] M. R. N. Sari and L. Y. Ratnawati, “Relation Between Mothers ’ Knowledge About Feeding Method and Toddlers ’ Nutritional Status in the Working Area of Puskesma,” pp. 182–188, 2018.

[26] M. Mgongo et al., “Underweight , Stunting and Wasting among Children in Kilimanjaro Region , Tanzania ; a Population-Based Cross-Sectional Study,” pp. 1–12, 2017.

[27] R. B. Khatri, “Factors associated with Underweight among Under-Five children in eastern nepal : cross-sectional study,” vol. 5, no. December, pp. 1–9, 2017.

[28] Tessema, Belachew, and Ersino, “Feeding patterns and stunting during early childhood in rural communities of Sidama South Ethiopia,” Pan Afr Med J, vol. 14, pp. 1–12, 2013.

[29] M. Mutisya, N. Kandala, M. W. Ngware, and C. W. Kabiru, “Household food (in)security and nutritional status of urban poor children aged 6 to 23 months in Kenya,” BMC Public Health, vol. 15, no. 1, p. 1052, 2015.

[30] I. N. Amalia and T. Mahmudiono, “Association between Household Income, Total Expenditure, Proportion of Food Expenditure and Food Security of Small Holder Farmers (Study in Nogosari Village, Rambipuji Sub-district, Jember District),” Amerta Nutr., vol. 1, no. 2, p. 143, 2017.

[31] W. Y. Trimukti, Y.-W. Huang, and A. Amini, “Affecting Factors of Stunting Incidences among Children Aged 12-59 Months in West Nusa Tenggara Province Indonesia,” J. Healthc. Commun., vol. 2, no. 4, p. 45, 2017.

Page 20: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

11

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

Determinants Factors of Shallot Market Integration in Majalengka District, West Java

Dini Nuraeni1 Ratya Anindita

2, Syafrial

2

1 Analis Pasar Hasil Pertanian Muda di Badan Ketahanan Pangan,

Kementerian Pertanian 2 Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

Email: [email protected]

Diterima: 7 Oktober 2019 Direvisi: 16 Oktober 2019 Disetujui terbit: 22 Oktober 2019

ABSTRACT

Unstable shallot price is often used by traders to manipulate the price information at producer’s level, so the price transmission from consumer to producer level tend to be asymmetrical. This condition indicates that the price information is not transfered properly and the market is not integrated. This study aims to analyze factors influencing the integration of shallot market in Majalengka, West Java. A descriptive analyis was conducted to explain shallot marketing infrastructures, market structures, and market information. A Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM) was chosen to understand the degree of market integration. This results show that the producer and the wholesale markets are not integrated in the long-term, but they are integrated in the short-term. On the othe hand, the producer and the retailer markets are integrated in the long-term, but they are not intergrated in the short-term. Meanwhile, the wholesale and the retailer markets are integrated both in the long and short terms. Structure of the producer markets indicates that the shallot market was imperfect competition one/oligopsony. In this circumstance, farmers have insufficient knowledge because they have lack of access to market information, meanwhile traders own better knowledge because they obtain market information not only from the producers but also from mass media.

Keywords: Shallot; market integration; Johansen cointegration; VAR; VECM

ABSTRAK

Fluktuasi harga bawang merah yang sering terjadi dimanfaatkan oleh para pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat produsen sehingga transmisi harga dari pasar konsumen ke produsen cenderung bersifat asimetris. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi harga belum tersalurkan dengan baik dan pasar tidak terintegrasi. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi derajat integrasi pasar bawang merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Analisis yang digunakan adalah infrastuktur pemasaran, struktur pasar dan informasi pasar secara deskriptif dan untuk menentukan derajat integrasi pasar menggunakan pendekatan kointegrasi dengan model Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara pasar produsen dan pasar grosir tidak terjadi integrasi pasar dalam jangka panjang namun terintegrasi dalam jangka pendek. Antara pasar produsen dan pasar eceran terjadi integrasi pasar dalam jangka panjang namun dalam jangka pendek tidak terintegrasi. Antara pasar grosir dan pasar eceran terintegrasi baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Struktur pasar di produsen mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna/oligopsoni. Tingkat pengetahuan pasar petani juga tidak cukup baik karena hanya berkisar pada lingkungan sekitar sedangkan di tingkat pedagang pengetahuan pasarnya sudah cukup baik karena selain informasi yang diperoleh dari lingkungan sekitar, mereka juga mengakses informasi pasar melalui media massa.

Kata kunci: bawang merah; integrasi pasar; kointegrasi johansen; VAR; VECM

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) termasuk salah satu komoditas dalam kebijakan pemantapan kedaulatan pangan dengan target peningkatan produksi, stabilisasi harga dan meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha (Renstra Kementan, 2015). Namun upaya peningkatan ketersediaan bawang merah menghadapi beberapa hambatan antara lain pasokan produksi bawang

Page 21: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

12

merah yang berbeda pada musim hujan dan musim kering serta berfluktuasinya produksi bawang merah di sentra-sentra produksi. Salah satu sentra produksi adalah Jawa Barat yang pada tahun 2014 menyumbang sekitar 10,54% terhadap total produksi nasional (Kementan, 2015). Berfluktuasinya produksi bawang merah di Jawa Barat ini menyebabkan pasokan bawang merah di pasar ikut berfluktuasi sehingga harga bawang merah mengalami peningkatan dan penurunan yang tajam.

Perubahan antara harga di tingkat produsen, grosir, dan eceran (Tabel 1) menunjukkan pola yang sama yaitu bila harga di salah satu tingkat lembaga pemasaran meningkat maka harga di tingkat lembaga pemasaran yang lain ikut meningkat, begitupun sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Namun besaran peningkatan atau penurunan harga antara ketiga lembaga pemasaran tersebut tidak sama terutama di tingkat produsen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa informasi harga belum tersalurkan dengan baik yang berarti tingkat transmisi harga bawang merah di Jawa Barat masih rendah.

Transmisi harga yang rendah mencerminkan inefisiensi pemasaran karena hal itu menunjukkan bahwa perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak seluruhnya diteruskan ke produsen, dengan kata lain transmisi harga berlangsung tidak sempurna. Untuk mencegah terjadinya asimetri informasi tersebut, ketersediaan informasi pasar yang akurat dan kontinyu mutlak diperlukan, sehingga perubahan harga akan dapat segera direspon oleh para pelaku pasar sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara cepat dan tepat (FAO, et al, 2011). Bila hal tersebut terjadi maka nilai transmisi harga menjadi lebih tinggi, yang berarti pula antara pasar yang satu dengan pasar yang lainnya telah terintegrasi dengan baik. Hal tersebut sesuai dengan Ravalion (1986) yang menyatakan bahwa dalam suatu pasar yang terintegrasi maka harga dari pasar yang berbeda mempunyai hubungan yang positif sebagai pencerminan lancarnya arus informasi pasar.

Dengan adanya pasar komoditas yang terintegrasi dapat diharapkan informasi mengenai setiap perubahan harga bawang merah di tingkat konsumen dapat diikuti oleh perubahan harga di tingkat produsen dan sebaliknya, sehingga tidak merugikan para pelaku pemasaran yang terlibat dalam perdagangan bawang merah. Namun realita menunjukkan bahwa besarnya perubahan harga di tingkat konsumen tidak diikuti oleh perubahan harga di tingkat produsen dengan besaran yang sama. Pola transmisi harga seperti ini tidak menguntungkan bagi produsen karena kenaikan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh produsen, sebaliknya jika terjadi penurunan harga.

Analisis integrasi pasar bawang merah di Jawa Barat dilakukan untuk melihat tingkat integrasi pasar antara pasar produsen dan grosir, pasar produsen dan eceran serta pasar grosir dan eceran. Untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, ada beberapa faktor yang mempengaruhi integrasi pasar diantaranya adalah infrastruktur pemasaran seperti transportasi; komunikasi; dan fasilitas-fasilitas penyimpanan di berbagai pasar, kebijakan pemerintah, ketidakseimbangan produksi antar daerah sentra, supply shocks, struktur pasar dan ketidakstabilan politik (Goletti, Ahmed dan Farid, 1995; Fackler dan Goodwin, 2001). Sehingga pada penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi pasar dengan melihat struktur pasar, infrastuktur pemasaran dan aliran informasi pasar yang terjadi pada pemasaran bawang merah untuk mendukung analisis integrasi pasar.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tingkat integrasi pasar antara pasar produsen dan grosir, antara pasar produsen dan eceran serta antara pasar grosir dan eceran bawang merah di Jawa Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi pasar tersebut.

METODE PENELITIAN

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode multistage sampling berdasarkan tingkat produksi dan kelengkapan data harga secara runtun waktu (time series). Lokasi penelitian terpilih adalah Dusun Dongkol Desa Sukasari Kaler Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember – Desember 2015. Responden dalam penelitian ini adalah petani dan lembaga pemasaran. Penentuan responden petani menggunakan metode stratified random sampling dan dihasilkan 30 orang petani. Sedangkan penentuan sampel untuk lembaga pemasaran dilakukan dengan metode snow ball sampling, yaitu penetapan sampel berdasarkan informasi dari petani kepada siapa mereka menjual bawang merah dan terus pada

Page 22: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

13

tingkat selanjutnya hingga sampel sulit dicapai. Diperoleh sembilan pedagang pengumpul dan lima pedagang antar daerah/Bandar besar.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan responden yaitu para petani bawang merah dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Data yang dikumpulkan berhubungan langsung dengan masalah struktur pasar, infrastruktur pemasaran dan informasi pasar. Data sekunder dalam penelitian ini adalah harga bawang merah di tingkat produsen pada sentra produksi Kabupaten Majalengka, grosir pada Pasar Induk Caringin Bandung dan eceran pada pasar eceran di Kota Bandung yang dijadikan sampel pengambilan data oleh Kementerian Perdagangan yaitu pasar Sederhana, pasar Andir, pasar Kiaracondong, pasar Baru dan pasar Kosambi. Data harga bawang merah di Jawa Barat diperoleh dari berbagai instansi, diantaranya adalah Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan.

Analisis Struktur Pasar

Metode analisis yang digunakan untuk melihat struktur pasar pada pasar bawang merah di Jawa Barat adalah pendekatan derajat konsentrasi pasar berdasarkan pada penelitian Baladina (2012) yang telah disesuaikan dengan penelitian ini, yaitu:

1. Pangsa Pasar (Market Share) Pangsa pasar adalah persentase dari total penjualan pada suatu target pasar yang diperoleh dari

suatu perusahaan. Cara perhitungan pangsa pasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Tabel 1. Perhitungan Pangsa Pasar

Lembaga Pemasaran

Kapasitas Produksi yang Dapat Diserap pada Suatu Pasar

Konsentrasi Ratio (Kr)

Pangsa Pasar (%)

1 A A/V (A/V) x 100

2 B B/V (B/V) x 100

3 C C/V (C/V) x 100

… … … …

N P P/V P/V

Total A + B+ C + … +P = V 1 100

Kriteria pangsa pasar adalah:

a. Monopoli murni, bila suatu lembaga pemasaran mempunyai 100% pangsa pasar. b. Lembaga pemasaran dominan, bila memiliki 80 – 100% pangsa pasar dan tanpa pesaing kuat. c. Oligopoli ketat, jika 4 lembaga pemasaran memiliki 60 – 40% pangsa pasar. d. Oligopoli longgar, jika 4 lembaga pemasaran memiliki 40 - < 60% pangsa pasar. e. Persaingan monopolistis, jika banyak pesaing yang efektif tetapi tidak satupun yang memiliki

lebih dari 10% pangsa pasar. f. Persaingan murni, jika terdapat lebih dari 50 pesaing dan tidak ada satupun memiliki pangsa

pasar yang berarti.

2. CR4 (Concentration Ratio for the Biggest Four) Analisis CR4 digunakan untuk mengetahui derajat konsentrasi empat pembeli terbesar dari suatu

pasar, sehingga bisa diketahui gambaran umum tentang imbangan kekuatan tawar menawar petani (penjual) terhadap pedagang (pembeli). Rumus CR4 yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

CR4 =

x 100%

Kriteria pengujian: a. CR4 < 0,4 maka struktur pasar bersifat persaingan sempurna atau persaingan monopolistis

(perlu dilihat apakah terdapat diferensiasi produk atau tidak). b. 0,4 ≤ CR4 ≤ 0,8 maka struktur pasar bersifat oligopoli/oligopsoni. c. CR4 > 0,8 maka struktur pasar cenderung monopoli/monopsoni.

3. Indeks Hirschman Herfindahl (IHH)

Page 23: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

14

Analisis Indeks Hirschman Herfindahl bertujuan untuk mengetahui derajat konsentrasi pembeli dari suatu pasar, sehingga bisa diketahui gambaran umum tentang imbangan kekuatan tawar menawar petani (penjual) terhadap pedagang (pembeli). Rumus IHH yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

IHH = (Kr1)2 + (Kr2)

2 + … + (Krn)

2

dimana: IHH = Indeks Hirschman Herfindahl n = Jumlah pedagang yang ada pada suatu pasar komoditi bawang merah Kri = Pangsa pembelian bawang merah dari pedagang ke-i Kriteria: IHH = 1, mengarah pada pasar monopoli/monopsoni IHH = 0, mengarah pada pasar persaingan sempurna 0 < IHH < 1, mengarah pada pasar oligopoli/oligopsoni

Analisis Integrasi Pasar

Metode Analisis yang digunakan untuk melihat tingkat integrasi pasar adalah pendekatan model VAR/VECM. Tahap pembentukan VAR/VECM adalah:

1. Uji Stasioneritas

Data runtun waktu memiliki kecenderungan untuk tidak stasioner. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan regresi semu (spurious regression) (Widarjono, 2013). Jika data tidak stasioner digunakan, maka tidak bisa dilakukan validasi hipotesis pada parameter regresi (Brooks, 2008). Uji stasioneritas pada penelitian ini menggunakan uji akar unit Augmented Dickey-Fuller (ADF). Formulasi uji ADF pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

dimana:

= variabel harga bawang merah di setiap tingkat pasar pada periode t. (Rp/kg)

= variabel harga bawang merah di setiap tingkat pasar pada periode sebelumnya. (Rp/kg)

= = ( )

m = jumlah lag

= intersep , = koefisien parameter

= error term

Pengujian hipotesis: H0 : = 0 (data runtun waktu tidak stasioner) H0: < 0 (data runtun waktu stasioner)

Kaidah pengujian:

1. Jika ADFstatistik > ADFkritis, maka tolak H0, artinya data runtun waktu tidak mengandung akar unit yang berarti bahwa data sudah stasioner.

2. Jika ADFstatistik ≤ ADFkritis, maka terima H0, artinya data runtun waktu mengandung akar unit yang berarti bahwa data tidak stasioner.

2. Penentuan Lag Optimal Panjang lag variabel yang optimal diperlukan untuk melihat pengaruh dari setiap variabel

terhadap variabel lain dalam model VAR. Penentuan panjangnya lag optimal bisa menggunakan beberapa kriteria, yaitu: Akaike Information Criteria (AIC), Schwartz Information Criteria (SIC), Hannan-Quinn Criteria (HQ), Likelihood Ratio (LR), dan Final Prediction Error (FPE). Penentuan panjangnya lag optimal pada penelitian ini menggunakan Akaike Information Criteria (AIC).

Page 24: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

15

3. Uji Kointegrasi

Uji Kointegrasi dilakukan apabila variabel-variabel harga yang diteliti tidak terintegrasi pada level/ I(0). Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi integrasi dalam jangka panjang atau tidak. Uji Kointegrasi dalam penelitian ini menggunkan uji kointegrasi Johansen, dimana uji ini dapat digunakan untuk melihat jumlah kointegrasi (rank kointegrasi) antar variabel (Rosadi, 2012). Untuk pengujian hipotesis ini dapat digunakan uji statistik trace (trace statistic) atau maximum eigenvalue. Ada tidaknya kointegrasi didasarkan pada uji likelihood ratio (LR). Jika nilai hitung LR lebih besar dari nilai kritis maka kita menerima adanya kointegrasi sejumlah variabel dan sebaliknya jika nilai hitung LR lebih kecil dari nilai kritisnya maka tidak ada kointegrasi.

4. Uji Vector Error Correction Model (VECM).

Menurut Engle dan Granger dalam Widarjono, 2013, walaupun data runtun waktu seringkali tidak stasioner pada tingkat level atau data non-stasioner, tetapi kombinasi linear antara dua atau lebih data non-stasioner dapat menjadi stasioner yang dikatakan terkointegrasi.

Model VAR/VECM yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

dimana:

PPt = Harga bawang merah produsen pada periode ke-t (Rp/Kg)

PPt-1 = Lag harga bawang merah produsen pada periode ke-t (Rp/Kg)

PGt = Harga bawang merah grosir pada periode ke-t (Rp/Kg)

PGt-1 = Lag harga bawang merah grosir pada periode ke-t (Rp/Kg)

PEt = Harga bawang merah eceran pada periode ke-t (Rp/Kg)

PEt-1 = Lag Harga bawang merah eceran pada periode ke-t (Rp/Kg)

Ε = vektor sisaan ukuran n x 1

p = panjang lag

Analisis VECM menggambarkan hubungan keseimbangan dinamis jangka pendek dan keseimbangan jangka panjang dalam suatu sistem persamaan. Walaupun ada kesimbangan jangka panjang antar pasar, tetapi ada deviasi dari hubungan keseimbangan jangka pendek. Jadi dapat dikatakan bahwa persamaan kointegrasi sebagai representasi hubungan keseimbangan jangka panjang antar pasar sedangkan hubungan keseimbangan jangka pendek mungkin akan bervariasi secara signifikan. Jadi, VECM adalah kombinasi dari hubungan janga pendek dan jangka panjang antar variabel harga dari pasar yang berbeda (Nagubadi et al, 2001 dalam Irawan dan Rosmayanti, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Ekonomi Bawang Merah

Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan dapat dikembangkan di wilayah dataran rendah sampai dataran tinggi. Ditinjau dari segi ekonomi, usahatani bawang merah cukup menguntungkan karena mempunyai pangsa pasar yang cukup luas.

Page 25: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

16

Budidaya bawang merah di Jawa Barat tersebar di hampir semua kabupaten/kota yang ada namun produksi terbesar terdapat di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Luas panen bawang merah di Kabupaten Majalengka tahun 2017 sebesar 3.148 hektar dengan produktivitas 120 kuintal per hektar menghasilkan produksi sebesar 37.705 ton atau 22,60% dari total produksi bawang merah di Jawa Barat.

Menurut Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat (2015), produksi bawang merah di Jawa Barat selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa Barat sendiri juga dipasarkan ke daerah-daerah lain bahkan di ekspor. Bawang merah dari Jawa Barat dipasarkan ke provinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta, wilayah Sumatera, wilayah Kalimantan dan sebagian lagi di ekspor. Sedangkan produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka selain untuk memenuhi kebutuhan di wilayah sendiri juga dipasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia, bahkan ada yang di ekspor. Pemasaran bawang merah dari Kabupaten Majalengka adalah ke wilayah Cirebon, Kuningan, Pasar Induk Caringin Bandung, Cibitung, Pati, Jati Barang dan sebagian ada yang diekspor.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Integrasi Pasar

Infrastruktur Pemasaran

Sarana penyimpanan bawang merah di petani adalah gudang yang masih sederhana yang juga digunakan untuk mengeringkan bawang pada musim penghujan. Pengeringan di gudang ini menambah biaya produksi karena petani harus membeli kayu bakar sebagai bahan utama pengeringan. Jenis bawang merah yang diperjualbelikan oleh petani adalah bawang merah askip yang sudah melalui proses penjemuran hingga 15 hari. Bawang merah askip ini dari petani dijual kepada pedagang pengumpul yang ada di Desa Sukasari Kaler. Bawang merah dari pedagang pengumpul dibeli oleh pedagang antar daerah, kemudian disebar ke berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya ke Pasar Induk Caringin di Kota Bandung. Jarak dari Desa Sukasari Kaler ke Kota Bandung kurang lebih 112 km.

Daya tempuh moda angkutan ini selain jarak dan kondisi jalan, juga kepadatan lalu lintas. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Tahun 1997, kecepatan arus bebas dasar untuk kendaraan berat menengah di jalan luar kota dengan jalur 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 UD) seperti halnya karakteristik jalan yang menghubungkan Kabupaten Majalengka dan Kota Bandung adalah 60 km/jam. Sehingga waktu normal yang ditempuh adalah 1 jam 50 menit, namun pada kenyataannya jarak tersebut ditempuh hingga 3 – 5 jam mengingat padatnya jalan yang dilalui. Pada ruas jalan ini volume lalu lintas cukup ramai dikarenakan jalan ini sering dilewati angkutan penumpang dan angkutan barang yang akan menuju Kabupaten Cirebon atau Kabupaten Sumedang yang melewati Kabupaten Majalengka (Dinas Perhubungan Kabupaten Majalengka, 2013). Padatnya arus lalu lintas tersebut ditambah dengan banyaknya perbaikan jalan di Kabupaten Sumedang yang menghubungkan Kabupaten Majalengka dan Kota Bandung membuat semakin lamanya waktu tempuh. Hal tersebut akan mengakibatkan biaya transportasi meningkat.

Struktur Pasar

Hasil penelitian struktur pasar bawang merah adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Analisis Struktur Pasar Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Tahun 2015

Lembaga Pemasaran Jumlah

Pedagang Indikator

Pengukuran Nilai Struktur Pasar

Pedagang Pengumpul 9 Market Share (%) 70.601 Oligopsoni

CR4 (%) 70.601 Oligopsoni

IHH 0.153 Oligopsoni

Pedagang Antar Daerah 5 Market Share (%) 85.758 Monopsoni

CR4 (%) 85.758 Monopsoni

IHH 0.213 Oligopsoni

Sumber: Data Primer, diolah, 2015.

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa struktur pasar yang terjadi pada pasar bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka dengan pendekatan

Page 26: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

17

derajat konsentrasi pasar mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna. Struktur pasar ini tidak menguntungkan bagi petani karena harga yang diterima petani akan dikendalikan oleh para pedagang yang memiliki kekuatan monopsoni. Pada kondisi pasar tersebut petani cenderung menerima harga yang rendah akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya dan informasi pasar terutama harga yang didapatkan oleh para pelaku pasar juga tidak sempurna. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pemasaran komoditas dengan kekuatan monopsoni/oligopsoni tidak efisien karena kepentingan petani sebagai produsen dapat dirugikan.

