perlindungan hukum terhadap anak yang...

Download PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG …library.walisongo.ac.id/digilib/...gdl-ahmadadib2-4586-1-skripsi-p.pdf · perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan menurut

If you can't read please download the document

Upload: phamnhu

Post on 06-Feb-2018

238 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

  • PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR

    DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU

    NO. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA

    (STUDI PERBANDINGAN)

    SKRIPSI

    Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

    Dalam Ilmu Syariah

    Disusun Oleh :

    Ahmad Adib

    2103209

    FAKULTAS SYARIAH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

    SEMARANG 2010

  • MOTTO

    !" # $%# &'#( ))* +, ##( -%#)/01#:3(

    Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

    meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang

    mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu

    hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka

    mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9)

  • PERSEMBAHAN

    Karya ini aku persembahkan kepada :

    Allah SWT. Yang menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling

    sempurna di bumi ini. Memberikan akal dan fikiran sehingga penulis dapat

    mempersembahkan karya ini.

    Nabi Muhammad Rosululloh sang penerang kegelapan.

    Abah dan Ibu tercinta, Ahmad Nawawi dan Qowiyatun. Yang selalu

    memberikan do'anya kepada ananda, mencurahkan semua kasih sayang

    yang tak akan pernah pupus selamanya.

    Abdul Kholiq S.H, S.P.N., MH dan keluarga yang selalu memberikan doa

    dan semangat agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik .

    Kakak-kakakku ( Mbak Hamidah beserta suami, Mas Hamid beserta istri,

    Mas Mubin beserta istri ) yang selalu memberikan semangat sehingga

    terselesaikanya skripsi ini.

    Adik dan keponakanku ( ishomuddin, ida udhiyati, wahid, ifa, ulum, najah,

    naila, faiq, ala dan izza) yang selalu mewarnai hari-hari yang

    menyenangkan.

    Calon istriku, adinda Qomariyah yang selalu menemani dalam suka

    maupun duka dan selalu memberikan semangat untuk selalu maju dalam

    menghadapi tantangan hidup.

    Teman dan sahabatku semuanya yang tidak dapat aku sebutkan satu-

    persatu

    Saudaraku dan segenap orang-orang yang selalu menemaniku dan selalu

    memberikan doa, nasehat agar penulis dapat menyelesaikan karya ini.

  • DEKLARASI

    Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa

    skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau

    diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran

    orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan

    rujukan.

    Deklarator,

    Ahmad Adib

    2103209

  • ABSTRAK

    Lahirnya seorang anak di luar perkawinan akan menimbulkan banyak

    problematika bagi anak tersebut dikemudian hari. Lahirnya anak juga

    mengakibatkan hukum antara anak dengan orangtuanya dan keluarga

    orangtuanya, bahkan kepada masyarakat dan negara. Lebih dari itu akan timbul juga masalah seperti : status anak, perwalian dan hak waris yang

    menyangkut diri anak

    Rumusan masalah pada skripsi ini adalah : 1. Bagaimana status anak

    yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH

    Perdata?. 2. bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar

    perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata?

    Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research).

    Untuk memperoleh data-data yang dipaparkan dalam penelitan ini, penulis

    menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini

    adalah UU No. 1 Tahun 1974, dan KUH Perdata. Sedangkan data sekunder

    diperoleh dari buku-buku atau literatur-literatur yang lain yang ada

    relevansinya dengan permasalahan ini. Setelah data-data tersebut terkumpul

    lalu disusun, dijelaskan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode

    deskriptif analisis dan komparatif yaitu membandingkan antara UU No. 1

    Tahun 1974 dan KUH Perdata. Sehingga pada akhirnya mendapatkan hasil

    yang diharapkan, untuk kemudian diambil suatu kesimpulan sebagai hasil

    akhir dari penelitian ini.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa status anak luar kawin menurut

    UU No. 1 Tahun 1974 adalah anak tidak sah, perlindungannya hanya

    mengikuti nasab ibunya. Sedangkan menurut KUH Perdata status anak luar

    kawin merupakan anak tidak sah tetapi diakui, sehingga perlindungannya

    dapat bernasab pada keluarga ibunya dan ayah yang mengakuinya.

  • KATA PENGANTAR

    Bismillahirrohmaannirrahiim

    Segala puji bagi Allah atas segala limpahan rahmatnya. Sehingga penulis

    dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul PELINDUNGAN HUKUM

    TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU

    No. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA (Studi Perbandingan) dengan baik.

    Semoga hasil penelitian skripsi ini dapat bermanfaat, shalawat serta salam semoga

    Allah melimpahkannya kepada Nabi Muhammad SAW pembimbing umat kepada

    jalan kebenaran.

    Dalam penelitian skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan

    bimbingan, saran-saran serta motivasi dari berbagai pihak. Suatu keharusan bagi

    pribadi penulis untuk menyampaikan terimakasih kepada:

    1. Bapak. Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA selaku Rektor IAIN Walisongo

    Semarang.

    2. Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang (Bapak. Drs. H.

    Muhyiddin. M.Ag), semua dosen dan staf karyawan di lingkungan Fakultas

    Syari'ah IAIN Walisongo Semarang.

    3. Bapak. Arief Budiman, M.Ag, dan Ibu. Anthin Lathifah M.Ag selaku ketua

    dan Sekretaris Jurusan Ahwal Al Syakhsiyah (AS) IAIN Walisongo

    Semarang.

    4. Bapak Drs. H. Eman Sulaiman, M.H dan Bapak Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum

    yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis, sampai terselesaikannya

    penyusunan skripsi ini dengan penuh bijaksana dan kesabaran.

    5. Kepada dewan penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan

    skripsi ini.

    6. Bapak Rustam D.K.H.RP. M.Ag selaku dosen wali studi sekaligus bapak

    yang tulus hati membimbing dan mengarahkan penulis sampai perkuliahan

    ini selesai.

  • 7. Penghormatan dan penghargaan tiada tara, tak lupa penulis berikan kepada

    ayah dan ibundaku tercinta yang selalu memberikan dukungan moril maupun

    materiil, serta do'a yang tulus mulia.

    8. Kelurga Besar Bapak Abdul Kholiq S.H, S.P.N, MH yang selalu sabar

    menggantikan orang tua selama penulis menyelesaikan perkuliahan.

    9. Para Ustadz serta Masyayikh di Morodemak (KH. Zabidi Ali (Alm), KH.

    Noor Shohib Al hafidz (Alm), K. Kholil Mansyur (Alm), K. Abu Naim

    (Alm), K. Syaroni, K. Sholhan Sofwan, K. Nachrowi, K. Munajat Al hafidz,

    Ust. Abdul Jamal, Ust. Abdurrozaq, Ust. Mujahidin Arief. dll,) yang selalu

    membimbing penulis dalam hal agama ketika di morodemak.

    10. Para Ustadz dan Kyaiku di Semarang (KH. Drs. Muhammad Qodirun Noor,

    KH. Muhammadun Zain, Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, Habib

    Umar Al Muthohar, Habib Hasan Al jufri, Habib Ghozi bin Ahmad bin

    Syihab, Habib Ahmad Al Jufri, Habib Farid Al Munawwar, Habib Fauzi Al

    Munawwar, Habib Muh. Firdaus Al Munawwar, K. Subkhi, K. Amin Farih

    M.Ag, Ust. Ulin Nuha (Alm), dll.) Yang selalu membimbing penulis dengan

    penuh semangat sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

    11. Keluarga Besar PAGARMODIS (Om Imron, Om Yadi, Om Muhammad, Pak

    Khoirul, Pak Jawwad, Rustamaji, Adib Munif, Pak Sholehan, Pak Rozaq, Pak

    Wik, dll..)

    12. Keluarga Besar Masjid Al-Azhar Perumahan Bukit Permata Puri Ngaliyan

    Semarang. Dan seluruh Majlis Taklim di lingkungan BPP (Al-Muqorrobin,

    Al-Kautsar, Al-Firdaus, Al-Ikhlas, Al-Hikmah, Al-Azhar, Pelita Qolbu, dll.)

    13. Keluarga Besar Jamiyyah Maulid Ahbabul Musthofa Morodemak (Kang

    Ali, Kang Manaf, Ulin, Dayat, Sotong, Syukron, Shofi, Sokeh, Jiran, Mbeng.

    dll,,

    14. Teman-temanku APM Masjid Al-Azhar yang selalu menjadi sahabat setia

    dalam suka maupun duka (Kang Maryono Sekeluarga, Sholihin, Sulaiman,

    Husain, Miftah, dan Seluruh Remaja Kharisma Masjid Al-Azhar)

    15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah

    membantu penulis dalam menyusun skripsi.

  • Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan mendapatkan

    balasan yang lebih dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa

    skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

    Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat sekaligus menambah

    wawasan dan pengetahuan kita, terutama dalam Pengembangan Hukum

    Islam.

