perda no.7 tahun 2014 tentang tata nilai …
TRANSCRIPT
PERDA NO.7 TAHUN 2014 TENTANG TATA NILAI KEHIDUPAN
MASYARAKAT YANG RELIGIUS DI KOTA TASIKMALAYA
PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARIAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
TASYA AURELLIA N
NIM : 11170453000037
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1443 H
ii
PERDA NO.7 TAHUN 2014 TENTANG TATA NILAI KEHIDUPAN
MASYARAKAT YANG RELIGIUS DI KOTA TASIKMALAYA
PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARIAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
TASYA AURELLIA N
NIM : 11170453000037
Pembimbing :
Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag, M.Si
NIP.197812302001122002
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1443 H
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul "PERDA NO.7 TAHUN 2014 TENTANG TATA NILAI
KEHIDUPAN MASYARAKAT YANG RELIGIUS DI KOTA
TASIKMALAYA PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARIAH" telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, tanggal 31 Agustus 2021 M/
22 Muharam 1443 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah).
iv
v
ABSTRAK
Tasya Aurellia N, NIM. 11170453000037, “PERDA NO.7 TAHUN 2014
TENTANG TATA NILAI KEHIDUPAN MASYARAKAT YANG RELIGIUS
DI KOTA TASIKMALAYA PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARIAH”,
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2021/1442 H.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perspektif Maqashid Al - Syariah dalam
Perda No.7 Tahun 2014 tentang tata nilai kehidupan masyarakat yang religius di
Kota Tasikmalaya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif, dengan
pendekatan penelitian hukum normatif serta menggunakan metode library
research (penelitian kepustakaan) dengan bahan hukum primer yang berasal dari
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang No.12 Tahun 2005
Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak - Hak Sipil dan Politik,
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang –
Undangan, Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Daerah No.7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan yang Religius
di Kota Tasikmalaya, Selain itu data-data sekunder yang berasal dari buku, jurnal,
wawancara, serta literatur – literatur yang berkaitan dengan tema pembahasan
yang kemudian di analisis menjadi satu kesimpulan pada penelitian ini.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, Pasal 1 Ayat (3), 2 ayat (2), dan
pasal 7 Dalam Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014
mengandung maqashid al-syariah. Meskipun penelitian ini menggunakan
pendekatan hukum normatif penulis juga akan menyajikan potret implementasi
dari Perda No.7 Tahun 2014 yang dinilai belum maksimal, masih terdapat
kekurangan dalam penerapan nya dan belum dapat di rasakan secara menyeluruh
oleh masyarakat kota Tasikmalaya. Demi meraih kemaslahatan Khususnya bagi
masyarakat Kota Tasikmalaya, Pemerintah Kota Tasikmalaya juga DPRD Kota
Tasikmalaya agar selalu membuat peraturan yang memang sangat di butuhkan
juga bermanfaat serta mampu menerapkan dengan sebaik – baiknya agar dapat di
rasakan oleh seluruh masyarakat Kota Tasikmalaya.
Kata Kunci : Maqashid Al-Syariah, Maslahat, Perda No.7 tahun 2014.
Pembimbing : Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag, M.Si
Daftar Pustaka : 1995 – 2021
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur di panjatkan ke hadirat Allah swt. Berkat nikmat, anugerah
dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERDA NO.7
TAHUN 2014 TENTANG TATA NILAI KEHIDUPAN MASYARAKAT
YANG RELIGIUS DI KOTA TASIKMALAYA PERSPEKTIF MAQASHID AL-
SYARIAH”. Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah memimpin umat Islam menuju jalan yang di ridhai Allah SWT.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tak luput peran pihak-pihak yang senantiasa sabar
dan setia membantu, membimbing serta mendoakan. Sehingga dengan rasa
hormat, penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis., Lc, MA, Rektor
UniversitasIslam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah);
4. Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah), Dosen Penasihat Akademik penulis, serta Dosen
Pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga, pikiran serta kesabaran yang luar biasa dalam membimbing
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Rasa terima kasih
dan hormat atas segala ilmu, pengalaman, bimbingan, dan arahan yang di
berikan kepada penulis selama menempuh pendidikan Strata Satu (S1);
6. Pimpinan dan seluruh pengurus Perpustakaan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberi kontribusi berupa
literasi dan pustaka sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik;
7. DPRD Kota Tasikmalaya, khususnya H. Agus Wahyudin, S.H., M.H.,
selaku Wakil Ketua DPRD Kota Tasikmalaya Tahun 2019 – 2024 yang
vii
telah berkenan di wawancarai, Ibu Yusi Yusanti selaku mentor selama
masa magang di DPRD Kota Tasikmalaya yang telah banyak memberikan
motivasi, masukan, serta bimbingan yang sangat bermanfaat;
8. Penulis pribadi, yang telah berusaha menyelesaikan skripsi dengan tepat
waktu serta melawan rasa malas.
9. Keluarga Penulis, terutama kedua orang tua penulis. Bpk. Nasrullah
A.Md., Ibu Titie Tsania, S.Pd., Ibu Herni Heryani, S.K.M., Hj. Yoyoh dan
Alm. Nyai Hj.Yumenah Mereka yang selalu memberikan doa, motivasi,
dan kasih sayang penuh kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan
pendidikan strata satu (S1);
10. Rekan – rekan penulis, Dian Hardiyanti, Nurul Khariroh, Nur Alfi, Utari
diyarza , Sulpandi, Chacha Khoirunnisa, Fikrya Asrinovit, Nusratul
Himetris, Karin, dan semua anggota TPF yang tidak dapat saya sebutkan
semua yang telah banyak memotivasi, membantu serta menghibur penulis
dalam menyelesaikan studi ini;
11. Para pihak-pihak lain yang turut terlibat dalam penulisan skripsi ini
Semoga Allah SWT membalas kebaikan rekan-rekan semua.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING -------------------------------------- ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ----------------------------------------------- iii
LEMBAR PERNYATAAN ------------------------------------------------------------- iv
ABSTRAK --------------------------------------------------------------------------------- v
KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------------- vi
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------ viii
BAB I PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------- 1
A. Latar Belakang Masalah --------------------------------------------------------------- 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah --------- 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ------------------------------------------------------ 8
D. Review Kajian Terdahulu ------------------------------------------------------------- 9
E. Metode Penelitian ---------------------------------------------------------------------- 11
F. Sistematika Penelitian ------------------------------------------------------------------ 13
BAB II PERATURAN DAERAH BERNUANSA SYARIAH DAN
MAQASHID AL-SYARIAH
A. Pengertian Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Bernuansa Syariah ------- 15
B. Sejarah Munculnya Peraturan Bernuansa Syariah --------------------------------- 21
C. Pengertian Maqashid Al-Syariah ---------------------------------------------------- 24
D. Syarat dan Tujuan Maqashid Al-Syariah ------------------------------------------ 26
E. Tingkat Kemaslahatan Maqashid Al-Syariah -------------------------------------- 28
BAB III PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NO.7 TAHUN
2014
A. Profil kota Tasikmalaya --------------------------------------------------------------- 32
B. Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014 -------------------------- 36
C. Pasal 1 ayat (3) Dalam Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun
2014 ------------------------------------------------------------------------------------------ 40
D. Pasal 2 ayat (2) Dalam Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun
2014 ------------------------------------------------------------------------------------------ 40
ix
E. Pasal 7 Dalam Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014 -------- 41
BAB IV ANALISIS MAQASHID AL-SYARIAH TERHADAP PERDA KOTA
TASIKMALAYA NO. 7 TAHUN 2014
A. Analisis Maqashid Al-Syariah pasal 1 ayat (3), 2 ayat (2), dan pasal 7 Dalam
Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014 Tentang Tata Nilai
Kehidupan Masyarakat Yang Religius Di Kota Tasikmalaya ----------------------- 43
B. Implementasi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014 -------- 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan------------------------------------------------------------------------------ 72
B. Saran ------------------------------------------------------------------------------------- 73
DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------------- 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi atau yang kita kenal dengan 4.0 memicu terjadinya
perkembangan dalam berbagai aspek baik itu budaya, bahasa, juga
teknologi. globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada
bersatunya berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Globalisasi
secara istilah berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh
kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen – fundamen
dasar pengaturan hubungan antara manusia, organisasi-organisasi sosial,
dan pandangan – pandangan dunia.1
Pada era globalisasi kemajuan teknologi memiliki peran penting,
kemajuan teknologi tentunya diiringi dengan dampak positif maupun
negatif. Seperti yang kita ketahui dampak positif dari globalisasi ialah
mempermudah akses baik itu informasi, komunikasi maupun transportasi.
Dewasa ini orang dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi dari
seluruh negara juga dapat berkomunikasi dengan orang di berbagai negara
hingga penjuru dunia, hal ini apabila dipergunakan dengan baik akan
memperluas wawasan juga memperbanyak relasi karena memperpendek
jarak yang jauh.
Di sisi lain globalisasi juga memiliki dampak negatif yaitu
terjadinya persaingan baik pada bidang ekonomi, sosial juga budaya.
globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat Indonesia
khususnya masyarakat muslim sekarang ini menampilkan sumber dan
watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini, tidak lagi bersumber
dari timur tengah, melainkan dari barat yang terus mensupremasi dan
hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia
umumnya. Globalisasi yang bersumber dari barat, tampil dengan watak
1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Di Era Globalisasi Peluang Dan Tantangan, Dalam
Marwan Saridjo, Mereka Bicara Pendidikan Islam, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), cet. I, hal. 14.
2
ekonomi politik, dan sains teknologi. Dominasi dan hegemoni barat dalam
segi-segi tertentu mungkin saja telah merosot, khususnya sejak berakhir
perang Dunia II, dan Perang Dingin, tetapi hegemoni ekonomi dan sains
barat tetap belum tergoyahkan. Hegemoni ini bukan masalah sederhana,
melainkan masalah yang serius. Hegemoni dalam bidang-bidang ini bukan
hanya menghasilkan globalisasi ekonomi, dan sains teknologi, tetapi juga
dalam bidang lain: intelektual, sosial, nilai-nilai, gaya hidup dan
seterusnya.2
Sebagai bangsa Indonesia yang majemuk tentunya kita telah
terbiasa dengan kemajemukan seperti semboyan negara kita “Bhineka
Tunggal Ika” yang artinya berbeda – beda tetapi tetap satu, tetapi dengan
masuknya era globalisasi maka akan lebih banyak lagi budaya yang masuk
ke Indonesia. Indonesia dikenal dunia sebagai negara yang ramah juga
berbudi pekerti luhur yang mana termasuk Kota Tasikmalaya, selain itu
Kota Tasikmalaya sedari dulu telah dikenal sebagai Kota Santri.
Hal ini tidak terlepas dari mayoritas penduduknya yang beragama
Islam, yakni 516.739 orang atau 83,65% dari total penduduk. Di Kota
Tasikmalaya terdapat 706 Ulama, 467 Mubaligh, 1.956 Khotib, 4
Penyuluh Agama dan 200 Penyuluh Honorer. Selain itu untuk
meningkatkan pendidikan agama Islam di Kota Tasikmalaya terdapat 214
Pondok Pesantren dengan 367 Kyai. Pada Tahun 2009 tercatat 19.093
santri mukim dan 29.541 santri tidak mukim (santri kalong) tersebar di
berbagai pesantren yang ada di Kota Tasikmalaya.3
Karena mayoritas warga di Kota Tasikmalaya beragama islam,
pada akhirnya nilai – nilai keislaman diterapkan dalam kehidupan sehari –
hari baik itu disadari maupun tanpa disadari, meskipun tidak diterapkan
secara kaffah. Namun, meskipun mayoritas masyarakatnya memeluk
agama islam kerukunan dan toleransi beragama terjalin dengan baik di
2 Azyumardi Azra,. Pendidikan islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
(Jakarta: Kencana,2014).Cet.2.h.44. 3 Nurlatipah Nasir. Kyai dan Islam dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih Masyarakat
Kota Tasikmalaya. Jurnal Politik Profetik, 6, 2(2015). H.3.
3
kota ini hal ini dibuktikan dengan terdapat keinginan untuk melakukan
perubahan sosial dari perilaku negatif kearah kehidupan dan perilaku
masyarakat yang religius. Defini religius di sini dimaksudkan bagi
pemeluk agama apapun yang ada di Kota tasikmalaya tidak hanya bagi
pemeluk agama islam saja yang kemudian diwujudkan melalui sebuah
gerakan, pemuka agama bersama dengan masyarakat meminta pemerintah
Kota Tasikmalaya untuk mengeluarkan kebijakan mengenai hal tersebut.
Tentunya dengan pembuatan sebuah peraturah daerah, menurut
Bagir Manan makna dari Peraturan Daerah sendiri ialah peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah atau salah satu
unsur Pemerintah Daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan tingkat daerah.4 Terdapat istilah lain yaitu Perda syariah, Perda
berbasis syariah, atau perda bernuansa syariah, merupakan istilah yang
sulit dilacak dalam literatur hukum dan perundang-undangan. Istilah yang
muncul bersamaan dengan isu dan gerakan pemberlakuan Syariat Islam
tersebut biasanya digunakan untuk menyebut Rancangan Peraturan Daerah
atau Peraturan Daerah yang paling tidak dari sisi penamaan atau judulnya
berbau syariat, misalnya Perda tentang Zakat, Perda tentang Larangan
Pelacuran dan lain sebagainya.5
Dalam dinamika perkembangannya, Perda Syariah dapat
dikategorikan ke dalam 4 kategori, pertama yaitu Perda yang terkait isu
moralitas, yang juga diatur oleh agama lainnya, seperti Perda tentang
larangan berjudi, prostitusi, dan mengkonsumsi minuman alkohol, kedua
Perda yang terkait fashion dan mode pakaian, seperti keharusan memakai
jilbab dan baju muslimah, ketiga Perda terkait keterampilan beragama,
seperti keharusan pandai baca tulis Al-Qur'an, keempat Perda yang
4 Hayatun Na’imah, Perda Berbasis Syari’ah Dalam Tinjauan Hukum Tata Negara, Jurnal
Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 14, 1(Juni,2017). h.20. 5 M. Darmizal, Keadilan untuk Aceh, Pemikiran Religious untuk Pemberdayaan
Masyarakat Pasca Perdamaian RI-GAM dan Bencana Tsunami, (Bandung; IRIS Press, 2006) Cet.1. h.125. dikutip dari Hayatun Na’imah, Perda Berbasis Syari’ah Dalam Tinjauan Hukum Tata
Negara, Jurnal Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 14, 1(Juni,2017). h.20.
4
menyangkut persoalan dana sosial dari masyarakat, seperti pengelolaan
zakat, infaq, dan sadaqah.6
Dan dewasa ini era globalisasi semakin menimbulkan keresahan
terutama untuk masyarakat Kota Tasikmalaya maka dari itu dibuatlah
Perda No.7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat Yang
Religius di Kota Tasikmalaya yang mana untuk merevisi Perda Kota
Tasikmalaya No. 12 Tahun 2009 Tentang Pembangunan Tata Nilai
Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama
Islam Dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya, dan dapat
dikatakan perda ini termasuk kedalam Perda yang bernuansa syariah.
Perda No. 12 Tahun 2009 telah direvisi oleh Menteri Dalam Negeri
yang dianggap bahwa regulasi tersebut diskriminatif karena memihak
terhadap salah satu agama. Selain isinya, selama proses pembuatan perda
ini juga muncul banyak kontroversi, tidak saja dalam tingkat lokal tapi
juga nasional. Karena banyaknya kontroversi maka aturan tersebut direvisi
oleh Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Tata Nilai
Kehidupan Masyarakat yang Religius di Kota Tasikmalaya yang disahkan
oleh Walikota Tasikmalaya tanggal 1 Oktober 2014. Dengan aturan
pelaksanaannya yaitu Peraturan Walikota Tasikmalaya Nomor 18 Tahun
2015.
Namun, walaupun telah mengalami perubahan masih banyak
kalangan yang mengkritisi perda No. 7 Tahun 2014 baik itu media,
akademisi, maupun masyarakat khususnya masyarakat di luar Kota
Tasikmalaya, padahal Perda ini dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan
kehidupan masyarakat yang harmonis, rukun, aman, damai dan tertib.
Selain itu maksud dari keberadaan peraturan daerah ini adalah untuk
mengatasi persoalan-persoalan dekadensi moral yang terjadi di masyarakat
saat ini.7
6 Warijo, Politik Belah Bambu Jokowi: Dari Mafia Politik Sampai Islamfobia,
(Medan:Puspantara,2015), h.13-14. 7 Lina Aryani, Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Tata Nilai Kehidupan
Masyarakat Yang Religius Di Kota Tasikmalaya, Jurnal Politikom Indonesiana, 4, 1(2019), h.2.
5
Terdapat penentangan juga kritik terhadap Perda Tata Nilai ini,
wakil ketua DPRD Kota Tasikmalaya saat ini yaitu Bapak Agus Wahyudin
mengatakan pada rapat audiensi yang digelar pada hari Jum’at, 17 Juli
2020 “Perda Tata Nilai membuat Kota Tasikmalaya sampai saat ini dicap
sebagai daerah yang intoleran”. Terdapat pula akademisi yang mengkritisi
nya seperti, Amin Mudzakir dengan artikel yang berjudul “Konservatisme
Islam dan Intoleransi Keagamaan di Tasikmalaya” yang diterbitkan
P2SDR-LIPI, Jakarta. Ia mengatakan bahwa meski kata "islam" pada judul
Perda No.7 Tahun 2014 tetapi setelah diselidiki secara seksama
substansinya kurang lebih sama.8
Pendapat lain mengatakan yang menjadikan perda tata nilai
terdapat penolakan ialah karena menggantikan perda terdahulu yang sudah
dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri yang dianggap bahwa regulasi
tersebut diskriminatif karena memihak terhadap salah satu agama.