Informasi Pasar

Informasi pasar pada penelitian ini adalah informasi harga. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 3), seluruh pelaku pasar mendapatkan informasi harga dari rekan sesama petani atau sesama pedagang dan sebagian besar lagi berasal dari pihak pembeli/penjual yang bertransaksi dengannya. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa sebagian kecil petani responden yang mengakses informasi dari publikasi media massa sedangkan sebagian besar pedagang pengumpul dan pedagang antar daerah sudah terbiasa mengakses informasi harga dari media massa baik cetak maupun elektronik. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan informasi harga oleh para pelaku pasar hanya berkisar pada lingkungan di sekitarnya saja. Meskipun akses responden baik petani maupun lembaga pemasaran terhadap sarana informasi dan komunikasi cukup baik.

Tabel 3. Sumber Informasi Harga Petani dan Lembaga Pemasaran Bawang Merah di Jawa Barat, Tahun 2015

NO Sumber Informasi Harga Petani

Pedagang Pengumpul

Pedagang Antar Daerah

F % F % F %

1 Rekan sesama petani/pedagang 30 100.00 9 100.00 5 100.00

2 Pembeli (pedagang/konsumen) 20 66.67 5 55.56 5 100.00

3 Penjual (petani/pedagang lain) - - 9 100.00 5 100.00

4 Media massa 8 26.67 7 77.78 4 80.00

5 Lebih dari satu sumber 20 66.67 9 100.00 5 100.00

Sumber: Data Primer, diolah, 2015.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umumnya petani dan lembaga pemasaran kurang optimal dalam memanfaatkan sarana informasi dan komunikasi yang ada. Bagaimanapun, penguasaan informasi lebih dari satu sumber akan dapat mencegah terjadinya monopoli harga di satu tingkat level pasar. Penguasaan informasi yang kurang dari para petani juga dapat menyebabkan asimetri informasi, sehingga peningkatan/penurunan harga dari konsumen ke produsen tidak diteruskan dengan baik, terutama informasi mengenai kenaikan harga. Keterbatasan informasi pasar ini dapat menyebabkan petani tidak mampu mengatur penawarannya untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan (Irawan, 2007).

Analisis Integrasi Pasar

Hasil analisis integrasi pasar dengan pendekatan metode VAR/VECM adalah sebagai berikut.

1. Uji Stasioneritas

Tabel 4. Hasil Uji Stasioneritas Data Pada Tingkat Level dengan Uji ADF

Variabel

Uji ADF Tingkat Level

Critical Value (5%) ADF

statistik Nilai-p Ket

Produsen -2.886732 -2.845279 0.0552 TS

Grosir -2.886732 -2.646753 0.0867 TS

Eceran -2.886732 -2.595445 0.0968 TS

Sumber: Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, diolah, 2015. Tingkat tolerasi kesalahan (α) 5% Keterangan: TS = Tidak signifikan atau tidak stasioner

Page 27: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

18

Berdasarkan uji stasioneritas menggunakan uji ADF (Tabel 5) didapatkan hasil bahwa variabel harga produsen, grosir dan eceran tidak stasioner pada tingkat level karena nilai nilai ADF statistik < ADF nilai kritis dan probababilitasnya lebih besar dari 0,005.

Hasil uji stasioneritas pada tingkat first defference (Tabel 6) menunjukkan bahwa ketiga variabel sudah stasioner. Hal ini terlihat dari nilai ADF statistik > ADF nilai kritis dan probababilitasnya lebih kecil dari 0,005. Berdasarkan hasil uji stasioneritas tersebut, dapat disimpulkan bahwa semua variabel data yang digunakan stasioner pada ordo yang sama yaitu ordo I (1) sehingga dapat dikatakan bebas dari regresi lancung.

Tabel 5. Hasil Uji Stasioneritas Data Pada Tingkat first defference Menggunakan Uji ADF

Variabel

Uji ADF Tingkat First Difference

Critical Value (5%) ADF

statistik Nilai-p Ket

Produsen -2.886732 -13.0097 0.0000 S

Grosir -2.886732 -4.866245 0.0001 S

Eceran -2.886732 -12.62847 0.0000 S

Sumber: Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, diolah, 2015. Tingkat tolerasi kesalahan (α) 5% Keterangan: S = Signifikan atau stasioner

2. Uji Lag Optimal

Hasil uji lag optimal dengan kriteria AIC menunjukkan bahwa lag 3 adalah lag yang optimal. Penggunaan lag 3 sebagai lag yang optimal pada model artinya dari sisi ekonomi berimplikasi bahwa semua variabel yang ada dalam model saling mempengaruhi satu sama lain tidak hanya pada periode sekarang, tetapi variabel-variabel harga tersebut saling berkaitan pada tiga periode sebelumnya.

Tabel 6. Hasil Uji Lag Optimal

Lag LR FPE AIC SC HQ

0 NA 1.82e+20 55.16435 55.23557 55.19326

1 305.3374 1.39e+19 52.59330 52.87815* 52.70893*

2 7.125551 1.52e+19 52.68310 53.18159 52.88546

3 33.99751* 1.29e+19* 52.51754* 53.22968 52.80663

4 13.37996 1.33e+19 52.54281 53.46859 52.91862

Sumber: Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, diolah, 2015.

3. Uji Kointegrasi Johansen

Hasil uji kointegrasi Johansen baik berdasarkan trace statistic maupun max-eigenvalue terhadap harga produsen dan grosir menunjukkan tidak terdapat kointegrasi. Hal ini dilihat dari nilai trace statistic dan max-eigenvalue yang lebih kecil dari critical value 5% serta nilai probabilitasnya yang lebih besar dari 5%. Dengan demikian, dalam jangka panjang tidak terdapat keseimbangan antara harga produsen dengan harga grosir. Tidak terjadinya kointegrasi harga berarti dalam jangka panjang pasar produsen dan pasar grosir tidak terintegrasi. Hal ini akan merugikan produsen karena perubahan harga grosir tidak ditransmisikan ke harga produsen.

Page 28: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

19

Tabel 7. Hasil Uji Kointegrasi Johansen

Hypothesized No. of CE(s)

Trace Statistic

0.05 Critical Value

Prob.** Max-Eigen

Statistic 0.05 Critical

Value Prob.**

Hubungan Antara Produsen dan Grosir

None 17.03707 20.26184 0.1311 12.94825 15.89210 0.1374

At most 1 4.088823 9.164546 0.3991 4.088823 9.164546 0.3991

Hubungan Antara Produsen dan Eceran

None * 27.26548 25.87211 0.0334 17.01392 19.38704 0.1070

At most 1 10.25156 12.51798 0.1162 10.25156 12.51798 0.1162

Hubungan Antara Grosir dan Eceran

None * 40.50926 25.87211 0.0004 33.38565 19.38704 0.0003

At most 1 7.123609 12.51798 0.3318 7.123609 12.51798 0.3318

Sumber: Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, diolah, 2015. Keterangan: * signifikan pada α = 0,05.

Sedangkan hasil uji kointegrasi Johansen berdasarkan trace statistic antara produsen dan eceran serta antara grosir dan eceran menunjukkan bahwa terdapat satu kointegrasi pada rank = 0 (none). Hal ini dilihat dari nilai trace statistic yang lebih besar dari critical value 5% serta nilai probabilitasnya yang kurang dari 5%. Berdasarkan hasil tersebut, maka pada pasar-pasar tersebut terdapat hubungan atau keseimbangan jangka panjang, tetapi dalam jangka pendek mungkin saja terjadi ketidakseimbangan.

4. Uji Vector Autoregression (VAR)

Dari hasil uji kointegrasi sebelumnya, diketahui bahwa harga produsen tidak terkointegrasi dengan harga grosir yang mengindikasikan tidak terjadinya hubungan atau keseimbangan jangka panjang diantara kedua pasar tersebut. Meskipun dalam jangka panjang kedua pasar tersebut tidak terintegrasi, namun dalam jangka pendek integrasi yang terjadi dapat dievaluasi melalui pendekatan VAR dalam bentuk first difference (VARD).

Hasil estimasi pada Tabel 8 terlihat jika dalam jangka pendek perubahan harga di tingkat grosir dipengaruhi secara signifikan oleh harganya sendiri pada satu bulan sebelumnya sebesar 0,456 dan harga di tingkat produsen pada pada satu bulan sebelumnya, dua bulan sebelumnya dan tiga bulan sebelumnya masing-masing sebesar 0,580, -0,869 dan 0,746. Sedangkan perubahan harga di tingkat produsen secara signifikan dipengaruhi oleh harganya sendiri satu bulan sebelumnya, dua bulan sebelumnya dan tiga bulan sebelumnya masing-masing sebesar 1,056, -0,590 dan 0,531 dan perubahan harga di tingkat grosir tidak signifikan mempengaruhi perubahan harga di tingkat produsen.

Perubahan harga di tingkat produsen mempengaruhi harga di tingkat grosir. Hal ini mengindikasikan adanya integrasi jangka pendek antara pasar produsen dan pasar grosir, meskipun dalam jangka panjang kedua pasar tidak terintegrasi. Tidak terintegrasinya pasar produsen dan grosir dalam jangka panjang diduga salah satu penyebabnya adalah kurangnya pasokan bawang merah di Pasar Induk Caringin Kota Bandung yang berasal dari Kabupaten Majalengka. Berdasarkan data dari Koperasi Pedagang Pasar Induk Bandung bahwa rata-rata pasokan per hari bawang merah yang masuk ke Pasar Induk Caringin 76,22% berasal dari Brebes dan hanya 5,34% yang berasal dari Kabupaten Majalengka.

Page 29: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

20

Tabel 8. Hasil Estimasi Model VARD Produsen dan Grosir

Variabel Variabel Dependen

DGROSIR DPRODUSEN

DGROSIR(-1) 0.456199** -0.084827

[ 1.81142] [-0.48952]

DGROSIR(-2) 0.225660 0.064681

[ 0.79903] [ 0.33286]

DGROSIR(-3) -0.086913 -0.060554

[-0.35729] [-0.36179]

DPRODUSEN(-1) 0.579878* 1.057921***

[ 1.59611] [ 4.23210]

DPRODUSEN(-2) -0.869298** -0.590636**

[-2.07873] [-2.05270]

DPRODUSEN(-3) 0.746373** 0.531254**

[ 2.15256] [ 2.22678]

C 936.7260* 845.2946**

[ 1.43532] [ 1.88244]

R-squared 0.735679 0.725757

Sumber: Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, diolah, 2015.

5. Uji Vector Error Correction Model (VECM)

Hasil uji VECM pada Tabel 9 menunjukkan bahwa koreksi kesalahan (Error Correction Term) pada harga produsen dan eceran signifikan pada taraf nyata 1% yaitu masing-masing sebesar 0,603 dan 1,284. Hal ini mengindikasikan pentingnya hubungan kointegrasi jangka panjang pada proses pembentukan harga di masing-masing pasar. Nilai koefisien ECT tersebut menunjukkan bahwa penyesuaian harga eceran lebih cepat daripada produsen dikarenakan nilai koefisien ECT eceran lebih besar dari nilai ECT produsen.

Perubahan harga produsen dipengaruhi oleh hubungan jangka panjang antara produsen dan eceran. Dalam jangka pendek perubahan harga produsen hanya dipengaruhi oleh perubahan harga produsen itu sendiri pada dua bulan sebelumnya dan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga eceran. Perubahan harga eceran dipengaruhi oleh hubungan jangka panjang antara produsen dan eceran. Dalam jangka pendek perubahan harga eceran hanya dipengaruhi oleh perubahan harga eceran itu sendiri pada dua bulan sebelumnya dan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga produsen. Hal ini mengindikasikan dalam jangka pendek antara pasar produsen dengan pasar eceran tidak terintegrasi.

Page 30: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

21

Tabel 9. Hasil Estimasi Model VECM Produsen dan Eceran

Error Correction: D(PRODUSEN) D(ECERAN)

ECT1 0.602935*** 1.283831***

[ 2.69102] [ 3.74712]

D(PRODUSEN(-1)) -0.344365 -0.394857

[-1.20365] [-0.90254]

D(PRODUSEN(-2)) -0.349109* -0.269232

[-1.40682] [-0.70949]

D(PRODUSEN(-3)) -0.242269 -0.176053

[-1.05508] [-0.50139]

D(ECERAN(-1)) 0.145841 0.223342

[ 0.86962] [ 0.87089]

D(ECERAN(-2)) -0.137541 -0.344415*

[-0.89910] [-1.47231]

D(ECERAN(-3)) 0.137750 0.111441

[ 0.97141] [ 0.51393]

C 23.22008 100.1028

[ 0.11101] [ 0.31295]

R-squared 0.628222 0.652500

Sumber: Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, diolah, 2015.

Tabel 10 menunjukkan bahwa koreksi kesalahan (Error Correction Term) pada harga di tingkat grosir dan eceran signifikan pada taraf nyata 1% yaitu masing-masing sebesar 1,299 dan 2,254. Hal ini mengindikasikan pentingnya hubungan kointegrasi jangka panjang pada proses pembentukan harga di masing-masing pasar. Nilai koefisien ECT tersebut menunjukkan bahwa penyesuaian harga di tingkat eceran lebih cepat daripada di tingkat grosir dikarenakan nilai ECT di tingkat eceran lebih besar dari nilai ECT di tingkat grosir.

Jika dilihat pengaruh masing-masing variabel dalam jangka pendek, maka dapat diuraikan bahwa perubahan harga bawang merah di tingkat grosir selain dipengaruhi oleh hubungan jangka panjang juga dipengaruhi oleh perubahan harga grosir itu sendiri pada satu bulan sebelumnya, dua bulan sebelumnya dan tiga bulan sebelumnya, masing-masing sebesar -1,234, -0,778 dan -0,732. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan Rp1.000,00 harga jual grosir satu bulan sebelumya akan menyebabkan penurunan harga jual grosir saat ini sebesar Rp1.234,00; peningkatan Rp1.000,00 harga jual grosir dua bulan sebelumya akan menyebabkan penurunan harga jual grosir saat ini sebesar Rp778,00; dan peningkatan Rp1.000,00 harga jual grosir tiga bulan sebelumya akan menyebabkan penurunan harga jual grosir saat ini sebesar Rp732,00.

Page 31: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

22

Tabel 10. Hasil Estimasi Model VECM Grosir dan Eceran

Error Correction: D(GROSIR) D(ECERAN)

ECT1 1.299694*** 2.253593***

[ 2.56625] [ 4.37500]

D(GROSIR(-1)) -1.2376*** -1.310317***

[-2.75267] [-2.86546]

D(GROSIR(-2)) -0.778335** -0.789473**

[-2.12347] [-2.11768]

D(GROSIR(-3)) -0.732019*** -0.72005***

[-2.88204] [-2.78731]

D(ECERAN(-1)) 0.809908** 0.950400***

[ 2.32118] [ 2.67808]

D(ECERAN(-2)) 0.175840 0.135630

[ 0.59835] [ 0.45377]

D(ECERAN(-3)) 0.502266*** 0.529228***

[ 2.48763] [ 2.57715]

C 50.86769 80.30665

[ 0.16642] [ 0.25832]

R-squared 0.692379 0.685570

Sumber: Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, diolah, 2015. Keterangan: Angka dalam [ ] adalah nilai statistik *** = nyata pada taraf 1%,

** = nyata pada taraf 5% dan * = nyata pada taraf 10%. Nilai t tabel: t(α=1%) = 2.35864, t(α=5%) = 1.65810, t(α=10%) = 1.28889

Secara keseluruhan dari hasil analisis VAR dan VECM pada pasar bawang merah di Jawa Barat dapat dikatakan bahwa dalam jangka panjang antara pasar produsen dan pasar grosir tidak terjadi integrasi. Sedangkan antara pasar produsen dan eceran serta antara pasar grosir dan eceran terjadi integrasi jangka panjang. Dalam jangka pendek perubahan harga grosir tidak mempengaruhi perubahan harga produsen namun perubahan harga produsen mempengaruhi perubahan harga grosir. Hal ini mengindikasikan dalam jangka pendek antara pasar produsen dan grosir terintegrasi. Perubahan harga produsen dan harga eceran tidak saling mempengaruhi yang mengindikasikan dalam jangka pendek tidak terjadi integrasi diantara kedua pasar tersebut, sedangkan antara pasar grosir dan pasar eceran dalam jangka pendek terintegrasi karena perubahan harga di masing-masing pasar dalam jangka pendek saling mempengaruhi.

Tidak terjadinya integrasi pasar antara pasar produsen dan grosir dalam jangka panjang serta dalam jangka pendek tidak terintegrasi dengan pasar eceran didukung oleh analisis struktur pasar yang menunjukkan bahwa pasar di tingkat produsen mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna. Struktur pasar ini tidak menguntungkan bagi produsen karena penentuan harga dikendalikan oleh salah satu pihak, yaitu para pedagang. Hal ini dikarenakan jumlah pedagang pengumpul dan pedagang antar daerah yang relatif sedikit dengan pangsa pasar yang besar. Pada kondisi pasar tersebut produsen cenderung menerima harga yang rendah akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya dan informasi pasar terutama informasi harga yang didapatkan oleh para pelaku pasar juga tidak sempurna.

Informasi harga yang tidak ditransmisikan secara sempurna dari pedagang ke produsen disebabkan oleh kurangnya penguasaan informasi para produsen. Hal tersebut karena penguasaan informasi harga oleh para produsen hanya berkisar pada lingkungan di sekitarnya saja. Penguasaan informasi yang kurang dari para petani inilah yang menyebabkan asimetri informasi, sehingga peningkatan/penurunan harga dari konsumen ke produsen tidak diteruskan dengan baik, terutama informasi mengenai kenaikan harga.

Page 32: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

23

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi pasar bawang merah di Jawa Barat berdasarkan peneltian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. Infrastruktur pemasaran berupa gudang penyimpanan bawang merah masih sederhana. Infrastruktur jalan dalam kondisi lumayan baik namun untuk jalan menuju sentra konsumsi di ibukota provinsi masih banyak dalam tahap perbaikan hal tersebut menambah tingkat kemacetan sehingga meningkatkan biaya transportasi. Struktur pasar bawang merah di tingkat produsen mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna/oligopsoni. Tingkat pengetahuan pasar petani juga tidak cukup baik karena hanya berkisar pada lingkungan sekitar sedangkan di tingkat pedagang pengetahuan pasarnya sudah cukup baik karena selain informasi yang diperoleh dari lingkungan sekitar, mereka juga mengakses informasi pasar melalui media massa.

2. Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar bawang merah di Jawa Barat dapat disimpulkan bahwa antara pasar produsen dan pasar grosir tidak terjadi integrasi pasar dalam jangka panjang namun terintegrasi dalam jangka pendek. Antara pasar produsen dan pasar eceran terjadi integrasi pasar dalam jangka panjang namun dalam jangka pendek tidak terintegrasi. Antara pasar grosir dan pasar eceran terintegrasi baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Kondisi ini yang menyebabkan informasi perubahan harga dari tingkat konsumen tidak ditransimiskan secara sempurna ke tingkat produsen.

Implikasi Kebijakan

1. Terkait dengan infrastruktur pemasaran dan fluktuasi harga, pemerintah dan instansi-instansi terkait dapat bekerjasama dalam penyediaan sarana penyimpanan bawang merah secara efisien terutama di sentra-sentra produksi untuk mengatasi pasokan yang berlebih (over supply) pada saat panen raya sehingga bawang merah yang berlebih dapat disimpan lebih lama yang berfungsi sebagai stok.

2. Tidak terjadinya integrasi pasar antara pasar produsen dan pasar grosir baik dalam jangka panjang serta tidak terintegrasinya pasar produsen dan eceran dalam jangka pendek, maka perbaikan sistem informasi pasar mutlak diperlukan. Selama ini pemerintah sudah menyebarkan informasi pasar terutama informasi harga di media massa baik cetak maupun elektronik. Namun tidak seluruh pelaku pemasaran terutama petani mengetahui dan mengakses informasi tersebut. Sehingga diperlukan peran aktif para Petugas Pelayanan Informasi Pasar (PIP) dan enumerator panel sebagai ujung tombak tersedianya informasi pasar dalam menyebarkan informasi pasar tersebut kepada para pelaku pemasaran terutama petani. Selain itu, dibutuhkan juga peran aktif dan kesadaran petani untuk mengakses informasi pasar tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, Rosihan dan Ardhiani, Ruri. 2010. Integrasi Pasar Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah. Agrise 10 (3): 164- 176.

Asmarantaka, R.W. 2009. Pemasaran Produk-produk Pertanian. Bunga Rampai Agribisnis: Seri Pemasaran. IPB Press, Bogor.

Baffes J and Bruce G. 2003. The Transmission of World Commodity Prices to Domestic Markets Under Policy Reforms in Developing Countries. Journal of Economic Policy Return 6(3): 159-180.

Baladina, Nur. 2012. Analisis Struktur, Perilaku, dan Penampilan Pasar Wortel di Sub Terminal Agribisnis (STA) Mantung (Kasus pada Sentra Produksi Wortel di Desa Tawangsari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang). Agrise 12 (2): 91 -104.

Brooks, Chris. 2008. Introductory Econometrics for Finance. Cambridge University Press, New York.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2015. Perkembangan Harga Rata-rata Sayuran, Palawija, Buah-buahan dan Beras dari Sentra Produksi dan Pasar Induk Jawa Barat, Bandung.

Fackler, Paul and Goodwin, Barry. 2001. Spatial Price Analysis. Handbook of Agricultural Economics, Volume 1: 972 – 1018, Elsevier Science, Amsterdam.

Page 33: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

24

FAO, IFAD, IMF. 2011. Price Volatility in Food and Agricultural Markets: Policy Responses. Interagency Report to The G20 on Food Price Volatility.

Goletti, F., Ahmed, R. and Farid, N. 1995. Structural Determinants of Market Integration: The Case of Rice Markets in Bangladesh. The Developing Economics 33(2): 185-202.

Irawan, Andi dan Rosmayanti, Dewi. 2007. Analisis Integrasi Pasar Beras di Bengkulu. Jurnal Agro Ekonomi Vol 25 (1): 37 - 54.

Kementerian Perdagangan. 2010. Rencana Strategis Kementerian Perdagangan Periode 2010-2014. Kementerian Perdagangan, Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019. Biro Perencanan, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian, Jakarta.

Ravalion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics 88 (1): 102 - 109.

Rosadi, Dedi. 2012. Ekonometrika dan Analisis Runtun Waktu Terapan dengan EViews. Penerbit ANDI,

Yogyakarta.