    Semarang, Mei 2010

    Penulis

    Ahmad

    Adi

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii

    HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv

    HALAMAN MOTTO ................................................................................... v

    HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi

    HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... vii

    KATA PENGANTAR .................................................................................. viii

    DAFTAR ISI ................................................................................................ x

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang ........................................................................ 1

    B. Permasalahan .......................................................................... 5

    C. Tujuan Penulisan Skripsi ......................................................... 5

    D. Telaah Pustaka ........................................................................ 6

    E. Metode Penelitian ................................................................... 7

    F. Sistematika Penulisan .............................................................. 10

    BAB II : TINJAUAN UMUM ANAK LUAR PERKAWINAN DALAM

    HUKUM ISLAM

    A. Pengertian Anak Luar Perkawinan........................................... 11

    B. Faktor Penyebab Anak Luar Kawin ......................................... 17

    C. Status Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam ..................... 20

    BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

    LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UNDANG-

    UNDANG NO. 1 TH 1974 DAN KUH PERDATA

    A. Status Anak di Luar Perkawinan menurut UU No.1 Tahun

    1974 dan KUH Perdata ........................................................... 22

    1. Hak Nasab......................................................................... 22

    2. Hak Perwalian ................................................................... 23

  • 3. Hak Kewarisan ...................................................................... 24

    B. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir di Luar

    Perkawinan menurut UU No. I tahun 1974 dan KUH Perdata .. 27

    1. Tujuan Perlindungan Hukum Anak ..................................... 33

    2. Ruang Lingkup Perlindungan Hukum Anak........................ 36

    BAB IV : ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

    ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN

    MENURUT UU No. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA

    A. Analisis Status Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan Menurut

    UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata Dipandang Dari

    Hukum Islam.............................................................................. 44

    B. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Di

    Luar Perkawinan Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH

    Perdata........................................................................................ 50

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan ............................................................................... 56

    B. Penutup ...................................................................................... 59

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Perkawinan adalah sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia

    dan peristiwa itu tidak saja dirasakan oleh pihak yang bersangkutan, tetapi juga

    oleh masyarakat. Dengan adanya ikatan perkawinan berarti adanya hubungan

    hukum antara kedua belah pihak yang nanti akan timbul hak dan kewajiban,

    sehingga perkawinan bukan sekedar ikatan batin antara seorang pria dengan

    seorang wanita yang saling mencintai melainkan juga hubungan yang nyata,

    sehingga bisa diketahui oleh orang lain.

    Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan yang pokok

    dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam perkawinan bagi

    kehidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan

    untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal).1

    Keinginan manusia untuk memperoleh anak bisa dipahami, karena

    anak-anak itulah nanti yang diharapkan dapat membantu bapak dan ibunya

    pada hari tuanya kelak. Hanya dengan sebuah perkawinan yang sah

    penyambung keturunan dengan cara yang sah dan teratur dapat terlaksana.2

    1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta :

    Liberti, 1999, hal 13 2 Ibid, hal 14

  • 2

    Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak)

    adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan terjalin dalam hubungan

    perkawinan yang sah.3

    Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri masih banyak terjadi

    kehamilan di luar perkawinan, Misalnya, di Yogyakarta tepatnya daerah Kulon

    Progo, penelitian Depag menyatakan bahwa wanita yang hamil di luar nikah

    mencapai 18,2 %, kemudian di Jawa Barat 6,9%, Bali 5,1% dan data laporan

    statistik BKKBN sampai tahun 2007/2008 mencapai 37 %.4 Hal itu semua

    terjadi karena pergaulan yang terlalu bebas antara seorang wanita dengan

    seorang pria, dari pergaulan bebas itu akhirnya terjadi kehamilan yang terlebih

    dahulu tanpa didahului dengan perkawinan yang sah. Akibat dari sebuah

    kehamilan di luar perkawinan itu akan berdampak buruk terhadap anak yang

    dilahirkannya itu.

    Lahirnya seorang anak di luar perkawinan akan menimbulkan banyak

    problematika bagi anak tersebut dikemudian hari. Kelahiran seorang anak tidak

    hanya dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan tetapi juga masyarakat dan

    negara, dimana suatu kelahiran harus dilaporkan yang nantinya akan dibuat

    suatu akte kelahiran untuk membuktikan bahwa anak tersebut lahir sebagai

    anak yang sah, dan dalam pembuatan akte tersebut harus disertakan surat nikah

    kedua orang tuanya. Sehingga jika kedua orang tuanya itu tidak mempunyai

    surat nikah, karena perkawinan mereka tidak tercatat dalam kantor urusan

    3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UUI, 2000, hal 106

    4 http : // Pustaka Mawar, word press.com. 2007/12/19. Hamil di Luar Kawin

  • 3

    Agama. Maka anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut

    merupakan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

    Lahirnya anak mengakibatkan hubungan hukum antara anak dengan

    orang tuanya dan keluarga orang tuanya, bahkan kepada masyarakat dan

    negara. Semakin dewasa anak akan terasa hubungan tersebut. Lebih dari itu

    akan timbul juga masalah seperti tentang status anak, wali nikah dan hak waris

    yang menyangkut diri anak.

    Indonesia sebagai negara hukum juga mengatur masalah perkawinan

    dan kedudukan anak yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

    perkawinan, yang dalam pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan

    lahir batin antara seorang pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa

    perkawinan di samping harus didasari oleh rasa cinta juga harus didasari bukti

    yang nyata.5 Sedangkan kedudukan seorang anak diatur dalam pasal 43 ayat (1)

    UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa anak yang lahir

    di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keluarga dengan ibunya dan

    keluarga ibunya.6

    Lebih lanjut lagi dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 1 tentang perkawinan,

    disebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang di

    lahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah

    berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.7 Hal ini tentu saja

    5 Moch. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan

    Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hal 43 6 Soemiyati, Op.Cit., hal 150 7 Ibid. hal 150

  • 4

    akan menyulitkan posisi anak sebagai anak yang sah atau tidak sah dalam

    keluarga itu, walaupun asal usul seorang anak itu dapat dimintakan di

    pengadilan setelah melalui pemeriksaan yang teliti dan berdasarkan bukti-bukti

    yang sah.8Sedangkan tanpa adanya bukti yang nyata tentang perkawinan orang

    tuanya, maka secara otomatis tidak mendapat haknya sebagai anak yang lahir

    dalam suatu perkawinan yang sah. Anak tersebut hanya akan bernasab pada

    ibunya.

    Menurut hukum perdata, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan

    dinamakan Natuurlijk Kind (anak alam). Dalam pasal 272 KUH Perdata di

    sebutkan bahwa kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam

    sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan

    kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orang

    tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan

    undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan

    sendiri.9

    Untuk itu penulis merasa perlu mengkaji persoalan ini sebagai sebuah

    pembahasan yang menarik. Dalam pembahasan ini penulis lebih menekankan

    pada aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang tidak tercapai

    karena adanya kesalahan yang diakibatkan dari kelahiran di luar perkawinan

    yang dilakukan oleh orang tua anak tersebut.

    8 Abdurrahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo,

    1992, hal 138

    9 Sudharyo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata Barat/Bw,

    Hukum Islam, Dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hal. 40.

  • 5

    Sebuah perkawinan mempunyai akibat hukum. Karena adanya akibat

    hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu.

    Sebuah perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka anak yang

    lahir di luar perkawinan itu juga akan merupakan anak yang tidak sah.10

    Dengan latar belakang masalah di atas mendorong penulis untuk

    menyusun skripsi dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

    ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1

    TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA

    B. Perumusan Masalah

    Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang akan

    dibahas dalam skripsi ini adalah:

    1. Bagaimana status atau kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan

    menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata?

    2. Bagaimana perlindungan hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan

    menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata?

    C. Tujuan Penulisan Skripsi

    Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

    berikut :

    10 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Azas-Azas Hokum Perkawinan di Indonesia, Jakarta :

    PT. Bina Akasara, 1987, hal 5-6

  • 6

    1. Untuk mengetahui status anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU

    No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata.

    2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak yang lahir di luar

    perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata.

    D. Telaah Pustaka

    Dari hasil pengamatan penulis bahwa literatur yang membahas anak

    luar kawin, ada 1 yang berbentuk buku dan 2 yang berbentuk skripsi (karya

    tulis ilmiah). Dalam bentuk buku, ada karya J. Satrio, S.H. yang berjudul

    Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang. Dalam

    bukunya, J. Satrio, S.H. mengemukakan bahwa status anak sah dan anak luar

    kawin diterangkan didalamnya baik di lihat dari segi KUH Perdata maupun

    UU No. 1 Tahun 1974. Pembahasan mengenai anak luar kawin secara umum

    adalah tidak sah dan tidak berhak mendapatkan apa-apa dari orang tua yang

    melahirkannya kecuali dari nasab ibunya.

    Secara tegas dinyatakan dalam bukunya bahwa anak luar kawin adalah

    tidak sah baik menurut UU No. 1 Tahun 1974 maupun KUH Perdata. Dan

    anak luar kawin hanya bernasab pada ibu yang telah melahirkannya.

    Adapun dalam berbagai karya tulis ilmiah atau skripsi, dari hasil

    penjelajahan penulis ada skripsi yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap

    Anak Luar Kawin dan Hak Warisnya Menurut KUH Perdata karya Dian

    Wulandari, Fakultas Hukum Unissula, 2004. Di dalamnya dijelaskan bahwa

    anak luar kawin menurut KUH Perdata adalah anak yang diakui dengan sah

  • 7

    adalah sebagai ahli waris yang sah. Dan berhak mewarisi dari harta yang

    ditinggalkan oleh bapak atau ibunya yang mengakuinya tersebut. Namun di

    sini hanya terpaku pada KUH Perdata saja dan di dalamnya juga tidak

    menyinggung tentang perlindungan hukumnya.

    Di samping itu ada juga judul skripsi Kedudukan Anak Luar Kawin

    Dalam Pewarisan Menurut Hukum Perdata karya, M. Shobirin, Fakultas

    Hukum Untag, 2002 Di dalam skripsi ini intinya sama dengan skripsi karya

    Dian Wulandari. Yaitu anak luar kawin dalam hukum perdata adalah anak

    yang tidak sah tetapi diakui, dan nantinya berhak mendapat warisan dari bapak

    atau ibunya yang mengakuinya tersebut.

    Akan tetapi, mereka tidak mengkaji tentang bagaimana perlindungan

    hukumnya terhadap anak luar kawin.

    Oleh karena itu, penulis akan meneliti dari wilayah perlindungan

    hukumnya dan mengomparasikan antara UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH

    Perdata.

    E. Metode Penelitian

    Metodologi adalah cara-cara tertentu yang secara sistematis diperlukan

    dalam setiap bahasan ilmiah. Untuk itu agar pembahasan ini menjadi terarah,

    sistematis dan obyektif maka digunakan metode ilmiah11

    Di dalam membahas

    11 Metode ilmiah biasa dikatakan sebagai suatu pengejaran terhadap kebenaran yang

    diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh

    interaksi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari

    jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Baca

    Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Galia Indonesia, Cet. III, 1988, hlm.42.

