perbuatan dosa karena telah melakukan pemberontakan ... · pdf fileberikut diuraikan secara...

47
Jika dilihat sepintas, tidak ada yang salah dengan kutipan di atas. Bahkan teks tersebut terlihat positif karena berisi pernyataan yang menyetujui jika orang- orang eks PKI menjadi caleg, bahkan keturunan eks PKI juga harus diberi hak yang sama. Yang menjadi masalah adalah penggunaan kata “dosa” yang pakai dalam kalimat tersebut. Kata “dosa” biasa dipakai dalam masalah keagamaan, dosa berarti sebuah perbuatan yang melanggar aturan yang bersifat mutlak dan telah ditetapkan oleh tuhan. Kutipan di atas memang menyatakan keturunan orang PKI tidak ikut menanggung dosa, namun hal itu juga berarti orang tua mereka yang ikut PKI telah melakukan dosa. Anak keturunan PKI memang tidak melakukan kesalahan, namun orang tua mereka yang ikut PKI telah melakukan perbuatan dosa karena telah melakukan pemberontakan. Dengan menyatakan PKI telah melakukan perbuatan dosa, secara tidak langsung Republika melihat pemberontakan yang terjadi pada tahun 1965 benar-benar dilakukan oleh PKI dan memang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Kepastian tentang keterlibatan PKI dalam pemberontakan seakan menafikan wacana lain yang mengungkapkan keterlibatan kelompok lain dalam peristiwa G30S. bagi Republika, PKI dan komunisme dilihat sebagai pihak yang bersalah tetap harus diwaspadai. 3. Analisis Sosial Dalam masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga menjadi wacana dominan, sedangkan wacana lain menjadi wacana alternatif yang terpendam atau 220

Upload: vuonghanh

Post on 15-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Jika dilihat sepintas, tidak ada yang salah dengan kutipan di atas. Bahkan

teks tersebut terlihat positif karena berisi pernyataan yang menyetujui jika orang-

orang eks PKI menjadi caleg, bahkan keturunan eks PKI juga harus diberi hak

yang sama. Yang menjadi masalah adalah penggunaan kata “dosa” yang pakai

dalam kalimat tersebut. Kata “dosa” biasa dipakai dalam masalah keagamaan,

dosa berarti sebuah perbuatan yang melanggar aturan yang bersifat mutlak dan

telah ditetapkan oleh tuhan. Kutipan di atas memang menyatakan keturunan orang

PKI tidak ikut menanggung dosa, namun hal itu juga berarti orang tua mereka

yang ikut PKI telah melakukan dosa. Anak keturunan PKI memang tidak

melakukan kesalahan, namun orang tua mereka yang ikut PKI telah melakukan

perbuatan dosa karena telah melakukan pemberontakan. Dengan menyatakan PKI

telah melakukan perbuatan dosa, secara tidak langsung Republika melihat

pemberontakan yang terjadi pada tahun 1965 benar-benar dilakukan oleh PKI dan

memang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Kepastian

tentang keterlibatan PKI dalam pemberontakan seakan menafikan wacana lain

yang mengungkapkan keterlibatan kelompok lain dalam peristiwa G30S. bagi

Republika, PKI dan komunisme dilihat sebagai pihak yang bersalah tetap harus

diwaspadai.

3. Analisis Sosial

Dalam masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda, namun

kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga menjadi wacana

dominan, sedangkan wacana lain menjadi wacana alternatif yang terpendam atau

220

terpinggirkan. Demikian juga halnya yang terjadi dalam wacana tentang PKI dan

komunisme. Wacana tersebut sebenarnya bersifat kompleks, namun Orde Baru

berkepentingan dengan wacana tersebut untuk kelangsungan rezimnya, maka

Soeharto memilih dan melanggengkan wacana tertentu yang sesuai dengan

kebutuhan kekuasaannya dan menyingkirkan wacana alternatif yang dinilai akan

men-delegitimasi-kan kekuasaannya. Strategi wacana yang biasa dipakai adalah

penggambaran diri sendiri secara positif (positive self presentation) dan

menggambarkan pihak lain secara negatif (negative other presentation). Orde

Baru menggambarkan dirinya sebagai pihak yang paling berjasa mengangkat

bangsa Indonesia dari keterpurukan dan masa suram Orde Lama serta sebagai

pahlawan penumpas komunisme. Orang-orang komunis digambarkan sebagai

pemberontak, anti tuhan, kejam dan menghalalkan segala cara untuk mencapai

tujuan. Wacana mengenai PKI hasil bentukan Orde Baru dianggap sebagai

wacana yang paling sahih dan menyingkirkan wacana lain yang menggambarkan

sisi positif maupun aspek humanisme orang-orang PKI serta mengaburkan

kekejaman dan diskriminasi yang dilakukan oleh Orde Baru. Tanpa dukungan

kekuasaan, wacana alternatif tentang PKI dan sisi negatif Orde Baru hanya

menjadi obrolan yang tercecer di sudut kampung dan menjadi wacana yang

diragukan kebenarannya.

Wacana tentang Partai Komunis Indonesia yang ada dalam Kompas dan

Republika atau dalam media massa secara umum adalah bagian dari wacana yang

berkembang dalam masyarakat. Karena itu, selain melihat wacana dalam media

juga perlu dilakukan kajian terhadap literatur dan bahan lain yang ada untuk

221

melihat bagaimana proses produksi dan reproduksi wacana tentang PKI dalam

masyarakat serta melihat bagaimana wacana tersebut diangkat kembali oleh media

massa.

Untuk melihat proses produksi dan reproduksi wacana dalam masyarakat,

van Dijk menawarkan apa yang disebutnya sebagai analisis sosial, sebuah model

analisis sederhana untuk menguraikan bagaimana kelompok dominan membentuk

wacana yang sesuai dengan kebutuhan dan bisa menopang dominasi serta

kekuasaannya.

Menurut van Dijk, ada tiga hal penting yang dilihat dalam analisis sosial

yaitu kekuasaan, dominasi dan akses.185 Kekuasaan didefinisikan oleh van Dijk

sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok untuk mengontrol kelompok

lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber

yang bernilai, semisal uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang

bersifat langsung dan bersifat fisik, kekuasaan juga bisa berbentuk persuasif yakni

tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan

mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan.

Dominasi bisa diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan sosial. Pada

kelompok yang berkuasa, dominasi menghasilkan berbagai macam bentuk

ketidakadilan sosial. Dominasi direproduksi lewat pemberian akses khusus

terhadap sumber-sumber sosial secara diskriminatif. Dominasi juga direproduksi

dengan melegitimasi akses tertentu lewat bentuk-bentuk kontrol pikiran yang

185 Elemen-elemen analisis sosial diambil dari Teun A van Dijk, “Discourse and Cognition in Society” dalam David Crowly & David Mitchell, Communication Theory Today, UK Cambridge: Polity Press, 1994, hal: 108-110 dan Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS, 2001, hal: 271-274

222

manipulatif dan cara lain agar kelompok yang didominasi bisa menerima keadaan

tersebut secara suka rela.

Teun van Dijk juga melihat akses sebagai faktor penting dalam produksi

wacana, bagaimana akses yang dimiliki setiap kelompok dalam masyarakat.

Kelompok elit biasanya mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan

kelompok yang tidak berkuasa. Misalnya kelompok yang berkuasa mempunyai

akses lebih besar terhadap media sehingga bisa mempengaruhi kesadaran

khalayak dan bisa menentukan topik serta isi wacana apa yang dapat disebarkan

kepada khalayak. Khalayak dan kelompok lain yang tidak mempunyai akses

hanya akan menjadi konsumen dari wacana yang telah ditentukan, bahkan bisa

memperbesar wacana tertentu lewat reproduksi dari apa yang telah mereka terima

dari kelompok dominan.

Ketiga hal tersebut saling terkait, karena itu uraian analisis ini tidak dipilah-

pilah berdasarkan elemen analisis sosial tapi berusaha menjelaskan bagaimana

kekuasaan, dominasi dan akses direpresentasikan dalam berbagai medium dan

mempengaruhi wacana yang ada di dalamnya. Namun dominasi wacana tidak

pernah terjadi secara mutlak, selalu ada celah bagi wacana lain untuk bertahan di

tengah dominasi, meskipun hanya berskala kecil dan menjadi minoritas. Wacana

alternatif mengenai PKI hidup di sela-sela dominasi wacana Orde Baru melalui

medium yang tidak terkontrol oleh Orde Baru.

223

3.1. Produksi Wacana Orde Baru

Seberapa besar andil Soeharto dan militer dalam hiruk-pikuk G30S masih

belum menemukan titik terang, namun satu hal yang pasti, embrio Orde Baru lahir

berpangkal dari tragedi tersebut. Lewat Supersemar Soeharto memegang kendali

dalam pembubaran PKI, kemudian Orde Baru yang dikomando oleh Soeharto

memimpin Indonesia selama 32 tahun.

Terpuruknya sektor ekonomi dan gonjang-ganjing politik yang terjadi pada

masa Bung Karno menjadi titik tolak Orde Baru untuk membangun Indonesia.

Berbeda dengan Bung karno yang menjadikan politik sebagai panglima, Soeharto

justru menjadikan sektor ekonomi sebagai titik sentral pembangunan. Syarat

utama pembangunan adalah adanya jaminan keamanan serta stabilitas nasional,

tanpa jaminan keamanan, tidak akan tercipta ketertiban dan pembangunan tidak

akan terwujud. Selama masa kekuasaannya, Orde Baru mendefinisikan beberapa

hal yang dianggap sebagai musuh pembangunan. Kelompok atau perseorangan

yang melancarkan kritik terhadap kebijakan Orde Baru dianggap mengganggu

stabilitas nasional dan mengganggu proses pembangunan sehingga harus

dibungkam.

Namun Orde Baru mempunyai musuh utama sejak orde tersebut lahir, yakni

komunisme. Orde Baru dianggap sebagai pahlawan karena berhasil menumpas

PKI yang menjadi sumber masalah pada masa lalu, maka wacana tersebut terus

diawetkan. Komunisme dilihat sebagai hantu yang sangat menakutkan dan terus-

menerus membayangi kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa ini tidak akan bisa

membangun jika kelompok komunis ada di sekitar kita, mereka adalah orang-

224

orang yang anti tuhan, pemberontak, suka mengadu domba dan menikam dari

belakang. Kehadiran orang-orang komunis hanya akan mengacaukan tertertiban,

menciptakan instabilitas. Orde Baru berhasil menanamkan “hantu komunisme”

dalam benak sebagian besar rakyat Indonesia lewat kontrol secara fisik maupun

mental. Lewat berbagai medium yang ada, Orde Baru terus menerus menyebarkan

wacana tentang bahaya laten komunis sehingga terbentuk semacam pengetahuan

dalam masyarakat bahwa komunisme adalah ideologi yang sangat berbahaya.

