perbankan, masyarakat dan learning organization by daniel doni sundjojo

14
1/14 Masyarakat sebagai Katalis Peningkatan Integritas Perbankan Nasional melalui Konsep Learning Organization Daniel Doni Sundjojo Perbankan Nasional bagai mengalami efek kejut dalam satu dekade terakhir ini. Pada era Perbankan Nasional di masa lalu, perbankan nampak seperti benteng dengan tembok tinggi, pintu yang tertutup rapat, serta sungai yang mengalir mengitari benteng, sehingga sangat sulit bagi masyarakat awam untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi sebenarnya di dalam benteng tersebut. Masyarakat dipaksa dan terpaksa percaya pada informasi yang dikeluarkan pihak bank, yang harus ditelan mentah-mentah, bahkan tanpa mengunyah sekalipun. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Saat itu, masyarakat menilai sehat atau tidak, bonafid atau tidak suatu bank dari hal-hal yang nampak di permukaan, misalnya berapa jumlah cabang yang tersebar di seluruh penjuru kota, baik kota besar maupun kota kecil, berapa jumlah mesin ATM ( Anjungan Tunai Mandiri) yang dimiliki oleh bank tersebut, megah tidaknya bangunan bank, dan sebagainya. Pada tahun 1990an, kita bisa melihat banyak sekali bank baru bermunculan dengan cabang yang bertebaran di pelosok kota. Bank-bank baru tersebut bermunculan dengan berbagai atribut yang meyakinkan : gedung megah, fasilitas lengkap, jumlah cabang yang tersebar di seluruh kota, bahkan bukan tidak mungkin menyebar di seluruh jalan besar di kota tersebut. Melalui tawaran suku bunga serta fasilitas yang menggiurkan, tidaklah sulit bagi bank untuk merangkul masyarakat sebagai nasabahnya. Banyak masyarakat yang tertarik karena melihat berbagai fasilitas yang ditawarkan disertai dengan profil bank yang nampak meyakinkan, paling tidak yang nampak dengan mata telanjang. Namun semua gambaran itu ternyata hanyalah fatamorgana belaka, ketika tersiar berita bahwa mayoritas bank di Indonesia, di balik kemegahannya, menyimpan potensi bankrut yang cukup besar. Ibarat penderita kanker, banyak bank yang saat itu sudah memasuki stadium empat. Masyarakat pun bagai terbangun dari tidurnya, sadar bahwa mereka selama ini disuguhi sinetron yang membuai

Upload: daniel-doni

Post on 07-Dec-2014

754 views

Category:

Business


1 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

1/14

Masyarakat sebagai Katalis Peningkatan Integritas Perbankan Nasional melalui Konsep

Learning Organization

Daniel Doni Sundjojo

Perbankan Nasional bagai mengalami efek kejut dalam satu dekade terakhir ini. Pada era

Perbankan Nasional di masa lalu, perbankan nampak seperti benteng dengan tembok

tinggi, pintu yang tertutup rapat, serta sungai yang mengalir mengitari benteng, sehingga

sangat sulit bagi masyarakat awam untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi

sebenarnya di dalam benteng tersebut. Masyarakat dipaksa dan terpaksa percaya pada

informasi yang dikeluarkan pihak bank, yang harus ditelan mentah-mentah, bahkan tanpa

mengunyah sekalipun. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat diakses

oleh masyarakat. Saat itu, masyarakat menilai sehat atau tidak, bonafid atau tidak suatu

bank dari hal-hal yang nampak di permukaan, misalnya berapa jumlah cabang yang

tersebar di seluruh penjuru kota, baik kota besar maupun kota kecil, berapa jumlah mesin