  • 8

    permasalahan dari skripsi ini, penyusun menggunakan metode penelitian

    sebagai berikut :

    1. Metode penelitian

    a. Jenis penelitian

    Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library

    research) atau studi teks yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk

    mengetahui secara konseptual dan mendalam tentang suatu

    permasalahan yang ada dalam masyarakat. Maka dalam pengumpulan

    data penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan,

    menelusuri buku-buku atau tulisan yang relevan dengan tema yang

    sedang dikaji.

    b. Sumber Data

    Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

    sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang

    No. 1 Tahun 1974, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

    Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku atau literatur-

    literatur lain yang ada relevansinya dengan permasalahan ini.

    Berdasarkan sifat permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang

    perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan yang

    dikhususkan pada kajian undang-undang. Maka metode yang

  • 9

    dipergunakan dalam penelitian ini adalah komparatif yaitu metode

    berdasarkan perbandingan.

    c. Metode Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data skripsi ini memakai metode

    dokumentasi, yaitu penulis mengumpulkan data-data dokumentasi

    yang bersumber dari buku, makalah, artikel yang berhubungan dengan

    tema penulisan skripsi ini.

    d. Metode Analisis Data

    Metode analisis data yang diperlukan dalam penelitian ini

    adalah metode deskriptif,12

    dan komparatif13

    dengan analisis

    kualitatif,14

    sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

    normatif yaitu pendekatan yang berdasarkan pada teks-teks baik

    berupa buku maupun kitab suci untuk memberikan norma pada

    masalah-masalah yang dihadapi dan dilihat apakah masalah itu benar

    atau salah menurut norma yang ada.

    F. Sistematika Penulisan Skripsi

    Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pokok bahasan menjadi

    lima bab. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas setiap permasalahan

    yang dikemukakan. Adapun rincian dari kelima bab tersebut sebagai berikut :

    12 Metode deskriptif menurut Whitney, sebagaimana dikutip Moh. Nazir adalah pencarian

    fakta dengan interpretasi yang tepat. Lihat. Moh. Nazir. Op. cit. hlm. 63 13 Metode komparatif yaitu metode berdasarkan perbandingan 14 Analisis kualitatif pada dasarnya menggunakan metode logis, analisis dengan induksi,

    deduksi, analogi, komparasi dan sejenisnya, lihat, Tatang. M. Amirin, menyusun rencana

    penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1955. hlm. 91

  • 10

    Bab Pertama, pendahuluan yang memperjelas latar belakang masalah

    itu muncul, pokok permasalahan yang diangkat dan juga kajian yang lebih

    mendalam, tujuan penelitian, telah pustaka, metode penelitian yang

    dipergunakan dan sistematika penulisan skripsi.

    Bab Kedua, landasan teoritis yang menggambarkan tentang tinjauan

    umum tentang anak luar perkawinan yang diperinci menjadi beberapa sub bab,

    yaitu pengertian anak luar perkawinan, faktor penyebab anak luar perkawinan,

    status anak luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata.

    Bab Ketiga, mengungkapkan hasil penelitian dan pembahasan tentang

    status anak yang lahir di luar perkawinan dan perlindungan hukum terhadap

    anak yang lahir di luar perkawinan, UU No. 1 tahun 1974 dan KUH Perdata.

    Bab Keempat, menjelaskan analisis perlindungan hukum terhadap anak

    yang lahir di luar perkawinan. Analisis terbagi menjadi dua sub bab, yaitu

    analisis status anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun

    1974 dan KUH Perdata dan juga analisis perlindungan hukum terhadap anak

    yang lahir di luar perkawinan.

    Bab Kelima, penutup yang berisi kesimpulan tentang hasil

    perlindungan terhadap anak yang lahir di luar perkawinan dan saran-saran

    serta penutup..

  • 1

    BAB II

    TINJAUAN UMUM

    ANAK LUAR PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM

    Pengertian Anak Luar Perkawinan

    Anak telah menjadi perhatian hukum Islam sejak ia belum dilahirkan,

    bahkan sejak ia belum terbentuk. Ini dapat dilihat pada prinsip-prinsip agama

    tentang perkawinan dan pentingnya memelihara keturunan. Memelihara

    kebersihan keturunan merupakan salah satu dari lima prinsip (Al-Qwaid Al-

    Khamsah) yang dirumuskan oleh ilimu ushul fiqh dalam tujuan syari'at atau

    hukum Islam, yaitu terpelihranya agama (Hifdzu Al-Din), terpeliharanya jiwa

    (Hifdzu Al-Nafs), terpeliharanya keturunan (Hifdzu Al-Nasl), terpeliharanya

    akal (Hifdzu Al-Aql), dan terpeliharanya harta (Hifdzu Al-Mal).15

    Secara garis besar di dalam hukum Islam, anak digolongkan menjadi

    dua macam, yaitu anak Syar'iyah dan anak Ghairu Syar'iyah. Seorang ulama'

    mesir bernama Sayyid Abdullah Ali Husaini, mndefinisikan anak syar'i

    sebagai berikut :

    "Anak yang dikandung pada masa ikatan perkawinan yang sah atau anak

    yang dikandung dari perkawinan yang terdapat kesalahan didalamnya atau

    yang dikandung dari orang yang akad nikahnya rusak"16

    Adapun anak ghairu syar'i dijelaskan sebagai berikut :

    "Anak yang tidak disandarkan kepada ranjang (perkawinan yang sah) dan

    tidak diketahui ayahnya. Anak ghairu syar'i adakalanya lahir karena ada

    15 Sayyid Abdullah Ali Husaini, Al Muwafaqat Fi Ushul Al Ahkam, Mesir : Darul Kitab, 1990. hal

    22 16 Sayyid Abdullah Ali Husaini, Al Muqarranatut Tasyri'iyah, Mesir : Darul Kitab, tth. hal 133

  • 2

    kesalahan dalam hal wath'i (persetubuhan) atau dari perkawinan yang tidak

    terpenuhi syarat-syaratnya".17

    Secara etimologis, pengertian anak luar kawin berasal dari dua kata,

    yaitu anak dan luar kawin.

    Anak yang dalam bahasa arabnya berarti walad adalah turunan kedua

    manusia, manusia yang masih kecil.18

    Adapun kata luar kawin, dalam pengertian umum di Indonesia adalah

    hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana layaknya suami istri

    tanpa dilandasi oleh perkawinan yang sah seperti dimaksudkan dalam

    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.19

    Sedangkan secara

    terminologi menurut pengertian yang lazim di Indonesia bahwa anak luar

    kawin yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang wanita di luar perkawinan yang

    dianggap sah menurut adat atau hukum yang berlaku. 20

    Dalam hukum Islam untuk anak luar kawin ini disebut juga dengan

    anak zina, seperti diungkapkan oleh Sayyid Abdullah Ali Husaini bahwa :

    "Anak zina adalah anak yang kelahirannya tidak bersandarkan kepada akad

    nikah (perkawinan) yang sah". 21

    Dari pengertian anak luar kawin di atas, dapat disimpulkan bahwa

    yang dimaksud anak luar kawin adalah anak yang kelahirannya tidak

    bersandarkan kepada akad perkawinan yang sah.

    Perkawinan yang memenuhi unsur agama dan sesuai dengan Undang-

    undang yang berlaku dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah. Karena

    17 ibid. hal 134 18 Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, hal. 141 5 Gatot Supranoto, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, t.tp. : Djambatan, t.th., hal 36 6 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hal. 72 21 Sayyid Abdullah Ali Husaini, Op.Cit., hal 135

  • 3

    dari sebuah perkawinan yang terjadi akan lahirlah anak sebagai generasi

    penerus dan keturunan yang sah bagi kedua orang tuanya. Mengenai

    pengertian perkawinan ini banyak pendapat ahli hukum yang berbeda satu

    sama lain, tetapi perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan untuk

    memperlihatkan pertentangan antara satu dengan yang lain. Perbedaan

    pendapat itu hanya terdapat pada keinginan para fuqaha' untuk memasukkan

    unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian

    perkawinan di satu pihak dan pembatasan banyaknya unsur dipihak lain.

    Mereka membatasi banyaknya unsur yang masuk dalam rumusan perkawinan

    dan akan menjelaskan unsur yang lain dalam tujuan perkawinan.

    a. Pengertian Perkawinan yang sah

    Dengan banyaknya pengertian perkawinan yang ditulis oleh para

    fuqaha', disini penyusun akan menulis salah satu diantara beberapa

    pengertian tersebut secara bahasa maupun istilah menurut Muhammad Asy

    Syarbaini Al Hatib.

    1) Menurut arti bahasa, Perkawinan adalah :

    "Berkumpul atau bercampur, sebagai contoh pohon-pohon itu

    telah berkumpul apabila saling condong dan saling bercampur satu

    dengan yang lain".22

    2) Menurut istilah, Perkawinan adalah

    22 Syeh Khotib As Syirbaini, Mughni Al Muhtaj, Lebanon: Darul Fikri, Bairut.

  • 4

    "Suatu akad yang menjamin bolehnya bersebadan atau

    bercampur dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwij atau

    terjemahannya".23

    b. Syarat dan Rukun Perkawinan

    Syarat-syarat Perkawinan antara lain.

    1) Tidak ada unsur paksaan, berarti calon suami dan calon istri menikah

    atas kesepakatan bersama.

    2) Pihak-pihaknya sudah baligh.

    3) Tidak ada rintangan yang menghalangi.

    Sedangkan rukun nikah itu ada lima, yaitu : sighat (ijab qabul),

    calon istri, calon suami, dua orang saksi dan wali.24

    1) Syarat calon suami

    a) Beragama Islam

    b) Laki-laki.

    c) Jelas orangnya.

    d) Dapat memberikan persetujuan.

    e) Tidak terdapat halangan perkawinan.

