perlindungan hukum potensi nasional

17
PERLINDUNGAN HUKUM (legal Protection) TERHADAP POTENSI NASIONAL (POTNAS) 1 Oleh : Ahmad Solihin 2 A. PENDAHULUAN. Perlindungan hukum (legal protection, VECHTS BESCHERMING) (M.Solly Lubis Kuliah Teori Hukum dan Konstitusi tanggal 16-10- 2014). Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum kita mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perrlindungan hukum, yakni perrlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Oleh karena hukum sejatinya harus memberikan perrlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Setiap aparat penegak hukum jelas wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perrlindungan terhadap setiap hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri. Dalam literature ilmu hukum perlindungan hukum Indonesia banyak dibahas tentang perlindungan hukum kepada manusia, tetapi barangkali belum diberikan pembahasan bagaimana pentingnya perlindungan hukum dalam konteks ketatanegaran terhadap bumi, air dan kekayaan alam, yang merupakan salah satu unsure adanya suatu negara yaitu wilayah, pemerintah dan rakyat, terlebih lagi bagi cabang-cabang produksi untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kehidupan rakyat itu dapat di berikan suatu perlindungan sehingga apa yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 mewujudkan kesejahteraan social masyarakat dapat diwujudkan. 1 . Tugas Mata Kuliah Teori Hukum Konstitusi.Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU. 2 . Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara,Nim : 137005032. 1

Upload: ahmad-solihin

Post on 29-Jul-2015

103 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perlindungan hukum potensi nasional

PERLINDUNGAN HUKUM (legal Protection) TERHADAP POTENSI NASIONAL (POTNAS)1

Oleh : Ahmad Solihin2

A. PENDAHULUAN.Perlindungan hukum (legal protection, VECHTS BESCHERMING) (M.Solly Lubis Kuliah

Teori Hukum dan Konstitusi tanggal 16-10-2014). Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum kita mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perrlindungan hukum, yakni perrlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.

Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Oleh karena hukum sejatinya harus memberikan perrlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Setiap aparat penegak hukum jelas wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perrlindungan terhadap setiap hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri.

Dalam literature ilmu hukum perlindungan hukum Indonesia banyak dibahas tentang perlindungan hukum kepada manusia, tetapi barangkali belum diberikan pembahasan bagaimana pentingnya perlindungan hukum dalam konteks ketatanegaran terhadap bumi, air dan kekayaan alam, yang merupakan salah satu unsure adanya suatu negara yaitu wilayah, pemerintah dan rakyat, terlebih lagi bagi cabang-cabang produksi untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kehidupan rakyat itu dapat di berikan suatu perlindungan sehingga apa yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 mewujudkan kesejahteraan social masyarakat dapat diwujudkan.

Perlindungan hukum (legal protection) terhadap potensi nasional sesungguhnya sangat penting sekali, menarik kalau kita lihat pemberitaan di harian Republika pada tanggal 10-10-2014 hal 16 dengan judul Industri Penting RI dikuasai oleh Asing.

Dalam tulisan itu Ketua Asosiasi kewirausahaan Sosial Indonesia Bambang Ismawan mengatakan sebanyak 60 persen industri penting dan strategis telah dikuasai oleh oleh investor asing dengan memberikan contoh industry perbankan, telekomunikasi, elektronika, asuransi dan pasar modal.

Industry strategis dan penting yang dikuasai saham asing adalah pada bidang seluler Indonesia yaitu, PT.Telkomsel sebesar 35 persen, saham XL axiata dikuasai asing sebesar 65 persen, Indosat sebesar 65 persen saham pemiliknya adalah asing, dan Hutchison Tri sebanyak 60 persen.

Pada sector perbankan 50, 6 persen sector perbankan nasional dimiliki oleh asing termasuk didalamnya 12 bank swasta lainnya sahamnya didominasi asing dengan mengambil contoh CIMB Niaga asing menguasai saham sebesar 97, 93 persen.

1 . Tugas Mata Kuliah Teori Hukum Konstitusi.Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU.2 . Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara,Nim : 137005032.