ATM ( Anjungan Tunai Mandiri) yang dimiliki oleh bank tersebut, megah tidaknya

bangunan bank, dan sebagainya. Pada tahun 1990an, kita bisa melihat banyak sekali bank

baru bermunculan dengan cabang yang bertebaran di pelosok kota. Bank-bank baru

tersebut bermunculan dengan berbagai atribut yang meyakinkan : gedung megah, fasilitas

lengkap, jumlah cabang yang tersebar di seluruh kota, bahkan bukan tidak mungkin

menyebar di seluruh jalan besar di kota tersebut. Melalui tawaran suku bunga serta

fasilitas yang menggiurkan, tidaklah sulit bagi bank untuk merangkul masyarakat

sebagai nasabahnya. Banyak masyarakat yang tertarik karena melihat berbagai fasilitas

yang ditawarkan disertai dengan profil bank yang nampak meyakinkan, paling tidak yang

nampak dengan mata telanjang. Namun semua gambaran itu ternyata hanyalah

fatamorgana belaka, ketika tersiar berita bahwa mayoritas bank di Indonesia, di balik

kemegahannya, menyimpan potensi bankrut yang cukup besar. Ibarat penderita kanker,

banyak bank yang saat itu sudah memasuki stadium empat. Masyarakat pun bagai

terbangun dari tidurnya, sadar bahwa mereka selama ini disuguhi sinetron yang membuai

Page 2: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

2/14

mimpi mereka. Masyarakat pun panik melihat begitu banyak bank yang mendadak harus

tutup, atau paling tidak dimerger. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan Indonesia

menurun drastis. Banyak masyarakat yang memilih memindahkan dananya ke bank

asing, baik yang berkedudukan di Indonesia ataupun yang benar-benar beroperasi di luar

negeri. Akibatnya, rush terjadi hampir di setiap bank-bank Indonesia, mulai dari bank

kecil, bank yang sedang berkembang hingga bank yang sudah well established, semuanya

merasakan dampaknya. Pemerintah sampai turun tangan untuk menjamin dana

masyarakat yang tersimpan di bank untuk meredam kepanikan yang melanda masyarakat.

Langkah itupun tidak terlalu manjur bagi masyarakat. Tetap saja penarikan dana besar-

besaran terjadi di hampir seluruh bank.

Sejak kejadian tersebut, masyarakat nampak trauma dengan Perbankan Nasional, disertai

kemudahan masyarakat untuk berinteraksi dengan bank asing, membuat masyarakat

semakin apatis dengan bank-bank Nasional. Jarang sekali masyarakat bersedia

menanamkan dananya dalam bentuk deposito ataupun investasi jangka panjang di bank-

bank Nasional. Apalagi disertai dengan semakin kritisnya masyarakat serta ditunjang dari

peran teknologi informasi yang semakin mencengkeram sendi-sendi kehidupan manusia,

membuat masyarakat dibanjiri beragam informasi, bahkan secara real time mengenai

segala sesuatu mengenai Perbankan Nasional. Fenomena tersebut membuat masyarakat

semakin peka dan sensitif dalam menyikapi informasi yang berkaitan dengan Perbankan

Nasional. Perbankan tidak lagi dapat memposisikan diri mereka sebagai benteng. Ketika

arus informasi mengalir tanpa batas, disertai dengan peran globalisasi yang membuat

seluruh kejadian di dunia ini bagai terkena efek resonansi, dimana kejadian yang terjadi

di belahan bumi manapun, baik di Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Singapura, Nigeria,

Brazil, Inggris, Perancis, serta negara manapun di dunia ini, sedikit banyak akan

memberikan dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi Indonesia.

Ketika Alan Greenspan, Kepala The Fed, Bank Sentral Amerika, menaikkan suku bunga,

dampaknya langsung terasa bagi Perbankan Nasional. Begitu juga ketika Alan Greenspan

digantikan Ben Bernanke, seorang professor dari Princeton University, efeknya memaksa

Perbankan Nasional berbenah menyikapi berbagai kebijakan baru The Fed pasca

pensiunnya Greenspan. Ketika Yen Jepang melemah, Perbankan Nasional juga terkena

imbasnya. Di satu sisi, masyarakat, yang semakin kritis dengan daya analisis yang tajam,

Page 3: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

3/14

menjadi semakin haus informasi. Mereka malahap semua informasi yang dengan begitu

mudahnya tersaji di depannya, baik melalui koran, internet, televisi, baik televisi lokal

maupun internasional yang dapat diakses masyarakat melalui TV kabel ataupun parabola,

serta berbagai media cetak maupun elektronik lainnya. Masyarakat sudah mereposisi

dirinya dari kambing congek yang mudah dibodohi menjadi seorang analis yang kaya

informasi dan memiliki bargaining power tinggi untuk memilih bank atas dasar informasi

yang didapatnya. Bank, dituntut tidak hanya mengiming-imingi masyarakat dengan

kemegahan yang dimilikinya, namun lebih pada kinerja serta valuenya. Bank, dituntut

untuk memberikan informasi sedetail dan setransparan mungkin mengenai kondisi aktual

bank tersebut. Itupun, masyarakat seringkali masih melakukan cross check terhadap

informasi yang diterima dari bank. Masyarakat menjadi semakin peka atas berbagai

informasi, rumor serta berbagai data yang menurutnya relevan.

