perubahan kebijakan luar negeri tiongkok terkait uji coba...

16
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 529 Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba Nuklir Ketiga Korea Utara Tahun 2013 Mahrita Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga [email protected] Abstract This research examines foreign policy of China regarding North Korea’s nuclear issue. The author questioning, why China approved the UNSC Resolution 2094 and agreed to impose sanctions on North Korea. By focusing on the identity level of analysis, the author emphasizes the ideational factors particularly self – image and strategic culture. These two variables influence China’s decision to change its foreign policy towards North Korea. The author hypothesized that the decision to support the Resolution and to implement sanctions againts North Korea cannot be separated from the aspiration of the political elites to actualize the national self – image as Responsible Major Power and the influence of strategic culture that makes China prefer to impose sanctions through UN Security Council framework. The bilateral approach through economic cooperation and political support in fact has been proven failed to stop the development of North Korea’s nuclear program. At the same time, China experienced a trust deficit from other countries due to its cooperation approach to North Korea is considered as major obstacle of the implementation of sanctions against North Korea. Therefore, the decision to support the implementation of Resolution 2094 and the sanctions is closely related to the motivation of enhancing the credibility as responsible major power. Furthermore, Chinese strategic culture which are defensive, non-interventionist, and the preference for multilateralism also become a strong determinant that influence China’s decision. Through the examination of strategic culture and its influence on China’s behavior in the multilateral forum such as UN Security Council, the author concludes that the decision to endorse harsher sanction is done through the forum of UN Security Council. Keywords: Foreign policy, Identity analysis, Self-image, Responsible major power, Strategic culture. Penelitian ini mengangkat kebijakan luar negeri Tiongkok terkait isu nuklir Korea Utara. Peneliti mempertanyakan mengapa Tiongkok menyetujui Resolusi DK PBB 2094 dan mengimplementasikan kebijakan untuk memberikan sanksi kepada Korea Utara. Dengan berfokus pada tingkat analisis identitas, penulis menekankan pada faktor ideasional seperti aktualisasi citra diri dan budaya strategis sebagai faktor yang mendorong Tiongkok untuk mengubah kebijakan luar negerinya terhadap Korea Utara. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa keputusan untuk mendukung Resolusi 2094 dan mengimplementasikan sanksi terhadap Korea Utara tidak dapat dilepaskan dari aspirasi elit politik untuk mengaktualisasikan citra diri sebagai Responsible Major Power dan budaya strategis yang menjadikan Tiongkok lebih memilih untuk memberikan sanksi melalui mekanisme Dewan Keamanan PBB. Pendekatan bilateral melalui kerjasama ekonomi dan dukungan politik nyatanya tidak dapat menghentikan pengembangan program nuklir Korea Utara. Di saat bersamaan Tiongkok justru mengalami defisit kepercayaan dari negara lain karena pendekatan kerjasama dengan Korea Utara dianggap penghambat keberhasilan implementasi sanksi terhadap Korea Utara. Oleh karenanya keputusan untuk mendukung Resolusi 2094 dan implementasi sanksi erat kaitannya dengan motif aktualisasi citra diri sebagai responsible major power. Selain itu budaya strategis Tiongkok yang bersifat defensif, non – intervensionis, dan preferensi terhadap multilateralisme juga

Upload: dangtram

Post on 07-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 529

Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba Nuklir Ketiga Korea Utara

Tahun 2013

Mahrita

Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

[email protected]

Abstract

This research examines foreign policy of China regarding North Korea’s nuclear issue. The author questioning, why China approved the UNSC Resolution 2094 and agreed to impose sanctions on North Korea. By focusing on the identity level of analysis, the author emphasizes the ideational factors particularly self – image and strategic culture. These two variables influence China’s decision to change its foreign policy towards North Korea. The author hypothesized that the decision to support the Resolution and to implement sanctions againts North Korea cannot be separated from the aspiration of the political elites to actualize the national self – image as Responsible Major Power and the influence of strategic culture that makes China prefer to impose sanctions through UN Security Council framework. The bilateral approach through economic cooperation and political support in fact has been proven failed to stop the development of North Korea’s nuclear program. At the same time, China experienced a trust deficit from other countries due to its cooperation approach to North Korea is considered as major obstacle of the implementation of sanctions against North Korea. Therefore, the decision to support the implementation of Resolution 2094 and the sanctions is closely related to the motivation of enhancing the credibility as responsible major power. Furthermore, Chinese strategic culture which are defensive, non-interventionist, and the preference for multilateralism also become a strong determinant that influence China’s decision. Through the examination of strategic culture and its influence on China’s behavior in the multilateral forum such as UN Security Council, the author concludes that the decision to endorse harsher sanction is done through the forum of UN Security Council.

Keywords: Foreign policy, Identity analysis, Self-image, Responsible major power, Strategic culture.

Penelitian ini mengangkat kebijakan luar negeri Tiongkok terkait isu nuklir Korea Utara. Peneliti mempertanyakan mengapa Tiongkok menyetujui Resolusi DK PBB 2094 dan mengimplementasikan kebijakan untuk memberikan sanksi kepada Korea Utara. Dengan berfokus pada tingkat analisis identitas, penulis menekankan pada faktor ideasional seperti aktualisasi citra diri dan budaya strategis sebagai faktor yang mendorong Tiongkok untuk mengubah kebijakan luar negerinya terhadap Korea Utara. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa keputusan untuk mendukung Resolusi 2094 dan mengimplementasikan sanksi terhadap Korea Utara tidak dapat dilepaskan dari aspirasi elit politik untuk mengaktualisasikan citra diri sebagai Responsible Major Power dan budaya strategis yang menjadikan Tiongkok lebih memilih untuk memberikan sanksi melalui mekanisme Dewan Keamanan PBB. Pendekatan bilateral melalui kerjasama ekonomi dan dukungan politik nyatanya tidak dapat menghentikan pengembangan program nuklir Korea Utara. Di saat bersamaan Tiongkok justru mengalami defisit kepercayaan dari negara lain karena pendekatan kerjasama dengan Korea Utara dianggap penghambat keberhasilan implementasi sanksi terhadap Korea Utara. Oleh karenanya keputusan untuk mendukung Resolusi 2094 dan implementasi sanksi erat kaitannya dengan motif aktualisasi citra diri sebagai responsible major power. Selain itu budaya strategis Tiongkok yang bersifat defensif, non – intervensionis, dan preferensi terhadap multilateralisme juga

Page 2: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Mahrita

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 530

menjadi determinan kuat lainnya yang menjadikan Tiongkok memilih untuk memberikan sanksi melalui Resolusi 2094. Melalui penelusuran pembentukan budaya strategis dan pengaruhnya terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan PBB, dapat diketahui bahwa keputusan untuk memberikan sanksi yang lebih keras tetap dilakukan melalui forum Dewan Keamanan.

Kata Kunci: Kebijakan luar negeri, Analisis identitas, Citra diri, Responsible major power, Budaya strategis.

Pendahuluan

Urgensi pembahasan respon Tiongkok terhadap uji coba nuklir Korea Utara didasari oleh dua argumen. Pertama Tiongkok memiliki hubungan kemitraan erat dengan Korea Utara, melalui logika ini Tiongkok dianggap memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan negara lain untuk menekan Korea Utara. Kedua, Tiongkok berada dalam proses peningkatan dominasi pengaruh politik dalam tingkat global, sehingga penting bagi Tiongkok untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga perdamaian dunia (Term, 2012).

