peringatan qurban.docx
DESCRIPTION
999999999999999999999999999999999999999999999999999999999jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Peringatan Hari raya kurban benar-benar menyimpan sejuta makna yang
sangat berharga bagi kita dan kaum Muslimin di mana pun berada yang takkan
pernah hilang dimakan rentang waktu. Berkurban tidaklah semata-mata hanya
persoalan menyembelih hewan pada waktu Idul Qurban. Tetapi, lebih jauh dari hal
itu yaitu menunaikan dan mewujudkan misi tauhid dan keikhlasan semata untuk
Allah saja. Namun demikian tak bisa dipungkiri bahwa kini banyak sekali umat
Islam yang berqurban hanya dimotivasi oleh pahala yang dijanjikan semata dan
meninggalkan makna sesungguhnya yaitu makna solidaritas dan jiwa sosial.
Banyak hadis nabi yang ditemukan tentang ganjaran yang diberikan
kepada orang yang berqurban. Di antaranya menurut hadits Riwayat Ahmad,
pernah suatu ketika para sahabat bertanya tentang qurban kepada Rasulullah saw,
beliau menjawab qurban adalah sunnah Bapakmu, Ibrahim. Mereka bertanya lagi,
apa hikmahnya, dan beliau menjawab, setiap rambutnya akan mendatangkan satu
kebaikan. Mereka bertanya, bahwa apabila binatang itu berbulu, Beliau menjawab
pada setiap rambut dari bulunya akan mendatangkan kebaikan.
Jika ibadah qurban hanya didasari oleh keinginan untuk memperoleh
pahala saja, maka tak pelak ibadah qurban ini hanya akan berdampak kepada
kepuasan psikologis seseorang secara individual. Sementara pengaruhnya
terhadap kehidupan sosial hanya sebatas ritual memberikan daging di hari itu saja.
Oleh karena itu pemahaman akan hakikat sesungguhnya akan ibadah qurban perlu
diluruskan. Pahala yang dijanjikan memang perlu diketahui dan menjadi motivasi
bagi umat untuk melaksanakan perintah tersebut. Akan tetapi hakikat ibadah
qurban jauh lebih penting untuk dipahami.
Dalam Islam ibadah kurban mengandung dua dimensi. Pertama adalah
dimensi spiritual transendental sebagai konskuensi dari kepatuhan kepada Allah.
Sehingga, melakukan kurban (dalam arti yang lebih luas) semestinya tidak hanya
pada saat Idul Adha. Melainkan di setiap saat kita harus dapat mengurbankan apa
yang kita milikisebagai upaya taqarrub kita kepada Allah. Sifat demikian secara
1
konkrit mempunyai dampak positif horizontal yakni terpenuhinya kesejahteraan
sosial. Dimensi kedua adalah dimensisosial humanis yang nampak dalam pola
pendistribusian hewan kurban yang secara khusus diperuntukkan bagi mereka
yang berhak (mustahiq). Namun, demensi ini akan bernilai manakala disertai
dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Artinya melalui melakukan kurban
dalam bingkai niat karena Allah mampu mengaplikasikan solidaritas sosial.
Dalam hal inilah terdapat hubungan pengaruh qurban terhadap aspek kesehatan
jiwa Islami yang akan dibahas dalam makalah ini.
2
BAB II
PERINGATAN QURBAN DARI ASPEK KESEHATAN JIWA ISLAMI
2.1 Pengertian dan Makna Qurban
Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya
pendekatan diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak
sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam
sebagai udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu
kambing yang disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang
disembelih di hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak
yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban)
kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu (Syarh Minhaj).
Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu terdapat apa yang
biasa disebut udlhiyah (penyembelihan hewan kurban). Pada hari itu kita
menyembelih hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi
panggilan Tuhan.
Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan
kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan
humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan
Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan
kemanusiaan ”berkurban”.
Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail,
merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi
yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan
anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang
menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah
sang pencipta.
Bagi Ali Syari’ati (1997), ritual kurban bukan cuma bermakna bagaimana
manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri
kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Sementara bagi
Jalaluddin Rakhmat (1995), ibadah kurban mencerminkan dengan tegas pesan
3
solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang
kekurangan.
Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak
manusia ada. Ketika putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka
Allah SWT menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak
qurban yang buruk. Allah SWT berfirman:
�ا ب ذ� ق�ر� �ح�ق� إ ال �ي� ء�اد�م� ب �ن اب� �أ �ب �هم� ن �ي �ل� ع�ل و�ات
ل� من� �ق�ب$$� �ت �م� ي دهم�ا و�ل �ح$$� ل� من� أ �ق�ب$$� ا ف�ت �ان$$. ب ق�ر�
ه� من� ل� الل$$� �ق�ب$$� �ت �م�ا ي ن �ك� ق�ال� إ �ن �ل �ق�ت اآلخ�ر ق�ال� أل
�قين� �م�ت ال
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
Qurban lain yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah qurban keluarga
Ibrahim AS, saat beliau diperintahkan Allah SWT untuk mengurbankan anaknya,
Ismail AS. Disebutkan dalam surat As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Kemudian qurban ditetapkan
oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Syariah Islam, syiar dan ibadah kepada
Allah SWT sebagai rasa syukur atas nikmat kehidupan.
4
2.2 Qurban Ditinjau dari Aspek Kesehatan Jiwa Islami
Dengan berkurban, kita akan mendekatkan diri kepada mereka yang fakir.
Bila kita memiliki kenikmatan, kita wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang
lain. Ibadah kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin (lemah) untuk
merasakan kenyang seperti kita.
Atas dasar spirit tersebut, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki
tiga makna penting sekaligus.
Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Kurban
adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta,
sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat dikasihi seperti
pada kisah Nabi Ibrahim as. Hal ini akan menumbuhkan kesehatan jiwa spiritual
yang menjunjung tinggi ketaqwaan kepada Allah sang Pencipta, dan
menumbuhkan rasa tenang untuk beribahda kepada-Nya.
Kedua, makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin
mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak
menunaikan perintah kurban. Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik
umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Kurban
adalah media ritual, selain zakat, infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk
mengejewantahkan sikap kepekaaan sosial itu. Kesehatan jiwa Islami dalam hal
ini juga akan terpenuhi, yaitu hablun minannaas atau hubungan horizontal
terhadap sesama manusia. Manusia akan dianggap memiliki jiwa yang sehat jika
ia sehat secara sosial, yang dalam bidang kesehatan jiwa perilaku dissosial adalah
perilaku jiwa yang menyimpang. Maka dalam hal ini qurban sangat mendukung
aktivitas dan perasaan sosial seorang muslim.
Ketiga, makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat
tamak dan kebinatangan yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius,
suka menindas dan menyerang, cenderung tidak menghargai hukum dan norma-
norma sosial menuju hidup yang hakiki. Dalam hal ini juga akan dilatihnya
kesehatan jiwa Islami yang saling menyayangi, tidak sombong, tidak suka
menindas serta melakukan hal yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dalam kesehatan jiwa juga membahas tentang sifat perilaku seseorang yang
5
sering tidak suka akan kesenangan orang lain dan suka berperilaku sombong dan
melukai orang lain. Dengan adanya qurban, maka hal tersebut akan dihilangkan
dan menumbuhkan sifat seseorang yang peduli pada sesama manusia.
Bagi Syari’ati, kisah penyembelihan Ismail, pada hakikatnya adalah
refleksi dari kelemahkan iman, yang menghalangi kebajikan, yang membuat
manusia menjadi egois sehingga manusia tuli terhadap panggilan Tuhan dan
perintah kebenaran. Ismail adalah simbolisasi dari kelemahan manusia sebagai
makhluk yang daif, gila hormat, haus pangkat, lapar kedudukan, dan nafsu
berkuasa. Semua sifat daif itu harus disembelih atau dikorbankan.
Pengorbanan nyawa manusia dan harkat kemanusiaannya jelas tidak
dibenarkan dalam ajaran Islam dan agama mana pun. Untuk itu, Ibrahim tampil
menegakkan martabat kemanusiaan sebagai dasar bagi agama tauhid, yang
kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad dalam ajaran Islam. Ali Syari’ati
mengatakan Tuhan Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus darah manusia, berbeda
dengan tradisi masyarakat Arab saat itu, yang siap mengorbankan manusia
sebagai “sesaji” para dewa.
Ritual kurban dalam Islam dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus
tradisi membunuh manusia demi “sesaji” Tuhan. Manusia, apa pun dalihnya, tidak
dibenarkan dibunuh atau dikorbankan sekalipun dengan klaim kepentingan
Tuhan. Lebih dari itu, pesan Iduladha (Kurban) juga ingin menegaskan dua hal
penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas).
Pertama, semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi
mendiskriminasi ras, suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya.
