perkebunan risalah 1. hengky novarianto

14
1 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat SUMBER DAYA GENETIK SAGU MENDUKUNG PENGEMBANGAN SAGU DI INDONESIA Hengky Novarianto PENDAHULUAN Balai Penelitian Tanaman Palma Manado Jl. Raya Mapanger, Manado E-mail: [email protected] Sagu ( , Rottb) merupakan salah satu sumber pangan dan energi yang sangat potensial. Luas areal tanaman sagu di dunia lebih kurang 2 juta hektar, dan sekitar 60% areal sagu dunia ada di Indonesia, 90% di antaranya tersebar di Papua dan Papua Barat. Direktorat Jenderal Perkebunan melaporkan bahwa luas areal sagu di Indonesia tahun 2011 diperkirakan mencapai 100.616 ha, yaitu sagu budidaya/semibudidaya. Penyebaran tanaman sagu di Indonesia terutama di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Barat (Mentawai), dan Riau. Berdasarkan hasil penelitian yang terkait dengan keragaman sagu, diduga tanaman sagu berasal dari Papua. Balai Penelitian Tanaman Palma Manado telah melakukan eksplorasi dan pengumpulan plasma nutfah sagu sejak awal tahun 1990, dan sampai tahun 2012 telah dikoleksi dan dikonservasi sebanyak 20 aksesi sagu yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Beberapa jenis sagu yang dapat direkomendasikan sebagai bahan tanaman sagu unggul adalah sagu Molat dan Tuni asal Maluku, sagu Osoghulu, Ebesung dan Yebha asal Papua, sagu Roe asal Sulawesi Tenggara dan sagu Meranti asal Riau. Percepatan pelepasan varietas sagu dan penggunaan anakan sagu unggul adalah strategi dalam pengembangan sagu di Indonesia. Kata kunci: Sagu, sumber daya genetik, plasma nutfah, varietas sagu, anakan sagu, pengembangan sagu. ABSTRAK Metroxylon sagu Sagu ( , Rottb) merupakan salah satu tanaman tertua yang digunakan oleh masyarakat di Asia Tenggara dan Oceania. Luas areal tanaman sagu di dunia sekitar 2 juta hektar, dengan kapasitas produksi 2,5-5,5 ton pati sagu kering per hektar (Flach, 1983). Potensi sagu di Indonesia dari sisi luasnya sangat besar. Sekitar 60% areal sagu dunia ada di Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa areal sagu Indonesia menurut Profesor Flach mencapai 1,2 juta ha dengan produksi berkisar 8,4-13,6 juta ton per tahun, dan sekitar 90% berada di Papua. Sagu adalah salah satu sumber pangan utama bagi sebagian masyarakat di beberapa bagian negara di dunia. Penyebaran tanaman sagu di Indonesia terutama di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Metroxylon sagu

Upload: riiztquee

Post on 28-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

perkebunan

TRANSCRIPT

Page 1: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

1Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

SUMBER DAYA GENETIK SAGU MENDUKUNG

PENGEMBANGAN SAGU DI INDONESIA

Hengky Novarianto

PENDAHULUAN

Balai Penelitian Tanaman Palma Manado

Jl. Raya Mapanger, Manado

E-mail: [email protected]

Sagu ( , Rottb) merupakan salah satu sumber pangan dan energi yang sangat

potensial. Luas areal tanaman sagu di dunia lebih kurang 2 juta hektar, dan sekitar 60% areal sagu

dunia ada di Indonesia, 90% di antaranya tersebar di Papua dan Papua Barat. Direktorat Jenderal

Perkebunan melaporkan bahwa luas areal sagu di Indonesia tahun 2011 diperkirakan mencapai

100.616 ha, yaitu sagu budidaya/semibudidaya. Penyebaran tanaman sagu di Indonesia terutama

di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Barat (Mentawai), dan

Riau. Berdasarkan hasil penelitian yang terkait dengan keragaman sagu, diduga tanaman sagu

berasal dari Papua. Balai Penelitian Tanaman Palma Manado telah melakukan eksplorasi dan

pengumpulan plasma nutfah sagu sejak awal tahun 1990, dan sampai tahun 2012 telah dikoleksi

dan dikonservasi sebanyak 20 aksesi sagu yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Beberapa jenis sagu yang dapat direkomendasikan sebagai bahan tanaman sagu unggul adalah

sagu Molat dan Tuni asal Maluku, sagu Osoghulu, Ebesung dan Yebha asal Papua, sagu Roe asal

Sulawesi Tenggara dan sagu Meranti asal Riau. Percepatan pelepasan varietas sagu dan

penggunaan anakan sagu unggul adalah strategi dalam pengembangan sagu di Indonesia.

Kata kunci: Sagu, sumber daya genetik, plasma nutfah, varietas sagu, anakan sagu,

pengembangan sagu.

ABSTRAK

Metroxylon sagu

Sagu ( , Rottb) merupakan salah satu tanaman tertua yang

digunakan oleh masyarakat di Asia Tenggara dan Oceania. Luas areal tanaman sagu di

dunia sekitar 2 juta hektar, dengan kapasitas produksi 2,5-5,5 ton pati sagu kering per

hektar (Flach, 1983). Potensi sagu di Indonesia dari sisi luasnya sangat besar. Sekitar 60%

areal sagu dunia ada di Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa areal sagu

Indonesia menurut Profesor Flach mencapai 1,2 juta ha dengan produksi berkisar 8,4-13,6

juta ton per tahun, dan sekitar 90% berada di Papua. Sagu adalah salah satu sumber

pangan utama bagi sebagian masyarakat di beberapa bagian negara di dunia. Penyebaran

tanaman sagu di Indonesia terutama di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi

Metroxylon sagu

Page 2: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

2 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Barat (Mentawai), dan Riau. Direktorat Jenderal

Perkebunan melaporkan bahwa luas areal dan produksi sagu menurut pengusahaan

tahun 2011 berturut-turut hanya 100.616 ha dan 95.162 ton (Direktorat Jenderal

Perkebunan, 2011). Jika dilihat dari data yang sangat kecil ini, tidak heran bila

pengembangan sagu kurang mendapat perhatian pemerintah. Luas areal sagu harus

dilihat sebagai tanaman budidaya/semibudidaya dan sagu dalam kawasan hutan.