Apabila dibandingkan dengan perda No.12 Tahun 2009 menurut
penulis sudah sangat berbeda seperti pada nama perda "Pembangunan Tata
Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama
Islam Dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya"
sedangkan Perda No.7 Tahun 2014 "Tata Nilai Kehidupan Masyarakat
Yang Religius di Kota Tasikmalaya", selanjutnya pada Perda No.12 Tahun
2009 dapat dikatakan terlalu memihak kepada salah satu agama.
Didalamnya dapat ditemukan pengertian juga aturan mengenai Maksiat,
Akhlaqul karimah, Aqidah, Muamalah, Da’wah Islamiyah, Syiar Islam,
Syariat Islam, Prinsip Ekonomi Syariah yang mana biasanya istilah -
istilah ini digunakan didalam agama islam.
Sedangkan pada Perda No.7 Tahun 2014, pengganti Perda No. 12
Tahun 2009 yaitu Perda No.7 Tahun 2014 sangatlah berbeda dan lebih
bersifat universal juga telah ditegaskan di dalam perda tersebut yaitu pasal
1 ayat 3 “Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam
8 Amin Mudzakir, Konservatisme Islam dan Intoleransi Keagamaan di Tasikmalaya,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16,
6
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya”. Kata “agama yang
dianutnya” membuktikan bahwa menjadi pribadi religius sesuai dengan
agama yang dianut bukan berdasarkan kepada agama tertentu saja.
Apabila dilihat dari definisi Intoleransi, intoleransi adalah pola
pandang, tindakan, tutur kata, serta sikap dalam kehidupan sosial yang
berdasarkan perbedaan baik yang terbentuk melalui suasana politis, sosial,
negara, maupun budaya. Intoleransi didasari dengan sikap tidak lapang
dada dan tidak dapat menghargai orang lain dengan tidak memperhatikan
prinsip yang dipegang orang lain. Intoleransi terjadi karena adanya
perbedaan prinsip serta tidak dapat menghormati perbedaan. Sedangkan
wacana intoleransi yaitu adanya isu-isu yang berkaitan dengan suku,
agama, ras dan antar golongan atau SARA sehingga dapat menyebabkan
masyarakat yang intoleran.9
Ciri-ciri semakin berkembangnya sikap intoleransi yaitu: Lahirnya
radikalisme dalam lintas kehidupan antara agama sebagai akibat doktrin
ketuhanan, dorongan pada dialog lintas agama, adanya pemaksaan
terhadap kelompok tertentu dalam menjalankan norma-norma keagamaan,
penghargaan kepada golongan minoritas yang dalam proses perputaran
zaman semakin berbeda dengan kondisi pada zaman sebelumnya serta
tumbuhnya budaya sosial masyarakat maupun agama.10
Tentunya apabila dilihat dari penjelasan di atas maka Perda Tata
Nilai Kota Tasikmalaya bukanlah perda yang intoleran karena telah
menegaskan pada pasal 1 ayat (3) yaitu sesuai dengan agama yang
dianutnya. Hal ini menjadi rancu karena menjadi sebuah pertanyaan
mengapa ketika penganut agama islam ingin memasukan ajaran agama
kedalam regulasi selalu diiringi dengan isu intoleran, padahal pemeluk
agama lain dapat pula melakukan hal serupa.
9 Nur Wahyu Etikasari, Persepsi Mahasiswa Program Studi S1 Ppkn Universitas Negeri
Surabaya Terhadap Wacana Intoleransi Di Media Sosial, Kajian Moral dan Kewarganegaraan,
6,1(2018). h.63. 10
Nur Wahyu Etikasari, Persepsi Mahasiswa Program Studi S1 Ppkn Universitas Negeri
Surabaya Terhadap Wacana Intoleransi Di Media Sosial, Kajian Moral dan Kewarganegaraan,
6,1(2018). h.63.
7
Namun, dalam penerapan perda Tata nilai yang kurang lebih telah
berjalan selama 7 tahun dinilai belum maksimal oleh berbagai kalagan
terutama masyarakat Kota Tasikmalaya. Kerap kali terlihat para pendemo
didepan gedung DPRD Kota Tasikmalaya, sering juga Perda Tata nilai ini
disinggung di dalam berbagai audiensi yang berlangsung di DPRD Kota
Tasikmalaya.
Di dalam islam tujuan dari peraturan/kebijakan dikenal dengan
Maqashid Al – Syariah. Ada 5 (lima) unsur pokok yang harus dipelihara
dalam maqashid syariah, kelima unsur pokok tersebut adalah agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Kemaslahatan akan diperoleh apabila kelima
unsur pokok tersebut dapat dipelihara dengan baik. Sebaliknya, apabila
kelima unsur pokok tersebut tidak dipelihara dengan baik, maka yang akan
diperoleh adalah mafsadat.11
Kelima unsur ini biasa dikenal dengan
Hifdzul al-Mal Memelihara harta (Memelihara harta), Hifdzul al-Nasl
(Memelihara keturunan), Hifdzul al-„Aql (Memelihara akal), Hifdzul al-
Nafs (Memelihara jiwa), Hifdzul al-Din (Memelihara Agama).
Maka dari itu berdasarkan dari latar belakang ini penulis tertarik
untuk melakukan kajian dan analisis Perda No. 7 Tahun 2014 Tentang
Tata Nilai Kehidupan Masyarakat yang Religius di Kota Tasikmalaya
ditinjau dari perspektif Maqashid Al – Syariah dengan judul “PERDA
NO.7 TAHUN 2014 TENTANG TATA NILAI KEHIDUPAN
MASYARAKAT YANG RELIGIUS DI KOTA TASIKMALAYA
PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARIAH”.
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut :
a. Perda No.7 Tahun 2014 menuai pro dan kontra, mereka yang pro
11
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
h.159.
8
berasal dari masyarakat muslim khususnya yang mengusulkan
perda ini seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi
masyarakat karena dianggap perlunya mengakomodir ajaran agama
islam yang dapat diterapkan secara universal, dan juga para tokoh
agama lain yang ikut menyetujui. Sedangkan mereka yang kontra
ialah yang tidak menyetujui juga menganggap ajaran agama
berupa etika cukup diterapkan dalam keseharian saja dan tidak
perlu diakomodir kedalam sebuah peraturan.
b. Perda No.7 Tahun 2014 dinilai sebagian masyarakat dari kalangan
aktivis kesetaran dan HAM, juga beberapa akademisi sebagai
perda yang intoleran, hal ini dikarenakan masih banyak yang
mengkaitkan dengan Perda sebelumnya yaitu Perda No. 12 Tahun
2009. Padahal sudah banyak perubahan substansi di dalam Perda
Tata Nilai.
c. Dalam penerapannya Perda No.7 Tahun 2014 belumlah maksimal,
meskipun sudah dianggarkan untuk sosialisasi mengenai Perda
tetapi tetap saja masih terdapat pelanggaran – pelanggaran.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah penelitian ini, penulis membatasi masalah yang
akan di bahas, yaitu perda No.7 Tahun 2014 yang ditinjau dari
persfektif Maqashid Al - Syariah.
3. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rinci dengan bentuk pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
a. Bagaimana Pandangan Maqashid Al-Syariah pasal 1 ayat (3), 2
ayat (2), dan pasal 7 dalam Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya
No. 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat yang
Religius di Kota Tasikmalaya?
b. Bagaimana Implementasi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No.
7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat yang
Religius di Kota Tasikmalaya?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki tujuan diantaranya:
a. Untuk mengetahui bahwa Perda No.7 Tahun 2014 adalah perda
yang toleran.
b. Untuk mengetahui tinjauan Maqashid Al – Syariah terhadap Perda
No.7 Tahun 2014.
c. Untuk mengetahui implementasi Perda No.7 Tahun 2014
Selain tujuan diharapkan penelitian ini memberikan manfaat bagi
pembaca khususnya penulis pribadi yaitu manfaat teoritis dan manfaat
praktis, diantaranya:
a. Manfaat Teoritis
1. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran
yang bermanfaat bagi perkembangan Hukum Tata Negara pada
umumnya dan Maqashid Al - Syari'ah pada khususnya.
2. Memberikan wawasan terbaru mengenai Peraturan Daerah
yang ditinjau dari konsep Maqashid Al – Syari'ah.
b. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan juga
mengembangkan pola fikir peneliti khususnya mengenai
Maqashid Al – Syariah.
2. Memberikan masukan atau sumbangan kepada Pemerintah
Kota Tasikmalaya, DPRD Kota Tasikmalaya, dan Masyarakat
Kota Tasikmalaya, juga untuk memberikan pemikiran alternatif
yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi
dalam kaitannya dengan Maqashid Al – Syariah.
D. Review Kajian Terdahulu
Beberapa penelitian terkait dengan topik ini sudah dilakukan secara umum
dengan spesifikasi yang berbeda-beda untuk dijadikan pertimbangan dan
10
pembandingan penulis. Berikut adalah kajian-kajian terdahulu yang
terkait:
1. Skripsi Rini Nurwanti yang berjudul “Komparasi Subjek Hukum
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur dan Peraturan Daerah
Kota Tasikmalaya Tentang Akhlak” Skripsi ini diterbitkan oleh
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati pada
tahun 2019, yang meneliti tentang komparasi subjek hukum dalam
Perda Kabupaten Cianjur dan Kota Tasikmalaya mengenai akhlak.
Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan ialah Rini
Nurwanti memfokuskan kajiannya kepada perbandingan subjek hukum
dalam peraturan daerah Kabupaten Cianjur dan Kota tasikmalaya
tentang akhlah, sedangkan penulis memfokuskan kajian hanya Kota
Tasikmalaya saja juga apakah Perda Kota Tasikmalaya, yaitu Perda
Tata Nilai terdapat muatan Maqashid Al – Syariah di dalamnya.
2. Skripsi Randi Hamdani yang berjudul “Kebijakan Publik Dan Perda
Syari‟ah (Studi Tentang Implementasi Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2014 Tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat Yang Religius
Di Kota Tasikmalaya)” Skripsi ini diterbitkan oleh Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Islam Negri Syarief Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017, penelitian ini menganalisa implementasi kebijakan publik
di Kota Tasikmalaya-Jawa Barat.
Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan ialah penulis
lebih memfokuskan kepada tinjauan Maqashid Al – Syariah pada
Perda Kota Tasikmalaya, sedangkan skripsi Randi Hamdani
memfokuskan pada studi implementasi dari perda tersebut tanpa
membahas mengenai tinjauan Maqashid Al – Syariah terhadap perda
tersebut.
3. Jurnal Hukum ditulis oleh Lina Aryani pada tahun 2019 yang berjudul
“Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Tata Nilai
11
Kehidupan Masyarakat Yang Religius Di Kota Tasikmalaya” yang
meneliti tentang pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Tata Nilai
Kehidupan Masyarakat Yang Religius Di Kota Tasikmalaya dan di
evaluasi.
Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan ialah penulis
melakukan kajian mengenai Perda menggunakan persfektif Maqashid
Al – Syariah, sedangkan Lina Aryani memfokuskan penelitiannya
kepada evaluasi dari pelaksanaan Perda No.7 Tahun 2014 tanpa
membahas mengenai pespektif Maqashid Al – syariah nya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif yaitu menggunakan metode library research (penelitian
kepustakaan) yang artinya ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitiannya. Ia merupakan suatu penelitian
yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data
penelitiannya.12
Selanjutnya akan dianalisis secara komprehensif
terkait dengan data kualitatif yang berasal dari buku, dokumen,
Undang – Undang, jurnal, majalah, arsip, dokumentasi dan hal – hal
lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum
normatif atau disebut juga penelitiaan doktrinal yang berdasar pada
konsep dan perundang-undangan. Penelitian hukum normatif adalah
suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
12
Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Nasional, 2004),
h.2-3.
12
yang dihadapi.13
Karena penulis menganalisis Peraturan Daerah, maka
penulis merasa pendekatan penelitian hukum normatif yang paling
sesuai karena Penelitian hukum jenis ini seringkali hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang -
undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.14
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berdasarkan studi pustaka, yaitu pengumpulan data yang
diperoleh dengan cara membaca, mengutip buku-buku, peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta literatur yang berhubungan
atau berkaitan dengan penulisan.
4. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer adalah bahan yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena dibuat dan
diumumkan secara resmi oleh pembentuk hukum negara. Yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
Undang-Undang No.12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak - Hak Sipil dan Politik,
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang – Undangan, Undang-Undang No 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah
No.7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan yang Religius
di Kota Tasikmalaya, serta buku dan literatur mengenai kajian
Maqashid Al-Syariah.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat
kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yang terdiri
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta,:Kencana Prenada, 2010), h.35. 14
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), h.118.
13
dari buku-buku, jurnal, hasil penelitian terdahulu serta literatur
lain yang berkaitan dengan pembahasan penetian penulis.
c. Bahan hukum tersier, yang akan menjelaskan mengenai bahan
sumber data premier dan sekunder, yang didapatkan dari
ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia serta Kamus
Bahasa Inggris dan penunjang lain yang berkaitan dengan
pembahasan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Metode teknik analisis isi dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif normatif. Data-data yang sudah diklasifikasikan dari sumber
data primer dan sekunder kemudian akan dilakukan analisis dengan
cara menguraikan isi dalam bentuk kesimpulan dari apa yang sudah di
analisis dan uraian dari perspektif dari sudut pandang lain. Juga dalam
menyusun dan mengalisis data penulis menggunakan penalaran
deduktif, yaitu dengan cara menganalisis pernyataan yang bersifat
umum kemudian ditarik pada kesimpulan khusus, dari bahan-bahan
hukum yang sudah dikumpulkan menjadi pokok pembahasan
kemudian dilakukan analisis menjadi satu kesimpulan.
6. Teknik Penulisan Data
Adapun teknik penulisan data dalam skripsi ini menggunakan
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 pembahasan, dengan
sistematika sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan. Terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
review kajian terdahulu, metode penelitian dan rancangan sistematika
penulisan.
BAB II Peraturan Daerah Bernuansa Syariah dan Maqashid Al-Syariah,
pada bab ini dibahas teori peraturan daerah bernuansa syariah, yang
14
meliputi pengertian peraturan daerah, pengertian peraturan daerah
bernuansa syariah, serta sejarah munculnya peraturan bernuansa syariah
juga dijelaskan mengenai pengertian maqashid al-syariah, tujuan
maqashid al-syariah, juga tingkat kemaslahatan maqashid al-syariah.
BAB III Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No.7 Tahun 2014,
merupakan obyek pembahasan yang di dalamnya dibahas mengenai Profil
kota Tasikmalaya, Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No.7 Tahun 2014
itu sendiri, juga membahas pasal khususnya pada pasal 1 ayat (3), 2 ayat
(2), dan pasal 7.
BAB IV Analisis Maqashid Al-Syariah Terhadap Perda Kota Tasikmalaya
No.7 Tahun 2014, pada bab ini membahas analisis Maqashid Al-Syariah
pasal 1 ayat (3), 2 ayat (2), dan pasal 7 dalam Peraturan daerah Kota
Tasikmalaya No.7 tahun 2014, dan implementasi peraturan daerah kota
Tasikmalaya No.7 Tahun 2014.
BAB V Penutup yang meliputi kesimpulan dari penelitian dan saran.
15
BAB II
PERATURAN DAERAH BERNUANSA SYARIAH DAN MAQASHID AL -
SYARIAH
A. Pengertian Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Bernuansa Syariah
Peraturan daerah menurut Undang – Undang No.12 Tahun 2011 terbagi
menjadi dua yaitu provinsi dan kabupaten/kota. Peraturan Daerah Provinsi adalah
Peraturan Perundang - undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedangkan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.1
Selain itu definisi peraturan daerah juga dapat berarti peraturan yang
dibuat oleh kepala daerah provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun
Kabupaten/Kota, dalam ranah pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah yang
menjadi legalitas perjalanan eksekusi pemerintah daerah.2 Peraturan Daerah
sendiri merupakan jabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undanagan yang
lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-
masing daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum, juga peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta perda daerah
lainnya.3
Sedangkan menurut Bagir Manan, Peraturan Perundang-undangan tingkat
daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan sistem Perundang-
1 Undang – Undang No.12 Tahun 2011 (pasal 7-8)
2 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius 2007), Cet. 7.
h.202. 3 Mahendra Kurniawan dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, (Yogyakarta:
Kreasi Total Media, 2007), Cet. 1. h.19.
16
undangan secara nasional. Maka dari itu tidak boleh ada Peraturan Perundang-
undangan tingkat daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau kepentingan umum.4
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.5
Peraturan daerah juga berisi hal – hal yang berkaitan dengan rumah tangga
daerah dan hal - hal yang berkaitan dengan organisasi pemerintah daerah serta
hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan pembantuan. Maka dapat disimpulkan
perda merupakan produk hukum dari pemerintah daerah dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah, yaitu melaksanakan hak dan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah selain itu perda juga
merupakan legalitas untuk mendukung Pemerintah Provinsi sebagai daerah
otonom.6
Dalam menyusun materi muatan peraturan perundang-undangan ada
beberapa asas yang harus dipenuhi yaitu:7
a) Pengayoman
Asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan
untuk menciptakan ketentraman masyarakat.8
b) Kemanusiaan
Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan
4 Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat
Daerah, (Bandung: Pusat Penerbitan LPPM Universitas Bandung,1995), h.8. Dikutip dari A.
Zarkasi, Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan, Inovatif
Jurnal Ilmu Hukum, 2, 4(2010). h.105. 5 Undang – Undang No.12 Tahun 2011 (pasal 14).
6 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 1998), h.23. 7 Undang – Undang No.12 Tahun 2011 (pasal 6).