    2) Syarat calon istri

    a) Beragama, meskipun yahudi atau nasrani.

    b) perempuan

    c) jelas orangnya.

    d) Dapat dimintai persetujuannya.

    23 Ibid. 24 Ahmad rofiq, hokum islam di Indonesia, (Jakarta : rajawali pers, 1998), h. 71.

  • 5

    e) Tidak terdapat halangan perkawinan.

    3) Syarat wali

    a) Laki-laki

    b) dewasa

    c) mempunyai hak perwalian

    d) tidak terdapat halangan perwaliannya.

    4) Saksi nikah

    a) minimal dua orang saksi

    b) hadir dalam ijab qabul

    c) dapat mengerti maksud akad

    d) islam

    e) dewasa

    5) ijab qabul, syarat-syaratnya.

    a) adanya pernyataan mengawinkan dari wali

    b) adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

    c) memakai kata-kata tazwij atau nikah atau terjemahan dari

    kedua kata terseut.

    d) Antara ijab dan qabul bersambungan.

    e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

    f) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram

    haji atau umroh.

    c. Tujuan dan Manfaat Perkawinan

  • 6

    Tujuan Perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan

    hajat manusia berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

    mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan sayang

    untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan

    mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syara'.25

    Dari rumusan di atas seorang filosof Islam, Imam al-Ghazali

    membagi tujuan dan manfaat perkawinan.

    Tujuan perkawinan :26

    1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan

    serta perkembangan suku bangsa manusia.

    2) Memenuhi tuntutan naluri manusia.

    3) Menjaga manusia dari kerusakan.

    Sedangkan Manfaat dari Perkawinan adalah :

    1) Membentuk rumah tangga berdasarkan kasih sayang.

    2) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki.

    d. Pelaksanaan Perkawinan dalam Islam

    Dalam Islam, akad perkawinan merupakan akad Madani (bersifat

    kenegaraan atau keduniaan), artinya jika dilihat dari bentuk akadnya. Akad

    perkawinan itu sifatnya duniawi, yaitu merupakan hubungan muamalah

    manusia dalam hidupnya di dunia. Oleh karena itu Islam menganjurkan

    agar perkawinan itu diadakan pemberitahuan, boleh dengan apa saja

    25 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet IV. Yogyakarta:

    Liberty, 1999. hal 12. 26 Imam Al Ghozali, Ihya' 'Ulumuddin, Darul Fikri, Bairut, Libanon, Jilid 3, 1988.

  • 7

    seperti menabuh gendang dan juga dengan mengundang kerabat. Anjuran

    mengenai hal ini tersebut dalam sebuah hadits yang berbunyi :

    56 7 8 -1 9, : :(; 8 - *( = ?@ A-B06 :(; = CD1 :( EFG) 0 H((

    Artinya : "Dari Anas r.a berkata, "Tidakkah Rasulullah saw

    menyelenggarakan walimah atas sesuatu dari istrinya seperti

    beliau menyelenggarakan walimah atas diri Zaenab, beliau

    menyelenggarakan walimah dengan (menyembelih) seekor

    kambing" (HR. Muslim) 27

    Juga dalam hadits yang lain :

    G !I 7 8 I1 J 9* 8 => 8 - *( 9,: K 7 )L; M I## NO# )0 H((

    Artinya : "Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw telah bersabda Jika

    salah seorang diantaramu diundang untuk mendatangi walimah,

    hendaklah ia datangi".(HR. Muslim) 28

    Maka dapat diambil pengertian. bahwa walimatul 'ursy itu sunnah

    hukumnya dan mendatanginya wajib hukumnya.

    Dengan demikian jelaslah bahwa akad perkawinan merupakan tali

    hubungan kekeluargaan yang seyogyanya menjadi perhatian seperlunya

    oleh agama. Untuk itu menjaga kesucian perkawinan itu, maka wajarlah

    jika disyari'atkan adanya pemberitahuan ketika berlangsungnya

    pernikahan. Selain itu akan berakibat pula terhadap anak yang

    dilahirkannya, karena anak tersebut akan mendapatkan status

    27 Imam Muslim, Shohih Muslim Juz II, Darul Kutubul Ilmiah, Bairut, Libanon, 1984, hal. 1049 28 Ibid, hal. 1052

  • 8

    keabsahannya sebagai seorang anak apabila kedua orang tuanya nyata-

    nyata telah terjadi sebuah perkawinan.

    II. Faktor Penyebab Anak Luar Kawin

    Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan serta

    dijadikan-Nya manusia dari berbagai suku dan golongan. Hal itu menunjukkan

    bahwa manusia itu terbentuk menjadi bermacam-macam golongan yang

    berarti bermacam-macam pula buah pikiran dan masalah yang dihadapinya.

    Perkawinan adalah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia baik

    perkawinan dalam arti hakiki maupun majazi, karena itulah hajat

    kehidupannya, baik secara biologis maupun karena ingin niendapatkan

    keturunan. Adakalanya perkawinan yang sah (yang diharapkan oleh negara

    dan agama) terkadang disepelekan oleh manusia itu sendiri. Yang dari

    perkawinan itu tentu akan lahir seorang anak yang akan mempunyai akibat

    hukum bagi kedua orangtuanya dan terhadap masyarakat.

    Pembedaan anak dalam dua kelompok -anak sah dan anak tidak sah-

    membawa konsekuensi yang besar di dalam hukum. Nanti akan terlihat

    adanya pembedaan dalam hak-hak (dan juga kewajiban) yang berlaku bagi

    mereka. Kesemuanya itu didasarkan atas pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip

    perkawinan monogami yang dianut dalam KUH Perdata dan tujuan untuk

    melindungi lembaga perkawinan sebagai lembaga yang suci, dengan harapan

    bahwa memberikan sanksi pembedaan kedudukan hukum anak luar kawin

  • 9

    dengan anak sah yang sangat mencolok, akan mengurangi munculnya anak

    luar kawin.29

    Dalam perkembangannya kemudin terpikir, apakah dengan itu bisa

    tercapai maksud undang-undang untuk menghindarkan hubungan antara laki-

    laki dan perempuan di luar (lembaga) perkawinan. Bukankah cara yang

    terbaik adalah mencegah terjadinya kelahiran anak-anak yang tidak sah.

    Apalagi dimasa sekarang, orang dengan mudah dapat membeli alat

    kontrasepsi disemua tempat, walaupun harus diakui bahwa untuk penganut

    agama tertentu, alat-alat seperti itu tidak dibenarkan.

    Adapun sebab-sebab adanya anak luar kawin yang banyak terjadi di

    Indonesia, hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain

    1. Informasi dan hiburan yang bebas dan terbuka di kalangan masyarakat

    luas, terutama kaum remaja yang seharusnya membentengi diri dengan

    iman agar terhindar dari pergaulan bebas yang pada akhirnya akan

    mengakibatkan hilangnya masa depan remaja tersebut.

    2. Walaupun sudah ada Undang-undang Perkawinan, tetapi masih ada

    penyelewengan oleh para suami yang selalu mengelak dari peraturan yang

    ada dalam undang-undang tersebut. Dan pada umumnya penyelewengan

    yang dilakukan bapak-bapak justru dengan para karyawati di kantornya.

    Hal ini menunjukkan bukti dari 4.500 kasus yang ditangani Lembaga

    Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk wanita dan keluarga, 50 % adalah

    29 J Satrio, op. cit.,hal 6.

  • 10

    pengaduan tentang pertanggungjawaban untuk para suami demi keabsahan

    anak yang dikandung oleh wanita tersebut.30

    3. Mencari kepuasan juga merupakan faktor yang mendorong terjadinya

    hubungan luar nikah yang akhirnya akan mengakibatkan lahirya anak.

    Dalam faktor ini pada umumnya berlatar belakang dari kehidupan

    rumahtangga bermasalah, terutama ada hambatan dalam melakukan

    hubungan suami istri.31

    4. Karena faktor biologis. Laki-laki pada dasarnya adalah berpoligami.32

    Seperti dijelaskan di atas, bahwa asas hukum perkawinan di Indonesia

    adalah monogami, maka orang yang akan melakukan poligami, baik itu

    Pegawai Negeri Sipil atau bukan semuanya dipersulit. Sementara

    kebutuhan untuk berpoligami makin mendesak, maka terjadilah poligami

    yang mengakibatkan lahirnya anak di luar perkawinan.

    5. Hasil penelitian Kelompok Dasakung Yogyakarta, 29 pasangan pelajar,

    mahasiswa dan karyawan hidup bersama tanpa nikah dan diantaranya

    bahkan telah melahirkan anak dan diasuh dengan baik.33

    III. Status Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam

    Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak)

    adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan, antara ibu anak dan laki-

    30 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan

    Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hal 72. 31 Gatot Supramono,op.cit., hal 75. 32 Humaidi Tata Pangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam , Surabaya : Usaha Nasional, t,th., hal 9. 33 M. Idris Ramulyo, op.cit., hal 74.