Wacana komunisme versi Orde Baru menjadi wacana dominan karena Orde

Baru mempunyai akses khusus terhadap berbagai medium penting. Orde Baru

mempunyai akses lebih besar terhadap berbagai medium wacana dibandingkan

kelompok lain. Besarnya akses yang dimiliki Orde Baru menghasilkan dominasi

wacana sehingga sebagian besar masyarakat hanya mengetahui masalah G30S dan

komunisme versi Orde Baru dan menghalangi wacana lain seputar masalah

tersebut. Berikut diuraikan secara singkat beberapa medium yang dikuasai Orde

Baru serta wacana tentang Partai Komunis Indonesia dan komunisme yang ada di

dalamnya.

1.0.0. Undang-Undang

Orde Baru melihat partai Komunis Indonesia benar-benar sebagai hantu

yang sangat menakutkan sehingga harus diberantas sampai ke akar-akarnya dan

tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada mereka untuk hidup. Setelah

dibubarkan oleh Soeharto lewat Supersemar, larangan terhadap penyebaran ajaran

komunisme dikukuhkan dalam ketetapan MPRS Nomor XXV/1966. Tidak cukup

225

sampai di situ, lewat berbagai undang-undang yang disusun, orang-orang yang

dituduh terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dengan PKI tidak

boleh masuk dalam semua institusi pemerintahan maupun lembaga pelayanan

publik lainnya dan dihilangkan hak-haknya sebagai warga negara.

Larangan terhadap orang-orang eks PKI untuk berperan serta dalam Pemilu

dikukuhkan dalam beberapa undang-undang yang disusun pada masa Orde Baru.

Bahkan tradisi diskriminasi terhadap orang-orang eks PKI pun masih terjadi pasca

reformasi, masih ada beberapa undang-undang yang disusun pasca tahun 1999

yang masih mencantumkan larangan terhadap orang-orang komunis.

Dalam UU No 15/1969 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan

Permusyawaratan Rakyat yang disusun pada awal kekuasaan Orde Baru, pasal 2

menyebutkan bahwa Warga Negara Indonesia bekas anggota organisasi terlarang

PKI, termasuk organisasi massanya yang terlibat langsung ataupun tidak langsung

dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang lainnya tidak diberi

hak untuk memilih dan dipilih. Kuatnya pengaruh wacana mengenai bahaya

komunis yang disebarkan oleh Orde Baru pun masih dirasakan pada era reformasi.

Dalam UU No. 3/1999 pasal 43 ayat 11 menyebutkan bahwa seorang calon

anggota DPR, DPRD I dan DPRD II adalah bukan bekas anggota organisasi

terlarang PKI, termsuk organisasi massanya bukan yang terlibat secara langsung

atau tidak dalam G30S/PKI.186

Dalam undang-undang lain disebutkan, jika pemerintah membutuhkan

pendapat rakyat secara langsung melalui referendum, orang-orang eks komunis

186 “Pasca Putusan MK soal Eks Anggota PKI, Perjalannan Masih Panjang”, Kompas, 1 Maret

2004, hal: 8.

226

juga tidak berhak mengutarakan sikapnya karena tidak mempunyai hak suara.

Seperti tercantum dalam UU No.5/1985 tentang referendum, pasal 11 ayat (2a)

menyebutkan bahwa untuk dapat dari daftar dalam pemberi pendapat rakyat, harus

dipenuhi syarat-syarat: bukan bekas anggota partai terlarang PKI, termasuk

organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung/tak langsung

dalam G30S/PKI.187

Mengenai masalah peradilan, orang-orang eks komunis pun tidak diberi

kepercayaan dan kewenangan untuk menjadi juru pengadil, baik dalam peradilan

umum, peradilan tata usaha negara maupun peradilan agama. UU No. 2/1986

tentang Peradilan Umum, pasal 14 ayat (1d) menyebutkan, untuk diangkat

menjadi hakim pengadilan negeri, seorang calon bukan bekas anggota organisasi

terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat

langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI. Dalam UU No. 5/1986 pasal 14 ayat

(1d) disebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi hakim pada pengadilan TUN

seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi

massanya/bukan yang terlibat langsung/tak langsung dalam G30S/PKI. mengenai

peradilan agama, UU No. 7/1989 pasal 13 ayat (1e) menyebutkan, untuk dapat

diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama seseorang tidak boleh bekas

anggota partai terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan yang terlibat

langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.188

187 Ibid. 188 Ibid.

227

3.1.2. Pidato Kenegaraan

Soeharto memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk menyebarkan

wacana yang memperkokoh kekuasaanya. Setiap medium yang tersedia baginya

selalu dimanfaatkan untuk terus memupuk berbagai wacana yang menonjolkan

kepahlawanan Soeharto dan mengingatkan kepada rakyat tentang bahaya yang

dihadapai bangsa Indonesia. Salah satu medium yang manfaatkan Soeharto untuk

mengingatkan rakyat akan bahaya komunisme adalah Pidato Kenegaraan HUT

Kemerdekaan RI. Setiap tangggal 16 Agustus ada suatu tradisi dimana presiden

RI menyambut hari kemerdekaan dengan pidato kenegaraan, materi yang

disampaikan biasanya mengingatkan jasa para pahlawan serta tanggapan terhadap

masalah-masalah aktual yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. ketika berkuasa,

peringatan HUT Kemerdekaan RI juga dipakai oleh Soeharto untuk mengingatkan

kepada rakyat Indoensia akan bahaya laten komunis. Misalnya dalam Pidato

Kenegaraan menyambut HUT Kemerdekaan RI pada tahun 1996, Soeharto

menyatakan bahwa pemberontakan PKI tahun 1965 merupakan tragedi nasional,

kejadian tersebut meninggalkan luka-luka yang dalam dan lama pada tubuh

bangsa kita. Itulah sebabnya, secara konstitusional PKI dan ideologi yang

mendukungnya dilarang untuk selamanya di bumi Indonesia agar pemberontakan

PKI dan sejenisnya tidak akan terulang kembali di tanah air.189

Soeharto juga menjelaskan bahwa malapetaka nasional yang disebabkan

oleh PKI telah membangkitkan kesadaran bangsa dan mengajak kita untuk

merenungkan kembali perjalanan sejarah bangsa yang terjadi pada masa lampau.

189 dikutip dari Eriyanto, Kekuasaan Otoriter, Dari gerakan Penindasan Menuju Politik

Hegemoni, Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto, Yogyakarta: Insist, 2000, hal: 105

228

Iklim revolusioner -Soeharto menyebutnya “jor-joran revolusioner”- yang terjadi

pada masa Bung Karno adalah hasil kerja PKI dan telah menciptakan suasana

saling curiga, perpecahan, ketegangan, ketidakstabilan, kemerosotan ekonomi dan

menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Ringkasnya suasana nasional pada masa itu

sama sekali tidak mendukung iklim pembangunan untuk kemajuan bangsa dan

kesejahteraan rakyat. Soeharto menyimpulkan bahwa semuanya terjadi karena kita

tidak setia dan menyimpang dari Pancasila dan UUD 45.190 Pada kesempatan lain,

dalam Amanat Kenegaraan Soeharto mengemukakan beberapa masalah utama

yang dihadapi bangsa Indonesia, salah satunya adalah bahaya laten komunisme

yang harus tetap diwaspadai karena unsur-unsur laten komuis masih tersisa.191

3.1.3. Buku

Penghancuran terhadap kelompok komunis dilakukan secara sistematis oleh

Orde Baru, semua aspek yang berbau kiri dimusnahkan, termasuk lembaga-

lembaga politik dan kebudayaan. Buku menjadi salah satu pusat perhatian Orde

Baru dalam menangkal tumbuhnya komunisme, buku-buku yang dianggap berbau

kiri atau ditulis oleh penulis dari kelompok kiri dimusnahkan. Selain itu, penguasa

juga menerbitkan buku pelajaran dan buku putih yang menggambarkan keburukan

orang-orang komunis.

Sejak periode 1965-1996, Orde Baru diperkirakan telah melarang 2.000

buku. Dua bulan pasca kudeta 1 Oktober, Kolonel K Setiadi Kartohadikusumo

190 Ibid. 191 Virginia Matheson Hooker, “Bahasa danpergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan Terhadap

Pembakuan Bahasa Orde Baru” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (ed) Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996., hal: 57

229

dari Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan melarang peredaran 70 buku

di semua lembaga pendidikan secara nasional. Kebijakan tersebut diikuti dengan

serangkaian larangan terhadap semua karya 87 orang pengarang yang dianggap

memiliki hubungan dengan PKI. Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai lembaga

pemerintah melarang dan memusnahkan buku-buku yang ditulis dan diterbitkan

oleh orang-orang yang dicurigai berhaluan kiri. Pada tahun 1967, Tim Pelaksana/

Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dan Marxisme-

Mao Tse Tungisme melarang kepemilikan, peredaran atau penjualan 174 judul

buku dan majalah di dalam wilayah kota Jakarta.192 Pada tahun-tahun berikutnya

di masa kekuasaan Orde Baru, pelarangan buku masih terus berlangsung namun

jumlahnya semakin mengecil.

Selain melarang dan memusnahkan buku-buku yang dinilai berhaluan dan

ditulis orang-orang yang berhaluan kiri, Orde Baru juga menyusun buku yang

menggambarkan bagaimana peran PKI dalam peristiwa G30S. Buku pelajaran

sejarah Indonesia dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi juga diisi dengan

penggambaran tentang PKI dan peristiwa G30S menurut versi Orde Baru. Salah

satu buku yang menggambarkan secara detil tentang PKI adalah buku putih

berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”.

yang diterbitkan Sekretariat Negara RI. Buku tersebut menjelaskan secara rinci

pertumbuhan PKI sebelum dan pasca kemerdekaan, aksi subversi yang pernah

dilakukan serta menguraikan bagaimana kudeta G30S yang dilakukan oleh PKI

telah dipersiapkan jauh hari secara matang.

192 Krishna Sen dan david T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi

Arus Informasi, 2001, hal: 44.

230

Dalam buku tersebut digambarkan bahwa sejak awal berdirinya PKI, yakni

sebelum masa kemerdekaan sampai dengan dibubarkan, orang-orang komunis

lebih banyak merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. PKI juga dinilai sama sekali

tidak mempunyai andil dalam persiapan proklamasi kemerdekaan dan perjuangan

kemerdekaan. Setelah gagal dalam pergolakan melawan pemerintah Belanda

tahun 1926-1927, tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang PKI

sampai RI merdeka. Karena itu, tidak ada orang-orang komunis yang duduk dalam

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) maupun aktivitas lain dalam

memperjuangkan kemerdekaan dan tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan RI.