8 Penjelasan UU No.12 Tahun 2011.
17
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.9
c) Kebangsaan
Asas kebangsaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.10
d) Kekeluargaan
Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.11
e) Kenusantaraan
Asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12
f) Bhinneka tunggal ika
Asas bhinneka tunggal ika adalah bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.13
g) Keadilan
Asas keadilan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.14
9 Penjelasan UU No.12 Tahun 2011.
10 Penjelasan UU No.12 Tahun 2011.
11 Penjelasan UU No.12 Tahun 2011.
12 Penjelasan UU No.12 Tahun 2011.
13 Penjelasan UU No.12 Tahun 2011.
14 Penjelasan UU No.12 Tahun 2011.
18
h) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras,golongan, gender, atau
status sosial.15
i) Ketertiban dan kepastian hukum
Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.16
j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa
setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.17
Hal penting lainnya ialah terdapat hieraki peraturan perundang – undangan
yang mana menentukan kekuatan hukum dalam artian, Peraturan Perundang-
undangan dibawah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah sendiri dalam hierarki peraturan
perundang- undangan menempati posisi sebagai berikut :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d) Peraturan Pemerintah
e) Peraturan Presiden
15
Penjelasan UU No.12 Tahun 2011. 16
Penjelasan UU No.12 Tahun 2011. 17
Penjelasan UU No.12 Tahun 2011.
19
f) Peraturan Daerah Provinsi
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam pembentukan peraturan daerah terdapat hal – hal yang harus dipenuhi
agar perda sebagai produk hukum di daerah mampu membuat masyarakat ke arah
yang lebih baik dan mampu mengayomi masyarakat. Perda yang baik hendaknya
mencerminkan aspek filosofis yang berkaitan dengan prinsip bahwa perda akan
menjamin keadilan, sosiologis berkaitan dengan harapan bahwa perda yang
dibentuk merupakan keinginan masyarakat daerah, dan yuridis berkaitan dengan
harapan bahwa perda memenuhi dan menjamin kepastian hukum seperti halnya
pembentukan Undang-undang.18
Selanjutnya ialah peraturan daerah bernuansa syariah, tidak ada definisi pasti
mengenai definisi perda bernuansa syariah menurut undang – undang, namun
terdapat akademisi yang telah mendefinisikannya melalui tulisan seperti jurnal
dan karya ilmiah lainnya. Penggunaan frase perda yang bernuansa syariat Islam
dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah perda syariat Islam, masyarakat
umum cenderung mengaitkan perda syariat Islam dengan usaha komunitas
tertentu mendirikan negara Islam sebagaimana yang di impikan oleh sebagian
kalangan, boleh jadi mereka menyamakan perda syariat Islam dan sistem hukum
Islam, Contohnya : jinayat, qishas, ghonimah dan lain - laim. Berbeda halnya
dengan frase perda yang bernuansa syariat Islam yang pada dasarnya merujuk
pada ajaran syariat Islam tetapi tetap sejalan dengan aturan yang ada di
Indonesia.19
Secara umum dapat dikatakan bahwa Perda syariat atau Perda bernuansa
syariat sering dimaknai sebagai Perda yang diambil dari ketentuan-ketentuan legal
Syariat Islam baik yang bersifat tekstual maupun substansi ajarannya. Perda
bernuansa syariat merupakan bagian dari aspirasi masyarakat daerah, sehingga
setiap daerah memiliki hak membuat peraturan perundang – undangan khas
18
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1991), h.14. 19
Abd. Rais Asmar, Pengaturan Peraturan Daerah (Perda) Syariah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, El-Iqtishady, 1, 1(Juni, 2019), h.64.
20
berdasarkan daerahnya. Selain itu peraturan hukum yang ada dinilai belum
mampu menjamin penegakan keadilan di tengah masyarakat, sehingga tidak ada
salahnya mencoba memberlakuan hukum Islam sebagai alternatif peraturan
daerah yang selama ini dinilai memiliki banyak kekurangan.20
Peraturan daerah bernuansa syariah juga dapat diartikan peraturan yang
bermuatan nilai - nilai dan atau norma-norma Islam yang bersumber pada Al-
Qur’an dan Hadits yang mana peraturan ini berlaku di suatu daerah.21
Sedangkan
dalam kajian hukum Islam istilah syariah dibedakan antara syariah arti sempit dan
syariah arti luas. Syariat dalam arti sempit berarti teks – teks wahyu atau hadits
yang berkaitan dengan masalah hukum normatif. Sedang dalam arti luas berarti
teks – teks wahyu atau hadits yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum, dan
akhlak.22
Dilihat dari konstruksi hukum, memang tidak terdapat pengertian tegas
tentang definisi Perda Syariah. Namun, jika melihat pada sumber hukum,
tampaknya Perda Syariah merupakan jenis Perda khusus, yang bersumber pada
kebiasaan lokal atau hukum yang hidup yang terdapat di dalam wilayah tersebut.
Kebiasaan lokal tersebut lebih disandarkan kepada komposisi jumlah masyarakat
pada suatu daerah atau kekuatan hegemoni para elit politik di daerah tersebut yang
tersebar (diaspora) baik di partai, lembaga legislatif maupun eksekutif.23
Keberadaan Perda Syariah apabila ditinjau dari segi hukum tata negara dalam
arti formil, berarti hanya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang
tertulis.24
Pengertian lain dari Peraturan Daerah bernuansa Syariah adalah
20
Hayatun Na’imah, Perda Berbasis Syariah Dan Hubungan Negara-Agama Dalam
Perspektif Pancasila, Mazahib, XV, 2(2016), h.154. 21
Cholida Hanum, Perda Syariah Perspektif Ketatanegaraan dan Siyasah Dusturiyyah, Al –
Ahkam, 4, 2(2019), h.120. 22
Muntoha, Otonomi Daerah dan Perkembangan Peraturan Daerah Bernuansa Syariah,
(Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2010), h.15. Dikutip dari Erfina Fuadatul Khilmi, Pembentukan
Peraturan Daerah Syari’ah dalam Perspektif Hukum Tata Negara Pascareformasi, Lentera Hukum,
5, 1(2018). h.50. 23
Munawar Ahmad, Fenomena Perda syariah: Institusional identitas pada tingkat local
state, Jurnal Sosiologi agama, 1, 1(2007). h.4. 24
Erfina Fuadatul Khilmi, Pembentukan Peraturan Daerah Syari’ah dalam Perspektif Hukum Tata Negara Pascareformasi, Lentera Hukum, 5, 1(2018). h.50.
21
peraturan yang bermuatan nilai dan/atau norma Islam yang bersumber dari
AlQur’an dan Sunnah yang beraku di suatu daerah.25
B. Sejarah Munculnya Peraturan Daerah Bernuansa Syariah
Nampaknya Kegagalan dalam upaya memasukkan tujuh kata dalam
amandemen Undang – Undang Dasar 1945 yang mana tujuh kata tersebut ialah
"dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
tidaklah menyurutkan semangat umat islam untuk memasukkan ajaran agama
Islam sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan. Beberapa daerah telah
berhasil menyusun peraturan daerah yang oleh berbagai kalangan dianggap
bernuansa syariat Islam. tentunya hal ini tidak terlepas dari sejarah yang panjang
selain kegagalan umat islam dalam upaya memasukkan tujuh kata dalam
amandemen Undang – Undang Dasar 1945 juga terdapat faktor – faktor lainnya.
Secara historis, dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, berarti
pengorbanan umat Islam dalam konteks pluralism. Ini bukan kekalahan melainkan
kemenangan secara moral, yang menunjukan bahwa umat Islam memiliki
kontribusi besar dan tujuan yang baik bagi terbentuknya sebuah bangsa yang pada
hakikatnya amat plural, walaupun mayoritas penduduknya beagama Islam. 26
Akan tetapi bagi kalangan yang kecewa terhadap perjalanan sejarah
beranggapan bahwa para pendiri bangsa dari kelompok Muslim telah menghianati
aspirasi umat Islam, dengan menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta, yang ditandai dengan “Pemberontakan Kartosuwiryo” (DI/TII) yang
terjadi di daerah Jawa, di Aceh dengan tokoh utamanya Daud Beueureuh, di
Sulawesi Selatan melalui gerakan Kahar Muzakkir dan di Kalimantan Selatan
dengan tokoh Letda Ibnu Hajar. 27
25
Ija Suntana, Poitik Hukum Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), h.389 dikutip dari
Cholida Hanum, Perda Syariah Perspektif Ketatanegaraan dan Siyasah Dusturiyyah, Al – Ahkam,
4, 2(2019), h.44. 26
Hayatun Na’imah, Perda Berbasis Syariah Dan Hubungan Negara-Agama Dalam
Perspektif Pancasila, Mazahib, XV, 2(2016), h.154. 27
Hayatun Na’imah, Perda Berbasis Syariah Dan Hubungan Negara-Agama Dalam
Perspektif Pancasila, Mazahib, XV, 2(2016), h.154-155.
22
Marginalisasi peran kalangan Muslim di dunia ketentaraan, dirambah dengan
kebijakan militer yang sulit dipahami kelompok Islam yang ada di sayap tentara,
akhirnya cukup fatal, aksi-aksi militer yang dilakukan kelompok Islam yang
kecewa, memiliki konsep negara hukum Islam merupakan catatan yang setiap saat
mampu dijadikan alat untuk memukul balik setiap ide yang berbau “kanan”. Cap
“ekstrem kanan” merupakan penerapan Syariat Islam dalam konteks non politik.
Tahun 1970-an dan Tahun 1980-an merupakan masa-masa dimana rezim Orde
Baru mengumbar cap “ekstrem kanan” dan menyandingkan cap “ekstrem kiri”
yang sama-sama dianggap berbahaya.28
Sejak reformasi pada tahun 1998, secara subtansial dan signifikan terjadi
perubahan tatanan kehidupan di bidang politik pasca perubahan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu perubahannya ialah
mengenai hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah yang
mengalami pergeseran kewenangan pemerintah pusat dari sentralistik-otoritarian
menjadi kewenangan desentralistik otonom. Hal tersebut terlihat pada pasal 18
ayat (2) yang lebih menempatkan keleluasaan pemerintah daerah untuk mengelola
urusan rumah tangganya sendiri setelah pemerintah pusat melimpahkan
kewenangannya kepada daerah.29
Dalam artian bahwa pemerintah pusat
memberikan hak kepada daerah yang berdasarkan pada peraturan yang ada di
dalam undang – undang serta konstitusi.30
Otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip kewenangan yang seluas-
luasnya. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah dimaksudkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Selain itu melalui otonomi
luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
28
Hayatun Na’imah, Perda Berbasis Syariah Dan Hubungan Negara-Agama Dalam
Perspektif Pancasila, Mazahib, XV, 2(2016), h.155. 29
Erfina Fuadatul Khilmi, Pembentukan Peraturan Daerah Syari’ah dalam Perspektif
Hukum Tata Negara Pascareformasi, Lentera Hukum, 5, 1(2018). h.48. 30
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h.52.
23
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.31
Dengan dianutnya sistem desentralisasi maka terjadi pembagian urusan antara
pusat dan daerah, dan salah satu akibat dari diberlakukannya desentralisasi di
Indonesia adalah munculnya perda – perda bernuansa syariah. Perda bernuansa
syariah setidaknya dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu ketertiban
masyarakat seperti pelarangan aktivitas pelacuran dan pembatasan distribusi
konsumsi minuman beralkohol, kewajiban dan keterampilan keagamaan seperti
pembayaran zakat dan kemampuan baca tulis Al-Qur’an, dan simbolisme
keagamaan berupa pakaian busana Muslim.32
Perda bernuansa syariah dapat kita temukan khususnya di Provinsi Aceh yang
mana melalui Undang-undang No.44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Aceh, karena UU tersebut maka daerah provinsi Aceh diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat, yang selanjutnya pada tahun 2001 UU
No.18 Tahun 2001 dibentuk yaitu tentang otonomi khusus provinsi Aceh yang
kemudian dicabut dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan tersebut maka, syariat Islam
diizinkan serta diakui keberadaannya dalam hukum nasional namun, lingkup
pelaksanaanya hanya di Provinsi Aceh Darussalam.
Berawal mula dari situlah pada akhirnya daerah lain mencontoh perda Aceh
yang terdapat ajaran agama islam di dalamnya. Namun, tetap dengan
menyesuaikan dengan keadaan di daerah masing – masing karena setiap daerah
memiliki karakteristik nya tersendiri.
Pada tahun 1999, jumlah Perda bernuansa syariah di seluruh Indonesia hanya
ada empat, yang tersebar di empat kabupaten dan kota. Jumlah ini meningkat
tajam dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Pada tahun 2013, jumlah Perda
31 Penjelasan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
32 Arskal Salim, Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM,
Yayasan Jurnal Perempuan, 60, I,(2008), h.111. Dikutip dari Hayatun Na’imah, Perda Berbasis
Syariah Dan Hubungan Negara-Agama Dalam Perspektif Pancasila, Mazahib, XV, 2(2016), h.155.
24
bernuansa syariah di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 400 buah.33
Hampir di
semua provinsi di Indonesia yang jumlahnya 34 provinsi terdapat perda syariah di
level provinsi/kabupaten/kota.34
C. Pengertian Maqashid Al-Syariah
Secara lughawi, Maqashid Al-syari'ah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid
dan syari‟ah. Maqashid adalah bentuk jama' dari maqashid yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Syari'ah berasal dari kata syara'a yang bermakna
memperkenalkan, menetapkan atau mengedepankan.35
secara bahasa الى الماء
yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula
dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.36
Al - Syariah secara etimologi berasal dari kata Syara'a Yasyra'u Syar'an yang
berarti membuat syariat atau undang-undang.37
Selanjutnya Makna syari'ah secara
bahasa yang berarti jalan menuju sumber air, dapat dikatakan bahwa terdapat
keterkaitan kandungan makna antara syari'ah dan air dalam arti keterkaitan antara
cara dan tujuan, sesuatu yang hendak dituju tentu merupakan sesuatu yang amat
penting.
Dalam konteks ini Syari'ah merupakan cara atau jalan dan air ialah sesuatu
yang hendak dituju. Pengaitan syari'ah dengan air dalam arti bahasa ini tampaknya
dimaksudkan untuk memberikan penekanan pentingnya syari'ah dalam
memperoleh sesuatu yang penting yang diibaratkan dengan air, yang mana hal ini
cukup tepat karena air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam
kehidupan.38
33
Cholida Hanum, Perda Syariah Perspektif Ketatanegaraan dan Siyasah Dusturiyyah, Al –
Ahkam, 4, 2(2019), h.44. 34
Abd. Rais Asmar, Pengaturan Peraturan Daerah (Perda) Syariah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, El-Iqtishady, 1, 1(Juni,2019), h.63. 35
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2005),
Cet.1. h.307. 36
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2005),
Cet.1. h.196. 37
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h.36. 38
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.63.
25
Sedangkan makna syari'ah sendiri merupakan al–nusus al–muqaddasah
(nash-nash hukum atau norma-norma hukum yang tertulis) dari Al-Quran dan Al-
Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh pemikiran
manusia. Muatan syari'ah dalam arti ini mencakup aqidah, amaliyyah, dan
khuluqiyyah. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah SWT antara lain ialah
surat Al – Jasiyah ayat 18 yang berbunyi: Kemudian Kami jadikan kamu berada
di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu)39
مر فاتتػىا )الجاثيثان ال ى شريػث م
نك عل
(81:54\ ثم جػل
Artinya: "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu)".
Menurut Mahmoud Syaltout syari'ah adalah aturan-aturan yang diciptakan
oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan,
dengan manusia baik sesama muslim atau non muslim, alam dan seluruh
kehidupan. Sedangkan menurut Ali al-Sayis mengatakan bahwa syari'ah adalah
hukum-hukum yang diberikan oleh Allah untuk hamba hambaNya agar mereka
percaya dan mengamalkan nya demi kepentingan mereka di dunia dan di
akhirat.40
Maka dari pengertian syariah dari Mahmoud Syaltout dan Ali al-Sayis diatas
dapat disimpulkan bahwa pada intinya syariah adalah seperangkat hukum-hukum
Tuhan yang diberikan kepada umat manusia untuk mendapat kebahagiaan hidup
baik di dunia maupun di akhirat. Kandungan pengertian syari'ah yang demikian
itu, secara tidak langsung memuat kandungan maqashid al-syari'ah.41
Pengertian lain maqashid al-syari'ah ialah maqashid al-syari'ah mengandung
pengertian umum dan pengertian khusus. pengertian yang bersifat umum mengacu
39
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.61. 40
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.62. 41
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.63.
26
pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik
yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di
dalamnya. pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah
maqashid al-syari' (maksud allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud
rasulullah dalam mengeluarkan hadits hukum). sedangkan pengertian yang
bersifat khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu
rumusan hukum.42
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan maqashid syari'ah dengan
makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh
hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan
rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya.43
Selanjutnya Al – Syatibi menggunakan kata – kata yang berbeda mengenai
Maqashid al-syari'ah seperti al- maqashid al-syar'iyyah, dan maqashid min syar'i
al-hukm yang mana memiliki pengertian yang sama yaitu tujuan hukum yang
diturunkan oleh Allah SWT.44
Pada intinya maqashid al-syari'ah ialah tujuan
daripada syariat itu sendiri.
D. Syarat dan Tujuan Maqashid Al-Syariah
Sebelum membahas tujuan nampaknya maqashid al-syariah memiliki syarat,
Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya menetapkan syarat - syarat maqashid al-
syari'ah. Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai maqashid al-
syari'ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu:45
1) Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu
harus bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.
42
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Sultan Agung, XLIV,
118, (Juni – Agustus, 2009). h.119. 43
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Sultan Agung, XLIV,
118, (Juni – Agustus, 2009). h.119. 44
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.63-64. 45
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Sultan Agung, XLIV,
118, (Juni – Agustus, 2009). h.122-123
27
2) Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan
makna tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan
tujuan disyariatkannya perkawinan.
3) Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau
batasan yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang
merupakan tujuan pengharaman khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah
kemabukan.
4) Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan
waktu dan tempat. Seperti sifat Islam dan kemampuan untuk memberikan
nafkah sebagai persyaratan kafa'ah dalam perkawinan menurut mazhab
Maliki.
Selanjutnya berikut ini merupakan beberapa ungkapan dari Al – Syatibi,
"Sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia didunia
dan di akhirat", "Hukum – hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba".