  • 11

    laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin dalam hubungan

    perkawiinan yang sah.34

    Selain itu di dalam hukum Islam ada kemungkinan besar seorang yang

    lahir dikatakan anak ibu, yaitu apabila anak tadi dilahirkan sebelum masa enam

    bulan sejak akad nikah dilangsungkan, sedang si suami tersebut. tidak mau

    mengakui bahwa anak yang lahir itu adalah hasil persetubuhannya terhadap

    istrinya yang dituduh itu sebelum nikah.35

    Secara yuridis formal bahwa anak sah adalah anak yang lahir karena

    hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah dan nasab tersebut kembali

    kepada orang tuanya. Kemudian kedua orang tuanya itu lazimnya yang laki-

    laki disebut seorang ayah dan orang tua perempuan disebut dengan seorang

    ibu. Demikian menurut syariat Islam bahwa setiap anak yang sah mempunyai

    hubungan yang erat dengan ibu dan bapaknya atau disebut double unilateral /

    bilateral.36

    Dalam sebuah hadits disebutkan :

    PQ RK# S)#S = E!T# SHG KUS -6 ( !UV1S -6 ( -60WIS) 0 H(( Artinya : Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fttrah (suci), sesungguhnya

    kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau

    Majusi. (HR.Muslim) 37

    Berdasarkan hadits di atas, maka pada dasarnya Islam memandang

    semua anak yang lahir kedunia dalam keadaan suci bersih. Demikian pula anak

    34 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UUI Press, 2000, hal, 106. 35 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, UU perkawinan dan

    Hukum Perdata / BW, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, t.th., hal 21. 36 Asyhari Abdul Ghafar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah hamil, Jakarta :

    Grafindo Utama, 1987, hal 81 37 Imam Ahmad Ibn Hanbal, Terjemah Musnad Ibn Hamhal, Bandung : Grafika, 1992.

  • 12

    yang lahir di luar perkawinan adalah sama sucinya dengan anak yang lahir di

    dalam atau akibat perkawinan (anak sah).

    Sesuai dengan Finnan Allah SWT, QS. Faathir ayat 18 yang berbunyi

    +( SX" YEC( C( Z!; J[( S\)" Y]S =#[ IL + QI S S-1 _/7@ #( J =G!, I6[ S$1S" $%# JF' SG D #G S,;( EaV# ( =% X" I6b =% X -01# =#[( -%# ScVI#) !d :ef(

    Artinya : Dan orang yang berdosa tidak akan rnemikul dosa orang lain. Dan

    seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk

    memikul dosanya tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun

    meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya

    yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut

    kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan

    mereka mendirikan sembahyang. Dan barang siapa mensucikan

    dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya

    sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu). (QS. Fatir : 18)38

    Adapun mengenai status anak yang lahir di luar perkawinan para

    Ulama telah sepakat bahwa anak tersebut tetap mempunyai hubungan

    keturunan dengan ibunya (matrilinieal).39

    Dalam hal ini jumhur ulama sepakat

    bahwa anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak sah tidak

    dipertalikan kepada ayahnya.40

    Ketentuan yang demikian adalah sejalan

    dengan apa yang ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    dalam Pasal 43 ayat (1) dan dalam KHI Pasal 100.

    Menurut pendapat Imam Syafi'i jika seorang laki-laki mengawini

    seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah pernah, maka bila

    dalam waktu kurang dari enam bulan kemudian wanita tersebut melahirkan

    38 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur'an, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta

    Departemen Agama RI, 1992, hal 698. 39 Asyhari Abdul Ghafar, Op.Cit., hal 81. 40 Imam Ahmad Bin Hambal, Op. Cit

  • 13

    anak sesudah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak yang

    dilahirkannya itu tidak dapat dipertalikan nasab atau garis keturunannya

    kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung. Perhitungan enam bulan itu

    dimulai dari waktu berkumpul bukan dari akad nikah.41

    Pendapat tersebut nampak berbeda dengan pendapat Imam Abu

    Hanifah yaitu bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap dalam ranjang

    suaminya, sehingga anak yang dilahirkan itu dapat dipertalikan nasab kepada

    ayahnya sebagai seorang anak yang sah. Beda pendapat ini dikarenakan beda

    tinjauan yaitu bagi Abu Hanifah meninjau masalah tersebut dari segi yuridis

    formal, bukan dari segi adanya, hubungan seksual antara kedua suami istri

    sebagaimanaa yang dijadikan dasar pemikiran Imam Syafi'i tersebut di atas.42

    Aturan sebagaimana yang dikenal dalam hukum Islam yang

    menetapkan waktu tidak lebih dari enam bulan setelah menikah, sebagai syarat

    kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah.43

    Karena menurut hukum

    Islam anak luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh bapaknya

    (bapak alamnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum

    dengan ibunya. Tetapi si anak tetap mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan

    yang melahirkan anak, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu ada

    hubungan hukum dan sama seperti dengan anak sah yang mempunyai bapak.44

    Untuk mengetahui secara hukum apakah anak dalam kandungannya

    berasal dari suami ibu atau bukan, ditentukan melalui masa kehamilannya,

    41 Fatchur rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT. Al-.Ma'arif, 1992, hal 221. 42 Ibid., hal 313. 43 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hal 39. 44 Ibid. hal 39-40.

  • 14

    masa yang terpendek adalah enam bulan.45

    Dan masa yang terpanjang

    ghalibnya adalah satu tahun. Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah

    SWT dalam QS. Al-Ahqaaf : 15 :

    S-IL(, S-V(, J]h i!@) jL+ :ek( Artinya : mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga

    puluh Bulan. 46

    Dan dalam Qs. Luqman ayat 14, yang berbunyi

    S-IL S-l; 1m( = Rm( S-#V( 7 ) JI# :en( Artinya : "....ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah

    dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua

    tahun.47

    Ayat pertama menerangkan bahwa masa mengandung sampai

    menyapih adalah tiga puluh bulan, sedangkan ayat kedua menerangkan bahwa

    menyapihnya setelah bayi disusui secara sempurna membutuhkan waktu dua

    tahun atau dua puluh empat bulan. Sehingga tiga puluh bulan dikurangi dua

    puluh empat bulan tinggal enam bulan. Itulah masa mengandung yang paling

    sedikit.48

    O1eh sebab itu apabila bayi lahir kurang dari enam bulan, tidak bisa

    dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendatipun dalam ikatan

    45 Ketentuan tersebut merupakan kesepakatan para ulama yang disebut dengan masa mininal,

    dikutip dari Kitab Al Akhwal As- Syakhisiyah. 46 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur'an, op. cit., hal 824. 47 Ibid., hal 654. 48 Zaid al Ibyani, Al Akhwal Al Syakhsiyah, Bairut, Baghdad : An Nahdhah, jilid 2, 1989

  • 15

    perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan

    keluarga ibunya saja (Pasal 100 KHI).49

    Hubungan nasab bagi seorang anak merupakan suatu hak yang harus

    terpenuhi sejak ia lahir di dunia ini, yaitu hubungan kekerabatan dengan orang

    tuanya. Di dalam hukum Islam hubungan kekerabatan seorang anak ditentukan

    dengan adanya hubungan darah dan hubungan darah ditentukan pada saat

    adanya kelahiran.50

    Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa anak yang lahir dalam

    perkawinan yang sah baik secara agama maupun menurut undang-undang

    secara otomatis mengikuti hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya

    yaitu laki-laki yang dipanggil dengan sebutan ayah dan yang perempuan

    dipanggil dengan sebutan ibu. Bahkan hubungan kekerabatan itu tidak hanya

    terbatas pada orang tuanya, tetapi juga terhadap keluarga dari ayah dan ibunya.

    Dengan adanya hubungan kekerabatan atau nasab anak sah maka anak yang

    lahir dari perkawinan yang sah akan berstatus sebagai anak sah, karena nasab

    anak tersebut telah nyata diketahui.

    Untuk anak luar kawin, adapun kenasabannya sangat erat hubungannya dengan

    perbuatan persetubuhan di luar perkawinan, yaitu persetubuhan yang tidak sah.

    Dengan demikian anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab dengan

    laki-laki yang menurunkannya karena tidak ada jalan atau cara yang dapat

    dibenarkan syara' untuk menghubungkan anak tersebut dengan laki-laki yang

    49 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hal 224. 50 Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,

    Jakarta : Gunung Agung, 1984, hal 22.

  • 16

    menurunkannya. Sebagaimana pendapat jumhur ulama yang mengatakan

    bahwa anak luar kawin tidak dapat dipertemukan (nasabnya) dengan ayahnya.

    Jadi status anak yang lahir di luar perkawinan menurut hukum Islam

    adalah anak yang tidak sah yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya

    yaitu laki-laki yang menurunkannya tetapi tetap mempunyai hubungan hukum

    dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya. Dengan demikian anak

    yang lahir di luar perkawinan adalah mempunyai status sama dengan yang lahir

    akibat perkawinan sah dalam berbagai aspek kehidupan. Kecuali dalam status

    kekerabatan, yaitu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.

    Di dalam hukum Islam tidak ada aturan khusus yang mengatur

    kekuasaan orang tua dan perwalian terhadap anak. Namun berdasar kaidah-

    kaidah yang sudah ada dapat diketahui bahwa yang berhak dan wajib

    melaksanakan kekuasaan dan perwalian terhadap anak secara berurut dalam

    urutan pertama adalah bapak atau kakek atau buyut yang masih hidup yang

    mampu dan tidak ada halangannya. Menurut hukum Islam, syarat untuk

    menjadi wali adalah beragama Islam, sudah dewasa, berakal sehat dan dapat

    berlaku adil dan terutama ditarik menurut garis lelaki (patrilineal).51

    Anak luar kawin bukan merupakan ahli waris keturunan (nasabiyah).

    Bagian-bagian ahli waris yang sudah ditentukan jumlahnya (fuudh Al

    Muqaddarah) dalam hukum Islam adalah diperuntukkan bagi mereka yang

    mempunyai hubungan kekerabatan baik nasabiyah ataupun sababiyah.

    51 Human Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum adat, dan

    Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990, hal 155.

  • 17

    Sedangkan anak luar kawin yang diakui dengan sah- tidak termasuk dalam

    ahli waris Islam. Sementara itu menurut KUH Perdata, anak luar kawin -yang

    diakui dengan sah- termasuk ahli waris.52

    52 J. Satrio, Hukum Waris, Bandung : Alumni, 1992, hal, 151.

  • 1

    BAB III

    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR

    PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG

    NO. 1 TH 1974 DAN KUH PERDATA

    A. Status Anak di Luar Perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 dan

    KUH Perdata

    1. Hak Nasab

    Status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai

    unifikasi dalam bidang hukum perkawinan nasional yang tercantum dalam

    Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang dinyatakan di dalam Pasal 43 ayat

    (1), yang berbunyi :

    "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

    perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

    Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan

    dengan akibat-akibatnya, terutama hak mawaris, jadi hampir sama dengan

    status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin

    tersebut tidak ada hubungan dengan ayahnya sebagai yang

    menurunkannya.