Meskipun begitu, Tiongkok justru menunjukkan reaksi yang cenderung melindungi Korea Utara dari kecaman dan sanksi berat. Sikap ini tercermin dari respon yang diberikan ketika Korea Utara melakukan uji coba nuklir pertama di tahun 2006. Melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, Tiongkok bersikeras menyebutkan bahwa Korea Utara memiliki hak atas pengembangan nuklir dan teknologi rudal secara damai. Begitu juga ketika dalam proses pengesahan Resolusi DK PBB 1874, Tiongkok berupaya melemahkan isi sanksi dengan mengusulkan mekanisme tidak mengikat inspeksi kapal dan kargo yang dianggap mencurigakan. Usulan ini berkontradiksi dengan usulan AS yang menawarkan mekanisme mengikat. Pada akhirnya resolusi yang disetujui tidak mewajibkan negara anggota untuk melakukan inspeksi kapal kargo Korea Utara dengan hanya menggunakan bahasa “calls on” states (Security Council, 2009).

Upaya Tiongkok lainnya adalah penolakan terhadap pembatasan

aktivitas perdagangan dengan Korea Utara. Pemerintah AS telah berupaya menekan Tiongkok untuk menggunakan pengaruh ekonomi dengan membatasi hubungan ekonomi antara Tiongkok dan Korea Utara, namun usulan ini ditolak dengan alasan langkah tersebut dapat menghambat perdagangan resmi dan saluran kemanusiaan. Akibatnya, dalam proses negosiasi Resolusi 1874, DK PBB tidak memasukkan penjualan senjata ringan dalam mekanisme embargo ekspor dan impor senjata dengan Korea Utara. Tiongkok masih dapat leluasa menjual senjata ke Korea Utara (MacFarquhar, 2009).

Menjadi menarik ketika di tahun 2013 Tiongkok justru menunjukkan pola sikap yang berbeda dalam menanggapi uji coba nuklir Korea Utara. Perbedaan sikap Tiongkok diidentifikasi melalui beberapa hal, pertama ditunjukkan dengan adanya artikulasi jelas dari pejabat pemerintahan Tiongkok dalam mengecam uji coba nuklir ketiga tersebut. Xi Jinping menyebut uji coba ketiga nuklir Korea Utara merupakan sumber ancaman bagi stabilitas kawasan regional Asia Timur (Li, 2014). Senada dengan Xi Jinping, Li Baodong menyebutkan “a strong signal must be sent out that a nuclear test is against the will of the international community. Therefore We (China) support action taken by the council which required some binding mechanism” (Charbonneau & Nichols, 2013).

Kedua, melalui peran aktif Tiongkok dalam merancang butir sanksi Resolusi 2094. Tiongkok untuk pertama kalinya memiliki konvergensi pandangan dengan AS dan bekerjasama untuk merancang resolusi 2094 (Duchâtel &

Page 3: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

531

Schell, 2013). AS sendiri memperkenalkan rancangan resolusi sanksi tersebut sebagai hasil persetujuan Tiongkok – AS. Indikator lainnya adalah diberlakukannya sejumlah mekanisme sanksi yang mengikat bagi 193 negara anggota PBB, termasuk Tiongkok. Sanksi mengikat tersebut antara lain, pembekuan transaksi keuangan dan dukungan finansial yang digunakan untuk membantu program nuklir dan rudal balistik Korea Utara; larangan dan inspeksi semua kapal dan kargo yang mencurigakan; Dewan Keamanan memperluas cakupan target sanksi dengan memasukkan diplomat Korea Utara dalam daftar individu yang dicurigai terlibat dalam kegiatan ilegal. Dewan Keamanan juga mengeluarkan daftar hitam dua entitas tambahan dan tiga individu dalam larangan perjalanan dan pembekuan aset (UN, 2013).

Mengacu pada permasalahan di atas, penulis kemudian mempertanyakan “mengapa Tiongkok menyetujui Resolusi DK PBB 2094 dan mengimplementasikan kebijakan untuk memberikan sanksi tegas kepada Korea Utara?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menawarkan dua hipotesis yaitu, pertama, karena Tiongkok ingin mengaktualisasikan citra diri sebagai responsible major power dengan turut mendukung dan mengimplementasikan sanksi tegas terhada Korea Utara, dan kedua, dipersepsikannya Korea Utara sebagai ancaman, sehingga melalui budaya strategisnya, Tiongkok berupaya menerapkan sanksi tegas melalui lembaga multilateralisme. Guna membuktikan hipotesis tersebut, tulisan ini didukung melalui empat bagian. Bagian pertama terdiri atas landasan teoritis kedua hipotesis. Bagian kedua menguraikan tentang upaya aktualisasi citra diri sebagai responsible major

power melalui dukungan dan implementasi sanksi dalam Resolusi 2094. Bagian ketiga menguraikan tentang budaya strategis sebagai pedoman dasar pembentukan persepsi dan respon Tiongkok terhadap ancaman, serta penjelasan persepsi Tiongkok terhadap uji coba nuklir ketiga Korea Utara. Bagian terakhir menjelaskan kesimpulan dari hubungan kedua variabel yang dibahas pada bagian kedua dan ketiga.

Fondasi Pemikiran: Citra Diri dan Budaya Strategis sebagai Pendorong Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok

Hermann (1990) menerangkan dalam perubahan kebijakan luar negeri, terdapat empat topologi tingkat perubahan. Salah satunya adalah

perubahan program yang menunjukkan adanya perubahan program yang dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan kebijakan, sementara tujuan dan sasaran dari kebijakan itu sendiri tidak mengalami perubahan. Dalam kasus ini Tiongkok berada dalam tingkat perubahan program. Tiongkok mengubah program kebijakan luar negeri dengan bersama – sama negara anggota permanen DK PBB lainnya menerapkan sanksi yang lebih keras terhadap Korea Utara.

Penelitian ini menggunakan peringkat analisis identitas nasional. Hal ini didasari oleh proposisi bahwa kebijakan luar negeri merupakan refleksi dari budaya dan identitas nasional negara tersebut (Hudson, 2014). Ilmuwan lain seperti Wendt, Snyder, dan Bruck menyebutkan ide dari kepentingan nasional merupakan motif utama dari kebijakan luar negeri. Sedangkan kepentingan nasional merupakan bentuk refleksi dari identitas nasional (dalam Wicaksana, 2009). Secara khusus peneliti berfokus pada elemen citra diri nasional dan budaya strategis yang

Penelitian ini menggunakan

peringkat analisis identitas nasional. Hal

ini didasari oleh proposisi bahwa

kebijakan luar negeri merupakan refleksi

dari budaya dan identitas nasional negara tersebut (Hudson, 2014).

Page 4: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Mahrita

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 532

merupakan bagian dari pembentuk identitas nasional.

Citra diri nasional merupakan seperangkat gagasan yang memuat ide kebanggaan diri secara kolektif melalui kombinasi ingatan intersubjektif dari diri nasional di masa lalu dan aspirasi bentukan elit politik untuk masa depan (Clunan, 2009). Membentuk citra diri dalam lingkup internasional menjadi aspirasi para elit yang direalisasikan melalui kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri. Elit politik memperhitungkan keikutsertaan dalam berbagai organisasi internasional dan mengambil kebijakan tertentu sesuai citra diri yang diproyeksikan. Ini dilakukan untuk membuktikan kredibilitas citra diri yang dibentuk (Wang, 2003).

