perjalanan ekonomi dan politik di indonesia
DESCRIPTION
Perjalanan Ekonomi Dan Politik Di IndonesiaTRANSCRIPT
Perjalanan Ekonomi dan Politik di Indonesia : Perbedaan
Orde Baru dan Era Reformasi
Indonesia memiliki sejarah ekonomi dan politik yang berbeda-beda. Dimulai dari
sejak kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh presiden Sukarno, dan orde baru
yang dipimpin Suharto, setelah kejatuhan Suharto di tahun 1998, banyak sekali
perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam penulisan ini akan membahas perjalanan
dari orde lama sampai dengan era reformasi.
Tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto pada Mei 1998
telah melahirkan suatu harapan yang besar bahwa bangsa Indonesia akan memasuki
era baru yang dilandasi semangat demokratisasi. Namun, jalan ke sana tidaklah
mulus.Jatuhnya Soeharto bukan merupakan pertanda berakhirnya Orde Baru. Pejabat
yang pernah berada di panggung Orde Baru tidak serta-merta tersingkir. Mereka
melompat dan ikut dalam gerbong reformasi.
Kejatuhan Soeharto tak bisa dilepaskan dari manuver sejumlah pembantunya yang
menolak bergabung dalam Kabinet Reformasi yang akan dibentuk Soeharto. Rabu, 20
Mei 1998 malam, 11 menteri di lingkungan ekonomi, keuangan, dan industri
menyatakan mengundurkan diri. Di antara menteri yang mundur adalah Ginandjar
Kartasasmita, Menko Ekuin/Kepala Bappenas yang kini menjadi Ketua Dewan
Perwakilan Daerah (2004-2009), dan Akbar Tandjung (Ketua DPR 1999-2004).
Pada saat gelombang reformasi menerpa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menjabat Kepala Staf Sosial Politik ABRI. Setelah era Soeharto berakhir, Yudhoyono
dipercaya menduduki jabatan menteri di era Presiden Abdurrahman Wahid serta
Presiden Megawati Soekarnoputri. Puncak karier diraihnya setelah mengungguli
Megawati di pemilihan presiden langsung pada tahun 2004. Corak transisi yang
kompromistis ini—berbeda saat peralihan Orde Lama ke Orde Baru— memberi
1
gambaran bahwa berakhirnya kekuasaan Soeharto tidak lantas berakhir pula elite- elite
politik Orde Baru.
Presiden BJ Habibie sebagai pengganti Soeharto dikenal sebagai birokrat yang dekat
dengan Soeharto secara politik. Dalam membentuk susunan kabinetnya pun tidak jauh
berbeda dengan kabinet Soeharto sebelumnya. Walau dalam kabinet Habibie sebagian
menteri dari rezim Soeharto diganti, namun dalam kabinet ini masih bercokol
beberapa menteri yang notabene ada kaitan dengan rezim yang lalu. Sekitar 74 persen
menteri di kabinet ini berasal dari rezim lama. Habibie membentuk Kabinet Reformasi
Pembangunan. Meski kurang memiliki legitimasi, pemerintahan Habibie- lah yang
menyiapkan pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru, yang meliputi pelaksanaan
sidang istimewa MPR November 1998, pemilihan umum Juni 1999, dan sidang MPR
untuk memilih presiden pada tahun yang sama, meski ia sendiri tidak mencalonkan
diri karena pertanggungjawabannya ditolak MPR.
Terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden pertama yang dipilih
secara demokratis melalui Sidang Umum MPR menandai era baru kepemimpinan
politik pascarezim Orde Baru. Suatu pemerintah baru yang lebih legitimate, dan
jaminan terbentuknya pemerintahan yang memperoleh dukungan rakyat. Naiknya Gus
Dur ke kursi kepresidenan dipandang sebagai pertanda kemenangan gerakan reformasi
atas kekuatan "status quo". Harapan bagi pemerintahan Gus Dur, terutama dalam
menyusun kabinetnya, adalah secara total memulai hal baru dengan mengisi kabinet
dengan orang baru.
Namun, Kabinet Persatuan Nasional yang kemudian terbentuk pada kenyataannya
lebih didasarkan pada pertimbangan kompromi politik yang lebih tinggi ketimbang
pertimbangan profesionalisme dan kompetensi. Di dalam susunan kabinet ini juga
masih bercokol mantan politisi Orde Baru. Mereka menguasai 28 persen posisi di
kabinet. Gus Dur yang diharapkan dapat mengeluarkan negeri ini dari krisis ekonomi
politik yang berkepanjangan dianggap tak mampu menjalankan roda reformasi.
Konflik dengan parlemen menandai pemerintahan Gus Dur.