Simatupang, Pantjar. 1999. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian. Pusat Penelitan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Widarjono, Agus. 2013. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya Disertai Panduan EViews. UPP STIM YKPN,

Yogyakarta.

Page 34: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

25

PERENCANAAN PENYEDIAAN PANGAN PENDUDUK IBUKOTA NEGARA DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2024

TELAAHAN BERBASIS POLA PANGAN HARAPAN

Food Supply Planning 2024 in East Kalimantan, Indonesia’s Country’s Capital Desk Analysis based on Desirable Dietary Pattern

Deshaliman1, Anggit Gantina

2

1Analis Ketahanan Pangan Ahli Madya, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian 2Analis Ketahanan Pangan Ahli Muda, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian

Penulis korespondensi: E-mail: [email protected]

Diterima: 14 Oktober 2019 Direvisi: 1 November 2019 Disetujui terbit: 7 November 2019

ABSTRACT

The Indonesian Government policy to relocate the national capital from Jakarta to the Province of East Kalimantan becomes a crucial issue, particularly related to food supply for the population. Around 6 million people consisting of State Civil Apparatuses from various ministries/government institutions with their families and the others will move to the new capital at the first stage by 2024. This study aims to formulate a food supply plan for the new capital’s population situated in the Province of in East Kalimantan in 2024. The food supply plan is based on the Dietary Diversity Score (DDP), which is not only taking into account the quantity aspect, but also its quality, including food diversity and balanced nutrition, as well as referring to the Recommended Dietary Allowance (RDA) of the consumption level of 2,100 kcal. The results show that the ideal food supply at market level for 6 million people in the new capital in 2024 is: rice 498,520 tons, corn 1,727 tons, flour 216,394 tons, cassava 164,832 tons, sweet potatoes 39,770 tons, potatoes 62,454 tons, sago 2,108 tons, other tubers (suweg / taro) 5,746 tons, ruminant meat 37,945 tons, poultry meat 35,713 tons, egg sago purebred chicken 26,718 tons, cow's milk 115,375 tons, mackerel fish 92,694 tons, coconut oil 419 tons, palm oil 5,139 tons, other oils (peanut oil) 191 tons, coconut 8,796 tons, hazelnut 1,240 tons, soybeans 20,343 tons, peanuts 1,033 tons, green beans 1,440 tons, other beans (peas) 1,582 tons, sugar 18,064 tons, brown sugar 953 tons, cassava leaves 25,717 tons, eggplant 19,140 tons, kale 22,550 tons, garlic 42,750 tons, cayenne pepper 42,750 tons, onion chili red 21,487 tons, red pepper 5,047 tons, bananas 74,448 tons, rambutan 25,575 tons, papaya 8,624 tons, and apples 6,675 tons.

Keywords: planning, availability, needs

ABSTRAK

Kebijakan Pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke Provinsi Kalimantan Timur menjadi isu penting, yang akan berimplikasi terhadap penyediaan pangan penduduk. Sekitar 6 juta Aparat Sipil Negara beserta keluarga dan warga negara lainnya dari berbagai kementerian/instansi pemerintah serta lembaga terkait lainnya akan berpindah pada tahap awal di tahun 2024. Telaahan ini bertujuan untuk menyusun perencanaan penyediaan pangan penduduk ibukota di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2024. Perencanaan penyediaan pangan ini menggunakan data konsumsi pangan Susenas Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta-BPS tahun 2018, diolah berbasis Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata penduduk Indonesia tingkat konsumsi sebesar 2.100 kkal/kap/hari. Perencanaan penyediaan pangan dihasilkan dari proksi 10 persen kecukupan gizi konsumsi seluruh kelompok pangan terhadap kecukupan di level penyediaan (tingkat pasar). Hasil analisis menunjukkan bahwa pasokan pangan yang harus disediakan di tingkat pasar di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2024 untuk komoditas beras 498.520 ton, jagung 1.727 ton, terigu 216.394 ton; Untuk komoditas umbi-umbian yaitu singkong 164.832 ton, ubi jalar 39.770 ton, kentang 62.454 ton, sagu 2.108 ton, umbi lainnya (suweg/talas) 5.746 ton. Penyediaan komoditas pangan hewani di tingkat pasar yaitu daging ruminansia 37,945 ton, daging unggas 35.713 ton, telur ayam ras 26.718 ton, susu sapi 115.375 ton, ikan kembung 92.694 ton, minyak kelapa 419 ton, minyak sawit 5.139 ton, minyak lainnya (minyak kacang tanah) 191 ton, kelapa 8.796 ton, kemiri 1.240 ton, kedelai 20.343 ton, kacang tanah 1.033 ton, kacang hijau 1.440 ton, kacang lainnya (kacang kapri) 1.582 ton, gula pasir 18.064 ton, gula merah 953 ton, daun singkong 25.717 ton, terong 19.140 ton, kangkung 22.550 ton, bawang putih 42.750 ton, cabai rawit 34.475 ton, bawang merah 21.487 ton, cabai merah 5.047 ton, pisang 74.448 ton, rambutan 25.575 ton, pepaya 8.624 ton, dan apel 6.675 ton.

Kata Kunci: perencanaan, ketersediaan, kebutuhan

Page 35: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

26

PENDAHULUAN

“Stomach cannot wait”, merupakan ungkapan yang tepat mengenai begitu pentingnya arti dan kedudukan pangan dalam segala aspek kehidupan manusia. Konsekuensinya, ketersediaan pangan mutlak diperlukan setiap saat sesuai kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia, yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi. Pemenuhan penyediaan pangan suatu daerah bisa bersumber dari produksi daerah setempat atau didatangkan dari daerah lain.

Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Provinsi Kalimantan Timur sebagai calon ibukota negara yang baru (Bappenas 2019), dan secara bertahap diharapkan pada tahun 2024 semua kementerian/lembaga pemerintahan akan mulai berkantor di Provinsi Kalimantan Timur, sehingga akan ada penambahan jumlah penduduk yang cukup besar. Berdasarkan proyeksi penduduk Bappenas-BPS (2013) Tahun 2010-2035 jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2024 sebesar Rp 4,9 juta jiwa. Setelah adanya pemindahan ibukota negara pada tahun 2024 dengan asumsi akan ada penambahan jumlah penduduk sekitar 1,1 juta jiwa, yang berasal dari ASN beserta keluarga dan warga lainnya, sehingga jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Timur akan berjumlah sekitar 6 juta jiwa.

Pemenuhan penyediaan pangan ini bisa berasal dari produksi sendiri atau dipasok dari daerah lain. Kekurangan ketersediaan pangan akan menimbulkan gejolak harga, dan secara nasional akan memberikan dampak sosial, ekonomi, maupun keamanan bernegara. Untuk itu diperlukan perencanaan penyediaan pangan yang komprehensif, mulai dari perencanaan untuk kebutuhan konsumsi langsung rumah tangga sampai jumlah pangan yang harus disediakan di tingkat ketersediaan/pasar.

METODE TELAAHAN

Telaahan ini merupakan studi eksplanatori dengan design cross-sectional menggunakan data Susenas BPS Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta tahun 2018, diolah secara deskriptif menggunakan Aplikasi Harmonisasi “Analisis Pola Pangan Harapan” (BKP, 2019) berdasarkan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Perencanaan penyediaan pangan penduduk berbasis PPH pada tahun 2024 di Provinsi Kalimantan Timur menggunakan pola konsumsi ideal PPH dan Angka Kecukupan Energi 2100 kkal/kap/hari (Permenkes 28/2019). Metode PPH dilakukan dengan menghitung komposisi dan proporsi energi dari 9 (Sembilan) kelompok pangan utama (padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain), berdasarkan komposisi PPH nasional (Deptan 2001).

Tahap Analisis Data

Tahap penyusunan perencanaan penyediaan pangan mencakup: (1) penghitungan komposisi konsumsi energi ideal per kelompok pangan dan jenis komoditas pangan berdasarkan AKE 2100 kkal/kap/hari; (2) menghitung pola konsumsi pangan penduduk Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta; (3) menghitung kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan di tingkat pasar yaitu angka kebutuhan konsumsi per jenis pangan dikalikan 110%. Konversi energi menjadi gram setiap jenis pangan didasarkan pada jenis komoditas pangan yang menjadi pola konsumsi oleh penduduk setempat dan memiliki kontribusi energi terbesar di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk tahun 2024 dihitung berdasarkan data proyeksi Bappenas-BPS Tahun 2010-2035 ditambah dengan perkiraan jumlah pendatang sebesar 1,1 juta jiwa.

Konversi satuan zat gizi (energi) dalam satuan kkal per komoditas dikonversikan menjadi kebutuhan natura (gram/kapita/hari), dengan menggunakan angka konversi kandungan energi dari setiap 100 gram komoditas (Kemenkes 2019). Selanjutnya dikalikan dengan 365 hari, kemudian dibagi 1000 (dari gram menjadi kg), maka diperoleh angka kebutuhan dalam bentuk kg/kapita/tahun. Angka ini kemudian dikalikan dengan jumlah penduduk (6 juta jiwa) dan dibagi 1000 (dari kg menjadi

Page 36: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

27

ton), maka diperoleh angka total kebutuhan di tingkat konsumsi (ton) pada tahun 2024. Untuk mendapatkan berapa jumlah pangan yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, maka angka total kebutuhan tingkat konsumsi ditambah 10 persen. Penambahan 10 persen dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan/kehilangan bahan pangan dari tingkat pasar sampai ke tingkat rumah tangga atau siap untuk dimasak. Jumlah dan bentuk pangan yang harus tersedia di tingkat pasar menyesuaikan dengan komoditasnya, ada yang masih berkulit, sudah tanpa kulit atau masih bercangkang. Telaahan ini tidak menghitung kebutuhan pangan diluar rumah tangga, seperti untuk keperluan hotel, restoran, katering, industri pangan dan non pangan, bibit, pakan, dan tercecer.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Pola Pangan Harapan (berdasarkan AKE 2100 kkal/kap/hari)

FAO-RAPA (1989) mendefinisikan Pola Pangan Harapan (PPH) sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Pola Pangan Harapan yang terdiri dari 9 (sembilan) kelompok pangan, merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya, baik dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan, ekonomi, budaya dan agama. Komposisi PPH ideal untuk penduduk nasional, dengan anjuran total energi di tingkat konsumsi sebesar 2.100 kkal dan komposisi konsumsi energi per kelompok pangan menurut FAO-RAPA (Tabel 1).

Tabel 1. Pola Pangan Harapan Nasional

Kelompok Pangan Gramc) Energi (kkal/kap/hari)

b) % AKE

a)

% AKG

(FAO-RAPA)d)

(1) (2) (3) (4) (5)

Padi-padian 289 1050 50,0 40,0 – 60,0

Umbi-umbian 105 126 6,0 0,0 – 8,0

Pangan Hewani 157 252 12,0 5,0 – 20,0

Minyak dan Lemak 21 210 10,0 5,0 – 15,0

Buah/Biji Berminyak 11 63 3,0 0,0 – 3,0

Kacang-kacangan 37 105 5,0 2,0 – 10,0

Gula 31 105 5,0 2,0 – 15,0

Sayur dan Buah 262 126 6,0 3,0 – 8,0

Lain-lain - 63 3,0 0,0 – 5,0

Jumlah 2100 100,0

Sumber: Deptan, 2001 (diolah)

Keterangan: a) Komposisi konsumsi energi berdasarkan hasil kajian Sinulingga, Hardinsyah dan Martianto (2001)

b)

% AKE per kelompok pangan dihitung berdasarkan AKE penduduk Indonesia 2100 kkal

c) Konversi kkal ke gram = kkal pangan utama/kandungan gizi pangan utama

d) Komposisi AKG yang ditetapkan oleh FAO-RAPA (1989) untuk PPH di negara Asia-Pasifik

Pola Pangan Harapan dengan AKE rata-rata tingkat konsumsi penduduk Indonesia sebesar 2.100 kkal, merekomendasikan peranan kelompok padi-padian menyumbangkan energi sebesar 1.050 kkal (50%), umbi-umbian 126 kkal (6%),pangan hewani 252 kkal (12%), minyak dan lemak 210 kkal (10%), buah/biji berminyak 63 kkal (3%), kacang-kacangan 105 kkal (5%), gula 105 kkal (5%), sayur dan buah 126 kkal (6%), serta lain-lain (bumbu dan minuman) 63 kkal (3%). Komposisi konsumsi kelompok pangan pada Tabel 1 digunakan sebagai dasar penghitungan kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Kalimantan Timur (calon ibukota baru).

Page 37: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

28

Kebutuhan Konsumsi Pangan Penduduk Provinsi Kalimantan Timur

Penghitungan kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Kalimantan Timur menggunakan rata-rata pola konsumsi penduduk Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta sebagai dasar pertimbangan ASN yang akan bermigrasi ke calon ibukota baru (Tabel 2). Secara kuantitas, penduduk Provinsi DKI Jakarta memiliki konsumsi energi lebih tinggi dibanding penduduk Provinsi Kalimantan Timur. Jika dibandingkan dengan standar kecukupan energi (2.100 kkal/kap/hari), tingkat konsumsi energi penduduk DKI Jakarta telah memenuhi AKE ideal (106,2% AKE), sedangkan kuantitas konsumsi energi penduduk Kalimantan Timur masih dibawah standar kecukupan (95,2% AKE). Kontribusi konsumsi energi per kelompok pangan dan per jenis pangan sebagaimana dalam Tabel 2 merupakan konsumsi aktual penduduk di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta. Pola konsumsi energi tersebut dijadikan sebagai penghitungan pola kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan di ibukota baru.

Tabel 2. Konsumsi Energi Penduduk Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2018

Kelompok Pangan Konsumsi Energi (kkal/kap/hari) Tahun 2018

Kalimantan Timur DKI Jakarta

Padi-padian 1100 1301

Beras 802 911

Jagung 3 3

Terigu 296 388

Umbi-umbian 44 39

Singkong 34 25

Ubi jalar 5 6

Kentang 3 6

Sagu 1 1

Umbi lainnya 1 0

Pangan Hewani

Daging ruminansia 60 66

Daging unggas 91 95

Telur 30 34

Susu 52 71

Ikan 81 81

Minyak dan Lemak 255 245

Minyak kelapa 14 22

Minyak sawit 234 215

Minyak lainnya 8 9

Buah/Biji Berminyak 11 8

Kelapa 7 5

Kemiri 3 3

Kacang-kacangan 51 64

Kedelai 45 55

Kacang tanah 4 3

Kacang hijau 1 5

Kacang lainnya 1 1

Gula 91 58

Gula pasir 87 55

Gula merah 4 3

.

Page 38: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

29

Kelompok Pangan

Konsumsi Energi (kkal/kap/hari) Tahun 2018

Kalimantan Timur DKI Jakarta

Sayur dan Buah 88 111

Daun singkong 46 63

Terong 3 1

Kangkung 2 2

Bawang Putih 5 4

Cabai Rawit 4 4

Bawang merah 3 3

Cabai merah 1 3

Pisang 20 12

Rambutan 42 48

Pepaya 2 5

Apel 2 2

Lain-lain 44 58

Minuman 38 51

Bumbu 6 7

Total Konsumsi energi* 1999 2231

Sumber : Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan, 2019 BKP *Ket: Total konsumsi energi merupakan konsumsi energi per kelompok pangan utama (padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah serta lain-lain)

Secara kuantitas, konsumsi pangan dianalisis dari capaian konsumsi energi (%AKE) penduduk wilayah, dan secara kualitas dapat ditinjau dari capaian Skor Pola Pangan Harapan (PPH) wilayah. Kualitas konsumsi penduduk Provinsi DKI Jakarta lebih mengarah pada keberagaman dan keseimbangan gizi. Hal ini terlihat dari capaian skor PPH Provinsi DKI Jakarta tahun 2018 mencapai 89,1 lebih tinggi dibandingkan dengan capaiaan kualitas konsumsi pangan penduduk Provinsi Kalimantan Timur. Apabila dianalisis per kelompok pangan, konsumsi kelompok padi-padian, pangan hewani serta minyak dan lemak telah melebihi standar kecukupan baik Provinsi DKI Jakarta maupun Provinsi Kalimantan Timur.

Perencanaan Penyediaan Pangan

Dalam perencanaan pangan ke depan, maka konsumsi kelompok pangan yang telah melebihi standar kecukupan (padi-padian, pangan hewani serta minyak dan lemak) harus diturunkan. Belum berimbangnya konsumsi pangan penduduk DKI dan Kalimantan Timur, terlihat dari konsumsi kelompok umbi-umbian, kacang-kacangan, buah/biji berminyak, gula serta sayur dan buah yang relatif rendah (Tabel 3). Perencanaan pangan menuju tahun 2024 di wilayah DKI dan Kalimantan Timur didorong untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah, kacangan-kacangan serta umbi-umbian untuk mencapai skor PPH sehingga meningkatkan kualitas konsumsi pangan penduduk wilayah. Dianalisis berdasarkan pola konsumsi kedua provinsi tersebut, perencanaan penyediaan pangan perlu upaya peningkatan konsumsi pangan kelompok sayur dan buah, kacang- kacangan serta umbi-umbian, yang didukung dengan peningkatan penyediaan pangannya.

Page 39: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

30

Tabel 3. Konsumsi Energi dan Kualitas Konsumsi Pangan Provinsi Kalimantan Timur serta Provinsi DKI Jakarta Tahun 2018

No Kelompok Pangan

Provinsi Kalimantan Timur Provinsi DKI Jakarta Skor PPH

Nas* Energi

(kkal/kap/hr)

%

AKE

Skor

PPH

Energi

(kkal/kap/hr)

%

AKE

Skor

PPH

1 Padi-padian 1100 52,4 25,0 1301 62,0 25,0 25,0

2 Umbi-umbian 44 2,1 1,0 39 1,8 0,9 2,5

3 Pangan Hewani 315 15,0 24,0 346 16,5 24,0 24,0

4 Minyak dan Lemak 255 12,2 5,0 245 11,7 5,0 5,0

5 Buah/Biji Berminyak 11 0,5 0,3 8 0,4 0,2 1,0

6 Kacang- kacangan 51 24 4,9 64 3,0 6,1 10,0

7 Gula 91 4,3 2,2 58 2,8 1,4 2,5

8 Sayur dan Buah 88 4,2 21,0 111 5,3 26,5 30,0

9 Lain-lain 44 2,1 0,0 58 2,8 0,0 0,0

Total 1999 95,2 83,3 2231 106,2 89,1 100,0

Sumber: BKP (2019) *Keterangan: Deptan (2001)

Perencanaan Penyediaan Bahan Pangan Jenis Padi-padian

Dalam perencanaan kebutuhan konsumsi pangan, jenis pangan yang banyak dikonsumsi dan memberikan andil besar terhadap pemenuhan kebutuhan energi dari setiap kelompok pangan digunakan sebagai basis data penghitungan penyediaan pangan penduduk di Provinsi Kalimantan Timur. Kelompok pangan padi-padian terdiri dari komoditas beras, jagung, dan terigu. Beras diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 749 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram beras (362 kkal), maka akan setara dengan 206,94 gram/kapita/hari atau 75,53 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan beras ditingkat konsumsi sebesar 453.200 ton. Untuk menghitung berapa beras yang harus disediakan ditingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan beras dari tingkat pasar sampai kerumah tangga atau siap untuk dimasak, maka harus ditambah 10 persen, sehingga menjadi 498.520 ton (Tabel 4).

Berdasarkan pola konsumsi pangan penduduk Provinsi Kalimantan Timur, jagung merupakan jenis serealia yang memiliki kontribusi paling kecil terhadap AKE, yaitu 3 kkal. Bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram jagung (366 kkal), maka setara dengan 0,72 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, setara dengan 0,26 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan jagung di tingkat konsumsi sebesar 1.570 ton. Untuk menghitung berapa jagung yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan jagung dari tingkat pasar sampai rumah tangga atau siap untuk dimasak, maka harus ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 1.727 ton.

Terigu sebagai komoditas dengan partisipasi konsumsi yang cukup tinggi memberikan kontribusi energi sebesar 299 kkal. Bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram terigu (333 kkal), maka setara dengan 89,83 gram/kapita/hari atau 32,79 kg/kapita/tahun (Tabel 4). Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan terigu ditingkat konsumsi sebesar 196.722 ton. Untuk mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan terigu dari tingkat pasar sampai kerumah tangga atau siap untuk dimasak, maka harus ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 216.394 ton.

Perencanaan Penyediaan Bahan Pangan Jenis Umbi-umbian

Kelompok pangan umbi-umbian terdiri dari komoditas singkong, ubi jalar, kentang, sagu, dan umbi lainnya (suweg/talas). Singkong diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 90 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram singkong (154 kkal), maka akan setara dengan 58,16 gram/kapita/hari setara dengan 21,23 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk

Page 40: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

31

pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan singkong di tingkat konsumsi sebesar 127.370 ton. Untuk mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan singkong dari tingkat pasar sampai rumah tangga atau siap untuk dimasak, maka harus ditambahkan 10 persen. Mengingat singkong yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk kulit, maka harus dikembalikan dalam bentuk kulit dengan konversi (85%) (Kemenkes, 2018), sehingga kebutuhan singkong menjadi 164.832 ton.