    Sedangkan dalam hukum perdata anak yang lahir di luar

    perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal adalah Natuurlijk

    kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya.

    Menurut sistem yang dianut KUH Perdata, dengan adanya keturunan di

    luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak

    dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian

  • 2

    kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya antara anak dengan orang

    tua yang mengakuinya. Jadi, anak luar kawin tersebut berstatus sebagai

    anak yang diakui atau dikenal dengan istilah natuurlijk kind.53

    2. Hak Perwalian

    Perwalian berasal dari kata wali yang mempunyai arti orang lain

    selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili

    anak yang belum dewasa atau belum aqil baligh dalam melakukan

    perbuatan hukum.54

    Dalam kamus hukum perkataan "wali" dapat diartikan pula sebagai

    orang yang mewakili.55

    Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu

    berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada bila terjadi

    perkawinan maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada

    di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya.56

    Anak luar kawin diakui, jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak

    maupun ibunya, sehingga orang tua yang mengaku lebih dahulu itu yang

    menjadi wali.

    Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembahasan

    tentang perwalian diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) yang

    berbunyi :

    54 Soedharyo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata

    Barat/Bw, Hukum Islam, Dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal 55. 55 Ibid 56 Ibid, hal 59.

  • 3

    (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum: pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah

    kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

    (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

    Perwalian anak luar kawin yang nasabnya mengikuti ibunya dan

    keluarga dari ibunya, apabila anak luar kawin itu adalah seorang

    perempuan maka untuk meminta hak wali dalam perkawinannya, haruslah

    diawali dengan pengakuan dari seorang laki-laki yang menyebabkan anak

    itu lahir sebagai seorang ayah yang tentu saja membutuhkan waktu dan

    bukti-bukti yang kuat. Pengakuan itu adalah suatu hal yang lain sifat dari

    pengesahan. Dengan adanya pengakuan itu seorang anak tidak akan lagi

    menjadi anak tidak sah. Pengakuan yang dilakukan seorang ayah harus

    dengan persetujuan si ibu selama si ibu masih hidup. Ini sebagai jaminan

    bahwa ayah itu betul ayah yang membenihkan anaknya. Jika ibu telah

    meninggal, maka pengakuan oleh si ayah hanya mempunyai akibat

    terhadap dirinya sendiri.

    3. Hak Kewarisan

    Meskipun menurut UU No. 1 Tahun 1974 memperoleh anak

    (keturunan) tidak dijadikan tujuan pernikahan, namun tentang anak tetap

    dipandang sebagai hal yang cukup penting, satu dan yang lain hal karena

    ini mempunyai kaitan erat dengan pewarisan. Anak yang lahir di luar

    perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah. Ini membawa konsekuensi

    dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang lahir di luar kawin itu hanya

    dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ibu dan keluarga ibunya.

    Namun tidak dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ayah dan

    keluarga ayahnya. Dengan kata lain anak yang lahir di luar perkawinan

    tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibu dan keluarga ibunya, tetapi tidak

    menjadi ahli waris ayah dan keluarga ayahnya.57

    Dalam KHI Pasal 100 dan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

    Perkawinan Pasal 43 ayat (1) telah disebutkan bahwa anak yang lahir di

    luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

    keluarga ibunya. Dengan begitu status anak luar kawin dalam Islam adalah

    anak tidak sah, disebabkan dia dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

    Kata warisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia

    asalnya dari bahasa arab sebagai fi'il, isimnya menjadi

    dijamakkan menjadi Didalam Al Qur'an lafadz waratsa 58. diartikan sebagai mewarisi, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat

    An Naml ayat 16 yang berbunyi :

    57 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni,

    1992, hal 100-101. 58 Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang : CV. Mujahidin, 1981, hat 1.

  • 4

    K(S(K JIS* o((.... Artinya : "Dan Nabi Sulaiman telah mewarisi Nabi Daud

    59

    Secara terminologi (istilah) warisan adalah pindahnya hak milik

    orang yang rneninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup

    yang ditinggalkan itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau

    hak-hak hukum syara.60

    Datam hal ini para fuqaha lebih banyak menggunakan istilah

    faraidl dari pada warisan. Faraid adalah suatu istilah yang

    dipergunakan dalam warisan yang didahului dengan adanya suatu

    peristiwa meninggalnya seseorang, adanya ahli waris adanya harta warisan

    serta pembagiannya.

    Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah

    dan atau seorang suami atu istri, maka anak luar kawin yang diakuinya

    mewarisi 1/3 bagian dari yang sedianya harus mendapat, seandainya

    mereka adalah anak yang sah (terdapat dalam Pasal 863 BW Bagian

    Ketiga). Keturunan yang sah dan atau suami istri pewaris adalah ahli waris

    golongan I. Jadi di sini diatur pewarisan anak luar kawin karena bersama-

    sama dengan golongan I.61

    Dalam hal demikian anak luar kawin menerima 1/3 bagian dari hak

    yang sedianya mereka terima, seandainya mereka anak sah. Jadi cara

    menghitung hak bagian anak luar kawin adalah mengandaikan mereka

    anak sah terlebih dahulu baru kemudian dihitung haknya sebagai anak luar

    kawin.

    Anak luar kawin yang diakui dengan sah menurut KUH Perdata

    adalah sebagai ahli waris yang sah. Dia berhak mewarisi dari harta yang

    ditinggalkan. oleh bapak atau ibu yang mengakuinya tersebut. Begitu juga

    sebaliknya, jika anak luar kawin telah diakui dengan sah, maka sebagai

    akibat dari pengakuan itulah dia berstatus sebagai anak dari yang

    mengakuinya. Mengenai kedudukan dia dalam keluarga, anak luar kawin

    tidak berbeda dengan anak kandungnya sendiri, sedangkan mengenai

    berapa besar hak waris anak luar kawin itu terhadap pewaris sangat

    tergantung bersama siapa anak luar kawin itu mewaris.

    Dengan demikian KUH Perdata tidak hanya memandang status

    hukum formal semata-mata terhadap anak luar kawin, lain halnya dengan

    UU No. 1 Tahun 1974 yang lebih selektif dalam menilai kedudukan anak.

    Bukan hanya status formal saja yang menjadi pertimbangan hukum,

    namun status nasab (keturunan) juga harus jelas. Dalam hal ini hukum

    59 Yayasan Penyelenggara Penterlemah Al Qur'an, Op,.Cit., hal 595. 60 Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Terj. HAA. Dahlan

    dkk, Bandung : Diponegoro, 1988, hat 40. 61 J. Satrio, Op Cit, hal 156.

  • 5

    Islam lebih mencakup daripada KUH Perdata yang hanya menilai

    perkawinan dan segala akibatnya sebagai perjanjian perdata semata.

    B. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir di Luar Perkawinan

    Menurut UU No. I Tahun 1974 dan KUH Perdata

    Perlindungan berasal dari kata dasar 'lindung' yang mempunyai arti

    menempatkan dirinya di bawah sesuatu supaya tidak terlihat.62

    Kata lindung yang mendapat awalan per- dan akhiran -an menjadi

    suatu bentuk kata kerja, sehingga menjadi suatu perbuatan melindungi,

    memberi pertolongan atau penjagaan, menutup supaya tidak tampak.63

    Dari dua pengertian di atas jika disatukan, maka didapatlah suatu

    kesimpulan bahwa perlindungan adalah suatu perbuatan untuk melindungi

    yang bisa juga berarti tempat berlindung orang-orang yang lemah baik

    mengenai dirinya maupun hartanya dan perlindungan tersebut antara lain

    diberikan kepada anak-anak.

    Sedangkan istilah hukum yang biasa kita pakai sehari-hari adalah

    berasal dari bahasa Arab al-hukmu. Sedangkan Prof. Van Apeldorn

    berpendapat bahwa, tidak mungkin membuat suatu definisi tentang

    hukum,64

    yang artinya tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum

    62 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

    Bahasa Indonesia, cet. III, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, hal 526. 63 Ibid. 64 Van Apeldom, Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, Jakarta : Pradnya Jararita,

    1973, hal 13.

  • 6

    karena hukum mempunyai banyak segi dan bentuk, sehingga tidak mungkin

    tercakup dalam satu definisi.65

    Sehingga jika seorang ahli hukum memberikan suatu definisi tentang

    hukum, maka akan berbeda dengan ahli hukum yang lain yang juga

    memberikan definisi tentang hukum.

    Namun demikian, penulis akan mengambil dua definisi hukum yang

    dikemukakan oleh dua ahli hukum, yaitu :

    1. Menurut Van Kan.

    Hukum adalah serumpun peraturan yang bersifat memaksa yang

    diadakan untuk melindungi kepentingan orang dan masyarakat.66

    2. Menurut Prof. Djoyodiguno.

    Hukum adalah suatu karya dari seluruh rakyat. Sifat karya itu

    adalah pengugeran (narmiering) yang berarti pembatasan dari pada

    tingkah laku dan perbuatan orang dalam perhubungan pamrihnya.67

    Dari kedua definisi di atas dapat dikatakan bahwa hukum

    diciptakan untuk melindungi orang dan masyarakat demi terciptanya

    ketertiban umum.