Dengan adanya perilaku masyarakat yang seperti itu, serta ditunjang dari lingkungan

bisnis perbankan yang pada dasarnya uncontrollable dan unpredictable, dimana

perubahan sekecil apapun, yang terjadi di manapun di dunia ini, sedikit banyak, langsung

maupun tidak langsung, akan berdampak pada Perbankan Nasional, serta semakin

kompetitifnya tingkat persaingan antar bank, membuat bank dituntut untuk senantiasa

learning, mereview segala sesuatu yang terjadi di lingkungan bisnis. Bank dituntut untuk

mempelajari apa yang dibutuhkan masyarakat, dan bagaimana perilaku masyarakat, baik

yang sudah menjadi nasabah maupun yang belum. Saat ini, tidak ada jaminan bahwa

masyarakat yang sudah menjadi nasabah suatu bank, tidak akan memindahkan dananya

ke bank lain. Untuk itu, perbankan harus mampu menjadi lembaga yang benar-benar

proaktif dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi di lingkungan bisnisnya.

Masyarakat, saat ini bukan saja merupakan konsumen Perbankan Nasional, namun juga

katalis dalam meningkatkan integritas Perbankan Nasional. Masyarakat berperan sebagai

partner of change bagi perbankan nasional. Banyak sekali produk, kebijakan maupun

strategi bank yang bersumber dari masyarakat. Perbankan Nasional, dituntut untuk

berubah sebagai konsekuensi dari dinamika lingkungan bisnis perbankan yang

dikomandoi oleh masyarakat, untuk responsif dan adaptif terhadap perubahan, sekecil

apapun yang terjadi di lingkungan bisnis. Bank – bank yang tidak mampu meningkatkan

Page 4: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

4/14

kompetensinya, tidak mampu untuk menjadi learning organization, pelan namun pasti,

tergilas roda persaingan bisnis.

Peran Bank Indonesia sendiri, sebagai Bank Sentral bagi Perbankan Nasional semakin

menonjol. Kalau selama ini masyarakat menilai peran Bank Indonesia sebagai

penyeimbang apabila terjadi sesuatu yang buruk, telah berubah. Bank Indonesia, dituntut

untuk tidak hanya melakukan mekanisme perbaikan : ada suatu kejadian yang berdampak

buruk bagi Perbankan Nasional, lalu Bank Indonesia melakukan intervensi untuk

memperbaiki akibat dari dampak buruk tersebut. Namun, lebih dari pada itu, Bank

Indonesia dituntut untuk mampu mereview, menganalisis dan memprediksi berbagai

kejadian di dunia ini yang sekiranya akan membawa dampak bagi Perbankan Indonesia

serta melakukan langkah-langkah adaptif dan responsif terhadap fenomena tersebut. Hal

ini memacu Bank Indonesia untuk meningkatkan komunikasinya dengan masyarakat.

Saat ini, upaya Bank Indonesia untuk berkomunikasi dengan masyarakat sudah banyak

mengalami kemajuan dibandingkan dengan tahun 1990an. Sebagai ukuran yang

termudah, kita bisa melihat iklan-iklan layanan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Pada tahun 1990an sangat jarang Bank Indonesia memasang iklan yang tujuannya

berkomunikasi dengan masyarakat. Hal ini merupakan cerminan dari upaya Bank

Indonesia sebagai Bank Sentral untuk membuka diri dan melepas simpul-simpul

komunikasi dan arus informasi yang sempat kusut di masa lalu.