Tabel. 4 Kebutuhan Konsumsi Langsung dan Kebutuhan Total

Kelompok Pangan

Kebutuhan Konsumsi Langsung Kebutuhan Tingkat Pasar (Ton) Energi

(kkal) Gram/kap/

hari Kg/kap/

tahun Total (Ton)

Padi-padian 1050 Beras 749 206,94 75,53 453.200 498.520 Jagung 3 0,72 0,26 1.570 1.727 Terigu 299 89,83 32,79 196.722 216.394

Umbi-umbian 126 Singkong 90 58,16 21,23 127.370 164.832 Ubi jalar 17 14,03 5,12 30.731 39.770 Kentang 14 22,04 8,04 48.260 62.454 Sagu 3 0,87 0,32 1.916 2.108 Umbi lainnya 2 2,05 0,75 4.493 5.746

Pangan Hewani 157 Daging ruminansia 30 15,75 5,75 34.495 37.945 Daging unggas 44 14,83 5,41 32.467 35.713 Telur 15 9,87 3,60 21.617 26.718 Susu 29 47,89 17,48 104.886 115.375 Ikan 38 30,78 11,24 67.414 92.694

Minyak dan Lemak 21 Minyak kelapa 2 0,17 0,06 381 419 Minyak sawit 19 2,13 0,78 4.672 5.139 Minyak lainnya 1 0,08 0,03 173 191

Buah/Biji Berminyak 11 Kelapa 7 1,94 0,71 4.238 8.796 Kemiri 3 0,51 0,19 1.127 1.240

Kacang-kacangan 37 Kedelai 32 8,44 3,08 18.494 20.343 Kacang tanah 2 0,43 0,16 939 1.033 Kacang hijau 2 0,60 0,22 1.309 1.440 Kacang lainnya 1 0,66 0,24 1.438 1.582

Gula 31 Gula pasir 30 7,50 2,74 16.421 18.064 Gula merah 1 0,40 0,14 867 953

Sayur dan Buah 126 Daun singkong 7 9,28 3,39 20.340 25.717 Terong 3 7,94 2,9 17.400 19.140 Kangkung 2 5,6 2,05 12.300 22.550 Bawang Putih 25 15,6 5,7 34.200 42.750 Cabai Rawit 21 12,17 4,44 26.640 34.475 Bawang merah 5 8,03 2,93 17.580 21.487 Cabai merah 1 1,79 0,65 3.900 5.047 Pisang 50 23,17 8,46 50.760 74.448 Rambutan 6 4,24 1,55 9.300 25.575 Pepaya 2 2,68 0,98 5.880 8.624 Apel 3 2,43 0,89 5.340 6.675

Sumber: Susenas (2018) BPS dan Deptan (2001) diolah

Ubi jalar diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 17 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram ubi jalar (119 kkal), maka setara dengan 14,03 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, setara dengan 5,12 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan ubi jalar ditingkat konsumsi sebesar 39.770 ton. Penyediaan ubi jalar di tingkat pasar/ketersediaan (antisipasi) adanya kerusakan atau kehilangan ubi jalar tingkat pasar sampai rumah tangga atau siap untuk dimasak, maka harus ditambahkan 10 persen. Ubi jalar yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan

Page 41: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

32

dalam bentuk berkulit, maka harus dikembalikan dalam bentuk kulit dengan konversi (85%) (Kemenkes, 2018), sehingga kebutuhan ubi jalar menjadi 39.770 ton.

Kentang merupakan salah satu komoditas jenis umbi-umbian yang memiliki partisipasi konsumsi cukup tinggi 25,5 persen (BPS 2018), yang diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 14 kkal. Bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram kentang (62 kkal), maka setara dengan 22,04 gram/kapita/hari atau setara 8,04 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan kentang ditingkat konsumsi sebesar 48.260 ton. Sebagai antisipasi adanya kerusakan atau kehilangan kentang dari tingkat pasar sampai rumah tangga atau siap untuk di masak, maka harus ditambahkan 10 persen. Kentang yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk berkulit, maka harus dikembalikan dalam bentuk kulit dengan konversi (85%) (Kemkes 2018), sehingga kebutuhan kentang menjadi 62.454 ton.

Sagu merupakan komoditas lokal yang memiliki tingkat partisipasi konsumsi yang paling rendah untuk kelompok umbi-umbian (BPS 2018). Dalam komposisi PPH diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 3 kkal. Bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram sagu (347 kkal), maka setara dengan 0,87 gram/kapita/hari atau 0,32 kg/kapita/tahun. Jika dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan sagu ditingkat konsumsi sebesar 1.916 ton. Penyediaan sagu di tingkat pasar/ketersediaan sebesar 2.108 Ton.

Umbi lainnya (suweg/talas) diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 2 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram suweg/talas (73 kkal), maka setara dengan 2,05 gram/kapita/hari atau setara dengan 0,75 kg/kapita/tahun. Kebutuhkan suweg/talas di tingkat konsumsi sebesar 4.493 ton. Penyediaan suweg/talas dari tingkat pasar sampai rumah tangga atau siap untuk di masak, maka harus ditambahkan 10 persen. Suweg/talas yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk kulit, maka harus dikembalikan dalam bentuk kulit dengan konversi (86%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan suweg/talas menjadi 5.746 ton.

Perencanaan Penyediaan Bahan Pangan Hewani

Kelompok pangan hewani terdiri dari komoditas daging ruminansia, daging unggas, telur ayam ras, susu sapi segar, dan ikan. Daging ruminansia (sapi dan kerbau) diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 30 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram daging ruminansia (190 kkal), maka setara dengan 15,75 gram/kapita/hari atau setara 5,75 kg/kapita/tahun. Kebutuhan daging ruminansia ditingkat konsumsi sebesar 34.495 ton dan penyediaan di tingkat pasar sebesar 37.945 ton. Pemenuhan penyediaan jenis daging ruminansia dapat bersumber dari daging sapi/kerbau, daging kambing atau jenis ruminansia lainnya yang berpotensi dikembangkan di Provinsi Kalimantan Timur. Produksi Daging di Provinsi Kalimantan Timur mencapai 80.108 ton, dengan produksi daging sapi mencapai 8.406 ton, diikuti dengan produksi daging kambing sebesar 596 ton (Ditjen PKH 2018).

Dilihat dari potensi produksi tersebut, sehingga pemenuhan kebutuhan daging ruminansia dapat dipenuhi dari daging sapi dan daging kambing di Provinsi Kalimantan Timur. Harris et. all (2015) menyatakan bahwa peningkatan produksi daging dapat dilakukan melalui perbaikan pola pemeliharaan secara in-situ dan ex-situ, perbaikan mutu bibit, sistem pemeliharaan dari tradisional ke semi intensif atau intensif, memperhatikan kesehatan, perbaikan pakan serta faktor eksternal.

Daging unggas (daging ayam ras) diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 44 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram daging unggas (298 kkal), maka setara dengan 14,83 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 5,41 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan daging unggas di tingkat konsumsi sebesar 32.467 ton. Untuk mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan daging unggas dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 35.713 ton.

Telur (telur ayam ras) diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 15 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram telur ayam ras (154 kkal), maka akan setara dengan 9,87 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, setara dengan 3,60 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan telur ayam ras ditingkat konsumsi sebesar 21.617 ton. Sebagai antisipasi adanya kerusakan atau kehilangan telur ayam ras dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen. Karena telur yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk cangkang, maka

Page 42: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

33

harus dikembalikan dalam bentuk cangkang dengan konversi (89%). (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan telur ayam ras menjadi 26.718 ton.

Susu sapi segar diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 29 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram susu sapi segar (61 kkal), maka setara dengan 47,89 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 17,48 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan susu sapi segar ditingkat konsumsi sebesar 104.886 ton. Untuk mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan susu sapi segar dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 115.375 ton.

Ikan (ikan kembung segar) diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 38 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram ikan kembung segar (125 kkal), maka setara dengan 30,78 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, setara dengan 11,24 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan ikan kembung segar di tingkat konsumsi sebesar 67.414 ton. Guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan ikan kembung segar dari tingkat pasar sampai kerumah tangga, maka ditambahkan 10 persen. Mengingat ikan yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk utuh, maka harus dikembalikan dalam bentuk utuh dengan konversi (80%). (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan ikan kembung segar menjadi 92.694 ton.

Perencanaan Penyediaan Bahan Pangan Minyak dan Lemak

Kelompok pangan minyak dan lemak terdiri dari komoditas minyak kelapa, minyak sawit, dan minyak lainnya. Minyak kelapa diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 2 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram minyak kelapa (870 kkal), maka setara dengan 0,17 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, setara dengan 006 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan minyak kelapa di tingkat konsumsi sebesar 381 ton. Untuk menghitung berapa minyak kelapa yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan minyak kelapa dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 419 ton.

Minyak sawit diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 19 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram minyak sawit (884 kkal), maka akan setara dengan 2,13 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,78 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan minyak sawit di tingkat konsumsi sebesar 4.672 ton. Untuk mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan minyak sawit dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 5.139 ton.

Minyak lainnya (minyak kacang tanah) diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 1 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram minyak sawit (902 kkal), maka akan setara dengan 0,08 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,03 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan minyak kacang tanah di tingkat konsumsi sebesar 173 ton. Untuk menghitung berapa minyak kacang tanah yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan minyak kacang tanah dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 191 ton.

Perencanaan Penyediaan Bahan Pangan Jenis Buah/Biji Berminyak

Kelompok pangan buah/biji berminyak terdiri dari komoditas kelapa dan kemiri. Kelapa diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 7 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram kelapa (359 kkal), maka setara dengan 1,94 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,71 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan kelapa di tingkat konsumsi sebesar 4.238 ton. Untuk mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan kelapa dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka harus ditambahkan 10 persen. Kemudian karena kelapa yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk utuh, maka harus dikembalikan dalam

Page 43: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

34

bentuk utuh dengan konversi (53%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan kelapa menjadi 92.694 Ton.

Kemiri diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 3 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram kemiri (675 kkal), maka akan setara dengan 0,51 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,19 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan kemiri di tingkat konsumsi sebesar 1.127 ton. Guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan kemiri dari tingkat pasar hingga rumah tangga atau siap untuk dimasak, maka ditambahkan 10 persen, sehingga kebutuhan kemiri menjadi 1.240 ton.

Perencanaan Penyediaan Bahan Pangan Jenis Kacang-kacangan

Kelompok kacang-kacangan terdiri dari komoditas kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan kacang lainnya (kacang kapri). Kedelai diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 32 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram kedelai (381 kkal), maka akan setara dengan 8,44 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 3,08 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan kedelai ditingkat konsumsi sebesar 18.494 ton. Untuk menghitung berapa kedelai yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan kedelai dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 20.343 ton.

Kacang tanah diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 2 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram kacang tanah (525 kkal), maka akan setara dengan 0,43 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,16 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan kacang tanah di tingkat konsumsi sebesar 939 ton. Guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan kacang tanah dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 1.033 ton.

Kacang hijau diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 2 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram kacang hijau (323 kkal), maka akan setara dengan 0,60 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,22 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan kacang hijau ditingkat konsumsi sebesar 1.309 ton. Untuk menghitung berapa kacang hijau yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan kacang hijau dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 1.440 ton.

Kacang lainnya (kacang kapri) diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 1 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram kacang kapri (98 kkal), maka akan setara dengan 0,66 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,24 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan kacang kapri di tingkat konsumsi sebesar 1.309 ton. Guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan kacang kapri dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen. Karena kacang kapri yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk berkulit, maka harus dikembalikan dalam bentuk kulit dengan konversi (45%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan kacang kapri menjadi 1.582 ton.

Perencanaan Penyediaan Bahan Pangan Jenis Gula

Kelompok pangan gula terdiri dari komoditas gula pasir dan gula merah. Gula pasir diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 30 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram gula pasir (394 kkal), maka akan setara dengan 7,50 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 2,74 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan gula pasir di tingkat konsumsi sebesar 16.421 ton. Untuk menghitung berapa gula pasir yang harus disediakan ditingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan gula pasir dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 18.064 ton.

Page 44: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

35

Gula merah diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar 1 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram gula merah (368 kkal), maka akan setara dengan 0,40 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,14 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan gula merah di tingkat konsumsi sebesar 867 ton. Guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan gula merah dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga menjadi 953 ton.

Perencanaan Penyediaan Bahan Pangan Jenis Sayur dan Buah

Kelompok pangan sayur dan buah terdiri dari komoditas daun singkong, terong, kangkung, bawang putih, cabai rawit, bawang merah, cabai merah, pisang, rambutan, pepaya dan apel. Daun singkong diharapkan dapat menyumbangkan energi 7 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram daun singkong (50 kkal), maka akan setara dengan 9,28 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, setara dengan 3,39 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan daun singkong di tingkat konsumsi sebesar 20.340 ton. Untuk menghitung berapa daun singkong yang harus disediakan ditingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan daun singkong dari tingkat pasar sampai kerumah tangga, maka ditambahkan 10 persen. Karena daun singkong yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk bertangkai, maka harus dikembalikan dalam bentuk tangkai dengan konversi (87%), (Kemenkes 2018) sehingga kebutuhan daun singkong menjadi 25.717 ton.

Terong diharapkan dapat menyumbangkan energi 3 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram terong (28 kkal), maka akan setara dengan 7,94 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 2,9 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan terong di tingkat konsumsi sebesar 17.400 ton. Untuk mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan terong dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen, sehingga kebutuhan terong menjadi 19.140 ton.

Kangkung diharapkan dapat menyumbangkan energi 2 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram kangkung (28 kkal), maka akan setara dengan 5,6 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 2,05 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan kangkung di tingkat konsumsi sebesar 12.300 ton. Guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan kangkung dari tingkat pasar sampai kerumah tangga, maka ditambahkan 10 persen. Karena kangkung yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk tangkai, maka harus dikembalikan dalam bentuk tangkai dengan konversi (60%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan kangkung menjadi 22.570 ton.

Bawang putih diharapkan dapat menyumbangkan energi 25 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram bawang putih (112 kkal), maka akan setara dengan 15,6 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 5,7 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan bawang putih ditingkat konsumsi sebesar 34.200 ton. Untuk mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan bawang putih dari tingkat pasar sampai ke rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen. Karena bawang putih yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk kulit, maka harus dikembalikan dalam bentuk berkulit dengan konversi (88%) (Kemkes 2018), sehingga kebutuhan bawang putih menjadi 42.750 ton.

Cabai rawit diharapkan dapat menyumbangkan energi 21 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram cabai rawit (120 kkal), maka akan setara dengan 12,17 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 4,44 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan cabai rawit ditingkat konsumsi sebesar 26.640 ton. Guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan cabai rawit dari tingkat pasar sampai kerumah tangga, maka ditambahkan 10 persen. Mengingat cabai rawit yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk bertangkai, maka harus dikembalikan dalam bentuk bertangkai dengan konversi (85%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan cabai rawit menjadi 34.475 ton.

Page 45: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

36

Bawang merah diharapkan dapat menyumbangkan energi 5 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram bawang merah (46 kkal), maka akan setara dengan 8,03 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 2,93 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan bawang merah ditingkat konsumsi sebesar 17.580 ton. Untuk menghitung berapa bawang merah yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan bawang merah dari tingkat pasar sampai kerumah tangga atau siap untuk dimasak, maka ditambahkan 10 persen. Karena bawang merah yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk berkulit, maka dikembalikan kebentuk berkulit dengan konversi (90%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan bawang merah menjadi 21.487 ton.

Cabai merah diharapkan dapat menyumbangkan energi 1 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram cabai merah (36 kkal), maka akan setara dengan 1,79 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,65 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan cabai merah ditingkat konsumsi sebesar 3.900 Ton. Untuk menghitung berapa cabai merah yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan cabai merah dari tingkat pasar hingga rumah tangga atau siap untuk dimasak, maka ditambahkan 10 persen. Karena cabai merah yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk bertangkai, maka harus dikembalikan kebentuk bertangkai dengan konversi (85%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan cabai merah menjadi 5.047 ton.

Pisang diharapkan dapat menyumbangkan energi 50 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram pisang (108 kkal), maka akan setara dengan 23,17 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 8,46 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan pisang di tingkat konsumsi sebesar 50.760 ton. Untuk menghitung berapa pisang yang harus disediakan di tingkat pasar/eceran, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan pisang dari tingkat pasar hingga rumah tangga atau siap untuk dimasak, maka ditambahkan 10 persen. Karena pisang yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk berkulit, maka dikembalikan kebentuk berkulit dengan konversi (75%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan pisang menjadi 74.448 ton.

Rambutan diharapkan dapat menyumbangkan energi 6 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram rambutan (69 kkal), maka akan setara dengan 4,24 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 1,55 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan rambutan di tingkat konsumsi sebesar 9.300 ton. Untuk menghitung berapa rambutan yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan rambutan dari tingkat pasar sampai kerumah tangga atau siap untuk dimasak, maka ditambahkan 10 persen. Mengingat rambutan yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk berkulit, maka dikembalikan kebentuk berkulit dengan konversi (40%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan rambutan menjadi 25.575 ton.

Pepaya diharapkan dapat menyumbangkan energi 2 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram pepaya (46 kkal), maka akan setara dengan 2,68 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,98 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan pepaya di tingkat konsumsi sebesar 5.880 ton. Untuk menghitung berapa pepaya yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan pepaya dari tingkat pasar hingga rumah tangga, maka ditambahkan 10 persen. Pepaya yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk berkulit, maka dikembalikan kebentuk berkulit dengan konversi (75%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan pepaya menjadi 8.624 ton.

Apel diharapkan dapat menyumbangkan energi 3 kkal, bila dikonversikan dengan kandungan energi per 100 gram apel (58 kkal), maka akan setara dengan 2,43 gram/kapita/hari. Kemudian dikalikan dengan 365 hari dan dibagi 1000, akan setara dengan 0,89 kg/kapita/tahun. Bila dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun 2024 sebesar 6 juta jiwa, maka dibutuhkan apel di tingkat konsumsi sebesar 5.340 ton. Untuk menghitung berapa apel yang harus disediakan di tingkat pasar/ketersediaan, guna mengantisipasi adanya kerusakan atau kehilangan apel dari tingkat pasar sampai kerumah tangga atau siap untuk dimasak, maka ditambahkan 10 persen. Apel yang beredar di tingkat pasar/ketersediaan dalam bentuk berkulit, maka harus dikembalikan kebentuk berkulit dengan konversi (88%) (Kemenkes 2018), sehingga kebutuhan apel menjadi 6.675 ton.

Page 46: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

37

Kebutuhan pangan ditingkat pasar/ketersediaan ini bisa dipenuhi melalui peningkatan produksi setempat, dengan mengoptimalkan sumberdaya lahan, agroekosistem, dan sumberdaya pendukung lainnya, atau bila tidak memungkinkan bisa dipasok atau didatangkan dari daerah lain. Khusus tepung terigu, karena gandum belum banyak dibudidayakan di Indonesia, maka harus dipasok dari luar.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Telaah ini merupakan analisis perencanaan kebutuhan pangan ditingkat rumah tangga dan penyediaan ditingkat pasar/ketersediaan dengan komposisi Pola Pangan Harapan (komposisi ideal), belum memperhitungkan kebutuhan diluar rumah tangga, seperti hotel, restoran, katering, industri pangan dan non pangan, bibit, pakan dan tercecer.

Berdasarkan hasil perhitungan, besarnya pangan utama yang harus disediakan ditingkat pasar/ketersediaan, pada tahun 2024 dengan jumlah penduduk sebesar 6 juta jiwa, yaitu: beras 498.520 ton, jagung 1.727 ton, terigu 216.394 ton, singkong 164.832 ton, ubi jalar 39.770 ton, kentang 62.454 ton, daging ruminansia 37,945 ton, daging unggas 35.713 ton, telur ayam ras 26.718 ton, susu sapi 115.375 ton, ikan kembung 92.694 ton, minyak kelapa 419 ton, minyak sawit 5.139 ton, kelapa 8.796 ton, kemiri 1.240 ton, kedelai 20.343 ton, kacang tanah 1.033 ton, kacang hijau 1.440 ton, gula pasir 18.064 ton, gula merah 953 ton, daun singkong 25.717 ton, kangkung 22.550 ton, bawang putih 42.750 ton, cabai rawit 34.475 ton, bawang merah 21.487 ton, cabai merah 5.047 ton, pisang 74.448 ton, rambutan 25.575 ton, pepaya 8.624 ton, dan apel 6.675 ton.

Saran

Diperlukan telaah lebih lanjut, terutama untuk menghitung kebutuhan pangan diluar rumah tangga seperti kebutuhan hotel, restoran, industri pangan dan non pangan, bibit, pakan dan tercecer, serta keperluan untuk cadangan pangan, sehingga kebutuhan total bisa didapat. Apabila pemenuhan kebutuhan pangan ini harus berasal dari produksi setempat, maka data potensi dan daya dukung lahan, agroekosistem, sumberdaya manusia, yang akurat sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2019. Dampak Ekonomi dan Skema Pembiayaan Pemindahan Ibu Kota Negara. Bahan Dialog Nasional II: Menuju Ibu Kota Masa Depan: Smart, Green and Beautiful Rabu, 26 Juni 2019.

Bappenas dan BPS. Proyeksi Penduduk Indonesia 2012-2035. Jakarta: Bappenas dan BPS.

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, 2019. Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: BKP.

_________________________________________________. 2019. Aplikasi Harmonisasi “Analisis Pola Pangan Harapan”. Jakarta: BKP.

_________________________________________________. 2019. Analisis Prognosa Produksi dan Kebutuhan Pangan Pokok/Strategis Tahun 2019. Jakarta: BKP.

_________________________________________________. 2015. Panduan Penghitungan Pola Pangan Harapan (PPH). Jakarta: BKP.

Badan Pusat Statistik, 2018. Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2018. Jakarta: BPS.

Departemen Pertanian, 2001. Harmonisasi Pola Pangan Harapan Nasional. Jakarta: Deptan.

Food and Agriculture Organization of the United Nations, Regional Office for Asia and the Pacific, 1989. Report of the Regional Expert Consultation of the Asian Network for Food and Nutrition on Nutrition and Urbanization. Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the Pacific.

Harris MI, Mayulu H, Yusuf R, Fauziah NR, Rahmatullah NS, 2015. Peran Ternak Lokal Asli Kalimantan Timur Dan Strategi Pengembangannya Dalam Menunjang Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Teknologi Pertanian Universitas Mulawarman 2015, 10(2):65-72.

Page 47: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

38

Institut Pertanian Bogor dan Badan Ketahanan Pangan, 2005. Penggunaan Aplikasi Analisis Situasi Konsumsi Pangan. Jakarta.

Kementerian Kesehatan, 2018. Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Jakarta: Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan.

Pemerintah RI, 2012. Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah RI, 2019. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi Rata-rata Penduduk Indonesia. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Page 48: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

39

ASIMETRIS HARGA BAWANG MERAH DI TINGKAT PETANI TERHADAP HARGA BAWANG MERAH

DI TINGKAT ECERAN

Asymmetric of Shallot Prices on Producer to Retail Level

Yanti Nurhayanti1*

, Ari Wahyuningsih2

1Statistisi Ahli Muda, Badan Ketahanan Pangan,Jakarta

2Analis Pasar Hasil Pertanian Ahli Muda, Badan Ketahanan Pangan, Jakarta

*Penulis korespondensi. E-mail: [email protected]

Diterima: 5 Oktober 2019 Direvisi: 25 Oktober 2019 Disetujui terbit: 12 November 2019

ABSTRACT

The objective of this research is to analyze to what extent an asymmetrical transmission of shallot prices from producer to retail level. A statistical method of Error Correction Model (ECM), cointegration test and causality tests was chosen to identify the price asymmetries. The data of monthly shallot price situated in five different locations in the period of 2014 and 2018 was gathered. The results prove the existence of vertical asymmetric prices between farmer and retailer level. The deviation caused by an increase of shallot price at producer level will be quickly responded to an increase of shallot prices at retail level, compared to the deviation when a decrease of shallot price occurs at producer level. Furthermore, the teviations will return to the equilibrium about 7 months.