Selanjutnya untuk memverifikasi motivasi mempertahankan citra diri positif di tingkat internasional sebagai pendorong aksi kebijakan luar negeri, penulis menambahkan teori pengaruh sosial. Pengaruh sosial menjelaskan bahwa tingkat kepatuhan negara terhadap standar yang diterapkan dalam forum multilateral dipengaruhi oleh adanya keinginan negara untuk mempertahankan citra diri positif dan penerimaan kredibilitas citra diri tersebut oleh negara anggota lainnya. Forum multilateral menjadi wadah pembuktian kredibilitas citra diri karena melalui forum ini perilaku negara diobservasi oleh negara anggota lain, dan akan mendapatkan baik penghargaan maupun hukuman sosial akibat dari perilaku yang diambil (Johnston, 2001).

Variabel kedua yang penulis gunakan adalah budaya strategis. Konsepsi budaya strategis mampu

menjelaskan mengapa Tiongkok memilih untuk mengambil langkah mendukung sanksi yang lebih keras terhadap Korea Utara melalui DK PBB. Budaya strategis menjelaskan bahwa persepsi ancaman terbentuk dan preferensi langkah kebijakan yang diambil untuk menangani ancaman tersebut berasal dari pengalaman sejarah masa lalu dan narasi yang diterima (baik oral dan tertulis) yang membentuk identitas kolektif dan hubungan dengan kelompok lain, dan yang menentukan dasar dan cara untuk mewujudkan tujuan keamanan (Johnson, 2009). Budaya strategis mampu mempengaruhi sikap kebijakan luar negeri suatu negara dengan menyediakan nilai – nilai, preferensi, dan prasangka yang membentuk pandangan elit negara dalam mengambil pilihan sikap kebijakan luar negeri (Grady, 1998).

Aktualisasi Citra Diri Sebagai Responsible Major Power Melalui Dukungan Terhadap Resolusi DK PBB 2094

Analis Tiongkok menyebutkan bahwa proyeksi citra diri sebagai responsible major power merupakan prioritas penting dalam perilaku kebijakan luar negeri Tiongkok. Ini dimaksudkan untuk meminimalkan kekhawatiran negara lain terhadap peningkatan kapasitas dan pengaruh Tiongkok dalam politik global (Deng, 2008; Feng, 2015). Pengaruh citra diri dalam kebijakan luar negeri Tiongkok dibuktikan dengan adanya dominasi elemen tanggungjawab dalam strategi kebijakan luar negeri yang diperkenalkan oleh para pejabat senior melalui pidato di berbagai forum internasional, seperti yang tertera dalam tabel pidato pejabat Tiongkok di bawah ini:

Tabel 1: Keberadaan Citra dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok

Page 5: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

533

Proyeksi Citra Diri Yang di Bentuk Isi Pidato

Tionkok Sebagai Peaceful Major Power China would never seek hegemony in the world. The core elements of this new model are no conflict or no confortation, they are mutual respect and win-win cooperation (Wang, 2013a)

China will continue to develop itself by securing a peaceful international environment and, at the same time, uphold and promote world peace through its own development (Xi, 2013).

Tiongkok memainkan peran proaktif dan konstruktif dalam organisasi internasional

We should be committed to multilateralism and reject unilateralism. We should give full play to the central role of the United Nations and its Security Council in ending conflict and keeping peace (Xi, 2015)

Tiongkok berkomitmen untuk memainkan peran aktif dalam menanani isu-isu krusial

dalam lingkup regional dan global.

China will continue to play a constructive role in addressing regional and global hotspot issues, encourage dialogue and talks for peace, and work tirelessly to solve the relevant issues properly through dialogue and talks for peace, and work tirelessly to solve the relevant issues properly through dialogue and negotiations (Wang, 2014)

Tiongkok berkomitmen untuk menginternalisasi norma dari hukum internasional dan berkontribusi aktif

dalam penyelesaian sengketa internasional melalui dialog dan negosiasi

China will take a more active part in the handling of international and regional hotspot issues and shoulders its due responsibilities for world stability and tranquility. As a permanent member of the UN Security Council, China is always conscious of its international responsibilities and obligations and stands ready to offer more public goods and play its unique and positive role in addressing various issues and challenges in the world (Wang, 2013b)

Tiongkok berkomitmen untuk menjalin hubungan baik dengan major power

lainnya

President Xi hopes that China and the United States will work together and act as the anchor of stability and propeller of peace in the world (Wang, 2013B)

Sumber: diambil dari berbagai sumber pidato kenegaraan Tiongkok

Tabel di atas menunjukkan unsur – unsur tanggungjawab yang terdapat dalam kebijakan luar negeri Tiongkok. Mengacu pada konsepsi responsible major power yang diungkapkan Xia Liping, citra dominan sebagai responsible major power dibuktikan dari adanya komitmen Tiongkok untuk berperan aktif dalam organisasi

multilateral, dan berkomitmen untuk menjalin hubungan baik dengan major power lain dan negara sekitar. Selain itu, Tiongkok juga berkomitmen untuk menjunjung tinggi hukum internasional dan berperan aktif dalam menyediakan barang – barang publik berupa keamanan dan kerjasama yang saling menguntungkan. Terakhir, Tiongkok berkomitmen untuk melaksanakan

Page 6: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Mahrita

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 534

kewajiban sebagai anggota permanen DK PBB dengan berperan aktif dalam penyelesaian sengketa internasional melalui dialog dan negosiasi. Inisiatif untuk memproyeksikan citra diri sebagai responsible major power turut ditegaskan oleh Wang Yi secara eksplisit. Wang Yi menyebutkan aktivasi peran Tiongkok seperti dalam tabel I di atas dimaksudkan untuk meningkatkan status internasional Tiongkok sekaligus batu loncatan untuk bergabung dalam first – class power (Wang, 2014). Dengan demikian terbukti bahwa konsep citra diri nasional yang dibentuk oleh elit politik Tiongkok merupakan citra sebagai responsible major power.

Upaya proyeksi citra diri ini memuat aspirasi elit politik untuk mengembalikan kepercayaan dari negara – negara lain, dalam konteks ini adalah AS dan Korea Selatan yang sempat meragukan kredibilitas Tiongkok sebagai responsible major power (The Asan Institute, 2011). Kebijakan Tiongkok yang memilih untuk melakukan pendekatan kerjasama ekonomi dan berupaya melindungi Korea Utara dari sanksi akibat provokasi militer yang dilakukan Korea Utara terhadap Korea Selatan di tahun 2010 menjadi pemicu utama AS dan Korea Selatan meragukan komitmen Tiongkok untuk melakukan denuklirisasi Korea Utara (Hao, 2013). Berdasarkan keadaan tersebut, Tiongkok mengkonsolidasikan

strategi kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama sekaligus kepercayaan AS dan Korea Selatan terhadap Tiongkok. Hal tersebut ditegaskan oleh Presiden Xi Jinping yang bersedia untuk melakukan koordinasi dan kerjasama intensif untuk bersama –

sama mendorong Korea Utara menghentikan pengembangan program nuklir dan kembali ke negosiasi Six Party Talks (Wall Street Journal, 2015).

Selanjutnya untuk membuktikan korelasi langkah kebijakan luar negeri dengan aktualisasi citra diri, penulis mengidentifikasi strategi manajemen identitas yang dipilih Tiongkok dan memberikan interpretasi terhadap retorika yang diartikulasikan oleh para elit politik Tiongkok selama aksi kebijakan terkait nuklir Korea Utara dijalankan. Pertama, terkait strategi manajemen identitas yang diterapkan Tiongkok.

Tiongkok memilih aktif berkontribusi dalam forum DK PBB dengan berinisiatif untuk berkolaborasi dengan AS merancang sanksi yang lebih ketat melalui Resolusi 2094 (Schell, 2013). Tidak hanya inisiatif untuk merancang, tetapi Tiongkok juga turut menerapkan serangkaian kebijakan sesuai dengan Resolusi 2094 DK PBB yang secara khusus penulis jelaskan dalam tabel II. Kontribusi ini dapat dijadikan sebagai penilaian sejauh mana konsistensi Tiongkok terhadap citra diri yang dikonsepsikan.