Dengan demikian, baik dalam persiapan proklamasi maupun penyusunan

Pembukaan dan UUD 1945 serta selama perang kemerdekaan tahun 1945-1949,

PKI tidak pernah ikut serta.193

Setelah Indonesia merdeka, kehadiran PKI hanya mengacaukan kehidupan

bangsa Indonesia. Pada tahun 1948, tokoh-tokoh komunis mengadakan pidato-

pidato yang bernada membakar emosi massa di Yogyakarta dan Madiun. Aksi-

aksi yang mendiskreditkan pemerintah RI dilancarkan, Sentral Organisasi Buruh

Seluruh Indonesia (SOBSI) melakukan aksi pemogokan di Delanggu, pegawai-

pegawai pemerintah dan tokoh-tokoh partai yang bukan komunis diteror, dan di

depan rakyat banyak Muso senantiasa menggembar-gemborkan janji-janji muluk

PKI. Pada 18 September 1948 kaum komunis melakukan perebutan kekuasaan di

Madiun dan memproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Sehari

193 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan

Penumpasannya., Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal: 15-16

231

kemudian, Muso membentuk Pemerintah Front Nasional, PKI juga merebut

obyek-obyek vital seperti kantor pemerintah, kantor pos, bank dan markas polisi

serta militer. Dua minggu kemudian, pasukan TNI berhasil menguasai kembali

kota Madiun dan menumpas pemberontakan PKI.194

Setelah gagal dalam pemberontakan Madiun, PKI dinyatakan sebagai partai

terlarang. Namun setelah direhabilitasi pada tahun 1950, Alimin mengaktifkan

kembali PKI dan mulai menyusun kekuatan lagi. Pada tahun yang sama D.N.

Aidit mengambil alih pimpinan PKI, terus berusaha merehabilitasi nama PKI dan

menyatukan seluruh potensi partai. Pada tahun 1954 PKI melancarkan strategi

“Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan” (MKTBP) untuk memperluas

pengaruhnya di kaum buruh tani, petani miskin dan buruh kota, menetralisir

lawan-lawan politiknya dengan menyusup ke dalam Angkatan Bersenjata, aparat

negara, partai politik dan organisasi massa serta menyiapkan dukungan yang luas

di kalangan rakyat Indondonesia terhadap program-program PKI.

Sebelum melakukan pemebrontakan G30S, PKI melakukan kegiatan untuk

meningkatkan situasi ofensif revolusioner, antara lain dengan melakukan sabotase

terhadap transportasi umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api sehingga

menyebabkan tabrakan kereta api di stasiun Purwokerto, Kaliyasa, Kroya,

Cirebon, Semarang dan Cipapar Jawa Barat.195 Selain aksi sabotase, Barisan Tani

Indonesia (BTI) juga melakukan Aksi Sepihak, menuntut pemerintah untuk

mengimplementasikan Undang-Undang No.2/1960 yang mengatur tentang bagi

hasil tanah pertanian dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960.

194 Ibid, hal: 21-22. 195 Ibid. hal: 49

232

Akibatnya, Di Klaten ratusan anggota BTI mengeroyok seorang petani karena

masalah sewa-menyewa tanah pertanian, dan di desa lainnya sekitar 200 orang

anggota BTI membabat padi milik seorang petani dengan paksa. Di Sumatra

Barat, BTI menyerobot tanah perkebunan milik Perusahaan Perkebunan Negara

(PPN) dan menanaminya dengan pohon pisang. Ketika berusaha menertibkan aksi

tersebut dan membersihkan pohon pisang yang ditanam, seorang Pelda TNI AD

dikeroyok hingga tewas oleh sekitar 200 anggota BTI dan PR.196

Setelah tercipta situasi ofensif seperti yang diinginkan, menjelang dini hari

tanggal 1 Oktober 1965 PKI melakukan aksi perebutan kekuasaan. Pasukan yang

telah ada di bawah kendali PKI dikerahkan untuk menculik tujuh jenderal dari

kediamannya masing-masing. Ketujuh jenderal tersebut di bawa ke basis gerakan

di Lubang Buaya. Tiga jenderal dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan telah

tewas, sedangkan empat orang lainnya yang masih hidup disiksa oleh anggota

Gerwani hingga tewas dan semua jenazah dimasukkan ke dalam sumur, ditimbun

dengan sampah dan tanah, kemudian di atasnya ditanami pohon pisang untuk

menghilangkan jejak.197

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.00 WIB, siaran RRI mengumumkan

adanya Gerakan 30 Sepetember. Pukul 14.00 WIB pada hari yang sama, Letkol

Inf. Untung sebagai Komandan Gerakan Militer mengumumkan pembentukan

Dewan Revolusi Indonesia, nama-nama tokoh PKI dan non PKI mengisi jabatan

Dewan revolusi. Dewan Revolusi yang dibentuk oleh Gerakan 30 September

196 Ibid, hal:51-52. 197 Ibid. hal: 103.

233

merupakan upaya PKI untuk menipu rakyat dengan memanipulasi nama tokoh-

tokoh, baik politik maupun ABRI yang anti komunis.

Setelah mengumpulkan berbagai informasi tentang G30S Mayjen Soeharto

menyimpulkan bahwa G30S adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan

dan merebut kekuasaan dari pemerintah RI yang sah. Berdasarkan keyakinan itu,

Soeharto mengkonsolidasikan kekuatan militer yang tidak mendukung G30S dan

mulai bergerak menguasai obyek-obyek vital yang telah dikuasai oleh kelompok

pemberontak. Setelah diketahui secara jelas bahwa dalang G30S adalah PKI,

berbagai kelompok massa pemuda, pelajar dan mahasiswa secara spontan

mengadakan aksi-aksi penyerbuan gedung-gedung milik PKI serta ormasnya,

bentrokan fisik tidak dapat dihindarkan. Pada akhir 1965 pemerintah membentuk

Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang salah

satu tugasnya adalah memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat

peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem dan kegiatan

subversi lainnya.198 Puncak pembekuan kegiatan PKI adalah dengan disahkannya

Tap MPRS Nomor XXV/1966 yang melarang PKI dan komunisme hidup di

Indonesia.

3.1.4. Penataran P4

Orde Baru menilai pemerintahan yang dijalankan oleh Bung Karno tidak

menjalankan Pancasila secara benar. Ajaran Nasakom yang diperkenalkan oleh

Bung Karno dinilai sebagai bentuk penyelewengan terhadap ideologi negara.

198 Ibid, hal: 137

234

Pancasila disalahtafsirkan sebagai gabungan dari paham Nasionalisme, Agama

dan Komunisme (Nasakom). Karena itu, setelah berkuasa Orde Baru memandang

perlu diadakan usaha-usaha untuk memurnikan kembali Pancasila agar tidak

tercemar dengan unsur komunisme. Tugas pemurnian Pancasila selesai pada tahun

1978 dengan keluarnya ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang “Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan pancasila” (P4). Wujud implementasi Tap terebut

adalah diadakan penataran P4 untuk pegawai negeri, pimpinan organisasi sosial

politik, organisasi masyarakat, pelajar dan mahasiswa.

Karena pertimbangan bahwa ajaran yang bersumber dari paham komunisme

adalah ancaman laten bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan

karena kegiatan mempelajari paham komunisme/Marxisme-Leninisme secara

ilmiah dalam rangka mengamankan Pancasila harus dilakukan secara terpimpin di

bawah kendali pemerintah, maka dikeluarkan Instruksi Presiden No.10 Tahun

1982 kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

(Pangkopkamtib) untuk menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional bagi

pejabat Eselon I pada departemen dan instansi pemerintah lainnya. Pelaksanaan

Penataran Kewaspadaan Nasional kemudian diperluas kepada berbagai lapisan

masyarakat lainnya, baik secara khusus maupun sebagai bagian dari penataran

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).199

199 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan

Penumpasannya., Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal: 4

235

3.1.5. Film

Setelah Soeharto menduduki puncak pimpinan Pasca tragedi G30S, dunia

perfilman Indonesia juga tidak luput dari pembersihan terhadap unsur-unsur

komunis. Para pembuat film beraliran kiri yang terkemuka dipenjarakan, atau

minimal dikucilkan dan dijauhkan dari dunia perfilman, semua media organisasi

kebudayaan kiri dihancurkan dan film-film mereka pun dilarang. Pasca G30S,

lembaga sensor yang masih bernama Badan Sensor Film (BSF) juga dibersihkan

dari anggota yang dinilai berhaluan komunis. Pada dekade awal kekuasaan Orba,

banyaknya aturan pra-sensor yang ditambahkan oleh BSF membuat produksi film

lokal semakin ketat disensor dibandingkan dengan semua film impor. Sensor yang

dilakukan BSF (pada tahun 1992 berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film)

lebih ditekankan pada masalah seks dan kekerasan serta perlindungan terhadap

kebudayaan nasional dari budaya asing. Tak ada petunjuk lebih jauh mengenai

apa yang disebut kebudayaan asing, namun dalam aturan tersebut mencantumkan

ideologi kolonialisme, imperialisme, fasisme dan semua bentuk komunisme dalam

daftar kriteria budaya asing yang harus ditolak.200 Semua film harus dilarang jika

memiliki kemungkinan menghancurkan kesatuan dan persatuan agama di

Indonesia, mengancam pembangunan kesadaran nasional, mengeksploitasi

perasaan etnis, agama, gender dan ketegangan sosial, termasuk antar kelas sosial.

Film dilarang mengungkapkan rasa ketidaksetujuan terhadap kebijakan

200 Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi

Arus Informasi, 2001, hal: 164.

236

pemerintah atau apapun yang dapat menyebabkan kerusakan bagi orang atau

lembaga yang berhubungan dengan pemerintah.201

Pada tahun 1981, Perusahaan Film Negara menugaskan Arifin C. Noer

untuk membuat film tentang pemberontakan PKI dengan judul “Penghianatan

Gerakan 30 September”. Film kolosal yang berisi kekerasan dan pidato politis ini

diproduksi dengan biaya besar yang tanggung oleh Orde Baru dan menceritakan

tentang peristiwa G30S tahun 1965. Isi cerita film ini sama dengan apa yang

sudah digambarkan oleh pejabat Orde Baru dan sejarawan mengenai peristiwa

yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dan setelahnya. Film tersebut menggambarkan

Sekelompok anggota TNI yang ada dalam pengaruh Letkol Untung merencanakan

kodeta untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno dan memasang Partai Komunis

Indonesia ke pucuk pimpinan kekuasaan. Mereka menculik tujuh jenderal AD dan

bersama anggota Gerwani mereka menyiksa para jenderal secara brutal dan

membunuhnya. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana Mayjen Soeharto

mengkonsolidasikan kekuatan TNI yang terpengaruh oleh orang-orang PKI,

kemudian merebut kembali obyek-obyek vital yang dikuasai pemberontak,

menghancurkan kepemimpinan PKI serta berhasil membunuh Letkol Untung.

Karena tidak ingin gagal dalam segi komersial dan untuk mengantisipasi

sepinya penonton, Orde Baru mewajibkan film “Penghianatan Gerakan 30

September” diputar di sekolah-sekolah dan departemen pemerintah. Bahkan sejak

1981-1997 film tersebut disiarkan oleh TVRI setiap tahun menjelang peringatan

G30S dan hari Kesaktian Pancasila serta direlay oleh stasiun televisi swasta.