    Sedangkan arti anak menurut Fuad Moch Fahrudin adalah

    keturunan kedua sebagai hasil hubungan antara pria dan wanita. Adapun

    ada istilah anak Adam itu mempunyai arti umum bagi seluruh manusia,

    karena Adamlah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah.68

    65 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta : Balai

    Pustaka, 1980, hal 34 66 J Van Kan, Pengantar llmu Hukum; Cet VIII, Up, PT. Pembangunan dan Ghalia

    Indonesia, 1979, hal 13. 67 MM. Djoyodiguno, Reorientasi Hukum Jawa dan Hukum Adat, Yogyakarta Penerbit

    Universitas, 1981, hal 14. 68 Fuad Moch Fahruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta : Pedoman Jaya,

    985, hal 38.

  • 7

    Dalam bahasa Arab terdapat dua macam kata yang berarti anak,

    yaitu :69

    a. Walad : mempunyai arti anak secara umum, baik anak yang dilahirkan

    oleh manusia, maupun anak binatang yang dilahirkan oleh induknya

    b. Ibnun : mempunyai arti anak.

    Penggunaan kedua kata tersebut adalah berbeda. Kalau walad

    dipakai untuk istilah anak secara umum, baik anak manusia maupun

    anak binatang, sedangkan kata ibnun hanya dipakai untuk anak

    manusia, seperti anak kandung, anak angkat dan anak tiri.

    Pengertian anak menunjukkan adanya bapak dan ibu, maka

    dari itu anak dalam arti bahwa selaku hasil perbuatan persetubuhan

    antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka lahirlah dari

    tubuh wanita tersebut seorang manusia yang nantinya akan

    mengatakan seorang laki-laki itu adalah bapaknya dan perempuan itu

    adalah ibunya. Sedang ia adalah anak dari kedua orang tua itu.70

    Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anak

    adalah seseorang yang lahir akibat dari persetubuhan antara seorang

    laki-laki dengan seorang perempuan. Sehingga pengertian daripada

    anak yang lahir di luar kawin adalah seseorang yang lahir dari akibat

    persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang

    tidak terikat dalam suatu perkawinan.

    69 Ibid., hal. 40 70 R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung,

    1974, hal. 72.

  • 8

    Untuk itu akan dibahas mengenai macam-macam anak menurut

    golongan umumnya. Karena usia anak akan berpengaruh terhadap

    bentuk perlindungan yang diberikan.

    Adapun anak menurut pembagian umurnya ada dua macam, yaitu

    a. Anak yang belum dewasa.

    b. Anak yang dewasa.

    Dalam Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 tentang

    Perkawinan, mengenai anak yang belum dewasa diatur dalam Bab X

    Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) yang menerangkan sebagai berikut:71

    a. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah

    melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya

    selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

    b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum

    dl dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 50 ayat (1) undang-undang

    tersebut juga mengatakan bahwa.

    Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun

    atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di

    bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.

    Dari bunyi pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

    dengan adanya batas umur anak yang belum dewasa tersebut, maka

    jelaslah bagi kita akan mengadakan hubungan hukum, karena

    kecakapan telah dinyatakan secara jelas. Sehingga menjamin adanya

    kepastian hukum. Artinya bila seorang anak sudah mencapai umur 18

    tahun atau sudah pernah kawin tidak lagi berada dalam kekuasaan

    orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum baik ke

    dalam maupun di luar Pengadilan. Berarti ia telah memiliki kecakapan

    atau kemampuan melakukan suatu perbuatan hukum kecuali jika ia

    melangsungkan perkawinan.

    Hal itu memerlukan ijin orang tua selama anak tersebut belum

    mencapai umur 21 tahun, dan ketentuan tentang hal tersebut diatur dalam

    71 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinann, cet IV,

    Yogyakarta : Liberty, 1999, hal 151.

  • 9

    Pasal 6 ayat (2) UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi,

    "untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur

    21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua".

    Di atas telah diuraikan mengenai batas umur anak yang belum

    dewasa yaitu umur 18 tahun atau yang belum pernah kawin. Sehingga

    dengan demikian kalau bicara mengenai anak dewasa atau sudah dewasa

    tentunya yang sudah berumur 18 tahun atau sudah pernah kawin.

    Sedang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 330

    Bab XV, yang berbunyi

    "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap

    dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila

    perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh

    satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan

    belum dewasa ".

    Yang dimaksud belum dewasa" adalah orang tersebut tidak cakap

    bertindak. Hal itu diatur dalam berbagai pasal dalam KUH Perdata,

    seperti:

    a) Pasal 383, mengatur bahwa wali harus mewakili ia belum dewasa

    dalam segala tindak perdata.

    b) Pasal 1330 sub 1, menyatakan seseorang yang belum dewasa tidak

    cakap untuk membuat perjanjian.

    Lepas dari pembahasan di atas, maka anak dikatakan sudah dewasa

    apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah kawin dan mereka

    dinyatakan telah mempunyai kecakapan penuh dalam bertindak.

    Di atas telah dijelaskan mengenai penggolongan anak menurut

    umurnya baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun

    menurut KUH Perdata sebagai perbandingan.

    Dari pengertian kata-kata perlindungan, hukum dan anak menurut

    UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata, dapat penulis simpulkan bahwa

    yang dimaksud dengan perlindungan hukum anak adalah suatu

    perlindungan yang diberikan kepada anak sejak lahir hingga dewasa dalam

    bantuan hukum agar hak-hak. tersebut dapat terpenuhi.

    1. Tujuan Perlindungan Hukum Anak

    Dalam menciptakan kesejahteraan anak di Indonesia, maka

    dalam era pembangunan hukum nasional perlu beberapa aturan hukum

  • 10

    yang mengatur anak, mendapat perhatian khusus dan perlu pula

    diselesaikan dengan kebutuhan anak-anak sesuai dengan zamannya.

    Undang-undang No. 1 tahun 1974 juga memberikan

    perlindungan hukum untuk anak luar kawin. Anak luar kawin yang

    diakui selalu berada di bawah perwalian, sehingga dengan adanya

    perwalian untuk anak luar kawin tersebut maka hak-hak anak tersebut

    dapat terlindungi.

    Lain daripada itu, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 55

    menyatakan bahwa asal usul seorang anak dapat dinyatakan

    pembuktian dengan cara

    a. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang outentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang

    berwenang.

    b. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul

    seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti

    berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

    c. Atas dasar ketentuan. Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum

    Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi

    anak yang bersangkutan

    Pembuktian seperti yang tersebut di atas sejalan dengan apa

    yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 103. Ketentuan

    hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti outentik asal usul anak,

    meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologis

    merupakan inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum dalam

    hukum Islam. Jika dalam hukum Islam asal usul anak diketahui dengan

    adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan batasan

  • 11

    minimal atau maksimal yang lazim usia janin dalam kandungan, maka

    pembuktian kendati ini bersifat administratif asal-usul anak dengan

    akte Kelahiran.72

    Penentuan perlunya akte kelahiran tersebut, didasarkan atas

    prinsip maslahah mursalah yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi

    anak. Selain anak akan mengetahui secara persis siapa kedua orang

    tuanya, juga apabila suatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan

    akte kelahiran anak tersebut dapat melakukan upaya hukum. Jadi

    secara internal, akte kelahiran merupakan identitas dan asal usul anak,

    secara eksternal ia merupakan identitas dari diri yang bersangkutan.73

    Dalam Undang-Undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan,

    dimana dalam Bab X tentang Hak dan Kewajiban antara orang tua dan

    Anak, yang tertuang dalam Pasal 45 disebutkan :74

    a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

    mereka sebaik-baiknya.

    b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

    berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.

    Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua

    orang tua putus.

    Dari ketentuan Undang-undang tersebut dapat disimpulkan

    bahwa memelihara dan mendidik anak menjadi kewajiban bersama

    72 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995,

    hal. 233 73 Ibid. 74 Ahmad Rafiq, Op.Cit., hal. 112

  • 12

    antara ibu dan bapak, berlaku sampai anak telah kawin atau dapat

    berdiri sendiri meskipun akhirnya bapak ibu bersangkutan mengalami

    perceraian. Undang-undang tidak menegaskan tentang siapa yang

    dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak. Dalam hal ini

    dapat dikembalikan kepada ketentuan Undang-undang Pasal 31 ayat

    (3), yang mengatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri

    ibu rumah tangga. Dalam Pasal 34 ayat (1), juga disebutkan bahwa

    suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

    keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

    Dengan demikian, Undang-undang menentukan juga bahwa yang

    dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak adalah suami

    (bapak anak). Dan sini dapat dilihat adanya persesuaian antara

    ketentuan Undang-undang dan ketentuan hukum Islam dalam hal

    nafkah.75

    Sedangkan untuk anak luar kawin seperti yang telah penulis

    jelaskan di atas, sejak lahir telah memakai nama keluarga ibunya dan

    tentu saja dalam pemeliharaan keluarga ibunya. Untuk itulah hak anak

    dalam hal nafkah yang seharusnya menjadi kewajiban bapaknya harus

    mendapat perlindungan agar anak luar kawin dapat menikmati hak-

    haknya yang terabaikan.

    75 Ibid

  • 13

    Dalam KUH Perdata Pasal 328 disebutkan bahwa anak-anak

    luar kawin yang diakui menurut perundangan wajib memberi nafkah

    kepada orang tua mereka, dan kewajiban itu berlaku timbal balik.76

    Dalam hal ini cukup jelas untuk diperhatikan bahwa anak luar

    kawin berhak memperoleh nafkah dan orang tuanya, hal yang

    demikian dilindungi oleh Undang-undang.

    2. Ruang Lingkup Perlindungan Hukum Anak

    Untuk selanjutnya akan dibahas mengenai ruang lingkup

    perlindungan yang diberikan kepada anak secara umum. Ruang

    lingkup dalam pembahasan penulis adalah bentuk-bentuk dan

    perlindungan yang diberikan kepada anak yang digolongkan menjadi

    dua, yaitu :

    a) Perlindungan yang bersifat intern, adalah perlindungan yang

    diberikan oleh orang tuanya.