Untuk membuktikan korelasi langkah

kebijakan luar negeri dengan aktualisasi citra diri, penulis mengidentifikasi

strategi manajemen identitas yang dipilih

Tiongkok dan memberikan

interpretasi terhadap retorika yang

diartikulasikan oleh para elit politik

Tiongkok selama aksi kebijakan terkait

nuklir Korea Utara dijalankan.

Page 7: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

535

Sumber: Strait Times, 2013; New York Times, 2013; Liou, 2014; The Hankyoreh, 2014

Mengacu pada Piagam PBB, keikutsertaan suatu negara untuk aktif bertanggungjawab mendukung perdamaian dunia dan menyuarakan cara – cara damai dalam penyelesaian konflik merupakan standar perilaku implisit yang diharapkan oleh aktor lain terhadap Tiongkok (UN, 2013). Ditambah lagi Tiongkok sebagai salah satu pemangku kursi permanen DK PBB yang secara tidak langsung menjadi simbol status Tiongkok sebagai salah satu major power dalam hierarki internasional meningkatkan ekspektasi masyarakat internasional terhadap kontribusi Tiongkok (Spain, 2013). Ekspektasi terhadap peran konstruktif Tiongkok dalam upaya denuklirisasi Korea Utara salah satunya ditunjukkan oleh sikap Korea Selatan. Ekspektasi ini dikemukakan oleh Presiden Park Geun-hye, “... I trust China, as a permanent member of the Security Council, will

play a necessary role” (Kim, 2015). Menanggapi ekspektasi dan standar perilaku dalam forum DK PBB tersebut, Tiongkok berkomitmen untuk memberikan kontribusi yang lebih besar dalam DK PBB guna melindungi stabilitas dan keamanan dunia.

Tidak hanya melalui forum DK PBB, Tiongkok memperkuat karakteristik sebagai responsible major power dengan bersedia berkolaborasi dengan negara – negara lainnya, yaitu AS, Jepang, dan Korea Selatan untuk mempererat kerjasama di bidang politik dan keamanan terkait koordinasi mengenai isu nuklir Korea Utara. Penulis mengumpulkan berbagai publikasi daring yang berkaitan dengan pertemuan antara keempat negara yang membahas isu nuklir Korea Utara dari tahun 2013 hingga 2015. Data temuan penulis dapat diamati dalam tabel III di bawah ini:

Page 8: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Mahrita

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 536

Sumber: diambil dari berbagai sumber pidato kenegaraan Tiongkok

Melalui intensifikasi koordinasi tersebut Tiongkok membangun kepercayaan dan legitimasi terhadap citra diri sebagai responsible major power ketika sesama negara anggota

mengakui kredibilitas identitas Tiongkok. Komitmen Tiongkok untuk bekerjasama dengan ketiga pemain besar di regional Asia Timur tersebut diresmikan dalam joint communique dan

Tabel III: KTT antar Presiden terkait Isu Nuklir Korea

Page 9: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

537

joint statement yang secara umum merangkum hal – hal berikut, (1) kesamaan pandangan bahwa nuklir Korea Utara merupakan ancaman bagi stabilitas dan keamanan regional dan dunia; (2) kesamaan pandangan bahwa denuklirisasi merupakan satu – satunya langkah untuk mewujudkan stabilitas di kawasan Semenanjung Korea; dan (3) proses denuklirisasi dilakukan melalui cara – cara damai seperti melalui konsultasi dan negosiasi (Ministry of Foreign Affairs of Japan, 2015). Kebijakan Tiongkok untuk memprioritaskan koordinasi untuk mendorong denuklirisasi Korea Utara membuahkan apresiasi positif dari negara – negara sekitar, salah satunya dari Korea Selatan. Presiden Park Geun-hye memberikan apresiasi dengan menyebutkan, “I appreciate China’s playing a responsible role as a permanent member of the UN Security Council” (Korean JoongAng Daily, 2015).

Kedua, intensi aktualisasi citra diri sebagai responsible major power juga diidentifikasi dari penggunaan bahasa yang berorientasikan pada penegasan citra diri dalam berbagai pernyataan yang diberikan oleh elit politik Tiongkok ketika melakukan KTT dengan pejabat AS, Korea Selatan, dan Jepang. Salah satu bukti dari penegasan citra diri ini penulis kutip dari pernyataan Wang Yi, “as responsible permanent member of Security Council, China will not sit by and see a fundamental disruption to stability on the Peninsula” (Wang, 2013). Ungkapan senada juga disampaikan oleh juru bicara Menteri Luar Negeri Tiongkok, Hu Chunying, “Beijing recognized its responsibility to address North Korea’s nuclear program and is playing its part in trying to find a settlement through various channels and to restort international talks” (Entous,2014).

Mengacu analisis di atas penulis membuktikan bahwa keputusan untuk mendukung Resolusi 2094 dan implementasi sanksi secara keseluruhan didorong oleh motif aktualisasi citra diri sebagai responsible major power.

Sintesis antara konstruktivis aspirasional dan teori pengaruh sosial dapat menjelaskan hipotesis penulis dengan menyediakan landasan teori terkait pengaruh citra diri dalam kebijakan luar negeri suatu negara dan parameter yang mengarahkan penulis untuk membuktikan intensi aktualisasi citra diri melalui aksi kebijakan luar negeri yang diambil. Motif aktualisasi citra diri ini juga didukung oleh pendapat ahli kebijakan luar negeri Tiongkok di CSIS, Bonnie S. Glaser. Glaser menyebutkan, “China use this opportunity to bolster its image as a responsible international stakeholder. By supporting U.N. sanctions, China will showcase its willingness to uphold international law” (Glaser, 2016).

Pengaruh Budaya Strategis Dalam Merespon Uji Coba Nuklir Korea Utara

Pada bagian ini penulis membahas pengaruh budaya strategis dalam mempengaruhi pola perilaku dan persepsi Tiongkok dalam menanggapi uji coba nuklir ketiga Korea Utara. Analisis ini dibangun melalui tiga rangkaian penjelasan, pertama pembentukan pola perilaku kebijakan Tiongkok melalui sumber – sumber budaya strategis, kedua pengaruh budaya strategis dalam forum DK PBB terkait referensi pemberian sanksi terhadap Korea Utara, dan ketiga pengaruh budaya strategis terhadap tantangan keamanan dari nuklir Korea Utara.

Dalam konteks pembentukan pola perilaku, rentetan pengalaman sejarah dan kombinasi dari nilai serta prinsip tradisional dan modern khas Barat menciptakan sikap yang mengedepankan cara – cara defensif, non – intervensionis, pragmatis, namun disaat bersamaan tetap mempertahankan defensif-aktif ketika berhadapan dengan ancaman yang membahayakan kepentingan vital (Johnson, 2009). Tiongkok juga menunjukkan sikap kecurigaan terhadap kekuatan asing akibat banyaknya pengalaman hidup bersama konflik.

Page 10: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Mahrita

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 538

Pengalaman sejarah bersama konflik turut menciptakan pola reaksi yang defensif dan non-intervensionis dalam menyelesaikan masalah (Tang, 1999).