Keyword : assymetry price, error corection model, shallot

ABSTRAK

Kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis sejauh mana transmisi asimetris harga bawang tingkat produsen terhadap tingkat eceran. Kajian ini menggunakan Metode statistik Error Correction Model (ECM) serta uji kointegrasi dan kausalitas jangka panjang untuk mengindentifikasi asimetris harga. Data yang digunakan merupakan data bulanan harga bawang merah tingkat petani dan tingkat eceran di lima lokasi berbeda dari tahun 2014 sampai dengan 2018. Hasil analisis membuktikan adanya asimetris harga secara vertikal antara petani dan eceran. Penyimpangan yang disebabkan kenaikan harga bawang merah tingkat produsen akan lebih cepat direspon dengan kenaikan harga ditingkat eceran apabila dibandingkan dengan penyimpangan ketika terjadi penurunan harga bawang merah ditingkat produsen. Penyimpangan akan kembali pada titik keseimbangan sekitar 7 bulan.

Kata kunci: asimetris harga, error corection model, bawang merah

PENDAHULUAN

Transmisi harga antar tingkat petani dan tingkat eceran dapat didefinisikan sebagai keterkaitan antar suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lain dalam satu rantai pemasaran. Menurut Vavra dan Goodwin (2005), tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level lembaga pemasaran dalam satu rantai pemasaran. Rantai pemasaran dapat dikatakan effesien apabila pola interaksi harga hanya terjadi karena perubahan biaya produksi. Dengan kata lain perubahan harga pada satu level pemasaran akan ditransformasikan pada perubahan harga di di level pemasaran lainnya secara selaras. Dalam kasus ini perubahan harga bawang merah tingkat petani akan diikuti dengan perubahan harga di tingkat eceran dalam porsi yang sama atau simetris. Transmisi harga simetris ini biasanya terjadi pada pasar sempurna.

Hasil penelitian terdahulu umumnya menunjukan bahwa produk pertanian seringkali pada kondisi harga yang tidak simetris. Tidak simetrisnya harga produk pertanian ini mengindikasikan adanya kegagalan pasar (Meyer,J et al. 2004). Secara sederhana harga yang tidak simetris dapat

Page 49: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

40

digambarkan dari perubahan harga yang berbeda antara harga di tingkat petani dan tingkat pedagang. Menurut Vavra dan Goodwin (2005), tidak simetrisnya harga petani dan tingkat pedagang terjadi karena adanya perbedaan kecepatan dan besaran harga yang di tranformasikan dari tingkat petani ke tingkat eceran ataupun sebaliknya dari tingkat eceran ke tingkat petani.

Transmisi harga tidak simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif dan transmisi yang negatif. Transmisi tidak simetris yang positip adalah kondisi dimana shock positip (kenaikan harga) akan direspon secara cepat dan /atau dibandingkan saat terjadi shock negatip (penurunan harga). Sebaliknya, transmisi harga tidak simetris negatif adalah kondisi dimana shock negatip akan direspon secara cepat dan/atau dibandingkan saat terjadi shock positif.

Menurut Vavra dan Goodwin (2005), salah satu penyebab transmisi harga yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal dalam satu rantai pemasaran adalah adanya perilaku yang tidak kompetitif antar pedagang. Umumnya pedagang perantara akan mempertahankan keuntungan sehingga pedagang akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga di tingkat petani dibandingkan penurunan harga di tingkat petani. Kondisi ini yang menyebabkan transmisi harga yang tidak simetris antar petani dan eceran.

Dalam hal kesejahteraan eceran, transmisi harga tidak simetris pada produk pertanian lebih baik yang bersifat negatif daripada yang positip. Mengingat respon negatif merupakan kondisi apabila kenaikan harga input pada produk pertanian akan direspon lebih lama bagi oleh eceran. Dengan demikan eceran tidak cepat menanggung kenaikan harga input petani. Berbeda pada respon positip, eceran akan cepat menanggung setiap terjadi kenaikan harga pada input produksi.

Secara empiris penelitian terdahulu sudah ada yang melakukan analisis sejauh mana transmisi harga pangan produk pertanian. Salah satunya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (2008) dimana hasilnya pergerakan harga produk pertanian tidak ditransmisikan secara sempurna antara harga di tingkat petani dengan tingkat pedagang. Hal in tercermin dari semakin besarnya disparitas harga antara level petani dengan eceran selama periode Januari 2001 sampai dengan Januari 2008.

Bawang merah merupakan satu dari dua jenis sayuran yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat dalam bentuk segar, walaupun ada juga yang diolah menjadi bawang kering. Bawang merah juga sering menggoyang laju inflasi selain cabai merah (KPPN/BAPPENAS, 2014). Berdasarkan data BPS, pada Desember 2017 harga rata-rata bawang merah Rp 26.235/kg memberikan andil deflasi sebesar 0,0136 persen, sedangkan pada Desember 2018 harga rata-rata bawang merah pada posisi angka Rp 28.186/kg memberikan andil inflasi sebesar 0,0491 persen.

Menurut Ariningsih dan Tentamia (2004), bahwa Harga bawang merah sangat fluktuatif karena produksi bulanan bawang merah sangat berfluktuasi dan bawang merah memiliki sifat mudah rusak/busuk. Tingkat konsumsi langsung RT yang cukup tinggi dan penambahan jumlah penduduk menyebabkan permintaan nasional bawang merah terus meningkat. Konsumsi bawang merah pada tahun 2018 berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional Triwulan I sebesar 2,76 kg/kap/tahun atau naik 0,19 kg/kap/th dari tahun sebelumnya, bahkan selama lima tahun terakhir ( tahun 2014-2018) rata-rata kenaikan konsumsi RT akan bawang merah sebesar 2, 87% (Badan Ketahanan Pangan, 2019).

Sementara menurut Kustiari (2017) bahwa nilai elastisitas harga bawang merah sekitar - 0,68 (inelastis), yang artinya bawang merah merupakan komoditas yang sulit digantikan atau merupakan barang pokok sehingga permintaan bawang merah tidak terlalu dipengaruhi oleh perubahan harga. Walaupun produksi bawang merah cenderung meningkat setiap tahunnya, namun produksi dalam negeri tidak merata pada setiap bulannya, sehingga menyebabkan kurangnya pasokan bawang merah pada bulan-bulan tersentu atau pada saat permintaan masyarakat akan bawang merah tinggi terutama pada bulan-bulan HBKN (hari-hari besar Keagaman Nasional). Hal ini diperkuat oleh Irawan (2007) bahwa kondisi tersebut dapat berakibat pada kenaikan harga bawang merah di pasar domestik yang dapat mendorong terjadinya inflasi.

Untuk mengidentifikasi sejauh mana fenomena ketidaksimetrisan antara harga bawang merah tingkat petani dan tingkat eceran pada kondisi saat ini, maka dipandang perlu untuk melakukan analisis asimetris harga bawang merah tingkat petani terhadap harga bawang merah di tingkat eceran. Dengan menggunakan data harga bawang merah di lima kota besar di Indonesia pada periode tahun 2014-2018, diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana perubahan harga

Page 50: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

41

bawang merah dari satu level ke level lain dalam satu rantai pemasaran komoditas bawang merah. Selain itu juga dengan adanya analisis ini dapat mengetahui seberapa cepat terjadinya perubahan harga dari tingkat petani ke tingkat eceran.

METODE PENELITIAN

Pendekatan Analisis

Untuk memeriksa karakteristik transmisi harga yang asimetris, Von Cramon dan Taubadel (1994) mengenalkan konsep kointegrasi dalam model transmisi harga asimetris. Prinsip model ini adalah dengan melihat signifikansi penyimpangan dari model keseimbangan jangka panjangnya. Sementara itu konsep kointegrasi dimaksud adalah dua series harga dikatakan terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series diikuti dengan pergerakan series harga lainnya secara sempurna (Wixcon dam Katchova, 2012).

Pendekatan analisis statistik untuk model kointegrasi menggunakan Metode statistik Error Correction Model (ECM). Penggunaan ECM pertama kali dilakukan oleh Granger dan Lee (1989) dengan menggunakan persmaan sebagai berikut:

(1)

(2)

Dimana ECT merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang dari

Koefesien diharapkan bernilai negatif dan signifikan, mengindikasikan terjadinya asimetris harga namun peyimpanganyan yang terjadi akan kembali ke garis keseimbangan.

Analisis data dilakukan dengan pendekatan analisis deskriptif dan parametrik. Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat gambaran awal bagaimana pergerakan harga bawang merah di tingkat petani dan eceran. Analisis deskriptif yang digunakan adalah menghitung rata-rata, tingkat fluktuasi harga, margin tata niaga dan pembuatan grafik perkembangan harga. Sementara analisis parametrik yang digunakan model ekonometrika time series Error Correction Model untuk menganalisis sejauh mana perubahan harga bawang merah di tingkat petani terhadap tingkat eceran.

Pada penulisan ini, fluktuasi harga bawang merah dapat digambarkan dengan menggunakan koefisien variasi (CV), CV diperoleh dari standar deviasi suatu variabel dibagi dengan rata-ratanya dikalikan persentase. Koefisien variasi dari data harga secara runtun waktu menggambarkan fluktuasi (simpangan terhadap rata-rata) yang digunakan untuk mengetahui stabilitas harga suatu komoditas. Semakin kecil nilai koefisien variasi maka harga relatif stabil atau memiliki fluktuasi yang rendah (Rachman, 2005).

Sementara itu marjin tataniaga akan dihitung untuk mengetahui sejauh mana disparitas harga bawang bawang merah dieceran dan petani. Magin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga ditingkat eceran akhir (Pr) (Feryanto, 2019). Pada umumnya besarnya marjin pemasaran merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mendeteksi terjadinya inefisiensi pemasaran yang disebabkan oleh kekuatan pasar yang tidak sempurna. Sistem pemasaran semakin efisien apabila besarnya marjin pemasaran yang merupakan jumlah dari biaya pemasaran dan keuntungan pedagang semakin kecil. Dengan kata lain, perbedaan antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayar eceran semakin kecil. (Irawan, B, 2007).

Model ekonometrika time series Error Correction Model digunakan untuk menganalisis sejauh mana tingkat ketidaksimetrisan perubahan harga bawang merah ditingkat petani terhadap tingkat eceran. Adapun tahapan-tahapan dalam model ECM adalah sebagai berikut :

a. Pengecekan Data Stationer

Pada data timeseries, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengecek stationer data. Stasioneritas ini terkait dengan konsistensi pergerakan data time series. Suatu data dapat dikatakan stationer apabila nilai parameternya konstan sepanjang waktu, diikuti dengan covarians antar dua periode waktu yang hanya bergantung pada selang diantara keduanya. Sebaliknya data tidak stationer apabila terdapat tren pada nilai rata-ratamya atau variansnya.

Page 51: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

42

Uji stationer yang akan digunakan adalah uji akar unit atau unit root test . Suatu data time series yang stationer apabila tidak memiiki unit root. Alat uji untuk root test yang sering digunakan antara lain Dickey-Fuller Unit Root Test (DF), Augmented Dickey-Fuller Test (ADF) dan Philips Peron Test (PP). Dalam tulisan ini, penulis akan menguji stationeritas dengan menggunakan ADF yang mengikuti persamaan berikut :

∑ (3)

Dimana adalah series data, adalah turunan pertama dan merupakan notasi untuk error

terms. Hipotesis nol yang diuji adalah persamaan memiliki uni root ( = 0), dengan hipotesis

tandingannya adalah persamaan stationer ( < 0).

b. Pengecekan Kointegrasi

Kointegrasi suatu persamaan dapat dilihat dari residualnya. Apabila residual stationer terdapat indikasi adanya kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan pada data yang tidak stationer pada level.

c. Tes Kausalitas

Tujuan dari tes kausalitas dalam transmisi harga tidak simetris adalah untuk memastikan arah hubungan sebab akibat antara variabel –variabel yang diuji.Hal ini berkaitan dengan apakah tramsmisi terjadi dari hulu ke hilir atau dari hilir ke hulu. Elastisitas transmisi harga yang bergerak dari hulu ke hilir akan berbeda dengan transmisi yang bergerak dari hilir ke hulu (Gardner, 1975). Pada artikel ini pengujian kausalitas secara statistik yang digunakan adalah uji Granger.

d. Uji model Simetris menggunakan ECM

Konsep dasar metode ECM mengacu pada bentuk error corection, dimana kointegrasi yang terjadi antara dua variabel yang tidak stationer mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel tidak bebas tidak hanya dipengaruhi oleh variabel bebas tetapi dipengaruhi juga oleh faktor ketidakseimbangan hubungan kointegrasi diantara keduanya.

Dalam analisa asimetris harga bawang merah ini model persamaaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

(4)

Dimana adalah harga bawang merah tingkat eceran pada periode t, adalah harga harga

bawang merah tingkat produsen pada periode t, adalah error term. Persamaan tersebut diubah dalam bentuk ECM sebagai berikut :

(5)

Dimana koefesien kointegrasi yang apabila signifikan secara statistik mengindikasikan terjadi ketidaksimetrisan harga bawang merah antara tingkat produsen terhadap tingkat eceran.

Data dan Sumber Data

Data yang dianalisis bersumber dari Buku Statitisik Harga Badan Pusat Statistik. Data terdiri dari data rata-rata harga bawang merah tingkat petani dan rata-rata harga bawang merah tingkat eceran. Periode data yang digunakan bulanan dari periode Januari 2014 sampai dengan Desember 2018.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Data Deskriptif

Fluktuasi harga yang tinggi merupakan salah satu isu sentral yang sering muncul dalam pemasaran komoditas hortikultura. Menurut Uchyani et al. (2004) bawang merah mempunyai harga yang berfluktuasi tinggi karena ketidakpastian produksi, produksi bawang merah bersifat musiman, perishable (mudah busuk dan tidak tahan lama). Berdasarkan koefisian varian bulanan lima tahun terakhir periode 2014 – 2018) harga rata-rata bawang merah dari 5 provinsi sentra produksi dan pusat perdagangan, selama priode tersebut pola pergerakan harga tingkat eceran dan produsen mempunyai pola pergerakan yang sama, meskipun tingkat fluktusi harga berbeda (Gambar 1). Harga eceran bergerak lebih stabil dibandingkan dengan harga produsen. Coefficient of variation (CV) harga

Page 52: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

43

eceran 14,69%, sedangkan CV harga produsen mencapai 23,48%. Disparitas dalam variasi harga produsen dan harga eceran sangat terkait dengan fungsi dari rantai pasok. Selama periode Januari 2014–Desember 2018 harga produsen dan harga eceran menunjukkan peningkatan masing-masing sekitar 1,1% dan 0,03% per bulan.

Sumber: BPS (2014 – 2018)

Gambar 1. Perkembangan harga produsen bawang merah di Indonesia, 2014–2018

Mengingat perannya yang sangat signifikan terhadap inflasi, maka pemerintah telah memasukkan bawang merah ke dalam tujuh jenis bahan pangan yang ditetapkan harga acuannya. Pada tanggal 9 September 2016 Menteri Perdagangan Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 63 Tahun 2016, dan diperbarui dengan Permendag Nomor 96 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Eceran. Peraturan ini mulai berlaku sejak dikeluarkan pada 15 September 2016. Pada Permendag tersebut harga acuan penjualan bawang merah pada tingkat eceran ditetapkan maksimal Rp32.000 per kg, dan tangka produsen minimal Rp18.300. per kilogram untuk konde askip dan Rp22.500 per kg rogol askip, namun dalam praktiknya kebijakan harga acuan ini belum efektif dalam menjaga stabilisasi harga bawang merah. Hal ini dapat dilihat dari sejak diberlakukannya peraturan tersebut harga bawang merah tingkat produsen dan eceran tampak semakin fluktuatif. Sebelum ditetapkannya peraturan tersebut yaitu periode januari 2014 – September 2016, CV harga bawang merah tingkat produsen dan eceran masing-masing sebesar 9,31% dan 12,54%, namun setelah ada kebijakan tersebut CV (periode Oktober 2016 – Desember 2018) CV harga produsen dan eceran masing-masing menjadi 14,62% dan 14,29% (Gambar 1).

Berdasarkan koefisien variasi bulanan lima tahun terakhir periode 2014 – 2018, harga bawang merah di 5 provinsi yang menjadi pusat perdagangan dan sekaligus menjadi sentra produksi bawang merah yaitu provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, jawa Tengah, Jawa timur, dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa CV harga bawang merah di tingkat produsen dan eceran untuk provinsi Sumatera Utara sebesar 14,32% dan 14,37%, Jawa Barat 25,23% dan 18,48%, Jawa Tengah 31,81% dan 21,86%, Jawa Timur 35,01% dan 23,07%, serta di Sulawesi Selatan 26,74% dan 19,50%. Selama periode tersebut harga di tingkat produsen memperlihatkan kecenderungan lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan harga di tingkat eceran (Gambar 2 dan 3).

Page 53: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

44

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

2014 2015 2016 2017 2018

Rp/K

g

SUMUT JABAR JATIM JATENG MAKASAR

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

2014 2015 2016 2017 2018

Rp/

Kg

SUMUT JABAR JATIM JATENG MAKASAR

Sumber: BPS (2014 – 2018)

Gambar 2. Perkembangan harga produsen bawang merah di beberapa provinsi di Indonesia

Sumber: BPS (2014 – 2018)

Gambar 3. Perkembangan harga eceran bawang merah di beberapa provinsi di Indonesia

Selama tahun 2014 – 2018 rata-rata margin bulanan harga eceran dan harga produsen bawang merah mencapai 33,67% (Rp7.673/kg) dan margin terbesar terjadi pada bulan Januari 2014. Rata-rata margin bulanan di provins Sumatera utara paling tinggi di 4 provinsi lainnya, yaitu sebesar 43,73% (Rp 11,655/kg) dan paling rendah di provinsi Jawa Timur sebesar 21, 25% (Rp 4.720/kg). Hal ini wajar, karena meskipun Sumatera Utara merupakan sentra bawang tapi produksi bawang merah Sumatera belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya, sehingga masih mendatangkan pasokan bawang merah dari Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tingginya tingkat margin tersebut mengindikasikan bahwa pelaku pasar di jalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk membentuk harga (price maker) dan menetapkan harga di atas biaya marginalnya. Dengan kata lain, pasar bawang merah yang tercipta mengarah pada model pasar persaingan tidak sempurna (Kustiari, 2017).

Tabel.1. Rata-rata Harga dan Margin Bulanan Harga Bawang Merah Tk. Eceran dan Produsen periode Januari 2014- Desember 2018

Provinsi Harga Produsen (Rp/Kg)

Harga Eceran (Rp/Kg)

Margin (Rp/kg) % Margin

Sumatera Utara 14.633 26.288 11.655 43,7

Jawa Barat 14.235 22.140 7.905 36,0

Jawa Timur 16.276 20.996 4.720 21,2

Jawa tengah 13.100 19.555 6.456 33,5

Sulawesi Selatan 17.004 24.631 7.627 28,7

Page 54: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

45

Pola utama distribusi perdagangan bawang merah di Indonesia menurut Badan Statistik Indonesia (2018), bahwa secara umum, pola utama tataniaga perdagangan bawang merah diIndonesia sebagai berikut: Petani Pedagang Pengepul Pedagang Eceran Konsumen. Banyaknya rantai utama distribusi perdagangan bawang merah yang terbentuk dari petani sampai dengan konsumen akhir adalah tiga rantai. Pendistribusiannya melibatkan dua pedagang, yakni pedagang pengepul, dan pedagang eceran, sehingga pola distribusi bawang merah memiliki potensi menjadi lebih panjang jika melewati Petani distributor Sub Distributor Agen Pedagang Pengepul Pedagang Grosir Pedagang Eceran Konsumen.

Selain pola distribusi perdagangan, dari hasil survey diperoleh Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) total yang dihitung berdasarkan banyaknya rantai dan pelaku usaha yang terlibat pada pola utama distribusi perdagangan. Pola utama distribusi ini didapatkan dari persentase penjualan terbesar dari hulu (penjualan oleh petani) lanjut ke hilir (penjualan oleh pedagang eceran). diperoleh informasi perolehan rasio margin pedagang bawang merah di Indonesia sebesar 49,06 persen.

Analisis Model Ekonometrika ECM

Langkah pertama melakukan analisis asimetris harga bawang merah adalah menguji stationeritas data harga bawang merah di tingkat petani dan tingkat eceran. Tingkat stasioneritas ini terkait dengan konsistensi pergerakan data time series. Dimana suatu data dapat dikatakan stationer apabila nilai parameternya konstan sepanjang waktu, diikuti dengan covarians antar dua periode waktu yang hanya bergantung pada selang diantara keduanya. Sebaliknya data tidak stationer apabila terdapat tren pada nilai rata-ratanya atau variansnya. Alat uji yang digunakan pada paper ini Dickey-Fuller Unit Root Test (DF), Augmented Dickey –Fuller Test (ADF) dan Philips Peron Test (PP).

Pada kajian ini, pengujian stationer data harga bawang merah baik produsen dan eceran menggunakan Augmented Dickey –Fuller Test (ADF) pada kondisi level, dengan spesifikasi trend dan intercept. Apabila data tidak stationer dilanjutkan dengan pengujian stationer pada level first difference.