Kehadiran masyarakat yang semakin ”pintar” inilah yang menjadi titik balik bagi

peningkatan integritas perbankan nasional. Dengan adanya masyarakat yang semakin

memposisikan diri sebagai raja yang menuntut untuk mendapatkan pelayanan sesuai yang

dia inginkan dan butuhkan, menuntut setiap insan perbankan senantiasa learning,

meningkatkan kompetensi, mereview lingkungan bisnis perbankan sehingga berimplikasi

pada integritas lembaga perbankan itu sendiri. Perbankan yang selama ini terkesan

eksklusif dan tertutup dari dunia luar, lambat laun mulai open minded, responsif dan

adaptif terhadap dunia luar. Peran masyarakat telah menjadi katalis dalam transformasi

perbankan dalam upayanya memenuhi tuntutan masyarakat dan lingkungan bisnis. Saat

ini, perbankan sudah mulai berbenah untuk senantiasa learning. Banyak perbankan

mengadopsi konsep learning organization agar memiliki sustainable competitive

advantage dalam menghadapi lingkungan bisnis yang uncontrollable dan unpredictable.

Page 5: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

5/14

Dalam situasi yang makin kompetitif dewasa ini, dimana lingkungan bisnis selalu

berubah secara cepat dan radikal, bahkan dalam hitungan sepersekian detik, sampai ada

pameo yang mengatakan bahwa “ satu satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu

sendiri “ sebuah organisasi, termasuk bank, dituntut memiliki mental untuk belajar, dan

menciptakan learning climate dalam organsisasinya.

Ada banyak sekali pandangan yang menjelaskan bagaimana proses learning berlangsung

dalam sebuah organisasi, namun dari sekian banyak pandangan tersebut, yang paling

terkenal adalah pandangan Peter Senge (1990, 3) mengenai organisasi yang menerapkan

learning : “organizations where people continually expand their capacity to create the

results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured,

where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see

the whole together“ dalam hal ini perlu digaris bawahi kata kata continually, yang

merujuk pada berkesinambungannya proses learning. Bahwa kita, senantiasa harus

mengembangkan kapasitas kita tanpa henti, tidak hanya saat kita gagal , namun juga pada

saat kita berhasil. Mayoritas dari kita, hanya belajar saat kita mengalami hambatan. Hal

ini diperkuat oleh pandangan Wilson ( 1999, 191 ) “ learning is a process that is never

complete. This is partly because neither human beings nor the world we inhabit are

static“ Hal inilah yang mestinya dijadikan acuan bagi organisasi dalam menerapkan

learning, dimana harus disadari, bahwa learning merupakan proses iterative, yang selalu

berulang dan tidak akan pernah selesai. Dengan adanya proses learning maka akan

meningkatkan kapabilitas dan kompetensi dari organisasi yang pada akhirnya juga

meningkatkan performance organisasi itu sehingga menjadi competitive advantage yang

tiada habisnya dari organisasi itu, hal ini merupakan syarat utama bagi organsisasi

tersebut dalam memasuki iklim kompetisi yang semakin hari semakin kompetitif.

Berbagai macam atribut proses learning, ditujukan untuk membuat anggota organisasi

menjadi “ Adult Learner “ dimana keberadaan Adult Learner ini akan meningkatkan

performa organisasi, karena bagi adult learner, learning sudah menjadi suatu kebutuhan

dan bukan kewajiban. Ada beberapa karakteristik dari adult learner dalam kaitannya

dengan proses learning adalah :

Adult learners are mature

Adult learners are experienced

Page 6: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

6/14

Adult Learners are capable of making informed choices

Adult learner are capable of taking responsibility.

Namun untuk mendapatkan adult learner tidaklah mudah, walaupun sebuah organisasi

sudah di desain atau memiliki kondisi seperti yang dijabarkan di atas, belum tentu

seseorang menjadi adult learner, karena hal itu juga terkait dengan motivasi mereka

sertas bagaimana agar mereka memiliki motivation for learning. Untuk menjadi adult

learner, seseorang tidak dapat dipaksa, dia harus secara sukarela mau melibatkan diri

dalam proses learning untuk senantiasa meningkatkan kompetensinya, seperti yang

diperkuat oleh Wilson ( 1999, 210 ) “ Motivation for learning comes from within, and the

material on which the learning driven fastens is the whole of life, the cultural and

interpersonal relationships that form the social context.” Proses learning yang terjadi di

dalam sebuah organisasi dapat meningkatkan kapabilitas dan kompetensi dari anggota