Maka apabila ditelaah ungkapan dari Al – Syatibi, dapat dikatakan bahwa
kandungan maqashid al-syari'ah atau tujuan hukum ialah kemaslahatan manusia.46
Dalam karya Al-Muwafaqat Al-Syatibi menyebutkan bahwa tidak ada satu
pun hukum Allah SWT dalam pandangan Al-Syatibi yang tidak mempunyai
tujuan, karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan
sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Hal seperti itu ialah sesuatu yang tidak
mungkin terjadi pada hukum-hukum Allah SWT.47
Muhammad Abu Zahrah
dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki huku islam ialah kemaslahatan,
karena tidak ada satupun hukum yang disyariatkan baik di dalam Al-Qur'an
maupun di dalam Hadits yang di dalamnya tidak terdapat kemaslahatan.48
Penekanan maqashid al-syari'ah yang dilakukan oleh Al-Syatibi secara
umum berasal dari kandungan ayat–ayat Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa
46
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.64. 47
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2005),
Cet.1. h.196 48
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.65.
28
hukum-hukum Tuhan mengandung kemaslahatan.49 Al-Syatibi mengatakan bahwa
maqashid al-syari'ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum
secara keseluruhan yang artinya, apabila terdapat permasalahan-permasalahan
hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, dapat
dianalisis melalui maqashid al-syari'ah yang dilihat dari ruh syariat dan tujuan
umum dari agama Islam yang hanif.50
E. Tingkat Kemaslahatan Maqashid Al-Syariah
Maqashid al-syari'ah dari segi substansi ialah kemaslahatan, kemaslahatan
dalam taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk yaitu dalam bentuk hakiki,
artinya manfaat langsung dalam arti kausalitas (sebab – akibat), dan dalam bentuk
majazi yaitu bentuk yang merupakan sebab yang membawa kepada
kemaslahatan.51
Kemaslahatan itu oleh Al-Syatibi dilihat pula dari dua sudut
pandang, yaitu Maqashid Al-Syariah (Tujuan Tuhan) dan Maqashid Al-Mukalaf
(Tujuan Mukalaf) mukalaf di sini berarti orang yang dibebani hukum.52
Maqashid
al-syari'ah dalam arti Maqashid al-Syari', mengandung empat aspek. Keempat
aspek itu adalah :
a) Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat.
b) Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c) Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan.
d) Tujuan syariat adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.
Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syariat adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila lima unsur pokok
dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu Agama (Hifdzh al-Din), Jiwa (Hifdzh al-
49
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.66. 50
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.68. 51
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.69-70. 52
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2005),
Cet.1. h.224.
29
Nafs), Keturunan (Hifdzh al-Nasl), Akal (Hifdzh al-„Aql), dan Harta (Hifdzh al-
Mal). Dalam usaha mewujudkan dan memelihara unsur pokok tersebut Al-Syatibi
membagi kepada tiga tingkat Maqashid Al-Syariah, yaitu:
1) Maqashid Al-Daruriyat
Maqashid al-daruriyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok
dalam kehidupan manusia di atas.53
Dharuriyat, yaitu maslahat yang
bersifat primer, di mana kehidupan manusia sangat tergantung padanya,
baik aspek agama maupun aspek duniawi. Maqashid al-daruriyat
merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan
manusia. Jika itu tidak ada, kehidupan manusia di dunia menjadi hancur
dan kehidupan akhirat menjadi rusak (mendapat siksa). Ini merupakan
tingkatan maslahat yang paling tinggi. Di dalam Islam, maslahat
dharuriyat ini dijaga dari dua sisi: pertama, realisasi dan perwujudannya,
dan kedua, memelihara kelestariannya. Contohnya, yang pertama menjaga
agama dengan merealisasikan dan melaksanakan segala kewajiban agama,
serta yang kedua menjaga kelestarian agama dengan berjuang dan berjihad
terhadap musuh-musuh Islam.54
2) Maqashid Al-Hajiyat
Maqashid al-hajiyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau
menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik
lagi.55
Makna hajiyat sendiri yaitu, maslahat yang bersifat sekunder yang
diperlukan oleh manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan
menghilangkan kesulitan maupun kesempitan. Jika ia tidak ada, akan
53
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.72. 54
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Sultan Agung, XLIV,
118, (Juni – Agustus, 2009). h.124. 55
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.72
30
terjadi kesulitan dan kesempitan yang implikasinya tidak sampai merusak
kehidupan.56
3) Maqashid Al-Tahsiniyat
Sedangkan maqasid al-tahsiniyat dimaksudkan agar manusia dapat
melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur
pokok.57
Tahsiniyat, yaitu maslahat yang merupakan tuntutan moral, dan
itu dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika ia tidak ada, maka
tidak sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia. Maslahat
tahsiniyat ini diperlukan sebagai kebutuhan tersier untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia.58
Tidak terwujudnya aspek daruriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia
dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat, tidak sampai
merusak keberadaan lima unsur pokok, akan tetapi hanya membawa kepada
kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Sedangkan
pengabaian aspek tahsiniyat, membawa upaya pemeliharaan lima unsur pokok
tidak sempurna. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur agama, aspek
daruriyatnya antara lain mendirikan salat. Salat merupakan aspek daruriyat,
keharusan menghadap ke kiblat merupakan aspek hajiyat, dan menutup aurat
merupakan aspek tahsiniyat.59
Apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur
pokok secara sempurna, maka ketiga tingkat maqashid di atas, tidak dapat
dipisahkan. Tampaknya bagi al-Syatibi, tingkat hajiyat adalah penyempurna
56
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Sultan Agung, XLIV,
118, (Juni – Agustus, 2009). h.124. 57
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.72. 58
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Sultan Agung, XLIV,
118, (Juni – Agustus, 2009). h.124. 59
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.72.
31
tingkat daruriyat. Tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna bagi tingkat hajiyat.
Sedangkan daruriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.60
60
Asafri jaya bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), cet.1. h.72.
32
BAB III
PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NO.7 TAHUN 2014
A. Profil kota Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya merupakan kota yang terletak di jalur utama selatan
Pulau Jawa di wilayah provinsi Jawa Barat. Secara geografis Kota Tasikmalaya
terletak di bagian tenggara wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu pada 108 08’83”
– 108 24’02” Bujur Timur dan 7 10’ – 7 26’32” Lintang Selatan di Bagian
Tenggara Wilayah Provinsi Jawa Barat. Kedudukan atau jarak Kota
Tasikmalaya dari ibukota propinsi Jawa Barat yaitu ± 105 Km dan dari ibukota
negara ± 225 Km. Kota Tasikmalaya berdasarkan bentang alamnya berada
pada ketinggian antara 201 sampai dengan 503 meter di atas permukaan laut
(mdpl).1
Berdasarkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Kota Tasikmalaya luas wilayah Kota Tasikmalaya adalah 17.156 Ha (171,56
Km2). Kota Tasikmalaya terdiri dari 10 Kecamatan dengan 69 Kelurahan.
Kota Tasikmalaya merupakan daerah otonom yang dipimpin oleh seorang wali
kota. Dibentuk pada 21 Juni 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2001 serta diresmikan pada 17 Oktober 2001 oleh Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah di Jakarta.
Sebelum menjadi daerah otonom, Kota Tasikmalaya berkedudukan
sebagai ibu kota Kabupaten Tasikmalaya. Lalu, tepatnya Pada 3 November
1976, Kota Tasikmalaya dijadikan sebagai kota administratif berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1976 yang dijabarkan dengan Peraturan
1 Diakses pada 5 Juni 2021dari https://dprd-tasikmalayakota.go.id/selayang-pandang-kota-
tasikmalaya/.
33
Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1976 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No. 21 Tahun 1976.2
Secara etimologis, terdapat dua pendapat mengenai asal – usul dari nama
Tasikmalaya. Pertama, Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari kata
"tasik" dan "laya". "Tasik" diartikan sebagai keusik yang berarti pasir dan
"laya" diambil dari kata "ngalayah" yang berarti hamparan. Maka dapat
disimpulkan, makna dari keusik ngalayah adalah hamparan pasir yang seolah-
olah menutupi hampir seluruh wilayah yang sekarang bernama Kota
Tasikmalaya. Hamparan pasir tersebut berasal Gunung Galunggung yang
meletus pada tanggal 8 dan 12 Oktober 1822. Selanjutnya Pendapat Kedua
menyebutkan bahwa nama Tasikmalaya merupakan gabungan dari kata "tasik"
dan "malaya". Tasik berarti telaga, laut, atau air yang menggenangi, sedangkan
"malaya" mengandung arti jajaran gunung-gunung. Maka, “tasikmalaya”
bermakna gunung-gunung yang berjejer dalam jumlah yang banyak seperti
peribahasa yang berkembang di tengah –tengah kehidupan masyarakat yaitu,
“Jajaran Gunung-Gunung Teh Lobana Lir Ibarat Cai Laut” yang maknanya
ialah "Jajaran Gunung – Gunung Banyak Nya Seperti Air Laut".3
Pepatah tersebut bukan hanya sebuah pepatah belaka, melainkan dapat
dibuktikan dengan peta geografis. Pepatah tersebut juga mengandung makna
bahwa ribuan bukit kecil yang terdapat di wilayah Tasikmalaya merupaan ciri
khas geografis daerah Kota Tasikmalaya. Bukit – bukit kecil itu sudah ada
sebelum tahun 1822 sehingga letusan Gunung Galunggung pada tahun tersebut
menguatkan identitas wilayah tersebut sebagai "wilayah sepuluh ribu bukit"
yang maknanya melekat pada nama Tasikmalaya.4
Menurut Miftahul Falah Apabila mengacu pada kedua pendapat tentang
asal-usul nama Tasikmalaya yang memiliki kaitan erat dengan letusan Gunung
2 Miftahul Falah, Pertumbuhan Kota Tasikmalaya (1820-1942); Dari Kota Distrik menjadi
Kota Kabupaten, Metahumaniora, 1, 2(Agustus, 2012), h.1-2. 3 Miftahul Falah, Pertumbuhan Kota Tasikmalaya (1820-1942); Dari Kota Distrik menjadi
Kota Kabupaten, Metahumaniora, 1, 2(Agustus, 2012), h.3. 4 Miftahul Falah, Pertumbuhan Kota Tasikmalaya (1820-1942); Dari Kota Distrik menjadi
Kota Kabupaten, Metahumaniora, 1, 2(Agustus, 2012), h.4
34
Galunggung tahun 1822 seharusnya nama tersebut baru dikenal setelah tahun
1822. Namun, nama Tasikmalaya telah digunakan oleh Pemerintah Hindia
Belanda, setidak-tidaknya sejak taun 1820. Artinya, wilayah tersebut sudah
bernama Tasikmalaya sebelum Gunung Galunggung meletus sehingga
hamparan bukit yang melatar belakangi penggunaan nama Tasikmalaya bukan
berasal dari aktivitas Gunung Galunggung Melainkan, nama Tasikmalaya
menunjukkan hubungan yang erat dengan aktivitas Gunung Guntur pada tahun
1822 yang mana memperkuat identitas atau ciri khas geografis wilayah Kota
Tasikmalaya.5
Kota Tasikmalaya dikenal sebagai Kota Santri, khususnya di era sebelum
1980-an karena hampir di seluruh di wilayah tersebar pondok pesantren yang
mengajarkan agama Islam, baik pondok besar maupun kecil, bahkan
melahirkan tokoh perjuangan nasional di antaranya adalah Zainal Mustafa.6
Eksistensi pesantren bagi masyarakat Tasikmalaya ibarat darah dan nadinya
tubuh manusia yang tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan satu sama lainnya,
Oleh karena itu Kota Tasikmalaya dikenal sebagai sebagai kota santri dengan
wilayah nya memiliki pesantren terbesar di dunia yang mana hal ini dapat
dilihat dari banyaknya pesantren yaitu sekitar 634 jumlah pondok pesantren
dengan kehidupan masyarakatnya yang agamis dan religius.7 Pada tahun 2020
tercatat terdapat 40.021 santri di Kota Tasikmalaya, hal ini tentu bukanlah
angka yang sedikit.8
Pesantren dan kyainya bagi masyarakat Kota Tasikmalaya adalah panutan
yang memiliki hubungan akidah atau keyakinan agama yang kuat. Karenanya,
5 Miftahul Falah, Pertumbuhan Kota Tasikmalaya (1820-1942); Dari Kota Distrik menjadi
Kota Kabupaten, Metahumaniora, 1, 2(Agustus, 2012), h.4-5 6 Diakses pada 6 juni 2021 dari https://dprd-tasikmalayakota.go.id/selayang-pandang-kota-
tasikmalaya/. 7 Andrias dan Nurohman, Partai Politik Dan Pemilukada (Analisis Marketing Politik dan
Strategi Positioning Partai Politik Pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya), Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintahan, 1, 3(Juli,2013). h.359. 8 Diakses pada 9 Juni 2021 dari https://data.tasikmalayakota.go.id/agama/jumlah-pondok-
pesantren-santri-dan-ustadz-menurut-kecamatan-di-kota-tasikmalaya/.
35
pesantren dapat pula dipandang sebagai pusat perubahan. 9 Sosok kyai di Kota
Tasikmalaya seringkali dikenal atau disebut dengan "ajengan" masyarakat
sangat menghormati ajengan dan juga cenderung menjadi tokoh masyarakat di
lingkungan masyarakat. Dapat dikatakan ajengan merupakan lambang
kewahyuan bagi masyarakat setempat karena kemampuannya dalam
menjelaskan masalah teologi yang sulit kepada para petani muslim sesuai
dengan pandangan atau suara hati mereka.10
Mayoritas penduduk Kota Tasikmalaya merupakan beragama islam,
penganut kedua terbanyak ialah Kristen, lalu Khatolik, Hindu, Budha,
Konghucu.11
Meskipun terdapat perbedaan agama dikalangan masyarakat
tetapi perdamaian dan toleransi beragama terbangun dengan baik, para
pemeluk agama saling membantu satu sama lain, dengan begitu kedamaian dan
toleransi tetap tercipta di kota ini.
Berikut merupakan wawancara penulis dengan salah satu pemeluk agama
kristen di kota Tasikmalaya yaitu Bu Elly ia menyebutkan bahwa toleransi
beragama dilingkungannya selama ini sudah baik, meskipun tidak dapat di
pungkiri terdapat sebagian kecil penganut agama yang amat fanatik namun
semua baik – baik saja, ia juga mengatakan semua kembali lagi kepada diri
sendiri yang menjaga dan tahu batasan jangan sampai membuat masalah agar
terciptanya perdamaian dan toleransi beragama.12
Hal ini dapat terlihat dari visi dan misi Kota Tasikmalaya yang toleran, visi
dari kota ini ialah “Kota Tasikmalaya Yang Religius, Maju Dan Madani” kata
religius di sini diperuntukan bagi pemeluk agama apapun yang berada di Kota
Tasikmalaya, begitu juga dengan misi nya yaitu "Mewujudkan tata nilai
9 Andrias dan Nurohman, Partai Politik Dan Pemilukada (Analisis Marketing Politik dan
Strategi Positioning Partai Politik Pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya), Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintahan, 1, 3(Juli,2013). h.359. 10
Faisal Fadilla Noorikhsan, Nasionalisme Ajengan Ruhiat (Gagasan dan Praksis
Nasionalisme Seorang Ulama), Politika, 7, 2(Oktober,2016) 11
Diakses pada 8 Juni 2021 dari https://data.tasikmalayakota.go.id/dinas-kependudukan-dan-pencatatan-sipil/data-persebaran-penduduk-berdasarkan-agama-tahun-2019/.
12 Interview pribadi dengan Bu Elly, Masyarakat Kota Tasikmalaya, Tasikmalaya 30 maret
2021.
36
kehidupan masyarakat yang religius dan berkearifan lokal Mengurangi tingkat
kemiskinan dan meningkatkan daya beli masyarakat Memantapkan
infrastruktur dasar perkotaan guna mendorong pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan yang berwawasan lingkungan Memenuhi kebutuhan pelayanan
dasar masyarakat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih".
B. Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014
Latar belakang terbentuknya Perda No. 7 Tahun 2014 ialah para pemuka
agama Kota Tasikmalaya pada saat itu mempunyai cita-cita dan keinginan
yang luhur yaitu bagaimana untuk menghidupkan masyarakat menjadi
masyarakat yang harmonis, dinamis, agamis serta religius. Para pemuka
agama pada saat itu sudah memprediksi bahwasanya memang tantangan ke
depan Kota Tasikmalaya ini akan semakin berat. Perkembangan zaman
memang merupakan hal yang baik bagi masyarakat. Namun, tetap terdapat
dampak buruk yang mana kemajuan zaman ini cepat atau lambat akan
merubah pola pikir, karakter serta kehidupan keagamaan di Kota
Tasikmalaya.13
Benar saja, Kota Tasikmalaya merupakan salah satu kota yang cukup
pesat perkembangannya di daerah Priangan Timur. Priangan Timur
merupakan wilayah geografis paling timur dari sebuah wilayah yang bernama
Priangan, Priangan hanya meliputi lima kabupaten yaitu Bandung, Sumedang,
Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Kota Tasikmalaya telah menjadi salah satu
kota besar di wilayah Priangan Timur yang mana masalah yang dihadapi
semakin kompleks dan beragam layaknya permasalahan di kota – kota besar
seperti Jakarta.
Hal inilah yang memicu semangat para pemuka agama juga masyarakat
kota tasikmalaya untuk membuat peraturan yang bernuansa syariat. pada
13
Interview pribadi dengan Adam Nugraha S, pendamping Tim Khusus Bapemperda Tahun
2014, Tasikmalaya 30 maret 2021.