1

Page 2: Perlindungan hukum potensi nasional

Seharusnya dalam system perekonomian modern dan ekonomi kerakyatan, bisa bekerja sama dan saling mengisi. Namun kalau muncul perbedaan kepentingan dan terjadi konflik, sector perekonomian rakyat akan tergusur.

Lebih lanjut Bambang menyebutkan hal ini merupakan suatu penetrasi dari sector modern terhadap sector perekonomian rakyat yang mengakibatkan kemiskinan rakyat. Yang semuanya ini merupakan potensi nasional (potnas) negara yang seharusnya bisa dipergunakan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyaat sebagaimana tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang di amanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, beranjak dari realitas analistis ini apakah hukum yang ada apakan sudah memberikan suatu perlindungan hukum (legal protection) bagi potensi nasional (potnas)?

B. PancasilaDalam kedudukannya sebagai dasar dan ideologi negara yang tidak dipersoalkan lagi

bahkan sangat kuat, maka Pancasila itu harus dijadikan paradigma (kerangka berpikir, sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum, termasuk semua upaya pembaruannya. Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya, sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya. Menyikapi perlunya paradigma pembaharuan tatanan hukum, ialah setiap produk haruslah bersumber pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam lima sila Pancasila, dan keseluruhan Pembukaan UUD 1945.

Pancasila sebagai akar dari cita hukum bangsa Indonesia memberikan konsekuensi bahwa dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai pandangan hidup yang dianut akan memberikan koherensi dan direksi (arah) pada pikiran dan tindakan. Cita hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur yakni keadilan, kehasil-gunaan dan kepastian hukum. Cita hukum terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagaamaan dan kenyataan kemasyarakatan.

Pancasila merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang menjadi landasan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia, demikian pula negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjamin potensi, harkat dan martabat setiap warga negara sesuai dengan hak asasi manusia.

Dalam Konvensi Hukum Nasional disimpulkan tentang pentingnya Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional dalam rangka pembangunan hukum nasional dan didasari landasan falsafah Pancasila dan konstitusi negara, yaitu UUD 1945. Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional merupakan sebuah desain komprehensif yang menjadi pedoman bagi seluruh stakeholder yang mencakup seluruh unsur dari mulai perencanaan, legislasi, diseminasi dan budaya hukum masyarakat.( Barda Nawawi Arief, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke I s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008, Semarang: Pustaka Magister, 2008, hal .136).

Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa Grand Design adalah rancang bangun yang besar atau pola besar. Grand Design hukum nasional berarti rancang bangun yang besar dalam pembangunan sistem hukum nasional yang meliputi keseluruhan komponen dalam sistem hukum, yaitu komponen substansi, struktur dan kultur hukum. Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional harus berdasarkan dan diarahkan pada Pembukaan UUD 1945. Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional harus tetap berdasarkan pada paradigma Pancasila, yaitu:

a. Paradigma Ketuhanan (moral-religius),b. Paradigma Kemanusiaan (humanistik),

2

Page 3: Perlindungan hukum potensi nasional

c. Paradigma Kebangsaan (persatuan/nasionalistik),d. Paradigma Kerakyatan/Demokrasi,e. Paradigma Keadilan Sosial.Dengan demikian sebenarnya sejak founding father telah meletakkan dasar negara dan

menetapkan UUD 1945, sejak saat itu pula Indonesia telah memiliki grand design. Pada saat itu kita telah mempunyai politik hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional. (Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasakan atas Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, hal .160).

Namun seiring perkembangan konsep Negara Hukum Formill yang bergeser kepada Negara Hukum Kesejahteraan (welfare state) atau juga dikenal Negara Hukum Materiil, munculnya konsep freies ermessen merupakan solusi yang dapat digunakan dengan tujuan kesejahteraan bagi masyarakat.

Menurut Sjachran Basah (Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1981, hal. 305) pelaksanaan freies ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.

C. UUD 1945.Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris yaitu “Constitution” dan berasal dari bahasa

belanda “constitue” dalam bahasa latin (contitutio,constituere) dalam bahasa prancis yaitu “constiture” dalam bahasa jerman “vertassung” dalam ketatanegaraan RI diartikan sama dengan Undang–Undang Dasar. Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara dapat berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi tertulis, hampir semua negara di dunia memilikinya yang lazim disebut Undang-Undang Dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.