organisasi serta organisasi itu sendiri yang pada akhirnya akan meningkatkan

performance anggota organisasi itu secara khusus dan performance organisasi itu sendiri

secara umum. Hal inilah yang akan menjadi kekuatan bagi sebuah bank untuk dapat eksis

dan memiliki competitive advantage. Saat ini, bisa dikatakan hanya bank yang memiliki

learning climate, serta anggota organisasi yang senantiasa learning saja yang mampu

bertahan. Kita dapat melihat, bank-bank yang bertahan atau bahkan meningkat

performance maupun valuenya adalah bank-bank yang mengadopsi konsep learning

organization. Mereka tak henti menciptakan produk maupun layanan yang inovatif, haus

akan informasi maupun knowledge yang berasal dari external world. Hal ini semakin

ditegaskan oleh Barney (1991, 2001), Grant (1991), Prahalad dan Hamel (1990) :

”a firm’s performance will be determined mostly by the crafting of resources into unque

competencies that in turn lead to competitive advantage.” Dalam hal ini dinyatakan

bahwa performance dari sebuah organisasi lebih ditentukan kepada keahlian dari sumber

dayanya dalam bentuk kompetensi yang unik yang akan sangat berpengaruh kepada

competitive advantage dari organisasi tersebut. Merunut dari kenyataan itu serta semakin

kompleksnya lingkungan bisnis, dimana setiap saat terjadi perubahan yang cepat dan

radikal, maka kemampuan organisasi untuk dapat memiliki keunggulan bersaing secara

berkelanjutan sangat ditentukan oleh secepat apakah sebuah organisasi belajar dan

beradaptasi terhadap perubahan tersebut, bahkan lebih cepat dari kompetisi itu sendiri.

Page 7: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

7/14

Hal ini ditegaskan pula oleh Senge ( 1994, 11 ): “In the long run, the only sustainable

source of competitive advantage is your organization’s ability to learn faster than its

competition.” Dengan adanya proses learning maka akan meningkatkan kapabilitas dan

kompetensi organisasi yang pada akhirnya juga meningkatkan performance organisasi itu

sehingga menjadi competitive advantage yang tiada habisnya dari organisasi itu, hal ini

merupakan syarat utama bagi organsisasi tersebut dalam memasuki iklim kompetisi yang

semakin hari semakin kompetitif.

Namun, sering terjadi, bahwa learning tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kadang kita

melakukan proses learning hanya saat kita mengalami kegagalan. Apabila target

penjualan tidak terpenuhi, misalnya, seorang Direktur Marketing akan langsung

mengumpulkan stafnya, membahas dan mengevaluasi apa penyebab kegagalan tersebut ,

melakukan analisa apa yang harus dilakukan, dan strategi apa yang harus ditempuh.

Seringkali ditindak lanjuti dengan mengirim stafnya mengikuti training, baik secara tim

maupun individu. Namun saat target penjualan terpenuhi, atau bahkan melampaui, tidak

dilakukan proses yang serupa, yang terjadi mungkin hanya perayaan keberhasilan saja,

syukuran dan tumpengan. Namun tidak ada pembahasan, analisa, review mengenai

dampak yang mungkin terjadi dibalik keberhasilan tersebut. Hal ini juga yang membuat

Perbankan Nasional kembali terancam mengalami krisis seperti dimasa lalu, walau dalam

bentuk yang berbeda, dimana salah satu penyebab yang dapat memicu krisis Perbankan

Nasional kali ini adalah kredit macet. Ketika Perbankan Nasional sudah mulai mampu

mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk mempercayakan dananya pada bank-bank

Indonesia, untuk mengambil laba yang besar, banyak bank yang jor-joran dalam

memberikan kredit konsumtif ke masyarakat. Mulai dari kartu kredit, kredit kepemilikan

kendaraan bermotor, kredit tanpa agunan, hingga kredit kepemilikan rumah, membuat

masyarakat, yang memang memiliki karakter konsumtif dan serba jalan pintas : ingin

memiliki barang, yang mestinya belum mereka perlukan, atau belum mampu mereka

wujudkan, namun dengan adanya fasilitas kredit, membuat masyarakat tergiur untuk

memiliki barang tersebut, bahkan kadang-kadang, terlalu “memaksa”. Fenomena ini

kurang disadari Perbankan Nasional. Tidak seperti bank-bank asing yang memberikan

kredit konsumtif dengan persyaratan dan proses verifikasi yang sangat ketat dan

terkontrol, bank-bank Indonesia nampak sangat mudah memberikan kredit konsumtif.