Eksploitasi hutan sagu tanpa rehabilitasi yang benar ternyata telah banyak merusak

hutan sagu dan ekosistemnya selama ini.

Peranan sagu dalam kehidupan masyarakat terutama yang bermukim di Indonesia

Timur tidak boleh diabaikan begitu saja. Sagu memiliki nilai sosial yang sangat tinggi.

Louw (2001) Lakuy dan Limbongan (2003) menyatakan bahwa sekurang-

kurangnya terdapat tiga peran utama sagu bagi masyarakat adat Papua terutama

kawasan Danau Sentani yakni : (1) sebagai makanan pokok, (2) sumber pendapatan

rumah tangga, dan (3) pengikat kebersamaan bagi pemilik areal sagu yang

menghibahkan sebagian tegakan sagu kepada sesama warga yang tidak memiliki.

Bintoro (2003) melaporkan bahwa di Malaysia pemanfaatan pati sagu telah berkembang

lebih luas, yaitu untuk pembuatan gula cair, penyedap makanan ( ),

mie, caramel, sagu mutiara, kue cracker, keperluan rumah tangga, industri perekat dan

industri lainnya. Dengan perkembangan teknologi ternyata pati sagu dapat dijadikan

bahan baku untuk pembuatan plastik ( ) (Pranamuda ., 1996), dan

sebagai bahan pengisi ( ) perekat kayu lapis. Selain itu, pati sagu mempunyai

potensi dan prospek yang baik sebagai substrat fermentasi aseton-butanol-etanol

(Gumbira ., 1996).

Program pengembangan sagu di Indonesia memerlukan dukungan teknologi

meliputi penyediaan bahan tanaman sagu unggul, teknik budidaya dan rehabilitasi

hamparan sagu, diversifikasi produk pangan dari tepung sagu dan pengolahan tepung

sagu menjadi bioetanol.

Luas areal tanaman sagu di Papua mencapai 90% dari total areal di Indonesia.

Tanaman sagu diduga berasal dari Papua. Pendapat ini didasarkan pada hasil penelitian

dan laporan dari beberapa peneliti sagu. Ternyata keragaman jenis sagu yang paling

besar adalah di Papua dibandingkan beberapa daerah sagu lainnya seperti: Maluku,

Sulawesi, Riau dan Riau Kepulauan.

Berdasarkan hasil penelitian jenis-jenis sagu di Indonesia yang telah dilakukan oleh

sejumlah peneliti yaitu Pangkali (1994) di Papua, Allorerung dan Rembang (1995) di

Jayapura, Miftahorrachman dan Novarianto (1996) di Maluku, Widjono . (2000) di

Papua, Tenda . (2003) di Sulawesi Tenggara, dan Novarianto (2012) di Riau

dalam

monosodium glutamate

biodegradable plastic et al

ekstender

et al

et al

et al

KERAGAMAN GENETIK SAGU DI INDONESIA

Page 3: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

3Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

menunjukkan bahwa jumlah aksesi atau jenis-jenis sagu dengan tingkat keragaman

morfologi yang tertinggi terdapat di Papua. Hasil eksplorasi jenis-jenis sagu ini diperkuat

dengan hasil penelitian berdasarkan marka molekular yang dilakukan Barahima .

(2001) yang menyimpulkan bahwa dengan analisis phylogenetik terbukti bahwa

populasi sagu di Papua memiliki keragaman yang sangat tinggi. Hasil ini memperkuat

dugaan bahwa tanaman sagu berasal dari Papua, lalu menyebar ke daerah lainnya di

Indonesia.

Plasma nutfah adalah substansi sifat keturunan yang merupakan sumber genetik

dalam perakitan kultivar unggul. Untuk mendapatkan sumber genetik unggul

diperlukan koleksi plasma nutfah yang cukup banyak dan memilki keragaman genetik

luas. Koleksi plasma nutfah suatu tanaman diperoleh melalui kegiatan eksplorasi dan

keragaman genetik dapat diketahui melalui evaluasi karakteristik plasma nutfah.

Eksplorasi plasma nutfah sagu telah dimulai oleh peneliti Balai Penelitian Tanaman

Kelapa dan Palma Lain di Desa Kehiran, Kabupaten Sentani, Papua pada tahun 1993,

yang dilanjutkan dengan identifikasi jenis-jenis sagu berdasarkan keragaman morfologi

vegetatif dan generatifnya (Allorerung ., 1994; Novarianto ., 1996). Malia dan

Novarianto (1994) melaporkan bahwa di Desa Tamilouw, KecamatanAmahai, Kabupaten

Maluku Tengah ditemukan populasi sagu dengan lahan agak kering dan tidak tergenang

air dalam jangka panjang, dengan produksi pati sagu Tuni mencapai 500 kg/pohon. Hasil

evaluasi Allorerung dan Rembang (1995) di Jayapura menunjukkan bahwa ada 6 jenis

sagu dan di antaranya ada yang berpotensi hasil tinggi (150-200 kg pati basah/pohon).