Berikut hasil pengujian data stationer harga bawang merah di tingkat petani dan eceran pada level sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil uji stationer data harga bawang merah tingkat petani pada level

Null Hypothesis: PETANI has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic - based on HQ, maxlag=10)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.641900 0.4551

Test critical values: 1% level -3.546099

5% level -2.911730

10% level -2.593551

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Page 55: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

46

Tabel 3. Hasil uji stationer data harga bawang merah tingkat eceran pada level

Null Hypothesis: ECERAN has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic - based on HQ, maxlag=10)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.296310 0.1765

Test critical values: 1% level -3.546099

5% level -2.911730

10% level -2.593551

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Pada tabel 2 dan 3 di atas dapat dilihat bahwa hipotesis nol yang menyatakan terdapat unit root diterima. Hal ini dilihat dari tingkat signifikansi > 5%. Dengan demikian harga bawang merah tingkat petani dan tingkat eceran pada kondisi level bersifat tidak stationer. Selanjutnya perlu dilakukan pengujian stationer pada kondisi first difference terhadap harga bawang merah baik ditingkat petani maupun eceran. Berikut hasil pengujian data stationer harga bawang merah di tingkat petani dan eceran pada kondisi first difference sebagai berikut :

Tabel 4. Hasil uji stationer data harga bawang merah tingkat petani pada first difference

Null Hypothesis: D(PETANI ) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic - based on HQ, maxlag=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.719221 0.0000

Test critical values: 1% level -3.548208

5% level -2.912631

10% level -2.594027

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Tabel 5. Hasil uji stationer data harga bawang merah tingkat eceran pada first difference

Null Hypothesis: D(ECERAN) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic - based on HQ, maxlag=10) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.941626 0.0000

Test critical values: 1% level -3.548208

5% level -2.912631

10% level -2.594027 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Pada tabel 4 dan 5 di atas dapat dilihat bahwa hipotesis nol yang menyatakan terdapat unit root ditolak. Hal ini dilihat dari tingkat signifikansi lebih kecil daripada 5%. Dengan demikian harga bawang merah tingkat petani dan tingkat eceran pada kondisi first difference bersifat stationer.

Page 56: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

47

Hasil uji kointegrasi data Jika semua variabel telah lolos uji stationer, maka selanjutnya akan dilakukan uji kointegrasi

untuk mengetahui kemungkinan terjadinya keseimbangan pada jangka panjang. Uji kointegrasi dilakukan dengan melihat residualnya stationer apa tidak. Untuk mendapatkan residual dilakukan regresi persamaan (6) dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Dari hasil regresi tersebut diatas diestimasi variabel residualnya dan di uji tingkat stationeritas datanya. Hasilnya seperti pada tabel 6 di bawah ini menunjukkan ho ditolak dengan tingkat signifikansi 5%. Dengan kata lain residual bersifat stationer pada level yang mengindikasikan adanya kointegrasi atau hubungan keseimbangan jangka panjang antar harga bawang merah di tingkat petani terhadap harga bawang di tingkat eceran. Dengan demikian analisa dapat dilanjutkan ke tahap pengujian model asimetris dengan menggunakan ECM.

Tabel 6. Hasil uji stationer residual pada level

Null Hypothesis: RES has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 3 (Automatic - based on Modified HQ, maxlag=15) t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.754384 0.0038

Test critical values: 1% level -3.453567

5% level -2.871656

10% level -2.572233

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Hasil Uji Kausalitas Sebelum melanjutkan tahap selanjutnya pengujian asimetris harga, akan dilakukan uji kausalitas

terlebih dahulu untuk memastikan arah hubungan sebab akibat antara harga bawang merah tingkat petani dengan harga bawang merah di tingkat eceran. Dalam tulisan ini pengujian kausalitas dilakukan dengan menggunakan metode Granger test. Hasil pengujian kausalitas secara statistik menggunakan metode Granger test disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Hasil uji stationer residual pada level

Pairwise Granger Causality Tests

Date: 09/28/19 Time: 19:58

Sample: 1 300

Lags: 2 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

PRODUSEN does not Granger Cause ECERAN 284 3.70554 0.0258

ECERAN does not Granger Cause PRODUSEN 0.61299 0.5425

Tabel 7. menunjukkan bahwa hipotesis nol harga bawang merah ditingkat eceran tidak

dipengaruhi oleh harga bawang merah ditingkat petani ditolak. Sementara hipotesis nol harga bawang merah ditingkat petani tidak dipengaruhi harga bawang merah ditingkat eceran diterima. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat hubungan satu arah diantara dua variabel tersebut. Harga bawang merah di tingkat eceran dipengaruhi oleh harga bawang merah di tingkat eceran. Selanjutnya dilakukan asimteris harga bawang merah pada hubungan satu arah. Hasil Uji Transmisi Harga Asimetris

Berdasarkan tahapan-tahapan sebelumnya, variabel-variabel yang akan digunakan dalam pengujiam transmisi harga asimetris antara lain, harga bawang merah tingkat eceran pada periode

Page 57: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

48

sebelumnya (t-1), harga bawang merah di tingkat petani pada periode ke –t, harga bawang merah tingkat produsen pada periode sebelumnya (t-1) dan variabel ECT(-1 disajikan dalam Tabel 8. Hasil estimasi model asimetris untuk harga bawang merah tingkat eceran pada periode t disajikan dalam tabel 8.

Tabel 8. Hasil Uji Transmisi Harga Asimetris

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(ECERAN(-1)) 0.054640 0.058688 0.931034 0.3526

D(PRODUSEN) 0.384218 0.075150 5.112669 0.0000

D(PRODUSEN(-1)) 0.157835 0.077758 2.029837 0.0433

RES(-1) -0.165646 0.031184 -5.311849 0.0000

C -51.07039 146.0677 -0.349635 0.7269

R-squared 0.163080 Mean dependent var -53.91901

Adjusted R-squared 0.151082 S.D. dependent var 2670.650

S.E. of regression 2460.651 Akaike info criterion 18.47169

Sum squared resid 1.69E+09 Schwarz criterion 18.53593

Log likelihood -2617.980 Hannan-Quinn criter. 18.49744

F-statistic 13.59135 Durbin-Watson stat 2.026199

Prob(F-statistic) 0.000000

Berdasarkan hasil estimasi diatas dapat dilihat variabel harga bawang tingkat eceran periode

sebelumnya, harga bawang merah ditingkat produsen pada periode t dan periode sebelumnya (t-1) dan variabel ECT (-1) secara bersama-sama signifikan mempengaruhi harga bawang merah ditingkat eceran pada periode t. Namun secara parsial, harga bawang merah di tingkat eceran pada periode sebelumnya tidak mempengaruhi harga bawang pada periode sekarang. Sementara harga bawang merah tingkat produsen pada periode saat ini ataupun periode sebelumnya mempengaruhi harga bawang merah tingkat eceran pada periode sekarang dengan taraf signifikansi 5%. Dimana setiap ada perubahan pada harga bawang merah ditingkat produsen pada periode sebelumnya sebesar 1 unit akan meningkatkan perubahan harga bawang merah sebesar 0,15 satuan. Setiap ada perubahan pada harga bawang merah ditingkat produsen pada periode saat ini akan menaikkan harga bawang merah di tingkat eceran sebesar 0,38 satuan.

Selain variabel harga bawang merah tingkat produsen yang signifikan mempengaruhi harga bawang merah ditingkat produsen, variabel ECT juga signifikan secara statistik mempengaruhi harga bawang merah tingkat eceran. Hal ini menunjukan terjadi ketidaksimetrisan harga bawang merah antara tingkat produsen terhadap tingkat eceran.

Nilai koefisien ECT yang negatif artinya bahwa pengaruhnya terhadap harga bawang merah tingkat eceran adalah negatif sesuai dengan teori kointegrasi. Dimana apabila terjadi penyimpangan yang disebabkan kenaikan harga bawang merah tingkat produsen akan lebih cepat direspon dengan kenaikan harga ditingkat eceran apabila dibandingkan dengan penyimpangan ketika terjadi penurunan harga bawang merah ditingkat produsen. Nilai koefesien sebesar - 0,15 menunjukan bahwa pada saat terjadi penyimpangan, maka penyimpangan tersebut akan kembali pada keseimbangan yang cukup lama yakni sekitar 7 bulan.

Yustiningsih (2012), menjelaskan bahwa ada dua penyebab terjadinya asimetris harga dalam jangka panjang, yaitu adanya intervensi pemerintah terhadap harga di tingkat petani dan market power yang dimiliki pedagang perantara. Adanya intervensi pemerintah terhadap harga ditingkat produsen yang lebih intensif menimbulkan anggapan bahwa ketika terjadi penurunan harga bawang merah dtingkat petani akan berlangsung relatif singkat sehingga tidak ada penyesuian harga di tingkat eceran. Sementara itu market power pedagang perantara sebagai penentu harga merupakan akibat dari struktur pasar pangan di Indonesia yang bersifat oligoposoni/oligopoli.

Page 58: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

49

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil pengujian transmisi harga menunjukkan bahwa perubahan harga bawang merah ditingkat produsen terhadap harga bawang merah di tingkat eceran bersifat asimetris. Nilai koefesien ECT yang signifikan dan bernilai negatif menunjukan bahwa respon kenaikan harga bawang merah di tingkat petani akan direspon cepat apabila dibandingkan dengan penurunan harga bawang merah ditingkat petani. Struktur pasar bawang yang bersifat oligoposoni/oligopoli merupakan salah satu penyebab terjadi asimetris harga bawang merah tingkat produsen terhadap tingkat eceran.

Saran

Pemerintah berperan penting dalam mengatasi asimetris harga bawang merah dengan melakukan intervensi baik dari sisi hulu maupun hilir. Disisi hulu, dengan adanya bukti bahwa harga bawang merah tingkat produsen bersifat asimetris terhadap harga bawang merah di tingkat eceran, pemerintah harus cepat merespon ketika terjadinya penurunan harga bawang merah tingkat produsen kesimbangan harga antara tingkat produsen dan eceran akan cepat tercapai. Untuk itu perlu pemantauan harga bawang merah yang intensif dan terkini serta dapat mengetahui batasan harga jual yang wajar bagi petani. Disisi hilir yakni pedagang, pemerintah harus bisa menciptakan rantai pasok bawang merah yang lebih efektif, sehingga harga bawang merah menjadi murah tetapi petani masih dapat memperoleh keuntungan yang wajar. Peranan kelompok tani atau kelembagaan terkait sebaiknya diperkuat agar dapat memperkuat posisi pawar petani di pasar bawang merah.

DAFTAR PUSTAKA

Ariningsih E, Tentamia MK. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan bawang merah

di Indonesia. ICASERD Working Paper No. 34. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Badan Ketahanan Pangan. 2019. Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2018. Distribusi Perdagangan Komoditas Bawang Merah Indonesia 2018. ISBN: 978-602-438-262-9. BPS RI. Jakarta.

Feryanto. 2019. Metode Penelitian, Studi Rantai Pasok Rumput Laut Kecamatan Rote Barat untuk The Nature Conservancy Indonesia. Disampaikan pada Workshop Analis Pasar Hasil Pertanian tanggal 28 – 30 Agustus 2019. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor.

Gardner B. 1975. The farm-retail price spread in a competitive industry. American Journal of Agricultural Economics,Vol. 57, pp. 399-409.

Granger, C.W.J. and Lee, T.-H. 1989. Investigation of Production, Sales and Inventory Relationships Using Multicointegration and Non-Symmetric Error Correction Models. Journal of Applied Econometrics, 4, 145-159.

Irawan B. 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Margin Pemasaran Sayuran dan Buah, Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 4, Desember 2007: 358-373.

Kementerian Perdagangan. 2019. Peraturan Menteri Perdagangan Tentang Harga Acuan Pembelian Di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Jdih.kemendag.go.id

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. 2014. Penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Pangan Dan Pertanian. Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas. Jakarta Pusat.

Kustiari R. 2017. Perilaku Harga dan Integrasi Pasar Bawang Merah di Indonesia, Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Oktober 2017:77-87 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/jae.v35n2.2017.77-87 77

Meyer, J., Taubadel S, V. C. 2004. Assymetric Price Tranmission : a survey. Journal Agricultural Economics, 55(3), 581-611.

Rachman, Handewi. 2005. Metode Analisis Harga Pangan. Disampaikan pada Apresiasi Distribusi Pangan dan Harga Pangan oleh Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, Bogor.

Uchyani F, Rhina dan Sugiharti. 2004. Respon Petani Bawang Merah Terhadap. Fluktuasi Harga Dan Iklim di Kabupaten Brebes. http://www.perhepi.org/images/stories/publikasi/buku_perhepi/rhina.pdf.

Page 59: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

50

Vavra P, Goodwin B. 2005. Analyss of price tranmission along the food chain. OECD food, Agriculture and Fisheries Working Paper.

Von Cramon, Taubadel, S.a. 1994. Identifying Asymmetric Price Transmission with Error Correction Models. poster Session EAAE European Seminar in Reading.

Wixson, S.E. , A.L. Katchova. 2012. Price Volatility and Farm Income Stabilisation – Modelling Outcomes and Assesing Market and Policy Based Responses. Paper presented at 123rd EAAE Seminar, Dublin.

Yustiningsih, F. 2012. Analisis Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-Konsumen di Indonesia, Tesis Fakultas Ekonomi Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta.

Page 60: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

51

PROFIL RISIKO CEMARAN MIKOTOKSIN PADA BERAS DAN PENCEGAHANNYA

Mycotoxin Contaminations Profile in Rice and Its Prevention

Sarastuti1, Apriyanto Dwi Nugroho

2

1Analis Ketahanan Pangan Ahli Pertama, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian

2Kepala Bidang Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian

*Penulis korespondensi. E-mail: [email protected]

Diterima: 20 Oktober 2019 Direvisi: 25 November 2019 Disetujui terbit: 15 November 2019

ABSTRACT

Rice is considered as a valuable and strategic commodity in Indonesia. It is reported that the rice consumption per capita in Indonesia has been relatively high, namely 111.58 kg/cap/year in 2017. However, rice milling units that convert paddy into rice are mainly dominated by small scale one that tend to produce low quality rice in term of moisture content, broken rice, and milling degree. The low quality rice will be susceptible to deterioration when it is stored in an improper humidity because this circumstance can stimulate the infestation of mycotoxigenic fungi. Aflatoxin and Ochratoxin A are mycotoxin which is commonly found in rice. The risk of toxin contamination will increase in line with the level of broken rice. Hence, considering the strategic position of rice, it is important to review the profile of mycotoxin contamination in rice and the prevention measures. The risk of toxin contamination in rice can be reduced by implementing good practices along rice supply chain. Establishment of standard through surveillance and supervision is also needed as an effort to address the risk of toxin contamination in rice before entering market.

Keywords: contamination, mycotoxin, postharvest, rice, risk.

ABSTRAK

Beras merupakan salah satu pangan pokok strategis di Indonesia, ditinjau dari aspek produksi, ekonomi, dan konsumsi. Dengan tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia yaitu mencapai 111,58 kg/kap/tahun, maka beras yang dikonsumsi sebagai pangan pokok harus aman. Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penanganan pascapanen pada produksi beras dan mengetahui profil risiko cemaran mikotoksinnya melalui studi literatur. Penggilingan padi di Indonesia yang didominasi oleh skala kecil, mempunyai potensi menghasilkan beras bermutu rendah dengan kadar air dan beras patah tinggi, serta derajat sosoh rendah. Beras tersebut lebih berisiko terkontaminasi jamur penghasil mikotoksin, terutama bila disimpan pada tempat lembab dan penerapan GMP yang tidak optimal. Aflatoksin dan okratoksin A merupakan jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan pada komoditas beras. Racun tersebut diproduksi apabila jamur penghasil mikotoksin mengalami stress akibat cekaman faktor lingkungan. Risiko cemaran mikotoksin dapat diturunkan melalui penerapan good practices pada rantai pasok beras. Dengan tingginya tingkat konsumsi serta beragamnya penanganan beras di Indonesia, maka perlu dilakukan kajian resiko terhadap cemaran mikotoksin ini secara komprehensif untuk pengembangan standar cemaran mikotoksin pada beras, dan upaya penguatan pengawasan dan surveilan komoditas beras.

Kata kunci: beras, cemaran, mikotoksin, pascapanen, risiko

PENDAHULUAN

Beras merupakan salah satu jenis pangan pokok strategis di Indonesia, baik ditinjau dari aspek produksi, ekonomi, dan konsumsi. Dari aspek produksi, peningkatan produksi padi masih menjadi fokus utama Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Sejak tahun 2012 hingga 2017 produksi padi nasional mengalami peningkatan dari 69 juta ton menjadi 81.1 juta ton (Kementan 2017). Upaya peningkatan produksi padi nasional terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat seiring jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan akan terus bertambah dari 255,5 juta jiwa pada 2015 menjadi 296,4 juta jiwa pada tahun 2030, dengan laju pertumbuhan 1.19 (BPS 2013). Dari segi ekonomi, agribisnis padi memegang peranan penting dalam penyediaan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk (Simatupang dan Rusastra 2004). Dari aspek konsumsi, beras merupakan pangan pokok yang digemari penduduk Indonesia sebagai

Page 61: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

52

alternatif sumber energi dan protein. Hal ini disebabkan karena nilai gizi pada beras didominasi oleh karbohidrat (77.1 g/100 g), protein (8.4 g/100g) abu (0.8/100 g), dan serat (0.2 g/100 g), serta mengandung sebagian kecil vitamin dan mineral (Kemenkes 2018). Tingkat konsumsi beras Indonesia pada tahun 2017 mencapai 111.58 kg/perkapita/tahun, nilai tersebut setara dengan 305.7 gram/kapita/hari (BPS 2017). Dengan tingginya konsumsi beras masyarakat Indonesia tersebut, maka beras yang dikonsumsi harus aman atau bebas dari cemaran fisik, kimia dan biologi. Namun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya cemaran kimia khususnya mikotoksin pada beras. Studi literatur ini bertujuan untuk mengidentifikasi penanganan pascapanen pada produksi beras dan mengetahui profil risiko cemaran mikotoksinnya, sehingga diharapkan dapat menentukan tindakan pencegahan untuk mengurangi risiko kontaminasinya pada beras.

KARAKTERISTIK FISIK PADI

Butiran padi atau disebut gabah secara umum memiliki karakteristik fisik berbentuk oval memanjang, dapat berwarna kuning kecoklatan dan bertekstur kasar. Budijanto dan Sitanggang (2011) melaporkan anatomi gabah yang terdiri atas beberapa bagian, antara lain: 1) kulit luar sekam, 2) 4-5% sekam, 3) 12-14% bekatul, 4) 65-67% endosperm, dan 5) 2-3% lembaga. Patiwiri (2006) menjelaskan, pada bagian kulit luar sekam terdapat bulu-bulu halus yang dapat menjadi debu pada proses penggilingan. Sekam atau kulit ari terdiri atas 3 lapisan, dari yang terluar yaitu palea, lemma, dan glume. Pada bagian dalam sekam terdapat bekatul yang terdiri atas lapisan pericarp, testa, dan aleuron yang lazim disebaut dengan bekatul. Lapisan pericarp terdiri dari 3 lapisan, dari yang terluar yaitu epicarp, mesocarp, dan cross layer. Pada bagian dalam aleuron atau bekatul ini terdapat endosperm yang merupakan isi butiran padi, dan lembaga yang merupakan calon tunas padi.

Gambar 1 Struktur melintang gabah

(Anonim 2017)

PENANGANAN PASCAPANEN PADI

Penanganan pascapanen padi diawali dengan proses pemanenan malai padi, dilanjutkan dengan perontokan untuk menghasilkan gabah kering panen (GKP). Pengeringan GKP akan menghasilkan gabah kering simpan (GKS) untuk gabah yang ingin langsung disimpan, maupun gabah kering giling (GKG) untuk gabah yang akan dilanjutkan dengan proses penggilingan. Proses penggilingan GKG terdiri atas dua tahapan proses, antara lain: 1) pengupasan sekam (dehulling/ dehusking) untuk menghasilkan beras pecah kulit (beras PK) yang masih mengandung bekatul dan 2) penyosohan (milling) beras PK untuk menghasilkan beras giling. Pada proses penyosohan, lapisan bekatul pada beras PK yang berwarna kuning kecoklatan terlepas sehingga dihasilkan beras giling berwarna putih. Selanjutnya, beras giling masuk pada tahapan penyimpanan sebelum dijual kepada konsumen dalam bentuk curah maupun dikemas eceran.

Pemanenan padi di Indonesia umumnya dilakukan secara manual menggunakan sabit sebagaimana dilaporkan oleh Kobarsih dan Siswanto (2014) berdasarkan hasil survei terhadap 38 responden di tingkat petani dan pengusaha penggilingan dilakukan pada empat kabupaten di Provinsi DI Yogyakarta. Dilaporkan juga bahwa tatacara pemanenan oleh petani disesuaikan dengan teknik

Page 62: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

53

perontokan gabahnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa semua petani di Bantul dan Gunungkidul, serta 86.49% di Kulon Progo melakukan sistem potong bawah karena perontokan dilakukan menggunakan pedal thresher dan gebot, sedangkan 94.74% responden di Sleman melakukan pemanenan potong atas karena perontokan dilakukan dengan power thresher (15.79%) dan iles (65.79%).

Pengendalian mutu pada proses perontokan terletak pada tipe alat mesin perontokan dan pengaturan kecepatan putaran mesin. Hasbullah dan Indaryani (2009) melaporkan bahwa masing-masing jenis alat dan mesin perontok mengakibatkan tingkat keretakan (cracking) atau pengelupasan (breaking) gabah berbeda tergantung dari varietas padinya.

Pengeringan gabah di Indonesia umumnya dilakukan secara konvensional. Titik kritis mutu beras pada proses penjemuran gabah terletak pada ketebalan hamparan, suhu, dan lama waktunya. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh Setyono et al. (2008) terhadap 15-20 penggilingan padi dan pedagang beras di pasar tradisional tingkat kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Dilaporkan bahwa 95-100% responden melakukan pengeringan gabah dengan cara penjemuran dan 15-70% responden menggunakan mesin pengering jika cuaca hujan.

Pengeringan gabah umumnya dilakukan hingga mencapai kadar air 14%. Pernyataan tersebut sejalan dengan Setyono et al. (2008) dimana proses penjemuran gabah di tingkat penggilingan padi dilakukan hingga mencapai kadar air 14-15%. Kadar air gabah kering giling di tingkat penggilingan padi adalah kurang dari 13% (1-8% responden), 14% (7-46% responden), dan 15% (54-84% responden). Graciafernandy et al. (2012) melaporkan bahwa kadar air 14% merupakan kondisi yang paling stabil bagi gabah karena laju penyerapan kadar air gabah terjadi sangat lambat. Pada kadar air gabah 14%, panas yang dihasilkan dari respirasi butiran maupun mikroorganisme tidak cukup untuk meningkatkan suhu dan kelembaban butiran gabah sehingga aman untuk disimpan.