37
awalnya para pemuka agama Kota Tasikmalaya menginginkan bahwa Kota
Tasikmalaya identik dengan kota syariah yang hampir sama dengan Nanggroe
Aceh Darussalam pada saat itu maka dibuatlah muatan-muatan Perda di
dalamnya itu adalah muatan-muatan yang memang sangat kental dengan
ajaran agama Islam. Misalnya bahwa masyarakat kota Tasikmalaya
menjunjung tinggi kitab suci Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta melakukan
perbuatan akhlakul karimah dan meninggalkan perbuatan akhlakul
mazmumah.14
Hal ini tertuang pada perda No. 12 Tahun 2009 tentang Tata Nilai
Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam
Dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya, yang mana
merupakan perda awal dari perda Perda No.7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai
Kehidupan Masyarakat Yang Religius di Kota Tasikmalaya. Pada akhirnya
Perda No. 12 Tahun 2009 mendapat klarifikasi dari Kementrian Dalam Negri,
dan juga mendapatkan evaluasi dari Provinsi karena dianggap tidak sesuai
dengan kaidah peraturan perundang – undangan. Selanjutnya apabila hasil
klarifikasi dari Kementrian Dalam Negri dan evaluasi dari Provinsi tidak
dilaksanakan oleh kota Tasikmalaya, maka perda ini bisa saja dicabut oleh
presiden karena tidak sesuai dengan kaidah peraturan perundang –
undangan.15
Rentang waktu kota Tasikmalaya merevisi perda dari perda No. 12 Tahun
2009 ke perda No.7 Tahun 2014 cukup lama yaitu 5 tahun. Hal ini
dikarenakan pemerintah Kota Tasikmalaya bersama DPRD Kota Tasikmalaya
tidak ingin gegabah dalam merevisi perda tersebut, dalam artian pemerintah
melihat kondisi masyarakat terlebih dahulu. Kota Tasikmalaya terkenal
dengan kota santri, yang mana hal ini bukanlah hanya branding dan jargon
semata tetapi sudah masuk kedalam lini kehidupan sehari – hari masyarakat.
14
Interview pribadi dengan Adam Nugraha S, pendamping Tim Khusus Bapemperda
Tahun 2014, Tasikmalaya 30 maret 2021. 15
Interview pribadi dengan Adam Nugraha S, pendamping Tim Khusus Bapemperda
Tahun 2014, Tasikmalaya 30 maret 2021.
38
masyarakat cenderung menjunjung tinggi kaidah-kaidah syariat Islam hal ini
tentu akan mendapatkan reaksi keras dari masyarakat terutama para pemuka
agama.
Pemerintah kota Tasikmalaya membutuhkan waktu yang lama dalam
revisi perda ini hal ini dikarenakan kota Tasikmalaya mempunyai cita-cita
serta keinginan yang luhur, yaitu menghidupkan masyarakat kota
Tasikmalaya menjadi masyarakat yang harmonis, dinamis, agamis juga
religius. Pada akhirnya dibuatlah panitia khusus dan dikumpulkanah para
pemuka agama baik itu dari agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha,
Konghucu. Dari Agama Islam sendiri pada saat itu salah satu pemrakarsanya
ialah KH. Endang Lukman.16
ketika perda ini dikeluarkan memang terdapat kontroversi baik dari dalam
maupun luar daerah, tidak sedikit juga yang datang untung mewawancarai
serta mengkaji mengenai perda ini. Maka, apabila dikatakan kota tasikmalaya
merupakan kota yang intoleran hal ini tidaklah benar. Apabila dibaca dengan
seksama perda ini adalah perda yang bersifat lebih kepada anjuran, yang di
dalamnya terdapat penegakan peraturan mengenai bagaimana masyarakat
berakhlak, maksud tujuan dari perda ini ialah membangun kerukunan, serta
kedamaian masyarakat Kota Tasikmalaya baik antar agama maupun internal
agama.17
Ketika para pemuka agama dikumpulkan tidak terdapat indikasi bahwa
agama tertentu keberatan, semua sudah bersepakat dan dapat dikatakan
berjalan dengan cukup baik dan tidak terdapat gesekan, justru biasanya
gesekan yang terjadi di kota Tasikmalaya lebih kepada isu nasional.18
16
Interview pribadi dengan Adam Nugraha S, pendamping Tim Khusus Bapemperda
Tahun 2014, Tasikmalaya 30 maret 2021. 17
Interview pribadi dengan H. Agus Wahyudin, S.H., M.H. , Wakil Ketua DPRD Kota
Tasikmalaya Tahun 2019 - 2024, Tasikmalaya, 30 maret 2021. 18
Interview pribadi dengan H. Agus Wahyudin, S.H., M.H. , Wakil Ketua DPRD Kota
Tasikmalaya Tahun 2019 - 2024, Tasikmalaya, 30 maret 2021.
39
Dari pertemuan tersebut, selanjutnya para pemuka agama bersepakat dan
menyetujui perda revisi No. 12 Tahun 2009 yaitu perda No.7 Tahun 2014.
Tidak hanya para pemuka agama, banyak para ahli yang terlibat, juga
himpunan masiswa serta Lembaga Swadaya Masyarakat, setelah semua berkas
dilengkapi dengan proses yang panjang maka disahkanlah pada tanggal 1
Oktober 2014 oleh Walikota Tasikmalaya yaritu H. Budi Budiman. Berikut
ini merupakan dasar hukum Perda No.7 Tahun 2014 :
1) Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota
Tasikmalaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4117).
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234).
5) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593).
6) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
40
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
7) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintah Kota
Tasikmalaya (Lembaran Daerah Kota Tasikmalaya Tahun 2008 Nomor
83).
8) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Tasikmalaya
Tahun 2005 – 2025 (Lembaran Daerah Kota Tasikmalaya Tahun 2008
Nomor 89).
9) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kota Tasikmalaya Tahun 2009
Nomor 109).
C. Pasal 1 ayat 3 Dalam Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun
2014.
Pasal 1 ayat (3) berbunyi "Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya". Pasal ini memberikan
definisi atau makna dari religius itu sendiri menurut pandangan Peraturan
Daerah no.7 Tahun 2014 Kota Tasikmalaya. Sehingga, kedepannya pembaca
dari perda ini khusus nya masyarakat Kota tasikmalaya yang membaca,
memahami, juga melaksanakannya dapat memahami juga menyamakan
persepsi dari makna religius itu sendiri yang tidak lain ialah sikap dan perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya.
D. Pasal 2 ayat 2 Dalam Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun
2014.
Tujuan dibentuknya Peraturan Daerah ini adalah untuk :
41
a. mewujudkan peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
b. membangun akhlak mulia;
c. menciptakan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya norma agama, norma hukum, norma kesusilaan dan
norma kesopanan sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
d. memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap akibat dari
perilaku dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat;
e. membangun kesadaran masyarakat untuk saling menghormati dan
menghargai antar pemeluk agama,etnis, budaya dan elemen
masyarakat lainnya; dan
f. menciptakan kehidupan masyarakat yang rukun, tertib dan aman.
Pada pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa tujuan dari pembuatan peraturan
daerah ini ialah peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, membangun akhlak mulia, menciptakan pemahaman dan kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya norma baik itu norma agama, norma hukum,
norma kesusilaan dan norma kesopanan. Selain memberian pemahaman,
tujuan dibuatnya perda no.7 tahun 2014 ini ialah agar masyarakat paham
akibat dari perilaku yang bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat.
selain itu, tujuan perda ii ialah untuk membangun kesadaran masyarakat untuk
saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama,etnis, budaya dan
elemen masyarakat lainnya sehingga terciptanya kehidupan masyarakat yang
rukun, tertib dan aman.
E. Pasal 7 Dalam Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014.
(1) Setiap orang berhak untuk beribadah menurut keyakinan berdasarkan
ajaran agamanya masing-masing.
42
(2) Ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap
menghormati dan menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama.
Pasal 7 menekankan bahwa Setiap orang berhak untuk beribadah
menurut keyakinan berdasarkan ajaran agamanya masing-masing, dan dalam
pelaksanaannya tetap menghormati dan menjaga toleransi dan kerukunan antar
umat beragama, dengan begitu dapat terciptanya kota Tasikmalaya yang rukun
dan aman bagi masyarakat.
43
BAB IV
ANALISIS MAQASHID AL-SYARIAH TERHADAP PERDA KOTA
TASIKMALAYA NO. 7 TAHUN 2014
A. Analisis Maqashid Al-Syariah Pasal 1 ayat (3), 2 ayat (2), dan 7 Dalam
Peraturan Daerah kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014.
Dalam pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa "Religius adalah sikap dan
perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya".
Sebelum kepada definisi religius secara umum, religius berasal dari kata religi
yaitu agama. Religi berasal dari bahasa Latin asalnya ialah relegere yang
mengandung arti mengumpulkan, membaca. Mengumpulkan dan membaca
dapat diartikan bahwa Agama merupakan sebuah kumpulan cara – cara
mengabdi kepada Tuhan.
Hal ini biasanya terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Selain
kata relegere, terdapat pendapat lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari
kata religare yang berarti mengikat. Maksud dari mengikat di sini ialah ajaran
agama mempunyai sifat mengikat bagi manusia.
Apabila religi berasal dari bahasa latin, Agama sendiri berasal dari kata
Sanskrit, yaitu terdiri dari dua suku kata, "a" yang berarti tidak dan "gam"
yang berarti pergi, jadi arti dari agama ialah tidak pergi, tetap di tempat,
diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian
yaitu tidak pergi, tetap di tempat, dan diwarisi secara turun-temurun.1
Selain itu terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa agama berarti
teks atau kitab suci. Hal ini juga dapat dibenarkan karena setiap agama
memang memiliki kitab suci. Selanjutnya dikatakan bahwa agama berarti
1 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI PRESS,2016)cet.1,
h.1.
44
tuntunan, hal ini dapat dibenarkan karena memang agama mengandung ajaran
– ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.2
Selain kata agama, masyarakat Indonesia juga sering menyebutnya "din".
Din berasal dari bahasa arab yang mana dalam bahasa Semit berarti undang-
undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini bermakna menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Hal ini dapat dibenarkan
karena agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan
hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai
diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan
menjalankan ajaran – ajaran agama. Agama lebih lanjut lagi membawa
kewajiban kewajiban yang jika tidak dijalankan oleh seseorang menjadi
hutang baginya. Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut:
3
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan
yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
5. Suatu sistem tingkah-laku (code of conduct) yang berasal dari suatu
kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini
bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
2 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI PRESS,2016)cet.1,
h.1. 3 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI PRESS,2016)cet.1,
h.2-3.
45
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
seorang Rasul.
Religius sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah bersifat
religi, bersifat keagamaan, dan yang bersangkut-paut dengan religi.4 Religius
berasal dari bahasa latin yaitu religare yang berarti menambatkan atau
mengikat, dan dalam bahasa Inggris ialah religi yang dalam bahasa Indonesia
merupakan agama.5 Religius juga dapat diartikan yang berkenaan dengan religi
atau sifat religi yang melekat pada diri seseorang.6 Selanjutnya terdapat
didalam Al-Qur'an surat Al-Bayyinah ayat 5:
ية ويؤتيا الل ين ە حنفاء ويليميا الص ه الد
لصين ل مخ ا ليػتدوا الله
ا ال مرو
مث وما ا لي
ية وذلك دين ال
زك
نث/ (4: 81) البي
Artinya : "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang
demikian itulah agama yang lurus".
Pada Al-Qur'an surat Al-Bayyinah, pada intinya ialah Allah
memerintahkan untuk menyembah dan taat kepada Nya yang mana dapat
dikatakan sebagai sikap religius. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat (3), Maka
apabila dilihat dari definisi religius baik secara umum maupun menurut Pasal 1
ayat (3) maka dapat disimpulkan bahwa definisi religius dalam Perda No.7
Tahun 2014 ini diartikan secara universal atau bagi semua pemeluk agama baik
itu hindu, budha, Kristen, konghucu, khatolik, maupun kepercayaan lainnya
karena disebutkan bahwa "ajaran agama yang dianutnya".
Dapat disimpulkan pula bahwa pasal ini mengandung Maqashid Al-
Syariah karena mengedepankan kepentingan atau maslahat untuk umum bukan
4 Diaksespada 5 juli 2021 dari https://kbbi.web.id/religius.
5 Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah 1, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1997), h. 2.
6 Diakses pada 5 juli 2021 dari
https://sumsel.kemenag.go.id/files/sumsel/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf
46
hanya sekelompok kecil saja. Pasal ini juga termasuk kedalam Maqashid al-
daruriyat, Maqashid al-daruriyat merupakan sesuatu yang tidak dapat
ditinggalkan dalam kehidupan manusia. Jika itu tidak ada, kehidupan manusia
di dunia menjadi hancur dan kehidupan akhirat menjadi rusak (mendapat
siksa). Sangatlah penting bagi tiap pemeluk agama untuk bersikap religius
berdasarkan agama yang dianutnya, pada pasal ini tidak hanya religius
terhadap salah satu agama saja melainkan agama yang dianutnya.
Pada pasal 2 ayat (2) disebutkan tujuan dibentuknya Peraturan Daerah ini
adalah untuk :
a. Mewujudkan peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
Pada pasal ini disebutkan tujuan dibentuknya peraturan daerah yang mana
pada poin "A" ialah Mewujudkan peningkatan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara bahasa definisi keimanan ialah
membenarkan, sedangkan menurut syara’ ialah membenarkan dengan hati Dan
ada yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa, di samping membenarkan dalam
hati juga menuturkan dengan lisan dan mengerjakan dengan anggota badan.
Kata iman sendiri berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar amana
yu‟minu-imanan yang artinya ialah beriman atau percaya. Percaya dalam
Bahasa Indonesia artinya ialah meyakini atau yakin bahwa sesuatu (yang
dipercaya) itu memang benar atau nyata adanya. Kata iman menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia memiliki arti kepercayaan (yang berkenaan dengan
agama) sedangkan keimanan sendiri memiliki makna keyakinan, ketetapan
hati, keteguhan hati.
Keimanan sebagai dasar ajaran agama ialah suatu yang diyakini secara
bulat, tidak diliputi keragu-raguan sedikitpun. Ia menimbulkan sikap jiwa,
dilahirkan dalam perkataan dan perbuatan. Hal ini tertumpu pada kepercayaan
untuk disembah. Beriman bukanlah semata-mata pernyataan seseorang dengan
47
lisannya bahwa dia orang yang beriman, karena banyak pula orang-orang
munafik yang mengaku beriman dengan lisannya sedangkan hatinya tidak
percaya.
keimanan yang sebenar-benarnya ialah suatu kepercayaan yang memenuhi
seluruh isi hati nurani, yang memiliki bekas juga kesan tersendiri. Sedangkan
makna dari kata ketakwaan yang mana asal katanya ialah takwa menurut KBBI
ialah terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya. Akar kata takwa yaitu dari kata waqa yang
berarti takut, berjaga-jaga dan melindungi dari sesuatu.
Menurut Fazlur Rahman memilih makna takwa yang kedua yaitu berjaga-
jaga dan melindungi diri dari sesuatu. Dari arti tersebut dapat dipahami bahwa
takwa merupakan tindakan perlindungan diri dari segala perbuatan buruk dan
jahat dengan berpegang pada keseimbangan dan kekokohan moral dalam batas-
batas yang Tuhan tetapkan.
Kata takwa sering diartikan dengan rasa takut kepada Allah Swt yang
diikuti dengan melaksanakan segala perintah-perintahnya dan menjauhi segala
larangannya. Di dalam Al-Qur'an kata takwa ditemukan sebanyak 232 kata
dengan berbagai macam bentuknya dalam 68 surah, adapun perinciannya
bahwa yang berbentuk Fi'il Mudlari Sebanyak 58 kali dalam berbagai surah,
Fi’il Madli dengan berbagai macam bentuknya sebanyak 32 kali dalam
berbagai surah, Fi’il Amr sebanyak 87 kali disebutkan yang juga dalam
berbagai surah. Untuk bentuk – bentuk lain dari kata takwa yaitu ism tafdil,
mashdar, ism fa’il, ism mafuul. Diantara surah yang paling banyak
menyebutkan sacara berulang adalah surah al-Baqarah yaitu sebanyak 52 kali
dan di surah al-imran sebanyak 22 kali.7
Makna takwa diartikan beberapa arti ada yang berarti takwa itu sendiri
dan ada yang berarti memelihara dan waspada, yang mana pembahasan
ayatnya ada yang terkait dengan perintah bertakwa, usaha-usaha untuk
7 Abdul Halim Kuning, "Takwa Dalam Islam", ISTIQRA,Volume VI Nomor 1 September
2018, h. 104.
48
mencapai takwa orang yang paling mulia disisi Allah, buah dari takwa, ciri-
ciri orang yang bertakwa, balasan bagi orang yang bertakwa dan pembahasan-
pembahasan yang lain. Dalam hal ini di dalam Al-Qur'an surat yang paling
banyak menyebutkan kata takwa secara berulang ialah surah Al-Baqarah
yaitu sebanyak 52 kali dan di dalam surat Al-Imran sebanyak 22 kali.8
Takwa pada dasarnya sangat penting keberadaanya dalam jiwa seseorang
karena dengan adanya ketakwaan maka akan senantiasa menjaga dan
memelihara dirinya dan masyarakat lainnya dari segala hal yang dapat
merusak juga membinasakan. Apabila dilihat dari beberapa definisi takwa
diatas maka pada intinya definisi takwa ialah mengikuti segala perintah Nya
dan menjauhi segala larangan Nya. Di perkuat di dalam Al-Qur'an Surat Al-
Imran ayat 102:
ل غمراسلمين ) ا نتم م
ا وا
ا تميتن ال
حق تلىته ول منيا اتليا الله
ذين ا
يىا ال
(801: 3ن/يا
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-
benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam".
Seperti yang telah dijelaskan dari definisi keimanan juga ketakwaan,
apabila dilihat dari tujuan perda yang pertama ialah Mewujudkan peningkatan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa hal ini sangat lah
baik karena setiap dari manusia yang memiliki kepercayaan akan sangat baik
apabila dapat terwujudnya peningkatan keimanan dan ketakwaan karena
sejatinya manusialah yang membutuhkan tuhan bukan tuhan yang
membutuhkan manusia. Dengan adanya peningkatan keimanan juga ketakwaan
bisa jadi manusia menjadi lebih dekat kepada tuhan dan terhindar dari
perbuatan – perbuatan yang tercela.
Maka dapat disimpulkan bahwa poin pertama dari pasal 2 ayat (2) terdapat
maqashid al-syariah di dalamnya karena mementingkan kepentingan umum
8 Abdul Halim Kuning, "Takwa Dalam Islam", ISTIQRA,Volume VI Nomor 1 September
2018, h. 104.