Sementara itu dari survei di Desa Piru, Eti dan Neniari, Kecamatan Seram Barat, Maluku

Tengah diperoleh empat jenis sagu yaitu sagu Tuni, Ihur, Makanaru dan Molat

(Miftahorrahman dan Novarianto, 1996).

Luas areal tanaman sagu di Papua mencapai 90% dari total areal di Indonesia.

Dengan demikian keragaman genetik sagu terbesar terdapat di Papua. Pangkali (1994)

membagi 20 jenis sagu asal Sentani, Jayapura dalam dua tipe yaitu (1) sagu berduri atau

Mart (terdiri dari Para Huphon, Para Hondsay, Rondo, Munggin, Puy,

Manno, Epesum, Ruruna dan Yakhalope), (2) sagu tidak berduri atau

Rottb (terdiri dari: Yepha Hongsay, Yepha Hongleu, Yepha Ebung, Osokhulu, Follo, Pane,

Wani, Ninggih, Yukulam, Hapolo, Yakhe, Hili, Fikhela dan Hanumbo).

Dari hasil survei yang dilakukan oleh Widjono . (2000) diketahui ada 61 jenis

sagu yang tersebar di seluruh wilayah Papua dengan rincian 35 jenis di Jayapura, 14 jenis

di Manokwari, 3 jenis di Merauke, dan 9 jenis sagu di Sorong baik yang berduri maupun

tidak berduri. Hasil observasi BPTP Papua menunjukkan bahwa di Sorong terdapat

delapan jenis sagu unggul dengan potensi produksi di atas 250 kg pati/pohon. Pada tahun

2002 diperoleh informasi bahwa terdapat satu jenis sagu asal Sangihe Talaud, Sulawesi

et al

et al et al

Metroxylon rumphii

Metroxylon sagus

et al

EKSPLORASI DAN KOLEKSI PLASMA NUTFAH SAGU

Page 4: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

4 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Utara yang tumbuh baik di tanah tanpa tergenang air dan dikenal dengan nama sagu

baruk ( ). Selanjutnya survei dilakukan oleh Tenda . (2003) di Desa

Lakomea, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara dan diperoleh tiga jenis sagu tipe

.

Di antara sagu tersebut terdapat satu jenis sagu yang unik yaitu jenis Rondo yang

memiliki khas tersendiri dimana bagian empulur dapat langsung dimakan setelah

dibakar ataupun digoreng seperti ubi jalar. Tipe sagu ini berduri pendek dan halus,

tumbuh rapat tersebar di permukaan pangkal pelepah dan pertumbuhan duri mengarah

ke pangkal pelepah.

Menurut informasi dari petani, yang umum dimanfaatkan adalah jenis sagu Yebha

karena produksi aci tinggi, berwarna putih, rasanya enak, lebih tahan lama setelah dibuat

makanan (2-3 hari), bagian kulit batang tebal dan baik dibuat lantai rumah, sedangkan

daunnya dipakai sebagai atap rumah. Sagu Yaghalobe termasuk sagu potensial tetapi di

lapangan sudah agak sulit ditemukan. Menurut Miftahorrahman dan Novarianto (1996)

di Seram Barat, Maluku Tengah ditemukan sagu Tuni, sagu Molat dan sagu Makanaru.

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Tenda . (2003) terdapat tiga jenis sagu

yang terdiri atas (1) sagu tidak berduri dengan nama lokal Tawaro roe tergolong

atau sagu Molat, (2) sagu berduri besar, bentuk batang tinggi besar yang

disebut Tawaro rungga manu tergolong atau sagu Tuni, dan (3) sagu

berduri pendek dan memiliki ukuran batang kecil yang disebut Tawaro rui tergolong

atau sagu Ihur. Rata-rata hasil pati sagu yang diperoleh adalah Tawaro

roe 374,5 kg, Rungga manu 186,2 kg dan Rui 89,6 kg. Biasanya petani lebih suka mengolah

jenis sagu roe yang di samping memiliki daya hasil tinggi, juga memiliki pati yang

berwarna putih.

Di Sulawesi Utara terdapat dua tipe sagu yaitu (1) sagu rumbia ( sp)

yang umum di pertanaman dan (2) sagu baruk ( ). Hasil penelitian Lay

. (1998) menunjukkan rata-rata produksi pati per pohon untuk sagu rumbia adalah 250-

375 kg/pohon sedangkan sagu baruk 50 kg/ pohon. Sagu rumbia terdapat di Minahasa,

Bolaang Mongondow, Sangihe dan Talaud. Sagu baruk banyak terdapat di Kabupaten

Sangihe dan Talaud, dengan bentuk pohon lebih pendek dan ukuran batang kecil, namun

tepung sagu lebih putih dan enak dibandingkan dengan sagu rumbia.

Koleksi sagu Balit Palma Manado yang ditanam di Sulawesi Utara berjumlah 20

aksesi, dan sebagian besar koleksi plasma nutfah sagu ini berasal dari Papua, yaitu

Osoghulu, Abesung, Yebha, Phara Waliha, Fikhela, Wanni, Phara, Ruruna, Rondo, Phui,

Yakhali, Habela, dan Yakhe. Hasil pengamatan karakter vegetatif memperlihatkan

bahwa semua karakter yang diamati yaitu lingkar batang, jumlah daun, tinggi tanaman

dan jumlah anakan sangat beragam dengan nilai KK > 20%. Pertumbuhan jenis sagu

Phara Waliha memiliki ukuran lingkar batang terbesar dibanding dengan sagu lainnya

yaitu 169 cm. Jumlah daun terbanyak adalah Yakhe yaitu 18 helai demikian juga jumlah

anakan terbanyak ditemukan pada sagu Yakhe yaitu 20 anakan. Evaluasi potensi

produksi pati sagu yang dilakukan terhadap satu pohon sagu Rondo berumur 12 tahun

Arenga microcarpha et al

Metroxylon

et al

Metroxylon sagus

Metroxylon rumphii

Metroxylon rumphii

Metroxylon

Arenga microcarpa et

al

Page 5: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

5Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

pada koleksi ex situ di KP Kayuwatu menunjukkan produksi pati 163,33 kg/pohon

(Tulalo, 2011).