Pada umumnya masing-masing varietas memiliki ukuran dan bentuk gabah berbeda, karena itu pengendalian mutu pada proses penggilingan terletak pada penyetelan jarak rubber roll pada mesin pengupas sekam (Hasbullah dan Dewi 2012) dan jarak batu pada mesin penyosoh (Patiwiri 2006) untuk meminimalkan jumlah butir patah dan menir. Ukuran atau dimensi (Abdulrachman 2008; Sutrisno dan Achmad 2008; Hasbullah dan Dewi 2012) dan bentuk butiran gabah (Sutrisno dan Achmad 2008) merupakan faktor penting yang mempengaruhi efekivitas proses penggilingan. Menurut Abdulrachman (2008), ukuran gabah berpengaruh terhadap persentase butir patah dimana gabah dengan ukuran lebih besar berisiko menghasilkan beras patah lebih banyak. Pengaruh bentuk butiran gabah terhadap persentase beras patah dilaporkan oleh Sutrisno dan Achmad (2008).

Pada proses penyimpanan, mutu beras dipengaruhi oleh kestabilan kadar air beras dan kelembaban udara di sekitarnya. Kadar air beras 14% sebagaimana dipersyaratkan dalam SNI 6128:2015 merupakan kondisi ideal untuk mempertahankan mutu beras selama penyimpanan. Ratnawati et al (2013) melaporkan hasil pengamatan terhadap beras berkadar air 13%, 13.2%, dan 15.5% yang disimpan pada kelembaban udara 65-95% dan suhu 29-32

oC selama 75 hari. Dilaporkan

bahwa beras kadar air 13% dan 13.2% mengalami kenaikan kadar air masing-masing 1.2% dan 1.4% dengan kecepatan penyerapan air rata-rata 0.015% per hari dan 0.016% per hari, sedangkan beras dengan kadar air 15.5% relatif stabil selama penyimpanan. Beras yang disimpan pada kadar air diatas 14% cenderung stabil selama penyimpanan karena kemampuan penyerapan air lebih rendah, akan tetapi lebih cepat mengalami penurunan mutu seperti peningkatan jumlah butir kuning dan rusak, menurunnya kemampuan penyerapan air pada beras, dan meningkatnya jumlah butir patah dan menir, dibandingkan beras yang kadar airnya kurang dari 14%.

Beras akan mengalami penyerapan air (absorpsi) dan pelepasan air (desorpsi) jika terdapat perbedaan kadar air udara dan bahan, hal tersebut terjadi hingga mencapai kadar air kesetimbangan yang disebut Equilibrium Moisture Content (EMC). Ratnawati et al. (2013) melaporkan bahwa pada kondisi ruangan dengan kelembaban udara berfluktuasi, beras mengalami absorpsi dan desorpsi sehingga terjadi peningkatan dan penurunan kadar air secara berulang-ulang. Perbedaan kadar air antara butiran dengan lingkungan yang semakin tinggi dapat memicu keretakan butiran beras, akibatnya terjadi penurunan jumlah beras kepala dan peningkatan butir patah dan menir.

Page 63: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

54

PENGGILINGAN PADI DI INDONESIA

Penggilingan padi di Indonesia didominasi oleh penggilingan padi skala kecil. BPS (2012) melaporkan bahwa di Indonesia terdapat 180 ribu unit penggilingan padi, 92.8% diantaranya merupakan penggilingan padi kecil (PPK), 4.7% penggilingan padi sedang (PPS), 1.3% penggilingan padi skala lain-lain, dan 1.1%nya merupakan penggilingan padi besar (PPB). Menurut Patiwiri (2004), penggilingan padi skala kecil memiliki kapasitas 0.3-0.7 ton beras/jam dengan konfigurasi mesin husker, ayakan sederhana, dan polisher yang masih dioperasikan secara manual. Sawit (2014) melaporkan jumlah penggilingan padi kecil jenis penggilingan padi keliling (PPKL) terus bertambah sejak tahun 2004 hingga mencapai 19 ribu unit (92%) pada 2014 di 13 provinsi utama penghasil padi dan 8% di 20 provinsi lain.

Agroindustri beras di Indonesia hingga saat ini masih banyak dijalankan oleh penggilingan padi tua. Hasil survei yang dilakukan oleh Kobarsih dan Siswanto (2014) terhadap 38 responden penggilingan padi di tingkat petani dan empat kabupaten wilayah DI Yogyakarta. Dilaporkan bahwa umur mesin penggilingan padi bervariasi antara 15 tahun (63.16% responden di Sleman dan 73.91% di Kulon Progo), lima sampai sembilan tahun (55.26% responden di Bantul dan 21.05% di Gunungkidul), dan kurang dari lima tahun (31.58% responden di Gunungkidul dan 18.42% di Sleman). Demikian pula Setyono et al. (2008) yang melaporkan bahwa dari 15-20 penggilingan padi di beberapa kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali secara umum telah berumur 11-20 tahun.

MUTU BERAS

Penggilingan padi di Indonesia umumnya menghasilkan beras berkualitas rendah. Menurut Hassan (2014) dari 51 penggilingan padi di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan yang terdiri atas 96% penggilingan padi skala kecil dan 4% penggilingan padi skala besar, dengan konfigurasi mesin yang terdiri atas: 41.18% penggilingan padi one pass (satu lintasan) dan 58.82% two pass (dua lintasan) dimana secara teknis dioperasikan secara diskontinyu (25.53%) dan kontinyu (74.47%), secara umum menghasilkan beras mutu V untuk varietas padi lokal pasang surut, sedangkan untuk varietas padi gogo dan Ciherang sebagian besar tidak memenuhi kelas mutu SNI 6128:2009.

Mutu beras rendah diduga disebabkan oleh penggunaan alat mesin penggiling tua. Menurut Setyono et al. (2008), penggilingan padi dari beberapa kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali yang umumnya berumur 11-20 tahun menghasilkan beras mutu IV dan V, bahkan ada yang tidak memenuhi persyaratan mutu SNI 6128:1999. Handayani et al. (2013) juga melaporkan kualitas beras yang dihasilkan oleh petani, penggilingan padi, dan pedagang grosir di Kabupaten Karanganyar. Dari total 13 sampel beras yang diambil, 38% sampel diantaranya tidak memenuhi SNI, 31% pada mutu V, 15% pada mutu IV dan 15% pada mutu III. Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh hasil survei yang dilakukan oleh Sarastuti et al. (2018

a) terhadap 6

penggilingan padi di wilayah Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Dilaporkan bahwa alat mesin penggilingan padi yang digunakan keenam responden adalah mesin pengupas sekam tipe rubber roll dan penyosoh tipe friksi. Alat mesin pengupas sekam yang digunakan memiliki umur bervariasi, yaitu buatan tahun di atas 1980 (16.7%), di atas tahun 1990 (16.7%), di atas tahun 2000 (16.7%), dan di atas tahun 2010 (50%), sedangkan mesin penyosoh beras 16.7% diantaranya merupakan buatan di atas tahun 1980, 33.3% di atas tahun 2000, dan 50% di atas tahun 2010. Kondisi tersebut menghasilkan beras dengan mutu di bawah medium berdasarkan kriteria kelas mutu beras pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 31/Permentan/PP.130/8/2017.

Selain umur, tipe alat mesin penggilingan juga mempengaruhi mutu beras yang dihasilkan. Maryana dan Rahardjo (2014) melaporkan penggilingan beras dengan mesin one pass menghasilkan beras dengan rendemen 58%, berbeda nyata dibandingkan tipe two pass (62%) dan hanya memenuhi kelas mutu III.

Rendahnya kualitas beras yang dihasilkan oleh penggilingan padi di Indonesia disebabkan karena kadar air dan persentase beras patah tinggi, serta derajat sosoh rendah. Sarastuti et al. (2018

a) melaporkan, beras yang dihasilkan oleh keenam penggilingan padi di Tangerang, Bogor, dan

Bekasi sejumlah 66.7%nya memiliki kadar air maksimal 14%, sedangkan 33.3%nya memiliki kadar air lebih dari 14%. Dari hasil survei Sarastuti et al. (2018

b) gabah yang disimpan di tempat penyimpanan

Page 64: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

55

penggilingan padi mengalami peningkatan kadar air, akan tetapi laju peningkatannya tidak linier. Dari enam penggilingan padi yang disurvei, lima diantaranya berupa bangunan dengan dinding yang mengelupas atau masih berupa batu bata, sedangkan 16.7% memiliki bangunan dengan dinding bambu. Hal ini mengakibatkan kondisi penyimpanan menjadi lembab, yaitu memiliki kelembaban udara antara 79-87% dan suhu 30-33.8

oC.

MIKOTOKSIN

Mikotoksin adalah senyawa racun yang merupakan produk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur berfilamen, seperti Aspergillus, Fusarium, dan Penicillium yang tumbuh pada sebagian besar pangan jenis biji-bijian, serta dapat membahayakan kesehatan manusia. Hal ini sesuai dengan Bagus et al. (2017) yang menemukan jamur Aspergillus flavus, Aspergillus niger, dan Aspergillus spp

pada beras yang dijual di pasar tradisional Denpasar. Menurut Klich (2007), mikotoksin jenis aflatoksin banyak ditemukan pada biji-bijian karena merupakan sumber karbon yang diperlukan oleh A. flavus. Dilaporkan juga bahwa pada A. flavus menghidrolisis monosakarida dan minyak pada jagung dan biji kapas untuk pertumbuhan sebelum menggunakan senyawa pati/polisakarida.

Mikotoksin terdiri atas beberapa jenis, antara lain: aflatoksin, fumonisin, okratoksin A, deoxynivlenol, dan zearalenon. Reddy (2012) melaporkan bahaya mikotoksin bagi kesehatan manusia, sebagai berikut: aflatoksin dapat menyebabkan penyakit liver lesions yang disebabkan oleh sel hati yang abnormal, penyakit hati kronis seperti hepatitis B dan hepatitis C, kanker hati, busung lapar, dan Reye’s syndrome yang menyebabkan pembengkakan hati dan otak; fumonisin menyebabkan penyakit kanker kerongkongan; okratoksin A berisiko menyebabkan penyakit gagal ginjal dan tumor kantung kemih; deoxynivlenol dapat menyebabkan mual, muntah, sakit kepala, nyeri perut, diare, dan vertigo; dan zearalenon dapat menyebabkan pubertas dini pada remaja wanita dan kanker serviks. Varga et al. (2015) melaporkan, aflatoksin B1 termasuk jenis senyawa karsinogen alami yang memiliki sifat hepatokarsinogenik dan hepatotoksin paling kuat dibandingkan jenis mikotoksin lainnya. Bahkan, risiko penyakit yang ditimbulkan oleh kontaminasi aflatoksin yang dihasilkan oleh A. flavus ini menyebabkan masalah ekonomi dan kesehatan serius di seluruh dunia.

MIKOTOKSIN PADA BERAS

Aflatoksin dan okratoksin A merupakan jenis mikotoksin yang paling ditemukan pada komoditas beras. Berdasarkan laporan Reddy et al. (2009), dari total 1200 sampel beras asal India (675 sampel berupa gabah dan 525 sampel berupa beras), sejumlah 67.8% mengandung aflatoksin B1. Dari 675 sampel yang berupa gabah tersebut, 82% nya tercemar Aflatoksin B1 disimpan pada kondisi penyimpanan terbuka dan memungkinkan terpapar air hujan. Cemaran mikotoksin berupa aflatoksin baik aflatoksin total, tipe B1 maupun tipe B2, dan okratoksin A ini juga ditemukan pada beras yang beredar di beberapa negara di dunia, seperti Vietnam (Nguyen et al. 2007), India (Siruguri et al. 2012), Pakistan (Majeed et al. 2013; Iqbal et al. 2016), Cina (X Lai et al. 2015), Indonesia (Bagus et al. 2017), Iran (Mazaheri 2009), Brazil (Katsurayama et al. 2017), dan Austria (Reither et al. 2009). Kadar cemaran mikotoksin yang dilaporkan tersebut beragam, yaitu aflatoksin < 15 μg/kg (Siruguri et al. 2012), 8.23 μg/kg untuk aflatoksin B1 dan 19.54 μg/kg untuk aflatoksin total (X Lai et al. 2015), aflatoksin B1 3.87 μg/kg (Bagus et al. 2017), 1.89 μg/kg untuk aflatoksin B1 dan 2.09 μg/kg aflatoksin total (Mazaheri 2009), dan 0.45-9.86 μg/kg untuk aflatoksin B1 serta 1.5 μg/kg untuk aflatoksin B2 (Reither et al. 2009).

Beberapa kajian menyebutkan potensi pembentukan mikotoksin pada beras terjadi pada tahapan budidaya, panen, dan pascapanen. Pada tahapan budidaya, tanah merupakan sumber awal terjadinya pencemaran mikotoksin pada beras. Katsurayama (2017) melaporkan, dari 187 sampel tanah sawah dan ladang yang ditanami padi, ditemukan 5 dari 383 inokulum jamur Aspergillus spesies flavi, yaitu A. flavus, A. caelatus, A. novoparasiticus, A. arachidicola, dan A. pseudocelatus. Dari 383 jenis A. strain flavi tersebut, 17% nya dapat memproduksi mikotoksin jenis aflatoksin tipe B, 95% memproduksi asam kojic, dan 69%nya dapat memproduksi asam cyclopiazonic.

Potensi cemaran mikotoksin pada beras telah dilaporkan oleh Reddy (2012) sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Page 65: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

56

Tabel 1. Hasil penelitian cemaran mikotoksin pada beras di beberapa negara

Mikotoksin:

Spesies jamur

Negara Kadar

Aflatoksin:

Aspergillus flavus

Cina 0.99-3.87 μg/kg

India 0.1-308 μg/kg

Korea 1.8-7.3 ng/g

Filipina 0.27-11 μg/kg

Vietnam 3.31-29.8 ng/g

Fumonisin:

Fusarium verticillioides, F. prolifratum

Kanada 0-10 ng/g

India 0.01-65 mg/kg

Korea 48.2-66.6 ng/g

US 2.2-5.2 mg/kg

Okratoksin A:

A. ochraceus

A.carbonarius

Penicillium verrucosum

Kanada 0.3-2.4 ng/g

Korea 0.2-1 ng/g

Maroko 0.15-47 ng/g

Nigeria 24-1164 μg/kg

Vietnam 0.75-2.78 ng/g

Deoxynivlenol:

F. graminearum,

F. culmorum

Jerman 0-0.058 mg/kg

Zearalenon:

F. graminearum

F. culmorum

Kanada 0.1-1 ng/g

Korea 21.7-47 ng/g

Nigeria 24-116 μg/kg

Sumber: (Reddy 2012)

Pada tahapan panen dan pascapanen, curah hujan, pengeringan dan penyimpanan gabah merupakan titik kritis kontaminasi mikotoksin pada beras. Menurut Klich (2007) dan Reddy (2012) melaporkan, pada musim hujan atau banjir terutama mendekati masa panen, tanaman padi sangat berisiko terserang oleh bakteri dan jamur. Potensi tersebut meningkat apabila terjadi penundaan proses pengeringan.

Diantara beberapa jenis jamur, yaitu A. flavus, A.parasiticus, A. niger, and A. ochraceus sebagaimana telah dilaporkan oleh Reddy et al. (2006), A. flavus diidentifikasi sebagai penyebab turunnya mutu beras karena kemampuannya memproduksi aflatoksin pada proses penyimpanan (Desai dan Ghosh 2003; Reddy et al. 2005). Selain itu, teknik pengeringan gabah yang umumnya dilakukan secara konvensional tidak dapat menurunkan kadar air gabah hingga mencapai kadar air yang dipersyaratkan. Akibatnya gabah kering panen (GKP) yang masih memiliki kadar air tinggi masuk ke proses penyimpanan, jamur penghasil toksin yang mengontaminasi gabah dapat tumbuh dan membentuk toksin selama penyimpanan.

Mikotoksin, khususnya aflatoksin terbentuk sebagai respon dari cekaman faktor lingkungan, seperti iklim (Siruguri et al. 2012), kadar air bebas (Cong et al. 2019), suhu (Bagus et al. 2017, Cong et al. 2019), kelembaban, mikroorganisme kompetitor (Bagus et al. 2017), dan kondisi ruang penyimpanan (Reddy 2012). Menurut Siruguri et al. (2012), potensi pertumbuhan Aspergillus dan produksi aflatoksin pada beras terjadi pada curah hujan dan kelembaban tinggi, sebagaimana pada tanaman padi dan beras yang rusak akibat terpapar hujan di India. Butir rusak merupakan bulir padi yang tumbuh atau mengalami kerusakan dari dalam biji akibat panas, mikrobia, kelembaban atau cuaca. Bulir padi yang rusak akibat tercemar jamur Aspergillus mengalami perubahan warna (discolored) atau memiliki bintik hitam baik di ujung maupun seluruh permukaan butiran.

Kadar air bebas (water activity/aw) adalah senyawa air pada bahan yang digunakan untuk pertumbuhan dan metabolisme mikrobia. Butiran gabah memiliki rentang aw lebih besar dibandingkan beras sehingga lebih rentan ditumbuhi jamur penghasil mikotoksin dan meningkatkan potensi risiko

Page 66: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

57

terhadap cemaran mikotoksin. Hal ini sesuai dengan Somjaipeng dan Ta-uea (2016) yang berhasil menemukan enam strain jamur Aspergillus flavi pada isolat gabah. Keenam jamur penghasil mikotoksin tersebut dapat tumbuh pada rentang suhu 20-40

oC dan Aw 0.90-0.98, namun optimal pada

suhu 30oC dan Aw 0.95. Kondisi tersebut lebih optimal dibandingkan hasil penelitian Cong et al.

(2019) yang melaporkan bahwa pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin B1 pada beras terjadi optimum pada Aw 0.92-0.96 dan suhu 28-37

oC.

Cemaran mikotoksin banyak ditemukan pada lapisan aleuron dan sekam. Menurut Prietto et al. (2015), kadar aflatoksin total (tipe B1, B2, G1, dan G2) pada sampel beras yang disimpan selama 10 bulan, sebagian besar ditemukan pada lapisan aleuron atau bekatul (25 μg/kg), sedangkan pada sekam dan endosperm menunjukkan kadar yang lebih rendah. Iqbal et al. (2012) menambahkan, risiko aflatoksin pada gabah menunjukkan nilai tertinggi (64%), dibandingkan beras patah (50%), beras giling (42%), beras pratanak (33%), dan beras pecah kulit (38%). Kadar aflatoksin pada gabah (16.35 μg/kg) menunjukkan nilai tertinggi karena aflatoksin terakumulasi pada lapisan aleuron dan sekam.

Risiko cemaran mikotoksin beras lebih kecil dibandingkan gabah, akan tetapi dapat meningkat seiring dengan kerusakan butiran selama penyimpanan. Menurut Iqbal et al. (2012), risiko aflatoksin pada beras giling dapat meningkat apabila terjadi peningkatan persentase beras patah, hal ini ditunjukkan oleh kadar aflatoksin pada beras patah (8.5 μg/kg) yang lebih tinggi dibandingkan beras giling (7.1 μg/kg).

PENCEGAHAN RISIKO MIKOTOKSIN PADA BERAS

Beras di Indonesia yang umumnya memiliki persentase butir patah tinggi memiliki potensi besar tercemar mikotoksin selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan Kementan (2015) yang melaporkan bahwa dari 90 sampel beras asal Banten (Kabupaten Tangerang dan Kota Serang), DKI Jakarta (Jakarta Selatan dan Jakarta Timur), dan Jawa Barat (Bogor dan Bekasi), sejumlah 12 sampel (13.33%) mengandung aflatoksin B1 pada rentang 0.54-17 ppb dan 2 sampel (2.22%) mengandung aflatoksin B2 pada kisaran 1.28-1.34 ppb. Dari 12 yang terdeteksi tercemar aflatoksin tersebut merupakan beras dalam kelas mutu medium atau dibawahnya.

Potensi risiko cemaran mikotoksin pada beras dapat dicegah melalui penerapan good practices pada rantai pasok untuk menekan pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin yang dapat mengontaminasi baik tanaman padi pada tahapan budidaya maupun beras pada penanganan pascapanen, dan mengendalikan produksi mikotoksinnya. Pencegahan risiko cemaran mikotoksin pada penanganan pascapanen dapat dilakukan dengan perlakuan pratanak sebelum proses penggilingan dan penyosohan, pengendalian lingkungan (kelembaban udara dan sanitasi higienis) untuk mempertahankan kadar air beras.

Penanganan pascapanen mencakup proses pengupasan sekam (dehusking/dehulling) dan penyosohan (milling) dapat menurunkan level cemaran mikotoksin, khususnya aflatoksin pada beras (Castells et al. 2007 dalam Iqbal et al. 2012). Hal ini sesuai dengan Mellon et al. (2000) yang melaporkan bahwa penghilangan senyawa lipid pada biji kapas dapat menurunkan produksi aflatoksin sebesar 800 fold. Proses penyosohan dapat menurunkan kadar mikotoksin ditunjukkan oleh kadar aflatoksin pada beras giling (7.1 μg/kg) yang lebih rendah dibandingkan beras pecah kulit (9.85 μg/kg, Iqbal et al., 2012).

Perlakuan pratanak pada gabah sebelum proses penggilingan dan penyosohan dapat menurunkan risiko mikotoksin pada beras. Menurut Iqbal et al. (2012), kadar aflatoksin pada beras pratanak (14.2 μg/kg) lebih rendah dibandingkan gabah (16.35 μg/kg). Hal ini disebabkan pada proses pengukusan, aflatoksin yang bersifat polar dapat berpindah dari sekam ke lapisan aleuron. Cemaran mikotoksin pada aleuron dapat dihilangkan melalui proses penyosohan (Iqbal et al. 2012; Mellon et al. 2000).

Menurut Sarastuti et al. (2018b), penggilingan padi belum sepenuhnya menerapkan Cara Panen

dan Pascapanen yang Baik (Good Handling Practices/GHP) dan Cara Pengolahan Pangan yang Baik (Good Manufacturing Practices/GMP), tingkat penerapan GHP hanya 52.9%, dan GMP 66.7%. dengan penerapan GHP dan GMP yang rendah tersebut menyebabkan sanitasi dan higienis ruangan penyimpanan beras tidak dapat optimal.

Page 67: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

58

Sanitasi higienis berperan penting untuk meminimalkan serangan hama gudang yang dapat merusak dan mengontaminasi butiran beras. Hama merupakan salah satu pembawa cemaran bakteri maupun jamur penghasil aflatoksin sehingga dapat meningkatkan risiko pada proses penyimpanan beras (Reddy 2012). Hal ini sesuai dengan Klich (2007) bahwa aflatoksin banyak ditemukan pada biji-bijian yang rusak akibat infeksi serangga, hal ini ditunjukkan melalui pantulan warna biru hijau, dan kuning yang muncul pada permukaan biji jika disinari dengan UV, yang menunjukkan positif aflatoksin.