Di dalam nilai ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari
penindasan manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat
diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap adil,
toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di
luar pesan profetis agama itu sendiri.
Masalahnya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama
Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah. Seakan-akan
agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, yang
lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu teosentris
6
dan sangat personal itu, pada akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem
sosial dan patologi kemanusiaan.
Alquran menganjurkan kita agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif,
lurus dan tidak menyimpang. Selain hanif, agama Ibrahim juga agama yang
samaahah, yang toleran terhadap manusia lain. Pesan kurban harus mampu
menjawab persoalan nyata yang dihadapi umat, seperti perwujudan kesejahteraan,
keadilan, persaudaraan, dan toleransi. Sulit membayangkan jika banyak umat
yang saleh secara ritual, khusyuk dalam berdoa, dan rajin berkurban, tetapi justru
paling tak peduli pada tampilnya kemungkaran.
Sekaranglah saatnya kita mewujudkan penegakan solidaritas dan keadilan
sosial sebagaimana diajarkan Nabi Ibrahim, dan membumikan ajaran Ismail
sebagai simbol penegakan nilai-nilai ketuhanan di tengah-tengah kehidupan umat
manusia yang kian individual, pragmatis, dan menghamba pada materi. Karena,
seperti kata Rabindranath Tagore (1985), Tuhanmu ada di jalan di mana orang
menumbuk batu dan menanami kebunnya, bukan di kuil yang penuh asap dupa
dan gumaman doa para pengiring yang sibuk menghitung lingkaran tasbih.
2.3 Qurban sebagai Pembangun Jiwa Sosial
Peringatan qurban benar-benar menyimpan sejuta makna yang sangat
berharga bagi kita dan kaum Muslimin di mana pun berada yang takkan pernah
hilang dimakan rentang waktu. Berkurban tidaklah semata-mata hanya persoalan
menyembelih hewan pada waktu Idul Qurban. Tetapi, lebih jauh dari hal itu yaitu
menunaikan dan mewujudkan misi tauhid dan keikhlasan semata untuk Allah saja.
Namun demikian tak bisa dipungkiri bahwa kini banyak sekali umat Islam yang
berqurban hanya dimotivasi oleh pahala yang dijanjikan semata dan meninggalkan
makna sesungguhnya yaitu makna solidaritas dan jiwa sosial.
Jika ibadah qurban hanya didasari oleh keinginan untuk memperoleh
pahala an sich, maka tak pelak ibadah qurban ini hanya akan berdampak kepada
kepuasan psikologis seseorang secara individual. Sementara pengaruhnya
terhadap kehidupan sosial hanya sebatas ritual memberikan daging di hari itu saja.
Oleh karena itu pemahaman akan hakikat sesungguhnya akan ibadah qurban perlu
diluruskan. Pahala yang dijanjikan memang perlu diketahui dan menjadi motivasi
7
bagi umat untuk melaksanakan perintah tersebut. Akan tetapi hakikat ibadah
qurban jauh lebih penting untuk dipahami.
Dalam Islam ibadah kurban mengandung dua dimensi. Pertama adalah
dimensi spiritual transendental sebagai konskuensi dari kepatuhan kepada Allah.
Sehingga, melakukan kurban (dalam arti yang lebih luas) semestinya tidak hanya
pada saat Idul Adha. Melainkan disetiap saat kita harus dapat mengurbankan apa
yang kita milikisebagai upaya taqarrub kita kepada Allah. Sifat demikian secara
konkrit mempunyai dampak positif horizontal yakni terpenuhinya kesejahteraan
sosial.
Dimensi kedua adalah dimensi sosial humanis yang nampak dalam pola
pendistribusian hewan kurban yang secara khusus diperuntukkan bagi mereka
yang berhak (mustahiq). Namun, demensi ini akan bernilai manakala disertai
dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Artinya melalui melakukan kurban
dalam bingkai niat karena Allah mampu mengaplikasikan solidaritas sosial.
Ini berarti pendistribusian daging kepada yang berhak yakni fakir miskin
mengandung makna dan nilai upaya pengentasan mereka ke dalam taraf hidup
yang lebih baik, dan wujud kongkrit kepedulian kepada para fakir miskin sebagai
solidaritas sosial. Oleh karena itu pemaknaan ibadah kurban kiranya menjadi
sangat perlu dikontekstualisasikan dalam rangka mencapai tujuan pensyariatan
Islam (maqashidus syari'ah) yakni tercapainya kemaslahatan dunia akhirat. Dalam
kaitan ini kontekstualisasi ibadah kurban dipandang sangat perlu. Agar tidak
menjadi out of date disamping upaya pencapaian tujuan adanya syariat Islam
yakni kemaslahatan dunia akhirat.