Dari hasil ekplorasi plasma nutfah yang baru saja dilakukan tahun 2012 diperoleh

aksesi sagu yang berasal dari Maluku. Pada bulan Agustus 2012 telah dikoleksi sebanyak

empat aksesi sagu, yaitu sagu Molat, sagu Tuni, sagu Ihur dan sagu Makanaru. Pada

bulan Nopember 2012 keempat aksesi sagu tersebut ditanam di KP. Mapanget, Balit

Palma. Sagu Molat adalah sagu tidak berduri, sedangkan tiga aksesi lainnya adalah sagu

berduri. Potensi hasil sagu basah yang dilaporkan oleh Louhenapessy . (2011) untuk

sagu Molat, Tuni, Ihur dan Makanaru berturut-turut 640,07 kg, 509,13 kg, 517,28 kg dan

471,46 kg per pohon.

Beberapa jenis sagu yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan tanaman

dalam program pengembangan sagu di beberapa daerah penghasil sagu utama disajikan

pada Tabel 1.

Produksi pati sangat tergantung kepada umur tanaman dan jumlah daun yang

terbentuk karena pada saat pertumbuhan cepat dapat terbentuk 2 lembar daun per bulan

sedangkan pada waktu terjadinya akumulasi pembentukan pati maka jumlah daun yang

terbentuk hanya 1 lembar per bulan. Hasil penelitian Oates (2001) menyimpulkan bahwa

hasil pati per tanaman di Jayapura sebesar 250 kg per pohon. Beberapa jenis sagu

potensial yang dapat digunakan dalam pengembangan sagu di Papua adalah jenis sagu

Osoghulu, Ebesung, Yebha, Follo, Wanni dan Yagholobe. Potensi hasil sagu ini bervariasi

antara 150-200 kg sagu basah per pohon (Novarianto ., 1996). Menurut Widjono .

(2000) beberapa jenis sagu potensial yang dapat digunakan dalam pengembangan sagu

yang ada di Papua adalah Igoto, Mogabarasu, Kumpea, Kao, Mando, Menopo,

Munggina, Osokulu, Hungleu, Panne, Para haphon, Para hongsay, Rondo hungleu,

Segago, Warning, Hungku, Wikuarawi, Wimir, Wimor, Witar, Witarsomoy, Witune uwai,

Wicko wuru, Yepha hungleu dan Yepha hungsay. Potensi hasil sagu ini bervariasi, yaitu

150-200 kg sagu basah per pohon.

et al

et al et al

SUMBER DAYA GENETIK SAGU SEBAGAI BAHAN TANAMAN UNGGUL

Page 6: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

6 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Tabel 1. Karakteristik dan potensi hasil beberapa jenis sagu unggul

Karakteristik

No. Jenis SaguDaerah

asal

Tinggi

batang

(m)

Lingkar

batang

(cm)

Sifat

tangkai

daun

Warna pati

Produksi

pati/phn

(kg)

1 Tuni Maluku 12,50 236 berduri Putih 500

2 Molat Maluku 12,00 157 berduri Putih 300

3. Ihur Maluku 16,00 188 berduri Kemerahan 150

4. Osoghulu Papua 10,32 156 Tidak

berduri

Putih

kekuningan

208

5. Ebesung Papua 8,52 113 berduri Putih ke-abu-

abuan

207

6. Yebha Papua 12,60 128 Tidak

berduri

Merah

kecoklatan

192

7. Follo Papua 9,25 140 Tidak

berduri

Putih ke-abu-

abuan

176

8. Wanni Papua 9,30 153 Tidak

berduri

Putih

kekuningan

160

9. Yagholobe Papua 10,22 134 berduri Putih ke-abu-

abuan

156

10. Roe Sultra 10,40 163 Tidak

berduri

Putih 374

11. Rungga

manu

Sultra 8,30 163 berduri Putih 186

12. Baruk Sulut 8,00 60 Tidak

berduri

Putih 25

Hasil identifikasi dan karakterisasi berbagai jenis tanaman asli papua termasuk

sagu menyimpulkan bahwa varietas Para, Pane, Yepha, Osohulu, Rondo, Wane, Happolo

merupakan jenis sagu yang memiliki potensi produksi pati sagu yang tinggi (

Limbongan, 2003). Selanjutnya hasil penelitian Miyazaki (2004) pada beberapa jenis sagu

di sekitar danau Sentani Jayapura menunjukkan produksi pati tertingggi dihasilkan dari

jenis Para kemudian disusul jenis Yepha, Follo, dan Osukul. Dari penelitian tersebut juga

diidentifikasi jenis sagu yang menghasilkan pati berwarna merah seperti Manno,

Mongging, Para Hongsay, Puy, Yakhalobe, Osuhulu, Hongsay dan Yepha Hongsay.

Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam pengembangan

sagu dibandingkan dengan negara lain penghasil sagu, seperti Papua New Guinea,

Malaysia dan Thailand karena Indonesia merupakan asal plasma nutfah sagu dengan

luas areal pertanaman sagu yang dominan, yang diperkirakan mencapai 60% dari luas

Lakuy dan

PERCEPATAN PELEPASAN VARIETAS SAGU UNGGUL MENDUKUNG

PENYEDIAAN ANAKAN SAGU BERMUTU

Page 7: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

7Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

areal sagu dunia. Sagu merupakan sumber pangan karbohidrat yang potensial sebagai

pangan, pakan dan sumber energi terbarukan. Areal sagu di Indonesia tercatat lebih

kurang 0.8 juta ha dengan potensi produksi 6.5 juta ton. Penyebarannya meliputi provinsi

Riau, Jambi, Jabar, Kalbar, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sultra, Sulsel, Maluku, Papua, dan

Papua Barat.

Secara nasional tanaman sagu termasuk komoditas unggulan, namun

pengembangannya belum ditangani secara intensif. Meskipun telah dimanfaatkan secara

luas, penanganan sagu masih dilakukan secara tradisional dan belum dibudidayakan

secara khusus. Di samping itu permintaan komoditas sagu baik di dalam negeri maupun

di luar negeri terus mengalami peningkatan karena banyak dibutuhkan dalam industri

kertas dan tekstil, aneka ragam makanan dan lain sebagainya.

Untuk menunjang program pengembangan sagu perlu didukung oleh teknologi

yang meliputi penyediaan bahan tanaman (bibit) sagu unggul, teknik budidaya dan

rehabilitasi hamparan sagu, diversifikasi produk pangan dari tepung sagu dan

pengolahan tepung sagu menjadi gasohol.

Sampai tahun 2012 baru satu varietas sagu yang dilepas oleh pemerintah melalui

Kementrian Pertanian RI, yaitu varietas sagu Molat asal Maluku pada tahun 2011.

Varietas sagu Molat adalah satu dari lima jenis sagu lokal yang tumbuh dan berkembang

di Maluku, yaitu sagu molat, sagu tuni, sagu ihur, sagu makanaru dan sagu duri rotan.

Tetapi yang banyak diusahakan masyarakat untuk diambil pati sagunya adalah dari jenis

sagu molat dan tuni. Sagu molat termasuk jenis yang tidak berduri dan keberadaannya di

alam rata-rata 22,6 pohon/ha. Tinggi tanaman sagu molat sekitar 13,9 - 22,3 m, bentuk

pohon tunggal dan umur produksi di atas 9 tahun. Produksi pati basah adalah sekitar 640

kg/pohon, dengan kandungan utama karbohidrat sekitar 86%. Kecamatan Bula, Seram

Barat, Maluku adalah salah satu sentra pertumbuhan sagu molat. Dari hasil studi

diketahui bahwa kemampuan penyediaan bibit sagu dari Kecamatan Bula rata-rata

adalah 136 anakan/ha. Dari areal sagu yang ada di Bula seluas 24.075 ha, bibit yang dapat

disediakan adalah 3.274.200 bibit atau anakan. Bibit ini bisa melayani pengembangan

areal sagu seluas 16.371 ha dengan perhitungan penanaman baru 100 pohon/ha dan

kegagalan bibit 50% (Louhenapessy ., 2011).

Kabupaten Kepulauan Meranti, provinsi Riau adalah salah satu daerah penghasil

tepung sagu utama untuk diekspor ke Cirebon sebagai bahan baku sohun, di samping

dimanfaatkan untuk berbagai makanan dan kue, seperti mie sagu, dan kue sagu kering.

Pada tahun 2012 terdapat sebanyak 63 kilang sagu di kabupaten ini. Tanaman sagu di

kabupaten Kepulauan Meranti telah diusahakan secara semi budidaya. Dilaporkan

bahwa luas tanaman sagu semi budidaya di Kepulauan Riau sekitar 20.000 ha

(Balitbanghut, 2005), dan terluas di kabupaten kepulauan Meranti. Di kabupaten ini juga

telah dibangun perkebunan sagu di lahan pasang surut, yang saat ini dikelolah oleh PT.

Nasional Sagu Prima dengan lahan seluas 20.000 ha, dan telah ditanami sagu serta mulai

berproduksi dengan luas sekitar 6.000 ha. Dalam upaya meningkatkan produktivitas

tanaman sagu dan penyediaan bahan tanaman sagu unggul di kabupaten kepulauan

et al

Page 8: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

8 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Meranti, telah diusulkan pelepasan varietas Sagu Meranti sebagai varietas sagu unggul.

Calon varietas ini telah dievaluasi sejak tahun 2011 yang direncanakan hingga tahun 2013.

Dari hasil pengamatan tahun 2012 terhadap tanaman sagu di Desa Tanjung Darul Takzim,

Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti diperoleh data panjang

batang sagu bebas daun adalah 8,36 m dengan lingkar batang lebih kurang 143,2 cm dan

diameter batang sekitar 45 cm. Potensi hasil tepung sagu kering adalah 238,66 kg/pohon.

Dalam satu hektar hamparan sagu yang kompak diestimasi tumbuh sekitar 200 batang

sagu dewasa, dan sekitar 3.000 anakan sagu sebagai sumber bibit.

Beberapa daerah yang memiliki luas kawasan pertanaman sagu adalah Papua,

Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat dan Riau. Secara nasional

sagu termasuk komoditas unggulan, namun pengembangannya belum ditangani secara

intensif. Walaupun telah dimanfaatkan secara luas, tetapi umumnya penanganannya

masih secara tradisional dan belum dibudidayakan secara intensif. Sagu berpotensi

menjadi sumber pangan pokok alternatif setelah beras karena kandungan karbohidrat

dan protein yang tinggi, kemampuan substitusi tepung dalam industri pangan, peluang

peningkatan produktivitas, potensi areal serta kemungkinan diversifikasi produk. Oleh

karena itu, prospek dan peluang pengembangan sagu sebagai bahan pangan maupun

bahan baku industri cukup menjanjikan.