Mental defensif tidak serta merta menjadikan Tiongkok selalu menghindari konflik, pada keadaan tertentu Tiongkok dapat bereaksi agresif dengan memberikan perlawanan dengan menggunakan instrumen militer. Seperti yang dijelaskan dalam buku panduan tentara People’s Liberation Army (PLA) (Scobell, 2002). Namun, penggunaan instrumen militer tersebut dimaknai sebagai bentuk defensif bagi para elit politik. Mereka percaya bahwa perang dan penggunaan militer dapat dijustifikasi ketika terdapat ancaman yang membahayakan kepentingan vital negara (Liu, 2014). Kontras dengan karakter realpolitik di atas, budaya strategis Tiongkok juga dipengaruhi oleh nilai – nilai Konfusianisme yang mengedepankan cara – cara damai dalam menyelesaikan masalah. Prinsip “peace is precious” menjadikan Tiongkok memilih untuk menyelesaikan masalah dengan cara – cara dafensif seperti melalui konsultasi dan negosiasi. Tiongkok percaya bahwa budaya strategis Tiongkok berakar dari filosofi Konfusianisme yang mengutamakan solusi damai dalam menyelesaikan masalah kenegaraan dan sengketa antar negara (Liu, 2014).Preferensi untuk menyelesaikan konflik melalui dialog dan konsultasi secara jelas disebutkan dalam Buku Putih Pertahanan Tiongkok tahun 2006 (State Council Information Office of People’s Republic of China, 2006).

Adanya kontradiksi karakter budaya strategis tersebut membuat pola perilaku Tiongkok bersifat dinamis dan fleksibel. Dinamika implementasi budaya strategis ini terlihat ketika Tiongkok mencoba bergabung ke dalam sistem internasional yang didominasi oleh nilai – nilai Barat seperti keterbukaan ekonomi dan pemerintahan global. Di satu sisi kecurigaan terhadap kekuatan asing masih ditemukan dalam karakteristik keamanan Tiongkok.

Terbukti dengan diterapkannya red line dalam strategi kebijakan luar negeri Tiongkok yang secara jelas memberikan batasan toleransi sikap negara asing terhadap kepentingan vital Tiongkok, yaitu integritas kedaulatan, unifikasi mainland Tiongkok, dan keberlangsungan sistem satu partai PKC (Bork, 2015).

Di sisi lain, Tiongkok juga dihadapkan pada tujuan strategis untuk memastikan pembangunan nasional dapat terfasilitasi. Tujuan ini berpengaruh pada pertimbangan untuk menerapkan kebijakan yang pragmatis dengan turut memasukkan komitmen untuk berpartisipasi aktif dalam sistem internasional ke dalam kebijakan strategis Tiongkok guna mendukung pembangunan ekonomi nasional. Pertimbangan ini juga memungkinkan Tiongkok untuk mempertahankan citra sebagai negara yang bertanggungjawab dan damai, yang dibutuhkan untuk memperkuat kepercayaan karakter Tiongkok sebagai aktor yang benevolence dan mendukung upaya Tiongkok untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. Melalui kampanye ini, Tiongkok juga membentuk konsepsi citra diri sebagai responsible major power, yaitu komitmen Tiongkok untuk berkontribusi dalam penyelesaian isu – isu yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia.

Kombinasi budaya strategis di atas selanjutnya dapat digunakan untuk menjelaskan pola perilaku Tiongkok dalam menangani uji coba nuklir Korea Utara. Berkaitan dengan pengaruh budaya strategis dalam perilaku Tiongkok, penulis korelasikan dengan sikap Tiongkok dalam forum DK PBB. Budaya Tiongkok yang bersifat non – intervensionis mempengaruhi preferensi pengambilan keputusan Tiongkok. Tiongkok hanya memberikan dukungan penjatuhan sanksi jika terdapat konsensus dari komunitas internasional dan hanya jika telah diotorisasi oleh DK PBB. Dalam kasus nuklir Korea Utara, terdapat konsensus masyarakat internasional yang mengecam uji coba

Page 11: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

539

nuklir Korea Utara. Tidak hanya ada tuntutan dari masyarakat internasional, masyarakat domestik turut menyuarakan oposisinya terhadap uji coba nuklir Korea Utara. Adanya konsensus untuk memberikan sanksi yang lebih keras terhadap Korea Utara membuat Tiongkok turut memberikan dukungan afirmatif terhadap sanksi tersebut. Bagi Tiongkok, prinsip dan nilai dalam budaya strategis bersifat fleksibel sesuai dengan situasi keamanan yang dihadapi Tiongkok.

Ketika dihadapkan dengan ancaman keamanan oleh negara pariah yang menolak untuk menaati hukum internasional, maka kedaulatan tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Seperti apa yang dijelaskan oleh diplomat Tiongkok untuk PBB dalam sebuah wawancara dengan Joel Wuthnow, “in this context (pariah states), sovereignty cannot be respected” (Wuthnow, 2011). Tiongkok juga berupaya untuk mempertahankan integritas dalam menjunjung tinggi perjanjian Non – Proliferasi, yang memperkuat kekuatan dan kebanggaan Tiongkok dengan berkontribusi membemberikan sanksi terhadap negara – negara yang mengembangkan senjata nuklir bukan untuk tujuan – tujuan damai (Wuthnow, 2011). Langkah serupa juga Tiongkok tunjukan ketika menangani kasus nuklir Iran. Tiongkok mengambil posisi mendukung pemberian sanksi terhadap Iran karena Iran menolak mengurangi kadar uranium dan kapasitas pengayaan nuklir (Shichor, 2006). Tiongkok juga memberikan kritik terhadap Iran dengan menyebutkan, “China adamantly opposes Iran developing and possesing nuclear weapons” dan memperingatkan Iran untuk tidak mengambil langkah – langkah yang dapat meningkatkan tensi konflik (Wines, 2012).

Pertimbangan selanjutnya adalah Resolusi 2094 memberikan prospek untuk mendorong Korea Utara kembali ke meja diplomasi Six Party Talks. Aturan ini terdapat dalam naskah resolusi DK PBB 2094: “Reaffirms its support to the Six-Party Talks, calls for

their resumption, urges all the participants to intensify their efforts on the full and expeditious implementation of the 19 September 2005 Joint Statement” (UN, 2013). Adanya jaminan untuk menyelesaikan masalah melalui dialog dan konsultasi telah menjadi prinsip dasar bagi Tiongkok ketika dihadapkan pada pilihan untuk memberikan sanksi. Penekanan pada penggunaan langkah – langkah dialog banyak disuarakan oleh elit politik Tiongkok, seperti yang dikemukakan oleh Wang Yi, “sanctions are not the end. Our purpose should be to make sure that the nuclear issue on the Korean Peninsula should be brought back to the channel of a negotiation-based resolution. It's the only correct approach” (Foreign Ministry of Republic of China, 2013).

Konsistensi dari komitmen Tiongkok di atas juga dapat ditemukan dalam kontribusi Tiongkok untuk menyelesaikan kasus nuklir Iran melalui dialog dan konsultasi. Tiongkok mengambil peran sebagai mediator antar pihak yang berkonflik, yaitu AS dan Iran. Tiongkok secara konsisten menyuarakan pentingnya bagi DK PBB untuk memberlakukan solusi diplomatik terhadap krisis nuklir Iran dan melindungi rezim non – proliferasi, serta mempertimbangkan hak Iran untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai (Foreign Ministry of Republic of China, 2014). Tujuan dari langkah Tiongkok sebagai mediator adalah untuk menjamin terwujudnya resolusi damai sekaligus menegaskan posisi Tiongkok sebagai responsible major power. Contohnya, Tiongkok mengambil peran utama dalam working group yang diadakan pada pertengahan September 2015 antara AS – Tiongkok – Iran yang membicarakan masalah penyesuaian desain dan daya reaktor Arak (US Department of State, 2015).