201 Ibid.

237

3.1.6. Pers

Setelah G30S dipadamkan oleh TNI, Pangdam VII/Jakarta Raya Mayjen

Umar Wirahadikusumah menandatangani surat perintah no.01/Drt/10/1965 yang

memerintahkan kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jakarta Raya utuk

menguasai semua perusahaan percetakan. Khusus untuk percetakan Berita Yudha

dan Angkatan Bersenjata supaya dilakukan pengamanan fisik.202

Puluhan media yang dituduh terlibat atau mendukung G30S ditutup untuk

selama-lamanya. Setelah membreidel 46 surat kabar dan majalah, militer juga

mengadakan pebersihan terhadap ratusan wartawan yang punya hubungan dengan

PKI.203 Pasca G30S, peta kekuatan pers Indonesia didominasi oleh pers militer.

Pers yang tidak dibreidel seperti Kompas, Duta Masyarakat dan Sinar Harapan

pun ada dalam pengaruh militer, semua penerbitan harus minta izin penguasa

militer agar dapat terus melanjutkan penerbitannya. Dengan alasan negara dalam

keadaan bahaya, semua berita tentang politik dan militer harus sesuai dengan versi

penguasa militer, sehingga secara langsung maupun tidak, media massa saat itu

ikut dalam “kampanye” untuk menumpas PKI dan simpatisan-simpatisannya.

Militer (terutama Angkatan Darat) mendapat keuntungan dari pemberitaan

pers non/anti komunis, misalnya muncul isu tentang penyiksaan yang dilakukan

PKI terhadap para jenderal yang diculik, berita tentang kejahatan politik yang

dilakukan oleh orang-orang PKI seperti Subandrio, Omar Dhani dan lainnya

sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahmillub. Berita-berita tersebut

memudahkan kelompok anti komunis dalam memobilisasi massa untuk 202 Y. Krisnawan, Pers Memihak Golkar?, Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992, Jakarta: Institut

Studi Arus informasi, 1997, hal: 24-25. 203 Yazuo Hanazaki, Pers Terjebak (terj), Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998, hal: 19

238

menghancurkan PKI berserta simpatisannya. Sebaliknya pers anti komunis juga

mendapat keuntungan dari militer, mereka merasa mendapat teman perjuangan

dalam melawan musuh utamanya, PKI.

Dalam masa-masa kekuasaan Orde Baru selanjutnya, ketatnya aturan dan

pengawasan oleh rezim Orde Baru menyebabkan arus utama pers Indonesia tak

lebih sebagai -memimjam istilah Veven Sp. Wardana- “Jurnalisme Statemen”.

Wartawan mendatangi pejabat untuk dimintai pendapat, merekam semua yang

diucapkan sang pejabat, tanpa cek-ricek maupun konfirmasi, keesokan harinya

sudah terpampang di media. Demikian juga halnya ketika memberitakan tentang

PKI. Masalah komunisme menjadi isu yang tabu untuk dibicarakan secara

terbuka, orang-orang komunis tidak bisa dimintai pendapat karena dilarang oleh

penguasa, yang berhak bicara soal PKI dan komunisme hanya penguasa, tentu saja

sesuai dengan versi dan kepentingan penguasa. Pers kemudian hanya menjadi

corong pejabat, isu komunisme yang diangkat oleh media massa juga versi

penguasa tanpa ada konfirmasi kepada pihak-pihak lain yang berkaitan dengan

masalah tersebut.

3.2. Produksi Wacana Alternatif

Orde Baru memang berhasil mengontrol mental mayoritas rakyat Indonesia

mengenai masalah komunisme dan berhasil mendominasi pengetahuan rakyat

tentang PKI seperti yang diinginkannya. Kontrol dan dominasi tersebut berhasil

dilakukan sebab penguasa mempunyai akses yang sangat besar terhadap medium-

medium penting dan potensial yang bisa memproduksi dan reproduksi wacana,

239

sehingga Orde Baru bisa menanamkan pengetahuan dan pemahaman tentang

komunisme kepada masyarakat sebagaimana yang dikehendaki.

Namun wacana tentang komunisme bukanlah wacana tunggal atau satu

dimensi sebagaimana diproduksi oleh Orde Baru. Peristiwa G30S dan PKI adalah

sebuah wacana kompleks di mana faktor politik, sosial, budaya dan kemanusiaan

bercampur menjadi satu. Meskipun Orde Baru secara terus-menerus memproduksi

dan mereproduksi wacana sebagaimana yang diinginkan dan membungkam

wacana lain yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Wacana alternatif memang

terpinggirkan, tapi tidak mati. Meskipun dalam skala kecil, dalam masyarakat

muncul kegelisahan dan keingintahuan tentang siapa sesungguhnya yang ada di

balik peristiwa G30S, bagaimana peran Soeharto dan Angkatan Darat, bagaimana

“wujud” PKI yang sesungguhnya. Pertanyan-pertanyaan dan usaha mencari

jawaban mengenai masalah tersebut secara diam-diam menelisik ke dalam

masyarakat dan mencari ruang di sela-sela wacana dominan yang disebarkan oleh

penguasa. Wacana alternatif tentang PKI dan komunisme tetap hidup dengan

menggunakan medium-medium wacana yang tidak dapat dikontrol oleh Orde

Baru. Berikut ini adalah medium wacana yang mengusung wacana alternatif

tentang PKI.yang tidak terjangkau oleh kontrol penguasa atau medium yang hidup

ketika orde Baru telah runtuh.

3.2.1. Buku

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, setiap buku bisa dilarang jika

dianggap mengganggu ketertiban masyarakat, namun definisi ketertiban yang

240

diterapkan bersifat elastis dan membingungkan. Misalnya tentang PKI, perspektif

apapun terhadap partai komunis yang berbeda dengan versi Orde Baru, meskipun

hanya sedikit, akan dilarang. Wewenang untuk melarang penerbitan ada di tangan

Kejaksaan Agung. Secara hukum, semua penerbit harus menyerahkan kopi naskah

yang akan diterbitkan kepada Kejaksaan Agung untuk diperiksa, namun hal ini

tidak pernah diterapkan secara sistematis. Penerbit dan penulis tidak diberitahu

bahwa suatu naskah harus diperiksa atau sedang dalam penyelidikan Kejaksaan

Agung. Jika bukunya dilarang, mereka juga tidak diberi kesempatan untuk

berargumentasi untuk mempertahankan dan membela buku yang dilarang tersebut.

Jika dinyatakan terlarang, buku tersebut harus ditarik dari pasaran, stoknya ditarik

kembali dan dapat disita atau dimusnahkan oleh polisi. Namun dalam prakteknya,

buku yang dilarang jarang ditarik kembali atau dimusnahkan, karena rumor-rumor

adanya pelarangan justru membuat buku tersebut laku keras. Bahkan jika tidak

mendapatkan buku asli, konsumen pun akan mengejar foto kopi bajakan buku

tersebut.204 Seorang mahasiswa di Jogjakarta bernama Bonar Tigor Naipospos

dipenjara karena mengedarkan foto kopi diktat kuliah pemikiran Karl Marx dari

Dr Franz Magnis-Suseno

Ketatnya regulasi Orde Baru yang diterapkan dalam penerbitan naskah atau

buku bukan berarti wacana tandingan atau wacana alternatif ikut mati. Ketatnya

aturan justru memunculkan jalur distribusi alternatif, meski lingkupnya kecil dan

hanya menjangkau kelompok atau kelas tertentu. Walaupun kecil, keberadaannya

cukup signifikan dalam membayangi wacana dominan. Misalnya Pramoedya

204 Krishna Sen dan David T Hill, Op. Cit, hal: 46

241

Ananta Toer, semua karya Pram dan para pengarang kiri lainnya dilarang sampai

akhir kekuasaan Orde Baru. Tapi kebijakan tersebut memunculkan jalur distribusi

baru berupa perederan buku di bawah tanah. Meskipun dilarang, foto kopi novel-

novel karya Pram masih beredar. Bahkan novel-novel Pramudya tetap beredar di

wilayah regional, peminatnya bisa mendapatkan versi cetakan yang tersedia lewat

pesanan pos dari penerbit alternatif di Malaysia.205

Di Belanda, orang-orang yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena

dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dan dicabut statusnya sebagai warga

negara Indonesia oleh Orde Baru, mendirikan “TAPOL”, Lembaga Swadaya

Masyarakat yang berkampanye dan memperjuangkan perbaikan nasib dan hak

para mantan Tahanan Pilitik (Tapol) dan Narapidana Politik (Napol) PKI di

Indonesia.206 TAPOL menerbitkan sebuah buku yang ditulis oleh M.R. Siregar,

mantan aktivis gerakan serikat buruh dan anggota Komite Daerah PKI di

Tapanuli. Pada awal 1965 dia dikirim belajar di Moskow dan tidak bisa kembali

ke Indonesia setelah terjadi peristiwa G30S dan pembantaian terhadap PKI. Buku

M.R. Siregar berjudul “Tragedi Manusia dan Kemanusian, Kasus Indonesia,

Sebuah Holokaus yang Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua” berisi gambaran

dari sudut pandang PKI mengenai berbagai fakta sejarah yang melibatkan PKI,

dan tentu sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Orde Baru.

Dalam kata pengantar buku tersebut, W.F. Wertheim memperbandingkan

beberapa fakta yang ada dalam buku M.R. Siregar dengan apa yang disampaikan

dalam buku putih “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis

205 Ibid. 206 Mereka yang Bertualang di Mancanegara, Forum Keadilan, No. 25, 6 Oktober 2002

242

Indonesia” yang diterbitkan Sekretariat Negara. Tentang peristiwa Madiun,

Wertheim menyatakan bahwa apa yang disampaikan dalam buku putih sama

sekali tidak cocok dengan kebenaran, dia membantah tuduhan bahwa PKI

mendirikan Republik Soviet Indonesia. Amir Sjarifuddin, bekas Perdana Menteri

RI yang saat itu berada di Madiun membantah semua kebohongan yang disiarkan.

Melalui radio Sjarifuddin menyatakan: “Undang-Undang Dasar kami adalah

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, bendera kami adalah Merah-Putih dan

lagu kebangsaan kami tidak lain dari Indonesia Raya”. Pernyataan tersebut

disiarkan oleh Aneta, kantor berita Belanda di Indonesia.207

M.R. Siregar juga membantah tuduhan dalam buku putih Orde Baru yang

menyatakan bahwa sejak tahun 1954 PKI menjalankan strategi subversi yang

dikenal dengan “Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan” (MKTBP), yaitu

gerilya di desa bersama buruh tani dan petani miskin, perjuangan revolusioner di

kota bersama kaum buruh dan bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama

angkatan bersenjata. Siregar menerangkan, saat itu CC PKI sedang menerapkan

strategi baru, yakni jalur parlementer dan lewat strategi tersebut PKI berhasil

memenangkan suara dalam Pemilu 1955 serta Pemilihan daerah dan lokal pada

tahun 1957. Strategi MKTBP PKI yang diungkapkan dalam buku putih Orde Baru

sebenarnya strategi yang dipakai PKI dalam Revolusi 1945-1949. Perjuangan

gerilya di desa, aksi revolusioner di kota bersama kaum buruh adalah untuk

melawan Belanda yang masuk kembali ke Indonesia. Yang dimaksud pekerjaan

207 M.R. Siregar, Tragedi Manusia dan Kemanusian, Kasus Indonesia, Sebuah Holokaus yang

Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua, 1995, England: TAPOL, hal: viii.