Salah satu daerah yang potensial dan telah mengusahakan pengembangan

tanaman sagu untuk digunakan sebagai komoditi utama adalah provinsi Riau. Di

provinsi ini sagu tersebar di daerah pesisir dan di pulau-pulau besar dan kecil, yakni di

kabupaten Bengkalis, Indragiri Hilir, Kampar, Pelalawan, dan Siak.

Tanaman sagu merupakan penghasil pati tertinggi di antara komoditas komersial

penghasil pati. Walaupun dalam berbagai hasil penelitian dilaporkan bahwa potensi

hasil pati sagu dapat mecapai 25 ton/ha (Flach, 1984), tetapi produksi rata-rata tanaman

sagu tradisional hanya sekitar 10 ton/ha/tahun. Di pulau Tebing Tinggi, produksi sagu

tertinggi dengan pemeliharaan semi intensif adalah sekitar 13,7 ton/ha/tahun (Yamamoto

., 2007). Jika dilakukan budidaya secara intensif diperkirakan potensi hasil pati sagu

dapat meningkat menjadi 15 ton/ha/tahun. Bahkan berdasarkan beberapa hasil penelitian

dengan teknik budidaya yang lebih baik, diperkirakan produktivitas pati sagu mampu

ditingkatkan menjadi 20 ton/ha/tahun (Jong, 2011). Allorerung dan Rembang (1995)

melaporkan bahwa dengan mempertahankan pertambahan jumlah anakan antara 3-5

setiap rumpun, tampaknya pertambahan jumlah daun lebih tinggi dibandingkan

kontrol.

STRATEGI PENGEMBANGAN SAGU MELALUI PENGGUNAAN ANAKAN

SAGU UNGGUL

et al

Page 9: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

9Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Dari hasil penelitian pada hutan sagu di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat

diperoleh rata-rata 202 rumpun (kluster) per ha. Dalam satu hektar hamparan hutan sagu

ini terdapat 1.222 batang sagu dengan berbagai tingkatan umur dan ukuran batang, yaitu:

786 tanaman muda dengan panjang batang 0,5-3 m, 165 pohon sagu dengan ukuran

batang 3-6 m, 84 yang memiliki ukuran batang 6-9 m, 41 dengan panjang batang 9-12 m, 31

pohon memiliki ukuran batang lebih dari 12 m, 64 batang yang sudah siap dipanen dan 51

batang telah lewat waktu panen. Rata-rata panjang batang sagu adalah 13,3 m (dengan

variasi 9-17 m) dan memiliki diameter 40,9 cm (dengan variasi 23-60 cm). Rata-rata

kandungan pati yang diekstrak secara mekanik pada batang sagu matang adalah 12,5%

(variasi 0-22,3%), dan dengan produksi rata-rata per batang adalah 152 kg (variasi 40-313

kg) (Jong, 2011).

Pada tahun 2001, areal tanaman sagu di provinsi Riau seluas 61.759 ha yang terdiri

dari perkebunan rakyat seluas 52.344 ha (84, 75%) dan perkebunan besar swasta seluas

15.415 ha (15,25%). Pengusahaan tanaman sagu dalam hal budidaya tanaman belum

dilakukan masyarakat dan merupakan warisan dari pendahulu, sedangkan

pengusahaan pada perkebunan swasta telah menggunakan teknik budidaya.

Perkebunan swasta yang telah mengusahakan tanaman sagu adalah PT. National Timber

and Forest Product yang berkedudukan di Selat Panjang, Bengkalis. Perusahan ini

dulunya mengusahakan kayu (HPH) sebagai produk utamanya dan sekarang berubah

menjadi HTI Murni Sagu. HTI Murni sagu yang dikelola perusahaan ini dimulai pada

tahun 1996 dan saat ini areal pengembangan yang diusahakan seluas 19.000 ha. Pada saat

ini areal sagu tersebut dimiliki oleh perusahaan nasional Sago Prima yang telah

membangun pabrik pengolahan tepung sagu dalam areal tersebut, dan sudah mulai

dipanen sejak tahun 2007 dan memproduksi tepung sagu untuk diekspor sejak tahun

2012.

Hasil perakitan benih unggul baru akan memberikan makna apabila dapat

dimanfaatkan secara luas oleh pengguna. Dalam konteks ini, sistem perbenihan yang

mengedepankan mutu baik di tingkat breeder seed, atau benih dasar, benih pokok, dan

benih sebar sangat menentukan akseptibilitas benih oleh pengguna. Di tengah catatan

kritis terhadap sistem perbenihan berbagai komoditas pertanian nasional akhir-akhir ini,

eksistensi sistem perbenihan sagu Indonesia dipandang sebagai salah satu sistem

perbenihan yang belum kokoh dan stabil, sehingga perlu kegiatan eksplorasi secara

berkesinambungan. Materi genetik hasil eksplorasi merupakan kunci utama dalam

pengembangan program pemuliaan sagu. Peningkatan produksi dan produktivitas sagu

di Indonesia harus dilakukan melalui penggunaan bahan tanaman atau anakan sagu

unggul dalam program peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi dan pengembangan sagu.

Page 10: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

10 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

TEKNOLOGI PENYEDIAAN ANAKAN SAGU

Penyiapan anakan sagu

Pengangkutan anakan sagu dan penanganannya

Seleksi anakan

Perlakuan pestisida dan fungisida

Anakan sagu yang diambil sebagai bahan tanaman sebaiknya anakan yang telah

matang atau tua.Anakan sagu ini umumnya dapat ditemukan pada kebun dimana pohon

induknya sudah dipanen 3-4 kali. Anakan yang baik adalah yang memiliki berat 2-5 kg,

sedangkan bentuk yang baik dengan bonggol bentuk ”L”. Pemisahan anakan dari pohon

induknya biasanya dilakukan melalui pemotongan pada daerah leher yang berkayu

(keras), akar-akar disekitar stolon mirip akar keras dan akar dipangkas hingga 5 cm dan

pelepah dipotong hingga 30-40 cm.