Tidak hanya itu, sanksi yang diberikan kepada Korea Utara menyasar langsung kepada pelumpuhan program nuklir Korea Utara tanpa mengancam stabilitas rezim dan keselamatan

Page 12: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Mahrita

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 540

masyarakat sipil Korea Utara. Seperti yang dijelaskan oleh Wang Yi, “The UN Security Council’s sanction resolution have a definite direction, that is, to curb the DPRK’s effort to advance its nuclear missile program” (Foreign Minstry of People’s Republic of China, 2015). Komitmen Tiongkok untuk tidak mendukung sanksi yang berintensi menggulingkan pemerintahan dalam negara target juga ditunjukkan melalui sikap Tiongkok dalam kasus Libya (Azra, 2011). Tiongkok memilih abstain terhadap Resolusi 1973, yang memuat no fly-zone dan memberlakukan “all necessary measures” untuk melindungi masyarakat sipil dari serangan militer yang dipimpin oleh Gaddafi.

Dalam Resolusi 1973 terkait Libya, Tiongkok memilih untuk abstain (UN, 2011). Tiongkok memilih untuk tidak mendukung proposal tersebut karena dukungan terhadap sanksi yang melibatkan penggunaan pasukan militer berkontradiksi dengan prinsip yang dianut oleh Tiongkok. Sesuai dengan budaya strategis yang dimiliki, Tiongkok menghindari penggunaan langkah – langkah militer, oleh karenanya Tiongkok memilih untuk abstain dari Resolusi 1973. Ini diperjelas oleh pernyataan Li Baodong,

“The state sovereignty, independence, unity and territorial integrity of Libya should be respected and the peaceful means should be used as the priority option to resolve the Libyan issue. In handling international relations, China has remained opposed to the use of military force. Many problems remain un-clarified and un-answered. Thus, China found serious difficulties with some parts of the resolution” (UN, 2011).

Adapun pertimbangan untuk mendukung sanksi yang lebih keras terhadap Korea Utara berkaitan erat dengan gagalnya langkah – langkah kooperatif Tiongkok terhadap Korea Utara sehingga menciptakan persepsi ancaman terhadap nuklir Korea Utara. Kegagalan langkah – langkah kooperatif

Tiongkok ditandai dengan gagalnya kerangka kerjasama ekonomi menghentikan Korea Utara untuk menghentikan pengembangan program nuklir. Tiongkok aktif mempromosikan reformasi ekonomi model Tiongkok agar Korea Utara dapat berfokus untuk mengembangkan perekonomian nasional daripada melanjutkan pengembangan nuklir. Namun Korea Utara di bawah pemerintahan Kim Jong – un mengecewakan Tiongkok dengan menunjukkan peningkatan agresivitas dengan mengembangkan program nuklir dan rudal balistik. Agresivitas ini dibuktikan dari kebijakan yang diambil terkait dengan senjata nuklir. Pertama, di bawah pemerintahan Kim Jong – un Korea Utara mengadopsi kebijakan Byungjin Line yang merujuk pada ambisi Kim Jong – un untuk mendorong pembangunan senjata nuklir dan ekonomi nasional secara bersamaan (Freeman, 2015). Kedua, Korea Utara mengonsolidasikan kebijakan untuk mengembangkan senjata nuklir dengan mendeklarasikan Korea Utara sebagai ‘negara nuklir’ pada bulan April 2012 (Korea JoongAng Daily, 2012).

Alasan lainnya adalah lunturnya pengaruh Tiongkok terhadap Korea Utara ditandai dengan diabaikannya peringatan Tiongkok terhadap Korea Utara untuk menghentikan pengembangan nuklirnya. Menanggapi sikap abai tersebut, di hari yang sama Tiongkok kembali memanggil Duta Besar Korea Utara untuk mengekspresikan oposisi tegas terhadap uji coba nuklir Korea Utara, Menteri Luar Negeri Yang Jiechi mengatakan bahwa uji coba nuklir Korea Utara telah melanggar norma hukum internasional dan memicu oposisi dari komunitas internasional (South China Morning Post, 2013). Oleh karenanya Tiongkok memilih untuk mendukung pemberian sanksi yang lebih keras untuk memaksa Korea Utara berhenti melakukan provokasi nuklir. Argumentasi ini didukung oleh Menteri Luar Negeri Wang Yi,

“If the country seeks development and security, we are

Page 13: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

541

prepared to help and provide support. But at the same time, we have an unwavering commitment to the denuclearization of the Peninsula and we will not accommodate the DPRK's pursuit of nuclear and missile programs” (Wang, 2013).

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan – alasan yang mendorong Tiongkok untuk mendukung Resolusi DK PBB 2094 dan menerapkan sanksi terhadap Korea Utara. Keputusan ini menjadi menarik untuk diteliti mengingat pada periode – periode sebelumnya Tiongkok enggan untuk mengenakan sanksi yang berlebihan dan bahkan menggunakan kewenangannya sebagai anggota permanen DK PBB untuk memperlemah sanksi terhadap Korea Utara. Di latar belakang penulis secara komprehensif menjelaskan fakta – fakta yang mengindikasikan perubahan sikap Korea Utara. Secara umum terdapat tiga fakta yang mendukung urgensi penelitian ini, yaitu (1) semakin terbukanya kritik yang diartikulasikan Tiongkok terhadap Korea Utara; (2) berkurangnya intensitas hubungan bilateral keduanya; dan (3) sikap Tiongkok dalam forum DK PBB yang memilih untuk bersama – sama dengan AS untuk merancang sanksi yang lebih ketat terhadap Korea Utara.

Berdasarkan pemaparan dalam tulisan ini, penulis menarik tiga kesimpulan, yaitu pertama, misi untuk memproyeksikan citra diri positif menjadi bagian integral dari perilaku kebijakan luar negeri negara yang mempengaruhi keputusan – keputusan yang diambil terkait isu tertentu. Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa Tiongkok yang mengonsepsikan citra diri sebagai responsible major power menunjukkan motivasi untuk mengaktualisasikan citra diri tersebut dalam lingkungan internasional. Hal ini dibuktikan oleh tiga indikator yang saling berkaitan, yaitu (1) adanya aspirasi para elit politik untuk mendapatkan kepercayaan dan legitimasi dari negara

lain atas citra Tiongkok sebagai responsible major power.

Citra diri positif penting untuk dimiliki Tiongkok mengingat banyak negara yang khawatir kebangkitan perekonomian dan pengaruh Tiongkok dalam politik global dapat membawa instabilitas dan konflik antar sesama major power; (2) pelaksanaan stratagi manajemen identitas dalam forum DK PBB yang merupakan forum penting bagi negara – negara yang dikelompokkan sebagai major power. Tiongkok memilih untuk berpartisipasi aktif dalam forum ini karena DK PBB diakui secara universal sebagai forum yang bertanggungjawab untuk menjaga perdamaian dan stabilitas dunia. Dengan menaati aturan yang dihasilkan dalam forum ini, Tiongkok dapat membuktikan konsistensi citra diri yang diproyeksikan dengan perilakunya, (3) keputusan Tiongkok diiringi dengan perilaku yang berorientasikan pada penguatan citra diri Tiongkok sebagai responsible major power.

