permasalahan lingkungan dalam ilmu genetika
DESCRIPTION
lingkungan dan ilmu genetikaTRANSCRIPT
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat membuat permintaan akan
sandang, pangan dan papan semakin meningkat pula dan membuat manusia
semakin berpikir maju dengan teknologi yang ada untuk memenuhi
kebutuhannya, salah satunya termasuk melakukan transgenik pada tanaman.
Menurut Matsui, Miyazaki, dan Kasamo (1997) dalam Susiyanti (2003),
salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknologi transgenik yang
merupakan bagian dari rekayasa genetika (RG). Salah satu produk RG yang
dikenal saat ini adalah tanaman transgenik (Muladno, 2002; Elrod & Stansfield,
2007). Tanaman transgenik dihasilkan dengan cara mengintroduksi gen tertentu
ke dalam tubuh tanaman, sehingga diperoleh sifat yang diinginkan. Jenis-jenis
tanaman transgenik yang telah dikenal diantaranya tanaman tahan hama, toleran
herbisida, tahan antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik, serta
tanaman dengan produktivitas yang lebih tinggi.
Teknologi transgenik pertama kali dikembangkan oleh Herbert Boyer dan
Stanley Cohen pada tahun 1973 (BPPT, 2000 dalam Susiyanti, 2003). Sejak saat
itu, semakin banyak jumlah transgenik (komoditas hasil rekayasa genetika) yang
dibuat dan disebarluaskan ke dunia. Enam belas tahun sejak diperkenalkan (1988),
terdapat 23 tanaman transgenik. Jumlah ini meningkat pesat pada 1989 menjadi
30 tanaman dan pada tahun 1990 meningkat lagi menjadi 40 tanaman. Perakitan
macam tanaman transgenik ini diikuti pula oleh bidang industri dengan perluasan
1
lahan tanam transgenik. Dokumen FAO tahun 2001 menunjukkan luasan tanaman
transgenik di dunia sudah mencapai 44.2 juta hektar dan sebagian besarnya terdiri
dari kedelai (58%) dan jagung (23%) (Widodo, tanpa tahun).
Di satu sisi perkembangan pemanfaatan tanaman transgenik sebagai
komoditi pangan cukup pesat dan terlihat menjanjikan, namun di sisi lain terdapat
berbagai kekhawatiran dan keresahan masyarakat terhadap penggunaan tanaman
transgenik, terutama menyangkut kesehatan masyarakat dan aspek lingkungan,
sehingga penggunaan tanaman transgenik masih banyak menuai pro dan kontra di
kalangan masyarakat
B. PERMASALAHAN
1. Apakah tanaman transgenik berpotensi mengganggu keseimbangan
ekosistem?
2. Keputusan tentang "Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk
Pertanian Hasil Rekayasa Genetika Tanaman"No.998.I/Kpts/OT.210/9/99;
790.a/Kptrs-IX/1999;1145A/MENKES/SKB/IX/199;015A/Nmeneg
PHOR/09/1999 tersebut mengatur dan mengawasi keamanan hayati dan
pangan. Di dalamnya juga diatur pemanfaatan produk tanaman transgenik
agar tidak merugikan, mengganggu, dan membahayakan kesehatan
manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.
3. Bagaimana pandangan rekayasa genetika modern di bidang pertanian?
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut penelitian Kiki Muslihin, 2009. Dalam aspek lingkungan, proses
Transgenik memiliki dampak negatif yaitu;
1. Potensi erosi plasma nutfah
Penggunaan tembakau transgenik telah memupus kebanggaan Indonesia
akan tembakau Deli yang telah ditanam sejak tahun 1864. Tidak hanya plasma
nutfah tanaman, plasma nutfah hewan pun mengalami ancaman erosi serupa.
Sebagai contoh, dikembangkannya tanaman transgenik yang mempunyai gen
dengan efek pestisida, misalnya jagung Bt, ternyata dapat menyebabkan kematian
larva spesies kupu-kupu raja (Danaus plexippus) sehingga dikhawatirkan akan
menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem akibat musnahnya plasma
nutfah kupu-kupu tersebut. Hal ini terjadi karena gen resisten pestisida yang
terdapat di dalam jagung Bt dapat dipindahkan kepada gulma milkweed (Asclepia
curassavica) yang berada pada jarak hingga 60 m darinya. Daun gulma ini
merupakan pakan bagi larva kupu-kupu raja sehingga larva kupu-kupu raja yang
memakan daun gulma milkweed yang telah kemasukan gen resisten pestisida
tersebut akan mengalami kematian. Dengan demikian, telah terjadi kematian
organisme nontarget, yang cepat atau lambat dapat memberikan ancaman bagi
eksistensi plasma nutfahnya.
2. Potensi pergeseran gen
Daun tanaman tomat transgenik yang resisten terhadap serangga
Lepidoptera setelah 10 tahun ternyata mempunyai akar yang dapat mematikan
3
mikroorganisme dan organisme tanah, misalnya cacing tanah. Tanaman tomat
transgenik ini dikatakan telah mengalami pergeseran gen karena semula hanya
mematikan Lepidoptera tetapi kemudian dapat juga mematikan organisme
lainnya. Pergeseran gen pada tanaman tomat transgenik semacam ini dapat
mengakibatkan perubahan struktur dan tekstur tanah di areal pertanamannya.
3. Potensi pergeseran ekologi
Organisme transgenik dapat pula mengalami pergeseran ekologi. Organisme
yang pada mulanya tidak tahan terhadap suhu tinggi, asam atau garam, serta tidak
dapat memecah selulosa atau lignin, setelah direkayasa berubah menjadi tahan
terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut. Pergeseran ekologi organisme
transgenik dapat menimbulkan gangguan lingkungan yang dikenal sebagai
gangguan adaptasi.
4. Potensi terbentuknya barrier species
Adanya mutasi pada mikroorganisme transgenik menyebabkan terbentuknya
barrier species yang memiliki kekhususan tersendiri. Salah satu akibat yang dapat
ditimbulkan adalah terbentuknya superpatogenitas pada mikroorganisme.
5. Potensi mudah diserang penyakit
Tanaman transgenik di alam pada umumnya mengalami kekalahan
kompetisi dengan gulma liar yang memang telah lama beradaptasi terhadap
berbagai kondisi lingkungan yang buruk. Hal ini mengakibatkan tanaman
transgenik berpotensi mudah diserang penyakit dan lebih disukai oleh serangga.
Sebagai contoh, penggunaan tanaman transgenik yang resisten terhadap
herbisida akan mengakibatkan peningkatan kadar gula di dalam akar. Akibatnya,
4
akan makin banyak cendawan dan bakteri yang datang menyerang akar tanaman
tersebut. Dengan perkataan lain, terjadi peningkatan jumlah dan jenis
mikroorganisme yang menyerang tanaman transgenik tahan herbisida. Jadi,
tanaman transgenik tahan herbisida justru memerlukan penggunaan pestisida yang
lebih banyak, yang dengan sendirinya akan menimbulkan masalah tersendiri bagi
lingkungan.
Beberapa kekhawatiran tersebut diantaranya:
1. Kekhawatiran bahwa tanaman transgenik menimbulkan keracunan
Masyarakat mengkhawatirkan bahwa produk transgenik berupa tanaman
tahan serangga yang mengandung gen Bt (Bacillus thuringiensis) yang berfungsi
sebagai racun terhadap serangga, juga akan berakibat racun pada manusia. Dalam
artikel ini, kehawatiran ini disanggah dengan pendapat bahwa gen Bt hanya dapat
bekerja aktif dan bersifat racun jika bertemu dengan reseptor dalam usus serangga
dari golongan yang sesuai virulensinya.
2. Kekhawatiran terhadap kemungkinan alergi
Sekitar 1-2% orang dewasa dan 4-6% anak-anak mengalami alergi terhadap
makanan. Penyebab alergi (allergen) tersebut diantaranya brazil nut, crustacean,
gandum, ikan, kacang-kacangan, dan padi. Konsumsi produk makanan dari
kedelai yang diintroduksi dengan gen penghasil protein metionin dari tanaman
brazil nut, diduga menimbulkan alergi terhadap manusia. Hal ini diketahui lewat
pengujian skin prick test yang menunjukkan bahwa kedelai transgenik tersebut
memberikan hasil positif sebagai allergen. Dalam artikel ini, penulis berpendapat
5
bahwa alergi tersebut belum tentu disebabkan karena konsumsi tanaman
transgenik. Hal ini dikarenakan semua allergen merupakan protein sedangkan
semua protein belum tentu allergen. Allergenmemiliki sifat stabil dan
membutuhkan waktu yang lama untuk terurai dalam sistem pencernaan,
sedangkan protein bersifat tidak stabil dan mudah terurai oleh panas pada suhu
>65 C sehingga jika dipanaskan tidak berfungsi lagi.