49
dibandingkan kepentingan sekelompok kecil hal ini juga dapat terlihat dari
pengguanaan kata "Tuhan Yang Maha Esa" dengan begitu maka dapat
dikatakan bersifat umum dan terdapat maslahah di dalamanya yang mana
merupakan tujuan dari maqashid al-syariah dan juga peingkatan keimanan dan
ketakwaan termasuk kedalam menjaga agama (Hifdzh al-Din) yang mana
termasuk kedalam Maqashid al-daruriyat.
b. Membangun akhlak mulia;
Poin "b" dari pasal 2 ayat (2) menyebutkan "Membangun akhlak mulia",
kata akhlak secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang sudah di-Indonesiakan
yaitu jama' dari kata khuluqun yang berarti perangai, tabiat, adat, dan
sebagainya.9 Sedangkan akhlak menurut istilah ialah tabiat atau sifat seseorang,
yaitu keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-
benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan – perbuatan dengan
mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan – angan lagi.10
Mahmud Syaltut mendefinisikan akhlak sebagai karakter, moral,
kesusilaan dan budi baik yang ada dalam jiwa dan memberikan pengaruh
langsung kepada perbuatan.11
Sedangkan menurut imam al – ghazali Akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan –
perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
apabila sifat itu melahirkan perbuatan yang baik menurut akal dan syariat
maka disebut akhlak yang baik, dan apabila lahir darinya perbuatan yang buruk
maka disebut akhlak yang buruk.12
Berikut merupakan ciri dari akhlak:13
9 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta
: Balai Pustaka, 2005), h.19. 10
Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1997), h.15. 11
Devidora Pasaribu, "Akhlak Siswa Dalam Berinteraksi Dengan Lingkungan Sekolah Di
Sma Yayasan Perguruan Indonesia Membangun Taruna (Yapim) Sei Gelugur Kabupaten Deli
Serdang". (Sumatera Utara: Skripsi thesis, UIN Sumatera Utara,2018). h.309 12
Devidora Pasaribu, "Akhlak Siswa Dalam Berinteraksi Dengan Lingkungan Sekolah Di
Sma Yayasan Perguruan Indonesia Membangun Taruna (Yapim) Sei Gelugur Kabupaten Deli
Serdang". (Sumatera Utara: Skripsi thesis, UIN Sumatera Utara,2018). h.307. 13
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h.14-15.
50
1. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang sehingga menjadi kepribadian.
2. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan suatu perbuatan,
yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur,
atau gila.
3. Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa adanya paksaan atau tekanan dari luar.
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar
kemauan, pilihan, dan keputusan yang bersangkutan.
4. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,
bukan main-main atau karena bersandiwara.
5. Akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang
dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT, bukan
karena ingin mendapatkan pujian.
Akhlak Terdapat di dalam Al-Qur'an seperti pada Qs. Al-Qalam ayat 4
ق غظيم ) الللم/ى خل
ػل
(5: 81وانك ل
Artinya : “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) mempunyai budi pekerti yang
luhur".
Selanjutnya terdapat pula hadits nabi Muhammad SAW
Artinya : "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".
Dari ayat Al-Qur'an dan hadits dapat di katakan bahwa akhlak merupakan suatu
hal yang penting di dalam agama islam, Rasulullah sendiri mengatakan bahwa
ia diutus untuk menyempurnakan akhlak. Selain itu dari beberapa penjelasan
mengenai akhlak maka dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam diri manusia sehingga sifat tersebut akan muncul dengan
sendirinya atau secara alami tanpa adanya pemikiran atau pertimbangan terlebih
51
dulu, serta atas kemauan sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain.
Sedangkan kata mulia menurut KBBI bermakna inggi (tentang kedudukan,
pangkat, martabat), tertinggi, terhormat dan dapat juga bermakna luhur (budi
dan sebagainya); baik budi (hati dan sebagainya). Maka singkatnya bahwa
akhlak mulia ialah sifat yang baik atau berbudi luhur.
Seseorang dengan kepribadian yang baik cenderung akan membawa
kebaikan baik untuk diri sendiri maupun untuk lingkungan masyarakat. Maka
poin "b" pasal 2 ayat (2) dapat dikatakan mengandung Maqashid al-syariah
yang termasuk ke dalam Maqashid Al-Tahsiniyat.
Hal ini seperti yang diungkapkan menurut Anis Matta "…akhlak
merupakan nilai dan pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar
dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang
bersifat tetap, natural atau alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks…".14
Seperti
yang telah diungkapkan bahwa akhlak merupakan sikap mental yang mengakar
di dalam jiwa maka dari itu, termasuk kedalam Maqashid al-Tahsiniyat yaitu
maslahat yang merupakan tuntunan moral.
c. Menciptakan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya norma agama, norma hukum, norma kesusilaan dan norma
kesopanan sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara;
Selanjutnya pada poin "c" disebutkan bahwa tujuan dari pembuatan
perda ialah Menciptakan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya norma agama, norma hukum, norma kesusilaan dan norma
kesopanan sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Norma berasal dari bahasa latin yang berarti ukuran - ukuran, selain itu
dapat pula disebut tata. Tata di sini berwujud aturan – aturan yang menjadi
14
Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam, (Jakarta: Al-I'tishom, 2006, cet. III), h.14.
52
pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup sehingga
kepentingan masing – masing dapat terpelihara dan terjamin.15
Norma merupakan perwujudan nilai, ukuran baik buruk nya perbuatan
yang dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong perbuatan manusia di
dalam lingkungan masyarakat, norma juga merupakan wujud nilai ukuran baik
buruk nya perbuatan itu serta mengatur bagaimana seharusnya seseorang dalam
melakukan perbuatan. Dikatakan wujud nilai karena antara norma dan nilai itu
berhubungan erat bahkan merupakan satu kesatuan terutama nilai kebaikan.16
Singkatnya norma adalah suatu standar, aturan atau ukuran yang dengan
nya kita dapat mengukur baik buruk nya suatu perbuatan. Seperti yang
disebutkan pada pasal 2 ayat (2) norma terbagi beberapa macam seperti norma
agama, norma hukum, norma kesusilaan dan norma kesopanan.
Norma agama adalah norma yang lahir berdasarkan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan ditentukan oleh-Nya. Norma agama juga dapat
diartikan sebagai aturan – aturan hidup yang berupa perintah – perintah serta
larangan – larangan, yang oleh pemeluknya diyakini bersumber dari Tuhan
Yang Maha Esa dan aturan – aturan itu tidak saja mengatur hubungan vertikal,
antara manusia dengan Tuhan (ibadah), tetapi juga hubungan horisontal antara
manusia dengan sesama manusia.17
Norma agama ialah peraturan hidup yang diterima sebagai perintah,
larangan, dan anjuran yang berasal dari Tuhan. Para pemeluk agama mengakui
dan berkeyakinan, bahwa peraturan peraturan hidup itu berasal dari Tuhan dan
merupakan tuntunan hidup ke arah jalan yang benar.18
Selanjutnya Norma kesusilaan adalah norma yang berdasarkan pada hati
nurani manusia yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan
15
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h.49. 16
P Parmono, Nilai dan Norma Masyarakat, Jurnal Filsafat No23 November 1995, h.23. 17
Nailir Risyda, "Penerapan Sistem Norma-Norma Pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Dalam Membentuk Moral Siswa Kelas IX Di Mts Miftahul Ulum Kudus Tahun Pelajaran
2018/2019", (Kudus: Skripsi IAIN Kudus, 2018), h.8. 18
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h.52.
53
menjauhi perbuatan yang buruk. Pada intinya norma kesusilaan merupakan
peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia (insan
kamil).
Norma kesusilaan adalah aturan-aturan hidup tentang tingkah laku yang
baik dan buruk, yang berupa suara batin atau bisikan – bisikan yang berasal
dari hati nurani manusia yang mana berdasar kodrat kemanusiaannya, pada
dasarnya hati nurani setiap manusia menyimpan potensi nilai-nilai kesusilaan.19
Karena potensi nilai-nilai kesusilaan itu tersimpan pada hati nurani setiap
manusia, maka hati nurani manusia dapat disebut sebagai sumber norma
kesusilaan dan hal ini dapat dianalogikan dengan hak – hak asasi manusia yang
dimiliki oleh setiap pribadi manusia karena kodrat kemanusiaannya sebagai
anugerah dari Tuhan.
Selanjutnya ialah norma kesopanan, yakni norma yang lahir dan hidup di
dalam kehidupan masyarakat, norma yang mengatur sopan santun dan perilaku
dalam pergaulan hidup antara sesama anggota masyarakat.20
Norma ini pada
umumnya berdasarkan pada adat kebiasaan dan kepantasan.
Peraturan - peraturan tersebut diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang
mengatur tingkah-laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan biasanya
Satu golongan masyarakat tertentu dapat menetapkan peraturan-peraturan
tertentu mengenai kesopanan, yaitu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat.21
Norma kesopanan juga dapat diartikan aturan hidup bermasyarakat tentang
tingkah laku yang baik dan tidak baik, patut dan tidak patut dilakukan yang
berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu yang mana
norma ini biasanya bersumber dari adat istiadat, budaya, atau nilai-nilai
masyarakat.
19
Nailir Risyda, "Penerapan Sistem Norma-Norma Pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Dalam Membentuk Moral Siswa Kelas IX Di Mts Miftahul Ulum Kudus Tahun Pelajaran
2018/2019", (Kudus: Skripsi IAIN Kudus, 2018), h.9. 20
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h.53. 21
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h.53.
54
Terakhir ialah norma hukum, yaitu norma yang berfungsi menjaga dan
memaksakan keberlakuan ketiga norma tersebut jika dilanggar. Oleh sebab itu,
norma hukum merupakan norma yang mengatur dan mengatur keberlakukan
tiga norma sebelumnya.
Norma hukum bersifat mengikat dan memaksa yang ditegakan oleh
lembaga berwenang yang juga memiliki sanksi tersendiri apabila melanggarnya
baik itu denda, kurungan maupun penjara.22
Apabila melanggar norma hukum
lembaga berwenang lah yang menegakan hukumannya namun, untuk norma
lain seperti agama, kesusilaan juga kesopanan biasanya hanya terdapat sanksi
sosial saja seperti dikucilkan di lingkungan masyarakat dan untuk norma
agama para pemeluk agama meyakini apabila melanggarnya maka akan
mendapatkan balasan di kehidupan selanjutnya kelak, agama islam
menyebutnya dengan akhirat.
Tentu saja apabila tujuan dari pasal 2 ayat (2) adalah menciptakan
pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya norma agama,
norma hukum, norma kesusilaan dan norma kesopanan sebagai pedoman dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka, hal ini
merupakan hal yang baik karena dengan adanya pemahaman juga keasadaran
masyarakat maka peraturan akan dengan mudahnya ditegakan walaupun
ekspektasi tidak selalu berbanding lurus dengan realita tetap saja harus
melakukan sesuatu yang berdampak baik.
Apabila masyarakat telah paham dan sadar maka akan terciptanya kualitas
masyarakat yang lebih baik dan dapat diterapkan dengan baik pula hal ini akan
membawa banyak maslahat yang mana maslahat merupakan tujuan dari
maqashid al-syariah itu sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa pasal 2 ayat (2)
mengandung maqashid al-syariah karena terdapat maslahat di dalamnya dan
juga termasuk kedalam Maqashid Al-Tahsiniyat.
22
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h.55.
55
d. Memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap akibat dari
perilaku dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat;
Pada poin "d" pasal Memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap
akibat dari perilaku dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku di masyarakat. pada dasarnya akibat dari perbuatan yang
bertentangan dengan norma – yang ada berbeda – beda seperti hal nya pada
pelanggaran norma agama.
Pelanggaran norma agama biasanya diancam dengan hukuman dari
Tuhan dan hukuman itu baru berlaku di akhirat kelak. Namun, hal ini tidaklah
berlaku bagi orang yang tidak beragama karena percaya tuhan saja tidak
bagaimana ia akan takut dengan hukuman dari Tuhan.23
Sedangkan pelangaran norma kesusilaan mengakibatkan orang yang
melanggar memiliki perasaan yang cemas, tidak tenang juga kesal hati tetapi
hal ini hanya berlaku kepada orang yang yang insyaf, apabila orang yang tidak
berkesusilaan yang melanggar maka ia tidak akan merasa cemas atau kesal hati
atas perbuatannya yang salah.24
Untuk Pelanggaran norma kesopanan hal ini mengakibatkan celaan atau
dikucilkan dari lingkungan masyarakat hal ini karena orang yang bertentangan
tersebut dianggap tidak memiliki sopan santun juga tidak mengormati norma
kesopanan yang beralu di masyarakat. Namun, orang yang memang tidak
memiliki sopan santun biasanya tidak peduli fakta bahwa ia akan dikucilkan
maupun mendapatkan dari masyarakat.25
Selanjutnya akibat dari sikap yang bertentangan dari norma hukum ialah
akan mendapatkan hukuman baik itu denda maupun kurungan, hal ini
disebabkan norma hukum bersifat mengikat dan memaksa juga memiliki sanksi
yang tegas, selain itu Peraturan - peraturan yang timbul dari norma hukum
23
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h.54-55. 24
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h.55. 25
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h.55.
56
dibuat oleh penguasa negara yang mana isinya mengikat setiap orang dan
pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat – alat
negara, misalnya di Indonesia berdasarkan Pasal 338 KUHP orang yang
dengan sengaja mengambil jiwa orang lain, dihukum karena membunuh,
dengan hukuman setinggi tingginya 15 tahun.26
Contoh lainnya ialah pada Pasal 1239 KUHPer berbunyi tiap perikatan
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan
dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak
memenuhi kewajibannya.27
Memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap akibat dari perilaku
dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat merupakan sesuatu hal yang baik karena apabila masyarakat telah
faham juga mengetahui akibat dari melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan norma yang ada maka hal ini akan memudahkan pemerintah untuk
menegakan peraturan dan terciptanya ketertiban hukum. Maka dari itu dapat
dikatakan bahwa poin D pada pasal 2 ayat (2) terdapat Maqashid Al-syariah
yaitu Maqashid Al-Tahsiniyat.
e. Membangun kesadaran masyarakat untuk saling menghormati dan
menghargai antar pemeluk agama,etnis, budaya dan elemen
masyarakat lainnya.
Pada poin "E" dikatakan bahwa tujuan dari perda ialah membangun
kesadaran masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai antar
pemeluk agama,etnis, budaya dan elemen masyarakat lainnya. Makna dari kata
menghormati ialah menaruh hormat kepada. Menghormati berasal dari kata
hormat yang bermakna menghargai (takzim, khidmat, sopan).
26
KUHP Buku Kedua, https://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-
Undang_Hukum_Pidana/Buku_Kedua/Pasal_338 27
KUH PerdataBuku Ketiga, https://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang
Undang_Hukum_Perdata/Buku_Ketiga
57
Sedangkan menghargai menurut KBBI bermakna menghormati,
mengindahkan, memandang penting.28
Sikap menghormati dan menghargai
merupakan sikap yang harus ada pada masyarakat yang multikulturalisme,
istilah multikulturalisme merupakan sebuah konsep pengakuan suatu entitas
budaya dominan terhadap kebudayaan lain yang minoritas, multikulturalisme
juga menjujung perbedaan budaya bahkan menjaganya agar tetap hidup dan
berkembang secara dinamis dan karakter masyarakat multikultural ialah
masyarakat yang toleran. Setiap entitas sosial masih membawa jati dirinya,
tidak terlebur kemudian hilang namun, juga tidak diperlihatkan sebagai
kebanggan melebihi penghargaan terhadap entitas lain.
Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran,
kelembutan hati, keringanan dan kesabaran” Secara umum istilah ini mengacu
pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela, dan kelembutan.29
United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan
toleransi sebagai sikap “saling menghormati, saling menerima, dan saling
menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter
manusia”.30
Di dalam Al-Qur'an terdapat didala surat Al-An'am 108 :
ا ل ذلك زينم ك
عدوا ةغيد عل يا الله فيست ذين يدغين من دون الله
يا ال ا تست
هم ول
ى رب ىم ثم ال
ث غمل م
ا
كل
ين ) انيا يػمل
ئىم ةما ك رجػىم فينت (801: 8الانػام/م
Artinya : " Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan".
28
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/menghargai. 29
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , Toleransi dalam Masyarakat Plural, Majalah Ilmiah Lontar, 23,4 (2009), h.3.
30 Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , Toleransi dalam Masyarakat Plural, Majalah Ilmiah
Lontar, 23,4 (2009), h.3.
58
Ayat ini menerangkan bahwa dalam konteks pergaulan antarumat
beragama, agama Islam memandang bahwa sikap tidak menghargai, tidak
menghormati, melecehkan, dan penghinaan terhadap simbol-simbol agama
lain dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap Allah SWT. Pada dasar nya
Saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama,etnis, budaya dan
elemen masyarakat lainnya merupakan tujuan yang baik karena apabila
masyarakat dapat saling menghormati juga menghargai satu sama lain maka
akan terciptanya masyarakat yang lebih baik lagi.
Berawal dari menghormati dan menghargai maka akan akan timbul rasa
ingin saling membantu satu sama lain. Keberagama suku, budaya juga agama
apabila dapat bersatu dengan damai tanpa adanya permusuhan maka akan
menjadikan tempat yang di tinggali menjadi tempat yang damai tanpa adanya
rasa ketakutan satu sama lain juga dapat menghindari aksi – aksi teror yang
tidak bertanggung jawab, tentulah hal ini akan membawa kemaslahatan juga
kebaikan untuk semua golongan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa poin
"e" mengandung Maqashid Al-Syariah dan termasuk kedalam Maqashid al-
daruriyat yaitu menjaga agama, jiwa dan keturunan.
f. Menciptakan kehidupan masyarakat yang rukun, tertib dan aman.