Kedua, budaya strategis yang terinternalisasi dalam diri suatu bangsa menjadi pedoman untuk memberikan respon terhadap perilaku negara lain dalam kaitannya dengan ancaman. Dalam penelitian ini penulis membuktikan bahwa dalam menangani isu nuklir Korea Utara, pola perilaku Tiongkok dipengaruhi oleh budaya strategisnya yang diekstrak dari hasil pengalaman masa lalu, nilai, norma, dan lensa perspektif yang memberikan pedoman bagi elit Tiongkok untuk memainkan peran dalam politik global dan menangani suatu tantangan. Ketika menghadapi tantangan nuklir Korea Utara, Tiongkok menunjukkan pandangan dan perilaku yang khas. Terdapat tiga karakteristik yang menjadi pola pemberian sanksi Tiongkok, pertama mengenai kesediaan Tiongkok untuk mengadopsi sanksi yang lebih berat terhadap Korea Utara, langkah ini diambil ketika pendekatan kooperatif tidak lagi mampu meyakinkan Korea Utara untuk berhenti melakukan provokasi nuklir. Penulis telah

Page 14: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Mahrita

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 542

menjabarkan kegagalan pendekatan ekonomi dan peringatan secara langsung dalam menekan agresivitas nuklir Korea Utara.

Meskipun Tiongkok menyetujui pemberian sanksi yang lebih keras terhadap Korea Utara, namun prinsip non – intervensi dan penyelesaian konflik secara damai masih memberikan pengaruh terhadap sikap Tiongkok. Tiongkok menekankan pada pemberian sanksi yang menjamin adanya insentif untuk melakukan negosiasi dan dialog dalam menyelesaikan isu denuklirisasi. Bagi Tiongkok pemberian sanksi bukanlah instrumen utama yang digunakan untuk memaksa Korea Utara melakukan denuklirisasi, namun denuklirisasi hanya bisa dicapai melalui negosiasi dan konsultasi. Selanjutnya Tiongkok juga menekankan bahwa sanksi yang

diberikan harus secara langsung membidik pengembangan program

nuklir, dan menjamin agar keberlangsungan rezim pemerintahan Pyongyang dan keselamatan masyarakat sipil tidak terganggu akibat sanksi tersebut. Dengan demikian penekanan pada karakter sanksi di atas merupakan refleksi dari budaya strategis Tiongkok.

Terakhir, baik citra diri maupun budaya strategis merupakan dua atribut identitas nasional yang mendukung reaksi negara (self) terhadap perilaku negara lain (others). Dalam berinteraksi dengan negara lain, suatu negara cenderung

akan merefleksikan perilaku negara lain dengan atribut identitas yang dimilikinya. Dengan kata lain citra diri dan budaya strategis merupakan dua pedoman bagaimana negara berperilaku dalam sistem internasional.

Daftar Pustaka

[1] Anon, 2015. “Full Transcript: Interview With

Chinese President Xi Jinping”, dalam The Wall Street Journal. [online] tersedia dalam http://www.wsj.com/articles/full-transcript-interview-with-chinese-president-xi-jinping-1442894700 [diakses pada tanggal 13 Juni 2016].

[2] Azra, Azyumardi, 2011. “Anatomi Krisis Libya, Yaman, Bahrain”, dalam Kompas. [online] tersedia dalam http://internasional.kompas.com/read/2011/02/25/03120395/Anatomi.Krisis.Libya.Yaman.Bahrain [diakses pada tanggal 21 Juni 2016].

[3] Booth, Ken, 1990. “The Concept of Strategic Culture Affirmed” dalam Strategic Power: USA/USSR. Carl Jacobsen (ed.). New York: St. Martin Press.

[4] Bork, Ellen, 2015. “China’s ‘Core Interests”, dalam World Affairs Journal. [online] tersedia dalam http://www.worldaffairsjournal.org/blog/ellen-bork/china-core-interests%E2%80%99 [diakses pada tanggal 10 Juni 2016].

[5] Charbonneau, Louis and Nichols, Michelle, 2013. “U.S., China agree U.N. sanctions draft; North Korea renews threats”, dalam Reuters. [online] tersedia dalam http://www.reuters.com/article/us-korea-north-un-idUSBRE92404S20130305 [diakses pada tanggal 1 Juli 2016].

[6] Clunan, Anne L., 2009. The Social Construction of Russia’s Resurgence: Aspirations, Identity, and Security Interests. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.

[7] Clunan, Anne L., 2013. ”The Social Construction of Russia‘s Resurgence: Aspirations, Identity, and Security Interests” Working Paper dipresentasikan dalam the American Political Science Association Annual Meeting, [Chicago, 28 Agustus – 1 September 2013].

[8] Deng,Yong, 2000. “Escaping Periphery: China’s National Identity in World Politics” dalam China’s International Relations in the Twenty – First Century. Weixing Hu (ed). Lanham: University Press of America.

[9] Dewan Keamanan PBB, t.t. “Security Council Strengthens Sanctions on Democratic People’s Republic of Korea, in Response to 12 February Nuclear Test,” dalam UN Security Council Press Release. [online] Tersedia dalam

Citra diri maupun budaya strategis

merupakan dua atribut identitas nasional yang

mendukung reaksi negara (self) terhadap perilaku negara lain

(others). Dengan kata lain citra diri dan budaya strategis merupakan dua

pedoman bagaimana negara berperilaku

dalam sistem internasional.

Page 15: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

543

http://www.un.org/press/en/2013/sc10934.doc.htm. [diakses pada 8 Februari 2016].

[10] Dutchâtel,Mathieu dan Schell, Phillip, 2013. “China’s Balancing Act: Supporting a Stable Succession in the Context of Nuclear Crisis,” dalam China’s Policy on North Korea: Economic Engagement and Nuclear Disarmament, SIPRI Paper Policy No. 40. [online] Tersedia dalam http://books.sipri.org/files/PP/SIPRIPP40.pdf [diakses pada tanggal 18 Maret 2016].

[11] Feng, Huiyun, 2007. “China as a Rising Power,” dalam Chinese Strategic Culture and Foreign Policy Decision-Making: Confucianism, Leadership and War. New York: Routledge.

[12] “Foreign Minister Wang Yi Meets the Press” Foreign Ministry of People’s Republic of China (9 Februari 2016) tersedia dalam http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/zxxx_662805/t1346238.shtml[ diakses pada tanggal 4 Mei 2016].

[13] Glaser, Bonnie S., 2009. “China’s Policy in the Wake of the Second DPRK Nuclear Test,” dalam World Security Institute China Security Volume 5, No. 2.

[14] Glaser, Bonnie S., 2016. “Critical Questions: China's Reaction to North Korea's Nuclear Test” [online] tersedia dalam https://www.csis.org/analysis/chinas-reaction-north-koreas-nuclear-test [diakses pada tanggal 20 Mei 2016].

[15] Grady, Elizabeth O., 1998. “Changing Chinese Strategic Culture And North Korean Relations: Will The Alliance Withstand North Korea’s Nuclear Misbehavior?"

[16] Gray, Colin S., 2012. “National Style in Strategy: The American Example," dalam International Security, 6.2.

[17] “Harmonious World: China's Ancient Philosophy for New International Order”, Embassy of People’s Republic of China. 2007. Tersedia dalam http://bw.china-embassy.org/eng/zt/zgjk/t367341.htm [diakses pada tanggal 10 Juni 2016].

[18] Hao, Yufan, 2013. ”China’s Korean Policy in the Making,” dalam Rozman, Gilbert. China's Foreign Policy: Who Makes It, and How Is It Made?New York: Palgrave MacMillan.

[19] Hermann, Charles, 1990. “Changing Course: When Government Choose to redirect Foreign Policy,” dalam International Studies Quarterly (34) 1.

[20] Hudson, Valerie M.. 2014. Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory. London: Rowman & Littlefield.