Masyarakat tidak perlu bersikap anti terhadap teknologi, namun sebaiknya
dapat menerima dengan sikap kehati-hatian untuk menghindari resiko jangka
panjang
1. Berubahnya urutan informasi genetik yang dimiliki, maka sifat organisme
yang bersangkutan juga berubah.
2. Bakteri hasil rekayasa yang lolos laboratorium atau pabrik yang
dampaknya tidak dapat diperkirakan.
3. Kemungkinan menimbulkan keracunan.
4. Kemungkinan menimbulkan alergi
5. Kemungkinan menyebabkan bakteri dalam tubuh manusia dan tahan
antibiotik.
6
Beberapa contoh tanaman transgenik yang dikembangkan di dunia tertera
pada tabel di bawah ini.
Jenis tanaman
Sifat yang telah dimodifikasi
Modifikasi Foto
Padi
Mengandung provitamin A (beta-
karotena) dalam jumlah tinggi.
Gen dari tumbuhan narsis, jagung, dan bakteri Erwinia disisipkan pada kromosom
padi.
Jagung, kapas,
kentang
Tahan (resisten) terhadap hama.
Gen toksin Bt dari bakteri Bacillus thuringiensis
ditransfer ke dalam tanaman.
TembakauTahan terhadap cuaca dingin.
Gen untuk mengatur pertahanan pada cuaca dingin
dari tanaman Arabidopsis thaliana atau dari sianobakteri
(Anacyctis nidulans) dimasukkan ke tembakau.
Tomat
Proses pelunakan tomat diperlambat
sehingga tomat dapat disimpan
lebih lama dan tidak cepat busuk.
Gen khusus yang disebut antisenescens ditransfer ke
dalam tomat untuk menghambat enzim
poligalakturonase (enzim yang mempercepat kerusakan
dinding sel tomat). Selain menggunakan gen dari bakteri E. coli, tomat transgenik juga dibuat dengan memodifikasi gen yang telah dimiliknya
secara alami.
7
Kedelai
Mengandung asam oleat tinggi dan tahan terhadap
herbisida glifosat. Dengan demikian, ketika disemprot dengan herbisida tersebut, hanya gulma di sekitar
kedelai yang akan mati.
Gen resisten herbisida dari bakteri Agrobacterium galur CP4 dimasukkan ke kedelai
dan juga digunakan teknologi molekular untuk
meningkatkan pembentukan asam oleat.
Ubi jalar
Tahan terhadap penyakit tanaman yang disebabkan
virus.
Gen dari selubung virus tertentu ditransfer ke dalam ubi jalar dan dibantu dengan
teknologi peredaman gen.
Kanola
Menghasilkan minyak kanola yang mengandung asam
laurat tinggi sehingga lebih
menguntungkan untuk kesehatan dan
secara ekonomi. Selain itu, kanola transgenik yang
disisipi gen penyandi vitamin E
juga telah ditemukan.[16]
Gen FatB dari Umbellularia californica ditransfer ke
dalam tanaman kanola untuk meningkatkan kandungan
asam laurat.
Pepaya
Resisten terhadap virus tertentu,
contohnya Papaya ringspot virus
(PRSV).
Gen yang menyandikan selubung virus PRSV
ditransfer ke dalam tanaman pepaya.
8
MelonBuah tidak cepat
busuk.
Gen baru dari bakteriofag T3 diambil untuk mengurangi
pembentukan hormon etilen (hormon yang berperan dalam pematangan buah) di melon.
Bit gulaTahan terhadap
herbisida glifosat dan glufosinat.
Gen dari bakteri Agrobacterium galur CP4 dan
cendawan Streptomyces viridochromogenes ditransfer ke dalam tanaman bit gula.
Prem (plum)
Resisten terhadap infeksi virus cacar prem (plum pox
virus).
Gen selubung virus cacar prem ditransfer ke tanaman
prem.[
Gandum
Resisten terhadap penyakit hawar
yang disebabkan cendawan Fusarium.