243

intensif di kalangan tenaga bersenjata adalah untuk melemahkan tenaga bersenjata

Belanda.208

Demikian juga dengan peristiwa G30S, dengan mengungkapkan beberapa

fakta dan analisis, M.R. Siregar menolak tuduhan Orde Baru yang menyatakan

PKI sebagai dalang kudeta dan mempertanyakan apakah saat itu benar-benar

terjadi kudeta. Definisi kudeta adalah perebutan kekuasaan atau penggulingan

pemerintahan secara paksa dan tiba-tiba. G30S tidak bisa dikatakan sebagai

kudeta sebab gerakan tersebut justru untuk mengamankan keudukan Presiden

Soekarno dari kelompok yang menamakan diri Dewan Jenderal. Dengan mengutip

pendapat penulis paper CIA Helen Louise Hunter, Siregar menyatakan bahwa

peristiwa G30S hakikatnya adalah sebuah pembersihan atas pimpinan Angkatan

Darat, yang dimaksudkan untuk menciptakan perubahan tertentu dalam kabinet.

Penulis juga menganalisis pesan yang disampaikan Bung Karno untuk sang istri,

Dewi saat G30S terjadi dan pembicaraan Presiden dengan perwira-perwira muda

anggota G30S, Siregar menyimpulkan bahwa hubungan antara Presiden Soekarno

dengan para anggota G30S sama sekali bukan hubungan antara yang dikudeta

dengan pengkudeta.209

Siregar juga menolak jika PKI dituduh sebagai dalang G30S. Salah satu

titik tolak tuduhan PKI sebagai dalang adalah kehadiran D.N. Aidit di Halim.

Aidit tidak bisa dikatakan sebagai pimpinan kudeta sebab keberadaannya di Halim

adalah atas pengaturan Jenderal Soepardjo dan Syam, dan secara faktual Aidit

dipisahkan dari Sentral Komando yang memimpin kudeta. Siregar berpendapat,

208 Ibid, hal: 59-61. 209 Ibid. hal: 112-116

244

Aidit tidak mungkin bertindak sebagai pemimpin kudeta sebab dia dipisahkan dan

tidak berhubungan dengan parta komando gerakan. Menurutnya, keberadaan Aidit

di Halim justru untuk menyeret PKI agar terlibat dalam G30S. Dalam Cornell

Paper diasumsikan, Aidit dibawa ke Halim untuk mencegah agar PKI tidak

mengeksploitasi isu dan untuk menekan Presiden Soekarno agar mendukung

G30S.210 Sedangkan mengenai Gerwani dan Pemuda Rakyat, keberadaan mereka

di Halim bukan untuk ambil bagian dalam G30S tapi untuk memenuhi panggilan

atau komando Presiden Soekarno dalam rangka kampanye “Ganyang Malaysia.211

Era reformasi membawa implikasi cukup besar dalam perkembangan

wacana komunisme di Indonesia. Runtuhnya Orde Baru menghilangkan kontrol

struktural yang selama ini membelenggu wacana seputar PKI. Diskusi mengenai

isu komunisme bisa dilakukan dalam forum-forum terbuka, buku-buku kiri juga

mulai menjamur. Misalnya TEPLOK Press pada tahun 2003 menerbitkan kembali

buku “Marxisme Ilmu dan Amalnya” karya Njoto, Wakil Ketua CC PKI yang

pada tahun 1962 diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan. Buku tersebut mengupas

secara mendalam ajaran Marxisme sebagai ilmu pengetahuan, sama dengan ilmu

ilmiah lainnya, membahas filsafat proletariat yang menyangkut metode berpikir

dan landasan perjuangan bagi kelas proletariat. Selain itu, Nyoto juga menjelaskan

tentang prisip-prinsip ekonomi sosialis dan penerapannya di berbagai negara.212

Pada tahun 2000, disertasi Hemawan Sulistyo yang mengkaji masalah PKI

di Jawa timur dipublikasikan dengan judul “Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah

210 Ibid, hal: 118 211 Ibid, hal: 118 212 Haris Rusly Moti, “Ternyata Masih Ada Jalan Lain, Catatan Pengantar Untuk Seorang

Pendahulu”, pengantar dalam Nyoto, Marxisme, Ilmu dan Amalnya, 2003, Jakarta:TePLOK PRESS, hal: xvii

245

Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966)”. Pembahasan dalam buku

tersebut antara lain tentang beberapa teori atau asumsi mengenai siapa yang ada di

balik atau terlibat dalam G30S, kemudian melakukan kajian sosial, budaya dan

politik antara kaum abangan dan santri di daerah Kediri dan Jombang menjelang

dan pasca Tragedi G30S. Setelah itu Hermawan mengkaji faktor apa saja yang

mempengaruhi terjadinya pembunuhan massal pasca G30S dan siapa saja aktor

yang ada di balik peristiwa tersebut.

3.2.2. Internet

Perubahan teknologi informasi yang sangat cepat menyebabkan beberapa

negara, termasuk Indonesia, tidak siap menerima kehadiran internet yang masuk

pada awal tahun 1990-an. Potensi ekonomi dari kehadiran teknologi informasi

cukup menjanjikan bagi proses pembangunan, Deparpostel memperkirakan pasar

teknologi informasi di Indonesia pada tahun 1995/1996 lebih dari Rp 100 milyar.

Namun sampai akhir Orde Baru, departemen mana yang paling tepat menangani

internet masih simpang siur, apakah internet sebagai medium siaran yang berada

di Deppen, atau sebagai perkembangan dari jasa Pos dan Telekomunikasi yang

mesti ditempatkan di bawah Deparpostel.213 Meski pada akhirnya internet berada

di bawah gabungan dua departemen, yaitu Deppen dan Deparpostel, namun

perbedaan kebijakan yang dibuat kedua departemen menunjukkan ketidaksiapan

penguasa.

213 Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:Institut Studi

Arus Informasi, 2001, hal: 236-237.

246

Problem lain yang dihadapi Orde Baru dalam menerima kehadiran internet

adalah pemerintah tidak bisa mengontrol informasi yang disebarkan oleh media

tersebut. Misalnya majalah Tempo, ketika majalah mingguan tersebut dibredel

pada tahun 1994, dua tahun berikutnya meluncurkan Tempo Interaktif. Deppen

yang bertanggung jawab terhadap isi dalam internet tidak pernah memiliki cara

yang memadahi baik secara legal/hukum maupun teknologi untuk menegakkan

pengawasan langsung terhadap pemakai internet atau batasan resmi pada situs-

situs tertentu. Jika dalam internet terdapat informasi yang anti pemerintah, siapa

yang harus disalahkan, apakah pengarangnya, ISP yang menyalurkan pesan atau

pembaca yang men-download pesan tersebut?214 Walau sebenarnya ISP nasional

bisa menontrol lalu lintas informasi dalam internet, namun persaingan yang ketat

dengan luar negeri membuat ISP tidak mau melakukan sensor karena pelanggan

bisa beralih ke provider luar negeri. Ada dugaan, upaya menahan arus informasi

dalam internet juga dilakukan lewat letterbomb, yakni pesan-pesan yang sengaja

dikirim dalam jumlah sangat banyak sehingga penerima menjadi kelebihan beban

(overload) dan merusakkan servernya. Pasca Insiden 27 Juli dan menjelang

lengsernya Soeharto, ada dugaan beberapa server tutup karena letterbomb sebagai

bentuk intervensi yang dilakukan pihak pemerintah.215

Bagi Deppen dan militer, muatan politis dalam internet adalah ancaman

bagi wacana dominan. Jika pada era sebelumnya kedua institusi tersebut bisa

mengontrol pers cetak dan elektronik, hal itu tidak bisa lagi dilakukan terhadap

intrenet. Berbagai informasi penting atau isu sensitif dalam negeri yang tidak bisa

214 Ibid. hal: 243 215 Ibid, hal: 240

247

didapat dalam media konvensional dapat diperbincangkan dalam forum-forum

diskusi dalam internet, antara lain lewat email. Salah satu list diskusi (mailing list)

yang terkenal di kalangan pengguna internet Indonesia adalah ‘Indonesia-L’ atau

lebih dikenal dengan nama apakabar yang dimoderatori oleh John McDougall di

Maryland AS. Pada tahun 1994-1995 apakabar dipandang oleh para aktivis LSM

sebagai alat yang berharga untuk menyebarkan bahan dan sumber penting untuk

berita dalam negeri dan luar negeri yang tidak disensor. Manneke Budiman

berpendapat, list ini telah menjadi sarana yang luar biasa untuk menyatakan

pendapat dan pikiran dengan bebas dan terbuka.216

Bebasnya lalu lintas informasi dalam internet menyebabkan tema apapun

bisa masuk media tersebut, termasuk masalah PKI atau komunisme. Pada tahun

1996, tiga partai politik cabang Solo menolak pemutaran film James Bond Golden

Eye dengan alasan dalam film tersebut mengandung gambar palu dan arit yang

diasosiasikan dengan PKI sehingga dapat meresahkan masyarakat. Seorang

mahasiswa meresponnya dalam apakabar dengan menyatakan: “Apakah lambang

yang hanya sekedar lambang tersebut memiliki kekuatan magis tertentu yang bisa

menyihir pemirsa untuk menjadi komunis? Demikian juga film G30S/PKI yang

jelas-jelas membentangkan bendera palu arit? Malah film ini diputar tiap

tahun.”217

Pada tanggal 16 September 1996, dua minggu menjelang pemutaran film

Penghianatan G30S/PKI di televisi seperti biasanya, sebuah pesan panjang tertulis

di milis SiaR menyatakan bahwa sejak tujuh tahun lalu sebenarnya muncul banyak

216 Ibid, hal: 234 217 Ibid, hal:172-173

248

penilaian baru yang lolos dari perhatian Departemen Penerangan. Pertama, film

ini menggambarkan hanya sedikit orang saja yang tahu akan rencana G30S itu

sendiri. Jika hanya sebagian kecil pimpinan PKI dan oknum ABRI yang tahu dan

terlibat, bagaimana bisa terjadi sejuta orang lebih terbunuh dan ratusan ribu orang

yang tak tahu menahu harus ditahan, dibuang dan kehilangan hak-hak sipilnya?.