[21] Johnson, Jennie L. et.al., 2009. “Strategic Culture Today: Introduction,” dalam Jennie L. Johnson, Jeffrey Larsen, & Kerry Kartchner (ed). Strategic Culture and Weapons of Mass Destruction. Culturally Based Insights into Comparative National Security Policymaking. New York: Palgrave MacMillan.

[22] Johnson, Jennie L., 2006. “Strategic Culture: Methodologies for Research Program,” dalam Comparative Strategic Cultures Curriculum Project.

[23] Johnson, Kenneth D., 2009. “China’s Strategic Culture: A Perspective for The United States,” dalam Strategic Studies Institute. [online] tersedia dalam http://www.StrategicStudiesInstitute.army.mil/ [diakses pada tanggal 15 Mei 2016].

[24] Johnston, Alastair Ian, 2001. “Treating International Institutions as Social Environments”, dalam International Studies Quarterly, Vol. 45, No. 4. http://www.jstor.org/stable/3096058

[25] “Joint Declaration for Peace and Cooperation in Northeast Asia” Ministry of Foreign Affairs of Japan [1 November 2015]. Tersedia dalam http://www.mofa.go.jp/a_o/rp/page1e_000058.html [diakses pada tanggal 8 Mei 2016].Entous, Adam, 2014. “China to Further Pressure North Korea Over Nuclear Program: U.S Secretary of State John Kerry Says He Received Firm Commitments From China”, dalam Wall Street Journal. [online] tersedia dalam http://www.wsj.com/articles/SB10001424052702304434104579382593556716918 [diakses pada tanggal 11 April 2016].

[26] Kim, Hyung-Jin, 2015. “South Korean president asks for China to help punish North Korea”, dalam CTV News. [online] tersedia dalam http://www.ctvnews.ca/world/south-korean-president-asks-for-china-to-help-punish-north-korea-1.2735007 [diakses pada 2 Juli 2016].

[27] Li Keqiang, 2015. “Let China – ROK Cooperation Constantly Yield New Beneficial Fruits”, Pidato disampaikan pada perjamuan makan siang dengan Komunitas Bisnis Korea Selatan, Foreign Ministry of People’s Republic of China [1 November 2015]. Tersedia dalam http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/topics_665678/lkqdhgjxzsfwbcxdlczrhldrhy/t1330777.shtml [diakses pada tanggal 18 Mei 2016].

[28] Liu, Tiewa, 2014. “Chinese Strategic Culture and the Chinese Strategic Culture and the Use of Force : Moral and Political Perspectives," dalam Journal of Contemporary China, hal. 574.

[29] MacFarquhar, Neil, 2009. “U.N. Security Council Pushes North Korea by Passing Sanctions”, dalam New York Times. [online] tersedia dalam http://www.nytimes.com/2009/06/13/world/asia/13nations.html [diakses pada tanggal 23 Maret 2016].

[30] Ministry of Foreign Affair of People’s Republic of China, 2014. “Position Paper of the People's Republic of China At the 69th Session of the United Nations General Assembly" [online] Tersedia dalam http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1188610.shtml [diakses pada 10 Februari 2016].

[31] Scobell, Andrew, 2002. “China and Strategic Culture,” dalam Strategic Studies Institute.

[32] Spain, Anna, 2013. “The U.N. Security Council’s Duty to Decide,” dalam the Presidents and Fellows of Harvard College.

Page 16: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terkait Uji Coba ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahid1e0b65989full.pdf · terhadap perilaku Tiongkok dalam forum Dewan Keamanan

Mahrita

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 2, Juni 2016 544

[online] tersedia dalam http://harvardnsj.org/wp-content/uploads/2013/05/Vol.4-Spain_Final-Revised3.pdf.[diakses pada tanggal 2 Juni 2016].

[33] To – hai, Liou, 2014. “Changing International Politics on the Korean Peninsula: from Geopolitics to Geo – economics,” dalam Prospect Journal Taiwan Forum, No. 12.

[34] Tang, Jiaxuan, 1999. “Glorious history behind new Chinese Diplomacy”, dalam Ministry of Foreign Affairs of People’s Republic of China. [online] Tersedia dalam http://www.mfa.gov.cn/chn//gxh/xsb/wjzs/t8737.htm [diakses pada tanggal 6 Juni 2016].

[35] United Nations, 2016. “The Security Council.” [online] tersedia dalam http://www.un.org/en/sc/ [diakses pada tanggal 2 Juni 2016].

[36] UN Security Council. “Frequently Ask Questions.” (2016). Tersedia dalam http://www.un.org/en/sc/about/faq.shtml diakses pada tanggal 21 Juni 2016.

[37] United Nations, 2016. ”UN Charter”. [online] tersedia dalam http://www.un.org/en/sections/un-charter/chapter-vii/. [diakses pada tanggal 12 Juni 2016].

[38] United Nations, 2011. “Security Council Approves ‘No-Fly Zone’ over Libya, Authorizing ‘All Necessary Measures’ to Protect Civilians, by Vote of 10 in Favour with 5 Abstentions” [online] tersedia dalam http://www.un.org/press/en/2011/sc10200.doc.htm [diakses pada tanggal 21 Juni 2016].

[39] US Department of State, 2015. “Transforming the Iranian Arak Nuclear Reactor” Pernyataan pers oleh Mark C. Toner, juru bicara wakil Departemen of State. [online] tersedia dalam http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2015/11/249896.htm [diakses pada tanggal 21 Juni 2016].

[40] Wang Hongying, 2003. "National Image Building and Chinese Foreign Policy," dalam An International Journal, 01.1.

[41] “Wang Yi Gives Exclusive Interview to Reuters on Syrian Issue and Korean Peninsula Nuclear Issue.” dalam Foreign Ministry of People’s Republic of China [13 Februari 2016] tersedia dalam http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/zxxx_66

2805/t1340523.shtml [diakses pada tanggal 12 Juni 2016].

[42] Wang, Yi, 2015. China at a new starting point. Pidato disampaikan pada general debate of the 68th session of the UN General Assembly, New York. [online] tersedia dalam http://gadebate.un.org/sites/default/files/gastatements/68/CN_en.pdf [diakses pada tanggal 12 April 2016].

[43] Wang, Yi. 2013. "Exploring the Path of Major-Country Diplomacy With Chinese Characteristics." dalam Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China. [online] tersedia dalam http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjb_663304/wjbz_663308/2461_663310/t1053908.shtml [diakses pada tanggal 12 April 2016].

[44] Wicaksana, Wahyu I. G., 2009. "The Constructivist Approach Towards Foreign Policy Analysis," dalam Indonesian Journal of Social Sciences. 1.1. [http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/05_Artikel-IJSS-Wahyu.pdf].

[45] Wuthnow, Joel, 2011. “Beyond the Veto: Chinese Diplomacy in the United Nations Security Council.” (Ph.D. diss., Colombia University).

[46] Xia, Liping, 2003. “China’s Effort as a Responsible Power,” dalam David Lovell (ed). Asia – Pacific Security Policy Challenge. Asia Pacific Press.

[47] Xi Jinping, 2015. “Working Together to Forge a New Partnership of Win-win Cooperation and Create a Community of Shared Future for Mankind.” Pidato diberikan pada General Debate of the 70th Session of the UN General Assembly, New York [28 September 2015]. Tersedia dalam http://gadebate.un.org/sites/default/files/gastatements/70/70_ZH_en.pdf

[48] Xi Jinping, 2013. ”Working Together Toward a Better Future for Asia and the World.” dalam The Boao Forum for Asia Annual Conference. [online] tersedia dalam

[49] http://english.boaoforum.org/mtzxxwzxen/7379.jhtml [diakses pada tanggal 24 Mei 2016].