Gen penyandi enzim kitinase (pemecah dinding sel
cendawan) dari jelai (barley) ditransfer ke tanaman
gandum.
9
BAB III. ANALISIS PEMBAHASAN
Penolakan terhadap budidaya tanaman transgenik muncul karena dianggap
berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satunya adalah
terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di lingkungan.
Kekhawatiran ini terlihat jelas pada perdebatan mengenai jagung Bt yang
memiliki racun Bt untuk membunuh hama lepidoptera berupa ngengat dan kupu-
kupu tertentu. Ada kemungkinan hama yang ingin dibunuh dapat beradaptasi
dengan tanaman tersebut dan menjadi hama yang lebih tahan atau resisten
terhadap racun Bt. Selain itu, kupu-kupu Monarch, yang bukan merupakan hama
jagung, ikut terkena dampak berupa peningkatan kematian akibat memakan daun
tumbuhan perdu (Asclepias) yang terkena serbuk sari dari jagung Bt. Penelitian
mengenai kupu-kupu Monarch tersebut dapat disanggah oleh studi lainnya yang
menyatakan bahwa kupu-kupu tersebut mati karena habitatnya dirusak dan hal ini
tidak berhubungan sama sekali dengan jagung Bt. Di sisi lain, penggunaan
tanaman transgenik seperti jagung Bt telah menurunkan penggunaan pestisida
secara signifikan sehingga mengurangi pencemaran kimia ke lingkungan. Selain
itu, petani juga merasakan dampak ekonomis dengan penghematan biaya
pembelian pestisida.
Pengembangan pertanian modern sejak dulu telah menimbulkan kerusakan
terhadap keanekaragaman hayati dan lingkungan, baik pada skala pertanian kecil
maupun lahan pertanian yang lebih luas. Aplikasi herbisida, pestisida dan
pemupukan menggunakan bahan-bahan non hayati telah menurunkan kualitas
10
lingkungan seperti tanah, air dan udara. Pada dekade Revolusi Hijau (Green
Revolution), banyak pihak berharap akan terjadi peningkatan produksi pangan
menggunakan benih unggul dengan pola optimalisasi pemupukan dan insektisida.
Gema keberhasilan Revolusi Hijau pada tahun 1980 sampai memasuki periode
1990 masih terdengar gaungnya, karena harapan masyarakat terhadap produksi
pangan dengan harga murah dan terjangkau. Di awal penerapannya diketahui
peningkatan produksi cukup tinggi, tapi akhirnya tingkat produksi mencapai titik
optimum, luas lahan pertanian semakin menyempit dengan bertambahnya areal
untuk komersialisasi dan industri serta kondisi lahan pertanian yang mulai jenuh
dengan pemupukan terus menerus secara kimiawi.
Seperangkat peraturan & kebijakan terkait dengan pangan produk
rekayasa genetik telah dikeluarkan Pemerintah Indonesia, antara lain :
1. UU RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
2. Peraturan Pemerintah RI No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan pangan
3. UU RI no. 21 tahun 2004 tentang Protokol Cartagena tentang Keamanan
Hayati Atas Konvensi tentang keanekaragaman hayati
4. PP No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan
5. Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk
rekayasa genetika
6. SKB Komisi Keamanan hayati
11
BAB IV KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan
Rekayasa genetika di Indonesia masih mengalami perdebatan, karena proses
transgenik pangan yang dilakukan dalam rekayasa genetika memiliki sisi positif
dan negatif. Namun menurut pandangan ahli pangan dan pertanian rekayasa
genetika pada tanaman tidaklah bijak digunakan karena dapat merusak
keseimbangan ekosistem, seperti kasus tanaman kapas transgenik yang hanya satu
kali menghasilkan kapas lalu mati. Kapas yang dihasilkan pun juga berbahaya jika
digunakan pada bagian tubuh manusia yang sensitif.
Perkembangan tanaman transgenik dapat diterima dengan baik oleh
Amerika Serikat, Argentina, Cina, dan Kanada. Namun, banyak negara Eropa
yang menolak tanaman transgenik karena kekhawatiran terhadap potensi
gangguan kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan. Kontroversi p engaruh
pada kesehatan manusia , p engaruh pada lingkungan (ekologis) , p engaruh etika
dan agama, serta p engaruh terhadap ekonomi global .