Page 8: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

8/14

Begitu mudahnya bank-bank Indonesia menerbitkan kartu kredit dengan limit yang

tinggi, kepada orang yang sebenarnya belum layak mendapatkan kartu kredit dengan limit

setinggi itu. Begitu mudahnya persetujuan kredit pemilikan rumah dari bank-bank

Indonesia, sehingga masyarakat berbondong-bondong membeli rumah, walaupun bisa

jadi dari segi kemampuan finansial, mereka belum mampu memiliki rumah seperti yang

dikreditkan. Di sektor kendaraan bermotor juga sama saja, dengan adanya kemudahan

kredit yang diberikan bank-bank Indonesia membuat masyarakat tergoda untuk membeli

mobil mewah ataupun memiliki lebih dari satu mobil, walaupun sebenarnya mereka

belum mampu untuk membeli mobil mewah dengan cc besar, atau belum memerlukan

mobil lebih dari satu. Kemudahan-kemudahan tersebut sangatlah sulit diberikan oleh

bank-bank asing yang sangat selektif dalam memilih orang yang layak untuk

mendapatkan kredit konsumtif. Dari segi omzet kredit konsumtif, bank-bank Indonesia

mungkin mendapatkan konsumen berlipat-lipat dibanding bank asing, baik secara person

maupun valuenya. Namun, apalah artinya omzet setinggi langit jika konsumen tersebut

tidak mampu membayar tagihannya, sehingga terjadilah kredit macet. Secara sederhana,

ketika omzet tinggi, namun banyak sekali tagihan yang tidak tertagih, dari mana bank

mampu membiayai operasionalnya, membayar komisi bagian penjualannya, serta

menyisihkan dana untuk pengembangannya? Sekali lagi, masyarakat memperlihatkan

perannya sebagai katalis bagi peningkatan integritas Perbankan Nasional. Di balik

banyaknya kasus kredit macet, Perbankan Nasional merasakan hikmahnya. Ketika

mereka sejenak terbuai untuk mendapatkan omzet kredit konsumtif sebesar-besarnya

tanpa mereview lingkungan bisnis, serta kemampuan masyarakat untuk membayar kredit

konsumtifnya. Ketika mereka melupakan upayanya untuk learning, mereview external

world, bersikap responsif dan adaptif, maka mereka harus membayar mahal dengan

banyaknya kredit konsumtif yang macet, sehingga membuat Perbankan Nasional

terancam gulung tikar. Namun, dibalik itu, masyarakat seolah mengingatkan Perbankan

Nasional atas keteledoran yang mereka lakukan selama ini. Sejak fenomena tersebut,

Perbankan Nasional kembali berbenah. Mulai dari proses pemberian kredit yang

diperketat, pembayaran minimum kredit diperbesar, terutama untuk sektor kartu kredit,

hingga dipertimbangkannya kebijakan baru mengenai pembatasan jumlah kartu kredit

yang dapat dimiliki oleh seseorang. Hal- hal inilah yang membuat Perbankan Nasional

Page 9: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

9/14

seperti mendapatkan alarm peringatan atas kelalaiannya selama ini. Masyarakat berperan

dalam mengingatkan Perbankan Nasional agar senantiasa learning, bahkan saat situasi

serta kondisi Perbankan Nasional dalam keadaan yang dapat dikatakan sedang naik daun

sekalipun.

Mengapa bank-bank Indonesia relatif sering terkena masalah seperti kredit macet,

dibandingkan bank-bank asing? Hal ini sedikit banyak berhubungan dengan budaya

Indonesia. Dari profil budaya Indonesia menurut Hofstede, dimana orang Indonesia

memiliki tingkat uncertainty avoidance yang moderate low, sehingga orang Indonesia

tidak terlalu berhati hati seperti misalnya orang Perancis. Hal ini nampak dari santainya

orang Indonesia tetap berjalan jalan di Mall walaupun banyak ancaman bom, seperti

misalnya saat Tunjungan Plaza diteror bom, tetap saja banyak orang Indonesia yang

mengunjungi Tunjungan Plaza, seolah tidak terpengaruh oleh isu bom tersebut. Hal ini

tidak akan dijumpai di Perancis, dimana sebuah tempat yang diancam bom, bisa ditutup

selama beberapa saat, bahkan bisa jadi beberapa hari, sampai keadaan benar benar aman.