Sebagaimana kita pahami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bahwa UUD 1945 yang sudah mengalami amandemen sebanyak 4 kali amandemen merupakan sumber dari segala sumber hukum. UUD 1945 merupakan puncak untuk menderivatifkan nilai-nilai kedalam perundang-undangan.

Dalam UUD 1945 pasal 33 redaksi menyebutkan :1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh Negara.3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Kalau kita mengamati ketentuan pasal 33 ini khususnya dalam bidang perekonomian pada pasal 1 ayat 1 yang merupakan asas dalam melahirkan norma-norma hukum sesuai

3

Page 4: Perlindungan hukum potensi nasional

dengan ketentuan ayat 5 nya. Yakni asas kekeluargaan (brotherhood, friendelijkheid) Hal ini dapat kita lihat dalam mekanisme lahirnya nilai-nilai kedalam perundang-undangan yaitu :

Velue /nilai asas Norma

Jadi sudah sewajarnya ketentuan perundang-undangan yang mengatur cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat 2 pasal 33 UUD 1945). Tetap dan tidak berubah kepada asas kekeluargaan (brother, friendelijkheid). Hal ini yang membuat keunikan tersendiri kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur perekonomian nasional, maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan alam tetap berasaskan kepada kekeluargaan (Pasal 33 ayat 1 )dengan berprinsip kepada kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, wawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Hal ini harus menjadi rujukan paradigmatic bagi mereka pembuat kebijakan sepanjang menyangkut dengan perekonomian umumnya, dunia usaha, ekonomi kaum lemah dan sebagai ekonomi kerakyatan (M.Solly Lubis, Politik Hukum dan Kebijakan Publik,2014, 34).

Konteks “Hak Penguasaan Negara” menjadi dasar untuk negara memiliki kekuasaan yang penuh untuk pengelolaan sumberdaya alam. Maka istilah “menguasai” harus diartikan sebagai “hak” dan “wewenang” untuk menentukan penggunaan dan pengelolaannya, Cabang-cabang produksi disini bukan hanya produksi barang akan tetapi juga jasa (dalam ilmu ekonomi produksi ada 2 jenis yaitu produksi barang dan jasa).

Dari ketentuan yang sumir inilah ketika dijualnya satelit indosat yang merupakan industry yang bersifat strategis dalam bidang pertahanan dan keamanan negara Indonesia sudah tidak ada perlindungan hukum (legal protection) terhadap keamanan dan kerahasiaan komunikasi khususnya dalam bidang strategis contohnya Presiden RI bisa disadap pembicaraan via telepon selulernya oleh negara lain. Ditambah lagi dengan pernyataan dari Ketua Asosiasi kewirausahaan Sosial Indonesia Bambang Ismawan seperti diatas, seakan menambah ketidak perdayaan negara ini di hadapan negara-negara lain.

Dalam pasal 33 ayat 3 tercantum dasar demokrasi ekonomi, yakni dikatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Memahami rumusan Pasal 33 UUD 1945, membawa konsekuensi bahwa hubungan antara pernyataan tujuan negara (keadilan sosial dan kesejahteraan umum) yang terdapat di dalam pembukaan UUD 1945 dengan Pasal 33 UUD 1945 merupakan sebuah hubungan antara tujuan (Pembukaan UUD 1945) dengan sarana/cara (Pasal 33 UUD 1945). Dalam posisi yang demikian, Pasal 33 dan 34 UUD 1945 merupakan kaidah hukum yang fundamental dari UUD 1945 yang validitasnya bergantung pada pembukaan UUD 1945. Menurut Soekarno, maksud dan tujuan kesejahteraan sosial bahwa penataan pemilikan dan penguasaan tanah harus diupayakan seoptimal mungkin untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kemakmuran yang adil berarti bukan kemakmuran seorang atau kelompok-kelompok tertentu. ( Sutamto Dirdjosuparto, Sukarno Membangun Bangsa: Dalam Kemelut Perang Dingin sampai Trikora, Jakarta: BKS Yayasan Pembina dan Universitas 17 Agustus 1945 se Indonesia, 1998, h.21

4

Page 5: Perlindungan hukum potensi nasional

Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara. Pendelegasian ke sector swasta inilah yang menjadi persoalan yang kata pasal 33 dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan rakyat dalam hal ini DPR . “Mendua” karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam pengelolaan sumberdaya alam ini menjadi demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.