Salah satu cara untuk meningkatkan persentasi hidup anakan sagu yang telah

dipisahkan dari pohon induk adalah harus segera diangkut dan ditanam sesegera

mungkin. Penundaan waktu penanaman yang disebabkan jauhnya tempat penanaman

mengharuskan anakan tersebut harus disemai dan dalam perjalanan sebaiknya anakan

harus tetap dalam kondisi dingin dan lembab.

Setelah anakan tiba ditempat penyemaian, diperlukan tindakan untuk seleksi

anakan. Penyeleksian anakan berdasarkan :

a) Tingkat kesegaran anakan, biasanya anakan mempunyai tangkai pelepah hijau

mengkilap, jika berwarna kehitaman dan kering menandakan anakan tidak

segar/mati.

b) Berat anakan yang baik berkisar 2-3 kg.

c) Bentuk dan struktur akar anakan berbentuk Ldan memiliki akar yang cukup.

d) Stolon dan pelepah pemangkasan terhadap stolon dan pelepah tidak terlalu pendek

berkisar 30-40 cm.

e) Tidak terserang hama dan penyakit, biasanya hama ulat sagu yang menyerang

ditandai dengan lubang kecil atau bibit terinfeksi jamur pada daerah pemotongan

yang ditandai dengan adanya warna putih keabu-abuan.

f) Kematangan, biasanya anakan yang muda mempunyai pangkal yang pendek dan

pada bekas pemotongan akan menunjukkan warna putih, sedangkan jika warnanya

merah muda berarti anakan tersebut sudah matang.

Setelah anakan sagu diseleksi, anakan dicelupkan ke dalam larutan campuran

pestisida tertentu atau fungisida untuk menghindari serangan hama atau jamur.

Page 11: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

11Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Biasanya larutan pestisida atau fungisida dengan dosis 2 gram/liter atau 2 cc/liter air.

Lama perendaman anakan ke dalam larutan tersebut ± 5-10 menit setelah itu anakan

disemaikan. Perlakuan lain dengan cara melapisi dengan cat tar pada bagian pangkal

anakan yang dipotong, sehingga menghindari dari serangan jamur.

Sistim pembibitan yang dilaksanakan pada anakan sagu adalah pesemaian rakit.

Pesemaian rakit ini dilaksanakan pada parit dengan air mengalir. Rakit ini bisa terbuat

dari bambu atau pelepah tua tanaman sagu dewasa. Keuntungan menggunakan sistim ini

adalah kemampuan hidup anakan tinggi serta pemeliharaan tanaman sangat sedikit.

Dalam satu rakit berukuran 2 x 1 meter dapat disemaikan 160 - 200 anakan sagu

tergantung ukuran bonggolnya dan peletakan anakan dalam rakit pesemaian diatur

searah dengan rakit.

Waktu dan lamanya anakan di penyemaian adalah sekitar 3 (tiga) bulan.

Penyemaian yang terlalu lama akan menyebabkan anakan menjadi besar dan akan

menyulitkan dalam proses pengangkutan. Biasanya pertumbuhan anakan di pesemaian

sering tidak seragam. Hasil kajian menunjukkan, daya tahan hidup anakan 3, 9 dan 12

bulan masing masing 82%, 62% dan 22%. Oleh sebab itu anakan yang baik untuk

penanaman adalah anakan yang telah mempunyai 2-3 helai pelepah dan akar baru.

Sebelum anakan sagu ditanam, terlebih dahulu pelepah daun dipangkas untuk

mengurangi penguapan daun dan dalam membawa anakan tidak bertumpu pada

pelepah muda (daun tombak) untuk menghindari luka/patah pada anakan. Penanaman

anakan sagu adalah dengan model segi empat dengan jarak tanam 8 x 8 m atau 10 x 10 m,

ukuran lubang 30x30x30 cm dengan waktu sesuai penanaman adalah pada musim hujan.

1. Pengembangan tanaman sagu harus dilihat secara utuh, yaitu sagu dalam bentuk

budidaya/semibudidaya dan sagu dalam hamparan kawasan hutan.

2. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keragaman genetik tanaman sagu yang

terbesar terdapat di Papua.

3. Hasil eksplorasi dan koleksi plasma nutfah sagu di kebun Balit Palma berjumlah 20

aksesi.

Sistim pembibitan

Lama anakan di pesemaian

Penanaman di lapang

KESIMPULAN

Page 12: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

12 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

4. Beberapa jenis sagu yang dapat direkomendasikan sebagai bahan tanaman unggul

adalah sagu Molat dan Tuni asal Maluku, sagu Osoghulu, Ebesung dan Yebha asal

Papua, sagu Roe asal Sulawesi Tenggara dan sagu Meranti asal Riau.

5. Percepatan pelepasan varietas sagu dan penggunaan anakan sagu unggul adalah

strategi dalam pengembangan sagu di Indonesia.

Allorerung, D., J.H.W. Rembang dan Miftahorrachman. 1994. Rehabilitasi sagu.

Kumpulan Makalah Pra Panen pada Simposium II Hasil-hasil Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri, Cipayung, Bogor, 21-23 November 1994,

Puslitbangtri, Bogor.

Allorerung, D. dan J.H.W. Rembang. 1995. Pola rehabilitasi hamparan sagu. Buletin

Balitka. No. 18. 1-9.