Kedua, film tersebut lebih menggambarkan keterlibatan militer, dalam hal ini

Cakrabirawa, ketimbang ormas-ormas PKI tertentu.218 Pada akhir tulisannya

penulis berkomentar, seandainya pimpinan PKI mampu, seharusnya memberikan

“PKI Award” kepada Menteri Penerangan yang terus mengulang-ulang penyiaran

film tragedi nasional ini. Pada hari-hari berikutnya di media yang sama masih

terus muncul berbagai komentar mengenai tema yang sama.219

Kehadiran internet benar-benar dimanfaatkan oleh kaum kiri atau orang-

orang yang mempunyai minat dalam kajian-kajian sosialisme untuk memperluas

jangkauannya. Mereka tidak hanya memanfaatkan internet untuk sekedar diskusi

atau posting lewat email, mereka juga membuat situs yang berisi tulisan-tulisan

para tokoh Marxist dan komunis. Pada tanggal 14 Januari 2000, kelompok yang

menamakan diri “Pemuda Sosialis” membuat sebuah website yang fokus pada

kajian-kajian Marxisme, www.indo-marxist.com. Pemuda Sosialis adalah satu

grup sosialis yang diilhami ajaran sosialisme ilmiah yang dirumuskan Karl Marx,

Frederick Engels, V.I. Lenin dan kaum revolusioner lainnya. Mereka meyakini

bahwa hanya sosialisme yang bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi

problem-problem masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Meskipun mereka

218 Ibid, hal: 174. 219 Ibid.

249

meyakini ajaran-ajaran Marx dan Lenin, Pemuda Sosialis menyatakan tidak

mempunyai kaitan historis serta tidak mewakili semangat oportunisme yang

berlabel "sosialis" dengan organisasi semacam PSI (Partai Sosialis Indonesia),

ataupun dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).220

Salah satu tujuan situs Indo-marxist adalah untuk mengisi kekosongan atas

literatur-literatur Marxisme dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut dipandang perlu

karena sejak kemenangan kaum kontra-revolusi pada 1965, ide-ide kiri serta

gerakan kaum kiri dibasmi secara sistematis dan terus-menerus, baik secara legal

maupun tidak. Tujuan lainnya adalah untuk memperjuangkan nasib kaum buruh

dan melawan kapitalisme. Meskipun Orde Baru saat ini telah runtuh, rejim

kapitalis dengan wajah lain masih terus bercokol di Indonesia. Karena itu mereka

juga menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme dan memperjuangkan nasib

kaum buruh. Kebebasan yang ada saat ini dinilai hanya bersifat semu dan dalam

batas-batas kepentingan kaum kapital.

Sesuai dengan nama dan pergerakan yang dianut oleh penggagasnya, situs

indo-marxist banyak memuat karya atau pemikiran Karl Marx dan Vladimir Ilyich

Lenin. Situs ini juga memuat karya tokoh-tokoh Marxist lain seperti “Akar dan

Fungsi Sosial Dunia Sastra” (Leon Trotsky) yang membahas perdebatan mengenai

“seni murni” dan seni bertendensi yang sering terjadi di antara kaum liberal dan

kaum “populis”, “Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga” (Fidel Castro) dan

juga tulisan Mao Zedong yang berjudul “Diktatur Demokrasi Rakjat”. Situs

tersebut juga memuat riwayat singkat tokoh-tokoh Marxist Perempuan seperti

220 diambil dari profil situs www.indo-marxist.com

250

Rosa Luxemburg, Nadezhda Krupskaya dan Inessa Armand. Kita juga bisa

menemukan riwayat singkat dari tokoh komunis Indonesia seperti Sneevliet,

Roque Dalton, Amir Syarifuddin dan H. Misbach.221

3.3. Beberapa Aspek yang Mempengaruhi Produksi Wacana

Pada level mikro, hasil analisis teks yang dilakukan terhadap berita tentang

PKI pada Kompas dan Republika memperlihatkan sikap yang berbeda. Mengenai

usulan pencabutan Ketetapan MPRS/XXV/1966, Kompas cukup seimbang dalam

menampung pandangan pihak yang pro-kontra. Tema mengenai PKI sebagai aktor

G30S atau justru sebagai korban diskriminasi, komunisme sebagai ideologi yang

berbahaya atau telah menjadi ideologi usang, semua diwadahi oleh Kompas. Tapi

ketika masalah caleg eks PKI muncul, Kompas menampilkan wacana lain, koran

ini tidak lagi terpaku pada wacana tentang bahaya komunisme atau peran PKI

dalam G30S, Kompas lebih melihat orang-orang PKI sebagai korban diskriminasi

Orde Baru. Jika Kompas mengalami perubahan sikap dalam berita tentang PKI,

Republika bersikap lain. Surat kabar yang dianggap sebagai salah satu

representasi media Islam ini tetap negatif dalam mengangkat masalah PKI, baik

saat membahas usulan pencabutan Tap maupun soal caleg eks PKI. Wacana yang

dikembangkan Republika adalah; PKI sebagai pemberontak, kejam, dan ideologi

komunis adalah ideologi yang berbahaya.

Pada level makro yang mengkaji perkembangan wacana dalam masyarakat,

penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa literatur yang ada menggambarkan

221 Ibid.

251

bagaimana Orde Baru menyebarluaskan dan mengukuhkan wacana tentang PKI

lewat berbagai medium. Orde Baru menggambarkan orang komunis sebagai

pemberontak, suka meneror, menyusup, dan anti tuhan. Penggambaran negatif itu

disebarkan lewat berbagai cara, nisalnya lewat buku pelajaran, pidato kenegaraan

sampai film. Pada sisi lain, orang-orang yang dituduh sebagai komunis dan

oposisi Orde Baru mengembangkan wacana alternatif, baik di dalam maupun luar

negeri. Mereka menggugat kebenaran versi Orde Baru, mempertanyakan sejauh

mana keterlibatan PKI maupun Soeharto dalam G30S serta menggugat

diskriminasi yang dilakukan terhadap orang-orang komunis. Wacana tersebut

tetap hidup dan dikembangkan dalam medium-medium yang tidak terjangkau oleh

represi Orde Baru, misalnya lewat penerbitan bawah tanah dan internet. Wacana

yang semula hanya menjadi wacana pinggiran terus berkembang, dan setelah

Soeharto turun berkembang menjadi wacana tandingan yang men-delegitimasi

wacana versi Orde Baru.

Bagian ini berusaha melihat secara lebih dekat keterkaitan antara wacana

yang beredar dalam masyarakat dengan produksi wacana dalam media massa.222

Menganalisis aspek apa saja yang mempengaruhi proses produksi berita Kompas

dan Republika sehingga menghasilkan wacana tentang PKI yang berbeda di antara

keduanya. Analisis ini menggunakan beberapa point yang menjadi fokus perhatian

222 Dalam analisis model van Dijk, metode yang dipakai untuk melihat kaitan antara level mikro

(teks) dan level makro (produksi wacana dalam masyarakat) adalah dengan cara wawancara mendalam terhadap wartawan penyusun teks berita untuk mengetauhi kognisi sosial wartawan sehingga menghasilkan teks tertentu. Dengan demikian, analisis terhadap beberapa aspek yang mempengaruhi produksi wacana yang ada dalam penelitian ini bukan sebagai “jembatan” yang menghubungkan level makro dengan mikro karena tidak dilakukan lewat wawancara terhadap wartawan, tetapi sebagai bagian tambahan dari analisis sosial (level makro) melalui kajian pustaka yang melihat beberapa faktor yang diasumsikan mempengaruhi media massa dalam produksi teks berita.

252

dari analisis wacana kritis yang dinilai paling relevan dengan konteks penelitian

ini seperti, sejarah, kekuasaan, konteks dan ideologi.223

3.3.1. Ideologi Media

Media massa mempunyai sistem nilai khusus yang berbeda antara satu

media dengan media lain, dan sistem nilai tersebut mempengaruhi pola kerja

sehingga menghasilkan produk yang berbeda pula. Sistem nilai yang dianut suatu

kelompok dapat dikategorikan sebagai ideologi, dan salah satu penganut konsep

ideologi semacam ini adalah Teun van Dijk. Dalam konsep yang dikembangkan

van Dijk, ideologi dilihat sebagai sistem nilai yang dimiliki suatu kelompok dan

bertujuan mengkoordinasikan praktek sosial anggota, merealisasikan tujuan, serta

melindungi kepentingan mereka. Namun Kompleksitas kehidupan manusia

modern saat ini membuat individu tidak hanya aktif dalam satu kelompok, tapi

terlibat dalam berbagai organisasi sosial maupun politik. Seorang individu bisa

menjadi jurnalis dan pada sisi lain dia juga bisa aktif dalam organisai keagamaan,

menjadi anggota kelompok pecinta lingkungan, pejuang HAM maupun organisasi

lainnya. Jika sebuah kelompok mempunyai sistem nilai, maka seorang individu

bisa mempunyai beberapa sistem nilai atau ideologi dari masing-masing

organisasi yang diikutinya. Seseorang bisa menjadi jurnalis profesional, tapi pada

sisi lain bisa menjadi pejuang HAM atau aktivis lingkungan, tergantung konteks

yang melingkupinya. Karena itu, dalam analisis wacana versi van Dijk, untuk

223 untuk point selengkapnya mengenai fokus kajian dalam analisis wacana, lihat Teun A.van Dijk,

“Opinions and Ideologies in The Press,” dalam Allan Bell and Peter Garrett (ed), Approach to Media Discourse, Oxford: Blackwell Publisher, 1998, hlm. 61-62

253

melihat produksi wacana dan ideologi yang dikandungnya minimal harus melihat

dua hal, yakni ideologi profesional dan dan ideologi sosial politiknya.224 Konsep

ideologi semacam inilah yang akan coba dipakai dalam menjelaskan pola

pemberitaan Kompas dan Republika yang dinilai memperlihatkan kecenderungan

tertentu.

Ketika mengangkat berita tentang usulan pencabutan Tap, Kompas

berusaha melihat usulan tersebut bersifat kontroversial dan berusaha memaparkan

pandangan dari kedua kubu, yakni pihak yang pro dan kontra. Sistem nilai yang

tersirat dari berita-berita yang diturunkan Kompas mencerminkan ideologi

profesional. Ciri-ciri ideologi profesional dalam jurnalistik antara lain bersikap

obyektif, jujur dan tidak memihak.225 Dalam pemberitaan Kompas mengenai

usulan pencabutan Tap, Kompas berusaha menampilkan diri sebagai institusi yang

menyampaikan informasi secara cover both side, adil dan menampung pendapat

pihak-pihak yang setuju maupun tidak setuju dengan usulan Gus Dur.

Dalam berita tentang caleg eks PKI, Kompas tidak lagi menampilkan diri

sebagai jurnalis profesional yang berada di tengah dua pihak yang pro-kontra tapi

berusaha sebagai aktivis HAM yang menyuarakan nasib orang-orang PKI yang

diperlakukan secara diskriminatif. Pengembalian hak politik orang-orang PKI

dinilai sebagai terobosan bagi bangsa Indonesia dalam menghilangkan

diskriminasi. Perbedaan ideologi dalam kedua masalah yang diangkat oleh

Kompas kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik kedua peristiwa.