Sedangkan pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.

Banyak perusahaan kecil terpinggir, juga lahan-lahan pertanian yang penguasaan rakyat menjadi tergusur digantikan oleh pabrikpabrik dan industri milik pengusaha besar. sedangkan kondisi hidup di perkotaan tidak selalu cerah dan menjanjikan bagi petani dan buruh tani yang terdesak dari pedesaan untuk menjadi urban. Semua ini adalah efek dari kebijakan regulasi yang kendali utamanya di tangan Presiden sebagai chiefexcecutive. Sedangkan lembaga-lembaga negara lainnya tidak atau kurang aktif melakukan kontrol terhadap perilaku pihak eksekutif.

Begitu pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas Bumi) dan Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa Pertambangan Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) memang pemegang tunggal kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar.

Filosofi yang terkandung di dalam paradigma atas penguasaan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia tersebut harus dipahami oleh penyelenggara negara dalam hal ini kekuasaan eksekutif untuk merumuskan suatu kebijaksanaan yang dikonkritkan menjadi kebijakan.

Konsekuensi logis dari negara untuk menguasai dan melakukan pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi adalah terciptanya kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat dapat juga diartikan sebagai kebahagiaan rakyat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum penggagas hukum progresif, menyatakan bahwa hukum itu dibuat untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan malahan untuk menyengsarakan rakyatnya. (Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet. 2, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007, h. 11.)

D. Undang-Undang.

Lembaga yang memiliki kekuasaan legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan Pasal 20 ayat 1 UUD 1945. Kekuasaan legislativ atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berhubungan dengan kekuasaan membuat undang-undang. Yakni : “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”

Presiden sebagai kepala negara dan kepala Pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia juga berhak mengajukan suatu Undang-undang. Hal ini merupakan Perubahan Pertama UUD 1945, adalah perubahan pertama pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Umum Majelis

5

Page 6: Perlindungan hukum potensi nasional

Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999. Hal ini dapat kita bandingkan /komparasikan Pasal 5 ayat 1 sebelum amandemen yakni “ Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat”.dan pasal 5 ayat 1 hasil amandemen pertama tadi yaitu : “ Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”

Undang-undang yang lahir sebagai mana penerapkan Pasal 33 dengan “malu-malu kucing”. Jiwa liberal ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem ekonomi pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke swasta. Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan saja Undang-undang yang bersifat liberal yaitu :

1. UU No 12 tahun 1992 tentang Budi Daya Tanaman.2. UU No 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman3. UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas,4. UU No 20 tahun 2002 tentang ketenagalisterikan.5. UU No 2 tahun 2003 tentang Perikanan6. UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.7. UU No 18 tahun 2003 tentang perkebunan8. UU No 19 tahun 2003 tentan BUMN.9. UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.10. UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.11. UU No 19 tahun 2004 tentang kehutanan menjadi pertambangan12. UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal13. UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. (M. Solly Lubis,Materi Kuliah Sistem Politik

Indonesia, tanggal 20-10-2014).

Malah menurut sekretaris kordinator Koalisi Merah Putih Idrus Marham undang-undang yang berbau liberal berjumlah lebih dari 100. (www.merdeka.com,tanggal 8 oktober 2014).

Tentunya hal positive ini patut disyukuri mulai sadarnya elite legislative dalam memahami ketentuan pasal 33 UUD 1945 ini. Banyaknya peraturan yang berbentuk Undang-Undang berbau liberal dapat kita lihat dari tahun undang-undang tersebut, baik itu legislative maupun eksekutif, kita lihat dari sisi eksekutif dalam hal ini presiden yaitu :

1. Presiden Soekarno sebagai presiden pertama dengan masa kepemimpinan dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1966.