Badan Litbang Kehutanan. 2005. Potensi hutan sagu, kendala pemanfaatan dan prospek

pengembangannya. Makalah Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

Barahima, J. Renwarin, L.N. Mawikere, dan Sudarsono, 2001. Diversity of Sago Palm from

Irian Jaya Based on Morphological Characters. Sago Palm Vol 9 No.2 October, 2001.

Halaman 48.

Bintoro, M.H. 2003. Potensi pemanfaatan sagu untuk industri dan pangan. Prosiding

Seminar Nasional Sagu. Manado, 6 Oktober 2003.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Statistik Perkebunan 2009-2011, Tanaman

Tahunan: Aren, Kelapa Deres, Nipah, Siwalan, Jarak Pagar, Kapuk, Kemiri dan

Sagu. Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Pekebunan. Jakarta. P.135.

Flach, M.F. 1983. The sago palm: Domestication, exploitation and products F.A.O. palm

production and protection paper. AGPC/MISC/PREPRINT. A development paper

presented at the FAO sponsored expert consultation on the sago palm and its

product. F.A.O. Rome.

Gumbira, S.E., D. Mangunwidjaya, A. Darmako dan Suprasono. 1996. Produksi aseton-

butanol-etanol dari substrat hidrolisat pati sagu dan onggok tapioca hasil hidrolisis

enzimatis. Prosiding Simposium Nasional III. Pekanbaru, Riau, 27-28 Februari

1996.

Jong, F.S. 2007. The commercial potentials of sago palms and methods of commercials

sago palm ( Rottb.) plantation establishment. P. 51-62 In: Prosiding

Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia. 25-26 Juli 2007, Batam.

DAFTAR PUSTAKA

Metroxylon sagu

Page 13: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

13Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Jong, F.S. 2011. Growth and yield parameters of natural sago forests for commercial

operations. Abstract In Program Book: The 10 International Sago Symposium.

Sago for Food Security, Bio-energy, and Industry from Research to Market. IPB

International Convention Center. 29-30 October 2011, Bogor, Indonesia.

Lakuy Hayati dan Jermia Limbongan. 2003. Beberapa hasil kajian dan teknologi yang

diperlukan untuk pengembangan sagu di Provinsi Papua. Prosiding Makalah pada

Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003.

Louhenapessy, J.E. A. Sarjana, M. Luhukay, H. Talahattu, F. Polnaya, H. Salampessy, R.B.

Riry, A. Ngingi, S. Handal, Ilyas Nurdin, J. Latuputty, M. Hursepuny dan A.

Patimukay. 2011. Usulan pelepasan varietas sagu Molat Maluku. Dinas Pertanian

Provinsi Maluku dan BBP2TPAmbon Ditjen Perkebunan-Kementrian Pertanian. 52

hal.

Malia, I.E. dan H. Novarianto, 1994. Karakteristik sagu Tuni ( , Mart)

asal Maluku Tengah. Buletin Balitka (23): 13-19. Balai Penelitian Tanaman Kelapa

dan Palma Lain.

Miftahorrachman dan H. Novarianto. 1996. Keragaman dan kemiripan jenis-jenis sagu

asal Seram Barat, maluku Tengah. Buletin Plasma Nutfah Vol. 1 No. 1 (16-28).

Komisi Nasional Plasma Nutfah. Departemen Pertanian.

Miyazaki, A. 2004. Studies on Differences in Photosynthetic Abilities Among Varieties

and Related Characters in Sago Palm ( Rottb), Faculty of

Agriculture, Kochi University, Unpublish.

Novarianto, H. Miftarrochman, I. Maskromo dan H.F. Mangindaan. 1996. Keragaman

dan kemiripan tipe tipe sagu asal Desa Kehiran, Kecamatan Sentani, Kabupaten

Jayapura, Irian Jaya. Jurnal Litrri 1(5) 227-239.

Novarianto, H. 2012. Evaluasi morfologi dan produksi sagu di Kabupaten meranti-Riau.

Laporan Semester I Tahun 2012. Balit Palma Manado. 14 pp.

Pangkali, L.B. 1994. Taksiran kandungan tepung jenis sagu Yepha (

Rottb) berdasarkan tempat tumbuh di Sentani, Kab. Jayapura. Skripsi Fakultas

Pertanian Universitas Cendrawasih.

Pranamuda, H., Y. Tokiwa dan H. Tanaka. 1996. Pemanfaatan pati sagu sebagai bahan

baku biodegradable plastic. Prosiding Simposium Nasional Sagu III. Pekanbaru,

Riau, 27-28 Februari 1996.

Tenda, E., H. Mangindaan, dan J. Kumaunang. 2003. Eksplorasi jenis-jenis sagu potensial

di Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Sagu untuk Ketahanan Pangan. Balai

Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma lain. Manado 6 Oktober 2003.

th

Metroxylon rumphii

Metroxylon sagu

Metroxylon sagus

Page 14: Perkebunan Risalah 1. Hengky Novarianto

14 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Tulalo, A. Meity. 2011. Konservasi dan karakterisasi142 aksesi plasma nutfah kelapa,

sagu, aren dan pinang. Laporan Hasil Penelitian, Balit Palma Manado. 58 pp.

Widjono, A., A. Rouw dan Aamisnapia. 2000. Identifikasi, karakterisasi dan koleksi jenis-

jenis sagu. Makalah Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Yamamoto, Y., K. Omori, F.S. Jong, A. Miyazaki and T. Yoshida. 2007. Estimate of annual

starch productivity in sago palm, a case study at Tebing Tinggi Island, Riau,

Indonesia. Paper presented a 9 Int. Sago Symp., Leyte, Philippines. 19-21 July 2007.th