Di Indonesia untuk mengatur keamanan pangan dan hayati produk rekayasa
genetika seperti tanaman transgenik, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan
Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura
telah mengeluarkan keputusan bersama pada tahun 1999. Keputusan tentang
"Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa
Genetika Tanaman" No.998.I/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kptrs-IX/1999;
1145A/MENKES/SKB/IX/199; 015A/Nmeneg PHOR/09/1999 tersebut mengatur
12
dan mengawasi keamanan hayati dan pangan. Di dalamnya juga diatur
pemanfaatan produk tanaman transgenik agar tidak merugikan, mengganggu, dan
membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.
Namun pengawasan hasil produk rekayasa genetika tanaman tidak akan mudah
dilakukan apabila tidak adanya kerjasama pemerintah dan lembaga-lembaga
kesehatan, dan tanpa melibatkan peranan masyarakat.
Penolakan terhadap budidaya tanaman transgenik muncul karena dianggap
berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satunya adalah
terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di lingkungan.
timbulnya perpindahan gen secara tidak terkendali dari tanaman transgenik ke
tanaman lain di alam melalui penyerbukan (polinasi). Serbuk sari dari tanaman
transgenik dapat terbawa angin dan hewan hingga menyerbuki tanaman lain.
Akibatnya, dapat terbentuk tumbuhan baru dengan sifat yang tidak diharapkan
dan berpotensi merugikan lingkungan. Sebagai tindakan pencegahan, beberapa
tanaman yang disisipi gen untuk mempercepat pertumbuhan dan reproduksi
tanaman, seperti: alfalfa (Medicago sativa), kanola, bunga matahari, dan padi,
disarankan untuk dibudidayakan pada daerah tertutup (terisolasi) atau dibatasi
dengan daerah penghalang.
Sebagian besar rekayasa atau modifikasi sifat tanaman dilakukan untuk
mengatasi kebutuhan pangan penduduk dunia yang semakin meningkat dan juga
permasalahan kekurangan gizi manusia, sehingga pembuatan tanaman transgenik
juga menjadi bagian dari pemuliaan tanaman.
13
B. Saran
Dengan bertambahnya penduduk kebutuhan akan pangan juga semakin
meningkat, dan dengan teknologi saat ini untuk mendapatkan hasil pangan yang
baik, dan dalam jumlah banyak sesuai dengan keinginan, maka para peneliti
mengembangkan rekayasa genetika pada pangan. Namun tidak semua hal yang
direkayasa genetika itu menghasilkan sesuatu yang baik, karena apapun yang
dibaut oleh manusia tidak sempurna dan ada kekurangan yang bisa menimbulkan
efek samping pada manusia hewan, maupun organisme lainnya. Rekayasa
genetika juga bisa menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem, serta saat para
peneliti melakukan rekayasa genetika maka akan ada sifat asli atau bawaan pada
spesies murni yang hilang, sehingga dapat menghilangkan varietas asli tanaman
yang direkayasa, dan tanaman varietas asli akan hilang dan melahirkan varietas
baru yang tidak sesuai dengan keinginan. Sebaiknya rekayasa genetika tidak
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan, ada baiknya pemerintah lebih
memperhatikan nasib para petani dengan memberikan subsidi kepada petani, agar
tidak ada petani yang beralih profesi, seperti yang dilakukan oleh negara Jepang.
14
BAB V. DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, P., dan Prijono. D. 2006. Aktivitas Residu Protein Cry1Ac Pada Lahan yang Ditanami Kapas Transgenik-Bt di Bajeng dan Soppeng, Sulawesi Selatan. Vol. 3, No. 1, 50-58.
Anonym. 2014. Tanaman Transgenik. (online) (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanaman_transgenik, Diakses 27 November 2014).
Muslihin, K. 2009. Transgenik Tanaman. Dalam Jurnal Pertanian Bioteknologi Tanaman No. 4122.1.09.11.0015. Agroteknologi Fakultas Pertanian UNWIM.
BADAN POM RI. 2010. Pangan Produk Rekayasa Genetika Dan Pengkajian Keamanannya Di Indonesia. VOLUME XI, NO.1 ISSN 1829-9334.
Karmana, I. W. 2009. Adopsi Tanaman Transgenik Dan Beberapa Aspek Pertimbangannya. GaneÇ Swara.Vol. 3 No.2. FPMIPA IKIP Mataram.
15