Dalam kajian fiqh hukum berkurban adalah sunnah tidak wajib. Imam
Malik, Asy Syafi'i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm,
dan lainnya berkata, "qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu
(kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim),
dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji" (Matdawam, 1984).
Sedangkan ukuran "mampu" berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran
kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah
terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) --yaitu sandang, pangan, dan
papan, dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim
8
bagiseseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah
qurban (AlJabari, 1994).
Di antara dasar-dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :
"maka dirikanlah (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah" (TQS Al
Kautsar: 2). "Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang
qurban itu bagi kamu adalah sunnah" (HR. At Tirmidzi).
Sementara itu, bagi orang-orang yang sebenarnya mampu berqurban tapi
tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW: "barangsiapa yang
mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia
menghampiri tempat shalat kami" (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari
Abu Hurairah RA Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus
Salam IV/91).
Sementara itu perihal hewan yang dikurbankan biasanya berupa seekor
kambing yang berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan (berserikat)
untuk satu ekor kambing Sedangkan untuk seekor unta atau sapi boleh patungan
untuk tujuh orang (HR Muslim).
Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi. Namun
demikian bila terdapat keinginan untuk berkurban dengan konsep berjama’ah
semisal murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian
yang mengumpulkan iuran uang untuk dibelikan kambing maka hukumnya boleh-
boleh saja.
Namun, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya dimasukkan dalam
kategori latihan qurban. Sembelihannya sah jika memenuhisyarat-syarat
penyembelihan. Namun, tidak mendapat pahala Qurban tetapi mendapat pahala
sedekah saja. Melihat betapa besarnya nilai besar yang terkandung di balik makna
Qurban maka seharusnyalah kita dapat mendorong seluruh ummat yang mampu
untuk melaksanakan perintah Allah SWT ini. Sementara itu bagi yang belum
mampu maka dibutuhkan upaya membiasakan diri dengan melakukan kurban
secara berjamaah. Semua itu dilakukan demi mendidik kita agar memiliki jiwa-
jiwa pengorbanan untuk kemaslahatan sosial masyarakat luas.
9
BAB III
PENUTUP
Qurban adalah binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan
niat mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu
(Syarh Minhaj).
Berkurban tidaklah semata-mata hanya persoalan menyembelih hewan
pada waktu Idul Qurban. Tetapi, lebih jauh dari hal itu yaitu menunaikan dan
mewujudkan misi tauhid dan keikhlasan semata untuk Allah saja. Namun
demikian tak bisa dipungkiri bahwa kini banyak sekali umat Islam yang
berqurban hanya dimotivasi oleh pahala yang dijanjikan semata dan meninggalkan
makna sesungguhnya yaitu makna solidaritas dan jiwa sosial.
Atas dasar spirit tersebut, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki
tiga makna penting sekaligus. Pertama adalah makna ketakwaan manusia atas
perintah sang Khalik, kedua adalah makna sosial dan ketiga adalah makna bahwa
apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang
ada dalam diri manusia.
10
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan Sembelihan. Cetakan Pertama.
Bandung : Sinar Baru.
Ad-Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy-Syafi’i. 1993. Rohmatul
Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin
Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas.
Al-Jabari, Abdul Muta’al. 1994. Cara Berkurban (Al Udh-hiyah Ahkamuha wa
Falsafatuha At Tarbawiyah). Terjemahan oleh Ainul Haris. Cetakan Pertama.
Jakarta: Gema Insani Press.
Lestari, N. 2010. Menyelami Makna Qurban Dan Hakekat Islam. Artikel.
Matdawam, M. Noor. 1984. Pelaksanaan Qurban dalam Hukum Islam. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: Yayasan Bina Karier.
PDM Bontang. 2009. Qurban dan Jiwa-jiwa Sosial. Artikel Penyejuk Iman.
Bontang: Muhammaddiyah Bontang.
Rasjid, H.Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Cetakan Keduapuluhtiga. Bandung: Sinar
Baru.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 13. Cetakan Kedelapan.
Terjemahan oleh Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: Al Ma’arif.
Shalahuddin, H. 2012. Konsep Kurban dalam Islam. Diakses dari
http://hidayatullah.com/read/25470/18/10/2012/konsep-kurban-dalam-
islam.html.
11