2. Presiden Soeharto dari tahun 1966 sampai tahun 1998.

3. Presiden BJ Habiebi (21 Mei 1998 sampai dengan 20 Oktober 1999).

4. Abdulrahman Wahid (20 Oktober 1999 sampai dengan 23 Juli 2001)

5. Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 sampai dengan 20 Oktober 2004)

6. Susilo Bambang yudhoyono (20 Oktober 2004 sampai dengan 20 Oktober 2014).

Sementara itu Partai Politik pemenang pemilu adalah :

1. Pemilu tahun 1955 ini dibagi dalam 2 tahap yaitu Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota MPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.Tahap kedua adalah pemilu untuk memilih anggota konstituante, tahap ini dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955. Dengan urutan lima besar adalah : Lima besar dalam

6

Page 7: Perlindungan hukum potensi nasional

Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi MPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi MPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi MPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi MPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen).

2. Pemilu tahun 1971, diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 Juli 1971 ,untuk memilih anggotaDewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia. Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

3. Pemilu tahun 1977,dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 dengan pemenang pemilu adalah partai Golkar , PPP dan PDI.

4. Pemilu tahun 1982, diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982 untuk memilih anggotaDewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia. Dengan pemenang tetap Golkar, PPP dan PDI.

5. Pemilu tahun 1987, diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23 April 1987 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1987-1992. Pemenangnya tetap sama dengan pemilu tahun 1982.

6. Pemilu tahun 1992, diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1992-1997. Pemenangnya yaitu Golkar, PPP dan PDI.

7. Pemilu tahun 1997, diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29 Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada masa Orde Baru. Dan tetap dimenangkan oleh Golkar sebagai pemenang pertama, PPP kedua dan PDI Ketiga.

8. Pemilu tahun 1999, diselenggarakan secara serentak pada tanggal 7 Juni 1999 untuk memilih 462 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 1999-2004. Pemilihan Umum ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan setelah runtuhnya Orde Baru dan juga yang terakhir kalinya diikuti oleh Provinsi Timor Timur. Dengan 5 Besar Partai politiknya adalah PDI-P dengan jumlah kursi 153 Kursi, Golkar 120 Kursi, PPP 58 Kursi, PKB 51 Kursi, PAN 34 kursi.

9. Pemilu tahun 2004. diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggotaDewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Hasil akhir pemilu menunjukan bahwa Golkar mendapat

7

Page 8: Perlindungan hukum potensi nasional

suara terbanyak. Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua partai terbaru dalam pemilu ini, mendapat 7,45% dan 7,34% suara.

Pada tahun 2004 ini untuk pertama sekali diadakan pemilu Presiden dan wakil presiden Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004 diselenggarakan untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2004-2009. Pemilihan umum ini diselenggarakan selama 2 putaran, dan dimenangkan oleh pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.

10. Pemilu tahun 2009, diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur) dengan Pemenang adalah Partai Demokrat disusul oleh Golkar dan PDI-P.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

11. Pemilu tahun 2014. diselenggarakan pada 9 April 2014 untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019. Dengan pemenangnya adalah PDI-P disusul oleh Golkar dan Gerindra.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014 dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk masa bakti 2014-2019. Pemilihan ini menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia. Presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat maju kembali dalam pemilihan ini karena dicegah oleh undang-undang yang melarang periode ketiga untuk seorang presiden. Menurut UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyatatau memenangi 25% suara populer dapat mengajukan kandidatnya. Undang-undang ini sempat digugat di Mahkamah Konstitusi, namun pada bulan Januari 2014, Mahkamah memutuskan undang-undang tersebut tetap berlaku. Pemilihan umum ini akhirnya dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan memperoleh suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85% sesuai dengan keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014. Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014.

Jika ada Undang-Undang yang menimbulkan konflik, atau jika ada Undang-Undang yang tidak bermanfaat, tidak menciptakan kepastian hukum, tidak berkeadilan juga harus

8

Page 9: Perlindungan hukum potensi nasional

dinyatakan bertentangan dengan UUD sebab UUD 1945 merupakan cerminan perilaku masyarakat. Selain itu, jika ada Undang-Undang yang tidak berorientasi pada tata nilai yang berlaku (kosmologi Indonesia) juga harus dibatalkan, sebab dapat saja Undang-Undang ketinggalan atau tidak sesuai dari kenyataan-kenyataan yang masyarakat (het recht hink achter de feiten aan).