KESIMPULAN

Penggilingan padi di Indonesia cukup beragam. Penggilingan padi skala kecil mempunyai proporsi terbesar (92,8%), sisanya adalah penggilingan padi sedang, dan penggilingan padi besar. Penggilingan tersebut umumnya mempunyai kemampuan menghasilkan beras beragam kualitasnya, sebagian besar beras yang dihasilkan berkualitas rendah terkait dengan parameter kadar air, butir patah dan derajat sosoh, hanya sedikit (15%) yang masuk pada kisaran kualitas III SNI SNI 6128:2015.

Beras yang mempunyai kualitas rendah, akan cenderung mengalami penurunan mutu mengingat tingkat penerapan GHP dan GMP hanya 52,9%, dan 66,7%. Hal ini menyebabkan beras rentan tercemar jamur penghasil mikotoksin selama proses penyimpanan.

Jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan pada komoditas beras adalah aflatoksin dan okratoksin A. Racun tersebut merupakan senyawa metabolit sekunder yang terbentuk apabila jamur penghasil mikotoksin yang mencemari beras mengalami stress akibat cekaman faktor lingkungan. Penerapan good practices mulai dari tahapan budidaya, hingga pascapanen telah diidentifikasi dapat dijadikan sebagai upaya menurunkan resiko kontaminasi mikotoksin pada beras.

SARAN

Berdasarkan kajian risiko, beberapa negara telah menetapkan regulasi yang mengatur batas maksimum mikotoksin untuk beras, seperti India dengan batas maksimal cemaran aflatoksin 30 μg/kg namun untuk semua jenis pangan (Siruguri et al, 2012), Brazil 5 μg/kg untuk aflatoksin (Katsurayama et al, 2017), EU 4 μg/kg untuk aflatoksin total (Mazaheri, 2009), dan Iran 5 μg/kg untuk aflatoksin B1 (Mazaheri, 2009).

Studi kontaminasi mikotoksin pada beras masih sangat terbatas di Indonesia. Penelitian terkait cemaran mikotoksin pada komoditas pertanian di Indonesia lebih banyak dilakukan pada jagung, kacang-kacangan, umbi, kopi, dan kakao. Walaupun konsentrasi cemaran mikotoksin pada studi yang dilakukan oleh Bagus et al. (2017) tergolong rendah (3.87 μg/kg), profil risiko beras yang dikonsumsi masyarakat Indonesia perlu diketahui lebih komprehensif.

Mengingat peran strategis komoditas beras yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, bahkan dengan tingkat konsumsi yang tergolong tinggi di dunia, maka perlu dilakukan pengembangan standar cemaran mikotoksin melalui penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan profil risiko yang lebih komprehensif pada beras, serta didukung upaya penguatan pengawasan atau surveilan kontaminan mikotoksin pada beras.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S. (2008). Produktivitas dan mutu beras padi hibrindo R-1 pada berbagai perlakuan pupuk. PANGAN. 51(18): 58-65.

Anonim. (2017). Struktur melintang gabah. [Internet]. diunduh dari: docs.google.com pada 2 Oktober 2019 pukul 09.25.

Bagus, I. G. N., Widaningsih, D. W. I., & Sudarma, D. A. N. I. M. (2017). Keragaman Jamur yang Mengkontaminasi Beras dan Jagung di Pasar Tradisional Denpasar, 7(1), 89–98.

[BPS] Badan Pusat Statistik. (2012). Pendataan Industri Penggilingan Padi (PIPA). Katalog BPS. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. (2017). Kajian Konsumsi Bahan Pokok 2017. Jakarta:BPS RI. Diunduh pada:www.bps.go.id pada 20 Oktober 2019 pukul 10:13.

[BPS] Badan Pusat Statistik. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 [Internet]. diunduh dari:

Page 68: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

59

www.bps.go.id pada 4 November 2019 pukul 09.00.

Budijanto, S., Sitanggang, A. B. (2011). Produktivitas dan proses penggilingan padi terkait dengan pengendalian faktor mutu berasnya. Artikel. 20(2):141-152. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.

Cong, Lv., Jing, J., Ping, W., Xiaofeng, D., Yang, L., Mumin, Z., Fuguo, X. (2019). Interaction of water activity and temperature on the growth, gene expression and aflatoxin production by Aspergillus flavus on paddy and polished rice. J. Food Chemistry. Vol 293:472-478.

Desai, M. R., and Ghosh, S. K. (2003). Occupational exposure to airborne fungi among rice mill workers with special reference to aflatoxin producing A.flavus strains. Ann. Agric. Environ. Med. 10: 159–162.

Graciafernandy MA, Ratnawati, Buchori L. (2012). Pengaruh suhu udara pengering dan komposisi zeolit 3A terhadap lama waktu pengeringan gabah pada fluidized bed dryer. J.Momentum ISSN 0216-7395. Univeritas Diponegoro. Vol 8(2):6-10.

Handayani, A., Sriyanto, Sulistyawati, I. (2013). Evaluasi Mutu Beras dan Tingkat Kesesuaian Penanganannya (Studi Kasus Di Kabupaten Karanganyar). Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 11(1):113-124.

Hasbullah, R., Dewi, A. R. (2012). Teknik penanganan pascapanen padi untuk menekan susut dan meningkatkan rendemen giling. PANGAN. 21 (1): 17-28.

Hasbullah, R., Indaryani, R. (2009). Penggunaan teknologi perontokan untuk menekan susut dan mempertahankan kualitas gabah. Keteknikan Pertanian. 23(2): 111-118. ISSN No. 0216-3365.

Hassan, Z. H. (2014). Kajian Rendemen dan Mutu Giling Beras di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan. PANGAN. 23(3): 232-243.Iqbal, S. Z. , Asi, M. R., Arino, A., Akram, N., Zuber, M. (2012). Mycotoxin Research. Official Journal of the Society for Mycotoxn Research. ISSN 0178-788 Vol 28(3):175-180. Springer. Doi: 10.2007/s12550-012-0131-1.

Iqbal, S. Z., Asi, M. R., Hanif, U., Zuber, M., Jinapbd, S. (2016). The presence of aflatoxins and ochratoxin A in rice and rice products; and evaluation of dietary intake. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.04.104

Katsurayama, A. M., Martins, L. M., Lamanaka, B. T., Fungaro, M. H. P., Silva, J. J., Frisvad, J. C., Pitt, J. I., Taniwaki, M. H. (2017). Occurrence of Aspergillus section Flavi and aflatoxins in Brazilian rice: From field to market. J.F. Microbiology. Vol 266(2):213-221. https://doi.org/10.1016/j.ijfoodmicro.2017.12.008.

[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. (2018). Data Komposisi Pangan Indonesia. Diunduh pada website:www.panganku.org pada 31 Mei 2018 pada 08.15.

[Kementan] Kementerian Pertanian. (2015). Laporan Kajian Cemaran Aflatoksin Pada Pangan Pokok. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.

[Kementan] Kementerian Pertanian. (2017). Data Keluaran Berdasarkan Komoditas Subsektor Tanaman Pangan - Produksi Nasional Tahun 2012-2017 [Internet]. diunduh dari: www.pertanian.go.id pada 14 Oktober 2019 pukul 08:49

Klich, M. A. (2007). Aspergillus flavus : the major producer of aflatoxin, 8, 713–722. https://doi.org/10.1111/J.1364-3703.2007.00436.X.

Kobarsih, M., Siswanto, N. (2014). Penanganan susut panen dan pasca panen padi kaitannya dengan anomaly iklim di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Planta Tropika J. of Agro Science. 2(2):99-105. doi:10.1819/pt.2014.030.99-105.

Lai, X., Liu, R., Ruan, C., Zhang, H., Liu, C. (2015). Occurrence of aflatoxins and ochratoxin A in rice samples from six provinces in China. J. F. Control. Vol 50:401-404. https://doi.org/10.1016/j.foodcont.2014.09.029.

Maryana, Y. E., Raharjo, B. (2014). Kinerja penggilingan padi kecil di lahan kering kecamatan Lempuing [Prosiding]. p.266-271. Disampaikan pada: Seminar Nasional Lahan Suboptimal, Palembang 26-27 September 2014. ISBN: 979-587-529-9.

Majeed, S., Iqbal, M., Asi, M. R., Iqbal, S. Z. (2013). Aflatoxins and ochratoxin A contamination in rice, corn and corn products from Punjab, Pakistan. J. of Cereal Science. Vol 58(3):446-450. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2013.09.007.

Mazaheri, M. (2009). Determination of aflatoxins in imported rice to Iran. J. Food and Chemical Toxicology. Vol 48(8):2064-2066. https://doi.org/10.1016/j.fct.2009.05.027.

Mutiatikum, D. (2009). Pemeriksaan residu pestisida dalam komoditiberas yang berasal daribeberapa kota dalam upaya penetapan batas maksimum pestisida (bmr), XIX, 54–60.

Nguyen, M. T., Tozlovanu, M., Tran, T. L., Leszkowicz, A. P. (2007). Occurence of Aflatoxin B1, citrinin and ochratoxin A in rice in five provinces of the central region of Vietnam. J. Food Chemistry. Vol 105(1):42-47. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2007.03.040

Page 69: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01 Juni 2019

60

Patiwiri, A. W. (2004). Kondisi dan permasalahan perusahaan pengolahan padi di Indonesia [Prosiding]. [Lokakarya Nasional Upaya Peningkatan Nilai Tambah Pengolahan Padi; 2004 Juli 20-21]. Bogor (ID): F-Technopark Fateta-IPB. hlm 22-41.

Patiwiri, A. W. (2006). Teknologi Penggilingan Padi. Jakarta: PT Gramedia Pusataka Utama.

Prietto, L., Moraes, P. S., Kraus, R.B., Meneghetti V., Fagundes, C. A. A, Furlog, E. B. (2015). Post –harvest operations and aflatoxin levels in rice (Oryza sativa). J. Crop Protection. Vol 78: 172-177. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2015.09.011.

Ratnawati, Djaeni, M., Hartono, D. (2013). Perubahan kualitas beras selama penyimpanan. PANGAN. Vol 22(3):199-208.

Reddy, K. R. N., Reddy, C. S., and Muralidharan, K. (2005). Characterization of AFB1 produced by Aspergillus flavus isolated from discolored rice grains. J.Mycol. Pl. Pathol. 35(3): 470–474.Reddy KRN, Reddy CS, K Muralidharan. 2009. Detection of Aspergillus spp. and aflatoxin B1 in rice in India. Food Microbiol. 2009 Feb;26(1):27-31. doi: 10.1016/j.fm.2008.07.013. Epub 2008 Aug 22.

Reddy, C. S. (2012). Mycotoxin Contamination of Rice[Internet]. Rice Knowledge Management Portal (RKMP). Directorate of Rice Research, Rajendranagar, Hyderabad. diunduh dari:pada 00:07.

Reiter, E. V., Vouk, F., Bohm, J., Fazeli, E. R. (2009). Aflatoxins in rice-A limited survey of products marketed in Austria. J. Food Control. Vol 21(7):988-991. https://doi.org/10.1016/j.foodcont.2009.12.014.

Setyono, A., Kusbiantoro, B., Jumali, P., Guswara, A. (2008). Evaluasi Mutu Beras di Beberapa Wilayah Sentral Produksi Padi. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global Mendukung Ketahanan Pangan, ([Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]). Buku IV. Sukamandi (ID): Kementerian Pertanian.pp. 1429-1448.

Sarastuti, Usman, A., Sutrisno. (2018a). Penerapan GHP dan GMP pada Penanganan Pascapanen Padi di

Tingkat Penggilingan. PANGAN. 2018; 27(2):79-96. ISSN 0852-0607. Doi: 10.33964/jp.v27i2.369.

Sarastuti, Usman, A., Sutrisno. (2018b). Analisis Mutu Beras dan Penerapan Sistem Jaminan Mutu Dalam

Program Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat. J.Pascapanen. 2018; 6(1):1-9.

Sawit, M. H. (2014). Analisa Hasil Sensus Penggilingan Padi 2012. PANGAN. 23(3): 208-219.

Simatupang, P., Rusastra, I. W. (2004). Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi [Internet]. diunduh dari: www.litbang.pertanian.go.id pada 14 Oktober 2019 pukul 20:58.

Somjaipeng, S., Ta-uea, P. (2016). Evaluation of the Effect of Water Activity and Temperature on Lag Phase and Growth Rate of Aflatoxigenic Aspergillus section Flavi Strains Isolated from Stored Rice Grain. Italian Oral Surgery, 11(66), 38–45. https://doi.org/10.1016/j.aaspro.2016.12.007.

Siruguri, V., Kumar, P.U., Raghu, P., Rao, M.V.V., Sesikeran, B., Toteja, G.S., Gupta, P., Rao, S., Satyanarayana, K., Katoch, V.M., Bharaj, T.S., Mangat, G.S., Sharma, N., Sandhu, J.S., Bhargav, V.K., Rani, S. (2012). Aflatoxin contamination in stored rice variety PAU 201 collected from Punjab, India. Indian J Med Res. Vol 136(1):89-97.

Sutrisno, Achmad, D. R. 2008. Pengaruh ukuran dan bentuk gabah terhadap rendemen dan mutu beras giling. [Internet]. [Seminar Nasional Padi; ([Waktu pertemuan tidak diketahui])]. hlm 1505-1516.

Varga, J., Baranyi, N., Chandrasekaran, M., Vágvölgyi, C. (2015). Mycotoxin producers in the Aspergillus genus : an update, 59(2), 151–167.

Page 70: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

UCAPAN TERIMAKASIH

Redaksi Jurnal Pilar Ketahanan Pangan mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah

membantu sehingga Jurnal Pilar Ketahanan Pangan Volume 01 Nomor 01, Juni 2019 ini dapat terbit.

Ucapan terima kasih dipersembahkan kepada:

1. Dr. Ir. Agung Hendriadi, M. Eng (Kepala Badan Ketahanan Pangan)

2. Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si (Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, BKP)

3. Prof Dr. Ir. Achmad Suryana, MS (Peneliti Senior Bidang Kebijakan Pangan dan Pertanian)

4. Prof Dr. Drs. Benny Rachman, MS (Profesor Riset Bidang Sosial Ekonomi Pertanian,

Kementerian Pertanian)

5. Dr. Ir. Roy Sparingga, M.App.Sc, (Senior Adviser Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi)

Page 71: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

JURNAL PILAR KETAHANAN PANGAN PEDOMAN BAGI PENULIS NASKAH

PERSYARATAN UMUM

Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain. Naskah tersebut harus sesuai dengan misi Jurnal Pilar Ketahanan Pangan (JPKP), yaitu sebagai media Jurnal Ilmiah memuat artikel yang membahas isu ketahanan pangan dan gizi hasil-hasil penelitian, kajian dan telaah implementasi kebijakan; meliputi aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan pangan nasional dan daerah. JPKP juga menampung artikel berupa gagasan atau konsepsi original dalam pengembangan ketahanan pangan dan gizi di tingkat nasional dan daerah.

RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penulisan mencakup aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan pangan.

SUBSTANSI NASKAH

Naskah disusun dengan urutan unsur-unsur sebagai berikut: Judul Naskah (dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), Nama penulis, Nama dan Alamat Instansi tempat penulis bekerja, Abstrak dan Kata Kunci, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, dan Daftar Pustaka.

1. JUDUL NASKAH Judul naskah spesifik, jelas, ringkas, informative dan menggambarkan ini substansi dari tulisan, serta tidak lebih dari 15 kata. Judul tidak perlu diawali dengan kata penelitian, analisis atau studi, kecuali kata tersebut merupakan pokok bahasan. Jika dirasa perlu, judul naskah dapat dilengkapi dengan subjudul untuk mempertegas maksud tulisan. Hindarilah pemilihan judul yang terlalu umum.

2. NAMA PENULIS DAN INSTANSI Nama penulis ditulis lengkap, masing-masing penulis diberi nomor superscript berdasarkan instansinya. E-mail diletakkan setelah nama penulis yang menjadi korespondensinya.

3. ABSTRAK Makalah lengkap dalam bahasa Indonesia didahului dengan Abstract bahasa Inggris dan sebaliknya, masing-masing satu paragraf tanpa sitasi pustaka dan tanpa catatan kaki. Abstrak harus mencakup permasalahan pokok, tujuan penelitian, metode penelitian, termasuk lokasi dan waktu penelitian, hasil utama serta saran atau implikasi kebijakan.

4. KATA KUNCI Kata kunci di tulis dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Kata kunci merupakan kata atau istilah yang paling penting dalam naskah. Penulisan kata kunci minimal tiga kata, maksimal lima kata.

5. PENDAHULUAN Pendahuluan memuat latar belakang penelitian, perkembangan, dan kondisi saat ini dari topik yang diteliti melalui tinjauan pustaka atau hasil-hasil penelitian sebelumnya, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian.

6. METODE PENELITIAN Metode Penelitian mengungkapkan secara jelas dan rinci mengenai kerangka pemikiran (opsional), sumber dan teknik pengumpulan data (lokasi, waktu, dan sampling), dan metode analisis data. Metode Penelitian harus ditulis secara rinci dan jelas agar reviewer dan pembaca memahami apa yang dilakukan peneliti dan peneliti lain bisa mengkaji dan mengulangi penggunaan metode tersebut.

Page 72: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

7. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan menyajikan dan membahas secara jelas dan lengkap hasil penelitian yang dicapai dengan mengacu kepada tujuan. Uraian mengenai Hasil dapat dilengkapi dengan tabel yang ringkas dan ilustrasi (grafik, gambar atau foto) yang jelas. Keterangan untuk tabel (di atasnya) dan ilustrasi (di bawahnya) harus jelas dan bersifat mandiri (menunjukkan apa, di mana, dan kapan) sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami maknanya tanpa membaca teks. Grafik, gambar, atau foto diletakkan tidak terpisah dari uraian. Uraian mengenai Pembahasan selain mencakup kupasan mengenai hasil, juga penjelasan tentang arti dan manfaat penelitian, dikaitkan dengan masalah yang akan dipecahkan. Satuan ukuran, baik di dalam teks maupun pada tabel dan ilustrasi menggunakan sistem metriks. Uraian mengenai Hasil dan Pembahasan dituliskan dalam beberapa subjudul dan juga sub-subjudul (jika diperlukan) dengan mengacu pada tujuan penelitian.

8. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan memuat ringkasan benang merah hasil penelitian secara keseluruhan. Kesimpulan harus menjawab tujuan penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian. Saran dapat berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh.

9. DAFTAR PUSTAKA

Pustaka yang dikutip paling sedikit sepuluh dan pustaka primer dianjurkan paling sedikit 80% dari total pustaka dan merupakan terbitan lima tahun terakhir. Tidak diperkenankan mengutip yang berasal dari naskah yang tidak diterbitkan seperti petunjuk praktikum, kecuali Laporan Penelitian, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Pustaka yang berasal dari halaman website diperkenankan jika berasal dari majalah elektronik, data base genom, dan paten; namun tidak diperbolehkan jika berasal dari Wikipedia dan blogspot. Kutipan tulisan sendiri dibatasi paling banyak 30% dari total jumlah kutipan (pustaka).

KETENTUAN PENGIRIMAN NASKAH:

a. Naskah atau artikel dikirim dan diterima oleh Tim Redaksi paling lambat 2 bulan sebelum penerbitan.

b. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (21,0 x 29,7 cm) dengan jarak 1 spasi. Batas tepi atas 3 cm dan batas tepi kiri, kanan, dan bawah masing-masing 2,5 cm.

c. Naskah diketik dengan menggunakan huruf Arial ukuran 10 untuk teks dan menggunakan huruf Arial 9 untuk abstrak dan Daftar Pustaka, menggunakan program Microsoft Word; tabel dan grafik menggunakan program Microsoft Excel; sedangkan gambar menggunakan format JPEG atau TIFF (dalam format yang dapat diedit). Panjang naskah atau artikel antara 10 hingga 25 halaman.

d. Naskah atau artikel dikirimkan dalam bentuk Microsoft Word Doc (bukan Docx) dan excel (untuk data pendukung) melalui e-mail: [email protected]

e. Naskah atau artikel dan softcopy dalam bentuk Compact Disk (CD) dapat dikirimkan ke: Kantor Pusat Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3, Gedung E lantai 6 Ruang 628, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kode pos 12550, No Telp (021) 7804496.

CATATAN

Makalah hendaknya ditulis menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar. Untuk makalah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, hendaknya penulisan makalah mengacu pada Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sesuai dengan Permendiknas No. 50 Tahun 2015 dan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat.

Satuan pengukuran dalam teks, grafik,dan gambar memakai sistem internasional (SI), misalnya cm, kg, km, ha, t, dan lain sebagainya. Khusus untuk l yang merupakan singkatan dari liter, digunakan L untuk menghindari kemungkinan tertukar dengan angka 1. Penulisan angka desimal dipisahkan dengan tanda koma (,) untuk naskah dalam bahasa Indonesia, sedangkan untuk bahasa Inggris dengan tanda titik (.). Penulisan angka ribuan dipisahkan dengan tanda titik (.) untuk naskah bahasa Indonesia, sedangkan untuk naskah dalam bahasa Inggris di tulis dipisahkan dengan tanda koma (,).

Page 73: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

TABEL DAN ILUSTRASI (GRAFIK, GAMBAR ATAU FOTO)

Tabel dan ilustrasi diletakkan di dalam teks, sesuai dengan uraian yang berkaitan dengan tabel dan ilustrasi tersebut. Judul tabel diletakkan di atas tabel dengan posisi justify menggunakan Arial 9 spasi tunggal dengan spacing before 12 dan after 6, serta isi tabel menggunakan Arial 9 spacing before dan after masing-masing 2, sedangkan sumber data dan keterangan tabel menggunakan Arial 8 spasi tunggal dengan spacing before 2 dan after 12. Judul gambar diletakkan di bawah gambar dengan posisi center menggunakan Arial 9 spasi tunggal dengan spacing before 6 dan after 12, sedangkan sumber data dan keterangan gambar menggunakan Arial 8 spasi tunggal dengan spacing before 2 dan after 0 diletakkan tepat di bawah gambar sebelum judul gambar.

Page 74: PILAR KETAHANAN PANGAN - Pertanian

1

ISSN

:

Gedung E Lt. 6 Jl Harsono RM, No 3 Ragunan, Jakarta Selatan 12550

Indonesia

Email: [email protected], Telp. (021) 7804496

Alamat Redaksi

Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan

Badan Ketahanan Pangan

Kementerian Pertanian