224 Teun van Dijk, Political Discourse and Ideology, diambil dari situs www.hum.uva.nl/teun. 225 James Curran (et.al), “The Study of The Media: Theoritical Approach”, dalam Oliver Boyd-Barrett& Peter Graham, Media, Knowledge and Power, Rootledge, London&New York: Open University, 1990, hal: 67.

254

Masalah pencabutan Tap hanya bersifat usulan sedangkan masalah caleg berupa

keputusan final. Konteks sosial berupa tekanan-tekanan kelompok massa yang

sering menimpa media massa dan banyaknya aksi massa yang menolak usulan

Gus Dur membuat Kompas mengambil posisi netral.

Republika dalam berita-berita mengenai usulan pencabutan Tap maupun

caleg eks PKI memperlihatkan kecenderungan yang sama, yakni sebagai media

religius-nasionalis. Dalam masalah PKI, Republika hampir senantiasa menolak

kehadiran PKI dan komunisme dengan dasar konstitusi negara. Lewat berbagai

kutipan pendapat yang dimuat, seringkali Republika menyatakan menolak

komunisme karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila,

tertutama tentang ketuhanan, atau klaim bahwa komunisme adalah anti agama

tidak bisa hidup bersandingan dengan orang-orang yang beragama. Jika dilihat

lebih jauh, religiusitas yang dikandung oleh Republika adalah Islam sebab rujukan

konstitusi yang dipakai oleh Republika, baik itu Pancasila maupun UUD 1945

kebanyakan mengarah pada masalah Ketuhan yang Maha Esa. Jika dilihat lebih

jauh lagi, religiusitas yang dikandung oleh Republika adalah Islam, sebagaimana

diketahui secara umum, Republika memang menyatakan diri sebagai koran Islam.

Hal tersebut juga bisa dilihat dari sumber berita yang dipakai Republika dalam

berita mengenai PKI yang mayoritas berasal dari kelompok Islam seperti

kelompok Poros Tengah, Muhammadiyah dan NU.

Jika dilihat dari konsep ideologi Stuart Hall, Kompas dan Republika

bersifat ideologis karena hanya beroperasi dalam kategori yang diterima secara

dominan. Media bersifat ideologis bukan karena memihak kelompok dominan

255

secara langsung dan terang-terangan. Agar dalam operasionalisasi sehari-hari

tampak seimbang dan independen, media tidak secara langsung memihak

penguasa maupun kelompok dominan atau membelokkan berita untuk

melapangkan definisi dominan. Tapi media harus sensitif terhadap dan hanya bisa

bertahan secara legitimate dengan beroperasi dalam batasan atau kerangka yang

disetujui oleh mayoritas.226

Kompas dan Republika bersifat ideologis karena berita tentang PKI yang

produksi keduanya masih berada dalam frame yang masih bisa diterima oleh

kelompok mayoritas dan menghilangkan wacana penting lain yang kemungkinan

besar tidak bisa diterima oleh kelompok mayoritas. Sensitifitas masalah Islam

versus PKI berdampak pada absennya beberapa aspek dalam wacana yang

dikembangkan oleh Kompas dan Republika, misalnya mengenai pembunuhan

pasca G30S. Pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota

dan simpatisan PKI berlangsung pada saat pembubaran PKI setelah peristiwa

G30S meletus dan korban jiwa yang jatuh mencapai ratusan ribu bahkan jutaan

jiwa. Memang kelompok Islam bukan satu-satunya pihak yang terlibat dalam

peristiwa tersebut, sebab militer dan kelompok lain juga diduga terlibat. Namun

pembubaran PKI yang terjadi di Jawa Timur digerakkan oleh kelompok NU,

sebagai kelanjutan dari konflik yang telah terjadi pada masa sebelumnya.

Pembunuhan massal terhadap pendukung PKI juga terjadi di Aceh, pemimpin

Islam di daerah tersebut melihat PKI sebagai ancaman, dan pembasmian terhadap

226 Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam

Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal: 362.

256

kaum komunis dilihat sebagai perang sabil. Sebenarnya Pangdam Aceh Ishak

Djuarsa berusaha membatasi pembunuhan hanya kepada kader-kadernya saja,

namun karena banyak tentara mempunyai pandangan yang sama seperti pemimpin

Islam di sana, pembunuhan melebar pada seluruh keluarga bahkan sampai

pembantunya. Masalah tersebut absen dari pemberitaan media karena dampak

sosial politiknya cukup besar. Membicarakan peran kelompok Islam dalam

pembunuhan terhadap orang-orang PKI tentu bukan hal yang mudah, sebab bisa

memancing kemarahan kelompok Islam.

Jika dilihat dari spektrum ideologi yang lebih besar, yakni kapitalisme,

pemberitaan Kompas dan Republika yang masih sejalan dengan pandangan

kelompok dominan dan menghilangkan wacana lain yang tidak sejalan adalah

untuk menjamin stabilitas ekonomi media, agar kepentingan eknomi media berupa

perolehan keuntungan dari pelanggan berita maupn pemasang iklan tetap masuk

ke media yang bersangkutan. Menampilkan isu-isu sensitif yang tidak bisa

diterima oleh khalayak secara umum dinilai akan kontra produktif bagi akumulasi

kapital media.

3.3.2. Sejarah PKI

Dalam analisis wacana kritis, aspek historis atau sejarah menjadi salah satu

faktor penting dalam memahami latar belakang suatu masalah yang terjadi pada

masa lalu dan bagaimana pengaruhnya terhadap produksi wacana saat ini. Untuk

memahami produksi wacana mengenai PKI, perlu dilihat kembali secara singkat

konflik sosial politik yang terjadi pada saat PKI hidup di Indonesia, baik konflik

257

dengan kelompok Islam maupun kelompok lain. Gesekan yang terjadi antara

kelompok komunis dengan kelompok Islam sudah terjadi sebelum Indonesia

merdeka, saat keduanya bernaung dalam Sarekat Islam (SI). Akibat dari konflik

tersebut adalah pecahnya SI menjadi SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto,

dan SI Merah yang di kemudian hari menjadi partai komunis. Setelah Indonesia

merdeka, Konflik besar yang melibatkan PKI mulai berlangsung pada masa

Demokrasi Terpimpin, di mana kekuatan politik saat itu terpusat pada Presiden

Soekarno, TNI dan PKI. Bung Karno melihat PKI sebagai partai besar yang bisa

dimanfaatkan Bung Karno sebagai basis kekuatan politik untuk mengimbangi

dominasi TNI, sebab saat itu PNI sebagai basis politik Bung Karno telah hancur.

Sementara PKI juga butuh Bung Karno untuk dapat melaju ke puncak kekuasaan

dan sekaligus mengimbangi kekuatan TNI. Persaingan antara PKI dan TNI terus

berlangsung pada masa itu untuk menuju puncak kekuasaan atau minimal menjadi

“anak emas” Bung Karno

Saat itu kekuatan kelompok Islam juga cukup besar, pada masa demokrasi

liberal NU dan Masyumi mendapat kursi palemen yang hampir sama dengan yang

didapatkan PKI dan PNI, namun Bung Karno lebih tertarik pada PKI antara lain

karena dinilai lebih memahami ide-ide revolusioner Bung Karno. PKI sendiri

melihat kekuatan politik Islam patut diperhitungkan. Salah satu keberhasilan PKI

dalam menggulung kekuatan politik Islam adalah menggiring Bung Karno untuk

membubarkan Masyumi, sehingga parpol Islam yang besar saat itu tinggal

Nahdlatul Ulama. Namun demikian bukan berarti eksisitensi kelompok NU tidak

digoyang oleh PKI. Untuk memperbesar dukungan rakyat, PKI melaksanakan

258

kampanye pengadaan tanah bagi rakyat dengan mendesak implementasi Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) yang megatur pembagian tanah serta undang-

undang bagi hasil. PKI menilai pelaksanaan UUPA oleh pemerintah sangat lambat

sehingga mengambil inisiatif untuk melaksanakan undang-undang tersebut

sendiri, gerakan ini dikenal dengan Aksi Sepihak. Kelompok yang paling terkena

imbas dari gerakan PKI terutama yang berada di Jawa Timur adalah kelompok

NU, sebab para kiai pengasuh pondok pesantren biasanya mempunyai lahan

pertanian cukup luas yang berasal dari milik pribadi sang kiai maupun hasil wakaf

atau pemberian dari pihak lain. Hal itu memicu konflik yang tidak lagi bersifat

vertikal antara kaya dan miskin tapi bergeser menjadi konflik atas nama agama.

Kekerasan yang memakan korban jiwa terjadi antara kedua kelompok dan terus

berlangsung pada masa itu, puncaknya adalah pembunuhan terhadap orang-orang

PKI ketika partai tersebut dibubarkan pasca G30S.

Peta konflik tahun 60-an tersebut mempengaruhi Kompas dan Republika

dalam membincangkan masalah PKI. Hal tersebut bisa difahami jika dikaitkan

dengan latar belakang atau sejarah berdirinya kedua media. Kompas didirikan atas

inisiatif Partai Katolik dan sejumlah jurnalis katolik. Ketika ada kebijakan yang

mewajibkan pers harus berada dalam naungan partai politik, Kompas memilih

masuk dalam Partai Katolik. Saat Partai Katolik difusikan ke dalam PDI pada

tahun 1973, Kompas mulai berusaha menjadi koran independen dan lebih

berorientasi bisnis. Meskipun demikian, latar belakangnya sebagai surat kabar

yang dekat dengan kekuatan katolik mempengaruhi posisi Kompas dalam

259

berbagai perdebatan politik, terutama menyangkut atau menyinggung kekuatan

politik Islam.227

Hal ini berbeda dengan Republika yang didirikan atas inisiatif kelompok

Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Republika mendefinisikan

diri sebagai koran yang mencoba menghadirkan pemberitaan dalam perspektif

Islami. Republika didirikan oleh Yayasan Abdi Bangsa (YAB) dimana mayoritas

anggotanya adalah tokoh-tokoh Islam yang aktif dan berpengaruh dalam Majelis

Ulama Indonesia (MUI). Selain program kerjanya diselaraskan dengan MUI,

YAB sendiri punya program utama selain Republika, yaitu Islamic Centre dan

CIDES. Ketiganya diarahkan untuk kepentingan pemberdayaan umat Islam

Indonesia yang masih relatif terbelakang kehidupan ekonomi politiknya. Selain itu

karyawan Republika adalah muslim yang punya komitmen cukup tinggi terhadap

keberadaan umat Islam di Indonesia. Pendekatan terhadap umat Islam agar ikut

merasa memiliki Republika juga dilakukan dengan cara menjual 2,9 juta saham

surat kabar tersebut kepada kaum muslim Indonesia.