Setidaknya ada empat nilai dasar yang harus terpancar dalam setiap pembuatan hukum dan cita hukum Indonesia: a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Keharusan ini sesuai

dengan pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.b. Hukum dibuat dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.c. Hukum yang dibuat haruslah memuat nilai dan melalui proses yang demokratis.

Keharusan ini ditempuh agar diperoleh hukum yang responsif dan populis.d. Hukum harus berdasarkan nilai-nilai keutuhan dan kemanusiaan yang adil dan

beradab. (A. T. Soegito dkk, Pendidikan Pancasila, Cetakan Keenam, Semarang: IKIP Semarang Press, 1999, h.187-188)Sebagai paradigma pembangunan hukum, Pancasila memiliki sekurang-kurangnya

empat kaidah penuntun yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pertama, hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa dan karenanya tidak diperbolehkan ada hukum-hukum yang menanam benih disintegrasi. Kedua, hukum harus mampu menjamin keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat. Ketiga, hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara hukum). Keempat, hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apapun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan dan keberadaan.( Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, h.55).

E. Kesimpulan.

Dari uraian diatas keberadaan eksekutif maupun legislative pada masa diberlakukannya peraturan perundang-undang yang berbau liberal pada saat itu tidak bisa kita just sepenuhnya, tentunya perlu kita telusuri suasana maupun situasi politik saat itu, tetapi setidaknya kita dapat sedikit gambaran tentang hal itu.

Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 , melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip dan asas pasal 33 yakni asas kekeluargaan. Malah lebih parah lagi amandemen yang dilakukan sebanyak 4 kali amandemen bisa dikatan belum memberikan perlindungan kekayaan alam, bumi dan air dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Konon lagi meberikan legal protection terhadap jasa yang memberikan dampak strategis dan penting kesejanteraan rakyat terlebih kepada keamanan negara.

Penguasaan asing ini merupakan tanda bahaya (alarm). Padahal sejak sejak zaman kemerdekaan, Indonesia memiliki undang-undang(UU) yang mengatur soal bumi, air dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara. Akan tetapi , saat ini industry enting dan strategis kita mayoritas dikuasai asing. Hal ini disebabkan oleh mandulnya hukum di Indonesia. Sehingga, asing dengan leluasa bisa menguasai semua sector, termasuk industry penting misalnya industry migas, tambang dan telekomunikasi (Asep Warlan Yusuf, Republika, 10-10-2014 hal 16).

9

Page 10: Perlindungan hukum potensi nasional

Solusinya menurut beliau adalah “ Kembalikan Konstitusi seperti dulu” tentunya pernyataan ini sangat emosional akan lebih baik seyogianya dilakukan kajian yang terukur dan konprehensif mengenai hal ini, tetapi ada yang lebih efisien dan cepat dilakukan dengan Perlindungan hukum (legal protection, VECHTS BESCHERMING) Yang Paradigmatik terhadap isi maupun makna filosofis dari pasal 33 atau Potensi Nasional (POTNAS) baik itu melalui penyempurnaan UUD 1945 dengan penambahan 1 ayat sehingga menjadi 6 ayat, dengan ayat tambahan berbunyi “ Produksi barang dan Jasa yang bersifat strategis dan penting dikuasai oleh negara”, jasa yang bersifat strategis dan penting bagi keamanan dan pertahanan nasional sehingga kedepan kita tidak lagi mendengar pembicaraan presiden Republik Indonesia dapat disadap oleh negara lain, maupun dalam bentuk UU baru dengan melakukan pergantian dari UU yang berbau liberal dengan menasionalisasi kembali UU tersebut, atau dengan pengaturan tentang saham asing tidak boleh melebihi 20 persen saham negara. Sebagai parameter adalah angka 20 atau kurang dari 20 persen (contoh alokasi anggaran pendidikan 20 persen). Sehingga keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia bisa terwujud.