Hal ini berimbas pada budaya kerja di Perbankan Nasional. Bank- bank Nasional relatif

kurang berhati-hati dalam menyikapi berbagai fenomena di masyarakat. Ketika

masyarakat menurun drastis dari segi kemampuan finansialnya, Bank-bank Nasional

tidak segera melakukan langkah-langkah antisipasi dengan memperketat proses verifikasi

dalam pemberian kredit, terutama kredit konsumtif. Bahkan, bisa jadi fenomena tersebut

menurut mereka merupakan peluang besar bagi bisnis mereka. Mereka mungkin

beranggapan, ketika kemampuan finansial masyarakat menurun, logikanya masyarakat

membutuhkan kredit untuk memenuhi kebutuhannya. Mungkin dengan logika berpikir

seperti itu, bank- bank Indonesia terkesan jor- joran dalam mengucurkan kredit. Mereka

lupa menganalis kemampuan masyarakat untuk membayar hutangnya. Bisa kita lihat dari

sektor kartu kredit, yang paling mudah terlihat. Kartu kredit, yang mestinya digunakan

untuk mempermudah transaksi antara pihak pembeli atau pengguna dengan pihak penjual

ataupun penyedia jasa, berubah total menjadi alat hutang yang paling ampuh. Banyak

masyarakat yang menggunakan kartu kredit bukan sekedar untuk berbelanja, namun

justru ditarik dalam bentuk cash. Hal ini membuktikan bahwa orang itu sebenarnya

sedang butuh dana. Selain itu, dari segi pendapatan, banyak orang yang mestinya tidak

layak mendapatkan kartu kredit, namun mereka mendapatkannya, bahkan dengan limit

Page 10: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

10/14

yang relatif tinggi. Hal inilah yang lupa diperhitungkan Perbankan Nasional. Kita bisa

melihat bagaimana hati-hati dan cermatnya bank asing dalam melakukan proses verifikasi

hingga diputuskan bahwa seseorang menurut mereka layak untuk menerima kredit.

Namun, dengan adanya masyarakat yang terbukti mampu berperan sebagai katalis

peningkatan integritas Perbankan Nasional melalui konsep Learning Organization,

membuat Perbankan Nasional sepertinya tidak mau lengah lagi. Mereka senantiasa

melakukan review terhadap external world, pengkajian, serta sharing of knowledge

diantara anggota organisasinya. Mereka melakukan ini, selain untuk menyehatkan

internal mereka, namun lebih dari itu, mereka melakukan hal tersebut untuk memuaskan

konsumennya. Proses learning yang dilakukan oleh Perbankan Nasional, membuat setiap

bank berupaya meningkatkan pelayanan kepada nasabahnya. Berbagai cara dan metode

ditempuh agar mereka mampu memberikan pelayanan terbaik bagi nasabahnya. Di sisi

lain, membuat masyarakat aman dengan performa bank yang stabil dan cenderung

meningkat integritasnya. Dengan tumbuhnya kembali rasa aman bagi masyarakat untuk

menanamkan dananya ke bank-bank Indonesia, ditunjang pelayanan yang semakin hari

semakin meningkat dan inovatif, diharapkan membuat masyarakat tidak hanya percaya,

namun juga puas dengan pelayanan dan performa Perbankan Nasional. Nasabah yang

puas, akan membuat mereka akan memberikan word of mouth positif mengenai

Perbankan Nasional kepada external world, seperti yang ditegaskan oleh Lovelock and

Wright (2002, 87) “ However, customer satisfaction is not an end in itself. First,

satisfaction is inextricably linked to customer loyalty and relationship commitment.