Pada poin "f" Menciptakan kehidupan masyarakat yang rukun, tertib,
dan aman.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya apabila masyarakat telah sadar
akan saling menghargai juga menghormati satu sama lain maka dengan begitu
akan terciptanya masyarakat yang rukun, tertib juga aman. Kata rukun
menuyrut KBBI memiliki makna baik dan damai, tidak bertengkar. Hal ini
apabila diterapkan secara keseluruhan akan membawa maslah karena dengan
terciptanya masyarakat yang rukun maka tidak akan adanya pertengkaran
khususnya mengenai isu suku, agama, ras dan antar golongan atau yang kita
kenal dengan SARA. Di dalam Al-Qur'an surat Al-Hujurat ayat 11 terdapat
makna tersirat hidup rukun, berikut ayat nya:
59
نىم و .… ينيا خيدا م ن يك
ى ا ن كيم غس ا يسخر كيم م
(88: 58) الحجرت/.…ل
Artinya : " Janganlah satu kaum menghina kaum lain, karena mungkin yang
dihina itu lebih baik dari pada yang menghina".
Di katakan bahwa satu kaum tidak dibenarkan menghina kaum yang lain,
menghina dapat menimbulkan perselisihan juga jauh dari kehidupan yang
rukun. Maka dari itu, makana tersiratnya ialah hidup rukun dengan tidak
menghina antar kaum. Selanjutnya tertib secara makna ialah teratur, menurut
aturan, rapi. Apabila masyarakatnya tertib maka tatanan kehidupan akan lebih
baik lagi karena dengan begitu segala sesuatunya akan berjalan dengan tertib
juga rukun tidak akan terlihat lagi pelanggaran – pelanggaran yang ada
dikarenakan melanggarnya peraturan ketertiban yang ada dan apabila keteriban
telah diterapkan dengan baik maka, akan menimbulkan lingkungan masyarakat
yang aman. Aman sendiri berarti bebas dari bahaya.
Apabila masyarakat bebas dari bahaya, rukun, dan tertib maka tentu saja
ini merupakan suatu kemaslahatan bersama maka dapat dikatakan bahwa pada
poin "f" karena terdapat kemasalahatan maka dapat dikatakan bahwa poin "f"
mengandung Maqashid Al-Syariah yaitu maqashid al-daruriyat menjaga Jiwa
(Hifdzh al-Nafs).
Selanjutnya ialah analisis pasal 7 yang terdiri dari 2 ayat, yakni:
(1) Setiap orang berhak untuk beribadah menurut keyakinan berdasarkan
ajaran agamanya masing-masing.
Hal ini tentunya sudah terdapat di dalam pasal 29 A Undang – Undang
Dasar Negara Repulik Indonesia yang berbunyi " Negara menjamin
kemerdekaan tiap –tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Hal ini juga terdapat pada UU No.12 Tahun 2005 pasal 18 ayat (1) yang
berbunyi "setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu
60
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara
individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran".31
Tentu saja Perda No.7 Tahun 2014 dalam hal ini tidaklah bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi hierakinya. Kebebasan dalam beragama
juga beribadah menurut keyakinan berdasarkan ajaran agama masing-masing
merupakan sesuatu yang seharusnya ada, terlepas dari semua peraturan yang
telah mengatur mengenai kebebasan beragama pada dasarnya setiap manusia
telah memiliki hak asasi manusia sejak ia dilahirkan kedunia.
Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan
Bangsa – Bangsa (PBB) Hak Asasi Manusia (HAM) ialah hak – hak yang
melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup
sebagai manusia. Pendapat lain mengatakan yaitu menurut john locke bahwa
hak asasi manusia ialah hak – hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai
sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demkian maka tidak ada
kekuasaan apapun yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia.32
Namun demikian di dalam negara hukum (rechstaat) yang dapat merampas
Hak asasi hanyalah Peraturan Perundang-undangan. Hal ini berdasarkan asas
legalitas dalam negara hukum dimana kebebasan asasi dapat dijalankan
dengan tanpa melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Implementasi kebebasan dalam negara hukum tidak dapat dijalankan sebebas-
bebasnya, tetapi tetap berdasarkan atas hukum yang berlaku, termasuk
kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Dengan
demikian di dalam memeluk agama dan menjalankan ibadatnya sesuai yang
31
Diakses pada 8 juli 2021 dari https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/-Regulasi-UU-
No.-12-Tahun-2005-Tentang-Pengesahan-Kovenan-Internasional-Tentang-Hak-Hak-Sipil-dan-
Politik-1552380410.pdf. 32
A. UBAEDILLAH H.42
61
diatur dan ditetapkan dalam agama yang dianut dan diakui keberadaannya oleh
negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.33
Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama, sedangkan pemerintah
berkewajiban melindungi penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan
ibadat, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu
ketentraman dan ketertiban umum. Tugas pemerintah harus memberikan
bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran
agamanya dapat berlangsung dengan rukun.34
Selanjutnya menurut UU NO.39 Tahun 1999 HAM ialah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.35
Selain itu
terdapat pula di dalam Al-Qur'an surat Al-Kafirun.
نتم غتدون ما ا ا
غتد ما تػتدون ول
ا ا
فرون ل
كيىا ال
يا
نتم غتدون ما كل
ا ا
م ول ا غتدت عاةد م
ناا ا
غتد ول
ا
م ولي دين م دينك
كغتد ل
فرون/ ا
(8-8: 808)الك
Artinya : "Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku".
Qs. Al-Kafirun telah menegaskan bahwa "Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah" hal ini dapat pula bermakna, Dan kamu bukan penyembah
33
Febri Handayani, Konsep Kebebasan Beragama Menurut UUD Tahun 1945 Serta
Kaitannya Dengan Ham, Toleransi, 1, 2,(2009), h.14-15. 34
Febri Handayani, Konsep Kebebasan Beragama Menurut UUD Tahun 1945 Serta
Kaitannya Dengan Ham, Toleransi, 1, 2,(2009), h.10-11. 35
https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-%24H9FVDS.pdf
62
Tuhan yang aku sembah", hal ini bermakna bahwa setiap orang berhak untuk
beribadah menurut keyakinan berdasarkan ajaran agamanya masing-masing.
Selain Al-Qur'an, Legalisasi dalam konstitusi itu kiranya cukup untuk
menunjukkan bahwa agama menduduki posisi yang penting dalam kehidupan
bernegara di Indonesia, dan pada pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa Setiap
orang berhak untuk beribadah menurut keyakinan berdasarkan ajaran
agamanya masing-masing, maka dari itu dengan adanya hak untuk beribadah
menurut keyakinan berdasarkan ajaran agama masing – masing hal ini tentu
terdapat Maqashid Al-Syariah. Dengan begitu orang berhak menjalankan
kewajibannya dalam menjalankan perintahnya sebagi umat yang beragama
sebagai manusia yang percaya kepada tuhan hal ini termasuk kedalam
maqashid al-daruriyat menjaga agama (hifdzh al-din).
(2) Ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap
menghormati dan menjaga toleransi dan kerukunan antar umat
beragama.
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi manusia yang percaya kepada
tuhan, dengan begitu manusia akan lebih dekat dengan Tuhan nya. Namun,
dalam menjalankan ibadahnya akan lebih baik lagi jika dapat menghormati
juga menjaga toleransi antar umat beragama. Hal ini terdapat didalam Qs. Al-
Maidah ayat 48:
م يه فاحك
كتب ومىيمنا عل
ما ةين يديه من ال
كا ل مصد
حق كتب ةال
يك ال
نا ال
نزل
وا
ول الله
نزل
ا ةينىم ةما ا
ي شاء اللهمنىاجا ول م شرغث و
نا منك
جػل
لكل
حق وياءوم غما جاءك من ال
تع ا احدة تت ث و م
م ا
كجػ
ل
مرج ى اللهيدت ال خ
م فاستتليا ال
تىك
م في ما ا
يك
يتل
كن ل
ل ختلفين و
نتم فيه ت
م ةما ك
ئك م جميػا فينت
ػك
(51: 4) المائدة/
Artinya : "Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba – lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
63
Allah-lah kamu kembali semuanya, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu".
Ayat ini menegaskan bahwa kemajemukan agama di antara umat manusia
merupakan atas kehendak Allah SWT, dengan begitu manusia di haruskan
berlomba – lomba dalam kebaikan salah satunya ialah menghormati dan
menjaga toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Seperti yang telah di
ketahui bahwa agama di Indonesia tidak hanya satu, khususnya di kota
Tasikmalaya. Apabila masyarakat mampu menghormati serta menghargai juga
saling toleransi antar umat beragama maka akan terciptanya kota yang damai.
Tanpa adanya kerusuhan maka semua golongan masyarakat akan merasa aman
untuk tinggal di kota tersebut. Toleransi mampu mencegah konflik dan
kekerasan serta mampu melindungi masyarakat yang multikulturalisme.
Toleransi berasal dari bahasa Inggris yaitu “ Tolerance” yang berarti sikap
membiarkan, mengakui, dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
memerlukan persertujuan. Dengan kata lain toleransi dapat diartikan sebagai
sikap menenggang, membiarkan, membolehkan, baik berupa pendirian,
kepercayaan dan kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lainya, dalam hal
ini toleransi tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan dan
keyakinan yang ia anut, tetapi toleransi tercermin pada sikap yang kuat
terhadap kepercayaannya sendiri.36
kata toleransi dalam bahasa Arab disamakan dengan “Tasamuh” yang
artinya saling mengizinkan dan saling memudahkan. Selanjutnya dalam bahasa
Belanda, toleransi diistilahkan dengan “ Tolerer” yang artinya membolehkan,
membiarkan, dengan pengertian membolehkan atau membiarkan yang pada
prinsipnya tidak perlu terjadi perselihan antar agama.37
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling
menerima, dan saling menghargai ditengah keragaman budaya, kebebasan
36
Artis, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama , Toleransi, 3, 1 (2011), h.3. 37
Artis, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama , TOLERANSl, 3, 1 (2011), h.3.
64
berekspresi, dan karakter manusia. Oleh karenanya toleransi harus disertai
dengan pengetahuan yang luas, sikap yang terbuka, kebebasan berfikir dan
beragama. Dapat dikatakan bahwa toleransi setara dengan sikap positif dan
menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai
manusia. 38
Terdapat dua model toleransi, yaitu toleransi pasif, yakni sikap menerima
perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif yaitu
melibatkan diri dengan yang lain di tengah perbedaan dan keragaman.
Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat toleransi adalah hidup
berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keberagaman.
Pada intinya toleransi merupakan sikap atau refleksi dari kerukunan.
Terdapat dua cara pandang tentang toleransi yaitu konsep yang dilandasi pada
otoritas negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada
kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap
yang lain (respect conception). Dalam hal ini konsep kedua, yaitu toleransi
dalam konteks demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan
saling menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.39
Untuk membangun toleransi sebagai nilai kebijakan setidak ada dua hal
yang dibutuhkan yaitu, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui
percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan di
antara berbagai kelompok dan aliran. Prinsip dasar semua agama adalah
toleransi, karena semua agama pada dasarnya mencintai perdamaian dan anti
kekerasan.40
Karena hal inilah seharusnya orang yang percaya kepada tuhan
mampu menghargai juga toleran terhadap sesama.
38
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , Toleransi dalam Masyarakat Plural, Majalah
Ilmiah Lontar, 23,4 (2009), h.3-4. 39
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , Toleransi dalam Masyarakat Plural, Majalah
Ilmiah Lontar, 23,4 (2009), h.5. 40
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , Toleransi dalam Masyarakat Plural, 23,4 (2009),
h.5.
65
Toleransi dalam pergaulan antar umat beragama ialah di mana setiap
agama yang disahkan dan dilindungi oleh negara menjadi tanggung jawab
penganut agama masing-masing dan mempunyai system serta cara tersendiri
dalam pelaksanaan ibadahnya sehingga masing-masing dapat mempertanggung
jawabkan ibadah yang mereka lakukan.41
Toleransi dalam kehidupan antar umat beragama bertitik tolak dari
penghayatan agama dari masing-masing umat beragama dan tidak dipengaruhi
oleh rasa curiga mencurigai antar sesama manusia yang pluralitas.
Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen untuk menjadikan toleransi
sebagai jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa
terpuruk, dalam perspektif keagamaan semua kelompok agama belum yakin
bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul
adalah intoleransi dan konflik padahal agama dapat menjadi energi positif
untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan
sejahtera.42
Menurut Benyamin F Intan, pluralisme agama yang berpondasikan
solidaritas individual akan membuahkan beberapa implikasi positif seperti
yang pertama ialah pemahaman kemajemukan agama bukan lagi sekedar
“kenyataan”, melainkan menjadi “keharusan” yang tidak dapat dihilangkan.43
Pada saat tersebutlah muncul usaha saling memperhatikan yang mana hal ini
lahir dari kesadaran saling ketergantugan juga membutuhkan. Pada kondisi ini
pula, agama didorong memberi kontribusi karena interdependensi agama
mensyaratkan ketidakaktifan satu agama akan berpengaruh kepada hasil-hasil
yang akan dicapai. Jika kesadaran interdependensi agama terus bertumbuh,
partisipasi agama – agama dapat dimaksimalkan.
41
Artis, Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama , TOLERANSl, 3, 1 (2011), h.4. 42
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , Toleransi dalam Masyarakat Plural, Majalah
Ilmiah Lontar ,23,4 (2009),h.2. 43
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , Toleransi dalam Masyarakat Plural, Majalah
Ilmiah Lontar ,23,4 (2009), h.4.
66
Selanjutnya yang kedua ialah agama berbasis solidaritas intelektual
menjunjung prinsip memberi dan menerima. Dialog yang baik akan
menghasilkan perubahan kedua belah pihak. Ketiga, berdasarkan solidaritas
intelektual, pluralisme agama mengharuskan kebebasan beragama bukan
sebatas sesuatu yang diperdebatkan, bahwa agama harus bebas dari
cengkraman sosial-politik termasuk negara.
Keempat, Pluralisme agama dengan solidaritas intelektual berpotensi
menghasilkan nilai-nilai yang mengandung common good. Yang dimaksudkan
dengan masyarakat plural dalam tulisan ini, adalah masyarakat majemuk yang
ditandai adanya beragam suku bangsa, agama, budaya atau adat istiadat.
Kondisi masyarakat yang demikian diperlukan kerjasama dengan sikap
toleransi dalam menghadapi berbagai tantangan untuk memperkuat ketahanan
sosial suatu komunitas. Pada masyarakat majemuk atau plural, secara
horizontal ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, dan perbedaan kedaerahan,
dan sebagainya. Sedangkan ditinjau secara vertical ternyata adanya perbedaan
yang mencolok antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Kondisi masyarakat
yang demikian akan mudah munculnya berbagai kerusuhan berupa konflik
antar etnis, konflik atas nama agama, dan adanya kecemburuan sosial yang
disebabkan adanya kesenjangan yang cukup tajam antara golongan kaya dan
miskin.44
Apabila masyarakat mampu tolerasi dalam kehidupan sehari – hari maka
seharusnya mampu pula toleransi dalam beribadah, ibadah dilaksanakan
dengan tetap menghormati dan menjaga toleransi dan kerukunan antarumat
beragama hal ini tentunya terdapat kemaslahatan di dalamnya yang mana
merupakan Maqashid Al-Syariah itu sendiri. Selain itu di dalam Maqashid Al-
Syariah salah satunya ialah Hifdz Al-din yaitu perlindungan terhadap agama
yang mana termasuk kedalam maqashid al-daruriyat.
44
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , Toleransi dalam Masyarakat Plural, Majalah
Ilmiah Lontar, 23,4 (2009), h.4-5.
67
B. Implementasi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No.7 Tahun 2014
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti
mengimplementasikan. Sedangkan, Implementasi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti pelaksanaan atau penerapan.45
Dalam kamus besar
webster implementasi berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu untuk menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.
Singkatnya, implementasi berarti penyediaan sarana untuk melaksanakan
sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu, dampak atau
akibat itu dalam konteks ini dapat berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-
lembaga pemerintah.46
Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier merupakan pelaksanaan
kebijakan dasar berbentuk Undang-Undang juga berbentuk perintah atau
keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan peradilan.
Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu
seperti tahapan pengesahan Undang-Undang, kemudian output kebijakan
dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan
kebijakan yang bersangkutan.47
implementasi juga dapat diartikan tindakan – tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu
keputusan kebijakan, dalam hal ini Pemerintah dalam membuat kebijakan juga
harus mengkaji juga mempertimbangkan terlebih dahulu apakah kebijakan
tersebut dapat memberikan dampak yang baik atau dampak yang buruk bagi
masyarakat. selain itu, agar suatu kebijakan tidak bertentangan juga
merugikan masyarakat.48
45
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/implementasi 46
Marizka Isanya, Implementasi Kebijakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara Terhadap Penyandang Disabilitas, (Medan: Thesis Universitas Medan Area, 2015), h.12.
47 Marizka Isanya, Implementasi Kebijakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera
Utara Terhadap Penyandang Disabilitas, (Medan: Thesis Universitas Medan Area, 2015), h.13. 48
Marizka Isanya, Implementasi Kebijakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara Terhadap Penyandang Disabilitas, (Medan: Thesis Universitas Medan Area, 2015), h.15.
68
Dalam pelaksanaan suatu Peraturan tidak selalu berjalan dengan baik,
banyak faktor yang menentukan keberhasilan juga kegagalan dalam
penerapannya, maka dari itu penulis akan menggunakan model – model
implementasi kebijakan publik George Edward III yang terdapat 4 faktor
yakni, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.
Secara umum dalam implementasi Perda No.7 tahun 2014 telah terpenuhi
semua namun tidaklah maksimal seperti, dalam komunikasi pemerintah kota
Tasikmalaya bersama DPRD Kota Tasikmalaya telah menganggarkan uang
untuk sosialisasi mengenai perda ini senilai Rp. 500.000.000, namun, jika
diandingkan dengan anggaran Perda lain anggaran untuk perda tata nilai dapat
dikatakan lebih sedikit sehingga tidak dapat memaksimalkan sosialisasi
kepada masyarakat.49
dalam pelaksaan suatu kebijakan terbatasnya sumber
daya anggaran akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan,
program tidak bisa dilaksanakan dengan optimal bahkan dapat menyebabkan
gagalnya pelaksanaan program.