2
Pada akhirnya Gus Dur harus menghadapi Sidang Istimewa MPR yang berakhir
dengan pencabutan mandat Abdurrahman Wahid sebagai presiden oleh MPR pada Juli
2001. Situasi yang tak menentu itu diharapkan dapat dicarikan penyelesaiannya oleh
pemerintahan Megawati, yang menggantikan Gus Dur sebagai presiden. Formasi
kabinet agaknya amat penting sebagai indikator awal keberhasilan atau kegagalan
pemerintahannya ke depan. Dalam susunan kabinet yang diberi nama Kabinet Gotong
Royong itu ada sekitar 38 persen menteri berasal dari rezim Orde Baru.
Dalam pemilu presiden langsung Oktober 2004 Megawati dikalahkan Yudhoyono.
Yudhoyono tampil sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu
demokratis. Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuknya bersama Jusuf Kalla
tampaknya ingin menunjukkan tekad kompaknya kabinet dalam menjalankan roda
pemerintahan. Di susunan kabinet ini juga masih ada sekitar 36 persen menteri yang
punya kaitan dengan Orde Baru.
Upaya untuk meningkatkan kredibilitas pemerintah memang telah dimulai, di
antaranya dengan mengumumkan berbagai langkah mengatasi korupsi. Harus diakui
pula bahwa hanya di masa pemerintahan Yudhoyono, seorang menteri, mantan
menteri, jenderal, kepala daerah serta pejabat negara bisa dengan mudah diperiksa
aparat hukum. Delapan tahun reformasi bergulir menunjukkan pelaku politik rezim
lama masih memainkan peran dalam perpolitikan negeri ini. Menurut Vedi R Hadiz
(2005) dalam bukunya, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-
Soeharto, kelompok dominan semasa Orde Baru pada dasarnya tetap merupakan
kekuatan yang mampu mengendalikan ekonomi-politik saat ini. Penguasaan mereka
atas ekonomi-politik di era pasca-Soeharto dilakukan dengan cara yang lebih
terdesentralisasi sehingga kelompok inilah yang sesungguhnya mewarisi reformasi.
Lain halnya dengan pandangan pengamat politik J Kristiadi, kegagalan melaksanakan
manajemen kekuasaan bukan hanya disebabkan oleh partai besar yang pernah
berkuasa lama di era Orde Baru, namun merupakan kegagalan semua yang terlibat di
dalam kekuasaan. Kebijakan publik yang dikeluarkan tidak menyentuh kepentingan
3
masyarakat. Selain itu, atmosfer dan budaya berpolitik negeri ini belum berubah.
Kultur feodal tinggalan Soeharto ini agaknya masih menjadi awan tebal yang
menyelimuti siapa pun yang akan menjadi pengganti tanpa adanya suatu reformasi di
bidang birokrasi dan hukum.
Perekonomian Pada Masa Orde Baru
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas
utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang
lebih 650 % per tahun. Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem
ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha
nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem
ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini
merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah
dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-
masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam
penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di
Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori
Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin
dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian
pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi
muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan
pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik
lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun). Hasilnya, pada tahun
1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan
indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan
angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga
4
berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB
dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan
sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan
dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang
luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang
sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan
pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang
adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara
fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis
yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang
paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah
dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama
ekonomi.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati.
Pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri
5
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-
persoalan ekonomi antara lain : Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$
5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang
luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah
menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi
perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban
negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam
pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor
berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional.
Pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi
BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi
oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan
kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat
miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya
menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan
November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala
6
daerah. (http://dhonykampoesbiroe.blogspot.com/2011/01/perbandingan-dibidang-
ekonomi-pada-era.html)
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan
kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk
memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada
IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara
lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang
(perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang
dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu
kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap,
karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih
kurang kondusif. (http://grou.ps/muttaqin/talks/622693)
Analisis
Kalau kita lihat secara akumulatif perekonomian di Indonesia pada era Orde baru dan
Reformasi, jumlah kemiskinan di era Reformasi masih lebih tinggi dibandingkan di
era Soeharto Fakta yang demikian ini berarti bahwa sektor primer (pertanian) yang di
era Soeharto memiliki kontribusi lebih besar dibandingkan era satu dekade terakhir
terbukti dapat mengurangi angka kemiskinan. Ini memang logis, karena sektor
7
pertanian merupakan sektor ekonomi yang paling banyak dihuni oleh kelompok
masyarakat miskin.
Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai
Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih
menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde
Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi?
Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas
terhadap Orde Baru. Tonggak awal reformasi 12 tahun lalu yang diharapkan bisa
menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru
yang ingin melakukan perubahan justru "terbelenggu" oleh faktor kekuasaan.Sistem
politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba terdapat
instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak pers,
pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer
untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll. Orde reformasi : pemerintahan tidak
punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan muncul
otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa
orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.
8