Second, highly satisfied (delighted) customers spread positive word of mouth. Third,

highly satisfied customers may be more forgiving.” Kenyataan ini, sedikit banyak akan

semakin meningkatkan integritas Perbankan Nasional di mata masyarakat serta

komponen lain dalam external world. Di masa mendatang, peran masyarakat akan selalu

menjadi katalis dalam meningkatkan integritas Perbankan Nasional melalui konsep

Learning Organization. Peran masyarakat yang akan menentukan bank-bank yang

mampu bertahan dan bank-bank yang tergusur karena tidak mampu atau tidak learning,

sebagai syarat suatu organisasi untuk memiliki sustainable competitive advantage dalam

lingkungan bisnis yang uncontrollable dan unpredictable. Bank - bank yang mampu

bertahan, hanyalah mereka yang melaksanakan konsep Learning Organization dengan

Page 11: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

11/14

masyarakat sebagai katalis bagi peningkatan integritas bank tersebut, yang pada akhirnya

akan meningkatkan integritas Perbankan Nasional.

Page 12: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

12/14

DAFTAR PUSTAKA

Argyris, C. 1994. Good Communication That Blocks Learning. Harvard Bussiness

Review on Organizational Learning. (July/Agustus) ; 87-109

Barney, J. 1991. Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of

Management, 17, 1, 99-120.

Beckett, R., Murray, P. 2000. Learning by Auditing : a Knowledge Creating Approach.

The TQM Magazine, 12, 2, 125-36.

Desimone, R.L., J.M. Werner, and D.M.Harris. 2002. Human Resources

Development. Orlando: Harcourt Inc.

Garratt, B. 2000. The Learning Organization: Developing Democracy at Work. London:

Harper Collins Publishers.

Garvin, David.A. 2000. Learning in Action : A Guide to Putting The Learning

Organization to Work. Boston : Harvard Bussiness School Press.

Harvard Bussiness School Publishing Corporation. 2003. Managing Creativity and

Innovation. Boston: Harvard Bussiness School Press.

Hill, R. 1996. A Measure of The Learning Organization. Journal of Industrial and

Commercial Training. Volume 28 Number 1 p. 19-25.

Hlalele, R.B.T., and J.H. Buitendach. 2003. Psychological Empowerment and Job

Satissfaction of Engineers in a Petrochemical Industri. Oral presentation at the 06th

Annual Industrial Psychology Conference, Pretoria, South Africa.

Page 13: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

13/14

Jashapara, A. 2003. Cognition, Culture and Competition : an Empirical Test of the

Learning Organization. The Learning Organization Journal. Volume 10 Number 1

p.31-50.

King, A.W., Seithaml, C.P. 2001. Competencies and Firm Performance: Examining the

Causal Ambiguity Paradox. Strategic Management Journal, 22, 1, 75-99.

Kleiman, L.S. 1997. Human Resource Management : A Tool for Competitive Advantage.

St. Paul: West Publishing Company

Kotler, P. 2003. Marketing Management. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Leonard- Barton, Dorothy. 1995. Wellsprings of Knowledge : Building and Sustaining the

Sources of Innovation. Boston: Harvard Bussiness School Press.

Lovelock, C.H., and L.K. Wright. 2002. Principles of Services Marketing and

Management. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Murray, P. 2003. Organizational Learning, Competencies, and Firm Performance :

Empirical Observations. The Learning Organization Journal. (Vol 10): Issue 5.

Schneider, S.C and Jean-Louis Barsoux. 2003. Managing Across Cultures. Edinburgh

Gate, Pearson Deucation Limited.

Senge, P.1990. The Fifth Discipline : The Art and Practice of the Learning Organization.

London: Nicholas Brealey Publishing Limited.

Senge, P. 1994. The Fifth Discipline Fieldbook. London: Nicholas Brealey Publishing

Limited.

Page 14: Perbankan, masyarakat dan learning organization by Daniel Doni Sundjojo

14/14

Shelton, C.D., and J.R. Darling. 2003. From Theory to Practice :Using New Science

Concept to Create Learning Organizations. The Learning Organization Journal.

(Vol 10): Number 6.

Solomon, M.R.2004. Consumer Behavior : Buying, Having, and Being. New Jersey :

Pearson Education, Inc.

Stacey, R. D. 2000. Strategic Management and Organizational Dynamics: The

Challenge of Complexity. Harlow: Pearson Education Limited.

.