Selanjutnya pada sumber daya menurut George Edward III terbagi mennjagi
manusia, anggaran, peralatan dan kewenangan.50
Sumber daya manusia di Kota Tasikmalaya pada dasarnya cukup
memumpuni selain pemerintah yang wajib mensosialisasikan masyarakat juga
bisa saling menjelaskan mengenai Perda Tata nilai ini, namun kendala lainnya
ialah tidak semua masyarakat peduli mengenai Peraturan daerah yang ada.
seperti contohnya pada pasal 1 ayat (3) dalam penerapannya tidak semua
masyarakat Kota Tasikmalaya tahu bahwa definisi religius menurut perda ini
ialah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan agama.
Begitu juga dengan tujuan dari dibuatnya Perda No.7 Taun 2014 dalam
penerapannya juga belumlah maksimal hal ini dalah satunya ialah dikarenakan
kurangnya sosialisasi kepada masyarakat sehingga terdapat jarak antara cita –
49
Randi Hamdani, Kebijakan Publik Dan Perda Syari’ah (Studi Tentang Implementasi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat Yang Religius di Kota Tasikmalaya), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h.134.
50 Marizka Isanya, Implementasi Kebijakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera
Utara Terhadap Penyandang Disabilitas, (Medan: Thesis Universitas Medan Area, 2015), h.8-23
69
cita luhur dan senyatanya. Terlebih lagi perda ini bersifat anjuran, mengatur
bagaimana masyarakat berakhlak, bagaimana mereka berangkat dalam
hubungan antar agama dan dalam hal ini tentunya semua kembali lagi kepada
pribadi masing – masing karena meskipun ditegakan dengan baik tetapi tidak
terdapat kesadaran pada masyarakat maka tidak akan pernah berhasil.
Selanjutnya, mengenai anggaran seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa anggaran yang disiapkan oleh Pemerintah Kota
Tasikmalaya ialah Rp.500.000.000, ditambah lagi yang terjadi saat ini yaitu
pandemi COVID-19 sehingga anggaran yang ada di alokasikan kepada
penanganan COVID-19.
Mengenai peralatan juga kewenangan pada dasarnya pemerintah Kota
Tasikmalaya memiliki peralatan yang cukup walaupun belum sepenuhnya
memadai, pemerintah Kota Tasikmalaya tentu saja memiliki wewenang untuk
menegakan Perda No.7 Tahun 2014. Contoh nya DPRD Kota Tasikamalaya
memfasilitasi bagi siapapun yang ingin melakukan mediasi, maupun aksi
mengenai perda No.7 Tahun 2014. tidak jarang pula mahasiswa juga
organisasi masyarakat yang melakukan mediasi dan aksi di gedung DPRD
Kota Tasikmalaya.
Dalam hal ini pun masih belum maksimal seperti dalam penerapannya
masih terdapat kesenjangan seperti pada pasal 7 Perda No.7 Tahun 2014 ialah,
"setiap orang berhak untuk beribadah menurut keyakinan berdasarkan ajaran
agamanya masing – masing", dan dalam rangka pemeliharaan keyakinan
beragama pemerintah Kota Tasikmalaya mengeluarkan kebijakan turunan dari
peraturan daerah ini berupa pembangunan tempat beribadah di Perusahaan
swasta seperti Hotel, Mall, tempat Karaoke, juga penyediaan al-Qur’an baik di
perkantoran maupun perusahaan.
Tetapi pada realitanya pembangunan tempat peribadatan lebih
memfokuskan pada pembanguan masjid/musholla. Apabila perusahaan swasta
tidak menyediakan musholla, nantinya akan diberikan sanksi teguran sampai
70
pencabutan izin.51
Tentunya hal ini sangatlah disayangkan, kebijakan ini
diterapkan pada awal dijalankannya perda ini, untuk sekarang pembangunan
tidak hanya untuk mushollah/masjid saja melainkan untuk rumah ibadah
agama lain.
Selanjutnya faktor disposisi, dan struktur birokrasi. Disposisi yang
dimaksud George Edward III ialah kemauan dan keinginan pelaksanaan.
kemauan, keinginan dan kecenderungan para perlaku kebijakan untuk
melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh sungguh sehingga apa yang
menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan, dan dalam struktur birokrasi yaitu
struktur Organisasi yang bertugas melaksanakan kebijakan serta memiliki
standard operating procedures (SOP).52
Dalam hal ini penulis melihat bahwa pemerintah Kota Tasikmalaya selaku
pembuat Perda memiliki kemauan juga keinginan untuk melaksanakan juga
pemerintah telah memiliki standard operating procedures (SOP) dalam
pelaksaan perda yang dapat dilihat dari adanya sosialisai mengenai perda
kepada masyarakat khususnya masyarakat Kota Tasikmalaya, begitu pula
dengan para pemuka agama yang berkumpu untuk merumuskan serta
menyetujui Perda Tata Nilai ini. selain itu, masyarakat pun ikut andil dalam
pelaksanaanya seperti banyaknya permintaan mediasi kepada DPRD Kota
Tasikmalaya mengenai Perda ini.
Pada intinya dalam pelaksanaan perda ini belumlah maksimal, hal ini pun
diakui oleh Wakil Ketua DPRD Kota Tasikmalaya saat ini yaitu H. Agus
Wahyudin, S.H., M.H. , menurut beliau penerapan perda No.7 Tahun 2014
belum maksimal, belum sepenuhnya dapat dirasakan langsung oleh
51
Randi Hamdani, Kebijakan Publik Dan Perda Syari’ah (Studi Tentang Implementasi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat Yang Religius di Kota Tasikmalaya), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h.134.
52 Marizka Isanya, Implementasi Kebijakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera
Utara Terhadap Penyandang Disabilitas, (Medan: Thesis Universitas Medan Area, 2015), h.19-21.
71
masyarakat, selain itu penegakan di tingkat pemerintah pun masih belum
cukup dan dapat dikatakan masih lemah.53
53
Interview pribadi dengan H. Agus Wahyudin, S.H., M.H. , Wakil Ketua DPRD Kota Tasikmalaya Tahun 2019 - 2024, Tasikmalaya, 30 maret 2021.
72
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam keseluruhan penelitian dan analisis dari pembahasan skripsi ini
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Tinjauan Maqashid Al-Syari‟ah pada Pasal 1 Ayat (3) Dalam Peraturan
Daerah Kota Tasikmalaya No. 7 Tahun 2014 telah sesuai atau relevan
dengan konsep Maqashid al-syari’ah karena definisi religius dalam Perda
No.7 Tahun 2014 ini diartikan secara universal, mengedepankan
kepentingan atau maslahat untuk umum bukan hanya sekelompok kecil
saja, pasal ini juga termasuk ke dalam Maqashid Al-Daruriyat, menjaga
agama (Hifdzh Al-din). Pasal 2 Ayat (2) pada poin a Peningkatan
keimanan dan ketakwaan termasuk ke dalam menjaga agama (Hifdzh Al-
Din), Maqashid Al-Daruriyat. pada poin b, Akhlak merupakan sikap
mental yang mengakar di dalam jiwa, termasuk ke dalam Maqashid Al-
Tahsiniyat. Pada poin c, apabila masyarakat telah paham dan sadar
pentingnya norma maka dengan begitu, peraturan akan dengan mudahnya
ditegakan dan dapat diterapkan dengan baik pula hal ini termasuk ke
dalam Maqashid Al-Tahsiniyat. Pada poin d apabila masyarakat telah
paham terhadap akibat dari perilaku yang bertentangan dengan norma,
maka akan memudahkan pemerintah untuk menegakan peraturan dan
terciptanya ketertiban hukum, hal ini mengandung maqashid Al-Syariah,
Maqashid Al-Tahsiniyat. Selanjutnya poin e, saling menghormati dan
menghargai antar pemeluk agama,etnis, budaya dan elemen masyarakat,
termasuk kedalam maqashid al-daruriyat yaitu menjaga agama, jiwa dan
keturunan. Poin f, Apabila masyarakatnya tertib, maka termasuk kedalam
maqashid al-daruriyat menjaga Jiwa (Hifdzh Al-Nafs). Pada Pasal 7
adanya hak untuk beribadah menurut keyakinan berdasarkan ajaran
agama masing – masing hal ini termasuk Maqashid Al-Daruriyat menjaga
73
agama (Hifdzh Al-Din). Begitu juga ayat (2) termasuk Maqashid Al-
Daruriyat Hifdzh Al-Din.
2. Implementasi dari Perda No.7 Tahun 2014 dinilai belum maksimal masih
terdapat kekurangan dalam penerapan nya dan belum dapat di rasakan
secara menyeluruh oleh masyarakat kota Tasikmalaya, hal ini karena
belum efektif nya peraturan ditegakan meskipun pemerintah telah
berusaha, seperti melakukan sosialisasi kepada masyarakat. karena perda
ini mengenai Tata Nilai, pada akhirnya semua tergantung kepada pribadi
masing – masing dalam artian masyarakat Kota tasikmalaya itu sendiri.
Peraturan daerah dapat diterapkan dengan baik apabila pemerintah dan
masyarakat dapat bersinergi dengan baik.
B. SARAN
1. Bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Tasikmalaya
Selaku Pemerintah juga wakil rakyat Khususnya bagi masyarakat
Kota Tasikmalaya agar selalu membuat peraturan yang memang
sangat dibutuhkan juga bermanfaat untuk masyarakat kota
tasikmalaya, senantiasa menjadi wakil rakyat yang benar – benar
mewakili rakyat juga mendengar aspirasi khususnya masyarakat
Kota Tasikmalaya serta berusaha semaksimal mungkin untuk
menerepakan peraturan yang telah dibuat.
2. Bagi Masyarakat Kota Tasikmalaya
Teruntuk masyarakat kota tasikmalaya, untuk selalu mengawasi
kinerja Pemerintah dan DPRD Kota Tasikmalaya baik itu dalam
pembuatan peraturan daerah maupun kebijakan. Tidak lupa juga
untuk berpartisipasi aktif dalam pembuatan peraturan maupun
kebijakan, juga menjadi masyarakat yang kritis juga solutif demi
kota Tasikmalaya yang lebih baik lagi.
74
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Al-Karim
Ahmad Saebani, Beni. Ilmu Akhlak. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiah 1, Jakarta: Raja Grafindo persada, 1997.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Azra, Azyumardi, pendidikan Islam di Era Globalisasi peluang dan
tantangan, dalam Marwan Saridjo, mereka bicara pendidikan
islam, sebuah bunga rampai, Cet.1, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009.
Azra, Azyumardi, Pendidikan islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Cet.2, Jakarta: Kencana, 2014.
Indrati S Farida , Maria. Ilmu Perundang-undangan, Cet.7, Yogyakarta:
Kanisius 2007.
Jaya bakri, Asafri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi, Cet.1,
jakarta: Raja Grafindo Persada,1996.
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Cet.1,
Jakarta: Amzah, 2005.
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
Rineka Cipta, 2014.
Kurniawan, Mahendra dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA
Partisipatif, Cet. 1, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007.
Manan, Bagir, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.
Manan, Bagir, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-
undangan Tingkat Daerah, Bandung: Pusat Penerbitan LPPM
Universitas Bandung,1995.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada,
2010.
75
M. Darmizal, Keadilan untuk Aceh, Pemikiran Religious untuk
Pemberdayaan Masyarakat Pasca Perdamaian RI-GAM dan
Bencana Tsunami, Cet.1, Bandung; IRIS Press, 2006.
Matta, Anis, Membentuk Karakter Cara Islam, cet.III. Jakarta: Al-I'tishom,
2006.
Muntoha, Otonomi Daerah dan Perkembangan Peraturan Daerah
Bernuansa Syariah, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2010.
Mustofa, Ahmad, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 1997.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Cet.1, Jakarta:UI
PRESS,2016.
Rangga widjaja, Rosjidi, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,
Bandung: Mandar Maju, 1998.
Suntana, Ija Poitik Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2014.
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.
Umar, Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press,
2007.
Warijo, Politik Belah Bambu Jokowi: Dari Mafia Politik Sampai
Islamfobia, Jakarta: Medan: Puspantara, 2015.
Zed, Mustika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor
Nasional, 2004.
JURNAL
Abdul Halim Kuning, "Takwa Dalam Islam", ISTIQRA,Volume VI Nomor
1, September Tahun 2018.
Abd. Rais Asmar, "Pengaturan Peraturan Daerah (Perda) Syariah Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah", El-Iqtishady, Vol.1, No.1,
Juni Tahun 2019.
Andrias dan Nurohman, "Partai Politik Dan Pemilukada (Analisis
Marketing Politik dan Strategi Positioning Partai Politik Pada
76
Pilkada Kabupaten Tasikmalaya)", Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintahan, Vol.1, No.3 Juli Tahun 2013.
Arskal Salim, "Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional
Penegakan HAM", Yayasan Jurnal Perempuan, Vol.60, No.I,
Tahun 2008.
Artis, "Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama" , TOLERANSl,
Vol.3, No.1, Tahun 2011.
A.Zarkasi, "Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan", Inovatif Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.4
Tahun 2010.
Cholida Hanum, "Perda Syariah Perspektif Ketatanegaraan dan Siyasah
Dusturiyyah", Al – Ahkam, Vol.4, No.2, Tahun 2019.
Erfina Fuadatul Khilmi, " Pembentukan Peraturan Daerah Syari’ah dalam
Perspektif Hukum Tata Negara Pascareformasi", Lentera Hukum,
Vol.5, No.1 2018).
Etikasari, Nur Wahyu, “Persepsi Mahasiswa Program Studi S1 Ppkn
Universitas Negeri Surabaya Terhadap Wacana Intoleransi Di
Media Sosial”, Kajian Moral dan Kewarganegaraan:Vol.6 No.1
Jilid I Tahun 2018.
Faisal Fadilla Noorikhsan, "Nasionalisme Ajengan Ruhiat (Gagasan dan
Praksis Nasionalisme Seorang Ulama)", Politika, Vol.7, No.2,
Oktober Tahun 2016.
Febri Handayani, "Konsep Kebebasan Beragama Menurut UUD Tahun
1945 Serta Kaitannya Dengan HAM", Toleransi, Vol.1, NO.2,
Tahun 2009.
Ghofar Shidiq,"Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Sultan
Agung", Vol.XLIV, No.118, Juni – Agustus, Tahun 2009.
Hayatun Na’imah, “Perda Berbasis Syari’ah Dalam Tinjauan Hukum Tata
Negara” Jurnal Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora,
Vol.14, No.1, 2017.
77
Lina Aryani, “Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Tata Nilai
Kehidupan Masyarakat Yang Religius Di Kota Tasikmalaya”
Jurnal Politikom Indonesiana,Vol.4, No.1.2019.
Munawar Ahmad. "Fenomena Perda syariah: Institusional identitas pada
tingkat local state", Jurnal Sosiologi agama, Vol.1, No.1, Tahun
2007.
Nurlatipah Nasir, “Kyai dan Islam dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih
Masyarakat Kota Tasikmalaya” Jurnal Politik Profetik, Vol.14,
No.1, 2017.
P Parmono, "Nilai dan Norma Masyarakat", Jurnal Filsafat No.23
November 1995.
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum , "Toleransi dalam Masyarakat Plural",
Majalah Ilmiah Lontar, Vol.23, No.4, Tahun 2009.
Taufik Nurrohman, “Gerakan Penegakan Syariat Islam di Kota
Tasikmalaya” Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol.3, No.1,
2018.
PERATURAN
Undang-Undang No.12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Tentang Hak - Hak Sipil dan Politik.
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan.
Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Daerah No.7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan yang
Religius di Kota Tasikmalaya.
INTERVIEW
Interview pribadi dengan Adam Nugraha S, pendamping Tim Khusus
Bapemperda Tahun 2014, Tasikmalaya 30 maret 2021.
Interview pribadi dengan Bu Elly, Masyarakat Kota Tasikmalaya,
Tasikmalaya 30 maret 2021.
78
Interview pribadi dengan H. Agus Wahyudin, S.H., M.H., Wakil Ketua
DPRD Kota Tasikmalaya Tahun 2019 - 2024, Tasikmalaya, 30
maret 2021.
THESIS
Isanya, Marizka. "Implementasi Kebijakan Komisi Pemilihan Umum
Provinsi Sumatera Utara Terhadap Penyandang Disabilitas." Thesis
S2 Pasca Sarjana, Universitas Medan Area, 2015.
Risyda, Nailir. "Penerapan Sistem Norma-Norma Pada Mata Pelajaran
Aqidah Akhlak Dalam Membentuk Moral Siswa Kelas IX Di Mts
Miftahul Ulum Kudus Tahun Pelajaran 2018/2019." Skripsi S1
Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Kudus, 2018)
SKRIPSI
Pasaribu, Devidora. "Akhlak Siswa Dalam Berinteraksi Dengan Lingkungan
Sekolah Di Sma Yayasan Perguruan Indonesia Membangun Taruna
(Yapim) Sei Gelugur Kabupaten Deli Serdang." Skripsi S1
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, UIN Sumatera Utara, 2018.
WEBSITE
https://dprd-tasikmalayakota.go.id/selayang-pandang-kota-tasikmalaya/.
https://data.tasikmalayakota.go.id/agama/jumlah-pondok-pesantren-santri-
dan-ustadz-menurut-kecamatan-di-kota-tasikmalaya/.
https://kbbi.web.id/religius.
https://sumsel.kemenag.go.id/files/sumsel/file/dokumen/hakekatreligiusitas.
pdf.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/menghargai
https://id.wikisource.org/wiki/Kitab_UndangUndang_Hukum_Perdata/Buku
_Ketiga
https://id.wikisource.org/wiki/Kitab_UndangUndang_Hukum_Pidana/Buku
_Kedua/Pasal_338
https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-
tentang-%24H9FVDS.pdf