    Perlindungan yang bersifat intern ini diberikan kepada anak

    baik ketika anak belum dewasa maupun sudah dewasa. Anak

    merupakan amanat Allah SWT bagi kedua orang tuanya, maka dari

    itu telah menjadi kewajiban bagi kedua orang tuanya untuk

    melindungi, menjaga, memelihara perkembangan jiwanya baik

    jasmani maupun rohani demi kebahagiaan anak di masa

    mendatang.

    76 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

    Adat dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990, hal l4l .

  • 14

    Untuk itulah Islam mewajibkan bagi kedua orang tua untuk

    menyelenggarakan serta bertanggung jawab tentang pemeliharaan

    anak baik terhadap harta anak maupun diri anak secara pribadi.

    Adapun perlindungan terhadap diri anak itu ada yang

    bersifat materiil maupun non materiil.

    Perlindungan yang bersifat materiil ialah berupa :

    - Pemberian nafkah anak

    - Penyusuan anak

    - Pengasuhan anak

    Adapun perlindungan yang bersifat non materiil adalah :

    - Curahan kasih sayang

    - Penjagaan, perawatan dan lain-lain.

    A. Ada lagi bentuk perlindungan yang menjadi hak anak, yaitu:

    - Hak nasab

    - Hak Perwalian

    - Hak Waris

    Bentuk perlindungan yang menyangkut harta anak, yaitu

    - Membelanjakan harta anak sebelum ia mampu

    membelanjakannya.

    - Menjaga harta benda si anak agar jangan sampai terbuang sia-

    sia.

    Perlindungan di atas diberikan kepada anak yang belum dewasa,

    kecuali mengenai hak nasab dan hak perwalian khususnya wali dalam

    pernikahan itu berlaku meskipun anak telah dewasa.

  • 15

    Dalam UU No. 1 tahun 1974 juga diatur tentang perlindungan yang

    bersifat intern, yaitu terdapat dalam Pasal 45 ayat (1), yang berbunyi

    Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

    sebaik-baiknya.

    b) Perlindungan yang bersifat ekstern, yaitu perlindungan yang berasal selain

    dari orang tua, seperti perlindungan dari masyarakat maupun negara.

    Seorang anak yang belum dewasa selain berhak mendapat

    perlindungan dari orang tuanya juga perlindungan yang berasal dari

    masyarakat maupun negara. Sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 2

    UU RI No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang berbunyi :77

    1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarga

    maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang

    secara wajar.

    2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuannya dan kehidupan sosialnya sesuai dengan negara

    yang baik dan berguna.

    3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

    4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan

    perkembangan dengan wajar.

    Sedang yang mengusahakan perlindungan anak tersebut adalah

    pemerintah dan atau masyarakat, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 ayat

    (2) UU RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak yang berbunyi,

    Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan atau

    masyarakat.78

    77 Lembaran Negara Republik Indonesia, : tahun 1979 No. 32. 78 Ibid.

  • 16

    Adapun perlindungan terhadap anak setelah dewasa dilakukan oleh

    masyarakat dan negara termasuk di sini orang-orang atau keluarga orang tua

    anak tersebut. Selain itu anak juga berhak mendapat perlindungan seperti

    dalam hak waris dari keluarga dan dari orang tuanya mendapat hak nasab.

    Sedangkan yang berhubungan dengan negara yaitu kebebasan seorang anak

    dalam melakukan perbuatan hukum.

    Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin,

    dapat dilakukan sebuah pengakuan terhadap anak tersebut yang dilakukan

    oleh ayah dan ibunya. Pengakuan anak secara sukarela dalam doktrin

    dirumuskan sebagai suatu pernyataan yang mengandung pengakuan, bahwa

    yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui

    olehnya.79

    Yang perlu diperhatikan adalah bahwa akibat hukum daripada suatu

    pengakuan adalah munculnya hubungan hukum yang terbatas yaitu hanya

    antara yang mengakui dengan yang diakui saja, tidak dengan keluarga anak

    luar kawin yang diakui maupun keluarga pihak yang mengakuinya.80

    Pasal 281 KUH Perdata memberikan pengaturan mengenai bagaimana

    pengakuan secara sukarela itu diberikan dengan mengatakan :

    "pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila yang

    demikian itu tidak telah dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau

    pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap-

    tiap akta outentik ".

    79 J. Satrio, Hukum Kehiarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, Bandung

    PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal 109. 80 Ibid, hal 110

  • 17

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengakuan tersebut bersifat

    deklaratoir, yang artinya bahwa sekali pengakuan itu telah diberikan maka

    pengakuan itu tidak bisa ditarik kembali. Dengan itu bukti keturunan sudah

    diberikan dan karenanya tidak bisa lagi dihapuskan seenaknya.81

    Undang-undang No. l Tahun 1974 yang dikenal dengan sebutan

    Undang-undang Perkawinan juga memberikan pengaturan mengenai

    hubungan anak luar kawin dengan ibunya. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1

    Tahun 1974, disebutkan bahwa :

    Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

    perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak yang dilahirkan di

    luar kawin adalah yang bukan anak sah, dan antara anak tidak sah dengan

    ibunya -dan bahkan dengan keluarga ibunya demi hukum ada hubungan

    hukum (perdata).82

    Tetapi sejauh ini perbedaan antara hubungan anak tidak sah dengan

    ibunya dengan hubungan anak tidak sah dengan orang tuanya masih tetap

    sama, yaitu ,hubungan antara anak yang lahir di luar perkawinan dengan

    ibunya masih terbatas, antara anak itu dengan ibunya, sedang pada anak sah

    hubungannya adalah dengan seluruh keluarga orang tuanya. Mengenai

    hubungan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ibunya,

    ternyata Undang-Undang perkawinan lebih luas, karena meliputi juga

    hubungan dengan keluarga ibunya.

    81 Ibid, hal 112. 82 Ibid., hal. 150

  • 18

    Kiranya tidak bisa diingkari bahwa prinsip yang diletakkan dalam

    Pasal 43 Undang-undang Perkawinan tersebut diatas adalah prinsip yang

    logis, patut dan sesuai dengan kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan

    sehari-hari. Pembedaan yang tajam antara anak sah dan anak tidak sah dengan

    konsekuensinya yang sangat kejam bagi anak tidak sah, hanyalah pembedaan

    dalam hukum saja, dalam kehidupan nyata pembedaan setajam itu tidak

    nampak.83

    Menurut KUH Perdata suatu ketentuan yang bersifat melindungi

    kepentingan si anak diberikan juga dalam Pasal 281 ayat (4) KUH Perdata

    yang menetapkan bahwa kelalaian dari orang yang mengakui, untuk

    mencatatkan pengakuannya di Kantor Catatan sipil di mana anak dicatat

    kelahirannya, tidak boleh dipersalahkan kepada anak yang bersangkutan. Hal

    itu berarti bahwa kelalaian itu tidak mengurangi kedudukan anak yang

    bersangkutan sebagai anak luar kawin yang diakui.84

    Di dalam praktek

    hukum yang berlaku di Indonesia sekarang, dan juga di dalam doktrin, anak

    yang dilahirkan di luar perkawinan -yang bukan anak zina maupun anak

    sumbang- masih tetap disebut sebagai anak luar kawin dari ibunya.

    Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada

    di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada bilamana ada perkawinan.

    Maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada di bawah

    perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya.

    Pasal 353 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan:

    83 J. Satrio, op.cit, hal. 153. 84 Ahmad Rofiq, op.cit.,hal. 233

  • 19

    "Seorang anak tak sah bernaung demi hukum di bawah perwalian

    bapaknya yang telah dewasa atau ibunya yang telah dewasa pula dan

    yang masing-masing telah mengakuinya, kecuali sekiranya si bapak

    atau si ibu telah dikecualikan dari perwalian atau telah kehilangan

    hak mereka menjadi wali atau, sekiranya perwalian itu sudah

    ditugaskan kepada orang lain selama bapak atau ibu belum dewasa

    atau, wali ini telah mendapat tugas itu sebelum anak diakui ".

    Anak luar kawin diakui, jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak

    maupun ibunya, sehingga orang tua yang mengakui lebih dahulu itu menjadi

    walinya. Sehingga demikian hak-hak anak luar kawin tetap dapat dilindungi,

    baik perlindungan itu dari kedua orang tuanya, masyarakat maupun negara

    agar masa depan anak luar kawin tidak tertutup dan anak luar kawin dapat

    lebih diterima di masyarakat.

  • 48

    BAB IV

    ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

    LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1

    TAHUN 1974 DAN KUHP PERDATA (STUDI PERBANDINGAN)

    A. Analisis Status Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Menurut UU No. 1

    Tahun 1974 dan KUH Perdata.

    Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa anak yang lahir di

    luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

    keluarganya ibunya, tetapi tidak boleh menyebut tentang tidak boleh

    menyelidiki siapa bapak si anak? Dan nampaknya Undang-Undang No. 1

    Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak di luar perkawinan,

    akan tetapi dalam pasal 287 KUH Perdata menyatakan bahwa adanya

    pelarangan menyelidiki siapa bapak si anak, Tetapi penyelidikan sekedar

    untuk meletakkan tanggung jawab finansial tidak dilarang. Sedangkan

    menyelidiki siapa ibu si anak di perbolehkan.85

    Menurut Pasal 250 KUH Perdata, yang berbunyi

    "Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,

    memperoleh si suami sebagai ayahnya

    Anak luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau

    penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu

    mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukuan

    85 Prof. H. Hilman, SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum

    Adat dan Hukum Agama, Bandung. Mandar Maju, 1990, Hal. 134

  • 49

    pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau apabila pengakuan itu terjadi

    dalam perkawinannya sendiri (Pasal 272 KUH Perdata).86

    Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tertuang

    dalam Pasal 42, dikatakan :

    "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

    perkawinan yang sah

    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

    hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1)).

    Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal

    dalam Hukum Perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alam).87

    Anak luar

    kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut

    KUH Perdata, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi

    suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Baru setelah ada

    pengakuan, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya