perbuatan dosa karena telah melakukan pemberontakan ... · pdf fileberikut diuraikan secara...
TRANSCRIPT
Jika dilihat sepintas, tidak ada yang salah dengan kutipan di atas. Bahkan
teks tersebut terlihat positif karena berisi pernyataan yang menyetujui jika orang-
orang eks PKI menjadi caleg, bahkan keturunan eks PKI juga harus diberi hak
yang sama. Yang menjadi masalah adalah penggunaan kata “dosa” yang pakai
dalam kalimat tersebut. Kata “dosa” biasa dipakai dalam masalah keagamaan,
dosa berarti sebuah perbuatan yang melanggar aturan yang bersifat mutlak dan
telah ditetapkan oleh tuhan. Kutipan di atas memang menyatakan keturunan orang
PKI tidak ikut menanggung dosa, namun hal itu juga berarti orang tua mereka
yang ikut PKI telah melakukan dosa. Anak keturunan PKI memang tidak
melakukan kesalahan, namun orang tua mereka yang ikut PKI telah melakukan
perbuatan dosa karena telah melakukan pemberontakan. Dengan menyatakan PKI
telah melakukan perbuatan dosa, secara tidak langsung Republika melihat
pemberontakan yang terjadi pada tahun 1965 benar-benar dilakukan oleh PKI dan
memang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Kepastian
tentang keterlibatan PKI dalam pemberontakan seakan menafikan wacana lain
yang mengungkapkan keterlibatan kelompok lain dalam peristiwa G30S. bagi
Republika, PKI dan komunisme dilihat sebagai pihak yang bersalah tetap harus
diwaspadai.
3. Analisis Sosial
Dalam masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda, namun
kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga menjadi wacana
dominan, sedangkan wacana lain menjadi wacana alternatif yang terpendam atau
220
terpinggirkan. Demikian juga halnya yang terjadi dalam wacana tentang PKI dan
komunisme. Wacana tersebut sebenarnya bersifat kompleks, namun Orde Baru
berkepentingan dengan wacana tersebut untuk kelangsungan rezimnya, maka
Soeharto memilih dan melanggengkan wacana tertentu yang sesuai dengan
kebutuhan kekuasaannya dan menyingkirkan wacana alternatif yang dinilai akan
men-delegitimasi-kan kekuasaannya. Strategi wacana yang biasa dipakai adalah
penggambaran diri sendiri secara positif (positive self presentation) dan
menggambarkan pihak lain secara negatif (negative other presentation). Orde
Baru menggambarkan dirinya sebagai pihak yang paling berjasa mengangkat
bangsa Indonesia dari keterpurukan dan masa suram Orde Lama serta sebagai
pahlawan penumpas komunisme. Orang-orang komunis digambarkan sebagai
pemberontak, anti tuhan, kejam dan menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan. Wacana mengenai PKI hasil bentukan Orde Baru dianggap sebagai
wacana yang paling sahih dan menyingkirkan wacana lain yang menggambarkan
sisi positif maupun aspek humanisme orang-orang PKI serta mengaburkan
kekejaman dan diskriminasi yang dilakukan oleh Orde Baru. Tanpa dukungan
kekuasaan, wacana alternatif tentang PKI dan sisi negatif Orde Baru hanya
menjadi obrolan yang tercecer di sudut kampung dan menjadi wacana yang
diragukan kebenarannya.
Wacana tentang Partai Komunis Indonesia yang ada dalam Kompas dan
Republika atau dalam media massa secara umum adalah bagian dari wacana yang
berkembang dalam masyarakat. Karena itu, selain melihat wacana dalam media
juga perlu dilakukan kajian terhadap literatur dan bahan lain yang ada untuk
221
melihat bagaimana proses produksi dan reproduksi wacana tentang PKI dalam
masyarakat serta melihat bagaimana wacana tersebut diangkat kembali oleh media
massa.
Untuk melihat proses produksi dan reproduksi wacana dalam masyarakat,
van Dijk menawarkan apa yang disebutnya sebagai analisis sosial, sebuah model
analisis sederhana untuk menguraikan bagaimana kelompok dominan membentuk
wacana yang sesuai dengan kebutuhan dan bisa menopang dominasi serta
kekuasaannya.
Menurut van Dijk, ada tiga hal penting yang dilihat dalam analisis sosial
yaitu kekuasaan, dominasi dan akses.185 Kekuasaan didefinisikan oleh van Dijk
sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok untuk mengontrol kelompok
lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber
yang bernilai, semisal uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang
bersifat langsung dan bersifat fisik, kekuasaan juga bisa berbentuk persuasif yakni
tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan
mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan.
Dominasi bisa diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan sosial. Pada
kelompok yang berkuasa, dominasi menghasilkan berbagai macam bentuk
ketidakadilan sosial. Dominasi direproduksi lewat pemberian akses khusus
terhadap sumber-sumber sosial secara diskriminatif. Dominasi juga direproduksi
dengan melegitimasi akses tertentu lewat bentuk-bentuk kontrol pikiran yang
185 Elemen-elemen analisis sosial diambil dari Teun A van Dijk, “Discourse and Cognition in Society” dalam David Crowly & David Mitchell, Communication Theory Today, UK Cambridge: Polity Press, 1994, hal: 108-110 dan Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS, 2001, hal: 271-274
222
manipulatif dan cara lain agar kelompok yang didominasi bisa menerima keadaan
tersebut secara suka rela.
Teun van Dijk juga melihat akses sebagai faktor penting dalam produksi
wacana, bagaimana akses yang dimiliki setiap kelompok dalam masyarakat.
Kelompok elit biasanya mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok yang tidak berkuasa. Misalnya kelompok yang berkuasa mempunyai
akses lebih besar terhadap media sehingga bisa mempengaruhi kesadaran
khalayak dan bisa menentukan topik serta isi wacana apa yang dapat disebarkan
kepada khalayak. Khalayak dan kelompok lain yang tidak mempunyai akses
hanya akan menjadi konsumen dari wacana yang telah ditentukan, bahkan bisa
memperbesar wacana tertentu lewat reproduksi dari apa yang telah mereka terima
dari kelompok dominan.
Ketiga hal tersebut saling terkait, karena itu uraian analisis ini tidak dipilah-
pilah berdasarkan elemen analisis sosial tapi berusaha menjelaskan bagaimana
kekuasaan, dominasi dan akses direpresentasikan dalam berbagai medium dan
mempengaruhi wacana yang ada di dalamnya. Namun dominasi wacana tidak
pernah terjadi secara mutlak, selalu ada celah bagi wacana lain untuk bertahan di
tengah dominasi, meskipun hanya berskala kecil dan menjadi minoritas. Wacana
alternatif mengenai PKI hidup di sela-sela dominasi wacana Orde Baru melalui
medium yang tidak terkontrol oleh Orde Baru.
223
3.1. Produksi Wacana Orde Baru
Seberapa besar andil Soeharto dan militer dalam hiruk-pikuk G30S masih
belum menemukan titik terang, namun satu hal yang pasti, embrio Orde Baru lahir
berpangkal dari tragedi tersebut. Lewat Supersemar Soeharto memegang kendali
dalam pembubaran PKI, kemudian Orde Baru yang dikomando oleh Soeharto
memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Terpuruknya sektor ekonomi dan gonjang-ganjing politik yang terjadi pada
masa Bung Karno menjadi titik tolak Orde Baru untuk membangun Indonesia.
Berbeda dengan Bung karno yang menjadikan politik sebagai panglima, Soeharto
justru menjadikan sektor ekonomi sebagai titik sentral pembangunan. Syarat
utama pembangunan adalah adanya jaminan keamanan serta stabilitas nasional,
tanpa jaminan keamanan, tidak akan tercipta ketertiban dan pembangunan tidak
akan terwujud. Selama masa kekuasaannya, Orde Baru mendefinisikan beberapa
hal yang dianggap sebagai musuh pembangunan. Kelompok atau perseorangan
yang melancarkan kritik terhadap kebijakan Orde Baru dianggap mengganggu
stabilitas nasional dan mengganggu proses pembangunan sehingga harus
dibungkam.
Namun Orde Baru mempunyai musuh utama sejak orde tersebut lahir, yakni
komunisme. Orde Baru dianggap sebagai pahlawan karena berhasil menumpas
PKI yang menjadi sumber masalah pada masa lalu, maka wacana tersebut terus
diawetkan. Komunisme dilihat sebagai hantu yang sangat menakutkan dan terus-
menerus membayangi kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa ini tidak akan bisa
membangun jika kelompok komunis ada di sekitar kita, mereka adalah orang-
224
orang yang anti tuhan, pemberontak, suka mengadu domba dan menikam dari
belakang. Kehadiran orang-orang komunis hanya akan mengacaukan tertertiban,
menciptakan instabilitas. Orde Baru berhasil menanamkan “hantu komunisme”
dalam benak sebagian besar rakyat Indonesia lewat kontrol secara fisik maupun
mental. Lewat berbagai medium yang ada, Orde Baru terus menerus menyebarkan
wacana tentang bahaya laten komunis sehingga terbentuk semacam pengetahuan
dalam masyarakat bahwa komunisme adalah ideologi yang sangat berbahaya.
Wacana komunisme versi Orde Baru menjadi wacana dominan karena Orde
Baru mempunyai akses khusus terhadap berbagai medium penting. Orde Baru
mempunyai akses lebih besar terhadap berbagai medium wacana dibandingkan
kelompok lain. Besarnya akses yang dimiliki Orde Baru menghasilkan dominasi
wacana sehingga sebagian besar masyarakat hanya mengetahui masalah G30S dan
komunisme versi Orde Baru dan menghalangi wacana lain seputar masalah
tersebut. Berikut diuraikan secara singkat beberapa medium yang dikuasai Orde
Baru serta wacana tentang Partai Komunis Indonesia dan komunisme yang ada di
dalamnya.
1.0.0. Undang-Undang
Orde Baru melihat partai Komunis Indonesia benar-benar sebagai hantu
yang sangat menakutkan sehingga harus diberantas sampai ke akar-akarnya dan
tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada mereka untuk hidup. Setelah
dibubarkan oleh Soeharto lewat Supersemar, larangan terhadap penyebaran ajaran
komunisme dikukuhkan dalam ketetapan MPRS Nomor XXV/1966. Tidak cukup
225
sampai di situ, lewat berbagai undang-undang yang disusun, orang-orang yang
dituduh terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dengan PKI tidak
boleh masuk dalam semua institusi pemerintahan maupun lembaga pelayanan
publik lainnya dan dihilangkan hak-haknya sebagai warga negara.
Larangan terhadap orang-orang eks PKI untuk berperan serta dalam Pemilu
dikukuhkan dalam beberapa undang-undang yang disusun pada masa Orde Baru.
Bahkan tradisi diskriminasi terhadap orang-orang eks PKI pun masih terjadi pasca
reformasi, masih ada beberapa undang-undang yang disusun pasca tahun 1999
yang masih mencantumkan larangan terhadap orang-orang komunis.
Dalam UU No 15/1969 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan
Permusyawaratan Rakyat yang disusun pada awal kekuasaan Orde Baru, pasal 2
menyebutkan bahwa Warga Negara Indonesia bekas anggota organisasi terlarang
PKI, termasuk organisasi massanya yang terlibat langsung ataupun tidak langsung
dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang lainnya tidak diberi
hak untuk memilih dan dipilih. Kuatnya pengaruh wacana mengenai bahaya
komunis yang disebarkan oleh Orde Baru pun masih dirasakan pada era reformasi.
Dalam UU No. 3/1999 pasal 43 ayat 11 menyebutkan bahwa seorang calon
anggota DPR, DPRD I dan DPRD II adalah bukan bekas anggota organisasi
terlarang PKI, termsuk organisasi massanya bukan yang terlibat secara langsung
atau tidak dalam G30S/PKI.186
Dalam undang-undang lain disebutkan, jika pemerintah membutuhkan
pendapat rakyat secara langsung melalui referendum, orang-orang eks komunis
186 “Pasca Putusan MK soal Eks Anggota PKI, Perjalannan Masih Panjang”, Kompas, 1 Maret
2004, hal: 8.
226
juga tidak berhak mengutarakan sikapnya karena tidak mempunyai hak suara.
Seperti tercantum dalam UU No.5/1985 tentang referendum, pasal 11 ayat (2a)
menyebutkan bahwa untuk dapat dari daftar dalam pemberi pendapat rakyat, harus
dipenuhi syarat-syarat: bukan bekas anggota partai terlarang PKI, termasuk
organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung/tak langsung
dalam G30S/PKI.187
Mengenai masalah peradilan, orang-orang eks komunis pun tidak diberi
kepercayaan dan kewenangan untuk menjadi juru pengadil, baik dalam peradilan
umum, peradilan tata usaha negara maupun peradilan agama. UU No. 2/1986
tentang Peradilan Umum, pasal 14 ayat (1d) menyebutkan, untuk diangkat
menjadi hakim pengadilan negeri, seorang calon bukan bekas anggota organisasi
terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat
langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI. Dalam UU No. 5/1986 pasal 14 ayat
(1d) disebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi hakim pada pengadilan TUN
seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi
massanya/bukan yang terlibat langsung/tak langsung dalam G30S/PKI. mengenai
peradilan agama, UU No. 7/1989 pasal 13 ayat (1e) menyebutkan, untuk dapat
diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama seseorang tidak boleh bekas
anggota partai terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan yang terlibat
langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.188
187 Ibid. 188 Ibid.
227
3.1.2. Pidato Kenegaraan
Soeharto memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk menyebarkan
wacana yang memperkokoh kekuasaanya. Setiap medium yang tersedia baginya
selalu dimanfaatkan untuk terus memupuk berbagai wacana yang menonjolkan
kepahlawanan Soeharto dan mengingatkan kepada rakyat tentang bahaya yang
dihadapai bangsa Indonesia. Salah satu medium yang manfaatkan Soeharto untuk
mengingatkan rakyat akan bahaya komunisme adalah Pidato Kenegaraan HUT
Kemerdekaan RI. Setiap tangggal 16 Agustus ada suatu tradisi dimana presiden
RI menyambut hari kemerdekaan dengan pidato kenegaraan, materi yang
disampaikan biasanya mengingatkan jasa para pahlawan serta tanggapan terhadap
masalah-masalah aktual yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. ketika berkuasa,
peringatan HUT Kemerdekaan RI juga dipakai oleh Soeharto untuk mengingatkan
kepada rakyat Indoensia akan bahaya laten komunis. Misalnya dalam Pidato
Kenegaraan menyambut HUT Kemerdekaan RI pada tahun 1996, Soeharto
menyatakan bahwa pemberontakan PKI tahun 1965 merupakan tragedi nasional,
kejadian tersebut meninggalkan luka-luka yang dalam dan lama pada tubuh
bangsa kita. Itulah sebabnya, secara konstitusional PKI dan ideologi yang
mendukungnya dilarang untuk selamanya di bumi Indonesia agar pemberontakan
PKI dan sejenisnya tidak akan terulang kembali di tanah air.189
Soeharto juga menjelaskan bahwa malapetaka nasional yang disebabkan
oleh PKI telah membangkitkan kesadaran bangsa dan mengajak kita untuk
merenungkan kembali perjalanan sejarah bangsa yang terjadi pada masa lampau.
189 dikutip dari Eriyanto, Kekuasaan Otoriter, Dari gerakan Penindasan Menuju Politik
Hegemoni, Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto, Yogyakarta: Insist, 2000, hal: 105
228
Iklim revolusioner -Soeharto menyebutnya “jor-joran revolusioner”- yang terjadi
pada masa Bung Karno adalah hasil kerja PKI dan telah menciptakan suasana
saling curiga, perpecahan, ketegangan, ketidakstabilan, kemerosotan ekonomi dan
menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Ringkasnya suasana nasional pada masa itu
sama sekali tidak mendukung iklim pembangunan untuk kemajuan bangsa dan
kesejahteraan rakyat. Soeharto menyimpulkan bahwa semuanya terjadi karena kita
tidak setia dan menyimpang dari Pancasila dan UUD 45.190 Pada kesempatan lain,
dalam Amanat Kenegaraan Soeharto mengemukakan beberapa masalah utama
yang dihadapi bangsa Indonesia, salah satunya adalah bahaya laten komunisme
yang harus tetap diwaspadai karena unsur-unsur laten komuis masih tersisa.191
3.1.3. Buku
Penghancuran terhadap kelompok komunis dilakukan secara sistematis oleh
Orde Baru, semua aspek yang berbau kiri dimusnahkan, termasuk lembaga-
lembaga politik dan kebudayaan. Buku menjadi salah satu pusat perhatian Orde
Baru dalam menangkal tumbuhnya komunisme, buku-buku yang dianggap berbau
kiri atau ditulis oleh penulis dari kelompok kiri dimusnahkan. Selain itu, penguasa
juga menerbitkan buku pelajaran dan buku putih yang menggambarkan keburukan
orang-orang komunis.
Sejak periode 1965-1996, Orde Baru diperkirakan telah melarang 2.000
buku. Dua bulan pasca kudeta 1 Oktober, Kolonel K Setiadi Kartohadikusumo
190 Ibid. 191 Virginia Matheson Hooker, “Bahasa danpergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan Terhadap
Pembakuan Bahasa Orde Baru” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (ed) Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996., hal: 57
229
dari Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan melarang peredaran 70 buku
di semua lembaga pendidikan secara nasional. Kebijakan tersebut diikuti dengan
serangkaian larangan terhadap semua karya 87 orang pengarang yang dianggap
memiliki hubungan dengan PKI. Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai lembaga
pemerintah melarang dan memusnahkan buku-buku yang ditulis dan diterbitkan
oleh orang-orang yang dicurigai berhaluan kiri. Pada tahun 1967, Tim Pelaksana/
Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dan Marxisme-
Mao Tse Tungisme melarang kepemilikan, peredaran atau penjualan 174 judul
buku dan majalah di dalam wilayah kota Jakarta.192 Pada tahun-tahun berikutnya
di masa kekuasaan Orde Baru, pelarangan buku masih terus berlangsung namun
jumlahnya semakin mengecil.
Selain melarang dan memusnahkan buku-buku yang dinilai berhaluan dan
ditulis orang-orang yang berhaluan kiri, Orde Baru juga menyusun buku yang
menggambarkan bagaimana peran PKI dalam peristiwa G30S. Buku pelajaran
sejarah Indonesia dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi juga diisi dengan
penggambaran tentang PKI dan peristiwa G30S menurut versi Orde Baru. Salah
satu buku yang menggambarkan secara detil tentang PKI adalah buku putih
berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”.
yang diterbitkan Sekretariat Negara RI. Buku tersebut menjelaskan secara rinci
pertumbuhan PKI sebelum dan pasca kemerdekaan, aksi subversi yang pernah
dilakukan serta menguraikan bagaimana kudeta G30S yang dilakukan oleh PKI
telah dipersiapkan jauh hari secara matang.
192 Krishna Sen dan david T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi
Arus Informasi, 2001, hal: 44.
230
Dalam buku tersebut digambarkan bahwa sejak awal berdirinya PKI, yakni
sebelum masa kemerdekaan sampai dengan dibubarkan, orang-orang komunis
lebih banyak merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. PKI juga dinilai sama sekali
tidak mempunyai andil dalam persiapan proklamasi kemerdekaan dan perjuangan
kemerdekaan. Setelah gagal dalam pergolakan melawan pemerintah Belanda
tahun 1926-1927, tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang PKI
sampai RI merdeka. Karena itu, tidak ada orang-orang komunis yang duduk dalam
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) maupun aktivitas lain dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan RI.
Dengan demikian, baik dalam persiapan proklamasi maupun penyusunan
Pembukaan dan UUD 1945 serta selama perang kemerdekaan tahun 1945-1949,
PKI tidak pernah ikut serta.193
Setelah Indonesia merdeka, kehadiran PKI hanya mengacaukan kehidupan
bangsa Indonesia. Pada tahun 1948, tokoh-tokoh komunis mengadakan pidato-
pidato yang bernada membakar emosi massa di Yogyakarta dan Madiun. Aksi-
aksi yang mendiskreditkan pemerintah RI dilancarkan, Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI) melakukan aksi pemogokan di Delanggu, pegawai-
pegawai pemerintah dan tokoh-tokoh partai yang bukan komunis diteror, dan di
depan rakyat banyak Muso senantiasa menggembar-gemborkan janji-janji muluk
PKI. Pada 18 September 1948 kaum komunis melakukan perebutan kekuasaan di
Madiun dan memproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Sehari
193 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan
Penumpasannya., Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal: 15-16
231
kemudian, Muso membentuk Pemerintah Front Nasional, PKI juga merebut
obyek-obyek vital seperti kantor pemerintah, kantor pos, bank dan markas polisi
serta militer. Dua minggu kemudian, pasukan TNI berhasil menguasai kembali
kota Madiun dan menumpas pemberontakan PKI.194
Setelah gagal dalam pemberontakan Madiun, PKI dinyatakan sebagai partai
terlarang. Namun setelah direhabilitasi pada tahun 1950, Alimin mengaktifkan
kembali PKI dan mulai menyusun kekuatan lagi. Pada tahun yang sama D.N.
Aidit mengambil alih pimpinan PKI, terus berusaha merehabilitasi nama PKI dan
menyatukan seluruh potensi partai. Pada tahun 1954 PKI melancarkan strategi
“Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan” (MKTBP) untuk memperluas
pengaruhnya di kaum buruh tani, petani miskin dan buruh kota, menetralisir
lawan-lawan politiknya dengan menyusup ke dalam Angkatan Bersenjata, aparat
negara, partai politik dan organisasi massa serta menyiapkan dukungan yang luas
di kalangan rakyat Indondonesia terhadap program-program PKI.
Sebelum melakukan pemebrontakan G30S, PKI melakukan kegiatan untuk
meningkatkan situasi ofensif revolusioner, antara lain dengan melakukan sabotase
terhadap transportasi umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api sehingga
menyebabkan tabrakan kereta api di stasiun Purwokerto, Kaliyasa, Kroya,
Cirebon, Semarang dan Cipapar Jawa Barat.195 Selain aksi sabotase, Barisan Tani
Indonesia (BTI) juga melakukan Aksi Sepihak, menuntut pemerintah untuk
mengimplementasikan Undang-Undang No.2/1960 yang mengatur tentang bagi
hasil tanah pertanian dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960.
194 Ibid, hal: 21-22. 195 Ibid. hal: 49
232
Akibatnya, Di Klaten ratusan anggota BTI mengeroyok seorang petani karena
masalah sewa-menyewa tanah pertanian, dan di desa lainnya sekitar 200 orang
anggota BTI membabat padi milik seorang petani dengan paksa. Di Sumatra
Barat, BTI menyerobot tanah perkebunan milik Perusahaan Perkebunan Negara
(PPN) dan menanaminya dengan pohon pisang. Ketika berusaha menertibkan aksi
tersebut dan membersihkan pohon pisang yang ditanam, seorang Pelda TNI AD
dikeroyok hingga tewas oleh sekitar 200 anggota BTI dan PR.196
Setelah tercipta situasi ofensif seperti yang diinginkan, menjelang dini hari
tanggal 1 Oktober 1965 PKI melakukan aksi perebutan kekuasaan. Pasukan yang
telah ada di bawah kendali PKI dikerahkan untuk menculik tujuh jenderal dari
kediamannya masing-masing. Ketujuh jenderal tersebut di bawa ke basis gerakan
di Lubang Buaya. Tiga jenderal dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan telah
tewas, sedangkan empat orang lainnya yang masih hidup disiksa oleh anggota
Gerwani hingga tewas dan semua jenazah dimasukkan ke dalam sumur, ditimbun
dengan sampah dan tanah, kemudian di atasnya ditanami pohon pisang untuk
menghilangkan jejak.197
Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.00 WIB, siaran RRI mengumumkan
adanya Gerakan 30 Sepetember. Pukul 14.00 WIB pada hari yang sama, Letkol
Inf. Untung sebagai Komandan Gerakan Militer mengumumkan pembentukan
Dewan Revolusi Indonesia, nama-nama tokoh PKI dan non PKI mengisi jabatan
Dewan revolusi. Dewan Revolusi yang dibentuk oleh Gerakan 30 September
196 Ibid, hal:51-52. 197 Ibid. hal: 103.
233
merupakan upaya PKI untuk menipu rakyat dengan memanipulasi nama tokoh-
tokoh, baik politik maupun ABRI yang anti komunis.
Setelah mengumpulkan berbagai informasi tentang G30S Mayjen Soeharto
menyimpulkan bahwa G30S adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan
dan merebut kekuasaan dari pemerintah RI yang sah. Berdasarkan keyakinan itu,
Soeharto mengkonsolidasikan kekuatan militer yang tidak mendukung G30S dan
mulai bergerak menguasai obyek-obyek vital yang telah dikuasai oleh kelompok
pemberontak. Setelah diketahui secara jelas bahwa dalang G30S adalah PKI,
berbagai kelompok massa pemuda, pelajar dan mahasiswa secara spontan
mengadakan aksi-aksi penyerbuan gedung-gedung milik PKI serta ormasnya,
bentrokan fisik tidak dapat dihindarkan. Pada akhir 1965 pemerintah membentuk
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang salah
satu tugasnya adalah memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat
peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem dan kegiatan
subversi lainnya.198 Puncak pembekuan kegiatan PKI adalah dengan disahkannya
Tap MPRS Nomor XXV/1966 yang melarang PKI dan komunisme hidup di
Indonesia.
3.1.4. Penataran P4
Orde Baru menilai pemerintahan yang dijalankan oleh Bung Karno tidak
menjalankan Pancasila secara benar. Ajaran Nasakom yang diperkenalkan oleh
Bung Karno dinilai sebagai bentuk penyelewengan terhadap ideologi negara.
198 Ibid, hal: 137
234
Pancasila disalahtafsirkan sebagai gabungan dari paham Nasionalisme, Agama
dan Komunisme (Nasakom). Karena itu, setelah berkuasa Orde Baru memandang
perlu diadakan usaha-usaha untuk memurnikan kembali Pancasila agar tidak
tercemar dengan unsur komunisme. Tugas pemurnian Pancasila selesai pada tahun
1978 dengan keluarnya ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang “Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan pancasila” (P4). Wujud implementasi Tap terebut
adalah diadakan penataran P4 untuk pegawai negeri, pimpinan organisasi sosial
politik, organisasi masyarakat, pelajar dan mahasiswa.
Karena pertimbangan bahwa ajaran yang bersumber dari paham komunisme
adalah ancaman laten bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan
karena kegiatan mempelajari paham komunisme/Marxisme-Leninisme secara
ilmiah dalam rangka mengamankan Pancasila harus dilakukan secara terpimpin di
bawah kendali pemerintah, maka dikeluarkan Instruksi Presiden No.10 Tahun
1982 kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) untuk menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional bagi
pejabat Eselon I pada departemen dan instansi pemerintah lainnya. Pelaksanaan
Penataran Kewaspadaan Nasional kemudian diperluas kepada berbagai lapisan
masyarakat lainnya, baik secara khusus maupun sebagai bagian dari penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).199
199 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan
Penumpasannya., Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal: 4
235
3.1.5. Film
Setelah Soeharto menduduki puncak pimpinan Pasca tragedi G30S, dunia
perfilman Indonesia juga tidak luput dari pembersihan terhadap unsur-unsur
komunis. Para pembuat film beraliran kiri yang terkemuka dipenjarakan, atau
minimal dikucilkan dan dijauhkan dari dunia perfilman, semua media organisasi
kebudayaan kiri dihancurkan dan film-film mereka pun dilarang. Pasca G30S,
lembaga sensor yang masih bernama Badan Sensor Film (BSF) juga dibersihkan
dari anggota yang dinilai berhaluan komunis. Pada dekade awal kekuasaan Orba,
banyaknya aturan pra-sensor yang ditambahkan oleh BSF membuat produksi film
lokal semakin ketat disensor dibandingkan dengan semua film impor. Sensor yang
dilakukan BSF (pada tahun 1992 berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film)
lebih ditekankan pada masalah seks dan kekerasan serta perlindungan terhadap
kebudayaan nasional dari budaya asing. Tak ada petunjuk lebih jauh mengenai
apa yang disebut kebudayaan asing, namun dalam aturan tersebut mencantumkan
ideologi kolonialisme, imperialisme, fasisme dan semua bentuk komunisme dalam
daftar kriteria budaya asing yang harus ditolak.200 Semua film harus dilarang jika
memiliki kemungkinan menghancurkan kesatuan dan persatuan agama di
Indonesia, mengancam pembangunan kesadaran nasional, mengeksploitasi
perasaan etnis, agama, gender dan ketegangan sosial, termasuk antar kelas sosial.
Film dilarang mengungkapkan rasa ketidaksetujuan terhadap kebijakan
200 Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi
Arus Informasi, 2001, hal: 164.
236
pemerintah atau apapun yang dapat menyebabkan kerusakan bagi orang atau
lembaga yang berhubungan dengan pemerintah.201
Pada tahun 1981, Perusahaan Film Negara menugaskan Arifin C. Noer
untuk membuat film tentang pemberontakan PKI dengan judul “Penghianatan
Gerakan 30 September”. Film kolosal yang berisi kekerasan dan pidato politis ini
diproduksi dengan biaya besar yang tanggung oleh Orde Baru dan menceritakan
tentang peristiwa G30S tahun 1965. Isi cerita film ini sama dengan apa yang
sudah digambarkan oleh pejabat Orde Baru dan sejarawan mengenai peristiwa
yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dan setelahnya. Film tersebut menggambarkan
Sekelompok anggota TNI yang ada dalam pengaruh Letkol Untung merencanakan
kodeta untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno dan memasang Partai Komunis
Indonesia ke pucuk pimpinan kekuasaan. Mereka menculik tujuh jenderal AD dan
bersama anggota Gerwani mereka menyiksa para jenderal secara brutal dan
membunuhnya. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana Mayjen Soeharto
mengkonsolidasikan kekuatan TNI yang terpengaruh oleh orang-orang PKI,
kemudian merebut kembali obyek-obyek vital yang dikuasai pemberontak,
menghancurkan kepemimpinan PKI serta berhasil membunuh Letkol Untung.
Karena tidak ingin gagal dalam segi komersial dan untuk mengantisipasi
sepinya penonton, Orde Baru mewajibkan film “Penghianatan Gerakan 30
September” diputar di sekolah-sekolah dan departemen pemerintah. Bahkan sejak
1981-1997 film tersebut disiarkan oleh TVRI setiap tahun menjelang peringatan
G30S dan hari Kesaktian Pancasila serta direlay oleh stasiun televisi swasta.
201 Ibid.
237
3.1.6. Pers
Setelah G30S dipadamkan oleh TNI, Pangdam VII/Jakarta Raya Mayjen
Umar Wirahadikusumah menandatangani surat perintah no.01/Drt/10/1965 yang
memerintahkan kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jakarta Raya utuk
menguasai semua perusahaan percetakan. Khusus untuk percetakan Berita Yudha
dan Angkatan Bersenjata supaya dilakukan pengamanan fisik.202
Puluhan media yang dituduh terlibat atau mendukung G30S ditutup untuk
selama-lamanya. Setelah membreidel 46 surat kabar dan majalah, militer juga
mengadakan pebersihan terhadap ratusan wartawan yang punya hubungan dengan
PKI.203 Pasca G30S, peta kekuatan pers Indonesia didominasi oleh pers militer.
Pers yang tidak dibreidel seperti Kompas, Duta Masyarakat dan Sinar Harapan
pun ada dalam pengaruh militer, semua penerbitan harus minta izin penguasa
militer agar dapat terus melanjutkan penerbitannya. Dengan alasan negara dalam
keadaan bahaya, semua berita tentang politik dan militer harus sesuai dengan versi
penguasa militer, sehingga secara langsung maupun tidak, media massa saat itu
ikut dalam “kampanye” untuk menumpas PKI dan simpatisan-simpatisannya.
Militer (terutama Angkatan Darat) mendapat keuntungan dari pemberitaan
pers non/anti komunis, misalnya muncul isu tentang penyiksaan yang dilakukan
PKI terhadap para jenderal yang diculik, berita tentang kejahatan politik yang
dilakukan oleh orang-orang PKI seperti Subandrio, Omar Dhani dan lainnya
sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahmillub. Berita-berita tersebut
memudahkan kelompok anti komunis dalam memobilisasi massa untuk 202 Y. Krisnawan, Pers Memihak Golkar?, Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992, Jakarta: Institut
Studi Arus informasi, 1997, hal: 24-25. 203 Yazuo Hanazaki, Pers Terjebak (terj), Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998, hal: 19
238
menghancurkan PKI berserta simpatisannya. Sebaliknya pers anti komunis juga
mendapat keuntungan dari militer, mereka merasa mendapat teman perjuangan
dalam melawan musuh utamanya, PKI.
Dalam masa-masa kekuasaan Orde Baru selanjutnya, ketatnya aturan dan
pengawasan oleh rezim Orde Baru menyebabkan arus utama pers Indonesia tak
lebih sebagai -memimjam istilah Veven Sp. Wardana- “Jurnalisme Statemen”.
Wartawan mendatangi pejabat untuk dimintai pendapat, merekam semua yang
diucapkan sang pejabat, tanpa cek-ricek maupun konfirmasi, keesokan harinya
sudah terpampang di media. Demikian juga halnya ketika memberitakan tentang
PKI. Masalah komunisme menjadi isu yang tabu untuk dibicarakan secara
terbuka, orang-orang komunis tidak bisa dimintai pendapat karena dilarang oleh
penguasa, yang berhak bicara soal PKI dan komunisme hanya penguasa, tentu saja
sesuai dengan versi dan kepentingan penguasa. Pers kemudian hanya menjadi
corong pejabat, isu komunisme yang diangkat oleh media massa juga versi
penguasa tanpa ada konfirmasi kepada pihak-pihak lain yang berkaitan dengan
masalah tersebut.
3.2. Produksi Wacana Alternatif
Orde Baru memang berhasil mengontrol mental mayoritas rakyat Indonesia
mengenai masalah komunisme dan berhasil mendominasi pengetahuan rakyat
tentang PKI seperti yang diinginkannya. Kontrol dan dominasi tersebut berhasil
dilakukan sebab penguasa mempunyai akses yang sangat besar terhadap medium-
medium penting dan potensial yang bisa memproduksi dan reproduksi wacana,
239
sehingga Orde Baru bisa menanamkan pengetahuan dan pemahaman tentang
komunisme kepada masyarakat sebagaimana yang dikehendaki.
Namun wacana tentang komunisme bukanlah wacana tunggal atau satu
dimensi sebagaimana diproduksi oleh Orde Baru. Peristiwa G30S dan PKI adalah
sebuah wacana kompleks di mana faktor politik, sosial, budaya dan kemanusiaan
bercampur menjadi satu. Meskipun Orde Baru secara terus-menerus memproduksi
dan mereproduksi wacana sebagaimana yang diinginkan dan membungkam
wacana lain yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Wacana alternatif memang
terpinggirkan, tapi tidak mati. Meskipun dalam skala kecil, dalam masyarakat
muncul kegelisahan dan keingintahuan tentang siapa sesungguhnya yang ada di
balik peristiwa G30S, bagaimana peran Soeharto dan Angkatan Darat, bagaimana
“wujud” PKI yang sesungguhnya. Pertanyan-pertanyaan dan usaha mencari
jawaban mengenai masalah tersebut secara diam-diam menelisik ke dalam
masyarakat dan mencari ruang di sela-sela wacana dominan yang disebarkan oleh
penguasa. Wacana alternatif tentang PKI dan komunisme tetap hidup dengan
menggunakan medium-medium wacana yang tidak dapat dikontrol oleh Orde
Baru. Berikut ini adalah medium wacana yang mengusung wacana alternatif
tentang PKI.yang tidak terjangkau oleh kontrol penguasa atau medium yang hidup
ketika orde Baru telah runtuh.
3.2.1. Buku
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, setiap buku bisa dilarang jika
dianggap mengganggu ketertiban masyarakat, namun definisi ketertiban yang
240
diterapkan bersifat elastis dan membingungkan. Misalnya tentang PKI, perspektif
apapun terhadap partai komunis yang berbeda dengan versi Orde Baru, meskipun
hanya sedikit, akan dilarang. Wewenang untuk melarang penerbitan ada di tangan
Kejaksaan Agung. Secara hukum, semua penerbit harus menyerahkan kopi naskah
yang akan diterbitkan kepada Kejaksaan Agung untuk diperiksa, namun hal ini
tidak pernah diterapkan secara sistematis. Penerbit dan penulis tidak diberitahu
bahwa suatu naskah harus diperiksa atau sedang dalam penyelidikan Kejaksaan
Agung. Jika bukunya dilarang, mereka juga tidak diberi kesempatan untuk
berargumentasi untuk mempertahankan dan membela buku yang dilarang tersebut.
Jika dinyatakan terlarang, buku tersebut harus ditarik dari pasaran, stoknya ditarik
kembali dan dapat disita atau dimusnahkan oleh polisi. Namun dalam prakteknya,
buku yang dilarang jarang ditarik kembali atau dimusnahkan, karena rumor-rumor
adanya pelarangan justru membuat buku tersebut laku keras. Bahkan jika tidak
mendapatkan buku asli, konsumen pun akan mengejar foto kopi bajakan buku
tersebut.204 Seorang mahasiswa di Jogjakarta bernama Bonar Tigor Naipospos
dipenjara karena mengedarkan foto kopi diktat kuliah pemikiran Karl Marx dari
Dr Franz Magnis-Suseno
Ketatnya regulasi Orde Baru yang diterapkan dalam penerbitan naskah atau
buku bukan berarti wacana tandingan atau wacana alternatif ikut mati. Ketatnya
aturan justru memunculkan jalur distribusi alternatif, meski lingkupnya kecil dan
hanya menjangkau kelompok atau kelas tertentu. Walaupun kecil, keberadaannya
cukup signifikan dalam membayangi wacana dominan. Misalnya Pramoedya
204 Krishna Sen dan David T Hill, Op. Cit, hal: 46
241
Ananta Toer, semua karya Pram dan para pengarang kiri lainnya dilarang sampai
akhir kekuasaan Orde Baru. Tapi kebijakan tersebut memunculkan jalur distribusi
baru berupa perederan buku di bawah tanah. Meskipun dilarang, foto kopi novel-
novel karya Pram masih beredar. Bahkan novel-novel Pramudya tetap beredar di
wilayah regional, peminatnya bisa mendapatkan versi cetakan yang tersedia lewat
pesanan pos dari penerbit alternatif di Malaysia.205
Di Belanda, orang-orang yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena
dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dan dicabut statusnya sebagai warga
negara Indonesia oleh Orde Baru, mendirikan “TAPOL”, Lembaga Swadaya
Masyarakat yang berkampanye dan memperjuangkan perbaikan nasib dan hak
para mantan Tahanan Pilitik (Tapol) dan Narapidana Politik (Napol) PKI di
Indonesia.206 TAPOL menerbitkan sebuah buku yang ditulis oleh M.R. Siregar,
mantan aktivis gerakan serikat buruh dan anggota Komite Daerah PKI di
Tapanuli. Pada awal 1965 dia dikirim belajar di Moskow dan tidak bisa kembali
ke Indonesia setelah terjadi peristiwa G30S dan pembantaian terhadap PKI. Buku
M.R. Siregar berjudul “Tragedi Manusia dan Kemanusian, Kasus Indonesia,
Sebuah Holokaus yang Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua” berisi gambaran
dari sudut pandang PKI mengenai berbagai fakta sejarah yang melibatkan PKI,
dan tentu sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Orde Baru.
Dalam kata pengantar buku tersebut, W.F. Wertheim memperbandingkan
beberapa fakta yang ada dalam buku M.R. Siregar dengan apa yang disampaikan
dalam buku putih “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis
205 Ibid. 206 Mereka yang Bertualang di Mancanegara, Forum Keadilan, No. 25, 6 Oktober 2002
242
Indonesia” yang diterbitkan Sekretariat Negara. Tentang peristiwa Madiun,
Wertheim menyatakan bahwa apa yang disampaikan dalam buku putih sama
sekali tidak cocok dengan kebenaran, dia membantah tuduhan bahwa PKI
mendirikan Republik Soviet Indonesia. Amir Sjarifuddin, bekas Perdana Menteri
RI yang saat itu berada di Madiun membantah semua kebohongan yang disiarkan.
Melalui radio Sjarifuddin menyatakan: “Undang-Undang Dasar kami adalah
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, bendera kami adalah Merah-Putih dan
lagu kebangsaan kami tidak lain dari Indonesia Raya”. Pernyataan tersebut
disiarkan oleh Aneta, kantor berita Belanda di Indonesia.207
M.R. Siregar juga membantah tuduhan dalam buku putih Orde Baru yang
menyatakan bahwa sejak tahun 1954 PKI menjalankan strategi subversi yang
dikenal dengan “Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan” (MKTBP), yaitu
gerilya di desa bersama buruh tani dan petani miskin, perjuangan revolusioner di
kota bersama kaum buruh dan bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama
angkatan bersenjata. Siregar menerangkan, saat itu CC PKI sedang menerapkan
strategi baru, yakni jalur parlementer dan lewat strategi tersebut PKI berhasil
memenangkan suara dalam Pemilu 1955 serta Pemilihan daerah dan lokal pada
tahun 1957. Strategi MKTBP PKI yang diungkapkan dalam buku putih Orde Baru
sebenarnya strategi yang dipakai PKI dalam Revolusi 1945-1949. Perjuangan
gerilya di desa, aksi revolusioner di kota bersama kaum buruh adalah untuk
melawan Belanda yang masuk kembali ke Indonesia. Yang dimaksud pekerjaan
207 M.R. Siregar, Tragedi Manusia dan Kemanusian, Kasus Indonesia, Sebuah Holokaus yang
Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua, 1995, England: TAPOL, hal: viii.
243
intensif di kalangan tenaga bersenjata adalah untuk melemahkan tenaga bersenjata
Belanda.208
Demikian juga dengan peristiwa G30S, dengan mengungkapkan beberapa
fakta dan analisis, M.R. Siregar menolak tuduhan Orde Baru yang menyatakan
PKI sebagai dalang kudeta dan mempertanyakan apakah saat itu benar-benar
terjadi kudeta. Definisi kudeta adalah perebutan kekuasaan atau penggulingan
pemerintahan secara paksa dan tiba-tiba. G30S tidak bisa dikatakan sebagai
kudeta sebab gerakan tersebut justru untuk mengamankan keudukan Presiden
Soekarno dari kelompok yang menamakan diri Dewan Jenderal. Dengan mengutip
pendapat penulis paper CIA Helen Louise Hunter, Siregar menyatakan bahwa
peristiwa G30S hakikatnya adalah sebuah pembersihan atas pimpinan Angkatan
Darat, yang dimaksudkan untuk menciptakan perubahan tertentu dalam kabinet.
Penulis juga menganalisis pesan yang disampaikan Bung Karno untuk sang istri,
Dewi saat G30S terjadi dan pembicaraan Presiden dengan perwira-perwira muda
anggota G30S, Siregar menyimpulkan bahwa hubungan antara Presiden Soekarno
dengan para anggota G30S sama sekali bukan hubungan antara yang dikudeta
dengan pengkudeta.209
Siregar juga menolak jika PKI dituduh sebagai dalang G30S. Salah satu
titik tolak tuduhan PKI sebagai dalang adalah kehadiran D.N. Aidit di Halim.
Aidit tidak bisa dikatakan sebagai pimpinan kudeta sebab keberadaannya di Halim
adalah atas pengaturan Jenderal Soepardjo dan Syam, dan secara faktual Aidit
dipisahkan dari Sentral Komando yang memimpin kudeta. Siregar berpendapat,
208 Ibid, hal: 59-61. 209 Ibid. hal: 112-116
244
Aidit tidak mungkin bertindak sebagai pemimpin kudeta sebab dia dipisahkan dan
tidak berhubungan dengan parta komando gerakan. Menurutnya, keberadaan Aidit
di Halim justru untuk menyeret PKI agar terlibat dalam G30S. Dalam Cornell
Paper diasumsikan, Aidit dibawa ke Halim untuk mencegah agar PKI tidak
mengeksploitasi isu dan untuk menekan Presiden Soekarno agar mendukung
G30S.210 Sedangkan mengenai Gerwani dan Pemuda Rakyat, keberadaan mereka
di Halim bukan untuk ambil bagian dalam G30S tapi untuk memenuhi panggilan
atau komando Presiden Soekarno dalam rangka kampanye “Ganyang Malaysia.211
Era reformasi membawa implikasi cukup besar dalam perkembangan
wacana komunisme di Indonesia. Runtuhnya Orde Baru menghilangkan kontrol
struktural yang selama ini membelenggu wacana seputar PKI. Diskusi mengenai
isu komunisme bisa dilakukan dalam forum-forum terbuka, buku-buku kiri juga
mulai menjamur. Misalnya TEPLOK Press pada tahun 2003 menerbitkan kembali
buku “Marxisme Ilmu dan Amalnya” karya Njoto, Wakil Ketua CC PKI yang
pada tahun 1962 diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan. Buku tersebut mengupas
secara mendalam ajaran Marxisme sebagai ilmu pengetahuan, sama dengan ilmu
ilmiah lainnya, membahas filsafat proletariat yang menyangkut metode berpikir
dan landasan perjuangan bagi kelas proletariat. Selain itu, Nyoto juga menjelaskan
tentang prisip-prinsip ekonomi sosialis dan penerapannya di berbagai negara.212
Pada tahun 2000, disertasi Hemawan Sulistyo yang mengkaji masalah PKI
di Jawa timur dipublikasikan dengan judul “Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah
210 Ibid, hal: 118 211 Ibid, hal: 118 212 Haris Rusly Moti, “Ternyata Masih Ada Jalan Lain, Catatan Pengantar Untuk Seorang
Pendahulu”, pengantar dalam Nyoto, Marxisme, Ilmu dan Amalnya, 2003, Jakarta:TePLOK PRESS, hal: xvii
245
Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966)”. Pembahasan dalam buku
tersebut antara lain tentang beberapa teori atau asumsi mengenai siapa yang ada di
balik atau terlibat dalam G30S, kemudian melakukan kajian sosial, budaya dan
politik antara kaum abangan dan santri di daerah Kediri dan Jombang menjelang
dan pasca Tragedi G30S. Setelah itu Hermawan mengkaji faktor apa saja yang
mempengaruhi terjadinya pembunuhan massal pasca G30S dan siapa saja aktor
yang ada di balik peristiwa tersebut.
3.2.2. Internet
Perubahan teknologi informasi yang sangat cepat menyebabkan beberapa
negara, termasuk Indonesia, tidak siap menerima kehadiran internet yang masuk
pada awal tahun 1990-an. Potensi ekonomi dari kehadiran teknologi informasi
cukup menjanjikan bagi proses pembangunan, Deparpostel memperkirakan pasar
teknologi informasi di Indonesia pada tahun 1995/1996 lebih dari Rp 100 milyar.
Namun sampai akhir Orde Baru, departemen mana yang paling tepat menangani
internet masih simpang siur, apakah internet sebagai medium siaran yang berada
di Deppen, atau sebagai perkembangan dari jasa Pos dan Telekomunikasi yang
mesti ditempatkan di bawah Deparpostel.213 Meski pada akhirnya internet berada
di bawah gabungan dua departemen, yaitu Deppen dan Deparpostel, namun
perbedaan kebijakan yang dibuat kedua departemen menunjukkan ketidaksiapan
penguasa.
213 Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi
Arus Informasi, 2001, hal: 236-237.
246
Problem lain yang dihadapi Orde Baru dalam menerima kehadiran internet
adalah pemerintah tidak bisa mengontrol informasi yang disebarkan oleh media
tersebut. Misalnya majalah Tempo, ketika majalah mingguan tersebut dibredel
pada tahun 1994, dua tahun berikutnya meluncurkan Tempo Interaktif. Deppen
yang bertanggung jawab terhadap isi dalam internet tidak pernah memiliki cara
yang memadahi baik secara legal/hukum maupun teknologi untuk menegakkan
pengawasan langsung terhadap pemakai internet atau batasan resmi pada situs-
situs tertentu. Jika dalam internet terdapat informasi yang anti pemerintah, siapa
yang harus disalahkan, apakah pengarangnya, ISP yang menyalurkan pesan atau
pembaca yang men-download pesan tersebut?214 Walau sebenarnya ISP nasional
bisa menontrol lalu lintas informasi dalam internet, namun persaingan yang ketat
dengan luar negeri membuat ISP tidak mau melakukan sensor karena pelanggan
bisa beralih ke provider luar negeri. Ada dugaan, upaya menahan arus informasi
dalam internet juga dilakukan lewat letterbomb, yakni pesan-pesan yang sengaja
dikirim dalam jumlah sangat banyak sehingga penerima menjadi kelebihan beban
(overload) dan merusakkan servernya. Pasca Insiden 27 Juli dan menjelang
lengsernya Soeharto, ada dugaan beberapa server tutup karena letterbomb sebagai
bentuk intervensi yang dilakukan pihak pemerintah.215
Bagi Deppen dan militer, muatan politis dalam internet adalah ancaman
bagi wacana dominan. Jika pada era sebelumnya kedua institusi tersebut bisa
mengontrol pers cetak dan elektronik, hal itu tidak bisa lagi dilakukan terhadap
intrenet. Berbagai informasi penting atau isu sensitif dalam negeri yang tidak bisa
214 Ibid. hal: 243 215 Ibid, hal: 240
247
didapat dalam media konvensional dapat diperbincangkan dalam forum-forum
diskusi dalam internet, antara lain lewat email. Salah satu list diskusi (mailing list)
yang terkenal di kalangan pengguna internet Indonesia adalah ‘Indonesia-L’ atau
lebih dikenal dengan nama apakabar yang dimoderatori oleh John McDougall di
Maryland AS. Pada tahun 1994-1995 apakabar dipandang oleh para aktivis LSM
sebagai alat yang berharga untuk menyebarkan bahan dan sumber penting untuk
berita dalam negeri dan luar negeri yang tidak disensor. Manneke Budiman
berpendapat, list ini telah menjadi sarana yang luar biasa untuk menyatakan
pendapat dan pikiran dengan bebas dan terbuka.216
Bebasnya lalu lintas informasi dalam internet menyebabkan tema apapun
bisa masuk media tersebut, termasuk masalah PKI atau komunisme. Pada tahun
1996, tiga partai politik cabang Solo menolak pemutaran film James Bond Golden
Eye dengan alasan dalam film tersebut mengandung gambar palu dan arit yang
diasosiasikan dengan PKI sehingga dapat meresahkan masyarakat. Seorang
mahasiswa meresponnya dalam apakabar dengan menyatakan: “Apakah lambang
yang hanya sekedar lambang tersebut memiliki kekuatan magis tertentu yang bisa
menyihir pemirsa untuk menjadi komunis? Demikian juga film G30S/PKI yang
jelas-jelas membentangkan bendera palu arit? Malah film ini diputar tiap
tahun.”217
Pada tanggal 16 September 1996, dua minggu menjelang pemutaran film
Penghianatan G30S/PKI di televisi seperti biasanya, sebuah pesan panjang tertulis
di milis SiaR menyatakan bahwa sejak tujuh tahun lalu sebenarnya muncul banyak
216 Ibid, hal: 234 217 Ibid, hal:172-173
248
penilaian baru yang lolos dari perhatian Departemen Penerangan. Pertama, film
ini menggambarkan hanya sedikit orang saja yang tahu akan rencana G30S itu
sendiri. Jika hanya sebagian kecil pimpinan PKI dan oknum ABRI yang tahu dan
terlibat, bagaimana bisa terjadi sejuta orang lebih terbunuh dan ratusan ribu orang
yang tak tahu menahu harus ditahan, dibuang dan kehilangan hak-hak sipilnya?.
Kedua, film tersebut lebih menggambarkan keterlibatan militer, dalam hal ini
Cakrabirawa, ketimbang ormas-ormas PKI tertentu.218 Pada akhir tulisannya
penulis berkomentar, seandainya pimpinan PKI mampu, seharusnya memberikan
“PKI Award” kepada Menteri Penerangan yang terus mengulang-ulang penyiaran
film tragedi nasional ini. Pada hari-hari berikutnya di media yang sama masih
terus muncul berbagai komentar mengenai tema yang sama.219
Kehadiran internet benar-benar dimanfaatkan oleh kaum kiri atau orang-
orang yang mempunyai minat dalam kajian-kajian sosialisme untuk memperluas
jangkauannya. Mereka tidak hanya memanfaatkan internet untuk sekedar diskusi
atau posting lewat email, mereka juga membuat situs yang berisi tulisan-tulisan
para tokoh Marxist dan komunis. Pada tanggal 14 Januari 2000, kelompok yang
menamakan diri “Pemuda Sosialis” membuat sebuah website yang fokus pada
kajian-kajian Marxisme, www.indo-marxist.com. Pemuda Sosialis adalah satu
grup sosialis yang diilhami ajaran sosialisme ilmiah yang dirumuskan Karl Marx,
Frederick Engels, V.I. Lenin dan kaum revolusioner lainnya. Mereka meyakini
bahwa hanya sosialisme yang bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi
problem-problem masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Meskipun mereka
218 Ibid, hal: 174. 219 Ibid.
249
meyakini ajaran-ajaran Marx dan Lenin, Pemuda Sosialis menyatakan tidak
mempunyai kaitan historis serta tidak mewakili semangat oportunisme yang
berlabel "sosialis" dengan organisasi semacam PSI (Partai Sosialis Indonesia),
ataupun dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).220
Salah satu tujuan situs Indo-marxist adalah untuk mengisi kekosongan atas
literatur-literatur Marxisme dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut dipandang perlu
karena sejak kemenangan kaum kontra-revolusi pada 1965, ide-ide kiri serta
gerakan kaum kiri dibasmi secara sistematis dan terus-menerus, baik secara legal
maupun tidak. Tujuan lainnya adalah untuk memperjuangkan nasib kaum buruh
dan melawan kapitalisme. Meskipun Orde Baru saat ini telah runtuh, rejim
kapitalis dengan wajah lain masih terus bercokol di Indonesia. Karena itu mereka
juga menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme dan memperjuangkan nasib
kaum buruh. Kebebasan yang ada saat ini dinilai hanya bersifat semu dan dalam
batas-batas kepentingan kaum kapital.
Sesuai dengan nama dan pergerakan yang dianut oleh penggagasnya, situs
indo-marxist banyak memuat karya atau pemikiran Karl Marx dan Vladimir Ilyich
Lenin. Situs ini juga memuat karya tokoh-tokoh Marxist lain seperti “Akar dan
Fungsi Sosial Dunia Sastra” (Leon Trotsky) yang membahas perdebatan mengenai
“seni murni” dan seni bertendensi yang sering terjadi di antara kaum liberal dan
kaum “populis”, “Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga” (Fidel Castro) dan
juga tulisan Mao Zedong yang berjudul “Diktatur Demokrasi Rakjat”. Situs
tersebut juga memuat riwayat singkat tokoh-tokoh Marxist Perempuan seperti
220 diambil dari profil situs www.indo-marxist.com
250
Rosa Luxemburg, Nadezhda Krupskaya dan Inessa Armand. Kita juga bisa
menemukan riwayat singkat dari tokoh komunis Indonesia seperti Sneevliet,
Roque Dalton, Amir Syarifuddin dan H. Misbach.221
3.3. Beberapa Aspek yang Mempengaruhi Produksi Wacana
Pada level mikro, hasil analisis teks yang dilakukan terhadap berita tentang
PKI pada Kompas dan Republika memperlihatkan sikap yang berbeda. Mengenai
usulan pencabutan Ketetapan MPRS/XXV/1966, Kompas cukup seimbang dalam
menampung pandangan pihak yang pro-kontra. Tema mengenai PKI sebagai aktor
G30S atau justru sebagai korban diskriminasi, komunisme sebagai ideologi yang
berbahaya atau telah menjadi ideologi usang, semua diwadahi oleh Kompas. Tapi
ketika masalah caleg eks PKI muncul, Kompas menampilkan wacana lain, koran
ini tidak lagi terpaku pada wacana tentang bahaya komunisme atau peran PKI
dalam G30S, Kompas lebih melihat orang-orang PKI sebagai korban diskriminasi
Orde Baru. Jika Kompas mengalami perubahan sikap dalam berita tentang PKI,
Republika bersikap lain. Surat kabar yang dianggap sebagai salah satu
representasi media Islam ini tetap negatif dalam mengangkat masalah PKI, baik
saat membahas usulan pencabutan Tap maupun soal caleg eks PKI. Wacana yang
dikembangkan Republika adalah; PKI sebagai pemberontak, kejam, dan ideologi
komunis adalah ideologi yang berbahaya.
Pada level makro yang mengkaji perkembangan wacana dalam masyarakat,
penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa literatur yang ada menggambarkan
221 Ibid.
251
bagaimana Orde Baru menyebarluaskan dan mengukuhkan wacana tentang PKI
lewat berbagai medium. Orde Baru menggambarkan orang komunis sebagai
pemberontak, suka meneror, menyusup, dan anti tuhan. Penggambaran negatif itu
disebarkan lewat berbagai cara, nisalnya lewat buku pelajaran, pidato kenegaraan
sampai film. Pada sisi lain, orang-orang yang dituduh sebagai komunis dan
oposisi Orde Baru mengembangkan wacana alternatif, baik di dalam maupun luar
negeri. Mereka menggugat kebenaran versi Orde Baru, mempertanyakan sejauh
mana keterlibatan PKI maupun Soeharto dalam G30S serta menggugat
diskriminasi yang dilakukan terhadap orang-orang komunis. Wacana tersebut
tetap hidup dan dikembangkan dalam medium-medium yang tidak terjangkau oleh
represi Orde Baru, misalnya lewat penerbitan bawah tanah dan internet. Wacana
yang semula hanya menjadi wacana pinggiran terus berkembang, dan setelah
Soeharto turun berkembang menjadi wacana tandingan yang men-delegitimasi
wacana versi Orde Baru.
Bagian ini berusaha melihat secara lebih dekat keterkaitan antara wacana
yang beredar dalam masyarakat dengan produksi wacana dalam media massa.222
Menganalisis aspek apa saja yang mempengaruhi proses produksi berita Kompas
dan Republika sehingga menghasilkan wacana tentang PKI yang berbeda di antara
keduanya. Analisis ini menggunakan beberapa point yang menjadi fokus perhatian
222 Dalam analisis model van Dijk, metode yang dipakai untuk melihat kaitan antara level mikro
(teks) dan level makro (produksi wacana dalam masyarakat) adalah dengan cara wawancara mendalam terhadap wartawan penyusun teks berita untuk mengetauhi kognisi sosial wartawan sehingga menghasilkan teks tertentu. Dengan demikian, analisis terhadap beberapa aspek yang mempengaruhi produksi wacana yang ada dalam penelitian ini bukan sebagai “jembatan” yang menghubungkan level makro dengan mikro karena tidak dilakukan lewat wawancara terhadap wartawan, tetapi sebagai bagian tambahan dari analisis sosial (level makro) melalui kajian pustaka yang melihat beberapa faktor yang diasumsikan mempengaruhi media massa dalam produksi teks berita.
252
dari analisis wacana kritis yang dinilai paling relevan dengan konteks penelitian
ini seperti, sejarah, kekuasaan, konteks dan ideologi.223
3.3.1. Ideologi Media
Media massa mempunyai sistem nilai khusus yang berbeda antara satu
media dengan media lain, dan sistem nilai tersebut mempengaruhi pola kerja
sehingga menghasilkan produk yang berbeda pula. Sistem nilai yang dianut suatu
kelompok dapat dikategorikan sebagai ideologi, dan salah satu penganut konsep
ideologi semacam ini adalah Teun van Dijk. Dalam konsep yang dikembangkan
van Dijk, ideologi dilihat sebagai sistem nilai yang dimiliki suatu kelompok dan
bertujuan mengkoordinasikan praktek sosial anggota, merealisasikan tujuan, serta
melindungi kepentingan mereka. Namun Kompleksitas kehidupan manusia
modern saat ini membuat individu tidak hanya aktif dalam satu kelompok, tapi
terlibat dalam berbagai organisasi sosial maupun politik. Seorang individu bisa
menjadi jurnalis dan pada sisi lain dia juga bisa aktif dalam organisai keagamaan,
menjadi anggota kelompok pecinta lingkungan, pejuang HAM maupun organisasi
lainnya. Jika sebuah kelompok mempunyai sistem nilai, maka seorang individu
bisa mempunyai beberapa sistem nilai atau ideologi dari masing-masing
organisasi yang diikutinya. Seseorang bisa menjadi jurnalis profesional, tapi pada
sisi lain bisa menjadi pejuang HAM atau aktivis lingkungan, tergantung konteks
yang melingkupinya. Karena itu, dalam analisis wacana versi van Dijk, untuk
223 untuk point selengkapnya mengenai fokus kajian dalam analisis wacana, lihat Teun A.van Dijk,
“Opinions and Ideologies in The Press,” dalam Allan Bell and Peter Garrett (ed), Approach to Media Discourse, Oxford: Blackwell Publisher, 1998, hlm. 61-62
253
melihat produksi wacana dan ideologi yang dikandungnya minimal harus melihat
dua hal, yakni ideologi profesional dan dan ideologi sosial politiknya.224 Konsep
ideologi semacam inilah yang akan coba dipakai dalam menjelaskan pola
pemberitaan Kompas dan Republika yang dinilai memperlihatkan kecenderungan
tertentu.
Ketika mengangkat berita tentang usulan pencabutan Tap, Kompas
berusaha melihat usulan tersebut bersifat kontroversial dan berusaha memaparkan
pandangan dari kedua kubu, yakni pihak yang pro dan kontra. Sistem nilai yang
tersirat dari berita-berita yang diturunkan Kompas mencerminkan ideologi
profesional. Ciri-ciri ideologi profesional dalam jurnalistik antara lain bersikap
obyektif, jujur dan tidak memihak.225 Dalam pemberitaan Kompas mengenai
usulan pencabutan Tap, Kompas berusaha menampilkan diri sebagai institusi yang
menyampaikan informasi secara cover both side, adil dan menampung pendapat
pihak-pihak yang setuju maupun tidak setuju dengan usulan Gus Dur.
Dalam berita tentang caleg eks PKI, Kompas tidak lagi menampilkan diri
sebagai jurnalis profesional yang berada di tengah dua pihak yang pro-kontra tapi
berusaha sebagai aktivis HAM yang menyuarakan nasib orang-orang PKI yang
diperlakukan secara diskriminatif. Pengembalian hak politik orang-orang PKI
dinilai sebagai terobosan bagi bangsa Indonesia dalam menghilangkan
diskriminasi. Perbedaan ideologi dalam kedua masalah yang diangkat oleh
Kompas kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik kedua peristiwa.
224 Teun van Dijk, Political Discourse and Ideology, diambil dari situs www.hum.uva.nl/teun. 225 James Curran (et.al), “The Study of The Media: Theoritical Approach”, dalam Oliver Boyd-Barrett& Peter Graham, Media, Knowledge and Power, Rootledge, London&New York: Open University, 1990, hal: 67.
254
Masalah pencabutan Tap hanya bersifat usulan sedangkan masalah caleg berupa
keputusan final. Konteks sosial berupa tekanan-tekanan kelompok massa yang
sering menimpa media massa dan banyaknya aksi massa yang menolak usulan
Gus Dur membuat Kompas mengambil posisi netral.
Republika dalam berita-berita mengenai usulan pencabutan Tap maupun
caleg eks PKI memperlihatkan kecenderungan yang sama, yakni sebagai media
religius-nasionalis. Dalam masalah PKI, Republika hampir senantiasa menolak
kehadiran PKI dan komunisme dengan dasar konstitusi negara. Lewat berbagai
kutipan pendapat yang dimuat, seringkali Republika menyatakan menolak
komunisme karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila,
tertutama tentang ketuhanan, atau klaim bahwa komunisme adalah anti agama
tidak bisa hidup bersandingan dengan orang-orang yang beragama. Jika dilihat
lebih jauh, religiusitas yang dikandung oleh Republika adalah Islam sebab rujukan
konstitusi yang dipakai oleh Republika, baik itu Pancasila maupun UUD 1945
kebanyakan mengarah pada masalah Ketuhan yang Maha Esa. Jika dilihat lebih
jauh lagi, religiusitas yang dikandung oleh Republika adalah Islam, sebagaimana
diketahui secara umum, Republika memang menyatakan diri sebagai koran Islam.
Hal tersebut juga bisa dilihat dari sumber berita yang dipakai Republika dalam
berita mengenai PKI yang mayoritas berasal dari kelompok Islam seperti
kelompok Poros Tengah, Muhammadiyah dan NU.
Jika dilihat dari konsep ideologi Stuart Hall, Kompas dan Republika
bersifat ideologis karena hanya beroperasi dalam kategori yang diterima secara
dominan. Media bersifat ideologis bukan karena memihak kelompok dominan
255
secara langsung dan terang-terangan. Agar dalam operasionalisasi sehari-hari
tampak seimbang dan independen, media tidak secara langsung memihak
penguasa maupun kelompok dominan atau membelokkan berita untuk
melapangkan definisi dominan. Tapi media harus sensitif terhadap dan hanya bisa
bertahan secara legitimate dengan beroperasi dalam batasan atau kerangka yang
disetujui oleh mayoritas.226
Kompas dan Republika bersifat ideologis karena berita tentang PKI yang
produksi keduanya masih berada dalam frame yang masih bisa diterima oleh
kelompok mayoritas dan menghilangkan wacana penting lain yang kemungkinan
besar tidak bisa diterima oleh kelompok mayoritas. Sensitifitas masalah Islam
versus PKI berdampak pada absennya beberapa aspek dalam wacana yang
dikembangkan oleh Kompas dan Republika, misalnya mengenai pembunuhan
pasca G30S. Pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota
dan simpatisan PKI berlangsung pada saat pembubaran PKI setelah peristiwa
G30S meletus dan korban jiwa yang jatuh mencapai ratusan ribu bahkan jutaan
jiwa. Memang kelompok Islam bukan satu-satunya pihak yang terlibat dalam
peristiwa tersebut, sebab militer dan kelompok lain juga diduga terlibat. Namun
pembubaran PKI yang terjadi di Jawa Timur digerakkan oleh kelompok NU,
sebagai kelanjutan dari konflik yang telah terjadi pada masa sebelumnya.
Pembunuhan massal terhadap pendukung PKI juga terjadi di Aceh, pemimpin
Islam di daerah tersebut melihat PKI sebagai ancaman, dan pembasmian terhadap
226 Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam
Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal: 362.
256
kaum komunis dilihat sebagai perang sabil. Sebenarnya Pangdam Aceh Ishak
Djuarsa berusaha membatasi pembunuhan hanya kepada kader-kadernya saja,
namun karena banyak tentara mempunyai pandangan yang sama seperti pemimpin
Islam di sana, pembunuhan melebar pada seluruh keluarga bahkan sampai
pembantunya. Masalah tersebut absen dari pemberitaan media karena dampak
sosial politiknya cukup besar. Membicarakan peran kelompok Islam dalam
pembunuhan terhadap orang-orang PKI tentu bukan hal yang mudah, sebab bisa
memancing kemarahan kelompok Islam.
Jika dilihat dari spektrum ideologi yang lebih besar, yakni kapitalisme,
pemberitaan Kompas dan Republika yang masih sejalan dengan pandangan
kelompok dominan dan menghilangkan wacana lain yang tidak sejalan adalah
untuk menjamin stabilitas ekonomi media, agar kepentingan eknomi media berupa
perolehan keuntungan dari pelanggan berita maupn pemasang iklan tetap masuk
ke media yang bersangkutan. Menampilkan isu-isu sensitif yang tidak bisa
diterima oleh khalayak secara umum dinilai akan kontra produktif bagi akumulasi
kapital media.
3.3.2. Sejarah PKI
Dalam analisis wacana kritis, aspek historis atau sejarah menjadi salah satu
faktor penting dalam memahami latar belakang suatu masalah yang terjadi pada
masa lalu dan bagaimana pengaruhnya terhadap produksi wacana saat ini. Untuk
memahami produksi wacana mengenai PKI, perlu dilihat kembali secara singkat
konflik sosial politik yang terjadi pada saat PKI hidup di Indonesia, baik konflik
257
dengan kelompok Islam maupun kelompok lain. Gesekan yang terjadi antara
kelompok komunis dengan kelompok Islam sudah terjadi sebelum Indonesia
merdeka, saat keduanya bernaung dalam Sarekat Islam (SI). Akibat dari konflik
tersebut adalah pecahnya SI menjadi SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto,
dan SI Merah yang di kemudian hari menjadi partai komunis. Setelah Indonesia
merdeka, Konflik besar yang melibatkan PKI mulai berlangsung pada masa
Demokrasi Terpimpin, di mana kekuatan politik saat itu terpusat pada Presiden
Soekarno, TNI dan PKI. Bung Karno melihat PKI sebagai partai besar yang bisa
dimanfaatkan Bung Karno sebagai basis kekuatan politik untuk mengimbangi
dominasi TNI, sebab saat itu PNI sebagai basis politik Bung Karno telah hancur.
Sementara PKI juga butuh Bung Karno untuk dapat melaju ke puncak kekuasaan
dan sekaligus mengimbangi kekuatan TNI. Persaingan antara PKI dan TNI terus
berlangsung pada masa itu untuk menuju puncak kekuasaan atau minimal menjadi
“anak emas” Bung Karno
Saat itu kekuatan kelompok Islam juga cukup besar, pada masa demokrasi
liberal NU dan Masyumi mendapat kursi palemen yang hampir sama dengan yang
didapatkan PKI dan PNI, namun Bung Karno lebih tertarik pada PKI antara lain
karena dinilai lebih memahami ide-ide revolusioner Bung Karno. PKI sendiri
melihat kekuatan politik Islam patut diperhitungkan. Salah satu keberhasilan PKI
dalam menggulung kekuatan politik Islam adalah menggiring Bung Karno untuk
membubarkan Masyumi, sehingga parpol Islam yang besar saat itu tinggal
Nahdlatul Ulama. Namun demikian bukan berarti eksisitensi kelompok NU tidak
digoyang oleh PKI. Untuk memperbesar dukungan rakyat, PKI melaksanakan
258
kampanye pengadaan tanah bagi rakyat dengan mendesak implementasi Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) yang megatur pembagian tanah serta undang-
undang bagi hasil. PKI menilai pelaksanaan UUPA oleh pemerintah sangat lambat
sehingga mengambil inisiatif untuk melaksanakan undang-undang tersebut
sendiri, gerakan ini dikenal dengan Aksi Sepihak. Kelompok yang paling terkena
imbas dari gerakan PKI terutama yang berada di Jawa Timur adalah kelompok
NU, sebab para kiai pengasuh pondok pesantren biasanya mempunyai lahan
pertanian cukup luas yang berasal dari milik pribadi sang kiai maupun hasil wakaf
atau pemberian dari pihak lain. Hal itu memicu konflik yang tidak lagi bersifat
vertikal antara kaya dan miskin tapi bergeser menjadi konflik atas nama agama.
Kekerasan yang memakan korban jiwa terjadi antara kedua kelompok dan terus
berlangsung pada masa itu, puncaknya adalah pembunuhan terhadap orang-orang
PKI ketika partai tersebut dibubarkan pasca G30S.
Peta konflik tahun 60-an tersebut mempengaruhi Kompas dan Republika
dalam membincangkan masalah PKI. Hal tersebut bisa difahami jika dikaitkan
dengan latar belakang atau sejarah berdirinya kedua media. Kompas didirikan atas
inisiatif Partai Katolik dan sejumlah jurnalis katolik. Ketika ada kebijakan yang
mewajibkan pers harus berada dalam naungan partai politik, Kompas memilih
masuk dalam Partai Katolik. Saat Partai Katolik difusikan ke dalam PDI pada
tahun 1973, Kompas mulai berusaha menjadi koran independen dan lebih
berorientasi bisnis. Meskipun demikian, latar belakangnya sebagai surat kabar
yang dekat dengan kekuatan katolik mempengaruhi posisi Kompas dalam
259
berbagai perdebatan politik, terutama menyangkut atau menyinggung kekuatan
politik Islam.227
Hal ini berbeda dengan Republika yang didirikan atas inisiatif kelompok
Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Republika mendefinisikan
diri sebagai koran yang mencoba menghadirkan pemberitaan dalam perspektif
Islami. Republika didirikan oleh Yayasan Abdi Bangsa (YAB) dimana mayoritas
anggotanya adalah tokoh-tokoh Islam yang aktif dan berpengaruh dalam Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Selain program kerjanya diselaraskan dengan MUI,
YAB sendiri punya program utama selain Republika, yaitu Islamic Centre dan
CIDES. Ketiganya diarahkan untuk kepentingan pemberdayaan umat Islam
Indonesia yang masih relatif terbelakang kehidupan ekonomi politiknya. Selain itu
karyawan Republika adalah muslim yang punya komitmen cukup tinggi terhadap
keberadaan umat Islam di Indonesia. Pendekatan terhadap umat Islam agar ikut
merasa memiliki Republika juga dilakukan dengan cara menjual 2,9 juta saham
surat kabar tersebut kepada kaum muslim Indonesia.
Dengan peta konflik yang demikian, bisa difahami kenapa Kompas dan
Republika tidak memunculkan masalah-masalah sensitif dalam beritanya. Pada
satu sisi Kompas tidak bisa menampilkan isu sensitif karena “takut” dengan reaksi
yang akan muncul dari kelompok Islam dan pada sisi lain republika juga tidak
akan memunculkan isu sensitif karena sebagai koran Islam, Republika tidak akan
berita yang negatif menyangkut kelompoknya atau kelompok yang menjadi basis
pasarnya
227 Bimo Nugroho dkk, Politik Media Mengemas Berita, 1999, Jakarta: Intitus Studi Arus
Informasi, hal: 7
260
3.3.3. Kekuasaan Politik
Ditinjau dari aspek kekuasaan, peranan kelompok Islam juga menjadi salah
satu kunci dalam memahami proses produksi berita tentang PKI pasca reformasi.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, selain kelompok Islam yang terlibat dalam
konflik tahun 60-an adalah TNI, terutama Angkatan Darat (AD). Kelompok AD
yang pimpinan Soeharto “memenangkan” konflik tahun 60-an dan membangun
kekuasaan yang diberi nama Orde Baru. Soeharto melanggengkan kekuasaannya
menggunakan Repressive State Aparatus (misalnya lewat penggunaan kekuatan
militer) dan melalui Ideological State Aparatus (lewat buku, media massa dll).
Pasca reformasi, pendulum kekuasaan yang semula didominasi kelompok
militer bergerak menuju sipil. Posisi kelompok militer dalam kancah politik pasca
reformasi melemah akibat tekanan dari dalam maupun luar negeri karena dugaan
pelanggaran HAM dalam beberapa peristiwa yang ditangani secara represif oleh
militer pada masa lalu. Pada masa reformasi jumlah personil militer dalam tubuh
pemerintahan dikurangi dan posisi mereka di parlemen pun dipangkas. Pada sisi
lain, kelompok sipil Islam mulai tampil dalam pentas politik Indonesia. Hal ini
bisa dilihat dari perolehan suara partai yang berbasis kelompok Islam seperti
PKB, PPP, PAN dan PBB dalam pemilu 1999 yang masuk dalam lima besar.
Kelompok Islam juga berhasil menggalang kekuatan parlemen dalam bentuk
koalisi yang bernama “Poros Tengah” dan berhasil menggagalkan pencalonan
Megawati dari PDI-P untuk menjadi presiden. Tampilnya Poros Tengah dalam
panggung politik Indonesia memang tidak seperti Orde Baru yang represif, namun
mereka mempunyai posisi penting dalam pergulatan wacana politik nasional.
261
Ketika wacana pencabutan Tap tentang komunisme muncul, kelompok
Poros Tengah menjadi salah satu pihak yang paling keras bersuara dan
pendapatnya sering dikutip media massa. Bahkan kelompok Poros Tengah
melontarkan wacana yang bernada ancaman terhadap Gus Dur, mereka tidak
segan untuk membawa Gus Dur ke Sidang Istimewa MPR jika tetap bersikukuh
mencabut Tap tentang komunisme. Hal ini memang tidak mempengaruhi Kompas
secara langsung, namun pro-kontra yang timbul dalam masalah usulan pencabutan
Tap membuat Kompas harus hati-hati dalam pemberitaannya, apalagi yang
terlibat dalam perdebatan tersebut adalah kelompok elite politik, antara pejabat
eksekutif dan kelompok legislatif.
3.3.4. Konteks Sosial
Analisis konteks mengenai kondisi sosial juga diperlukan untuk memahami
proses produksi wacana tentang PKI. Dibukanya kran kebebasan pasca reformasi
membuat setiap kelompok masyarakat bebas menyatakan sikap dan pendapat
sesuai keinginan masing-masing. Namun iklim kebebasan tersebut kadangkala
justru kontra produktif bagi kebebasan pers Indonesia. Salah satu anomali dari
kebebasan pasca reformasi adalah maraknya aksi massa terhadap media massa.
Kelompok yang tidak puas dengan pemberitaan yang dilakukan oleh sebuah
media massa seringkali mendatangi media bersangkutan dengan jumlah massa
yang besar dan biasanya disertai ancaman. Aksi massa semacam ini dilakukan
oleh berbagai kelompok, dari pihak pengusaha, organisasi sosial politik sampai
262
kelompok yang mengatasnamakan Islam, seperti PDI-P, NU/PKB, Front Pembela
Islam, Laskar Jihad, Front Umat Islam dll.
Kompas juga tidak luput dari aksi massa yang dilakukan oleh kelompok
Islam. Misalnya pada tanggal 20 Juli 1999, Kompas didatangi puluhan orang yang
menamakan diri Laskar Jihad dan memprotes pemberitaan harian ini yang dinilai
menyudutkan umat Islam. Mereka menilai Kompas sering mengadu domba umat
Islam dengan pemerintah melalui pemberitaan besar-besaran apabila ada daerah
yang mayoritas penduduknya Islam sedang bermasalah dengan pemerintah.228
Kondisi yang demikian membuat media yang berlatar belakang non Islam
semacam Kompas harus ekstra hati-hati dalam mengangkat berita yang
menyangkut kelompok Islam, termasuk masalah PKI dan komunisme.
Keterlibatan kelompok Islam dalam konflik dengan PKI pada masa lalu
membuat Kompas dan Republika berhati-hati dalam memberitakan masalah
tersebut. Apalagi dalam masyarakat juga ada pandangan yang melihat Islam dan
Marxisme-komunisme secara konfrontatif. Abdul Qadir Djaeani, anggota DPR RI
periode 1999-2004 dalam sebuah ceramah menyatakan bahwa musuh Islam yang
paling berbahaya adalah PKI.229 Kompas sadar betul, jika mengangkat tema-tema
sensitif yang menyangkut kelompok Islam, hal itu akan mengundang reaksi yang
lebih besar. Pada akhirnya Kompas memang tetap mengembangkan wacana
mengenai PKI, tapi sebisa mungkin menghindari pembahasan yang menyinggung
keterlibatan atau menyudutkan kelompok Islam secara langsung. Tema-tema yang
kemudian muncul dalam berita-berita Kompas adalah mengenai bahaya tidaknya 228 “Laskar Jihad Protes Kompas”, Pantau 06/ Oktober-November 1999 229 “Benahi Dulu Ekonomi, Baru Bicara Tap MPRS XXV/1966”, Kompas, Jum’at, 07-04-2000,
hal: 6
263
ideologi komunis, siapa dalang di balik G30S atau bagaimana orang-orang PKI
telah diperlakukan secara diskriminatif.
Demikian juga halnya dengan Republika, karena menyatakan diri sebagai
koran yang didirikan oleh orang Islam dan basis pasarnya adalah umat Islam,
tentu Republika tidak mau mengambil resiko mengangkat berita yang
menyinggung perasaan para pelanggannya. Akhirnya tema yang dimunculkan
Republika hampir selalu dalam perspektif kelompok Islam, misalnya mengenai
bahaya komunisme dan kekejaman serta teror yang dilakukan PKI terhadap orang
Islam. Dalam salah satu berita, Republika memuat pernyataan Ketua Umum
PBNU KH Hasyim Muzadi yang mengaku pada masa lalu sempat diteror oleh
orang-orang PKI.
3.3.5. Konteks Peristiwa
Bagi Kompas, konteks peristiwa yang berbeda mempengaruhi kebijakan
produksi berita sehingga menghasilkan wacana yang berbeda. Pada tahun 2000,
wacana seputar masalah PKI dan komunisme muncul ketika Gus Dur yang masih
menjabat sebagai Presiden RI mengusulkan agar Tap yang mengatur larangan
terhadap penyebaran komunisme dicabut. Sampai saat sekarang masalah itu hanya
sebatas usulan, tidak ditindaklanjuti oleh institusi yang berwenang mencabutnya,
yakni MPR. Pada saat itu kekuatan politik Gus Dur juga tidak begitu besar
sehingga tidak bisa menekan parlemen untuk menindaklanjuti usulannya seperti
lazimnya yang terjadi pada masa Orde Baru. Usulan tersebut justru menjadi
senjata kelompok Poros Tengah -kelompok yang semula mendukung Gus Dur
264
menjadi presiden dan pada akhirnya menjadi lawan politik- untuk menggoyang
kekuasaan Gus Dur, dengan mengarahkan wacana yang semula mengenai
pencabutan Tap ke arah Sidang Istimewa untuk menjatuhkan Gus Dur. Dengan
polarisasi yang cukup kuat saat itu, Kompas memilih untuk tidak condong pada
salah satu pihak. Sikap yang biasa diambil Kompas ketika menyangkut masalah
yang kontroversial adalah bersikap netral, jalan terbaik dan tidak beresiko bagi
Kompas adalah dengan mengakomodasi kedua pihak.
Berbeda dengan usulan pencabutan Tap, masalah caleg eks PKI mempunyai
kekuatan hukum tetap dan bersifat final. Mahkamah Konstitusi menetapkan
orang-orang eks PKI boleh menjadi caleg, dan keputusan tersebut tidak dapat
diganggu gugat. Apalagi MK juga menghimbau agar putusan tersebut tidak
diperdebatkan lagi. Reaksi terhadap keputusan MK memang tidak seheboh saat
Gus Dur mengusulkan pencabutan Tap tentang komunisme sebab sangat sulit
untuk membatalkan putusan tersebut lewat jalur hukum. Apalagi saat putusan
tersebut dibuat perhatian bangsa Indonesia tengah tercurah pada persiapan pemilu.
Para tokoh yang dulu menolak pencabutan Tap hanya pasrah menerima putusan
MK karena tidak bisa berbuat banyak. Dengan adanya keputusan MK, Kompas
beranjak satu langkah dalam mengangkat masalah PKI, yakni dari sebatas
penampung kontroversi menjadi corong masalah HAM. Dengan “modal”
keputusan MK seharusnya Kompas bisa mengembangkan wacana lain yang
sejenis, yakni pembunuhan terhadap orang-orang PKI pasca G30S. Namun tema
itu tidak dilakukan oleh Kompas sebab hal itu akan menyangkut beberapa
kelompok, antara lain kelompok Islam dan militer.
265
Perbedaan konteks peristiwa tidak berpengaruh bagi proses produksi berita
Republika. Hal ini bisa difahami sebab bagi sebagian kelompok Islam, PKI dan
komunisme adalah sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebagai
koran yang mengklaim sebagai corong kelompok Islam, tidak ada alternatif lain
bagi Republika kecuali ikut dalam arus sebagian kelompok Islam yang menjadi
basis pasarnya, yakni menolak kehadiran PKI. Pada satu sisi Republika
menyatakan menerima keputusan MK dan bisa memaafkan orang-orang PKI, tapi
pada sisi lain masih menolak kehadiran kembali PKI dan komunisme dalam
panggung politik Indonesia.
266