Dengan peta konflik yang demikian, bisa difahami kenapa Kompas dan

Republika tidak memunculkan masalah-masalah sensitif dalam beritanya. Pada

satu sisi Kompas tidak bisa menampilkan isu sensitif karena “takut” dengan reaksi

yang akan muncul dari kelompok Islam dan pada sisi lain republika juga tidak

akan memunculkan isu sensitif karena sebagai koran Islam, Republika tidak akan

berita yang negatif menyangkut kelompoknya atau kelompok yang menjadi basis

pasarnya

227 Bimo Nugroho dkk, Politik Media Mengemas Berita, 1999, Jakarta: Intitus Studi Arus

Informasi, hal: 7

260

3.3.3. Kekuasaan Politik

Ditinjau dari aspek kekuasaan, peranan kelompok Islam juga menjadi salah

satu kunci dalam memahami proses produksi berita tentang PKI pasca reformasi.

Seperti telah disampaikan sebelumnya, selain kelompok Islam yang terlibat dalam

konflik tahun 60-an adalah TNI, terutama Angkatan Darat (AD). Kelompok AD

yang pimpinan Soeharto “memenangkan” konflik tahun 60-an dan membangun

kekuasaan yang diberi nama Orde Baru. Soeharto melanggengkan kekuasaannya

menggunakan Repressive State Aparatus (misalnya lewat penggunaan kekuatan

militer) dan melalui Ideological State Aparatus (lewat buku, media massa dll).

Pasca reformasi, pendulum kekuasaan yang semula didominasi kelompok

militer bergerak menuju sipil. Posisi kelompok militer dalam kancah politik pasca

reformasi melemah akibat tekanan dari dalam maupun luar negeri karena dugaan

pelanggaran HAM dalam beberapa peristiwa yang ditangani secara represif oleh

militer pada masa lalu. Pada masa reformasi jumlah personil militer dalam tubuh

pemerintahan dikurangi dan posisi mereka di parlemen pun dipangkas. Pada sisi

lain, kelompok sipil Islam mulai tampil dalam pentas politik Indonesia. Hal ini

bisa dilihat dari perolehan suara partai yang berbasis kelompok Islam seperti

PKB, PPP, PAN dan PBB dalam pemilu 1999 yang masuk dalam lima besar.

Kelompok Islam juga berhasil menggalang kekuatan parlemen dalam bentuk

koalisi yang bernama “Poros Tengah” dan berhasil menggagalkan pencalonan

Megawati dari PDI-P untuk menjadi presiden. Tampilnya Poros Tengah dalam

panggung politik Indonesia memang tidak seperti Orde Baru yang represif, namun

mereka mempunyai posisi penting dalam pergulatan wacana politik nasional.

261

Ketika wacana pencabutan Tap tentang komunisme muncul, kelompok

Poros Tengah menjadi salah satu pihak yang paling keras bersuara dan

pendapatnya sering dikutip media massa. Bahkan kelompok Poros Tengah

melontarkan wacana yang bernada ancaman terhadap Gus Dur, mereka tidak

segan untuk membawa Gus Dur ke Sidang Istimewa MPR jika tetap bersikukuh

mencabut Tap tentang komunisme. Hal ini memang tidak mempengaruhi Kompas

secara langsung, namun pro-kontra yang timbul dalam masalah usulan pencabutan

Tap membuat Kompas harus hati-hati dalam pemberitaannya, apalagi yang

terlibat dalam perdebatan tersebut adalah kelompok elite politik, antara pejabat

eksekutif dan kelompok legislatif.

3.3.4. Konteks Sosial

Analisis konteks mengenai kondisi sosial juga diperlukan untuk memahami

proses produksi wacana tentang PKI. Dibukanya kran kebebasan pasca reformasi

membuat setiap kelompok masyarakat bebas menyatakan sikap dan pendapat

sesuai keinginan masing-masing. Namun iklim kebebasan tersebut kadangkala

justru kontra produktif bagi kebebasan pers Indonesia. Salah satu anomali dari

kebebasan pasca reformasi adalah maraknya aksi massa terhadap media massa.

Kelompok yang tidak puas dengan pemberitaan yang dilakukan oleh sebuah

media massa seringkali mendatangi media bersangkutan dengan jumlah massa

yang besar dan biasanya disertai ancaman. Aksi massa semacam ini dilakukan

oleh berbagai kelompok, dari pihak pengusaha, organisasi sosial politik sampai

262

kelompok yang mengatasnamakan Islam, seperti PDI-P, NU/PKB, Front Pembela

Islam, Laskar Jihad, Front Umat Islam dll.

Kompas juga tidak luput dari aksi massa yang dilakukan oleh kelompok

Islam. Misalnya pada tanggal 20 Juli 1999, Kompas didatangi puluhan orang yang

menamakan diri Laskar Jihad dan memprotes pemberitaan harian ini yang dinilai

menyudutkan umat Islam. Mereka menilai Kompas sering mengadu domba umat

Islam dengan pemerintah melalui pemberitaan besar-besaran apabila ada daerah

yang mayoritas penduduknya Islam sedang bermasalah dengan pemerintah.228

Kondisi yang demikian membuat media yang berlatar belakang non Islam

semacam Kompas harus ekstra hati-hati dalam mengangkat berita yang

menyangkut kelompok Islam, termasuk masalah PKI dan komunisme.

Keterlibatan kelompok Islam dalam konflik dengan PKI pada masa lalu

membuat Kompas dan Republika berhati-hati dalam memberitakan masalah

tersebut. Apalagi dalam masyarakat juga ada pandangan yang melihat Islam dan

Marxisme-komunisme secara konfrontatif. Abdul Qadir Djaeani, anggota DPR RI

periode 1999-2004 dalam sebuah ceramah menyatakan bahwa musuh Islam yang

paling berbahaya adalah PKI.229 Kompas sadar betul, jika mengangkat tema-tema

sensitif yang menyangkut kelompok Islam, hal itu akan mengundang reaksi yang

lebih besar. Pada akhirnya Kompas memang tetap mengembangkan wacana

mengenai PKI, tapi sebisa mungkin menghindari pembahasan yang menyinggung

keterlibatan atau menyudutkan kelompok Islam secara langsung. Tema-tema yang

kemudian muncul dalam berita-berita Kompas adalah mengenai bahaya tidaknya 228 “Laskar Jihad Protes Kompas”, Pantau 06/ Oktober-November 1999 229 “Benahi Dulu Ekonomi, Baru Bicara Tap MPRS XXV/1966”, Kompas, Jum’at, 07-04-2000,

hal: 6

263

ideologi komunis, siapa dalang di balik G30S atau bagaimana orang-orang PKI

telah diperlakukan secara diskriminatif.

Demikian juga halnya dengan Republika, karena menyatakan diri sebagai

koran yang didirikan oleh orang Islam dan basis pasarnya adalah umat Islam,

tentu Republika tidak mau mengambil resiko mengangkat berita yang

menyinggung perasaan para pelanggannya. Akhirnya tema yang dimunculkan

Republika hampir selalu dalam perspektif kelompok Islam, misalnya mengenai

bahaya komunisme dan kekejaman serta teror yang dilakukan PKI terhadap orang

Islam. Dalam salah satu berita, Republika memuat pernyataan Ketua Umum

PBNU KH Hasyim Muzadi yang mengaku pada masa lalu sempat diteror oleh

orang-orang PKI.

3.3.5. Konteks Peristiwa

Bagi Kompas, konteks peristiwa yang berbeda mempengaruhi kebijakan

produksi berita sehingga menghasilkan wacana yang berbeda. Pada tahun 2000,

wacana seputar masalah PKI dan komunisme muncul ketika Gus Dur yang masih

menjabat sebagai Presiden RI mengusulkan agar Tap yang mengatur larangan

terhadap penyebaran komunisme dicabut. Sampai saat sekarang masalah itu hanya

sebatas usulan, tidak ditindaklanjuti oleh institusi yang berwenang mencabutnya,

yakni MPR. Pada saat itu kekuatan politik Gus Dur juga tidak begitu besar

sehingga tidak bisa menekan parlemen untuk menindaklanjuti usulannya seperti

lazimnya yang terjadi pada masa Orde Baru. Usulan tersebut justru menjadi

senjata kelompok Poros Tengah -kelompok yang semula mendukung Gus Dur

264

menjadi presiden dan pada akhirnya menjadi lawan politik- untuk menggoyang

kekuasaan Gus Dur, dengan mengarahkan wacana yang semula mengenai

pencabutan Tap ke arah Sidang Istimewa untuk menjatuhkan Gus Dur. Dengan

polarisasi yang cukup kuat saat itu, Kompas memilih untuk tidak condong pada

salah satu pihak. Sikap yang biasa diambil Kompas ketika menyangkut masalah

yang kontroversial adalah bersikap netral, jalan terbaik dan tidak beresiko bagi

Kompas adalah dengan mengakomodasi kedua pihak.

Berbeda dengan usulan pencabutan Tap, masalah caleg eks PKI mempunyai

kekuatan hukum tetap dan bersifat final. Mahkamah Konstitusi menetapkan

orang-orang eks PKI boleh menjadi caleg, dan keputusan tersebut tidak dapat

diganggu gugat. Apalagi MK juga menghimbau agar putusan tersebut tidak

diperdebatkan lagi. Reaksi terhadap keputusan MK memang tidak seheboh saat

Gus Dur mengusulkan pencabutan Tap tentang komunisme sebab sangat sulit

untuk membatalkan putusan tersebut lewat jalur hukum. Apalagi saat putusan

tersebut dibuat perhatian bangsa Indonesia tengah tercurah pada persiapan pemilu.

Para tokoh yang dulu menolak pencabutan Tap hanya pasrah menerima putusan

MK karena tidak bisa berbuat banyak. Dengan adanya keputusan MK, Kompas

beranjak satu langkah dalam mengangkat masalah PKI, yakni dari sebatas

penampung kontroversi menjadi corong masalah HAM. Dengan “modal”

keputusan MK seharusnya Kompas bisa mengembangkan wacana lain yang

sejenis, yakni pembunuhan terhadap orang-orang PKI pasca G30S. Namun tema

itu tidak dilakukan oleh Kompas sebab hal itu akan menyangkut beberapa

kelompok, antara lain kelompok Islam dan militer.

265

Perbedaan konteks peristiwa tidak berpengaruh bagi proses produksi berita

Republika. Hal ini bisa difahami sebab bagi sebagian kelompok Islam, PKI dan

komunisme adalah sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebagai

koran yang mengklaim sebagai corong kelompok Islam, tidak ada alternatif lain

bagi Republika kecuali ikut dalam arus sebagian kelompok Islam yang menjadi

basis pasarnya, yakni menolak kehadiran PKI. Pada satu sisi Republika

menyatakan menerima keputusan MK dan bisa memaafkan orang-orang PKI, tapi

pada sisi lain masih menolak kehadiran kembali PKI dan komunisme dalam

panggung politik Indonesia.

266