Sejak Indonesia merdeka, bangsa ini telah bersepakat menjadikan Pembukaan UUD 1945 sebagai kesepakatan luhur yang final (modus vivendi). Di dalam pembukaan UUD 1945 dicantumkan dasar dari negara ini didirikan, yakni Pancasila. Pancasila telah ditetapkan sebagai rechtsidee maupun grundnorm. Baik kedudukan sebagai rechtsidee maupun sebagai grundnorm, nilai-nilai Pancasila harus mewarnai, menjiwai pembaharuan hukum di indonesia, baik pada tataran substansial (materi hukum), struktural (aparatur hukum) maupun kultural (budaya hukum). Pancasila harus disebutkan sebagai bintang pemandu arah (leitztern) kebijakan pembaharuan hukum di Indonesia. Kebijakan pembaharuan yang tidak menyinggung apa yang menjadi dasar penentu arah kebijakan pembangunan hukum, yakni Pancasila dapat dikatakan masih bersifat parsial karena kurang melihat sisi pembangunan hukum nasional secara integral yang seharusnya melibatkan pembicaraan tentang Pancasila sebagai bintang pemandu arah (leitztern).

Perubahan hukum senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat, dengan hukum yang mengaturnya. Bagaimana pun kaidah hukum tidak mungkin dilepaskan dari hal-hal yang diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogianya diaturnya tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya.

Perubahan-perubahan nilai atau atau kaidah-kaidah dasar dalam masyarakat menuntut dilakukan perubahan hukum agar dapat selalu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Persoalan penyesuain hukum terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang dimaksud adalah hukum tertulis atau perundang-undangan (dalam arti luas). Hal ini sehubungan dengan kelemahan perundang-undangan yang bersifat statis dan kaku.

Menurut M. Solly Lubis, proses pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi meniscayakan bahwa masukan-masukan (inputs) yang menjadi bahan pertimbangan untuk penentuan hukum itu bersumber dari dan merupakan aspirasi warga masyarakat/rakyat yang meliputi berbagai kepentingan hidup mereka. Aspirasi warga masyarakat disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang benar-benar jeli dan responsif terhadap tuntutan hati nurani masyarakat yang diwakilinya. Aspirasi tersebut kemudian diproses dalam lembaga legislatif yang pada akhirnya akan muncul produk politik yang berupa hukum yang benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat.( M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal.23-24.)

10

Page 11: Perlindungan hukum potensi nasional

Secara umum, undang-undang dibuat oleh pembentuk undang-undang untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan dan ditegakkan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kegiatan dalam kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan secara tuntas dan jelasnya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan mempunyai kemampuan terbatas, sehingga undang-undang yang dibuatnya, tidaklah lengkap untuk mencakup keseluruhan kegiatan kehidupannya, oleh karena itu tidak ada undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya atau yang jelas sejelas-jelasnya.

Keadilan sosial sebagai salah satu sila, yang sekaligus dijiwai oleh keempat sila lainnya dalam Pancasila itu, adalah keadilan sosial yang spesifik Indonesia, tidak sama dengan konsep keadilan sosial yang terdapat di negara lain. Dalam spesifikasinya itu, keadilan sosial dan kerakyatan yang akhir akhirnya ini dikumandangkan dimana-mana terutama oleh mereka yang mempunyai obsesi dan ambisi politik sebagai dasar pemberdayaan ekonomi rakyat dan kerakyatan-sebenarnya bukan hanya relevan dan terbatas untuk kehidupan ekonomi saja. Perlu diperhatikan kembali bahwa “ Keadilan sosial” yang dimaksud sebagai salah satu paradigma filosofis itu, adalah untuk keseluruhan bidang kehidupan bangsa, supaya terkondisi keadilan sosial dalam kehidupan sosial politik ekonomi, sosial budaya, dan bidang Hankamtibmas.

Begitu juga dengan melakukan perlindungan hukum terhadap potensi nasional yang kita miliki dapat memberikan kesejahteraan secara paradigmatik bagi masyarakat dan seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai renungan bagi kita semua ada sebuah ungkapan "Siapa yang menguasai Informasi maka akan menguasai Dunia" (Alvin Toffler 1928 - 1996). Semoga !!!

11

Page 12: Perlindungan hukum potensi nasional

12